Ceritasilat Novel Online

Langit Runtuh 1

Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon Bagian 1


THE SKY IS FALLING by Sidney Sheldon LANGIT RUNTUH Alih bahasa: Hidayat Saleh
Penerbit: PT Gramedia Cetakan kelima November 2003
Untuk Alexandra Malaikat di Sampingku Langit runtuh! Langit runtuh!
"Chicken Little Bawakan aku pahlawan, dan akan kutuliskan tragedi untukmu.
"F. Scott Fitzgerald
PROLOG CATATAN RAHASIA UNTUK SELURUH PERSONALIA OPERASI: MUSNAHKAN SEGERA SESUDAH DIBACA.
LOKASI: RAHASIA TANGGAL: RAHASIA Di dalam ruangan bawah tanah yang dijaga ketat itu ada dua belas pria, masing-masing mewakili dua belas negara yang berjauhan. Mereka duduk di enam baris kursi nyaman, satu sama lain terpisah beberapa puluh sentimeter Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian ketika si pembicara berpidato pada mereka.
"Dengan gembira saya memberitahu Anda bahwa ancaman yang sangat kita semua khawatirkan segera akan dilenyapkan. Tidak perlu saya perinci kabar ini karena seluruh dunia akan mendengarnya dalam dua puluh empat jam mendatang. Percayalah, tidak ada yang dapat menghentikan kita. Semua gerbang akan tetap terbuka. Sekarang kita akan mulai lelang ini. Tawaran pertama" Ya. Satu milyar dolar. Tawaran kedua" Dua milyar. Tawaran ketiga?"
SATU IA tengah bergegas di sepanjang Pennsylvania Avenue, satu blok dari Gedung Putih, menggigil dalam dinginnya angin bulan Desember, ketika mendengar sirene tanda bahaya serangan udara yang melengking mengerikan dan memekakkan telinga, kemudian suara pesawat pembom di atas, siap menjatuhkan muatan mautnya. Ia berhenti, terpaku, diselimuti kabut merah kengerian.
Tiba-tiba ia bagai kembali ke Sarajevo, dan bisa mendengar desing melengking hujan bom. Ia memejamkan mata rapat-rapat, tapi mustahil menghilangkan bayangan tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Langit seolah terbakar, dan telinganya tuli karena suara tembakan senjata otomatis, gemuruh pesawat terbang, dan dentum mortir yang mematikan. Bangunan-bangunan di dekatnya berhamburan jadi hujan semen, batu bata, dan debu. Orang-orang yang ketakutan berlarian ke sana-kemari, berusaha berpacu mendahului maut.
Dari jauh, amat jauh, terdengar suara laki-laki berkata, "Anda baik-baik saja?"
Perlahan-lahan, dengan takut-takut, ia membuka mata. Ia kembali berada di Pennsylvania Avenue, dalam cahaya matahari musim dingin yang suram, mendengarkan suara pesawat jet yang pelan-pelan menghilang dan sirene ambulans yang tadi memicu ingatannya.
"Miss"Anda tidak apa-apa?"
Ia memaksa dirinya kembali ke masa kini. "Ya. Saya"saya baik-baik saja, terima kasih."
Laki-laki itu menatapnya. "Tunggu sebentar! Anda Dana Evans. Saya penggemar berat Anda. Saya menonton Anda di WTN setiap malam, dan saya menyaksikan semua siaran Anda dari Yugoslavia." Suaranya antusias. "Meliput perang pasti benar-benar mengasyikkan, ya?"
"Ya." Kerongkongan Dana Evans terasa kering. Sama sekali tidak mengasyikkan menyaksikan orang-orang meledak hingga berkeping-keping, melihat bayi-bayi dilempar ke dalam sumur, serpihan-serpihan tubuh manusia mengalir di sungai darah.
Tiba-tiba ia merasa mual. "Permisi." Ia berbalik dan bergegas pergi.
Dana Evans baru tiga bulan kembali dari Yugoslavia. Berbagai kenangan masih segar di benaknya. Rasanya tak nyata berjalan-jalan di luar di siang hari tanpa merasa ketakutan, mendengar burung-burung berkicau dan orang-orang tertawa. Tidak pernah ada tawa di Sarajevo, cuma ada bunyi ledakan mortir dan jerit memilukan yang menyertainya.
John Donne benar, pikir Dana. Tak ada manusia yang hidup sendiri. Apa yang terjadi pada seseorang, pasti menimpa kita semua, karena kita semua terbuat dari tanah liat dan debu. Kita mengalami waktu yang sama. Jarum detik universal memulai gerakannya yang tak kenal ampun menuju menit berikutnya:
Di Santiago, anak perempuan berumur sepuluh tahun diperkosa kakeknya sendiri....
Di New York City, sepasang kekasih muda berciuman diterangi cahaya lilin.
Di Flanders, gadis berusia tujuh belas tahun melahirkan bayi pecandu obat bius....
Di Chicago, anggota pemadam kebakaran mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan seekor kucing dari gedung yang sedang terbakar....
Di Sao Paulo, ratusan penggemar sepak bola mati terinjak-injak dalam suatu pertandingan ketika tribun roboh....
Di Pisa, seorang ibu berseru girang ketika menyaksikan bayinya melangkah untuk pertama kalinya....
Semua ini dan berbagai peristiwa yang tak terhingga jumlahnya berlangsung hanya dalam waktu enam puluh detik, pikir Dana. Dan kemudian waktu berlalu hingga akhirnya mengantar kita menuju keabadian yang sama dan tak kita kenal.
*** Dana Evans, pada usia 27 tahun, berwajah cantik, dengan sosok langsing, rambut hitam kelam, mata abu-abu cerdas, wajah berbentuk hati, dan tawa yang hangat, menggugah. Dana dibesarkan sebagai anak kolong, putri kolonel yang berpindah dari pangkalan satu ke pangkalan lain sebagai instruktur peralatan perang, dan kehidupan semacam itu memberi peluang bagi Dana untuk berpetualang. Ia rapuh tapi sekaligus tak kenal takut, dan paduan tersebut sungguh menarik. Selama setahun ketika Dana meliput peperangan di Yugoslavia, orang-orang di seluruh penjuru dunia terpesona pada wanita muda, cantik, dan penuh semangat itu, yang menyiarkan berita di tengah pertempuran, mempertaruhkan nyawa untuk melaporkan berbagai peristiwa maut yang terjadi di sekitarnya. Kini, ke mana pun ia pergi, ia selalu menyadari gerak-gerik serta bisik-bisik orang-orang yang mengenalinya. Dana Evans merasa jengah dengan ketenarannya.
Sambil bergegas di Pennsylvania Avenue, melewati Gedung Putih, Dana melihat arloji dan berpikir, Aku akan terlambat menghadiri rapat.
Washington Tribune Enterprises menempati satu blok penuh di Sixth Street NW, dengan empat gedung yang terpisah: percetakan surat kabar, kantor staf surat kabar, gedung eksekutif, dan kompleks stasiun televisi. Studio-studio televisi Washington Tribune Network menempati lantai enam gedung keempat. Tempat itu selalu penuh energi, bilik-biliknya berisi orang-orang yang sibuk bekerja di depan komputer. Teleks dari setengah lusin kantor berita terus-menerus memuntahkan berita terbaru dari seluruh permukaan bumi. Besarnya skala operasi itu selalu membuat Dana tercengang dan terpesona.
Di situlah Dana berjumpa Jeff Connors. Pria itu dulu pitcher All-Star sampai ia menderita cedera lengan dalam kecelakaan saat bermain ski. Jeff kini reporter on air acara olahraga di WTN, juga menulis kolom harian untuk Washington Tribune Syndicate. Ia berusia tiga puluhan, tinggi dan ramping, dengan wajah kekanak-kanakan dan pembawaan tenang dan santai yang menarik hati. Jeff dan Dana saling jatuh cinta, dan mereka sudah bicara tentang perkawinan.
Tiga bulan sejak Dana kembali dari Sarajevo, berbagai peristiwa terjadi di Washington. Leslie Stewart, pemilik terdahulu Washington Tribune Enterprises, menjual perusahaan tersebut dan menghilang, dan korporasi itu dibeli taipan media internasional, Elliot Cromwell.
Rapat pagi dengan Matt Baker dan Elliot Cromwell akan segera dimulai. Begitu tiba, Dana disambut Abbe Lasmann, asisten Matt yang seksi dan berambut merah.
"Mereka sudah menunggumu," kata Abbe.
"Terima kasih, Abbe." Dana masuk ke kantor sudut. "Matt... Elliot..."
"Kau terlambat," Matt Baker menggerutu.
Baker berperawakan pendek, berambut kelabu, berusia lima puluhan awal. Sikapnya yang tegas dan tak sabaran dipicu oleh otaknya yang cemerlang dan selalu resah. Ia memakai setelan kusut yang kelihatan seperti habis dipakainya tidur, dan Dana curiga memang itulah yang terjadi. Ia yang mengelola operasi WTN, stasiun televisi Washington Tribune Enterprises.
Elliot Cromwell berusia enam puluhan, dengan sikap rumah, terbuka, dan mudah tersenyum. Ia milyarder, tetapi ada selusin kisah berlainan tentang bagaimana ia meraih kekayaan luar biasa itu, beberapa di antaranya tidak terlalu sedap didengar Dalam bisnis media massa, yang bertujuan menyebar informasi, Elliot Cromwell merupakan teka-teki.
Ia memandang Dana dan berkata, "Matt mengatakan padaku kita memenangkan kembali persaingan. Peringkatmu terus naik."
"Aku senang mendengarnya, Elliot."
"Dana, aku mendengarkan enam siaran berita setiap malam, tapi siaranmu memang lain daripada yang lain. Aku tidak tahu persis apa .sebabnya, tapi aku menyukainya."
Dana sebenarnya bisa mengatakan penyebabnya pada Elliot Cromwell. Penyiar berita lain berbicara kepada"bukan dengan"berjuta pemirsa, membacakan berita. Dana sudah memutuskan untuk membuat caranya bernuansa pribadi. Ia membayangkan berbicara dengan seorang janda kesepian, malam berikutnya dengan seseorang yang terbaring tak berdaya di ranjang, dan malam berikutnya dengan seorang wiraniaga yang jauh dari rumah dan keluarganya. Laporan beritanya terdengar pribadi dan akrab, dan pemirsa sangat menyukainya sehingga menanggapinya.
"Aku dengar kau akan mewawancarai tamu yang sangat menarik malam ini," kata Matt Baker.
Dana mengangguk. "Gary Winthrop."
Gary Winthrop adalah "putra mahkota" Amerika. Ia anggota salah satu keluarga paling terkemuka di negeri ini, muda, tampan, karismatis.
"Ia tidak suka publisitas pribadi," kata Cromwell. "Bagaimana kau bisa membuatnya mau diwawancara?"
"Kami punya hobi yang sama," Dana memberitahu.
Alis Cromwell berkerut. "Benarkah?"
"Ya." Dana tersenyum. "Aku suka melihat lukisan-lukisan karya Monet serta van Gogh, dan ia suka membelinya. Sebetulnya, aku pernah mewawancarainya dan kami jadi bersahabat. Kita akan menayangkan rekaman konferensi persnya, yang akan kita liput siang ini. Wawancaraku akan jadi follow-up."
"Bagus." Cromwell berseri-seri.
Mereka menghabiskan satu jam berikutnya dengan membicarakan acara baru yang sedang dirancang jaringan televisi itu, Crime Line, acara laporan investigatif berdurasi satu jam yang akan diproduksi dan dibawakan Dana. Tujuannya ada dua: meluruskan ketidakadilan yang telah terjadi dan menarik perhatian untuk memecahkan kasus kejahatan yang terlupakan.
"Acara realita di televisi sudah banyak," Matt memperingatkan, "jadi kita harus lebih baik daripada mereka. Aku ingin kita mulai dengan kasus yang heboh. Kasus yang akan mencuri perhatian pemirsa dan?"
Interkom berbunyi. Matt Baker menekan sebuah tombol. "Sudah kubilang, tidak ada telepon. Kenapa?""
Suara Abbe terdengar di interkom. "Maaf. Ini untuk Miss Evans. Telepon dari sekolah Kemal. Kedengarannya mendesak."
Matt Baker memandang Dana. "Saluran satu."
Dana mengangkat telepon, jantungnya berdebar-debar. "Halo... Apakah Kemal baik-baik saja?" Ia mendengarkan sejenak. "Saya mengerti... Saya tahu... Ya, saya akan segera ke sana." Ia meletakkan kembali gagang telepon.
"Ada apa?" Matt bertanya.
Dana berkata, "Mereka ingin aku datang ke sekolah untuk menjemput Kemal."
Elliot Cromwell mengernyit. "Kemal adalah bocah laki-laki yang kau bawa dari Sarajevo."
"Benar." "Cerita yang hebat."
"Ya," kata Dana enggan.
"Bukankah kau menemukannya tinggal di rumah kosong?"
"Benar," kata Dana.
"Ia menderita suatu penyakit?"
"Tidak," bantahnya tegas, merasa muak membicarakan kejadian-kejadian waktu itu. "Kemal kehilangan satu lengan. Karena ledakan bom."
"Dan kau mengadopsinya?"
"Secara resmi, belum, Elliot. Aku akan melakukannya. Sementara ini, aku walinya."
"Well, kalau begitu jemputlah dia. Kita akan bicarakan Crime Line nanti."
Ketika tiba di Theodore Roosevelt Middle School, Dana langsung pergi ke kantor asisten kepala sekolah. Asisten kepala sekolah itu, Vera Kostoff, wanita dengan rambut beruban sebelum waktunya dan wajah menderita, sedang duduk di belakang meja kerja. Kemal duduk di hadapannya. Kemal berumur dua belas tahun, sosoknya kecil untuk usianya, kurus dan pucat, dengan rambut pirang acak-acakan dan dagu yang menunjukkan kekerasan hati. Di tempat lengan kanannya semestinya berada hanya tampak lengan baju kosong. Tubuhnya yang kurus tampak kerdil dalam ruangan itu.
Ketika Dana melangkah masuk, suasana kantor itu muram.
"Halo, Mrs. Kostoff," sapa Dana ramah. "Kemal."
Kemal memandangi sepatunya.
"Saya dengar ada masalah?" Dana meneruskan.
"Ya, benar, Miss Evans." Mrs. Kostoff mengangsurkan sehelai kertas pada Dana.
Dana menatapnya, bingung. Tulisan di kertas itu berbunyi: Vodja, pizda, zbosti, fukati, nezakonski otrok, umreti, tepec. Ia mengangkat kepala. "Saya"saya tidak mengerti. Ini kata-kata Serbia, bukan?"
Mrs. Kostoff berkata dingin, "Benar. Malang bagi Kemal, saya kebetulan orang Serbia. Ini kata-kata yang dipakainya di sekolah." Wajahnya merah padam. "Sopir-sopir truk Serbia sekalipun tidak bicara seperti itu, Miss Evans, dan saya tidak bisa menerima bahasa sekasar itu keluar dari mulut anak muda ini. Kemal menyebut saya pizda."
Dana berkata, "Pi?""
"Saya tahu Kemal masih baru di negara kita, dan saya sudah mencoba untuk memberikan kelonggaran, tetapi perilakunya sangat tercela. Ia terus-menerus terlibat perkelahian, dan ketika saya menegurnya pagi ini, ia"ia menghina saya. Sungguh keterlaluan."
Dana berkata hati-hati, "Saya yakin Anda tahu betapa sulit keadaan Kemal, Mrs. Kostoff, dan?"
"Seperti sudah saya katakan, saya sudah memberikan kelonggaran, tetapi ia menguji kesabaran saya."
"Saya mengerti." Dana memandang Kemal. Anak itu masih menunduk, wajahnya muram.
"Saya betul-betul berharap ini kejadian yang terakhir," kata Mrs. Kostoff.
"Begitu juga saya." Dana berdiri.
"Saya sudah menyiapkan kartu rapor Kemal untuk Anda." Mrs. Kostoff membuka laci, mengeluarkan secarik kartu, dan menyodorkannya pada Dana.
"Terima kasih," kata Dana.
Dalam perjalanan pulang, Kemal terus membisu.
"Apa yang mesti kulakukan padamu?" Dana bertanya. "Mengapa kau selalu berkelahi, dan mengapa kau memakai kata-kata seperti itu?"
"Aku tidak tahu ia bisa bicara bahasa Serbia."
Ketika mereka sampai di apartemen Dana, ia berkata. "Aku harus kembali ke studio, Kemal. Kau tidak apa-apa di sini sendirian?"
"Word." Pertama kali Kemal mengatakan itu padanya, Dana mengira bocah itu tidak memahaminya, tapi ia segera tahu bahwa itu salah satu idiom anak muda. "Word" artinya "ya." "Phat" menggambarkan lawan jenis: pretty hot and tempting"panas dan menggoda. Segala sesuatu cool atau sweet atau tight atau rad. Kalau mereka tidak menyukai sesuatu, berarti sesuatu itu sucked.
Dana mengeluarkan kartu rapor yang tadi diberikan Mrs. Kostoff. Ketika ia membacanya, bibirnya menipis. Sejarah, D. Bahasa Inggris, D. IPA, D. IPS, F. Matematika, A.
Sambil memandangi kartu tersebut, Dana berpikir, Oh, Tuhan, apakah yang akan aku lakukan" "Kita akan membicarakan masalah ini lain kali," katanya. "Aku sudah terlambat."
Kemal merupakan teka-teki bagi Dana. Sewaktu mereka bersama, tingkah lakunya amat baik. Ia penuh kasih, pengertian, dan menyenangkan. Pada akhir pekan, Dana dan Jeff mengubah Washington jadi tempat bermain baginya. Mereka pergi ke National Zoo, yang memiliki koleksi binatang liar spektakuler, dengan panda raksasa sebagai bintangnya. Mereka mengunjungi National Air and Space Museum, tempat Kemal melihat pesawat pertama yang dibuat Wright bersaudara tergantung di langit-langit, kemudian memasuki Skylab dan menyentuh batu-batuan bulan. Mereka pergi ke Kennedy Center dan Arena Stage. Mereka memperkenalkan Kemal pada pizza di Tom Tom, taco di Mextec, dan ayam goreng gaya selatan di Georgia Brown"s. Kemal sangat menyukainya. Ia senang bersama Dana dan Jeff.
Tetapi... saat Dana harus pergi bekerja, Kemal berubah menjadi orang lain. Sikapnya jadi bermusuhan dan konfrontatif. Pengurus rumah tak pernah bertahan lama, dan para pengasuh menceritakan kisah-kisah mengerikan tentang malam-malam bersama Kemal.
Jeff dan Dana mencoba bicara dengannya, tetapi percuma saja. Mungkin ia butuh bantuan profesional, pikir Dana. Ia sama sekali tidak tahu soal ketakutan-ketakutan yang menghantui Kemal.
Siaran berita malam WTN sedang mengudara. Richard Melton, rekan Dana, membacakan berita, dan Jeff Connors, duduk di sampingnya.
Dana Evans berbicara, "... dan dalam berita luar negeri, Prancis dan Inggris masih berkutat dalam perundingan mengenai wabah mad cow. Berikut ini, Ren? Linaud melaporkan dari Rheims."
Di bilik kontrol, sang sutradara, Anastasia Mann, memberikan instruksi, "Pindahkan ke tayangan jarak jauh."
Tampak pemandangan pedesaan Prancis di layar televisi.
Pintu studio terbuka dan serombongan pria masuk dan mendekati meja pembaca berita.
Semua orang mengangkat muka. Tom Hawkins, produser muda ambisius yang menangani siaran berita malam itu, berkata, "Dana, kau kenal Gary Winthrop."
"Tentu saja." Ternyata Gary Winthrop lebih tampan daripada penampilannya dalam foto. Ia berumur empat puluhan, dengan mata biru cerah, senyum hangat, dan pesona luar biasa.
"Kita bertemu lagi, Dana. Terima kasih telah mengundangku."
"Terima kasih Anda bersedia datang."
Dana melihat sekeliling. Setengah lusin sekretaris mendadak punya urusan mendesak di dalam studio. Gary Winthrop pasti sudah biasa dengan kekonyolan ini, pikir Dana geli.
"Segmen Anda masih beberapa menit lagi. Bagaimana kalau Anda duduk di samping saya" Ini Richard Melton." Dua laki-laki itu berjabat tangan. "Anda kenal Jeff Connors, bukan?"
"Tentu saja. Kau seharusnya melempar bola di luar sana, Jeff, bukan sekadar membicarakan permainannya."
"Seandainya saja saya bisa," kata Jeff muram.
Tayangan jarak jauh dari Prancis berakhir dan mereka beralih ke iklan. Gary Winthrop duduk dan mengamati sampai jeda iklan berakhir.
Dari bilik kontrol, Anastasia Mann berkala, "Siap. Kita akan menayangkan rekaman." Ia memberi isyarat dengan jari telunjuk. "Tiga... dua... satu..."
Gambar pada monitor berubah menjadi gambar bagian luar Georgetown Museum of Art. Seorang komentator berdiri menentang angin dingin sambil memegang mikrofon.
"Kita berada di depan Georgetown Museum of Art. Mr. Gary Winthrop sedang berada di dalam, menghadiri upacara penyerahan sumbangan sebesar lima puluh juta dolar untuk museum ini. Mari kita pergi ke dalam sekarang."
Adegan di layar beralih ke interior luas museum seni itu. Pejabat-pejabat pemerintah dari berbagai lembaga, tokoh-tokoh terkemuka, dan kru televisi berkerumun di sekeliling Gary Winthrop. Direktur museum itu, Morgan Ormond, menyerahkan piagam besar kepadanya.
"Mr. Winthrop, atas nama museum ini, para pengunjung yang datang ke sini, dan pengurus museum, kami ingin mengucapkan terima kasih atas sumbangan yang amat murah hati ini."
Lampu kamera berkilatan. Gary Winthrop berkata, "Saya harap ini akan memberikan kesempatan lebih besar pada para pelukis muda Amerika, bukan saja untuk mengekspresikan diri, tetapi juga agar bakat mereka dikenal di seluruh penjuru dunia."
Terdengar tepuk tangan dari kerumunan.
Pembaca berita dalam rekaman itu berkata, "Di sini Bill Toland di Georgetown Museum of Art. Kita kembali ke studio. Dana?"
Lampu merah kamera menyala.
"Terima kasih, Bill. Kita beruntung Mr. Gary Winthrop tengah bersama kita untuk membicarakan tujuan sumbangannya yang amat bernilai."
Kamera ditarik mundur untuk memperoleh sudut yang lebih lebar, memperlihatkan Gary Winthrop di studio.
Dana berkata, "Sumbangan sebesar lima puluh juta dolar ini, Mr. Winthrop, apakah akan dipergunakan untuk membeli lukisan-lukisan bagi museum?"
"Tidak. Dana ini untuk membangun sayap bangunan baru yang akan didedikasikan bagi seniman-seniman muda Amerika sehingga mereka mendapat kesempatan untuk memamerkan apa yang dapat mereka kerjakan. Sebagian dari dana tersebut akan digunakan untuk beasiswa bagi anak-anak kota yang berbakat. Terlalu banyak anak muda yang tumbuh dewasa tanpa tahu apa-apa mengenai seni. Mereka mungkin pernah mendengar tentang pelukis-pelukis impresionis hebat dari Prancis, tetapi saya ingin mereka sadar akan warisan budaya mereka sendiri, mengenal seniman-seniman Amerika seperti Sargent, Homer, dan Remington. Uang ini akan digunakan untuk mendorong para seniman muda agar menyempurnakan bakat mereka dan untuk semua pemuda agar menaruh minat pada seni."
Dana berkata, "Ada desas-desus Anda merencanakan untuk mencalonkan diri sebagai anggota Senat, Mr. Winthrop. Apakah itu benar?"
Gary Winthrop tersenyum. "Saya sedang melihat-lihat situasi."
"Peluangnya tampaknya besar. Menurut beberapa jajak pendapat yang pernah kami lihat, Anda memimpin jauh di depan."
Gary Winthrop mengangguk. "Keluarga saya memiliki catatan panjang pengabdian mereka pada pemerintah. Bila saya bisa berguna bagi negara ini, saya akan melakukan apa pun yang harus saya lakukan."
"Terima kasih Anda telah bersama kami, Mr. Winthrop."
"Terima kasih."
Saat jeda untuk tayangan iklan, Gary Winthrop mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan studio.
Jeff Connors, yang duduk di sebelah Dana, berkata, "Kita butuh lebih banyak orang seperti dia di Kongres."
"Amin." "Mungkin kita bisa mengklon dia. Omong-omong"bagaimana kabar Kemal?"
Dana meringis. "Jeff"jangan membicarakan Kemal dan kloning pada saat yang sama. Aku tidak sanggup menghadapinya."
"Apakah masalah di sekolah pagi ini sudah beres?"
"Ya, tapi itu hari ini. Besok?"
Anastasia Mann berkata, "Kita kembali. Tiga... dua... satu..."
Lampu merah menyala. Dana memandang ke arah TelePrompTer. "Kini saatnya untuk berita olah raga bersama Jeff Connors."
Jeff memandang ke kamera. "Merlin sang Penyihir tidak memperkuat Washington Bullets malam ini. Juwan Howard mencoba sihirnya dan Gheorghe Muresan bersama Rasheed Wallace membantu mengaduk ramuan itu, tetapi ternyata hasilnya pahit, dan mereka akhirnya terpaksa menelannya bersama harga diri mereka..."
Pukul 02.00, di rumah mewah Gary Winthrop di daerah elit barat laut Washington, dua laki-laki sedang mencopoti lukisan dari dinding ruang duduk. Salah satunya memakai topeng Lone Ranger, dan yang lain mengenakan topeng Captain Midnite. Mereka bekerja dengan santai, melepaskan lukisan-lukisan itu dari bingkai dan memasukkan jarahan mereka ke karung goni.
Si Lone Ranger bertanya, "Pukul berapa patroli lewat lagi?"
Captain Midnite menjawab, "Pukul empat pagi."
"Untung mereka menepati jadwal, ya?"
"Yeah." Si Captain Midnite menurunkan sebuah lukisan dari dinding dan menjatuhkannya ke lantai kayu ek dengan suara keras. Dua laki-laki itu menghentikan apa yang sedang mereka kerjakan dan mendengarkan. Sunyi.
Lone Ranger berkata, "Coba lagi. Lebih keras,"
Captain Midnite menurunkan satu lukisan lagi dan melemparkannya keras-keras ke lantai. "Sekarang coba kita lihat apa yang terjadi."
Di kamar tidurnya di lantai atas, Gary Winthrop terjaga karena keributan itu. Ia duduk di ranjang. Apakah ia tadi mendengar suara, atau ia sedang bermimpi" Ia mendengarkan beberapa lama lagi. Hening. Dengan perasaan tak yakin, ia berdiri dan melangkah ke lorong, lalu menekan tombol lampu. Lorong tetap gelap.
"Halo. Ada orang di sana?" Tidak ada jawaban. Di bawah, ia menyusuri koridor hingga mencapai pintu ruang duduk. Ia berhenti dan terperangah menatap dua laki-laki bertopeng itu.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Lone Ranger berpaling padanya dan berkata, "Hai, Gary. Maaf kami membangunkanmu. Tidurlah kembali." Sepucuk pistol Beretta yang dipasangi peredam muncul di tangannya. Ia menarik pelatuk dua kali dan melihat dada Gary Winthrop meledak menjadi pancuran merah. Si Lone Ranger dan Captain Midnite mengawasinya jatuh ke lantai. Dengan puas mereka berbalik dan meneruskan menanggalkan lukisan-lukisan.
DUA DANA EVANS terjaga karena dering telepon yang tak henti-hentinya. Ia bersusah payah duduk dan melihat beker di meja samping ranjang dengan mata mengantuk. Saat itu pukul 05.00. Ia mengangkat telepon. "Halo?"
"Dana..." "Matt?" "Seberapa cepat kau bisa sampai ke studio?"
"Apa yang terjadi?"
"Aku akan menerangkannya kalau kau sudah di sini."
"Aku berangkat sekarang."
Lima belas menit kemudian, setelah berdandan terburu-buru, Dana mengetuk pintu apartemen keluarga Wharton, tetangga sebelahnya.
Dorothy Wharton membuka pintu, masih memakai mantel tidur. Ia memandang Dana dengan tatapan khawatir. "Dana, ada apa?"
"Maaf mengganggumu, Dorothy, tapi aku baru saja dipanggil ke studio karena masalah darurat. Maukah kau mengantarkan Kemal ke sekolah?"
"Tentu saja. Dengan senang hati."
"Terima kasih banyak. Ia harus tiba di sana pukul delapan kurang seperempat, dan ia perlu sarapan."
"Jangan khawatir. Aku akan mengurusnya. Kau berangkat saja."
"Terima kasih," kata Dana bersyukur.
Abbe Lasmann telah berada di kantornya, tampak mengantuk. "Ia sudah menunggumu."
Dana memasuki kantor Matt.
"Aku mendapat berita mengagetkan," katanya. "Gary Winthrop tewas terbunuh dini hari ini."
Dana terduduk di kursi, tertegun. "Apa" Siapa?""
"Rupanya rumahnya dirampok. Ketika ia memergoki para pencuri itu, mereka membunuhnya."
"Oh, tidak! Ia begitu baik!" Dana teringat pada keramahan dan kehangatan dermawan tampan itu, dan merasa mual.
Matt menggeleng-geleng tak percaya. "Ya Tuhan"ini berarti tragedi yang kelima."
Dana kebingungan. "Apa maksudmu, tragedi kelima?"
Matt memandangnya heran, lalu tiba-tiba tersadar, "Tentu saja"waktu itu kau sedang di Sarajevo. Aku rasa di sana, dengan berkecamuknya perang, apa yang menimpa keluarga Winthrop sepanjang tahun lalu tentulah tidak akan jadi berita utama. Aku yakin kau tahu tentang Taylor Winthrop, ayah Gary?"
"Ia pernah menjadi duta besar kita untuk Rusia. Ia dan istrinya tewas dalam kebakaran tahun lalu."
"Benar. Dua bulan sesudahnya, putra sulung mereka, Paul, tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Dan enam minggu setelah itu, putri mereka, Julie, tewas karena kecelakaan saat bermain ski." Matt berhenti sejenak. "Dan sekarang, pagi ini, Gary, anggota terakhir keluarga itu."
Dana tertegun, tak mampu bersuara.
"Dana, keluarga Winthrop adalah legenda. Seandainya negeri ini punya keluarga kerajaan, maka merekalah yang memegang mahkota. Mereka punya kharisma. Mereka terkenal di seluruh dunia karena kedermawanan dan pengabdian mereka pada pemerintah. Gary sedang merencanakan untuk mengikuti jejak ayahnya dan mencalonkan diri untuk Senat, dan ia seharusnya bisa dengan mudah lolos ke sana. Semua orang menyayanginya. Sekarang ia sudah tiada. Dalam waktu kurang dari setahun, salah satu keluarga paling terkemuka di dunia musnah sama sekali."
"Aku"aku tidak tahu apa yang harus kukatakan."
"Kau sebaiknya mulai memikirkan sesuatu," kata Matt cepat. "Kau akan mengudara dalam dua puluh menit."
Berita tewasnya Gary Winthrop menimbulkan gelombang kekagetan di seluruh penjuru dunia. Komentar dari berbagai pimpinan pemerintahan bermunculan di layar televisi seluruh dunia.
"Ini seperti tragedi Yunani..."
"Sungguh sulit dipercaya..."
"Nasib yang ironis..."
"Dunia menderita kehilangan yang luar biasa..."
"Yang terbaik dan yang paling cemerlang, dan mereka semua telah pergi..."
Semua orang seolah hanya membicarakan pembunuhan Gary Winthrop. Gelombang kesedihan menyapu seluruh negeri. Kematian Gary Winthrop membangkitkan kembali kenangan akan kematian-kematian tragis lain dalam keluarganya.
"Rasanya seperti tidak nyata," kata Dana pada Jeff "Keluarga itu pasti sangat mengagumkan."
"Memang. Gary penggemar olahraga dan suporter hebat." Jeff menggeleng. "Sulit dipercaya bahwa dua pencuri kelas teri telah menghabisi orang luar biasa seperti itu."
Ketika tengah mengemudikan mobil ke studio keesokan paginya, Jeff berkata, "Omong-omong, Rachel sedang ada di sini."
Omong-omong" Betapa santai. Terlalu santai, pikir Dana.
Jeff dulu menikah dengan Rachel Stevens, seorang model top. Dana pernah melihat gambarnya di berbagai iklan televisi dan sampul majalah. Kecantikannya luar biasa. Tapi mungkin ia tidak punya otak, pikir Dana. Di lain pihak, dengan paras dan tubuh seperti itu, ia tidak butuh otak.
Dana pernah membicarakan soal Rachel dengan Jeff. "Apa yang terjadi dengan pernikahan kalian?"
"Awalnya hebat," Jeff bercerita. "Rachel begitu mendukung. Meskipun benci bisbol, ia biasa datang ke pertandingan untuk menyaksikan aku main. Selain itu, kami punya banyak persamaan."
Aku yakin begitu. "Ia benar-benar wanita yang hebat, sama sekali tidak manja. Ia suka memasak. Saat pemotretan, Rachel biasa memasak untuk model-model lain."
Cara hebat untuk menyingkirkan pesaing. Mereka pasti berjatuhan seperti lalat.
"Apa?" "Aku tidak mengatakan apa-apa."
"Yah, kami menikah selama lima tahun."
"Lalu?" "Rachel sangat berhasil. Ia selalu mendapat pekerjaan, dan pekerjaannya membawanya ke seluruh penjuru dunia. Italia... Inggris... Jamaika... Thailand... Jepang... Tinggal sebut saja. Sementara itu, aku main bisbol di seluruh penjuru negeri. Kami jarang bersama-sama. Sedikit demi sedikit kehangatan itu memudar."
Pertanyaan berikut rasanya logis karena Jeff suka anak-anak. "Kenapa tidak ada anak?"
Jeff tersenyum tawar. "Tidak baik untuk bentuk tubuh model. Lalu suatu hari Roderick Marshall, salah satu sutradara top Hollywood, mengundangnya. Rachel pergi ke Hollywood." Ia ragu-ragu. "Ia meneleponku seminggu kemudian untuk minta cerai. Ia merasa kami makin lama makin jauh. Mau tak mau aku setuju. Aku mengabulkan permintaan cerai itu. Tak lama sesudah itu lenganku patah."
"Dan kau jadi komentator olahraga. Bagaimana dengan Rachel" Ia tidak berhasil dalam dunia perfilman?"
Jeff menggeleng. "Ia tidak sungguh-sungguh tertarik kok. Tetapi kariernya tetap lancar."
"Dan kalian masih bersahabat?" Pertanyaan yang penuh arti.
"Ya. Malahan, ketika ia meneleponku, aku menceritakan padanya tentang kita. Ia ingin bertemu denganmu."
Dana mengernyit. "Jeff, aku kira?"
"Ia benar-benar baik. Sayang. Ayo kita makan siang bersama besok. Kau akan menyukainya."
"Tentu saja," Dana menyetujui. Tak mungkin, pikir Dana. Tapi tidak ada salahnya sekali-sekali bicara dengan orang berkepala kosong.
Si kepala kosong ternyata lebih cantik daripada yang Dana takutkan. Rachel Stevens jangkung dan ramping, dengan rambut pirang panjang dan tebal, kulit kecokelatan mulus, dan raut wajah memesona. Dana langsung membencinya.
"Dana Evans, ini Rachel Stevens."
Dana menggerutu dalam hati, Tidakkah seharusnya "Rachel Stevens, ini Dana Evans?"
Rachel Stevens berkata, "... siaranmu dari Sarajevo kalau bisa. Luar biasa. Kami semua bisa merasakan kesedihanmu dan ikut menanggungnya."
Bagaimana cara menanggapi pujian yang tulus" "Terima kasih," kata Dana lirih.
"Kalian ingin makan siang di mana?" Jeff bertanya.
Rachel mengajukan usul, "Ada restoran hebat bernama Straits of Malaya. Cuma dua blok dari Dupont Circle." Ia menoleh pada Dana dan bertanya, "Apakah kau suka masakan Thai?"
Seolah ia peduli saja. "Ya."
Jeff tersenyum. "Baiklah. Ayo kita coba."
Rachel berkata, "Letaknya hanya beberapa blok dari sini. Bagaimana kalau kita jalan kaki?"
Dalam cuaca beku seperti ini" "Baiklah," jawab Dana gagah. Ia mungkin pernah berjalan-jalan telanjang bulat di salju.
Mereka menuju Dupont Circle. Dana merasa dirinya makin lama makin jelek. Ia menyesal telah menerima undangan ini.
Restoran itu ternyata penuh. Selusin orang berkumpul di bar, menunggu meja kosong. Sang ma?tre d" datang menghampiri.
"Meja untuk tiga orang," kata Jeff.
"Apakah Anda sudah memesan tempat?"
"Tidak, tapi kami?"
"Maaf, tapi?" Ia mengenali Jeff. "Mr. Connors, senang bertemu Anda." Ia mengalihkan pandangan pada Dana. "Miss Evans, ini suatu kehormatan." Ia sedikit mengerutkan mulut untuk menyatakan penyesalan. "Saya khawatir Anda harus menunggu sebentar." Pandangannya bergeser pada Rachel, dan wajahnya jadi berseri. "Miss Stevens! Saya baca Anda tengah melakukan pemotretan di Cina."
"Tadinya, Somchai. Saya sudah kembali."
"Bagus." Ia berpaling pada Dana dan Jeff. "Tentu saja kami punya meja untuk Anda." Ia membawa mereka ke meja di tengah ruangan.
Aku benci dia, pikir Dana. Aku betul-betul benci dia.
Ketika mereka duduk, Jeff berkata, "Kau tampak hebat, Rachel. Apa pun yang sedang kaulakukan cocok denganmu."
Dan kita semua bisa menerkanya.


Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selama ini aku banyak bepergian. Kupikir aku akan mulai sedikit bersantai." Ia menatap mata Jeff. "Kau ingat malam ketika kau dan aku?"
Dana mengangkat muka dari menu. "Makanan apa udang goreng ini?"
Rachel memandang Dana sepintas. "Itu udang berkuah santan. Rasanya lezat sekali." Ia kembali memandang Jeff. "Malam ketika kau dan aku memutuskan kita ingin?"
"Kalau laksa?" Rachel berkata sabar, "Itu semacam sup berempah dengan mi." Ia berpaling kembali pada Jeff. "Kau mengatakan kau ingin?"
"Dan poh pia?" Rachel kembali menoleh pada Dana dan berkata manis, "Itu jicama ditumis dengan sayuran."
"Oh ya?" Dana memutuskan untuk tidak menanyakan apa yang disebut jicama itu.
Tetapi selama makan siang, Dana heran ketika ternyata ia mulai menyukai Rachel Stevens. Wanita itu memiliki kepribadian yang hangat dan menarik. Tidak seperti kebanyakan wanita-wanita cantik kelas dunia, Rachel tampaknya sama sekali tidak terobsesi dengan penampilan dan tidak menonjolkan egonya. Ia cerdas dan pintar bicara, dan ketika ia berbahasa Thai pada pelayan waktu memesan makanan, tak ada sedikit pun nada pongah. Bagaimana Jeff dapat membiarkan istri seperti ini pergi" Dana bertanya-tanya dalam hati.
"Berapa lama kau akan berada di Washington?" tanya Dana.
"Aku harus pergi besok."
"Mau ke mana kau kali ini?" Jeff ingin tahu.
Rachel ragu-ragu. "Hawaii. Tapi aku merasa letih sekali, Jeff. Aku bahkan menimbang-nimbang untuk membatalkan yang ini."
"Tapi kau tidak akan melakukannya," kata Jeff paham.
Rachel menghela napas. "Ya, aku tidak akan melakukannya."
"Kapan kau akan kembali?" Dana bertanya.
Rachel memandangnya lama, kemudian berkata lirih, "Aku rasa aku tidak akan kembali ke Washington, Dana. Kudoakan semoga kau dan Jeff berbahagia." Ada pesan tak terucap dalam kata-katanya.
*** Di luar, sesudah makan siang, Dana berkata, "Aku perlu berbelanja sebentar. Kalian berdua teruskanlah mengobrol."
Rachel menggenggam tangan Dana. "Aku sangat senang kita bertemu."
"Aku juga," kata Dana, dan terkejut ketika menyadari ia mengucapkannya dengan tulus.
Dana mengawasi Jeff dan Rachel berjalan. Pasangan yang memesona, pikirnya.
Karena sekarang awal bulan Desember, Washington sedang bersiap-siap menghadapi masa liburan. Jalan-jalan di ibu kota itu dihiasi lampu dan karangan bunga Natal, dan hampir di setiap sudut berdiri Sinterklas dari Bala Keselamatan, membunyikan lonceng mereka untuk meminta sumbangan. Trotoar penuh orang yang berbelanja sambil menantang angin dingin.
Waktunya sudah tiba, pikir Dana. Aku harus mulai belanja juga. Dana memikirkan orang-orang yang harus dibelikannya hadiah. Ibunya, Kemal, Matt, bosnya, dan, tentu saja, Jeff yang hebat. Dana melompat ke dalam taksi dan menuju Hecht"s, salah satu toko serba ada terbesar di Washington. Tempat itu penuh sesak dengan orang-orang yang merayakan semangat Natal dengan menyikut orang lain yang sedang berbelanja agar dapat berjalan.
*** Selesai berbelanja, Dana kembali ke apartemen untuk menaruh hadiah-hadiahnya. Apartemen itu terletak di Calvert Street, di daerah pemukiman yang tenang. Dengan penataan menarik, apartemen tersebut terdiri atas satu kamar tidur, satu ruang duduk, satu dapur, satu kamar mandi, dan satu ruang belajar, tempat Kemal tidur.
Dana meletakkan hadiah-hadiahnya dalam lemari, memandang sekeliling apartemen kecil itu, dan berpikir riang. Kami harus punya tempat yang lebih besar setelah aku dan Jeff menikah. Ketika ia menghampiri pintu untuk kembali ke studio, telepon berdering. Dana mengangkat bahu, tapi tetap menjawabnya. "Halo."
"Dana, sayang."
Ternyata dari ibunya. "Halo, Ibu. Aku baru saja hendak pergi?"
"Aku dan teman-teman mendengar siaranmu tadi malam. Kau hebat sekali."
"Terima kasih."
"Meskipun kami pikir kau sebetulnya bisa sedikit mempercerah berita itu."
Dana menghela napas. "Mempercerah berita itu?"
"Ya. Segala yang kaubicarakan begitu menyesakkan. Tidak bisakah kau menemukan topik yang ceria?"
"Akan kulihat apa yang bisa kulakukan, Ibu."
"Bagus. Omong-omong, aku agak kekurangan uang bulan ini. Apakah kau bisa membantuku lagi?"
Ayah Dana sudah bertahun-tahun yang lalu menghilang. Akhirnya ibu Dana pindah ke Las Vegas. Rasanya ia selalu kekurangan uang. Jatah bulanan yang Dana berikan kepada ibunya sepertinya tidak pernah cukup.
"Apakah kau berjudi, Ibu?"
"Tentu saja tidak," tukas Mrs. Evans marah. "Las Vegas kota yang sangat mahal. Omong-omong, kapan kau datang ke sini" Aku ingin bertemu Kimbal. Kau harus membawanya ke sini."
"Namanya Kemal, Ibu. Sekarang ini aku belum bisa pergi."
Terasa keraguan sesaat di ujung sana. "Belum bisa" Semua temanku mengatakan kau beruntung punya pekerjaan yang cuma butuh waktumu satu atau dua jam sehari."
Dana berkata, "Kurasa aku memang beruntung."
Sebagai pembawa berita, Dana tiba di studio televisi pukul 09.00 setiap hari dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan hubungan telepon internasional, mendapatkan berita-berita terbaru dari London, Paris, Italia, dan lokasi-lokasi asing lain. Sisa harinya dipergunakan untuk rapat, menyusun semua berita itu, dan memutuskan apa yang akan disiarkan dan bagaimana urutan pembacaannya. Ia melakukan dua siaran malam.
"Sungguh menyenangkan kau punya pekerjaan segampang itu, Sayang."
"Terima kasih, Ibu."
"Kau akan segera datang dan menjengukku, bukan?"
"Ya." "Aku sudah tidak sabar untuk bertemu bocah kecil itu."
Baik juga kiranya bagi Kemal untuk bertemu dengannya, pikir Dana. Ia akan punya nenek. Dan sesudah aku dan Jeff menikah nanti, Kemal akan punya keluarga lagi.
Sewaktu Dana melangkah ke koridor gedung apartemennya, Mrs. Wharton muncul.
"Aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau telah mengurus Kemal kemarin, Dorothy. Aku sungguh berterima kasih."
"Tidak apa-apa."
Dorothy Wharton dan suaminya, Howard, pindah ke gedung itu setahun yang lalu. Mereka orang Kanada, pasangan setengah baya yang ramah. Howard Wharton adalah insinyur yang bekerja memperbaiki monumen-monumen.
Seperti yang pernah dijelaskannya pada Dana saat makan malam, "Tidak ada kota di dunia ini yang lebih baik daripada Washington untuk jenis pekerjaanku. Di mana lagi aku bisa menemukan peluang seperti ini?" Dan ia menjawab pertanyaannya sendiri. "Tidak ada."
"Aku dan Howard sama-sama sangat menyukai Washington," kata Mrs. Wharton. "Kami tidak akan pernah meninggalkannya."
*** Ketika Dana kembali ke kantornya, edisi terbaru Washington Tribune sudah ada di meja kerjanya. Halaman depannya dipenuhi berbagai kisah dan foto keluarga Winthrop. Dana melihat foto-foto itu beberapa lama, pikirannya berputar cepat. Mereka berlima meninggal dunia dalam jangka waktu kurang dari setahun. Luar biasa.
Telepon itu ditujukan ke telepon pribadi di menara eksekutif Washington Tribune Enterprises.
"Aku baru saja mendapatkan instruksinya."
"Bagus. Mereka sudah menunggu. Kau ingin lukisan-lukisan itu diapakan?"
"Bakar saja." "Seluruhnya" Lukisan-lukisan itu bernilai jutaan dolar."
"Semua sudah berjalan sempurna. Kita tidak boleh ambil risiko. Bakar semuanya sekarang juga."
Sekretaris Dana, Olivia Watkins, berbicara di interkom. "Ada telepon untukmu di saluran tiga. Ia sudah dua kali menelepon."
"Siapa, Olivia?"
"Mr. Henry." Thomas Henry adalah kepala sekolah Theodore Roosevelt Middle School.
Dana menggosok kening untuk menyingkirkan sakit kepala yang mulai terasa. Ia mengangkat gagang telepon. "Selamat siang, Mr. Henry."
"Selamat siang, Miss Evans. Saya hendak menanyakan apakah Anda bisa datang menemui saya?"
"Tentu saja. Satu atau dua jam lagi, saya?"
"Saya rasa sebaiknya sekarang juga, kalau bisa."
"Saya akan segera ke sana."
TIGA SEKOLAH merupakan siksaan tak tertanggungkan bagi Kemal. Ia lebih kecil dibanding anak-anak lain di kelasnya, dan yang memalukan, juga dibandingkan dengan anak-anak perempuan. Ia diolok-olok dengan julukan "si kerdil", "si udang", dan "si teri". Mengenai pelajaran, minat Kemal hanyalah matematika dan komputer, nilainya selalu yang tertinggi. Salah satu bagian pelajaran itu adalah klub catur, dan Kemal mendominasinya. Dulu ia suka sepak bola, tapi ketika ia mencoba bergabung dalam regu sekolah, si pelatih melihat lengan kaus Kemal yang kosong dan berkata, "Maaf, kami tidak bisa memakaimu." Meskipun tidak diucapkan dengan kasar, penolakan itu merupakan pukulan yang menghancurkan.
Musuh bebuyutan Kemal adalah Ricky Underwood. Saat istirahat beberapa murid makan siang di patio tertutup, bukan di kafeteria. Ricky Underwood menunggu untuk melihat di mana Kemal makan siang dan bergabung dengannya.
"Hei, bocah yatim piatu. Kapan ibu tirimu yang jahat akan mengirimmu kembali ke tempat asalmu?"
Kemal tak menghiraukannya.
"Aku bicara padamu, payah. Kau tentu tidak mimpi ia akan terus memeliharamu, bukan" Semua orang tahu mengapa ia membawamu ke sini, muka unta. Sebab ia wartawati perang kenamaan, dan menyelamatkan anak cacat membuatnya kelihatan baik."
"Fukat!" Kemal berteriak. Ia berdiri dan menerjang Ricky.
Tinju Ricky mendarat di perut Kemal, kemudian menghantam wajahnya. Kemal jatuh ke tanah, menggeliat kesakitan.
Ricky Underwood berkata, "Kapan saja kau mau lagi, beri tahu aku. Dan sebaiknya lakukan secepatnya, sebab kudengar riwayatmu sudah tamat."
Kemal hidup dalam keraguan yang menyiksa. Ia tidak percaya apa yang diucapkan Ricky Underwood, tapi... Bagaimana kalau ternyata benar" Bagaimana kalau Dana memang ingin mengirimnya kembali" Ricky betul, pikir Kemal. Aku memang payah. Untuk apa orang sehebat Dana menginginkan aku"
Kemal tadinya yakin hidupnya sudah berakhir ketika orangtua dan saudara perempuannya tewas di Sarajevo, Ia dikirim ke Orphans Institution di luar Paris, dan kehidupan di sana bagai mimpi buruk.
Pada pukul 14.00 setiap Jumat, anak-anak panti asuhan dibariskan sementara para calon orangtua angkat datang untuk mengamati mereka dan memilih satu untuk dibawa pulang. Begitu Jumat datang, semangat dan ketegangan di antara anak-anak melambung hingga ke tingkat yang tak tertahankan. Mereka mandi dan berpakaian rapi, dan sementara orang-orang dewasa memeriksa barisan, setiap anak berdoa dalam hati agar terpilih. Tanpa kecuali, ketika para calon orangtua angkat itu melihat Kemal, mereka berbisik, "Lihat, ia cuma punya satu tangan," dan mereka terus berjalan.
Setiap Jumat selalu sama, tetapi Kemal tetap menunggu dengan penuh harap ketika orang-orang dewasa itu memeriksa barisan calon anak angkat. Namun mereka selalu memilih anak lain. Saat berdiri di sana terabaikan, Kemal merasa sangat terhina. Pasti selalu orang lain, pikirnya putus asa. Tak seorang pun menghendaki aku.
Kemal sangat ingin menjadi bagian dari suatu keluarga. Ia mencoba segala cara yang dapat dipikirkannya untuk membuat keinginannya itu terwujud. Suatu Jumat ia tersenyum cerah pada orang-orang dewasa itu agar mereka tahu ia anak yang ramah dan baik. Jumat berikutnya ia berpura-pura asyik dengan sesuatu, memperlihatkan pada mereka bahwa ia tidak peduli apakah dirinya terpilih atau tidak, dan bahwa mereka beruntung jika mendapatkannya. Pada kesempatan-kesempatan lain, ia memandang mereka dengan sorot mata meminta, memohon tanpa kata pada mereka agar membawanya pulang. Namun minggu demi minggu, selalu saja orang lain yang dipilih dan dibawa pulang ke rumah yang indah dan keluarga yang bahagia.
Sungguh suatu mukjizat, Dana mengubah semua itu. Dana-lah yang menemukannya hidup menggelandang di jalanan Sarajevo. Sesudah Kemal diterbangkan Palang Merah ke panti asuhan tersebut, Kemal menulis surat pada Dana. Ia terkejut waktu wanita itu menelepon rumah yatim piatu dan mengatakan ingin Kemal tinggal bersamanya di Amerika. Itu adalah saat paling membahagiakan dalam hidup Kemal. Peristiwa itu bagai mimpi mustahil yang jadi kenyataan, dan ternyata lebih membahagiakan dari yang pernah dibayangkannya.
Hidup Kemal berubah seratus persen. Ia kini bersyukur tidak ada yang memilihnya sebelum ini. Ia tidak lagi sendiri di dunia. Ada orang yang memedulikannya. Ia menyayangi Dana dengan segenap hati dan jiwa, tapi dalam dirinya selalu ada ketakutan luar biasa yang dibangkitkan Ricky Underwood, bahwa suatu saat Dana akan berubah pikiran dan mengembalikannya ke panti asuhan itu, ke neraka yang telah ditinggalkannya. Berulang kali ia bermimpi: Ia kembali berada di panti asuhan, dan saat itu hari Jumat. Sederet orang dewasa sedang memeriksa anak-anak, dan Dana ada di sana. Ia memandang Kemal dan berkata, Bocah jelek itu cuma punya satu tangan, dan ia melewatinya serta memilih anak di sampingnya. Kemal terbangun sambil bercucuran air mata.
Kemal tahu Dana tidak suka ia berkelahi di sekolah, dan ia berusaha keras menghindarinya, tapi ia tidak tahan jika Ricky Underwood atau teman-temannya menghina Dana. Begitu mereka menyadari hal tersebut, hinaan terhadap Dana makin gencar, demikian pula perkelahian-perkelahian itu.
Ricky biasa menyapa Kemal dengan mengatakan, "Hei, kau sudah mengemasi kopermu, kerdil" Dalam siaran berita pagi ini, katanya ibu angkatmu yang busuk itu akan mengirimmu kembali ke Yugoslavia."
"Zbosti!" Kemal berteriak.
Dan perkelahian pun mulai. Kemal pulang dengan mata lebam dan bengkak, tapi bila Dana bertanya apa yang terjadi, ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, karena ia sangat takut bila ia mengucapkannya, maka apa yang dikatakan Ricky Underwood bakal terjadi.
Kini, sewaktu menunggu kedatangan Dana di kantor kepala sekolah, Kemal berpikir, Bila ia mendengar apa yang telah kulakukan kali ini, ia pasti akan mengusirku. Ia duduk dengan perasaan tersiksa, jantungnya berdebar-debar.
Ketika Dana memasuki kantor Thomas Henry, sang kepala sekolah sedang mondar-mandir, wajahnya muram. Kemal duduk di kursi di seberang ruangan.
"Selamat pagi, Miss Evans. Silakan duduk."
Dana melirik Kemal sepintas dan duduk.
Thomas Henry mengambil sebilah pisau daging besar dari meja kerjanya. "Salah satu guru Kemal mengambil ini darinya."
Dana berputar memandang Kemal, gusar. "Kenapa?" ia bertanya marah. "Mengapa kau membawa-bawa ini ke sekolah?"
Kemal menatap Dana dan berkata dengan muka cemberut, "Aku tidak punya senapan."
"Kemal!" Dana berpaling pada si kepala sekolah. "Boleh saya bicara dengan Anda sendirian, Mr. Henry?"
"Ya." Ia memandang Kemal, rahangnya dikatupkan rapat. "Tunggu di luar."
Kemal berdiri, sekali lagi melihat pisaunya, dan berlalu.
Dana mulai bicara, "Mr. Henry, Kemal baru dua belas tahun. Selama bertahun-tahun ia harus tidur dengan suara ledakan bom di telinga, bom yang juga telah membunuh ibu, ayah, dan saudara perempuannya. Salah satu bom itu merenggut tangannya. Waktu saya menemukan Kemal di Sarajevo, ia tinggal di kardus di lapangan kosong. Ada seratus anak lain yang tak lagi memiliki rumah dan hidup seperti binatang." Ia mengingat kengerian itu, berusaha agar suaranya tidak bergetar.
"Bom-bom itu sudah berhenti meledak, tapi anak-anak itu masih tetap tidak punya rumah dan tak berdaya. Satu-satunya cara mereka mempertahankan diri dari musuh adalah dengan menggunakan pisau atau batu atau senjata api, kalau mereka cukup beruntung mendapatkannya." Dana memejamkan mata sebentar dan menarik napas dalam. "Anak-anak itu ketakutan. Kemal ketakutan, tapi ia anak yang baik. Ia hanya perlu memahami bahwa ia aman di sini. Kita bukan musuhnya. Saya berjanji pada Anda ia tidak akan melakukan hal ini lagi."
Mereka lama terdiam. Ketika Thomas Henry berbicara, ia berkata, "Kalau saya sampai butuh pengacara, Miss Evans, saya ingin Anda yang jadi pembela saya."
Dana tersenyum lega. "Saya janji."
Thomas Henry menghela napas. "Baiklah. Bicaralah dengan Kemal. Kalau ia sampai melakukan hal seperti ini lagi, saya khawatir saya harus?"
"Saya akan bicara dengannya. Terima kasih, Mr. Henry."
Kemal menunggu di koridor.
"Ayo pulang," kata Dana pendek.
"Apakah mereka menyimpan pisauku?"
Dana tak mau menjawab. Dalam perjalanan pulang, Kemal berkata, "Maafkan aku karena telah menyusahkanmu, Dana."
"Oh, bukan masalah. Mereka memutuskan untuk tidak mendepakmu dari sekolah. Dengar, Kemal?"
"Oke. Tidak ada lagi pisau."
Sesampainya mereka di apartemen, Dana berkata, "Aku harus kembali ke studio. Pengasuh akan ke sini sebentar lagi. Malam ini kau dan aku harus bicara panjang lebar."
Ketika siaran malam selesai, Jeff berpaling pada Dana. "Kau kelihatan khawatir, Sayang."
"Memang. Karena Kemal. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengannya, Jeff. Hari ini aku harus menemui kepala sekolahnya lagi, dan sudah dua pembantu rumah tangga berhenti gara-gara dia."
"Ia anak yang hebat," kata Jeff. "Ia cuma butuh waktu."
"Mungkin. Jeff?"
"Ya?" "Kuharap aku tidak melakukan kesalahan besar dengan membawanya ke sini."
Waktu Dana kembali ke apartemen, Kemal sudah menunggu.
Dana berkata, "Duduklah. Kita harus bicara. Kau harus mulai mematuhi peraturan, dan perkelahian di sekolah harus dihentikan. Aku tahu anak-anak lain memang menyulitkanmu, tapi kau harus bisa saling memahami dengan mereka. Kalau kau terus terpancing berkelahi, Mr. Henry akan mengeluarkanmu dari sekolah."
"Aku tidak peduli."
"Kau harus peduli. Aku ingin kau punya masa depan yang baik, itu tidak bisa terwujud tanpa pendidikan. Mr. Henry memberimu kelonggaran, tapi?"
"Persetan dengannya."
"Kemal!" Tanpa berpikir, Dana menampar wajahnya. Seketika itu juga ia menyesal. Kemal menatapnya, tertegun. Ia berdiri, berlari masuk ruang belajar, dan membanting pintu hingga menutup.
Telepon berdering. Dana mengangkatnya. Dari Jeff. "Dana?"
"Sayang, aku"aku tidak bisa bicara sekarang. Perasaanku terlalu kacau."
"Ada apa?" "Kemal. Ia sangat menjengkelkan."
"Dana..." "Ya?" "Coba berada pada posisinya."
"Apa?" "Pikirkanlah. Maaf, aku ada tenggat. Aku sayang padamu, dan kita akan bicara lagi nanti."
Berada pada posisinya" Itu tidak masuk akal, pikir Dana. Bagaimana aku bisa tahu apa yang Kemal rasakan" Aku bukan yatim piatu korban perang berumur dua belas tahun yang bertangan satu, dan aku tidak pernah mengalami apa yang pernah dialaminya. Dana duduk berlama-lama sambil berpikir. Berada pada posisinya. Ia berdiri, pergi ke kamar tidur, menutup pintu, dan membuka pintu lemari pakaian. Sebelum Kemal datang, Jeff sering menginap beberapa malam seminggu di apartemen ini dan meninggalkan beberapa pakaiannya. Di dalam lemari ada beberapa celana panjang, kemeja dan dasi, sweter, dan jaket sport.
Dana mengeluarkan beberapa potong pakaian dan meletakkannya di ranjang. Ia pergi ke laci dan mengambil celana dalam dan kaus kaki Jeff. Kemudian Dana menanggalkan seluruh pakaian. Dengan tangan kiri ia mengambil celana dalam milik Jeff dan mencoba mengenakannya. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Setelah dua kali mencoba barulah ia bisa memakainya. Selanjutnya, ia mengambil salah satu kemeja Jeff. Karena hanya menggunakan tangan kiri, ia butuh tiga menit yang mengesalkan untuk memakai dan mengancingkannya. Ia harus duduk di ranjang untuk mengenakan celana panjang, dan sulit sekali menutup ritsletingnya. Butuh dua menit lagi untuk mengenakan sweter Jeff.
Ketika akhirnya selesai berpakaian, Dana duduk untuk menenangkan napas. Itulah yang harus dilakukan Kemal setiap pagi. Dan itu baru permulaan. Ia harus mandi, menggosok gigi, dan menyisir rambut. Dan itu sekarang. Bagaimana dulu" Hidup di tengah kengerian perang, menyaksikan ibu, ayah, saudara perempuan, dan teman-temannya tewas.
Jeff benar, pikirnya. Aku berharap terlalu banyak dan terlalu cepat. Ia butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Aku tidak boleh menyerah dengannya. Ayahku meninggalkan aku dan ibuku, dan aku tidak pernah benar-benar memaafkan perbuatannya. Seharusnya ada suruhan ketiga belas: Jangan tinggalkan orang-orang yang menyayangimu.
Perlahan-lahan, sambil mengenakan pakaiannya sendiri, ia memikirkan lirik lagu-lagu yang berulang kali didengarkan Kemal. CD Britney Spears, Backstreet Boys, Limp Bizkit. "Dont want to lose you", "I need you tonight", "As long as you love me", "I just want to be with you", "I need love".
Semua lirik itu tentang kesepian dan kerinduan.
Dana mengambil kartu rapor Kemal. Memang benar ia gagal pada hampir semua mata pelajaran, tetapi ia memperoleh nilai A untuk matematika. Nilai A itulah yang penting, pikir Dana. Di pelajaran itulah Kemal menonjol. Di situlah ia memiliki masa depan. Kami akan berusaha memperbaiki nilai-nilai lainnya.
Saat Dana membuka pintu ruang belajar, Kemal sudah berbaring di ranjang, matanya terpejam rapat dan wajahnya yang pucat basah dengan air mata. Dana memandanginya sesaat, lalu membungkuk dan mencium pipinya. "Aku minta maaf, Kemal," ia berbisik. "Maafkan aku."
Besok akan lebih baik. Pagi-pagi keesokan harinya, Dana membawa Kemal ke dokter ortopedi terkemuka, dr. William Wilcox. Sesudah melakukan pemeriksaan, dr. Wilcox berbicara empat mata dengan Dana.
"Miss Evans, untuk memasang prostese perlu biaya dua puluh ribu dolar dan di sinilah letak persoalannya. Kemal baru berumur dua belas tahun. Tubuhnya akan terus tumbuh sampai ia mencapai usia tujuh belas atau delapan belas tahun. Setiap beberapa bulan, tubuhnya bisa tumbuh lebih besar dari prostese itu. Saya khawatir, secara finansial, hal ini tidak praktis."
Semangat Dana nyaris padam. "Saya mengerti. Terima kasih, Dokter."
Di luar, Dana berkata pada Kemal, "Jangan khawatir, Sayang. Kita akan temukan cara lain."
Dana mengantar Kemal ke sekolah, kemudian berangkat ke studio. Enam blok dari sekolah, telepon genggamnya berbunyi. Ia mengangkatnya. "Halo?"
"Ini Matt. Siang ini di markas besar kepolisian akan diadakan konferensi pers mengenai pembunuhan Winthrop. Aku ingin kau meliputnya. Aku akan mengirimkan kru kamera. Polisi benar-benar kerepotan. Berita ini semakin besar setiap menit, dan polisi tidak punya petunjuk apa pun."
"Aku akan ke sana, Matt,"
Kepala Polisi Dan Burnett sedang berbicara di telepon di kantornya ketika sekretarisnya berkata, "Walikota di saluran dua."
Burnett membentak, "Katakan padanya aku sedang bicara dengan Gubernur di saluran satu." Ia kembali berbicara ke telepon.
"Ya, Gubernur. Saya tahu bahwa... Ya, Sir. Menurut saya... saya yakin kami bisa... Segera sesudah kami... Benar. Sampai nanti, Sir." Ia membanting telepon.
"Sekretaris pers Gedung Putih di saluran empat."
Seperti itulah sepanjang pagi.
Tengah hari, ruang konferensi di Municipal Center yang terletak di Indiana Avenue nomor 300, pusat kota Washington, penuh sesak dengan orang-orang dari media massa. Kepala Polisi Burnett masuk dan berjalan ke depan ruangan.
"Semua harap tenang." Ia menunggu sampai suasana hening. "Sebelum menerima pertanyaan-pertanyaan kalian, saya akan memberikan pernyataan. Pembunuhan biadab atas Gary Winthrop merupakan kehilangan besar bukan saja bagi masyarakat ini, tetapi juga bagi dunia, dan penyelidikan akan terus kami lakukan sampai kami menangkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan besar ini. Saya sekarang akan menerima pertanyaan Anda sekalian."
Seorang reporter berdiri. "Chief Burnett, apakah pihak kepolisian sudah punya petunjuk?"
"Sekitar pukul tiga pagi, seorang saksi melihat dua laki-laki memasukkan barang ke van putih di halaman rumah Gary Winthrop. Tindak-tanduk mereka tampak mencurigakan, dan ia mencatat nomor pelat kendaraan itu. Pelat itu berasal dari truk curian."
"Apakah polisi tahu apa yang diambil dari rumah itu?"
"Dua belas lukisan berharga hilang."
"Selain lukisan, apakah ada barang lain yang dicuri?"
"Tidak." "Bagaimana dengan uang tunai dan perhiasan?"
"Perhiasan dan uang tunai di rumah itu tidak disentuh. Maling-maling itu hanya mengincar lukisan."
"Chief Burnett, apakah tidak ada sistem alarm di rumah itu, dan kalau ada, apakah tidak dihidupkan?"
"Menurut pengurus rumah tangganya, sistem alarm itu selalu dinyalakan di waktu malam. Pencuri-pencuri itu menemukan cara untuk mengatasinya. Kami belum tahu pasti bagaimana caranya."
"Bagaimana pencuri-pencuri itu masuk ke rumah?"
Chief Burnett ragu-ragu. "Itu pertanyaan yang menarik. Tidak ada tanda-tanda pengrusakan. Kami belum punya jawaban untuk pertanyaan itu."
"Mungkinkah ada hubungannya dengan orang dalam?"
"Saya rasa tidak. Staf Gary Winthrop sudah bertahun-tahun bekerja padanya."
"Apakah Gary Winthrop sendirian di rumah itu?"
"Sejauh yang saya ketahui, ya. Stafnya sedang libur."
Dana berseru, "Apakah Anda punya daftar lukisan yang dicuri?"
"Ya. Semua lukisan terkenal. Daftar itu sudah diedarkan ke berbagai museum, pedagang barang seni, dan kolektor. Begitu salah satu lukisan itu muncul, kasus ini akan terpecahkan."
Dana duduk, bertanya-tanya bingung. Para pembunuh itu pasti menyadari hal itu, jadi mereka tidak akan berani menjual lukisan-lukisan tersebut. Lalu untuk apa mereka mencurinya" Dan melakukan pembunuhan" Dan mengapa mereka tidak mengambil uang dan perhiasan" Ada yang tidak beres.
*** Upacara pemakaman Gary Winthrop diadakan di National Cathedral, katedral keenam terbesar di dunia. Wisconsin dan Massachusetts Avenue ditutup. Agen-agen Secret Service dan polisi Washington dikerahkan besar-besaran. Di dalam katedral itu, menunggu upacara dimulai, ada wakil presiden Amerika Serikat, selusin senator dan anggota Kongres, seorang Hakim Agung, dua anggota kabinet, dan sejumlah tokoh terkemuka dari seluruh penjuru dunia. Helikopter-helikopter kepolisian dan pers berseliweran di langit. Di jalan sudah ada ratusan penonton yang datang untuk menyampaikan penghormatan atau melihat para selebriti. Orang-orang bukan memberikan penghormatan untuk Gary saja, tetapi untuk seluruh dinasti Winthrop yang bernasib malang.
Dana meliput upacara itu bersama dua kru kamera. Di dalam, katedral hening.
"Tuhan bertindak dengan cara-cara yang misterius," sang pendeta berkata. "Keluarga Winthrop mengabdikan hidup mereka untuk membangun harapan. Mereka menyumbangkan milyaran dolar untuk sekolah, gereja, dan kaum papa serta kelaparan. Mereka juga menyumbangkan waktu dan bakat mereka. Gary Winthrop meneruskan tradisi keluarga besar ini. Mengapa keluarga ini, dengan segala prestasi dan kemurahan hati mereka, direnggut dari kita dengan cara yang demikian keji, sama sekali di luar batas pemahaman kita. Di satu segi, mereka sesungguhnya tidak benar-benar tiada, karena warisan mereka akan hidup selamanya. Apa yang telah mereka lakukan bagi kita akan terus membuat kita bangga..."
Tuhan seharusnya tidak membiarkan orang-orang seperti itu meninggal dengan cara yang demikian mengerikan, pikir Dana sedih.
Ibu Dana menelepon. "Aku dan teman-teman menyaksikan kau meliput upacara pemakaman itu, Dana. Ketika kau bicara tentang keluarga Winthrop tadi, aku sempat mengira kau akan menangis."
"Aku pun mengira begitu, Ibu. Aku juga."
Malam itu Dana sulit tidur. Ketika akhirnya ia pulas, mimpinya merupakan kaleidoskop gila berisi kebakaran, kecelakaan mobil, dan penembakan. Tengah malam, ia mendadak terbangun dan duduk. Lima anggota keluarga yang sama tewas terbunuh kurang dari setahun" Seberapa mungkinnya peristiwa seperti itu terjadi"
EMPAT "APA sebenarnya yang ingin kaukatakan, Dana?"
"Matt, aku ingin mengatakan bahwa lima kematian keji yang menimpa sebuah keluarga dalam kurun waktu kurang dari setahun tidak mungkin sekadar kebetulan."
"Dana, seandainya tidak mengenalmu dengan baik, aku tentu sudah menelepon psikiater dan mengatakan ada Chicken Little di kantorku, mengatakan langit akan runtuh. Kaupikir kita berhadapan dengan semacam konspirasi" Siapa di belakangnya" Fidel Castro" CIA" Oliver Stone" Aduh, tidak tahukah kau bahwa tiap kali ada orang penting terbunuh, selalu ada seratus teori konspirasi yang berlainan" Minggu lalu orang datang kemari dan mengatakan ia bisa membuktikan Lyndon Johnson membunuh Abraham Lincoln. Washington selalu penuh dengan teori konspirasi."
"Matt, kita sedang menyiapkan Crime Line. Kau mau mulai dengan berita yang menggegerkan" Yah, kalau aku tidak keliru, ini memenuhi syarat."
Matt Baker mengamatinya beberapa saat. "Kau menyia-nyiakan waktumu."
"Terima kasih, Matt."
Ruang arsip Washington Tribune berada di lantai bawah tanah gedung, dipenuhi ribuan rekaman siaran berita, semua dikatalogkan dengan rapi.
Laura Lee Hill, wanita menarik berambut cokelat yang berusia empat puluhan, duduk di belakang meja kerja sambil mengkatalogkan pita rekaman. Ia mendongak ketika Dana masuk.
"Hai, Dana. Aku menonton liputan upacara pemakaman itu. Menurutku liputanmu itu sangat hebat."
"Terima kasih."
"Tragedi yang mengerikan, ya?"
"Ya," jawab Dana.
"Tidak ada yang bisa meramal nasib," kata Laura Lee Hill muram "Yah"apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Aku ingin melihat beberapa rekaman tentang keluarga Winthrop."
"Kau ingin rekaman tertentu?"
"Tidak. Aku cuma ingin tahu seperti apa keluarga itu."
"Aku bisa memberitahumu seperti apa mereka. Mereka seperti santo."
"Begitulah yang selalu kudengar," kata Dana.
Laura Lee Hill berdiri. "Kuharap kau punya banyak waktu, Sayang. Kita punya banyak sekali liputan tentang mereka."
"Bagus. Aku tidak buru-buru."
Laura Lee membawa Dana ke meja yang dilengkapi monitor televisi. "Aku akan segera kembali," katanya. Ia kembali lima menit kemudian dengan tangan penuh pita rekaman. "Kau bisa mulai dengan yang ini," katanya. "Masih ada banyak lagi."
Dana memandang tumpukan kaset itu dan berpikir, Mungkin aku memang Chicken Little. Tapi kalau aku benar...
Dana memasukkan sebuah kaset, dan gambar seorang laki-laki tampan memesona muncul di layar. Raut mukanya keras dan tegas. Ia memiliki rambut hitam, mata biru jernih, dan dagu kokoh. Di sebelahnya ada seorang anak laki-laki. Seorang komentator berkata, "Taylor Winthrop baru saja menambah satu lagi perkemahan di alam terbuka dari beberapa perkemahan yang sudah dibangunnya untuk anak-anak kurang mampu. Putranya Paul di sini bersamanya, siap untuk ikut bergembira. Ini perkemahan kesepuluh yang dibangun Taylor Winthrop. Ia merencanakan membangun sedikitnya selusin lagi."
Dana menekan satu tombol dan gambar pun berganti. Taylor Winthrop yang tampak lebih tua, dengan uban di sana-sini, sedang berjabat tangan dengan beberapa tokoh. "... baru saja mengkonfirmasikan penunjukannya sebagai konsultan NATO. Taylor Winthrop akan berangkat ke Brussel dua minggu lagi untuk..."
Dana mengganti kaset. Gambar memperlihatkan halaman depan Gedung Putih. Taylor Winthrop sedang berdiri di samping Presiden, yang berkata. "... dan saya menugaskannya untuk memimpin FRA, Badan Riset Federal. Lembaga ini didirikan untuk membantu negara-negara berkembang di seluruh penjuru dunia, dan saya tidak bisa memikirkan orang lain yang lebih berbobot daripada Taylor Winthrop untuk memimpin organisasi itu..."
Monitor menampakkan gambar selanjutnya, bandara Leonardo da Vinci di Roma. Tampak Taylor Winthrop sedang turun dari pesawat. "Beberapa kepala negara hadir di sini untuk menyambut Taylor Winthrop saat ia tiba untuk menegosiasikan kesepakatan perdagangan antara Italia dan Amerika Serikat. Fakta bahwa Mr. Winthrop dipilih Presiden untuk menangani negosiasi ini menunjukkan betapa penting..."
Orang ini melakukan segalanya, pikir Dana.
Ia mengganti kaset lagi. Taylor Winthrop berada di istana kepresidenan di Paris, bersalaman dengan presiden Prancis. "Suatu perjanjian kerja sama perdagangan penting dengan Prancis baru saja diselesaikan oleh Taylor Winthrop..."
Satu kaset lain. Istri Taylor Winthrop, Madeline, di depan sebuah bangunan bersama sekelompok anak-anak, laki-laki dan perempuan. "Madeline Winthrop hari ini mempersembahkan sebuah pusat perawatan baru bagi anak-anak yang mengalami penganiayaan, dan?"
Ada satu kaset berisi gambar anak-anak keluarga Winthrop sedang bermain di tanah pertanian mereka di Manchester, Vermont.
Dana memasukkan kaset berikutnya. Taylor Winthrop di Gedung Putih. Di latar belakang tampak istrinya, dua putranya yang tampan, Gary dan Paul, serta putrinya yang cantik, Julie. Presiden sedang menganugerahkan bintang kehormatan Medal of Freedom kepada Taylor Winthrop. "... dan untuk pengabdiannya tanpa memikirkan diri sendiri pada negara ini dan untuk semua prestasinya yang luar biasa, saya menganugerahi Taylor Winthrop dengan tanda penghargaan sipil tertinggi yang bisa kami berikan"Medal of Freedom."
Ada kaset berisi gambar Julie sedang bermain ski....
Gary menyumbangkan dana pada yayasan untuk membantu seniman-seniman muda....
Ruang Oval lagi. Pers meliput besar-besaran. Taylor Winthrop dengan rambut yang sudah kelabu dan istrinya berdiri di samping Presiden. "Saya baru saja mengangkat Taylor Winthrop sebagai duta besar baru kita untuk Rusia. Saya tahu kalian semua sudah mengetahui berbagai pengabdian Mr. Winthrop bagi negara ini, dan saya gembira ia setuju untuk menerima penugasan ini, bukannya melewatkan hari-harinya dengan bermain golf." Orang-orang pers tertawa.
Taylor Winthrop menanggapi, "Anda belum pernah menyaksikan permainan golf saya, Mr. President."
Tertawa lagi.... Kemudian datang serangkaian bencana.
Dana memasukkan kaset baru. Pemandangan di luar sebuah rumah yang terbakar habis di Aspen, Colorado. Seorang reporter wanita menunjuk rumah yang sudah runtuh itu. "Kepala kepolisian Aspen sudah mengkonfirmasikan bahwa Duta Besar Winthrop dan istrinya, Madeline, tewas dalam bencana kebakaran ini. Dinas pemadam kebakaran dipanggil dini hari ini dan dalam lima belas menit tiba di tempat kejadian, tetapi sudah terlambat untuk menyelamatkan mereka. Menurut Chief Nagel, kebakaran itu disebabkan masalah listrik. Duta Besar dan Mrs. Winthrop dikenal luas di seluruh dunia karena kedermawanan dan dedikasi mereka pada pemerintah."
Dana memasukkan kaset lain. Tampak Grand Corniche di Riviera Prancis. Seorang reporter berkata, "Di tikungan inilah mobil Paul Winthrop tergelincir dari jalan dan terjerumus ke jurang. Menurut kantor pemeriksa jenazah, ia tewas seketika akibat benturan itu. Tidak ada penumpang lain. Polisi sedang menyelidiki penyebab kecelakaan. Ironi yang menyedihkan adalah baru dua bulan yang lalu ibu dan ayah Paul Winthrop juga tewas dalam kebakaran di rumah mereka di Aspen, Colorado."
Dana meraih satu kaset lain. Sebuah jalur ski di pegunungan Juneau, Alaska. Seorang pembawa berita dalam pakaian tebal berbicara, "... dan di sinilah kecelakaan ski yang tragis itu terjadi kemarin malam. Pihak yang berwajib tidak tahu mengapa Julie Winthrop, pemain ski yang hebat, bermain ski seorang diri di malam hari di jalur ini, yang sebenarnya sudah ditutup, tetapi mereka sedang menyelidikinya. Pada bulan September, hanya enam minggu yang lalu, saudara laki-laki Julie, Paul, tewas dalam kecelakaan mobil di Prancis dan pada bulan Juli tahun ini, orangtuanya, Duta Besar Taylor Winthrop serta istrinya, tewas dalam kebakaran. Presiden sudah menyampaikan ucapan belasungkawa."
Kaset selanjutnya. Rumah Gary Winthrop di bagian barat laut Washington, D.C. Reporter berkerumun di luar rumah besar tersebut. Di depan rumah, seorang pembawa berita berkata, "Dalam peristiwa yang amat tragis dan mengejutkan, Gary Winthrop, anggota terakhir keluarga Winthrop, tewas ditembak pencuri. Pagi ini satpam melihat lampu alarm padam, masuk ke dalam rumah, dan menemukan jenazah Mr. Winthrop. Ia ditembak dua kali. Tampaknya pencuri-pencuri itu sedang mengambil lukisan-lukisan berharga dan terpergok. Gary Winthrop adalah anggota kelima dan terakhir keluarga ini yang tewas karena kekerasan tahun ini."
Dana mematikan televisi dan duduk beberapa lama. Siapakah yang ingin menyapu habis keluarga hebat seperti itu" Siapa" Mengapa"
Dana membuat janji pertemuan dengan Senator Perry Leff di Hart Senate Office Building. Leff berusia lima puluhan, pria yang serius dan penuh semangat.
Ia berdiri ketika Dana diantar masuk. "Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Miss Evans?"
"Saya tahu Anda pernah bekerja erat dengan Taylor Winthrop, Senator?"
"Ya. Kami diangkat Presiden untuk bertugas pada beberapa komite."
"Saya tahu citranya di mata masyarakat bagus sekali, Senator Leff, tapi bagaimanakah ia sebagai pribadi?"
Senator Leff mengamati Dana sesaat. "Dengan senang hati akan saya katakan pada Anda. Taylor Winthrop adalah salah satu orang terhebat yang pernah saya jumpai. Yang paling luar biasa pada dirinya adalah caranya bergaul dengan orang. Ia benar-benar peduli. Ia berusaha keras membuat dunia ini menjadi lebih baik. Saya akan selalu kehilangan dia, dan kejadian yang menimpa keluarganya sangat mengerikan."
Dana berbicara dengan Nancy Patchin, salah satu sekretaris Taylor Winthrop, wanita berusia enam puluhan, dengan wajah yang sudah keriput dan mata sedih.
"Anda lama bekerja pada Mr. Winthrop?"
"Lima belas tahun."
"Selama periode itu, saya rasa Anda jadi mengenal Mr. Winthrop dengan baik."
"Ya, tentu saja."
Dana berkata, "Saya mencoba mendapatkan gambaran tentang orang macam apakah ia sebenarnya. Apakah ia?"
Nancy Patchin menyela. "Bisa saya ceritakan dengan tepat orang seperti apa ia, Miss Evans. Ketika ia mengetahui anak laki-laki saya menderita penyakit Lou Gehrig, Taylor Winthrop membawanya ke dokter-dokternya sendiri dan membayar semua biaya perawatan medisnya. Ketika putra saya meninggal, Mr. Winthrop membayar seluruh biaya pemakaman dan mengirim saya ke Eropa untuk memulihkan diri." Matanya berkaca-kaca. "Ia orang paling hebat, paling murah hati yang pernah saya kenal."
Dana membuat janji pertemuan dengan Jenderal Victor Booster, direktur FRA, Badan Riset Federal, yang pernah dikepalai Taylor Winthrop. Tadinya Booster menolak berbicara dengan Dana, tapi ketika mengetahui siapa yang hendak dibicarakan Dana, ia setuju untuk menemuinya.
Pagi hari menjelang siang, Dana mengemudikan mobil menuju Badan Riset Federal, di dekat Fort Mead, Maryland. Kantor pusat lembaga itu terletak di lahan seluas delapan puluh dua ekar yang dijaga ketat. Sama sekali tidak tampak tanda-tanda beberapa parabola satelit yang tersembunyi di balik pepohonan.
Dana menyetir sampai pagar setinggi 2,5 yang bagian atasnya dilapisi kawat duri. Ia memberitahukan namanya dan memperlihatkan SIM pada penjaga bersenjata di gardu dan dipersilakan masuk. Satu menit kemudian ia sampai di gerbang listrik tertutup yang dilengkapi kamera pengamat. Sekali lagi ia menyebutkan nama dan gerbang itu otomatis membuka. Ia menyusuri jalan masuk ke gedung administrasi besar berwarna putih.
Seorang pria berpakaian sipil menemui Dana di luar. "Saya akan mengantar Anda ke kantor Jenderal Booster, Miss Evans."
Mereka naik lift khusus ke lantai lima dan menyusuri koridor panjang ke suite perkantoran di ujung lorong.
Mereka memasuki ruang penerimaan tamu yang l


Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

uas dan berisi dua meja sekretaris. Salah satu sekretaris itu berkata, "Jenderal sudah menunggu Anda, Miss Evans. Silakan masuk." Ia menekan sebuah tombol dan pintu ke kantor dalam berdetak membuka.
Dana berada di kantor luas, dengan langit-langit dan dinding kedap suara. Ia disambut laki-laki menarik berperawakan tinggi, ramping, berusia empat puluhan. Ia mengangsurkan tangan pada Dana dan berkata ramah, "Saya Mayor Jack Stone. Saya ajudan Jenderal Booster." Ia memberi tanda ke arah laki-laki yang duduk di belakang meja tulis. "Ini Jenderal Booster."
Victor Booster orang Afrika-Amerika, dengan wajah keras dan mata tajam. Kepalanya yang gundul berkilau di bawah lampu langit-langit.
"Duduklah," katanya. Suaranya dalam dan berat.
Dana duduk. "Terima kasih atas kesediaan Anda menemui saya, Jenderal."
"Anda mengatakan ini mengenai Taylor Winthrop?"
"Ya. Saya ingin?"
"Apakah Anda sedang menggarap berita mengenai dia, Miss Evans?"
"Well, saya?" Suaranya mengeras. "Tidak bisakah kalian, para wartawan, membiarkan yang sudah meninggal beristirahat dengan tenang" Kalian segerombolan coyote yang menggerogoti bangkai."
Dana terperangah. Jack Stone tampak jengah.
Dana mengendalikan amarahnya. "Jenderal Booster, saya pastikan pada Anda saya tidak tertarik untuk membongkar-bongkar kesalahan. Saya tahu legenda tentang Taylor Winthrop. Saya mencoba mendapatkan gambaran tentang laki-laki itu sendiri. Apa pun yang bisa Anda ceritakan pada saya akan sangat saya hargai."
Jenderal Booster mencondongkan badan ke depan. "Saya tidak tahu apa sebenarnya yang Anda cari, tapi saya bisa mengatakan satu hal pada Anda. Legenda itulah ia sebenarnya. Ketika Taylor Winthrop memimpin FRA, saya bekerja di bawahnya. Ia direktur terbaik yang pernah dimiliki organisasi ini. Semua orang mengaguminya. Apa yang terjadi padanya dan keluarganya merupakan tragedi yang sama sekali tidak bisa saya pahami." Wajahnya kaku. "Terus terang, saya tidak suka pers, Miss Evans. Menurut saya, kalian sudah tak terkendali. Saya menyaksikan liputan Anda di Sarajevo. Siaran berita Anda yang penuh perasaan dan berbunga-bunga sama sekali tidak membantu kami."
Dana mencoba sekuat tenaga mengendalikan amarah. "Saya ke sana bukan untuk membantu Anda, Jenderal. Saya berada di sana untuk melaporkan apa yang terjadi pada orang-orang tak berdosa?"
"Terserahlah. Sebagai informasi untuk Anda, Taylor Winthrop adalah salah satu negarawan besar yang pernah dimiliki negeri ini." Matanya menatap mata Dana. "Bila Anda berniat menghancurkan kenangan atas dirinya, Anda akan dapati diri Anda berhadapan dengan banyak musuh. Saya nasihati Anda. Jangan mencari-cari masalah, atau Anda akan menemukannya. Itu janji saya. Saya peringatkan Anda agar menyingkir. Selamat tinggal, Miss Evans."
Dana menatapnya sesaat, lalu berdiri. "Terima kasih banyak, Jenderal." Ia berjalan cepat keluar kantor.
Jack Stone bergegas menyusulnya. "Saya antar Anda keluar."
Di dalam koridor, Dana menarik napas dalam dan berkata marah, "Apakah ia selalu seperti itu?"
Jack Stone menghela napas. "Saya minta maaf. Ia memang bisa agak ketus. Tapi ia sama sekali tidak bermaksud begitu."
Dana berkata tegang, "Benarkah" Saya punya perasaan ia sungguh-sungguh."
"Bagaimanapun juga, saya minta maaf," kata Jack Stone. Ia hendak berbalik.
Dana menyentuh lengannya. "Tunggu. Saya ingin bicara dengan Anda. Sekarang pukul dua belas. Bisakah kita makan siang bersama di suatu tempat?"
Jack Stone melirik pintu kantor sang jenderal. "Baiklah. Sholl"s Colonial Cafeteria di K Street satu jam lagi?"
"Bagus. Terima kasih."
"Jangan buru-buru berterima kasih, Miss Evans."
Dana sudah menunggu ketika ia melangkah masuk ke kafeteria yang setengah kosong itu. Jack Stone berdiri di ambang pintu beberapa saat untuk memastikan tidak ada orang yang dikenalnya di dalam restoran itu, lalu ia bergabung dengan Dana.
"Jenderal Booster pasti akan memarahi saya kalau ia tahu saya bicara dengan Anda. Ia orang baik. Ia menangani pekerjaan yang berat, sensitif, dan ia sangat cakap mengerjakannya." Jack Stone ragu-ragu. "Saya rasa ia tidak menyukai pers."
"Saya tahu itu," kata Dana kering.
"Saya harus menjelaskan sesuatu kepada Anda, Miss Evans. Percakapan ini sama sekali off the record."
"Saya mengerti."
Mereka mengambil nampan dan memilih makanan. Ketika mereka duduk kembali, Jack Stone berkata, "Saya tidak ingin Anda mendapatkan kesan yang keliru mengenai organisasi kami. Kami adalah orang-orang baik. Itulah sebabnya kami terlibat di sini. Kami bekerja untuk membantu negara-negara sedang berkembang."
"Saya menghargai itu," kata Dana.
"Apakah yang bisa saya ceritakan pada Anda tentang Taylor Winthrop?"
Dana berkata, "Semua yang saya dapatkan sejauh ini cuma kisah-kisah kebaikannya. Orang ini pasti punya kekurangan."
"Memang," Jackson mengakui. "Coba saya ceritakan lebih dulu hal-hal yang baik. Taylor Winthrop peduli pada orang lain, lebih dari siapa pun yang pernah saya kenal." Ia berhenti. "Maksud saya, sungguh-sungguh peduli. Ia ingat hari ulang tahun dan hari jadi pernikahan orang-orang, dan semua orang yang bekerja padanya menyayanginya. Ia memiliki pikiran yang cerdas, tajam, dan ia pandai menyelesaikan masalah. Dan meskipun sangat terlibat dalam segala yang dikerjakannya, pada dasarnya ia menyayangi keluarganya. Ia mencintai istrinya dan menyayangi anak-anaknya." Ia berhenti bicara.
Dana berkata, "Apakah bagian buruknya?"
Jack Stone berkata enggan. "Taylor Winthrop bagai magnet bagi kaum wanita. Ia laki-laki berkharisma, tampan, kaya, dan berpengaruh. Wanita sulit menolak semua itu." Ia meneruskan, "Maka sesekali, Taylor... tergelincir. Ia pernah punya beberapa affair, tapi bisa dipastikan tak ada yang serius, dan ia menyimpannya sebagai rahasia pribadi. Ia takkan pernah melakukan apa pun yang dapat menyakiti keluarganya."
"Mayor Stone, bisakah Anda memikirkan siapa-siapa yang mungkin punya alasan untuk membunuh Taylor Winthrop dan keluarganya?"
Jack Stone meletakkan garpunya. "Apa?"
"Orang dengan kedudukan setinggi itu pasti punya sejumlah musuh di bawah."
"Miss Evans"apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa keluarga Winthrop dibunuh?"
"Saya cuma bertanya," Dana berkata.
Jack Stone menimbang-nimbang pertanyaan itu sejenak. Lalu ia menggeleng. "Tidak," katanya. "Itu tidak masuk akal. Taylor Winthrop tidak pernah menyakiti siapa pun selama hidupnya. Bila Anda pernah berbicara dengan sahabat atau rekan kerjanya, Anda tentu akan tahu itu."
"Biar saya ceritakan pada Anda apa yang telah saya ketahui sejauh ini," kata Dana. "Taylor Winthrop adalah?"
Jack Stone mengangkat satu tangan. "Miss Evans, makin sedikit yang saya tahu, makin baik. Saya berusaha untuk tidak terlibat. Dengan begitu saya dapat membantu Anda, kalau Anda tahu apa yang saya maksud."
Dana memandangnya, kebingungan. "Saya tidak tahu pasti."
"Terus terang, demi kebaikan Anda sendiri, saya berharap Anda melupakan semua urusan ini. Kalau Anda tidak bersedia, maka berhati-hatilah." Dan ia berdiri dan berlalu.
Dana tercenung, memikirkan apa yang baru saja didengarnya. Jadi Taylor Winthrop tidak punya musuh. Mungkin aku menggarapnya dari sudut yang keliru. Bagaimana kalau bukan Taylor Winthrop yang menyebabkan adanya musuh mematikan" Bagaimana kalau salah satu anaknya" Atau istrinya"
Dana bercerita kepada Jeff tentang makan siangnya bersama Mayor Jack Stone.
"Menarik. Sekarang apa?"
"Aku ingin bicara dengan beberapa orang yang mengenal anak-anak Winthrop. Paul Winthrop bertunangan dengan gadis bernama Harriet Berk. Mereka menjalin hubungan selama hampir satu tahun."
"Aku ingat pernah membaca tentang mereka," kata Jeff. Ia ragu. "Sayang, kau tahu aku seratus persen mendukungmu..."
"Tentu, Jeff." "Tapi bagaimana kalau kau keliru mengenai semua ini" Kecelakaan bisa saja terjadi. Berapa banyak waktu yang hendak kaucurahkan untuk ini?"
"Tidak banyak lagi," Dana berjanji. "Aku cuma akan memeriksa sedikit lagi."
Harriet Berk tinggal di apartemen dua lantai yang anggun di barat laut Washington. Ia wanita ramping berambut pirang yang berusia tiga puluhan, dengan senyum memikat.
"Terima kasih Anda bersedia menemui saya," kata Dana.
"Saya tidak tahu pasti mengapa saya mau menemui Anda, Miss Evans. Anda mengatakan ini mengenai Paul."
"Ya." Dana memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Saya tidak bermaksud ikut campur dalam kehidupan pribadi Anda, tetapi Anda dan Paul bertunangan dan akan menikah, dan saya yakin Anda mungkin mengenalnya lebih baik daripada siapa pun."
"Saya ingin berpikir begitu."
"Saya ingin tahu lebih banyak tentang Paul Winthrop, bagaimana ia sebenarnya."
Harriet Berk diam beberapa saat. Ketika ia berbicara, suaranya lembut. "Paul tidak seperti laki-laki mana pun yang pernah saya kenal. Ia memiliki semangat hidup yang menggelora. Ia baik hati dan penuh pengertian terhadap orang lain. Ia bisa sangat lucu. Ia tidak terlalu sibuk dengan diri sendiri. Ia sungguh menyenangkan sebagai teman. Kami merencanakan menikah bulan Oktober." Ia terdiam. "Ketika Paul tewas dalam kecelakaan itu, saya"saya merasa seakan hidup saya sudah berakhir." Ia memandang Dana dan berkata lirih, "Saya masih merasa seperti itu."
"Saya turut berduka," kata Dana. "Saya tidak suka mendesak, tetapi apakah Anda tahu barangkali ia punya musuh, orang yang mungkin punya alasan untuk membunuhnya?"
Harriet Berk memandangnya dan air mata menggenangi matanya. "Membunuh Paul?" Suaranya tercekik. "Seandainya saja Anda mengenalnya, Anda tentu takkan mengajukan pertanyaan itu."
Wawancara Dana selanjutnya adalah dengan Steve Rexford, kepala pelayan yang dulu bekerja pada Julie Winthrop. Ia pria Inggris setengah baya berpenampilan anggun.
"Bagaimana saya bisa membantu Anda, Miss Evans?"
"Saya ingin menanyai Anda tentang Julie Winthrop."
"Ya, Ma"am?"
"Sudah berapa lama Anda bekerja padanya?"
"Empat tahun sembilan bulan."
"Bagaimana sikapnya sebagai majikan?"
Pria itu tersenyum sendu. "Ia amat menyenangkan, wanita hebat dalam segala hal. Saya"saya sungguh tidak bisa percaya ketika mendengar kabar tentang kecelakaan yang menimpanya."
"Apakah Julie Winthrop punya musuh?"
Ia mengernyit. "Maaf?"
"Apakah Miss Winthrop pernah terlibat dengan seseorang yang mungkin pernah ia... tolak cintanya" Atau seseorang yang mungkin ingin mencelakainya atau keluarganya?"
Steve Rexford menggeleng perlahan-lahan. "Miss Julie bukan orang semacam itu. Ia tidak mungkin pernah menyakiti siapa pun. Tidak. Ia amat murah hati dengan waktu dan kekayaannya. Semua orang menyukainya."
Dana mengamatinya sejenak. Laki-laki itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Mereka semua bersungguh-sungguh. Apa sebetulnya yang kulakukan" Dana bertanya-tanya dalam hati. Aku merasa seperti Dana Quixote. Cuma dalam hal ini tidak ada kincir angin.
Morgan Ormond, direktur Georgetown Museum of Art, adalah nama berikut dalam daftar Dana.
"Saya diberitahu Anda ingin menanyai saya tentang Gary Winthrop?"
"Ya. Saya ingin tahu?"
"Kematiannya merupakan kehilangan luar biasa. Negara kita telah kehilangan pecinta seni terbesarnya."
"Mr. Ormond, apakah ada banyak persaingan dalam dunia seni?"
"Persaingan?" "Bukankah kadang-kadang beberapa orang memburu karya seni yang sama dan terlibat?"
"Tentu saja. Tapi tidak pernah dengan Mr. Winthrop. Ia memiliki koleksi pribadi yang hebat, tapi ia sekaligus amat murah hati terhadap museum. Bukan saja dengan museum ini, tapi dengan museum-museum di seluruh penjuru dunia. Ambisinya adalah membuat karya seni akbar bisa dinikmati setiap orang."
"Apakah Anda tahu musuh-musuh yang mungkin?"
"Gary Winthrop" Tidak pernah, tidak, tidak."
Pertemuan terakhir Dana adalah dengan Rosalind Lopez, yang selama lima belas tahun bekerja sebagai pelayan pribadi Madeline Winthrop. Ia kini bergerak dalam bisnis katering yang dimilikinya sendiri bersama suaminya.
"Terima kasih Anda bersedia menemui saya, Miss Lopez," kata Dana. "Saya ingin bicara dengan Anda mengenai Madeline Winthrop."
"Wanita malang. Ia"ia orang paling baik yang pernah saya kenal."
Ini mulai kedengaran seperti kaset rusak, pikir Dana.
"Kematiannya sungguh menyedihkan."
"Ya," Dana mengiyakan. "Anda lama bekerja padanya."
"Oh, ya, Ma"am."
"Apakah Anda tahu sesuatu yang mungkin pernah dilakukannya sehingga menyinggung orang lain atau menimbulkan permusuhan?"
Rosalind Lopez memandang Dana dengan tatapan terkejut. "Musuh" Tidak, Ma"am. Setiap orang menyukainya."
Ini memang kaset rusak, putus Dana.
*** Dalam perjalanan kembali ke kantor, Dana berpikir, Kurasa aku memang keliru. Meskipun rasanya mustahil, kematian mereka pasti cuma kebetulan.
Dana pergi menemui Matt Baker. Ia disambut Abbe Lasmann.
"Hai, Dana." "Apakah Matt siap menemui aku?"
"Ya. Kau boleh masuk."
Matt Baker mengangkat muka ketika Dana melangkah masuk ke kantornya. "Bagaimana kabar Sherlock Holmes hari ini?"
"Sederhana, sobatku Watson. Aku keliru. Tidak ada cerita apa pun di situ."
LIMA EILEEN, ibu Dana, tiba-tiba menelepon.
"Dana, Sayang. Aku punya kabar sangat menarik untukmu!"
"Ya, Ibu?" "Aku akan menikah."
Dana tertegun. "Apa?"
"Ya. Aku pergi ke Westport, Connecticut, untuk mengunjungi teman, dan ia memperkenalkan aku pada laki-laki hebat ini."
"Aku"aku ikut gembira, Ibu. Luar biasa."
"Ia"ia begitu?" Ibunya cekikikan. "Aku tidak bisa menggambarkannya, tapi ia amat menyenangkan. Kau akan menyukainya."
Dana berkata hati-hati, "Sudah berapa lama Ibu mengenalnya?"
"Cukup lama, Sayang. Kami pasangan yang sempurna. Aku sungguh beruntung."
"Apakah ia punya pekerjaan?" tanya Dana.
"Jangan bersikap seperti ayahku. Tentu saja ia punya pekerjaan. Ia agen asuransi yang sukses. Namanya Peter Tomkins. Ia memiliki rumah indah di Westport, dan aku ingin kau dan Kimbal datang ke sini dan menemuinya. Maukah kau datang?"
"Tentu saja." "Peter sangat ingin bertemu denganmu. Ia sudah menceritakan kepada semua orang betapa terkenalnya kau. Kau yakin bisa datang?"
"Ya." Akhir pekan ini Dana libur, jadi tidak akan ada masalah. "Aku dan Kemal sangat ingin datang ke sana."
Ketika Dana menjemput Kemal di sekolah, ia berkata. "Kau akan menemui nenekmu. Kita akan benar-benar jadi keluarga, Sayang."
"Dope." Dana tersenyum. "Ya, bagus."
Sabtu pagi Dana dan Kemal bermobil ke Connecticut. Dana gembira membayangkan perjalanan ke Westport itu.
"Ini pasti menyenangkan bagi semua orang." Dana meyakinkan Kemal. "Semua kakek dan nenek butuh cucu untuk dimanjakan. Itulah enaknya mempunyai anak. Dan kau kadang-kadang akan bisa tinggal bersama mereka."
Kemal berkata cemas, "Apakah kau akan berada di sana juga?"
Dana meremas tangannya. "Aku akan ada di sana."
*** Rumah Peter Tomkins adalah pondok tua yang indah di Blind Brook Road. Sungai kecil mengalir di sebelahnya.
"Hei, asyik sekali," kata Kemal.
Dana mengacak rambut Kemal. "Aku senang kau menyukainya. Kita akan sering datang ke sini."
Pintu depan pondok itu terbuka, dan Eileen Evans berdiri di sana. Masih tampak tanda-tanda kecantikan masa mudanya, bagaikan gambaran tentang masa lalunya, namun kepahitan hidup telah menghapus masa lalu itu dengan kasar. Ini situasi Dorian Gray. Kecantikannya menurun pada Dana. Di samping Eileen berdiri laki-laki setengah baya berwajah ramah yang tersenyum lebar.
Eileen bergegas maju dan merangkul Dana. "Dana, Sayang! Dan ini yang namanya Kimbal!"
"Ibu..." Peter Tomkins berkata, "Jadi inilah Dana Evans yang termasyhur itu, eh" Aku sudah menceritakan dirimu pada semua klienku." Ia menoleh pada Kemal. "Dan inilah anak itu." Ia melihat lengan Kemal yang hilang. "Hei, kau tidak bercerita padaku ia cacat."
Darah Dana serasa membeku. Ia melihat ekspresi terkejut di wajah Kemal.
Peter Tomkins menggeleng. "Seandainya punya asuransi di perusahaan kami sebelum kejadian, ia akan jadi bocah kaya raya." Ia berbalik menuju pintu. "Ayo, masuklah. Kalian pasti lapar."
"Tidak lagi," kata Dana dingin. Ia berpaling pada Eileen. "Aku menyesal, Ibu. Aku dan Kemal akan kembali ke Washington."
"Aku minta maaf, Dana. Aku?"
"Aku juga. Kuharap mudah-mudahan Ibu tidak melakukan kesalahan besar. Semoga pernikahannya menyenangkan."
"Dana?" Dengan perasaan sedih ibu Dana mengawasi Dana dan Kemal masuk ke mobil dan berlalu.
Peter Tomkins memandangi mereka dengan tatapan terkejut. "Hei, aku bilang apa tadi?"
Eileen Evans menghela napas. "Tidak apa-apa, Peter. Tidak apa-apa."
Kemal bungkam sepanjang perjalanan pulang. Dari waktu ke waktu Dana meliriknya.
"Aku minta maaf, Sayang. Ada orang yang memang dungu."
"Ia benar," kata Kemal pahit. "Aku cacat."
"Kau tidak cacat," kata Dana sengit. "Kau menilai orang bukan dari berapa lengan atau kaki yang mereka miliki. Kau menilai mereka berdasarkan diri mereka."
"Yeah" Dan apakah diriku?"
"Kau orang tangguh yang berhasil bertahan. Dan aku bangga padamu. Kau tahu, si tuan yang ramah tadi memang benar tentang satu hal"aku lapar. Kurasa kau tidak bakal tertarik, tapi aku melihat ada restoran McDonald"s di depan."
Kemal tersenyum. "Bagus."
Sesudah Kemal tidur, Dana berjalan ke ruang duduk dan berpikir. Ia menyalakan televisi dan mulai berpindah-pindah saluran berita. Semua menyajikan berita lanjutan tentang pembunuhan Gary Winthrop.
"...berharap van curian itu bisa memberikan beberapa petunjuk ke arah identitas si pembunuh..."
"...dua butir peluru dari sepucuk Beretta. Polisi memeriksa semua toko senjata untuk..."
"...dan pembunuhan brutal terhadap Gary Winthrop di daerah barat laut yang eksklusif membuktikan tidak ada seorang pun..."
Ada yang mengusik benak Dana. Baru berjam-jam kemudian ia bisa tidur. Pagi hari, ketika terjaga, ia tiba-tiba sadar apa yang selama ini meresahkan pikirannya. Uang dan perhiasan itu tergeletak begitu saja. Mengapa para pembunuh itu tidak mengambilnya"
Dana bangun dan membuat satu teko kopi sambil mempelajari kembali apa yang dikatakan Chief Burnett.
Apakah Anda punya daftar lukisan yang dicuri"
Ya. Semua lukisan terkenal. Daftar itu sudah diedarkan ke berbagai museum, pedagang barang seni, dan kolektor. Begitu salah satu lukisan itu muncul, kasus ini akan terpecahkan.
Pencuri itu pasti tahu lukisan-lukisan tersebut tidak mungkin mudah dijual, pikir Dana, yang bisa berarti pencurian itu diatur kolektor kaya yang berniat menyimpan lukisan-lukisan tersebut untuk diri sendiri. Tetapi mengapa orang seperti itu melibatkan dua bajingan pembunuh"
Pada hari Senin pagi, ketika Kemal bangun, Dana tengah menyiapkan sarapan. Setelah itu ia mengantarkannya ke sekolah.
"Baik-baiklah hari ini."
"Sampai nanti, Dana."
Dana mengawasi Kemal berjalan memasuki pintu depan sekolah, lalu meneruskan perjalanan menuju kantor polisi di Indiana Avenue.
Salju turun lagi dan angin kencang mengoyak apa saja yang menghadang jalannya.
Phoenix Wilson, detektif yang menangani penyelidikan pembunuhan Gary Winthrop, adalah polisi berpengalaman yang tidak suka bergaul. Ia memiliki beberapa bekas luka yang menunjukkan pengalamannya. Ia mengangkat muka ketika Dana melangkah ke dalam kantornya.
"Tidak ada wawancara," ia menggeram. "Bila ada informasi baru mengenai pembunuhan Winthrop, kau akan mendengarnya dalam konferensi pers bersama yang lain."
"Saya datang ke sini bukan untuk menanyakan soal itu," kata Dana.
Ia memandang Dana skeptis. "Oh, benarkah?"
"Sungguh. Saya tertarik pada lukisan-lukisan yang dicuri itu. Saya rasa Anda punya daftarnya?"
"Lalu?" "Bisakah Anda memberikan salinannya untuk saya?"
Detektif Wilson bertanya curiga, "Mengapa" Mau apa kau?"
"Saya ingin melihat apa yang diambil pembunuh-pembunuh itu. Saya mungkin akan membuat segmen mengenai hal tersebut."
Detektif Wilson mengamati Dana beberapa saat. "Bukan gagasan yang buruk. Makin banyak publisitas, makin kecil peluang pembunuh-pembunuh itu menjualnya." Ia bangkit. "Mereka mengambil dua belas lukisan dan meninggalkan lebih banyak lagi. Aku rasa mereka terlalu malas untuk membawa semuanya. Tenaga andal sulit didapatkan belakangan ini. Aku akan memberikan salinan laporan itu."
Beberapa menit kemudian ia kembali dengan membawa dua fotokopi. Ia memberikannya kepada Dana. "Ini daftar lukisan yang diambil. Ini daftar lainnya."
Dana memandangnya, kebingungan. "Daftar lain apa?"
"Seluruh lukisan yang dimiliki Gary Winthrop, termasuk lukisan-lukisan yang ditinggalkan para pembunuh."
"Oh. Terima kasih. Saya amat menghargai tindakan Anda."
Sesampainya di koridor, Dana memeriksa dua daftar tersebut. Apa yang dilihatnya amat membingungkan. Dana berjalan ke udara dingin di luar dan menuju Christie"s, balai lelang terkenal di dunia. Salju turun makin lebat, dan orang-orang bergegas menyelesaikan belanja Natal mereka, lalu kembali ke rumah dan kantor mereka yang hangat.
Ketika Dana tiba di Christie"s, sang manajer langsung mengenalinya. "Wah! Ini kehormatan besar, Miss Evans. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
Dana menjelaskan, "Saya punya dua daftar lukisan. Saya sungguh berterima kasih kalau ada yang bisa menjelaskan kepada saya berapa nilai lukisan-lukisan ini."
"Tentu saja. Dengan senang hati. Silakan lewat sini..."
Dua jam kemudian Dana sudah berada di kantor Matt Baker.
"Sesuatu yang sangat aneh tengah berlangsung," Dana mulai bicara.
"Kita tidak kembali pada teori konspirasi sinting itu, bukan?"
"Coba lihat." Dana menyerahkan daftar yang lebih panjang pada Matt. "Daftar ini berisi semua karya seni yang dimiliki Gary Winthrop. Aku baru saja minta balai lelang Christie"s menilai lukisan-lukisan itu."
Matt Baker memeriksa daftar. "Hei, aku melihat beberapa mahakarya di sini. Vincent van Gogh, Hals, Matisse, Monet, Picasso, Manet." Ia mengangkat muka. "Lalu?"
"Sekarang lihat daftar ini," kata Dana. Ia mengangsurkan daftar yang lebih pendek, yang berisi lukisan-lukisan yang dicuri.
Matt membacanya keras-keras. "Camille Pissarro, Marie Laurencin, Paul Klee, Maurice Utrillo. Henry Lebasque. Jadi apa maksudmu?"
Dana berkata perlahan-lahan, "Banyak di antara lukisan-lukisan pada daftar lengkap itu bernilai lebih dari sepuluh juta dolar sebuah." Ia berhenti sejenak. "Kebanyakan lukisan pada daftar yang lebih pendek, yaitu lukisan-lukisan yang dicuri, bernilai dua ratus ribu dolar sebuah atau kurang."
Mata Matt Baker berkedip. "Maling-maling itu mengambil lukisan yang kurang berharga?"
"Benar." Dana mencondongkan badan ke depan. "Matt, kalau mereka pencuri profesional, mereka tentu akan mengambil juga uang tunai dan perhiasan yang bergeletakan di sana. Kita berasumsi seseorang membayar mereka untuk mencuri lukisan-lukisan yang lebih berharga saja. Tapi menurut daftar ini, mereka tidak tahu apa-apa mengenai seni. Jadi untuk apakah mereka sebenarnya disewa" Gary Winthrop tidak bersenjata. Mengapa mereka membunuhnya?"
"Apakah kau bermaksud mengatakan perampokan itu cuma kedok, dan motif sesungguhnya adalah pembunuhan?"
"Itulah satu-satunya penjelasan yang bisa kupikirkan."
Matt menelan ludah. "Coba kita periksa ini. Seandainya benar Taylor Winthrop punya musuh dan dibunuh"mengapa orang ingin melenyapkan seluruh keluarganya?"
"Aku tidak tahu." kata Dana. "Itulah yang ingin kuselidiki."
Dr. Armand Deutsch adalah salah satu psikiater paling disegani di Washington. Ia berpenampilan menarik meskipun sudah berusia tujuh puluhan, dengan kening lebar dan mata biru tajam. Ia mendongak ketika Dana masuk.
"Miss Evans?" "Ya. Saya amat berterima kasih Anda bersedia menemui saya, Dokter. Tujuan saya menemui Anda sangat penting."
"Dan persoalan apakah yang sedemikian penting itu?"
"Anda sudah membaca tentang kematian beruntun yang menimpa keluarga Winthrop?"
"Tentu. Tragedi yang menyedihkan. Begitu banyak kecelakaan."
Dana berkata, "Bagaimana kalau semua itu bukan kecelakaan?"
"Apa" Apa maksud Anda?"
"Maksud saya, ada kemungkinan mereka semua dibunuh."
"Keluarga Winthrop dibunuh" Itu rasanya terlalu mengada-ada, Miss Evans. Sangat mengada-ada."
"Tapi mungkin saja terjadi."
"Apa yang membuat Anda berpikir mereka mungkin dibunuh?"
"Cuma"cuma firasat," Dana mengaku.
"Saya mengerti. Firasat." Dr. Deutsch mengamatinya. "Saya menyaksikan siaran-siaran Anda dari Sarajevo. Anda reporter yang hebat."
"Terima kasih."
Dr. Deutsch mencondongkan badan ke depan dengan bertumpu di siku, matanya yang biru menatap mata Dana. "Jadi, belum lama, Anda berada di tengah peperangan yang mengerikan. Ya?"
"Ya." "Melaporkan bagaimana orang-orang diperkosa, dibunuh, bayi-bayi dibantai..."
Dana mendengarkan, hatinya was-was.
"Anda jelas mengalami tekanan hebat."
Dana berkata, "Ya."
"Sudah berapa lama Anda kembali"lima, enam bulan?"
"Tiga bulan," kata Dana.
Ia mengangguk, puas. "Waktu yang pendek untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sipil lagi, bukan" Anda sering mendapat mimpi buruk mengenai berbagai pembunuhan keji yang Anda saksikan, dan kini pikiran bawah sadar Anda membayangkan?"
Dana memotongnya. "Dokter, saya tidak paranoid. Saya tidak punya bukti, tapi saya punya alasan untuk percaya bahwa kematian keluarga Winthrop bukanlah kebetulan. Saya datang menemui Anda karena saya berharap Anda bisa membantu saya."
"Membantu Anda" Caranya?"
"Saya butuh motif. Motif apa yang dapat dimiliki seseorang sehingga ia memusnahkan suatu keluarga?"
Dr. Deutsch memandang Dana dan merapatkan kedua tangannya. "Memang ada beberapa preseden untuk agresi sekeji itu. Pembalasan dendam. Di Italia, Mafia terkenal sering membunuh seluruh anggota keluarga. Atau mungkin melibatkan obat-obat terlarang. Mungkin pembalasan atas tragedi mengerikan yang disebabkan keluarga tersebut. Atau bisa jadi pelakunya maniak yang tidak punya motif rasional untuk?"
"Saya kira masalahnya bukan begitu."
"Kalau demikian, masih ada salah satu motif paling tua di dunia"uang."
Uang. Dana sudah memikirkan hal itu.
Walter Calkin, pimpinan biro hukum Calkin, Taylor & Anderson, sudah lebih dari 25 tahun menjadi pengacara keluarga Winthrop. Ia tua, pincang karena radang sendi, tapi meskipun tubuhnya rapuh, pikirannya masih jernih.
Ia mengamati Dana sejenak. "Anda bilang pada sekretaris saya Anda ingin bicara dengan saya mengenai harta Winthrop?"
"Ya." Ia menghela napas, "Saya tak habis pikir menyaksikan apa yang terjadi pada keluarga itu. Luar biasa."
"Setahu saya Anda menangani urusan hukum dan finansial mereka," kata Dana.
"Ya." "Mr. Calkin, sepanjang tahun lalu, apakah ada yang ganjil menyangkut urusan-urusan tersebut?"
Ia memandang Dana dengan tatapan ingin tahu. "Ganjil bagaimana?"
Dana berkata hati-hati, "Rasanya kurang enak mengutarakannya, tapi"apakah Anda kiranya akan tahu kalau ada anggota keluarga itu ternyata... diperas?"
Suasana hening beberapa saat. "Anda maksudkan, apakah saya tahu seandainya ada pembayaran dalam jumlah besar kepada seseorang?"
"Ya." "Saya kira saya akan tahu, ya."
"Dan apakah ada hal seperti itu?" Dana meneruskan.
"Tidak ada. Saya kira Anda mengasumsikan ada semacam permainan kotor di sini" Harus saya katakan kepada Anda bahwa saya rasa itu sama sekali tidak masuk akal."
"Tapi mereka semua tewas," kata Dana. "Harta kekayaan itu nilainya pasti beberapa milyar dolar. Saya akan sangat berterima kasih kalau Anda bisa mengatakan siapa yang akan menerima uang itu."
Ia mengamati si pengacara membuka sebotol pil, mengambil sebutir, dan menelannya dengan seteguk air. "Miss Evans, kami tidak pernah membicarakan urusan klien kami." Ia ragu-ragu. "Tetapi, dalam hal ini, saya tidak melihat ada halangan apa pun, sebab pengumuman kepada pers akan dilakukan besok."
Dan masih ada salah satu motif paling tua di dunia"uang.
Waiter Calkin memandang Dana. "Dengan kematian Gary Winthrop, anggota terakhir keluarga itu?"
"Ya?" Dana menahan napas.
"Seluruh kekayaan keluarga Winthrop diserahkan untuk amal."


Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ENAM PARA STAF sedang bersiap untuk siaran berita malam.
Dana berada di studio A di depan meja pembawa berita, mempelajari perubahan-perubahan terakhir untuk siaran nanti. Buletin-buletin berita yang masuk sepanjang hari dari teleks dan kepolisian sudah dipelajari dan dipilih atau disisihkan.
Jeff Connors dan Richard Melton duduk di meja pembawa berita di samping Dana. Anastasia Mann memulai hitungan mundur dan mengakhiri hitungan 3-2-1 dengan telunjuk. Lampu merah kamera menyala.
Suara announcer membahana, "Kini siaran berita langsung dari WTN bersama Dana Evans?" Dana tersenyum pada kamera " "dan Richard Melton." Melton memandang ke kamera dan mengangguk. "Jeff Connors dengan berita olahraga dan Marvin Greer dengan ramalan cuaca. Siaran berita pukul sebelas mulai sekarang juga."
Dana memandang kamera. "Selamat malam. Saya Dana Evans."
Richard Melton tersenyum. "Dan saya Richard Melton."
Dana membaca dari TelePromTer. "Kami punya berita menarik. Pengejaran polisi berakhir malam ini sesudah perampokan bersenjata di sebuah toko minuman di pusat kota."
"Putar rekaman."
Layar memperlihatkan interior helikopter. Di depan panel kontrol helikopter WTN itu duduk Norman Bronson, mantan pilot marinir. Di sampingnya duduk Alyce Barker. Sudut kamera berubah. Di daratan di bawah sana tiga mobil polisi mengepung sebuah sedan yang telah menabrak pohon.
Alyce Barker berkata, "Pengejaran dimulai ketika dua pria masuk ke Haley Liquor Store di Pennsylvania Avenue dan mencoba menodong penjaganya. Ia melawan dan menekan tombol alarm untuk memanggil polisi. Perampok-perampok itu kabur, tetapi polisi memburu mereka sejauh enam kilometer hingga mobil tersangka menabrak pohon."
Kejar-mengejar itu diliput helikopter stasiun televisi. Dana melihat gambar itu dan berpikir: Tindakan paling tepat yang pernah dilakukan Matt adalah mendesak Elliot untuk membeli helikopter baru tersebut. Liputan kami jadi jauh berbeda.
Kemudian ada tiga segmen lagi, dan sang sutradara memberi tanda untuk jeda. "Kami akan segera kembali sesudah pesan-pesan berikut ini," kata Dana.
Iklan muncul di layar. Richard Melton menoleh pada Dana. "Kau sudah melihat ke luar" Sungguh menyebalkan di luar sana."
"Aku tahu." Dana tertawa. "Pembawa acara ramalan cuaca kita pasti akan menerima banyak surat makian."
Lampu merah kamera menyala. TelePrompTer kosong sesaat, lalu mulai bergerak lagi, memperlihatkan apa yang harus dibaca. Dana mulai membaca, "Pada Malam Tahun Baru ini saya ingin?" Ia berhenti, tertegun ketika memandang kata-kata selanjutnya. Bunyinya: ...kita menikah. Kita akan punya alasan ganda untuk merayakan Malam Tahun Baru.
Jeff berdiri di samping TelePrompTer, tersenyum lebar.
Dana memandang kamera dan berkata canggung, "Kami"kami akan berhenti sebentar untuk pesan-pesan berikut ini." Lampu merah padam.
Dana berdiri. "Jeff!"
Mereka saling menghampiri dan berpelukan. "Apa jawabanmu?" ia bertanya.
Dana memeluknya erat dan berbisik, "Jawabanku ya."
Studio itu riuh dengan sorak-sorai kru.
Ketika siaran selesai dan mereka sendirian, Jeff berkata, "Apa yang kauinginkan, Sayang" Pernikahan besar, kecil, sedang?"
Dana sudah memikirkan pernikahannya sejak kecil. Ia membayangkan dirinya mengenakan gaun putih indah berenda dengan ekor amat panjang. Dalam film-film yang ditontonnya, selalu ada kehebohan saat mempersiapkan pernikahan... daftar tamu yang harus disusun... katering yang harus dipilih... pengiring pengantin... gereja... Semua sahabatnya akan hadir, juga ibunya. Pernikahan itu akan jadi hari paling indah dalam hidupnya. Dan kini hal itu jadi kenyataan.
Jeff berkata, "Dana...?" Ia menunggu jawabannya.
Kalau kami mengadakan perayaan pernikahan besar-besaran, pikir Dana, berarti aku harus mengundang Ibu dan suaminya. Aku tidak bisa melakukan itu pada Kemal.
"Kita kawin lari saja," kata Dana.
Jeff mengangguk, terperanjat. "Kalau itu yang kauinginkan, maka itu pula yang kuinginkan."
Kemal girang luar biasa ketika mendengar kabar itu. "Maksudmu Jeff akan tinggal bersama kita?"
"Benar. Kita semua akan bersama-sama. Kau bakal benar-benar punya keluarga, Sayang." Dana duduk di pinggir ranjang Kemal selama satu jam berikutnya, dengan penuh semangat membicarakan masa depan mereka. Mereka bertiga akan tinggal bersama, berlibur bersama, dan terus bersama. Kata ajaib itu.
Ketika Kemal sudah tidur, Dana pergi ke kamar tidurnya dan menyalakan komputer. Apartemen. Apartemen. Kami akan butuh dua kamar tidur, dua kamar mandi, satu ruang duduk, dapur, ruang makan, dan mungkin kantor dan ruang belajar. Mestinya tidak akan terlalu sulit mencarinya. Dana memikirkan rumah mewah Gary Winthrop yang kosong, dan pikirannya mulai melayang. Apakah yang sebenarnya terjadi malam itu" Dan siapa yang mematikan alarm" Bila tidak ada tanda-tanda masuk secara paksa, bagaimana pencuri-pencuri itu bisa masuk" Hampir tanpa sadar jari-jarinya mengetikkan kata "Winthrop" pada keyboard. Kenapa aku ini" Dana melihat informasi yang sudah pernah ia lihat sebelumnya.
Regional > Negara-negara bagian A.S. > Washington D.C. > Pemerintah > Politik > Badan Riset Federal
? Winthrop, Taylor"bertugas sebagai Duta Besar untuk Rusia dan menegosiasikan perjanjian dagang penting dengan Italia...
? Winthrop, Taylor"Taylor Winthrop, milyarder atas usaha sendiri, mengabdikan diri untuk negaranya...
? Winthrop, Taylor"keluarga Winthrop mendirikan yayasan amal untuk membantu berbagai sekolah, perpustakaan, dan program-program sosial...
Ada 54 Web site mengenai keluarga Winthrop. Dana sudah hendak mengalihkan pencarian ke bagian Apartemen ketika matanya melihat sebuah entry acak.
? Winthrop, Taylor"Gugatan hukum. Joan Sinisi, mantan sekretaris Taylor Winthrop, mengajukan gugatan dan kemudian mencabutnya.
Dana membaca item itu lagi. Gugatan apa ini" Dana bertanya-tanya dalam hati.
Ia beralih ke beberapa Web site lain mengenai Winthrop, tapi tidak ada yang menyinggung soal gugatan hukum. Dana mengetikkan nama Joan Sinisi. Tidak muncul informasi apa pun.
"Apakah saluran ini aman?"
"Ya." "Aku ingin laporan mengenai semua Web site yang diperiksa subjek."
"Kami akan segera menanganinya."
*** Pagi berikutnya, ketika Dana tiba di kantor sesudah mengantar Kemal ke sekolah, ia memeriksa buku petunjuk telepon Washington. Tidak ada nama Joan Sinisi. Ia mencoba buku petunjuk telepon Maryland... Virginia... Nihil. Ia mungkin sudah pindah. Dana memutuskan.
Tom Hawkins, produser acara, masuk ke kantor Dana. "Kita unggul lagi kemarin malam."
"Bagus." Dana tercenung sesaat. "Tom, apakah kau kenal seseorang di perusahaan telepon?"
"Tentu. Kau butuh sambungan telepon?"
"Tidak. Aku ingin mengecek apakah seseorang memiliki nomor tak terdaftar. Menurutmu kau bisa memeriksanya?"
"Siapa namanya?"
"Sinisi. Joan Sinisi."
Ia mengernyit. "Mengapa nama itu rasanya familier?"
"Ia terlibat dalam gugatan hukum dengan Taylor Winthrop."
"Ah, ya. Aku ingat sekarang. Kejadiannya sekitar setahun yang lalu. Waktu itu kau ada di Yugoslavia. Kukira bakal ada berita menghebohkan, tetapi perkara itu cepat diredam. Ia sekarang mungkin tinggal di suatu tempat di Eropa, tapi aku akan mencoba menyelidikinya."
Lima belas menit kemudian Olivia Watkins berkata, "Tom meneleponmu."
"Tom?" "Joan Sinisi masih tinggal di Washington. Aku mendapatkan nomor teleponnya yang tidak terdaftar, kalau kau memerlukannya."
"Bagus," kata Dana. Ia mengambil pena. "Teruskan."
"Lima-lima-lima-dua-enam-sembilan-nol."
"Terima kasih."
"Tidak usah mengucapkan terima kasih. Traktir saja makan siang."
"Baiklah." Pintu kantor membuka dan Dean Ulrich, Robert Fenwick, serta Maria Toboso, tiga penulis yang mengerjakan berita televisi, masuk.
Robert Fenwick berkata, "Siaran malam ini penuh berita bencana. Ada dua kecelakaan kereta api, kecelakaan pesawat terbang, dan tanah longsor."
Mereka berempat mulai membaca buletin berita yang masuk. Dua jam kemudian, setelah rapat berakhir, Dana mengambil kertas berisi nomor telepon Joan Sinisi dan menelepon.
Seorang wanita menjawab. "Rumah Miss Sinisi."
"Bisakah saya bicara dengan Miss Sinisi" Ini Dana Evans."
Wanita itu berkata, "Coba saya lihat apakah ia ada di tempat. Tunggu sebentar."
Dana menunggu. Suara seorang wanita lain terdengar di telepon, lembut dan ragu-ragu. "Halo..."
"Miss Sinisi?" "Ya." "Ini Dana Evans. Saya ingin tahu apakah?"
"Dana Evans yang itu?"
"Ehm"ya." "Oh! Saya menonton siaran Anda setiap malam. Saya penggemar berat Anda."
"Terima kasih," kata Dana. "Saya merasa sangat tersanjung. Saya ingin tahu apakah Anda bisa menyisihkan beberapa menit waktu Anda untuk saya, Miss Sinisi" Saya ingin bicara dengan Anda."
"Anda ingin bicara?" Terdengar nada terkejut dan gembira dalam suaranya.
"Ya. Bisakah kita bertemu?"
"Well, tentu saja. Maukah Anda datang ke sini?"
"Baiklah. Kapan waktu yang tepat untuk Anda?"
Ia bimbang sesaat. "Kapan saja. Saya ada sepanjang hari."
"Bagaimana kalau besok siang, sekitar pukul dua?"
"Baiklah." Ia memberikan alamatnya pada Dana.
"Sampai jumpa besok," kata Dana. Ia meletakkan gagang telepon. Mengapa aku meneruskan persoalan ini" Yah, inilah yang terakhir.
Pukul 14.00 keesokan harinya, Dana mengendarai mobil sampai di depan gedung tinggi apartemen Joan Sinisi di Prince Street. Penjaga pintu berseragam berdiri di depan gedung itu. Dana memandang bangunan menjulang megah tersebut dan berpikir, Bagaimana sekretaris bisa mampu hidup di sini" Ia memarkir mobil dan masuk ke lobi. Tampak seorang resepsionis di belakang meja.
"Boleh saya bantu?"
"Saya ada janji dengan Miss Sinisi. Dana Evans."
"Ya, Miss Evans. Ia menunggu Anda. Silakan naik lift sampai penthouse. Apartemen A."
Penthouse" Setibanya di lantai teratas, Dana keluar dari lift dan membunyikan bel pintu apartemen A. Seorang pembantu berseragam membukakan pintu.
"Miss Evans?" "Ya." "Silakan masuk."
Joan Sinisi tinggal di apartemen dua belas ruangan dengan teras luas yang menghadap kota. Pelayan itu membawa Dana melewati koridor panjang memasuki ruang duduk serba putih dan ditata indah. Seorang wanita kecil dan ramping duduk di sofa. Ia bangkit ketika Dana masuk.
Joan Sinisi sangat mengejutkan. Dana tidak punya gambaran tentang wanita itu, tetapi wanita yang berdiri menyambutnya ini sama sekali di luar perkiraannya. Joan Sinisi berperawakan kecil dan berpenampilan sederhana, dengan mata cokelat samar tersembunyi di balik kacamata tebal. Suaranya lirih dan nyaris tak terdengar.
"Sungguh senang berjumpa langsung dengan Anda, Miss Evans."
"Terima kasih atas kesediaan Anda menemui saya," kata Dana. Ia bergabung dengan Joan Sinisi di sofa putih besar dekat teras.
"Saya baru saja hendak minum teh. Apakah Anda mau?"
"Terima kasih."
Joan Sinisi menoleh pada si pelayan dan berkata nyaris malu-malu, "Greta, tolong bawakan kami teh ya?"
"Ya, Ma"am."
"Terima kasih, Greta."
Semua ini terasa tak nyata. Dana berpikir, Joan Sinisi dan penthouse ini sama sekali tidak cocok. Bagaimana ia mampu tinggal di sini" Perjanjian macam apa yang dibuat Taylor Winthrop dengannya" Dan tentang apakah gugatan itu"
"...dan saya tidak pernah melewatkan siaran Anda" Joan Sinisi berkata pelan. "Menurut saya Anda sangat hebat."
"Terima kasih."
"Saya ingat ketika Anda menyiarkan berita dari Sarajevo. Ledakan bom dan letusan senapan terdengar di segala penjuru. Saya selalu ketakutan kalau sampai ada kejadian buruk terjadi pada Anda."
"Sejujurnya, saya pun takut."
"Itu pasti pengalaman yang mengerikan."
"Ya, dari satu segi memang demikian."
Greta datang dengan membawa satu nampan teh dan kue. Ia meletakkannya di meja di hadapan kedua wanita itu.
"Akan saya tuangkan," kata Joan Sinisi.
Dana mengawasinya menuangkan teh.
"Anda mau kue?"
"Tidak, terima kasih."
Joan Sinisi mengangsurkan secangkir teh pada Dana, lalu menuangkan secangkir lagi untuk diri sendiri. "Seperti saya katakan, saya senang sekali berjumpa Anda, tapi saya"saya tidak bisa membayangkan apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya."
"Saya ingin bicara dengan Anda mengenai Taylor Winthrop."
Joan Sinisi tersentak kaget dan sebagian tehnya tumpah ke pangkuan. Wajahnya berubah pucat pasi.
"Anda tidak apa-apa?"
"Ya, saya"saya baik-baik saja." Ia menyeka roknya dengan serbet. "Saya"saya tidak tahu Anda ingin..." Suaranya menghilang.
Suasana tiba-tiba berubah. Dana berkata. "Anda dulu sekretaris Taylor Winthrop, bukan?"
Joan Sinisi bicara dengan hati-hati, "Ya. Tapi saya berhenti bekerja pada Mr. Winthrop setahun yang lalu. Rasanya saya tidak bisa membantu Anda." Perempuan itu nyaris gemetaran.
Dana berkata menghibur, "Saya sudah mendengar banyak hal baik mengenai Taylor Winthrop. Saya cuma ingin tahu kalau-kalau Anda bisa menambahnya?"
Joan Sinisi tampak lega. "Oh, ya, tentu saja bisa. Mr. Winthrop adalah orang yang hebat."
"Berapa lama Anda bekerja padanya?"
"Hampir tiga tahun."
Dana tersenyum. "Pasti pengalaman yang mengesankan."
"Ya, ya, benar, Miss Evans." Ia kedengaran jauh lebih rileks.
"Tetapi Anda mengajukan gugatan hukum terhadapnya."
Ketakutan itu kembali tampak dalam mata Joan Sinisi. "Tidak"maksud saya, ya. Tetapi itu kekeliruan, Anda tahu. Saya keliru."
"Kekeliruan macam apa?"
Joan Sinisi menelan ludah. "Saya"saya salah mengerti tentang perkataan Mr. Winthrop pada seseorang. Saya berbuat sangat tolol. Saya malu pada diri sendiri."
"Anda menggugat, tetapi Anda tidak mengajukannya ke pengadilan?"
"Tidak. Ia"kami menyelesaikan gugatan itu. Tidak ada apa-apa."
Dana memandang seputar penthouse itu. "Begitu. Bisakah Anda ceritakan kepada saya apakah bentuk penyelesaian itu?"
"Tidak, saya tidak bisa mengatakannya," kata Joan Sinisi. "Semua sangat rahasia."
Dalam hati Dana bertanya-tanya, apakah yang mungkin mendorong wanita pemalu ini mengajukan gugatan hukum pada raksasa seperti Taylor Winthrop dan mengapa ia takut membicarakannya. Apakah yang ia takutkan"
Mereka lama terdiam. Joan Sinisi memandangi Dana, dan Dana punya perasaan ia ingin mengatakan sesuatu.
"Miss Sinisi?" Joan Sinisi berdiri. "Maaf saya tidak bisa lebih" kalau sudah tidak ada apa-apa lagi, Miss Evans..."
"Saya mengerti," Dana berkata.
Seandainya saja aku benar-benar mengerti.
Ia memasukkan kaset itu ke mesin pemutar dan menekan tombol start.
Saya"saya salah mengerti tentang perkataan Mr. Winthrop pada seseorang. Saya berbuat sangat tolol. Saya malu pada diri sendiri.
Anda menggugat, tetapi Anda tidak mengajukannya ke pengadilan"
Tidak. Ia"kami menyelesaikan gugatan itu. Tidak ada apa-apa.
Begitu. Bisakah Anda ceritakan kepada saya apakah bentuk penyelesaian itu"
Tidak, saya tidak bisa mengatakannya. Semua sangat rahasia.
Miss Sinisi" Maaf saya tidak bisa lebih"kalau sudah tidak ada apa-apa lagi, Miss Evans...
Saya mengerti. Kaset berakhir. Bola mulai menggelinding.
*** Dana membuat janji pertemuan dengan seorang agen real estate untuk melihat-lihat apartemen, tapi pagi itu terbuang sia-sia. Dana dan si agen menjelajahi Georgetown, Dupont Circle, dan distrik Adams-Morgan. Apartemen-apartemen itu kalau bukan terlalu sempit, maka terlalu besar, atau terlalu mahal. Menjelang siang, Dana sudah siap untuk menyerah.
"Jangan khawatir," agen real estate itu membesarkan hati. "Kita akan menemukan tempat yang tepat seperti keinginan Anda."
"Kuharap begitu," kata Dana. Dan segera.
Dana tak dapat menyingkirkan Joan Sinisi dari pikirannya. Apakah yang diketahuinya tentang Taylor Winthrop sehingga laki-laki itu bersedia membayarnya dengan penthouse dan entah apa lagi" Ia ingin mengatakan sesuatu padaku, pikir Dana. Aku yakin. Aku harus bicara lagi dengannya.
Cewek Cetar Dua 4 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Api Di Bukit Menoreh 9

Cari Blog Ini