Ceritasilat Novel Online

Breaking Dawn 6

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer Bagian 6


kau pasti tidak ingin... well, kau tahu sendirilah."
"Nama ayahmu kan Edward juga."
"Ya, memang. Apa..,?" Edward terdiam sejenak kemudian berkata, "Hmm."
"Apa?" "Dia juga menyukai suaraku."
"Tentu saja dia suka." Suara Bella nyaris seperti sesumbar sekarang. "Suaramu
kan yang paling indah di seluruh jagai raya ini. Siapa yang tidak suka
mendengarnya?" "Apa kau punya rencana cadangan?" tanya Rosalie kemudian, mencondongkan tubuh
dari balik punggung sofa dengan ekspresi takjub dan bangga di wajahnya, seperti
yang tampak pada wajah Bella. "Bagaimana kalau dia perempuan?"
Bella mengusap bagian bawah matanya yang basah. "Aku sudah mereka-reka.
Menggabungkan Renee dan Esme. Mungkin namanya... Re-nez-mey."
"Renezmey?" "R-e-n-e-s-m-e-e, Aneh sekali, ya?"
"Tidak, aku suka kok," Rosalie meyakinkan Bella. Kepala mereka berdekatan, emas
dan mahoni. "Nama yang cantik. Dan lain daripada yang lain, jadi itu pas,"
"Aku masih merasa dia Edward."
Mata Edward menerawang, wajahnya kosong sementara ia mendengarkan.
"Apa?" tanya Bella, berseri-seri, "Apa yang dipikirkannya sekarang?"
Awalnya Edward tidak menjawab, tapi kemudian mengagetkan kami semua lagi,
masing-masing tersentak dan terkesiap kaget ia menempelkan telinganya dengan
hati-hati ke perut Bella.
"Dia sayang padamu," bisik Edward, nadanya kagum, "Dia benat-benar memujamu!'
Saat itulah, aku tahu aku sendirian. Benar-benar sendirian.
Rasanya aku ingin sekali menendang diriku sendiri keras-keras waktu sadar betapa
aku mengandalkan vampir yang menjijikkan itu. Sungguh tolol kayak kau bisa
memercayai lintah saja! Tentu saja akhirnya ia akan mengkhianatimu.
Padahal aku mengira Edward berada di pihakku. Kukira ia akan lebih menderita
daripada aku. Dan, yang paling penting, aku mengandalkannya untuk membenci
makhluk memualkan yang membunuh Bella pelan-pelan, lebih daripada aku membenci
dirinya sendiri. Selama ini aku percaya pada Edward.
Tapi sekarang mereka bersama, mereka berdua membungkuk di atas monster yang
tidak terlihat dan menghebohkan itu, mata mereka bercahaya seperti keluarga
bahagia. Dan aku sendirian dengan kebencian dan kepedihan hatiku, begitu parahnya hingga
membuatku merasa bagai disiksa. Seperti diseret pelan-pelan di atas hamparan
silet. Sakitnya luar biasa hingga kau lebih memilih mati daripada tersiksa.
Panas itu membuka kunci otot-ototku yang membeku, dan aku serta-merta berdiri.
Kepala mereka bertiga sama-sama tetangkat, dan kulihat kepedihan melintas di
wajah Edward saat ia menerobos masuk lagi ke pikiranku.
"Ahh," Edward tercekat.
Entah apa yang kulakukan; aku berdiri di sana, tubuhku gemetar, siap meloncat
meloloskan diri lewat jalan pertama yang terpikirkan olehku.
Bergerak secepat kilat sepetti ular, Edward melesat menghampiri meja dan
merenggut sesuatu dari dalam laci di sana. Ia melemparkan benda itu padaku dan
refleks aku menangkapnya.
"Pergilah, Jacob. Pergi dari sini." Edward tidak mengatakannya dengan nada
kasar-ia mengucapkan kata-kata itu seolah-olah perkataannya adalah pelampung
penyelamat. Ia membantuku menemukan jalan keluar yang sangat kubutuhkan.
Benda di tanganku itu kunci mobil.
17. MEMANGNYA KELIHATANNYA AKU INI SIAPA" WIZARD OF OZ" KAU BUTUH OTAK" KAU
BUTUH HATI" SILAKAN SAJA. AMBIL HATIKU. AMBIL SEGALANYA YANG KU PUNYA.
SEBUAH rencana berkecamuk di otakku waktu aku berlari menuju garasi rumah
keluarga Cullen, Bagian kedua rencana itu adalah menghancur leburkan mobil si
bangsat pengisap darah itu dalam perjalanan pulang nanti.
Jadi wajar saja kalau aku kebingungan waktu menekan kuat-kuat tombol keyless
REMOTE, dan ternyata bukan mobil Volvo-nya yang berbunyi "bip" dan lampulampunya menyala berkedip-kedip. Melainkan mobil lain-mobil paling mencolok di
antara deretan panjang kendaraan yang sebagian besar mampu menerbitkan air liur
siapa saja yang melihatnya.
Apakah Edward benar-benar bermaksud memberikan kunci Aston Martin Vanquish, atau
itu hanya ketidaksengajaan!
Aku tidak berhenti untuk memikirkannya, atau itu akan mengubah bagian kedua
rencanaku. Langsung saja aku menghambur memasuki mobil itu dan mengenyakkan
bokongku ke jok kulit sehalus sutra, meraungkan mesinnya sementara kedua lututku
masih tertekuk di bawah kemudi. Dalam kesempatan lain mungkin derum suara
mesinnya yang halus akan membuatku mengerang kegirangan, tapi sekarang ini aku
hanya bisa berkonsentrasi untuk menjalankannya.
Aku menemukan tuas untuk memundurkan jok dan memundurkan tubuhku sejauh mungkin
ke belakang sementara kakiku menginjak pedal gas. Mobil nyaris terasa seperti
terbang saat menerjang maju.
Hanya butuh beberapa detik untuk memacu mobil ini melintasi jalan masuk yang
sempit dan berkelok-kelok. Mobil ini meresponsku seolah-olah pikiranpikirankulah yang mengendalikan kemudi, bukan tanganku. Begitu mobil melesat
keluar dari terowongan hijau dan memasuki jalan raya, aku sempat melihat sekilas
wajah abu-abu Leah mengintip cemas dari balik pakis-pakisan.
Selama setengah detik aku bertanya-tanya dalam hati apa yang ia pikirkan,
kemudian sadarlah aku bahwa aku tidak peduli.
Aku berbelok ke selatan, karena hari ini aku tidak memiliki kesabaran untuk
berurusan dengan feri atau kepadatan lalu lintas atau hal-hal lain yang
membuatku harus mengangkat kaki dari pedal.
Dengan cara mengenaskan, hari ini adalah hari keberuntunganku. Kalau
keberuntungan berarti berpacu di jalan tol yang lumayan ramai dalam kecepatan
320 kilometer per jam tanpa sekali pun bertemu polisi, bahkan di kota-kota yang
memiliki batas kecepatan hanya 48 kilometer per jam. Benar-benar mengecewakan.
Padahal kan asyik kalau ada sedikit aksi kejar-kejaran, belum lagi kalau
keterangan yang bakal didapat dari nomor polisi mobil ini membuat si lintah
terkena getahnya. Memang, ia bisa saja menyogok untuk bebas dari hukuman, tapi
paling tidak itu akan membuatnya sedikit kerepotan.
Satu-satunya pertanda ada yang mengawasiku adalah sekelebat bulu cokelat tua
yang melesat menembus hutan, berlari paralel denganku selama beberapa kilometer
di sisi selatan Forks. Quil, kelihatannya. Ia pasti melihatku juga, karena
sejurus kemudian ia menghilang tanpa ribut-ribut. Lagi-lagi, nyaris aku
penasaran bagaimana cerita Quil nantinya sebelum aku teringat bahwa aku tidak
peduli. Aku ngebut mengitari jalan tol berbentuk huruf U itu, menuju kota terbesar yang
bisa kutemui. Itu bagian pertama rencanaku.
Perjalanan terasa lama sekali, mungkin karena aku masih merasa seperti diseretseret di atas hamparan silet, padahal sebenarnya tak lebih dari dua jam kemudian
aku sudah melaju ke arah utara, memasuki kawasan yang tidak jelas batas
wilayahnya, mana yang masuk kawasan Tacoma dan mana Seattle. Aku memperlambat
laju mobilku, karena aku benar-benar tidak ingin membunuh orang-orang tidak
bersalah. Ini rencana tolol. Takkan berhasil. Tapi waktu aku mencari-cari dalam pikiranku
bagaimana caranya bisa melarikan diri dari kepedihan hatiku ini, apa yang
dikatakan Leah muncul dalam benakku.
Perasaan itu akan hilang, tahu, kalau kau terkena imprint. Kau tidak perlu lagi
sakit hati karena Bella. Tampaknya mungkin tidak mempunyai pilihan bukanlah hal terburuk di dunia.
Mungkin merasa seperti ini adalah hal yang terburuk di dunia.
Tapi aku sudah melihat semua cewek yang ada di La Push, juga di reservasi Makah
dan di Forks. Aku perlu memperluas wilayah perburuanku.
Jadi, bagaimana caranya menemukan jodohmu di tengah keramaian" Well, pertama,
aku harus mencari keramaian. Maka aku pun berputar-putar, mencari tempat yang
paling mungkin. Aku melewati beberapa mal, yang sebenarnya mungkin merupakan
tempat yang sangat tepat untuk mencari cewek-cewek yang sebaya denganku, tapi
aku tak bisa menghentikan laju mobilku. Memangnya aku ingin ter-imprint dengan
cewek yang nongkrong seharian di mal"
Aku terus melaju ke utara, dan keadaan semakin lama semakin ramai. Akhirnya aku
menemukan taman besar penuh anak-anak, keluarga, pemain skateboard, sepeda,
layang-layang, orang-orang yang berpiknik, pokoknya komplet. Aku baru
menyadarinya sekarang-hari ini ternyata cerah. Matahari bersinar dan lain
sebagainya. Orang-orang keluar rumah untuk merayakan birunya langit.
Aku parkir melintang di atas dua lahan parkir khusus untuk orang cacat-benarbenar minta ditilang-lalu melebur ke dalam keramaian.
Aku berjalan berputar-putar untuk waktu yang rasanya berjam-jam. Cukup lama
karena matahari berpindah tempat di langit. Kupandangi wajah setiap cewek yang
lewat di dekatku, kupaksa diriku benar-benar melihat, memerhatikan siapa yang
cantik, siapa yang memiliki mata biru, siapa yang memakai kawat gigi, dan siapa
yang riasannya terlalu tebal. Aku berusaha menemukan sesuatu yang menarik dari
masing-masing wajah, supaya aku tahu aku benar-benar berusaha. Hal-hal seperti;
Cewek ini hidungnya mancung sekali; yang itu seharusnya menyibakkan rambutnya
yang menjuntai menutupi mata; cewek itu sebenarnya bisa jadi model iklan lipstik
seandainya wajahnya sama sempurnanya dengan bibirnya...
Kadang-kadang mereka balas memandangku. Terkadang ada juga yang tampak
ketakutan-seolah-olah mereka berpikir, Siapa cowok besar aneh yang memelototiku
itu" Ada kalanya kupikir mereka tampak tertarik, tapi mungkin itu hanya ego
liarku. Pokoknya, tidak ada perasaan apa-apa. Bahkan ketika mataku tertumbuk pada
seorang cewek yang-tanpa saingan-merupakan cewek paling keren di taman dan
mungkin, di kota itu, dan cewek itu membalas tatapanku dengan tatapan yang
kelihatannya seperti tertarik, aku tetap tidak merasakan apa-apa. Hanya dorongan
putus asa untuk lari dari kepedihan hatiku.
Waktu terus berjalan, dan aku mulai melihat hal-hal yang salah. Hal-hal yang ada
kaitannya dengan Bella, Rambut cewek itu warnanya sama dengan rambut Bella. Mata
cewek ini bentuknya agak mirip. Tulang pipi cewek di sana itu membentuk wajahnya
persis seperti Bella. Yang satu ini memiliki kerutan kecil di antara matanyamembuatku penasaran apa yang sedang ia khawatirkan...
Saat itulah aku menyerah. Karena sungguh tolol mengira telah memilih tempat dan
waktu yang tepat, dan bahwa aku akan begitu mudahnya bertemu jodohku, hanya
karena aku sudah begitu putus asa ingin segera menemukannya.
Lagi pula. tidak masuk akal rasanya bisa menemukan jodohku di sini. Kalau Sam
benar, tempat terbaik aku bisa menemukan padanan genetikku adalah di La Push.
Dan jelas di sana tidak ada siapa-siapa yang tepat dengan kriteriaku. Kalau
Billy benar, maka siapa tahu" Apa yang bisa menghasilkan keturunan serigala yang
lebih kuat" Aku berjalan kembali ke mobil, lalu bersandar lemas ke kap mesin sementara
tanganku memainkan kunci-kuncinya.
Mungkin juga aku sama seperti anggapan Leah tentang dirinya sendiri. Kelainan
genetik. Semacam kelainan yang tak seharusnya diturunkan ke generasi lain. Atau
mungkin hidupku hanyalah lelucon besar yang kejam, dan bahwa aku tak bisa lari
dari keharusan menjadi bulan-bulanan.
"Hei, kau baik-baik saja" Halo" Hei kau, yang membawa mobil curian."
Butuh sedetik bagiku untuk menyadari suara itu berbicara padaku, dan butuh
sedetik lagi untuk memutuskan mengangkat kepalaku
Seorang cewek yang kelihatannya familier memandangiku, ekspresinya agak cemas.
Aku tahu mengapa aku mengenali wajahnya-tadi aku sudah sempat melirik cewek yang
satu ini. Rambut merah terang keemasan, kulit putih, bercak-bercak emas
bertebaran di pipi dan hidungnya, serta mata yang sewarna kayu manis.
"Kalau kau menyesal setelah merampok mobil itu," tukas si cewek, memamerkan
lesung pipinya yang muncul seiring senyumnya, "kau bisa kok menyerahkan diri."
"Ini mobil pinjaman, bukan curian," bentakku. Suaraku terdengar kacau -seperti
habis menangis atau sebangsanya. Memalukan.
"Tentu, itu alasan yang cukup kuat untuk diajukan di persidangan."
Aku melotot. "Kau perlu sesuatu?"
"Tidak juga. Aku cuma bercanda soal mobil itu, tahu. Hanya saja... kelihatannya
kau sangat kalut. Oh, hei, namaku Lizzie." Ia mengulurkan tangan.
Aku hanya memandangi tangan itu sampai ia menariknya kembali.
"Omong-omong...," ujarnya canggung. "Aku hanya penasaran, siapa tahu aku bisa
membantu. Kelihatannya kau tadi mencari seseorang." Ia melambaikan tangan ke
arah taman dan mengangkat bahu.
"Yeah." Ia menunggu. Aku mendesah. "Aku tidak butuh bantuan. Dia tidak ada di sini."
"Oh. Aku prihatin."
"Aku juga," gumamku.
Kupandangi lagi dia. Lizzie, Cantik. Cukup baik hingga mau berusaha membantu
orang asing pemarah yang pastilah terkesan sinting. Mengapa ia bukan dia yang
kucari" Mengapa segala sesuatu harus jadi begitu rumit" Cewek yang baik, cantik,
dan lumayan lucu. Mengapa tidak"
"Ini mobil yang bagus sekali," kata Lizzie, "Sayang sekali sekarang sudah tidak
diproduksi lagi. Maksudku, model bodi Vantage memang keren, tapi rasanya ada
yang lain dengan Vanquish..."
Cewek baik yang mengerti mobil. Wow. Aku menatapnya takjub, berharap tahu
bagaimana membuat diriku tertarik padanya. Ayolah, Jake-imprint saja.
"Bagaimana rasanya mengendarai mobil ini?" tanya Lizzie.
"Kau tidak bakal percaya," jawabku.
Lizzie menyunggingkan senyumnya yang berlesung pipi, kentara sekali senang bisa
memaksaku memberi respons yang lumayan beradab, dan dengan enggan aku balas
tersenyum. Tapi senyumnya tak mampu menghilangkan perasaan pedih dan tersayat-sayat yang
melanda sekujur tubuhku. Tak peduli betapa pun aku sangat menginginkannya,
hidupku tidak akan membaik semudah itu.
Aku belum mampu pulih sebagaimana yang dilakukan Leah. Aku tidak akan bisa jatuh
cinta seperti orang normal. Tidak bila aku hatiku berdarah-darah memikirkan
orang lain. Mungkin-sepuluh tahun lagi, lama setelah jantung Bella berhenti
berdetak dan aku sudah berhasil keluar dari puing-puing kehancuran dalam keadaan
utuh- mungkin saat itulah aku bisa menawari Lizzie naik mobil mewah dan
berbicara tentang merek dan model mobil, mengenalnya, dan melihat apakah aku
menyukainya sebagai manusia. Tapi itu takkan terjadi sekarang.
Keajaiban takkan menyelamatkanku. Aku harus menerima siksaan ini dengan jantan.
Menelannya bulat-bulat, Lizzie menunggu, mungkin berharap aku menawarinya naik mobil. Atau mungkin juga
tidak, "Sebaiknya kukembalikan mobil ini kepada orang yang meminjamkannya," gumamku.
Lizzie tersenyum lagi. "Senang mendengarmu mau bertobat."
"Yeah, kau berhasil meyakinkanku."
Lizzie memerhatikan aku masuk ke dalam mobil, ekspresinya masih agak khawatir.
Mungkin aku terlihat seperti orang yang hendak menerjunkan mobilku dari tebing
tinggi. Sesuatu yang mungkin saja akan kulakukan, seandainya itu bisa mematikan
werewolf. Ia melambai satu kali, matanya mengikuti mobil.
Mulanya aku mengendarai mobilku secara lebih waras dalam perjalanan pulang. Aku
tidak terburu-buru. Aku tidak ingin pergi ke sana. Kembali ke rumah itu, ke
hutan itu. Kembali merasakan kepedihan hati yang berusaha kutinggalkan. Kembali
untuk benar-benar sendirian bersama kepedihanku.
Oke, itu sih melodramatis. Aku toh tidak sepenuhnya sendirian, walaupun itu
justru tidak menyenangkan. Leah dan Seth harus ikut menderita bersamaku.
Untunglah Seth tak perlu lama menderita. Tidak sepantasnya ketenangan pikiran
anak itu dirusak. Leah juga tidak, tapi setidaknya itu sesuatu yang ia mengerti.
Kepedihan hati bukan hal yang asing lagi bagi Leah.
Aku mengembuskan napas keras-keras waktu memikirkan apa yang diinginkan Leah
dariku, karena sekarang aku tahu ia akan mendapatkannya. Aku masih marah
padanya, tapi aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa aku bisa membuat hidupnya
lebih mudah. Dan-sekarang setelah aku mengenalnya lebih baik-menurutku ia pasti
rela melakukan hal yang sama untukku, seandainya posisi kami ditukar.
Menarik, paling tidak, juga aneh, memiliki Leah sebagai teman -sebagai sahabat.
Kami akan sering berselisih paham, itu sudah pasti. Ia tidak akan membiarkan aku
berkubang dalami kesedihan, tapi menurutku itu bagus. Mungkin aku membutuhkan
orang yang bisa menegur dan memarahiku sesekali. Tapi kalau dipikir-pikir lagi,
sesungguhnya Leah satu-satunya teman yang dapat memahami apa yang sedang kualami
sekarang. Ingatanku melayang ke perburuan kami tadi pagi, dan betapa dekatnya pikiran kami
pada satu momen itu. Bukan hal buruk. Berbeda, Agak menakutkan, sedikit
canggung. Tapi anehnya, cukup menyenangkan.
Aku sama sekali tidak perlu sendirian.
Dan aku tahu Leah cukup kuat menghadapi bulan-bulan mendatang bersamaku. Bulanbulan dan tahun-tahun. Memikirkannya saja sudah membuatku lelah. Aku merasa


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti memandang ke seberang samudera yang harus kurenangi bolak-balik sebelum
bisa beristirahat lagi. Begitu banyak waktu yang akan datang, tapi begitu sedikit waktu tersisa sebelum
memulainya. Tiga setengah hari lagi, tapi aku malah berada di sini, membuangbuang sedikit waktu yang tersisa.
Aku mulai memacu mobilku lagi.
Kulihat Sam dan Jared, masing-masing berdiri di pinggir jalan yang berbeda
seperti penjaga, sementara aku melesat melintasi jalan menuju Forks. Mereka
tersembunyi rapat di balik ranting-ranting lebat, tapi karena aku tahu mereka
pasti ada di sana, aku tahu ke mana harus mencari. Aku mengangguk waktu melesat
melewati mereka, tak sempat lagi memikirkan apa yang mereka bayangkan dari
kepergianku seharian ini.
Aku juga mengangguk kepada Leah dan Seth, saat meluncur melintasi jalan masuk
menuju rumah keluarga Cullen. Hari mulai gelap, awan-awan tebal menggayuti
kawasan ini, tapi aku melihat mata mereka berkilauan diterpa cahaya lampu mobil.
Nanti saja akan kujelaskan kepada mereka. Masih banyak waktu untuk itu.
Kaget benar aku mendapati Edward menunggu di garasi. Sudah berhari-hari aku
tidak pernah melihatnya meninggalkan Bella. Kentara sekali dari wajahnya bahwa
Bella baik-baik saja. Malah wajahnya terlihat lebih damai daripada sebelumnya.
Perutku mengejang waktu teringat dari mana datangnya kedamaian itu.
Sungguh sayang bahwa-saking sibuknya aku merenung- aku jadi lupa menghancurkan
mobil Edward. Oh sudahlah. Mungkin sebenarnya aku juga tidak tega merusak mobil
ini. Mungkin Edward juga sudah bisa menduganya, dan karena itulah ia berani
meminjamkannya padaku. "Aku mau bicara sebentar denganmu, Jacob," seru Edward begitu aku mematikan
mesin. Aku menghela napas dalam-dalam dan menahannya sebentar. Kemudian, pelan-pelan,
aku turun dari mobil dan melemparkan kunci-kunci itu padanya.
"Terima kasih pinjamannya" ujarku masam. Rupanya pinjaman itu ada bayarannya.
"Apa yang kauinginkan sekarang?"
"Pertama-tama... aku tahu kau sangat menentang menggunakan otoritasmu terhadap
kawananmu, tapi... "
Aku mengerjap, terperangah karena Edward menyinggung hal itu. "Apa?"
"Kalau kau tidak bisa atau tidak mau mengontrol Leah, maka aku... "
"Leah?" selaku, berbicara dari sela-sela gigiku, "Apa yang terjadi?"
Wajah Edward mengeras. "Dia datang untuk mencari tahu mengapa kau tiba-tiba
pergi begitu saja. Aku berusaha menjelaskan. Kurasa mungkin penjelasanku tidak
bisa dia terima." "Apa yang dia lakukan?"
"Dia berubah wujud menjadi manusia dan... "
"Sungguh?" selaku lagi, kali ini shock. Aku tidak sanggup mencernanya. Leah
membiarkan dirinya tanpa pertahanan saat berada di sarang lawan"
"Dia ingin... bicara dengan Bella."
"Dengan Bella?"
Edward langsung berubah garang. "Aku takkan membiarkan Bella kalut seperti itu
lagi. Aku tak peduli sekalipun Leah merasa tindakannya bisa dibenarkan! Aku
tidak melukainya- tentu saja itu tidak mungkin kulakukan-tapi aku tidak segansegan melemparnya keluar rumah kalau itu terjadi lagi. Akan kulontarkan dia ke
seberang sungai" "Tunggu dulu. Apa yang dia katakan?" Semua ini tak masuk akal bagiku.
Edward menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri. "Sikap Leah sangat kasar,
padahal itu tidak perlu. Aku tidak akan berpura-pura mengerti mengapa Bella
tidak sanggup melepaskanmu, tapi aku tahu dia tidak bersikap seperti ini untuk
menyakiti hatimu. Dia sudah cukup menderita memikirkan kepedihan hati yang dia
timbulkan padamu, dan padaku, dengan memintamu tetap di sini. Apa yang dikatakan
Leah sangat tidak bisa dibenarkan. Dari tadi Bella menangis... "
"Tunggu... Leah memarahi Bella karena aku?"
Edward mengangguk kaku. "Dia membelamu habis-habisan."
Waduh. "Aku tidak memintanya berbuat begitu."
"Aku tahu." Aku memutar bola mataku. Tentu saja Edwatd tahu. Ia tahu semuanya.
Tapi luar biasa juga yang dilakukan Leah. Siapa yang menyangka" Leah berjalan
memasuki sarang para pengisap darah dalam wujud manusia untuk memprotes
perlakuan yang aku terima"
"Aku tidak berjanji bisa mengontrol Leah," kataku, "Aku tidak akan berbuat
begitu. Tapi aku akan bicara dengannya, oke" Dan kurasa ini takkan terjadi lagi.
Leah bukan tipe yang suka menahan-nahan perasaan, jadi dia mungkin sudah
mengumbar semua kemarahannya tadi."
"Menurutku juga begitu."
"Omong-omong, aku akan bicara dengan Bella mengenainya juga. Dia tidak perlu
merasa tidak enak. Ini masalahku sendiri."
"Aku juga sudah berkata begitu padanya,"
"Tentu saja kau sudah mengatakannya. Dia baik-baik saja?"
"Dia tidur sekarang. Ditemani Rose."
Jadi si psikopat itu sudah menjadi "Rose" sekarang. Edward benar-benar sudah
menyeberang ke sisi gelap.
Edward tak menggubris pikiran itu, melanjutkan dengan jawaban yang lebih lengkap
untuk menjawab pertanyaanku. "Dia... lebih baik dalam beberapa hal. Kecuali
merasa bersalah karena dimarahi Leah tadi."
Lebih baik. Karena Edward bisa mendengar si monster dan segalanya kini manis,
penuh cinta. Fantastis. "Sedikit lebih daripada itu" gumam Edward. "Sekarang setelah aku bisa membaca
pikiran anak itu, ternyata dia memiliki kemampuan mental yang luar biasa
berkembang. Dia bisa memahami kami, hingga ke tahap tertentu."
Mulutku ternganga. "Kau serius?"
"Ya. Sepertinya samar-samar dia tahu apa yang membuat Bella kesakitan. Dia
berusaha menghindarinya, sebisa mungkin. Dia... mencintai Bella. Dia sudah bisa
mencintai Bella." Kupandangi Edward, merasa seakan-akan mataku akan melompat keluar dari
rongganya. Di balik ketidakpercayaan itu, aku langsung melihat inilah faktor
penentu itu. Inilah yang mengubah sikap Edward-bahwa monster itu telah
membuatnya yakin akan cinta ini. Edward tak mungkin membenci apa yang mencintai
Bella. Mungkin itu juga mengapa ia tidak bisa membenciku. Tapi ada perbedaan
besar di antara kami. Aku tidak membunuh Bella perlahan-lahan.
Edward melanjutkan kata-katanya, seolah tidak mendengar pikiranku sama sekali,
"Kemajuan ini, aku yakin, lebih daripada yang kita perkirakan. Kalau Carlisle
kembali nanti... " "Jadi mereka belum kembali?" potongku tajam. Ingatanku melayang pada Sam dan
Jared, yang mengawasi jalanan tadi.
Apakah mereka penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi"
"Alice dan Jasper sudah. Carlisie mengirimkan semua darah yang bisa dia
dapatkan, tapi jumlahnya masih belum sebanyak yang ia harapkan -persediaan ini
pasti sudah akan habis lusa, kalau melihat selera Bella yang semakin meningkat.
Carlisie masih berada di sana untuk mencoba mencari ke sumber lain. Menurutku
sekarang itu belum perlu, tapi Carlisie ingin bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan." "Mengapa belum perlu" Bagaimana kalau dia membutuhkan lebih banyak lagi?"
Aku tahu Edward memerhatikan dan mendengarkan reaksiku dengan hati-hati
sementara menjelaskan. "Aku berusaha membujuk Carlisie untuk mengeluarkan bayi
itu secepatnya setelah dia pulang nanti."
"Apa?" "Anak itu sepertinya berusaha untuk tidak terlalu banyak bergerak, tapi sulit.
Tubuhnya sudah terlalu besar. Gila jika kita harus menunggu, padahal dia jelas
sudah berkembang jauh di luar perkiraan Carlisie. Bella terlalu rapuh untuk
menunggu terlalu lama."
Aku selalu saja dikagetkan dengan kejutan-kejutan yang tidak enak. Pertama, saat
terlalu mengandalkan kebencian Edward pada makhluk itu. Sekarang, sadarlah aku
selama ini aku menganggap tenggat waktu empat hari itu sudah pasti. Aku kelewat
mengandalkannya. Samudera kepedihan tak berujung yang menungguku kini terbentang luas di
hadapanku. Aku berusaha menenangkan napas.
Edward menunggu. Kupandangi wajahnya sementara aku pulih dari kekagetan,
mengenali perubahan lain di sana.
"Menurutmu, Bella akan bisa melahirkan dengan selamat?" bisikku,
"Ya. Itu hal lain yang ingin kubicarakan denganmu,"
Aku tak sanggup berkata-kata. Sejurus kemudian Edward meneruskan kata-katanya,
"Ya" ujarnya lagi. "Menunggu anak itu siap, seperti yang selama ini kita
lakukan, ternyata justru sangat berbahaya. Sewaktu-waktu kita bisa terlambat
mengatasinya. Tapi bila kita proaktif, bila kita bertindak cepat, aku tidak
melihat alasan mengapa ini tak bisa dilakukan dengan baik. Mengetahui pikiran
anak itu sungguh sangat membantu. Syukurlah, Bella dan Rose sependapat denganku.
Sekarang setelah aku berhasil meyakinkan mereka bahwa aman bagi anak itu untuk
dilahirkan, tidak ada alasan mengapa ini tidak akan berhasil,"
"Kapan Carlisle pulang?" tanyaku, masih berbisik. Napasku belum kembali normal,
"Tengah hari besok."
Lututku lemas. Tanganku menyambar bodi mobil untuk berpegangan. Edward
mengulurkan tangan, seperti hendak memegangiku, tapi kemudian ia mengurungkan
niatnya dan menjatuhkan kedua tangannya.
"Maafkan aku" bisiknya. "Aku benar-benar menyesal karena harus menyakiti hatimu,
Jacob. Walaupun kau benci padaku, harus kuakui aku tidak merasakan hal yang sama terhadapmu.
Aku menganggapmu sebagai,,, sebagai saudara dalam banyak hal. Teman
seperjuangan, setidaknya. Aku menyesali penderitaanmu lebih daripada yang
kausadari. Tapi Bella akan selamat" ketika ia mengucapkannya, suaranya garang,
bahkan kasar-"dan aku tahu itulah yang paling penting bagimu."
Mungkin Edward benar. Sulit memastikannya. Kepalaku berputar.
"Sebenarnya aku tidak suka melakukan hal ini, di saat kau harus menghadapi
begitu banyak hal, tapi jelas, tidak banyak waktu lagi tersisa. Aku harus
meminta sesuatu darimu-memohon, kalau perlu"
"Tidak ada lagi yang tersisa dariku," jawabku, suaraku tercekat,
Edward mengangkat tangannya lagi, seperti hendak meletakkannya di bahuku, tapi
kemudian membiarkannya jatuh seperti sebelumnya dan mengembuskan napas,
"Aku tahu sudah banyak sekali yang kauberikan," ucapnya pelan. "Tapi ada sesuatu
yang kaumiliki, dan hanya kau yang memilikinya. Aku memintanya dari Alfa yang
sejati, Jacob. Aku memintanya dari keturunan Efraim."
Aku sudah tidak mampu merespons lagi
'Aku meminta izinmu untuk menyimpang dari apa yang kita sepakati bersama dalam
kesepakatan kami dengan Efraim. Kuminta kau memberi kami pengecualian. Aku minta
izin darimu untuk menyelamatkan nyawa Bella. Kau tahu aku tetap akan
melakukannya, tapi aku tidak mau merusak kepercayaanmu terhadap kami kalau
memang tak ada cara lain untuk menghindarinya. Kami tidak pernah berniat
melanggar janji kami sendiri, dan tidak mudah bagi kami untuk melakukannya. Aku
menginginkan pengertianmu, Jacob, karena kau tahu persis mengapa kami melakukan
hal ini. Aku ingin persekutuan antara keluarga kita tetap berjalan setelah semua
ini berakhir," Aku mencoba menelan ludah. Sam, pikirku. Kau harus memintanya dari Sam,
"Tidak. Otoritas Sam tidak datang dengan sendirinya. Itu milikmu. Kau memang
tidak mau mengambilnya dari dia, tapi tidak ada yang berhak menyetujui apa yang
kuminta ini kecuali kau"
Aku tidak berhak membuat keputusan ini.
"Kau berhak, Jacob, dan kau tahu itu. Satu kata darimu bisa menghukum atau
mengampuni kami. Hanya kau yang bisa memberikannya padaku."
Aku tidak bisa berpikir. Aku tidak tahu,
"Kita tidak punya banyak waktu." Edward menoleh ke belakang, ke arah rumah.
Tidak, tidak ada waktu lagi. Waktu beberapa hari yang kumiliki sekarang berubah
menjadi beberapa jam. Aku tidak tahu. Biarkan aku berpikir. Tolong beri aku waktu sedikit saja, oke"
"Baik." Aku mulai berjalan menuju rumah, dan ia mengikuti. Sinting benar betapa mudahnya
aku berjalan melintasi kegelapan bersama vampir di sebelahku. Tidak ada rasa
tidak aman, atau bahkan tidak nyaman, tidak sama sekali. Seperti berjalan
bersama orang biasa saja. Well, orang biasa yang badannya sangat bau.
Semak-semak di pinggir halaman yang luas itu bergerak, dan sejurus kemudian
terdengar suara mendengking pelan, Seth menerobos keluar dari tanaman pakispakisan dan berlari-lari menghampiri kami,
"Hei, Nak," bisikku,
Seth menunduk, dan kutepuk-tepuk bahunya, "Semuanya baik-baik saja," dustaku,
"Akan kuceritakan semuanya padamu nanti. Maaf kalau aku pergi begitu saja tadi,"
Seth nyengir padaku. "Hei, bilang pada kakakmu tidak usah marah-marah lagi, oke" Cukup" Seth
mengangguk satu kali. Kali ini kudorong bahunya, "Kembali bekerja. Sebentar lagi aku akan
menggantikanmu." Seth bersandar padaku, balas mendorongku, kemudian berlari memasuki hutan,
"Dia salah seorang yang memiliki pikiran paling murni, paling tulus, paling baik
yang pernah kudengar," kata Edward pelan setelah Seth lenyap dari pandangan,
"Kau beruntung bisa berbagi pikiran dengannya,"
"Aku tahu itu," geramku.
Kami mulai berjalan menuju rumah, dan sama-sama tersentak waktu mendengar suara
seseorang minum dari sedotan, Edward langsung bergegas. Ia melesat menaiki
tangga teras dan langsung lenyap,
"Bella, Sayang, kusangka kau masih tidur," kudengar Edward berkata, "Maafkan
aku, seharusnya aku tidak meninggalkanmu,"
"Jangan khawatir. Aku hanya sangat kehausan -itu yang membuatku terbangun.
Untunglah Carlisle membawakan lagi. Anak ini pasti akan sangat membutuhkannya
kalau dia sudah dikeluarkan dari perutku."
"Benar. Itu memang benar."
"Aku penasaran apakah nanti dia akan menginginkan hal lain," renung Bella,
"Kurasa nanti kita akan tahu."
Aku berjalan melewati pintu,
Alice berseru, "Akhirnya," dan mata Bella berkelebat ke arahku. Senyumnya yang
manis dan memikat tersungging di wajahnya. Tapi kemudian senyum itu goyah, dan
wajahnya berubah. Bibirnya berkerut-kerut, seolah berusaha tidak menangis.
Ingin benar rasanya kutinju mulut tolol Leah sekarang juga.
"Hei, Bells," aku buru-buru berkata. "Bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja," jawabnya,
"Hari yang penting sekali hari ini, ya" Banyak terjadi hal baru."
"Kau tidak perlu bersikap begitu, Jacob."
"Aku tidak mengerti apa yang kaumaksud," sergahku, berjalan menghampirinya dan
duduk di lengan sofa, dekat kepalanya. Edward sendiri sudah duduk di lantai.
Bella melayangkan pandangan menegur ke arahku. "Aku benar-benar minta ma... " ia
mulai berkata, Kucubit bibirnya hingga menutup dengan ibu jari dan telunjukku,
"Jake," gumam Bella, berusaha menarik tanganku. Gerakan nya sangat lemah hingga
sulit dipercaya ia benar-benar berusaha.
Aku menggeleng. "Kau baru boleh bicara kalau tidak mengatakan hal-hal konyol."
"Baiklah, aku tidak akan mengatakannya." Kedengarannya ia seperti bergumam.
Kutarik tanganku. "Maaf!" Bella cepat-cepat menyudahi kalimatnya, lalu nyengir.
Kuputar bola mataku kemudian balas tersenyum. Ketika aku menatap matanya, aku
melihat semua yang kucari di taman tadi.
Esok, Bella akan menjadi orang lain. Tapi mudah-mudahan masih hidup, dan memang
itu yang penting, bukan" Ia akan memandangku dengan mata yang sama, bisa
dibilang begitu. Tersenyum dengan bibir yang sama, nyaris. Ia tetap akan
mengenalku lebih baik daripada siapa pun yang tidak memiliki akses penuh ke
dalam pikiranku. Leah mungkin teman yang menarik, bahkan mungkin ia teman sejati-seseorang yang
tidak segan-segan membelaku. Tapi ia bukan sahabatku seperti halnya Bella. Di
luar cinta mati yang kurasakan terhadap Bella, ada juga semacam ikatan, dan
ikatan itu sudah mendarah daging dalam jiwaku.
Esok, Bella akan menjadi musuhku. Atau ia akan menjadi sekutuku. Dan rupanya,
akan menjadi apa ia, sepenuhnya bergantung padaku.
Aku mendesah. Baiklah! pikirku, memberikan hal terakhir yang bisa kuberikan. Membuatku merasa
hampa. Silakan, Selamatkan dia. Sebagai keturunan Efraim, kau memperoleh izinku,
janjiku, bahwa ini tidak akan dianggap melanggar kesepakatan. Terserah kalau
mereka mau menyalahkan aku. Kau benar-mereka tak bisa menyangkal bahwa aku
berhak menyetujui hal ini.
"Terima kasih." Edward berbisik sangat pelan hingga Bella tidak mendengarnya.


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi ia mengucapkannya dengan nada terharu sehingga, dari sudut mata, kulihat
para vampir lain menoleh dan memerhatikan,
"Jadi," ujar Bella, berusaha bersikap biasa-biasa saja, "Bagaimana harimu?"
"Hebat. Tadi aku jalan-jalan naik mobil. Keluyuran di taman."
"Kedengarannya asyik."
"Tentu, tentu."
Tiba-tiba Bella mengernyitkan muka. "Rose?" tanyanya.
Kudengar si Pirang terkekeh. "Lagi?"
"Sepertinya aku sudah menghabiskan dua galon dalam satu jam terakhir saja."
Bella menjelaskan. Edward dan aku menyingkir sementara Rosalie datang untuk membantu Bella berdiri
dari sofa dan membawanya ke kamar mandi,
"Boleh aku jalan sendiri?" tanya Bella. "Kakiku kaku sekali."
"Kau yakin?" tanya Edward.
"Rose akan menangkapku kalau aku tersandung. Itu mudah saja terjadi, karena aku
tidak bisa melihat kakiku."
Hati-hati Rosalie membantu Bella berdiri, kedua tangannya memegangi bahu Bella.
Bella mengulurkan kedua lengannya ke depan, meringis sedikit.
"Rasanya enak." desah Bella. "Ugh, gendut sekali aku."
Itu benar. Perut Bella membuncit besar sekali.
"Satu hari lagi," kata Bella, menepuk-nepuk perutnya.
Aku tak mampu menahan kepedihan yang tiba-tiba menohok hatiku, tapi aku berusaha
menyembunyikannya dari wajahku. Aku pasti bisa menyembunyikannya untuk satu hari
lagi, bukan" "Baiklah, kalau begitu. Uuuups... oh, tidak!"
Cangkir yang diletakkan Bella di sofa terguling, dan darah merah tua tumpah
membasahi kain yang pucat.
Otomatis, walaupun sudah ada tiga tangan yang lebih dulu terulur untuk meraih
cangkir itu, Bella membungkuk, mengulurkan tangan.
Terdengar suara teredam yang sangat aneh, seperti sesuatu terkoyak dari bagian
tengah tubuhnya. "Oh!" Bella tersentak.
Kemudian tubuhnya seketika terkulai, merosot ke lantai. Detik itu juga Rosalie
menangkapnya sehingga Bella tidak terjatuh ke lantai. Edward juga bergerak,
kedua tangan terulur, melupakan kekacauan di sofa.
"Bella?" tanya Edward, kemudian matanya kehilangan fokus, dan kepanikan melanda
sekujur tubuhnya. Setengah detik kemudian Bella menjerit.
Dan itu bukan jeritan biasa, namun jerit kesakitan yang menegakkan bulu roma.
Suara mengerikan itu terputus suara seperti orang tersedak cairan, dan mata
Bella membeliak ke atas. Tubuhnya kejang-kejang, melengkung dalam pelukan
Rosalie. Kemudian Bella muntah, menyemburkan darah dari mulutnya.
18. TAK ADA KATA YANG SANGGUP MELUKISKANNYA
TUBUH Bella, berlumuran darah, mulai kejang-kejang, kelojotan dalam pelukan Rose
seperti orang kesetrum. Sementara itu wajahnya kosong-tak sadarkan diri. Gerakan
liar dari bagian dalam tengah tubuhnyalah yang mengguncangkan Bella. Sementara
ia kejang-kejang suara retakan dan patahan terdengar seirama dengan tubuhnya
yang terentak-entak. Rosalie dan Edward membeku sejenak, kemudian langsung bereaksi. Rosalie
menyambar tubuh Bella dan menggendongnya, lalu, sambil berteriak-teriak begitu
cepat hingga sulit menangkap apa yang dikatakannya, ia dan Edward melesat
menaiki tangga menuju lantai dua.
Aku berlari mengejar mereka.
"Morfin!" Edward berteriak kepada Rosalie.
"Alice-telepon Carlisle!" pekik Rosalie.
Ruangan yang kumasuki ditata sebegitu rupa hingga mirip ruang UGD yang dibuat di
tengah perpustakaan, lampu-lampunya cemerlang dan putih. Bella dibaringkan di
atas meja di bawah sorotan lampu, kulitnya putih pucat di bawah terangnya
cahaya. Tubuhnya menggelepar-gelepar, seperti ikan di pasir. Rosalie menahan
tubuh Bella, merenggut dan mengoyak bajunya, sementara Edward menancapkan jarum
ke lengannya. Berapa kali aku membayangkan Bella telanjang" Sekarang aku malah tidak tega
melihatnya. Aku takut kenangan-kenangan ini akan bercokol dalam kepalaku.
"Apa yang terjadi, Edward?"
"Bayinya tercekik!"
"Plasentanya pasti lepas!"
Di tengah segala kegemparan ini, Bella siuman. Ia merespons seruan-seruan mereka
dengan teriakan yang mencakar-cakar gendang telingaku.
"KELUARKAN dia!" jerit Bella. "Dia tidak bisa BERNAPAS! Lakukan SEKARANG!"
Aku melihat bercak-bercak merah bermunculan di mata Bella ketika jeritannya
memecah pembuluh-pembuluh darah di matanya.
"Morfinnya... " geram Edward.
"TIDAK! SEKARANG...!" Darah yang kembali menyembur membuat Bella tersedak.
Edward menegakkan kepala Bella, dengan panik berusaha membersihkan mulutnya agar
ia bisa bernapas lagi. Alice menghambur memasuki ruangan dan menjepitkan earpiece biru kecil di bawah
rambut Rosalie, Lalu Alice menyingkir, mata emasnya membelalak dan berapi-api,
sementara Rosalie mendesis panik ke dalam corong telepon.
Di bawah cahaya terang benderang, kulit Bella lebih terlihat ungu dan hitam,
bukan putih. Warna merah tua merembes di bawah kulit, di atas perutnya yang
membuncit dan bergetar. Tangan Rosalie menyambar skalpel.
"Tunggu morfinnya menyebar dulu!" teriak Edward.
"Tak ada waktu lagi," desis Rosalie. "Bayinya sekarat!"
Tangan Rosalie turun mendekati perut Bella, dan cairan merah terang muncrat dari
bagian kulit yang ditusuknya. Seperti ember yang dibalik, keran yang dibuka
sampai penuh. Bella mengentak-entak, tapi tidak menjerit. Ia masih terus
tersedak. Kemudian Rosalie kehilangan fokus. Aku melihat ekspresinya berubah, melihat
bibirnya tertarik ke belakang, menampakkan gigi-giginya, dan mata hitamnya
berkilat-kilat kehausan. "Tidak, Rose!" raung Edward, tapi kedua tangannya terperangkap, karena ia
berusaha mendudukkan Bella agar bisa bernapas.
Aku melontarkan tubuhku ke arah Rosalie, melompati meja tanpa repot-repot
berubah wujud. Saat aku menghantam tubuhnya yang sekeras batu, menjatuhkannya ke
arah pintu, aku merasakan skalpel di tangannya menusuk lengan kiriku. Telapak
tangan kananku menghantam wajahnya, mengunci rahangnya, dan menghalangi saluran
napasnya. Sambil mencengkeram wajah Rosalie, aku memilin tubuhnya sehingga bisa
mendaratkan tendangan keras ke perutnya; rasanya seperti menendang beton. Ia
terbang dan menghantam kusen pintu, membengkokkan salah satu sisinya. Speaker
kecil di telinganya pecah berkeping-keping. Detik berikutnya Alice datang,
merenggut leher Rosalie dan menyeretnya ke ruang depan.
Dan si Pirang patut diacungi jempol-sedikit pun ia tidak melawan. Ia ingin kami
menang. Dibiarkannya saja aku menghajarnya begitu rupa, untuk menyelamatkan
Bella. Well, sebenarnya untuk menyelamatkan makhluk itu.
Kucabut skalpel yang menancap di lenganku.
"Alice, bawa dia keluar dari sini!" teriak Edward. "Bawa dia ke Jasper dan
kurung dia di sana! Jacob, aku butuh bantuanmu!"
Aku tidak melihat Alice melaksanakan perintah Edward. Secepat kilat aku
menghambur menuju meja operasi. Wajah Bella sudah berubah biru, matanya
membelalak lebar dan melotot.
"CPR?" geram Edward padaku, cepat dan menuntut.
"Ya!" Dengan cepat aku mengamati wajah Edward, mencari tanda-tanda ia akan bereaksi
seperti Rosalie. Tidak ada-apa-apa kecuali keganasan yang gigih.
"Buat Bella bernapas! Aku harus mengeluarkan bayinya sebelum... "
Lagi-lagi terdengar suara berderak dari dalam tubuh Bella, sangat keras, begitu
kerasnya hingga kami sama-sama membeku kaku, shock menunggu jerit kesakitan
Bella. Tak ada suara apa-apa. Kedua kakinya, yang tadi menekuk kesakitan, kini
terkulai lemas, tergeletak dalam posisi tidak wajar.
"Tulang punggungnya,'' Edward tercekat ngeri,
"Cepat keluarkan bayi itu dari perutnya!" geramku, melambai-lambaikan skalpel
itu padanya, "Dia tidak akan merasakan apa-apa sekarang!"
Kemudian aku membungkuk di atas kepala Bella. Mulutnya tampak bersih, maka aku
menekankan mulutku ke sana dan mengembuskan udara separu-paru penuh ke dalamnya.
Aku merasakan tubuhnya mengembang, berarti tidak ada yang menghalangi
tenggorokannya. Bibir Bella terasa seperti darah.
Aku bisa mendengar jantungnya, berdetak tak beraturan. Teruslah berdetak,
pikirku panik padanya, mengembuskan udara lagi ke tubuhnya. Kau sudah berjanji.
Usahakan jantungmu terus berdetak.
Aku mendengar suara lembut dan basah skalpel mengoyak perutnya. Lebih banyak
darah menetes-netes ke lantai.
Suara berikutnya membuatku tersentak, sungguh tak terduga, mengerikan. Seperti
suara logam dikoyakkan. Suara itu mengingatkanku kembali pada pertarungan di
lapangan terbuka beberapa bulan lalu, suara para vampir baru dikoyakkan. Aku
melirik dan melihat wajah Edward menempel di perut Bella yang membuncit. Gigi
vampir- pasti mampu mengoyak kulit vampir.
Aku bergidik sambil mengembuskan udara lagi ke paru-paru Bella.
Bella terbatuk, matanya mengerjap-ngerjap, berputar-putar tanpa bisa melihat,
"Tetaplah bersamaku, Bella!" teriakku padanya. "Kaudengar aku" Kau tidak boleh
meninggalkan aku. Jantungmu harus terus berdetak!"
Matanya berputar, mencariku, atau Edward, tapi tidak melihat apa-apa.
Aku tetap menatapnya, tak mengalihkan pandanganku darinya.
Lalu tubuhnya mendadak diam di bawah tanganku, walaupun deru napasnya semakin
cepat dan jantungnya terus berdetak. Sadarlah aku diam itu berarti semuanya
telah berakhir. Entakan-entakan dari dalam tubuhnya sudah berhenti. Makhluk itu
pasti sudah keluar dari tubuhnya.
Ternyata memang sudah. Edward berbisik, "Reneesme,"
Kalau begitu perkiraan Bella salah. Ternyata bukan anak laki laki seperti yang
ia bayangkan. Itu tidak mengherankan bagiku. Apa sih yang pernah Bella
perkirakan dengan benar"
Aku tidak mengalihkan mataku dari matanya yang bebercak-bercak merah, tapi aku
merasakan kedua tangannya terangkat lemah.
"Biarkan aku...," bisik Bella parau. "Berikan dia padaku."
Kurasa seharusnya aku tahu Edward akan menuruti semua yang diinginkan Bella, tak
peduli betapapun tololnya permintaan itu. Tapi aku sama sekali tidak menyangka
ia juga akan menuruti kemauan Bella sekarang. Jadi tidak terpikir olehku untuk
menghentikan Edward. Sesuatu yang hangat menyentuh lenganku. Itu saja seharusnya sudah menarik
perhatianku. Tidak ada yang terasa hangat di kulitku.
Tapi aku tak sanggup mengalihkan pandanganku dari wajah Bella. Ia mengerjapkan
mata dan memandang, akhirnya bisa melihat. Suara menenangkan yang aneh, lirih,
dan mirip erangan terdengar dari bibirnya.
"Renes...mee. Cantik... sekali."
Kemudian ia terkesiap-terkesiap kesakitan.
Waktu aku melihatnya, semua sudah terlambat. Edward telah merenggut makhluk
hangat berlumuran darah itu dari lengan Bella yang terkulai lemas. Mataku
melirik cepat ke kulit Bella. Kulitnya merah oleh darah -darah yang tadi
mengalir dari mulutnya, darah yang melumuri tubuh makhluk itu, dan darah segar
yang menggenang dari bekas gigitan kecil berbentuk bulan sabit ganda, persis di
atas payudara kiri Bella.
"Jangan, Renesmee," gumam Edward, seperti mengajarkan sopan santun pada monster
itu. Aku tidak melihat Edward ataupun makhluk itu. Aku hanya memandangi Bella saat
matanya membeliak ke atas.
Dengan suara berdetak lemah terakhir, jantung Bella terputus-putus dan terdiam.
Setelah jantung Bella tak berdetak selama setengah detik, kedua tanganku
langsung memegang dadanya, menekan-nekan-nya. Aku menghitung dalam hati,
berusaha menjaga agar ritmenya tetap terjaga. Satu. Dua. Tiga. Empat.
Berhenti sebentar, aku mengembuskan udara lagi ke paru-parunya.
Aku tidak bisa melihat lagi. Mataku basah dan kabur. Tapi aku amat menyadari
suara-suara di ruangan itu. Bunyi glug-glug jantung Bella yang tak mau bereaksi
di bawah tekanan tanganku yang menuntut, bunyi detak jantungku sendiri, dan satu
lagi - detak putus-putus lain yang terlalu cepat, terlalu ringan. Aku tidak tahu
bunyi apa itu. Kupaksa mengembuskan udara lagi ke tenggorokan Bella.
"Apa yang kautunggu?" aku tersedak dengan napas terengah-engah, memompa
jantungnya lagi. Satu. Dua. Tiga. Empat.
"Pegang bayinya," pinta Edward dengan nada mendesak, "
Lempar saja keluar jendela.
" Satu. Dua. Tiga. Empat.
"Berikan bayinya padaku," seru suara pelan dari ambang pintu.
Edward dan aku menggeram pada saat bersamaan. Satu. Dua. Tiga. Empat.
"Aku sudah bisa menguasai diri," Rosalie berjanji. "Berikan bayinya, Edward. Aku
akan menjaganya sampai Bella... "
Aku mengembuskan udara lagi ke paru-paru Bella sementara pengalihan itu terjadi.
Suara dug dug dug lemah jantung Bella menghilang perlahan-lahan.
"Singkirkan tanganmu, Jacob."
Aku mendongak, mengalihkan pandangan dari mata Bella yang putih, masih terus
memompa jantungnya Edward memegang jarum suntik di tangannya, seluruhnya
berwarna perak, seperti terbuat dari baja.
"Apa itu?" Tangan Edward yang sekeras batu menepis tanganku agar minggir. Terdengar suara
berderak pelan saat tepisannya itu mematahkan kelingkingku. Pada detik yang sama
ia menancapkan jarum itu langsung ke jantung Bella.
"Racunku," jawab Edward sambil menekan pompa suntik.
Kudengar sentakan di jantung Bella, seolah-olah Edward menggugahnya dengan
pukulan. "Gerakkan terus," perintah Edward. Suaranya sedingin es, mati. Keras dan tanpa
berpikir. Seolah-olah ia mesin.
Kuabaikan rasa sakit saat tulang kelingkingku mulai pulih. Aku mulai memompa
jantung Bella lagi. Lebih sulit sekarang, seakan-akan darahnya mengental di
sana- semakin kental dan lambat. Sementara mendorong darah yang sekarang kental
itu ke pembuluh darahnya, aku memerhatikan apa yang dilakukan Edward;
Ia seperti mencium Bella, menyapukan bibirnya ke leher, pergelangan tangan, dan
lipatan di bagian dalam lengan Bella. Tapi aku bisa mendengar bunyi kulit Bella
robek saat Edward menggigitnya, berkali-kali, memaksakan racunnya masuk ke dalam
peredaran darah Bella di sebanyak mungkin tempat. Kulihat lidah Edward yang
pucat menjilati luka yang berdarah itu, tapi sebelum itu bisa membuatku mual
atau marah, aku menyadari apa yang ia lakukan. Saat lidah Edward menyapu racun
itu di atas kulitnya, lukanya langsung menutup. Menahan racun dan darah itu di
dalam tubuhnya. Aku mengembuskan udara lagi ke mulut Bella, tapi tak ada reaksi apa-apa. Hanya
dadanya yang terangkat naik tak bernyawa. Aku terus memompa jantungnya,
menghitung, sementara Edward mengerahkan segenap upaya untuk membangunkan Bella
lagi. Semua sudah dikerahkan...
Tapi tidak ada apa-apa di sana, hanya aku, hanya Edward.
Berusaha membangunkan mayat.
Karena hanya itulah yang tertinggal dari gadis yang sama-sama kami cintai. Mayat
yang rusak, babak belur, dan berlumuran darah. Kami tidak bisa membangunkan
Bella lagi. Aku tahu semua sudah terlambat. Aku tahu ia sudah mati. Aku tahu pasti karena
tarikan itu sudah tidak ada. Aku tidak merasa ada alasan lagi untuk berada di
sampingnya. Ia sudah tidak ada di sini. Jadi tubuh ini tidak lagi memiliki daya
tarik bagiku. Kebutuhan tak masuk akal untuk berada di dekatnya lenyap sudah.
Atau mungkin berpindah adalah istilah yang lebih tepat. Sepertinya aku merasakan
tarikan dari arah yang berbeda sekarang. Dari lantai bawah, di luar pintu.
Kerinduan untuk menjauh dari sini dan tidak pernah, tidak akan pernah kembali.
"Pergilah, kalau begitu," bentak Edward, dan ia memukul tanganku lagi, mengambil
tempatku kali ini. Tiga jari patah, rasanya.
Dengan kelu kuluruskan jari-jariku, tak memedulikan sakit yang berdenyut-denyut.
Edward memompa jantung Bella yang sudah mati itu lebih cepat daripada yang tadi
kulakukan. "Dia belum mati," geram Edward. "Dia akan baik-baik saja."
Aku tidak tahu lagi apakah ia berbicara padaku.
Membalikkan badan, meninggalkan Edward dengan mayatnya, aku berjalan lambatlambat ke pintu. Aku tak sanggup menggerakkan kakiku lebih cepat.
Inilah dia kalau begitu. Samudera kepedihan. Pantai begitu jauh di seberang air


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mendidih. Aku tak bisa membayangkan, apalagi melihatnya.
Lagi-lagi aku merasa hampa, karena sekarang aku telah kehilangan tujuanku.
Menyelamatkan Bella adalah sesuatu yang telah kuperjuangkan sekian lama. Tapi ia
tidak mau diselamatkan. Ia malah rela mengorbankan dirinya dan dikoyak-koyak
keturunan monster itu, jadi perjuanganku sia-sia. Semua sudah berakhir.
Aku bergidik mendengar suara di belakangku saat terhuyung-huyung menuruni
tangga-suara jantung mati dipaksa berdetak.
Entah bagaimana caranya, ingin benar rasanya aku menuangkan cairan pemutih ke
kepalaku dan membiarkannya menggosongkan otakku. Membakar habis semua kenangan
akan saat-saat terakhir Bella. Aku lebih suka otakku rusak agar bisa
menyingkirkan semua kenangan itu-jeritannya, suara berderak dan terkoyak saat
monster yang baru lahir itu mengoyak perutnya dari dalam...
Aku ingin berlari menjauh secepatnya, melompati sepuluh anak tangga sekaligus
dan menghambur keluar pintu, tapi kakiku berat seperti digayuti besi dan tubuhku
letih sekali, lebih daripada yang pernah kurasakan sebelumnya. Aku tersaruksaruk menuruni tangga seperti orang tua yang cacat.
Aku beristirahat di anak tangga paling bawah, mengumpulkan segenap kekuatan
untuk berjalan keluar pintu.
Rosalie duduk di ujung sofa putih yang masih bersih, memunggungiku, berbisik dan
mengucapkan kata-kata bernada lembut pada makhluk berselubung selimut dalam
pelukannya. Ia pasti mendengarku berhenti, tapi ia mengabaikanku, terhanyut
dalam momen bahagia sebagai ibu yang dicurinya dari Bella. Mungkin sekarang ia
akan bahagia. Rosalie telah mendapatkan apa yang ia inginkan, dan Bella takkan
pernah datang untuk mengambil makhluk itu darinya. Dalam hati aku bertanya-tanya
apakah memang itu yang diharapkan si pirang beracun selama ini.
Rosalie memegang sesuatu berwarna gelap di tangannya, dan terdengar suara
mengisap rakus dari pembunuh kecil yang digendongnya itu.
Bau darah di udara. Darah manusia, Rosalie meminumkan darah manusia ke bayi itu.
Tentu saja ia ingin minum darah. Apa lagi yang akan kauberikan pada monster yang
secara brutal memutilasi ibunya sendiri" Sama saja ia minum darah Bella. Mungkin
itu memang darah Bella. Kekuatanku pulih kembali saat mendengar suara pembunuh kecil itu makan.
Kekuatan, kebencian, dan perasaan panas-panas amarah membasuh kepalaku, membakar
tapi tidak menghapus apa pun. Gambar-gambar di kepalaku ibarat bensin, semakin
menggelorakan api tapi menolak dibakat habis. Aku merasakan getaran mengguncang
tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan aku tidak berusaha
menghentikannya. Perhatian Rosalie sepenuhnya tercurah pada makhluk itu, ia tak menggubrisku sama
sekali. Ia tidak akan bisa menghentikanku pada saat yang tepat, karena
perhatiannya hanya tertuju pada makhluk itu.
Sam benar. Makhluk itu adalah penyimpangan -keberadaannya menentang hukum alam.
Iblis hitam tak berjiwa. Sesuatu yang tidak berhak ada.
Sesuatu yang harus dihancurkan.
Sepertinya tarikan tadi bukan mengarah ke pintu. Aku bisa merasakannya sekarang,
membujukku, menarikku maju. Mendorongku menyelesaikannya, membersihkan dunia
dari kekejian ini. Rosalie pasti akan berusaha membunuhku kalau makhluk itu mati, dan aku akan
melawannya. Entah apakah cukup waktu bagiku menghabisinya sebelum yang lain-lain
datang membantu. Mungkin cukup, mungkin tidak. Aku tidak terlalu peduli.
Aku tak peduli bila para serigala, kelompok mana pun, membalas dendam atas
kematianku atau menuntut keadilan pada keluarga Cullen. Itu semua tak berarti.
Yang penting bagiku adalah keadilanku sendiri. Balas dendamku. Makhluk yang
membunuh Bella itu tak boleh hidup lebih lama lagi.
Seandainya Bella selamat, ia pasti membenciku karena apa yang kulakukan ini. Ia
pasti akan membunuhku dengan tangannya sendiri.
Tapi aku tak peduli. Ia juga tidak peduli pada apa yang ia lakukan terhadapku membiarkan dirinya dijagai seperti binatang. Mengapa sekarang aku harus
memedulikan perasaannya"
Begitu juga Edward, ia pasti terlalu sibuk sekarang-kelewat kalut dalam
penyangkalannya yang gila, berusaha menghidupkan mayat-sehingga tidak akan
mendengar rencanaku. Maka aku takkan mendapatkan kesempatan menepati janjiku padanya, kecuali- dan
ini bukan sesuatu di mana aku bersedia mempertaruhkan uangku-aku berhasil
memenangkan pertarungan melawan Rosalie, Jasper, dan Alice, tiga lawan satu.
Tapi sekalipun aku menang, kurasa aku tetap tidak akan mau membunuh Edward.
Karena aku tidak memiliki cukup belas kasihan untuk itu. Mengapa harus kubuat
dia tidak merasakan akibat perbuatannya" Bukankah akan lebih adil -lebih
memuaskan-membiarkannya hidup tanpa memiliki apa-apa sama sekali"
Pikiran itu nyaris membuatku tersenyum, hatiku begitu penuh kebencian ketika
membayangkannya. Tidak ada Bella, Tidak ada monster pembunuh itu. Dan ia juga
kehilangan anggota keluarganya sebanyak yang bisa kuhabisi. .Tentu saja mungkin
ia bisa menyatukan mereka kembali, karena aku tak ada waktu untuk membakar
bagian-bagian tubuh. Tidak seperti Bella, yang takkan pernah bisa disatukan
lagi. Dalam hati aku penasaran apakah makhluk itu bisa disatukan kembali. Aku
meragukannya. Makhluk itu separo Bella juga-jadi ia pasti mewarisi kerapuhan
Bella. Itu bisa kudengar dari detak jantungnya yang mungil.
Jantung makhluk itu berdetak. Jantung Bella tidak.
Hanya satu detik berlalu saat aku mengambil keputusan yang mudah ini.
Getaran itu semakin ketat dan cepat. Aku melengkungkan badan, bersiap menerkam
vampir pirang itu dan merenggut makhluk pembunuh itu dari dekapannya dengan
gigiku. Rosalie berbicara lagi dengan nada lembut pada makhluk itu, meletakkan botol
logam yang kosong di sampingnya dan mengangkat makhluk itu untuk menempelkan
wajahnya ke pipi si bayi.
Sempurna. Posisi baru itu sempurna untuk seranganku. Aku mencondongkan tubuh ke
depan dan merasakan panas mulai mengubahku sementara tarikan ke arah pembunuh
itu semakin kuat-lebih kuat daripada yang kurasakan sebelumnya, begitu kuatnya
hingga mengingatkanku pada perintah seorang Alfa, seolah-olah itu akan
meremukkanku kalau aku tidak menurut.
Kali ini aku ingin menurut.
Pembunuh itu menatapku melewati bahu Rosalie, tatapan matanya lebih terfokus
daripada bayi makhluk mana pun.
Mata cokelat hangat, warna cokelat susu-warna yang sama persis dengan mata Bella
dulu. Guncangan tubuhku mendadak berhenti; panas melanda seluruh tubuhku, lebih kuat
dari sebelumnya, tapi ini panas yang baru -bukan panas yang membakar.
Tapi panas yang bersinar-sinar.
Segala sesuatu di dalam diriku seakan terlepas saat aku menatap wajah porselen
mungil bayi setengah vampir setengah manusia itu. Semua ikatan yang mengikatku
terputus oleh sayatan cepat, seperti menggunting tali segerumbul balon. Segala
sesuatu yang membuatku menjadi diriku sekarang-cintaku pada gadis yang sudah
mati di lantai atas itu, cintaku pada ayahku, loyalitasku pada kawanan baruku,
cintaku pada saudara-saudaraku, kebencianku pada musuh-musuhku, rumahku, namaku,
diriku.-detik itu juga terputus dariku-kres, kres, kres-dan melayang ke udara.
Tapi aku tidak dibiarkan melayang-layang tak tentu arah. Seutas tali baru
menahanku di tempatku berdiri.
Bukan hanya satu tali, melainkan sejuta. Bukan tali, melainkan kabel baja.
Sejuta kabel baja mengikatku pada satu hal-pada pusat jagat raya ini.
Aku bisa melihatnya sekarang-bagaimana jagat raya berputar mengelilingi satu
titik ini. Tak pernah aku melihat kesimetrisan jagat raya sebelum ini, tapi
sekarang semuanya jelas. Gravitasi bumi tak lagi menahanku di tempatku berdiri.
Bayi perempuan dalam pelukan vampir pirang itulah yang menahanku di sini
sekarang. Renesmee. Dari lantai atas terdengar suara baru. Satu-satunya suara yang bisa menyentuhku
dalam sedetik yang tidak ada akhirnya ini.
Degup cepat, detak memburu... Suara jantung yang berubah.
BUKU TIGA Bella DAFTAR ISI PENDAHULUAN 19. PANAS MEMBAKAR 20. BARU 21. PERBURUAN PERTAMA 22. JANJI 23. MEMORI 24. KEJUTAN 25. BANTUAN 26. BERKILAU 27. RENCANA PERJALANAN 28. MASA DEPAN 29. DITINGGAL 30. MENGGEMASKAN 31. BERBAKAT 32. PARA TAMU 33. PEMALSUAN 34. DEKLARASI 35. TENGGAT WAKTU 36. HAUS DARAH 37. PENEMUAN 38. KUAT 39. AKHIR YANG MEMBAHAGIAKAN
INDEX VAMPIR CREDITS PENDAHULUAN BARISAN hitam yang mendekati kami menembus kabut sedingin es yang terkuak oleh
kaki mereka, bukan lagi sekadar mimpi buruk.
Kita akan mati, pikirku panik. Aku panik memikirkan hal berharga yang kujaga,
tapi aku tak boleh bahkan memikirkannya, karena itu akan mengganggu
konsentrasiku. Mereka melayang semakin dekat, jubah gelap mereka berkibar-kibar pelan dengan
setiap gerakan. Aku melihat tangan mereka melengkung membentuk cakar sewarna
tulang. Mereka berpencar, mendatangi kami dari segala sisi. Jumlah kami kalah
banyak. Semua sudah berakhir.
Kemudian, bagai diterangi sorot lampu kilat, pemandangan itu jadi berbeda. Namun
tak ada yang berubah-keluarga Volturi masih bergerak menghampiri kami, bersiap
membunuh. Yang benar-benar berubah hanya bagaimana gambaran itu terlihat olehku.
Tiba-tiba hasratku membuncah. Aku ingin mereka menyerang. Kepanikan berubah
menjadi haus darah saat aku membungkuk, siap menerjang maju, senyum tersungging
di wajahku, dan geraman menyeruak dari sela gigiku yang menyeringai.
19. PANAS MEMBAKAR Sakitnya membingungkan. Tepat seperti itulah-aku kebingungan. Aku tidak bisa mengerti, tidak bisa
mencerna apa yang sedang terjadi.
Tubuhku berusaha menolak rasa sakit itu, dan aku tersedot lagi dan lagi ke
kegelapan yang memotong detik-detik atau bahkan mungkin menit-menit penuh
kesakitan, membuatku semakin sulit memahami kenyataan.
Aku berusaha memisahkannya.
Ketidaknyataan berwarna hitam, dan rasanya tidak terlalu menyakitkan.
Kenyataan berwarna merah, dan aku merasa seperti digergaji menjadi dua, dilindas
bus, ditinju petinju profesional, diinjak-injak segerombolan banteng, dan
tenggelam dalam cairan asam, semuanya pada saat bersamaan.
Kenyataan adalah merasakan tubuhku terpilin dan terentak di saat aku tak mungkin
bisa bergerak karena sakit.
Kenyataan adalah mengetahui ada sesuatu yang jauh lebih penting daripada semua
siksaan ini, tapi tak bisa ingat apa itu.
Kenyataan datang begitu cepat.
Satu saat segala sesuatu berjalan sebagaimana seharusnya. Dikelilingi orangorang yang kucintai. Senyum di mana-mana. Entah bagaimana, meski kemungkinannya
kecil, sepertinya aku akan mendapat semua yang selama ini kuperjuangkan.
Kemudian satu kecerobohan sepele terjadi dan mengubah semuanya.
Aku melihat cangkirku terguling, darah merah tumpah dan menodai kain putih
bersih itu, dan refleks aku meraihnya. Aku juga melihat tangan-tangan lain yang
lebih cepat, tapi tubuhku tetap bergerak maju, terulur...
Di dalam tubuhku, sesuatu terenggut ke arah sebaliknya.
Terkoyak. Patah. Sakitnya luar biasa.
Kegelapan itu mengambil alih, kemudian berubah menjadi gelombang siksaan. Aku
tak bisa bernapas-dulu aku pernah tenggelam, tapi yang ini berbeda; rasanya
kerongkonganku panas sekali.
Bagian-bagian tubuhku remuk, patah, teriris... Lagi-lagi kegelapan
menyelimutiku. Suara-suara, kali ini berteriak-teriak, saat kesakitan itu kembali. "Plasentanya
pasti lepas!" Sesuatu yang lebih tajam dari pisau mengoyakku - kata-kata itu, masuk akal di
tengah siksaan-siksaan lain. Plasenta yang terlepas-aku tahu apa artinya itu.
Itu berarti bayiku sekarat di dalam rahimku.
"Keluarkan dia!" jeritku pada Edward. Mengapa Edward belum juga melakukannya"
"Dia tidak bisa bernapas! Lakukan sekarang!"
"Morfinnya.. " Ia ingin menunggu, memberiku obat penghilang sakit, padahal bayi kami sekarat"!
"Tidak! Sekarang...!" aku tersedak, tak mampu menyelesaikan kata-kataku.
Bercak-bercak hitam menutupi lampu di ruangan itu saat rasa sakit baru
menghunjam dingin ke perutku. Rasanya keliru -otomatis aku berusaha keras
melindungi rahimku, bayiku, Edward Jacob kecilku, tapi aku lemah. Paru-paruku
sakit, oksigen terbakar habis.
Rasa sakit itu kembali memudar, walaupun aku mencengkeramnya kuat-kuat sekarang.
Bayiku, bayiku, sekarat...
Berapa lama waktu telah berlalu" Detik atau menit" Rasa sakit itu hilang. Kebas.
Aku tidak bisa merasa. Aku juga masih tidak bisa melihat, tapi aku bisa
mendengar. Ada udara di paru-paruku lagi, menggesek dalam bentuk gelembunggelembung kasar yang melewati tenggorokanku.
"Tetaplah bersamaku sekarang, Bella! Kaudengar aku" Kau tidak boleh meninggalkan
aku. Jantungmu harus terus berdetak!"
Jacob" Jacob masih di sini, masih berusaha menyelamatkanku.
Tentu saja, aku ingin berkata padanya. Tentu saja aku akan berusaha membuat
jantungku tetap berdetak. Bukankah aku sudah berjanji pada mereka berdua"
Aku berusaha merasakan jantungku, menemukannya, tapi aku begitu tersesat di
dalam tubuhku sendiri. Aku tidak bisa merasakan hal-hal yang seharusnya
kurasakan, dan semua rasanya berada di tempat yang tidak seharusnya. Aku
mengerjap dan menemukan mataku. Aku bisa melihat cahaya.
Bukan sesuatu yang kucari, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
Sementara mataku susah payah berusaha menyesuaikan diri, Edward berbisik,
"Renesmee." Renesmee" Bukan anak lelaki sempurna berkulit pucat seperti yang kubayangkan" Sesaat aku
shock. Lalu perasaan hangat melandaku.
Renesmee. Aku berusaha menggerakkan bibir, berusaha mengubah gelembung-gelembung udara
menjadi bisikan di lidahku. Aku memaksa mengulurkan kedua tanganku yang kebas.
"Biarkan aku... Berikan dia padaku."
Cahaya itu menari-nari, pecah berderai dari kulit tangan Edward yang laksana
kristal. Kilauannya bersemu merah oleh darah yang melumuri tangannya. Dan banyak
lagi warna merah di tangannya. Sesuatu yang kecil dan menggeliat-geliat, darah
menetes-netes. Ia menempelkan tubuh hangat itu ke lenganku yang lemah, hampir
seperti aku menggendongnya. Kulitnya yang basah terasa panas-tapi tidak sepanas
kulit Jacob. Mataku terfokus; tiba-tiba semua tampak sangat jelas.
Renesmee tidak menangis, tapi napasnya tersengal-sengal cepat, terkejut. Matanya
terbuka, ekspresinya begitu shock hingga nyaris lucu. Kepalanya yang kecil dan
bundar sempurna tertutup rambut ikal lengket berdarah. Iris matanya berwarna
cokelat yang-meski familier-namun menakjubkan. Di balik darah yang melumuri
tubuhnya, kulitnya berwarna gading pucat. Semuanya begitu kecuali pipinya yang
bersemu merah. Wajah mungilnya begitu sempurna sampai-sampai membuatku terperangah. Ia bahkan
lebih rupawan daripada ayahnya. Tak bisa dipercaya. Mustahil.
"Renesmee," bisikku. "Cantik... sekali."
Wajah rupawan itu tiba-tiba tersenyum-senyum lebar dan sengaja. Di balik bibir
pinknya yang berbentuk kerang, tampak sederet gigi susu seputih salju yang sudah
lengkap.

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menundukkan kepala ke depan, ke dadaku, menguburkannya ke kehangatan.
Kulitnya hangat dan sehalus sutra, tapi tidak lembut seperti kulitku.
Kemudian terasa lagi rasa sakit-rasa sakit sekilas yang hangat. Aku terkesiap.
Dan Renesmee pun hilang. Bayiku yang berwajah malaikat itu lenyap entah ke mana.
Aku tak bisa melihat ataupun merasakannya.
Tidak! ingin benar aku berteriak. Kembalikan dia padaku!
Tapi kelemahan itu terlalu kuat melandaku. Kedua lenganku sesaat terasa seperti
slang karet yang kosong, kemudian tidak terasa apa-apa sama sekali. Aku tak bisa
merasakannya. Aku tak bisa merasakan diriku.
Kegelapan itu dengan cepat menutupi mataku, lebih gelap daripada sebelumnya.
Seperti penutup mata yang tebal, kuat, dan cepat. Menutup bukan hanya mataku,
melainkan juga diriku dengan beban yang menekan. Melelahkan sekali mendorong
melawannya. Aku tahu akan jauh lebih mudah untuk menyerah saja. Membiarkan
kegelapan itu menenggelamkanku ke bawah, ke bawah, ke tempat tidak ada
kesakitan, tidak ada kelelahan, tidak ada kekhawatiran, dan tidak ada ketakutan.
Seandainya aku hanya memikirkan diriku sendiri, aku pasti takkan sanggup
berjuang terlalu lama. Aku hanya manusia biasa, dengan kekuatan tak lebih dari
kekuatan manusia. Aku sudah terlalu lama berusaha mengimbangi kekuatan
supranatural, seperti yang pernah dikatakan Jacob padaku.
Tapi aku tidak hanya memikirkan diriku sendiri.
Kalau aku melakukan hal yang mudah sekarang, membiarkan kegelapan menghapusku,
berarti aku menyakiti hati mereka.
Edward. Edward, Hidupku dan hidupnya terjalin menjadi satu. Potong satu, berarti
kau memotong keduanya. Seandainya dia pergi, aku takkan sanggup hidup tanpa dia.
Seandainya aku pergi, dia juga takkan sanggup hidup tanpa aku. Dan dunia tanpa
Edward akan terasa tiada artinya. Edward harus ada,
Jacob-yang sudah berulang kali mengucapkan selamat berpisah padaku tapi selalu
kembali setiap kali aku membutuhkannya. Jacob yang entah sudah berapa kali
kusakiti hatinya. Akankah aku menyakiti hatinya lagi, yang terparah kali ini"
Selama ini Jacob selalu bersamaku, walau bagaimanapun juga. Sekarang yang ia
minta dariku hanyalah agar aku tetap bersamanya.
Tapi di sini sangat gelap, aku tak bisa melihat wajah siapa pun. Semua terasa
tidak nyata. Membuat sulit bagiku untuk tidak menyerah.
Walaupun begitu aku terus berusaha mendorong kegelapan itu, nyaris seperti
refleks. Aku tidak berusaha mengangkatnya. Aku hanya menolaknya. Tidak
membiarkannya menindihku sepenuhnya. Aku bukan Atlas, dan kegelapan itu sama
beratnya dengan planet; aku tak sanggup memikulnya. Yang bisa kulakukan hanyalah
agar tidak sepenuhnya terhapuskan.
Itu menjadi semacam pola dalam hidupku-aku tidak pernah merasa cukup kuat
menghadapi hal-hal di luar kendaliku, menyerang musuh atau lari mendahului
mereka. Menghindari kesakitan. Sebagai manusia lemah, satu-satunya hal yang bisa
kulakukan hanya bertahan. Menahannya Tetap selamat.
Sejauh ini, itu semua cukup. Jadi itu pun harus cukup hari ini. Aku harus bisa
menahannya sampai pertolongan datang.
Aku tahu Edward akan melakukan segalanya yang bisa ia lakukan. Ia tidak akan
menyerah. Begitu pula aku.
Kutahan kegelapan agar tidak mendekat.
Tapi tekad saja tidak cukup. Sekian lama waktu berlalu dan kegelapan semakin
mengimpitku, aku membutuhkan sesuatu yang lebih untuk memberiku kekuatan.
Aku bahkan tak bisa menarik wajah Edward ke dalam penglihatanku. Tidak juga
wajah Jacob, atau Alice, Rosalie, Charlie, Renee, Carlisle ataupun Esme... Tidak
ada apa-apa. Itu membuatku ketakutan, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah
semuanya sudah terlambat.
Aku merasakan diriku terpeleset-tak ada yang bisa kujadikan pegangan.
Tidak!. Aku harus selamat melewati ini. Edward bergantung padaku. Jacob. Charlie
Alice Rosalie Carlisle Renee Esme...
Renesmee. Kemudian, walaupun aku masih belum bisa melihat apa-apa, mendadak aku bisa
merasakan sesuatu. Seperti tangan-tangan hantu, aku membayangkan diriku bisa
merasakan tanganku lagi. Dan dalam dekapan tanganku, ada sesuatu yang kecil,
keras, dan amat sangat hangat.
Bayiku. Bocah kecil yang menendang-nendang perutku.
Aku berhasil. Melewati segala rintangan, ternyata aku cukup kuat untuk
melahirkan Renesmee dengan selamat, mengandungnya sampai ia cukup kuat untuk
hidup tanpaku. Titik panas di lengan hantuku terasa begitu nyata. Aku mendekapnya semakin erat.
Tepat di sanalah jantungku seharusnya berada. Dengan mendekap erat kenangan
hangat tentang putriku, aku tahu aku akan bisa berjuang melawan kegelapan sampai
selama yang dibutuhkan. Kehangatan di samping jantungku semakin menjadi-jadi dan semakin nyata, semakin
lama semakin hangat. Semakin panas. Panasnya begitu nyata hingga sulit rasanya
menyakini bahwa aku hanya membayangkannya.
Semakin panas. Tidak nyaman sekarang. Terlalu panas. Sangat, sangat terlalu panas.
Rasanya seperti memegang ujung yang salah dari alat pengeriting rambut- respons
otomatisku adalah menjatuhkan benda panas membara dalam dekapanku. Tapi tidak
ada apa-apa di sana. Lenganku tidak terlipat ke dada. Lenganku terkulai begitu
saja di sisi tubuhku. Panas itu berada di dalam tubuhku.
Panas membakar itu semakin menjadi-jadi meningkat, memuncak, lalu meningkat lagi
hingga melampaui apa pun yang pernah kurasakan.
Sekarang di balik api yang berkobar itu aku merasakan denyut di dadaku dan sadar
aku telah menemukan jantungku lagi, tepat ketika aku berharap takkan
menemukannya. Berharap bahwa aku telah merengkuh kegelapan itu selagi memiliki
kesempatan. Aku ingin mengangkat kedua lenganku dan mengoyak dadaku dan
merenggut jantungku sendiri-melakukan apa saja untuk menghentikan siksaan ini.
Tapi aku tak bisa merasakan lenganku, tak bisa menggerakkan bahkan satu jari
saja. James mematahkan kakiku dengan menginjaknya. Itu tidak ada apa-apanya
dibandingkan sekarang. Itu ibarat tempat empuk untuk beristirahat di atas kasur
bulu. Kalau disuruh, aku lebih suka memilih yang itu, seratus kali juga boleh.
Seratus kali kakiku dipatahkan. Aku akan menerimanya dan bersyukur.
Bayi itu menendang tulang-tulang rusukku, mematahkannya sedikit demi sedikit
untuk mencari jalan keluar. Itu tak ada apa-apanya. Itu ibarat mengambang di
kolam berair sejuk. Aku bersedia disuruh merasakannya seribu kali lagi. Akan
kuterima dengan penuh rasa syukur.
Api ini berkobar semakin panas dan aku ingin menjerit. Memohon agar ada yang
membunuhku sekarang, sebelum aku hidup satu detik lagi dalam kesakitan ini. Tapi
aku tak sanggup menggerakkan bibirku. Beban itu masih di sana, menekanku.
Sadarlah aku bukan kegelapan yang menahanku. melainkan tubuhku. Begitu berat.
Menguburku dalam kobaran api yang menjilat-jilat mencari jalan keluar dari
jantungku sekarang, menyebar dengan kesakitan yang luar biasa ke bahu dan
perutku, membakar tenggorokanku, menjilati wajahku.
Mengapa aku tidak bisa bergerak" Mengapa aku tidak bisa menjerit" Ini bukan
bagian dari cerita-cerita mereka.
Pikiranku sangat jernih dipertajam kesakitan yang luar biasa dan aku melihat
jawabannya seketika itu juga, nyaris bersamaan dengan terlontarnya pertanyaan
itu. Morfin. Rasanya sudah berabad-abad yang lalu kami membicarakan hal ini Edward, Carlisle,
dan aku. Edward dan Carlisle berharap obat penghilang sakit dalam dosis cukup
dapat membantu mengatasi sakit yang kualami akibat racun vampir itu. Carlisle
sudah pernah mencobanya dengan Emmett, tapi racun vampir itu lebih dulu membakar
daripada obatnya, mengunci pembuluh-pembuluh darah Emmet, Obatnya tidak sempat
lagi menyebar. Aku membiarkan wajahku tetap tenang dan mengangguk, mensyukuri keberuntunganku
bahwa Edward tidak bisa membaca pikiranku.
Karena aku sudah pernah merasakan morfin dan racun vampir sekaligus dalam
pembuluh darahku sebelumnya, maka aku tahu hal sebenarnya. Aku tahu perasaan
kebas yang dihasilkan morfin sangatlah tidak relevan saat racun itu membakar
pembuluh-pembuluh darahku. Tapi jangan harap .aku akan mengungkit hal itu. Aku
tidak mau mengatakan apa pun yang akan membuat Edward urung mengubahku.
Aku sama sekali tidak menduga morfin akan menghasilkan efek seperti ini menindih
dan membungkam mulutku. Membuatku lumpuh sementara racun itu membakar tubuhku.
Aku tahu semua ceritanya. Aku tahu Carlisle berdiam diri agar tidak ketahuan
sementara tubuhnya terbakar. Aku tahu bahwa, menurut cerita Rosalie, tak ada
gunanya menjerit. Dan sebelumnya aku berharap mungkin aku bisa menjadi seperti
Carlisle, Bahwa aku akan memercayai kata-kata Rosalie dan tetap diam. Karena aku
tahu setiap jeritan yang keluar dari mulutku akan membuat Edward tersiksa.
Kini rasanya seperti lelucon yang tidak lucu karena harapanku terkabul.
Kalau aku tidak bisa menjerit, bagaimana aku bisa mengatakan pada mereka agar
membunuhku" Padahal yang kuinginkan sekarang hanya mati. Tidak pernah dilahirkan. Seluruh
eksistensiku tidak bisa mengalahkan beratnya siksaan ini. Hidup rasanya tidak
sepadan dengan sakitnya yang begitu luar biasa.
Biarkan aku mati, biarkan aku mati, biarkan aku mati.
Dan untuk jangka waktu yang entah kapan akan berakhir, hanya itulah yang
kurasakan. Siksaan yang menyakitkan, jeritanku yang tanpa suara, memohon-mohon
agar kematian datang. Tidak ada yang lain, bahkan waktu pun tidak ada. Itu
membuat keadaan jadi tidak terbatas, tanpa awal dan akhir. Satu momen penuh
kesakitan. Satu-satunya perubahan datang ketika tiba-tiba, meski mustahil, siksaan itu
bertambah parah. Bagian bawah tubuhku yang sejak awal mati rasa karena morfin
tiba-tiba juga terbakar. Sesuatu yang tadinya patah tersambung kembali-terjalin
oleh lidah-lidah api yang membakar.
Perasaan terbakar yang tanpa akhir itu terus membara.
Mungkin beberapa detik atau beberapa hari telah berlalu, mungkin juga bermingguminggu atau bertahun-tahun, tapi akhirnya, waktu kembali memiliki arti.
Tiga hal terjadi pada saat bersamaan, tumbuh dari satu sama lain sehingga aku
tak tahu mana yang datang lebih dulu: waktu diulang dari awal lagi, tindihan
morfin itu semakin berkurang, dan aku semakin kuat.
Aku bisa merasakan kendali tubuhku sedikit demi sedikit mulai pulih, dan
perasaan berangsur-angsur itu merupakan pertanda pertama bagiku bahwa waktu
berjalan. Aku mengetahuinya ketika bisa menggerak-gerakkan jari kakiku,
mengepalkan jari-jari tanganku. Aku mengetahuinya, tapi tidak melakukan apa-apa.
Walaupun perasaan terbakar itu tidak berkurang sedikit pun-faktanya, aku mulai
mengembangkan kapasitas baru dalam merasakannya, sensitivitas baru untuk
menghargai, secara terpisah, setiap lidah api yang menjilati pembuluh darahku
-aku mendapati bahwa ternyata aku bisa berpikir di tengah rasa sakit itu.
Aku ingat mengapa aku tidak boleh menjerit. Aku ingat mengapa aku berkomitmen
rela menjalani sakit yang luar biasa ini. Aku ingat bahwa, walaupun rasanya
mustahil sekarang, ada sesuatu yang pantas diperjuangkan dengan menahan siksaan
ini. Tepat pada saat aku berusaha bertahan, perasaan berat yang menindih tubuhku
terangkat. Di mata orang yang melihatku saat itu, tidak tampak perubahan apaapa. Tapi bagiku, sementara aku berjuang keras menahan jeritan dan geliat-geliat
kesakitan di dalam tubuhku, di mana siksaan itu tak dapat menyakiti orang lain,
rasanya aku beralih dari diikat ke tiang dan dibakar hidup-hidup, menjadi
mencengkeram tiang untuk menahan diriku tetap berada di tengah kobaran api.
Aku masih memiliki sedikit kekuatan untuk berbaring tak bergerak sementara
tubuhku dibakar hidup-hidup.
Pendengaranku semakin jernih, dan aku bisa mendengar detak jantungku yang
berpacu cepat untuk menghitung waktu.
Aku bisa menghitung tarikan-tarikan napas pelan dan teratur yang datang dari
suatu tempat di dekatku. Itu gerakan terpelan, jadi aku berkonsentrasi
mendengarkannya. Gerakan-gerakan itu yang paling bisa memberitahu berapa lama
waktu berlalu. Mungkin bahkan lebih daripada gerak pendulum jam, suara tarikantarikan napas itu menarikku melewati detik-detik yang membakar menuju akhir,
Tubuhku semakin kuat, pikiranku semakin jernih. Bila ada suara-suara baru
datang, aku bisa mendengar.
Ada suara-suara langkah kaki ringan, desir udara ketika pintu dibuka. Langkahlangkah kaki itu semakin mendekat, dan aku merasakan bagian dalam pergelangan
tanganku ditekan. Aku tidak bisa merasakan dinginnya jari-jari itu. Api itu
menghanguskan setiap kenangan akan perasaan dingin.
"Masih belum ada perubahan?"
"Belum." Tekanan yang sangat pelan, lalu embusan napas di kulitku yang membara. "Tidak
ada bau morfin lagi tersisa."
"Aku tahu." "Bella" Kau bisa mendengarku?"
Aku tahu, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa kalau aku membuka mulut, pertahanan
diriku akan jebol-aku pasti akan menjerit, berteriak, menggeliat-geliat,
menendang-nendang tidak keruan. Kalau aku membuka mata, kalau aku menggerakkan
satu jari saja-perubahan apa pun juga pasti akan membuatku kehilangan kendali,
'Bella" Bella, Sayang" Bisakah kau membuka mata" Bisakah kau meremas tanganku?"
Jari-jariku ditekan. Lebih sulit tidak menjawab suara ini, tapi aku tetap
lumpuh. Aku tahu kesedihan dalam suaranya sekarang tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan kesedihan yang bisa terjadi. Sekarang ini, ia hanya takut
aku menderita. Mungkin... Carlisle, mungkin aku terlambat," Suara Edward teredam, pecah saat
mengucapkan kata terlambat. Tekadku sempat goyah sejenak,
"Dengarkan jantungnya, Edward. Lebih kuat daripada jantung Emmett dulu. Belum
pernah aku mendengar detak se-vital itu. Dia akan pulih secara sempurna,"
Ya, aku benar tetap berdiam diri. Carlisle bisa meyakinkan Edward, Ia tidak
perlu menderita bersamaku,
"Dan-dan tulang belakangnya?"
Cedera yang dialaminya tidak lebih parah daripada cedera Esme dulu. Racun itu
akan memulihkannya sebagaimana racun itu dulu memulihkan Esme."
"Tapi dia tenang sekali. Aku pasti melakukan kesalahan."
"Atau melakukan hal yang tepat, Edward. Nak, kau sudah melakukan segala yang
bisa kaulakukan, bahkan lebih. Aku sendiri tak yakin apakah aku bisa memiliki
tekad dan kegigihan sekuat yang kaumiliki untuk menyelamatkannya. Berhentilah
menyalahkan dirimu sendiri. Bella pasti akan selamat,"
Bisikan tercekat. "Dia pasti sangat kesakitan."
"Kita tidak tahu itu. Dia sudah diberi morfin dalam jumlah sangat banyak. Kita
tidak tahu efek yang dialaminya"
Tekanan pelan di bagian dalam lipatan sikuku. Lagi-lagi terdengar suara bisikan.
"Bella, aku cinta padamu. Bella, maafkan aku,"
Aku ingin sekali menjawabnya, tapi tak ingin membuat kesedihannya bertambah.
Tidak selagi aku masih memiliki kekuatan untuk berdiam diri.
Selama itu jilatan api yang membakar tubuhku terus berkobar. Tapi ada sedikit
ruang kosong di kepalaku. Ruang untuk memikirkan kembali percakapan mereka,
ruang untuk mengingat apa yang terjadi, ruang untuk melihat ke depan, dengan
ruang lain yang tak berujung untuk tersiksa di dalamnya.
Juga ruang untuk khawatir.
Di mana bayiku" Mengapa dia tidak ada di sini" Mengapa mereka tidak membicarakan
dia" "Tidak, aku di sini saja," bisik Edward, menjawab pikiran yang tidak terucapkan.
"Mereka pasti bisa membereskannya sendiri,"
"Situasi yang menarik," Carlisle menimpali. "Padahal kusangka aku sudah melihat
semuanya." "Aku akan membereskannya nanti. Kita akan membereskannya nanti." Sesuatu menekan
lembut telapak tanganku yang melepuh.
"Aku yakin di antara kami berlima, kami bisa menjaganya agar tidak berubah
menjadi pertumpahan darah."
Edward mendesah. "Aku tidak tahu akan memihak siapa. Aku ingin sekali menghajar
dua-duanya. Well, nanti."
"Aku jadi penasaran bagaimana pendapat Bella-pihak mana yang akan dibelanya,"
renung Carlisle, Terdengar suara terkekeh pelan. "Aku yakin dia akan membuatku terkejut. Dia kan
selalu begitu." Langkah-langkah Carlisle kembali menjauh, dan aku frustrasi karena tidak ada
penjelasan lebih lanjut. Apakah mereka sengaja berbicara semisterius itu hanya
untuk membuatku jengkel"
Aku kembali menghitung tarikan napas Edward untuk menandai waktu.
Sepuluh ribu, sembilan ratus empat puluh tiga tarikan napas berikutnya,
terdengar suara langkah-langkah kaki berbeda mendesir memasuki ruangan. Lebih
ringan. Lebih... berirama.
Aneh juga aku bisa membedakan perbedaan sangat kecil antara kedua langkah itu
padahal sebelum hari ini, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa-apa.
"Berapa lama lagi?" tanya Edward,


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak akan lama lagi," jawab Alice. "Lihat betapa jernihnya dia sekarang" Aku
bisa melihatnya jauh lebih jelas sekarang," Alice mendesah,
"Masih merasa sedikit kesal?"
"Ya, terima kasih banyak kau sudah menyinggungnya," gerutu Alice. "Kalau kau
jadi aku, kau pasti akan kesal juga, kalau menyadari dirimu diborgol kaummu
sendiri. Aku paling jelas melihat vampir, karena aku vampir; aku bisa melihat
manusia lumayan baik, karena dulu aku manusia. Tapi aku tidak bisa melihat
makhluk campuran ini sama sekali karena tidak pernah mengalami jadi mereka.
Bah!" "Fokus, Alice,"
"Benar, Bella nyaris terlalu mudah untuk dilihat sekarang." Lama sekali tidak
terdengar apa-apa, kemudian. Edward mendesah. Suara baru, lebih bahagia,
"Dia benar-benar akan pulih kembali," desah Edward. "Tentu saja,"
"Dua hari yang lalu kau tidak begitu yakin."
"Aku tidak bisa melihat dengan benar dua hari yang lalu. Tapi setelah sekarang
dia terbebas dari daerah-daerah buta, gampang sekali,"
"Bisakah kau berkonsentrasi untukku" Pada jam-beri aku perkiraan."
Alice mendesah. "Dasar tidak sabaran. Baiklah, Tunggu sebentar,.. "
Tarikan napas tenang, "Terima kasih, Alice." Suara Edward lebih ceria. Berapa lama" Masa mereka tidak
bisa mengucapkannya dengan keras untukku" Terlalu berlebihankah meminta hal itu"
Berapa detik lagi aku harus terus terbakar" Sepuluh ribu" Dua puluh" Satu hari
lagi- atau delapan puluh enam ribu empat ratus lagi" Lebih dari itu"
"Dia akan sangat memesona,"
Edward menggeram pelan. "Sejak dulu dia juga sudah memesona."
Alice mendengus, "Kau mengerti maksudku. Lihat saja dia,"
Edward tidak menyahut, tapi kata-kata Alice memberiku harapan bahwa mungkin aku
tidak mirip briket arang seperti yang kurasakan. Rasanya seolah-olah aku pasti
menyerupai onggokan tulang-belulang hangus sekarang. Setiap sel tubuhku sudah
terbakar habis menjadi abu.
Kudengar Alice melesat keluar ruangan. Aku mendengar desiran pakaiannya
bergerak, bergesekan. Aku mendengar dengung pelan lampu yang tergantung di
langit-langit. Aku mendengar angin pelan menyapu bagian luar rumah. Aku bisa
mendengar semuanya. Di lantai bawah, ada yang menonton pertandingan bisbol. Tim Mariners menang dua
putaran, "Sekarang giliranku" kudengar Rosalie membentak seseorang, dan terdengar suara
geraman rendah sebagai balasan,
"Hei, sudahlah," Emmett mengingatkan.
Seseorang mendesis. Aku mendengarkan lagi, tapi tak ada hal lain selain pertandingan bola. Bisbol
tidak cukup penting untuk mengalihkan perhatianku dari rasa sakit, maka aku pun
mendengarkan tarikan napas Edward lagi, menghitung detik-detiknya.
Dua puluh satu ribu sembilan ratus tujuh belas setengah detik kemudian, rasa
sakit itu berubah. Kabar baiknya, rasa sakit itu mulai memudar dari ujung-ujung jari tangan dan
kakiku. Memudar perlahan-lahan, tapi paling tidak ada hal baru. Pasti
sekaranglah saatnya. Rasa sakit itu mulai meninggalkan tubuhku...
Kemudian datang kabar buruk. Api di tenggorokanku tidak sama seperti sebelumnya.
Aku bukan hanya terbakar, tapi sekarang tenggorokanku kering kerontang. Sekering
tulang. Haus sekali. Api yang membakar, dan dahaga yang mem-bakar...
Kabar buruk lain: api di jantungku semakin panas. Bagaimana itu mungkin"
Detak jantungku, yang sudah terlalu cepat, kini semakin cepat api mendorong
iramanya menjadi sangat cepat.
"Carlisle," seru Edward. Suaranya pelan tapi jelas. Aku tahu Carlisle pasti bisa
mendengarnya, kalau ia ada di atau dekat rumah.
Api meninggalkan telapak tanganku, membuatnya terbebas dari rasa sakit dan
sejuk. Tapi api kembali menjilati jantungku, yang membakar sepanas matahari dan
berdetak dalam kecepatan baru yang sangat cepat.
Carlisle memasuki ruangan, Alice di sampingnya. Langkah mereka begitu jelas, aku
bahkan sampai bisa tahu Carlisle berdiri di kanan, dan berada hampir setengah
meter di depan Alice. "Dengar," kata Edward.
Suara terkeras di ruangan itu adalah detak jantungku yang berpacu kencang,
memukul-mukul sesuai irama api.
"Ah," ujar Carlisle. "Sudah hampir berakhir"
Kelegaanku mendengar kata-katanya terhalangi rasa sakit yang luar biasa di
jantungku. Namun pergelangan tanganku terbebas, begitu juga per-gelangan kakiku. Api benarbenar sudah padam di sana,
"Sebentar lagi," Alice membenarkan dengan penuh semangat. "Akan kupanggil yang
lain. Apakah sebaiknya Rosalie...?"
"Ya-jauhkan bayinya."
Apa" Tidak. Tidak! Apa maksud Carlisle, menjauhkan bayiku" Mengapa ia berbuat
begitu" Jari-jariku bergetar-kekesalan merusak sandiwara diamku. Ruangan sunyi senyap,
tidak ada suara apa-apa selain debar jantungku yang bertalu-talu saat mereka
semua berhenti bernapas selama sedetik begitu melihat responsku.
Ada tangan yang meremas jari-jariku yang gemetar. "Bella" Bella, Sayang?"
Bisakah aku menjawabnya tanpa menjerit" Sesaat aku menimbang-nimbang, kemudian
api berkobar semakin panas di dadaku, terkuras dari siku dan lututku. Sebaiknya
jangan mengambil risiko. "Akan kubawa mereka ke sini," kata Alice, suaranya bernada mendesak, dan
kudengar embusan angin saat ia melesat pergi.
Dan kemudian-oh! Jantungku meloncat, berpacu bagaikan baling-baling helikopter, suaranya nyaris
menyerupai satu nada yang dibunyikan terus-menerus; rasanya seperti hendak
menggesek-gesek rusukku. Api berkobar di tengah dadaku, mengisap sisa-sisa lidah
api terakhir yang masih tersisa dari bagian tubuhku yang lain untuk mengobarkan
api yang paling panas membakar. Rasa sakitnya cukup membuatku tersentak,
melepaskan tanganku yang mencengkeram tiang pembakaran. Punggungku terangkat,
melengkung saat api menyeretku ke atas dari jantungku.
Aku tidak membiarkan bagian tubuhku yang lain meninggalkan barisan saat tubuhku
terempas kembali ke meja.
Terjadi peperangan di dalam tubuhku-jantungku yang berpacu cepat berlari melawan
api yang menggila. Keduanya kalah. Api itu akan mati, karena sudah melahap habis
semua yang bisa dilahap; jantungku berpacu menuju detak terakhirnya.
Api itu mengerut, berkonsentrasi di dalam satu-satunya organ manusia yang
tersisa dengan sentakan akhir yang tak terperikan sakitnya. Sentakan itu dijawab
dengan detakan dalam yang terdengar hampa. Jantungku tergagap dua kali, kemudian
berdetak pelan satu kali lagi.
Lalu tidak terdengar apa-apa. Tidak ada tarikan napas. Bahkan tarikan napasku
pun tidak. Sejenak, hilangnya rasa sakit adalah satu-satunya yang bisa kumengerti. Kemudian
aku membuka mata dan memandang ke atasku dengan terheran-heran.
20. BARU Segalanya begitu terang. Tajam. Jelas,
Lampu terang benderang di atas kepalaku masih membutakan, tapi aku bisa melihat
dengan jelas serabut-serabut filamen yang berkilauan di dalam bola lampu itu.
Aku bisa melihat setiap warna pelangi di cahaya putih itu, dan, di bagian
spektrum paling ujung, warna kedelapan yang aku tak tahu namanya.
Di belakang lampu itu aku bisa membedakan setiap serat di lapisan kayu gelap
pada langit-langit di atasku. Di depannya aku bisa melihat kepulan debu di
udara, sisi-sisi yang tersentuh cahaya, dan sisi-sisi gelap, jelas dan terpisah.
Debu-debu itu berputar seperti planet-planet kecil, bergerak mengelilingi satu
sama lain bagaikan tarian jagat raya.
Debu itu begitu indah sampai-sampai aku menghirup napas shock; udara bersiul
memasuki kerongkongan, memutar-mutar kepulan debu itu memasuki pusaran. Tindakan
itu terasa keliru. Aku menimbang-nimbang, dan menyadari bahwa masalahnya adalah
tidak ada kelegaan yang kurasakan akibat tindakan itu. Aku tidak membutuhkan
udara. Paru-paruku tidak butuh udara. Paru-paruku tidak bereaksi dengan masuknya
udara. Aku tidak butuh udara, tapi aku menyukainya. Di dalamnya aku bisa merasakan
ruangan di sekelilingku-merasakan serbuk-serbuk debu yang indah itu, udara
stagnan yang bercampur dengan aliran udara yang sedikit lebih sejuk dari pintu
yang terbuka. Merasakan embusan sutra yang halus. Merasakan secercah samar-samar
sesuatu yang hangat dan menggairahkan, sesuatu yang seharusnya lembap, namun
tidak,,. Bau itu membuat kerongkonganku terbakar kering, gema samar dari racun
yang membakar, walaupun bau itu sedikit tercampur bau klorin dan amoniak. Dan
yang paling kentara, aku bisa merasakan bau yang nyaris menyerupai madu-lilacdan-sinar-matahari yang merupakan bau yang paling kuat, yang paling dekat
denganku. Aku mendengar suara yang lainnya, bernapas lagi setelah melihatku bernapas.
Napas mereka bercampur dengan bau sesuatu yang nyaris menyerupai bau madu,
lilac, dan sinar matahari itu, membawa aroma-aroma baru. Kayu manis, bunga
bakung, pir, air laut, roti yang mengembang, pinus, vanila, kulit, apel, lumut,
lavender, cokelat... aku mengganti selusin perbandingan yang berbeda dalam
pikiranku, tapi tak ada yang benar-benar pas. Begitu manis dan menyenangkan.
Televisi di bawah suaranya dimatikan, dan aku mendengar seseorang- Rosalie"mengubah posisi duduknya di lantai dasar.
Aku juga mendengar samar-samar suara irama berdetak, dengan suara berteriakteriak marah mengikuti entakan. Musik rap" Aku terperangah sesaat, kemudian
suara itu berangsur-angsur menghilang, seperti mobil lewat dengan kaca jendela
dibuka. Dengan kaget aku menyadari mungkin memang benar demikian, Mungkinkah aku bisa
mendengar hingga jauh ke jalan tol sana"
Aku tak sadar seseorang memegang tanganku sampai siapa pun ia, meremasnya dengan
lembut. Seperti yang kulakukan sebelumnya untuk menyembunyikan rasa sakit,
tubuhku mengunci lagi karena kaget. Ini bukan sentuhan yang kuharapkan. Kulitnya
mulus sempurna, tapi suhu badannya keliru. Tidak dingin.
Setelah detik pertama aku membeku shock, tubuhku merespons sentuhan tidak
familier itu dengan cara yang semakin membuatku shock.
Udara mendesis melewati kerongkongan, menyembur melalui gigiku yang terkatup
rapat dengan suara rendah dan garang yang terdengar seperti suara sekawanan
lebah. Sebelum suara itu keluar otot-ototku mengejang dan menekuk, terpilin
menjauhi apa yang tidak diketahui. Aku bangkit dan berbalik begitu cepat sampai
seharusnya itu membuat ruangan berputar kabur-tapi ternyata tidak. Aku melihat
setiap serbuk debu, setiap urat kayu di dinding-dingin berpanel kayu, setiap
benang yang terlepas dalam detail mikroskopik sementara mataku berkelebat
melewatinya. Jadi ketika aku mendapati diriku meringkuk di dinding dengan sikap defensifkira-kira seperenambelas detik kemudian -aku sudah mengerti apa yang membuatku
terkejut, dan bahwa reaksiku ini berlebihan.
Oh, Tentu saja. Edward tidak terasa dingin lagi bagiku. Sekarang suhu tubuh kami
sama. Aku bertahan dalam posisi itu beberapa saat lagi, menyesuaikan diri dengan
pemandangan di depanku. Edward mencondongkan badan ke seberang meja operasi yang selama ini menjadi
pemangganganku, tangannya terulur ke arahku, ekspresinya cemas.
Wajah Edward adalah yang terpenting, tapi aku melayangkan pandangan ke hal-hal
lain, hanya untuk berjaga-jaga. Ada insting pertahanan diri yang terpicu, dan
aku otomatis mencari pertanda adanya bahaya.
Keluarga vampirku menunggu hati-hati di dinding yang berseberangan denganku,
dekat pintu, Emmett dan Jasper berdiri di depan. Seakan-akan memang ada bahaya.
Cuping hidungku kembang-kempis, mencari-cari ancaman itu. Aku tidak mencium bau
apa-apa yang tidak pada tempatnya. Bau samar sesuatu yang lezat-tapi ternoda bau
kimiawi yang tajam-menggelitik kerongkonganku lagi, membuatnya sakit dan panas
membakar, Alice mengintip dari balik siku Jasper dengan seringai lebar tersungging di
wajah; cahaya berkilauan memantul dari giginya, membiaskan delapan warna
pelangi. Seringaian itu meyakinkan aku, kemudian aku pun mengerti, Jasper dan Emmett
berdiri di depan untuk melindungi yang lain, seperti sudah kuduga. Yang tidak
secara langsung bisa kutangkap adalah bahwa akulah bahaya itu.
Semua ini tidak penting. Sebagian besar pancaindra dan pikiranku masih tertuju
pada wajah Edward. Aku belum pernah melihatnya sebelum detik ini.
Sudah berapa kali aku memandang Edward dan mengagumi ketampanannya" Sudah berapa
jam-hari, minggu- hidupku kuhabiskan untuk memimpikan apa yang dulu kuanggap
sebagai kesempurnaan" Kusangka aku telah mengenal wajahnya lebih baik daripada
wajahku sendiri. Kusangka ini hal fisik yang paling pasti dalam seluruh duniaku:
kesempurnaan wajah Edward. Pastilah aku dulu buta.
Untuk pertama kali, dengan telah terlepasnya bayang-bayang buram dan
keterbatasan mata manusiaku, aku melihat wajah Edward, Aku terkesiap dan
berjuang dengan susah payah untuk menemukan kata-kata yang tepat. Aku
membutuhkan kata-kata yang lebih baik.
Pada titik ini bagian lain perhatianku sudah memastikan tidak ada bahaya selain
diriku sendiri, dan otomatis aku menegakkan tubuhku yang meringkuk; nyaris satu
detik telah berlalu sejak aku terbaring di meja tadi.
Sesaat perhatianku teralih pada cara tubuhku bergerak. Begitu memutuskan berdiri
tegak, aku sudah berdiri tegak. Tak ada jeda waktu saat tindakan itu terjadi;
perubahannya begitu instan, nyaris seolah-olah tak ada gerakan sama sekali.
Aku terus memandangi wajah Edward, tak bergerak lagi.
Ia bergerak pelan mengitari meja-setiap langkah membutuhkan waktu nyaris
setengah detik, setiap langkah mengalun luwes bagai air sungai meliuk-liuk di
atas bebatuan halus-tangannya masih terulur.
Kupandangi gerakannya yang anggun itu, menyerapnya dengan mata baruku.
"Bella?" tanya Edward dengan nada rendah dan menenangkan, tapi ada secercah
kekhawatiran saat ia menyebut namaku.
Aku tidak bisa langsung menjawab, terhanyut dalam alunan suaranya yang selembut
beledu. Simfoni paling sempurna, simfoni lengkap hanya dalam satu instrumen,
yang lebih besar daripada yang pernah diciptakan manusia...
"Bella, Sayang" Maafkan aku, aku tahu ini membingungkan. Tapi kau baik-baik
saja. Semuanya baik-baik saja,"
Semuanya" Pikiranku berputar-putar, berpusar kembali ke detik-detik terakhirku
sebagai manusia. Sekarang saja kenangan itu terasa kabur, seolah-olah aku
menontonnya dari balik kerudung tebal yang gelap-karena mata manusiaku dulu
separo buta. Segalanya sangat kabur.
Waktu ia berkata semuanya baik-baik saja, apakah 'itu termasuk Renesmee" Di mana
dia" Bersama Rosalie" Aku berusaha mengingat wajahnya-aku tahu dulu dia cantiktapi sungguh menjengkelkan berusaha melihat melalui ingatan manusiaku. Wajah
Renesmee diselubungi kegelapan, cahayanya begitu suram,,.
Bagaimana dengan Jacob" Apakah ia baik-baik saja" Apakah sahabatku yang sudah
lama menderita itu membenciku sekarang" Apakah ia sudah kembali ke kawanan Sam"
Seth dan Leah juga" Apakah keluarga Cullen aman, ataukah transformasiku menyulut peperangan dengan
kawanan serigala" Apakah kepastian bahwa semua baik-baik saja seperti yang
dikatakan Edward tadi mencakup semuanya itu" Atau ia hanya berusaha
menenangkanku" Dan Charlie" Apa yang akan kukatakan padanya sekarang" Ia pasti menelepon ketika
aku sedang terbakar. Apa yang mereka katakan padanya" Menurut pemikiran Charlie,
apa yang terjadi padaku"
Saat aku menimbang-nimbang selama sepersekian detik pertanyaan mana yang akan
kulontarkan lebih dulu, Edward mengulurkan tangan ragu-ragu dan membelai-belai
pipiku dengan ujung-ujung jarinya. Lembut seperti satin, sehalus bulu, dan
sekarang suhu tubuhnya sama persis dengan suhu tubuhku.
Sentuhannya seakan menyapu di bawah permukaan kulitku, tepat melewati tulangtulang wajahku. Rasanya menggelitik, seperti aliran listrik--melesat melewati
tulang-tulangku, menjalar menuruni tulang punggungku, dan bergetar di perutku.
Tunggu, pikirku saat getaran itu berkembang menjadi kehangatan, kerinduan.
Bukankah seharusnya perasaan seperti ini hilang" Bukankah merelakan perasaan ini
adalah bagian dari tawar-menawar"
Aku vampir baru. Dahaga yang kering kerontang di kerongkonganku membuktikan hal
itu. Dan aku tahu vampir baru itu seperti apa. Perasaan dan gairah manusiaku
akan kembali nanti dalam bentuk lain, tapi aku sudah menerima kenyataan bahwa
aku takkan merasakannya di masa-masa awal menjadi vampir. Hanya dahaga yang akan
kurasakan. Itu syaratnya, itu harganya. Aku sudah setuju membayarnya.
Tapi saat tangan Edward melengkung dan merengkuh wajahku bagaikan baja berlapis
satin, gairah melesat melewati pembuluh darahku yang kering, berdendang dari
kulit kepala sampai ke ujung-ujung jari kaki.


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengangkat sebelah alisnya yang melengkung sempurna, menungguku bicara.
Kuulurkan kedua lenganku dan kurangkul dia.
Lagi-lagi rasanya seolah-olah tak ada gerakan. Sedetik yang lalu aku masih
berdiri tegak dan diam seperti patung; dan pada detik yang sama, ia sudah berada
dalam pelukanku. Hangat-atau paling tidak, begitulah persepsiku. Aroma harum menggairahkan yang
tak pernah benar-benar bisa kucium dengan pancaindra manusiaku yang tumpul, tapi
itu seratus persen Edward. Kutempelkan wajahku ke dadanya yang halus.
Kemudian ia menggerakkan tubuhnya dengan canggung. Menarik diri dari pelukanku.
Aku mendongak menatap wajahnya, bingung dan takut melihat penolakannya.
"Eh... hati-hati. Bella. Aduh."
Kutarik tanganku, kulipat di belakang punggungku begitu aku mengerti. Aku
terlalu kuat. "Uuups," ujarku.
Edward menyunggingkan senyum yang bakal membuat jantungku berhenti seandainya
jantungku masih berdetak.
"Jangan panik, Sayang," kata Edward, mengangkat tangannya untuk menyentuh
bibirku, yang terbuka ngeri. "Kau hanya sedikit lebih kuat daripada aku sekarang
ini." Alisku bertaut. Sebenarnya aku juga sudah mengetahuinya, tapi rasanya ini lebih
tidak nyata dibandingkan bagian lain dari momen yang sangat tidak nyata ini. Aku
lebih kuat daripada Edward. Aku membuatnya mengaduh.
Tangannya mengelus-elus pipiku lagi, dan aku langsung melupakan kekalutanku
ketika gelombang gairah lagi-lagi melanda tubuhku yang tidak bergerak.
Emosi-emosi ini jauh lebih kuat daripada yang dulu pernah kurasakan, sehingga
sulit bertahan pada satu alur pikiran meskipun dengan ruang tambahan di
kepalaku. Setiap sensasi baru membuatku kewalahan. Aku ingat Edward dulu pernah
berkata- suaranya dalam ingatanku hanya bayang-bayang samar bila dibandingkan
kejernihan suaranya yang sebening kristal dan mengalun merdu seperti yang
kudengar sekarang- bahwa jenisnya, jenis kami, mudah dialihkan perhatiannya. Aku
mengerti kenapa. Aku berusaha keras untuk fokus. Ada sesuatu yang perlu kukatakan. Hal yang
paling penting. Sangat hati-hati, begitu hati-hati sehingga gerakan itu sebenarnya tidak
kentara, aku mengeluarkan lengan kananku dari balik punggung dan mengangkat
tanganku untuk menyentuh pipinya. Aku menolak membiarkan perhatianku teralihkan
oleh warna tanganku yang seputih mutiara, oleh kulitnya yang sehalus sutra, atau
oleh arus listrik yang berdesing di ujung-ujung jariku.
Aku menatap mata Edward dan mendengar suaraku sendiri untuk pertama kalinya.
"Aku mencintaimu,'' kataku, tapi kedengarannya seperti menyanyi. Suaraku bergema
seperti lonceng. Senyum Edward membuatku terpesona lebih daripada waktu aku masih menjadi
manusia; aku benar-benar bisa melihatnya sekarang.
"Seperti aku mencintaimu," kata Edward.
Ia merengkuh wajahku dengan kedua tangan dan mendekatkan wajahnya ke wajahkugerakannya cukup lambat hingga mengingatkanku untuk berhati-hati. Ia menciumku,
mulanya lembut seperti bisikan, kemudian sekonyong-konyong lebih kuat, lebih
ganas. Aku berusaha mengingat untuk bersikap hati-hati dengannya, tapi sulit
mengingat apa pun saat terlanda sensasi seperti itu, sulit mempertahankan
pikiran jernih. Rasanya seolah-olah Edward belum pernah menciumku- seakan-akan ini ciuman
pertama kami. Dan, sejujurnya, ia memang tidak pernah menciumku seperti ini
sebelumnya. Nyaris saja itu membuatku merasa bersalah. Aku yakin telah menyalahi
kesepakatan. Aku tak mungkin boleh merasakan ini juga.
Walaupun tidak membutuhkan oksigen, napasku memburu, berpacu secepat seperti
waktu aku terbakar. Tapi ini jenis api yang berbeda.
Seseorang berdeham-deham. Emmett. Aku langsung mengenali suaranya yang berat,
nadanya menggoda sekaligus jengkel.
Aku lupa kami tidak sendirian. Lalu aku sadar tubuhku yang meliuk dan menempel
ke tubuh Edward sekarang jelas tidak pantas dilihat orang lain.
Malu, aku mundur setengah langkah, lagi-lagi dengan gerakan sangat cepat.
Edward terkekeh dan melangkah bersamaku, lengannya tetap melingkar erat di
pinggangku. Wajahnya berseri-seri-seperti api putih yang membara di balik kulit
berliannya. Aku menarik napas yang sebenarnya tidak perlu untuk menenangkan diri.
Betapa berbedanya ciuman tadi! Aku memerhatikan ekspresi Edward saat
membandingkan kenangan-kenangan manusiaku yang tidak jelas dengan perasaan yang
jelas dan intens ini. Kelihatannya ia... agak puas dengan diri sendiri,
"Ternyata selama ini kau menahan diri," tuduhku dengan suaraku yang merdu,
mataku sedikit menyipit. Edward tertawa, berseri-seri lega bahwa semuanya telah berakhir-ketakutan,
kesakitan, ketidakpastian, penantian, semua itu kini sudah berlalu.
"Waktu itu, itu memang perlu," Edward mengingatkanku. "Sekarang giliranmu untuk
tidak mencederai aku"
Keningku berkerut saat mempertimbangkan hal itu, kemudian Edward bukan satusatunya yang tertawa. Carlisle melangkah mengitari Emmett dan dengan cepat menghampiriku; matanya
hanya tampak sedikit waswas, tapi Jasper tetap membuntuti di belakang. Aku juga
tak pernah benar-benar melihat wajah Carlisle sebelumnya. Aku merasakan dorongan
aneh untuk mengerjap-seolah-olah sedang memandang matahari.
"Bagaimana perasaanmu, Bella?" tanya Carlisle.
Aku mempertimbangkan pertanyaan itu selama seperempat menit.
"Kewalahan. Banyak sekali.. " aku tidak menyelesaikan kata-kataku, mendengarkan
suaraku yang seperti lonceng berdentang itu.
"Ya, memang bisa cukup membingungkan."
Aku mengangguk, cepat dan kaku, "Tapi aku merasa seperti diriku. Semacam itulah.
Aku tidak mengira bisa seperti itu."
Lengan Edward meremas pelan pergelangan tanganku.
"Apa kubilang?" bisiknya.
"Kau sangat terkendali," renung Carlisle. "Lebih daripada yang kuharapkan,
walaupun kau memang sudah mempersiapkan diri untuk ini,"
Pikiranku melayang ke suasana hatiku yang berubah-ubah, kesulitanku
berkonsentrasi, dan berbisik, "Aku tak yakin soal itu."
Carlisle mengangguk serius, kemudian matanya yang seperti permata berkilat-kilat
tertarik. "Sepertinya pemberian morfin yang kita berikan kali ini benar.
Ceritakan padaku, apa yang kauingat dari proses transformasi itu?"
Aku ragu-ragu, dengan jelas menyadari embusan napas Edward yang menerpa pipiku,
mengirimkan sinyal-sinyal listrik ke seluruh permukaan kulitku.
"Semuanya... sangat samar-samar sebelumnya. Aku ingat bayinya tidak bisa
bernapas.,." Aku berpaling dan menatap Edward, sejenak takut oleh kenangan itu,
"Renesmee sehat dan baik-baik saja" janji Edward, kilatan yang tak pernah
kulihat sebelumnya tampak di matanya. Ia mengucapkan nama itu dengan semangat
tertahan. Takzim, Seperti orang-orang saleh berbicara tentang Tuhan. "Apa yang
kauingat setelah itu?"
Aku memasang wajah datar. Padahal aku bukan orang yang pandai berbohong. "Sulit
mengingatnya. Gelap sekali sebelumnya. Kemudian... aku membuka mata dan bisa
melihat semuanya'' "Luar biasa," desah Carlisle, matanya berbinar-binar.
Perasaan menyesal melanda hatiku, dan aku menunggu panas membakar pipiku dan
membocorkan rahasiaku. Kemudian aku ingat pipiku takkan pernah bisa memerah
lagi. Mungkin itu akan melindungi Edward dari hal sebenarnya.
Meski begitu aku harus mencari cara untuk memberitahu Carlisle, Suatu hari
nanti. Kalau ia perlu menciptakan vampir lagi. Besar kemungkinan itu tidak akan
terjadi, dan itu membuatku sedikit terhibur karena telah berbohong.
"Aku ingin kau berpikir-menceritakan semua yang kauingat," desak Carlisle penuh
semangat, dan aku tak mampu menahan diri untuk tidak meringis. Aku tidak mau
terus-menerus berbohong, karena nanti aku pasti akan terpeleset. Dan aku tidak
mau mengingat-ingat perasaan sakit saat terbakar tadi. Tidak seperti ingatan
manusiaku, bagian itu sangat jelas dan aku mendapati bahwa ternyata aku bisa
mengingat dengan sangat mendetail.
"Oh, maafkan aku, Bella," Carlisle langsung meminta maaf, "Tentu saja kau pasti sangat kehausan. Pembicaraan ini bisa ditunda."
Sampai ia mengungkitnya, dahaga itu sebenarnya bukan tidak bisa kutahan. Ada
banyak sekali ruang di kepalaku. Bagian otakku yang terpisah terus mengawasi
perasaan terbakar di tenggorokanku, nyaris seperti refleks. Seperti otak lamaku
dulu mengatur pernapasan dan berkedip.
Namun asumsi Carlisle menyeret perasaan terbakar itu ke bagian terdepan
pikiranku. Tiba-tiba satu-satunya hal yang bisa kupikirkan hanyalah tenggorokan
yang kering itu, dan semakin aku memikirkannya, semakin menyakitkan rasanya.
Tanganku terangkat untuk memegangi leher, seolah-olah dengan begitu aku bisa
Kelana Buana 8 Dewa Arak 49 Geger Pulau Es Hantu Auditorium 1

Cari Blog Ini