Ceritasilat Novel Online

Lolita 7

Lolita Karya Vladimir Nabokov Bagian 7


yang tepat. Ya, dengan tujuan pasti ia sedang bicara tapi aku duduk dan luluh
dalam kedamaian yang indah-menampilkan kedamaian yang indah melalui kepuasan
akan penerimaan secara logis yang kini seharusnya sedang dialami oleh pembacaku
yang paling tak peduli. Ia sedang-seperti yang kubilang-bicara. Sekarang itu muncul dalam aliran yang
santai. Ia adalah satu-satunya lelaki yang pernah digilai Dolly.
Bagaimana dengan Dick" Oh, Dick hanya seekor domba. Mereka berdua lumayan
bahagia, tapi Dolly punya maksud lain. Dan aku tak pernah menghitungnya, bukan"
Ia menganggapku seolah-olah sedang berusaha memahami fakta luar biasa yang
sangat melelahkan, membingungkan, dan sekaligus tak penting-fakta bahwa seorang
lelaki berusia empat puluh tahun yang gaya dan ramping, mengenakan jubah
beludru, duduk di sampingnya, telah mengenal dan mencintai setiap pori-pori
serta folikel di tubuh pubernya.
Dalam mata kelabunya yang lelah, dengan kacamata yang aneh, percintaan kami yang
buruk untuk sesaat dipantulkan, direnungkan, dan dibubarkan seperti sebuah pesta
yang membosankan, seperti piknik di tengah hujan yang hanya diikuti oleh orangorang paling bodoh dan membosankan, seperti latihan yang itu-itu saja, seperti
lumpur kering yang mengeraskan masa kanak-kanaknya.
Aku baru saja berhasil menarik lututku keluar dari jangkauan tepukan kasar salah
satu gerakan tubuh yang sudah dia punya sejak lama. Ia memintaku agar jangan
bertindak bodoh. Masa lalu adalah masa lalu. Aku telah menjadi ayah yang baik,
pikirnya dia mengakui itu.
Teruskan, Dolly Schiler. Tahukah aku bahwa lelaki itu mengenal ibunda Dolly" Bahwa ia kenyataannya adalah
seorang teman lama" Bahwa ia berkunjung ke Ramsdale dengan pamannya"-oh, itu
bertahun-tahun yang lalu-dan berbicara di perkumpulan ibu-ibu. Bahwa ia menarik
lengan Dolly, menaruhnya di pangkuannya di depan semua orang, lalu mencium
wajahnya usianya sepuluh tahun dan dia marah kepada lelaki itu" Apakah aku tahu
bahwa ia telah melihatku dan Dolly di penginapan, tempat ia sedang menulis drama
yang akan dipentaskan Dolly di Beardsley dua tahun kemudian" Apakah aku tahu
betapa mengerikan bagi Dolly untuk mengalihkan perhatianku agar memercayai bahwa
Clare adalah seorang perempuan tua, mungkin saudara lelaki itu, atau mantan
teman hidupnya dan oh, betapa dia selamat saat koran di Wace memuat fotonya.
Sementara itu, Briceland Gazzette tidak memuatnya. Ya, sungguh menyenangkan. Ya,
katanya, dunia ini hanyalah lelucon yang terus berdatangan. Kalau seseorang
menulis kisah hidupnya, tak akan ada orang yang percaya.
Pada titik ini, muncullah suara-suara dari dapur, di mana Dick dan Bill
melangkah dengan berat untuk mencari bir. Mereka melihat tamu itu dari pintu
masuk, dan Dick memasuki ruang duduk.
"Dick, ini ayahku!" pekik Dolly dengan suara keras yang bergema, yang menurutku
sangat aneh, ceria, dan menyedihkan, karena lelaki muda itu, seorang veteran
perang, agak kurang pendengarannya.
Mata biru, rambut hitam, pipi kemerahan, dagu yang tak dicukur.
Kami berjabat tangan. Bill yang hati-hati, yang kelihatan bangga karena pandai
bekerja dengan satu tangan, membawa masuk kaleng-kaleng bir yang telah ia buka.
Mohon diri. Sopan santun lembut orang-orang sederhana. Ia diminta tetap tinggal.
Sebuah iklan bir. Sesungguhnya aku lebih senang seperti itu, begitu juga
keluarga Schiller. Aku pindah ke kursi goyang. Sambil mengunyah dengan penuh
semangat, Dolly mencekokiku dengan marshmallow dan keripik kentang. Lelakilelaki itu memandang ayahnya yang rapuh, dingin, kuno, lumayan muda, tapi
terlihat sakit, serta mengenakan mantel beludru dan rompi cokelat muda
kekuningan, dan mungkin seorang bangsawan.
Mereka sangka aku mau menginap, dan Dick, dengan kerutankerutan di alisnya yang
menandakan sedang berpikir, mengusulkan agar dia dan Dolly tidur di dapur dengan
kasur cadangan. Aku melambaikan tanganku dan mengatakan kepada Dolly, yang menyampaikannya
melalui teriakan khusus kepada Dick, bahwa aku hanya mampir dalam perjalananku
ke Readsburg, tempat aku akan dijamu oleh beberapa teman dan penggemar. Kemudian
disadari bahwa salah satu dari beberapa jari Bill yang tersisa berdarah (ujungujungnya ia bukan pekerja yang pandai). Betapa sifat feminin yang tak pernah
terlihat sebelumnya saat bagian berbayang di antara buah dadanya yang pucat
tersingkap ketika dia membungkuk di atas tangan lelaki itu! Dia membawa suaminya
ke dapur untuk diobati. Selama beberapa menit, yang pastinya dipenuhi kehangatan
palsu, aku dan Dick ditinggal hanya berduaan.
Ia duduk di kursi yang keras sambil menggosok bagian depan kakinya dan merengut.
Aku gemas ingin memencet keluar jerawat-jerawat hitam di pinggir hidungnya yang
berkeringat dengan cakar-cakar panjangku. Ia memiiki mata sedih yang bagus
dengan bulu mata lentik dan gigi-gigi yang sangat putih. Jakunnya besar dan
berambut. Mengapa mereka tidak bercukur lebih baik, lelaki-lelaki muda berotot
itu" Ia dan Dollynya telah berhubungan seks tanpa batas di sofa sana, paling
tidak seratus delapan puluh kali, mungkin jauh lebih dari itu. (Berapa lama
Dolly telah mengenalnya" Tak ada dendam. Aneh-tak ada dendam sama sekali, tak
ada apa-apa selain kesedihan yang dalam dan perasaan ingin muntah.)
Sekarang ia menggosok hidungnya. Aku yakin, saat ia akhirnya mau membuka
mulutnya, ia akan berkata (sambil sedikit menggelengkan kepalanya),
"Wow, dia gadis yang sangat seksi, Tuan Haze. Sungguh! Dan dia akan menjadi
seorang ibu yang seksi." Dia membuka mulut dan menyesap birnya. Ini memberinya
dukungan, dan ia terus menyesap bir sampai mulutnya berbusa. Ia adalah seekor
domba. Ia telah menangkupkan tangannya yang kotor itu di payudara Dolly. Kukukukunya hitam dan patah, pergelangan tangan yang kuat dan berlekuk yang jauh
lebih kukuh dari punyaku. Aku telah terlalu banyak menyakiti terlalu banyak
tubuh dengan tanganku yang menyedihkan untuk merasa bangga terhadap mereka.
Orang kampung dari Dorset, dengan ujung-ujung jari yang rata seperti milik
tukang jahit Austria-itulah Humbert Humbert.
Bagus. Kalau ia diam, aku juga bisa diam. Aku bisa benar-benar diam dengan
dudukan kecil di kursi goyang kusam yang sangat menakutkan ini, sebelum aku
mengemudi ke tempat binatang buas itu berada, kemudian menarik sarung pistol dan
menikmati orgasme dari ledakan pelatuknya. Tapi, kini aku merasa kasihan pada
Dick yang malang, dan dengan cara yang aneh, aku berusaha mencegahnya
mengeluarkan satu-satunya komentar yang bisa ia pikirkan ("Dia gadis yang sangat
seksi ..."). "Jadi," kataku, "kau akan pergi ke Kanada?"
Di dapur, Dolly menertawakan sesuatu yang dikatakan atau dilakukan oleh Bill.
"Jadi," teriakku, "kau akan pergi ke Kanada" Bukan Kanada"-aku berteriak
ulang-"maksudku, Alaska."
Ia memegang gelasnya dengan hati-hati, mengangguk dengan bijaksana, dan
menjawab, "Ia kehilangan lengan kanannya di Italia."
Pepohonan almond berwarna ungu pucat sedang mekar. Sepotong lengan tertembak
yang seperti sungguhan tergantung di sana dalam titik-titik berwarna ungu pucat.
Di tangannya ada sebuah tato gadis penjual bunga. Dolly dan Bill yang diperban
muncul lagi. Terlintas dalam pikiranku bahwa kecantikannya yang memiliki banyak
arti, cokelat dan pucat, mengundang hasrat orang cacat itu. Dick, dengan
seringai lega, bangkit berdiri. Ia merasa bahwa ia dan Bill akan ke belakang
untuk memperbaiki kabel-kabel itu. Ia merasa bahwa Tuan Haze dan Dolly punya
banyak hal untuk diceritakan satu sama lain. Ia mengira ia akan menemuiku
sebelum aku pergi. Mengapa orang-orang itu begitu banyak mengira dan begitu
jarang bercukur, serta begitu menyepelekan alat bantu pendengaran"
"Duduklah," katanya sambil menepuk-nepuk pinggangnya dengan bersuara. Aku
kembali ke kursi goyang hitam itu.
"Jadi, kau telah mengkhianatiku" Kau pergi ke mana" Di mana laki-laki itu
sekarang?" Ia mengambil sebuah foto mengilap yang cembung dari rak di atas perapian.
Seorang perempuan tua berpakaian putih, agak gemuk, tersenyum lebar, kakinya
melengkung keluar, gaunnya sangat pendek.
Seorang lelaki tua mengenakan kemeja lengan panjang, kumis yang bergelayutan,
jam rantai. Mertua Dolly. Tinggal dengan saudara laki-laki Dick di Juneau.
"Yakin kau tidak mau merokok?"
Ia merokok sendiri. Pertama kali aku melihat dia merokok. Dilarang keras di
bawah kekuasaan Humbert Yang Tak Menyenangkan. Dengan anggunnya, dalam sebuah
kabut biru, Charlotte Haze bangkit dari kuburnya. Aku akan mencarinya sendiri
kalau dia menolak untuk memberitahuku.
"Mengkhianatimu" Tidak." Ia mengacungkan ujung rokoknya, telunjuknya mengetukngetuk dengan cepat, ke arah lantai perapian, persis seperti ibunya. Lalu,
seperti ibunya, ya Tuhanku, dengan kukunya menggaruk dan membuang secuil kertas
rokok dari bibir bawahnya.
Tidak. Dia tidak mengkhianatiku. Aku ada di antara teman-teman. Edusa telah
memperingatkannya bahwa Cue menyukai gadis-gadis kecil, pernah hampir masuk
penjara satu kali karena itu, dan ia tahu kalau Dolly tahu.
Ya ... Sikut di telapak tangan, mengembuskan asap, tersenyum, mengisap rokok,
lalu gerakan mengacungkan ujung rokok. Betapa mirip ibunya.
Lelaki itu melihat-dengan tersenyum-melalui semua hal dan semua orang, karena ia
tidak sepertiku dan Dolly, melainkan seorang yang genius. Lelaki yang hebat.
Penuh kesenangan. Ia tertawa tergelak-gelak saat Dolly mengakui hubungannya
denganku, dan ia bilang ia sudah menduganya. Cukup aman, dalam kondisi itu,
mengatakan rahasia itu kepadanya ...
Cue, mereka semua memanggilnya Cue.
Perkemahannya lima tahun yang lalu. Kebetulan yang penuh rasa ingin tahu
membawanya ke sebuah peternakan sekitar sehari perjalanan dan Elephant
(Elphinstone). Namanya" Oh, nama yang konyol Peternakan Duk Duk tapi sekarang
tidak masalah, karena tempat itu sudah tak ada.
Sungguh, maksud Dolly, aku tidak bisa membayangkan betapa rimbunnya peternakan
itu. Maksud Dolly, peternakan itu punya segalanya, tapi tidak punya segalanya,
bahkan air terjun dalam ruangan.
Apakah aku ingat lelaki berambut merah dengan siapa kami (kata "kami"
dulu terdengar bagus) pernah bermain tenis" Tempat itu milik saudara laki-laki
si rambut merah, tapi ia telah meminjamkannya kepada Cue selama musim panas.
Saat Cue dan Dolly datang, yang lainnya melakukan sebuah upacara penobatan.
Selanjutnya, kau tahu. Matanya bergulir dalam kepasrahan yang palsu. "Tolong
teruskan." Rencananya, pada bulan September Cue akan membawanya ke Hollywood dan mengatur
sebuah uji coba baginya untuk sebuah peran kecil dalam adegan pertandingan tenis
dalam film yang didasarkan sebuah drama buatannya judulnya Golden Guts bahkan
mungkin bermain ganda dengan salah satu bintang baru sensasional di lapangan
tenis Kliegstruck. Sayangnya, hal itu tak pernah terjadi.
"Babi itu ada di mana sekarang?"
Ia bukan babi. Ia adalah lelaki yang hebat dalam banyak hal. Tapi, semuanya
dipenuhi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang. Dan, tentu saja, ia
adalah orang yang sangat aneh dalam urusan seks, dan teman-temannya adalah
budak-budaknya. Aku tidak bisa membayangkan (aku, Humbert, tidak bisa
membayangkan!) apa yang mereka semua lakukan di Peternakan Duk Duk itu. Ia
menolak ambil bagian karena ia mencintai Cue, dan Cue mengusirnya.
"Hal-hal aneh apa?"
"Oh, hal-hal aneh, kotor dan rumit. Maksudku, dia punya dua perempuan, dua lakilaki, tiga atau empat lelaki, dan rencananya kita semua bergulat dalam keadaan
telanjang sembari seorang perempuan tua merekamnya dengan kamera film."
(Justinenya Marquis de Sade berusia dua belas tahun pada awalnya).
"Hal-hal apa tepatnya?"
"Oh, hal-hal ... Oh, aku ... aku benar-benar..." dia mengucapkan
"aku" sebagai tangisan yang tertahan ketika dia mendengarkan sumber rasa sakit
itu, dan karena kekurangan kata-kata dia merentangkan kelima jari tangan
kurusnya yang bergerak naik turun. Tidak, dia menyerah. Dia menolak mengingat
hal-hal itu dengan adanya bayi di dalam perutnya.
Itu masuk akal. "Sekarang itu sudah tidak penting lagi," katanya sambil menonjok sebuah bantal
abu-abu dengan kepalan tangannya kemudian berbaling telentang, perut menghadap
atas, di dipan. "Hal-hal gila, hal-hal kotor.
Kubilang tidak, aku tidak mau mengisap teman-teman lelakimu, karena aku hanya
menginginkanmu. Yah, lalu ia mengusirku."
Tidak banyak lagi yang bisa diceritakannya. Di musim dingin 1949, dia dan Fay
menemukan beberapa pekerjaan. Selama hampir dua tahun dia menjadi pelayan
restoran di tempat-tempat kecil, lalu dia bertemu dengan Dick. Tidak, dia tidak
tahu lelaki itu ada di mana. Dolly menduga ia ada di New York. Tentu saja, ia
begitu tenar sehingga Dolly bisa langsung menemukannya kalau dia mau. Fay
mencoba kembali ke peternakan itu dan sudah tak ada di sana lagi dan ternyata
telah terbakar, tidak ada yang tertinggal, hanya tumpukan sampah gosong.
Sungguh aneh, sungguh aneh ...
Ia memejamkan matanya dan membuka mulutnya, bersandar pada bantal, satu kaki di
lantai. Lantai kayunya miring. Sebuah bola baja kecil bisa bergulir masuk ke
dalam dapur. Aku tahu semua yang ingin kutahu.
Aku tidak punya niat menyiksa kekasihku. Di suatu tempat di luar gubuk Bill,
sebuah radio mulai menyanyikan lagu-lagu tentang hal-hal konyol dan takdir. Dan
di sanalah Dolly, dengan penampilannya yang kacau, tangan tuanya yang tipis
dengan urat-urat bertonjolan, lengan putihnya yang merinding, telinganya yang
dangkal, dan ketiaknya yang berbulu.
Di sanalah dia (Lolitaku!), tak berdaya, layu di usia tujuh belas tahun, dengan
bayi itu, telah bermimpi menjadi bintang besar dan pensiun sekitar tahun 2020.
Aku terus memandangnya, tahu dengan sejelas-jelasnya bahwa aku akan mati, bahwa
aku mencintainya lebih dari apa pun yang pernah kulihat atau kubayangkan di muka
bumi, atau kuharapkan di tempat lain. Ia hanyalah sekelebatan wangi dan gema
dari gadis kecil yang telah kugauli dengan tangisan semacam itu di masa lalu;
sebuah gema di ujung lembah curam cokelat kemerahan, dengan hutan di kejauhan di
bawah langit putih, dedaunan cokelat menghambat sungai kecil, dan seekor
jangkrik hinggap di atas benalu kering ... Namun, syukurlah, bukan gema itu
sendiri yang kupuja. Yang dulu kumanjakan di antara kekusutan hatiku, mon grand
peche radieux 48, telah menyusut menjadi sarinya: kejahatan tanpa hasil dan rasa
ingin menang sendiri, semua itu kini kukutuk.
Kalian semua boleh menertawaiku atau mengancam akan membubarkan sidang, tapi
sampai mulutku disumpal dan setengah dicekik, aku akan meneriakkan kebenaranku
yang menyedihkan. Aku mendesak agar dunia tahu betapa aku mencintai Lolitaku,
Lolita yang ini: pucat dan ternoda, mengandung anak orang lain, tapi masih
bermata kelabu, bulu matanya masih mengenakan maskara, masih berwarna cokelat
kemerahan, masih Carmencita, masih milikku. Changeons de vie, ma Carmen, allons
vivre quelque part ou nous ne serons jamais seperes.49
Ohio" Alam liar Massachusetts" Tidak masalah, bahkan kalaupun matanya memudar
menjadi mata ikan yang rabun, puting susunya membengkak dan pecah, delta mudanya
yang indah dan lembut bagai beludru dirusak dan dirobek bahkan aku akan menjadi
gila dengan kelembutan pada kilasan wajahmu yang pucat dan lemah, pada bunyi
suara mudamu yang nyaring, Lolitaku.
"Lolita," kataku, "ini mungkin tidak penting, tapi aku harus mengatakannya.
Hidup itu singkat. Dari sini ke mobil tua yang sangat kaukenal itu jaraknya
hanya dua puluh lima langkah. Itu jalan yang sangat pendek. Ambillah dua puluh
lima langkah itu. Sekarang. Sekarang juga. Datanglah apa adanya. Dan kita akan
hidup bahagia bersama untuk selamanya."
Carmen, voulezvous venir avec moi"50
"Maksudmu," katanya sambil membuka matanya dan bangkit perlahan-ular berbisa
yang bisa menyerang "maksudmu kau akan memberi kami [kami!] uang itu hanya kalau
aku pergi ke motel denganmu. Itukah maksudmu?"
48 Dosa besarku yang cemerlang (catatan penerjemah).
49 Mari berganti kehidupan Carmen, tinggal di suatu tempat di mana kita takkan
pernah terpisah (catatan penerjemah).
50 Carmen, maukah kau pergi bersamaku" (catatan penerjemah).
"Tidak," kataku, "kau salah mengerti. Aku ingin kau meninggalkan Dickmu yang tak
penting dari tempat yang tak menyenangkan ini, lalu hidup denganku, mati
denganku, semuanya denganku."
"Kau gila," katanya, raut wajahnya berubah.
"Pikirkan lagi, Lolita. Tidak ada ikatan. Kecuali, mungkin ah, tak masalah."
(Sebuah pembatalan yang ingin kukatakan, tapi tak kukatakan.) "Lagi pula, kalau
kau menolak, kau tetap akan mendapatkan uangmu."
"Sungguh?" tanya Dolly.
Aku memberinya sehelai amplop berisi uang tunai empat ratus dolar dan sebuah cek
senilai 3.600 dolar. Dengan hati-hati dan tak percaya diri, dia menerima kado
kecilku, lalu keningnya berubah menjadi berwarna merah muda indah. "Maksudmu,"
katanya dengan penekanan yang mengandung kecemasan, "kau memberi kami empat ribu
dolar?" Aku menutupi wajahku dengan tangan, tapi air mataku yang paling panas
tetap tumpah. Aku merasakannya mengalir melalui jari-jariku, turun ke dagu,
membakar diriku, hidungku tersumbat dan aku tak bisa menghentikannya. Lalu, dia
menyentuh pergelangan tanganku.
"Aku akan mati kalau kau menyentuhku," kataku. "Kau yakin kau tidak mau pergi
denganku" Tak adakah harapan kau akan ikut" Katakan kepadaku."


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak," katanya. "Tidak, sayang. Tidak." Sebelumnya ia tidak pernah memanggilku
"sayang." "Tidak," katanya lagi, "itu tak perlu dibahas lagi. Jika itu terjadi, aku akan
segera kembali kepada Cue. Maksudku ..."
Dia mencari kata-kata. Aku berkata dalam hati kepadanya ("Lelaki itu mematahkan
hatiku. Kau hanya menghancurkan hidupku.").
"Kupikir," ia melanjutkan "ah" -amplopnya tergelincir jatuh ke lantai ia
memungutnya- "Kupikir kau sungguh luar biasa memberi kami uang itu. Ini
membereskan semuanya dan kami bisa memulai minggu depan.
Kumohon, berhentilah menangis. Kau harus mengerti. Aku akan mengambil bir
untukmu. Oh, jangan menangis. Aku sungguh menyesal telah banyak membohongimu,
tapi begitulah keadaannya."
Aku menyeka wajah dan jari-jariku. Dia tersenyum pada hadiah itu, terlihat
bahagia. Ia ingin memanggil Dick. Kubilang aku akan segera pergi, dan tidak
ingin meihat Dick sama sekali, sama sekali. Kami mencoba memikirkan topik
pembicaraan lain. Entah mengapa, aku tetap melihat bergetar dan berkilau dengan
halusnya di retinaku yang basah-seorang bocah berusia dua belas tahun yang
sangat bahagia, duduk di lantai pintu masuk, "mengocok" batu-batu bundar di
sebuah kaleng kosong. Aku hampir bilang saat berusaha mencari komentar yang
santai- "Kadang aku penasaran akan nasib anak perempuan McCoo; apakah dia telah
membaik?"-tapi akhirnya tak jadi, kalau-kalau Dolly menyahut,
"Kadang aku penasaran akan nasib anak perempuan Haze ..." Akhirnya, aku kembali
ke soal keuangan. Kubilang jumlah itu kurang lebih mewakili hasil bersih dan
penyewaaan rumah ibunya. Dia bilang, "Bukankah sudah dijual bertahun-tahun yang
lalu?" Tidak (aku mengakui telah mengatakan hal ini kepadanya hanya untuk
mengakhiri semua hubungan dengan Ramsdale). Nanti seorang pengacara akan
mengirimkan laporan keuangan lengkap yang cukup menguntungkan karena beberapa
saham kecil yang dimiliki ibunya telah naik nilainya. Ya, aku yakin aku harus
pergi. Aku harus pergi, menemukan laki-laki itu, dan menghancurkannya.
Karena aku tidak akan tahan dengan sentuhan bibirnya, aku terus mundur dengan
tarian yang sangat halus, setiap kali dia dan perutnya melangkah ke arahku.
Ia dan anjing itu melepas kepergianku. Aku terkejut (ini adalah kiasan,
sedangkan aku sebenarnya tidak begitu) karena pemandangan mobil tua, di mana dia
pernah naik di dalamnya sebagai seorang bocah dan seorang gadis kecil yang
menggairahkan, tidak membuat dia tertarik.
Komentarnya hanyalah warna hitam mobil itu mulai menjadi keunguan.
Kubilang mobil itu miliknya, aku bisa pergi naik bis. Dia bilang, jangan bodoh,
mereka akan terbang ke tempat yang jauh dan membeli mobil di sana. Kubilang, aku
akan membeli mobil ini darinya dengan harga lima ratus dolar.
"Dengan jumlah uang seperti ini, kita akan cepat menjadi jutawan,"
katanya kepada anjingnya yang sangat bersemangat.
Carmencita, lui demandaisje ...51 "Satu kata terakhir," kataku dengan bahasa
Inggris yang terlalu berhati-hati, "kau yakin, benar-benar yakin, bahwa-tentunya
bukan besok atau setelah besok, tapi-suatu hari nanti, hari apa saja, kau tidak
akan datang untuk hidup bersamaku" Aku akan menciptakan Tuhan yang benar-benar
baru dan mengucapkan terima kasih kepadanya dengan tangisan yang nyaring kalau
kau memberiku harapan yang teramat sangat kecil itu."
"Tidak," katanya sambil tersenyum, "tidak."
"Semuanya akan berbeda," kata Humbert Humbert.
Kemudian aku mengeluarkan pistol otomatisku maksudku, ini hal bodoh
yang mungkin seorang pembaca akan menyangkaku melakukannya. Tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk melakukannya. "Selamat tinggal!" nyanyinya, cinta Amerika manisku yang abadi, yang telah mati.
Karena dia telah mati dan abadi, kalau kau membaca ini.
Maksudku, itu semacam persetujuan resmi dengan yang disebut penguasa.
Kemudian, seraya pergi menjauh, aku mendengar dia berteriak dengan suara bergetar kepada Dicknya, dan anjing itu berlari
ringan di samping mobilku seperti ikan lumba-lumba yang gemuk, tapi ia terlalu
berat dan tua, lalu menyerah dalam waktu singkat.
Kini aku mengemudi menembus rintik hujan di hari kematian, dengan penyeka kaca
yang bekerja keras, tapi tak bisa menghapus air mataku.
51 Carmencita, kubertanya kepadanya ... (catatan penerjemah).
30 AKU MENINGGALKAN Coalmont sekitar pukul empat sore dan mungkin sudah sampai di
Ramsdale saat matahari terbenam kalau saja sebuah jalan pintas tak menggodaku.
Aku harus ke Jalan Raya X. Petaku menunjukkan bahwa di luar Woodbine, di mana
aku sampai di sana saat malam menjelang, aku bisa pergi dari jalan X dan
mencapai jalan V melalui sebuah jalan tanah menyilang. Panjangnya cuma sekitar enam puluh
kilometer berdasarkan petaku. Kalau tidak begitu, aku harus mengikuti X sejauh
sekitar seratus lima puluh kilometer lagi, lalu memutari Z dengan santai untuk
sampai ke V dari tujuanku.
Bagaimanapun, jalan pintas yang sedang dibahas itu menjadi semakin buruk, kian
tidak rata, dan makin berlumpur. Dan, saat aku berusaha memutar balik setelah
sekitar lima belas kilometer yang penuh siksaan dan hanya mengalami kemajuan
selambat kura-kura, Melmoth tuaku yang lemah tersangkut tanah liat yang dalam.
Semuanya gelap, basah, dan tanpa harapan. Lampu depanku tergantung di atas
galian lebar penuh air. Kampung di sekelilingnya, kalaupun ada, merupakan alam bebas yang gelap. Aku
berusaha membebaskan diri, tapi roda belakangku berbunyi aneh seperti kesakitan.
Sambil mengutuk keadaanku yang menyedihkan, aku melepas pakaian bagusku,
menggantinya dengan celana panjang santai, memakai baju hangat yang dipenuhi
lubang bekas peluru itu, dan berjalan balik dengan susah payah sejauh enam
kilometer menuju sebuah tanah pertanian di pinggir jalan. Hujan mulai turun,
tapi aku tak memiliki kekuatan untuk kembali ke mobil dan mengambil jas hujan.
Kejadian semacam itu telah membuatku yakin bahwa pada dasarnya jantungku masih
sehat, terlepas dari pemeriksaan baru-baru ini.
Sekitar tengah malam, sebuah mobil derek menyeret mobilku keluar. Aku mencari
jalan kembali ke Jalan Raya X dan melanjutkan perjalanan. Rasa lelah yang hebat
menguasaiku sejam kemudian di sebuah kota kecil tak bernama. Aku berhenti di
pinggir jalan dan dalam kegelapan mereguk minuman keras dalam-dalam dari sebuah
botol. Hujan sudah berhenti beberapa kilometer sebelumnya. Saat itu malam gelap yang
hangat di suatu tempat di Appalachia. Sesekali mobil-mobil melewatiku, lampu
belakang berwarna merah menjauh, lampu depan berwarna putih mendekat, tapi kota
itu sudah mati. Tak ada orang yang berjalan-jalan dan tertawa-tawa di pinggir
jalan seperti orang-orang yang sedang bersantai di Eropa yang tenang dan tua.
Aku menikmati malam yang tak berdosa dan pikiran-pikiran burukku seorang diri.
Sebuah tempat telegram di pinggir jalan sangat khusus tentang isi yang bisa
diterima: Pemeriksaan. Kertas. Jangan Membuang Sampah di Sini.
Lampu-lampu berbentuk huruf berwarna merah terang menandai sebuah toko kamera.
Sebuah termometer besar dengan nama obat pencuci perut berdiri di depan toko
obat. Perusahaan Perhiasan Rubinov menampilkan berlian palsu yang terpantul pada
sebuah cermin merah. Sebuah jam hijau yang terang tampak di tengah seprai pada
Binatu Jiffy Jeff. Di sisi lain jalan, sebuah garasi berkata dalam tidurnya:
genuflexion lubricity-dan memperbaikinya sendiri menjadi Pelumas Gulflex. Sebuah
pesawat terbang, juga dihias oleh Rubinov, melintas, berdengung di langit
beludru. Betapa banyak kota kecil yang mati di malam hari yang telah kulihat! Ini belum
yang terakhir. Biarkan aku bermain-main sedikit. Agak lebih jauh di seberang jalan, lampu-lampu
neon berkedip dua kali lebih lambat dari hatiku. Garis pinggir tanda sebuah
restoran, yaitu teko kopi yang besar, terus menyala setiap detik dengan warna
hijau terang, dan setiap kali mati, huruf-huruf berwarna merah jambu bertuliskan
Makanan Lezat muncul, tapi teko itu masih bisa dibuat bayangan yang menggoda
mata sebelum menjadi hijau terang lagi. Kota yang penuh rahasia ini tak jauh
dari The Enchanted Hunters. Aku terisak-isak lagi, mabuk oleh masa lalu yang
mustahil. 31 PADA PERHENTIAN sunyi sendiri antara Coalmont dan Ramsdale (antara Dolly
Schiller yang tak berdosa dan Paman Ivor yang ramah) ini, aku merenungkan
kasusku. Dengan kesederhanaan dan kejelasan luar biasa, kini aku melihat diriku
dan cintaku. Usaha-usaha yang dilakukan sebelumnya terasa menyimpang dari pusat
perhatian. Beberapa tahun sebelumnya, di bawah bimbingan seorang pastor cerdas
yang bisa berbahasa Prancis, aku berharap bisa memahami keberadaan Tuhan dan
rasa berdosaku. Pada pagi yang beku di Quebec yang penuh salju, pastor yang baik itu menanganiku
dengan kelembutan dan pengertian yang tulus. Aku sangat berterima kasih
kepadanya dan institusi yang ia wakili.
Sayangnya, apa pun ketenangan spiritual yang mungkin kutemukan, apapun keabadian
yang mungkin disediakan untukku, tak ada yang bisa membuat Lolitaku melupakan
nafsu jahat yang telah kulakukan kepadanya.
Kecuali bisa dibuktikan kepadaku dalam ketiadaan batas, tak masalah sedikit pun
jika dituduhkan bahwa seorang gadis kecil Amerika Utara bernama Dolores Haze
telah direnggut masa kanak-kanaknya oleh seorang maniak. Kecuali hal ini bisa
dibuktikan (dan kalau bisa, maka hidup adalah sebuah lelucon), aku tak melihat
apa pun yang bisa menyembuhkan kesedihanku selain nasihat muram yang hanya
sedikit menghibur. Mengutip kata-kata seorang penyair tua:
Nilai moral sebuah kematian adalah pada tugas
yang ditunaikan Kita harus menghargai nilai kematian dari sebuah
keindahan. 32 ADA HARI-HARI di sepanjang perjalanan pertama kami-perjalanan surgawi pertama
kami-ketika agar bisa menikmati fantasiku dengan damai, akhirnya aku mengabaikan
apa yang tak bisa kulihat, yakni fakta bahwa bagi Lolita, aku bukanlah seorang
kekasih, bukan seorang lelaki yang hebat, bukan seorang teman, bahkan bukan
manusia sama sekali, melainkan hanya sepasang mata dan kaki dan kekuatan fisik
yang kuat-untuk mengatakan hanya hal-hal yang bisa dikatakan saja.
Ada hari ketika, setelah aku menarik janji yang kuberikan kepadanya di malam
hari (pada apa pun dia menetapkan hati kecilnya yang lucu tempat bermain sepatu
roda dengan lantai plastik khusus, atau pertunjukan siang hari di bioskop dengan
catatan dia mau pergi sendiri), aku melihat sekelebatan dan kamar mandi, melalui
cermin dengan kemiringan tertentu dan pintu yang sedikit terbuka. Kulihat
tatapan di wajahnya ... tatapan yang tak bisa kujelaskan dengan tepat ...
ekspresi ketidakberdayaan yang begitu sempurna. Dan, saat kau mengingat bahwa
ini alis terangkat dan bibir terbuka milik seorang anak kecil, kau lebih baik
menghargai keputusasaan macam apa yang menahanku tak bersimpuh di kakinya dan
tiba-tiba menangis, serta mengorbankan kecemburuanku pada kesenangan apa pun
yang mungkin diharapkan Lolita bisa didapatnya dengan berbaur bersama anak-anak
yang kotor dan berbahaya di dunia luar yang nyata.
Dan, aku masih punya kenangan-kenangan lain yang ditahan-tahan, serta sekarang
mereka membuka diri menjadi monster-monster rasa sakit tak bertungkai. Sekali
waktu di jalanan Beardsley saat matahari terbenam, dia mendekati Eva Rosen (aku
mengajak kedua gadis kecil yang menggairahkan itu ke sebuah konser dan berjalan
di belakang mereka, begitu dekat sehingga hampir menyentuh mereka dengan
tubuhku). Dia mendekati Eva dan dengan sangat tenang serta sungguh-sungguh,
sebagai jawaban atas sesuatu yang telah dikatakan oleh temannya tentang lebih
baik mati daripada mendengarkan Milton Pinski-anak lelaki dari sekolah setempat
yang dia kenal-berbicara tentang musik, Lolitaku mengomentari, "Kautahu, yang
paling mengerikan tentang sekarat adalah kau benar-benar menjalaninya
sendirian." Itu mengagetkanku, sehingga lutut robotku tersentak, karena ternyata aku tak
tahu apa-apa tentang pikiran kekasihku dan mungkin saja, di balik ungkapanungkapan klise kekanak-kanakan yang menakutkan itu, di dalam dirinya ada taman
dan langit senja, serta gerbang istana. Itu adalah daerah remang-remang dan
sangat menarik yang jelas-jelas terlarang bagiku. Dalam baju dekilku dan getaran
tubuhku yang menyedihkan, aku sering menyadari bahwa dalam menjalani kehidupan
kami dalam sebuah dunia kejahatan, aku dan dia akan menjadi malu kapanpun aku
berusaha membahas sesuatu yang mungkin dibahas antara dia dan teman yang lebih
tua dia dan ayah atau ibunya, dia dan kekasih sungguhan, aku dan Annabel, Lolita
dan Harold Haze yang disucikan dan dipuja. Mungkin juga di dalam dirinya ada
gagasan abstrak Hopkins yang menggambar dengan titik-titik, atau Baudelaire yang
mendobrak, atau Tuhan, atau Shakespeare, atau apa pun yang nyata. Dia menyatakan
kerapuhannya dengan sifat kasar dan rasa bosan. Sementara itu, aku membuat marah
penonton tunggalku sehingga membangkitkan luapan kekasaran dan mustahil
meneruskan pembicaraan, oh, anakku yang malang dan tak bahagia.
Aku mencintaimu. Aku memang monster, tetapi aku mencintaimu.
Aku jahat, brutal, dan semua yang buruk, mais je t'aimais, je t'aimais! 52
Ada saat saat ketika aku tahu perasaanmu dan rasanya seperti di neraka,
sayangku. Lolita, Dolly Schiller yang pemberani.
Aku teringat saat-saat tertentu setelah kebutuhanku atas dirinya terpenuhi,
setelah usaha luar biasa dan gila yang membuatku lemas, aku akan menariknya ke
dalam pelukanku dengan erangan sunyi dan kelembutan manusia. Kulitnya bersinar
di bawah cahaya lampu neon yang berasal dari luar kamar dan menembus celah-celah
kerai. Bulu matanya yang hitam menggumpal, sepasang mata kelabunya lebih hampa
daripada sebelumnya persis seperti pasien kecil yang masih kebingungan karena
pengaruh obat bius setelah operasi. Lalu, kelembutan itu akan menjadi rasa malu
dan putus asa. Aku akan menenangkan dan menggoyang-goyangkan Lolita di dalam
lenganku dan merintih di dalam rambutnya yang hangat, mencumbunya, dan tanpa
suara memohon berkat darinya. Di puncak kelembutan manusia yang menyakitkan
(dengan jiwaku tergantung di sekeliing tubuh telanjangnya dan siap untuk
menyesalinya), tiba-tiba nafsuku bangkit lagi dan Lolita akan berkata "Oh,
tidak," sambil menghela napas ke langit. Dan saat berikutnya, kelembutan dan
biru langit, semuanya akan tercerai berai.
Pemikiran pada pertengahan abad kedua puluh mengenai hubungan anak dengan
orangtua telah amat dirusak oleh kerumitan dunia pendidikan dan simbol-simbol
yang diseragamkan atau psikoanalisis yang salah. Namun, kuharap aku
mengatakannya secara langsung kepada para pembaca yang tak terpengaruh. Pernah
ketika ayah Avis membunyikan klakson di luar untuk memberi tanda "papa datang
untuk menjemput anak kesayangannya", aku merasa wajib mengundangnya masuk ke
ruang tamu dan ia duduk selama beberapa menit. Selagi kami bercakap-cakap, Avis
seorang gadis gemuk yang tidak menarik, tapi penuh kasih sayang-mendekatinya dan
akhirnya duduk di lutut ayahnya.
Aku tidak ingat apakah aku pernah mengatakan bahwa Lolita selalu punya senyum
yang benar-benar menyenangkan bagi orang-orang asing.
Matanya yang lembut, seluruh bagian wajahnya yang cerah dan manis, begitu layak
untuk disayangi sehingga orang berpendapat betapa sulitnya mengurangi kelembutan
yang manis seperti itu hingga menjadi sebuah gen ajaib yang secara otomatis
menerangi wajahnya dalam tanda perilaku manusia awal pada upacara selamat datang
kuno-pelacuran ramah, begitulah yang mungkin dikatakan oleh pembaca yang kasar.
Di sanalah dia, selagi Tuan Byrd memutar topinya dan berbicara, 52 Tapi, aku
mencintaimu, aku mencintaimu! (catatan penerjemah).
dan- ya, lihat betapa bodohnya aku. Aku telah melupakan ciri utama senyum Lolita
yang terkenal. Persisnya, senyum manisnya itu tidak pernah ditujukan kepada
orang asing di dalam ruangan, tapi tergantung pada ruang kosongnya sendiri yang
penuh bunga dan tersembunyi, kurang lebih begitulah. Dan, inilah yang terjadi
sekarang. Saat Avis yang gemuk berjalan mengendap-endap ke arah ayahnya, Lolita
dengan lembut tersenyum pada sebilah pisau buah yang dia sentuh-sentuh di ujung
meja tempat dia bersandar, beberapa kilometer jauhnya dariku.
Tiba-tiba, saat Avis bergelayutan di leher dan telinga ayahnya saat lelaki itu
merangkul turunannya yang montok, aku melihat senyum Lolita kehilangan semua
cahayanya dan menjadi bayangan kecil beku dirinya sendiri. Pisau buah itu
tergelincir jatuh dari meja dan mengenai pergelangan kakinya sehingga membuatnya
tercekat, menundukkan kepalanya, lalu melompat pada satu kaki. Wajahnya tampak
mengerikan dengan seringai menahan air mata. Dia pergi, langsung diikuti dan
ditenangkan oleh Avis di dapur. Avis memiliki ayah yang baik dan gemuk serta
berona merah muda, adik laki-laki kecil yang gemuk, adik bayi perempuan yang


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru lahir, sebuah rumah, dan dua ekor anjing yang menyeringai, sedangkan Lolita
tidak punya apa-apa. Pada kesempatan lain, Lolita yang sedang membaca dekat perapian meregangkan
dirinya lalu bertanya, sikunya naik, "Di mana dia dikuburkan?" "Siapa?" "Oh,
kautahu, ibuku yang dibunuh." "Dan kautahu di mana kuburannya," kataku sambil
mengendalikan diri dan menyebutkan tempat pemakamannya- di luar Ramsdale, di
antara lintasan kereta api dan Lakeview Hill. "Tragedi kecelakaan semacam itu
seenaknya kau rendahkan dengan sebutan yang menurutmu cocok dipasangkan ke
situ ..." tambahku. "Hore," kata Lo meledek, lalu perlahan meninggalkan ruangan.
Lama aku memandang ke dalam api dengan mata yang sedih. Lalu, aku memungut
bukunya. Sampah bagi orang-orang muda. Ada seorang gadis murung bernama Marion
dan ibu angkatnya yang ternyata di luar yang diharapkan-seorang lesbian yang
menjelaskan kepada Marion bahwa ibunya yang telah meninggal benar-benar seorang
perempuan yang hebat, sebab dia telah menyembunyikan cintanya yang begitu besar
kepada Marion karena dia tak ingin anaknya merasa kehilangan dirinya.
Aku tidak lari naik ke kamarnya sambil berteriak. Kini, sambil berjalan
berputar-putar dan bergelut dengan ingatanku sendiri, aku teringat bahwa
merupakan kebiasaan dan metodeku untuk mengabaikan pikiran Lolita selagi
menenangkan diriku sendiri.
Ketika ibuku, dalam gaun basah berwarna biru tua kelabu, di bawah kabut yang
turun (begitulah aku membayangkan dia dengan nyata), lari dengan penuh semangat
sampai terengah-engah, naik ke puncak di atas Moulinet dan tersambar petir, aku
masih bayi. Dan setelah dipikir ulang, tidak ada hasrat yang bisa kumasukkan
dalam saat mana pun dan masa mudaku, tidak peduli betapa kejam para psikoterapis
menyorakiku dalam masa-masa depresiku di kemudian hari. Tapi, aku mengakui bahwa
orang dengan kekuatan imajinasi sepertiku tidak bisa memohon pengabaian personal
dan emosi yang universal. Aku juga mungkin terlalu bersandar pada hubungan
dingin yang abnormal di antara Charlotte dan anaknya.
Namun, inti yang tak menyenangkan dan seluruh persoalan adalah ini: Secara
bertahap menjadi jelas bagi Lolitaku yang normal, selama kami menjalani hidup
bersama yang indah dan sekaligus menjijikkan, bahwa kehidupan keluarga yang
paling menyedihkan sekalipun masih lebih baik daripada parodi inses yang
merupakan hal terbaik yang bisa kuberikan kepada bocah kurus itu.
33 RAMSDALE KEMBALI kukunjungi. Aku mendekatinya dari sisi sungai.
Tengah hari yang cerah sangat indah. Seraya mengemudi dengan mobilku yang
dipenuhi bercak lumpur, aku bisa melihat air yang berkilau bagaikan berlian di
antara pepohonan cemara di kejauhan. Aku berbelok ke pemakaman dan berjalan di
antara nisan-nisan batu. Hai, Charlotte. Di beberapa makam ada bendera-bendera
berukuran kecil yang pucat dan tembus pandang, tertunduk dalam udara tak
berangin di bawah nuansa kehijauan.
Wah, Ed, itu sungguh sial-mengacu kepada G. Edward Grammar, seorang manajer
kantor di New York berusia 35 tahun, yang baru saja didakwa atas pembunuhan
istrinya yang berusia 33 tahun, Dorothy.
Dalam usahanya untuk melakukan kejahatan yang sempurna, ia menganiaya istrinya
dan memasukkannya ke dalam mobil. Ini menjadi jelas ketika dua orang polisi desa
yang sedang berpatroli melihat mobil Chrysler biru besar milik Nyonya Grammar,
yang merupakan hadiah peringatan perkawinan dan suaminya, melaju gila-gilaan
menuruni bukit, tepat di bawah wilayah hukum mereka (Tuhan memberkati polisipolisi yang baik!). Mobil itu menyerempet tiang, menerobos pinggiran jalan yang
dipenuhi rumput belukar dan stroberi liar, lalu terbalik. Roda-rodanya masih
berputar perlahan dalam cahaya matahari yang lembut saat para petugas
mengeluarkan tubuh Nyonya G. Pada awalnya tampak seperti kecelakaan jalan raya
biasa. Sayangnya, tubuh perempuan yang babak belur itu tak sesuai dengan
kerusakan kecil yang dialami mobil.
Aku melakukannya dengan lebih baik.
Aku terus melaju. Rasanya lucu melihat lagi gereja putih yang ramping dan
pepohonan elm yang besar. Dengan melupakan bahwa di daerah Amerika pinggiran,
seorang pejalan kaki lebih mudah diihat daripada seorang pengemudi mobil, aku
meninggalkan mobil di jalan raya agar bisa berjalan melewati Lawn Street 342
tanpa menarik perhatian. Sebelum pertumpahan darah yang hebat itu, aku berhak untuk sedikit merasa lega.
Jendela-jendela putih rumah yang besar tertutup, dan seseorang telah menempelkan
pita rambut dari beludru hitam pada tanda "DIJUAL"
berwarna putih yang tersandar ke arah pinggir jalan. Tidak ada anjing yang
menggonggong. Tidak ada tukang kebun yang menelepon. Tidak ada Nona Tua Seberang
Rumah yang duduk di teras dengan tanaman merambat, tempat karena terusik oleh
seorang pejalan kaki dua perempuan muda dengan rambut dikuncir dan baju terusan
serupa tanpa lengan bermotif bintik-bintik, berhenti melakukan apa pun yang
sedang mereka lakukan untuk memandangnya. Tak diragukan lagi, perempuan tua itu
telah lama meninggal. Mereka ini mungkin kemenakan kembarnya dari Philadelphia.
Haruskah aku memasuki rumah lamaku" Seperti dalam sebuah kisah Turgenev, alunan
musik Italia keluar dan sebuah jendela yang terbuka (jendela ruang duduk). Jiwa
romantis mana yang memainkan piano itu" Langsung saja aku menyadari bahwa dari
pekarangan itu aku bisa melihat seorang gadis kecil yang menggairahkan, berkulit
keemasan, berambut cokelat, berusia sembilan atau sepuluh tahun, dengan celana
pendek putih, sedang memandangku dengan penuh perhatian dengan mata besarnya
yang biru kehitaman. Aku mengatakan sesuatu yang menyenangkan kepadanya-tanpa
bermaksud menyakiti sebuah pujian kuno: matamu bagus. Tapi, dia cepat-cepat
mundur dan musik itu tiba-tiba berhenti. Lalu, seorang lelaki berkulit gelap dan
terlihat keras, tubuhnya berkilauan dengan keringat, keluar dan menatap ke
arahku. Aku menjadi sadar akan pakaianku yang dipenuhi lumpur kering, baju hangat
kotorku yang tercabik-cabik, daguku yang kasar dan mataku yang merah.
Tanpa berkata sepatah pun, aku berpaling dan berjalan kembali dengan langkahlangkah berat ke arah asalku. Sekuntum bunga layu seperti bunga aster tumbuh
pada celah yang kuingat di pinggir jalan.
Setelah dibangkitkan dengan perlahan, Nona Tua Seberang Jalan sedang didorong
keluar di atas kursi roda oleh kemenakan-kemenakannya menuju teras rumahnya,
seolah-olah itu panggung dan aku penampil utamanya. Sambil berdoa semoga dia
tidak memanggilku, aku bergegas menuju mobilku. Betapa jalan kecil yang curam.
Betapa jalan raya yang hebat. Sebuah tiket parkir merah terselip di antara
pembersih kaca dan kaca depan. Dengan hati-hati aku merobeknya menjadi dua,
empat, delapan potong. Karena merasa kehilangan waktu, aku mengemudi penuh semangat ke hotel di tengah
kota, di mana aku sampai dengan dengan sebuah tas baru lebih dari lima tahun
yang lalu. Aku memesan sebuah kamar, membuat dua janji melalui telepon,
bercukur, mandi, memakai baju hitam, dan turun untuk minum di bar. Tak ada yang
berubah. Ruangan bar itu dipenuhi keredupan yang sama, cahaya merah gelap yang
tak masuk akal. Cahaya seperti itu di Eropa beberapa tahun lalu cocok dengan
tempat kumpul-kumpul rendahan, tapi di sini menjadi nuansa sebuah hotel
keluarga. Aku duduk di meja kecil yang sama dengan tempatku biasa duduk saat
dulu aku tinggal di sini tak lama setelah menjadi pemondok di rumah Charlotte.
Kupikir tepat merayakan kesempatan itu dengan berpura-pura berbagi sebotol
sampanye dengannya. Kemudian, seorang pelayan berwajah penuh jerawat menata lima
puluh gelas sherry dengan sangat hati-hati di atas sebuah nampan bundar untuk
pesta pernikahan. Kali ini pernikahan Murphy dengan Fantasia. Saat itu pukul
tiga kurang delapan menit.
Saat aku berjalan melintasi ruang tunggu, aku harus mengitari sekelompok
perempuan yang sedang saling mengucapkan selamat tinggal antara satu dan yang
lainnya setelah pesta makan siang. Dengan memekik karena mengenaliku, salah
satunya menepukku. Dia adalah seorang perempuan pendek yang agak gemuk dengan
pakaian berwarna kelabu mutiara dan hiasan bulu-bulu panjang, kelabu dan tipis
di topinya. Itu Nyonya Chatfield. Dia menyerbuku dengan seulas senyum palsu, penuh rasa
ingin tahu yang jahat. Mungkinkah pernah kulakukan pada Dolly, apa yang
dilakukan Frank Lasalle, seorang montir berusia lima puluh tahun, kepada Sally
Horner yang berusia sebelas tahun, pada tahun 1948" Segera aku menguasai
keriangan yang penuh semangat itu. Dia kira aku ada di California. Apa kabar"
Dengan sangat bahagia aku memberitahunya bahwa anak tiriku baru saja menikahi
seorang insinyur pertambangan muda yang sukses dengan sebuah pekerjaan rahasia
di daerah barat laut. Dia bilang dia tidak menyetujui pernikahan pada usia dini,
dia tak akan pernah mengizinkan Phyllis yang sekarang berusia delapan belas
tahun untuk - "Oh, ya, tentu saja," tukasku pelan. "Aku ingat Phyllis. Phyllis
dan Perkemahan Q. Ya, tentu saja. Ngomong-ngomong, apakah dia pernah bilang
kepadamu bagaimana di sana Charlie Holmes meniduri anak-anak perempuan yang
diasuh oleh ibunya?"
Senyum Nyonya Chatfield yang sudah merekah kini benar-benar lenyap.
"Sungguh memalukan," jeritnya, "sungguh memalukan, Tuan Humbert! Pemuda malang
itu baru saja terbunuh di Korea."
Maaf, aku harus pergi, kataku.
Jaraknya hanya dua blok menuju kantor Windmuller. Ia menyapaku dengan jabat
tangan yang sangat lama dan sangat kuat. Ia pikir aku ada di California.
Bukankah aku pernah tinggal di Beardsley" Anak perempuannya baru saja masuk ke
Kampus Beardsley. Dan, apa kabar Dolly" Aku memberi semua informasi yang penting
tentang Nyonya Schiller. Kami mengalami pertemuan bisnis yang menyenangkan. Aku
melangkah keluar dan masuk ke dalam cahaya matahari panas bulan September
sebagai seorang malang yang bahagia.
Sekarang setelah semua hal dibereskan, aku bisa dengan bebas melaksanakan tujuan
utamaku mengunjungi Ramsdale. Aku terus mengingat wajah Clare Quilty yang
berselubung topeng di dalam penjara gelapku, tempat ia menungguku datang dengan
seorang tukang cukur dan pendeta, " Reveillezcous, La queue, il est temps de
mourir! "53 Sekarang aku tak punya waktu untuk membahas hal-hal yang mengingatkanku pada
bentuk wajah seseorang. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah pamannya dan
melangkah bergegas, tapi biarkan aku menuliskannya dengan cepat: aku telah
mengawetkan seraut wajah tak menyenangkan di dalam alkohol yang terbuat dari
ingatan yang kabur. Sepanjang beberapa kilasan, aku telah menyadari sedikit
kemiripannya dengan seorang pedagang anggur yang periang dan kurang disukai,
yaitu saudara jauhku di Swiss. Dengan lengan gemuk penuh bulu, satu bagian
kepala yang botak, dan selingkuhannya yang seorang pembantu berwajah tak
menyenangkan, secara keseluruhan ia adalah seorang tua jahil yang tak berbahaya.
Terlalu tak berbahaya dibandingkan dengan kenyataan bahwa ia mangsaku. Aku telah
kehilangan kontak dengan citra Trapp yang telah benar-benar ditutupi wajah Clare
Quilty seperti yang ditampilkan oleh sebuah foto bergambar lelaki itu yang
berada di meja pamannya itu.
53 Bangunlah, Laqueue, kini saatnya mati! (catatan penerjemah).
Di Beardsley, di tangan Dr. Molnar aku telah menjalani sebuah operasi gigi agak
serius yang menyisakan hanya beberapa gigi depan atas dan bawah. Gigi-gigi
penggantinya tergantung pada sebuah lempengan dengan kabel-kabel tak terlihat di
sepanjang gusi atasku. Seluruh hal itu adalah maha karya yang nyaman, dan gigigigi taringku sangat sehat.
Bagaimanapun, untuk menyamarkan tujuan rahasiaku dengan alasan yang masuk akal,
aku mengatakan kepada Dr. Quilty bahwa, dengan harapan untuk meringankan rasa
sakit di bagian wajah, aku telah memutuskan mencabut gigi-gigiku. Berapa harga
satu set gigi palsu"
Berapa lama prosesnya jika kita menetapkan perjanjian pertama pada bulan
November" Di mana kemenakannya yang terkenal itu sekarang"
Dr. Ivor Quilty, seorang lelaki bercelemek putih dan berambut kelabu dengan
potongan tentara serta pipi besar yang rata milik seorang politisi, duduk di
ujung meja kerjanya, satu kakinya bergoyang-goyang saat ia meluncurkan sebuah
rencana jangka panjang. Pertama, ia akan memberiku lempengan-lempengan sementara
sampai gusinya siap. Kemudian, ia akan membuatkanku seperangkat gigi palsu tetap. Ia ingin melihat
mulutku. Ia memakai sepatu berwarna-warni yang bolong-bolong. Ia belum
mengunjungi kemenakannya yang jahil itu sejak tahun 1946, tapi seharusnya ia
bisa ditemukan di rumah keluarganya di Grimm Road, tidak jauh dari Parkington.
Itu merupakan mimpi yang terhormat.
Kakinya bergoyang goyang, pandangannya penuh ilham. Tindakan itu membuatku harus
mengeluarkan uang sebesar enam ratus dolar. Ia menyarankan untuk segera
melakukan pengukuran sebelum memulai operasi. Baginya, mulutku adalah gua indah
yang dipenuhi harta karun tak ternilai, tapi aku tidak mengizinkannya masuk.
"Tidak," kataku. "Setelah kupikir-pikir lagi, aku ingin semuanya dikerjakan oleh
Dr. Molnar. Harganya lebih tinggi, tapi tentu saja dia adalah seorang dokter
gigi yang jauh lebih baik darimu."
Aku tak tahu apakah ada di antara pembacaku yang pernah memiliki kesempatan
untuk mengatakannya. Rasanya sangat nikmat.
Paman si Clare tetap duduk di kursinya, tetap terlihat seperti bermimpi, tapi
kakinya telah berhenti bergoyang-goyang penuh harapan. Sementara itu, perawat
kerempeng dan pucat, dengan mata tragis perempuanperempuan berambut pirang yang
tidak berhasil dalam hidupnya, tergesa-gesa membuntutiku agar bisa membanting
pintu di hadapanku. Dorong selongsongnya masuk ke dalam gagang. Tekan sampai kau mendengar atau
merasakan selongsong itu tepat posisinya. Kapasitas: delapan peluru. Diisi
penuh. Tak tahan untuk segera dilepaskan.
34 SEORANG PETUGAS pompa bensin di Parkington menerangkan jalan menuju Grimm Road
dengan begitu jelas kepadaku. Untuk memastikan bahwa Quilty ada di rumah, aku
berusaha meneleponnya, tapi ternyata telepon pribadinya baru-baru ini diputus.
Apakah itu berarti ia telah pergi"
Aku mulai mengemudi ke arah Grimm Road, delapan belas kilometer ke arah utara
kota. Saat itu malam telah menghapus sebagian besar pemandangan dan aku
mengikuti jalan raya sempit berliku, dan serangkaian tiang pendek yang putih
seperti hantu, dengan pemantul cahaya yang memakai sinar lampuku sendiri untuk
menandai belokan ini atau itu.
Aku bisa melihat sebuah lembah gelap di satu sisi jalan dan lereng yang dipenuhi
hutan di sisi lain, dan di hadapanku, bagaikan serpihan salju, ngengat-ngengat
melayang-layang keluar dari kegelapan dan masuk ke dalam auraku. Pada kilometer
kedelapan belas, sebuah jembatan beratap menaungiku sejenak. Di luarnya adalah
sebongkah batu putih yang mencuat di sebelah kanan, dan beberapa mobil di
kejauhan pada sisi yang sama, lalu aku keluar dari jalan raya dan memasuki Grimm
Road yang berkerikil. Selama beberapa menit, yang ada hanyalah hutan yang basah,
gelap dan lebat. Kemudian, Pauor Manor, sebuah rumah kayu dengan menara kecil,
berdiri dikelilingi halaman terbuka. Jendela-jendelanya berkilau dengan warna
kuning dan merah, jalan masuknya disesaki setengah lusin mobil.
Aku berhenti di bawah naungan pohon-pohon itu dan mematikan lampuku agar bisa
merenungkan langkah selanjutnya dengan tenang. Ia pasti dikelilingi para
begundal dan pelacur-pelacurnya. Aku tidak tahan melihat bagian dalam pun tak
terawat yang penuh kesenangan mesum itu-"pesta seks" yang tak jelas, seorang
dewasa yang berbahaya dengan sebatang cerutu, obat-obatan terlarang, dan para
pengawalnya. Paling tidak, lelaki bajingan itu pernah ada di sana. Aku akan
kembali besok pagi ketika semua orang kelelahan.
Dengan perlahan aku kembali ke kota, di dalam mobil tuaku yang setia bekerja
untukku. Lolitaku! Masih ada jepit rambutnya yang sudah berusia tiga tahun di
dalam tempat sarung tanganku. Masih ada ngengat-ngengat berwarna pucat yang
keluar dari malam kelam di sisi lampu depanku. Gudang-gudang gelap berdiri di
kanan kiri jalan. Orang-orang masih pergi ke bioskop. Selagi mencari tempat
menginap, aku melewati lapangan parkir tempat pemutaran film. Pada sebuah layar
raksasa yang dipasang miring di tengah lapangan gelap yang kelelahan, hantu yang
kurus mengangkat sepucuk pistol. Sosoknya dan lengannya diperkecil menjadi
seperti air bekas cucian piring yang bergetar karena sudut miring dari dunia
yang menjauh itu, dan saat berikutnya, sederet pohon berhenti melambai kepadaku.
35 AKU MENINGGALKAN penginapan pagi berikutnya sekitar pukul delapan dan
menghabiskan beberapa saat di Parkington. Gambaran bahwa aku akan menggagalkan
eksekusi itu terus membuatku terobsesi. Dengan berpikiran bahwa mungkin saja
peluru-peluru di dalam pistol telah menjadi tidak segar selama seminggu tanpa
kegiatan, aku mengeluarkannya dan memasukkan peluru peluru baru. Aku telah
memberikan polesan minyak secara menyeluruh kepada sang Teman. Aku membalutnya
dengan kain bekas seperti tungkai yang terluka parah, dan menggunakan kain bekas
lain untuk membungkus segenggam peluru cadangan.
Badai menyertaiku dalam sebagian besar perjalanan kembali ke Grimm Road. Namun,
saat aku sampai di Pavor Manor, matahari terlihat lagi, dan burung-burung
menjerit di pepohonan yang basah. Rumah tua bobrok yang penuh hiasan itu berdiri
seperti kebingungan, mencerminkan apa yang ada dalam pikiranku, karena aku telah
minum alkohol terlalu banyak.
Hanya keheningan yang menjawab belku. Namun, garasi berisi mobilnya, sebuah
mobil hitam dengan atap terbuka. Aku mencoba pengetuk pintu. Lagi-lagi tak ada
orang. Dengan geraman marah, aku mendorong pintu depan dan pintu mengayun
terbuka seperti dalam dongeng abad pertengahan. Setelah menutupnya dengan


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembut, aku berjalan melintasi ruang masuk yang luas dan jelek sekali, mengintai
ke dalam sebuah ruangan di sampingnya, menyadari ada sejumlah gelas bekas yang
bertebaran di atas karpet, dan memutuskan bahwa si tuan rumah masih tidur di
kamar utama. Jadi, aku naik tangga ke lantai atas dengan langkah-langkah berat.
Tangan kananku menggenggam sang Teman yang terbungkus di dalam sakuku, sedangkan
tangan kiriku menepuk-nepuk pegangan tangga yang lengket. Dari tiga kamar tidur
yang kuperiksa, salah satunya jelas-jelas ditiduri pada malam itu. Ada
perpustakaan yang dipenuhi bunga. Ada sebuah ruangan yang agak kosong, dengan
kaca-kaca dan kulit beruang kutub di atas lantai yang licin. Masih ada ruangan
ruangan lain. Sesuatu yang menyenangkan tiba-tiba terlintas dalam benakku.
Kalau si tuan rumah kembali dari jalan-jalan santai di hutan, atau muncul dari
tempat persembunyian rahasia, mungkin cukup bijaksana bagi seorang lelaki
bersenjata yang sempoyongan untuk mencegah teman mainnya mengunci diri di dalam
kamar. Hasilnya, selama paling tidak lima menit, aku berkeliling - seorang pemburu
yang tersihir dan sangat mabuk - memutar kunci apa pun pada lubang kunci apa pun
yang ada dan menyimpannya di dalam saku dengan tangan kiriku yang bebas. Rumah
itu, sebagai rumah tua, memiiki lebih banyak ruang pribadi dibandingkan rumahrumah modern yang mewah, di mana kamar mandi adalah satu-satunya tempat yang
bisa dikunci. Ngomong-ngomong soal kamar mandi, aku baru saja hendak mendatangi kamar mandi
ketiga saat si tuan rumah keluar dari situ.
Sudut koridor itu tidak sungguh-sungguh menutupiku. Dengan wajah kelabu, mata
bengkak, tapi masih bisa dikenali dengan sempurna, ia melewatiku dengan
mengenakan jubah mandi ungu seperti yang kupunya. Entah ia tidak menyadari
kehadiranku atau menganggapku sebagai halusinasi yang sudah biasa dan tak
berbahaya, ia terus melangkah menuruni tangga seperti seseorang yang tidur
sambil berjalan. Aku mengantongi kunci terakhirku dan mengikutinya. Ia setengah membuka mulutnya
dan pintu depan untuk melihat keluar dari celah yang bercahaya, bagaikan orang
yang berpikir bahwa ia telah mendengar seorang tamu yang setengah hati
membunyikan bel dan kemudian pergi.
Lalu, dengan masih mengabaikan ilusi berjas hujan yang telah berhenti di tengah
tangga, si tuan rumah berjalan memasuki sebuah ruang tidur perempuan yang nyaman
di seberang ruang masuk. Dari situ aku lari darinya dan di bar yang menghiasi
dapur dengan hati-hati kubuka bungkusan sang Teman yang kotor, berusaha untuk
tak meninggalkan noda minyak di atas lapisan keperakannya. Kemudian, aku
melangkah ke ruang tidur kecil itu. Langkahku terpental-pental, mungkin terlalu
terpental pental untuk bisa berhasil. Namun, jantungku berdetak dengan
kesenangan seekor harimau, dan tanpa sengaja aku menginjak sebuah gelas.
Si tuan rumah menemuiku di ruang duduk bergaya Timur.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara serak bernada tinggi, tangannya masuk ke
dalam saku jubah mandinya, matanya menatap sebuah titik di arah timur laut
kepalaku. "Apakah kau Brewster?" Kini terbukti ia sedang kebingungan dan benarbenar tergantung kepada yang kusebut sebagai belas kasihku. Aku menikmati semua
ini. "Benar," kataku dengan penuh kepura-puraan. "Mari kita berbincang-bincang
sejenak sebelum mulai."
Ia terlihat senang. Kumis kotornya bergerak-gerak. Kutanggalkan jas hujanku. Aku
mengenakan setelan jas hitam dan kemeja hitam, tanpa dasi. Kami duduk di atas
dua kursi besar yang empuk.
"Kautahu," katanya sambil menggaruk keras-keras pipinya yang tebal dan
berbintik-bintik kelabu, serta menunjukkan gigi-gigi kecilnya yang bagaikan
mutiara saat menyeringai tak jujur, "kau tak kelihatan seperti Jack Brewster.
Maksudku, kemiripannya tidak terlalu kentara. Ada yang bilang kepadaku ia punya
saudara yang bekerja di perusahaan telepon yang sama."
Menjebaknya, setelah bertahun-tahun yang dipenuhi penyesalan dan kemarahan ...
Memandang Bulu-bulu hitam di balik tangannya yang gemuk ... Memandang dengan
ratusan mata pada jubah sutra ungunya dan dadanya yang penuh bulu, yang
memberikan kilasan awal akan lubang-lubang, kekacauan, dan musik yang tercipta
dari rasa sakit ... Mengetahui bahwa tukang tipu yang tak seperti manusia ini, yang telah menyodomi
kekasihku - oh, kekasihku, ini adalah kebahagiaan yang tak bisa diterima!
"Bukan, sayangnya aku bukan Brewster yang lain." Ia mengangkat kepalanya,
terlihat lebih senang daripada sebelumnya.
"Tebak lagi." "Ah," sahutnya, "jadi kau bukan datang untuk menggangguku soal telepon jarak
jauh itu?" "Sekali-sekali kau memang melakukannya, bukan?"
"Maaf?" Kubilang, aku tadi berkata bahwa ia pernah mengganggu orang dengan telepon jarak
jauh. Ia berkata, "Orang-orang pada umumnya, aku tidak menuduhmu Brewster, tapi kau
tahu, sungguh tak masuk akal cara orang-orang memasuki rumah sialan ini, bahkan
tanpa mengetuk pintu. Mereka memakai memakai telepon sebagai alasan. Phil
menelepon ke Philadelphia. Pat menelepon ke Patagonia. Aku tidak mau bayar. Kau
punya aksen yang aneh."
"Quilty," kataku, "apakah kauingat seorang gadis kecil bernama Dolores Haze,
Dolly Haze" Dolly menelepon ke Dolores?"
"Tentu, mungkin saja dia yang menelepon. Ke mana pun, Surga, Washington, Lembah
Neraka. Siapa peduli?"
"Aku peduli, Quilty. Kautahu, aku ayahnya."
"Tak masuk akal," tukasnya. "Kau bukan ayahnya. Kau agen sastra asing. Pernah
ada orang Prancis yang menerjemahkan naskah drama Proud Fiesh karyaku menjadi La
Fierte de la Chair. Konyol."
"Dia anakku, Quilty."
Dalam keadaan seperti itu, ia tidak bisa benar-benar diingatkan oleh apa pun,
tapi tindak-tanduknya yang agresif tak begitu meyakinkan.
Semacam kewaspadaan karena rasa curiga mulai membara sehingga matanya terlihat
hidup, dan segera kosong lagi.
"Aku sendiri sangat menyukai gadis-gadis kecil," katanya, "dan para ayah
termasuk di antara sahabat-sahabat terbaikku."
Ia memalingkan kepalanya, mencari-cari sesuatu. Ia menepuk sakunya dan berusaha
bangkit dari tempat duduknya.
"Duduk!" kataku (jauh lebih keras dari yang kumaksud).
"Kau tidak perlu meneriakiku," protesnya dengan tindak-tanduk bancinya yang
aneh. "Aku cuma ingin merokok. Aku sangat ingin merokok sampai mau sekarat
rasanya." "Kau memang sedang sekarat."
"Oh, Kawan," katanya. "Kau mulai membuatku bosan. Maumu apa"
Apakah kau orang Prancis" Mari kita ke bar kecil dan minum-"
Ia melihat senjata hitam kecil itu terbaring di telapak tanganku seolah-olah aku
menawarkannya kepadanya. "Hebat!" katanya singkat (menirukan si bodoh yang jahat di dalam sebuah film).
"Pistol kecil yang bagus. Apa yang kauinginkan untuknya?"
Aku menepis tangannya yang terentang dan ia berhasil menjatuhkan sebuah kotak
dari meja pendek di dekatnya. Dari kotak itu keluar segenggam rokok.
"Ini dia," katanya riang. " Kauingat kata-kata Kipling: Une femme est une femme,
mais un Caporal est une cigarette" 54 Sekarang kita butuh korek api."
"Quilty," kataku. "Aku ingin kau berkonsentrasi. Kau akan mati sebentar lagi.
Setelah kematian, yang tersisa mungkin hanyalah kegilaan yang menyakitkan dan
abadi. Kau telah mengisap rokok terakhirmu kemarin. Konsentrasi. Cobalah
mengerti apa yang sedang terjadi padamu.?"
Ia terus mematah-matahkan rokok Drome itu dan mengunyah bagian-bagian kecilnya.
"Aku mau mencoba," katanya. "Kau orang Australia atau pengungsi Jerman. Haruskah
kau berbicara kepadaku" Kautahu, ini bukan rumah orang Yahudi. Mungkin kau lebih
baik pergi. Dan berhentilah memamerkan pistol itu. Aku punya sepucuk SternLuger
tua di ruang musik."
Aku mengacungkan Sang Teman pada kakinya yang mengenakan selop dan melepaskan
pelatuknya yang berbunyi klik. Ia mengarahkan pandangan pada kakinya, ke pistol,
lalu ke kakinya lagi. Aku berusaha lagi dengan sangat keras, dan dengan suara
yang sangat lemah, pistol itu meledak. Pelurunya menembus karpet merah muda yang
tebal dan aku mendapat kesan bahwa peluru itu hanya meluncur masuk dan bisa
keluar lagi. "Kau mengerti maksudku?" kata Quilty. "Kau harus sedikit lebih berhati-hati.
Demi Tuhan, berikan benda itu kepadaku."
Ia menggapainya. Aku mendorongnya kembali ke kursi.
Kebahagiaan yang besar mulai menipis. Ini saatnya aku melenyapkannya, tapi ia
harus mengerti mengapa ia dilenyapkan. Keadaannya menulariku, senjata itu terasa
lemas dan kikuk di dalam tanganku.
"Konsentrasi," kataku, "pada ingatan tentang Dolly Haze yang kau culik - "
"Aku tidak menculiknya!" teriaknya. "Kau benar benar salah. Aku menyelamatkannya
dari lelaki buas yang mengalami kelainan seksual.
Tunjukkan lencanamu kepadaku, bukan menembak kakiku. Monyet kau!
Mana lencana polisimu" Aku tak bertanggung jawab atas pemerkosaan yang lainnya.
Konyol! Kebut-kebutan itu kuakui memang tindakan bodoh.
Tapi, kau mendapatkan gadis itu lagi, bukan" Ayo, mari kita minum."
Aku bertanya kepadanya apakah ia ingin ditembak dalam posisi duduk atau berdiri.
"Ah, coba kupikir-pikir," katanya. "Itu bukan pertanyaan yang mudah. Ngomongngomong, aku melakukan kesalahan yang kusesali.
Kau tahu, aku tidak bersenang-senang dengan Dollymu. Aku hampir impoten. Dan aku
memberinya liburan yang indah. Dia bertemu dengan orang-orang yang luar biasa.
Tahukah kau-" Dan dengan sebuah gerakan yang cepat, ia menubrukku sambil 54 Seorang wanita
tetaplah seorang wanita, tapi seorang Kopral adalah sebatang rokok (catatan
penerjemah). melemparkan pistol itu ke bawah kotak berlaci. Untungnya, ia ceroboh dan lemah.
Aku hanya mengalami sedikit kesulitan untuk mendorongnya kembali ke kursinya.
Ia sedikit terengah-engah dan melipat lengannya di dada.
"Sekarang kau sudah melakukannya," katanya. " Vous voila dans de beaux draps,
mon vieux. "55 Bahasa Prancisnya semakin membaik.
Aku melihat sekeliing, mencari pistolku. Kalau aku merangkak, mungkinkah aku
akan menemukan-nya" Mengambil risiko"
" Alors, que faiton?"56 tanyanya sambil melihatku dengan hati-hati.
Aku mencondongkan tubuhku. Ia tak bergerak. Aku mencondongkan tubuhku lebih
rendah lagi. "Tuan," katanya, "berhentilah mempermainkan kehidupan dan kematian. Aku ini
seorang penulis drama. Aku telah menulis kisah-kisah tragedi, komedi, fantasi.
Aku telah membuat film-film pribadi berdasarkan Justine dan kisah-kisah seks dan
abad kedelapan belas lainnya. Aku adalah pengarang 52 skenario yang sukses. Aku
tahu semua bahasa kiasan. Biarkan aku menangani hal ini. Harusnya ada tongkat
pengaduk arang di suatu tempat, mengapa aku tak mengambilnya, kemudian kita akan
mengeluarkan barang milikmu."
Dengan cepat, penuh rasa ingin tahu akan urusan orang lain, dan curang, ia sudah
bangkit selagi ia berbicara. Aku meraba-raba di bawah kotak berlaci itu, dan di
saat yang sama mengawasinya. Tiba-tiba aku sadar, ia tahu kalau aku tidak
menyadari bahwa sang Teman menyembul dari bawah sudut lain kotak itu. Kami
bergulat lagi. Kami berguling-guling di lantai seperti dua bocah yang tak
berdaya. Ia telanjang di balik jubahnya, dan aku merasa kehabisan napas saat ia
berguling di atasku. Aku lalu berguling di atasnya. Kami berguling di atasku. Kami berguling di atas
kami. Aku menduga buku ini akan dibaca orang pada tahun-tahun pertama abad kedua puluh
satu (tahun 1935 ditambah 80 atau 90 tahun, panjang umurlah, cintaku). Dan, para
pembaca yang sudah tua pasti di titik ini akan teringat pada adegan wajib di
film-film koboi pada masa kanak-kanak mereka. Namun, adegan rebutan kami tak
melibatkan tonjok-tonjokan yang menarik dan perabotan yang beterbangan. Aku dan
dia adalah dua orang bodoh yang mengenakan baju kotor dan pakaian kumal. Itu
perebutan yang hening, di mana yang satu benar-benar dikacaukan oleh obat
terlarang, sedangkan yang lainnya terlalu banyak minum alkohol. Ketika akhirnya
aku mendapatkan senjataku yang berharga dan penulis skenario itu berhasil
didudukkan kembali di kursinya, kami berdua terengah-engah seperti gembala sapi
dan gembala domba yang tak pernah bertarung.
Aku memutuskan untuk memeriksa pistol itu, keringat kami mungkin merusak sesuatu
- dan kembali bernapas dengan normal sebelum melanjutkan ke acara utama. Untuk
mengisi jeda, aku 55 Kau sungguh terjebak masalah besar, kawanku (catatan
penerjemah). 56 Jadi, apa yang kita lakukan" (catatan penerjemah) menyarankannya membaca
kalimatnya sendiri - dalam bentuk puisi yang telah kugubah. Istilah "keadilan
puitis" mungkin bisa digunakan dalam hal ini. Aku menyerahkan secarik naskah
ketikan yang rapi kepadanya.
"Ya," katanya, "gagasan yang bagus. Izinkan aku mengambil kacamata bacaku." Ia
berusaha bangun. "Tidak." "Terserah kau. Haruskah aku membacanya keras keras?"
"Ya." "Inilah dia. Kubacakan dalam bait-bait ..."
Karena kau mengambil keuntungan dari seorang pendosa Karena kau mengambil
keuntungan Karena kau mengambil Karena kau mengambil keuntungan dari kelemahanku ...
"Kau-tahu, itu bagus. Benar-benar bagus."
"... saat aku berdiri telanjang seperti Adam di hadapan hukum federal dan
bintang-bintangnya yang tajam
"Oh, hebat!" ... Karena kau mengambil keuntungan dan sebuah dosa saat aku tak berdaya
berharap yang terbaik. memimpikan pernikahan di negara bagian yang
berpegunungan dengan Lolita "Aku tak mengerti."
Karena kau mengambil keuntungan dari jiwaku
Kepolosanku yang paling inti
Karena kau mencurangi - "Sedikit berulang, ya" Aku sampai di mana?"
Karena kau mencurangi penebusanku
karena kau mengerjainya di usia ketika bocah-bocah lelaki
bermain dengan perkakas mainan
"Mulai porno, ya?"
seorang gadis kecil berhias bunga merah jingga
makan berondong jagung sewarna senja
kau mencurinya dari pelindungnya yang berwibawa
meludahi matanya, merobek, jubahnya
dan saat fajar tiba meninggalkannya bergelimang kegelisahan baru
derita cinta dan bunga ungu
sesal dan putus asa menyiksa
ketika kau mengoyak-moyak boneka
dan membuang kepalanya karena semua yang kauperbuat
karena semua yang tak kuperbuat
kau harus sekarat "Ya, ini puisi yang bagus. Puisimu yang terbaik sepanjang yang kutahu."
Ia melipatnya dan menyerahkannya kembali kepadaku.
Kubertanya kepadanya apakah ia ingin mengatakan sesuatu yang serius sebelum
mampus. Pistol otomatis itu sudah siap kugunakan pada orang itu. Ia memandangnya dan
menarik napas panjang. "Dengarkan," katanya. "Kau mabuk dan aku sakit. Mari kita tunda urusan ini. Aku
butuh ketenangan. Aku harus mengisi tenagaku yang habis. Siang ini teman-teman
akan datang dan mengajakku bermain.
Lelucon ini mulai menggangguku. Kita adalah lelaki pecinta duniawi dalam segala
hal - seks, sajak bebas, keahlian menembak. Kalau kau dendam kepadaku, aku siap
menebusnya. Termasuk melakukan duel yang sudah kuno, dengan pistol atau pedang,
di Rio atau di mana pun. Ingatanku dan kemampuan bicaraku sedang tidak dalam
kondisi terbaik hari ini, tapi Tuan Humbert, kau bukanlah ayah tiri yang ideal,
dan aku tidak memaksa bocah kecilmu bergabung denganku. Dialah yang membuatku


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memindahkannya ke rumah tangga yang lebih bahagia. Rumah ini tidak semodern
peternakan yang kami tinggali bersama teman-teman. Tapi, rumah ini luas, sejuk
di musim panas dan musim dingin. Singkat kata, nyaman. Jadi, karena aku
bermaksud pindah ke Inggris atau Italia untuk selamanya, aku menyarankanmu
pindah ke sini. Rumah ini milikmu, gratis. Dengan syarat, kau berhenti
mengacungkan pistol sialan itu.
Ngomong-ngomong, aku tidak tahu apakah kau menyukai hal-hal yang aneh, tapi
kalau kausuka, aku bisa menawarkan kepadamu - gratis juga - makhluk aneh yang
menegangkan, seorang gadis dengan tiga buah dada.
Ini keajaiban alam yang langka dan menyenangkan. Kau hanya akan bisa melukaiku
dengan pistol itu, lalu membusuk di dalam penjara selagi aku menjalani proses
penyembuhan dalam suasana tropis. Aku berjanji kepadamu, Brewster, kau akan
senang di sini, dengan gudang anggur yang hebat dan semua royalti dari naskah
dramaku yang berikutnya. Sekarang aku tidak punya uang banyak di bank, tapi aku bisa mengajukan pinjaman.
Ada keuntungan lain. Di sini kita punya Nyonya Vibrissa, pembantu rumah tangga
paling bisa diandalkan yang datang dari kampung dua kali dalam seminggu,
sayangnya tidak hari ini. Dia punya anak-anak perempuan, dan cucu-cucu
perempuan. Aku adalah seorang penulis drama. Aku disebut sebagai Maeterlinck
Amerika. Kubilang, Maeterlinck Schmetterling. Ayolah! Semua ini sungguh
memalukan dan aku tidak yakin kalau melakukan hal yang benar. Jatuhkan pistol
itu seperti seorang kawan baik. Aku sedikit kenal istrimu. Kau boleh memakai
baju-bajuku. Oh, ya - kau akan menyukai yang satu ini. Aku punya koleksi bendabenda erotis yang benar-benar unik di lantai atas.
Sekadar menyebutkan salah satunya: Bagration Island, edisi istimewa berukuran
folio, karangan seorang penjelajah dan ahli psikoanalisis, Melanie Weiss,
seorang perempuan luar biasa, sebuah karya yang hebat - jatuhkan pistol itu dengan foto-foto sekitar delapan ratus kelamin lelaki yang dia periksa dan ukur
pada tahun 1932 di Pulau Bagration di Laut Barda. Gambar-gambar yang sangat
jelas, dibuat dengan penuh cinta di bawah langit yang cerah - jatuhkan pistol itu.
Selain itu, aku bisa mengatur agar kau bisa menghadiri pelaksanaan hukuman mati.
Tidak semua orang tahu bahwa kursinya dicat kuning-"
Tembak! Kali ini aku mengenai sesuatu yang keras. Tembakanku mengenai bagian
belakang sebuah kursi goyang hitam yang seperti miik Dolly Schiller. Peluruku
mengenai permukaan dalam bagian belakangnya, kemudian kursi itu bergoyang-goyang
begitu cepat dan bersemangat sehingga siapa pun yang masuk ke dalam ruangan itu
mungkin terkejut karena keajaiban ganda: kursi itu bergoyang-goyang sendiri
dengan panik dan bangku itu, tempat sasaran unguku tadi berada, sekarang
kehilangan penghuninya. Dengan jari-jarinya melambai-lambai di udara, dengan gerakan naik turun
pantatnya yang sangat cepat, ia kabur ke ruang musik, dan detik berikutnya kami
saling mendorong di kedua sisi pintu yang kuncinya tadi terlewat olehku. Aku
menang lagi. Dengan gerakan mendadak lainnya, Clare yang Tak Bisa Ditebak duduk
di depan piano dan memainkan beberapa kunci nada yang, secara mengagetkan, penuh
tenaga dan bernada keras. Gelambirnya bergetar, tangannya yang terentang naik
turun dengan tegang, dan lubang hidungnya mengeluarkan lagu latar berupa
dengusan yang tak ada saat kami berkelahi. Sambil masih menyanyikan nada-nada
rendah yang tak masuk akal itu, ia melakukan usaha yang tak mungkin berhasil
untuk membuka sejenis kotak pelaut di dekat piano dengan kakinya. Peluru
berikutnya mengenai bagian samping tubuhnya. Dia bangkit dari kursinya, berdiri
lebih tinggi lagi, seperti Nijinski tua yang gila dan ubanan, seperti si Tua
yang Setia, seperti mimpi buruk lamaku. Kepalanya terpelanting ke belakang
dengan sebuah lolongan, tangannya menekan alis matanya, dan tangan satunya lagi
menekan ketiaknya seolah-olah disengat tawon, berlutut dan menjadi orang normal
berjubah lagi, lalu lari terbirit-birit keluar menuju lorong rumah.
Aku melihat diriku mengikutinya melalui lorong itu dengan semacam lompatan
kanguru berukuran ganda, berusaha bergerak lurus pada kaki-kaki yang lurus
selagi memantul dua kali pada jejaknya, kemudian memantul di antara dia dan
pintu depan dalam lompatan kaku seperti penari balet, dengan tujuan menyusulnya
karena pintu itu tak ditutup dengan benar. Tiba-tiba ia menjadi serius dan agak
murung, lalu mulai menaiki tangga yang lebar. Sambil menggeser posisi, tapi
tidak benar-benar mengikutinya naik tangga, aku menembak tiga atau empat kali
dengan cepat, melukainya pada setiap tembakan. Dan, setiap kali aku melakukan
hal yang mengerikan itu kepadanya, wajahnya akan berkerut dengan cara yang
konyol seperti badut. Seolah-olah melebih-lebihkan rasa sakit itu, ia melambat,
menggulirkan matanya dan setengah memejamkannya, mengeluarkan suara "ah!" yang
seperti desahan perempuan, kemudian bergetar setiap kali sebutir peluru
mengenainya, seolah-olah aku sedang menggelitikinya.
Setiap kali aku mengenainya dengan peluru-peluru lamban, kikuk dan buta milikku,
ia akan berkata sambil terengah-engah, dengan aksen Inggrisnya yang palsu,
selagi tubuhnya tersentak-sentak menakutkan, bergetar, tersenyum puas, tapi
terus berbicara, "Ah, sakit, cukup! Ah, sakit sekali, teman! Aku berdoa semoga
kau berhenti menembak. Ah - sangat menyakitkan ... Tuhan! Hah! Sungguh tak
menyenangkan, kau seharusnya tidak-" Suaranya menjauh saat ia sampai di belokan
tangga, tapi ia terus berjalan walaupun peluru-peluruku telah bersarang di dalam
tubuhnya yang menggembung. Dan dalam penderitaan, dalam kekecewaan, sejauh itu
yang kupahami dari membunuhnya adalah aku sedang menyuntikkan luapan tenaga ke
dalam tubuhnya, seolah-olah peluru-peluru itu adalah kapsul-kapsul berisi cairan
kehidupan. Aku mengisi ulang benda itu dengan tangan yang kelam dan penuh darah. Aku telah
menyentuh sesuatu yang ia lumuri dengan kucuran darahnya yang kental. Lalu aku
bergabung lagi dengannya di lantai atas, kunci-kunci itu bergemerincing di dalam
sakuku seperti emas. Ia sedang berjalan terseok-seok dari kamar ke kamar, berlumur darah, berusaha
mencari jendela yang terbuka, menggelengkan kepalanya, dan masih berusaha
membahas tentang pembunuhan itu denganku. Aku membidik kepalanya dan ia
menyingkir ke ruang tidur utama.
"Keluar dari sini," katanya sambil batuk dan meludah. Dan dalam mimpi buruk yang
ajaib itu, aku melihat lelaki bermandikan darah ini naik ke atas tempat tidurnya
dan membungkus diri dengan selimut yang berantakan. Aku menembaknya lagi dari
jarak yang sangat dekat sehingga menembus selimut-selimut itu. Kemudian ia
terbaring, dan sebuah gelembung besar berwarna merah jambu terbentuk di
bibirnya, mengembang menjadi seukuran balon mainan, kemudian lenyap.
Aku mungkin telah kehilangan kontak dengan kenyataan selama satu atau dua detik.
Aku ingin menekankan fakta bahwa aku bertanggung jawab atas setiap tetesan
darahnya, tapi semacam pergeseran sesaat terjadi seolah-olah aku ada di dalam
kamar pengantin, dan Charlotte sedang sakit di tempat tidur. Quilty adalah orang
yang sangat sakit. Aku memegang salah satu selopnya sebagai ganti pistol itu - aku
duduk di atas pistol. Kemudian aku berusaha membuat diriku sedikit lebih nyaman
di kursi dekat tempat tidur, dan melihat jam tanganku. Kristalnya sudah tak ada,
tapi arloji itu tetap berdetak. Seluruh urusan yang menyedihkan itu telah
menghabiskan waktu lebih dan sejam. Akhirnya ia diam.
Jauh dari merasakan kelegaan apa pun, sebuah beban lebih berat dari yang kuharap
bisa kubuang, sekarang membebaniku. Aku tak bisa memaksa diriku menyentuhnya
untuk memastikan bahwa ia benar-benar sudah mati. Ia terlihat mati: seperempat
wajahnya telah lenyap, dan dua ekor lalat mengerubutinya. Tanganku keadaannya
tak lebih baik daripada tangannya. Aku membasuh diri sebaik mungkin di kamar
mandi dalam. Sekarang aku bisa pergi. Saat aku muncul di belokan tangga, aku terkesima karena
dengungan ramai yang tadinya kukira nyanyian di dalam telingaku ternyata benarbenar serangkaian suara dari radio yang menyala di lantai bawah.
Di sana aku menemukan sejumlah orang yang kelihatannya baru saja datang dan
sedang menenggak minuman keras milik Quilty dengan gembira. Ada seorang lelaki
gemuk di sofa besar dan dua perempuan muda yang cantik tapi pucat dan berambut
gelap - tak perlu diragukan lagi, mereka adalah sepasang kakak-adik - yang satu
bertubuh besar dan yang satu berbadan kecil (hampir masih anak-anak), tanpa
menarik perhatian duduk bersebelahan di sebuah sofa besar. Seorang lelaki
berwajah merah dengan mata biru bagaikan batu safir sedang membawa dua gelas
keluar dari dapur yang seperti bar, tempat dua atau tiga perempuan sedang
bercakap-cakap. Aku berhenti di pintu masuk dan berkata, "Aku baru saja membunuh Clare Quilty."
"Baguslah," kata lelaki berwajah merah seraya menawarkan minuman kepada
perempuan yang lebih tua. "Seseorang seharusnya melakukannya dari dulu,"
komentar laki-laki gemuk itu. "Apa yang ia katakan, Tony?" tanya seorang
berambut pirang dan bar. "Ia bilang," jawab kawan berwajah merah, "ia telah
membunuh Cue." Lelaki lain yang tak dikenal, yang bangkit di sudut, tempat ia
membungkuk untuk memeriksa piringan hitam, menimpali, "Kupikir kita harus
melakukan itu kepadanya suatu hari nanti." "Ngomong-ngomong," kata Tony, "ia
lebih baik turun. Kita tak bisa menunggunya lebih lama lagi kalau kita ingin
pergi ke tempat permainan itu." "Tolong beri lelaki ini minuman," kata orang
gemuk itu. "Mau bir?" kata seorang perempuan bercelana panjang sambil
menunjukkan bir kepadaku dari jauh.
Hanya kedua perempuan di atas sofa - keduanya mengenakan baju hitam, yang lebih
muda memainkan sesuatu yang berkilauan di sekitar lehernya - yang tak mengatakan
apa-apa, hanya tersenyum saja. Begitu muda, begitu cabul. Saat musik berhenti
sebentar, tiba-tiba terdengar keributan di tangga. Tony dan aku melangkah keluar
menuju lorong. Quilty berhasil merayap keluar sampai belokan tangga dan di sana kami bisa
melihatnya bergerak-gerak meregang nyawa, kemudian diam - kali ini untuk selamanya
- di dalam onggokan kain berwarna ungu.
"Ayo, cepat, Cue," kata Tony sambil tertawa. "Aku yakin, dia masih" Ia kembali ke ruangan tadi, musik menenggelamkan sisa kalimat itu.
Aku berkata kepada diriku sendiri, ini adalah akhir pertunjukan drama yang
dipentaskan untukku oleh Quilty. Dengan berat hati aku meninggalkan rumah itu
dan berjalan menembus cahaya matahari menuju mobilku. Dua mobil lain diparkir di
kedua sisi, membuatku agak susah mengeluarkan mobilku.
36 SELEBIHNYA AGAK datar dan mengabur. Perlahan-lahan aku mengemudi menuruni bukit
dan mendapati diriku melaju dengan santai di arah yang berlawanan dengan
Parkington. Aku telah meninggalkan jas hujanku dan sang Teman di rumah Quilty.
Tidak, itu bukan rumah yang kusukai. Tanpa tujuan yang jelas aku bertanya-tanya
apakah ada ahli bedah genius yang bisa membangkitkan Clare Quilty yang aneh itu.
Bukannya aku peduli. Aku justru ingin melupakan semua kekacauan itu - dan ketika aku mengetahui bahwa
ia telah benar-benar mati, satu-satunya kepuasan yang diberikannya kepadaku
adalah rasa lega karena mengetahui aku tak perlu selama berbulan-bulan terbebani
proses penyembuhannya yang menyakitkan dan menjijikkan, lengkap dengan segala
operasi yang rumit, dan mungkin kunjungan Quilty kepadaku setelahnya - dengan
kesulitan bagiku untuk menerimanya dengan akal sehat bahwa dia bukanlah sesosok
hantu. Sungguh aneh, indra peraba yang kurang berharga bagi para lelaki
dibandingkan dengan indra penglihatan, pada saat-saat kritis menjadi pegangan
utama kami terhadap kenyataan. Seluruh diriku serasa diiputi oleh Quilty - dengan
perasaan akan robohnya tubuhnya mendahului pemandangan tubuhnya yang berlumur
darah. Sekarang jalan itu terentang melintasi daerah terbuka, dan terlintas dalam
pikiranku bahwa karena aku telah mengabaikan semua hukum kemanusiaan, aku bisa
juga mengabaikan peraturan lalu lintas. Jadi, aku sengaja memotong ke sisi kiri
jalan raya untuk mengetahui bagaimana rasanya melanggar aturan lalu lintas.
Ternyata menyenangkan. Tak ada yang lebih dekat dengan penyangkalan hukum fisika
dasar daripada mengemudi pada sisi jalan yang salah dengan tujuan tertentu. Di
satu sisi, ini merupakan rasa gatal yang sangat spiritual. Dengan santai, tak
melebihi tiga puluh kilometer per jam, aku mengemudi pada sisi yang tak biasa
itu. Lalu lintas tidak terlalu ramai. Sesekali mobil-mobil melewatiku pada sisi
yang kutelantarkan bagi mereka, sambil membunyikan klakson dengan brutal
kepadaku. Mobil-mobil yang menuju ke arahku berjalan zig-zag, meliuk, dan
pengemudinya berteriak ketakutan. Kini aku mendapati diriku mendekati tempattempat yang berpenghuni. Menerobos lampu merah rasanya seperti seteguk Burgundy yang terlarang saat aku
masih kecil. Kemudian, di hadapanku aku melihat dua mobil yang seolah-olah
sengaja menghalangi jalanku. Dengan gerakan yang anggun aku mengemudi keluar
dari jalan raya dan setelah dua atau tiga pantulan, menaiki lereng yang penuh
rumput, di antara sapi-sapi yang terkejut, dan akhirnya berhenti.
Aku segera dikeluarkan dari mobil (Hai, Melmoth, terima kasih banyak, kawan tua)
- dan menunggu menyerahkan diri kepada banyak tangan tanpa melakukan apa-apa
untuk bekerja sama selagi mereka memindahkan dan mengangkatku. Dan, saat aku
menunggu mereka naik menuju diriku di lereng yang tinggi, aku teringat pada
sebuah pengalaman. Suatu hari, tak lama setelah menghilangnya Dolly, serangan rasa mual memaksaku
berhenti pada sisa-sisa jalan gunung tua yang sekarang dilintasi jalan raya
baru, dengan sekumpulan bunga aster bermandikan kehangatan sore berwarna biru
pucat di ujung musim panas. Setelah memuntahkan isi perutku, aku beristirahat
sejenak di atas sebuah batu besar. Kemudian, sambil berpikir bahwa udara yang
bagus mungkin bisa membuatku merasa lebih enak, aku berjalan sedikit menuju
pegangan batu yang rendah di sisi curam jalan raya. Jangkrik-jangkrik melompat
keluar dari benalu-benalu kering di pinggir jalan. Awan tipis membuka lengannya
dan bergerak menuju awan besar, saling memeluk dan bergerak lebih lamban. Saat
mendekati lubang tak berujung itu, aku semakin menyadari akan kesatuan suara
yang bernada, naik bagaikan uap dan kota tambang kecil yang terbaring di bawah
kakiku, di dalam lipatan lembah. Orang bisa membuat hitungan geometris dari
jalan-jalan di antara blok-blok berisi atap-atap berwarna merah dan kelabu,
pepohonan yang hijau, sungai kecil yang berliku, kilauan sampah kota yang
seperti bijih besi. Dan di luar kota, jalan-jalan saling silang di atas petakpetak lahan yang gelap dan pucat, di belakang itu semua adalah pegunungan yang
gundul. Tapi, ada yang lebih terang dari warna-warna itu - karena ada warna-warna
dan nuansa-nuansa warna yang seakan menikmati diri mereka sendiri dalam
kebersamaan mereka. Lebih terang dan lebih indah bagi telinga daripada bagi
mata. Itu adalah getaran beruap dan gabungan suara yang tak pernah berhenti
sedikit pun, saat mereka naik ke bibir batu granit tempat aku berdiri sambil
mengusap mulutku yang bau. Aku menyadari bahwa semua suara ini sejenis, bahwa
tak ada suara lain selain ini yang datang dari jalan-jalan kota yang tembus
pandang, dengan para perempuan di dalam rumah dan para lelaki pergi keluar
rumah. Pembaca! Yang kudengar adalah melodi anak-anak yang sedang bermain. Dan,
udara begitu jelas sehingga di tengah uapan suara-suara yang berbaur itu, kita
sesekali bisa mendengar derai tawa yang nyaris terdengar jelas, atau bunyi
tongkat pemukul, atau suara mobil mainan. Namun, benar-benar terlalu jauh bagi
mata untuk mengenali gerakan apa pun di bawah sana. Aku berdiri mendengarkan
getaran suara itu dan lerengku yang tinggi, dan kemudian aku tahu bahwa yang
menyedihkan bagiku bukanlah ketakhadiran Lolita di sisiku, melainkan
ketidakhadiran suaranya. Demikianlah kisahku. Aku sudah membaca ulang kisah ini. Ceritaku ini memiliki
sumsum dan darah, dan lalat-lalat hijau terang yang cantik.
Aku telah menyamarkan apa yang kubisa agar tak menyakiti orang-orang. Dan, aku
telah bermain-main dengan banyak nama samaran bagi diriku sebelum aku menemukan
yang lebih cocok. Dalam catatanku ada nama "Otto Otto" dan "Mesmer Mesmer" serta
"Lambert Lambert," tapi karena beberapa sebab, kupikir pilihan terakhir kulah
yang paling tepat- "Humbert Humbert."
Saat aku mulai menulis Lolita lima puluh enam hari yang lalu, mula-mula di
bangsal rumah sakit jiwa, dan kemudian di dalam kamar tahanan yang hangat ini,
kupikir aku akan menggunakan catatan ini sepenuhnya di dalam persidanganku.
Bukan untuk menyelamatkan kepalaku, melainkan untuk menyelamatkan jiwaku. Di
tengah karangan, aku menyadari bahwa aku tidak bisa menunjukkan Lolita yang
hidup. Aku bisa menggunakan bagian-bagian dari memoar ini dalam kesaksian
tertutup, tapi penerbitannya sebagai buku harus ditunda.
Untuk alasan-alasan yang jelas, aku menolak hukuman mati. Aku percaya pendapatku
ini akan disetujui oleh hakim. Jika aku menjadi hakim, aku akan memberi Humbert
hukuman, paling tidak tiga puluh lima tahun penjara atas pemerkosaan dan
membebaskan dakwaan lainnya.
Namun, walaupun begitu, Dolly Schiller mungkin akan membuatku bertahan selama
bertahun-tahun. Aku membuat keputusan berikut ini dengan semua dampak hukumnya
berdasarkan sebuah surat wasiat yang telah kutandatangani: kuharap memoar ini
diterbitkan hanya bila Lolita telah meninggal dunia.
Lolita, tak ada di antara kita yang masih hidup ketika pembaca membuka buku ini.
Namun, selagi darah masih berdenyut melalui tanganku yang menulis, aku masih
bisa berbicara kepadamu dari sini ke Alaska. Setialah kepada Dickmu. Jangan
biarkan orang lain menyentuhmu. Jangan berbicara dengan orang tak dikenal.
Kuharap kau mencintai bayimu. Semoga ia laki-laki. Kuharap suamimu akan selalu
memperlakukanmu dengan baik. Karena, kalau tidak, hantuku akan mendatanginya
bagaikan asap hitam, bagaikan raksasa yang gila, dan terus menghantuinya. Dan
jangan mengasihani C.Q. Ada yang harus memilih di antara dia dan H.H. serta ada


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ingin H.H. hidup paling tidak dua bulan lebih lama agar dia membuatmu hidup
abadi dalam pikiran generasi selanjutnya. Aku memikirkan banteng dan malaikat,
rahasia zat warna tahan lama, soneta profetik, dan perlindungan seni.
Dan, hanya inilah keabadian yang bisa kubagi bersamamu, Lolitaku.
Tentang Pengarang Vladimir Nabokov dilahirkan di St. Petersburg, Rusia, pada 23 April 1899.
Keluarganya yang merupakan pengikut Tsar hijrah ke Jerman pada 1919
saat Revolusi Bolshevik. Nabokov belajar sastra Prancis dan Rusia di Trinity
College, Cambridge, dan 1919-1923, lalu tinggal di Berlin (1923-1937) dan Paris
(1937-1940), tempat ia mulai menulis, mula-mula dalam bahasa Rusia, dengan nama
samaran Sirin, dan kemudian dalam bahasa Inggris. Pada 1940, ia pindah ke
Amerika Serikat. Di sana ia menjalani karier yang cemerlang (sebagai novelis,
penyair, kritisi sastra, dan penerjemah), selain juga mengajar sastra di
Wellesley, Stanford, Cornell, dan Harvard. Sukses monumental novelnya, Lolita
(1955), membuatnya meninggalkan pekerjaan sebagai dosen dan hidup sepenuhnya
sebagai penulis. Pada 1961 ia hijrah ke Montreaux, Swiss, tempat ia wafat pada
1977. Ia dikenal sebagai empu novel dunia, baik dalam sastra berbahasa Rusia
maupun Inggris. Ia juga menerjemahkan sendiri sejumlah karyanya yang mula-mula
ditulis dalam bahasa Inggris ke bahasa Rusia, termasuk Lolita. Novel ini
dinobatkan sebagai salah satu karya sastra dunia paling berpengaruh di abad
kedua puluh oleh majalah internasional Time dan telah dua kali difilmkan.
Tentang Penerjemah aNtoN kurNia adalah seorang cerpenis, esais, penerjemah, dan editor.
Sejumlah cerpen, esai, dan karya terjemahannya dipublikasikan oleh berbagai
jurnal, majalah, dan koran, termasuk majalah sastra Horison, Jurnal Cerpen
Indonesia, Asia Literary Peview, Tempo, The Jakarta Post, dan Kompas. Ia juga
menyusun, menerjemahkan, dan memberi pengantar sejumlah antologi cerpen
terjemahan dari novel karya para pengarang terkemuka dunia. Bukunya yang telah
terbit antara lain kumpulan cerpen Insomnia (2004), kumpulan esai Dunia Tanpa
Ingatan: Sastra, Kuasa, Pustaka (2004), dan Ensiklopedia Sastra Dunia (2006).
Beberapa novel yang ia terjemahkan antara lain Harun dan Lautan Dongeng (Salman
Rushdie - 2002), Les Miserables (Victor Hugo - 2006), dan Seorang Sultan di Palermo
(Tariq Ali - 2007; diterjemahkan bersama istrinya, Atta Verin, dan diterbitkan
oleh Serambi). Budha Pedang Penyamun Terbang 14 Fear Street - Tukar Tubuh Switched Pedang Asmara 3

Cari Blog Ini