Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 9
berlari ke arahnya. Seorang lelaki berperut gendut mengenakan headphone, sedang
duduk di kabin sambil membetulkan pengungkit. Langdon mengetuk sisi mobil itu.
Lelaki itu terkejut dan melihat baju Langdon yang basah kuyup. Dia lalu
melepaskan headphonenya... "Ada apa, bung?" sapa lelaki itu dengan aksen
Australia. "Aku membutuhkan teleponmu." Lelaki itu mengangkat bahunya. "Tidak
ada nada sambung. Aku sudah mencobanya sepanjang malam ini. Kurasa saluran
telepon sedang penuh."
Langdon menyumpah keras. "Kamu melihat ada seseorang masuk ke dalam sana?" tanya
Langdon sambil menunjuk ke arah jalan masuk dengan pintu seperti jembatan itu.
"Sebenarnya, iya. Sebuah van hitam keluar masuk sepanjang malam ini."
Langdon merasa seperti sebuah batu bata menghantam dasar perutnya.
"Bangsat itu beruntung," kata lelaki Australia itu sambil menatap ke arah
menara, kemudian mengerutkan keningnya ketika melihat pemandangan ke Vatican
yang terhalang oleh gedung-gedung. "Aku bertaruh pemandangan dari atas sana
pasti sempurna Aku tidak dapat masuk ke Santo Petrus jadi aku harus mengambil
gambar dari sini." Langdon tidak mendengarkannya. Dia sedang mencari kesempatan.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya lelaki Australia itu. "Apakah 11th Hour Samaritan
itu nyata?" Langdon berpaling. "Apa?" "Kamu tidak mendengar" Kapten Garda Swiss
itu menerima telepon dari seseorang yang mengaku mempunyai info sangat penting.
Orang itu sekarang sedang terbang ke sini. Yang kutahu dia akan menyelamatkan
Vatican ... itu baru berita yang akan menaikkan rating." Lalu lelaki itu
tertawa. Tiba-tiba Langdon merasa bingung. Seorang Samaritan yang baik sedang terbang ke
sini untuk menolong" Apakah orang itu tahu di mana antimateri itu" Lalu mengapa
dia tidak langsung saja mengatakan kepada para Garda Swiss" Mengapa dia harus
datang sendiri ke sini" Ada yang aneh, tetapi Langdon tidak punya waktu untuk
memikirkannya. "Hei," seru lelaki Australia itu sambil mengamati Langdon dengan lebih seksama.
"Bukankah kamu lelaki yang kulihat di TV" Yang berusaha menolong kardinal di
Lapangan Santo Petrus?"
Langdon tidak menjawab. Matanya tiba-tiba terpaku pada sebuah alat yang
terpasang di atap truk itu - satelit yang dipasang di sebuah perlengkapan tambahan
yang dapat direbahkan. Langdon lalu melihat ke arah kastil sekali lagi. Benteng
di bagian luar setinggi lima puluh kaki, sementara benteng bagian dalamnya masih
menanjak lebih tinggi lagi. Sebuah sistem pertahanan tertutup. Puncaknya sangat
tinggi dari sini, tetapi kalau dia dapat melalui tembok pertama ....
Langdon berpaling pada lelaki itu dan menunjuk pada penyangga satelit itu.
"Berapa tingginya alat itu?"
"Hah?" Lelaki itu tampak bingung. "Lima belas meter. Mengapa?"
"Pindahkan truk itu ke dekat dinding. Aku membutuhkan bantuan." "Apa maksudmu?"
Langdon menjelaskan. Mata lelaki Australia itu terbelalak. "Apa kamu sudah gila"
Ini ekstensi teleskop seharga 200 ribu dolar. Bukan tangga!" "Kamu mau rating"
Aku punya informasi yang akan
membuatmu senang," kata Langdon putus asa. "Informasi seharga 200 ribu dolar?"
Langdon mengatakan padanya apa yang ingin
diungkapkannya untuk mengganti kebaikan lelaki itu. Sembilan puluh detik kemudian, Robert Langdon sudah
mencengkeram bagian atas alat pemancang satelit itu dan melambai tertiup angin
malam di atas ketinggian lima belas kaki dari tanah. Sambil mencondongkan
tubuhnya, dia meraih puncak dinding pagar pertama, menarik tubuhnya ke dinding,
lalu meloncat ke bagian yang lebih rendah dari benteng itu.
"Sekarang, ingat janjimu tadi!" seru lelaki Australia itu. "Di mana dia?"
Langdon merasa berdosa karena mengungkapkan informasi itu. Tetapi janji adalah
janji. Lagipula, si Hassassin juga mungkin akan menghubungi pers. "Piazza
Navona," teriak Langdon. "Dia ada di air mancurnya."
Lelaki Australia itu memendekkan pemancang cakram satelitnya dan mengejar berita
yang akan mengangkat karirnya. Di dalam ruangan batu yang terletak tinggi di
atas kota, si Hassassin membuka sepatu botnya yang basah dan membalut jari
kakinya yang terluka. Ada rasa sakit, tetapi tidak terlalu sakit karena dia
masih dapat bersenang-senang. Dia berpaling untuk memandang hadiahnya. Perempuan
itu berada di sudut ruangan, terlentang di atas sofa besar yang sederhana dengan
kedua tangannya terikat di belakang dan mulut tersumbat. Si Hassassin
mendekatinya. Perempuan itu sudah terjaga sekarang. Hal itu membuatnya senang.
Anehnya, di dalam mata perempuan itu dia melihat api, bukan sinar ketakutan.
Rasa takut itu akan datang.
107 ROBERT LANGDON BERLARI di atas tembok benteng, dan merasa senang karena ada
lampu sorot di dekatnya. Ketika dia memutari tembok itu, halaman di bawahnya
tampak seperti museum peralatan perang kuno. Di sana terlihat ketapel besar,
tumpukan peluru meriam dari pualam, dan sebuah gudang peluru yang berisi
peralatan yang mengerikan. Sebagian dari kastil itu terbuka bagi wisatawan pada
siang hari dan sebagian halamannya dipertahankan seperti aslinya.
Mata Langdon menyeberangi halaman menuju ke tengah tengah bangunan kastil di
hadapannya. Menara benteng berbentuk bundar itu menjulang setinggi 107 kaki
hingga ke patung malaikat dari perunggu di atasnya. Dari dalam balkon di atas
menara itu terlihat sinar memancar keluar. Langdon ingin memanggil dari
tempatnya berdiri saat ini tetapi dia tahu cara yang lebih baik. Dia harus
menemukan jalan masuk ke sana. Dia melihat jam tangannya. 11:12 malam. Sambil
berlari di jalan melandai dari batu yang mengelilingi bagian dalam tembok itu,
Langdon turun untuk menuju ke halaman. Ketika dia sudah berada di tanah datar
lagi, Langdon kembali berlari dalam kegelapan, dan bergerak searah dengan jarum
jam untuk mengelilingi benteng itu. Dia melewati tiga serambi, tetapi ketiganya
dikunci secara permanen. Bagaimana si Hassassin itu bisa masuk" Langdon terus
berlari. Setelah itu dia melewati dua pintu masuk bergaya modern, tetapi kedua pintu itu juga
terkunci dari luar. Tidak di sini. Dia terus berlari.
Langdon hampir mengelilingi seluruh gedung itu, hingga akhirnya dia melihat
sebuah jalanan berkerikil melintasi halaman di depannya. Di ujung satunya, di
sisi luar kastil itu, dia melihat bagian belakang dari jembatan tarik yang
menuju ke luar. Di ujung lainnya, jalan itu masuk ke dalam benteng. Jalan itu
tampaknya memasuki semacam terowongan - sebuah celah masuk ke pusat kastil. Il
traforo! Langdon pernah membaca tentang traforo yang terdapat di kastil itu,
sebuah jalan landai berputar di bagian dalam benteng yang digunakan oleh
komandan pasukan pada masa lalu untuk turun dari atas benteng dengan cepat
sambil menunggang kudanya. Si Hassassin itu mendaki ke atas! Pintu gerbang yang
menutup jalan itu terangkat, seperti membiarkan Langdon masuk dengan mudah.
Langdon merasa begitu gembira ketika dia berlari ke arah terowongan itu. Tetapi
ketika dia tiba di pintu masuknya, kegembiraannya menghilang. Terowongan
berputar itu menuju ke bawah. Salah jalan. Bagian dari traforo ini tampaknya
turun ke ruang bawah tanah, bukan ke atas. Dia berdiri di mulut lubang gelap itu yang
tampaknya berputar sangat dalam ke bawah tanah. Langdon ragu-ragu, lalu dia
melihat ke atas lagi, ke arah balkon dengan sinar samar itu. Dia sangat yakin
melihat sesuatu di sana. Putuskan! Tanpa adanya pilihan lainnya, Langdon berlari
menuruni tangga itu. Tinggi di atas Langdon, si Hassassin berdiri di depan
mangsanya. Dia membelai lengan perempuan itu. Kulit perempuan itu halus seperti
satin. Harapan untuk menjelajahi tubuh indahnya sudah tak tertahankan lagi.
Berapa banyak cara yang bisa dia lakukan untuk menganiaya perempuan ini"
Si Hassassin tahu dia berhak atas perempuan ini. Dia telah melayani Janus dengan
baik. Perempuan ini adalah rampasan perang, dan ketika dia sudah selesai dengan
perempuan ini, dia akan mendorongnya jatuh dari sofa dan memaksanya untuk
berlutut. Perempuan ini akan melayaninya lagi. Kepatuhan yang penghabisan. Lalu,
ketika dia sendiri sudah mencapai klimaksnya, dia akan menyembelih leher
perempuan itu. Ghayat assa'adah, mereka menyebutnya demikian. Kenikmatan yang penghabisan.
Setelah itu, dia akan larut di dalam kemenangannya dengan berdiri di atas balkon
dan menikmati puncak kemenangan Illuminati ... sebuah pembalasan dendam yang
telah diinginkan begitu banyak orang sejak begitu lama.
Terowongan itu menjadi semakin gelap. Tapi Langdon terus
menuruninya. Setelah dia betul-betul berada di dalam tanah, cahaya menghilang
sama sekali. Sekarang terowongan itu menjadi datar, dan Langdon memperlambat
langkahnya. Menurut gema langkah kakinya dia tahu dia mulai memasuki ruangan
yang lebih besar. Di depannya, di dalam keremangan, dia merasa melihat secercah
sinar ... pantulannya kabur dalam keremangan di sekitarnya. Dia bergerak maju
sambil mengulurkan tangannya. Tangannya menemukan permukaan yang halus di dalam
gelap. Khrom dan kaca. Itu sebuah kendaraan. Dia meraba permukaannya, lalu
menemukan sebuah pintu, dan membukanya.
Lampu di langit-langit mobil itu langsung menyala. Dia mundur ketika mengenali
mobil van hitam itu. Langdon langsung merasakan kebencian yang memuncak ketika
dia melihat ke dalam. Kemudian dia masuk ke dalam mobil. Langdon mencari-cari
sepucuk senjata untuk menggantikan senjatanya yang hilang di air mancur tadi.
Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Tapi dia menemukan ponsel milik Vittoria.
Ponsel itu rusak dan tidak dapat dipakai lagi. Keadaan itu membuatnya takut. Dia
berdoa supaya dia tidak terlambat.
Dia meraih ke depan dan menyalakan lampu depan mobil itu. Ruangan di sekitarnya
menjadi terang dan menunjukkan wujudnya. Ruangan itu sederhana dan kasar.
Langdon menduga kalau ruangan ini dulu pernah menjadi kandang kuda dan tempat
penyimpanan amunisi. Ruangan itu juga tidak memiliki pintu. Tidak ada jalan
keluar. Aku telah memilih jalan yang salah. Akhirnya dia meloncat keluar dan
mengamati dinding di sekitarnya. Tidak ada pintu keluar. Tidak ada gerbang. Dia
ingat pada malaikat yang menunjuk pintu masuk ke terowongan ini dan bertanyatanya apakah itu hanya sebuah kebetulan saja. Tidak! Dia ingat kata-kata si
pembunuh ketika mereka berada di air mancur tadi. Perempuan itu ada di Gereja
Pencerahan ... menunggu aku kembali. Langdon sudah datang terlalu jauh untuk
mengalami kegagalan sekarang. Jantungnya berdebar keras. Keputusasaan dan
kebencian mulai melumpuhkan akal sehatnya.
Ketika dia melihat darah di lantai, ingatan Langdon segera beralih ke Vittoria.
Tetapi ketika matanya mengikuti noda darah itu, dia melihat ada jejak kaki.
Langkahnya panjang dan noda darahnya hanya terdapat pada kaki kiri. Si
Hassassin! Langdon mengikuti jejak kaki itu ke arah sudut ruangan dan dia melihat
bayangannya menjadi semakin samar. Dia menjadi semakin bingung setiap kali dia
melangkah. Jejak darah itu tampak seolah langsung menuju ke arah sudut ruangan
itu lalu menghilang. Ketika Langdon tiba di sudut, dia tidak dapat memercayai matanya. Balok batu
granit di lantai di sini tidak persegi seperti yang lainnya. Dia ternyata
menemukan petunjuk lainnya. Balok itu diukir menjadi bentuk segi lima yang
sempurna, dan diatur sehingga ujungnya menunjuk ke arah sudut. Dengan cerdik
balok itu disamarkan oleh dinding yang berlapis, celah sempit di batu yang
berfungsi sebagai pintu keluar. Langdon menyelinap ke dalam. Dia sekarang berada
di sebuah gang. Di depannya terlihat sisa penghalang dari kayu yang dulu pasti
menjadi penutup terowongan itu. Ada cahaya dari kejauhan. Langdon sekarang
berlari. Dia melintasi kayu itu dan menuju ke arah datangnya sinar. Gang itu
dengan cepat membuka ke arah ruangan lain yang lebih besar. Di sini hanya ada
sebuah obor yang menyala di dinding. Ternyata Langdon berada di bagian kastil
yang tidak dialiri listrik ... bagian yang tidak pernah dimasuki wisatawan.
Ruangan itu pasti tampak mengerikan di siang hari. Nyala obor itu semakin
menambah kesuraman di sekitarnya. Il prigione. Ada belasan sel penjara kecil
dengan terali besi yang sudah keropos dimakan erosi. Tapi kemudian Langdon
menemukan sebuah sel yang lebih besar dengan terali yang masih tetap utuh. Di
lantai Langdon melihat sesuatu yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak beberapa jubah hitam dan setagen merah tergeletak di atas lantai. Di sinilah dia
menahan para kardinal itu!
Di dekat sel terdapat sebuah pintu besi di dinding. Pintu itu terbuka sedikit
dan dari situ Langdon dapat melihat sejenis gang. Dia berlari ke arah pintu itu.
Tetapi Langdon berhenti sebelum dia tiba di sana. Jejak darah itu tidak memasuki
gang itu. Ketika Langdon membaca tulisan di atas gang itu, dia tahu mengapa. Il
Passetto. Langdon terpaku. Dia pernah mendengar tentang terowongan itu berkalikali tanpa pernah mengetahui dengan pasti di mana tempat itu berada. Il Passetto
atau Gang Kecil adalah terowongan sempit sepanjang tiga perempat mil yang
dibangun antara Kastil Santo Angelo dan Vatican. Terowongan itu digunakan oleh
beberapa paus untuk melarikan diri ke tempat aman selama Vatican dikepung ...
juga ketika beberapa paus yang tidak terlalu saleh menggunakannya untuk
mengunjungi para kekasihnya atau menyaksikan penyiksaan musuh-musuh mereka.
Kini, kedua ujung terowongan itu pasti sudah ditutup dan kuncinya disimpan di
ruang penyimpanan di Vatican. Tiba-tiba Langdon khawatir dia tahu bagaimana
Illuminati bisa bergerak keluar masuk dari Vatican. Dia bertanya-tanya siapa
yang mengkhianati gereja dan mengeluarkan kunci itu. Olivetti" Salah satu dari
Garda Swiss" Sekarang itu sudah tidak penting lagi.
Kini jejak darah di lantai membawanya ke ujung yang berlawanan dengan penjara
itu. Langdon lalu mengikutinya. Di sini, terdapat gerbang berkarat dengan rantai
yang tergantung. Kuncinya tidak digembok lagi dan gerbang itu terbuka. Di dalam
gerbang itu terdapat tangga spiral yang curam. Lantai di sini juga ditandai oleh
balok bergambar pentagram. Langdon menatap balok itu dengan gemetar, dan
bertanya-tanya apakah Bernini sendiri yang memegang pahat dan membentuk
bongkahan batu itu. Di atasnya, terlihat sebuah pintu masuk berbentuk melengkung
yang dihiasi dengan kerubi kecil. Ini dia. Jejak darah menikung dan naik ke
tangga itu. Sebelum naik, Langdon tahu dia membutuhkan senjata, senjata apa
saja. Dia kemudian menemukan sepotong terali besi di dekat salah satu sel.
Ujungnya miring dan tajam. Walau berat sekali, itu adalah senjata terbaik yang
dapat ditemukannya. Dia berharap faktor kejutan, digabung dengan luka si
Hassassin, akan cukup menguntungkan dirinya. Harapan terbesarnya adalah dia
tidak datang terlambat. Anak tangga berputar itu rusak dan memutar curam ke atas. Langdon mulai mendaki
sambil mendengarkan kalau-kalau ada suara. Tidak ada. Ketika dia mendaki, cahaya
dari ruangan penjara di bawahnya memudar. Dia naik ke tempat yang gelap gulita
dengan satu tangannya tetap menyentuh dinding. Lebih tinggi lagi. Dalam
kegelapan, Langdon merasakan hantu Galileo sedang mendaki anak tangga yang sama
dan begitu bersemangat untuk berbagi pandangannya tentang surga kepada ilmuwan
lainnya. Langdon masih terheran-heran dengan keberadaan markas Illuminati itu. Ruang
pertemuan Illuminati berada di dalam sebuah gedung milik Vatican. Tidak
diragukan lagi, sementara para penjaga Vatican sedang keluar mencari-cari di
ruang bawah tanah dan rumah para ilmuwan ternama, kelompok Illuminati malah
sedang mengadakan pertemuan di sini ... tepat di bawah hidung Vatican. Tiba-tiba
itu tampak begitu sempurna. Bernini, sebagai kepala arsitek renovasi pasti
memiliki akses tidak terbatas di dalam gedung ini ... dia dapat mengubah bentuk
sesuai dengan keinginannya tanpa mendapat banyak pertanyaan. Berapa banyak jalan
masuk rahasia yang ditambahkan Bernini" Berapa banyak hiasan tersamar yang
menunjuk ke arah ini"
Gereja Pencerahan. Langdon tahu dia sudah dekat. Ketika tangga itu mulai
menyempit, Langdon merasa gang itu mengurungnya. Bayangan sejarah mulai
berbisik-bisik di dalam gelap, tetapi dia terus bergerak. Ketika dia melihat
secercah cahaya berbentuk horizontal di depannya, dia tahu dia sedang berdiri
beberapa anak tangga di bawah bordes, tempat sinar obor menyebar dari ambang
pintu di depannya. Tanpa menimbulkan suara, dia naik lagi.
Langdon tidak tahu di bagian kastil yang mana dia sekarang berada, tetapi dia
tahu dia telah mendaki cukup jauh untuk berada di dekat puncak. Dia membayangkan
patung malaikat berukuran besar yang berdiri di puncak kastil dan dia menduga
patung tersebut berada tepat di atasnya.
Lindungi aku malaikat, katanya dalam hati sambil mencengkeram terali besinya.
Kemudian, tanpa menimbulkan suara, dia meraih pintu. Di atas sofa, Vittoria
merasa kedua lengannya sakit. Ketika pertama kali terjaga dan mengetahui bahwa
kedua lengannya terikat di belakang punggungnya, Vittoria mengira dia dapat
bersantai dan berusaha membebaskan tangannya. Tetapi waktu telah habis. Monster
itu telah kembali. Sekarang lelaki itu berdiri di di dekatnya. Dadanya telanjang
dan bidang, tergoresgores karena perkelahian yang pernah dilaluinya. Matanya
tampak seperti dua buah celah hitam ketika menatap tubuhnya. Vittoria merasa
lelaki itu sedang membayangkan apa yang dapat dilakukannya dengan tubuhnya.
Perlahan, seolah mengejeknya, si Hassassin melepas ikat pinggangnya yang basah
dan menjatuhkannya di lantai.
Vittoria merasa sangat ketakutan. Dia memejamkan matanya. Ketika dia membukanya
lagi, si Hassassin telah mengeluarkan sebilah pisau lipat. Dia mengayunkannya
sehingga terbuka di depan wajah Vittoria. Vittoria melihat ketakutannya
terpantul di baja pisau itu. Si Hassassin membalik pisaunya dan menggoreskan
bagian punggung pisaunya di perut Vittoria. Rasa dingin dari pisau itu membuat
Vittoria menggigil. Dengan tatapan merendahkan, si Hassassin menyelipkan pisau
itu ke pinggang celana pendek Vittoria. Vittoria menahan napasnya. Si Hassassin
menggerakkan pisaunya ke depan dan ke belakang dengan perlahan ... lebih rendah
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya dan napasnya yang panas berhembus di
telinga Vittoria. "Pisau ini yang mencungkil mata ayahmu." Kemarahan segera
meledak dan membuat Vittoria merasa
mampu untuk membunuh lelaki itu saat itu juga. Si Hassassin memutar pisaunya
lagi dan mulai memotong ke atas melalui bahan khaki celana pendek Vittoria.
Tiba-tiba dia berhenti. Ada seseorang di dalam ruangan ini.
"Lepaskan dia!" suara laki-laki menggeram dari ambang pintu.
Vittoria tidak dapat melihat siapa yang berbicara di sana, tetapi dia mengenali
suara itu. Robert! Dia hidup!
Si Hassassin melihat ke arah Langdon seolah dia melihat hantu. "Ah Langdon, kamu
pasti punya malaikat penjaga."
108 KETIKA LANGDON SUDAH berada di dekat si pembunuh, dia tahu dirinya sedang berada
di tempat suci. Hiasan di dalam ruang sederhana itu, walau tua dan sudah pudar,
penuh dengan simbologi yang sudah tidak asing lagi. Lantai berbentuk segi lima.
Lukisan dinding yang menggambarkan planet-planet. Merpati. Piramida.
Gereja Pencerahan. Sederhana dan murni. Dia akhirnya bisa sampai di sini.
Langsung di depannya, dengan latar belakang pintu balkon yang terbuka, berdiri
si Hassassin. Dia bertelanjang dada, berdiri di dekat Vittoria yang terbaring
terikat tetapi jelas masih hidup. Langdon merasa sangat lega melihatnya. Saat
itu juga, mata Langdon bertemu dengan mata Vittoria, dan berbagai perasaan yang
campur aduk muncul - rasa syukur, putus asa, dan sesal.
"Jadi, kita bertemu lagi," kata si Hassassin. Dia melihat ke arah terali besi di
tangan Langdon dan tertawa keras. "Dan kali ini kamu datang padaku dengan
membawa itu?" "Bebaskan dia." Si Hassassin meletakkan pisaunya di leher
Vittoria. "Aku akan membunuhnya." Langdon tidak meragukan kemampuan si Hassassin untuk
melakukan tindakan semacam itu. Tapi dia berusaha berkata dengan tenang. "Kukira
dia akan lebih senang menerimanya ... daripada menghadapi hal lain yang kamu
ingin lakukan terhadapnya."
Si Hassassin tersenyum pada penghinaan itu. "Kamu benar. Dia punya banyak hal
untuk ditawarkan. Sayang sekali untuk dilewatkan."
Langdon melangkah ke depan, tangannya mencengkeram terali berkarat itu, dan
mengarahkan ujung potongan terali pada si Hassassin. Luka di tangannya terasa
sangat sakit. "Lepaskan dia."
Untuk sesaat, si Hassassin tampak mempertimbangkannya. Sambil menarik napas, dia
melemaskan bahunya. Itu jelas merupakan gerakan menyerah, tapi pada saat itu
juga lengan si Hassassin tampak terayun dengan cepat dan tidak terduga. Seperti
bayangan, tiba-tiba sebuah pisau datang merobek udara dan melesat ke arah dada
Langdon. Entah itu karena insting atau keletihan yang dirasakannya yang membuat Langdon
menekuk lututnya pada saat itu. Dia tidak tahu. Tapi yang pasti pisau tersebut
melayang dan nyaris mengenai telinga kirinya dan jatuh ke lantai di belakang
Langdon. Si Hassassin tampak tidak peduli. Dia tersenyum pada Langdon yang
sekarang berlutut sambil masih menggenggam terali besi itu. Pembunuh itu
melangkah menjauh dari Vittoria, dan bergerak ke arah Langdon seperti seekor
singa yang mengancam. Ketika Langdon berusaha bangkit dan mengangkat terali itu lagi, kaus turtleneck
dan celananya yang basah tiba-tiba terasa lebih membatasi dirinya. Sementara
itu, si Hassassin yang setengah berpakaian, tampak bergerak jauh lebih cepat dan
luka di kakinya tampak sama sekali tidak memperlambat gerakannya. Langdon
mengira, lelaki ini pasti sudah terbiasa dengan rasa sakit. Untuk pertama kali
dalam hidupnya, Langdon berharap dia membawa sepucuk senjata yang besar sekali.
Si Hassassin bergerak berkeliling dengan perlahan seolah sedang menikmati
waktunya. Dia selalu berusaha untuk menjaga jarak lalu bergerak ke arah pisau
yang tergeletak di lantai. Langdon menghalanginya. Kemudian si pembunuh bergerak
kembali ke arah Vittoria. Sekali lagi Langdon mencegahnya.
"Masih ada sedikit waktu," kata Langdon. "Katakan di mana tabung itu. Vatican
akan membayarmu lebih banyak daripada yang dapat dibayarkan Illuminati." "Kamu
naif sekali." Langdon mengayunkan potongan besi itu. Si Hassassin mengelak.
Langdon bergerak ke sekitar bangku sambil memegang senjata di depannya, dan
berusaha menyudutkan si Hassassin di ruangan oval ini. Ruangan keparat ini tidak
memiliki sudut! Anehnya, si Hassassin tidak menunjukkan niat untuk menyerang
Langdon ataupun melarikan diri. Dia hanya mengikuti permainan Langdon. Menunggu
dengan tenang. Tapi menunggu apa" Si pembunuh itu terus bergerak berkeliling. Tak diragukan
lagi, dia ahli dalam menempatkan diri. Ini seperti permainan catur yang tidak
ada akhirnya. Senjata di tangan Langdon mulai terasa berat, dan tiba-tiba dia
tahu apa yang ditunggu oleh si Hassassin itu. Dia menungguku sampai aku
kecapekan. Dia berhasil. Langdon mulai merasa letih, dan adrenalin saja tidak
cukup untuk membuatnya waspada. Langdon tahu, dia harus bertindak.
Si Hassassin tampaknya dapat membaca pikiran Langdon, lalu dia bergeser lagi
seolah menggiring Langdon ke arah meja di tengah ruangan itu. Langdon dapat
melihat ada sesuatu di atas meja itu. Sesuatu yang berkilauan ditimpa cahaya
obor. Sebuah senjata" Langdon tetap memusatkan tatapannya pada si Hassassin dan
juga bergerak ke arah meja itu. Ketika si Hassassin kembali bergeser, dengan
sengaja dia melirik ke arah meja. Langdon berusaha untuk mengabaikan umpan itu,
tetapi nalurinya melawannya. Dia ikut juga mencuri pandang. Hasilnya cukup
membuat Langdon jera. Benda yang terletak di atas meja itu sama sekali bukan senjata. Pandangannya
membuatnya terpaku sejenak.
Di atas meja itu tergeletak sebuah peti perunggu sederhana, berkilap karena
usianya yang sudah sangat kuno. Peti itu berbentuk segilima dengan tutup yang
terbuka. Di dalamnya terdapat lima bagian yang berisi lima cap. Cap itu terbuat
dari besi tempa dan memiliki alat cap yang besar dengan tangkai pegangan dari
kayu. Langdon tahu dengan pasti apa yang tertulis di kelima cap itu.
ILLUMINATI, EARTH (tanah), AIR (udara), FIRE (api), WATER (air).
Langdon menatap si Hassassin kembali, khawatir dia akan menyergapnya. Tetapi si
Hassassin ternyata tidak melakukan apa-apa. Si pembunuh itu sedang menunggu,
seolah merasa segar kembali karena permainan itu. Langdon berusaha untuk
mengembalikan konsentrasinya dan kembali menatap tajam ke arah buruannya sambil
mengancamnya dengan terali besi runcing itu. Tetapi bayangan kotak perunggu itu
tetap membayang dalam benaknya. Walau cap itu sendiri membuatnya terpesona
karena selama ini menjadi artifak yang diragukan keberadaannya oleh beberapa
akademisi pengamat Illuminati, tapi Langdon tiba-tiba menyadari kalau di dalam
peti itu pasti ada benda lainnya. Ketika si Hassassin bergerak lagi, Langdon
kembali mencuri pandang ke bawah sana. Ya Tuhan! Di dalam peti, kelima cap itu
terletak di dalam wadah yang berada di pinggirannya. Tapi di tengah-tengahnya
masih ada wadah lainnya. Dan wadah itu kosong sehingga pasti ada sebuah cap
lainnya yang disimpan di situ ... sebuah cap yang jauh lebih besar dari yang
lainnya, dan betul-betul persegi. Serangan yang datang ke arahnya sungguh tidak
terduga. Si Hassassin menyambar ke arah Langdon seperti seekor burung pemangsa.
Konsentrasi Langdon terpecah setelah si Hassassin membiarkannya melihat ke isi
peti itu sehingga ketika dia berusaha melawannya, dia merasa tongkat besi yang
dibawanya terasa seberat batang pohon. Dia menangkis terlalu lambat. Si
Hassassin mengelak. Ketika Langdon mencoba untuk menarik kembali senjatanya,
tangan si Hassassin terulur cepat dan menangkapnya. Cengkeraman si Hassassin
kuat, dan lengannya yang terluka sama sekali tidak memengaruhinya. Kedua lelaki
itu berkelahi dengan sengit. Langdon merasa besi itu dirampas dengan kasar dari
tangannya sehingga membuat telapak tangannya terasa sakit. Sesaat kemudian,
Langdon menatap ujung tajam dari tongkat besi yang tadi dipegangnya. Sang
pemburu sekarang menjadi buruan.
Langdon merasa seperti baru saja diterjang badai. Si Hassassin mengelilinginya
sambil tersenyum dan mendesak Langdon ke dinding. "Apa pepatah Amerikamu itu?"
tanyanya dengan nada menghina. "Sesuatu tentang rasa penasaran dan kucing?"
Langdon hampir tidak dapat memusatkan pikirannya. Dia mengutuk kecerobohannya
sendiri ketika si Hassassin bergerak mendekat. Ini tidak masuk akal. Enam cap
Illuminati" Dalam keputusasaannya Langdon asal bicara. "Aku tidak pernah
mendengar tentang cap Illuminati yang keenam!"
"Kupikir seharusnya kamu sudah pernah mendengarnya." Pembunuh itu tertawa ketika
dia menggiring Langdon ke arah dinding oval.
Langdon bingung. Dia yakin dia tidak pernah mendengarnya. Ada lima cap
Illuminati. Dia mundur sambil mencari senjata apa saja yang ada di dalam ruangan
itu. "Sebuah kesatuan sempurna dari elemen-elemen kuno," kata si Hassassin. "Cap yang
terakhir adalah cap yang paling cemerlang. Aku khawatir kamu tidak akan pernah
melihatnya." Langdon merasa dia tidak akan melihat apa-apa lagi saat ini. Dia terus mundur
sambil mengamati ruangan untuk mencari sesuatu untuk mempertahankan diri. "Dan
kamu sudah pernah melihat cap terakhir itu?" tanya Langdon sambil mencoba
mengulur waktu. "Mungkin suatu hari kelak mereka akan menghormatiku. Ketika aku membuktikan
kalau aku memang pantas." Dia meninju Langdon seolah dia menikmati sebuah
permainan. Langdon bergeser ke belakang Iagi. Dia merasa bahwa si Hassassin mengarahkannya
ke sekitar dinding menuju ke suatu tujuan yang tidak terlihat. Ke mana" Langdon
tidak mampu melihat ke belakangnya. "Cap itu" " tanyanya. "Di mana itu?"
"Bukan disimpan di sini. Sepertinya Janus adalah satu satunya orang yang
memegang cap itu." "Janus?" Langdon tidak mengenal nama itu. "Pemimpin
Illuminati. Dia akan segera datang." "Pemimpin Illuminati akan datang ke sini?"
"Untuk memberikan cap terakhir." Langdon menatap Vittoria dengan perasaan takut.
Anehnya, Vittoria tampak tenang. Matanya terpejam dari dunia di sekitarnya
sementara paru-parunya naik-turun dengan perlahan ... seperti mengambil napas
dengan dalam. Apakah Vittoria akan menjadi korban terakhir" Atau dia sendiri"
"Sombong sekali," desis si Hassassin sambil menatap mata Langdon. "Kalian berdua
tidak ada artinya. Tentu saja kalian memang akan mati. Itu dapat kupastikan.
Tetapi korban terakhir yang tadi kubicarakan adalah seorang musuh yang betulbetul berbahaya." Langdon mencoba mencerna kata-kata si Hassassin. Seorang musuh yang berbahaya"
Semua kardinal teratas sudah tewas, Paus juga sudah mereka bunuh. Kelompok
Illuminati sudah menyapu mereka semua habis-habisan. Akhirnya Langdon menemukan
jawabannya di dalam kekosongan mata si Hassassin. Sang camerlegno. Camerlegno
Ventresca menjadi satu-satunya harapan dunia dalam menghadapi cobaan ini. Malam
ini sang camerlegno sudah menyalahkan Illuminati lebih banyak daripada yang
dilakukan oleh para pembuat teori konspirasi selama puluhan tahun.
"Kau tidak akan pernah bisa mendekatinya," kata Langdon menantang.
"Bukan aku," jawab si Hassassin sambil memaksa Langdon kembali tersudut ke
dinding "Kehormatan itu diberikan kepada Janus sendiri."
"Ketua Illuminati sendiri yang berniat untuk mencap sang camerlegno?" "Kekuasaan
mempunyai haknya tersendiri." "Tetapi tidak seorang pun dapat memasuki Vatican
City saat ini!" Si Hassassin tampak berpuas diri. "Bisa saja kalau dia
mempunyai perjanjian." Langdon merasa bingung. Satu-satunya orang yang
diharapkan datang ke Vatican sekarang adalah seorang yang disebut pers sebagai
11th Hour Samaritan, seseorang yang menurut Rocher mempunyai informasi yang
dapat menyelamatkan - Langdon tiba-tiba berhenti. Astaga! Si Hassassin
menyeringai, jelas dia menikmati kesadaran Langdon yang menyakitkan itu. "Aku
juga bertanya-tanya bagaimana Janus bisa memperoleh izin masuk. Lalu, di van
ketika aku mendengarkan radio, mereka melaporkan tentang 11th Hour Samaritan."
Dia tersenyum. "Vatican akan menerima Janus dengan tangan terbuka."
Langdon hampir tersungkur ke belakang. Janus adalah Samaritan itu! Itu adalah
penipuan yang tak terduga. Ketua Illuminati itu akan mendapatkan pengawalan
kehormatan langsung ke ruang kerja sang camerlegno. Tetapi bagaimana Janus dapat
menipu Rocher" Atau Rocher juga terlibat" Langdon merasa sangat ngeri. Sejak dia
hampir mati kehabisan udara di ruang arsip rahasia, Langdon tidak lagi
memercayai Rocher sepenuhnya.
Si Hassassin tiba-tiba mengayunkan tinjunya, menyerang Langdon ke samping.
Langdon meloncat ke belakang, kemarahannya membara. "Janus tidak akan keluar
dari Vatican dalam keadaan hidup!"
Si Hassassin mengangkat bahunya. "Kadang kala cita-cita sepadan dengan
kematian." Langdon merasa pembunuh itu bersungguh-sungguh. Janus datang ke Vatican City
dalam misi bunuh diri" Pencarian kehormatan" Saat itu juga Langdon mengerti
keseluruhan persekongkolan ini. Persekongkolan Illuminati yang sempurna. Tanpa
sengaja Illuminati telah menciptakan pemimpin baru ketika mereka membunuh Paus
yang selama ini menjadi musuh bebuyutan mereka. Dan tantangan terbesar yang ada
sekarang adalah pemimpin Illuminati harus membunuh pemimpin baru tersebut.
Tiba-tiba, Langdon merasa dinding di belakangnya menghilang. Lalu ada udara
dingin menyerbu sehingga dia menjadi terhuyung-huyung ke dalam kegelapan malam.
Balkon itu! Sekarang dia baru tahu apa yang ada di dalam benak si Hassassin.
Langdon segera merasakan keberadaan jurang di belakangnya, jurang sedalam
ratusan kaki dengan halaman yang terhampar di bawahnya. Dia tadi sudah
melihatnya sebelum masuk ke sini. Si Hassassin sudah tidak ingin membuang waktu
lagi. Dengan sebuah dorongan yang kejam, dia menyergap. Tombak di tangannya
memotong ke arah pinggang Langdon. Langdon tergelincir ke belakang, dan ujung
tombak itu hanya mengenai pakaiannya. Ujung tombak itu mengarah kepadanya lagi.
Langdon semakin terdesak ke belakang, dan sudah merasakan pagar balkon di
belakangnya. Tidak diragukan lagi, ayunan yang berikutnya akan membunuhnya. Tapi
Langdon mencoba sesuatu yang nekad. Dia berputar ke samping dan mengulurkan
tangannya untuk meraih tongkat besi itu sehingga dia merasakan sakit di telapak
tangannya. Dia menahannya.
Si Hassassin tampak tidak terganggu. Mereka saling tarik sesaat, saling
bertatapan. Langdon dapat mencium napas si Hassassin. Terali besi runcing itu
mulai terlepas dari genggaman Langdon. Si Hassassin terlalu kuat. Dengan putus
asa, Langdon mengulurkan kakinya, walau membahayakan keseimbangannya, dan
berusaha menginjakkan kakinya ke kaki si Hassassin yang terluka. Tetapi si
pembunuh itu sangat berpengalaman dan segera bergerak melindungi kelemahannya.
Langdon telah memainkan kartu terakhirnya. Dan dia tahu, dia akan kalah.
Kedua tangan si Hassassin terjulur ke depan, mendorong Langdon ke belakang
sehingga menghantam pagar balkon. Langdon tidak merasakan apa-apa selain
kekosongan di belakangnya ketika merasakan pagar yang ternyata hanya setinggi
bokongnya. Si Hassassin memegangi terali besi tersebut secara menyilang dan
mendorongkannya ke dada Langdon. Punggung Langdon melengkung di atas jurang.
"Ma'assalamah," si Hassassin mendesis. "Selamat tinggal."
Dengan tatapan tanpa belas kasihan, si Hassassin memberikan dorongan terakhir.
Langdon kehilangan keseimbangan dan kakinya terangkat dari lantai. Tak lama
kemudian, tubuhnya melayang melewati pagar. Hanya dengan insting bertahan diri
yang masih tersisa, Langdon berhasil meraih pinggiran pagar agar tidak jatuh ke
bawah. Tangan kirinya tergelincir, tapi tangan kanannya masih sempat berpegangan
di pagar. Sementara itu, kakinya berusaha menemukan pijakan di bawahnya. Dia
akhirnya tergantunggantung dan menahan berat tubuhnya dengan kaki dan satu
tangan ... berusaha untuk tetap bertahan.
Si Hassassin mencondongkan tubuhnya dan mengangkat terali besi itu ke atas,
bersiap memukulkannya ke tangan Langdon. Ketika tongkat besi itu mulai terayun
cepat, Langdon melihat sebuah bayangan. Mungkin itu adalah gambaran kematiannya
sendiri atau hanya ketakutan yang luar biasa. Tetapi pada saat itu juga, dia
melihat aura di sekitar si Hassassin. Sebuah cahaya tampak membesar dari sesuatu
yang tidak terlihat di belakang si pembunuh ... seperti bola api yang mendekat.
Ayunan tongkat besi itu tiba-tiba terhenti di udara. Si Hassassin tiba-tiba
menjatuhkan tongkatnya dan berteriak kesakitan.
Terali besi itu jatuh melewati tubuh Langdon dan ditelan kegelapan malam. Si
Hassassin berputar ke dalam, dan Langdon melihat api menyala di punggung si
pembunuh. Langdon mengangkat wajahnya ke atas dan melihat Vittoria. Mata
Vittoria menyala ketika menghadapi si Hassassin.
Vittoria mengayunkan obor itu di depannya. Perasaan dendam di wajahnya terlihat
jelas di balik nyala api. Bagaimana dia bisa terbebas, Langdon tidak peduli.
Langdon mulai berusaha untuk naik melintasi pagar balkon itu.
Pertempuran itu akan berlangsung singkat saja. Si Hassassin adalah lawan yang
sangat tangguh. Sambil berteriak kesakitan, pembunuh itu menyerang Vittoria. Dia
mencoba mengelak, tetapi lelaki itu sudah di atasnya dan mencoba merebut obor
itu darinya. Langdon tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia segera meloncati
pagar, dan memukulkan tinjunya di punggung si Hassassin yang terbakar.
Teriakannya seperti menggema ke seluruh Vatican. Sesaat si Hassassin seperti
membeku, punggungnya melengkung kesakitan. Dia melepaskan obor yang tadi
direbutnya dari musuhnya dan Vittoria menekankan obor itu ke wajah si Hassassin.
Ada suara berdesis dari daging yang terbakar ketika mata kiri si Hassassin
terpanggang. Dia berteriak lagi, dan mengangkat tangannya ke wajahnya.
"Satu mata untuk satu mata," desis Vittoria. Kali ini Vittoria mengibasngibaskan obor itu seperti sebuah tongkat pemukul. Ketika obor itu mengenai
tubuh si Hassassin lagi, lelaki besar itu terhuyung-huyung ke arah pagar balkon.
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Langdon dan Vittoria bersama-sama mengejarnya dan kemudian mendorongnya. Tubuh
si Hassassin terdorong ke belakang, melewati pagar itu dan melayang ke
kegelapan. Tidak ada jeritan. Satu-satunya suara hanyalah derak tulang punggung
yang patah ketika si Hassassin mendarat di atas tumpukan bola peluru meriam di
bawah dengan lengan dan kaki terentang seperti sayap elang.
Langdon berpaling pada Vittoria dengan bingung. Tali dengan ikatannya yang
longgar masih bergantung di pinggang dan bahunya. Mata Vittoria masih menyalanyala. "Ternyata Houdini belajar yoga juga."
109 SEMENTARA ITU, di Lapangan Santo Petrus, sebarisan Garda Swiss meneriakkan
perintah dan menyebar ke luar. Mereka berusaha untuk mendorong kerumunan massa
agar kembali ke jarak yang aman. Tapi tidak ada gunanya. Kerumunan itu terlalu
rapat dan tampak terlalu tertarik pada Vatican yang sedang menunggu
kehancurannya daripada memerhatikan keselamatan mereka sendiri. Atas kebaikan
sang camerlegno, layar dari berbagai media yang menjulang di lapangan itu
sekarang menayangkan laporan langsung yang memperlihatkan tabung antimateri yang
sedang menghitung mundur. Gambar itu diambil langsung dari monitor keamanan
Garda Swiss. Celakanya, gambar tabung itu tidak membuat takut kerumunan itu.
Orang-orang di lapangan tampaknya ingin melihat tetes kecil dari cairan yang
tertopang di dalam tabung itu dan merasa yakin kalau benda itu tidak terlalu
mengancam seperti yang para petugas katakan. Mereka juga dapat melihat jam yang
berdetik mundur sekarang. Mereka masih memiliki waktu 45 menit sebelum meledak.
Masih banyak waktu untuk tinggal dan menonton.
Meskipun begitu, Garda Swiss secara bulat telah setuju bahwa keputusan sang
camerlegno untuk memberikan pernyataan kepada dunia tentang kebenaran dan
menunjukkan tayangan visual yang sebenarnya dari ancaman Illuminati yang berupa
antimateri itu kepada pers, adalah tindakan yang cerdas. Illuminati pasti
mengharapkan Vatican untuk terus menjadi lembaga yang diam seperti biasanya
ketika menghadapi kemalangan. Tetapi tidak malam ini. Camerlegno Carlo Ventresca
telah membuktikan dirinya mampu mengatasi musuh. Di dalam Kapel Sistina,
Kardinal Mortati menjadi cemas. Saat itu pukul 11:15 malam. Sebagian besar dari
para kardinal itu terus berdoa, tetapi yang lainnya telah berkumpul di depan
pintu keluar, jelas merasa tidak tenang karena berjalannya waktu. Beberapa orang
kardinal mulai menggedor pintu dengan kepalan tangan mereka.
Di luar pintu, Letnan Chartrand mendengar gedoran itu dan tidak tahu apa yang
harus dilakukannya. Dia melihat jam tangannya. Ini sudah waktunya. Kapten Rocher
telah memberikan perintah keras agar tidak membiarkan para kardinal itu keluar
hingga dia memberikan perintah selanjutnya. Gedoran di pintu menjadi lebih
sering dan Chartrand merasa tidak tenang. Dia bertanya-tanya apakah sang kapten
sudah lupa. Sang kapten telah bertindak sangat tidak menentu sejak dia menerima
telepon misterius itu. Chartrand mengeluarkan walkie-talkie-nya. "Kapten" Chartrand di sini. Ini sudah
lewat dari waktunya. Haruskah saya membuka pintu Kapel Sistina?"
"Pintu itu harus tertutup. Aku 'kan sudah memberimu perintah." "Ya, Pak. Saya
hanya - " "Tamu kita akan segera datang. Bawa beberapa orang ke atas dan jaga
pintu Kantor Paus. Sang camerlegno tidak boleh pergi ke mana-mana." "Maaf, Pak?"
"Apa yang tidak kamu mengerti, Letnan?" "Tidak ada, Pak. Segera saya
laksanakan." Di atas, di Kantor Paus, sang camerlegno masih bermeditasi dengan
tenang di depan api perapian. Beri aku kekuatan, Tuhan. Bawakan kami keajaiban.
Dia menepuk tumpukan arang di hadapannya sambil bertanya-tanya apakah dia akan
selamat malam ini. 110 PUKUL 11 LEWAT 23 malam. Vittoria berdiri gemetar di atas balkon Kastil Santo
Angelo sambil menatap ke arah Roma. Matanya basah karena air mata. Dia sangat
ingin memeluk Langdon, tetapi dia tidak bisa. Tubuhnya terasa seperti mati rasa.
Dia sedang berusaha memahami semua yang terjadi hari ini. Lelaki yang telah
membunuh ayahnya telah tergeletak di bawah, mati, dan dia hampir menjadi
korbannya juga. Ketika tangan Langdon menyentuh bahunya, kehangatan yang tidak tampak secara
ajaib mencairkan es dalam diri Vittoria. Tubuhnya bergetar. Kabut di kepalanya
seperti terangkat. Kemudian dia berpaling. Robert tampak kacau sekali. Tubuhnya
basah dan pakaiannya kusut. Lelaki itu pasti telah melalui pencucian dosa yang
berat sebelum sampai ke sini untuk menolongnya. "Terima kasih ...," bisik
Vittoria. Langdon tersenyum letih dan mengingatkan bahwa Vittorialah yang berhak
menerima ucapan terima kasih. Kemampuannya untuk menggeser tulang bahunyalah
yang telah menyelamatkan mereka berdua. Vittoria mengusap matanya. Dia bisa saja
berdiri di situ berdua saja dengan Langdon selamanya, tetapi itu tidak mungkin.
"Kita harus keluar dari sini," kata Langdon. Pikiran Vittoria sedang berada di
tempat lain. Dia sedang menatap ke Vatican. Negara terkecil di dunia itu tampak
dekat sekali, bersinar karena serangan lampu media. Dia sangat terkejut karena
banyak bagian dari Lapangan Santo Petrus masih terisi oleh orang-orang. Garda
Swiss tampaknya hanya dapat mengusir mereka hingga 150 kaki ke belakang - area
yang berada tepat di depan gereja dan kurang dari sepertiga dari lapangan itu.
Lapisan kerumunan orang yang memenuhi lapangan semakin memadat. Mereka yang tadi
berada di tempat yang lebih aman, sekarang berkumpul lebih dekat, mengurung
orang-orang yang sudah berada di lapisan dalam. Mereka terlalu dekat! Pikir
Vittoria. Sangat terlalu dekat! "Aku akan kembali ke sana lagi," kata Langdon
datar. Vittoria berpaling dan menatap dengan ragu. "Ke Vatican?" Langdon
menceritakan tentang Samaritan kepada Vittoria, dan menjelaskan kenapa hal itu
menjadi penting. Ketua Illuminati, seorang bernama Janus, benar-benar akan
datang untuk mencap sang camerlegno. Sebuah tindakan dominasi Illuminati yang
terakhir. "Tidak seorang pun di Vatican tahu akan hal itu," kata Langdon. "Aku tidak tahu
bagaimana menghubungi mereka, dan orang ini akan datang sebentar lagi. Aku harus
memperingatkan para penjaga sebelum mereka membiarkannya masuk." "Tetapi kamu
tidak akan dapat menembus kerumunan itu!" Suara Langdon terdengar sangat
meyakinkan. "Ada jalan
lain. Percayalah padaku." Sekali lagi Vittoria merasa ahli sejarah di hadapannya
ini tahu sesuatu yang tidak diketahuinya. "Aku ikut." "Tidak. Mengapa membahayakan
kita berdua - " "Aku harus mencari jalan untuk mengusir orang-orang itu
dari lapangan! Mereka dalam bahaya besar - " Ketika itu, balkon tempat mereka
berdiri mulai bergetar. Suara yang memekakkan telinga mulai mengguncangkan
kastil itu. Lalu sebuah cahaya putih dari arah Basilika Santo Petrus menyilaukan
mata mereka. Vittoria hanya ingat pada satu hal. Oh, Tuhan! Antimateri itu
meledak lebih awal! Tetapi suara gemuruh itu bukan karena sebuah ledakan, melainkan sorak sorai riuh
yang berasal dari kerumunan tersebut. Vittoria menyipitkan matanya ke arah sinar
itu. Ada serbuan sinar lampu-lampu pers dari lapangan. Ketika mata Vittoria
sudah dapat menyesuaikan diri, dia tahu sepertinya sinar itu diarahkan kepada
mereka! Semua orang berpaling ke arah mereka, berteriak-teriak dan menunjuknunjuk. Suara riuh itu semakin keras. Udara di lapangan tiba-tiba tampak menjadi
riang gembira. Langdon tampak keheranan. "Apa-apan itu?" Langit di atas mereka
menderu. Tiba-tiba, dari belakang menara muncul sebuah helikopter kepausan.
Helikopter itu bergemuruh lima puluh kaki di atas mereka, langsung menuju ke
Vatican City. Ketika helikopter itu melintas di atas mereka, disinari lampu
sorot media, kastil Santo Angelo seperti bergetar. Sinar itu mengikuti
helikopter tersebut ketika melintas di atas kastil. Setelah itu Langdon dan
Vittoria kembali berdiri di dalam kegelapan.
Vittoria merasa tidak tenang karena mereka tahu mereka terlambat ketika melihat
helikopter besar itu melambat dan berhenti di atas Lapangan Santo Petrus.
Helikopter itu membuat debu berterbangan di sekitarnya, lalu mendarat di bagian
yang terbuka di lapangan itu, di antara kerumunan orang dan gereja, dan
menyentuh dasar tangga gereja.
"Itu juga jalan masuk," kata Vittoria. Di lantai pualam putih, Vittoria dapat
melihat seseorang keluar dari Vatikan dan bergerak ke arah helikopter itu. Dia
tidak akan dapat mengenali sosok itu kalau tidak karena baret merah yang
dikenakan di kepala orang itu. "Sambutan penuh penghormatan. Itu Rocher."
Langdon meninju pagar balkon dengan gemas. "Seseorang harus memperingatkan
mereka!" Dia beranjak pergi.
Vittoria menangkap lengannya. "Tunggu!" Dia baru saja melihat yang lainnya,
sesuatu yang tidak ingin dipercayainya. Dengan jari gemetar, dia menunjuk ke
arah helikopter itu. Walau dari jarak sejauh ini, Vittoria tetap tidak mungkin
salah. Sesosok yang lainnya mulai menuruni anak tangga helikopter ... sesosok
yang bergerak begitu aneh sehingga dapat dipastikan hanya satu orang yang dapat
bergerak seperti itu. Walau sosok itu duduk, dia bergerak dengan cepat ke
lapangan terbuka tanpa kesulitan dan dengan kecepatan yang mengagumkan. Seorang
raja di atas singgasana listrik. Orang itu Maximilian Kohler.
111 KOHLER MERASA MUAK oleh kemewahan yang terlihat dari Hallway of the Belvedere.
Sehelai daun emas di langit-langit sendiri dapat membiayai penelitian kanker
selama setahun. Rocher mengantar Kohler melalui jalan naik yang landai menuju
Istana Apostolik. "Tidak ada lift?" tanya Kohler. "Tidak ada listrik," jawab
Rocher sambil menunjuk pada lilin-lilin yang menyala di sekitar mereka di dalam
gedung gelap itu. "Bagian dari taktik pencarian kami." "Taktik yang pasti tidak
berhasil." Rocher mengangguk. Kohler terbatuk lagi dengan keras dan dia tahu ini
mungkin yang terakhir baginya. Pikiran itu sama sekali tidak mengganggunya.
Ketika mereka tiba di lantai atas dan memandang ke koridor yang menuju ke Kantor
Paus. Empat orang Garda Swiss berlari ke arah mereka dengan wajah kebingungan.
"Kapten, apa yang Anda lakukan disini" Saya pikir, tamu kita ini mempunyai
informasi yang - " "Beliau hanya mau berbicara dengan sang camerlegno." Penjaga
itu mundur dengan wajah curiga. "Katakan kepada sang camerlegno," kata Rocher
dengan tegas, "Direktur CERN, Maximilian Kohler, ada di sini untuk bertemu
dengan beliau. Segera."
"Ya, Pak!" Salah satu dari penjaga itu berlari ke arah kantor sang camerlegno
sementara yang lainnya tetap di tempat. Mereka mengamati Rocher dan tampak tidak
tenang. "Tunggu sebentar, kapten. Kami akan memberi tahu kedatangan tamu Anda."
Kohler terus berjalan. Dia berpaling dengan tajam dan menggerakkan kursi rodanya
di sekitar penjaga-penjaga itu.
Penjaga itu berpaling dan berlarian di samping lelaki tua itu. "Fermati! Pak,
berhenti!" Kohler merasa jijik pada mereka. Bahkan penjaga keamaan yang paling hebat di
dunia juga merasa iba kepada orang cacat. Kalau Kohler seseorang yang sehat,
penjaga itu pasti tidak ragu untuk merobohkannya. Orang cacat itu tidak berdaya,
pikir Kohler. Begitulah apa yang dipercaya oleh seluruh dunia.
Kohler tahu dia hanya mempunyai waktu yang sedikit untuk menyelesaikan apa yang
membuatnya datang ke sini. Dia juga tahu dia mungkin akan mati di sini malam
ini. Dia heran betapa dia tidak peduli. Kematian adalah risiko yang siap
ditanggungnya. Dia bekerja keras dalam hidupnya dan tidak akan membiarkan
pekerjaannya itu dihancurkan begitu saja oleh seseorang seperti Camerlegno
Ventresca. "Signore!" penjaga itu berteriak dan berlari ke depan untuk membuat barisan yang
menghalangi langkah Kohler. "Kamu harus berhenti!" Salah satu dari mereka
mengeluarkan pistol dan membidikkan ke Kohler. Kohler berhenti. Rocher melangkah
maju dan tampak menyesal. "Pak Kohler, saya mohon. Ini hanya sebentar saja.
Tidak ada yang boleh memasuki Kantor Paus tanpa pemberitahuan."
Kohler dapat melihat di dalam mata Rocher bahwa dia tidak punya pilihan kecuali
menunggu. Baik, pikir Kohler. Kita akan menunggu.
Tampaknya penjaga-penjaga itu menghentikan Kohler di sebelah cermin setinggi
tubuh yang berkilauan. Pantulan dirinya di cermin itu tidak membuat Kohler
senang. Kemarahan lama itu muncul lagi. Itu yang membuatnya kuat. Dia sekarang
berada di antara musuhnya. Orang-orang inilah yang telah merampok harga dirinya.
Inilah orang-orang itu. Karena merekalah dia tidak pernah merasakan sentuhan
perempuan ... dia tidak pernah dapat berdiri tegak untuk menerima penghargaan.
Kebenaran apa yang orang-orang ini miliki" Apa buktinya, keparat! Sebuah buku
yang berisi kisah-kisah kuno" Janji-janji keajaiban yang akan muncul" Ilmu
pengetahuanlah yang menciptakan keajaiban setiap haril
Kohler menatap sesaat dengan matanya yang sekeras batu. Malam ini aku mungkin
mati di tangan agama, pikirnya. Tetapi itu tidak akan menjadi yang pertama
kalinya. Untuk sesaat, dia berusia sebelas tahun lagi dan berbaring di atas tempat
tidurnya di rumah besar orang tuanya di Frankfurt. Sprei di bawahnya adalah kain
linen terhalus di Eropa, tetapi basah oleh keringatnya. Max muda merasa dirinya
terbakar. Rasa sakit itu sangat luar biasa sehingga melumpuhkan tubuhnya. Ayah
dan ibunya berlutut di samping tempat tidurnya selama dua hari. Mereka berdoa.
Di dalam kegelapan berdiri tiga dokter terbaik di Frankfurt. "Aku mendesakmu
untuk mempertimbangkannya!" salah satu dari dokter-dokter itu berkata. "Lihatlah
anak lelaki itu! Demamnya meninggi. Dia sangat kesakitan. Dan berada dalam
bahaya!" Tetapi Max tahu jawaban ibunya sebelum ibunya mengatakannya kepada ketiga dokter
itu. "Gott wird ihn bescbuetzen."
Ya, pikir Max. Tuhan akan melindungiku. Pengakuan dalam suara ibunya memberinya
kekuatan. Tuhan akan melindungiku.
Satu jam kemudian, Max merasa seluruh tubuhnya seperti diremukkan di bawah
mobil. Dia bahkan tidak dapat bernapas untuk menangis.
"Anak lelakimu sangat menderita," dokter yang lain berkata. "Biarkan aku
setidaknya mengurangi rasa sakitnya. Aku membawa dalam tasku sebuah suntikan
sederhana - " "Ruhe, bitte!" ayah Max membungkam dokter itu tanpa membuka matanya. Dia hanya
terus berdoa. "Ayah, kumohon!" Max sangat ingin berteriak. "Biarkan mereka menghentikan rasa
sakit ini!" Tetapi kata-kata itu menghilang di dalam batuk yang membuatnya
kejang. Satu jam kemudian, rasa sakit itu semakin memburuk. "Anak lelakimu bisa lumpuh,"
salah satu dari dokter-dokter itu berkata. "Atau bahkan mati. Kami punya obat
yang akan membantu menghilangkan penderitaannya!"
Bapak dan Ibu Kohler tidak akan mengizinkannya. Mereka tidak percaya pada obatobatan. Siapa mereka yang dapat mencampuri rencana besar Tuhan" Mereka berdoa
dengan lebih kuat. Lagipula, Tuhan telah memberkati mereka dengan memberikan
anak lelaki ini, mengapa Tuhan akan mengambilnya" Ibunya berbisik pada Max untuk
menjadi lebih kuat. Dia menjelaskan bahwa Tuhan sedang mengujinya ... seperti
cerita Ibrahim dalam Alkitab ... sebuah ujian terhadap keyakinannya.
Max mencoba untuk yakin, tetapi rasa sakit itu luar biasa. "Aku tidak dapat
menyaksikan ini!" kata salah satu dari dokterdokter itu lalu berlari
meninggalkan ruangan. Ketika fajar, Max hampir tidak sadarkan diri. Setiap otot di tubuhnya terasa
sakit sekali. Di mana Yesus" dia bertanya-tanya. Apakah dia tidak mencintaiku"
Max merasa hidupnya mulai meninggalkan tubuhnya.
Ibunya telah jatuh tertidur di samping tempat tidur sementara tangannya masih
menggenggam tangan Max. Ayah Max berdiri di seberang ruangan di dekat jendela,
menatap ke langit fajar. Tampaknya dia sedang kerasukan. Max dapat mendengar
ayahnya bergumam lembut, mengucap doa permohonan belas kasihan yang tidak pernah
berhenti. Saat itu Max merasakan ada sesosok yang besar berdiri di dekatnya. Malaikat" Max
hampir tidak dapat melihat. Matanya bengkak dan tertutup. Sosok itu berbisik di
telinganya, tetapi itu bukan suara dari malaikat. Max mengenalinya. Itu suara
dari salah satu dokter-dokter tadi ... dokter yang sudah duduk di sudut kamarnya
selama dua hari. Dia tidak pernah pergi, dan memohon orang tua Max untuk
diizinkan memberikan obat baru dari Inggris.
"Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri," bisik dokter itu, "kalau aku tidak
melakukan ini." Lalu dokter itu dengan lembut mengambil lengan Max yang lemah.
"Andai saja aku melakukan ini lebih awal."
Max merasakan ada tusukan kecil di lengannya. Hampir tidak terlihat walau
sakitnya jelas terasa. Lalu dokter itu dengan tenang mengemasi peralatannya. Sebelum dia pergi, dia
meletakkan tangannya di dahi Max. "Ini akan menyelamatkan hidupmu. Aku sangat
percaya pada kekuatan obat-obatan."
Dalam beberapa menit, Max merasa seolah semacam kekuatan ajaib mengalir di dalam
pembuluh darahnya. Kehangatan menyebar ke seluruh tubuhnya dan mematikan rasa
sakitnya. Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari yang menyakitkan
itu, Max tertidur. Ketika demam itu berakhir, ayah dan ibunya berkata itu karena keajaiban Tuhan.
Tetapi ketika ternyata anaknya menjadi lumpuh, mereka menjadi sangat sedih.
Mereka mendorong kursi roda anaknya ke gereja dan memohon pendeta untuk
menasihati mereka. "Ini hanya karena kebesaran Tuhan," kata pendeta itu, "sehingga anak ini
selamat." Max mendengarkan, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. "Tetapi anak
lelaki kami tidak dapat berjalan!" Nyonya
Kohler menangis. Pendeta itu mengangguk sedih. "Ya. Itu berarti Tuhan
menghukumnya karena tidak cukup mempunyai keyakinan." "Pak Kohler?" Itu suara
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Garda Swiss yang tadi berlari mendahului. "Sang camerlegno mengizinkan Anda
untuk bertemu." Kohler menggerutu dan bergerak lagi di koridor itu. "Beliau
heran akan kunjungan Anda," kata penjaga itu. "Aku yakin itu," kata Kohler
sambil terus menggelinding.
"Aku ingin bertemu dengan beliau sendirian." "Tidak mungkin," kata penjaga itu.
"Tidak seorang - " "Letnan!" bentak Rocher. "Pertemuan ini akan berjalan
seperti yang kehendaki Pak Kohler." Penjaga itu menatapnya dengan tidak percaya.
Di luar pintu Kantor Paus, Rocher mengizinkan penjagapenjaganya untuk melakukan
pencegahan standar sebelum membiarkan Kohler masuk. Alat pendeteksi metal yang
mereka pegang diarahkan ke seluruh peralatan elektronik Kohler tanpa hasil. Para
penjaga itu menggeledah Kohler tetapi jelas mereka merasa enggan untuk melakukan
penggeledahan seperti yang seharusnya karena kelumpuhan yang dimiliki Kohler.
Mereka tidak pernah menemukan revolver di bawah kursinya. Mereka juga tidak
menyita benda lainnya ... yaitu satu benda yang Kohler tahu akan membuat
penutupan yang tak terlupakan dalam rangkaian kejadian pada malam yang luar
biasa ini. Ketika Kohler memasuki Kantor Paus, Camerlegno Ventresca sendiri sedang berlutut
dalam doanya di samping api yang sudah hampir padam. Dia tidak membuka matanya.
"Pak Kohler," kata sang camerlegno. "Apakah Anda datang untuk membuatku menjadi
seorang martir?" 112 SEMENTARA ITU, terowongan sempit yang disebut Il Passetto terbentang di depan
Langdon dan Vittoria ketika mereka berlari ke arah Vatican City. Obor di tangan
Langdon hanya dapat menyinari beberapa yard di depan mereka. Dinding itu sangat
sempit dengan langit-langit yang rendah. Udaranya beraroma lembab. Langdon terus
berlari menembus ke kegelapan bersama Vittoria yang berlari dekat di
belakangnya. Terowongan itu menurun curam ketika meninggalkan Kastil Santo Angelo dan terus
terbentang hingga ke bagian bawah benteng batu yang tampak seperti saluran air
Roma. Di sana, terowongan itu menjadi datar dan mulai menjadi jalan rahasia ke
arah Vatican City. Ketika Langdon berlari, pikirannya berputar berulang-ulang seperti kaleidoskop
yang memberikan gambaran-gambaran yang kacau: Kohler, Janus, si Hassassin,
Rocher ... cap keenam" Aku yakin kamu sudah pernah mendengar tentang cap keenam,
kata si pembunuh itu. Yang paling cemerlang dari semuanya. Langdon sangat yakin
dia belum pernah mendengarnya. Bahkan para pecinta teori konspirasi sendiri
tidak pernah menyebutnyebut tentang cap keenam. Nyata atau dalam khayalan
sekalipun. Yang ada hanya desas-desus tentang emas batangan dan Berlian
Illuminati yang tanpa cela, tapi tidak ada kabar tentang cap keenam.
"Kohler tidak mungkin si Janus!" kata Vittoria sambil terus berlari di dalam
terowongan. "Itu tidak mungkin!" Tidak mungkin, adalah kata-kata yang tidak mau
digunakan lagi oleh Langdon malam ini. "Aku tidak tahu," teriak Langdon sambil
terus berlari. "Kohler mempunyai dendam, dia juga memiliki pengaruh yang besar."
"Krisis ini membuat CERN terlihat seperti monster besar! Max tidak akan
melakukan apa pun untuk merusak reputasi CERN!"
Di satu sisi, Langdon tahu malam ini CERN telah mendapat celaan dari masyarakat.
Semua itu karena Illuminati berniat untuk menjadikan krisis ini sebagai tontonan
bagi masyarakat. Walau begitu, Langdon bertanya-tanya seberapa besar
sesungguhnya kerugian CERN. Celaan gereja adalah hal yang biasa bagi institusi
itu. Kenyataannya, semakin sering Langdon memikirkannya, semakin sering dia
bertanya-tanya apakah krisis ini sebenarnya mendatangkan keuntungan bagi CERN.
Kalau pengungkapan di depan umum itu adalah bagian dari permainan, maka
antimateri adalah primadona malam ini. Semua orang di planet ini
membicarakannya. "Kamu tahu apa yang dikatakan P.T. Barnum?" seru Langdon sambil agak menoleh ke
belakang. "'Aku tidak peduli apa yang kamu katakan tentang diriku, tulis saja
namaku dengan benar!' Aku bertaruh semua orang diam-diam mulai antri untuk
mendapatkan lisensi teknologi antimateri. Dan mereka akan melihat kekuatan yang
sesungguhnya pada malam ini ...."
"Tidak masuk akal," kata Vittoria. "Mengumumkan terobosan ilmiah tidak dengan
memamerkan kekuatannya yang merusak! Ini sangat merugikan bagi antimateri,
percayalah padaku!" Obor Langdon mulai meredup sekarang. "Kalau begitu, ini jadi jauh lebih
sederhana daripada itu. Mungkin Kohler bertaruh Vatican akan terus merahasiakan
antimateri dan menolak untuk memperkuat posisi Illuminati dengan memastikan
keberadaan senjata itu. Kohler berharap Vatican akan tetap terus tutup mulut
tentang ancamam itu, tetapi sang camerlegno mengubah tradisi pada malam ini."
Vittoria hanya diam saja ketika mereka berlari di dalam terowongan itu.
Tiba-tiba skenario itu menjadi lebih jelas bagi Langdon. "Ya! Kohler tidak
pernah memperhitungkan reaksi sang camerlegno. Sang camerlegno telah melanggar
tradisi Vatican tentang kerahasiaan dan mengumumkan krisis yang mereka hadapi.
Sang camerlegno adalah orang yang jujur. Dia mengizinkan penyiaran antimateri ke
hadapan publik. Itu adalah langkah yang jitu dan Kohler tidak pernah menduganya.
Dan hal yang paling ironis dari semuanya ini adalah Illuminati balas menyerang.
Tanpa diduga oleh mereka, krisis ini malah melahirkan jiwa pemimpin baru gereja
di dalam diri sang camerlegno. Dan sekarang Kohler datang untuk membunuhnya!"
"Max memang seorang yang menyebalkan," jelas Vittoria, "tetapi dia bukanlah
pembunuh. Dan dia tidak akan pernah terlibat pada pembunuhan ayahku."
Di dalam benak Langdon, suara Kohler-lah yang menjawabnya. Leonardo dianggap
berbahaya di mata para ilmuwan puritan di CERN. Mencampurkan ilmu pengetahuan
dengan Tuhan adalah fitnah ilmiah yang besar. "Mungkin Kohler mengetahui tentang
proyek antimateri itu beberapa minggu yang lalu dan tidak menyukai implikasi
keagamaannya." "Sehingga dia membunuh ayahku karena itu" Aneh sekali! Lagipula, Max Kohler
tidak mungkin tahu tentang keberadaan proyek itu."
"Ketika kamu pergi, mungkin saja ayahmu mengalami kesulitan dan mendiskusikannya
dengan Kohler untuk meminta petunjuknya. Kamu sendiri bilang ayahmu juga
memikirkan tentang implikasi moral dari penciptaan bahan yang sangat berbahaya
itu." "Meminta petunjuk moral dari Maximilian Kohler?" Vittoria mendengus. "Aku tidak
percaya itu!" Tiba-tiba terowongan itu membelok ke kanan, dan obor di tangan Langdon mulai
semakin meredup. Lelaki itu mulai khawatir bagaimana tempat ini jadinya ketika
oborna mati. "Lagi pula," sanggah Vittoria, "kenapa Kohler meneleponmu pagi ini dan minta
tolong padamu kalau dia memang ada di belakang ini semua?"
Langdon telah memikirkan hal itu. "Dengan meneleponku, Kohler menutupi
keterlibatannya. Dia harus memastikan agar orang-orang tidak akan menuduhnya
sebagai penyebab krisis ini. Dia mungkin tidak pernah menduga kita akan terlibat
sejauh ini." Pikiran kalau dirinya sudah dimanfaatkan oleh Kohler membuat Langdon marah.
Keterlibatan Langdon telah meningkatkan kredibilitas Illuminati. Kredibilitas
dan bukubuku yang ditulisnya telah dikutip oleh media sepanjang malam itu. Walau
tampak aneh, kemunculan seorang dosen dari Harvard di Vatican City meningkatkan
kesan gawat di dalam khayalan publik yang paranoid dan menghapuskan keraguan
dunia tentang keberadaan persaudaraan Illuminati sehingga mereka tidak lagi
menjadi fakta sejarah tapi menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan.
"Wartawan BBC itu," kata Langdon, "berpikir CERN adalah markas Illuminati baru."
"Apa!" Vittoria tersandung di belakangnya. Dia berusaha
menenangkan diri, lalu mengejar Langdon. "Dia bilang begitu?" "Ditayangkan
secara langsung. Lelaki itu menyamakan CERN dengan perkumpulan rahasia Mason organisasi yang tidak bersalah yang tanpa mereka sadari telah memberi bantuan
kepada kelompok Illuminati pada masa lalu." "Ya Tuhan, ini akan menghancurkan
CERN." Langdon tidak terlalu yakin akan hal itu. Tapi di sisi lain, teori itu
tiba-tiba tampak lebih masuk akal. CERN adalah surga ilmu pengetahuan yang
besar. Institusi itu adalah rumah bagi para ilmuwan yang berasal lebih dari
belasan negara. Mereka tampaknya memiliki pendanaan pribadi yang tidak pernah
habis. Dan Maximillian Kohler adalah direktur mereka. Kohler adalah Janus.
"Kalau Kohler tidak terlibat," kata Langdon menantang
pendapat Vittoria, "lalu mau apa dia datang ke sini?" "Mungkin untuk mencoba
menghentikan kegilaan ini. Menunjukkan dukungan. Mungkin saja dia benar-benar
bertindak sebagai Samaritan! Dia dapat saja tahu siapa yang mengetahui proyek
antimateri dan datang untuk berbagi informasi itu."
"Si pembunuh itu bilang dia akan datang untuk mencap sang camerlegno."
"Dengarkan dirimu sendiri! Itu akan merupakan misi bunuh diri. Max tidak akan
keluar dari sini dalam keadaan hidup."
Langdon mempertimbangkannya. Mungkin memang itu maksudnya. Samar-samar dari
kejauhan terlihat pintu baja yang menghalangi perjalanan mereka di terowongan
itu. Jantung Langdon hampir berhenti berdetak. Ketika mereka mendekat, mereka
melihat bahwa kunci kuno itu tergantung di gemboknya. Pintu itu tidak terkunci.
Mereka dapat membukanya dengan bebas.
Langdon menghela napas lega karena tahu, seperti yang telah diduganya
sebelumnya, bahwa terowongan kuno ini telah digunakan lagi akhir-akhir ini, dan
juga hari ini. Sekarang dia merasa yakin empat orang kardinal yang ketakutan itu
sebelumnya telah dibawa secara diam-diam melalui jalan ini.
Mereka terus berlari. Sekarang Langdon dapat mendengar suara dari keriuhan di
sebelah kiri Lapangan Santo Petrus. Mereka telah semakin dekat.
Mereka bertemu dengan sebuah pintu gerbang lainnya, kali ini lebih berat. Yang
ini juga tidak terkunci. Sekarang suara dari Lapangan Santo Petrus mulai memudar
di belakang mereka, dan Langdon merasa bahwa mereka telah melewati tembok luar
Vatican City. Dia bertanya-tanya di bagian mana terowongan kuno ini akan
berakhir. Di taman" Di gereja" Di tempat kediaman Paus" Kemudian tiba-tiba saja,
terowongan itu berakhir. Pintu berat itu menghalangi mereka seperti tembok tebal
yang terbuat dari besi tempa. Walau hanya diterangi api obor yang sudah meredup,
Langdon dapat melihat bahwa penghalang di hadapannya itu sangat halus. Tidak ada
pegangan, tidak ada kenop, tidak ada lubang kunci, tidak ada engsel. Tidak ada
pintu masuk. Tiba-tiba Langdon merasa begitu panik. Dalam dunia arsitektur, pintu seperti ini
sangat langka dan disebut sebuah senza chiave - penghalang satu arah yang
digunakan sebagai pintu keamanan, dan hanya dapat dibuka dari satu sisi - dari
sisi di balik pintu ini. Harapan Langdon langsung meredup ... bersamaan dengan
padamnya api obor di dalam genggamannya. Dia melihat jam tangannya. Mickey
bersinar dengan gembira. 11:29 malam. Dengan teriakan keputusasaan, Langdon mengayunkan obor itu
dan mulai menggedor-gedor pintu di hadapannya.
113 ADA YANG SALAH. Letnan Chartrand berdiri di depan Kantor Paus dan merasakan perasaan tidak
tenang yang dirasakan penjaga yang berdiri bersamanya. Mereka tahu kalau mereka
berdua samasama cemas. Kata Rocher, dengan tetap menutup tempat pelaksanaan
rapat pemilihan paus, mereka dapat menyelamatkan Vatican dari kehancuran. Lalu
Chartrand bertanya-tanya kenapa instingnya sebagai penjaga tergugah. Dan kenapa
Rocher bertindak sangat aneh" Benar-benar serba salah. Kapten Rocher berdiri di
sebelah kanan Chartrand. Rocher menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam yang
tidak seperti biasanya. Pandangannya seperti mengarah ke tempat yang sangat
jauh. Chartrand hampir tidak mengenali sang kapten. Rocher tidak seperti
biasanya dalam beberapa jam terakhir ini. Keputusannya tidak masuk akal.
Seseorang juga harus hadir dalam pertemuan di dalam ruangan itu! pikir
Chartrand. Dia mendengar Maximilian mengunci pintu setelah dia masuk. Mengapa
Rocher mengizinkan hal itu"
Tetapi ada yang sangat mengganggu pikiran Chartrand. Kardinal- kardinal itu.
Mereka masih terkunci di dalam Kapel Sistina. Ini benar-benar gila. Sang
camerlegno telah meminta mereka dipindahkan lima belas menit yang lalu! Rocher
telah melanggar keputusan sang camerlegno dan tidak memberi tahu hal itu
kepadanya. Chartrand sudah memperlihatkan keprihatinannya, tapi Rocher malah
tidak berpikir dengan waras. Rantai komando tidak pernah dipertanyakan dalam
Garda Swiss, dan Rocher sekarang adalah petinggi teratas setelah kematian
Komandan. Setengah jam, pikir Rocher yang diam-diam melihat jam tangan chronometer buatan
Swiss-nya di dalam keremangan sinar lilin di koridor itu. Ayo, cepat.
Chartrand berharap dia dapat mendengar apa yang terjadi di dalam ruangan itu.
Sekalipun demikian, dia tahu tidak ada orang lain untuk menangani krisis ini
selain sang camerlegno. Lelaki itu telah diuji dengan sangat luar biasa malam
ini, dan dia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Dia menghadapi masalah
ini dengan berani ... jujur, tulus, bercahaya seperti contoh bagi semua orang.
Sekarang Chartrand merasa bangga menjadi seorang Katolik. Illuminati membuat
kesalahan ketika mereka menantang Camerlegno Ventresca.
Pada saat itu lamunan Chartrand terguncang oleh bunyi yang tidak terduga. Sebuah
gedoran. Bunyi itu berasal dari serambi. Bunyi gedoran itu terdengar jauh dan terhalang,
tetapi terus menerus. Rocher mendongak. Lalu sang kapten menoleh pada Chartrand
dan menunjuk ke arah serambi. Chartrand mengerti. Dia menyalakan senternya dan
pergi untuk menyelidiki. Sekarang bunyi gedoran itu terdengar semakin putus asa. Chartrand berlari
sepanjang tiga puluh yard di koridor dan menuju ke arah perempatan ruangan.
Bunyi itu tampaknya berasal dari sekitar sudut itu, di luar ruangan Sala
Clementina. Chartrand terpaku. Hanya ada satu ruangan di sana - perpustakaan
pribadi Paus. Perpustakaan pribadi Paus telah dikunci sejak Paus wafat. Tidak
mungkin ada orang di sana!
Chartrand bergegas menuju ke sana, berbelok lagi, dan bergegas ke arah pintu
perpustakaan. Serambi berpilar kayu itu sederhana, tetapi dalam kegelapan,
pilar-pilar itu tampak seperti penjaga berwajah keras. Bunyi gedoran itu berasal
dari suatu tempat di dalam ruangan. Chartrand ragu-ragu. Dia belum pernah masuk
ke perpustakaan pribadi walau beberapa orang temannya sudah pernah. Tidak
seorang pun yang boleh masuk tanpa ditemani oleh Paus sendiri.
Dengan ragu, Chartrand meraih kenop pintu itu dan memutarnya. Seperti yang sudah
di duganya, pintu itu terkunci. Dia menempelkan telinganya pada pintu itu. Bunyi
gedoran itu terdengar lebih keras. Lalu dia mendengar suara yang lainnya. Suara!
Seseorang memanggil-manggil!
Dia tidak dapat menangkap kata-kata yang diucapkan mereka, tetapi dia dapat
mendengar kepanikan dari teriakan mereka. Apakah ada orang yang terperangkap di
dalam perpustakaan itu" Apakah Garda Swiss belum mengosongkan gedung ini dengan
benar" Chartrand ragu-ragu sambil bertanyatanya apakah dia harus kembali menemui
Kapten Rocher dan bertanya kepadanya. Peduli setan. Chartrand sudah terlatih
untuk membuat keputusan, dan sekarang dia akan membuat satu keputusan. Dia
mengeluarkan pistolnya dan melepaskan satu tembakan ke arah gerendel pintu. Kayu
itu meletus, pintu pun terbuka.
Di ambang pintu, Chartrand tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan. Dia
menyalakan senternya. Ruangan itu berbentuk persegi dan dihiasi oleh permadani
oriental, rak-rak buku dari kayu ek yang diisi dengan berbagai buku, sebuah sofa
berlapis kulit, dan sebuah perapian dari pualam. Chartrand pernah mendengar
tentang tempat ini di mana tiga ribu jilid buku kuno diatur berdampingan dengan
ratusan majalah masa kini dan terbitan berkala lainnya. Apa pun yang dikehendaki
Sri Paus. Meja tamu di hadapannya tertutup oleh jurnal ilmu pengetahuan dan
politik. Bunyi gedoran itu terdengar lebih jelas sekarang. Chartrand mengarahkan
senternya ke arah bunyi itu. Di dinding yang terdapat di ujung ruangan, jauh
dari area duduk, terlihat sebuah pintu yang terbuat dari besi. Pintu itu
terkunci rapat seperti sebuah kotak brankas. Pintu itu memiliki empat buah kunci
dalam ukuran besar. Ada tulisan kecil tepat di tengah-tengah pintu itu yang
membuat napas Chartrand tersendat.
IL PASSETTO Chartrand memandang tak percaya. Jadi ini adalah jalan rahasia Sri Paus kalau
ingin melarikan diri. Chartrand memang pernah mendengar tentang Il Passetto, dan
juga pernah mendengar kabar angin bahwa pintu itu pernah menjadi jalan masuk.
Tetapi terowongan itu tidak pernah digunakan lagi selama bertahun-tahun! Siapa
gerangan yang menggedor dari balik pintu ini"
Chartrand mengambil senternya dan mengetuk pintu di hadapannya itu. Terdengar
ada suara kegembiraan yang meluapluap dari balik pintu, walau hanya terdengar
samar-samar. Gedoran itu berhenti, dan suara itu berteriak lebih keras.
Chartrand hampir tidak dapat mengerti kata-kata dari balik penghalang di
depannya itu. "... Kohler ... berbohong ... camerlegno ...." "Siapa itu?" teriak
Chartrand. "... ert Langdon ... Vittoria Ve ...." Chartrand cukup memahami kata
yang mereka teriakkan, tapi itu malah membuatnya bingung. Kupikir kalian telah mati! " ... pintu ini,"
suara itu berteriak. "Buka ...!" Chartrand melihat penghalang besi itu dan tahu
dia memerlukan dinamit untuk membukanya. "Tidak mungkin!" dia berseru. "Terlalu
tebal!" "... pertemuan ... hentikan ... erlengo ... bahaya ...." Walau dia
dilatih untuk mengatasi keadaan berisiko yang menimbulkan kepanikan, tapi dia
belum pernah merasa begitu ketakutan ketika mendengar beberapa kata terakhir
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Apakah dia tidak salah mengerti" Jantungnya berdebar keras. Dia lalu ingin
memutar tubuhnya dan berlari kembali menuju ke Kantor Paus. Ketika dia berputar,
dia terhenti. Tatapannya jatuh pada sesuatu di atas pintu ... sesuatu yang lebih
mengguncangkan daripada pesan yang baru saja didengarnya tadi dari balik pintu
tadi. Mencuat dari lubang-lubang kunci di hadapannya terlihat kunci-kunci untuk
membuka pintu tebal ini. Chartrand menatapnya. Kunci-kunci itu ada di sini" Dia
mengedipkan matanya karena tidak percaya. Kunci pintu itu seharusnya tersimpan
di sebuah lemari besi di suatu tempat! Jalan ini tidak pernah terpakai, tidak
selama berabad-abad! Chartrand menjatuhkan senternya di atas lantai. Dia meraih kunci pertama dan
memutarnya. Mekanisme di dalamnya berkarat dan kaku, tetapi masih dapat
berfungsi. Seseorang telah membukanya baru-baru ini. Chartrand mencoba kunci
berikutnya. Lalu yang lainnya. Ketika kunci terakhir terbuka, Chartrand menarik
pintu besar itu. Lempengan besi berat itu terbuka dengan bunyi bergemeratak. Dia
mengambil senternya dan mengarahkannya ke terowongan itu.
Robert Langdon dan Vittoria Vetra tampak seperti hantu ketika mereka berjalan
terhuyung-huyung di perpustakaan. Keduanya terlihat kusut dan letih, tetapi
mereka sangat bersemangat. "Apa ini!" tanya Chartrand. "Ada apa! Dari mana
kalian?" "Di mana Max Kohler?" tanya Langdon. Chartrand menunjuk. "Sedang
mengadakan pertemuan pribadi dengan sang camer - " Langdon dan Vittoria mendorong melewati Chartrand
dan berlari ke dalam serambi yang gelap. Chartrand berputar dan secara naluriah
membidikkan senjatanya ke arah punggung mereka. Namun dengan cepat dia
menurunkannya dan mengejar mereka. Tampaknya Rocher mendengar mereka datang
karena ketika mereka tiba di depan Kantor Paus, Rocher telah menghadang mereka
dengan kaki terentang, menjaga dan mengarahkan pistolnya pada mereka. "Alt!"
"Sang camerlegno dalam bahaya!" teriak Langdon sambil menaikkan lengannya
sebagai tanda menyerah ketika dia berhenti berlari. "Buka pintunya! Max Kohler
akan membunuh sang camerlegnol" Rocher tampak marah. "Buka pintunya!" teriak
Vittoria. "Cepat!" Tetapi mereka terlambat. Dari dalam Kantor Paus terdengar
teriakan yang mengerikan. Itu teriakan sang camerlegno.
114 KONFRONTASI ITU BERAKHIR dalam waktu beberapa
detik saja. Camerlegno Ventresca masih menjerit-jerit ketika Chartrand melangkah
mendahului Rocher dan menendang pintu Kantor Paus hingga terbuka. Dalam sekejap
para petugas Garda Swiss berlari masuk. Langdon dan Vittoria berlari di belakang
mereka. Pemandangan di depan mereka membuat mereka terguncang.
Ruangan itu hanya diterangi oleh cahaya lilin dan api perapian yang sudah hampir
mati. Kohler berada di dekat perapian, berdiri dengan canggung di depan kursi
rodanya. Dia mengacungkan sepucuk pistol, membidik ke arah sang camerlegno yang
tergeletak di atas lantai di depan kaki Kohler sambil menggeliat kesakitan.
Jubah sang camerlegno sobek, dan dada telanjangnya menghitam. Langdon tidak
dapat membaca simbol itu dari seberang ruangan, tetapi sebuah cap persegi
tergeletak di atas lantai di dekat Kohler. Besi itu masih menyala merah.
Dua orang Garda Swiss bertindak tanpa ragu-ragu. Mereka menembakkan senjata
mereka. Peluru itu menghantam dada Kohler sehingga dia terjengkang ke belakang.
Kohler terjatuh di atas kursinya dengan dada bersimbah darah. Pistolnya jatuh ke
lantai. Langdon berdiri terpaku di ambang pintu. Vittoria tampak lumpuh.
"Max ...," dia berbisik. Sang camerlegno yang masih bergerak-gerak di lantai
berguling ke arah Rocher. Lalu dengan tatapan ketakutan seperti saat perburuan
tukang sihir pada masa lampau, sang camerlegno mengacungkan telunjuknya ke arah
Rocher dan meneriakkan satu kata. "ILLUMINATUS"
"Kamu keparat," kata Rocher sambil berlari ke arahnya. "Kamu orang yang berlagak
suci, bedeb - " Kali ini Chartrand yang bertindak secara naluriah dengan menembakkan tiga butir
peluru ke punggung Rocher. Kapten itu jatuh dengan wajah mencium lantai dan
tergelincir karena darahnya sendiri. Chartrand dan petugas lainnya segera
berlari ke arah sang camerlegno yang masih tergeletak memegangi dirinya sendiri
dan setengah sadar dalam kesakitannya.
Kedua petugas itu berseru ngeri ketika melihat simbol yang tercap pada dada sang
camerlegno. Petugas kedua melihat cap itu dari arah terbalik dan langsung
terhuyung dengan sinar ketakutan di matanya. Chartrand, yang tampak sangat
bingung melihat simbol itu, segera menutupkan kembali jubah sang camerlegno yang
terkoyak di bagian dada supaya tidak terlihat.
Langdon merasa seperti bermimpi ketika dia bergerak melintasi ruangan itu.
Melalui kabut kegilaan dan kekejaman, dia berusaha memahami apa yang sedang
dilihatnya. Seorang ilmuwan lumpuh, dalam usaha terakhir untuk menunjukkan
dominasinya, telah terbang ke Vatican City dan ingin meletakkan cap di dada
pejabat tertinggi gereja. Sesuatu yang sepadan dengan kematian, kata si
Hassassin. Langdon bertanyatanya bagaimana mungkin orang cacat seperti Kohler
bisa mengalahkan sang camerlegno. Tapi Kohler memiliki senjata. Tidak penting
bagaimana dia melakukannya! Kohler nyaris berhasil menyelesaikan misinya.
Langdon bergerak ke arah pemandangan yang mengerikan itu. Sang camerlegno sedang
dirawat, dan Langdon merasa dirinya tertarik ke arah cap yang masih berasap dan
tergeletak di atas lantai di dekat kursi roda Kohler. Cap keenam! Semakin
Langdon mendekat, dia menjadi semakin bingung. Cap itu tampak berbentuk persegi
sempurna dan berukuran sangat besar, dan jelas berasal dari bagian tengah peti
yang tadi dilihatnya di Markas Illuminati. Cap keenam dan terakhir, kata si
Hassassin tadi. Yang paling cemerlang dari yang lainnya.
Langdon berlutut di samping Kohler dan meraih benda yang masih menyala karena
panas. Dia memegang pegangannya yang terbuat dari kayu lalu memungutnya. Dia
tidak yakin apa yang akan dilihatnya, tetapi jelas bukan yang seperti ini.
Langdon menatapnya lama dan larut dalam kebingungan. Semuanya tidak masuk akal.
Mengapa para penjaga itu berteriak ketakutan ketika melihat benda ini" Benda itu
hanyalah sebuah benda dengan garis-garis yang tidak ada artinya. Yang paling
cemerlang dari yang lainnya" Langdon memang dapat memastikan kalau benda itu
simetris ketika dia memutar pegangannya yang terbuat dari kayu, tetapi sama
sekali tidak ada artinya.
Ketika dia merasa ada seseorang menyentuh bahunya. Langdon menoleh dan menduga
itu tangan Vittoria. Tetapi tangan itu berlumuran darah. Itu tangan Maximilian
Kohler yang terulur dari kursi rodanya.
Langdon menjatuhkan cap itu dan berusaha berdiri. Kohler masih hidup!
Tergeletak di atas kursi rodanya, direktur yang sekarat itu masih bernapas,
sekalipun dengan napas yang terputus-putus. Mata Kohler bertemu dengan mata
Langdon, dan itu adalah mata kelabu yang sama yang menyambutnya di CERN siang
tadi. Mata itu kini tampak lebih keras di saat kematiannya. Kali ini dipenuhi
oleh kebencian dan rasa permusuhan.
Tubuh ilmuwan itu bergetar, dan Langdon merasakan Kohler berusaha untuk
bergerak. Semua orang di dalam ruangan ini sedang memusatkan perhatiannya pada
sang camerlegno sehingga usaha Kohler luput dari pandangan mereka. Langdon ingin
berteriak tetapi dia tidak dapat melakukan apa-apa. Dia seperti tersihir oleh
kekuatan yang terpancar dari Kohler dalam detik-detik terakhir hidupnya. Sang
direktur dengan susah payah mengangkat lengannya dan menarik sebuah alat kecil
dari lengan kursi rodanya. Alat itu hanya sebesar kotak korek api. Dia
memegangnya dengan gemetar. Sesaat Langdon khawatir kalau Kohler memegang
senjata. Tetapi benda itu ternyata sesuatu yang lain.
"B .. beri ...," kata-kata terakhir Kohler hanya merupakan bisikan yang tidak
jelas. "B .. berikan ini ... kepada p ... pers." Lalu Kohler terkulai tidak
bergerak, dan alat itu jatuh di atas pangkuannya.
Langdon sangat terkejut ketika menatap alat tersebut. Itu hanya alat elektronik.
Kata SONY RUVI tercetak di bagian depannya. Langdon langsung mengenalinya
sebagai salah satu alat elektronik baru. Itu adalah kamera video berukuran mini.
Berani sekali lelaki ini! pikir Langdon. Tampaknya Kohler telah merekam semacam
pesan bunuh diri untuk diberikan kepada media agar disiarkan ... tidak diragukan
lagi, itu pasti berisi pesan yang mengungkap pentingnya ilmu pengetahuan dan
kejahatan agama. Langdon memutuskan dirinya telah melakukan cukup banyak bagi
kepentingan lelaki tua itu malam ini. Sebelum Chartrand melihat kamera itu,
Langdon menyelipkannya di dalam saku jasnya yang paling dalam. Pesan terakhir
Kohler dapat membusuk di neraka!
Suara camerlegno memecah kesunyian. Dia berusaha untuk duduk. "Para kardinal,"
dia tergagap pada Chartrand.
"Masih berada di dalam Kapel Sistina!" seru Chartrand. "Kapten Rocher
memerintahkan - " "Pindahkan ... sekarang. Semuanya." Chartrand memerintahkan
penjaga lainnya untuk segera
mengeluarkan para kardinal. Sang camerlegno meringis kesakitan. "Helikopter ...
di depan ... bawa aku ke rumah sakit."
115 DI LAPANGAN SANTO Petrus, pilot Garda Swiss duduk di kokpit helikopter Vatican yang diparkir di sana sambil mengusap
pelipisnya. Keriuhan di lapangan sekitarnya begitu keras sehingga melebihi suara
baling-baling pesawatnya. Ini bukan upacara menyalakan lilin sambil berdoa di
depan gereja dengan khidmat. Dia kagum karena kerumunan itu belum juga bubar.
Saat itu, kurang dari 25 menit menjelang tengah malam, orang-orang itu masih
saja berkumpul. Beberapa di antaranya berdoa, ada juga yang menangis bagi
gereja, sementara yang lainnya lagi meneriakkan sumpah serapah dan mengatakan
gereja memang patut mendapatkan ini semua, tapi ada juga yang membacakan ayatayat dari Alkitab yang berisi wahyu-wahyu.
Kepala sang pilot terasa berdenyut keras ketika lampu lampu pers mengarah ke
kaca depan pesawatnya. Dia menyipitkan matanya ke arah massa yang berteriak
dengan riuh rendah. Spanduk-spanduk melambai-lambai di atas kerumunan itu.
ANTIMATERI ADALAH ANTIKRISTUS! ILMUWAN = SETAN DI MANA TUHANMU SEKARANG" Pilot
itu mendesah, sakit kepalanya semakin memburuk. Dengan setengah sadar dia meraih
tutup dari vinyl di kaca depan lalu memasangnya sehingga dia tidak harus melihat
itu semua, tetapi dia tahu dia harus terbang dalam beberapa menit lagi. Letnan
Chartrand baru saja menghubunginya lewat radio dan menyampaikan berita
mengerikan. Sang camerlegno telah diserang oleh Maximilian Kohler dan sekarang
sedang terluka parah. Chartrand, lelaki Amerika dan rekan perempuannya sekarang
sedang membawa sang camerlegno keluar untuk memindahkannya ke sebuah rumah
sakit. Secara pribadi, pilot itu merasa bertanggung jawab atas penyerangan tersebut.
Dia mencaci dirinya sendiri karena tidak bertindak sesuai dengan intuisinya.
Tadi, ketika dia menjemput Kohler di bandara, dia telah merasakan keanehan di
mata ilmuwan itu. Dia tidak dapat memastikannya, tetapi dia tidak menyukainya.
Itu sudah tidak penting lagi. Tapi Rocher-lah yang memegang komando pada saat
itu. Ketika itu, sang kapten bersikeras tamu inilah yang mereka harapkan.
Tampaknya Rocher salah. Terdengar tepuk tangan yang gegap gempita. Pilot itu melihat keluar dan
menyaksikan sebarisan kardinal yang bergerak dengan khidmat dan keluar dari
Vatican untuk menuju Lapangan Santo Petrus. Perasaan lega yang dirasakan oleh
para kardinal karena telah meninggalkan area bom nuklir tampaknya berubah
menjadi tatapan kebingungan pada pemandangan yang terjadi di luar gereja.
Suara riuh rendah dari kerumunan itu bertambah lagi. Kepala pilot itu berdentamdentam. Dia memerlukan sebutir aspirin. Mungkin tiga butir. Dia tidak suka
menerbangkan pesawat ketika berada dalam pengaruh obat, tetapi beberapa butir
aspirin pasti tidak membuatnya terlalu lemah dibandingkan dengan sakit kepalanya
yang luar biasa ini. Dia meraih kotak P3K yang tersimpan bersama berbagai macam
peta dan buku panduan terbang di dalam sebuah kotak kargo yang diletakkan di
antara tempat duduk di bagian depan pesawat. Ketika dia mencoba membuka kotak
tersebut, ternyata kotak itu terkunci. Dia mencari-cari kuncinya, namun akhirnya
dia menyerah. Malam ini jelas bukan malam keberuntungannya. Dia kembali
mengurut-urut pelipisnya.
Di dalam kegelapan Basilika Santo Petrus. Langdon, Vittoria dan dua orang Garda
Swiss berusaha keras untuk menuju ke pintu keluar utama. Karena mereka tidak
dapat menemukan sesuatu yang lebih tepat, keempatnya menggotong sang camerlegno
yang terluka itu di atas sebuah meja kecil sambil berusaha menyeimbangkan tubuh
tak bergerak itu di antara mereka seolah mereka sedang membawa sebuah tandu. Di
luar pintu, suara samar-samar dari sorakan kerumunan manusia sekarang mulai
jelas terdengar. Sang camerlegno terbaring dalam keadaan antara sadar dan tidak.
Waktu hampir habis. 116 SAAT ITU PUKUL 11:39 ketika Langdon melangkah bersama yang lainnya dari Basilika
Santo Petrus. Sinar yang menerpa mata mereka sangat menyilaukan. Lampu-lampu
pers menyinari pualam putih seperti sinar matahari di atas padang salju. Langdon
menyipitkan matanya dan berusaha menemukan tempat perlindungan di balik pilarpilar besar di bagian depan, namun cahaya itu datang dari semua arah. Di
depannya, sekumpulan layar video besar bermunculan di atas kerumunan itu.
Ketika dia berdiri di atas tangga gedung raksasa yang terhampar hingga ke piazza
di bawahnya, Langdon merasa seperti seorang aktor drama yang enggan muncul
ketika sedang berdiri di atas panggung terbesar di dunia. Dari suatu tempat, di
antara gemuruh dari ribuan suara, Langdon mendengar suara mesin helikopter. Di
sebelah kiri mereka, sebarisan kardinal sedang bergerak ke arah lapangan. Mereka
semua berhenti karena khawatir akan terlihat oleh banyak orang dalam keadaan
seperti itu. "Berhati-hati sekarang," desak Chartrand, suaranya terdengar tegas ketika
kelompok itu mulai menuruni tangga gedung ke arah helikopter yang sedang menanti
mereka. Langdon merasa seolah mereka sedang bergerak di bawah air. Lengannya terasa
sakit karena beban tubuh sang camerlegno dan meja itu sendiri. Dia bertanyatanya bagaimana suasananya bisa menjadi sangat tidak bermartabat seperti ini.
Lalu dia menemukan jawabannya. Dua wartawan BBC yang sudah tidak asing lagi
sedang berusaha menyeberangi lapangan terbuka itu untuk kembali ke tempat pers
berkumpul. Tapi kini, karena mendengar gemuruh suara massa, mereka berbalik arah
dan menuju ke arah mereka. Macri menaikkan kameranya ke pundaknya dan
menyalakan. Nah, datanglah para burung pemakan bangkai, pikir Langdon. "Alt!"
bentak Chartrand. "Kembali!" Tetapi kedua wartawan itu terus bergerak mendekat.
Langdon menduga, jaringan TV lainnya, dalam waktu sekitar enam detik setelah
itu, juga akan menyiarkan apa yang diberikan oleh BBC. Tetapi dia salah. Rupanya
mereka hanya membutuhkan waktu dua detik saja. Seolah terhubung oleh semacam
kesadaran universal, setiap layar yang terpancang di piazza itu menghentikan
tayangan jam yang sedang menghitung mundur, dan para komentator Vatican mereka.
Lalu mereka mulai menayangkan gambar yang sama - laporan dengan posisi kamera yang
bergoyang-goyang yang menayangkan kejadian di tangga gedung Vatican. Sekarang,
ke mana pun Langdon menatap, dia melihat tubuh lunglai sang camerlegno dalam
tayangan close-up. Ini tidak sopan! pikir Langdon. Dia ingin berlari ke bawah dan mencegahnya,
namun dia tidak bisa. Lagi pula itu tidak ada gunanya. Entah karena suara soraksorai para pengunjung atau udara malam yang dingin yang menyebabkannya, Langdon
tidak tahu. Tapi saat itu sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Seperti orang yang terjaga dari mimpi buruk, mata sang camerlegno terbuka dan
dia duduk tegak. Karena sangat terkejut, Langdon dan yang lainnya, terguncang
oleh perubahan beban di tangan mereka. Bagian depan meja itu turun. Sang
camerlegno pun mulai tergelincir. Mereka lalu berusaha
menahannya dengan menurunkan meja itu ke lantai, tapi sudah terlambat. Sang
camerlegno tergelincir ke depan. Tapi anehnya, dia tidak jatuh. Kakinya
menyentuh lantai pualam dan dia segera menegakkan tubuhnya. Dia berdiri untuk
beberapa saat, terlihat kebingungan dan kemudian, sebelum orang lain dapat
menahannya, sang camerlegno mencondongkan tubuhnya dan berjalan tertatih-tatih
menuruni tangga ke arah Macri. "Jangan!" teriak Langdon. Chartrand bergegas ke
depan dan berusaha menghalangi sang camerlegno. Tetapi sang camerlegno menoleh
padanya dan menatapnya dengan mata terbelalak marah. "Tinggalkan aku!" Chartrand
terlonjak mundur. Pemandangan itu berubah dari buruk ke lebih buruk. Jubah sang
camerlegno yang koyak, yang tadi oleh Chartrand hanya ditutupkan di depan
dadanya, mulai merosot. Sesaat, Langdon mengira jubah itu tidak akan jatuh, tapi
rupanya tidak demikian. Jubah itu merosot dari bahu sang camerlegno, dan turun
ke sekitar pinggangnya. Kerumunan yang tercengang di lapangan itu tampaknya menulari semua orang di
seluruh dunia dalam waktu sangat singkat. Kamera-kamera merekam dan lampu media
berpijar terang. Di layar media yang terdapat di mana-mana, gambar dada sang
camerlegno yang dicap ditayangkan dengan sangat rinci. Beberapa layar bahkan
menghentikan gambar itu dan memutarnya 180 derajat untuk melihat cap di dada
sang camerlegno secara terbalik. Ini adalah kemenangan besar bagi Illuminati.
Langdon menatap gambar cap itu di berbagai layar yang terpancang di lapangan.
Gambar persegi yang terlihat itu adalah gambar yang tadi sudah dilihatnya, tapi
sekarang simbol itu terlihat lebih masuk akal baginya. Sangat masuk akal.
Kekuatan besar dari cap itu menghantam Langdon seperti tabrakan kereta api.
Orientasi. Langdon melupakan peraturan pertama dari simbologi. Kapan persegi
tidak dapat dikatakan sebagai persegi" Dia juga lupa bahwa cap-cap yang terbuat
dari besi itu, seperti halnya cap dari karet, tidak pernah mirip dengan hasil
cap mereka. Hasil cap selalu merupakan kebalikan dari bentuk yang ada pada alat
capnya. Tadi, Langdon telah melihat kliise dari cap tersebut!
Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika keriuhan itu menjadi-jadi, sebuah kutipan Illuminati bergema dengan
pemahaman baru: "Sebutir berlian tanpa cela, lahir dari elemen-elemen kuno
dengan kesempurnaan yang tiada duanya sehingga semua orang yang melihatnya hanya
bisa terpana." Langdon sekarang tahu kalau mitos itu benar. Tanah, Udara, Api,
Air. Berlian Illuminati. 117 ROBERT LANGDON YAKIN kalau keramaian dan histeria yang menyebar di Lapangan
Santo Petrus saat ini melebihi apa pun yang pernah disaksikan oleh Bukit
Vatican. Tidak ada pertempuran, tidak ada penyaliban, tidak ada perjalanan
ziarah, tidak ada penglihatan mistis ... tidak ada sesuatu pun yang bisa
menandingi kejadian dan drama yang terjadi sekarang ini di depan sebuah gereja
terbesar di dunia. Ketika tragedi itu terkuak, Langdon merasa tersisihkan ketika berdiri di samping
Vittoria di puncak tangga Basilika Santo Petrus. Peristiwa itu tampak menjauh,
seolah terbungkus waktu, dan semua kegilaan ini merayap lambat .... Camerlegno
yang dicap ... membuat dunia terpesona ... Berlian Illuminati ... terbuka dalam
kejeniusannya yang kejam ... Jam yang berdetik mundur menunjukkan dua puluh menit
terakhir dari sejarah Vatican ... Walau demikian, drama ini baru saja dimulai.
Sang camerlegno, seolah masih dalam keadaan tidak sadar akibat trauma yang
dideritanya, tiba-tiba tampak bertenaga dan dirasuki setan. Dia mulai meracau,
berbisik pada sesuatu yang tidak tampak, menatap ke langit dan merentangkan
lengannya pada Tuhan. "Bicaralah!" sang camerlegno berseru ke arah langit. "Ya, aku mendengarmu!" Pada
saat itu Langdon mengerti. Jantungnya seperti berhenti
berdetak. Tampaknya Vittoria juga mengerti. Dia menjadi pucat. "Sang camerlegno
terguncang," katanya. "Dia berhalusinasi. Dia mengira dia sedang berbicara
dengan Tuhan!" Harus ada yang menghentikan ini semua, pikir Langdon. Ini akan menjadi akhir
yang memalukan dan menyedihkan. Bawa orang ini ke rumah sakit!
Di bawah mereka, di anak tangga Basilika Santo Petrus, Chinita Macri berdiri dan
merekam gambar dari tempat yang menguntungkan. Gambar yang diambilnya langsung
tersaji di seberang lapangan di belakangnya, di layar-layar besar dari media
lainnya ... seperti bioskop drive-in yang tidak pernah berakhir, semuanya
menayangkan peristiwa tragedi mengerikan yang sama.
Pemandangan keseluruhan terlihat seperti dongeng. Sang camerlegno dengan
jubahnya yang koyak dan dada hangus tercap, tampak seperti seorang pemenang yang
babak belur setelah berhasil menguasai ring neraka dan sedang mengalami
pewahyuan. Sang camerlegno berseru pada langit. "Ti sento, Dio! Aku mendengarmu,
Tuhan!" Chartrand mundur, tatapannya terlihat terpesona. Kesenyapan langsung
tercipta di dalam kerumunan yang tadinya hiruk pikuk itu. Untuk sesaat,
kesenyapan itu seakan terjadi di seluruh dunia ... semua orang yang sedang
menonton tayangan ini dari televisi, menjadi kaku dan menahan napas bersamasama. Sang camerlegno berdiri di atas tangga Basilika Santo Petrus, di hadapan semua
orang dan mengangkat kedua lengannya. Dia hampir menyerupai Kristus; telanjang
dan terluka di hadapan dunia. Dia mengangkat tangannya ke arah langit dan
mendongak sambil berseru. "Grazie! Grazie, Dio!" Kesunyian dalam kerumunan itu
tidak terusik. "Grazie, Dio!" sang camerlegno berseru lagi. Seperti matahari
yang menguak langit mendung, kegembiraan merona di wajahnya. "Grazie, Dio!"
Terima kasih, Tuhan" Langdon menatap keheranan. Air muka sang camerlegno
sekarang berseri-seri, dan perubahan yang menakutkan itu menjadi semakin
sempurna. Dia menatap ke arah langit, masih sambil mengangguk-angguk dengan
bersemangat. Dia kembali berseru ke arah langit. "Di atas batu karang ini aku
akan mendirikan jemaatku!"
Langdon mengenal kata-kata itu, tetapi dia tidak tahu mengapa sang camerlegno
dapat menyerukan kata-kata itu.
Sang camerlegno kemudian menatap ke arah kerumunan dan kembali meneriakkan katakata itu sehingga menembus kegelapan malam. "Di atas batu karang ini, aku akan
membangun jemaatku!" Lalu dia mengangkat tangannya ke angkasa dan tertawa keras.
"Grazie, Dio! Graziel" Lelaki itu jelas sudah gila. Dunia yang menontonnya pun
terpaku. Peristiwa ini jelas bukan hal yang diduga oleh siapa pun. Dengan luapan
kegembiraan yang terakhir, sang camerlegno berputar dan berlari kembali ke dalam
Basilika Santo Petrus. 118 PUKUL 11 LEWAT 42 malam. Iring-iringan itu kembali memasuki Basilika Santo
Petrus untuk menarik sang camerlegno. Langdon sama sekali tidak pernah menduga
dirinya akan ikut serta melakukan itu ... apalagi sebagai pemimpinnya. Tetapi
dia berdiri paling dekat ke pintu dan secara naluriah dia segera bertindak.
Dia ingin mati di sini, pikir Langdon sambil berlari dengan cepat melewati
ambang pintu yang membawanya ke ruangan yang gelap. "Camerlegno, berhenti!"
Kegelapan yang menyambut Langdon di dalam sangat pekat. Bola matanya berusaha
untuk menyesuaikan diri setelah sebelumnya menerima sinar yang menyilaukan di
luar gereja, dan jarak pandangnya sekarang terentang tidak lebih dari beberapa
kaki di depan wajahnya. Kakinya tergelincir ketika berusaha untuk berhenti. Di
suatu tempat di dalam kegelapan di depannya, dia mendengar suara jubah sang
camerlegno yang bergemerisik ketika pastor itu berlari ke arah gereja.
Vittoria dan para penjaga juga segera tiba di sana. Lampu lampu senter menyala,
tetapi sinar itu sekarang hampir mati dan bahkan tidak dapat membantu mereka
untuk menerangi ruangan gereja di depan mereka. Cahaya senter mulai menyapu ke
belakang dan ke depan dan hanya mampu melihat pilar-pilar dan lantai kosong.
Sang camerlegno tidak terlihat di mana-mana.
"Camerlegno!" teriak Chartrand, ada ketakutan dalam suaranya. "Tunggu! Signore!"
Suara ribut-ribut di belakang mereka membuat mereka semua menoleh. Tubuh Chinita
Macri yang besar menyerbu melalui pintu masuk di belakang mereka. Kameranya
terpanggul di atas bahunya, dan sinar merah yang berkilauan di atasnya
menandakan bahwa kamera itu masih terus menyiarkan peristiwa itu. Glick berlari
di belakang Macri sambil membawa microphone di tangannya, dan berteriak pada
Macri untuk memperlambat larinya.
Langdon tidak dapat memercayai tingkah kedua wartawan itu. Ini bukan waktunya!
"Keluar!" bentak Chartrand. "Kalian tidak boleh melihat ini!" Tetapi Macri dan
Glick terus mendekat. "Chinita!" seru Glick terdengar takut sekarang. "Ini bunuh
diri namanya! Aku tidak ikut!" Macri mengabaikannya. Dia menyalakan sebuah
tombol di kameranya. Lampu di atasnya menyala benderang dan menyilaukan semua
orang. Langdon menutupi wajahnya dan berpaling dengan perasaan kesal. Sialan! Tapi
ketika dia melihat lagi, ruang gereja di sekitarnya menjadi terang benderang
dengan radius sejauh tiga puluh yard.
Pada saat itu suara sang camerlegno menggema dari kejauhan. "Di atas batu karang
ini aku akan membangun jemaatku!"
Macri mengarahkan kameranya ke arah suara itu. Jauh di balik keremangan di ujung
jangkauan sinar kamera Macri, secarik kain hitam melambai dan menampakkan bentuk
yang sudah tidak asing lagi yang sedang belari di sepanjang gang utama gereja
itu. Ada sinar keraguan yang terlihat di mata setiap orang ketika melihat gambaran
yang aneh itu. Tapi kemudian keraguan itu menghilang. Chartrand bergegas
melewati Langdon dan berlari mengikuti sang camerlegno. Langdon mengikutinya.
Kemudian para penjaga dan Vittoria.
Macri mengikuti mereka, menyinari jalan mereka dan terus menyiarkan peristiwa
kejar mengejar yang menghebohkan itu kepada dunia. Glick yang enggan ikut serta
dalam kejadian ini menyumpah keras ketika akhirnya dia harus ikut berlari.
Sambil terbata-bata dia memberikan laporan yang sepotong-sepotong.
Gang utama di Basilika Santo Petrus, seperti yang pernah dibayangkan oleh Letnan
Chartrand, lebih panjang daripada ukuran lapangan sepak bola. Tetapi malam ini,
dia merasa gang itu menjadi lebih panjang dua kali lipat. Ketika para penjaga
berlari dengan cepat mengejar sang camerlegno, dia bertanyatanya ke mana larinya
lelaki itu. Sang camerlegno jelas dalam keadaan terguncang sehingga mengigau
karena luka yang dideritanya dan harus memikul beban karena menyaksikan
pembantaian yang mengerikan di Kantor Paus tadi.
Di suatu tempat yang jauh, di luar jangkauan sinar lampu sorot kamera BBC, suara
sang camerlegno terdengar keras penuh kegembiraan. "Di atas batu karang ini aku
akan membangun jemaatku!"
Chartrand tahu lelaki itu meneriakkan ayat Mattius 16:18, kalau dia tidak salah
ingat. Di atas batu karang ini, aku akan membangun jemaatku. Itu hampir menjadi
inspirasi yang tidak tepat - gereja ini sebentar lagi akan hancur. Jelas, sang
camerlegno sudah gila. Atau memang begitu" Saat itu juga, jiwa Chartrand seperti
bergetar. Penglihatan suci dan pesan ilahiah selalu tampak seperti khayalan yang
tidak masuk akal baginya. Itu hanya berasal dari pikiran yang terlalu taat
sehingga mereka mendengar apa yang mereka ingin dengar. Tuhan tidak berhubungan
langsung dengan manusia! Sesaat kemudian, seolah Roh Kudus sendiri yang turun untuk membujuk Chartrand
dengan kekuatan-Nya, letnan Garda Swiss itu seperti mendapatkan penglihatan
suci. Lima puluh yard di depannya, di tengah-tengah gereja itu, sesosok hantu
menampakkan diri ... sosok tembus pandang yang bersinar. Sosok pucat itu adalah
sang camerlegno yang setengah telanjang. Hantu itu seperti tembus pandang dan
memancarkan sinar. Chartrand terhuyung dan berhenti. Dia merasa dadanya menjadi
kaku. Sang camerlegno bersinar! Tubuh itu tampak bersinar lebih terang sekarang.
Lalu bayangan itu mulai tenggelam ... lebih dalam dan lebih dalam lagi, hingga
menghilang seperti sihir ke dalam lantai yang gelap. Langdon juga melihat
bayangan itu. Sesaat, dia juga berpikir dirinya sedang mendapat penglihatan
ajaib. Tetapi ketika dia melewati Chartrand yang terpaku dan berlari ke arah
titik tempat sang camerlegno menghilang, dia sadar pada apa yang baru saja
terjadi. Sang camerlegno tiba di Niche of the Palliums - ruang dengan lantai
cekung yang hanya diterangi oleh 99 lampu. Lampu di ruangan itu bersinar ke atas
dan menyinari sang camerlegno sehingga tampak seperti hantu. Kemudian, ketika
sang camerlegno menuruni tangga dengan sinar lampu di sekelilingnya, dia tampak
seperti menghilang ke bawah lantai.
Langdon tiba di pinggir ruangan itu dengan terengah-engah sambil menatap ruangan
di bawahnya. Dia melongok ke lantai bawah. Di dasar lantainya, diterangi oleh
sinar keemasan dari lampu-lampu minyak, dia melihat sang camerlegno berlari
melintasi ruangan dari pualam untuk menuju ke arah sepasang pintu kaca yang
membawanya ke ruangan yang menyimpan kotak keemasan yang terkenal itu.
Apa yang dilakukannya" Langdon bertanya-tanya. Tentu saja dia tidak berpikir
kalau kotak keemasan itu Sang camerlegno membuka pintu di depannya dengan kasar dan berlari ke dalam.
Anehnya, dia mengabaikan kotak keemasan itu, dan terus berlari melewatinya. Lima
kaki dari kotak itu, sang camerlegno menjatuhkan diri, berlutut, dan berusaha
untuk mengangkat sebuah sarangan besi yang tertanam di lantai.
Langdon melihatnya dengan ketakutan karena sekarang dia tahu ke mana sang
camerlegno menuju. Ya ampun, jangan! Dia kemudian berlari lebih cepat untuk
mengejarnya. "Bapa! Jangan!"
Ketika Langdon membuka pintu kaca dan berlari ke arah sang camerlegno, dia
melihat sang camerlegno telah mengangkat sarangan besi itu. Penutup besi itu
terbuka dan jatuh dengan menimbulkan suara hantaman yang memekakkan telinga.
Sarangan itu menunjukkan sebuah ruangan dan tangga sempit yang menuju ke bawah
tanah. Ketika sang camerlegno bergerak ke arah lubang itu, Langdon meraih
bahunya yang telanjang dan menariknya kembali. Kulit lelaki itu licin karena
keringatnya, tetapi Langdon terus memeganginya.
Sang camerlegno memutar tubuhnya dan betul-betul terkejut. "Apa yang kamu
lakukan?" tanyanya dengan keras.
Langdon heran ketika mata mereka bertemu. Tatapan sang camerlegno tidak lagi
seperti seseorang yang sedang tidak sadar. Matanya tajam dan berkilauan karena
mempunyai tujuan yang jelas. Cap di dadanya tampak mengerikan.
"Bapa," kata Langdon sambil berusaha setenang mungkin. "Anda tidak boleh pergi
ke bawah sana. Kita harus pergi dari sini."
"Anakku," kata sang camerlegno, suaranya terdengar sangat sadar. "Aku baru saja
menerima pesan. Aku tahu - "
"Camerlegno!" Chartrand dan yang lainnya tiba. Mereka datang sambil berlarian
memasuki ruangan yang kini diterangi oleh lampu kamera Macri.
Ketika Chartrand melihat kuburan terbuka di lantai, matanya dipenuhi ketakutan.
Dia membuat tanda silang dan menatap Langdon dengan pandangan penuh terima kasih
karena telah menghentikan sang camerlegno. Karena Langdon telah cukup banyak
membaca tentang arsitektur Vatican, dia tahu apa yang ada di bawah sarangan besi
itu. Di sana adalah tempat yang paling suci bagi umat Kristiani. Terra Santa,
Tanah Suci. Beberapa orang menyebutnya sebagai Necropolis. Ada juga yang
menamakannya Catacomb. Menurut catatan beberapa pendeta terpilih yang pernah
turun ke sana beberapa tahun yang lalu, Necropolis adalah sekumpulan ruang bawah
tanah yang dapat 'menelan' pengunjung kalau mereka tersesat. Mereka tidak akan
mau mengejar sang camerlegno hingga ke tempat itu.
"Signore," Chartrand memohon. "Anda sedang terguncang. Kita harus meninggalkan
tempat ini. Anda tidak boleh pergi ke bawah sana. Itu bunuh diri namanya."
Tiba-tiba sang camerlegno seperti menahan diri. Dia mengulurkan tangannya dan
meletakkannya di atas bahu Chartrand dengan tenang. "Terima kasih untuk
perhatian dan pelayananmu. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku tidak
bisa memintamu untuk mengerti. Tetapi, aku telah mendapatkan wahyu. Aku tahu di
mana antimateri itu disembunyikan." Semua orang terpana. Sang camerlegno
berpaling pada sekelompok orang di sekitarnya. "Di atas batu karang ini aku akan
membangun jemaatku. Itulah pesan yang aku terima. Artinya sangat jelas."
Langdon masih belum dapat memahami keyakinan sang camerlegno bahwa dirinya telah
berbicara dengan Tuhan. Terlebih lagi sang camerlegno dapat mengartikan pesan
itu. Di atas batu karang ini aku akan mendirikan jemaatku" Itu adalah kata-kata
yang diucapkan Yesus ketika beliau memilih Petrus sebagai murid pertamanya. Apa
hubungannya dengan semua ini"
Macri bergerak masuk untuk mendapatkan gambar yang lebih dekat. Glick tidak bisa
berkata apa-apa seolah dia terguncang.
Sekarang sang camerlegno berbicara dengan cepat. "Illuminati telah menempatkan
senjata mereka di sudut paling rahasia dari gereja ini. Di dasar gereja." Dia
menunjuk ke lantai bawah. "Di batu tertentu yang menjadi pondasi gereja ini. Dan
aku tahu di mana batu itu berada."
Langdon yakin sudah waktunya dia melumpuhkan sang camerlegno untuk
menghentikannya. Sejelas apa pun itu, pastor ini jelas mengumbar omong kosong.
Sebuah batu" Sudut paling rahasia yang terdapat di pondasi gereja ini" Tangga di
depan mereka itu tidak menuju ke pondasi bangunan ini, tetapi ke Necropolis!
"Kutipan ayat dari Alkitab adalah sebuah metafora, Bapa! Tidak ada batu yang
sesungguhnya!" Wajah Sang camerlegno menampakkan kesedihan yang tidak biasa. "Ada batu yang
sesungguhnya, Anakku." Dia menunjuk ke dalam lubang itu. "Pietro e la pietra."
Langdon seperti membeku. Dalam sekejap semua menjadi jelas.
Kesederhanaan yang sangat sempurna itu membuat Langdon menggigil. Ketika Langdon
berdiri di sana bersama dengan yang lainnya sambil menatap ke bawah, ke arah
Sepak Terjang Hui Sing 7 Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Danupaksi Bara Maharani 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama