Ceritasilat Novel Online

Kisah Cinta Abadi 8

Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari Bagian 8


"Bagaimana aku bisa tetap menjadi seorang anak lelaki yang pertama kali
melihatmu di Pasar Malam Bangsawan Meena bertahun-tahun yang lalu" Dunia ini
tidak membeku. Waktu tidak bisa ditahan, kita tidak bisa mengubahnya menjadi
keabadian. Aku bukan anak lelaki, dan kau juga bukan anak perempuan lagi. Aku
adalah seorang sultan, aku harus berubah. Aku memiliki tugas, aku memiliki
kekuasaan. Anak lelaki itu tidak akan mampu memerintah; sementara lelaki dewasa
ini bisa. Kehidupan membuat hati dan pikiran kita semakin keras. Dan karena
tindakan kita sendiri, kita bisa mengubah kehidupan dan nasib rakyat. Jika kita
hanya rakyat jelata, sudah pasti kita akan menjalani kehidupan sederhana dan
tanpa masalah. Tapi, itu bukan takdir kita." Kepalanya tertunduk, terbebani oleh
kata-kataku, rambut panjangnya
yang berkilauan menyentuh dipan. "Apa yang kau inginkan?"
"Saat ini tidak ada; sudah terlambat. Kita bukan lagi anak-anak. Kau adalah
Sultan, aku Permaisuri. Kesempatan apa yang kita miliki untuk melepaskan itu
semua" Mungkin aku juga akan berubah dalam beberapa tahun lagi. Itu bukan
keinginanmu, tapi kau berkata, kita tidak dapat menjalani hidup tanpa tersentuh
dan terpengaruh oleh aksi orang lain. Tapi, cintaku padamu tidak akan pernah
berubah. Cintaku tidak bisa dicuri, tidak bisa dikotori, dan mungkin, karena
kekuatannya sendiri, aku akan tetap menjadi seorang anak perempuan yang kau
lihat untuk pertama kalinya." Dia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku,
bagaikan akan berpisah. "Tinggallah di sini malam ini."
Aku bangkit. "Aku akan kembali."
"Jangan. Kalau begitu, jangan malam ini. Aku tidak ingin mimpi masa lampauku
kembali. Mimpiku terbuka selapis demi selapis-pertama darah, dan seraut wajah
yang tidak kukenal keluar dari balik kabut."
Aku tidak kembali kepadanya malam itu. Aku mengirimkan pesan kepada ayahnya di
Lahore. Itu adalah keputusan ketiga dalam masa pemerintahanku: Hukum mati
Shahriya dan anak-anak lelakinya. Aku tidak ingin dihantui oleh balas dendam
anak-anaknya, karena dalam hukum Muslim, mereka bisa meminta keadilan dari
istana bagi kematian ayah mereka. Aku tetap terjaga. Taktya takhta. Bisakah
seorang raja menaiki singgasananya tanpa meninggalkan jejak kaki berupa darah" Hanya jika dia
beruntung, dan putra satu-satunya. Aku bersumpah untuk memastikan, jika saatnya
tiba, aku akan mengendalikan nasib putra-putraku sendiri. Mereka tidak akan
menumpahkan darah saudaranya.
Pada hari yang sama saat kami mencapai Agra, Shahriya tewas, bersama dua
putranya. Aku tidak bertanya bagaimana itu dilakukan; perintah sultan sudah
dipatuhi. Negara ini hanya memiliki seorang raja.
Kota Agra menyambutku. Lelaki, perempuan, anak-anak, para pejabat dan pengemis,
para prajurit, berbaris di jalanan. Aku bergerak di antara mereka, mabuk karena
keriuhan suara mereka-Zindabad, Padishah, Zindabad-irama genderang dan musik
yang begitu ceria. Kelopak bunga ditaburkan kepadaku dan aku menebarkan koinkoin emas bagi orang-orang yang menghadiri perayaan dan bergembira. Aku melewati
darwaza Hathi Pol di Lal Quila, turun dari tungganganku, dan mencium tanah.
Lebih dari empat tahun sudah berlalu sejak terakhir kalinya aku menginjakkan
kaki di dalam benteng ini. Aku memandang berkeliling, mencari perubahan, tetapi
hanya ada sedikit perubahan. Dinding-dinding batu paras merah tua istana ini
masih menjulang ke langit biru terang di atas. Bagaimanapun, tamannya semakin
bertambah indah. Ini adalah keinginan ayahku, dan dia telah banyak melakukan
perubahan dengan pelebaran dan penambahan bunga-bunga, mencurahkan banyak
waktu untuk merawat mereka.
Di diwan-i-am, para pejabat kesultanan telah menunggu. Aku melihat kehadiran
Karan Singh di antara mereka, berkilauan dengan perhiasan dan emas, berdiri di
belakang pagar merah terang. Sisodia Mewar tampak puas dengan posisiku. Dengan
kekuasaanku, kekuasaannya pasti akan bertambah. Dia akan membungkuk, tetapi aku
merangkulnya. Tersembunyi di balik pilar, di kejauhan, Mahabat Khan bersembunyi.
Bukannya tidak berani, tetapi posisinya telah ditentukan di luar keinginannya.
Dia telah menua; janggutnya telah berubah warna menjadi kelabu dan bagian bawah
matanya semakin cekung, tetapi wajahnya masih menampakkan martabat seorang
komandan. Beberapa bulan yang lalu, ada peristiwa ganjil yang melibatkan dirinya dengan
ayahku. Tidak adanya tugas yang harus dikerjakan selalu mengubah pikiran untuk
melakukan kekacauan, dan Mahabat Khan, yang tidak lagi ditugasi memburuku,
termakan oleh hal itu. Karena kegilaan atau kebosanannya, dia memasuki
perkemahan ayahku, lalu menahannya. Kemudian, dia menangkap Mehrunissa, membawa
mereka berdua ke tendanya, dan menyandera mereka. Tidak ada yang mengetahui apa
yang dia inginkan. Dalam sehari itu, dia memegang kekuasaan kesultanan di
tangannya, tetapi Mehrunissa mencoba kabur. Dia mengerahkan pasukan Mughal dan
seorang diri memimpin mereka untuk melawan Mahabat Khan. Bahkan sebagai seorang
jenderal pun, Mehrunissa bisa menang; dia
membunuh beberapa orang dalam skirmish, tetapi aku mengira bahwa Mahabat Khan
tersadar kembali, lantas meninggalkan medan perang. Aku bersumpah, aku akan
mengungkap peristiwa ini lebih lanjut.
Dia tidak gemetar atau mundur saat aku berjalan ke arahnya dengan sengaja. Aku
berhenti selangkah darinya; sorot matanya tidak melemah, meskipun aku melihat
kesedihan. Aku mengingat tangan kuatnya di tubuhku yang memandu tanganku yang
kecil dalam permainan pedang, mengangkat perisai beratku lebih tinggi, dengan
tegas memberikan instruksi tentang ilmu peperangan kepadaku. Aroma tubuhnya
masih sama: keringat, debu, bubuk mesiu, logam, bercampur darah. Aku tahu, diamdiam dia berkata: Insya Allah. Jika aku memerintahkan kematiannya, dia akan
mengalami hal itu. Dia membungkuk; aku menerimanya.
"Yang Mulia tampak sehat," dia berkata, dan tidak bisa menahan diri untuk
menambahkan: "Tidak diragukan lagi, akulah yang membuatnya tetap berada dalam
kondisi seperti ini."
"Ya, memang begitu." Aku menepuk perutku. "Perjalanan melelahkan tidak membuatku
lembut dan gemuk seperti seorang perempuan. Apa yang kau inginkan?"
Dia menatap, mencoba membaca pikiranku, dan dengan lega merasakan beban masa
lalunya terangkat. Dia tidak bisa mengira, ke arah mana timbangan akan berayun.
"Aku adalah seorang jenderal tua. Sejak muda,
aku melayani kakek dan ayahmu. Aku hanya akan menjadi seseorang yang kau
perintahkan. Aku menunggu perintahmu."
"Kalau begitu, pimpinlah pasukanku, Sobat Tua. Aku tidak bisa menyangkal jika
selama empat tahun kau tidak pernah memberiku kedamaian sedikit pun. Tapi, jika
kau membangkang perintah ayahku, aku tidak akan menghormatimu. Kau bisa melayani
sultan ketiga dengan kesetiaan yang sama seperti yang telah kau berikan kepada
dua sultan sebelumnya." Aku lalu berbalik: "Dan kau harus menjelaskan kekacauan
yang kau lakukan nanti."
Dia tersipu. Aku tidak pernah melihat seorang lelaki yang begitu malu. Aku
mengira bahwa dia tidak memiliki penjelasan, dan masih kebingungan terhadap
tindakannya yang ganjil. Manusia selalu menemukan misteri terbesar dalam
tindakannya sendiri. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyeberangi pagar emas dan menaiki
tangga menuju podium. Podium itu sempit dan gelap, seperti peti mati. Tiraitirai dan pilar-pilar ini dimaksudkan untuk menjaga sultan dari pengamatan
seseorang yang mengancam. Aku meletakkan pedang di sisi tubuhku dan merendahkan
tubuhku untuk duduk di awrang. Ini adalah tempat duduk kakekku, sebuah mebel
sederhana yang ditutup oleh emas tempa dan dihiasi oleh batu-batu mulia.
Bentuknya setengah lingkaran dan dibuat rendah, tidak benar-benar merefleksikan
kekuatan dan kemegahan Mughal Agung. Seperti matahari, benda
ini seharusnya memancarkan sinar kekuasaan; tetapi, benda ini merunduk bagaikan
katak yang merendahkan tubuh. Chatr di atas kepalaku terbuat dari emas padat,
dihiasi oleh berlian. Langit-langit dari perak tempa samar-samar memantulkan
para pejabat yang sedang berkumpul, dan atap kayunya tampak lapuk. Benda ini
akan diubah. Aku menatap ke bawah: baris demi baris wajah mendongak. Seiring ketinggian yang
semakin berubah, pemandangan berubah. Dunia telah mengerut; aku telah membesar
dalam kemegahan, dan aku menatap jiwa-jiwa manusia. Awrang terasa nyaman; aku
bersandar ke batalnya dan merasa seluruh jiwaku terserap ke dalam jiwa kekuasaan
negara ini. Tetapi, aku juga merasakan kesendirian yang suram dan tidak bisa
dicegah. Di sebelah kiri maupun kanan, aku tak menemukan teman; tawa telah
menghilang dan keheningan menggantikannya. Aku memandang para pejabat yang
berkumpul, diam-diam mencari kehadiran Arjumand di balik jali; kupikir, aku
melihat wajahnya dari balik bayangan dan kehadirannya yang samar itu membuatku
merasa nyaman. Di bawahku, berdiri putra-putraku: Dara, Shahshuja, Aurangzeb,
dan Murad. Mereka menatap penuh kekaguman, kemudian membungkuk dengan canggung.
Bahkan aku pun tidak bisa merengkuh mereka: mereka tidak diizinkan untuk
melangkah ke podium. Dara dan Aurangzeb telah tumbuh-mereka telah meninggalkan
masa kanak-kanak dan memasuki masa remaja. Dara menatapku dengan penuh kasih
sayang-perpisahan kami telah membuatnya tertekan-tetapi wajah Aurangzeb dingin bagaikan batu.
Aku adalah Pemerintah Dunia yang sesungguhnya.
Formalitas itu masih terus berlangsung: pembacaan Quran di masjid, Durbad dan
pemberian dukungan kepada diriku. Upacara ini menghabiskan waktu seminggu. Para
pangeran dan pejabat mendatangiku, membawa hadiah-hadiah tak terhingga harganya,
yang akan memenuhi ruang harta karun. Isinya sudah luber; tidak ada yang bisa
menghitung kekayaan yang tersimpan di ruangan-ruangan di bawah harem. Setiap
hari aku menatapnya, darah dan otot kesultanan, darah dan ototku sendiri.
Bagaimana kekayaan seperti ini tidak bisa membangkitkan nafsu manusia"
Seorang sultan tidak boleh melupakan teman, perbuatan baik, atau musuh, dan aku
memiliki banyak orang yang harus diingat. Setiap orang diperlakukan dengan adil.
Aku memberikan posisi Mir Saman bagi ayah Arjumand, dan memanggil Mehrunissa
untuk menghadapku di Agra. Dia datang dengan ragu-ragu. Arjumand dan aku
menerimanya di harem secara pribadi, duduk bertiga saja di balkon.
Malam itu, sebelum dia datang, aku menghadiahi Arjumand dengan benda yang paling
berharga yang bisa dihadiahkan seorang sultan kepada orang kepercayaannya. Dia
menerima kotak emas itu dengan ragu, dan membiarkannya tergeletak di pangkuan
saat tatapannya mencari wajahku.
"Bukalah." "Apa ini?"
"Kau akan melihatnya." Dia masih terdiam. "Itu adalah jantungku, tentu saja. Apa
lagi yang bisa kuberikan kepada permaisuriku?"
Dia mengintip ke dalam, menyangka bahwa itu adalah sebuah batu mulia, kemudian
mengerutkan wajah dan perlahan-lahan menyingkirkan benda berat itu.
"Aku melihat benda ini di meja Mehrunissa bertahun-tahun yang lalu. Saat aku
menyentuhnya, dia marah."
"Kau akan menyimpan Muhr Uzak. Itu adalah simbol kekuasaanku, dan kepercayaanku.
Kau akan mengimbangi keputusanku dengan kebaikan hati dan cintamu; kau akan
menjadi penyeimbang ketidakadilanku, jika aku terbutakan oleh keserakahan."
Dia memegangnya sebentar, kemudian menyerahkannya kepadaku. Logam menjadi hangat
karena sentuhannya. "Kau adalah raja, Sayangku, bukan aku. Aku tidak ingin memerintah seperti
Mehrunissa. Aku tahu, kau akan bersikap baik dan murah hati terhadap rakyatmu,
seperti yang telah kau lakukan selama bertahun-tahun ini kepadaku."
Aku membuka telapak tangannya dan mengembalikan segel itu kepada pemegangnya.
"Seorang sultan membutuhkan kendali. Kau harus menjadi penuntunku untuk
menunjukkan kebaikan dan keburukan."
"Jika kau menginginkannya. Dan ..." dia menambahkan dengan suram, ". jika kau
mendengarkan." "Pendapat dan suara merdumu akan membuatku mendengarkan."
Dia meletakkan Muhr Uzak di meja emas di samping dipan. Benda itu ada di sana,
dalam jangkauannya, bukan jangkauanku. Mehrunissa segera melihat segel
kenegaraan itu-lebih berharga dan berkuasa dibandingkan emas atau pasukan-tetapi
dia tidak menampakkan rasa malu, hanya sikap menyerah. Dia menerima kekalahan
dan menunggu perintahku. Aku membeku. Tahun-tahun penuh kesulitan selama ini, dan lebih buruk lagi,
hilangnya cinta dan kepercayaan ayahku, telah ditebarkan olehnya. Memang, ayahku
juga salah; untuk mendapatkan cinta Mehrunissa, dia memalingkan wajah dariku,
tetapi aku tidak bisa menyalahkan dirinya. Mehrunissa telah memanfaatkan
kelemahan ayahku untuk ambisinya sendiri, dan aku menjadi sangat menderita. Dia
juga, yang telah memindahkan beban kekuasaanku ke dalam kehidupan Shahriya.
Seberapa sering, selama empat tahun terakhir ini, aku telah mengutuk nama
Mehrunissa" Setiap aku berdoa, aku selalu menyebutnya racun hatiku, dan saat ini
aku tidak bisa menatapnya tanpa kebencian di mataku.
Arjumand segera bangkit dan memeluk bibinya. Dalam dirinya ada pengampunan.
Arjumandku tampak lebih tua, tubuhnya menggemuk karena
bertahun-tahun sakit dan melahirkan anak, wajahnya kusam karena kelelahan.
Tetapi, bagiku dia tetap saja lebih cantik.
"Yang Mulia," Mehrunissa membungkuk. Dia langsung menyadari bahwa dia akan
terlindung dari badai di balik lindungan keponakannya. "Aku datang untuk
memberikan penghormatan sepenuh hati kepada Mughal Agung. Kuharap, tentu saja,
bisa tetap di Lahore untuk meratapi kematian suamiku, ayahmu, tapi aku harus
mematuhi panggilanmu."
Dia duduk di sebelah Arjumand, mendesah dalam kesedihan, meskipun kesedihannya
sama sekali tidak mengurangi kecemerlangan pakaian dan perhiasannya.
"Aku hanya berharap bisa melihat wajah ayahku sebelum kematiannya. Aku tidak
bertemu dengannya empat tahun ini."
"Insya Allah," dia menjawab dengan datar. "Dia sekarang sudah berada dalam
kedamaian. Satu-satunya keinginanku hanyalah kembali ke Lahore dan membangun
sebuah monumen bagi kebesarannya."
"Tidak lebih?" "Kita bisa mendiskusikan masalah-masalah itu nanti," Arjumand mengalihkan
kemarahanku. "Bagaimana kabar Ladilli" Apakah dia baik-baik saja?"
"Dia berduka," Mehrunissa mengungkapkan setiap kesempatan untuk menyalahkanku
dari kalimat itu. "Dia sangat mencintai Shahriya, dan kematiannya sangat
memengaruhi Ladilli."
"Kau menikahkan Ladilli dengannya hanya untuk
mendapatkan kekuasaan."
"Apakah kau menyalahkanku?" Kilatan semangatnya telah kembali. "Aku tidak
bermaksud untuk tetap menjadi seorang perempuan lemah yang konyol, menghabiskan
waktu dan energinya di dalam haram. Menghitung perhiasan, mengoleskan wewangian
di tubuhku, menunggu suamiku mengunjungiku selamanya-itu bukan kehidupan yang
kuinginkan. Ayahmu hanya terlalu senang untuk memberikan itu padaku ...." Dia
menunjuk Muhr Uzak. "Dia berkata: 'Lakukan apa yang kau inginkan.' Dia hanya
ingin menikmati hidupnya sendiri. Beban kenegaraan membuatnya lelah dan
mengganggunya dari kenikmatan yang dia dapatkan dari melukis dan, tentu saja,
minum-minum. Pikirannya telah melemah. Aku tidak bisa membiarkan kesultanan ini
terpecah-belah karena ketidakpeduliannya. Aku memerintah semampu yang kubisa.
Kau mengerti kekuasaan sebagaimana diriku. Aku tidak mendapatkannya dengan
mudah. Apa pengaruhnya bagiku saat ini" Aku hanya akan menjadi sebatang lilin
yang berkelip-kelip sepanjang malam yang sepi, tanpa ada yang menyadari
cahayaku." Mehrunissa menunggu tanggapan dariku. Keheningan membuat otot-otot wajahnya
berkerut. Aku menatap Arjumand. Aku akan melakukan apa pun yang dia inginkan.
Dia melingkarkan lengannya dengan penuh belas kasih di sekeliling bahu
Mehrunissa. "Bibi akan membangun makam besar untuk
Jahangir. Dan makam itu akan sama indahnya dengan yang Bibi bangun untuk
kakekku." Jadi, aku memaafkannya.
Ada hal lain yang tidak bisa kulupakan. Aku memanggil Mahabat Khan ke diwan-ikhas keesokan paginya. "Kau kuperintahkan untuk pergi ke hutan yang mengelilingi Mandu dan mencari
seorang rakyat jelata bernama Arjun Lal, jika dia masih hidup. Jika kau
menemukannya, sampaikan salam dari Sultan Shah Jahan, dan katakan ini: 'Shah
Jahan tidak melupakan kesetiaannya, dan sebagai ungkapan terima kasih, Shah
Jahan akan mengembalikan tanah miliknya, dan dua kali besar tanah yang dia
miliki sebelumnya. Sejak hari ini, dia akan hidup dalam kedamaian di kesultanan
ini." Wazir menuliskan perintah ini, dan satu perintah lain: "Kau harus memimpin dua
puluh ribu prajurit ke Bengal. Di tepi Sungai Hoogli, kau akan menemukan sebuah
benteng feringhi. Kau akan menghancurkannya hingga rata dengan tanah, dan yang
tidak gugur dalam pertempuran harus kau bawa ke istana sebagai tahanan. Satu,
hanya satu orang, yang ingin kutemui. Seorang pendeta dengan janggut merah,
berwarna seperti wortel. Dia hanya akan hidup hingga aku melihat wajahnya.
Wazir menuliskan perintah-perintahku ini. Arjumand membubuhkan segel resmi
kenegaraan itu pada keduanya.[]
24 Isa meratap. Air matanya berkilauan di bawah sinar matahari, mengaburkan wajah
orang-orang, serta mengubah istana marmer dan batu paras menjadi bentuk yang
mengerikan. Keheningan ini begitu mencekam. Relief-relief manusia yang membeku
mengelilinginya-para prajurit, pejabat, pangeran, dan sang Sultan. Dan seorang


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangeran, terpisah, bagaikan terpahat dari sebongkah batu yang lain. Dia
memandang ke sekelilingnya dengan ekspresi penyesalan. Dia telah merasakan
kematiannya sendiri, mengetahui bahwa segalanya yang bisa dia lihat akan
menghilang. Apakah manusia yang meninggal, ataukah dunia ini yang mati" Manusia
nyaris tidak bisa mengetahui dengan pasti tentang kematian. Saat Dara meninggal,
dia akan menghilang dari pandangan kami. Atau, apakah itu adalah suatu pikiran
yang arogan" Apakah kami yang menghilang dari pandangan Dara" Teka-teki itu
sedikit mengobati hatinya yang sakit. Ini adalah suatu pengurangan, tetapi apa
yang dikurangi, dari Taj Mahal 1069/1659 Masehi apa" Jika satu jiwa kembali ke Brahma, itu bersifat abadi, sementara dunia ini
tidak abadi. Kalau begitu, kami semua yang dikurangi, bukan manusia yang mati.
Kesimpulan ini tidak bisa membuatnya merasa lebih enak. Semua manusia dari semua
keyakinan mencari keselamatan: semua kepercayaan bergantung kepada hal itu. Kami
semua mencari keselamatan, tetapi tidak ada buktinya, dan kami percaya karena
memang diwajibkan untuk percaya.
mim Keheningan membuat sang Sultan merasa gelisah, dan Aurangzeb menatap wajah-wajah
muram itu. Dia melihat kesedihan, tetapi tidak bisa mengerti bahwa dia adalah
sumber kesedihan itu. Dia adalah seorang pahlawan; dan di sana berdiri seorang
penjahat. Tetapi, keheningan memutarbalikkan posisi mereka, dan entah bagaimana,
udara juga seakan-akan mendukung siasat ini. Dia tenggelam dalam pikiran burukjika dia yang berada di dalam belenggu rantai itu, wajah mereka akan terlihat
gembira. Dia telah mengadili Dara dengan seadil-adilnya. Sultan adalah bayangan
Allah, Pedang Tuhan. Dara telah gagal. Dia telah menampilkan belas kasih terangterangan kepada umat Hindu. Dia berdosa. Kematian telah menunggu.
Insting Aurangzeb berkata bahwa darah tidak bisa ditumpahkan di depan umum.
Perasaan kerumunan orang itu tidak stabil, kemarahan di sekelilingnya hampir
meledak; setetes darah saja
akan mengakibatkan banjir. Dia tidak menatap Dara. Tetapi, dia memberi isyarat
untuk membawa tahanan pergi. Para pengawal mendorong Dara menuju penjara bawah
tanah istana. Para algojo mendongak; Sultan mengangguk.
mim Di bawah istana, udara terasa dingin. Angin bertiup dari Sungai Jumna. Dara bisa
mencium aroma debu dan air. Dia merasakan kelegaan alamiah dari hawa panas yang
telah menerpa punggungnya sepanjang pagi. Tangga menuju ke bawah ini tidak
berakhir juga. Ketika mereka turun lebih dalam, suasana semakin gelap, api
berkobar dengan lebih terang. Begitu jauh dari sinar matahari, waktu seakan-akan
berhenti berdetak. Sebuah ruangan batu, berlantai tanah, dan sebatang kayu. Dara
mengalami kesendirian yang menyedihkan dan sepi. Dia melihat wajah ibunya dengan
sangat jelas, seperti yang dia lihat saat masih kanak-kanak, dari bawah, ketika
dia berbaring di pangkuannya. Wewangian ibunya menyelimuti tubuh Dara, seperti
mawar yang beraroma musk. Mereka mendorong wajahnya hingga menempel ke tanah,
kepalanya di atas balok kayu itu. Dara mencari lagi kenyamanan bahu ibunya, yang
tertutup oleh rambut hitamnya yang panjang. Tak!
mim Tak, tak, tak. Shah Jahan mendengarkan para
perempuan yang mencuci membanting-banting cucian mereka ke batu. Kerbau-kerbau
berkubang dan menenggelamkan diri ke sungai. Jantungnya melonjak, bagaikan
sebuah busur yang ditarik oleh tangan tak kasatmata. Dalam keremangan sinar
matahari dan debu, Taj Mahal bergelombang; hanya kubahnya yang masih tampak
nyata, disangga oleh udara hampa. Dia mengerang: Arjumand, Arjumand, memanggil
kekasihnya untuk keluar dari marmer kukuh itu dan datang ke sisinya. Arjumand
sering kali datang, pada malam hari. Shah Jahan bermimpi, kekasihnya itu
bersandar ke tubuhnya, menyembuhkan kesepiannya. Dia biasanya terbangun saat
itu, dengan kepala tertunduk, seolah-olah tadi dia mengecup tulang bahu
Arjumand. Tubuh, dia kemudian meminta, menginginkan kenyamanan di ranjangnya
yang sepi. Para perempuan telah menunggu panggilannya, mengetahui kebutuhannya,
dan berbaring di sebelahnya. Tetapi, saat dia memanggil-manggil, bukan nama
mereka yang dia sebut. mm Isa berbalik. Seorang prajurit memanggilnya. Seorang lagi berdiri sambil membawa
sebuah mangkuk emas yang berkilauan di tangannya, bagaikan sebuah bola api.
"Apa yang ada di dalamnya?"
"Kami ingin segera bertemu dengan Shah Jahan."
"Paduka," Isa mengoreksi, tetapi para prajurit itu tidak memerhatikan. Negeri
ini hanya memiliki seorang Yang Mulia-Aurangzeb. Isa tidak memberikan izin untuk masuk, tetapi
mereka langsung masuk ke dalam Saman Burj. Shah Jahan sedang bersandar di
dipannya, di sebelah pagar marmer, memandang keluar, punggungnya bersandar ke
pilar, bayangannya terperangkap oleh sudut-sudut tak terhingga dari berlianberlian yang dipasang di dinding kamarnya. Dia tidak menatap para prajurit itu,
tetapi menatap mangkuknya. Ketakutan membayang di wajahnya, tatapannya beralih.
Dia membuang muka, dan Isa langsung tahu apa yang ada di dalam mangkuk besar
itu. "Pergilah." Dia bergerak cepat dan mendorong para prajurit itu. Sebilah belati
menyentuh lehernya, ujung pedang menempel di dadanya.
"Siapa kau, berani-beraninya memerintah kami" Padishah Aurangzeb mengirimkan
hadiah untuk ayahnya. 'Di sini terbaring cinta dan jantung hatinya', kata
Padishah." Seorang prajurit membuka tutup mangkuk.
Mata Dara menatap dengan kosong.
Gopi melangkah dengan hati-hati melalui gerbang, ke dalam sinar matahari yang
terik. Taman itu tampak sepi, tak ada seorang pun yang menjaga makam. Dia
menatap kanal sempit yang panjang; air tidak memancar di kolam air mancur. Citra
putih berkilauan terpantul di air gelap. Dia mendengarkan dengungan lemah
serangga-serangga dan tidak bisa mendengar suara manusia; mereka berada jauh, di
seberang sungai, di balik dinding-dinding tinggi. Dunia telah memejamkan
matanya; makam ini adalah miliknya. Dia ragu-ragu ketika mencapai bayangan
gerbang. Dia berhenti, masih bersiap terhadap sesuatu yang menghadang, kekuasaan
brutal para prajurit kesultanan yang menyuruhnya mundur. Dia tidak percaya, dia
bisa ada di taman, menatap keindahan ini-taman yang hijau dan disirami, semaksemak mawar, bunga-bunga lily kana, dan bunga-bunga marigold. Bagi Muslim,
marigold adalah bunga kematian. Jumlah bunga itu sangat banyak dan warnanya
sangat beragam. Di taman juga berbaris segala jenis pohon: mangga, limau,
siprus. Siprus juga tampak di ukiran makam; pohon khas Timur.
Gopi berjalan menyusuri jalan setapak di samping kolam air mancur, menatap
bayangannya bergerak dalam citra yang samar. Bangunan makam menjulang saat dia
mendekat. Dari kejauhan-dia hanya pernah melihatnya dari balik dinding-bangunan
ini tidak memiliki kemegahan semacam ini. Ketika dia masuk ke dalam bayangannya,
dia merasakan keajaiban. Keindahannya bagaikan ilusi, diciptakan untuk
memberikan efek kerapuhan. Makam ini menjulang di atasnya, dan dia meregangkan
leher untuk menatap ke atas kubah. Dia tidak mampu lagi menatapnya ketika
mendekati suatu landasan tiang dan terburu-buru menaiki tangga menuju pintu.
Ukiran-ukiran marmer merentang tinggi di atasnya. Di sebuah sudut lengkungan,
lebah-lebah sudah membangun sarang yang hitam dan besar. Gopi mendorong pintu perak itu hingga
terbuka, dan melihat jali.
Dari pagar, Gopi memandang. Cahaya tersebar melalui marmer berpola garis dan
lengkung di jendela barat, disamarkan, dan diredupkan. Cahaya itu menimpa jali
dan mengubah tekstur asli batu menjadi sesuatu yang rapuh, transparan, terang,
hingga batu itu sendiri berubah menjadi sumber cahaya. Dalam kegelapan, Gopi
berpikir, marmer itu akan bersinar karena sumber cahayanya sendiri. Pola-pola
yang dihias di situ: dedaunan dan bunga-bunga, berwarna merah, hijau, biru,
berkilau bagaikan cacing-cacing pendar yang menerangi taman pada malam hari.
Berdasarkan instingnya, Gopi mengetahui panel mana yang telah dipahat ayahnya,
yang telah menghabiskan banyak waktu melelahkan dalam hidupnya. Dia tertarik
oleh jali itu, jari-jarinya meraba marmer yang dipoles, menyentuh setiap bagian
bagaikan meraba tubuh perempuan, mencoba meraih ayahnya melalui batu dingin itu.
Kesedihan melanda Gopi: ayahnya menciptakan keindahan seperti ini, tetapi tidak
pernah bisa menatap dan menciumnya.
Akhirnya, dia melihat sarkofagus di dalam. Dengan hati-hati, dia masuk melalui
pintu dan berjalan mengitari bongkah marmer, tetapi tidak menyentuhnya. Dia
tidak bisa mengerti perilaku aneh kaum Muslim: mereka membangun monumen bagi
orang mati, sementara tubuh mereka fana, tidak berharga setelah kematian. Dia
mendongak, menatap lampu emas yang tidak menyala, kemudian menatap kubah besar. Dia
mendesah karena kemegahannya, dan suaranya bergema lembut, seolah-olah
meledeknya. Saat ini Gopi merasakan kedamaian, mengetahui bahwa dia memiliki
banyak waktu untuk menjelajahi bangunan ini. Karena menghormati aura makam ini,
dia melangkah tenang dan perlahan-lahan mengelilingi ruangan ini, memerhatikan
pola cahaya, terpukau oleh begitu dahsyatnya pembangunan makam ini. Di setiap
ruangan, dia bisa memandang jali ayahnya dari jendela. Sekarang dia memilikinya,
akhirnya, setelah bertahun-tahun ini. Jali itu adalah hasil karya ayahnya, juga
hasil karya Gopi sendiri. Masa kanak-kanaknya telah terpaku dalam pahatan ini,
bersama masa kanak-kanak yang lain, kehidupan, dan kematian-adik-adiknya,
ayahnya, ibunya. Jiwa mereka juga ada di dalam makam ini, bersama orang lain
yang jumlahnya tak terhingga, yang telah bekerja selama bertahun-tahun untuk
mewujudkan suatu keindahan dari bumi.
Gopi menyentuh dinding-dinding ruangan, ujung-ujung jarinya membelai berlian,
ruby, zamrud, dan mutiara yang tersusun menjadi bentuk bunga, semua bernilai
sangat tinggi. Tiba-tiba, dia menyadari bahwa dia kemari untuk mengucapkan selamat tinggal.
Keberanian untuk memasuki makam ini, ketakutannya yang menekan akan hukuman,
telah menghilang karena hasrat ini. Dia tidak tahu apa yang harus dia hadapi,
dan dia berharap, saat ini semua akan tetap menjadi
misteri. Selama bertahun-tahun ini, dia membayangkan makam ini kosong bagaikan
cangkang kerang, tidak terisi oleh kemegahan seperti ini. Bagaimana dia bisa
pergi" Bagaimana dia bisa kembali ke sebuah desa yang sulit dia ingat, dua ribu
kos di selatan" Dia tidak bisa meninggalkan jiwa ayah dan ibunya. Tidak, dia
menetapkan hatinya sendiri. Ini adalah makam yang tidak bisa dia tinggalkan. Dia
merasakan kebutuhan makam ini akan keterampilannya, dan kebutuhan dirinya
sendiri akan keindahan makam ini.
Gopi berjalan ke luar, menuju terik matahari, menuruni tangga dan menyusuri
jalan setapak menuju gerbang. Dia tidak menoleh ke belakang. Dia tenggelam dalam
pikirannya; hidupnya harus berubah untuk menyisakan ruangan bagi cinta barunya.
Dia tidak bisa kembali ke sekelompok orang asing itu-pasti saat ini dia akan
menjadi orang asing di desa kecil yang terletak di tengah sawah-sawah hijau. Dia
memiliki keluarga di sini, adik lelaki dan perempuan, dan seorang paman-jauh,
tetapi menyayanginya. Dia akan tetap tinggal. Dia tidak akan pernah lupa bahwa
dia seorang Acharya. Itu adalah identitasnya, profesinya, dan, jika dewa-dewi
mengizinkan, dia akan menemukan seorang perempuan dari kastanya sendiri untuk
dinikahi, seorang istri untuk Ramesh, dan seorang suami untuk Savitri.
Dia kembali ke posisinya di luar dinding, di bawah bayangan sebatang pohon
peepul. Kemudian, seperti yang telah dilakukan oleh ayah dan
kakeknya, Gopi berkontemplasi di depan sebongkah marmer. Marmer itu berbentuk
kubus, panjang sisi-sisinya tiga puluh sentimeter. Dia memejamkan mata, melihat
sebentuk dewa dalam batu tersebut-bukan Durga, tetapi Ganesha, dewa
keberuntungan, ilmu pengetahuan, dan kekayaan.
mm 1076/1666 Masehi Tahun-tahun berlalu; debu dan usia terus membebani. Istana tampak seperti
reruntuhan magis tembok-tembok masif Lal Quila. Bangunan itu tampak terabaikan,
kecuali titik-titik cahaya yang tersebar di relung-relung marmer pada malam
hari; juga, kecuali para prajurit yang menjaganya, tidak mengizinkan siapa pun
masuk. Tugas mereka ringan; kesultanan ini sudah melemah, kericuhan sudah
mereda, dan hanya keheningan serta beberapa sosok yang masih menghantui istana.
Shah Jahan dimakamkan di bawah marmer dan sinar matahari. Dia telah merindukan
kematiannya sendiri; kehidupan semakin terenggut dari seluruh tubuhnya,
mengerutkannya menjadi sebuah eksistensi yang samar. Setiap hari, Isa
membacakannya Ain Akbari atau Babur-nama, dan kadang-kadang, Shah Jahan akan
mendengarkan Isa membacakan surat dari Sultan, putranya sendiri. "'Aku berharap
bisa mendapatkan penilaian baik darimu,'" Isa membacakan, '"dan aku tidak tahan
jika kau mengambil kesimpulan yang keliru dari diriku. Seperti yang kau
bayangkan, naiknya aku ke atas singgasana membuatku menjadi kurang ajar dan bangga. Kau tahu,
berdasarkan pengalaman lebih dari empat puluh tahun, betapa membebaninya sebuah
mahkota itu, betapa sakit dan sedihnya hati ini, ketika seorang penguasa mundur
dari muka publik. Tampaknya, kau berpikir, seharusnya aku mengurangi waktu dan
perhatianku terhadap persatuan dan keamanan kesultanan ini, dan akan lebih baik
jika aku memikirkan dan memutuskan rencana-rencana untuk menambah kekuasaanku.
Sebenarnya, aku sama sekali tidak menyangkal bahwa penaklukan harus dilakukan
untuk menekankan kekuasaan suatu monarki yang agung, dan aku setuju, aku
seharusnya merasa tindakanku akan mempermalukan darah Timur yang agung, leluhur
kita yang terhormat, jika aku tidak berusaha memperluas batas-batas negara saat
aku berkuasa. Tetapi, di sisi lain, aku tidak bisa disalahkan untuk kelalaian
yang memalukan itu. Kuharap kau mengingat, tidak semua penakluk terbesar selalu
merupakan raja paling agung. Bangsa-bangsa di bumi ini sering kali dikuasai oleh
kaum barbar yang nyaris tidak beradab, dan penaklukan paling besar dalam
beberapa tahun yang singkat ini telah hancur berantakan. Raja yang paling hebat
adalah ia yang menetapkan tujuan utama hidupnya untuk memerintah rakyatnya
dengan adil." "Aku tidak ingin mendengarkan surat-suratnya!" Shah Jahan berseru karena
tersinggung. "Surat-surat itu hanya mengingatkan kembali
kenangan yang telah terlupakan. Aku sudah tua. Seharusnya dia mengenyahkanku
dari pikirannya, seperti dia menyingkirkanku dari kehidupannya."
"Dia meminta maaf, Yang Mulia," Isa berbicara dengan lembut.
"Dariku" Delapan tahun telah berlalu, dan dia masih memohonkan ampun dari
seorang pria tua untuk seorang sultan" Untuk apa ampunanku?"
"Yang Mulia tidak pernah memberikan ampunan."
"Bagaimana aku bisa" Dia membunuh dua putraku, memenjarakan seorang lagi.
Bagaimana seorang ayah bisa memaafkan" Katakan padaku, Isa. Putra-putra Arjumand
terbaring dalam makam mereka; suaminya terkurung dalam penjara ini. Tidak akan
pernah ada ampunan dariku."
Isa tidak mendebat lagi. Setiap kali, semua sama saja. Kata-katanya tidak pernah
didengar. Jahanara juga, yang begitu menyayangi ayahnya, tidak akan pernah
memaafkan. Segera setelah menerima sepucuk surat, Shah Jahan akan menuju Masjid Mina. Jika
dia memohon kematian Aurangzeb, itu tidak terkabul. Jika dia memohon kematiannya
sendiri, itu pun tidak terkabul. Waktu terus berjalan, seiring dia mendengarkan
musik, makan, minum, bercengkerama dengan budak-budak perempuan setiap malam.
Hasratnya tidak berkurang-tubuh, aroma wewangian, dan kelembutan mereka
membuatnya senang. Kenikmatan bisa sedikit menghibur jiwanya yang sepi.
Kemudian, suatu hari, saat Isa datang untuk
membangunkannya, doa itu telah terjawab. Shah Jahan terbaring di dipannya,
menatap ke luar, ke arah warna merah jambu pucat matahari terbit yang bersinar
lembut di kubah Taj Mahal. Isa menutup mata Shah Jahan, perlahan-lahan mengecup
pipi montoknya, dan memeluk jenazah sultannya. Setelah puas dengan perpisahan
pribadinya, dia memanggil Jahanara.
Dia datang pada malam hari, saat pemakaman selesai. Shah Jahan terbaring di
samping Arjumand, tertutup sebuah bongkah marmer sederhana. Kegelapan
menyelimuti pusat makam itu. Isa menghirup aroma dupa dan menghancurkan kelopak
mawar yang masih tersebar di lantai. Dia membungkuk dan mencium batu dingin
tempat Arjumand terbaring. Bibirnya tetap melekat di batu itu, berubah pula
menjadi dingin, air mata mengalir dan jatuh ke batu marmer. Entah berapa lama
dia berada di sana untuk membelai makam itu. Tiba-tiba, dia menyadari cahaya
lentera, dan suara langkah sesosok manusia. Dengan cepat, dia mundur ke sudut.
Isa mengenali sang Sultan di dalam cahaya kuning lentera. Aurangzeb berdiri
diam, menatap kedua makam itu. Dia meletakkan lentera di bawah, merunduk ke arah
makam ibunya. Dia meletakkan dahinya terlebih dahulu di batu dingin itu,
kemudian bibirnya. Dia melakukan ritual yang sama di makam ayahnya. Ketika
berdiri dan berbalik, dia melihat Isa.
"Apakah aku membuatmu terkejut, Isa?"
"Tidak, Yang Mulia. Anda adalah anak mereka."
Cahaya lentera terangkat ke atas, menyinari wajah Aurangzeb. Sudah bertahuntahun Isa tidak bertemu dengannya. Matanya bersinar terlalu terang, berkilat
dengan kesedihan. Sebelum cahaya meredup, Isa menyadari juga rasa kesepian yang
melanda wajah setiap penguasa tertinggi negeri ini.
"Aku melihat wajah ayahku untuk terakhir kali dia tampak tidak bertambah tua."?"Yang Mulia beruntung. Dia tidak melihat wajah Yang Mulia."


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah itu kesalahanku" Hidupnya adalah gaung dari masa lalu. Dia pun tidak
melihat wajah ayahnya."
"Kalau begitu, kesalahan itu sudah terkubur di dalam makam ini."
"Kesalahan! Aku tidak harus memilih jalan yang berbeda. Aku menumpas saudarasaudaraku dengan alasan yang sama dengannya. Tapi, dia menyalahkan dan
mengutukku karena perbuatanku itu. Itu tidak adil."
Kemudian, dengan suara yang lebih rendah, dia melanjutkan: "Tapi, aku tidak
mencabut nyawanya; juga nyawa Murad. Saat itu, aku bertanya-tanya, apakah jika
ibuku masih ada, semua akan berbeda?"
"Mungkin" Apakah Anda akan mendengarkan suara ibu Anda memohon ampunan bagi
Dara?" "Mungkin, tetapi kami sudah ditakdirkan terlibat konflik ini seumur hidup.
Keseimbangan cinta-insya Allah." Dia mengambil lentera itu. "Dan kau, Isa?"
"Aku mencintai kalian semua, Yang Mulia. Tidak ada yang kuperlakukan berbeda."
"Kau tidak memanfaatkan apa pun dari kami, tidak seperti banyak orang lain. Aku
akan menjagamu hingga akhir hayatmu."
Saat sang Sultan pergi, Isa kembali ke dalam perenungannya. []
25 Arjumand Rasa sakit itu mulai terasa lagi dalam bulan pertama pemerintahan kekasihku.
Perasaan itu menusuk, seperti biasanya, tanpa peringatan, dalam cahaya pucat
lembut saat fajar, berputar-putar dan menanti di dalam perutku sepanjang malam
gelap. Aku tidak tahan memikirkan seorang anak lagi. Kali ini, ia berada di
dalam tubuhku, terasa berat bagaikan sebongkah batu gelap dan kusam, membebani
jiwaku. Selama berhari-hari, aku tenggelam dalam perasaan kacau, seakan-akan aku
hidup dalam sebuah mimpi buruk. Aku terbaring kaku dalam ruangan gelap, bahkan
tidak mampu untuk melihat tubuhku sendiri. Aku mendengar suara-suara mendesis,
bisikan-bisikan yang tidak bisa kukenali di balik dinding-dinding kamarku.
Yang membangunkanku dari kegelapan adalah sentuhan kekasihku, kecupannya di
bibirku. Aku melihat wajahnya, penuh kekhawatiran, matanya merah dan mengantuk.
Aku tersenyum, mencoba Kisah Cinta 1037/1627 Masehi menghilangkan beban rasa bersalahnya. Dia telah meminta kehangatan tubuhku pada
hari pelantikannya sebagai sultan di Agra. Dia tidak bisa disalahkan untuk
hasratku sendiri. Tetapi, aku masih merasa lemah karena tatapannya, dan darahku
mengalir deras karena sentuhannya. Kami telah menahan diri selama berbulanbulan, tetapi pada malam itu, percintaan kami adalah bagian dari perayaan yang
tidak terkendali. "Hakim telah menyarankan agar kau beristirahat dan tidak bergerak," kekasihku
berbisik. "Tidak ada yang boleh mengganggumu."
Aku tidak bisa menahan kekecewaanku. "Berapa lama aku menunggumu naik takhta"
Dan saat ini aku tidak bisa menikmatinya, harus terus berada di kamar sakit ini
siang dan malam." "Kau akan segera sembuh."
"Sembilan bulan bukanlah waktu yang singkat. Itu adalah seumur hidupku. Aku
merasa bagaikan .." Aku tidak bisa mengatakan firasat burukku yang tergantung di
hatiku, bagaikan cadar yang tak bisa tertembus.
"Apa?" "Tidak. Aku merasa tidak ada yang berubah. Aku masih menjadi putri, aku masih
kecil dan terlindung."
"Tapi, kau bukan lagi Putri Arjumand Banu. Sekarang kau adalah permaisuri
jantungku, jiwaku, dan kesultanan ini. Kau adalah Perempuan Terpilih dalam
Istana." "Itu adalah nama yang cantik. Mumtaz-i-Mahal. Tapi, lidahku terasa ganjil untuk
menyebutkan nama itu. Biarkan orang lain memanggilku begitu, Sayangku. Aku hanya ingin menjadi
seseorang yang selalu sama bagimu-Arjumand. Aku masih perempuan yang sama."
"Apa pun keinginanmu, Sayangku." Dia mengecupku, kemudian berdiri. Aku merasa
dia memudar dari pandanganku, dan aku merasa khawatir. Tetapi, aku menahan
lidahku. "Tapi, sejak saat ini, dunia akan mengenalmu sebagai permaisuriku,
Mumtaz-i-Mahal." Betapa anugerah itu tidak bisa dinikmati. Nama itu menghilang dari ingatanku
saat aku terbaring membeku dalam hawa panas yang membebani. Setelah dimandikan
oleh pelayanku, disuapi dan diperhatikan oleh Isa, aku mengutuk anakku yang
belum terlahir ini karena telah menyulitkan diriku. Ia terbentuk di dalam
tubuhku, membuatku tidak bisa menikmati kedamaian atau istirahat, dan aku
berbaring jam demi jam, hanya bisa mendengar dan melihat samar-samar semua orang
yang mendatangiku. Mungkin, ia mendengar kutukanku. Tuhan meng-ampuniku. Aku merasa, pada suatu
dini hari, ia mulai lepas dari tubuhku, seperti sesosok jiwa yang terbang
meninggalkan cangkangnya di dunia. Aku tidak berteriak; darah tidak bisa
dibendung, dan dalam menit-menit yang berlalu, aku merasakan tubuhku menjadi
ringan, membuatku melayang, seolah-olah jiwaku juga lepas dari tubuhku. Baru
pada saat itu, ketika dengan kukuh aku berpegangan ke tubuhku, aku berteriak.
Isa datang, melihat darah di dipan dan segera berlari memanggil hakim. Dia memberiku ramuan
untuk membuatku tertidur, dan menghentikan pendarahanku dengan tumbuhan herbal.
Aku tertidur selama berhari-hari, dan saat terbangun, aku merasa segar.
Aku tidak dapat menahan ketidakpercayaanku. Aku terbangun, menyangka akan
melihat atap yang berbeda di atas kepalaku, suara yang berbeda di luar ruangan,
tanah yang berbeda, wajah-wajah yang berbeda, aroma yang berbeda. Aku begitu
sensitif terhadap aroma negeri ini, dan bisa mengatakan di mana aku berada dari
embusan angin paling lembut yang menerpa debu dari beras, gandum, moster, aroma
hutan lembap atau gurun yang terpapar terik matahari. Jaspur, Mandu, Burhanpur,
Sungai Jumna, Sungai Tapti, Sungai Gangga; setiap tempat memiliki aromanya
sendiri. Di sini, aromanya adalah campuran antara bau sungai, manusia, baju
zirah, gajah, kuda, dan harum kekuasaan.
Aku menikmati kedamaian dan kestabilan; ketakutan jika harus kembali hidup dalam
pengembaraan, terguncang-guncang dengan kasar di dalam rath, sejak fajar hingga
senja, masih menghantuiku. Tetapi, sekali lagi Permaisuri Mughal Agung
terbangun, menatap suatu hari penuh kenikmatan. Aku dimandikan, dibantu
berpakaian, dan diolesi wewangian, yang memakan waktu jauh lebih lama karena
kebiasaan permaisuri sebelum
diriku. Tak terhitung jumlah perempuan dan kasim yang menungguku, membuatku
merasa terperangkap dan dibekap hingga sesak napas setelah beberapa hari. Aku
telah terbiasa dengan kehadiran seorang pelayan saja di toiletku, dan untuk
kebutuhan lain, sudah ada Isa. Kami tenggelam dalam kehadiran banyak orang,
formalitas, dan ritual. Kupikir, sebenarnya aku lebih kelelahan daripada saat
berada dalam perjalanan yang menyulitkan. Aku tidak pernah hidup di istana
sebelumnya, dan ternyata mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan di sini. Kedatangan dan kepergianku selalu diperhatikan, setiap kata
yang kuucapkan diulangi, setiap sikapku diartikan. Aku harus bersikap dengan
kehormatan tinggi seorang permaisuri di antara para perempuan di harem, tetapi
tidak bisa merasa cukup tertarik untuk memainkan peran ini.
Selir-selir Jahangir masih tetap tinggal di harem dengan para pembantu mereka
yang tidak terhitung jumlahnya, semua bersaing ingin menjadi yang paling
penting. Harem terus dijaga oleh budak-budak perempuan Tartar yang muram, yang
sekarang menunjukkan penghormatan terpaksa. Dari segala kebingungan itu-dan
membuat diriku lega-aku tidak perlu bersaing dengan istri-istri Shah Jahan yang
lain. Tidak diragukan lagi, aku masih akan menjadi permaisuri, tetapi
kecemburuan pasti akan merongrong jiwaku. Siapa yang akan dipilih oleh suamiku
untuk menikmati malamnya, siapa yang dia tolak, seperti yang dilakukan oleh
Jahangir dan Akbar, akan menyebabkan wajah-wajah cemberut, pertengkaran, dan kedengkian.
Di luar kebiasaan, aku tidur di gulabar yang didirikan di halaman. Seperti juga
keturunan Timur, aku tidak tahan dengan atap di atas kepalaku. Ini adalah suatu
keuntungan, karena dalam bulan pertama masa kekuasaannya, kekasihku mulai
memisah-misahkan istana. Harta karun sudah berlimpah ruah. Dia tidak bisa
menahan kesabarannya untuk membangun dan meningkatkan kemegahan Mughal Agung.
Jika ayahnya mencintai lukisan dan taman, Shah Jahanku mengekspresikan dirinya
dalam kemegahan bangunan. Atap kayu diwan-i-am telah diruntuhkan dan para
pekerja mulai menggantinya dengan batu paras seperti pilar dan dinding benteng.
Pekerjaan juga sudah dimulai di bagian lain istana, menggunakan batu yang sangat
dia sukai, marmer putih. Dia selalu mengingat pertemuan dengan ayahnya dalam
diwan-i-khas yang gelap dan suram, dan selama bertahun-tahun ini terus
menginginkan untuk bisa mengubahnya menjadi ruangan terang dan indah, yang cocok
bagi seorang sultan. Bertambahnya kekuasaan ini membuat kekasihku semakin bersemangat. Energinya
tidak terbatas. Dia terbangun sebelum fajar untuk menampilkan dirinya di
jharoka-i-darshan, dengan sabar menerima petisi-petisi yang diikat di rantai
keadilan. Dia akan kembali ke sisiku untuk tertidur selama satu atau dua jam,
kemudian akan menghabiskan sepanjang pagi di diwan-i-am untuk mendengar petisi
lain, dan membereskan pertentangan di antara para pejabatnya. Kemudian, setelah makan
kudapan, dia akan bertemu dengan menteri-menterinya untuk mendiskusikan
manajemen kesultanan, menerima mereka di diwan-i-khas atau ghusl khana. Setelah
masalah-masalah kenegaraan diselesaikan, dia akan kembali memikirkan
bangunannya; hasratnya terhadap detail membuat seluruh perhatian para pekerjanya
yang jumlahnya tak terhingga tercurah. Dia memanggil mereka dari semua daerah di
kesultanan; Muslim dan Hindu, mencari kemampuan dan keindahan yang tak terbatas
oleh prinsip-prinsip yang dianut seseorang. Mereka datang dari Multan, Lahore,
Delhi, Mewar, Jaipur, dan beberapa bahkan datang dari Turki, Isfahan, dan
Samarkand. Pada malam hari, suamiku akan minta ditemani olehku. Kami akan
menghabiskan satu atau dua jam menyaksikan perkelahian gajah di maidan, kemudian
kami akan kembali ke gulabar, hanya ditemani oleh beberapa pelayan dan Isa,
sementara para musisi dan penyanyi istana menghibur kami. Pada saat makan malam,
anak-anak, keluarga, dan teman-teman lain akan bergabung bersama kami di istana.
Jika seorang sultan mencintai rakyatnya, seorang permaisuri pun harus begitu.
Saat ini aku memiliki kekayaan yang tak terbatas. Sudah menjadi tradisi bagi
seorang Mughal Agung untuk menyimpan sebuah tas kulit besar berisi uang, satu
lakh mata uang dam, untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Seseorang akan
berdiri di depan pintu gerbang istana. Aku memastikan jika tas itu selalu dikosongkan, dan setiap
hari akan selalu diisi. Aku tidak lagi harus memohon bantuan. Aku adalah
permaisuri, dan sementara kekasihku membangun istana-istana, aku membangun
tempat-tempat yang lebih sederhana: sekolah, rumah sakit untuk orang-orang yang
mengidap penyakit, rumah-rumah bagi para tunawisma. Aku memberi makan orang
miskin. Ketika telah terbiasa, aku tidak bisa sepenuhnya mengingkari jika aku
membenci posisi ini. Pada bulan kedelapan pemerintahan Shah Jahan, Mahabat Khan kembali dari Bengal.
Kami memerhatikan debu yang mengepul karena pijakan pasukannya yang mendekat. Di
belakang, terbelenggu rantai, orang-orang yang tersisa dari benteng feringhi
berjalan. Saat itu musim kemarau dan panasnya sangat menyengat. Aku tidak
merasakan iba kepada orang-orang yang tidak menunjukkan belas kasih kepadaku
atau kekasihku, karena kami membutuhkan. Aku tidak bisa memaafkan penghinaan
mereka kepadaku bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih anak-anak. Mereka
telah berjalan sejauh dua ribu kos, terantai bersama, menderita karena
konsekuensi tindakan mereka yang kasar.
Yang paling bergembira adalah Sadr dan para mullah. Mereka akhirnya yakin bahwa
kekasihku akhirnya akan mulai mengampanyekan
penghancuran orang-orang kafir. Orang-orang Kristen hanya merupakan gangguan
kecil bagi mereka, tetapi mereka puas karena hukuman itu. Orang-orang Hindu
adalah musuh utama mereka, dan mereka ingin supaya Shah Jahan mengirimkan
pasukan untuk menyerang negeri orang Hindu. Dia tidak mengoreksi kepercayaan
mereka. Jika pembalasan dendamnya disalahartikan, tetapi bisa membuat orangorang fanatik itu sedikit terhibur, dua tujuan bisa tercapai sekaligus.
Mahabat Khan memasuki diwan-i-khas untuk melapor kepada sultannya.
"Yang Mulia, aku menemukan Arjun Lal si gerilyawan-pembuat onar yang sulit untuk
ditangkap itu. Dia mengerahkan pasukannya selama berhari-hari, meskipun aku
sudah memberikan jaminan kepadanya. Akhirnya, aku menjebaknya di ngarai, dan dia
masih akan melawan seluruh pasukan." Dia berhenti untuk menenggak habis secawan
anggur dingin. Dia tidak bisa menyembunyikan apresiasinya; kenikmatan istana ini
adalah pasokan harian es yang dibawa melewati Sungai Jumna dari Pegunungan
Himalaya. "Aku meneriakkan salam dari Sultan Shah Jahan. Itu membuatnya tenang. Tentu
saja, di daerah liar seperti itu, mereka tidak mendengar Yang Mulia naik takhta.
Dia menerima salam perdamaian Anda, dan aku mengembalikan tanahnya ditambah dua
kali luas tanahnya."
Dia berdiri untuk menuju balkon, dan menatap ke arah maidan, di antara Sungai
Jumna dan benteng. "Aku menangkap pendeta itu-hidup-hidup. Si komandan tewas dalam pertempuran. Dia
adalah orang baik." Dia tidak akan mengingkari rasa hormatnya. "Dia gugur dalam
tugasnya." "Berapa orang yang terbunuh?"
"Beberapa ratus. Aku membawa yang tersisa. Banyak yang telah menganut agama
Kristen, dan aku tidak ingin meninggalkan mereka di sana untuk meneruskan ibadah
mereka." Para tawanan terbaring kelelahan di atas tanah, tampak terbujur kaku dengan
ganjil. Mereka tidak mendongak menghadap istana; harapan sudah terbang, begitu
juga seluruh keingintahuan mereka. Mereka menunggu kematian. "Berikan mereka
pilihan. Mereka harus meninggalkan agama mereka atau mati."
Wazir telah dikirim untuk meneruskan perintah Sultan. Betapa cepatnya para lelaki dan
perempuan mengingkari tuhan mereka. Jika kekuatan lain mengizinkan mereka hidup,
bukankah itu suatu bukti kekuasaan yang mengagumkan" Tuhan orang Kristen tidak
melindungi mereka selama perjalanan panjang itu; banyak yang telah tewas di
perjalanan, dan Dia masih tidak mengacuhkan penderitaan, kelaparan, dan kehausan
mereka. Saat ini, Tuhan lain menolong mereka, Tuhan yang diyakini Mughal Agung
dan seluruh umat Islam, dan mereka semua menyembah-Nya. Hanya para pendeta
feringhi yang menolak. Mereka berdiri berjauhan dan menggelengkan kepala dengan
penuh ketetapan hati. "Jemput mereka."
Pendeta yang memimpin mereka memiliki janggut di wajahnya yang berwarna seperti
jagung, sedikit kemerahan dengan helai-helai yang berubah menjadi kelabu. Dia
tidak membungkuk, dan yang lain, mengikuti contohnya, tetap menegakkan tubuh.
Tangan mereka terikat. Sang pemimpin, yang wajahnya tirus dan keras, memiliki
sorot mata penuh kemarahan membara di kepalanya bagaikan api yang berkobar dan
menghanguskan. "Kau mengingatku."
"Ya." Suara si pendeta keras dan brutal. Dia terbiasa untuk memerintah, dan
dengan ragu-ragu, dia meneruskan perlahan, "Kau telah menghina pemuka agama ...."
"Sudah pasti. Dan kau, tentu saja, tidak. Sejak pertemuan pertama kita, aku
telah membaca kitab suci kalian. Di sana dikatakan, bahwa manusia harus
menunjukkan belas kasihnya kepada sesamanya, dan banyak lagi hal-hal menarik
lain. Seperti kami, kalian juga memercayai akhirat, suatu nirwana yang kalian
sebut sebagai surga. Tapi, ganjaran itu tergantung tindakan seseorang dalam
kehidupan saat ini. Apakah kau akan masuk surga, Pendeta, saat kau mati?"
"Ya, aku akan masuk surga. Aku telah menjalani hidup dengan ketakutan kepadaNya
dan menyanyikan pujian untukNya. Tuhan akan memberikan ganjaran untuk cintaku."
"Kalian sangat pemilih dalam cinta kalian. Kau
mencintai Tuhan, bukan manusia. Apakah itu tidak ganjil untukmu karena Tuhan,
Tuhan kalian, berkata bahwa Dia mencintai seluruh umat manusia?"
"Hanya orang-orang yang mengikuti ajaran-Nya."
"Kalau begitu, Dia juga pemilih. Dia menetapkan syarat untuk belas kasihNya."
"Bukankah Tuhan Anda juga begitu?"
"Memang benar. Dan itu selalu membuatku bingung. Tapi aku bukan ...."
Shah Jahan merasa ragu-ragu. Sepatah kata saja yang terlontar tanpa sengaja,
pemuka agama kami akan mendengarnya. Dan dia harus meredakan kemarahan mereka.
"Aku adalah seorang manusia yang benar-benar beriman, tetapi tugas seorang
sultan adalah untuk mencintai rakyatnya dengan adil. Aku tidak bisa hanya
mengikuti perintah Tuhan. Aku juga mendengarkan akal sehatku. Kau juga begitu?"
"Tuhan adalah akal sehatku."
Aku tidak bisa mencegah kebencianku. Orang ini dan para pemuka agama kami sama
saja: keras kepala, terlalu memerhatikan peraturan detail, dan berpikiran
sempit. Inti hakiki dari kehidupan dan cinta telah menguap dari hati mereka;
jiwa-jiwa kering tetap melekat di tubuh mereka.
"Dan apakah Dia tidak mengatakan apa-apa tentang derma pada orang-orang yang
membutuhkannya" Tuhanku memerintahkan agar kami bersedekah."


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah seorang pangeran butuh derma" Itu hanya layak diberikan kepada fakir
miskin." "Perbedaan yang tipis, karena pangeran juga bisa menjadi miskin. Apakah saat ini
kau tidak takut kepadaku?"
"Aku tidak takut terhadap hukuman Tuhan atas tindakanku." Dia menatap dengan
berani. "Dan aku tidak takut terhadapmu."
"Kalau begitu, aku tidak bisa menahanmu untuk menerima janji Tuhan untukmu."
Kalimat Shah Jahan membuat si pendeta merasa bangga. Dia akan menjadi martir,
dan Sultan adalah alat yang menyebabkan pengorbanannya.
"Kau percaya jika kekuatan Tuhanmu akan menyelamatkanmu?"
"Dia akan menyelamatkan jiwaku dari kerusakan abadi. Dia Mahakuasa."
"Kau sama bodohnya dengan orang-orang lain, Pendeta. Kau percaya jika kau
memiliki kekuatan yang akan menyelamatkanmu dari takdir. Perbedaan antara diriku
dan dirimu sangat samar. Sebagai penguasa kesultanan, aku mengerti
ketidakabadian kekuasaan; sebagai pendeta, kau memaksa dirimu memercayai
keabadian kekuasaan. Saat bilah pisau dijatuhkan dan Tuhan tidak menunggu untuk
menerima jiwamu, ke mana kau akan pergi?"
"Dia akan ada di sana."
"Tapi belum. Kau akan dipenjara selama dua tahun, dan dicambuk setiap hari. Pada
akhir masa tahananmu, kau akan meninggalkan Kesultanan Mughal Agung." Dengan
khawatir, Sultan menegakkan punggungnya. Selain seorang pendeta, lelaki ini
adalah seorang feringhi yang
terus-menerus mengganggu singgasana. "Selain itu, pasukan Mughal akan
menghancurkan Surat dan mengusir semua kaummu."
Aku juga merasa kecewa; untuk pertama kalinya, aku berharap agar kekasihku tidak
menunjukkan kemurahan hatinya. Aku mengirim Isa untuk menjemput Sultan, yang
segera meninggalkan podium dan menghampiriku. Aku tidak berbicara hingga dia
duduk di sampingku. "Apakah kau tidak seharusnya lebih keras?"
"Aku tidak bisa menghukum mati seorang yang mengaku sebagai wakil Tuhan-meskipun
dia bersikap bagaikan wakil iblis. Kejahatannya hanyalah kurang belas kasih, dan
itu akan merusak kita semua. Aku telah cukup menghukumnya dan kaumnya."
"Tapi, apakah mereka akan belajar" Mereka menjadi terlalu berani."
"Kau ingin dia menjadi contoh bagi orang lain?" Dia menunggu, dengan lembut
membelai-belai janggutnya. Ekspresinya tidak bisa dibaca, bahkan olehku
sekalipun. Ekspresi itu menunjukkan sosok seorang sultan, tidak tergoyahkan,
menunggu di balik topeng. Keheningannya membuatku berpikir.
"Tidak. Maafkan aku. Aku hanya terbakar kemarahan terhadap pria itu saja. Dia
membuatku jijik." "Tapi itu tidak cukup. Contoh hanya akan mengurangi keadilan. Dan kematiannya
akan membawa masalah-masalah tertentu ke dalam pikiran kita. Kita membutuhkan
kapal-kapal feringhi untuk membawa orang-orang beriman ke Makkah. Rute lewat darat begitu keras dan
berbahaya." "Kau memang benar, tapi aku tidak bisa menyembunyikan perasaan terhadap orang
itu dan kaumnya darimu."
Dia berdiri dan kembali ke awrang. Aku tahu, jika aku bersikeras, dia akan
menuruti keinginanku. Para prajurit membawa si pendeta dan para tawanan lain
dari diwan-i-am. Aroma busuk tubuh mereka dan sikap sok suci pergi bersama
mereka. Aku bukan satu-satunya orang yang kecewa; para mullah juga. Semua
pendeta haus darah. 1039/1629 Masehi Waktu berlalu dengan manis dan tenang. Kami tidak meninggalkan Agra, bahkan pada
musim panas. Aku tidak ingin pergi ke Kashmir di utara untuk menghindari hawa
panas. Aku merasa sangat damai karena tetap berada di sini.
Pada musim semi, kami mengadakan Pasar Malam Bangsawan Meena-sebuah gaung dari
masa lalu kami-di taman-taman istana. Aku tidak bisa menyembunyikan
kegembiraanku yang kekanak-kanakan karena bisa lepas dari beatilhaku sekali
lagi, hanya karena itu mengingatkanku pada pertemuan pertama kami. Jika aku
tetap memakai cadarku hari itu, hidupku akan jauh berbeda. Aku bisa saja
mencintainya, tetapi dia tidak akan mencintaiku. Bagaimana seseorang bisa jatuh
cinta kepada secarik kain"
Istri-istri para omrah berkumpul di istana sebelum fajar. Kali ini, aku bukan
seorang gadis kecil yang kesepian dan tersesat di belakang Mehrunissa; saat ini
mereka berkumpul di sekelilingku, wajah-wajah yang tak terhitung, tertawa
cekikikan, tertawa lepas. Udara begitu panas karena kegairahan malam nanti. Aku
tidak ingin membuat semua mata terpesona; apa yang harus kujual kepada seorang
sultan Hindustan" Perak, bukan emas dan berlian, adalah keajaiban yang mengubah
hidupku. Isa berpikir bahwa logam biasa itu tidak layak untuk dijual oleh
seorang permaisuri. "Itu akan memukaunya sekali lagi, Isa. Kami akan kembali pada peristiwa dua
puluh dua tahun yang lalu."
Masa lalu terkenang kembali bagaikan mimpi, dan aku berpikir, sungguh
menyenangkan untuk bisa menjadi seorang gadis kecil lagi, yang tanpa berdosa
menunggu keajaiban takdirnya. Tetapi, entah mengapa, aku merasa seakan-akan ada
kegelapan dan kesuraman yang menyelubungi tubuhku, memenjara jiwaku dalam kabut
dingin dan kelam. "Ada apa?" Isa membuyarkan pikiranku.
"Aku tidak tahu. Sesaat, aku merasa dingin."
"Dalam hawa sepanas ini, kau beruntung karena bisa merasa dingin, Agachi." Dia
menatapku penuh perhatian. Aku merasa sungguh-sungguh dan tidak tersenyum. "Kau
sakit?" Aku sangat bersyukur karena kehadirannya yang
terasa akrab. Dia adalah bayangan hidupku. Hanya sekali, karena rasa hormatnya,
dia memanggilku "Yang Mulia"; aku langsung mengoreksinya. Keakrabannya adalah
pengingat bahwa aku tidak selalu berada dalam posisi tinggi seperti saat ini.
Sebagai permaisuri, aku mendapatkan tenda di posisi yang paling enak: di dekat
pintu masuk, di dalam lingkaran cahaya lentera dan lilin. Aku tidak bisa menahan
diri untuk melirik ke daerah gelap tempat dulu aku berada, di luar cahaya. Ada
seorang perempuan di sana, seorang istri omrah rendah. Aku kecewa. Entah
bagaimana, aku berharap untuk bisa melihat seorang gadis kecil, Arjumand yang
lain. Dentuman dundhubi mendekat; jantungku juga berdegup kencang karena suara
kerasnya. Sultan Shah Jahan, yang lebih cerah daripada Jahangir, ayahnya, begitu
tampan dan percaya diri, memasuki Pasar Malam Royal. Turbannya dari sutra merah
tua dan emas, berlian yang melekat di bros yang menahan bulu burung bangau
panjang tampak sebesar mulut yang menganga penuh kekaguman. Dia mengenakan
seuntai kalung mutiara panjang, masing-masing butirannya seukuran telur merpati;
sabuk emasnya dihias seperti jalinan rantai penutup kepala dan dihiasi dengan
zamrud. Sarapanya, dibawa dari Varanasi, berat oleh sulaman benang emas
berbentuk bunga dan dedaunan, semua dihiasi oleh batu-batu mulia yang senada.
Dia ditemani oleh Allami Sa'du-lla Khan, Mahabat Khan, dan ayahku. Tanpa raguragu, dia menghampiri tendaku, dan dengan sikap berolok-olok, dia memerhatikan barang daganganku,
setumpuk kecil perhiasan perak. Perhiasan itu sama dengan yang telah dia beli
dua puluh dua tahun yang lalu.
"Siapa namamu?"
"Aku Arjumand, Yang Mulia."
"Siapa ayahmu?"
"Dia adalah putra Ghiyas Beg, Itiam-ud-daulah. Kau menatapku. Apakah kau belum
pernah melihat seorang perempuan sebelumnya?"
"Aku tidak bisa menahan diri melihat kecantikan seperti kecantikanmu. Apakah kau
menyuruhku untuk berpaling?"
"Tidak. Ini adalah Pasar Malam Royal dan ini adalah hakmu. Apakah kau akan
membeli perhiasan di tendaku?"
"Untuk apa uang bagi seseorang sepertimu?"
"Fakir miskin selalu lebih membutuhkannya daripada aku. Aku akan memberikannya
kepada mereka." "Fakir miskin yang mana?"
"Apakah Yang Mulia tidak menyadari keberadaan mereka di luar benteng" Mereka
meringkuk di dinding-dindingnya."
"Ya, aku menyadarinya. Aku akan membeli semua barang daganganmu ... nah, apakah
kau akan menjualnya semua kepadaku?"
"Semuanya untuk dijual. Seorang gadis pasar malam yang malang tidak menyimpan
barang apa pun untuk dirinya sendiri. Tapi, barang-barang itu harus membuatmu
bahagia." "Aku akan merasa bahagia jika bisa membeli
semuanya. Berapa harganya?" "Satu lakh."
Sultan tertawa keras. "Harganya sudah naik, tapi aku setuju dengan penawaran
itu. Aku akan bertemu denganmu lagi."
"Jika itu keinginanmu."
Memang benar. Dia mengunjungiku satu jam setelah tengah malam. Aku sudah tertidur, tetapi
segera terbangun karena kecupannya. Kilauan lembut lampu samar-samar membuatnya
bersinar. Dia telah membuka jubah, dan pakaian sutranya terjatuh saat dia
berlutut, kemudian berbaring di sampingku. Tubuhnya hanya berubah sedikit, tetap
kencang dan berotot. Aku merasakan kekukuhannya di pahaku.
Sudah hampir-berapa lama"-berbulan-bulan, hampir setahun saat ini. Kami saling
menahan diri, meskipun baginya, keadaan ini lebih mudah. Aku telah memilihkan
selir-selir untuknya; mereka cantik, tetapi bukan berasal dari keluarga
terhormat. Mereka orang-orang Turki, Kashmir, Bengal, dan Panjabi, Muslim dan
Hindu. Mereka tetap berada di harem, hidup dengan nikmat, dan aku memastikan
bahwa tidak ada di antara mereka yang dua kali dipanggil untuk menemaninya. Aku
tidak bisa selalu menahan kecemburuanku, karena dia juga terus-menerus
membutuhkannya. Aku sendiri tidak bisa memuaskannya karena takut akan kehadiran
seorang anak lagi. Hakim, dengan rasa puas yang sedikit kejam, telah menjadi
penjaga keadaan selibatku terus-menerus.
Malam ini berbeda. Aku tidak bisa menahan kerinduanku akan cintanya lagi.
Tubuhku sakit dan bagaikan menjerit karena menginginkan kehangatannya.
Kecupannya semanis minuman anggur dan tangannya, yang sudah lama tidak
menyentuhku, membelaiku dengan hangat. Aku bagaikan seorang gadis muda yang baru
pertama kali menemaninya tidur. Dia juga tidak bisa menyembunyikan gairahnya,
bahkan setelah beberapa tahun ini.
"Aku merindukanmu," dia berbisik. "Dalam pikiranku, semua perempuan adalah
dirimu. Aku hanya memanggil namamu-Arjumand."
"Kekasihku, aku telah mendengarmu dalam hatiku. Aku masih belum bisa bernapas
karena kehadiranmu. Seluruh tubuh dan jiwaku menjadi bagian darimu, dan
kerinduanku padamu telah terasa sakit, tak tertahankan."
Aku berharap agar kebahagiaan ini tidak akan pernah berakhir; aku ingin
memeluknya terus dan merasakan seluruh tubuhnya. Aku begitu gembira mendengar
bisikannya: Arjumand. Arjumand. Kemudian, dia berbaring di sampingku. Kami
tertidur dalam keadaan saling berpelukan. Saat aku terbangun, dia sudah pergi.
Sudah hampir fajar, dan aku mendengar dentuman dundhubi yang mengisyaratkan
kehadirannya di jharoka-i-darshan.
mm 1040/1630 Masehi Setiap tindakan pasti memiliki konsekuensi. Lama setelah kami melupakan, akan
selalu ada gaung yang terdengar; keras atau pelan, gaungnya membangkitkan takdir
kita. Tubuh adalah kelemahan kita; kita tidak bisa menahan hasrat kebutuhannya.
Melalui tubuh, Tuhan telah memberikan hukuman yang tidak adil terhadap kita. Aku
menangis, aku marah; bahkan seorang permaisuri pun tidak lebih kuat daripada
benih suaminya. Aku tidak lebih daripada seekor binatang di bumi ini yang
berkembang biak dengan subur. Doa, air mata, dan ramuan, tidak ada yang bisa
mencegah tumbuhnya anak di dalam tubuhku. Perempuan-perempuan lain tidur dengan
para lelaki setiap malam dan memuaskan hasrat mereka, tetapi tidak ada yang
tumbuh di dalam rahim mereka. Tetapi, setelah semalam bersama suamiku tercinta,
sekali lagi aku merasa sedih karena aku hamil. Ini adalah kehamilanku yang
keempat belas. Ketika gelombang kemarahan yang bercampur dengan rasa putus asa hilang, aku
menjadi tenang. Ini mengejutkan kekasihku, hakim, dan Isa. Mereka mengira aku
akan mengalami kesedihan mendalam hingga saat melahirkan. Aku sendiri tidak bisa
menjelaskan kekecualian ini. Hal ini merasuki tubuhku diam-diam, menyejukkan
jiwaku yang kacau. Musim dingin berlalu bagaikan gumaman. Pada saat fajar, aku
dibawa dari gulabar ke balkon istana. Di sana, aku berbaring di atas dipan,
sementara Isa membaca untukku. Atau, jika aku
kelelahan, aku akan memandang peristiwa-peristiwa yang selalu berganti di bawah
balkonku. Pada saat matahari terbit, orang-orang mandi dan beribadah, pada pagi
hari mereka mencuci baju dan bekerja, kerbau-kerbau dan gajah-gajah berkubang
pada sore hari, setelah bekerja, dan saat matahari terbenam, orang-orang mandi
lagi untuk beribadah. Tetapi, ketika pikiranku tenang, kedamaian kesultanan terancam dan terganggu.
Pangeran-pangeran di daerah terluar kesultanan yang selama ini cenderung tenang,
saat ini mencoba mengusik perasaan sang sultan baru. Mereka berpikir bahwa dia
terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya, dan masalah di Deccan sekali lagi mulai
muncul lagi. Ribuan orang dan harta yang tak terhitung sedang disebarkan ke
daerah-daerah yang keras dan gersang, agar bisa menjadi taman-taman yang hijau
dan indah. Tetapi, benteng-benteng, gurun-gurun, dan Pegunungan Vindhya adalah
perbatasan yang melindungi kerajaan selatan yang kaya dari penaklukan. Kami
mengetahui kekayaan yang tersimpan di sana, sebesar kekayaan yang tersimpan di
Mughal. Shah Jahan tidak bisa mengirimkan Dara-putra tertua setiap raja harus
mendapatkan pengalaman militer di Deccan-karena dia masih anak-anak. Kami juga
tidak dapat menugaskan Mahabat Khan. Sudah terbukti, sang Jenderal telah
menunjukkan kecenderungan untuk melakukan kericuhan jika dia terlalu banyak
memimpin kekuatan, dan kekasihku tidak memercayakan seluruh pasukan Mughal
kepadanya. Shah Jahan mendatangiku di balkon dan duduk di sebelahku, menatap tajam ke arah
sungai yang melengkung dan berkelok-kelok menuju hawa panas yang samar, tepinya
yang berpasir berwarna putih dan terang. Dia tampak merana.
"Aku telah mengharapkan masalah itu tidak terjadi lagi. Kekuatan kita sudah
terkuras oleh perang-perang yang tidak ada gunanya itu," dia mendesah. "Tetapi,
tikus-tikus terus menggerogoti perbatasanku, mengancam kedamaian negeriku, dan
Shah Jahan tidak akan dikenang sebagai raja yang membebaskan mereka. Raja lain
bisa saja melepaskan mereka. Aku akan maju sendiri ke selatan untuk menumpas
mereka." Dia meraih tanganku dan menempelkan telapak tanganku di bibirnya.
"Kau ingin aku ikut bersamamu?"
"Ya. Mungkin tahun depan atau lebih lama dari itu kita baru bisa kembali. Aku
tidak bisa tahan berpisah denganmu selama itu."
"Hakim tidak ingin aku bepergian. Dan perjalanan ini pasti akan berat."
"Aku bukan lagi anak bi-daulat yang menghindari kejaran pasukan ayahku. Kita
akan bergerak perlahan dan jika kau membutuhkan istirahat, kita akan tinggal di
satu tempat selama yang dibutuhkan." Dia membelai tonjolan di perutku dengan
lembut. Wajahnya melunak karena cinta dan kesedihan. "Maafkan aku."
"Untuk apa" Untuk anakku" Aku menginginkanmu
malam itu. Aku telah menginginkan dan menanti terlalu lama, sehingga aku ingin
bercinta dengan sangat indah." Aku mengecup tangannya. "Perintahkan Mir Manzil
untuk membangun rath yang paling mewah untuk kenyamananku." "Itu akan
dilakukan." Mir Manzil mematuhi perintah itu secara harfiah; dia membuat sebuah rath yang
memancarkan keagungan seorang permaisuri. Ukurannya sebesar kamar, dengan
permadani-permadani Persia dan banyak dipan, diisi dengan bulu-bulu unggas yang
paling lembut. Atap dan pilar-pilarnya dilapisi emas tempa dan dihiasi oleh
batu-batu mulia. Tetapi, dipan sebanyak itu pun tidak dapat membuat jalan yang
tidak rata menjadi mulus; Sultan sendiri tidak mampu memerintahkan permukaan
bumi untuk menjadi rata dan mulus.
Meskipun aku tidak menunggang gajah, rathku akan diikuti oleh tujuh gajah
kebesaran. Setiap gajah akan dipasangi meghdambar emas dan biru langit, yang
tepinya dilapisi oleh bantal-bantal beludru dan sutra. Tetapi, mereka akan tetap
kosong selama perjalanan. Kali ini, posisiku tidak di tengah pasukan besar,
tetapi dekat di belakang suamiku.
Setiap hari, dua jam sebelum fajar merekah di kegelapan malam, pasukan mulai
bergerak ke selatan. Pasukan pertama akan meninggalkan perkemahan dengan meriam
berat yang ditarik oleh seratus gajah, diiringi oleh tiga puluh ribu siphais.
Bersama mereka, diikat ke sebuah gerobak besar
yang ditarik kerbau, ada perahu kerajaan. Saat menyeberangi sungai, kami akan
tetap merasa nyaman hingga ke seberang.
Kemudian, satu jam sebelum fajar, kekasihku akan bangun. Dengan iringan
dundhubi, sanj, dan karana, dia akan menunjukkan dirinya di jharoka sebelum naik
ke gajahnya. Pistol isyarat kecil akan ditembakkan untuk menunjukkan posisinya,


Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Timeri N Murari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para pejabat dan istri-istri mereka akan berteriak: "Manzil Mubarak!"
Hanya sedikit perubahan yang terjadi dalam perjalanan sejak hari-hari kekuasaan
Jahangir, kecuali, tentu saja, posisiku yang lebih penting. Seratus ribu
penunggang kuda dan para petugas istal mereka, bersama barang bawaan dan
perbekalan, mengikuti kami, dan barisan itu membutuhkan waktu satu hari untuk
melewati satu titik. Perjalanan ke selatan ini terasa cukup nyaman. Hakimku, Wazir Khan, bergerak di
sebelah rath-ku dan jika melihat aku merasakan kelelahan, dia akan memerintahkan
barisan untuk berhenti. Dia memiliki kekuasaan yang sama dengan sang Sultan
dalam hal ini, tetapi untunglah aku tidak mengalami kelelahan semudah yang
kubayangkan. Tetapi, perutku semakin membesar dan terus membesar saat kami
mendekati Burhanpur, dan aku merasa, di dalam hawa panas yang kering dan
berdebu, aku sulit bernapas dengan beban kandunganku. Aku tidak ingin terlalu
lama menunda perjalanan, hanya ingin buru-buru maju, untuk melintasi daerah yang
kejam ini, meninggalkan gurun, dan tiba di kenyamanan Burhanpur. Aku menenangkan
diri dengan memikirkan air sejuk Sungai Tapti mengalir melalui istana, dan
suara-suara pelan orang-orang yang bekerja di tepi sungai. Aku ingin anak ini
lahir di sana, dalam kedamaian, bukan di jalan seperti ini, meskipun gulabar
menyediakan kemewahan dan kenyamanan.
Kami mencapai Burhanpur pada pertengahan musim panas, sebuah tempat
peristirahatan indah setelah perjalanan yang sangat melelahkan. Wazir Khan tidak
lagi sering merengut, tetapi, merasa tenang dengan kestabilan kondisiku,
tersenyum dan bercanda denganku. Aku tetap mempekerjakannya selama bertahuntahun ini. Kedatangan kami begitu tepat pada waktunya. Aku hanya sempat beristirahat
beberapa hari, ketika aku merasakan rasa sakit pertama sebelum melahirkan. Rasa
sakit ini tajam dan brutal, lebih kuat daripada saat kelahiran anak-anakku yang
lain, dan aku tidak bisa mengendalikan jeritanku. Untuk pertama kalinya,
kesakitan alamiah ini membuatku takut. Mereka menahan tubuhku dan memeras
seluruh kekuatan dari dalamnya. Aku berkeringat seakan-akan darah mencucur dari
setiap pori-pori dan setiap tetesnya membuatku semakin lemah.
"Di mana kekasihku?" aku bertanya kepada Isa di antara rasa sakitku. Mereka
datang terlalu cepat, dan bisikanku terdengar begitu kasar karena jeritanku.
"Dia di Asigarh."
"Kirim seseorang untuk menjemputnya. Cepat." Nada suaraku yang sangat serius
membuat Isa ketakutan. Aku tidak bisa menerangkannya. Masih ada hari dan tahun
yang tak terhingga bagiku untuk menatap kekasihku, tetapi, sesuatu
menggerakkanku untuk memberikan perintah itu.
"Semua akan selesai dengan cepat, Agachi."
Betapa kesepiannya kita dalam merasakan kesakitan. Cinta, kebahagiaan, bahkan
kesedihan kita, bisa dibagi dan diceritakan kepada orang lain, tetapi rasa sakit
adalah iblis yang harus dilawan sendirian. Sepanjang sore dan malam, rasa sakit
menyerang tanpa henti, semakin lama semakin hebat, bercokol di tubuhku bagaikan
rontaan ular yang sekarat. Aku tidak bisa melihat atau mendengar, dan tidak bisa
merasakan hal lain. Semua indraku tertutup, menjadi tak berfungsi di bawah
serangan rasa sakit. "Pasti bayinya besar. Seorang anak lelaki!" Samar-samar aku mendengar ucapan
hakim. Isa dan pelayan menahan tubuhku. Perempuan lain berada di luar
pandanganku. Bayangan melompat dari cahaya lampu, menutupiku, mengamati dan
menunggu bagaikan burung yang mengintai mangsanya, merunduk di atas pohon.
Kemudian, aku merasakan si bayi, berdenyut, mendorong-dorong dinding dalam
tubuhku. Kedua tangan hakim menjulur dan meraba-raba ke dalam tirai kasa yang
rapat, meraih ke dalam dan memegang. Aku hanya berdoa agar dia bisa menariknya
lepas dariku, membebaskanku ke permukaan dalam udara sejuk dan jernih, dari rawa
gelap tempatku tenggelam saat ini. Tetapi, itu tak akan terjadi. Kami bertarung
bersama bayi ini. Aku mendorong, Wazir Khan menarik. Kemudian, saat semua
kekuatanku habis dan aku kehilangan harapan, begitu lelah sehingga aku tidak
peduli, bayiku lahir. Aku merasakan kelegaan, bisa lolos, dan perasaan tenggelam
itu memudar. Lalu, setelah itu pasti aku tertidur. Saat terbangun, aku menemukan Isa
menggenggam tanganku erat-erat.
"Apa jenis kelaminnya?"
"Anak perempuan, Agachi. Apakah kau merasa sehat?"
"Seorang anak perempuan. Aku berdoa meminta itu. Kami sudah cukup memiliki anak
lelaki." Tubuhku terasa jauh, di luar jangkauan. Aku tidak bisa memikirkan
jawaban pertanyaan Isa, kecuali bahwa aku mengalami kelelahan yang sangat dan
berat. "Aku sangat lelah, Isa. Di mana kekasihku?"
"Dia akan segera datang. Tidurlah sekarang. Saat dia datang, aku akan
membangunkanmu." "Tidak, aku tidak ingin tidur," dengan samar aku melihat wajahnya di luar tirai
kasa. "Temanku Isa." Aku tidak bisa menerangkan mengapa aku menginginkan dia
tahu kasih sayangku. "Budakmu." "Pelayan," aku mengoreksi. "Dan sahabatku. Aku akan merindukanmu."
"Tapi aku tak akan pergi," suaranya terdengar khawatir.
Dia terus menggenggam tanganku, "Kau begitu
dingin." "Aku memang merasa dingin. Apakah mereka memandikanku?"
"Belum. Hakim pikir, lebih baik pagi saja melakukannya."
"Ya, itu lebih baik." Aku berusaha untuk tetap terbangun, untuk membicarakan
ketakberdayaan yang mulai menyelinap ke dalam tubuhku, menyeret beban berat di
belakangnya, "Kau harus berjanji padaku tentang satu hal, Isa. Kau akan selalu
bersama kekasihku." "Aku berjanji. Dan aku akan selalu bersamamu, Agachi."
Aku merasa Isa bergerak seakan-akan hendak pergi, dan aku mempererat genggamanku
di tangannya. Kupikir, genggaman itu menahanku ke dunia.
"Jangan pergi."
"Aku tak akan pergi. Yang Mulia sudah ada di sini." Dengan lembut, dia
melepaskan genggamannya dan melangkah ke samping.
Kekasihku membungkuk. Debu dan keringat karena perjalanan dari Asigarh menempel
di wajahnya. Aku merasa tenang karena keakraban janggut, hidung, mulut, dan
matanya. Sentuhannya membuatku nyaman."
"Aku tidak bisa melihatmu."
"Bawakan lampu."
Aku melihat nyala terang lampu, tetapi dia masih berada di luar jangkauan
pandanganku. Aku menariknya lebih dekat, dan samar-samar aku
melihat kontur wajahnya. Dia tampak kebingungan; wajahnya tirus karena rasa
putus asa. Aku merasakan dia memelukku, menarikku lebih dekat ke tubuhnya. Apa
yang tidak bisa diperintahkan oleh seorang Mughal Agung" Dia bisa meminta
cahaya, tetapi tidak bisa menyingkirkan kegelapan. Kegelapan merayap semakin
dekat. Meskipun wajahnya berada di sisi wajahku, tampaknya dia semakin menjauh.
"Tinggallah." "Aku di sini, kekasihku Arjumand. Ada apa?"
"Tidur," aku berbisik. "Aku harus segera tidur. Tetaplah bersamaku." Dia
mengecup mata dan pipiku, menyapu bibirku dengan jarinya yang lembut. "Aku
memimpikan sebuah mimpi yang sama. Mengapa mimpi itu tidak mau pergi dariku"
Mimpi itu terus-menerus datang. Aku melihat ... aku melihat seraut wajah. Wajah
itu tampak begitu ramah, dengan mata yang ganjil, tetapi aku tidak tahu wajah
siapa itu. Seorang lelaki. Tampan dan megah bagaikan pangeran. Tetapi, itu hanya
seraut wajah. Kepala tanpa tubuh. Ia terbaring di gurun, bagaikan sebongkah
batu. Apa artinya itu?"
"Tenangkan dirimu, Sayangku. Itu hanya mimpi." Pelukannya semakin erat,
menahanku agar tidak menjauh dari jangkauannya. Aku mendengarnya memanggil
hakim. Mereka berbicara, aku tidak dapat mendengar perkataan mereka. Aku merasa
mataku semakin berat dan masih berusaha melawannya.
"Kekasihku, aku akan segera tertidur. Aku tidak
bisa menahannya lebih lama, karena terlalu kuat untukku." Embusan napasnya
terasa di napasku, ingin mengisi tubuhku, manis dan sejuk. "Kau harus berjanji
kepadaku." "Apa pun yang kau inginkan."
Shah Jahan Aku merasakan air mata mengalir di pipiku, menetes dan membasahi cekungan di
lehernya. Air mataku menggelitiknya; dia tersenyum sedikit. Dia mencoba untuk
menyeka wajahku, tetapi tidak mampu menggerakkan tangannya.
"Jangan menikah lagi, Pangeranku Sayang. Berjanjilah padaku. Kalau tidak, putraputraku akan bertempur melawan perempuan-perempuan yang kau nikahi dan akan
terjadi pertumpahan darah yang hebat. Buatlah mereka saling mencintai ...
perlakukan mereka dengan adil ... seperti rakyatmu." "Aku berjanji."
"Dan berjanjilah ...." Dia membutuhkan rasa nyaman, janji yang akan dia bawa dalam
tidurnya yang tak akan berakhir, kata-kata yang diucapkan oleh Mughal Agung Shah
Jahan-kekasihnya. "Kau tidak akan ... melupakan Arjumandmu?"
"Tidak akan. Tidak akan pernah, tidak akan pernah, selamanya, selamanya."
"Cium aku." Di antara air mataku, dia merasakan bibirku di bibirnya. Senyuman itu tidak
lembut, tetapi bergelora serta penuh hasrat dan emosi seperti masa muda kami.
Dengan cintaku, aku menghirup napas terakhirny
EPILOG 1148/1738 Masehi Udara, beraroma amis karena kematian, menggantung di atas tanah dengan berdebu
dan berbau busuk, menghilangkan harapan. Angkasa yang menyilaukan membakar mata
manusia, matahari pun serasa menolak untuk bergerak. Burung-burung nazar
bertengger di bumi bagaikan patung-patung dewa yang menunggu untuk dipuja,
seekor kera yang berwarna perak berkilau duduk di pohonnya, membisikkan rahasia
menyedihkan kepada dedaunan. Burung kakaktua, yang cemerlang bagaikan zamrud,
mengintip ke bawah dengan penuh kebencian. Sungai tersumbat oleh mayat-mayat,
mengalir perlahan menuju keabadian.
Kesultanan Mughal telah runtuh.
Para prajurit Persia menebas semak belukar yang tampak bagaikan mendekat di
belakang mereka, mencium aroma daging busuk dan bau masam tubuh mereka sendiri.
Selama sesaat, mereka meletakkan pedang masing-masing, baju zirah mereka gelap
oleh karat dan darah, kemudian meneruskan
perjalanan mereka yang sudah ditentukan. Mereka masuk melalui sebuah gerbang dan
menemukan diri mereka berada di dalam sebuah taman raksasa istana, dindingdindingnya dipagari oleh kamar-kamar batu paras berwarna merah. Ada tiga gerbang
lain, di dinding utara adalah sebuah lengkungan raksasa yang dibangun dari
marmer dan bertuliskan huruf Persia. Di gerbang besar-yang dipenuhi sulur-sulur
tanaman rambat dan dinodai oleh kotoran burung, dan dengan sedih tak berdaya
untuk menahan kedatangan mereka ke dalam area di baliknya-mereka berhenti untuk
menatap tulisan di sana. Debu dan tanah yang sudah menumpuk selama bertahuntahun menyamarkannya. Dengan tidak sabar, mereka berjalan melewati lengkungan
itu, menuju sebuah taman luas yang dipenuhi tumbuhan liar.
Apa itu" Mereka bertanya.
Sebuah makam. Taj Mahal, jawab seseorang.
Tanpa bayangan, makam itu mengambang di atas bumi, hanya terikat oleh jalinanjalinan tipis imajinasi mereka. Warnanya seputih matahari pada tengah hari, dan
mereka melindungi mata mereka dari kecemerlangannya. Makam itu tampak hidup,
bergetar di udara yang berkilauan, tidak takut oleh kedatangan para penakluk
yang lemah ini. Makam itu sudah berdiri sejak dahulu, dan masih akan tetap di
sana hingga akhir zaman, sementara semua yang menatapnya akan berubah menjadi
debu, yang merupakan asal mereka. Makam itu menjulang sangat tinggi di luar akal
sehat; tidak ada manusia yang cukup berani untuk menghancurkannya. Kekuatannya disebabkan oleh sesuatu
yang ia jaga, yang tidak sepadan bagi siapa pun. Kenyataan ini memberikan
kedamaian melankolis bagi makam itu; keabadiannya berbaur dengan debu di
dalamnya, debu impian dan hasrat yang dirasakan semua manusia, jika mereka ada
di dalam batas-batas tubuh fana mereka.
Para prajurit mendengarkan. Semua gerakan dan suara telah menghilang. Mereka
sendirian; mereka telah melangkah keluar dari dunia yang biasa, menuju dunia
lain. Tidak ada burung di angkasa, monyet-monyet berkumpul di luar gerbang,
tidak ada binatang-binatang kecil yang merayap di antara taman yang terbengkalai
ini. Sinar matahari tertahan dan rasanya sejuk dan segar. Aroma pepohonan limau
menggantung di udara, meskipun mereka tidak melihat sebatang pohon limau pun,
dan mereka menyangka telah mendengar suara-suara dan ratapan. Ada kolam-kolam
air mancur yang menuju ke bangunan, saat ini hitam dan kosong; seperti arang
sisa pembakaran, dan jalan setapak dari serpihan batu di kedua sisi tampak retak
dan ditumbuhi rumput. Para prajurit akhirnya berhenti di landasan makam dan
mendongak, menatap ke angkasa, dan melihat bahwa kubah itu adalah bagian dari
angkasa, karena warna putihnya hampir sama dengan warna sinar-sinar yang
melingkari matahari. Mereka menaiki tangga sempit, kaki mereka meninggalkan jejak debu yang
berantakan, kemudian mendekati pintu-pintu hitam yang berdiri bagaikan gigi membusuk di
latar depan fasad marmer yang berornamen. Mereka membaca tulisan di atas.
Bagaimana bunyinya" Kemurnian hati akan memasuki taman-taman Tuhan.
Seorang prajurit menghantam pintu dengan pedangnya, dan mereka mendengarkan
gaung di ruang kosong ini, bagaikan mendapatkan sebuah jawaban. Pedang itu telah
menggores pintu besar. Mereka mengamati bekas goresannya dan saling berbisik:
perak. Pintu terbuka dengan mudah. Bau tidak enak menguar, dari debu dan kotoran
kelelawar, tetapi di atas, bagaikan kepulan asap, tercium aroma dupa yang harum.
Mereka mencari-cari di mana dupa itu dibakar, tetapi keharuman itu bagaikan
jiwa-jiwa yang menebarkan aroma wewangian. Mereka menyentuh dinding. Perhiasan,
mereka berbisik; kemudian tawa mereka meledak, dan semakin keras, dipantulkan
oleh kubah tinggi. Seorang prajurit memukul hiasan mawar dengan gagang pedangnya, menghancurkan
marmer, dan mengambil sebutir ruby. Gemanya terdengar bagaikan rintihan
kesakitan. Mereka mendongak dan melihat sebuah lampu emas raksasa yang
tergantung dari pusat kubah. Hati mereka membengkak dengan perasaan rakus.
Mereka telah menunggu-nunggu rampasan perang, dan di sini, harta itu menunggu
untuk dipetik. Di balik tabir marmer, yang diukir begitu rumit bagaikan cadar, begitu halus
sehingga cahaya yang lewat bisa mengalir bagaikan air, mereka melihat sebuah
sarkofagus. Sarkofagus itu terletak di tengah, tepat di bawah kubah, berupa
marmer berwarna seputih salju, dihiasi dengan bunga-bunga dan dedaunan berwarnawarni cerah dan bertatahkan perhiasan. Di sampingnya, meskipun lebih tinggi, ada
sebuah sarkofagus lagi, gelap di dalam bayangan.
Apa yang tertulis di situ"
Di sini terbaring Arjumand Banu, bergelar Mumtaz-i-Mahal, perempuan terpilih di
istana, hanya Allah yang Mahakuasa.
Siapa dia" Seorang permaisuri.[] Tentang Taj Mahal Lokasi: Agra. Uttar Pradesh. India bagian Utara, di tepi Sungai Yumna?"Dibangun selama 22 tahun (1631-1653) oleh Shah Jahan. Maharaja kelima dari
Dinasti Mughal India. "Tinggi bangunan 55 meter.
Kubah berdiameter 18 meter dengan tinggi 44 meter.
?Shah Jahan pernah berencana untuk membangun makam bagi dirinya. Taj Mahal
?berbahan dasar pualam hitam, berhadapan dengan Taj Mahal: Mumtaz-i-Mahal.
Taman Taj Mahal. Charbagh. dirancang sedemikian rupa sehingga mencitrakan ?empat elemen surga air. susu, madu. dan anggur yang mengalir abadi
? ?Kaligrafi di Taj Mahal mencantumkan 15 surah dalam Al-Quran.
?Pada 1983. UNESCO menetapkan Taj Mahal sebagai Tujuh Keajaiban Dunia,
? Beberapa pihak di Eropa mengklaim bahwa pendesain Taj Mahal adalah seorang
?arsitek Italia. Ccronimo Vcroneo.
Tidak ada waktu kunjungan bagi wisatawan pada hari Jumat, namun orang Muslim
?diperkenankan menunaikan shalat Jumat di masjid Taj Mahal.
Sumber: New Woild En Kubur Berkubah 3 Wiro Sableng 059 Peti Mati Dari Jepara Gadis Pecinta Monster 2

Cari Blog Ini