Ceritasilat Novel Online

Death Dujour 1

Death Du Jour Karya Kathy Reichs Bagian 1


DEATH du JOUR "Sebuah kisah tcnrant; corpus delicti yang pasti memuaskan ... kisah kejahatan
y<*nu membuat luilu kuduk merinding." People
"Cara penyajiannya setepat kilat dan rincian forensiknya mengerikan dan membuat
kita terus terpaku." Enter m in men f Wfcefc(y
Temperance Brennan,seorang ahli antropologi forensik mengidentifikasi jenazah
seorang biarawati yang telah meninggal lebih dari satu abad. Tugas yang
dibebankan kepadanya oleh keuskupan di Montreal ini tampaknya sebuah tugas yang
sederhana dan menarik. Tugas tersebut ternyata memiliki titik singgung dengan
tugas berikutnya yang menyeretnya ke dalam petualangan yang tidak akan pernah
terlupakan seumur hidupnya. Peristiwa demi peristiwa yang muncul silih berganti
membawanya ke dalam jalinan misteri yang mengerikan dan sejumlah pembunuhan yang
kekejamannya Jauh melebihi batas-batas akal sehat manusia. Semuanya diawali oleh
usaha pengidentifikasian tulangbelulang sejumlah korban pembunuhan di sebuah
rumah yang terbakar hebat di tengah bekunya cuaca di Quebec. Kanada. Salah satu
korban adalah seorang nenek berusia 80 an tahun yang tewas ditembak, serta
sepasang pria dan wanita serta dua bayi yang dibantai dengan cara yang membuat
bulu kuduk merinding. Satu sosok lagi ditemukan dalam kondisi yang lebih
mengenaskan. Selain itu, dua mayat wanita ditemukan pula di sebuah pulau surga
bagi primata di North carolina. dengan kondisi yang sama. Menghilangnya dua
orang wanita, yang salah satu di antaranya adalah adiknya sendiri, menyebabkan
benang misteri dirasakan aemakin kusut saja. Semua kejadian itu menyediakan
berbagai petunjuk yang harus ditelahnya dengan cermat dan teliti agar mampu
mengungkapkan cerita di balik misteri itu.
Dengan mengandalkan kemampuan analisis forensik serta bantuan rekan-rekan
akademisinya, termasuk detektif Andrew Ryan yang telah memikat hatinya. Tempe
dipaksa berpacu dengan waktu untuk memecahkan misteri ini. Sebelum terjadi
malapetaka yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lebih banyak lagi.
BUKU TERLARIS INTERNASIONAL NOMOR
"Unjuk kehebatan yang membuat bulu kuduk berdiri dan menegangkan Brennan adalah
pemenangnya, begitu juga dengan Recehs" Daily News "Sebuah petualangan mengerikan yang menembus kejahatan di masa lalu dan masa
kini Bacalah dan bersiap-siaplah menggigil ketakutan" Mademoiselle
G I T A menghidangkan kisah-kisah pilihan, fiksi maupun nonfiksi. yang cerdas sekaligus
melipur DEATH DUJOUR Sebuah Novel SERAMBI Indonesian Language Translation copyright " 2007, Serambi Copyright " 1999 by
Temperance Brennan, LP All Rights Reserved
Diterjemahkan dari Death Du Jour, karangan Kathy Reichs, terbitan Pocket Books,
New York: 2000 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin
tertulis dari penerbit Penerjemah: Fahmi Yamani Penyunting: Sofia Mansoor Pewajah Isi: Siti Qomariyah
PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta
12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id; www .cerita-utama .serambi .co .id
Cetakan I: Desember 2007 ISBN: 979-1112-96-3 Para tokoh dan peristiwa dalam buku ini hanyalah fiktif dan diciptakan
berdasarkan imajinasi pengarang. Berlatar belakang Montreal, Kanada; Charlotte,
North Carolina dan berbagai lokasi lainnya. Beberapa lokasi dan lembaga yang
nyata disajikan dalam cerita ini, namun berbagai tokoh dan peristiwa yang
dituturkan benarbenar fiktif.
Kalaupun mayat itu ada di situ, aku tidak bias menemukannya.
Di luar, angin menderu-deru. Di dalam gereja tua, yang terdengar hanyalah
gesekan sekop, dengungan generator jinjing, serta pemanas yang bergema dengan
menyeramkan di ruangan yang amat luas itu. Tinggi di atas, dahan pohon
menggaruk-garuk jendela berkusen, jari-jemarinya mencakari dinding kayu lapis.
Kerumunan orang berdiri dekat di belakangku, bergerombol, tetapi tidak
menyentuh, tangan mengepal dalam saku masing-masing. Aku bisa mendengar
pergerakan dari sisi yang satu ke sisi yang lain, satu kaki diangkat kemudian
kaki yang satunya lagi. Sepatu lars menimbulkan suara menggerus di tanah yang
beku. Tidak ada yang berbicara. Rasa dingin telah membius kami dalam kesunyian.
Kuamati segumpal tanah menghilang melalui ayakan berlubang halus saat aku
menebarkannya dengan lembut menggunakan sekop, Butiran tanah di lapisan bawah
merupakan kejutan yang menyenangkan. Mengingat permukaannya, aku menduga akan
menemukan lapisan tanah yang membeku selama peng galian ini. Namun, dua minggu
terakhir di Quebec ini, tidak seperti biasanya, cuaca cukup hangat sehingga
salju meleleh dan tanah melunak. Ciri khas keberuntungan Tempe. Walaupun tetesan
musim semi telah terusir oleh badai salju arktik, cuaca yang hangat itu telah
membuat tanah menjadi lunak dan mudah digali. Bagus. Tadi malam suhu menukik
sampai -14 derajat Celcius. Tidak bagus. Walaupun tanah tidak membeku kembali,
cuaca terasa sangat dingin menusuk tulang. Jarijemariku begitu kedinginan
sehingga aku hampir tidak bisa mem bengkokkannya.
Kami sedang menggali lapisan tanah yang kedua. Namun, masih belum ditemukan apaapa, kecuali kerikil dan serpihan batu yang menumpuk di ayakan. Aku tidak
berharap menemukan apa-apa di kedalaman seperti ini, tapi bisa saja keliru.
Selama ini aku belum pernah mengalami penggalian mayat yang berjalan sesuai
dengan rencana. Aku berbalik menghadap seorang lelaki yang mengenakan jaket panjang hitam dan
sebuah topi rajut. Dia memakai sepatu lars dari kulit yang bertali sampai ke
lututnya, sepasang kaus kaki yang melipat keluar dari puncak sepatu itu.
Wajahnya merah seperti sup tomat.
"Hanya beberapa sentimeter lagi." Aku memberikan tanda dengan menelungkupkan
tanganku, seperti mengelus seekor kucing. Pelan-pelan. Dengan perlahan-lahan.
Lelaki itu mengangguk. Kemudian, dia menancapkan sekop bergagang panjang ke
lapisan tanah yang kedua, melenguh keras seperti Monica Seles, pemain tenis AS
terkenal, ketika melakukan serve pertamanya.
"Par pounces!" teriakku sambil menyambar sekop. Beberapa sentimeter lagi!
Kuulangi gerakan meng iris yang telah kutunjukkan kepadanya sepagian ini.
"Galinya jangan terlalu dalam, tipis-tipis saja." Ujarku kembali dengan lambatlambat dalam bahasa Prancis yang cermat.
Terlihat jelas bahwa lelaki itu tidak mengacuhkan permintaanku. Mungkin karena
pekerjaan ini sungguh membosankan atau mungkin karena pemikiran bahwa dirinya
sedang menggali sebuah kuburan. Lelaki bermuka merah ini hanya ingin
melakukannya dengan cepat, kemudian cepat berlalu daritempat ini.
"Ayolah, Guy, coba lagi?" ujar suara lelaki di belakangku.
"Baik, Pastor." Gumamnya.
Guy melanjutkan pekerjaannya, menggelengkan kepala, tetapi mengiris tanah
seperti yang tadi kutunjukkan caranya, lalu melemparkannya ke atas ayakan.
Kualihkan lirikanku dari gumpalan tanah hitam ke lubang itu, menunggu munculnya
tandatanda bahwa kami memang sedang menggali sebuah kuburan.
Kami sudah menggali selama berjam-jam dan aku bisa merasakan ketegangan yang
mencuat di belakangku. Ayunan tubuh para biarawati semakin gencar. Aku berbalik
untuk memberikan ekspresi wajah yang kuharap bisa menenangkan sekelompok wanita
ini. Kedua bibirku begitu kaku sehingga aku tidak yakin apakah niatku itu
terpan-carkan dengan baik di wajahku.
Enam raut wajah membalas pandanganku, terlihat tirus karena kedinginan dan rasa
gelisah. Kepulan asap muncul dan menghilang di depan wajah keenam wanita itu.
Enam senyuman ditujukan kepadaku. Aku bisa merasakan mereka sedang giat berdoa.
Sembilan puluh menit kemudian, kami sudah menggali sedalam satu setengah meter.
Seperti satu setengah meter yang pertama, lubang ini hanya menghasilkan tanah.
Setiap jari kakiku serasa sudah diserang radang dingin dan Guy sudah siap
untukmen datangkan mesin pengeruk tanah. Sudah waktunya untuk menelaah situasi
ini. "Pastor, sepertinya kita harus memeriksa lagi arsip penguburan."
Sejenak dia terlihat ragu. Kemudian, "Ya. Tentu saja. Tentu saja. Dan kita semua
bisa beristirahat dulu; ngopi sambil makan roti lapis."
Pendeta itu melangkah menuju pintu kayu di ujung gereja tua kosong ini dan para
biarawati mengikutinya dari belakang, kepala ditundukkan, dengan hatihati sekali
melangkah di tanah yang tidak rata itu. Kerudung putih mereka membentuk
lengkungan yang sama di bagian belakang jaket wol hitam yang mereka kenakan.
Pinguin. Siapa yang mengatakan itu" The Blues Brothers.
Kumatikan cahaya lampu senter dan mulai melangkah, mata menatap tanah,
tercengang saat melihat serpihan tulang yang terkubur di lantai tanah ini.
Keterlaluan. Kami menggali di sebuah titik di dalam gereja ini yang ternyata
tidak berisi kuburan. Pastor Menard mendorong salah satu pintu dan, dalam satu barisan, kami berjalan
keluar bangunan itu ke dalam terangnya hari. Dalam beberapa saat mata kami sudah
bisa menyesuaikan dengan cahaya di luar. Langit terlihat mendung dan sepertinya
memeluk puncak menara semua bangunan di kompleks biara itu. Angin kering menerpa
para biarawati St. Lawrence, menyebabkan kerah dan kerudung mereka berkibarkibar. Kelompok kami yang kecil itu membungkuk menentang angin dan menyeberang ke
bangunan di sebelah, yang dibangun dari batu berwarna abu-abu seperti gereja
itu, tetapi lebih kecil. Kami menaiki undakan tangga menuju beranda kayu yang
dihiasi ukiran, lalu masuk melalui pintu samping.
Di dalam, udara terasa hangat dan kering, terasa nyaman dibandingkan dengan
cuaca dingin yang menggigit di
luar. Aku mencium bau teh dan kamper serta makanan yang sudah dikeringkan
bertahuntahun yang lalu. Tanpa berkata sepatah kata pun, para wanita melepaskan sepatu lars mereka, satu
demi satu tersenyum padaku, dan menghilang ke balik pintu di sebelah kanan
bersamaan dengan masuknya seorang biarawati berperawakan kecil yang mengenakan
sweter ski berukuran raksasa. Dia melangkah masuk ke foyer (ruang kecil di
bagian depan). Gambar rusa cokelat berbulu tebal merentang di dadanya dan
menghilang di balik kerudungnya. Dia mengedipkan matanya kepadaku melalui lensa
kacamata yang tebal dan meraih jaket panjangku. Aku agak ragu, takut kalau
jaketku yang berat itu membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjerembab ke
lantai. Dia mengangguk cepat dan memberi isyarat padaku dengan menggerakkan jari
telunjuknya, sehingga aku me lepaskan jaketku, meletakkannya di lengannya, lalu
menambahkan topi serta sarung tanganku, Dia adalah wanita tertua yang masih
hidup yang pernah kulihat.
Kuikuti Pastor Menard menyusuri lorong yang panjang dan bercahaya redup menuju
sebuah ruang belajar berukuran kecil. Di sini tercium aroma kertas yang sudah
usang dan cat sekolah. Sebuah salib berukuran sangat besar tergantung di atas
meja sehingga aku bertanya dalam hati bagaimana memasukkan salib besar itu ke
dalam ruangan ini. Panel kayu ek berwarna gelap menjulang hampir mencapai
langitlangit. Sejumlah patung menatap dari tempatnya di bagian atas ruangan,
wajah mereka terlihat muram seperti sosok tubuh di atas salib.
Pastor Menard duduk di salah satu dari dua kursi kayu yang menghadap meja, lalu
menyuruhku duduk di kursi yang satunya lagi. Suara gemerisik jubahnya. Suara
gemerisik rosarionya. Untuk sesaat aku merasa seakan kembali di St. Barnabas. Di
dalam kantor Pastor. Dalam kesulitan lagi. Hentikan, Brennan. Usiamu sudah
melewati empat puluh tahun, seorang profesional. Seorang ahli antropologi
forensik.Orangorang ini memanggilmu karena mereka memerlukan keahlianmu.
Sang pastor menarik sebuah buku bersampul kulit dari atas mejanya, membukanya di
halaman yang diberi tanda dengan pita hijau, lalu meletakkan buku itu di antara
kami berdua. Dia menarik napas panjang, mengerucutkan bibirnya, lalu
mengembuskan napas melalui lubang hidungnya.
Aku cukup kenal dengan diagram yang terpampang di halaman buku itu. Sebuah kisikisi dengan baris-baris melintang yang dibagi menjadi beberapa kotak segi empat,
beberapa diisi nomor, beberapa diisi nama. Kami menghabiskan waktu berjam-jam
lamanya mendiskusikan diagram ini kemarin, membandingkan berbagai tulisan dan
arsip kuburan dengan posisinya di kisi-kisi tersebut. Lalu, kami memperhitungkan
semuanya dan menandai semua lokasinya yang tepat.
Suster Elizabeth Nicolet seharusnya berada di baris kedua dari dinding gereja
sebelah utara, kotak ketiga dari sebelah barat. Tepat di sebelah Bunda Aurelie.
Tetapi, ternyata dia tidak ada di situ. Begitu pula dengan Aurelie, yang tidak
berada di tempat yang seharusnya.
Kutunjuk sebuah kuburan di kuadran yang sama, tetapi beberapa baris ke bawah dan
ke sebelah kanan. "Oke. Raphael sepertinya ada di tempat ini." Kemudian, menurun
satu barisan. "Dan Agathe, Veronique, Clement, Marthe, dan Eleonore. Mereka
semua dimakamkan pada tahun 1840-an 'kan?"
"C'est ga." Kugerakkan jariku ke bagian diagram di sudut barat daya gereja. "Dan ini adalah
beberapa kuburan yang terbaru. Tandatanda yang kita temukan sesuai dengan arsip
Anda." "Ya. Itu adalah beberapa kuburan baru, tidak lama sebelum gereja itu
ditinggalkan." "Dan kemudian ditutup pada tahun 1914."
"Sembilan belas empat belas, Ya, 1914." Dia memiliki cara yang aneh dalam
mengulangi kata dan frasa.
"Elisabeth meninggal pada tahun 1833?"
"C'est ga. 1888. Bunda Aurelie pada tahun 1894."
Semua itu tidak masuk akal. Bukti keberadaan kuburan itu seharusnya ada di situ.
Sudah jelas bahwa berbagai artefak dari kuburan di tahun 1840-an ada di sana.
Sebuah pengujian di daerah itu menghasilkan potongan kayu dan sisasisa peti
mati. Dalam lingkungan yang terlindung di dalam gereja, dengan jenis tanah
seperti itu, menurutku seharusnya tulangbelulangnya masih berada dalam kondisi
yang cukup bagus. Jadi, ke manakah Elisabeth dan Aurelie"
Biarawati tua itu menyeruak masuk sambil membawa nampan berisi kopi dan roti
lapis. Asap dari cangkir membuat kacamatanya berembun, sehingga dia berjalan
dengan langkah pendek-pendek, tidak pernah mengangkat seluruh kakinya dari
lantai. Pastor Menard bangkit untuk menyambut nampan tersebut.
"Merci, Suster Bernard. Sungguh baik sekali. Baik sekali."
Biarawati itu mengangguk dan menyeret kakinya keluar, tanpa menyeka kacamatanya.
Aku mengamatinya saat meraih cangkir kopiku. Bahu biarawati itu sama
lebarnya dengan pergelangan tanganku.
"Berapa usia Suster Bernard?" tanyaku sambil mengambil sebuah croissant. Berisi
salad salmon dan daun selada yang sudah layu.
"Kami tidak tahu pasti. Dia sudah berada di biara ini ketika aku datang ke sini
sewaktu kecil dulu, sebelum perang. Maksudku Perang Dunia II, Ke mudian, dia
pergi mengajar di gereja di luar negeri. Dia tinggal di Jepang untuk beberapa
waktu lamanya, kemudian di Kamerun. Kupikir usianya pasti sekitar sembilan puluh
tahunan." Dia menghirup kopinya. Tipe penyeruput.
"Dia dilahirkan di desa kecil di Saguenay, konon masuk ke biara ini saat berusia
dua belas tahun." Seruput. "Dua belas. Arsip yang ada saat itu di daerah
pedesaan di Quebec tidak begitu bagus. Tidak begitu bagus."
Kugigit roti lapis itu, kemudian menggenggam cangkir kopi. Hangatnya sungguh
nikmat sekali. "Pastor, apakah ada arsip lainnya" Surat-surat tua, dokumen, apa pun yang belum
kita lihat?" Aku mencoba menggerak-gerakkan jari kakiku. Aku tidak bisa
merasakan apa-apa. Dia menganggukkan kepala ke lembaran kertas yang berserakan di atas meja, lalu
mengangkat bahu. "Ini semua arsip yang diberikan Suster Julienne kepadaku. Dia
pengurus arsip di biara ini."
"Ya." Aku dan Suster Julienne telah berbicara dan melakukan surat-menyurat cukup lama
tentang masalah ini. Dialah yang pertama kali menghubungiku dan bercerita
tentang proyek ini. Aku langsung tertarik saat mendengar ceritanya. Kasus ini
sangat berbeda dengan pekerjaan forensikku yang biasa, yang melibatkan jenazah
yang ditangani koroner. Pihak keuskupan agung memintaku menggali kuburan dan
menganalisis sisasisa mayat seorang santa. Memang, jenazah itu sebenarnya bukan
seorang santa. Tetapi, itulah masalahnya. Elisabeth Nicolet telah diusulkan
untuk diberkati menjadi seorang santa. Aku diminta untuk menemukan kuburannya
dan memverifi kasi bahwa tulangbelulangnya adalah memang miliknya. Urusan
pemberkatan gelar santa diserahkan ke Vatikan.
Suster Julienne meyakinkanku bahwa terdapat arsip yang akurat. Semua kuburan di
gereja tua itu telah disusun dalam katalog dan dipetakan. Penguburan yang
terakhir terjadi pada tahun 1911. Gereja itu kemudian ditinggalkan dan ditutup
pada tahun 1914 setelah terjadi kebakaran. Sebuah gereja baru yang lebih besar
dibangun untuk menggantikannya dan bangunan tua itu tidak pernah digunakan
kembali. Ditutup. Dokumentasinya rapi. Mudah sekali. Jadi, di manakah Elisabeth
Nicolet"

Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin tidak ada salahnya bertanya. Mungkin ada sesuatu yang belum diberikan
Suster Julienne kepada Anda karena menurutnya mungkin tidak penting."
Pastor hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian berubah pikiran. "Aku yakin
dia telah memberikan semuanya kepadaku, tetapi aku akan menanyakannya nanti.
Suster Julienne telah menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk melakukan
penelitian ini. Waktu yang cukup banyak."
Aku mengawasinya keluar dari pintu, menghabiskan croissan t-ku, kemudian melahap
sepotong roti lagi. Kusilangkan kakiku, bersila, kemudian meremas jari kakiku.
Nikmat. Aku mulai bisa merasakan jarijariku kembali. Sambil menghirup kopi,
kuraih sehelai surat dari atas meja. Aku sudah pernah membacanya. 4 Agustus
1885. Campak mewabah di Montreal. Elisabeth Nicolet menulis surat kepada Uskup Edouard
Fabre, memohon kepadanya untuk melakukan vaksinasi pada para jemaat yang masih
sehat dan menggunakan rumah sakit untuk merawat mereka yang terjangkit campak.
Tulisan tangannya sungguh rapi, dalam bahasa Prancis yang aneh dan kuno.
Biara Notre-Dame de l'Immaculee-Conception benarbenar sunyi. Pikiranku melayang.
Kukenang sebuah penggalian kubur lainnya. Polisi di St-Gabriel. Di pemakaman
itu, peti mati ditumpuk tiga tingkat. Kami akhirnya menemukan Monsieur Beaupre,
empat kuburan jaraknya dari lokasi yang ada di arsip, di bagian paling bawah,
bukan yang paling atas. Lalu, ada seorang pria di Winston-Salem yang bahkan
tidak berada di dalam peti matinya sendiri. Peti mati itu malahan berisi seorang
wanita yang mengenakan gaun panjang bercorak bunga. Hal itu memunculkan dua
masalah di tanah pekuburan itu. Ke manakah jenazah yang dicari itu" Dan siapakah
tubuh di dalam peti mati itu" Keluarganya tidak pernah bisa menguburkan kembali
sang Kakek di Polandia dan para pengacaranya mempersiapkan tuntutan sengit saat
aku meninggalkan kasus itu.
Di kejauhan, kudengar suara bel berbunyi, kemudian, di koridor terdengar suara
gemerisik. Biarawati tua itu sedang berjalan ke arahku.
"Serviettes," ujarnya dengan suara melengking. Aku meloncat kaget, menumpahkan
kopi ke lengan bajuku. Bagaimana mungkin suara senyaring itu muncul dari mulut
orang sekecil ini" "Merci." Jawabku sambil meraih serbet.
Dia tidak mengacuhkanku, menghampiri, dan menggosok lengan bajuku. Sebuah alat
bantu dengar tampak menempel di telinga kanannya. Aku bisa merasakan napasnya dan melihat helaian
uban menghiasi dagunya. Dari tubuhnya tercium wangi wol dan air mawar.
"Eh, voiia. Cucilah begitu sampai ke rumah. Air dingin."
"Baik, Suster." Katakata itu terucap secara refl eks.
Matanya menatap surat di tanganku. Untunglah, surat itu tidak terkena tumpahan
kopi. Dia membungkuk, mendekat.
"Elisabeth Nicolet adalah wanita hebat. Seorang wanita pencinta Tuhan.
Benarbenar suci. Benarbenar bersahaja." Purete. Austerite, Bahasa Prancisnya
terdengar persis seperti bila surat-surat Elisabeth diucapkan.
"Ya, Suster." Seakanakan aku berusia Sembilan tahun.
"Dia akan menjadi seorang santa."
"Ya, Suster. Itulah sebabnya kami berusaha menemukan tulangbelulangnya. Agar dia
bisa menerima penghormatan yang layak." Aku tidak yakin bagaimana penghormatan
yang layak untuk seorang santa, tetapi kedengarannya pantas untuk diucapkan.
Kuraih diagram dan menunjukkannya kepadanya. "Ini peta gereja lama." Kususuri
barisan di dinding utara, lalu menunjuk sebuah persegi empat. "Ini kuburannya."
Si biarawati tua mengamati peta itu selama beberapa saat, dengan kacamata hampir
menempel ke halaman tersebut.
"Dia tidak ada di situ," ujarnya.
"Maaf?" "Dia tidak ada di situ," Sebuah jari yang montok mengetuk kotak itu. "Ini tempat
yang salah." Pastor Menard masuk ke ruangan. Dia ditemani seorang biarawati
bertubuh tinggi dan beralis tebal berwarna hitam pekat yang menyatu di pangkal
hidungnya. Pastor itu memperkenalkan Suster Julienne, yang mengulurkan tangan sambil
tersenyum. Tidak perlu menjelaskan apa yang dikatakan Suster Bernard. Mereka pasti telah
mendengar ucapan wanita tua itu dari koridor. Mereka mungkin sudah mendengar
biarawati tua itu ketika berada di Ottawa.
"Itu tempat yang salah. Kalian mencari di tempat yang salah," ujarnya.
"Apa maksudmu?" tanya Suster Julienne.
"Mereka mencari di tempat yang salah," ujar Suster Bernard mengulangi
perkataannya. "Dia tidak ada di situ."
Aku dan Pastor Menard bertukar pandang.
"Jadi, di mana dia, Suster?" tanyaku.
Dia membungkukkan tubuhnya sekali lagi di atas diagram itu, kemudian menunjuk
bagian tenggara gereja. "Dia ada di situ. Dengan Bunda Aurelie."
"Tetapi Sus-" "Mereka memindahkan keduanya. Menyediakan peti mati baru dan meletakkan keduanya
di bawah sebuah altar khusus. Di sana."
Kembali dia menunjuk sudut sebelah tenggara.
"Kapan?" Kami melontarkan pertanyaan itu pada waktu yang bersamaan.
Suster Bernard memejamkan mata. Bibir tua yang keriput itu bergerak, menghitunghitung tanpa suara. "Sembilan belas sebelas, Itu tahun ketika aku datang sebagai biarawati baru. Aku
masih ingat, karena beberapa tahun kemudian gereja itu terbakar dan mereka
menutupinya dengan papan. Tugasku adalah masuk ke gereja dan meletakkan bunga di
atas altar itu. Aku tidak menyukai tugas itu. Sangat menakutkan masuk ke dalam
sendirian. Tapi, kuserahkan semuanya kepada Tuhan."
"Apa yang terjadi dengan altar itu?"
"Dikeluarkan sekitar tahun tiga puluhan. Sekarang ada di Kapel Bayi Suci di
dalam gereja yang baru." Dia melipat serbet dan mengumpulkan cangkir kopi. "Dulu
ada sebuah plakat yang menandai keberadaan kuburan itu, tapi sekarang sudah
tidak ada. Tidak ada seorang pun yang pergi ke tempat itu sekarang. Tanda itu
sudah lama hilang." Aku dan Pastor Menard kembali bertukar pandang. Dia mengangkat bahunya.
"Suster," ujarku pada akhirnya, "apakah Anda bisa menunjukkan kuburan Elisabeth
kepada kami?" "Bien sur." "Sekarang?" "Kenapa tidak?" Cangkir porselen berdenting saat mengenai cangkir porselen
lainnya. "Biarkan saja cangkir-cangkir itu," ujar Pastor Menard. "Pakailah jaket dan
sepatumu, Suster, dan kita akan berjalan ke sana sekarang juga."
Sepuluh menit kemudian, kami semua kembali berada di dalam gereja tua itu. Cuaca
belum berubah dan malahan terasa lebih dingin dan lembap dibandingkan dengan
cuaca pagi harinya. Angin masih men deru-deru. Dahan pepohonan masih
mengetukngetuk. Suster Bernard memilih jalanan yang rusak menyeberangi gereja, aku dan Pastor
Menard masing-masing memegangi sebelah lengannya. Melalui kain bajunya, tubuhnya
terasa rapuh dan ringan sekali.
Biarawati lain mengikuti kami dengan bergerombol, Suster Julienne sudah siap
dengan buku steno dan pulpennya. Guy mengikuti kami di barisan paling belakang.
Suster Bernard berhenti di bagian gereja sebelah tenggara. Dia mengenakan topi
chartreuse hasil rajutan tangan di atas kerudungnya, ditalikan ke dagunya. Kami
mengamati kepalanya menengok kian-kemari, mencaricari tanda, berusaha mengingatingat kembali. Semua mata tertuju ke sebuah titik di bagian dalam gereja yang
suram. Aku memberikan isyarat kepada Guy untuk membetulkan posisi lampu, Suster Bernard
tidak mengacuhkannya. Setelah beberapa saat lamanya, dia mundur menjauhi
dinding. Kepala menengok ke kiri, ke kanan, kemudian ke kiri lagi, Ke atas. Ke
bawah. Dia memeriksa posisinya sekali lagi, kemudian menggores tanah dengan
tumit sepatu larsnya. Setidaknya dia mencoba menggores dengan tumit sepatunya.
"Dia di sini." Suaranya yang melengking itu bergema, terpantul dari dinding
batu. "Kau yakin?" "Dia di sini." Suster Bernard terlihat sangat yakin.
Kami semua menatap tanda yang dibuatnya.
"Mereka berada di peti mati berukuran kecil. Bukan peti mati yang seperti
biasanya. Waktu itu hanya tersisa tulangbelulangnya sehingga semuanya bias
dimasukkan ke dalam peti mati kecil." Dia merentangkan lengannya yang kecil
untuk menunjukkan ukuran peti mati untuk anak kecil. Salah satu lengannya
gemetaran, Guy menyorotkan lampunya ke titik di dekat kaki Suster Bernard.
Pastor Menard mengucapkan terima kasih kepada biarawati tua itu dan meminta dua
orang biarawati lain untuk mengantarkannya kembali ke biara. Aku mengawasi
mereka menjauh. Dia terlihat seperti seorang anak kecil di antara kedua
rekannya, begitu kecilnya sehingga ujung jaketnya hampir tidak mencapai lantai
yang kotor. Kuminta Guy membawa satu lagi lampu ke lokasi yang baru itu. Lalu, kutarik alat
pemindaiku dari lokasi awal,
meletakkan ujungnya di tempat yang telah dibuat Suster Bernard, dan mendorong
pegangan berbentuk huruf T. Tidak berhasil. Tempat itu sama bekunya. Kugunakan
sebuah alat pemindai ubin untuk menghindari kerusakan benda apa pun yang ada di
bawah permukaan tanah, dan ujungnya yang berbentuk bola tidak bisa menembus
lapisan tanah paling atas yang sudah membeku itu. Aku mencobanya sekali lagi,
dengan lebih keras, Tenang, Brennan. Mereka tidak akan senang kalau kamu menghancurkan kaca peti
mati. Atau mengebor lubang di kepala biarawati itu.
Kubuka sarung tanganku, mencengkeram alat itu dengan kesepuluh jariku, dan
mendorong kembali. Kali ini permukaan tanah pecah dan aku merasakan ujung
pemindai itu menembus lapisan tanah. Sambil menahan keinginan untuk melakukannya
secara tergesa-gesa, kuuji lapisan tanah itu, dengan mata terpejam, merasakan
perbedaan lapisan tanah yang sedang kutembus. Berkurangnya tekanan berarti
adanya sebuah ruang hampa yang diisi oleh sesuatu yang telah lapuk. Tekanan yang
lebih besar bisa berarti sebuah tulang atau artefak ada di bawah tanah. Tidak
ada. Kutarik alat itu dan mengulangi proses itu kembali.
Pada percobaan ketiga aku merasakan ada yang menahan. Aku menariknya kembali,
menancapkan kembali alat itu lima belas sentimeter ke sebelah kanan. Sekali lagi
terasa ada tekanan. Ada sesuatu yang keras tidak jauh dari permukaan tanah.
Kuberikan isyarat berupa jempol ke atas kepada pastor dan para biarawati, dan
meminta Guy membawa ayakan. Sambil berbaring di sebelah alat pemindai, kuraih
sekop berujung rata dan mulai mengiris lapisan tanah.
Kukupas tanah, sejengkal demi sejengkal, melemparkannya ke ayakan, dan mataku
bergerak dari ayakan ke lubang. Dalam waktu tiga puluh menit, aku sudah melihat
benda yang kucari. Beberapa lapisan tanah yang terakhir kugali terlihat berwarna
lebih gelap dibandingkan dengan lapisan tanah cokelat yang kulemparkan
sebelumnya ke ayakan. Kuraih sekop kecil, membungkuk di atas lubang itu, dan pelan-pelan menggaruk
lapisan dinding tanah, menyingkirkan butiran tanah dan meratakan permukaannya.
Saat itu juga aku melihat sebuah benda berwarna gelap berbentuk lonjong. Bercak
itu berukuran satu meter panjangnya. Aku hanya bias menduga-duga lebarnya karena
setengahnya terkubur di bawah lapisan tanah yang sedang kugali itu.
"Ada sesuatu di bawah sini," ujarku sambil menegakkan tubuh. Napasku mengembun
di depan wajahku. Secara serentak, para biarawati dan pastor bergerak mendekat dan mengintip ke
dalam lubang. Kutunjuk bercak yang lonjong itu dengan ujung sekop. Pada saat
itu, kedua biarawati yang mengantarkan Suster Bernard sudah kembali untuk
bergabung dengan teman-temannya yang lain.
"Ini bisa saja kuburan, walaupun terlihat lebih kecil dari biasanya. Aku tadi
menggalinya ke arah kiri, jadi harus menggali bagian sebelah sini," ujarku
sambil menunjuk lokasi tempatku berjongkok. "Aku akan menggali sekeliling
kuburan itu dan kemudian menggali ke bagian bawahnya. Dengan begitu, kita akan
mendapatkan gambaran kuburan itu saat menggalinya. Dan akan lebih mudah bagiku
untuk menggalinya seperti itu. Lubang di sekelilingnya akan mempermudah kita
untuk mengangkat petinya dari samping jika terpaksa."
"Bercak apa itu?" tanya seorang biarawati muda yang wajahnya seperti anggota
Pramuka. "Ketika sesuatu yang kandungan organiknya ting gi mengalami pembusukan, benda
itu akan menye - babkan tanah di sekelilingnya lebih gelap. Bisa berasal dari
kayu peti mati, atau bunga yang ikut dikuburkan di dalamnya." Aku tidak ingin
menjelaskan proses pembusukan. "Bercak seperti ini hampir selalu merupakan
tandatanda keberadaan sebuah kuburan."
Dua orang biarawati membuat tanda salib di dadanya.
"Apakah itu Elisabeth atau Bunda Aurelie?" Tanya seorang biarawati berusia
setengah baya. Bagian bawah kelopak matanya bergetar.
Kuangkat tanganku sebagai isyarat "entahlah." Sambil mengenakan sarung tanganku
kembali, aku mulai mengiris tanah di sebelah kanan bercak itu, melebarkan lubang
yang sedang kugali sehingga memperjelas bercak lonjong itu dan pinggiran peti
sepanjang enam puluh sentimeter di sebelah kanannya.
Lagi-lagi, satu-satunya suara yang terdengar adalah suara gesekan dan tanah yang
menerpa ayakan. Kemudian,
"Apa itu?" Biarawati yang paling tinggi menunjuk ke ayakan.
Kutegakkan tubuh untuk melihatnya, bersyukur atas kesempatan untuk meregangkan
otot tubuhku. Biarawati itu menunjuk sebuah potongan kayu kecil berwarna cokelat kemerahan.
"Wah, berani berta-. Memang jelas ada sesuatu ya, Suster. Kelihatannya seperti
potongan kayu peti mati."
Kukeluarkan setumpuk kantong kertas dari tasku, lalu di sebuah kantong itu
kutulis tanggal, lokasi, dan berbagai
informasi penting lainnya, meletakkannya di ayakan, dan meletakkan sisanya di
tanah. Jarijemariku kini benarbenar terasa kebas.
"Waktunya untuk bekerja. Suster Julienne, tolong catat semua hal yang kita
temukan. Tuliskan di kantong kertas dan catat dalam buku catatan, seperti yang
sudah kita diskusikan. Sekarang kita" aku menatap ke dalam lubang-"pada ?kedalaman sekitar setengah meter. Suster Marguerite, tolong dipotret."
Suster Marguerite mengangguk sambil mengangkat kameranya.
Mereka segera melakukan tugas masing-masing, dengan penuh semangat, setelah dari
tadi hanya mengamati berjam-jam, Aku terus menggali, Suster Kelopak Mata dan
Suster Pramuka membantu mengayak. Semakin banyak potongan kayu yang tergali dan
tak lama kemudian kami bisa melihat garis yang berbentuk pada tanah yang
dipenuhi bercak hitam itu. Kayu. Sudah sangat hancur. Pertanda buruk.
Dengan menggunakan sekop kecil dan tangan telanjang, aku terus menggali dengan
harapan bisa menemukan sebuah peti mati. Walaupun suhu berada di bawah titik
beku dan seluruh jari tangan serta kakiku telah kehilangan indra perasanya,
keringat mengucur deras di dalam jaketku. Ya Tuhan, mudah-mudahan ini sisasisa
tubuhnya, pikirku. Nah, sekarang siapa yang berdoa"
Saat aku menggali lubang itu ke arah utara, semakin banyak kayu yang tampak,
benda itu terlihat semakin lengkap. Pelan-pelan, bentuknya terlihat jelas: segienam. Bentuk peti mati. Aku berusaha keras untuk meredam keinginan untuk
berteriak "Halleluya!" Teriakan berbau gereja, tetapi tidak profesional, begitu
kataku dalam hati. Kusapu tanah yang tersisa, sedikit demi sedikit, sampai puncak benda itu
benarbenar terlihat dengan jelas. Ternyata sebuah kotak kayu kecil dan sekarang
aku menyapu dari bagian kaki menuju kepala. Kuletak kan sekop kecilku dan meraih
sebuah kuas. Mata ku menatap sepasang mata salah seorang biarawati yang menjaga
ayakan itu. Aku tersenyum, Dia membalas senyumanku. Kelopak mata kirinya
berkedut-kedut. Kusapu permukaan kotak kayu itu berulang kali, menyingkirkan tanah yang telah
menempel selama puluhan tahun. Semua orang mengamati sambil menahan napas.
Pelan-pelan, sebuah benda muncul dari tutup peti mati itu. Tepat di bagian yang
paling lebar. Tepat pada posisi diletakkannya sebuah plakat. Jantungku berdegup
dengan kencang, Kusapu tanah dari benda itu sampai terlihat jelas bentuk aslinya. Bentuknya
lonjong, dari logam, dengan pinggiran dihiasi benang emas yang sangat halus,
Dengan menggunakan sikat gigi, pelan-pelan kubersihkan permukaannya. Tampak
huruf terukir di situ. "Suster, bisa tolong ambilkan lampu senterku" Dari dalam tas?"
Lagi-lagi, mereka membungkukkan tubuh bersama-sama. Mirip sekelompok burung
penguin di atas kubangan air. Kusorotkan cahaya lampu senter ke atas plakat itu.
"Elisabeth Nicolet 1846-1888. Femme contemplative."?"Kita menemukannya," ujarku, tidak ditujukan kepada siapa pun.
"Halleluya!" seru Suster Pramuka. Sepertinya melupakan etika kehidupan di
gereja. Selama dua jam berikutnya kami menggali sisasisa
jenazah Elisabeth. Para biarawati, dan bahkan Pastor Menard, melakukan kegiatan
itu dengan penuh semangat seperti mahasiswa jurusan arkeologi pada tugas
penggaliannya yang pertama. Jubah biarawati dan jubah pastor berkibar-kibar di


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekelilingku saat tanah dilemparkan ke ayakan, tas diisi, diberi label,
ditumpukkan, sementara kamera merekam seluruh kegiatan itu. Guy ikut membantu,
walaupun terlihat enggan. Sikapnya sungguh berbeda dengan para biarawati di
sekelilingnya. Mengeluarkan peti mati itu bukanlah pekerjaan mudah. Walaupun ukurannya kecil,
kayu peti mati itu sudah sangat lapuk dan bagian dalam peti dipenuhi tanah,
menambah berat beban yang hendak diangkat menjadi sekitar sepuluh ton.
Penggalian parit di sisi peti mati itu terbukti berguna, walaupun aku kurang
cermat memperkirakan ukuran parit yang kami butuhkan. Kami harus memperluas
lubang di sisi peti mati itu selebar setengah meter sebelum bias menyelipkan
papan ke bagian bawah peti mati tersebut. Akhirnya, kami berhasil mengangkat
seluruh peti mati itu dengan menggunakan tali polipropilen.
Pada pukul setengah enam, kami telah menikmati kopi di dapur biara, kelelahan,
dengan jari tangan dan kaki, serta wajah mulai menghangat. Elisabeth Nicolet dan
peti matinya sekarang sudah terkunci dengan aman di bagian belakang mobil van
milik biara, bersama-sama dengan peralatanku. Besok, Guy akan mengantarkannya ke
Laboratoire de Medecine Legale di Montreal, tempatku bekerja sebagai Ahli
Antropologi Forensik untuk Provinsi Quebec. Karena jenazah bersejarah ini tidak
termasuk kasus forensik, izin khusus harus diperoleh dari Bureau du Coroner agar
aku bisa melakukan analisis di situ. Aku diberi waktu
dua minggu untuk menganalisis tulangbelulang itu.
Kuletakkan cangkir dan mengucapkan salam perpisahan. Sekali lagi. Para biarawati
mengucapkan terima kasih kepadaku, berulang kali, senyuman terpancar di selasela wajah yang tegang, sudah tidak sabar ingin mendengar hasil penelitianku.
Mereka semua memberikan senyuman yang tulus.
Pastor Menard mengantarku ke mobil. Hari telah beranjak gelap dan hujan salju
ringan mulai turun. Anehnya serpihan salju terasa hangat saat menyentuh pipiku.
Pastor itu bertanya sekali lagi apakah aku bersedia menerima undangannya untuk
bermalam di biara. Salju tampak berkilat di belakang tubuhnya karena melayanglayang di hamparan cahaya lampu beranda. Sekali lagi aku menolaknya. Setelah men
dapatkan beberapa petunjuk jalan, aku pun segera beranjak pergi.
Setelah selama dua puluh menit melaju di jalan dua arah, aku mulai menyesali
keputusanku. Serpihan salju yang tadi melayang dengan malasnya di hadapan cahaya
lampu mobilku sekarang menukik dengan tajamnya membentuk layar diagonal. Jalanan
dan pepohonan di kedua sisi sekarang ditutupi kabut putih yang semakin tebal
saja setiap detiknya. Kucengkeram kemudi dengan kedua tanganku, telapak tangan terasa lembap di dalam
sarung tangan. Kuturunkan kecepatan sampai enam puluh kilometer per jam. Lima
puluh lima. Setiap beberapa menit aku menguji rem. Walaupun sudah tinggal di
Quebec bertahuntahun, kadang pindah dan kembali lagi, aku tidak pernah terbiasa
mengemudi di musim dingin. Aku selalu menganggap diriku tangguh, tetapi saat
duduk di dalam mobil di cuaca bersalju, maka aku berubah menjadi Putri Penakut.
Aku masih memiliki reaksi orang Selatan dalam menghadapi badai musim dingin. Oh.
Salju. Kalau begitu, kami tentu tidak jadi keluar rumah. Orang Quebec akan
menatapku dan menertawakanku.
Rasa takut memiliki efek yang setimpal. Rasa takut mengusir rasa lelah. Walaupun
sangat lelah, aku tetap terjaga, gigi dirapatkan, leher tegak, dan otot tegang.
Rute Kota Timur hanya sedikit lebih baik daripada jalan di pedalaman. Lac
Memphremagog menuju Montreal biasanya makan waktu dua jam. Sekarang aku
memerlukan waktu hampir empat jam.
Tak lama setelah pukul sepuluh malam, aku berdiri di tengah gelapnya
apartemenku, kelelahan, bersyukur karena telah tiba di rumah. Rumah di Quebec.
Aku telah berdiam di North Carolina selama hamper dua bulan. Bienvenue, Proses
berpikirku sudah berubah ke gaya Prancis kembali.
Kunyalakan alat pemanas dan memeriksa lemari es. Tidak ada apa-apa. Kupanaskan
burito beku dalam microwave selama beberapa detik, lalu menyantapnya dengan
bantuan root beer hangat. Bukan makan malam yang elegan, namun cukup menge
nyangkan. Koper yang kuletakkan pada Selasa malam masih berada di tempatnya di dalam kamar
tidur. Aku tidak berniat untuk membongkarnya malam ini. Besok saja. Kujatuhkan
tubuhku ke atas tempat tidur, berencana untuk tidur sedikitnya sembilan jam.
Suara telepon yang berdering empat jam kemudian mengacaukan rencanaku itu.
"Oui, ya," gumamku, transisi bahasa sekarang bercampur baur.
"Temperance. Ini Pierre LaManche. Maaf sekali karena
mengganggumu selarut ini."
Aku menunggu. Selama tujuh tahun bekerja dengannya, direktur lab itu tidak
pernah menghubungiku pada pukul tiga subuh seperti ini.
"Kuharap semuanya berjalan lancar di Lac Memphremagog." Dia mendehemdehem. "Aku
baru saja mendapat kabar dari koroner. Ada rumah kebakaran di St-Jovite. Para
pemadam kebakaran masih berusaha memadamkannya. Para penyelidik kebakaran akan
mencapai tempat itu besok pagi dan koroner ingin kita hadir di sana juga."
Kembali mendehemdehem. "Salah seorang tetangga mengatakan bahwa para penghuni
rumah masih berada di dalamnya. Mobil mereka masih diparkir dijalan masuk."
"Kenapa kamu membutuhkanku?" tanyaku dalam bahasa Inggris.
"Rupanya kebakaran itu sangat parah. Bila ada orang yang terbakar, pasti sudah
gosong. Mungkin yang tersisa hanya tulangbelulang dan gigi. Pasti sulit untuk
mengidentifi kasinya." Sialan. Jangan besok dong,
"Pukul berapa?"
"Aku akan menjemputmu pukul enam pagi, Bagaimana?"
"OK." "Temperance. Ini mungkin kasus kebakaran yang mengenaskan. Ada anakanak tinggal
di rumah itu." Kupasang alarm pada pukul lima tiga puluh. Bienvenue. f J
Setelah dewasa, aku tinggal di daerah selatan, Cuacanya tidak pernah terasa
panas bagiku. Aku mencintai pantainya di bulan Agustus, baju renang, kipas angin
di langitlangit, bau rambut anakanak kecil yang berkeringat, suara kumbang
menerpa jendela. Namun, aku selalu menghabiskan musim panas dan masa liburan
sekolah di Quebec. Selama beberapa bulan dalam satu tahun ajaran, aku
meninggalkan Charlotte, North Carolina, tempatku mengajar di fakultas
antropologi, untuk bekerja di lab kedokteran hukum di Montreal. Jarak antara
kedua tempat itu kira-kira dua ribu kilometer. Ke arah utara.
Saat pertengahan musim dingin, aku sering kali berdebat sendiri sebelum menyusun
rencana. Cuacanya pasti dingin sekali, ujarku mengingatkan diri sendiri. Pasti
luar biasa dinginnya. Tapi 'kan bias mengenakan pakaian yang sesuai dan bersiapsiap menghadapinya. Ya. Aku pasti akan siap menghadapinya. Kenyataannya aku
tidak pernah siap. Aku selalu kaget ketika menghadapi cuaca yang membeku saat
melangkahkan kaki keluar bandara dan menghirup napas untuk pertama kalinya.
Pada pukul enam pagi, di hari kesepuluh di bulan Maret, termometer di berandaku
menunjukkan angka dua derajat Fahrenheit atau minus tujuh belas derajat Celcius.
Kukenakan semua baju yang bias kupakai. Rok panjang, celana jins, dua sweter,
sepatu lars untuk mendaki gunung, dan kaus kaki wol. Di dalam kaus kaki
kukenakan baju hanoman ketat yang juga digunakan untuk menghangatkan tubuh para
astronot saat mendarat di Pluto. Pakaian yang sama garangnya dengan hari
kemarin. Kehangatan yang kurasakan mungkin akan sama dengan kemarin.
Saat LaManche membunyikan klakson, kutarik retsleting jaketku, kukenakan sarung
tangan serta topi ski dan melesat keluar dari lobi. Walaupun sama sekali tidak
bersemangat menghadapi hari ini, aku tidak mau membuatnya menunggu. Dan aku
merasa sangat kepanasan di dalam lobi tadi.
Kukira LaManche membawa sedan hitamnya, tetapi dia melambaikan tangan dari
sebuah mobil yang mungkin pantas disebut sebagai mobil sport. Beroda empat,
merah menyala, bergaris-garis mirip mobil balap.
"Boleh juga mobilnya," ujarku saat masuk ke dalamnya.
"Merci." Dia menunjuk bagian tengah dasbor. Tampak dua buah gelas Styrofoam dan
sekantong Dunkin Donut. Puji Tuhan. Aku memilih donat berisi serpihan apel.
Saat mengemudikan mobil menuju St-Jovite, LaManche menceritakan hal-hal yang
diketahuinya. Jauh lebih teperinci dari cerita yang kudengar pada pukul tiga
subuh tadi. Dari seberang jalan, seorang tetangga melihat para penghuni masuk ke
rumah pada pukul sembilan malam. Kemudian, si tetangga pergi mengunjungi
temannya yang rumahnya tidak terlalu jauh dan baru pulang setelah larut malam.
Saat mendekati rumahnya sekitar pukul dua subuh, mereka melihat kilauan cahaya
dari kejauhan, kemudian api menjulang dari rumah itu. Seorang tetangga lainnya
mengira dia mendengar suara ledakan sesaat setelah tengah malam, merasa raguragu, lalu kembali tidur. Daerah itu cukup terpencil dengan penduduk yang agak
jarang. Para relawan pemadam kebakaran tiba pada
pukul setengah tiga, dan segera meminta pertolongan begitu menyaksikan kebakaran
yang mereka hadapi. Dibutuhkan dua regu pemadam selama tiga jam untuk memadamkan
api itu. LaManche sudah bicara lagi dengan koroner pada pukul lima lewat empat
puluh lima menit. Ada dua orang tewas dan diperkirakan masih ada yang lainnya.
Beberapa bagian rumah masih terlalu panas, atau terlalu berbahaya, untuk
diperiksa. Diperkirakan kebakaran ini disengaja.
Kami mengemudi ke arah utara saat cahaya subuh mulai menampakkan wajahnya, ke
kaki bukit di Pegunungan Laurentian. LaManche tidak banyak bicara, dan aku tidak
keberatan sama sekali. Aku bukan orang yang langsung bersemangat di pagi hari.
Namun, dia penggemar musik dan terus memutar serangkaian kaset tanpa putus. Lagu
klasik, pop, bahkan C8tW, semuanya diubah menjadi lagu santai. Mungkin lagunya
dibuat untuk menenangkan para pendengarnya, seperti musik monoton yang
dibunyikan di dalam lift dan ruang tunggu. Hal itu membuatku gelisah.
"Seberapa jauh St-Jovite ini?" Kuraih donat cokelat berbalut madu.
"Sekitar dua jam perjalanan. St-Jovite terletak sekitar dua puluh lima kilometer
di sisi terdekat Mont Tremblant. Pernah main ski di gunung itu?" Dia memakai
jaket yang menjuntai sampai lututnya, berwarna hijau tentara dengan tudung
kepala berlapis bulu binatang. Dari samping, yang bisa kulihat hanyalah ujung
hidungnya. "Ehm. Gunung yang cantik."
Jarijemariku hampir terserang radang dingin di Mont Tremblant. Itu adalah saat
pertama kalinya aku main ski di Quebec dan saat itu aku mengenakan pakaian yang
sebenarnya lebih pantas kalau dipakai ke Pegunungan Blue Ridge. Embusan angin di
puncak Mont Tremblant sangat dingin sehingga bias membekukan hidrogen cair.
"Bagaimana keadaan di Lac Memphremagog?"
"Kuburan itu tidak berada di tempat yang kami duga, seperti biasanya 'kan"
Rupanya jenazahnya pernah diangkat dan dikebumikan lagi pada tahun 1911. Anehnya
tidak ada catatan tentang hal itu." Sangat aneh, pikirku, sambil menghirup kopi.
Terdengar lagu instrumental Springsteen. "Born in the USA." Aku mencoba untuk
tidak mengacuhkannya. "Akhirnya kami berhasil juga menemukannya. Sisasisa
tulangbelulangnya akan dikirimkan ke lab hari ini."
"Sayang sekali ada musibah kebakaran ini. Aku tahu kamu pasti ingin menghabiskan
waktu seminggu untuk berkonsentrasi pada analisis itu."
Di Quebec, musim dingin bisa menjadi musim yang santai bagi para ahli
antropologi forensik. Suhu jarang melebihi titik beku. Sungai dan danau membeku,
tanah menjadi sekeras batu, dan salju membenamkan semua yang ada. Kumbang
menghilang, dan banyak binatang pemakan bangkai bersembunyi di bawah tanah.
Akibatnya: Mayat yang tergeletak di luar tidak membusuk. Mayat yang mengambang
tidak diambil dari sungai St. Lawrence. Orang juga lebih suka meringkuk di rumah
masing-masing. Para pemburu, pendaki gunung, dan mereka yang senang berpiknik
tidak lagi menjelajahi hutan dan padang, dan bangkai binatang buruan di musim
sebelumnya baru ditemukan ketika salju sudah mencair di musim semi. Berbagai
kasus yang dilimpahkan kepadaku, wajah tak dikenal yang perlu diidentifi kasi,
merosot jumlahnya antara bulan November dan April.
Pengecualian ada pada rumah yang terbakar. Selama bulan-bulan dingin, kasus
seperti ini meningkat. Kebanyakan mayat yang terbakar dikirimkan ke ahli
odontologi dan diidentifi kasi berdasarkan arsip gigi. Alamat dan penghuninya
biasanya mudah dikenali, sehingga arsip antemortem hanya digunakan sebagai
perbandingan saja. Bila mayat itu tidak dikenali, saat itulah bantuanku
dibutuhkan. Atau dalam kasus pengenalan yang cukup sulit. LaManche memang benar. Aku tadinya
berharap tidak akan disodori kasus apa pun dan merasa kurang senang saat diminta
pergi ke St-Jovite. "Mungkin aku tidak akan dilibatkan dalam analisis itu," Sejuta satu alat gesek
mulai menyanyikan "I'm Sitting on Top of the World." "Mungkin ada arsip tentang
keluarga itu." "Mungkin." Kami tiba di St-Jovite dalam waktu kurang dari dua jam. Matahari telah terbit,
menyelimuti kota dan daerah pinggiran dengan cuaca pagi hari yang dingin menusuk
tubuh. Kami mengarah ke barat menuju jalan dua jalur yang berbelok-belok.
Seketika itu juga dua truk derek melewati kami ke arah yang berlawanan. Salah
satu menarik Honda abu-abu yang penyok, yang lainnya menarik Plymouth Voyager
ber warna merah. "Rupanya mereka sudah mengungsikan mobilmobilnya," ujar LaManche.
Kuamati dari kaca spion mobilmobil itu menghilang. Dalam mobil van itu ada kursi
bayi di jok belakang dan sebuah gambar tempel kuning bergambar wajah tersenyum
di bemper belakangnya. Ku bayangkan seorang anak di jendela, menjulurkan
lidahnya, tangan di kedua
telinganya, mengejek dunia di hadapannya. Mata lucu, itulah sebutan yang
kuciptakan bersama adik perempuanku. Mungkin anak itu sudah tergeletak hangus
tanpa bisa dikenali lagi di kamar di lantai atas.
Beberapa menit kemudian, kami melihat apa yang kami cari. Beberapa mobil polisi,
mobil pemadam kebakaran, truk barang, kendaraan wartawan, ambulans, dan beberapa
mobil biasa yang berjejer memanjang di kedua sisi jalanan yang berkerikil.
Para wartawan berdiri bergerombol, beberapa di antaranya bercakap-cakap dan
beberapa lagi mengutakatik peralatan yang mereka bawa. Beberapa lagi duduk di
dalam mobil, berusaha menghangatkan diri sambil menunggu kelanjutan berita.
Berkat udara dingin dan waktu yang masih pagi, hanya ada beberapa orang yang
sengaja menonton kejadian itu, Sesekali sebuah mobil melaju, kemudian pelanpelan memutar untuk melihat apa yang terjadi. Orangorang yang penasaran. Tak
lama lagi pasti akan semakin banyak orang berkumpul di tempat ini.
LaManche memberi tanda hendak belok dan kemudian masuk ke halaman. Seorang
polisi menghentikan kami. Dia memakai jaket hijau zaitun dengan kerah bulu
binatang berwarna hitam, penutup mulut berwarna gelap, topi hijau zaitun, dan
penghangat telinga. Telinga serta hidungnya berwarna merah cerah dan saat dia
berbicara, kepulan asap terbentuk di depan mulutnya. Aku ingin mengatakan agar
dia menutup telinganya, namun segera merasa seperti ibuku yang cerewet, dan
tidak jadi mengatakannya. Dia sudah besar. Jika daun telinganya membeku, dia
harus menghadapinya sendiri.
LaManche menunjukkan tanda pengenal dan polisi itu mengizinkan kami lewat,
memberi tanda agar kami memarkir mobil di belakang sebuah truk peneliti TKP
(Tempat Kejadian Perkara) berwarna biru. SECTION D'IDENTITE 3UD1C1A1RE tertulis
dalam huruf hitam yang tebal. Unit Peneliti TKP sudah berada di situ. Aku
menduga pihak penyelidik pembakaran yang disengaja juga sudah tiba.
Aku dan LaManche memegang erat topi dan sarung tangan saat keluar dari mobil.
Langit kini berwarna biru, matahari terlihat berkilauan menerpa salju yang turun
malam sebelumnya. Udara terasa sangat dingin sehingga tubuhku terasa mengkristal
dan membuat semuanya terlihat jelas dan tajam. Mobil, bangunan, pepohonan, dan
tongkat peralatan membentuk bayangan hitam di tanah yang bersalju, terlihat
jelas, seperti gambar di fi Im dengan tingkat kekontrasan yang tinggi.
Kuamati keadaan ke sekelilingku. Puingpuing rumah yang berwarna hitam, serta
garasi yang masih berdiri dan semacam bangunan kecil di ujung jalan masuk,
semuanya dibangun dengan gaya Alpine murahan. Tapak untuk berjalan kaki
membentuk segitiga di atas salju, menghubungkan ketiga bangunan tersebut,
Beberapa pokok pohon pinus mengelilingi apa yang tersisa dari rumah itu,
batangnya digelayuti salju sehingga ujungnya menjuntai ke bawah. Kuamati seekor
tupai hinggap di salah satu dahan, kemudian lari mencari perlindungan ke batang
pohon. Di bekas jejaknya tampak gundukan salju berundak-undak ke bawah,
membentuk lubang-lubang di salju yang putih.
Rumah itu beratap tinggi berwarna merah-jingga, sebagian masih berdiri, tetapi
sekarang warnanya sudah menghitam dan ditutupi es. Bagian dari permukaan dinding
luar yang tidak terbakar ditutupi papan berwarna krem. Jendela-jendelanya tampak
kosong dan gelap, semua kaca pecah berantakan, kusen berwarna biru kehijauan sudah terbakar atau
menghitam. Bagian kiri rumah itu terbakar hangus dan bagian belakangnya benarbenar hancur.
Di kejauhan kulihat kayu yang menghitam, tempat bertemunya atap dan dinding
rumah. Kepulan asap masih terlihat dari bagian belakang rumah.
Kerusakan di bagian depan tidak begitu parah. Beranda dari kayu terbentang
sepanjang rumah, dan balkon-balkon kecil menjulur dari jendela lantai atas.
Beranda dan balkon tersebut terbuat dari kayu berwarna merah muda, bagian
atasnya berbentuk bundar dengan hiasan berbentuk hati.
Kulihat ke belakangku, ke jalan di depan rumah. Di seberang terlihat sebuah vila
kecil yang mirip dengan rumah ini, hanya warnanya merah dan biru. Seorang lelaki
dan wanita berdiri di depannya, dengan lengan dilipat di dada, tangan yang
dibalut sarung tangan dikepit di ketiak. Mereka menonton tanpa berkata apa-apa,


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memicingkan mata di bawah tatapan matahari pagi, wajah mereka muram di bawah
topi berburu warna Jingga. Merekalah tetangga yang melaporkan kebakaran itu.
Mataku menyapu jalanan. Tidak ada rumah lain dalam jarak pandangku. Orang yang
katanya mendengar suara ledakan pastilah memiliki telinga yang peka.
Aku dan LaManche berjalan mendekati puingpuing rumah. Kami melewati belasan
petugas pemadam kebakaran, tampak warna-warni dalam seragam kuningnya, topi
merah yang kokoh, sabuk peralatan biru, dan sepatu lars karet berwarna hitam.
Beberapa memakai tabung oksigen yang digantungkan di punggung. Kebanyakan dari
mereka terlihat sedang mengumpulkan peralatan.
Kami mendekati seorang polisi berseragam yang berdiri di dekat beranda. Seperti
polisi yang menjaga jalan masuk tadi, dia adalah Surete du Quebec, mungkin dari
pos di St-Jovite atau kota di dekat sini. SQ atau Quebec Provincial Police,
memiliki juridiksi di semua tempat di luar Montreal, kecuali di kotakota yang
memiliki pasukan polisinya sendiri. St-Jovite pastinya terlalu kecil untuk
memiliki kantor polisi sendiri, sehingga SQ telah diminta datang, mungkin oleh
kepala pemadam kebakaran, mungkin oleh salah seorang tetangga. Mereka lalu
memanggil petugas penyelidik kebakaran dari lab kami. Bagian d'Incendie et
Explosif. Aku bertanya dalam hati siapa yang memutuskan untuk memanggil koroner.
Berapa banyak korban yang akan kami temukan" Dalam kondisi seperti apa" Pasti
kondisi yang tidak mudah, pikirku. Detak jantungku semakin kencang.
Kembali LaManche mengacungkan lencananya dan orang itu memeriksanya.
"Un instant, Docteur, s'ii vous piait," ujarnya sambil mengangkat tangannya yang
memakai sarung tangan. Dia memanggil salah seorang petugas pemadam, mengatakan
sesuatu, lalu menunjuk kepalanya. Segera kami diberi topi helm dan masker. Kami
memakai topinya dan menggantungkan masker di tangan.
"Attention!" seru sang polisi, lalu menelengkan kepalanya ke arah rumah.
Kemudian, dia melangkah ke samping untuk memberi jalan. Oh ya, aku pasti akan
berhatihati. Pintu depan terbuka lebar. Saat melangkah masuk ke dalam rumah dan meninggalkan
cahaya matahari, suhu langsung turun sekitar dua puluh derajat. Udara di dalam
terasa lembap dan beraroma kayu hangus, plaster dan
kain yang lembap. Bercak hitam menghiasi seluruh permukaan.
Di depan kami tampak sebuah tangga menuju lantai kedua, di bagian kiri dan kanan
kami tampak puingpuing yang dulunya pasti ruang duduk dan ruang makan. Yang
tersisa dari dapur berada di bagian belakang rumah.
Aku telah beberapa kali mengunjungi lokasi kebakaran lain, tetapi tidak ada yang
luluh lantak seperti rumah ini. Papan yang terbakar hangus berserakan di
manamana seperti puingpuing yang di hentak kan ombak ganas. Semua papan dan kayu
itu bertebaran di atas kerangka kursi dan sofa, di tangga, serta bersandar ke
dinding dan pintu. Sisasisa perabotan rumah yang sudah menjadi arang bertumpuk
menjadi satu. Kabel bergelantungan dari dinding dan langitlangit, dan pipa
ledeng terpelintir ke dalam di tempat pipa itu semula melekat. Kerangka jendela,
pegangan tangga, papan, semuanya menunjukkan pinggiran bergerigis seperti renda
hitam. Rumah itu dipenuhi orang yang memakai topi helm, bercakap-cakap, mengukur,
memotret, dan merekam dalam video, mengumpulkan bukti, dan mencatat di buku
catatan. Aku mengenali dua orang penyelidik kebakaran dari lab kami. Keduanya
memegang ujung-ujung pita pengukur dan salah seorang jongkok di satu titik,
sementara yang lain berjalan mengelilinginya, mencatat data setiap beberapa
langkah. LaManche mengenali salah seorang staf koroner, dan berjalan mendekatinya. Aku
mengikutinya, berjalan di antara serpihan logam yang terpelintir, pecahan kaca,
dan sesuatu yang mirip kantong tidur merah yang sudah rusak, dengan bagian
dalamnya hangus terbakar.
Koroner itu bertubuh tambun dan terlihat kepanasan.
Dia langsung menegakkan tubuhnya begitu melihat kami, mengembuskan napas ke
udara, menjilat bibir bawahnya, dan menunjuk dengan tangannya ke kerusakan di
sekeliling kami. "Jadi, Monsieur Hubert, ada dua orang korban tewas?"
LaManche dan Hubert terlihat sangat berbeda, seperti bayangan yang kontras di
roda berwarna. Sang ahli patologi bertubuh tinggi dan langsing dengan wajah yang
panjang. Koroner itu bertubuh bulat. Hubert mengingatkanku akan garis horizontal
dan LaManche garis vertikal.
Hubert mengangguk, dan tiga lapisan dagu beriak di atas kerah kemejanya. "Di
atas." "Yang lainnya?"
"Belum ada, tapi kami belum selesai memeriksa lantai bawah. Apinya lebih dahsyat
di bagian belakang rumah. Kami menduga berasal dari dapur. Daerah itu terbakar
habis dan lantainya jatuh ke ruang bawah tanah."
"Kamu sudah lihat mayatnya?"
"Belum. Aku masih menunggu izin untuk naik ke atas. Kepala pemadam ingin
memastikan bahwa semuanya cukup aman."
Aku bisa memaklumi kewaspadaan sang kepala.
Kami berdiri tanpa berkata apa-apa, mengamati puingpu-ing di sekitar kami. Waktu
berlalu. Kugerakgerakkan jari tangan dan jari kakiku, mencoba untukmembuatnya
tetap lentur. Akhirnya tiga orang pemadam kebakaran menuruni tangga. Mereka
memakai topi helm dan masker berkacamata, dan terlihat seakanakan baru saja
memeriksa keberadaan senjata kimia.
"Sudah aman," ujar petugas yang terakhir, sambil membuka dan melepaskan
maskernya. "Kalian bisa naik ke atas. Hanya saja hatihati saat melangkah dan
tetap pakai topinya. Langit-langitnya bias runtuh setiap saat. Tapi, lantainya
cukup aman." Dia terus melangkah ke arah pintu, kemudian berbalik. "Korban ada
di kamar di sebelah kiri."
Hubert, LaManche, dan aku berjalan menaiki tangga, pecahan kaca dan arang
bergemerisik di bawah injakan kaki kami. Perutku sudah menegang dan perasaan
hampa mulai terbentuk di dalam dadaku. Walaupun ini memang tugasku, aku tidak
pernah terbiasa dengan pemandangan kematian yang mengerikan.
Di lantai atas, sebuah pintu terbuka di sebelah kiri kami, satu lagi di sebelah
kanan, dan tampak sebuah kamar mandi di depan. Walaupun sudah rusak akibat asap,
bila dibandingkan dengan di bawah, segala sesuatunya di lantai ini tidak terlalu
luluh lantak. Melalui pintu sebelah kiri bisa kulihat sebuah kursi, rak buku, dan ujung tempat
tidur kembar. Di atasnya terlihat sepasang kaki. Aku dan LaManche memasuki
ruangan di sebelah kiri, Hubert melanjutkan pemeriksaan ke ruangan di sebelah
kanan. Dinding belakang terbakar sebagian, dan di beberapa tempat tampak kayu-kayu
kecil berukuran 5 x 10 cm mencuat di balik kertas-dinding bercorak bunga. Tiangtiangnya sudah hangus, permukaannya kasar dan retak-retak, seperti sisik buaya.
"Bersisik", begitu yang mungkin ditulis salah seorang penyelidik kebakaran.
Puingpuing yang sudah hangus dan membeku berserakan di kaki dan jelaga menutupi
semuanya. LaManche melihat ke sekelilingnya dengan saksama, kemudian meraih sebuah
Dictaphone kecil dari dalam sakunya. Dia merekam tanggal, waktu, dan lokasi, dan
mulai menggambarkan kondisi para korban.
Tubuh para korban tergeletak di atas tempat tidur kembar yang membentuk L di
ujung sudut ruangan, dipe-rantarai sebuah meja kecil. Anehnya, kedua orang ini
sepertinya memakai pakaian lengkap, walaupun asap dan arang telah menghilangkan
tandatanda gaya pakaian yang dikenakan dan jenis kelamin masing-masing. Korban
di dekat dinding belakang memakai sepatu olahraga, yang lainnya mengenakan
stoking. Kuamati salah satu kaus kaki olahraga terlepas sebagian, menampakkan
pergelangan kaki yang sudah hitam. Ujung kaus kaki itu terkulai menutupi jari
kakinya. Kedua korban adalah orang dewasa. Salah satunya terlihat lebih tegap
dari lainnya. "Korban nomor satu ..." LaManche melanjutkan.
Kupaksa diriku untuk melihat dengan lebih teliti lagi. Korban nomor satu
mengangkat lengannya tinggi-tinggi, dikepalkan, seakan hendak melawan. Pose
pugilistic (seperti akan bertinju). Api tidak berkobar cukup lama atau cukup
panas sehingga tidak sampai membakar seluruh daging, tapi api yang menjalar di
dinding belakang memancarkan panas yang cukup hebat sehingga berhasil membakar
tubuh bagian atas dan menyebabkan otot mengerut. Lengan di bawah siku tampak
kurus. Kepingan daging menggantung di sepanjang tulang. Tangan itu kini hanya
tinggal bonggol tulang berwarna hitam.
Wajahnya mengingatkanku pada mumi Ramses. Bibirnya terbakar habis, menampakkan
gigi berwarna gelap dan e-mail yang sudah mengelupas. Salah satu gigi seri
memiliki guratan tepi yang rapi dari emas. Hidungnya terbakar dan remuk, lubang
hidung mengarah ke atas seperti moncong kelelawar. Bisa kulihat serat otot
mengelilingi tulang pipi dan jakunnya, seperti sebuah gambar dari buku anatomi.
Setiap lubang mata berisi bola mata
yang sudah kering dan mengerut. Rambutnya telah hilang, begitu juga dengan kulit
kepala bagian atas. Korban nomor dua, walaupun juga sudah tewas, berada dalam kondisi yang lebih
baik. Beberapa bagian kulit tampak gelap dan mengelupas, tetapi di kebanyakan
tempat hanya kotor oleh asap. Garis-garis putih kecil menyebar dari ujung
matanya, dan bagian dalam telinga serta bagian bawah cuping tampak pucat.
Rambutnya yang tersisa hanya di puncak kepalanya. Salah satu lengan terkulai,
sementara yang lainnya merentang lebar, seakan hendak meraih rekannya yang
samasama menjadi korban. Tangan yang dijulurkan itu sekarang telah menjadi cakar
hitam bertulang. Nada suara LaManche yang monoton kelam terus terdengar, menggambarkan ruangan
dan penghuninya yang sudah tak bernyawa itu, Aku setengah mendengarkan, lega
karena ternyata tidak dibutuhkan. Atau apakah aku akan dibutuhkan" Katanya ada
anakanak di rumah ini. Di manakah mereka" Melalui jendela yang terbuka bisa
kulihat cahaya matahari, kumpulan pohon pinus, dan salju putih yang berkilat. Di
luar, kehidupan terus berlanjut.
Kesunyian membuyarkan pikiranku. LaManche telah berhenti merekam dan mengganti
sarung tangan wol dengan sarung tangan karet. Dia mulai memeriksa korban kedua,
mengangkat kelopak mata korban dan mengamati bagian dalam hidung dan mulut.
Kemudian, dia menggulingkan tubuh korban menghadap ke dinding, lalu mengangkat
ujung bawah kemejanya. Bagian luar kulit telah terkelupas dan bagian pinggirnya tergulung ke dalam.
Epidermis yang mengelupas itu terlihat tembus pandang seperti bagian dalam
telur. Di bawahnya, terlihat daging berwarna merah terang, dan
bercak putih di bagian yang bersentuhan dengan seprei yang kusut. LaManche
menekankan jarinya yang terbungkus sarung tangan ke otot punggung dan bercak
putih muncul pada daging merah ungu itu.
Hubert bergabung kembali bersama kami saat LaManche mengembalikan korban ke
posisinya yang terlentang. Kami berdua menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Kosong." Aku dan LaManche tidak mengubah ekspresi kami.
"Ada dua buaian di sana. Pastinya kamar anakanak. Tetangga mengatakan ada dua
orang bayi." Dia bernapas dengan terengah-engah. "Anak lakilaki kembar. Mereka
tidak ada di dalam sana."
Hubert mengeluarkan sapu tangannya dan menyeka wajahnya yang basah. Keringat dan
udara dingin bukanlah kombinasi yang baik. "Ada apa di sini?"
"Tentu saja kedua mayat ini akan membutuhkan autopsi lengkap," ujar LaManche
dalam nada suara bassnya yang melankolis. "Tapi, berdasarkan pemeriksaan awalku,
sepertinya kedua orang ini masih hidup saat api berkobar. Paling tidak yang satu
ini masih hidup." Dia menunjuk korban nomor dua.
"Aku masih butuh waktu sekitar tiga puluh menit, lalu kalian boleh memindahkan
mereka." Hubert mengangguk dan pergi untuk member tahu anggota timnya yang mengurus
transportasi. LaManche membuat tanda salib di atas korban pertama, kemudian kembali ke korban
nomor dua. Aku mengamatinya tanpa berkata apa-apa, mengembuskan kehangatan ke
balik sarung tanganku. Akhirnya, dia selesai. Aku tidak usah mengajukan
pertanyaan apa pun. "Asap," ujarnya. "Di sekeliling lubang hidung, di dalam
hidung dan jalan udara." Dia menatapku.
"Mereka masih bernapas saat api berkobar." "Ya. Ada hal lainnya?"
"Perubahan warna kulitnya. Warna merah terang. Menunjukkan kandungan karbon
monoksida di dalam darah."
"Dan ...?" "Pemutihan total saat kita menekan otot. Livor (pengendapan darah setelah
seseorang mati) belum sempurna. Pemutihan total terjadi beberapa jam setelah
perubahan warna yang pertama terjadi."
"Ya." Dia menatap jam tangannya. "Sekarang pukul delapan lewat. Korban ini
diperkirakan masih hidup pada pukul tiga atau empat subuh." Dia melepaskan
sarung tangan karetnya. "Diperkirakan, tapi pemadam kebakaran tiba pukul
setengah tiga, sehingga dia pasti sudah tewas sebelum jam setengah tiga. Livor
memang sangat beragam. Apa lagi?"
Pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban. Kami mendengar keributan di bawah,
lalu terdengar derap langkah kaki menaiki tangga. Seorang pemadam kebakaran
muncul di gerbang pintu, pipi merona dan napas tersengal.
"Estidecofistabernacf"
Kubuka kamus dialek quebec milikku. Tidak ada kata itu. Aku menatap LaManche.
Tetapi, sebelum dia sempat menerjemahkan, lelaki itu sudah melanjutkan.
"Ada yang bernama Brennan di sini?" tanyanya kepada LaManche.
Perasaan hampa menusuk ke dalam kalbu.
"Kami menemukan sesosok tubuh di ruang bawah tanah. Mereka mengatakan kita akan
memerlukan orang bernama Brennan ini."
"Aku Tempe Brennan."
Dia menatapku beberapa saat lamanya, helm dikepit di tangannya, kepala
ditelengkan ke samping. Lalu dia menyeka hidungnya dengan bagian belakang
tangannya, dan menoleh kembali kepada LaManche.
"Kalian bisa ke bawah segera setelah Pak Kepala memberi izin. Dan lebih baik
bawa sendok. Tidak banyak yang tersisa dari korban yang satu ini."[]
Petugas pemadam kebakaran sukarela itu memimpin kami menuruni tangga, lalu
menuju bagian belakang rumah. Di sini, hampir seluruh atap telah hilang dan
cahaya matahari membasuh dinding bagian dalam yang kelabu. Partikel jelaga dan
debu menarinari di udara musim dingin.
Kami berhenti di pintu dapur. Di sebelah kiri tampak puingpuing meja, bak cuci
piring, dan beberapa peralatan besar lainnya. Mesin pencuci piring terbuka,
bagian dalamnya tampak hitam dan meleleh. Papan hangus berserakan di manamana,
seperti beberapa tongkat kayu besar yang kulihat di kamar depan.
"Tetap merapat ke dinding," ujar petugas, sambil memberi tanda dengan tangannya
saat dia menghilang di balik pintu.
Dia muncul kembali beberapa detik kemudian, berusaha menyusuri bagian barat
ruangan itu. Di belakangnya, bagian atas meja dapur menggulung ke atas seperti
gula-gula raksasa. Di dalamnya tampak pecahan botol wine dan gumpalan benda
berbagai ukuran yang tidak bisa dikenali lagi.
Aku dan LaManche mengikutinya, merapat ke dinding depan, kemudian mengelilingi
sudut ruangan dan menyusuri meja. Sedapat mungkin kami menjauh dari bagian
tengah ruangan, memilih jalan di antara puingpuing, wadah logam yang terbakar,
dan tangki gas yang sudah
hangus. Aku melangkah ke samping si petugas, dengan punggung menempel ke meja, dan
memerhatikan kerusakan yang terjadi, Dapur dan ruangan di sebelahnya benarbenar
hangus. Langit-langitnya sudah tidak ada, dinding yang memisahkan kedua ruangan
tinggal berupa kepingan kayu gosong. Yang dulunya lantai sekarang hanya tinggal
lubang hitam besar yang menganga, Sebuah tangga muncul dari dalamnya di dekat
kami. Melalui lubang itu aku bisa melihat beberapa orang yang memakai topi helm
mengangkat puingpuing dengan melemparkannya atau mem bawanya keluar dari
pandangan kami. "Ada mayat di bawah sini," ujar penuntunku, sambil menganggukkan kepalanya ke
arah lubang itu. "Kami menemukannya saat mulai membersihkan puingpuing lantai yang runtuh."
"Hanya satu, atau masih ada lagi?" tanyaku.
"Wah, entahlah, Yang satu ini juga nyaris tidak berbentuk manusia."
"Dewasa atau anakanak?"
Dia menatapku seakanakan hendak mengajukan pertanyaan, "Bu, kamu ini bodoh atau
bagaimana?" "Kapan aku bisa turun ke situ?"
Matanya menatap LaManche, lalu menoleh kepadaku lagi. "Itu terserah Pak Kepala.
Mereka masih membersihkan daerah itu dulu. Kami tidak mau ada apa-apa yang bisa
menyakiti kepala Ibu yang cantik itu."
Dia memberiku senyuman yang pasti dianggapnya memesona. Dia mungkin sudah
melatihnya berulang kali di depan cermin.
Kami terus mengawasi para petugas pemadam kebakaran mengangkat potongan kayu dan
membersihkan

Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puingpuing. Dari dalam lubang itu aku bisa mendengar suara senda gurau dan suara
barangbarang dicabut dan diseret.
"Apa mereka sadar bahwa mereka bisa menghancurkan barang bukti?" tanyaku.
Petugas itu memandangku seakan aku mengatakan bahwa rumah itu baru dihantam oleh
komet. "Hanya papan bekas lantai dan kotoran yang jatuh dari tingkat ini."
'"Kotoran1 itu bisa membantu memberikan gambaran tentang apa yang terjadi,"
ujarku, suaraku terdengar sama dinginnya dengan es yang membeku di meja di
belakang kami. "Atau posisi mayat."
Wajahnya langsung mengeras.
"Di bawah sana mungkin masih ada tempat yang membara, Bu. Ibu tidak mau bara api
membakar wajah Ibu "kan?"
Aku terpaksa mengakui bahwa aku tidak menginginkan hal itu.
"Dan kurasa mayat di dalam sana tidak akan peduli."
Di dalam topi helm yang kupakai, aku merasakan denyutan di batok kepalaku yang
cantik itu. "Bila korban terbakar parah seperti yang kausebutkan tadi, teman-temanmu bisa
saja secara tidak sengaja menghilangkan beberapa bagian organ tubuh yang
tersisa." Rahangnya mengeras saat dia menatap ke belakangku mencari dukungan. LaManche
tidak berkata apa-apa, "Lagi pula, Pak Kepala mungkin tidak akan memperbolehkan kalian masuk ke bawah
sana," ujarnya. "Aku harus masuk ke sana sekarang juga untuk meneliti apa yang tersisa di bawah
sana. Khususnya gigi geligi,"
Kubayangkan bayi kembar itu, Aku berharap bisa menemukan gigi. Banyak gigi.
Semuanya dewasa. "Kalau masih ada yang tersisa."
Petugas itu memandangku dari atas kepala sampai ke kakiku, mengukur tubuhku
dengan tinggi seratus enam puluh tiga cm, enam puluh kilo. Walaupun pakaian
hangat menyembunyikan ukuran tubuhku yang sebenarnya dan topi helm itu menelan
rambut panjangku, dia merasa cukup untuk menilai bahwa aku seharusnya tidak
berada di tempat ini. "Dia tidak bersungguhsungguh ingin turun ke bawah sana 'kan?" Dia menatap
LaManche untuk mencari dukungan.
"Dr. Brennan akan melakukan penyelidikannya." "Estidecolistabernac!"
Kali ini aku tidak membutuhkan terjemahan. Petugas Macho ini berpendapat bahwa
tugas itu harus dilakukan seorang lelaki.
"Tempat panas bukan masalah bagiku," ujarku, menatap matanya lekat-lekat,
"Bahkan, aku biasanya lebih suka bekerja di tengah api. Jadi lebih hangat."
Dia langsung mencengkeram pegangan tangga, berayun ke tangga dan meluncur turun,
tidak pernah menyentuh anak tangga dengan kakinya.
Hebat. Dia pintar bergaya rupanya. Aku bias membayangkan apa yang dia jabarkan
kepada atasannya. "Mereka ini sukarelawan," ujar LaManche, tersenyum simpul. Dia mirip Mr. Ed yang
memakai helm. "Aku harus menyelesaikan pengamatanku di atas, tapi akan segera
bergabung denganmu."
Aku mengamatinya menyusuri jalur tadi menuju pintu, tubuhnya yang besar
membungkuk dengan penuh konsentrasi. Beberapa detik kemudian, Pak Kepala muncul
dari ujung tangga. Ternyata dia orang yang menunjukkan tempat mayat di lantai
atas. "Anda Dr. Brennan?" tanyanya dalam bahasa Inggris.
Aku mengangguk sekali, siap-siap untuk berdebat. "Luc Grenier. Aku mengepalai
sukarelawan dari St-Jovite," Dia membuka tali helm dari dagunya dan
membiarkannya menggantung. Dia lebih tua dari rekannya yang suka meremehkan
wanita tadi. "Kami membutuhkan waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit lagi untuk
mengamankan lantai bawah. Ini daerah terakhir yang kami bersihkan, jadi masih
banyak tempat yang membara di bawah sana. "Tali helmnya berayun-ayun saat dia
bicara. "Kebakaran ini parah sekali dan kami tidak ingin ada kecelakaan lebih
lanjut." Dia menunjuk ke belakangku. "Coba lihat bagaimana pipa itu sampai
berubah bentuknya." Aku menoleh, "Itu pipa tembaga. Untuk bisa melelehkan tembaga, diperlukan api sepanas seribu
seratus derajat Celcius." Dia menggelengkan kepalanya dan tali itu mengayun
kembali. "Ini benarbenar kebakaran yang dahsyat,"
"Anda tahu apa yang menyebabkannya?" tanyaku.
Dia menunjuk sebuah tangki gas di dekat kakiku. "Sejauh ini kami menghitung ada
dua belas tangki semacam ini. Entah ada orang yang memang sengaja meledakkan
semua tabung gas ini atau dia telah berbuat salah ketika memasak daging panggang
untuk keluarganya." Wajahnya sedikit memerah. "Maaf."
"Kebakaran yang disengaja?"
Grenier mengangkat bahu dan alis matanya. "Aku tidak berhak menentukannya." Dia
mengaitkan kembali tali helmnya dan meraih ujung tangga. "Kami hanya bertugas membersihkan puing-puingnya untuk memastikan bahwa api sudah padam seluruhnya. Dapur ini
dipenuhi barang tidak keruan. Barangbarang itulah yang memudahkan api berkobar.
Kami akan lebih berhatihati saat membersihkan daerah di sekitar korban. Aku akan
membunyikan peluit saat semuanya sudah aman."
"Jangan menyemprotkan air ke sisasisa mayat itu," ujarku.
Dia menabik kepadaku dan hilang meluncur menuruni tangga.
Baru setengah jam kemudian aku diperbolehkan turun ke ruang bawah tanah. Saat
menunggu, aku kembali ke truk lab untuk mengambil peralatanku dan meminta
bantuan seorang fotografer. Kuhubungi Pierre Gilbert dan memintanya menyiapkan
ayakan dan lampu sorot di bawah.
Ruang bawah tanah itu berupa sebuah ruangan terbuka yang luas, gelap, lembap,
dan lebih dingin dari Yellowknife (kota di Kanada) di bulan Januari (sangat
dingin). Di seberang ruangan tampak sebuah tungku pemanas, dengan pipa menjulur
ke atas, hitam dan ber-kenjal-kenjal, seperti batang pohon ek raksasa yang sudah
meranggas. Tempat ini mengingatkanku pada sebuah ruangan bawah tanah yang
kukunjungi beberapa waktu lalu. Di dalamnya bersembunyi seorang pembunuh
berantai. Dindingnya terbuat dari batu bata sinder. Kebanyakan puing berukuran besar sudah
dibersihkan dan ditumpuk di depan dinding, menampakkan lantai tanah. Di beberapa
tempat, api telah menyebabkan lantai itu berubah menjadi cokelat. Di tempat
lainnya tampak menghitam dan mengeras, seperti lantai keramik yang dibakar di
dalam oven. Semuanya ditutupi dengan lapisan es tipis.
Grenier membawaku ke sebuah lokasi di sisi kanan lantai yang runtuh. Katanya
tidak ditemukan korban lain. Mudah-mudahan saja dia benar. Membayangkan
keharusan mengayak seluruh ruang bawah tanah membuatku serasa hampir menangis.
Sambil mengucapkan selamat bekerja, dia meninggalkanku untuk bergabung dengan
anak buahnya. Cahaya yang menerobos dari dapur tidak mencapai lokasi ini sehingga aku
mengeluarkan lampu senter bercahaya terang dari tas peralatanku dan
menyorotkannya ke sekelilingku. Satu sapuan mata sudah berhasil meningkatkan
kadar adrenalinku. Ini bukanlah sesuatu yang kuharapkan. Sisasisa mayat koban
bertebaran di daerah yang panjangnya kira-kira tiga meter. Yang tersisa hanyalah
tulangbelulang yang menunjukkan berbagai tingkat pembakaran.
Di salah satu tumpukan bisa kulihat sebuah tengkorak yang dikelilingi serpihan
tulang yang ukuran dan bentuknya berbedabeda. Beberapa tampak hitam dan
berkilap, seperti tengkorak itu. Lainnya tampak putih seperti kapur dan
kelihatannya hampir remuk. Dan memang pasti akan remuk bila tidak ditangani
dengan hatihati. Tulang yang mengeras seperti itu sangat ringan dan rapuh. Ya.
Ini akan menjadi tugas penyelidikan yang sulit.
Sekitar satu setengah meter di selatan tengkorak itu tampak tulang yang
membentuk tulang belakang, rusuk, dan tulang panjang yang berada dalam posisi
anatomi yang kasar. Juga sudah putih dan mengeras. Kuamati arah tulang belakang
dan posisi tulang lengan. Mayat ini
berbaring terlentang, salah satu lengannya menyilang di atas dadanya, yang
lainnya terangkat ke atas kepalanya.
Di bawah lengan atas dan dadanya tampak sebuah gumpalan hitam berbentuk jantung
dengan dua potongan tulang yang cukup panjang mencuat dari ujungnya. Bagian
panggul. Selain itu, bisa kulihat beberapa potongan tulang kaki yang hangus.
Aku merasa agak lega, tapi juga agak bingung. Ini mayat korban yang sudah
dewasa. Atau, benarkah begitu" Tulang bayi berukuran kecil dan sangat rapuh.
Tulangbelulang bayi akan dengan mudah tersembunyi di bawahnya. Aku berdoa agar
tidak menemukan apa-apa ketika mengayak abu dan sedimen.
Kutulis catatan, mengambil foto Polaroid, lalu mulai menyapu tanah dan abu
dengan menggunakan kuas halus. Pelan-pelan, aku berhasil membersihkan potongan
tulang itu, dengan hatihati memeriksa puingpuing di atasnya, mengumpulkannya
untuk diayak lagi nanti. LaManche kembali saat aku sedang membersihkan tumpukan debu yang menempel pada
tulangbelulang itu. Dia mengamati tanpa berkata apa-apa saat aku mengambil empat
pancang kayu, segumpal tali, dan tiga pita pengukur dari dalam tasku.
Kutancapkan pancang itu di tanah, tepat di atas puingpuing tengkorak, dan
mengaitkan ujung dua pita pengukur ke paku di atas pancang itu. Kutarik pita
sekitar tiga meter ke arah selatan dan menancapkan pancang kedua.
LaManche memegang pita itu di pancang kedua, sementara aku kembali ke pancang
pertama dan menarik pita satunya dalam arah tegak lurus, sekitar tiga meter ke
sebelah timur. Dengan menggunakan pita ketiga, kuukur sebuah hipotenusa (garis
miring segitiga) sepanjang
kira-kira lima meter dari pancang LaManche ke ujung di sebelah timur laut.
Kutancapkan pancang ketiga di tempat bertemunya pita kedua dan ketiga. Berkat
Pitagoras, sekarang aku telah membentuk sebuah segitiga dengan dua sisi
berukuran tiga meter. Kulepaskan pita kedua dari pancang pertama dan mengaitkannya ke pancang di
sebelah timur laut, lalu menariknya sekitar tiga meter ke selatan. LaManche
menarik pitanya sekitar tiga meter ke timur. Di tempat kedua pita ini bertemu
kutancapkam pancang keempat.
Kulingkari keempat pancang itu dengan tali, sehingga mayat itu berada di dalam
bujur sangkar berukuran tiga kali tiga meter dengan sudut Sembilan puluh
derajat. Aku akan bergerak dengan arah segitiga dari pancang itu saat mengukur.
Bila diperlukan, aku bisa membaginya menjadi beberapa kuadran atau membaginya
menjadi beberapa kisi untuk pengamata yang lebih akurat.
Dua orang teknisi pengambilan barang bukti tiba saat aku meletakkan sebuah panah
di dekat tengkorak. Mereka memakai kemeja biru laut tua, SECTION D'IDENTITE
JUDICIAIRE tercetak di bagian punggung. Aku iri kepada mereka. Rasa dingin yang
lembap di ruang bawah tanah ini serasa menusuk seperti pisau, menembus pakaianku
dan menghujam kulitku. Aku sudah pernah bekerja sama dengan Claude Martineau. Teknisi yang satu lagi
belum kukenal. Kami saling memperkenalkan diri saat mereka menyiapkan ayakan dan
lampu jinjing. "Pasti dibutuhkan waktu cukup lama untuk menangani ini," ujarku sambil menunjuk
daerah bujur sangkar yang dibatasi keempat pancang itu. "Aku ingin menemukan
gigi yang mungkin tersisa, dan menstabilkannya bila diperlukan. Aku juga mungkin
harus mengamankan bagian selangkangan dan tulang rusuk kalau kita bisa
menemukannya. Siapa yang akan memotret?"
"Halloran sebentar lagi datang," ujar Sincennes, teknisi yang kedua.
"OK. Kata Pak Garnier tampaknya tidak ada mayat lain di sini, tapi tidak ada
salahnya kita menyelidiki seluruh ruang bawah tanah ini."
"Katanya ada anakanak yang tinggal di rumah ini," ujar Martineau, wajahnya
tampak kelam. Dia sendiri punya dua orang anak.
"Aku menganjurkan pencarian sepetak-sepetak."
Kutatap LaManche. Dia mengangguk menyetujui usulku.
"Siap," sahut Martineau. Dia dan rekannya menyalakan lampu di helmnya, kemudian
bergerak ke ujung ruang bawah tanah. Mereka berjalan maju dan mundur menyisir
ruangan dalam garis sejajar, mulamula dari utara ke selatan, kemudian zigzag
dari timur ke barat. Setelah selesai, setiap jengkal lantai sudah akan diperiksa
masing-masing dua kali. Aku mengambil beberapa foto Polaroid lagi, kemudian mulai membersihkan bujur
sangkar itu. Dengan menggunakan sekop kecil, tusuk gigi, dan pengki plastik,
kulonggarkan dan kulepaskan kotoran yang menempel di tulangbelulang. Setiap
tumpukan kotoran akan dilemparkan ke ayakan. Lalu, kupisahkan lumpur, sinder,
kain, paku, kayu, dan plaster dari potongan tulang. Selanjutnya, tulang itu
kuletakkan di atas kapas di dalam wadah plastik yang tertutup, mencatat dari
mana asalnya di buku catatanku. Tak lama kemudian, Halloran tiba dan mulai
melakukan perekaman video.
Sesekali aku melirik kepada LaManche. Dia mengamati tanpa berkata apa pun,
wajahnya tetap serius seperti biasanya. Selama mengenalnya, aku jarang
melihatnya mengekspresikan emosinya. LaManche sudah terlalu banyak makan asam
garam penelitian semacam ini selama bertahuntahun sehingga mungkin menunjukkan
emosi akan terlalu berat baginya. Setelah beberapa saat, dia berkata.
"Kalau tidak ada yang bisa kukerjakan di sini, Temperance, aku akan naik ke atas
lagi." "Oke," sahutku, memikirkan cahaya matahari yang hangat. "Aku masih akan cukup
lama di bawah sini."
Kulihat jam tanganku. Sebelas lewat sepuluh menit. Di belakang LaManche bisa
kulihat Sincennes dan Martineau, berdampingan, kepala menunduk, seperti pekerja
tambang yang mencari emas.
"Kalian memerlukan sesuatu?"
"Aku akan membutuhkan sebuah kantong mayat dengan kain putih bersih di dalamnya.
Pastikan mereka meletakkan papan tipis atau papan beroda di bawahnya. Setelah
mengeluarkan semua potongan tulang ini, aku tidak mau semuanya bercampur-baur
saat diangkut." "Oke." Aku kembali sibuk bekerja dengan sekop kecilku dan ayakan di sampingku. Tubuhku
sangat kedinginan sehingga aku mulai menggigil dan harus berhenti sesekali untuk
menghangatkan tanganku, Akhirnya tim dari kamar mayat tiba sambil membawa tandu
dan kantong mayat. Petugas pemadam kebakaran yang terakhir beranjak pergi. Ruang
bawah tanah itu sekarang hening,
Akhirnya, aku berhasil membersihkan seluruh tulangbelulang itu. Aku membuat
catatan dan menggambar posisi mayat, sementara Halloran kembali memotret.
"Tidak keberatan kalau aku istirahat minum kopi dulu?" tanyanya saat kami sudah
selesai. "Silakan. Nanti kalau diperlukan, aku akan memanggilmu. Aku akan memindahkan
tulangbelulang ini dulu."
Setelah dia pergi, aku mulai memindahkan tulangbelulang itu ke dalam kantong
mayat, mulai dari kaki sampai ke bagian kepala. Bagian panggul berada dalam
kondisi yang baik. Kuraih dan kuletakkan ke atas kain. Bagian selangkangan
terbenam dalam daging yang hangus. Bagian ini tidak perlu distabilkan.
Tulang lengan dan kaki kubiarkan terbungkus dalam sedimen. Sedimen ini akan
menjaga tulangtulang itu sehingga tidak terlepas-lepas sampai aku bisa
membersihkannya dan mengurutkannya di ruang autopsi. Kulakukan hal yang sama
dengan bagian dada, pelan-pelan mengangkat bagian-bagiannya dengan sekop datar.
Tidak ada bagian rusuk yang tersisa sehingga aku tidak usah khawatir merusak
bagian tersebut. Untuk saat ini kubiarkan tengkorak di tempatnya.
Sesudah memindahkan tulangbelulang itu, aku mulai mengayak dua puluh sentimeter
teratas dari sedimen itu, mulai dari pancang di sebelah barat daya dan bekerja
menuju timur laut. Aku sedang menuntaskan pemeriksaan sudut terakhir saat
melihatnya, kira-kira setengah meter di sebelah kiri tengkorak, pada kedalaman
lima sentimeter. Perutku langsung bergejolak. Yes/
Rahang. Dengan hatihati kubersihkan tanah dan abu sehingga tampak sebuah rahang
bawah sebelah kanan yang lengkap, potongan rahang bawah sebelah kiri, dan bagian
depannya. Di bagian itu kutemukan tujuh gigi,
Tulang bagian luar sudah retak-retak. Terlihat tipis
dan putih seperti bedak. Bagian dalam yang seperti spons tampak pucat dan rapuh,
seakan setiap helai fi lamen dirajut oleh laba-laba Liliput, kemudian dibiarkan
mengering di udara. Email di giginya sudah mulai mengelupas dan aku yakin
semuanya bisa hancur jika disentuh.
Kuambil sebotol cairan dari dalam tasku, mengocoknya, dan memeriksa untuk
memastikan tidak ada kristal yang mengendap di dalam botol itu. Kuraih beberapa
pipet sekali-pakai berukuran lima mililiter.
Sambil berlutut, kubuka botol itu, kubuka bungkus pipetnya dan kucelupkan pipet
ke dalam botol. Kupencet pentolannya agar pipet itu terisi cairan, kemudian
meneteskan cairan itu ke atas rahang. Setetes demi setetes kubasahi potongan
tulang itu, memastikan cairannya meresap dengan baik. Karena asyiknya, aku
sampai lupa waktu. "Sudut yang bagus." Bahasa Inggris.
Tanganku tersentak, mencipratkan Vinac ke bagian lengan jaketku. Punggungku
terasa kaku, lutut dan pergelangan kaki terkunci, sehingga tidak mungkin aku
bisa menurunkan bokongku. Pelan-pelan, aku duduk. Aku tidak perlu menoleh untuk


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui siapa orang itu.
"Terima kasih, Detektif Ryan."
Dia mengelilingi kotak pancang itu dan menatapku dari atas. Bahkan di remang
cahaya ruang bawah tanah, bisa kulihat matanya yang biru cemerlang. Dia memakai
jaket kasmir hitam dan syal wol berwarna merah.
"Sudah lama tidak bertemu," ujarnya.
"Ya. Sudah lama. Kapan tepatnya?"
"Di gedung pengadilan."
"Pengadilan Fortier." Saat itu kami berdua sedang menunggu giliran untuk
memberikan kesaksian. "Masih berkencan dengan Perry Mason?"
Aku tidak mengacuhkan pertanyaan itu. Musim gugur yang lalu aku berkencan dengan
seorang pengacara pembela yang kukenal sewaktu mengambil kursus Tai Chi.
"Bukankah itu berarti berhubungan dengan pihak musuh?"
Aku masih tidak menjawabnya. Rupanya kehidupan asmaraku menjadi topik
pembicaraan para petugas bagian pembunuhan.
"Apa kabarmu?" "Baik. Kamu?" "Lumayan. Kalau pun aku mengeluh, tidak ada yang mau mendengarkan."
"Pelihara saja binatang kesayangan."
"Boleh juga idenya. Apa isi tetes mata itu?" tanyanya sambil menunjukkan jarinya
yang terbungkus sarung tangan kulit ke arah tanganku.
"Vinac. Larutan resin polivinil asetat dan metanol. Rahang ini sudah hangus dan
aku mencoba merekatnya kembali."
"Dengan menggunakan cairan itu?"
"Kalau tulang ini kering, cairan itu akan meresap ke dalamnya dan merekatkan
bagian-bagian tulang."
"Kalau tulang itu tidak kering, bagaimana?"
"Vinac tidak akan bercampur dengan air, jadi hanya akan menempel di permukaannya
dan berubah warna menjadi putih. Tulang itu akan terlihat seakan baru disemprot
dengan lateks." "Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai mengering?"
Aku merasa seperti seorang cendekiawan hebat. "Cairan ini bisa mengering dengan
cepat karena alkoholnya menguap, biasanya dalam waktu tiga puluh sampai enam puluh menit.
Tapi, cuaca dingin seperti ini tidak akan mempercepat prosesnya."
Kuperiksa potongan rahang itu, meneteskan beberapa tetes cairan itu lagi, lalu
meletakkan pipet di atas tutup botol cairan. Ryan mendekat dan menjulurkan
tangannya. Aku meraihnya dan bangkit, melipat lengan di depan pinggang dan
meletakkan tangan di bawah ketiak. Aku tidak bisa merasakan jari-jemariku dan
pasti warna hidungku sudah berubah seperti warna syal Ryan. Dan juga ingusan.
"Di sini memang lebih dingin dari lemari es," ujarnya sambil mengamati isi ruang
bawah tanah. Dia meletakkan salah satu lengannya di belakang tubuhnya dengan
posisi yang aneh. "Sudah berapa lama kamu di bawah sini?"
Kulirik jam tanganku. Tidak heran kalau aku terserang hipotermia. Sudah pukul
satu seperempat. "Lebih dari empat jam."
"Ya ampun. Kamu pasti membutuhkan transfuse darah." Tiba-tiba sebuah pikiran
melintas di kepalaku. Ryan bekerja di departemen pembunuhan. "Jadi, kebakaran
ini disengaja?" "Mungkin."
Dia menarik sebuah kantong putih dari balik punggungnya, mengeluarkan sebuah
gelas Styrofoam dan roti lapis, kemudian melambai-lambaikannya di hadapanku.
Aku meloncat mendekatinya. Dia melangkah mundur.
"Harus kau bayar."
"Sudah pasti." Daging yang lembap dan kopi hangat. Sungguh lezat. Kami berbincang-bincang
sambil aku makan. "Cerita dong, kenapa kamu mengira ini kebakaran yang
disengaja?" tanyaku sambil mengunyah.
"Cerita dong, apa yang kaudapatkan di bawah sini?" OK. Dia telah memberiku roti
lapis. "Satu orang korban. Mungkin masih muda, tetapi bukan anak kecil."
"Tidak ada bayi?"
"Tidak ada bayi. Sekarang giliranmu."
"Sepertinya ada orang yang menggunakan tipuan usang. Api menyala di bagianbagian di antara papan lantai. Maksudku saat papan lantai itu belum runtuh. Itu
berarti ada cairan yang mempercepat tersulutnya api, mungkin bensin. Kami
menemukan lusinan kaleng bensin yang sudah kosong."
"Hanya itu saja?" tanyaku sambil menghabiskan roti lapis.
"Api itu berasal dari beberapa sumber. Begitu mulai berkobar, api menyebar
dengan cepat karena menyulut kumpulan tangki gas yang jumlahnya sangat banyak di
dalam rumah. Terdengar ledakan setiap kali ada tangki yang meledak. Begitu
tangki lainnya tersulut, terjadi ledakan berikutnya."
"Berapa banyak?"
"Empat belas." "Semuanya dimulai di dapur?"
"Dan ruangan sebelahnya. Entah ruangan apa.
Sekarang sudah sulit diketahui."
Aku memikirkannya kembali.
"Itu menjelaskan kepala dan rahang,"
"Ada apa dengan kepala dan rahang?"
"Kedua bagian itu berada sekitar dua meter dari bagian tubuh yang lainnya. Kalau
sebuah tangki gas jatuh bersama korban dan kemudian meledak, maka hal itu akan
menyebabkan kepalanya terlontar setelah tubuhnya terbakar. Begitu pula dengan
rahangnya." Kuhabiskan kopi, berharap masih ada sepotong roti lapis lagi.
"Apa mungkin tangki-tangki itu meledak sendiri?" "Semuanya mungkin saja."
Kubersihkan remah-remah dari jaketku dan teringat pada donat LaManche. Ryan
meraih ke dalam tasnya dan memberiku sehelai serbet.
"OK. Api itu berasal dari beberapa tempat dan ada bukti cairan yang menyulutnya.
Jadi, kebakaran yang disengaja. Pertanyaan berikutnya, kenapa?"
"Entahlah." Dia menunjuk ke kantong mayat.
"Siapa itu?" "Entahlah." Ryan melangkah menuju lantai atas dan aku kembali mengumpulkan tulangbelulang
itu. Rahangnya belum begitu kering, sehingga aku kembali mengalihkan perhatian
ke tengkoraknya. Otak mengandung banyak air. Saat terkena api, air akan mendidih dan memuai,
menimbulkan tekanan hidros-tatik di dalam kepala. Jika panasnya cukup, tengkorak
bisa retak, bahkan meledak, Orang ini dalam kondisi yang cukup baik, Walaupun
wajahnya sudah tidak ada dan tulang bagian luar sudah hangus dan rapuh, bagian
tengkorak yang terbesar masih utuh. Aku cukup heran mengingat dahsyatnya
kebakaran ini. Saat membersihkan lumpur dan abu, kemudian menatapnya lekat-lekat, aku mengerti.
Untuk sejenak aku hanya bisa termenung. Kubalikkan tengkorak itu dan kuperiksa
tulang bagian depan. Ya Tuhan. Aku menaiki tangga dan melongokkan kepala ke dapur. Ryan berdiri di dekat meja
sambil berbicara dengan si fotografer.
"Sebaiknya kalian ke bawah dulu," ujarku.
Mereka berdua mengangkat alis dan menunjuk ke dada masing-masing.
"Ya, kalian berdua."
Ryan meletakkan gelas Styrofoam yang sedang dipegangnya. "Ada apa?"
"Yang satu ini mungkin sudah mati sebelum kebakaran itu terjadi."[]
i?Hari sudah menjelang malam saat tulang terakhir selesai dikemas dan siap untuk
diangkut. Ryan mengamati saat aku dengan berhatihati mengeluarkan dan membungkus
potongan tengkorak, lalu meletakkannya di dalam wadah plastik. Aku akan
menganalisis sisasisa mayat itu di laboratorium. Penyelidikan selanjutnya adalah
tugas Ryan. Senja mulai turun saat aku keluar dari ruang bawah tanah. Menyatakan
bahwa aku kedinginan sama saja seperti mengatakan Lady Godiva berpakaian kurang
pantas. Selama dua hari berturut-turut aku mengakhiri sore hari tanpa bisa
merasakan jari-jemariku. Semoga saja tidak perlu sampai diamputasi.
LaManche sudah pergi, jadi aku menumpang Ryan ke Montreal bersama rekannya, Jean
Bertrand. Aku duduk di kursi belakang, menggigil dan meminta agar alat pemanas
dinaikkan suhunya. Mereka duduk di depan, berkeringat, sesekali melepaskan satu
per satu atribut yang dipakai di bagian luar baju mereka.
Percakapan mereka masuk dan keluar telingaku. Aku benarbenar lelah dan hanya
ingin mandi air panas, lalu menyusup masuk ke dalam baju tidurku yang terbuat
dari fl anel. Selama sebulan. Pikiranku melayang. Aku membayangkan beruang.
Gagasan yang bagus. Meringkuk dan tidur sampai musim semi tiba.
Bermacam bayangan melayang-layang di dalam benakku. Korban di ruang bawah tanah.
Kaus kaki tergantung di ujung jari kaki yang kaku. Sebuah pelat nama di peti
mati kecil. Stiker gambar wajah yang tersenyum.
"Brenann." "Apa?" "Selamat pagi, Nona Manis. Ada pesan dari bumi, 'Halo, halo.'" "Apa?"
"Sudah sampai ke rumah."
"Terima kasih. Sampai ketemu lagi hari Senin ya."
Aku terhuyung keluar dari mobil dan menaiki undakan tangga di depan gedung
apartemenku. Salju tipis menutupi lingkungan di sekitar rumahku seperti bunga es
di atas kayu manis. Dari mana datangnya salju sebanyak ini"
Aku belum belanja bahan makanan, sehingga terpaksa hanya makan biskuit diolesi
selai kacang dan dibarengi minum sup kerang. Kutemukan sekotak Turtles yang
sudah lama di lemari dapur, cokelat pahit, kesukaanku. Cokelat itu sudah agak
apek dan keras, tetapi aku tidak punya makanan lain.
Hanya mandi air hangat yang sesuai dengan yang kubayangkan. Sesudah itu, aku
memutuskan untuk menyalakan perapian. Akhirnya tubuhku terasa hangat, tetapi
sangat capek dan kesepian. Cokelat tadi lumayan, membuatku merasa nyaman, tetapi
aku butuh lebih nyaman lagi.
Aku merindukan putriku. Sekolah Katy dibagi menjadi empat kuartal, universitasku
memakai system semes-teran, jadi liburan musim semi kami tidak bersamaan. Bahkan
Birdie tetap tinggal di selatan pada liburan kali ini. Dia membenci perjalanan
udara dan mengeluhkan hal itu dengan kerasnya setiap kali naik pesawat terbang.
Karena kali ini aku tidak akan begitu lama di Quebec, tidak lebih dari dua
minggu, aku memutuskan untuk tidak membawa kucing itu terbang bersamaku.
Saat memegang korek untuk menyalakan balok kayu, aku memikirkan api. Dulu Homo
erectus berhasil menjinakkannya. Selama satu juta tahun kita menggunakannya
untuk berburu, memasak, menjadikannya sumber kehangatan, dan memberi penerangan.
Itulah bahan kuliahku pada jam terakhir sebelum liburan. Kubayangkan mahasiswaku
di North Carolina. Saat aku mencari Elisabeth Nicolet, mereka sedang menempuh
ujian mid-semester. Buku-buku biru kecil itu akan tiba di sini besok melalui pos
kilat, sementara para mahasiswa menuju pantai untuk menghabiskan masa liburan.
Kumatikan lampu dan kuamati api menjilat-jilat dan bergeliut di antara balok
kayu. Bayangan berdansa-ria di sekeliling ruangan. Aku bisa mencium bau pohon
pinus dan mendengar air mendesis dan menggelegak saat mendidih ke permukaan.
Itulah sebabnya mengapa api sungguh memesona. Api melibatkan banyak indra.
Kukenang kembali hari Natal dan perkemahan musim panas di masa kanak-kanakku.
Sungguh, api adalah karunia bermuka dua. Api bisa memberikan rasa aman,
menggugah kenangan indah. Tetapi, api juga bisa membunuh. Aku tidak ingin
memikirkan St-Jovite lagi malam ini.
Kuamati salju yang menggunduk di kusen jendela. Mahasiswaku pasti sedang
merencanakan kegiatan pertama di pantai. Saat aku berjuang melawan radang
dingin, mereka sedang mempersiapkan diri menghadapi sengatan matahari. Aku juga
tidak mau memikirkan hal itu.
Aku kemudian teringat pada Elisabeth Nicolet. Dia telah menjalani kehidupan
seperti seorang pertapa. "Femme
contemplative," begitulah yang tertulis di plakatnya. Tetapi, sudah lebih dari
satu abad dia tidak melakukan perenungan. Bagaimana jika ternyata kami menggali
peti mati yang salah" Hal itu juga bukan hal yang ingin kupikirkan. Paling tidak
untuk malam ini, aku dan Elisabeth tidak memiliki banyak persamaan.
Kulirik jam. Pukul sembilan lewat empat puluh menit. Di tahun keduanya, Katy
dianugerahi gelar "Si Cantik dari Virginia." Walaupun dia mempertahan kan IPK
3,8 saat mengambil dua jurusan, yaitu Sastra Inggris dan Psikologi, dia tidak
pernah melewatkan kesempatan untuk bersosialisasi. Kita tidak akan bisa
menemukannya diam di rumah pada Jumat malam. Karena selalu merasa optimistis,
kuraih telepon di atas perapian dan menekan nomor telepon Charlottesville.
Katy menjawab pada deringan ketiga.
Karena menduga akan mendengar suara mesin penjawab, aku jadi tergagap.
"Ma" Ini Mama?"
"Ya. Halo. Kok kamu ada di rumah?"
"Ada jerawat sebesar tinju di hidungku. Tampangku jelek dan aku tidak berani
pergi keluar. Mama sedang apa, kok jam segini sudah di rumah?"
"Kamu nggak mungkin terlihat jelek. Tidak ada komentar tentang jerawat itu."
Kusandarkan tubuhku di bantal dan kuletakkan kakiku di atas perapian. "Mama
menghabiskan waktu dua hari menggali orang yang sudah mati dan terlalu capek
untuk pergi keluar."
"Aku nggak akan tanya tentang itu deh," Kudengar kertas selofan diremas.
"Jerawat ini benarbenar menyebalkan."
"Nanti juga pasti akan hilang sendiri. Apa kabarnya si
Cyrano?" Katy punya dua ekor tikus, Templeton dan Cyrano de Bergerat.
"Sudah mendingan. Aku membeli obat di took binatang dan sudah memberikannya
dengan menggunakan pipet. Dia sudah berhenti bersin-bersin."
"Bagus. Dia memang tikus kesayangan Mama."
"Kurasa Templeton juga tahu."
"Lain kali Mama akan lebih hatihati deh, supaya tidak terlalu kentara. Ada kabar
apa lagi?" "Tidak ada yang istimewa. Kencan dengan cowok yang namanya Aubrey. Dia cukup
keren. Mengirimiku bunga mawar keesokan harinya. Dan aku akan piknik dengan
Lynwood besok. Lynwood Deacon. Dia mahasiswa tahun pertama di Jurusan Hukum."
"Begitukah caramu memilih mereka?"
"Apa?" "Dari namanya,"
Dia tidak mengacuhkan celetukanku. "Bibi Harry menelepon."
"Oh?" Nama adikku selalu membuatku sedikit gelisah, seperti seember paku yang
diletakkan terlalu ke pinggir.
"Dia menjual bisnis balonnya atau entah apa. Dia sebenarnya menelepon karena
ingin bicara dengan Mama. Kedengarannya sedikit aneh."
"Aneh?" Di hari yang normal pun adikku terdengar aneh.
"Kukatakan Mama sedang di Quebec. Mungkin dia akan menelepon Mama besok."
"OK." Seperti yang kubutuhkan saja, gangguan lagi.
"Oh! Ayah baru membeli Mazda RX-7. Baik sekali ya. Tapi, dia tidak membolehkan
aku mengendarainya."
"Ya, Mama tahu." Suamiku yang sudah memisahkan
diri itu memang sedang mengalami krisis pria setengah baya.
Terdengar keragu-raguan pada suara Katy. "Sebenar nya, kami mau keluar makan
pizza." "Bagaimana dengan jerawatmu?"
"Aku akan menggambar ekor dan telinga di sekelilingnya dan mengatakan bahwa itu
tato." "Boleh juga. Kalau ketahuan, gunakan nama samaran."
"Aku sayang Mama."
"Aku juga sayang kamu. Sampai nanti."
Kuhabiskan sisa Turtles dan menggosok gigi. Dua kali. Lalu, kuempaskan tubuhku
ke tempat tidur dan terlelap selama sebelas jam.
Kuhabiskan sisa akhir pekan itu dengan mengosongkan koper, bersih-bersih rumah,
belanja, dan memeriksa hasil ujian. Adikku menelepon Minggu sore untuk
mengatakan bahwa dia sudah menjual bisnis balon udaranya. Aku merasa lega.
Selama tiga tahun aku menciptakan berbagai alasan agar Katy tidak ikut naik
balon udaranya, sambil dengan cemas menunggu tibanya hari dia akan menaiki
transportasi udara itu. Sekarang energinya yang kreatif itu bias dialihkan ke
hal lain. "Kamu di rumah?" tanyaku. "Vap."
"Cuacanya hangat?" Aku memeriksa salju di kusen jendela, Terlihat masih menebal.
"Selalu hangat di Houston." Sialan,
"Jadi, kenapa kamu menjual bisnis itu?" Harry selalu suka menjadi orang yang
mencaricari, walaupun tujuannya tidak pernah jelas. Selama tiga tahun
terakhir ini dia sungguh tergila-gila pada balon udaranya. Jika tidak sedang
bersafari terbang di atas Texas, dia dan timnya mengendarai mobil pick-up-nya
yang sudah tua dan menjelajahi Negara mencari perlombaan balon udara.
"Striker dan aku akan berpisah."
"Oh." Dia juga selalu tergila-gila pada Striker. Mereka bertemu pada sebuah perlombaan


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di Alburqueque, menikah lima hari kemudian. Itu terjadi dua tahun yang lalu,
Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang bicara, Aku akhirnya membuka
pembicaraan kembali. "Sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku.
"Aku mungkin akan ikut konseling."
Hal itu mengejutkanku. Adikku jarang melakukan hal yang seharusnya dilakukan.
"Mungkin aku bisa menemanimu menjalani semua ini."
"Tidak. Tidak. Otak Striker itu isinya hanya Kool-Aid. Aku tidak meratapinya.
Itu hanya akan membuatku kesal saja." Kudengar dia menyalakan rokok,
menghirupnya dalamdalam, lalu mengembuskan asapnya. "Ada sebuah kursus yang baru
kudengar. Kalau kita mengikutinya, kita bisa membimbing orang lain tentang
kesehatan holistik dan cara menghilangkan stres, semacam itulah. Aku sedang
membaca tentang obatobatan dari tetumbuhan dan meditasi serta metafi sika, dan
ternyata asyik juga. Kurasa aku pasti akan sukses di bidang ini."
"Harry. Sepertinya agak berat." Sudah berapa\ kali aku mengucapkan katakata itu"
Pedang Darah Bunga Iblis 14 Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat Pendekar Pedang Sakti 1

Cari Blog Ini