Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling Bagian 12
Tubuh dan pikirannya secara aneh rasanya terpisah sekarang, anggota-anggota tubuhnya bekerja tanpa instruksi, seolah-olah dia adalah seorang penumpang, bukan juru mudi atas tubuh yang sebentar lagi akan dia tinggalkan. Orang-orang mati yang berjalan di sisinya menembus hutan terasa lebih nyata dibanding mereka yang masih hidup dalam kastil: Ron, Hermione, Ginny dan semua orang lainlah yang terasa seperti hantu sementara dia tertatih-tatih menyongsong akhir hidupnya, menuju Voldemort.
Terdengar suara berdebuk dan bisikan: ada makhluk lain dekat sini. Harry berhenti di bawah Jubah, mengamati keadaan sekeliling, mendengar, dan ayah-ibunya, Lupin dan Sirius turut berhenti.
"Ada orang di situ", terdengar bisikan kasar dari jarak dekat sekali. "Dia punya
Jubah Gaib. Apa mungkin -""
Dua sosok muncul dari balik pohon dekat sana. Tongkat mereka menyala, dan Harry melihat Yaxley dan Dolohov menatap ke dalam kegelapan, tepat ke tempat Harry dan yang lainnya berdiri. Rupanya mereka tak melihat apapun.
"Tadi aku yakin dengar sesuatu", kata Yaxley. "Menurutmu apa, binatang""
"Hagrid memelihara banyak binatang di sini", kata Dolohov sambil melirik lewat bahunya.
Yaxley melihat jamnya. "Waktunya hampir habis. Porter tak datang"
"Sebaiknya kita kembali", kata Yaxley. "Kita cari tahu ada rencana apa sekarang"
Dia dan Dolohov berbalik dan berjalan masuk ke dalam hutan. Harry mengikuti mereka, tahu kalau mereka akan memandunya tepat ke tempat yang ingin dia capai. Dia melirik ke samping, dan ibunya tersenyum kepadanya, dan ayahnya mengangguk memberi semangat. Mereka baru berjalan sebentar ketika Harry melihat cahaya di depan, dan Yaxley dan Dolohov melangkah ke sebuah tempat terbuka yang diketahui Harry sebagai lokasi dimana Aragog yang mengerikan itu pernah tinggal. Sisa-sisa jaringnya masih ada, tapi kawanan anak-anak yang dia telurkan telah diusir oleh para Pelahap Maut untuk berperang bagi mereka.
Api menyala di tengah tempat terbuka itu, dan kerlap-kerlipnya menerangi segerombol Pelahap Maut yang duduk waspada dalam kebisuan. Sebagian dari mereka masih mengenakan topeng dan tudung kepala, sebagian lagi menampakkan wajah. Dua raksasa berdiri di sisi luar kelompok itu, menghasilkan bayangan yang besar sekali, wajah mereka kejam dan kasar seperti batu. Harry melihat Fenrir mengendap-endap sambil menggigit kuku panjangnya; Rowle si pirang sedang menjilati bibirnya yang berdarah. Dia melihat Lucius Malfoy, yang terlihat kalah dan ketakutan, dan Narcissa yang matanya yang cekung dan penuh keprihatinan.
Setiap mata tertuju pada Voldemort, yang berdiri dengan kepala tertunduk, dan sementara tangannya yang putih terlipat di atas Tongkat Tua-tua (Elder Wand) di depannya. Dia agaknya sedang berdoa, atau menghitung dalam hati. Di belakang kepalanya si besar Nagini masih melayang meliuk-liuk di dalam kandangnya yang gemerlapan, seperti lingkar halo yang mengerikan.
Ketika Dolohov dan Yaxley kembali bergabung dengan lingkaran itu, Voldemort mengangkat kepala. "Tak ada tanda-tanda keberadaannya Tuanku", kata Dolohov.
Raut wajah Voldemort tak berubah. Mata merah itu terlihat terbakar di dalam cahaya api. Dengan perlahan ditariknya Tongkat Tua-tua (Elder Wand) di antara jemarinya yang panjang.
"Tuanku -" Bellatrix berbicara: dialah yang duduknya paling dekat dengan Voldemort, kusut dan sedikit berdarah tapi selain itu tidak terluka.
Voldemort mengangkat tangan menyuruhnya diam, dan diapun tak mengucapkan apapun lagi, tapi menatapnya dengan pandangan terpukau seorang pemuja.
"Aku kira dia akan datang", kata Voldemort dalam nada tinggi jernih, matanya tertuju pada cahaya api. "Aku berharap dia akan datang".
Tak seorangpun berbicara. Mereka terlihat sama takutnya dengan Harry, yang saat ini merasakan jantungnya melompat-lompat m
endesak dadanya seakan-akan berniat melesat dari tubuhnya yang segara akan dienyahkan..Tangannya basah oleh keringat sementara dia menarik lepas Jubah Gaib dan menaruhnya dibawah jubahnya, beserta tongkatnya. Dia tak ingin digoda untuk bertarung.
"Aku, agaknya...keliru", kata Voldemort.
"Kau tidak keliru"
Harry mengucapkannya senyaring dia mampu, dengan mengumpulkan seluruh kekuatan yang dia sanggup himpun: dia tak ingin terdengar takut. Batu Bertuah (Resurrection Stone) menggelincir dari antara jemarinya yang mati rasa, dan dari sudut matanya dia melihat orangtuanya, Sirius dan Lupin menghilang pada saat dia melangkah masuk kedalam cahaya api. Pada saat itu dia merasa tak seorangpun yang panting selain Voldemort. Kini hanya tinggal mereka berdua saja.
Ilusi itu segera lenyap secepat datangnya. Kedua raksasa itu meraung sementara para Pelahap Maut serentak bangkit, dan banyak yang menjerit, terhenyak bahkan tertawa. Voldemort membeku diam di tempatnya berdiri, tapi mata merahnya telah menemukan Harry, dan dia menatap terus sementara Harry bergerak ke arahnya, tanpa sesuatupun di antara mereka kecuali api.
Kemudian terdengar seman, "HARRY! JANGAN!" Dia berbalik: Hagrid terikat pada sebatang pohon, tubuhnya terbelit tali-temali. Tubuh besarnya mengguncang cabang-cabang di atasnya ketika dia berusaha mati-matian memberontak. "JANGAN! JANGAN! HARRY, APA YANG KAU -""
"DIAM!" teriak Rowley, dan dengan kibasan tongkatnya Hagrid terdiam.
Bellatrix yang telah berdiri mengalihkan matanya dengan penuh minat dari Voldemort ke Harry, dadanya membusung. Yang bergerak saat ini hanyalah lidah api dan si ular, meliuk-liuk di dalam kandang di belakang kepala Voldemort.
Harry bisa merasakan tongkatnya menekan dadanya, tapi dia tak berusaha menghunusnya. Dia tahu bahwa si ular terlalu terlindungi, tahu bahwa jika dia berhasil mengarahkan tongkatnya ke arah Nagini, lima puluh kutukan akan menghantamnya lebih dulu. Voldemort dan Harry masih memandang satu sama lain, dan sekarang Voldemort memiringkan kepalanya sedikit, menimbang-nimbang anak yang sedang berdiri di hadapannya, dan sebentuk senyum tanpa kegembiraan melengkung di mulutnya yang tanpa bibir.
"Harry Potter," katanya dengan suara sangat halus. Tapi suaranya seakan-akan terbuat dari lontaran api. "Anak Yang Selamat"
Tak satupun dari Pelahap Maut yang bergerak. Mereka menunggu. Segalanya menunggu. Hagrid memberontak dan Bellatrix terengah-engah, dan Harry entah kenapa memikirkan Ginny, parasnya yang bercahaya, dan bibirnya yang dia rasakan di Voldemort telah mengangkat tongkatnya. Kepalanya masih miring ke satu sisi, seperti anak kecil yang penasaran akan apa yang terjadi jika dia meneruskannya.
Hary balas menatap ke dalam mata merah itu, menginginkannya terjadi saat itu juga, cepat, selagi dia masih bisa berdiri, sebelum dia lepas kendali, sebelum rasa takutnya terkuak Dia melihat mulut yang bergerak dan kilatan cahaya hijau, dan lenyaplah semuanya.
BAB 35 KINGS CROSS Dia berbaring tertelungkup, mendengar kesunyian. Tak ada yang mengawasi. Tak ada orang lain di sana. Dia sendiri tak yakin berada dimana.
Lama sesudahnya, atau tanpa ada jeda waktu sama sekali, timbul pikirannya bahwa dia pastilah ada, pastilah lebih dari sekadar pikiran tanpa tubuh, karena dia sedang berbaring, benar-benar sedang berbaring di atas permukaan sesuatu. Karenanya dia punya indera perasa, dan benda yang menahan tubuhnya tentunya ada juga.
Segera setelah dia mencapai kesimpulan ini, Harry menjadi sadar bahwa dia telanjang. Yakin sedang sendirian di sana, dia tak kuatir, tapi keadaan itu membuatnya sedikit penasaran. Dia bertanya-tanya apakah sebagaimana dia bisa merasa, dia juga bisa melihat" Ketika membukanya, sadarlah dia bahwa dia punya mata.
Dia berbaring di kabut yang terang, sekalipun bukan jenis kabut yang pernah dialaminya. Sekelilingnya tak tertutup uap berawan; atau tepatnya uap berawan belum lagi terbentuk di sekelilingnya. Lantai dimana dia berbaring terlihat berwarna putih, tidak hangat tidak pula dingin, benda datar yang semata-mata ada di sana.
Dia duduk. Tubuhnya tampak tak terluka. Disen
tuhnya wajahnya. Dia tak lagi mengenakan kacamata.
Lalu suatu bunyi mencapainya melalui ke-tiadaan yang mengelilinginya; hentakan-hentakan kecil dari sesuatu yang tertekuk, terpukul, dan memberontak. Suara yang menyedihkan, namun terdengar agak tak pantas. Dia merasa sedang diam-diam mencuri dengar sesuatu yang memalukan.
Untuk pertama kali dia berharap dia mengenakan pakaian.
Begitu pikiran itu muncul di kepalanya, terlihatlah sepotong jubah di dekatnya.
Dia mengambil lalu mengenakannya. Jubah itu lembut, bersih dan hangat.
Sungguh luar biasa bagaimana jubah itu muncul entah dari mana begitu dia menginginkannya....
Dia berdiri, melihat sekeliling. Apakah dia sedang berada di Ruang Kebutuhan"
(Room of Requirement)" Makin lama dia memandang, makin banyak yang bisa terlihat. Atap melengkung berukuran besar berkilauan diterpa sinar matahari, tinggi di atas kepalanya. Mungkin ini sebuah istana. Suasananya sangat hening dan tenang, kecuali bunyi gebukan dan rintihan yang terasa dekat di dalam kabut.
Harry perlahan berputar di tempat, dan sekelilingnya seolah terbentuk sendiri di depan matanya. Ruangan terbuka yang lebar, terang dan bersih, aula yang lebih besar dibanding Aula Besar (Great Hall) dengan atap melengkung yang terbuat dari kaca jernih. Ruang itu sepertinya kosong. Hanya dia yang ada di sana, kecuali - Dia terlonjak mundur. Terlihat olehnya benda yang menghasilkan bunyi itu. Bentuknya seperti anak kecil, bergelung telanjang di lantai, dagingnya kasar kemerahan seolah-olah telah dikuliti, dan dia berbaring gemetaran di bawah sebuah kursi dimana dia telah ditinggalkan, diterlantarkan, dienyahkan dari pandangan, dan sedang berjuang untuk bernafas.
Harry takut akan benda itu. Meski terlihat rapuh dan terluka, dia tak ingin mendekatinya. Namun tetap saja dia melangkah makin dekat, siap melompat ke belakang setiap saat. Segera saja dia sudah cukup dekat untuk menyentuhnya, tapi dia tak mampu. Dia merasa bagaikan pengecut. Dia semestinya menenangkannya, tapi sosok itu membuatnya jijik.
"Kau tak bisa menolong"
Dia terlonjak memutar. Albus Dumbledore sedang melangkah ke arahnya, langkahnya tegak dan sigap, dia mengenakan jubah panjang berwarna biru kelam.
"Harry". Dibukanya kedua lengannya lebar-lebar, dan kedua tangannya utuh dan putih dan tak rusak sama sekali. "Kau anak hebat. Kau pria yang sangat berani.
Mari kita berjalan".
Tertegun, Harry mengikuti sementara Dumbledore menjauh dari anak tanpa kulit yang sedang merintih itu, membawanya menuju dua kursi yang sebelumnya tidak terlihat olehnya, di bawah atap yang berkilauan. Dumbledore duduk di salah satu kursi dan Harry menjatuhkan diri di kursi yang lain tanpa melepaskan pandangannya ke wajah Kepala Sekolahnya itu. Rambut dan jenggot perak Dumbledore, mata biru tajam di balik kacamata berlensa separuh bulat, hidung bengkok: semua persis seperti yang dia ingat. Namun begitu...
"Tapi Anda sudah wafat", kata Harry
"Oh, benar", sahut Dumbledore terus terang.
"Kalau begitu... .aku sudah mati juga""
"Ah", kata Dumbledore, senyumnya makin lebar. "Itu yang jadi pertanyaannya, bukan" Aku pikir tidak" Mereka saling memandang, kakek itu masih berseri-seri. "Tidak"" ulang Harry "Tidak", sahut Dumbledore.
"Tapi..." secara naluriah Harry mengangkat tangannya ke bekas lukanya yang berbentuk petir. Bekas luka itu sepertinya sudah hilang. "Tapi aku mestinya sudah mati - Aku tidak membela diri. Aku sungguh-sungguh membiarkan dia membunuhku!"
"Dan itulah", kata Dumbledore, "yang menurutku membuat semuanya jadi berbeda"
Kebahagiaan seolah-olah memancar dari Dumbledore bagaikan cahaya; bagaikan api: Harry tak pernah melihat orang yang begitu puas dan nyaman dengan diri sendiri.
"Jelaskan", kata Harry
"Kau sendiri sudah tahu", kata Dumbledore. Digerak-gerakkannya kedua jempolnya. "Aku biarkan dia membunuhku", kata Harry, "Begitu kan"""Betul.
Teruskan!" "Sehingga bagian jiwanya yang ada dalam diriku... "Dumbledore mengangguk-anggukkan kepalanya makin antusias, mendorong Harry untuk melanjutkan, senyum lebar di wajahnya membangkitkan keberanian.".. .apa bagian itu sudah hilang"""Oh ya!", kata
Dumbledore. "Ya, dia menghancurkannya. Jiwamu utuh, dan sepenuhnya
milikmu, harry" "Tapi kalau begitu... "Harry melirik lewat bahunya ke makhluk kecil lumpuh yang gemetaran di bawa kursi."Itu apa, Professor"""Sesuatu yang tak mungkin bisa kita tolong", kata Dumbledore."Tapi kalau Voldemort menggunakan Kutukan Pembunuh (Killing Curse)", Harry kembali
memulai, "dan kali ini tak ada yang mati untukku - bagaimana bisa aku masih hidup""
"Aku pikir kau tahu", kata Dumbledore. "Coba pikir kembali. Ingat apa yang dia lakukan dalam ketidakacuhannya, dalam ketamakan dan kekejamannya" Harry berpikir. Dia biarkan pandangannya menerawang ke sekelilingnya. Jika benar tempat
ini istana, ini istana yang aneh, yang kursi-kursinya disusun berderet-deret dengan pagar di sana sini, hanya dan dia dan Dumbledore dan makhluk di bawah kursi itulah yang berada di sana. Lalu jawabannya keluar dari bibirnya dengan mudahnya, sama sekali tanpa usaha. "Dia mengambil darahku", kata Harry.
"Tepat sekali!", kata Dumbledore. "Dia ambil darahmu dan dibentuknya kembali hidupnya
dengan darah itu! Darahmu di nadinya, Harry, perlindungan dari Lily di dalam kalian berdua! Dia menambatkan dirimu pada kehidupan selama dia hidup! ""Aku hidup, selama dia hidup" Tapi kukir a... kukir a justru sebaliknya! Aku kira kami berdua mesti mati! Atau keduanya sama saja"
Dia terusik oleh suara rintihan dan hentakan makhluk di belakang mereka dan dia kembalimeliriknya."Anda yakin kita tak bisa berbuat sesuatu""
"Tak mungkin ada pertolongan"
"Kalau begitu jelaskanlah... lebih banyak", kata Harry, dan Dumbledore tersenyum. "Engkaulah Horcrux yang ketujuh, Harry, Horcrux yang tak pernah dia perkirakan akan dia ciptakan. Dia telah membuat jiwanya begitu tak stabil sehingga jiwa itu terpecah ketika dia melakukan perbuatan yang begitu jahat, membunuh kedua orangtuamu, mencoba membunuhmu. Tapi yang lolos dari ruangan itu lebih sedikit dari yang dia tahu. Dia meninggalkan lebih dari sekedar tubuhnya saja. Dia meninggalkan bagian dari dirinya padamu, bakal-korban yang telah selamat.
"Dan pengetahuannya masih juga tak lengkap, Harry! Itulah yang tidak dihargai oleh Voldemort, dia tak merasa perlu memahami. Tentang peri rumah dan cerita anak-anak, tentang cinta, kesetiaan dan kemurnian. Voldemort tidak mengetahui dan memahami apa-apa. Apapun tidak. Dia tak pernah memahami bahwa hal-hal itu lebih kuat dibanding kekuatannya sendiri, kekuatan yang melampaui semua sihir.
"Dia mengambil darahmu karena tahu itu akan membuatnya kuat. Dia masukkan ke dalam tubuhnya bagian kecil dari apa yang ditaruh ibumu kepadamu ketika dia mati demi kau. Tubuhnya menyimpan pengorbanan ibumu yang terus hidup, dan selama bagian itu terus hidup, begitu juga kau, dan begitu juga yang diharapkanVoldemort untuk dirinya.
Dumbledore tersenyum kepada Harry, dan Harry menatapnya.
"Dan Anda sudah tahu ini semua sejak awal""
"Aku menebak-nebak, tapi biasanya tebakanku tepat", kata Dumbledore dengan gembira, dan mereka duduk dalam diam untuk sekian lama, sementara makhluk di belakang mereka masih terus merintih dan gemetar.
"Masih ada lagi", kata Harry. "Kenapa tongkatku mematahkan tongkat yang dia pinjam""
"Kalau soal itu, aku tidak begitu yakin"
"Kalau begitu cobalah menebak", kata Harry dan Dumbledore tertawa.
"Yang harus kau pahami, Harry, adalah bahwa kau dan Tuan Voldemort telah bepergian bersama ke dalam alam gaib yang hingga kini belum dikenal dan belum diuji. Tapi aku pikir beginilah yang terjadi, dan ini peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan tak satu pembuat tongkatpun yang pernah meramalkan atau menjelaskan hal ini kepada Voldemort.
"Sebagaimana kau tahu sekarang, bahwa tanpa dia inginkan Voldemort telah melipatduakan ikatan antara kalian berdua ketika dia kembali ke wujud manusia.
Sebagian jiwanya masih melekat ke jiwamu, dan dia mengambil bagian dari pengorbanan ibumu ke dalam dirinya karena mengira itu akan memperkuat dirinya. Seandainya saja dia memahami kekuatan yang hebat dari pengorbanan itu, dia mungkin tak akan berani menyentuh darahmu.. .Tapi kalau dia bisa memahaminya tentu dia bukanlah
Voldemort dan dia tak akan pernah melakukan pembunuhan.
"Setelah memastikan ikatan timbal-balik ini, setelah membungkus takdir kalian lebih pasti daripada yang pernah terjadi diantara dua ahli sihir manapun dalam sejarah, Voldemort berlanjut dengan menyerangmu menggunakan sebuah tongkat yang bahan intinya sama dengan kepunyaanmu. Dan sekarang hal yang sangat aneh terjadi. Inti tongkat itu bereaksi sebagaimana Voldemort -yang tak pernah tahu kalau tongkatmu adalah kembaran tongkatnya-menginginkannya.
"Dia lebih ketakutan dibanding kau malam itu, Harry. Kau telah menerima, bahkan menyambut kemungkinan mati, suatu hal yang takkan pernah mampu dilakukan Voldemort. Keberanianmu telah menang, tongkatmu memngungguli tongkatnya.
Dan ketika terjadi, sesuatu terjadi dengan kedua tongkat itu, sesuatu yang mencerminkan hubungan antara masing-masing tuannya..
"Aku percaya tongkatmu telah menyerap sebagian kekuatan dan sifat tongkat Voldemort malam itu, yang berarti tongkatmu mengandung sebagian kecil dari diri Voldemort sendiri. Jadi tongkatmu mengenalinya ketika dia mengejarmu, mengenali pria yang adalah kerabat sekaligus musuh bebuyutan, dan tongkatmu memuntahkan sebagian dari sihir Voldemort melawan dia sendiri, sihir yang jauh lebih hebat dibanding yang pernah dilakukan oleh tongkat Lucius. Tongkatmu sekarang mengandung daya hebat dari keberanianmu, plus keahlian Voldemort sendiri: bagaimana mungkin tongkat Lucius Malfoy bisa bertahan"
"Tapi jika tongkatku begitu hebatnya, kenapa Hermione sanggup mematahkannya"" tanya Harry.
"Anakku sayang, efeknya hanya tertuju kepada Voldemort saja, yang begitu menyimpang terhadap hukum-hukum sihir terdalam. Hanya terhadap dialah tongkat itu secara tak biasa menjadi berkekuatan hebat. Di luar itu, tongkat itu cuma sebuah tongkat biasa saja, sama seperti yang lain, walaupun aku yakin tetaplah tongkat yang bagus", Dumbledore mengakhiri.
Harry duduk merenungkan semua itu untuk beberapa lama, atau bisa jadi hanya sekian detik. Sukar sekali mengetahui hal-hal semacam waktu di tempat ini.
"Dia membunuhku dengan tongkatmu"
"Dia gagal membunuhmu dengan tongkatku", koreksi Dumbledore. "Aku pikir kita bisa setujui bahwa kau tidak mati - walau, tentu saja, "katanya menambahkan, seakan takut bersikap telah lancang, "Aku tak menganggap remeh penderitaanmu, yang pastilah sangat luar biasa"
"Tapi saat ini aku merasa senang", kata Harry sambil memandangi tangan Dumbledore yang bersih tanpa cacat. "Kita ini sebenarnya ada di mana""
"Wll, justru aku yang ingin bertanya kepadamu", kata Dumbledore sambil melihat sekeliling. "Menurutmu kita ada di mana""
Harry tak tahu sebelum Dumbledore bertanya. Tapi sekarang dia tahu dia sudah siap dengan jawaban.
"Kelihatannya", katanya perlahan, "seperti stasiun King's Cross. Kecuali yang ini lebih bersih dan kosong, dan tak kelihatan ada kereta api" "Stasiun King's Cross!" Dumbledore tertawa kecil, "Wah, betulkah""
"Memangnya Anda pikir dimana"" tanya Harry, sedikit membela diri.
"Nak, aku tak tahu sama sekali. Ini, ibarat kata orang, adalah pestamu"
"Harry tak mengerti apa artinya itu; Dumbledore sedang membuatnya marah.
Harry meliriknya, lelu teringat akan pertanyaan yang lebih penting dibanding soal tempat ini.
"Deathly Hallows", katanya, dan dia senang melihat kata-kata itu menghapus senyuman di wajah Dumbledore.
"Ah, ya", katanya. Dia malah terlihat agak kuatir.
"Well"" Untuk kali pertama sejak Harry bertemu Dumbledore, dia terlihat seperti bukan seorang yang berumur tua, sangat kurang dari itu. Sekilas dia terlihat bagaikan anak kecil yang tertangkap basah melakukan pelanggaran.
"Bisakah kau memaafkanku"", katanya. "Bisakah kau memaafkanku yang tidak mempercayaimu" Tidak menceritakan kepadamu, Harry" Aku Cuma takut kau akan gagal sebagaimana aku telah gagal. Aku cuma kuatir kau akan melakukan kesalahan yang aku lakukan. Aku mengharapkan pengampunanmu Harry.
Sakarang aku menyadari kalau kau ternyata lebih baik daripada yang aku kira"
"Anda ini bicara apa"" tanya Harry yang kaget dengan nada suara Dumledore, dengan airmata yang mendadak ada di matanya.
"Hallows, Hallows, " gumam Dumbledore. "Impian seorang yang putus asa!""Tapi itu nyata!""Nyata dan berbahaya, dan pemikat orang-orang bodoh", kata Dumbledore. "Dan aku salah
satu orang bodoh itu. Tapi kau tahu bukan" Aku tak punya rahasia lagi darimu.
Kau tahu" "Aku tahu apa""Dumbledore memutar tubuhnya menghadap Harry, dan airmata masih berkilauan di mata biru terangnya.
"Penguasa Maut, Harry, penguasa Maut! Apakah pada akhirnya aku lebih baik dariVoldemort"""Tentu saja", kata Harry. "Tentu saja - kenapa Anda bisa bertanya begitu" Anda tak pernah
membunuh jika Anda bisa menghindarinya" "Betul, betul", kata Dumbledore, dan dia bagaikan anak kecil yang mencari peneguhan. "Namun begitu, aku juga mencari cara mengalahkan kematian, Harry"
"Tapi tidak dengan cara yang dia lakukan", jawab Harry. Setelah semua amarahnya terhadap Dumbledore, rasanya ganjil duduk di sini, di bawah langit-langit berkubah, dan membela Dumbledore terhadap dirinya sendiri.
"Hallows, bukan Horcrux"
"Hallows," gumam Dumbledore, "bukan Horcrux. Tepat sekali."
Ada jeda sejenak. Makhluk di belakang mereka merintih, tapi Harry tak lagi menoleh.
"Grindelwald juga mencarinya"" tanyanya.
Dumbledore menutup matanya sejenak, lalu mengangguk.
"Itulah hal utama yang menarik kami bersama", katanya perlahan. "Dua anak pintar dan sombong dengan obsesi bersama. Dia ingin menjadi Godric's Hollow, sebagaimana aku yakin kau sudah bisa menebaknya, karena makam Ignotus Peverell. Dia ingin menjelajahi tempat dimana sang saudara ke-3 wafat".
"Jadi itu semua benar"" tanya Harry, "Peverell bersaudara -"
"- adalah tiga bersaudara hikayat itu", kata Dumbledore sambil mengangguk. "Ya, aku pikir begitu. Kalau tentang apakah mereka berjumpa dengan Maut di jalanan sunyi.. .aku kira lebih condong kalau Peverell bersaudara adalah ahli-ahli sihir berbakat dan berbahaya yang berhasil menciptakan benda-benda jimat tersebut.
Hikayat bahwa mereka adalah benda Keramatnya (the Hallows) sang Maut sendiri, rasanya cuma legenda yang mungkin timbul di sekitar jimat-jimat ciptaan mereka itu.
"Jubah Gaib, sebagaimana kau tahu, diteruskan turun temurun abad demi abad, ayah ke anak laki-laki, ibu ke anak perempuan, terus sampai kepada keturunan terakhir Ignotus yang masih hidup, yang tempat lahirnya sama dengan Ignotus, di Godric's Hollow"
Dumbledore tersenyum kepada Harry
"Aku"" "Kau. Aku tahu kau sendiri sudah menduga-duga, kenapa Jubah itu ada di tanganku di malam kedua orangtuamu wafat. James memperlihatkannya kepadaku beberapa hari sebelumnya. Hal itu membuat jelas sejumlah pelanggarannya yang tak terdeteksi di sekolah! Aku hampir-hampir tak percaya apa yang aku lihat.
Aku minta pinjam, untuk memeriksanya. Aku sudah lama berhenti bermimpi untuk menyatukan benda-benda Keramat itu (the Hallows) tapi aku tak sanggup menahan diri, tak sanggup menahan diri untuk tidak melihat lebih dekat.. .itu adalah Jubah jenis yang belum pernah aku lihat sebelumnya, sangat tua, sempurna dari segala segi, dan kemudian ayahmu wafat, dan akhirnya aku memiliki dua Benda Keramat, untuk diriku sendiri!"
Nada suaranya jelas terdengar pahit.
"Tetap saja Jubah itu tak bisa membantu mereka selamat", kata Harry cepat.
"Voldemort tahu dimana ayah dan ibu. Jubah itu tak bisa membuat mereka tahan kutukan".
"Benar," Dumbledore mendesah. "Benar."
Harry menunggu, tapi Dumbledore tak bicara, jadi dia bertanya..
"Jadi Anda sudah berhenti mencari Benda-benda Keramat ketika melhat Jubah Gaib""
"Oh ya", sahut Dumbledore lirih. Sepertinya dia memaksakan diri menatap mata Harry. "Kau tahu apa yang terjadi. Kau tahu. Kau tak bisa membenci aku lebih dari aku benci diri sendiri"
"Tapi aku tak membenci Anda -"
"Seharusnya kau benci", kata Dumbledore. Dia menarik nafas dalam-dalam.
"Kau tahu rahasia sakitnya saudara perempuanku, apa yang dilakukan para Muggle itu, jadi apa dia jadinya. Kau tahu kalau ayahku membalas dendam, dan membayar harganya, mati di Azkaban. Kau tahu kalau ibuku mengorbankan hidupnya demi memelihara Ariana"
"Aku benci itu semua Harry"
Dumbledore mengatakan hal itu terus terang, dengan nada dingin. Dia sekarang memandang lewat atas kepala
Harry, ke kejauhan. "Aku punya bakat, aku hebat. Aku ingin melarikan diri. Aku ingin bersinar-sinar. Aku ingin kemuliaan"
"Jangan salah mengerti", katanya, rasa pedih memancar di wajahnya sehingga dia kembali terlihat sangat tua. "Aku sayang mereka, sayang orangtuaku, sayang saudaraku laki-laki dan perempuan, tapi aku egois, Harry. Lebih egois daripada yang bisa kau - orang yang sangat tidak mementingkan diri sendiri- bisa bayangkan.
"Jadi sewaktu ibuku wafat, dan kepadaku jatuh tanggung jawab menjaga saudara perempuan yang sudah rusak dan saudara laki-laki yang tidak patuh, aku kembali ke kampungku dengan rasa marah dan pahit. Terperangkap dan disia-siakan, pikirku! Dan tentu saja, dia datang..."
Dumbledore kembali menatap langsung ke dalam mata Harry.
"Grindelwald. Kau tak bisa bayangkan betapa gagasan-gagasannya menawanku Harry, membakarku. Para Muggle dipaksa tunduk. Kami para ahli sihir berkuasa.
Grindelwald dan aku sendiri, pemimpin revolusi yang muda yang agung.
"Aku punya sejumlah ganjalan dalam hati. Aku tenangkan kata hatiku dengan kata-kata kosong. Tujuannya kan untuk kebaikan yang berskala lebih besar dan setiap kerugian yang ditimbulkan akan dibayar beratus kali lipat demi
kepentingan para ahli sihir. Tahukah aku di dasar hatiku, siapa Gellert Grindelwald itu" Aku rasa aku tahu, tapi aku menutup mata. Kalau rencana kami terwujud, semua mimpiku akan jadi kenyataan.
Dan pusat dari rencana kami adalah Benda-benda Keramat sang Maut (Deathly Hallows)! Betapa benda-benda itu memukaunya, memukau kami berdua! Tongkat yang tak terkalahkan, senjata yang akan memberikan kami kekuasaan! Batu Kebangkitan (Resurrection Stone) - bagi dia, walau aku pura-pura tak tahu, itu artinya pasukan Inferi! Buatku, aku akui, itu artinya kembalinya kedua orangtuaku, dan terangkatnya tanggung jawab dari pundakku"
"Dan Jubah Gaib.. .entah kenapa kita tak pernah bicara banyak tentang Jubah itu, Harry. Kita berdua cukup mampu menyembunyikan diri tanpa Jubah itu; Jubah itu memang punya sihir sejati yaitu bisa menyembunyikan dan melindungi baik pemiliknya maupun orang lain. Aku pikir jika kami menemukannya Jubah itu akan dapat digunakan menyembunyikan Ariana, tapi ketertarikan kami terhadap Jubah itu utamanya adalah bahwa ia akan membuat trio Benda-benda Keramat itu, karena menurut legenda barangsiapa bisa menyatukan ketiga benda itu, dia akan menjadi penguasa maut yang sejati, yang dalam pengertian kami berarti 'tak terkalahkan'"
"Penguasa maut yang tak terkalahkan, Grindelwald dan Dumbledore! Dua bulan penuh kegilaan, mimpi-mimpi kejam, dan penelantaran 2 anggota keluarga yang ditinggalkan kepadaku"
"Dan kemudian.. .kau tahu apa yang terjadi. Kenyataan datang kembali lewat saudara laki-lakiku yang buta huruf dan jauh lebih disukai orang. Aku tak ingin mendengar kebenaran yang diteriakkannya kepadaku. Aku tak mau dengar bahwa aku tak mungkin bisa pergi mencari Benda-benda Keramat dengan adanya saudara perempuan yang rapuh dan tak stabil bersamaku."
"Pertengkaran berubah jadi perkelahian. Grindelwald lepas kendali. Itulah yang selama ini aku rasakan tentang dia, walau aku pura-pura tidak merasakannya, tapi sekarang menjadi kenyataan. Dan Ariana.. .setelah selama ini dijaga dan dilindungi ibu.. .terbaring mati di lantai."
Dumbledore tersendat dan mulai menangis tanpa sungkan. Harry menyodorkan tangan dan gembira ternyata bisa menyentuhnya: Dia cengkeram lengannya dengan erat dan perlahan Dumbledore kembali bisa mengontrol diri.
"Well, Grindelwald kabur, sebagaimana semua orang -kecuali aku- perkirakan.
Dia lenyap, bersama dengan rencananya untuk merampas kekuasaan, menyiksa para Muggle, dan mimpinya akan Benda-benda Keramat, mimpi yang disemangati
dan ditolong olehku sendiri. Dia kabur, sedangkan aku ditinggal untuk menguburkan saudaraku, dan untuk belajar hidup bersama rasa bersalah dan penyesalan, harga noda di wajahku"
"Tahun-tahun berlalu. Terdengar rumor tentang dia. Ada yang bilang dia telah memperoleh sebuah tongkat yang berkekuatan luar biasa. Sementara itu aku ditawari posisi di Kementerian Sihir, bukan hanya sekali, tapi beberapa k
ali. Dengan serta merta aku menolak. Aku telah belajar kalau kepadaku tak seharusnya dipercayakan kekuasaan".
"Tapi Anda pasti lebih baik, jauh lebih baik dibanding Fudge atau Scimgeour!"
seru Harry. "Begitukah", tanya Dumbledore. "Aku tak yakin. Sudah terbukti, sewaktu anak muda, kalau kekuasaan adalah kelemahan dan godaan buatku. Kekuasaan adalah sesuatu yang bikin penasaran, Harry, tapi mungkin orang yang cocok memegang kekuasaan adalah orang yang tak pernah menginginkannya. Orang yang, seperti kau sendiri, disodori jubah kepemimpinan, dan menerimanya karena memang harus, dan terkejut karena mereka mengenakannya secara benar.
"Aku lebih aman berada di Hogwarts. Aku pikir aku ini guru yang baik -"
"Anda yang terbaik "- kau baik sekali, Harry. Tapi sementara aku menyibukkan diri dengan melatih ahli-ahli sihir muda, Grindelwald menyusun pasukannya. Mereka bilang dia takut kepadaku, dan mungkin itu benar, tapi tidak sebesar takutku kepadanya"
"Oh, bukan kematian", kata Dumbledore menjawab pandangan bertanya Harry.
"Bukan apa yang dapat dilakukannya secara sihir kepadaku. Aku tahu kami sama kuat, mungkin aku sedikit lebih unggul. Kebenaranlah yang aku takutkan. Soalnya aku tak pernah tahu siapa diantara kami pada pertarungan terakhir yang mengerikan itu yang telah mengeluarkan kutukan yang membunuh saudaraku. Kau boleh menyebutku pengecut; kau bisa jadi benar Harry. Aku takut sekali melebihi apapun kalau ternyata akulah yang telah membunuhnya, bukan semata-mata dengan kecongkakan dan ketololanku, melainkan bahwa akulah yang benarbenar mengeluarkan serangan yang mencabut nyawanya.
"Aku kira dia tahu mengenai hal itu. Aku kira dia tahu apa yang membuatku takut. Aku tunda-tunda berjumpa dengannya hingga akhirnya terasa terlalu memalukan kalau menolak terus. Orang-orang bermatian dan dia tampaknya tak terhentikan, dan aku harus melakukan apa yang aku bisa."
"Well, kau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku memenangkan duel itu. Aku memenangkan tongkat itu."
Kembali hening. Harry tidak menanyakan apakah Dumbledore sudah tahu siapa yang membunuh Ariana. Dia tak ingin tahu, dan lebih tak ingin lagi Dumbledore memberitahunya. Akhirnya dia tahu apa yang Dumbledore akan lihat sewaktu dia memandang ke dalam cermin Erised, dan kenapa Dumbledore begitu mengerti akan pesona cermin itu atas Harry.
Mereka duduk dalam diam untuk beberapa lama, dan rintihan makhluk di belakang mereka tak lagi mengusik Harry.
Akhirnya dia berkata, "Grindelwald mencoba mencegah Voldemort mengejar tongkat itu. Dia berbohong, berpura-pura dia tak pernah memilikinya, walau Anda tahu."
Dumbledore mengangguk, menunduk, air mata masih berkilauan di hidung bengkoknya.
"Orang-orang bilang dia menyesal bertahun-tahun sesudahnya, sendirian di selnya di Nurmengard. Aku harap itu benar. Aku ingin dia merasa ngeri dan malu akan apa yang telah dilakukannya. Mungkin saja kebohongannya terhadap Voldemort adalah bentuk upayanya untuk menebus kesalahannya.. .mencegah Voldemort merebut Benda-benda Keramat itu..."
"...atau mencegahnya menerobos makam Anda"", Harry berpendapat, dan Dumbledore menyeka matanya. Setelah jeda pendek Harry berkata, "Anda mencoba menggunakan Batu Kebangkitan (Resurrection Stone)" Dumbledore mengangguk.
"Ketika kutemukan setelah begitu lama, terkubur di rumah Gaunts yang terlantar, Benda Keramat yang paling aku dambakan, meskipun di masa mudaku aku menginginkannya untuk maksud yang sama sekali lain - aku lupa diri, Harry, aku lupa kalau kini aku adalah sebuah Horcrux, bahwa cincin itu pasti akan membawa kutukan. Aku mengambilnya, aku mengenakannya, dan untuk sedetik lamanya aku membayangkan akan bertemu Ariana, dan ibuku, dan ayahku, dan mengatakan berapa aku sangat, sangat menyesal. Aku..."
"Aku bodoh sekali, Harry. Setelah begitu lama aku tak belajar apapun. Aku tak layak menyatukan Benda-benda Keramat, aku sudah membuktikannya dulu, dan yang ini adalah bukti terakhir.
"Kenapa"", kata Harry. "Itu wajar! Anda ingin bertemu mereka kembali. Apa salahnya""
"Mungkin yang bisa menyatukan Benda-benda Keramat adalah satu di antara sejuta, Harry. Aku cuma la
yak memiliki yang paling tak berarti, yang paling tak luar biasa. Aku layak memiliki Elder Wand (tongkat Tua-tua) dan tidak menyombongkannya dan tidak memakainya untuk membunuh. Aku diperlayakkan memakai dan menjinakkannya, karena aku mengambilnya bukan demi keuntungan, tapi demi menyelamatkan orang lain darinya"
"Tapi Jubah Gaib, aku mengambilnya karena penasaran, ajdi Jubah itu takkan pernah bisa berfungsi untukku sebagaimana ia berfungsi untukmu, pemilik sejatinya. Batu itu aku akan pakai untuk memanggil kembali mereka yang sudah tenang di alam sana, bukan untuk mempraktekkan pengorbanan diri, seperti yang kau lakukan. Kaulah yang pantas jadi pemilik Benda-benda Keramat itu."
Dumbledore menepuk tangan Harry, dan Harry menatap mata kakek itu dan tersenyum; tak bisa ditahannya dirinya. Siapa yang masih bisa marah kepada Dumbledore sekarang"
"Kenapa Anda harus membuatnya begitu sukar""
Senyum Dumbledore bergetar.
"Aku mengandalkan Nona Granger untuk memperlambat kau, Harry. Aku kuatir kepala panasmu itu akan menguasai hatimu yang baik. Aku takut kalau aku beberkan semuanya lengkap dengan fakta-fakta tentang benda-benda penuh godaan itu, kamu akan merebut Benda-benda Keramat seperti yang aku lakukan, pada waktu yang keliru, untuk tujuan yang keliru. Jika kau memegang benda-benda itu, aku mau kau melakukannya dengan cara selamat. Kaulah penguasa sejati maut, karena penguasa sejati tak akan lari dari Maut. Dia pasrah bahwa dia akan mati, dan dia mengerti bahwa ada hal-hal yang jauh lebih buruk di dunia orang hidup dibanding dunia orang mati.
"Dan Voldemort tak pernah tahu tentang Benda-benda Keramat itu""
"Aku pikir begitu, karena dia tak mengenali Batu Kebangkitan yang dia ubah menjadi sebuah Horcrux. Tapi seandainyapun dia tahu, Harry, Aku ragu dia akan tertarik dengannya kecuali benda yang pertama. Dia tak akan merasa butuh JubahGaib, dan mengenai batu itu, memangnya siapa yang dia ingin hidupkan lagi"
Dia takut alam kematian. Dia tidak punya cinta"
"Tapi Anda memperkirakan dia akan mencari tongkat itu""
"Aku yakin dia akan mencoba, sejak tongkatmu mengalahkan tongkat Voldemort di pemakaman Little Hangleton. Awalnya dia kuatir kau telah mengalahkan dia karena keahlianmu yang luar biasa. Tapi setelah menculik Ollivander dia baru tahu tentang adanya inti ganda. Dia pikir itu menjelaskan semua. Tapi ternyata tongkat pinjaman itu tidak lebih baik dari punyamu! Jadi Voldemort, alih-alih memikirkan kualitas apa di dalam dirimu yang membuat tongkatmu begitu kuat, karunia apa yang kau miliki, justr pergi mencari tongkat yang katanya bisa mengalahkan tongkat lain manapun. Buat dia Tongkat Tua-tua (Elder Wans) sudah menjadi sebuah obsesi, menyaingi obsesinya terhadamu. Dia percaya Elder Wand menghilangkan kelemahan terakhirnya dan membuatnya benar-benar tak terkalahkan. Severus yang malang..."
"Kalau Anda merencanakan kematian Anda bersama Snape, berarti Anda memperkirakan dia pada akhirnya memegang Elder Wand bukan""
"Aku akui memang itulah yang aku harapkan", kata Dumbledore, "tapi kenyataannya tidak seperti itu bukan"" "Tidak", kata Harry, "tidak seperti yang Anda harapkan"
"Makhluk di belakang mereka menyentak dan melenguh, dan Harry dan Dumbledore duduk tanpa bicara untuk waktu yang begitu lama. Perlahan-lahan bagaikan salju yang melayang jatuh, pikiran Harry mulai menyadari akan apa yang akan terjadi selanjutnya
"Aku harus kembali, begitu bukan""
"Itu terserah padamu"
"Apa aku punya pilihan""
"Oh ya", Dumbledore tersenyum. "Katamu kita sedang berada di King's Cross"
Aku pikir jika kau putuskan untuk tidak kembali, kau akan bisa.. .katakanlah.. .naik kereta api"
"Dan kemana keretanya akan membawaku""
"Terus", sahut Dumbledore pendek.
Hening kembali. "Voldemort sudah mendapatkan Elder Wand" "Betul. Voldemort sudah mendapatkan Elder Wand" "Tapi Anda ingin agar aku kembali""
"Aku pikir", kata Dumbledore, "jika kau memilih untuk kembali, ada kemungkinan dia akan tamat riwayatnya untuk selamanya. Aku tak bisa menjamin. Tapi satu hal yang kutahu, Harry adalah ini: apa yang kau takutkan kalau kau kembali, tidaklah sebesar apa yang d
itakutkan olehnya" Harry kembali melirik makhluk kasar yang sedang gemetar dalam bayang-bayang di bawah kursi itu.
"Jangan kasihani mereka yang mati, Harry. Kasihanilah mereka yang hidup, dan yang terutama, mereka yang hidup tanpa cinta. Dengan kembalinya kau, bisa dipastikan akan berkruang jiwa-jiwa yang disiksa, berkurang keluarga-keluarga yang dicerai-beraikan. Jika menurutmu itu cukup sebagai tujuan, maka untuk saat ini kita ucapkan selamat berpisah".
Harry mengangguh dan mendesah. Meninggalkan tempat ini takkan sesukar berjalan masuk hutan sebelumnya, tapi di sini hangat, terang dan damai dan dia tahu dia akan kembali ke tampat dimana ada kesakitan dan rasa takut akan lebih
banyak korban. Dia bangkit berdiri, dan Dumbledore berbuat yang sama, dan mereka saling berpandangan begitu lamanya.
"Terakhir, seritahukan satu hal", kata Harry. "Apa ini sungguh-sungguh nyata" Atau hanya terjadi dalam kepalaku""
Wajah Dumbledore berseri-seri, dan suaranya terdengar kencang dan kuat dalam telinga Harry meskipun kabut terang mulai tirun kembali, menutupi sosoknya.
"Tentu saja ini terjadi dalam kepalamu, Harry, tapi kenapa pula dianggap tidak sungguh-sungguh nyata""
BAB 36 KELEMAHAN DALAM RENCANA Dia kembali terbaring menghadap tanah. Bau hutan memenuhi lubang hidungnya.
Dia bisa merasakan tanah keras dan dingin dibawah pipinya, dan gagang kacamatanya yang terhantam dari samping akibat jatuhnya mengiris pelipisnya.
Seluruh tubuhnya gatal, dan bagian dimana Kutukan Pembunuh (Killing Curse) menghantamnya terasa seperti luka akibat tinju besi. Dia tak bergerak tapi tetap berada di tempat dia jatuh, dengan kedua lengan tertekuk membentuk sudut aneh, dan mulut terbuka.
Dia berharap mendengar sorak-sorai kemenangan dan kegembiraan atas kematiannya, namun yang terdengar memenuhi udara adalah langkah kaki yang
tergopoh-gopoh, bisik-bisik dan gumaman.
" Tuanku... Tuanku..."
Itu suara Bellatrix, dan suaranya seolah ditujukan buat seorang kekasih. Harry tak berani membuka mata tapi membiarkan indera lainnya mengenali situasi.
Dia tahu tongkatnya masih terselip dibawah jubahnya karena bisa dirasakannya terjepit di antara tanah dan dadanya. Sedikit tekanan dibagian perutnya memberitahu bahwa Jubah Gaib masih ada di sana, tersembunyi dari pandangan.
"Tuanku..." "Itu sudah cukup..." suara Voldemort.
"Langkah kaki makin banyak. Sejumlah orang mundur dari satu titik Sangat ingin melihat apa yang sedang terjadi dan apa sebabnya, Harry membuka matanya sesedikit mungkin.
Voldemort terlihat mencoba berdiri. Sejumlah Pelahap Maut buru-buru menjauh darinya, kembali ke gerombolan yang melingkari tempat terbuka itu.
Hanya Bellatrix yang tetap Tinggal di belakang, berlutut di sisi Voldemort. Harry menutup mata kembali dan mempertimbangkan apa yang telah dilihatnya.
Para Pelahap Maut tadi berkerumun di sekeliling Voldemort, yang sepertinya telah terjatuh ke tanah. Sesuatu telah terjadi ketika dia menghantam Harry dengan Kutukan Pembunuh. Apa Voldemort tadi pingsan" Sepertinya begitu.
Mereka berdua sama-sama jatuh tak sadarkan diri, dan sekarang keduanya kembali...
"Tuanku, Biar aku -"
Aku tak butuh bantuan", kata Voldemort dingin, dan meski tak bisa melihatnya Harry membayangkan Bellatrix menjulurkan tangan hendak menolong. "Anak itu...sudah matikah dia""
Keheningan yang amat sangat di tempat itu. Tak ad ayang mendekati Harry, tapi dia merasakan tatapan mata berpusat kepadanya; seolah-olah tatapan itu mendesaknya masuk ke tanah, dan dia takut sewaktu-waktu jari atau kelopak matanya bergerak.
"Kau", kata Voldemort dan terdengar suara letupan dan jeritan kecil. "Periksa dia. Beritahu apa dia sudah mati" Harry tak tahu siapa yang diperintah itu. Dia hanya bisa berbaring di sana
dengan jantung yang berdebum-debum kencang, dan menunggu diperiksa, tapi pada saat yang sama sedikit lega karena Voldemort kuatir mendekatinya, karena Voldemort curiga rencananya tidak berjalan baik...
Tangan-tangan, lebih lembut dari yang dia perkirakan, menyentuh wajah Harry, menarik kelopak matanya, menyelinap ke balik bajunya, turun ke dadanya dan merasakan jantungnya. Dia bisa me
ndengar nafas pendek-pendek wanita itu, rambutnya yang panjang menggelitik wajahnya. Harry tahu dia bisa merasakan dentaman jantungnya.
"Apakah Draco masih hidup" Apa dia di kastil""
Bisikan itu hampir-hampir tak terdengar, dan bibirnya hapi rmenyentuh telinga Harry, kepalanya menunduk begitu rendah sampai-sampai rambutnya menghalangi wajahnya dari pandangan mereka yang memperhatikan.
"Ya" Dia merasakan tangan di atas dadanya mengejang: kuku-kukunya menusuk Harry. Lalu tangan itu ditarik. Dia sudah bangkit.
"Dia sudah mati!" seru Narcissa Malfoy kepada semua yang menonton.
Dan kini mereka berteriak-teriak, menyorakkan kemenangan dan membanting-banting kaki ke tanah, dan lewat garis matanya Harry melihat ledakan cahaya merah dan perak melesat ke udara sebagai perayaan.
Masih berpura-pura mati di tanah, dia mengerti. Narcisaa tahu satu-satunya cara dia diperbolehkan memasuki Hogwarts, dan menemukan anaknya, adalah sebagai bagian dari pasukan pemenang ini. Dia tak lagi peduli apakah Voldemort menang.
"Kau lihat"", lengking Voldemort mengatasi keriuhan itu. "Harry Potter mati di tanganku, dan tak ada lagi yang bisa mengancamku sekarang! Perhatikan!
Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Crucio!" Harry sudah menduganya, tubuhnya takkan dibiarkan tetap berada di tanah hutan itu tanpa hinaan; dia harus dipermalukan demi membuktikan kemenangan Voldemort. Dia diangkat ke udara, dan butuh seluruh keteguhan hatinya untuk tetap lemas, namun rasa sakit yang dia nantikan tak datang juga. Dia dilemparkan sekali, dua kali, tiga kali ke udara. Kacamatanya terlempar dan dia merasakan tongkatnya meluncur sedikit di balik jubahnya, tapi dia terus bersikap seolah-olah mati, dan ketika dia terlempar untuk terakhir kalinya, tempat itu penuh dengan ejekan dan jerit tawa.
"Sekarang", kata Voldemort, "kita ke kastil dan memperlihatkan kepada mereka nasib pahlawan mereka. Siapa yang akan menyeret mayat ini" Tidak
- tunggu -" Kembali terdengar ledakan tawa, dan beberapa saat lama kemudian Harry merasakan tanah bergetar di bawahnya.
"Kau bawa dia", kata Voldemort. "Dia akan baik dan terlihat jelas di lenganmu, iya kan" Angkat teman kecilmu, Hagrid. Dan kacamatanya -pakaikan kacamatanya- dia harus dikenali-"
Dengan tenaga kuat seseorang memasangkan kembali kacamata Harry ke wajahnya, tapi tangan besar yang mengangkatnya sangat lembut. Harry bisa merasakan lengan Hagrid bergoncang akibat gelombang isaknya; air mata deras menerpa Harry ketika Hagrid membopongnya, dan Harry tak berani memberi isyarat baik lewat gerakan maupun kata-kata bahwa dia tidak mati, belum mati.
"Ayo jalan", kata Voldemort dan Hagrid tertatih melangkah, memaksa maju menerobos pepohonan yang rapat, kembali menembus hutan. Ranting-ranting menyambar rambut dan jubah Harry, tapi dia berbaring diam, mulutnya membuka, dan matanya tertutup, dan dalam kegelapan, sementara para Pelahap Maut berkerumun di sekitar mereka, dan sementara Hagrid terisak-isak, tak seorangpun yang punya pikiran untuk mengecek denyut nadi leher Harry yang tersingkap...
Kedua raksasa berjalan di belakang para Pelapah Maut, menghancurkan yang mereka lewati; Harry bisa mendengat pepohonan patah dan tumbang sementara mereka lewat; hiruk pikuknya begitu hebat sampai-sampai burung-burung menjerit sambil terbang ke angkasa, bahkan sorak-soarai para Pelahap Maut tenggelam. Arak-arakan kemenangan itu terus berbaris menuju tanah terbuka dan sebentar sesudahnya Harry bisa merasakan dari matanya yang tertutup bahwa kegelapan makin berkurang, dan itu berarti pepohonan mulai jarang.
"BANE!" "Teriakan sekonyong-konyong Hagrid hampir saja membuat mata Harry terbuka. "Kalian senang sekarang" Tidak perlu betempur, dasar pengecut.
Kalian senang Harry Potter- m-mati..."
Hagrid tak sanggup meneruskan, tangisnya pecah. Harry menduga-duga berapa banyak centaurs yang sedang mengamati mereka lewat; dia tak berani melihatnya. Beberapa Pelahap Maut meneriakkan ejekan kepada centaurs
sementara mereka lewat. Tak lama kemudian Harry merasakan, lewat segarnya udara, mereka sudah mencapai tepi hutan.
"Stop" Harry mengira Hagrid pastilah dipaksa mentaati perintah Voldemort itu, karen
a Dia berhenti dengan sedikit sentakan. Dan kini hawa turun di tempat mereka berdiri, dan Harry mendengar bunyi kasar nafas para dementor yang berjaga-jaga di sekitar pepohonan tepi luar hutan. Mereka tak menimbulkan akibat apaapa baginya sekarang. Fakta akan keselamatannya menyala dalam dirinya, menjadi azimat terhadap mereka, seolah-olah rusa jantan ayahnya berjaga-jaga di hatinya.
Seseorang lewat dekat Harry, dan dia tahu itu adalah Voldemort sendiri karena dia berbicara sesaat kemudian, suaranya secara sihir berlipat kali ganda sehingga membahana, menghantam gendang telinga Harry.
"Harry Potter sudha mati. Dia terbunuh ketika melarikan diri, berusaha mencari selamat sementara kalian menyerahkan nyawa kalian demi dia. Kami bawa mayatnya sebagai bukti kalau pahlawan kalian telah tiada"
"Peperangan ini sudah kami menangkan. Kalian telah kehilangan setengah dari pejuang. Para Pelahap Mautku lebih banyak dibanding kalian, dan Anak Yang Selamat itu sudah tamat riwayatnya. Jangan ada lagi perang. Barangsiapa ingin terus menentang, baik laki-laki, perempuan, atau anak kecil, akan dibantai, begitu juga anggota keluarganya. Keluarlah dari kastil sekarang, berlututlah di hadapanku, dan kalian akan diampuni. Orangtua dan anak-anak kalian, saudara-saudara kalian akan hidup dan dimaafkan, dan kalian akan bergabung denganku di dunia baru yang akan kita bangun bersama"
Ada keningan baik di luar maupun di dalam kastil. Voldemort begitu dekat dengannya sampai-sampai Harry tak berani membuka mata lagi.
"Mari", kata Voldemort dan Harry mendengarnya bergerak maju, dan Harry dipaksa mengikuti. Sekarang Harry membuka sedikit matanya dan melihat Voldemort melangkah di depan mereka, membawa si ular besar Nagini di pundaknya, kali ini sudah tanpa kandangnya. Tapi Harry tak mungkin menghunus tongkat di balik jubahnya tanpa terlihat para Pelahap Maut yang berjalan di kedua sisi mereka sementara kegelapan perlahan makin menipis.
"Harry", isak Hagrid. "Oh, Harry...Harry..."
Kembali Harry menutup rapat matanya. Dia tahu mereka sedang mendekati kastil dan menajamkan telinganya untuk memisahkan antara suara para Pelahap Maut dan derap kaki mereka dengan tanda-tanda kehidupan dari dalam kastil sana.
"Stop." Para Pelahap Maut berhenti. Harry mendengar mereka menyebar membentuk garus menghadap pintu masuk sekolah itu. Dia bisa lihat, meski lewat matanya tertutup, kilau kemerahan yang adalah cahaya yang diarahkan kepadanya dari dalam aula masuk. Dia menunggu. Sewaktu-waktu orang-orang yang dia coba selamatkan dengan kematiannya akan melihatnya, terbaring mati dipangkuan Hagrid.
TIDAK!" Teriakan itu terasa mengerikan karena dia tak pernah menduga atau memimpikan bahwa that Professor McGonagall mampu mengeluarkan suara semacam itu. Dia mendengar seorang wanita lain tertawa di dekatnya, dan tahu kalau Bellatrix gembira sekali atas keputusasaan McGonagall. Dia kembali membuka mata sekejap, dan melihat pintu masuk yang terbuka dipenuhi orang sementara mereka yang selamat dari pertempuran berjalan ke anak tangga luar untuk menghadap penakluk mereka dan melihat kebenaran tentang matinya Harry dengan mata mereka sendiri. Dia melihat Voldemort berdiri sedikit di depannya, mengelus-elus kepala Nagini dengan satu jari putihnya. Dia tutup matanya kembali.
"Tidak!" "Tidak!" "Harry! HARRY!"
Suara Ron, Hermione, dan Ginny lebih mengerikan dari suara McGonagall; satusatunya keinginan Harry sata itu adalah untuk membalas panggilan mereka, tapi dia tetap berbaring diam. Dan teriakan mereka tadi memicu teriakan dan jeritan orang-orang lain, memaki-maki para Pelahap Maut, hingga -"
"DIAM!" seru Voldemort, dan terdengar letusan disertai kilatan cahaya terang, dan mereka semua dipaka diam. "Semua sudah berakhir. Turunkan dia, Hagrid, di kakiku, tempat dimana dia seharusnya berada!"
Harry merasakan tubuhnya diturunkan ke atas rerumputan.
"Kalian lihat"" kata Voldemort, dan Harry merasa dia melangkah maju-mundur di samping tempatnya tergeletak. "Harry Potter sudah mati! Kalian mengerti sekarang, kalian orang-orang yang tertipu""Dia tidak ada apa-apanya, dari dulu, Cuma anak ya
ng mengandalkan orang lain berkorban untuk dirinya!"
"Dia mengalahkanmu!" teriak Ron, dan mantera Voldemort tadi pecah dan para
pembela Hogwarts kembali menjerit-jerit dan berteriak-teriak hingga letusan kedua, yang lebih nyaring melenyapkan suara mereka kembali.
"Dia terbunuh sewaktu mencoba menyelinap keluar dari halaman kastil", kata Voldemort, ada kenikmatan dalam suaranya ketika mengucapkan kebohongan itu, "terbunuh sewaktu mencari selamat sendiri-"
Tapi ucapan Voldemort tiba-tiba terputus: Harry mendengar perkelahian, dan suara letusan lagi, kilatan cahaya, dan jerit kesakitan; dibukanya matanya sedikit sekali. Seseorang telah melompat keluar dari kerumunan dan menyerang Voldemort; dia lihat orang itu terjatuh ke tanah. Voldemort melucutinya dan membuang tongkat si penantang sambil tertawa.
"Dan siapa ini"", dia bertanya dengan suara desisan ular. "Siapa yang rela menunjukkan apa yang terjadi kepada mereka yang terus melawan padahal sudah kalah""
Bellatrix melontarkan tawa gembira.
"Itu Neville Longbottom, Tuanku! Anak yang begitu merepotkan Carrow! Anak sang Auror, Tuanku ingat""
"Ah, ya, Aku ingat", kata Voldemort sambil menatap Neville yang sedang berusaha berdiri kembali, tanpa senjata, tanpa perlindungan, berdiri di tanah tak bertuan di tengah-tengah para pejuang yang selamat dan para Pelahap Maut. "Tapi kau ini berdarah murni, bukan, Bocah berani"" Voldemort bertanya kepada Neville yang berdiri menghadapnya, tangan kosongnya mengepal.
"Memangnya kalau betul kenapa"" kata Neville dengan suara nyaring.
"Kau memperlihatkan semangat dan keberanian, dan kau berasal dari keturunan ningrat. Kau akan menjadi Pelahap Maut yang sangat berguna. Kami perlu orang semacam kau, Neville"
"Aku akan bergabung jika neraka dingin membeku", kata Neville. "Laskar Dumbledore !" teriaknya dan dibalas seruan dari kerumunan itu, agaknya Mantera Penenang Voldemort tidak cukup kuat menahan mereka.
"Baiklah kalau begitu", kata Voldemort, dan Harry mendengar adanya lebih banyak bahaya dalam suara halusnya dibanding kutukan paling hebat. "Jika itu pilihanmu, Longbottom, kita kembali ke rencana semula. Berdiri tegak" katanya pelan, "jadilah seperti itu"
Masih mengamati dari bulu matanya, Harry melihat Voldemort menggerakkan
tongkatnya. Sesaat kemudian dari salah satu jendela kastil yang rusak, sesuatu yang mirip burung berbentuk aneh terbang dan mendarat di tangan Voldemort.
Dia melambai-lambaikan benda itu dengan ujung jarinya dan benda itu terayun-ayun, kosong dan acak-acakan: Topi Seleksi (Sorting Hat)
"Takkan ada lagi Topi Seleksi di sekolah Hogwarts," kata Voldemort. Takkan ada lagi pembagian kelompok. Lencana, perisai dan warna-warna leluhurku, Salazar Slythering cukup untuk semua orang. Bukankah begitu, Neville Longbottom""
Dia mengarahkan tongkatnya kepada Neville, yang diam kaku, dan memaksakan topi itu ke kepala Neville, sampai turun melewati matanya. Ada gerakan-gerakan dari kerumunan yang menyaksikan di depan kastil, dan serentak para Pelahap Maut mengangkat tongkat mereka, menghempang para pejuang Hogwarts itu.
"Neville sekarang akan mendemonstrasikan apa yang akan terjadi kepada orang yang begitu bodoh terus menentangku", kata Voldemort, dan dengan j entikan tongkatnya dia membuat Topi Seleksi terbakar hangus.
Jeritan-jeritan membahana di subuh hari itu, dan Neville terbakar, terpaku di tempat, tak dapat bergerak dan Harry tak lagi bisa menahannya: Dia mesti bertindak Kemudian banyak peristiwa terjadi pada saat yang bersamaan.
Mereka mendengar hingar-bingar dari perbatasan luar kompleks sekolah ketika apa yang terdengar seperti ratusan orang bergerombol melompati dinding menyerbu kastil sambil meneriakkan jerit perang. Pada saat yang sama, Grawp datang dari balik kastil dengan langkah beratnya dan berseru "HAGGER!".
Teriakannya dibalas kegaduhan kedua raksasa milik Voldemort: mereka berlari ke arah Grawp, langkah-langkah mereka menimbulkan getaran bagai gempa bumi.
Lalu datanglah derap kaki-kaki berkuku dan bunyi busur yang ditarik, dan mendadak anak-anak panah menghujani para Pelahap Maut yang menjerit kaget lalu membubarka
n barisan. Harry menarik Jubah Gaib dari balik jubahnya, mengenakannya dan melompat bangkit, sementara Nevill juga bergerak.
Dengan satu gerakan tangkas lagi lentur Neville membebaskan diri dari Kutuk Ikatan Tubuh; Topi Seleksi yang sedang menyala telah terjatuh lepas darinya dan dia menarik sesuatu dari dalamnya, keperakan, dengan gagang batu delima yang berkilau Tebasan bilah keperakan itu tak terdengar, tenggelam oleh hingar bingar kerumunan yang sadang datang atau bunyi para raksasa yang sedang bertarung atau derap kaki para centaur, namun begitu semua mata seolah tertuju ke sana.
Dengan satu ayunan Neville menebas putus kepala si ular yang lalu terlontar tinggi ke udara, berkilat dalam pancaran cahaya dari dalam ruang masuk aula, dan mulut Voldemort terbuka meneriakkan jerit amarah yang tak terdengar oleh siapapun, lalu tubuh ular itu berdebam ke tanah, dekat kakinya Tersembunyi di balik Jubah Gaib, Harry melontarkan Mantera Pelindung di antara Neville dan Voldemort sebelum Voldemort mengangkat tongkatnya. Lalu, mengatasi semua jeritan dan hingar-bingar dan dentaman kaki para raksasa yang teru bertarung, teriakan Hagrid terdengar paling nyaring.
"HARRY!" teriak Hagrid, "HARRY - DIMANA HARRY""
Kekacauan merajalela. Centaur-centaur yang menyerbu membuat para Pelahap Maut kocar-kacir, tiap orang berusaha lolos dari injakan kaki para raksasa, dan bunyi bala bantuan yang satang menyerbu entah dari mana makin mendekat, Harry melihat makhluk-makhluk bersayap membubung di sekeliling kepala raksasa-raksasa milik Voldemort, thestral dan Buckbeaksang Hippogriff mencakari mereka sementara Grawp meninju mereka bertubi-tubi, dan kini para ahli sihir, pembela-pembela Hogwarts begitu juga para Pelahap Maut terdesak masuk ke dalam kastil. Harry menembakkan sihir dan kutukan kepada setiap Pelahap Maut yang terlihat, dan mereka rebah tanpa tahu apa atau siapa yang telah menghantam mereka, dan tubuh mereka terinjak-injak kerumunan yang mundur itu.
Masih tersembunyi di balik Jubah Gaibnya Harry masuk ruang depan aula: Dia sedang mencari Voldemort dan melihatnya di seberang ruangan, sibuk melontarkan mantera dari tongkatnya sambil mundur ke dalam Aula Besar, sambil tak lupa memberi instruksi kepada para pengikutnya. Harry melontarkan lebih banyak Mantera Pelindung, dan calon korban Voldemort, Seamus Finnigan dan Hannah Abbott ebrgerak melewatinya ke dalam Aula Besar, dimana mereka bergabung dalam pertempuran yang sudah berlangsung sejak tadi.
Dan kini semakin banyak, jauh lebih banyak orang menyerbu naik anak tangga depan, dan Harry melihat Charlie Weasly menyusul Horace Slughorn yang masih mengenakan piyama zamrudnya. Mereka sepertinya kembali memimpin orang-orang yang tampaknya adalah para anggota keluarga dan sahabat-sahabat dari siswa-siswa Hogwarts yang terus bertarung bersama para pemilik toko dan rumah di Hogsmeade. Centaur Bane, Ronan dam Magorian menerjang masuk aula dengan gemerincing kuku mereka, sehingga daun pintu yang menuju dapur di belakang Harry terhempas lepas dari engselnya.
Peri-peri eumah Hogwarts berbondong-bondong masuk ruang depan aula, menjerti-jerit sambil melambai-lambaikan pisau dan golok, dan yang memimpin
mereka adalah Kreacher yang mengenakan liontin Regulus Black di dadanya.
Suaranya yang besar terdengar mengatasi keriuhan.: Lawan! Lawan! Lawan demi Tuanku, pembela peri-peri rumah! Lawan Pangeran Kegelapan, demi nama Regulus yang gagah perkasa! Lawan!"
Mereka menyayat dan menusuk mata dan pergelangan kaki para Pelahap Maut, wajah mereka dipenuhi kebencian, dan dimana-mana Harry melihat para Pelahap Maut terdesak oleh jumlah lawan yang begitu banyak, ditaklukkan dengan mantera, menarik anak panah yang tertancap di tubuh, ditikam di kaki oleh para peri rumah, atau mencoba melarikan diri, tapi tertelan kerumunan yang menerjang masuk
Tapi semua belum berakhir: Harry bergerak cepat melewati mereka yang sedang bertarung, orang-orang yang tertawan dan masuk ke Aula Besar.
Voldemort berada di tengah-tengah pertempuran, dan dia sedang memukul dan menghantam segala yang terjangkaunya. Harry tak bisa menemukan su
dut yang bagus untuk menyerang, tapi dia terus mendekat, masih tak terlihat, dan Aula Besar makin dan makin ramai ketika setiap orang berusaha memaksa masuk.
Harry melihat Yaxley terhempas ke lantai dikalahkan George dan Lee Jordan, melihat Dolohov terjatuh sambil menjerit dikalahkan Flitwick, melihat Walden Macnair terlempar ke seberang ruangan oleh Hagrid, menghantam dinding dan menggelincir tak sadar di lantai. Dia melihat Ron dan Neville menjatuhkan Fenrir Greyback, Aberforth menghantam Stunning Rookwood, Arthur dan Percy membuat Thicknesse tergeletak dilantai, dan Lucius dan Narcissa Malfoy berlari menerobos kerumunan, tanpa niat bertarung, menjerit-jerit mencari anak mereka.
Voldemort sekarang berduel dengan McGonagall, Sloughorn dan Kingsley sekaligus, dan kebencian yang dingin memancar dari wajahnya sementara mereka menyerang dan mengelak di sekelilingnya tanpa bisa menghabisisnya Bellatrix juga sedang bertarung, lima puluh meter jauhnya dari Voldemort, dan seperti tuannya dia melawan tiga orang sekaligus: Hermione, Ginny dan Luna, yang bertarung sekuat tenaga, namun Bellatrix dapat mengimbangi mereka, dan perhatian Harry teralih ketika lontaran Kutukan Pembunuh begitu dekat ke arah Ginny, meleset hanya satu inci Dia berubah haluan, berlari bukan ke arah Voldemort tapi Bellatrix, tapi belum jauh dia berlari mendadak tubuhnya terdorong ke samping.
"JANGAN PUTERIKU, DASAR PEREMPUAN JALANG!"
Nyonya Weasley melemparkan mantelnya sambil berlari, membuat lengannya bebas bergerak. Bellatrix berputar di tempatnya, tertawa terbahak-bahak melihat penantang barunya.
"BERI AKU JALAN!" teriak Nyonya Weasley kepada ketiga gadis itu, dan dengan satu kibasan diapun memulai duel. Harry menyaksikan dengan ngeri bercampur gembira sementara tongkat Molly Weasley mengayun dan berputar, dan senyum Bellatrix Lestrange berubah jadi geraman. Percikan-percikan cahaya meloncat terbang dari kedua tongkat mereka, lantai di sekeliling kedua ahli sihir itu menjadi panas dan retak-retak; kedua perempuan itu bertarung untuk membunuh.
"Jangan!" teriak Nyonya Weasley ketika beberapa siswa maju untuk membantunya. "Mundur! Mundur! Dia milikku!"
Ratusan orang kini berbaris dekat dinding menyaksikan kedua pertarungan itu, Voldemort melawan tiga penantangnya dan Bellatrix vs Molly, dan Harry berdiri tak terlihat, bimbang antara keduanya, ingin menyerang tapi juga melindungi, tak bisa yakin kalau serangannya tak akan mengenai pihak yang tak bersalah.
"Apa yang akan terjadi pada anak-anakmu setelah aku membunuhmu"" ejek Bellatrix, marah seperti tuannya, sambil berloncatan sementara kutukan-kutukan Molly mengepungnya. "Ketika Ibu lenyap seperti Freddie""
"Kau - tidak - akan - pernah - menyentuh - anak - kami - lagi!" seru Nyonya Weasley.
Bellatrix mengeluarkan tawa gembira seperti tawa sepupunya Sirius ketika roboh ke belakang melalui selubung, dan mendadak Harry tahu apa yang akan terjadi.
Kutukan Molly meluncur di bawah lengan Bellatrix yang terentang dan menghantamnya di dada, tepat di atas jantungnya.
Senyum Bellatrix membeku, matanya tampak menonjol ke luar: untuk sepersekian detik dia sadar apa yang terjadi, dan kemudian dia roboh, dan kerumunan penonton bersorak-sorai dan Voldemort menjerit.
Harry merasa seolah-olah dirinya masuk adegan gerak-lambat: dia melihat McGonagall, Kingsley dan Slughorn terpental ke belakang, menggeliat-geliat kesakitan ketika amarah Voldemort atas jatuhnya pembantu terbaiknya, meledak bagaikan bom, Voldemort mengangkat tongkatnya dan mengarahkannya ke Molly Weasley.
"Protego!" seru Harry, dan Mantera Pelindung mengambang di tengah Aula, dan Voldemort menatap sekelilingnya, mencari sumber mantera itu ketika Harry akhirnya menanggalkan Jubah Gaib.
Jeritan kaget, seruan gembira dan teriakan: "Harry! DIA MASIH HIDUP!"
terdengar sekaligus. Kerumunan itu takut, dan keadaan mendadak sangat hening ketika Voldemort dan Harry berpandangan satu sama lain, dan pada saat yang sama saling mengitari satu sama lain.
"Aku tak mau ada yang membantu", kata Harry keras-keras, dan dalam keheningan total suaranya terdengar bagaikan terompe
t perang. "Beginilah seharusnya. Akulah yang harus melakukannya"
Voldemort mendesis. "Potter tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya", katanya, mata merahnya melebar. "Bukan begini cara dia bertindak, bukan". Siapa yang akan kaujadikan pelindungmu kali ini, Potter""
"Tidak ada", kata Harry. "Tak ada lagi Horcrux. Cuma kau dan aku. Yang satu takkan bisa hidup jika yang satunya selamat, dan salah satu di antara kita akan lenyap untuk selamanya..."
"Salah satu"" ejek Voldemort, sekujur tubuhnya menegang dan mata merahnya menatap tajam, bagai seekor ular yang siap menyerang. "Kau pikir kaulah orangnya bukan" Anak yang telah selamat karena kebetulan, dan karena Dumbledore telah meninggalkan kalian""
"Kebetulankah, ketika ibuku mati menyelamatkanku"" tanya Harry. Mereka berdua masih bergerak ke samping, membentuk lingkaran penuh, menjaga jarak yang tetap dari satu sama lain, dan bagi Harry tak ada siapapun di sana kecuali Voldemort. "Kebetulankah, ketika aku memutuskan bertarung di pekuburan"
Kebetulankah, bahwa aku tak membela diri malam ini, tapi masih selamat, dan kembali untuk bertarung lagi""
"Kebetulan!" teriak Voldemort, tapi dia masih belum menyerang, dan kerumunan yang menonton diam membatu seolah-olah terkena mantera Pembeku, dan tampaknya dari ratusan orang yang berada di Aula hanya mereka berdualah yang bernafas. "Kebetulan dan untung-untungan, dan fakta bahwa kau meringkuk dan merengek di balik para pria dan wanita yang lebih hebat, dan membiarkanku membunuh mereka demu kau!"
"Kau takkan membunuh siapapun lagi malam ini", kata Harry sementara mereka memutar dan saling menatap mata masing-masing, yang hijau ke yang merah.
"Kau tak akan mampu membunuh siapapun dari mereka malam ini. Kau masih belum mengerti juga" Aku siap mati untuk menghentikanmu menyakiti orang-orang ini -"
"Tapi kau tidak mati!"
"Aku bersungguh-sungguh, dan aku melakukannya. Aku sudah melakukan apa yang dilakukan ibuku dulu. Mereka terlindung darimu. Belum kau perhatikan jugakah bahwa tak satupun manteramu yang sanggup mengikat mereka" Kau tak bisa menyiksa mereka. Kau tak bsia menyentuh mereka. Kau tak belajar dari kesalahanmu, begitu kan Riddle""
"Beraninya kau -"
"Ya, aku berani", kata Harry. "Aku mengetahui apa yang tak kau ketahui, Tom Riddle. Aku mengetahui banyak hal penting yang kau tak tahu. Mau dengar beberapa, sebelum kau bikin kesalahan besar lain"
Voldemort tak bicara, tapi gerakannya terhenti sejenak, dan Harry tahu kalau dia untuk sementara terpancing, menduga-duga apakah benar Harry memang tahu rahasia terakhirnya...
"Kau mau bilang, cinta lagi"", kata Voldemort, wajah ularnya mengejek. "Solusi favorit Dumbledore, cinta, yang dia bilang mengalahkan maut, meskipun cinta tak menghentikannya jatuh dari menara" Cinta, yang tak menghentikanku menginjak ibumu si darah-lumpur bagaikan kecoa, Potetr - dan tampaknya tak seorangpun cukup mencintaimu hingga mau maju saat ini untuk menerima kutukanku. Jadi apa yang akan bikin kau tak mati kalau aku serang""
"Cuma satu", kata Harry, dan mereka terus mengitari satu sama lain, tertahan oleh satu rahasia terkahir.
"Kalau bukan cinta yang akan menyelamatkanmu kali ini", kata Voldemort,
"kau pasti mengira kau punya sihir yang tak aku miliki, atau sebuah senjata yang lebih hebat dari punyaku""
"Aku kira keduanya", kata Harry dan dia melihat wajah mirip ular itu memancarkan ekspresi terguncang, meski sebantar kemudian hilang; Voldemort mulai tertawa, dan suaranya lebih menakutkan daripada jeritan; tanpa humor dan gila, menggema di Aula yang hening.
"Kau pikir kau lebih tahu sihir dibanding aku"" katanya. "Dibanding Tuan Voldemort yang telah mempraktekkan sihir yang bahkan belum pernah dimimpikan oleh Dumbledore""
"Oh, dia memimpikannya", kata Harry, "tapi dia tahu lebih banyak darimu, tahu untuk tidak melakukan apa yang telah kau lakukan"
"Maksudmu dia manusia lemah!" teriak Voldemort. "Terlalu lemah untuk bersikap berani, terlalu lemah untuk merebut apa yang bisa menjadi miliknya, apa yang akan jadi milikku!"
"Tidak, dia lebih pintar darimu", kata Harry, "ahli sihir dan pria yang lebih baik darimu"
" Akulah yang membuat Albus Dumbledore mati!"
"Pikirmu begitu", kata Harry, "tapi kau keliru".
Untuk pertama kalinya kerumunan penonton bergerak ketika ratusan orang di sekeliling dinding menarik nafas secara serentak.
"Dumbledore sudah mati!" Voldemort melontarkan kata-kata itu seakan-akan bisa membuat Harry kesakitan. "Mayatnya membusuk di makam pualam di halaman kastil ini. Aku sudah melihatnya, Potter, dan dia takkan kembali!"
"Ya, Dumbledore sudah mati", kata Harry tenang, "tapi kau tidak membunuhnya. Dia memilih sendiri caranya mati, memilihnya berbulan-bulan sebelum mati, merencanakan semua bersama orang yang kau kira adalah pelayanmu".
"Kau berkhayal", kata Voldemort, tapi masih juga belum menyerang, dan mata merahnya tidak berpaling dari mata Harry.
"Severus Snape bukan di pihakmu", kata Harry. "Snape ada di pihak Dumbledore.
Di pihak Dumbledore sejak kau mulai memburu ibuku. Dan kau tak pernah menyadarinya karena suatu hal yang tak bisa kau fahami. Kau tak pernah melihat Snape mengeluarkan Patronus, betul Riddle""
Voldemort tak menjawab. Mereka terus memutari satu sama lain bagaikan serigala yang bersiap saling merobek.
"Patronus milik Snape adalah seekor kijang betina", jawab Harry, "sama seperti punya ibuku, karena Snape mencintainya seumur hidupnya, sejak mereka masih kanak-kanak lagi. Kau seharusnya menyadari itu" dia berkata sambil melihat lubang hidung Voldemort mengembang, "Snape memintamu membiarkan ibuku tetap hidup, betul kan""
"Dia berhasrat kepadanya, itu saja", seringai Voldemort, "tapi ketika dia mati, dia setuju bahwa masih ada wanita lain, yang berdarah murni yang lebih
pantas untuknya -" "Tentu saja dia bilang begitu padamu", kata Harry, "tapi dia adalah mata-mata Dumbledore sejak kau mengancam ibuku, dan sejak saat itu dia bekerja menentangmu! Dumbledore sudah sekarat ketika Snape menghabisinya!"
"Itu tak jadi masalah!" pekik Voldemort, tadi dia mendengar setiap kata dengan penuh perhatian, tapi sekarang mengeluarkan pekik tawa tak waras.
"Tak jadi masalah apakah Snape di pihakku atau Dumbledore, atau masalah remeh apa yang mereka coba berikan! Aku menghancurkan mereka seperti aku menghancurkan ibumu, wanita kecintaan Snape! Tapi semuanya masuk akal, Potter, masuk akal secara berbeda dari yang kau fahami!".
"Dumbledore berusaha mencegahku memiliki Tongkat Tua-tua! Dia mau supaya Snape-lah yang jadi pemilik sejati tongkat itu! Tapi aku tiba di sana lebih dulu darimu, bocah kecil - aku memegang tongkat itu sebelum kau menyentuhnya, aku tahu kebenaran sebelum kau menyusul. Aku bunuh Severus Snape tiga jam yang lalu, dan Tongkat Tua-tua, tongkat maut, tongkat takdir benar-benar jadi milikku! Rencana terakhir Dumbledore gagal, Harry Potter!"
"Yah, memang betul", kata Harry, "Kau benar. Tapi sebelum mencoba membunuhku, aku sarankan kau pikirkan lagi apa yang telah kau lakukan...
Pikirkan, tidakkah kau punya penyesalan"
"Apa pula ini""
Dari semua yang telah Harry ucapkan kepadanya, melebihi rahasia yang dia beberkan atau ejekan yang dia sampaikan, tak ada yang membuat syok Voldemort selain yang ini. Harry melihat pupil matanya mengecil jadi irisan tipis, kulit di sekitar matanya memutih.
"Ini kesempatan terakhirmu", kata Harray, "Cuma ini yang masih kau punya.. .aku sudah melihat apa jadinya kau kalau kau masih meneruskan.. .jadilah seorang laki-laki, sobalah menyesali..."
"Beraninya kau -" kata Voldemort lagi, "Ya, aku berani", kata Harry, "karena rencana terakhir Dumbledore sama sekali tidak berbalik padaku, tapi berbalik padamu, Riddle"
Tangan Voldemort yang memegang Tongkat Tua-tua gemetar, dan Harry menggenggam tongkat Draco erat-erat. Momen yang menentukan itu, dia tahu, sesaat lagi akan tiba.
"Tongkat itu masih tak berfungsi dengan baik bagimu karena kau membunuh
orang yang salah. Severus Snape takpernah jadi pemilik sejati Tongkat Tua-tua. Dia tak pernah mengalahkan Dumbledore"
"Dia membunuh -"
"Kau menyimak tidak" Snape tak pernah mengalahkan Dumbledore! Kematian Dumbledore sudah direncanakan mereka berdua! Dumbledore memang ingin mati, tanpa dikalahkan, dialah pemilik sejati terakhir tongkat
itu! Kalau rencana itu berjalan baik, maka kekuatan tongkat itu akan mati bersamanya, karena tongkat itu tak pernah dimenangkan dari dia!"
"Tapi, Potter, Dumbledore sama saja dengan sudah menyerahkan tongkat itu kepadaku", suara Voldemort bergetar dengan nada puas yang jahat. "Aku mencuri tongkat ini dari kubur pemilik terakhirnya! Aku ambil dia di luar kemauan tuannya yang terakhir! Kekuatannya j adi milikku!"
"Kau masih belum mengerti juga rupanya, Riddle" Memiliki tongkat itu tidaklah cukup. Memegangnya, menggunakannya, tidak membuatnya menjadi milikmu sesungguhnya. Tidakkah kau dengar kata-kata Ollivander" Tongkatlah yang memilih tuannya.. .Tongkat Tua-tua mengenali tuannya yang baru sebelum Dumbledore wafat, seseorang yang belum pernah menyentuhnya. Tuan barunya melepaskan tongkat itu dari Dumbledore di luar kemauan Dumbledore sendiri, tanpa menyadari apa sebenarnya yang telah dia lakukan, tanpa menyadari bahwa tongkat paling berbahaya di dunia telah menyatakan kesetiaan kepadanya..."
Dada Voldemort kembang kempis dengan cepat, dan Harry bisa merasakan datangnya kutukan, merasakannya terbentuk di dalam tongkat yang terarah ke wajahnya.
"Pemilik sejati Tongkat Tua-tua adalah Draco Malfoy"
Keterkejutan hampa terpampang di wajah Voldemort untuk sesaat, tapi kemudian berlalu.
"Itu tak jadi masalah," katanya pelan. "Kalaupun kau benar, Harry, taoh tak ada bedanya buatmu dan aku. Kau tak lagi punya tongkat burung phoneix: kita berduel semata-mata mengandalkan keahlian.. .dan setelah membunuhmu akiu bisa mencari Malfoy..."
Tapi kau sudah terlambat",kata Harry. "Kesempatan terakhirmu sudah lewat.
Aku sampai lebih dulu. Aku mengalahkan Draco berminggu-minggu lalu. Aku ambil tongkatnya dari dia"
Harry mengacungkan tongkat di tangannya dan mata semua orang di Aula tertuju ke benda itu.
"Jadi semuanya akhirnya berujung pada soal ini, bukan"" bisik Harry. "Apakah tongkat di tanganmu tahu kalau pemilik terakhirnya sudah dilucuti" Karena kalau ia memang tahu.. .Akulah pemilik sejati Tongkat Tua-tua"
"Semburat cahaya merah tiba-tiba melintasi angkasa di atas mereka ketika sinar matahari muncul dari atas jendela dekat mereka. Cahaya itu jatuh ke wajah mereka berdua pada waktu yang bersamaan, sehingga Voldemort mendadak terlihat kabur. Harry mendengar pekikan tinggi sementara dia juga berseru sekeras-kerasnya ke langit sambil mengarahkan tongkat Draco:
"Avada Kedavra!"
"Expelliarmus!"
Terdengar letusan bagaikan tembakan meriam, dan nyala keemasan yang meledak di antara mereka mereka, tepat di pusat lingkaran yang mereka bentuk, menandai titik dimana mantera mereka bertumbukan. Harry melihat pancaran hijau mantra Voldemort beradu dengan mantranya sendiri, melihat Tongkat Tua-tua melayang tinggi, gelap kontras terhadap cahaya matahari pagi, berputarputar diudara bagaikan kepala Nagini, berputar menuju tuannya yang tak akan dibunuhnya, tuan yang pada akhirnya datang untuk mengambil kepemilikan tongkat itu sepenuhnya. Dan Harry, dengan kecakapan tanpa cela seorang Seeker, menangkap tongkat itu dengan tangannya yang bebas sementara Voldemort jatuh ke belakang dengan kedua lengan terbentang, mata merahnya yang berpupil tipis berputar ke atas. Tom Riddle menghantam lantai, tubuhnya layu dan mengkerut, tangan putihnya kosong, wajahnya yang mirip ular kini hampa sama sekali. Voldemort mati, terbunuh oleh kutukan sendiri yang berbalik menyerangnya, dan Harry berdiri dengan dua tongkat di tangannya, menatap mayat musuhnya.
Untuk sejenak keheningan terasa mencekam, perasaan syok menggantung di udara: lalu kegemparan pecah di sekeliling Harry ketika jeritan, sorak sorai dan raungan membelah udara. Mentari pagi bersinar menerangi jendela Aula sementara mereka menerjang ke arah Harry, dan yang pertama mencapainya adalah Ron dan Hermione, dan lengan mereka memeluknya disertai teriakan memekakkan yang sulit dimengerti. Kemudian Ginny, Neville dan Lunapun ada di sana, disusul seluruh anggota keluarga Weasley dan Hagrid, juga Kingsley dan McGonagall dan Flitwick dan Sprout, dan Harry tak bisa mendengar satu katapun yang diteriakkan, dan tak bisa memast
ikan tangan siapa yang sedang menariknya, mencoba memeluk sebgaian tubuhnya, ratusan dari mereka mendesak, semuanya
bertekad menyentuh Anak Yang Selamat, yang membuat semuanya berakhir -.
Matahari meninggi di atas Hogwarts, dan Aula Besar terang benderang oleh cahaya dan kehidupan. Harry menjadi bagian utama dari apa yang berlangsung di sana, campuran antara tumpahan kegirangan dan perkabungan, antara dukacita dan perayaan. Mereka menginginkan dia di sana, pemimpin dan simbol, penyelamat dan penuntun mereka, dan nampaknya tak seorangpun menyadari bahwa dia sudah lama tak tidur dan merindukan ditemani hanya oleh beberapa diantara mereka saja. Dia mesti berbicara kepada mereka yang kehilangan, menggenggam tangan mereka, menyaksikan air mata mereka, menerima ucapan terima kasih mereka, menerima berita dari segala penjuru sementara pagi beranjak ke siang; bahwa di mana-mana orang yang terkena kutuk Imperius telah terbebas, bahwa para Pelahap Maut telah melarikan diri atau tertangkap, bahwa orang-orang tak bersalah yang dijebloskan ke Azkaban telah dibebaskan saat itu juga, dan bahwa Kingsley Shacklebolt telah diangkat sebagai pejabat sementara Kementerian Sihir.
Mereka memindahkan mayat Voldemort dan meletakkannya di sebuah kamar di Aula, terpisah dari mayat Fred, Tonks, Lupin, Colin Creevey dan lima puluh lainnya yang gugur menentangnya. McGonagall telah menggantikan meja-meja Asrama, tidak lagi bahwa tiap orang harus duduk menurut Asramanya; mereka bercampur-aduk, guru dan murid, hantu dan orangtua, centaur dan peri-rumah, dan Firenze berbaring memulihkan diri di lantai, dan Grawp mengintip dari jendela pecah, dan orang-orang melemparkan makanan ke mulut-mulutt mereka sambil tertawa-tawa. Sesudah beberapa lama, lelah dan terkuras, Harry terduduk di bangku di samping Luna.
"Kalau aku jadi kau, aku pasti akan mencari tempat sepi dan tenang", katanya.
"Ya, memang aku memerlukannya", jawabnya.
"Aku akan mengalihkan perhatian mereka semua", katanya, "Pakai Jubah Gaibmu"
Dan sebelum Harry mengucapkan apapun, Luna berteriak, "Ooohh, lihat, Blibbering Humdinger!!" dan menunjuk ke luar jendela. Semua yang mendengar menoleh dan Harry menutupi tubuhnya dengan Jubah Gaibnya dan berdiri.
Kini dia bisa bergerak sepanjang Aula tanpa diganggu. Dia menemukan Ginny dua meja jauhnya; dia sedang duduk bersandar di bahu ibunya: nanti akan ada banyak waktu untuk mereka bicara, berjam-jam, berhari-hari, bahkan mungkin bertahun-tahun waktu yang akan mereka miliki. Dia melihat Neville, makan di kelilingi pengagum yang antusias sementara pedang Gryffindor tergeletak di samping piringnya. Dia melangkah di antara barisan meja dan menemukan ketiga
anggota keluarga Malfoy, berkerumun seakan tak yakin apakah mereka patut atau tidak berada di sana, tapi tak ada yang memperhatikan mereka. Kemanapun dia mengarahkan mata, dia melihat keluarga-keluarga berkumpul kembali, dan akhirnya dia melihat dua orang yang kehadirannya paling dia rindukan.
"Ini aku" gumamnya sambil membungkuk di tengah-tengah mereka, "Mau ikut aku""
Mereka segera berdiri, dan bersama-sama, dia, Ron dan Hermione meninggalkan Aula Besar. Sebagian besar dari anak tangga marmer telah hilang, begitu pula dengan pegangannya, dan serpihan-serpihan dan noda darah berkali-kali mereka temukan sementara mereka naik.
Di kejauhan mereka dapat mendengar Peeves melintasi koridor-koridor sambil menyanyikan lagu kemenangan gubahan sendiri: Kita berhasil, kita hancurkan mereka, wee...Potter lah orangnya, dan Voldy sudah lapuk, mari bersenang-senang!
"Benar-benar menggambarkan apa yang telah terjadi bukan"" kata Roni sambil mendorong pintu untuk Harry dan Hermione.
Kebahagiaan akan datang, pikir Harry, tapi saat ini perasaannya teredam oleh kelelahan yang amat sangat, dan sakit karena kehilangan Fred, Lupin dan Tonks menusuknya bagaikan luka fisik setiap dia melangkah. Tapi diatas itu semua, dia merasakan kelegaan luar biasa, dan keinginan yang hebat untuk tidur. Tapi pertama-tama dia berhutang penjelasan kepada Ron dan Hermione, yang telah setia bersamanya begitu lamanya, dan yang patut mengetahui kebenar
an. Dengan bersusah payah dia ceritakan kembali apa yang telah dia lihat di Pensieve dan apa yang terjadi di hutan, dan mereka belum lagi menyatakan keterkejutan mereka ketika akhirnya mereka tiba di tujuan langkah-langkah mereka, meski tadi tak seorangpun menyebut-nyebut soal tujuan.
Sejak kali terakhir dia melihatnya, gargoyle yang menjaga pintu masuk ruang kepala sekolah telah terdorong ke samping, berdiri berat sebelah, terlihat sempoyongan seperti baru kena tinju, dan Harry bertanya-tanya apakah dia masih bisa membedakan kata-kata kunci.
"Bolehkah kami naik"" tanyanya kepada si gargoyle.
"Silahkan", kata patung itu.
Mereka memanjat naik ke atasnya dan ke anak tangga batu berbentuk spiral yang bergerak naik perlahan bagaikan eskalator. Harry mendorong terbuka pintu di puncak.
Sekilas dia melirik Pensieve yang telah dia tinggalkan di atas meja, dan kemudian bunyi memekakkan telinga membuatnya menjerit, membayangkan kutuk dan Pelahap Maut yang kembali dan Voldemort yang lahir kembali Tapi ternyata itu adalah bunnyi tepuk tangan. Dari sekeliling dinding, para kepala sekolah Hogwarts memberi dia applause sambil berdiri; mereka melambai-lambaikan topi mereka dan bahkan wig mereka, mereka menjulurkan tangan melalui pigura saling berpegangan; mereka mencari-nari di kursi mereka: Dilys Derwent tanpa malu-malu menangis; Dexter Fortescue menggoyang-goyangkan telinga-terompetnya; dan Phineas Nigellus berseru dengan nada tinggi, "Dan biarlah jadi perhatian bahwa Rumah Slytherin menjalankan peranannya! Biarlah sumbangsih kita tak dilupakan!"
Tapi mata Harry tertuju hanya kepada pria yang berdiri di potret paling besar tepat di belakang kursi kepala sekolah. Air mata jatuh di balik kaca mata berbentuk bulan separuh, bergulir ke janggut peraknya yang panjang, dan kebanggaan dan rasa terima kasih yang memancar dari dirinya memenuhi Harry bagaikan nyanyian phoenix.
Akhirnya Harry mengangkat tangan dan potret-potret di dinding mendadak diam dengan hormat, berseri-seri sambil mengusap air mata, dan dengan antusias menunggu Harry bicara. Namun dia mengarahkan kata-katanya kepada Dumbledore, dan memilih kata-katanya dengan cermat. Meskipun lelah dan matanya berat, dia mesti melakukan usaha terakhir, meminta saran terakhir.
"Benda yang tersembunyi dalam Snitch", kata memulai, "Aku menjatuhkannya di hutan. Persisnya aku tidak tahu, tapi aku tak akan mencarinya lagi. Apakah Anda setuju""
"Aku setuju Nak", kata Dumbledore, sementara rekan-rekannya terlihat bingung dan penasaran. "Keputusan bijak dan berani, tapi tak kurang dari itulah yang aku harapkan darimu. Apa ada orang lain yang tahu dimana jatuhnya""
"Tidak ada", kata Harry dan Dumbledore mengangguk puas.
"Tapi aku akan menyimpan hadiah dari Ignotus", kata Harry dan Dumbledore tersenyum. "Tentu saja, Harry, itu milikmu selamanya, sampai kau meneruskannya!" "Dan juga ada ini".
Harry mengangkat Tongkat Tua-tua, dan Ron dan Hermione memandang benda itu dengan ekspresi takzim yang tak disukai Harry.
"Aku tak menginginkannya", kata Harry. "Apa"" seru Ron, "Kau gila ya!"
"Aku tahu benda ini kekuatannya hebat sekali", kata Harry dengan nada letih. "Tapi aku lebih senang dengan punyaku. Jadi..."
Dia meraba-raba ke dalam kantong yang tergantung di lehernya, dan menarik keluar dua paruh tongkat kayu holly yang patah, yang masih terhubung oleh bulu phoenix. Hermione bilang benda itu tak mungkin lagi diperbaiki, bahwa kerusakannya sudah terlalu parah. Yang dia tahu adalah, kalau yang ini tidak mampu memperbaikinya, tak ada lagi yang bisa.
Dia meletakkan tongkat yang patah itu di atas meja sang kepala sekolah, menyentuhnya dengan ujung Tongkat Tua-tua, dan mengucapkan, "Reparo"
Dan tongkatnya menyatu kembali, percikan-percikan merah terbang dari ujungnya. Harry tahu dia sudah berhasil. Dia angkat tongkat kayu holly dan phoenix itu dan mendadak merasakan hawa hangat di jemarinya, seakan-akan tongkat dan tangannya bersukacita atas reuni mereka.
"Aku menaruh Tongkat Tua-tua (Elder Wand)", dia memberitahu Dumbledore yang sedang menyaksikannya dengan sikap sayang dan bangga yang meluap,
"kembali ke te mpat dari mana dia datang. Dia bisa tinggal di sana. Kalau aku meninggal secara alami seperti Ignotus, kekuatannya akan punah bukan""
Tuannya tidak akan pernah dikalahkan. Dengan begitu dia berakhir" Dumbledore mengangguk. Mereka tersenyum satu sama lain.
"Apa kau yakin"" kata Ron. Ada sedikit nada mendamba dalam suaranya ketika menatap Tongkat Tua-tua. "Aku pikir Harry benar", kata Hermione pelan.
"Tongkat itu lebih banyak bikin masalah daripada kebaikan", kata Harry, "Dan sejujurnya", dia berpaling dari potret-potret itu dan kini hanya memikirkan ranjang dengan empat poster yang menunggunya di Menara Gryffindor, dan bertanya-tanya apakah Kreacher akan membawakannya sandwicth ke sana, "Aku sudah cukup mendapat masalah untuk seumur hidup"
EPILOG SEMBILAN BELAS TAHUN KEMUDIAN
Musim sepi kelihatannya tiba mendadak tahun itu. Pagi pertama bulan September terasa segar bagaikan apel, dan sementara keluarga kecil itu bergerak sepanjang jalan yang penuh suara gaduh menuju stasiun, asap kendaraan dan nafas para pejalan kaki mengambang bagaikan jaring laba-laba di udara dingin. Dua sangkar besar berderik-derik di bagian paling atas troli yang penuh muatan sementara kedua orangtua mendorongnya; burung hantu di dalamnya berkukuk marah, dan gadis berambut merah berjalan ketakutan di belakang saudara-saudara lakilakinya sambil memegang lengan ayahnya.
"Tidak lama lagi, kau akan pergi juga", kata Harry kepadanya. "Dua tahun", dengus Lily, "Aku mau pergi sekarang!"
"Orang-orang di stasiun itu menatap penasaran burung-burung hantu ketika keluarga itu bergerak menuju palang diantara peron 9 dan 10, suara Albus terdengar di telinga Harry mengatasi keramaian; putera-puteranya melanjutkan pertengkaran mereka yang tadi sudah di mulai di dalam mobil.
"Nggak! Aku nggak mau j adi Slytherin!"
"James, sudahlah!" kata Ginny.
"Aku kan cuma bilang mungkin saja", kata James sambil menyeringai ke arah adiknya. "Nggak apa-apa kan, kalau dia jadi Slyth-"
Tapi James menangkap tatapan mata ibunya dan terdiam. Kelima anggota keluarga Potter mendekati palang. Sambil melemparkan pandangan sedikit congkak ke arah adiknya lewat bahunya, James mengambil troli dari ibunya dan segera berlari. Sebentar kemudian dia sudah lenyap.
"Kalian akan mengirimku surat kan"" Albus segera bertanya kepada ayah ibunya. "Setiap hari, kalau kau mau", kata Ginny.
"Jangan setiap hari", kata Albus cepat, "James bilang kebanyakan orang cuma menderima surat dari rumah sebulan sekali"
"Kami mengirim James tiga kali tahun lalu", kata Ginny.
"Dan kami nggak mau kau percaya semua apa yang dia katakan tentang Hogwarts", Harry menambahkan. "Kakakmu itu suka membanyol"
Berjalan berdampingan, mereka mendorong troli kedua maju makin cepat. Ketika mencapai palang, Albus mengeryit tapi tidak terjadi benturan. Malahan keluarga itu muncul di peron 93/4 yang diselimuti uap putih tebal yang keluar dari kereta
Hogwarts Express. Sosok-sosok tak jelas bergerak bergerombol menembus kabut, kearah mana James sudah menghilang..
"Di mana mereka"" tanya Albus antusias sambil mengamati sosok-sosok kabur yang mereka lewati. "Mereka akan kita temukan", kata Ginny dengan nada pasti.
Tapi kabut itu sangat tebal, dan sulit mengenali wajah orang. Suara-suara yang terucap tanpa orangnya terlihat, terdengar keras tak wajar, Harry merasa mendengar Percy berbicara keras-keras mengenai peraturan sapu terbang, dan dia senang tak perlu berhenti mengucapkan salam.
"Al, itu sepertinya mereka" mendadak Ginny berkata.
Sekelompok orang muncul dari kabut, berdiri di samping gerbong terakhir.
Wajah mereka makin jelas ketika Harry, Ginny, Lily, dan Albus mendekat.
"Hi", kata Albus dengan nada penuh kelegaan.
Rose yang sudah mengenakan jubah Hogwartsnya yang baru, tersenyum padanya.
"Parkirnya mulus"" Ron bertanya kepada Harry. "Kalau aku mulus. Hermione tak percaya aku lulus ujian mengemudi kaum Muggle, iya kan" Dia pikir aku harus memanterai petugas ujiannya"
"Aku tidak bilang begitu" kata Hermione, "Aku sepenuhnya yakin padamu"
"Sebenarnya aku memang mengacaukan si penguji dengan mantera", bisik Ron ke telinga Harry ketika me
reka mengangkat koper dan burung hantu Albus ke dalam kereta, "Aku cuma lupa melihat kaca spion, dan kau tau sendiri kan, aku bisa memakai mantera Indera-super untuk itu"
Kembali ke peron, mereka menemukan Lily dan Hugo, adik Rose, sedang asyik mendiskusikan ke dalam asrama mana mereka akan diterima kalau nanti mereka masuk Hogwarts.
"Kalau kau nggak masuk Gryffindor, kau nggak akan dapat warisan", kata Ron, "Tapi nggak ada paksaan kok..." "Ron!"
Lily dan Hugo tertawa, tapi Albus terlihat tenang. "Dia cuma bercanda", kata Hermione dan Ginny, tapi Ron sudah tak memperhatikan lagi. Dia menangkap tatapan Harry dan mengangguk tak kentara ke sebuah titik 50 yard jauhnya.
Untuk sesaat uap menipis dan tiga orang terlihat berdiri jelas di tengah kabut yang bergerak.
"Lihat siapa itu"
Draco Malfoy berdiri di sana bersama istri dan puteranya, mantel berwarna gelap terkancing sampai lehernya. Rambutnya terlihat menipis, makin menonjolkan dagu tajamnya. Anak lelaki yang baru itu mirip Draco, mengimbangi kemiripan Albus dengan Harry. Draco menyadari keberadaan Harry, Ron dan Hermione, dan Ginny menatapnya, mengangguk singkat dan berpaling.
"Jadi itu si kecil Scorpius", kata Ron pelan. "Pastikan kau menang melawan dia dalam setiap ujian, Rosie. Sukurlah kau mewarisi otak ibumu"
"Astaga Ron!" kata Hermione dengan suara tegas bercampur senang. "Jangan kau bikin mereka jadi musuh, masuk sekolah saja belum!"
"Maaf, kau benar", kata Ron, tapi tanpa bisa menahan diri menambahkan, "Tapi jangan terlalu akrab dengan dia, Rosie. Kakek Weasley nggak akan pernah memaafkan kalau kau kawin dengan darah-murni"
"Hey!" James muncul kembali, terbebas dari koper, burung hantu dan trolinya, dan jelas-jelas bersiap mengabarkan sesuatu.
"Teddy sudah kembali ke sana" katanya dengan nafas terengah sambil menunjuk lewat bahunya ke arah gumpalan uap. "Aku baru lihat dia. Dan coba tebak dia lagi ngapain" Merayu Victoire!"
Dia memandangi para orang dewasa itu, jelas kecewa dengan minimnya tanggapan mereka.
"Teddy! Teddy Lupin!" Merayu Victoire! Sepupu kita! Dan aku tanya dia lagi ngapain -"
"Kau mengganggu mereka"" kata Ginny. "Kau ini mirip sekali dengan Ron -"
"- dan dia bilang dia mau mengantar kepergian Victoire! Terus dia suruh aku pergi. Dia merayunya!" James menambahkan seakan ucapanny atadi masih belum jelas.
"Oh, baik sekali kalau mereka menikah!" Lily berbisik senang. "Teddy betul-betul akan jadi keluarga kita!" "Dia sudah datang makan malam kira-kira empat kali seminggu", kata Harry, "Kenapa tidak kita tuntaskan saja dengan mengundangnya tinggal di rumah""
"Yeah!" kata James dengan antusias. "Aku nggak keberatan sekamar dengan Al - Teddy bisa pake kamarku!"
"Tidak" kata Harry tegas. "Kau hanya boleh sekamar dengan Al kalau aku ingin rumah kita dihancurkan"
Dia memeriksa jam tangan tuanya yang dulu adalah milik Fabian Prewett." Sudah hampir jam 11, sebaiknya kalian naik" "Jangan lupa sampaikan salam sayang kami kepada Neville!" Ginny memberitahu James sambil memeluknya."Ma, aku nggak bisa menyampaikan salam sayang kepada seorang professor!""Tapi kau kan kenal Neville -"James memutar-mutar matanya."Di luar, ya, tapi di sekolah dia adalah Professor Longbottom bukan" Aku nggak bisa masuk kelas Herbologi terus menyampaikan salam sayan..."
Dia mengeleng-geleng membayangkan kebodohan ibunya lalu melampiaskan perasaannya dengan berpura-pura hendak menendang Albus."Sampai nanti, Al.
hati-hati dengan thestral"
Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lho, bukannya mereka nggak kasat mata" Kau bilang mereka nggak terlihat!"
tapi James Cuma tertawa, membiarkan ibunya menciumnya, memeluk ayahnya, dan melompat kedalam kereta yang cepat penuh. Mereka melihatnya melambai, lalu berlari ke koridormencari teman-temannya.
"Kau tak perlu takut dengan thestral", Harry memberitahu Albus. "Mereka lembut, tak ada yang perlu ditakuti. Lagipula kau tak akan pergi ke sekolah naik kereta, tapi naik perahu" Ginny memberi Albus ciuman perpisahan.
"Sampai jumpa di hari Natal""Bye Al" kata Harry ketika puteranya itu memeluknya. "Jangan lupa Hagrid mengundangmu minum teh Jumat nanti. Jangan macam-macam dengan Peeves. Jangan
berduel dengan siapapun sebelum belajar caranya. Dan jangan biarkan James mengerjaimu"
"Bagaimana kalau aku masuk Slytherin""
Bisikan itu hanya ditujukan buat ayahnya, dan Harry tahu bahwa hanya momen perpisahan inilah yang memaksa Albus mengungkapkan betapa besar rasa takutnya akan hal itu.Harry berjongkok sehingga wajahnya sedikit lebih rendah dari wajah Albus. Dari ketiga anak Harry, hanya Albus yang mewarisi mata Lily."Albus Severus", kata Harry dengan pelan supaya tak serangpun kecuali Giny mendengar, dan dia maklum lalu berpura-pura melambai kepada Rose yang sudah di atas kereta, "kau diberi nama seperti nama dua kepala sekola Hogwarts. Satunya adalah Slytherin dan diamungkin adalah orang paling berani yang aku tahu"
"Tapi misalnya aku masuk lalu asrama Slytherin akan mendapat seorang murid hebat bukan" Tidak akan j adi masalah buat kami, Al. Tapi kalau itu penting buatmu, kau akan bisa memilih Gryffindor dibanding Slytherin. Topi Seleksi memeperhitungkan pilihanmu juga" "Benar begitu"" "Waktu aku dulu, begitu", kata Harry.Dia belum pernah menceritakan hal itu kepada anak-anaknya sebelumnya, dan dia melihat rasa takjub di wajah Albus ketika dia
mengucapkan hal itu. Tapi kini pintu-pintu mulai terbanting tertutup sepanjang kereta merah tua itu, dan para orang tua maju melemparkan ciuman terakhir, tanda peringatan terakhir.
Albus melompat ke dalam kereta dan Ginny menutup pintu di belakangnya. Para siswa bergantungan di jendala. Wajah-wajah, baik yang di dalam maupun di luar kereta seolah-oleh berpaling ke arah Harry.
"Kenapa mereka semua memandangi kita"" tanya Albus ketika dia dan Rose menjulurkan leher memandangi siswa-siswa lainnya.
"Nggak usah dirisaukan", kata Ron. "Aku yang mereka pandangi. Aku sangat terkenal" Albus, Rose, Hugo dan Lily tertawa. Kereta mulai bergerak dan Harry berjalan di sisinya, memperhatikan wajah kurus anaknya yang penuh dengan kegembiraan. Harry terus tersenyum dan melambai, meski agak berat hatinya melihat anaknya menjauh darinya...
Jejak uap yang terakhir menguap di udara musim semi. Kereta membelok di tikungan. Tangan Harry masih melambaikan salam perpisahan.
"Dia akan baik-baik saja", gumam Ginny.Sambil menatapnya, tanpa sadar Harry menurunkan tangannya dan menyentuh bekas luka berbentuk petir di dahi.
"Iya, aku tahu"Luka itu sudah tidak menyakitkan lagi selama 19 tahun. Semuanya baik-baik saja.
THE END Sumber Pdf: DewiKZ www.kangzusi.com Convert Jar: inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Name Of Rose 5 Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy Neraka Kematian 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama