Ceritasilat Novel Online

House Of Hades 8

The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades Bagian 8


Hades terletak di bumi, Ian" Itu wilayah Gaea. Dia bisa mengirim anak buahnya ke mana pun
sesukanya." Semangat Percy merosot. Monster-monster keluar lewat Pintu Ajal untuk mengancam
teman-temannya di Epirus"itu saja sudah jelek. Sekarang dia membayangkan permukaan tanah di
dunia fana sebagai jaringan transportasi bawah tanah besar, mengantarkan monster dan makhlukmakhluk jahat lain ke mana pun Gaea ingin mereka pergi"Perkemahan Blasteran, Perkemahan Jupiter,
atau di rute perjalanan Argo //bahkan sebelum kapal itu mencapai Epirus. "Kalau Gaea punya kekuatan
sedahsyat itu," tanya Annabeth, "bukankah dia bisa mengontrol di mana kami keluar?" Percy benci
sekali pertanyaan itu. Terkadang dia berharap kalau saja Annabeth tidak pintar-pintar amat.
Bob menggaruk-garuk dagu. "Kalian bukan monster. Mungkin bagi kalian lain." Hebat, pikir Percy. Dia
tidak girang membayangkan bahwa Gaea menunggu mereka di balik Pintu, siap meneleportasikan
mereka ke tengah gunung; tapi setidaknya Pintu Ajal adalah jalan untuk keluar dari Tartarus. Lagi pula,
mereka tidak punya pilihan lain. Bob membantu mereka menaiki puncak bubungan. Mendadak Pintu
Ajal tampak jelas"segiempat gelap yang melayang di puncak bukit otot jantung berikut, berjarak kurang
lima ratus meter dari sana, dikelilingi oleh kawanan monster yang amat berdempetan sehingga Percy
bisa saja menapaki kepala mereka untuk menyeberang ke sana. Pintu Ajal masih terlalu jauh sehingga
detailnya tidak kelihatan, tetapi kedua Titan yang mengapitnya sudah tidak asing lagi. Titan di sebelah
kiri mengenakan baju tempur keemasan yang berdenyar panas. "Hyperion," gumam Percy. "Kenapa dia
tidak mad terus sih"!" Titan di kanan mengenakan baju tempur biro tua dan helm bertanduk domba
jantan. Percy hanya pernah melihatnya dalam mimpi sebelum ini, tapi dia jelas Krios, Titan yang Jason
bunuh dalam pertempuran di Gunung Tamalpais. "Saudara-saudara Bob yang lain," kata Annabeth.
Kabut Ajal berdenyar di seputar tubuhnya, sejenak mengubah wajahnya menjadi tengkorak nyengir.
"Bob, kalau kau harus bertarung melawan mereka, bisa tidak?" Bob mengangkat sapunya, seolah siap
membersihkan lokasi superkotor. "Kita harus bergegas," katanya, yang Percy sadari bukanlah jawaban.
"Ikuti aku."[] BAB ENAM PULUH TIGA PERCY SE JAUH INI, RENCANA KAMUFLASE DENGAN Kohut Aja sepertinya berhasil. Jadi, wajar bahwa Percy
menduga akan terj ad bencana pada menit-menit terakhir. Satu setengah meter dari Pintu Ajal, Percy
dan Annabetl-mematung. "Demi dewa-dewi," gumam Annabeth. "Wujudnya sama
persis." Percy tahu apa yang dia maksud. Dengan kusen dari besi. Stygian, portal ajaib itu berb.entuk
pintu lift ganda"dua panel perak-hitam bertorehkan desain art deco. Pintu itu sama persis dengan
pintu lift Empire State Building, jalan masuk ke Gunung Olympus, hanya saja warnanya berkebalikan.
Melihat pintu itu, Percy merasa amat kangen rumah sampai-sampai tidak sanggup bernapas. Dia bukan
cuma merindukar. Gunung Olympus. Dia merindukan semua yang dia tinggalkan New York City,
Perkemahan Blasteran, ibunya dan ayah tirinya Mata Percy perih. Dia tidak berani bicara karena bisabisa ail matanya tumpah. Pintu Ajal laksana penghinaan pribadi, dirancang untuk mengingatkan Percy akan semua yang tidak bisa
dia nikmati. Saat rasa terguncang hebat sudah mereka, Percy menyadari sejumlah detail lain: bunga es
yang menyebar dari dasar Pintu Ajal, pendar keunguan di utara di sekitar Pintu Ajal, dan rantai yang
menahan Pintu tersebut. Belenggu besi hitam menjuntai di kanan-kiri kusen, seperti lcabel penahan
jembatan supensi. Rantai tersebut terpaut ke kait yang menancap di tanah kenyal. Kedua Titan, Krios
dan Hyperion, herdiri berjaga di titik jangkar tersebut. Sementara Percy memperhatikan, kusen bergetar.
Petir hitam menyambar langit. Rantai berguncang dan kedua Titan itu menginjak kait supaya tidak lepas.
Terbukalah Pintu Ajal, menampakkan interior bersepuh kompartemen lift. Percy menegang, siap
menegang, tetapi Bob memegangi pundaknya. "Tunggu." Dia memperingatkan. Hyperion berteriak ke
kerumunan di sekelilingnya: "Kloter A-22! Cepatlah, dasar lamban!" Selusin Cyclops bergegas maju
sambil melambai-lambaikan tiket merah kecil dan berteriak-teriak antusias. Mereka semestinya tidak
muat melewati pintu seukuran manusia, tetapi saat para Cyclops mendekat, tubuh mereka terdistorsi
dan menciut, Pintu Ajal menyedot mereka ke dalam. Krios sang Titan memencet tombol NAIK di kanan
lift dengan jempol. Tertutuplah Pintu Ajal tersebut. Kusen berguncang lagi. Petir gelap meredup. "Kahan
mesti memahami cara kerjanya," gumam Bob. Dia menoleh ke anak kucing di telapak tangannya,
mungkin agar monster lain tidak bertanya-tanya dia sedang bicara kepada siapa. "Tiap kali terbuka,
Pintu Ajal mencoba berteleportasi ke lokasi Baru. Thanatos yang membuatnya seperti itu, supaya hanya
dia yang bisa menemukan Pintu Ajal. Tapi sekarang, Pintu tersebut dirantai sehingga tidak bisa berpindah
tempat." "Kalau begitu, kita potong rantainya," bisik Annabeth. Percy memandangi sosok Hyperion yang
menyala-nyala. Kali terakhir dia bertarung dengan Titan itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga. Saat
itu sekalipun, Percy nyaris tewas. Sekarang, ada dua Titan yang didukung ribuan monster sebagai bala
bantuan. "Kamuflase kita," ujar Percy. "Akankah Ka.but Ajal lurch kalau kami melakukan sesuatu yang
agresif, misalnya memotong rantai?" "Aku tidak tahu," kata Bob kepada kucingnya. "Meong," kata Bob
Kecil. "Bob, kau harus mengalihkan perhatian mereka," kata Annabeth. "Percy dan aku akan
mengendap-endap supaya tidak ketahuan kedua Titan, lalu memotong rantai itu dari belakang." "Ya,
baiklah," timpal Bob. "Tapi, itu baru satu masalah. Begitu kalian masuk ke Pintu, seseorang harus tetap
berada di luar untuk memencet tombol dan mempertahankannya." Percy berusaha untuk tidak panik.
"Eh ... mempertahankan tombol?" Bob mengangguk sambil menggaruk-garuk dagu si anak kucing.
"Seseorang harus terus memencet tombol NAIK selama dua belas menit. Kalau tidak, perjalanan takkan
berkesudahan." Percy melirik Pintu Ajal. Benar saja, Krios masih menekan tombol NAIK dengan
jempolnya. Dua belas menit Entah bagaimana, mereka mesti menjauhkan kedua Titan dari Pintu itu.
Kemudian Bob, Percy, atau Annabeth harus memastikan agar tombol tersebut tetap terpencet selama
dua belas menit nan panjang, di tengah-tengah sepasukan monster di jantung Tartarus, sementara dua
orang sisanya menempuh perjalanan ke dunia fana. Kedengarannya mustahil. "Kenapa dua belas
menit?" tanya Percy.
"Aku tidak tahu," jawab Bob. "Kenapa dewa Olympia berjumlah dua belas" Kenapa Titan berjumlah dua
belas?" "Benar juga," ujar Percy, walaupun mulutnya terasa pahit. "Apa maksudmu perjalanan takkan
berkesudahan?" tanya Annabeth. "Apa yang terjadi pada penumpangnya?" Bob tidak menjawab. Dari
ekspresi pedih sang Titan, Percy memutuskan dia tidak mau berada dalam lift kalau kompartemen
tersebut macet di antara Tartarus dengan dunia fana. "Kalau kita menekan tombol selama dua belas
menit pas," kata Percy, "dan rantainya dipotong?" "Pintu Ajal akan kembali ke setelan awal," kata Bob.
"Memang dirancangnya begitu. Pintu tersebut akan menghilang dari Tartarus dan muncul di lokasi lain,
tempat Gaea takkan bisa menggunakannya." "Thanatos bisa memperoleh kembali Pintu tersebut," ujar
Annabeth. "Maut kembali seperti sediakala, sedangkan monster kehilangan jalan pintas ke dunia fana."
Percy mengembuskan napas. "Kecil. Tapi masalahnya banyak." Bob Kecil mengeong. "Akan kutekan
tombol itu." Bob mengajukan diri. Aneka perasaan campur aduk dalam diri Percy"duka, kepedihan,
rasa terima kasih, dan rasa bersalah yang mengental menjadi satu campuran semen emosi. "Bob, kami
tidak boleh memintamu berbuat begitu. Kau ingin melewati Pintu Ajal juga. Kau ingin melihat langit lagi,
juga bintang-bintang, dan?" "Aku memang menginginkannya." Bob mengiakan. "Tapi, harus ada yang
memencet tombol. Dan begitu rantai dipotong kerabatku akan berjuang untuk mencegah kalian
melintas. Mereka takkan ingin Pintu itu menghilang."
Percy menatap kawanan monster yang tidak ada habis-habisnya. Kalaupun dia membiarkan Bob
berkorban, mana mungkin seorang Titan sanggup mempertahankan diri melawan sekian banyak
monster selama dua belas menit, sekaligus terus memencet tombol" Semen emosi membeku dalam diri
Percy. Percy sudah curiga dari awal bahwa ujung-ujungnya akan seperti ini. Dia harus bertahan di sini.
Sementara Bob menghalau bala tentara musuh, Percy akan memencet tombol lift dan memastikan agar
Annabeth kembali ke tempat aman. Entah bagaimana, Percy harus meyakinkan Annabeth agar pergi
tanpa dirinya. Asalkan Annabeth selamat dan Pintu Ajal menghilang, Percy rela mati karena dia tahu
sudah melakukan tindakan tepat. "Percy Annabeth menatap Percy, suaranya bernada curiga. Annabeth
terlalu pintar. Jika Percy memandang matanya, dia pasti akan tahu persis apa yang Percy pikirkan. "Kira
tangani dulu persoalan yang mendesak," kata Percy. "Mari kita potong rantai itu."[]
BAB ENAM PULUH EMPAT PERCY "IAPETUS?" HYPERION MENGGERUNG. "WAH, WAH. Kukira kau bersembunyi di bawah ember entah di
mana." Bob tertatih-tatih ke depan sambil merengut. "Aku tidak bersembunyi." Percy mengendapendap ke sebelah kanan Pintu. Annabeth menyelinap ke kiri. Kedua Titan tidak menunjukkan tandatanda bahwa mereka melihat Percy dan Annabeth, tapi Percy tidak mau lengah. Disimpannya Riptide
dalam bentuk pulpen. Dia berjongkok rendah, menjejakkan kaki sepelan mungkin. Monster-monster
rendahan dengan hormat menjaga jarak dengan para Titan, alhasil terdapat ruang yang mencukupi
untuk bermanuver di seputar Pintu; tapi Percy sadar sekali pada gerombolan yang menggeram-geram di
belakangnya. Annabeth memutuskan untuk mendekat ke sisi yang dijaga Hyperion, berteori bahwa
Hyperion lebih mungkin mendeteksi Percy. Biar bagaimanapun juga, Percy adalah orang terakhir yang
membunuhnya di dunia fana. Percy sendiri tidak keberatan.
Setelah berada selama itu di Tartarus, matanya serasa perih apabila kelamaan melihat baju tempur
Hyperion yang keemasan. Di sisi Pintu yang Percy hampiri, Krios berdiri tegak sambil membisu, helm
bertanduk domba jantan menutupi wajahnya. Dia menapakkan satu kaki ke kait rantai dan menekankan
jempol ke tombol NAIK. Bob berhadapan dengan saudara-saudaranya. Dia menumpu-kan tombak ke
tanah dan berusaha tampak segalak mungkin sekalipun pundaknya dihinggapi anak kucing. "Hyperion
dan Krios. Aku ingat kalian berdua." "Benarkah, Iapetus?" Sang Titan keemasan tertawa sambil melirik
Krios untuk berbagi kelakar. "Wah, bagus kalau begitu! Kudengar Percy Jackson mencuci otakmu dan
menjadikan-mu tukang bersih-bersih. Apa nama baru yang diberikannya untukmu ... Betty?" "Bob,"
geram Bob. "Pokoknya, sudah waktunya kau datang, Bob. Krios dan aku sudah terjebak di sini
berminggu-minggu?" "Berjam-jam," ralat Krios, suaranya menggemuruh di dalam helm. "Terserah!"
kata Hyperion. "Pekerjaan ini menjemukan, menjaga Pintu, menggiring monster atas perintah Gaea.
Krios, rombongan berikut siapa?" "Merah Ganda," kata Krios. Hyperion mendesah. Lidah api yang
menjalari bahunya bertambah panas. "Merah Ganda. Kenapa Kloter A-22 diikuti oleh Merah Ganda"
Sistem penamaan macam apa itu?" Dipelototinya Bob. "Ini bukan pekerjaan yang pantas untukku"
Penguasa Cahaya! Titan dari Timur! Penguasa Fajar! Kenapa aku dipaksa menunggu di kegelapan
sementara para raksasa pergi bertempur dan menuai kejayaan" Kalau Krios, aku bisa mengerti?"
"Semua tukas paling jelek dibebankan kepadaku," gerutu Krios, jempolnya masih memencet tombol.
"Tapi aku?" tukas Hyperion. "Konyol! Ini semestinya menjadi pekerjaanmu, Iapetus. Sini, gantikan aku
sebentar." Bob menatap Pintu Ajal, tetapi pandangannya menerawang"terhanyut pada masa lalu. "Kita
berempat memegangi ayah kita, Ouranos," kenangnya. "Koios, aku, dan kalian berdua. Kronos berjanji
menghadiahi kita kekuasaan atas keempat penjuru bumi sebagai imbalan karena sudah membantunya
membunuh." "Betul," kata Hyperion. "Aku melakukannya dengan senang hati! Aku bahkan bersedia
menyandang sendiri sabit itu andai mendapat kesempatan! Tapi kau, Bob ... sedari dulu kau tidak enak
hati karena menjadi kaki tangan pembunuhan, Ian" Titan dari Barat yang lembut, selembut matahari
terbenam! Kenapa orangtua kita menamaimu Petombak, aku tidak tahu. Perintih lebih pas." Percy
menggapai kait rantai. Dia membuka tutup pulpen dan Riptide pun membesar. Krios tidak bereaksi.
Perhatiannya tertuju pada Bob, yang baru saja menodongkan ujung tombaknya ke dada Hyperion. "Aku
masih bisa menombak," kata Bob, suaranya rendah dan datar. "Kau terlalu banyak menyombong,
Hyperion. Kau cerah dan berapi-api, tapi Percy Jackson tetap saja bisa mengalahkanmu. Kudengar kau
menjadi pohon yang bagus di Central Park." Mata Hyperion menyala-nyala. "Hati-hati, Saudaraku."
"Setidaknya, menjadi petugas kebersihan adalah pekerjaan halal," kata Bob. "Aku membersihkan tempat
yang dikotori orang lain. Aku menjadikan suatu tempat lebih baik daripada sebelumnya. Tapi kau kau
tidak memedulikan kekacauan yang kau sebabkan. Kau mengikuti Kronos secara membabi buta.
Sekarang kau menuruti perintah Gaea!" "Dia itu ibu kita!" raung Hyperion.
"Dia tidak bangun sewaktu kita berperang melawan bangsa Olympia," kenang Bob. "Dia lebih
mendukung generasi kedua anak-anaknya, bangsa raksasa." Krios menggeram. "Benar juga. Anak-anak
lubang kelam." "Kahan berdua sebaiknya Cutup mulut!" Suara Hyperion menyiratkan rasa takut. "Siapa
tahu dia sedang mendengarkan." Lift berdenting. Ketiga Titan terlompat. Sudahkah dua belas menit
berlalu" Percy lupa waktu. Krios menarik jarinya dari tombol dan berseru, "Merah Ganda! Di mana
Merah Ganda?" Kawanan monster bergerak dan saling sikut, tapi tak sate pun maju. Krios mendesah.
"Aku sudah menyuruh mereka agar menyimpan tiket masing-masing. Merah Ganda! Kalau kalian tidak
maju, tempat akan diberikan kepada pengantre berikut!" Annabeth sudah siap di posisinya, tepat di
belakang Hyperion. Diangkatnya pedang tulang drakon di atas pangkal rantai. Di bawah sorot terang
baju tempur sang Titan, selubung Kabut Ajal menjadikan Annabeth mirip siluman yang terbakar. Dia
mengulurkan tiga jari, siap menghitung. Mereka harus memotong rantai sebelum kelompok berikut
berusaha naik ke lift, tapi mereka juga harus memastikan bahwa perhatian para Titan masih teralihkan.
Hyperion mengumpat. "Hebat sekali. Bisa-bisa jadwal kita kacau karenanya." Dia memandang Bob
sambil mencemooh. "Tentukan pilihanmu, Saudaraku. Bantulah kami, atau perangi kami. Aku tidak
punya waktu untuk ceramahmu." Bob melirik Annabeth dan Percy. Percy mengira Bob bakal menyulut
perkelahian, tapi dia justru menaikkan ujung tombaknya. "Baiklah. Aku akan berjaga. Siapa yang ingin
istirahat dLtluan?" "Aku, tentu saja," ujar Hyperion.
"Aku!" sergah Krios. "Aku sudah memencet tombol itu lama kali sampai-sampai jempolku serasa hendak
copot." "Aku sudah berdiri di sini lebih lama," gerutu Hyperion. Kahan berdua mesti berjaga di sini
sementara aku naik ke dunia na. Aku harus membalaskan dendam pada sejumlah pahlawan inani!"
"Tidak bold'!" protes Krios. "Si bocah Romawi itu sedang dalam perjalanan ke Epirus"bocah yang
membunuhku di ; unung Othrys. Waktu itu dia beruntung. Sekarang giliranku." "Bah!" Hyperion
mencabut pedangnya. "Bi.ar kugorok dulu kau, Kepala Domba!" Krios menghunus pedangnya. "Silakan
coba, tapi aku tidak sudi terjebak di lubang bau ini lebih lama lagi!" Annabeth menangkap pandangan
mata Percy. Dia berucap tanpa suara: Satu, dua"Sebelum Percy sempat menebas rantai, erangan
melengking menusuk telinganya, seperti bunyi roket yang mendekat. Percy hanya sempat berpikir:
Waduh. Kemudian seisi lereng diguncangkan oleh ledakan. Gelombang panas menyentakkan Percy ke
belakang. Pecahan mortir gelap merobek-robek Krios dan Hyperion, mencacah-cacah mereka semudah
kapak yang memotong kayu. LUBANG BAU. Sebuah suara membahana di dataran tersebut,
mengguncangkan tanah kenyal di bawah. Bob berdiri sempoyongan. Entah bagaimana, ledakan tadi
tidak menjamahnya. Disapukannya tombak ke depan, berusaha mencari sumber suara. Bob Kecil si anak
kucing merayap ke dalam baju sang Titan. Annabeth terempas sekitar enam meter dari Pintu Ajal. Ketika
Annabeth berdiri, Percy lega sekali karena pacarnya masih
hidup sehingga baru beberapa saat kemudian dia tersadar bahwa Annabeth tampak seperti sediakala.
Kabut Ajal telah menguap. Percy melihat tangannya sendiri. Samarannya juga tela tanggal. DASAR TITAN,
kata suara tersebut dengan nada muck. MAKHLUK REMEH. LEMAH DAN BERCELA. Di depan Pintu Ajal,
udara menggelap dan memadat. Entitas yang muncul di sana demikian besar, memancarkan hawa jahat
yang demikian pekat, sampai-sampai Percy ingin merangkak pergi dan menjauh. Meski begitu, Percy
justru memaksa matanya untuk menelusuri sosok sang dewa, mulai dari sepasang sepatu bot besinya
yang hitam, masing-masing sebesar peti mati. Kakinya ditutupi pelindung tungkai berwarna gelap;
dagingnya berotot ungu tebal, seperti tanah di bawah. Baju tempurnya yang berjumbai terbuat dari
ribuan tulang gosong yang berpuntir, terjalin menjadi satu seperti jejaring rantai dan ditahan oleh sabuk
berupa lengan raksasa yang kait-mengait. Di permukaan tameng dada pendekar itu, wajah-wajah buram
timbul-tenggelam"raksasa, Cyclops, gorgon, dan drakon"semua berjejal-jejalan di baju tempur
tersebut seolah sedang berebutan untuk keluar. Sang pendekar berlengan kekar dan ungu mengilap,
sedangkan tangannya sebesar pengeruk ekskavator. Yang paling parah adalah kepalanya: helm yang
terdiri dan i puntiran batu dan logam tak berbentuk"semata berupa cucuk-cucuk tajam dan petakpetak magma yang berdenyut. Wajahnya berupa pusaran kegelapan. Saat Percy menengok, partikelpartikel terakhir dari intisari Hyperion dan Krios tersedot ke dalam mulu t menganga sang pendekar.
Entah bagaimana, Percy mampu angkat bicara. "Tartarus."
Sang pendekar mengeluarkan suara seperti gunung yang i crbelah dua: raungan atau suara tawa, Percy
tidak tahu pasti. Wujud ini semata-mata merupakan secuil manifestasi dari keperkasaanku, kata sang
dewa. Tapi, ini saja sudah cukup untuk membereskanmu. Aku tidak sutra buru-buru ikut campur,
Demigod Kecil. Menghadapi kutu sepertimu secara langsung adalah pekerjaan yang terlalu remeh
buatku. "Ehm ...." Tungkai Percy serasa lunglai, nyaris ambruk di bawah tubuhnya. "Tidak usah repotrepot." Yang mengejutkan, kalian ternyata sangat gigih, kata Tartarus. Sudah terlalu jauh kalian
melangkah. Aku tidak bisa lagi berdiam diri dan menyaksikan kalian terus maju. Tartarus merentangkan
lengan. Di sepenjuru lembah, ribu-an monster melolong dan meraung, membentur-benturkan senjata
dan menggerung penuh kemenangan. Rantai Pintu Ajal berguncang-guncang. Kahan mesti merasa
bangga dan terhormat, Demigod Kecil, kata sang dewa lubang. Aku bahkan tidak pernah mencurahkan
perhatian pribadi kepada bangsa Olympia. Tapi, kalian akan Tartarus habisi sendiri![]
BAB ENAM PULUH LIMA FRANK FRANK MENGHARAPKAN KEMBANG API. Atau setidaknya, plang besar berbunyi: SELAMAT DATANG
KEMBALI! Lebih dari tiga ribu tahun silam, leluhurnya dari Yunani"Periclymenus sang peubah wujud"
berlayar beserta para Argonaut. Berabad-abad kemudian, keturunan Periclymenus mengabdi di legiun
Romawi Timur. Lalu, karena serentetan musibah, keluarga Frank terdampar di China dan akhirnya
beremigrasi ke Kanada pada abad kedua puluh. Sekarang, Frank kembali ke Yunani. Dengan kata lain,
keluarga Zhang telah rampung mengelilingi dunia. Peristiwa tersebut sepertinya patut dirayakan, tetapi
saw-satunya panitia penyambutan yang tampak hanyalah sekawanan harpy liar lapar yang menyerang
kapal. Frank merasa tidak enak hati saat menembaki mereka dengan panah. Dia terus teringat Ella,
kawan mereka si harpy teramat pintar dari Portland. Tapi, para harpy ini bukanlah Ella. Mereka akan
dengan senang hati menggigiti wajah Frank. Jadi, dia pun menembaki mereka hingga menyisakan kepulan debu dan bulu
belaka. Bentang alam Yunani di bawah juga tidak ramah. Bebatuan dan cemara kerdil berserakan di
bukit, semua tampak berdenyar di tengah udara panas. Matahari bersinar tanpa ampun, seolah
bermaksud melelehkan pedesaan menjadi perisai perunggu langit. Bahkan dari jarak tiga puluh meter di
atas, Frank bisa mendengar dengungan tonggeret di pepohonan"bunyi pembawa kantuk yang seakan
berasal dari alam lain, menyebabkan mata Frank terasa berat, bahkan suara pertengkaran dewa perang
dalam kepalanya juga pupus, seolah telah jatuh tertidur. Suara-suara tersebut nyaris tidak mengganggu
Frank lagi sejak awak kapal melintas ke teritori Yunani. Keringat mengucur di lehernya. Setelah
dibekukan di geladak bawah oleh sang dewi salju sinting, Frank mengira dirinya takkan pernah lagi
merasa hangar; tetapi sekarang bagian belakang bajunya sudah basah kuyup. "Panas dan lembap!" Leo
menyeringai di batik kemudi. "Membuatku kangen Houston! Bagaimana menurutmu, Hazel" Kita hanya
perlu nyamuk-nyamuk raksasa, kemudian rasanya bakal sama persis seperti di Pesisir Teluk Meksiko!"
"Makasih banyak, Leo," gerutu. Hazel. "Sehabis ini, bisa-bisa kita diserang monster nyamuk Yunani
Kuno." Frank mengamati mereka berdua, diam-diam takjub pada hilangnya ketegangan di antara kedua
orang itu. Apa pun yang menimpa Leo selama lima hari dia menghilang, kejadian tersebut telah
mengubahnya. Leo masih suka bercanda, tetapi Frank merasakan bahwa ada yang berbeda pada
dirinya"seperti kapal dengan lunas baru. Mungkin kita tidak bisa melihatlunas itu, tapi kita bisa
merasakan keberadaannya dari cara kapal itu membelah ombak.
Kegandrungan Leo menggoda Frank sepertinya sudah bet., kurang. Dia mengobrol lebih santai dengan
Hazel"tidak lag mencuri-curi pandang naksir dan penuh damba yang selama menyebabkan Frank
merasa tidak nyaman. Hazel telah menyampaikan diagnosisnya secara pribadi kepa Frank: "Dia bertemu
seseorang yang disukainya." Frank tidak percaya. "Bagaimana" Di mana" Dari mana kaul tahu?" Hazel
tersenyum. "Aku tahu saja." Seakan Hazel adalah anak Venus alih-alih Pluto. Frank tidak mengerti. Tentu
saja dia lega karena Leo tidak lagi merayu pacarnya, tapi Frank juga agak mengkhawatirkan Leo.
Memang, mereka kerap bersilang pendapat, tapi setelah sekian banyak peristiwa yang mereka lewati
bersama, Frank tidak ingin melihat Leo patah hati. "Di sana!" Suara Nico menyadarkan Frank dari
permenung-annya. Seperti biasa, di Angelo nangkring di puncak tiang layar utama. Dia menunjuk ke
sungai hijau berkilauan yang mengular di perbukitan, satu kilometer dari sana. "Arahkan kapal kita ke
sana. Kita sudah dekat dengan kuil. Sangat dekat." Seolah untuk membuktikan ucapannya, petir hitam
merobek langit, menyisakan bintik-bintik hitam di hadapan mata Frank dan membuat rambut-rambut
halus di lengannya berdiri. Jason memasang sabuk pedangnya. "Teman-Teman, per-senjatai diri kalian.
Leo, bawa kita mendekat, tapi jangan men-darat"jangan bersentuhan dengan tanah kalau tidak perlu.'
Piper, Hazel, ambil tali tambat." "Siap!" kata Piper. Hazel mengecup pipi Frank dan lari untuk membantu.
"Frank," panggil Jason, "turun dan susul Pak Pelatih Hedge." "Oke!"
Frank turun ke geladak bawah dan menuju kabin Hedge. Saat mendekati pintu, dia melambatkan
langkah. Dia tidak menimbulkan kegaduhan karena bisa-bisa sang satir terkejut. Pak Pelatih Hedge


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya kebiasaan melompat ke lorong sambil mengayunkan tongkat bisbol jika dia mengira bahwa
penyerang telah menyusup ke atas kapal. Gara-gara keagresifan sang satir, kepala Frank hampir
terpenggal beberapa kali sewaktu hendak ke kamar mandi. Frank mengangkat tangan untuk mengetuk,
kemudian dia menyadari bahwa pintu terbuka secelah. Dia mendengar Pak Pelatih Hedge berbicara di
dalam. "Jangan begitu, Sayang!" kata sang satir. "Kau tahu maksudku bukan seperti itu!" Frank
mematung. Dia tidak berniat menguping, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Hazel pernah menyebutnyebut bahwa dia mencemaskan sang satir, tapi Frank tidak pernah memikirkan kondisi Pak Pelatih
Hedge secara mendalam sampai saat itu. Dia juga tidak pernah mendengar sang pelatih berbicara
selembut itu. Suara yang Frank dengar dari dalam kabin sang pelatih biasanya cuma siaran olahraga di
TV atau teriakan, "Bagus! Hajar!" saat sang satir menonton film laga bela diri favoritnya. Frank lurnayan
yakin sang pelatih tidak memanggil Chuck Norris dengan julukan sayang. Suara lain berbicara"
perempuan, tapi nyaris tidak kedengaran, seperti berasal dari jauh. "Pasti," Pak Pelatih Hedge berjanji.
"Tapi, ehm, kami sedang menyongsong pertempuran yang?"dia berdeham?"mungkin akan
berlangsung sengit. Amankan saja dirimu. Aku akan kembali. Sungguh." Frank tidak tahan lagi. Dia
mengetuk keras-keras. "Permisi, Pak Pelatih?"
Pembicaraan terhenti. Frank menghitung sampai enam. Pintu meinbuka dengan keras. Pak Pelatih
Hedge berdiri sambil merengut, matanya semera itu darah, seperti kebanyakan nonton TV. Dia
mengenakan pakaian yang biasa berupa topi bisbol dan celana olahraga pendek, dilengkapi baju zirah
kulit di atas kausnya. Di lehernya berkalungkan peluit, mungkin untuk jaga-jaga andai dia ingin
memperingatkan pasukaii monster bahwa mereka melakukan pelanggaran. "Zhang. Apa maumu?" "Ehm,
kita siap untuk bertempur. Kami membutuhkan Bap di geladak atas." Janggut kambing sang pelatih
bergetar. "Iya. Tentu saja.' Anehnya, sang satir tidak terdengar antusias untuk menyambut pertarungan.
"Saya tidak bermaksud"maksud saya, saya dengar Bapak sedang mengobrol." Frank terbata. "Apa
Bapak baru mengirim pesan-Iris?" Hedge kelihatan seperti ingin menghajar muka Frank atau setidaknya
meniup peluit keras-keras. Kemudian bahunya merosot. Dia mendesah dan kembali ke dalam,
meninggalkan Frank yang berdiri kikuk di ambang pintu. Sang pelatih menjatuhkan diri ke tempat
tidurnya. Dia menopangkan dagu ke tangan dan memandangi sepenjuru kabinnya dengan murung.
Tempat itu mirip asrama mahasiswa yang baru dilanda topan"di lantai, bertebaranlah pakaian
(mungkin untuk dikenakan, mungkin untuk dikudap; satir susah ditebak) dan DVD, sedangkan perangkat
makan kotor berserakan di seputar TV di bufet. Tiap kali kapal itu oleng, bermacam-macam alat olahraga
menggelinding di lantai, mulai dari bola futbol, bola basket, dan bola bisbol, serta"entah kenapa"
sebuah bola biliar. Gumpalan bulu kambing melayang-layang di udara clan mengumpul di bawah furnitur. Di
meja samping tempat tidur, terdapat semangkuk air, ,ctumpuk drachma emas, sebuah senter, dan
prisma kaca untuk membuat pelangi. Sang pelatih kentara sekali siap untuk mengirimkan pesan-Iris
banyak-banyak. Frank teringat perkataan Piper tentang pacar sang pelatih, si peri awan yang bekerja
untuk ayah Piper. Siapa nama pacar-nya ... Melinda" Millicent" Bukan, Mellie. "Eh, apa pacar Bapak,
Mellie, baik-baik saja?" Frank memberanikan diri. "Bukan urusanmu," bentak sang pelatih. "Oke." Hedge
memutar-mutar bola matanya. "Ya sudah! Kalau kau i ngin tahu"ya, aku barusan berbicara kepada
Mellie. Tapi, dia bukan pacarku lagi." "Oh ...." Hati Frank mencelos. "Bapak sudah putus dengan dia?"
"Bukan, Dungu! Kami sudah menikah! Dia sekarang istrikur Andai sang pelatih menggetoknya, Frank
takkan sekaget itu. "Pak Pelatih, itu lan"hebat! Kapan"bagaimana?"" "Bukan urusanmu?" teriaknya
lagi. "Eh ... baiklah." "Akhir Mei," kata sang pelatih. "Tepat sebelum Argo Hberlayar. Kami tidak mau
rnembesar-besarkannya." Frank merasa seolah kapal oleng lagi, tapi mungkin itu cuma perasaannya.
Macam-macam alat olahraga bergeming di sisi jauh di nding. Selama ini, sang pelatih ternyata sudah
menikah" Meskipun dirinya adalah pengantin baru, sang satir malah setuju untuk ikut
dalam misi ini. Pantas saja Hedge sering sekali menghubungl rumah. Pantas saja dia cepat gusar dan
marah-marah terus. Namun demikian ... Frank merasakan bahwa ada yang lain. Nada suara sang pelatih
saat mengirim pesan-Iris mengesankan seolah mereka sedang membahas suatu masalah. "Saya tidak
bermaksud menguping," kata Frank. "Tapi apa istri Bapak baik-baik saja?" "Yang barusan itu percakapan
pribadi!" "Iya. Bapak benar." "Ya sudah! Akan kuberi tahu kau." Hedge mencabut bulu di paha dan
melemparkannya ke udara. "Dia sempat cuti dari pekerjaan di L.A, kemudian berkunjung ke Perkemahan
Blasteran saat musim papas, sebab kami mengira?" Suara sang satin pecah. "Kami mengira di sana
lebih aman. Sekarang dia terjebak di sana, sedangkan pasukan Romawi hendak menyerang. Dia ... dia
takut." Frank mendadak sangat sadar pada pin centurion di bajunya, tato SPQR di lengan bawahnya.
"Saya ikut prihatin," gumam Frank. "Tapi, kalau dia itu roh awan, bukankah dia bisa Bapak tahu
melayang pergi saja?" Sang pelatih mencengkeramkan jemari ke gagang tongkat bisbolnya. "Pada
kondisi normal, memang. Tapi masalahnya dia sedang rentan. Kalau dia terbang, bisa berisiko."
"Rental' ...." Mata Frank membelalak. "Dia sedang hamil" Bapak bakal menjadi ayah?" "Teriakkan lebih
keras lagi," gerutu Hedge. "Belum kedengaran sampai ke Kroasia." Mau tak mau, Frank menyeringai.
"Tapi, Pak Pelatih, itu keren! Bayi satin" Atau mungkin peri awan" Bapak pasti menjadi ayah yang baik."
Frank tidak tahu apa sebabnya dia berpendapat begitu, padahal sang pelatih menggemari tongkat bisbol
dan tendangan inemutar, tapi dia yakin. Pak Pelatih Hedge merengut kian galak. "Perang hendak pecah,
Zhang. Tidak ada tempat yang aman. Aku seharusnya mendampingi Mellie. Andai aku harus mati?"
"Jangan begitu! Takkan ada yang mati," tukas Frank. Hedge menatap matanya. Frank tahu sang pelatih
tidak percaya. "Aku sutra anak-anak Ares sedari dulu," gerutu Hedge. "Atau Mars"yang mana sajalah.
Mungkin itulah sebabnya aku tidak meremukkanmu menjadi bubur walaupun kau bertanya-tanya
terus." "Tapi saya tidak?" "Ya sudah, akan kuberi tahu kau!" Hedge mendesah lagi. "Dalam misi
pertamaku sebagai pencari, aku mendatangi Arizona. Dari sana, aku membawa pulang seorang anak
bernama Clarisse." "Clarisse?" "Saudaramu," ujar Hedge. "Anak Ares. Brutal. Kasar. Punya banyak
potensi. Singkat kata, selagi menjelajah, aku memimpikan ibuku. peri awan seperti Mellie. Aku bermimpi
ibuku sedang kesulitan dan membutuhkan pertolonganku tepat saat itu. Tapi, kubilang kepada diriku
sendiri, Abaikan saja, itu cuma mimpi. Siapa yang bakal menyakiti rob awan tua yang lembut hati" Lagi
pula, aku harus membawa si blasteran ke tempat aman. Jadi, kuselesaikan misiku, kubawa Clarisse ke
Perkemahan Blasteran. Sesudah itu, aku pergi mencari ibuku. Aku terlambat." Frank memperhatikan
gumpalan bulu kambing yang melayang-layang hinggap di atas tongkat bisbol. "Beliau kenapa?"
Hedge mengangkat bahu. "Entahlah. Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Mungkin kalau aku
mendampingi ibukti, kalau aku kembali lebih awal ...." Frank ingin mengucapkan sesuatu yang
menghibur, tapi dia tidak tahu harus mengatakan apa. Dia sendiri kehilangan ibunya dalam perang di
Afghanistan sehingga dia tahu betapa kata-kata Aku turut berduka terkesan hampa. "Bapak sedang
mengerjakan tugas," tukas Frank. "Bapak menyelamatkan nyawa seorang demigod." Hedge menggeram.
"Sekarang istri dan anakku yang belum lahir sedang terancam bahaya, di belahan dunia lain, sedangkan
aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu." "Bapak sedang melakukan sesuatu," kata Frank. "Kita
ke sini untuk mencegah para raksasa membangunkan Gaea. Itulah cara terbaik untuk memastikan agar
teman-teman kita tetap aman." "Iya. Beta!, kurasa begitu." Frank berharap bisa berbuat lebih untuk
membangkitkan semangat Hedge, tapi pembicaraan ini malah membuat Frank mencemaskan semua
orang yang dia tinggalkan. Dia bertanya-tanya siapa yang melindungi Perkemahan Jupiter saat ini, selagi
legiun berderap ke timur, padahal situasi sedang genting karena banyaknya monster yang dikeluarkan
Gaea dari Pintu Ajal. Dia mengkhawatirkan teman-temannya di Kohort V, juga membayangkan
bagaimana kiranya perasaan mereka saat diperintahkan Octavian untuk berderap menuju Perkemahan
Blasteran. Frank ingin kembali ke sana, sekurang-kurangnya untuk menjejalkan boneka beruang ke
tenggorokan si augur licik itu. Kapal condong ke depan. Kumpulan alat olahraga menggelinding ke
bawah tempat tidur sang pelatih. "Kita turun," kata Hedge. "Sebaiknya kita ke atas." "Iya," ujar Frank,
suaranya serak. "Kau ini orang Romawi yang suka ikut campur, Zhang." "Tapi?" "Ayo," kata Hedge. "Dan jangan bilang
siapa-siapa, Mulut ember." Selagi yang lain mengikat tambatan di udara, Leo memegangi lcngan Frank dan Hazel. Ditariknya mereka
ke peluncur misil sebelah belakang. "Oke, aku punya rencana." Hazel memicingkan mata. "Aku benci
rencanamu." "Aku membutuhkan kayu bakar ajaib itu," kata Leo. "Jangan p rotes!" Frank hampir
tercekik gara-gara menelan lidahnya sendiri. Hazel langsung mundur, secara instingtif menutupi saku
mantelnya. "Leo, kau tidak mungkin?" "Aku sudah menemukan solusi." Leo menoleh kepada Frank.
"Terserah kau, Bung, tapi aku bisa melindungimu." Frank mengingat-ingat sudah berapa kali dia melihat
jemari Leo berkobar tiba-tiba. Satu langkah keliru dan Leo niscaya bakal membakar habis sepotong kayu
tambatan hidup Frank. Tapi, entah kenapa, Frank tidak takut. Sejak menghadapi monster-monster sapi
di Venezia, Frank jarang memikirkan tambatan hidupnya yang rapuh. Betul, api sekecil apa pun bisa saja
membunuhnya. Tapi, dia juga telah selamat dari cobaan berat yang nyaris mustahil dan membuat
ayahnya bangga. Frank memutuskan bahwa apa pun nasibnya, dia takkan resah. Yang penting adalah
bertindak maksimal demi membantu teman-temannya. Lagi pula, Leo kedengarannya serius. Matanya
masih sarat ekspresi melankolis nan ganjil, seolah dirinya tengah berada di dua tempat sekaligus; tapi
dia sama sekali tidak tampak sedang bercanda. "Tidak apa-apa, Hazel," kata Frank.
"Tapi ...." Hazel menarik napas dalam-dalam. "Oke." Gad is itu mengeluarkan potongan kayu bakar dan
menyerahkanny;i kepada Leo. Di tangan Leo, kayu bakar tersebut tidak lebih besar daripada obeng
semata. Satu sisi kayu bakar itu masih gosong, d i tempat Frank menggunakannya untuk membakar
rantai es yang membelenggu Dewa. Thanatos di Alaska. Dari saku sabuk perkakasnya, Leo mengeluarkan
secarik kain putih. "Saksikanlah!" Frank mengerurkan kening. "Saputangan?" "Bendera tanda
menyerah?" tebak Hazel. "Bukan, dasar skeptis!" kata Leo. "Ini kantong serut milikku, terbuat dari kain
superkeren"hadiah dari seorang temanku.' Leo memasukkan kayu bakar ke kantong serut dan menarik
tali perunggu yang mengikatnya hingga tertutup. "Tali serut ini adalah ideku," kata Leo bangga.
"Membuatnya lumayan susah, harus dianyam ke kain, tapi kantong ini takkan terbuka kecuali kita
menginginkannya. Udara bisa bersirkulasi dengan bebas keluar-masuk bahan ini, sama seperti kain biasa,
jadi kondisinya sama saja seperti saat kayu bakar ini tersimpan dalam saku mantel Hazel." "Ehm ...," kata
Hazel. "Kalau memang begitu, keunggulannya di mana?" "Pegang ini supaya aku tidak membuatmu kena
serangan jantung." Leo melemparkan kantong serut kepada Frank, yang hampir menjatuhkan wadah itu.
Leo mendatangkan bola api panas rnembara ke tang an kanannya. Dia mengulurkan lengan kiri ke atas
kobaran api sambil menyeringai sementara lidah api tersebut menjilat lengan jaketnya. "Lihat?" kata Leo.
"Bajuku tidak terbakar!"
Frank tidak ingin bertengkar dengan cowok yang memegang bola api, tetapi dia berkata, "Ehm kau `kan
kebal api." Leo memutar--mutar bola matanya. "Iya, tapi aku harus berkonsentrasi kalau tidak mau
pakaianku terbakar. Padahal barusan aku tidak berkonsentrasi, Ian" Kain ini kedap api. Artinya, kayumu
takkan terbakar dalam kantong serut itu." Hazel kelihatan sangsi. "Bagaimana kau bisa yakin?" "Ya
ampun, penonton yang susah dibuat terkesan." Leo memadarnkan api. "Kurasa hanya ada satu cara
untuk meyakinkan kalian." Dia mengulurkan tangan kepada Frank. "Eh, tidak, tidak." Frank melangkah
mundur. Mendadak pernikiran berani mengenai keikhlasan dalam menerima takdirnya serasa jauh sekali.
"Tidak apa-apa, Leo. Makasih, tapi aku"aku tidak bisa"', "Sobat, kau harus percaya padaku." jantung
Frank berdebar-debar kencang. Apakah dia percaya kepada Leo" Tentu saja dia percaya pada kebisaan.
Leo mengutak-atik mesin. Pada keahliannya berkelakar. Tapi, maukah Frank memercayakan nyawanya
kepada Leo" Frank teringat kejadian pada hari ketika mereka terjebak dalam bengkel bawah tanah di
Roma. Gaea bersumpah mereka bakal mati dalam ruangan tersebut. Leo berjanji dia akan mengeluarkan
Hazel dan Frank dari perangkap itu. Dan dia telah menepati janjinya. Kini Leo berbicara dengan penuh
rasa percaya diri, sama seperti saat itu. "Oke." Frank menyerahkan kantong serut kepada Leo.
"Usahakan agar tidak membunuhku." Tangan Leo mengobarkan api. Kantong serut tidak hangus
ataupun terbakar. Frank menunggu terjadinya sesuatu yang tidak beres. Dia menghitung sampai dua
puluh, tapi dia masih hidup. Dia merasa
seolah-olah sebalok es tengah meleleh di balik tulang dadanya-segumpal rasa ngeri nan beku yang telah
biasa dia bawa ke mana mana sehingga dia bahkan tidak pernah memikirkan perasaan sampai sekarang,
sampai perasaan itu lenyap. Leo memadamkan api. Dia menaik-turunkan alis kepada Frank. "Siapa
teman baikmu?" "Jangan jawab itu," kata Hazel. "Tapi, Leo, yang barusan memang mengagumkan."
"Betul." Leo mengiakan. "Jadi, siapa yang ingin membawa kayu bakar yang sekarang ekstraaman ini?"
"Biar aku saja," kata Frank. Hazel merapatkan bibir. Dia menengok ke bawah, barangkal supaya Frank
tidak melihat kekecewaan di matanya. Gadis itu sudah melindungi kayu bakar untuk Frank sepanjang
banyak pertempuran berat. Kayu bakar tersebut merupakan lambang kepercayaan antara mereka,
simbol hubungan mereka. "Hazel, jangan marah." Frank berkata selembut mungkin. "Aku tidak bisa
menjelaskan, tapi aku"aku punya firasat bahwa aku harus unjuk kebolehan ketika kita berada di Gerha
Hades. Aku harus memikul sendiri bebanku." Mata Hazel yang keemasan dipenuhi kekhawatiran. "Aku
mengerti. Aku cuma aku cemas." Leo melemparkan kantong serut kepada Frank. Frank mengikatkan
kantong itu ke sabuknya. Frank merasa aneh karena membawa-bawa kelemahan fatalnya secara bukabukaan setelah berbulan-bulan menyembunyikannya. "Leo," ujar Frank, "terima kasih." Ucapan terima
kasih belaka serasa tidak sebanding dengan hadiah yang telah Leo berikan kepadanya, tapi Leo
menyeringai. "Apa gunanya teman genius?"
"Hei, Teman-Teman!" panggil Piper dan haluan. "Sebaiknya kalian ke sini. Kalian harus melihat ini."
Mereka telah menemukan sumber petir gelap. Argo II melayang-layang tepat di atas sungai. Beberapa
ratus meter dari sana, di puncak bukit terdekat, berdirilah sekumpulan reruntuhan. Puing-puing tersebut
tidak megah"cuma dinding-dinding roboh yang mengelilingi kerangka segelintir bangunan dari batu
paras"tetapi di dalam reruntuhan tersebut, tampaklah sulur-sulur kegelapan pekat yang menggapai ke
langit, laksana gurita sehalus asap yang menyembul dari gua persembunyiannya. Sementara Frank
memperhatikan, kilatan energi gelap membelah udara, mengguncangkan kapal itu dan mengirimkan
gelombang kejut dingin yang merambati sepenjuru bentang alam. "Necromanteion," ujar Nico. "Gerha
Hades." Frank memegangi pagar untuk menjaga keseimbangan. Dia menduga sudah terlambat untuk
berputar balik. Dia mulai merindukan monster-monster yang dia lawan di Roma. Kejar-kejaran dengan
sapi beracun di Venezia bahkan terkesan lebih memikat ketimbang tempat ini. Piper memeluk diri
sendiri. "Aku merasa terekspos, melayang-layang di atas seperti ini. Tidak bisakah kita mendarat saja di
sungai?" "Kurasa tidak," kata Hazel. "Itu Sungai Acher Jason memicingkan mata untuk menghalau matahari.
"Kukira Acheron terletak di Dunia Baw "Memang," kata Hazel. "Tapi, mulct sungai dunia Tana. Sungai di
bawah kita akhirnya mengalir k langsung ke Kerajaan Pluto"maksudku Hades. kapal demigod di
perairan itu--" "Iya, lebih baik kita tetap di atas." Leo memutuskan. " tidak mau lambung kapalku bersentuhan dengan
air zombi." Setengah kilometer di hilir, sejumlah perahu nelayan mengarungi sungai. Frank
memperkirakan bahwa mereka tid' tahu atau tidak peduli pada riwayat sungai tersebut. Enaknya,
menjadi manusia biasa. Di sebelah Frank, Nico di Angelo mengangkat tongka Diocletian. Bola di puncak
tongkat memendarkan cahaya ungu, 4111* seolah-olah bersimpati pada badai gelap. Relik Romawi atau
bukan, tongkat tersebut membuat Frank risau. Jika benda tersebut benar-benar menyimpan kesaktian
untuk memanggil legiun orang mati ... Frank tidak yakin yang demikian adalah ide bagus. Jason pernah
memberitahunya bahwa anak-anak Mars memiliki kemampuan serupa. Frank seharusnya bisa juga
memanggil hantu prajurit dari kubu pecundang dalam perang mana pun sebagai abdinya. Frank belum
mampu mengendalikan kemampuan tersebut sejauh ini, barangkali karena dia kelewa takut. Dia
khawatir kalau-kalau dirinya menjadi bagian dark kawanan hantu tersebut andai mereka kalah dalam
perang ini"dikutuk membayar kekeliruannya untuk selama-lamanya, dengan asumsi bahwa di dunia
fana masih tersisa demigod yang bisa memanggilnya. "Jadi, ehmm, Nico ...." Frank menunjuk tongkat
Diocletian. "Apa kau sudah tahu cara menggunakan benda itu?" "Nanti kita cari tahu." Nico menatap
sulur-sulur kegelapan yang menjulur keluar dari reruntuhan. "Akan kugunakan ini jika terdesak, tapi
tidak sebelumnya. Pintu Ajal sudah bekerja lembur demi mengeluarkan sekian banyak monster anak
buah Gaea. Kalau kita paksakan memanggil orang-orang mati, bisa-bisa pintu itu bobol permanen,
meninggalkan robekan di dunia fana yang tidak bisa ditutup."
Pak Pelatih Hedge menggeram. "Aku bend robekan di dunia Iana..Ayo kita getok kepala monstermonster." Frank melihat ekspresi muram sang satir. Tiba-tiba dia titendapat ide. "Pak Pelatih, sebaiknya
Bapak diam di kapal sambil inenembakkan peluncur misil saja, untuk melindungi kami." Hedge
mengerutkan kening. "Ditinggal di sini" Aku" Aku ini adekar terbaik di antara kita semuar "Kita mungkin
bakal membutuhkan sokongan dari udara," ta Frank. "Seperti saat di Roma. Bapak sudah
menyelamatkan katni saat itu." Dia tidak menambahkan: Apalagi aku ingin supaya Anda kembali hiduphidup ke hadapan istri dan bayi Anda. Hedge rupanya mafh um maksud Frank. Mimiknya yang cemberut
kini melembut. Rasa lega tampak di matanya. "Mau bagaimana lagi ...," gerutu sang satir. "Aku rasa,
memang harus ada yang melindungi kalian." Jason menepuk bahu sang satir. Kemudian dia mengangguk
apresiatif ke arah Frank. "Beres kalau begitu. Yang lain"ayo kita ke reruntuhan. Waktunya
membubarkan pesta Gaea."[]
BAB ENAM PULUH ENAM FRANK MESKIPUN HAWA TENGAH HARI PANAS terik dangelombang energi maut tengah menggila, sekelompok
wisatawan mendaki reruntuhan dengan santainya. Untung jumlah mereka tidak banyak. Selain itu,
mereka juga tidak menghiraukan para demigod. Selepas kunjungan ke Roma nan ramai, Frank tidak lagi
khawatir kalau-kalau diperhatikan orang. Kalau mereka bisa menembakkan pelontar misil selagi terbang
ke tengah-tengah Koloseum Romawi tanpa menyebabkan kemacetan lalu lintas, Frank menduga mereka
bisa melakukan apa saja tanpa mem rik perhatian. Nico berjalan paling depan. Di puncak bukit, mereka
memanjati tembok pertahanan tua dan turun ke lokasi ekskavasi. Akhirnya, tibalah mereka di ambang
pintu batu yang mengai ah ke dalam lereng. Gelombang maut sepertinya berasal tepat dari atas kepala
mereka. Saat mendongak untuk melihat sulur-sulur kegelapan yang berputar-putar, Frank merasa
seperti terperangli ap di dasar jamban yang sedang digelontor air. Khayalan ini tidak menenangkannya
sama sekali. Nico membalikkan badan untuk menghadapi rombongan. "Dari sini, perjalanan akan semakin berat."
"Asyik," kata Leo. "Soalnya, aku sudah menahan diri sejak tadi." Nico memelototinya. "Kita lihat saja
berapa lama lagi kau bisa mempertahankan selera humormu. Ingat, di sinilah para peziarah
berkomunikasi dengan arwah leluhur. Di bawah tanah, kalian mungkin akan menyaksikan hal-hal yang
seram atau mendengar suara-suara yang mencoba menyesatkan kalian dalam terowongan. Frank, apa
kau membawa kue jelai?" "Apa?" Frank sedang memikirkan nenek dan ibunya, bertanya-tanya apakah
mereka bakal muncul di hadapannya. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, suara Ares dan Mars
mulai berdebat lagi dalam benak Frank, mempertengkarkan bentuk kematian mengenaskan mana yang
paling mereka sukai. "Aku membawa kue itu," kata Hazel. Dia mengeluarkan biskuit jelai yang mereka
buat dari padi-padian pemberian Triptolemus di Venezia. "Makanlah." Nico menganjurkan. Frank
mengunyah biskuit maut jatahnya dan menahan perasaan ingin muntah. Kue itu seperti terbuat dari
serbuk gergaji alih-alih gula. "Lezatnya," kata Piper. Bahkan putri Aphrodite mau tidak mau meringis jijik
juga. "Oke." Nico memaksakan diri untuk menelan potongan terakhir kue jelai. "Sekarang kita
semestinya terlindung dari racun." "Racun?" tanya Leo. "Apa aku tidak kebagian racun" Soalnya racun
itu kegemaranku." "Sebentar lagi," janji Nico. "Pokoknya jangan jauh-jauh, supaya tidak tersasar atau
jadi gila." Setelah mengucapkan kata-kata menggernbirakan itu, Nico membimbing mereka ke bawah tanah.
Terowongan yang meliuk melandai ke bawah, langit-langit ditopang oleh pelengkung batu putih yang
mengingatkan Frank akan sangkar iga pans. Selagi mereka berjalan, Hazel menelusurkan tangan ke
konstruksi batu. "Ini bukan bagian dari kuil," bisiknya. "Ini dulunya lantai bawah tanah sebuah griya yang
dibangun pada zaman Yunani akhir ...." Hazel bisa tahu banyak tentang lokasi bawah tanah hanya
dengan menginjakkan kaki di sana. Kemampuan Hazel itu membuat Frank merinding. Setahunya, Hazel
tidak pernah keliru. "Griya?" tanya Frank. "Tolong jangan bilang kita berada di tempat yang salah."
"Gerha Hades terletak tepat di bawah kita." Nico meyakin-kannya. "Tapi Hazel benar, lantai-lantai
sebelah atas memang lebih baru. Ketika para arkeolog pertama kali mengekskavasi tempat ini, mereka
mengira sudah menemukan Necromanteion. Kemudian mereka menyadari bahwa reruntuhan ini relatif
baru, maka mereka menyimpulkan bahwa dugaan mereka keliru. Mereka sudah benar. Mereka sematamata kurang dalam menggali." Mereka mengitari pojokan, lalu berhenti. Terowongan itu buntu di depan
mereka, dihalangi oleh balok batu besar. "Gua runtuh?" tanya Jason. "Ujian," jawab Nico. "Hazel,
tolong." Hazel melangkah ke depan. Dia menempelkan tangan ke batu dan batu besar tersebut sertamerta remuk menjadi debu. Terowongan bergetar. Retakan menyebar di sepanjang langit-langit. Selama
satu saat mencekam, Frank membayangkan mereka semua bakal remuk di bawah berton-ton tanah"
cara yang [ 516 ] FN mengecewakan untuk mati, sebelah sekian banyak cobaan yang mereka lalui. Lalu gemuruh itu terhenti.
Kepulan debu menipis. Tangga spiral menghunjam bumi, sedangkan kubah langit-langit ditahan oleh


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

deretan pelengkung yang berdekatan dan terbuat dari ukiran batu hitam mengilap. Jajaran pelengkung
yang melandai ke bawah membuat Frank pusing, seperti sedang melihat cermin hitam yang
memantulkan bayangan tak berkesudahan. Di dinding terdapat gambar sederhana ternak sapi hitam
yang berbaris ke bawah. "Aku tidak suka sapisapi itu," gumam Piper. "Setuju," ujar Frank. "Mereka sapi
Hades," kata Nico. "Cuma simbol dari?"Lihat." Frank menunjuk. Di anak tangga pertama, terdapat
sebuah cawan keemasan yang mengilap. Frank lumayan yakin bahwa cawan itu tidak berada di sana
sesaat sebelumnya. Cawan tersebut berisi cairan hijau tua. "Hone," kata Leo setengah had. "Kutebak itu
racun kita." Nico mengambil cawan itu. "Kita sedang berdiri di jalan masuk kuno Necromanteion.
Odysseus pernah ke sini, begitu pula lusinan pahlawan lain, untuk meminta saran dari orang mati." "Apa
orang mati menyarankan mereka agar meninggalkan tempat ini secepatnya?" tanya Leo. "Aku setuju
saja kalau disarankan begitu," aku Piper. Nico minum dari cawan, lalu menyodorkan wadah tersebut
kepada Jason. "Kau menyuruhku percaya kepada orang lain dan mengambil risiko" Nah, ini dia, Putra
Jupiter. Seberapa besar kau memercayaiku?" Frank tidak memahami maksud Nico, tetapi Jason tidak
ragu-ragu. Dia mengambil cawan dan meminum isinya. Mereka mengoperkan cawan itu, masing-masing
meminum sesesap racun. Sambil menanti giliran, Frank berusaha supaya
tungkainya tidak gemetaran dan perutnya tidak mulas. Dia bertanya-tanya apa kata neneknya jika bisa
melihat dia. Dasar Fai Zhang bodoh! Mungkin neneknya akan mengomel demikian. Kalau semzia
kawanmu meminum racun, akankah kau rnelakukannya juga" Frank adalah yang terakhir. Menurutnya,
rasa cairan itu mirip jus apel basi. Frank menghabiskan isi cawan. Wadah tersebut berubah menjadi asap
di tangannya. Nico mengangguk, rupanya puas. "Selamat. Dengan asumsi bahwa racun itu tidak
menewaskan kita, kita semestinya akan bisa menemukan jalan di tingkat pertama Necromanteion."
"Cuma tingkat pertarna?" tanya Piper. Nico menoleh kepada. Hazel dan menunjuk ke tangga. "Silakan
duluan, Kak." Tidak lama berselang, Frank sudah merasa tersesat. Tangga bercabang ke tiga arch berlainan. Begitu
Hazel memilih salah satu, tangga tersebut bercabang lagi. Mereka. berliku-liku menyusuri terowongan
yang sambung-menyambung dan ruang kuburan berdinding kasar yang kelihatan sama semua"ukiran
relung di Binding dulunya barangkali menyimpan mayat. Pelengkung pintu bercatkan gambar sapi hitam,
pohon poplar putih, dan burung hantu. "Kukira burung hantu adalah simbol Minerva," gurnam Jason.
"Burung hantu celepuk adalah salah satu hewan keramat Hades," kata Nico. "Jeritannya merupakan
pertanda buruk." "Ke sini." Hazel menunjuk ke ambang pintu yang kelihatannya sama seperti yang lain.
"Itulah satu-satunya jalan yang takkan runtuh menimpa kita." "Pilihan bagus, kalau begitu," komentar
Leo. Frank mulai merasa dirinya tengah meninggalkan duriia orang hidup. Badannya kesemutan, dia pun
bertanya-tanya apakah ini adalah efek samping racun. Kantong serut berisi kayu bakar yang tersandang
di sabuknya seolah bertambah berat. Di ba.wah pendar angker senjata magis mereka, teman-temannya
menyerupai hantu kelap-kelip. Udara dingin membelai wajah Frank. Dalam benaknya, Ares dan Mars
diarn seribu. bahasa, tetapi Frank merasa mendengar suara-suara lain yang berbisik di koridor-koridor
samping, memanggilnya agar menyirnpang dari jalur, agar mendekat da.n mendengarkan mereka bicara.
Akhirnya mereka tiba di pelengkung berbentuk tumpukan tengkorak m.anusia"atau komponen
penyusunnya barangkali mernang tengkorak manusia asli yang dijejalkan ke batu. Di bawah cahaya ungu
tongkat Diocletian, rongga-rongga mata kosong seolah berkedip. Frank hampir membentur langit-langit
ketika Hazel memegangi lengannya. "Ini jalan masuk ke tingkat kedua," kata gadis itu. "Sebaiknya kulihat
dulu." Frank bahkan tidak sadar bahwa dia sudah bergerak ke depan ambang pintu. "Eh, oke ...." Dia
memberi Hazel jalan. Hazel menelusurkan jemarinya ke deretan tengkorak. "Tidak ada jebakan di
ambang pintu, tapi ada yang janggal di sini. Indra bawah tanahku----samar, seperti ada yang
menangkalnya, menyembunyikan situasi di depan kita." "Penyihir yang kata Hecate harus kau
waspada.i?" terka Jason. "Yang Leo lihat dalam tnimpi" Siapa namanya?"
Hazel menggigit bibir. "Lebih arnan kalau kita tidak menycl )1 ii namanya. Tapi, tetaplah awas. Satu hal
yang kutahu pasti: Dari SIIII hingga seterusnya, orang mati lebih kuat daripada orang hidup." Frank tidak
tahu bagaimana ceritanya sampai Hazel menge tahui itu, tetapi dia percaya kepada gadis tersebut.
Suara-suara dalam kegelapan seolah berbisik semakin keras. Frank menangkap sekilas gerakan di
keremangan. Melihat teman-temannya jelalat an, Frank menduga bahwa mereka melihat macammacam juga. "Mana monster-monster itu?" Dia membatin keras-keras. "Kukira Gaea menempatkan
pasukan untuk menjaga Pintu Ajal." "Tidak tahu," tukas Jason. Kulitnya yang pucat hampir sehijau racun
dalam cawan. "Pada tahap ini, aku hampir-hampir lebih suka kalau kita harus bertarung langsung."
"Hari-hati kalau mengucap permohonan, Bung." Leo memunculkan bola api di tangannya dan, sekali ini,
Frank bersyukur melihat kobaran api. "Aku pribadi berharap tidak ada siapa-siapa di rumah. Kita
langsung masuk saja, cari Percy dan Annabeth, hancurkan Pintu Ajal, kemudian keluar. Mungkin mampir
sebentar di toko cendera mata." "Hah," kata Frank, "mimpi saja." Terowongan berguncang. Kerikil
menghujani mereka dari langit-langit. Hazel menyambar tangan Frank. "Nyaris saja," gumam gadis itu.
"Koridor-koridor tidak tahan lagi menanggung beban." "Pintu Ajal baru terbuka lagi," kata Nico. "Pintu
itu terbuka tiap lima belas menit, ya"!" komentar Piper. "Dua belas." Nico mengoreksi, walaupun dia
tidak menjelaskan dari mana dia tahu. "Kita sebaiknya bergegas. Percy dan Annabeth sudah dekat.
Mereka dalam bahaya. Aku bisa merasakannya." Semakin dalam mereka melangkah, semakin lebarlah
koridor. Langit-langit menjulang setinggi enam meter, dihiasi lukisan
elok burung hantu di dahan pohon poplar putih. Ruang yang Iii semestinya membuat Frank merasa
membaik, tetapi hanya uasi taktis yang terpikir olehnya. Terowongan itu cukup besar 'auk memuat
monster-monster besar, bahkan juga raksasa. Di ti lana-mana terdapat pojok tersembunyi, sempurna
untuk lokasi pcnyergapan. Kelompok mereka bisa dengan mudah dijepit atau dikepung. Mereka tidak
punya alternatif bagus untuk mundur. Seluruh insting Frank menyuruhnya keluar dari terowongan
tersebut. Kalaupun tidak tampak satu monster pun, mungkin saja mereka semata-mata sedang
bersembunyi, menunggu saatnya menjebak para demigod. Kendati Frank mengetahui hal itu, tiada yang
bisa dia lakukan. Mereka harus menemukan Pintu Ajal. Leo mengulurkan api ke dekat dinding. Frank
melihat grafiti Yunani Kuno tertoreh di batu. Dia tidak bisa membaca bahasa Yunani Kuno, tetapi dia
menebak bahwa tulisan tersebut adalah doa atau permintaan kepada arwah orang mati, diguratkan oleh
peziarah beribu-ribu tahun silam. Pecahan keramik dan koin perak berserakan di lantai terowongan.
"Sesaji?" terka Piper. "Ya," jawab Nico. "Jika kau ingin leluhurmu muncul, kau harus memberi sesaji."
"Tidak usah beri sesaji." Jason menyarankan. Tidak ada yang membantah. "Terowongan mulai tidak
stabil dari sini." Hazel mewanti-wanti. "Lantainya mungkin bakal pokoknya, ikuti saja aku. Injakkan kaki
tepat di tempat yang sudah kupijak." Hazel bergerak maju. Frank berjalan tepat di belakang Hazel"
bukan karena dia merasa berani, tetapi karena dia ingin di dekat Hazel kalau-kalau gadis itu memerlukan
pertolongan. Suara-suara dewa perang bertengkar lagi di telinga Frank. Dia bisa merasakan bahaya"
sekarang sudah sangat dekat.
Fai Zhang Frank sontak berhenti. Suara itu bukanlah suara Ares atau Mars. Suara itu seolah berasal tepat
dari sampingnya, seperti ada, yang berbisik ke kupingnya. "Frank?" Jason berbisik di belakangnya. "Hazel,
tunggu se-bentar. Frank, ada apa?" "Tidak ada apa-apa," gumam Frank. "Aku cuma"Pylos, kata suara
itu. Kutunggu kau di Pyles. Frank merasa seakan-akan racun tengah menggelegak di kerongkongannya.
Dia sudah berkali-kali merasa takut sebelumnya. Dia bahkan pernah menghadapi dewa kematian. Tetapi,
suara ini menakutinya dengan cara lain. Suara tersebut beresonansi dalam tulang-tulangnya, seakan
tahu segalanya tentang diri Frank"kutukannya, riwayatnya, masa depannya. Nenek Frank selalu
menekankan pentingnya menghormati leluhur. Itu adalah tradisi China. Kita harus berbaik-baik kepada
orang mati. Kita harus menyikapi mereka secara serius. Frank selalu beranggapan bahwa takhayul
kepercayaan neneknya konyol. Sekarang dia berubah pikiran. Dia tidak ragu lagi suara yang barusan
berbicara kepadanya adalah suara salah satu leluhurnya. "Frank, jangan bergerak." Hazel kedengarannya
waswas. Frank menoleh ke bawah dan menyadari dia hendak keluar barusan. Supaya selamat, kau harus
memimpin, kata suara itu. Di ambang jurang, kau harus mengemban tanggung jawab. "Memimpin ke
mana?" tanyanya keras-keras. Kemudian, hilanglah suara itu. Frank bisa merasakan kepergiannya,
seolah-olah kelembapan udara baru saja merosot. "Eh, Bung?" kata Leo. "Kumohon, jangan bicara
sendiri, bisa tidak" Terima kasih."
Semua teman Frank memandanginya dengan khawatir. "Aku baik-baik saja," timpal Frank. "Cuma ada
suara." Nico mengangguk. "Aku sudah memperingatkanmu. Dari sini, suasananya akan bertambah buruk.
Kita sebaiknya?" Hazel mengangkat tangan untuk memberi mereka aba-aba supaya diam. "Tunggu di
sini, Teman-Teman." Frank tidak suka mendengar itu, tetapi Hazel menerjang ke depan sendirian. Hazel
baru kembali ketika Frank sudah rnenghitung sa.mpai 23, wajah gadis itu lesu dan serius. "Ruangan
menyeramkan di depan sana." Dia memperingatkan. "Jangan panik." "Seram dan jangan panik,
keduanya tidak cocok." Leo bergumam. Tetapi, mereka tetap saja mengikuti Hazel ke dalam gua. Tempat
tersebut menyerupai katedral bundar yang berlangit-langit sedemikian tinggi sehingga tidak terlihat di
keremangan. Lusinan terowongan lain menjulur ke arah berlainan, masing-masing diramaikan gema
suara hantu. Yang paling membuat Frank gugup adalah lantainya. Lantai tersebut disusun oleh mozaik
tulang dan batu berharga"tulang paha, panggul, dan iga manusia yang berpuntir dan berpaut sehingga
membentuk permukaan mulus, diseling-seling oleh berlian dan rubi. Tulang-tulang tersebut membentuk
pola, seperti kerangka lentur yang bergelung dan meliuk untuk melindungi bebatuan berharga"tarian
maut dan kekayaan. "Jangan sentuh apa-apa," kata Hazel. "Aku tidak berencana pegang-pegang," gerutu
Leo. Jason menelaah lusinan jalan keluar. "Sekarang ke mana?" Sekali ini, Nico tampak tidak yakin. "Ini
semestinya ruangan tempat pendeta memanggil roh-roh terkuat. Salah satu koridor
mengarah ke kuil lebih ke dalam, ke tingkat ketiga dan altar Hades sendiri. Tapi, sebelah?" "Yang itu."
Frank menunjuk. Di ambang pintu di seberang ruangan, seorang legiunari Romawi melambai kepada
mereka. Wajahnya samar dan tidak jelas, tetapi Frank mendapat firasat bahwa hantu itu sedang
menatap tepat ke arahnya. Hazel mengerutkan kening. "Kenapa yang itu?" "Kau tidak melihat hantu
itu?" tanya Frank. "Hantu?" tanya Nico. Oke kalau Frank melihat hantu yang tidak bisa dilihat anak-anak
Dunia Bawah, jelas bahwa ada yang tidak beres. Frank merasa seolah lantai bergetar di bawahnya.
Kemudian dia menyadari bahwa lantai memang bergetar. "Kita harus ke jalan keluar yang itu," kata
Frank. "Sekarang!" Hazel hampir saja harus menjegal Frank untuk menahannya. "Tunggu, Frank! Lantai
ini tidak stabil, sedangkan di bawah-nya sejujurnya, aku tidak tahu apa yang ada di bawah. Aku harus
memastikan dulu bahwa jalan itu aman." "Bergegaslah, kalau begitu," desak Frank. Frank mencabut
busurnya dan menggiring Hazel secepat yang berani dia lakukan. Leo tergopoh-gopoh di belakangnya
untuk memberi penerangan. Yang lain berjaga di buntut. Frank tahu dia menakuti teman-temannya,
tetapi mau bagaimana lagi" Firasatnya mengatakan bahwa tinggal beberapa detik lagi sebelum Di
hadapan mereka, hantu legiunari terbuyarkan. Raungan dahsyat"lusinan, mungkin bahkan ratusan
musuh yang keluar dari segala arah"membahana di dalam gua. Frank mengenali raungan serak Anak
Bumi, kaok gryphon, pekik perang Cyclops yang menggerung"semua suara yang dia ingat dari
Pertempuran Roma Baru, diperkeras oleh rongga bawah tanah, bergema dalam kepalanya lebih nyaring
daripada suara-suara dewa perang.
"Hazel, jangan berhenti!" perintah Nico. Dia mencabut tongkat Diocletian dari sabuknya. Piper dan Jason
menghunus pedang masing-masing scat para monster tumpah ruah ke dalam gua. Baris depan yang
terdiri dari Anak Bumi bertangan enam melontarkan batu-batu yang memecahkan lantai tulang-batu
berharga seperti es. Retakan menyebar di tengah ruangan, merambat tepat ke arah Leo dan Hazel. Tidak
ada waktu untuk berhati-hati, Frank menjegal kawan-kawannya dan tergelincirlah mereka bertiga ke
seberang gua, berhenti di tepi terowongan hantu sernentara batu serta tombak beterbangan di atas.
"Lari!" teriak Frank. "Lari! Cepat!" Hazel dan Leo bergegas-gegas ke dalam terowongan, yang sepertinya
adalah satu-satunya koridor bebas monster. Frank tidak yakin itu adalah pertanda bagus. Dua meter di
dalam terowongan, Leo membalikkan badan, "Yang lain!" Seisi gua berguncang. Frank menengok ke
belakang dan keberaniannya sontak remuk redam. Gua tersebut kini dipisahkan jurang selebar lima
belas meter, hanya dihubungkan oleh dua titian sempit dari lantai tulang. Sebagian besar pasukan
monster berada di seberang, meraung-raung frustrasi dan melemparkan apa saja yang bisa mereka
temukan, termasuk satu sama lain. Beberapa berupaya menyeberangi titian yang berderit dan berderak
di bawah bobot mereka. Jason, Piper, dan Nico berdiri sesisi dengan Frank dan yang lainnya, tetapi
mereka dikepung oleh kerumunan Cyclops dan anjing neraka. Monster yang tumpah ruah dari koridorkoridor samping semakin banyak, sedangkan gryphon berputar-putar di atas, tidak gentar pada lantai
yang runtuh. Ketiga demigod itu takkan bisa mencapai terowongan. Kalau-pun Jason mencoba menerbangkan mereka,
ketiganya semata-mata akan diempaskan musuh hingga jatuh dari udara. Frank teringat suara
leluhurnya: Di ambangjurang, kau harus mengemban tanggungjawab. "Kita harus menolong mereka,"
ujar Hazel. Pikiran Frank berpacu, membuat kalkulasi strategis. Dia memperhitungkan apa yang kiranya
bakal terjadi"di mana dan kapan Leman-temannya bakal kewalahan, nasib mereka yang niscaya
berujung kematian di gua ini kecuali Frank mengubah situasi. "Nico!" teriaknya. "Tongkat itu." Nico
mengangkat tongkat Diocletian dan serta-merta, udara dalam gua berdenyar ungu. Hantu-hantu
merangkak keluar dari retakan dan merembes keluar dari dinding"legiun Romawi berpakaian tempur
lengkap. Mereka mulai mewujud sebagai mayat hidup, tetapi mereka kelihatan bingung. Jason berteriak
dalam bahasa Latin, memerintahkan mereka berbaris dan menyerang. Orang-orang mate tersebut
malah bergeser sana-sine di antara para monster, menyebabkan kekalutan sementara, tetapi dampak
tersebut takkan bertahan lama. Frank menoleh kepada Hazel dan Leo. "Kalian berdua, terus
, saja. Mata Hazel membelalak. "Apa" Tidak!" "Harus." Ini adalah hal terberat yang pernah Frank lakukan,
tetapi dia tabu itulah satu-satunya pilihan yang tersedia. "Carilah Pintu Ajal. Selamatkan Annabeth dan
Percy." "Tapi?" Leo melirik ke balik bahu Frank. "Tiarap!" Frank menukik ke bawah untuk berlindung
saat lemparan batu mendesing di atas. Ketika Frank bangun kembali sambil
terbatuk-batuk dan berlumur debu, jalan masuk ke terowongan telah lenyap. Dinding telah roboh,
menyisakan reruntuhan berasap. "Hazel ...." Suara Frank pecah. Dia hanya bisa berharap semoga Hazel
dan Leo masih hidup di balik sana. Frank tidak boleh berpikir lain. Amarah membuncah dalam dadanya.
Frank membalikkan badan dan menyerbu pasukan monster.[]
BAB ENAM PULUH TUJUH FRANK FRANK BUKAN PAKAR HANTU, TETAPI semua mayat legiunari di dalam gua dulunya pasti demigod,
sebab mereka semua sepertinya menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Mereka
mencakar-cakar untuk keluar dari lubang, kemudian mondar-mandir tanpa tujuan, saling menumbukkan
dada tanpa sebab yang jelas, menembakkan panah ke udara seperti hendak membunuh lalat, dan
terkadang"kebetulan saja"melemparkan lembing, pedang, atau sejawat mereka ke arah musuh.
Sementara itu, pasukan monster semakin banyak dan semakin gusar. Anal( Bumi melontarkan batu yang
menghajar zombi legiunari, meremukkan mereka seperti kertas. Hantu-hantu betina berambut api yang
tungkai kanan-kirinya tidak sama (Frank menebak bahwa mereka adalah empousa) mengertakkan
rahang dan meneriakkan perintah kepada monster-monster lain. Selusin Cyclops maju ke titian rapuh,
sedangkan humanoid setengah anjing laut"telkhine, seperti yang Frank lihat di Atlanta"melemparkan
vial api Yunani ke seberang jurang. Bahkan, di antara kerumunan itu, ada juga centaurus liar yang
menembakkan panah api dan
menginjak-injak sekutu berukuran lebih kecil dengan kaki belah mereka. Malahan, sebagian besar
musuh sepertinya membawa senjata yang menembakkan amunisi api. Meskipun kayu bakarnya kini
tersimpan dalam kantong serut kedap api, Frank tetap saja merasa amat resah. Dia menembus
kerumunan mayat hidup Romawi, menembaki monster sampai panahnya habis, pelan-pelan bergerak
mendekati teman-temannya. Frank telat menyadari"bodohnya.f---bahwa dia semestinya berubah
menjadi hewan besar kuat, seperti beruang atau naga. Begitu pemikiran itu mengemuka, rasa sakit
menjalari lengannya. Dia terhuyung-huyung, menengok ke bawah, dan tercengang saat melihat buluh
panah mencuat dari biseps kirinya. Lengan bajunya basah terkena darah. Pemandangan tersebut
membuat Frank puling sekaligus marah. Terutama marah. Dia mencoba berubah menjadi naga, tetapi
tidak berhasil. Rasa sakit membuatnya sulit memfokuskan konsentrasi. Mungkin dia tidak bisa berubah
wujud selagi terluka. Hebert, pikir Frank. Sekarang bare aku tabu. Dia menjatuhkan busur dan
memungut pedang dari mayat sebenarnya, Frank tidak yakin makhluk apa itu"semacam pendekar
reptil perempuan yang berekor ular alih-alih berkaki. Frank maju sambil menyabet sana-sini, berusaha
mengabaikan rasa sakit dan darah yang mengucur di lengannya. Kira-kira lima meter di depan, Nico
menebaskan pedang hitam dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya lagi mengangkat tongkat
Diocletian tinggi-tinggi. Dia terus meneriakkan perintah kepada para legiunari, tetapi mereka tidak
mengindahkannya. Tentu saja tidak, pikir Frank. Nico orang Yunani. Jason dan Piper berdiri
memunggungi Nico. Jason memanggil angin untuk mengembuskan lembing dan panah ke samping. Dia
menepis vial api Yunani hingga terpental tepat ke leher seekor gryphon, yangseketika terbakar dan jatuh
berputar-putar ke dalam lubang- Piper memanfaatkan pedang barunya dengar balk, sekaligos
paemegangi kornukopia penyemprot makanan"daging babi,Y apel, dan jeruk"yang berfungsi sebagai
misi penangkis de00an tangan satunya lagi. Udara di atas jurang dimeriahkan pcftunjukan kembang api
yang terdiri dari proyekti ,ecah berkeping-keping, dan hasil bumi segar. api, batu yang Y Namun deikian,
teman-teman Frank tidak bisa bertahar selaman a.ai ;all Jason sudah dibasahi butir-butir keringat, y W
Dia terus berteriak-teriak dalam bahasa Latin: "Bentuk barisanr Tetapi, mayat legiunari juga tidak
mendengarkannya. Sebagian zombi menytira bang jasa hanya dengan berdiri menghalangi monstermonster dan menerima tern bakan. Jika mereka ditebas terus-menerus oleh musuh, bisa-bisa jumlah
yang tersisa takkan mencukupi untuk diorganisasi. "Berl jalail." teriak Frank. Yang mengejutkannya,
mayat legiunari merriboicakan jalan untuknya. Yang terdekat membalikkan badan dan menatapnya
dengan mata hampa, seolah menunggu an perintah lebih glut. "Waduh, celaka ...," gerutu Frank. Di
Venezia'' Mars mewanti-wanti Frank bahwa ujian sejati kepemitnrinannya akan tiba. Hantu leluhur
Frank telah agar mengemban tanggung jawab. Tapi kalau mendesaknya para almarhuol prajurit Romawi
ini tidak mau mendengarkan Jason, mana mu gkin mereka bersedia menuruti perintah Frank" Mungkm
karena fena dia anak Mars, atau mungkinkah karena Ters adarl all frank. Jason bukan lagi Romawi
seutuhnya. Masa yang dia lewatkan di Perkemahan Blasteran telah mengubahnya. Reyna menge" ri
fakta itu..Rupanya, begitu pula para legiunari kmayat hidup. Jika Jason tidak lagi memancarkan aura pemimpin Romawi Frank mencapai temantemannya scat sekawanan Cyclops menyerbu mereka. Dia mengangkat pedang untuk menangkis
pentungan Cyclops, kemudian menikam tungkai monster itu, mengempaskannya ke lubang di belakang.
Satu Cyclops lagi menyerang. Frank berhasil menyulanya, tetapi badannya lemas karena kehilangan
darah. Penglihatannya mengabur. Telinganya berdenging. Dia samar-samar sadar akan Jason di sebelah
kirinya, mengelakkan serbuan misil dengan angin; Piper di kanan, meneriakkan instruksi dengan
charmspeak"menyemangati para monster agar saling serang atau melompat ke dalam jurang. "Pasti
asyik!" janji Piper. Segelintir mendengarkan, tetapi di seberang lubang, empousai menangkal perintah
Piper. Rupanya mereka berkemampuan charmspeak juga. Kerumunan monster di sekeliling Frank
teramat tebal sehingga dia nyaris tidak bisa menggunakan pedangnya. Bau busuk napas dan tubuh
mereka hampir menyebabkannya pingsan, bahkan kalaupun lengannya yang tertusuk panah tidak
berdenyut-denyut nyeri. Frank harus berbuat apa" Dia punya rencana, tetapi pikirannya kabur. "Hantu
bodoh!" teriak Nico. "Mereka tidak mau menurut!" Jason sepakat. Itu dia. Frank harus membuat para
hantu menurut. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan berteriak, "Kohort"rapatkan tameng!" Para
zombi di sekelilingnya bereaksi. Mereka berbaris di depan Frank, menjajarkan tameng untuk
membentuk formasi defensif tak beraturan. Tapi mereka bergerak terlampau lamban, seperti
sedang berjalan sambil tidur, dan hanya segelintir yang merespoi s suaranya. "Frank, bagaimana caramu
melakukan itu?" teriak Jason. Kepala Frank berputar-putar menahan sakit. Dia memaksa dire agar tidak
pingsan. "Aku ini perwira Romawi," katanya. "Mereka"ehmm, mereka tidak mengakui wewenangmu.
Sori." Jason meringis, tetapi dia kelihatannya tidak kaget. "Bagaimana kami bisa membantu?" Frank
berharap dirinya punya jawaban. Seekor gryphon membubung di atas, hampir memenggal Frank dengan
cakarnya. Nico menggetok si gryphon dengan tongkat Diocletian, dan terenyaklah monster itu ke
dinding. Orbem formate!" perintah Frank. Kira-kira dua lusin zombi menurut, berjuang untuk
membentuk lingkaran defensif di seputar Frank dan kawan-kawannya. Itu sudah cukup untuk memberi
para demigod kelonggaran, tetapi musuh yang merangsek maju terlalu banyak. Sebagian besar hantu
legiunari masih luntang-lantung dengan bengong. "Pangkatku." Frank tersadar. "Semua monster ini
memang bau bangkai!" teriak Piper yang salah dengar sambil menikam centaurus liar. Jason mengumpat
dalam bahasa Latin. "Maksudnya, dia tidak bisa mengontrol seluruh legiun. Pangkatnya kurang tinggi."
Nico menebaskan pedang hitamnya ke seekor gryphon lagi. "Kalau begitu, promosikan dia!" Benak Frank
lambat berpikir. Dia tidak memahami perkataan Nico. Mempromosikan dia" Bagaimana" Jason berteriak
dengan suara paling gagah dan resmi yang bisa dia keluarkan: "Frank Zhang! Aku, Jason Grace, praetor
Legiun XII Fulminata, memberikan perintah terakhirku: aku mundur dari
jabatanku dan dalam keadaan darurat ini, kulantik kau sebagai praetor yang berwewenang penuh.


The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Silakan mengomando legiun ini!" Frank merasa seolah-olah sebuah pintu entah di mana di Gerha Hades
telah terbuka, memungkinkan masuknya semburan udara segar yang melanda terowongan. Panah di
lengannya mendadak tidak menjadi soal. Pikiran Frank menjadi jernih. Penglihatannya bertambah tajam.
Suara Mars dan Ares berbicara dalam benaknya, kuat dan padu: Taklukkan mereka! Frank nyaris tidak
mengenali suaranya sendiri ketika dia berteriak: "Legiun, agmen formate!" Seluruh mayat legiunari
dalam gua seketika mencabut pedang dan mengangkat tameng masing-masing. Mereka bergegas
menghampiri posisi Frank, mendorong dan mencacah-cacah monster yang menghalangi sampai mereka
berdiri bersisian dengan rekan-rekan mereka, menata diri dalam formasi segiempat. Hujan batu,
lembing, dan api belum kunjung usai, tetapi kini Frank memiliki pasukan pertahanan nan disiplin yang
melindungi mereka di batik dinding perunggu dan kulit. "Pemanah!" teriak Frank. " Eiaculare flammasP
Dia tidak terlalu berharap bahwa perintah tersebut bakal efektif. Busur para zombi tentunya sudah tidak
bagus. Tetapi, yang mengejutkan, beberapa lusin tentara hantu menembakkan panah secara serempak.
Mata panah mereka terbakar. secara spontan dan kobaran api maut pun menukik dari barisan legiun,
langsung menyasar musuh. Cyclops berjatuhan. Centaurus sempoyongan. Seekor telkhine yang dahinya
tertusuk panah membara memekik dan lari berputar-putar. Frank mendengar suara tawa di belakangnya.
Dia melirik ke belakang dan tidak memercayai apa yang dia lihat. Nico di Angelo menyunggingkan
senyum sungguhan. "Begitu baru mantap," kata Nico. "Ayo kita balikkan keadaan!" Cuneum formate!" teriak Frank. "Maju
sambil tnenghunuskan pilum!" Barisan zombi merapat di tengah-tengah, membentuk pengumpil yang
dirancang untuk membobol pertahanan musuh. Mereka menghunus tombak sehingga membentuk
deretan nan tajam dan mendorong ke depan. Anak Bumi meraung dan melemparkan batu besar.
Cyclops memukulkan tinju dan pentungan ke jejalin tameng, tetapi para zombi legiunari bukan lagi
target yang enteng. Mereka memiliki kekuatan tidak manusiawi, tidak ciut sekalipun diserang bertubitubi. Tidak lama berselang, lantai sudah berselimutkan debu monster. Deretan lembing merobek-robek
musuh seperti gigi raksasa, menjatuhkan monster besar dan wanita ular serta anjing neraka. Para
pemanah yang dikomando Frank menembak gryphon sehingga terempas dari udara dan menuai
kekacauan di tengah-tengah pasukan monster utama di seberang jurang. Bala tentara mayat hidup
mulai mengambil kendali di bagian gua yang sesisi dengan Frank. Salah satu titian batu telah runtuh,
tetapi semakin banyak monster yang menghambur ke titian satunya lagi. Frank harus menghentikan hal
tersebut. "Jason," panggilnya, "bisakah kau terbangkan beberapa legiunari ke seberang lubang" Sayap
kiri musuh tampaknya lemah"lihat" Ambil alih sayap kiri mereka!" Jason tersenyum. "Dengan senang
hati." Tiga prajurit Romawi mati membubung ke udara dan terbang menyeberangi jurang. Kemudian tiga
lagi bergabung dengan mereka. Akhirnya Jason sendiri terbang ke seberang dan timnya mulai menebas
sejumlah telkhine yang tampak sangat terkejut, menyebarkan rasa takut di antara musuh.
"Nico," kata Frank, "cobalah terus untuk membangkitkan orang-orang mati. Kita butuh lebih banyak
orang." "Siap." Nico mengangkat tongkat Diocletian, yang memancarkan pendar ungu lebih gelap
daripada sebelumnya. Hantu Romawi lagi-lagi keluar dari dinding untuk turut serta dalam pertarungan.
9 Di seberang jurang, empousai meneriakkan perintah dalam bahasa yang tidak Frank ketahui, tetapi
garis besarnya bisa dia pahami. Empousai sedang berusaha menyemangati para sekutu dan mendorong
mereka agar terus menyerbu ke seberang titian. "Piper!" teriak Frank. "Tangkis empousa itu! Kita butuh
humhara. "Kukira kau takkan pernah memintanya." Piper mulai mengolok-olok para iblis wanita: "Tata rias
kalian cemong! Teman kalian mengatai kalian jelek! Yang itu menjulurkan lidah di belakangmu!" Sekejap
kemudian, para wanita vampir kelewat sibuk berkelahi satu sama lain sehingga tidak sempat
meneriakkan perintah apa pun. Para legiunari bergerak ke depan, terus menekan lawan. Mereka harus
menguasai titian sebelum Jason dibuat kewalahan di sisi seberang. "Waktunya memimpin dari depan."
Frank memutuskan. Dia mengangkat pedang pinjaman dan menyerukan pasukan agar menyerbu.[]
BAB ENAM PULUH DELAPAN FRANK FRANK TIDAK SADAR BAHWA DIRINYA berpendar. Belakangan Jason memberitahunya bahwa restu Mars
menyelubunginya dengan cahaya merah, seperti di Venezia. Lembing tidak bisa menyentuhnya. Batubatu mental entah bagaimana. Sekalipun panah mencuat dari biseps kirinya, Frank tidak pernah merasa
sebertenaga saat itu. Cyclops pertama yang dia jumpai tumbang teramat cepat sampai-sampai Frank
merasa hal ini tak ubahnya perkelahian bohongan. Frank menyayatnya menjadi dua dari bahu ke
pinggang. Makhluk besar itu hancur menjadi debu. Cyclops berikut mundur dengan gugup sehingga
Frank mengiris tungkainya dan mengempaskannya ke dalam lubang. Para monster yang masih tersisa di
gua sesisinya berusaha melarikan diri, tetapi legiunari menebas mereka. "Formasi Tetsubo!" teriak Frank.
"Baris satu-satu, maju, jalan!" Frank adalah yang pertama menyeberangi titian. Para prajurit mati
mengikuti, tameng mereka diposisikan di sebelah samping dan di atas kepala, mementahkan seluruh
serangan. Saat zombi terakhir sarnpai di seberang, runtuhlah titian batu ke kegelapan, tetapi pada saat itu ambruknya titian
tidak menjadi masalah. Nico terus memanggil semakin banyak legiunari untuk ikut serta dalam
pertarungan. Sepanjang sejarah imperium, ribuan prajurit Romawi telah bertugas dan mati di Yunani.
Kini mereka kembali, menjawab panggilan tongkat Diocletian. Frank merangsek maju, membinasakan
semua yang menghalangi jalannya. "Akan kubakar kau!" Seekor telkhine mencicit sambil meng-ayunayunkan sebuah vial api Yunani dengan putus asa. "Aku punya api!" Frank menjatuhkannya. Saat vial
tersebut meluncur ke tanah, Frank menendang wadah itu ke jurang sebelum sempat meledak. Sesosok
empousa menggarukkan cakar ke dada Frank, tetapi Frank tidak merasakan apa-apa. Dia menyayat sang
iblis hingga menjadi debu dan terus bergerak. Rasa sakit tidaklah penting. Kegagalan tidak terpikirkan.
Sekarang dialah pemimpin legiun yang sedang menunaikan takdirnya"yaitu memerangi musuh-musuh
Roma, menjunjung warisannya, melindungi nyawa teman-teman serta rekan-rekannya. Dia adalah Frank
Zhang sang praetor. Pasukannya memukul mundur musuh, mematahkan tiap upaya mereka untuk
berkonsolidasi. Jason dan Piper berjuang di sisi Frank sambil berteriak gagah. Nico mengarungi
kelompok terakhir Anak Bumi, menyabet-nyabet mereka dengan pedang Stygian hitam hingga
menyisakan gundukan lempung basah belaka. Sekejap kemudian, pertempuran sudah usai. Piper
memotong-motong empousa terakhir, yang menguap sambil melolong nelangsa. "Frank," kata Jason,
"kau terbakar."
Frank menengok ke bawah. Beberapa tetes minyak pasti telaIi memerciki celananya, sebab kain tersebut
mulai membara. Fran mengebuti celananya sampai berhenti berasap, tetapi dia tidal. terlalu khawatir.
Berkat Leo, dia tidak lagi perlu merasa mkt,' pada api. Nico berdeham. "Ehmm lenganmu juga tertusuk
panah." "Aku tahu." Frank mematahkan ujung panah dan mencabut sisanya. Dia hanya merasakan
sensasi hangat yang menarik kulitnya. "Aku akan baik-baik saja." Piper menyuruhnya makan sepotong
ambrosia. Sementara gadis itu membalut luka Frank, dia berkata, "Frank, kau hebat. Menakutkan sekali,
tapi hebat." Frank kesulitan memproses kata-kata Piper. Menakutkan bukanlah kata yang tepat untuk
menjabarkan dirinya. Dia cuma Frank. Adrenalinnya telah terkuras. Dia menengok ke sekeliling,
bertanya-tanya ke mana perginya semua musuh. Monster yang tersisa tinggal mayat hidup Romawi,
yang berdiri bengong dengan senjata yang sudah diturunkan. Nico menegakkan tongkat, bola di atasnya
gelap dan dorman. "Orang-orang mad takkan bertahan di sini lebih lama lagi setelah pertempuran usai."
Frank menghadap pasukannya. "Legiun!" Para prajurit zombi langsung berdiri siaga. "Kalian sudah
bertarung dengan baik." Frank memberi tahu mereka. "Sekarang kalian boleti beristirahat. Bubar, jalan!"
Remuklah mereka menjadi tumpukan tulang, baju tempur, perisai, dan senjata. Bahkan semua itu pun
lantas hancur lebur. Frank merasa dirinya bakal remuk juga. Meskipun sudah makan ambrosia,
lengannya yang terluka mulai berdenyut-denyut. Matanya berat karena kelelahan. Restu Mars memudar,
meninggalkan Frank yang kehabisan tenaga. Tapi, pekerjaannya belum rampung. "Hazel dan Leo,"
katanya. "Kita harus menemukan mereka." Teman-temannya memicingkan mata ke seberang jurang. Di
ujung lain gua, terowongan yang telah dimasuki Hazel dan Leo terkubur di bawah berton-ton puing.
"Kita tidak bisa ke sana," kata Nico. "Mungkin ...." Mendadak Nico sempoyongan. Dia pasti sudah jatuh
jika Jason tidak menangkapnya. "Nico!" kata Piper. "Ada apa?" "Pintu Ajal," ujar Nico. "Ada yang terjadi.
Percy dan Annabeth . kita harus ke sana sekarang." "Tapi bagaimana?" tukas Jason. "Terowongan itu
sudah terkubur." Frank mengertakkan rahang. Dia tidak datang jauh-jauh ke sini untuk bergeming tanpa
daya sementara teman-temannya dilanda kesulitan. "Tidak akan menyenangkan," ujarnya, "tapi ada
cara lain."[] BAB ENAM PULUH SEMBILAN ANNABETH DIBUNUH DI TARTARUS SEPERTINYA TIDAK PATUT DI BANGGAKAN.
Saat Annabeth menatap pusaran gelap wajah sang dewa, dia memutuskan lebih baik dia mati biasabiasa saja"misalnya karena jatuh dari tangga atau meninggal dengan damai dalam tidur saat berusia
delapan puluh, setelah menjalani hidup nan tenang bersama Percy. Ya, begitu kedengarannya bagus. Ini
bukanlah kali pertama Annabeth menghadapi musuh yang tidak bisa dia kalahkan dengan kekerasan.
Biasanya, ini adalah aba-aba bagi Annabeth untuk mengulur waktu dengan cara melontarkan obrolan
cerdik ala Athena. Masalahnya, Annabeth tidak sanggup bersuara. Dia bahkan " tidak bisa menutup
mulutnya yang menganga. Siapa tahu, liur barangkali tengah membanjir keluar dari mulut Annabeth,
sederas liur yang Percy teteskan dari mulutnya selagi tidur. Annabeth samar-samar menyadari
keberadaan pasukan monster yang berputar-putar di sekelilingnya, tetapi selepas mengeluarkan
raungan penuh kemenangan, kawanan tersebut kini membisu. Annabeth dan Percy semestinya sudah
dicabikcabik sampai tewas oleh mereka. Namun demikian, para monster justru menjaga jarak, menunggu
Tartarus beraksi. Sang dewa lubang meregangkan jari-jarinya, mengamati cakar mengilapnya sendiri. Dia
tidak mempunyai ekspresi, tetapi dia menegakkan bahu, seolah merasa puas. Memiliki wujud memang
menyenangkan, ucapnya. Dengan tangan ini, aku bisa mencabuti jeroan kalian. Suaranya terdengar
mirip kaset yang diputar terbalik"seakan kata-kata tersebut disedot oleh vorteks di wajahnya alih-alih
dihantarkan keluar. Malahan, semua seolah terisap oleh wajah dewa ini"cahaya redup, awan beracun,
saripati monster, bahkan daya hidup Annabeth yang rapuh. Annabeth menoleh ke sekeliling dan
menyadari bahwa tiap benda di dataran luas tersebut kini memancarkan semacam ekor komet tipis"
semua menunjuk ke arah Tartarus. Annabeth tahu dia semestinya mengatakan sesuatu, tetapi insting
menyuruhnya bersembunyi, menghindari tindakan apa saja yang bakal menarik perhatian sang dewa.
Lagi pula, Annabeth bisa berkata apa" Kau takkan lolos begitu saja! Pernyataan itu tidak benar.
Annabeth dan Percy masih hidup sampai saat itu semata-mata karena Tartarus tengah menikmati wujud
barunya. Dia ingin mengecap nikmatnya mencabik-cabik mereka dengan tubuhnya. Jika Tartarus
menginginkan, Annabeth tidak ragu bahwa sang dewa bisa saja melalap habis eksistensinya hanya
dengan memikirkan hal itu, semudah menghabisi Hyperion dan Krios tadi. Akankah mereka lahir kembali
sesudah diisap habis seperti itu" Annabeth tidak ingin mencari tahu. Di samping Annabeth, Percy
melakukan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Percy menjatuhkan pedangnya. Senjata
tersebut terlepas begitu saja dari tangannya dan jatuh
berdebum di tanah. Kabut Ajal tidak lagi menyelubungi wajah Percy, tetapi dia masih pucat pasi seperti
mayat. Tartarus mendesis lagi"barangkali tertawa. Rasa takut kalian berbau sedap sekali, kata sang
dewa. Kulihat betapa memikatnya memiliki tubuh ragawi dengan begitu banyak indra. Mungkin
keinginan Gaea-ku terkasih untuk bangun dari tidurnya memang tepat. Dia mengulurkan tangan
ungunya yang mahabesar dan mungkin hendak mencabut Percy bagaikan rumput, tetapi Bob
menginterupsi. "Pergilah!" Titan itu menodongkan tombaknya kepada sang dewa. "Kau tidak berhak ikut
campur!" Ikut campur"Tartarus menoleh. Aku adalah tuan dari seluruh makhluk gelap, Iapetus ringkih.
Aku bisa berbuat sesukaku. Wajah siklon hitamnya berputar semakin cepat. Bunyi meraung-raung yang
dihasilkannya teramat mengerikan sampai-sampai Annabeth jatuh berlutut dan menutupi telinganya.
Bob terhuyung-huyung, ekor komet daya hidupnya bertambah panjang karena tersedot menuju wajah
sang dewa. Bob menggerung untuk menunjukkan perlawanan. Dia menyerang dan menghunjamkan
tombak ke dada Tartarus. Sebelum tombak mengenai tubuh sang dewa, Tartarus menepiskan Bob ke
samping seperti serangga pengganggu. Sang Titan terjengkang. Kenapa kau tidak terbuyarkan" Tartarus
bertanya-tanya. Kau bukan apa-apa. Kau malah lebih lemah daripada Krios dan Hyperion. "Aku Bob,"
kata Bob. Tartarus mendesis. Apa itu" Apa itu Bob" "Aku memilih untuk menjadi lebih dari sekadar
Iapetus," kata sang Titan. "Kau tidak mengendalikanku. Aku tidak seperti saudara-saudaraku."
Kerah seragam terusannya menggembung. Bob Kecil melompat ke luar. Si anak kucing mendarat di
tanah di depan majikannya, kemudian melengkungkan punggung dan mendesis kepada penguasa
kegelapan. Sementara Annabeth menonton, Bob Kecil mulai membesar, sosoknya berkedip-kedip
sampai si kucing kecil menjadi kerangka harimau bergigi pedang bertubuh translusens. "Selain itu." Bob
mengumumkan, "aku punya kucing yang
baik. Bob Kecil yang tidak lagi kecil menerkam Tartarus, menancap-kan cakarnya ke paha Tartarus. Si
harimau memanjati tungkainya hingga tepat ke bawah jumbai baju rantainya. Tartarus menjejak-jejak
dan melolong, rupanya tidak lagi terpukau akan wujud ragawinya. Sementara itu, Bob menghunjamkan
tombak ke sisi tubuh sang dewa, tepat di bawah tameng dadanya. Tartarus meraung. Dia menepiskan
tangan ke arah Bob, tetapi sang Titan mundur ke luar jangkauan. Bob menarik jemarinya ke belakang.
Tombak tercabut dari daging sang dewa dan terbang kembali ke tangan Bob, alhasil membuat Annabeth
menelan ludah karena takjub. Dia tidak pernah membayangkan bahwa sapu memiliki banyak fitur
bermanfaat. Bob Kecil menjatuhkan diri dari balik jumbai baju tempur Tartarus. Dia lari ke sisi sang
majikan, ichor keemasan menetes-netes dari gigi pedangnya. Kau akan mati paling dulu, Iapetus.
Tartarus memutuskan. Setelah itu, akan kupasang jiwamu di baju tempurku. Di sand, jiwamu akan
terlarutkan perlahan-lahan, berulang-ulang, dalam derita nan kekal. Tartarus meninju tameng dadanya.
Wajah-wajah keruh berputar-putar di permukaan logam, menjerit-jerit bisu minta dikeluarkan.
Bob menoleh kepada Percy dan Annabeth. Sang Titan menyeringai, reaksi yang mustahil Annabeth
tampakkan jika dia diancam dengan derita nan kekal. "Ambil alih Pintu," kata Bob. "Akan kubereskan
Tartarus." Tartarus menelengkan kepala ke belakang dan meraung-- menciptakan vakum teramat kuat
sehingga iblis-iblis terbang yang paling dekat tersedot ke dalam wajah vorteksnya dan tercabik-cabik.
Membereskan aku" olok dewa itu. Kau hanya seorang Titan, termasuk anak Gaea yang remeh!Akan
kubuat kau menderita atas kesombonganmu. Tentang teman-teman manusiamu yang mungil Tartarus
melambaikan tangan kepada pasukan monster, menyeru mereka agar maju. HABISI MEREKA!![]
BAB TUJUH PULUH ANNABETH HABISI MEREKA SAKING SERINGNYA mendengar kata-kata itu, Annabeth sontak tersadar dari
kelumpuhan. Dia mengangkat pedangnya dan berteriak, "Percy!" Percy menyambar Riptide dari tanah.
Annabeth menukik ke rantai yang menahan Pintu Ajal. Bilah tulang drakon memotong belenggu kiri
dalam satu sabetan. Sementara itu, Percy memukul mundur rombongan monster pertama yang datang
menyerbu. Dia menikam seorang arai dan memekik, "Bah! Kutukan tolol!" Kemudian dia
menumbangkan setengah lusin telkhine. Annabeth melesat ke belakang Percy dan mengiris belenggu di
sisi satu lagi. Pintu Ajal berguncang, lalu terbuka disertai bunyi Ting! memuaskan. Bob dan asistennya si
harimau bergigi pedang terus meliuk-liuk di seputar kaki Tartarus sambil menyerang dan menghindar
dari cengkeramannya. Mereka sepertinya tidak mampu berbuat banyak untuk mencederai sang dewa,
tetapi Tartarus limbung ke
sana-kemari, jelas-jelas tidak terbiasa bertarung dengan tubuIi humanoid. Tepisan tangannya berkali-kali
meleset. Monster yang menyerbu ke arah Pintu Ajal semakin banyak. Tombak mendesing di samping
kepala Annabeth. Dia membalikkan badan dan menikam perut seorang empousa, kemudian menukik ke
arah Pintu saat kedua panelnya mulai tertutup. Dia menahan Pintu dengan kakinya sambil bertarung.
Setidaknya karena dia memunggungi kompartemen lift, Annabeth tidak perlu mengkhawatirkan
serangan dari belakang. "Percy, ke sini!" teriaknya. Percy bergabung dengan Annabeth di ambang pintu,
wajahnya bersimbah peluh dan darah di sejumlah luka sayatan. "Kau baik-baik saja?" tanya Annabeth.
Percy mengangguk. "Kena kutukan nyeri dari arai itu." Ditebasnya seekor gryphon hingga jatuh dari
udara. "Sakit sih, tapi takkan membunuhku. Ayo masuk lift. Akan kupencet tombolnya." "Enak saja!"
Annabeth menghajar moncong seekor kuda karnivora dengan gagang pedang dan mengempaskan si
monster hingga jatuh terinjak-injak kerumunan rekannya. "Kau sudah janji, Otak Ganggang. Kita takkan
terpisahkan! Tidak akan lagi!" "Kau ini merepotkan!" "Aku cinta padamu juga!" Se-phalanx Cyclops
menerjang ke depan, menabrak monster-monster kecil yang menghalangi jalan. Annabeth
memperkirakan dirinya bakal mati tidak lama lagi. "Kenapa harus Cyclops lagi sih"!" gerutunya. Percy
meneriakkan pekik tempur. Di kaki para Cyclops, pecahlah pembuluh darah merah di tanah,
menyemprotkan air api dari Sungai Phlegethon ke sekujur tubuh para monster. Air api itu barangkali
mujarab untuk menyembuhkan manusia fana, tetapi efeknya bagi Cyclops tidak bagus. Mereka seketika
terbakar oleh gelombang panas. Pembuluh darah yang pecah menutup sendiri, tetapi tamatlah riwayat para monster,
yang tersisa tinggal deretan bekas gosong di tanah. "Annabeth, kau harus pergi!" kata Percy. "Kita tidak
boleh sama-sama diam di sini!" "Tidak!" pekik Annabeth. "Menunduk!" Percy tidak menanyakan
alasannya. Dia berjongkok dan Annabeth pun bersalto ke depan Percy, menebaskan pedangnya ke
kepala monster jelek bertato. Percy dan Annabeth berdiri bersisian di ambang pintu, menanti
rombongan penyerbu berikutnya. Pembuluh darah yang pecah telah membuat para monster bergeming
untuk sementara, tetapi tidak lama lagi mereka pasti akan teringat: Hei, tunggu dulu, kita `kan banyak,
sedangkan mereka cuma berdua. "Kalau begitu," ujar Percy, "apa kau punya ide yang lebih bagus?"
Annabeth berharap andai saja demikian. Pintu Ajal berdiri tepat di belakang mereka"jalan keluar
mereka dari dunia menyeramkan ini. Tapi, mereka tidak bisa memanfaatkan Pintu Ajal untuk pulang ke
dunia fana apabila tidak ada yang memencet tombol kendalinya selama dua belas menit nan panjang.
Jika mereka melangkah masuk dan membiarkan Pintu tertutup sementara tidak ada yang menekan
tombol, Annabeth menduga hasilnya bakalan jelek. Dan jika mereka menyingkir dari Pintu Ajal karena
alasan apa pun, Annabeth membayangkan lift akan tertutup dan menghilang tanpa membawa serta
mereka. Situasi tersebut amat dilematis dan menyedihkan sehingga hampir:hampir lucu. Kerumunan
monster beringsut ke depan sambil menggeram dan mengerahkan keberanian mereka.
Sementara itu, serangan Bob makin melambat. Tartarus mulai belajar mengendalikan tubuh barunya.
Bob Kecil bergigi pedang menerkam dewa itu, tetapi Tartarus menghajar kucing tersebut hingga
terenyak ke samping. Bob menyerang sambil mengaum murka, tetapi Tartarus menyambar tombaknya
dan menarik senjata tersebut dari tangan sang Titan. Dia lantas menendang Bob ke turunan,
menjatuhkan sebaris telkhine seperti pin boling mamalia laut. MENYERAHLAH! gelegar Tartarus. "Aku
tidak sudi," kata Bob. "Kau bukan majikanku." Kalau begitu, matilah sambil melawan, kata dewa lubang.
Kahan bangsa Titan bukan apa-apa bagiku. Anak-anakku kaum raksasa senantiasa lebih mumpuni, lebih
kuat, dan lebih kejam. Mereka akan menjadikan dunia atas segelap kerajaanku! Tartarus mematahkan
tombak menjadi dua. Bob meraung nelangsa. Bob Kecil bergigi pedang melompat untuk membantu
Titan itu sambil menggeram kepada Tartarus dan memamerkan taringnya. Sang Titan berjuang untuk
berdiri, tapi Annabeth tahu pertarungan sudah usai. Para monster sekalipun menoleh untuk menonton,
seolah-olah merasakan bahwa majikan mereka Tartarus hendak unjuk kebolehan. Kematian seorang
Titan pantas disaksikan. Percy memegangi tangan Annabeth. "Diam di sini. Aku harus menolongnya."
"Percy, kau tak bisa," kata Annabeth parau. "Tartarus tidak bisa dilawan. Tidak oleh kita." Annabeth tahu
dia benar. Tartarus tidak tertandingi. Dia lebih perkasa daripada dewa-dewi atau bangsa Titan. Demigod
bukan apa-apa baginya. Jika Percy menyerang untuk membantu Bob, dia bakalan diinjak seperti semut.
Tapi, Annabeth juga tahu bahwa Percy takkan menghiraukan kata-katanya. Percy tidak tega membiarkan
Bob meninggal sendirian. Bukan begitu watak Percy"dan itulah satu dari sekian banyak alasan yang
menyebabkan Annabeth mencintainya, sekalipun Percy menyebalkannya setengah mati. "Kira ke sana
sama-sama." Annabeth memutuskan, tahu bahwa ini akan menjadi pertempuran mereka yang paripurna.
Jika mereka menjauh dari Pintu Ajal, mereka takkan pernah meninggalkan Tartarus. Setidaknya mereka
bakal mati selagi bertarung berdampingan. Annabeth hendak berkata: Sekarang. Sensasi waswas
menyebar di antara pasukan monster. Dari kejauhan, Annabeth mendengar pekikan, jeritan, dan bunyi
bum bum bum berkelanjutan yang terlalu cepat sehingga mustahil merupakan getaran detak jantung
dari tanah"lebih menyerupai sesuatu yang besar dan berat, sedang berlari dengan kecepatan penuh.
Seorang Anak Bumi berpuntir ke udara seperti baru dilempar. Kepulan gas hijau cerah membubung ke
atas kawanan monster seperti semprotan racun dari selang anti-huru-hara. Semua yang terkena
seketika terbuyarkan. Di seberang lahan yang baru kosong dan mengepulkan asap, Annabeth melihat
biang kerok kerusuhan. Dia pun mulai menyeringai. Si drakon Maeonian merentangkan mahkotanya dan
mendesis, napasnya yang beracun memenuhi medan tempur dengan aroma pinus dan jahe. Ia
menggeser tubuhnya yang sepanjang tiga puluh meter itu, mengibaskan ekor hijau belangnya dan
menyapu habis sebatalion monster jelek.
punggung sang drakon di tunggangi rakasasa berkulit merah dengan kepang rambut sewarna karat
berhiaskan bunga rompi kulit hijau dan gajur dari iga drakon di tangan "damasen" seru annabeth.sang
raksasa menganggukan kepala "annabeth chase, aku menuruti saran mu . aku memilih takdri baru untuk
diriku.[]

The Heroes Of Olympus 4 House Of Hades di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB TUJUH PULUH SATU ANNABETH APA INI" DESIS DEWA LUBANG. Kenapa kau datang, wahai Putraku si Pembawa Aib" Damasen melirik
Annabeth, sebuah pesan tersirat jelas, di matanya: Pergi. Sekarang. Sang raksasa menoleh ke arah
Tartarus. Drakon Maeonian menjejakkan kaki dan menggeram. "Apakah Ayahanda menginginkan musuh
yang lebih pantas?" tanya Damasen tenang. "Akulah salah satu raksasa yang demikian Ayahanda
banggakan. Ayahanda berharap agar aku lebih mencintai peperangan" Barangkali, aku akan merintisnya
dengan membinasakan Ayahanda!" Damasen menodongkan ganjurnya dan menyerang. Pasukan
monster mengepungnya, tetapi drakon Maeonian menggepengkan semua yang menghalangi jalannya,
menyabetkan ekornya dan menyemburkan racun sementara Damasen menikamkan senjata kepada
Tartarus, memaksa sang dewa untuk mundur bagaikan singa yang terpojok.
Bob terhuyung-huyung menjauhi pertempuran tersebut, didampingi kucing bergigi pedang di sisinya.
Percy melindungi mereka sebisa mungkin"memecahkan pembuluh darah di tanah satu demi satu.
Sebagian monster terbuyarkan berkat semburan air Sungai Styx. Sebagian lagi mandi air Sungai Cocytus
dan ambruk sambil menangis merana. Yang lain basah kuyup terkena cairan Sungai Lethe dan menatap
bengong ke sekeliling mereka, tidak tahu lagi di mana mereka berada atau bahkan siapa diri mereka.
Bob terpincang-pincang ke Pintu Ajal. Ichor keemasan mengucur dari luka-luka di lengan dan dadanya.
Seragam petugas kebersihannya robek-robek. Posturnya loyo dan bungkuk, seolah ketika Tartarus
mematahkan tombaknya, dewa itu juga telah mematahkan sesuatu dalam diri sang Titan. Meski begitu,
Bob menyeringai lebar, mata peraknya berkilat-kilat puas. "Pergilah," perintahnya. 'Akan kupencetkan
tombol." Percy memandanginya sambil melongo. "Bob, kondisimu sedang tidak?" "Percy." Suara
Annabeth hampir pecah. Dia benci dirinya sendiri karena membiarkan Bob berbuat begini, tetapi dia
tahu inilah satu-satunya cara. "Kita harus pergi." "Kita tidak bisa membiarkan mereka begitu saja!"
"Hams, Teman." Bob menepuk lengan Percy, nyaris menjungkalkannya. "Aku masih bisa memencet
tombol. Selain itu, aku punya kucing baik yang bisa menjagaku." Bob Kecil bergigi pedang menggeram
Seruling Gading 5 Pendekar Rajawali Sakti 71 Ladang Pembantaian Bidadari Kuil Neraka 2

Cari Blog Ini