Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 4

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 4


seperti guntur. Aku sudah mempelajari gelap ngampar serba
sedikit" Ketiga orang itupun segera mempersiapkan diri. Sejenak
kemudian, di saat ketegangan di halaman memuncak,
terdengarlah suara tertawa meledak.
Setiap orang di halaman itupun berpaling. Mereka
dengan berdebar-debar melihat tiga orang berloncatan
dinding halaman. Dalam pada itu, maka Gagak Branangpun berteriak
lantang "Lihatlah. Saudara-saudaraku yang setia itu telah
datang" "Gila" geram Ki Watu Kendeng "jadi kau memang
sudah mempersiapkan perampokan ini"
"Jangan menyesali apa yang terjadi, kakang" jawab
Gagak Branang "jika kau masih ingin hidup,
menyingkirlah. Sudah aku katakan, aku masih segan
membunuhmu" "Persetan" geram Ki Watu Kendeng "bunuhlah aku
paling dahulu" Tiba-tiba saja Ki Watu Kendeng menarik kerisnya yang
besar yang melekat di punggung. Dengan tangkasnya ia
meloncat menusuk dada adiknya yang telah
mengkhianatinya itu. Tetapi Gagak Branang mampu bergerak lebih cepat. Ia
bergeser selangkah, sehingga tusukan Ki Watu Kendeng
tidak mengenainya. Serangan itu telah merupakan aba-aba yang melibatkan
semua orang di halaman itu untuk bertempur. Sementara
ketiga saudara Gagak Branang itupun segera turun pula
memasuki arena. Dalam pada itu, orang-orang Watu Kendeng menjadi
termangu-mangu. Kuda Pramujapun berdiri saja
kebingungan. Tetapi sejenak kemudian, ketika ia melihat
ayahnya mulai bertempur, maka iapun berteriak "Jangan
bingung. Aku bukan pengecut seperti yang dikatakan oleh
paman. Aku hanya bingung. Tetapi aku sekarang sudah
mengerti apa yang sebenarnya terjadi"
Orang-orang Watu Kendeng yang termangu-mangu
itupun segera menemukan sikap. Merekapun segera turun
ke arena bersama Kuda Pramuja.
Tetapi mereka pada umumnya tidak siap untuk
bertempur. Mereka tidak membawa senjata yang memadai,
selain sebilah keris, karena mereka memang tidak bersiap
untuk bertempur. Mereka datang untuk melamar.
Sementara itu, orang-orang padepokan Kenanga yang
telah menduga bahwa akan terjadi kekerasan, telah bersiapsiap
meskipun masih tersembunyi. Tetapi demikian
pertempuran terjadi, maka salah seorang dari mereka telah
dengan tergesa-gesa mempersiapkan senjata daa
menyerahkan kepada Makerti, Gemak Werdi dan ketiga
orang murid tertinggi padepokan Kenanga. Meskipun
mereka masih belum selesai, tetapi mereka telah memilik'
bekal yang cukup untuk menjaga dirinya^sendiri.
Namun ternyata lawan mereka adalah orang-orang yang
luar biasa. Di halaman itu adalah lima orang yang memiliki
kemampuan melampaui setiap orang yang ada di
padepokan itu, Bahkan Ki Watu Kendeng dan Ki
Selabajrapun tidak akan dapat mengimbanginya.
Hanya karena jumlah mereka yang lebih banyak, maka
merekapun dapat berusaha, untuk membatasi gerak lawan
mereka dengan bertempur berpasangan.
"Gila" desis Ki Selabajra "ternyata orang itu memang
licik, selain memiliki kemampuan yang luar biasa"
Namun dalam pada itu, sejenak kemudian maka segera
nampak, betapa lemahnya orang-orang Watu Kendeng dan
orang-orang padepokan Kenanga. Ki Watu Kendeng dan
Ki Selabajra sendiri, yang bagi orang-orang Watu Kendeng
dan orang-orang Kenanga merupakan puncak dari ilmu
mereka, sama sekali tidak berdaya menghadapi Gagak
Branang dan saudara-saudara seperguruannya.
Karena itu, meskipun mereka berjumlah jauh lebih
banyak, namun merekapun segera terdesak. Bahkan ketika
orang-orang Watu Kendeng telah mendapatkan senjata
yang memadai dari orang-orang padepokan Kenanga,
ternyata mereka tidak dapat berbuat banyak.
Dalam keadaan yang demikian, maka orang-orang Watu
Kendeng dan orang-orang padepokan Kenanga sama sekali
tidak dapat berharap lagi. Sejenak kemudian, maka mereka
akan segera dibinasakan, sementara padepokan itu akan
menjadi abu. Tetapi yang paling menyedihkan bagi Ki
Selabajra dan juga Ki Watu Kendeng adalah anak gadis
padepokan Kenanga itu. Namun bagaimanapun juga, orang-orang Kenanga dan
orang-orang Watu Kendeng telah bertempur dengan
sengitnya. Mereka memang sudah tidak mempunyai pilihan
lain, kecuali dengan sepenuh kemampuan mempertahankan
diri mereka. Gagak Branang, seorang pengiringnya dan ketiga orang
saudara seperguruannyapun segera merasa, bahwa tugas
mereka tidak akan sangat berat. Mereka akan dapat
memenangkan pertempuran itu. Seorang demi seorang,
lawan mereka akan dapat mereka lumpuhkan, sehingga
akhirnya akan sampai kepada orang terakhir.
Dalam pada itu, terdengar suara Gagak Branang lantang
"Selagi kalian masih mendapat kesempatan. Lakukanlah
perintahku. Siapa yang ingin hidup, minggirlah dan bawa
gadis itu kemari. Aku akan membawanya dan
menjadikannya isteri yang keempat belas"
Penghinaan itu benar-benar telah membakar jantung Ki
Selabajra. Namun betapapun juga ia tidak mampu berbuat
banyak. Serangannya yang keras dan cepat, sama sekali
tidak dapat menyentuh tubuh lawannya.
Tetapi karena Ki Selabajra bertempur berpasangan
dengan Ki Watu Kendeng, maka Gagak Branang memang
harus berhati-hati. Melawan kedua,orang itu, ia tidak dapat
mengabaikan seperti menghadapi orang-orang yang lain,
meskipun baginya kedua orang itu tidak akan mungkin
mengalahkannya. "Aku akan menghitung sampai sepuluh" teriak Gagak
Branang "siapa yang tidak minggir dari arena, maka mereka
akan mati" Setiap orang menjadi berdebar-debar. Keteganganpun
segera memuncak ketika Gagak Branang benar-benar mulai
menghitung "Satu, dua, tiga, empat" suara Gagak Branang
lantang "lima, enam, tujuh, delapan, sembilan"
Suara Gagak Branang terputus, ketika tiba-tiba saja
terdengar suara seorang perempuan "Tidak perlu kau
mengucapkan angka kesepuluh"
Suara itu benar-benar mengejutkan. Ketika mereka yang
sedang bertempur itu berpaling, maka mereka melihat
seorang gadis yang berdiri di muka pintu menyandang
pedang di lambung. "Ken Padmi" Ki Selabaira berteriak "menyingkirlah"
"Tidak ayah. Aku tidak akan menyingkir" jawab Ken
Padmi. "Jangan bodoh" Makertipun berteriak. Tetapi Ken
Padmi masih, berdiri di tempatnya. Dengan lantang ia
berkata "Ayah. Pusat dari persoalan ini ada padaku"
"Ya. Tetapi menyingkirlah"
Semua orang menjadi heran melihat Ken Padmi justru
tersenyum. Untuk sesaat pertempuran itu justru telah
berhenti. "Ayah" berkata Ken Padmi "jika ayah mengijinkan,
biarlah aku mencari penyelesaian dari persoalan ini"
"Apa yang kau maksud?"
"Seandainya ada perkelahian, jangan menyangkutkan
orang yang tidak bersalah"
Orang-orang yang berdiri di halaman itu pun menjadi
semakin tidak mengerti. Mereka melihat Ken Padmi berdiri
tegak tanpa kecemasan sama sekali.
Ki Selabajra yang mencemaskan nasib anaknya itupun
kemudian melangkah naik ke pendapa. Tatapi anaknya
sudah berteriak "Aku akan mengadakan sayembara
tanding" "Sayembara tanding" setiap mulut telah mengulang.
"Ya. Sayembara tanding. Aku akan memilih seorang
yang akan melindungi aku. Siapa pun yang dapat
mengalahkannya, maka ia berhak atas aku, apa pun yang
akan dilakukannya. Apakah aku akan dijadikan istrinya
yang ke duapuluh lima, atau akan dijadikan budak belian,
aku sama sekali tidak berkeberatan. Apa pun yang akan
diperlakukan terhadapku, aku akan menyerah"
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang
meledak. Gagak Branang tidak dapat menahan gejolak
persasaannya. Sambil meloncat ke depan ia berteriak
"Bagus. Suatu sikap yang adil dan terpuji. Segera tunjukkan
kepadaku, laki-laki yang manakah yang akan kau pilih?"
"Apakah harus seorang laki-laki?" bertanya Ken Padmi.
Pertanyaan itu agak membingungkan Gagak Branang
dan setiap orang yang mendengarnya. Bahkan Ki Selabajra
pun bertanya dengan gagap " Apakah kau, kau sendiri yang
akan memasuki arena sayembara tanding itu?"
Ken Padmi tertawa, sehingga ayahnya menjadi heran. Ia
sama sekali tidak melihat kecemasan di wajah gadis itu.
"Apakah ia menjadi berputus asa dan ingin membunuh
diri?" bertanya Ki Selabajra di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu Ken Padmi menjawab "Aku
hanya bertanya saja, ayah. Tetapi aku memang akan
menunjuk seorang laki-laki yang ada di padepokan ini.
Bertempur sampai tuntas. Aku tidak mengatakan mati,
karena menyerah juga berarti kalah"
"Tidak" teriak Gagak Branang "bertempur sampai mati"
"Akulah yang mengadakan sayembara. Karena itu,
akulah yang menentukan syarat-syaratnya. Jika tidak, maka
sayembara itu batal, dan aku akan membunuh diri
sekarang" "Jangan gila" teriak Gagak Branang.
"Nah, kau sudah mendengar. Apakah kau setuju?"
"Persetan" geram Gagak Branang, lalu "tunjukkan,
siapakah yang kau pilih"
Sejenak Ken Padmi termangu-mangu. Namun kemudian
diedarkan tatapan matanya berkeliling. Dipandanginya
ayahnya yang berdiri dengan tegang. Kemudian Makerti,
Gemak Werdi, saudara sepupunya, kemudian murid-murid
ayahnya yang lain. Namun tatapan matanya masih saja
bergerak ke arah orang-orang Watu Kendeng. Ketika gadis
itu memandang Ki Watu Kendeng, Gagak Branang
berteriak "Jangan kakakku. Aku masih menghormatinya"
"Aku menyediakan diri" teriak Ki Watu Kendeng.
Tetapi Ken Padmi menggeleng. Kemudian ditatapnya
wajah Kuda Pramuja tajam-tajam. Ternyata anak muda itu
memang bukan seorang pengecut. Sambil menengadahkan
dadanya ia bergeser maju. la mengerti, betapa tinggi ilmu
pamannya. Dan ia pun mengerti bahwa ia tidak akan dapat
mengimbanginya. Namun ia adalah laki-laki seperti juga
pamannya seorang laki-laki.
Namun akhirnya Ken Padmi menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Tidak seorang pun di halaman ini yang aku
pilih. Karena itu aku akan memilih seorang cantrik yang
tidak masuk hitungan"
"Kau gila" teriak Gagak Branang.
Ken Padmi tersenyum. Kemudian ia mundur selangkah
dan menarik sebuah tangan dari sisi pintu.
Ketika seorang laki-laki muncul, maka gemparlah
halaman padepokan Kenanga. Terutama orang-orang
padepokan itu sendiri. Dengan mulut ternganga mereka
berdesis "Mahisa Bungalan. Kenapa ia berada di sini?"
Sementara itu Ken Padmipun mendorong Mahisa
Bungalan ke tengah-tengah pendapa. Cahaya lampu
minyak yang kemerah-merahan jatuh ke wajahnya yang
tegang. "Gila" teriak Gagak Branang "siapakah laki-laki itu?"
"Ia adalah pekatik ayahku. Ia bukan muridnya dan ia
bukan seorang yang garang seperti kau. Tetapi ia sudah
bersedia untuk memasuki arena, mewakili kawankawannya
dari padepokan Kenanga"
Gagak Branang termangu-mangu sejenak. Dengan
tegang dipandanginya laki-laki yang berdiri di tengahtengah
pendapa, itu. Menilik bentuk tubuhnya, maka ia
adalah seorang yang memiliki ilmu kanuragan.
Sejenak Gagak Branang termangu-mangu. Namun
kemudian ia berkata "Ken Padmi, apakah pekatik sudah
jemu hidup?" "Ia tidak perlu mati" jawab Ken Padmi.
"Tetapi jika ia mati sebelum menyatakan diri
menyerah?" bertanya Gagak Branang.
"Itu salahnya sendiri. Tetapi mungkin ia tidak akan
terlambat. Mungkin demikian ia memasuki arena, demikian
ia akan menyatakan menyerah"
"Persetan. Engkau mempermainkan aku he?"
Ken Padmi tidak menjawab. la hanya tertawa kecil
sambil memandang Mahisa Bungalan yang masih berdiri
diam. Dalam pada itu. Gagak Branang memang menjadi
berdebar-debar. Nampaknya orang-orang padepokan
Kenanga menjadi tenang ketika orang yang disebutnya
pekatik itu berada di pendapa. Karena itulah ia menjadi
curiga. Meskipun demikian, kepercayaannya kepada diri
sendiri memang terlalu besar. Betapapun tinggi ilmu orangorang
padepokan Kenanga, namun tidak akan ada
seorangpun yang dapat mengimbanginya dalam olah
kanuragan. Karena itu, dengan wajah yang merah Gagak Branang
berteriak "Marilah, cepat. Apalagi yang kau tunggu.
Apakah kau menyesal bahwa kau sudah menyediakan
dirimu menjadi pahlawan di padepokan kecil yang tidak
berarti ini" Lihat. Disini ada Ki Selabajra. Dua orang
pemimpin padepokan Kenanga dan Watu Kendeng tidak
dapat mengimbangi aku. Apalagi kau. Kau tentu bukan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid terpercaya. Atau kau sekedar dijadikan umpan yang
tidak berarti sama sekali?"
Mahisa Bungalan menarik nafas-dalam-dalam. Namun
kemudian, ia melangkah maju sambil berkata "Aku
memang telah menyediakan diriku apapun yang akan
terjadi atasku. Bagi seorang gadis, maka sayembara adalah
bebana. Yang paling terhormat dari bebana itu adalah
perang tanding. Kalah atau menang memang bukan
persoalan pokok. Tetapi perang tanding itulah yang
menentukan harga seorang gadis. Jika ia direbut dengan
titik darah, maka ia adalah gadis yang berharga. Tidak
seorangpun yang akan bersedia mengorbankan badannya
apalagi, nyawanya, bagi seorang gadis yang tidak akan
berarti apa-apa bagi hidupnya. Sebaliknya, jika ia seorang
gadis yang sangat berharga baginya, maka seseorang akan
bersedia merebutnya dengan taruhan yang paling mahal.
Yaitu hidupnya" Gagak Branang tergetar hatinya. Jawaban itu telah
menyentuh perasaannya, seolah-olah pertanyaan baginya,
apakah Ken Padmi memang suatu keyakinan, bahwa tidak
akan ada seorangpun yang dapat mengalahkannya.
Tetapi semuanya telah terlanjur terjadi. Baginya,
keinginannya untuk membawa gadis itu apapun namanya,
tidak, akan dapat dihalanginya. Justru karena ia yakin,
tidak seorangpun yang dapat mencegahnya, maka iapun
kemudian berkata lantang "He, cantrik yang dungu. Kau
jangan membuat penilaian menurut kedunguanmu. Seorang
gadis yang manapun juga, tidak ada yang cukup bernilai
aku rebut dengan taruhan nyawa. Tetapi karena aku tahu,
bahwa yang ada hanyalah tikus-tikus kecil, maka aku
datang untuk mengambilnya. Seandainya aku harus
membunuh tiga atau empat orang dari padepokan Kenanga
atau Watu Kendeng, maka nyawa mereka tidak akan
berarti apa-apa bagi kesenanganku, meskipun mungkin
hanya sesaat. Mungkin satu atau dua hari, jika ia bernasib
baik, maka mungkin, sepekan atau dua pekan, Ken Padmi
akan aku anggap sebagai isteriku. Tetapi pada saatnya ia
akan aku singkirkan juga seperti perempuan-perempuan
yang lain yang pernah ada padaku. Itu bukan apa-apa. Dan
kematian kalian di padepokan ini dan padepokan Watu
Kendengpun bukan apa-apa. Karena itu jangan
menganggap bahwa Ken Padmi adalah perempuan yang
sangat berarti bagiku"
"Gila" teriak Ken Padmi yang maju selangkah.
Tetapi terdengar suara Mahisa Bungalan berbisik
"Sabarlah. Kau berjanji untuk menyerahkan Semuanya
kepadaku" Ken Padmi menggeretakkan giginya. Tetapi ia berusaha
untuk menahan perasaannya.
"Jangan marah" terdengar suara Gagak Branang "itulah
nilaimu yang sebenarnya"
"Bagus" jawab Mahisa Bungalan "untuk seorang gadis
yang tidak berharga kau telah memaksa diri untuk
memanggil saudara-saudara seperguruanmu"
"Aku memanggilnya untuk menyaksikan apa yang akan
aku lakukan" jawab Gagak Branang.
"Itulah gambaran warna hatimu yang sebenarnya.
Buram, seperti buramnya kata-katamu. Tetapi adalah suatu
kehormatan, bahwa kau telah sudi merebut gadis
padepokan Kenanga dengan kekerasan dan perang tanding.
Bagaimana juga penilaianmu. Lebih berharga lagi, adalah
karena semula kau ingin memperalat kemanakanmu. He,
bukankah kau datang melamar Ken Padmi untuk Kuda
Pramuja. Yang barangkali kau memang ingin merampasnya
kelak dengan cara apapun juga"
"Diam, Cepat turun ke arena. Jangan berbicara saja
seperti orang gila" potong Gagak Branang.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian iapun melangkah maju dan kemudian selangkah
demi selangkah ia menuruni tangga pendapa.
Demikian ia berdiri di halaman, maka Gagak
Branangpun berteriak "Jadilah saksi. Bahwa perkatik yang
gila ini akan segera terkapar mati. Menyerah atau tidak
menyerah. Aku akan membunuhnya. Tidak ada seorangpun
yang dapat menghalangi aku. Kata-kataku adalah peraturan
yang berlaku, karena aku dapat berbuat apa saja menurut
kehendakku" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia bergeser
maju mendekat. Gagak Branang mengerutkan keningnya. la melihat
pekatik itu benar-benar seperti orang gila yang tidak sadar
apa yang sedang dilakukannya.
"Pilinlah senjata" teriak Gagak Branang "perang tanding
ini bersenjata" "Apapun yang ada dapat aku pakai sebagai senjata"
jawab Mahisa Bungalan. Jawaban itu benar-benar menyakitkan hati. Tiba-tiba saja
ia berteriak "Beri ia senjata. Cepat, sebelum aku
membunuhnya" Hampir diluar sadarnya, Makerti telah meloncat maju
sambil mengulurkan pedangnya.
"Apakah kau bersenjata rangkap Makerti?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Kau yang akan berperang tanding"
"Tetapi orang-orangnya akan dapat berbuat curang.
Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan"
"Aku mempunyai sebilah pisau belati panjang"
"Itu saja berikan kepadaku. Pergunakan pedangmu jika
perlu" Percakapan itu benar-benar dirasa sebagai suatu
penghinaan bagi Gagak Branang yang merasa dirinya orang
yang tidak ada duanya. Karena itu, maka iapun berteriak
"Aku akan bersenjata sebilah keris. Kita akan
mempergunakan senjata pendek"
Yang terdengar adalah suara Makerti "Keris jauh lebih
berbahaya dari sebilah pisau belati. Jika warangan keris itu
tajam, maka sebuah goresan kecil, jika terlambat diobati,
akan menyeretmu ke kematian. Karena itu, meskipun
bukan sebuah pusaka linuwih, pergunakan kerisku Mahisa
Bungalan" Mahisa Bungalan tersenyum. Jawabnya "Terima kasih
Makerti. Mudah-mudahan aku dapat memenuhi kewajiban
ini sebaik-baiknya" "Lakukanlah. Kau bukan saja pelaksana sayembara
tanding. Tetapi kau peserta sayembara itu sendiri" Makerti
berdesis perlahan. "Ah" Mahisa Bungalan berdesis.
Sekali lagi Gagak Branang merasa terhina. Karena itu
maka iapun berteriak "Cepat. Aku akan segera mulai"
Mahisa Bungalanpun bergeser lebih ke tengah.
Sementara orang-orang yang berada di halaman itu
mengerumuninya dalam kelompok-kelompok yang, bersiapsiap
menghadapi segala kemungkinan
Di pendapa Ken Padmi berdiri tegak dalam pakaian
khususnya-dan sebilah pedang di lambung. Ia adalah
pewaris yang paling lengkap dari ilmu padepokan Kenanga,
melampaui murid-murid laki-laki yang paling terpercaya
dari padepokan itu. Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ia teringat
saat-saat ia memasuki padepokan itu bersama Makerti.
Padepokan itu menerimanya dengan curiga dan bahkan
terjadi arena perkelahian seperti yang terjadi malam itu.
"Jangan tertidur" teriak Gagak Branang " atau kau
menyesal?" Mahisa Bungalan memang sudah tidak sabar lagi. Sekilas
dipandanginya wajah ketiga saudara seperguruannya yang
tegang. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka tertawa
sambil berkata "Kau sempat juga bermain-main dengan
pekatik gila itu. Tetapi ada juga baiknya, jika darah telah
membasahi halaman ini, maka orang-orang Kenanga dan
Watu Kendeng akan menggigil ketakutan"
"Aku tidak berarti apa-apa bagi Kenanga" sahut Mahisa
Bungalan "aku hanya seorang pekatik. Tetapi jika benar
darahku menitik, maka halaman ini tentu akan mendidih.
Kekuatan padepokan ini memang harus dipancing dengan
titik darah. Kali ini darahkulah yang akan dikorbankannya"
Jawaban yang seenaknya itu, ternyata berpengaruh bagi
saudara seperguruan Gagak Branang. Bahkan salah seorang
berteriak "Bunuh orang itu tanpa menitikkan darah. Cekik
saja ia sampai mati"
"Persetan. Jangan percaya kepada igauan itu" teriak
Gagak Branang. Halaman itupun kemudian menjadi hening. Mahisa
Bungalan benar-benar telah mempersiapkan diri. Ia tidak
dapat mengabaikan lawannya yang belum diketahui dengan
pasti tingkat kemampuannya. Ia sudah mencoba mengintip
saat Gagak Branang bertempur. Dan ia memang sudah
mendapat sedikit petunjuk bahwa Gagak Branang memang
seorang vang mempunyai ilmu yang tinggi.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah bersiap
dengan keris di tangan masing-masing. Setapak mereka
bergeser. Kemudian dengan garangnya, Gagak Branang
telah mulai menyerang dengan mengayunkan kerisnya,
menyambar kening. Tetapi Mahisa Bungalan yang sudah bersiap, sempat
mengelak. Bahkan dengan tangkasnya pula ia menyerang
tangan Gagak Branang. Ia ingin menggoreskan ujung keris
Makerti, karena ia tahu, bahwa keris itu mengandung
warangan yang keras, meskipun iapun telah menduga,
bahwa Gagak Branang tentu mempunyai obat penawarnya.
Namun kejutan yang demikian akan mempengaruhi
perasaan lawannya jika ia berhasil.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak berhasil. Dengan cepat
Gagak Branang menarik, tangannya sehingga ujung keris
Mahisa Bungalan tidak menyentuhnya.
Tetapi dengan demikian, mereka masing-masing dapat
menjajagi kecepatan gerak masing-masing. Gagak Branang
menjadi berdebar-debar dan hampir tidak percaya bahwa
pekatik padepokan Kenanga itu mampu bergerak demikian
cepat dan tangkas. Bahkan kemudian ia benar-benar
menjadi curiga, karena tata gerak Mahisa Bungalan
selanjutnya. Gagak Branang yang marah itupun kemudian
menyerang lawannya dengan gerakan yang cepat dan keras.
Kerisnya seolah-olah mematuk dari segala arah. Dengan
loncatan-loncatan panjang, Gagak Branang berusaha
memecah perhatian lawan dengan arah serangan yang
berputar. Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak menjadi bingung.
Kakinya justru bagaikan terhunjam ke dalam tanah.
Pahanya berputar dengan menggerakkan satu kakinya,
menghadap kesegala arah datangnya serangan, sehingga
seolah-olah Mahisa Bungalan pada setiap saat telah berdiri
menghadap kesegala arah. Gagak Branang mulai menjadi gelisah. Tetapi
kemarahannya telah membuat semakin bernafsu. Ia
menyerang lawannya bagaikan badai yang mengamuk.
Tetapi Mahisa Bungalan berdiri bagaikan batu karang yang
tidak tergoyahkan. Kedua orang itu ternyata benar-benar memiliki ilmu
yang tinggi. Mereka mampu mempergunakan senjata
pendek di tangannya dengan cepat, berbahaya dan hampir
diluar nalar. Tetapi ternyata bahwa keduannya selalu
berhasil menghindarkan diri mereka dari goresan senjata
lawannya. Dalam pada itu, kemarahan Gagak Branangan rasarasanya
tidak tertahankan lagi. Kepalanya bagaikan
berdenyut dan jantungnya seolah-olah akan meledak. Ia
sama sekali tidak menyangka, bahwa usahanya akan
terbentur pada kenyataan yang sama sekali tidak
diduganya. Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, maka
Gagak Branang telah melihat lawannya bagaikan angin
pusaran. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran
itu dengan membunuh lawannya, dengan tidak saja
menggoreskan ujung kerisnya, tetapi dengan
menghunjamkannya ke dalam dada pekatik yang sombong
itu. Tetapi usaha itu tidak segera dapat berhasil. Lawannya
terlalu cepat bergerak dan terlalu cekatan mempermainkan
senjatanya. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun semakin
meningkatkan ilmunya. Ia ingin menggoreskan kerisnya.
Tetapi karena lawannya bertempur dengan kasar dan keras,
Mahisa Bungalan justru menjadi ragu-ragu. Jika kerisnya
tidak hanya menggores kecil, tetapi menusuk cukup dalam,
maka keadaan lawannya itu akan menjadi sangat gawat.
Mahisa Bungalan sama sekali tidak ingin membunuh
lawannya, meskipun dari peristiwa itu ia mengetahui,
bahwa Gagak Branang, bukanlah seorang yang baik seperti
Ki Watu Kendeng. Tetapi kedua kakak beradik itu ternyata
mempunyai sifat yang jauh berlainan.
Pada saat-saat pertempuran itu menjadi semakin
meningkat, maka orang-orang padepokan Kenanga semakin
lama menjadi semakin yakin akan kemampuan Mahisa
Bungalan. Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng
memperhatikan pertempuran itu dengan tatapan mata tanpa
berkedip. Mereka benar-benar kagum melihat katangkasan
Mahisa Bungalan. Bahkan mereka melihat, bahwa Mahisa Bungalan masih
belum sampai pada puncak kemampuannya. Ia masih
melihat sepercik keragu-raguan pada setiap serangannya.
Berbeda dengan Gagak Branang yang marah. Dengan kasar
dan buas ia telah memeras segenap kemampuannya untuk
membunuh Mahisa Bungalan.
Tetapi ternyata kemampuannya tidak seimbang dengan
kegarangan kata-katanya menghadapi Mahisa Bungalan
yang mengaku sebagai seorang pekatik dari padepokan
Kenanga itu. Bahkan Ki Watu Kendeng yang tidak dapat
menahan perasaannya lagi, bergeser sambil bertanya


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah benar ia seorang pekatik padepokan ini?"
Di luar sadarnya Ki Selabajra mengangguk sambil
menjawab "Ya, ia seorang pekatikku yang baru"
"Baru?" Ki Selabajra seolah-olah sadar dari mimpinya. Dengan
tergagap ia menjawab "Ya, ya. Ia seorang yang baru di
padepokan ini" Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Kemudian ia
berbisik lagi "Kau tahu, darimana ilmunya itu
dipelajarinya" Tentu bukan dari Ki Selabajra"
"Bukan. Ia datang sudah dengan ilmunya. Ia memang
bukan muridku. Bahkan sepantasnya akulah yang menjadi
muridnya" sahut Ki Selabajra.
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Dengan
sungguh-sungguh ia bertanya pula "Apakah ia masih
mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Selabajra?"
Ki Selabajra menggeleng sambil menjawab "Tidak.
Tidak ada hubungan keluarga. Ia datang seperti runtuhnya
daun kering. Dan ia pergi, seperti disapu angin"
"Pergi" Bukankah ia masih ada di sini?" Ki Watu
Kendeng menjadi heran. Ki Selabajra terkejut mendengar keterangannya sendiri.
Dengan serta merta ia menyambung "Maksudku, ia datang
tanpa aku ketahui dari mana asal-usulnya. Dan sudah
barang tentu, pada suatu saat, ia akan pergi begitu saja
tanpa alasan apapun dan kemana ia akan pergi. Padepokan
ini terlalu kecil dan tidak mempunyai arti apa-apa sama
sekali baginya" Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Pertempuran itu
memang menjadi semakin seru. Gagak Branang bertempur
semakin kasar dan bahkan seolah-olah menjadi liar dan
buas oleh kenyataan yang dihadapinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi
semakin yakin bahwa saatnya menjadi semakin dekat untuk
menjatuhkan lawannya. Jika saja ia tidak memperhitungkan
kemungkinan untuk tetap mengalahkan lawannya tanpa
melukainya, sehingga dapat mengancam jiwanya, maka ia
sudah dapat menyelesaikan pertempuran itu.
Yang menjadi tegang dan berdebar-debar adalah
saudara-saudara seperguruan Gagak Branang. Mereka
melihat apa yang telah terjadi. Karena merekapun memiliki
kemampuan untuk menilai keadaan itu, maka merekapun
mengerti, bahwa kemampuan Gagak Branang ternyata
tidak dapat mengimbangi kemampuan lawannya yang
disebut sebagai pekatik dari padepokan Kenanga.
Ketiganya menjadi berdebar-debar ketika mereka
melihat, bagaimana Mahisa Bungalan mulai memaksa
lawannya untuk memeras segenap kemampuannya, untuk
kemudian dilumpuhkannya. "Gila" desis salah seorang dari mereka "orang ini
memang gila. Ilmu iblis manakah yang telah dimilikinya
sehingga ia mampu mengalahkan kakang Gagak Branang"
Yang lain tidak menjawab. Salah seorang dari mereka
justru mengedarkan tatapan matanya ke seputarnya. Ia
melihat orang-orang Padepokan Kenanga dan orang-orang
padepokan Watu Kendeng sedang asyik memperhatikan
pertempuran itu, sehingga mereka tidak menghiraukan lagi
ketiga saudara seperguruan Gagak Branang itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka masih menahan
diri. Tetapi diam-diam mereka telah mempersiapkan sebuah
serangan yang tiba-tiba untuk menghancurkan orang-orang
padopokan Kenanga dan orang-orang Padepokan Watu
Kendeng. Dengan demikian, maka pekatik itu tentu akan
terpengaruh sehingga perlawanannya akan dapat
dipatahkan oleh Gagak Branang.
Ketika pertempuran antara Gagak Branang dan Mahisa
Bungalan menjadi semakin seru, maka mereka mulai saling
menggamit dan memberi isyarat. Sesaat lagi akan mulai
dengan sebuah serangan tiba-tiba.
Orang-orang padukuhan Kenanga dan orang-orang
padukuhan Watu Kendeng memang tidak memperhatikan
mereka. Pertempuran yang seru itu membuat mereka
lengah. Apalagi ketika mereka mulai melihat, bahwa
Mahisa Bungalan telah berhasil menguasai lawannya yang
menjadi semakin letih. Namun pada saat ketiga orang itu siap memutar
senjatanya dan menyerang setiap orang, maka tiba-tiba saja
pekatik yang sedang bertempur itu berteriak "Berhatihatilah.
He Makerti, Gemak Werdi, Ki Kenanga dan Ki
Watu Kendeng. Ketiga saudara seperguruan yang setia itu
akan berbuat curang"
Peringatan itu diberikan pada waktu yang tepat. Pada
saat ketiga orang itu berloncatan.
Makerti, Gemak Werdi dan murid-murid padepokan
Kenanga yang lainpun segera berpencar. Demikian pula Ki
Watu Kendeng, Kuda Pramuja dan para pengiringnya.
Mereka segera menyesuaikan diri menghadapi setiap
kemungkinan yang akan berkembang di halaman itu.
"Gila" geram pengiring Gagak Branang "mereka tidak
mampu menahan diri lagi"
Namun iapun tidak dapat berbuat lain. Karena ketiga
saudara seperguruan Gagak Branang itu sudah mulai, maka
iapun telah hanyut pula pada arus pertempuran yang
melanda halaman padepokan itu.
"Curang" tiba-tiba terdengar suara Ken Padmi
melengking "aku masih merasa terikat pada janji sayambara
tanding" "Persetan" teriak Gagak Branang "lakukanlah menurut
apa yang kalian ingini. Kami akan melakukan sesuai
dengan keinginan kami"
"Kalian bukan orang-orang jantan" sambut Ken Padmi.
"Apapun namanya, tetapi kau akan menjadi rampasanku
nanti jawab Gagak Branang.
Namun Gagak Branang tidak menyadari, bahwa
jawabannya itu telah membunuh gejolak di hati Mahisa
Bungalan Namun demikian, Mahisa Bungalan masih belum
kehilangan nalarnya sehingga masih tetap pada niatnya
untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.
Sementara itu, di halaman padepokan itu, pertempuran
telah menyala lagi dengan dahsyatnya. Empat orang
pengikut Gagak Branang harus bertempur melawan seisi
padepokan Kenanga dan orang-orang dari padepokan Watu
Kendeng, termasuk diantara mereka adalah Ki Kenanga
dan Ki Watu Kendeng sendiri.
Hanya karena jumlah yang jauh lebih banyak, maka
orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng
mampu bertahan. Meskipun dengan demikian, lambat laun
nampak juga, bahwa mereka mengalami kesulitan. Ketiga
saudara seperguruan Gagak Branang, meskipun masih
belum setingkat dengan Gagak Branang sendiri, namun
mereka masih merupakan orang-orang yang luar biasa bagi
kedua padepokan itu. Dengan demikian, maka orang-orang padepokan
Kenanga dan Watu Kendeng telah mendapatkan
pengalaman yang sangat berharga. Merekapun mulai
mengenal ilmu kanuragan yang sebenarnya. Mereka mulai
melihat, betapa garangnya dunia ilmu kanuragan yang telah
mengguncangkan padepokan mereka. Dan dengan
demikian mereka mulai melihat, betapa kecilnya arti
padepokan mereka yang selama itu mereka anggap sebagai
tempat terbaik untuk menyadap ilmu tertinggi.
Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Gagak
Branangpun melihat, bahwa orang-orang padepokan
Kenanga dan Watu Kendeng mulai mengalami kesulitan
lagi. Karena itulah, maka ia mulai membuat pertimbanganpertimbangan
tersendiri mengenai lawannya.
Jika Mahisa Bungalan terikat kepada niatnya untuk
mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya, maka ia
masih harus bertempur berhati-hati. Ia dapat melukai
lawannya, tetapi sekedar goresan yang tidak terlalu dalam,
sehingga luka itu masih sempat diobati. Tetapi jika goresan
luka itu terlalu dalam menghunjam ke dalam kulit, sehingga
menyentuh urat darah yang lebih besar, maka akan sulitlah
bagi lawannya untuk mengobati lukanya itu.
Tetapi dengan demikian, mungkin akan mempunyai arti
yang lain bagi orang-orang padepokan Kenanga dan Watu
Kendeng. Mungkin pada saat-saat sebelumnya, satu dua
orang dari mereka telah lebih dahulu jatuh menjadi korban.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan membuat
pertimbangan tersendiri. Dalam pada itu, pertempuran di halaman itupun menjadi
semakin seru. Kuda Pramuja ternyata telah bertempur
dengan tangkasnya tanpa mengenal takut meskipun ia
sadar, bahwa lawannya adalah orang-orang yang memiliki
ilmu yang tinggi. Kemarahannya tidak dapat ditahankannya lagi, karena ia
sadar bahwa pamannya telah memperlakukannya sebagai
permainan untuk kepentingannya sendiri. Seolah-olah ia
adalah anak muda paling dungu di muka bumi.
Kemarahan itulah yang membuatnya menjadi bermata
gelap dan kurang memperhitungkan keadaan lawannya.
Darahnya yang bagaikan mendidih itu telah mendorongnya
untuk bertempur tanpa menghiraukan apapun juga. Tanpa
menghiraukan kemungkinan-kemungkinan pahit yang
dapat terjadi di atas dirinya.
Tetapi lawan Kuda Pramuja adalah orang yang memiliki
ilmu yang jauh lebih matang dari ilmunya. Apalagi mereka
benar-benar orang yang tidak mempunyai pertimbangan
perasaan sama sekali. Yang mereka ketahui, di dalam
pertempuran, maka mereka akan membunuh lawan
sebanyak-banyaknya. Itulah sebabnya, maka ketika salah seorang saudara
seperguruan Gagak Branang itu merasa terdesak karena
lawannya yang terlalu banyak, ia tidak membuat
perhitungan sama sekali atas lawannya. Ia tidak mau tahu,
seorang demi seorang. Karena itulah, maka ketika terbuka
kesempatan, maka iapun telah mempergunakannya sebaikbaiknya.
Dengan loncatan panjang ia menghindari beberapa ujung
senjata yang mengarah ketubuhnya. Namun pada saat itu,
Kuda Pramuja yang marah, tidak mau melepaskannya.
Dengan tergesa-gesa karena nalarnya yang buram oleh
kemarahan ia menyerang tanpa memperhitungkan kawankawannya
yang masih belum bersiap menyusulnya.
Kesempatan itu telah dipergunakan oleh lawannya
sebaik-baiknya. Kesendirian Kuda Pramuja itu telah
membuatnya bernasib buruk. Ketika ia menyerang dengan
menjulurkan pedang yang didapatkannya dari orang-orang
padepokan Kenanga, lawannya telah siap menghadapinya.
Dengan sebuah putaran pedang yang cepat dan kuat
melibat pedangnya, maka Kuda Pramuja tidak berhasil
mempertahankannya, sehingga pedang itu terloncat dari
tangannya. Beberapa orang pengiringnya melihat hal itu terjadi.
Merekapun berloncatan menyusul. Tetapi ternyata mereka
datang terlambat. Mereka melihat, bagaimana dengan
cepatnya ujung pedang salah seorang saudara seperguruan
Gagak branang itu menusuk dadanya.
Demikian cepatnya hal itu terjadi, sehingga Kuda
Pramuja tidak sempat mengelak. Ia terkejut ketika terasa
tusukan itu mematuk dadanya.
Berapa orang terpekik melihat hal itu. Namun yang
terjadi itu sudah terjadi. Ketika lawannya dengan tergesagesa
menarik pedangnya untuk kemudian melindungi
dirinya dari serangan beberapa orang lawannya. Kuda
Pramuja telah terhuyung-huyung.
Ki Watu Kendengpun terkejut melihat hal itu. Tanpa
menghiraukan lawannya, ia meloncat berlari menangkip
anaknya yang sudah hampir jatuh.
"Kuda Pramuja" desis Ki Watu Kendeng.
Yang terdengar adalah desah tertahan. Kuda Pramuja
menahan sakit yang amat sangat. Tetapi ia tidak mengeluh
dan merengek. Dengan gigi gemertak ia berkata tersendatsendat
"Bunuh orang-orang tidak berperasaan itu. Ternyata
pamanku adalah seekor serigala yang buas dan liar"
Kuda Pramuja tidak dapat meneruskan kata-katanya.
Sekali lagi ia berdesis. Giginya masih terdengar gemertak
oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Namun
kemudian tubuhnya terkulai ketika jantungnya ternyata
telah berhenti berdetak. "Anakku mati" Ki Watu Kendeng berteriak "setan
kalian. Aku akan membunuh kalian di halaman ini"
Tetapi terdengar jawaban adiknya "Jangan menyesal
kakang. Kaulah yang telah membunuh anakmu sendiri. Jika
kau bukan seorang pengecut, maka ia masih akan tetap
hidup meskipun ia tidak akan beristri Ken Padmi"
"Persetan" teriak Ki Watu Kendeng sambil meloncat
mendekati arena perkelahian antara Gagak Branang dan
Mahisa Agni. Namun dalam pada itu Mahisa Bungalanpun
berteriak "Jangan mendekat. Ia menjadi buas dan liar"
Ternyata peringatan itu masih didengarnya. Ia masih
sadar, bahwa adiknya benar-benar seorang iblis jahanam
yang tidak mengenal perikemanusiaan.
Pada saat itulah Mahisa Bungalan sudah kehilangan
pertimbangannya untuk menangkap lawannya hidup-hidup.
Justru ia merasa bahwa ia telah terlambat. Seorang telah
jatuh menjadi korban, justru Kuda Pramuja yang marah
karena tingkah pamannya. Sambil menggertakkan giginya Mahisa Bungalan
menggeram "Kau memang licik. Kau sampai hati
mengorbankan keluargamu sendiri. Bukankah
kemanakanmu termasuk keluargamu yang dekat"
"Persetan. Apa pedulimu. Kaupun akan mati karena
tingkahmu yang lancang. Kenapa kau mencampuri
persoalan ini" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja
ia telah mehentakkan ilmunya. Ia tidak lagi perlu berhatihati.
Justru ia menganggap bahwa ketiga saudara Gagak
branang yang lainpun merupakan orang-orang yang sangatberbahaya.
Mungkin korban akan jatuh satu lagi, satu lagi.
Mungkin Ki Watu Kendeng Mungkin Ki Selabajra.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Bugalan yang menjadi marah itu telah
mengerahkan kemampuannya. Ia adalah anak Mahendra
yang telah membunuh seorang pemberontak muda yang
pilih tanding dari Hahibit. hingga karena itulah, maka
lawannya yang bernama Gagak Branang itu bukanlah
lawan yang dapat menahan kemarahannya.
Sejenak kemudian, maka senjata pendek Mahisa
Bungalan itupun berputar dengan dahsyatnya. Seolah-olah
dengan sengaja Mahisa Bungalan telah membuat lawannya
menjadi kehilangan pusat perlawanan. Sambil meloncatloncat
Mahisa Bungalan menyerang lawannya dari segala
arah. Kerisnya bagaikan seekor lalat yang terbang
berputaran di seputar tubuhnya.
"Gila" diluar sadarnya Gagak Branang berteriak.
Tetapi Mahisa Bungalan yang marah itu dapat berbuat
apa saja diluar jangkauan nalarnya. Tiba-tiba saja terasa
segores luka menyobek pundaknya.
"Setan" Gagak Branang berteriak dalam kegelisahan. Ia
sadar akan arti dari goresan keris seperti yang dipegang oleh
Mahisa Bungalan yang diterimanya dari Makerti itu.
Karena itu, dalam kemarahan yang memuncak, Gagak
Branang berusaha menebus kekalahannya itu. Tetapi
ternyata bahwa Mahisa Bungalan telah benar-benar
bertempur dengan segenap kemampuannya. Ia tidak
sekedar ingin menundukkan Gagak Branang. Tetapi justru
karena kematian Kuda Pramuja, maka iapun benar-benar
ingin melumpuhkan Gagak Branang dan saudara-saudara
seperguruannya. Karena itu, ketika Gagak Branang mengamuk bagaikan
badai yang dahsyat, Mahisa Bungalanpun telah bertempur
dalam puncak ilmunya, sehingga karena itulah, maka
kemampuan Gagak Branang tidak banyak berarti lagi.
Selagi Gagak Branang berusaha membalas goresan keris
Mahisa Bungalan dengan serangan dahsyat, maka Mahisa
Bungalan dengan tangkasnya menghindar. Namun dalam
pada itu, ia masih sempat menjulurkan tangannya di saat ia
bergeser. Justru keris Mahisa Bungalanlah telah sekali lagi
menggores dada gagak Branang.
"Anak iblis" seperti gila Gagak Branang berteriak sambil
meloncat menyerang membabi buta. Tetapi justru karena
itulah maka sekali lagi Mahisa Bungalan berhasil
mengenainya. Ujung kerisnya telah menyobek lambung
Gagak Branang yang marah.
Sejenak Gagak Branang masih sempat mengumpat.
Namun kemudian tubuhnya telah menggigil. Warangan
yang keras pada keris itu telah bekerja ditubuh Gagak
Branang. Apalagi luka di lambungnya yang parah bagaikan
memuntahkan darah yang tidak tertahankan.
"Anak iblis. Anak iblis" ia masih berteriak. Tetapi
suaranya kemudian hilang dihanyutkan angin malam yang
basah. Gagak Branang jatuh terjerembab. Ia masih
mengucapkan nama Ken Padmi. Tetapi gadis itu sendiri
yang masih berdiri di pendapa tidak mendengarnya.
Sementara itu, ketiga saudara seperguruan Gagak
Branangpun menjadi semakin marah mendendam.
Pengiringnya yang setia rasa-rasanya ingin membalas
kematian itu dengan kematian pula.
Namun keadaan telah berubah. Mahisa Bungalan telah
kehilangan lawannya yang terberat. Karena itu, maka iapun
kemudian berdiri dengan keris di tangan, memandang
setiap orang diarena pertempuran itu.
Yang tersentuh oleh sorot mata anak muda itu menjadi
berdebar-debar. Ketiga orang saudara seperguruan Gagak
Branang yang sudah mulai menguasai arena itupun menjadi
berdebar-debar. Dengan kematian Gagak Branang, maka
keseimbanganyapun tentu akan berubah.
Sebenarnyalah yang terjadi memang demikian. Ketika
Mahisa Bungalan turun menghadapi salah seorang saudara
seperguruan Gagak Branang, maka orang-orang padepokan
Kenanga dan Watu Kendeng telah menempatkan diri
menghadapi lawan masing-masing dalam kelompokkelompok
kecil. Diantara mereka yang bertempur dengan penuh
keraguan adalah pengiring Gagak Branang. Sejak semula ia
sudah tidak mengerti tingkah laku Gagak Branang. Hanya
karena kesetiaannya sajalah maka ia telah bertempur
melawan orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng. Tetapi
ketika Gagak Branang sendiri telah mati, maka
pengiringnya itu telah bertanya kepada diri sendiri "Apakah
kesetiaanku harus juga berarti mati karena Gagak Branang
mati?" Namun pengiringnya itupun kemudian menggeram
"Tidak. Aku harus mencari kesempatan untuk hidup"
Karena itulah, maka ketika ia mendapat sedikit
kesempatan, tiba-tiba saja ia telah melakukan sesuatu yang
sama sekali tidak diduga oleh orang-orang Kenanga dan
Watu Kendeng. Dengan serta merta, maka iapun telah
melarikan diri meninggalkan gelanggang pertempuran.
Ketangkasan orang itu memang melampaui orang-orang
Kenanga dan Watu Kendeng. Karena itu, maka ketika
seseorang akan mengejarnya, Mahisa Bungalanlah yang
mencegahnya "Biarkan orang itu lari. Tetapi kepung yang
lain, agar tidak seorangpun lagi yang sempat melarikan diri.
Orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng itupun segera
menempatkan diri mereka. Meskipun mereka tidak saling
berjanji, tetapi tiba-tiba saja mereka telah berada di dalam
kelompok masing-masing untuk menghadapi lawannya.
Salah seorang saudara seperguruan Gagak Branang telah
bertempur menghadapi orang-orang padepokan Kenanga.
Ia harus menghadapi Ki Selabajra, Makerti, Gemak Werdi
dan tiga orang murid yang lain, sementara saudara
seperguruan Gagak Branang yang lain, yang justru telah
membunuh Kuda Pramuja, harus menghadapi Ki Watu
Kendeng dengan para pengiringnya yang marah karena
kematian Kuda Pramuja. Sementara seorang lagi saudara seperguruan Gagak
Branang harus menghadapi Mahisa Bungalan yang sedang
marah pula. Saudara-saudara Gagak Branang yang telah kehilangan
dua orang kawan itupun telah mengumpat-umpat. Mereka
merasa terperosok ke dalam sarang serigala. Meskipun
mereka mempunyai bekal ilmu yang dahsyat, tetapi,
ternyata mereka harus menghadapi perlawanan yang
mendebarkan. Apalagi ternyata seseorang yang menyebut
dirinya pekatik itu telah berhasil membunuh Gagak
Branang. "Kalian telah mengingkari perjanjian semula" berkata
Mahisa Bungalan dengan lantang "jika kalian tidak ingkar,
maka kematian Gagak Branang adalah akhir dari
sayembara tanding, sehingga kalian tidak akan terlihat.
Tetapi karena kalian justru telah mulai dan bahkan
membunuh Kuda Pramuja, maka nasib kalianpun akan
ditentukan disini" "Persetan" salah seorang dari mereka berteriak. Tetapi
suaranya terdengar gemetar penuh keragu-raguan.
Di halaman padepokan Kenanga itu masih terjadi
pertempuran yang sengit. Saudara-saudara seperguruan
Cagak Branang ternyata benar-benar orang yang memiliki
ilmu yang mengagumkan. Mereka yang harus menghadapi orang-orang padepokan
Watu Kendeng ternyata masih sempat bernafas panjang.
Dengan berloncat-loncatan ia masih dapat menghindarkan
diri dari ujung senjata yang mematuk dari segala arah.
Bahkan kadang-kadang masih juga timbul niatnya untuk
melarikan diri pula. Tetapi tidak mudah untuk melepaskan diri dari kepungan
beberapa orang yang sedang marah, yang dipimpin oleh Ki
Watu Kendeng sendiri. Namun demikian, ia masih melihat
kemungkinan untuk bertahan. Jika orang-orang Watu
Kendeng itu kemudian menjadi letih, maka keseimbangan
pertempuran itupun akan segera berubah. Ia akan segera
menguasai lawan-lawannya yang tidak dapat berbuat
banyak lagi, karena tenaga mereka yang sudah terperas
habis, sementara saudara seperguruan Gagak Branang itu
sendiri adalah seseorang yang memiliki daya tahan yang
luar biasa. Sementara, salah seorang dari mereka yang harus
menghadapi orang-orang Kenanga, nampaknya lebih
banyak mengalami kesulitan. Ternyata lawannya agak lebih
banyak dari orang-orang Watu Kendeng. Bahkan muridmurid
terpercaya dari padepokan Kenanga itupun mampu
bertempur saling mengisi, sehingga saudara seperguruan
Gagak Branang itu kadang-kadang mengalami kesulitan.
Meskipun demikian, dengan hentakan-hentakan yang
mangejutkan, ia masih sempat mendesak lawannya yang
mengepungnya. Namun ia sama sekali tidak lagi dapat
melihat kesempatan untuk melepaskan diri. Yang dapat
dilakukannya adalah bertahan sekuat-kuatnya. Menunggu
lawan-lawannya lebih dahulu menjadi lelah.
Karena itulah maka kadang-kadang ia memancing
pertempuran yang kasar dan keras, sehingga orang-orang
padepokan Kenanga telah memeras keringat untuk
mengimbanginya. Sebenarnyaiah bahwa orang-orang padepokan Kenanga
mempunyai daya tahan yang jauh lebih lemah dari
lawannya. Meskipun mereka dapat mengepung rapat-rapat,
tetapi hentakan-hentakan yang mengejutkan dan loncatanloncatan
panjang dari lawan mereka, mamaksa orang-orang
Padepokan Kananga untuk memeras keringat.
Yang paling parah dari ketiga saudara seperguruan
Gagak Branang adalah yang kebetulan sekali harus
berhadapan dengan Mahisa Bungalan.
Sejak semula lawannya sudah hampir berputus asa,
karena Gagak Branang sendiri tidak dapat bertahan
melawan kegarangan anak muda itu, meskipun ia hanya
bersenjata sebilah keris.
Jika saudara-saudara seperguruannya yang lain dapat
mengendalikan pertempuran dengan memaksa lawanlawannya
untuk memeras tenaga, namun ia sendiri justru
harus menyesuaikan diri dengan lawannya. Ialah harus
memeras tenaga dan seakan-akan kehilangan segala
kemungkinan untuk melepaskan diri dari maut.
Sebenarnyalah, sejak Kuda Pramuja terbunuh, maka
Mahisa Bungalan benar-benar telah kehilangan kesabaran.
Apalagi masalahnya menyangkut seorang gadis yang
bernama Ken Padmi, yang pada malam itu berdiri
termangu-mangu di pendapa menyaksikan pertempuran
yang terjadi di halaman, benar-benar seperti seorang puteri
yang duduk di atas panggungan, menyaksikan sayembara
tanding di alun-alun. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan tidak
memperpanjang waktu lagi. Ketika ia melihat orang-orang
Watu Kendeng mulai menjadi letih, maka iapun tidak mau
terlambat lagi. Mahisa Bungalan tidak mau melihat korban
yang lain dari orang-orang Watu Kendeng itu jatuh. Atau
orang-orang Kenanga yang terbunuh.
Karena itu, maka iapun berniat segera mengakhiri
pertempuran. Ia sadar, bahwa lawannya tentu tidak akan
dengan suka rela memberikan kemenangan kepadanya.
Karena itu, Mahisa Bungalanpun sadar, bahwa ia memang
harus bertempur sepenuh kemampuan, agar tugasnya cepat
selesai. Pada saat itulah, maka serangan-serangan Mnhisa
Bungalan mengalir bagaikan hempasan ombak yang
didorong oleh badai, menghantam tebing. Berdeburan
dengan dahsyatnya, berurutan hantam menghantam.
Betapapun juga berusaha, tetapi lawannya benar-benar
tidak mampu menghadapi serangan beruntun tanpa hentihentinya
dengan kekuatan raksasa. Karena itulah, maka
dengan jantung yang bergelora, lawannya berloncatan
surut. Tetapi senjata Mahisa Bungalan bagaikan selalu
mengejarnya tanpa jarak. Akhirnya, ia tidak mampu lagi berusaha menyelamatkan
diri. Ketika keris Mahisa Bungalan menyobek dadanya, ia
masih sempat berteriak mengumpat. Tetapi kemudian
suaranya bagaikan hilang ditelan angin malam.
Yang terdengar kemudian adalah tubuhnya yang
terbanting jatuh terjerembab. Kemudian nafasnya tidak lagi
sempat mengalir lewat lubang hidungnya.
Sejenak orang itu masih menggeliat. Namun kemudian
jantungnya telah berhenti berdenyut.
Kematian salah seorang saudara seperguruan Gagak
Branang itu benar-benar telah menentukan akhir dari
perkelahian itu. Dengun pucat kedua orang lain harus melihat kenyataan
bahwa mereka tidak lagi mempunyai kesempatan. Adalah
jauh berbeda, perasaan mereka pada saat mereka memasuki
halaman itu dengan perasaan mereka, setelah dua orang
saudara seperguruannya terbunuh, dan pengiring Gagak
Branang itu meninggalkan arena. Tidak ada lagi senyum
dan tertawa yang garang terlontar dari bibir mereka. Tidak
ada lagi harapan dan bayangan pendok dan kamus emas
tretes berlian. Yang nampak tidak ada lain, kecuali
bayangan maut yang semakin kelam menyelubungi mereka,
Lamat-lamat telah terdengar kidung dari dasar yang paling
kelam dari kegelapan. Namun dengan demikian, jiwa mereka telah dibakar
oleh keputus-asaan. Mereka tidak lagi sempat membuat
pertimbangan dan perhitungan. Yang terbayang di rongga
mata mereka adalah kematian, sehingga karena itu, maka
merekapun justru menjadi kehilangan akal.
Kedua orang itupun kemudian mengamuk sejadijadinya.
Mereka memutar senjata tanpa membuat
perhitungan-perhitungan yang cermat. Mereka manyerang
seperti angin ribut tanpa sasaran.
Namun demikian, orang-orang padepokan Kenanga dan
Watu Kendeng menjadi ngeri melihatnya. Mereka seperti
sedang berhadapan dengan binatang liar yeng sangat buas.
Meskipun keduanya tidak dapat berbuat lebih banyak


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada dalam sebuah lingkaran. Tetapi keduanya masih
mampu menggetarkan setiap hati.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang sudah tidak
terikat lagi pada lawannya perlahan-lahan bergeser
mendekati arena orang-orang Watu Kendeng. Ketika ia
sudah berdiri di pinggir arena, ia masih sempat berkata
lantang "Ki sanak. Apakah kau masih mendengar suaraku"
"Persetan" geram orang itu.
"Jika kau masih mendengar suaraku, cobalah kau
mendengarnya. Masih ada kesempatan bagimu untuk
menyerah. Aku akan menjamin bahwa kau tidak akan
dicincang oleh orang-orang Watu Kendeng, meskipun kau
sudah membunuh Kuda Pramuja"
"Tutup mulutmu pekatik gila" geram orang itu sambil
memutar senjatanya "kau harus mati"
"Bayangan maut itu sedang mengikutimu. Bukan aku"
"Diam, diam, diam" orang itu berteriak.
Saudara seperguruan Gagak Branang itu menjadi
semakin berputus asa. Ia bergerak semakin buas dan liar,
sehingga orang-orang Watu Kendeng benar-benar menjadi
ngeri. "Tinggalkan orang ini" berkata Mahisa Bungalan
kemudian "bergabunglah dengan orang-orang padepokan
Kenanga. Dengan jumlah yang banyak, kalian akan dapat
mengalahkan lawan kalian"
Orang-orang Watu Kendeng yang menjadi ngeri itupun
serentak melangkah mundur, menjauhi lawannya yang
menjadi gila. Tetapi pada saat itu, Mahisa Bungalan telah
memasuki arena menghadapi orang yang telah membunuh
Kuda Pramuja itu. "Jangan harap dapat membunuh aku seperti saudarasaudara
seperguruanku" teriak orang itu.
"Menyerahlah" desak Mahisa Bungalan.
"Persetan" Orang itu bahkan bergerek semakin liar. Ia menyerang
Mahisa Bungalan dengan tanpa membuat perhitungan dan
pertimbangan lagi. Dalam pada itu, seorang yang lainpun telah merasa
bahwa kematian akan segera datang. Seperti kawannya,
maka iapun telah mengamuk pula sejadi-jadinya. Tetapi
karena lawannya terlalu banyak, maka sekali-sekali ia mulai
menindi bingung dan kehilangan pegangan.
Apalagi kemudian orang-orang Watu Kendeng telah
mendekatinya pula. Mereka mulai bergabung dengan
orang-orang pedopakan Kenanga, sehingga dengan
demikian lawannyapun menjadi semakin banyak.
Suadara seperguruan Gagak Branang itu menjadi
semakin ngeri menghadapi kenyataan itu. Dari segala arah,
ujung senjata telah mematuknya. Bahkan kadang-kadang
duri dua tiga arah bersamaan.
Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, ia
masih ingin memakan orang-orang padepokan Kenanga
dan Watu Kendeng memeras tenaga, agar mereka menjadi
segera letih. Tetapi dalam jumlah yang sekian banyaknya,
amat sulitlah rasanya bagi saudara seperguruan Gagak
Branang itu untuk menghadapi mereka.
Karena itu, maka justru ialah yang lebih dahulu menjadi
letih. Sebelum orang-orang padepokan Kenanga dan Watu
Kendeng tidak mampu lagi bergerak dan bertempur, terasa
bahwa saudara seperguruan Gagak Branang llu telah jauh
susut. Pada saat-saat yang demikian itulah, maka keputusasaan
telah mencengkamnya tanpa dapat dikendalikan lagi.
Karena itu, maka iapun telah kehilangan segala harapan
dan saat-saat berikutnya untuk dapat tetap hidup. Karena
itu, maka akhirnya, orang itu tidak lagi berpikir, kecuali
dengan sengaja telah membunuh dirinya sendiri.
Ia tidak menghiraukan lagi senjata yang teracu
kepadanya. Ia tidak menghiraukan lagi patukan ujung
pedang. Meskipun ia masih menggenggam pedang di
'tangan, tetapi ia seolah-olah telah manyerbu dengan
dadanya, langsung menghunjamkan diri ke ujung-ujung
senjata yang merunduk mengarah kepadanya.
Orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng
justru terkejut. Tetapi demikian beberapa ujung senjata
telah memecahkan kulitnya, maka merekapun justru
berloncatan surut. Orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendeng
menyaksikan dengan berdebar-debar, bagaimana orang itu
jatuh tertelungkup. Tetapi orang itu tidak sempat lagi untuk
mangaduh. Tubuhnya yang terluka parah itupun kemudian
diam sama sekali, meskipun darah masih tetap mengalir.
Sementara itu, saudara seperguruan Gagak Branang
yang bertempur melawan Mahisa Bungalan manjadi
semakin gelisah. Ia tidak mempunyai kawan seorangpun
lagi. Saudara-saudara seperguruannya telah mati.
Sejenak orang itu mencoba memandang wajah Mahisa
Bungalan. Dalam remang-remangnya cahaya obor di
kejauhan, orang itu melihat kilatan mata yang membara. Ia
masih melihat kemarahan yang membayang disorot mata
Mahisa Bungalan. Dalam kegilaannya, orang itu masih juga merasa ngeri
melihat lawannya. Tetapi ia sudah tidak dapat melepaskan
diri lagi. Apapun yang akan terjadi, memang harus
dihadapinya, termasuk kematian.
-oo0dw0oo- Jilid 04 TETAPI kengerian yang sangat telah menusuk
perasaannya. Sekilas ia melihat saudara-saudara
seperguruannya yang masih terbaring ditanah. Sekilas
terbayang saat-saat mereka mendekati padepokan itu. Ia
masih sempat dengan sengaja tertawa untuk menakutnakuti
orang-orang padepokan Kenanga dan Watu
Kendeng. Saudara-saudara seperguruannya masih sempat
menghitung pendok dan timang emas bertretes berlian.
Masih terbayang, bagaimana bibirnya mencibir kemampuan
orang-orang Padepokan Kenanga dan Watu Kendeng.
Kini mereka sudah terbaring diam. Menjadi mayat.
Hentakan-hentakan perasaan-perasaan itu bergelora di
dalam dadanya. Kengerian, kecemasan bahkan ketakutan
telah bercampur baur. Apalagi cahaya sorot mata Mahisa
Bungalan yang marah. Dalam keremangan cahaya obor,
nampak mata itu bagaikan marahnya bara yang menyala
dalam kegelapan. Dengan keris di tangan Mahisa Bungalan melangkah
mendekat. Tanpa meninggalkan kewaspadaan, Mahisa
Bungalan mengacukan kerisnya. Ia sadar, bahwa lawannya
mempergunakan senjata panjang. Tetapi dengan keris di
tangannya, ia telah mengalahkan dua orang dari orangorang
yang ingin mengguncang ketenangan padenokan
Kenanga dan Watu Kendeng.
"Setan" geram saudara-saudara Seperguruan Gagak
Branang itu "kau harus mampus"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi setapak demi
setapak ia maju terus. Matanya masih bercahayakan
kemarahannya. Lawannya yang bingung dan cemas itu melangkah surut.
Dalam gejolak perasaan yang menghentak-hentak, wajah
itu seakan-akan menjadi kabur, dan bahkan telah berubah.
Mata itu menjadi semakin merah. Bahkan bayangan
kehitaman di lekuk-lekuk wajah Mahisa Bungalan seolaholah
membayangkan lobang-lobang pada tulang
tengkoraknya. "Gila" orang itu berteriak.
Tetapi Mahisa Bungalan masih melangkah maju.
Ketakutan yang tidak terkendali telah mencengkam hati
orang itu. Perlahan-lahan wajah Mahisa Bungalan
dipandangan mata lawannya telah berubah menjadi wajah
hantu yang sangat mengerikan. Lubang-Lubang tengkorak
yang kehitam-hitaman. Gigi yang menjorok putih dan bara
yang menyala disela-sela Lubang-Lubang tengkorak itu.
"Pergi, pergi" tiba-tiba orang itu berteriak semakin keras
"kau hantu keparat. Pergi atau aku akan memcahkan
tengkorakmu itu" Mahisa Bungalan tidak mengerti, apa yang bergejolak di
dalam hati lawannya. Karena itu, dengan keris teracu dan
sikap yang penuh kewaspadaan ia masih melangkah maju
juslru karena lawannya melangkah surut.
"Pergi hantu keparat. He, iblis, kenapa kau mengganggu
aku he, selagi aku akan membunuh orang-orang padepokan
Kenanga dan Watu Kendeng"
Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjawab. Ia masih
melangkah maju. Tetapi ia tertegun ketika ia melihat
perubagan wajah lawannya yang nampak benar-benar
nampak ketakutan. Dengan teriakan yang semakin keras ia berkata "Jangan
ganggu aku iblis. Aku akan menumpas orang-orang
padepokan Kenanga dan Watu Kendeng. Pergi ke
sarangmu. Pergi, pergi"
Suaranya menggelegar di kelamnya malam, seolah-olah
telah mengguncang langit. Wajannya nampak menjadi
semakin ketakutan sementara padangnya menjadi gemetar.
"Kenapa kau berteriak" tiba-tiba saja Mnhisa Bungalan
bertanya. Jawaban itu terdengar bagaikan guruh yang meledak di
tengkorak iblis yang berdiri di hadapannya. Karene itu,
maka orang itu justru menjadi semakin ketakutan. Sambil
mengayunkan pedangnya tanpa arah ia berteriak "Jangan
mendekat" "He, apa yang kau lihat?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kau, kau" teriak orang itu "kau iblis yang bangkit dari
neraka yang paling jahanam. He, apakah orang-orang
padepokan Kenanga dan Watu Kendeng adalah sahabatsahabat
iblis keparat ini?" "Lihatlah, siapa aku" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kau ibljs. Iblis yang paling laknat"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia melihat
wajah lawannya benar-benar dibayangi oleh ketakutan dan
kengerian yang tiada taranya. Karena itu, Mahisa Bungalan
justru menjadi ragu-ragu. Selangkah ia maju mendekat
sambil berkata "Kau dibayangi oleh ketakutan yang amat
sangat. Kenapa kau tidak menyerah saja?"
"Gila. Gila. He, jangan ganggu aku. Jangan ganggu aku.
Aku tidak pernah mengganggumu. Aku bertempur dengan
jantan melawan orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng"
"Aku orang padepokan Kenanga" desis Mahisa
Bungalan. "O, jadi kau iblis dari padepokan Kenanga" Jadi
padepkoan ini ditunggui iblis tengkorak seperti kau ini?"
Mahisa Bungalan masih akan menjawab. Tetapi orangorang
itu benar-benar telah dicengkam oleh ketakutan dan
kengerian tiada taranya. Karena itu, tanpa menyadari
keadaan dirinya, iapun segera berputar dan melangkah
untuk melarikan diri. Tetapi malang baginya, kakinya tiba-tiba telah
menyentuh tubuh kawannya yang telah terbaring di tanah.
Demikian terkejutnya, sehingga iapun meloncat tanpa
pengendalian dirim sehingga, seolah-olah ia telah
terpelanting beberapa langkah.
Ketika kemudian terdengar jerit menyayat, maka semua
orang bagaikan mematung memandangi tubuh itu
menggeliat. Ternyata tanpa dikehendakinya, senjatanya
telah menghunjam di tubuhnya sendiri di saat ia
terpelanting jatuh. Di pendapa Ken Padmi mematung, sejenak ia berdiri
tanpa berbuat sesuatu. Dipandanginya mayat-mayat yang
berserakan di halaman. Namun sejenak kemudian, ketika ia melihat ayahnya
berdiri di bawah tangga, tiba-tiba saja ia berlari sambil
memekik "Ayah, ayah"
Ki Selabajra berpaling, ia terkejut ketika ia tiba-tiba saja
anaknya sudah memeluknya sambil menangis. Diantara
sedu sedannya ia berkakta "Ayah, kenapa semuanya ini
harus terjadi?" Ki Selabajra membelai kepala anaknya. Ia mengerti
persoalan apakah yang bergejolak di dalam dada anak
gadisnya itu. "Ayah" Ken Padmi meneruskan "Aku sudah membunuh
mereka. Langsung atau tidak langsung"
"Sudahlah" ayahnya mencoba menenangkannya.
"Jangan menyalahkan diri sendiri, yang terjadi adalah suatu
akibat. Kita akan dapat mencari sebabnya. Tetapi sebab itu,
tentu bukannya yang bersumber pada karunia yang kau
terima tanpa kau kehendaki. Jika kau menyalahkan dirimu
sendiri, maka kau telah bersalah kepada Sang Penciptamu,
yang telah menciptakan seluruh isi alam ini"
Ken Padmi tidak menyahut. Tetapi ia tidak sependapat
dengan ayahya sepenuhnya. Karena itu, maka
tangisnyapun tidak segera mereda.
"Marilah" berkata Ki Selabajra kemudian "Kita akan
mengurai peristiwa ini pada kesempatan lain. Sekarang
biarlah kita menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Yang
nampak dimatma kita sekarang ini. Yang terbunuh itu
harus mendapat perawatan"
Ken Padmi justru terisak semakin dalam. Ia justru tidak
berani lagi memandang ke halaman. Meskipun ia sendiri
menyandang pedang di lambung, namun rasa-rasanya yang
terjadi itu memang sangat mengerikan.
"Bawalah ia masuk" berkata Ki Selabajra kepada
kemanakannya "panggillah pemomongnya. Biarlah ia
mencoba membujuknya agar ia melihat yang telah terjadi
dengan tenang" Saudara sepupu Ken Padmipun kemudian menuntunnya
masuk ke ruang dalam. Setelah Ken Padmi berbaring di
pembaringannya, maka saudara sepupunya itupun
memanggil seorang perempuan tua yang menjaga dan
melayani Ken Padmi sejak masih kanak-kanak.
Tetapi ternyata perempuan tua itupun menjadi
ketakutan, sehingga suaranyapun gemetar.
Ken Padmi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara pemomongnya yang gemetar dan ketakutan itu.
Sejenak ia termangu-mangu. Namun gadis itupun
kemudian mengusap air matanya sambil duduk di bibir
pembaringannya. "Jangan takut bibi" desisnya. Masih terdengar isaknya
disela-sela kata-katanya "tidak ada yang perlu di cemaskan
lagi" "Ya, ya ngger" sahut perempuan itu "kau seharusnya
tidak menangis. Aku menjadi semakin ketakutan.
"Aku tidak menangis bibi" sahut Ken Padmi.
"Ah" perempuan tua itu beringsut "tetapi baiklah. Kau
memang tidak menangis"
Ken Padmi termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian mengusap matanya yang masih saja basah.
Seolah-olah air matanya masih saja mengembun di
pelupuknya, betapapun ia berusaha menahannya sehingga
demikian ia mengusap, pelupuknya telah menjadi basah
kembali. Sementara itu, di pendapa, orang-orang padepokan Watu
Kendeng telah dipersilahkan untuk naik. Dengan kepala,
tunduk, Ki Watu Kendeng mengangkat anaknya dan
membaringkannya di pendapa, sementara orang-orang
padepokan Kenanga telah menyelenggarakan empat sosok
mayat yang lain. "Aku telah kehilangan banyak sekali malam ini" berkata
Ki Watu Kendeng dengan kepala tunduk "anakku telah
mati, sementara adikkupun telah terbunuh"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun
kepalanyapun kemudian tertunduk dalam-dalam.
Tetapi Ki Watu Kendeng melanjutkan "Tetapi iu adalah
kesalahanku. Aku telah menjadi sangat dungu dengan
sikapku. Agaknya Kuda Pramuja telah dibujuk oleh
pamannya untuk berbuat diluar kehendaknya sendiri.
Sehingga karena itu, aku telah kehilangan kedua-duanya.
Aku sama sekali tidak mengira bahwa adikku telah terbius
dengan sikap iblis itu. Bahkan ia telah menyeret saudarasaudara
seperguruannya ke padepokan ini"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menemukan kalimat apapun juga untuk menanggapi.
Karena itu, maka ia tidak mengatakan sesuatu selain
memandang tubuh Kuda Pramuja dengan sedih.
"Ki Selabajra" berkata Ki Watu Kendeng kemudian
"biarlah aku kembali ke padepokan dengan membawa
anakku yang terbunuh. Aku akan mengurusnya
sebagaimana seharusnya. Keluargaku tentu akan terkejut
dan bersedih. Tetapi mereka akan mengetahui sebabsebabnya.
Aku tidak akan menutupi apa yang telah terjadi
sebenarnya" ia berhenti sejenak, lalu "sementara adikkupun
akan aku bawa pula ke padepokan Watu Kendeng.
Sedangkan yang lain, apabila Ki Selabajra juga
berkeberatan untuk mengurusnya, kami akan membawanya
pula ke Watu Kendeng, karena sumber peristiwa ini adalah
aku dan adikku" Ki Selabajra beringsut setapak. Kemudian Katanya
"Biarlah kami mengurusnya di sini Ki Watu Kendeng.
Hanya apabila kau kehendaki, biarlah putera dan adikmu
sajalah yang kau bawa kembali sebagai keluargamu,
sementara yang lain, akan kami selenggarakan sebaikbaiknya
di padepokan ini" Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Dengan nada
dalam ia menjawab "Terima kasih. Hatimu memang sangat
lapang" Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam
Namun kemudian iapun berpaling memandang Mahisa
Bungalan yang masih tertunduk dalam-dalam.
Sejenak Ki Watu Kendeng memandang Mahisa
Bungalan yang gelisah. Dengan nada dalam orang itu
berkata "Ki Sanak. Kau adalah orang luar biasa. Kau telah
membunuh adikku dan beberapa orang saudara
seperguruannya" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Justru
karena darahnya telah mulai teratur seperti dentang
jantungnya yang mereda, maka ia mulai melihat, apa yang
telah dilakukannya. Karena itu, maka katanya tersendat
"Aku mohon maaf, Ki Watu Kendeng. Dalam keadaan
yang demikian, sulitlah bagiku untuk mengendalikan diri,
sehingga aku terpaksa membunuh orang-orang yang
barangkali masih dapat diperbaiki sifat dan tabiatnya"
"Kau tidak bersalah" berkata Ki Watu Kendeng
kemudian "kau sudah berbuat sebaik-baiknya. Tidak ada
seorangpun yang akan dapat menghindarkan diri. dari
gejolak perasaan menghadapi peristiwa seperti ini.
Seandainya aku mampu, akulah yang akan membunuhnya.
Tetapi ia terlalu berat bagiku, sehingga aku tidak mampu
berbuat apa-apa atas adikku sendiri yang ternyata telah
menempuh jalan sesat. Aku tidak banyak mengetahui
umurnya yang memang sudah dewasa. Namun ternyata
bahwa ia telah hidup dalam dunia yang kelam dan penuh
noda" Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun
iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Tetapi, biarlah aku tidak selalu dibayangi oleh teka-teki.
Sebelum aku kembali ke Watu Kendeng, perkenankanlah
aku bertanya, siapakah anak muda ini sebenarnya. Apakah
benar ia pekatik padepokan Kenanga seperti yang
dikatakannya. Jika benar demikian, alangkah kuncaranya
padepokan ini, yang mempunyai seorang pekatik yang
memiliki kemampuan yang tidak ada tandingnya"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi kepalanya
tertunduk semakin dalam. Dalam pada itu, Ki Selabajrapun kemudian menyahut
"Akupun menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja ia sudah
berada di padepokan ini. Beberapa hari yang lalu, ia sudah
minta diri dan meninggalkan padepokan ini untuk tujuan
yang tidak tentu. Namun tiba-tiba saja ia berada di
padepokan ini lagi, pada saat yang tepat"
Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Wajahnya
nampak ragu-ragu. Perlahan-lahan ia mencoba memandang
orang-orang yang berada di sekitarnya. Makerti, Gemak
Werdi, para murid di padepokan Kenanga dan Watu
Kendeng. Ternyata mereka semuanya sedang
memandanginya dengan penuh keheranan.
"Ah" ia berdesah di dalam hati.
"Angger Mahisa. Bungalan" berkata Ki Selabajra
kemudian "bagaimana ceriteranya, bahwa angger telah
berada di sini pada saat yang gawat ini"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian jawabnya sambil menunduk "Hanya secara
kebetulan saja, Ki Selabajra"
Tetapi Ki Selabajra berkata "Kebetulan yang sangat
kebetulan. Nyawa kami telah kau selamatkan, meskipun
angger Kuda Pramuja harus menjadi korban. Tetapi jika
tidak secara kebetulan kau berada di padepokan ini, maka
korban akan menjadi semakin banyak. Mungkin orangorang
padepokan Watu Kendeng dan padepokan Kenanga
telah habis ditumpas oleh orang-orang yang sangat garang
itu" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam "Tetapi
pertanyaan masih belum terjawab" berkata Ki Watu
Kendeng "siapakah anak muda itu sebenarnya"
"Bertanyalah kepadanya" sahut Ki Selabajra "aku kira
dalam keadaan seperti ini, ia tidak akan mengingkari
dirinya sendiri" Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya sejenak. Ketika
dipandanginya wajah Ki Selabajra, dilihatnya orang tua
mengangguk kecil. Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun tidak dapat ingkar lagi. Diceriterakannya
bagaimana ia berada di padepokan itu kembali setelah ia
meninggalkan beberapa hari yang lalu. Iapun menyinggung
serba sedikit tentang dirinya meskipun tidak seluruhnya.
"Mengagumkan" desis Ki Watu Kendeng. Lalu "Ki
Selabajra. Biarlah aku mendahului mengatakan niatku yang
tiba-tiba saja muncul di rongga dadaku. Malam ini aku
telah kehilangan anakku. Satu-satunya anak laki-laki.
Karena itu, biarlah aku menuntut ganti. Aku akan
memohon kepada anak muda yang bernama Mahisa
Bungalan ini, agar ia bersedia aku anggap sebagai pengganti
anakku yang hilang" Mahisa Bungalan terkejut. Sesaat ia mengangkat
kepalanya tegak-tegak sambil memandang Ki Watu
Kendeng dan Ki Selabajra berganti-ganti. Namun kemudian
kepalanya itupun tertunduk lagi.
Sementara itu, terdengar Ki Selabajra berkata
"Semuanya terserah kepada angger Mahisa Bungalan. Jika
ia bersedia, maka beruntunglah Ki Watu Kendeng, karena
kau akan mendapatkan ganti, meskipun nilainya berbeda"
"Aku ingin mendengar, apakah anak muda itu bersedia
menjadi anakku" gumam Ki Watu Kendeng.
Mahisa Bungalan masih tetap termangu-mangu. Namun
ia tidak akan sampai menyakiti hati orang tua yang baru
saja kehilangan anak laki-lakinya itu. Karena itu, maka
iapun kemudian berkata "Ki Watu Kendeng. Aku
mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Kiai
terhadapku, dengan mengambil aku sebagai anak angkat.
Mudah-mudahan Kiai tidak akan kecewa di hari kemudian,
karena aku adalah seorang perantau yang tidak berhari
sama sekali, yang sebenarnya tidak pantas untuk menjadi
keluarga Ki Watu Kendeng"
"Kau jangan terlalu merendahkan diri" sahut Ki Watu
Kendeng "tetapi kesediaanmu telah sedikit menghapus
duka hati ini" Mahisa Bungalan tidak segera menyahut. Tetapi ia mulai
memikirkan akibat dari kesediaannya itu. Apakah maksud
Ki Watu Kendeng itu hanya sekedar mengakunya sebagai
anak, atau bahkan dengan akibat yang lebih luas. Misalnya,
ia harus tinggal bersamanya, dan berbuat benar-benar
seperti anaknya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa ingin
mendapatkan ketegasan, karena hal itu akan dapat
dibicarakannya kemudian. Namun yang menjadi pikirannya kemudian, bagaimana
ia harus bersikap terhadap Ki Selabajra. Mahisa Bungalan
tidak dapat ingkar lagi, bahwa ada sesuatu yang membelit
hatinya di padepokan itu. Ken Padmi baginya, merupakan
seorang gadis yang lain dengan gadis-gadis yang pernah
dikenalnya. Di Singasari ia mengenal banyak gadis-gadis, bahkan
gadis-gadis yang tinggal di istana sekalipun. Tetapi ia tidak
pernah merasakan suatu sentuhan batin seperti yang
dialaminya di padepokan itu.
Tetapi segalanya itu masih saja disimpannya di dalam hati.
Pada saatnya ia akan menentukan sikap, sesuai dengan
keadaan yang akan dihadapinya.
Dalam pada itu, maka Ki Watu Kendengpun kemudian
minta diri. Ia merasa didesak oleh keadaan yang tidak
dikehendaiknya itu untuk segera kembali dan
menyelesaikan penyelenggaraan mayat anak dan adiknya.
"Apakah tidak sebaiknya besok pagi saja Ki Watu
Kendeng?" bertanya Ki Selabajra.
"Mumpung malam hari. Tidak banyak orang yang akan
melihat bahwa kami telah membawa dua tubuh yang sudah
membeku" jawab Ki Watu Kendeng.
Ki Selabajra tidak dapat menahannya lagi. Karena itu
maka katanya Terserahlah kepada kebijaksanaan Ki Watu
Kendeng. Aku nanya dapat menyatakan ikut berduka cita
atas segala yang telah terjadi, di luar keinginan kami pula"
"Agaknya nasib benar-benar tidak akan dapat dihindari"
sahut Ki Watu Kendeng "tetapi aku tidak boleh kehilangan
akal karenanya. Aku pun tidak boleh meratapi tanpa henti,
sehingga dengan demikian seolah-olah aku tidak mau
mengerti maksud Tuhan Yang Maha Kuasa"
"Ki Watu Kendeng benar-benar seorang yang berjiwa
samodera. Dengan demikian, maka Ki Watu Kendeng akan
menerima ketenangan di dalam hidupnya" gumam Ki
Selabajra "selebihnya aku hanya dapat mengucapkan
selamat jalan. Biarlah ketiga mayat yang lain akan kami
selenggarakan di sini sesuai dengan seharusnya"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Namun
kemudian Katanya "Sesuai dengan permohonanku, apakah
Mahisa Bungalan dapat ikut bersamaku?"
Wajah Ki Selabajra menegang sejenak. Namun
kemudian ia berpaling kepada Mahisa Bungalan. Katanya
"Terserahlah kepada angger Mahisa Bungalan"
Jantung Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Ia
masih ingin tetap berada di padepokan Kenanga. Meskipun
ia sudah meninggalkan padepokan itu, dan kemudian
kembali dengan diam-diam pada saat yang gawat itu,
namun rasa-rasanya jika ia jujur terhadap dirinya sendiri,
maka ia masih ingin berada di padepokan itu.
Karena itu, maka ia pun menjadi bingung. Apakah jawab
yang paling baik yang harus dikatakannya.
Dalam pada itu, Ki Watu Kendeng telah mendesaknya
"Bagaimana pendapatmu Mahisa Bungalan" Bukankah
wajar jika kau kembali bersama kami ke padepokan Watu
Kendeng" Dengan demikian, maka kau sudah menampung
sebagian dari kepahitan perasaan kami, seisi padepokan
Watu Kendeng" Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun
kemudian ia terpaksa menjawab "Ki Watu Kendeng. Aku
mengucapkan terima kasih. Tetapi perkenankan aku tinggal
di padepokan ini. Aku masih harus membantu Ki Selabajra
untuk menyelenggarakan ketiga sosok mayat itu.
Bagaimana pun juga, aku ikut bertanggung jawab atas
kematian mereka" Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada datar "Baiklah. Jika kau masih belum dapat
pulang bersama kami, aku harap kau akan segera menyusul.
Jangan biarkan kepedihan kami semakin berlaruti-larut"
Mahisa Bungalan menjadi bingung. Apakah dengan
demikian bukan berarti bahwa ia akan menjadi penghuni


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padepokan Watu Kendeng, sehingga dengan demikian akan
bertentangan dengan niatnya untuk melihat daerah yang
luas sebelum ia kembali ke Singasari, mengikat diri ke
dalam satu Lingkungan. Tetapi Mahisa Bungalan tidak
mempersoalkannya itu. Saat Ki Watu Kendeng masih
diliputi oleh kegelapan hati karena peristiwa yang bagaikan
telah merobek dadanva itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Watu
Kendengpun minta diri. Ken Padmi yang berada di dalam
biliknya, dipanggil ke pendapa untuk melepas kepergian Ki
Watu Kendeng sambil membawa mayat anak dan adiknya.
"Bebaskan hatimu dari peristiwa ini, Ken Padmi.
Bagaimanapun juga, kau sama sekali tidak bersalah. Yang
sebenarnya terjadi adalah pergolakan yang kelam di dalam
lingkungan keluargaku sendiri. Sayang sekali, bahwa kau
justru terlibat di dalamnya di luar kehendakmu sendiri"
berkata Ki Watu Kendeng saat ia minta diri "Mudahmudahan
kau akan tetap hidup dengan tenang dan wajar di
hari mendatang" Ken Padmi menundukkan kepalanya. Pesan itu justru
hampir saya memecahkan bendungan air matanya kembali.
Namun ia bertahan sekuat-kuatnya untuk tidak menangis.
DALAM pada itu, maka Ki Watu. Kendeng dan para
pengiringnyapun telah bersiap-siap untuk kembali ke
padepokan mereka dengan hati yang sangat pedih.
Kematian adiknya tidak terlalu terasa menyengat jantung.
Tetapi kematian Kuda Pramuja benar-benar telah meremas
perasaan. Ketika semuanya sudah siap, maka iring-iringan itupun
mulai bergerak. Gelap malam sama sekali tidak
menghalangi mereka. Kedua sosok tubuh yang beku itupun
telah diletakkan diatas punggung kuda pula. Kuda-kuda
mereka sendiri, yang saat mereka berangkat keduanya
masih dapat memegang kendali sendiri. Tetapi ketika
kembali ke padepokan, maka kedua ekor kuda itu harus
dituntun oleh orang lain.
Orang-orang padepokan Kenangapun melepas mereka
dengan hati yang trenyuh. Mereka mengerti betapa
pedihnya hati Ki Watu Kendeng. Selain kehilangan anak
dan adiknya, maka iapun tentu merasa sangat pahit
menghadapi peristiwa yang tidak diperhitungkannya. Tibatiba
adik laki-lakinya itu telah kehilangan pertimbangan,
sehingga ia telah melakukan perbuatan yang tercela.
Sepeninggal orang-orang dari padepokan Watu
Kendeng, maka orang-orang padepokan Kenangapun telah
sibuk dengan kewajiban mereka. Meskipun saudara-saudara
seperguruan Gagak Branang itu di masa hidup mereka,
telah menumbuhkan bencana yang sangat besar, terutama
dengan kematian Kuda Pramuja namun setelah mereka
menjadi mayat, maka seolah-olah semua hutang itupun
telah lunas mereka bayar.
Sementara para murid dan cantrik dari padepokan
Kenanga sibuk dengan ketiga sosok mayat itu, Mahisa
Bungalan yang termangu-mangu duduk diatas bebatur
gandok kanan. Dengan kening yang berkerut ia
memandang orang-orang yang sibuk di bawah cahaya obor
yang hilir mudik dibawa para cantrik yang ikut membantu
mengurus mayat-mayat itu.
"Kematian yang sia-sia" desis Mahisa Bungalan. Di luar
sadarnya ia telah memandang ketangannya. Jari-jarinya
yang berkembang masih dinodai dengan titik-titik darah
yang membeku. Tetapi keris yang dipergunakannya telah
dikembalikannya kepada Makerti.
Dalam saat ia masih termangu-mangu, Mahisa Bungalan
itu terkejut ketika ia melihat bayangan seseorang di atas
tanah yang memanjang, bergerak mendekatinya. Ketika itu
ia berpaling, dilihatnya Ken Padmi berdiri termangu-mangu
"O" desis Mahisa Bungalan sambil bangkit berdiri.
"Apakah yang kau renungkan?" bertanya Ken Padmi di
luar sadarnya, sekali lagi Mahisa Bungalan memandang
noda-noda darah di tangannya.
"Kau belum membasuh tangan dan kakimu?" bertanya
Ken Padmi. "Belum Ken Padmi. Mungkin aku masih akan
membantu mereka yang mengurus mayat itu. Karena itu,
aku masih belum membersihkan diri"
Ken Padmi mengangguk-angguk.
"Aku masih dilekati oleh keringat dan debu. Lebih dari
itu, aku masih dikotori oleh noda-noda darah" desis Mahisa
Bungalan kemudian. Ken Padmi mengerutkan keningnya. Namun diluar
dugaan Mahisa Bungalan, tiba-tiba saja Ken Padmi
menunduk sambil berdesis "Aku minta maaf Mahisa
Bungalan. Jika kau merasa ternoda oleh kematian mereka,
maka akulah yang bersalah"
Mahisa Bungalan terkejut Dengan serta merta ia
menjawab "Bukan maksudku"
"Mungkin kau memang tidak bermaksud mengatakan
demikian. Tetapi akulah yang wajib merasa. Kau telah
terseret dalam persoalan yang tidak ada sangkut pautnya
dengan kepentinganmu. Untunglah bahwa tidak terjadi
sesuatu dengan kau. Jika sekiranya, kau mengalami sesuau,
maka akulah sumber dari malapetaka itu"
"Tidak. Tidak Ken Padmi. Aku sama sekali tidak
bermaksud mengatakan demikian. Aku benar-benar ingin
mengatakan, bahwa aku masih belum membersihkan diri
sehingga tubuhku menjadi kotor. Tidak ada sangkut
pautnya dengan siapakah yang bersalah, dalam hal ini"
Ken Padmi justru menjadi semakin tunduk. Dengan
nada yang dalam dan tertahan-tahan ia berkata "Aku
memang terlalu bodoh untuk mengerti. Sekali lagi aku
minta maaf Mahisa Bungalan"
Mahisa Bungalan benar-benar menjadi bingung, la tidak
mengerti apa yang harus dilakukannya. Karena itu, maka
iapun kemudian hanya berdiri saja tegak seperti patung.
Untuk sesaat keduanya saling berdiam diri. Ken Padmi
berdiri dengan kepala tunduk, sedangkan Mahisa Bungalan
menjadi sangat gelisah oleh ketidak tahuannya atas sikap
Ken Padmi. Baru sejenak kemudian Ken Padmi berkata "Sudahfah.
Aku akan kembali ke ruang dalam. Jika kau sudah selesai,
mandilah agar kau tidak merasa bernoda darah dan
kematian" Hampir saja Mahisa Bungalan. menjawab. Untunglah
bahwa ia segera menyadari, bahwa jawabnya itu akan dapat
menyinggung perasaan Ken Padmi. Karena itu, ia hanya
berkata di dalam hati "Noda darah dan kematian tidak akan
terhapus meskipun aku akan mandi seribu kali sehari"
Tetapi yang terucap dari mulutnya adalah "Silahkan Ken
Padmi. Kau memang memerlukan istirahat badan dan
jiwani. Seperti yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng,
lupakan segalanya, karena yang terjadi benar-benar diluar
kehendak dan kuasamu untuk menghindarinya.
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan
ia mengangkat wajahnya. Namun ketika ia memandang
wajah Mahisa Bungalan, anak muda itupun sedang
memandanginya. Cepat-cepat Ken Padmi melemparkan pandangannya.
Bahkan kemudian iapun segera meninggalkan Mahisa
Bungalan yang termangu-mangu.
Sejenak Mahisa Bungalan berdiri mematung.
Dipandanginya saja Ken Padmi yang kemudian hilang di
balik sudut gandok. Beberapa lama ia masih tetap berdiri.
Terasa debar jantungnya bagaikan semakin. cepat. Ada
kesan yang khusus di dalam hatinya dari sikap gadis itu.
Meskipun Ken Padmi menyandang pedang, tetapi ia benarbenar
seorang gadis perasa. Dalam pada itu, di luar sadarnya, dari jarak yang agak
jauh Gemak Werdi memandanginya dengan tajam. Tetapi
anak muda itu kemudian menarik nafas dalam-dalam
sambil berdesah. Rasa-rasanya ia sedang melepaskan
sebuah gelembung getah jarak yang terbang dihanyutkan
angin. Gemak Werdi terkejut ketika pundaknya digamit oleh
Makerti. Sejenak keduanya berpandangan. Namun
kemudian Gemak Werdi melangkah meninggalkan
tempatnya. Makerti yang lebih tua daripadanya menarik nafas
panjang. Ia mengerti perasaan yang bergejolak di dalam hati
Gemak Werdi dan Mahisa Bungalan. Makertipun mengerti,
kenapa tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berada di padepokan
itu, meskipun ia tidak mengerti bagaimana hal itu terjadi.
Yang diketahuinya adalah bahwa Mahisa Bungalan tidak
dapat meninggalkan Ken Padmi dengan ikhlas. Karena itu,
seolah-olah ia masih saja selalu membayanginya meskipun
ia sudah minta ijin meninggalkan padepokan itu. Dengan
demikian Mahisa Bungalan masih sempat mengetahui dan
melihat, apa yang telah terjadi.
Sejenak Makertilah yang kemudian termangu-mangu. Ia
melihat Mahisa Bungalan melangkah ke belakang, dan
hilang dibalik sudut belakang rumah padepokan.
Para cantrik sudah selesai membaringkan ketiga sosok
mayat di pendapa. Besok jika hari menjadi terang, maka
ketiga sosok mayat itu akan diselenggarakan sebagaimana
seharusnya. Makertipun kemudian meninggalkan tempatnya pula. Ia
pun segera membersihkan diri seperti para penghuni
padepokan itu yang lain. Diantara mereka adalah Mahisa
Bungalan yang sejak saat itu telah berada di padepokan
Kenanga kembali. Mahisa Bungalan yang kemudian berada di pendapa
bersama beberapa orang yang lain, menunggui mayat yang
terbaring bergeser setapak, ketika Makerti duduk di
sebelahnya. Beberapa saat mereka berbicara tentang
peristiwa yang baru saja terjadi. Separti pendapat orangorang
padepokan itu yang lain. Padepokan Kenanga tentu
sudah menjadi karang abang, jika Mahisa Bungalan tidak
tiba-tiba raja berada di antara mereka.
"Sudahlah" desis Mahisa Bungalan "jangan sebut itu
lagi" Makerti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
justru berkata "Bagaimana dengan Ki Watu Kendeng"
Bukankah ia mengharap kau datang ke padepokannya?"
Mahisa Bungalan merenung sejenak. Ia memang harus
mulai memikirkan suatu sikap tentang kesediaannya
menjadi anak angkat Ki Watu Kendeng. Kesediaannya itu
akan membawa suatu akibat sikap dan perbuatan.
Tiba-tiba saja ada perasaan segan yang mencengkamnya
untuk meninggalkan padepokan Kenanga. Betapa pun ia
mencoba untuk ingkar terhadap dirinya sendiri, namun
akhirnya ia harus mengakui bahwa hatinya telah tertambat
kepada gadis yang bernama Ken Padmi itu, sehingga
seolah-olah ia pun telah terikat pula oleh padepokan
Kenanga yang hampir saja mengalami bencana itu.
Ketika kemudian Ki Selabajra pun ikut duduk di
pendapa, maka pembicaraan mereka telah berkisar. Mereka
kembali membicarakan peristiwa yang menggetarkan
jantung, yang telah menjamah padepokan yang terhitung
tenang itu. Beberapa saat lamanya, meraka masih berbincang di
pendapa. Namun menjelang matahari terbit, beberapa
orang dipersilahkan untuk beristirahat Hanya beberapa
orang murid dan cantrik sajalah yang masih menunggui
mayat di pendapa. "Apakah mereka masih mempunyai saudara-saudara
seperguruan?" bertanya salah seorang cantrik.
"Mungkin sekali" jawab kawannya.
"Bukankah masih ada kemungkinan saudara-saudara
seperguruannya itu mendendam kita di sini"
"Mungkin sakali" jawab kawannya lagi.
"Apakah tidak mungkin pada suatu saat mereka datang
dengan kekuatan berlipat?" kawannya bertanya pula.
"Mungkin sekali"
"He, apakah kau tidak mempunyai jawaban lain?"
kawannya tiba-tiba membentak.
"Kenapa kau marah" Aku menjawab sebenarnya.
Mungkin sekali. Mungkin sekali semua itu dilakukan.
Bahkan bukan saja saudara-saudara seperguruan, tetapi
gurunya dapat berbuat demikian pula"
"Guru Gagak Branang?"
Cantrik itu menjadi tegang. Katanya "Jika benar
demikian, apakah anak muda yang bernama Mahisa
Bungalan itu akan dapat mengimbangi kemampuan guru
Gagak Branang itu" "He, kau kira anak muda itu tidak mempunyai guru"
Jika ia merasa tidak mungkin mengimbangi seseorang, ia
tentu akan mengadu kepada gurunya"
"Itu kalau sempat. Kalau tidak?"
"Kalau tidak, iapun terbujur di pendapa seperti itu"
"Ah" geram kawannya "kau gila. Apakah hal itu akan
dapat terjadi atas anak muda itu?"
"Mungkin sekali"
"Apalagi yang mungkin sekali?"
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat
lamanya mereka tidak berbicara lagi. Diluar sadar, mereka
memandang ketiga sosok mayat yang terbaring diam itu.
Ketika kemudian matahari terbit, maka orang-orang
padepokan Kenanga telah menjadi sibuk. Mereka pada hari
itu juga akan mengadakan upacara menyelenggara kan
ketiga sosok mayat itu sebaik-baiknya meskipun dengan
sederhana. Namun pada hari itu juga. Padepokan Watu Kendengpun
menjadi sibuk. Merekapun akan menyelenggarakan upacara
menyelenggarakan kedua sosok mayat. Bagaimana juga,
setelah maninggal, Ki Watu Kendeng tidak sampai hati
menyia-nyiakan adiknya. Bahkan sejauh-jauh mungkin Ki
Watu Kendeng masih berusaha menutupi kekurangan
adiknya. Namun yang buruk itu ternyata cepat sekali di dengar


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh banyak orang. Betapapun Ki Watu Kendeng berusaha
menutupinya, namun orang-orang yang mengiringinya ke
Padepokan Kenanga telah menyaksikan dan mengerti, apa
yang telah terjadi. Sedangkan mereka tidak dapat menahan diri untuk
menceriterakan apa yang mereka saksikan itu kepada
kawan-kawannya, kepada saudara-saudaranya, dan bahkan
kepada siapapun y ang mereka temui.
Karena itu, bagaimanapun juga, maka sikap orang
padepokan Watu Kendeng dan orang-orang padukuhan di
sekitarnya terhadap kedua sosok mayat itu jauh berbeda.
Mereka menghormati mayat Kuda Pramuja, tetapi mereka
memandangpun segan terhadap mayat Gagak Branang.
Demikianlah, maka padepokan Watu Kendeng diliputi
oleh suasana berkabung. Agak berbeda dengan suasana
yang diliputi padepokan Kenanga. Meskipun kedua
padepokan itu sama-sama menyelenggarakan beberapa
sosok mayat, namun dalam ikatan dan keadaan yang
berlainan. Bagi padepokan Watu Kendeng, maka yang terjadi itu
benar-benar merupakan peristiwa yang pahit, sementara
bagi padepokan Kenanga ada sepercik kebanggaan karena
kehadiran Mahisa Bungalan yang telah berhasil
mengalahkan orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
yang tanpa Mahisa Bungalan akan dengan mudah
menghancurkan padepokan mereka.
Ketika kemudian matahari turun ke Barat, setelah
kesibukan di padepokan Kenanga selesai, maka mereka
dengan segera melupakan apa yang telah terjadi. Para
cantrik sudah dapat bergurau lagi diantara mereka. Bahkan
murid-murid Ki Selabajrapun sudah sempat lagi berada di
dalam sanggar untuk meneruskan latihan-latihan mereka.
Sedangkan pada saat yang sama, orang-orang padepokan
Watu Kendeng masih tetap berada dalam suasana
berkabung. Setiap penghuni padepokan Watu Kendeng
masih tetap menundukkan kepala dengan sedih.
Mahisa Bungalan yang masih berada di padepokan
Kenanga melihat suasana yang cepat berubah itu. Namun
nampaknya agak lain dengan Ken Padmi. Gadis itu masih
tetap diliputi oleh suasana yang muram. Meskipun
kematian yang terjadi itu tidak menyangkut sanak
kadangnya, tetapi Ken Padmi masih saja merasa di bayangi
oleh kesalahan. Ia merasa menjadi penyebab, bahwa
semuanya itu telah terjadi.
Namun selain merasa bersalah, ada sesuatu perasaan
yang terselip di hatinya. Jika ia sadar, bahwa Mahisa
Bungalan masih berada di padepokan Kenanga, maka tibatiba
hatinya serasa menjadi sejuk. Ia tidak mengerti dengan
pasti, apakah ia memang telah tertarik kepada anak muda
itu. Namun sebagai seorang gadis ia selalu menghindari
pertanyaan itu meskipun tumbuh di hatinya sendiri.
Ketika diluar kehendaknya, ia berpapasan dengan
Mahisa Bungalan di longkangan, maka hatinya menjadi
berdebar-debar. Apalagi ketika Mahisa Bungalan kemudian
ternyata berhenti sambil memandangnya.
Rasa-rasanya kaki Ken Padmi menjadi sangat berat.
Hampir diluar sadarnya iapun telah berhenti pula.
Sejenak keduanya termangu-mangu. Keringat dingin
telah mengalir di tengkuk Ken Padmi. Dan bahkan Mahisa
Bungalan untuk sejenak telah menjadi kebingungan, apakah
yang akan dilakukannya. Namun akhirnya ia berhasil menguasai perasaannya.
Dengan nada yang dalam ia berkata "Apakah kau sudah
sempat beristirahat Ken Padmi?"
Ken Padmi memandang Mahisa Bungalan hanya sekilas.
Jawabnya "Kaulah yang harus beristirahat. Kaulah yang
telah banyak berbuat bagi kami seisi padepokan ini"
Mahisa Bungalan tersenyum. Betapapun gelisah hatinya.
Katanya "Aku tidak berbuat apa-apa. Tetapi kaulah yang
nampak letih sejak semalam"
"Aku tidak letih" sahut gadis itu singkat.
Untuk sejenak Mahisa Bungalan seolah-olah telah
kehilangan kalimat untuk mulai lagi dengan sebuah
pembicaraan. Namun tiba-tiba saja ia berkata "Ken Padmi,
agaknya aku tidak akan dapat lama di padepokan ini"
Ken Padmi terkejut. Diluar sadarnya ia memandang
Mahisa Bungalan dengan kerut merut di keningnya.
"Apakah kau akan segera pergi lagi seperti beberapa
waktu yang lampau?" bertanya Kan Padmi.
"Seharusnya aku memang pergi seperti yang aku lakukan
selama ini. Aku adalah seorang perantau" jawab Mahisa
Bungalan "tetapi agaknya aku harus tinggal beberapa
lamanya di padepokan Watu Kendeng"
"Kenapa?" bertanya Ken Padmi.
"Bukankah kau sudah mendengar pula, bahwa aku telah
diangkat menjadi anak Ki Watu Kendeng menggantikan
Kuda Pramuja" Aku mengerti, betapa sakitnya hati orang
tua itu. Karena itu, aku tidak sampai hati menolaknya. Dan
akupun akan berada di padepokannya untuk beberapa saat
selama ia masih berduka"
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti,
bahwa Mahisa Bungalan memang sudah menyediakan
dirinya untuk diangkat sebagai anak oleh Ki Watu
Kendeng. Demikian dalam pengertiannya, bahwa orang tua
itu sedang berduka, karena ia telah kehilangan anaknya.
Kematian Kuda Pramuja bukannya kematian yang
sewajarnya seperti kebanyakan kematian-kematian yang
pernah terjadi. Tetapi kematian Kuda Pramuja adalah
karena persoalan yang justru merupakan noda yang kelam
bagi keluarga Ki Watu Kendeng.
"Ken Padmi" tiba-tiba saja terdengar Mahisa Bungalan
berdesis "aku besok akan mohon diri kepada Ki Selabajra.
Kepada Makerti, kepada pemak Werdi dan kepadamu"
Ken Padmi menundukkan kepalanya. Dengan nada yang
dalam ia menjawab "Mudah-mudahan jarak dari Watu
Kendeng tidak akan menjadi lebih panjang lagi, Mahisa
Bungalan, ada kecemasan di dalam hatiku, bahwa setelah
Watu Kendeng, kau akan berjalan semakin jauh lagi"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
suara yang datar ia menjawab "Seharusnya aku memang
akan berjalan semakin jauh Ken Padmi. Aku akan
menjauhi segala tempat. Aku akan mendekati segala tempat
pula. Karena itu, aku akan berada di mana-mana, tetapi
juga tidak berada di mana-mana"
"Setiap katamu membuat aku semakin bingung. Tetapi
kau dengar suara hatiku meskipun aku tidak
mengatakannya" Mahisa Bungalan menahan nafasnya. Kata-kata itu telah
mendebarkan jantungnya. Namun dalam pada itu, ketika Ken Padmi menyadari
pengakuannya, meskipun samar-samar wajahnya menjadi
merah. Sebagai seorang gadis ia telah berkata terlalu jauh
dalam hubungan antara manusia.
Karena itu, maka wajahnya menjadi semakin tunduk.
Keringat dinginnya telah mengalir membasahi segenap
tubuhnya. Mahisa Bungalan melihat kegelisahan itu. Meskipun ia
sendiri merasa canggung, namun ia tidak dapat
membiarkan perasaan gelisah itu mencengkam perasaan
Ken Padmi semakin dalam-dalam.
"Ken Padmi" berkata Mahisa Bungalan "aku dengar
suara hatimu. Namun suara itu telah luluh dengan suara
hatiku sendiri" "Ah" Ken Padmi berdesah. Tidak ada yang dapat
dikatakannya lagi. Bahkan kemudian iapun berlari masuk di
longkangan itu. Baru kemudian Mahisa Bungalan melangka
meninggalkan tempatnya memasuki biliknya di gandok
Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat duduk dengan
tenang. Pembicaraaanaya yang singkat dengan Ken Padmi
telah menggelisahkan hatinya.
Tetapi adalah diluar pengetahuan Mahisa Bungaian,
bahwa Ki Selabajra telah melihat pembicaraan itu dari selasela
pintu seketeng, bagian belakang. Meskipun hanya
sekilas, dan tidak ada keinginannya untuk melihat dan
mendengarkan pembicaraan kedua anak muda itu, namun
Ki Selabajra telah mendapat keyakinan, bahwa ada sesuatu
yang saling menyentuh pada kedua anak muda itu.
"Aku tidak tahu, apakah aku menjadi senang atau justru
gelisah dan cemas" berkata Ki Selabajra kepada diri sendiri
"aku senang jika benar-benar keduanya pada suatu ketika
akan bertemu dalam hidup kekeluargaan. Mahisa Bungalan
adalah anak muda yang luar biasa. Anak muda yeng
memiliki ilmu yang tinggi, tetapi tetap rendah hati dan
berusaha menempuh jalan hidupnya yang lurus. Tetapi aku
menjadi gelisah dan cemas, bahwa dalam perantauannya,
Mahisa Bungalan akan menemukan paristiwa yang dapat
mengaburkan perasaan itu, apalagi kemudian terhapus
sama sekali, sementara Ken Padmi masih tetap terikat
kepada kesetiaan akan janji meskipun baru diucapkan di
dalam hatinya sendiri. Namun janji di dalam hati justru
akan dapat mengikatnya tanpa batas kesaksian orang lain"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian "Yang
dapat aku lakukan hanyalah memanjatkan doa kepada
Tuhan Yang Pemurah. Sebagai orang tua, aku tidak boleh
menutup mata atas kenyataan ini"
Dalam pada itu, selagi Ki Selabajra merenung anak
gadisnya, maka Mahisa Bungalan masih saja dicengkam
oleh kegelisahan. Bahkan kemudian iapun keluar lagi dari
biliknya, dan berjalan dengan ragu-ragu ke Sanggar.
Dengan kegelisahannya, ia menunggui murid-murid Ki
Selabajra yang sedang melatih diri. Mereka mengulang apa
yang pernah mereka pelajari. Mereka mencoba
mengembangkan apa yang telah mereka sadap dari
gurunya, Ki Selabajra. Kehadiran Mahisa Bungalan membuat mereka menjadi
segan. Tetapi Mahisa Bungalan berkata "Teruskan. Jangan
hiraukan aku. Anggaplah bahwa aku tidak ada di dalam
sanggar ini" Murid-murid Ki Selabajra itu saling berpandangan
sejenak. Namun keseganan itu agaknya masih belum
mereke singkirkan dari hati mereka.
"Teruskanlah. Aku juga pernah pada suatu saat seperti
kalian. Belajar dan mencoba mengulang-ulang, kemudian
mencari bentuk perkembangannya"
Betapapun segan dan canggungnya, namun akhirnya
merekapun talah melanjutkan latihan mereka. Mula-mula
dengan ragu-ragu, namun perlahan-lahan mereka dapat
mengesampingkan perasaan itu, sehingga latihan itupun
menjadi semakin lama semakin cepat pula.
Tetapi ternyata bahwa latihan itu tidak dapat merampas
seluruh perhatian Mahisa Bungalan. Meskipun ia tetap
berada di dalam sanggar, namun angan-angannya kadangkadang
telah terbang jauh ke dalam dunia harapan.
Karena itulah, maka ia seolah-olah terkejut ketika tiba-tiba
saja latihan-latihan itu telah berakhir di malam yang telah
larut. Semalam suntuk Mahisa Bungalan harus menunggu
dengan gelisah di dalam biliknya. Ia menjadi berdebardebar
ketika terdengar kokok ayam jantan menjelang fajar
menyingsing. Namun ia sudah membulatkan tekadnya untuk pergi ke
Watu Kendeng. Ia tidak ingin berada terlalu lama di
padepokan Kenanga. Bagaimanapun juga, ia harus menjaga
agar hubungannya dengan Ken Padmi yang seolah-olah
telah mereka akui tanpa kata-kata, dapat menarik perhatian
orang-orang di sekitarnya, sehingga mungkin akan dapat
mengurangi penilaian mereka terhadap keluhuran budi
anak perempuan Ki Selabajra, yang bagi orang-orang di
padepokan Kenanga dan sekitarnya, Ki Salabajra
merupakan orang yang paling mereka hormati di samping
Ki Buyut. 'Demikianlah, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
mempersiapkan bukan saja badannya, tetapi juga hatinya.
Ia harus minta diri dan pergi ke padepokan Watu Kendeng.
Apapun yang akan dialaminya di Watu Kendeng, akan
diterimanya sejauh dapat dilakukannya. Ia akan menjadi
anak yang baik bagi Ki Watu Kendeng, meskipun sejak
semula Mahisa Bungalan harus meyakinkan, bahwa ia tidak
akan dapat tinggal terlalu lama di padepokan itu.
Ketika kemudian Mahisa Bungalan duduk bersama KI
Selabajra di pendapa, setelah mereka selesai dengan
membenahi diri masing-masing, maka Mahisa
Bungalanpun segera mengutarakan maksudnya untuk minta
diri meninggalkan padepokan Kenanga.
"Demikian tergesa-gesa?" bertanya Ki Selabajra.
"Aku harus memenuhi kesanggupanku. Aku akan pergi
ke Watu Kendeng agar Ki Watu Kendeng tidak terlalu lama
menunggu" jawab Mah%a Bungalan.
Ki Selabajra tidak dapat menahan Mahisa Bungalan
terlalu lama. Ia sendiri mendengar, betapa Ki Watu
Kendeng yang kehilangan anak dan adiknya itu mengingin
kan Mahisa Bungalan untuk menggantikan anaknya yang
terbunuh itu. Karena itu, maka Ki Selabajrapun telah melepaskan
Mahisa Bungalan dengan hati yang berat. Setiap kali ia
selalu teringat kepada anak gadisnya yang tentu akan
menjadi gelisah pula sepeninggal Mahisa Bungalan.
"Mungkin untuk satu dua hari saja" berkata Ki Selabajra
di dalam hatinya "tetapi mungkin pula berbulan-bulan.
Bahkan ia akan tetap menunggu untuk waktu yang tidak
tertentu" Namun bagaimanapun juga akhirnya Mahisa
Bungalanpun minta diri untuk meninggalkan padepokan
itu. Kepada Makerti, kepada Gemak Werdi dan kepada
para murid, para cantrik dan seluruh penghuni padepokan,
termasuk Ken Padmi, Mahisa Bungalanpun kemudian
minta diri. "Apakah kau memerlukan seorang penunjuk jalan"
bertanya Ki Selabajra.

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak" jawab Mahisa Bungalan "petunjuk arah yang
aku terima sudah cukup bagiku. Aku akan dapat segera
menemukannya" Tetapi agaknya Ki Selabajra tidak ingin membiarkan
Mahisa Bungalan berjalan kaki. Karena itu, maka iapun
kemudian menyerahkan seekor kuda yang paling baik yang
ada di padepokan itu untuk dipergunakan oleh Mahisa
Bungalan. Meskipun Mahisa Bungalan lebih senang untuk
meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki sambil
mengamati keadaan di sepanjang jalan yang dilaluinya,
sesuai dengan keinginannya untuk melihat sebanyakbanyaknya
sebelum ia mengikat diri dalam tugas kewajiban
yang lebih mapan, namun ia tidak menolak pemberian Ki
Selabajra. Karena itulah, maka iapun kemudian meninggalkan
padepokan Kenanga dengan berkuda. Tetapi juga dengan
hati yang sangat berat. Ketika kudanya mulai berderap, sekali lagi ia berpaling.
Ia hampir tidak melihat orang-orang yang berdiri berjajar di
muka regol. Yang dilihatnya adalah Ken Padmi yang
berdiri bersandar uger-uger pintu regol memandanginya
dengan wajah yang muram. Namun sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan
itupun mempercepat lari kudanya, meskipun ia tidak
berpacu terlalu kencang. Demikian Mahisa Bungalan keluar dari batas dinding
padepokan, tiba-tiba saja ia telah teringat kepada ceritera
tentang ibunda Anusapatj yang bernama Ken Dedes.
Permaisuri Tunggul Ametung, yang kemudian men jadi
permaisuri Ken Arok yang memecah tahta Kediri itupun
mulanya adalah seorang gadis padepokan. Betapa gadis
yang bernama Ken Dedes itupun pernah menumbuhkan
banyak persoalan diantara anak-anak muda bukan saja dari
padepokan, tetapi juga anak-anak muda dari daerah yang
jauh. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ceritera
tentang Ken Dedes memang tidak dapat disembunyikan
lagi. Bagaimana Akuwu Tunggul Ametung telah memaksa
gadis itu dan membawanya ke Tumapel. Meskipun semula
hal itu dilakukan karena pengaruh seorang anak muda yang
bernama Kuda Sempana, namun akhirnya Ken Dedes itu
menjadi permaisuri di Tumapel.
"Ah" desah Mahisa Bungalan. Namun iapun melihat,
bahwa gadis padepokan Kenanga itupun telah memancing
persoalan diantara anak-anak muda meskipun diluar
kehendaknya sendiri. "Agaknya akupun telah terlibat pula ke dalamnya"
berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Seolaholeh
ia melihat dua peristiwa yang berbeda, tatapi
mempunyai latar belakang yang hampir sama.
"Apakah peristiwa semacam itu terjadi di seluruh sudut
bumi dan terjadi di segala jaman?" pertanyaan itu telah
timbul di hati Mahisa Bungalan.
Namun sambil menarik nafas dalam-dalam ia.
bergumam "Selagi masih ada manusia dengan segala sifatsifatnya,
maka persoalan antara mereka masih akan tetap
terjadi" Mahisa Bungalanpun kemudian mencoba menghapus
angan-angannya tentang peristiwa yang menggelisahkan
itu, serta tentang gadis padepokan Kenanga yang seolaholah
telah mencengkam hatinya. Ia mencoba
memperhatikan alam yang cerah di sekitarnya. Matahari
yang bersinar dengan terang memandikan pepohonan dan
dedaunan yang hijau segar. Angin lembut yang
mangguncang pepohonan perlahan-lahan. Di antara dahandahan
terdengar burung liar berkicau dengan riang, seriang
anak-anak yang berlari-larian di pematang.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Dilintasinya jalan di bulak yang panjang di antara hijaunya
tanaman. Dalam pada itu, di padepokan Kenanga, sepeninggal
Mahisa Bungalan, Ken Padmi telah masuk ke dalam
biliknya. Meskipun ia tidak berbaring di pembaringan,
namun ia lebih banyak duduk sambil marenung. Ia benarbenar
tidak dapat ingkar dari kenyataan di dalam dirinya.
Kepergian Mahisa Bungalan yang kedua kalinya itu benarbenar
telah membuat hatinya terasa pedih.
Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak kuasa
untuk menahannya, dan apalagi minta agar Mahisa
Bungalan tetap tinggal di padepokannya.
Ki Selabajrapun melihat keadaan anak gadisnya. Ia ikut
merasakan kepedihan karena perpisahan itu. Tetapi ia pun
tidak ingin mendahului segala-galanya. Ia tetap diam dan
menunggu perkembangan berikutnya, meskipun ia akan
selalu memperhatikan keadaan anaknya dengan seksama.
Tidak seorang pun dari penghuni padepokan Kenanga
yang menegur Ken Padmi dengan tingkah lakunya itu.
Ki Selabajra yang memasuki biliknya dan mencoba
untuk mengajaknya makan barsama tidak berhasil
mendorong gadis itu keluar dari biliknya.
"Kepalaku pening ayah" berkata Ken Padmi.
"Jika demikian, berbaringlah. Kau harus minum obat
pipisan, agar kau segera sambuh" berkata ayahnya.
Tetapi Ken Padmi menggelengkan kepalanya. Katanya
"Aku tidak ingin minum obat. Nanti akan sembuh dengan
sendirinya" Ki Selabajra tidak memaksanya. Namun keadaan anak
gadisnya itu cukup menggelisahkannya pula. Apalagi ia
tidak akan dapat memperhitungkan apa yang akan
dilakukan Mahisa Bungalan. Jika Mahisa Bungalan itu
seorang anak muda yang tinggal di padukuhan atau
padepokan yang tidak terlalu jauh, maka kemungkinan
kelanjutan dari hubungannya dengan anak gadisnya masih
dapat diharapkan. Tetapi Mahisa Bungalan adalah seorang
anak muda yang berasal dari daerah yang jauh, yang
merantau tanpa tujuan, sekedar untuk memperluas
pengalamannya. Jika anak muda itu kembali ke asalnya,
apakah ia masih akan ingat lagi kepada padepokanpadepokan
terpencil ini. Apakah ia masih tetap
mengenangkan seorang gadis padepokan yang bodoh dan
tidak berpengetahuan. "Kasihan anakku" tiba-tiba saja di luar sadarnya orang
tua itu berdesis kepada diri sendiri.
Sementara itu Mahisa Bungalan pun semakin jauh dari
padepokan Kenanga. Sebagai seorang perantau yang
berpengalaman, maka petunjuk yang diterimanya di
Padepokan Kenanga, arah jalan menuju ke padepokan
Watu Kendeng, telah cukup baginya. Ia tidak menemui
kesulitan sama sekali. Beberapa ciri yang diberitahukan
kepadanya oleh orang-orang padepokan Kenanga segera
dikenalnya. Namun demikian, semakin dekat Mahisa Bungalan
dengan padepokan Kenanga, hatinya manjadi semakin
berdebar-debar. Seolah-olah ia sedang menuju ke sebuah
pintu gerbang dari daerah asing yang akan menjadi tempat
tinggalnya, meskipun hanya sementara.
"Aku akan memasuki daerah yang mendebarkan"
berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Tetapi akhirnya kudanyapun berderap mendekati regol
sebuah padepokan yang tidak banyak berbeda dengan
padepokan Kenanga. Padepokan kecil yang bagi
lingkungannya merupakan daerah yang cukup menjadi
pusat perhatian. Padukuhan padukuhan di sekitar
padepokan Watu Kendeng, seperti juga padepokan
Kenanga, menganggap pemimpin padepokan itu sebagai
seorang yang terhormat dan memiliki kelebihan dari orangorang
kebanyakan. Ketika Mahisa Bungalan mendekati pintu gerbang, rasarasanya
ia masih menyentuh perasaan duka yang sangat
mendalam dari isi padepokan itu.
Beberapa orang penghuni padepokan Watu Kendeng
yang melihat seseorang mendekati regol segera
menyongsongnya. Mereka yang tidak ikut pergi ke
padepokan Kenanga masih belum pernah melihat anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan. Karena itu, mereka
menganggap seorang asing telah datang ke padepokan
mereka. Tetapi ketika salah seorang yang ikut ke Padepokan
Kenanga melihat kehadirannya, maka dengan tergesa-gesa
manyampaikan hal itu kepada Ki Watu Kendeng.
"Anak itu sudah datang?" bertanya Ki Watu Kendeng.
Number Four 5 Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman Golok Maut 10

Cari Blog Ini