Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 3
Ia tak peduli pada pandang gusar Belakangka yang tak dapat menembusi halimun debu itu.
Selama tiga hari kabut debu merajalela. Semua yang tergelar di atas bumi terselaputi olehnya. Waktu matahari mulai kelihatan lagi, hanya pasir lembut i
tu juga yang nampak kelabu. Murka sang Kelud telah reda. Angin silir meniup ke dalam hati semua kawula Tumapel.
Orang mengagungkan Ken Dedes sebagai Dewi Kebijaksanaan.
Perintah yang diberikannya pada para pengawal, peristiwa dokter Dalung, telah menimbulkan harapan pada orang kecil akan datangnya tangan Sang Pelindung.
Dan orang tidak menguatirkan hilangnya Tunggul Ametung. Kalau toh Sang Akuwu hilang ditelan tanah rengkah, Sang Paramesywari akan jadi penggantinya yang lebih baik.
Di antara semua yang menderita hanya Yang Suci yang paling gelisah. Ia tak dapat menenggang kenyataan melihat Ken Dedes nampak tiba-tiba menjadi keras, angkuh dan galak terhadap dirinya. Lebih dari itu: nampak dibenarkan oleh semua kawula. Ia membutuhkan banyak waktu untuk berpikir, mencari jalan untuk menundukkannya. Dedes bisa menggenggam Tunggul Ametung dalam pengaruhnya. Dan itu tidak boleh terjadi.
Pada sore hari datang Tunggul Ametung dalam tandu, digotong oleh empat orang prajurit pengawal.
Paramesywari menyambutnya di pintu Bilik Agung.
Ia diistirahatkan di peraduan. Belakangka, Dalung dan pembantunya segera mengepungnya. juga Sang Patih. Dan Yang Suci itu tidak menyingkir terhadapnya. Ia merasa Pandita Negeri itu sengaja hendak meremehkannya.
Patih Tumapel berlutut di depan kaki Sang Akuwu. Nampaknya juga merasa tidak senang melihat Yang Suci seperti sengaja hendak memagari semua orang agar tak terlalu dekat pada Tunggul Ametung.
Ken Dedes masih dapat dengar suara bisik suaminya: "Bagaimana brandal itu" Apakah belum ada beritanya"" "Belum, Yang Mulia," jawab Yang Suci mengambil kata-kata dari mulut Sang Patih. "Sang Patih telah mengerahkan seluruh kemampuannya. Malahan keterangan tentangnya tak bisa didapatkan."
"Sahaya tetap pada pendirian sahaya, Yang Mulia, Borang atau Arih-Arih atau Santing itu sama saja. Tetapi mengapakah Yang Mulia sampai cedera begini""
"Yang Mulia membutuhkan kekuatan sendiri. Jangan pikirkan si brandal itu," Belakangka menengahi, "serahkan semua pada sahaya, Yang Mulia, dan beristirahat dalam perawatan ter-percaya dari Dalung."
"Bagaimana cedera Yang Mulia, Dalung"" tanya Sang Patih.
"Kaki kanan Yang Mulia ini jelas patah. Yang kiri hanya ter-pelecok."
"Rupanya karunia yang dijanjikan kurang mencukupi," susul Tunggul Ametung.
"Bapa telah rencanakan untuk melipatgandakan. Yang Mulia," sambar Belakangka.
"Apa kata Dang Hyang Lohgawe""
"Ampun, brahmana terkutuk itu tidak ada di tempat. Setiap hari dijenguk, setiap hari belum muncul." "Sudah berapa lama disambangi'" "Lima hari, Yang Mulia."
Tunggul Ametung mencoba duduk, tetapi disorong oleh Dalung dan tergeletak lagi.
"Lima hari! Mpu Parwa juga tak ada di rumahnya. Sudah lebih sebulan."
"Tidakkah sebaiknya diadakan pemeriksaan atas semua brahmana yang diakui dan tidak di seluruh Tumapel" Tak mungkin mereka pergi tanpa sebab penting."
Hati Ken Dedes meriut. ia merasa Belakangka sengaja hendak mengecilkan dirinya sebagai Paramesywari. Lambat-lambat ia menghampiri ranjang, memperlihatkan diri bukan seorang yang mudah untuk disingkirkan. Dalam keadaan tegak berdiri ia menegur:
"Kakanda datang dalam keadaan begini rupa" tak menghiraukan Pandita Negeri itu.
"Permataku!" seru Tunggul Ametung,"mendekat sini. Kecelakaan telah menghalangi pencarianku ..."
Dalung mengangkat sembah pada Dedes dan meneruskan pekerjaannya.
"Para dewa belum merestui," jawabnya. "Betapa nyeri kakanda deritakan."
"Tidak, Permata."
"Seorang satria takkan mengaduh karena nyeri. Yang Mulia Paramesywari," susul Belakangka,"sebentar lagi tentu akan sembuh seperti sediakala."
Merasa sedang dikecilkan, dalam hati ia panggil-panggil Hyang Mahadewa, menjawab:
"Bukan tempat dan bukan waktunya bicara di depan suami cedera seperti ini,Yang Suci!"
"Ampun. Yang Mulia," sebut Sang Patih, "sebaiknya sekarang ini Yang Mulia harus segera beristirahat secukupnya. Adapun tentang urusan negeri akan sahaya terima titah melalui Yang Mulia Paramesywari."
"Yang Mulia Paramesywari akan terlalu sibuk mengurus Sang Akuwu. Lagi pula
seorang brahmana tidak punya perhatian pada urusan negeri," sambut Belakangka.
Tunggul Ametung melambaikan tangan menyuruh semua pergi kecuali dokter dan pembantunya dan Paramesywari. Sang Patih mengangkat sembah dan berjalan merangkak mundur. Yang Suci Belakangka mundur beberapa langkah dan berhenti, berkokoh hendak tinggal dalam Bilik Agung.
"Semua brahmana, Yang Mulia, tercatat atau tidak, akan dipanggil ke Kutaraja dengan perintah Yang Mulia."
"Tiada kudengar Yang Mulia Akuwu jatuhkan perintah itu," bantah Ken Dedes. "Yang Mulia ..."
Tunggul Ametung mendesis kesakitan. Ken Dedes melambaikan tangan menyuruhnya pergi.
Belakangka berbalik dan meninggalkan Bilik Agung.
"Permataku," panggil Tunggul Ametung. Ia berhenti dan meringis kesakitan. "Mengapakah kau sekeras itu terhadap Yang Suci" Bukankah itu tidak patut""
"Terserahlah padamu siapa yang lebih kau butuhkan. Kalau dia, biarlah aku tinggalkan Bilik Agung," ia berbalik dan melangkah menuju ke pintu.
"Dedes! Ah, Dedes, betapa kau tega perlakukan aku begini! Dedes!"
Ken Dedes berhenti di bawah tabir potongan ranting bambu petung, berbalik, kemudian kembali menghampiri suaminya.
"Betapa cepat kau berubah. Sini," ditariknya istrinya, dipeluk dan diciumnya. Berbisik: "Sekiranya kau tahu siapa Yang Suci....," ia terhenti karena menahan sakit. "Belum selesai, Dalung""
Setelah memperbaiki letak otot-otot kini Dalung dan pembantunya menarik kaki yang patah itu, membalutnya dengan kerai kayu, kemudian dengan kain.
Tunggul Ametung bermandi keringat, meringis dan mero-ngos, mengerutkan gigi dan kening, kemudian jatuh pingsan.
Ken Dedes menyeka muka suaminya dengan kain basah, membuka destarnya dan mengairi rambutnya. Waktu suaminya bangun, segera ia mengerang-ngerang, menyambar lengan istrinya dan menariknya pada badannya.
"Janganlah begini," tegah Dedes halus, "kau masih sakit." Dokter dan pembantunya undur beberapa langkah, kemudian duduk di lantai. Ia mengangkat sembah, kemudian: "Selesai, Yang Mulia." "Pergilah kau, anjing pembikin sakit!"
Ken Dedes menutup mulut suaminya dengan tangan, berpaling pada Dalung:
"Terimakasih banyak, ya, Dalung, semoga dikurniai kau kesejahteraan oleh Hyang Kuwera."[dewa kekayaan, pada patung atau relief dapat diketahui dari hadirnya gana, orang-orang kecil yang membantunya.]
Tunggul Ametung menyingkirkan tangan istrinya.
"Belum juga kau pergi"" tanyanya dengan mengangkat kepala.
"Yang Mulia Akuwu tidak seyogianya meninggalkan peraduan. Yang Mulia Paramesywari, segala kebutuhan pokok Sang Akuwu harus dilayani di peraduan ini juga," ia mengangkat sembah lagi dan keluar dalam iringan pembantunya yang membawa keranjang perkakas.
"Permataku!" "Tidak layak menganjingkan seorang yang telah menolong." "Juga tak layak kau perlakukan Yang Suci." "Aku bukankah Paramesywari""
"Dia bukan kawula Tumapel, bukan kawulaku. Dia orang Kediri yang ditanam di sini untuk mengawasi aku."
Belakangka adalah tangan-tangan Kediri, Sri Baginda Kretajaya. Di hadapan mata batin Ken Dedes terbuka suatu pengertian baru: Tunggul Ametung ternyata bukan yang paling kuasa di Tumapel.
"Kau mau mengerti, Permata" Aku pun risi didekatinya." Ken Dedes untuk pertama kali mencium wajah suaminya dan membelai dadanya yang berbulu. "Bicaralah, Dedes."
"Ayahku pun belum kakanda temukan."
"Kelud menghalangi. Permataku. Para dewa belum membenarkan. Tahanlah dahulu rindumu."
"Ya, para dewa belum membenarkan, dan kakanda terluka begini," ia periksa bebatan, "tetapi kakanda tidak dihalangi dalam melakukan tugas negeri. Ada Paramesywari yang membantumu."
"Dedes! Dedes! kau terlampau muda untuk mengetahui urusan negeri."
"Barangsiapa tidak tedalu muda untak jadi Paramesywari, dia pun cukup tua untuk mengetahui urusan negeri."
"Belum, belum mungkin, Dedes. Melihat sidang negeri pun kau belum pernah."
Ken Dedes mencium wajah suaminya, berbisik:
"Kakanda membutuhkan kekuatan sendiri. Aku yang menghalangi kakanda melakukan tugas negeri. Kakanda harus segera sembuh."
"Ken Dedes, Ken Dedes, barangkali j
uga benar yang aku dengar orang menyebut-nyebut kau Dewi Kebijaksanaan. Nampaknya orang pada memuji kau."
"Diamlah, diamlah, kakanda sedang menderita begini."
"Apalah arti cedera ini dibandingkan dengan karunia mendapatkan seorang dewi seperti ini" Tidak keliru para dewa menunjukkan padaku untuk memilih kau."
"Jangan badan digerakkan begini," dan diciumnya leher suaminya.
"Betapa bahagia diri kakanda merasa beruntung mendapatkan anak desa ini."
"Dan kau begitu galak tadinya, mencakar, meludah dan memukul Lelah itu lantas pingsan di pelukan."
Ken Dedes tersenyum mengenangkan peristiwa itu sebagai kejadian yang tak dapat dielakkannya lagi satu keharusan dari para dewa untuk sampai pada kebulatan tekad sekarang.
Tunggul Ametung menangkap tangan istrinya dan tak dilepas-kannya lagi.
"Betapa terbakar hati melihat dewi secantik ini, dan badan terbelenggu karena cedera."
"Jangan tantang, jangan langgar yang para dewa tidak perkenankan. Kalau kakanda rusuh di hati, biarlah Dedes yang selesaikan."
Tunggul Ametung tertawa. "Aku lihat hati kakanda memang sedang rusuh karena si Borang, Arih-Arih dan Santing."
"Anak desa yang nakal itu. Sebentar lagi dia akan lenyap bersama dengan debu Kelud. Jangan ikut rusuh karena dia."
"Seorang anak desa yang dapat merampas upeti setengah tahun bukanlah anak nakal," bisik Ken Dedes. "Yang setengah tahun bisa jadi setahun. Badan kakanda naik suhu begini. Siapakah Borang, Arih-Arih dan Santing""
"Tak perlu kau tahu, Dedes. Di luar pekuwuan kau tidak mempunyai sesuatu urusan."
"Tentu dia seorang Buddha," Dedes memancing-mancing.
"Aku harap memang begitu."
"Ah. kakanda, mengapa harapan dimasukkan dalam hitungan""
Tunggul Ametung mendesis kesakitan.
"Kakanda membutuhkan minuman panas," bisiknya,"biar aku uruskan sebentar."
Tunggul Ametung melepas lengan istrinya dan membuang muka. Wajahnya kejang dan giginya berkerut.
Dedes masuk lagi bersama Rimang yang membawa talam.
Melihat Rimang Tunggul Ametung mengangkat kepala:
"Rimang!" ia melambai, mendesis, "jangan biarkan kepalamu jatuh dari lehermu. Apa saja telah kau bisikkan pada Sang Paramesywari""
"Apalah artinya sahaya ini maka membisikkan sesuatu pada Yang Mulia Paramesywari" Tiada sesuatu,Yang Mulia."
Dedes mengambil cawan air gula kelapa dan membantu suaminya minum daripadanya:
"Jangan berhati rusuh, kakanda. Apalah artinya perempuan desa seperti dia. Tak ada sesuatu barang apa," berpaling pada Rimang, "pergi kau!" Kembali ia seka wajah suaminya," Betapa kau rusuhkan hati karena si Rimang saja. Bukankah murka para dewa sudah cukup sehingga kakanda cedera begini"" Dengan demikian hari itu berlalu tanpa sesuatu kejadian. Lima puluh hari Tunggul Ametung terikat pada peraduan dan tergantung pada Dedes.
Anak gadis desa itu dengan gigih menolak setiap orang yang hendak menghadap, dan dengan segala cara memaksa mereka menyampaikan pada dirinya. Terlalu banyak yang diketahuinya tentang urusan negeri dalam waktu sependek itu. Juga tentang Borang, Arih-Arih dan Santing yang muncul di mana-mana. Juga tentang Dang Hyang Lohgawe yang datang ke pekuwuan atas panggilan Yang Suci. Betapa ingin ia menemuinya sendiri dan belum mungkin. Belakangka akan memagarinya. Juga ia dengar tentang ayahnya: ia telah pulang, mengutuk penduduk desa yang tak dapat melindungi anak gadisnya, menyumpahi agar mereka kematian sumber air, dan agar Tunggul Ametung akhirnya tumpas dibunuh orang. Kemudian ayahnya meninggalkan desa Panawijil dan tak kembali lagi. Ia tak tahu benar, benar tidaknya berita itu.
Sikap ayahnya menjadi petunjuk baginya, perkawinannya memang tidak direstuinya. Sikapnya terhadap Tunggul Ametung bukan saja tidak berubah, malah jadi semakin tegar. Ia makin menyedari di mana tempatnya antara seorang ayah dan suami. Ia berpihak pada ayahnya, tetap seperti semula.
Sekali peristiwa waktu ia meneruskan laporan tentang kegiatan Borang, Arih-Arih dan Santing, ia mendesak:
"Rasa-rasanya memang dia seorang brahmana muda. Mengapa kakanda belum juga membenarkan" Brahmana muda, ya, brahmana
muda. Itu sebabnya janji karunia dilipat-sepuluhkan." "Dedes, mengapa kau siksa aku begini rupa"" "Hanya untuk dapat meyakini, makin meyakini kekuasaan para dewa. Hanya orang Buddha yang menganggap diri bisa meruwat diri sendiri untuk pembebasannya. Hanya impian be laka, bukankah demikian, kakanda" Impian belaka." "Diam, kau, Dedes."
"Bahkan para dewa pun masih memerlukan peruwatan untuk pembebasannya. Kalau tidak, tidak mungkin ada cerita Carudeya dan Suddhamala."
"Apa sesungguhnya maksudmu, Dedes""
"Kaki kakanda cedera begini. Tapi kebencian kakanda pada kaum brahmana tidak ikut cedera. Itu sebabnya kakanda belum juga mau membenarkan, orang itu adalah brahmana muda. Dan untuk jiwanya hadiah itu dilipat-sepuluhkan."
"Bicaralah pada Yang Suci. Beri aku air jeruk."
Dedes pergi ke pintu dan memberikan perintah. Ia senang mendapatkan perkenan itu. Demi trisula Bathara Guru dan cakrawartinya[kekuasaan atas alam semesta], Belakangka harus takluk padanya dan mempersembahkan semua isi hatinya. Pandita Negeri itu tak boleh lebih lama berusaha menindas, memaksa, seakan ia hanya hambanya belaka.
Apakah arti Belakangka dibandingkan dengan Mpu Parwa, ayahnya" Ia telah membaca naskah ayahnya yang sudah selesai, cerita tentang seorang anak brahmana yang meninggalkan kastanya untuk jadi satria, mendapatkan kebesaran dunia yang ternyata tidak memuaskan hatinya, karena dunia makin lama makin jadi beban bagi hati kecilnya, kemudian kembali jadi brahmana, bertapa seorang diri untuk meratapi kekeliruannya. Apakah yang sudah ditulis oleh Belakangka" Tak pernah terdengar beritanya.
Ia bantu suaminya minum air jeruk itu, dan minta ijin untuk menemui Belakangka.
Yang Suci sedang duduk membaca mantra aksamala di pojok-an pendopo.
ia perhatikan gerak jarinya sampai mencapai kepala aksamala, dan: "Yang Suci!"
Belakangka membuka mata dan nampak bersiaga: "Yang Mulia," kacanya lunak.
"Dengan perkenan Sang Akuwu, katakan pada sahaya dari mana asal brahmana muda bernama Borang, Arih-Arih dan Santing itu""
"Apa guna Yang Mulia hendak mengetahui" Sang Patih pun belum berhasil menjejaknya." "Jadi dia seorang brahmana muda""
"Seorang brahmana takkan berbuat kejahatan, Yang Mulia. Semua brahmana yang diakui oleh Tumapel tercatat dalam ron-tal. Tak ada nama Borang, Arih-Arih atau Santing. Dia atau mereka hanyalah penjahat, Yang Mulia Paramesywari, hanya brandal yang mengharapkan jatuhnya pedang pada lehernya."
"Berikan rontal itu padaku."
"Ampun, itu di luar kuasa Bapa."
"Jadi sahaya harus datang pada Sang Patih""
"Tidak. Tak ada wanita diperkenankan menjamah urusan para dewa."
Ken Dedes kembali ke Bilik Agung. Ia mengerti, Belakangka tak suka ia mengetahui sesuatu tentang urusan negeri. "Sudah kau dengar, Dedes"" "Tiada sesuatu."
"Dia bisa jatuhkan semua kepala dari lehernya."
Ken Dedes menatap suaminya, mencoba menerka, apakah Belakangka dipergunakan suaminya untuk memomokinya, ataukah memang momok untuk setiap orang, termasuk suaminya sendiri. Mata Akuwu tidak berkedip. Juga tidak waktu tangannya meraih tangannya, memeluknya dan berbisik mesra:
"Dedes, Dalung telah menyatakan aku sembuh."
"Terimakasih pada para dewa belum lagi dipanjatkan di pura, kakanda."
"Para dewa adalah abadi, mereka mempunyai kesabaran dalam menunggu. Manusia berumur pendek." "Ayahku pun belum kakanda dapatkan." "Juga dia bisa kehilangan kepalanya."
Ia mengerti, suaminya mulai mengancamnya. Ia menggigil Hatinya meriut kecil. Ia ketakutan.
Ia takkan lupakan upacara pemberian nama itu, yang ditutup dengan: "Dengan namamu yang baru, Arok, Sang Pembangun, kau adalah garuda harapan kaum brahmana."
Arok masih tetap berlutut. Malam semakin sunyi diselingi gelepar kalong menyerbui tajuk pepohonan buah.
"Garuda harapan kaum brahmana," ia mengulangi, pelan. "Para dewa tidak tunjukkan padamu untuk jadi talapuan."[Talapuan, di sini dimaksudkan sebagai kata ejekan untuk pertapa Buddha.] "Para dewa tiada tunjukkan pada sahaya untuk jadi talapuan," ulangnya lagi.
"Kau akan kembalikan cakrawarti Bathara Guru San
g Mahadewa Syiwa." "Kembalikan cakrawarti Bathara Guru Sang Mahadewa Syiwa."
"Kembalikan keseimbangan Jagad Pramudita." "Kembalikan keseimbangan Jagad Pramudita." "Hari sudah larut, Arok. Kembali kau. Bersamadi kau sampaikan terimakasih Jangan tinggalkan rumah. Besok akan kujemput kau dan akan kubawa," dan dengan itu ia usap ubun-ubun Arok yang tiada berdestar, dengan dua belah tangan memegangi bahu bidang pemuda itu dan menariknya berdiri, kemudian ia sendiri tertatih-tatih pergi ....
Sore ini mereka berdua masih juga dalam perjalanan. Guru itu di depan, ia di belakangnya dengan tongkat tangkai tombak pada pundak memikul .bungkusan barang keperluan gurunya dalam kain biru.
Hanya kadang ia perhatikan kaki tua gurunya yang berte-rompah upas itu telah jadi kuning coklat karena debu jalanan, ia heran mengapa kaki tua itu belum juga lelah. Dan baru sekali ini ia saksikan guru itu menempuh perjalanan sejauh itu.
Perhatiannya lebih tertarik pada kelilingnya - gunung-gemu-nung yang serasa tiada kan habis-habisnya, berlapis-lapis me-nyintuh langit. Jalanan negeri sudah lama ditinggalkan. Juga jalanan desa. Sekarang memasuki yang kurang terawat, yang juga menarik perhatiannya. Ia simak dan pelajari selintas bekas-bekas manusia dan binatang, menaksir kapan kiranya mereka melalui terakhir kali. Juga ranting-ranting di atasnya, apakah patah karena terinjak atau karena jatuh dari dahan, atau memang karena sudah terlalu lama terkapar di udara terbuka. Juga tapak kaki yang tertinggal pada botakan jalanan ia taksir berat yang meninggalkannya. Juga suara angin dan suara tambahan di dalamnya. Juga warna-warni di hutan sekelilingnya.
Parang pada pinggang tak pernah dirasakannya. Alat itu telah menjadi bagian dari tubuhnya sendiri. Parang pilihan, pemberian pemuda-pemuda Pangkur padanya, sebagai tanda pengakuan untuk pimpinan tertinggi. Ia tahu betul siapa pemilik terdahulu dari parang langsing itu, dan ia tak mau mengenangkannya. Kalau ia teringat pada pemuda-pemuda itu dengan sendirinya tangannya menggagapi pundi-pundi yang tersembunyi di balik ikat pinggang. Di dalamnya tersimpan sekeping mata uang emas dengan gambar seorang lelaki berhidung sangat mancung, tanpa badan, hanya sampai dasar leher. Bila seorang diri kadang ia memandanginya dan mengherani mengapa ia tak dapat membaca tulisan tertera di bawahnya.
Dang Hyang Lohgawe belum juga mengatakan hendak ke mana.
Ia tahu jalan yang ditempuhnya ini menuju ke Gunung Kawi.
Sampai di bawah pohon asam hutan orang tua itu baru berhenti. Buru-buru Arok menghampiri, mengambil bungkusan pada ujung tongkat tombak dan membukanya di hadapan gurunya. Dan suatu jarak ia perhatikan Lohgawe makan sekepal ketan dengan daging serbuk, kemudian minum tiga-empat teguk air enau dari kalabasa yang terbuat dari buah labu bungkik. Ia tahu apa hendak diperbuat selanjutnya: menyorong sisa makan dan menyuruhnya menghabiskannya.
Dan Arok menghabiskan sisa gurunya.
"matahari telah tenggelam," katanya.
"Ya, Bapa." "Kita akan sampai tepat pada waktunya." "Barangkah lebih cepat, Bapa."
"Lebih baik. Mungkin agak terlambat sedikit. Rasa-rasanya semakin pendek dan pelan juga langkahku." "Cukup panjang dan cepat, Bapa."
Mereka duduk diam-diam. Burung-burung ramai berkicau di seluruh hutan. Guru itu mengamat-amati tongkat peno-lak-ularnya yang berdebu, kemudian menyekanya dengan selembar luruhan daun kering.
"Hari ini kau kubawa pergi. Tahu ke mana""
"Tidak, ya, Bapa. Mungkinkah ke Kawi""
"Ya, ke Kawi. Tahu untuk apa""
"Tidak, ya, Bapa. Barangtentu untuk keperluan sangat penting, ya. Bapa."
"Setidak-tidaknya juga untuk kepentinganmu sendiri sebagai garuda kaum brahmana. Ada kau dengar karunia yang dijanjikan oleh Tunggul Ametung""
"Dengar, Bapa."
"Siapa mampu menangkap kau"" ia mendesis. "Karunia apa itu. Emas lima puluh saga dan perak seratus lima puluh catak! Dibandingkan dengan karunia yang pernah diberikan oleh Sri Erlangga, uh, itu bukan karunia, sama dengan tulang dilemparkan pada anjing kelaparan. Sri Erlangga memang pemurah, pengasih dan penyayang. Se
mua keturunannya hampir-hampir tak ada yang seperti ia. Apalagi Sri Kretajaya. Biarpun begitu ..."
Arok hafal betul akan sambungannya:
"Dia bukan guru terbaik untukmu. Kaum brahmana dari Mataram telah mengangkatnya jadi raja. Tahun berapa itu, Arok""
"Sembilan ratus tiga puluh dua, ya, Bapa."[Tahun 932 Saka. Untuk memasehikan harus ditambah dengan 78.]
"Ya, duaratus sepuluh tahun yang lalu. Dialah justru orang pertama-tama yang mengkhianati kita, mengkhianati bapa mertua sendiri, Sri Teguh Dharmawangsa. Memang dia yang membangunkan kembali Mendang, menjadilah Kahuripan.[nama baru bagi Mendang setelah dibangun kembali oleh Erlangga setelah dihancurkan oleh Wuri-Wuri Sriwijaya.] Tetapi dialah pula yang memunggungi Mahadewa Syiwa, merusak tata Jagad Pramudita. Keturunannya tak ada yang lebih baik, kataku. Sri Baginda Kretajaya setia pada pengkhianatan itu. Apa katamu, garudaku""
"Tata Jagad Pramudita harus dipulihkan, ya. Bapa."
"Ya, kau ingin menjoloknya. Ah, murid yang tahu kehendak para dewa, tidak percuma kau berguru padaku. Tidak percuma kubenarkan kau meningkatkan diri dari sudra jadi satria, juga kau bisa jadi brahmana mulia. Ada sepenuh syarat padamu sudra-satria-brahmana ada dalam dirimu. Kaulah kesatuan indah, takkan terjadi sekali dalam seratus tahun."
Ia tak bicara lagi, berdiri dan mulai meneruskan perjalanan, langsung menuju ke Gunung Kawi.
Jalan itu turun naik, gelap oleh payungan pepohonan. Arok berpikir keras tentang maksud gurunya. Bukan tanpa maksud ia mengajaknya bicara. Ia menduga-duga, barangkali ia hendak diajak bersamadhi bersama di sesuatu tempat suci. Seorang brahmana, telah tua pula, tak mungkin meninggalkan pedepokan, menempuh jarak begitu jauh, tanpa terpanggil oleh sesuatu yang terlalu penting. Makin gelap dan makin gelap. "Belumkah Bapa memerlukan penerangan"" Dang Hyang Lohgawe berhenti, memberi kesempatan pada Arok untuk menyalakan obor damar. Kini mereka berjalan berjajar. Arok di kiri dengan obor di tangan kiri.
Berjalan lambat-lambat begini ia jajarkan kembali pengetahuannya yang sedikit tentang mahagurunya
Setelah membacai naskah yang ditemukannya dalam sebuah gua yang tidak ditinggali, ia tak jadi bertapa. Naskah itu meriwayatkan kebesaran Buddha Mahayana, seluruhnya dalam Sansakerta tanpa ada sepatah kata Jawa pun. Ia terpesona oleh penggambaran tentang mahaguru Dharmakirti dari Suarnadwipa, yang menjadi jiwa kebesaran Sriwijaya, tentang Wajrabodhi yang menyebarkan Tantrayana di Sriwijaya dan Cina, tentang mahaguru Dharmapala dari Perguruan Tinggi Nalanda, murid dari mahaguru Dignaga dari Perguruan Tinggi Kansyi, tentang Na-garjuna. tentang Aryadewa, tentang Dipangkara, yang setelah belajar di Sriwijaya kembali ke Tibet dan melakukan pembaharuan kepercayaan Buddha di negerinya.
Ia tinggalkan gua itu, turun dari gunung ke Tuban dan bela-yar menuju ke Benggala Ia bertekad hendak mencari rahasia kekuatan Buddha, mengapa sampai dapat mengalahkan kekuatan-kekuatan Syiwa
Sampai di Langka ia berkenalan dengan seorang biksu Viri-yasanti Persahabatan yang mesra itu kemudian melahirkan percakapan semacam ini:
"Apa perlunya Yang Terhormat mencari rahasia kekuatan kepercayaan Buddha" Bukankah kekuatan itu tersembunyi dalam diri setiap pribadi" Dari sekian banyak pribadi itu, satu yang tampil, yang lain melaksanakan. Kebesaran duniawi pun dapat dicapai, karena yang lain sudi bersujud jadi budaknya. Yang satu itulah raja. Apakah Yang Terhormat berkeinginan jadi raja""
"Tidak." "Kalau begitu tidak perlu Yang Terhormat pelajari kekuatan yang bertujuan melahirkan kebesaran duniawi itu."
Dengan demikian ia tak jadi pergi ke Perguruan Tinggi Na-landa untuk mempelajari agama Buddha Mahayana dan Tantra-yana ataupun Mantrayana. Ia mempelajari Buddha Hinayana, mempelajari dari awal bahasa Pali. Lima tahun ia tinggal di Langka, tidak pernah menjenguk Perguruan Tinggi Nalanda, berkelana ke Colamandala[Coromandel.] Burma dan Campa, kemudian kembali ke Jawa.
Buddha Hinayana tidak pernah jadi keyakinannya. Tinggal hanya pengetahuan. Juga Buddha Mahayana, Tantra
yana, Mantrayana. Ia tetap seorang Syiwa.
Kembali di Jawa, di Kediri, ia berusaha membangkitkan semangat rekan-rekannya untuk mendudukkan kembali Hyang Mahadewa Syiwa pada cakrawartinya yang sesungguhnya. Dan bukan tanpa hasil. Lohgawe sudah melihat mulainya kebangkitan Syiwa. Tinggal satu langkah lagi, dan ia sudah akan dapat mempengaruhi Sri Baginda Kretajaya. Tetapi Mpu Tanakung adalah benteng baginda yang tak dapat dilaluinya. Ia bahkan terpental jauh, menyelamatkan diri ke Tumapel sekarang. Namun kaum brahmana tetap menghargainya. Dalam suatu sidang brahmana barang tujuh tahun yang lalu telah dikeluarkan gelar Dang Hyang untuknya dan Lohgawe sebagai sebutan untuk pribadinya yang tak jera-jera bekerja demi kemuliaan Hyang Syiwa. Juga untuk ketinggian dan keluasan ilmu yang dikuasainya. Sejak itu ia dipanggil orang Dang Hyang Lohgawe. Para brahmana percaya, semua yang diusahakannya, seperti yang sudah-sudah, pasti berhasil dan akan berhasil, tak pernah mengingat pada satu kekurangan yang sangat menyolok padanya: ia tak dapat lancar bicara Sansakerta, sekalipun telah melewati pendidikan di negeri Hindu. Dan kekurangan ini selalu jadi penghalangnya yang terutama dalam sidang-sidang kaum brahmana dari banyak negeri. Mereka terus berjalan.
Langit dan bulan tidak nampak oleh mereka. Hanya pokok, cabang, ranting dan dedaunan, seperti tembok memagari sinar obor damar itu.
Tiba-tiba Dang Hyang Lohgawe berhenti:
"Hatiku merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Ada apa, Arok""
"Ada sahaya dengar sesuatu."
"Sim, aku yang bawa obor," dan damar pun berpindah tangan. Tak lama kemudian Lohgawe berhenti lagi: "Aku merasa tidak patut melangkah lurus terus. Ada apa, Arok""
"Ada sahaya dengar sesuatu, Bapa, tapi masih jauh." "Apa yang kau dengar""
"Suara orang,"Arok menjawab. "Tiadakah Bapa berkeberatan sekiranya sahaya berjalan dulu untuk melihatnya"" "Jangan tinggalkan aku."
"Baik, Bapa. Kalau begitu ijinkan sahaya naik ke atas pohon yang setinggi-tingginya. Bagaimana kalau obor dipadamkan, Bapa" Tiadakah Bapa ..."
"Biarkan menyala begini. Kau boleh naik."
Arok mengangkat sembah, kemudian melompat ke pokok kayu di sampingnya. Seperti monyet ia berpindah-pindah dari pokok ke pokok lain yang lebih besar dan lebih tinggi, sampai didapatkannya yang tertinggi. Dengan parangnya ia tebangi ranting-ranting dan cabang yang mengganggu pemandangan.
Dilihatnya langit di atas dengan bulan penuh tersenyum pada dunia. Diam-diam ia duduk di atas cabang. Suara itu semakin jelas. Kemudian juga nampak olehnya serombongan orang berkumpul-kumpul di tanah lapang dengan berpuluh obor mengelilingi mereka. Ia tutup matanya untuk dapat menangkap dan memahami suara-suara mereka. Waktu ia buka lagi matanya gerak-gerik mereka di kejauhan sana semakin menjadi tak nyata. Ia masih membutuhkan waktu untuk lebih dapat memahami suara-suara itu. Kini ia mulai dapat menangkap, samar, seperti desir angin lalu: mantra. Ya, mantra: Hling Kling kandarpa eraka...
Ia turun. Dari sepenggal mantra itu ia telah dapat menangkap seluruh adegan yang terjadi sayup di sana: para najako[wanita yang dipergunakan dalam upacara maithuna] sudah direbahkan di atas tumpukan daun kering dan disetubuhi. Dalam pengembaraannya paling tidak telah tiga kali ia pernah mengintip adegan semacam itu. Dan gundulan hutan di sana itu jadilah kini sebuah mandala bayangan.
"Tempat itu masih jauh. Bapa."
"Apa sesungguhnya yang telah terjadi""
"Sama dengan yang dilakukan oleh sementara penyembah Syiwa, ya Bapa."
"Apa yang dilakukan oleh sementara penyembah Syiwa""
"Maithuna."[upacara persetubuhan untuk memuja kesuburan.]
"Husy. Tak aku benarkan kau ulangi pendapat busuk seperti itu. Salah. Keliru. Tidak benar. Menyesatkan." "Sahaya pernah saksikan sendiri."
"Itulah akibat pahit peninggalan Sri Erlangga. Apakah gurumu yang lama, Tantripala, yang membisikkan itu pada kupingmu, maka kau berani bicara seperti itu""
"Bapa Tantripala pernah memberitahukan, dan sahaya pernah saksikan sendiri."
"Tantripala tidak keliru, hanya ada yang belum dikataka
nnya. Apa yang belum itu, Arok""
"Bahwa Maithuna juga dilakukan oleh kaum Wisynu." "Belum seluruhnya." "Sudah, Bapa."
"Kalau begitu, dialah yang belum mengatakan seluruh dari kebenaran itu," ia mulai berjalan lagi, "betul masih jauh"" "Bapa tidak akan melihatnya." "Kau kenal jalanan ini""
"Mendekati tempat itu ada jalanan ke kiri, Bapa," dan ia ambil obor dari tangan Lohgawe."
"Salah satu sebab kerajaan pindah ke timur, ke timur lagi, menghindarkan pengaruh Yoga, Tantri dan Buddha. Ampuni kami, ya, Mahadewa, keagungan Prambanan tidak mampu menolak pengaruh sesat itu. Kalasan telah memberikan pengayoman pada mereka. Mataram[Sekarang: daerah Kedu] dipindahkan dari pengaruh itu lebih ke timur[Sekarang: daerah Madiun] oleh Sri Baginda Dyah Balitung, kemudian ke timur lagi oleh Mpu Sindok. Waktu itu di timur sini masih bersih, belum ada pengaruh seperti itu. Hyang Agastya tetap dimuliakan. Sri Teguh Dharmawangsa malah telah mengirimkan armada untuk menumpas induk gerakan itu Sriwijaya. Selanjutnya kau tahu sendiri: kalah. Mendang kalah, ganti kena serbu, Sri Dharmawangsa sendiri gugur. Nanti kau akan juga dengar dari banyak guru yang patut kau muliakan."
Arok kini mengerti, ia hendak dibawa ke Sidang kaum brahmana. Ia tersenyum, tahu bakal mendapat kehormatan diperkenalkan sebagai sudra-satria-brahmana muda, hampir-hampir dua puluh tahun.
"Buang dari ingatanmu yang kau lihat tadi, Arok. Kau adalah garuda. Bahkan abu dari pemandangan tadi tak patut kau singgung dengan jari kakimu. Garuda! Untuk kau hanya korban terbaik, hidup terbaik, dan kalaupun punah, punah yang terbaik pula. Kau takkan punah tanpa peninggalan terbaik."
"Terimakasih, ya, Bapa."
"Kau gentar mendengar kata punah""
"Punah adalah tugas satria, dengan peninggalan terbaik adalah sebaik-baik punah." "Ya, jawabanmu adalah jawaban satria."
"Apakah tak pernah ada yang baik pada para penyembah Buddha, ya, Bapa Mahaguru""
"Apakah yang terjadi pada Mataram dulu" Berapakah sudah candi-candi agung dirobohkan oleh balatentara Mahayana Sailendra" Batu-batu mulia itu dipaprasi dari kemuliaannya, dijadikan umpak untuk kuil-stupanya" Kita tak pernah lakukan itu, maka kita pun tak dapat ampuni mereka."
Ia terdiam. Arok masih menunggu buntutnya: pengecilan terhadap Erlangga. Sekali ini yang ditunggunya memang tak muncul.
"Adakah Tantripala pernah mengajarkan padamu tentang seorang yogin dari Sriwijaya bernama Syamyanatera""
"Tidak, Bapa." "Jadi apa saja kau pelajari dari dia""
"Baca tulis." "Baca tulis apa""
"Parwa, Bapa, Weda, Purana."
"Sansakertamu baik. Semua itu langsung dalam Sansakerta tentunya." "Tidak keliru, Bapa."
Dang Hyang Lohgawe mendeham. Arok tahu arti dehaman itu: dalam percakapan mahagurunya jauh di bawahnya. Lohgawe hanya dapat membaca, sulit menggunakannya dalam percakapan.
"Kau memahami betul 100.000 bait Mahabharata dan 24 000 bait Ramayana dalam Sansakerta. Itu saja sudah cukup mengagumkan untuk seorang menghampiri dua puluh tahun. Tapi kau belum tahu siapa yogin Syamyanatera. Aku harap akan ada yang menyinggungnya nanti." "Terangkanlah pada sahaya, ya, Bapa."
"Sebagai pribadi kau tak perlu mengetahuinya. Sebagai 'brahmana' muda kau wajib mendapat sepotong dua potong pengertian untuk dapat sampai sendiri pada keseluruhan. Matsiya-manuya-madya-mutra[ikan-daging, arak-wanita] dalam kesatuan dengan maithu-na, itulah wabah sekarang ini yang dibawa oleh ajarannya. Yang memeluk Syiwa, yang Wisynu, apalagi yang Buddha sendiri, semua kena rambatannya. Hanya yang waspada juga tahu arti hidup dan mati." "Sahaya, Bapa."
"Hidup yang berarti, dan mati lebih berarti lagi."
Mendekati botakan hutan, tempat orang melakukan maithu-na, obor dipadamkan. Dari sela-sela dedaunan langit mulai nampak, dihiasi oleh bulan. Mereka membelok ke kiri.
"Jangan lihat ke sana."
Sekarang Arok yang mendeham.
"Dehamanmu itu keluar dari jiwa Syiwa ataukah Buddha""
"Ya, Bapa, bukankah tidak semua penyembah Buddha dari nikayo[mashab, sekte.] Mahayana" Dan bukankah tidak semua Mahayana menganut Tantrayana" Dan
tidak semua Tantrayana melakukan maithuna""
"Itu pertanyaan itu ingat-ingat, itu justru awal dari penyakitmu." "Ampun, ya, Mahaguru."
"Sejak sebelum diakui sebagai 'brahmana' penuh orang telah belajar menata pikiran. Bukankah itu kau sudah ketahui secara pasti" Kesalahan tindakan tak pernah terampuni, kecuali hanya oleh Hyang Mahadewa. Untuk itu ada Mahadewa, karena manusia tidak bersifat pengampun."
"Apakah dengan demikian manusia itu kejam sudah pada dasarnya, ya, Bapa."
"Makin jauh dari Mahadewa dia semakin kejam. Bukankah kau tahu betul kekejaman Tunggul Ametung" Sri Baginda Kretajaya tidak kurang dari itu. Arok, pada dasarnya manusia adalah hewan yang paling membutuhkan ampun."
"Manusia adalah hewan yang paling membutuhkan ampun
"Katakan sesuatu."
"Ya, Bapa, oleh Tunggul Ametung dan Sri Baginda, ditumpas segala yang cenderung pada kemegahan Hyang Mahadewa Syiwa."
"Dan tidak lain dari kau sendiri yang mulai melawan."
Beberapa ratus langkah kemudian terdengar samar suara hum.[sebutan pembukaan yoga.]
Dalam rembang cahaya bulan menerobosi dedaunan mereka melihat sesosok tubuh sedang duduk seorang diri di bawah sebatang pohon raksasa.
Mereka berjalan berjingkat, cepat, seperti kucing, tanpa membangkitkan bunyi.
"Itu juga akibat dari kecerobohan Erlangga," Dang Hyang Lohgawe mulai membangkit-bangkit lagi, "Dua ratus tahun, mereka sudah meruyaki dunia seperti kudis. Tinggal hanya kita yang menolak. Kau, garuda kita, kaulah kekuatan, pelajari betul kekuatan Erlangga. Sejak pertama kali Erlangga mengakui semua macam penyembahan dewa, anak dusun itu, sejak itu juga tidak diakuinya kemutlakan kaum brahmana dalam tata Jagad Pramu-dita. Kau mengerti, Arok" Kaulah kekuatan." "Sahaya adalah kekuatan, Bapa."
"Pengakuan semua macam penyembahan dewa jurusnya adalah menentang kita." "Menentang kita, Bapa." Mereka terdiam lagi.
Arok belum pernah melewati daerah ini. Ia tak banyak memperhatikan ucapan gurunya, dan lebih banyak hanya mengegongi Ia teliti daerah seluas mata dapat memandang. Setelah melingkari hutan Arok melihat berpuluh kunang-kunang kemerahan bersaing dengan cahaya bulan di atas, mengelilingi sebuah candi. Itulah tujuan perjalanan. Tak ada nampak makhluk hidup bergerak. Oang Hyang Lohgawe kini berjalan di depan Arok. Ia kemudian berlutut dan mengangkat sembah ke jurusan candi. Arok menancapkan obor di tanah, kemudian mengikuti.
Mereka bangkit dan berjalan lagi menempuh jalan sebelah utara lapangan, tidak langsung ke candi, karena torana berada di sebelah barat. Mereka melangkah maju beriringan, hati-hati seperti takut menerbitkan bunyi.
Barang dua puluh lima depa di depan torana berdiri sebuah jambang air. Lohgawe melepas terompah dan mencuci kaki dan tangan. Arok memadamkan obor sendiri. Semua barang ditinggalkan di dekat jambang. Mereka berjalan menuju ke torana, melewati patung-patung penjaga dengan wajah bergerak-gerak terkena goyangan api obor-obor damar, seperti hidup dan mem-perhatikan kedatangan mereka.
Depan torana itu terpasangi empat obor. Kala-makara di atasnya muncul dari batu seperti hendak mengucapkan selamat datang dan menyetorkan lidah pengasihnya.
Kembali mereka mengangkat sembah, kemudian menghadap ke utara dan mulai berpradaksina[berjalan memutari candi menurut gerakan jarum jam.], mengelilingi candi. Di sebelah utara mereka berhenti dan mengangkat sembah pada Hyang Durga, yang bersemayam dalam sebuah relung samar, hanya nampak jelas puncak hidungnya yang menari-nari dengan sinar api. Berjalan lagi, berhenti lagi, kini sembah untuk Hyang Genesya.
"Om!" bisik Dang Hyang Lohgawe, "berilah anak ini kecerdasan yang mencukupi, ya, Hyang Ganesya."
Memutar ke selatan mereka berhenti pada relung lain, mengangkat sembah pada Hyang Bathara Guru. Sinar obor bermain-main pada perutnya yang buncit dan jenggotnya yang terasa kurang panjang.
"Om!" bisik Lohgawe, "kekuatanmu, ya Guru, hanya pada diri anak ini juga akan jadi sebagaimana kau hendaki."
Mereka berjalan lagi ke depan candi, memberikan penghormatan pada Nandiswara dan Hyang Mahakala. Dengan
melangkah mundur mereka mengangkat sembah lagi, melakukan pradaksina tiga kali, kemudian pergi ke jambang air dan meninggalkan lapangan candi, menuju ke pinggiran hutan.
Kisi-kisi jendela pada kamar-kamar loteng biara itu mengkilat-kilat kena sinar damar dari dalam. Dari kilatnya orang segera tahu mereka terbuat dari perunggu dan setiap hari digosok. Di depan pintu mereka berhenti:
"Dang Hyang Lohgawe," Mahaguru itu berbisik pada pintu.
Pintu pun terbuka, dan sinar damar membungah menyambut mereka. Ruang bawah itu kosong. Hanya seorang berada di pintu, meneruskan:
Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang terhormat Dang Hyang Lohgawe!"
Seketika itu juga muncul berpuluh-puluh orang, menghampiri Mahaguru itu sambil mengangkat sembah.
"Dirgahayu, dirgahayu, dirgahayu, ya, Mahaguru."
Arok terpisah dari gurunya yang kini berada dalam lingkaran para brahmana. Dengan bungkusan dan tampaknya ia berdiri di pintu melihat hormat orang pada mahagurunya. Seseorang mengambil bungkusan dan tombak itu dari tangannya dan menyila-kannya menggabungkan diri dengan mereka.
Mereka kini mulai duduk berbanjar-banjar dan Arok mengambil tempat paling belakang. Dang Hyang Lohgawe mengetuai pertemuan.
Pedupaan mulai dipasang di setiap pojokan, menyebarkan harum pada menjelang pagi itu. Upacara memanjatkan teri-makasih pun selesai. Dan suasana hening. Suara burung lalu pun terdengar nyata Mabasan[membaca bersama.] dimulai, diawali oleh seorang brahmana setengah tua dalam biru berdestar putih. Suaranya nyaring. Demikian berturut-turut, sampai akhirnya Arok, yang sama sekali belum dikenal itu pun mendapat giliran.
Arok menguasai mabasangama[aturan membaca bersama]. Untuknya tak ada kesulitan. Ia lewati gilirannya tanpa cacat. Para brahmana itu tetap tidak memperhatikannya. Dengan selesainya gilirannya ayam-ayam biara mulai berkeruyuk. Lohgawe membunyikan giring-giring yang disediakan di hadapannya. Upacara menjelang pagi itu selesai.
Semua keluar untuk melakukan hajad masing-masing, kemudian menyongsong Hyang Surya. Dengung nyanyi puji-pujian itu membikin Arok merasa mengantuk dan disandarkan dirinya pada pohon. Ia telah terbiasa tertidur dalam sikap demikian, dengan pendengaran tetap bekerja menangkap semua yang penting untuk keselamatannya.
ia bangun waktu seorang gadis biarawati membagi-bagikan cawan tanah berisi air daging kaldu ayam. Setelah itu orang baru mendapat kebebasan untuk beristirahat atau berjalan-jalan.
Arok telah dapat membayangkan tingkah umum kaum brahmana Di mana pun mereka bertemu selalu perasaan tak puas terhadap raja-raja keturunan Erlangga juga yang diperbincangkan: Jayantaka, Jayawarsa, Sekartaji, Kamesywara-I, Kamesywara-II, Jayabaya, Jayasaba, Kretajaya.
Raja-raja lemah, mereka suka mengecam, penganut Wisynu hanya katak di bawah tempurung, pengurus ladang dan sawah, menelan keringat kawula sendiri. Bahkan raja-raja Syiwa yang gagahperkasa masih dapat dikalahkan Buddha Tantrayana, Sriwijaya dan Sailendra, apalagi penganut Wisynu yang hanya tahu sawah dan ladang ini!
Betapa kuat mereka mengecam-ngecam, turunan demi turunan, sampai dua ratus tahun! dan tidak berbuat sesuatu. Dan ia menduga sidang kali ini pun takkan lebih daripada itu.
Kutridenta sudah mulai menyinggung-nyinggung Erlangga lagi. Ia mengenakan baju pendek tertutup jubah ungu dengan destar ungu pula, yang ujung-ujungnya jatuh di depan dadanya. Ia kepala biara Kutri, Bali, yang juga bertugas melakukan pemeliharaan candi pura Putri Mahendradatta, ibu Erlangga.
"Bahkan Dewi Mahendradatta," ia bicara dalam Sansakerta yang lancar. Suaranya lambat tapi tinggi seperti bunyi genta kuningan,"takkan merestui bila tahu bakal begini jadinya semua ini. Kami di Bali semua mengerti, mengapa pada akhirnya Putri Dewi Mahendradatta berpaling pada Hyang Durga. Artinya setelah suaminya, Sri Udayana mangkat. Mahadewa Syiwa kehilangan cakrawartinya di Bali. Sampai sekarang pun pemelihara pura Kutri, selalu seorang brahmana Syiwa, tidak disukai oleh masyarakat Wisynu. Sejauh mengenai diri pribadi, itu tidak mengapa, karena semua itu berpangkal pada masa jauh silam ..."
Arok mengikuti Kutridenta dengan sepenuh perhatian. Soalnya terlalu menarik baginya, dan Sansakertanya pun tidak kurang indahnya.
Kutridenta meneruskan uraiannya entah sudah berapa kali saja itu dilakukan dan entah di mana saja dengan tenang, menguasai bahan yang dibicarakannya:
Hanya setelah Sri Udayana Dharmadayana mangkat, Putri Dewi Mahendradatta berani terang-terangan memuja Hyang Syiwa. Orang menjadi marah padanya, waktu mengetahui ia akhirnya berpaling pada H yang Durga. Gunung Agung meletus, di mana-mana pura roboh dan hancur, beribu-ribu korban jatuh binasa, menyusul wabah.
Putri Mahendradatta menganggap, bencana itu diturunkan oleh Hyang Mahakala karena orang sudah mulai ingkar. Tetapi kawula Bedulu menganggap bencana itu diturunkan oleh Hyang Durga atas permohonan Putri Mahendradatta. Beberapa kali dalam dua ratus tahun setelah terjadinya wabah dan bencana itu, pura Kutri dikepung untuk dihancurkan. Selamanya orang menjadi ragu bila sudah sampai di depan gerbang, dan niat mereka pun batal.
"Lihatlah," Kutridenta meneruskan, "semua brahmana tahu, waktu Sri Makutawangsa mengawinkan putrinya pada Udayana atas persetujuan bersama raja dengan kaum brahmana, dimaksudkan akan adanya pendekatan antara penganut Wisynu dengan penganut Hyang Mahadewa Syiwa. Sayang Putri Dewi Mahendradatta gagal sebagai pengemban tugas, sekali pun tak dapat dikatakan gagal sebagai Paramesywari atau pun ibu. Putri Mahendradatta memanglah kegagalan yang pertama....
Uraian yang menarik, hanya tanpa jurus tanpa kesimpulan, Arok menilai.
Seorang brahmana dari Mataram, Resi Andaru, seorang ahli dalam kiwan, dalam Sansakerta yang lebih banyak Jawanya, menyoroti kemerosotan penyembahan pada Hyang Mahadewa dari segi lain:
"Makin lama makin banyak rontal menyesap ajaran lain dan mendirikan dewa-dewa bara dari kaum Buddha, seakan titah ini sengaja hendak dicairkan jadi bubur campur-aduk tidak menentu."
Ia menyedari ketidaksedaran umum akan pengaburan filsafat, bukan saja karena arus Mahayana, juga karena nikayonya yang banyak dan silang-siur membingungkan, dan mengancam konsep tentang tempat pribadi di tengah-tengah Jagad Pramudita.
"Sebuah nikayo yang paling berbahaya adalah yang melepaskan diri dari keseluruhan tata Jagad Raya, dengan ajaran dan tafsiran yang justru sebaliknya. Mereka kehilangan makna dari tanggungjawab pada sesama manusia dan para dewa, memuja kebebasan mutlak dan pelepasan kama[nafsu.] dengan rumus falsafi, kemudian memadukan diri sendiri pada para dewa dan bersea-kan sang dewa itu sendiri."
Ia tak sebutkan nama nikayo itu.
Dan demikian seterusnya. Semua menggambarkan tentang ketiadadayaan kaum brahmana sendiri. Tanpa jalan keluar Timbunan kecaman dan amarah. Rasa tak puas.
Hampir pada pidato terakhir Dang Hyang Lohgawe memerintahkan pada Arok untuk mendampinginya sebagai pencatat, menggantikan seorang brahmani tua yang terserang encok.
Penutup dari semua laporan adalah pembacaan tulisan Mpu Parwa terbaru, dalam Jawa, yang berkisah tentang para petani yang dalam rombongan besar bersenjata penggada kayu telah menyerang kahyangan untuk mengusir Hyang Mahadewa Syiwa. Mereka itu dipimpin oleh seorang pemuda yang tidak ketahuan asalnya, bersenjata cakra, tak henti-hentinya meniup sangkakala dan dapat berjalan tanpa menginjakkan kaki pada bumi.
Dua ratus tahun lamanya perkelahian di kahyangan itu terjadi antara rombongan petani, dipimpin oleh pemuda Kunda itu. Tapi Hyang Syiwa tidak pernah bergeser sejengkal pun dari tempatnya, tak pernah dikalahkan, tapi belum pernah menang.
Pada akhirnya Hyang Syiwa mengambil segenggam tanah dari ladang para petani itu sendiri, dipujanya menjadi seorang satria yang gagah-berani, dinamainya Humalang. Dengan dipersenjatainya dengan trisula, Humalang menghadapi Kunda, sehingga yang belakangan ini tewas. Dengan demikian berakhir juga kisah Mpu Parwa yang dibacakan selama lima malam itu.
Juga Arok tenggelam dalam keindahan puisi, terutama dalam pertikaian kata antara Sviwa dan Kunda. Kunda dan Humalang.
"Sepenuhnya tepat, benar, tiada cacat," Dang Hyan
g Lohgawe memberikan penilaiannya. "Memang di dalamnya masih ada satu titik yang dilupakan."
Ia menerangkan dalam Sansakerta yang berpincang-pincang:
ia mengakui kegagalan Putri Dewi Mahendradatta. Juga ia mengakui kegagalan saudara Sang Putri, Sri Teguh Dhar-mawangsa dalam perang darat dan laut melawan Sriwijaya untuk memperebutkan keunggulan laut dan di perairan Nusantara, pun gagal dalam mendesak kekuasaan Buddha Mahayana Sriwijaya. Kegagalan itu bukan saja tinggal jadi kegagalan, juga kebinasaan Serangan pembalasan Sriwijaya tak dapat ditangkis, dan Sri Teguh Dharmawangsa gugur dalam pralaya[perang pembinasaan] itu.
"Pada tahun Saka 909 itu," ia meneruskan, "sedang diadakan pesta perkawinan antara dua putri Sri Dharmawangsa dengan Pangeran Erlangga, putra Udayana Dharmadayana. Pangeran Erlangga waktu itu masih seorang bocah berumur tujuhbelas, belum cukup ilmu, kurang pengetahuan, baik dari guru maupun ibunya, Putri Mahendradatta. Sri Dharmawangsa berusaha melaksanakan amanat ayahandanya, Sri Makutawangsa, untuk mendirikan Hyang Syiwa di Bali. Kenyataannya jadi berlainan. Erlangga bukan saja tidak menjadi penyembah Hyang Syiwa, dia malah menyebarkan kejahilan Bali, memberanikan petani-petani itu untuk memuliakan Hyang "Wisynu saja, dewa mereka, dewa dari kaum tani yang takkan pernah mendatangkan kebesaran itu.
"Akibatnya: tidak untuk Hyang Syiwa, tidak untuk Hyang Wisynu, juga tidak untuk diri sendiri dan kawulanya."
Sampai di situ ia berpaling pada Mpu Parwa:
"Yang terhormat," katanya, "Kundalaya sampai di situ tepat, benar, utuh. Titik kekurangan yang sepatutnya disempurnakan lagi adalah ini:
"Bukan suatu kebetulan Mpu Sindok memindahkan Mataram ke timur, karena Mataram barat sudah tidak mampu membendung pengaruh Buddha. Siapakah dapat melupakan penghinaan atas kaum brahmana waktu Pancapana Rakai Penangkaran mendapat perintah dari Indra, raja Sailendra itu, untuk membangunkan candi Kalasan" Dan kemudian Sri Pancapana masih harus mendirikan kuil-kuil lain untuk kepentingan Sang Buddha""
Ia berhenti untuk minta perhatian pada kalimat-kalimat yang akan dikatakannya:
"Raja-raja kita selanjutnya, Rakai Warak, Rakai Garung, meneruskan pembangunan candi-candi Buddha untuk dengan demikian mengarahkan seluruh rakyat Mataram, agar binasa di bawah kaki Sang Buddha, dan lebih menyedihkan: untuk dilupakan oleh Hyang Mahadewa. Patung dewa-dewa Buddha apa saja yang tidak dibikin oleh pemahat terbaik Mataram" Suatu jaman memalukan yang seakan tiada kan habis-habisnya. Kita baru bisa bernafas lega setelah Rakai Pikatan mengakhiri semua hinaan ini. Raja besar dan bijaksana ini mengembalikan kepercayaan diri kita menutup jaman sengsara itu hampir-hampir tanpa meneteskan darah, mengawini anak raja Sailendra Samaror-tungga itu, bernama Pramudawardhani, dan menghalau pengganti mertuanya, Sri Balaputradewa, keluar Jawa.
"Pengembalian cakrawarti Hyang Syiwa dengan terbangunnya Prambanan nampaknya tidak cukup meyakinkan untuk menyuramkan kebesaran Sang Buddha. Lihatlah, para Yang Terhormat, dalam tangan raja-raja Syiwa yang mencapai puncak kejayaannya, tidak ada satu pun batu dari candi-candi Buddha itu dirusak, bahkan negeri mengeluarkan dharma untuk pemeliharaannya."
Ia berpaling pada Mpu Panya dan meneruskan: "Nah, Yang Terhormat Mpu Parwa, inilah titik kekurangan dalam Kundalaya: ancaman menetap dan Buddha dan kepemu-rahan Sang Hyang Mahadewa Syiwa."
Mpu Parwa membenarkan ketajaman Lohgawe yang dapat melihat adanya titik kekurangan. Ia berjanji akan menyempurnakan pada tahun mendatang.
"Sedang Humalang itu," Dang Hyang Lohgawe meneruskan, "adalah sudah tepat bila berasal dari segenggam tanah ladang petani-petani itu sendiri dan ditiupkan hidup di dalamnya oleh Hyang Mahadewa. Humalang adalah Bathara Wisynu dalam tata cakrawarti Syiwa, bukan terpisah daripadanya seperti anggapan dan pandangan kaum Wisynu dari wangsa Isana ini.
"Ketahuilah, para Yang Terhormat, bahwa adalah jadi dharma kita untuk menemukan Bathara Wisynu yang ditiupkan oleh Mahadewa itu dalam hidup kita sekarang. Demi Hyang
Mahadewa, Humalang itu akan muncul. Benarlah ramalan Yang Terhormat Mpu Parwa. Kita harus tutup jaman kehinaan ini dengan Kundalaya."
Brahmani Taripada dari Kalingga dalam uraiannya selama sehari penuh telah menyoroti buku suci penganut Mahayana, Kamahayanikan, yang masuk ke Mataram Timur dari Mataram Barat, dan tidak mengalami banyak penyalinan karena terimbangi oleh buku suci Brahmandapurana dari kaum Syiwa. Ia membenarkan sikap kaum brahmana selama ini yang tidak bermaksud dan tidak punya keinginan untuk menghancurkannya. Ia sebaliknya memuji sikap yang menganjurkan untuk semakin memperbanyak Brahmandapurana.
Ia mengukuhkan pendapat kaum brahmana, bahwa Arjuna-wiwaha tulisan Mpu Kanwa adalah gejala pertama penggunaan buku suci untuk mendewakan manusia. Ini segera diikuti oleh Mpu Triguna dengan karyanya Kresnayana. Yang pertama untuk kepentingan Sri Baginda Erlangga, yang kedua untuk Sri Baginda Jayawarsa.Tak ada di antara raja-raja Syiwa berbuat demikian. Mpu Dharmaja dengan karyanya Smaradhahana melangkah lebih jauh lagi, tetapi juga lebih jujur, karena ditampilkannya Sri Baginda Kamesywara dan Paramesywari lebih banyak sebagai manusia.
"Para Yang Terhormat," brahmani Taripada meneruskan.
"Puncak kekuasaan wangsa Isana keturunan Erlangga adalah Sri Baginda Jayabaya. Adalah mengherankan, bahwa seorang raja Wisynu mau menjamah ombak dan menaklukkan daratan di seberang. Balatentaranya berhasil menguasai Jambi dan Selat Semenanjung. Kebijaksanaannya dalam mengembangkan kebesaran Wisynu, menjadikan tantangan yang benar-benar tak dapat dijawab oleh kaum brahmana pada masanya.
"Hariwangsa, karya Mpu Panuluh, karya raksasa dengan 16.000 sanjak itu, seluruhnya mengagungkan Wisynu yang menitis dalam diri Kresna. Dan bukankah Kresna dengan kebijaksanaannya itu tidak lain daripada Sri Baginda Jayabaya sendiri" Untuk memasyhurkan namanya sebagai Hyang Wisynu pada dunia, diperintahkannya melakonkan pada wayang permainan leluhur para petani yang menolak para dewa kita itu. Untuk mengagungkan kemenangannya atas Jambi dan Selat Semenanjung diperintahkannya Mpu Sedah menjawakan bagian perang dari Maha-bharata, dari Dutaparwa sampai Sauptikaparwa. Barangkali karena semangat perangnya juga kepala Mpu Sedah dijatuhkannya dari lehernya sebelum karyanya selesai...."
Taripada berseru-seru pada sidang agar membikin penilaian kembali terhadap Mpu Sedah, seorang sarjana Sansakerta dan Jawa sekaligus, yang dengan keberanian luarbiasa dan dengan caranya sendiri telah melawan kekuasaan raja Wisynu yang gagah ini.
"Bagaimanapun, para Yang Terhormat dan Yang Suci, Sri Jayabaya oleh Mpu Sedah tidak dimunculkannya dalam Bha-ratayuddha. Semoga pendapat ini tidak keliru."
Ia meneruskan tinjauannya terhadap karya-karya semasa kekuasaan wangsa Isana yang bersifat Wisynu, mengagumi Mpu Panuluh, kemudian sampai pada Mpu Tanakung dalam kekuasaan Sri Baginda Kretajaya dengan Gatotkacasraya.
"Mengapa pada kita hanya ada Yang Terhormat Mpu Parwa" Boleh jadi karena kaum Wisynu ini tidak mempunyai begitu banyak lawan seperti kita. Di tangannya ada kewibawaan, pada kita tiada sesuatu. Permainan wayang telah merambat ke mana-mana, sedangkan kita tidak mampu menandingi."
Ia berseru-seru untuk menemukan kunci pembuka pintu kebesaran Hyang Mahadewa ....
Sidang yang berlangsung dengan tenang penuh perasaan tidak puas pada ketiadadayaan sendiri memasuki acara Agama dan Ugama. Perdebatan sengit terjadi, sehingga mengancam gagalnya persidangan.
Dalam panas pertikaian, pada suatu malam gelap bermendung, datang seorang berlari-larian membawa obor. Badannya telah basah oleh keringat bercampur debu. Kepalanya terbuka, rambutnya kacau-balau. Ia menjatuhkan diri di depan pintu biara, kehabisan tenaga. Dengan pangkal obor ia memukul-mukul daun pintu.
Sidang terhenti seketika, waspada. Boleh jadi pasukan Tumapel sedang dikerahkan untuk menindas sidang kaum brahmana ini. Semua mengawasi pintu, menunggu muka siapa yang bakal masuk lebih dahulu. Senyap. Dari luar terdengar keluh.
Arok, yang termuda di antara semua yang hadir, meletakka
n alat pencatat, mengangkat sembah pada sidang, kemudian menghampiri pintu dan membukanya.
"Siapa kau!" tanyanya, melihat tubuh orang yang kehabisan tenaga, terbujur di samping obornya yang masih menyala. "Kawula Mpu Parwa. Berilah sahaya minum." Arok masuk ke dalam, membisikkan sesuatu pada Mpu Parwa dan keluar lagi membawa secawan air kaldu. Orang itu minum dalam keadaan masih terbujur. Ia singkirkan cawan dan mengulangi sebutannya:
"Majikan sahaya. Mpu Parwa." "Ya, sebentar akan datang."
Mpu Parwa keluar bersama Dang Hyang Lohgawe. "Kau, mengapa kau jadi begini"" tegur Mpu Parwa "Bangun."
"Sahaya sudah tidak mampu bangun. Delapan pekan telah sahaya cari Tuanku di mana-mana, keliling seluruh Kediri dan Tumapel."
"Siapa suruh kau mencari aku""
"Ampun, Tuanku, rumah sahaya tinggalkan, justru untuk membawa berita ini, Tuanku."
"Kau, perempuan, kelilingi negeri seorang diri begini""
"Ampun, Tuanku. Sepeninggal Tuanku, ayu Dedes..."
"Mengapa Dedes""
"Diculik oleh Sang Akuwu."
"Jagad Bathara!" Mpu Parwa terpekik.
"Delapan pekan yang lalu"" Dang Hyang Lohgawe menengahi sambil menutup kembali pintu ruang bawah biara.
"Terkutuk dia oleh semua dewa!" seru Mpu Parwa tak dapat mengendalikan amarahnya. Ia hampiri kawula perempuan itu. "Mengapa tak kau lindungi dia""
"Apakah daya sahaya""
Lohgawe menarik Mpu Parwa dari perempuan yang masih tergeletak tak kuat berdiri itu.
"Ampun, Tuanku, hanya itu yang sahaya dapat persembahkan."
Empat orang biarawati mengangkat perempuan itu dan menggotongnya masuk ke belakang untuk mendapatkan perawatan.
"Sabar, Yang Terhormat," kata Lohgawe, "tak dapat kita berbuat sesuatu terhadap mereka ini. Tetapi, bahwa seorang anak brahmana diambil dari rumahnya dengan jalan sekurangajar itu, memang tidak dapat ditenggang. Anakmu Dedes akan dapat kau temukan di pekuwuan Tumapel. Hanya harga kaum kita yang semakin jatuh. Sebaiknya Yang Terhormat beristirahat dulu, jangan terganggu oleh perasaan pribadi."
Lohgawe dan Arok mengantarkannya ke belakang. Dalam perjalanan balik ke sidang Mahaguru itu bertanya:
"Kau perhatikan uraian Taripada""
"Seluruhnya, ya, Bapa."
"Mampu kau ucapkan tanpa rontal Salyaparwa dalam Sansakerta""
"Suatu kehormatan mengucapkannya di hadapan sidang yang mulia kaum brahmana. Bapa Mahaguru."
"Baik. Jangan kecewakan gurumu."Kembali di depan sidang ia memberitahukan terjadinya suatu peristiwa yang menterje-mahkan kelemahan, kedadadayaan kaum brahmana, yang mencakup semua yang telah dibicarakan, diuraikan dan dipertikaikan, ia menganggap pertemuan para brahmana semacam ini terlampau berlarut selama dua abad ini. Ia mengusulkan cara baru.
Sidang yang telah lelah tidak mendapatkan sesuatu keputusan pegangan itu serta-merta menyetujui.
"Kalau demikian, kau!" perintahnya pada Arok, "ucapkanlah Salyaparwa dalam Sansakerta, bukan dalam Jawa."
Dan Arok mulai berkisah tentang Parwa ke-9 Mahabharata itu: Prabu Salya bersiap-siap akan berangkat ke medan-perang, menjadi senapati Kaurawa. Ia temui Paramesywari Dewi Setya-wati. yang masyhur akan kecantikannya ... seorang anak perempuan dari Resi Bagaspan, bernama Pujawati.
Arok melihat para pendengarnya terpesona oleh bacaannya. Dan ia tahu ucapannya sangat patut demi pelajaran ucapan yang diterimanya dari Lohgawe selama ini.
"Cukup, dan terimakasih."
Arok tidak meneruskan. "Siapakah kiranya di antara Yang Terhormat dapat melisankan sesuatu tentang Salyaparwa dalam hubungannya dengan Mpu Sedah""
Kecuali Kutridenta semua bersedia. Dan Lohgawe memberikan kehormatan itu kembali pada Arok.
"Adalah sebuah kisah," Arok memulai,"yang belum ada orang berani menuliskannya sebuah kisah tentang Mpu Sedah dalam hubungannya dengan Salyaparwa. Tetapi maafkan, sahaya, para Yang Terhormat dan Yang Suci, kisah itu kurang berarti kalau tidak didahului dengan awalan, untuk dapat mengern setepatnya watak para raja Wisynu ini. Sahaya mulai dengan awalan.
"Para Yang Terhormat dan Yang Suci, orang-orang Wisynu suka mengejek kita sebagai kaum yang tidak mengenal batas kama. Me
reka menyindir-nyindir dan mentertawakan karena lingga[kemaluan pria.], lambang kita pada puncak-puncak setiap bangunan suci kita penghubung antara kahyangan dan dunia. Mereka tidak pernah mau mengerti, lingga adalah kesatuan antara Hyang Mahadewa Syiwa dengan syaktinya, Hyang Bathari Durga, antara yang abadi dan yang sementara. Kaum Wisynu berseakan mereka pengekang kama tanpa tandingan.
"Untuk membuktikan wujud mereka sendiri, tidak perlu diteliti semua dan seluruh kaum Wisynu, cukup raja-rajanya ....
"Siapakah tidak mengenal riwayat Putri Mahkota Dewi Sanggramawijaya, putri Sri Erlangga" Bahkan bocah angon pun tahu. Karena mengidap penyakit kedi ia tidak menaiki tahta untuk memerintah, tetapi menaiki Gunung Klotok untuk bertapa. Sri Erlangga terpaksa membelah kerajaan jadi dua sebelum menarik diri dari tahta, dilaksanakan oleh Mpu Baradha. Sebelah timur menjadi negara Janggala, dirajai putra selir, Sri jayantaka. Sebelah barat menjadi negara Panjalu, beribukotakan Dhaha, atau Kediri, dirajai oleh putra selir, Sri Jayawarsa.
"Para Yang Terhormat dan Yang Suci, setelah dua tatus tahun lamanya bicara, mendengar, mengecam tanpa berbuat apa-apa, barangtentu para Yang Terhormat dan Yang Suci tiada berkeberatan mendengarkan kisah sahaya ini, yang sahaya tinjau dengan cara sahaya sendiri ....
"Sri Jayawarsa memperanakkan Putri Mahkota Kediri, Dewi Sekartaji Candrakirana. Sri Jayantaka, Janggala, memperanakkan Putra Mahkota Inu Kretapati.
"Para Yang Terhormat dan Yang Suci, tak ada yang dapat disela pada karya Mpu Dharmaja tentang kebesaran masa ini. Semua yang ditulisnya serba indah sejauh yang dapat dinyatakan dalam bahasa Jawa. Smaradhahana itu memang sempurna.
"Panjalu dan Jenggala harus dipersatukan kembali. Sekartaji dan Inu Kretapati harus dikawinkan untuk mewujudkan penyatuan dua kerajaan itu, tanpa harus ada darah menetes.
"Sekarang, para Yang Terhormat dan Yang Suci, kita pelajari bagaimana orang Wisynu menyelesaikan perkaranya ....
"Inu Kretapati, Putra Mahkota Jenggala, tidak mencintai Sekartaji, sekali pun Sekartaji mencintainya. Putra Mahkota Jenggala justru mencintai anak dara patih Jenggala, Kudanawarsa. ia seorang perawan yang sangat memikat hati semua perjaka. Gadis anak Patih Jenggala adalah Dewi Anggraini, dan membalas cinta Putra Mahkota."
"Inu Kretapari lebih sering berkunjung ke kepatihan daripada ke Dhaha. Perkawinan kenegaraan terancam gagal."
"Panjalu mengirimkan urusan ke Jenggala, menyampaikan ancaman resmi: Apabila perkawinan antara Sekartaji dan Inu Kretapati gagal karena Dewi Anggraini, Penjalu akan membaris-kan dua puluh ribu balatentaranya untuk menyerang Janggala dan meratakannya dengan rumput teki."
"Takut pada ancaman, Sri Jayantaka, raja Jenggala, memanggil patihnya, Kudanawarsa, memerintahkan padanya untuk membunuh anaknya sendiri, Dewi Anggraini. Dan terjadilah yang harus terjadi."
"Demikianlah, para Yang Terhormat, bagaimana kaum Wisynu, raja-rajanya, menyelesaikan perkara. Seorang perawan dalam kesucian dan kecantikannya, dalam gairah mengimpikan indahnya cinta, harus digelandang ke hutan dan menerima pedang pada tubuhnya. Dia dikorbankan untuk Hyang Wisynu. Di atas mayatnya didirikan negara kesatuan Panjalu-Jenggala."
"Lihatlah pula apa yang diperbuat oleh Putra Mahkota Wisynu bernama Inu Kretapati itu. Dia hanya bisa meratapi nasib kekasihnya, sama sekali tak meninggalkan asap tak menggelorakan sangkalan. Dia lari, para Yang Mulia dan Yang Suci, lari dari istana membawa tangis meratapi Dewi Anggraini."
"Bagaimana dengan Putri Mahkota Panjalu" Malu karena Putra Mahkota Janggala lebih mencintai Dewi Anggraini daripada dirinya, ia pun lari meninggalkan istana, berpakaian pria, mengenakan nama pria: Kelana Jayengsari.
"Dunia gempar. Tak ada yang dapat menemukan mereka Tapi dengan sukacita mereka bertemu di pulau kelahiran nenek mereka sendiri, Bali. Mereka pulang bersama ke Jawa dan kawin."
"Para Yang Mulia dan Yang Suci, kaum Wisynu bersorak-sorai dengan perkawinan kenegaraan itu. Inu Kretapati marak jadi raja tunggal dengan gelar Kamesywar
a, dengan wilayah kekuasaan meliputi sebagian besar Jawa, Bali, Bangka, Kalimantan Barat-daya, Sulawesi Tengah dan Maluku. Mpu Dharmaja telah menyanyikan kebesaran itu. Dan mereka tetap lupa pada Dewi Anggraini yang dikorbankan...."
Arok meneruskan kisahnya, bahwa Kamesywara digantikan oleh Kamesywara-II, dan:
"Pada suatu waktu wangsa Isana melahirkan raja besar, Sri Baginda Jayabaya, yang telah mempersembahkan pada negeri dan keluarga: Jambi dan Selat Semenanjung. Maka terjaminlah kemakmuran Kediri dan punahlah bajak laut dari utara ke selatan. Seorang Wisynu yang sungguh-sungguh besar ini mencintai sastra, seni, filsafat dan dirinya sendiri.
Tersebutlah di sebelah selatan ibukota Kediri, di sebuah desa bernama Adiluwih, tinggal seorang pemuda desa yang dikasihi oleh Hyang Ganesya: ahli dalam bahasa dan sastra Sansakerta dan Jawa; kekasih Hyang Wisynu: seorang sudra, petani yang baik; kekasih Hyang Mahadewa: ahli dalam persoalan para dewa. kekasih Hyang Kamajaya: seorang perjaka, muda. dua puluh tiga tahun, ganteng rupawan, berbudi bahasa, penakluk hati wanita Siapakah yang bisa salahkan apabila ada seorang gadis, anak seorang brahmana, yang tinggal di desa tetangga jatuh cinta padanya" Siapakah yang bisa salahkan, kalau sebaliknya pemuda kekasih para dewa itu jatuh cinta pada Prabarini" Siapakah yang dapat salahkan, bila Sedah dan Prabarini saling mengikat janji sehidup-semati, di alam kini mau pun nanti"
Prabarini hanya memilih Sedah. Sedah hanya memilih Prabarini. Betapa mahalnya bahagia itu, karena Sedah harus mengecewakan banyak perawan, dan Prabarini mengecewakan banyak pemuda. Kebahagiaan mereka dibiayai oleh kekecewaan hari para muda yang mendamba.
Selamanya terjadi, mereka yang tak kuat menanggung kecewa dihalau ke pangkuan neraka melalui tindak durjana. Prabarini dan Sedah dalam mabok dilengahkan oleh kebahagiaan. Di belakang punggungnya ada saja di antara yang kecewa mempersembahkan pada Sri Jayabaya akan adanya seorang dewi, cantik-jelita penjelmaan Dewi Setyawati di atas bumi Kediri.
Sri Jayabaya adalah seorang raja Wisynu, oleh nenek-mo-yangnya diajar menghaki apa saja terbaik milik kawula. Juga Prabarini tidak terkecuali. Diperintahkannya pasukan untuk menjemput Setyawati Kediri. Tertinggallah Sedah kini digalau oleh kecewa itu sendiri, seorang diri, di desanya, Adiluwih.
Setiap hari ia turun ke ladang atau sawah, dan tak ada Prabarini mengantarkan makan lagi. Bergumul dalam lumpur dan tanah tanpa pujaan hati seakan ia telah ditinggalkan oleh para dewa. Sedang di istana Kediri, karena kecantikan dan kejelitaan-nya Prabarini didudukkan di atas singgasana sebagai Paramesywari Kediri.
Setiap malam Sedah tinggal memohon pada para dewa untuk mengembalikan kekasihnya kepadanya. Dan para dewa tidak mendengarkannya. Di istana Prabarini juga selalu memohon pada para dewa untuk mengembalikan Sedah kepadanya. Demikianlah Sri Baginda Jayabaya telah memenggal putus tali cinta-kasih yang dibenarkan semua orang dan para dewa.
Kemudian tibalah waktunya Sri Jayabaya merasa sudah cukup kukuh kemenangannya di Jambi dan atas Selat Semenanjung. Untuk mengabadikan kemenangan dan kekokohan itu dititahkannya menjawakan kemenangan perang Pandawa atas Kaura-wa, 6 parwa dari Mahabharata yang 18 itu.
Pujangga-pujangga istana menyatakan tak mampu mengerjakan. Juga mahapujangga Mpu Panuluh tidak. Para cerdik-cen-dekia dikirimkan ke seluruh negara untuk mencari ahli bahasa dan sastra Sansakerta dan Jawa.
Sedah bangun dari dukacitanya mendengar warta itu. Seakan ia dengar jelas suara Hyang Bathari Durga: Pergilah kau ke Kediri, anakku, karena di sanalah Prabarini kau dapatkan kembali.
D engan berterompah tapas, bertongkat kayu penolak-ular, berjubah pendek dan berdestar serba hitam, laksana Bathara Kamajaya, ia berjalan ke Kediri.
Dari parwa-parwa yang dikehendaki Sri Baginda Jayabaya ia tahu, adalah bagian yang bisa memberinya jalan untuk mendapatkan Prabarini, dan dengan demikian membalaskan dendamnya pada Sri Baginda. Ia tahu Prabarini tidak berdaya. Kaulah yang berdaya itu, titah Hyang Bathari,
yang harus datang padanya.
'Kau, anak muda, mengaku sanggup menjawakan Mahabharata"' Mpu Panuluh menetaknya dengan tanya meremehkan.
'Inilah sahaya, yang sanggup, ya Yang Suci Mpu Panuluh.'
'Siapa gurumu, maka berani persembahkan lehermu"'
'Hyang Ganesya sendiri.' 'Jagad Dewa. Jagad Pramudita, tiadakah kau sayang pada kemudaanmu"'
'Sekiranya tiada lagi yang sanggup, inilah leher sahaya.'
Dewan cerdik-pandai dipanggil bersidang oleh Mpu Panuluh, dan Sedah dihadapkan pada ujian.
Tidak ada sebaris pun di antara parwa-parwa Sansakerta itu keliru ia ucapkan tanpa rontal. Penyalinan dalam Jawa membikin sidang penguji terheran-heran. Anak semuda itu, dua puluh tiga. Sri Baginda Jayabaya sendiri memerlukan datang untuk menemui. Dikalungkan untaian melati pada lehernya, ia lulus, melebihi yang diharapkan sidang penguji, sekaligus mendapatkan gelar Mpu.
Dengan pikiran terpusat pada hari pembalasan terhadap Sri Baginda Jayabaya, dan hari terpanggil oleh cintanya pada Praba-rini,dengan cepat ia menjawakan parwa-parwa itu. Mpu Panuluh sendiri tak habis mengerti betapa besar kasih para dewa pada anak muda ini. Sri Baginda sendiri jatuh kasih dan sayang dan menyediakan semua keperluannya tanpa dipohon. Baginda telah menitahkan untuk membangunkan ruang khusus untuk tempat kerjanya, dikelilingi oleh taman bunga, dirindangi oleh pohon buah-buahan. Di sana ia bekerja tanpa seorang pun mengusiknya.
Kemudian sampailah ia pada parwa ke-9, Salyaparwa. Prabu Salya minta diri dari Paramesywari untuk berangkat ke medan perang. Pujawati yang cantik jelita tiada tandingan itu kini telah bernama Setyawari, tidak lagi cantik jelita seperti semasa gadisnya. Ia telah beranak lima orang, Erawati, Paramesywari Sri Baladewa, raja Mathura; Surtikanti, Paramesywari Sang Karna, raja Angga; Banowati, Paramesywari Kurupati, raja Astina; Buris-rawa dan Rukmarata, yang kemudian gugur dalam perang Bharatayuddha.
Mpu Sedah tanpa ragu-ragu mempenembahkan pada Sri Jayabaya, ia tidak mampu melukiskan kecantikan Dewi Setyawati. Baginda tidak menguasai Mahabharata, maka tidak tahu, bahwa Setyawati yang hendak dilukiskan sudah beranak lima dan tua.
Jadi apa yang Mpu Sedah kehendaki untuk dapat melukiskan kecantikan Dewi Setyawati.
Seorang wanita sesungguhnya, dan cantik jelita sesungguhnya, untuk menjadi contoh, duh Sri Baginda.
Sri Baginda Jayabaya, raja besar dari wangsa Isana, pencinta sastra, seni dan filsafat, bersedia mengkaruniakan segalanya pada Mpu Sedah asalkan karya itu jadi dengan sempurna. Baginda menjatuhkan titah untuk memilih wanita siapa saja di seluruh kawasan Kediri untuk dijadikannya contoh. Bharatayuddha harus selesai.
Mpu Sedah memilih dan memilih. Pilihan terakhir jatuh pada Prabarini. Sri Baginda Jayabaya tersenyum, mengangguk membenarkan.
Maka datanglah Paramesywari ke sanggar sang pujangga. Dengarkan ucapan Mpu Sedah sewaktu pertama kali melihat Prabarini diiringkan oleh dayang-dayang memasuki sanggar: 'Duh Dewa, Duh Bathara...'
Jawabannya adalah airmata pada wajah Prabarini, dan kebasan tangan memerintahkan semua dayang-dayang pergi, membiarkan mereka berdua berdiri berhadap-hadapan.
Mereka masih berhadapan. Tiba-tiba, tanpa bicara, Prabarini lari, memeluk Sedah dan menangis:
'Ampuni sahaya, kanda, inilah Prabarini milik kakanda.' Mpu Sedah tidak mencontoh kecantikan Prabarini, ia menghayatinya dengan rindunya yang membuncah.
Berapa hari atau berapa bulan itu terjadi" Para dewa tidak menyingkapkan. Hanya sekali muncul seorang saksi.
Sri Baginda Jayabaya berhari-hari bersamadhi di pura untuk mendapatkan petunjuk hukuman apa harus ia jatuhkan. Ia kini tahu hati Prabarini adalah milik Mpu Sedah sejak di desa. Sri Baginda hanya mendapatkan badan tanpa hati. Kini Sedah mendapatkan seluruh, sebagaimana dijanjikan oleh Hyang Kama, badan dan hatinya.
Sri Baginda Jayabaya bukan seorang Syiwa. Sampai setinggi apapun dharmanya, hatinya tetap Wisynu yang tidak mampu membatasi gejolak keinginan mengokohi untuk diri sendiri, segan berbagi, biarpun pada kebenaran itu sendiri. Ia jatuhkan huku
man mati. Berapa umur Mpu Sedah waktu itu" Dua puluh lima tahun.
Mpu Sedah menolak berlutut untuk dipancung, ia berdiri, tersenyum menghadapi mautnya, mendesis:
"Prabarini untuk selama-lamanya adalah kekasihku. Hanya karena aku bukan raja, aku tak dapat mempertahankannya."
Untuk penghukuman itu terpaksa disediakan pedang pendek. Kepala Mpu Sedah jatuh dari lehernya. Untuk sementara badannya masih berdiri. Darahnya menyembur membasahi tanah, yang barangkali pernah dilangkahi oleh kekasihnya, ia tidak menyesal. Ia hadapi segala dengan tabah. Ia adalah seorang brahmana, karena telah memikir, merancang lebih dulu. Maka ia tidak menjatuhkan diri memohon ampun pada seorang raja Wisynu.
Sahaya menyetujui Yang Terhormat Taripada dari Kalingga, agar diadakan penilaian kembali terhadap Mpu Sedah, dipelajari riwayatnya lebih teliti, dan diabadikan, sebagaimana kemenangan atas Jambi dan Selat Semenanjung diabadikan olehnya sendiri dalam Bharatayuddha."
Arok mengangkat sembah pada sidang menandakan ucapannya telah berakhir. Waktu ia berpaling pada Dang Hyang Lohgawe, ia lihat Mahaguru itu menitikkan airmata karena kefasihannya dalam Sansakerta, keberaniannya berkisah dengan caranya sendiri, dan keberaniannya menyatakan pendapat pada sidang tertinggi kaum brahmana yang tidak berdaya itu.
"Teruskan," kau Dang Hyang Lohgawe.
Riwayat itu telah selesai. Arok mengerti perintah itu, meneruskan:
"Sri Baginda Jayabaya bukan satu-satunya raja Wisynu yang berbuat demikian. Cucunya, Kretajaya, dengan cara yang agak lebih baik, bukankah juga melakukannya atas diri anak gadis Resi Brahmaraja" Bukankah demikian juga tingkahnya bawahannya di seluruh kekuasaan Kediri"" sekali lagi ia berpaling pada Lohgawe.
"Teruskan!" "Dahulu, yang mengalami adalah Anggraini, kemudian Prabarini, kemudian Amisani anak Resi Brahmaraja, sekarang Dedes, anak Yang Terhormat Mpu Parwa. Oleh siapa" Oleh hanya seorang akuwu, akuwu Tumapel, Tunggul Ametung'"
Serenuk terdengar sebutan-sebutan:
"Jagad Dewa!" Dan seruan-seruan. "Parwa! Yang Terhormat! Mpu Parwa!"
Sidang itu kacau, semua berdiri untuk mendapatkan Mpu Parwa. Dang Hyang Lohgawe mengangkat tangan menenangkan:
"Yang Terhormat Mpu Parwa sedang beristirahat. Harap sementara ini jangan disibuki dengan ucapan ikut berdukacita. Peristiwa ini, para Yang Terhormat, merupakan gambaran yang paling jelas tentang keadaan kita semua, kaum brahmana. Hentikan semua pertikaian. Demi Gajayana, yang mempersembahkan candi ini pada Hyang Agastya, dengan hanya bicara saja selama dua ratus tahun kita takkan mencapai sesuatu, kita membutuhkan satria, pelaksana. Lihatlah, berapa banyak di antara kita sendiri yang sudah menyeberang pada kedudukan, wanita dan harta, seakan hendak mengikuti Yang Suci Belakangka" Mereka lebih berbahaya daripada prajurit-prajurit Tumapel dan Kediri sekaligus."
"Yang Terhormat Kutridenta tak mengerti Jawa," seseorang memperingatkan.
Arok menterjemahkannya dalam Sansakerta. Lohgawe mengangguk-angguk membenarkan.
"Kekurangan dalam menggunakan Sansakerta ini," Lohgawe kemudian meneruskan, "tidak atau jangan dianggap sebagai wakil kemerosotan para brahmana, juga tidak akan mengurangi satu titik penting yang akan kusampaikan. Kita telah mema-mah-biak kejengkelan selama ini. Lihatlah ini," dengan telapak tangan kanan ia tepuk leher Arok, "seorang pemuda, seorang Humalang, yang dengan trisula di tangan akan mampu binasakan Kunda. Inilah Arok seorang yang tahu bagaimana menghadapi Akuwu Tumapel. Terimalah dia, perpaduan antara brahmana dan satria yang berasal dari sudra ini."
Arok mengangkat sembah pada sidang, dan semua orang memancarkan pandang menyelidik padanya.
"Bicara, kau, garuda kaum brahmana, dengan berat dan ketajaman parasyu Hyang Ganesya, dengan ketajaman kilat Sang Muncukunda..."
Arok mensansakertakan ucapan Lohgawe, kemudian meneruskan:
"Sahaya telah ikuti semua uraian dan pembicaraan, pertikaian dan saran. Hanya satu yang tidak pernah disinggung: di manakah sebenarnya kekuatan kaum brahmana" Seluruh ilmu dan pengetahuan, milik paling be
rharga dari kaum brahmana yang tak dapat diragukan ini, dikerahkan hanya untuk memburuk-burukkan yang tidak disukai, tidak menjadi kekuatan yang mengungguli yang lain-lain."
Suara yang keluar dari tenggorokan yang belum lagi lama memasuki kedewasaan itu terdengar segar: seorang yang nampak masih bocah, berperawakan sehat, mata bersinar-sinar, dengan Sansakerta yang mencukupi dan persoalan yang menyangkut semua.
"Suaramu lantang, Arok, seakan semua dewa Kahyangan memimpinmu. Siapa guru Sansakertamu""
"Bapa Tantripala."
"Jagad Pramudita!" seru Kutridenta. "Apakah kau bermaksud mengatakan, semua jataka[kitab Buddha berisi dongengan.] kau pikul pada pundakmu""
"Tidak, Yang Terhormat, baru sampai ..."
"Dan tidakkah harimu tak lain dari Hyang Kamahayanikan""[buku suci Buddha Mahayana]
"Tidak, Yang Terhormat. Sahaya tinggalkan Bapa Tantripala, telah mendengarkan ajarannya tentang tatatertib selama tiga tahun."
"Selidikilah 'brahmana' muda ini," Lohgawe mencoba meredakan penyelidikan.
"Sinar matamu tidak berbohong," seorang lain memberikan perhatian. "Memang ada sinar Muncukunda."
"Sudah lama kita tak dengarkan suara sesegar itu "
"Tiada salah seorang brahmana muda mempelajari tatatertib ajaran lain."
"Teruskan, garuda!" Lohgawe memberanikan.
"Kekuatan, para Yang Terhormat dan Yang Suci," Arok meneruskan untuk menghindari penyelidikan, "barangsiapa tidak tahu kekuatan dirinya, dia tidak tahu kelemahan dirinya. Barangsiapa tidak tahu kedua-duanya, dia pusing dalam ketidaktahuannya."
"Dari rontal siapa itu, Arok""
"Dari sahaya sendiri."
"Kekuatan brahmana ada pada ilmu dan pengetahuannya," seseorang menyela, "sujudnya pada para dewa."
"Apa yang kau maksudkan kekuatan itu tombak dan pedang kaum satria""
"Kekuatan tanpa Nandi, berkaki empat, bersintuhan langsung dengan bumi, tidak mungkin mengejawantahkan diri sebagai kekuatan di atas bumi. Dia tinggal kekuatan dalam angan-angan," Arok tersenyum. "Empat kaki Nandi, para Yang Terhormat: teman, kesetiaan, harta dan senjata...."
"Baru keluar dari perguruan sudah hendak menggurui..." "Para dewa pun tak jarang belajar dari manusia ..." "Bahkan dibebaskan oleh manusia," Arok menambahi. "Teruskan, Arok," Dang Hyang Lohgawe memberanikan lagi. "Teman, para Yang Terhormat dan Yang Suci, semua kita adalah teman. Kesetiaan, para Yang Terhormat dan Yang Suci, tadi pun telah dikatakan, di antara kita ada saja yang telah meninggalkan kesetiaan, menyeberang pada kedudukan, wanita dan harta. Sebuah dari kaki Nandi telah pincang. Sampai seberapa pincangnya, para Yang Terhormat dan Yang Suci lebih tahu. Harta, para Yang Terhormat ..."
"Tumapel dan Kediri sudah lama tidak mengeluarkan dharma untuk kita. Candi-candi Syiwa terancam kerusakan!"
"Harta, para Yang Terhormat selama ada manusia, di situlah harta," sekarang Arok mendengus tertawa.
"Mengapa kau mendengus-dengus begitu, setelah tiga tahun belajar tata-tertib""
"Dengan hanya kata, para Yang Terhormat dan Yang Suci, telah sahaya timbun sebanyak setengah tahun upeti Tumapel pada Kediri."
"Arok!" seru Lohgawe, matanya terbeliak. "Kau, garudaku, sudah sebanyak itu dharmamu, pada waktu kaum brahmana dalam dua ratus tahun hanya bersilat lidah semacam ini""
"Masuklah ke hutan Sanggarana, di lapangan pertapaan Bonardana yang telah ditinggalkan di sana upeti Tumapel untuk setengah tahun telah tertimbun. Para pemikulnya tak berani balik ke desa masing-masing. Buat apa kaki kekuatan yang satu ini""
"Garudaku! Garudaku!" Lohgawe masih juga menyebut-nyebut.
"Para Yang Terhormat, berilah dia restu untuk melengkapi kaki Nandi. Teman dan kesetiaan sudah ada pada kita semua. Biarlah anak ini, perpaduan sudra-satria-brahmana, melengkapi. Kita tak perlu bertikai lagi."
Dan dengan demikian pertemuan bertele itu berbelok arah, membicarakan empat kaki sang Nandi: kaki yang pincang dan yang belum ada, memperkuat yang telah ada, mendasarkan semua pada sintuhan bumi ....
Menjelang penutupan telah dilahirkan janji, bahwa peristiwa Dedes tidak akan terjadi lagi, bahwa itu adalah pengkh
ianatan terakhir atas kehormatan kaum brahmana. Untuk itu kaum brahmana mengakui kemestian untuk bertangan satria, dan bahwa satria itupun harus diperlengkapi dengan segala syarat kesa-triaan. Semua untuk membangunkan kaki perkasa Nandi, dan dengan demikian ia bisa jadi kendaraan Hyang Mahadewa Syiwa di tengah-tengah cakrawartinya.
Mpu Parwa, brahmana yang sedang menanggung aniaya itu, dianggap tepat untuk memimpin upacara penutupan dan pengucapan janji di dalam candi Agastya. Upacara itu mula-mula dilakukan di gundulan hutan di sore hari. Mereka kemudian berbaris di malam hari menuju ke candi Agastya yang bermandikan sinar obor damar, di bawah gema puji-pujian yang dibubungkan ke kahyangan. Di atas puji-pujian itu melengking suara Mpu Parwa:
"Ya, Mahadewa Bathara Guru, kalau kami dua ratus tahun yang lalu dapat meletakkan mahkota di atas kepala Erlangga, tentulah kami tidak lebih keliru bila memberikan kepercayaan pada brahmana muda ini sebagai penutup dari ketiadadayaan dan kelalaian dan pertikaian antara kami sendiri selama ini."
Mereka kemudian berbaris berpradaksina mengelilingi candi, berhenti di depan Nandiswara dan Mahakala, seperti ular hendak memasuki liang. Paling depan adalah Mpu Parwa, dengan obor kecil pada tangannya.
"Penutup pertemuan kami, ya Mahadewa, artikanlah itu sebagai awal selesainya kezaliman Wangsa Isana "
"Om!" "Benarkanlah kepercayaan kami pada "brahmana" muda Arok ini, perpaduan dari triwangsa-triwangsamu sendiri, untuk perkokoh cakrawartimu."
"Om!" Barisan itu kemudian berlutut, mengangkat sembah. Dang Hyang Lohgawe membunyikan giring-giring perunggu. Nyanyi puji-pujian membubung menghalau burung-burung malam.
Di atas mereka langit yang hitam tertutup mendung tebal.
Kemudian di sebelah barat tiang api melompat dari perut bumi, menusuk langit, kemudian pecah seperti payung dan turun lagi ke bumi. Mereka semua merasakan geletaran bumi, goncangan, perut bumi sendiri terasa menggelegak.
Kelud meletus. TUNGGUL AMETUNG Kalau hanya menghadapi rombongan perampok atau pemberontak, baginya merupakan pekerjaan sehari-hari sejak sebelum diangkat jadi akuwu. Ia tahu bagaimana menangani mereka.
Orang yang mengaku brahmana, berkumis sekepal, menutup dada dengan Durga Mahisasuramardini, menghadapi seorang Tunggul Ametung dengan pasukan hanya seorang diri ....Jiwanya tergoncang. orang seberani itu tidak bisa tidak pasti seorang mahasiddha, seorang setengah dewa, seorang bathara, bukan iawan baginya dan bagi pasukannya.
Di atas kuda dalam perjalanan pulang pikirannya kacau. Ramalan resi dari candi Erlangga yang menjanjikan kebesaran melalui Dedes mulai menerbitkan ragu. Perampasan berhasil atas upeti ke Kediri kini ia anggap bukan suatu perbuatan bran-dal-brandal nakal. Pembawa-pembawa upeti yang tak kunjung pulang pun bukan suatu kenakalan gerombolan perampok. ia melhat adanya bangunan raksasa yang sedang dihadapkan padanya sebagai akuwu dan sebagai pribadi. Keterangan Arya Artya membangkitkan kecurigaan. keterangan sisipan dari Belakangka semakin mencurigakan.
Orang-orang terpelajar yang tahu segala-galanya, pikirnya, tapi tak punya pengetahuan bagaimana menyembunyikan kerakusan sendiri!
Ia dapat menduga Belakangka mencurigai kesetiaannya pada Hyang Wisynu, pada Kediri. Mata-mata melaporkan, Pandita Negeri itu telah mengirimkan utusan ke Kediri. Ia tak boleh waswas lagi. Dengan satu pasukan kuda ia berangkat juga ke Kediri untuk melumpuhkan utusan Belakangka.
Semua yang bersangkut-paut dengan manusia begini, baginya adalah latihan jasmani dan ketangkasan. Tetapi manusia bathara yang mengaku brahmana dari utara sungguh-sungguh bukan tandingannya. Jelas dia bukan anak wayang Belakangka atau Arya Artya. Dia lebih besar dari dua mereka sekaligus.
Pasukan kuda itu berpacu tanpa mengindahkan aturan lagi, seakan tidak ada Tunggul Ametung di antara mereka. Karunia dijanjikan untuk mereka yang paling pertama dapat menangkap utusan Belakangka. Tunggul Ametung sendiri ikut dalam perlombaannya sendiri seperti biasa. Orang tak mengindahkan lagi miring-te
gaknya umbul-umbul pekuwuan. Barangsiapa tertinggal, dia jauh lebih tertinggal, dibutakan oleh tabir debu.
Kuda-kuda pegunungan itu mendaki dan menuruni bukit tanpa lelah, tanpa gentar, dan lebih kencang lagi di dataran. Hutan, jurang, selokan dan anak-anak sungai dilalui tanpa perhatian. Mereka melalui sebelah utara Gunung Kawi dan Gunung Kelud, dan di sebelah selatan Gunung Anjasmara.
Memasuki Jenggala mereka terpaksa menunda pengejaran. Kuda-kuda telah kehabisan nafas dan keringat. Para pengejar kehabisan tenaga, dan mata setengah rabun karena kotoran.
Mereka tertinggal lebih setengah hari dari utusan Pandita Negeri Tumapel.
Keesokan harinya, di tepi sungai Brantas mereka dapatkan seekor kuda tercancang pada sebatang kayu kapuk. Penunggangnya tiada nampak. Setelah diperiksa, benar kuda Tumapel. Cap bakar pada pinggul kuda menunjukkan kuda pekuwuan. Tunggul Ametung memerintahkan untuk menyisiri hutan sekeliling. Mereka tak dapatkan seorang penunggang kuda Rakit juga kosong tanpa pengemudi, tercancang di tepian. Dua buah kapal yang sedang belayar menghilir pun tidak memberi tanda akan adanya penumpang yang naik dari tepian. Pasukan itu kembali menghadap pada Tunggul Ametung. "Dia belum menyeberang," kata akuwu itu. "Demi Harimur-ti!" ia bertolak pinggang, mengerahkan pikirannya. "Periksa rakit itu." Orang mulai memeriksa rakit. "Lihat, galah pendayung ada atau tidak." "Ada, Yang Mulia."
"Perakit itu masih di sekitar sini. Cari!" ia sendiri menebarkan pandang meneliti atas pepohonan. "Bangsat! turun, kau!" matanya telah menangkap benda yang mencurigakan di balik dahan dan daun johar.
Benda itu menyerosot turun. Kakinya terkelupas, merangkak mengangkat sembah.
Pasukan kuda segera melingkari.
"Mengapa sembunyi""
Orang desa yang hanya bercawat itu pucat, menggigil: "Sahaya takut."
"Tak urung hilang juga kepalamu. Mana penunggang kuda ini"" Dengan jempolnya perakit itu menuding pada rakitnya:
"Di bawah rakit sahaya, ya, Pangeran."
Kembali rakit diselidiki. Mereka dapatkan penunggang kuda itu menggelantung di bawah rakit. Waktu dibawa ke hadapan Tunggul Ametung mereka mengetahui dia teman sepasukan sendiri.
Tunggul Ametung menarik pedangnya: "Siapa suruh kau"" "Yang Suci"
"Keluarkan surat yang kau bawa."
Surat itu benar kepada Yang Tersuci di Kediri, mewartakan bahwa Tunggul Ametung Tumapel sudah mulai takut pada bayangan Hyang Durga, suatu pertanda wewenangnya atas Tumapel mulai harus diragukan.
Tunggul Ametung ingin menyemburkan umpatan pada Belakangka. Ia tak berani. Ia teliti wajah mereka seorang demi seorang, siapa yang bakal paling berbahaya terhadap dirinya. Semua menghindari tatapannya.
"Siapa hendak ikuti jejak pengkhianat ini"" tanyanya.
"Jangan hinakan sahaya sebagai pengkhianat," tangkapan itu membela diri. "Sahaya hanya diperintahkan membawa surat ini, selamat sampai ke Kediri."
"Mengapa lari dari kami""
"Dari kejauhan nampak barisan tidak teratur. Sahaya sangka bukan pasukan Tumapel."
"Kau orang Kediri, bukan Tumapel. Di mana kau dilahirkan"" "Jenggala. Yang Mulia."
"Menyerahkan kuda Tumapel pada ketidaktentuan, selamatkan diri sendiri di bawah rakit."
"Tugas sahaya menyelamatkan surat, bukan kuda. Yang Mulia." Dengan kuda pasukan itu menyeberangi Brantas, meninggalkan dua bangkai di pinggir kali. Sampai di seberang mereka berjalan teratur, dengan seorang peseru jauh di depan, mewartakan akan lewatnya Yang Mulia Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung.
Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka memasuki Kediri. Di tengah perjalanan ke pusat kerajaan, seorang prajurit Tumapel berkuda menghindari papasan, membalikkan kudanya di kejauhan dan melarikan diri. Tunggul Ametung melihat adegan itu, dan ia tak berani menjatuhkan perintah untuk mengejar, ia pura-pura tidak tahu.
Pasukan pengawal pengiring itu semakin mengerti adanya persekutuan Kediri terhadap Tunggul Ametung persekutuan yang didalangi oleh Yang Suci Belakangka.
Tunggul Ametung sudah tahu akan adanya persekutuan ini. Hasil pendulangan Kali Kanta tak pernah dapat disembunyikannya dari Kediri. Ia terpaksa menambahi jumlah
budak baru, dan Kediri menaikkan jatah upeti. Telik telah disebarkannya untuk menyelidiki kesetiaan silpasastrawan Tumapel, Gusti Putra. Dan mereka tidak mendapatkan petunjuk. Sekiranya ada pun ia takkan berani mengganggunya. Ia membutuhkan tenaganya: mendirikan sebuah candi Wisynu yang megah untuk kehidupannya setelah pembebasan dari samsara. Ia sengaja sembunyikan perintahnya dan para pandita, takut tidak mendapatkan restu mereka, sebagai orang berasal sudra yang hendak mencandikan diri. Tetapi Gusti Putra, juga seorang sudra, telah membenarkan maksudnya.
Yang ia tidak mengerti, apa maksud Belakangka memata-matainya. Dari hasil Kali Kanta ia sendiri mendapat pembagian yang tidak sedikit. Ia tidak mendirikan istana di Tumapel. Ke mana saja puluhan ribu saga emas yang telah diterimanya" Dan sekarang hendak dipergunakannya Hyang Durga Mahisasu-ramardini sebagai jerat pada lehernya" Bukankah Yang Suci merupakan sekutunya untuk menimbulkan kembali perbudakan" Bukankah mereka berdua tetap tidak mempersembahkan jumlah budak yang sesungguhnya ke Kediri" Bukankah Belakangka membikin jerat pada lehernya sendiri juga"
Pendahulu Belakangka tidak begitu cerdik. Kediri telah mengirimkan padanya untuk memimpinnya di bidang keigamaan, karena ia dianggap terlalu dungu - tidak berilmu. Ia kebaskan tanaman Kediri itu dalam suatu kecelakaan. Tapi Belakangka membenarkan semua tingkahnya, menjadi sekutunya yang ter-percaya, maka dia tidak terkebaskan dalam kecelakaan.
Pasukan kuda dengan Akuwu Tumapel di depan itu langsung menuju ke istana Ratu Angabaya Kediri untuk memohon ijin menghadap Sri Baginda Kretajaya.
Dengan ijin itu ia menghadap. Juga Yang Tersuci Mpu Tanakung kebetulan hadir mendampingi Sri Baginda.
Dan ia sendiri telah bersiap-siap menerima murka. Larinya prajurit kuda Tumapel waktu terpapasi menjadi petunjuk baginya Belakangka telah mengirimkan dua orang utusan dengan persembahan yang sama.
"Kau, Tunggul Ametung, setiap kali menghadap, setiap kali semakin banyak yang tak kau persembahkan."
ia tunduk mengawasi kaki Sri Baginda yang telah lebih se tengah abad pernah melangkahi bumi, lebih tiga puluh tahun duduk di singgasana dalam segala kemewahan dan kebesaran.
"Malahan perkawinanmu dengan Dedes pun tidak kau persembahkan. A, barangkali mertuamu kau agungkan lebih daripada Yang Tersuci, mungkin telah kau panggil pematungmu untuk membangunkan arcanya dari emas utuh."
"Ampun, duli Sri Baginda, bila ada persembahan dari orang lain yang begitu bunyinya, itu tiadalah benar. Inilah sahaya Sri Baginda datang menghadap sendiri."
"Ataukah karena pengaruh Mpu Parwa, mertuamu itu, kau mulai kecut melihat gambar dudul Hyang Durga""
"Ampun, Sri Baginda, adapun mertua sahaya, Mpu Parwa, belum pernah sahaya temui dalam hidup sahaya, sampai sekarang."
"Ataukah persembahan Menteri-Dalam itu keliru, upeti pertanian Tumapel belum juga datang sampai sekarang""
"Ampun, Sri Baginda, perusuh telah merampasnya di hutan Sanggarana."
"Kami lihat kumismu masih utuh pada mukamu," tetak Kretajaya, "kau, anak sudra tanpa harga, tak mengerti bagaimana berterimakasih pada Kediri yang mengangkatmu begitu tinggi, sejajar dengan para narapraja dan para pangeran ..."
Sri Baginda menarik diri, dan tertinggal ia hanya dengan Yang Tersuci Tanakung.
"Apakah Yang Suci Belakangka kurang membantumu maka Sri Baginda sampai begitu murka padamu""
"Ampun, Yang Tersuci, kerusuhan-kerusuhan dari macam yang belakangan ini sahaya memang baru mengenal."
"Bukankah kau menjadi Tunggul Ametung melalui cara yang sama seperti dilakukan oleh mereka sekarang""
"Selamanya dapat sahava patahkan, kecuali yang terjadi pada dua tahun belakangan ini. Yang Tersuci. Mereka menggunakan ketakutan kawula terhadap Hyang Durga Mahisasuramardini."
"Juga kau sendiri takut. Apa nasihat Yang Suci"" "Hendak dipanggilnya Dang Hyang Lohgawe." "Dia betul, mengapa kau halangi""
"Tiada sahaya menghalangi, sahaya langsung menghadap sekarang"
"Orang bilang kau telah bikin persekutuan dengan brahmana Syiwa, Arya Artya. Orang bilang kau telah laku
kan nasihatnya mengawini Dedes dan mendudukkannya di sampingmu, di puncak kekuasaan Tumapel. Dua puluh tahun kau telah dibenarkan jadi Tunggul Ametung, dan tidak juga mau belajar dari sikap Sri Baginda terhadap mereka. Jadi Yang Suci Belakangka masih kurang membantumu""
"Mencukupi, Yang Tersuci."
"Ataukah kau sendiri yang tak juga bisa mengerti""
Tunggul Ametung tak dapat menjawab.
"Atau kau sendiri yang sudah bosan memangku jabatan""
"Hidup dan mati sahaya adalah milik Sri Baginda."
"Dua puluh tahun yang lalu itu pun telah kau ucapkan."
"Sahaya tidak akan jera mengucapkannya, Yang Tersuci."
"Tidakkah Yang Suci pernah menasihatkan padamu tentang Arya Artya" seorang brahmana yang tinggal di pinggiran kota, minta pengakuan bergelar Arya ... brahmana yang membutuhkan gelar kebesaran dunia ...bukankah telah diterangkan padamu apa arti peristiwa itu" Bila ada kesempatan, dia akan muncul sebagai satria! melemparkan jubah brahmananya! Kau-lah yang telah melaksanakan nasihatnya, mengawini anak brahmana Mpu Parwa. Kau tidak meminta nasihat dari Yang Suci Malah Belakangka kau paksa mengawinkan kalian."
Pada waktu itu terbayang oleh Tunggul Ametung penjaga candi Sri Erlangga. Ramalannya menjanjikan kebesaran karena perkawinannya dengan Dedes Kini bencana demi bencana jadi hadiah kawinnya, dan kebesarannya terangkat naik ke atas ujung duri.
"Baik, pergi kau pada Ratu Angabaya, pikirkan masak-masak sampai jawabanmu dapat kau persembahkan dan dapat difahami oleh Sri Baginda."
Tunggul Ametung tidak diperkenankan meninggalkan Kediri. Dalam penahanan di istana Ratu Angabaya, tanpa seorang penuntun pikiran, ia mencoba mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang Arya Artya. Yang Tersuci memang tidak keliru bila menilai brahmana itu sebagai seorang yang rakus akan kebesaran dunia. Belakangka selalu menjauhkannya darinya. Dan bukan tanpa alasan. Apakah Arya Artya sedang menggali lubang perangkap untuk dirinya"
Boleh jadi dia sedang menggali lubang untukku, tetapi apa artinya lubang untuk Tunggul Ametung ini" Dia telah berikan padaku Dedes. Dedes adalah segala-galanya. Dia lebih berarti dari Tumapel, dari hidup dan mari.
Gadis yang secantik itu, sejelita itu, tidak menyerah gampang pada seorang Tunggul Ametung, telah menimbulkan rangsang semangat dalam hatinya. Hidup menjadi berbobot karena dia. Menjadi lebih indah karena dia. Ia tak menyesal akan lubang perangkap itu. Ia merasa berbahagia di dalamnya.
Sekarang ia akan dapat mempersembahkan: Arya Artya patut disingkirkan dari muka bumi.
Ia tak berani meneruskan pikiran melenyapkan brahmana itu. Persembahan itu bisa menyebabkan jatuhnya titah untuk juga melenyapkan Ken Dedes, paling tidak titah untuk menyerahkan Paramesywarinya pada Sri Baginda. Ia tidak akan bicara sesuatu tentang brahmana terkutuk itu. ia akan mempersembahkan kaum brahmana Syiwa pada umumnya, dan ia bersedia menumpas semua mereka dari muka bumi. Juga Mpu Parwa mertuanya, juga Dang Hyang Lohgawe.
Hanya itu persiapannya untuk mempersembahkan pada Sri Baginda Kretajaya. Selama beberapa hari itu! Selama itu pula hatinya gelap pekat digumul oleh kerinduannya pada Ken Dedes, Ia mempersembahkan pada Ratu Angabaya telah siap untuk menghadap dan ia pun dihadapkan.
Sri Baginda tidak sudi melihatnya.Yang Tersuci Tanakung yang menerimanya. Dan Kepala Penghulu Agama Negara itu meng-gedikkan tongkatnya karena kecewa.
"Apakah selama dua puluh tahun belakangan ini hanya merampas dan merampok, menyembunyikan banyak hal pada Sri Baginda saja yang kau pelajari sebagai akuwu" Apakah kau tidak mengerti, dengan penumpasan kaum brahmana Syiwa, semua pemeluknya akan menghadapkan mata dan taringnya pada Kediri" Apakah kau tidak tahu kaum brahmana bukan satria" Mereka tidak akan membikin kerusuhan kalau tidak dirusuhi. Mereka tidak pernah bikin keonaran kapan dan di mana pun. Bagaimana seorang akuwu bisa berpendapat seperti itu""
"Mereka telah membikin kerusuhan dengan menggunakan Hyang Durga. Tak mungkin itu bukan karena mereka, Yang Tersuci."
"Kau belum pernah mempersembahkan bukti itu p
ada Sri Baginda. Para brahmana adalah orang-orang terpandai dari seluruh negeri. Orang dungu, seperti kau ini, lebih suka melihat semua orang sedungu kau, maka kau ingin binasakan mereka. Kembali kau ke tempatmu. Pikirkan sekali lagi."
Akuwu Tumapel kembali ke tempat penahanannya. Pada waktu itu ia menjadi ketakutan takkan diperkenankan kembali. Dan itu berarti ia bisa kehilangan segala-galanya: wilayah kekuasaan, singgasana dan Dedes.
Dedes, ya Dedes. Mengapakah setelah mengawininya, melalui jalan yang dibenarkan oleh para dewa, ia tertimpa begini banyak kesialan" Seorang akuwu, yang di negeri sendiri menggenggam jiwa semua orang, di Kediri tak ubahnya seperti anjing tanpa harga. Apakah Dedes yang memiliki kebesaran itu, dikasihi para dewa, dan Tunggul Ametung hanya menompang pada kebesatannya"
Pikiran itu ia bantah sendiri. Semua kesialan dan kesulitan ini semestinya hanya bea untuk kelahiran anaknya. Dan ia mendapatkan sesanti[ketenangan batin] dengan pikiran itu.
Waktu menghadap lagi ternyata Yang Tersuci pun tidak sudi melihatnya. Hanya Menteri-Dalam.
"Jadi kedatanganmu sekarang ini bermaksud untuk memohon titah" Baik. Akhirnya kau cukup bijaksana. Upeti yang setengah tahun itu segera penuhi, dengan denda sebanyak itu juga. Kau boleh kembali ke Tumapel."
Keluar dari istana ia disambut oleh Ratu Angabaya dan dibawa pulang ke istananya. Waktu ia mohon diri untuk pulang Ratu Angabaya mengangguk-angguk:
"Akuwu masih punya persoalan denganku." "Semua telah diselesaikan di istana, Yang Mulia." "Tentu. Tetapi persoalan denganku belum selesai, kataku. Pertama, kau telah membunuh orang Tumapel di daerah Kediri, bukan di Tumapel. Kedua kau membunuh kawula Kediri, si tukang rakit. Ada saksi yang kau kira tidak melihatnya: kecil, anak si tukang rakit, bersembunyi lebih atas dari bapaknya." "Prajurit berkuda Tumapel yang lakukan itu, Yang Mulia." "Soal ketiga dari perkaramu, kau menyuruh prajurit Tumapel melakukan itu, dan kau sendiri melihat mereka melakukannya, dan kau tidak mencegahnya."
Ampun, Yang Mulia, keperluan menghadap Sri Baginda lebih penting dari jiwa mereka berdua."
"Bahkan Sri Baginda tidak sudi melihat mukamu. Kau tidak aku perkenankan pulang ke Tumapel. Akuwu Tumapel bisa dijabat oleh setiap orang." "Ampun, Yang Mulia."
"Kau tahu urusan agama ini. Sri Baginda sendiri yang akan membuka pengadilan, seperti setiap raja Kediri melakukannya dalam semua peristiwa pembunuhan atas diri kawula di atas wilayah kerajaan. Lehermu akan putus."
"Ampun Yang Mulia Ratu."
"Dalam pencurian dan pembunuhan tidak pernah ada ampun."
"Tolonglah leher sahaya ini, Yang Mulia Ratu."
"Aku" Menolong buaya seperti kau" Pantas Yang Tersuci pun tidak sudi melihat mukamu lagi." "Katakanlah apa harus sahaya perbuat." "Persembahkan sendiri perkaramu pada Sri Baginda." "Tidak mungkin." "Pada Yang Tersuci." "Tidak mungkin."
"Sang Patih pun telah menyerahkan perkara ini kepadaku."
"Yang Mulia Ratu jua yang berkuasa atas leher sahaya," ia angkat mukanya. Ia tidak rela mari tidak di medan perkelahian. Ia tidak rela mati di medan agama. "Sekiranya sahaya boleh membeli leher sahaya kembali."
Ratu Angabaya meneleng padanya:
"Apakah lehermu ada harganya""
Dalam pandang batin Tunggul Ametung membentang pendulangan Kali Kanta. Dan seorang ratu Angabaya sudah akan senang dengan lima ribu saga.
"Terserahkan pada Yang Mulia Ratu berapa harga leher sahaya ini."
"Apakah lehermu kau hargai tinggi atau murah"" "Mungkin cuma lima ribu saga."
"Aku kira cuma seribu saga. Berapa harga Ken Dedes" Kau tebus atau kau serahkan""
"Jagad Dewa! Sampai hati Yang Mulia menuntut istri sahaya yang tiada tahu sesuatu apa""
"Seorang brahmani seperti itu tentu jauh lebih berharga daripada hanya seorang buaya. Aku kira harganya ada barang tujuh ribu saga."
"Sahaya akan usahakan, Yang Mulia Ratu."
"Aku sendiri yang akan pimpin pasukan membikin Tumapel jadi bubur: pertama, kalau mulut buayamu hanya baik untuk dilempari jangkar; kedua, kalau Yang Suci Belakangka sampai cedera, biarpun hanya lecet karena ka
u." Ia bersorak dalam hati meninggalkan Kediri dalam iringan pasukannya. Dua belas ribu saga dalam setahun! Ia dapat rampas dan peras semua emas dari rumah kawula Tumapel. Pendulangan Kali Kanta tetap tidak diketahui oleh Kediri.
Ia bersumpah dalam hati akan pimpin sendiri penyapuan emas pada semua biara Syiwa. Ia tidak melalui jalan utara. Mula-mula pasukannya mengikuti jalan ke hulu Brantas, terus ke selatan, baru kemudian menyeberang. Semua biara Syiwa dalam kekuasaan Kediri dalam perjalanannya ia serbu dan rampas semua logam mulia yang nampak dan tersembunyi. Tak dibiarkannya satu orang penghuni pun hidup.
Ketakutannya pada Hyang Durga berubah jadi dendam kesumat. Semua patung, yang ia temui ia hancurkan dengan pedang, juga yang dari emas atau suasa atau perunggu. Biara ia bakar dan ditinggalkan.
Waktu memasuki daerah Blitar, ia melakukan perampokan dan pembunuhan lagi. Sekali ini ia menghadapi perlawanan dari barisan biarawati, yang menggunakan pelempar anak panah. Ia kehilangan dua orang anak buahnya, tapi tak urung dapat merampas alat-alat upacara dari emas.
Memasuki Tumapel ia telah dapatkan lebih dari tujuh ribu saga. Dengan senyum puas ia perintahkan pasukan kuda berjalan lambat-lambat. Perjalanan ternyata tidak langsung menuju ke Kutaraja.
Tunggul Ametung memerintahkan pasukannya berhenti di pinggir jalan desa. Ditunjuknya sepuluh orang prajurit untuk mengawalnya, sedang sisanya harus menunggu, tak boleh meninggalkan tempat.
Tanpa membawa barang rampasan ia membelok ke kanan, memasuki jalan hutan, menuju ke tempat rahasia pendulangan emas. Mereka tidak memapasi seorang pun, karena jalanan rahasia ini tidak boleh ditempuh tanpa ijin dari pekuwuan.
Naga Dari Selatan 1 Pembalesan Seri Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Wasiat Sang Ratu 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama