Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri 19

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Bagian 19


penyelamat dan mana yang menyesatkan. Apalagi berada di dasar
bumi ini sukar membedakan arah. Tapi Kun-gi mengambil patokan
gambar di mana ujung undakan batu berada, ujung undakan batu
terletak di selatan maka bila diurutkan dari selatan menuju ke
timur diteruskan ke utara, maka akhirnya dia akan tiba pintu
penyelamat yang terletak di barat laut.
Dalam hati dia sudah perhitungkan pintu penyelamat adalah
pintu keenam dari selatan, kini dia sudah berada di depan pintu keenam menurut perhitungannya, maka tanpa ragu lagi segera dia
mendorongnya. Kedua daun pintu warna merah itu ternyata dengan mudah
terbuka. Kun-gi langsung masuk berkat cahaya mutiara, dengan
seksama dia amat2i keadaan kamar, itulah sebuah lorong panjang
selebar satu tombak, kedua sisi dindingnya terbikin dari marmer hijau, demikian pula lantainya dilem-bari marmer warna-warni
yang indah sekali. Kecuali itu tiada sesuatu benda apapun yang
menarik per-hatiannya. Lorong ini kira2 sedalam lima tombak, di ujung lorong diadang
dinding batu pualam, dinding war-na hijau ini terdapat sebuah
pintu warna hijau pupus, belum lagi dia beranjak lebih lanjut daun pintu warna hijau itu pelan2 terbuka sendiri. Tanpa ayal Kun-gi masuk ke situ, setelah dia berada di balik pintu, daun pintu itupun menutup sendirinya.
SudahtentuKun-gitidak peduli, karenasetelahdirinya masuk dia
sudah merancang rencana untuk keluar lewat jalan lain. Tapi
setelah dia berada di belakang pintu seketika dia melenggong.
Karena menurut rekaannya, kamar di belakang pintu hijau ini
pasti adalah kamar batu di mana ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin terukir di dinding. Tak nyana yang terpampang di
hadapannya sekarang tak lebih hanyalah sebuah kamar batu
bentuk bulat seluas dua tombak, kecuali sekeliling tetap ada
delapan pintu yang terpencar, tepat di tengah kamar terdapat
sebuah Hiolo besar terbuat dari tembaga setinggi manusia, selain itu tiada benda lainnya lagi.
Diam2 Kun-gi menggerutu dalam hati, batinnya: "Tempat ini
hakikatnya tidak sesuai dengan kamar batu yang diceritakan Yong King Tiong, memangnya aku salah masuk dari pintu yang keliru?"
Karena merasa bimbang, serta merta langkahnyapun berhenti.
Pada saat dia melongo itulah tiba2 dilihatnya Hiolo tembaga
yang tinggi itu pelan2 bergerak memutar.
Sebetulnya Kun-gi juga maklum bahwa kamar2 disini adalah
buah karya Sinswi-cu, setiap pintu memiliki alat rahasia yang
berbeda, kalau tidak, setelah dirinya memasuki pintu tadi pintu hijau batu pualam itu takkan mungkin bisa menutup sendirinya.
Dari sini dapatlah disimpulkan, sejak dirinya mulai memasuki pintu dari barat laut tadi, alat2 rahasia di sini sudah mulai bergerak seluruhnya, maka berputarnyaHiolo raksasainipun
takperludibuatheran. Setelah direnungkan dengan kepala dingin, akhirnya dia
berkeputusan untuk berdiri tegak tak bergerak saja, akan dia
saksikan perubahan yang terjadi selanjutnya.
Setelah Hiolo tembaga itu berputar satu lingkaran, tiba2 malah
ambles turun ke bawah lantai, maka terunjuklah sebuah lubang
bundar di lantai marmer. Tergerak pikiran Kun-gi, pikirnya: "Mungkinkah kamar batu yang dimaksud berada di bawah lubang itu?"
Baru sekarang kakinya hendak bergerak, mendadak iapun
berpikir pula: "Tak mungkin, kalau aku turun, cara bagaimana pula kunaik kemari, padahal kamar bulat ini terdapat delapan pintu
yang mirip satu sama yang lain dan sukar dibedakan, bagaimana
aku bisa membedakan pintu yang ma-na merupakan jalan hidup
untuk keluar" Bila kesasar, akibatnya tentu fatal."
Karena itu diam2 ia memperhitungkan, kini dia berdiri ke arah
sana, pintu di belakangnya adalah jalan hidup masuk ke kamar ini, untukkeluarharus lewatkamar keduadari sebelah kiri.
Maka dia mengeluarkan tiga batang duri runcing, satu dia taruh
di lantai sebagai tanda tempatnya berpijak, lalu dia menuju lubang ditengah kamaritu.
Setibadi pinggir lubang dia melongak ke bawah, lubangdibawah
ini kosong melompong tiada undakan batu segala, keadaannyapun
gelap gulita. Ling Kun-gi tidak berani bertidak gegabah, Leliong-cu dia keluarkan, di bawah penerangan cahaya mu-tiara baru dia bisa melihat bahwa di bawah adalah sebuah kamar batu yang besar
dan luasnya mirip kamar atas di mana sekarang dia berada. Hiolo tembaga tadipun tampak tegak di tengah kamar bawah, tinggi
lubang kira2 ada dua tombak.
Dengan hati2 Kun-gi julurkan dulu kedua kakinya terus
menerobos turun, sebelumnya dengan tepat sudah dia
perhitungkan, begitu tubuhnya melayang turun dan sebelum
menyentuh Hiolo dengan tangkas ia jumpalitan sekali sehingga
badannya anjlok tepat di sebelah Hiolo.
Setelah berdiri tegak dia angkat tinggi Leliong-cu sambil
mengawasi keadaan kamar, ternyata bentuk kamar di bawah ini
bulat telur, pada dinding di depan kanan-kiri memang terdapat
gambar ukiran yang tajam, tepat di bawah dinding di depannya
terdapat sebuah meja sempit panjang yang terbuat dari batu hijau, di atas meja sempit ini tertaruh sebuab kotak kecil dari kayu
cendana, agaknya dalam kotak cendana itulah daftar anggota
Thayyang-kau disimpan, di samping itu terdapat sebuah tatakan
lilin dengan sisa lilin yang tinggal separo.
Hiolo tembaga terletak tak jauh di depan meja, kecuali semua
ini tiada benda lainnya lagi, pada dinding pualam di depannya
sebetulnya terdapat sebuah pintu, tapi kini sudah tersumbat oleh batu hijau.
Sedikit menerawang, mengingat waktunya amat mendesak,
maka kerja pertama yang harus segera dia lakukan adalah
menghancurkan daftar anggota Thay-yang-kau, sisa waktunya
untuk mempelajari lebih mendalam ilmu pedang yang terukir di
dinding, berapa banyak berhasil dia pelajari bergantung dari waktu dan kecerdasannya. Setelah berkeputusan, segera dia mendekat
mejasempit, dikeluarkan ketikan apiserta menyulut lilin.
Lalu kotak cendana dia angkat kesamping, gembok tembaga dia
tabas putus dengan Seng-ka-kiam serta membuka tutupnya,
ternyata kotak cendana setinggi dua kaki ini terbagi dua susun, susun atas dibatasi kayu yang amat cetek sekali, di mana terdapat buku tulisan tangan, pada sampul buku tertera huruf2 yang
berbunyi "Thay-yang-yam-sim-hoat"
Tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Mungkin ini buku catatan Tuan Puteridarihasil ciptaannya."
Ia coba membalik lembaran pertama, tampak lembar pertama
memuat ilmu pelajaran Thay-yang-sinkang, disusul lagi adalah
Thay-yang-cay, Thay-yang-hu-hoat-pat sek, buku setebal sepuluh
lembar ini ternyata penuh tulisan hurup2 bergaya indah, dipinggir tulisan terdapat pula gambar dan keterangannya.
"Inilah ilmu ciptaan Tuan Puteri, sudah tentu tak boleh
dihancurkan," demikian batin Kun-gi, dengan hati2 dan lempit buku tipis ini laludisimpan ke dalamsakunya.
Di lapisan bawah kotak terdapat tiga buku tebal yang penuh
tertulia nama dan alamat tokoh2 silat dari berbagai aliran, pada sampul buku pertama terdapat judul yang berbunyi "daftar
anggota Thay-yang-kau, pahlawan pejuang kerajaan Beng pada
jaman Tingbin." Secara iseng Kun-gi membalik beberapa halaman, dilihatnya
nama tokoh2 kenamaan dari Siau-lim, Hoa-san, Bu-tong, Liok-hap
bun, Pat-kwa-bun dan lain2 aliran, ada pula orang2 Thianli kau, Toa-to hwe, Kay-pang, Tong-thing-pang dan banyak Pang atau
Hwe lainnya, ada pula keluarga dari marga Ban di Ui-san, demikian pula orang2 dari keluaga Tong dari Sujwan serta keluarga besar
persilatan lainnya yang kenamaan di Kangouw.
Diam2 Kun-gi menghela napas, bahwa untuk membangkitkan
lagi kerajaan leluhurnya betapa berat dan susah payah Tuan Puteri telah berkelana di Kangouw, daftar nama tokoh2 persilatan yang
kesohor serta gembong2 dari golongan hitam dan aliran putih ini sebagai bukti nyata bahwa dengan dukungan kaum patriot bangsa
dari kaum persilatan, usaha Tuan Puteri masih mengalami
kegagalan, ini hanya boleh dikatakan takdir memang sudah
menghendaki demikian. Apa yang dikatakan Yong King-tiong dalam hal ini memang tidak
salah, bila ketiga buku daftar ini terjatuh ke tangan pihak kerajaan yang berkuasa sekarang, meski banyak tokoh2 yang namanya
tercantum dalam daftar ini sudah almarhum, tapi anak cucu
mereka akan tetap ditangkap dan dipancung kepalanya, kalau hal
ini betul2 terjadi betapa luas rentetan penangkapan besar2an ini, sungguh akan banyak sekali korban jiwa manusia yang tidak
berdosa. Maka dia tidak banyak lihat lagi, ketiga buku dia tumpuk di atas meja, ia mengerahkan Lwekang pada kedua tangannya
pelan2 dia menekan tumpukan buku itu.
Kira2 sepemasakan air kemudian baru dia menarik tangannya,
sekenanya dia menepuk sekali, maka tumpukan tiga buku itu
seketika berhamburan menjadi bubuk lembut tercecer di lantai.
Dua tugas sudah dia laksanakan satu, kini tiba saatnya dia mulai mempelajari dan menyelami ajaran ilmu pedang peninggalan
Tiongyang Cinjin di dinding. Maka dia melewati meja sempit
mendekati dinding serta memandang dengan cermat.
Dinding pualam seluas satu tombak ini terukir seorang kakek
berdandan sebagai Tosu (imam) duduk bersimpuh, gayanya duduk
bersimpuh ini tampak bayangan perubahan dari tiga gaya
lanjut-an, gaya yang satu dengan yang lain agak aneh dan
berbeda, perubahan gaya si imam mirip seorang yang lagi
melangkah di tengahawan, tam-pakhidup dan mengagumkansekali.
Di samping ukiran si imam tua bersimpuh di-beri keterangan
sebagai petunjuk latihan terdiri da-ri empat baris tulisan. Sambil berdiri mematung memusatkan daya pikirnya, Kun-gi terpesona
sekian lamanya, tapi kemudian ia seperti berhasil menyelami
sesuatu, terasa bahwa ilmu yang ter-ukir di dinding ini adalah ilmu latihan pernapasan tingkat tinggi dari aliran To (Tau). Setelah yakin apalbenarakangambarinibaru Kun-gi pindah kedinding kiri.
Dinding di sini berbentuk agak panjang, dari kanan ke kiri
seluruhnya ada enam gambar ukir-an, seorang yang sedang
bermain pedang, ada yang sedang melompat, menusuk dan
menabas, gayanya indah dan mengagumkan.
Tiga ukiran dibagian terdepan adalah Hwi-liong-sam-kiam, cuma
tiada huruf keterangan di dinding, juga tiada nama gaya dan
gerakannya, kini jelas bahwa nama2 Sinliong jut hun,
Liong-janih-ya dan jurus lainnya adalah nama2 pemberian Lohwecu (kakek luar) sendiri.
Dari gambar pertama ber-turut2 dia pelajari sampai gambar
keenam, setiap gambar dia perhatikan dengan segenap daya
pikirnya, setiap gerak jurus dan variasinya dia ikuti dengan cermat, di samping jari2 tangan bergerak seperti pedang menirukan gaya
permainan gambar ukiran. Memang Kun-gi seorang yang cerdik, apalagi ilmu pedang
terlatih selama sepuluhan tahun, maka taraf ilmu pedangnya boleh dikatakan cukup sempurna, terutama Hwi-liong-sam-kiam warisan
keluarganya sudah teramat apal sekali, gambar di dinding
sambung bersambung darisatu ke lain gambardiawali pula dengan
Hwi-liongsam-kiam, maka dengan mudah dan lancar dapatlah dia
selami dengan baik. Habis mempelajari keenam gambar ini, lalu dia pindah ke
dinding sebelah kanan. Seperti dinding sebelah kiri, pada dinding sebelah kanan ini juga terukir enam gambar orang bermain
pedang, tapi gambar di sini ada sedikit berbeda, yaitu gambar
ketujuh sampai kesembilan masih merupakan kelanjutan dari
permainan pedang yang harus dilancarkan melompat sambil
menusuk dan membabat, tapi mulai gambar kesepuluh sampai
kedua belas, hanyalah seseorang berdiri memeluk pedang dan
bersimpuh seperti orang semadi, malah gaya ketiga gambar ini
mirip satu dengan yang lain, sukar diraba dan dibedakan di mana letak keanehan dan kemujijatannya". Secara singkat Kun-gi
mengamati dulu keenam gambar ini, lalu diulangi pula dari gambar ketujuh, satu persatu dia pelajari dan selami dengan hati2 sampai gambar kesembilan. Karena pelajaran enam gambar terdepan
sudah merasuk dalam benaknya, maka ketiga jurus ilmu pedang
sambungan ini dengan sendirinya dapat dipahaminya dengan cepat
dan mudah. Tapi mulai jurus kesepuluh sampai kedua belas dia
benar2 harus memeras otak, diamat2i kian kemari, tetap
kebingungan dan tak tahu ke mana juntrungan ajaran gambar
orang memeluk pedang ini serta letak intisari dari gaya yang
sederhana ini" Cukup lama Kun-gi memperhatikan ketiga gambar
terakhir ini, tapi tetap tak berhasil menyelaminya, terpaksa dia tinggalkan dulu, sembilan jurus ilmu pedang di bagian depan
kembali dia ulangi dan dilatih dengan lancar, dengan pedangnya
dia mainkan sembilan jurus ilmu pedang itu.
Sudah tentu tiga jurus di bagian depan yang diyakinkan sejak
kecil dia mainkan dengan bagus sekali, tapi mulai jurus keempat sampai kesembilan, setiap jurusnya ditambah perubahan dan
variasi yang membingungkan, untung dia sendiri memang sudah
punya dasar yang kuat, kecuali latihan permulaan yang terasa
masih kaku, setelah dia ulangi beberapa kali, meski belum dapat bergerak bebas dan wajar, tapi sembilan puluh persen gaya
permainan ilmu pedang ini sudah dapat dikuasai dengan baik.
Untuk melancarkan keenam jurus ilmu pedang ini kira2
menghabiskan waktu setengah kentongan (setengah jam),
mengingat waktu amat mendesak, apalagi untuk sekaligus
mengapalkan seluruhnya jelas amat sulit. Terhadap ketiga gambar terakhir dia masih belum berhasil, terasa bahwa ketiga gambar ini pasti mengandang arti yang luas, setelah keluar dari sini takkan mungkin kembali lagi, maka kesempatan ini betapapun tak boleh
disia2kan. Maka dia simpan pedangnya dan kembali dia berdiri di depan
dinding, memusatkan dan menjernihkan pikiran, dengan lebih teliti dia bedakan ketiga gambar ini. Tapi sudah berulang kali dengan
cara yang berbeda dia coba menyambung kesembilan jurus ilmu
pedang bagian depan dengan gaya memeluk pedang ini,
betapapun dia tetap mengalami kegagalan, rasanya ketiga gaya
memeluk pedang ini seperti petilan tersendiri dari sembilan jurus di depannya. Tapi hal ini bagi Ling Kun-gi justeru dirasakan adanya keanehan yaang tersembunyi pada ketiga jurus terakhir ini, sayang pengetahuan sendiri teramat cetek sehingga sesingkat ini tak
berhasil memahaminya. Akhirnya Kun-gi ambil keputusan, pikirnya "Umpama tak
berhasil kuselami, kenapa ketiga gaya bersimpuh ini tidak kucatat saja perubahan satu dengan yang lain, kelak bila ketemu Suhu,
akan kutanya dan mohon petunjuknya saja." Maka dengan tekun dia berusahamerekamketiga gambarterakhir inidalambenaknya.
Tak terduga dalam penelitiannya terakhir ini baru disadarinya
bahwa ukiran pada bagian gambar pertama ada goresan pada
lempitan baju yang agak cetek, tapi gambar kedua goresannya
lebih dalam dan lebar, malah pada gambar ketiga kedua mata
orang tampak sedikit memicing, seperti menatap tajam ke ujung
pedang yang dipeluknya. Jadi ketiga gambar ini hanya ada sekian kecil perbedaannya, kalau tidak diperhatikan betul2 tentu sukar membedakan satu dengan yang lainnya. Kini setelah dia rekam
dengan baik ke dalam benaknya, maka tak perlu tinggal lama2 lagi di sini.
Setelah membetulkan pakaiannya, dengan laku hormat dia
berlutut dan menyembah ke arah meja sempit, dalam hati dia
berdoa supaya Tiong-yang Cinjin memberkati kesuksesan pada
dirinya yang menunaikan tugas berat ini, serta menyatakan
bersyukur bahwa dia telah berhasil mempelajari ilrnu pedang
peninggalannya. Lalu dia berdiri, meniup padam lilin, sekali tutul kaki, badannya seketika melejit keluar dari lubang bundar.
Berada di kamar sebelah atas, dia mengambil kembali duri
bengkok yang dia taruh tadi sebagai tanda, langsung dia
melangkah ke arah pintu kedua di sebelah kiri. Kira2 tiga langkah sebelum dia sampai mendorong pintu, daun pintu tahu2 terbuka
sendiri, didengarnyasuaragemuruhdibawah lantai.
Diam2 Kun-gi membatin: "Sejak tadi aku sedang keheranan,
kenapa Hiolo tembaga itu belum juga muncul kembali ke tempat
asalnya" Ternyata setelah aku keluar melalui pintu tertentu ini dan setelah pintu terbuka, itu berarti setelah orang yang berada di kamar sudah keluar baru suara gemuruh itu terdengar, suatu tanda bahwa Hiolo besar itu sedang bergebrak naik ke tempat asalnya,
Sinswi cu itu memang seorangahliyangjempolan."
Hati membatin langkah tetap beranjak, tanpa menoleh langsung
dia melangkah keluar pintu, baru beberapa langkah, "blang", pintu di belakangnya kembali menutup sendiri, Kini dia kembali melewati lorong panjang yang diapit dinding marmer, bentuk dan keadaan di sini mirip lorong waktu dia masuk tadi. Jalan yang ditempuhnya ini memang yang pa-ling aman sesuai petunjuk tadi, maka dengan
leluasa dan lancar dia terus berjalan ke depan tanpa mengalami
rintangan apapun. . Setiba di ujung lorong sempit dia dorong pintu terus keluar, kini dia berada di serambi bundar dan menyusuri jalan datangnya
semula kembali ke arah selatan, di ujung serambi adalah batu
undakan. Kedua tugas berat berhasil dia capai dengan baik, sudah tentu
perasaannya lega, maka langkahnya terasa ringan dan cepat sekali dia sudah tiba di ujung undakan.
Tampak pada tempat keluar ada sebatang besi tegak ke atas,
bagian atas bergantungan sepuluh bo-la batu, sementara ujung
yang di bawah terikat pada sebuah batu raksasa, jadi seperti
setengah menyanggah batu bulat itu, sehingga sulit bagi orang di luar untuk membukanya.
Waktu masuk tadi Kun-gi menghabiskan tenaga untuk menarik
bola batu itu ke atas dan di sanggah lebih lanjut oleh batang besi itu, kini untuk keluar, sudah tentu dia harus menyanggah pula bola batu itu. Maka dia kerahkan tenaga pada kedua lengannya, pelan2
mendorongnya ke atas. Tak terduga meski mendorongnya sampai mata mendelik bola
batu itu tetap tak bergeming. Keruan ia heran dan bingung. Sejak masuk Ui-liong-tong pengalamannya cukup banyak, dia tahu bila
pintu rahasianya terpasang oleh alat rahasia pasti tak mung-kin dibuka oleh tenaga manusia melulu. Bahwa bola batu tak kuasa
diangkatnya, maka dia yakin pasti ada alat rahasianya untuk
membuka. Maka dia perhatikan dinding di kanan-kirinya.. Tampak di atas
dinding sebelah kanan bergantung sebuah roda besi sebesar mulut mangkuk, hatinya menjadi girang, pikirnya: "Mungkin di sinilah letak rahasianya." Segera ia pegang roda itu terus menariknya.
Maka didengarnyasuaragemerujukairyang mengalirseperti dituang.
"Waktu aku masuk tadi," demikian batin Kun-gi, "air kolam sudah menurun sedalam lima tombak saja, mungkin setelah bola
batu ini kembali ke tempat asalnya, airpun mengalir balik setinggi keadaan semula, kini kalau aku hendak keluar dari sini sudah tentu air kolam harus diturunkan sehingga pucuk karang menongol di
luar permukaan baru aku bisa membuka bola batu ini, kalau tidak air akan mengalir masukke dalamsini."
Dengan sabar dia menunggu, sementara suata gemerujuk air
masih terus terdengar, kira2 setanakan nasi kemudian, suara
gemuruh mulai sirna, tiba2 batang besi penyangga bola berputar
naik sendiri, maka terbukalah sebuah lubang bundar. Tanpa ayal
Kun-gi segera menerobos keluar dari lubang itu.
-ooo0dewikz0ooo Luas Hek-liong-tam dua puluh empat tombak, dikelilingi tebing
yang curam. Kentongan keempat sudah berselang dan menjelang
kentongan kelima, waktu sebelum fajar menyingsing adalah saat2
yang paling gelap. Kolam naga hitam dilingkupi kabut hitam yang tebal lagi, walau
lima jari tangan sendiripun tidak terlihat, apalagi berhadanan, bayanganpun tidaktampak.


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di ujung sebelah selatan kolam terdapat sebuah jalan ber-liku2
warna hitam, jalan melingkar naik ini terus menembus ke arah
selat lembah yang di apit dua gunung. Itulah satu2nya jalan keluar dari kolam naga hitam ini. Tatkala itu, tampak sesosok bayangan orang tengah lari berlompatan bagai terbang meluncur ke arah
lembah yang menuju ke Hek-liong-tam.
Tiba2 terdengar kumandang hardikan seorang: "Siapa?"
berbareng muncul dua bayangan orang di mulut lembah, dari
kanan kiri kedua orang ini merintangi orang tadi.
Suasana sedemikian pekat sehingga wajah oraag pun sukar
terlihat meski dalam jarak yang dekat, yang kelihatan hanya dua bayangan hitam yang samar2 belaka. Jelas bahwa kedua orang ini
mengenakan pakaian serba hitam pula, sampaipun pedang di
tangan merekapun berwarna hitam.
Tapi pendatang itu juga mengenakan seragam hitam, malah
pakai kedok kepala segala, yang kelihatan juga hanya sosok hitam belaka.
Baru saja kedua bayangan hitam itu menghardik dan belum lagi
gema suara mereka lenyap, bayangan hitam yang datang itu tahu2
sudah berada di depannya, tanpa bersuara kontan ia ayun tangan, tiba2 selarik sinar pedang menyambar keluar seiring gerakan
tangannya, sekali berkelebat sinar pedangnya tiba2 berpencar
mengincar tenggorokan kedua orang yang mengadang di
depannya. Samberan pedang si baju hitam ini bukan saja cepat laksana
kilat juga ganas sekali, sehingga lawan yang diserang menjadi
kelabakan dan tak mampu menangkis atau berkelit. Tapi kedua
lawan inipun bukan kaum lemah, sigap sekali mereka menyingkir
ke samping, berbareng pedang mereka serempak juga bergerak,
bayangan dua batang pedang dari kirikanan sekaligus menyamber
si baju hitam. Si baju hitam menyeringai, pedang berputar, selarik sinar kembali membabat miring kedua la-wannya, bukan saja gaya
silatnya indah, serangan yang dilancarkan inipun aneh, lihay dan banyak perubahannya, sungguh ilmu pedang yang tak mudah
dilawan. Baru saja orang di sebelah kiri bergerak maju, belum sempat
menarik pedangnya untuk menangkis, sinar pedang lawan tahu2
sudah menabas tiba, terdengar jeritan ngeri, pinggangnya terbabat putus, darahpun muncrat, tubuhnya mengelinding ke bawah
jurang. Melihat kawannya binasa, sudah tentu orang di sebelah kanan
serasa terbang sukmanya, saking kaget dia melompat mundur
sambil putar pedang melindungi badan, sementara tangan kirinya
sudah merogoh kantong mengeluarkan sebuah sempritan perak
dan hendak dijejalkan ke mulut.
Padahal gaya tebasan pedang si baju hitam baru saja
membinasakan seorang musuh, untuk di tarik balik dan menyerang
lawan yang lain jelas tidak sempat lagi, terpaksa dia ayun sebelah tangannya, segulung tenaga raksasa seketika menerjang ke depan.
Lwekang si baju hitam ternyata hebat luar biasa, belum lagi
orang di sebelah kanan itu sempat meniup peluitnya, pukulan
lawan sudah menerpa dadanya, seperti bola yang kena pukulan
telak, badan orang ini tiba2 mencelat jungkir balik sam-bil
menghamburkan darah, badannya terguling dan akhirnya tak
berkutik lagi. Kuatir musuh yang satu ini belum binasa dan sempat meniup
peluitnya, si baju hitam segera melejit maju, sekali pedang
terayun, dada orangpun ditambah sekali tusukan pula. Pada saat
itulah, mendadak ia seperti merasakan sesuatu, dengan sigap
segera ia membaliksembari membentak: "Siapa?"
Dingin dan singkat hardikan suara ini, tapi nadanya yang
nyaring jelas keluar dari mulut seorang perempuan. Memang tidak keliru
perasaannya, tampak sesosok bayangan orang tengah melejit
rnendatangi dari celah2 ngarai yang curam di seberang sana. Sorot mata si baju hitam seterang lampu menembus cadar mengawasi
pendatang itu. Aneh pendatang inipun berpakaian serba hitam, iapun
mengenakan cadarhitampula, dipundaknya menongol keluarujung
gagang pedang. Dalam sekejap orang itu sudah melayang tiba,
teriaknya kejut2 girang: "Kaukah dik?" Suaranya juga seorang perempuan.
Setajam pisau sorot mata si baju hitam yang datang lebih dulu,
sikapnya tampak melengak ka-get dan bingung, jawabnya dengan
suara dingin: "Siapa kau?"
"Bukankah kauadikJi-hoa?", tanyapendatangbaru.
Hanya sekian saja perubahan sikap si baju hitam yang datang
duluan, suaranya kedengaran ketus dan kasar: "Bukan!"
Pendatang baru tiba2 menghela napas rawan, ucapnya: "Ai,
meskisudahduapuluh tahun kitatidakbertemu, tapisuaramutetap
kukenal dengan baik."
"Memangnya kenapa kalau kau kenal suaraku?" jengek si baju hitam yang datang duluan.
"Dik," haru dan pilu suara pendatang baru, "betapapun kita tumbuh dewasa bersama sejak kecil, hubungan kita bagai
saubdara kandung bedlaka, setelah aadik pergi, selabma dua puluh tahun ini, sebagai kakakmu setiap saat senantiasa kukenang dan
merindukan dikau. .. .. .."
"Tutup mulut," bentak si baju hitam yang datang duluan.
"Siapakah adikmu itu?"
Agaknya pendatang baru itu sudah menyangka orang akan
bertanya demikian, suaranya tetap sabar dan lembut: "Adik tidak mengakui aku sebagai kakak, ini tidak jadi soal, betapapun aku
dibesarkan dan diasuh oleh ayah, aku dipandang sebagai puteri
sendiri, betapa besar budi kebaikannya terhadapku tak bisa tidak akuharustetap memandangmu sebagaiadik."
"Sudah selesai ocehanmu?", jenpek si baju hitam yang datang duluan.
"Kudengar adik mendirikan Pek-hoa-pang, kini sudah menjadi Thay-siang-pangcunya pula," ujar pendatang baru.
Ternyata si baju hitam yang datang duluan adalah Thay-siang
dari Pek-hoa-pang, tak heran memiliki Lwekang dan kepandaian
setinggi itu, hanya sekali ayun pedangnya sekaligus telah
membunuhduaahlipedangyangbertugasjagadi Hek-liong-tam.
"Betul," jawab si baju hitam yang datang duluan atau
Thay-siang "Sebagai Thay-siang dari Pek-hoa-pang, adik sudah mengerahkan segenap kekuatan Pek-hoa-pang meluruk kemari,
seharusnya kau tumpas dan menuntut balas dulu pada
pengkhianat bangsa yang sekarang mengangkangi Hek-liong-hwe,
kenapa adik justeru hanya main gertak dengan tiga barisan anak
buahmu sementara kau sendirisecaradiam2larikemari malah?"
"Kenapa aku harus menuntut balas kepada keparat yang
menjual bangsa dan Hek-liong-hwe" Han Janto kan tidak
membunuh suamiku,kenapaakuharus
menuntutbalasbagioranglain?"
Bergetar tubuh pendatang baru, jelas hatinya tengah bergejolak
dan sedang menekan perasaannya, sesaat kemudian baru dia
berkata pula: "Memangnya adik sendiri bukan orang Hek-lionghwe?"
"Sejak lama aku bukan orang Hek-liong-hwe lagi," jawab si baju hitam yang datang duluan.
"Memangnya kau tega dan rela Hek-liong-hwe yang didirikan
susah payah oleh beliau jatuh ketangan musuh" Tanpa terusik
sedikitpun perasaanmu?"
"Ayah sudah meninggal, setelah orangnya mati segala urusan impas, Hek-liong-hwe direbut orang dari tangan orang she Ling, ini bukti bahwa dia tidak becus. Memang jerih payah ayah selama tiga puluhan tahun harus dibuat sayang, tapi setelah berada
ditangannya justeru beralih ke tangan bangsa lain, itu berarti dia orang yang paling berdosa dalam Hek-liong-hwe, inipun
membuktikan pandangan ayah sudah kabur, salah menilai orang
yang tidak setimpal menerima warisannya, apa pula sangkutpautnyasoalini dengandiriku?" Saking dongkol gemetar sekujur badan pendatang baru, tapi dia tetap bersabar, katanya sambil
menghela napas: "Sudah dua puluh tahun beliau meninggal, kau masih membencinya begini rupa?"
"Kaulah yang kubenci," teriak si baju hitam yang duluan, suaranya sengit.
"Jangan kau salahkan aku dik," ujar pendatang baru, "ayah sendiriyangambil keputusan."
"Maka akupun tidak peduli kepada beliau, seolah dia bukan ayah kandungku," desissibaju hitamyangdatangduluan.
"Dik, betapapun ayah tetap ayah, tiada orang di dunia ini yang tidak mengakui ayah kandungnya sendiri, jangan kau berbicara
demikian." "Kenapa tidak boleh kukatakan demikian" Justru karena usianya sudah terlalu lanjut, kalau dia tidak loyo memangnya
Hek-liong-hwe bisa direbut musuh secepat itu . . . . "
Orang yang datang belekangan agaknya naik pitam, katanya
keras: "Kularang kau bilang begini."
"Berdasar apa kau larang aku bicara" Aku justru ingin blak2an, dulu kalau yang dikawinkan dia adalah aku, tentu aku akan
membantu dia mengurus Hek-liong-hwe dengan baik, teratur dan
beres, mungkin sampai hari ini Hek-liong-hwe tetap Hek-liong-hwe yang jaya dulu, takkan jatuh ke tangan bangsa lain, usianya saat ini sebetulnya baru empat puluh lima, kenapa dia harus mati pada usia dua puluh lima."
Agaknya sengaja dia hendak menusuk perasaan si pendatang
baru, maka tanpa menunggu reaksi orang dia sudah
menambahkan lebih pedas: "Coba kau lihat, dengan kedua
tanganku yang kosong ini, bukankah kuberhasil mendirikan
Pek-hoa-pang, kekuatan dan kebesaran Pek-hoa-pang tidak lebih
asor dibandingkan Hek-liong hwe."
Setiap patah katanya setajam ujung pisau meng-ancam ulu hati
pendatang baru itu, tanpa terasa dua jalur air mata tiba2
bercucuran dari balik kedoknya katanya mengangguk : "Ucapanmu memang benar dik. Memang salah ayah, aku sendiri juga terlalu
tidak becus, seharusnya aku hanya pantas berjodohkan seorang
kampungan, menjadi isteri alim dan mendidik putera puteri belaka, memang aku tidak setimpal berjodohkan dia, apalagi dia seorang
pahlawan yang memikul tanggung jawab besar, memang akulah
yang bikin celaka dia . . . ." akhirnya dia menangia ter-guguk2.
Si baju hitam yang datang duluan menyeringai puas, katanya:
"Sayang kau insap setelah terlambat." Tanpa melirik lagi segera dia membalikbadanterusberlari kecelah2 mulut lembahsana.
Pendatang baru itu terketuk perasaaannya dia lagi tenggelam
dalam kepiluan sehingga air mata bercucuran, serta mendengar
orang melangkah pergi cepat dia menyeka air mata: "Dik, lekas berhenti. !"
Si baju hitam yang duluan menjadi tidak sabar, teriaknya juga:
"Akutidakpunyawaktu mendengarkanobrolanmu."
"Untuk apa adik pergi ke Hek-liong-tam?", tanya si pendatang baru.
"Kenapa aku harus beritahukan padamu?"
"Kau kemari untuk mempelajari ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin di dasar gua itu bukan?"
"Memangnya aku tidak boleh turun ke sana?"
"Dik, kau kan tahu, air kolam itu teramat beracun, kecuali Leliong-cu, tiadaobatpenawarlaindidunia ini."
"Kau bawa Leliong-cu itu?"
"Akutidakpernah memiliki Leliong-cu."
Lama si baju hitam yang datang duluan menatapnya lekat2,
tanyanyadingin: "Laluuntukapapula kaukemari?"
"Aku sengaja kemari untuk membujuk dan mencegah kau
menyerempet bahaya."
"Urusanku sendiri, tak perlu kau ikut campur," jengek si baju hitim yang datang duluan, mendadak dia melangkah pergi lebih
cepat, tahu2 dia sudah menyelinap keluar celah2 lembah,
menyusuri jalan kecil berliku terus menuju ke bawah.
Pendatang baru tak bersuara lagi, secara diam2 iapun mengikut
di belakang orang. Tiba2 si baju hitam yang duluan membalik
badan, tangannya memegang sebatang pedang kemilau, ujung
pedangnya menuding dan sorot matanya memancar dingin,
hardiknya: "Setapak lagi kau mengikuti aku, jangan menyesal kalau pedangditanganku takkenal kasihan."
Terhenti langkah pendatang baru, katanya dengan rawan:
"Mungkin adik berhasil, membuat semacam obat penawar getah beracun itu, tapi kolam ini sedalam dua puluh tombak, kadar
racunnya juga teramat besar, kecuali Leliong-cu, apapun tak bisa .
. . . . ..." "Urusanku tak perlu kau tahu," bentak si baju hitam yang duluan. "kalau kau tidak menyingkir, jangan salahkan aku
bertindak keji padamu."
Tanpa hiraukan orang segera dia berkelebat ke depan, larinya
bagai terbang meski berjalan di jalan gunung yang licin dan
berlumut. Di antara lembah yang diapit gunung, kabut sudah mulai ber-gulung2 tiba, luncuran tubuhnya laksana meteor, dalam
sekejap saja ia sudah lenyap ditelan kabut.
Pendatang baru menarik napas, dia diam saja tidak mengikuti
orang lagi, tapi membalik ke arah timur terus menyusuri sebuah
jalanan kecil yang berlumut tebal, jalan di sini tak pernah diinjak manusia.
Kabut masih tebal di Hek-liong-tam, lima jari sendiri tak
kelihatan, Si baju hitam yang datang duluan itu memang
Thay-siang Pek-hoa-pang, sejak kecil dia dibesarkan di
Hek-liong-hwe, maka jalan dan liku2, di dasar perut gunung ini dia sudah apal di luar kepala. Walau kabut teramat tebal, tapi tak
membawa pengaruh apapun bagi gerakannya, langkahnya tidak
menjadi kendur karenanya, badannya meluncur bagai terbang
langsung menuju ke kolam.
Setiba di pinggir lain, langkahnya tampak lebih hati2, sedikitpun tak berani lena, mengitari dinding sebelah timur, terus maju dan mulai injak pagar batu. Tujuannya jelas ke arah utara di mana
kepala naga itu berada, tapi tatkala kakinya mulai beranjak di
pagar batu itu, jantungnya tiba2 berdetak keras.
Ternyata didapati di tengah kabut di depat sana ada orang,
jaraknya tinggal setombak saja. Sudah tentu ketika dia melihat
orang di depannya, orang di depan yang memiliki kepandaian tidak rendah juga segera melihat kedatangannya. Betul juga di tengah
kabut itu lantas berkumandang sebuah hardikan: "Siapa?"
Sudah tentu Thay-siang tidak pandang sebelah mata para
penjaga Hek-liong-tam ini meski dia seorang ahli pedang, dengan tegas ia menyahut: "Aku!"
Belum lenyap suara "aku" tiba2 bayangannya melejit maju, pedangnya menusuk cepat ke ulu hati lawan.
Tapi Kungfu orang itu ternyata juga amat tinggi, ketika
dilihatnya sinar dingin berkelebat tiba, ia kaget juga, cepat ia membentak: "Kau bukan orang kita"!"
Pedang yang semula melintang di depan dada segera
didorongnya ke depan, gerakannya tidak kencang, tapi laras
pedang seluruhnya dilandasi kekuatan dalam, jelas ilmu pedangnya sudah mencapai taraf yang sempurna. Maka terdengarlah suara
"trang", serangan Thay-siang laksana kilat itu kena dipatahkan oleh lawan.
Bahwa serangan yang disiapkan lebih dulu dengan landasan
kekuatan hebat dapat dipatahkan lawan, keruan terkesiap hati
Thay-siang, jengeknya: "Sudah tentu aku ini bukan orang
Hek-lionghwe." Belum lagi pedangnya ditarik, tangan kirinya sudah melancarkan
pukulan yang dahsyat. Lwekangnya amat tangguh maka pukulan
yang dilontarkan lihay sekali, baru saja suara benturan kedua
senjata bergema, pukulan telapak tanganpun melandai tiba.
"Serangan bagus," teriak orang itu dengan gusar. Tanpa ayal iapun gerakkan telapak tangan kiri, sekuatnya dia menepuk sekali memapak serangan lawan. Lwekang yang diyakinkan orang ini
agaknya tidak lebih asor daripada Thay-siang, maka tepukan
tangan yang dilancarkan dengan gusar ini sungguh kuat sekali.
"Plak", begitu kedua tenaga saling bentur, terdengarlah suara keras, hawa bagai bergolak di sekitar tubuh mereka sehingga
menimbulkan angin kencang, pakaian kedua orang melambai2.
Thay-siang betul2 kaget, pikirnya: "Kepandaian orang ini begini tinggi, waktuku amat terbatas, aku harus cepat membereskan dia."
Mendadak dia lancarkan pula serangan aneh dan ganas, di mana
pedangnya terayun, memancarkan cahaya terang melingkar bagai
samberan kilat sehingga kabutpun tersampuk buyar.
Karena pancaran sinar ini, tertampaklah di depannya berdiri
seorang laki2 berjubah hijau berperawakan tinggi kekar, air
mukanya mengunjuk rasa kaget, pedang hitam ditangannya
berputarcepat, mendadakia berteriakgugup:" Harapberhenti!"
Betapa sengit dan cepat gerakan pedang kedua belah pihak,
belum lagi teriaknya lenyap, terdengarlah suara "trang-trang"
benturan yang keras. Dalam sekejap itu, senjata kedua orang
saling beradu belasan kali, padahal mereka hanya bergebrak satu jurus belaka.
Setelah sinar pedang sirna, Thay-siang masih tetap berdiri di
tempatnya, sementara laki2 jubah hijau menyurut mundur tiga
langkah. Karena rasa membunuh sudah membakar, maka Thaysiang mendesis pula: "Bagus, nah sambutlah sejurus lagi."
"Tahan sebentar, tahan sebentar!" teriak si jubah hijau.
"Berhenti dulu, coba dengarkan sepatah kataku."
Terpaksa Thay-siang berhenti, namun pedangnya tetap siaga,
serunya; "Mau omong apa, lekas katakan!"
"Losiu mohon tanya, bukankah jurus pedang yang Hujin
lancarkan barusan adalah Sinliong-jut-hun?"
Seperti diketahui Sinliong-jut hun dari Hwi-liong-sam-kiam harus dilancarkan dengan tubuh terapung di udara, tapi Thay-siang
sudah meyakinkan jurus ini selama dua puluhan tahun dan sudah
kelewat sempurna, maka cukup dengan mengayun tangan saja
tanpa mengapungkan badan, gerakannya malah dapat berubah
sesuka hatinya, apalagi dilandasi kekuatan Lwekangnya, sinar
pedang yang tajam itu dapat diulur untuk melukai musuh, maka
tanpa melejit ke udara ia tetap bisa melontarkan jurus serangan lihay ini.
Kalau si jubah hijau tidak memiliki ilmu pedang tingkat tinggi
mana dia mampu mematahkan serangan yang begitu hebat,
pengetahuan dan pengalamannya yang luas menjadikan dia kenal
betul jurus pedang yang dilancarkan lawan meski gerak dan
gayanya berbeda. Sinar mata Thay-siang berkilat hijau, katanya sambil
menyeringai: "Kau dapat mengenali ilmu pedangku, menandakan kaucukup lihay . . . . "
Belum habis bicara, tiba2 laki2 jubah hijau berjingkrak girang
sembari berkeplok, lalu menjura dengan gugup, katanya: "Kiranya Ling-hujin adanya, Losiu . . . . "
Thay-siang segera menukas: "Aku bukan Ling-hujin."
Laki2 jubah hijau tertegun, katanya: "Barusan Hujin
melancarkan Sin liong-jut-bun, kalau engkau bukan Ling hujin,
habis siapa?"

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memangnya hanya Ji-giok yang mampu melancarkan jurus
pedang itu?" jengek Thay-siang.
Bergetar badan laki2 jubah hijau, sekejap dia melenggong
mengawasi Thay-siang, mendadak dia menjura dan berkata: "Ah, kiranya engkau adalah Jikohnio, maaf Losiu berlaku kurang adat."
Jikohnio alias nona kedua. Yaitu seperti telah diceritakan, Thaysiang adalah puteri kandung Lo-hwecu Thi Tiong-hong, namanya
Thi Ji-hoa. Sikap Thay siang tampak kikuh, katanya tegas: "Sekarang aku adalah Thay-siang dari Pek-hoa-pang.
Cepat si jubah hijau mbengiakan: "Ya, ya, Cay-he menghadap Thay-siang."
"Darimana kau tahu akan diriku?" tanya Thay-siang.
Laki2 jubah hijau menjura pula, katanya: "Cayhe Yong Kingtiong, cukup lama mengikuti Lohwecu, sudah tentu kukenal baik
nona." "Apa jabatanmu sekarang dalam Hek-liong-hwe?" tanya Thaysiang.
"Sungguh memalukan, Cayhe pernah mendapat budi
pertolongan Lohwecu, atas kebijaksanaannya Cayhe diangkat
sebagai Congkoan Hek-liong-hwe, selama dua puluh tahun ini aku
selalu berdoa dan mengharap akan datang suatu ketika dapat
bebas merdeka, kini beruntung Jikohnio telah kemari, Ling kongcu tadipun telah kemari, syukurlah bahwa penantianku selama
initidaksia2." "Ling-kongcu juga kemari", kata2 ini membuat Thay-siang tertegun heran, tanyanya: "Apa katamu" Siapa itu Ling-kongcu?"
"Ternyata Jikohnio belum tahu, Ling-kongcu adaalah putera
Linghwecu, Thian memang maha adil, Ling-kongcu dilahirkan
setelah ayahnya meninggal."
Tergerak hati Thay-siang, batinnya: "Tak heran Ji-giok juga muncul di sini, kiranya ibu beranak itupun telah kemari." Lalu dia bertanya dengan menatap tajam: "Kau sudah melihat puteranya Ling Tiang-hong, siapa namanya?"
"Dia bernama Ling Kun-gi." sahut Yong King-tiong.
"Ling Kun-gi?" Hal ini benar2 diluar dugaan, Sorot matanya dibalik cadar
tampak semakin dingin, dengusnya: "Kiranya dia, masa dia tidak mampus!" Mendadak dia mendelik pada Yong King-tiong, tanyanya gelisah: "Di mana sekarang dia?"
Yong King-tiong adalah jago kawakan Kangouw sudah tentu dia
merasa ganjil akan nada pertanyaan Thay-siang, naga2nya
mengandung maksud kurang baik.
Memang sejak kecil dulu ketika Lohwecu masih hidup, nona
kedua yang kini menjadi Thay-siang Pek-hoa-pang ini sangat
dimanjakan dan terlalu binal, sifatnya rada eksentrik, diam2 dia menyesal barusan telah kelepabsan omong, lekas dia unjuk tawa,
katanya: "Ling-kongcu tadi memang muncul di sini, sayang Cayhe tidakmampu menahannya,kinidiasudahpergi."
Thay-siangmendengus:"Kemanadia, masakautidaktahu?"
"Ling-kongcu tidak mau menerangkan, tak enak Cayhe tanya
padanya," sahut Yong King-tiong.
Tatkala itu fajar telah menyingsing, walau kabut pagi masih
tebal, tapi cuaca sudah remang2, dalam jarak tertentu sudah bisa terlihat jelas bayangan orang. -Setajam pisau tatapan Thay-siang, tanyanya: "Lalu untuk apa dia datang kemari?"
"Bahwasanya Ling-kongcu tidak kenal Cayhe, mana mungkin dia mencariku" Soalnya tadi akupun melihat dia melancarkan
Hwi-liongsam-kiam, maka kutanya dia she apa, baru kuketahui dia putera Ling-hwecu."
"Meluruk ke Hek-liong-tam, sudah tentu mengincar ilmu silat peninggalan Tiong-yang Cinjin di gua itu. Hm, dengan susah payah aku mengerahkan pasukan besar, memangnya dia yang memungut
hasilnya," sampai di sini mendadak suaranya berubah aseran:
"Yong-congkoan berulang kali bilang ayahku almarhum berbudi padamu, dan kau masih tetap setia terhadan beliau, maka ingin
kuminta kau bantu menyelesaikan sesuatu, tentu kau tidak
keberatan bukan?" Diam2 Yong King-tiong mengumpat:
"Perempuan ini memang lihay, tapi aku sudah telanjur omong, tiada jalan lain kecuali menerima permintaannya saja." Sembari menjura dia lantas menjawab: "Kalau ada tugas, silahkan Jikohnio perintahkan saja, Cayhetidakakan menolak."
"Bagus, karma kau adalah Hek-liong-hwe Cong-koan, segera
perintahkan agar perkeras penjagaan dan suruh para penjaga
melarang siapapun datang kemari, barang siapa melanggar harus
dibunuh dan habis perkara."
Yong King-tiong mengunjuk sikap serba salah, katanya: "Terus terang Jikohnio, Cayhe memang punya dua belas anak buah ahli
pedang, tapi Hek-liong-hwe sekarang sudah dikendalikan oleh
pihak penguasa, banyak orang baru masuk jadi anggota, tujuannya adalah untuk mengejar pangkat dan kedudukan belaka, mereka
kebanyakan adalah cakar alap2 yang amat setia kepada kerajaan,
siapapuntakkan mautundukpadaperintahku."
"Kalau mereka tidak mau ya sudahlah, untung jalan tembus ke dalam kolam ini hanya satu, maka tugas menjaga pintu masuk ini
kuserahkan padamu." "Jikohnio," seru Yong King-tiong ragu2, "apa yang hendak kaulakukan?"
"Jangan kau banyak bertanya."
"Masih ada pesan lain Jikohnio?" tanya Yong King-tiong -pula.
Thay-siang mengenakan mantel kulit berbulu yang lebar dan
panjang, pelan2 dia lepaskan tali sutera dari mantelnya di depan dada, kiranya Thay-siang mengenakan pakaian ketat, di balik
mantel tergantung dua buah kantong kulit. Menuding pada
kantong kulit ini dia berkata: "Coba kau tuang air obat di kantong kulit ini ke dalam kolam, lalu jagalah pinto di mulut lembah,
siapapun dilarang kemari."
Semakin curiga Yong King-bong dibuatnya, tanyanya: "Apa ini kedua kantong ini Jikohnio?"
"Obat penawar racun," sahut Thay-siang.
Bimbang sekejap Yong King-tiong, kemudian bertanya: "Jadi
Jikohnio mau turun ke dasar kolam" Getah beracun ini hanya dapat ditawarkan oleh Le liong-cu . .. . . . . '
"Sudahlah, jangan banyak bicara, lekas tuangkan seluruhnya."
Terpaksa Yong King-tiong buka ikatan mulut kantong serta
menuang kedua isi kantong kedalamkolam.
Waktu itu hari sudah terang tanah, kabut dipermukaan Hekliong-tam juga sudah semakin tipis, setelah air obat dalam kantong tertuang habis, lekas Thay-siang melongok ke bawah.
Air obat kedua kantong kulit itu adalah obat penawar getah
beracun yang dibikin Ling Kun-gi waktu masih berada di Pek-hoapang tempo hari. Waktu diadakan percobaan tempo hari, setetes
air obat ini cukup untuk menawarkan segayung getah beracun
menjadi air jernih, maka kalau diperhitungkan, dua kantong air
obat penawar ini tentu berkelebihan untuk menawarkan getah
beracun sekolam ini. Seyogianya bila obat penawar dituangkan, air kolam seharusnya
bergolak dan timbul perubahan, tapi air kolam yang hitam kental itu kini sedikitpun tidak timbul perubahan apa2 Tanpa berkedip
Thaysiang awasi permukaan air kolam, ternyata obat penawar
yang dia bawa sudah hilang khasiatnya, sorot matanya dari balik cadar tampak mencorong dingin setajam pisau, terdengar
mulutnya menggeram gemas, desisnya sambil mengertak gigi:
"Binatang kecil menggagalkan usahaku."
Melihat cuaca sudah terang benderang, sementara dalam kolam
tetap tidak tampak reaksi apa2, keruan hati Yong King-tiong
gelisah setengah mati, gua di dasar kolam itu diciptakan oleh Sin swi-cu setelah diadakan perhitungan dan percobaan yang seksama, setiap langkah mengandung mara bahaya, kesalahan serambut
saja bisa mendatangkan elmaut bagi orang yang masuk ke dalam.
Padahal dia sendiri tak pernah masuk ke sana, entah bagaimana.
keadaan di dalam" Ling-kongcu sudah satu jam lebih berada di
dalam, memangnyadiaterjebakdantertimpa malang" Dikala dia
merasa kuatir dan was2 inilah Thay-siang masih tetap mengawasi
permukaan air kolam, sorot matanya tampak putus asa, tiba2 ia
berteriak beringas: "Anak keparat, kau tidak akan kulepaskan."
Mendadakdia membalikbadan, jengeknya:
"Yong-congkoan, kau tahu kejurusan mana Ling Kun-gi pergi?"
"Hanya ada satu jalan keluar di Hek-liong tam, Ling-kongcu . . .
. " belum selesai Yong King-tiong bicara, tepat di pusar kolam tiba2
terdengar suara gemuruh, air kolam yang semula tenang
mendadak berpusar semakin kencang pada delapan tempat. Air
beracun yang mengalir dari kepala naga di dinding utarapun
seketika berhenti mengalir. Cepat sekali air kolam yang berpusar itu menyusut rendah.
Sorot mata Thay-siang yang tajam tengah menatap Yong Kingtiong, ia mendengus sekali lalu berkata: "Sudah ada orang masuk ke dasar kolam. Katakan, bocah she Ling itu bukan?"
Tahu bahwa Kun-gi sudah berhasil menunaikan tugasnya, diam2
hati Yong King-tiong sangat senang, tapi barusan sudah merasakan lihaynya ilmu pedang Jikohnio, dari nadanya kini agaknya dia
teramat benci dan dendam terhadap Ling-kongcu, maka
hatinyapun menjadi gelisah dan kuatir pula bagi keselamatan Ling Kun-gi. Walau rasa senang lebih merasuk hati, tapi mimik mukanya sedikitpun tidak kentara, ia menyurut selangkah dan menjawab:
"Cayhe betul2 tidak tahu."
"Masih bilang tidak tahu," jengek Thay-siang, "sejak tadi kau berjaga di sini, pasti kau yang membantu dia turun ke bawah dan akan bantu dia naik ke atas pula?"
Urusan sudah telanjur sejauh ini, terpaksa Yong King-tiong
berubah sikap, katanya dengan sungguh: "Jikohnio, engkau
seorang cerdik, bahwa Lohwecu mendirikan Hek-liong-hwe adalah
untuk menyambut seruan Tuan Puteri, tujuannya merebut kembali
tanah air yang terjajah, waktu itu tidak sedikit kelompok patriot kita yang beruntun ditumpas oleh kerajaan, maka buku daftar
anggota seluruh pahlawan bangsa di Kangouw oleh Tuan Puteri
secara diam2 di simpan di markas pusat Hek-liong hwe kita, buku itu merupakan dokumen paling penting dan rahasia, maka
Lohwecu memerlukan membangun Hek-liong-tam ini, tak
tersangka Hekliong-hwe telah dijual kepada musuh oleh
sekomplotan manusia yang tamak harta dan gila pangkat, pihak
kerajaanpun amat getol untuk merebut buku daftar itu, bilamana
sampai terjatuh di tangan mereka, entah berlaksa jiwa akan
terembet dan menjadi korban tanpa dosa, betapa pula banyak
aliran per-silatan di Bu-lim akan ditumpasnya, bahwa selama dua puluh tahun ini Cayhe terima hidup terhina, yang kutunggu adalah hari ini."
"Katakan, yang turun ke bawah bocah she Ling itu bukan?"
Thaysiang menegas. "Betul, memang Ling-kongcu yang turun ke bawah, dia akan
menghancurkan buku daftar itu, Cayhe berjaga di sini untuk
membantu dari segala kemungkinan, kini dia sudah akan keluar.
Jikohnio adalah angkatan tua Ling-kongcu, kekuatan inti Pek-hoa-pangpun telah kau kerahkan kemari, kalian adalah sanak kadang
sendiri, seharusnya saling bantu berdampingan memberantas
musuh, bantulah Ling-kongcu untuk menggempur Hek-liong-hwe,
karena Hek-liong-hwe yang didirikan ayahmu kini terjatuh ke
tangan musuh, Lohwecu. . . . . . '
"Tutup mulut," hardik Thay-siang, "jangan kau minta ampun bagi bocah she Ling, Hek-liong-hwe terang akan kugempur, tapi
aku akan bunuh dulu bocah she Ling itu:" Mulut bicara sementara matanya menatapkedasarkolamtanpaberkedip.
Saat mana air kolam sudah menyurut rendah, tepat di tengah
kolam muncul batu karang, tepat di pucuk karang terdapat sebuah batu bulat raksasa, batu itu mulai bergerak mumbul ke atas, kejap lain seorang pemuda berjubah hijau tampak menongol keluar dari
lubang di bawah batu bulat itu. Hari sudah terang benderang,
kabutpun sudah menipis, betapa tajam pandangan Thay-siang,
sekilas pandang dia sudah mengenali pemuda yang menongol
keluar itu memang betul Ling Kun-gi.
Darah seketika merangsang kepala, sembari menggeram
pedang ditangan kanannya mendadak dia timpukkan ke bawah,
berbareng kedua kakinya menutul, orangnyapun meluncur ke
bawah, daya luncurnya teramat cepat, dengan ringan ujung
kakinya menginjak di atas batang pedang yang sedang terbang itu.
Cahaya pedang bagai bianglala, dengan terbang naik pedang
Thay-siang melompat sejauh dua belas tombak meluncur turun ke
puncak karang di tengah kolam.
Melihat orang menimpukkan pedang, semula Yong King-tiong
mengira orang menggunakannya sebagai senjata rahasia uuntuk
menyerang Ling Kun-gi, maka dia berteriak gugup: "Jangan
Jikohnio . . . ." Demi melihat orang "terbang" dengan naik pedang, hati Yong King-tiong semakin kaget dan mencelos.
Betapapun tinggi ilmu silat seseorang takkan mungkin dapat
melompati sejauh dua belas tombak dari permukaan kolam ini, tapi ilmu "It-wi-tohkung" (dengan sebatang gala menyeberang sungai) yang dipertunjukkan Thay-siang ini betul2 amat menakjubkan.
Selama dua puluh tahun ini, watak Ji-kohnio ini agaknya makin
nyentrik, bila dia betul2 berhasil terjun ke pucuk karang, bukan mustahil akan perang tanding dengan Ling-kongcu, dengan bekal
kepandaian silatnya yang bertaraf tinggi itu mungkin Ling-kongcu bukan tandingannya.
Hampir dalam waktu yang sama, dari arah lain sana, tahu2
melayang terbang pula selarik sinar pedang, karena kabut telah
menipis, maka samar2 dapat terlihat di atas luncuran sinar pedang itu berdiri juga sesosok bayangan orang yang berkedok serba
hitam, pakaian melambai, meluncur dengan cepat dan sasarannya
juga ke puncak karang di dasar kolam.
Kembali Yong King-tiong terkejut, batinnya: "Siapa pula itu?"
Kedua orang sama2 melancarkan Ginkang It-wi-tokang ajaran
rahasia Siau-lim-pay yang tidak diturunkan kepada orang luar, jelas bahwa kedua orang ini pasti punya sangkut paut erat dengan Siaulim-pay.
Sama2 naik pedang yang meluncur, meski keduanya terpaut
beberapa kejap tapi keduanya hampir bersamaan pula tiba di
pucuk karang. Saat mana Ling Kun-gi baru saja menerobos keluar
di bawah batu bulat. Tahu2 Thay-siang sudah hinggap di atas
karang, bentaknya: "Binatang kecil, kau pantas mampus!" Pedang terayun, dada Kun-gi ditusuknya dengan beringas.
Sebetulnya Kun-gi belum melihat jelas orang di depannya, tapi
dia kenal betul suara Thay-siang, tanpa terasa ia menjerit: "Kau ini Thay-siang!"Sebatsekalidia menyurut mundursambilberkelit.
Kejadian berlangsung dalam sekejap dan cukup gawat, dikala
Kun-gi mengegos, orang berkedok yang datang belakangan itupun
sudah meluncur tiba mengadang di depan Kun-gi. Pedang panjang
kontan terayun, "trang", tusukan pedang Thay-siang kena ditangkisnya, teriaknya:"Dik, takboleh kau melukai dia!"
Karena suara orang, kembali Kun-gi di bikin kaget, teriaknya:
"Ibu!" Orang berkedok dan berpakaian hitam yang baru datang ini
memang betul ibu kandung Ling Kun-gi, yaitu Thi-hujin alias Thi Ji giok.
Wajah Thay-siang teraling cadar, tapi sorot matanya tajam
dingin diliputi nafsu membunuh, teriaknya: "Siapa adikmu"
Binatang kecil ini menggagalkan urusanku, aku harus mencabut
nyawanya, kau minggir!"
"Sret", kembalidia menusuk.
Pedang Thi hujin segera menyontek dan menindih gerakan
Thaysiang, katanya: 'Dik, jangan kau melupakan persaudaraan.
Kau terhitung lebih tua dari dia, umpama kau ingin menghukum
dia dengan cara apapun boleh, tapi terhadan anak2 tak pantas kau main senjata."
"Jangan cerewet!" teriak Thay-siang pula. "Kalian ibu beranak memang pantas mampus." Di tengah teriakannya ini, beruntun dia menyerang tiga kali pula.
Thi hujin tangkis semua serangan Thay-siang itu, katanya: "Aku tak boleh mati sekarang, aku akan membunuh bangsat
pengkhianat Hek-liong-hwe dengan kedua tanganku sendiri,
menegakkan nama baik ayah dan perguruan, menuntut balas sakit
hati kematian suamiku."
Walau merasa perbuatan Thay-siang keterlaluan, tapi kini
Kun-gi sudah tahu bahwa Thay-siang adalah bibinya sendiri. Cuma belum diketahui ada perselisihan apa di antara Thay-siang dengan ibunya, sampai sesama saudara ini saling dendam dan
bermusuhan" Tapi kedua orang yang lagi gebrak ini adalah
angkatan tuanya, walau hati merasa cemas, tak berani dia ikut
turun tangan atau membujuk.
Setelah dia keluar dari bawah lubang, batu bulat yang timbul
tadi kini sudah turun dan menyumbat lubang tadi. Peralatan
rahasia di Hek-liong-tam ini saling berkaitan satu dengan yang lain bila batu bulat ini sudah kembali pada posisinya semula, kepala naga di dinding utara itupun mulai memancurkan air beracun,
sementara air kolam yang semula tersedot ke delapan empang di
samping kolam kinikembali mengalirbalik,
makavolumeairmulaimeninggipula.
Thay-siang masih mainkan pedangnya sekencang kitiran, seperti
orang kalap saja dia menghardik seraya lancarkan serangan, bagai mengadu jiwa layaknya dia cecar Thi-hujin dengan tusukan dan
tebasan pedang. Dengan tenang dan mantap Thi-hujin hanya menangkis dan
mematahkan serangan orang, tak pernah balas menyerang, maka
suara keras benturan senjata mereka terasa memekak telinga
sederas hujan badai. Kun-gi yang berada di samping cukup tahu situasi yang gawat
ini, maka dia berteriak mendesak: "Thay-siang lekas berhenti.
Kalau tidak lekas meninggalkan tempat ini, air kolam segera akan naik pasang."
Mendadak terdengar suara gelak tawa aneh di sebelah atas,
disusul seorang berkata: "Pemberontak bernyali besar, kalian masih ingin pergi dengan selamat dari Hek-liong-tam?" Belum lenyap suaranya, beruntun terdengar suara jepretan, maka
berhamburanlah anak panah beracun bagai hujan lebatnya sama
tertuju ke puncak karang. Sementara cepat sekali air kolam juga semakin tinggi, karangpun hampir tenggelam ditelan air.
Thi-hujin berteriakgugup: "Dik, lekasnaik!"
Agaknya Thay siang amat jeri juga akan air kolam beracun ini,
dengan menggerang gusar segera dia jejak kedua kakinya dan
melambung ke atas, pedang panjang di tanganpun ditimpuk ke
atas, pedang yang bercahaya kemilau meluncur bagai roket,
dengan menaiki pedang itulah Thay siang langsung menerjang ke
tepi atas. Di tengah udara menyongsong hamburan anak panah
yang melesat kencang itu, dia kebutkan kedua lengan bajunya,
bagai menyibak tangkai bunga layaknya sekejap saja dia sudah
hinggap di tepi kolam. Dikala Thay-siang meleset terbang itu Kun-gi berteriak gugup:
"Bu, lekas engkau naik!"
Thi-hujin tahu dengan membawa Leliong-cu Kun-gi tidak perlu
takut air kolam, maka dia berpesan: "Lekas kaupun pergi saja!"
Segera iapun timpukkan pedang, badan melijit tinggi hinggap di
atas pedang terus meluncur ke atas pula, arahnya ke sebelah sana.
Dua puluh empat ahli pemanah tengah berba-ris di tepi kolam
dan sibuk dengan anak panahnya kapan mereka pernah lihat ada
manusia bisa numpang pedang, apalagi sinar pedang yang
ditimpukkan mencorong seterang itu, sehingga anak panah yang
mereka bidikkan seketika menyibak rninggir sendirinya, karuan ciut nyali mereka, tanpa disadari beramai2 mereka menyurut mundur.
Lekas sekali Thay-siang manfaatkan peluang ini, setelah kaki
hinggap di tepi, sembari tertawa dingin pedangpun bekerja, bagai naga hidup sinar pedangnya menebas kian kemari. Di mana larikan sinar pedangnya menyamber, jeritan mengerikan seperti berpadu,


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lima laki2pemanah terpenggalkepalanya.
Berhasil membinasakan lima musuh. Thay-siang terus berkisar
ke kiri, pedangnya kembali menyapu.
Betapa cepat gerakan pedangnya, hakikatnya susah diikuti oleh
pandangan mata, tahu2 kilat menyamber dan jiwapun melayang,
kembali limasosoktubuh samaterjungkal robohtak berkepala.
Dua kali pedang Thay siang menyapu, hanya sekejap saja
hampir separo dari dua puluh empat pemanah telah menjadi
korban, sisanya keruan menjadi lemas kakinya saking ketakutan,
" Kenapa kau tidak menungguku?"
"Nona mau ke mana"
"Kau menyamar lagi bukankah ka hendak menemuka pengejaranmu?" , u n "Betul, kenapa?"
beramai2 Waktu Thay-siang berpaling, tertampak tiga tombak di atas batu
padas besar sana berdiri sejajar belasan orang. Orang di tengah2
berusia antara 45-an, alis tebal, mata sipit, kulit mukanya semu merah bagai buah apel, mengenakan jubah abu2 bersulam indah,
sikapnya kelihatan gagah dan angker. Di sebelah kirinya adalah
seorang Lama berkasa merah. dua muridnya berdiri di kanan kiri
sebelah belakang. Di sebelah kanannya adalah laki2 berjubah hijau berusia enam
puluhan, disusul Yong King-tiong sebagai Hek-liong-hwe Congkoan, dilanjutkan empat laki2 berbaju biru berusia empat puluhan. Di
kedua sisi orang2 ini adalah delapan laki2 seragam hitam
berpedang panjang warna hitam pula, jelas mereka adalah jago2
pedang dari Hek-liong-hwe. Tadi yang bersuara adalah laki2 jubah hijau berusia enam puluhan itu.
Laki2 berjubah abu2 yang berdiri di tengah menatap Thay-siang
sekian lamanya, katanya kemudian dengan suara kereng: "Kau Thi Ji-hoa atau Thi Ji-giok?"
"Peduli apa siapa aku?" jengek Thay-siang.
"Siapa kau?" bentak Thi-hujin di sebelah sana. Yong King-tiong menyeringai tawa, katanya: "Kalian berani menyelundup ke tempat terlarang, kini berhadanan dengan Hwecu kita masih berani
bertingkah, hayo lemparkan senjata dan menyerah saja.
Memangnya kalian berani memberontak?" Kata2nya ini memberi kisikan bahwa si jubah abu2 adalah Hek-liong-hwe Hwecu Han
Janto adanya. Sejak kecil Han Janto dibimbing dan dibesarkan oleh Hek-lionghwe Hwecu yang terdahulu, yaitu Hek-hay-liong Thi Tiong-hong.
Ini berarti bahwa dia tumbuh dewasa bersama Thi-hujin dan Thaysiang, lalu mengapa Thi-hujin dan Thay-siang sekarang tidak
mengenalnya" Soalnya dalam ingatan mereka Han Janto adalah pemuda yang
cakap bermuka putih bersih, sikapnya sopan dan lembut, kecuali
hidungnya yang membetet, tak kelihatan roman mukanya yang
jahat dan sadis, tapi laki2 di depan mata mereka sekarang
berwajah merah, alis tebal mata sipit, hakikatnya bukan Han Janto yang menjual Hek-liong hwe dan mencelakai suaminya itu. Sesaat
Thihujin menatapsijubahabu2, lalu mendengus hina:"Han Janto?"
Ling Kun-gi kini juga sudah naik ke atas dan berdiri di belakang Thi-hujin, katanya lirih: "Bu, dia mengenakan kedok muka."
Sorot mata si jubah abu2 menatap Kun-gi lekat2, sekilas iapun
melirik Leliong cu, tiba2 dia tertawa lebar, katanya: "Anak muda, kau inikah Ling Kun-gi?"
Kini baru Thi hujin mengenal suara orang, seketika badannya
gemetar, pedang menuding, bentaknya dengan suara gemetar:
"Kau memang betul Han Janto, kau keparat yang khianat ini, ya, memang kau adanya."
Han Janto tertawa lebar, katanya: "Betul, memang aku orang she Han, kita kan dibesarkan ber-sama2, dulu kalau bocah she Ling tidak menyelinap diantara kita, kau nona Ji-giok pasti sudah
menjadi biniku, tapi hari ini kaupun akan tetap disanjung sebagai isteriku tercinta. . . .. . "
Dulu Han Janto sudah beranggapan bahwa dirinyalah yang pasti
akan mewarisi jabatan ketua Hek-liong-hwe dari tangan Thi Tionghong, malah secara diam2 iapun naksir kepada nona Ji-giok,
sementara Ji-hoa alias Thay-siang dari Pek-hoa-pang diam2
kasmaran terhadap Ling Tiang-hong, tapi karena Kay-to Tyasu
telah memperkenalkan murid premannya yang satu ini, maka Thi
Tionghong berkeputusan mewariskan jabatan ketua Hek-liong-hwe
kepada Ling Tiang-hong. Dan lagi mengingat puteri tunggalnya Ji-hoa berwatak nyentrik,
cupet pikirannya dan berjiwa sempit, sebaliknya Ji-giok sang puteri angkat berwatak lembut, welas asih, sikapnya ramah dan halus
maka dia berkeputusan lebih setimpal menjodohkan puteri
angkatnya Ji-giok kepada Ling Tiang-hong.
Keputusan ini sudah melalui pemikiran yang seksama serta
dipertimbangkan untung ruginya, sungguh diluar dugaan bahwa
keputusan ini justeru membuat puteri kandungnya Ji-hoa minggat
tak keruan paran. Karena cemburu, timbul watak Han Janto yang
jahat, secara diam2 dia menyerah kepada kerajaan dan rela
diperbudak menjadi antek penjual bangsa. Perubahan drastis ini
sudahtentutakpernahterpikiroleh Lohwecusebelumnya.
Begitulah demi mendengar mulut orang yang kotor, sungguh
tidak kepalang marah Thi-hujin di samping merasa berduka pula,
desisnya sambil menggertak gigi: "Keparat she Han, ayahku
teramat baik terhadanmu, kau malah lupa akan nenek moyang
sendiri dan rela menjual keluarga dan bangsa kepada musuh,
terima hidup diperbudak menjadi antek penjajah, membunuh para
ksatria bangsa sendiri, dua puluh tahun yang lalu aku sudah
bersumpah untuk mengorek ulu hatimu buat sesaji didepan pusara
ayah dan suamiku, sekaligus menuntut balas pula bagi para
pahlawan yang telah gugur. Nah, HanJanto, menggelinding
keluarsinikau." "Bu, engkau tak perlu mengeluarkan tenaga, dendam orang tua sedalam lautan, bangsat she Han ini serahkan saja kepada anak
untuk membereskannya," seru Kun-gi.
Bercucuran air mata Thi-hujin, ucapnya: "Tidak, sejak ibu
meninggalkan Hek-liong-hwe dulu sudah bersumpah kepada
ayahmu, dengan kedua tanganku sendiri akan kubunuh keparat
she Han yang durhaka ini."
Thay-siang menyeringai dingin, katanya: "Mencari perkara
dengan Han Janto adalah urusan kalian, aku akan pergi saja Ling Kun-gi, persoalanmu menyelundup ke dalam Pek-hoa-pang sejak
kini boleh tidak usah kuusut. Nah, serahkan kembali Ih-thiankiam padaku."
Thay-siang tidak tahu bahwa Ling Kun-gi masih memiliki sebilah
Seng-ka-loam yang tidak kalah ampuh dan saktinya daripada Ihthianloam, bahwa dalam keadaan segawat ini sengaja dia meminta
balik Ih-thiankiam yang tajam luar biasa, itu berarti telah
memperlemah perlawanan Ling Kun-gi pada musuh, tujuannya
terang cukup keji juga. "Thay-siang memang betul," ujar Kun-gi, "Cay-he memang bukan orang Pek-hoa-pang lagi, sudah tentu harus kukembalikan
pedang ini." Betul2 dia menanggalkan Ih-thiankiam lalu
diangsurkan dengan kedua tangan.
Thay-siang terima Ih-thiankiam dengan tangan kiri. "Sreng", tangan kanan segera mencabutnya keluar, tampak jelas nafsu
amarahnya yang berkobar, katanya ketus: "Dua puluh tahun
permusuhan ayah bundamu denganku, dengan tabasan ini boleh
anggap impas permusuhan kita,"
Seiring dengan ucapannya, "sret" Ih-thiankiam tiba2 menabas ke pundak kanan Ling Kun-gi. Betapa cepat tabasan ini,,
sampaipun Thi-hujin yang berdiri tidak jauhpun kaget dan tak
sempat menolong, teriaknya: "Dik, kau . . . . "
Sinar pedang berkelebat, "tring," pedang Thay-siang tahu2
tersampuk oleh segulung angin selentikan. Ternyata pada detik2
gawat itu, jari Kun-gi telah menjentik dengan It-cay-sian, ilmu sakti selentikan aliran Hud, sehingga ujung pedang orang terpental ke samping.
"Terima kasih atas kemurahan hati Thay-siang." ucap Kun-gi dengan tertawa.
Gemetar cadar di muka Thay-siang saking menahan gelora
marahnya, sambil mendengus segera ia hendak melompat pergi.
Mendadak Han Janto bergelak tertawa, katanya: "Thi Ji-hoa, kaupun salah seorang buronan penting yang diincar kerajaan, terus terang saudaramu ini tak berani membiarkan kau pergi, Ketahuilah bahwa orang2 Pek-hoa-pang seluruhnya sudah dipancing ke
tempat buntu oleh anak buahku, kuharap kau tahu diri, lemparkan pedang dan terima dibelenggu saja."
Thay-siang urungkan niatnya pergi, Ih-thiankiam melintang di
dada, suaranya murka: "Han Janto, kau kira dengan perangkap Hek-liong-hwe seperti itu dapat mengurung orang2
Pek-hoa-pang?" "Tidak salah," ujar Han Janto dengan tertawa, "Hek-liong-hwe adalah kampung halamanmu, di sini kau tumbuh dewasa, segala
peralatan perangkap di sini kau cukup apal, tentu kaupun sudah
membekali peta yang terang kepada anak buahmu. Tapi perlu kau
ketahui bahwa selama dua puluh tahun ini, kebanyakan tempat
sudah kubangun pula perangkap yang aneka ragamnya, kalau anak
buahmu hanya bergerak menurut petunjuk petamu, itu berarti
mereka sengaja menggali lubang kuburnya sendiri, kini tinggal kau seorang saja yang masih bebas."
Diam2 Kun-gi mengangguk, pikirnya: "Kiranya dua barisan yang lain telah dibekali gambar peta oleh Thay-siang, hanya
rombonganku tidak dibekali apa2, agaknya dia sengaja hendak
membinasakan kami dengan meminjam tangan musuh,"
Keruan Thay-siang naik pitam, serunya: "Sebetulnya aku tidak peduli segala urusan Ji-giok, kalau demikian biar aku membunuh
kau lebih dulu." "Thi Ji hoa," seru Han Jan to, 'kau bukan tandinganku." Lalu dia berpaling kepada si jubah hijau, katanya: "Tang cong-houhoat, tugasmulah untuk membekuk dia."
"Hamba terima tugas," sahut laki2 jubah hijau sambil menjura.
"Sreng", pedang panjang di punggung dia cabut, lalu melangkah maju, katanya: "Sudah lama Losiu dengar nama Thay-siang dari Pek-hoa-pang yang termashur, hari ini kebetulan dapat belajar
kenal." "Han Janto," jengek Thay-siang menghina, "apa kau tak berani melawanku, jangan suruh orang lain menjual jiwa.'
Laki2 jubah hijan menarik muka, dengusnya: "Memangnya
Thaysiang juga tidak pandang dengan sebelah mata padaku"
Apakah Losiu betul2 mengantar kematian belaka, setelah turun
tangan baru akan tahu."
"Baiklah," ucap Thay-siang, "Han Janto, kau sendiri yang melibatkan aku ke dalam persoalan ini." Sampai di sini ujung pedang terangkat, bentaknya dingin: "Nah hati2lah kau!" .
Segera pedangnya membelah lebih dulu ke arah laki2 jubah
hijau. Jurus pertama ini menimbulkan kesiur angin yang menderu, sinar perak kemilau bagai untaian rantai menggulung tiba, betapa hebat serangannya, sungguh tidak malu kalau disebut sebagai ahli pedang yang lihay, perbawanya memang lain.
Menyaksikan betapa hebat serangan pedang Thay-siang, laki2
jubah hijau tak berani memandang enteng, serentak berteriak:
"Bagus!" seringan asap iapun berkelit pergi, pedang segera bergaya seindah orang menari, sinar pedang kemilau terpancar
bertaburan ke tubuh Thay-siang
Thay-siang mengejek dingin: "Tak nyana Banhoa kiam-kek
(tokoh pedang berlaksa bunga) yang dijuluki raja pedang dari lima propinsi utara juga terima menjadi antek musuh."
Karuan merah selebar muka laki2 berjubah hijau, teriaknya
gusar: "Losiu bertugas dalam pemerintahan untuk membekuk kau pemberontak ini, memangnya salah perbuatanku?"
Mulut bicara kedua orang sudah sama2 saling serang dengan
gencar, masing2 mengembangkan kemahiran ilmu pedang sendiri
dan berusaha merobohkan lawan lebih dulu. Dalam sekejap
serangan pedang kedua pihak bertambah kencang dan sengit,
bayangan kedua orangpun terlibat di dalam lingkaran cahaya
kemilau sehingga sukar dibedakan satu dengan yang lain.
Thi-hujin amat getol menuntut balas kematian sang suami,
menghadapi Han Janto si durjana, bola matanya menjadi merah
membara, ia melihat adiknya Ji-hoa sudah saling labrak dengan
laki2 jubah hijau, mana dia kuat menahan sabar lagi, serunya
sambii menggreget: "Bangsat keparat she Han, hari ini kau atau aku yang harus gugur. Nah keluarkan senjatamu?"
Han Jan to berdiri tidak bergerak, katanya kalem : "Thi Ji-giok, apabetulkau inginbergebrak denganku?"
"Sebelum mencacah leburbadanmu itu, sungguhtidakterlampias dendam kesumatku, sudah tentu kau harus hadani tantanganku."
"Thi Ji-giok;" ujar Han Janto dingin, "jelek2 kita tumbuh dewasa bersama sejak kecil, tak peduli betapa besar dendammu padaku,
aku tidak ingin melukai atau membunuh kau dengan tanganku . . .
." Tiba2 dia berpaling, katanya: "Yong-congkoan, kau saja yang membekuk dia."
Sambil menenteng pedang pelan2 Yong King-tiong beranjak
maju meninggalkan barisannya, tapi setelah satu tinbak jauhnya
mendadak dia membalik badan, ujung pedang menuding Han
Janto, jubah dibadannya seketika melembung, bola matanya
mendelik berapi2, bentaknya lantang : "Han Janto, kau kunyuk busuk yang menjual bangsa dan negara, keparat yang khianat,
selama dua puluh tahun ini Lohu menahan sabar terima hidup
dihina, hari ini tiba saatnya berkesempatan memenggal kepalamu
dihadapan umum, menuntut balas bagi para ksatria Hek-liong-hwe
yang telah gugur, apalagi Ling-hujin dan Ling-kongcu telah tiba, sumpah Linghujin barusan sudah kau dengar pula, nah terima-lah
kematianmu!" Sampai di sini mendadak dia angkat kedua tangan ke atas
kepala, teriaknya lantang: "Hek-liong-hwe sekarang sudah menjadi antek kerajaan, dua puluh tahun kita diperbudak, hayolah kawan
yang berjiwa ksatria, pahlawan bangsaku, bangkitlah, marilah kita bersatu padu memberantas kawanan cakar alap2, tegakkan nama
baikdan kebesaranHek-liong-hwenan jaya."
Suaranya lantang, diucapkan dengan penuh semangat dan
gagah perkasa lagi, tapi tiada seorangpun yang tampil maju
menyambut seruannya, sampaipun delapan ahli pedang seragam
hitam yang menjadi anak buahnyapun tetap berdiri berpeluk
tangan menimang pedang tanpa bergerak, seakan tak pernah
mendengar suara apapun. Han Janto menyeringai puas atas kemenangannya ini, katanya:
"Yong King-tiong, kau berani bersekongkol dengan musuh dan hendak memberontak pula, tapi coba kau lihat, delapan jago
pedang anak buahmu sendiripun tiada yang sudi mendengar
seruanmu, sekarang kalau kau mau membekuk ibu beranakshe
Ling ini masih dapat kau tebus dosamu dengan pahala, kalau tidak, hukuman mati adalah bagianmu, jangan kau menyesal setelah
terlambat." Merah membara roman Yong King-tiong, matanya mendelik
gusar, teriaknya: "Orang she Han, hari ini adalah saat kematianmu, Ling-hujin akan menjatuhkan vonisnya terhadanmu. Wahai,
delapan jago pedang Hek-liong-hwe, dengarkan seruanku, kalian
mau menurut petunjukku atau tetap terus diperbudak oleh musuh,
menjadiantek kerajaandan menindassesamabangsamusendiri?"
Kedelapan jago pedang itu hanya mengawasi Yong King-tiong,
semuanya tetap berdiri tak bergerak dan tidak bersuara.
Keruan Han Jan to ter-gelak2, katanya: "Yong King-tiong,
sekarang kau harus sadar, memberontak harus dipancung
kepalanya, di kolong langit ini takkan ada orang yang rela
mengekor oleh hasutanmu dan rela dipenggal kepalanya,"
Mendadak ia memberikan perintah : "Si-toa-hou-hoat ( empat pelindung tinggi), lekas ringkus Yong King-tiong yang sekongkol dengan pemberontak, kalau berani melawan bunuh saja tanpa
perkara," Empat laki2 yang berdiri di sebelah kanannya berpakaian biru
serentak melolos senjata masing2 terus melangkah maju
merubung Yong King-tiong.
Yong King-tiong ter-bahak2 dengan mendongak, serunya:
"Kalian berempat maju bersama lebih baik, supaya menghemat tenagaku."
Pada saat keempat orang ini maju, mendadak Thi-hujin
berpaling, katanya lirih: "Anak Gi lekas jaga arena dan awasi gerak gerik musuh." Tanpa menunggu jawaban Ling Kun-gi, sekali
berkelebat dia menerjang maju menyerang Han Janto sambil
membentak: "Bangsat keparat, serahkan jiwamu!"
Sejak kecil Han Janto dididik oleh Thi Tiong-hong sendiri,
usianya lebih tua lima tahun daripada Thi-hujin, pelajaran yang diperoleh jelas lebih banyak dan matang.
Ia tidak tahu sejak dua puluh tahun yang lalu Thi-hujin telah
bersumpah untuk menuntut batas bagi kematian suaminya, secara
tekun dan rajin berlatih dan menggembleng diri, taraf ilmu
pedangnya boleh dikatakan melompat maju berlipat kali lebih
tinggi dan sempurna. Melihat sekali membuka serangan, lawan sudah sedemikian
dahsyat dan lihay, mau tidak mau Han Jan to terkejut juga hatinya, timbul rasa waspada dan hati2, tapi mulut masih ter-kekeh2 aneh, sembari berkelit, sebelah tangannya menyampuk serta melolos
sebilah pedang panjang warna hitam, bentaknya: "Thi Ji-giok, sebetulnya aku tidak ingin bergebrak dengan kau, tapi kalau tidak kusambut beberapa gebrak matipun pasti kau tidak akan tenteram.
Baiklah kukabulkan keinginanmu!" Sembari bicara dengan enteng pedangnya menutuk dan menindih, "trang", tusukan pedang Thihujin kena ditekan ke bawah.
Gemeratak gigi Thi-hujin saking menahan marah dan benci,
tanpa bersuara kembali pedang membalik, di mana kilat
menyamber. dia membabat kencang miring ke atas. Maklum ajaran
ilmu pedang kedua orang sama diwarisi dari liok-hay-liong Thi
Tiong-hong, meski kedua orang masing2 mempunyai bakat dan
kemampuan yang berbeda, tapi sumbernya tetap sama, betapapun
ruwet perubahan dan variasi masing2 tetap tak lepas dari intinya semula.
Sejak tadi Kun-gi sudah melolos Seng-ka-kiam, dengan seksama
dia menonton dan mengawasi gerak-gerik kedua orang yang lagi
bertempur, diam2 ia terkejut dan heran mengikuti pertandingan
pedang ini. Sejak kecil dia hanya tahu bahwa ibunya sedikitpun tidak pernah belajar silat sehingga waktu mendidik dirinya belajar
Hwi-liong-samkiam warisan keluarganyapun sang ibu hanya
menggores2 di atas kertas, jadi cuma diajarkan teorinya belaka
serta memberi petunjuk dikala dia mempraktekkannya, beliau
sendiri belum pernah pegang pedang dan memberikan contoh.
Baru tadi dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan ibunya
melempar pedang serta naik di luncuran pedangnya untuk
mencapai ketinggian tepi Hek-liong-tam, nyata bahwa Ginkang dan ilmu pedang ibunya tidak lebih asor daripada Thay-siang.
Ilmu pedang Han Janto memang satu sumber dengan


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaian Thi-hujin, gaya pedangnya lebih mantap dan matang,
perubahannya serba aneh dan tak habis2, malah setiap gerak
pedangnya pasti menimbulkan deru angin tajam, dari sini dapatlah dinilai bahwa taraf ilmu pedangnya sudah mencapai puncaknya.
Kalau bicara soal Lwekang jelas Thi-hujin setingkat lebih asor, tapi dendam kesumat selama dua puluh tahun yang terpendam
dalam sanubarinya kini meledak, dengan dilandasi dendam
permusuhan yang menimbulkan kekuatan luar biasa ini, maka
setiap gerak serangannya boleh dikatakan dikembangkan dengan
segala kemampuannya, pedang merangsek dengan gencar dan
tanpa kenal ampun. Bahwa sesengit itu pertempuran berjalan, tapi sejauh ini belum
pernah pedang mereka saling bentur meski sekalipun, jelas bahwa betapa sempurna latihan ilmu pedang mereka. Kalau bergebrak
terus berlangsung seperti ini, sebelum tiga-lima ratusan jurus pasti belumada kesudahan menang dankalah.
Laki2 jubah hijau yang bergebrak melawan Thay-siang, yaitu
bernama Banhoa-kiam Tang Cu cin, sebagai Conghouhoat dari
Hekliong-hwe, ia dijuluki raja pedang di lima propinsi utara, maka dapatlah dinilai betapa tinggi kepandaian silatnya. Setiap gerak pedangnya pasti menimbulkan ceplok2 sinar besar kecil yang
berbeda dan aneka ragamnya sesuai dengan nama julukannya
(Banhoa-kiam-ilmu pedang selaksa bunga), justeru karena
beraneka ragam ceplok2 bunga sinar pedangnya yang bercampur
baur itulah yang membikin silau dan membingungkan lawan.
Apalagi ceplok2 bunga sinar pedang itu timbul tenggelam silih
berganti, setiapceplokbungasinarpedang itu mengandang pusaran
angin tajam beberapa kaki di sekitar gelanggang orang merasakan kulitdaging pedasdanperihsepertiteririspiaau.
Yang diperhatikan Ling Kun-gi adalah Yong King-tiong, seorang
diri dengan pedangnya dia melawan empat orang jago pelindung
Hek-liong-hwe. Keempat Houhoat itu sama menggunakan senjata
aneh yang jarang terlihat di Kangouw, seorang menggunakan
sepasang gelang terbuat dari emas hitam, seorang pakai bandulan, orang ketiga pakai ganco berkepala ular, yang terakhir
menggunakan senjata palu. Bahwa keempat orang ini diangkat
menjadi Houhoat tentunya memiliki kepandaian silat dan Lwekang
yang tinggi. Kini dari empat penjuru mereka mengeroyok Yong
Kingtiong, empat macam senjata mereka sama merangsak
kencang silih berganti, begitu cepat dan ganas kerja lama mereka.
. Tapi diluar tahu mereka bahwa selama dua puluh tahun ini Yong
King-tiong telah berlatih rajin dan tekun secara diam2 sehingga kepandaian aslinya tak pernah diperlihatkan kepada umum, kini
dikeroyok empat dan terkepung lagi, mendadak ia ter-gelak2 lalu bersiul panjang, pedang berputar serentak iapun balas menyerang, sinar pedangnya ber-gulung2 bagai damparan ombak, yang satu
lebih kuat daripada yang terdahulu. Terdengar serentetan suara
benturan keras, sekali gebrak sekaligus empat macam senjata
lawan kena dipukul balik.
Berhasil membendung rangsakan musuh, sinar pedangnya
menyambar lebih lincah lagi, seperti naga sakti selulup timbul di tengah mega, dalam belasan jurus saja, keempat musuh yang
mengeroyoknya telah dilibat dalam lingkupan sinar pedangnya.
Baru sekarang dia betul2 pamer kepandaian silatnya yang sejati, yaitu Thianlo-kiam-hoat dari Kunlunpay yang sudah lama putus
turunan di kalangan Bu-lim.
Perhatian Kun gi tertarik ke sini waktu dia mendengar rentetan
suara keras benturan senjata, sampai di sini diam2 ia mengulum
senyum dan merasa girang. Paman Yong ini ternyata memiliki
Lwekang dan kepandaian ilmu pedang begini tinggi, sungguh tak
pernah terpikir olehnya, sia2lah rasa kuatirnya tadi.
Tatkala dia berpaling kesana, ternyata pada arena pertempuran
di sebelah sini telah terjadi perubahan drastis. Bahwasanya Thaysiang yang tinggi hati, suka menang dan mengagulkan diri, sudah seratus jurus melabrak Banhoa-kiam, keadaan tetap setanding,
karuan lama kelamaan dia menjadi tak sabar. Sembari menghardik, tiba2 dia melijit ke atas, pedang terayun ke kanan kiri sehingga Ih-tiankiam memancarkan cahaya hijau laksana air bah tumpah dari
lembah gunung, manusia bersama pedangnya berubah menjadi
segulung sinar mengurung ke atas kepala Banhoa-kiam Tang Cucin. Tang Cu-cin tidak tahu bahwa Thay-siang tengah melancarkan
No-liong-bankhong (naga mengamuk melingkar di angkasa), jurus
ketiga dari Hwi-liong-sam-kiam, maka ia berteriak kaget: "Ihthiankiam-sut."
Sudah sepuluh tahun dia meyakinkan ilmu pedang, sehingga
dijuluki rajanya pedang di lima propinsi utara, betapa luas dban pengalamannyda menghadapi musuh, meski Ih-kiam-sut adalah
ilmu pedang tiada taranya di Bu-lim, tapi sedikitpun dia tidak
menjadi gugup, sembari mendongak dia menghardik sekali,
pedang melindungi badan, segera dia menyambut ke atas.
Serangan balasan ini dilancarkan menghadapi serangan dari
atas, dari bawah timbul ceplok2 perak yang tak terhitung
banyaknya sehingga seluruh badan se-akan2 dibungkus dan
ditumpuki kuntum bunga. Sudah tentu jurus yang dilancarkan ini
bukan melulu untuk bertahan saja, karena ceplok2 bunga itu setiap saat bisa juga balas menyerang melukai musuh.
Kalau yang satu menukik dengan cahaya pedang yang
benderang menyilaukan mata, seorang lagi menciptakan ceplok2
bunga perak yang tak terhitung banyaknya membungkus tubuh,
perpaduan cahaya pedang mereka menjadikan kolam naga hitam
ini terang benderang, hadirin menjadisilau dantak kuasa
mementang mata. Betapa cepat kelangsungan perang tandang ini sungguh laksana
kilat menyambar, terdengarlahdering keras memanjang, perakyang
berlaksa jumlahnya itu seketika sirna tak berbekas begitu benturan keras berlangsung.
Perang tanding ini jauh berbeda dengan gebrak2 pendahuluan
tadi, kalau tadi bilamana cahaya pedang Thay-siang menyambar
lewat, ceplok2 bunga lantas tersapu lenyap, tapi begitu cahaya
pedang lewat, ceplok2 dan sinar pedang itu timbul kembali,
begitulah seterusnya tak ber-henti2. Tapi kali ini betul2 lenyap tak muncul pula.
Ternyata pedang Banhoa-kiam Tang Cu-cin yang terbuat dari
baja murni itu dalam gebrak terakhir ini telah, terpapas putus berkeping2 oleh Ih-thiankiam, yang tinggal hanya gagangnya yang
masih terpegang di tangannya. Meski kehilangan senjata
betapapun Tang Cu-cin seorang gembong persilatan yang cukup
berpengalaman, ia tahu meski kalah, paling2 kalah oleh karena
senjata pusaka yang lebih tajam, kalau sekarang dirinya tidak
mundur, hanya bertangan kosong terang lebih2 bukan tandingan
lawan. Maka tanpa sangsi segera ia melejit mundur sejauh
mungkin. Sejak turun tangan tadi marah Thay-siang sudah berkobar,
apalagi setelah sekian lama masih belum berhasil merobohkan
lawan yang satu ini, hatinya tambah murka, sekali bentrok senjata dia berhasil menghancurkan pedang lawan, sudah tentu
kesempatan baik ini tak di-sia2kan. Sekali tangan berputar sambil masih tetap meluncur ke depan sehingga cahaya pedangnya ikut
memanjang di udara mengejar ke arah Banhoa-kiam.
Cukup cepat Banhoa-kiam mengundurkan diri, tapi cara Thaysiang mengejar sambil meluncur ini merupakan hasil gemblengan
tiga puluh tahun, Sin liong-jut-hun, salah satu jurus dari Hwi-liong kiam-hoat yang dia lancarkan ini boleh dikatakan sudah mencapai puncaknya. Kecepatan cahaya pedang yang mengejar itu sungguh
sukar dibayangkan. Padahal Ban hoa-kiam Tang Cu-cin sudah mundur setornbak
lebih, belum lagi kedua kakinya berdiri tegak, cahaya kemilau sinar pedang tahu2 sudah menerjang tiba menghujam ke dadanya.
Untung pada saat gawat ini sebagai seorang ahli pedang meski
menghadapi bahaya dia tetap tidak menjadi gugup, sedetik
sebelum pedang lawan kena sasarannya, tangan kanannya cepat
menolak keluar serta mengebutkan secarik kain bajunya sendiri
yang dia robek untuk senjata terus diayun ke depan menyongsong
kedatangan pedang. Selama hidup ini dia meyakinkan ilmu pedang, betapa tinggi
kepandaian serta Lwekangnya, dengan secarik kainpun cukup
ampuh dan tidak kalah hebatnya dibanding sebilah pedang. Demi
mempertahankan jiwa, sudah tentu bukan kepalang tenaga yang
dia kerahkansehinggakainditangan itupun menjadi kaku keras.
Sayang sekali pedang Thay-siang justeru adalah Ih-thiankiam
yang tajam luar biasa, jangankan hanya secarik kain, umpama
pedang baja murni juga tak kuat menahannya. Sudah tentu hal
inipun cukup dimengerti oleh Ban hoa-kiam, tapi keadaan sekarang teramat gawat dan mendesak, terpaksa sekenanya dia berusaha
menahan dan menangkis demi keselamatannya.
Kejadian berlangsung dalam sekejap saja, paderi Lama berkasa
merah yang sejak tadi menonton diluar gelanggang, demi melihat
Banhoa-kiam menghadapi bahaya sembari melompat mundur,
sementara Thay-siang mengejar dengan serangan maut, tiba2 ia
menggerung keras, kontan dia ayun sebelah tangannya menepuk
dari kejauhan ke punggung Thay-siang.
Gerakan tiga pihak boleh dikatakan dilakukan dalam waktu yang
sama, semuanya sama cepat lagi, apalagi Thay-siang terlalu
bernafsu melukai musuh, sudah tentu tak terpikir bahwa orang lain bakal membokong dirinya.
Tabasan pedang berlalu, darahpun muncrat berhamburan,
lengan kanan Ban hoa kiam kena ditabas kutung sebatas pundak.
Beruntung dia, masih sempat mengegos dengan segala
kemampuannya di samping kain lengannya berhasil menahan
sebagian kekuatan tabasan lawan, badan roboh terus
menggelinding jauh ke sana.
Waktu Thay-siang mengendalikan luncuran pedang melukai
musuh, saat itu pula terasa pundaknya mendadak ditepuk orang.
Inilah semacam pukulan yang tidak kelihatan bentuknya,
datangnya juga tak mengeluarkan suara, padahal tubuhnya tengah
terapung, laksana anak panah yang meluncur dan tak mungkin
dihentikan. Setelahpedang menabas musuh dan
kakihinggapditanah, barudia merasakan akan serangan gelap dari
musuh tadi, pukulan yang mengenai pundaknya tadi meski terasa
enteng malah seperti tidak terasa, tapi luka dalamnya hakikatnya sudah teramat berat. Inilah ilmu Toa-jiu-in dari aliran Ih-ka-bun (Yoga).
Kalau orang lain merasakan luka dalamnya sangat parah, tentu
akan berusaha mengerahkan tenaga untuk menyembuhkan luka
dalam sendiri, dengan bekal dan latihan Thay-siang, kemungkinan luka2nya masih terobati dan jiwa bisa tertolong. Tapi dasar
wataknya angkuh, keras hati dan suka menang, selamanya dia
pandang rendah orang lain, sudah tentu dia tidak peduli akan
keadaan diri sendiri dan ingin menuntut balas. Begitu kaki hinggap di tanah, mengikuti putaran pedang tiba2 badanpun mengisar
balik, mata2nya mendelik beringas di balik cadarnya, hardiknya
keras: "Kaukah yang membokong Losin."
Lama kasa merah yakin Toa jiu-insinkang yang dilancarkan tadi
umpama lawan tidak mampus seketika juga pasti terluka parah,
paling tidak isi perutnya remuk dan takkan mampu bertempur lagi, kenyataan Thay-siang masih kelihatan segar malah menantang.
Dia bergelak tertawa, serunya: "Tidak salah, pukulan tadi memang hudya yang melancarkan."
"Bagus sekali," desis Thay-siang murka. Mendadak ia melejit ke atas terus menerjang musuh.
Bahwa setelah terkena pukulannya, Thay-siang masih mampu
melejit ke atas melancarkan serangan sehebat ini, keruan tidak
kepalang kejut Lama kasa merah, lekas dia ayun tangan kanan
serta menepuk sekuatnya. Ilmu yang diyakinkan adalah ilmu Yoga, Lwekangnya sangat tangguh, tepukan yang dilandasi kekuatan
besar ini terang berbeda dengan pukulan membokong tadi. Maka
segulung tenaga dahsyat segera menerjang lapisan sinar pedang..
Agaknya dia tidak tahu bahwa Thay-siang sudab kalap, jurus
yang dilancarkan ini adalah "Naga ber-tempur di tegalan", jurus kedua dari Hwi-liong-kiam-hoat. merupakan jurus paling kuat; dari paling hebat perbawanya.
Cahaya pedang ber-lapias kemilau itu tiba2 berubah bintik2
dingin laksana kunang2 beterbangan menghambur ke empat
penjuru. Setelah melancarkan dua kali pukulan, Lama kasa merah
sudah menyurut mundur cukup jauh, tapi dua muridnya berdiri di
kanan-kirinya tadi justeru terlambat bergerak, di mana sinar
pedang berhamburan, seketika terdengar dua kali jeritan ngeri
dibarengi darah muncrat ke mana2, kedua orang ini tertabas
menjadi berkeping2 oleh samberan sinar pedang.
Waktu Thay-siang menarik pedangnya, dilihatnya Lama kasa
merah sudah mundur setombak jauhnya, maka dia menghardik
pula: "Ke mana kau akan lari?" Kembali dia menubruk maju.
Sungguh mimpipun Lama kasa merah tak pernah menduga
bahwa Thay-siang begini lihay, dengan mata sendiri dia saksikan kedua muridnya hancur lebur, ia menjadi murka juga, teriaknya
kalap: "Hud-ya takkan memberi ampun padamu!" Belum habis bersuara, keduatangansudah memukultigakalisecaraberuntun.
Tiga pukulan ini dilancarkan dengan hati berang, maka kekuatan
pukulannya betul2 dahsyat sehingga badan Thay-siang yang
menerjang denganterapungdiudarajuga sedikittertahan.
Waktu Thay-siang menubruk kedua kalinya, kembali Lama kasa
merah melontarkan pukulannya pula, badan Thay-siang tertolak
berhenti. Beruntun tiga kali Thay-siang berlompatan, di kala melancarkan
serangan ketiga kalinya, jaraknya dengan Lama kasa merah tinggal beberapa kaki lagi, tiba2 ia meloncat lurus ke atas, mendadak ia berteriak nyaring menambah perbawa serangannya, dengan kepala
di bawah dan kaki di atas dia menukik dengan tubrukan yang lihay, Ih-thiankiam ditangannya menaburkan cahaya perak yang
membendung jalan mundur Lama kasa merah.
Kaget dan gusar pula Lama kasa merah, beruntun dia mundur
tiga langkah, kedua tangan memukul ke atas susul menyusul,
karena bertangan kosong, telapak tangannya yang lebar dan besar itu menyerupai kampak yang membelah sehingga menimbulkan
letupan hawa yang dahsyat, letupan hawa ini semakin tebal
menghimpun hawa dingin yang -membungkus sekujur badannya.
Maka tubrukan sinar pedang Thay-siang dari atas itu dapat
ditolaknya kembali. Kalau yang satu menggempur sekuat tenaga dan bertahan
dengan kukuh, sementara yang lain menyerang dengan cara
menubruk seperti elang menyamber ayam, sinar pedang berpusar
kencang, kedua pihak bertahan kira2 setanakan nasi lamanya dan
masih tetap setanding. Kepala gundul Lama kasa merah sudah ditahuri butiran keringat,
badanpun basah kuyup seperti kehujanan, padahal Thay-siang
harus melancarkan serangan dengan badan terapung. sudah tentu
dia jauh lebih banyak menguras tenaga, lama2 sinar pedangnya
menjadiguramdantidakselihay semula.
Melihat kesempatan baik ini, mendadak Lama kasa merah
menghardik sekali, sekuatnya dia kerahkan tenaga dan
menggempur dengan merangkap kedua telapak tangan mendorong
ke atas. Dengan rangkapan kedua tangan mendorong ke atas ini, maka
timbullah kekuatan yang dahsyat, hawa serasa meluber
menimbulkan deru yang gegap gempita. Pada saat yang sama
Thaysiang pun menjerit melengking, suaranya mengalun
menimbulkan gema panjang, cahaya pedangnya yang hampir
pudar tadi tiba2 menyala pula lebih terang, berubah selarik
bianglala terus membelah turun ke bawah.
Kedua pihak serempak melancarkan serangan paling dahsyat
yang mematikan dengan seluruh sisa kekuatan sehingga sinar
pedang dan angin pukulan menimbulkan rentetan suara aneh.
Lekas sekalisinrarpedang dananginpukulanpunsirnatakberbekas
lagi. Setelah melontarkan pukulan terakhir dengan sisa kekuatannya,
Lama kasa merah cepat2 melompat mundur, Kasa merah yang
dipakainya tampak berlubang dan sobek di beberapa tempat oleh
tusukandangoresanpedang, keadaannyatampakkonyol.
Thay-siangpun sudah berdiri tegak di tanah, rambutnya
awut2an, cadar yang menutup mukanya sudah kabur entah ke
mana, roman mukanya membesi hijau. Kedua orang sama2
mengunjuk rasa lelah kehabisan tenaga, dada naik turun dengan
napas tensenggal2. Sesaat mendelik kepada Lama kasa merah, akhirnya Thay-siang
bersuara lebih dulu: "Anjing asing, berapa jurus lagi kau mampu menyambut pedangku?" Sekali berputar, sinar hitam Ih-thiankiam kembali menerjang maju. Hwi-liong-sam-kiam hakikatnya sudah
dia yakinkan dengan sempurna, maka setiap kali melancarkan
serangan, badan selalu melayang di udara, menambah perbawa
serangan sehingga lebih hidup laksana naga sakti. Dua gebrakan
terdahulu sudah meyakinkan Lama kasa merah bahwa Lwekang
Thay-siang tidak lebih unggul dari pada dirinya, kalau lawan tidak menggunakan Ih-thiankiam, pedang pusaka yang lihay, dia yakin
dirinya pasti lebih unggul dan sejak tadi sudah merobohkannya.
Tapi setelah berlangsung dua gebrakkan barusan, dia insaf bahwa tenaga murni sendiri sudah terkuras terlampau banyak, untuk
bertempur lebih lama jelas keadaan fisiknya tidak mengizinkan,
maka dia pikir akan secepatnya mengakhiri pertempuran ini
dengan rangsakan gencar. Di luar dugaan Thay-siang juga mengandung maksud yang
sama, malah terus mendahului, kali ini dengan jurus "naga sakti muncul dari mega," hal ini betul2 di luar perhitungannya, maka dia membentak gusar: "Biar Hud-ya mengadu jiwa dengan kau!"
Dengan telapak tangan kiri beruntun dia memukul dua kali,
berbareng badan berkisar ke sebelah kiri.
Sinliong-jut-hun dilancarkan Thay-siang dengan segala
kemahirannya, tekadnya teramat besar untuk membelah badan
paderi asing ini untuk melampiaskan dendamnya, jelas kekuatan
pedangnya yang tajam ini takkan mampu dibendung hanya dengan
dua kali pukulan telapak tangan.


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika sinar pedang membelah tiba, Lama kasa merah sudah
menyingkir mundur, tangan kanan sejak tadi telah disiapkan
melontarkan pukulan Toa-jiu-in, sekali membalik dengan gerakan
melintang miring tangannya menyampuk ke arah Thay-siang yang
menubruk tiba, berbareng ia menyeringai dan membentak:
"Perempuan bangsat, lihat pukulan. . ."
Dia kira dengan menyurut mundur beberapa kaki sudah cukup
jauh untuk menghindari hawa pedang Thay-siang. Di luar tahunya
bahwa Sinliong-jut-hun yang dikembangkan Thay-siang kali ini
dilontarkan dengan badan terapung diudara, tapi karena sudah
menjiwai ilmu pedang ini, maka gaya serang-annya dapat dia ubah sesuka hati sendiri, maka badan yang seharusnya terapung ke atas kini di ubah dengan meluncur ke depan. Pada hal dengan meluncur lurus ke depan inipun baru merupakan gaya permulaan dari
Sinliong-jut-hun, dan gerak susulannya adalah melancarkan
serangan dari udara. Dari sinilah diperoleh nama Hwi-liong-samkiam Hwi-liong atau naga terbang, karena ketiga jurus ini harus dilancarkan dengan badan terapung di udara. Begitu meluncur tiba, melihat Lama kasa merah mengegos ke samping, diam2
Thay-siang menjengek, badan tiba2 berputar, berbareng
pedangpun bekerja. Kejadian bagai percikan api cepatnya dan
sukar disaksikan dengan mata, tampak pancaran sinar hijau
kemilau menyapu dengan dahsyatnya.
Lama kasa merah tak sempat berkelit lagi, terdengar lolong
panjang yang mengerikan, di ma-na cahaya pedang itu
menyamber lewat, badan kekar besar si Lama kasa merah seketika
terpental roboh mandi darah. Kejap lain Thay-siangpun sudah
berdiri di samping mayat Lama kasa merah, nafsu membunuh yang
menghiasi wajah Thay-siang sudah sirna, kini kelihatan pucat pias, untuk berdiripun dia harus bertopang pada pedangnya, dadanya
turun naik menghembuskan napas berat dan sesak, terdengar ia
bergumam: "Anjing asing, akhirnya kau mampus dipedangku!"
Suaranya serak lirih dan lemah, badannya bergoyang dan akhirnya iapun roboh terjungkal.
Sementara itu, dengan sebilah pedang panjangnya Yong Kingtiong sedang menunjukkan ketangkasannya, beruntun dia
melancarkan Thianlo-kiam-hoat dari Kunlunpay yang telah lama
putus di kalangan Kangouw, keempat Houhoat Hek-liong-hwe telah
dijagalnya satu persatu, jubah hijaunya berlepotan darah. demikian pula jenggot dan mukanyapun basah dan kotor oleh keringat
tercampur percikan darah musuh.
Delapan jago pedang Hek liong hwe yang menonton di luar
arena sama berdiri mematung dengan terbelalak, agaknya mereka
takjub dan jeri melihat kehebatan Congkoan mereka, tiada seorangpun
yang berani maju lagi. Tiga kelompok pertempuran sengit yang ber-langsung di pinggir
"kolam naga hitam" kini dua kelompok di antaranya sudah berakhir. Kini tinggal Thi-hujin yang masih menempur Han Janto
dengan segala kekuatannya, makin gebrak makin seru dan ramai.
Maklumlah kedua orang ditelurkan dari satu perguruan, sama2
hasil didikan Lohwecu yang tidak pilih kasih, apa yang diyakinkan Han Janto juga diyakinkan Thi-hujin, demikian pula sebaliknya,
bergantung dari latihan dan penambahan variasi masing2 saja
yang berbeda, apalagi taraf permainan mereka sudah sama2
mencapai puncaknya. Ratusan jaurus kemudian, mereka tetap bertahan sama kuat.
Sudah tentu Thi-hujin lebih diburu nafsu untuk merobohkan lawan demi menuntut balas sakit hati sang suami, maka dia lebih getol menyerang, suatu ketika mulutnya melengking nyaring, sekujur
badan seperti dibungkus sinar pedangnya terus menusuk lurus ke
depan. Yang di-lancarkan ini sudah tentu adalah Sinliong-jut-hun, salah satu dari Hwi-liong-sam-kiam.
Melihat lawan menggunakan Hwi-liong-sam-kiam, sudah tentu
Han Janto tidak berani ayal, iapun bersiul panjang, badanpun
terbungkus bayangan hitam gelap melambung ke atas, yang dia
kembangkan juga jurus Sinliong-jut-hun.
Dua larik sinar pedang yang satu mencorong terang dan yang
lain guram gelap menjulang tinggi ke udara, seperti bianglala yang menembus tabir matahari.
Mendadak terdengar dering nyaring benturan kedua senjata,
percikan apipun bertahuran menghias angkasa. Dua sosok
bayangan orang sama meluncur turun, terpancar cahaya terang
laksanarantaiperak disertaibenturan nyaring memekaktelinga.
Sekonyong2 selarik bianglala kembali menjulang ke udara
disusul bianglala kedua juga melambung ke atas, di tengah udara kedua jalur bianglala saling bentur dan gubat menimbulkan gema
suara yang ramai. Untuk merebut kesempatan kedua orang
berusaha saling mendahului, Hwi-liong-sam-kiam memang ilmu
pedang yang harus dilancarkan dengan badan mengapung, tapi
pelajaran yang diyakinkan keduanya, sama2 bersumber dari satu
perguruan, maka bila yang satu melambung ke udara,
lawannyapun ikut mengapung ke udara, salah satu tiada yang mau
mengalah. Begitulah dari permukaan bumi kedua orang bertempur
sampai ke udara, dan dari udara kembali berhantam di atas tanah, keduanya masih terus serang menyerang mengembangkan tipu
permainan masing2, tapi tiada yang lebih unggul atau asor,
kekuatan tetap seimbang. Karena keduanya belajar dari satu sumber, betapapun banyak
ragam perubahan ciptaan masing2, tetap tidak kelihatan lebih
menonjol daripada yang lain, se-olah2 mereka seperti sedang
latihan belaka, sedikitpun tidak kelihatan letak kehebatan mereka, jadi pertempuran adu jiwa yang sengit ini justeru tiada seorangpun yang mampu mengungguli lawan serta merobohkannya. Kini
keadaan semakin tegang, sekarang hanya soal Lwekang siapa yang
lebih asor dan tak tahan, dia yang akan roboh lebih dulu dan itu berarti jiwa akan melayang.
Bagi orang lain yang menyaksikan pertempuran adu jiwa ini
kelihatannya amat menakjubkan dan mengerikan, terutama dering
benturan senjata kedua orang yang bergelombang memekak
telinga sungguh sangat mengganggu perasaan orang, jantung
serasa mau meloncat keluar.
Dengan mendelong Kun-gi mengikuti pertempuran sengit ibunya
yang melabrak Han Janto, sudah tentu hatinyapun sudah getol
menuntut balas kematian ayahnya, tapi dia lebih prihatin akan
keselamatan ibunya. Semakin memuncak pertempuran itu, begitu
tegang sehingga napaspun terasa sesak.
Disamping itu iapun menerawang serta menyelami jurus Noliong-bankhong (naga murka melingkar di udara) jurus ketiga dari Hwi-liong-kiam-hoat, bila diubah menjadi jurus ketujuh seperti lukisan yang ditinggalkan oleh Tiong-yang Cinjin di dinding gua itu, dikala badan terapung dan melancarkan serangan badan berputar
ke kiri, gaya pedang ditekan ke bawah, maka dengan mudah
pedang akan menusuk Hiat-to tertawa Han Janto yang terletak
dipinggang kanan. Sebaliknya bila diganti dengan jurus
kesembilan, ujung pedang sedikit ditarik serta menyongkel ke atas, iapun akan berhasil menusuktenggorokanHan Janto,
sasaranyangmematikan. Secara diam2 dia ikuti pertempuran ini
sambil putar otak gambar peninggalan Tiong-yang Cinjin di dinding gua yang sembilan jurus itu semuanya dilancarkan dengan badan
terapung, sejak mulai jurus pertama terus, berlanjut sampai jurus kesembilan seperti berkelebat dalam benaknya, terasa bila dirinya sendiri yang menggunakan jurus2 ilmu pedang itu, cukup lima
jurus saja pasti dirinya dapat membinasakan Han Janto.
Tapi ibunya justeru melarang dia turun tangan, soalnya sejak
dua puluh tahun yang lalu beliau sudah bersumpah akan menuntut
balas kematian suaminya dengan kedua tangan sendiri.
Dikala dia menonton dengan terpesona, tiba2 jeritan menyayat
hati menyentak lamunannya, Karena terkejut Ling Kun-gi
berpaling, dilihatnya sekali tabas Thay-siang telah berhasil
membunuh Lama kasa merah, dia bertopang dengan batang
pedangnya, mukanya pucat pasi. Malah badannya mulai
sempoyongan dan akhirnya jatuh terkulai.
Kun-gi melompat ke sana serta berjongkok di samping orang.
Yong King-tiong juga ikut memburu maju, menyaksikan keadaan
Thay-siang seketika dia mengerut kening, katanya lirih: "Luka2
Jikohnio agaknya cukup parah."
"Apakah Lopek tahu di mana letak luka2 Thay -siang?" tanya Kun-gi.
"Pasti anjing asing ini, meyakinkan ilmu Yoga, kemungkinan Jikohnio terkenan Toa-jiu-in."
Lekas Kun-gi papah Thay-siang, tangan kiri menekan
Ling-tai-hiat di punggung orang, pelan2 dia salurkan hawa murni ke tubuhnya.
Betapa tangguh Lwekang Thay-siang, cukup mendapat sedikit
bantuan tenaga dari luar sebagai pendorong hawa murni sendiri,
dengan lekas sekali orangnya setengah pingsan segera siuman
serta membuka mata. Melihat Kun-gi lagi menyalurkan tenaga
murni ke tubuhnya, agaknya dia amat terharu dan manggut2,
katanya tak bertenaga: "Nak, kaukah ini."
"Jangan Thay-siang berbicara ........."
"Nak, tak usah kau membuang tenaga, lepas tanganmu, aku
masih kuat bertahan."
"Luka2 Thay-siang tidak ringan, tapi dengan landasan kekuatan sendiri selama puluhan tahun ini, asal berhasil menuntun hawa
murni ke tempatnya semula, setelah beberapa kejap bersemadi,
dengancepatkesehatanThay-siangpastiakan sembuh."
"Memang betul, apa yang kau maksud aku sudah tahu, tapi
Losin dua kali terkena Toa-jiu-in keparat gundul itu, keduanya
mengenai tempat fatal di tubuhku, keadaanku cukup parah dan tak berguna lagi, tak usah kau membuang hawa murnimu,
hentikanlah, mumpung keadaan Losin belum memburuk, masih
ada omongan yanghendakkubicarakandengan kau."
Tapi Kun-gi tidak segera lepas tangan, katanya: "Apakah Thaysiang tidak berusaha menyembulikan diri?"
"Tak usah banyak bicara nak, dua tempat isi perutku sudah
hancur, umpama ada obat dewa juga tiada gunanya, syukur aku
masih kuat bertahan berkat peyakinan Lwekang selama puluhan
tahun, hawa murniku belum lagi buyar, beberapa kejap aku masih
kuat bertahan, umpama kau bantu menyalurkan hawa murni juga
tiada gunanya. Sebelum ajal ini, Losin ingin bicara dengan kau, waktuamat mendesak, lekaslahdudukdisampingku."
Yong King-thong dapat melihat air muka Thay-siang sudah
mulai berubah, lekas dia menimbrung: "Ling-kongcu, Jikohnio ingin bicara, lekas kau berhenti saja."
"Thay-siang . ." dengan ragu2 akhirnya Kun-gi menarik tangan.
Lwekang Thay-siang memang amat tinggi, meski Kun-gi tarik
tangan menghentikan saluran tenaga dalam, hakikatnya tidak
membawa pengaruh besar bagi keadaannya, mukanya memang
amat pucat, katanya menukas: "Nak, jangan memanggilku Thaysiang, akuadalah bibimu, kau panggilakubibi saja."
Terasa oleh Kun-gi, perempuan yang berwatak keras sejak
muda sampai lanjut usia ini, kini keadaannya betul2 sudah parah, walau orang berhati keji, untuk membunuhnya tak segan2 dia
mengorbankan banyak jiwa orang lain, tapi apapun yang telah
terjadi, jelek2 dia adalah adik kandung ibunya, apalagi keadaannya sekarang ibarat dian yang sudah kehabisan minyak. Maka pelan2
Kun-gi berlutut, mulutpun berteriak haru tersendat : "Bibi!"
Thay-siang tertawa haru, katanya: "Anak baik, bibimu berbuat salah terhadap kakek luarmu, mengingkari ayah bundamu,
demikian pula terhadap kau . . ."
"Kejadianyangsudahlalu, biarlah takusah diungkatkembali, bibi tak usah bicara urusan ini lagi."
"Orang menjelang ajal, apa yang dikatakan adalah bajik,
perbuatanku dulu yang memang tidak dilandasi cinta kasih dan
kebajikan, sekarang menjadipenyesalanyangamat mendalam."
Setelah Kun-gi menghentikan tambahan hawa murni, kalau
Thaysiang tidak menggunakan tenaga, berkat latihannya puluhan
tahun dia masih kuat bertahan beberapa kejap lagi, tapi setelah berbicara beberapa patah, lambat laun terasa keadaannya semakin gawat.
Agaknya hawa murni dalam tubuhnya mulai buyar sehingga
suara yang keluar dari kerongkongan pun menjadi lemah dan lirih, tapi dia masih berusaha berbicara: "Nak, kau sudah masuk ke Hekliong-tam, sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiong-yang
Cinjin yang terukir didinding pasti sudah kau pelajari dengan baik, Ih-thiankiam ini diperoleh kakek luarmu di dalam kamar batu
didasar kolam itu, hanya pedang inilah yang bisa mengembangkan
sembilan jurus ilmu pedang itu hingga puncaknya, lekaslah kau
terima . . . . " sampai di sini mendadak dia ter-batuk2, napaspun ter-sengal2.
Pada saat itulah, terdengar benturan nyaring senjata memekak
telinga dan menggetar sukma, tanpa tertahan Kun-gi menoleh,
dalam beberapa kejap ini, ternyata ibunya sudah terdesak di
bawah angin. Pedang panjang di tangan Hati Janto dimainkan sesakti naga
hidup, sinar pedangnya yang semula redup kini mulai menyala
meski tetap remang2, sementara ibunya masih bertahan mati2an,
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 16 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Duri Bunga Ju 4

Cari Blog Ini