3200 Miles Away From Home Karya Valerossi86 Bagian 8
"And you know, Jo" She just admitted it was her first time ever. Congrats, Jo!", seru Khali.
Dan aku dengan sukses menyemburkan sedikit lotte milkis yang masih tersisa di mulutku. Tentu saja mereka tertawa terbahak melihat hal tersebut.
"What if you pay us for that achievement" I bet you wouldn't get it without our advise." "Pay" How"!"
Mereka tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Mereka malah tersenyum aneh sembari melihatku tajam. "No, please! No..."
"It's alright, Jo. You'll be sleepy once you've finished your payment to us", sahut mereka kompak sembari menarik tanganku mengikuti mereka ke dalam toilet wanita di lantai itu.
Damn! Jika dikeroyok begini, aku memang tidak bisa melawan.
Dan benar saja, sekitar dua jam aku tiba di kamarku dengan keadaan sangat mengantuk karena kelelahan. -----------------------------------------------Setelah kejadian first kiss kami, aku tidak bisa menghubungi Azra sama sekali selama dua hari. Ketika kami bertemu secara tidak sengaja pun dia terkesan menghindariku walaupun terlihat wajah bersemunya masih bisa terlihat olehku.
Tepat di pagi hari pada hari ketiga, aku tiba-tiba mendapat panggilan telepon tepat setelah aku beribadah pagi. "Hallo, Az..."
"Hi, Jo..." "Yes"" "Listen, I'm so sorry for avoiding you recently..." "It's alright... I could understand it..."
"You know... That was my first time doing it with a guy..." "As I already predicted, Az..."
Kemudian kami berdua terdiam selama beberapa saat. "Jo..."
"Yes..." "Have you ever visited the hill behind this dorm"" "Yup... Several times last semester..." "Is it good up there""
"Well, quite nice, I think..."
"Hmmm... I'm kinda interested to go up there, Jo..." Well, kode.
"Okay... Let's meet up at the lobby... In ten minutes" Or Fifteen"" "Make it ten, please..."
"OK... Let's meet at the lobby in five minutes", pungkasku mengakhiri pembicaraan di telepon.
Dan tidak sampai sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di lobby di mana Azra sudah ada di sana dengan kaus lengan panjang warna hijau muda dan celana sport selutut.
Lebih lanjut mengenai apa yang terjadi sepertinya tidak perlu kuceritakan di sini. Hal ini sudah kuceritakan di side story yang kutulis sebelumnya. Intinya apa yang terjadi tiga hari lalu di antara kami terjadi kembali pada saat itu. Namun kali ini lebih berkesan karena kami melakukannya dengan penuh perasaan tanpa terburu-buru. --------------------------------Beberapa hari setelah hari itu, atau tepat pada hari ketiga bulan Oktober aku mendapatkan jadwal untuk presentasi di kelas negotiation. Tentu saja dari pagi sampai siang aku mempersiapkan diri untuk presentasi tersebut. Singkat kata, aku berhasil menyelesaikan sesi presentasi dengan sukses dan terlihat Prof. Kim yang mengajar di kelas itu cukup puas dengan presentasiku hari itu.
Kemudian tepat ketika aku meninggalkan kelas, terlihat ada panggilan masuk ke ponselku pada hari itu. Terlihat ada caller ID Riani yang memanggilku. Tentu saat itu aku sangat senang melihatnya karena sudah cukup lama tidak mendengar suaranya.
"Halo, Ri..." "Abang! Ke mana aja" Seharian kok gak online"! Padahal aku lagi luang hari ini tapi kamunya malah gak online"! Kamu udah ga mau kontak aku lagi ya""
"Ri, aku tuh hari ini ada presentasi penting di kelas. Porsi nilainya gede lagi. Kamu juga bukannya ngabarin kalo hari ini kamu ada waktu buat online."
"Ah, kamu alasan aja Bang. Abis ini mau jalan ya sama Azra" Iya emang dia lebih cantik dari aku, Bang... Dia..."
"Astagfirullah, Ri... Kamu ini kenapa" Kalo ada masalah sama kerjaan mbok ya cerita sama aku... Kali aja aku bisa bantu... Jangan marah-marah begini... Kamu udah ga nganggap aku lagi""
Setelah itu tidak ada jawaban. Hanya terdengar ada suara isak tangis di ujung sana. Mendengar hal itu aku juga merasa ikut sedih. Tanpa kusadari kantong air mata di kedua mataku mulai terasa berat.
"Ri"" Masih belum ada jawaban. Yang ada malah sambungan diputus dari sana. Kucoba menghubungi balik, namun selalu ditolak. Kemudian kucoba kirim pesan sms namun tidak ada bahasan sama sekali. "What's wrong Jo" You look like having a problem.", tanya seseorang yang datang dari arah sampingku.
"Ah... Not a big problem, Az. Just trust me... I can handle this.", jawabku sembari tersenyum memaksa ke arahnya.
Dan terlihat ada raut wajah sedih di wajahnya ketika ia melihatku.
"Just tell me the problem when you're ready to share it with me, Jo. I hope I could help you." Aku hanya mengangguk saja mendengarnya.
Elegi Hujan Sore itu Azra tidak bisa menemaniku terlalu lama karena memang ia masih ada kelas. Terlihat ia sangat khawatir melihat raut wajahku yang kelabu setelah aku menerima telepon barusan. Sedikit bersusah payah juga aku meyakinkannya agar ia tidak meninggalkan kelas yang seharusnya ia hadiri.
Begitu Azra akhirnya dengan berat meninggalkanku untuk masuk ke kelas, aku mengambil ponselku dan mencoba menghubungi Ian melalu whatsapp.
Quote:J: Cuk... Butuh bantuan banget nih aku... I: Soal Riani ya"
J: Kok tau" I: Baru aja dia ngontak gua, cuk... sedih banget gitu... Kalian berantem parah gitu ya"
J: Lebih ke salah paham aja sih sebenernya... Intinya aku lagi sibuk bukan di saat yang tepat... Dan juga pas aku lagi senggang, dia malah ga punya waktu buat aku...
I: Yah... Namanya juga LDR, cuk... sabar aja... J: Iya sih... Yah, tolong bantu liatin dia deh kalo gitu... I: sip!
J: Kabarin kalo moodnya dia udah mendingan... Nanti aku mau coba kontak dia lagi... I: Siap, Jenderal!
J: Haish! Mabok koen"
I: J: nggatheli! Dengan sedikit senyum kuakhiri komunikasi dengan sahabatku itu. Selanjutnya sedikit kuputar otakku untuk menentukan apa yang perlu kulakukan berikutnya. Perlukah aku pulang ataukah perlu mengunjungi tempat lain terlebih dahulu. Kulihat cuaca di sana yang cukup mendung. Beberapa detik berikutnya keluar keputusan dari sistem jaringan otak yang membuat seluruh tubuhku bergerak meninggalkan gedung GSIS ini menuju tempat lain yang tersedia cukup banyak di berbagai penjuru Anam-dong: Coffee Shop.
Yup, sepertinya segelas caffe-latte hangat dan sepotong blueberry cheese cake bisa sedikit memperbaiki moodku kali ini.
Satu menit berikutnya aku sudah melintasi pintu Barat kompleks Anam-dae untuk terus bergerak ke arah barat menuju Anam Junction. Di dekat perempatan ini terdapat empat coffee shop yang sejak awal memang dirancang untuk bersaing dengan ketat. Aku memilih secara random di antara empat coffee shop tersebut karena aku memang tidak terlalu fanatik dengan merek kopi manapun. Atau jika boleh lebih jujur, aku tidak terlalu peduli dengan kopi.
Aku memang bukan penikmat kopi.
Aku tidak terlalu bisa membedakan aroma kopi gayo, Brazil, atau bahkan luwak sekalipun. Aku hanya mengkonsumsi kopi dengan krim dengan rasa yang cukup manis. Kopi jenis ini yang selalu bisa dengan ajaib mengembalikan moodku yang terkoyak menjadi baik kembali.
Terdengar cukup borjuis" Well, jika aku masih berada di Indonesia, mungkin aku akan setuju: menikmati segelas kopi di coffee shop seperti ini merupakan tindakan yang borjuis. Namun tidak demikian saat aku berada di kota ini. Tindakan ini merupakan tindakan normal. Tentu saja karena perbandingan relatif harga makanan/minuman dengan pendapatan orang di sini relatif kecil. Berbeda dengan di Indonesia.
Tidak sampai sepuluh menit aku tiba di coffee shop ini, aku sudah duduk di meja di tepi jendela ditemani segelas cafe latte hangat dan sepotong blueberry cheese cake yang sudah kuidamkan sejak beberapa menit lalu. Belum lama aku duduk menikmati kedua hal tersebut, aku merasa ada hal yang kurang. Aku buka saja tasku dan aku ambil sebuah buku yang belum lama ini kubeli di daerah Gangnam.
Selembar, dua lembar, tiga lembar buku terlewati. Dan terdengarlah suara limpahan air dari langit di luar sana. Tentu saja suasana di luar sana jadi semakin temaram. Dan dengan sendirinya moodku yang terkoyak bukannya membaik, justru jadi semakin kelabu. Terlalu banyak kenangan dengan Riani selama hampir enam tahun bersamanya yang berkaitan dengan hujan.
Aku teringat pada hari hujan di mana kami berkenalan untuk pertama kali, kencan pertama, perselisihan pertama. Bahkan aku teringat bagaimana aku menembus hujan untuk mencarikannya obat ketika ia tumbang akibat gejala typhus.
Aku coba ambil ponselku dan memasang earphone. Mudah-mudahan lagu yang terpasang nanti bisa sedikit mengembalikan moodku. Dan perkiraanku tidaklah salah. Lagu Hujan dari kuartet industrial asal kota kembang, Koil, menjadi teman yang baik untuk melengkapi kenikmatan di hari hujan ini.
Tanpa terasa, segelas kopi telah kusesap habis dan cheese cake telah tandas. Namun sepertinya stok air di langit masih belum akan habis dalam waktu dekat ini. Kutengok arloji dan mendapati bahwa hari sudah cukup sore. Aku belum beribadah Ashar. Segera saja aku masukkan semua barang bawaanku ke dalam tas dan kuselubungi tas tersebut dengan pelapis kedap air sampai kemudian aku menyadari sesuatu. Aku tidak membawa payung.
Antara senang dan kecewa aku menyadarinya. Kecewa karena aku harus menembus hujan begitu saja. Namun senang karena pada dasarnya aku adalah orang yang sangat menikmati hujan. Benar, kamu tidak salah membacanya. Sudah sejak aku menghabiskan waktu kecilku di tanah Priangan, aku sangat menikmati hari hujan. Kedua orang tuaku pun cukup sering membiarkanku bermain hujan ketika kondisi fisikku cukup sehat. Ketika aku tumbuh remaja pun tidak begitu berbeda. Sebutlah itu bermain sepak bola ataupun bersepeda, aku sangat senang melakukannya di kala hujan. Bisa dibilang justru dengan menembus hujan seperti di kala ini bisa memperbaiki mood-ku.
Kusongsong saja hujan yang turun dengan wajah tersenyum. Beberapa orang di pinggir jalan melihatku dengan cukup aneh karena menembus hujan tanpa payung maupun jas hujan sama sekali. Langkahku ringan saja di bawah jutaan tetesan air ini. Dan sepertinya kedua ujung bibir ini tidak-hentinya berkontraksi untuk terus memaksaku tersenyum menikmati tangisan langit ini.
Aku terus berjalan dan berjalan hingga pada satu titik di mana lobi asrama terlihat dalam pandanganku. Dan di situ juga aku merasakan seperti ada yang menghalangi tetesan air tersebut untuk menyentuh tubuhku dari atas. Kutolehkan wajahku ke atas, dan terlihat ada sebentuk payung berukuran sedang berwarna pink tengah menaungiku dari hujan. Kemudian kulotehkan kepalaku sejenak untuk melihat tangan siapa yang tengah memegangi payung pink tersebut. Dan terlihat wajah cantik tersebut dengan raut muka sedih di wajahnya. "Hi, Az!", sapaku dengan tersenyum.
Dia tidak membalasnya. Dia malah memegangi lenganku dan memaksaku untuk mempercepat langkah menuju lobi asrama. Kemudian ia menggiringku ke basement tempat kami biasa bertemu. "Stay here!", ucapnya tegas.
Kemudian ia bergerak cepat ke lantai atas melalui lift. Tidak sampai lima menit kemudian ia sudah kembali di basement dengan handuk kering. Aku mengerti maksudnya dan segera menggunakan handuk itu di kepalaku.
"What is actually going on Jo" Please tell me... I promise I will help you find the solution!", tanyanya dengan nada bergetar dan mata mulai berair.
"Nothing's wrong, Az... I believe I can overcome this problem..."
Dan air mata mulai menetes membasahi pipi yang kemerahan itu. Membuatku jadi tidak tega. "Okay, I just had an argument with Riani. But honestly it was simply a misunderstanding between us." "Really" But why did you do such a ridiculous thing like walking under the rain"" "It wasn't ridiculous Az, it wasn't. Just trust me."
Kemudian ia mendekatiku dan segera memelukku dengan erat. Dan terasa ada sesuatu yang basah dan hangat mengalir di leherku yang sudah mulai mengering akibat handuk tadi. Terdengar juga isak tangis yang tertahan.
Apa dosaku sehingga harus mendengar dua isak tangis pada hari ini" "Looks like there's a misunderstanding between us as well.", bisikku lembut.
Fainted Pagi itu aku terbangun dengan kepala terasa sangat berat seperti ada barbel yang dibebankan di sana. Kupaksakan saja untuk bangun setidaknya untuk berwudhu dan beribadah pagi ini. Beberapa saat kemudian setelah aku selesai berwudhu, aku berpapasan dengan Saddam yang terlihat baru saja bangun. "Ya Akhi, are you alright" You look very pale, today..."
"Yeah... I feel a bit dizzy actually... I guess I need to take rest this whole day..." "Have a nice rest, then..."
Setelahnya aku beribadah di dalam kamar dengan kondisi pintu terbuka. Kemudian aku segera melangkah ke arah ranjang karena kepala yang terasa semakin pening ini. Namun baru sekitar setengah jalan menuju ke sana, tiba-tiba semua terasa gelap. Dan semakin gelap. Dan tubuhku terasa semakin ringan. Sepertinya akibat hujan kemarin bisa membuatku sampai seperti ini. Bodohnya aku tidak sampai berpikir sejauh ini.
Entah berapa lama aku kehilangan kesadaran. Aku sepertinya siuman di dalam kamarku. Terlihat olehku router wi-fi yang berada di pojok atas sana. Selain itu wangi karbol yang biasa kugunakan untuk membersihkan lantai kamarku juga tercium cukup jelas di hidung. Dan tangan kiriku merasakan tengah digenggam oleh sesuatu yang empuk dan hangat. Ketika kucoba mengumpulkan kembali kesadaranku, terdengar ada suara tangisan yang agak tertahan dari arah kiriku. Kucoba kuarahkan pandanganku ke arah di mana suara tangisan itu berasal.
Dan dia ada di sana. Tengah tersedu dengan kepala menghadap ke bawah. Dan tangan berjemari lentik itu tengah menggenggam tangan kiriku.
"Az..." "Jo... Finally..."
Kemudian ia melepaskan genggamannya dan bergerak memelukku. "I told you yesterday, Jo. Stop being ridiculous."
"I know Az... I know... it was such my foolish..."
"You've got to thank your neighbour Sadddam for calling me when he found you fainted here." "Of course, Az... He's such a good brother for me... By the way, where is he"" "He said he's got a class this morning therefore he asked me to stay here with you." "How about you" No class today""
"I'll have one on the evening. But I think I'll just skip it." "No, please. You don't have to. I believe I'll be fine by this evening." "Let's see later, Jo."
Setelah itu tidak ada kata-kata di antara kami. Dia sepertinya sangat menikmati pelukan ini. Aku pun mencoba ikut menikmati dengan membalas rengkuhannya.
Dan pelukan kami berhenti ketika kami mendengar ada suara dari perutku. Well, sepertinya aku pingsan pada saat yang kurang tepat. Saat di mana perut ini belum sempat terisi.
Bagaimanapun, kami berdua hanya tertawa kecil mendengar suara tersebut.
"Please stay here, Jo. Let's see what can I do to overcome your starvation. I'll be back soon.", sahut Azra yang diikuti dengan kecupannya di keningku.
Aku hanya mengangguk saja untuk menjawabnya. Kemudian ia terlihat memakai lagi hoodie crimson itu dan bergerak dengan lincah keluar dari mansionku.
Sepeninggal Azra, aku mencoba mengambil laptopku yang berada tidak jauh dari ranjang dan meletakkannya di atas pangkuanku. Kemudian kunyalakan seperti biasa untuk mengecek e-mail dan lain-lainnya. Kemudian dari aplikasi skype yang sudah ku-setting menyala otomatis di laptop ini terdengar suara. Sepertinya ada panggilan masuk.
Ternyata dari Riani. Tanpa ada prasangka apa-apa kendati ada tragedi di antara kita kemarin, kujawab saja panggilan tersebut.
"Halo Ri...", jawabku dengan suara parau.
"Halo Bang... Maaf ya yang kemarin aku marah-marah...", tuturnya di seberang sana. Terlihat ada awan kelabu yang menaungi wajahnya saat itu.
"Iya ga papa kok... Aku ngerti kamu lagi ada beban kerjaan..." "Abang kok pucet gitu mukanya" Suaranya serek pula... Abang sakit"" "Yah, biasa lah kemarin mandi ujan... Kangen soalnya udah lama gak kayak gitu..."
"Maaf ya Bang... Pasti gara-gara kemarin deh Abang kayak begini... Maafin Riani ya Bang...", sahutnya dengan berkaca-kaca.
Well, jujur saja memang jika sedang ada masalah di antara kami, khususnya pada saat hujan aku sering berakhir dengan hujan-hujanan. Riani sangat mengetahui hal ini dan tidak pernah berhasil menghentikanku melakukan kebiasaan itu. Dan memang dengan hujan-hujanan seperti itu aku biasanya jadi lebih tenang. "Udah... Ga papa kok...", kataku menenangkan.
Sejurus kemudian, "Hi Jo! I'm back!", seru si Rambut Merah itu di depan kamarku. "Siapa tuh Bang" Kayak suara cewek...", tanya Riani. "Azra... Tadi dia bilang mau bikinin aku makanan..."
"Kok bisa ke kamar kamu sih" Bukannya kamu di lantai khusus cowok ya"", tanyanya dengan nada sedikit gusar.
"Yah... Emang rada bangor doi, Ri..."
Kemudian Azra mendatangiku yang masih video call dengan Riani. Terlihat ia membawa food container berukuran kecil yang berisi bubur yang kuduga dicampur dengan kornet. Dengan riang ia kemudian nimbrung ke dalam percakapan kami di skype tersebut.
"Hi Riani! How is it going in there""
"Oh hi Az! I'm a bit busy here, actually.", jawab Riani sambil tersenyum. Senyum yang terlihat dipaksakan jika kamu mengenal Riani.
"You know Jojo just fainted this morning because of yesterday's rain. He was such a stubborn when I tried to stop him."
"Now you know him better, right""
"Girls, can you stop talking about someone especially when he's right in front of your face""
"Just shut up, Jo. And eat this porridge that I've cooked for you", respon Azra sembari menyuapiku bubur tersebut.
Sontak saja terlihat ada ekspresi terkejut dari wajah Riani di layar. "Well, Jo, Az... I think I've got to end this call right now. Work's calling." "See you later, Riani! Take care!"
Kemudian Azra terus menyuapiku bubur tersebut tanpa banyak berbicara kepadaku. Ia lebih banyak diam, tersenyum dan memperhatikanku yang mencoba menghabiskan bubur yang sudah dibuatnya itu. Terus terang saja aku merasa sedikit canggung diperhatikan seperti itu.
Dan ketika aku berhasil menghabiskan bubur tersebut aku mencoba memberanikan diriku menanyakan satu hal yang seharusnya kutanyakan sejak awal.
"Thanks for all the things you've done, Az. But can you tell me why do you care so much about me"" Ashitaka
"Thanks for all the things you've done, Az. But can you tell me why do you care so much about me""
Dia terlihat sedikit kaget mendengar pertanyaanku barusan. Namun dia dengan tangkas segera menyembunyikan ekspresinya dengan menutup mulutnya dengan tangan dan tertawa kecil. Terlihat pipinya mulai bergradasi jadi berwarna kemerahan secara perlahan. Kemudian ia segera mengisi gelas yang ada di meja kamarku dengan air dari tempat air yang ada di situ.
"I'll answer that after you drink, Ashitaka.", sahutnya sembari menyerahkan segelas air tadi.
Ashitaka" Sebentar... That name's kinda ring my bell! Segera saja aku mencoba menggali memori di kepalaku sembari memindahkan isi gelas ke kerongkonganku.
Nama itu ditulis oleh Azra ketika komunikasi kami di kakao talk terputus sewaktu aku di Jirisan. Tetapi aku sangat yakin aku punya memori yang lebih mendalam lagi mengenai nama itu. Sepertinya itu nama yang pernah kukenal sebelumnya.
Gelas itu tandas dan kulihat dia seperti sedang mengulik ponselnya. Kutaruh saja gelas itu di bawah ranjangku dan kuambil laptop yang tadi kuletakkan di sampingku di atas ranjang. Kubuka mesin pencari semilyar umat dan kuketikkan entri 'Ashitaka'.
Bersamaan dengan keluarnya hasil pencarian, bersamaan pula dengan Azra yang baru saja selesai dengan ponselnya dan ia menunjukkan foto lamaku. Aku terus terang kaget bagaimana dia bisa punya foto lama itu padahal aku tidak pernah mempublikasikannya di medsos manapun" Sejenak aku berpikir sampai aku menemukan jawabannya!
Jawabnya ada di ujung langit. Kita ke sana dengan seorang anak.
Familiar dengan kalimat di atas" Yup, itu adalah potongan dari soundtrack dragon ball yang jadi bagian dari masa kecilku dulu. Lantas apa hubungannya dengan chapter ini" Tidak ada. Aku hanya iseng saja mengetik
kalimat tersebut. Baiklah, kembali ke cerita.
Jawabnya ada pada tahun 2008 ketika aku dengan brutal jadi korban keisengan salah seorang sahabatku, Tama. Si Japan Freaker ini pada saat itu memaksaku untuk ikut serta dalam salah satu event cosplay di ibu kota pada saat itu. Awalnya aku menolak dengan seribu satu alasan. Dan Tama selalu bisa memberi seribu dua alasan untuk memaksaku ikut event tersebut. Setelah ada ancaman pemutusan suplai JAV dan hentai darinya, akhirnya aku luluh juga dan mau ikut event tersebut. Itu pun aku memberi syarat tidak mau menggunakan kostum yang ribet. Cukup yang sederhana saja.
Dan ketika kami mencari inspirasi untuk kostum, Tama mengatakan baru saja selesai menonton film Princess Mononoke yang baru saja ia beli DVDnya. Kemudian ia menyetel film tersebut dan mempercepat pada adegan di mana Ashitaka muncul. Konsep kostumnya yang cukup sederhana membuatku setuju ketika ia menawarkan agar aku menggunakan kostum tersebut.
Dan begitulah. Sekitar dua minggu kemudian aku ikut event tersebut tanpa ada beban harus menang. Mungkin berpartisipasi dalam event tersebut agak berlebihan buatku karena yang aku lakukan hanya sebatas datang dan berkeliling dengan menggunakan kostum. Well, memang sesekali aku bertemu dengan beberapa orang yang membawa kamera dan berpose sesuai permintaan mereka. Dan itulah yang tidak pernah aku sangka. Salah satu fotoku dengan kostum Ashitaka tadi rupanya sempat diunggah salah satu fotografer tersebut di websitenya.
Dan foto yang sama ada pada ponsel Azra.
Spoiler for *: Foto ini sudah tidak ada lagi di mesin pencari google sejak tahun 2012. Entah kenapa.
"You know, Jo. Mononoke Hime is one of my most favourite movie ever. It's like I can see myself reflected by San. And automatically I want my ideal man should be like Ashitaka."
"..." "And as you can predict, I randomly tried to browse anything about Ashitaka and ended up getting this photo. I was totally surprised when I saw him here for the first time, in the same campus with me. Even better, he lives under the same roof with me!"
Aku hanya tertawa ringan saja mendengarnya. Sementara ia kemudian menggenggam kedua tanganku erat sebelum melanjutkan ceritanya.
"I don't know whether is it God's hint for me or not, I just tried to know him much better. Luckily, I found him as a warm and very ideal guy even though he is not flawless. I know he is not alone and has some bad habits with alcohol, but..."
"..." "I can't stop giving my cares to him. I don't want anything bad happen to him. He's so precious.", lanjut Azra sembari mulai meneteskan air matanya.
"I don't know yet is it the so called love or not, Jo. This is my first time having such kind of feeling." Aku sangat kaget mendengar pengakuannya. Segala kata yang sebenarnya bersiap meluncur dari mulut ini tiba-tiba lenyap tanpa jejak. Jujur saja aku tidak pernah menyangka semua ini berawal dari hal yang sebenarnya remeh.
Si Rambut Merah itu tersenyum melihatku tidak mampu berkata-kata. Kemudian tubuhnya bergerak mendekati tubuhku. Dan lebih mendekat lagi. Wajahnya yang indah itu pun terlihat berusaha memangkas jarak yang ada dengan wajahku. Dan semakin minim jarak yang ada, terlihat mata coklat muda itu semakin sayu sampai akhirnya tertutup ketika jarak antara kedua wajah kami sudah terlalu dekat.
Aku pun mengikuti langkahnya menutup mata. Dan terasa ada sesuatu yang lembut, hangat dan sedikit basah menempel di bibirku.
Yak, tiga kali! She's Here KRIIIIEEEEKKKK! Suara pintu mansion yang terbuka itu dengan sukses menghentikan kami berdua yang sedang 'merujak bibir'. Tentu saja kami berdua secara instan langsung bergerak agak menjauh dan mengkondisikan secepat kilat kondisi yang kami sebut normal. Awkward" Pasti! Dan sejurus kemudian muncul pria dengan postur agak tambun dan berwajah Timur Tengah di depan pintu kamarku.
"Assalamualaikum, Guys!"
"Wa alaikum salam ya Akhi!", jawab kami berdua. "How is it going Jo" Feeling better"", tanya Saddam. "Much better, ya Akhi... Thanks so much for getting her here..."
Mereka berdua hanya tersenyum mendengar hal itu. Kemudian Azra menggerakkan punggung tangannya hingga menempel di dahiku.
"Well, he's getting better. I think a little rest will make him even much better." Saddam tersenyum lega mendengarnya.
"Well, I'll try to have some, then.", jawabku. Kemudian ada suara pesan masuk di ponselku.
"Or, I will not.", lanjutku sembari menunjukkan pesan dari Prof. Park yang bertuliskan: 'Meet me in my office in two hours. We'll discuss about your thesis.'
Tentu saja mereka berdua kemudian protes dan memintaku untuk beristirahat. Tapi pada akhirnya aku yakinkan mereka dengan mengatakan aku masih punya waktu 60 90 menit untuk beristirahat sebelum bertemu dengan Prof. Park.
90 menit kemudian, aku sudah siap berangkat ke kampus. Di lobby asrama terlihat Azra sudah menungguku. Dia terlihat sangat berkilau dengan sundress panjang warna putih bermotif bunga-bunga yang di dalamnya masih dilapisi kaus putih lengan panjang. Namun wajahnya masih sedikit menyiratkan kekhawatiran ketika melihatku mendatanginya.
"Jojo, are you sure about this" I believe you still need more rest." "It's fine, Az. Trust me."
"The last time you asked me to trust you was yesterday before you ended up fainted." Aku hanya nyengir saja mendengarnya. Sementara wajahnya berubah jadi merengut. "I promise I'll come back here and taking rests once I've finished this consultation, Az." Ia tidak menjawab. Ia hanya mengangkat satu tangannya dengan jari kelingking terangkat untuk memintaku berjanji kepadanya. Aku tersenyum sejenak sebelum mengaitkan jari kelingkingku kepadanya. Kemudian senyum manis itu muncul lagi di saat jari kelingking kami saling terkait.
Sekitar dua jam kemudian aku keluar dari ruangan Prof. Park dengan mood kurang baik. Jujur aku masih agak kecewa karena menurutku sesi konsultasi barusan tidak terlalu memberikan kemajuan berarti dalam proses penulisan tesisku. Dan ternyata sepeminuman teh kemudian ada satu hal lagi yang merusak moodku hari itu. Yup, pesan whatsapp itu masuk ke ponselku.
Quote: I: Cuk, bojomu iki cuuuuukkkk...
J: Ono opo tah" I: mewek kejerrrr! J: Lha ono opo tah" I: Yo ndak ngerti aku cuk... Dari tadi ndak ngomong opo-opo... Tau-tau dateng ke tempatku trus mewek... Yo bingung aku juga dadine...
J: Yo wis, aku telpon sik yo...
I: Koyone ndak perlu Cuk... Nanti aku kabari kalo dia udah agak stabil...
J: Yo wis... Jangan lupa loh...
I: Oyi... Riani, Riani... Sebenarnya kamu ini kenapa"
Mengingat aku tadi berbalas whatsapp dengan Ian sembari berjalan, begitu tersadar aku tengah berada di hall samping Gedung GSIS. Di hall tersebut tergantung spanduk berukuran sedang bertuliskan Model United Nations. Yah, ternyata acara model ini memang sedang in juga di negeri ini. Tidak hanya di kampusku yang dahulu saja. Dengan iseng kudekati poster tersebut dan mencoba membaca detail dari acara kompetisi tersebut. Sedang asyiknya membaca spanduk, tiba-tiba ada orang iseng mendekatiku dari belakang dan menutupi mataku. Tentu saja respon pertamaku adalah memegang tangan yang menutup mataku sebelum menebak siapa si orang iseng ini.
Tangan itu halus dan berjari lentik. Pasti ini tangan perempuan. "Stop being ridiculous like this Khal!"
"Khal"", terdengar suara di belakangku bertanya. "Eh, is it you Jen""
"Jen"", terdengar suara itu tambah bingung.
"Is it you Az" I'm quite surprised your class ended up this soon.", sahutku sembari melepaskan tangan itu dan berbalik ke arahnya.
Dan aku sangat terkejut melihat siapa orang iseng yang barusan menutup mataku dari belakang. "Aku gak nyangka Mas Jojo playboy ternyata...", celetuk gadis itu dengan polos. "Elu ngapain di sini Rin"!", seruku terkejut.
Dan Karin nyengir saja mendengarku terkejut begitu.
Kemudian kami berdua duduk di salah satu meja yang ada di hall tersebut. Tentu saja kami mengobrol dan obrolan kami kali itu ditemani dua gelas kecil coklat hangat yang kubeli dari vending machine. Dari obrolan itu aku mengetahui jika Karin berada di sini untuk mengikuti acara Model United Nations yang barusan kubaca posternya tersebut. Dia juga mengatakan ingin mencoba setidaknya sebelum lulus sekali mengikuti acara dengan status sebagai perwakilan kampus kebanggaan kami. Yup, kampus kebanggaan yang sudah
menghasilkan banyak tokoh penting di tanah air di samping juga menghasilkan koruptor. "Oh iya Mas Jo..."
"Kenapa Rin""
"Aku jomblo nih sebulan ini..."
"Lha kenapa lu jadi curhat ke gua" Lagian kenapa sih sama Kevin" Kayaknya doi baik-baik aja anaknya... Ga aneh-aneh gitu..."
"Menurutku dia kurang dewasa, Mas... Ngambekan kayak anak kecil... Mending yang tipe Mas Jojo gini deh... Yang bisa ngebimbing aku..."
"Lu cari pacar apa cari dosen buat ngebimbing skripsi sih"" "Pacaran ama dosen kayaknya enak tuh kalo gitu ya Mas..." "Buset deh! Lu cantik-cantik koplak ternyata!"
"Thank you for the compliment loh..." Oh Dewaaaaaa!
"Oh iya Mas..." "Kenapa""
"Nanti balik ngajar aja di kampus, Mas. Pasti bakal diterima dengan tangan terbuka. Apalagi Mas kan deket sama Mas Yadi..."
"Yah, liat nanti lah... Emang kalo gua ngajar di kampus apa bagusnya buat lu" Lu udah mau lulus juga..." "Ya nanti gua jadi asisten Mas..."
"Heh"!" Dan terlihat wajah Karin tersipu malu begitu melihatku terkejut. "Oh iya Mas... Mbak Riani apa kabar""
JLEB! Tiba-tiba aku teringat percakapanku via whatsapp dengan Ian beberapa menit lalu. Kucoba tarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Oh, baik... Baik... Cuma dia lagi sibuk aja..."
"Yang bener Mas" Kok kayaknya kayak ada yang ditutupin gitu ngejawabnya" Lagi ada masalah ya"", tanya Karin dengan tatapan menyelidik.
"Yah... Begitulah... Namanya juga LDR, Rin... Ada aja dinamikanya... Doain aja yang terbaik buat kami, ya...", jawabku yang diikuti dengan sesapan coklat hangat yang masih ada setengah gelas. "Iya Mas... Yang sabar ya..."
"Kalo akhirnya ga bisa diselamatkan juga aku mau kok jadi sekocinya.", jawabnya dengan polos yang berhasil membuatku menyemburkan coklat hangat dalam mulutku.
"Iiiiiihhhh.... Jorooooookkk!"
Kemudian kami melanjutkan obrolan kami dengan sedikit awkward. Untungnya tidak begitu lama ada hal yang menarik terjadi.
"Hi, Jo!", sahut seseorang yang datang dari arah belakang Karin. Kulihat orang itu dan tersenyum lebar.
"This is perfect!", gumamku dengan agak keras. "Perfect"", respon kedua orang di hadapanku.
Kemudian kedua orang itu saling pandang dan terlihat ada wajah terkejut di kedua wajah mereka. Saking terkejutnya mereka sampai tidak mampu berkata apa-apa.
"Well, Khali... This is my junior Karin... Karin, ini Khali, temen kuliahku..." "Nice to see you...", sahut mereka bersamaan sembari berjabat tangan.
Dan aku berusaha keras menahan tawa ketika melihat ekspresi wajah mereka berdua.
Mereka berdua memang mirip. Hanya saja memang wajah Khali terkesan lebih dewasa. Di samping itu warna pakaian yang mereka kenakan pada hari itu juga sama. Atasan biru dan bawahan hitam. Siapapun akan menyangka mereka adalah kakak beradik jika tidak mau menyebut mereka kembar.
Tidak hanya pada tampilan saja, karena selanjutnya terlihat jelas jika karakter mereka cenderung mirip. Terbukti tanpa perlu waktu lama mereka berdua dapat mengobrol cukup banyak denganku berada di tengahtengah mereka.
Dan juga pada saat Azra tiba-tiba datang dari arah belakangku dan dengan manjanya mengusap rambutku. "Jo, you promised to get more rest once you've finished your thesis consultation, right" Why are you still here"" Terlihat mereka berdua sedikit tidak senang dengan kedatangan Azra.
"Hi, Az...", tegur Khali dengan datar.
"Hi, Khal... And this girl is..."
"Hi, I'm Karin... Jojo's junior in his previous campus" "Nice to see you, Karin... I'm Azra"
"Are you Jojo's girlfriend"", tanya Karin polos. Tentu saja kami bertiga terkejut mendengar pertanyaan itu. "No... no... Even though I really expect to be...", jawabnya sembari tersipu. "So our position is the same, then.", lanjut Karin.
Apa maksudnya"! "Okay, I'll join the race...", sambung Khali.
Whiskey Tango Foxtrot question mark exclamation mark What an awkward situation!
Escape! Escape! Sebelum masuk ke cerita, aku hendak bertanya: siapa di antara kamu, terutama yang jenis kelaminnya lurus ke depan, atau mungkin lebih sering ke bawah, yang tidak senang jika diperebutkan betina-betina cantik" Aku" Pasti sangat senang. Setidaknya ada hiburan visual. Lebih dari hiburan visual" Mungkin kombinasi sensasi di indra penciuman dan peraba. Sensasi yang bersifat orgasmik" Well, itu jika kamu cukup beruntung.
Tapi jika sudah sampai main emosi dan perasaan" Mungkin untuk menjawabnya aku perlu mengutip judul lagu dari kelompok side project dari Eross Chandra yang bernama Jagostu: Ampun DJ!
Intinya, jika kamu cuma mau berkompetisi mencari dan memberikan sensasi orgasmik denganku, silakan. Toh aku sudah cukup berpengalaman soal ini. Lagipula kamu bisa saja berkooperasi ketimbang berkompetisi dalam hal ini. Namun jika lebih dari itu, gimme a break! Terdengar seperti penjahat kela*in" Well, I am!
Itulah yang terjadi pada saat peristiwa awkward di sore itu. Ada tiga wanita yang mungkin cantiknya cuma bisa kamu temukan once in a lifetime berkumpul dan ketiganya mengakui ingin berkompetisi untuk memiliki tempat di hatiku. Sementara beberapa menit sebelumnya sahabatmu mengabarkan ada yang salah dengan pemilik hatiku yang sah dan mengindikasikan untuk dapat diselesaikan segera. Ditambah lagi kamu baru saja mengalami konsultasi tesis yang justru membuat masa depan penulisan tesisku bertambah tidak jelas. And hey, I forgot to mention that I was fainted earlier on this day, right"
Dan betul saja kepalaku mulai berputar setelah mendengar Gadis Mongolia itu akan ikut berkompetisi juga. I need to escape from this situation at bloody once!
"Gurls, gimme a break... Please...", ucapku sembari memegangi kepalaku yang sepertinya mulai berputar. Kemudian aku mulai balik badan dan berjalan meninggalkan mereka bertiga di hall. "Where are you going"", terdengar suara Azra di belakangku.
"Fulfilling my promise to you"
Kemudian kucoba percepat saja langkahku meninggalkan gedung kampus menuju kamarku di asrama. Semakin kupercepat langkahku, semakin berputar pula rasanya kepala ini.
Sementara itu aku merasa ada seseorang di belakang sana yang mengikuti langkahku ke asrama. Yah, aku tidak terlalu peduli lagi. Satu-satunya yang kupikirkan hanya bagaimana caranya aku bisa mencapai kamarku sesegera mungkin dan beristirahat untuk membuat dunia ini tidak terlalu cepat berputar.
Hanya sekitar seratus meter dari lobby asrama, rasanya aku semakin limbung. Jantung terasa pindah ke kepala dan menghasilkan beberapa ekor kunang-kunang di depan mataku. Sementara itu tubuhku terasa basah oleh keringat dan rasanya sepasang tungkai ini mulai tidak tahan dengan bobot tubuhku sendiri.
Dan suara langkah di belakangku terdengar bergerak lebih cepat ke arahku. Dan orang itu berhasil menahan tubuhku tepat ketika aku mulai kehilangan keseimbangan.
"Jo! Hang on... Please hang on, Jo!", kata orang itu sembari memapah tubuhku yang mulai lemas.
Aku jadi teringat kejadian lebih dari seminggu lalu di mana aku juga memapah dirinya yang berpura-pura mabuk.
"Az..." "I'm so sorry, Jo... I'm so sorry...", ucapnya dengan suara menahan tangis.
Ia terus berusaha menahan tangisnya sembari terus memapahku menuju lobby asrama. Aku tahu berat pastinya untuk gadis seukurannya untuk memapahku yang tengah kepayahan ini. Terasa olehku langkahnya tidak lurus karena terpengaruh bobot tubuhku ini. Namun aku perlu salut dengan kesungguhan usahanya untuk terus memapahku. Sayangnya kesadaran yang ada diriku terasa semakin tipis.
Untungnya tepat ketika kami tiba di lobby, terlihat Saddam baru saja keluar dari lift. Dan di belakangnya terlihat ada Faisal mengikutinya. Mereka terlihat mengerti dengan apa yang terjadi denganku dan segera saja menghampiri kami berdua.
"Thank you very much, Az... But please let us take care of him from here...", kata Faisal sembari mengambil alih diriku dari si Rambut Merah itu.
Dan terdengar olehku suara isak tangis itu semakin kencang... Sebelum kesadaranku hilang sama sekali.
Akhirnya aku mendapatkan kesadaranku kembali. Terlihat arlojiku menunjukkan pukul 0005. Aku melihat sekitarku dan kusadari aku tengah berbaring di ranjang kamarku. Di atas meja terdapat beberapa bungkus obat serta sebuah mangkuk tembikar berukuran cukup besar.
Tidak terlalu lama setelah aku siuman, terlihat Saddam memasuki kamarku.
"Finally you wake up. You know, a doctor came here and checked up your condition. He said you better have a long rest until tomorrow and gave some vitamins to ensure your vitality."
"Anything wrong with me""
"Not a big problem, he said. You just need some rests and looks like you're quite stressed." "I see..."
"What's the real deal with you actually" Well, you can answer it if you feel necessary to answer it...." "Thesis, papers, tasks..."
"No... I believe it's more that that, ya Akhi..."
"Well... It's about relationship... It's kinda fu*ked up today..."
"I can't give any suggestion for you on this case, then... But I believe you can easily solve it if you use not only your ratio, but also your heart..."
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Dan lagi-lagi untuk kedua kalinya pada hari ini... Atau mungkin setelah kemarin karena memang hari sudah berganti sejak beberapa menit lalu... Yah, intinya perutku berbunyi lagi dengan suara cukup keras saat aku tengah berbicara serius dengan orang di hadapanku.
"Ya Akhi... Azra cooked you a porridge for your dinner... She was very worried about you... So please terminate your starvation with that porridge..."
"Looks like I have no other choice, ya Akhi...", jawabku sembari mengambil mangkok tembikar itu.
Dan begitu kubuka, terlihat bubur lezat itu masih mengebulkan sedikit asap. Terlihat masih cukup hangat. Dengan berbasa-basi aku tawarkan saja bubur itu kepada Saddam yang tentu saja ditolaknya, Kemudian ia sendiri terlihat akan bergerak kembali ke kamar sebelah.
Namun ia terlihat menghentikan sejenak langkahnya dan membalikkan sebagian tubuhnya ke arahku.
"Ya Akhi, I have no idea about your relationship with Riani... But I believe you will have no regret if you choose Azra to be with you..."
Beberapa hari terakhir setelah hari kejadian di hall GSIS dengan tiga gadis itu, aku mencoba bersikap biasa dengan mereka. Bukan, bukan bersikap biasa. Mungkin lebih bisa disebut mencoba bersikap adil terhadap mereka. Misalnya saja aku selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama Azra, kemudian makan siang di kantin kampus bersama Khali dan makan malam di sekitar Anam bersama Karin.
Dan aku selalu terbuka terhadap mereka bertiga mengenai apa agendaku hari itu dan tidak pernah menolak jika mereka mau ikut dalam kegiatanku pada hari itu. Dan bukan hanya sekali salah satu dari mereka ikut serta jika aku sedang memiliki agenda bersama salah satu dari mereka juga. Misalnya aku pernah makan siang bertiga bersama Khali dan Karin ataupun sekali makan malam berempat. Dan yang lebih beruntung lagi, tidak ada satu pun dari mereka yang pernah menyinggung apa yang terjadi beberapa hari lalu di Hall GSIS. Sepertinya dunia jadi lebih damai dengan kondisi demikian.
Bagaimana dengan Riani" Akhirnya komunikasi kami berjalan normal lagi sebagaimana seperti ia baru pindah ke Surabaya. Memang durasi komunikasi kami relatif lebih pendek karena kesibukan kami berdua. Namun setidaknya komunikasi kami sekarang relatif lebih rutin. Kejadian beberapa hari lalu ketika Riani menangis di tempat Ian tanpa alasan" Well, aku pernah menanyainya beberapa kali namun ia tetap bungkam mengenai hal itu. Yah, sepanjang komunikasi kami lancar sepertinya hal itu tidak menjadi masalah buatku.
Suatu hari kami sedang makan malam berempat di sebuah restoran India di dekat Anam Junction. Saat itu suasana cukup hangat dan bersahabat sebagaimana deretan makanan India yang disajikan kepada kami. Khayalan liarku pada saat itu jadi membayangkan seandainya aku bisa memperistri mereka sekaligus. Tapi rasanya tidak mungkin. Sepengetahuanku, mereka cukup posesif jika menyangkut hati. Well, sebaiknya kubuang saja khayalan liar tersebut.
"Finally, today's the last day of the competition. Tomorrow the best speaker of the competition will be announced on the morning.", tutur Karin.
"I hope you could be the one, Rin.", jawabku.
"Yeah, it looks like you've got the capacity to win it.", sambung Khali.
Si Rambut Merah itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya tanda persetujuannya dengan pendapat kami.
"Well, since my time in here is only several days remaining, is it possible for me to borrow Jojo for the rest of tomorrow just for myself" I want to go to the N Tower with him regardless the result of tomorrow's announcement. Mas Jo mau kan""
"N" Did you mean Namsan" I want to go there with him as well!", seru Azra.
"Az, please... Just let her has her time with him tomorrow, will ya" We still have quite long time with Jojo here thus we can just go with him any other time.", sanggah Khali mencoba menenangkan Azra. "Okay, as long as Jo promise me to take me with him to the N tower in the near future." Kedua gadis yang seperti kembar itu mengangguk dan tersenyum mendengarnya. Aku" "Girls, have I given my 'yes'"", tanyaku.
Dan mereka bertiga menatapku horror sembari menggenggam erat garpu dan pisau mereka. Looks like the options available for me are 'yes' and 'send me to Pyongyang ASAP'.
3200 Miles Away From Home Karya Valerossi86 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Okay, okay... You got my 'yes'... You got it!" ---------------------------------------------------------------Keesokan harinya aku dan Karin bertemu di daerah Itaewon di depan Kedai Kebab 'Ankara Park'. Aku sengaja bertemu di sana selain memang aku hendak ibadah Jumat terlebih dulu, kedai kebab tersebut terletak tidak jauh dari stasiun dan halte bus Itaewon di mana kami hanya perlu naik bus sekali menuju N Tower. Lagipula menunggu Karin sembari nyemil kebab sepertinya nikmat juga.
"One lamb kebab please!"
Kemudian pria Turki paruh baya itu melihatku dengan tatapan agak tajam. "Pedas""
"Pedas sangat!"
"You must be Indonesian... Gimme a few seconds..."
Dalam waktu beberapa menit, aku sudah menikmati nikmatnya kebab daging domba tersebut di pojokan kedai kecil itu. Dan ketika tengah enak-enaknya menikmati kebab sembari membaca majalah gratisan yang tersedia di kedai itu, tiba-tiba terasa ada sesuatu yang membebani potongan kebab yang berada di genggaman tanganku itu.
"Enak nih Mas Jo kebabnya. Domba ya"", tanya orang itu sembari mengunyah potongan kebab dalam mulutnya.
Sementara itu terlihat kebab yang kugenggam sudah berkurang sebagian dengan adanya bekas gigitannya. "Buset deh Rin! Mbok ya kalo udah sampe nyapa gitu... Bukannya nyikat makanan orang model begitu!" Karin hanya menjulurkan lidahnya kutegur begitu.
"Bikinnya lama gak Mas" Aku pas lagi agak lapar nih soalnya."
"Ya udah sana pesen aja. Kalo mau yang pedes bilang aja pedes... Dia ngerti kok..." "Okeh!"
Kemudian gadis berwajah oriental itu bergerak ke counter pemesanan dan segera memesan kebab persis seperti yang baru dinikmatinya barusan. Gadis itu terlihat anggun dalam balutan setelan blazer dan rok span biru tua dan kemeja putih di balik blazernya. Stocking sewarna kulit dan syal hitam yang dikenakannya memberi aura elegan namun sensual pada dirinya. Ditambah lagi wedges di sepasang kakinya dan tas perempuan yang digenggamnya menambah kesan feminin yang ada pada dirinya. Tanpa sadar mataku jadi tidak bisa lepas memandangi gadis yang tengah menunggu pesanannya tersebut.
"Lu seriusan nih Kev ngelepas cewek kayak doi"", gumamku dengan pelan tanpa kusadari. Begitu tersadar, gadis itu sudah berdiri di hadapanku sembari menikmati kebabnya. "Udah nih pesenannya" Mau makan dulu apa sambil jalan aja""
"Sambil jalan aja deh Mas Jo. Takut kesorean."
Kemudian kami berdua bergerak meninggalkan kedai itu menuju halte bus yang berada tidak jauh dari situ. Sekitar lima menit menunggu, akhirnya kami berdua naik bus nomor 03 yang memang menuju Namsan. Di bus itu, kami cukup menikmati perjalanan di mana Karin banyak bertanya soal daerah-daerah yang kami lewati. Dengan sabar aku mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Selain itu sesekali aku mengingatkan dirinya agar tidak terlalu berisik ketika berbicara terutama jika menggunakan bahasa asing. Well, kendati dibalut dengan busana yang elegan seperti ini, gadis ini memang masih muda sehingga masih perlu banyak bimbingan.
Sekitar 30 menit di perjalanan, akhirnya kami tiba di pemberhentian bus terakhir di Namsan. Terlihat begitu turun dari bus, Karin cukup terkagum sejenak sebelum akhirnya merajuk manja kepadaku.
"Mas Jo, jalannya nanjak nih... Gendong..."
"Buset deh Karin! Lu umur berapa sih sekarang" Yang bener aje udah tua bangka begini minta gendong..." "Abis jalannya nanjak gini.. Aku kan pake wedges gini jadi berat kalo mau ke atas." "Oh Dewaaaaaa! Lagian kenapa tadi bukannya ganti baju & sepatu dulu sih""
"Aku kan gak sabar mau kencan sama kamu Mas... Mumpung udah dapet izin minjem kamu seharian ini..." Terlihat pipinya yang putih itu mulai bersemu.
"Ya udah... kita jalan aja pelan-pelan ke atas ya..." "Let's go!", seru Karin sembari memeluk manja lengan kananku.
Sempat aku mau protes, namun aku teringat dirinya yang sebentar lagi akan kembali ke tanah air. Yah, boleh lah sekali-sekali.
Sembari berjalan ke atas, kami sedikit berbincang mengenai acara yang baru saja selesai diikutinya. Dari situ aku mengetahui jika kelompoknya yang terdiri atas tiga orang belum berhasil mendapatkan gelar apa-apa di event tersebut. Namun dia tidak terlihat kecewa karena ia mengaku banyak mendapatkan pengalaman dari acara ini. Kuberanikan juga menanyakan mengapa teman kelompoknya yang lain tidak pernah diajak jika ia bertemu denganku, dan dengan polos ia mengaku jika ia memang menyembunyikan keberadaanku dari teman-teman sekelompoknya yang ternyata perempuan semua. Ia beralasan takut kedua temannya yang lain ikut-ikutan mendekati diriku.
"Terus lu ngomong apa ke temen-temen lu tiap kali mau jalan sama gua"" "Mau jalan sama temen gua orang Philippin... Ujungnya paling mabok sama doi..." "Sianjrit! Trus mereka percaya gituh""
"Ya begitu gua tunjuk Mas Jo dari kejauhan ke mereka, mereka sih percaya aja kalo Mas Jo tuh Pinoy..." Grrrrrr.... Lagi-lagi tampangku dikira bukan orang Indonesia.
Setibanya kami di menara, kami segera mengantre tiket untuk naik ke anjungan di atas menara ini. Selanjutnya kami juga mengantre untuk menaiki lift menuju ke atas. Sesampainya di atas, Karin terlihat begitu senang dan dengan lincah ia segera berkeliling anjungan tersebut. Aku sendiri karena sudah pernah ke sini sebelumnya cukup menunggu di salah satu sudut di anjungan tersebut sembari memandang pemandangan kota Seoul di luar sana.
Seperti biasanya aku melamun jika dihadapkan dengan panorama seperti ini. Cukup lama aku melamun dan akhirnya tersadar bahwa Karin tidak terlihat lagi bersama diriku. Kemudian kucoba kelilingi anjungan ini dan mendapati Karin tengah beradaa di salah satu titik pengamatan dengan pandangan kosong ke arah luar. Dan ada jejak air mata di pipinya.
"Kev, kenapa sih kamu gak bisa sabar dikit sama aku"", gumamnya pelan namun masih dapat terdengar olehku.
"Yang sabar yah Rin...", ucapku sembari merangkulnya dari belakang. "Eh, Mas Jo... Sori ya kalo jadi nyariin..."
"Iya... gak papa kok... Aku ngerti..." "Emang apaan ye"", cibirnya.
"Dih... Dihibur malah ngeledek..."
Dan lagi-lagi ia menjulurkan lidahnya kepadaku.
Lima belas menit kemudian kami berdua bergerak turun dari anjungan tersebut. Di bawah, Karin menarik lenganku untuk mampir di counter Teddy Bear yang berada tepat di samping Museum Teddy Bear. "Gak masuk ke museumnya sekalian Rin""
Gak ah& Mau liat bonekanya yang di sini aja& "
Terlihat matanya begitu gembira menyaksikan cukup banyak pilihan Teddy Bear di toko tersebut. Rasanya sulit dipercaya jika mata yang sama beberapa saat yang lalu meneteskan air mata mengenang belahan jiwanya yang meninggalkan dirinya. Entah kenapa tiba-tiba diriku jadi memiliki inisiatif.
"Kamu mau yang mana Rin""
"Eh... Gak usah Mas Jo... Aku seneng liat-liat aja kok... "Gak papa, Rin... Itung-itung oleh-oleh buat kamu..."
"Jadi gak enak deh aku... Terserah Mas Jo mau kasih yang mana deh kalo gitu..."
"Terserah aku nih" Yang ini gimana"", jawabku sembari mengambil boneka Teddy Bear yang sama persis dengan sahabat Mr. Bean.
"Seriusan Mas yang itu"", tanyanya dengan nada ragu.
Aku hanya meresponnya dengan mimik muka yang dimirip-miripkan dengan Rowan Atkinson sembari mengangkat boneka itu dengan satu tangan dan satu tangan lainnya mengangkat jempol ke arah dirinya. Hwahahahaha! Iya deh Mas aku ambil yang itu!
Setelah membayar, kami berdua keluar dari toko dan terlihat Karin senang sekali menimang-nimang boneka tersebut.
Makasih ya Mas Jo... Sebagai gantinya, boneka ini aku namain Jojo... Gak Kevin aja"
Plis deh... Boneka ini tuh mau aku taro kamarku di deket ranjang... Jadi dia bisa nemenin aku terus dan ngejagain selama aku tidur... Kalo namanya Kevin ini boneka nasibnya bisa kayak boneka kelinci putih di keluarganya Nana di komik Crayon Shinchan.
Dan aku jadi teringat boneka kelinci putih yang ia maksud yang sebenarnya memiliki status sebagai samsak. Lu ternyata mengerikan juga yah Rin..."
"Eh kalo di situ ada apa Mas"", tanyanya sembari bergerak ke sisi lain dari tempat ini. Eh, itu...
Terlihat gadis itu sudah mendekat ke sederet pohon buatan dari logam yang dihiasi banyak gembok. Wah... Gembok cinta rupanya... Pasang yuk Mas Jo!
Eh yang bener aja luh! Udah, gak papa... Toh buat kita ini mungkin namanya jadi agak panjang... Gembok cinta dari sepasang sahabat... Atau gembok cinta kakak dengan adiknya...
Terserah deh... , jawabku sembari tersenyum tipis.
Segera saja Karin menarik tanganku untuk menuju salah satu toko souvenir. Sejurus kemudian ia mulai menuliskan sesuatu di atas gembok tersebut.
Dan tiba-tiba aku teringat dengan Riani. Sepertinya ada rasa optimisme ketika melihat Karin menuliskan sesuatu di gembok tadi. Sepertinya juga aku terpengaruh dengan mitos jika kami memasang gembok di tempat ini maka cinta kami akan abadi selamanya. Kudekati saja penjaga toko souvenir tadi secara diam-diam. Ajeossi, padlock hange juseyo
Spoiler for *: Pak, gemboknya satu. Sejurus kemudian aku pun ikut menuliskan beberapa kata singkat di atas gembok tadi. Tentu saja aku berjagajaga agak Karin tidak melihatku menulis di gembok yang baru saja kubeli barusan.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Karin menggandengku lagi ke arah pohon logam tadi. Terlihat di gembok tadi ada tulisan kecil-kecil yang cukup panjang. Aku hanya melihatnya dari belakang ketika ia berupaya memasang gembok tadi di salah satu pohon logam. Ia terlihat sedikit kesulitan ketika akan melepas kunci dari gembok tadi.
Well, ini sepertinya kesempatan buatku. Dengan tangkas kupasang saja gembok cinta yang bertuliskan J & R 2005 Forever tersebut di salah satu batang pohon logam yang berada di belakang Karin. Kemudian terlihat olehku Karin masih kesulitan melepas kunci tadi. Kondisi ini kumanfaatkan untuk mengambil foto gembok cinta yang barusan kupasang dengan kamera ponselku. Dan ketika selesai, terlihat akhirnya Karin berhasil melepas kunci dari gemboknya.
Nah, mudah-mudahan hubungan kita bisa baik terus ya ke depannya... Terserah itu sebagai sahabat, teman, atau...
Ngarep... , potongku sembari menjulurkan lidahku kepadanya.
Karin terlihat sedikit manyun namun hal itu tidak bertahan lama karena ia langsung tertawa. Dalam perjalanan pulang, aku kirimkan foto gembok yang tadi kupasang kepada Riani melalui e-mail.
Quote:To: Riani Subject: Check this out! Sayang, tadi aku ke Namsan nganterin Karin, juniorku yang waktu itu makan sama kita di Sentul. Trus liat deh aku pasang apa di Namsan.
Attachment: img343.jpg Sekitar sepuluh menit kemudian, ada balasan e-mail dari Riani. Quote:
To: Jojo Subject: Re: Check This Out!
She's My Cheerleader Beberapa hari sudah berlalu semenjak aku mengantar Karin ke Namsan Tower. Pada hari itu aku bersama Khali yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri mengantar Karin ke bandara untuk pulang. Well, lagi-lagi ketika kami akan berpisah di bandara, Karin berterima kasih padaku dan juga sekali lagi menggodaku untuk berpaling pada dirinya jika aku tidak bisa menyelamatkan hubunganku dengan Riani.
Yang menarik tentu saja bagaimana kedua teman Karin yang terkejut mengetahui identitas asliku sebagai orang Indonesia, dan bukan Pinoy sebagaimana Karin sebutkan sebelumnya.
"Lho... Jadi lu orang Indo juga"", tanya teman Karin yang bernama Lia. "Iya... Emang lu pada ngira gua orang mana""
"Si Karin bilang lu Pinoy... Makanya kemaren gua ga minat ikutan jalan sama lu pada...", sahut teman Karin yang bernama Pinkan.
Sementara Karin yang disebut namanya oleh temannya hanya tersenyum tengil saja sembari gelendotan di lengan kiriku.
"Trus status lu sama Karin apa sih Mas Jo"", tanya Lia. "Doi cowok baru gua lah..."
"Ngarep!" Dan kami semua tertawa cukup keras di zona keberangkatan tersebut. Kecuali Khali karena memang dia tidak mengerti apa yang kami bicarakan. Namun dia ikut tertawa kecil setelah mendengarkan penjelasanku tentang apa yang baru saja kami bicarakan.
Sepenanakan nasi kemudian, mereka bertiga berpisah dengan kami. Dan sebagaimana biasanya, Karin kembali menggodaku dengan istilah 'sekoci penyelamatnya'.
"Aku pulang dulu ya Mas Jo... Jangan lupa kalo akhirnya kapalnya Mas Jo karam, aku bisa kok dijadiin sekoci penyelamat..."
"Hyahahahaha! Udah sana balik dulu... Fokus sama skripsinya... Kalo butuh bantuan e-mail aja kayak biasa... Trus salam buat Mas Yadi ya..."
Kemudian tiga sekawan Karin-Pinkan-Lia bergerak ke arah gerbang imigrasi sampai kemudian tidak terlihat lagi oleh kami. Setelah itu kami balik badan ke arah stasiun subway. Namun baru beberapa langkah bergerak, terdengar ada suara pria memanggil Khali dari belakang. Tentu saja kami menghentikan langkah kami dan membalikkan badan ke arah suara tadi.
Dan terlihat di belakang sana ada pria berwajah oriental dan berpostur tegap sedang berdiri tegak memandangi Khali. Khali terdiam. Kemudian terlihat matanya mulai berair dan mulutnya tertutup oleh tangannya. Pria itu kemudian mendekati Khali dan memeluknya erat. Segera saja Khali langsung menangis di pelukan pria bertubuh tegap itu. Terus terang aku pada saat itu cukup merasa antara terkejut dan maklum. Dan aku tidak merasa perlu dijelaskan siapa pria itu.
Aku pun tahu diri dan segera balik badan ke arah stasiun subway. Sepertinya sepasang kekasih itu perlu quality timenya sendiri.
---------------------------------------Keesokan harinya aku bertemu Khali dan kekasihnya itu ketika makan siang di kantin mahasiswa.. Terus terang ada rasa iri dan kehilangan ketika melihat kebersamaan mereka. Mereka terlihat cocok satu sama lain, baik secara fisik maupun secara perilaku. Ibaratnya jika kamu pernah melihat mesranya kebersamaan Presiden BJ Habibie dengan Ainun Habibie, atau Bonnie and Clyde, well itulah yang kulihat pada saat itu. Indah dan membuat dirimu sendiri iri.
Dan tentunya di sisi lain aku juga merasa bersalah karena pernah berada di tengah-tengah hubungan mereka. Lebih buruk dari itu, aku pernah dengan seenaknya menikmati tubuh indah milik gadis keturunan Jengis Khan itu.
"Hi Jo! Come and join us here!", ajak gadis sexy itu. "Hi guys. So sorry for interrupting your lunch time."
"No problem, mate. By the way, my name is Erden*. What's yours"", tanya pria itu dengan bahasa Inggris yang kaku.
Spoiler for *: Aku kurang ingat namanya sebenarnya. Yang jelas nama--nama Mongolia sana. Ini nama random yang kupilih saja.
"Jojo, Just call me Jojo. Or Jo to make it simpler."
"So honey, he is one of my best friends here. My life here would be different without him."
Yeah, right. That would be totally different. And wait... Did I hear that I was her friend" Great! I'm in a friendzone!
Mendengar penjelasan Khali, Erden terlihat senang. Ia senyum lebar dan kemudian menjabat tangan kananku.
"You know Jo, I feel so thankful to you. I believe she was in a hard time during her earlier time in here since I made her so. Now I can see how can you make her survive so far until this point."
"So what was actually going on between you""
"Well, it was quite embarassing for me actually. I won't tell you what was going on but one thing that you have to know is I regret to had her alone at that time. My presence here is a kind of redemption for my fault in the past."
Khali kemudian memandangi wajah kekasihya dan menggenggam hangat tangan kekasihnya itu. Aku hanya tersenyum tipis saja melihatnya. Dan atmosfir meja terasa sedikit awkward khususnya antara aku dengan Khali. Bagaimanapun semenjak apa yang terjadi di Boryeong, sepertinya ada sedikit rasa antara kita berdua. Dan sekarang rasa itu harus kuhapus begitu saja semenjak Erden datang.
"Hi Guys, can I join you here"", seru suara dari arah belakangku.
Kemudian terlihat sesosok tubuh duduk di kursi sebelahku tanpa menunggu jawaban dari mereka. "Sure Az, just join us here.", jawab Khali.
"And who is He, Khal""
"Hi, I'm Erden. Khali's boyfriend. And you are..." "Just call me Azra. Jojo's girlfriend."
"Az! Please...", seruku terkejut mendengar jawabannya. Ia hanya tersenyum lebar sembari menjulurkan lidahnya ke arahku. "Kidding...", ucapnya ringan.
Dan entah bagaimana suasana di meja tersebut jadi sangat cair. Kami semua bisa berbicara dan bercanda dengan ringan semenjak Azra bergabung di sini.
Well, menghapus perasaan ke Khali: 99% complete. Thanks Azra!
---------------------------------------Tiga hari telah berlalu setelah kejadian di bandara itu. Kali ini aku melihat Khali tengah duduk berdampingan dengan pria berwajah oriental itu di bangku di pinggir lapangan di dekat asramaku. Terlihat wajahnya begitu senang berada di sebelah pria itu. Aku juga cukup senang melihat wajahnya yang terlihat bahagia itu.
Bohong juga sih. Ada sedikit rasa kehilangan di hati ini sama seperti ketika aku mendengar Tora melamar Wulan beberapa bulan yang lalu. Well, aku memang sudah siap jika ini terjadi suatu saat. Lagipula aku masih punya Riani yang akan menjadi masa depanku. dan yang terpenting aku pada saat ini memiliki hal yang lebih penting untuk kuperhatikan pada saat ini.
"Start your warming up, lads!", seru Rory dengan logat Irishnya.
Segera saja aku mengencangkan tali sepatuku dan mulai lari berkeliling lapangan sepak bola ini. Di sebelahku ada Jong-min dan Daniel, teman Rory yang asli Watford, Inggris. Yup, aku memang sedang mempersiapkan diri untuk bertanding sepakbola dengan GSIS Shinchon-dae.
Hari ini adalah hari di mana ada inter-GSIS Chon-Am Jon. Dan untuk semester ini ada tiga cabang yang dipertandingkan: dodge ball, lari estafet dan tentu saja sepakbola sebagai penutup. Sejauh ini kedudukan 1-1 di mana kami berhasil menang di cabang lari estafet. Dan sepertinya memang pemenang harus ditentukan oleh pertandingan olah raga semilyar umat ini.
Keterlibatanku di tim sepakbola ini lebih karena aku pernah bercerita kepada Rory bahwa aku cukup rutin bermain sepak bola dengan teman-teman Indonesiaku setiap sabtu. Dan beginilah akhirnya.
Sekitar lima belas menit kami pemanasan, akhirnya pertandingan akan segera dimulai. Seperti biasa, aku menempati posisi naturalku sebagai full back kanan. Tentu saja sebelum memulai pertandingan aku menyempatkan diri berdoa agar mendapat hasil terbaik. Kusempatkan melihat arah bangku penonton. Dan di sana kulihat ada pemandangan yang sedikit menyesakkan. Terlihat Khali dan kekasihnya mencuri kesempatan untuk berciuman di situ.
Untungnya tidak begitu jauh dari situ ada pemandangan yang sangat indah. Si Rambut Merah duduk tidak begitu jauh dari mereka. Ia segera tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku begitu ia sadar aku sedang memandanginya. Cukup memberikan semangat untukku hari ini.
Well Khali... You can just go screw your boy...
Pertandingan berjalan cukup seru pada babak pertama. Banyak terjadi duel di lini tengah sampai dengan menit 30an. Namun menjelang menit ke-40, tim kami mendapat peluang dari sebuah skema serangan balik. Lini depan yang diisi Farid dan Rory serta dibantu Jong-min sebagai playmaker berhasil memaksa kiper Shinchondae berjibaku menyelamatkan gawangnya. Namun ia masih belum beruntung karena aku yang ikut membantu serangan berhasil mendapatkan bola muntahan dan dengan mulus melesakkan bola ke dalam gawang. Tidak buruk juga mencetak skor di pertandingan penting ini.
Dan terlihat di bangku penonton sana Azra melonjak kegirangan melihatku membuka skor. Well, sebenarnya bukan hanya dia tetapi semua penonton berbaju crimson juga terlihat girang melihat gol tadi. Tapi persetanlah, yang penting bagiku adalah reaksi dari Azra. Yang lain tidak penting. Terutama Khali.
Sampai dengan turun minum, Anam-dae bisa mempertahankan keunggulan satu golnya. Dan pada saat turun minum itu juga Azra mendatangiku dan memberikanku handuk serta minuman dingin untukku. Dia juga memujiku yang dianggapnya bermain sangat baik di babak pertama.
"What a solid performance, Jo!" "Thanks Az!"
"Hope you can perform better in the second half." "Just wish me luck!"
Ia tidak menjawab. Ia hanya memegangi kedua pipiku dan menarik wajahku mendekati wajahnya. Kemudian ia mengecup keningku.
"Good Luck!" -------------------------------------Pertandingan babak kedua dimulai dan tim kami bermain seolah-olah mendapat steroid. Tim Biru seolah tidak mampu menghentikan permainan kreatif dari the Crimsons. Walhasil, kami berhasil menambah tiga gol di babak kedua ini. Dan protagonis utama dalam pertandingan ini adalah Jong-min.
Yup. Jong-min si cowok Korea yang sebenarnya bergaya agak kemayu tersebut. Seluruh gol di babak kedua diborong olehnya. Mengejutkan" Sangat! Apalagi jika mengingat keseluruhan golnya tidak melalui skema bola mati melainkan dari skema serangan cepat.
Ketika peluit panjang berbunyi, kami yang berbaju crimsons bersorak senang dengan kemenangan ini. Seluruh penonton turun ke lapangan mendatangi kami.
Azra sendiri mendatangiku yang terduduk kelelahan setelah pertandingan selesai. "Congrats Jo! I'm so proud with you, guys!"
"Thanks Az. But can you please pass me the water""
Kemudian gadis itu memberikanku yang masih terduduk itu sebotol air dingin. Ia sendiri mengambil handuk dari dalam tasku yang dijinjingnya dan segera berlutut di depanku. Kemudian ia dengan penuh inisiatif mengelap keringat yang masih menetes di wajahku. Sepertinya ia tersenyum indah ketika melakukan itu. Terdengar juga adanya beberapa suara kamera baik kamera ponsel maupun kamera digital di sekitar kami. Aku sendiri tidak terlalu peduli karena fokusku adalah menghilangkan rasa dahaga di kerongkongan ini.
Dan begitulah. Kami, GSIS Anam-dae berhasil memenangkan inter-GSIS Chon-Am Jon tahun ini melalui kemenangan besar di pertandingan sepak bola. Tentu saja kami semua kemudian larut dalam euforia kemenangan. Dan seperti biasanya, kami merayakan kemenangan ini dengan berfoto-foto juga merayakannya dengan minum-minum di bar di sekitar Anam-Junction.
Azra" Well, dalam perayaan kemenangan ini ia begitu setia di sampingku. Mulai dari memberikanku minuman dan handuk, mengambil foto kami sampai rela juga membawakan tasku. Tentu saja ketika kami merayakan minuman di Bar, aku menjaganya dengan sangat hati-hati agar ia tidak minum alkohol. Selain itu juga ia perlu kujaga dari para gerombolan serigala yang bisa muncul kapan saja ketika alkohol mulai mendominasi otak mereka.
------------------------------------------------------------Pada malam harinya, aku seperti biasa online sembari membaca-baca bahan kuliah serta mulai mencicil sebagian paperku. Sedang iseng aku mengecek akun facebookku, terlihat Farid dan beberapa teman GSIS baru saja mengunggah foto-foto dari pertandingan tadi. Tentu saja karena ada cukup banyak fotoku di sana, aku jadi kena tag dari mereka. Dan pada saat itu aku menyadari bahwa sangat banyak momen kedekatanku bersama Azra diabadikan melalui foto-foto itu. Lebih buruk lagi, ada satu foto close up di mana Azra terlihat tengah menyeka keringat di wajahku. Dan wajahnya terlihat tersenyum dengan ikhlas ketika melakukan itu.
Side Story: 14 Januari 2016
Siang itu sekitar pukul 1100 aku tengah mengerjakan sebuah dokumen di meja kerjaku. Tiba-tiba terlihat kolegaku Anti datang ke arahku dengan sedikit tergesa.
"Mas Jo... (Dia) ngantornya di sekitar Thamrin kan"" "Iya, kenapa emangnya""
Anti tidak menjawab dan dengan semena-mena mengambil alih komputer jinjing di mejaku dan mengakses sebuah portal berita.
Dan dengan sukses portal berita itu menunjukkan peristiwa horror yang sepertinya hanya mungkin terjadi di film atau game. Lebih buruk. Lokasi kejadian sangat dekat dengan tempat dia bekerja. Tanpa pikir panjang kuambil ponselku dan kutelpon dia.
Satu nada panggil, dua nada panggil... Sampai akhirnya terputus.
Dan butir keringat sebesar biji jagung berhasil membasahi punggungku kendati pendingin ruangan di situ bekerja dengan sangat baik.
"Ga diangkat Mas"", tanya Anti. Aku hanya menggeleng lesu. "Coba lagi Mas..."
Sekali lagi kucoba menelponnya. Satu nada dering... Dua nada dering...
Dan akhirnya diangkat juga. Terdengar ada suara tangisan tertahan di ujung sana. Aku tanyakan bagaimana kondisi dirinya saat ini dan untungnya dia tidak kurang satu apapun. Dia mengaku shock begitu mendengar suara ledakan dan baku tembak dari jarak yang cukup dekat itu. Kucoba yakinkan dirinya untuk tetap tenang dan aku berjanji akan segera membawanya pulang jika kondisi sudah memungkinkan.
Alhamdulillah... Dia baik-baik saja. Dan sekarang aku hanya perlu menunggu waktu sampai ia bisa diizinkan meninggalkan kompleks kantornya.
Masa Ujian dan Ujian yang Sebenarnya
Hampir seminggu berlalu setelah Inter-GSIS Chon-Am Jon. Atau hari di mana kedekatanku dengan Azra berkali-kali diabadikan dan dipublikasikan melalui media sosial. Aku tentu saja sebisa mungkin menghapus tag diriku pada foto-foto tersebut. Tetapi tidak dengan Azra.
Dia justru sangat menyukai foto-foto tersebut. Foto di mana ia dengan mesranya menghapus keringatku sembari tersenyum bahkan dijadikannya cover photo dari akun Facebook-nya. Tentu saja aku protes dengan tindakan tersebut.
"Az, can you please change your cover photo" I'm scared Riani will see that and it will ruin our relationship."
"Please, Jo. I really like that photo. It makes me pride about my smile since I've never seen any of my photograph showing that kind of smile. It's like the best photo of smiling me, ever!"
Well, dia benar. Aku tidak pernah melihat dia tersenyum seindah itu di foto manapun. Komposisi latar belakang, pakaian, raut wajah, gesture, serta kondisiku di foto itu seolah bersinergi untuk membuat senyumannya di dalam foto itu terlihat sangat indah.
Tetapi jujur saja aku cukup sering melihat senyumnya yang lebih indah daripada yang ada di foto itu. Namun tentu saja aku tidak pernah dalam keadaan memegang kamera pada momen-momen tersebut.
Dan argumen itu dengan sukses memutus argumenku untuk memintanya mengganti cover photo. Belum lagi ia berjanji akan menjelaskan mengenai foto itu kepada Riani.
Hal yang belum kujelaskan sampai saat ini adalah, selama seminggu terakhir itu Riani tidak pernah menghubungiku sama sekali. Aku kirimi pesan pun tidak dibalasnya. Dan sebagaimana biasa kutanyakan hal itu kepada Ian dan jawabannya sudah jelas: sibuk.
Tetapi perlu kuakui juga jika aku hanya memikirkan hal itu selama dua hari saja. Sisanya" Well, ada hal yang sangat penting untuk kuperhatikan pada saat itu: Pekan Ujian Tengah Semester.
Ujian Tengah Semester kali ini memang hanya ada dua kelas yang mensyaratkan ujian. Sisanya" Paper. Untungnya dua ujian tersebut dapat dengan sukses kuselesaikan. Sisanya tinggal paper-paper saja. Itu pun beberapa paper deadlinenya sekitar seminggu setelah pekan tersebut usai.
Tetapi pada hari di mana aku perlu mengumpulkan paper terakhir pada pekan itu, tragedi itu terjadi.
Pagi itu aku sudah berada di kampus untuk mengumpulkan paper. Setelah ini aku memiliki janji dengan Azra untuk ke perpustakaan mencari bahan untuk beberapa tugas paper kami berikutnya. Kulihat arlojiku dan waktu menunjukkan masih ada waktu sekitar 30 menit dari waktu perjanjian kami. Dengan iseng kubuka laptopku sembari duduk di hall GSIS untuk menunggu Azra.
Laptop menyala. Internet tersambung. Browser kubuka. Dan seperti biasa aku cek inbox e-mailku. Dan, hei! Email dari Riani!
Quote: To: Jojo Subject: Bangun dari Mimpi Dearest Abang Jojo,
Gak kerasa, hubungan kita sebentar lagi udah mencapai enam tahun ya Bang" Kayaknya masih belum terlalu lama kita makan bareng di pinggir danau waktu kita ketemu pertama kali di kampus yang akhirnya jadi kampus kamu. Aku masih inget di hari yang sama aku langsung kagum sama kamu yang sukses ngebisikin juru bicara kelompok kamu buat nganter kelompok kamu juara 2 di lomba cerdas cermat. Jujur aja Bang, waktu itu aku selain kagum aku juga mulai berharap bisa lebih deket lagi sama kamu. Makanya waktu lombanya selesai dan kita sama-sama maju terima trofi, aku nekad minta nomer HP kamu. Dan tentu aku juga masih inget muka terkejut kamu waktu aku todong nomer HP.
Siapa yang nyangka kita bisa jadi lebih deket" Mulai dari piknik sambil baca buku bareng di Kebun Raya, Monas, Taman Surapati, terus nonton berbagai film Indonesia yang berkelas di bioskop-bioskop keren, Dan ini yang bikin aku bangga: Aku bisa ngeracunin kamu buat nonton terus film Indonesia yang berkelas.
Mulai saat itu juga aku ngeliat watak kamu yang rela ngelakuin apa aja buat aku. Bukan, bukan cuma buat aku. Sama banyak orang kamu selalu begitu. Tapi aku cuma inget kamu yang rela nganterin aku beli tiket konser yang mana kamu sendiri ga nonton karena kamu ga punya uang. Terus sampe cabut dari rapat organisasi dan beberapa kali cabut dari jadwal ngajar les cuma buat nemenin aku.
Aku agak kaget waktu kamu ngajak jadian di kampus kamu waktu itu. Toh biarpun kita udah tau perasaan kita masing-masing, tapi aku udah ngerasa cukup nyaman dengan apa yang kita jalani waktu itu. Apalagi waktu itu kayaknya kamu gak terlalu percaya perbedaan antara kita jadian atau nggak. Tapi begitu waktu kamu jujur tentang kamu dengan Wulan, aku jadi kaget kamu punya hubungan sedekat itu. Aku terus terang aja gak mau kehilangan kamu kayak hubungan kamu dan Wulan yang luntur oleh waktu. Aku waktu itu sampe bersumpah akan berupaya sekuat mungkin biar kamu ga lepas dari aku.
Well, jadian sama kamu rasanya nikmat banget, Bang. Aku masih bisa bebas berhubungan dengan siapa aja tanpa ngedenger nada cemburu dari kamu, ada jaminan tenaga yang akan selalu bantu aku 24/7, tempat bertukar pikiran yang luar biasa karena kamu emang di atas rata-rata, dan tentu saja kebanggaan bisa jadian sama kamu. Aku udah sering denger banyak lho nada-nada iri dari temen-temenku ataupun temen-temen cewekmu yang bilang aku beruntung banget bisa punya kamu. Sebut aja Sarah, Wulan, Ika, sampe Devi. Yang kayak gitu bikin aku tambah sayang sama kamu dan ga pingin kamu pergi dari aku. Aku mau melakukan apapun buat kamu. Apapun.
Sampai ketika hal itu terjadi pertama kalinya antara kita berdua. Aku masih inget sensasi perih dan nikmat yang terjadi malem itu. Tapi tentu aja ga ada penyesalan sama sekali. Rasa bersalah emang ada. Tapi kebanggaan juga ada karena aku bisa kasih apa yang berharga buat kamu yang aku sayang.
Dan semenjak saat itu aku ngerasa kamu jadi semakin sayang sama aku. Aku inget waktu itu kamu semester tujuh di mana kuliah lagi padet banget dan juga kamu megang acara kemahasiswaan di kampus. Tapi kamu bisa-bisanya nyempetin buat nganter aku ke mana-mana. Bahkan sampe nembus hujan deres banget waktu itu. Dan aku masih inget kalo waktu itu justru ngeles malah menikmati hujan yang turun itu. Tapi aku akhirnya tau emang kamu nikmatin hujan buat ngebersihin pikiran kamu dari segala beban yang numpuk. Waktu hujan yang lain kamu juga rela nembus hujan buat cari obat buat aku yang sakit typhus dan pas lagi sendirian di rumah.
Aku juga tau sifat negatif kamu yang suka becanda cabul sama dua geng kamu di kampus dan deket rumah. Terus kebiasaan kamu yang kadang suka ngerokok dan minum-minum kalo udah sama mereka. Dan mungkin yang paling parah, suka manfaatin fasilitas seenaknya kayak waktu kita ngabisin waktu semaleman di perpus jurusan kamu.Tapi aku tau kamu kayak gitu cuma kalo ikutan temen-temen aja.
Intinya aku ngerasa beruntung banget bisa punya kamu. Dan belakangan ini aku juga semakin sering ngedenger itu dari banyak perempuan.
Sampe aku jadi mikir apa aku sebenernya sedang mimpi indah dan kamu itu sebenernya ga ada"
Waktu kamu berangkat ke Korea, aku ngerasa antara bangga dan kehilangan juga. Aku bangga punya kekasih yang akhirnya bisa memenuhi salah satu mimpinya sekaligus membuktikan kualitasnya. Kehilangan" Jelas. Siapa yang gak ngerasa kehilangan begitu ada jarak ribuan mil terbentang di antara kita"
Dari masa-masa jauh dari kamu inilah aku makin ngerasa kalo kamu itu memang sangat sempurna buat aku. Bahkan terlalu sempurna.
Kamu bisa jaga komitmen kamu buat terus berkomunikasi sama aku, mau nyempetin pulang waktu summer break buat aku, sering kirim foto kalo ada yang ngingetin kamu sama aku, terus bisa terus terang sama siapa aja kamu lagi deket. Dan semakin banyak lagi orang yang bilang aku beruntung banget bisa sama kamu.
Soal hati, aku percaya sama kamu kok. Aku percaya kamu ga bakal main hati sama perempuan lain.
Mungkin Azra akan jadi pengecualian buat hal yang terakhir itu, Bang. Begitu pertama aku kenalan sama dia, entah kenapa aku bisa ngerasa deket banget sama dia. Kayak deket banget sama kamu, Bang...
Udah gitu dia cantik, ramah, smart pula... Aku kayak ngeliat ada diri kamu pada Azra, Bang... Terus waktu dia janji buat jagain kamu selama di sana, dia juga bisa jaga komitmennya... Dia selalu cerita apa aja yang terjadi sama kamu... Bahkan dia juga jadi tau banyak hal gak kalah sama aku yang udah kenal kamu lebih dari enam tahun...
Dan waktu kita video chat bertiga buat kedua kalinya, aku cemburu banget liat kalian. Aku tau kamu sebisa mungkin berusaha biar ga jatuh hati sama dia. Aku juga yakin dia melakukan hal yang sama. Tapi aku yang liat kalian berdua ngerasa...
Kalian itu akan sempurna banget kalo bisa bersama... Aku jadi semakin ga percaya diri, Bang... Aku percaya Azra emang diciptakan buat kamu, Bang... Mulut kalian emang ga mengatakan itu... Tapi chemistry antara kalian terlalu kuat, Bang... Apalagi belakangan ini berita dan foto yang dia kirim bisa banget ngegambarin suasana hatinya yang berbunga-bunga karena kamu... Terutama foto yang sekarang jadi cover photo facebooknya... Aku percaya senyum indah itu bisa ada karena kamu...
Dan aku semakin ngerasa kalo terus bersama kamu itu cuma mimpi aja buat aku...
Aku gak mau terlalu larut dalam mimpi ini dan ngerasa sakit dan kehilangan begitu aku bangun dari mimpi... Jadi aku ngerasa kalo aku perlu bangun dari mimpi ini sekarang...
Bukan maksud aku buat ngasih hadiah yang pahit buat kebersamaan kita selama enam tahun ini, Bang... Aku cuma mau terbangun dari mimpi aja...
Selamat Tinggal, Abang Jojoku yang selalu kucinta...
With Love and Tears, Riani
PS: Please sayangi Azra kayak gimana kamu menyayangi aku dulu... Atau bahkan lebih... Karena aku yakin dia memang untuk kamu...
Pernahkah kamu merasakan sedang menikmati pemandangan dari sebuah gedung tinggi yang indah dengan segala pemandangan urban yang menakjubkan di sekitarnya, namun tiba-tiba gedung tinggi itu hancur berkeping-keping dan memaksa kamu untuk jatuh ke dasar"
Aku merasakannya waktu itu.
D.A.B.D.A Reaksi pertamaku setelah menerima e-mail itu tentu saja mengambil ponselku dan menelepon Riani. Tentu saja aku merasa sangat aneh mengapa tiba-tiba dia memutuskan untuk mengakhiri ini semua. Setelah hampir 6 tahun. Enam tahun yang sangat banyak kenangan beraneka rasa.
Okelah ia cemburu melihatku dekat dengan Azra. Tapi kenapa ia tidak pernah mengatakan itu kepadaku" Aku ingat waktu dulu dekat kembali dengan Wulan, Riani dengan terang-terangan menyatakan kecemburuannya. Kenapa ia kali ini tidak melakukan hal itu sama sekali"
Sekali menelepon. Tidak dijawab.
Ayolah Ri, angkat! Dua kali. Tidak ada jawaban juga.
Please, Ri... Angkat dan bilang yang barusan tidak nyata. Tiga kali. Masih tidak dijawab.
Ri.... I'm in a real deep shit. She really mean it.
Sampai kemudian ada panggilan telpon masuk dan tanpa kulihat siapa yang menelepon langsung kujawab saja panggilan itu.
"Halo, Ri..." "Hi, Jo..." "Riani! Yang barusan itu gak beneran kan"" "No, Jo... This is me, Azra..."
"..." "Listen, I already know what's going on between both of you... Riani just contacted me, actually... I'm so sorry for that...", sahut suara di ujung sana dengan nada penuh penyesalan.
"It wasn't your fault Az...", jawabku berusaha tegar.
"..." "So do you still want to head for the library""
"We'd better postpone it, Jo. The library's still open on the weekend right"" "Okay... I'll just go back to the dorm then...", pungkasku sembari mengakhiri sambungan.
Saat itu bulan Oktober 2011. Aku dalam perjalananku mendaki bukit menuju kamarku di asrama setelah mengumpulkan paper ujian tengah semester. Suhu udara bulan ini menurutku masih cukup bersahabat. Suasana hatiku saja yang sedang tidak bersahabat. Beberapa tugas paper tengah semester yang masih bersisa merupakan salah satu penunjang utama kegalauanku saat itu. Tapi penyumbang utama kegalauanku saat itu adalah e-mail yang kuterima pagi ini. E-mail perpisahan dengan sosok yang sudah mewarnai kehidupanku lebih dari 5 tahun belakangan ini.
Hatiku semakin galau ketika mengingat kata demi kata dalam e-mail itu. Kepalaku semakin menunduk menahan kesedihan seolah bersimpati dengan suasana hatiku. Angin musim gugur yang berhembus perlahan dan bergugurannya daun-daun beraneka warna secara perlahan menambah dalam kegalauanku.
Satu daun merah. Dua daun merah. Empat daun kuning. Lima daun jingga. Dan kemudian diikuti kawan-kawan daunnya secara perlahan gugur dengan keanggunan dan seolah satu ritme dengan langkah kakiku. Ya. Aku dengan sukses berubah menjadi orang yang kehilangan semangat hidup hari itu.
Namun di depan pintu masuk asrama aku berpapasan dengan sosok lain berambut merah yang baru kukenal sekitar dua bulan belakangan. Senyum manisnya secara instan muncul ketika berpapasan denganku di situ. Melihat senyumnya aku memaksa kedua ujung bibirku membalasnya. Dia seolah mengerti ada sisa-sisa kegalauan dalam air mukaku. Dia langsung menghampiriku dan memelukku sejenak. Sejurus kemudian dia memeluk tangan kiriku dan menggiring langkahku ke spot favorit kami di lantai basement asrama. Sesampainya di sana kami duduk bersebelahan di sofa empuk yang sudah jadi langganan kami. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung merebahkan kepalaku di pundaknya dan secara refleks air mataku mulai menetes seiring mulutku yang mulai terisak.
It s alright Jojo, it s alright. Just let it out now and you ll feel better soon. I m here just for you. , hiburnya sembari mengelus-elus rambutku.
Yah, moodku jadi sedikit membaik hari itu. Sedikit. Sedikit sekali.
Tanpa aku sadari, aku tertidur dengan kepalaku bersandar pada pangkuan paha Azra yang duduk dengan tenang di sofa tersebut. Begitu kubuka mata, terlihat olehku bidadari berambut merah itu berusaha tersenyum kendati terlihat masih ada jejak air mata di pipinya. Sementara itu tangannya dengan lembut membelai rambutku. Dengan sedikit memaksa, kubalas saja senyum perihnya itu.
"Feel better"", tanyanya.
"Barely....", jawabku singkat dengan nafas masih terpotong isak.
Kucoba tegakkan tubuhku dari posisi berbaring sehingga kini aku duduk bersebelahan dengan Azra. Kini gadis itu membelai-belai punggungku. Aku sendiri mengambil ponselku di kantong celana dan mencoba menghubungi satu nomor yang kurasa perlu kuhubungi.
"Halo... Cuk..."
"Oyi Cuk... Aku wis ngerti... Sing sabar yo..." "Iso tanya karo arekke knapa sebenernya""
Beberapa lama tidak ada jawaban, sampai kemudian ada suara lagi di ujung sana.
"Sebenernya arekke nang kene karo aku. Dia bilang yang di e-mail udah jelas. Dia pingin udahan karena ngerasa ga kuat ngeliat koe karo cewek Turki itu."
"Cuk! Aku iki wis pacaran karo Riani hampir enam tahun! Yang kayak gitu gak Riani banget! Pasti ada apaapanya ini!", seruku dengan suara tinggi di depan ponsel.
Suara tinggiku sepertinya menyebabkan beberapa hal terjadi. Terdengar di ujung sana sayup-sayup suara Ian menahan Riani agar tidak pergi. Sementara itu di sini Azra berusaha memegangi kedua pundakku untuk meredakan emosiku.
"Woalah, Cuk... Arekke mlayu! Wedi karo koen!" "Janc*k!", rutukku sembari memutus sambungan.
Segera saja aku berpikir apa sebenarnya jarak ini yang jadi kendala utama" Apa jika aku tidak mengambil beasiswa ini aku akan bisa terus bersama Riani" Apa jika aku mau bandel sedikit dan mengambil liburan musim panas yang lebih panjang di Tanah Air Riani akan bisa tetap bersamaku" Apa jika aku menyempatkan diri setidaknya sekali setelah Riani pindah ke Surabaya Riani tidak akan pergi"
Dan ratusan perandaian menyeruak masuk ke dalam pikiranku pada saat itu. Sampai kemudian aku lelah memikirkan semua perandaian itu.
Aku lelah berpikir. Aku lelah batin. Dan semuanya gelap.
Kemudian banyak bayangan masa laluku bersama Riani selama enam tahun terakhir hadir di depan mataku. Terlihat bagaimana kami berkenalan. SMS-SMS mesra kami. Bagaimana kami janjian kencan pertama. Bayangan ketika kami jadian. Bayangan ketika aku main pertama kali ke rumahnya. Bayangan ketika ia menyiapkan kejutan ulang tahunku yang ke-20. Bayangan ciuman pertama kami. Dan diikuti bayanganbayangan lainnya yang terlihat begitu nyata. Sampai kemudian bayangan terakhir di mana terlihat Riani memandangiku dengan senyum yang dipaksakan dengan air mata mengalir di pipinya. Dan begitu kucoba dekati, ia malah mengucapkan selamat tinggal dan balik badan.
"Riiiiiii!" Kemudian aku sadar. Dan lagi-lagi aku terbangun dari pingsan di dalam kamarku. Dan lagi-lagi ada Azra dan Saddam di sini. Serta Faisal yang sejurus kemudian terlihat di pintu kamarku.
"Finally...", cetus Faisal.
"You got fainted again after you called your friend, Jo. I already know the story from her. I just hope you could overcome this problem. I believe you're strong enough for this.", sahut Saddam.
"Syukran ya Akhi...", jawabku singkat.
Azra sendiri mengambil handuk kecil dan mengelap keringat yang mengucur deras di wajah dan leherku. Terlihat raut mukanya masih begitu sedih.
Entah kenapa aku justru bertambah sedih melihat raut wajah tersebut. Dengan instan pesan terakhir Riani kepadaku muncul dalam ingatan.
"Don't be sad, Az. Just let me take all the sadness by myself.", ucapku pelan sembari memegangi tangannya yang tengah mengelap keringatku itu.
Fixing a Broken Heart Sebelum masuk ke cerita utama, mungkin aku perlu bertanya sama kamu semua: Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menghilangkan kegalauan setelah patah hati" Satu minggu" Dua Minggu" Sebulan" Setahun"
Well, untuk kasusku waktu itu terus terang aku bisa dikatakan sembuh dari penyakit 'fractura hepatica' tersebut relatif amat sangat cepat. Seberapa cepat" Empat puluh delapan jam. Atau dua hari saja.
Bagaimana bisa" Well, jika kamu mengikuti cerita ini tentunya kamu akan mudah mengetahui jawabannya. Faktor utama tentu saja Azra yang rela menghabiskan banyak waktunya bersamaku semenjak kejadian waktu itu. Bisa dibilang lima belas dari dua puluh empat jam waktuku dalam sehari jadi kuhabiskan bersamanya. Dan Azra sangat-sangat sabar menghadapiku yang sering mendadak melankolis dan sedikit lebih emosional. Selain itu dia juga sangat sabar dalam memenuhi banyak kebutuhanku khususnya makanan dan perhatian.
Faktor berikutnya, mungkin bisa ditebak jika kalian mengikuti latar belakang waktu ketika tragedi itu terjadi. Betul, paper tengah semester. Bagaimanapun keberadaanku di tanah ginseng ini adalah untuk belajar sehingga segala tugas paper pada tahap tertentu perlu diletakkan di atas segalanya. Bahkan di atas perasaan patah hati. Bagaimana aku bisa fokus mengerjakan paper dalam kondisi demikian" Well, that's what friends are for. Terutama Azra.
Sebentar... Azra" Teman" Dia sudah lebih dari sekadar teman! Belum jadi kekasih namun sudah lebih dari teman! Entah dengan istilah apa perlu kulabelkan kepadanya. Biarlah Azra menjadi Azra mungkin" Well, kembali lagi ke cerita.
Intinya berita berakhirnya hubunganku dengan Riani rupanya menyebar secepat terbakarnya lahan dan hutan di musim kemarau. Hanya dalam hitungan jam setelah Riani memutuskanku melalui e-mail, inbox di ponsel maupun e-mailku dihujani dengan ucapan duka cita. Begitupun wall di facebook-ku yang menunjukkan perubahan statusku pada saat itu.
Group whatsapp" Sama saja. Yang membedakan hanya jenis pesan yang masuk: duka cita dan 'duka cita'. Bedanya" Well, pesan duka cita mungkin pesan duka cita yang lazimnya biasa kamu terima ketika sedang ada kemalangan. Pesan 'duka cita'" Ini jenis pesan jika kamu punya teman yang termasuk golongan orang brengsek. Pada dasarnya isinya sama dengan pesan duka cita; hanya saja ekor dari pesan ini sangat jauh dari pesan duka cita.
Misalnya: Quote:Original Posted By Moses "%
Ane ikut sedih Jo... Sepertinya doi akhirnya sadar kalo ukuran ente tidak lagi bisa memuaskan... Tenang aja, ane tau di mana bisa menyesuaikan ukuran si Otong...
atau: Quote:Original Posted By Toro "%
gua ikut sedih ya Jo... Mungkin emang ini petunjuk dari Allah SWT kalo emang Riani bukan yang terbaik buat lu...
terlihat normal" Mungkin... Jika beberapa menit kemudian tidak keluar pesan seperti ini di group:
Quote:Original Posted By Toro "%
Eh, nyet... Waktu awal Jojo jadian kita kan pernah taruhan kalo Jojo bakal sampe lima tahun apa kagak... Nah sekarang mana duit gua" Menang nih gua!
Sahabat sejati memang... Intinya, bagaimanapun support dari teman-temanku, dan Azra, bisa memberikan spirit untuk bisa bangkit dan setidaknya fokus untuk mengerjakan tugas paper tengah semester.
Namun satu hal yang perlu diingat adalah: Ini adalah patah hati setelah menjalani hubungan yang sangat berkesan selama hampir enam tahun. Tentunya hal yang disebut move on dari hubungan tersebut nyaris tidak mungkin. Setidaknya menurutku. Well, bisa move on sampai 40% saja sepertinya bisa dianggap sembuh untuk kasusku. Bisa saja aku dengan jumawa merasa berhasil move on namun semua langkah itu sia-sia hanya dengan melihat si dia yang sedang online di YM atau skype tetapi tidak sama sekali mengontakku yang statusnya sama-sama online.
3200 Miles Away From Home Karya Valerossi86 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nasib. -------------------------------Seminggu sudah berlalu sejak tragedi itu dan malam itu aku baru saja selesai kuliah dan kembali ke kamar. Seperti biasa, aku beribadah maghrib dan mencoba rebah di kamarku.
Baru saja badan ini kurebahkan, terdengar ponselku berbunyi. "Hi Jo, come down here hurry!"
"What's going on""
"Just come down at once, will ya"" "OK, Az... OK"
Dengan agak malas aku melangkah ke lobby dan melihat si Rambut Merah itu sudah menungguku di situ. Ia tersenyum gembira melihatku dan segera menarik tanganku ke arah sebuah ruang serba guna di dekat lobby. Di ruang itu sudah sangat ramai dengan suara musik cukup keras. Rupanya sedang ada keriaan di situ.
"Okay, guys... For the next show we'll have our friend Atongba from Ghana! He'll present his tribe's traditional dance."
Wait, what" Atongba" Pria bertinggi 198cm itu" Joget"
Dan yak, benar... Pria yang terlihat cocok menjadi pemain basket NBA itu terlihat luwes mengikuti irama musik yang berputar... Awalnya aku tertawa saja melihat tubuh sebesar itu bergoyang, namun lama kelamaan aku jadi kagum juga dengan keluwesan gerakan Atongba.
"This is post exam party, Jo... You can just unleash all the burden on your shoulder here..." "I see..."
Kemudian acara berjalan dengan aneka pengisi acara mulai dari tarian, persembahan nyanyian, sampai pantomim. Dan sepanjang acara, musik tidak putus-putusnya berputar. Mulai dari musik instrumental, pop, elektronik, sampai world music. Sepanjang musik diputar itulah rupanya Azra terus bergoyang mengikuti irama musik. Melihat tingkah si Rambut Merah ini, aku jadi ingat pada sebuah lagu klasik dari Bing Slamet yang menceritakan gadis bernama Nurlela yang selalu bergoyang tiap kali mendengar musik dimainkan.
Menjelang puncak acara, terlihat Lukas, si mahasiswa Austria, memasang turn table.
"And for the closing act, let's enjoy the performance from our brother DJ Lukas Skywalker!", seru Stan, sang MC, dengan penuh semangat.
Terdengar riuh suara penonton di ruang berukuran sedang tersebut. Sejurus kemudian terdengar suara musik EDM di ruang tersebut dan seolah dikomando, semua orang di ruang tersebut bergoyang mengikuti irama musik. Tidak terkecuali kami berdua.
Dan tanpa kusangka Azra bisa bergoyang dengan sangat hot. Dan bertambah panas ketika ia membalikkan tubuhnya ke arahku. Kemudian pandangan mata kami bertemu. Dan lagi-lagi kami mencuri kesempatan untuk saling mengecup.
Sepertinya kali ini kecupannya berbeda dengan kecupan-kecupan sebelumnya. Kali ini terasa ada gairah di balik kecupan itu. Bukan lagi innocent kiss sebagaimana kami lakukan sebelumnya. Untungnya kecupan bergairah itu hanya berjalan sebentar saja.
Selesai" Belum. Azra menarikku keluar dari ruangan itu.
"Is Saddam in his room"", tanya Azra ketika kami berhasil keluar dari ruangan itu. "Negative. He departed yesterday."
Gadis itu tersenyum aneh. Kemudian ia menekan tombol lift. Tetapi ada yang aneh! Tombol yang ditekannya itu tombol untuk lift khusus ke lantai pria!
Segera saja kulihat keadaan di lobby. Kosong! Semua orang sepertinya tengah terfokus ke keriaan di ruang serba guna. Satpam yang ada di meja resepsionis pun terlihat tengah terlelap.
Sejurus kemudian lift terbuka dan ia menarikku ke dalam. Dan di dalam ia tidak melepaskan genggaman tangannya dariku. Ketika lift tiba di lantai kamarku, ia dengan percaya diri menarik lenganku bergerak ke arah kamarku. Seolah ia mengetahui jika tidak akan berpapasan dengan orang lain di lorong, ia terus menarikku bergerak menuju kamarku. Sampai pada akhirnya kami tiba di depan pintu mansionku. "Open the door, Jo! Hurry!"
"What is your plan actually, Az"", tanyaku sembari membuka pintu. "Please spend this night with me!"
Ternyata... Si Rambut Merah itu dengan agresif menarik diriku ke dalam kamar ketika pintu berhasil dibuka. Kemudian dia merapatkan tubuhnya dengan tubuhku dan menarik wajahku agar bergerak mendekati wajahnya. Dan akhirnya bibir kami bertemu. Dan berbeda dengan kecupan-kecupan kami sebelumnya, kali ini kecupan kami tidak bisa lagi digolongkan sebagai innocent kiss. Terasa ada gairah yang berkobar pada ciuman kali ini.
Sejenak aku berpikir apa yang menyebabkan gadis ini jadi begitu panas malam ini sebelum kami berciuman. Namun rupanya pertemuan bibir kami dengan sukses mentransformasi gairah dari dirinya ke dalam diriku. Pemikiran itu hilang dan yang tersisa hanyalah gairah, gairah dan gairah.
Gairah itu semakin berkobar dan membesar seiring kedua pasang lengan kami juga ikut mengeksplorasi titiktitik sensual yang ada di tubuh kami. Selain itu kami juga mulai merasakan seluruh kain yang melapisi tubuh kami mengganggu kenikmatan kami sehingga semakin lama seluruh kain yang melapisi tubuh kami terlepas dan tercampak di lantai. Dan semua itu terjadi dalam kondisi kami masih dalam posisi berdiri.
Pada satu titik, Azra menghentikan kegiatan panas kami dan melepaskan rengkuhannya di tubuhku. Ia tersenyum nakal dan bergerak merebahkan tubuh yang sangat bisa dibilang sebagai mahakarya itu di atas ranjangku. Sungguh aku tidak bisa menemukan kata yang pas untuk menggambarkan keindahan tubuh tersebut. Aku hanya bisa mengikuti nafsuku untuk mendatanginya dan mengeksplorasi dengan lembut tubuh molek itu dengan bibir dan sepasang tanganku. Ia sendiri terdengar sangat menikmati kegiatan eksplorasi tersebut sampai dengan suatu saat di mana ia meminta agar segera masuk ke menu utama . Jo, please take me to the haven& , pintanya dengan lirih.
Aku pun mengikuti apa maunya. Kuubah posisi tubuhku agar dapat memudahkan diriku melakukan kegiatan utama dari segala keliaran yang terjadi sejauh ini. Kupandang sepasang matanya sebelum kumulai menu utama tersebut.
Please do me like you used to do Riani, Jo& Riani...
RIANI" RIANI"! KENAPA HARUS DISEBUT SIH NAMA ITU"!
Semua gairah pun hilang mendengar nama itu disebut. Kuubah posisiku menjadi duduk bersandar pada tembok yang menempel di samping ranjangku dan kututup wajahku dengan sepasang tanganku sembari tertawa kecil. Tawa kecil yang getir.
Seiring dengan sirnanya gairahku, akal sehatku pun kembali muncul. Dan aku cukup bersyukur karena ia muncul ketika aku belum terlalu jauh mengintimi bidadari berambut merah itu.
Azra sepertinya sangat menyadari apa yang terjadi padaku. Ia pun mengubah posisinya menjadi duduk bersandar ke samping tubuhku.
So sorry, Jo... Sorry... I didn t mean to& It s alright Az& I have to thank you actually since we haven t made it too far& What made you so hot this night, Az"
I m just a woman like many others, Jo& And of course I have that kind of curiosity and sexual drive like any other women on my age& Tonight I felt that kind of instinct grew very thick since I met you earlier& I thought that it would be fine to unleash my passions with you tonight since you re no longer in bound with anyone& And also&
Kupandangi sepasang mata beriris coklat muda itu ketika ia menghentikan kata-katanya tersebut. I think I ve fallen too deep in you, Jo& It happened just too naturally&
Aku pun tertawa getir lagi.
Az& You know, I m glad we haven t gone too far away& I just thought that it would be much better to leave you under your current state as a virgin until the right moment comes& I believe you understand what I said& Now, would you promise me about that"
Only if you promise to be with me when that right moment comes, Jo& Aku hanya tertawa ringan sembari merangkul tubuhnya di sampingku. What if we sleep together tonight, Jo"
Just sleep would be just fine. Not more than that. Thrust me, Jo&
Thrust you" Hell no!
Hahahahahaha! I mean, trust me Jo! Okay& No ridiculous thing tonight&
Aye, aye& But it would be fine if you want to thrust me& Az, please!
Dan begitulah, kami menghabiskan malam itu bersama di atas ranjang dan di balik selimut yang sama. Tanpa ada kain lagi yang melapisi kami. Jujur saja kami berdua sangat menikmati malam itu di mana kami berbicara banyak hal serta menikmati skinship di antara kami berdua. Sesekali kami juga bertukar kecupan di antara kami. Yah, hanya sebatas itu saja keintiman yang terjadi.
Tidak lebih. Tentu saja Azra sempat menanyakan kenapa aku tidak mau lebih dari itu. Dan dengan enteng kujawab saja mungkin karena aku memang terlalu sayang kepadanya. Aku juga sempat mengatakan kepadanya untuk selalu menjaganya sekuat tenagaku.
Yang jelas, kami sangat menikmati kondisi kamar sebelah yang kosong ditinggal Saddam untuk pergi haji semenjak kemarin.
Dan sampai beberapa malam berikutnya, kami berdua selalu memanfaatkan kondisi tersebut. Azra selalu menyelinap ke kamarku untuk mengerjakan banyak hal seperti paper dan tugas-tugas lainnya yang ujungnya selalu diakhiri dengan tidur bersamaku di ranjang yang sama. Untungnya selama itu pula kami tidak pernah ketahuan oleh penjaga asrama.
----------------------------------Sampai hari itu tiba. Hari itu aku ingat aku sedang menikmati break session di tengah jam kuliah kelas International Organisation dari Prof. Kim. Ada panggilan telepon masuk ke ponselku. Nomor yang belum ada di daftar kontak. Dan nomor tersebut diawali dengan +62.
Halo& Halo, Jo& , terdengar suara perempuan yang sepertinya tidak asing. Ini siapa"
Riani, Jo... DEG! Ri" Ada apa" Kok baru nelpon sekarang" , tanyaku dengan nafas mulai naik turun. Duh, Jo! Bukan Riani yang itu Jo! Ini aku Drg. Riani!
Heh"! "Iya... Aku Drg. Riani... Apa kabar Jo""
"Baik... baik... Lu apa kabar" Nama kok pasaran banget sih" "Yeeee.... Tanya ortu gua yang ngasih nama dong..." "BTW, ada apa nih" Tumben nelpon sampe sejauh ini... ...
Ri" Jangan marah ya, Jo... Marah" Kenapa"
Terdengar ada suara nafas panjang di ujung sana. Coba liat facebook deh... Liat apa yang lagi rame... , jawabnya. Kemudian telepon terputus.
Facebook" Kucoba saja mengakses facebook dari laptop kendati kelas baru saja dimulai kembali. Dan terlihat ada satu informasi yang memaksaku kehilangan fokus dari kelas yang tengah berjalan. Akun facebook itu. Dengan profile picture baru. Dengan adanya banyak komentar di foto profile baru tersebut.
Yup... Akun facebook Ian baru saja mengganti profile picturenya di mana ia sedang merangkul mesra seorang gadis. Gadis itu sangat kukenal. Dan dia adalah Riani. Bukan Riani yang dokter gigi.
Sekejap saja rasanya aku dan dunia ini terhisap ke dalam suatu lubang hitam. Hampa semata yang tersisa.
Kucoba ambil ponselku diam-diam dari dalam kantong celanaku dan kubuka aplikasi whatsapp. Kemudian kuketikkan sebaris pesan terdiri dari tiga kata. Dengan huruf kapital. Dan diakhiri tanda seru. NJANC*KI POL KOEN!
Heartbreak Makes Me... Aku masih termangu melihat profile picture terbaru pada akun Facebook Ian. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulutku sejak tadi. Pikiranku sudah pergi entah ke mana. Sampai aku tidak sadar jika kelas sudah selesai dan beberapa peserta kelas sudah banyak yang keluar. Sampai ada seseorang duduk di sebelahku dan bertanya padaku.
"What's going on, Jo""
Aku tidak menjawabnya. Aku hanya memandang orang itu yang ternyata adalah Khali. Kemudian kupandangi kembali layar dari laptopku. Sepertinya Khali ikut terkejut melihat hal itu.
"My deep condolences, Jo. I wish I could do something."
Baru aku mau berkata kepadanya, terdengar suara ponsel Khali berdering. Ia lalu melihat wajahku untuk meminta izin menjawab panggilan tersebut. Aku hanya mengangguk saja untuk membalasnya. Dan terdengar Khali berbicara dengan bahasa aslinya di telepon. Sepertinya aku bisa menebak siapa lawan bicaranya. "Who was it, Khal""
"My Boy, Jo... He..."
"It's alright, Khal... Just go meet him... He must be waiting for you..." "But how about you""
"It's alright Khal... I can handle this... I just need time..." "Are you sure""
Aku hanya mengangguk sembari memaksa untuk tersenyum. Khali akhirnya beranjak dari situ dengan terlihat ada ekspresi keterpaksaan. "Just tell me if you need something, Jo... And promise me that you'll stay fine..."
Sepeninggal Khali aku menarik nafas panjang dan kupalingkan pandanganku ke arah langit-langit kelas. Sakit betul rasanya melihat dua orang terdekatku seakan berkonspirasi untuk menyakitiku secara bersamaan. Apa salahku sebenarnya"
Tidak begitu lama kemudian, aku memutuskan untuk beranjak dari kelas dan berjalan keluar. Di luar gedung GSIS, aku melihat Rory dan Daniel sedang asyik merokok. Iseng saja kusapa mereka. "Hi mates!"
"Look who's here" Our bloody Indonesian comrade!", sambut Daniel. "You look so screwed up, Jo. Ada apa"*", tanya Rory.
Spoiler for *: yup... dia bertanya "ada apa"" Kaget" Dia kan memang pernah tinggal di Bekasi
"My newly-ex and my best friend just screwed me up."
"So sorry for that, mate. Here... Take some...", ucap Daniel sembari menyodoriku kotak rokok yang sudah terbuka.
Ada sedikit ragu dalam hatiku mengingat aku pernah berjanji untuk berhenti merokok secara total sewaktu aku berpisah dengan Riani di Bandara. Namun begitu aku teringat bahwa aku berjanji dengan Riani mengenai hal ini, aku jadi teringat bagaimana sakit hatiku dibuatnya beberapa hari terakhir ini.
Screw you Ri! I'm taking that cigarette! You can just go screw that Janc*k Boy!
Kuambil sebatang rokok dari kotak tersebut dan kubakar ujungnya setelah pangkalnya menempel di bibirku. Kuhisap dan kunikmati sensasi hangat dari batang tersebut yang sudah hampir setahun tidak kurasakan. Tetapi... Hei! Ada yang kurang dari rokok ini! Beda jauh dari rokok terakhir yang kunikmati berbulan-bulan lalu.
"Feels so different, eh" Well, that's Korean cigarette, Jo... I've got to admit that Indonesian cigarettes are fu*king much better than this Korean sh*t...", ucap Rory yang melihat ketidaknyamanan di wajahku. "That's bloody right, my Irish mate!", timpalku.
Kemudian kami nongkrong sampai beberapa saat di tempat itu sembari menghabiskan beberapa batang rokok sembari mengobrol banyak hal, terutama sepak bola. Yup, kami bertiga memang penggila sepak bola. "So, where to go from here, Jo"", tanya Rory.
"Did you mean right after this""
"Uh-huh..." "No idea yet... I'll take anything to get rid of the troubles I have today..." "Wanna hang out with me around the Hongdae""
"Hang out like..."
"Go drinking, dancing, dirty dancing, get wasted..." "I'll buy it!"
"Dan" Wanna join"", tanya Rory.
"Nah... I'll pass... It's kinda cold tonight... So..." "So""
"I'll visit my girl's place and f*ck like rabbit all night long..." "No shit!"
"I'll seriously buy it, mate!", respon Daniel. "Play safely then, Dan... Don't forget the rubber..."
"Rubber" While she's just finished her period" You've gotta be kidding! I won't buy it!" -------------------------------Malam itu sekitar pukul 2100, aku, Rory dan Jade, kekasih Rory, tiba di daerah Hongdae. Kami sempatkan diri untuk makan sejenak di sekitar Anam Junction sebelum berangkat ke tempat ini. Di perjalanan tadi Rory menyebutkan bahwa akan ada dua orang lagi yang akan bergabung dengan kami. Satu orang GSIS Anam-dae dan satu lagi dari Hoegi-dae. Aku tidak terlalu ambil pusing mengenai siapa yang akan ikut kami malam ini. Asalkan itu bukan Azra tentunya. Aku masih tidak mau Azra rusak
Selain itu juga sebelum berangkat tadi aku sempatkan mengirim pesan kepada Azra bahwa aku akan pulang malam karena aku ada perlu dengan temanku. Aku juga bebaskan dirinya apakah mau tidur saja di kamarnya sendiri ataukah menunggu di kamarku karena aku memang sudah memberikan salah satu kunci kamarku kepadanya.
Sesampainya kami di Stasiun Hongdae, aku cukup terkejut ketika melihat dua orang yang dimaksud Rory tadi. Ternyata satu orang yang dimaksud adalah Jen dan satu lagi dari Hoegi-dae adalah Inga. Gadis Swedia blondie teman dari Achi yang pernah kutemui sewaktu di Boryeong. Dan penampilan mereka" Hot as F*ck! Dress mini berwarna menyala dengan stocking dan high heels seolah dinginnya udara malam ini bisa dihadang dengan pakaian itu plus mantel beludru yang saat itu masih mereka pakai.
"F*ck! This is impossible! So you guys know each other"", tanyaku ketika Rory memperkenalkan Inga kepadaku.
Anak Pendekar 17 Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan Tahta Janda Berdarah 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama