Ceritasilat Novel Online

Ghost Campus 3

Ghost Campus Karya Crimson Azzalea Bagian 3


dan menghampiri salah satu mahasiswa yang duduk berseberangan dengannya dan Nico.
"Gha, lo tahu siapa yang naro surat ini di laci meja gue?" Tanyanya serta merta.
" Nggak, Tan. Gue nggak liat siapa-siapa ngedeketin meja lo. Coba tanya Ikbal, deh. Dia yang dateng paling pagi" Jawab pemuda bernama Argha menunjuk ke
bangku terbelakang di baris ketiga dari pintu kelas.
"Eh, Tan. Kenapa sih lo?" Ujar Nico mengikuti arah tujuan Tristan. Bingung kenapa teman sebangkunya itu bisa bertingkah aneh tiba-tiba.
"Bal, Lo tahu siapa yang naro surat ini di laci meja gue?" Tanya Tristan tanpa menjawab pertanyaan Nico.
"Nggak tahu. Waktu gue dateng, kayaknya itu surat udah ada. Gue pikir itu dari salah satu penggemar lo. Emang nggak ada nama pengirimnya?" Tanya balik
mahasiswa alis tebal bernama Ikbal.
"Oke. Thanks ya" Ujar Tristan bersiap melesat keluar kelas. Namun sergapan Nico jauh lebih cepat. Ditahannya lengan Tristan untuk meminta penjelasan.
"Lo kenapa Tan" Surat apaan sih?" Tanya Nico penasaran melihat tingkah aneh sahabatnya. Tanpa berkata sepatah kata pun, Tristan memberikan kertas suratnya
pada Nico. Usai membaca isinya, sang master karate Nico pun ikut terperanjat.
"Ini?" Bener nggak ada alamat atau sumber pengirim di amplopnya?" Tanya Nico ikut kaget. Pada amplop biru pembungkus suratnya tidak ada sama sekali info
yang berkaitan dengan si pengirim.
"Gue penasaran. Kenapa dia tiba-tiba ngirimin surat kayak begini. Ada yang nggak beres. Gue rasa ini pertanda baik, Co. Mungkin sekarang dia bisa balik.
Dan gue harus pastiin" Gumam Tristan memandang penuh harap secarik kertas bertinta biru di genggamannya. Nico paham perasaan Tristan. Tapi bersikap terburu-buru
bukan stylenya. Dia perlu menggunakan akal sehat dengan pikiran yang matang.
"Tapi lo juga nggak bisa bersikap gegabah. Positive thinking aja. Kalau dia yang ngirimin lo surat, berarti ada kemungkinan dia sekarang ada di deket kita.
Akan ada waktu yang tepat dia ngehubungin lo lagi. Mungkin situasinya belum pas menurut dia. Sabar dulu, Tan" Nico mencoba menasihati.
"Ngerti, Co. Tapi gue perlu cek siapa yang naro suratnya. Dia atau orang lain" Mending kita ke ruang senat untuk cek rekaman cctv" Ajaknya
Lalu Beranjak pergi menuju ruang senat. Nico hanya bisa menghela napas panjang. Biasanya Tristan memang paling bijak dan berkepala dingin. Tapi untuk urusan
terkait dengan yang bernama Dastan, reaksinya bisa benar-benar impulsif. Nico pun berlari menyusul Tristan.
Di ruang senat Tristan dan Nico melihat rekaman cctv di kelas mereka. Terlihat laki-laki berpostur tinggi ramping. Mengenakan pakaian serba hitam dan topi
hitam menutupi sebagian wajahnya. Rahang tegas dan kulit bersihnya menggambarkan bahwa orang tersebut bukan tipe ordinary. Pupil mata Tristan mengecil
saat melihat sosok laki-laki bertopi itu. Nico memicingkan mata. Seakan berusaha mempertegas penglihatannya.
"Orang ini, Apa itu dia?" gumam Nico melirik ke sebelahnya. Tristan termangu dengan ekspresi keras.
"Mungkin aja. Mungkin juga bukan" tukas Tristan. Ekspresinya semakin menggelap. Otaknya mulai bekerja keras seperti gear yang diputar dengan kecepatan
tinggi. Di kantin kampus Acropolis. Nuansa cafe dan foodcourt berbaur dengan interior modern. Para mahasiswa dan mahasiswi asik menyantap makan siang sambil bersenda
gurau. Di salah satu meja makan, Edel dan Irina berdiskusi tentang materi pelajaran mereka. Diselingi cemilan-cemilan ringan usai menyikat habis makan
siang mereka. Tiba-tiba geng Honeybee memasuki area kantin. Begitu melihat keempat cewe centil bergaya sok modis itu, Edel dan Irina langsung menundukkan
kepala. Menggunakan buku modul yang digenggamannya, mereka menyembunyikan wajah agar tidak terlihat.
"Eh, Del. Gawat kalau mereka lihat kita. Terakhir kita dikerjain, rontok semua badan gue. Ngebersihin lab boga yang gedenya hampir satu lapangan bola.
Please, deh. Nggak lagi-lagi" bisik Irina menggunakan perumpamaan hiperbola.
"Gue juga takut. Kita ke perpus aja yuk" ajak Edel berbisik balik.
Kedua mahasiswi tingkat 1 itu mengendap-endap bergegas keluar dari kantin. Sungguh sial. Nasib baik belum memihak pada keduanya. Mata elang Rachel lebih
cepat menangkap pergerakan keduanya. Dengan isyarat mata, geng honeybee menghampiri dan menggiring Edel dan Irina ke belakang kantin.
"Lo berdua lagi. Bosen gue ngeliatnya!" ujar Viola berdiri persis di sebelah Irina yang hanya bisa menunduk karena takut. Gue juga bosen kali, pikir Irina
dan Edel. "Maaf kak. Kita cuma lagi makan aja tadi. Nggak ada maksud mengganggu" jawab Edel memandang Melody dengan takut-takut.
"Nggak bisa apa lo berdua makan di tempat lain" Ngeliat muka kalian, selera makan gue ilang!" Bentak Melody menggamit bahu kiri Edel.
"Nggak ada tempat makan lain kak. Kita bisa kelaperan" jawab Irina sedikit asal. Keempat geng honeybee tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu.
Viola yang berada tepat disebelahnya pun langsung naik pitam.
"Berani ngejawab lagi lo! Minta dikasih pelajaran nih kurcaci!" Umpat Viola menarik tas Irina dan membukanya. Menjatuhkan semua isi ransel berwarna pink
tua itu hingga berserakan di tanah berumput. Begitu melihat Iphone pink Irina tergeletak diantara tumpukan isi tasnya, Melody langsung mengambil dan memeriksanya.
"Tolong balikin hapeku kak. Aku minta maaf udah lancang tadi" sahut Irina berusaha meminta kembali ponselnya dari Melody.
"Kenapa lo takut banget" Gue cuma mau lihat isinya doang. Hape kayak gini gue juga bisa beli 10" 20" Atau 100" Semakin lo ketakutan, makin curiga gue ada
apa-apa di dalemnya. Buka pinnya!" Bentak Melody.
Viola memaksa Irina untuk menuruti permintaan Melody. Irina ketakutan dan panik. Sempat melakukan kontak mata pada Edel, untuk memberi kode tentang apa
yang ia takutkan. Edel paham apa maksud Irina. Ia pun jadi ikut panik memikirkan akibat yang akan mereka tanggung.
"Cepetan! Malah liat-liatan lagi! Ada yang lo berdua sembunyiin pasti. Cepet buka! Kalau nggak, biar gue aduin ke dekan kalau lo punya video bokep disini.
Mau lo?"" Ancam Melody semakin tidak sabaran.
Rachel mencengkeram bahu Irina dan memaksa untuk membuka kode handphonenya. Irina terpaksa menurut. Dalam hati berdoa semoga hukumannya tidak akan sampai
membersihkan sampah satu kampus. Setelah kode terbuka, keempat cewe kepo itu memeriksa isi ponsel Irina. Saat melihat dibagian pesan online, banyak history
chat dengan Bara. Seketika itu juga mata kosong mereka membelalak lebar bak burung hantu di siang bolong.
"Bener kan apa kata gue?" Lo emang niat ngedeketin Bara!! Dasar kecentilan!" Bentak Viola mencengkeram lengan kanan Irina.
"Coba cek temennya! Siapa tahu dia juga sama genitnya!" Perintah Melody. Astrid menarik tas Edel dan menggeledah mencari ponsel miliknya. Sialnya ponsel
Edel tidak diberi pengaman kode seperti milik Irina. Tanpa kesulitan berarti, Astrid dapat membuka semua konten dalam handphone bermerk Iphone dengan case
warna putih itu. Sama apes dengan sahabatnya, history log handphone Edel banyak panggilan masuk dari Bastian. Bersiap menerima makian, Edel memejamkan
matanya dengan takut. "Dasar cewe sok kecakepan! Isi hape lo penuh sama telpon dari my honey Bastian!" Bentak Astrid.
"Lo berdua harus kita beri pelajaran biar nggak seenaknya! Bawa ke gedung olahraga!" Perintah Melody tersenyum licik diikuti oleh rekan yang tidak kalah
sinisnya yaitu Rachel. Edel dan Irina digeret memasuki gedung olahraga hingga ke salah satu kolam renang indoor. Viola dan Rachel menyeret Irina ke dekat kursi santai di pinggir
kolam. Sedangkan Astrid dan Melody menarik Edel ke tepi kolam.
"Ampun kak! Maaf. Kita nggak ada niat ngeggoda kak Bara dan kak Bastian. Mereka yang ngehubungin kita duluan. Sumpah!" Ujar Irina memelas ketakutan dalam
cengkeraman Viola dan Rachel.
"Jangan kepedean lo cina cebol! Bara ngehubungin karena lo kali yang mancing!" Bentak Rachel memperkuat cengkeramannya.
"Beneran kak. Kita nggak ngegoda mereka!" Teriak Edel membela diri dan sahabatnya.
"Lo kalo nggak ditanya jangan ikut-ikutan ngoceh!" Bentak Astrid membekap mulut Edel.
Ditengah hiruk pikuk penindasan, Irina merasakan hawa dingin makhluk gaib dari sekitar kolam. Matanya membelalak kaget merasakan tekuk lehernya meremang.
Menoleh ke arah Edel untuk memberikannya isyarat.
"Kak, kita bisa bicarain baik-baik semuanya. Kita nggak ada maksud jelek apalagi berusaha merebut apa yang kakak sangka-sangka. Kita bicarain diluar ya
kak. Biar lebih enak" bujuk Irina sedikit terbata-bata. Suaranya sudah bergetar akibat hawa dingin yang dirasakannya.
"Nggak puas dong gue buat nyiksa kalian. Cewe-cewe sok oke kayak kalian harus dikasih pelajaran! Biar kapok!" Ujar Melody mendorong Edel bersama Astrid
hingga jatuh ke kolam renang.
"Aaaaaaa. . .!!" Jerit Edel terjatuh ke kolam renang dengan suara cipratan yang cukup keras. Disusul suara tawa Melody dan Astrid. Seringai Rachel dan
Viola pun tidak mau kalah lebarnya.
"Jangan!!! Edel nggak bisa berenang kak!!" Teriak Irina berlari menuju tepi kolam.
"Eits! Hukuman lo belum kelar. Nggak usah sok pahlawan mau nolongin temen lo segala deh! Nolong diri sendiri aja nggak becus!! Gara-gara mulut lancang
lo juga kalian bisa sampai sini!" Bentak Viola menjambak rambut Irina. Rachel membantu menghalaunya.
"Kita nggak salah apa-apa!! Kak Bara dan kak Bastian ngehubungin kita dan itu hak mereka. Nggak bisa dilarang juga!" Bentak Irina menahan sakit dan mulai
terpancing emosinya karena panik memikirkan nasib Edel. Dia tahu di dasar kolam itu ada hantu yang bersemayam.
"Kurang ajar banget lo!" Bentak Viola menampar keras Irina hingga tersungkur. Pipi kirinya memerah dan ujung bibirnya berdarah akibat tamparan keras yang
mengenainya. Berusaha mengumpulkan kembali kesadaran, dia duduk dilantai sambil terpana memegangi pipinya. Begitu pandangannya beralih ke arah kolam, tubuhnya
otomatis memerintahkan untuk bangun menuju ke tepi kolam. Seperti dikomando, Irina berusaha mendekati kolam.
"Masih berusaha berulah juga ini anak?" Bener-bener! Sini!" Bentak Rachel menarik berdiri Irina yang masih terhuyun-huyun pusing.
Bersamaan dengan penderitaan Irina, Edel yang tidak bisa berenang berusaha mengapungkan dirinya. Meski sedikit gagal, setidaknya dia tak langsung tenggelam.
Ditengah usaha keras Edel, sepasang tangan pucat dengan jari-jari ramping dan keputihan menarik pergelangan kaki Edel. Tubuh mungilnya tenggelam menuju
dasar kolam. Terkejut pada apa yang terjadi, Edel berusaha meronta-ronta membebaskan diri. Pada dasar kolam terlihat hantu seorang pemuda bercelana pendek
hitam, rambutnya berkibar-kibar mengikuti gerakan air, wajahnya sepucat kertas baru, matanya putih, dadanya remuk seperti terhantam benda keras.
Edel melakukan perlawanan sekuat tenaganya tapi percuma. Di dalam tekanan air kolam renang sedalam 5 meter tidak ada yang bisa ia usahakan. Kolam khusus
klub renang itu memang di desain untuk para perenang yang sudah handal. Sedangkan dirinya bisa saja tidak. Kesadarannya mulai hilang sedikit demi sedikit.
Pandangannya mengabur. Napasnya semakin sulit dan lemah. Sosok hantu itu mulai hilang dari penglihatannya yang perlahan-lahan menghitam.
Di tepi kolam Astrid dan Melody mulai ketakutan karena Edel tidak juga muncul ke permukaan.
"Aduh, Mel! Tuh anak beneran tenggelem! Kalau koit gimana dong?"" ujar Astrid panik mode on.
"Ah, berisik! Mana gue tahu tuh anak nggak bisa berenang! Bukan salah kita juga dong!" Melody mencoba menghibur dirinya sendiri. Sambil menggigit bibir
bawahnya. Cemas juga takut.
"Edel!! Tolongin kak! Tolongin Edel, please!!" Jerit Irina histeris. Ngeri menatap tempat Edel tenggelam tanpa peduli kondisinya yang masih dalam cengkeraman
Viola dan Rachel. Sekonyong-konyongnya laki-laki berpostur jangkung melompat ke arah kolam renang. Menukik tajam ke dasar bak perenang profesional. Mata bulatnya sibuk mencari.
Begitu menangkap apa yang dicarinya, dia memacu gerakannya secepat mungkin. Menggamit pinggang Edel dan menariknya naik ke permukaan.
Napas Irina berhenti menyaksikan laki-laki tadi. Harap-harap cemas sahabatnya bisa diselamatkan. Hampir saja dia terjatuh lagi jika tidak ada lengan kokoh
yang menopangnya, saat cengkeraman di bahu dan rambutnya terlepas dengan sekali kibasan tangan kekar berkulit putih. Viola dan Rachel terdorong menjauh
beberapa langkah. Mereka terkejut. Wajah mereka berubah penuh kengerian saat melihat siapa pelakunya. Bara yang murka seperti siap menghembuskan asap panas
dari kedua lubang hidungnya.
"Lo semua apa-apaan sih?"" Suara bentakan Bara menggema ke seluruh ruangan.
"Kamu nggak apa-apa, Rin?" tanya Bara melihat kondisi Irina.
"Nggak, kak. Tapi itu Edel tenggelam!" Irina terisak menunjuk ke arah kolam.
"Bastian lagi berusaha nyelametin Edel. Tenang aja. Pipi kamu merah dan bibir kamu berdarah nih" kata Bara khawatir memegang kedua pipi Irina dan menghapus
darah di bibirnya dengan hati-hati.
"Lo apaain dia?"?" bentak Bara menatap marah Viola dan Rachel yang hanya bisa menunduk ngeri mendengar volume suara Bara.
"Nggak kita apa-apain kok, my honey Bara. Kamu nggak usah terlalu care sama dia sih" ujar Viola tidak suka dengan perhatian Bara.
"Nggak diapa-apain gimana?" Pipinya merah, bibirnya berdarah gini!! Jawab gue!!" bentaknya semakin marah.
Melody and the genk bergidik takut mendengar suara penuh emosi Bara. Saling bertukar pandang seperti siap dihakimi.
" K-kita cuma kasih peringatan dikit. Biar jangan deket - deket sama kamu dan Bastian" jawab Viola takut-takut.
"Denger ya, lo semua nggak punya hak ngelarang siapapun buat deket sama gue dan Bastian!! Ini privasi kita dan gue nggak suka lo nyiksa atau ngerjain siapapun
yang deket sama gue dan anak-anak Halfblood lainnya! Ngerti lo semua?"?" Peringatan tajam dari Bara untuk mereka berempat.
"Ngerti nggak?"?" Ulang Bara dengan volume semakin meninggi.
"I-iya. Ngerti, Bara" jawab keempatnya serempak.
Bastian berhasil mengangkat Edel keluar dari kolam renang. Dibaringkannya tubuh Edel di kursi santai samping kolam renang. Irina dan Bara menghampiri keduanya.
"Del! Edel bangun Del!" panggil Bastian panik menepuk-nepuk pipi Edel yang belum sadarkan diri. Namun gadis itu tidak kunjung sadar. Takut terjadi hal
yang tidak diinginkan, Bastian melakukan CPR untuk menyelamatkannya. Setelah menekan dan menghentakkan kedua tangan yang ditumpukannya jadi satu ke dada
Edel, Bastian menempelkan mulutnya ke mulut Edel untuk memberikan napas buatan. Setelah 2 sampai 3 kali tiupan, Edel pun tersadar. Terbatuk-batuk hebat
berusaha mengatur ritme napasnya kembali.
"Uhuk!! Uhuk!!" Edel terbatuk - batuk memuntahkan air kolam yang tidak sengaja terminum olehnya.
"Kamu baik-baik aja, Del?" tanya Bastian khawatir bercampur lega.
"Nggak... kak Bastian" Kak Bara" Kok kakak berdua bisa disini?" tanya Edel bingung melihat keduanya.
"Kita tadi lagi ada di lapangan basket indoor nggak jauh dari sini. Terus denger ada ribut-ribut ternyata kalian lagi disiksa" ujar Bara melirik sebal
ke arah geng Honeybee yang mencicit seperti tikus karena lirikan mautnya.
"Irina"Lo nggak apa-apa?" tanya Edel tiba-tiba teringat Irina yang sebelum tenggelam ia lihat sedang disiksa.
"Gue nggak apa-apa, Del. Yang harusnya dikhawatirin itu lo bukan gue" jawab Irina.
"Kamu juga perlu diobatin, Rin. Pipi kamu merah lebam dan bibir kamu berdarah" kata Bara mengangkat dagu Irina untuk melihat luka-luka di wajahnya.
"Kita ke ruang perawatan khusus olahraga. Untuk periksa keadaan kalian berdua, ayo" ajak Bastian langsung membopong Edel. Bridal style. Saat melewati geng
Honeybee, diliriknya keempat gadis tukang rusuh itu dengan tatapan tajam penuh kekesalan. Melangkah perlahan untuk memperingatkan sedikit.
"Gue benci cara kalian yang kayak gini. Jangan kira gue nggak bisa bikin perhitungan sama kalian ya. Mereka berdua urusan gue sama Bara. Jadi urus aja
urusan kalian sendiri. Nggak usah ikut campur" Ujar Bastian. Suaranya dingin dan dalam. Ancaman tajam yang menakutkan.
"Bastian sayang!" Rengek Astrid.
Tapi Bastian malah pergi sambil menggendong Edel. Disusul Bara dan Irina dalam gendongannya.
Diruang pengobatan olahraga. Tristan, Chacha, Nico dan Angel tiba disana. Mereka geram mendengar penuturan Bastian dan Bara.
"Keterlaluan tuh tawon - tawon!" Umpat Chacha.
"Mereka bisa ngebunuh Edel tadi" ujar Angel sangat tidak terima.
"Perlu dikasih peringatan keras mereka. Nanti gue urus deh" ujar Tristan setuju bahwa ini masuk kategori keterlaluan akut.
"Jangan kak! Nggak apa-apa. Toh, aku juga nggak kenapa-kenapa" sahut Edel memohon pengampunan untuk penindasnya.
"Edel sayang. Kamu hampir dibunuh mereka loh tadi. Coba kalau Bastian dan Bara nggak nolongin kalian, gimana?" bujuk Angel.
"Mereka nggak bermaksud jahat kok, kak. Aku tenggelam karena emang tadi ada hantu yang narik kakiku. Hantunya ada didasar kolam makanya aku tenggelam"
jawab Edel dengan nada membela.
"HANTU DI DASAR KOLAM?""sahut Tristan and the genk terperanjat bukan main.
"Iya. Tadi ada hantu laki-laki yang narik kaki aku ke dasar kolam. Jadi bukan salah kak Melody dan yang lain, kan kak?" Bela Edel.
"Kalaupun gitu, mereka tetep salah, Del. Kan karena mereka kamu sampai bisa jatoh ke kolam renang. Mereka nggak pantes kamu bela" kata Chacha nggak sudi
empat orang 'geng tawon' itu dapat pembelaan.
"Aku nggak mau punya masalah dan nyalahin siapa-siapa, jadi maafin aja deh ya kak. Biar masalahnya selesai" pinta Edel lagi.
"Kamu terlalu lunak sama mereka, Del" keluh Bastian.
"Iya. Kalau kamu dan Irina mau marah dan bales mereka, kita juga bakal bantuin kok" kata Bara setuju.
"Mereka udah keterlaluan sama kalian, loh. Ini bisa ditindak sesuai aturan kampus" kata Nico menyarankan.
"Kamu dan Irina nggak usah takut sama mereka. Kita pasti ngelindungin kalian" tambah Tristan.
"Nggak usah, kak. Biarin aja. Aku nggak suka bales dendam. Nggak bagus ngebales orang yang ngejahatin kita. Nanti buntutnya panjang" kata Edel menolak
secara halus. "Aku juga nggak apa-apa. Biarin aja deh, kak" sahut Irina setuju dengan Edel. Malas repot berurusan dengan kakak kelasnya yang empat itu.
"Kalian terlalu baik ke orang yang jelas-jelas jahat sama kalian" keluh Bara dan Bastian menyerah pada permintaan mereka berdua.
"Kalian jangan deket-deket kolam renang itu lagi. Bahaya ada hantunya begitu" ujar Chacha ngeri.
"Selama ini suka ada insiden yang tenggelam di kolam itu berarti karena ada hantunya, ya?" kata Tristan termangu-mangu.
"Emang banyak kak yang tenggelam disana?" tanya Irina penasaran.
"Sering banget. Makanya kolam renang yang itu nggak pernah dipake lagi. Anak klub renang aja pindah ke kolam renang indoor yang baru" tutur Nico.
"Hantu itu mungkin masih penasaran dan nyelakain orang di kolam renang" analisa Irina.
Geng Halfblood mencoba memahami meski ngeri pada fakta tentang hantu penasaran.
Keesokan harinya jadwal kegiatan Tristan dan Nico sangat padat. Dari pagi hingga siang perkuliahan silih berganti tanpa jeda. Sistem double degree yang
menjadi pilihan mereka memang beresiko besar untuk menyita banyak waktu belajar dan memerlukan tingkat konsentrasi tinggi. Kalau bukan murid yang memiliki
dasar kecerdasan kategori genius, sudah pasti terseok-seok di tengah-tengah.
Siang menjelang petang sekitar jam 3 sore. Tristan dan Nico menuju kelas paralel mereka. Tiba-tiba Tristan menghentikan langkahnya. Insting tajamnya menangkap
ada kejanggalan. Berpaling ke arah kiri. Ditatapnya sekeliling halaman gedung fakultas teknik. Memicingkan mata elangnya ke segala arah. Seperti ada radar
yang bekerja pada kepala Tristan.
"Ada apa, Tan?" Tanya Nico terkejut pada reaksi waspada sahabatnya.
"Gue ngerasa diperhatiin Co. Lo ngerasa nggak sih" Dari tadi kayak ada yang ngikutin kita?" Tanya Tristan.
"Gue nggak ngerasa ada yang janggal. Yakin bukan cuma kumpulan fans penguntit lo itu?" ujar Nico.
"Bukan. Kalau mereka nggak seahli ini. Lo aja bisa dibikin nggak sadar" ujar Tristan lagi. Yakin seyakin-yakinnya ada yang janggal.
"Ya udah kita ke kelas aja. Kita liat sejauh apa si penguntit yang lo maksud berusaha ngebuntutin kita. Dikelas nanti juga ada Bastian dan Bara. Mereka
siapa tahu bisa ngeh kayak lo" saran Nico. Dia sebenarnya heran. Saat Tristan merasakan suatu kejanggalan, biasanya dia pun bisa ikut merasakannya. Namun
yang kali ini tidak ada kecurigaan sama sekali, pikir Nico.
*Kelas Cybermedia jurusan Ilmu Komunikasi Internasional Semester 5*
Chacha dan Angel memasuki kelas mereka yang kedua dihari itu. Keduanya berjalan sambil tertawa membahas kekonyolan yang terjadi pada kelas sebelumnya.
Tanpa pikir panjang mereka memilih kursi terdepan dibagian paling tengah. Posisi terjitu untuk fokus dan sangat dihindari para mahasiswa. Bagi mahasiswa
lainnya, bukan hanya karena berada di bangku 'panas' bisa membuat mereka mematung selama dua jam pelajaran sehingga mereka enggan duduk disana. Tapi memang
kedua kursi itu sudah jadi hak paten 'istri bos besar sekali'. Mereka tak mau ambil resiko untuk kena somasi.
Chacha dan Angel segera menyiapkan peralatan yang diperlukan selama pelajaran. Alat tulis, notes dan laptop. Keduanya menyalakan laptop masing-masing dan
mensetting sesuai dengan kebutuhan belajar. Dengan akses internet free tanpa batas sepanjang area kampus, seluruh mahasiswa dapat melakukan aktifitas online
dengan nyaman. Chacha membuka email pribadinya untuk mengecek hasil ulangan terakhirnya.
" ..?"" Chacha melihat ada email masuk dari address yang tidak dikenal. Email tanpa subjek dengan nama berupa delapan digit number. Penasaran, ia pun segera melihat
isinya. White world full of passion and happiness
Blue sky, white cloud, golden sun, warm wind is blowing around
When the night come Sky is turning black, cloud is disappear
Sun going to sleep, the moon is rising
Looking up, the star is smiling for safing the lonely soul
_Phantom Of The Opera_ Chacha hanya bisa tercengang membaca isi email ambigu tersebut. Sadar mulutnya membuka hingga menganga, ia pun segera mengatupnya kembali. Dahinya mengerut
kebingungan. Maksudnya apa sih" Pikir Chacha.
Setelah tahu isi emailnya, Chacha berusaha melihat identitas si pengirim dengan membuka profil sender emailnya. Foto profilnya kosong dan tidak ada detail
apapun kecuali alamat email aneh berupa angka 12120707.
"Nani" " bisik Chacha tanpa sengaja melontarkan salah satu kosakata bahasa jepang yang berarti apa dalam bahasa indonesia. Kemudian membalas email itu
ke si pengirimnya. "Kamu siapa" Maksudnya apa?" Kemudian send. Berharap mendapat jawaban dari balasannya.
Angel yang mendengar keluhan sahabatnya langsung mengalihkan pandangan dari laptopnya ke arah Chacha.
" Kenapa Cha" " bisik Angel hati-hati agar tidak terdengar dosen.
"Ini ada.. " begitu akan memberitahu isi email dari phantom opera itu, tiba-tiba Chacha berhenti. Dia berpikir mungkin saja ini cuma ulah salah satu stalkernya yang
gemar mendekati dengan cara yang serba unik.
"Ada apa?" tanya Angel lagi.
"Nothing. Nanti aja jam istirahat" sahut Chacha memutuskan untuk menunda ceritanya hingga jam istirahat. Bukan hal yang urgent juga, pikirnya. Keduanya
pun kembali berkonsentrasi pada perkuliahan mereka.
Usai dua mata kuliah yang padat, Chacha dan Angel kembali ke loker mereka untuk menaruh buku sebelum ke kantin. Saat membuka pintu lokernya yang menggunakan
kode 6 digit, sepucuk kertas berwarna hitam tergeletak di tengah-tengah kotak berbentuk mirip brangkas.
"Ha?" Chacha terpana melihat kertas itu dan mengambilnya.
"Siapa yang bisa ngebuka loker gue?" keluhnya sambil mengamati dan membalikan kertasnya. Di sisi sebaliknya ada sebait tulisan dengan tinta putih.
After fifty seasons the older eagle is become weak
The wings start to feel locked
The weather is more and more colder
The hunting past and two piercing eyes already open
Sadness will be rise soon
_Phantom of The Opera_ "Lagi?"" seru Chacha terkaget lalu menoleh ke kanan kiri mencoba mencari siapa yang kira-kira mengirimkan sajak aneh berbahasa inggris itu.
"Apaan sih Cha?" tanya Angel penasaran dan melihat kertas ditangan Chacha.
"Ini aneh banget deh. Nih coba baca" ujar Chacha menyodorkan kertas hitam ke pada Angel.
"... Phantom of the opera" Siapa tuh" Maksudnya apa?" seru Angel sama bingungnya dengan Chacha usai membaca isinya.
"Nggak tahu. Ini yang kedua. Sebelumnya gue dapet email dari si phantom opera itu juga. Nih baca deh, Ngel. Gue coba bales nanya ini siapa dan maksudnya
apa sampe sekarang nggak ada jawaban lagi" Chacha menunjukkan isi email sebelumnya dari handphonenya.
"Siapa sih si Phantom opera itu ya" Isi email dan suratnya kayak sajak. Yakin bukan fans lo, Cha?" Angel mulai berasumsi.
"Tadinya sih gue juga mikirnya gitu. Tapi setelah yang kedua ini, rasanya nggak mungkin. Loker kita kan pake password dan yang tahu kode password loker
gue ya cuma gue dan anak halfblood aja. Anak halfblood juga nggak pernah ada yang buka-buka. Selain gue, cuma Tristan yang pernah buka ini loker. Lo ataupun
gue hapal diluar kepala kalo dia sangat nggak bakat dibidang sastra sampe bisa ngebuat tiga paragraf sajak dengan kata-kata pujangga pro begini" jawab
Chacha. "Lo bener. Ini nggak mungkin kerjaan anak halfblood. Fans lo pun mustahil sampe bisa ngebobol keamanan loker kampus. Kecuali emang niat banget dan yang
jelas orang ini termasuk hebat" ujar Angel setuju dengan pemikiran Chacha.
"Kita obrolin sama yang lain aja yuk siapa tahu mereka punya solusi" ajak Angel.
"Jangan dulu deh. Tristan bakal paranoid nyangka yang nggak-nggak. Daripada jadinya heboh nggak usah dibahas dulu. Kalau nanti ada lagi dan tambah aneh
baru kita bahas ke yang lain" Chacha menolak memberitahu yang lainnya mengenai sajak misterius dari phantom opera. Dia khawatir Tristan akan bereaksi berlebihan.
"Lo yakin ini nggak perlu kita angkat jadi topik penting" Si Phantom opera ini bisa ngebuka akses loker yang cuma bisa dibuka sama kita, Cha. Ini termasuk
pelanggaran privasi" ujar Angel merasa ini akan jadi masalah.
"Bukan maksud nyembunyiin. Cuma nggak mau jadi timbul kehebohan untuk masalah yang masih nggak jelas gini. Gue mau liat dulu ini bakal gimana. Lo tahu
kan kalau Tritan udah bertindak semuanya disikat bersih. Selesai semua masalah. The end" jawab Chacha.
"Tapi kalau mulai intens kayak orang neror, kita harus kasih tahu yang lain dan lo harus cerita ke gue. Oke?"jawab Angel.
"Oke. Thanks Ngel" kata Chacha.
Taman Fakultas Ekonomi Tristan, Nico duduk bersama Bastian dan Bara di rerumputan bawah pohon besar. Tristan menceritakan mengenai surat dari kakaknya Dastan pada Bastian dan
Bara. "Hah?" Surat dari Dastan?" Kok bisa?" sembur Bastian.


Ghost Campus Karya Crimson Azzalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Woy! Ciki yang lo makan kemana-mana nih! Jorok lo Bas!"seru Bara langsung membersihkan kausnya yang tidak sengaja kena sembur oleh Bastian yang kaget
saat makan cemilan. "Yup dari Dastan. Gue juga masih bingung kok bisa orang yang selama ini dicari dan nggak ketemu malah ngirim surat tanpa alamat gini. Menurut kalian berdua
gimana?" ujar Tristan meminta pendapat Bastian dan Bara.
"Lo udah cek cctv?" tanya Bara.
"Udah tadi sama Nico. Di sana ada cowo pake topi yang naro ini surat. Dari penampilan tuh orang kayaknya familiar tapi belum pasti Dastan" jawab Tristan.
"Ngeliat dari postur dan perawakannya memang seperti seumuran Dastan. Cuma susah juga kalau mau mastiin. Kita terakhir ngeliat pas dia umur 14. Sekarang
kemungkinan umurnya udah 22 atau 23. Siapa yang tahu gimana mukanya sekarang" Nico menyampaikan keraguannya.
"Lo bener. Seandainya ada orang yang dateng ke kita dan ngaku dia Dastan, kita bisa aja langsung percaya apalagi ciri-ciri yang lo gambarin tadi bisa jadi
perkiraan sosok Dastan diumurnya yang aktual" ujar Bastian memutar otak mengingat-ingat penampilan Dastan dulu dan mengira-ngira bagaimana penampilannya
sekarang. "Misalnya pun itu Dastan, buat apa dia main surat-suratan segala ke lo, Tan" Bakal lebih efisien kalau telp atau sms. Kesannya dia mau ngerahasiain sesuatu.
Lo nggak bisa langsung kepancing. Bener kata Bastian. Kita nggak tahu gimana wajah Dastan sekarang. Kalau kurang waspada bisa kena tipu mentah-mentah nanti"
kata Bara memperingati Tristan untuk tidak terpancing emosi.
"Buat apa nipu kita dengan pura-pura jadi Dastan coba?" ujar Tristan terus mengelak.
"Ya banyaklah. Dastan itu kan kakak lo. Pewaris tertua keluarga Becker. Keluarga dengan aset kekayaan Milyaran. Siapa yang nggak tergiur buat berada diposisi
Dastan?" tambah Bastian ikut menimpali.
"Tapi yang tahu kondisi yang sebenarnya tentang pewaris tertua keluarga Becker yang hilang cuma keluarga kita-kita aja. Orang lain tahunya dia ada di Jerman
buat study. So, masih pointless juga kalau kita langsung berasumsi ada yang berusaha nempatin posisi Dastan yang kosong. Kapanpun Dastan yang asli bisa
balik dan kedoknya bakal kebuka. Terlalu riskan untuk berusaha jadi Dastan tiruan" tutur Tristan.
"Oke gini-gini deh. Gue tanya, Tan. Seandainya, muncul cowo yang penampilannya mirip Dastan. Apa yang mau lo lakuin" percaya apa nggak?" melihat Tristan
terus mendeny kemungkinan adanya cacat kondisi pada kemunculan Dastan, Bastian langsung menembak ke inti permasalahan.
"Gue.." Bastian, Bara dan Nico menatap Tristan yang sepertinya tengah berkutat dengan hati dan logikanya. Mereka paham ini masalah sensitif untuk leader mereka.
Tapi mereka juga tidak bisa membiarkan semuanya berjalan hanya mengikuti perasaan.
Tristan menatap sahabatnya satu persatu lalu dengan tatapan mantap, dia mengambil keputusan.
"Gue bakal sambut dan cari tahu dimana kebohongannya. Dastan yang asli pasti bisa gue kenalin. kalau pun dia Dastan palsu. Gue harus cari tahu siapa dan
maunya apa. Gue nggak terima ada orang yang manfaatin nama Dastan cuma buat tujuan dangkal kayak uang dan kekuasaan" Tristan akhirnya mengatakan keputusannya.
" Sorry, Gue duluan ke ruang senat" Tristan pamit dan langsung beranjak ke ruang senat sendirian.
"Tristan! Tunggu dulu!" panggil Bara.
Meninggalkan ketiga lainnya yang masih menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
Ketiga sahabatnya menatap punggung Tristan yang semakin menjauh, mereka tahu betul ini akan jadi perkara panjang. Sampai benar-benar terbukti ada bukti
benar atau salah, Tristan tidak akan bisa dihentikan.
"Begini nih yang ngebuat nama Dastan jadi topik tabu buat dibahas di depan Tristan. Liat deh tuh reaksinya. Si kepala dingin Tristan bisa menjelma jadi
hot head Tristan. Unbelieveable" keluh Bastian.
"Nggak bisa kita salahin juga. Dastan pergi tanpa ngasih reason and purpose yang jelas. Selama ngilang hampir 9 tahun nggak ngasih kabar juga. Adik manapun
pasti khawatir dan merasa nggak terima. Apalagi surat terakhir sebelum kepergian Dastan kayak ucapan perpisahan gitu. Kita harus ngertiin kenapa reaksinya
jadi seemosional itu sama semua hal yang berhubungan dengan Dastan" ujar Nico berusaha menjebatani semua pendapat baik dari posisi mereka maupun posisi
Tristan. "Kita harus punya planning. Emosi Tristan nggak bisa diandelin dikondisi kayak gini. Kita harus awasin juga kalo-kalo Tristan mulai bertindak konyol" ujar
Bara. "Menurut gue. Ini waktu yang tepat banget untuk habis-habisan cari tahu masalah hilangnya Dastan. Sampe ketemu kalo bisa. Semua yang ada embel-embel nama
Dastan sikat aja. Selama ini kita selalu nahan untuk nggak terlalu ngebahas masalah ini terutama di depan si Tristan. Cepat atau lambat masalah ini bakal
muncul ke permukaan kayak sekarang ini" sahut Bastian.
"Kita kan pernah ngebahas sekali dan Tristan yang kesannya jadi nggak cooperative. Ditengah-tengah penyelidikan tiba-tiba dia narik langkah dan bilang
mau berenti ngejar-ngejar jejak Dastan" ujar Bara mengingat terakhir kali usaha mereka mencari Dastan.
"Tristan bukan nggak mau cooperative menurut gue. Dia terlalu takut sama kenyataan yang mungkin harus dia terima kalau alasan yang sebenarnya terbongkar.
Dia butuh waktu untuk ngumpulin lagi tekadnya nyari Dastan. Keputusan Dastan buat pergi dan ninggalin semuanya adalah kekecewaan terbesar yang pernah dialamin
Tristan. Dastan itu selalu jadi panutan buat Tristan. Lo inget kan gimana kejadian terakhir sebelum kepergian Dastan?" kata Nico.
"Soal penculikan itu yang lo maksud, bukan?" tanya Bara.
"Iya. Itu ngebuat prasangka yang nggak enak di sisi Tristan" kata Nico.
"Saking hebatnya tuh prasangka, si Tristan sampe ngeluarin kata-kata bahwa Dastan lari dari takdir sebagai pewaris keluarga Becker. Dia sempet ada pikiran
Dastan jadi pengecut setelah ngalamin kejadian berbahaya akibat jadi pewaris keluarga Becker terus ngebuang tanggung jawabnya ke pundak Tristan tanpa mau
peduli lagi" ucap Bara mengingat ucapan Tristan terdahulu setelah kepergian Dastan.
"Yang ngebuat Tristan tambah sengsara, dia marah sama keputusan Dastan tapi dia nggak bisa ngebenci Dastan sama sekali. Itu yang ngebuat dia paling kecewa
sekarang. Dalam hati dia terus berharap Dastan bakal pulang lagi dan semua akan kembali kayak sebelum tragedi penculikan yang berakhir dengan surat perpisahan
sepihak itu. Tristan harus berani ngadepin rasa kecewanya dan mulai berharap lagi tentang Dastan" tutur Bastian.
"Eh, tapi si Dastan itu pas kecil mukanya mirip sama Tristan kan"Anggep aja ada kemungkinan muka mereka sekarang juga bakal tetep mirip" ujar Bara.
"Bisa jadi gitu bisa juga nggak. Semoga asumsi kita tentang Dastan palsu salah. Kalo bener kasus ngilangnya Dastan bocor, runyam semua deh. Selesai hidup
kita-kita. Kedepannya bakal ada lagi Dastan wannabe part selanjutnya" ujar Bastian berharap ini cuma rasa paranoid mereka.
"Pake kata wannabe segala. Dasar lebay! Mana ada selanjutnya. Emang sinetron?" " umpat Bara melempar daun kering ke arah Bastian.
"Ya nggak selebay sinetron yang episodenya udah lima ratusan ke ataslah. Kalau udah kayak gitu udah ngawur namanya!asemm!" Bastian mengumpat balik dan
melempar daun kering lainnya ke arah Bara.
Nico tertawa geli melihat pertengkaran keduanya. "Udah-udah jangan berebut jadi pemetan utama sinetron dong. Tenang aja pemeran utama sinetron biasanya
suka gonta ganti kok. Jadi pasti kebagian. Sesuai respon penonton aja" ujar Nico ikut bercanda dengan topik yang sama.
Ruang Senat Tristan membuka kunci ruang senat dan masuk. Ia menuju ruang pantau cctv dan memutar ulang rekaman pria misterius yang menaruh surat atas nama Dastan.
Dia pandangi pria itu dengan tatapan serius kemudian menyandarkan kepalanya pada kursi sambil menghela napas panjang. Rasa frustasi terlihat jelas diwajah
tampannya. "Kenapa lo milih pergi dan hilang tanpa kabar begini, kak" Segitu nggak maunya lo jadi pewaris keluarga Becker. Apa lo anggap ini ngebebanin lo" Lo nggak
peduli sama keluarga sama sekali" Segampang itu lo ngebuang keluarga demi kebebasan. Kenapa kak?" dalam hati Tristan terus bertanya-tanya motif perginya
Dastan. Tepat diluar ruang senat seorang laki-laki berdiri mengawasi. Laki-laki berpakaian serba hitam dengan topi hitam itu bersembunyi di balik pohon besar di
seberang ruang senat. Tidak lama dia buka topi yang menutupi sebagian wajahnya.
Rambut hitam lurus pendek berkibar terkena terpaan angin. Wajahnya tampan berahang maskulin. Matanya berukuran sedang dengan alis tegas. Hidungnya mancung
dengan kulit putih bersih. Senyum tersungging dibibir tipisnya.
"Sebentar lagi kita akan ketemu. Tapi aku ingin bermain-main sebentar denganmu. Selamat menikmati permainanku. My little brother, Tristan" ucap lirih si
pria misterius. Menatap terus ke arah ruang senat dimana Chacha dan Angel sedang berjalan memasuki ruang senat.
Melihat tas ransel Tristan tergeletak di kursi ketua senat, Chacha langsung mencari dimana tunangannya itu.
"Tan kamu dimana?"" panggil Chacha mencari keberadaan Tristan.
"Disini Cha!" sahut Tristan dari arah ruang cctv.
Chacha langsung menghampiri Tristan yang tengah duduk bersandar.
"Kamu aku telp dan chat nggak ngangkat, nggak bales. Kenapa sih" Aku mau ajak kamu makan. Aku telp Nico akhirnya, katanya kamu ke sini" ujar Chacha protes.
"Sorry, tadi masih mode bisu jadi nggak ngeh ada telp dan chat kamu. Maaf ya chayang bawel" Tristan meminta maaf sambil mencubit pipi Chacha yang memasang
wajah sebal. "Dasar nih Chayang mancung aku! Hape jangan disumpel dong congornya" Chacha balas mencubit hidung Tristan. Saat menatap wajah Tristan, Chacha bisa melihat
ada kejanggalan. "Kamu kenapa?" tanya Chacha cemas.
"Kenapa gimana?" tanya Tristan balik bertanya.
"Itu muka kamu ditekuk kayak baju belum disetrika. Ada masalah apa" Jangan bilang nggak ada apa-apa. Kamu nggak bisa bohong sama aku lho. Kita dari lahir
udah sama-sama. Aku kenal persis muka kamu pas lagi ada masalah. Cerita dong" kata Chacha duduk di kursi sebelah Tristan sambil memegang lengan sang kekasih.
"Iya deh. Aku emang lagi ada masalah. Tadi pagi ada surat aneh dilaci mejaku. Nih coba baca. Tulisannya dari Dastan" jawab Tristan menyodorkan surat Dastan
dari saku jaketnya. "Hah?"Dastan?"" seru Chacha kaget. Dibacanya isi surat itu dan membelalak kaget ke arah Tristan.
"Ini beneran?" tanya Chacha.
"Nggak tahu juga. Anak-anak sih bilangnya jangan terlalu percaya dulu. Bisa aja ada yang sengaja mau pura-pura gitu" jawab Tristan.
"Tapi cuma keluarga kita yang tahu masalah Dastan" sambung Chacha.
"Nah itu yang jadi bahan pertimbangan aku. Ngebingungin" keluh Tristan menutup wajahnya dengan kedua tangannya tanda frustasi.
Chacha jadi teringat pesan sajak si Phantom opera tadi pagi. Dia merasa seperti ada kebetulan dengan surat dari Dastan.
"Kok serba kebetulan gini sama sajaknya si phantom opera itu ya" Apa itu dari Dastan juga" Tapi ngapain dia pake nama aneh gitu" Kayaknya gue jangan cerita
dulu deh masalah sajak itu ke Tristan. Mukanya udah pusing gitu. Nanti kalau waktunya udah oke baru cerita deh" gumam Chacha dalam hati.
"Kamu udah makan belum?" tanya Chacha mengalihkan topik.
"Belum" jawab Tristan.
"Yaudah makan dulu yuk" ajak Chacha bangun dan menarik lengan Tristan.
"Oke deh, yuk" Tristan setuju untuk makan.
Setelah pamit dengan Angel yang sibuk mengetik data keperluan senat di meja sekretaris senat, keduanya keluar menuju kantin sambil bergandengan. Dikejauhan
pria misterius bertopi itu mengamati keduanya.
"Hoo..itu tetap jadi kelemahanmu ya Tristan. Semakin menarik" ujar si pria bertopi. Senyum licik tersungging di bibir tipisnya.
Di saat pria misterius itu asik memikirkan permainan kecilnya dengan Tristan, samar-samar ada sosok lain yang terus mengamati juga. Sesosok hantu berpakaian
sekolah elit dengan kemeja putih dan celana panjang hitam menatap si pria bertopi dengan tatapan benci. Hantu berwajah pucat dan penuh luka itu beralih
menatap Chacha dan Tristan yang berjalan ke arah kantin. Raut wajahnya berubah sedih. Saat si pria bertopi beranjak pergi, si hantu tetap berdiri disana
tanpa ekspresi. Dipegangnya nametag nama di saku kemeja sekolahnya, si hantu pun menghilang.
Kantin Universitas Acropolis
Chacha dan Tristan asik makan berdua sambil ngobrol dan bercanda. Mereka tidak sadar bahwa ada hantu berpakaian sekolah mengawasi mereka. Hantu yang umurnya
kira-kira 14 tahun itu menatap nanar Tristan dan Chacha.
Usai makan mereka kembali ke ruang senat. Disana sudah ada semua geng halfblood termasuk Edel dan Irina.
"Hai guys.." sapa Tristan dan Chacha ikut bergabung dengan yang lainnya yang sedang asik berbincang.
Edel langsung terkejut melihat hantu berada di sebelah Tristan. Hantu itu menatap Edel dan memberi isyarat padanya untuk diam. Edel pun menyanggupi. Pengurus
senat mengadakan rapat di ruang meeting. Edel dan Irina menunggu di ruang tamu.
"Hawanya dari tadi dingin banget kayak lagi ada hantu. Lo ngeliat ada hantu nggak Del?" tanya Irina mengusap-usap lehernya.
"Hah" Eng-nggak tuh. Mungkin hantu penunggu ruangan biasa kali. Gue sih nggak liat apa-apa yang nggak biasa" jawab Edel berbohong sambil melirik ke arah
pintu ruang meeting senat. Dia hanya bisa bungkam sambil menelan ludah saking nervousnya.
"Gitu ya?" ujar Irina menatap curiga Edel tapi tidak memaksa.
Hantu berseragam itu tiba-tiba keluar dari ruang rapat dan melirik ke arah Edel sebelum akhirnya berjalan keluar ruangan. Edel kaget dan ingin mengikuti
si hantu. "Rin, gue ke toilet bentar ya" Edel mengarang alasan dan pergi mengejar si hantu.
"Eh, Del tunggu! Loh kok buru-buru banget" Biasanya dia minta temenin. Aneh nih Edel" keluh Irina.
Di lorong tidak jauh dari ruang senat Edel berlari mencari si hantu. Dia akhirnya melihat sosok hantu itu berjalan menuju gedung fakultas komunikasi.
"Tunggu!" panggil Edel berlari menghampiri si hantu.
Hantu itu pun berhenti tanpa berbalik ke arah Edel.
"Kamu siapa" Kenapa kamu ngikutin kak Tristan dan kak Chacha?" tanya Edel sambil berusaha mengatur napasnya.
Tanpa menjawab si hantu berbalik. Edel terbelalak saat membaca nama yang tertera pada nametag kemeja putih si hantu.
TRISTAN M. BECKER "Hah?" kamu?"" seru Edel sangat terkejut membaca nama Tristan ada pada si hantu.
"Kenapa kamu pake nama kak Tristan?"" tanya Edel.
Si hantu hanya menatap Edel lalu berkata "Lindungi Chacha". Kemudian lenyap.
"Tunggu!! Maksudnya apa?" Kenapa kak Chacha perlu perlindungan?"" seru Edel tapi si hantu sudah lenyap.
Edel bingung siapa si hantu dan maksud dari perkataan si hantu.
"Ini aneh banget. Siapa tuh hantu" Namanya sama persis kayak kak Tristan. Bukan. Itu emang nama kak Tristan. Bilang untuk ngelindungin kak Chacha juga
lagi. Aduh dimana ya" Gue coba awasin dulu deh tuh hantu. Siapa tahu dia bakal ngikutin kak Tristan lagi. Bisa jadi juga malah ngikutin kak Chacha karena
dia minta lindungin kak Chacha. Irina harus tahu masalah ini. Dia mungkin punya solusi" keluh Edel dalam hati kemudian berbalik berlari kembali ke ruang
senat. Keesokan paginya. Fakultas komunikasi universitas Acropolis.
Chacha dan Angel memasuki kelas sambil tertawa membahas masalah phantom opera kemarin yang mereka anggap bahan candaan. Tawa mereka terhenti saat melihat
kerumunan mahasiswa mengelilingi kursi yang biasa ia dan Angel tempati.
"Eh, ada apa nih?" tanya Chacha.
"Chacha Angel. Sumpah ini bukan kerjaan kita-kita" sahut salah satu teman sekelasnya dengan ekspresi takut.
"Maksud lo apa?" tanya Chacha bingung.
"Ini Cha" tunjuk temannya yang lain ke arah kursinya dan memberikan Chacha dan Angel untuk maju melihat.
Kursi dan meja Chacha seperti dirusak dengan benda tajam. Kursinya sobek dengan robekan panjang melintang diagonal. Mejanya penuh sayatan benda tajam dan
tulisan tinta merah penuh kata 'Dead'. Bahkan salah satu kaki kursi berbahan besi itu bengkok parah seperti dihantam dengan benda keras. Chacha dan Angel
ternganga melihatnya. Herannya lagi hanya kursi Chacha yang mengalami kondisi mengenaskan itu. Disebelahnya kursi Angel masih dalam keadaan normal tanpa
tersentuh. "Ini apa-apaan?"?" seru Chacha shock.
"Ada yang liat nggak kira-kira ini kerjaan siapa?" tanya Angel bertanya pada rekan-rekan sekelasnya.
"Nggak tahu Ngel. Waktu kita dateng kondisinya udah kayak gini. Mungkin kalo dicoba cek pake cctv bisa ketahuan kali. Tapi sumpah beneran bukan kita-kita"
jawab salah seorang teman mereka yang bernama Thalia.
"Oke thanks ya. Kita nggak nuduh kalian kok. Cha kita cari kursi baru buat lo dulu aja yuk nanti selesai kelas kita ke ruang senat buat liat rekaman cctv.
Ajak yang lainnya juga" ujar Angel berusaha menenangkan Chacha yang shock.
Selama jam pelajaran keduanya tidak bisa konsentrasi. Terutama Chacha yang jadi sasaran. Dia kembali mengingat masalah Phantom opera dan surat dari Dastan
yang diterima Tristan. Entah kenapa dia merasa ada keterkaitan antara keduanya. Timingnya terlalu tepat jika tidak ada hubungannya.
Dilain pihak Edel dan Irina mengkhawatirkan masalah lain terkait hantu bernametag Tristan. Edel sudah menceritakan semuanya pada Irina. Mereka merasakan
firasat buruk kenapa bisa ada hantu yang menggunakan nama Tristan sedangkan ada orang hidup yang menggunakan nama tersebut. Cuma satu hipotesa yang bisa
disimpulkan. Salah satu dari keduanya pasti asli sedangkan yang satunya adalah palsu. Sayangnya selama ini mereka belum pernah menghadapi setan tukang
bohong. Tapi apa bisa mereka beranggapan bahwa Tristan yang selama ini mereka kenal itu bukan Tristan yang asli. Rasanya hal itu masih sangat janggal kalau
memang benar terjadi. Edel dan Irina menguntit gerak-gerik Tristan dari jauh secara sembunyi-sembunyi.
"Hantunya ada di deket kak Tristan, Del?" tanya Irina.
"Nggak ada Rin. Apa mungkin hantunya nggak muncul lagi ya?" ujar Edel.
"Kalau masalahnya belum kelar ya nggak mungkin pergi biasanya" jawab Irina.
"Oh iya mungkin dia sekarang sama kak Chacha. Kemarin dia minta gue ngelindungin kak Chacha. Kita ke kak Chacha yuk" ajak Edel dan mereka pun segera melesat
menuju fakultas komunikasi.
Tristan dan Nico tengah asik membahas materi kuliah mereka dikelas sambil menunggu dosen datang.
"Gue ke toilet bentar ya Co" ujar Tristan pamit ke toilet.
Selesai melakukan 'urusannya' di toilet dan cuci tangan di wastafel, handphonenya bergetar. Pesan teks masuk dari nomor tak dikenal. Penasaran, ia pun
membuka pesan tersebut. ================================
Temui aku di danau belakang fakultas sastra jam 2 siang.
Dastan ================================
Tristan membelalak kemudian mencoba menelepon nomor tersebut. Setelah tiga kali bunyi tanda tersambung, telpnya pun diangkat.
"Halo" suara dalam yang renyah menjawab panggilan telp Tristan.
"Kak Dastan! Ini beneran lo?"" seru Tristan memburu.
"Kalau kamu mau tahu benar atau tidaknya segera temui aku di danau belakang gedung sastra jam 2 siang nanti, Tristan" kemudian sambungan pun terputus.
"Kak tunggu!! Cih..!" Tristan mengumpat kemudian berlari menuju lokasi yang diminta.
Chacha dan Angel bermaksud menuju ruang senat untuk mengecek cctv loker kelas mereka tanpa sepengetahuan para cowo. Namun mereka mampir terlebih dahulu
ke ruang klub fotografi untuk mengambil kamera Chacha dan pamflet lomba fotografi yang ditinggalkannya disana. Begitu sampai di ruang klub, Chacha segera
menuju loker khusus miliknya dan Angel menunggu di ruang tamu sambil melihat-lihat hasil foto anggota klub yang dipajang di papan khusus.
"Wahh..keren-keren Cha hasil foto anggota lo. Bisa juara nih kayaknya kampus kita. Team kita pilih tema yang mana?" seru Angel senang melihat hasil foto
yang dipajang. "Weiss..jangan salah Ngel. Itu hasil kerja keras berminggu-minggu. Kita pilih yang back to nature jadi harus banyak menjelajah ke alam. Itu masih belum
fix. Mau ditambahin lagi sebelum kita sortir ulang dan finishing. Weekend ini kita jalan lagi ke daerah jabar buat cari objek bagus" ujar Chacha sambil
membuka kode lokernya. Begitu ruang loker dibuka salah satu loker pertama dari kiri di deret teratas dalam keadaan terbobol dan sudah berantakan. Barang yang disimpan didalamnya
dirusak termasuk kamera dan pamflet yang hendak diambilnya. Sekeliling loker di sayat-sayat dan penuh tulisan dengan tinta merah membentuk kata 'dead'
atau 'you will die'. Sontak Chacha pun terkejut dan berteriak "Ini apa lagi sih!!! Kerjaan siapa?"?" seru Chacha.
Angel ikut terkejut mendengar teriakan Chacha, kemudian berbalik dna menghampiri untuk melihat apa yang terjadi.
"Kenapa Cha" Oh my God" seru Angel membelalak sambil menutup mulutnya. Keduanya saling beradu pandang dan kembali menatap isi loker Chacha yang hancur
berantakan. "Kita harus cerita ke yang lainnya. Ini udah neror namanya" ujar Angel mulai sedikit takut.
"Kita suruh anak-anak ke ruang senat aja. Sekalian kita liat cctv di loker kelas kemaren sama ruang fotografi yang ini. Yuk" ajak Chacha setuju untuk memberitahu
yang lain. Dia pun mencoba menghubungi Tristan berkali-kali tapi tidak diangkat. Dia pun hanya bisa meninggalkan pesan chat pada Tristan untuk berkumpul
di ruang senat. Angel menghubungi Nico karena Tristan tidak mengangkat handphonenya. Begitu mendengar penjelasan Angel, Nico Bastian dan Bara melesat menuju ruang senat.
Disana Chacha dan Angel sudah melihat rekaman cctv duluan. Pada rekaman di ruang loker tempat Chacha menerima surat sajak dari phantom opera kemarin.
Mereka pun melihat rekaman cctv sesaat sebelum phantom opera kemungkinan menaruh surat berisi sajak, kelas Chacha dan Angel sesaat sebelum pengrusakan
meja Chacha dan di ruang loker klub fotografi untuk melihat siapa pelaku yang meneror Chacha. Pada rekaman cctv terlihat seorang wanita mengenakan pakaian
serba gelap dan topi biru gelap masuk ke kelas dan ruang loker fotografi Chacha namun rupanya wanita itu tahu ada kamera cctv sehingga dia menutup kamera
cctv dengan selotip hitam sebelum melakukan aksinya. Kemungkinan besar dialah yang melakukan pengusakan pada meja dan loker Chacha. Namun yang menaruh
surat sajak phantom opera pada loker Chacha tidak terekam apa-apa sampai Chacha dan Angel datang dan menemukan surat berkertas hitam itu.
"Pelakunya cewe" Siapa dia?" ujar Chacha heran. Dia tidak kenal sama sekali dengan wanita di rekaman cctv.
"Haters lo kali Cha" ujar Angel berasumsi bahwa kemungkinan wanita itu salah satu dari oknum yang tidak menyukai Chacha. Well, tidak hanya penggemar, yang
tidak suka dengan geng halfblood juga banyak. Dibalik popularitas pasti ada pihak yang ingin menjatuhkan. Itu sudah hukum alam.
"Buat ukuran haters Chacha cewe itu tergolong tua ya. Dari posturnya kayak udah ibu-ibu gitu" timpal Bastian memicingkan matanya untuk lebih seksama memperhatikan
sosok si pelaku meski tampilannya terbatas.
"Gue setuju sama Bastian. Kalaupun ini cewe posturnya aja yang kayak ibu-ibu tapi umurnya muda, gue yakin dia bukan mahasiswi Acropolis" Tambah Bara menunjuk
ke rekaman si pelaku. "Anehnya yang bagian surat di loker kelas lo itu nggak ada rekaman siapa yang naro Cha. Beneran kayak tiba-tiba udah muncul aja disitu. Pelakunya nggak
satu orang gue rasa" ujar Nico menebak bahwa pelaku yang menteror Chacha lebih dari satu orang.
"Maksud lo si phantom opera itu pelaku satunya lagi selain si ibu-ibu itu?" tanya Chacha.
"Bisa jadi Cha. Kalau pelakunya satu orang kenapa dia nggak nyantumin nama phantom of opera di hasil pengrusakannya ke meja dan loker lo. Di cctv juga
phantom opera itu nggak ketangkep sebagai ibu-ibu tukang rusak itu kan?" tambah Bastian mendukung teori Nico.
"Eh, gue jadi keingetan sama suratnya si Dastan yang diterima Tristan deh. Aneh nggak sih menurut lo" Tiba-tiba si Tristan dapet surat dari Dastan dan
dihari yang sama juga Chacha dapet pesan aneh dari orang yang namain dirinya Phantom of the opera" Terlalu kebetulan" ujar Bara.
"Bener Bar. Gue sempet kepikiran gitu juga. Nah by the way si Tristan kenapa nggak nongol-nongol nih" Biasanya dia paling pertama melesat kalau denger
ada masalah sama Chacha" tanya Angel heran oleh ketidakhadiran Tristan.
"Tadi pas dikelas bilang mau ke toilet tapi nggak balik-balik sampe sekarang. Pas denger kabar dari kamu sama Chacha ya aku pikir dia udah dikabarin duluan
dan melesat ke sini ternyata nggak. Udah coba dihubungin Cha?" tanya Nico.
"Udah tapi nggak diangkat. Kemana ya dia" Gue telp lagi deh" ujar Chacha mencoba menelpon Tristan lagi.
Di sisi lain saat semua geng halfblood sedang berada diruang senat, Tristan pergi ke samping danau belakang fakultas sastra. Dia datang menemui Dastan
sesuai informasi yang diterimanya. Disana terlihat seorang pria kira-kira umurnya 22 atau 23 tahunan. Pria berjaket hitam dengan berbahu tegap itu berdiri
menghadap danau. Rambut hitam lurusnya berkibar terkena terpaan angin. Topi hitam yang beberapa menit sebelumnya ia kenakan, sekarang berada di genggaman
tangan kirinya. Celana jeans hitam memamerkan kaki jenjang si pria. Dari posisi memunggungi saja sudah terlihat menarik perhatian terutama jika yang melihatnya
adalah kaum hawa. Jantung Tristan seketika berdegup kencang begitu melihat sosok pria berpakain serba hitam dan abu-abu itu. Apakah benar itu Dastan, Kakak yang selama 9
tahun ini menghilang tanpa kabar" Pertanyaan tentang kebenaran identitas si pria meletup-letup dalam kepalanya bersamaan dengan keinginan untuk segera
melihat wajah pria yang mengaku sebagai kakaknya. Dengan langkah hati-hati Tristan berjalan mendekati si pria.
Setelah jarak antara mereka hanya sekitar 2 meter, Tristan menghentikan langkahnya namun si pria berjaket hitam itu belum berbalik menghadapnya.
"Kak Dastan" panggil Tristan mengkonfirmasi bahwa dia sudah tiba.
Mendengar namanya dipanggil, pria itu berbalik menghadap si pemanggil. Wajahnya tampan dengan alis lurus panjang dan berhidung mancung. Mata setajam elang
menatap ke arah Tristan. Hati Tristan langsung mencelos begitu melihat wajah yang hampir serupa dengan wajah miliknya itu. Matanya membelalak saking terkejutnya. Tubuh dan kerja
otak Tristan membeku selama beberapa detik.
Dastan cukup puas melihat kekagetan di wajah Tristan.
"Lama tidak bertemu. Apa kabar Tristan?" ujar Dastan lalu senyum misterius merekah dibibir tipisnya.
Tanpa disadari keduanya, hantu anak laki-laki bernametag Tristan ikut menyaksikan pertemuan mereka. Hantu itu menatap Tristan dengan tatapan sedih dan
beralih menatap Dastan dengan tatapan benci.
Misteri identitas antara ketiganya berputar seperti pusaran angin yang belum jelas arahnya. Salah satu diantara tiga mata angin adalah pemilik identitas


Ghost Campus Karya Crimson Azzalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

palsu dan dua lainnya kemungkinan menyandang identitas yang salah. Kemana pusaran angin ini akan bermuara"
09. Identity Crisis And Secret Bloodline
Tristan terpaku. Matanya mengamati setiap jengkal wajah Dastan untuk mencari kebenaran apakah benar laki-laki dihadapannya ini adalah kakaknya, Dastan.
Rasa penasaran dan janggal sempat terbersit dihatinya.
"Lo benar kak Dastan?" tanya Tristan sedikit curiga.
"Kamu mencurigaiku Tristan" Sangat wajar karena aku menghilang cukup lama. Untuk membuatmu percaya, kamu bisa mengajukan pertanyaan dan aku akan menjawabnya.
Silahkan kamu bertanya tentang hal yang hanya diketahui Dastan yang asli" ujar Dastan.
"Kak Dastan punya bekas luka yang cuma gue dan ortu yang tahu. Kalau lo emang kak Dastan, bisa lo tunjukkin bekas lukanya?" ujar Tristan dengan nada sedikit
menantang. Mendengar permintaan Tristan, Dastan tersenyum lalu membuka jaket hitamnya.
"Kamu lebih waspada dari yang aku duga. Tapi bagus. Jadi kamu tidak mudah dibohongi orang. Sebagai kakakmu aku cukup bangga" ujar Dastan sambil melepas
kaus abu-abu gelapnya melewati kepala lalu berbalik menunjukkan punggungnya ke arah Tristan.
"Bekas luka ini yang kamu maksud kan" Bekas jahitan akibat luka karena penculikan saat kita masih SMP dulu. Kita berhasil melarikan diri berdua tapi dalam
perjalanan kabur kita dikejar oleh para penculiknya. Agar bisa selamat kita berdua nekat melompat dari jembatan ke sungai. Untuk melindungimu punggungku
terbentur batu hingga luka saat berenang di sungai. Luka robek dipunggung yang cukup dalam dan panjang" tutur Dastan menjelaskan detail asal muasal bekas
luka melintang di punggungnya.
Tristan menyimak penuturan Dastan sambil menatapnya dengan tatapan menilai.
"Masih ada yang ingin kamu tanyakan supaya kamu yakin bahwa aku benar-benar kakakmu Dastan?" tanya Dastan.
"Nggak ada. Pertanyaan tadi cuma bisa dijawab sama kak Dastan yang asli. Welcome home brother!" ujar Tristan kemudian memeluk Dastan dengan pelukan gentle
khas kakak adik. Dastan membalas pelukan sang adik dengan senyum puas. Tristan justru memasang wajah misterius dibalik punggung Dastan.
Hantu bernametag Tristan memandangi keduanya dengan sedih. Lalu menghilang.
Di ruang senat. "Tristan kok nggak angkat telpon sih?" Dia kemana coba?"" keluh Chacha mulai kesal karena Tristan tidak merespon panggilan dan pesannya.
"Jangan-jangan si Tristan ngelakuin sesuatu yang berhubungan sama Dastan?" ujar Bara curiga. Dia mengingat bagaimana jawaban aneh sahabatnya itu saat terakhir
mereka membahas masalah Dastan.
"Bisa jadi. Tadi dia cuma ijin ke toilet tapi nggak balik-balik. Mungkin aja ada pesan lain dari Dastan dan dia langsung bereaksi sendirian. Gawat kalo
bener gitu" ujar Nico merasakan firasat buruk tentang Tristan.
"Hah?" Emang ada apalagi tentang Dastan" Tristan cerita apa aja tentang Dastan ke kalian bertiga?" tanya Chacha cemas ada hal yang tidak dia ketahui.
"Emang dia belum cerita apa-apa tentang surat dari Dastan ke lo, Cha?" tanya Bastian.
"Udah sih kalo masalah surat itu. Cuma kok kalian kayaknya khawatir tentang sesuatu yang berkaitan sama Dastan dan Tristan" Kenapa emangnya?" ujar Chacha
merasa ada yang aneh dengan reaksi ketiga sahabatnya.
"Iya kalian bertiga kayak punya pemikiran sendiri masalah Dastan dan Tristan yang kita berdua nggak tahu" tambah Angel ikut curiga melihat respon tiga
cowo Halfblood di depannya.
"Kita nggak ada maksud nyembunyiin sih cuma emang baru dugaan aja belum jadi kejadian apa-apa. Awalnya dari cerita Tristan tentang pesan Dastan terus kita
bertiga punya satu pendapat yang sama. Gini ceritanya..." Nico pun menceritakan tentang pembahasan terakhir mereka bertiga dengan Dastan pada Chacha dan
Angel. Keduanya paham dan ikut setuju dengan opini ketiga sahabat mereka.
"Gue sih sependapat. Kemunculan Dastan yang serba tiba-tiba gini emang aneh bin ajaib banget. Menurut kalian ada hubungannya nggak sih sama kejadian aneh
yang dialamin Chacha" Kayaknya serba kebetulan aja" ujar Angel merasa kondisinya serba janggal.
"Menurut gue sih pasti ada hubungannya. Kalau nggak, kenapa semua sesuai coba" Yang kena serangan lain Chacha. Yang notebenenya tunangan Tristan. Kayak
dapet serangan dua arah, kan" Kalo gue jadi orang jahat yang mau ngejatuhin Tristan, sasaran paling jitunya yang jadi titik lemah dia ya Chacha. Masalah
Dastan kesannya kayak pengalih perhatian Tristan supaya dia lengah sama Chacha. Bener nggak tuh hipotesa gue?" tutur Bastian memaparkan dugaan tajamnya.
"Jadi maksud lo Dastan yang sekarang ngehubungin Tristan itu palsu" Kenapa lo bisa beranggapan gitu Bas" Buat apa dia pura-pura dan maksudnya apa coba?"
tanya Chacha mulai merasakan awan hitam seperti mengitari kepalanya.
"Ya gue belum tahu kalo masalah kenapanya. Yang jelas kedatangan Dastan dan teror phantom opera itu saling berkaitan. Teror yang kejadian sama lo juga
pasti salah satunya" jawab Bastian.
"Gue setuju sama hipotesa nih detektif amatiran. Kita harus selidikin masalah Dastan. Masalah lo kemungkinan imbas dari situ Cha. Lo harus extra hati-hati.
Semua masalah yang berhubungan sama Tristan pasti berimbas ke lo. Dari jawaban Tristan tentang Dastan, dia kayaknya bakal terus maju ngejar Dastan. Masalahnya
pasti jadi gede" ujar Bara memperingati Chacha.
"Kedepannya mending kalian bertiga tempel terus si Tristan. Gue takut dia ngelakuin tindakan nekat diluar sepengetahun kita. Kalau sasarannya Tristan ini
masalah serius. Berani pake nama Dastan targetnya pasti keluarga Becker. Yang gue heran buat apa nyelakain Chacha" Dia cukup bohong aja dengan pura-pura
jadi Dastan" ujar Angel bingung.
"Kemungkinan buat misahin Chacha sama Tristan kali. Influence terbesar buat Tristan kan Chacha. Kepastiannya sih kita masih menduga-duga antara keterlibatan
Dastan sama teror ke Chacha. Kita waspada untuk kondisi terburuk aja. Sementara Cha, lo jangan pernah sendirian. Bareng sama Angel terus selama kita bertiga
ngawasin Tristan. Gue jadi inget Tristan pernah bilang dia ngerasa diawasin. Bisa jadi emang belakangan ini ada yang ngintai dia sama lo" ujar Nico
"Gue kenal dia dari siapapun. Dia nggak bakal ngelakuin sesuatu tanpa alasan. Soal Dastan gue percaya dia pasti punya rencana" ujar Chacha percaya seratus
persen pada Tristan. Dia yakin pada keputusan yang akan diambil oleh tunangannya itu.
"Kita juga bukannya nggak percaya Cha. Cuma jaga-jaga aja. Diluar dari pengambil keputusan harus ada pihak lain yang nyiapin rencana cadangan buat jadi
pengaman kalo situasinya jadi terbalik dari perkiraan" tutur Bastian menjelaskan motif mereka agar Chacha tidak tersinggung dan beranggapan macam-macam.
"Tugas kita yang waspada dan mantau situasi. Tugas lo ngedukung Tristan disebelahnya. Kita semua percaya sama Tristan. Selalu. Sama kayak lo. Tapi kita
punya part yang berbeda karena kita sahabatnya dan lo adalah pasangannya. Partnya masing-masing. Kita mendukung dengan cara yang berbeda tapi tujuannya
sama Cha. Lo ngerti kan maksud kita?" ujar Nico menambahkan.
"Ngerti Co. Sorry gue kesannya jadi beranggapan kalian nggak percaya sama Tristan. Gue agak kecewa aja sih sebenernya karena Tristan nggak mau ngelibatin
gue dalam masalah Dastan. Salah gue juga sih nggak cerita masalah teror ini ke dia. Gue kira ini nggak bakal panjang gini jadinya. Egois nggak sih kalo
gue mau terlibat sama masalah Tristan dan Dastan?" ujar Chacha dengan nada kecewa.
Mendengar curahan hati Chacha membuat keempat sahabatnya terpana. Mereka tidak menyangka Chacha akan merasa kurang dipercaya Tristan karena masalah saat
ini. Angel merangkul bahu Chacha penuh simpati.
"Kalo lo percaya keputusan yang diambil Tristan, lo juga harus percaya arti lo buat dia. Nggak mungkin Tristan nyisihin lo dari masalahnya. Dia pasti cerita
kalau waktunya udah tepat Cha. Lagian sikonnya juga lagi kacau kan. Lo perlu ketemu dan ngobrol empat mata sama dia deh" ujar Angel menghibur sahabatnya.
"Biarpun Dastan nongol dihadapannya juga kalo dia tahu lo kena teror begini dia nggak bakal pake mikir dua kali buat meluncur nyariin lo. Dia belum baca
aja pesannya" tambah Bastian.
"Iya sih dia selalu begitu. Paling hapenya di mode silent lagi. Kita cari aja yuk pake cctv" ujar Chacha mulai semangat lagi.
"Nah gitu dong. Ini baru Chacha tomboy kita" ujar Bara menepuk bahu Chacha.
Mereka lega Chacha kembali semangat. Dengan rekaman cctv mereka mencari keberadaan Tristan di kampus.
Edel dan Irina muncul di ruang senat mencari Chacha. Sambil mengatur napas sebelum masuk, keduanya juga mengatur alasan agar tidak memancing kecurigaan.
Edel mengetuk pintu ruang senat. Angel yang mendengarnya menghampiri keluar kemudian mempersilahkan keduanya masuk hingga ke ruang cctv. Melihat kedatangan
mereka berdua cukup mengherankan geng halfblood karena ini ditengah jam perkuliahan tingkat 1.
"Loh Edel Irina" Kok kalian kesini" Udah nggak ada jam kuliah?" tanya Bastian kaget dengan kedatangan keduanya termasuk Bara.
"Kita ada kelas sih tapi dosennya mendadak nggak bisa hadir. Gitu kak.." jawab Irina mengarang alasan.
"Ooh..kosong. Tumben kalian main kesini. Ada masalah?" tanya Bara menangkap kegelisahan diraut wajah keduanya.
"Nggak ada kak. Tadi kita denger kabar katanya ada yang ngerjain kak Chacha makanya kita penasaran dan main kesini" jawab Edel sembari melirik ke sekeliling
ruangan mencari kehadiran hantu bernametag Tristan terutama disekitar Chacha. Gelagat aneh Edel tertangkap oleh radar super canggih Bastian namun dia mencoba
memperhatikan lebih dulu dalam diam, menunggu Edel bersedia menceritakannya sendiri.
Irina sedikit terkejut karena Edel tidak langsung menceritakan masalah hantu bernametag Tristan itu pada geng halfblood tapi. Sudah terlanjur bersandiwara
dia pun jadi mengikuti saja.
"Kak Chacha nggak kenapa-kenapa kan" Pada bilang kakak di teror. Bener kak?" tanya Irina melanjutkan sandiwara yang dimulai Edel.
"Iya nih Rin, Del. Pertama ngirim email dan surat pake nama Phantom Opera terus ngerusak meja dan loker di ruang fotografi punya kakak. Dikasih tulisan
mati gitu. Freack deh pokoknya" jawab Chacha menceritakan secara singkat tentang teror yang dialaminya.
"Serem banget kak. Kak Tristan udah tahu?" tanya Edel mengarahkan pertanyaan ke Tristan.
"Eh iya kak Tristan nggak ada ya. Tumben" tambah Irina sedikit canggung.
"Tahu nih dari tadi ditelponin sama chat nggak dibales dan angkat. Ini lagi kita stalk pake cctv. Kalian liat dia nggak?" ujar Chacha.
Edel dan Irina langsung bertukar pandang dengan khawatir mendengar Tristan tidak ada kabar.
"Nggak liat kak" jawab keduanya. Kegelisahan mereka bertambah. Mengingat hantu bernametag Tristan yang sedang mereka cari. Menangkap kegelisahan keduanya,
Bastian semakin yakin ada yang aneh pada mereka.
"Kemana coba si Tristan?" Cubit nih kalo ketemu!" celoteh Chacha sambil melihat cctv mencari keberadaan Tristan. Angel dan Nico ikut membantu disebelahnya.
Bastian dan Bara mengatur pergantiannya secara teknikal.
"Kok tumben kak Tristan ngilang gitu kak?" tanya Edel dengan sangat hati-hati mencoba mengajukan pertanyaan memancing. Dia penasaran apa ada sesuatu yang
bisa menjadi petunjuk mengenai identitas Tristan. Irina langsung terkejut dengan pertanyaan Edel yang lumayan berani. Tangannya langsung berkeringat saking
nervousnya. Mendengar pertanyaan Edel semua geng halfblood yang tadinya menghadap cctv dan mesin kontrol cctv langsung berhenti dan berbalik menatap ke arah Edel dan
Irina. Mereka terkejut lalu saling bertukar pandang. Mengisyaratkan apakah masalah itu perlu diberitahukan pada keduanya" Chacha yang pertama memberi kode
setuju. Angel maju duluan sebelum diselak Bastian atau Bara untuk memberikan penjelasan.
"Jadi gini Del, Rin. Tristan sebenernya emang lagi ngadepin masalah yang berhubungan sama kakaknya. Ceritanya..."Angel menceritakan tentang Tristan dan
Dastan. Bastian dan Bara menambahkan mengenai jawaban Tristan. Nico juga sedikit menjelaskan dugaan keterkaitan masalah Dastan dengan teror yang diterima
Chacha. Usai mendengar penuturan geng halfblood tentang masalah Dastan dan dugaan keterikatannya dengan phantom opera juga teror Chacha, keduanya semakin merasakan
firasat buruk. Peringatan yang diberikan hantu bernametag Tristan itu seperti berubah jadi kenyataan. Siapa sebenarnya hantu remaja itu" Pikir mereka.
"Rumit juga ya kak. Kak Tristan ternyata punya kakak namanya kak Dastan dan dia pergi pas umur 14. Susah emang buat ngira-ngira mukanya kayak gimana setelah
9 tahun" ujar Irina termangu-mangu bingung dengan teka-teki antara Dastan, Tristan hidup dan hantu Tristan. Ruwet banget, pikirnya.
Edel sama bingungnya dengan Irina. Teka teki yang tadinya cuma dua sekarang berubah jadi tiga. Gawat kalau letak kebohongan identitas yang mereka duga
benar. Lebih gawat lagi kalau kebohongannya lebih dari satu identitas.
Bastian terus mengamati raut wajah Edel. Matanya sedikit memicing seakan berusaha mempertegas penglihatannya. Siapa tahu bisa membaca apa yang dipikirkan
Edel. Sebuah ide terlintas dibenak Irina namun dia menahannya agar dibicarakan berdua saja dengan Edel. Irina memberikan isyarat kepada Edel dengan mencoleknya
sedikit. Mereka bertemu pandang dan via kontak mata saling memberi signal untuk keluar.
"Oh iya kak, kita balik ke kelas dulu ya. Habis ini ada kelas lagi" ujar Irina memulai alasan agar mereka bisa pergi.
"Bener Rin. Untung diingetin. Kita berdua pamit dulu ya kak. Makasih kita jadi tahu masalah pribadinya kakak. Kita bakal jaga baik-baik rahasianya. Bye"
ujar Edel kemudian bergegas akan meninggalkan ruang senat bersama Irina.
Kelima anggota geng halfblood terpana melihat keduanya yang seakan pergi dengan tergesa-gesa. Angel, Bastian dan Bara yang paling heran melihat keduanya.
"Loh buru-buru amat. Dosennya killer deh pasti" sahut Chacha heran.
Suara handphone Chacha berbunyi. Terlihat ada panggilan masuk dari Tristan. Tanpa basa basi Chacha kemudian mengangkatnya.
"Halo Chacha?"" suara penuh khawatir Tristan. Begitu membaca isi pesan Chacha, Tristan terkejut dan langsung bergegas ke ruang senat bersama Dastan.
"Tristan Maximillian Becker!! Kamu kemana aja dari tadi?" Aku sama yang lain nyariin. Jangan kayak bang toyib dong ngilang nggak balik-balik!" seru Chacha
yang sebal setengah mati karena Tristan tidak ada kabar.
Tristan sedikit kaget mendengar suara kesal tunangannya itu. Memang dia juga salah sih, pikir Tristan. "Maaf Cha, tadi aku lagi ketemu kak Dastan dan handphonenya
masih silent. Kamu masih di ruang senat sama yang lain" Kamu nggak apa-apa kan?"" tanta Tristan menghujani Chacha dengan pertanyaan.
"Hah?" Kamu ketemu Dastan" Sekarang ini" Dimana" Aku masih diruang senat kok sama anak-anak" ujar Chacha gantian terkejut saat mendengar nama Dastan.
"Ceritanya panjang. Aku kesana sekarang sama kak Dastan. Jangan kemana-mana. Stay sama yang lain. Ok?" ujar Tristan lalu menutup telponnya dan meluncur
menuju ruang senat diikuti Dastan. Senyum tipis samar-samar terlihat di raut wajah Dastan. Entah apa yang tengah ia rencanakan. Ia menyusul sang adik dengan
kecepatan lari yang sama cepatnya.
Di taman berjarak beberapa blok dari ruang senat, Edel dan Irina tergopoh-gopoh mencari tempat yang aman untuk bicara. Hingga akhirnya mereka memutuskan
berhenti di salah satu bangku taman yang sepi tidak ada siapapun. Sambil melihat sekeliling, mereka duduk saling berhadapan lalu berbicara dengan suara
yang direndahkan beberapa oktaf.
"Rin, Lo pasti mikir sama kayak gue kan?" tanya Edel.
"Iya sama. Ini ada yang nggak beres antara kak Tristan, kakaknya Dastan itu sama hantu kak Tristan. Duh, nyebutinnya aja udah rancu tuh boro-boro nyimpulinnya
deh. Ruwet" ujar Irina sedikit frustasi.
"Bener banget. Firasat gue makin nggak enak. Apalagi sampai kak Chacha ikutan kena teror segala sama orang yang namanya Phantom of the opera itu. Kita
harus ngomong sama hantu kak Tristan. Nggak ada cara buat bisa manggil atau nyari hantunya emang Rin?" tanya Edel.
"Ada. Sebenernya gue juga udah kepikiran ke arah sana. Cuma kita harus siap sama konsekuensi kalo seandainya si hantu itu marah. Lo sanggup?" ujar Irina
khawatir. Edel diam sejenak sambil beradu tatap dengan Irina. Hantu makhluk gaib bukan manusia. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa marah. Manusia kalau marah bisa
ditenangkan. Kalau hantu" Sama atau tidak" Menghadapi hantu yang tidak marah saja sudah ngeri apalagi hantu yang marah. Seperti apa jadinya" Pikir Edel.
Di situasi sekarang, dia lebih takut jika Chacha yang menjadi sasaran empuk. Mereka masih belum bisa memastikan bahwa bukan si hantu itu pelaku terornya.
Yang jelas hantu Tristan pasti tahu sesuatu dan mereka perlu mengetahuinya. Demi mendapat kejelasan, Edel mengumpulkan keberaniannya.
"Gue sanggup, Rin. Kita coba aja cara yang lo maksud" jawab Edel.
Irina tersenyum melihat Edel yang sebenarnya takut memaksa berani demi membantu geng halfblood.
"Oke kalau lo nyanggupin. Pertama kita harus balik ke rumah gue dulu ambil sesuatu. Naik taxi aja yuk biar cepet" ajak Irina. Mereka berdua pun berlari
menuju pintu gerbang kampus.
Ruang senat. Tristan menyerbu masuk dan langsung mencari-cari Chacha. Mendengar suara panik Tristan, semua geng halfblood keluar dari ruang cctv. Begitu melihat Chacha,Tristan
menghampirinya. "Kamu baik-baik aja kan" Aku panik baca pesan katanya ada yang neror kamu pake ngerusakin barang punya kamu dan pake pesan mati segala!" ujar Tristan memegang
kedua bahu Chacha dengan napas memburu usai berlari tadi sambil melihat kondisinya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Memastikan tidak ada cacat sedikit
pun. "Aku nggak apa-apa. Kamu tuh yang kenapa-kenapa. Ditelpon nggak ngangkat. Di chat nggak bales. Nyebelin banget!" keluh Chacha mencubit kedua pipi Tristan
dengan wajah cemberut. "Iya maaf banget. Lupa tadi aku silent karena buat di kelas. Terus dapet pesan dari kak Dastan buat ketemu. Suwer deh" ujar Tristan balas mencubit hidung
Chacha. Kebiasaannya saat melihat wajah cemberut Chacha.
"Lo bikin parno aja Tan. Bilang mau ke toilet tapi nggak balik-balik ke kelas sampe kelas bubar. Kabarin kek" ujar Nico ikut protes.
"Lo ke toilet di kota sebelah kali ya baru nongol sekarang. Chacha sampe tracking jidat lebar lo itu pake cctv. Gue sama yang lain ikutan melototin cctv
sekampus. Setiap lima menit sekali si Chacha ngedumel. Udah kayak baca mantra. Yang pusing gue disebelahnya tadi. Makanya hape jangan disuruh diem pake
mode bisu dong. Jadiin sumpel mulut Chacha aja mendingan biar berguna dikit" keluh Bastian mengetuk-ngetuk kepala Chacha dengan ekspresi sebal membuat
Chacha tambah cemberut. "Ya sorry Bas tadi rencananya mau gue pake buat nyumpel mulut bocor lo itu" ujar Tristan membalas ejekan Bastian.
"Lo beneran bikin heboh deh Tan. Kita jadi mikir yang aneh-aneh, kan" ujar Angel.
"Jangan bertindak sendiri kali Tan. Kalau ada apa-apa gimana mau bantunya"Ajak salah satu dari kita seenggaknya" ujar Bara menambahkan.
"Iya deh gue salah. Maaf banget ya guys. Next kalau ada apa-apa gue bilang deh. Yang tadi beneran nggak sengaja oke" Tristan meminta maaf. Dia jadi semakin
merasa bersalah karena bertindak sendiri tanpa memperhitungkan sahabat-sahabat terdekat. Terutama pada tunangannya, Chacha. Harusnya dia tidak hanya fokus
pada masalah Dastan tapi bisa mendukung dan melindungi Chacha yang sedang dalam bahaya.
"Aku minta maaf ya Cha. Maaf banget pas kamu butuh aku tapi aku malah terlalu fokus sama masalahku sendiri. Jangan ngambek ya?" ujar Tristan merangkul
bahu Chacha. Tristan sangat merasa bersalah.
Chacha mana bisa marah dalam jangka waktu lama pada tunangan sekaligus sahabat dari kecilnya itu. Meski masih mau merajuk, dia pun menganggukan kepala.
"Iya aku maafin. Kalau kamu gitu lagi, kamu aku hukum nemenin aku main ke Disney Land di Tokyo dari pagi sampe malem. Bodo amat" ujar Chacha.
"Mampus lo Tan! Gue nggak mau masuk itungan pokoknya" sahut Bastian dengan ekspresi horror.
"Gue juga ogah! Nggak pake bawa gue sama Bastian jadi bodyguard lo ya" sahut Bara dengan wajah ngeri. Dia dan Bastian kapok menemani Chacha bermain di
taman bermain. Kalau sudah di taman bermain, Chacha bisa seperti anak hiperaktif. Energik. Tenaganya tidak habis-habis. Bastian dan Bara pernah diajak
scratch digeret kesana oleh Chacha dari buka sampai malam. Berkali-kali memilih naik wahana extreme. Benar-benar uji nyali serta fisik kalau bermain kesana
dengan Chacha. Noo!! Satu lagi. Uji mental ngalahin acara uka-uka, tambah Bastian.
Angel dan Nico tertawa melihat tingkah unik keempat sahabatnya yang terus mempermasalahkan 'obsesi' Chacha pada taman bermain.
Saat geng halfblood asik bercanda, Dastan yang sejak tadi memperhatikan dari pintu pun akhirnya memutuskan masuk dan menghampiri mereka. Melihat kemunculan
sosok jangkung berpostur tegap proposional yang mengenakan pakaian serba hitam itu berhasil membuat geng halfblood terperangah. Meski mereka belum diberitahukan
bahwa ini yang bernama Dastan tapi mereka bisa menebak siapa orang yang baru muncul itu. Kemiripan wajahnya dengan Tristan menjadi identifikasi utama untuk
identitasnya. "Hai. Apa kabar Angel, Nico, Bastian, Bara dan...Chacha" sapa Dastan memberikan sedikit penekanan saat menyapa Chacha. Dastan memandang Chacha sedikit
lebih dalam dibanding yang lainnya. Tatapan misterius ini membuat Chacha sedikit jengah. Kenapa dia"Ada yang salah"Pikir Chacha. Perhatian janggal Dastan
tidak luput dari mata elang Tristan. Alarm tanda waspada seakan berbunyi dikepalanya. Untuk mengalihkan perhatian Dastan dari Chacha, Tristan maju sedikit
sehingga bahunya menutupi Chacha dari pandangan Dastan.
"Ini Dastan guys. Tadi gue cerita abis ketemu dia kan. Jadi gue ajak sekalian kesini"ujar Tristan memperkenalkan Dastan meski sebenarnya dia tahu sahabatnya
sudah bisa menerka siapa Dastan tanpa perlu diperkenalkan.
"Lama tidak bertemu. Kalian sudah dewasa semua. Thanks karena kalian bersama Tristan terus selama aku tidak ada" ujar Dastan.
"Eh, iya sama-sama.. Kak..Dastan"jawab Bastian sedikit gugup bagaimana harus bersikap di hadapan Dastan. Dia merasa tidak kenal dengannya. Begitu pun geng
halfblood lainnya. Baru saja selesai membahas masalah Dastan. Sekarang orangnya benar-benar muncul dihadapan mereka. Benar-benar mengejutkan. Perumpamaannya
ada yang menyiram dengan air seember dari atas lalu dengan wajah tidak bersalah mengatakan 'surprise'.
Disudut ruangan hantu bernametag Tristan mengamati interaksi Dastan dengan geng halfblood. Hantu bersosok remaja putera berseragam sekolah menengah pertama
itu menatap mereka dengan sorot mata kesal bercampur sedih. Sulit mendeskripaikan bagaimana arti tatapan pedih itu. Kemudian ia mengalihakan pandangannya
pada sosok lain yang sembunyi-sembunyi mengintai geng halfblood dari luar ruang senat. Dengan mengenakan pakaian gelap berwarna biru dongker dipadu hitam.
Dibalik topi biru gelap yang dipakai oleh sosok berpostur sedang itu ternyata dia adalah seorang wanita paruh baya. Umurnya mungkin sekitar 40an. Ia tersenyum
puas. Seakan apa yang diinginkannya bisa tercapai.
Si hantu terus menatap si wanita asing.
"Kenapa masih kamu teruskan keinginan jahatmu itu, ibu" gumam si hantu tertuju pada si wanita asing. Di genggamnya nametag dengan nama Tristan yang terpasang
pada saku seragam sekolahnya. Lalu menoleh ke arah geng halfblood yang sedang duduk bersama Dastan. Pandangan si hantu terfokus pada Tristan dan Chacha.
"Kalian tidak boleh percaya pada Dastan, please" Si hantu penuh harap agar geng halfblood jangan sampai percaya pada Dastan. Pesan yang sangat ingin dia
sampaikan namun tidak bisa. Terkendala ruang dan alam yang berbeda. Dia sedih kenapa situasinya menjadi semakin rumit dan berbahaya. Apa yang harus dia
lakukan" Pikir si hantu putus asa.
Pukul 15:10. Universitas Acropolis.
Taman belakang Fakultas Teknik.
Edel dan Irina sampai ke kampus. Mereka membawa tas tenteng berwarna merah terang berlogo huruf cina dengan motif burung phoenix. Tanpa basa basi, keduanya
bergegas menuju area belakang gedung fakultas teknik untuk memulai aksinya. Di bagian yang sepi tidak ada orang lalu lalang. Irina menatap ke sekeliling
untuk memastikan tidak ada yang melihat lalu mengeluarkn isi dalam tas tenteng yang dibawanya. Isinya sebuah papan berbentuk kotak dengan huruf cina kuno
disekelilingnya dan lambang keluarga Hong sebagai pusatnya di jantung papan yang Irina sebut bernama papan Hong.
"Kita mulai aja kali ya?"ujar Irina.
"Iya. Lebih cepat lebih baik biar kita cepet bisa pastiin hantunya. Ayo Rin"ujar Edel setuju.
Irina mulai membaca kalimat-kalimat dalam bahasa cina sambil memandangi papannya. Edel melihat tulisan disekeliling papan berubah jadi merah dan sedikit
demi sedikit muncul garis berwarna merah seperti benang tipis ke arah barat. Sekitar 10 menit kemudian sosok hantu bernametag Tristan itu muncul.
"Hantunya udah kepanggil Rin!"seru Edel memberitahu. Irina segera menaruh papannya di tanah.
Si hantu terkejut karena tertarik oleh papan Hong milik Irina. Dia menatap ke Edel dan Irina secara bergantian yang berada di kanan kirinya.
"Apa mau kalian menarikku kesini?" ujar si hantu.
"Maaf kita pakai cara pemaksaan untuk manggil kamu. Kita ada yang mau ditanyakan dan ini penting. Siapa kamu sebenarnya" Kenapa kamu pake nama kak Tristan
dan apa maksudnya kita harus ngelindungin kak Chacha" Nggak lama dari peringatan kamu itu, kak Chacha beneran kena teror"tutur Edel menjabarkan pertanyaan
mereka. Si hantu menatap Edel. Seakan sedang berpikir apakah dia bisa dipercaya atau tidak. Irina yang hanya bisa mendengar si hantu, sedikit merasa was-was. Dia
takut si hantu akan marah karena dipaksa untuk menjawab pertanyaan mereka yang mungkin saja dianggap si hantu sebagai pertanyaan super kepo.
"Aku hanya bisa mengatakan jangan percaya Dastan. Dia punya niat jahat. Chacha dalam bahaya. Tolong lindungi dia. Jauh-jauh dari Dastan" ujar si hantu.
"Dastan" Kakaknya kak Tristan" Emang dia disini" Niat jahat apa?"serbuan pertanyaan dari Irina. Kenapa hantu ini masih saja mengatakan hal yang ambigu
sih" Bikin penasaran saja, Pikir Irina.
"Tolong kasih tahu kita juga yang kamu maksud niat jahat itu tertuju ke siapa. Ke kak Chacha" Alasannya apa" Kenapa Dastan punya niat jahat ke kak Chacha"
Kita nggak bisa ngelindungin kak Chacha tanpa tahu motifnya. Please, kasih tahu kita" pinta Edel.
"Motifnya dendam. Ada satu orang wanita berbahaya yang mengincar nyawa Chacha untuk menundukkan Tristan. Tujuan utamanya Tristan. Hati-hati pada wanita
bernama Gendhis. Dia berada disekitar Chacha. Seperti hewan buas yang siap menerkam mangsanya. Hanya itu yang bisa kukatakan. Ingat-ingat perkataanku ini,
Edelwiss Irina" tutur si hantu lalu menghilang.
"Eh, tunggu!!" panggil Edel.
"Yahh..maksudnya apa sih" Hantu yang ini beneran deh kalo ngasih tahu setengah-setengah. Dia bilang Dastan jahat, kak Chacha dalam bahaya karena buat ngejatohin
kak Tristan. Lah kan dia pake nama Tristan juga. Dia siapa jadinya" Masa ada dua Tristan?" Siapa pula itu Gendhis?""ujar Irina frustasi karena merasa diajak
main tebak-tebakan. "Gendhis itu siapa ya" Malah nambah satu nama baru lagi. Kita harus gimana ya Rin?" ujar Edel tidak kalah bingungnya.
"Aduh pusing gue! Kita tanya aja kali ya sama geng halfblood. Siapa tahu kak Tristan itu dulunya punya sodara kembar terus meninggal, namanya Tristan.
Karena sedih, terus kembaran yang masih hidup dikasih nama Tristan deh" ujar Irina mulai ngelantur.
"Yee..sinetron banget! Jangan ngarang bebas ah" ujar Edel.
"Eh beneran Del. Siapa tahu gitu" tambah Irina malah ngotot.
"Udah ah jangan bikin dugaan palsu. Cukup masalah identitas palsu ini aja deh. Sekarang udah sore, bentar lagi pasti pada pulang. Besok kita coba awasin
kak Chacha dulu aja Rin. Yang pasti kan kak Chacha lagi diincer sama Dastan dan cewe nama Gendhis itu" usul Edel.
"Oke. Mungkin sekalian kita bisa tanya tentang Dastan dan Tristan palsu atau asli ini. Cabut yuk" ajak Irina memungut papan Hong miliknya di tanah rumput.
Kediaman keluarga Becker. Pukul 19:20.
Tristan pulang bersama Dastan. Selama perjalanan perasaan Tristan berkecamuk. Bingung bagaimana harus bersikap. Dia ragu pada Dastan yang ada disebelahnya.
Tapi dia juga tidak mungkin curiga tanpa bukti. Bagaimana kalau dia benar-benar kakaknya yang asli" Tentu tidak bisa dia tahan agar Dastan tidak bertemu
kedua orang tuanya. Sialnya waktu kemunculan Dastan sangat tepat dengan kedua orang tuanya yang sedang berada di Indonesia. Ini kebetulan atau kesengajaan
ya" Pikir Tristan. Belakangan banyak kejadian serba kebetulan yang berputar-putar disekitar mereka. Rasanya hidup tidak pernah setepat ini. Aneh. Dia harus
menyelidiki dan mengawasi gerak-gerik Dastan. Apalagi caranya memandang Chacha tadi siang juga tidak biasa. Ada niat lain yang pastinya dia tidak akan
senang jika sampai terlaksana dari Dastan. Sekalipun yang ini kakaknya yang asli, jika Dastan melakukan hal yang membahayakan Chacha atau geng halfblood,
dia tidak akan segan untuk ambil tindakan bertahan dan melawan.


Ghost Campus Karya Crimson Azzalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mobil Ferrari putih Tristan memasuki halaman rumah super megah keluarga Becker. Rumah berarsitektur khas Jerman dengan model perpaduan benteng klasik yang
dipadu padan dengan gaya modern itu menunjukkan jati diri pemiliknya yang berdarah jerman asli. Kesan tegas, berwibawa bercampur otoritas tinggi yang bangga
dengan identitas aristokrat. Seperti saat Hitler mengaku bangsa Arya(*) sebagai bangsa asli orang Jerman.
(*) Bangsa Arya adalah salah satu ras tertua di dunia yang originalnya tinggal di bagian utara india dan iran di jaman sekarang disebut juga ras indo-iranian.
Bangsa Arya menganggap derajat rasnya adalah yang tertinggi dari ras lainnya bahkan pada kasta hidup orang hindu, ras ini masuk pada kategori kasta ksatria
yang isinya merupakan raja dan tentara. Agama asli bangsa arya adalah hindu. Lambang bangsa Arya disebut Swastika yang diadopsi oleh Hitler menjadi lambang
bendera Nazi pada tahun 1930 dan juga diakui Hitler sebagai bangsa asli orang Jerman untuk bahan propaganda dunia. Pada abad ke 19 sampai awal abad ke
20 banyak teori yang menyebutkan bahwa bangsa Arya merupakan percampuran dengan ras indo-europian (Roman,Greek,The Germanian,Russian,Balts,Celts dan Slavs).
Namun pada kenyataan dari teori para arkeolog, teori yang lebih kuat bangsa Arya merupakan indo-iranian yang sekarang tinggal di india utara dan iran sampai
daratan gunung kaukasia di perbatasan Kazakhstan. Sedangkan indo-europian lebih dekat pada ras Nordic yang berfisik lebih superior dengan tubuh tegap,
kuat, berambut pirang dan beriris biru.)
Mobil Tristan berhenti di depan pintu masuk yang berjarak sekitar 3 meter dekat pancuran air bertingkat 3. Dia turun diikuti Dastan.
"Sudah lama sekali aku tidak pulang. Rumah ini banyak perubahan ya" ujar Dastan melihat sekeliling halaman depan rumah yang asri dan luas.
"Pastinya. Ayo kita masuk. Papa dan mama kebetulan sedang ada dirumah. Tadi gue telpon papa udah pulang. Yuk"ajak Tristan sambil mengamati Dastan.
Keduanya masuk dan disambut oleh para pelayan keluarga Becker. Para pelayan langsung terkesima melihat Dastan. Sebagian pelayan baru mungkin tidak tahu
mengenai Dastan namun pelayan lama pasti tahu dan bisa menebak siapa Dastan. Mereka berdua menuju ke arah ruang santai keluarga. Disana sudah ada ibu dan
ayahnya tengah menonton televisi sambil menyantap buah.
Tristan menarik napas sebelum maju melangkah mendekati kedua orang tuanya. Setelah ini jika ada yang salah dan situasi memburuk, maka orang tuanya tidak
akan bisa tidak dilibatkan. Terutama ibunya yang akan ikut terluka dan ayahnya yang akan bergerak ambil keputusan. Jadi panjang urusannya deh. Bukan hanya
jadi masalah geng halfblood saja. Dia harus extra hati-hati.
"Ma, Pa. Kak Dastan pulang" ujar Tristan.
Mendengar suara putera kesayangannya menyebut nama Dastan, sang ibu dan sang ayah yang bernama Hildergard menoleh ke arah mereka.
"Apa kabar Ma, Pa. Maaf baru bisa pulang" sapa Dastan menatap kedua orang tuanya yang membelalak terkejut melihat kepulangannya.
Sang ibu, Seruni berdiri dan berjalan menghampiri Dastan. "Anakku Dastan" suara lirih Seruni bersamaan dengan airmata seorang ibu yang jatuh sebagai tanda
haru. Seruni segera memeluk putera sulung yang sangat dirindukannya. Dastan membalas pelukan sang ibu. Hildergard yang masih terpana ikut bangkit dan berjalan
menghampiri keduanya. Seruni melepaskan pelukannya dan memberi sang suami kesempatan untuk memeluk puteranya yang telah lama hilang.
Tristan hanya bisa terdiam menyaksikan pertemuan sang kakak dengan orang tuanya. Bagaimana kalau kakaknya ini benar orang jahat" Bagaiman reaksi ibunya"
Bagaimana kalau sang ibunda shock" Lalu ayahnya bagaimana" Kalau dia tahu ada yang memanfaatkan nama Dastan untuk berbohong bisa masuk jalur hukum tingkat
berat nanti. Membayangkannya saja dia sudah ngeri, pikir Tristan. Posisi Tristan jadi serba salah. Maju kena mundur pun kena. Sudah kepalang basah, dia
terpaksa terus bersandiwara percaya pada Dastan. Dia perlu bukti identitas Dastan. Dia juga harus melindungi Chacha dan menyelidiki siapa wanita dibalik
teror yang diterima Chacha. Ini pasti tujuannya adalah dirinya. Chacha tidak pernah punya masalah selain konflik yang timbul karena statusnya sebagai tunangannya.
Seruni langsung memboyong sang putera ke meja maka untuk dicekoki berbagai makanan bergizi dan berkualitas tinggi. Dia komplain keras bahwa Dastan terlalu
kurus dan mungkin kurang makan. Tidak lupa dia memborbadir sang putera dengan seribu satu pertanyaan yang meletup-letup tentang kepergian dan hidup Dastan
selama tidak tinggal bersama.
Feeling kebapakan Hildergard terusik oleh sikap dan ekspresi puteranya yang kedua. Tingkah Tristan dianggapnya tidak biasa. Sebagai seorang ayah, dia bisa
merasakan ada hal yang mengganggu pikiran sang anak bungsu.
"Ada apa Tristan" You awfully silent this evening. Something wrong happen" " tanya Hildergard terus terang.
Tristan tersentak mendengar pertanyaan sang ayah yang tepat sasaran.
"No, Father. Everything is alright. Don't worry. Just tired and feeling weird with Dastan sudden appearance. Just it" jawab Tristan berusaha menyembunyikan
perasaannya. Hildergard tahu sang anak berbohong. Dia pun merasakan kejanggalan pada kemunculan sang anak sulung. Tapi tidak bisa mengatakannya saat melihat reaksi
sang istri yang begitu bahagia. Dia menebak bahwa Tristan juga pasti memikirkan hal yang sama dengannya tentang Dastan. Kedua laki-laki bermarga Becker
itu berkutat dengan pikiran mereka sendiri yang sedang menyusun strategi masing-masing.
Keesokan paginya. Tristan berangkat menjemput Chacha seperti biasanya. Ferrari putihnya meluncur memasuki kediaman keluarga Azuya yang bergaya Japanese.
Begitu sudah dekat pintu masuk rumah, Chacha sudah berdiri menunggu di depan pintu dengan wajah pucat dan gelisah. Dahi Tristan mengerut. Tumben sekali
tunangannya yang super tomboy ini sudah siap dan menunggunya di depan pintu. Pasti ada yang tidak beres, pikir Tristan. Langsung memarkirkan mobilnya tepat
di depan sang tunangan. Tanpa memberi kesempatan Tristan turun, Chacha langsung masuk ke kursi penumpang disebelah Tristan sambil membawa kotak berwarna
hitam didekapannya. "Ayo cepetan cabut, Tan"ujar Chaca buru-buru. Bibirnya dan wajahnya sepucat kertas. Dahi mulusnya bersimbah keringat dingin.
"Kenapa Cha" Kamu kok kayak panik?" tanya Tristan khawatir dan heran melihat kondisi tunangannya itu. Tangan Tristan menyapu peluh di dahi Chacha.
"Kita pergi dulu dari sini nanti aku ceritain. Ayo Tan cepet!" pinta Chacha berubah panik.
"O-oke. Kamu jangan panik dong sayang"sahut Tristan bertambah bingung. Perasaannya jadi tidak enak.
Setelah memacu mobilnya cukup jauh dari rumah Chacha, Tristan meminggirkan mobilnya di tepi jalan. Kemudian berpaling menatap Chacha untuk menagih penjelasan.
"Nah, jadi kenapa kamu panik kayak gini?" tanya Tristan cemas.
Chacha menyerahkan kotak hitam dipangkuannya pada Tristan. Air mata menggenang dipelupuk matanya. Mati-matian Chacha menahannya sejak melihat wajah Tristan
saat datang. Tristan menerima kotaknya dengan bingung lalu membukanya. Betapa terkejutnya dia saat melihat isi kotak hitam itu. Matanya membelalak lebar. Kotak itu
berisikan bangkai burung elang berbulu cokelat dan putih yang mati di tusuk berkali-kali dengan pisau. Darahnya memenuhi isi kotak itu. Dibagian dinding
kotak bagian dalam tertulis kata Death yang diukir dengan darah si elang yang malang.
Mulut Tristan sampai menganga melihat pemandangan mengerikan dari dalam kotak itu. Sekujur tubuhnya dingin, bulu kuduknya berdiri, bau darah yang cukup
menyengat menusuk indera penciumannya. Segera ia tutup kotak itu dengan perut mual.
"Kamu ngerti maksudnya apa kan" Ini dikirim ke rumah buat aku, Tan. Tadi subuh aku terima dan isinya kayak gitu. Aku kaget banget. Takut Tan" tutur Chacha
ketakutan. Tristan mencoba mengatur kembali ketenangannya dengan menarik napas dalam. Mengumpulkan kembali keberaniannya untuk memotivasi Chacha yang keliatan panik.
"Kita diskusiin sama yang lain. Kamu jangan panik ya. Aku sama anak halfblood pasti ngelindungin kamu. Pelakunya akan kita ringkus bareng-bareng. Jangan
takut oke" Ada aku sama yang lain" ujar Tristan menenangkan Chacha sambil menghapus airmatanya.
"Tan. Ini jelas-jelas kamu yang jadi inceran orang jahatnya. Liat deh ini bangkai elang. Burung elang artinya pemimpin. Leader geng halfblood kamu. Teror
yang aku alamin itu tujuannya kamu. Ini bisa aja peringatan kalo dia niat ngebunuh kamu! Sekarang cuma ngirim bangkai elang, besok-besok kalau dia beraksi
mau ngegorok leher kamu gimana coba?" Kenapa nggak lapor polisi aja sih?""ujar Chacha setengah histeris.
"Cha, tenang dulu. Jangan panik dan berpikiran kejauhan. Iya aku ngerti maksud kotak ini peringatan buat aku. Tapi lapor polisi juga bisa mancing orang
ini buat bertindak lebih nekat karena merasa terancam. Kita harus hati-hati. Nggak bisa gegabah main lapor aja,Cha. Percaya sama aku. Kita pasti tangkep
orangnya. Jangan panik. Jangan takut. Oke?" ujar Tristan menenangkan Chacha yang makin takut. Dipeluknya kepala Chacha untuk memberi support mental. Chacha
balas memeluk Tristan dan menangis menumpahkan ketakutannya di bahu lebar sang tunangan.
Universitas Acropolis. Tristan sudah memberikan pesan kepada semua geng halfblood untuk berkumpul di ruang senat secepatnya. Kode urgent diberikan pada status pesannya. Nico,
Bastian dan Bara memacu laju mobil mereka secepat mungkin begitu menerima pesan itu. Edel dan Irina yang dijemput oleh Bastian dan Bara jadi ikut cemas
mendengar Tristan memberikan kabar tidak enak di pagi hari. Seperti ada sesuatu yang telah terjadi. Mereka takut peringatan si hantu sudah terlanjut terjadi
duluan. Setelah Bastian dan Bara pamit menuju ruang senat, Edel dan Irina memutuskan memanggil kembali si hantu untuk mencoba membujuk lagi agar mau membantu mereka
usai perkuliahan selesai.
Di ruang senat geng halfblood berkumpul. Tristan menunjukkan kotak berisi bangkai elang cokelat yang dikirimkan untuk Chacha pada Angel, Nico, Bastian
dan Bara. Reaksi keempatnya tidak kalah terkejutnya.
"Ini udah serius Tan. Ini orang ngincer lo lewat Chacha!" seru Bara.
"Kita lapor polisi aja gimana?" saran Angel ketakutan melihat terornya semakin menjadi.
"Jangan dulu deh kayaknya. Kita nggak boleh buru-buru gitu. Nanti si begundal ini malah ngelakuin hal yang makin gila lagi. Tapi kita juga perlu perlindungan
buat Chacha dan Tristan sih" ujar Bastian mencoba mempertimbangkan efek samping lanjutannya.
"Lo punya dugaan nggak kira-kira siapa cewe yang sedendam ini sama lo, Tan?" tanya Nico.
"Pastinya nggak tahu. Cewe di cctv itu gue nggak kenal. Alasannya juga gue nggak bisa duga. Cuma ada satu orang yang ikut gue curigain juga dari awal"
jawab Tristan. "Gue tahu siapa yang lo maksud, Tan" Bastian menimpali. Yakin seratus persen pikiran Tristan sama dengannya.
"Siapa?" tanya Angel sambil mengusap-usap bahu Chacha yang duduk bersandar padanya.
"Kak Dastan" jawab Tristan. Singkat dan tajam.
Wajah keempat laki-laki geng halfblood berubah serius. Angel dan Chacha terkejut mendengar tuduhan Tristan.
"Bentar-bentar. Dastan" Buat apa dia neror aku dan berniat ngebunuh kamu" Kamu kan adiknya" ujar Chacha langsung menegakkan badan mendengarnya.
"Alasan lo nuduh kakak lo sendiri apa, Tan?" tanya Angel.
"Dia kayak bukan kak Dastan yang gue kenal. Dari awal gue cuma sandiwara percaya sama dia. Kepastiannya sih belum bisa gue jabarin" jawab Tristan.
"Bagian mana yang bikin lo yakin dia kayak bukan Dastan" Sesuai cerita lo kemarin, dia bisa jawab pertanyaan soal peristiwa penculikan lo dulu dan gimana
dia bisa dapet bekas luka di punggungnya itu. Bekas lukanya juga beneran ada dan mirip, kan?" tanya Bastian.
"Kak Dastan yang asli selalu ngucapin kalimat yang sama setiap kita ngebahas bekas luka dipunggungnya. Dia selalu bilang 'ini bukan salah kamu, jangan
merasa bersalah karena aku luka buat ngelindungin kamu, tugas kakak itu ngelindungin adiknya, selama ada kakak, kamu nggak boleh luka' itu yang selalu
dia bilang ke gue" jawab Tristan.
"Bener dugaan pertama kita, kan. Kalo kemunculan Dastan itu udah aneh. Sekarang dia dimana" Kok nggak ikut bareng lo?" tanya Nico.
"Dia ikut papa. Papa mau ngajak dia ke kantor. Nggak tahu ngapain" ujar Tristan.
"Hah?" Sama bokap lo" Nggak apa-apa tuh Tan" Dia kan lagi kita suspect jadi pelaku utama" ujar Bara.
"Bokap gue bukan orang yang butuh perlindungan kali. Justru dia lebih hebat dari kita buat urusan beginian. Lebih aman sama dia dibanding dia ikut gue
ke kampus" jawab Tristan.
"Bener sih. Papa Gard lebih mirip petarung dari pada kita. Aku lebih aman kalo sama dia dibanding sama kamu" ujar Chacha.
"Yee..kamu malah mihak papa daripada aku" ujar Tristan protes.
"Biarin. Papa Gard lebih manjain aku daripada kamu" tambah Chacha.
"Sama kayak mama Mira lebih manjain aku daripada kamu" balas Tristan memihak ibu Chacha.
"Eh, Tan. Kenapa lo nggak coba tes DNA aja sih buat mastiin dia kakak lo yang asli atau bukan?"usul Bastian memotong pertengkaran kecil Tristan Chacha
kembali ke topik utama. Tristan langsung terdiam mendengar ide Bastian.
"Bener tuh Tan. Dari pertama gue udah mau bilang gitu, tapi takutnya lo nggak mau dengerin gue. Tes DNA bisa jadi solusi. Kalau dia bukan Dastan asli,
lo bisa langsung proses hukum. Aman, kan?" tambah Bara.
"Gue pengen ngelakuin itu juga tapi sempet mikir apa nggak terlalu berlebihan ya sampe tes DNA segala. Tes DNA nggak segampang di film-film" jawab Tristan.
"Nggak ada salahnya lo coba. Nothing to lose aja Tan. Selama kita juga belum punya bukti kuat lainnya"tambah Nico.
"Gue juga setuju. Coba aja yuk Tan" ujar Angel.
"Kamu harus bilang kecurigaan kamu ke papa Gard sama mama Seruni. Ini masalah anak mereka satu lagi. Mereka wajib tahu Tan. Minta bantuan papa Gard buat
tes DNA Dastan" ujar Chacha.
"Aku bingung Cha gimana bilangnya ke papa terutama mama yang udah seneng banget kak Dastan akhirnya pulang" ujar Tristan.
"Iya sih. Lo nggak mungkin dengan gampangnya bilang 'pa, ma. Aku curiga kak Dastan mau ngebunuh aku lewat neror Chacha. Jadi aku mau tes DNAnya ya'. Bisa
pingsan mama Seruni" timpal Bastian menirukan kalimat yang mungkin diucapkan Tristan.
"Ke bokap lo aja dulu. Papa Hildergard pasti ngerti. Dia kan orang paling waspada yang pernah kita kenal. Bokap lo orang bijak, Tan" ujar Angel.
"Gue akan coba. Abis kelas jam pertama dan kedua gue cabut ke kantor papa. Kita ke kelas aja. Udah telat juga nih. Nanti gue kabarin lagi. Yuk, Co. Kita
anter Angel sama Chacha dulu. Gue nggak mau si brengsek tukang teror bertopeng phantom opera itu bikin ulah lagi" ujar Tristan menyudahi meeting darurat
mereka. Hantu Tristan mengamati pembicaraan mereka sejak tadi dari sudut ruang senat. Sayangnya tidak ada Edel yang bisa melihat keberadaannya.
"Kamu tidak akan bisa membuktikan identitas Dastan dengan tes DNA, Tristan" dalam hati si hantu lalu menghilang.
Edel dan Irina berlari meninggalkan kelas usai jam perkuliahan mereka selesai. Edel menelpon Chacha menanyakan keberadaannya dimana. Setelah tahu keberadaan
Chacha yang sedang menemani Angel latihan Cheerleader di aula 3 gedung olahraga, mereka melesat menuju kesana.
Aula 3 gedung olahraga. Chacha duduk di kursi samping lapangan. Para anggota Cheerleader berlatih untuk event olahraga yang akan diadakan tidak lama lagi. Angel sebagai ketuanya,
mengatur formasi dan gerakan anggotanya.
Dari arah atas ada sesosok orang yang bersiap menjatuhkan vas dari lantai atas arena latihan ke arah Chacha. Sosok misterius itu adalah Gendhis yang tengah
memegang vas besar berwarna biru. Dia melihat kearah Chacha dengan pandangan bengis tanpa ampun.
Hantu Tristan muncul bersamaan dengan Edel dan Irina yang baru tiba disana. Si hantu menatap Gendhis dengan tatapan tidak percaya dan panik. Dia berusaha
menghalangi tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena menyadari kehadiran si hantu, Edel dan Irina melihat kehadiran Gendhis lalu ternganga menyaksikan apa
yang ingin diperbuatnya. "Jangan!!" teriak Edel dan Irina bersamaan.
Gendhis yang kaget karena kehadirannya diketahui, langsung melempar vas ditangannya sekuat mungkin ke arah Chacha lalu berlari meninggalkan aula.
Angel mendengar jeritan Edel dan Irina, sontak menoleh dan melihat vas yang dilempar Gendhis meluncur kencang ke arah Chacha.
"Chacha awas!!!" teriak Angel.
Chacha mendongak ke atas dan langsung berteriak.
"Aaaaaahhhh!"teriak Chacha sambil menutup mata bersiap menerima hantaman vas itu.
Sekonyong-konyongnya Tristan muncul dan meluncur menyelamatkan Chacha sebelum terhantam vas dengan berguling ke samping sambil memeluknya.
"PPPRRRAAANNNGGG!"bunyi vas itu pecah menghantam lantai aula.
Angel, Nico dan yang lainnya berlarian menghampiri Tristan dan Chacha.
"Cha,Tan. Kalian nggak apa-apa?" tanya Angel dan Nico.
Edel dan Irina langsung berusaha mengejar ke arah Gendhis melempar vas tadi. Sayang pelakunya sudah berhasil kabur.
"Cha, kamu nggak apa-apa kan?"?" tanya Tristan sambil melepas pelukannya. Mengecek kondisi Chacha.
"Nggak..huuuu" kata Chacha gemetaran. Tidak mau melepas pelukannya pada Tristan saking shocknya.
Para mahasiswa yang ada disana seketika heboh membicarakan kejadian yang menimpa Chacha.
"Tadi ada yang sengaja ngelempar vas itu ke arah Chacha" kata Angel menunjuk ke arah yang dikejar Edel dan Irina.
"Pelakunya udah kabur kak!" teriak Irina dari atas tempat pelakunya.
"Pasti cewe di cctv itu yang berusaha nyelakain Chacha, ini masalah makin bahaya. Sekarang dia berusaha nyelakain langsung, Tan" kata Nico.
"Siapapun itu akan gue tangkep dan buat perhitungan!" kata Tristan yang marah. Dia memeluk Chacha yang menangis ketakutan.
Kisah Membunuh Naga 17 Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Soka Roh Jemputan 2

Cari Blog Ini