Ceritasilat Novel Online

Hati Yang Bertasbih 1

Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia Bagian 1


PROLOG Tidak ada seorang pun yang tahu cara kerja hidayah "Allah.
Begitu pula dengan cinta. Tidak ada satu manusia pun
yang tahu kapan dan bagaimana sebuah cinta bisa hadir
di antara dua hati yang sebelumnya tidak merasakan apaapa.
Hidayah dan cinta, keduanya adalah misteri. Mereka
tak dapat dimengerti hanya dengan menggunakan nalar
dan logika. Juga, tak begitu saja dapat dianalisis dan dijabarkan sebab-sebab terjadinya.
Dalam hidayah dan cinta, ada hati yang ikut berbicara.
Hati yang digerakkan oleh Allah. Karena Dialah pemilik
sang hati, dan hanya Dia yang berkuasa untuk membuat
sesuatu yang tak nyata menjadi nyata. Sedangkan manu*** sia, mereka hanya bisa menerima de"ngan berlapang dada
dan penuh sukacita. Namun, bagaimana jika kehadiran hidayah dan cinta
bukan membawa sukacita, melainkan duka yang tak ada
habisnya" Bagaimana jika kehadirannya malah tidak bisa diterima dengan berlapang dada" Bagaimana jika hidayah hadir
di saat manusia berkubang duka"
Bukankah salah satu hidayah Allah yang terindah di
dalam kehidupan manusia adalah cinta"
Pernahkah kamu merasakannya"
ain Yuna merasakan debar hebat melanda dadanya. Detak
jantungnya berirama sangat kacau. Ia tersengal-se"ngal
menahan gelora yang terus menggedor seluruh penjuru
hati"nya. Gelenyar aliran darah di tubuhnya yang semakin
cepat membuat Yuna nyaris tak bisa memikirkan apa
pun. Ia terpana di ujung tangga. Nyaris tak bisa bernapas
karena mendadak lupa bagaimana caranya menghirup oksigen untuk mengisi paru-parunya. Tubuhnya pun serasa
telah berubah menjadi boneka kayu. Kedua kakinya se"
perti terpaku di lantai hingga tak memiliki kemungkinan
untuk lari dari semua keanehan ini.
Alunan nada itu.... Tinggi, rendah, mengentak, melembut.
Bagai jeritan hati yang sedang mengadu.
Ayat-ayat itu.... Yuna memejamkan mata. Ayat-ayat itu menyelisip lembut ke dalam pori-pori hatinya. Membelai setiap luka yang
sudah bernanah di dalamnya. Ada kesejukan dalam setiap
belaiannya. Ada kedamaian yang belum pernah dirasakan
Yuna seumur hidupnya. Kedamaian ini..., bagaimana ia bisa meraihnya"
Tanpa bisa dicegah, hati Yuna ikut mengalunkan
nada yang sama. Di dalam hatinya, ayat-ayat yang tak dimengertinya itu mengisi kekosongan dirinya dengan cara
yang sangat indah. Ayat-ayat itu menimbulkan gelenyar
hangat yang menenangkan seluruh pembuluh darah di
dalam tubuhnya. Bagaimana mungkin" Ini tidak masuk akal! Yuna sadar, sesadar-sadarnya, agama apa yang saat ini
digenggamnya. Ayat-ayat yang mengalun indah di dalam
hatinya itu tidak pernah satu kali pun diajarkan di dalam
agamanya. "Aku bertasbih," sahut laki-laki itu ketika Yuna berta"
nya apa yang sedang dibacanya.
"Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah,
"Allahu Akbar."
Yuna membelalakkan matanya. Seluruh tubuhnya, dari
ujung kaki hingga ujung kepala, terasa di"ngin. Pertanyaan
demi pertanyaan berkelebatan di dalam kepalanya.
Bagaimana mungkin hatinya bertasbih"
BAB 1 Di Mana Tuhan" "Yun, berangkat jam berapa?"
Suara teriakan di kaki tangga menghentikan langkah
kaki Yuna. Ia memalingkan wajahnya dan menatap ke
arah Nita yang baru saja keluar dari kamarnya yang ber"
ada persis di sebelah tangga. Di tangan Nita tergenggam
gayung yang penuh dengan perlengkapan mandi. Sedangkan di bahunya terkalung handuk biru yang terlihat sudah
begitu kusam. Pasti temannya itu kesiangan bangun dan
baru akan mandi. Yuna pun merutuk dalam hati.
"Lima belas menit lagi," sahut Yuna akhirnya.
"Yah.... Tungguin bentar dong, Yun. Aku numpang. Kan
tempat kerja kita searah."
"Lima belas menit pokoknya, Nit. Aku nggak mau telat cuma gara-gara nungguin tuan putri yang dandannya
kelamaan," sela Yuna tak peduli. Ia sudah kembali melangkahkan kakinya menaiki tangga rumah kos berlantai dua
itu. "Haish, dasar janda, mulutmu tambah hari tambah
pedas aja. Pantas lakimu nggak tahan hidup sama kamu,"
gerutu Nita. Gerutu yang seketika itu juga kembali membuat langkah Yuna terhenti dan menganga setengah tak
percaya. "Hei! Kamu...." Yuna tak mampu meneruskan kata makian yang sudah berayun-ayun di ujung lidahnya.
"Sori.... Bercanda, Non. Jangan diambil hati!" teriak
Nita yang sudah berada di dalam kamar mandi.
Andai bisa, Yuna ingin sekali memburu Nita ke dalam
kamar mandi itu dan menjejalkan handuk bututnya ke dalam mulutnya yang tidak tahu sopan santun.
Andai Nita tahu cerita yang sebenarnya dibalik perceraian itu, ia pasti tidak akan berani berkata seperti itu.
Yuna tidak pernah diceraikan oleh suaminya. Sebenarnya,
dirinyalah yang meninggalkan laki-laki tak berguna itu
dan meminta cerai. Itulah kenyataan yang sesungguhnya.
Keputusan terberat yang pernah diambilnya hanya untuk
membebaskan dirinya dari rasa sakit.
Namun, Yuna tidak ingin menceritakan aibnya sendiri.
Buat apa" Cuma untuk mencari simpati" Yuna tidak mem12
ain butuhkan simpati siapa pun dalam hal ini. Karena itu, ia
memilih menutup mulutnya rapat-rapat dan membiarkan
Nita berkoar sesuka hatinya. Tapi, akhir-akhir ini omong"
an Nita semakin sering membuat telinganya merah dan
berdenging. Janda" Astaga! Memang itulah statusnya kini. Meski sudah
mati-matian menutupinya, tetap saja berita busuk macam
itu akan menjadi topik yang asyik untuk diperbincangkan
oleh mulut-mulut nakal di sekitarnya. Yuna tidak tahu siapa yang pertama kali membawa cerita itu ke rumah kos"
nya. Ia juga tidak ingin menduga-duga yang hanya membuatnya sakit kepala.
Yuna kembali berjalan menuju kamarnya dengan kemarahan yang nyaris meledak di dalam dadanya. Ia membuka pintu kamarnya, dan kemudian membanting pintu
itu hingga tertutup rapat di belakang punggungnya.
"Aku tidak pernah meminta untuk menjadi janda, Nit,"
desisnya geram seraya membuka pintu lemari pakaiannya. Dengan kasar Yuna merengut pakaiannya dari tumpukan pakaian yang tidak seberapa banyak dan mulai
mengenakannya dengan cepat. Ia mengoleskan pelembap
ke wajahnya, mengenakan bedak bayi ala kadarnya, dan
menyisir rambutnya. Kemudian ia meraih jaket, penutup
wajah, dan sarung tangannya. Tidak lebih dari lima menit kemudian, Yuna telah berdiri di garasi rumah kos dan
mengeluarkan sepeda motornya.
Yuna mulai berbaur dalam kemacetan Jalan Kertajaya
begitu ia meninggalkan Gang Reog, gang di mana rumah
kosnya berada. Janda" Kata itu terus terngiang di telinganya. Bergema
di dalam kepalanya. Yuna bersumpah, suatu saat ia akan
memberi pelajaran pada mulut Nita yang kurang ajar itu.
Harusnya Nita tahu, tidak ada satu perempuan pun yang
bercita-cita menjadi janda di usia muda. Begitu juga de"
ngan dirinya. Yuna tidak pernah membayangkan akan menjadi janda di usianya yang ke-23, ditambah harus menanggung
hidup seorang anak laki-laki yang masih kecil. Seharusnya
Nita tahu bahwa apa yang terjadi di dalam hidupnya ini
tidaklah mudah hingga pantas dijadikan bahan gosip dan
canda. Perceraian selalu saja membawa luka bagi semua yang
terlibat di dalamnya. Luka yang Yuna alami jelas tidak
akan sembuh dengan mudah. Begitu juga luka yang ada
di hati Alvero, anak laki-laki kesayangannya yang terpaksa
ia jauhkan dari kehidupannya yang tak menentu. Belum
lagi luka yang harus disandang seluruh anggota keluarganya. Luka yang membuat mereka beranggapan bahwa
apa yang terjadi pada Yuna itu adalah aib yang harus di"
sembunyikan. ain "Tiiinnn...!" Suara klakson yang terlalu keras menyadarkan Yuna.
Sebuah mobil hampir saja mencium motor yang diken"
darainya. Untung saja mobil itu bisa mengerem tepat pada
waktunya. Yuna berusaha kembali memfokuskan pikirannya. Jika ia mati sekarang, ia tidak akan sempat melayangkan tangannya di mulut Nita yang sudah memicu kemarah"
annya pagi ini. Selain itu, ia tidak boleh mati sekarang.
Hidup Alvero bergantung padanya saat ini.
Yuna berhenti di sebuah toko supplier alat tulis di
wilayah Darmo. Ia baru hendak mematikan mesin motornya ketika sebuah teriakan terdengar menembus helm
yang dikenakannya. "Ayo, Yun, agak cepat sedikit, pagi ini kita harus
melakukan pengiriman lebih pagi," teriak Erna, salah satu
teman kerjanya yang bertugas mengatur pengiriman barang sekaligus menjabat sebagai kepala toko.
Yuna merogohkan salah satu tangannya ke dalam tas
selempangnya, mengambil serenteng kunci, lalu melemparkannya ke arah para lelaki yang sedang berjongkok di
depan toko itu. Firman yang melihat kunci itu melayang
dengan sigap berdiri dan menangkapnya, lalu langsung
bergegas membuka pintu toko.
Kesibukan di toko itu pun langsung terlihat begitu
pintu rolling door toko terbuka. Masing-masing dari para
pekerja yang ada di toko itu sudah tahu tugas mereka.
Yuna pun turun dari motornya dan langsung berjalan
menuju ke meja kerjanya. "Yuna, hari ini keliling daerah mana" Kalau bisa sekalian titip tagihan." Sri dari bagian keuangan menyapa Yuna
yang masih menyiapkan katalog barang untuk dibawa"
nya hari itu. Bagi Yuna, Sri adalah salah satu teman yang
memiliki pembawaan baik: lembut, tenang, dan tidak suka
mencampuri urusan orang lain. Perempuan yang usianya
sudah kepala tiga itu jauh lebih baik dibandingkan de"ngan
teman-temannya yang lain. Yuna suka dengan Sri. Ia sa"
ngat menghargai perempuan itu.
"Sidoarjo, Sri. Pertengahan bulan seperti ini banyak
outlet-ku yang sudah mulai kehabisan barang," sahut Yuna
dengan tangan yang masih sibuk memilah berbagai kertas
di mejanya. "Oke, Yun, aku siapkan dulu faktur-faktur outlet Sidoarjo yang sudah jatuh tempo," kata Sri sambil kembali ke
mejanya sendiri. "Loh, hari ini mau keliling ta, Yun?" tanya Erna yang sudah mulai sibuk mengecek barang kiriman hari itu. "Tadi
si bos bbm aku, katanya kamu disuruh di toko aja hari ini.
Bos ada urusan." "Si bos nggak ada bbm aku, Er. Jadi aku tetap keliling,"
sahut Yuna santai sambil tersenyum tipis ke arah Erna,
dan kembali sibuk meneliti faktur jatuh tempo yang baru
saja diserahkan Sri. Walaupun memiliki tugas dan tanggung jawab yang
berbeda-beda, tetap saja ada gesekan-gesekan yang timbul di antara pekerja akibat kecemburuan dan iri hati.
Yuna menyadari hal itu. Apalagi ia masih ada hubungan
keluarga dengan pemilik toko, ia adalah adik sepupu
pemilik toko, sehingga selalu menjadi sasaran iri hati dan
bisik-bisik para karyawan lainnya, terutama Erna yang
sepertinya memiliki ambisi yang ketinggian.
Entah kenapa, sejak bergabung di toko itu sebagai"marketing lapangan, Erna selalu saja menunjukkan ketidaksukaannya pada Yuna. Kadang kala, Yuna merasa Erna sedang berusaha menghasut dirinya dan pemilik toko untuk
terus berselisih paham. Belum lagi gesekan dari marketing lain yang sering
membuat Yuna mengernyit keheranan. Bukankah Tuhan
sudah menyediakan rezekinya masing-masing" Kenapa
semua orang saling sikut, saling iri, dan berusaha menjatuhkan satu sama lain untuk rezeki yang sebenarnya sudah ada porsinya"
Itulah sebabnya mengapa Yuna lebih suka menghabiskan waktunya di jalan Kota Surabaya yang panas untuk
mengunjungi para pelanggannya, daripada harus duduk
diam di dalam toko dan terpaksa melihat berbagai hal
yang tak masuk di akalnya.
Yuna melirik jam yang melingkari pergelangan ta"
ngannya. Setengah sembilan. Sudah waktunya ia pergi.
"Sri, bilang bos, aku keliling Sidoarjo ya." Yuna berteriak ke arah Sri sambil melangkah keluar dari toko itu.
"Waduh.... Kacau nih kalau karyawan yang mentangmentang adik bos bisa berbuat seenaknya seperti ini,"
suara Yuli, marketing lain yang juga sering menunjukkan ketidaksukaannya pada Yuna, terdengar di belakang
kepalanya. Yuna menolehkan kepalanya sekilas pada perempuan
berkulit hitam dan berwajah manis, tetapi sering kali terlihat sinis itu. Ia tersenyum sambil bergumam, "Itulah untungnya kalau kamu jadi adiknya bos."
*** Yuna menjalankan sepeda motornya menembus kema"
cetan Surabaya yang tidak ada habisnya. Sebenarnya, jika
tidak macet, perjalanan Surabaya menuju Sidoarjo dapat
ditempuh dalam waktu setengah jam. Namun, karena A.
Yani, jalan utama yang dilaluinya, selalu macet, perjalanan
pun menjadi jauh lebih lama dan lebih melelahkan.
Yuna teringat kembali perjalanan hidup yang sudah
dilaluinya satu tahun terakhir ini. Perjalanan yang nyaris
sama dengan perjalanan yang dilaluinya setiap hari. Kadang kala, ia melalui jalan yang lenggang sehingga dapat
memacu sepeda motornya tanpa hambatan. Namun, ada
saatnya ia terpaksa berhenti, baik karena macet yang
meng"halangi, sepeda motor yang mogok, ban motor yang
gembos, maupun kecelakaan yang tidak akan pernah bisa
dihindari. Begitu juga dengan hidupnya. Ada banyak hal
menyenangkan yang membuatnya tertawa dan merasakan hidup itu begitu indah. Tapi ada saatnya ia menangis,
marah, dan frustasi karena apa yang dijalaninya tidak se"
suai dengan yang diharapkannya. Salah satu hal yang sama
sekali tidak pernah diharapkannya adalah perceraian!
Astaga! Mana ada sih di muka bumi ini perempuan
yang berharap akan bercerai setelah menikah selama tiga
tahun dengan suaminya" Jika sampai ada yang berharap
seperti itu, Yuna yakin, perempuan itu pasti sudah kehi"
langan akal sehatnya. Kenyataannya, tidak ada pilihan lain yang bisa diambil oleh Yuna selain meninggalkan laki-laki pemabuk dan
pengguna narkoba itu. Ia sudah menoleransi semuanya
selama tiga tahun, dan ia rasa itu sudah lebih dari cukup.
Andaikan saat itu, laki-laki itu mendatanginya dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk memulai semuanya
lagi dengan baik, mungkin Yuna akan mempertimbangkannya. Andai laki-laki itu mau bekerja, atau paling tidak
membantu usaha toko yang dijalankan Yuna di rumah
mereka, itu juga sudah jauh lebih baik. Nyatanya, laki-laki
itu menjadikan Yuna seperti mesin ATM yang siap sedia
setiap saat memberikan uang untuk memenuhi kebutuh"
annya akan barang-barang setan itu. Dan itu yang tidak
terampunkan. Yuna mencengkeram rem tangan dan menginjak rem
belakang sekuat tenaga ketika ujung matanya menangkap
kilatan warna merah. Suara ban yang menggesek aspal
meninggalkan bunyi yang cukup keras. Sepeda motor itu


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhenti, beberapa senti di depan garis batas berwarna
putih yang ada di lampu merah itu. Seketika itu juga Yuna
menarik napas panjang saat melihat seorang polisi yang
sudah duduk di sepeda motor putihnya dan siap mengejar
siapa saja yang menerobos lampu lalu lintas.
"Wes siap iku, Mbak, Polisi ne...,1" suara dari sisi kanannya membuat Yuna memalingkan wajah. Laki-laki sete"
ngah baya di sebelahnya itu tergelak sambil mengayunkan
kepalanya ke arah polisi yang akhirnya turun lagi dari motornya itu.
Mau tak mau Yuna ikut tertawa. Inilah seninya menghabiskan banyak waktu di jalan. Ia bahkan bisa tertawa
dan bercanda dengan seseorang yang sama sekali tak
dikenalnya, meskipun hanya dalam waktu beberapa detik,
dan se"telahnya saling melupakan.
Begitu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, Yuna
menjalankan sepeda motornya. Ia baru saja melewati
alun-alun Kota Sidoarjo. Tinggal sedikit lagi, ia akan sampai di Pasar Larangan. Beberapa pelanggannya adalah
1 Sudah siap itu, Mbak, Polisinya
pedagang alat tulis di pasar itu. Yuna melirik jam lagi,
masih jam setengah sepuluh. Sebenarnya terlalu pagi untuk keliling kare"na biasanya toko itu masih sangat ramai
dengan pembeli. Yuna akan merasa tak nyaman pula jika
langsung mengobrol dengan pemilik toko sementara ada
banyak pembeli yang minta dilayani.
Yuna memelankan sepeda motornya. Ia bisa sedikit
mengulur waktu hingga nanti jam sepuluh. Yuna membelokkan motornya ke sisi kiri jalan ketika melihat sebuah
warung nasi pecel langganannya. Yuna duduk di warung
itu, memesan nasi pecel kesukaannya dan menunggu nasi
itu dihidangkan di hadapannya.
Inilah kesibukan Yuna sehari-hari. Ia akan pergi dari
rumah kosnya sekitar jam setengah tujuh. Ia harus tiba di
toko setengah delapan karena diserahi tanggung jawab
untuk membuka toko di pagi hari dan menutup toko di
sore harinya. Jika beruntung, ia bisa pulang tepat jam lima.
Namun, jika ada bagian pengiriman barang yang terjebak
macet, ia harus rela pulang lebih dari jam tujuh malam.
Karena ia harus menunggu mobil box pengirim barang
itu masuk ke dalam toko terlebih dahulu, barulah ia bisa
menutup toko dan pulang. Untungnya ia tak sen"diri saat
menunggu. Sri yang juga menunggu kedatangan bagian
pe"ngiriman barang untuk menerima uang tagihan menjadi teman setianya.
Karena kesibukannya itu pula, Yuna dengan berat hati
menitipkan anaknya untuk diasuh dan dirawat oleh kedua
orangtuanya di Kota Banjarmasin. Tidak mungkin baginya
membiarkan anak berumur lima tahun itu hidup sendirian di dalam kamar kosnya, sementara ia sibuk mengukur panjang jalanan yang ada di Kota Surabaya. Ia tidak
akan pernah tega membiarkan anaknya hidup dengan
cara se"perti itu. Nasi pecel telah tandas dan membuat perutnya yang
tadi kosong terisi penuh. Setengah jam telah berlalu. Yuna
bergegas menuju ke pelanggan pertama dari daftar kunjungan yang telah disiapkannya tadi malam.
Pak Jerry yang ramah terlihat begitu sibuk. Toko alat
tulis milik Pak Jerry ini memang termasuk toko yang lengkap dan besar. Mungkin karena kelengkapan barang-barangnya dan keramahan pelayanannya membuat toko itu
nyaris tak pernah sepi. "Pagi sekali datangnya, Mbak Yuna," sapa Pak Jerry
begitu Yuna menginjakkan kakinya masuk ke dalam toko
itu. "Iya nih, Pak. Lagi kumat rajinnya," sahut Yuna asal
sambil tertawa. "Rame banget tokonya," lanjut Yuna lagi.
"Ya, puji Tuhan. Berarti Tuhan masih sayang sama saya
dan biar gaji anak-anak toko bayarannya nggak telat," sahut Pak Jerry terkekeh dan disambut teriakan tiga pekerja
laki-laki yang ada di toko itu.
Sambil menunggu berkurangnya pembeli, Yuna sesekali membantu melayani pembeli-pembeli itu. Yuna tidak segan untuk turun tangan mengambilkan barang yang dibutuhkan orang-orang itu, meski toko itu bukan tokonya,
dan juga bukan tempatnya bekerja yang sesungguhnya.
Ia juga bisa dengan lincah menaiki tangga dan kemudian
turun dengan satu kardus kertas folio di tangannya sambil
tersenyum riang. Mungkin itulah yang membuat Yuna bisa
dengan mudah diterima oleh para pelanggannya.
"Aku yo,2 kalau punya pekerja satu aja kayak Mbak
Yuna ini, pasti yang tiga itu aku pulangkan ke kampung,"
tiba-tiba suara Pak Jerry terdengar. "Iso nyeles, iso ngelayani pembeli, iso toto-toto, opo maneh coba" Pegawaiku
gak onok sing kayak ngene."3
"Makanya Pak Jerry ngomong ae ke bos-ku, suruh naik"
in gajiku, Pak. Kalau nggak, aku tak pindah sini ae," sahut
Yuna sambil tertawa geli.
"Hati-hati, Mbak Yun, Pak Jerry muji-muji gitu pasti
ada maunya," teriak salah satu pegawai Pak Jerry seraya
melarikan diri naik ke tangga yang menuju ke lantai dua.
"Oh, kurang ajar, awas aja itu anak kalau sampai berani
turun ke sini lagi," gerutu Pak Jerry.
Keriuhan seperti ini sering kali menjadi pelipur dan
obat bagi hati Yuna yang masih berduka. Baginya, pelayan2 Aku ya
3 Bisa menjual, bisa melayani pembeli, bisa menata barang, apa
lagi coba" Pegawaiku tidak ada yang seperti ini.
an kepada pelanggannya adalah nomor satu. Yuna bisa
bersikap sangat manis pada pelanggan-pelanggan loyal
seperti Pak Jerry. Memang, Pak Jerry merupakan salah
satu pelanggan potensial Yuna yang harus mendapatkan
semua pelayanan terbaik. Pemesanan barang dari toko
Pak Jerry bisa memenuhi separuh target Yuna sekaligus.
Pembayaran dari toko ini juga tak pernah menyulitkan.
Dan Yuna akan dengan senang hati menghabiskan harinya
di toko ini jika memang diperlukan.
Namun di luar pekerjaannya, Yuna menutup dirinya
rapat-rapat. Ia tidak akan bisa dengan mudah tertawa dan
bercanda seperti ini. Ia membangun tembok yang sangat
tinggi untuk melindungi dirinya yang rapuh. Yuna merasa
kepercayaan dirinya berada di titik nol. Ia bagai sebuah
vas bunga yang sudah retak di sana sini. Jika ia tak berhati-hati, senggolan kecil saja bisa membuatnya hancur
berkeping-keping dan tidak bisa dikembalikan ke bentuk
semula. Bagi Yuna, hidup sudah tidak menarik lagi. Ia hanya
melalui hari demi hari nyaris seperti mayat hidup yang
sedang melakukan rutinitas wajib. Hatinya kosong. Ia tak
tahu lagi apa yang sebenarnya ingin dicarinya di dunia
ini. Ia akan pergi pagi-pagi untuk berangkat kerja. Lalu
menyibukkan dirinya di toko hingga akhirnya jam keli"
ling tiba. Sepanjang hari dihabiskannya berkutat dengan
kemacetan di jalan dan berkunjung dari toko yang satu
ke toko yang lainnya. Sore harinya, ia kembali ke tokonya,
menyerahkan uang tagihan, memasukkan pesanan barang
ke bagian gudang, dan sesekali membantu menyiapkan
barang pesanan itu. Setelahnya, ia akan menunggu bagian
pengiriman datang, menutup toko, berkutat dengan
kemacetan lagi untuk sampai di kosnya dan sisa tenaga"
nya ia habiskan di dalam kamar kos yang terkunci rapat
untuk melakukan kegiatan menulis yang sudah setahun
ini ditekuninya. Bukankah dengan menulis, seseorang bisa mencegah
kegilaan menghampirinya"
Yuna sengaja menghabiskan seluruh energinya di
tempat kerja. Kesibukan itu merupakan tempat pelarian
terbaik bagi Yuna. Dengan sibuk seperti itu, ia jadi tidak
memiliki waktu untuk meratapi diri. Jika tidak seperti ini,
Yuna yakin hidupnya yang kehilangan arah, luka hatinya
yang bernanah, dan pikirannya yang masih terus memutar
ulang perjalanan hidupnya itu, akan membuatnya menjadi
penghuni rumah sakit jiwa.
"Yun, istriku hari Sabtu sore nanti akan mengadakan
sembahyangan rutin loh. Kamu melok o loh.4 Aku dengar
dari Putra, kamu seagama dengan kami. Apa salahnya sih
meluangkan sedikit waktu untuk kegiatan keagamaan."
4 ikut sana loh Suara Pak Jerry membuat Yuna melepaskan sekotak pensil mekanik yang baru saja hendak disusunnya di etalase.
Yuna memaki dalam hati. Apalagi yang sudah diceritakan Putra pada Pak Jerry"
Putra adalah marketing yang dulu bekerja di tempat yang sama dengan Yuna. Mereka cukup dekat. Putra
mengetahui sebagian besar cerita hidup Yuna. Tidak ada
yang bisa ditutupi jika kita bekerja sama di satu tempat
yang sama dan dalam bidang yang sama kan" Bahkan kadang kala kehidupan pribadi dan rumah tangga masingmasing akan bisa terlepas dari mulut dalam bentuk keluh
kesah. Putra merupakan marketing yang andal. Sebelum
Yuna masuk ke toko tempat bekerjanya sekarang, Pak
Jerry adalah langganan Putra. Dan, ketika akhirnya Putra
memilih untuk keluar dari toko, ia memilih melimpahkan seluruh pelanggannya di bawah pengawasan Yuna.
Ia tidak ingin pelanggan-pelanggan potensialnya diurus
marketing lain. Yuna tak tahu alasan apa yang membuat
Putra seperti itu. Tapi menurut Sri dan Aini, yang sering
menjadi tong sampah curhatnya Putra, Putra marah pada
beberapa marketing dalam yang suka berbuat sesuka hati
mereka dan merugikan para marketing lapangan.
"Yun! Diajak ngomong kok malah plonga-plongo5...,"
seru Pak Jerry lagi sambil melemparkan sebuah pengha5 bengong, melongo
pus ke arah Yuna. Para pekerja yang ada di toko itu kembali riuh. Kali ini mereka menertawakan Yuna yang langsung terlihat salah tingkah.
"Eh iya, Pak. Nggak janji ya, tapi ntar kuusahakan," sahut Yuna.
"Loh, ya jangan gitu, Yun. Usahakan datang aja. Baguskan kalau selain bekerja kita juga menyediakan waktu untuk Tuhan. Masa Tuhan sudah begitu baik sama kita, kita
malah tidak mau memberikan yang terbaik juga untuk
Tuhan?" Ada yang berdarah dalam hati Yuna. Rasa ngilu
merambati sekujur tubuhnya. Yuna menggigit bibirnya. Ia
berusaha menahan semua rasa itu. Jika sekarang ia berpamitan pulang, maka suasana akan menjadi semakin tak
nyaman. Ia harus bersikap profesional. Sandiwara yang
dimainkannya sudah kepalang tanggung. Masa sentilan
seperti ini saja membuatnya lemah"
"Iya, Pak. Teorinya aku tahu kalau seperti itu. Tapi
praktiknya itu loh yang sulit. Sabtu kan toko buka sampai
jam tiga. Iya kalau bagian pengiriman pulang tepat waktu,
aku masih bisa ngebut ke sini. Kalau pengiriman masuk ke
tokonya telat. Bisa-bisa jam empat atau setengah lima aku
baru pulang. Perjalanan Surabaya-Sidoarjo di Sabtu sore
itu bukan perjalanan yang menyenangkan, Pak."
"Ya iya juga ya. Dulu Putra juga sering mengatakan hal
itu saat dia masih kerja di tempatmu itu. Tapi sekarang dia
kan sudah kerja sendiri. Jadi gampang ae ya datang ke rumahku," sahut Pak Jerry sambil termangu seperti sedang
memikirkan sesuatu. Suara telepon genggam Yuna terdengar. Yuna mengambil telepon itu dan langsung mengangkatnya. Rasanya suara telepon itu menjadi penyelamat di saat genting.
"Yun, barang pesananmu sudah datang. Randinya
masih di sini, kamu mau ngomong ta?"
"Nggak. Kamu tolong cek semua kelengkapannya aja,
dan bilang Randi, aku akan menghubunginya setelah barang itu aku cek sendiri." Setelah mengiyakan permintaan
Yuna, Sri langsung mengakhiri sambungan telepon itu.
Yuna masih bertahan di toko Pak Jerry hingga jam makan siang. Pembicaraan mengenai undangan untuk hadir
di acara doa bersama terlupakan dan berganti topik, yaitu
membicarakan masalah Putra yang saat ini sedang berjuang mati-matian untuk tetap bertahan di bisnis alat tulis.
"Mbak Yun, nggak makan siang?" salah seorang pekerja Pak Jerry menyapanya. Sapaan yang bagi Yuna sebagai
pertanda sudah waktunya meninggalkan toko Pak Jerry.
Yuna pun berpamitan dari toko itu dan mulai melanjutkan
kunjungannya ke pelanggan berikutnya. Selama di perjalanan, Yuna tidak dapat melupakan kata-kata Pak Jerry.
Tuhan sudah begitu baik pada kita"
Benarkah Tuhan sudah begitu baik pada dirinya" Ya,
saking baiknya sampai memilihnya untuk menghadapi semua prahara di dalam hidupnya.
Di mana Tuhan ketika masalah-masalah itu memorakporandakannya"
Yuna sudah berusaha mencari keberadaan Tuhan. Siksaan hati yang kering kerontang dan menuntut sebuah
kelegaan membuat Yuna melangkahkan kakinya ke rumah
ibadah. Rumah di mana Tuhan seharusnya berada. Hari itu
ia berkonsultasi dengan salah seorang pemuka agama.
"Harusnya kamu tidak memilih untuk bercerai. Di
agama kita, perceraian itu dilarang, apalagi jika ternyata
kamulah yang meminta cerai. Tuhan membenci perceraian. Kamu harus bertobat agar Tuhan tidak membencimu. Dosamu sangat besar karena sudah menyebabkan
perceraian ini terjadi."
Yuna murka. Kenapa ia yang dipersalahkan dalam hal
ini" Yuna berhenti berdoa! Baginya, Tuhan itu tidak ada!
BAB 2 Aku Tidak Butuh Ceramah! "Halo, Mama, Alvero mana?" Yuna tidak membutuhkan
basa-basi lebih lanjut dengan mamanya. Yang ia butuhkan
saat ini adalah mendengar suara Alvero. Suara yang nyaris
menghantuinya siang-malam.
"Hai, Mama, ada apa mencari Al?" suara cempreng
bocah berumur lima tahun itu pun akhirnya terdengar.
Yuna merasakan hatinya membuncah. Ia jadi teringat
masa-masa remajanya dulu. Rasa hati seperti ini adalah
rasa hati orang yang sedang kangen berat. Benarkah"
"Memangnya Mama tidak boleh mencari Alvero?" balas Yuna dengan keriangan yang tiba-tiba menyelimuti
nada suaranya. Ternyata benar. Ia memang merindukan Alvero. Ke"
rinduan itu melandanya dengan sangat hebat, yang membuatnya akhir"-akhir ini tidak terlalu fokus dalam bekerja.
Kerinduan yang aneh. Sama sekali tidak bisa dimengerti
dengan akal sehatnya yang mungkin sudah rusak.
Suara Alvero kembali menyapa pendengaran Yuna,
"Boleh. Al senang di telepon Mama. Sebenarnya, lebih
senang lagi kalau Al bisa berbicara langsung sama Mama.
Tapi Al mengerti, Mama lagi berusaha mempersiapkan semuanya kan" Biar nanti kalau Al datang dan tinggal sama
Mama, kita tidak kekurangan."
Sejujurnya, Yuna sempat heran dari mana Alvero
mendapatkan informasi sedemikian lengkap. Rasanya, ia
belum pernah menerangkan tentang melakukan persiap"
an dan lain sebagainya. Dulu Yuna hanya mengatakan pada
Alvero bahwa ia terpaksa dititipkan di rumah kakek dan
neneknya agar Alvero tidak sendirian karena ditinggal di
kamar kos. Fakta bahwa Alvero mengerti tentang alasan
Yuna yang sebenarnya membuat Yuna sangat berterima
kasih pada anaknya itu. Jika ada seseorang yang bertanya padanya apakah ia
menyayangi Alvero, Yuna pasti akan memberikan jawaban
yang menggantung. Ia tidak tahu apakah ia benar-benar
menyayangi anak itu. Separuh hatinya membenci Alvero.
Karena kehadiran anak itu membuatnya selalu teringat
pada laki-laki yang telah membuat hidupnya hancur be32
rantakan. Sedangkan separuh hatinya yang lain sangat
mencintai anaknya itu. Anak yang wajahnya merupakan
duplikat utuh dirinya. Anak yang dengan suara tawanya
saja bisa melumerkan es batu yang bersemayam di dalam
hatinya. Apakah anak itu bersalah hingga layak dibenci"
Yuna sudah memikirkan hal itu ribuan kali. Tidak ada
satu anak pun yang minta dilahirkan ke dunia ini. Tidak
pantas rasanya jika ia melampiaskan kebenciannya pada
anak laki-laki tampan itu. Karena itu, setiap waktu luangnya, Yuna berusaha menyempatkan diri untuk menelepon anaknya. Hanya dengan cara itulah ia tetap menjalin
kedekatan dengan anaknya.
"Ma, tadi sore Al diajarin berenang sama Opa. Asyik,


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ma. Al bisa kok, meski harus tenggelam berkali-kali."
Alvero terus saja menceritakan hari-harinya selama
seminggu ini. Ada saja ceritanya yang membuat Yuna tertawa, terharu, atau berdecak penuh kekaguman. Anak lakilakinya yang tumbuh di luar pengawasannya itu ternyata
menjadi dewasa sebelum waktunya. Cara berpikir Alvero
berbeda dengan kebanyakan anak seusianya. Yuna merasa, inilah efek dari sebuah perceraian bagi seorang anak.
Mereka diharuskan belajar mengerti atas sesuatu yang seharusnya belum saatnya mereka mengerti.
"Berarti Al sudah bisa berenang, dong?"
"Sudah, Mama.... Eh, belum sih. Masih belajar," seru Alvero dengan tawa yang begitu menyejukkan hati Yuna.
Hampir satu jam Yuna dan Alvero berbagi cerita. Menyambung hati mereka yang terpaksa hidup berjauhan.
Saat melirik jam yang tergantung di kamarnya dan melihat sudah hampir jam delapan, Yuna pun memutuskan
untuk mengakhiri pembicaraan itu.
"Sudah jam delapan di sini, Al. Berarti di sana sudah
jam sembilan, kan?" "Iya, Ma. Itu artinya, Al harus tidur agar besok bisa
bangun pagi dan tidak terlambat ke sekolah," sahut Alvero lagi mengulangi kata-kata yang dulu sering diucapkan
Yuna saat hendak mengakhiri pembicaraan mereka.
Yuna mau tak mau tertawa, "Kenapa kamu bisa ingat
kalimat itu?" tanyanya masih dengan tawa yang belum
bisa dihentikannya. "Jelas ingatlah, Mama. Habisnya, hampir setiap Mama
telepon, selalu kata-kata itu yang Mama ucapkan kalau
sudah mau mematikan telepon. Selamat tidur, Mama. Al
sayang Mama." Acara telepon Minggu malam itu pun berakhir. Yuna
membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ada kesedihan
yang menyeruak dan menggerogoti hatinya setiap acara
bertelepon itu selesai. Andai perceraian itu tidak terjadi,
mungkin saat ini ia masih bersama Al dan bisa memeluk
tubuh anak itu. Pasti saat ini ia bisa mencium anaknya sesering yang ia inginkan.
"Maafkan Mama, Alvero. Bukan ini sebenarnya yang
ingin Mama berikan padamu."
*** Sama seperti minggu-minggu yang lalu, suasana hati Yuna
selalu saja buruk di Senin pagi. Ini terjadi berulang. Yuna
sendiri sampai bingung mengatasi suasana hatinya yang
berubah dengan cepat. Perasaannya menjadi sangat buruk setelah ia bertelepon dengan Alvero malam harinya.
Ada perasaan tak terima. Ada penyesalan yang membuat
hati"nya mati rasa. Dan, ada kerinduan yang membuat
otaknya lumpuh hingga tak mampu memikirkan apa pun
keesokan harinya. Yuna melemparkan rentengan kunci begitu ia sampai
di depan toko tempatnya bekerja. Seperti biasanya, Firman menangkapnya dengan sigap. Sepertinya, Firman sudah sangat hafal dengan kebiasaan Yuna, termasuk dengan
suasana hati Yuna yang sering kali buruk di Senin pagi.
"Firman jadi kayak anjing penjaga yang pintar menangkap tulang yang dilempar ke arahnya." Sindiran itu
terdengar begitu tajam disertai dengan suara terbahak
yang terlalu keras. Yuna mematikan mesin motor, melepas helm dan jaketnya, lalu turun dari sepeda motor yang sudah terparkir
di tempat parkir karyawan yang ada di depan toko itu.
Ia berusaha tak peduli. Sindiran itu sudah terlalu sering
didengarnya. "Adik bos sih, ya. Bisa bebas sesuka hati." Sindiran
masih berlanjut ternyata. "Eh denger-denger si bos lagi
nyariin jodoh loh buat sepupunya yang janda."
"Memangnya ada adik bos yang janda?" suara Mira,
bagian pelayanan toko tiba-tiba ikut bersuara. Mira baru
masuk kerja dua minggu, jadi sepertinya ia masih terlalu
polos untuk mengikuti semua cerita yang terjadi di dalam
toko itu. Yuna menatap Yuli yang berdiri tidak jauh darinya.
"Jangan nyalakan kompor pagi-pagi, Yul. Meledak tahu
rasa ntar," gumam Yuna seraya melangkahkan kakinya ke
dalam toko yang kini pintunya sudah terbuka.
"Yun, Robbie belum datang. Keluarin mobil, dong," pe"
rintah Erna padanya saat Yuna baru saja meletakkan helm
di rak yang ada di dalam toko.
"Tunggu aja, bentar. Masih setengah delapan ini. Biasanya bentar lagi Robbie datang kok." Yuna menjawab
sambil mulai duduk di kursi dan mulai mengecek fakturfaktur pelanggan yang ada di mejanya.
"Tapi barang harus segera dimuat, Yun," sentak Erna
kasar. "Kalau gitu, kamu keluarin aja sendiri mobilnya, Er. Aku
mau ngecek faktur pelangganku. Ini masih banyak yang
belum disiapkan ternyata," sahut Yuna. "Kamu maunya
cepat, tapi semua barang kiriman hari ini pasti untuk pelanggan marketing dalam deh. Faktur pelangganku belum
ada yang diikutkan untuk pengiriman hari ini. Aku mau
ngecek barang dulu aja. Punya Pak Jerry harus terkirim
hari ini," lanjut Yuna lagi. Berusaha menyampaikan protesnya secara halus.
Sebagai kepala toko, Erna sering bersikap seenaknya
sendiri. Yuna tidak bisa menyalahkan Erna sepenuhnya.
Toko ini, meski termasuk supplier alat tulis besar di Surabaya, ternyata belum memiliki manajemen yang baik. Ratarata, setiap pekerja di toko ini memiliki tugas me"rangkap.
Selain itu, untuk marketing pun terbagi dua, marketing
lapangan dan marketing dalam. Marketing lapangan langsung berhubungan dengan pelanggan dan melakukan
kunjungan. Sedangkan marketing dalam melakukan penjualan melalui telepon.
Erna, Yuli, Sri, dan Mira memiliki pelanggan-pelanggannya sendiri. Karena Erna memiliki tanggung jawab toko
yang mengatur kondisi toko dan pengiriman barang, ia
lebih sering mementingkan kiriman barang untuk pelanggannya sendiri. Yuli yang bermulut pedas ternyata suka
tidak mau kalah sehingga untuk menghindari keributan di
dalam Erna lebih mengalah pada Yuli. Hasilnya, pelanggan
dari marketing dalam lebih cepat dalam hal pengiriman
barang ke pelanggan. Sementara pelanggan dari marketing lapangan harus menunggu berhari-hari dulu baru disiapkan dan setelahnya baru bisa ikut pengiriman.
Begitu juga dengan Firman dan Alex yang sebenarnya
bagian gudang dan bagian penyiapan barang, kadangkadang harus merangkap sebagai pengirim barang atau
penagihan. Hasilnya, persiapan barang di toko menjadi
sedikit terhambat dan bergantung pada para perempuan
yang tertinggal di dalam toko itu.
Yuna tidak tahu apakah sistem pengaturan tugas se"
perti itu memang benar atau salah. Mungkin pemilik toko
menghemat biaya yang ditimbulkan karena terlalu banyak
karyawan. Tapi bisa juga karena pertimbangan lain, yaitu
melakukan efisiensi para pekerja agar tidak terlalu ba"nyak
menganggur saat pesanan sepi.
Yuna sebenarnya sudah sering berdiskusi dengan
kakak sepupunya. Namun, pertimbangan-pertimbangan
yang diambil oleh kakaknya itu pastilah sudah dipikirkan
matang-matang, sehingga Yuna hanya bisa menerima dan
berusaha menyelesaikan tanggung jawabnya sendiri. Ha"
nya saja, gesekan yang ditimbulkan oleh pekerja lain membuat Yuna harus berusaha keras menyabarkan dirinya.
Sayangnya, kesabaran seseorang ada batasnya, kan"
Blackberry Yuna tidak berapa lama kemudian berbunyi. Sebuah pesan masuk. Yuna membaca pesan itu.
Mengernyitkan dahinya. Dan seketika itu juga memaki dalam hati.
Kakaknya mengirimkan bbm kepadanya dan menyuruhnya untuk mengeluarkan mobil box agar kerjaan hari
itu lancar. Yuna menengadahkan kepalanya menatap jam
dinding. Masih kurang lima belas menit lagi sebelum jam
delapan. Apa salahnya menunggu sih" Erna pasti laporan
ke kakaknya itu. Dengan kesal Yuna bangkit dari kursinya, mengambil
kunci mobil box, masuk ke dalam mobil itu dan menyalakan mesinnya.
"Tolong pandukan aku, Fir," teriak Yuna pada Firman
yang sebenarnya sudah mulai bergerak untuk menyiapkan barang. Laki-laki yang masih berumur 18 tahun itu
pun seketika meletakkan kertas faktur yang di pegangnya
ke atas meja dan berlari ke bagian belakang mobil.
Yuna mulai memundurkan mobil box itu keluar dari
toko. Matanya mengawasi kaca spion. Ketika matanya ber"
alih dari spion, ia melihat Erna yang tersenyum simpul.
Yuna akhirnya hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Apakah dengan menjilat dan cari muka seperti itu ia
bisa mendapatkan lebih banyak uang" Yuna benar-benar
tak habis pikir dengan isi kepala manusia yang penuh
dengan ambisi dan akal licik hanya untuk membuat hidup
orang lain tidak tenang. Mobil sudah berada di luar. Yuna baru saja hendak turun dari mobil ketika Robbie datang dan langsung berlari
menghampirinya. "Sori aku terlambat," kata laki-laki yang
bertugas sebagai sopir itu.
"Masih kurang lima menit kok, Rob," kata Yuna sambil melirik jam di pergelangan tangannya. "Harusnya
tidak terlambat. Sayangnya, Nenek Lampir sudah ngomelngomel minta mobil dikeluarkan," lanjut Yuna sambil berbisik ke arah Robbie dan membuat laki-laki itu tertawa.
Perasaan Yuna semakin buruk ketika sudah hampir
jam setengah dua belas dan ia belum bisa meninggalkan toko itu untuk melakukan kunjungan. Hal ini karena
ada pesanan pelanggan yang seharusnya bisa langsung
dibawa, ternyata belum ada barangnya. Randi baru saja
menele"pon. Pesanan laptop salah satu pelanggan Yuna itu
baru akan diantar. Randi meminta Yuna menunggu agar
bisa langsung dicek. Setelahnya, Yuna bisa langsung membawa laptop itu untuk dikirimkan ke pelanggannya.
"Aku kira laptop itu sudah diantar Jumat kemarin, Sri?"
tanya Yuna setengah kesal pada Sri yang menyampaikan
pesan Randi. "Sori, Yun. Ternyata yang dianter Randi kemarin bukan pesananmu, tapi pesanannya Yuli. Jadi Sabtu sore itu,
Firman langsung ditugaskan mengirim laptop itu ke pelanggan Yuli," jawab Sri.
Yuna benar-benar naik darah. Itu tidak mungkin terjadi. Selama ini, Randi tidak pernah sampai salah kirim.
Pasti ada sabotase lagi. Sering sekali terjadi seperti ini.
Barang pesanan siapa akhirnya dikirim untuk pelanggan
siapa. Bukan hanya barang-barang sekelas laptop atau
komputer, bahkan untuk alat tulis-menulis yang stoknya
terbatas, Yuna juga sering mengalami sabotase seperti
itu. Yuna mengangkat gagang telepon di atas mejanya. De"
ngan cepat ia menekan urutan angka yang sudah dihafalnya luar kepala. Ia menunggu dengan bibir yang terkatup
rapat. Begitu telepon itu tersambung, Yuna pun langsung
mengeluarkan serentetan kalimat yang pasti membuat
telinga si penerima telepon panas membara.
"Kamu gimana sih, Ran" Bukannya sudah kubilang, aku
butuh barang itu Senin pagi. Harusnya Jumat kemarin itu
kamu juga sekalian mengirimkan pesananku. Memangnya
pesanan siapa yang kamu kirim kemarin?"
Yuna mendengarkan sebentar, "Aku mau kamu sampai
di sini dalam waktu sepuluh menit. Kalau tidak, aku batalkan saja pesanan itu, Randi!" Dan telepon pun dibanting
setelahnya. "Yun, kamu itu kasar sekali. Jangan seperti itu!" Pak Indra, kakak sepupu Yuna yang kebetulan baru datang langsung menegur Yuna.
"Aku sudah janji mengantarkan barang itu jam sepuluh tadi, Ko6! Sudah terlalu sering aku kena komplain pelanggan gara-gara pesanan pelangganku tidak bisa siap di
waktu yang seharusnya," sahut Yuna.
"Ya, mau gimana lagi. Orang kita terbatas, Yun. Ha"
rusnya kamu bisa meminta tenggang waktu lebih panjang
sama pelangganmu. Mana bisa hari ini pesanan masuk
dan besok sudah minta diantar," kata Pak Indra lagi sambil berjalan ke mejanya yang berada bersebelahan dengan
meja kerja Yuna. Yuna mendecakkan lidahnya pertanda ia berusaha menahan kekesalan hatinya. Ia mengambil beberapa faktur
di atas mejanya dan membawa faktur-faktur itu ke meja
Pak Indra. "Coba lihat ini, faktur ini bertanggal 5 April, berarti
pesanan ini sudah masuk tanggal 4 April. Hari ini tanggal
10 April. Sudah lima hari faktur ini terbengkalai dan sama
sekali belum disiapkan barangnya," terang Yuna dengan
nada yang berapi-api. Ia bergerak ke salah satu tumpuk"
an barang siap kirim, menarik faktur yang tertempel di
atasnya dan langsung membawa faktur itu ke meja Pak
Indra lagi, "Coba lihat ini, faktur ini tanggal 8 April dan
hari ini faktur ini sudah masuk ke jadwal pengiriman. Selalu seperti ini, Ko. Lama-lama langgananku tidak ada lagi
yang mau memesan barangnya padaku."
6 koko = kakak laki-laki "Er, coba sini," panggil Pak Indra pada Erna. Pak Indra
menyerahkan faktur-faktur itu pada Erna sambil berta"
nya, "Kenapa bisa seperti ini, Er?"
"Yang masuk kiriman hari ini urgensi semua, Pak,"
jawab Erna. "Pelanggan siapa yang urgensi?" tanya Pak Indra lagi.
"Saya, Pak," sahut Erna sambil senyam-senyum.
Yang terjadi pada akhirnya adalah tidak ada solusi apa
pun. Yuna sering kali kesal melihat Pak Indra yang sama
sekali tak tegas dalam mengelola usahanya. Ia juga se"
ring terlihat memberikan wewenang penting pada Erna
dan membiarkan Erna berlaku seenaknya. Bagi Pak Indra,
membiarkan persaingan terjadi di antara para karyawannya adalah baik. Dengan begitu, para karyawannya menjadi terpacu untuk lebih banyak lagi mendapatkan pelanggan.
Yuna tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berlari meninggalkan Erna yang tersenyum sinis ke arahnya dan menaiki lantai dua. Jika ia terus berdebat untuk hal yang tak
ada jalan keluarnya, yang ada pastilah ia akan meledak di
tengah-tengah orang-orang itu dan mempermalukan dirinya sendiri. Yuna naik ke lantai dua. Ia akan menyiapkan barang-barang pesanan pelanggannya sendiri sambil
menunggu Randi datang mengantarkan laptop itu.
Yuna baru saja melewati kardus-kardus besar berisi
amplop ketika gumamam lembut terdengar. Ia mendekati
kardus itu karena ingin melihat siapa yang sedang bergumam sendiri di tempat yang tersembunyi itu.
Yuna terdiam. Ada seseorang yang mengenakan pakai"
an berwarna putih dan sedang bersimpuh di atas selembar
kain persegi panjang. Yuna mengernyitkan dahinya. Orang
itu sedang sembahyang. Yuna tahu itu. Karena itulah Yuna
berusaha untuk tidak menimbulkan suara apa pun dan
hanya berdiri diam di balik kardus dengan mata yang tak
bisa beralih dari orang itu.
Ada ketenangan yang tiba-tiba menyelinap ke dalam
hati Yuna melihat gerakan berulang yang dilakukan orang
itu. Berdiri, membungkuk, bersujud, bersimpuh, bersujud
lagi, berdiri, dan terus berulang. Entah berapa kali orang
itu melakukannya, hingga akhirnya ia selesai dan sedikit
terkejut mendapati Yuna sedang mengintipnya.
"Loh, Mbak Yuna ngapain mengintip di situ?" tanya
Lini, bagian pembuat faktur yang kerjanya memang di
lantai dua. Belum sempat Yuna menjawab, teriakan Sri yang memanggil namanya memaksa Yuna bergegas turun.
Randi berdiri di hadapannya sambil tersenyum. Pembawaannya sangat tenang. Sama sekali tidak ada kesan
bersalah telah membuat Yuna menunggu lama.
Kamu...," Yuna baru saja hendak menyemburkan
kembali amarahnya. Namun, tiba-tiba amarah itu sudah
meng"uap entah ke mana. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba
kemarah"an yang tadinya begitu membara menghilang bagai diisap pengisap udara yang ada di langit-langit toko.
"Sori, Yun. Sepertinya ada miskomunikasi. Barang hari
Jumat itu sebenarnya memang barang pesananmu. Aku
juga heran kenapa tiba-tiba tadi pagi ada fax masuk yang
meminta pengiriman barang lagi atas namamu...."
Yuna tidak menunggu Randi menyelesaikan kalimatnya. Ia langsung menoleh ke Pak Indra dan berteriak, "Nah
kan, Koko lihat deh. Sabotase lagi, kan" Ini sudah sangat
sering terjadi. Aku tidak mau jadi kalah-kalahan terus di
sini. Capek tahu, Ko, kalau harus berbohong ke pelangganku untuk kesalahan yang sama sekali bukan salahku."
"Ya mungkin ini cuma miskomunikasi aja. Memangnya
siapa kemarin yang menerima barang itu, Ran?" tanya Pak
Indra pada Randi. "Saya, Pak," sahut Sri. Ada kilatan aneh di mata perempuan itu. Kilatan yang selalu dilihat Yuna saat perempuan
itu berusaha mengorbankan dirinya demi membuat suasana tegang menjadi tenang, "Sepertinya saya salah tangkap omongan Randi, Pak. Jadinya saya kira itu bukan pesanan Yuna."
Detik itu juga, Yuna rasanya ingin sekali berteriak. Bisa-bisanya Sri berkata seperti itu" Bukannya hari Jumat
itu Sri jelas-jelas meneleponnya untuk mengabarkan bahwa pesanannya sudah diantar Randi. Ada apa sebenarnya
ini" Yuna merasakan wajahnya panas. Ia mengepalkan ke"
dua tangannya. Pak Indra benar-benar terlihat tak berguna. Ia ingin sekali memaki kakak sepupunya itu dan betapa
laki-laki itu terlihat begitu bodoh di depan karyawannya.
Namun itu tidak mungkin dilakukan Yuna. Tetap saja, ia


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ha"rus menjaga perasaan kakaknya itu. Mereka bisa berdebat dan bertengkar di luar toko sebagai saudara, tetapi
tidak di dalam toko dan di depan semua orang yang ada
di toko itu. "Yun, ayo ikut." Tiba-tiba tangan Randi menyentuh le"
ngan Yuna dan membawa Yuna keluar dari toko itu.
"Aku beneran nggak mengerti apa yang terjadi. Bisabisanya mereka berlaku seperti itu?" desis Yuna meng"
ungkapkan kekesalan hatinya. "Kamu juga, kenapa tidak
langsung memberitahuku tadi pagi kalau ada pesanan
yang sama denganku masuk ke tokomu."
Yuna dilanda kebingungan yang hebat. Ia memang
kesal setengah mati. Namun, ia tidak bisa meledak dalam
kemarahan. Ini benar-benar di luar kebiasaannya. Jika
berhadapan dengan situasi tadi, biasanya ia akan langsung meledak. Seperti kompor yang tangki minyaknya bocor dan langsung meledak saat terkena api kecil. Bahkan
berhadapan dengan Randi saat ini, ia merasa ingin sekali
memarahi laki-laki itu. Memaki jika perlu. Tapi kemarah"
an itu sama sekali tak bisa dikeluarkannya dalam bentuk
kata-kata kasar yang menyakitkan. Ia tidak bisa. Dan itu
menyiksanya. "Aku memang berniat menghubungimu tadi pagi.
Tapi kupikir masalah ini masih bisa diselesaikan dengan
kepala dingin. Aku sudah tahu tipikal teman-temanmu,
Yun. Kedua toko kita ini sudah lama bekerja sama dalam
hal pengadaan berbagai peralatan komputer dan laptop.
Bahkan sebelum kamu bekerja di toko ini, aku sudah se"
ring berhubungan dengan mereka. Jadi aku tidak terkejut
jika hal-hal seperti ini terjadi berulang kali."
"Tapi...." Yuna ingin membantah. Belum sempat ia meneruskan
kata-katanya, Randi sudah memotong kalimatnya.
"Kadang kita harus berusaha meredam kemarahan
kita dan mencoba melihat dari sudut pandang lain. Kamu
tidak bisa menyalahkan Pak Indra. Ada banyak hal sebenarnya yang memang kompleks di dunia kerja yang penuh
persaingan seperti ini. Marah boleh. Tidak ada larangan
sebenarnya untuk marah. Aku mengerti kondisimu. Namun, alangkah baiknya kalau kamu marah pada waktu
yang tepat dan dengan cara yang benar. Dengan cara itu,
kamu akan menemukan bahwa ada banyak hal yang bisa
kamu pelajari." Yuna membelalakkan matanya. Bisa-bisanya laki-laki
di depannya ini menceramahinya seperti itu. Bukannya
minta maaf karena tidak membelanya, Randi malah menyuruhnya belajar sabar. Apa laki-laki ini sudah gila"
"Yun...." "Aku tidak suka diceramahi seperti ini, Randi! Kamu
itu siapa?" desis Yuna tajam.
"Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang teman
yang berdiri di luar lingkaran dan menonton kalian bersaing seperti orang kesurupan," sahut Randi santai. Ada
senyum yang begitu teduh di wajah laki-laki itu. Senyum
yang membuat Yuna mau tak mau terpana.
Secepat kilat Yuna menyingkirkan pikirannya yang mulai ikut gila gara-gara terpana seperti itu. Ia memalingkan
tubuhnya dan mulai meninggalkan Randi sambil berkata
tajam, "Ayo kita cek barangnya. Aku mau langsung meng"
antarkan laptop itu ke pelangganku." Yuna menghentikan
langkahnya sedetik kemudian, dan tanpa menoleh sedikit
pun pada Randi ia kembali melanjutkan ucapannya, "Dan
jangan coba-coba menceramahiku seperti itu lagi! Aku
sama sekali tak butuh ceramahmu!"
Yuna melanjutkan langkahnya kembali ke dalam toko.
Ia sama sekali tak mendengar bisikan Randi yang sangat
pelan. Bisikan yang menjawab setiap kalimat tajam yang
terucap dari bibirnya. "Kamu pasti akan membutuhkannya suatu saat nanti,
Yuna!" BAB 3 Apakah Tuhan Bisa Berbisik" Masalah di tempat kerja yang selalu terulang dan tak pernah mendapatkan solusi terbaik membuat Yuna lelah.
Ia benar-benar jenuh berkutat pada masalah yang sama
tanpa pernah tahu kapan berakhirnya masalah tersebut.
Hatinya yang kosong membuat jiwa Yuna begitu labil.
Percikan masalah sepele saja bisa membuat Yuna uringuring"an setengah mati dan membuat hatinya semakin
mati rasa. Yuna memang kehilangan jati dirinya. Harusnya saat
ini ia menikmati karir di dunia kerja dengan status single
yang bahagia. Di usianya yang telah menginjak 24 tahun,
harusnya ia bisa menikmati kehidupan sebagai perempuan mapan yang berhasil menyelesaikan pendidikannya
di teknik arsitektur dan mungkin saat ini ia sedang berkutat dengan desain dan gambar ciptaannya. Bisa jadi, ia
juga disibukkan dengan kehidupan seorang wanita karir
yang menyenangkan, seperti para perempuan seusianya.
Atau, mungkin saat ini ia sedang menikmati masa-masa
di mana ia sedang mempersiapkan pernikahannya. Semua itu hanyalah impian semu yang bila diingat hanya
akan menimbulkan torehan menyakitkan di hatinya. Ia
janda satu anak sekarang. Dan ia benar-benar tidak siap
untuk menyandang status itu di usianya yang masih begitu muda.
"Mengeluh itu menandakan kamu sedang berputus asa
dan di ambang kehancuran. Mengeluh hanya membuatmu
terlihat tidak beriman."
Randi pernah mengatakan hal itu pada Yuna saat tanpa sengaja Yuna mengeluhkan masalah yang terus menerjangnya tanpa pernah berhenti. Saat itu, Yuna memang sedang berkunjung ke tempat kerja Randi untuk mengambil
spare part komputer yang dibutuhkan pelanggannya.
"Beriman" Bagaimana bisa beriman jika aku sudah
tidak percaya lagi dengan adanya Tuhan," sela Yuna sambil
mencebikkan bibirnya. "Astaghfirullah, bisa-bisanya kamu berkata begitu?"
seru Randi dengan wajah tak percaya, "Bukankah di aga"
mamu diajarkan tentang Tuhan?"
"Agama" Aku sudah lama berhenti berdoa Randi. Aku
tidak percaya adanya Tuhan. Bagiku, Tuhan itu terlalu absurd. Tidak nyata."
"Kenapa kamu bisa berkata begitu?" tanya Randi lagi
semakin penasaran. Inilah yang paling tidak disukai Yuna jika berbicara
dengan Randi. Laki-laki itu suka sekali melemparkan
pertanyaan yang menyelidik padanya. Pertanyaan-perta"
nyaan itu sering kali membuat Yuna merasa tak nyaman.
Walaupun dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
Randi padanya, Yuna merasakan bahwa laki-laki itu sebenarnya peduli padanya.
"Aku dibesarkan dalam keluarga yang begitu fanatik
pada kebaikan dan cinta kasih Tuhan. Sejak kecil, aku
selalu berdoa. Aku juga menjadi pelayan keagamaan setiap minggunya, rajin membaca kitab suci setiap hari,
dan selalu terlibat sebagai panitia dalam setiap upacara
keagamaan yang diadakan oleh tempat ibadahku." Yuna
menghela napas panjang. Rasanya ada beban yang begitu berat mendadak bergelayut dalam dadanya, "Hasilnya
tidak ada. Tidak ada kasih Tuhan yang kurasakan di dalam hidupku. Masalah demi masalah datang bertubi-tubi.
Aku menjerit, menangis, memohon kepada Tuhan. Namun, sepertinya Tuhan terlalu sibuk dengan urusan lain
hingga ia tak datang menolongku," lanjut Yuna lagi. Matanya mendadak panas. Ia susah menarik napas. Dadanya
terasa sesak. Tangis menggelayuti batang tenggorokannya
hingga nyaris me"nimbulkan isak tertahan. Ia tidak boleh
menangis. Ia tidak suka menangis. Menangis itu hanya
membuatnya merasa lemah dan tidak berdaya. Karena itu,
Yuna berusaha menarik napas panjang berkali-kali untuk
meredakan gelora di dadanya.
"Yun, kadang Tuhan memiliki rencananya sendiri dalam hidup kita. Apa yang kita inginkan belum tentu se"suai
dengan keinginan Tuhan. Mungkin saja Tuhan sedang
merencanakan hal terbaik dalam hidupmu tanpa pernah
kamu sadari." Itu hanyalah salah satu dari sekian banyak percakapan
yang dilakukannya saat ia bertemu Randi. Yuna lelah de"
ngan percakapan yang hanya terlihat sebagai teori tanpa
pembuktian nyata. "Pertolongan Tuhan itu sebenarnya sangatlah dekat.
Tapi sebagai manusia, kita sering kali sudah telanjur berputus asa dan tidak memercayai Tuhan dengan sepenuh
hati sehingga pada akhirnya kita berputus asa dan me"
nyerah begitu saja."
Itu percakapan berikutnya yang terjadi lagi tanpa se"
ngaja ketika lagi-lagi Yuna bertemu Randi. Mendengar apa
yang dikatakan Randi, jelas saja Yuna protes.
"Gampang saja kamu mengatakan hal itu, Ran! Kamu
tidak merasakan apa yang kurasakan sih," gerutu Yuna. Ia
sudah hendak melangkahkan kakinya meninggalkan Ran52
di untuk melanjutkan perjalanannya. Sayangnya, ia terpaksa menghentikan langkahnya lagi ketika tangan Randi
menyentuh lengannya dan membuatnya terdiam.
"Lima belas menit, Yun. Lima belas menit saja aku
minta kamu tetap duduk di sini dan kita bicara," kata Randi lembut.
Yuna melirik jam tangannya. Memang, waktu istirahat
makan siang belum berakhir. Hari ini, Yuna yang kebetulan
keliling di dalam kota bertemu Randi di kedai bakso keju
yang ada di HR. Muhammad. Sebenarnya, tidak bisa dikatakan bertemu. Yuna memang sengaja datang ke kedai itu.
Randi yang baru saja selesai mengantar barang pesanan
pelanggannya, kebetulan lewat di jalan HR. Muhammad
dan tanpa sengaja melihat sepeda motor Yuna terparkir
di depan kedai bakso itu. Randi pun memutuskan untuk
mampir sekalian makan siang.
"Kamu salah jika menuduhku tidak pernah mendapatkan masalah. Semua manusia pasti memiliki masalahnya
sendiri. Berat tidaknya masalah itu tergantung dari manusia itu sendiri. Kalau kamu berpikir masalah yang kamu
hadapi berat, maka itulah yang terjadi. Masalah itu menjadi sangat berat dan kamu nyaris tak mampu menanggungnya." Randi terlihat menghela napas. Mata laki-laki
itu menatap Yuna, membuat Yuna sempat merasa jengah
dengan tatapan yang terlalu lekat itu. "Coba kalau kamu
berpikir masalah yang kamu hadapi itu adalah masalah
ringan yang nantinya akan diberikan Tuhan jalan keluarnya, maka masalah itu benar-benar terasa ringan dan
tak mengganggu." "Tidak mungkin! Aku tidak percaya hal-hal yang tidak
nyata seperti itu," sentak Yuna.
Itulah kenyataannya. Bagi Yuna, semua yang dikatakan Randi hanyalah omong kosong belaka. Berulang kali
ia menolak pemikiran-pemikiran Randi yang tak masuk di
akalnya itu, tetapi berkali-kali pula ia memikirkan semua
perkataan Randi. Semua kata demi kata yang diucapkan
Randi padanya seolah terngiang di telinga Yuna.
"Aku pernah mendapatkan masalah yang nyaris membuat hidup dan masa depanku melayang, Yun. Sungguh.
Aku masih duduk di semester enam ketika kejadian itu
terjadi. Saat itu, aku baru saja keluar dari ruang kuliah
dan kebetulan lewat di parkiran motor. Tanpa sengaja, aku
melihat kunci sepeda motor tergantung di sebuah sepeda
motor. Aku menduga kunci itu tertinggal, jadi yang kulakukan adalah mencabut kunci itu dan berniat membawanya
ke seorang petugas yang sedang menjaga parkiran itu.
Setelahnya aku pulang." Randi menghentikan ceritanya. Ia
mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan tatapan
mata yang menerawang seolah ia sedang kembali ke masa
lalu. "Apa yang terjadi selanjutnya?" Yuna tak mampu menahan rasa penasarannya. "Yang kamu lakukan itu sudah
benar. Di mana masalahnya?"
"Itulah penyebab terjadinya masalah, Yuna. Sepeda
motor itu hilang. Pemilik motor jelas melaporkan kejadian
itu ke pihak kampus dan setelahnya melapor ke polisi. Di
tempat parkir itu terpasang CCTV. Dan di rekaman CCTV
terlihat aku berdiri di dekat sepeda motor itu dengan ta"
ngan yang memegang kunci sepeda motor itu. Rekaman
itu hanya berhenti sampai di situ karena tiba-tiba lampu
di lingkungan kampus mati. CCTV jelas tidak akan berfungsi selama lampu mati kan" Jadi keesokan harinya, aku
dijemput oleh beberapa orang polisi di rumahku dan dimasukkan ke dalam tahanan."
"Astaga! Masa bisa sampai seperti itu" Masa petugas
parkir yang menerima kunci sepeda motor itu tidak me"
ngatakan apa-apa?" "Petugas jaga itu tidak pernah ditemukan. Berkali-kali
aku menceritakan yang sebenarnya, tapi tidak ada satu
orang pun yang percaya. Bukti dari rekaman CCTV itu sudah mengarah kepadaku. Aku tidak bisa membela diriku
sendiri dalam hal ini."
"Betapa lama kamu ditahan?" potong Yuna tak sabar.
Mendadak ia merasa marah atas apa yang dialami Randi.
"Dua bulan," jawab Randi seraya menghela napas panjang sekali lagi, "Ayahku sampai menjual mobil satu-satu"
nya untuk membebaskanku dan menjadikanku tahanan
kota agar aku bisa melanjutkan kuliahku. Bahkan saat itu
aku hampir saja dikeluarkan dari kampus itu karena dianggap kriminal."
"Masa kamu tidak melakukan apa pun" Masa kamu
diam saja, Randi?" seru Yuna gemas.
"Aku punya Allah, Yuna. Hanya Allah yang bisa menyelesaikan segala perkara yang tidak mampu diselesaikan
satu orang manusia pun. Dan aku percaya sebuah hadist
yang mengatakan bahwa pertolongan Tuhan itu sangat
dekat. Hanya orang-orang yang percaya kepada-Nya saja
yang akan mendapatkan pertolongan tersebut. Dan aku
percaya hal itu. Memercayainya dengan sepenuh hati," sahut Randi.
"Gila! Tidak mungkin!" Yuna benar-benar marah kali
ini karena gemas. Baginya, Randi terlihat sangat bodoh
karena mau menerima begitu saja tuduhan yang tak pernah dilakukan oleh laki-laki itu.
"Hei, ceritaku belum selesai! Kenapa kamu jadi marahmarah sih?" Randi tertawa. Tawa yang menggema dan menyentuh sudut tersembunyi dalam hati Yuna. Mendadak
Yuna merasa yakin kalau Randi mungkin sedikit terganggu pikirannya. Mana ada orang yang mengalami masalah
seperti itu masih bisa tertawa"
"Kamu tahu tidak, Yun. Bulan ketiga, jawaban itu datang. Seorang bapak tua datang ke rumahku dengan me56
narik becaknya sendiri. Bapak tua itu bercerita bahwa
anak laki-lakinya sudah mencuri sebuah sepeda motor
dari kampus tempatnya bekerja. Uang dari hasil menjual
motor itu digunakan untuk menyelamatkan bapak tua itu
yang sedang koma di rumah sakit karena kecelakaan. Begitu bapak tua itu sembuh, ia langsung mendatangi kampus untuk meminta alamatku. Dan hari itu ia datang meminta maaf padaku dan kedua orangtuaku."
"Dan kamu memaafkan mereka begitu saja setelah semua kegilaan itu terjadi padamu?" tanya Yuna tak percaya.
Ia membelalakkan matanya.
"Tentu saja. Masa orang minta maaf tidak dimaafkan?"
kata Randi tertawa. "Bapak itu meminta anaknya mendatangi pemilik sepeda motor untuk meminta maaf. Setelah
itu, si anak menyerahkan dirinya ke polisi. Bapak itu juga
minta namaku dibersihkan dengan membuat pernyataan
tertulis pada pihak kampus. Dan kemudian masalah selesai."
Begitu Randi menyelesaikan ceritanya. Yuna berdiri
dan tanpa mengucapkan satu patah kata pun, ia mening"
galkan Randi begitu saja. Yuna benar-benar tidak habis
pikir dengan jalan pikiran Randi. Itukah bentuk pertolong"
an Tuhan" Hanya sebuah permintaan maaf dan semuanya
selesai" Segampang itu" Lalu bagaimana dengan mobil keluarganya yang terpaksa dijual hanya untuk membebaskan Randi yang sebenarnya tidak bersalah" Bagaimana
ain dengan dua bulan yang dihabiskan Randi di dalam tahanan untuk menebus kesalahan yang tidak dilakukannya"
Randi adalah salah satu bentuk ketidaklogisan yang
terjadi di dunia nyata. Yuna benar-benar tidak bisa memahami jalan pikiran dan segala yang telah dilakukan Randi.
Mana ada sih orang yang diam saja dan dengan mudahnya
memberikan maaf setelah semua masalah berat yang dilaluinya" Benar-benar tak masuk akal!
Namun diam-diam, Yuna mulai terusik dengan keha"
diran Randi dan setiap percakapan yang dilaluinya bersama laki-laki itu. Ia penasaran dengan pemikiran dan cara
pandang laki-laki yang santun dan berpembawaan sangat
tenang itu. Ada sesuatu di dalam diri laki-laki itu yang
membuat Yuna penasaran. Bagaimana bisa ia meredam
api amarah yang muncul di dalam dirinya dalam kondisi
yang begitu pasrah" Bagaimana bisa Randi memercayakan dirinya pada Tuhan yang tidak nyata"
Yuna mengendarai sepeda motornya menembus
kemacetan jalan Kota Surabaya yang selalu sama hari demi
hari. Jarang sekali jalan sepi, kecuali hari Minggu dan hari
libur. Itu pun kadang-kadang, meski hari libur, jalan-jalan
di tengah kota tetap saja macet. Kehidupan kota ini benarbenar tak pernah terasa mati. Semua manusia di kota ini


Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepertinya sibuk dengan urusannya masing-masing yang
tak ada habisnya. Yuna baru saja melintasi Jalan Gayungsari. Hari ini, ia
memang bertugas berkelilingi di daerah Wiyung hingga
Gayungsari itu. Ada beberapa toko pelanggannya di dae"
rah sana. Dan, agar usahanya tidak sia-sia, selain mengunjungi pelanggannya, Yuna juga akan mampir ke toko-toko
atau kantoran yang dilaluinya, dengan harapan toko-toko
atau kantoran tersebut akan menjadi pelanggan berikutnya yang bisa ia kelola.
Sebagai seorang marketing lapangan, Yuna memang
lebih banyak menghabiskan jam kerjanya di jalanan. Ia
akan mengunjungi para pelanggannya sesuai dengan jadwal kunjungan dan sesuai dengan area kunjungan yang
sudah ditentukan. Tugas utama Yuna adalah melakukan pendekatan secara personal pada para pelanggannya itu, menawarkan
berbagai produk yang dijual oleh toko tempatnya bekerja
serta mencatat setiap pesanan produk yang dibutuhkan
oleh pelanggan. Selain itu, ada kalanya ia harus meng"
hadapi komplain pelanggan yang berkaitan dengan barang yang rusak dan harus diretur, pelayanan administrasi
yang sering bermasalah, atau komplain mengenai lama"
nya pengiriman barang. Komplain hari ini membuat Yuna nyaris menjerit
frustasi. Pengiriman barang lagi-lagi terlambat. Dan kali
ini tidak tanggung-tanggung. Sudah dua minggu sejak
ia mencatat pesanan pelanggannya itu dan hingga hari
ini, saat kunjungan berikutnya, barang-barang tersebut
ternyata belum diterima oleh pelanggannya.
Yuna menghentikan sepeda motor. Ia mengeluarkan
telepon genggam dari salah satu saku jaketnya dan mulai
menekan nomor telepon kantor.
"Tolong sambungkan dengan bagian gudang dong, Sri,"
katanya dengan nada tinggi begitu suara Sri terdengar di
ujung sambungan. "Ya, Mbak Yun, ada apa?" suara Firman terdengar de"
ngan napas terengah. Yuna sempat membayangkan Firman baru saja diteriaki dan laki-laki itu terpaksa berlari
turun dari lantai dua atau tiga ke lantai satu.
"Faktur toko Barokah itu sudah disiapkan belum sih?"
sentak Yuna. Namun di detik yang sama Yuna sadar. Bukan salah Firman kalau ternyata kiriman barang pelanggannya telat terus.
"Aku sudah menyiapkan pesanan Barokah itu dari
minggu lalu," sahut Firman cepat, "Bentar, coba kulihatkan dulu," lanjut Firman lagi yang disertai dengan bunyi
gagang telepon diletakkan di atas meja.
Yuna menunggu dengan kekesalan yang terus bertambah setiap detiknya. Tak berapa lama kemudian, sebelum
kekesalan itu sempat membuatnya mematikan telepon itu
begitu saja, suara Firman kembali terdengar.
"Barangnya masih ada di sini, Mbak," lapor Firman
padanya. Dan Yuna langsung menggigit bibir bawahnya
kuat-kuat agar tidak memaki.
"Sambungkan dengan Nenek Lampir, Fir!" desis Yuna
geram. "Oke, Mbak. Siap!" Dan nada tunggu yang berupa lagu
anak-anak itu pun terdengar menyapa gendang telinga
Yuna. Yuna mencengkeram telepon genggamnya.
"Ya, Yun. Kenapa" Barang pesananmu ya" Waduh, sori
ya, kiriman langgananku banyak sekali akhir-akhir ini,
jadi terpaksa yang lain mengalah dulu," lengking Erna
dengan suaranya yang terlalu cempreng di te"linga Yuna.
Nenek Lampir itu jahat sekali. Bisa-bisanya ia memanfaatkan posisinya yang sebagai kepala toko untuk bertindak
semena-mena dengan karyawan lain. Sudah bukan rahasia lagi kalau Erna itu suka cari muka dengan atasannya.
Ia bisa membuat karyawan lain menderita, bahkan ia suka
sekali melaporkan kesalahan-kesalahan yang tidak pernah diperbuat oleh salah seorang dari para pekerja yang
ada di toko itu demi mendapatkan perhatian Pak Indra.
"Er, kalau begitu batalkan saja faktur toko Barokah!
Aku akan telepon Koko habis ini dan menceritakan semuanya. Pesanan toko Barokah itu nominalnya hampir
25 juta loh. Dan kamu mengorbankan pesanan sebesar itu
untuk ambisimu?" Yuna mematikan sambungan telepon itu dan langsung
menghubungi Pak Indra. Ia menekan nomor telepon kakak
sepupunya itu dengan cepat, sebelum Nenek Lampir itu
mendahuluinya. "Ko, toko Barokah pesanannya batal! Nominal pesanannya 25 juta dan pesanan sudah masuk dua minggu yang
lalu," berondong Yuna cepat begitu nada halo terdengar.
"Hah" Kok bisa?" tanya Pak Indra keheranan. Nominal sebanyak itu untuk satu pelanggan termasuk nominal
yang cukup besar. Dan, pelanggan yang bisa melakukan
pesanan barang lebih dari 10 juta dalam satu faktur biasanya menjadi pelanggan yang diprioritaskan.
"Tanya aja sendiri sama kepala toko kesayangan Koko
itu," jawab Yuna dengan tawa sinis yang sengaja diperde"
ngarkannya. "Sori, Ko, aku tidak bermaksud kurang ajar,
tapi kalau omset per bulanku selalu saja tidak tercapai gara-gara hal seperti ini, kayaknya aku harus segera berpikir
mencari kerjaan baru yang bisa mendukung potensiku sebagai seorang marketing."
"Nanti Koko urus," sahut suara Pak Indra.
Yuna mematikan teleponnya. Mau diurus bagaimana
pun, solusi sebaik apa pun tidak akan ada gunanya selama Nenek Lampir bernama Erna itu masih saja bertindak
semena-mena. Yuna kembali melanjutkan perjalanannya. Panasnya
Kota Surabaya siang itu membuat Yuna nyaris melarikan
diri pulang ke rumah kosnya dan tidur. Satu-satunya cara
bagi Yuna untuk membebaskan diri dari impitan kesesak"
an isi kepalanya adalah tidur. Sayangnya, itu tidak mungkin dilakukannya saat ini karena masih ada tiga pelanggan
lagi yang harus dikunjunginya sebelum akhirnya ia kembali ke kantor dan menyerahkan laporan kunjung"annya
tersebut. Yuna melintas di Jalan Gayungan. Taman Masjid Agung
Surabaya mendadak menggoda Yuna untuk masuk. Se"
pertinya taman yang penuh dengan pepohonan rindang
itu memanggil-manggilnya untuk berteduh di sana. Yuna
pun membelokkan sepeda motornya, nyaris bersamaan
dengan dering telepon genggamnya yang disertai dengan
getaran. Getaran tanpa hentilah yang akhirnya memaksa
Yuna kembali menghentikan motornya di bawah sebatang
pohon rindang yang berada di Taman Masjid Agung itu.
Yuna melirik layar telepon genggamnya sejenak dan
seketika itu juga mengeluh dalam hati. Nama kakak sepupunya tertulis di sana. Dengan enggan ia menekan tombol
hold dan mendekatkan telepon genggam itu ke telinga"
nya. "Yun, coba kamu nego lagi pemilik toko Barokah agar
mau menerima barang kiriman itu hari ini. Robbie sudah
Koko suruh balik ke toko dan mengambil semua barang
itu dan langsung siang ini juga diantar ke toko Barokah,"
pinta Pak Indra. "Suruh Erna yang nego. Biar dia merasakan semprotan
maut Pak Barokah. Aku nggak mau, Ko," tolak Yuna.
"Yun, jangan begitu. Sudahlah, kamu mengalah saja
sama Erna. Tolong mengerti posisi Koko sekarang. Sepertinya kita belum bisa menyingkirkan Erna. Biar bagaimana
pun, dia masih memiliki potensi untuk membantu Koko
memajukan toko itu."
"Enggak mau, Ko. Erna yang harus melakukan negosiasi itu! Biar dia juga tahu kalau para marketing lapangan
itu tidak hanya harus bersusah payah melakukan negosiasi. Kita juga mempertaruhkan nyawa kita di jalanan, Ko."
Yuna mempertahankan kekeraskepalaannya. Ia tidak mau
mengalah kali ini. "Ya wes lah.7 Koko suruh Erna telepon," jawab Pak Indra mengalah atas kekeraskepalaan Yuna.
Yuna mematikan telepon itu dengan senyum terkulum
di bibirnya. Namun hatinya mengomel karena ketidaktegasan kakak sepupunya itu dalam mengatur para anak
buahnya. Dengan cepat Yuna menekan urutan angka yang
menghubungkannya dengan pemilik toko Barokah.
"Pak Barokah, ini Yuna. Nanti pihak kantor, Erna
namanya akan menghubungi Bapak. Mereka akan me"
ngirimkan barang pesanan Bapak hari ini. Pak Barokah
mau berkomplotan dengan saya, kan?" tanya Yuna dengan
nada geli yang tak bisa disembunyikannya.
7 ya sudah lah "Dasar kamu itu sinting, Yun. Baiklah, aku akan marahmarah dan mengomel dulu. Apa perlu nanti Robbie kirim
barang ke sini aku tolak dulu?" tanya Pak Barokah sambil
tertawa. "Kalau itu bisa menimbulkan efek jera, kenapa enggak?" sahut Yuna yang kali ini sudah benar-benar tertawa.
"Oke, kita lakukan! Kamu tanggung jawab dosanya ya,
Yun." "Siap, Pak. Bapak yang tanggung, aku yang jawab deh.
Bagi dua aja dosanya," seru Yuna lagi.
Sambungan telepon itu pun dimatikan. Inilah enaknya
jika hubungan kerja sama sudah sedemikian baiknya.
Ia bisa membuat skenario apa pun yang berguna untuk
mengerjai orang-orang yang sudah berbuat semena-mena. Yuna masih tak mampu menghilangkan senyumnya
saat memasukkan telepon genggamnya ke dalam saku jaketnya.
Yuna menarik napas panjang dan kemudian mengembuskannya perlahan. Berkali-kali hal itu dilakukannya
hingga dadanya yang tadinya sumpek terasa lega. Hatinya
sangat senang karena berhasil mengerjai si Nenek Lampir
itu, meski dengan bantuan Pak Barokah.
Yuna mengedarkan tatapan matanya ke sekeliling taman. Matanya terhenti pada bangunan yang berdiri di te"
ngah-tengah taman. Masjid Nasional Al-Akbar atau yang
lebih dikenal dengan Masjid Agung Surabaya, berdiri
megah dengan empat kubah kecil yang beratap biru muda.
Warna yang begitu mencolok dan membuat siapa saja
yang menatap ke arah bangunan megah itu langsung dapat mengenali bangunan tersebut. Satu buah menara yang
tingginya sekitar 99 meter membuat bangunan itu semakin terlihat megah menantang langit biru yang cerah.
Yuna turun dari motornya setelah mengunci setir motor. Ia mulai berjalan melintasi taman ke arah di mana
bangunan itu berdiri. Masjid Agung Surabaya ini adalah
masjid terbesar kedua di Indonesia setelah Masjid Istiqlal
di Jakarta. Secara keseluruhan, bangunan masjid beserta
seluruh fasilitasnya memakan area sekitar 22.300 meter
persegi. Dan yang lebih membanggakan, bangunan semegah ini ternyata dirancang dan dikerjakan oleh tim arsitek dari Institut Teknologi Sepuluh November. Bangunan
yang mulai dibangun pada tahun 1995 ini, sempat dihentikan sementara pembangunannya karena krisis mo"neter
yang melanda Indonesia. Namun, akhirnya masjid itu selesai pada tanggal 10 November 2000 dan diresmikan oleh
KH. Abdurrahman Wahid. Yuna terus melangkahkan kakinya menaiki tangga
yang mengarah ke dalam aula masjid. Lantai masjid dirancang tiga meter dari permukaan jalan yang ada di sekitarnya. Menurut artikel yang pernah dibaca Yuna, masjid
ini membutuhkan sekitar 2.000 tiang pancang sebagai
fondasinya. Masjid ini juga memiliki 45 pintu dengan daun
pintu ganda yang membutuhkan sekitar 90 daun pintu
yang terbuat dari kayu jati.
Yuna berdiri di depan salah satu pintu. Ia mengagumi
keindahan dan estetika yang ada pada bangunan masjid
itu. Marmer dari Lampung melapisi lantai dan dinding ruangan dalam masjid sehingga membuat ruangan itu terasa
begitu sejuk. Kesejukan yang aneh karena di luar sana panas matahari memanggang Kota Surabaya dengan sangat
terik. Dengan ragu-ragu Yuna memasuki ruangan dalam
masjid. Semakin ia masuk ke dalam, semakin melebar matanya. Nuansa Islami di dalam masjid itu begitu terasa. Kaligrafi yang begitu indah menjadi penghias yang melengkapi kemegahan Masjid Agung Surabaya itu.
Ada beberapa orang di dalam aula masjid. Sebagian sedang mengenakan kain putih panjang yang membungkus
seluruh tubuh. Sebagian lainnya sedang duduk di lantai,
seperti sedang menunggu. Lalu, ada beberapa lagi yang
bergegas menuju salah satu bagian aula, menggelar kain
tebal yang berbentuk empat persegi panjang, dan berdiri
di atasnya. Tiba-tiba suara keras dari speaker masjid terdengar.
Terlalu keras. Memenuhi seluruh bagian dari aula masjid.
Baru kali ini Yuna mendengat kumandang adzan yang
begitu keras dan menggema di dalam masjid. Gema yang
seketika itu juga membuat jantung Yuna berdebar hebat.
Andai bisa, mungkin jantung itu meloncat keluar dari
rongga dadanya. Alunan adzan membuat Yuna terpaku di tempat. Tubuhnya yang kepanasan karena teriknya sinar matahari,
tiba-tiba mendadak terasa dingin. Yuna membelalakkan
mata setengah tak percaya. Sepertinya ia baru saja terkena serangan jantung dan demam dalam waktu yang bersamaan.
Yuna ingin segera berlalu dari tempat itu, tapi tak bisa.
Kakinya seolah terpaku di tempatnya berdiri. Sementara
telinganya menyesap setiap nada dari alunan adzan itu.
Alunan nada itu menyelinap di hatinya yang kering kerontang. Alunan itu juga menghentikan keriuhan isi kepalanya
hingga hanya keheningan yang nyaman menyelimutinya.
Kesejukan yang sudah terlalu lama tak pernah dirasakannya membuat kaki Yuna lemas dan ia pun terduduk di lantai.
Yuna tetap tak dapat bergerak. Ia masih terduduk di
lantai dan hanya bisa menatap dengan kedua bola mata
nyalang saat orang-orang yang berada di dalam ruangan
itu mulai bergerak. Berdiri, mengangkat kedua ta"ngan,
membungkukkan tubuh, berdiri lagi, bersimpuh, bersujud, dan kembali berdiri. Gerakan yang mereka lakukan
itu terus berulang. Entah berapa banyak mereka melakukannya.
Entah berapa lama Yuna terdiam dan terpaku dalam posisinya itu. Bahkan ketika orang-orang yang sembahyang itu akhirnya meninggalkan aula masjid, Yuna
masih terdiam di tempatnya. Ia ingin bangkit dan segera
berlari kembali ke sepeda motornya. Namun, tak ada satu
pun dari anggota tubuhnya yang menuruti kehendaknya.
Ia lumpuh total. Sebuah alunan lembut kembali terdengar. Entah siapa
yang melantunkannya. Yuna tidak melihat satu orang pun
di dalam masjid itu. Ruangan itu kosong. Namun, alunan
lembut itu bergema dalam lantunan yang begitu indah.
Sedetik nadanya begitu tinggi bagai jeritan hati yang me"
ratap, menangis, dan memohon, tetapi di detik berikutnya
alunan nada itu menjadi sangat lembut, bagai membelai
jiwa Yuna yang kehausan, mengusap luka demi luka yang
ada di dalam hatinya, hingga membuai Yuna hingga air
mata tak lagi bisa ditahannya.
Yuna menangis. Air matanya meleleh di kedua pipinya.
Tangan Yuna mati rasa. Ia tak mampu mengangkat
salah satunya untuk mengusap jauh-jauh air mata itu.
Yuna tidak suka menangis. Ia benci air mata. Tapi saat ini
ia tidak berdaya. Sepertinya, alunan nada itu mengingin"
kannya menangis. Alunan nada itu bagai air yang sedang
mencuci hatinya yang penuh dengan kemarahan, kebencian, dan rasa sakit hati hingga semua sampah hatinya itu
hilang begitu saja. Yuna sesenggukan dalam posisi kepala tertunduk.
Ia bersimpuh. Yang bisa dilakukannya saat itu adalah membiarkan
setiap nada meremas hatinya hingga hatinya benar-benar
bersih. Setelahnya, gema nada itu seolah terpatri dalam hati"
nya. Sekuat apa pun Yuna menolak dan berusaha menyingkirkan gema nada itu dari dalam hatinya, gema itu tetap
berdiam di sana. Tak bisa lepas. Tak bisa hilang. Apakah Tuhan sedang berbisik padanya"
Bisakah Tuhan berbisik sehingga ia dibuat sedemikian
tak berdaya" Benar-benar bisakah Tuhan berbisik di hatinya"
Alunan nada itu terus bergema dan memaksa Yuna
menelungkupkan tubuhnya di lantai.
Gema nada itu.... Alunan itu.... "Subhanallah walhamdulillah walaa ilaaha illallah,
"Allahu Akbar."
Hati Yuna tak bisa berhenti menggemakannya.
BAB 4 Perempuan Istimewa

Hati Yang Bertasbih Karya Garina Adelia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berhati Batu "Aku mendapat panggilan di supplier komputer dan laptop terbesar di Surabaya, Mama. Bolehkah aku berangkat
dan mulai meniti karirku di sana?"
Randi Wicaksana sedang duduk di hadapan kedua
orangtuanya. Di tangannya tergenggam selembar kertas
yang berisi panggilan kerja dan pernyataan bahwa dirinya
diterima bekerja di tempat itu.
Dengan seizin dan restu kedua orangtuanya, Randi pun memutuskan untuk merantau ke Surabaya dan
me"ninggalkan Kota Semarang, kota yang sudah mem"
besarkannya dan membentuknya menjadi pribadi seperti
sekarang. Bekerja di sebuah supplier komputer dan laptop merupakan impian Randi. Kecintaannya pada dunia
teknologi dan informasi membuatnya berharap bahwa
suatu hari nanti ia akan memiliki usaha sendiri di bidang
ini. Namun, untuk bisa sukses ia harus belajar terlebih dahulu. Salah satunya adalah dengan bekerja pada orang lain
dan menyerap sebanyak mungkin ilmu yang ada di tempat
itu. Ilmu yang akan dibutuhkannya dalam mengembangkan usahanya sendiri nanti.
Dengan tekad dan keyakinan itulah, Randi akhirnya
hidup di Surabaya dan menghabiskan waktu kerjanya di
kantor cabang supplier terbesar di THR Surabaya, yang
merupakan pusat IT kota itu. Kejadian itu sudah tiga tahun berselang. Dan hingga hari ini, Randi masih bekerja
di tempat yang sama serta mendedikasikan dirinya pada
pekerjaan itu dengan sepenuh hati.
Randi lahir di keluarga muslim yang sangat taat. Walaupun ia terlahir sebagai anak pertama dan anak laki-laki
satu-satunya, Randi bukanlah anak yang manja dan egois.
Sebagai anak pertama dengan dua adik perempuan, Randi
berpembawaan sangat tenang. Kehidupan keluarga me"
reka yang sangat sederhana juga membuat Randi terbiasa
hidup wawas diri dan tidak berlebihan. Baginya, hidup itu
harus seperti menikmati pemandangan. Tenang, nyaman,
dan teratur. Tidak berlebihan, tidak juga terlalu ambisius.
Ia lebih suka menjalani hidupnya seperti air yang mengalir, tenang dan menghanyutkan.
Jiwa Randi yang begitu tenang membuat emosinya
juga setenang air di danau. Kadang memang beriak ketika terkena angin, tetapi riaknya hanya membuat perahu
terayun perlahan. Tidak sampai membalikkan perahu
tersebut hingga tenggelam. Ia sudah terbiasa meredam
emosinya ke titik terendah. Bertahun-tahun ia melatih dirinya untuk mampu bersikap tenggang rasa dan berusaha
mengerti keadaan orang lain. Itulah yang sudah ditanamkan oleh kedua orangtuanya dalam menyikapi kondisi keluarga mereka yang tidak hidup dalam berkelimpahan.
Selain itu, Randi juga pernah mengalami masa-masa di
mana masalah menghadangnya. Salah satunya adalah ketika ia hidup di dalam penjara untuk menebus kesalahan
yang sama sekali bukan salahnya.
Bohong jika saat masalah itu datang Randi tidak marah
dan protes. Bohong juga kalau ia tidak menangis dan berteriak
meraung-raung meminta kedua orangtuanya membebaskan dirinya.
Namun kenyataannya, meski ia protes, meski ia marah
atau menangis meraung-raung, apakah masalah itu bisa
selesai seketika" Tidak! Satu hal yang disadari oleh Randi. Ada saat-saat tertentu di mana tidak ada satu manusia pun yang bisa membantunya. Ada hal-hal tertentu pula yang sama sekali
tak bisa diubahnya mesti sekuat apa pun ia berusaha.
Kemarah"an yang nyaris meledak dari dalam dadanya itu
akhirnya luntur perlahan bersama penyerahan diri tanpa
syarat pada Allah. Randi merasa bahwa kemarahan dan perasaan tidak
terima itu hanya membuatnya terpuruk dalam keputus"
asaan. Kesedihan dan tangisan hanya membuatnya tidak
mampu berpikir jernih. Karena itulah, Randi belajar untuk ikhlas. Randi belajar untuk menerima apa pun yang
diberikan Allah padanya, baik itu tawa maupun air mata.
Hari itu, Randi diajarkan untuk menerima segala suratan
yang digariskan kepadanya dengan lapang dada. Ia juga
belajar untuk menggantungkan segala harapannya pada
Allah pemilik alam semesta.
Di usianya yang sudah 24 tahun, Randi juga tidak terobsesi untuk memiliki pasangan hidup. Ia masih belum me"
nemukan perempuan yang cocok untuk melabuhkan hati"
nya. Randi tidak percaya cinta. Baginya semua perempuan
itu sama saja. Pemburu harta dan kemewahan. Nyaris tak
memiliki kesetiaan. Karena itulah, Randi tidak sedikit pun
menginginkan hadirnya cinta semu dalam hidupnya.
Randi masih ingat ketika ia masih di Semarang, ibunya
berkali-kali menanyakan hal yang sama.
"Memangnya tidak ada perempuan yang kamu sukai,
Ran?" "Sekarang tidak, Mama. Belum ada yang cocok," sahut
Randi santai. "Mbok ya mulai mencari, Randi. Umurmu itu loh wes
piro" Teman-temanmu sudah banyak yang nikah, masa
kamu pacar aja belum punya."
Kalimat itu sudah terlalu sering didengar Randi. Ibunya, ayahnya, bahkan saudara-saudaranya sering membicarakan hal yang sama pada pertemuan-pertemuan keluarga mereka.
"Aku masih ingin berkarir. Nanti kalau sudah sukses,
tidak usah mencari susah-susah. Perempuan-perempuan
itu akan datang dengan sendirinya."
Itulah jawaban yang bisa Randi berikan pada setiap
pertanyaan yang datang padanya. Mana ada sih perempuan yang mau dengan laki-laki yang belum mapan"
Randi tidak pernah berpikir bahwa kalimat-kalimat
yang diucapkannya itu menjadi tak ada artinya saat ia
bertemu dengan Yuna. Saat melihat perempuan itu, ada
banyak rasa yang membuncah di dalam dadanya. Perempuan itu sangat berbeda dengan kebanyakan perempuan
yang sudah dikenalnya. Perempuan itu bagai bola api yang
mendadak bisa berputar dengan cepat dan membakar
apa pun yang dilewatinya. Namun, pada detik berikutnya,
perempuan itu bagai embun pagi yang begitu sejuk dan
menyegarkan hati. Randi masih ingat dengan jelas pertemuannya dengan
Yuna untuk pertama kalinya, dan itu bukanlah pertemuan
yang menyenangkan. Perempuan itu meledak dalam kemarahan hanya perkara sepele. Bukan pada Randi tepatnya kemarahan itu ditujukan Yuna. Saat Randi tiba di toko
tempat Yuna bekerja, Yuna sedang memarahi salah satu
teman kerjanya hanya karena salah mencatat pesanan pelanggannya.
Kata-kata yang meluncur dari mulut Yuna bagai kecepatan pesawat. Setiap kata itu bernada tinggi, disertai
dengan makian yang benar-benar tak layak didengar oleh
telinga mana pun. Sepertinya perempuan itu amat sangat
mudah memaki. Di saat yang sama, Randi juga tak bisa
menahan tawanya ketika Yuna memaki dengan makian
yang terdengar begitu konyol.
"Mulut seperti pantat ayam itu harusnya disimpan di
selokan. Kalau menjawab jangan seenak udelnya aja," teriak Yuna pada Yuli. "Apa kamu sengaja mencatat pesanan
yang salah karena mentang-mentang itu bukan pelangganmu, Yul?"
"Kalau kamu nggak mau pesanan pelangganmu salah
catat, ya bilang dong sama pelangganmu untuk tidak menelepon ke kantor. Di sini semua repot, mana bisa meng"
urusi pesanan pelangganmu," balas Yuli dengan tangan
yang sibuk membungkus pesanan pelanggannya sendiri.
"Harusnya kamu bilang langsung saat kamu menerima
telepon itu. Suruh dia menghubungiku! Masa aku tahu ke
mana pelangganku mau menelepon, sementara aku baru
tiga bulan bekerja di sini," bentak Yuna pada Yuli. Dan
Yuna berteriak semakin nyaring ketika ia menatap Yuli
yang sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan pada
apa yang dibicarakan Yuna. "Hei, aku lagi bicara denganmu, Yuli! Atau aku lagi bicara sama tembok?"
"Tembok keren ini, Yun, bisa menjawab semua katakatamu," sahut Yuli semakin seenaknya.
Saat itulah Randi yang berdiri di depan toko dengan
mulut ternganga, tak dapat lagi menahan tawanya. Dua
perempuan itu bertengkar seperti dua anak perempuan
kecil yang sedang berebut boneka. Kalimat-kalimat panjang mereka bagai dialog dalam sinetron televisi. Kelu"cuan
terselip di dalam setiap kata yang saling mereka lontarkan
dengan perasaan amarah. "Apa yang kamu tertawakan?" semburan Yuna ke arah
dirinya, membuat Randi semakin terbahak. Ia sama sekali
tak menyangka bakal kena imbas kemarahan Yuna.
"Jelas aja aku tertawa. Kalian lebih terlihat seperti dua
anak perempuan yang sedang berebut mainan. Anak kecil
yang terlalu dewasa untuk mengucapkan berbagai kata
makian," sahut Randi dengan sisa-sisa tawa yang bergema
dari mulutnya. Saat itu Randi merasa heran, kenapa yang lain diam
saja ketika melihat kedua perempuan itu bertengkar" Kenapa tidak berusaha melerai"
Lama-kelamaan Randi tahu, teman-teman Yuna sering
kali segan untuk menegur Yuna, hanya karena Yuna adalah adik sepupu pemilik toko itu. Kemarahan Yuna itu bukannya tanpa alasan. Mereka melihat sendiri bagaimana
Yuna yang adiknya bos selalu dikerjai oleh dua orang yang
sama. Yuli dan Erna adalah dua orang yang paling sering
terlihat bertengkar dengan Yuna. Randi tidak tahu dengan
pasti apa tepatnya yang membuat kedua orang itu selalu
mencari masalah dengan Yuna. Pertengkaran yang terjadi
hampir setiap hari akhirnya menjadi pemandangan yang
sangat biasa di mata Randi.
Randi juga pernah merasakan amarah Yuna ketika ia
salah mengantarkan barang pesanan yang diminta Yuna.
Kegalakan Yuna sering kali membuat orang hanya bisa
menggelengkan kepalanya. Kemarahan Yuna yang meledak-ledak membuat Randi penasaran. Yuna sepertinya
terkurung dalam suasana hati yang tak stabil. Mungkin
itulah yang membuat Yuna mudah sekali marah, bahkan
saat berhadapan dengan perkara kecil yang sebenarnya
bisa diselesaikan dengan kepala dingin.
Randi juga sering menggelengkan kepalanya setiap ia
bertemu dengan Yuna. Ternyata ada juga perempuan yang
tidak peduli dengan penampilannya ketika marah. Belum
lagi kata-kata yang meluncur ringan dari bibir mungilnya
itu. Setiap kata yang terucap selalu bisa membuat merah
telinga yang mendengarnya. Kesinisan dalam nada suara"
nya juga terdengar tak biasa. Perempuan itu menyimpan
luka yang terlalu dalam di hatinya hingga ia tidak bisa
meredam amarahnya. Randi melihat bahwa setiap ada pemicu, Yuna seolah
mendapatkan pelampiasan atas kemarahannya. Randi
ingin" mengenal Yuna lebih dekat. Randi ingin tahu luka
seperti apa yang dipendam Yuna di dalam hati dan pikirannya. Randi penasaran.
Ada keinginan di dalam hatinya untuk mendekati Yuna.
Namun, keberaniannya selalu menguap setiap ia teringat
siapa perempuan yang sedang didekatinya itu. Randi tahu
siapa dirinya. Ia juga tahu siapa Yuna. Ada perbedaan besar yang menjurangi dirinya dan Yuna hingga batas sebagai rekan kerja tak mungkin dilampauinya begitu saja.
Warna kulit Yuna yang berbeda dengan dirinya, sudah
menjelaskan dengan begitu gamblang asal usul dan adat
istiadat mereka. Latar belakang Yuna juga sangat jauh
dibandingkan dengan dirinya. Belum lagi jika ia melihat
tingkat sosial, ekonomi, dan perbedaan prinsip yang menjurangi dirinya dan Yuna. Berusaha sekuat tenaga pun,
Randi tidak akan pernah memiliki keberanian untuk mencoba memuaskan hatinya sendiri.
Randi dan Yuna bagai dua manusia yang hidup di belahan dunia berbeda, meski pada kenyataannya mereka
berpijak di tempat yang sama. Jika dirangkum menjadi
satu, perbedaan keduanya pasti akan menciptakan sebuah
perbedaan yang panjang. Dari sudut pandang mana pun,
tidak akan ada satu orang pun yang akan mengira Randi
dan Yuna bersatu. Itu tidak akan pernah terjadi.
Ada banyak perempuan yang dikenal Randi. Dulu, semasa ia masih duduk di sekolah menengah, ia juga pernah
mengalami rasanya menjalin hubungan. Namun, hubung"
an itu berlalu begitu saja. Begitu pula saat ia berstatus
sebagai mahasiswa, tidak kurang-kurang ia mencoba
mendekati perempuan yang memikat hati. Hanya sebatas
itu. Karena para perempuan itu tidak pernah memandang
Randi. Tidak tampan" Bukan itu alasannya. Randi sudah meyakinkan dirinya
sendiri setiap ia becermin, dan mendapati bahwa wajahnya tidak jelek-jelek amat. Jadi, sudah jelas bukan ketampanan yang menjadi ukuran sehingga para perempuan itu
tidak bisa menerima cintanya. Hal utama yang disadari
Randi adalah para perempuan itu tidak akan pernah bisa
menerima Randi yang terlalu sederhana, yang berangkat
dan pergi kuliah hanya naik sepeda motor butut kesayang"
annya. Kini ia sudah bekerja. Cukup mapan untuk ukuran
teknisi dan memiliki banyak sekali pelanggan yang menggunakan jasanya. Ia pun menjadi orang kepercayaan bosnya. Ia juga bisa memiliki barang-barang yang dulu hanya
bisa dikhayalkannya dalam mimpi. Randi yang sekarang
sudah sangat berbeda dengan Randi yang dulu, meskipun
ia tetap berusaha tampil apa adanya.
Randi yang sekarang jauh lebih beruang dibandingkan Randi yang bersepeda motor butut dulu. Namun, keinginan untuk menerima salah satu perempuan Surabaya
yang ternyata terlalu berani dalam hal menyatakan cinta,
Randi tidak bisa. Hatinya mati. Ia tidak menginginkan seorang perempuan yang melihat dirinya ada apanya, bukan
apa adanya. Ia tidak bodoh. Dan, ia tidak ingin terjerat dalam cinta yang bodoh.
Anehnya, ketika ia melihat Yuna yang seperti itu, Randi
merasa hatinya yang mati kembali menggeliat. Ada tandatanda kehidupan. Ada rasa penasaran. Ada keingintahuan
yang begitu besar, yang menuntut untuk dituntaskan. Ada
segala macam rasa yang tak dimengerti Randi kenapa ia
begitu ingin mengenal Yuna.
Itu terjadi setahun yang lalu. Dalam setahun ini, yang
bisa dilakukan Randi adalah menjadi rekan kerja yang
baik bagi Yuna. Begitu pula Yuna yang terlihat berusaha
bersikap baik pada Randi, meski adakalanya Yuna lupa untuk bersikap baik akibat kemarahan yang sudah telanjur
me"nguasainya. Bukankah hubungan harmonis akan memperlancar pekerjaan yang melibatkan mereka berdua"
Hari ini Randi ditugaskan mengantarkan sebuah komputer dan melakukan instalasi di sebuah rumah mewah
di perumahan Graha Family. Sebenarnya, posisi Randi di
supplier komputer itu adalah seorang teknisi. Namun,
karena ia juga harus melakukan perbaikan dan instalasi
di tempat, maka jadilah ia sekalian mengantar barang
Liang Pemasung Sukma 1 Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar Dendam Iblis Seribu Wajah 12

Cari Blog Ini