Ceritasilat Novel Online

Kristal 5

Kristal Karya Wina Natalia Bagian 5


Lift bergerak perlahan menuju lantai dasar. Kristal terus-menerus
memperhatikan nomor lantai yang berubah semakin mengecil
hingga berhenti di angka satu. Lift terbuka dan Kristal melangkah
keluar dengan galau. Sebenarnya ia enggan meninggalkan Alex.
Betapa inginnya ia berada lebih lama lagi bersama pria itu. Apalagi,
ia tahu nanti malam ia tidak bisa bertemu Alex. Tapi, sudahlah,
pikirnya. Ini adalah risiko memiliki kekasih yang notabene adalah
atasannya sendiri. Ia tidak mau timbul gosip tidak sedap sehubungan
kedekatannya dengan Alex.
Seharian itu Kristal menyibukkan diri di dalam kantornya.
Pikirnya, bila pekerjaannya cepat selesai, siapa tahu ia masih sempat
bertemu Alex malam nanti. SMS dari Alex tadi siang semakin
membuatnya bersemangat. Makasih buat bekalnya. Semangat yah hari ini.
Love you. Aww, manis sekali. Kristal tersenyum sambil mengetikkan
pesan balasan. Kamu juga semangat yah. Ia hampir mengetik kata
"love" tapi cepat-cepat dihapusnya. Sebagai gantinya, ia membubuhi
emoticon smile di bawah pesan tersebut. Sudahlah. Ia memang
bukan tipe wanita yang bisa gampang beromantis-romantis ria.
Setelahnya, ia berjalan menuju ruang ballroom untuk mulai
mendekorasi ruangan. Ia menoleh ke sana kemari dan langsung
230 Kristal Ok Rev.indd 230 mengembuskan napas lega. Pria cerewet yang ia temui di kafe
kemarin itu tidak tampak batang hidungnya. Syukurlah pria itu tidak
ada di sini. Ia malas sekali bila harus bertemu pria itu lagi. Meskipun
acara besok merupakan acara yang digelar oleh perusahaan tempat
pria itu bekerja, tapi mengingat kejadian memalukan kemarin ia
enggan bertemu lagi dengan pria itu. Kristal berjalan menghampiri
para pelayan yang tengah menyusun piring-piring di atas meja.
Lalu ia mengelilingi ruangan untuk memastikan segalanya telah
terkoordinasi dengan baik, dan setelah yakin tidak ada masalah, ia
pun duduk di kursi paling belakang menunggu Pak Rudi.
Manajernya itu datang setengah jam kemudian bersama
beberapa pria anggota band yang akan tampil di acara besok. Kristal
tidak menyadari kedatangan mereka hingga Pak Rudi berdiri di
sampingnya. "Kristal, ini para pemain band-nya sudah datang. Aku kenalkan
mereka sama kamu." Ia pun menoleh. Di hadapannya berdiri beberapa pria dewasa
seumurannya. Ia menatap mereka satu per satu dan tersentak.
Pandangannya terhenti pada sosok seorang pria. Seorang pria yang
mirip dengan Reygan. Matanya, garis wajahnya, senyumnya."Ini
Ben, gitaris sekaligus ketua band ini. Dan Ben, ini Kristal. Dia yang
mengoordinasi acara ini, kalau ada apa-apa kamu bisa langsung
berhubungan dengan Kristal yah."
"Oke. Aku Ben. Salam kenal," pria itu berkata.
Ya Tuhan, bahkan suaranya pun mirip sekali. Kristal melongo
beberapa saat. Pria itu memandangnya bingung.
Kristal mengerjap sebentar. "Ya, salam kenal," jawabnya, setelah
dengan susah payah berhasil mengusir kekagetannya yang belum
sepenuhnya lenyap. 231 Kristal Ok Rev.indd 231 Selanjutnya pemain band yang lain juga memperkenalkan
diri, namun ia tidak terlalu memperhatikan mereka. Berbagai hal
berkecamuk dalam pikirannya. Diam-diam ia terus melemparkan
pandangan sembunyi-sembunyi pada pria bernama Ben itu. Bahkan
saat mereka tampil di atas panggung untuk geladi resik pun,
tatapannya tak bisa lepas dari wajah pria itu. Benar-benar mirip
sekali. Tidak bisa dibilang kembar memang, tapi entah mengapa ada
begitu banyak hal dalam pria itu yang mengingatkan dirinya pada
Reygan. Pada sosok yang ia rindukan. Meskipun, ia berusaha matimatian menghilangkan segala perasaan itu dengan terus mengatakan
pada dirinya sendiri berulang-ulang: Pria ini bukan Reygan, bukan
Reygan, bukan Reygan. Tidak berhasil. Ia makin merasa tidak tenang. Kristal
memutuskan ia harus menjauh. Pikirannya tengah kalut sekarang
ini, ia perlu berpikir jernih. Diambilnya tas kerjanya dan berjalan
cepat menuju pintu keluar.
Alex duduk di bangku taman kecil yang terletak di tengah
apartemennya dan apartemen Kristal. Berkali-kali ia melirik ke
arah jalan raya menunggu kehadiran gadis yang ia sayang. Sebuah
kantong plastik besar berisi sekotak besar aneka sushi dan kantong
kecil berisikan red velvet cupcake kesukaan Kristal terletak begitu
saja di bangku sebelahnya. Ia tersenyum sambil membayangkan
wajah terkejut gadis itu nanti saat melihat dirinya.
Setelah kira-kira dua jam lamanya ia menunggu di sana,
Kristal akhirnya muncul. Alex bergegas berdiri menghampirinya.
Ia memperhatikan gadis itu berjalan dengan ekspresi aneh,
pandangannya menerawang. Kristal bahkan melewatinya tanpa
sadar dirinya ada di sana.
"Kristal?" sapa Alex heran sekaligus cemas.
232 Kristal Ok Rev.indd 232 Gadis itu tersadar dari lamunannya dan menoleh. "Alex?" Kristal
tampak terkejut. "Kamu baik baik saja?" tanya Alex dengan pandangan khawatir.
Kristal hanya menganggukkan kepalanya, lalu berkata,"Kamu
kok di sini" Jangan bilang kamu menungguku?"
"Sushi?" sahut Alex tersenyum.
Kristal tidak menghiraukan tawaran itu. "Sudah berapa lama
kamu menunggu?" selidiknya.
"Tak lama." Alex mengangkat bahunya.
Kristal menaikkan alisnya dengan pandangan tak percaya dan
memandang wajah Alex menantikan jawaban jujur.
"Dua jam?" sahut Alex pelan sambil melirik arlojinya.
"Kok enggak telepon dulu sih" "Kan aku udah bilang aku lembur
malam ini. Gimana kalau aku pulang lebih larut lagi" Bisa-bisa
kamu semalaman nungguin aku," Kristal berkata-kata kesal, merasa
putus asa akan kebodohan kekasihnya ini.
"Aku enggak keberatan kok," sahut pria itu sambil tersenyum.
Kristal mendesah pelan. Alex tetap tersenyum. "Lapar enggak" Aku bawain dessert
kesukaan kamu juga nih. Kamu suka"."
Ucapan Alex terputus karena Kristal tiba tiba memeluknya.
"Thanks," ucap gadis itu lirih.
Alex tidak bisa balas memeluk Kristal karena kedua tangannya
penuh bungkusan makanan yang dijinjingnya. Sebagai gantinya ia
menundukkan kepalanya di atas kening Kristal. Berharap gadis itu
mengerti bahwa tak ada satu hal pun yang tidak bisa ia lakukan
untuk menyenangkan gadis itu.
233 Kristal Ok Rev.indd 233 Sebelas HARI ini berjalan dengan indah. Mood Kristal benar-benar baik
sekali. Setelah makan malam manis bersama Alex di taman kemarin
malam, ia merasa segala sesuatunya berjalan dengan sempurna. Ia
tidak perlu merasa khawatir lagi dengan hal-hal yang tidak perlu
ia khawatirkan. Ia sudah memiliki pria yang menyayanginya apa
adanya dan juga sangat ia sayangi. Sempurna.
Sorenya, Kristal datang lebih awal ke dalam ballroom untuk
memastikan semuanya sudah tertata rapi. Ia melirik arlojinya.
Masih ada beberapa jam lagi sebelum pesta dimulai. Ia masih
bisa beristirahat sebentar di salah satu kursi kosong di sana.
Dipejamkannya matanya sejenak. Lumayanlah, setelah seharian
ini disibukkan oleh berbagai pekerjaan yang tidak ada habisnya,
sedikit istirahat akan sangat membantu mengembalikan energinya
yang terkuras. Kristal sudah hampir tertidur hingga tidak menyadari pintu
masuk ballroom dibuka. Seorang pria berjalan mendekatinya dan
234 Kristal Ok Rev.indd 234 duduk di kursi sebelahnya. Alunan gitar sayup-sayup terdengar dan
ia pun terbangun, menatap tamu tak diundang yang mengganggu
waktu istirahatnya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Benlah yang sekarang tengah duduk di sebelahnya. Pria itu balas
memandangnya bimbang, alunan gitarnya terhenti begitu saja.
"Maaf, apakah aku membangunkanmu?" tanya pria itu.
Kristal tidak menjawab pertanyaan itu.
"Aku perlu berlatih sedikit sebelum tampil nanti. Maaf kalau
aku membangunkanmu," sambung pria lagi.
Kristal menggelengkan kepala. "Oh, tidak apa-apa. Santai saja.
Aku yang salah telah tertidur di sini."
Ben memandangnya beberapa saat.
"Kenapa?" tanya Kristal heran sebab pria itu tampak meneliti
wajahnya. "Namamu Kristella Putri bukan?" tanya pria itu kemudian yang
dijawab Kristal dengan anggukan kepala.
"Kok kamu tahu?"
"Emm, yang serumah sama Reygan, bukan?"
Kristal tertegun mendengarnya. "Bagaimana kamu tahu?"
"Ya ampun!" Pria itu tergelak sekarang. "Ini aku, Ben! Ben
Saputra, ingat?" Kristal masih tertegun. "Aku sepupunya Reygan. Dulu "kan aku pernah beberapa kali
main sama kalian di rumahnya Reygan. Masa kamu lupa sih?"
Kristal berpikir sebentar. Rasanya ia ingat sesuatu tentang pria
ini. Sepotong kenangan masa kecil muncul tiba-tiba di kepalanya.
"Ya ampun! Kamu Bento?" Ia teringat dulu sekali sepupu Reygan
yang sering dipanggil Bento itu beberapa kali berkunjung ke rumah
Reygan. Tapi, sudah lama sekali ia tidak pernah bertemu pria ini
235 Kristal Ok Rev.indd 235 lagi. Kabar terakhir yang ia dengar, Ben ikut keluarganya menetap
di Sidney dan tidak tahu bagaimana kabarnya sejak itu.
"Aduh, tolong deh. Berhenti menyebutku dengan nama itu.
Orang tuaku saja sudah tidak memanggilku begitu lagi," Ben
memutar bola matanya. Kristal tidak menggubris kata-kata Ben itu. Ia terlalu terkejut
dengan kemunculan teman masa kecilnya ini. Pantas saja ia merasa
Ben mirip sekali dengan Reygan. Wajar saja! Mereka berdua saudara
sepupu rupanya. "Kok kamu bisa di sini sekarang?" tanya Kristal.
Ben mengangkat bahu. "Buat mengejar mimpi. Aku baru
kembali ke Indonesia seminggu lalu. Lagi cari-cari kerjaan sih.
Kebetulan temanku punya band dan dia ngajakin aku ikutan main.
Berhubung aku enggak ada kerjaan, aku terimalah tawaran itu. Dan,
di sinilah aku sekarang," Ben menjelaskan.
Kristal mengangguk-anggukan kepala. Ia merasa bersemangat
sekali. "Sekarang kamu tinggal sama siapa" Orang tuamu mana" Kamu
udah ketemu Om dan Tante?"
"Tenang tenang. Satu-satu dong nanyanya," Ben tergelak. "Papa
Mama masih di Sidney, jadi aku di sini tinggal sendiri, ngekos gitu
deh. Kalau Om dan Tante, aku udah ketemu mereka seminggu lalu,
"kan mereka yang jemput aku dari bandara."
Kristal manggut-manggut. "Gantian dong ceritanya. Kamu tinggal sama siapa sekarang"
Bukannya kamu dulu tinggal sama Om dan Tante?"
Kristal tersenyum kecut. "Aku tinggal sendiri sekarang, udah
lama sih aku enggak tinggal sama Om dan Tante, sejak aku lulus
SMA." 236 Kristal Ok Rev.indd 236 "Kenapa?" tanya Ben bingung.
Kristal tidak menjawab pertanyaan itu.
"Karena Reygan yah?" tanya Ben lagi.
Kristal hanya menggelengkan kepala.
Ben menghela napas panjang. "Yahh, aku juga kaget banget sih
waktu denger berita itu. Enggak nyangka aja Rey bisa pergi secepat
itu." Kristal tidak berkata apa-apa.
Ben memandangnya lama. "Emm, kamu pasti kehilangan
banget yah" Aku ingat sekali dulu Rey sayang banget sama kamu.
Kamu ke mana pasti dia ikutin, dia jagain. Sampai aku aja kadang
iri waktu lihat kedekatan kalian. Ingat enggak waktu aku dan Rey
dulu berantem gara-gara aku sering godain kamu?"
Kristal mengangguk pelan. Tentu saja dia ingat. Rey memang
selalu melindungi dirinya dari orang-orang yang mencoba untuk
menganggunya. Begitulah Rey.
"Ngomong-ngomong tadi kamu bilang kamu ke sini untuk
mengejar mimpi "kan" Kalau boleh tahu, apa sih mimpi kamu itu?"
tanya Kristal berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau bila
sampai menitikkan air mata di depan Ben.
Raut Ben terlihat agak bingung dengan perubahan topik yang
tiba-tiba ini, tapi ia tetap menjawab pertanyaan Kristal. "Jadi gitaris
andal," sahutnya sambil tersenyum malu-malu.
"Oh yah?" Mau tak mau Kristal merasa terkejut sekaligus
kagum. Pria ini jauh-jauh datang dari luar negeri kemari untuk
mengejar impiannya bermusik. Sementara dirinya terlalu takut
untuk mencoba mengejar impiannya. "Hebat sekali," Kristal berkata
lagi. "Aku doakan semoga kamu berhasil yah." Ia berkata tulus dari
hatinya yang terdalam. "Terima kasih," jawab Ben sambil tersenyum.
237 Kristal Ok Rev.indd 237 Pembicaraan mereka terpotong oleh kehadiran pemain band
lainnya yang baru datang. Kristal segera berdiri menghampiri mereka
untuk menjelaskan susunan acara hari itu. Ben terus-menerus
melirik ke arahnya. Begitu pun dirinya. Pria itu pastilah memiliki
perasaan yang sama dengan dirinya. Bertemu teman lama memang
membangkitkan kenangan yang selama ini terkubur dalam memori
dan terlupakan. Setelah acara selesai, ia dan Ben bertukar nomor telepon agar
besok mereka bisa tetap berhubungan satu sama lain. Malam itu
juga saat Kristal sedang makan malam berdua bersama Alex, Ben
mengirimkan pesan singkat untuknya.
Mau makan malam besok"Kristal berpikir sebentar. Ya. Balasnya
singkat. Kristal terus-menerus berpikir, salahkah dirinya bila menemui
Ben" Toh, Ia tidak berniat apa-apa selain makan malam singkat
dengan seorang teman. Tapi saat Alex bertanya kepada dirinya ke
mana ia akan pergi nanti malam, entah mengapa Kristal ragu untuk
menjawab jujur. Pada akhirnya ia berbohong bahwa ia lembur nanti
malam. Meskipun ia langsung menyesali ketidakjujurannya itu.
Alex tidak layak menerima kebohongannya ini. Untuk apa pula
ia berbohong" Toh ia tidak berbuat salah apa-apa. Tapi, mengingat
sikap Alex yang pencemburu, Kristal takut pria itu tidak akan
senang dirinya pergi berdua dengan seorang pria, meskipun pria itu
hanyalah seorang teman lama. Ah, sudahlah. Ia tidak mau terlalu
memikirkannya. Ketika malam tiba, Kristal pun beranjak menuju tempat


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertemuan yang dijanjikan. Rumah makan Sunda yang sederhana.
Ben sudah menunggunya di sana ketika ia tiba. Ia baru akan
menghampiri pria itu ketika ponselnya berbunyi. Pesan singkat dari
238 Kristal Ok Rev.indd 238 Alex bertuliskan: Semangat yah hari ini. Telepon aku kalau kamu butuh
apa-apa. Superman siap 24 jam sehari. Kristal tertegun. Ia menghayati
kata-kata tersebut berulang-ulang. Entah kenapa hatinya terasa
ngilu. Ia membatu di situ beberapa detik lamanya.
"Kristal" Di sini!" Ben berseru memanggilnya.
Kristal mengerjapkan mata dan bergerak menghampiri pria itu
dengan galau sambil berjanji ini adalah terakhir kalinya ia menemui
Ben. Ia baru menyadari betapa merasa bersalahnya ia sekarang.
Bayangkan bila Alex ada di posisinya sekarang, makan malam
berdua dengan seorang wanita bukan untuk urusan pekerjaan.
Meskipun wanita itu hanyalah teman, Kristal tahu ia pasti akan
cemburu. Ditambah, bila Alex berbohong seperti yang ia lakukan
sekarang. Sepanjang malam itu, Kristal tidak bisa berkonsentrasi pada
apa yang mereka perbincangkan. Pikirannya dipenuhi oleh perasaan
bersalah dan anehnya, kerinduan yang teramat dalam pada sosok
pria yang baru dua minggu ini menjadi kekasihnya.
"Kamu enggak apa-apa" Dari tadi kuperhatikan kamu kayaknya
lagi memikirkan sesuatu deh." Ben tiba-tiba bertanya padanya.
Kristal terdiam sejenak. Sejelas itukah kegelisahan tampak di
wajahnya" "Tidak kok. Aku hanya teringat urusan kerjaan yang
belum selesai," jawabnya pura-pura tersenyum dan bertekad untuk
lebih berkonsentrasi pada obrolan mereka malam ini. Bila memang
malam ini adalah saat terakhir ia bertemu pria ini, maka sebaiknya
ia nikmati sajalah saat-saat ini.
Ben tersenyum pelan lalu melanjutkan kata-katanya yang
sempat terpotong. Kristal mendengar sayup-sayup suara Ben
menceritakan berbagai hal padanya, tentang bagaimana kehidupan
laki-laki itu di Australia, tentang keluarganya, tentang impian239
Kristal Ok Rev.indd 239 impian yang ia miliki, dan terus terang Kristal ikut bersemangat
mendengar cerita-cerita Ben. Ia mendengar mulutnya sendiri ikut
bercerita mengenai impiannya untuk menjadi seorang penyanyi, dan
bagaimana ia menyerah untuk mengejar mimpinya itu. Harus diakui
Kristal bahwa ia jarang sekali membicarakan impiannya ini pada
orang lain, bahkan Alex sekalipun. Ia selalu merasa bahwa mana
mungkin orang sekaya dan sesukses Alex akan tertarik pada mimpi
kecil yang ia miliki. Mimpi yang terdengar mengada-ada, bahkan
di telinganya sendiri. Tapi, tidak demikian bila bersama Ben. Pria
itu pastilah sangat mengerti perasaannya, bahwa mengejar karier
bermusik merupakan sesuatu yang patut diperjuangkan. Bedanya,
pria itu memilih untuk melanjutkan perjuangan. Dan dirinya,
memilih untuk berhenti berjuang.
Malam itu saat mereka berpisah, Ben berkata akan mengajak
dirinya bila pria itu mendapatkan informasi mengenai audisi musik
di kota ini. Kristal hanya mengangguk basa-basi, meskipun ia tidak
sungguh-sungguh yakin ia akan benar-benar menyanggupi ajakan
pria itu. Toh, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi
menemui Ben. Kristal berbohong padanya. Alex duduk di ruang kerjanya
sambil berpangku tangan dan berpikir ke mana kiranya Kristal
berada sekarang. Baru saja anak buahnya menelepon dan melaporkan
bahwa Kristal sudah meninggalkan kantor sejak sore tadi dan gadis
itu belum juga kembali ke apartemennya. Jadi, di mana Kristal
sekarang" Dan, mengapa gadis itu harus berbohong padanya"
Dengan gusar, diraihnya ponsel untuk menelepon gadis itu.
Tidak aktif. Padahal, baru beberapa saat yang lalu ia berhasil
mengirimkan pesan singkat untuk Kristal. Tahu-tahu saja sekarang
ponsel gadis itu sudah tidak aktif. Alex bergegas keluar dari ruang
240 Kristal Ok Rev.indd 240 kantornya, setengah berlari menuju tempat parkir mobilnya. Ia
merasa cemas sekali, khawatir bila terjadi apa-apa pada gadis itu.
Diteleponnya anak buahnya untuk segera menghubunginya bila
keberadaan Kristal sudah diketahui. Sementara dirinya menunggu
di taman depan apartemen Kristal dengan hati gelisah. Jarum jam
arlojinya menunjukkan angka sebelas saat ia melihat siluet gadis itu
di kejauhan berjalan pelan menuju apartemennya. Tanpa menunggu
lagi, Alex berlari menghampiri gadis itu. Perasaan lega dan kesal
bercampur menjadi satu di hatinya.
"Ke mana saja kamu" Kok ponselnya enggak aktif?" serunya
setengah menghardik, tidak berhasil mengontrol emosinya.
Kristal mengerjapkan matanya, tampak terkejut dengan
kemunculan Alex yang tidak terduga ini. "Masa sih?" Gadis itu
spontan meraih ponsel dari dalam tasnya, lalu menunjukkan ponsel
dengan layar gelap di tangannya itu pada Alex. "Mati baterai nih,"
sahutnya pelan. "Kamu dari mana, malam-malam begini baru pulang?"
Gadis itu terdiam sejenak. Keraguan tampak di wajahnya. Ia
bahkan tidak berani memandang wajah Alex saat berkata pelan
?"Kan aku udah bilang aku lembur."
Alex memandang gadis itu tak percaya. Kristal berbohong
padanya lagi, tepat di depan mukanya. "Oh ya?" sahut Alex datar.
Ia menjaga agar ekspresinya tetap tenang.
"Baiklah kalau begitu. Aku cuma khawatir kamu kenapakenapa. Soalnya teleponmu enggak aktif," kata Alex, masih dengan
ekspresi datar. "Kamu mau masuk dulu enggak" Aku buatin kamu kopi susu
yah?" Bahkan Kristal terlihat salah tingkah saat mengatakannya.
Jelas-jelas ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang gadis itu
sembunyikan dari dirinya.
241 Kristal Ok Rev.indd 241 "Tidak usah. Aku pulang saja, sudah larut malam juga,"
sahutnya dingin lalu berjalan menuju apartemennya sendiri yang
terletak di seberang, meninggalkan gadis itu seorang diri. Ia tidak
menoleh sedikit pun hingga ia tiba di dalam apartemennya dan
langsung berlari menuju jendela ruang tamunya yang menghadap
ke arah apartemen Kristal, untuk memastikan gadis itu selamat tiba
di apartemennya. Ia merasa lega setelah lampu apartemen gadis itu
akhirnya menyala. Meskipun perasaan lain yang merasuki hati dan
pikirannya saat ini masih belum hilang: perasaan curiga. Dan, ia
bertekad untuk menyelidiki hal ini dan mendapatkan jawabannya
tanpa sepengetahuan Kristal.
Kristal memain-mainkan boneka beruang kesayangannya
dengan resah. Ia merasa bersalah sekali. Kenapa ia harus berbohong
lagi pada Alex tadi. Seharusnya ia mengakui saja apa yang ia lakukan
sepanjang sore ini. Toh, ia tidak salah apa-apa. Hanya makan malam
dengan seorang teman. Itu saja. Dan bila Alex keberatan, ia bisa
mengajak pria itu untuk makan malam bersama Ben lain waktu.
Harusnya semudah itu. Kristal menepuk-nepuk kepalanya. Betapa
bodohnya ia karena telah memutuskan untuk berbohong.
Ia mendesah perlahan, teringat akan ekspresi Alex tadi. Ekspresi
dingin dan datar. Kristal curiga ada sesuatu yang membuat pria
itu kesal dan marah padanya, meskipun Alex berusaha menutupi
kekesalannya itu. Tidak biasanya Alex menampakkan wajah
seperti itu. Bahkan, pria itu tidak menemaninya masuk ke dalam
apartemennya seperti biasa. Jangan-jangan, Alex sebenarnya tahu
bahwa dirinya sudah berbohong. Tapi, mengapa pria itu tidak
mengatakan apa-apa" Kristal meraih bantal untuk menutupi
kepalanya. Otaknya terasa mau pecah. Ia terlalu lelah dan
mengantuk untuk berpikir lagi. Sudahlah, toh ini adalah terakhir
242 Kristal Ok Rev.indd 242 kalinya ia berbohong. Lebih baik ia tidur sekarang. Masalah besok
dipikirkan besok saja. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja esok
hari dan Alex akan tersenyum padanya seperti biasa.
Alex benci sekali bila ada orang yang berbohong padanya.
Apalagi bila orang yang berbohong padanya adalah orang yang ia
sayangi. Ia teringat suatu saat di masa kecilnya, di mana semua
orang selalu mengucapkan kata-kata dusta padanya. Bahkan yang
menyakitkan, kebohongan itu keluar dari mulut ayahnya sendiri.
Saat itu ia masih berumur empat tahun. Terlalu kecil untuk mengerti
apa pun, tentang pahitnya kehidupan dan warna-warna kelam yang
ada di luar sana. Ia ingat samar-samar sosok wanita yang selalu
memeluknya dan memanjakannya. Yang ia rasakan saat itu hanyalah
kedamaian yang selalu melingkupinya, serta tangan lembut yang
terasa melindungi, memberikan rasa aman dan tenteram. Lalu, tibatiba saja tangan itu tak lagi ada di sana.
Sosok wanita yang ia sebut ibu itu dipisahkan darinya,
direnggut dengan paksa oleh beberapa pria dan wanita berbaju putih,
meskipun mereka berdalih bahwa keadaanlah yang menyebabkan
semua ini. Ia menunggu setiap hari, menatap pintu kayu besar,
di mana di baliknya ibundanya berada. Tidak sekali dua kali ia
bertanya pada ayahnya, mengapa ibunya selalu dikurung di dalam
kamar tersebut dan tidak pernah diizinkan keluar. Ayahnya selalu
berkata padanya bahwa ibundanya tengah menderita kanker ganas
dan bahwa berada di dalam kamar tersebut adalah satu-satunya
cara untuk mempercepat proses penyembuhannya. Meskipun
sedih, ia mencoba untuk memahami dan menerima kenyataan itu,
dengan harapan ibunya akan cepat sembuh dan suatu hari dapat
kembali ke sisinya lagi. Tapi, terkadang harapan tak sejalan dengan
kenyataan. 243 Kristal Ok Rev.indd 243 Suatu pagi yang cerah, ia terbangun dari tidurnya dan berlari kecil
dengan semangat menunggui ibunya dari depan pintu kamarnya.
Pintu itu memang terbuka dan ia melongok ke dalamnya berharap
dapat menangkap siluet wajah ibunya meskipun hanya sekilas. Tapi,
yang ia dapati di sana hanyalah kehampaan dan kegelapan yang
pekat dan menyiksa. Ruangan itu kosong. Ibunya tak ada di sana.
Dengan jantung berdebar, ia berlari kencang menuju ruang kerja
ayahnya. Pria itu ada di sana sibuk dengan komputernya. Saat ia
bertanya di mana ibunya berada, pria itu terbelalak sebentar, lalu
dengan ketenangan luar biasa ia berkata pelan, seakan tak peduli,
"Ibumu sudah meninggal tadi pagi."
Bagi Alex kecil, kalimat itu terdengar bagaikan guntur di pagi
hari. Ia berdiri membatu di sana berusaha mencerna kalimat tersebut,
seakan-akan raganyalah yang berdiri di sana, sementara jiwanya
tengah berada di dimensi lain. Setelah sekian lama, satu-satunya
kata yang berhasil keluar dari tenggorokannya yang tercekat adalah,
"bohong." Dan satu kata itu sajalah yang terus-menerus ia teriakkan
pada ayahnya, makin lama makin kencang, sebelum akhirnya ia
berlari keluar. Selama beberapa bulan setelahnya, ia terus-menerus
menunggu dengan rajin. Tidak pernah sekalipun ia berhenti
berkeyakinan bahwa ibunya akan kembali dan memeluknya seperti
dulu lagi. Tentu saja ia menolak untuk percaya bahwa ibunya
telah tiada. Ia tetap menunggu dan menunggu kepulangan ibunya.
Namun, tak peduli berapa lama ia menunggu, berapa banyak
airmatanya tertumpah, ibunya tidak pernah kembali padanya.
Beberapa tahun sejak saat itu, ia telah terbiasa dengan kenyataan
bahwa ibunya telah tiada. Ia juga terbiasa dan tidak ambil peduli
dengan kebiasaan ayahnya yang sering membawa pulang wanita
yang berbeda setiap harinya. Ia terbiasa hidup tanpa figur kasih
244 Kristal Ok Rev.indd 244 sayang seorang ayah, sebab saat ayahnya tidak sibuk menghabiskan
waktunya bersama wanita-wanita simpanannya, pria itu sibuk
membesarkan perusahaannya. Terlalu sibuk untuk dapat meluangan
waktu untuk dirinya. Ia jadi terbiasa sendiri dalam rumah besar
yang dingin dan gelap. Dan anehnya, ia bahkan terbiasa hidup
dalam kesepian. Hingga suatu hari, saat ia berumur kira-kira tiga belas tahun,
ia menemukan suatu kenyataan pahit yang membuat ia membenci
ayahnya. Membenci pria itu dengan segenap hatinya, lebih daripada
segala perasaan benci yang pernah terbersit di kepalanya pada tahuntahun silam. Alex tidak ingat pasti awal mulanya. Yang ia ingat
adalah di suatu senja ia menerima paket surat kilat tertuju untuk Mr.
Stevenson Robbin, nama ayahnya. Surat itu dari sebuah rumah sakit
bernama St Silva, yang belakangan ia ketahui merupakan rumah
sakit khusus penyakit jiwa. Entah firasat apa yang menggerakkan
dirinya untuk membuka surat tersebut. Dan, apa yang ia baca
membuat dunianya terasa berputar dahsyat.
Kepada Mr. Stevenson Robbin
Kami pihak Rumah Sakit St. Silva ikut berduka cita atas
meninggalnya istri Anda, Mrs. Ayunda Andriana Robbin tertanggal 1
agustus 1997. Alex tersentak bukan kepalang hingga ia tidak sadar saat
surat itu terjatuh dari tangannya yang gontai dan tidak bernyawa.
Benarkah semuanya ini" 1 agustus 1997. Hanya seminggu
berselang dari tanggal hari itu. Bila itu benar, dan hampir terasa
mustahil baginya, maka itu berarti ibunya bukanlah meninggal
bertahun-tahun lalu melainkan seminggu yang lalu! Jadi, di mana
ibunya selama ini berada" Tiba-tiba ia teringat asal surat tersebut.
Rumah Sakit St Silva. Di sanakah ibunya terkurung selama ini" Ia
245 Kristal Ok Rev.indd 245 merasakan emosi membanjir di seluruh nalarnya. Atau entahlah
apakah ia masih memiliki nalar lagi. Satu hal yang pasti. Hanya
satu orang saja yang harus bertanggung jawab atas segala dusta yang
telah membuatnya hidup dalam kebohongan selama bertahun-tahun:
ayahnya. Dan saat itu, ia benar-benar muak pada pria tersebut,
bahkan untuk menyebutnya ayah sekalipun.
Dibantingnya pintu ruang kerja ayahnya dengan segenap
tenaganya hingga engsel-engsel pintu tersebut hampir retak
akibat terlalu kuatnya hantaman. Bunyi gedebam yang nyaring
memekakkan telinga sontak terdengar memenuhi ruangan berpadu
dengan suara pekikan wanita, kekasih gelap ayahnya, yang
memandangnya takut-takut dari balik bahu ayahnya. Sementara
pria separuh baya laknat itu hanya memandangnya dengan ekspresi
bingung, seakan-akan bertanya dalam kebisuannya: apa dosaku"
"Kenapa lagi kau?" tanya ayahnya dengan nada mengusir. Oh
tidak. Kali ini ia tidak akan pergi. Tidak sebelum ia mendapatkan
penjelasan yang layak. "Pembohong!" Ayahnya menaikkan alisnya heran. Bedebah! Tidak adakah
sedikit pun perasaan bersalah dalam diri pria itu karena telah
membohonginya selama bertahun-tahun" Alex merasakan emosi
mengalir hingga puncak kepalanya, hampir tak terbendung.
"Kenapa kau berbohong soal Ibu?" pekiknya marah. Ia
melemparkan surat yang ia baca tadi tepat ke muka ayahnya.
Segera saja, ekspresi wajah tak peduli ayahnya itu berubah
menjadi pucat pasi. "Jadi, kau sudah tahu?" ayahnya memandangnya gelisah. "Alex,
aku perlu bicara padamu," sahutnya, sambil memberikan isyarat
pada kekasih gelapnya itu untuk meninggalkan mereka berdua.
246 Kristal Ok Rev.indd 246

Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia berdeham pelan setelah pintu ditutup dan hanya tinggal mereka
berdua dalam ruangan yang dingin itu. "Aku tidak tahu harus berkata
apa," jawabnya pelan.
"Tidak tahu" Bagaimana kalau kita mulai dari kebohongan yang
kaukatakan padaku dulu. Bahwa ibuku meninggal bertahun-tahun
lalu" Kau berutang banyak penjelasan padaku, dan aku berhak untuk
mengetahui kebenaran yang sesungguhnya!" Alex berteriak-teriak
layaknya orang kesurupan, sementara ayahnya hanya terduduk
membisu. Mata pria itu menerawang beberapa saat, berusaha
mengumpulkan segenap tenaganya untuk mengungkapkan suatu
rahasia yang telah ia sembunyikan dari anak semata wayangnya
itu selama ini. "Ibumu sakit, Lex," bisiknya. Pelan, namun terasa bergema di
dalam ruangan yang berukuran megah itu. "Jiwanya terganggu, semakin lama semakin tidak waras, hingga titik yang membahayakan
nyawanya, dan yang kutakutkan, nyawamu." Ia mendesah pelan.
"Sudah berkali-kali ibumu mencoba membunuh dirinya sendiri.
Dan, berkali-kali pula aku hampir gagal menyelamatkannya. Terakhir kali kutemukan ia menyayat pergelangan tangannya dengan
pisau di kamarnya sementara dirimu yang masih kecil tengah
tertidur lelap di ranjang dekatnya. Jika pelayan terlambat menemukan kalian, pasti ibumu sudah"." Ayahnya tidak melanjutkan
kata-katanya. Ia terdiam sebentar sebelum melanjutkan lagi. "Saat
itulah, aku memutuskan tidak bisa begini terus. Aku tidak bisa
ambil risiko dengan membiarkan ibumu tanpa pengawasan. Dan,
Rumah Sakit De Silva adalah yang tebaik dalam hal menangani
penyakit kejiwaan seperti itu."
247 Kristal Ok Rev.indd 247 "Oh! Dan, membiarkan ibuku mati pada akhirnya?" dengus Alex
skeptis. "Tahukah kau, seandainya kau memberitahuku kebenaran
ini seminggu lebih cepat, paling tidak aku masih bisa melihat wajah
ibuku sebelum ia benar-benar meninggalkanku selamanya! Dan
sekarang, terima kasih. Berkat kau, ibuku harus meninggal dalam
kesendiriannya tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal pada
putra tunggalnya untuk terakhir kalinya." Alex berteriak kalap
sebelum berlari meninggalkan tempat itu. Meninggalkan ayahnya
termangu dalam kesedihan.
Sepanjang malam itu dilalui Alex di depan nisan ibundanya
sambil berderai air mata tiada habisnya. Ia tidak beranjak dari
sana hingga cahaya mentari pertama menyapa, dengan bias sinar
yang menyilaukan matanya yang merah dan bengkak oleh sisa
air mata. Ada yang berubah dalam hidupnya semenjak hari ia
meninggalkan makam ibunya jauh di belakang. Tak ada lagi air
mata yang tertumpah, tak ada lagi harapan akan hari depan, dan tak
ada lagi rasa percaya akan janji manis dan kesetiaan. Ia berubah
menjadi pribadi liar yang selalu menentang dunia dan siapa pun
yang kurang beruntung berada di jalannya. Ia cenderung mencari
kesenangan dengan merusak dan menghancurkan, baik hidupnya
maupun hidup orang lain. Meskipun harus ia akui, dari segala
hal yang telah ia perbuat, tidak sekalipun ia berhasil menemukan
kedamaian di hatinya. Tidak sebelum ia bertemu Kristal. Satu-satunya cahaya yang
tersisa dalam hidupnya yang gelap. Namun sekarang, gadis itu
berbohong padanya. Satu kebohongan kecil. Namun baginya tak
ada ukuran dalam hal berdusta, tak peduli sekecil apa pun itu.
Alex menekan-nekan jidatnya, resah. Anak buahnya baru saja
melaporkan keberadaan Kristal kemarin malam. Ternyata gadis itu
248 Kristal Ok Rev.indd 248 menghabiskan sepanjang sorenya bersama seorang pria. Identitas
pria itu belum jelas dan masih dalam tahap penyelidikan. Namun
siapa pun pria itu, jelas sekali keberadaannya cukup penting hingga
Kristal memutuskan untuk berbohong padanya. Setitik kecil api
kecemburuan membakar dadanya. Ia khawatir monster yang telah
lama terkubur dalam jiwanya terbangun sewaktu-waktu dan
menyemburkan api kebrutalannya.
Sepanjang sore itu Alex bersikap aneh sekali. Kristal
memperhatikan gerak-gerik pria di hadapannya itu dengan heran.
Pria itu tidak banyak tersenyum dan tampak dingin menanggapi
lelucon yang ia ceritakan. Apa yang tengah dipikirkan Alex
sebenarnya" Ia sibuk mereka-reka, berusaha menyelami isi kepala
pria itu, namun tidak jua ditemukan jawabannya. Baiklah, bila
demikian, satu-satunya cara yang tersisa adalah dengan bertanya.
Pepatah mengatakan, malu bertanya sesat di jalan. Dan, ia tidak
mau tersesat dalam hubungan asmaranya ini.
"Kamu kenapa sih, Lex?" tanya Kristal sambil menatap mata
pria itu dalam-dalam. Alex balik memandangnya waspada, lalu cepat-cepat
mengalihkan pandangan. "Tidak ada apa-apa," sahutnya pelan.
Tidak ada apa-apa" Yang benar saja, pikir Kristal. "Tapi, aku
ngerasa banget kalau ada yang aneh sama kamu," tanyanya gigih.
Alex diam bergeming, membuat Kristal merasa frustasi oleh
kekesalan yang membuncah.
"Aku pergi dulu. Kita bertemu lagi kalau kamu sudah enggak
nyuekin aku begini," sahutnya dengan wajah dibuat sedatar-datarnya,
lalu berdiri, bersiap-siap meninggalkan Alex. Ia tidak peduli
meskipun nasi dan lauk pauk di piringnya masih tersisa lebih dari
setengah. Ia terlalu kesal untuk ambil peduli.
249 Kristal Ok Rev.indd 249 Tiba-tiba langkahnya terhenti oleh satu tarikan kecil. Ia
merasakan genggaman lembut jemari Alex di pergelangan tangannya.
Kristal berbalik dan menunggu hingga pria itu mulai bersuara.
"Aku kesal," sahut pria itu pelan.
"Kesal kenapa?" tanyanya.
Pria itu memandang matanya lekat. "Soalnya kamu bohong
sama aku." Kristal terperanjat. Kecurigaannya terbukti. Alex ternyata tahu
soal kebohongannya kemarin. "Kapan kamu tahu kalau aku bohong
sama kamu?" "Kemarin malam."
Kristal terbelalak. "Kok kamu enggak langsung bilang
kemarin?" sahutnya kesal.
Alex tidak mengindahkan pertanyaan itu. "Kenapa kamu bohong?" ia balik bertanya. "Siapa pria yang kamu temui kemarin?"
Kristal merasakan amarahnya mulai muncul. "Kamu mematamatai aku yah?" serunya tertahan.
Alex memandang wajah Kristal gugup. "Aku terpaksa," jawabnya
terburu-buru. "Oh ya" Kamu enggak bisa tanya langsung sama aku" Segitu
enggak percayanya-kah kamu sama aku?" hardiknya. "Tahu enggak
kenapa aku enggak berkata jujur sama kamu?" Ditatapnya mata
Alex tajam. "Soalnya kamu itu gampang banget curigaan dan
cemburu buta. Ingat enggak kejadian di kafe hotel dulu" Kamu sudah
bertindak terlalu jauh dengan berbuat seperti itu di depan klien aku!"
"Tapi, pria itu memegang tanganmu!" seru Alex beralasan.
Kristal menggelengkan kepalanya tak percaya. "Sudahlah.
Percuma juga aku jelasin ke kamu." Kristal berdiri dan melangkah
cepat menuju pintu keluar restoran. Alex mengejar di belakangnya.
250 Kristal Ok Rev.indd 250 "Maaf," ucap pria itu akhirnya. "Tidak seharusnya aku mematamatai di belakangmu. Lain kali, aku akan tanya langsung sama
kamu kalau ada apa-apa yang mengganggu pikiranku."
"Janji?" Alex mengangguk mengiyakan. "Terus, siapa pria yang makan
malam sama kamu kemarin?"
Kristal mengajak Alex duduk kembali ke meja mereka saat
menyadari tamu-tamu di restoran itu memperhatikan mereka sejak
tadi. Setelahnya, ia baru menjelaskan. "Kemarin itu aku ketemu sama
teman masa kecilku, namanya Ben. Kamu ingat "kan, aku pernah
cerita soal Reygan sama kamu?"
Alex mengangguk tak nyaman, teringat akan dosanya.
"Ben itu sepupunya Rey. Dia baru kembali dari Australia dua
minggu lalu. Kami enggak sengaja ketemu waktu ada acara di
hotel beberapa hari lalu. Nah, berhubung sudah lama kami enggak
ketemu, ia ngajakin aku untuk makan malam sama dia, sekadar
mengobrolkan masa lalu kita dulu." Kristal memain-mainkan
sendok di piringnya. "Sebenarnya, aku pengin ngasih tahu kamu.
Tapi ya itu, aku takut kamu cemburu kalau tahu aku mau makan
malam berdua sama cowok," ia berkata malu. Pipinya mulai merona
merah. "Maaf. Aku memang cemburuan orangnya," sahut Alex akhirnya.
Setelah mengetahui kebenarannya, ia merasa malu sekali sebab
telah melebih-lebihkan keadaan. Ternyata, Kristal berbohong agar
dirinya tidak cemburu. Bukankah itu berarti gadis itu peduli akan
perasaannya" Senyum perlahan tersungging di ujung mulutnya.
"Kamu mau ketemu pria itu lagi?" tanyanya, kali ini tanpa rasa
cemburu sama sekali. Kristal meggeleng pelan. 251 Kristal Ok Rev.indd 251 "Enggak apa-apa. "Kan dia cuma teman kamu saja. Enggak
apa-apa kok kalau memang kamu mau ketemu dia, atau siapa saja.
Tapi kasih tahu aku, biar aku temani kamu. Aku masih enggak rela
kalau membiarkan kamu berduaan saja dengan pria mana pun,"
jawab Alex malu-malu. "Oke," sahut Kristal, malu. Wajahnya memiliki semburat yang
berwarna sama merahnya dengan pria di hadapannya.
" da kompetisi band se-Indonesia. Pemenangnya akan mendapatkan
kontrak rekaman eksklusif dari label terkemuka. Kebetulan kita lagi
butuh vokalis nih. Tertarik ikutan?"
Begitulah isi pesan yang dikirim Ben pagi ini. Hingga siang hari,
Kristal belum juga membalasnya. Ia merasakan dilema besar dalam
hatinya. Ben seakan membawanya kembali kepada impiannya yang
lama dan terlupakan. Bila dibilang tertarik, ya, tentu saja ia tertarik.
Selama ini memang selalu terselip di benaknya untuk mencoba
audisi seperti ini. Tapi, ia selalu merasa tidak percaya diri. Cukup
tangguhkah mentalnya untuk bernyanyi di depan publik" Cukup
kuatkah kemampuan vokalnya, yang sudah dibiarkan tak tersentuh,
tanpa dilatih barang sekalipun selain dalam ruang pribadinya yang
kecil: kamar mandi rumahnya. Itu pun, hanya bersenandung pelan.
Dan yang paling penting, siapkah ia untuk bermimpi sekali lagi"
Ya. Aku siap. Aku mau bermimpi sekali lagi. Hati kecilnya
berkata, ia tidak mau menyesal karena telah menyerah sebelum
bertanding. Bukankah hidupnya selama ini adalah perjuangan" Lagi
pula sekarang ini rasanya adalah waktu yang tepat untuk mulai
mencoba. Paling tidak ia telah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak seperti
dulu saat ia harus pontang-panting bekerja serabutan ke sana kemari
demi sesuap nasi. 252 Kristal Ok Rev.indd 252 Dan begitulah, diketiknya pesan balasan untuk Ben setelah
banyak pertimbangan. Sekarang tekadnya sudah bulat.
Ya. Aku mau.. Kapan kita mulai"
Alex melirik beef fetucinne yang masih tersisa banyak sekali di
piring Kristal. Gadis itu tampak memutar-mutar pasta dengan garpu
tanpa menyuapkan gulungan pasta itu ke dalam mulutnya.
"Kamu mikirin apa sih?" tanya Alex pada akhirnya.
Kristal tersentak dari lamunan panjangnya. Ia memandang
Alex dengan ragu beberapa saat sebelum berkata, "Emm Lex, aku
pengin nanya. Kamu masih punya impian yang sampai sekarang
belum kesampaian enggak sih?"
Alex mengernyitkan matanya "Presiden?"
"Yang bener aja deh. Aku serius nanyanya nih," Kristal memutar
bola matanya kesal. Alex tertawa kecil. "Ya, aku serius kok pengin jadi presiden
waktu kecil dulu. Tapi yah, jadi pengusaha seperti sekarang juga
oke sih." Apalagi kalau kamu jadi istriku, membina keluarga kecil
yang bahagia. Lengkap sudah impianku, batin Alex. Kristal manggutmanggut.
"Kenapa kamu nanya gitu?"
"Enggak, cuma pengin tahu aja kok."
Alex megamati raut muka Kristal yang tampak aneh. "Kalau
kamu" Apa impianmu yang belum tercapai?" tanya Alex. Terus terang
ia ingin tahu apa sebenarnya impian terdalam Kristal.
Kristal memain-mainkan jemarinya tampak bergumul
dengan pikirannya. "Menurutmu, jadi penyanyi termasuk impian
enggak?" Alex tersentak. "Kamu pengin jadi penyanyi?"
Kristal mengangkat bahunya pelan. "Kalau iya?"
253 Kristal Ok Rev.indd 253 "Ya sah-sah aja. Itu impianmu "kan?"
Gadis itu mengangguk malu-malu. "Sudah sejak dulu sih.... Tapi,
impian itu selalu aku simpan jauh di dasar hatiku. Aku terlalu"
sibuk saat itu. Sibuk mencari nafkah dan sebagainya," sahut gadis
itu pelan. Alex memandangnya prihatin. Mengapa ia tidak tahu akan
hal itu" Hal sepenting itu luput begitu saja dari pengamatannya.
Seharusnya ia pecat detektif sewaannya yang bodoh itu, pikirnya
kesal. Ia sudah tahu dari dulu bahwa salah satu hobi Kristal adalah
menyanyi. Tapi tidak terpikir sama sekali di kepalanya, bahwa itu
jugalah impian gadis itu sebenarnya. Dan, bodohnya, ia juga tidak
pernah bertanya. Kekasih macam apa dia ini, hingga tidak tahu citacita dan impian gadisnya sendiri. Bila ia tahu dari dulu, tentunya ia
akan merancang satu skenario untuk mewujudkan impian Kristal.
Ah, tapi lupakan segala macam skenario. Bila gadis itu tahu dirinya
campur tangan dalam kehidupan gadis itu lagi, dirinya tidak akan
dimaafkan dengan mudah. Dan, bukankah ia sudah berjanji" Tak
akan ada lagi kegiatan memata-matai secara sembunyi-sembunyi.
Tak akan ada lagi rekayasa dan kebohongan. Ia akan mendukung
Kristal dengan cara yang gadis itu inginkan.
"Jadi, apa rencanamu sekarang" Pastinya ada sesuatu yang
kamu pikirkan dari tadi "kan?"
"Emm"," Kristal tampak berpikir sebentar. Ia lalu menceritakan
niatnya untuk bergabung dengan band milik Ben dan mengikuti
kompetisi band yang akan diadakan dalam waktu dekat ini.
Alex merasa sedikit ragu. Sebenarnya ia agak sedikit
keberatan dengan ide band ini. Ia masih tidak rela bila kekasihnya
menghabiskan lebih banyak waktu bersama Ben. "Kamu yakin?"
tanyanya. 254 Kristal Ok Rev.indd 254 Gadis itu tersenyum mantap. Meskipun ada sedikit keraguan
terselubung di sudut matanya. Tapi ia tahu, begitu Kristal membuat
keputusan akan suatu hal, gadis itu akan berusaha menyelaminya
sepenuh hati. Dan apa pun yang Kristal putuskan, Alex pasti akan
mendukung seratus persen bila itu memang demi kebaikan gadis
itu. "Kapan kompetisinya dimulai" Aku temani kamu," sahut Alex
bersemangat. "Sebulan lagi. Sebelum itu aku, Ben, dan anggota band yang lain
akan latihan intensif setiap hari sehabis aku pulang kerja. Kamu
"kan sibuk, jadi"."


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alex tersenyum dan meremas jemari Kristal lembut. "Aku
temani," sahutnya dengan nada tidak menerima penolakan.
Kristal diam sebentar, wajahnya terlihat bimbang, "Lex, kamu
enggak apa-apa "kan kalau aku bergabung di band-nya Ben?"
Alex memandang mata Kristal dan mengembuskan napas. "Ya,
enggak apa-apa kok. Yang penting kamu senang aku ikut senang."
Alex tersenyum menenangkan gadis itu. Ia tidak perlu merasa
cemburu. Toh, pria itu hanya teman Kristal, tidak lebih.
Kristal tersenyum lebar sekali. Dikecupnya pipi Alex lembut.
"Yeah!" sahut gadis itu, dengan wajah gembira.
255 Kristal Ok Rev.indd 255 Dua Belas ALEX duduk di sebuah sofa kecil dan kotor, di sebuah ruangan
berukuran tak lebih dari tiga kali tiga meter, sendirian dan dengan
perasaan tidak nyaman. Kulit kacang, puntung rokok dan beraneka
bekas minuman kaleng kosong tampak berserakan memenuhi meja
di depannya. Betapa joroknya pria-pria di rumah ini. Ia tidak sudi
meletakkan laptopnya di atas meja, dan lebih memilih mengetik
dengan laptop di pangkuannya. Tidak nyaman memang, tapi apa
boleh buat, banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini.
Alex melirik arlojinya berkali-kali. Sudah hampir dua jam ia di
sini. Diliriknya ruangan samping di mana Kristal dan anggota band
lainnya tengah antusias berlatih untuk kompetisi yang akan datang,
sementara dirinya di sini terlupakan. Ternyata benar dugaannya. Ide
band ini merupakan ide buruk. Paling tidak, untuk dirinya. Sudah
berhari-hari ia melalui masa-masa seperti ini. Sepulang kerja ia
langsung mengantar Kristal ke studio milik Ben dan berlatih di sana
hingga malam, sementara dirinya menunggu di ruang tamu studio
256 Kristal Ok Rev.indd 256 yang kumuh, seorang diri, dengan laptop di pangkuan dan segelas
kopi yang enggan ia sentuh. Begitu setiap hari. Hampir tidak ada
waktu untuk dirinya dan Kristal berduaan saja. Gadis itu tampak
serius dan fokus untuk memenangkan kompetisi ini, sama halnya
dengan anggota band yang lain. Bukannya ia tidak senang melihat
Kristal begitu menikmati kesibukan barunya itu. Tuhan tahu ia
selalu mendukung gadisnya itu. Hanya saja, ia sedikit merasa
kesepian akhir-akhir ini. Apalagi melihat kedekatan Kristal dan Ben,
mau tidak mau membuat dirinya merasa agak cemburu.
Tidak terasa sebulan telah berlalu, dan tibalah hari kompetisi
yang dinanti-nantikan. Gedung Jakarta International Expo sudah
padat oleh peserta audisi. Benar-benar dahsyat sekali animo publik
terhadap kompetisi ini. Sepertinya iming-iming kontrak rekaman
eksklusif tersebut telah berhasil menarik perhatian band-band
tanah air. Banyak sekali band yang datang jauh dari luar kota
untuk mengikuti kompetisi ini. Kristal merasa gugup sekali. Ia
merasakan keringat dingin muncul di peluhnya. Tak henti-hentinya
ia mengucapkan doa, memohon agar semuanya lancar hari ini.
Diraihnya ponsel dari dalam kantongnya. Sebuah pesan singkat
dari Alex terngiang-ngiang di kepalanya. Semangat yah. Aku percaya
kamu pasti bisa. Kristal tersenyum kecil. Di suatu tempat di luar
sana, ia tahu setidaknya ada satu orang yang tengah mendoakan
dirinya saat ini. Waktu terasa lama sekali berlalu. Menunggu di saat seperti
ini memang menggelisahkan. Perasaan ingin segera tampil dan
tidak ingin cepat-cepat tampil melebur menjadi satu. Tampaknya
tidak hanya Kristal yang merasa demikian. Ben contohnya. Wajah
pria itu terlihat pucat. Begitu pun anggota band yang lain. Mereka
tidak banyak bicara, dan dalam diam memperhatikan band-band
257 Kristal Ok Rev.indd 257 lain yang maju satu per satu ke atas panggung. Kebanyakan dari
mereka telah mempertontonkan penampilan yang mengagumkan.
Kristal jadi merasa kecil, sangat amat kecil dan tidak ada apa-apanya
dibandingkan mereka. Ketika pada akhirnya tiba giliran band mereka untuk maju ke
atas panggung, rasa panik melanda Kristal. Bagaimana bila suaranya
tidak keluar di atas panggung nanti, bagaimana bila ia sampai lupa
lirik, bagaimana bila kakinya tersangkut kabel dan terjatuh. Oh
tidak, tidak, tidak. Ia segera mengusir pikiran-pikiran negatif itu
jauh-jauh lalu bergegas berdiri mengikuti anggota band-nya berjalan
ke arah panggung. Untungnya segala kekhawatirannya itutidak
terbukti. Saat ia menginjakkan kaki di panggung megah tersebut,
segala rasa panik yang awalnya ia rasakan memudar seketika,
digantikan oleh semangat menggebu-gebu untuk menampilkan
yang terbaik. Dan ketika musik dimainkan, ia merasa menyatu
dengan irama musik tersebut, dengan panggung, dengan penonton,
dengan semuanya. Inilah dia, tempatnya. Tempat seharusnya ia
berada: di atas panggung. Saat pertunjukkan mereka berakhir, ia
bahkan tidak memikirkan apa pun hasilnya nanti. Ia tahu mereka
sudah memberikan usaha yang terbaik, dan hari ini, di panggung
ini adalah langkah awalnya mengejar impian. Kristal merasakan
kepuasan yang teramat sangat memenuhi relung hatinya.
"Kristal, bisa ikut aku keluar sebentar?" tanya Ben, saat mereka
baru saja turun dari panggung.
"Ya, tentu saja," jawab Kristal seraya mengikuti Ben keluar
gedung audisi. Mereka lalu berhenti di sebuah area agak sepi dekat tempat
parkir. 258 Kristal Ok Rev.indd 258 "Kenapa Ben?" tanya Kristal heran dengan raut muka ben yang
terlihat gugup. Pria itu menarik napas panjang sebelum mulai berbicara.
"Kristal, aku suka kamu."
Kristal terperanjat mendengar pengakuan Ben ini. Sejak kapan
pria ini suka padanya" Mereka belum lama berteman, dan seingatnya
tidak pernah ada tanda-tanda Ben menyukai dirinya selama ini.
"Ben, maaf aku"," Kristal menghentikan kata-katanya. Ia
benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
Ben melihat perubahan muka Kristal dan buru-buru
melanjutkan, "Aku tahu kamu sudah punya pacar dan aku jujur tidak
mengharapkan apa-apa. Aku cuma mau mengungkapkan perasaan
aku ini. Biar aku lega." Ben tertawa pelan. "Kita tetap berteman "kan?"
Kristal hanya mengangguk.
"Pelukan pertemanan?" tanya Ben
Kristal mengangkat bahu. "Bila itu maumu"."
Mereka pun berpelukan singkat.
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba sesosok pria berdiri di
samping mereka dan melayangkan pukulan ke muka Ben. Kristal
begitu terkejut dengan serangan tiba-tiba ini. Dan, ia tambah terkejut
ketika mengetahui siapa pria asing yang tampak penuh emosi ini.
"Alex!!! Hentikan! Kamu kenapa sih?"
"Harusnya aku yang tanya. Sedang apa kalian berpelukan di
sini?" Pria itu memekik penuh amarah.
"Kami enggak ngapa-ngapain! Kamu kok segitu enggak
percayanya sih sama aku?" sahut Kristal kesal, lalu ia pun berlari
meninggalkan Alex dengan rasa marah yang memuncak.
Ting tong ting tong ting tong. Kristal mendengar bel rumahnya
berbunyi terus-menerus sedari tadi. Diambilnya ipod dari dalam
259 Kristal Ok Rev.indd 259 tasnya dan memasangkannya ke telinganya. Kristal berusaha
mengabaikan suara bel yang masih terus berbunyi ataupun pria di
luar sana, yang tidak jera-jeranya menelepon dirinya sedari pagi
serta memencet bel rumahnya seharian ini. Menyebalkan sekali
saat ia menyadari betapa kehadiran pria itu tetap bisa mengusik
pikirannya, tak peduli sekuat apa pun ia mencoba untuk tidak
peduli. Ternyata, rasa sayangnya pada pria tersebut lebih kuat
dibandingkan kemarahannya. Diembuskannya napasnya lalu
berjalan menuju pintu mencoba mengintip dari balik lubang pintu.
Siapa tahu Alex sudah terlalu lelah sekarang dan memutuskan untuk
meninggalkan Kristal sendirian saat ini. Yap, tak ada seorang pun
di depan pintu. Entah mengapa Kristal merasa agak kecewa. Cepat sekali
Alex menyerah untuk menemuinya. Padahal bila saja Alex mau
menunggu sebentar lagi, mungkin saja rasa marahnya sudah mereda
dan kesalahan pria itu pun bisa dimaafkan. Ia memutar kunci pelan
dan membuka pintu rumahnya perlahan-lahan, entah apa yang ia
cari ia pun tidak yakin. Namun saat sosok pria yang ia sayangi itu
muncul entah dari mana, menantinya begitu pintu ia buka, sepercik
rasa senang melanda hatinya. Dan pria itu tidak sendiri, satu lagi
sosok makhluk kecil menantinya"seekor pomeranian mungil
berwarna putih bersih dengan pita merah jambu di lehernya.
Ia memandang wajah Alex yang tampak memelas memohon
pengampunan dengan raut muka yang tampak dibuat-buat lugu
meminta simpati. Rasa marah Kristal langsung luntur, hilang entah
ke mana. Bagaimana bisa ia marah terlalu lama" Apalagi dengan
kehadiran makhluk kecil menggemaskan itu. Kristal memutar bola
mata. Untung saja ia berhasil menyembunyikan senyum senang yang
hampir saja tersungging di mulutnya. Diambilnya anjing kecil itu dari
260 Kristal Ok Rev.indd 260 gendongan Alex lalu berbalik masuk ke dalam rumah tanpa menutup
pintu. Ia bisa merasakan Alex berjalan mengikutinya di belakang.
"Maafin aku yah.... Jangan marah"," bisik Alex lirih saat
mereka sudah merebahkan diri di sofa.
"Harusnya kamu minta maaf ke Ben. Orang enggak salah apaapa kamu main tonjok sembarangan."
"Iya, tadi aku udah minta maaf kok. Malah, aku udah minta dia
balas nonjok aku. Aku keterlaluan tadi"," Alex berkata pelan.
Kristal memutar bola matanya frustasi mendengar pengakuan
Alex. "Kamu sih cemburuan banget orangnya."
Alex hanya mengangguk. "Enggak boleh lagi yah?" pinta Kristal.
Alex mengangguk lagi. "Boleh minta peluk?"
Kristal memandang Alex heran
"Habis tadi dia meluk kamu," sahut Alex pelan.
Kristal tertawa mendengar nada suara Alex yang terdengar agak
merajuk. Ia pun memeluk pria itu dengan rasa sayang yang besar.
"Scooby" Scooby" Di mana kamu?" Kristal berseru memanggil anjing
kecilnya yang ia beri nama Scooby, terinspirasi dari tokoh kartun
favoritnya, Scooby Doo. Anjing kecil itu menyalak beberapa kali
menyahuti panggilan tuannya.
"Lapar yah" Ini minum dulu susunya." Kristal mengusap-usap
kepala anjingnya itu dengan lembut. "Hari ini kamu jaga rumah yah.
Mommy mau jalan-jalan sama Daddy ke Dufan." Kristal terkikik. Ia
jadi merasa malu telah memanggil dirinya sendiri Mommy dan Alex
sebagai Daddy-nya. Benar-benar mirip dengan cerita roman picisan
yang dulu sering ia remehkan. Ah, cinta memang gila. Sejak kemarin
261 Kristal Ok Rev.indd 261 malam, saat Alex akan mengajak dirinya ke Dunia Fantasi, ia memang
senang setengah mati. Kristal memang senang dengan taman hiburan
semacam itu dan dulu ia sering memimpikan untuk berkencan di
taman hiburan bersama kekasihnya kelak. Dan kini, impiannya
itu benar-benar terjadi. Itulah mengapa, seharian ini ia merasa
senang sekali. Senyum tak henti-hentinya tersungging di mulutnya.
Kristal bangun pagi-pagi benar dan langsung sibuk mencoba
baju yang sangat minim jumlahnya di dalam lemarinya. Setelah itu,
Kristal bahkan menyempatkan diri berdandan selama setengah jam.
Suatu rekor bagi dirinya yang selalu memakai riasan asal-asalan
setiap kali keluar rumah. Kali ini, ia menyempatkan diri untuk
memoles wajahnya dengan lebih teliti. Maskara untuk membingkai
matanya, pemerah pipi warna merah muda ia poleskan di pipinya
yang pucat, dan terakhir lipgloss warna pink menambah manis
riasannya. Tidak buruk. Ia tersenyum memandang hasil karyanya
itu di depan cermin, lalu bergegas menuju ruang tamu menunggu
kedatangan pujaan hatinya,
Alex tiba lima belas menit lebih cepat dari waktu yang sudah
dijanjikan. Kristal membuka pintu dengan semangat, tidak sabar
untuk segera bermain-main hari ini.
"Cantik"," sahut Alex memuji penampilan Kristal begitu pintu
dibuka. "Udah deh, jangan gombal. Yuk berangkat. Udah enggak sabar
mau main-main seharian di Dufan," seru Kristal riang. "Dah Scoobie,
baik baik yah di rumah." Diusapnya anjing kecil itu sebelum beranjak
meninggalkan apartemen menuju dunia penuh fantasi.
"Mau main apa dulu?" tanya Alex begitu mereka memasuki
gerbang Dufan. Kristal berpikir sejenak. "Apa yah" kalau kamu mau main apa?"
Alex memandang sekelilingnya. Sebenarnya ia tidak begitu
menyukai permainan-permainan semacam ini. Mungkin dulu
262 Kristal Ok Rev.indd 262 sekali saat ia masih bocah kecil, ia pernah mendambakan satu hari
bermain di taman hiburan bersama ayah dan ibunya, bersamasama bergandengan tangan layaknya keluarga kecil yang bahagia.
Ia ingat betapa irinya ia oleh cerita teman-teman sekelasnya saat
mereka bermain ke Disneyland, Six Flags, ataupun Universal Studio
bersama kedua orang tua mereka. Namun, impian itu pun akhirnya
ia kubur dalam-dalam saat ibunya meninggalkan dirinya untuk
selama-lamanya. Sejak saat itu, ia selalu anti dengan yang namanya
taman hiburan, badut dan permen kapas. Bahkan entah mengapa
ada sepercik kemarahan setiap kali ia melewati semuanya itu.
Entahlah. Mungkin karena ia iri dengan banyaknya canda tawa dan
kebahagiaan di dalamnya. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan.
Namun,di sinilah ia sekarang. Mungkin tempat ini memang
tidak semegah taman hiburan yang ada di negaranya. Tapi yang pasti,
di sebelahnya berdiri seorang wanita yang paling ia cintai di dunia
ini. Dan saat sang gadis tersenyum padanya, segala kepahitannya
pun menguap. Ia merasa sebagai orang paling beruntung di dunia ini.
"Jadi" Mau main apa?" pertanyaan Kristal membuyarkan
lamunannya. Alex mengenggam tangan Kristal erat. "Semuanya. Kita main
semuanya." Tawa Alex menggema saat mereka berlari riang. Saat ini ia
merasa bahagia, meskipun jauh dalam lubuk hatinya yang terdalam,
terdapat setitik kecemasan yang membayangi rasa bahagianya itu.
Kecemasan akan takdir yang sering kali bergurau dengannya. Sebab
biasanya, saat ia merasa paling bahagia, dan saat ia lengah oleh
kebahagiaan itu, saat itulah kebahagiaan itu akan diambil darinya
dalam sekejap". Bagaikan nyala api yang perlahan berubah menjadi abu.
263 Kristal Ok Rev.indd 263 Tiga Belas Hujan turun, lagi". Menyisakan rintik-rintik air yang berjatuhan silih berganti.
Satu tetes, dua tetes, tiga tetes, seirama detak jantung yang berdetak
perlahan.Irama kematian".


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua terasa seperti dejavu mimpi buruk yang terulang
kembali. Mimpi buruk yang ingin kulupakan".Dan, kini ia kembali. Lewat
sosok pria yang tampak rapuh dalam tidurnya yang damai.Dan, aku
pun menangis". Namun, isakku tak juga mampu membuatnya terbangun. Ia memilih
untuk tinggal dalam dunia mimpinya yang begitu jauh.
Dua minggu lalu". KRISTAL membuka matanya, panik. Jantungnya berdegup
kencang dan tetes peluh bercucuran di dahinya. Ia baru saja
mengalami mimpi buruk. Mimpi yang sudah lama tidak lagi
menganggu malam-malamnya. Namun sekarang, mimpi itu datang
264 Kristal Ok Rev.indd 264 lagi. Meskipun ia tidak begitu ingat apa isi mimpinya itu. Kristal
memejamkan mata berusaha mengingat-ingat sesosok wajah.
Entah siapa, ia tidak tahu. Yang pasti, sesuatu yang buruk terjadi
pada seseorang dalam mimpinya itu. Reygan-kah" Atau seseorang
yang lain" Kristal menggelengkan kepalanya berusaha menepiskan
pikiran itu jauh-jauh. Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju dapur. Ia butuh segelas
minuman dingin untuk melegakan dahaga sekaligus pikirannya
yang kacau. Tak sengaja matanya tertuju pada kalender yang
menempel di dinding sebelah lemari pendingin. Sebuah gambar hati
berwarna merah tergores di atas satu tanggal. Goresan tangannya.
Kristal berjalan mendekat dan membaca dalam hati. 7 Oktober. Alex
Birthday. "Ya ampun!" Kristal terkesiap. Bisa-bisanya ia melupakan
hal ini. Bisa-bisanya ia melupakan hari ulang tahun kekasihnya
sendiri. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan angka sebelas.
Sial, ia bangun kesiangan pula. Kemarin ia memang merasa begitu
kelelahan saat tiba di rumah sehabis bermain seharian di Dufan. Ia
langsung tertidur pulas begitu kepalanya menyentuh bantal, dan
baru sekarang terbangun. Itu pun oleh karena mimpi buruknya.
Tenang, tenang. Kristal menenangkan diri. Masih ada waktu.
Belum terlambat untuk menyusun rencana. Ia berjalan cepat ke
dalam kamar mandi, bersiap-siap secepat kilat dan segera berlari
keluar apartemennya, bergegas menjalankan rencananya.
Matahari baru saja tenggelam saat Kristal tiba di depan pintu
apartemen Alex. Ia tersenyum kecil dan mengeluarkan kunci
berwarna perak lalu memutar lubang kuncinya. Terbuka! Well,
tentu saja. Bukankah ia sudah merencanakan semuanya matangmatang" Siang tadi saat dirinya dan Alex makan bersama, diam265
Kristal Ok Rev.indd 265 diam ia merogoh kunci dari dalam tas laptop Alex, tepat saat pria
itu tengah mencuci tangan di toilet. Memang sih, bisa dibilang ia
mencuri. Tapi, sesekali mencuri demi kebaikan tidak apa-apa "kan"
Kristal tertawa jahil. Ia membuka pintu, menyalakan lampu dan memandang ruang
apartemen yang tentu saja: kosong. Ia juga sudah memastikan
hal ini. Alex tengah berada di Bandung untuk mengurus suatu
pekerjaan dan baru akan kembali larut malam nanti. Sempurna!
Sekarang ia bisa menjalankan rencananya. Ditatapnya dua buah
kantong plastik besar yang ia bawa, lalu menuangkan isinya yang
terdiri dari berbagai pita-pita perak, balon berwarna-warni, lilinlilin, kertas origami beraneka ukuran dan warna, dan tentu saja
satu kotak besar berisi kue tar yang ia buat sendiri. Ia tersenyum
membayangkan raut wajah Alex saat membuka pintu dan melihat
ruang tamu apartemennya ia sulap menjadi tempat pesta kejutan
dengan balon warna-warni, pita-pita, dan lilin-lilin kecil. Kristal
jadi bersemangat oleh khayalannya itu.
Ia melirik arloji di tangannya, tidak banyak waktu untuk
mempersiapkan segalanya. Sebaiknya ia segera bekerja sekarang.
Diraihnya benda-benda tadi dan diletakkannya di atas sofa. Tibatiba ia tersadar kalau ia lupa membawa gunting. Kristal menepuk
dahinya. Bodoh, bisa-bisanya ia lupa. Ia segera beranjak berdiri dan
berjalan menuju dapur, lalu memeriksa rak-rak yang ada di sana. Tak
ada gunting. Kristal lalu berjalan memeriksa rak-rak di ruang tamu.
Tetap tidak ada gunting. Masa sih rumah sebesar ini tidak ada gunting
sama sekali" Kristal mendesah kesal. Matanya lalu tertuju pada pintu
tertutup di depannya. Kamar Alex. Ia menimbang-nimbang. Pastinya
lancang bila dirinya masuk ke dalam kamar seseorang tanpa izin,
meskipun kekasihnya sekalipun. Tapi, sudahlah. Toh ia juga sudah
266 Kristal Ok Rev.indd 266 lancang masuk ke apartemen Alex tanpa izin. Satu kesalahan lagi
tidak akan membuat banyak perbedaan.
Kristal berjalan ragu ke arah pintu tertutup itu, lalu dengan
perlahan memutar kenopnya. Tidak dikunci. Kristal meneruskan
langkahnya sambil menahan napas. Entah mengapa ia merasa begitu
tegang. Mungkin karena diam-diam ia merasa penasaran dengan
isi kamar pria yang jadi kekasihnya itu. Tak ada yang luar biasa.
Hanya sebuah kamar berukuran luas dengan desain mewah. Benarbenar mencerminkan seorang Alex.
Ia memandang ruangan itu lebih detail. Terdapat sebuah lukisan
wajah dirinya di atas tempat tidur Alex, membuat Kristal tersipu
malu. Ia lalu berjalan mendekati tempat tidur itu dan berbaring di
atasnya, menarik napas perlahan-lahan, mencoba untuk menghirup
udara di sana. Aroma Alex tercium memenuhi rongga dadanya.
Aroma yang ia sukai. Campuran antara parfum vanila dan wangi
sabun mandi. Kristal memejamkan matanya sekejap. Ia merasa
nyaman sekali. Seakan-akan Alex ada di sini bersamanya sekarang,
membelai rambutnya. Setelah kira-kira lima belas menit berbaring di sana, Kristal
pun membuka matanya, panik. Ia baru sadar ia telah membuang
waktunya lagi. Bisa-bisa semua rencananya berantakan. Kristal
bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju meja kerja Alex.
Membuka raknya satu per satu.
"Gunting, gunting. Di mana kamu gunting?" ia bergumam kesal.
Benda itu tidak juga ditemukan. Kristal lantas berjalan menuju
lemari besar di sudut kamar. Ia membuka laci-laci lemari itu satu
per satu, hingga laci yang paling bawah. Namun bukannya gunting
yang ia dapati, ia malah menemukan begitu banyak foto-foto dirinya
di sana. Saat ia berada di ruang kelas, saat ia mengajar anak-anak
267 Kristal Ok Rev.indd 267 di panti asuhan, saat ia berdoa di dalam gereja, saat ia memandang
langit di Taman Bintang. Apa maksud semua ini" Semua foto-foto itu
adalah foto dirinya dari bertahun-tahun lalu. Bagaimana bisa Alex
memiliki semua foto-foto itu" Apakah dia telah mengenalnya jauh
sebelum pertemuan pertama mereka, memata-matai gerak-geriknya"
Tapi, mengapa" Mengapa"
Kristal lalu membuka-buka file di laci tersebut dan mene"mukan
sertifikat apartemen yang ia tinggali atas nama Alex. Ini berarti
tempat tinggal yang ia tempati sekarang adalah milik Alex. Pantas
saja, ia sendiri merasa ada yang aneh. Biaya sewa apartemen tersebut
terlampau kecil dan di bawah standar harga pasaran. Bukan itu saja,
bila dipikir-pikir, memang selama ini terdapat banyak sekali kejanggalan dalam hidupnya. Begitu banyak kemudahan-kemudahan yang
ia dapatkan beberapa tahun belakangan. Termasuk pekerjaannya
sekarang di Hotel De Robbins yang memberi dirinya gaji yang cukup
besar. Apakah Alex yang mengatur semua ini" Tapi, mengapa" Ia
tidak merasa pernah mengenal Alex sebelumnya.
Kristal menggeledah lemari Alex dengan kalap berharap
menemukan petunjuk lainnya. Ia membuka-buka banyak sekali
berkas yang kebanyakan berisi laporan keuangan perusahaan yang
tidak penting baginya. Hingga pandangannya tertuju pada berkas
berwarna merah yang terletak di dalam lemari bawah, tertutup
oleh tumpukan pakaian yang sepertinya sengaja diletakkan untuk
menutupi berkas itu dari pandangan mata. Kristal meraih berkas
tersebut, membuka isinya. Dan, seketika itu juga ia terjatuh ke
lantai. Darahnya terasa membeku. Kertas-kertas terjatuh dari
tangannya yang lunglai, berhamburan di atas lantai. Di salah satu
kertas tersebut, bertuliskan perintah penahanan Alex atas kasus
penabrakan korban bernama Reygan Saputra.
268 Kristal Ok Rev.indd 268 Kristal tidak sanggup memercayainya. Dunianya seakan
berputar hebat. Pandangannya mengabur. Napasnya terasa sesak.
Alex adalah remaja yang dulu menabrak Reygan. Alex adalah
pembunuh Reygan. Bagaimana bisa ini terjadi. Bagaimana bisa
ia berhubungan dengan pria yang membunuh Reygan" Kristal
meremas jantungnya yang terasa pedih. Ia merasa tersakiti oleh
semua kebohongan ini. Namun di atas semua itu, yang paling
membuatnya terluka adalah bahwa ia telanjur mencintai sang
pembunuh yang merenggut nyawa orang yang dikasihinya. Telanjur
mencintai dengan segenap hatinya.
Alex berdiri beberapa lama di depan pintu apartemennya. Ia
sibuk mengaduk-aduk isi tas laptopnya. Ia ingat sekali ia sudah
memasukkan kunci apartemennya itu di dalam tas laptopnya tadi
pagi, tapi kunci itu tidak ada di sana sekarang. Lenyap begitu saja. Alex
mengembuskan napasnya kesal. Digebraknya pintu apartemennya
saking frustasinya. Terbuka! Alex terbelalak. Bagaimana bisa" Ia
memasuki apartemennya dengan hati-hati. Lampu ruangan yang
selalu ia matikan sebelum berangkat kerja, kini menyala terang
benderang. Seseorang jelas telah memasuki apartemennya tanpa izin.
Malingkah" Perampokkah" Ia mengedarkan pandangan ke seantero
ruangan yang tampak kosong dan mendapati pintu kamarnya sedikit
terbuka. Seseorang pasti ada di dalam sana. Alex melangkah hati-hati
mendekati kamarnya. Tangannya kirinya terkepal, sementara tangan
kanannya mengenggam tongkat pemukul baseball. Dibukanya pintu
kamarnya pelan. Bila awalnya Alex merasa takut oleh kemungkinan adanya
perampok di dalam kamarnya, semua perasaan itu tidaklah
269 Kristal Ok Rev.indd 269 sebanding dengan rasa takut yang ia rasakan sekarang. Kristal
tampak terduduk di lantai dengan pandangan hampa ke dinding
kosong di hadapannya. Wajahnya dingin tanpa ekspresi seperti
mayat hidup. Alex tidak perlu bertanya mengapa. Kertas-kertas yang
berhamburan di lantai sudah menjawab semuanya. Bagai sebuah
gemuruh yang datang tiba-tiba, Alex seakan tersambar listrik ribuan
watt. Wajahnya berubah pucat pasi. Kakinya terasa lunglai dan ia
pun ikut terduduk di lantai. Seluruh tubuhnya gemetaran. Ia tidak
berani berkata apa-apa. Ia hanya menunggu dan menunggu.
Untuk beberapa saat hanya ada keheningan yang panjang.
Keheningan yang menusuk dan menyiksa. Lalu, tanpa suara,
Kristal bangkit berdiri dan berjalan terseok-seok keluar kamar
dengan langkahnya yang goyah. Alex menatap kepergian Kristal.
Kakinya masih gemetaran, namun ia berusaha untuk berdiri. Ia
harus menghentikan Kristal dan menjelaskan semuanya. Harus. Ia
berjalan cepat lalu meraih tangan Kristal. Namun, tamparan di pipi
menyadarkannya. Gadis itu menatapnya dengan pandangan jijik
dan seketika Alex melepaskan genggamannya. Tidak peduli apa pun
yang ia katakan sekarang, gadis itu tak akan sudi mendengarkannya.
Maka Kristal pun berjalan meninggalkannya, dan Alex hanya bisa
berdiri membatu di sana seorang diri.
Cinta itu membunuhnya. Membakar setiap sudut jiwanya.
Menguras setiap tetes darahnya. Menyudutkannya dalam jurang
yang tak terjangkau. Ia butuh gadis itu, ia butuh hangat tubuhnya,
wangi embus napasnya dan rasa damai yang mampu menariknya
dari kegelapan. Tapi, gadis itu tidak lagi di sisinya. Ia hancurkan
kepercayaan gadis itu dengan pengkhianatan yang ia lakukan. Dan,
270 Kristal Ok Rev.indd 270 kini gadis itu pun berlalu. Pergi meninggalkannya dalam kesendirian
dan penyesalan. Dengan kedua tangannya sendiri, ia hancurkan
dunia bahagia mereka. Dan, kini semua hanya tinggal kenangan.
Sepuluh hari telah berlalu sejak kejadian malam itu. Malam
ulang tahun terburuk dalam sejarah hidupnya. Sejak malam itu pula
Alex tidak pernah lagi bertemu Kristal. Gadis itu seakan menghilang
ditelan bumi. Kristal tak lagi datang ke kantor. Apartemennya sudah
kosong saat Alex mencoba untuk menemui gadis itu di sana. Bahkan
panti asuhan yang biasa dikunjungi Kristal tidak menunjukkan
tanda-tanda kehadiran gadis itu. Tampaknya Kristal benar-benar
berniat menjauhkan diri darinya. Alex tidak tahan lagi. Tanpa gadis
itu semua tak sama lagi. Bernapas kini menjadi begitu sulit. Tiap
udara yang terhirup terasa begitu menyesakkan dadanya. Kristal
harus kembali ke sisinya, tak peduli bagaimanapun caranya.
Alex memasuki mobilnya dan mengemudikannya menembus
kegelapan malam. Hujan turun rintik-rintik dan udara terasa dingin
menusuk hingga ke tulang. Ia menghentikan mobilnya di sebuah
taman makam umum tempat Reygan dimakamkan, tempat yang
sudah berhari-hari ini ia kunjungi setiap hari, berharap, siapa tahu
gadis yang ia rindukan itu datang berkunjung. Alex menunggu di
sana hingga pagi menjelang. Ia menatap langit yang tertutup awan
gelap dari balik jendela mobilnya. Hujan tidak juga berhenti sejak
semalam dan malah semakin lama semakin bertambah deras. Ia
menutup matanya sejenak, merasa lelah dengan semuanya. Saat ia
membuka mata beberapa menit kemudian, tampak seorang gadis
berjalan di kejauhan dengan payung merah jambu melindungi sang
gadis dari guyuran hujan. Alex terkesiap. Ia segera membuka pintu
mobilnya dan berlari mengejar gadis itu. Tidak dipedulikannya
tubuhnya yang basah kuyup di bawah guyuran hujan deras. Ia
271 Kristal Ok Rev.indd 271 hanya ingin melihat wajah gadis itu. Rasa rindunya sudah tak
terbendung lagi. "Kristal!" serunya dengan suara serak.
Gadis itu menoleh. Wajah gadis itu tampak terkejut saat melihat
dirinya. "Apa maumu?" tanya gadis itu dengan tatapan penuh
kebencian. Alex berusaha menemukan suaranya yang mendadak hilang.
Lidahnya terasa keluh. Gadis itu memandangnya tajam, membuatnya
semakin sulit untuk berbicara. Alex pun berkata dengan terbatabata.
"Aku minta maaf, Kristal. Aku benar-benar tidak sengaja. Aku
sudah mencoba membawanya ke rumah sakit, tapi" tapi semua
sudah terlambat. Aku tidak sengaja. Sungguh aku tidak sengaja.
Aku sangat sangat menyesal." Air mata membasahi pipi Alex. Semua
rasa bersalah yang ia pendam bertahun-tahun seakan tertumpah
saat ini. "Menyesal" Menyesal kamu bilang?" Gadis itu menatapnya
garang, lalu melempar payungnya ke tanah, membiarkan air hujan
membasahi tubuhnya. "Kamu ambil pria yang aku cintai. Kamu
buat aku menderita bertahun-tahun. Dan, sekarang kamu bilang
apa" Kamu menyesal" Apa gunanya itu" Semua sudah terlambat.
Rey enggak bisa kembali lagi!" Air mata turut berlinang di pipi
Kristal. Gadis itu menutup mukanya dan menangis sesenggukan.
"Pergi Alex. Tinggalkan aku sendiri. Aku enggak mau lihat kamu
lagi. Pergilah dari hidupku. Pergi!" sentak Kristal keras.
Alex tersentak. Ia jatuh berlutut di kedua kakinya. Tubuhnya
gemetar hebat. Ia terisak begitu kencang, "Kumohon, kumohon Kristal.
Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk memperbaiki
semuanya. Apa pun". Jadi, kumohon padamu. Jangan tinggalkan aku."
272

Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kristal Ok Rev.indd 272 Kristal terdiam beberapa saat, memandangnya tanpa ekspresi
sebelum berkata dingin. "Kenapa bukan kamu saja yang mati?"
Lalu gadis itu membalikkan badan dan berjalan meninggalkan
Alex seorang diri di sana.
Kilau kilat menyambar berkali-kali seakan ikut melontarkan
amarahnya. Alex berlutut bergeming di sana begitu lama. Air hujan
ikut mengaburkan pandangan matanya yang memang telah basah
oleh air mata saat gadis yang ia cintai berjalan menjauh dari dirinya
dan juga dari hidupnya untuk selamanya.
Kristal berjalan gontai memasuki Panti Asuhan Bunda Maria.
Rambutnya basah oleh air hujan, namun ia tidak ambil peduli. Ia
melewati Suster Albertha yang tengah membaca buku di ruang tamu.
Ia pura-pura tersenyum saat wanita separuh baya itu menyapanya.
Kristal tak mau membuat Suster Albertha maupun Suster Teressa
khawatir. Mereka sudah terlalu baik padanya. Memberikan tempat
tinggal dan membantunya merahasiakan keberadaannya pada
siapa pun. Ia berjalan cepat saat melewati beberapa anak panti.
Mengusap-usap rambut mereka sebentar sambil tertawa lebar. Tawa
penuh kepura-puraan. Baru saat Kristal tiba di dalam kamarnya, ia menumpahkan
tangisnya yang sudah ia pendam sedari tadi. Kristal merasa amat
sangat bersalah. Betapa kejamnya kata-kata yang ia lontarkan pada
Alex tadi. Ia bukannya tidak melihat raut wajah Alex yang tampak
tirus dan menderita. Pria itu pasti telah kehilangan beberapa kilo
berat tubuhnya dalam beberapa hari terakhir ini. Dan, pandangan
mata pria itu terlihat begitu putus asanya. Begitu menggenaskan. Bila
tidak ingat apa yang sudah Alex lakukan pada Reygan, Kristal pasti
273 Kristal Ok Rev.indd 273 sudah berlari memeluk pria itu. Ia sendiri pun sebenarnya menderita
akan semua ini. Di satu sisi ia membenci pria itu. Namun, di sisi
lainnya rasa cinta dan rindunya yang begitu dalam membuatnya
sulit untuk menahan rasa di dadanya. Namun, apa lagi yang bisa
ia lakukan. Kesalahan Alex bukanlah jenis kesalahan yang bisa
dimaafkan semudah itu. Kristal berjalan pelan ke arah jendela. Ia butuh oksigen.
Kepalanya terasa mau pecah. Ia baru akan menutup jendela saat
ponselnya berbunyi. "Kristal?" suara pria di seberang memanggil namanya. "Ini
Steve." "Oh, hi Steve. Apa kabar kamu di Ameri"."
"Kristal, dengarkan aku. Alex masuk rumah sakit. Mobilnya
tabrakan tadi siang. Sekarang ini aku dan ayah Alex sedang dalam
perjalanan menuju airport. Kami akan berusaha tiba di sana secepat
mungkin. Ini alamat rumah sakit tempat Alex dirawat. Bisakah kamu"."
Kristal tertegun. Jantungnya berdetak kencang. Kata-kata
Steve selanjutnya terdengar begitu jauh dan asing. Entah di mana
jiwanya melayang. Tangannya bergerak sendiri menuliskan alamat
rumah sakit tempat Alex dirawat, lalu kakinya berlari kencang
menuju rumah sakit tersebut. Mimpi. Ini semua terasa seperti
mimpi buruk. Ia teringat kejadian bertahun-tahun lalu saat dirinya
masih seorang gadis kecil yang tidak berdaya. Ia hanya bisa diam
menunggu dengan air mata berderai, tanpa mampu berbuat apa-apa
saat orang yang ia kasihi direnggut darinya. Tidak kali ini. Ia tidak
akan membiarkannya. Alex pasti baik-baik saja. Harus baik-baik
saja. Sebab ia tahu ia sudah tidak sanggup lagi untuk kehilangan
sekali lagi. 274 Kristal Ok Rev.indd 274 "KOMA?" Kristal terperanjat mendengar satu kata itu. "Bagaimana
bisa?" Dokter di depannya menggelengkan kepalanya prihatin. "Saya
dengar mobil pasien tergelincir akibar hujan deras tadi siang hingga
menabrak pohon. Kepalanya terbentur begitu keras. Mungkin
mengenai beberapa saraf otaknya"."
"Berapa lama Alex koma Dok" Tapi, ia bisa diselamatkan "kan,
Dok?" Kristal berseru panik.
Dokter itu mendesah. "Kami tidak bisa memastikan berapa lama
pasien akan tetap berada dalam kondisi seperti ini. Bisa sebulan,
setahun, sepuluh tahun, mungkin juga selamanya. Semuanya
tergantung kondisi pasien sendiri."
Kristal terdiam membisu. Dadanya terasa bergemuruh. Masih
ada harapan. Ia meyakinkan dirinya sendiri. Tenang, tenang, tenang,
Alex pasti baik-baik saja. Pasti. Ia lalu berjalan pelan menuju pintu
putih di ujung lorong. Alex tengah terbaring di dalamnya. Kristal
membuka pintunya perlahan. Ruangan putih itu terasa dingin dan
sunyi. Tiba-tiba ia merasa menggigil. Di hadapannya Alex tengah
tertidur lelap. Wajahnya terlihat damai tanpa beban. Kristal berjalan
mendekat. Ia memperhatikan napas Alex yang berembus teratur.
Seolah-olah Alex hanya tertidur sebentar dan akan terbangun tibatiba untuk mengejutkannya.
"Alex, bangun Lex. Kristal di sini. Bangun"." Digenggamnya
tangan Alex erat. Kristal menunggu beberapa saat, namun pria itu
tetap bergeming. Mata Kristal mulai berkabut. Ia memanggil nama
Alex berulang-ulang. Namun, pria itu tidak juga membuka matanya.
Kristal mulai menyalahkan dirinya sendiri. Semua ini kesalahannya.
Seandainya ia tidak berkata sekejam itu kemarin. Seandainya ia mau
memberikan pria itu kesempatan. Seandainya". Oh begitu banyak
275 Kristal Ok Rev.indd 275 seandainya, namun tak satu pun yang dapat mengubah keadaan.
Semua telah terjadi, dan hanya keajaiban yang sanggup memperbaiki
semuanya. Tangis Kristal pun pecah. Ia menangis tersedu-sedu,
makin lama makin kencang, hingga ia tertidur kelelahan tanpa
sedikit pun melepaskan genggaman tangannya dan Alex, seakan
tak ingin terpisah. Kristal terbangun oleh sinar mentari yang masuk dari celah
jendela. Alex masih tertidur di hadapannya. Wajahnya terlihat damai
bak malaikat surgawi. Air mata Kristal menetes lagi tak terbendung.
Ia memandang wajah Alex terus-menerus. Menunggu akan adanya
keajaiban yang ia yakin pasti akan terjadi.
Steve datang tak lama kemudian bersama seorang pria yang
memiliki aura wibawa seperti yang dimiliki Alex. Ayah Alex hanya
melihat putranya yang terbaring itu sebentar saja, lalu pria separuh
baya itu keluar ruangan bersama dengan dokter yang merawat Alex.
Steve sendiri tampak sangat terkejut melihat keadaan sepupunya.
Ia berdiri di sebelah tempat tidur Alex dengan tatapan nanar, lalu
berjalan keluar ruangan. Steve masuk kembali beberapa menit
kemudian dengan dua gelas kopi susu dan roti di tangannya.
"Nih, untukmu." Steve berkata sambil menyerahkan roti dan
segelas kopi susu ke dalam genggaman tangan Kristal.
"Trims." Kristal menerima roti dan kopi tersebut lalu
meletakkannya di atas meja.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Steve cemas.
Kristal mengangguk meskipun jelas ia tidak baik-baik saja.
Steve memandang Kristal prihatin. "Aku ingin memberitahukan
sesuatu padamu." Kristal diam menunggu Steve melanjutkan kata-katanya.
276 Kristal Ok Rev.indd 276 "Besok Alex akan dipindahkan ke rumah sakit di Amerika
untuk penanganan yang lebih baik. Aku memberitahukan ini agar
kamu bisa mempersiapkan mentalmu. Entah berapa lama lagi hingga
Alex bisa terbangun dari tidurnya. Bisa jadi selamanya ia tertidur
seperti itu dan kamu tidak akan pernah bisa bertemu dengannya
lagi." Kristal terdiam sebentar lalu tersenyum penuh keyakinan. "Alex
pasti bangun. Aku yakin itu. Kalian berusahalah sebisa mungkin.
Berikan Alex kesempatan terbaik yang bisa ia miliki untuk sembuh.
Entah itu di Amerika, Eropa atau di mana pun. Asalkan ada harapan
sekecil apa pun, lakukanlah. Jangan pernah menyerah soal Alex.
Aku yakin suatu saat Alex akan terbangun. Keajaiban pasti terjadi.
Aku percaya itu." Steve tersenyum kecil. "Ya, Alex pasti akan terbangun dari
tidurnya. Aku yakin ia tak akan mungkin tega meninggalkan kamu
sendiri di sini." Pria itu mengusap bahu Kristal pelan, lalu berjalan
keluar, meninggalkan Kristal dan Alex berdua di sana.
Kristal berjalan pelan mendekati tempat tidur Alex. Ia
membungkuk dan berbisik pelan di telinga Alex.
"Lex, aku enggak tahu apakah sekarang kamu bisa mendengar
kata-kataku ini atau enggak. Tapi, aku tetap ingin mengatakannya
sekarang. Kamu ingat saat aku mengatakan hal-hal yang kejam
padamu kemarin" Aku sama sekali tidak sungguh-sungguh. Aku
minta maaf kalau aku telah menyakitimu. Tapi sesungguhnya,
tak peduli kesalahan apa pun yang kamu perbuat, aku sudah
memaafkannya. Karena aku cinta sama kamu, Lex. Cinta sekali."
Kristal berhenti berkata sejenak. Dikecupnya kening Alex lembut. Air
mata Kristal menetes di atas dahi pria itu. "Bangunlah Lex, bangun.
Karena aku selalu menunggumu di sini. Selalu"."
277 Kristal Ok Rev.indd 277 Keesokan harinya Alex pun diterbangkan ke Amerika. Kristal
tidak mengantar pria itu di rumah sakit ataupun di bandara. Saat
semua itu terjadi, gadis itu sedang berada di dalam sebuah gereja
tua di atas bukit, memejamkan matanya dan berdoa. Memohonkan
keselamatan pria yang ia cintai. Memohon dengan segenap hatinya
akan adanya suatu keajaiban. Bahwa Alex akan menemukan jalan
pulang, kembali padanya. Tiga tahun kemudian".
Di atas panggung megah, seorang gadis tengah berdiri dengan
anggunnya. Semua mata tertuju padanya. Semuanya menyiratkan
pandangan penuh kekaguman terhadap gadis yang disebut-sebut
sebagai diva muda paling berbakat tahun ini. Terbukti dari tiket
konser perdananya yang terjual habis dalam hitungan hari.
Gadis itu menatap ribuan penonton di hadapannya. Senyum"nya
yang menawan tersungging di wajahnya. Ia membuka kata-kata
pertamanya. "Hai semua. Senang sekali kalian bisa hadir dalam konser
aku yang bertemakan cinta ini. Aku sengaja memilih tema cinta
karena aku ingin berbagi cinta ini bersama kalian semuanya.
Sebab buat aku, cinta adalah satu hal yang paling besar di dunia
ini, yang memberikan aku keberanian dan harapan. Karena
cintalah, aku ada di sini. Oleh karena itu, untuk lagu pertama ini
aku ingin mempersembahkannya kepada tiga orang pria yang
telah memberikan aku begitu banyak cinta. Para pria yang paling
kucintai dalam hidupku. Pertama adalah ayahku tersayang, sosok
pria pemberani yang telah dengan gagah mengorbankan nyawanya
untukku. Kedua, untuk seorang pria yang telah melindungiku di
masa-masa tersulit hidupku hingga detik terakhir hidupnya. Aku
278 Kristal Ok Rev.indd 278 yakin mereka berdua sedang mengawasiku dari surga saat ini. Dan
terakhir, seorang pria yang tidak kuketahui keberadaannya. Aku
bahkan tidak tahu apakah ia masih ada di dunia ini atau tidak. Tapi
kuharap, aku masih punya kesempatan untuk bertemu dengannya
dan mengatakan ini secara langsung."
"Aku memaafkanmu dan" aku mencintaimu. Selalu."
Tepuk tangan penonton riuh terdengar. Di antara mata-mata
yang memandangnya sekarang, Kristal setengah berharap melihat
mata Alex di sana. Tapi, tidak. Mungkin keajaiban itu belum
berpihak padanya. Kristal pun memejamkan mata, menunggu
alunan musik mengalir mengiringinya. Dan, ia pun bernyanyi
dengan segenap jiwanya. Kristal berjalan melewati rimbunnya pepohonan menuju Bukit
Bintang. Jalan setapak yang sudah sangat dikenalnya. Malam ini ia
merasakan campuran antara perasaan letih dan gembira berkumpul
menjadi satu, sebab konsernya berjalan lancar. Ia telah berjanji
untuk merayakan keberhasilannya ini bersama para penghuni Panti
Asuhan Bunda Maria, beserta ayah dan ibu Reygan yang sengaja
ia undang untuk merayakan keberhasilannya ini. Makan malam
bersama orang-orang yang ia kasihi adalah suatu hal yang sangat
ia syukuri. Meskipun tentu saja dengan kehadiran Alex segalanya
akan menjadi sempurna. Tapi sudahlah, begini pun ia sudah merasa
amat sangat gembira. Kristal berjalan pelan, lalu menghentikan langkahnya. Sesuatu
yang basah terasa menjilat pergelangan kakinya. Scooby tampak di
bawah sana menggoyang-goyangkan ekornya. Anjing Pomeranian
itu telah berubah drastis dalam tiga tahun terakhir. Makhluk yang
279 Kristal Ok Rev.indd 279 dulu kecil mungil itu telah berubah menjadi lebih besar dan bulat.
Kristal memanggilnya pembuat onar kecil, sebab memang begitulah
makhluk itu sekarang: nakal dan selalu membuat masalah. Namun,
Kristal sudah sayang sekali pada anjing itu. Bagaimanapun juga,
Scooby adalah bagian dari kenangannya bersama Alex.
"Scooby, jangan lari ke sana kemari. Ayo sini." Kristal berseru
memanggil anjing kesayangannya itu.
Ia baru saja tiba di depan pintu Panti Asuhan Bunda Maria saat
makhluk nakal tersebut berlari kencang ke arah Bukit Bintang.
"Scooby, kembali! Sini!" Kristal berteriak memanggil-manggil
anjingnya. Namun, makhluk pembuat onar itu tidak mengindahkan
panggilannya dan menghilang dalam kegelapan.
Kristal mendesah kesal. Ia terpaksa harus mengejar Scooby
sekarang."Scooby" Scoob! Di mana kamu?" panggil Kristal saat ia
tiba di atas bukit. Suara gonggongan anjing kecil terdengar dari arah taman.
Kristal berjalan cepat untuk mendapatkan anjingnya kembali.
Namun, Scooby tidak sendiri. Seorang pria tampak bersamanya.
Kristal berjalan mendekati mereka dengan napas tertahan. Apakah
ini hanya khayalannya" Ia tidak berani memercayai semua ini.
Pria tersebut berjalan perlahan menghampirinya hingga
mereka berdua berdiri berhadap-hadapan. "Kristal, aku pulang."
Kristal menutup mulut dengan kedua tangannya. Ini bukanlah
mimpi. "Maaf membuatmu menunggu lama." Pria itu berkata lagi.
Kristal tidak sanggup berkata apa-apa. Airmatanya merebak.
Alex menggaruk-garuk kepalanya. "Tadinya mau bikin kejutan."
Ia memandang lampu-lampu hias yang membelit pepohonan
di seluruh taman. "Tapi, Scooby mengacaukan semuanya." Ia
280 Kristal Ok Rev.indd 280 memandang sang pembuat onar yang kini sedang menggigit-gigit
akar tanaman. "Sebentar, sebentar." Alex berjalan ke arah pohon
besar di depan sana. Entah apa yang ia lakukan, tahu-tahu saja
seluruh taman berubah menjadi terang benderang oleh lampu-lampu
bergambar hati emas. Lalu Alex berlari kembali ke hadapannya, ia
terlihat kikuk saat menggengam kedua tangan Kristal.
"Walaupun tidak sempurna dan tidak seperti yang aku
bayangkan, aku tidak bisa menunggu lagi. Aku tidak rela kalau
sampai keduluan pria lain, apalagi kamu memiliki begitu banyak


Kristal Karya Wina Natalia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penggemar sekarang." Alex lalu mengeluarkan kotak merah kecil
dari dalam kantongnya. Kristal terperangah. Ia sudah bisa menduga apa isinya.
"Kristal, will you marry me?" Alex berkata lembut penuh
kesungguhan. Kristal mengangguk-angguk. "Tentu saja," jawabnya dengan air
mata haru di pipinya. Alex memakaikan cincin itu di jari manisnya, lalu memeluk
dirinya erat. Kristal balas memeluk pria itu. Merasakan setiap detik
yang berlalu bagaikan keajaiban. Angin bertiup lembut di antara
daun-daun, bintang bersinar bagaikan berlian di atas sana, serta
rumput yang bergoyang jenaka. Semua ini adalah keajaiban. Sekali
lagi, Bukit Bintang telah menjadi saksi cintanya.
281 Kristal Ok Rev.indd 281 Tentang Penulis Wina Natalia Berawal dari pencapaiannya sebagai seorang
finalis Indonesian Idol 2012, gadis kelahir"an
14 Desember ini meninggalkan kariernya sebagai General Mana"ger sebuah Hotel di Batam
serta mengorbankan beasiswa pendidikannya
di London, untuk memulai petualangan kecilnya di ibu kota. Ia percaya bahwa ketika kita
teguh dan beriman dalam mengejar sesuatu,
then your dream will do come true.
Kini ia adalah seorang entrepreneur sekaligus penyanyi yang
telah berkali-kali tampil di televisi nasional dan menciptakan lagu.
Ia juga telah merilis sebuah album solo dengan single utamanya
berjudul "Setia". Wina juga merupakan composer dan lyricist untuk
seluruh lagu di album yang bertajuk self titled tersebut.
Bagi gadis lulusan Singapore Institute of Management dan Royal
Melbourne Institute of Technology ini, Kristal merupakan novel
pertamanya. Follow Twitter-nya: @wina_natalia
282 Kristal Ok Rev.indd 282 Kristal Ok Rev.indd 1 Tentang Me reka Bagi sang gadis, pria itu adalah keajaiban dalam hidupnya....
Bagi sang pria, gadis itu adalah keajaiban dalam hidupnya....
Bagi mereka, cinta mereka adalah suatu keajaiban....
Bila cinta memang ajaib, mampukah ia memenangkan segalanya"
"Ceritanya benar-benar bisa buat seseorang untuk keep strong
and live your life."
(Ryn Cherrybelle) Kristal "Novel yang menarik! Deskripsi romance-nya luar biasa, bisa
buat inspirasi aku ciptakan lagu."
(Yoda Idol) Perpaduan drama dan cinta. What a lovely story!
(Dinda & Anisa Cherrybelle)
NEW cover Kristal final.indd 1
Wina Natalia PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Kompas Gramedia Building Jl. Palmerah Barat No. 33-37, Jakarta 10270
Telp. (021) 53650110, 53650111
Ext. 3315/3327/3303 www.grasindo.co.id Facebook: Grasindo Publisher
Twitter: @grasindo_id Kristal Wina Natalia "If love is a miracle, can it conquer all?"
NOVEL 09/07/2013 12:53:06 Gerombolan Singa Gurun 1 16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Iblis Berwajah Seribu 3

Cari Blog Ini