Lalita Karya Ayu Utami Bagian 1
Indigo S andi Y uda menamainya "momen autis". Ia mengira hanya lelaki muda yang mengalaminya. Momen-momen yang mengasingk an ia dari kota, sedemikian rupa sehingga ia nyaris tidak memahaminya lagi.
Lihatlah Jakarta. Betapa kota ini memiliki warna aneh. Warna yang membikin sesak nafasmu. Kuning-oranye keabuabuan. Seperti potret tahun enampuluhan. Yuda berada di koridor rumah sakit sekarang. Ia melihat rambang asap pada wajah para pasien yang mengantre, juga orang-orang yang menga ntar. Begitu kusam. Ia melangkah melawan arus di lorong rumah sakit Angkatan Darat itu. Jam besuk. Orangorang berd atangan. Tapi, ia justru baru saja meninggalkan te?"" mann ya, seorang perwira pasukan komando yang masih kehi?"" langan ingata n akibat suatu kecelakaan yang mer eka a lami dal am suat u eksp edisi pribadi yang konyol: memburu jimat d i sebuah candi yang sedang digali.
Yuda menoleh ke belakang sekali lagi, ke arah pintu yang baru ia tinggalkan. Di balik pintu itu, sang perwira terbaring dengan wajah kosong. Memandang ke langit-langit. A h. Padahal perwira itu begitu gagah dan nekad sebelumnya, bagai m onyet pejantan alfa. Matanya dulu penuh nafsu menguasai dunia. Kini letnan yang malang itu menjelma makhluk menyedihkan yang tak bisa mengingat diri sendiri. Kenyataan itu membuat Yuda syok. Betapa rentan manusia. Rasa terguncang pun mengaktifkan mode autis itu pada dirinya. Ia tidak bisa memahami peradaban selama beberapa menit. Ia kosong di antara pasien dan pengantar yang lalu-lalang.
Di manakah aku berada"
Ini Senen. Bukan hari, melainkan daerah Senen. RSPAD Gatot Subroto ada di sekitar wilayah itu.
Sebuah mobil panjang mengaum jalang sambil melaju kencang, menghalangi ia menyeberang jalan. Bukan ambulans, melainkan kereta jenazah. Para pengiring bersepeda motor mengayun-ayunkan bambu berbendera kuning. Wajah mereka garang, menuntut lalulintas agar berhenti. Ia tak paham kenapa orang mati masih harus terburu-buru. Kenapa mereka tak bisa tenang juga" Memang ke mana mereka mau pergi" Ah, mereka menyuruh kita minggir, tapi sebetulnya merekalah yang mau pergi ke pinggir. Ke pinggir apa" Ke pinggir kota... Kenapa orang mati bergegas pergi ke pinggir kota" Karena tak ada tempat bagi mereka di pusat" Tapi, aneh, di manakah pusat kota ini"
Kau mungkin tak bisa membayangkan rasa ganjil ini. P ada detik itu kau akan tidak bisa mengerti lagi makna pusat kota. Kau tahu Jakarta Pusat termasuk di dalamnya adalah istana Presiden dan Monas. Tapi kau tak bisa percaya lagi bahwa itu adalah pusat Jakarta. Pada momen autis ini kau berada di luar makna yang biasanya kau percaya. Kau hilang orientasi. Pertanyaan-pertanyaan tak praktis berloncatan di otakmu. Kau jadi tegang memikirkan apa bukti Jakarta Pusat adalah pusat Jakarta" Apa bukti bahwa wilayah di mana ada istana dan monumen itu adalah pusat kota. Ya, buktinya apa" Apakah pusat sebenarnya" Dan kenapa orang mati harus ngebut dan menerabas lampu merah menuju ke pinggir kota" Aneh sekali...
Bunyi bip telepon membuyarkan tekanan pertanyaanpertanyaan yang menyesakkan benak. Sebuah pesan masuk: Ketemu di Plaza Indonesia aja Yuda.
Iring-iringan jenazah sudah lenyap. Jalan tiba-tiba lengang sesaat. Sepi yang janggal. Seperti sesuatu yang mengambang. Kakinya melayang masuk ke dalam bus arah Bunderan Hotel Indonesia. Wewajah kumuh bersalut asap rokok bertumpuk di dalam kendaraan itu, pepohon berdebu melintas di luar jendelanya, semua semakin menghadirkan foto tahun enampuluhan yang pudar pada kertas keruh. Yuda merasa terjebak di zaman lampau yang muram. Ia turun dan berjalan menyeberangi kartupos era Orde Lama bergambar tugu Selamat Datang.
Dunia berubah di depan Plaza Indonesia. Sekarang, segalanya seperti berdenting, di matamu, di telingamu. Jernih. Kau melihat bunyi cling. Kau mendengar sinar kling.
Di balik kerling dinding kaca itu, kau merasa melihat isi pesawat futuristik Star Trek USS Enterprise. Di dalam ink ub ator raksasa itu tidak ada debu, tak ada asap. Semua orang, lelaki maupun perempuan, memakai sepatu mengilap dan pakaian licin. Mereka berjalan pada lantai yang berkilau bagai danau es. Di sana-sini ada gambar berlampu, cerah bagai kupu-kupu. Semua warna adalah warna digital, menyala bersama cahaya warna pada layar cemerlang, tak dicetak, tak bertekstur. Lalu kau melihat pantulan dirimu pada kaca: seorang pemuda berdada bidang bertangan liat yang bergerak canggung seperti makhluk purba. Sandi Yuda.
Wajah itu sesungguhnya agak bengal. Tapi yang tampak pada bening kaca adalah mata yang terasing.
Untuk bisa berada di dalam pesawat luar angkasa itu orang harus menyerahkan diri kepada petugas pemeriksa. Yuda pun merambang dalam rasa penolakan. Wajahnya mulai tegang. Ranselnya dikorek-korek oleh sepasang tangan berkaus, dan ia harus menerangkan beberapa alat pemanjatan isi tasn ya cincin kait, pengaman sisip maupun paku, alat-alat petualangan yang tak umum dibawa oleh pengunjung mal. Tubuhnya dipindai dengan benda yang tampak seperti kaca pembesar. I a dicurigai. Ia tak suka. Momen autis menculiknya lagi.
Betapa aneh bahwa di kota yang sama ini sebuah dinding kaca memisahkan realita foto kusam enampuluhan dari realita foto digital. Pintu penghubungnya dijaga oleh petugas bersarung tangan dengan kaca pembesar raksasa. Angin dingin berhembus. Panas lenyap. Di luar sana, tubuhmu disetrika dengan suhu 40 0 C. Di dalam sini, kau dikemas ke dalam mesin penyejuk 10 0 C. Jika kau tak kuat, tubuhmu retak. Sebagian orang datang ke pesawat induk ini dengan pesawat-pesawat kecil y ang dinamakan mobil pribadi yang menjaga udara dingin. Dalam pesawat Enterprise ini gaya tarik tidak hanya berasal dari bumi. Gravitasi juga datang dari kaca-kaca etalase; membuat kau sulit berjalan lurus dan tenang. Kau harus mengerahkan tenaga agar tidak termagnet ke sana ke mari.
Setelah agak payah melangkah, Yuda masuk ke sebuah restoran Jepang sesuai perintah baru yang ia terima. Di sana ia menjadi semakin tertekan. Tampangnya jadi mirip hewan hutan yang tersesat di tengah kota. Ia disambut dengan bentakan pelayan, dalam bahasa yang ia tak mengerti. Irasshaimase! Tapi sang pembentak itu, anehnya, tersenyum. Senyum yang tak bisa dipercaya. Irasional. Lalu matanya tertumbuk pada akuarium besar di tengah orang-orang yang makan. Kotak kaca itu berisi jejurumasak yang juga mengenakan sarung tangan. Mereka memakai penutup mulut dan topi plastik seperti dokter hendak mengoperasi udang, kepiting, dan sayatan daging tak berdarah yang disimpan dalam kotak-kotak plastik. Sesaat Yuda tak bisa bergerak. Ia mematung bagai seorang bocah menyaksikan terarium kebun binatang berisi reptil yang baru saja melahap sesuatu.
Ada suara menyeru namanya. Ia menoleh. Oscar... Ah. Oscar melambai dari salah satu meja. Akhirnya. Akhirnya ada juga yang kau kenal.
Yuda pun berjalan dengan langkah-langkah yang masih tegang.
"Lagi mood robotik nih, Bro?" sapa Oscar dengan seringai hangatnya yang selalu.
Yuda duduk. Perlahan darahnya kembali mencair. Oscar adalah direktur Galeri Foto, juga Sekolah Foto Jurnalistik Antara. Seorang lelaki berambut gondrong bertipe kepala suku. Kepala suku adalah dia yang dimiliki semua orang. Beberapa waktu lalu ia menghubungi Yuda, memintanya bantu mengajarkan teknik pengamanan sesi kursus pemotretan di ketinggian. Tentu saja Yuda mau. Ia terlalu sering melatih panjat tebing militer dan polisi, kelompok suku yang anti berpikir kritis (begitu kata partner panjat tebingnya, Parang Jati). Untuk mengimbanginya, dengan senang hati ia akan membimbing para pewarta foto, yang ia kira golongan manusia berpikir kritis. Kini mereka bertemu untuk membicarakan itu.
Tapi Oscar tidak sendiri pasti. Restoran sushi ini bukan tipe favorit Oscar. Yuda suka bertaruh. Dengan begitulah ia bisa menertawakan dunia yang mengasingkan dia. Taruhan, orang yang memilih restoran ini adalah perempuan. Perempuan itu sedang ke kamar kecil untuk menipiskan perutnya dan memeriksa riasan. Ah, terlalu gampang...
Benarlah. Kehadiran sang wanita terasa sebelum makhuk itu tampak. Yuda tahu itu saat kepala Oscar tiba-tiba beralih ke suatu arah, bagai tersihir. Begitu pula kepala pelayan yang sedang berdiri dekat meja mereka. Ah, perempuan itu pasti lumayan istimewa. Lalu Yuda pun ikut menoleh.
Di lorong antara deretan meja tampaklah sosok itu, mengayunkan langkah jingkat-kucing menuju mereka. Peragawati meniru hewan itu pada catwalk. Seekor kucing yang mengenakan lonceng agar dikenali. Dan sosok ini... Tubuhnya sangat ramping, jika bukan kurus. Sabuk lebarnya kemerlip. Ia mengenakan tanktop ungu yang kontras dengan kulit kuningnya dan celana jins ketat. Dari bawah jins itu menyembul kakinya yang berjinjit dalam balutan sepatu bertemali dengan hak lancip. Kuku-kukunya bercat, merah darah di waktu malam. Jari-jarinya panjang dan lentik. Sempurna seperti peri yang tak pernah menginjak tanah. Di pergelangan kaki kanannya melekat gelang emas putih dengan genta-genta kecil. Genta yang berdenting mengiringi langkahnya. Rambutnya bagai benang-benang sutra yang disetrika dan digulung di bagian ujung. Dari kejauhan matanya tampak sangat hidup. Namun, semakin dekat semakin tampak bahwa kelopak mata sang wanita berpulas warna gelap sangat pekat. Gelap yang tak jamak.
Wanita itu kini berdiri di hadapannya. Tubuhnya menguarkan harum yang lembut mahal.
"Lalita, kenalkan ini Yuda. Yuda, kenalkan ini Lalita." Terdengar suara Oscar. Seperti dari belakang telinganya.
Yuda berdiri menyalami perempuan itu. Tebakannya terlalu mudah. Tapi wujud perempuan ini di luar yang ia kira. Dan itu agak membingungkan dia.
Terdengar gemerincing genta-genta kecil. Kau tak bisa menyembunyikan rasa anehmu terhadap riasan sosok itu. B ibir wanita itu sepenuhnya adalah lukisan, terbentuk dari pensil dan lipstik. Matanya dikeliling bulu-bulu lentik dan pelbagai sepuhan rona ungu tembaga, seperti sepasang bulu merak menempel di bawah alis-alis. Semua pada wajah itu dilukis dan dibubuhkan dengan sangat rapi sehingga kau merasa melihat sebentuk topeng cantik. Kau takjub bahwa kau tak bisa membayangkan wajah manusia di balik lukisan itu. Inilah muka paling aneh yang pernah kau lihat. Cantik, tetapi begitu tak wajar. Begitu vulgar.
Sialnya, Yuda selalu membayangkan percumbuan. Belum tentu karena berhasrat, tetapi karena ketertarikan umumnya pada seks telah menjelma rasa ingin tahu yang otomatis. Yuda selalu membayangkan bagaimana manusia yang dihadapinya bercinta. Jika sosok itu tampak aneh, tentu kemungkinan persetubuhan yang aneh semakin besar pula. Bagaimana kalau ber?" cinta dengan orang seperti ini" Apa tidak berantaka n make-upnya nanti" Apa tidak akan pindah bibirnya" Apa bulu matanya tidak akan mencucuk mata lawan main atau matanya sendiri" Apa tidak berdenting terus genta di kakinya"
"Siapa ini?" Terdengar suara perempuan itu, dalam nada melambung.
"Ini Yuda, Lalita." Terdengar jawaban Oscar. "Sandi Yuda." Tapi Yuda, barangkali mulutnya terbuka dan telinganya kosong, terpisah dari percakapan itu.
Oscar menepuk bahu Yuda keras sekali, agaknya mengingatkan agar ia jangan terlalu polos dengan keheranannya. Lagipula, matanya yang membulat itu bisa dibaca sebagai ketertarikan yang terlalu telanjang. Yuda kembali ke dalam kesadaran. Ia memperbaiki sikapnya, lebih karena ia menduga bahwa Oscar punya hubungan dengan tante wangi itu dan jadi terganggu. Ah, ia harus menghormati wilayah lelaki lain. Namun, sang wanita Lalita, kelihatannya di akhir usia tigapuluhan atau mungkin lebih tidak tampak terganggu sama sekali dengan sikap Yuda. Kelak Yuda tahu bahwa Lalita memang ingin diperhatikan oleh semua orang, dan usianya empat puluh sekian.
"Jadi, kamu yang pemanjat tebing itu?"
"Iya, Mbak." Dalam hati ia berkata: kok Mbak tahu sih" "Jangan panggil aku Mbak ya! Kamu kan temannya Oscar. Panggil aku nama saja. Lalita."
"Iya, Mbak Lita... eh....hm... Lita."
"Jangan sekali-sekali panggil aku Lita ya! Panggil aku Lalita. La-li-ta!"
"Siap... La-li-ta."
"Nanti malam kamu datang kan, Yuda?" "Ke mana?"
Lalita menoleh kepada Oscar. Matanya memancarkan marah yang manja karena sang kepala suku tidak memberitahu acara penting itu.
"Nanti malam ada pembukaan pameran foto yang aku kuratori!"
"Yang Mbak apakan...?"
"Panggil aku Lalita. Tanpa 'mbak'." Perempuan itu bersenyum tipis, tahu bahwa Yuda tidak mengerti kata "kurator". Ia mengulang jawaban lambat-lambat, seperti bermain guruguruan. "Nanti malam... ada pembukaan pameran foto... yang aku... hm, aku rancang."
"O..." Yuda jadi merasa agak kurang terpelajar. Kenapa pula orang harus pakai istilah yang susah. Jika ada kata "rancang", kenapa pakai "kurator". Tapi ia harus cepat-cepat menghapus jejak ketidaktahuannya. "O ya. Pameran foto apa?" "Kamu tahu Kassian Cephas?"
Sial. Ia tidak tahu juga. Nama itu susah betul. Rupanya banyak yang ia tidak tahu di dunia fotografi. Ia merasa terasing lagi. Ia menyesal telah mengajukan pertanyaan yang hanya menunjukkan ketololannya.
"Kassian Cephas adalah fotografer pribumi pertama di Indonesia," kata perempuan itu bersemangat.
Sebagai lelaki, diam-diam Yuda terbiasa tidak bahagia jika kedapatan kurang tahu dibanding perempuan. Tapi, kali ini pun ia memang hanya bisa bilang o...
Selama ini, yang biasanya lebih tahu daripada dia adalah Parang Jati, sahabatnya yang kutubuku. Marja, kekasihnya, memang jauh lebih bagus dalam bahasa Inggris. Tapi gadis itu tidak pernah sampai membuat ia merasa terancam.
"Kamu tahu kan relief Karmawibangga" Semua dokumentasi tentang relief Karmawibangga pada kaki candi Borobud ur y ang bisa kita ketahui dibuat oleh Kassian Cephas. Dengan pelat kaca, bayangkan! Setelah itu, relief Karmawibangga dikubur lagi dan tak seorang pun pernah melihatnya sampai sekarang. Barangkali akan seribu tahun lagi baru terungkap kembali..."
Yuda mengumpat lagi dalam hati. Ia tidak tahu apa itu relief Karmawibangga. Ia tahu candi Borobudur, tapi apa itu relief Karmawibangga" Apa pula itu pelat kaca untuk mendokumentasikan. Padahal ia tidak ingin mengeluarkan lagi kata o..., yang bahkan bukan sebuah kata. Dengan wajah sok tahu ia mendengarkan Lalita. Mulutnya mengatup dan bibirnya sedikit maju. Alisnya mencoba menyatukan diri.
Tapi hari itu ia sedang sulit konsentrasi. Kejengkelan pada diri sendiri karena ketahuan kurang terpelajar, dorongan untuk menyangkal kenyataan itu, rasa guncang akibat seorang teman kehilangan ingatan, melankoli karena menduga sahabatnya sedang berselingkuh dengan kekasihnya setelah sebuah kesalahan cukup fatal yang ia perbuat, wajah yang sepenuhnya lukisan di hadapannya ini... semua itu membuat gelombang autis menyeret-nyeret dia ke dalam momen terpisah dari dunia.
Tak lama kemudian Yuda tampak seperti sedang mendengarkan Lalita. Tapi benaknya tidak menjaring apapun dari bunyi-bunyi yang masuk lewat telinganya. Bebunyian itu terdengar seperti dengung latar. Pandangannya beralih-alih lekat pada bibir dan mata si perempuan. Lihatlah, dua organ itu sangat lucu karena bisa membuka dan menutup dengan san gat lentur. Seperti hewan laut. Seolah karena bisa, dua jenis organ itu pun terus-terusan bergerak membuka menutup mengerut melebar. Organ yang sebelah bawah dilukis dengan pensil dan cat merah yang lembab lemak. Bukaan itu menelan atau melepehkan sesuatu. Lihat, sebatang rokok ramping berw arna ungu pastel disisipkan ke dalamnya, lalu bagian filternya jadi basah... Organ yang sebelah atas, ada sepasang, diberi bulubulu dan diwarnai arang dan ungu. Di dalamnya ada bola mata berair yang bergerak-gerak. Dan, wahai, bola mata itu juga diberi lensa kontak warna nila-ungu. Biar apa ya" Aneh sekali...
Tak lama kemudian Yuda telah sepenuhnya tenggelam dalam momen autis.
"P erempuan indigo ." S eseorang di dalam mobil itu mengucapkannya.
Lalu Oscar terbatuk kikuk, menyesali bahwa kata-kata itu dilontarkan.
Yuda telah mengucapkannya tanpa sadar. Ia mengatakannya dengan mata melamun tanpa dosa, tapi semua orang di dalam mobil itu tahu bahwa yang dimaksud adalah Lalita. Y a, wanita yang baru ia kenal, yang tak mau orang salah menyebut namanya. Wanita berlonceng yang berdandan mencolok dalam tanktop ungu ketat, sepatu biru gelap, lensa kontak nila, sepuhan mata warna bulu merak, menghisap rokok ramping ungu. Indigo adalah nama lain bagi biru yang mendekati ungu. Masalahnya, Yuda bagai mengomentari seseorang yang tak hadir di sana. Keusilan seperti itu jika didengar yang bersangkutan jadi terasa tidak sopan. Kau tak mengatakan secara langsung pada seorang perempuan bahwa ia adalah perempuan ini atau perempuan itu. Apalagi perempuan d en gan warna tertentu. Perempuan hijau, perempuan kelabu, apapun. Perempuan yang berdandan menor pastilah ingin dipuji cantik. Bukan dikomentari warnanya. Dan Lalita ada di sana, di kursi pengemudi. Ia yang menyetir dan membawa semua penump ang di dalam mobil ini, termasuk Yuda. Yuda berada dalam momen autis, tidak begitu sadar apa yang dikatakannya. Oscar sang kepala suku tampak tegang jika ratu Lalita akan meledak marah karena komentar tak santun itu. Atau setidaknya ngambek, seperti jika orang salah menyebut namanya.
Lalita menoleh kepada Yuda, yang duduk di kursi belakang. Di luar dugaan, matanya berbinar.
"Iya. Aku memang agak indigo. Kamu juga ya?" Yuda, yang baru tersadar, sedikit gagap. "Eh" Indigo" S-saya" T-tidak. M-menurut pacar saya, s-saya malah sering tiba-tiba autis."
"Oh! Orang-orang indigo memang terkadang autis." "Hei. Kalian tidak boleh menggunakan kata autis terlalu gampang. Itu politically incorrect," terdengar suara pemuda lain, bukan Oscar, yang juga ada dalam mobil ini.
Oscar lega bahwa mereka jadi mempercakapkan kualitas spiritual warna indigo, bukan penampilan fisik Lalita.
Sesungguhnya Yuda tidak paham betul apa yang dimaksud dengan "manusia indigo". Ia hanya merasa sering dengar kata itu belakangan ini: orang indigo, anak indigo. Ketika tadi ia men unggui kawannya, si letnan yang sedang tak sadar diri di rumah sakit, ada serombongan ibu-ibu yang saling ngotot bahwa anaknya indigo. (Anak saya indigo lho, Jeng. Iya, anak saya juga. Masa" Anak saya lebih indigo...) Maka paduan kata itu menempel di kepalanya: anak indigo, orang indigo. Kini, perempuan indigo...
Jadi, apa hebatnya anak indigo sebenarnya kok ada ibuibu sampai bersaing punya-punyaan" Tapi ia tak berani mengajukan pertanyaan itu. Ia tidak mau tampak bodoh lagi di depan wanita. Samar-samar ia pernah dengar bahwa manusia indigo adalah yang memiliki indra keenam. Misalnya, bisa meramal atau melihat hantu. Apakah Lalita ini bisa meramal atau melihat hantu" Tapi Yuda tidak cuma mengucapk an itu dalam hati. Itulah, ia kerap tidak sadar bahwa ia mengucapkan apa yang ada di benaknya.
"Aku tidak bisa melihat hantu. Tapi aku kadang-bisa melihat hidup masa laluku," sahut Lalita. Sekali lagi, di luar dugaan ia menjawab pertanyaan ngawur Yuda tanpa marah. Sesuatu mengatakan, ia tak gampang marah pada Yuda.
"Bisa melihat hidup lalu" Maksudnya?" tanya Yuda. "Cercahan hidup laluku kadang-kadang melintas." Senyap sesaat. Diam yang datang dari orang-orang yang heran.
"Ada tiga zaman yang kerap muncul dalam penglihatanku. Terutama kalau aku sedang meditasi. Itu adalah pastlife-ku." Tak ada yang berkomentar.
"Yang pertama adalah abad ke-9 di Jawa Tengah. Yaitu, dalam pembangunan Borobudur..."
Tak ada seorang pun yang sanggup langsung menyahuti. "Yang kedua adalah di Tibet. Aku masih tak pasti abad keberapa."
Terdengar seseorang batuk. Oscar. "Yang ketiga... Ups! Kita sampai!"
Lalita memutar kemudi. Bunyi ketak-ketik sen mobil mengembalikan Yuda sepenuhnya ke alam bersama. Ah ya, ia mulai ingat. Setelah dari restoran Jepang dalam USS Enterp rise itu, mereka bergerak menuju galeri yang terletak di Pasar Bar u untuk melihat pameran foto yang dirancang oleh Lalita. Naik mobil Lalita. Bersama bunyi tiktak-tiktak dari dasbor, perlahan Yuda melihat gedung itu menampakkan diri: Galeri Foto Jurnalistik Antara, terpacak di seberang kanal buatan zaman Belanda, dalam sebuah pemandangan dengan warna foto tahun 60-an. Warna-warna pudar pada kertas keruh. Ah, warna-warni digital telah tertinggal di dalam mal. Selamat datang kemb ali di bagian Jakarta yang kusam. Air kanal yang kelabu samar-samar memantulkan langit dan puncak galeri. Sebuah bangunan dari era kolonialisme akhir, bergaya art-deco Lalita menerangkan. Perempuan Indigo ini tampak selalu tahu segala macam.
Yuda menoleh ke sisi dalam sedan tempat ia berada. Oscar di kursi depan sebelah kiri. Ia di belakangnya. Ia bisa mel ihat serong ke arah kemudi. Lalita pada setir. Jemarinya nan lentik dengan kuku bercat darah malam bersandar pada tuas persneling. Ada harum sangat lembut yang terasa mahal, menguar dari jok bersalut kulit tipis serta bagian sued berwarna keunguan. Bercampur sedikit bau rokok. Ia menyadari bahwa sedan ini pun bercat marun. Tak heran ia melontarkan kom ent ar tanpa sadar tadi: perempuan indigo. Bawah sadarnya menangkap warna itu, bahkan dalam momen paling berjarak. Pengakuan diri sebagai manusia indigo dinyatakan Lalita hingga ke benda yang dikenakan.
Lalu Yuda menyadari orang lain yang ada di dalam sedan itu, duduk di sebelahnya, di jok belakang. Pemuda yang tadi bilang bahwa pemakaian kata "autis" yang terlalu gampang b isa bersifat politically incorrect. Ah, siapakah dia. Seorang lelaki berambut kawat dengan kacamata setebal lodong. Rautnya mematikan selera. Kacamata stoplesnya sedikit memperbesar mat anya yang sangat kecil. Tetapi adalah mulutnya yang membuat Yuda tidak bergairah ngobrol. Selain giginya berantakan dan agak maju, dari dalamnya keluar logat entah Singapura atau Hongkong yang membuat Yuda sulit paham apa yang ia katakan. Bahasa Inggris Yuda memang tidak bagus. Dan ia suka tak sadar mengalihkan kelemahan itu menjadi kesalahan orang lain. Samar-samar ia ingat, si rambut kawat mata lodong ini bergabung dengan mereka di restoran Jepang juga. Teman Oscar. Yuda tak bisa ingat namanya. Lagipula anak ini begitu memadamkan selera.
"Kita sampai," kata Lalita sambil memarkir mobilnya di depan galeri.
Yuda memandangi spanduk pameran yang tergantung pada dinding gedung.
K assian C ephas dan M isteri B orobudur .
Ah, Yuda baru tahu begitu cara menulis nama sulit si jurufoto pribumi pertama yang disebut si perempuan indigo tadi. Diucapkan sebagai Kasian Kefas, tapi ditulis dengan lebih rumit lagi. Banyak hal dalam fotografi Indonesia yang ia t idak tahu.
Sambil menggandeng mesra Oscar, Lalita berkata pada Yuda dan si kacamata lodong, "Aku memang terobsesi pada Borobudur. Sudah kubilang tadi, aku pernah hidup di sana, ketika candi agung itu sedang dibangun. Di abad ke-9..."
Yuda mengangguk-angguk heran. Pengakuan itu terdengar sangat aneh di telinganya. Sebab tidak bisa dibuktikan kesalahan atau kebenarannya. Tapi wanita ini pun sangat aneh penampakannya. Sebab tidak bisa dibayangkan wajah asli di balik make-up tebalnya. Tapi keganjilan itu kini justru mulai menarik Yuda keluar dari momen autis yang sedang berusaha menenggelamkannya.
"S emua anak I ndonesia merasa tahu apa itu Borobudur. Tapi sesungguhnya Borobudur mengajari kita bahwa jauh lebih banyak yang tidak kita ketahui tentang dia daripada yang kita ketahui," berkata Lalita seolah ia sedang mengutip sebuah buku.
Oscar menghilang ke dalam kantor, barangkali untuk me nem ui orang lain. Yuda menangkap air muka Lalita tidak sen ang dengan keadaan itu: kenyataan bahwa lelaki yang tadi ia gandeng mesra kini meninggalkan dia untuk urusan atau bahk an orang lain. Bibirnya jadi rapat dan terenggut ke bawah. Tarikan yang mempengaruhi seluruh wajahnya. Tampaknya ia jenis perempuan yang tidak suka jika perhatian tidak sepenuhnya tertuju pada dirinya. Beberapa perempuan memang bisa sangat penuntut. Taruhan, benih masalah pasti sedang membelah diri. Ah, tebakan itu pun terlalu gampang. Sesuatu yang membelah diri terus-menerus bisa menjelma monster. Seperti kanker. Nalurinya mengatakan, sebaiknya ia jangan ada di sana. Ia malas terlibat dalam urusan asmara dan cemburu. Ia belum melihat jalan keluar. Tapi sisi lain dirinya juga penasaran untuk melihat bagaimana tebakannya akan mewujud.
Sambil mencoba menunda letusan geram terhadap pacar yang mendahulukan perkara lain, Lalita mengajak dua pemu?" da yang kurang tahu berkeliling galeri; membuat mereka melihat foto-foto sebelum pameran dibuka nanti malam dan mendengar ceramah penunda marah. Dua lelaki dungu itu: Yuda dan Jisheng, pemuda Singapura yang namanya sulit dii ngat oleh Yuda. Anak itu pun kelihatannya sulit diajak bercanda.
Seandainya Parang Jati ada di sini, tentulah ia bisa tertawat awadengan sahabatnya itu. Parang Jati, partner panj at tebingnya. Pemuda berjari duabelas dengan senyum berlesung pipit dan mata nyaris bidadari. Tapi Yuda segera teri ngat: sahabatnya itu mungkin juga sedang ada mai n den gan kekasihnya. Sial betul. Yuda menelan ludah. Ia menganggap kecemburuan bertentangan dengan sikap jantan. Cemen. Lebay. Segala istilah buruk. Ia tak mau seperti perempuan ini: sedikitsedik it cemburu. Yuda menyangkal rasa cemburunya.
Maka ia tak punya pilihan selain mendengarkan Lalita. Peremp uan itu begitu penuh gairah menjelaskan Borobudur. Barangkali untuk mengalihkan kegeraman karena dinomerduakan. Barangkali juga karena perempuan ini percaya bahwa ia pernah hidup di abad ke-9 dan menjadi saksi penciptaan karya agung itu. Itulah salah satu pastlife atau hid up masa lalunya kau percaya atau tidak. Yuda belum pernah bertemu manusia yang sungguh yakin pernah lahir di suatu era tertentu tempat tertentu sebelum kelahiran yang sekarang. Ia tak tahu bagaimana harus berkomentar selain mendengarkan. Jika tidak sedang tenggelam dalam momen autis, sebetulnya Yuda kadang-kadang bisa menjadi pendengar yang baik.
Borobudur dibangun di antara abad ke-8 atau ke-9, berkata Lalita. Sesungguhnya itu bukan sebuah masa yang sangat kuna. Tetapi, betapa menyedihkan, di negeri ini kelembaban merapuhkan semua catatan, kecuali yang ditatah pada logam mulia dan bebatu. Sebab itulah orang di masa lalu membuat piagam dari batu dan lempeng emas atau kuningan. Apa yang berfungsi sebagai sertifikat tanah, kontrak antar wilayah, surat pengangkatan pejabat, dan dokumen penting dipahat pada materi yang diharap abadi. Tetapi catatan sehari-hari dan pengetahuan" Betapa menyedihkan, kelembaban melapukkan ingatan. Maka kita kehilangan tulisan tentang Borobudur, monumen Buddhis terbesar di dunia, dari masa awal berd irinya. Seperti rumah-rumah kayu dan bambu nenek-moyang yang tak bersisa, segala naskah habis dimakan udara dan serangga. Demikianlah kita tertinggal dengan sederet misteri tentangnya.
"Ada delapan misteri tentang Borobudur, tapi kuberi dua setengah saja pada kalian," kata Lalita. "Sebab kalian tidak akan sanggup mencerna kedelapannya."
Lalu kedua pemuda dungu itu mendengarkan sang Per empuan Indigo yang menyihir mereka dalam dua setengah cerita dan kerling matanya yang bagai sepasang bulu merak...
Oscar muncul lagi dari arah kantor. Lelaki itu bergegas menemui Lalita. Ada seringai bersalah pada senyum lebarnya. Kini, Lalita menjawab pria gondrong itu dengan ketus. Perempuan itu mengambil sebatang rokok ungu langsing dari kotak pipih kuningan, menyuruh Oscar menyalakan korek, dan menghembuskan asap rokok ke wajah lelaki itu.
"Di seluruh dunia," kata si wanita dengan mulut menghembuskan kabut beracun, "di seluruh dunia dilarang merokok di galeri. Cuma di sini saja direkturnya tidak berdaya melarang orang merokok."
Yuda menelan ludah. Entah kenapa ia senang melihat sikap kurang ajar si perempuan. Perempuan itu selalu mewujudk an tebakannya dengan kejutan. Yuda menikmati pemandanga n kekuasaan wanita itu beberapa saat, lalu tersadar bahwa ia harus menjauhkan diri dari masalah asmara orang. Ia memalingkan wajah kepada deretan foto tentang Borobudur, yang dibuat oleh, ah, nama yang sulit itu: Kassian Cephas.
Oscar dan Lalita lalu berjalan ke ruang lain, tempat makanan dan minuman disiapkan untuk pesta pembukaan sebentar lagi. Tapi harum wanita itu tertinggal. Suatu harum yang mahal. Aroma yang menyihir ataukah mengutuk. Yuda biasa berada di alam, di tebing-tebing ataupun di hutan. Ia b ia sa dengan bau dan detak jantung binatang. Manusia, dalam rasarasa purbanya, adalah binatang pula. Ia tahu, ia merasa, antara Oscar dan Lalita kini ada naluri agresif. Dorongan menerkam satu sama lain. Suatu pertunjukan yang menarik, sesungguhnya. Tapi ia tak begitu suka ikut campur urusan cinta, yang biasan ya mencipratkan getah ke sekitar. Ia mencoba menyimak fotofoto candi agung itu. Tetapi punggungnya merasakan, mata di tengkuknya melihat: si kepala suku mencoba bersikap tenang, sementara si betina menguarkan energi negatif. Energi negatif, kau tahu, menulari sekeliling...
Pada malam pembukaan pameran itu terjadi sebuah insid en. Ketika itu makanan sedap telah terhidang, menu India vegetarian: chad, pakora, nasi briyani, naan dan parota dengan kari. Saus daun mint, yogurt, dan buah asam. Acar wortel dan bawang. Bir serta anggur merah dan putih mengalir. Tamu-tamu memenuhi ruang yang memantulkan gema mereka. Tapi, ketika dengung percakapan sedang mendaki, tiba-tiba setangkai piala anggur melayang dari kerumunan. Piala itu terbang, kacanya mengilatkan kebencian, membelah langit ruangan menuju sang Perempuan Indigo. Sungguh, kau bisa melihat kemarahan mengilau di sana.
Dan Yuda... Ia berdiri persis di tengah di antara kerumunan itu dan si perempuan.
Yuda adalah seorang pemanjat tebing yang tangkas. Ia tak perlu menyadari kebencian yang mengambang di udara sejak tamu-tamu berdatangan. Ia hanya perlu menyadari ada bahaya yang melesat dalam jangkauannya. Satu-satunya yang harus dilakukan seorang pemuda cekatan seperti dia adalah menghentikan bahaya itu. Ia mekanis dalam hal ini. Yuda meloncat menangkap piala anggur kebencian. Seekor anjing laut sirkus ia. Tanpa ia sadari, ia telah menyelamatkan Lalita.
S i pemuda telah menyelamatkan si perempuan. Sebagai bal asannya, si perempuan menjebaknya. Tapi, itu adalah cara pand ang lelaki belia itu kemudian hari. Yang terjadi adalah seperti ini:
Sang kepala suku memiliki banyak pemuja. Gadis-gadis belasan yang baru bisa kagum, hingga wanita matang yang mendambakan suami. Perempuan-perempuan itu saling tahu satu sama lain, dan mereka paham di mana bisa memandangmandangi pujaan hati. Di galeri. Jika ada pesta pembuk aa n pam eran, Oscar menjadi pria paling mengesankan sedunia. Ia akan meladeni setiap orang dengan percakapan hangat dan dengan menuangkan minuman. Dan di dalam saku kemejanya i a masih menyimpan botol untuk permintaan khusus. Itulah saat para cewek mencicipi kehangatan kepala suku di ruang pub lik, sambil berharap bisa melanjutkan ke ruang privat. Setiap habis pesta, Oscar selalu mendapat pemuja baru. Yuda menyebut mereka grupies (tapi agaknya ini setelah ia dipengaruhi sang Perempuan Indigo).
Para grupies itu tidak tahan melihat pemain baru, yang datang tidak melalui jalur sama. Pemain baru ini mengendarai BMW marun, memakai tanktop ketat ungu, kaki berjinjit pada stileto Christian Louboutin 12cm, juga ungu, tas Louis Vuitton, dan dengan make-up panggung tahan hujan. Lonceng di kaki. Lebih menjengkelkan lagi, perempuan ungu ini bukan perempuan dungu yang hanya mengandalkan dandanan. Ia seorang kurator dan art dealer, memiliki galeri di Singapura dan Hongkong, berbahasa Inggris sangat fasih dan sedikit Prancis, membaca sastra dan filsafat. Lalita Vistara sangat canggih.
Lalita Vistara bukan orang yang rendah hati, gerutu para grupies. Mungkin sesungguhnya ia tidak sombong, tapi ia tidak pandai bergaul dengan orang kebanyakan, apalagi sesama perempuan. Ia seperti tahu bahwa kehadirannya selalu menjadi ancaman bagi para wanita atau ia merasa demikian, atau ia membuat demikian. Ia seorang primadona. La femme f atale. Tapi ia memang tidak suka berbagi. Ia suka memberi, sejauh itu menjamin statusnya. Tetapi pasti ia tidak nyaman jika orang tidak melongok padanya. Ia sangat tidak bahagia jika pria yang ia sukai tidak memberikan perhatian sepenuhnya pada dia. Ia adalah seorang rani. Ia percaya bahwa dalam kehidupan sebelumnya ia adalah seorang ratu. Kepercayaan itu mewujud pada sikap tubuhnya.
Para grupies tidak tahan melihat seorang perempuan berlagak sebagai rani. Apalagi sambil perempuan itu percaya bahwa ia memang reinkarnasi seorang ratu, dan memandang yang lain sebagai reinkarnasi hamba sahaya. Maka, di malam pesta itu, sebuah piala anggur melayang dari tengah para grupies yang bersekongkol.
Sebuah percobaan kudeta berdarah.
Tapi Yuda-lah yang menjadi penyelamat. Bukan sang kepala suku.
Sebagai imbalannya, Lalita mengajak Yuda pulang ke rumahnya. Ajakan yang langsung itu cukup mengejutkan Yuda. Ia bahkan terlalu terkejut untuk menyadari betapa wanita ini tak tertebak. Unpredictable.
Yuda hendak menolak dengan halus. Ia kuliah di Bandung. Jika ia pulang ke Jakarta, ia tahu ibunya yang sederhana rindu padanya. Lagipula, ia belum ingin berselingkuh. Ia tidak sedang dalam mode berpetualang. Ia tidak sedang haus perempuan. I a masih memiliki Marja sebagai fokus hidupnya.
Persis di saat itu, Jisheng si kacamata lodong bergabung lagi di antara mereka dan berkata kepada Yuda, dalam logat entah Singapura entah Hongkong yang membikin gatal telinga Yuda: "Yuda, can I stay at your place tonight?"
Si kacamata lodong rambut kawat mengulangi pert an yaannya. Ia ingin menumpang di rumah Yuda malam ini. Hotelhotel di jalan Jaksa penuh semua.
Separuh ragu separuh mendapatkan jalan keluar Yuda menjawab, "Y-ya. Of course... Saya kan sudah bilang tadi." Padahal tadi Yuda tidak bilang apa-apa.
Malam itu Yuda mendapat alasan yang sopan untuk tidak pulang ke tempat Lalita. Dalih yang tidak melukai hati sang ratu. Lalita sama sekali tidak menawari Jisheng, padahal si belor itulah yang membutuhkan tempat menginap. Memang pemuda rambut kawat itu tidak punya dada bidang, lengan liat, perut bersekat, bokong liat, dan wajah liar yang ada pada Yuda. Sang rani telah memilih di antara pengawalnya. Ia ingin memberi anugerah pada ponggawa yang menyelamatkannya dari kudeta: semalam tidur di istana. Tidakkah itu hadiah" Malam itu Yuda selamat dari Lalita. Tetapi, betapa sial, ia harus membagi kamar tidurnya sendiri dengan seseorang yang ia baru kenal dan y ang tampangnya begitu memadamkan gairahnya untuk apapun, bahkan untuk mengkhayalkan permainan cinta menjelang tidur.
Dan ia tidak bisa selamanya selamat dari Perempuan Indigo. Pada suatu hari, seusai ia mengajar teknik pengamanan untuk kelas pemotretan di ketinggian, Lalita mengajak ia dan Oscar makan malam. Agaknya, untuk tidak memberi kesempatan Lalita menunjukkan kekuasaan dengan kartu kredit platinumnya, Oscar menolak pergi ke tempat nan gaya, yang hanya Lalita sanggup bayar tanpa menggerutu. Mereka pun pergi ke restoran bubur di daerah pecinan Kota. Tapi sang perempuan selalu bisa menunjukkan kelebihan. "Betul," kata Lalita, "Restoran-restoran baru di daerah pusat dan Selatan sekarang ini lebih menjual ambience, suasana buatan, dan karena itu mereka mahal. Tapi jika mau makanan yang otentik, kita pergi ke tempat-tempat seperti ini. Restoran semacam ini tidak memakai kosmetik, tetapi makanannya otentik. Dan murah."
Mata Lalita tampak pada spion sentral bagi Yuda. Pelup uknya berbubuk kilau bulu merak. Ah. Begitukah. Yang memakai kosmetik berharga lebih mahal.
Di kedai bubur di Mangga Besar yang tanpa dandanan, Lalita dengan sengaja menunjukkan perhatiannya kepada Yuda, agar dilihat Oscar. "Kamu bisa merasakannya, Yuda" Bubur yang benar adalah yang cair tetapi tekstur berasnya tet ap ada." Perempuan itu menjelaskan ini-itu sambil menambahkan minyak wijen dan sambal yang semestinya saja ke mangkuk Yuda. Ia tahu bahwa makanan tidak boleh kelebihan bumbu. Tetapi kenapa bumbu di wajahnya begitu banyak" Yuda menelan ludah. Sesekali ia mencuri pandang, mencoba menebaknebak seperti apa wajah Lalita yang sesungguhn ya. Ia menem ukan sebatang hidung yang lancip. Itu saja. Ia tidak bisa menemukan bentuk asli bibirnya. Ia tak bisa membayangkan bentuk mata yang sesungguhnya. Bahkan warnanya. Bercinta dengan perempuan ini akan merupakan pengalaman yang baru. Ia tidak pernah melihat Lalita berkeringat. Padahal ia tak pernah bercinta tanpa berkeringat. Dan ia belum pernah tidur dengan wanita yang usianya lebih dua puluh tahun darinya. Yuda duapuluh awal. Lalita tampak seperti tigapuluh, tetapi sesungguhnya empatpuluh sekian.
Sejenak ia teringat Marja, kekasihnya. Lalu Parang Jati, sah abatnya yang sekuat dan setangkas dia. Ia menggigit bibir. Ia menduga dengan keras bahwa kedua orang itu telah mengk hianatinya. Marja dan Parang Jati telah, kemungkinan besar telah, bercinta dalam suatu perjalanan melihat candicandi di Jawa Timur dalam liburan ini. Ia tahu betapa Marja mengagumi Parang Jati, pemuda berjari duabelas bermata separuh bidadari. Ada sifat yang berbeda antara dia dan Parang Jati. Ia setan nakal. Parang Jati malaikat. Bukan tak mungkin Marja menginginkan keduanya. Ia juga tahu bagaimana Parang Jati menyayangi Marja. Ah, sahabatnya itu juga mengagumi keceriaan kekasihnya. Haruskah ia membalas pen yelewengan mereka" Atau... haruskah ia membalas Oscar karena telah membiarkah para grupiesnya melakukan percobaan penyerangan terhadap Lalita" Tapi... apakah sesungguhnya ia sendiri ingin bercinta atau tidak dengan peremp uan indigo ini, lepas dari motif balas dendam" Yuda tidak menemukan jawab, sementara waktu dan rencana Lalita terus berproses...
Lalita menurunkan Oscar di sebuah mulut jalan yang menyedihkan. Setidaknya malam itu, di mata Lalita, Oscar tampak menyedihkan. Setelah itu si perempuan membawa Yuda tanpa meminta izin lagi. Seorang ratu yang percaya penuh bahwa lelaki tidak akan menolak ia. Ia hanya berkata: "Yuda, kamu mengajar di Sekolah Foto Jurnalistik sekarang. Kamu tidak boleh seperti fotografer digital dangkal zaman sekarang. Mereka tak tahu apapun tentang dasar-dasar fotografi. Kamu harus tahu prinsip-prinsip cuci-cetak dan kamar gelap. Aku akan mengajari kamu. Aku punya kamar gelap di rumahku." Nadanya adalah perintah.
Yuda berdebar aneh. Ia merasa sida-sida yang lupa dikasimk an dan Lalita maharani. Ia bahkan kehilangan keberan ian untuk memperkirakan apa yang akan terjadi. Sedan mel int asi jalanan Jakarta yang tak begitu sibuk lagi. Malam menyembunyikan kusam. Gunung Sahari. Ke arah Selatan. Kuningan. Warung Buncit. Pondok Labu. Cinere... Cinere yang berbukitbukit dan hijaunya gelap.
Sedan berbelok ke gerbang sebuah kompleks yang berhutan. Yuda merasa masuk ke dalam sebuah kota abad pertengahan yang berbenteng. Kota yang memisahkan diri dari kejorokan dan kekumuhan di luar sana demi bisa menjadi asri dan rindang. Penjaga menaikkan portal sambil memberi hormat cara militer. Sebuah jalan panjang dinaungi pohon-pohon berlampu. Sebuah jembatan menyeberangi sungai kecil. Setelah itu tampaklah deretan rumah vila di lahan yang berbukit-bukit. Jendela-jendelanya menyala dalam cahaya halogen. Yuda merasa berada dalam sebuah film asing, di mana kesunyian dan keterpencilan menjadi penting. Film yang pemerannya hanya dirinya, Perempuan Indigo, dan seorang pembantu atau tukang kebun misterius.
Seorang juru kebun berwajah kotak dan curiga membukak an gerbang lalu menghilang begitu pintu lipat garasi ditutupkan. Dalam ketegangan itu Yuda menikmati setiap detik peristiwa: hari itu Lalita mengenakan rok dengan belahan yang menyingkapkan pahanya ketika kaki perempuan yang berlonceng itu tersangkut pada pedal lantaran hak sepatunya yang demikian panjang. Ia menjerit kecil.
Yuda hendak menolong, tetapi ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada tungkai yang menyingkapkan diri itu. Tungkai tersingkap selalu membangkitkan bau kehangatan. Lalita menyelesaikan persoalannya sendiri. Yuda berdehem dan berbasa-basi, "Tidak dilepas saja sepatunya kalau menyetir?" Lalita tidak menjawab.
Tiba-tiba Yuda ingin bertanya, berapa usia perempuan ini sesungguhnya. Tapi ia segera sadar bahwa pertanyaan itu akan sangat tidak sopan. Tiba-tiba ia merasa wanita ini telah berusia ratusan tahun. Atau barangkali ribuan tahun. Ia mengikuti Lalita masuk ke dalam rumah, ke ruang duduk, dan menyadari seluruh suasana di sana berwarna keunguan; atau berada dalam relasi dengan ungu. Seorang pembantu berwajah bulat melintas lalu lenyap. Yuda merasakan ketegangan memenuh pada dirinya. Jantungnya berdebar lebih keras.
Kini Lalita berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang dengan santai.
"Merokok?" "S-saya tidak merokok. Tapi, silakan."
Perempuan itu tersenyum. Tak diambilnya rokok. Seolah ia tahu, merokok adalah kebiasan orang gugup juga. Ia seperti menegaskan bahwa ia sama sekali tidak gugup. Ia yang pegang kendali.
"Musik?" "Apa saja."
Perempuan itu menyetel sesuatu yang terlalu canggih untuk dikenal Yuda.
"Kamu mau kopi... atau absinthe?" "Yang terakhir."
Yuda menjawab begitu cepat. Barangkali ia menutupi ketidaktahuannya tentang lagu yang diputar itu.
Perempuan itu tertawa kecil, ramah.
"Kamu tahu apa itu absinthe?" perempuan itu bertanya. Matanya mengerling.
"Tidak tahu." Si perempuan tertawa lepas. "Bagus. Memang tidak semua hal perlu diketahui." Ia berjalan ke arah bar, lalu menoleh kepada pemuda itu tiba-tiba dan berkata, "Aku suka kamu. Aku suka spontanitas kamu. Aku suka rambut cepakmu." Yuda merasa berada dalam sebuah bunker penyiksaan bawah tanah. Bau kalajengking menyengat. Cairan kimia pemroses foto. Kamar itu bercat hitam pekat. Sebuah meja alumunium yang cukup untuk membaringkan korban terpacak di tengah. Kran dan bak-bak air menempel di sebuah dinding. Tabungtabung, selang, dan alat ukur tertata pada rak. Peti pendingin. Kait-kait penggantung dan serangkai penjepit. Benda-benda itu begitu asing. Ia bisa merasakan jika perangkat logam dan kaca dingin itu dikenakan pada tubuhnya. Ketegangan mengaliri pembuluhnya. Pintu telah ditutup dan dikunci, menyisakan rasa tersekap. Pendingin menyala penuh sedari lama.
Perempuan itu mematikan lampu utama, lalu menyalakan lampu merah. Lampu kamar gelap. Lampu kamar cuci cetak yang tak lagi dikenal anak-anak abad digital. Pemandangan menjelma ganjil dan datar. Sungguh aneh merah ini. Rerinci hilang, hanya warna kulit seperti dalam terang api dan bayangbayang gelap. Tak ada lagi noda. Perempuan itu tampak cantik dan tidak manusiawi, seperti sosok yang hanya ada dalam komik. Seperti Lilith, istri sang Iblis.
Lalu, setelah beberapa menit yang beku, akhirnya singa jantan muda yang naif itu memutuskan untuk menerkam. Ia melompat ke arah mangsanya. Tetapi mangsa itu berkelit dan si singa dungu masuk ke dalam lubang perangkap yang sudah disediakan baginya.
Yuda telah telentang pada meja alumunium. Perempuan itu telah menampar wajahnya sambil memaki apakah si pemuda sama seperti semua lelaki yang lain, hanya menginginkan seks pada dirinya. Pemuda itu terkejut atas reaksi si perempuan. Ia meminta maaf, tetapi sesuatu di antara kakinya telah terlanjur mengeras. Si perempuan tahu itu, ia telah menyentuhnya, dan ia menjadikannya barang bukti kesalahan si lelaki. Pemuda itu telah tertangkap tangan. Ia memohon ampun tapi si perempuan membuatnya terbentang pada meja dingin itu. Perempuan itu membuatnya terbuka dan mengoreknya seperti terdakwa, menggigitnya dekat setiap sela hingga melepuh. Bagai seorang algojo, sang perempuan melakukan apa yang ia mau pada tubuh lelaki muda itu tanpa ia melepaskan zirah kekuasaannya dan bunyi genta-genta kecil. Dalam pakaian megahnya ia berada pada lelaki itu sambil memacu dan berkata, kurang ajar kamu, jadi ini yang kamu mau bukan!
Ia membuat lelaki itu merintih.
Tapi pada suatu titik ia berhenti. Ia memandang anak muda itu dengan semburat rasa bersalah. Lalu ia terkulai di dada si lelaki dan mulai terisak. Lelaki muda itu terheran.
Yuda mengelus rambut yang terurai di dadanya dan bertanya ada apa. Lalita tidak menjawab. Ia hanya mencium lembut. Yuda mendapati bau rokok bercampur aroma lipstik lumer. Masih belum ia dapatkan bau keringatnya, dagingnya. Setelah itu mereka berpindah ke sofa. Dan di sana Lalita memb eri Yuda pengetahuan baru, yang tak pernah ia ketahui bersama Marja atau perempuan-perempuan sebelumnya.
P ada perempuan ada sebuah liang, yang hanya bisa dic apai jik a si perempuan sungguh membuka diri, dan si lelaki cuk up lent ur untuk mengalaminya. Wahai. Kaum pria tidak bisa menc ap ainya dengan mengandalkan otot-otot maskulin yang kasar dan kaku. Mereka harus rela untuk menjadi lebih penari daripada prajurit. Dan kaum wanita tidak bisa mendapatkannya han ya dengan rebah laksana tanah. Mereka harus lebih binat ang daripada kembang. Liang ini tak bisa dicapai dalam pemerkosaan.
Perempuan Indigo menamainya "axis mundi kecil". Ialah celah kecil lembut di antara tonjolan leher rahim dan dinding terdalam vagina. Tapi, untuk mencapainya, kedua pihak harus menjadi feminin dan maskulin sekaligus. Titik ini mensyaratkan keseimbangan dan tak memungkinkan dominasi. Hubungan seks bisa saja terjadi oleh pemerkosaan, atau persetubuhan yang dangkal, dan sebagian pelakunya mengatakan itu nikmat juga, tapi axis mundi hanya bisa dicapai oleh kesetaraan antara lelaki-perempuan secara mental maupun fisik. "Poros dunia mensyaratkan simetri antara dua kutub yang komplementer.
Langit-bumi. Pria-wanita. Feminin-maskulin. Terang-gelap. Tak ada pemimpin-pengikut, subjek-objek. Keduanya subjek," bisik perempuan itu.
Yuda dan Lalita mencapainya ketika di sofa, dalam kei ntiman; bukan di meja alumunium, dalam kekerasan. Mereka melakukannya dalam apa yang kemudian dinamai pemuda itu sebagai dialog seksual yang utuh. Ia harus mengakui, ia belum mengalaminya dengan kekasihnya, Marja. Apalagi dengan perempuan-perempuan sebelumnya. Tapi, foreplay kasar di meja alum unium itu dibutuhkan juga untuk membongkar stereotipe mengenai lelaki dan perempuan. Tanpa pembongkaran itu, barangkali mereka akan terjebak pada klise-klise terduga, sehingga tak bisa mencapai simetri yang diperlukan.
Lelaki itu merasakannya sebagai sebuah ceruk lembut di dalam goa. Tidak dalam. Tapi bentuknya sedemikian berjodoh dengan miliknya, sehingga saat mencapainya ia merasa menjadi tutup sampanye yang disumbatkan di leher botol. Melekat kedap. Disumbatkan dan dilepaskan bergantian. Tapi gambaran ini pun terlalu teknis dan tidak melukiskan yang ia rasakan. Rasa tercekik yang menakjubkan. Rasa bertukar sumbat dengan lepas.
Perempuan Indigo berbisik padanya bahwa itu adalah sejenis praktik tantra.
"Inti dari tantra adalah persatuan lingga dan yoni. Perp aduan simetris esensi lelaki dan esensi perempuan," ia seperti menurunkan sebuah rahasia. "Jangan kamu kira itu hanya ada dalam hubungan seks. Sebab pertemuan sari lingga dan yoni ini dapat terjadi dalam meditasi tingkat tinggi, meditasi kundalini, dan sang pertapa nan sendiri akan mencapai pencerahan.
"Tapi, jika prinsip itu diterapkan pada seks..." ia mengerling manja dengan mata silumannya yang ungu berbulu-bulu lentik, "...kita bisa mencapai axis mundi!"
Axis mundi. Poros dunia. Tiba-tiba Yuda teringat Marja. Pikirannya melompat-lompat dari ruang itu ke memori tentang kekasihnya dan kemb ali ke ruang ini. Ah. Ia bukan spiritualis atau mistikus. Lagipula, ia tidak dididik untuk mengaitkan spiritualitas dengan seks uali - tas seperti itu. Baginya itu teori yang aneh. Seks tidak pernah dan tak akan pernah menghasilkan pencerahan. Seks menghasilkan kenikmatan, dan kita harus menghargain ya demikian. Apa adanya. Tapi Yuda enggan berbantahan untuk sesuatu yang tidak bisa dibuktikan. Bagaimanapun, ia bersyukur telah mendapat pengetahuan baru. Ia ingin mengajak Marja mencapainya esok-esok hari.
Yuda mengira mereka akan tidur bersama malam itu. Biasanya perempuan menginginkan itu: terlelap mesra setelah pers etubuhan. Kata orang, pria menginginkan seks dan wanita menginginkan keintiman. Di luar dugaan, Lalita menunjukkan kamar terpisah bagi Yuda.
"Si Bibik sudah menyiapkan tempat tidurmu, Yuda yang baik," katanya. Nadanya kini formal dan terburu-buru.
Yuda melihat si pembantu bermuka bulat keluar dari sebuah kamar yang baru saja selesai ia siapkan. AC-nya telah di nyal akan. Tirai telah dikatupkan. Wajah itu begitu sopan dan pe?" nurut, seolah ia dayang yang terbiasa meladeni ratu yang sel alu membantai lelaki muda di kamar gelap dan mengirim jasadnya ke ruang tidur tamu. Rasa tak aman karena perubahan suas ana yang tak terduga membuat Yuda diam-diam mempertahankan diri. Barangkali juga ia terluka harga diri. Daripada melihat dirinya sebagai korban, ia memproyeksik an perasaan tak enak itu pada lawan mainnya. Ia pun menafsirk an ada gugup pada wajah Perempuan Indigo. Barangkali wanita itu gelisah dan ingin bergegas pergi sebab sadar bahwa garis bibirnya telah hilang, menampakkan kulit pucat yang tak lagi basah mengilap sehingga wajahnya tampak berubah. Ia tak mau tidur denganku, kata Yuda dalam hati, sebab ia tak berani sungguh telanjang di hadapanku. Ia tak mau menanggalk an riasan itu: bulu mata plastik, lensa-kontak, lipstik, segala bedak dan perona. Seperti apa wajahnya tanpa dandanan" Pucat dan manusiawi" Atau justru pucat dan tidak manusiawi, yang akan mengingatkanmu pada mayat" Apapun itu, perempuan itu tidak ingin orang lain melihat wajahnya yang asli.
Tapi Yuda tak bisa melupakan apa yang ia sebut sebagai "sensasi tutup sampanye". Perempuan itu menyebutnya "axis mundi". Bisakah ia mencapainya dengan Marja" Atau dengan perempuan lain" Jangan-jangan hanya perempuan ini yang bisa membuatnya meraih itu" Betapa menakutkan...
Malam itu, jika ada yang gelisah, maka lelaki muda itulah yang gelisah. Ia tak bisa tertidur juga. Ia merasa gerah, meski pend ingin menyala. Ada rasa aneh dan tak rela. Ia malu mengakuinya, bahkan pada diri sendiri. Ia merasa dipakai. Dan begitu mudah ia dipakai. Ah, ia bisa saja sesumbar telah meniduri seorang perempuan berkelas. Ia bisa saja memb anggakan bet apa tante keren kaya itu ngebet padanya dan mengerinjalger injal, seperti yang ada dalam cerita porno picisan. Dan, walau dua puluh tahun lebih tua, tubuh Lalita cantik matang. Tapi, yang terjadi tidak seperti itu. Perempuan itulah yang menungganginya lebih dulu, setelah membawanya tanpa ia melakukan perlawanan sama sekali.
Tapi, haruskah ia menolak ajakan bersetubuh" Bisakah" Bolehkah seorang pria menolak ajakan yang terlanjur disampaikan" Bukankah itu sama sekali tidak gentle" Seorang pria boleh menghindar dari undangan. Jika tidak mau, ia harus mengh indar sejak awal. Ia boleh lari dari suasana-suasana yang memungkinkan wanita mengajukan undangan. Tapi jika ajakan itu telah dinyatakan secara nyata, masih pantaskah lelaki menolak" Bukankah itu sangat tidak bertanggungjawab terhadap perasaan wanita" Betapa aneh, seorang lelaki harus bers etubuh dengan seorang perempuan karena ia harus bertangg ungjawab. Biasanya, orang bermain cinta lalu harus bertanggungjawab setelahnya. Ini, kau harus bercinta sebab kau bertanggungjawab.
Ia merasa itu aneh sekali. Begitu aneh sehingga benaknya mulai kejang untuk memahami jalarannya. Ia merasa menghadapi rumus yang ia tak bisa uraikan. Kenapa perempuan boleh menolak sementara lelaki tidak boleh" Seperti dalam dansa, lelaki yang menolak ajakan perempuan sungguh tak tahu sopan-santun dan bukan lelaki. Tapi kenapa" Kenapa bisa begitu"
Dan Yuda seperti hewan. Jika tidak bisa memecahkan tekateki sampai jangka waktu tertentu, maka mekanisme tubuhnya mencoba melupakan itu. Ia mulai masuk ke dalam momen autis, yang pada dirinya adalah suatu momen penyangkalan...
Tiba-tiba ia punya ide untuk meninggalkan kamar dan melihat-lihat rumah ini. Ia bosan di kamar. Barangkali di ruang duduk atau ruang kerja ada sesuatu yang bisa ia toleh-toleh. Buku. Album foto. Lukisan. Patung. Sepintas ia telah melihat koleksi arca dewa-dewa Hindu atau Buddha ketika ia baru tiba tadi. Kelihatannya menarik. Segala sesuatu di luar sana kelihatannya akan lebih mengasyikkan daripada di kamar ini.
Ia berada lagi di ruang duduk, di mana ada bar, di mana ada absinthe yang tersimpan dalam botol jin. Ada lampu kecil yang tetap menyala pada bar itu, seperti tanda pada lorong diskotek. Ia mengenang rasa absinthe sebagai obat batuk putih. Rasa yang membawanya pada ingatan tentang mabuk demam kanak-kanak. Perempuan Indigo bercerita bahwa absinthe pernah dilarang di Eropa sebab menimbulkan halusinasi. Ia menemukan gelas kecil dan menuangnya sekali lagi. Tadi Lalita menaruh gula kubus pada minuman itu, yang lalu menciptakan buih aneh. Seperti ramuan dalam laboratorium. Tapi ia tidak bisa menemukan tempat gula itu. Ah biar saja. Kali ini ia bisa mencicipi serat rasa yang lain selain rasa obat batuk putih. Ia minum segelas lagi sambil mengamati arca dewa-dewa Hindu maupun Buddha (ia tak bisa membedakannya). Ada yang bertangan banyak, ada yang sepasang. Tak ada yang berkaki banyak. Ada yang berwajah seram, tapi lebih banyak yang damai. Ada yang terbuat dari batu, lebih banyak yang logam. Pada dinding yang lain ia melihat benda-benda dari kebudayaan lain. Sejenis patung Nefertiti, tempat lilin bersunduk tujuh, patung logam ular melingkar. Pada dinding ada tiga serial lukisan geometris kontemporer. Alkohol membuatnya semakin ringan dan lupa.
Ada pintu pada sebuah dinding. Ia membukanya. Seketika terasa gelap di ruang itu. Lalu perlahan anak matanya mulai melebar untuk kegelapan semula. Ia mulai melihat rerinci, seperti titik-titik yang sedang memisahkan diri dari warna hitam. Seperti bebintang yang perlahan menampakkan diri. Seperti sepasang mata yang telah lama mengincar, bahkan sebelum ia membuka pintu.
Ia meloncat ke belakang. Ia seperti melihat sepasang mata dan sepasang taring kecil. Sesosok makhluk mengintai. Tapi pemuda itu cepat menguasai rasa bahaya. Sepasang mata itu bukan ukuran manusia. Terlalu dekat dan terlalu kecil, lebih kecil daripada anjing kampung. Ketika lubangmatanya telah mengizinkan, ia melihat seekor kelelawar besar. Telah dikeringkan rupanya. Makhluk itu menyeringai dan sayapnya terbentang seolah terbang. Pada kepala dan punggungnya tentu ada senar yang menggantungkannya ke lelangit.
Yuda sedikit bergidik menyadari selera humor perempuan yang tadi menidurinya. Makhluk apa yang telah memakai tubuhnya, menggigitnya sampai memar dan berdarah. Ia teringat bau obat kamar gelap yang begitu cuka seperti kau habis membunuh kalajengking. Dengan penasaran ia hendak men yalakan lampu di kamar ini. Saklar selalu ada di samping pintu. Ia heran bahwa ia tak bisa menemukannya. Itu tidak membuatn ya menafsirkan bahwa ruangan ini tidak boleh dikunjungi orang. Ia membiarkan matanya menyesuaikan diri beberapa saat lagi. Ia menemukan beberapa lampu berdiri dan lampu meja. Masingmasing memiliki tombol kabelnya sendiri. Yang tak ada dalam ruang ini hanyalah lampu utama. Lemari buku menjulang sampai ke langit-langit. Tampaknya ini perpustakaan dan ruang kerja. Agaknya lampu duduk dan berdiri itu diatur sedemikian rupa, dekat pada sofa dan kursi, sebagai cahaya untuk orang membaca. Ada beberapa patung kecil dan ornamen lagi, tetapi tidak ada binatang keringan selain kelelawar terbang yang ganjil itu.
Yuda menyalakan satu lampu berdiri, lalu satu lampu duduk yang berada di meja kerja. Cahayanya begitu hangat dan lembut, jatuh dengan cantik ke bidang-bidang tempat orang meletakkan bacaan. Seolah cahaya itu tertabur sebagai tepung yang sangat halus. Seolah menekankan bahwa di sini orang memusatkan diri pada yang diterangi serbuk sinar itu: bacaan. Ah, lampu orang kaya, kata Yuda dalam hati. Ia teringat lampu rumahnya yang floresen dan kasar. Begitu halus cahaya pijar di sini jatuh pada permukaan, seperti bedak terlembut. Lalu matanya terhenti pada apa yang berada di pusat taburan cah aya. Sebuah buku bersampul kulit lembut berwarna ungu. Sebuah buku catatan dengan kertas bertekstur. Ia mengendusnya sebelum membukanya. Bau kulit nan hewani. Sebuah judul dan sebuah bagan geometris di halaman awal. Ia membalik lagi halaman itu. Sebuah bagan konsentris yang lain. Bagan seperti itu kelak ia tahu disebut mandala. Lalu tampaklah mandalamandala lain dalam setiap halaman. Kemudian muncul lembaran pertama yang berisi naskah, tulisan tangan yang rapi. Ia membaca baris-baris pertamanya:
Meskipun kau sulit percaya, kekasih, tapi demikianlah yang kuketahui dalam suatu pengetahuan yang gnostik. Dan aku ingin mengakuinya dengan jujur, dengan segala konsekuensinya yang berbahaya. Bahwa aku adalah keturunan Drakula.
T eleponnya berdering . N omer asing. Ia terima. Suara seorang pria.
Itu adalah hari ketiga sejak persetubuhannya dengan wanita itu. Perempuan Indigo yang menulis bahwa ia adalah keturunan drakula. Yuda suka main tebak-tebakan. Tetapi perempuan itu sungguh taktertebak. Ada sedikit yang menakutkan padanya.
Suara lelaki di dalam telepon itu minta bertemu. Tentang apa" Yuda bertanya. Orang itu tak bisa mengatakannya lewat telepon. Suara itu meminta: Jika kamu tidak mau ke tempatku, kita bisa bertemu di tempat yang netral di tengah-tengah.
Datanglah Yuda, pada waktu yang dijanjikan, ke tempat yang di tengah-tengah itu. Sebuah bangunan kolonial di ujung sebentang jalan yang diteduhi pepohonan asam dan mahoni. Jalan Teuku Umar, wilayah Menteng, Jakarta Pusat. Ah, lagilagi pusat. Tiba-tiba dorongan itu datang kembali: godaan untuk meragukan pusat. Di manakah pusat kota ini sesungguhnya" Dan apa artinya pusat sebuah kota" Apakah hanya lantaran letaknya di tengah-tengah" Ataukah ada yang lebih bermakna daripada sekadar geografi" Tapi kali ini ia tidak terseret ke dalam momen autis, sebab wilayah itu sepi dan tak ada terlalu banyak orang.
Yuda tidak cepat bingung dalam sepi. Ia merasa berumah dalam sunyi, seperti seorang tarzan di dalam hutan. Ia menemukan dirinya dalam tiada bunyi. Ia sanggup taruhan tidur di kuburan. Sebaliknya, ia cepat gugup di tengah keramaian. Ia tak nyaman dengan jeritan televisi, bising lalu-lintas, dan celoteh manusia, terutama frekuensi suara segerombol perempuan dan anak-anak. Ia kehilangan dirinya dalam apa yang ia sebut "keributan ciptaan makhluk yang katanya paling mulia".
Tapi gedung tua itu sepi, berpagar papan logam, tertutup, seperti sebuah kavling yang baru usai renovasi. Ia pantas untuk curiga sesungguhnya. Memilih tempat seperti ini sebagai lokasi di tengah-tengah adalah hal yang ganjil. Namun Yuda bukan orang penakut. Panjat tebing mengajarnya bahwa ia bisa menyel esaikan banyak masalah di tempat. Jika tidak ia sudah lama jatuh dan mati. Jajaran pohon asam dan mahoni yang dilal uinya tadi mendamaikan hati pula. Ia membuka lempengan yang tampaknya adalah pintu masuk. Ia melangkah ke dalam. Halaman.
Suara-suara tertinggal di luar pagar. Ia merasa berada di zaman lain. Rerumput dan pepohon tampak tercukur secara berkala. Gedung di tengahnya cantik; catnya telah diperbarui. Bertingkat dua tinggi-tinggi. Atapnya memiliki kubah bersegi, dan teras kelilingnya dijaga pelengkung-pelengkung. Ia membayangk an masa ketika gedung itu berjaya dan ramai.
"Tatkala gedung ini berjaya, di sinilah orang-orang Belanda yang terpelajar, juga yang sok terpelajar, memamerkan karya Picasso, Miro, serta para seniman modern pertama. Sambil mendengarkan orkes kamar. Inilah gedung Kunstkring, yang menghubungkan perkembangan seni di Eropa ke Hindia Belanda. Sebelum Perang Dunia."
Yuda menoleh ke arah pemilik suara yang seolah membaca pikirannya. Ia tidak suka orang membaca pikirannya. Benak adalah wilayah privat. Orang nan asing itu telah melanggar privasinya. Dan orang itu tiba-tiba ada di sana. Ia mesti waspada sekarang.
"Bung Janaka?" Yuda menyebut nama yang sebelumnya disebutkan di telepon.
"Senang akhirnya bertemumu, Sandi Yuda." Orang itu mengu lurkan tangan. Ia punya logat yang asing. Mereka bersalaman. "Terimakasih karena kamu mau datang."
"Jadi, gedung apa ini dulu?" Yuda berbasa-basi sambil mengambil kesempatan untuk mengamati Janaka.
Usia lelaki itu kira-kira pertengahan empat puluhan. Wajahnya mengingatkan Yuda pada sesuatu. Hidungnya lanc ip sep ert i hidung Indo. Kulitnya pucat dan lembek seperti pria mapan yang mulai tua dan tak pernah lagi terpapar matahari. Matanya agak menonjol dan alisnya rimbun. Ia memakai kemeja putih, celana putih, sabuk putih. Juga sepatu putih. Ia seperti datang dari zaman penjajahan. Seorang keturunan Belanda yang suka berburu.
"Kunstkring. Artinya kira-kira pusat kesenian. Tempat bers osialisasi para intelektual dan seniman kolonial. Ada kafe dan meja bilyar. Ada ruang rapat, pameran, dan tempat konser kamar. Mereka bisa makan, minum bir atau jenever, sambil menikmati kesenian. Berdiskusi adalah bagian dari menikmati, tentu. Ini adalah tempat nongkrongnya creme de la creme Hindia Belanda. Dan, juga pasti, para inlander tidak diizinkan masuk." Janaka menutup keterangannya dengan tawa ironis.
Yuda memandang lelaki itu dengan hati-hati. Lelaki aneh itu menawarkan untuk mengantar Yuda melihat-lihat sisi dalam gedung tersebut. Ia menjamin Yuda akan menikmati rer inci yang utuh: tegel, kaca patri, handel, motif pintu, yang semua itu dibesut dengan gaya artdeco khas Hindia Belanda. Ah, jadi gedung ini sezaman dengan Galeri Foto Antara di Pasar Baru, yang diterangkan Lalita kepadanya. Tapi ia menolak masuk sebelum ia tahu apa tujuan lelaki itu menemuinya.
"Baiklah," kata si pria. Ia mengajak Yuda duduk pada buk dekat teras samping. Di sana ada peti coleman kecil berisi bir dan kola dingin. Mereka mengambil birnya. Kalengnya berembun. Orang itu tahu betul berapa suhu yang tepat untuk bir disajikan.
"Pertama-tama saya harus memperkenalkan diri. Saya adalah abang dari wanita yang kamu kenal bernama..," pria itu mengambil nafas tertahan, "Lalita Vistara."
Rahang Yuda mengeras oleh rasa heran dan tak nyaman. Ia tidak menjawab.
"Kamu tidak merokok?" pria itu meloncat tema seolah hendak melunturkan ketegangan.
"Tidak." "Oh. Baguslah. Saya juga tidak merokok." Yuda berdehem.
"Maaf, bukan maksud saya untuk mencampuri urusan pribadimu. Tapi, berhati-hatilah dengan dia."
"Hmm. Ya?" Yuda bertanya dengan suara dingin. Tapi sulit ia menyembunyikan rasa ingin tahunya. Mereka mulai beradu tatap. Yuda mulai mengirimkan sinyal curiga. Tapi lelaki itu sudah membuat ia tak bisa menyangkal hubungannya dengan Lalita. Ia sudah kalah satu langkah sebetulnya. Orang ini tahu rahasianya. Ia sama sekali tidak tahu tentang orang ini.
"Namanya bukan Lalita Vistara," suara Janaka berubah menjadi sungguh-sungguh.
Yuda terkejut sebetulnya, tetapi ia tetap mencoba sinis. "Oh ya. Hm. Jangan-jangan dia bukan perempuan juga?" Sia-sia.
Janaka terbatuk dibuat-buat. Batuk yang menyindir. "Kamu tahu ia perempuan sungguhan. Ia perempuan tulen malah. Sangat perempuan... Ah, kamu tahu itu."
Yuda kalah langkah lagi. Mata Janaka seolah menelanj angi kenangannya akan axis mundi kecil. Sensasi tutup sampanye. Kamar cahaya merah. Aroma cuka.
"Namanya bukan Lalita Vistara. Kami dua bersaudara. Dia adikku. Nama pemberian orangtua kami buat dia adalah Ambika Putri Nataprawira. Ambika berasal dari epik Hindu Mahabharata. Tapi adik saya kemudian tertarik pada Buddhisme dan mengganti namanya menjadi Lalita Vistara." Ia diam sesaat. "Kakek-nenek kami dulu pengikut Teosofi. Orang Indo."
Yuda mendengarkan dalam diam. Tapi pelan-pelan ia melihat wajah Lalita menjelma pada lelaki asing itu. Samar-samar muka Lalita terbentuk pada raut itu, namun tanpa riasan.
"Tapi orang berhak mengganti nama bukan?" Yuda mencoba menyanggah, sambil menakjubi apa yang ia saksikan.
"Ya. Ya. Tentu saja. Tak ada yang salah. Menurut hukum pun boleh. Kamu bisa pergi ke pengadilan untuk secara sah menukar nama. Asal kamu mengakui dengan jujur. Masalahnya, dia tidak. Dia tidak mau mengakui bahwa nama pemberian ayah-ibu kami adalah, hm, bukan Lalita Vistara. Ia tak mau men gaku bahwa Lalita Vistara adalah nama yang ia pilih bagi dirinya sendiri. Sebab ia mau percaya bahwa hidupnya telah dinubuatkan. Bahwa namanya adalah tanda. Nomen est omen.
"Yuda, tidak ada nabi yang memilih namanya sendiri. Semua nama besar harus, setidaknya seolah-olah, diberikan oleh alam raya melalui perantaraan orang lain, kepada dirimu. Nama yang supranatural tidak bisa kau buat sendiri. Nama yang bertuah harus dianugerahkan oleh semesta.
"Orang tentu boleh memilih namanya sendiri. Sama seperti orang berhak mengubah nasib mereka. Tapi orang yang tidak mau mengakui nama pemberian orangtuanya, ia menyimpan sejenis megalomania tersendiri, Yuda."
Suara Janaka kini berubah nada menjadi prihatin. "Yuda, ia bilang ia punya pastlife bukan?" Yuda tidak menjawab. Tetapi itu pun sebuah jawaban sebenarnya.
Lalu Janaka membeberkan cerita-cerita yang bersetuju dengan, bahkan melengkapi, dongeng yang telah didengar Yuda sepotong-sepotong dari mulut Lalita, atau yang dibacanya sepintas dari kitab bersampul kulit ungu yang aneh itu, yang ditemukannya di ruang kerja. Omong kosong yang ia tak ingin percaya. Legenda tentang keturunan drakula. Lalita bisa menuturkan hidup sebelum ini seperti orang lain menuturkan masa kecil hingga dewasa mereka.
Yuda merasa tengkuknya meremang.
Perempuan itu pernah hidup di sekitar abad ke-9 di pulau Jawa, sebagai seorang putri, jika bukan rani. Ia lahir dalam trah Syailendra yang terkenal itu, dinasti beragama Buddha. Dinasti besar lain yang hidup sezaman dan setanahair adalah Sanjaya, yang beragama Hindu. Kedua dinasti berhubungan secara istimewa: mereka baku-saing sekaligus kawin-mawin sehingga berkelindan. Wangsa Syailendra mendirikan Borobudur. Wangsa Sanjaya menegakkan Prambanan. Dan Lalita adalah putri yang berperan besar dalam pembangunan kuil Buddha terbesar di dunia tadi. Borobudur.
"Dia, yang kamu kenal sebagai Lalita, adik saya itu, percaya bahwa ia adalah pihak yang bertanggungjawab dalam pemah atan panil-panil kuil, termasuk relief Karmawibangga yang misterius itu. Ia berseteru dengan seseorang yang memerintahkan penutupan relief itu. Dan tahukah kamu, siapa musuh tersebut" Siapa musuh besarnya?"
Tentu saja Yuda tidak tahu.
Janaka menempatkan wajahnya di hadapan wajah Yuda, membuat lawan bicara itu menatapnya baik-baik.
"Musuhnya itu adalah saya," berkata Janaka dengan kesad aran bahwa Yuda pasti sulit percaya. "Tapi itulah yang dipercaya Lalita."
Yuda mencoba bergeming. Tapi ketegangan menumpuk di lehernya.
"Ia adalah seniman. Dan saya adalah insinyur sipil. Saya yang memerintahkan penguburan Karmawibangga; menye?" babkan relief itu menjadi misteri sampai terungkap seribu tahun kemudian!"
Janaka dan Yuda saling berpandangan. Tetapi di antara mereka tidak banyak ada kepercayaan.
"Masih ada lagi. Ia masih ada pastlife lain sebelum dan setelah itu, yang ia bisa ingat dengan jelas. Menurut dia sendiri."
Bukan kebetulan ia lahir di Jawa Tengah abad ke-9. I a memang lahir kembali di sana untuk terlibat dalam pemban gunan Borobudur. Sebab, sebelumnya ia pernah hid up di Tibet, sebagai seorang biksu yang mengajarkan sua tu ajara n Buddhisme yang dibawa dari jauh, dari negeri di seberang laut, negeri di Selatan, negeri Pulau Emas. Yaitu Sumatra.
"Sekarang Yuda, kita mundur beberapa abad ke belakang. Bayangkanlah Asia abad ke-5. Kamu tahu, pada abad ke-5, di kerajaan di Sumatra Selatan ada pusat pengajaran Buddhisme. Semacam universitas yang hebat dengan studi agama yang sangat menonjol ketika itu. Begitu majunya sampai-sampai para biksu dari India dan Cina datang ke negeri Pulau Emas untuk belajar dan menyalin kitab-kitab. Demikian mengagumkan, maka ajaran dari perguruan itu dibawa ke Nepal dan berkembang di sana. Memang betul, Yuda, bahwa Buddhisme Nepal hari ini memiliki jejak-jejak ajaran yang dulu terdapat di Nusantara. Ini bisa dibuktikan secara akademis. Menakjubkan sesungguhnya.
"Tapi, hm, lebih menakjubkan adalah bahwa manusia abad ini bisa yakin jika ia pernah hidup seribu lima ratus tahun silam. Dalam hidup masa silamnya dulu itu, ia mempelajari ajaran-ajaran tersebut dan mengetahui suatu rahasia. Rahasia itu sangat hebat. Sebab Buddhisme di Nepal ini telah memb ikin lingkaran penuh. Artinya, ajaran ini telah berkelana dari India, ke Cina, lalu ke Nusantara di ujung selatan-tenggara, kembali lagi ke utara atau barat daya, ke tempat di mana India dan Cina bertemu, yaitu Nepal. Himalaya. Begitu hebat rahasia itu, sang biksu mati sambil mengemban sebuah tugas suci.
"Tugas suci itu adalah pembangunan Borobudur. Yang rahasianya berhubungan dengan ajaran Buddha yang telah membikin lingkaran penuh tadi. Maka, setelah wafat di Nepal pada sekitar abad ke-5 sambil mengemban misi agung, dia ya Lalita, adik saya ini lahir kembali empat atau lima abad kemudian di pulau Jawa, sebagai putri dalam dinasti Syailendra. Ehm. Seperti novel ya?"
"Jika memang begitu, ya seperti novel," Yuda menyahut tak punya pilihan.
"Itu pun tidak cukup," lanjut Janaka. "Kita perlu drama. Sang putri, yang bertanggungjawab untuk tim pemahat dan pematung, akhirnya wafat dalam suasana permusuhan dengan pemimpin tim teknik sipil. Yaitu aku! Sebab akulah yang memerintahkan penutupan relief Karmawibangga dengan alasan teknik silpasastra. Kamu tahu apa itu silpa-sastra" Itu teknik bangunan kuno India. Tahu teknik sipil ya" Sipil dan silpa datang dari akar kata yang sama.
"Ia kalah dalam perseteruan. Terbukti dengan terkuburnya relief Karmawibangga. Sampai sekarang relief tentang hukum karma itu pun masih terkubur dalam damai. Ia menuduh aku sengaja membiarkan para pemahat menatah pada dinding yang salah. Ia menuduh aku sengaja baru memberitahukan kes alahan itu ketika seluruh panil hampir terpahat dengan sempurna. Ia menuduh aku sengaja menimbulkan pemberontakan para seniman sehingga mereka tidak mau memahat ulang pada batu yang benar. Ia menuduh aku memang memiliki rencana untuk menggagalkan misinya. Pendek kata, dengan demikian tugas sucinya belum selesai."
Janaka sengaja membikin jeda.
"Lalu?" Yuda terpaksa bertanya.
"Lalu" Drama pun belum selesai. Tentu saja kami harus lahir kembali. Sebab peperangan kami belum usai," jawab Janaka.
"Kami lahir kembali di abad ke-15. Kamu tahu di mana" Coba tebak!"
Yuda menggeleng. "Ayolah. Kamu seharusnya bisa menebaknya. Kamu tahu sesuatu... Ah! Kitab itu!"
Yuda menggeleng lagi dengan mulai tak sabar. "Kitab Indigo itu! Masa kamu tidak tahu?" "K-kitab yang bersampul ungu itu?"
"Ya! Kamu tahu! Kami lahir kembali di Transylvania. Aku lahir sebagai Pangeran Vlad Drakula. Dan ia putriku.."
Kitab itu. Kitab bersampul kulit lembu ungu di atas meja kerjanya.
Mendadak Janaka berhenti dengan dada kejang, seolah serangan jantung hendak merenggutnya. Detik itu menakutkan. Tapi tiba-tiba ia meledak dalam tawa tertahan yang agak mengerikan. Tawa itu tidak bersuara, namun mengguncangkan seluruh tubuhnya seperti ia akan berubah menjadi makhluk lain. "Bayangkan! Bisakah kamu percaya itu, Yuda?" katanya di sela sengguk-sedak monsternya.
Lelaki itu masih tertawa sampai terbungkuk-bungkuk bagai makhluk seribu tahun yang sedang menunjukkan siapa dirinya. Di antara tekuk-tekuk tawa itu terdengar tarikan nafas hewan mengorok dari rongga hidungnya. Seolah seekor babi hutan berdiam di dalam dirinya.
"Lalu... lalu...," ia masih terpingkal sambil sesekali mengeluarkan suara celeng, "Setelah itu, setelah hidup dan mati sebagai Drakula dan anak Drakula... drama masih belum selesai dan kami lahir kembali sebagai kakak-adik di abad ke-20 di Indonesia! Bayangkan! Bisakah kamu percaya skenario itu?"
Yuda menarik nafas panjang. Ia tidak suka suasana ini.
"Percayakah kamu, Yuda" Setiap sekitar lima abad ia, kami, lahir kembali" Kami lahir kembali di tempat yang sama, untuk melanjutkan perseteruan kami." Janaka menghabiskan sisa tawa sataniknya. Pria itu memandang ke arah pagar terjauh, seolah menggumam pada diri sendiri sambil menggelenggelengkan kepala: "Abad ke-5 bertempat di Sriwijaya-Nepal. Menj elang katakanlah abad ke-10 cerita berlokasi di Jawa Tengah. Abad ke-15 di Transylvania. Abad ke-20 kembali ke Nusantara. Jika demikian, kami berdua pasti akan lahir lagi di abad ke-25, entah di mana. Mungkin di Afghanistan, tempat ada patung-patung Buddha tertatah pada tebing batu..."
Yuda sungguh tak senang dengan apa yang diungkapkan Janaka. Sialnya, semua itu memberi gambaran lebih utuh mengenai perca-perca yang disampaikan Lalita kepadanya. Pada awaln ya ia seperti mengetahui cerita-cerita pendek fantasi. Kini ia menemukan cerpen-cerpen itu telah tersusun dalam sebuah novel.
"Ia adalah seorang penulis sinetron, Yuda," kata Janaka, lagi-lagi bagai membaca pikiran lawannya. "Hidupnya adalah telenovela itu sendiri. Ia menciptakan novel pada hidupnya."
Yuda menenggak habis bir dan meremas kalengnya hingga ringsek.
"Saya tahu kamu tidak bisa langsung percaya padaku. Saya tidak akan memaksamu. Tapi cobalah kamu pikir-pikir. Cobalah kamu renungkan... Seorang perempuan yang memakai makeup setebal itu, terus-menerus sepanjang hari, apa artinya?" Yuda menoleh kepada Janaka.
"Dia menyangkal dirinya sendiri, Yuda!" Yuda tak bisa menolak kebenaran kata-kata itu. "Kau tak akan pernah melihat wajahnya tanpa riasan. Selama ia masih hidup. Jika kau melihat itu, maka berarti ia mati. Ia sedang mati pada momen-momen itu."
Ada yang terlalu keras dan menakutkan pada kata-kata itu.
Tiba-tiba Yuda melihat, dalam kepalanya, seorang perempuan yang tak memiliki wajah. Setiap pagi wanita itu bangun dan melukis wajahnya di muka cermin sebelum pergi kepada dunia. Ia bergidik.
"Segala identitas yang ada padanya adalah yang ia bangun dan ciptakan untuk ditampilkan kepada dunia. Tetapi di balik itu yang ada adalah suatu lubang hitam yang tak akan pernah kenyang menyedot energi dari luar..."
Yuda menelan ludah. "Kau tahu ia haus perhatian, Yuda. Ia tidak akan kenyang seberapapun kita mencurahkan perhatian padanya. Berhatihatilah Yuda. Ia akan membuatmu letih. Ia akan menghabisk an energimu."
"Lalita punya banyak pria," kata Yuda. Ia teringat, wanita itu tidak menghubunginya selama tiga hari ini. Bahkan di pertem uan pertama mereka pun Lalita bersama Oscar. Ia bukan satu-satunya lelaki.
Janaka berdehem. "Saya hanya memperingatkan agar kamu berhati-hati. Saya rasa itu kewajiban saya. Keputusan ada padamu."
"Bung menghubungi saya... Apa Bung juga mengubungi semua lelaki lain yang, hm, pernah bersama Lalita?"
Janaka memandang Yuda, sebelum menjawab lirih, "Kukira kamu tak perlu tahu apa yang ada di luar kita bertiga."
Janaka mengeluarkan dompet dan mengambil kartu nama dari sana. Ia menyodorkannya pada Yuda, tapi lalu memintan ya kembali. Ia mengambil pena dari saku bajunya dan menuliskan sesuatu di balik kartu itu.
"Jika mau, kamu bisa telusuri nama-nama yang saya tulis ini di internet. Silakan menghubungi aku setiap saat kamu mau."
Yuda menerima kartu nama itu. Tak lama setelahnya keduanya berpisah.
K etika ia menyesal , ia telah terlanjur membacanya. Yuda mendapati dirinya sudah beberapa jam berada di depan komp uter, meramban nama-nama yang dituliskan Janaka di balik kartu nama celaka. Puluhan situs telah disambanginya. Matanya telah letih oleh cahaya monitor yang jadi semakin nyalang manak ala gelap datang. Diam-diam ia merasa bodoh telah terpancing melakukan pencarian. Ia teringat kata-kata Janaka: Lalita akan membuatnya letih; Lalita akan menyedot energinya. Lihatlah, sekarang pun ia sudah menghabiskan beberapa putaran untuk menyimak berita-berita tak menyenangkan tentang nama-nama sialan. Hanya karena Lalita. Peras aannya jadi tak enak. Energi positifnya mulai lesap. Pada saat-saat begini ingin sangat ia bertemu Parang Jati, mengobrol, lelaki dengan lelaki. Pada saat ini, ia melabur rasa bersalahnya terhadap Marja.
Pada kartu itu Janaka menuliskan empat nama. Pada mulan ya tak ada yang istimewa dengan nama-nama itu. Tapi ia ters ihir untuk mencarinya di internet, menuruti anjuran Janaka. Lalu, berita-berita yang bisa Yuda temukan di alam siber menunjuk ke satu arah. Keempat pria itu telah berakhir. Yang pertama mati dalam kecelakaan lalulintas. Yang kedua tewas ditusuk. Yang ketiga hilang saat berselancar. Yang keempat bunuh diri.
Ia merasa jengkel pada diri sendiri. Ia kini terlanjur men genal mati keempat lelaki itu dan sedikit hidup mereka. Ia tidak ingin menyebut nama-nama itu lagi, tetapi kisah tragis mereka meresap dalam kepalanya. Bahkan wajah orang-orang malang itu, berkat google gambar, tak bisa ia enyahkan dari pelup uk. Manakala ia pejamkan mata, wajah-wajah itu berbinar-binar dalam warna negatif, seperti mimpi buruk.
Yang pertama, ia sebut sebagai si Herr, pria Jerman yang berusia limapuluh tahunan ketika meninggal dalam kecelakaa n di perbukitan Italia selatan. Orangnya agak gemuk. Tapi, mobil nahas yang ia tumpangi berpelat diplomatik RI. Orang itu sedang merencanakan pameran besar Raden Saleh di beberapa negara Eropa dan di Indonesia.
Yang kedua, si Mister, warga negara Australia. Tigapuluhan umurnya, lumayan ganteng, ketika mati ditusuk dalam suatu perampokan. Orang itu bekas diplomat yang lalu menjadi pengekspor perabot kayu dan benda seni.
Yang ketiga, si Monsieur. Lelaki empat puluhan ini mati dis apu ombak di Thailand, dalam suatu liburan dengan seorang perempuan Indonesia. Tak terdeteksi apa pekerjaannya. Ia kurus, bagaikan seorang vegetarian. Tapi pria Prancis dan pasangannya, si wanita Indonesia, berlibur di Phuket, Thailand, setelah wisata spiritual ke Tibet.
Yang keempat, Yuda menyebutnya si Kokoh, adalah pria Singapura yang bunuh diri, terjun dari lantai 29 apartemenn ya. Tampilannya seperti tipe homoseksual berotot. Catatan penting: ia memiliki galeri seni rupa. Sebuah berita lain menyebutkan bahwa galerinya beberapa kali bekerja sama dengan Lalita's Artspace.
Jantung Yuda berdebar dalam denyut yang tak ia suka. Pik irannya, ataukah fantasinya, menjadi liar dan mengambil kesimpulan yang dramatis. Tidakkah keempat pria nahas itu berh ubungan dengan Lalita" Tiga di antaranya memiliki kegiatan yang berhubungan dengan jual-beli ataupun pameran seni. Di bidang itu pula profesi Lalita. Yang satu lagi, pria yang tak diketahui pekerjaannya, pergi bersama wanita Indonesia, yang tak disebut identitasnya, untuk ziarah ke Tibet. Tak mungkinkah bahwa wanita itu Lalita" Lalita telah menjadi simp atisan, jika bukan penganut, spiritualitas Buddhis. Banyak orang yang belakangan ini tertarik pada Buddhisme menjadik an Tibet sebagai mekah mereka. Mereka berziarah ke sana.
Tapi, siapa yang bisa tahu bahwa keempat lelaki itu memang berhubungan dengan Lalita" Siapa, selain Lalita dan Janaka sendiri. Dan, apa peran Lalita dengan semua akhir nan tragis itu" Janda hitam-kah dia, black widow, sesosok wadon bahu laweyan, yang menghisap nyawa lelaki yang mencintainya, langsung atau tak langsung, sengaja atau tidak" Rasa penas aran mendesak rasa penat Yuda. Sebelum ia harus kembali kepada Janaka ah, ia tak ingin sesungguhnya menghubungi lelaki aneh itu ia mengetik kata kunci lagi, kata kunci lain, kata kunci lagi; tapi jejaring maya itu kini tak lagi memberi informasi baru.
Lalita Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tak sadar, pintu kamarnya terbuka oleh sesuatu yang tak terlihat di ketinggian mata. Sesuatu itu mendekat perlahan. Tiba-tiba ada yang menusuk bujari kakinya. Sepasang taring...
"Ular!" Yuda berseru, ataukah menjerit; melompat berdiri, ataukah menghentakkan apa yang tadi mematuk kakinya. Ia bersumpah, ada yang mengirimkan kutukan.
Bukan ular. Melainkan Topeng, kucing rumah mereka. Ia mau marah, tapi hatinya selalu lembut pada binatang. Si Topeng terlempar ke sudut. Ah kasihan. Maafkan abangmu ya, Nak. Yuda meraih kucing yang wajahnya memakai topeng Zoro itu.
Topeng memang suka menggigit jika lapar. Yuda gemas pada makhluk itu. Ia menjahilinya, menjinjingnya pada kedua kaki depannya, membawanya ke dapur sebelum menyiapkan makan. Ibunya sedang pergi dan ia sudah berjanji untuk memberi makan para binatang, yang disebutnya sebagai "masyarakat". Sejak Ayah meninggal, ibunya nyaris tinggal sendiri di rumah itu bersama masyarakat: dua anjing, beberapa burung perkutut peninggalan Ayah, dan kucing-kucing yang jumlahnya selalu berubah, karena lahir, mati, atau pergi. Anggota keluarga yang lain ada yang sudah menikah, atau kuliah di luar Jakarta, seperti Yuda.
Masyarakat telah berkumpul di depan dapur. Gigitan Topeng yang mewakili tuntutan masyarakat membebaskan Yuda dari jerat penasaran tentang Lalita. Sekalipun para masyarakat misuh-misuh padanya sebab terlambat meladeni, ia merasa lucu. Ia senang berada bersama binatang, seperti ia senang berada di alam terbuka.
Dari bale-bale Yuda memandangi warganya yang rakus hingga menggeram-geram. Mengamati perilaku kucing atau anjing adalah relaksasi baginya. Tubuhnya tahu bahwa berada di sini lebih menyenangkan daripada berada di depan komputer, haus akan data-data Lalita. Sekarang masyarakat telah ken yang. Yuda mengambil tangkai rotan yang pada ujungnya telah ia ikatkan tali dan pada ujung tali yang menjulur itu telah ia pasangkan kerang dan bulu ayam. Ia menyebutnya "pancing kucing". Ia melari-larikan pancing kucing itu pada lantai, ke sana ke mari. Sesekali mengangkatnya, sehingga bulu-bulu itu jadi seperti kupu-kupu. Topeng tak bisa menahan diri. Juga kucing-kucing lain. Mereka bergantian memburu kerang berbulu ayam itu. Yuda tenggelam dalam keasyikan baru. Hei. Lihat. Lucu sekali. Kucing tak bisa tahan menghadapi benda kecil yang bergerak-gerak. Mereka jadi penasaran. Mereka tidak bisa mengendalikan diri. Mereka memburu, meloncat, menerkam, mencoba menangkap, tanpa tahu apa dan untuk apa mereka menghabiskan tenaga. Sungguh, lepas kendali itu bis a membunuh. Mereka mengira mereka yang memburu. Padahal merekalah yang dipermainkan oleh impuls mereka. Yuda menyeringai geli sendiri sambil memainkan tongkat rotan. Dan kucing-kucing menjadi otomatis. Makhluk automaton...
Tapi di langit... Seandainya di langit ada mata kelelawar raksasa yang bisa mengamati dia. Mata itu akan tahu bahwa pemuda itu tak terlalu jauh berbeda dari kucing yang sedang ia tertawakan. Mata drakula itu akan menyeringai dan berkata: Tidakkah kau sendiri, Sandi Yuda, adalah hewan malang yang tak bisa mengendalikan diri hari-hari ini" Kau kehilangan kesadaran dan dikuasai impuls belaka" Tidakkah kau sedang dan akan terus berloncat kejang di luar kontrolmu, mencoba menangkap apa yang tak tertebak"
Dan jika petir menyambar, mengilatkan cercah api, kau akan teringat pada sebuah kamar gelap di bawah tanah. Kau akan haus. Gigitan yang membuatmu memar dan bertitik darah. Lampu cahaya merah. Bau kalajengking. Dingin meja alumunium. Jepitan botol sampanye. Matamu terbalik. Lalu empat lelaki mati...
Jika mendiang ayahmu mewariskan sebuah jam kakek, maka pada dua dentangnya kau tahu bahwa kau tak bisa tidur. Dan itu membuatmu cemas.
Kau sudah membayangkan perempuan itu tiga kali dan mem untahkan benihmu dengan sia-sia setiap kali. Lalu kau percaya bahwa justru perempuan iblis itulah yang membuatm u tidak bisa tidur. Kau harus melupakannya. Kau pun membayangkan kekasihmu, yang kau khianati. Tapi wajahnya kini membuatmu merasa bersalah. Dan kau kembali tak mampu memejamkan mata.
Kau membayangkan yang paling tak masuk akal. Sesuatu yang mekanis. Yaitu bahwa dirimu, atau padamu, ada sebuah selang. Seperti selang yang ada pada tukang minyak tanah. Sebuah tangan mengocok selang itu pelan-pelan, naik-turun, sambil bujarinya berganti membuka dan menutup ujung selang. Demikian, agar minyak dalam tangki perlahan-lahan naik ke atas. Kau membayangkan betapa minyak itu terpompa, terpompa, terpompa, bersama turun-naik selang serta bukaan atau jebakan udara di ujungnya. Minyak semakin memenuhi selang. Pada akhirnya, seperti kau harapkan, minyak akan muntah, mengucur tumpah dari ujung selang, sampai tekanan tak mengizinkan lagi.
Jika itu pun tidak membuatmu tidur, kau membayangkan mesin jam Junghans warisan ayahmu. Mesin mekanik itu berputar. Tetapi ada akselerasi yang aneh. Mesin berputar sem akin kencang sehingga semua kawatnya menegang. Men genc ang. Pada akhirnya, seperti kau harapkan, mesin itu meledak rus ak.
Segala fantasi telah habis. Kini hanya ada gerakan-gerakan mekanis. Gerak ulang-ulang yang mengalami percepatan, lalu sampai di batas daya dukungnya: kehancuran. Bersama bayangan kehancuran itu klimaks tercapai.
Ia berada di ambang apa yang disebutnya momen autis.
I a tak begitu tahu apa yang terjadi. Itu adalah malam kelima setelah Peristiwa. Pada malam itu ia telah berada lagi dalam kamar gelap cahaya merah. Perempuan Indigo kembali menghuk umnya. Ia bersalah. Sebagai pemuda ia telah tak tahu sopan santun. Ia tak menelepon si perempuan setelah perbuatan itu. Bahkan hingga lewat tiga hari. Ia tak berterimakasih atas apa yang ia dapat. Tak pula meminta maaf atas apa yang ia ambil tanpa izin: absinthe dalam botol jin. Perempuan itu yang meneleponnya pada hari keempat, menuntut bertemu untuk menumpahkan rasa marah. Si pemuda minta maaf. Ia bilang ia tidak men elepon sebab khawatir mengganggu. Ia tahu ia bukan satu-satunya lelaki. Tapi perempuan itu tak mau tahu. Akhirnya pemud a itu berkata: baiklah, hukumlah saya sebagaimana kamu mau.
Perempuan itu mau mendengar kata ampun. Sebab kata maaf tidak cukup. Ia mau mendengarnya berulang-ulang. Ia buat lelaki itu mematuhinya. Dan ia beri pemuda itu klimaks yang datang bersama fantasi kehancuran. Minyak yang tumpah. Mesin yang meledak.
Setelah itu si perempuan mengenakan kembali jins dan kamisolnya (seperti sebelumnya, ia tak pernah menanggalkan korsetnya sejak semula), seolah hendak meninggalkan kamar gelap beraroma cuka. Yuda pun memohon. "Lalita, jangan selesai. Aku menginginkannya."
Perempuan itu menoleh dan memandang dengan mata Lilith-nya yang angkuh. "Ingin apa kamu?"
Yuda menjawab lirih, seperti seorang terdakwa. "Axis mundi..."
Mata perempuan itu menjadi lembut sekarang. Ia tersenyum dengan senyum seorang ibu. Ia menghampiri Yuda tetapi melarang pemuda itu mencium bibirnya. Ia memangg il nama lelaki itu dan meminta. Jadilah kau anakku. Minumlah, menghisaplah, dariku seolah kau tak bisa kenyang. Mencucuplah, sampai kita berdua menjadi tegang. Dan setelah ia menunjukkan poros dunia, yang hanya bisa dicapai dalam kelenturan dan keliatan yang setara, (ataukah ketika itu"), ia bercerita: Kau tak pernah tahu, sakit rinduku pada anakku. Kau tak pernah tahu, ia merebut anakku...
Lalita bercerita. Saudara lelakinya menculik putranya. Bayi itu baru berusia limabelas bulan. Itulah masa manakala bayi menyusu sambil menatap wajah ibundanya. Kau tak akan terbayang. Kau tak tahu bengkak susu yang kehilangan bayi. Sejak itu aku merindukan mata yang memandangku, mulut yang menyusu padaku, tangan yang menggemasi dadaku, sari hidup yang terhisap dari pucuk payudaraku yang peka. Aku merindukan dia, siapapun dia, yang akan mengembalikan keindahan rasa memberi hidup, betapapun sesaat.
Keindahan kata-kata Lalita membuat Yuda sulit menggugat. Ia tersihir dan lupa pada pertanyaan-pertanyaannya. Tapi, ketika mereka keluar dari kamar cahaya merah dengan perut lapar, akhirnya ia bicara juga; bicara dengan sangat hati-hati. Bau kalajengking melunturkan ketengilannya. Yuda memutuskan untuk tidak membuka bahwa ia telah bertemu dengan kakak kandung Lalita. Janaka, pria yang sesungguhn ya tak kalah ganjil dari perempuan ini. Tapi ia ingin mencari sekadar versi dari pihak si perempuan.
"Kakakku. Kami seusia. Sebab dia adalah kakak kembarku," kata Lalita.
Padahal kemarin dulu Janaka berkata bahwa ia lebih tua empat tahun dari adiknya.
"Salah satu di antara kami keluar lebih dulu, tentu saja. Konon, yang lahir lebih dulu itulah yang adik. Tapi, sesungguhnya, aku tak tahu siapa yang muncul lebih dulu. Itu rahasia orangtua kami. Dia mengklaim sebagai kakak, sebab dia lakilaki. Baginya lelaki lebih senior daripada perempuan. Dan kau tahu, yang diinginkan lelaki hanyalah kekuasaan."
"Saya tidak ingin kekuasaan," Yuda membantah (ataukah mencoba menghibur").
"Apa yang kamu inginkan?" "Saya hanya ingin kebebasan."
Lalita memandanginya sambil menghembuskan asap rokok. "You'll never know. Let yourself grow, and you'll know. Tapi, baiklah, kakakku menginginkan kekuasaan. Dan akulah obyek kekuasaannya yang pertama."
Lelaki yang mengaku kakak itu bertumbuh menuju seo rang tiran. "Kau tahu apa pekerjaannya?"
"Bagaimana mungkin saya bisa tahu?" Yuda mencoba menyembunyikan segala tanda bahwa ia pernah bertemu lelaki itu. Tapi ia suka menebak. Lelaki itu, paling mudah, adal ah seorang pengusaha, atau sales executive, seorang yang bekerja sebagai pembujuk dengan mencoba mengajuk pikiranmu. Seorang pelobi. Ia terlalu halus sebagai seorang motivator. "Ia seorang preman!" kata Lalita. "Ia anggota Pemuda Pembangunan Pancasila."
"Ah, Lalita. Beberapa preman tidak membuat seluruh organisasi pemuda jadi organisasi preman, kan?" Tapi lel ak i itu tak tampak seperti preman sama sekali.
Lalita tertawa, seperti terhadap bocah naif. "Ia punya beberapa bisnis. Tetapi bisnis sesungguhnya adalah bisnis kekerasan."
Yuda menggigit bibir. Ia agak hilang arah karena sesuatu yang tak terduga. "Apa yang dilakukan J.. dia padamu, Lalita?" Hampir terucap olehnya nama Janaka.
Mata Lalita memeriksanya lagi, membuat Yuda sedikit cemas jika perempuan itu menangkap bunyi J.. yang hampir melengkap.
"Kau tahu," lalu perempuan itu menghisap dalam-dalam rokok rampingnya, menghembus asapnya pelan-pelan, "Orang jahat perlu kedok moral."
Itu ia tidak membantah sama sekali. Orang jahat perlu kedok moral.
"Kakakku rajin menyumbang rumah ibadah, untuk mencuci uang kotornya." Lalu, suara sinisnya bertukar getir: "Ia selalu menyantuni anak yatim piatu. Tapi, ketika aku melahirkan anak, tanpa suami, ia merebut anakku."
"Aduh. K-ke mana sekarang anakmu?"
"Bayiku mati. Kekurangan kasih sayang." Matanya menerawang. "Tapi mungkin dengan begitu anakku selamat. Selamat dari bertumbuh sebagai preman."
"S-saya ikut prihatin, Lalita. Kamu tidak pernah bertemu abangmu lagi?"
"Kenapa kamu bertanya-tanya tentang dia"!" "S-saya" T-tidak... Tapi kamu yang tadi bercerita tentang dia, kan" T-tentang dia menculik anakmu."
"Oh ya. Jahanam itu... Tidak. Aku tidak mau bertemu dia lagi."
"Sudah berapa lama?"
"Kamu bertanya-tanya tentang dia lagi!"
Agak gugup Yuda mencoba membela diri. "Saya membayangkan, dua saudara kembar bermusuhan. Tentu saya ingin tahu... Saya malah pernah dengar bahwa kembar dua lelaki perempuan justru cenderung jatuh cinta satu sama lain." Ia terdiam mendengar ucapannya sendiri. Mungkinkah... "Sudah. Aku tak mau bicara tentang dia lagi." "Saya kan cuma mendengarkan ceritamu, Lalita. Pasti pahit sekali buatmu. Kamu... kamu bahkan tidak menyebut naman ya."
Lalita mematikan rokoknya pada asbak kuningan. "Namanya Jataka."
Ah. Jataka" Bukan Janaka"
Yuda khawatir salah dengar. Tapi ia tak boleh memancing terlalu nyata. Lalita bukan kucing yang tak curiga pada kerang berbulu ayam. Ia mencoba membuat Lalita mengulang nama itu dengan cara lain.
"Apa artinya itu?"
"Kakek-nenek kami mulanya adalah pengikut Teosofi. Mer eka orang Belanda. Austria sesungguhnya. Yahudi, pers isnya. Tapi akhirnya mereka tertarik pada Buddhisme. Mereka memberi nama cucu kembarnya: Lalita dan Jataka. Lalitavistara dan Jataka, keduanya adalah nama kitab yang ada reliefnya di candi Borobudur."
Lalitavistara adalah biografi Sang Buddha. Jataka adalah kisah-kisah hidup-lampau Sang Buddha sebelum lahir sebagai, akhirnya, Siddharta Gautama. Relief kedua kitab ini sama-sama ada di lantai satu candi Borobudur. Berhadap-hadapan, seperti dua saudara kembar.
Yuda tak ingin mengorek lebih banyak lagi. Sementara ini, tanpa memeriksa lebih rinci pun, nyatalah dua versi yang berbeda. Kelak, setelah Yuda bisa menyusun informasi lebih saksama, dengan bantuan Parang Jati yang lebih fasih tentang sejarah kuno, terdedahlah: Ada dua versi nama. Yang satu dalam pengaruh tradisi Buddha, yang lain tradisi Hindu- Jawa. Yang lelaki memegang tradisi Hindu. Yang peremp uan memakai tradisi Buddha. Perempuan ini bisa bernama Amb ika, tokoh dalam epik Mahabharata; atau Lalita, kitab dalam agama Buddha. Lelaki itu bisa bernama Janaka, yaitu panggilan lain dari Arjuna, tokoh utama kisah Mahabharata; atau Jataka, kitab dalam agama Buddha. Siapa yang benar, sementara ini Yuda tidak tahu. Pertanyaan berikutnya adalah: mengapa ada dua versi. Situasi ini membuat ia penasaran. Lebih baik ia mengetahuinya pelan-pelan daripada memaksa sekarang dan kehilangan kesempatan menyingkap teka-teki.
Ia berhati-hati sekarang. Ia tak bicara apapun lagi tentang Jataka, ataukah Janaka. Tapi, wajah empat lelaki yang mati terkadang menari-nari di pelupuk matanya. Ia bertanya bagaimana Lalita bisa melihat hidup-lampaunya, dan bisa yakin tentang itu. Lalu cerita, ataukah dongeng, mengalir dari bibir yang tak kehilangan cat. (Sekarang Yuda memperhatikan: setiap kali Lalita kembali dari kamar kecil, riasannya menjadi segar kembali.) Cerita, ataukah dongeng, membentuk sungai yang beranak-pinak, meliuk-liuk sebelum tiba di muara yang entah. Hingga jam dua pagi.
"Kamu punya pacar, Yuda?" Yuda tersenyum salah tingkah.
"Kamu punya pacar!" nadanya agak marah. "Y-ya."
"Kamu mencintainya?"
"S-saya m-merasa... ya, saya sayang padanya." "Kamu kurang ajar."
Kurang ajar pada siapa" Yuda ingin membantah. Jika ia kurang ajar, tentulah pada Marja yang kemungkinan besar juga sedang mengkhianati dia bersama sahabatnya. Tapi pasti ia tidak kurang ajar pada Lalita. Ia ingin berkata, ia pun bukan satu-satunya lelaki bagi Lalita. Tapi, sesuatu dengan aneh memberitahu bahwa ia tidak bisa menuntut hal yang sama dengan apa yang dituntut Perempuan Indigo ini. Ia memberi jawaban yang santun. "Karena itu saya tidak berani memulai apapun di antara kita, Lalita."
Pendekar Sakti Welas Asih 4 Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala Misteri Kejaran Teror 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama