Lalita Karya Ayu Utami Bagian 4
Setelah menjalani setiap kelahiran dengan mulia, ia men jadi boddhisatwa dan mencapai surga Tusita. Ia diutus untuk kelahiran terakhirnya sebagai Buddha yang mengajar. Dem ik ianlah sekarang Parang Jati kembali kepada relief Lalitavistara ia dikandung oleh Ratu Maya, yang menga sing?" kan diri dari sang raja ke dalam hutan Lumbini. Sang bayi dilahirkan dengan sebuah proses yang mudah dalam pesanggrahan nan permai. Bintang-bintang memberi tanda.
Para brahmana mengunjungi bayi istimewa itu, seperti para majus menengok bayi Kristus. Kelahirannya telah diramalkan sebagai kelahiran seorang raja diraja. Kisah Buddha jauh lebih tua daripada kisah Yesus. Tapi, Ratu Maya wafat tujuh hari setelah persalinan.
Siddharta dibesarkan sebagai pangeran. Ia menjadi anak yang cemerlang dalam segala hal. Dan ia dinikahkan dengan seorang putri cantik bernama Gopa, yang memberinya seo rang bayi. Tapi ia tak mengenal penderitaan. Ayahnya, Sang Raja, membentengi ia dari segala pengetahuan mengenai kesengsaraan manusia. Sampai, setelah ia dewasa, ia melakukan perjalanannya sendiri, dan bertemu dengan empat hal yang mengguncang kesadarannya. Yang pertama adalah orang tua. Yang kedua, orang sakit. Yang ketiga, orang mati. Ia tidak pernah melihat tiga penderitaan itu sebelum ini. Menjadi tua, sakit, dan mati adalah penderitaan manusia yang niscaya. Ia merenungkannya. Lalu ia mengalami perjumpaan yang keempat. Yaitu dengan seorang pertapa nan mulia, yang damai dan tak lekat pada apapun sehingga terbebaskan dari ketakutan dan kesengsaraan penderitaan manusia. Ia melihat benih jawaban. Sumber penderitaan manusia adalah kemelekatan. Ketidakm elekatan membebaskan manusia dari itu. Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istana, ayah, juga istri dan anaknya, dan melakukan perjalanan spiritualnya sendiri. Ia pergi.
Dari kejauhan, ia memandang kota kerajaan itu, Kapilavastu, seraya berkata, "Aku tidak akan berdiri, tidur, atau berjalan ke kota ini sampai aku telah meraih Pencerahan Sempurna, yang mengatasi usia tua dan kematian."
Siddharta mengganti namanya dengan Gautama dan menjadi pertapa. Dalam perjalanan panjang pertapaannya ia menjawab beragam persoalan yang ia hadapi. Ia melewati semua ilusi yang menutupi kesadaran manusia dalam bentuk keterlekatan. Akhirnya ia mencapai Kesadaran Sempurna dan mengajarkannya.
Mereka telah mengitari dinding tingkat satu candi. "Demikianlah," kata Parang Jati. "Kamu suka ceritanya?" Marja menggeleng.
"Ah. Kenapa?" "Aku sedih membayangkan Gopa dan anaknya. Kenapa mereka ditinggalkan?"
Parang Jati teringat, dulu Marja juga tidak suka ceritanya tentang Ratu Calwanarang. Sebab gadis itu membayangkan jadi putri sang ratu yang dikawini oleh seorang pemuda tampan agar si pemuda bisa membunuh ibunya yang dituduh sebagai juru teluh. Si pemuda adalah utusan Raja Airlangga yang mau menumpas Calwanarang. Marja selalu menempatkan diri pada posisi perempuan, yang dikorbankan.
"Tapi kan Gopa dan anaknya tetap hidup nyaman di istana. Siddharta tidak hanya meninggalkan dia, tapi juga ayahnya dan seluruh kemewahan. Ia meninggalkan semuanya bersama-sama," Parang Jati mencoba menghibur. "Lagipula, perkawinan Gopa dan Siddharta juga sejenis paksaan dari orangtua. Siddharta tidak tertarik menikah sesungguhnya. Ia melakukannya untuk orangtua. Dari kacamata ini, ia tidak mengkhianati istrinya."
"Kasihan Gopa..." Marja tidak mau mengubah keberpihakannya.
Parang Jati memandangi gadis itu, yang selalu polos tentang apa yang dipikirkan atau dirasakannya. Itulah salah satu sisi Marja yang ia sangat suka. Ada yang kanak-kanak pada diri Marja: ringan, tidak berpretensi, tidak berpikir rumit segala yang berbalikan dengan Lalita, perempuan yang daya tariknya terbangun dari hal-hal yang berat, canggih, terencana, pretensius. Seberat dan seterencana make-upnya. Ia geram mengingat tengah malam manakala Yuda menyelinap dari kamar mereka dan pergi ke ranjang Lalita. Ah. Ia telah menghajar sahabatnya di gunung Parang karena itu. Tapi peristiwa itu pun meninggalkan suatu perasaan melankoli.
Lalita. Lalita. Ia baru sadar bahwa nama perempuan itu sama dengan nama relief ini. Kebetulan kosmis. Sinkronisitas. Ia teringat salah satu rumusan Carl Gustav Jung, psikiater Swiss awal abad ke-20. Sesuatu yang tidak berhubungan sebab akibat tetapi berhubungan makna. Jung menyebutnya sinkronisitas. Parang Jati percaya kebetulan semacam itu kerap terjadi. Seperti nama Marja Manjali yang sangat mirip dengan Ratna Manjali. Seperti nama Lalita dengan kitab Lalitavistara. Tapi kebetulan macam itu hanya terlihat bagi orang-orang yang memang mencari makna. Mereka yang tidak mencari makna tidak akan mendapatkannya.
Tapi tidak. Tiba-tiba ia merasa. Kesamaan ini bukan sinkronisitas atau koinsidens makna belaka. Sekarang ia mencoba mengingat-ingat apa yang diungkapkan Lalita dalam ceramah dan keterangannya malam itu. Tidakkah perempuan itu bercerita tentang pelbagai mandala dari seluruh dunia, dan Borobudur sebagai salah satu yang utama" Tidakkah Lalita bercerita tentang seseorang kalau tidak salah kakeknya yang terobsesi pada mandala-mandala dan akhirnya datang ke Jawa, setelah berkelana dari Eropa hingga ke Tibet, untuk mendalami mandala Borobudur" Tidakkah semua itu tertulis dalam Buku Indigo" Buku Indigo yang dicari oleh si penculik Yuda...
Angin berdesir, dari kejauhan. Angin memiliki pusat yang misterius, seperti gelombang yang datang dari masa silam. Sangat silam. Kau tahu, gelombang bisa tak hilang. Ia hanya pergi menjauh, barangkali mengitari alam semesta, kepada ratusan tahun cahaya, dan ketika ia kembali, bumi telah dihuni orang-orang baru. Bunyi jejak kaki Anshel tak pernah hilang dari alam semesta ini. Begitu juga getaran langkah-langkah kaki para biksu yang pernah mengitari lantai batu candi ini berabad lampau.
Parang Jati seperti mendengar tapak-tapak kaki, berjalan tertatih-tatih, lalu berhenti. Ia seperti mendengar bunyi dengung. Seperti dawai biola yang digesekkan pada tepi lemp eng logam. Seperti mangkuk biksu yang diputari alu untuk memurnikan kristal. Ia seperti mendengar dengung orang-orang membaca mantra...
Tapi teleponnya berdering. Terasa begitu keras dan menyakitkan. Ia ambil. Nama Pete menyala-nyala. Ia membukanya sambil menjauhkan diri dari Marja.
"Bagaimana, Pete"!" Ia berbisik dengan suara tegang. "Siap! Operasi pertama berhasil, Komandan!" Suara Pete menyahut. Ah. Negosiasi berhasil. Status Yuda clear. Ia saksi, ia tak bisa dijadikan tersangka. Si penculik Pete tidak pakai kata itu, melainkan "si pengebon", orang yang mengebon sudah bersedia melepaskan Yuda.
"Siapa yang menc..," hampir Parang Jati mengucapkan kata culik, tapi ia teringat Marja, yang ia tak ingin agar mengetahui, "Siapa yang mengambil?"
"Itu tidak bisa diceritakan di sini. Tapi, seperti kubilang kem arin, keluarga si korban. Yang penting, operasi serah terimanya besok malam. Kau hadir ya! Di dalam sebuah pesta pembukaan satu restoran mewah di Jakarta, namanya Buddha Bar."
"Buddha Bar?" tanya Parang Jati.
"Buddha Bar?" tanya Marja, yang sudah ada di dekatnya. "Buddha Bar di Jakarta" Akhirnya buka juga" Wuih!"
Parang Jati mencoba menjauhi Marja, dan gadis itu tampak kecewa, seolah-olah ia Gopa yang ditinggalkan Siddharta. Parang Jati mencoba memberi raut yang memohon, sebab ia sedang berurusan dengan masalah besar, dan Marja masih kecewa, seolah-olah ia dikecilkan. Kenapa lelaki suka meninggalkan perempuan dan keluarga untuk ide-ide besar"
Marja melihat bahwa Parang Jati masih akan bicara lebih lama lagi. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri di candi itu. Pada dasarnya ia tidak suka menyimpan marah manakala kecewa. Marja lebih suka mencari hal-hal menarik daripada menggantungkan kebahagiaan pada orang lain.
Parang Jati menerima berita dari Pete sampai tuntas. Setelah itu ia segera mencari Marja. Ia tahu Marja bukan gadis perajuk, tapi ia merasa bersalah bahwa anak itu tidak mengetahui apapun mengenai kekasihnya, meskipun itu bukan salahnya. Ah, berapa lama tadi ia menelepon. Kini Marja tidak kelihatan lagi. Ia mulai memanggil.
Marja belum menyahut. Borobudur tidak memiliki denah yang rumit. Ia tidak memiliki ruang-ruang yang berliku seperti candi Sewu, yang juga merupakan kompleks bangunan agama Buddha. Parang Jati ingin menunjukkan kepada Marja, inilah yang membedakan Borobudur dari candi-candi lain: tidak ada dewa yang dipuja di sini. Tak ada garbagraha. Borobudur menyerupai sebuah kitab besar. Sebuah Perpustakaan. Peziarah berkeliling pada tingkattingkatnya, sambil membaca relief pada dinding-dindingnya, berkeliling sebanyak sepuluh kitab. Jatakamala, Lalitavistara, Jataka, Avadana, Gandavyuha, di mana masih ada figur dewadewa... dan di tempat tertinggi tak ada lagi kitab, tak ada lagi arca, tak ada lagi rupa, tak ada dinding. Tak ada dewa. Tak ada Tuhan. Di tingkat tertinggi adalah stupa kosong. Lambang dari alam tanpa rupa, kesadaran tanpa kelekatan pada apapun. Meski Marja tak suka...
Di mana Marja" Anak itu belum menyahut juga. Pastilah Marja sedang main-main, berniat mengagetkan dia sebagai upah pengabaian. Oke, kata Parang Jati dalam hati. Ia harus membiarkan dirinya dikejuti, bahkan sekalipun ia tak begitu kaget nanti. Begitulah permainan. Ia memanggil Marja lagi, sekadar untuk membuat gadis itu tahu di mana posisinya.
Ia telah mengelilingi lima lantainya, tapi Marja belum kelihatan juga.
"Marja... jangan marah dong." Kini suaranya membujuk. "Sini deh, saya bilangin ada apa tadi."
Ini sesungguhnya kesempatan ia menceritakan semua yang terjadi. Setelah Yuda dipastikan selamat, ia bisa mem?" berit ahu Marja. Dan jika gadis itu tahu kekasihnya bersel ingkuh, dipastikan Parang Jati punya kelebihan moral untuk merebutnya. Tapi Marja tak kelihatan juga.
"Marja, sini deh. Saya tunjukkan padamu relief Maitreya. Katanya tadi kamu pingin tahu." Parang Jati berjalan turun kemb ali ke lantai satu, di mana terletak rangkaian panil Lalitavistara, sambil bersiul-siul. "Maitreya adalah boddhisatwa yang akan lahir ke dunia setelah Siddharta. Kisahnya ada di sini. Ini dia panilnya..."
Ujung matanya menangkap sesuatu berkelebat. Ia yakin itu Marja. Anak itu pasti sembunyi di tikungan. Parang Jati menyediakan diri untuk dikejuti. Ia berjalan ke arah kelokan sambil pura-pura tidak tahu.
"Jadi, Maitreya itu adalah sosok yang akan lahir kembali dan menjadi Buddha, setelah Siddharta Gautama. Siapa dia sebenarnya, dan kapan, itu misterinya..."
Sisi di selatan candi tak pernah terlalu terpanggang matahari. Bebatunya gelap dan berbau lembab. Lorong menjadi dingin. Sedikit lagi Parang Jati tiba di tikungan. Ia memutuskan untuk berhenti, sambil terus bicara, agar Marja mudah mengagetinya.
"Saya kira setiap agama punya konsep tentang datang atau kembalinya semacam Ratu Adil di masa depan. Ada Mesias dan Imam Mahdi dalam tradisi agama Abraham. Ada Maitreya dalam Buddhisme. Hinduisme juga menantikan reinkarnasi Wishnu, setelah Rama dan Krishna, di akhir era Kaliyuga, era kita ini. Begitu, Marja..."
Ah. Marja belum juga menyergap. Parang Jati berhenti di panil terakhir sebelum kelokan. Ia memutuskan untuk bersandar di sana. Mungkin sekarang ia harus diam, dan ganti membuat Marja penasaran. Begitulah permainan. Kau harus pandai mengukur dan mengulur. Ia berdiri merapat tembok dan menipiskan segala bunyi tubuhnya.
Samar-samar ia seperti mendengar bunyi itu lagi. Langkahlangkah kaki kurus yang tertatih. Bunyi mendengung mangkuk biksu. Bunyi-bunyi yang datang dari belakang telinganya. Ia bukan tidak pernah mendengar yang serupa ini, yang datang dari arah tak terlihat mata. Ia merasa berada di antara dua dunia. Di perbatasan dua sesuatu. Sesuatu yang berdengung dengan langkah-langkah di belakangnya. Sesuatu yang bersembunyi di depannya. Sesuatu yang jauh tapi melingkupi. Sesuatu yang mau menerkamnya...
Tiba-tiba sesuatu menggigitnya. Menggigit lengannya. Ras a terkejut itu melebihi yang ia duga. Tetapi ia selalu teringat Marja, sehingga ia tidak menepis atau melawan. Ia menahan rasa. Marja tertawa puas.
"Marja. Tidak baik mainan seperti itu. Kalau saya kaget betulan, kamu bisa kena sikut dan pasti benjut."
"Aku tahu kamu pasti tidak akan menyikut aku." Suara-suara dengung dan langkah kaki lenyap. Tapi Parang Jati kehilangan arah: bagaimana mungkin Marja menyerangnya dari belakang" Ia merasa melihat bayangan berkelebat itu dari depan. Dengan sembunyi-sembunyi ia mengintip ke balik tikungan. Kosong. Ia ingin bertanya pada Marja, tapi ia putuskan tidak. Ia tak ingin Marja merasakan kekhawatirannya.
Sekarang ia tak tahu bagaimana menyampaikan berita ini kepada Marja.
"Jadi, tempat ini bukan tempat pemujaan?" bertanya Marja. "Tidak ada dewa untuk dipuja..."
Betapa sesungguhnya saya memujamu, Marja. "...Dewa-dewa diberi tempat terhormat. Tetapi struktur candi ini memberitahu bahwa pada akhirnya para dewata hanya menghantar kita kepada kesadaran sejati yang tak berbentuk lagi. Kebebasan..."
"Ketidakmelekatan. Ah, aku tetap tidak suka itu, Jati." Betapa ingin ia melekatkan diri pada gadis itu. Barangkali ini saatnya, merebut Marja dari Yuda. Mendedahkan seluruh pengkhianatan sahabatnya...
"Kalau aku mencintai seseorang, aku mau melekat, aku mau mencintainya tanpa jarak," kata Marja. "Aku mau... tidak takut untuk menderita."
"Marja," tiba-tiba Parang Jati berkata. Ia memandangi gadis itu dengan mata malaikat telah jatuh ke bumi. Malaikat yang ingin menjadi manusia. "Kamu mencintai Yuda?" Marja terdiam. Beberapa saat.
"Parang Jati..."
"Ya?" "K-kamu tahu... Kamu tahu itu tidak boleh kamu tan yakan."
Parang Jati meraih wajah Marja. Mereka menahan jarak beberapa saat. Mereka tahu, mereka akan berciuman dengan mata sedih, sebab mata itu terlalu dalam untuk tidak menenggelamkan. Maka mereka memejamkannya. Marja tahu, ia kehilangan segala keliarannya dan menjelma arca penurut, seperti arca-arca lain pada kuil itu. Parang Jati pun tahu, ia akan menyimpan rapat-rapat perselingkuhan Yuda di dalam jantungnya sendiri.
K etika ia menyesal , ia telah terlanjur membacanya. Marja mendapati tangannya bergetar memegang amplop yang telah terbuka itu. Ia ingin menjerit. Semua terjadi begitu cepat rasanya:
Parang Jati menciumnya di candi Borobudur. Ia merasa mendengar sesuatu. Langkah-langkah kaki tertatih. Lagipula candi bukan tempat orang berciuman. Ia melepaskan diri. Memang kita tidak sendirian di sini, kata Parang Jati. Tapi pemuda itu yakin ciumannya murni. Ia tidak memperlakukan Marja dengan jorok. Marja ingin memeluknya, tapi Parang Jati berkata bahwa ia harus menyampaikan sesuatu. Pemuda itu menyampaikan berita aneh. Bahwa kekasihnya, Yuda, diperiksa polisi sebagai saksi kasus perampokan dan pemerkosaan. Keluarga korban mengira ia terlibat, lalu mengambil Yuda dari kantor polisi. Tapi, syukurlah, semuanya beres dan Yuda akan dikembalikan besok malam dalam suatu pembukaan restoran mewah di Jakarta bernama Buddha Bar, yang salah satu pemiliknya adalah keluarga korban.
Marja dan Parang Jati terbang kembali ke Jakarta pagi harinya. Mereka berada di lokasi pada malamnya. Pete dan beberapa anak pemanjat ada bersama. Marja tahu apa itu Buddha Bar. Parang Jati tidak. Itu, kata Marja, restoran mewah bergaya new age, asalnya di Paris. Apa itu new age" tanya Pete. Itu tuh, jawab Marja, spiritualitas Timur. Mereka juga jualan CD musik suasana yang rada-rada meditatif gitu. Parang Jati menyambar: oh, spiritualitas Timur sebagaimana digarap dan dikomodifikasi oleh kapitalisme Barat.
Restoran itu bertempat di ujung jalan Teuku Umar, Menteng. (Tempat yang pernah dikunjungi Yuda tatkala bertemu dengan Janaka ataukah Jataka tatkala hubungannya dengan Lalita baru saja mulai.)
Kini ruang dalam gedung itu bercahaya temaram. Merah kelenteng. Sebuah patung raksasa Buddha yang bermeditasi menjulang di depan. Mereka bagai memasuki perut sebuah kuil pemujaan. Tetapi yang mengisi ruang itu bukanlah para pendoa, melainkan orang-orang berduit. Yang menyala bukanlah api-api kecil permohonan, melainkan lampu-lampu halogen yang bisa disetel. Marja berdecak kagum, tetapi Parang Jati menggelengkan kepala jengkel. Kenapa" tanya Marja. Semua ini tempelan yang tidak tahu diri, Marja. Lihat bagaimana kapitalisme membuat spiritualitas jadi sekadar komoditi dan gaya. O, begitu ya" Marja mulai berpikir-pikir. Ya lanjut Parang jati lihatlah Buddha menjadi sekadar dekorasi. Di balairung itu, yang berjalan ke sana ke mari memang bukanlah para biksu, melainkan pelayan dan manajer yang sok berbahasa Inggris. Mereka bilang ice tea ketika Parang Jati minta teh dingin. Mereka bilang white wine waktu Marja bilang mau anggur putih.
Rombongan itu mendapat sebuah meja di sudut. Dari sana mereka hanya bisa melihat tamu-tamu utama manakala orangorang itu lewat: gubernur, para pejabat dan politisi, bintang film, penyanyi, pengusaha, sosok-sosok terkaya di Jakarta. Glamor suasana membuat Marja lupa pada keheranannya atas alasan mereka berada di sana. Ia tak bertanya lagi kenapa Yuda sampai ditangkap, dibon, dan dikembalikan dalam pesta ini. (Parang Jati sesungguhnya heran. Tetapi barangkali si penculik mau meminta maaf atas kesalahannya dengan mengundang mereka ke pesta elite ini. Jika demikian, terlintas di pikiran Parang Jati, siapa akhirnya yang menemukan Buku Indigo itu.)
Lalu Sandi Yuda muncul begitu saja, saat kekasih dan teman-temannya sedang memperhatikan selebritis. Pemuda itu tampak sehat walafiat seperti biasa. Marja tidak melihat ada yang berbeda dari kekasihnya. Ia seperti bertemu kembali setelah pacarnya pulang dari ekspedisi panjat tebing beberapa hari di tempat terpencil. "Jadi, sebetulnya apa yang terjadi sih?" Yuda menjawab bahwa ia diambil polisi karena berada di tempat kejadian tak berapa lama setelah perampokan dan pemerkosaan terhadap Bu Lalita, yang ia kenal di Galeri Foto. Ia datang ke sana mau mengambil kamera yang dijanjikan Ibu Lalita untuk ia pinjam. Tapi, rupanya, ia datang terlalu dekat dengan peristiwa. Ibu Lalita adalah saudara kandung seorang yang dekat dengan kekuasaan pula, salah satu pemilik saham Buddha Bar Jakarta ini. Polisi pun menangani secara agak berlebihan. Terutama setelah merasa tertipu karena pada awalnya mengira Yuda adalah intel. Ia diambil. Keluarga korb an juga berlebihan. Ia dibon. Untunglah teman-temannya menghubungi big brothers di militer. Ia tidak dianiaya sama sekali. (Parang Jati menyimpan beberapa pertanyaan. Antara lain: di mana Oscar" Apa yang ingin diketahui keluarga Lalita dari Yuda" Ada apa dengan Buku Indigo")
Malam itu berlangsung sukses. Marja dan Yuda bercinta di kesempatan pertama. Kali ini pemuda itu tidak lagi seperti robot. Ia mencoba melupakan axis mundi.
Hidup kembali normal. Beberapa hari kemudian Marja mendapat paket di alamat kosnya. Sebuah amplop kurir besar. Di dalamnya masih ada amplop coklat besar lagi, dan sepucuk amplop surat. Ia buka surat itu. Sepotong kartu:
Yuda yang manis, Sekadar mengingatkan bahwa kita pernah bersama mencapai axis mundi. Kau kan tidak pernah melihat wajahmu sendiri. Kau tahu aku lebih suka melihat gambar diam daripada gambar bergerak. Fotografi mengambil momen yang paling menentukan, dan itu yang membedakan dia dari film yang tak bisa menentukan pilihan. Salam buat pacarmu. Cium dan gigit mesra. Lalita.
Marja bisa saja membakar amplop besar itu sebelum melihat isinya. Tapi tidak. Ia tergoda untuk membuka sampul coklat itu. Dan ia tak bisa menahan perasaannya. Ia menerima godaan itu, yang membawanya kepada sederet gambar tak menyenangkan. Foto-foto hitam putih lelaki yang ia kenal betul. Dadanya. Lekukan dengan rambut ketiak. Otot lengan berkeringat. Perut bersekat dengan ceceran sperma. Batang kelamin yang ia tahu hingga urat-uratnya. Wajah. Wajah Yuda yang menahan.
Tangan Marja gemetar. Lalita. Wanita yang disebut-sebut kekas ihnya sebagai "Bu": Ibu Lalita. Korban perampokan dan pemerkosaan itu. Marja tidak mengerti apa itu axis mundi, tapi ia tahu itu pasti istilah intim tentang sesuatu yang tidak senonoh. Ia merasa dikhianati, ditipu, lebih dari peristiwa yang lalu.
Aneh, intuisi pertamanya adalah untuk menghubungi Parang Jati. Barangkali itu adalah godaan keduanya. Barangkali nalurinya tahu, inilah saatnya menunjukkan kepada Parang Jati, betapa ia telah dikhianati oleh kekasihnya. Dan jika Parang Jati tahu, inilah saatnya: alam memberi mereka alasan moral untuk bercinta. Ingin ia berkata: Jati, kita tidak perlu lagi merasa bersalah pada Yuda...
Itulah godaan kedua bagi Marja, yang hadir bertukar-tukar dengan luka dikhianati. Ia merasa kacau. Yuda mengkhianatinya. Ia marah. Ataukah ia melihat celah" Bagi sesuatu yang lama ia hasratkan" Untuk mendekapkan kaki-kakinya pada Parang Jati. Melekapkan lidahnya pada langit-langit si lelaki hingga kedap. Marja ingin menangis. Tapi ia tak tahu lagi, apakah ia menangis karena marah, atau karena girang. Tapi ia marah. Ia sungguh marah. Ia harus marah. Lalu apa"
Tidak. Ia memutuskan untuk tidak menelepon Parang Jati. Ia memutuskan untuk berangkat langsung ke tempat kos mereka, sebab keduanya berbagi kamar kos. Jika alam memang sungguh memberi ia kesempatan itu, ia akan bertemu Parang Jati sendirian. Jika tidak, ia akan menemui Yuda.
Ia mendapati kedua pemuda ada di rumah indekos, sedang latihan fisik seperti biasa. Yuda sedang memanjat tali. Parang Jati sedang pull-up satu tangan. Marja menyuruh mereka masuk ke kamar.
Marja melempar amplop ke lantai dan berkata dengan suara menahan jeritan, "Jelaskan padaku apa ini!" Matanya menyorot kekasihnya.
Kedua lelaki itu menelan ludah. Parang Jati diam saja. Yuda mengambil amplop itu dan dengan sangat canggung membukanya. Parang Jati melongok, menjadi terkejut (ia tak menyangka melihat gambar sejelas itu), lalu mengalihkan wajahnya ke lantai dengan salah tingkah. Ia telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk menyimpan rahasia itu perselingkuhan Yuda dengan Lalita tetapi citra dari peristiwa itu malah menampakkan diri di depan matanya, dan mata Marja.
"M-maafkan aku, Marja. T-tapi c-ceritanya panjang," kali ini Yuda kehilangan semua suara kegagahannya.
Tangis Marja meledak. Tapi entah kenapa ia tidak mau merobek-robek gambar itu. Barangkali sebagai seniman ia tahu foto-foto itu estetik, sekalipun bertema vulgar. Barangkali juga memang ada yang merangsang dari gambar-gambar itu baginya. Ia mengambil benda lain untuk dibanting. Botol minum alumunium SIGG. Yuda mencoba memeluk gadisnya. Marja mendorongnya. Yuda membiarkan tangis Marja tumpah, sambil sesekali mencari saat untuk memulai penjelasan.
"Bagaimana mungkin kamu berselingkuh sama ibu-ibu!" jerit Marja di antara isak-tangis. "Dia kamu sebut Ibu, tapi kamu tidur sama dia!"
Tentu saja Yuda selama ini menyebut Lalita sebagai "Ibu" di depan Marja untuk menyembunyikan fakta bahwa Perempuan Indigo bukanlah yang kau bayangkan tentang ibuibu. Lalita adalah tante cantik yang berkuasa. Ah, sebelum Yuda melihatnya pucat dan gemetar dalam selimut yang diberikan oleh polisi.
Pelan-pelan Yuda bisa menceritakan kisah panjang itu, yang telah ia ungkapkan pula pada Parang Jati sambil berkelahi di gunung Parang. Ia memang tidur dengan perempuan itu (ia tidak menyebut soal axis mundi), tapi ia tidak meniatkan atau mengusahakannya sejak awal. Ia masuk perangkap, meskipun tak ada satu pun perempuan yang dikhianati bisa paham arti perangkap. Memang murka Marja bangkit kembali ketika mendengar kata perangkap. Yuda harus membiarkan gadis itu mengamuk lagi hingga reda sebelum bisa melanjutkan cerita. Dan Parang Jati duduk tak berkutik; berharap cemas agar ia tidak ikut ditanyai.
Entah berapa jam lewat. Ketiga anak muda itu mulai merasa letih dan lapar. Di antara jeda kemarahan dan penjelasan, Parang Jati menawarkan diri untuk membeli makanan.
"Tidak! Aku tidak mau makan!" tukas Marja.
Parang Jati bersuara lembut bagai pada anak kecil. "Sampai kapan tidak mau makannya" Nanti masuk angin." "Tidak mau!"
"Begini saja. Kamu ikut saya beli makanan yuk, Marja?" Itu artinya kita bisa berdua. "Tapi pakai kacamata hitam. Kalau tidak, semua orang lihat mata kamu bengkak dan nanti dikira nama kamu Sarinande."
Marja luluh. Sebab, betapa ingin ia mengadu pada Parang Jati berdua saja. Ia tersenyum, seperti anak kucing yang lama tak dijilati induknya.
Dalam saat-saat berdua itu Parang Jati berkata padanya, "Bagaimanapun, Yuda sudah selamat, Marja. Dia bisa saja tidak selamat."
"Tapi, tidakkah dia jahat?"
"Tidak, Marja. Yuda tidak jahat. Dia barangkali... lemah." Parang Jati terdiam, melihat kepada dirinya. Apakah, dengan demikian, ia sendiri kuat" Ia mengatasi godaan dengan tidak merebut Marja. Hanya ia sendiri yang tahu, ia punya trauma. Mungkin Yuda tidak pernah punya luka terhadap seksualitas. Yuda tak punya ketakutan apapun dalam perkara itu, maka anak itu polos dengan dorongan-dorongannya. Barangkali ia sendiri, Parang Jati, yang lemah, karena luka lamanya. Entahlah. Dulu, dalam peristiwa pencurian di candi, Parang Jati yang sulit memaafkan. Kini, tentu saja, Marja yang sulit memaafkan Yuda.
Dan, aneh sekali, seperti cerita terdahulu * , tepat pada akhir bab ketujuh dari belakang, dialog itu terjadi lagi. Nyaris persis; hanya dengan sedikit pengurangan dan penambahan: "Kamu bisa memaafkan Yuda?"
* Manjali dan Cakrabirawa
Marja agak ragu, menggigiti bibirnya, lalu menjawab dengan sangat berat, "Mungkin dia tidak tahu apa yang dia lakukan."
"Mungkin dia tidak tahu apa yang sesungguhnya ia lakukan," Parang Jati diam sebentar. "Tapi dia tahu apa yang dia lakukan. Dan mungkin kita tidak punya kemampuan untuk mengampuni. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai dengan sisi lain manusia yang tak kita mengerti. Setidaknya, itu membuat kita tidak mengutuk dia atau membalas dia."
Pemuda itu memandangi gadis yang sesungguhnya sangat ia inginkan.
"Setiap kita punya sisi gelap, Marja. Setiap kita punya bayang-bayang."
T eleponnya berdering . N omer asing. Ia terima. Suara seorang pria.
Itu adalah hari ketiga sejak ia mengetahui perselingkuhan Yuda dengan wanita itu. (Si Perempuan Indigo, yang menulis bahwa ia adalah keturunan drakula. Tapi Marja tidak tahu. Belum tahu.)
Suara lelaki di dalam telepon itu minta bertemu. Logatnya bukan Indonesia. Marja hendak bertanya tentang apa. Tiba-tiba sesuatu menjerikan dia. Amplop berisi surat dan foto telanjang Yuda yang dulu dikirimkan kepadanya adalah intimidasi yang sengaja. Ia takut begitu pula telepon ini. Ia putus sambungan.
Telepon berdering lagi. Ia pijit tombol tolak. Tapi nomer itu ia simpan dengan kode: TERORIS.
Ia bukan malaikat. Ia manusia, yang panas karena dikhianati. Tapi, aneh, ia juga ular, yang dingin dan selalu cerdik mel ihat celah. Panas dan dingin yang ada bersamaan itu membuat dirinya terasa ganjil bagi diri sendiri. Terasa retak. Harg a dirinya terluka oleh perselingkuhan kekasih. Tetapi akal cerdiknya memberi tahu bahwa, hei, itu adalah jalan bagus bagi hasrat kepada sahabat.
Ia ingin menjadi Marja yang murni. Bukan Marja yang bulus. Tapi yang murni tulus itu mudah dilukai. Sebab manusia itu telanjang. Dan peredaran darahnya terbuka. Sedang yang ular bulus itu selalu bisa berkelit. Sebab ular itu cerdik. Serta peredaran darahnya tertutup.
Parang Jati berkata padanya waktu itu, ketika ia masih ngambek: "Marja, katamu sendiri, jika kamu mencintai ses eorang, kamu mau melekat, mau mencintainya tanpa jarak. Kamu mau tidak takut untuk menderita."
Sekarang ujian datang atas kata-katanya. Sekarang ia menderita. Tapi, apakah ia memang mencintai Yuda"
Aku sayang pada Yuda, kata Marja dalam hati. Aku terlanjur sayang padanya.
Ular dalam dirinya berkata: seorang ibu bisa menyayangi banyak anak secara setara. Hanya perempuan yang punya kapasitas untuk membagi cinta kepada banyak pihak.
Marja menutup telinganya. Tapi ia tidak tahu siapa yang tidak ingin mendengarkan apa. Ia memutar-ulang percakapannya dengan Parang Jati. Barangkali kali karena anak itu mewakili moral yang tinggi. Tapi mungkin juga karena dialog dengannya memberi kenikmatan untuk dikenang.
Barangkali manusia tidak punya kapasitas untuk mengampuni. Yang bisa dilakukan hanyalah berdamai...
Parang Jati tidak pernah sok suci. Marja tahu itu. Ah. Jika kamu tidak bisa mengampuni, sebab kamu tidak punya kuasa... Ah. Jika kamu tidak bisa memaafkan, sebab dengan memaafkan kamu jadi orang paling tolol sedunia... Maka, pertanyaannya: bagaimana berdamai secara tulus dan cerdik"
Ada yang istimewa pada Marja dibanding kekasihnya. Mer eka sendiri tidak tahu itu. Yuda suka menyangkal hal-hal yang tidak ia senangi tentang diri sendiri. Marja tidak. Yuda menganggap kecemburuan adalah hal yang memalukan, sebab menunjukkan kelemahan perasaanmu; dan ia tidak suka mengakui bahwa ia cemburu. Yuda tidak suka mengakui bahwa ia merasa tersingkir oleh kota, maka ia memilih "mode autis" tanpa ia sadari. "Momen autis" adalah pilihan bawah sadar yang akan ia ambil untuk menyangkal hal-hal yang membuat citra dan perasaannya buruk.
Marja tidak. Marja tidak takut mengakui dosanya. Marja tidak takut menghadapi citra dan perasaan tak menyenangkan. Marja tidak takut bercermin dalam telanjang. Dalam hal jiwa, sesungguhnya ia jauh lebih berani dibanding banyak orang. Juga dibanding kebanyakan karakter dan pembaca buku ini.
Ia mengakui bahwa ia marah dan cemburu. Tapi ular di dalam dirinya juga harus diajak kerjasama, jika bukan dikecoh...
Marja memutuskan untuk mencaritahu tentang siapa Bu Lalita, yang tak pernah dilihatnya. Bagaimana mungkin kekasihnya bisa berselingkuh dengan "ibu-ibu", yang seperempat abad lebih tua dari dirinya" Pertanyaan demikian selalu muncul pada yang dikhianati: apa yang kurang dari dirinya" Ia muda dan selalu lembab. Atau justru kemudaannya menjadi kek urangan" Tapi perempuan itu kan sudah empatpuluh sekian tahun" Ia sendiri belum genap duapuluh.
Ia berhasil memaksa Yuda dan Parang Jati memberi informasi dasar. Bu Lalita Vistara adalah pemilik Lalita's Artspace, bisnis galeri yang memiliki ruang pamer di Jakarta, Bali, Singapura, dan Hongkong. Dari situ Marja punya pintu masuk. Ia adalah mahasiswi seni rupa ITB. Ia punya banyak kenalan seniman dan kurator. Dengan segera datanya mengenai Bu Lalita bertambah. Tak semua memberi kepuasan. Sebagian malah menambah rasa sakit.
Ia melihat foto perempuan itu. Lalita Vistara. Dalam rubrik sosialita majalah-majalah mewah. Lalita adalah figur yang ada dalam pesta-pesta elite. Dan perempuan itu gemerlap. Ia bukan "ibu-ibu" seperti dibayangkan Marja. Tubuhnya ramping, meskipun pantatnya tepos, tak lagi padat (kentara pada foto di mana ia pakai celana hipster ketat). Tampaknya ia memakai beha bersumpal (kepadatan dadanya tak sebanding dengan kontur daging di bagian lain). Ia memang memiliki tulang tengkorak yang bagus, tapi make-up-nya terlalu penuh. Kulitn ya kuning langsat, meskipun daging punggungnya mulai lembek dan jatuh (tampak manakala ia memakai gaun bekles). Marja selalu punya mata untuk menambahkan "meskipun" dan "tetapi" dalam menerima kecantikan saingannya yang cukup menyakitkan hati. Dengan rasa luka ia berkata pada diri sendiri bahwa agak wajarlah jika Yuda terjerat oleh Lalita. Ia boleh menghibur diri dengan berkata bahwa saingannya adalah perempuan punya kelas. Bukan perempuan sembarangan. Itu membuat harga dirinya tidak jatuh.
Ia tahu dari Yuda bahwa Lalita tak terdengar lagi setelah insiden perampokan dan pemerkosaan itu. Ah, ia tak bisa tak miris membayangkan peristiwa itu. Ia tak bisa tidak berempati pada korban. Itu mengurangi kebenciannya pada sang saingan sambil terus membuat penelusuran lebih lanjut.
Lalita's Artspace tentu punya program terancang sampai tahun-tahun ke depan. Semua galeri punya rencana yang melibatkan banyak seniman. Marja tinggal mencari tahu siapa saja seniman, juga kurator, yang sedang bekerjasama dengannya. Apakah galeri itu masih aktif. Dari sana ia akan menggali informasi lagi.
Dalam semua perjalanan itu, Marja merasa bahwa Yuda terkadang sendu mengingat bahwa Lalita lenyap begitu saja setelah peristiwa menyedihkan. Mengetahui bahwa seseorang yang kita kenal tiba-tiba hilang, siapapun dia, selalu menciptakan duka yang termaklumi. Marja menemukan motif baru untuk menjadi yang pertama mengetahui di mana Lalita. Motif yang semakin memicu penelusurannya.
Pada suatu titik ia tahu bahwa Lalita's Artspace masih buka. Namun, untuk sementara waktu yang tak diketahui batasnya pengelolaan bisnis itu diambil-alih oleh keluarga Lalita. Kemudian ia tahu, satu-satunya keluarga adalah Janaka Nataprawira, pemilik sebagian saham Buddha Bar. Sedangkan perempuan yang malang itu memang belum diketahui keberadaannya, bahkan oleh para pegawai galeri. Marja tahu apa yang ia mau lakukan. Ia melamar untuk suatu pekerjaan, asisten paruh waktu, dalam satu proyek pameran. Tapi ia harus sedikit menyamar. Sebab ada pihak yang pernah mengirim teror kepadanya. Itulah yang menyuruh penjambret untuk merampas handponnya dulu. Itulah yang mengurirkan foto telanjang Yuda. Mungkin itu juga suara asing yang mencoba meneleponnya. Orang itu tidak mungkin tidak berhubungan dengan Lalita. Jika bukan justru Lalita sendiri. Marja mengganti namanya menjadi Maria Ratna Manggali untuk melamar pekerjaan itu.
Dari beberapa proyek yang ada, ia memilih satu, yang dianggapnya akan mendekatkan dia pada Lalita. Sebuah proyek pameran fotografi, yang membuatnya bekerja di bawah seorang kurator yang namanya tak perlu disebutkan di sini lantaran perannya terlalu kecil. Pameran itu menanggapi peralihan era fotografi kepada digital, yang telah dirancang lama bersama Lalita sendiri. Marja belajar teknik kamar gelap. Ia senang karena ia menyusul pengetahuan Yuda. Ia juga belajar beberapa teori tentang warna, yang mengingatkan ia kembali pada keajaibankeajaiban alam. Betapa aneh, warna-warna dalam film negatif adalah warna-warna yang muncul di pelupuk matamu ketika kau memejam secara seketika. Tapi, anak-anak abad digital akan segera kehilangan pengetahuan itu. Mereka akan tak lagi punya pengalaman dengan film dan negatif.
"Anak-anak abad digital akan kehilangan pemahaman mengenai bayang-bayang," kata sang kurator.
Entah kenapa, mungkin karena cara mengatakannya, kalimat itu menempel di pelupuk mata Marja: Anak-anak abad digital akan kehilangan pemahaman mengenai bayangbayang. Kalimat itu menjelma di kelopak matanya yang terpejam dalam warna kebalikan. Warna negatif. Terkadang munc ul begitu saja.
Akhirnya ia berhasil masuk ke kantor Lalita's Artspace. Sebagai asisten kurator ia diperbolehkan menempati satu meja di sana. Ia hanya diwajibkan datang dua hari sepekan dalam bulan-bulan persiapan pameran. Tapi ia senang datang lebih sering jika memungkinkan. Ia dikenal sebagai Maria. Ia selalu berhati-hati. Tak seorang pun tampaknya mengaitkan ia dengan satu pemuda yang pernah tidur dengan pemilik galeri ini. Ia mulai mendengar, Lalita selalu punya hubungan dengan lelaki. Sebagian besarnya muda. Yuda, tampaknya, hanya salah satu di antaranya. Pun mungkin bukan satu-satunya dalam suatu kurun waktu. Pengetahuan itu meluruhkan lagi selapis sakit hati Marja.
Perlahan Marja mengakui bahwa sesungguhnya ia dan Yuda sama-sama telah berselingkuh. Mereka sama telah berkhianat di dalam hati jika itu suatu pengkhianatan. Hanya saja Yuda menjelmakannya dalam perbuatan. Dan itu bukan suatu kelebihan. Sedikit demi sedikit Marja memaafkan kekasihnya.
Bersamaan dengan itu, Marja mulai melihat sosok Lalita secara berbeda. Barangkali betul, seperti yang ia dengar dari beberapa orang, bahwa perempuan ini punya kompleks primadona yang sangat menjengkelkan. Tapi pasti ia bersikap baik pada karyawannya, sehingga orang-orang di sana setia padanya dan sangat kehilangan. Mungkinkah ia yang mengirim semua teror kepadanya"
"Masa tidak ada yang tahu di mana dia?" tanya Marja kepada sekretaris galeri tatkala mereka telah cukup dekat. Si sekretaris menggelengkan kepala.
Jadi. Lalita memang hilang.
Tapi Marja terus mengumpulkan apapun cerita yang bisa ia kumpulkan. Misteri ini kini membuatnya penasaran. Pada suatu titik, ia merasa semakin dekat dengan satu pintu rahasia.
Teleponnya berdering. Bukan nomer asing. Melainkan nomer yang telah disimpannya sebagai nomer TERORIS. Itu adalah titik ketika rasa penasaran Marja memuncak. Ia menerima telepon itu.
Suara seorang lelaki. Logatnya asing. Orang itu minta bertemu. Kali ini Marja setuju.
P ada perempuan ada sebuah liang, yang hanya bisa dicapai jika si perempuan sungguh membuka diri, dan si lelaki cukup lentur untuk mengalaminya. Wahai, kaum pria tidak bisa mencapainya dengan mengandalkan otot-otot maskulin yang kasar dan kaku. Mereka harus rela untuk menjadi lebih penari daripada prajurit. Dan kaum wanita tidak bisa mendapatkannya hanya dengan rebah laksana tanah. Mereka harus lebih binatang daripada kembang. Liang ini tidak bisa dicapai dalam pemerkosaan. Perempuan Indigo menamainya axis mundi kecil. Yuda bukan tidak merindukan axis mundi kecil itu, yang disebutnya secara sopan sebagai dialog seksual yang utuh, dan secara kurang sopan sebagai sensasi tutup sampanye. Suatu rasa melekat kedap, disumbatkan dan dilepaskan bergantian. Ia belum pernah mengalaminya sebelum itu. Dan, ia seperti tak percaya, ia juga belum bisa mengalaminya dengan Marja.
Tak ada yang kurang pada Marja. Tetapi mengapa ada yang lebih pada Lalita" Ia tidak bisa menerangkan keadaan itu. Cinta dan hasratnya pada Marja tak mengecil sama sekali. Tapi mengapa ada yang lebih pada Lalita" Barangkali ada memang yang tak bisa diperbandingkan.
Ia tahu ia tidak boleh menginginkannya lagi. Hubungan gelapnya telah terbongkar. Lebih dari itu, Perempuan Indigo telah lenyap. Itu membuatnya sedih. Keinginan bertaruhnya redup. Bukan. Bukan karena ia tak boleh lagi mengalami rasa poros dunia, melainkan karena seseorang yang pernah begitu intim dengannya pernah memberinya suatu pengetahuan yang tak pernah diberikan siapapun kini tak tentu nasib. Lalita memang rewel dan penuntut. Tapi kerewelan tak akan cukup untuk menghilangkan rasa sedih dan khawatir.
Ia ingin Lalita dalam keadaan baik. Hidup seperti sebelumnya, dengan pacar yang berganti-ganti. Terkadang mem?" bik in kehebohan, membuat segerombol grupies yang sirik melempar gelas. Ia tak keberatan jadi satu titik di antara petualangan perempuan itu. Bahkan untuk dilupakan. Tapi ia ingin Lalita baik-baik saja. Jika ia bisa berdoa ia ingin berdoa. Tapi ia tidak bisa. Ketidaktahuan akan nasib wanita itu setelah peramp okan dan pemerkosaan terkadang menyiksa batinn ya. Wajah terakhir perempuan itu menganiaya dia. Wajah yang malu, cemas, dan sedih. Sebab kau kini telah tahu bibirnya yang kering dan letih, pipinya yang kusam dan bernoda. Rambutnya yang berserakan. Sepasang mata yang terpasang terbalik.
Ia tahu lelaki itu bukan orang yang baik. Janaka Nataprawira. Abang ataukah saudara kembar Lalita. Salah satu ketua ormas Pemuda Pembangunan Pancasila. Semua orang tahu bahwa ini adalah organisasi preman. Mereka hidup dari bisnis keamanan, sebab mereka pula yang membikin ancaman. Janaka Nataprawira punya lobi untuk mengebon dia dari tahanan polisi, serta kekuatan untuk menjemput Oscar dari tempat tinggalnya. Sore itu Yuda dibawa dalam mobil dengan mata tertutup. Pastilah Oscar juga dibegitukan. Kain hitam itu dibuka setelah ia di dalam sebuah rumah besar yang tak bisa ia ketahui alamatnya. Ia dan Oscar sempat berpapasan sebelum ia ditempatkan di sebuah ruang yang krei jendelanya tak bisa dibuka.
Di ruang itu ada sebuah telepon. Telepon itu berdering. Ia tak punya pilihan selain mengangkatnya. Ia mengenali suara itu. Suara dengan logat janggal. Tak sepenuhnya Indonesia, tak sepenuhnya asing. Suara yang bernada sangat sopan, tetapi penuh kekuasaan. Suara yang pernah bercakap-cakap dengan dia di sebuah bangunan tua yang baru selesai direnovasi.
Suara itu mengatakan bahwa ia telah memperingatkan Yuda untuk tidak berhubungan dengan Lalita. Tapi mengapa itu tetap dilakukan. Suara itu bernada sedih tapi tak kekurangan ancaman.
Suara itu lalu berkata bahwa ia menginginkan Buku Indigo yang hilang agar kembali. Yuda menjawab ia tidak tahu apaapa. Sebab memang ia tidak tahu apa-apa.
"Ah, begitu ya" Buku bersampul ungu di atas meja kerja itu... kamu tak tahu apa-apa" Kalau begitu kami minta tolong sahabat Anda untuk mencarikannya."
Yuda berteriak bahwa ia tak punya sahabat yang tahu apaapa tentang ini.
"Ah, begitu ya" Tapi kamu dan sahabatmu menginap bersama malam itu."
Telepon dimatikan. Yuda terkenang betapa gentar ia akan keselamatan Parang Jati dan Marja. Betapa menyesal ia telah berhubungan dengan Lalita. Betapa ingin ia mengulang peristiwa dari awal agar boleh tidak melakukan kesalahan demi kesalahan kecil yang menjerat dia pada masalah berbahaya.
Ia tak bisa lagi menceritakan apa yang ia rasakan pada jam-jam itu. Tapi ia tahu sebuah operasi penyelamatan sudah dilakukan oleh Parang Jati dan teman-teman gerombolan pemanjatnya tatkala ia, juga Oscar, dipindahkan ke sebuah ruang duduk yang nyaman di lantai dua. Ada kamar mandi yang bagus. Ada jendela besar-besar di sana, yang bisa dibuka. Hanya saja mereka selalu dijaga oleh tiga atau empat lelaki bertubuh besar. Kehadiran tukang pukul itu membuat Yuda dan Oscar hanya bercakap-cakap perkara yang sangat umum dan permukaan. Dua hari kemudian, mereka dibebaskan. Oscar diturunkan dekat Pasar Baru. Ia dilepaskan dalam pesta mewah pembukaan Buddha Bar.
Ia tetap tidak tahu ada apa sesungguhnya mengenai Buku Indigo. Tapi, pengetahuan bahwa Janaka Nataprawira adalah orang yang bisa melakukan kekejaman sungguh membuat ia tak nyaman dengan nasib Lalita. Ia punya kesan terlalu kuat, sepasang saudara-saudari itu tidak berhubungan baik. Janaka memberi cerita yang mementahkan bahkan mencemooh silsilah versi Lalita. Lalita bercerita tentang kembaran, bernama Jataka, yang ingin berkuasa. Ia tak tahu mana yang benar. Tetapi ia tahu bahwa keduanya bersitegang.
Kini, ke mana Lalita" Siapa yang menangani ia setelah traum a perampokan dan pemerkosaan" Lalita membutuhkan tangan dan bahu yang penyayang untuk menyembuhkan lukalukanya. Bayangan bahwa Janaka-lah yang mengamankan Lalita sungguh tidak menyenangkan. Yuda menggigit bibir. Pemerkosaan yang paling kejam bagi Lalita barangkali dilakukan sambil menelanjangi perempuan itu dari segala riasan. Yuda tahu, hal yang paling ditakutkan Lalita adalah terlihat tanpa make-up. Ia sedih sekali membayangkan peristiwa itu. Ia semakin sedih membayangkan apa yang terjadi setelahnya.
Tapi, tiba-tiba terpikir olehnya: siapa yang paling tahu ketakutan terdalam Lalita" Yaitu dilihat tanpa riasan" Siapa yang bisa menyuruh orang melakukan pemerkosaan yang begitu terencana" Menelanjangi korban bukan hanya dari pakaiann ya, tetapi dari make-up wajahnya" Siapa selain...
Yuda teringat percakapan ia dan Janaka di bangunan tua yang ternyata menjadi gedung Buddha Bar. Lelaki itu memberi komentar cukup panjang dan rinci tentang dandanan saudara kandungnya. Seorang perempuan yang memakai make-up setebal itu, terus-menerus sepanjang hari, apa artinya" Yuda ingat betul jawaban dari pertanyaan retorik itu: Dia menyangkal dirinya sendiri!
Yuda menelan ludah dan menutup mukanya sendiri. Barangkali betul Lalita menyangkal diri sendiri. Tapi itu bukan kejahatan. Itu lebih merupakan kerentanan. Yang sangat jelas di sini adalah Janaka tahu betul titik lemah saudarinya.
Kau tak akan pernah melihat wajahnya tanpa riasan. Selama ia masih hidup. Jika kau melihat itu, maka berarti ia mati. Ia sedang mati pada momen-momen itu.
Tak disadarinya, ia telah duduk meringkuk dengan tangan menangkup muka.
Sebuah tangan membelai rambutnya. Marja.
"K-kamu sangat gelisah, Yuda?" Yuda mengangguk lemah.
"Maafkan aku, Marja. Tapi aku kadang memikirkannya." Yuda heran bahwa kali ini ia berani mengakui perasaan itu. "Bukannya aku mencintainya. T-tapi, kupikir yang memperkosa dia adalah abangnya sendiri. Atau orang suruhan abangnya." Marja memeluk Yuda erat-erat.
S i pemuda telah menyelamatkan si perempuan. Sebagai balasannya, si perempuan menjebaknya. Akhirnya Marja mener ima penjelasan itu. Meski pada awalnya ia tidak suka, dan menganggapnya pemindahan kesalahan dari pihak lelaki kep ada perempuan. Tapi hal-hal demikian kadang terjadi. Barangkali karena itulah hubungan gelap Yuda dan Lalita bukan sebuah klise yang bisa dicetak-ulang. (Demikian pula perasaan antara Marja dan Parang Jati bukan pola yang bisa diterapkan pada materi lain.) Ada memang yang unik, yang sulit kita mengerti.
Demi segala perasaan yang bercampur itu Marja menerima permohonan bertemu dari nomer yang ia catat sebagai TERORIS. Orang berlogat asing itu berkata bahwa ia mau menyampaikan sesuatu yang penting dan membutuhkan tempat sedikit privat. Tapi Marja hanya mau bertemu di tempat ramai. Di mal; gedung yang memisahkan diri dari udara sejati dalam lindungan dinding kaca. Hanya dengan begitu ia merasa aman. Setelah itu baru ia bisa menilai.
Marja memilih restoran Jepang di Plaza Indonesia pada jam sepi. Ia tak tahu bahwa di tempat itu dulu Yuda pertama kali bertemu Lalita. Lalita pernah melangkah dalam lorongnya dengan kaki jingkat kucing berlonceng dan menampakkan wujudnya di mata kekasihnya. Barangkali gema langkah kakinya kembali hari ini. Gema selalu bisa kembali.
Marja tak bisa mengenali siapapun. Ia meminta satu meja dan mengecek ponselnya. Seseorang menghampiri. Seorang lelaki yang semula duduk di meja lain.
"Marja" Perkenalkan," ujar lelaki itu, "Nama saya Jisheng." Seorang pemuda belor dengan rambut kaku dan gigi berantakan, berbicara dengan logat Singapura atau Hongkong atau sejenisnya. Ia tampak rentan. Marja tidak melihat ada bahaya. Dipersilakannya lelaki itu duduk di hadapannya.
Si lelaki asing bertanya apakah mereka bisa bercakap dalam bahasa Inggris. Marja mengangguk. Lelaki itu memulai penjelasan panjangnya:
Sesungguhnya bukan Marja yang ia ingin temui. Begitu sejujurnya. Ia ingin sekali berbicara dengan ibunda Yuda. Tapi perempuan sederhana itu tidak bisa bahasa Inggris. Maka ia menemui Marja.
Kenapa" tanya Marja.
Karena saya percaya pada perempuan jawab pemuda itu. Ibunda Yuda adalah wanita bersahaja yang sangat baik. Ia menerima saya tanpa bertanya. Tanpa curiga. Ia memperlakukan saya seperti anak sendiri. Ketika saya membutuhkan tempat menumpang, ke rumahnya saya muncul begitu saja, dan ia menyambut saya juga begitu saja.
Kamu tidak tahu siapa saya. Saya juga tidak terlalu tahu siapa kamu. Tapi saya percaya, Yuda mencintai ibunya. Karena itu, pasti ia jatuh cinta pada gadis yang berhati baik juga. Jadi, kamu pasti orang baik.
Marja, sayalah yang mengambil Buku Indigo itu. Kamu tentu tahu tentang Buku Indigo, bukan"
Marja tahu. Bukan pertama-tama dari Yuda ataupun Parang Jati. Dari penelusurannya sendiri. Ia tahu, Yuda dan Parang Jati suka merahasiakan sesuatu darinya. Barangkali untuk melindungi dia, sebab dia adalah anak perempuan yang suka manja kepada kedua lelaki itu. Barangkali juga sematamata karena mereka lelaki dan ia perempuan. Masing-masing kaum senang memiliki rahasia sendiri. Marja memang suka bermanja-manja. Bukan berarti ia bergantung serta gampang menyerah.
Ia tahu Janaka Nataprawira mengincar Buku Indigo yang hilang itu. Kini, pemuda belor di hadapannya mengaku sebagai pencurinya. Siapa gerangan si kacamata lodong ini"
Pemuda itu mengaku bahwa ia datang dari suatu desa terbelakang di pelosok Republik Rakyat China. Dusun tempat orang tak mengenal dokter gigi. Orang Indonesia tak akan bisa membayangkan kemiskinan di sana. Orang melarat di Nusantara tidak akan mati karena musim dingin. Tidak demikian jika kau tahu musim salju. Apalagi musim es di Utara. Ia ingin lepas dari penjara kemiskinan desanya, pergi, pergi sejauh mungkin dari sana. Ia mulai bekerja sebagai asisten tukang foto keliling; mengerjakan hal-hal paling membosankan: mengocok cairan kimia dan lain-lain. Masa itu belum era digital. Ia lalu bekerja di satu studio di Beijing sambil sekolah. Dan akhirnya ia sampai ke Singapura.
Singapura menakjubkan dia. Negeri kecil ini makmur. Ada sedikit kebebasan di sana dibanding di RRC. Ia mulai berpikir untuk menjadi warga Singapura. Untuk itu ia harus punya nilai lebih. Ia seorang penyintas. Ia hanya bisa bertahan jika pandai membaca tanda zaman. Ia biasa mendengarkan pidato Perdana Menteri Goh Chok Tong dan para pejabat Singapura. Tahulah ia bahwa Singapura sedang punya arah baru, yaitu untuk menggenjot industri kreatif. Singapura akan menggelontorkan banyak uang untuk itu, dan membuka diri kepada orang asing yang bisa menyumbang dalam ekonomi kreatif ini. Ia tahu fotografi. Tapi ia tidak punya uang untuk terus-menerus membeli kamera yang semakin mahal dan cepat berganti di era digital. Ia tak punya andalan untuk pinjam uang di bank. Tapi ia punya modal keuletan dan kenekadan untuk berkeliling Asia Tenggara dengan dana minim. Ia memutuskan: ia akan jadi kurator fotografi, pekerjaan yang ketika itu masih jarang di kawasan ini. Ia akan jadi kurator pertama yang memetakan perkembangan fotografi kontemporer di Asia Tenggara secara paling lengkap. Maka berkelilinglah ia dari satu ke lain negara dengan bujet irit. Sejak dahulu ia selalu berkeliling. Di setiap kota ia selalu mencari tumpangan, sebagaimana ia menemukan tumpangan di rumah Yuda.
Tapi, diam-diam... Di bagian ini Jisheng menatap Marja dalam-dalam. Seperti mata yang meminta maaf.
Diam-diam ia juga bekerja sebagai informan untuk pemer intah RRC. Ah, jangan sebut agen rahasia. Sebab, tugastugasnya remeh saja. Ia kerjakan sekadar untuk menambah uang saku. Misalnya, mengecek perkembangan komunitas Falun Gong di kota-kota yang ia kunjungi. Juga pergerakan para pendukung Dalai Lama. (Mengenai dua hal ini, apa boleh buat, ia telah menggunakan informasi dari Yuda. Yuda mengiyakan bahwa ada sekelompok kecil "kakek-kakek Cina senam pagi", yang memakai nama Falun Dafa, di Gelanggang Olah Raga Senayan. Yuda juga yang memperkenalkan ia pada kelompok pendukung Dalai Lama di Jakarta. Yuda tahu mereka saat kelompok itu membeli beberapa perlengkapan pendakian unt uk perjalanan ke Himalaya, setelah mengunjungi Dharamshala.)
Suatu hari, atasannya menyebut-nyebut tentang sesuatu. Surat-menyurat dari tahun 1920-an yang baru dibaca kembali oleh para akedemisi di sana. Dokumen itu ditemukan tentara RRC dalam arsip sebuah biara di Nepal ketika rezim komunis itu merebut pemerintahan dari tangan pemimpin spiritual Dalai Lama. Itu adalah korespondensi antara seorang Rusia ahli studi oriental bernama Sergey Fyodorovich Oldenburg, dengan biksu Mongolia bernama Agvan Dorzhiev, serta seorang ahli fisika yang malih jadi psikoanalis lalu spiritualis bernama Anshel Eibensch"tz. Mereka membicarakan pula tentang candi Borobudur.
Sergey Fyodorovich Oldenburg adalah ahli yang mengungkapkan bahwa relief bawah di tembok lorong tingkat satu Borob udur adalah kitab Jatakamala. (Di tingkat yang sama juga terletak relief Lalitavistara.) Agvan Dorzhiev adalah biksu Buddhisme aliran Tibet. Ia warga Rusia dari etnis Mongol ia. Sedang Anshel Eibensch"tz adalah warga Austria yang menghabiskan separuh akhir hidupnya di Indonesia. Ia tercatat memiliki dua cucu di Indonesia. Salah satu di antaranya menyimpan catatan-catatan lengkap Anshel Eibensch"tz. Itulah yang disebut Buku Indigo.
Buku Indigo mengandung banyak hal. Pelbagai diagram konsentris dari zaman kuna yang asli maupun yang disalin oleh Anshel Eibensch"tz. Bagan dan lukisan yang digambarnya sendiri. Tulisan tangannya yang rapi. Juga catatan eksperimeneksperimen untuk menemukan pola alam semesta. Dalam surat terakhirnya kepada biksu Agvan Dorzhiev, Anshel mengaku bahwa ia telah menemukan gelombang yang menciptakan mandala Borobudur. Dengan demikian Borobudur adalah citra kosmos yang otentik. Anshel Eibensch"tz menawarkan ilmu tentang gelombang yang disebutnya: kymalogi.
Pendek cerita: pemerintah RRC tertarik untuk mendapatkan Buku Indigo.
Salah satu cucu Anshel Eibensch"tz adalah Lalita Vistara. Sudah cukup lama Jisheng mengincar Lalita. Tapi ia baru bisa kenalan dengan perempuan itu bersamaan dengan pertemuannya dengan Yuda. Lalita memang tidak tertarik padanya. Ia tak punya tampang untuk ditawarkan. Tapi, melalui Yuda yang mudah dipancing sehingga terkoreklah informasi ia tahu alamat dan denah rumah Lalita. Ia berhasil mengambil Buku Indigo.
Tapi ia tidak menyangka bahwa saudara lelaki Lalita juga menginginkan buku itu pada saat yang sama. Kenapa orang itu menginginkannya, ia sama sekali tidak tahu. Ia justru tahu bahwa Janaka Nataprawira mengerahkan kaki-tangannya untuk mencari buku yang ia curi setelah Parang Jati meneleponnya. Malam itu Parang Jati menemuinya dan menyatakan bahwa Yuda hilang lantaran dituduh mencuri Buku Indigo.
Di titik itulah ia merasa bersalah. Ia telah menyebabkan putra dari seorang ibu yang telah sangat baik kepadanya berada dalam bahaya. Begitu mendengar berita dari Parang Jati, yang pertama ia lakukan adalah kembali ke rumah Yuda. Sebab di situlah Buku Indigo ia simpan. Ia kembali untuk mengamankan buku dan juga ibunda Yuda. Malam itu ia biarkan Parang Jati mencoba menyelidik ke rumah Lalita sendirian. Tapi ia bersumpah kepada dirinya untuk mengembalikan Buku Indigo itu, agar semua baik kembali. Maka ia membuat rekaman foto dan video atas seluruh isi buku. Rekaman itulah yang ia laporkan kepada atasannya.
Dan sekarang ia mau mengembalikan dokumen asli itu. Keadaan sudah terlanjur kacau. Lalita menghilang. Yuda, syukurlah, sudah dikembalikan dalam keadaan sehat-walafiat. Kepada siapa ia harus mengembalikan buku ini dan mengakui dosa-dosanya" Pada akhirnya ia memilih Marja.
Saya harap kamu mau menerimanya, Marja kata lelaki itu agak terbata.
Marja berharap ini bukan jebakan. Tangannya agak gem etar menerima bungkusan besar itu. Kantung dari kain bludru. Ia membuka dan mengintip dalamnya. Sebuah kitab jilidan kertas-kertas kuno. Permukaannya kira-kira empat puluh kali tiga puluh centi. Terasa sarat dengan bobot. Bau ruh menguar dari sana. Ruh pengetahuan. Ruh pencarian. Ruh ingatan bawah sadar. Ia berharap ini bukan jebakan. Buku ini terlalu bagus untuk sebuah jebakan.
"S emua anak I ndonesia merasa tahu apa itu Borobudur. Tapi sesungguhnya Borobudur mengajari kita bahwa jauh lebih banyak yang tidak kita ketahui tentang dia daripada yang kita ketahui," berkata Marja seolah ia sedang mengutip sebuah buku.
Gadis itu berdiri di bawah pohon bodhi. Seperti seorang guru. Dua pemuda bersila di depannya. Seperti sepasang murid. Yuda dan Parang Jati. Candi Borobudur di belakang berdiam, menyimpan rahasia dalam relung-relung seribu tahun.
Tampaknya hari ini Marja ingin menunjukkan siapa yang lebih otoritatif. Yuda dan Parang Jati merasa demikian sebab, tumben, sejak berangkat dari Jakarta Marja menolak ransel besarnya dibawakan. Biasanya anak itu senang dibebaskan dari segala beban. Biasanya ia suka memperlakukan dua pemuda itu sebagai keledai angkut. Kali ini Marja tidak mengizinkan siapapun menyentuh bawaannya. Sekarang, setelah mereka tiba di pelataran Borobudur, gadis itu mau main guru-guruan. Daun-daun bodhi jatuh dalam tiga warna. Bukit Menoreh menjaga di barat daya. Kelihatannya Marja ingin menghukum Yuda, dan juga Parang Jati, karena telah menyembunyikan rahasia dari dia. Ia membawa rotan lidi dan memberi keduanya kuis. Ia akan merotan yang tak bisa menjawab benar. Tentu saja Yuda kerap kena. Dan Parang Jati pura-pura tidak bisa menjawab.
Wangsa apa yang mendirikan Borobudur dan abad berap a" Dari batu apa ia terbangun" Apa relief yang berkisah tentang hidup Siddharta" Yuda kena. Siapa orang Rusia yang pertama kali membaca kisah Jatakamala di Borobudur" Siapa fotografer pribumi pertama, yang memotret panil-panil Borobudur" Parang Jati kena.
Setelah puas menganiaya dua laki-laki itu dengan siksaan kecil, ia duduk dalam posisi padma. Wajahnya diterpa garisgaris cahaya yang tampias dari dedaunan bodhi. Parang Jati membayangkan Drupadhi, yang dicintai kelima putra Pandu. Yuda terkenang gurunya yang cantik dan kejam di sekolah dulu. Sesekali bayang-bayang Lalita muncul. Seperti siluman yang terhukum. Yuda berusaha agar bayangan itu tidak mengganggu keindahan sore.
"Dan sekarang adalah penyingkapan yang paling pent ing," ujar Marja. Ia menggeser ranselnya dengan hati-hati ke hadapan.
"Yuda, Parang Jati, percaya tidak kalian" Buku Indigo itu ada padaku sekarang!"
Tentu saja kedua pemuda itu sulit percaya.
Marja mengeluarkan dari kantung tasnya sepasang sar ung tangan tipis. Mengenakannya, ia buka ransel dengan seks ama. Dari dalam sebuah kantung kain lembut, ia menarik keluar sebuah buku besar, tua dan sarat. Sampulnya kulit dalam warna nila pekat.
"Itu bukan Buku Indigo yang kami lihat," kata Yuda dan Parang Jati bersama-sama.
"Memang bukan," sahut Marja. "Buku Indigo yang kalian lihat adalah yang ditulis Lalita. Ini... ini yang asli! Ini nenek moyangnya!"
Inilah catatan asli Anshel Eibensch"tz, kakek Lalita. (Yang memuat juga kertas bahkan perkamen warisan nenek-bibi Katarina.) Buku yang diburu oleh Janaka, si ketua organisasi preman dan saudara kandung Lalita sendiri.
Parang Jati menyimak buku itu dari dekat. Marja tidak mengizinkan orang memegangnya tanpa sarung tangan, bahkan sahabat tercintanya yang selalu dapat diandalkan. Marja sedang menikmati kemenangannya, menjadi yang lebih tahu daripada yang lain. Parang Jati menakjubi lembar demi lembar yang ia saksikan. Bagan-bagan tua. Gambar-gambar yang dibuat dengan ketekunan luar biasa. Pewarnaan yang cermat. Catatan yang rapi bagaikan kaligrafi. Dan berkas-berkas sangat tua.
"Ya, Tuhan. Tentulah buku ini sangat berharga untuk dunia seni dan pemikiran. Tapi untuk apa seorang preman menginginkannya?" ia bertanya.
"Persis. Itu juga pertanyaan saya," sahut Marja. "Tapi...:" Marja mengangkat telunjuknya seperti seorang mahaguru di bawah pohon suci, "...Ternyata buku ini memiliki nilai uang yang sangat tinggi."
"Buku antik!" kata Yuda.
"Bukan cuma buku antik," tukas Marja. "Buku ini telah diendus dan diburu oleh kalangan ilmuwan RRC." "Kepentingannya?"
"Pertama, RRC ingin tahu segala hal yang berhubungan dengan Tibet. Termasuk Buddhisme aliran Tibet. Anshel Eibensch"tz pertama mempelajari Buddhisme di sana. Dan tahu kan kalian, Buddhisme Tibet memiliki hubungan dengan Buddhisme Nusantara di era Sriwijaya dan Borobudur! Mereka ingin menelusuri apa yang disebut 'Ajaran yang telah membikin lingkaran penuh'.
"Kedua, Anshel Eibensch"tz sudah memikirkan kymalogi sebelum ada cymatic. Itu pokoknya sejenis ilmu yang berkaitan dengan gelombang dan bentuk. Ia juga sudah menuliskan tentang memori kolektif bawah sadar dan konsep citra-dalam sebelum Carl Gustav Jung mengungkapkan spekulasi yang serupa kepada publik. Kamu tahu Carl Gustav Jung?"
Yuda menggeleng. Ah, kenapa kini Marja menyusulnya begitu jauh. Itu lecutan yang lebih keras daripada rotan lidi dan sama sekali tidak memberi kenikmatan.
Parang Jati tahu, tapi ia diam saja.
"Carl Gustav Jung adalah ahli jiwa yang hidup sezaman dengan Anshel Eibensch"tz. Mereka sejawat. Carl Jung orang Swiss, Anshel orang Austria. Mereka sama-sama pernah bergab ung dengan lingkaran psikoanalisa-nya Sigmund Freud, yang juga orang Austria. Tapi, mereka tersingkir dari kelompok psik onalis ini karena keduanya menjadi dekat dengan spirit ualisme. Freud itu orangnya sangat skeptis. Ia tidak bisa menerima ada unsur gaib dalam ilmunya, psikoanalisa ini.
"Nah, lalu... agaknya yang mulai menyadari nama Anshel Eibensch"tz bukan cuma akademisi RRC saja. Beberapa ahli di Eropa juga mulai menemukan nama itu. Kira-kira begini. Pada saat yang kurang lebih bersamaan, di RRC para ahli mulai membaca korespondensi tiga pihak ahli oriental Rusia bernama Oldenburg, biksu Rusia Agvan Dorzhiev, dan Anshel Eibensch"tz dari arsip yang dulu mereka sita di sebuah biara di Tibet; sedang di Eropa orang membaca surat-menyurat antara Carl Gustav Jung dan Anshel Eibensch"tz, yang juga baru mulai dibukakan oleh keluarga Jung. Ketertarikan pada sosok dan pemikiran kakek Lalita ini pun meningkat.
"Suatu hari ada telepon dari Eropa. Harap diketahui, Anshel Eibensch"tz memiliki cucu yang hidup di Eropa. Orang Barat totok. Kabar itu datang dari mereka, kepada Lalita maupun Janaka. Mereka mengabarkan bahwa Balai Lelang Christie's ingin melihat Buku Indigo. Jika asli, Christie's berani menawarnya dengan harga tinggi.
"Mendengar itu, Janaka langsung tergiur. Tapi, lelaki itu tidak pernah menghargai peninggalan kakeknya selama ini. Saudari kandungnyalah yang menghargai itu. Lalita-lah yang selama ini merawat dan mempelajari buku itu dengan segen ap hati. Lalita tidak mau menjualnya. Maka Janaka mau merebutnya..."
Yuda terdiam. Tiba-tiba ia merasa sangat sedih. Ah, Lalita. Betapapun aneh wanita itu. Betapapun ia menyangkal diri dengan mengenakan topeng riasan, Lalita memiliki cinta yang otentik pada sesuatu di luar diri sendiri: Buku Indigo, kakeknya. Di mana wanita itu sekarang" Sang Perempuan Indigo...
Parang Jati juga terdiam. Ia sempat tidak simpati pada perempuan itu, sebab terlalu rakus akan perhatian lelaki, menggoda sahabatnya yang punya kekasih ia cintai. Tapi kini ia menimb ang sosok itu dengan ukuran lain. Lihatlah, abangnya atauk ah kembarannya Janaka, yang melihat semua hal dengan ukuran uang dan kekuasaan. Lihatlah bagaimana lelaki itu mend irikan Buddha Bar di Jakarta. Buddha Bar adalah contoh telanjang bagaimana spiritualitas diambil bentuknya dan dijadikan komoditi dagang.
Lalita barangkali juga mengenakan spiritualitas sebagai gaya. Ia senang mencitrakan dirinya sebagai Perempuan Indigo. Seperti banyak "new-agers", begitu istilah Parang Jati, Lalita syur mengumbar cerita bahwa ia punya kelahiran-kelahiran di masa lalu sebagai sosok-sosok penting: biksu Atisha, ratu yang ikut merancang Borobudur, putri Pangeran Drakula yang selalu menjadi bayang-bayang terang ayahnya yang gelap...
Angin bertiup, menjatuhkan lagi daun-daun bodhi dalam tiga warna. Ketiga anak itu, entah kenapa, lalu sama-sama menoleh ke sebuah arah di kaki candi. Seolah dari sana ada yang melambai, melangkah tertatih menuju sini. Mereka tak melihat satu orang pun.
Angin bertiup lagi, membalik halaman Kitab. Marja menjerit, cemas jika angin merusak buku itu. Tapi tidak. Halaman buku itu berlarian membalik diri dan berhenti, membukakan dirinya pada sebuah gambar. Ah, bukan gambar rekaan, melainkan sebuah foto. Serupa denah Borobudur yang tercipta dari pasir di atas pelat logam.
"Figur Chladni!" seru Parang Jati bersemangat. "Chladni adalah ilmuwan akhir abad ke-18 kalau tidak salah. Salah satu yang dikenang dari dia adalah percobaannya yang menunjukkan bahwa gelombang memiliki figur. Gelombang menciptak an bentuk-bentuk yang berbeda berdasarkan frekuensinya. Bentuk-bentuk itu dapat kita lihat ketika kita menggunakan serb uk atau tepung sebagai alat bantu."
"Ya," sahut Marja. "Yang kubaca, kakek Lalita melakukan eksperimen dengan pelbagai serbuk dan pelat logam dan bunyibunyian untuk membuktikan bahwa mandala Borobudur, yaitu denah Borobudur, ada di alam semesta."
"Jadi, dia menemukan itu" Jika foto ini benar?" "Foto ini benar. Ada negatifnya. Zaman itu belum ada fotoshop."
Parang Jati mengangguk-angguk. "Menarik. Sangat menarik. Apa frekuensi gelombangnya?"
"Itulah. Tidak terdeteksi," ujar Marja kecewa. "Perlu pembacaan lebih teliti atas Buku Indigo ini. Sebab aku tidak mampu membaca bagian-bagian yang berbahasa Jerman. Ia kadang menulis dalam bahasa Indonesia lama, Inggris, dan Jerman." (Ia bahkan kadang menulis dalam bahasa Yiddish. Tapi Marja tak tahu bedanya dari Jerman.)
"Menurut sekretarisnya, Lalita terobsesi untuk menemukan kembali frekuensi gelombang itu. Ia pernah bilang pada sekret arisnya bahwa ia ingin menuliskan dengan lengkap tentang kakeknya dan mempresentasikannya di Eropa. Ia ingin dunia tahu bahwa kakeknya terhadap Carl Gustav Jung adalah seperti Wallace terhadap Darwin. Tahu kan maksudku" Dunia mengenal Darwin sebagai penemu teori evolusi. Padahal Wallace iya, Alfred Russel Wallace yang namanya diabadikan dalam 'garis Wallace' juga sampai pada kesimpulan yang sama dalam perjalanannya ke Nusantara. Wallace berkorespondensi dengan Darwin, dan Darwin menggunakan bahan-bahan serta pemikiran Wallace juga untuk sampai pada teori evolusi.
"Nah, Lalita berpendapat begitu juga: Jung juga memakai bahan dan pemikiran kakeknya untuk sampai pada teorinya tentang hm, apa namanya memori kolektif, arketipe, dan bayang-bayang. Tapi dunia hanya mengenal yang satu dan tidak mengenal yang lain."
Kelihatan betul bahwa Marja sudah mempersiapkan presentasi ini habis-habisan untuk menunjukkan kekuasaann ya atas Yuda sebagai salah satu cara balas dendam positifnya. Dengan demikian ia membikin perdamaian nan tulus sambil mengec oh jika bukan bekerjasama dengan ular cerdik di dalam dirinya.
"Lalita ingin agar kakeknya diakui dunia. Tapi ia ingin ia yang mempresentasikan itu. Janaka tak keberatan kakeknya diakui dunia. Tapi ia lebih ingin uangnya."
Angin bertiup lagi. Kali ini mereka sepakat membiarkan halaman membalik-balik diri, menyingkapkan apa yang mau menampakkan diri.
Gambar ular melingkar yang mengulum ekor sendiri. "Ouroboros. Simbol yang sangat tua," kata Parang Jati. "Di Barat ular dan naga dianggap simbol kejahatan. Di Timur dan di dunia pagan sebaliknya. Ular dan naga adalah lambang yang bagus," kata Parang Jati. "Karena itu, sekte-sekte esoteris di Eropa suka menghidupkan kembali simbol-simbol pagan. Seperti ouroboros ini."
Marja teringat ular di dalam dirinya. Ia selalu membayangkan kecerdikan di dalam dirinya sebagai seekor ular: senantiasa dingin, licin, dan pandai berkelit. Jika tidak hati-hati, kecer?"" dikan akan memakan merpati ketulusan di dalam dirinya. Ular itu seh arusnya melindungi si merpati. Tiba-tiba ia merasa memah ami lambang ular melingkar itu dengan cara baru, caranya send iri. Ya, ular itu memang harus mengulum ekornya sendiri, agar tidak memangsa si merpati.
Yuda termenung-menung, membayangkan bahwa manuskrip kuno yang berharga itu disusun oleh manusia yang darahnya masih mengalir dalam tubuh Lalita; gennya memb entuk gen Lalita. Di mana perempuan itu sekarang. Semoga dia baikbaik saja. Dalam lamunan sedihnya tiba-tiba ia seperti melihat seorang nenek berambut jalin pirang, dengan gaun hitam Eropa abad sembilan belas, memakai kalung dengan lambang ular melingkar. Perempuan itu lewat lalu hilang.
Angin terus bertiup. Sesekali kencang, menerbangkan getas-getas daun dan membalikkan halaman-halaman.
Parang Jati mendengar dengung. Mangkuk biksu yang diputar, memurnikan kristal. Ataukah tangkai biola pada pelat logam. Ataukah sekadar gasing yang dimainkan anak-anak kecil.
Angin ataukah Marja membukakan lembaran kuna: seperti sebuah manuskrip bergambar yang dibuat para rahib abad pertengahan. Teks itu berjudul: The Shadows. Bayangbayang. Marja telah membacanya, tapi ia tak bisa mengerti. Sebuah naskah yang aneh dan sulit. Tentang bayang-bayang. Tentang hubungan materi, cahaya, dan bayang-bayang. Marja hanya bisa mengingat beberapa kalimatnya, yang berpencaran di permukaan.
Dia yang tidak bisa melihat bayang-bayangnya sendiri, dia tidak akan mendapatkan pembebasan.
Yuda merasa mendengar Marja bercerita tentang drakula. Samar-samar ia ingat bahwa Lalita mengaku pernah lahir di zaman Pangeran Drakula. Sayup-sayup ia pernah membaca bahwa Lalita mengaku keturunan drakula. Pada detik-detik itu ada rasa hampa udara, yang membuat hal-hal yang bertentangan tidak terasa tak masuk akal, sebab akal tak ada lagi di ruang hampa.
Perempuan berambut jalin pirang dalam gaun hitam Eropa abad sembilan belas itu seperti lewat lagi di sudut matanya. Figurnya lebih jelas ketika berada di tepi pandangan.
"Kamu pernah dengar cerita drakula" Dalam dongeng itu, vampir atau drakula tidak punya bayang-bayang!" terdengar suara Marja ataukah suara perempuan berbaju hitam itu"
Dia yang tidak bisa melihat bayang-bayangnya sendiri, dia tidak akan mendapatkan pembebasan.
Bahkan awan dan kabut, yang tak bisa dipegang, memiliki bayangan.
Sesungguhnya, ada pantulan ada bayangan. Keduanya adalah bayang-bayang. Sosok yang selalu membayangimu.
Pantulan mengembalikan dirimu secara terbalik. Seperti pada cermin. Dan anehnya matamu tak akan pernah bisa melihat dirimu sendiri selain secara terbalik. Dan mata hanya bekerja dalam prinsip cahaya. Demikianlah, terang membuat orang menyadari sekelilingnya, tetapi terang juga membuat orang menyadari dirinya sendiri secara terbalik. Tapi, mata yang terbalik tidak bisa menyadari ada yang terbalik.
Pantulan adalah dirimu yang tersinari. Bayangan adalah dirimu yang tak tersinari.
Lihatlah, dirimu berlawanan dari bayang-bayangmu. Tapi pantulanmu juga berlawanan dari bayanganmu. Segala hal memiliki lawannya. Bukan musuh. Melainkan pasangan yang berkebalikan.
Dalam fotografi ada yang disebut negatif. Tapi mata kita juga adalah film negatif. Pejamkanlah seketika dan kau akan melihat di pelupukmu warna-warna negatif. Warna-warna yang berlawanan tetapi berpasangan. Merah menjadi hijau.
Biru menjadi kuning. Ungu menjadi oranye...
Wahai. Anak-anak abad digital adalah anak-anak malang yang kehilangan suatu misteri. Yaitu, bahwa dunia ini memiliki bayang-bayang. (Tidakkah itu suara Lalita")
Teknologi baru akan membuat anak-anak lupa pada bayang-bayang. Mereka harus memejamkan mata untuk menyadarinya.
"Menyadari apa?" terdengar suara Marja atas percakapan yang terlewatkan Yuda dalam momen autisnya.
"Menyadari sumbu. Koordinat nol. Yaitu pusat. Sebab semua bayang-bayang, pembalikan, dan simetri bekerja berdasarkan prinsip sumbu," sahut Parang Jati. "Lihatlah Borobudur. Perancangannya memperhitungkan semua unsur itu."
Parang Jati berkata, ia sangat paham jika Anshel Eibensch"tz terpukau pada Borobudur. Candi ini memberi satu model peta jiwa yang dicari oleh para psikoanalis. Sekali lagi, Borobudur menawarkan paradigma yang berbeda dari can?" di-candi yang lain. Ia tidak menyediakan ruang dalam, garb agraha, tempat lingga atau dewa dipuja. Para psikolog analitis yang paling skeptis pun bisa membacanya demikian: dewadewa yang ditempatkan di beberapa tingkat terluar candi adalah serupa arketipe dari kekuatan-kekuatan maupun sifat-sifat yang ada dalam alam maupun dalam diri manusia. Para dewa itu memberi bentuk pada sifat dan kekuatan alam yang abstrak, sehingga kita bisa mengenalinya. Tapi, kita didorong untuk selalu menyadari yang tak terikat bentuk.
Sebab bentuk memiliki jebakan. Bentuk menciptakan ilusi. Bentuk memiliki bayang-bayang. Bentuk memiliki kebalikan dan perlawanan.
Marja menjerit mendapatkan penemuannya sendiri: ya ampun, karena itu mereka membuat kamadatu dan rupadatu dalam denah segi empat! Sedangkan arupadatu dalam denah lingkaran! Dunia rupa selalu berada dalam jebakan ilusi, jebakan bayang-bayang: yaitu pasangan yang berlawanan. Para ars itek Borobudur menggambarkannya dengan denah segi empat simetri. Sebab dalam bujur sangkar ada timur ada barat, ada utara ada selatan, ada kanan ada kiri, atas bawah. Dan orang harus menyadari perlawanan dan ketegangan itu sebelum bisa tiba ke dunia arupa datu, di mana tak ada lagi perlawanan dan pembalikan.
Tapi, tapi... Marja menjerit tertahan lagi itu pun bukan sekadar perlambangan. Sebab, jika Anshel Eibensch"tz memang menemukan gelombang yang menciptakan mandala Borobudur, itu berarti bagan konsentris tersebut memang ada dalam alam semesta. Luar biasa!
Marja terdiam. Merasakan angin. Merasakan gema langkah-langkah kaki. Tapak yang tertatih dan mengarah ke dalam. Juga telapak ziarah ratusan biksu dan orang-orang sederhana.
Anshel Eibensch"tz menemukan bagan jiwa-nya dengan bantuan mandala Bodobudur. Ia menambahkan warna. Merah di bagian luar. Indigo dan violet di bagian tengah. Hitam di sekelilingnya. Titik putih di tengahnya. Tapi Anshel menggambarkan alam tak sadar di dua tempat. Ia memetakan alam tak sadar sebagai lingkaran, dan kesadaran sebagai bujur-sangkar. Itu membedakan dia bahkan dari Carl Jung. Alam tak sadar itu ada di bagian hitam dan di titik putih. Yang berbatasan dengan merah itu adalah alam tak sadar naluriah. Yang berbatasan dengan ungu adalah alam spiritual.
"Sayang ia tak dikenal dunia," kata Marja.
"Kalaupun kelak dikenal, mungkin ia tetap sulit diterima sebagai ilmuwan. Ia terlalu dekat dengan dunia spiritual. Orang akan menganggap terapan teorinya sebagai pseudosains," ujar Parang Jati. "Tapi ia tetap akan mendapat tempat di kal anga nnya."
"Dan ia kakek dari Lalita," ujar Yuda terharu. "Sampai sekarang aku tetap tidak tahu, versi mana yang benar. Siapa naman ya sebenarnya: Lalita atau Ambika" Siapa nama saudara lelakinya, si preman itu: Jataka atau Janaka" Apakah mereka saudara kembar, atau abang-adik?"
Marja menggeleng. "Mungkin tidak penting lagi. Mereka adalah bayangan dari yang lain". Tapi mereka memilih untuk tidak mengakui itu. Maka mereka seperti makhluk yang tidak bisa melihat bayang-bayangnya sendiri.
Ketiga anak muda itu memandangi Buku Indigo. Angin ataukah Marja" menutup kitab itu.
Lalita Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagan jiwa Anshel Eibensch"tz
P erempuan I ndigo . S eseorang pernah mengucapkannya. Ia sekarang ingin melupakannya.
Sejak hari yang dahulu, mereka selalu mengunjungi Borobudur manakala sempat. Candi itu memang sangat terik dan tak nyaman di tengah hari. Tapi jika kau ada dalam jam-jam emas, relief pada dindingnya mengungkapkan rerinci yang menakj ubkan. Garis-garis mata serta senyum mereka nan lentik muncul. Mereka, sosok-sosok itu. Dulu, ketika dunia masih sederhana dan turis-turis tak ada, para peziarah mengelilingi lorong-lorongnya di malam hari, dengan obor atau lampion. Atau dalam cahaya bulan. Pada malam hari mereka menjadi hidup, bergerak dan menari bersama cahaya api. Mereka, sosok-sosok yang pada siang berdiam dan mengatup pelupuk. Sungg uh, jika kau mendapatkan kemewahan untuk datang ke sana pada malam hari, bukan sebagai turis tetapi sebagai dia yang memb aca kitab, kau akan melihat figur-figur itu menjadi hidup.
Ada satu dua kali mereka mendapatkan kemewahan itu berkat relasi ayah Parang Jati yang guru kebatinan dengan juru kunci dan pengelola candi. Hari itu mereka datang sore hari, berharap bisa numpang berdiam hingga senja. Mereka ingin, sekali lagi, napak tilas perjalanan Anshel serta para biksu dari Mendut naik ke Borobudur. Tapi kenalan Parang Jati, sang juru kunci, sedang tidak ada. Maka pemuda itu memutuskan untuk menempuh jalan itu secara terbalik. Dari Borobudur turun ke Mendut. Sedikit kemalaman di sana diizinkan.
Tanduk-tanduk bukit Menoreh telah berwarna api. Mereka berjalan ke arah gunung Merapi yang mengepulkan asap. Melalui jalan utama hingga ke candi Pawon yang kecil dan berhiaskan pohon kalpataru serta kinara-kinari. Dari sana mereka turun ke sungai Progo yang meliuk-liuk seperti ular. Parang Jati tahu di mana ada rakit.
Sore itu di seberang ada rakit besar yang sedang bersiapsiap. Mereka harus menunggu sampai angkutan bambu itu menyeberang. Lalu mereka melihat para penumpang yang disambut si tukang perahu. Serombongan peziarah, sebagian dengan jubah biksu berwarna kuning-oranye, sebagian lagi mengenakan seperti sari berwarna putih. Dan mata Yuda menangkap satu sosok di antaranya.
Ia mengenali hidung lancip itu. Tapi tidak. Itu bukan yang utama. Ia mengenali sesuatu pada gerak tubuhnya. Yang mengenakan warna kuning-oranye itu. Yang memiliki profil tulang tengkorak paling bagus di antara yang lain. Kulitnya membawa jejak tipis Eurasia. Rambutnya nyaris gundul. Matan ya kuat dan menonjol. Bibirnya sederhana. Langkah jingkat kucing...
Lalu hanya sosok itu yang tampak bagi Yuda. Yang lain menjelma peziarah tanpa wajah. Figur itu mengalun bersama rakit yang ditarik memotong arus. Menjadi semakin dekat. Ia menunduk sambil mengangkat kain dan kainnya saat melompat ke tepian. Ia mendongak lagi untuk mendaki setapak.
Yuda tercekat. Ia melihat kaki itu saat kain tersingkap. Tersal ut kasut datar bertali-tali. Di pergelangan kanannya melekat gelang emas putih dengan genta-genta kecil yang telah bisu. Tumit itu tertutup lagi oleh kain kuning-oranye biksuni.
Mata mereka bertatapan tatkala biksuni itu mengangkat wajahnya. Mata itu hitam. Mereka harus berbagi jalan. Yuda dan dua yang lain menepi. Mata itu tanpa pulasan. Tanpa bulubulu plastik. Para peziarah bersalam permisi. Biksuni itu pun mengucap permisi. Suara itu. Yuda membalas: silakan. Biksuni itu menatap lurus ke depan lagi. Yuda ingin memanggil naman ya. Tapi ia tahu itu tidak boleh. Barangkali bukan dia. Barangkali hanya angan-angannya saja. Tapi kalaupun itu dia, Yuda tahu ia semakin tak boleh menyebutnya lagi.
Mereka menggunakan rakit yang sama untuk menempuh jalan sebaliknya.
S andi Y uda menamainya "momen autis". Ia mengira hanya lelaki muda yang mengalaminya. Momen-momen yang mengasingkan ia dari kota, sedemikian rupa sehingga ia nyaris tidak memahaminya lagi. Tapi, mungkin tak cuma lelaki muda yang mengalaminya.
Perjalanannya ke Borobudur memberinya pemahaman baru. Bahwa jiwa manusia memiliki bagan konsentris. Jika kau tak tahu di mana koordinat nol-mu, kau tak bisa memetakan diri. Kau jadi berantakan. Kau bisa tenggelam ke dalam momen autis, lalu tak bisa berkomunikasi. Atau, kau jadi mekanis dan mudah terpancing. Kau telah mengalaminya, Yuda. Kau harus eling tentang di mana pusatmu.
Tapi apakah pusat itu, padahal sang pusat adalah alam tak sadar" Jika demikian, tariklah dua sumbu bersilangan. Maka kau tahu di perpotongan sumbu itulah pusatmu. Axis mundi. Yaitu poros yang mempertemukan kutub-kutub yang berl awanan. Titik yang membuatmu dapat menyadari bayangbayangmu.
Ah, axis mundi. Ia coba lupakan kamar cahaya merah.
Lalita. Lalita yang dulu ia kenal barangkali tak mau mengakui pusatnya. Ia menyangkal koordinat nol-nya. Ia memb angun berlapis bayang-bayang, tapi ia tak tahu apa yang terbal ik. Seperti matanya. Identitasnya serapuh kaca. Dan ket ika si penjahat menghancurkan cermin itu, ia terbuka bahwa ia tidak sejati. Ia hanya imitasi. Ia retak, seperti kota ini. Gedunggedung dinginnya menyangkal udara nyata, dalam lindungan dinding-dinding kaca.
Semoga tidak benar-benar seperti itu.
Semoga ia selamat. Mungkin dengan meninggalkan segala kemelekatan yang menyakitkan pada ilusi-ilusi tentang diri sendiri yang ia bangun. Semoga, jika ia memilih meninggalkan kamadatu dan rupadatu untuk masuk ke dalam arupadatu, itu bukan pelarian ataupun penyangkalan baru. Semoga itu bukan bayang-bayang baru. Semoga ia bahagia.
Yuda berjalan, meninggalkan Bunderan dengan tugu Sela mat Datang dan gedung-gedung kaca yang memantulkan bayang-bayang, berjalan sepanjang Sutan Syahrir, berbelok ke Teuk u Umar nan teduh untuk menuju Cikini. Di sudut jalan itu ia melihat gedung yang bersejarah baginya. Tempat ia bert em u dengan penjahat yang bercakap santun. Tempat ia dikembalik an kepada kekasih dan sahabatnya dalam suatu pesta gemerlap.
Bangunan itu senyap sekarang. Jendela-jendela besarnya bungkam. Restoran mewah nan angkuh Buddha Bar telah ditutup. Komunitas Buddha di Indonesia mengajukan keberatan atas komodifikasi iman mereka. Tapi mungkin juga restoran itu ternyata tak terlalu membikin untung. Yuda membayangkan Lalita menjadi salah satu penggugatnya. Wanita yang keras kemauan itu.
Semoga kamu baik-baik di dunia baru.
Seekor kucing dengan lonceng meloncat, seperti minta dikenali. Mungkin milik pemulung di bawah rel kereta layang.
Yuda meninggalkan tempat itu. Dari Cikini ia akan mengamb il kendaraan menuju Senen. Ia akan membesuk kawann ya, si perwira pejantan alfa yang sedang kehilangan ingatan akib at terperosok dalam sebuah ekspedisi memburu jimat.
Bayang-bayang. Barangkali Yuda-lah yang punya rahasia mengenai bayang-bayang dan memori primitif yang kerap datang dalam mimpi. Marja hanya tahu teori. Bahwa sesuatu memiliki kembaran yang terbalik. Tapi hanya Yuda yang tahu tentang Bilangan Hu dan Fu. Yuda telah bertemu dalam mimpinya. Sosok bertubuh manusia berkepala jakal yang datang dalam tidurnya, duduk pada perutnya sambil berembus: Fu... (dengan suara panjang), dialah bilangan yang menyad ari dirinya sendiri. Bahkan Parang Jati tidak tahu itu, meskipun ayahnya, Suhubudi, yang guru kebatinan, mengajar sesuatu tentang bilangan bisu Hu. Yuda-lah yang tahu: keduanya adalah bayang-bayang yang lain.
Malam itu ia akan bermimpi tentang dua orang yang memurubkan candi. Matahari telah dipadamkan di balik bukitbukit. Bintang menunjukkan pukul sembilan. Candi itu berdiam pada masa sebelum ditemukan. Dua orang; yang satu perempuan berhidung lancip, yang satu lelaki berkepala miring dengan sikap kaku dan telapak kaki mengarah ke dalam. Masingmasing membawa lampion, berjalan dari arah berlawanan. Di kaki candi keduanya mencutik api dari lampion. Dewata dan makhluk-makhluk telah tak sabar. Sepasang cucu dan kakek itu menyumatkan lidi dengan titik api kepada mulut naga yang menjaga tangga.
Dari sana bebatu mulai menyala, seolah ada bara di belakangnya, menjalar diam-diam dari lantai bawah ke atas, seperti sebuah pertunjukan, seperti sumbu yang disambar. Periperi bersorak dalam suara kecil. Satu per satu makhluk pada relief candi itu melirikkan matanya, menggerakkan kepala, tersenyum lentik, dan mulai menari. Kehidupan bermula dari lantai yang rendah menuju yang tinggi. Tak lama kemudian ribuan figur pada candi itu menjadi hidup. Mereka begitu ramai dan gemulai. Hanya para buddha yang tetap bermeditasi.
Dua orang itu, lelaki dan perempuan, naik ke tingkattingkat candi dan berkeliling sepuluh kitab hingga ke tempat tak ada lagi kitab. Ialah di pusat sebuah diagram konsentris.
Untuk mengenang lelaki berkepala miring yang dilupakan orang serta cucunya yang melupakan diri, buku ini pun ditulis dengan sebuah pola konsentris.
Yuda bertaruh pada dirinya bahwa suatu hari nanti di dunia ini akan terbit Buku Indigo.
Catatan Akhir Pada tahun 2009 Buku Merah diterbitkan. Kitab ini adalah manuskrip bergambar dari Carl Gustav Jung, yang dikerjakan selama 16 tahun, setelah perpisahannya dari Freud (1914-1930). Pada awalnya Jung men amainya Liber Novus (Kitab Baru), tetapi akhirnya menyebutnya Buku Merah. Kitab ini disimpan dari publik oleh keluarganya dan baru diterbitkan 38 tahun setelah ia wafat.
Buddha Bar Jakarta pada kenyataannya dibuka 2008 dan ditutup 2010, setelah gugatan umat Buddha atas merek dagang itu dimenangkan oleh pengadilan.
Saya mengucapkan terimakasih pada Pavel Faigl, yang saya kenal dan menjadi dekat dengannya dalam dua tahun proses penulisan novel ini. Ia adalah paman dan sosok yang memperkenalkan Saman kepada penerjemah Cheko novel pertama saya itu. Lalita saya dedikasikan untuknya, dan tokoh Anshel Eibensch"tz saya biarkan belajar kimia-fisik seperti dia.
Terimakasih juga pada teman kecil dan kawan wisata candi Jawa Tengah dalam penulisan buku ini: Putri Timur dan Catharina Indirastuti. Juga untuk buku Lalitavistara (Titus Leber, KPG: 2011) yang memungkinkan saya terus-menerus menengok relief dalam keindahan cahaya miringnya dari meja kerja saya. Kepada Sutikno Wahyu Dimas Adi Prakoso dan Bernadetta Esti Wahyuningtyas Utami, yang memberikan jembatan keledai unsur kimia. Kepada Oscar Motuloh, yang nama, daya tarik, dan jabatan form alnya saya pakai untuk tokoh Oscar tanpa pemberitahuan. Segala yang dianggap kurang baik tentang tokoh Oscar dalam buku ini bukan berasal dari dia. Terimakasih juga untuk Marco Kusumawijaya, Hauw Ming, para editor KPG; serta kekasih yang selalu menjadi ayah perawat bagi novel-novel saya.
Kalimat Borobudur mengajari kita bahwa jauh lebih banyak yang tidak kita ketahui tentang dia daripada yang kita ketahui diinspirasikan oleh buku Borobudur: Golden Tales of the Buddhas (John Miksic, Periplus: 2000).
Gambar dalam digambar dengan penyesuaian dari pelbagai sumber. Gambar Vlad Drakula (hal. 91) digarap dari ilustrasi-ilustrasi cukil kayu yang telah banyak beredar. Peta dunia (hal. 93) digarap dari ilustrasi Alkitab dari Magdeburg, Die gantze Welt in ein Kleberblat... oleh Heinrich B"nting. Gambar Roda Kehidupan hal. 156 dimodifikasi dari model umum thangka Tibet.
Gambar sampul dilukis ulang, dengan penyederhanaan dan modifikasi, dari ilustrasi #32 buku Flora Pegunungan Jawa (van Steenis, LIPI: 2010). Gambar-gambar dalam buku itu dibuat oleh Amir Hamzah dan Moehamad Toha. Sampul buku ini saya buat untuk mengenang dedikasi dan rasa seni para pelukis botani. Karya mereka memadukan ilmu dan keindahan, yang tak akan pernah disamai oleh fotografi.
Karya-karya Ayu Utami yang lain terbitan KPG
Karya Ayu Utami selalu memotret dan membuat refleksi atas suatu kurun sejarah. Secara keseluruhan, buku-buku berikut ini merekam dan menampilkan gambaran manusia-manusia Indonesia dalam bentangan sejarah yang cukup panjang (1900-an hingga era 2000-an):
Seri Saman & Larung Saman bercerita tentang empat sahabat perempuan yang menyembunyikan seorang lelaki yang diburu oleh rezim militer. Mereka membantu Saman melarikan diri ke New York. Saman adalah pemenang roman terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998, dicetak 29 kali, sert a diterbitkan dalam delapan bahasa asing.
Larung, lanjutan novel Saman. Seseorang yang agak misterius bernama Larung menemani Saman dalam usaha membebaskan beber apa aktivis demokrasi yang juga diincar aparat Orde Baru. Larung telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Saman & Larung adalah novel dengan latar akhir era Suharto (1990-an), dan mengantarkan Ayu Utami menerima penghargaan internas ional Prince Claus Award 2000.
Seri Kisah Nyata Cerita Cinta Enrico: kisah nyata seorang anak lelaki yang lahir bersamaan dengan Pemb er ontakan PRRI. Ia menjadi bayi gerilya sejak usia satu hari. Sejak itu sejarah hidupnya selalu ber?" kelindan dengan peristiwa penting dalam sej ar ah bangsa Indonesia. Ia tumbuh sebagai anak yang mendambakan kebebasan, termasuk beb as dari perkawinan.
Eks Parasit Lajang (akan terbit): Pada tahun 2000 Si Parasit Lajang menulis "10+1 Alasan tidak Men ikah" dan bahwa "pernikahan itu bagus buat orang lain". Ia melihat lembaga perk awinan dengan san gat kritis, setara dengan pandangannya terhadap pemerintah dan agama. Apa pandangannya setelah sepuluh tahun berlalu" Cerita Cinta Enrico dan Eks Parasit Lajang adalah potret pribadi terhadap 50 tahun sejarah Indonesia merdeka. (1950-an hingga 2000-an)
Soegija 100% Indonesia: biografi populer Albertus Soegijapranata, uskup pribumi pert am a di Indon esia. Buku ini bercerita bagaimana sebuah agam a baru tidak menghancurkan ident itas lokal. Soegija 100% Indonesia berlatar era akhir penjajahan Belanda hingg a awal kemerdekaan (1900-an hingga 1950-an)
Seri Bilangan Fu Bilangan Fu: cinta segitiga antara dua pemanjat, Sandi Yuda dan Parang Jati, dan satu gadis bern ama Marja, dengan latar belakang awal era Ref orm asi (2000-an). Cerita bertempat di suatu dae rah bernama Sewugunung, di selatan Jawa Ten gah. Di sana sebuah bukit gamping yang kaya akan mataair akan ditambang oleh perusahaan yang memanfaatk an fundamentalisme agama unt uk kepentingan bisnis. Bilangan Fu mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award dan telah diterbitkan dalam bahasa Belanda. Novel ini juga salah satu yang mengantar penulisnya mend apat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara 2008.
Seri Bilangan Fu adalah serial novel tekateki atau petualangan dengan tokoh utama dari Bilangan Fu. Pembaca umum boleh menikmati kis ahnya saja, tapi juga boleh mempelajari beberapa hal yang selalu disajikan dalam serial ini. Serial Bilangan Fu selalu menyajikan: 1) pen ge?" nalan warisan budaya Nus antar a; 2) satu topik logika atau jalan berp ik ir; sert a kad ang juga 3) hub ungan unik antar manus ia, baik itu soal seks atau cinta, yang tak bisa diserag amkan. Dua buku telah terbit dalam serial ini: Manjali dan Cakrabirawa dan Lalita.
Manjali dan Cakrabirawa (buku ke-1 Seri Bilangan Fu)
Apa saja yang bisa dipelajari dari petualangan Marja, Parang Jati, dan Sandi Yuda dalam Manjali dan Cakrabirawa"
1) Pengenalan dasar bentuk candi-candi Jawa Timur
Candi Jawa Timur menceritakan suatu periode yang khas, yang biasa disebut era Klasik Muda (abad ke-10 sd ke-16). Berbeda dari candicandi utama Jawa Tengah dari era Klasik Tua (Borobudur, Prambanan, Sewu), bangunan suci Jawa Timur lebih kecil. Ada yang berpendapat karena fungsinya berbeda. Candi di Jawa Timur ada yang berfungsi sebagai candi makam atau monumen keluarga raja, juga candi pertapaan. Tidak demikian Borobudur, Prambanan, atau Sewu.
Selain kecil, dari segi arsitektur, candi-candi Jawa Timur menunjukkan peralihan dan kedekatan dengan bangunan suci di Bali. Beberapa candi Jawa Timur terbuat dari bata dan diperkirakan memiliki atap rumbia atau ijuk dengan rangka kayu, seperti pura. Beberapa juga dibangun dekat mata air (candi petirtaan) atau dipahat sebagai goa pada gunung batu (candi pertapaan). Dari segi ragamhias, candi-candi Jawa Timur me nunj ukkan kembalinya kepercayaan pra-Hindu- Buddha, yaitu motif-motif primitif yang galak. Proporsi tubuh pada reliefnya pun tidak lagi naturalis (lihat gambar di sebelah). Bers amaa n dengan itu, digunakan juga model lantai punden beru ndak dari era sebelum Hindu-Buddha. Karena itu, era Jawa Timur ini menandai kemb alin ya kepercayaan Nusantara yang lebih tua, penyemb ahan leluhur, yang berkelindan dengan agama Hindu-Buddha.
Proporsi tubuh relief candi Jawa Tengah Proporsi tubuh relief candi Jawa Timur
Pengetahuan ini memberi kita pengertian bahwa kepercayaan para pendahulu kita berada dalam dinamika dan gerak sinkretis. Candicandi Jawa Timur didirikan oleh kerajaan besar seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit.
2) Pengenalan Luas Pengertian Luas Pengertian adalah salah satu pokok dalam ilmu logika. Pengertian adalah apa yang kita pahami tentang sesuatu. Biasanya, bentuknya adalah kata. Pengertian memiliki luas. Mis alnya, kata manusia memiliki luas yang leb ih daripada perempuan , lelaki , atau anak-anak . Sebab, manusia mencakup lelaki, perempuan, maupun anak-anak. Hal ini sepertinya mudah. Tapi, dalam praktik sering kali kesalahan berpikir kita adalah tidak bisa membedakan luas pengertian. Yang khusus kita samakan dengan yang umum. Dalam Manjali dan Cakrabirawa, misalnya: pen gertian PKI sesungguhnya lebih luas daripada Biro Khusus ataupun pasukan Letkol. Untung . Tapi, kudeta yang dipimpin Letkol. Untung dianggap sama dengan keputusan PKI keseluruhan. Akibatnya, semua yang berhubungan dengan PKI dihukum.
Selain itu juga: jika kita tidak menemukan sesuatu, maka bukan berarti sesuatu itu tidak ada. Sebab, bidang yang kita cari tidak lebih luas daripada yang ada di alam semesta.
Lebih jauh tentang Ayu Utami lihat ayuutami.com, twitter: @BilanganFu
Lalita i t a Lalita ayu utami S e r i B i l a n g a n F u
S e r i B i l a ayu utami NOVEL ISBN: 978-979-91-0493-9 Lalita menerima sejilid kertas tua berisi bagan-bagan mandala, dan sejak itu setiap hari pengetahuannya tentang sang kakek bertambah. Setiap kali penget ah uan itu bertambah banyak, setiap kali pula sang kakek bertambah
muda dal am penglihatannya. Pada suatu titik ia bisa sepenuhnya melihat seorang remaja beru mur tiga belas tahun, yang berdiri lurus kaku dan kepala
sedikit miring seolah mel ihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Apa hubungan semua itu dengan vampir dan Candi Borobudur" Itu akan menjadi petualangan Yuda, Marja, dan Parang Jati.
Setiap kita memiliki bayang-bayang. Bukan musuh, melainkan pasangan yang berkebalikan. (hal. 233) Tataplah titik hitam di pusat figur di bawah
selama sekitar 20 detik, lalu pejamkan mata atau alihkan pandang ke suatu bidang putih. Bunga merah muda akan tampak sebagai bayangan, after-image. Hijau dan merah adalah pasangan yang berkebalikan.
The Order Of Phoenix 15 Si Racun Dari Barat See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan Karya Jin Yong Petir Di Mahameru Empat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama