Ceritasilat Novel Online

Catatan Dari Bawah Tanah 1

Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy Bagian 1


By: Fyodor Mikhailovitsy Dostoyevski
BAGIAN I BAWAH TANAH AKU orang sakit " Aku orang pendendam. Aku orang yang tidak menarik. Aku yakin hatiku mengidap
penyakit. Sungguhpun begitu, aku tidak tahu apa-apa tentang penyakitku, dan tidak tahu pasti
penyakitku sebetulnya. Aku tidak pernah minta nasihat dokter, biarpun aku cukup menghargai ilmu
kedokteran. (Pendidikanku cukup baik untuk tidak jadi orang penuh takhyul, namun sungguhpun
begitu aku percaya takhyul). Tidak, aku menolak menemui dokter karena perasaan kesalku. Itu anda
tentu tidak akan mengerti. Tapi aku mengerti. Tentu saja, aku tidak bisa menjelaskan siapa orang
yang membuat aku sekarat dalam keadaan kesal ini: aku sadar betul bahwa aku tidak bisa
"menyingkirkan" para dokter tanpa mendatangi mereka; aku tahu, lebih dari siapa pun juga, bahwa
dengan berbuat begitu aku hanya merusak diriku dan bukan orang lain. Tapi pendeknya, kalau aku
tidak mau minta nasihat dokter, maka itu kulakukan karena rasa kesal. Hatiku tidak sehat
keadaannya, kalau ia mau lebih sakit, boleh saja!
Sudah lama aku seperti ini " dua puluh tahun. Kini umurku empat puluh. Dulu aku jadi pejabat
pemerintah, tapi kini tidak lagi. Aku seorang pejabat yang penuh rasa kesal. Aku kasar dan merasa
puas bersikap begitu. Soalnya, aku tidak mau menerima sogokan , dan karena itu aku setidaktidaknya harus dapat imbalan lain. (Olok-olok yang tidak berpadanan, tapi ini tidak akan kucoret.
Aku menuliskannya, karena kukira ini akan bijak sekali kedengarannya; tapi setelah aku sendiri
sadar, bahwa aku sebetulnya hanya ingin pamer dengan cara yang memuakkan, dengan sengaja aku
tidak mau mencoretnya.) Jika ada pemohon-pemohon yang datang minta keterangan ke mejaku, aku biasanya menggertakgertakkan gigiku pada mereka, dan aku merasakan kesenangan yang dalam sekali jika aku berhasil
membuat orang susah. Aku boleh dikatakan selalu berhasil. Mereka sebagian besar orang yang
takut-takut " tentu saja, mereka itu orang-orang yang memohon sesuatu. Tapi yang paling tinggi di
antara mereka dan yang paling tidak kusenangi ialah seorang perwira. Dia menolak untuk
merendahkan diri, dan ia mengelentangkan pedangnya dengan cara yang menjengkelkan sekali.
Selama delapan belas bulan aku bermusuhan dengan dia karena persoalan pedang itu. Akhirnya ia
bisa kutundukkan. Ia pergi sambil mengelentangkan pedangnya. Tapi kejadian itu berlangsung
waktu aku masih muda. Tapi apa anda tahu, tuan-tuan, apa yang jadi pokok rasa kesalku" Soalnya, tusukannya yang paling
terasa ini terkandung dalam kenyataan, bahwa aku tak henti-hentinya, bahkan di saaat aku lagi
jengkel sejadi-jadinya, batinku sadar akan rasa Maluku, karena sebetulnya aku bukan saja bukan
orang yang penuh rasa kesal, malahan aku bukan orang yang getir, bahwa yang kukerjakan tidak
lebih dari menakut-nakuti burung laying-layang seenaknya dan merasa puas dengan itu. Mulutku
bisa saja berbusa-busa, tapi beri aku boneka kawan bermain, atau beri aku secangkir teh manis, aku
mungkin akan jadi lunak. Bahkan bukan mustahil aku akan terharu dengan sungguh-sungguh,
biarpun mungkin sekali aku akan menggertakkan geraham pada diriku sendiri sesudah itu dan
selama berbulan-bulan tidak bisa tidur malam karena penyesalan. Begitulah caraku.
Aku berdusta, waktu aku tadi mengatakan bahwa aku seorang pejabat yang penuh rasa kesal. Aku
berdusta karena kekesalan. Aku hanya menyenangkan hatiku dengan para pemohon dan perwira
itu, karena sebetulnya aku tidak bisa betul-betul kesal. Setiap saat aku sadar akan unsure yang
banyak, banyak sekali, yang betul-betul bertentangan dengan hal itu. Aku tahu mereka selama
hidupku berkumpul dalam diriku dan mencari-cari jalan untuk keluar, tapi aku tidak membiarkan
mereka, aku tidak akan membiarkan mereka keluar, dengan sengaja. Mereka menyiksa aku hingga
aku merasa menyesal; mereka membuat aku meringkuk " dan memuat aku sakit, oh, bukan main
sakitnya aku mereka buat. Nah, tuan-tuan, apa anda tidak mengira bahwa aku menyatakan
penyesalan karena sesuatu, bahwa aku memohonkan maaf untuk sesuatu" Aku yakin anda tentu
berfikiran begitu". Tapi, percayalah, aku tidak perduli apakah anda".
Bukan saja aku tidak bisa jadi orang yang kesal, aku bahkan tidak tahu caranya untuk menjadi apa
pun jua: baik jadi orang yang kesal ataupun yang ramah, jadi bajingan atau orang yang jujur, jadi
pahlawan atau seekor serangga. Kini, aku menghabiskan umurku di sudutku, sambil mentertawakan
diriku dengan hiburan yang sia-sia dan penuh rasa kesal bahwa seorang lelaki yang cerdas tidak
mungkin bisa jadi apa-apa. Ya, lelaki awal abad kesembilan beras harus menjadi dan terutama
memiliki moral orang yang tidak punya watak sama sekali; manusia berwatak, manusia yang gesit,
pada dasarnya adalah seorang manusia terbatas. Itulah keyakinanku selama empat puluh tahun.
Umurku kini empat puluh, dan anda tahu empat puluh tahun sama artinya dengan seluruh
kehidupan; anda tahu itu umur yang tua sekali. Hidup lebih lama dari empat puluh itu tidak sopan,
konyol, dan immoril. Siapa orang yang hidup lebih dari empat puluh tahun" Coba jawab dengan
jujur dan terus terang. Aku akan katakan: orang dungu dan orang tak berguna. Hal ini kukatakan
dengan terus terang kepada semua orang tua, semua orang tua yang rapuh, semua sesepuh yang
berambut putih dan dihormati! Aku akan mengatakannya dengan terus terang kepada seluruh
dunia! Aku berhak untuk mengatakannya, karena aku sendiri ingin terus sampai mencapai umur
enam puluh. Sampai tujuh puluh! Sampai delapan puluh!... Tunggu dulu, biar aku bernafas dulu".
Tuan-tuan, anda tentu mengira bahwa aku lagi ingin menghibur diri. Anda salah sangka. Aku sama
sekali bukan orang periang seperti yang anda kira, atau seperti yang mungkin anda kira; tapi biarpun
anda jengkel karena semua ocehan ini (aku tahu anda jengkel) anda merasa pantas untuk
menanyakan siapa aku, maka jawabku ialah, aku seorang juru taksir. Aku bekerja pada pemerintah
hanya supaya bisa makan (semata-mata karena itu) hingga tatkala tahun yang lampau seorang
keluarga jauh mewariskan kepadaku enam ribu rubel, aku segera mengundurkan diri dari jabatanku
lalu bermukim di sudutku. Dulu sudah pernah aku juga berdiam di sudut ini, tapi kini aku betul-betul
sudah menetap. Kamarku sebuah kamar yang memuakkan dan menjijikan, terletak di pinggiran kota.
Pelayanku seorang perempuan desa tua, sempit hati karena bodoh dan yang lebih tidak
menyenangkan lagi, baunya selalu tidak enak. Orang mengatakan padaku, bahwa iklim Petersburg
tidak baik untukku dan bahwa dengan keuanganku yang tidak kuat, hidup di Petersburg bagiku
terlalu mahal. Semuanya itu aku lebih tahu dari segala orang pintar dan penasihat berpengalaman
serta para pengamat ini" tapi aku tetap tinggal di Petersburg; aku tidak akan pergi dari Petersburg!
Aku tidak akan pergi karena" ah! Sebetulnya tidak jadi soal apa aku pergi atau tidak.
Tapi apa pokok pembicaraan yang paling disenangi seorang lelaki yang baik" Jawabnya: Dirinya
sendiri. Nah, kini aku akan bicara tentang diriku sendiri.
KINI, tuan-tuan, aku akan menceritakan, apa anda ingin mendengarkan atau tidak, kenapa aku
bahkan tidak bisa jadi seekor serangga. Dengan sungguh-sungguh kukatakan, bahwa aku sudah
berkali-kali mencoba untuk jadi serangga. Tapi bahkan untuk jadi itu aku tidak sanggup. Percayalah,
tuan-tuan, adalah penyakit bagi kita kalau kita jadi terlalu sadar " penyakit yang betul-betul parah.
Untuk kebutuhan sehari-hari cukuplah kalau kita memiliki kesadaran biasa, artinya, separuh atau
seperempat dari yang harus jadi bagian setiap lelaki terpelajar abad kesembilan belas kita yang
malang ini, terlebih-lebih orang yang punya nasib buruk yang fatal karena diam di Petersburg, kota
yang paling memerlukan perhitaungan di seluruh jagad ini. (Ada kota memerlukan perhitungan ada
yang tidak memerlukan perhitungan). Misalnya, cukuplah kalau kita memiliki kesadaran setiap orang
yang disebut orang yang praktis dan orang yang gesit. Aku yakin anda tentu mengira semuanya ini
kutuliskan karena ingin berlebih-lebihan, karena ingin melucu demi kerugian semua orang yang
gesit; bukan itu saja, karena sifat suka melebih-lebihkan yang buruk, aku mengelentangkan
pedangku bagai perwiraku yang dulu. Tapi tuan-tuan, mana ada orang yang membanggakan diri
karena penyakitnya dan bahkan menyombongkannya.
Biarpun, setiap orang melakukannya; orang memang senang membanggakan penyakitnya sendiri,
dan aku, barangkali telah melakukannya lebih dari siapa pun jua. Hal ini tidak perlu kita
pertengkarkan; ketetapan ini memang aneh. Tapi kini aku yakin sekali, bahwa sebagian besar dari
kesadaran, kesadaran yang mana pun juga, sebetulnya suatu penyakit. Aku berpegang teguh pada
itu. Mari kita kesampingkan itu barang beberapa saat dulu. Coba katakan: kenapa pada saat aku, ya,
persis pada saat-saat aku paling sanggup merasakan setiap kehalusan semua yang "baik dan indah",
seperti dulu pernah dikatakan orang, kenapa justru pada saat itu, seperti direncanakan, aku tidak
saja merasakan tapi juga sanggup melakukan hal-hal yang buruk, seperti misalnya" Pokoknya, yang
mungkin sekali dilakukan semua orang; tapi, yang seolah-olah dengan sengaja timbul dalam diriku
pada saat aku sadar sekali, bahwa itu tidak boleh terjadi. Makin sadar aku akan kebaikan dan akan
semua yang "baik dan indah", makin dalam aku tenggelam dalam lumpurku dan makin siap aku
untuk lenyap ke dalamnya. Tapi yang jadi soal adalah, karena semuanya ini buat aku bukan sesuatu
yang kebetulan, tapi yang memang seharusnya terjadi. Seolah-olah keadaan ini bagiku keadaan yang
paling wajar, sama sekali tidak merupakan penyakit atau cacat, hingga akhirnya semua keinginanku
untuk melawan cacat ini hilang sama sekali. Hingga akhirnya aku hampir-hampir percaya (barangkali
aku sudah percaya) bahwa mungkin beginilah keadaanku yang paling wajar. Tapi mula-mula,
pertama kali, alangkah beratnya penderitaan yang kualami dalam pergualatan ini. Aku tidak yakin
bahwa juga demikian halnya dengan orang lain, hingga selama hidupku hal mengenai diriku ini
kusembunyikan sebagai rahasia. Aku malu (bahkan kini mungkin aku masih malu): aku sudah sampai
pada titik tempat aku merasakan semacam kenikmatan aneh penuh rahasia dan memuakkan waktu
pulang ke sudutku pada suatu malam Petersburg yang memualkan, penuh kesadaran bahwa pada
hari itu aku lagi-lagi melakukan perbuatan yang keji, bahwa apa yang telah dilakukan tidak bisa
dihapus lagi, dan dengan diam-diam menggerogoti diriku sendir karenanya, merobek dan melahap
diriku sendiri hingga akhirnya kegetiran itu berobah menjadi semacam kemanisan terkutuk yang
memalukan, dan akhirnya " jadi kenikmatan yang betul-betul nikmat! Ya, jadi kenikmatan,
kenikmatan! Itu harus dikatakan. Hal ini kubicarakan karena aku ingin sekali tahu apa orang lain
merasakan kenikmatan itu. Aku akan jelaskan: kenikmatan itu berasal dari kesadaran kejatuhan diri
kita sendiri yang sangat dalam. Ia lahir dari perasaan bahwa kita sudah mencapai halangan terakhir,
bahwa ia mengerikan, tapi bahwa tidak ada kemungkinan lain; bahwa buat kita tidak ada jalan
keluar; bahwa kita tidak bisa jadi manusia yang lain; bahwa biarpun waktu dan keyakinan masih
tersisa untuk merobah diri kita menjadi sesuatu yang lain, kita mungkin sekali tidak ingin untuk
berobah; atau jika toh kita menginginkannya kita tidak juga akan melakukan apa-apa; karena
mungkin sekali dalam kenyataannya tidak ada sesuatu bagi kita untuk mengubah diri.
Yang paling buruk dan yang menjadi akar segala-galanya, ialah, bahwa kesemuanya sesuai dengan
hukum-hukum dasar biasa dari kesadaran yang terlalu mendesak dan kelambanan yang merupakan
akibat langsung hukum itu, dan oleh karena itu kita bukan saja tidak bisa merobah diri, tapi malahan
tidak dapat berbuat apa pun juga. Dengan demikian, sebagai hasil dari kesadaran yang mendesak,
maka kita tidak boleh disalahkan kalau kita jadi seorang bajingan. Seolah-olah itu semacam hiburan
bagi seorang bajingan begitu ia menyadari bahwa ia sebetulnya seorang bajingan. Tapi cukup
sekian" Ah, sudah banyak omong kosong yang kuutarakan, tapi apa yang sudah kujelaskan"
Bagaimana kita harus menjelaskan kenikmatan yang terdapat di dalamnya" Tapi aku akan jelaskan.
Aku akan sampai ke dasar persoalannya! Karena itu aku mengankat pena untuk menulis".
Aku, misalnya punya banyak sekali amour propre. Aku sama curiganya dan sama mudahnya
merasakan suatu hinaan seperti seorang bongkok atau seorang kate. Tapi demi kehormatanku aku
sering mengalami saat-saat, bilamana aku ditampar, aku barangkali akan merasa senang. Dengan
jujur, kukatakan, bahwa aku mungkin sekali dapat menemukan di dalamnya semacam kenikmatan
khusus " tentu saja, kenikmatan dari keputusasaan; tapi dalam keputusasaan terkandung
kenikmatan-kenikmatan yang paling dalam, terutama kalau kita sadar sekali bahwa keadaan kita
tidak bisa tertolong lagi. Dan jika kita ditampar orang " maka kesadaran bahwa kita diremuk-remuk
jadi serbuk pasti akan menguasai kita. Celakanya, dari segi mana pun ia kita tinjau, akibatnya ialah,
bahwa aku juga yang selalu disalahkan karena segala-galanya. Yang pling menyakitkan, ialah karena
kita disalahkan, biarpun bukan kita yang salah, tapi karena hukum alam. Pertama-tama
dipersalahkan, karena aku lebih pintar dari siapa saja di sekitarku. (Aku selalu menganggap diriku
lebih pintar dari siapa pun jua di sekitarku, dan kadang-kadang, anda boleh percaya, aku betul-betul
merasa malu. Pendeknya, seumur hidupku aku selalu memalingkan muka dan tak pernah menatap
mata orang). Akhirnya dipersalahkan, karena biarpun aku memiliki sifat pemurah, aku justru hanya
akan menderita karena sadar akan ketiadagunaannya. Aku pasti tidak bisa melakukan apa pun juga
hanya karena aku murah hati " bahkan juga tidak untuk member maaf, karena penghadangpenghadangku barangkali akan menampar aku karena hukum alam, dan kita tidak bisa memaafkan
hukum alam; juga tidak untuk melupakan, karena biarpun semuanya disebabkan oleh hukum alam,
ia tetap dirasakan sebagai penghinaan. Akhirnya, jika aku berkeinginan untuk jadi apa pun jua,
kecuali jadi orang pemurah, dan sebaliknya berkeinginan membalaskan dendamku pada orang yang
telah menyerang aku, aku tidak akan membalas dendam pada sia pun jua dan untuk apa pun jua,
karena pasti sudah, aku tidak akan bisa mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu, biarpun
aku bisa melakukannya. Kenapa aku tidak mengambil keputusan" Khusus mengenai hal ini aku ingin
menyampaikan sepatah dua patah kata.
BAGAIMANA halnya dengan orang-orang yang tahu membalas dendam dan membela diri sendiri"
Kenapa, jika misalnya mereka dirasuki oleh rasa keinginan membalas dendam, kenapa untuk saat ini
dalam dirinya hanya perasaan itu yang ada, dan tidak ada perasaanlain" Orang seperti itu langsung
menubruk sasarannya bagai seekor banteng yang marah dengan tanduk ke bawah, hingga tidak ada
yang bis amenahan kecuali sebidang dinding. (Sambil lalu: dalam menghadapi dinding, orang-orang
seperti itu " yaitu orang-orang "langsung" dan orang-orang yang gesit " betul-betul heran. Bagi
mereka dinding bukanlah suatu dalih, seperti untuk kita, orang-orang yang berfikir dank arena itu
tidak berbuat apa-apa; dinding bukanlah dalih untuk berbalik, dalih yang kita terima dengan penuh
kegembiraan, biarpun biasanya kita sendiri tidak yakin pada dalih itu. Ya, mereka betul-betul heran
dengan sungguh-sungguh. Bagi mereka dinding adalah sesuatu yang menenangkan, sesuatu yang
mengelus moral, akhirnya " malahan mungkin dinding itu merupakan sesuatu yang misterius" tapi
mengenai dinding ini nanti saja.)
Orang seperti itu kuanggap sebagai manusia yang benar-benar wajar, sesuai dengan keinginan ibu
Alamnya yang lembut waktu ia wujudkan dengan anggun di bumi ini. Aku iri hati pada orang seperti
itu hingga mukaku hijau karenanya. Dia bodoh. Yang mau kupersoalkan bukan itu, tapi mungkin
manusia wajar mestinya bodoh, siapa tahu. Mungkin juga kenyataan ini akan indah sekali, dan aku
jadi lebih yakin pada kecurigaan ini, sekiranya dapat kita katakana begitu, berdasarkan kenyataan,
bahwa kalau misalnya kita perhatikan kebalikan dari seorang manusia wajar, yaitu manusia yang
mempunyai kesadaran yang dalam, yang lahir, tentu saja bukan dari haribaan Alam tapi dari sebuah
tabung (ini sudah hampir mirip mistik, tuan-tuan, tapi aku curiga juga), manusia hasil tabung ini
kadang-kadang terheran-heran di hadapan kebalikannya, bahwa dengan segala kesadarannya yang
berlebih-lebihan ia sebetulnya menganggap dirinya seekor tikus dan bukan manusia. Mungkin dia
seekor tikus yang terlalu sadar, tapi bagaimanapun jua tetap tikus, sedangkan yang seorang lagi
manusia, dank arena itu dan sebagainya dan sebagainya. Celakanya, dia sendiri, pribadinya sendiri,
menganggap dirinya seekor tikus; tidak ada orang yang meminta supaya dia berbuat begitu; itu soal
yang paling pokok. Sekarang mari kita perhatikan tikus ini kalau ia lagi bertindak. Mari kita misalkan,
bahwa ia juga merasa dirinya dihina, dan juga (memang biasanya ia merasa dirinya dihina) ingin
membalas dendam. Bahkan dalam dirinya mungkin kebencian bisa bertumpuk lebih banyak
daripada dalam diri l"homme de la nature et de la v"rit". Keinginan rendah dan busuk untuk
melampiaskan kebenciannya itu pada penyerang-penyerangnya mungkin lebih mendesak daripada
yang kita temui pada l"homme de la nature et de la v"rit". Berkat kebodohan yang sudah jadi
pembawaannya, manusia terakhir ini menganggap pembalasan sebagai suatu keadilan yang murni
dan bersahaja; sedangkan tikus itu, sebagai akibat dari kesadarannya yang menonjol tidak yakin
akan keadilan perbuatan itu. Sekarang kita sampai pada tindakan itu sendiri, pada tindakan
pembalasan. Kecuali kebusukan pokok yang satu itu, yang berhasil diciptakan tikus malang itu,
sekitarnya masih banyak lagi kebusukan lain dalam bentuk kesangsian-kesangsian dan masalahmasalah, yang menambahkan pada masalah yang satu itu sekian banyak masalah yang tidak
terpecahkan, hingga ia merupakan suatu campuran yang membunuh di sekitarnya, suatu kekacauan
busuk, yang terdiri dari keraguan, emosi dan pandangan rendah yang diludahkan oleh orang-orang
langsung yang sanggup bertindak, yang berada di sana dan bertindak sebagai hakim dan wasit, yang
ketawa terbahak-bahak hingga pinggangnya terasa sakit. Tentu saja, satu-satunya perbuatan yang
tersisa, ialah mengipaskannya dengan suatu gerakan tangan disertai senyuman yang dibuat-buat
yang sama sekali tidak ia yakini, lalu menyuruk kembali ke dalam lobangnya. Di sana, dalam
rumahnya yang berada di bawah tanah, mengesalkan dan bau busuk, tikus kita yang sudah terhina,
hancur dan jadi olok-olok orang, segera tenggelam dalam suatu rasa kesal yang dingin, ganas dan
terutama tak kunjung habis. Selama empat puluh tahun ia mengingat kesakitan-kesakitan yang ia
rasakan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya dan paling menghina, dan setiap kali ia dengan
sendirinya akan menambahkan ditil-ditil yang terasa lebih menyakitkan, dan dengan demikian
mengganggu dan menyiksa dirinya dengan penuh kebencian, dengan imajinasinya sendiri. Tikus itu
sendiri akan malu karena angan-angannya, tapi sungguhpun begitu ia lagi-lagi akan mengingatnya
kembali, dan mengulangi ditil demi ditil. Ia akan mencari-cari hal yang tidak masuk akal terhadap
dirinya sendiri, sambil mengira-ngira bahwa hal seperti itu mungkin saja terjadi, dan menolak untuk
memaafkan apa pun jua. Mungkin juga ia akan mulai mengadakan pembalasan, tapi secara sedikitsedikit, dengan cara kecil-kecilan, dari balik tungku, incognito, tanpa keyakinan bahwa ia berhak
melakukan pembalasan atau berhasilnya pembalasan itu, dengan penuh kesadaran bahwa semua
usahanya melakukan pembalasan itu akan membuat dia seratus kali lebih menderita daripada orang
yang jadi sasaran pembalasannya, sedangkan orang itu, aku yakin, bahkan tergores-gores pun juga
tidak. Di atas ranjang kematiannya itu akan mengingat segalanya itu kembali, ditambah bunga yang
sudah bertumpuk bertahun-tahun dan . . . . .
Tapi justru dalam separuh keputusasaan dan separuh keyakinan yang dingin dan memuakkan, dalam
penguburan diri sendiri secara sadar di bawah tanah selama empat puluh tahun karena sedih, dalam
kedudukan yang sebagian diakui sebagian disangsikan, dalam neraka kegagalan keinginan, dalam
demam kebingungan, dan tekat yang sudah ditetapkan untuk selama-lamanya tapi semenit
kemudian disesali " dalam itulah terletak penyelamatan kenikmatan aneh yang harus kukatakan itu.
Ia begitu halus, begitu sulit untuk diuraikan hingga orang-orang yang agak terbatas, atau bahkan
orang-orang yang kuat sarafnya, sedikit pun tidak akan dapat memahaminya. "Mungkin," demikian
anda menambahkan sambil menyeringai, "orang-orang yang belum pernah mendapat tamparan
tidak akan dapat memahaminya," dan dengan demikian menyindir aku dengan sopan, bahwa juga
aku pernah beroleh tamparan dalam hidupku, hingga kini aku bisa bicara sebagai orang yang
mengerti. Aku yakin anda tentu berfikir demikian. Tapi tenanglah, Tuan-tuan, aku belum pernah
ditampar orang, biarpun bagiku tidak jadi soal apa pendapat anda tentang itu. Mungkin, aku
menyesal karena begitu jarang ditampar orang selama hidupku. Tapi cukuplah . . . . Cukup sekian
pembicaraan tentang hal yang begitu menarik buat anda.
Aku dengan senang akan melanjutkan tentang orang-orang yang bersaraf kuat yang tidak
memahami kenikmatan yang bersifat halus. Biarpun dalam keadaan-keadaan tertentu tuan-tuan ini
memperdengarkan suara keras bagai seekor sapi jantan, meskipun ini bisa kita anggap sebagai nilai
mereka yang tertinggi, tapi seperti tadi telah kukatakan, begitu mereka berhadapan dengan suatu
kemustahilan, mereka segera mengalah. Yang dimaksud dengan kemustahilan itu sebuah dinding
batu! Dinding batu mana" Tentu saja, hukum alam, deduksi ilmu alam, matematika. Begitu mereka
buktikan pada kita, misalnya, bahwa kita adalah turunan monyet, maka tidak ada gunanya lagi ributribut, terimalah itu sebagai kenyataan. Jika mereka telah buktikan untuk kita bahwa setetes gemuk
badan kita lebih berharga bagi kita dari seratus sesama mahluk lain, dan bahwa kesimpulan ini
adalah penyelesaian terakhir dari semua yang disebutkan kebaikan dan kewajiban dan segala
macam prasangka dan angan-angan, maka terimalah itu, tidak ada jalan lain, karena dua kali dua
merupakan hukum matematika. Tidak ada gunanya dibantah.
"Betul," demikian mereka akan teriak pada kita, "tidak ada gunanya membantah: soalnya, dua
tambah dua sama dengan empat! Alam tidak minta persetujuanmu, dia tidak ada urusan dengan
keinginan-keinginanmu, dan apa kau suka atau tidak suka pada hukum-hukumnya, kau tidak bisa
tidak harus menerima dia sebagaimana adanya, dan dengan begitu juga semua kesimpulannya.
Sebuah dinding, soalnya, ialah sebuah dinding . . . . dan sebagainya dan sebagainya."
Tuhan yang pemurah! Tapi perduli apa aku akan hukum alam atau ilmu hitung, jika oleh karena
sesuatu sebab aku tidak suka pada hukum-hukum itu dan kenyataan dua tambah dua sama dengan
empat" Tentu saja aku tidak bisa menembus dinding itu dengan jalan membenturkan kepalaku
padanya sekiranya aku betul-betul tidak punya kekuatan untuk meruntuhkannya, tapi aku tidak


Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menyerah padanya hanya karena ia dinding batu dan aku tidak punya kekuatan.
Seolah-olah dinding batu itu suatu hiburan, dan betul-betul menyimpan kata-kata perdamaian,
hanya karena ia sama benarnya seperti dua kali dua sama dengan empat. Oh, keedanan dari semua
keedanan lebih baik untuk memahaminya, mengakui semua, semua kemustahilan dinding batu ini
agar tidak menyerah pada salah satu kemustahilan dan dinding batu itu seandainya penyerahan
padanya memuakkan kita; untuk mencapai kesimpulan yang paling memuakkan tentang tema abadi
dengan jalan perpaduan-perpaduan yang logis dan paling tidak bisa dihindarkan, bahwa engkau
sendirilah yang harus dipersalahkan dengan adanya dinding batu itu, biarpun jelas bak hari bahwa
kau sebetulnya tidak bisa dipersalahkan sedikitpun, dan karena itu sambil menggertakan geraham,
karena ketiadaan daya yang membisu, lalu tenggelam dalam suatu kelambanan yang mewah, sambil
mengeramkan kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang tersedia bagimu untuk dijadikan
sasaran kebencian, bahwa kau tak punya, dan mungkin tidak akan pernah punya, sasaran untuk
kebencianmu, bahwa itu hanya sekadar kecepatan tangan, semacam cara mengocok kartu,
kecerdikan seorang pemain kartu bahwa ia tidak lebih dari suatu kekusutan, tanpa mengetahui apa
atau siapa, tapi biarpun ketidakpastian dan kelicikan ini ada, kau masih merasakan suatu keperihan.
Makin banyak yang tidak kauketahui, makin tajam rasa keperihan itu.
"HA, ha, ha! Nanti kau bahkan akan menemui kenikmatan dalam sakit gigi," demikian anda berteriak
sambil tertawa. "Kenapa tidak" Bahkan dalam sakit gigi juga ada kenikmatan," jawabku. Aku pernah sakit gigi selama
sebulan dan aku merasakan kenikmatan itu ada. Dalam hal itu, tentu saja orang tidak membenci
dengan diam, tapi mengerang; cuma erangan itu bukanlah erangan menyenangkan, tapi erangan
ganas, dan keganasan itu di sini soal pokok. Kenikmatan penderita memperoleh bentuknya dalam
erangan ini; jika ia tidak menemui kenikmatan dalamnya maka ia tidak akan mengerang. Ini adalah
sebuah contoh yang baik, tuan-tuan, dan kini aku akan menjabarkannya. Erangan ini pertama-tama
mengutarakan ketiadaan tujuan rasa sakit anda, rasa sakit yang begitu menyakiti kesadaranmu;
seluruh sistim perundang-undangan alam yang tentu saja anda ludahi dengan penuh rasa hina, tapi
biar bagaimanapun juga tetap membuat anda tersiksa, sedangkan dia tidak. Erangan ini
mengutarakan kesadaran bahwa anda tak punya musuh yang harus anda hukum, tapi bahwa anda
menderita sakit; kesadaran bahwa kendatipun ada segala macam vagenheim anda tetap merupakan
buak dari gigi anda; bahwa jika orang menginginkan maka gigi anda akan berhenti sakit, dan jika
orang itu tidak menginginkan maka ia akan tetap sakit selama tiga bulan lagi; dan akhirnya kalau
anda masih saja mengumpat-umpat dan menyatakan keberatan, satu-satunya yang tersisa untuk
memuaskan hati anda ialah menyiksa diri atau meninju dinding dengan tinju sekuat mungkin, lain
tidak ada. Nah, hinaan-hinaan yang parah ini, sorakan-sorakan seorang yang tidak dikenal ini,
akhirnya akan berakhir pada suatu kenikmatan yang kadang-kadang bisa mencapai kelezatan tingkat
tertinggi. Aku minta kalian, tuan-tuan, untuk sekali-sekali mendengarkan erangan seorang lelaki
terpelajar abad ke Sembilan belas yang lagi menderita sakit gigi, pada hari erangan kedua atau
ketiga, tatkala ia mulai mengerang, beda dengan erangan hari pertama, artinya, bukan sekadar
karena ia sakit gigi, tidak sebagai petani sembarangan, tapi sebagai seorang yang dipengaruhi oleh
kemajuan dan peradaban Eropah, seseorang yang sudah "terpisah dari bumi dan unsure-unsur
nasional," seperti sering dikatakan orang dewasa ini. Erangannya mulai menjengkelkan, ganas,
memuakkan dan berlangsung terus-menerus berhari-hari dan bermalam-malam. Tentu saja dia juga
tahu bahwa erangan ini sama sekali tidak akan membawa kebaikan baginya; ia tahu, lebih dari siapa
pun, jua, bahwa ia hanya menyobek-nyobek dan menggoda dirinya sendiri dan orang lain dengan
tak berguna; ia tahu bahkan ada penonton di hadapannya dan melihat usaha yang dilakukan itu dan
seluruh keluarganya, menyimaknya dengan rasa benci, dan sedikit pun tidak percaya padanya, dan
dalam hati mereka mengerti bahwa ia sebetulnya bisa mengerang dengan cara lain, dengan cara
yang lebih bersahaja, tanpa getaran-getaran dan bunga-bunga langsat, dan bahwa ia memuaskan
hatinya dengan berbuat begitu semata karena kekesalan, karena niat jahat. Nah, justru dalam
pengakuan dan kerendahan inilah terkandung nikmat yang paling lezat. Seolah-olah ia mau
mengatakan, "Aku menggoda kalian, aku menyiksa hati kalian, aku membuat semua orang di rumah
ini tidak bisa tidur. Nah, bangunlah kalian semua supaya setiap menit kalian dapat merasakan bahwa
aku sakit gigi. Kini bagi kalian aku bukan pahlawan, seperti yang kalian lihat sebelum ini sebagai
seorang yang menjengkelkan, seorang penipu. Baiklah kalau begitu. Aku puas sekali kalian tahu yang
sebenarnya. Buat kalian memang menjengkelkan untuk mendengarkan eranganku yang
memuntahkan; baiklah, biarlah menjengkelkan; sebentar lagi kalian akan kuberi sesuatu yang lebih
menjengkelkan . . . ." Apa kalian kini belum juga mengerti, tuan-tuan" Tidak, rupa-rupanya
perkembangan dan kesadaran kita harus tumbuh lebih jauh untuk dapat memahami liku-liku
kenikmatan ini. Kalian tertawa" Baik. Olok-olokku, tuan-tuan, tentu saja konyol, tersentak-sentak,
terlalu berkepentingan dan tidak memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Tapi itu tentu saja karena
aku tidak menaruh hormat pada diriku sendiri. Apa seseorang yang punya daya penglihatan bisa
menaruh hormat pada dirinya sendiri"
AYUHLAH, apa mungkin seseorang yang mencoba menemui kenikmatan dalam pesaran kehinaan
dirinya sendiri memiliki rasa hormat terhadap dirinya, biarpun sedikit" Ini kukatakan kini bukan
karena suatu penyesalan yang hambar. Memang aku tidak akan sanggup mendengar ucapan,
"Maafkan aku Bapa, tidak akan kulakukan lagi," bukan karena aku tidak sanggup mengucapkannya "
sebaliknya, justru barangkali aku terlalu sanggup untuk mengucapkannya, dan dengan cara yang
bagus sekali! Seperti telah direncanakan aku selalu terlibat kesulitan-kesulitan padahal aku tidak
bisa disalahkan. Itu seginya yang paling menjengkelkan. Pada saat yang sama aku terharu dan
menyesal dengan sungguh-sungguh, aku biasanya mengucurkan air mata, dan dengan sendirinya
menipu diriku sendiri, biarpun aku sama sekali main sandiwara dan dalam hatiku aku merasakan
perasaan sakit pada saat itu . . . . Untuk hal itu kita bahkan tidak bisa menyalahkan hukum-hukum
alam, biarpun selama hidupku hukum-hukum alam selalu menyakiti aku, lebih dari yang lain. Jijik
rasanya untuk mengingatnya, tapi bahkan waktu terjadinya ia sudah menjijikkan. Tentu saja sesaat
kemudian kita sadar dengan penuh kekesalan bahwa semuanya itu dusta, dusta yang menjijikkan,
dusta yang dibuat-buat, pendeknya, semua rasa penyesalan, emosi dan janji untuk merobah diri ini.
Anda akan bertanya buat apa aku merisaukan semua hal using seperti itu. Jawabnya, karena bosan
sekali rasanya duduk berpangku tangan, hingga kita mulai berangan-angan. Itu yang sebenarnya.
Coba teliti dirimu baik-baik, makan anda akan mengerti, bahwa demikianlah halnya. Aku
mengangan-angankan petualangan dan mengarang sebuah kehidupan, supaya dengan salah satu
cara aku merasakan hidup. Alangkah seringnya kejadian ini terjadi pada diriku " misalnya, dengan
sengaja merasa diri tersinggung, tanpa ada sebab; dan kita tentu bisa tahu bahwa kita tidak terhina
oleh apapun juga, bahwa semuanya itu adalah karangan, tapi sungguhpun begitu kita pada akirnya
berhasil membuat diri kita merasa, bahwa kita betul-betul sudah dihina. Selama hidupku au punya
kecenderungan untuk memainkan ini, hingga akhirnya aku tidak bisa lagi mengendalikannya dalam
diriku. Pernah, malahan sampai dua kali aku telah berusaha untuk jatuh cinta. Aku juga menderita,
tuan-tuan, anda boleh percaya. Jauh di lubuk hatiku tidak ada keyakinan pada penderitaanku, hanya
sekilas cemooh, tapi sungguhpun begitu aku menderita dengan cara kuno, dan sesungguhnya aku
cemburu luar biasa . . . . dan semuanya ini adalah karena ennui, tuan-tuan, semuanya karena ennui;
suatu kelembaman menguasai diriku. Anda tahu, akibat langsung dan sah dari kesadaran ialah
kelembaman, artinya dengan sadar duduk berpangku tangan. Sebelum ini juga sudah kusebut-sebut.
Kuulangi, kuulangi dengan nada yang lebih tajam; semua orang "langsung" dan manusia aktif punya
sikap aktif karena mereka bodoh dan punya pandangan terbatas. Kenapa begitu" Aku akan
katakana: sesuai dengan keterbatasan mereka, mereka mengira bahwa sebab langsung dan sebab
kedua ialah sebab pokok, dan dengan begitu mereka lebih mudah meyakinkan diri sendiri
dibandingkan dengan orang lain, hingga mereka memperoleh dasar yang kuat untuk kegiatannya.
Fikiran mereka jadi lega, dan anda tahu bahwa itu adalah penting sekali. Untuk memulai suatu
tindakan, seperti anda ketahui, fikiran kita harus tenang. Di dalamnya tidak boleh ada sedikit pun
keraguan yang tinggal. Dan aku, bagaimana aku misalnya bisa menenangkan fikiranku" Mana sebabsebab pokok yang dapat kujadikan sendi" Mana penopang-penopangku" Dari mana harus
kuperoleh" Aku melatih diri untuk merenung ke belakang, hingga bagiku setiap sebab utama dengan
segera menimbulkan sebab lain yang lebih utama lagi, dmeikian seterusnya. Itulah hakikat dari
setiap kesadaran dan refleksi. Ini tentu suatu persoalan hukum alam lagi. Apa akhirnya berhasil"
Sama saja. Tolong ingat, aku baru saja bicara tentang pembalasan. (Aku yakin anda tidak
memperhatikannya) Aku mengatakan, bahwa seseorang melakukan pembalasan karena ia
menganggap perbuatan itu adil. Ia menemui suatu sebab utama yaitu keadilan. Dengan demikian ia
merasa lega dan tenang dan dapat melakukan pembalasannya dengan tenang dan berhasil, karena
ia sudah yakin, apa yang ia lakukan itu adalah adil dan jujur. Tapi aku tidak melihat keadilan
dalamnya, dan aku juga tidak bisa melihat kebajikan di dalamnya, dan karena itu kalau aku mencoba
melakukan pembalasan, maka hal itu kulakukan hanya karena rasa kesal. Tentu saja, kekesalan
dapat menguasai segala-galanya, semua keraguanku, hingga ia dapat dipergunakan dengan baik
sebagai ganti sebab utama, justru karena ia tidak merupakan suatu sebab. Tapi apa yang harus
dilakukan, kalau bahkan rasa kesal aku tidak memiliki" (Kini aku baru saja mulai dengan itu). Sebagai
akibat dari hukum kesadaran yang terkutuk itu, maka kemarahan dalam diriku bisa mengalami
disintegrasi kimia. Kita memperhatikannya, sasaran lenyap ke udara, akal kita sirna, orang jahat
tidak lagi bisa ditemui, yang slah tidak lagi merupakan yang salah, tapi telah berobah jadi hantu, lain
halnya dengan sakit gigi, untuk apa tidak seorang pun bisa disalahkan, hingga akhirnya satu-satunya
jalan keluar yang tersisa ialah jalan keluar yang sama " yaitu, memukul dinding sekuat tenaga. Lalu
kita melepaskannya dengan suatu gerakan tangan karena kita tidak bisa menemui suatu sebab yang
bersifat fundamental. Sekarang cobalah biarkan diri kita terbawa oleh perasaan kita, secara
membabi buta, tanpa refleksi, tanpa sebab utama, menyingkirkan semua kesadaran, setidaktidaknya untuk kali ini; membencilah atau bercintalah, supaya jangan sampai duduk berpangku
tangan. Paling lambat lusa, kita sudah boleh mulai membenci diri kita sendiri karena kita telah
menipu diri kita sendiri dengan sengaja. Hasilnya: gelembung sabung dan kelembaman. Oh, tuantuan, anda tahu, mungkin aku menganggap diriku cerdik-cendekia hanya karena seumur hidupku
aku tidak bisa memulai atau menyelesaikan sesuatu. Misalkanlah aku seorang tukang banyak
omong, tukang omong yang tidak berbahaya, seperti kebanyakan kita. Tapi apa lacur kalau tugas
langsung dan tinggal setiap manusia yang cerdik dan cendekia ialah untuk mengobrol artinya
dengan sengaja menuang air melewati sebuah saringan"
OH, sekiranya aku tidak melakukan apa-apa hanya karena malas! Ya Tuhan, aku tentu masih bisa
menghormati diriku sendiri. Aku tentu bisa menghormati diriku sendiri karena setidak-tidaknya
dalam diriku seolah-olah ada suatu sifat yang positif, yang dapat kuyakini. Pertanyaan: Siapa dia"
Jawab: Orang malas; alangkah nikmatnya jika kita sendiri bisa mendengar itu. Ini artinya aku bisa
dirumuskan secara positif, hingga ada yang dapat dikatakan tentang diriku. "Pemalas" " oh, itu suatu
bakat dan panggilan hidup, suatu karier. Jangan ketawa, memang begitu. Dengan demikian aku
berhak jadi anggota klub yang terbaik dan bisa menemui kesibukan dengan menghormati diriku
terus-menerus. Aku kenal seorang tuan yang seumur hidupnya bangga sekali karena ia seorang ahli
peneliti tentang Lafitte. Ia menganggap ini sebagai sifatnya yang positif dan ia tidak pernah ragu
pada dirinya sendiri. Ia meninggal, tidak saja dengan hati sanubari yang tenang, tapi bahkan dengan
rasa menang, dan memang ia pantas berbuat begitu. Lalu aku bisa memilih karier untuk diriku
sendiri, aku bisa jadi seorang pemalas atau pelahap. Bukan yang biasa, tapi misalnya, seseorang
yang punya simpati terhadap semua yang baik dan indah. Bagaimana kalau begitu" Aku sudah lama
membayang-bayangkannya. Dalam usia empat puluh tahun yang "baik dan indah" itu betul-betul
membebani fikiranku. Tapi itu di kala usia empat puluh; dulu " oh dulu aku lain sekali. Aku akan
mencari suatu kesibukan sesuai dengan itu, yaitu, saban kali minum untuk kesehatan semua yang
"baik dan indah". Aku harus memanfaatkan setiap kesempatan untuk menentukan setitik air mata
ke dalam gelasku lalu mengosongkannya atas nama semua yang "baik dan indah". Dengan demikian
aku akan membuat semuanya jadi baik dan indah; di antara rongsokan yang paling jelas dan
menjengkelkan aku akan menyisihkan semua baik dan indah. Aku akan mencucurkan air mata bagai
sebuah karet busa yang sudah direndam. Seorang seniman misalnya, melukiskan sebuah lukisan
yang menimbulkan Keriangan. Lalu aku akan segera minum untuk kesehatan seniman yang telah
melukis lukisan yang menimbulkan Keriangan, karena aku sayang pada semua yang "baik dan
indah". Seorang pengarang menulis sebuah karangan Sesukanya; lalu aku minum untuk kesehatan
siapa saja "yang suka" karena aku sayang pada semua yang "baik dan indah".
Aku akan dihormati orang karena berbuat begitu. Aku akan mengadukan siapa saja yang tidak
memperlihatkan rasa hormat padaku. Aku akan hidup dengan tenang, mati dengan penuh martabat,
oh, ini enak sekali, enak luar biasa! Aku akan memperoleh perut yang bulat bagus dan daguku akan
berlipat tiga, dan hidungku akan berwarna merah, sehingga setiap orang yang melihat aku dapat
berkata, "Ah ini baru orang terhormat! Ini baru orang yang kuat dan bisa diandalkan!" Anda boleh
mengatakan apa saja, tapi adalah menenangkan sekali mendengar orang mengutarakan hal itu
tentang diriku dalam zaman yang negative ini.
TAPI semua ini adalah mimpi-mimpi emas. Wahai, toling katakana, siapa orang yang pertama-tama
mengumumkan, siapa yang pertama-tama menyatakan, bahwa manusia melakukan hal-hal yang
buruk hanya karena ia tidak tahu kepentingannya sendiri; dan bahwa jika ia sudah cerah, jika
matanya sudah dibukakan untuk kepentingan-kepentingan sebenarnya yang wajar, maka manusia
segera akan berhenti melakukan kejahatan, dan segera akan menjadi baik dan berbudi, karena
setelah tahu dan mengerti kepentingannya, ia akan melihat kepentingannya dalam hal yang baik
dan tidak dalam hal lain. Kita semua tahu, bahwa tidak seorang manusia pun akan bertindak secara
sadar bertentangn dengan kepentingannya sendiri, dan karena itu, karena terpaksa ia akan mulai
berbuat baik. Oh, bayi! Oh, anak polos dan murni! Kenapa, dalam masa beribu tahun ini pernah ada
masa ketika manusia hanya bertindak sesuai dengan kepentingannya" Apa yang harus dilakukan
dengan berjuta-juta fakta yang jadi bukti, bahwa manusia, secara sadar, artinya dengan pengertian
yang penuh terhadap kepentingannya, memunggungi dan berlari tergopoh-gopoh menempuh jalan
lain, untuk menghadapi malapetaka dan bahaya, sedangkan ia tidak dipaksa oleh siapa pun atau
oleh apa pun untuk melakukannya, tapi ia seolah-olah tak senang dengan jalan yang sudah biasa
ditempuh orang dan oleh sebab itu mencari jalan lain yang sulit, edan, yang dicari-carinya hampirhampir dalam kegelapan. Jadi, kukira, kekerasan kepala dan ketengkaran ini memang lebih
menyenangkan baginya dari keuntungan mana pun jua . . . Keuntungan! Apa itu keuntungan!
Apa anda bersedia merumuskan dengan tepat sekali apa-apa yang menjadikan keuntungan manusia
ini" Bagaimana kalau keuntungan manusia, kadang-kadang, bukan saja mungkin, tapi pasti, terdiri
dari keinginan pada sesuatu yang merugikan dia dan tidak menguntungkan sama sekali" Jika
demikian halnya, kejadian seperti ini mungkin saja terjadi, maka seluruh prinsip itu akan runtuh.
Bagaimana pendapat anda " apa ada hal-hal seperti itu" Anda ketawa; silahkan ketawa, tuan-tuan,
tapi jawab aku: apa kelebihan manusia sudah diperhitungkan dengan pasti" Apa tidak mungkin
masih ada yang tidak saja belum dimasukkan, tapi bahkan tidak bisa dimasukkan ke dalam
penggolongan yang mana pun jua. Soalnya, tuan-tuan, menurut pendapatku, tuan-tuan telah
mengambil gambaran dari kelebihan atau keuntungan manusia dari angka-angka statistik rata-rata
dan rumus-rumus politik-ekonomis. Kelebihan anda adalah kesejahteraan, kekayaan, kebebasan dan
kedamaian " dan sebagainya dan sebagainya. Hingga seorang lelaki yang misalnya, secara terbuka
dan sadar menentang daftar itu, menurut anda, dan menurut aku juga begitu, tentu saja harus
dianggap seorang obskurantis dan seorang gila: kenapa dalam kenyataannya, semua ahli statistik,
orang-orang bijaksana dan pecinta-pecinta manusia, selalu melupakan satu hal dalam
menjumlahkan kelebihan manusia ini" Mereka bahkan tidak memasukkan ke dalam perhitungan
mereka dalam bentuk sebagaimana mestinya agar sesuai dengan seluruh perhitungan. Soalnya tidak
begitu sulit. Mereka hanya harus mengambil kelebihan ini lalu menambahkan pada daftar mereka.
Tapi sulitnya, kelebihan yang aneh ini tidak bisa digolongkan ke dalam golongan yang mana pun jua
dan tidak ditemui dalam daftar mana pun. Aku misalnya punya seorang kawan . . . . Eh! tuan-tuan,
dia tentu juga kawan anda; memang, boleh dikatakan, tidak ada seorang pun, tidak satu pun yang
tidak berkawan dengan dia.
Jika ia bersiap hendak melakukan suatu usaha maka tuan ini akan menjelaskan buat anda dengan
segera, dengan manis dan jernih, bagaimana ia harus bertindak seseuai dengan hukum akal dan
kebenaran. Ia juga akan membicarakan dengan anda dengan penuh gairah dan perasaan tentang
kepentingan manusia yang sejati dan wajar; dengan penuh ejekan ia akan mnecela orang yang
berpandangan singkat yang tidak bisa faham kepentingannya sendiri, pentingnya kebaikan, dalam
masa seperempat jam, tanpa provokasi luar yang tiba-tiba, tapi semata-mata mengatakan sesuatu
yang ada dalam dirinya yang jauh lebih kuat dari semua kepentingannya, ia akan pindah ke tujuan
yang lain " artinya, bertindak bertentangan dengan apa yang tadi ia katakana tentang dirinya
sendiri, bertentangan dengan hukum akal, bertentangan dengan semua keuntungannya "
pendeknya, bertentangan dengan segala-galanya . . . .
Anda kuperingatkan, kawanku itu adalah seorang pribadi majemuk, dan karena itu sulit sekali untuk
menyalahkan dia sebagai individu. Soalnya, tuan-tuan, rupa-rupanya ada sesuatu yang bagi manusia
lebih menyenangkan dari keuntungan-keuntungan yang paling besar, atau (supaya logis
kedengarannya) ada keuntungan yang paling menguntungkan (keuntungan yang tadi kita katakana
sudah ditinggalkan) yang lebih penting dan lebih menguntungkan dari semua keuntungan, untuk
kepentingan apa, kalau perlu ia bersedia bertindak bertentangan dengan semua hukum; artinya,
bertentangan dengan akal, kehormatan, kedamaian, kesejahteraan " pendeknya, bertentangan
dengan semua hal yang berguna dan baik asal saja ia dapat memperoleh keuntungan yang paling
menguntungkan dan sifatnya fundamental, yang baginya lebih menarik dari segala-galanya. "Ya, tapi
bagaimanapun jua, ia masih merupakan keuntungan," anda akan membantah. Maaf, aku akan
jelaskan, soal ini bukanlah soal permainan kata-kata. Yang penting adalah, bahwa keuntungan ini
menyolok sekali karena ia merombak seluruh penggolongan kita, dan tidak putus-putusnya
menghancurkan sistim yang mana saja yang pernah disusun oleh pencinta-pecinta manusia untuk
kepentingan manusia. Pendeknya, ia mengacaukan segala-galanya. Tapi sebelum keuntungan ini
kusebutkan, aku ingin membukakan diri pribadiku, dan karena itu dengan berani kunyatakan, bahwa
semua sistim bagus ini " semua teori yang menjelaskan pada kemanusiaan kepentingankepentingan mereka yang wajar dan sejati, hingga setiap usaha yang dilakukan untuk mengejar
kepentingan ini sekaligus akan membuat mereka baik dan berbudi " semua sistim bagus ini,
menurut pendapatku, sampai saat ini, tidak lebih dari sekadar latihan logika! Ya, latihan logika!
Karena, mempertahankan teori tentang kelanjutan hidup manusia dengan jalan mengejar
keuntungan-keuntungannya bagiku hampir sama dengan . . . dengan membenarkan, misalnya,
sesuai dengan Buckle, bahwa peradaban membuat manusia lebih lunak, dan karena itu kurang haus
darah dan kurang cenderung untuk berperang.
Kesimpulan ini adalah hasil yang lahir secara logis dari penuturan ini. Tapi manusia begitu senang
pada sistim dan deduksi yang bersifat abstrak sehingga ia siap setiap saat untuk merusak kebenaran
dengan sengaja, ia bersedia untuk mengingkari kesaksian inderanya hanya untuk membenarkan
logikanya. Lihat saja sekitar anda: darah ditumpahkan bagai pancuran, dengan cara yang enak sekali,
seolah-olah ia adalah sampanye. Lihatlah seluruh abad kesembilan belas dalam zaman ketika Buckle
hidup. Lihat Napoleon -- yang Agung dan yang kini masih ada. Lihat Amerika Utara " persatuan
abadi. Lihat lawakan Schleswig-Holstein . . . lalu apa yang telah dilunakkan peradaban dalam diri
kita" Satu-satunya hasil yang diberikan peradaban untuk manusia ialah kesanggupannya yang lebih
besar untuk merasakan sensasi yang lebih beragam " lebih dari itu " tidak. Berkat perkembangan
sifat-sifat beragam ini bukan manusia menemui kenikmatan dalam pertumpahan darah. Bahkan, hal
ini sebenarnya sudah terjadi. Apa anda tidak lihat bahwa tukang bantai yang paling cakap adalah
justru orang yang paling beradab. Dibandingkan dengan mereka, orang seperti Attila dan Stenka
Razin belum apa-apa. Kalau mereka tidak begitu menonjol seperti Attila dan Stenka Razin, maka itu
semata karena orang-orang seperti mereka begitu sering kita temui, sudah begitu biasa dan sudah
jadi kenalan kita yang baik. Pendeknya, kalau peradaban tidak membuat manusia lebih haus darah,
setidak-tidaknya ia berhasil membuatnya lebih keji, lebih haus darah dan memuakkan sekali. Dahulu
ia melihat keadilan dalam pertempuran darah, hingga ia membunuh mereka yang menurutnya patut
dibunuh dengan hati sanubari yang damai. Sekarang pertumpahan darah kita anggap keji, tapi
sungguhpun begitu kita masih mengasyiki kekejian ini, dan bahkan dengan kesungguhan yang lebih
besar. Mana yang lebih buruk" Silakan tentukan sendiri.
Orang mengatakan bahwa Cleopatra (maaf aku harus mengambil contoh dari sejarah Roma) senang
menusukkan jarum-jarum emas pada buah dada gadis-gadis budaknya dan memperoleh kenikmatan


Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari raungan dan gelepar mereka. Anda akan mengatakan, itu terjadi di suatu zaman yang boleh
dikatakan biadab; bahwa zaman sekarang ini juga masih biadab, karena, dibandingkan dengan
zaman itu, jarum-jarum masih saja ditusukkan; bahwa biarpun manusia telah belajar untuk melihat
lebih terang dibandingkan dengan zaman biadab, ia masih juga belum belajar untuk bertindak sesuai
dengan akal dan ilmu pengetahuan. Tapi anda yakin, bahwa tentu akan tahu sekiranya ia dapat
membebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan tertentu, dan jika fikiran sehat dan ilmu telah menatar
fitrah manusia dan mengarahkannya ke arah tujuan yang wajar. Anda yakin, bahwa setelah itu
mausia akan berhenti membuat kesalahan dengan sengaja dan akan cenderung untuk tidak
mengarahkan kehendaknya bertentangan dengan kepentingannya yang wajar. Bukan itu saja; lalu,
demikian anda akan mengatakan, ilmu sendiri akan mengajar manusia (biarpun menurut hematku
ini adalah kemewahan yang berlebih-lebihan) bahwa dia sebetulnya tidak pernah memiliki tingkah
atau kemauan sendiri, dan bahwa dia takubahnya seperti tuts piano atau sumbat organ, dan bahwa
di samping itu ada lagi apa yang disebutkan hukum alam; hingga apa saja yang dilakukan, tidak ia
lakukan karena kehendaknya, tapi terjadi dengan sendirinya, berkat hukum alam. Jadi yang harus
kita lakukan ialah menemui hukum-hukum ini, hingga sesudah itu manusia itu tidak perlu lagi
bertanggungjawab atas perbuatannya dan dengan demikian maka hidup baginya akan lebih mudah.
Lalu semua tindakan manusia, dengan sendirinya, diperhitungkan meurut hukum-hukum ini, secara
matematik, laik table logaritma sampai 108.000 dan kemudian dimasukkan ke dalam indeks; atau
lebih baik, nanti akan diterbitkan buku-buku yang berguna yang bersifat leksikon ensiklopedik, di
dalamnya semua sudah diperhitungkan dan dipaparkan dengan jelas, hingga di dunia ini tidak ada
lagi yang bersifat kebetulan atau petualangan.
Lalu " semuanya ini adalah pendapat anda " hubungan-hubungan ekonomi baru ditegakkan,
semuanya dipersiapkan dan dijabarkan dengan kepastian ilmu matematik, sehingga pertanyaan apa
saja yang mungkin, akan sirna dalam sekejap mata, karena pemecahan yang diperlukan sudah
tersedia. Lalu didirikanlah "Istana Kristal". Lalu . . . . pendeknya, masa itu akan merupakan masa
tenang dan sentosa. Tentu saja tidak ada jaminan (ini ulasanku) bahwa misalnya, keadaan tidak akan
sangat membosankan (karena apa lagi yang perlu dikerjakan jika semuanya sudah dihitung dan
ditabelkan"), tapi sebaliknya semuanya akan rasionil sekali. Tentu kebosanan bisa mengakibatkan
segala macam hal. Justru kebosananlah yang membuat orang menusukkan jarum mas pada diri
orang lain, tapi itu tidak jadi soal. Yang celakanya (dan ini lagi-lagi komentarku) aku yakin manusia
justru akan berterima kasih karena jarum-jarum emas itu. Memang manusia bodoh, bukan main
bodohnya; atau barangkali dia tidak bodoh, tapi ia begitu tidak tahu berterima kasih hingga di
antara semua makhluk tidak ada tolak bandingnya. Aku, misalnya, tidak akan heran sama sekali, jika
tiba-tiba, tanpa ada sebab, ditengah-tengah kemakmuran umum itu bangkit seorang tuan dengan
wajah yang hina, atau lebih tepat wajah yang reaksioner dan ironis dan sambil berpelukan tubuh
berkata pada kita semua "Bagaimana, tuan-tuan, apa tidak lebih baik kalau seluruh pertunjukan ini
kita tending dan rasionalisme kita terbangkan ke dalam angin, mempersetankan semua logaritma,
dan dengan demikian kemungkinan kita kembali hidup dengan cara kita yang bodoh dan manis!"
Tapi itu pun tidak jadi soal; yang paling menjengkelkan, ialah bahwa ia pasti akan mendapat
pengikut " demikianlah fitrah mausia. Dan semuanya itu dengan dalih yang sangat bodoh, yang
menurut perkiraan kita, disebut pun tidak pantas; yaitu, bahwa manusia di manapun jua dan kapan
pun jua, siapa pun dia, lebih suka berbuat meurut pilihannya dan tidak menurut ketentuanketentuan akal dan keuntungan. Dan orang mungkin sekali akan memilih sesuatu yang bertentangan
dengan kepentingan orang itu sendiri, bahkan kadang-kadang kita justru harus berbuat begitu (ini
pendapatku). Pilihan bebas kita sendiri, tingkah kita sendiri " biar bagaimana liarnya pun, anganangan kita yang kadang-kadang berkembang jadi keedanan " adalah "keuntungan yang paling
menguntungkan" itu sendiri. Yang sebelum ini kita singkirkan, yang tidak dapat dimasukkan ke
dalam golongan manapun yang selalu menghancurkan sistim dan teori manapun menjadi atom.
Bagaimana orang-orang pintar ini tahu, bahwa manusia menginginkan pilihan yang baik dan wajar"
Apa yang membuat mereka mengira, bahwa manusia menginginkan pilihan yang rasionil dan
menguntungkan" Yang diinginkan manusia hanya sekadar pilihan bebas, biar berapa pun harus ia
bayar untuk kebebasan itu dan biar apa pun akibatnya. Dan pilihan, tentu saja, hanya iblis yang tahu
pilihan apa . . . . "Ha! ha! ha! kau boleh bicara semuanya, tapi kau sendiri akan tahu bahwa apa yang disebut pilihan
itu tidak ada, demikian anda akan menyela sambil mendecak-decakkan lidah. "Ilmu sudah begitu
berhasil menganalisa manusia hingga kini kita sudah tahu bahwa pilihan dan yang disebutkan
kebebasan itu sebetulnya tidak lain dari " "
Tunggu tuan-tuan, aku justru mau mulai dengan itu. Kuakui, aku agak takut. Aku baru saja mau
mengatakan bahwa hanya iblis yang tahu pada apa suatu pilihan tepergantungan, dan mungkin itu
adalah suatu hal yang tidak baik, tapi aku ingat ajaran ilmu pengetahuan . . . lalu aku meregang diri.
Dan kini anda mulai dengan itu. Sekiranya pada suatu hari orang berhasil menemui sebuah rumus
untuk semua keinginan dan tingkah kita " artinya, suatu penjelasan dari apa ia tergantung, apa yang
ia tuju dalam suatu hal dan dalam hal lain dan sebagainya, yang berupa rumus matematik tulen "
lalu, mungin sekali manusia segera berhenti merasakan keinginan, bahkan bisa dikatakan pasti ia
tidak lagi akan merasakannya. Karena siapa pula yang ingin memilih menurut suatu peraturan" Di
samping itu ia segera akan berobah dari manusia menjadi sumbat organ atau yang serupa dengan
itu; karena apalah arti manusia tanpa keinginan, tanpa kemauan bebas dan tanpa pilihan, jika bukan
sebuah sumbat organ" Bagaimana pendapat anda" Coba kita fikirkan kemungkinannya " apa hal
seperti itu bisa terjadi atau tidak"
"Hm!" demikian anda memutuskan. "Pilihan kita biasanya salah karena pandangan kita terhadap
apa yang menguntungkan kita, salah. Kita kadang-kadang memilih suatu omong kosong karena oleh
kebodohan kita, kita mengira omong kosong itu jalan yang paling mudah untuk memperoleh sesuatu
keuntungan. Tapi jika semuanya itu telah dijelaskan dan dijabarkan di atas kertas (dan ini mungkin
sekali, karena tidaklah patut dan sia-sia untuk mengatakan bahwa ada hukum alam yang tidak bisa
difahami manusia), maka apa yang disebutkan keinginan itu tidak aka nada lagi. Karena jika
keinginan bertentangan dengan akal, maka kita akan mempergunakan akal dan bukan keinginan,
karena adalah suatu hal yang mustahil untuk meniadakan akal kita dalam keinginan kita, dan dengan
demikian secara sadar bertindak menentang akal dan keinginan untuk melukai diri kita sendiri. Dan
karena semua pilihan dan akal dapat dihitung " karena suatu hari nanti orang akan menemui
hukum-hukum dari apa yang kita sebut kemauan bebas " dan oleh karena itu, lepas dari segala olokolok, pada suatu hari aka nada semacam table yang disusun untuk kepentingan itu, sehingga kita
bisa memilih sesuai dengan itu. Jika, misalnya, pada suatu hari mereka memperhitungkan dan
mengatakan bahwa aku mencibir pada seseorang karena aku tidak bisa menahan diri untuk
mencibirkannya dan bahwa aku harus melakukannya dengan cara tertentu, kebebasan apa lagi yang
tersisa bagiku, terlebih-lebih jika aku seorang terpelajar yang memperoleh derajat kesarjanaannya di
salah satu tempat" Maka aku akan bisa memperhitungkan seluruh hidupku sebelumnya untuk masa
tiga puluh tahun. Pendeknya, kalau ini bisa diatur, maka tidak ada lagi yang tersisa untuk kita
lakukan; pokoknya, kita harus mengerti itu. Bahkan, dengan tulus kita harus mengulang-ulangi pada
diri kita sendiri pada waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu alam tidak menginginkan
kepergian kita; bahwa kita harus menerimanya sebagaimana adanya dan jangan mencoba
membentuknya sesuai dengan keinginan kita, dan sekiranya kita betul-betul menghendaki rumus
dan table peraturan, bahkan . . . tabung kimia, maka tidak ada jalan lain, kita juga harus menerima
tabung itu, jika tidak maka tabung itu akan diterima tanpa persetujuan kita . . . ."
Ya, tapi di sini aku berhenti! Tuan-tuan, kuharap tuan-tuan akan memaafkan aku karena terlalu
berfikir secara filsafi; ini adalah hasil hidup di bawah tanah selama empat puluh tahun. Izinkanlah
aku berleluasa dengan angan-anganku. Soalnya, tuan-tuan, akal ialah sesuatu yang bagus sekali, hal
itu tidak perlu dipertengkarkan, tapi akal tidak lebih dari akal dan hanya dapat memenuhi
kebutuhan aspek rasionil sifat manusia, sedangkan kemauan adalah penjelmaan seluruh kehidupan,
artinya seluruh kehidupan manusia termasuk akal dan semua nalurinya. Dan biarpun kehidupan kita
dalam penjelmaannya, seringkali tidak berharga, ia adalah hidup dan bukan sekadar kesibukan
menghitung akar bujur sangkar kwadrat. Aku misalnya, dengan wajar ingin hidup, supaya dapat
memuaskan semua kemungkinan untuk hidup dan bukan hanya kemungkinan untuk
mempergunakan akal artinya, tidak hanya seperdua puluh dari kemungkinanku untuk hidup. Apa
yang diketahui akal" Akal hanya mengetahui apa yang berhasil dipelajarinya (ada hal-hal tertentu
yangmungkin tidak akan pernah bisa ia pelajari; ini adalah penawar yangmurah sekali tapi kenapa
tidak dikatakan saja dengan terus terang) sedangkan fitrah manusia bertindak sebagai keseluruhan,
dengan segala yang terkandung dalamnya, sadar atau tidak sadar, dan biarpun ia berlaku salah, ia
hidup. Aku merasa, tuan-tuan, bahwa anda sekalian memandang aku dengan rasa belas; lagi-lagi
anda mengatakan padaku, bahwa seorang mausia yang maju dan terpelajar, seperti nanti akan
jadinya manusia di masa depan, tidak mungkin secara sadar menginginkan sesuatu yang tidak
menguntungkan bagi dirinya, dan bahwa itu dapat dibuktikan secara matematik. Aku setuju
seluruhnya, bisa " secara matematik.
Tapi kuulangi untuk keseratus kali, bahwa ada suatu missal, hanya satu, saat manusia secara sadar,
dengan sengaja, menginginkan sesuatu yang merugikan untuknya, suatu hal yang bodoh, bodoh
sekali " hanya untuk beroleh hak untuk menginginkan sesuatu buat dirinya, biarpun keinginan yang
bodoh ini, tingkah kita ini, sebetulnya, tuan-tuan, mungkin sekali lebih menguntungkan bagi kita dari
apa pun di bumi ini, terlebih-lebih dalam keadaan tertentu. Terutama, ia mungkin lebih
menguntungkan dari keuntungan mana pun jua biarpun ia jelas merugikan kita, dan bertentangan
dengan kesimpulan otak kita yang paling sehat mengenai keuntungan untuk kita " karena dalam
keadaan apa pun ia mengusahakan untuk kita segala yang paling berharga dan paling penting "
yaitu, kepribadian kita, individualitas kita. Ada orang yang berpendapat, bahwa ini adalah barang
yang paling berharga buat manusia; pilihan, tentu saja bisa dilakukan sesuai dengan akal; terlebihlebih jika pilihan itu terkendali dan tidak disalahgunakan. Ia menguntungkan dan bahkan terpuji.
Tapi sering sekali, bahkan biasanya, pilihan menentang akal dengan keras dan tengkar sekali . . . dan
. . . dan . . . apa anda tahu bahwa itu juga bisa menguntungkan dan kadang-kadang bahkan terpuji"
Tuan-tuan, mari kita misalkan bahwa manusia tidak bodoh (memang tidak patut kita menolak missal
itu, biarpun hanya karena pertimbangan, bahwa jika manusia bodoh maka siapa yang pandai") tapi
kalau dia tidak bodoh, maka dia pasti tidak tahu membalas guna! Sifatnya yang tidakmembalas guna
luar biasa sekali. Malahan, menurut hematku rumusan paling tepat untuk manusia adalah bahwa ia
adalah mahluk berkaki dua yang tidak tahu berterima kasih. Tapi bukan hanya itu, itu belum lagi
cacatnya yang paling buruk; cacatnya yang paling buruk ialah keserongan moralnya yang terusmenerus, terus-menerus " mulai dari zaman banjir nabi Nuh sampai zaman Schleswig-Holstein.
Keserongan moral dan dengan demikian ketiadaan penilaian yang baik; karena telah lama diterima
orang bahwa ketiadaan rasa atau penilaian, semata disebabkan oleh keserongan moral. Coba uji dan
arahkan pandangan anda kepada sejarah manusia. Apa yang akan anda lihat" Apa ia merupakan
tontonan besar" Besar, memang, boleh saja. Mari kita ambil Colossus dari Rhodes, misalnya, itu
sesuatu yang pantas. Dengan alasan-alasan yang masuk akal tuan Anaevski menyatakan bahwa ada
orang mengatakan bahwa ia adalah hasil karya manusia sedangkan yang lain berpendapat bahwa itu
adalah hasil ciptaan Alam sendiri. Apa warnanya serba-beragam" Mungkin sekali ia beragam warna:
jika kita ambil misalnya, pakaian seragam, militer dan sipil, dari semua orang dari semua umur " itu
saja sudah patut diperhatikan, dan kalau kita teliti lagi pakaian tidak resmi maka tidak aka nada
akhirnya; tidak ada ahli sejarah yang akan sanggup menghadapi tugas itu. Apa ia monoton" Mungkin
sekali ia monoton: ia berjuang dan berjuang; mereka kini berjuang, mereka berjuang pada awal dan
pada akhir " anda tentu mau mengakui bahwa itu pun juga monoton. Pendeknya, orang boleh bilang
apa saja tentang sejarah dunia " apa saja yang mungkin masuk ke dalam imajinasi yang paling kacau.
Satu-satunya yang tidak dapat dikatakan ialah bahwa ia rasionil. Kata itu tersekat di kerongkongan
kita. Dan memang, keanehan terjadi terus-menerus: dalam hidup ini tak putus-putus muncul orang
bermoral dan rasionil, orang suci dan pencinta kemanusiaan, yang bertujuan hendak menjalankan
hidup semoril dan serasionil mungkin, berusaha untuk jadi cahaya bagi tetangganya, semata untuk
memperlihatkan pada mereka bahwa di dunia ini kita bisa hidup menurut moral yang tinggi dan
dengan cara yang rasionil. Sungguhpun begitu lambat-laun kita tahu juga bahwa orang-orang itu
justru telah bersikap tidak jujur terhadap diri sendiri, dan memainkan suatu akal bulus, biasanya
yang tidak bisa dilihat oleh mata. Kini aku bertanya pada anda: apa yang bisa diharapkan dari
manusia dengan sifat-sifatnya yang begitu aneh" Limpahkan padanya setiap rakhmat bumi,
tenggelamkan dia ke dalam laut kebahagiaan, hingga yang kelihatan di permukaan hanya
gelembung-gelembung rakhmat; berikan kesejahteraan ekonomi padanya, begitu rupa hingga ia tak
perlu mengerjakan apa-apa kecuali tidur, makan kue dan menyibukkan diri dengan melanjutkan
keturunannya, tapi biarpun begitu, karena sifatnya yang tidak kenal terima kasih, rasa kesal,
manusia masih akan mengakali kita. Ia bahkan bersedia mengorbankan kuehnya dan dengan sengaja
menginginkan sampah yang paling berbahaya, keedanan yang paling tidak ekonomis, hanya untuk
memasukkan unsure fantastisnya yang fatal ke dalam rasa baik yang positif ini. Ia ingin
mempertahankan mimpi-mimpinya yang fantastis, tingkah-tingkahnya yang konyol semata untuk
membuktikan bagi dirinya sendiri " seolah-olah semua ini sangat diperlukan " bahwa manusia masih
tetap manusia dan bukan tuts piano, yang ingin dikuasai oleh hukum alam secara lengkap hingga
akhirnya tidak ada lagi yang diinginkan oleh orang yang tidak sesuai dengan kalender. Bukan itu saja:
bahkan biarpun manusia memang tidak lebih dari tuts piano, jika semuanya ini dibuktikan padanya
melalui ilmu alam dan matematika, masih saja ia tidak akan berfikiran sehat, tapi akan melakukan
sesuatu yang konyol dengan sengajar, semata karena sifatnya yang tak kenal terima kasih, semata
untuk membuktikan kebenarannya. Dan sekiranya ia tidak dapat menemui jalan, ia akan
menimbulkan kerusakan dan kekacauan, akan menyebabkan kesengsaraan pelbagai macam, hanya
untuk membuktikan kebenarannya! Ia akan melancarkan kutukan pada seantero dunia, dan karena
hanya manusia yang bisa mengutuk (ini hak istimewanya, beda utama antara dia dan hewan-hewan
lain) maka hanya berkat kutukannya ia bisa mencapai tujuannya " yaitu, meyakinkan dirinya sendiri
bahwa dia manusia dan bukan tuts piano! Kalau anda mengatakan semua ini juga bisa dihitung dan
ditabelkan " kekacauan, kegelapan dan kutukan, hingga kemungkinan ia diperhitungkan sebelumnya
saja sudah cukup untuk menghentikannya, lalu akal akan dapat berkuasa kembali " maka manusia
dengan sengaja akan jadi gila supaya dapat membebaskan diri dari akal dan dengan demikian
memperoleh apa yang ia inginkan! Aku yakin pada ini, aku mau mempertanggungjawabkannya,
karena seluruh karya manusia sebetulnya terdiri dari usaha untuk membuktikan pada dirinya sendiri
setiap detik bahwa ia adalah manusia dan bukan sebuah tuts piano! Mungkin ia harus menderita
untuk ini, mungkin ini harus ia lakukan untuk memakan sesamanya sendiri! Dengan demikian, apa
bisa kita menolak untuk bergembira karena keadaan belum lagi begitu, dan bahwa keinginan masih
tergantung pada sesuatu yang tidak kita kenal"
Anda akan berteriak padaku (artinya, kalau anda bersedia melakukannya) bahwa tidak seorang pun
yang menyinggung kemauan bebasku, bahwa yang diinginkan hanya supaya kemauanku dengan
sendirinya, atas kehendaknya sendiri menyesuaikan diri dengan kepentinganku yang wajar, dengan
hukum alam dan ilmu hitung.
Ya Tuhan, tuan-tuan, kemauan bebas yang macam mana lagi yang tersisa kalau kita sudah sampai
menabelkannya dan menyesuaikannya dengan ilmu hitung, jika ia sudah menjadi sesuatu yang sama
dengan dua kali dua ada empat" Dua kali dua jadi empat tanpa kemauanku. Seolah-olah kemauan
bebas berarti itu. TUAN-TUAN, aku berkelakar, dan aku sendiri tahu bahwa kelakarku sama sekali tidak cemerlang,
tapi anda kan tahu bahwa kita bisa menerima segalanya sebagai kelakar. Barangkali aku berolokolok tidak pada tempatnya. Tuan-tuan, aku disiksa oleh pertanyaan; jawablah pertanyaan itu
untukku. Kalian misalnya, ingin membebaskan manusia dari kebiasaan lamanya dan merobah
kemauan mereka sesuai dengan akal dan fikiran sehat. Tapi bagaimana kalian tahu bahwa itu bukan
saja mungkin, tapi juga memang diinginkan, -- untuk merobah manusia seperti itu" Dan apa yang
membuat anda mengambil kesimpulan bahwa kecenderungan manusia perlu dirobah" Singkatnya,
bagaimana anda tahu bahwa perobahan seperti itu akan menguntungkan manusia" Untuk sampai
pada hakikatnya, kenapa anda begitu mutlak yakin bahwa menjauhkan tindakan yang bertentangan
dengan kepentingan wajarnya yang dijamin oleh kesimpulan-kesimpulan yang dilahirkan oleh akal
dan ilmu hitung selalu menguntungkan manusia dan harus selalu merupakan hukum bagi manusia"
Sebegitu jauh, ini cuma sekadar perkiraan tuan-tuan. Mungkin ia merupakan hukum logika, tapi
hukum manusia pasti tidak. Barangkali tuan-tuan, anda mengira aku sudah gila. Izinkan aku
membela diri. Aku sependapat, bahwa manusia ialah pertama-tama hewan kreatif, yang diciptakan
untuk berusaha secara sadar mencapai sesuatu obyek dan melibatkan diri dengan pertukangan "
artinya, tak putus-putusnya, dari dulu sampai nanti membuat jalan-jalan baru, ke mana pun jalanjalan ini mengarah. Tapi karena ia kadang-kadang ingin menyeleweng mungkin justru karena ia
diciptakan untuk membuat jalan, dan mungkin juga, biar bagaimana dungu pun manusia raktis"itu,
kadang-kadang ia beroleh fikiran bahwa jalan-jalan itu selalu menuju suatu tempat, dan bahwa
tujuannya jauh kurang penting dibandingkan dengan proses pembuatannya, dan bahwa hal yang
terpenting adalah untuk menyelamatkan anak baik itu supaya ia tidak dibenci pada pertukangan,
dan dengan demikian menyerah pada kemalasan, yang seperti kita semua tahu adalah ibu dari
semua kejahatan. Manusia senang membuat jalan dan mencipta, ini adalah kenyataan yang tidak
usah disangsikan. Tapi kenapa ia juga begitu senang pada perusakan dan kekacauan" Tolong
katakana! Tetapi mengenai hal ini aku ingin mengatakan sepatah dua patah kata. Apa bukan
mustahil ia begitu mencintai perusakan dan kekacauan (bahwa ia kadang-kadang mencintainya tidak
perlu dipertengkarkan) karena secara naluri ia takut mencapai sasarannya dan menyelesaikan
bangunan yang sedang ia kerjakan" Siapa tahu, bagunan itu hanya ia sayangi dari jauh, dan sama
sekali tidak ia cintai jika dari jarak dekat; siapa tahu ia hanya senang membangunnya tapi tidak ingin
tinggal di dalamnya, dan membiarkannya, begitu selesai, untuk dipergunakan oleh les animaux
domestiques " seperti semut, domba dan sebagainya. Semut yang punya selera berbeda sekali.
Mereka memiliki bangunan yang punya pola seperti itu yang tahan untuk selama-lamanya " sarang
semut. Dengan sarang semut bangsa semut yang terhormat mulai hidup, dan dengan sarang semut
mungkin mereka akan berakhir " yang menunjukkan kelebihan mereka dalam hal dan berfikiran
sehat. Tapi manusia makhluk banyak tingkah dan selalu berobah-robah, dan barangkali, laik seorang
pemain catur, mencintai proses permainan dan bukan tujuannya sendiri. Dan siapa tahu (kita tidak
tahu dengan pasti), barangkali satu-satunya tujuan yang dikejar oleh manusia di bumi ini terkandung
dalam proses usaha yang tak henti-hentinya, artinya, dalam hidup itu sendiri, dan bukan dalam hal
yang hendak dicapai, yang selalu harus diutarakan sebagai sebuah rumus, positif seperti dua kali dua
ada empat, sedangkan positivitas itu seperti, bukanlah hidup, tuan-tuan, tapi awal kematian.
Pokoknya, dari dulu manusia takut pada kepastian matematik, dan kini aku takut akan itu. Kita akui,
bahwa yang tak putus-putusnya dicari manusia ialah kepastian matematis, ia menyeberangi laut, ia
mengorbankan nyawanya dalam usaha ini, tapi aku yakin, ia takut akan berhasil. Takut berhasil
menemuinya. Ia merasa bahwa jika ia sampai memperolehnya maka tidak aka nada lagi yang tersisa
baginya untuk dicari. Jika para pekerja sudah selesai kerja mereka setidak-tidaknya menerima upah,
lalu mereka pergi ke kedai meinuman dan dari situ mereka dibawa ke kantor polisi " itulah
kesibukan selama seminggu. Tapi manusia, ke mana ia bisa pergi" Pendeknya, kita dapat menemui
semacam kebingungan pada dirinya kalau ia berhasil memperoleh hal-hal seperti itu. Ia senang pada
proses pengusahaannya, tapi sebetulnya tidak senang kalau yang ia usahakan itu berhasil, dan itu,
tentu saja adalah suatu yang edan. Nyatanya, manusia adalah mahluk yang lucu; dalam segalanya ini
seolah-olah ada semacam olok-olok. Tapi kepastian matematis, bagaimanapun juga, adalah hal yang
tidak dapat ditahan. Dua kali dua ada empat bagiku tak lebih dari suatu keangkuhan. Dua kali dua
ada empat adalah pesolek yang tidak sopan yang menghalangi jalan kita dengan berpangku tangan
sambil meludah. Kuakui, bahwa dua kali dua ada empat adalah hal yang bagus sekali, tapi sekiranya
kita ingin memberikan kesempatan pada semuanya, maka dua kali dua ada lima kadang-kadang juga
bisa sangat menarik. Kenapa anda yakin dengan begitu kuat dan megah bahwa hanya yang wajar dan positif " artinya,
hanya yang sesuai dengan kesejahteraan " yang menguntungkan manusia" Apa akal yang khilaf
tidak menguntungkan" Bukankah manusia, mungkin sekali mencintai sesuatu kecuali kesejahteraan"
Siapa tahu ia juga senang pada penderitaan. Siapa tahu penderitaan baginya sama
menguntungkannya seperti kesejahteraan. Manusia kadang-kadang bisa cinta sekali pada
penderitaan, dan ini sudah terbukti. Tidak perlu kita menyebut-nyebut sejarah dunia untuk
membuktikannya; cukup kalau kita tanyai diri kita sendiri, kalau kita manusia dan pernah hidup.
Kalau pendapat pribadiku, adalah suatu sikap yang tidak pantas kalau kita hanya merisaukan
kesejahteraan, baik atau buruk, kadang-kadang menyenangkan juga jika kita dapat membantingkan


Catatan Dari Bawah Tanah Karya Fyodor Dostoy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu. Aku tidak keberatan terhadap penderitaan ataupun kesejahteraan. Aku berfihak pada . . .
tingkahku, dan terjaminnya kemungkinan terlaksananya jika diperlukan. Penderitaan adalah suatu
yang sumbang di sebuah pertunjukkan cabaret, misalnya; aku tahu. Dalam "Istana Kristal" ia suatu
yang tidak bisa dibayangkan; menderita berarti sangsi, pengingkaran " lalu apa gunanya "istana
Kristal" kalau ia disangsikan" Sungguhpun begitu, aku beranggapan bahwa manusia tidak akan
pernah meninggalkan penderitaan sebenarnya, artinya, perusakan dan kekacauan. Penderitaan ialah
sumber kesadaran satu-staunya. Biarpun pada permulaan telah kutegaskan bahwa kesadaran adalah
kemalangan terbesar untuk manusia, aku tahu manusia sangat menghargainya dan tidak akan mau
keholangannya untuk memperoleh kepuasan. Kesadaran, misalnya, jauh lebih agung dari dua kali
dua ada empat. Begitu kita memperoleh kepastian matematis maka tidak ada lagi yang tersisa untuk
dikerjakan atau difahami. Yang masih tinggal untuk dikerjakan, ialah memasukkan kelima indera kita
ke dalam botol lalu mencempelungkan diri dalam renungan. Sedangkan kalau kita bertahan pada
kesadaran, biarpun hasil yang diperoleh sama, kita setidak-tidaknya sekali-sekali dapat mendera diri
sendiri, dan ini, bagaimanapun juga akan membuat kita hidup kembali. Biarpun reaksioner sekali,
hukum bunuh lebih baik dari tidak dihukum sama sekal.
ANDA percaya pada istana Kristal yang tidak bisa dihancurkan " istana tempat kita tidak bisa
menjulurkan lidah atau mencibir dengan diam-diam. Justru barangkali karena itu aku takut pada
bangunan ini, karena ia dari Kristal dan tidak bisa dihancurkan dan karena kita tidak bisa
mencibirnya biarpun dengan diam-diam.
Soalnya, kalau ia bukan istana, tapi sebuah kandang ayam, aku mungkin mau menyuruk ke
dalamnya supaya jangan basah, tapi aku tidak akan menyebut kandang ayam itu istana sebagai
tanda terima kasih karena ia sudah menghindarkan aku dari kebasahan. Anda tertawa dan berkata,
bahwa dalam keadaan demikian sebuah kandang ayam sama baiknya dengan sebuah rumah besar.
Ya, jawabku, kalau kita hidup hanya untuk terhindar dari hujan.
Tapi apa yang bisa diperbuat, kalau aku telah menetapkan dalam kepalaku bahwa itu bukanlah satusatunya tujuan dalam hidup, dan bahwa jika kita harus hidup, lebih baik kita hidup dalam sebuah
rumah besar. Itu adalah pilihanku, keinginanku. Anda hanya bisa membinasakannya jika anda telah
merobah keinginanku. Nah, robahlah, rayu aku dengan sesuatu yang lain, beri aku cita-cita lain. Tapi
sementara itu aku tidak akan menganggap sebuah kandang ayam rumah besar. Istana Kristal itu
mungkin sebuah impian sia-sia, mungkin ia tidak serasi dengan hukum alam dan bahwa aku sudah
menciptakannya karena kebodohanku sendiri, karena kebiasaan irasionil lama angkatanku. Tapi
perduli apa bila ia tidak serasi" Bagiku tidak menjadi soal, karena ia berwujud dalam keinginanku,
atau berwujud selama keinginanku berwujud. Barangkali anda ketawa lagi" Silakan ketawa; aku
lebih suka menghadapi ejekan dari pada berpura-pura kenyang sedangkan aku lapar. Aku tahu,
bagaimanapun juga, aku tidak bisa disenangkan dengan suatu kompromi, dengan sebuah nol besar,
hanya karena ia sesuai dengan hukum alam dan betul-betul berwujud. Aku tidak bersedia menerima
sebagai puncak keinginanku serentetan gedung dengan ruang-ruang untuk orang miskin
dipersewakan untuk masa seribu tahun, dan barangkali disertai sebuah papan nama seorang dokter
gigi yang tergantung di luar. Hancurkan keinginanku, musnahkan cita-citaku, tunjukkan aku sesuatu
yang lebih baik, maka aku akan mengikuti anda. Anda barangkali akan mengatakan, buat apa anda
bersusah-payah; tapi dalam hal itu aku pun juga bisa memberikan jawab yang sama. Kita lagi
mengistikarahkan sesuatu dengan sungguh-sungguh; tapi kalau anda menolak memberikan
perhatian, aku akan berhenti berkenalan dengan anda. Aku bisa kembali menyuruk ke dalam lobang
bawah tanahku. Tapi selama aku hidup dan masih punya keinginan aku lebih suka melihat tanganku layu daripada
mengangkat satu batu bata untuk gedung itu! Jangan ingatkan aku bahwa aku baru saja menolak
istana Kristal semata karena aku tidak bisa mencibirkannya. Aku berkata begitu, bukan karena aku
senang sekali mencibir. Barangkali yang kujengkelkan, ialah karena dari semua gedung-gedung anda
tidak ada satu pun yang dapat kita cibirkan. Sebaliknya, aku bersedia memotong lidahku sebagai
tanda terima kasih kalau bisa diatur begitu rupa hingga aku kehilangan semua keinginan untuk
menjulurkannya. Bukan salahku bila keadaan tidakbisa dibuat seperti itu, dan bahwa kita harus
berpuas diri dengan flat-flat model. Lalu kenapa aku diciptakan dengan keinginan-keinginan seperti
itu" Apa mungkin aku dibangun begitu rupa hanya untuk sampai pada kesimpulan bahwa semua
bangunanku adalah tipuan" Apa mungkin ini nasibku" Aku tidak yakin.
Begini: aku yakin, bahwa kami rakyat bawah tanah harus dikendalikan. Biarpun kami menongkrong
di bawah tanah tanpa buka mulut, kalau kami sampai keluar ke dalam cahaya matahari maka kami
bicara dan sekali lagi bicara . . . .
KESIMPULANNYA, tuan-tuan, lebih baik tidak berbuat apa-apa. Lebih baik kelembaman yang
disadari! Karena itu, sadar bawah tanah! Biarpun aku sudah berkata, bahwa aku iri hati pada
manusia biasa sampai titik empeduku terakhir, aku tidak ingin berada di tempatnya seperti dalam
keadaannya sekarang (biarpun aku tidak akan berhenti iri hati padanya). Tidak, tidak; hidup di
bawah tanah lebih menguntungkan. Di sana, setidak-tidaknya kita bisa . . . Ah, bahkan kini aku masih
berdusta! Aku berdusta karena aku sendiri tahu, bahwa bukan di bawah tanah yang lebih baik, tapi
ada sesuatu yang lain, lain sama sekali, yang sangat kudambakan, tapi yang tak dapat kutemui!
Persetan bawah tanah! Aku katakana sesuatu yang lain, yang lebih baik, artinya. Sekiranya aku bisa percaya pada semua
yang sudah kutulis. Percayalah, tuan-tuan, tidak ada satu pun, biar satu kata pun yang kutuliskan
yang betul-betul kupercayai. Artinya, mungkin aku percaya, tapi pada saat yang sama aku merasa
dan curiga bahwa aku sudah berdusta seperti seorang tukang tambal sepatu.
"Kalau begitu kenapa semua ini kautulis?" anda akan berkata padaku.
"Aku terpaksa memasukkan kau ke bawah tanah selama empat puluh tahun tanpa kesibukan apa
pun jua dan sudah itu datang ke tempatmu, untuk mengetahui kau sudah sampai ke tingkat mana!
Bagaimana mungkin seorang laki-laki dibiarkan tak bekerja apa-apa selama empat puluh tahun"
"Apa itu tidak memalukan, apa tidak menyakitkan?" demikian anda barangkali akan berkata sambil
menggeleng-gelengkan kepala dengan penuh kejijikan. "Kau mendambakan hidup dan mencoba
memecahkan masalah hidup dengan kekusutan logis. Alangkah keras kepalanya dan lancangnya
serangan-seranganmu. Tapi pada saat yang sama alangkah besarnya ketakutanmu. Kau bicara
omong kosong dan puas dengan itu; kau mengucapkan hal-hal yang kurang ajar tapi kau sekaligus
ketakutan dan tak henti-hentinya minta maaf. Kau menyatakan, bahwa kau tidak takut pada apa
pun jua tapi pada saat yang sama kau berusaha untuk membuat dirimu kami senangi. Kau
menyatakan, bahwa kau menggertakkan gerahammu tapi pada saat yang sama kau mencoba
melucu untuk menyenangkan hati kami. Kau tahu bahwa kelucuanmu tidak lucu, tapi rupa-rupanya
kau cukup puas dengan nilai sasteranya. Mungkin saja kau sudah menderita, tapi kau tidak menaruh
hormat sama sekali pada penderitaanmu. Kau mungkin jujur, tapi kau tak memiliki kerendahan hati;
karena, kekenesanmu yang paling dangkal kauungkapkan untuk diketahui dan dihina orang. Jelas
bahwa ada yang mau kaukatakan, tapi kata terakhir, kau sembunyikan karena ketakutan, sebab kau
tak punya tekat untuk mengutarakan dan hanya memiliki kekurangajaran seorang pengecut. Kau
membanggakan kesadaran, tapi kau tidak pasti tentang pendapatmu, karena biarpun otakmu
bekerja, hatimu gelap dan busuk, sedangkan kesadaran yang penuh dan murni tidak bisa dimiliki
tanpa hati yang bersih. Dan alangkah ngototnya kau, kau mendesak dan menggerenjeng! Dusta,
dusta, dusta!" Tentu saja semua yang anda katakan itu karanganku saja. Juga itu datangnya dari bawah tanah.
Selama empat puluh tahun aku sudah menyimak anda melalui celah-celah lantai. Aku sendiri yang
mengarangnya, karena tidak ada yang lain yang bisa kukarang. Tidak mengherankan kalau aku
sampai hafal dan ia akhirnya beroleh suatu bentuk sastera . . . .
Tapi apa anda betul begitu mudah percaya hingga anda yakin bahwa aku akan mencetak semua ini
dan memberikannya pada anda untuk and abaca" Satu masalah lagi: kenapa kalian kusebut "tuantuan", kenapa kalian kusebut seolah-olah kalian adalah pembacaku" Pengakuan yang hendak
kuadakan belum pernah dicetak atau dijadikan bacaan untuk orang lain. Pokoknya, dalam hal itu aku
tidak mau berkeras dan tidak yakin untuk apa. Tapi soalnya, aku telah beroleh suatu fikiran dan
bagaimanapun juga aku ingin melaksanakannya. Biar kujelaskan.
Setiap orang punya kenangan yang tidak akan ia ceritakan pada semua orang kecuali kawankawannya sendiri. Ada lagi hal-hal lain yang bahkan pada kawannya sendiri tidak akan ia ungkapkan,
kecuali pada diri sendiri, dan itu pun secara diam-diam. Tapi ada hal-hal yang bahkan pada diri
sendiri orang tidak berani beberkan, dan setiap manusia memiliki hal seperti ini, tersimpan dalam
fikirannya. Pendeknya, akhir-akhir ini aku telah mengambil keputusan untuk mengikat beberapa
pengalamanku di masa lampau. Sampai saat ini aku berusaha untuk mengelakkan mereka, bahkan
dengan suatu keresahan. Kini, aku bukan saja mengatakannya tapi aku sudah memutuskan untuk
menuliskan cerita tentangnya, aku ingin mengadakan percobaan apa kita bisa terbuka seluruhnya
pada diri sendiri dan tidak takut pada seluruh kebenaran itu. Sambil lalu, antara tanda kutik, Heine
mengatakan, bahwa sebuah otobiografi yang sejati adalah tidak mungkin, dan bahwa manusia
bagaimanapun juga akan berdusta tentang dirinya sendiri. Ia menganggap, bahwa Rousseau dalam
pengakuannya telah membeberkan kedustaan, bahkan ia telah berdusta dengan sengaja karena
kekenesannya. Aku yakin Heine benar; aku bisa mengerti bagaimana kadang-kadang seseorang,
semata karena kekenesan mendandani diri sendiri dengan kejahatan-kejahatan biasa, dan memang
aku mungkin saja memiliki kekenesan seperti itu. Tapi Heine memberikan penilaianya tentang orang
yang mengadakan pengakuan kepada umum. Aku menulis hanya untuk diriku sendiri, dan aku ingin
menegaskan untuk akhir kali, bahwa biarpun aku menulis seolah-olah bicara pada seorang pembaca,
itu kulakukan semata karena bagiku lebih mudah menulis dalam bentuk itu. Ia hanyalah bentuk,
bentuk yang kosong " aku tidak akan pernah punya pembaca. Hal ini sudah kunyatakan dengan jelas
... Aku tidak ingin diganggu oleh batasan-batasan apa pun dalam mengumpulkan catatan-catatanku.
Aku tidak akan memakai sistim atau metoda mana pun juga. Aku akan menuliskan segalanya seperti
yang kuingat. Tapi di sini barangkali ada yang memikirkan kata itu dan bertanya padaku: kalau kau betul-betul
tidak mengharapkan pembaca, kenapa kau berusaha meyakinkan dirimu " di atas kertas lagi "
bahwa kau tidak akan memakai sistim atau metoda mana pun jua, bahwakau akan menulis sesuai
dengan ingatanmu, dan sebagainya dan sebagainya" Buat apa kaujelaskan" Kenapa kau minta maaf"
Baik, aku akan menjawab. Dalam semua ini ada suatu psikologi lengkap. Barangkali aku tidak lebih dari seorang pengecut.
Mungkin juga dengan sengaja aku membayangkan seorang pembaca depanku supaya aku merasa
lebih bermartabat waktu menulis. Mungkin ada seribu sebab. Sekali lagi, apa sebetulnya tujuanku
menulis" Sekiranya tidak untuk keuntungan pembaca, kenapa kejadian-kejadian ini tidak kuingat
saja dalam fikiran tanpa menuliskannya di atas kertas"
Betul; tapi jika di atas kertas ia jadi lebih mengesankan. Ada sesuatu yang memberikan kesan lebih
besar dalamnya; aku akan lebih bisa mengeritik diriku sendiri dan memperbaiki gayaku. Di samping
itu, siapa tahu dengan menulis aku dapat memperoleh rasa lega. Hari in misalnya, aku sangat
tertekan oleh sebuah kenangan di masa lampau yang sudah lama berlalu. Ia muncul dalam fikiranku
dengan hidup sekali beberapa hari yang lalu, dan tak henti-hentinya menghantui aku laik lagu yang
menjengkelkan yang tidak bisa disingkirkan. Aku punya beratus kenangan seperti itu; tapi kadangkadang salah satu di antaranya memisahkan diri dan menekan aku. Entah kenapa, aku percaya,
bahwa jika aku tuliskan maka aku mungkin akan dapat membebaskan diri dari padanya. Kenapa
tidak dicoba" Lagi pula, aku bosan dan aku tidak pernah punya kesibukan. Menulis akan merupakan semacam
pekerjaan bagiku. Kata orang pekerjaan membuat orang jadi ramah dan jujur. Nah, inilah
kesempatan bagiku. Hari ini salju turun, kuning dan kumal. Kemarin ia juga turun, pun beberapa hari yang lalu. Kukira
salju basah itulah yang mengingatkan aku pada kejadian yang tak bisa kukirakan itu. Karena itu
biarlah kisan ini mengenai salju yang turun.
BAGIAN II TENTANG SALJU BASAH Kala dari kekhilafan penaklukan gelap
Kata-kata desakan garangku
Merenggutkan sukmamu yang layu hingga bebas;
Dan sambil menggeliat-geliat karena cederamu
Kaukenang kembali dengan kutukan
Kejahatan yang melingkupimu:
Dan kala kesadaranmu yang tertidur
Ketakutan karena nyala menyiksa dari ingatan,
Kau mengungkapkan latar belakang ngeri
Jalan hidupmu sebelum aku tiba:
Aku melihat kau tiba-tiba jadi mual.
Dan menyembunyikan muka sambil menangis, berontak, gila, negeri,
Karena ingatan pada aib yang keji.
NEKRASSOV WAKTU itu umurku baru dua puluh empat tahun. Bahkan di kala itu hidupku sudah suram, tak
teratur, dan terpisah bagai seorang biadab. Aku tidak berkawan dengan siapa pun juga dan selalu
mengelak untuk bicara dan menguburkan diri makin jauh dalam lobangku. Kala bekerja di kantor,
aku tidak pernah memandang pada siapa pun jua, sedangkan aku sadar sekali bahwa kawan-kawan
sejabatku memandang aku bukan saja sebagai seorang yang aneh, tapi bahkan menganggap aku "
aku selalu merasakan ini " menjijikkan. Aku kadang-kadang bertanya pada diriku sendiri kenapa
tidak ada orang lain kecuali aku yang merasa dirinya dipandang dengan penuh kebencian. Salah
seorang kerani di antaranya memiliki muka yang lebih menjijikkan, muka yang bopeng dan yang
kelihatannya pasti lebih jahat. Rasanya aku tidak akan sanggup memandang pada seseorang yang
berwajah begitu tidak mengenakkan pandangan. Yang lain mengenakan seragam yang tua dan kotor
hingga sekitarnya selalu tercium bau busuk. Tapi tak seorang pun dari tuan-tuan ini yang
memperlihatkan kesadaran sedikit pun jua " baik mengenai pakaian atau wajah atau tingkah laku.
Tak seorang pun di antara mereka yang pernah membayangkan bahwa orang melihat mereka
dengan rasa jijik; sekiranya tahu bahwa mereka tidak akan keberatan " selama atasan mereka tidak
memandang dengan cara begitu. Bagiku kini jelas, karena kekenesanku yang tak ada taranya dan
karena ukuran tinggi yang kuperlakukan bagi diriku sendiri, maka aku sering memandang diriku
sendiri dengan rasa tak puas, penuh kegeraman, yang sudah hampir-hampir menyerupai rasa jijik,
sehingga dalam batinku aku mengira bahwa rasa itu dimiliki semua orang. Misalnya, aku benci pada
mukaku: bagiku ia memuakkan, dan aku bahkan curiga bahwa pada air mukaku ada sesuatu yang
busuk, hingga setiap hari aku datang ke kantor selalu berusaha untuk bertingkah-laku sebebas
mungkin, dan memperlihatkan air muka yang luhur, supaya orang tidak menganggap aku hina.
"Wajahku mungkin buruk," kataku dalam hati, "tapi usahakanlah supaya ia luhur, ekspresif, dan
lebih-lebih lagi, cerdik sekali. Tapi dengan pasti dan rasa perih aku yakin bahwa bagi mukaku
mustahillah untuk mengutarakan sifat-sifat itu. Lebih celaka lagi, aku merasa mukaku kelihatan
dungu. Aku akan puas sekali sekiranya dapat kelihatan cerdik. Bahkan, aku bersedia kelihatannya
jahat, asal saja sekaligus wajahku bisa memberikan kesan yang pintar sekali.
Tentu saja aku benci pada sesama kerani, aku menganggap mereka semua hina, tapi sekaligus aku
seakan-akan takut pada mereka. Sebetulnya, aku kadang-kadang mengira mereka jauh lebih tinggi
dari aku. Pendeknya secara tiba-tiba aku bisa saja terombang-ambing antara mengejek dan
menganggap mereka lebih tinggi dari diriku. Seorang lelaki terpelajar dan terhormat tidak mungkin
bersikap sombong tanpa menegakkan ukuran yang tinggi menakutkan buat dirinya sendiri dan tanpa
mencela dan hampir-hampir membenci dirinya sendiri dan tanpa mencela dan hampir-hampir
membenci dirinya sendiri pada saat-saat tertentu. Tapi apa mereka aku benci atau kuanggap lebih
tinggi dari aku, setiap kali aku ketemu salah seorang dari mereka aku selalu merundukkan mata. Aku
bahkan melakukan percobaan-percobaan, apa aku sanggup menatap si Anu dan si Anu yang
memandang padaku, tapi yang terlebih dahulu merundukkan mata adalah aku. Hal ini merisaukan
aku sampai aku bingung. Aku juga takut sekali bila kelihatan konyol, hingga mirip seorang budak
dalam soal lahiriah. Aku suka berjalan di jalan kala terdapat banyak orang, dan takut sekali pada
keanehan perasaan yang ada dalam diriku. Tapi bagaimana aku bisa hidup sesuai dengan itu" Aku
sangat perasa sekali, seperti galibnya seorang lelaki zaman kita. Mereka semua dungu, sama-sama
menyerupai sejumlah domba. Barangkali aku satu-satunya di kantor itu yang memandang dirinya
pengecut dan seorang budak, dan hal itu kulakukan karena aku lebih terpelajar. Tapi itu bukan
hanya bayanganku saja, keadaannya memang demikian. Aku seorang pengecut dan seorang budak.
Ini kukatakan tanpa rasa malu sedikit pun. Setiap lelaki zaman kita ialah seorang pengecut dan
seorang budak. Itu wajar. Dalam hal ini aku yakin sekali. Ia diciptakan dan dibentuk untuk itu. Dan
bukan hanya sekarang saja, karena keadaan-keadaan tertentu yang biasa, tapi sejak dulu, selamalamanya, seorang lelaki terhormat ialah seorang pengecut dan seorang budak. Ini adalah hukum
alam untuk semua orang terhormat di seantero bumi. Kalau ada di antara mereka kebetulan
bersikap berani mengenai sesuatu hal, ia tidak perlu dipuji atau dijunjung karena itu; ia tetap akan
memperagakan bulu putihnya sebelum yang lain-lain. Begitulah semuanya berakhir tanpa kecuali.
Hanya keledai dan bagal yang perwira, dan itu pun hanya sampai bila mereka didesak ke dinding.
Tidak ada gunanya kita memberikan perhatian pada mereka, karena bukanlah orang penting.
Ada suatu keadaan lain yang merisaukan aku di kala itu: yaitu, tidak ada orang lain yang seperti aku
dan aku tidak menyerupai siapa pun jua. "Aku sendiri, sedangkan mereka adalah semua orang,"
kataku dalam hati " lalu merenung.
Dari itu jelas sekali bahwa aku masih seorang pemuda.
kadang-kadang terjadi yang sebaliknya. Kadang-kadang aku merasa segan sekali pergi ke kantor;
keadaan sudah sampai begitu rupa hingga aku sering pulang dengan rasa demam. Tapi tiba-tiba,
tanpa ada sebab, datang satu tahap skeptic dan ketidakperdulian (semuanya terjadi secara bertahap
pada diriku), lalu aku mentertawakan kesempatan hatiku dan perasaanku yang tak pernah puas. Dan
aku menyesali diriku karena terlalu romantic. Sekali aku pernah tidak mau bicara dengan siapa pun
jua, sedangkan pada kesempatan lain aku tidak saja bicara, malahkan sampai memasang niat
hendak bersahabat dengan mereka. Semua rasa tak puasku tiba-tiba, tanpa ada sebab, sirna. Siapa
tahu, aku tidak pernah punya perasaan itu sebetulnya, tapi sekedar kubuat-buat dan kupetik dari
buku-buku. Persoalan itu belum lagi terjawab olehku sampai kini. Sekali aku bersahabat dengan
mereka, mengunjungi rumah mereka, main kartu, minum wodka, bicara tentang kenaikan pangkat .
. . Tapi izinkan aku menyimpang di sini.
Kami orang Rusia, secara umum, tidak pernah memiliki kaum "romantic" transendental yang edan "
seperti orang Jerman, terlebih-lebih orang Prancis -- yang tidak bisa dipengaruhi apa-apa; jika
terjadi gempa bumi, jika seluruh Perancis tewas di barikade-barikade, mereka tetap tak akan
berobah, dan terus menyanyikan lagu transendental mereka sampai saat kematiannya, karena
mereka adalah orang-orang edan. Kami orang Rusia, tidak punya orang edan; itu semua orang tahu.
Itu yang membedakan kami dari negeri asing. Karena itu sifat-sifat transedental ini tidak ditemui di
antara kami dalam bentuknya yang murni. Sangkaan, bahwa mereka begitu, karena wartawanwartawan kita yang "realistik" dan para pengeritik kita di masa itu, yang tak putus-putusnya mencari
para Kostnazhoglos dan paman Pyotr Ivanitces dan memandang mereka sebagai cita-cita kita,
dengan cara yang bodoh sekali; mereka telah memfitnah kaum romantic kita dan menyamakannya
dengan bentuk transedental yang terdapat di Jerman dan Perancis. Sebaliknya, sifat-sifat kaum
"romantik" kita adalah suatu kebalikan langsung dan mutlak dari sifat-sifat kaum "romantik"
transedental tipe Eropah, hingga tidak ada ukuran Eropah yang dapat kita pakai untuk mereka.
Izinkan aku mempergunakan kata "romantik" ini " sebuah kata kolot yang sangat dihormati yang
telah berjasa banyak dan dikenal setiap orang). Sifat-sifat khas kaum romantic kita, ialah memahami
segala-galanya, melihat segalanya dan melihatnya seringkali dengan kejelasan yang tiada tara.
Dewa Iblis 1 Animorphs - 45 The Revelation Darah Dan Cinta Di Kota Medang 13

Cari Blog Ini