Perempuan Di Titik Nol Women At Point Zero Karya Nawal El Saadawi Bagian 1
Prakata ENERBITAN SERI BUKU sastra negeri-negeri yang dinamakan secara tidak tepat dengan julukan Dunia Ketiga (itulah kebiasaan manusia yang buruk, cenderung mengotak-ngotakkan manusia dan bangsa-bangsa, dan bukannya melihat bangsabangsa dunia adalah menyatu dalam satu umat manusia) telah lama kami pikirkan dan rencanakan di Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Bangsa-bangsa yang sedang berkembang di dunia sedikit banyak berada dalam situasi yang sama, dan menghadapi pengalaman-pengalaman dan berbagai tantangan yang juga di antaranya ada yang sama. Mereka sebagian terbesar adalah bekas negeri jajahan kekuasaan asing. Masyarakat mereka juga berada di taraf transisi, perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern dengan segala masalah dan keperihannya. Di banyak negeri demikian kedudukan wanita mengalami perubahan-perubahan mendasar, yang tidak saja berpengaruh terhadap wanita sendiri, tetapi juga pada pihak lelaki. Demikian pula banyak
nilai tradisional mengalami perubahan, yang sering merupakan pengalaman traumatik terhadap banyak orang. Pembangunan ekonomi sendiri mendorong berbagai perubahan di banyak bidang penghidupan dan nilai-nilai perorangan dan masyarakat.
Adalah penting artinya dan amat menarik bagi kita di Indonesia, yang juga dalam proses yang sama, untuk membaca pengalaman manusia di berbagai negeri lain yang sedang berkembang. Bagaimana reaksi dan jawaban mereka terhadap dampak dari berbagai hal baru yang berkembang dalam masyarakat mereka" Bagaimana mereka dapat mengatasi atau menyelesaikan masalahmasalah kemanusiaan dan masyarakat yang timbul" Perubahan-perubahan nilai yang terjadi"
Sastra yang baik selalu merupakan cermin sebuah masyarakat. Sastra memang bukan tulisan sejarah dan juga tidak dapat dijadikan sumber penulisan sejarah. Akan tetapi sastrawan yang baik akan selalu berhasil melukiskan dan mencerminkan zaman dan masyarakatnya, serta manusia anggota masyarakatnya. Sastrawan yang baik akan dapat menampilkan pengalaman manusia dalam situasi dan kondisi yang berlaku dalam masyarakatnya.
Membaca karya-karya sastra dari negeri yang sedang berkembang ini, kita di Indonesia, pasti akan menemukan banyak persamaan, meskipun tentu juga akan diketemukan berbagai reaksi dan jawaban yang berbeda, akibat dari latar belakang sejarah, kondisi dan situasi
vii masyarakat, nilai-nilai masyarakat maupun perorangan, agama, dan sebagainya yang saling berbeda.
Akan tetapi jika kita membuka pikiran dan hati kita membaca seri sastra dari negeri ini, maka kita akan mendapat pengalaman yang kaya sekali, pengalaman manusia yang hanya dapat kita timba dari sastra, dan yang tidak mungkin kita dapat dari buku-buku sejarah maupun penelitian masyarakat. Mungkin saja pengalaman itu dapat membawa kita pada pengertian yang lebih jelas dan jernih tentang apa yang terjadi dengan kita dalam masyarakat kita di Indonesia ini.
Mochtar Lubis viii Kata Pengantar Mochtar Lubis ASTRA ARAB TIDAK banyak dikenal oleh penggemar sastra di Indonesia. Amat sedikit yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di antara sastra Arab klasik yang dikenal di Indonesia, antara lain adalah Kisah Seribu Satu Malam yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia. Beberapa buku lain telah pula diterjemahkan. Tetapi dibanding dengan khazanah sastra Arab yang begitu kaya, maka apa yang telah diterbitkan di dalam bahasa kita masih amat sedikit.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia dalam upayanya memperkenalkan sastra dari negeri-negeri berkembang, juga memilih sastra Arab sebagai salah sebuah unsur sastra yang hendak kami perkenalkan pada peminat sastra di Indonesia. Tetapi untuk sementara kami utamakan sastra Arab modern atas beberapa pertimbangan.
Berbagai masyarakat Arab, seperti juga negeri kita, berada dalam taraf transisi, dan juga dalam proses
modernisasi. Masalah nilai-nilai tradisional masih merupakan permasalahan yang belum terselesaikan, dan malahan di berbagai masyarakat pada taraf ini terasa seakan-akan amat sulit dapat diselesaikan.
Salah satu masalah dalam masyarakat tradisional yang menjadi bahan perdebatan dan malahan konflik ialah masalah kedudukan dan hak-hak wanita, baik di tengah masyarakat, maupun dalam hubungan langsung antara lelaki dan perempuan secara sosial (kerja, tanggung jawab di depan hukum, dan sebagainya) dan juga pribadi, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Kita dapat mengingat, bahwa perjuangan perempuan Indonesia untuk mendapat kedudukan yang lebih seimbang di dalam lembaga perkawinan telah makan waktu puluhan tahun, dan baru dapat membawa perempuan Indonesia ke Undang- Undang Perkawinan yang beberapa tahun lampau ini telah diundangkan. Meskipun demikian, kita masih dapat melihat, bahwa isteri masih belum sepenuhnya dapat dilindungi dari poligami tanpa persetujuannya.
Malahan kita melihat adanya organisasi wanita yang kedudukan setiap perempuan di dalamnya masih tergantung seratus persen dari kedudukan hirarkis suaminya di dalam birokrasi atau lembaga negara. Bagi saya, kenyataan ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia masih harus memperjuangkan haknya lebih banyak lagi, sebelum dia benar-benar menjadi oknum mandiri bersama lelaki di dalam masyarakat kita.
Di bidang perburuhan masih banyak keluhan mengenai kurang terjaminnya hak-hak perempuan. Sebuah contoh yang mudah ialah nasib pembantu rumah tangga (yang sebahagian besar adalah perempuan) yang setelah hampir setengah abad Indonesia merdeka masih belum mendapat pengaturan hukum yang layak, yang menjamin hak-haknya sebagai pekerja. Banyak pembantu rumah tangga bekerja tanpa jam kerja. Praktis nasib mereka sepenuhnya di tangan majikan, apakah jika mereka sakit akan diberikan rawatan dan santunan kerja yang wajar" Atau jika mereka sedang melakukan pekerjaan mendapat kecelakaan, apakah ada asuransi atau jaminan ganti-rugi, perawatan yang wajar, dan bagaimana pula di hari tua mereka" Di banyak keluarga di Indonesia, banyak kawan saya yang mempekerjakan pembantu rumah tangga mereka hingga berumur amat tua, lebih dari 60 tahun, dan dengan bangga mereka mengatakan, bahwa mbok itu sungguh setia, hingga seakan-akan telah jadi anggota keluarga saja. Tetapi si mbok pun terus harus bekerja setiap saat. Tidakkah harus ada perlindungan yang tepat bagi perempuan-perempuan pembantu rumah tangga seperti ini"
Kepincangan-kepincangan antara perempuan dan lelaki masih cukup banyak terdapat di masyarakat yang sedang berkembang, dengan berbagai-perbedaan taraf kepincangan.
Negeri-negeri Arab terkenal sebagai masyarakat yang kedudukan perempuannya dianggap amat terkebelakang
jika dibandingkan dengan hasil-hasil perjuangan persamaan kedudukan dan hak antara perempuan dan lelaki yang telah tercapai, tidak saja di negeri-negeri Barat, tetapi juga di banyak masyarakat lain, seperti di beberapa negeri di Asia dan Amerika Selatan.
Buku karangan perempuan Mesir ini, Nawal el- Saadawi (yang adalah seorang dokter) berjudul Perempuan di Titik Nol, akan mengejutkan banyak pembaca di Indonesia. Mesir termasuk salah sebuah negeri dan masyarakat Arab dan Islam yang melakukan modernisasi jauh lebih dahulu dari negeri-negeri Arab dan Islam lainnya di Asia Tengah.
Kehadiran buku Nawal el-Saadawi ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan Mesir untuk merebut kedudukan dan hak-hak yang sama, dan lebih penting lagi untuk mendapat perubahan nilai dan sikap kaum lelaki Mesir terhadap perempuan, masih belum sepenuhnya tercapai.
Buku yang Keras dan Pedas
NOVEL INI MERUPAKAN kisah yang diceritakan oleh perempuan bernama Firdaus dari sel penjaranya, tempat dia menunggu pelaksanaan hukuman matinya. Dia telah membunuh seorang lelaki. Saya tak ingin mendahului pembaca untuk membaca sendiri alur cerita yang sangat keras, amat pedas, yang penuh dengan kejutan-kejutan yang menggoncangkan perasaan, yang mengandung
xii pula jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan, sebagai yang diderita, dirasakan, dan dilihat oleh perempuan itu sendiri.
Yang patut saya catat adalah rasa kebebasan dan keberanian pengarang buku ini sendiri untuk menghadapi reaksi-reaksi masyarakat Mesir. Saya mendengar dari seorang kawan, bahwa buku ini pun mendapat berbagai reaksi dari pembacanya di Mesir sendiri.
Bagaimana perasaan pembaca tidak akan tergoncang seakan dilanda badai yang bergerak dengan kecepatan 200 kilometer tiap jam, jika membaca, umpamanya, hal-hal sebagai berikut:
Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi, semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka, telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja: untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka. Akan tetapi karena saya seorang perempuan, saya tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Dan karena saya seorang pelacur, saya sembunyikan rasa takut saya di bawah lapis-lapis solekan muka saya.
Saya dapat pula mengetahui, bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat
xiii mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakkan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.
Ketika mereka meneriakkan kata patriotisme, dengan segera saya tahu, bahwa ketakutan bukan kepada Allah, dan bahwa dalam benak mereka, patriotisme mereka itu adalah yang miskin harus mati untuk membela tanah orang kaya, tanah mereka, karena saya tahu bahwa orang yang miskin tidak memiliki tanah.
Seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.
Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepintaran mereka, dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi
xiv mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang disalahgunakan. Sesuatu yang dapat dijual.
Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini, dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang isteri yang diperbudak.
Saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua: para bapak, paman, suami, germo, pengacara, dokter, wartawan, dan semua lelaki dari semua profesi.
Itulah beberapa cuplikan dari jeritan penderitaan dan pemberontakan wanita tertindas di Mesir.
Relevansinya bagi Kita di Indonesia
SEBAGAI SEORANG LELAKI saya menundukkan kepala saya menghadapi tuduhan dan kutukan yang begini dahsyat dari perempuan. Saya berharap agar lelaki Indonesia yang membaca novel ini mau membuka hati dan pikiran mereka untuk menerima serangan dahsyat dari Firdaus, tokoh sentral dalam ceritera ini, dan semoga mendorong kita untuk sungguh-sungguh memikirkan
pula masalah dan kedudukan perempuan Indonesia di tanah air kita.
Di Indonesia lelaki amat mudah mengatakan bahwa perempuan amat dipuja dan dihormati dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Tidakkah kata perempuan itu sendiri berasal dari kata empu yang penuh dengan pengertian penuh kehormatan dan kesaktian" Akan tetapi tidakkah pula dalam prakteknya masih banyak perempuan Indonesia yang benar-benar hidup hanya untuk melayani dan mengabdi pada sang suami belaka"
Ketika melakukan sebuah pekerjaan kurang-lebih satu tahun lampau di NTT, saya masih menemukan di Pulau Alor, seorang tua yang secara terus-terang mengatakan bahwa dia mempunyai isteri sembilan orang dan anak lebih dari 28 orang. Ketika saya tanyakan, apakah dia beragama Kristen, dia mengatakan benar. Dan ketika saya tanya bagaimana sebagai seorang Kristen dia mungkin mengawini begitu banyak isteri, dengan tersenyum dia menjawab, Saya hanya kawin satu kali di gereja. Tetapi yang lainnya saya kawin dengan cara adat!
Meskipun telah ada Undang-Undang Perkawinan yang mengharuskan suami Islam untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari isteri pertamanya, jika dia hendak mengawini perempuan lain, tetapi dalam prakteknya ternyata masih dapat terjadi seorang suami beragama Islam mengawini perempuan lain, tanpa izin tertulis ini. Ataupun jika dapat izin tertulis, cukup banyak cara dapat
xvi dilakukan seorang suami untuk menekan isteri agar mau menandatangani surat demikian.
Di sebuah daerah lain di NTT, saya melihat, betapa seorang isteri berjalan kaki di belakang sang suami, yang dengan enaknya naik seekor kuda. Sedangkan sang isteri memikul keranjang besar berisi hasil pertanian mereka yang hendak dibawa ke pasar. Dan perjalanan dari dusun ke pasar melalui daerah pegunungan dan bukit-bukit yang belasan kilometer jauhnya.
Di sebuah daerah, perempuan atau isteri yang baik menurut nilai lelaki di sana adalah perempuan yang senang bekerja di rumah, yang rajin bekerja di kebun, yang tidak suka bergunjing ke tetangga, yang menjaga agar rumah dan pekarangan selalu bersih, yang rajin mengambil air (di banyak daerah NTT, mengambil air sering mengharuskan orang berjalan kaki berkilometer), yang rajin bangun pagi dan menyiapkan santapan bagi suami dan anakanaknya, dan berbagai pelayanan dan dinas lain yang harus dilakukannya untuk menyenangkan sang suami. Dan tidak ada sepatah kata mengenai kesenangan dan hak-haknya sebagai seorang isteri dan perempuan.
Saya heran melihat banyak perempuan di kota-kota besar di tingkat kedudukan tertentu (yang kedudukan suami mereka mencukupi atau malahan berlebihan dalam kebendaan dan status sosial), yang jika kita katakan pada mereka, bahwa perempuan Indonesia harus berjuang terus untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak yang benarbenar sama dengan lelaki, memperlihatkan sikap sudah
xvii puas diri-sendiri. Karena mereka telah dapat hidup layak, malahan ada yang hidup berkelebihan, mereka tidak lagi dapat melihat bahwa masih puluhan juta perempuan Indonesia yang masih terikat dalam pembatasanpembatasan kedudukan dan peran tradisional yang ditetapkan akibat seks mereka selama ini, lebih dari itu, juga masih banyak yang belum sadar, bahwa keadaan seperti ini merupakan satu ketidakadilan yang harus dihapuskan.
Moga-moga dengan membaca buku Nawal el- Saadawi yang dahsyat ini, baik perempuan maupun lelaki Indonesia tergerak hati dan pikirannya untuk memikirkan kembali dengan penuh keterbukaan berbagai kekurangan dan ketidakadilan yang masih menimpa hak-hak dan kedudukan perempuan Indonesia dalam masyarakat kita sekarang.
xviii Sekapur Sirih dari Penulis
AYA MENULIS NOVEL ini sesudah bertemu dengan seorang wanita di penjara Qanatir. Beberapa bulan sebelumnya, saya telah mulai dengan penelitian tentang penyakit syaraf (neurosis) di kalangan para wanita Mesir, dan saya dapat memusatkan lebih banyak waktu pada pekerjaan ini karena ketika itu saya sedang menganggur. Pada akhir tahun 1972 Menteri Kesehatan telah memberhentikan saya dari jabatan Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pemimpin Redaksi Majalah Health. Ini suatu akibat lain dalam perjalanan hidup yang saya pilih sebagai seorang penulis dan pengarang feminis yang pandangan-pandangannya dianggap tidak menguntungkan oleh para penguasa.
Sekalipun demikian, situasi ini telah banyak memberikan waktu kepada saya untuk berpikir, menulis, melakukan penelitian, dan untuk melakukan konsultasikonsultasi dengan para wanita yang datang menemui saya. Tahun 1973 merupakan tahap baru dalam kehidupan saya; tahun itupun telah menjadi saksi bagi kelahiran
xix novel saya berjudul Firdaus, atau Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol).
Gagasan bagi penelitian saya itu sebenarnya muncul sebagai suatu hasil konsultasi dengan para wanita yang telah minta nasihat dan bantuan saya dalam menangani situasi-situasi yang menjurus ke arah tekanan-tekanan batin baik yang berat atau lebih ringan. Saya memutuskan untuk memilih sejumlah kasus tertentu di antara para wanita yang menderita penyakit syaraf (neurosis), dan ini berarti kunjungan-kunjungan yang teratur pada sejumlah rumah sakit dan beberapa puskesmas.
Gagasan tentang penjara senantiasa memikat perhatian saya secara khusus. Seringkali saya ingin mengetahui bagaimanakah kehidupan di penjara itu, teristimewa bagi para wanita. Barangkali hal ini karena saya hidup di suatu negeri di mana banyak cendekiawan penting-penting di sekitar saya telah beberapa kali masuk di penjara untuk waktu tertentu karena kejahatan politik. Suami saya telah dipenjara selama 13 tahun sebagai tahanan politik. Demikianlah, sehingga ketika saya pada suatu hari bertemu secara kebetulan dengan salah seorang dokter dari Penjara Wanita di Qanatir, saya tidak dapat menahan diri untuk bertukar pikiran dengannya; tiap kita saling berjumpa kita akan bertukar pikiran. Ia menceriterakan kepada saya berbagai hal mengenai para wanita yang dipenjarakan, karena pelbagai macam pelanggaran, dan khususnya mengenai mereka yang menderita gangguan penyakit syaraf (neurosis) dalam
pelbagai derajat, dan mengunjungi klinik kesehatan jiwa setiap minggu di Rumah Sakit Penjara Qanatir.
Saya makin lama makin tertarik, dan perlahan-lahan gagasan untuk mengunjungi penjara itu dan menemui para wanita di situ makin tumbuh dalam pikiran saya. Pertama kali saya melihat dalamnya penjara adalah dalam film-film politik, tetapi sekarang saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi penjara sebenarnya. Gagasan itu malahan makin mendesak ketika kawan saya, dokter penjara itu, mulai berceritera panjang lebar tentang seorang wanita yang telah membunuh seorang laki-laki dan sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati dengan cara digantung. Saya belum pernah melihat seorang wanita yang telah melakukan pembunuhan.
Dokter penjara itu berkata, bahwa ia akan mengajak saya untuk menjumpai wanita itu, dan memperlihatkan wanita-wanita lainnya yang dipenjarakan, dan sedang menderita gangguan-gangguan mental. Dengan perantaraannyalah saya telah memperoleh izin khusus supaya dapat mengunjungi Penjara Qanatir sebagai seorang psikiater dan untuk memeriksa wanita-wanita tersebut. Ia tertarik pada hal yang saya rencanakan, sehingga ia menemani saya ke penjara dan bersama berkeliling di dalamnya. Pada saat saya memasuki gedung penjara lewat pintu gerbang, saya hanyut oleh perasaan sedih melihat pemandangan gedung-gedung yang suram, jendela-jendela yang berterali besi dan kesan kekerasan yang menyeluruh dari lingkungannya. Seluruh tubuh
xxi saya bergetar. Sedikit pun saya tak tahu, bahwa pada suatu hari saya akan melangkah memasuki gedung itu melalui pintu gerbang yang sama, tidak sebagai psikiater, tetapi sebagai seorang yang dipenjarakan karena ditangkap bersama dengan 1.035 orang lainnya dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Sadat pada tanggal 5 September 1981. Tetapi pada pagi di musim gugur tahun 1974 itu kemungkinan bahwa diri saya sebagai terhukum berada di balik tembok-tembok yang menguning, yang menjulang tinggi dan kosong itu, tak pernah muncul dalam benak saya. Ketika saya melintasi taman di dalam penjara itu, saya dapat melihat sepintas wajah-wajah para wanita, mengintai di balik jeruji-jeruji besi seperti binatang, dengan jari-jarinya yang berwarna putih atau coklat memegang erat besi yang hitam itu.
Pertama kali, Firdaus menolak untuk menerima saya di dalam selnya, tetapi kemudian dia setuju untuk bertemu dengan saya. Sedikit demi sedikit ia telah dapat saya bujuk untuk menceriterakan kisahnya, seluruh kisah tentang hidupnya. Kisahnya mengerikan tetapi sangat memukau. Begitu ia mengungkapkan kisah hidupnya kepada saya, makin lama makin banyak saya ketahui mengenai dirinya. Perasaan saya tergugah dan takjub terhadap wanita ini yang bagi saya begitu luar biasa dalam dunia wanita yang telah biasa bagi saya. Demikianlah, kemudian, tiba harinya saya mulai berpikir untuk menulis novel, yang kelak akan dikenal sebagai Perempuan di Titik Nol atau Firdaus.
xxii Tetapi untuk sementara waktu saya dapati diri saya sibuk dengan banyak wanita yang telah diperlihatkan kawan dokter saya itu di dalam sel-sel penjara dan di klinik kesehatan jiwa karena mereka itu termasuk kasus kajian pendalaman jiwa sejumlah 20 orang dalam rangka usaha penelitian saya, yang hasilnya telah dipublikasikan dalam tahun 1976, dengan judul Women and Neurosis in Egypt.
Tetapi Firdaus tetap wanita yang khusus. Ia menonjol di antara para wanita yang lain, bergetar dalam diri saya, atau kadang-kadang diam, sampai pada hari saya mencantumkan dengan tinta di atas kertas dan memberinya hidup sesudah mati. Sebab, pada akhir tahun 1974, Firdaus telah menjalani hukuman mati, dan saya tidak melihatnya lagi. Tetapi entah bagaimana ia selalu terbayang di depan mata saya. Saya dapat melihatnya, menelusuri garis-garis dahi, bibir dan matanya, mengamati ketika ia bergerak dengan sikap anggun. Ketika musim gugur tahun 1981, tiba giliran saya dihukum penjara, saya mengamati wanita-wanita lain yang dipenjarakan bila mereka berjalan-jalan di taman seakan-akan mencari dia, mencoba untuk menangkap sekilas kepalanya yang selalu tegak demikian anggun, gerak-gerik tangannya yang serba tenang, atau pandangan yang tegar dari matanya yang berwarna coklat. Saya belum yakin benar bahwa ia telah tiada. Selama tiga bulan saya dipenjara, saya telah berjumpa dengan wanita-wanita yang dipersalahkan telah membunuh seorang laki-laki, beberapa di antara mereka
xxiii mengingatkan saya kembali kepada Firdaus; padahal tidak seorang pun di antara mereka itu seperti Firdaus. Firdaus tetap unik. Bukan saja penampilannya, caranya berjalan, keberanian, atau gaya ia melihat kepada saya dari kedalaman matanya, sangat membedakannya dari wanitawanita lain, tetapi penolakannya yang mutlak untuk tetap hidup, sikapnya yang mutlak tak gentar menentang maut.
Firdaus adalah kisah seorang wanita yang telah didorong oleh rasa putus asa ke pojok yang paling kelam. Wanita ini, sekalipun muak dan putus asa, telah menghidupkan dalam hati mereka yang seperti saya sendiri, menjadi saksi saat-saat akhir hidupnya, suatu kebutuhan untuk menantang dan melawan kekuatankekuatan tertentu yang telah merampas hak manusia untuk hidup, untuk bercinta dan menikmati kebebasan yang nyata.
Nawal el-Saadawi Mesir, September 1983
NI ADALAH KISAH seorang wanita sejati. Saya telah berjumpa dengannya di Penjara Qanatir beberapa tahun yang lalu. Saya sedang melakukan penelitian mengenai kepribadian suatu kelompok wanita yang dipenjarakan dan ditahan, karena dijatuhi hukuman atau dituduh melakukan berbagai pelanggaran.
Dokter penjara, seorang laki-laki, menceriterakan kepada saya bahwa wanita ini telah dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh seorang laki-laki. Tetapi ia tidak seperti wanita-wanita pembunuh lainnya yang ada di dalam penjara tersebut.
Anda tidak akan pernah menjumpai orang seperti dia di dalam maupun di luar penjara ini. Ia menolak semua pengunjung, dan tidak mau berbicara dengan siapa pun juga. Biasanya ia tidak menyentuh makanan sama sekali, dan tetap tidak tidur sampai pagi hari. Kadang-kadang penjaga penjara mengamati apabila dia sedang duduk
sambil memandang dengan kosong ke depan berjam-jam lamanya. Suatu hari ia minta sebuah pena dan kertas, kemudian ia habiskan waktu berjam-jam lamanya dengan membungkuk di atas pena dan kertas itu tanpa bergerak. Si penjaga tidak dapat mengatakan apakah ia menulis sebuah surat atau berbuat yang lainnya. Barangkali ia sama sekali tidak menulis apa-apa. Saya bertanya kepada dokter penjara, Apakah ia mau bertemu dengan saya"
Saya akan mencoba membujuknya untuk berbicara dengan Anda barang sesaat, katanya. Mungkin ia setuju jika saya jelaskan bahwa Anda adalah seorang psikiater, dan bukan salah seorang pembantu Jaksa Penuntut Umum. Ia menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Malahan ia pun menolak untuk menandatangani permohonan kepada Presiden supaya dengan begitu hukumannya dapat diubah menjadi hukuman kurungan badan seumur hidup.
Siapakah yang membuat surat permohonan itu untuknya tanya saya.
Sayalah yang membuatnya, katanya. Terus terang sesungguhnya saya merasa bahwa dia bukan pembunuh. Bila Anda memandang muka, matanya, Anda tak pernah akan percaya, bahwa seorang wanita yang begitu lemahlembut dapat membunuh.
Siapa bilang bahwa suatu pembunuhan tidak menghendaki seseorang yang lemah-lembut"
Ia memandang kepada saya dengan sikap heran sekejap lamanya, dan kemudian tertawa gelisah.
Pernahkah Anda membunuh seseorang" Apakah saya seorang wanita lemah-lembut" jawab saya.
Ia memalingkan kepalanya ke satu sisi, menunjuk pada sebuah jendela yang amat kecil, dan berkata, Itulah selnya. Saya akan pergi ke sana dan berusaha membujuknya supaya datang dan menemui Anda.
Tak lama kemudian ia kembali tanpa dia. Firdaus telah menolak untuk menemui saya.
Saya sebenarnya bermaksud untuk memeriksa beberapa wanita lainnya yang dipenjarakan hari itu, tetapi sebaliknya, saya masuk ke dalam mobil dan pergi.
Di rumah saya tak dapat berbuat sesuatu. Saya harus memeriksa kembali rancangan naskah buku saya yang terakhir, tetapi saya tak sanggup memusatkan pikiran. Tak lain yang saya pikirkan hanyalah wanita yang bernama Firdaus itu, dan yang sepuluh hari lagi akan dibawa ke tiang gantungan.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali saya telah berada lagi di pintu gerbang penjara. Saya minta izin kepada seorang sipir wanita untuk melihat Firdaus, tetapi dia berkata: Tiada gunanya, Dokter. Ia tidak akan mau menemui Anda.
Mengapa" Mereka akan menggantungnya beberapa hari lagi. Apa gunanya Anda, atau orang lain bagi dia" Biarkan saja dia!
Ada nada marah dalam suaranya. Ia melihat pada saya dengan pandangan marah, seakan-akan sayalah yang akan menggantung Firdaus beberapa hari lagi.
Saya sama sekali tidak berurusan dengan para penguasa, baik di tempat ini maupun di tempat yang lain, kata saya.
Itulah yang selalu mereka katakan semua, katanya dengan sikap marah.
Apa sebabnya kau naik pitam" tanya saya. Kau pikir Firdaus itu tidak bersalah, bahwa dia tidak membunuh orang itu"
Dia menjawab dengan sikap yang lebih galak, Pembunuh atau bukan, dia adalah seorang wanita yang tidak bersalah dan dia tak perlu dihukum gantung. Mereka itulah orang-orangnya yang harus digantung. Mereka" Siapakah mereka itu"
Ia melihat kepada saya dengan sikap curiga dan berkata, Lebih baik Anda katakan kepada saya, siapa sebenarnya Anda ini" Apakah mereka itu yang mengirim Anda kemari"
Siapa yang Anda maksud dengan 'mereka'" tanya saya lagi.
Ia melihat keliling dengan hati-hati, hampir ketakutan, dan melangkah, mundur menjauhi saya.
'Mereka' ... Maksud Anda mengatakan bahwa Anda tidak kenai mereka itu"
Tidak, kata saya. Ia mengeluarkan bunyi tertawa yang pendek dan penuh ejekan sambil berlalu. Saya mendengar ia bergumam kepada dirinya sendiri:
Bagaimana mungkin bahwa ia sendiri saja yang tidak mengenal mereka"
SAYA KEMBALI KE PENJARA beberapa kali, tetapi semua daya upaya saya untuk menemui Firdaus tidak berhasil. Saya merasa bagaimanapun juga bahwa penelitian saya dalam keadaan gawat. Terus terang, seluruh kehidupan saya kelihatannya diancam kegagalan. Kepercayaan pada diri sendiri mulai goncang dan saya mengalami saat-saat yang penuh kesulitan. Menurut pandangan saya seakan-akan wanita ini yang telah membunuh seorang mahkluk manusia, dan sebentar lagi akan dibunuh juga, merupakan pribadi yang jauh lebih baik dari saya sendiri. Dibandingkan dengan dia, saya hanyalah seekor serangga kecil yang sedang merangkak di tanah di antara jutaan serangga lainnya.
Tiap kali saya teringat akan ekspresi di mata sipir atau dokter penjara, ketika mereka berbicara tentang ketidakacuhannya yang menyeluruh terhadap segala hal dan sikap menolak segala-galanya ditambah sikap penolakan untuk menemui saya, perasaan yang mencekam bahwa saya tak berdaya, dan tak berarti apa pun terus bertambah. Sebuah pertanyaan tetap berputarputar di dalam benak saya: Wanita macam apa dia"
Sejak dia menolak saya, apakah hal itu berarti bahwa dia adalah pribadi yang lebih baik dari saya" lagi pula, dia pun menolak untuk mengirim permohonan kepada Presiden supaya melindunginya dari tiang gantungan. Apakah itu merupakan tanda bahwa dia lebih baik dari Kepala Negara" Saya tercekam oleh suatu perasaan yang boleh dikatakan pasti, tetapi sulit dijelaskan, bahwa ia sebenarnya lebih baik daripada semua orang laki-laki maupun wanita yang telah biasa kita dengar, lihat, atau ketahui.
Saya berusaha untuk mengatasi kesulitan untuk bisa tidur, tetapi sebuah pikiran lain memenuhi otak saya sehingga saya tetap jaga. Ketika dia menolak menemui saya, apakah dia tahu siapa saya, atau apakah dia menolak saya tanpa mengenal diri saya"
Keesokan paginya, saya telah berada di penjara lagi. Saya tidak bermaksud berusaha menemui Firdaus, sebab saya telah kehilangan harapan. Saya sedang menunggu sipir atau dokter penjara. Dokter belum juga tiba namun saya menjumpai sipir.
Apakah Firdaus berkata kepada Anda bahwa dia mengenal saya" tanya saya.
Tidak, ia tidak mengatakan apa-apa, jawab sipir. Tetapi dia mengenal Anda.
Bagaimana Anda tahu, bahwa dia mengenal saya" Saya dapat menerka perasaannya.
Saya berdiri terpaku seperti berubah menjadi batu. Sipir meninggalkan saya untuk pergi melakukan tugasnya.
Saya berusaha untuk bergerak, untuk pergi ke mobil saya dan berangkat, tetapi gagal. Suatu perasaan aneh yang memberat menekan hati dan tubuh saya, menghilangkan tenaga di kaki saya. Sebuah perasaan yang lebih berat dari bobot bumi, alih-alih berdiri di atas permukaannya, saya berbaring terhimpit di bawahnya. Juga langit telah mengalami perubahan; warnanya telah berubah menjadi hitam, seperti warna bumi, dan menekan saya ke bawah dengan berat yang bertambah.
Perasaan ini pernah saya ketahui sebelum peristiwa ini, beberapa tahun yang telah lampau. Saat itu saya jatuh cinta kepada seorang pria yang tidak membalas cinta saya. Saya merasa ditolak, bukan saja oleh dia, bukan saja oleh satu orang di antara sekian juta yang menghuni dunia yang padat ini, tetapi oleh setiap makhluk atau benda yang ada di bumi ini, oleh dunia yang luas itu sendiri.
Saya luruskan bahu saya, berdiri setegak mungkin dan menarik napas dalam-dalam. Beban di kepala saya berkurang. Saya mulai memandang sekeliling saya dan merasa heran ketika menyadari bahwa saya berada di penjara pada waktu sepagi ini. Sipir membungkuk, menyikat lantai lorong gedung yang berubin. Saya diliputi perasaan jijik luar biasa terhadapnya. Dia tidak lebih dari seorang wanita yang sedang membersihkan lantai gedung penjara. Dia tidak bisa membaca atau menulis dan tidak tahu apa-apa tentang ilmu jiwa, jadi apa sebabnya sampai saya mudah percaya bahwa perasaannya benar" Firdaus sesungguhnya tidak mengatakan bahwa ia mengenal saya.
Sipir itu saja yang menduganya. Mengapa hal itu menjadi tanda bahwa sesungguhnya Firdaus mengenal saya, tidak ada alasan bagi saya untuk merasa sakit hati. Penolakannya untuk bertemu dengan saya bukan ditujukan kepada diri saya pribadi, tetapi terhadap dunia dan setiap orang yang ada di dunia ini.
Saya mulai melangkah menuju mobil saya dengan maks ud untuk meninggalkan tempat itu. Perasaanperasaan subjektif semacam yang mengekang saya tidak layak bagi seorang pakar ilmiah. Saya hampir tersenyum sendiri ketika saya membuka pintu mobil saya. Sentuhan pada permukaan mobil itu telah membantu saya untuk menemukan identitas saya kembali, harga diri saya sebagai seorang dokter. Apa pun keadaannya, seorang dokter sudah tentu lebih dihargai daripada seorang wanita yang telah dihukum mati karena membunuh. Sikap wajar saya terhadap diri-sendiri (suatu sikap yang jarang lepas dari diri saya) berangsur-angsur kembali. Saya putar kunci kontak dan saya tancap gas, sambil melemparkan perasaan yang datang dengan mendadak (yang kadangkadang menghantui diri saya di saat-saat kegagalan), seakan-akan saya ini hanya seekor serangga yang tak berarti, yang sedang merayap di antara beribu-ribu ekor serangga lainnya yang sama. Terdengar suara di belakang saya, lebih keras dari suara deru mobil:
Dokterl Dokter! Itu suara sipir. Ia lari menghampiri saya dengan napas terengah-engah. Suara napasnya mengingatkan saya pada
suara-suara yang seringkali saya dengar dalam mimpimimpi saya. Mulutnya melebar, dan begitu pula bibirnya, yang tetap membuka dan menutup dengan gerakan mekanis, seperti sebuah pintu yang bisa membuka dan menutup sendiri.
Saya dengar dia berkata, Firdaus, Dokter! Firdaus ingin bertemu dengan Anda!
Dadanya turun-naik dengan kuatnya, tarikan napasnya menjadi suatu rangkaian hembusan yang amat cepat, dan mata serta mukanya memantulkan suatu emosi luar biasa. Bila Presiden Republik secara pribadi minta saya datang menghadap kepadanya, kiranya si sipir penjara ini tidak akan hanyut oleh perasaan emosi yang berlebihan seperti ini.
Sebaiknya, malahan napas saya menjadi lebih cepat, seperti ketularan, atau lebih tepat, saya kekurangan napas, karena jantung saya berdenyut lebih keras daripada biasa. Saya tidak tahu lagi bagaimana saya ke luar dari mobil, juga tak tahu lagi bagaimana saya mengikuti sipir begitu dekat di belakangnya, sehingga kadang-kadang saya menyusulnya, atau malahan mendahuluinya. Saya berjalan dengan langkah-langkah yang cepat dan ringan, seakan-akan kaki saya tidak membawa badan saya. Diri saya penuh dengan perasaan yang menyenangkan, bangga dan bahagia. langit berwarna biru dengan biru yang dapat saya tangkap dengan mata saya. Saya genggam seluruh dunia dalam kepalan saya; dunia ini milik saya. Perasaan yang pernah saya rasakan sekali di masa lalu, bertahuntahun yang lalu. Saya sedang berjalan menuju pria pertama yang saya cintai untuk pertama kalinya.
Saya berhenti sebentar di depan sel yang ditempati Firdaus untuk mengatur kembali napas dan merapikan kerah baju saya. Tetapi saya sedang mencoba untuk memperoleh ketenangan saya, untuk kembali pada keadaan saya yang wajar, kesadaran bahwa saya adalah seorang pakar ilmiah, seorang psikiater, atau sejenis itu. Saya mendengar anak kunci yang diputar ke dalam lubang kunci, berbunyi kasar, berisik. Suara itu mengembalikan diri saya sendiri. Tangan saya mempererat genggaman pada tas kulit, dan suara-suara dalam diri saya berkata, Siapakah gerangan wanita yang bernama Firdaus itu" Dia hanyalah ...
Tetapi kata-kata dalam hati itu segera berhenti. Sekonyong-konyong kami berhadapan muka. Saya berdiri terpaku diam, tak bergerak. Saya tidak mendengar denyut jantung saya, maupun bunyi anak kunci yang telah diputar kembali di lubangnya, menutup pintu yang berat itu di belakang saya. Seakan-akan saya mati di saat matanya menatap mata saya. Mata yang mematikan, seperti sebilah pisau, menusuk-nusuk, menyayat jauh ke dalam, mata itu menatap tanpa bergerak, tetap. Tak berkedip sedikit pun. Tak ada urat sekecil apa pun pada wajah yang bergerak.
Saya sadar kembali oleh suatu suara. Suaranya mantap, menyayat ke dalam, dingin bagaikan pisau, tak ada getaran sedikit pun dalam nadanya. Tak ada riak irama sedikit pun.
Saya dengar ia berkata: Tutup jendelanya. Saya bergerak menuju jendela tanpa melihat dan menutupnya, melayangkan pandangan heran sekitar ruangan itu. Tak ada apa-apa dalam sel itu. Tak ada tempat tidur atau kursi, atau apa pun yang dapat saya duduki. Saya dengar dia berkata:
Duduklah di lantai. Badan saya membungkuk lalu duduk di lantai. Saat itu bulan Januari dan lantainya tanpa alas, tetapi saya tak merasakan dinginnya. Seperti berjalan dalam tidur. Lantai di bawah saya dingin. Sentuhan yang sama, kemantapan dan rasa dingin telanjang yang sama pula. Tetapi rasa dingin itu tidak menyentuh saya, tidak mencapai saya. Rasa dingin lautan di dalam mimpi. Saya berenang mengarungi airnya. Saya telanjang dan tak pandai berenang. Namun saya tak merasakan dinginnya, juga tidak tenggelam di dalamnya. Suaranya pun seperti suara yang terdengar oleh orang yang sedang mimpi. Suaranya dekat saya, tetapi seakan-akan datang dari jauh, berbicara dari jarak yang jauh tetapi timbul dari dekat. Karena kita tidak tahu dan mana suara itu muncul dari atas atau bawah, kiri ataupun kanan. Kita mungkin berpikir datangnya dari dalam bumi, jatuh dari atas atap, atau dari surga. Atau mungkin pula suara itu mengalun dari segala jurusan, seperti udara yang bergerak di angkasa sampai di telinga kita.
Tetapi ini bukanlah impian. Ini bukan udara yang berhembus ke dalam telinga saya. Wanita yang duduk di
lantai di depan saya benar-benar seorang wanita, dan suara yang memenuhi telinga saya dengan bunyinya, bergema di dalam ruangan sel, yang jendela serta pintunya tertutup rapat itu, hanyalah suara belaka, suara Firdaus.
IARKAN SAYA BERBICARA jangan memotong pembicaraan saya. Saya tak punya waktu untuk mendengarkan Anda. Mereka akan datang menjemput saya pukul enam malam ini. Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat manapun yang diketahui orang. Perjalanan ke suatu tempat yang tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, memenuhi diri saya dengan rasa bangga. Seumur hidup saya telah mencari sesuatu yang akan mengisi diri saya dengan perasaan bangga, membuat saya merasa lebih unggul dari siapa pun juga, termasuk para raja, pangeran dan para penguasa. Tiap kali saya mengambil surat kabar dan menemukan gambar seorang lelaki yang merupakan gambar salah seorang dari mereka, saya akan meludahinya. Saya tahu, bahwa saya hanya menjatuhkan ludah di atas lembaran surat kabar yang saya perlukan untuk mengalasi lemari
dapur. Tetapi bagaimanapun juga, saya ludahi, dan saya diamkan ludah itu sampai mengering.
Setiap orang yang melihat saya meludah di atas gambar itu mungkin berpikir bahwa saya mengenal lelaki tertentu itu secara pribadi. Tidak! Saya hanyalah seorang perempuan. Dan tak seorang pun perempuan yang mungkin mengenal semua lelaki yang gambarnya terpampang di surat-surat kabar. Karena bagaimanapun juga, saya hanyalah seorang pelacur yang sukses. Dan betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi, semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka, telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja, untuk mengangkat tangan saya dan menghujamkan ke mukanya. Akan tetapi karena saya seorang peremp uan, saya tak pernah punya keberanian untuk mengangkat tangan saya. Dan karena saya seorang pelacur, saya sembunyikan rasa takut itu di bawah lapis-lapis solekan muka saya. Sejak saya sukses, rias muka saya selalu yang paling baik dan jenis yang paling mahal, seperti rias wanita-wanita lapisan atas yang terhormat. Saya selalu merawat rambut saya di tempat penata rambut yang biasanya melayani para wanita dari kalangan atas masyarakat. Warna lipstik yang saya pilih selalu yang alamiah dan serius sedemikian rupa, sehingga tidak menyembunyikan ataupun menonjolkan daya tarik bibir saya. Garis-garis yang dibuat dengan keahlian yang cermat sekitar mata saya memperlihatkan suatu kombinasi yang
tepat dari daya tarik dan keangkuhan, yang biasa disukai para isteri kaum pria berkedudukan tinggi dari kalangan penguasa. Hanya rias muka saya, rambut dan sepatu saya yang mahal itu saja yang masuk kelas atas. Padahal dengan ijazah sekolah menengah dan keinginan yang terbatas, saya termasuk kelas menengah. Bahkan aslinya sebenarnya saya tergolong kelas bawah.
AYAH SAYA, SEORANG petani miskin, yang tak dapat membaca maupun menulis, sedikit pengetahuannya dalam kehidupan. Bagaimana menunai hasil panen, bagaim ana menjual kerbau yang telah diracun oleh musuhnya sebelum mati, bagaimana menukar anak perawannya dengan imbalan mas kawin bila masih ada waktu, bagaimana caranya mendahului tetangganya mencuri tanaman pan gan yang matang di ladang. Bagaimana meraih tangan ketua kelompok dan berpurapura menciumnya, bagaimana memukul isterinya dan memperbudaknya tiap malam.
Setiap hari Jumat pagi ia akan mengenakan sebuah galabeya * yang bersih dan menuju mesjid untuk menghadiri shalat berjemaah mingguan. Saya melihat dia berjalan-jalan dengan lelaki lainnya bilamana ia memberi ulasan mengenai khotbah Jumat, betapa meyakinkan cara
* Galabeya: jubah longgar dan panjang hingga ke tumit, dikenakan oleh pria maupun wanita dengan perbedaan potongan, bahan serta warna.
Sang Imam berbicara sampai melebihi hal-hal yang tidak dapat dilampaui. Karena, bukankah benar bahwa mencuri itu perbuatan buruk, dan membunuh itu perbuatan jahat, dan merampas kehormatan wanita merupakan perbuatan jahat, juga ketidakadilan, dan memukul manusia lain itu jahat ...." Lagi pula siapa yang dapat membantah bahwa kepatuhan merupakan suatu kewajiban, dan mencintai tanah air kita pun demikian. Cinta pada sang penguasa dan cinta kepada Allah adalah satu dan tak dapat dibagi. Allah melindungi penguasa kita bertahun-tahun lamanya dan semoga beliau tetap menjadi sumber ilham dan kekuatan bagi negara kita, Bangsa Arab dan umat manusia seluruhnya.
Saya dapat melihat mereka berjalan-jalan melalui lorong-lorong sempit yang berliku-liku sambil mengangguk-anggukkan kepala masing-masing dengan kagum, menyetujui segala hal yang telah diucapkan Sang Imam yang suci. Saya perhatikan mereka, sementara mereka mengangguk-anggukan kepala mereka, menggosokgosokk an tangan mereka satu sama lainnya, mengusap dahi sambil menyebut nama Allah, memohon berkahnya, mengulangi ayat-ayatnya dengan suara parau dan lembut, menggumam dan berbisik tanpa istirahat sejenak pun.
Di atas kepala, saya menjunjung sebuah kendi tembikar yang berat penuh berisi air. Karena beratnya, kadang-kadang leher saya tersentak ke belakang, ke kiri atau ke kanan. Saya harus mengerahkan tenaga saya untuk tetap menjaga keseimbangan di atas kepala saya, dan
menjaga agar jangan jatuh. Saya gerakkan kaki dengan cara yang diajarkan Ibu kepada saya, sedemikian rupa sehingga leher saya tetap tegak. Saya masih muda ketika itu, dan payudara saya belum membulat. Saya belum tahu apa-apa tentang laki-laki. Tetapi saya dapat mendengar mereka menyerukan nama Allah dan memohon berkahnya, atau mengulangi ayat-ayatnya dalam nada parau dan lembut. Saya mengamati mereka mengangguk-anggukkan kepala, atau bila sedang menggosok-gosokkan tangan mereka, batuk-batuk, atau berdehem dengan bunyi yang agak serak, atau menggaruk terus-menerus di bawah ketiak dan di antara paha mereka. Saya melihat mereka sedang mengamati apa yang terjadi di sekitar mereka dengan pandangan mata yang memancarkan sikap waspada, raguragu dan dengan sembunyi-sembunyi, mata siap untuk menerkam mangsa, penuh sikap agresif yang tampak seperti sikap merendahkan diri.
Kadang-kadang saya tidak dapat membedakan yang mana di antara mereka itu ayah saya. Ia sangat mirip dengan mereka sehingga sulit mengetahuinya. Demikianlah, maka pada suatu hari saya bertanya kepada Ibu tentang dia. Apa sebabnya Ibu sampai melahirkan saya tanpa seorang ayah" Mula-mula ia memukul saya. Kemudian ia membawa seorang wanita yang membawa sebilah pisau kecil atau barangkali pisau cukur. Mereka memotong secuil daging di antara kedua paha saya.
Saya menangis semalam suntuk. Keesokan paginya Ibu tidak menyuruh saya ke ladang. Biasanya ia menyuruh saya membawa beban pupuk di atas kepala saya ke ladang. Saya lebih suka ke ladang daripada tinggal di rumah. Di sana, saya dapat bermain-main dengan kambing menaiki kincir air, dan berenang dengan anakanak lelaki di kali. Seorang anak lelaki kecil yang bernama Muhammadain biasanya mencubit saya dari bawah dan mengikuti saya ke sebuah teratak kecil yang terbuat dari batang-batang pohon jagung. Ia menyuruh saya tiduran di atas tumpukan jerami, dan mengangkat galabeya saya. Kami bermain-main menjadi pengantin perempuan dan pengantin laki-laki. Dari bagian tertentu tubuh saya, di bagian mana saya tidak tahu dengan pasti, timbul suatu perasaan nikmat luar biasa. Kemudian saya akan menutup mata dan meraba tempat itu dengan tangan saya. Pada saat menyentuhnya, saya menyadari bahwa perasaan itu telah saya rasakan sebelumnya. Kemudian kami akan mulai bermain lagi sampai matahari terbenam, dan kami dapat mendengar suara ayahnya memanggil-manggil namanya dari arah ladang yang berdekatan, dan ia akan segera lari sambil berjanji akan datang lagi keesokan harinya.
Tetapi Ibu saya tidak menyuruh saya pergi ke ladang lagi. Sebelum matahari mulai muncul di langit, ia menyentuh bahu saya dengan kepalan tangannya sedemikian rupa sehingga saya akan terbangun, mengangkat kendi tembikar dan pergi untuk mengisinya dengan air. Sekembalinya, saya akan menyapu kandang ternak lalu membuat jajaran gumpalan kotoran yang saya jemur
di sinar matahari. Pada hari membakar roti, saya akan membuat adonan tepung untuk membuat roti.
Membuat adonan saya lakukan sambil berjongkok di lantai dengan palung dijepit di antara kedua paha saya. Secara teratur, saya angkat gumpalan yang kenyal itu ke atas dan membiarkannya jatuh kembali ke dalam palung. Panasnya tungku mengenai muka saya, menggosongkan ujung-ujung rambut saya. Galabeya saya acapkali menggel osor sehingga paha saya terbuka, tetapi tidak saya perh atikan, sampai pada suatu saat saya melihat tangan paman saya pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baca menyentuh kaki saya. Saat berikutnya saya dapat merasakan tangan itu menjelajahi kaki saya sampai paha dengan gerakan yang gemetaran dan sangat berhatihati. Setiap kali terdengar suara langkah kaki orang di pintu rumah kami, tangannya akan segera ditarik kembali. Tetapi, apabila segala sesuatu di sekeliling kami menjadi sunyi kembali, hanya sekali-sekali dipecahkan oleh bunyi ranting-ranting kayu bakar dipatahkan antara jari-jari saya untuk memasukkan ke dalam tungku, dan bunyi napasnya yang teratur sampai di telinga saya dari balik buku sehingga saya tidak dapat mengatakan, apakah ia sedang mendengkur dengan tenangnya dalam tidur atau matanya terbuka lebar terengah-engah, dan tangannya akan terus menekan paha saya dengan meremas secara kasar.
Ia sedang melakukan sesuatu yang telah dilakukan Mohammadain terhadap saya sebelumnya. Sebenarnya,
apa yang sedang ia lakukan lebih dari itu. Sebenarnya ia melakukan hal yang lebih jauh dari itu, tetapi saya tidak lagi merasakan kenikmatan yang menyebar dari bagian tubuh saya yang tidak diketahui tapi yang sudah terbiasa itu. Saya pejamkan mata saya dan berusaha untuk mencapai rasa senang, yang pernah saya rasakan sebelumnya tetapi tidak berhasil. Seakan-akan saya tidak ingat lagi tempatnya yang tepat, atau seakan-akan sebagian dari tubuh saya telah pergi dan tidak akan kembali.
PAMAN SAYA TIDAK muda lagi. Ia jauh lebih tua dari saya. Ia sering bepergian ke Kairo seorang diri, belajar di El Azhar, dan kuliah di saat saya masih seorang bocah kecil yang belum pandai membaca atau menulis. Paman akan menyuruh saya memegang sebuah kapur tulis dan menyuruh saya menulis di atas sebuah batutulis: Alif, Ba, jim, Dal .... Kadang-kadang ia menyuruh saya mengulang untuk menirukannya: Alif tak punya tanda apa-apa di atasnya. Ba diberi titik di bawahnya, Jim diberi titik di tengahnya, Dal sama sekali tak punya apaapa. Ia akan menganggukkan kepalanya ketika membaca sajak dari seribu sajak karya Ibn Malik, seakanakan ia sedang membaca Al-Qur'an, dan saya akan mengulang menyebutkan setiap huruf menirukannya, dan menganggukkan kepala saya juga.
Waktu musim liburan telah usai, Paman akan menunggang keledai, dan berangkatlah ia menuju Stasiun
Kereta Api Delta. Saya mengikutinya di belakang sambil membawa keranjang yang besar, penuh dengan telur, keju dan bermacam-macam roti, ditutup oleh buku-buku dan pakaiannya. Sepanjang perjalanan, sampai tiba di stasiun kereta api, Paman tidak henti-hentinya menceritakan kepada saya tentang bilik tempat tinggalnya di ujung jalan Muhammad Ali di dekat Benteng, tentang El Azhar, Lapangan Ataba, trem; orang-orang yang tinggal di Kairo. Pada saat-saat tertentu ia akan menyanyi dengan suara yang merdu, badannya berlenggak-lenggok mengikuti irama gerakan keledai yang ditungganginya.
Kubuang dikau bukan di laut lepas
Tapi di tanah kering yang kau tinggalkan padaku. Kutukar dikau bukan dengan emas gemerlapan Tapi dengan jerami tak berharga kau jual padaku. Ah, malam-malamku yang panjang
Ah, mataku, Ah. Ketika Paman naik ke atas kereta api, dan mengucapkan selamat tinggal, saya menangis dan merengek supaya dia membawa saya bersamanya ke Kairo. Tetapi Paman bertanya,
Apakah yang akan kau perbuat di Kairo, Firdaus" Lalu saya menjawab: Saya ingin ke El Azhar dan belajar seperti Paman.
Kemudian ia tertawa dan menjelaskan bahwa El Azhar hanya untuk kaum pria saja. Lalu saya menangis, dan memegang tangannya, sementara kereta api mulai
bergerak maju. Tetapi ia menarik tangannya dengan sekuat tenaga dan secara tiba-tiba sehingga saya jatuh tertelungkup.
Maka saya kembali pulang dengan kepala tertunduk, merenungi bentuk jari kaki saya, sambil di jalan desa, merenungi diri-sendiri, sementara bermacam-macam pertanyaan berkecamuk di dalam benak saya. Siapakah saya" Siapakah ayah saya" Apakah saya akan menghabiskan hidup saya dengan mengumpulkan kotoran ternak, menjunjung pupuk di atas kepala, membuat adonan tepung, dan memanggang roti"
Kembali di rumah Ayah, saya memandang dengan hampa pada tembok-tembok dari tanah liat, bagaikan orang asing yang belum pernah masuk ke tempat ini. Saya melihat sekeliling hampir-hampir keheranan, seakanakan saya tidak lahir di situ, tetapi tiba-tiba terjatuh dari langit, atau muncul entah dari mana dari dalam perut bumi, menemukan diri saya di suatu tempat di mana saya tidak termasuk di rumah yang bukan milik saya, lahir dari seorang ayah yang bukan ayah saya, dan dari seorang ibu yang bukan ibu saya. Apakah itu karena cerita Paman tentang kota Kairo, tentang rakyat penghuni kota itu yang telah mengubah saya" Apakah saya benar-benar anak perempuan ibu saya, apakah ibu saya seorang yang lain pula" Apakah saya dilahirkan sebagai anak ibu saya dan berubah menjadi seorang yang lain" Ataukah ibu saya telah mengubah dirinya menjadi seorang perempuan lain
yang sangat mirip dengannya, sehingga saya tidak dapat melihat perbedaannya"
Saya berusaha untuk mengingat kembali bagaimana rupa ibu saya ketika pertama kali saya melihatnya. Saya dapat mengingat dua mata. Khususnya saya dapat mengingat matanya. Saya tidak dapat melukiskan warna, atau bentuk matanya. Itu adalah mata yang saya pandang. Itu adalah mata yang sedang mengamati saya. Sekalipun saya menghilang dari pandangannya, mata itu dapat melihat saya, dan membuntuti saya ke manapun saya pergi, sehingga bila saya tertatih-tatih ketika belajar jalan, mata itu akan menahan saya.
Setiap kali saya berusaha untuk jalan, saya terjatuh. Suatu kekuatan seakan-akan mendorong saya dari belakang sehingga jatuh ke depan, atau suatu beban dari depan seakan-akan bersandar pada tubuh saya sehingga saya jatuh ke belakang. Sesuatu seperti tekanan udara yang ingin meremukkan saya; sesuatu seperti daya tarik bumi yang berusaha untuk menelan saya masuk ke dalamnya. Dan di tengah-tengahnya, di situlah saya berada, berjuang menegangkan lengan dan kaki saya dalam usaha untuk berdiri tegak. Tetapi saya tetap jatuh, terpukul oleh kekuatan yang saling bertentangan, yang tetap mendorong saya ke jurusan yang berbeda-beda, bagaikan sebuah benda yang tenggelam di lautan tanpa batas, tanpa pantai dan tanpa dasar, dihempas air bila ia mulai tenggelam, dan diterjang angin bila mulai mengambang. Senantiasa tenggelam dan timbul, tenggelam dan timbul antara
laut dan langit, tanpa sesuatu untuk pegangan kecuali kedua mata itu. Dua mata itu yang saya pegang eraterat dengan sekuat tenaga saya. Dua mata itu saja yang seakan-akan dapat menahan saya. Sampai detik ini saya tak tahu apakah kedua mata itu terbuka lebar atau sipit, juga tak dapat saya ingat apakah mata itu dikelilingi bulu mata atau tidak. Yang saya ingat hanyalah dua buah cincin yang teramat putih di sekitar dua lingkaran yang hitam pekat. Saya hanya cukup melihat ke dalamnya, maka yang putih menjadi lebih putih dan yang hitam semakin hitam, seolah-olah cahaya matahari menembus ke dalamnya dari arah sesuatu sumber kekuatan gaib bukan yang ada di dunia, bukan pula yang di langit, karena tanah berwarna hitam kelam, dan langit menjadi gelap bagaikan malam, tanpa matahari dan tanpa bulan.
Saya tahu dia Ibu saya, tetapi entah bagaimana. Demikianlah, maka saya merangkak perlahan-lahan ke arahnya untuk mencari kehangatan dari tubuhnya. Gubuk kami dingin hawanya, tetapi di musim dingin justru Ayah menggeser tikar jerami saya beserta bantalnya ke bilik kecil yang menghadap ke utara, dan menempati sudut tempat saya di dalam ruangan tungku. Dan bukannya tetap tinggal di sisi saya untuk membuat saya hangat, Ibu biasanya membiarkan saya sendirian dan pergi ke Ayah untuk membuat dia hangat. Di musim panas saya dapat melihat Ibu duduk dekat kaki Ayah dengan sebuah mangkuk timah di tangannya ketika ia membasuh kakinya dengan air dingin.
Ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air. Sekarang saya telah menggantikan Ibu dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukannya. Ibu tidak ada lagi, malahan ada seorang perempuan lain yang memukul tangan saya dan mengambil-alih mangkuk itu. Ayah berkata, bahwa dia adalah Ibu saya. Sebenarnya, dia tampak mirip sekali dengan Ibu; gaun panjangnya, muka yang sama, dan gerakan yang sama pula. Tetapi, bila saya melihat ke dalam matanya saya dapat merasakan bahwa dia bukanlah Ibu saya. Itu bukan mata yang menahan saya setiap saat akan jatuh. Itu bukan dua cincin yang berwarna putih bersih mengelilingi dua lingkaran yang hitam pekat, yang warna putihnya semakin putih, dan yang hitam semakin hitam, setiap saat saya menatapnya seakan-akan cahaya matahari atau bulan tetap menyinarinya.
Tak sedikit pun cahaya pernah menyentuh mata perempuan ini, sekalipun bila hari cerah berseri-seri dan matahari bersinar sangat terang. Pada suatu hari saya memegang kepalanya di antara kedua tangan saya dan membalikkannya sedemikian rupa sehingga sinar matahari langsung menyinari mukanya, tetapi matanya tetap pudar, tak mempan akan cahayanya, bagaikan dua lampu yang telah padam. Saya tidak tidur sepanjang malam menangis sendirian, berusaha meredam suara isak saya sedemikian rupa supaya jangan mengganggu adikadik laki-laki dan perempuan yang sedang tidur di lantai
di sebelah saya. Karena, seperti kebanyakan orang, saya punya banyak saudara laki-laki dan perempuan. Mereka itu seperti ayam yang berkembang-biak di musim dingin, menggigil di musim dingin dan kehilangan bulu mereka, dan kemudian di musim panas terkena penyakit mencret, makin merana dengan cepatnya dan satu demi satu merangkak ke sebuah sudut bilik dan mati.
JIKA SALAH SATU anak perempuannya mati, Ayah akan menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.
Ayah tak akan pergi tidur tanpa makan malam lebih dulu, apa pun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tak ada makanan di rumah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia selalu memperoleh makanan. Ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami di dasar sebuah lubang tungku. Ia makan sendirian sedangkan kami mengamatinya saja. Pada suatu malam saya memberanikan diri untuk mengulurkan tangan ke arah piringnya, tetapi ia memberi sebuah pukulan yang keras pada punggung dan jari-jari saya.
Saya sangat lapar sehingga tak kuasa untuk menangis. Saya duduk di hadapannya menungguinya sedang makan, mata saya mengikuti gerakan tangannya mulai dari saat
jemarinya merogoh masuk ke dalam mangkuk sampai jari-jarinya itu diangkat ke atas, dan membawa makanan itu ke dalam mulutnya. Mulutnya seperti mulut seekor unta, dengan lubang yang lebar dan tulang rahang yang lebar pula. Rahang atasnya menekan rahang bawah dengan suara gilasan nyaring dan mengunyah setiap butir demikian rapinya sehingga kami dapat mendengarkan gesekan-gesekan giginya satu sama lain. Lidahnya tetap berputar-putar dalam rongga mulutnya seperti sedang mengunyah, diulurkan sesekali untuk menjilati sisa makanan yang tertempel pada bibirnya, atau terjatuh pada dagunya.
Pada waktu ia selesai makan Ibu membawakan segelas air kepadanya. Diminumnya air itu, kemudian bersendawa dengan suara nyaring, mengeluarkan hawa dari mulut atau perutnya dengan suara yang panjangpanjang. Setelah itu ia mengisap dengan pipa airnya, mengisi ruangan di sekelilingnya dengan gumpalan asap yang tebal, batuk-batuk, berhembus dan bernapas dalamdalam melalui mulut dan hidungnya. Setelah selesai mengisap pipanya, ia berbaring, maka sesaat kemudian gubuk kami akan bergetar dengan suara dengkur yang keras.
Saya merasa ia bukanlah Ayah saya. Tiada seorang pun yang mengatakan kepada saya, dan saya sendiri pun tak tahu keadaan sebenarnya. Tetapi saya dapat merasakan jauh di lubuk hati saya. Saya tidak membisikkan kepada siapa pun juga tetapi menyimpannya untuk diri-sendiri
saja. Setiap kali Paman pulang untuk liburan musim panas, saya akan bergantung pada galabeya-nya bila waktunya tiba ia harus pergi meninggalkan kami, dan meminta kepadanya untuk membawa saya pergi bersamanya. Paman lebih dekat dengan saya daripada Ayah. Ia tidak begitu tua, dan ia mengijinkan saya duduk di sampingnya dan melihat-lihat ke dalam bukunya. Ia mengajari saya huruf-huruf abjad, dan setelah Ayah meninggal Paman memasukkan saya ke sekolah dasar. Kemudian, ketika Ibu meninggal ia membawa saya ke Kairo.
KADANG-KADANG SAYA ingin tahu apakah seseorang dapat dilahirkan dua kali. Jika saya memasuki rumah kediaman Paman, saya tekan sebuah sakelar lalu cahaya menerangi ruangan. Saya menutup mata untuk melindunginya dari sinar itu dan berteriak. Ketika saya membuka kembali kelopaknya saya mempunyai perasaan seakan-akan untuk pertama kali melihat melaluinya, seakan-akan saya baru tiba di dunia, atau telah lahir untuk kedua kalinya, karena saya tahu, bahwa sebenarnya saya telah lahir beberapa tahun sebelumnya. Saya melihat diri saya di dalam cermin. Ini pun belum pernah saya alami sebelumnya. Mula-mula saya tidak tahu bahwa benda itu adalah sebuah cermin. Saya menjadi takut ketika mendapatkan diri sedang memandang gadis cilik yang mengenakan gaun, yang hanya mencapai lututnya, dan sepasang sepatu yang melindungi kakinya. Saya melihat
ke sekeliling ruangan. Tak ada orang lain kecuali saya sendiri. Saya tak mengerti dari mana munculnya gadis ini, dan tak menyadari bahwa ia itu saya sendiri. Karena saya selalu berpakaian galabeya yang panjang dan terseret sepanjang lantai, dan ke mana pun saya pergi, selalu dengan telanjang kaki. Tetapi segera saya mengenali muka saya. Bagaimana mungkin saya bisa begitu yakin itu adalah muka saya, karena saya belum pernah melihat muka saya di sebuah cermin" Kamar itu kosong, dan cermin lemari pakaian berada tepat di depan saya. Gadis ini, yang berdiri tegak di dalam cermin itu tak lain saya sendiri. Gaun dan sepatu telah dibelikan Paman untuk saya pakai ke sekolah.
Saya berdiri di depan cermin itu dan memandangi wajah saya. Siapakah saya ini" Firdaus. Itulah nama yang dipakai orang untuk memanggil saya. Hidung bulat besar saya peroleh dari Ayah dan mulut berbibir tipis dari Ibu.
Suatu perasaan tertekan menguasai tubuh saya. Saya tak senang melihat bentuk hidung maupun bentuk mulut saya. Saya pikir Ayah telah tiada, tetapi di sini dia hidup dalam wujud hidung yang besar, jelek dan bulat. Juga Ibu telah meninggal, tetapi terus hidup di dalam wujud mulut berbibir tipis ini. Dan inilah saya, tak berubah, Firdaus, yang itu-itu juga, tetapi sekarang mengenakan gaun dan memakai sepatu.
Hati saya dipenuhi rasa benci yang mendalam pada cermin itu. Sejak saat itulah saya tak pernah bercermin lagi. Juga ketika saya berdiri di depannya, saya bukannya melihat diri-sendiri, tetapi hanya untuk menyisir rambut,
atau menyeka muka saya, atau merapikan leher pada baju saya. Kemudian saya pungut tas saya dan lari menuju sekolah.
SAYA SENANG BERSEKOLAH. Sekolah itu penuh dengan anak-anak lelaki dan perempuan. Kami bermainmain di halaman, terengah-engah sesak napas karena berlari-lari dari ujung yang satu ke ujung yang lain, atau duduk sambil membelah biji bunga matahari di antara gigi, kami dengan cepat atau mengunyah permen karet dengan suara kunyahan yang nyaring atau kami membeli gula-gula batang carob kering atau kami minum juice adas, manis air asam tamarinda dan air perasan tebu: dengan kata lain, kami mencari apa saja yang berbau enak dan sedap.
Begitu kembali pulang, saya akan menyapu bersih rumah, mencuci pakaian saya, membereskan tempat tidur dan menyusun buku-buku Paman. Ia membelikan seterikaan yang berat yang dapat saya panasi di atas tungku minyak tanah, dan menyeterika baju kaftan serta sorbannya. Sesaat sebelum matahari terbenam ia akan kembali dari El Azhar. Saya menyiapkan makan malam dan kami makan bersama. Selesai makan, saya merebahkan diri di atas bangku saya, sedangkan Paman duduk di tempat tidurnya dan membaca keras-keras. Biasanya saya loncat ke atas tempat tidurnya yang tinggi itu, melingkarkan jari-jari saya pada tangannya yang besar
dengan jari-jari yang panjang dan menyentuh bukubuku yang besar itu, dengan halaman-halaman yang licin penuh bertulisan huruf yang rapat, hitam dan indah. Saya mencoba baca beberapa kata. Kata-kata itu bagi saya seperti lambang-lambang penuh rahasia yang membuat diri saya diliputi perasaan agak ketakutan. El Azhar adalah suatu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh orang laki-laki saja, dan Paman merupakan salah seorang dari mereka, dan dia adalah seorang laki-laki. Apabila ia membaca, suaranya bergema dengan nada yang anggun dan kudus, dan jemarinya yang panjang dan besar seperti dicekam oleh suatu getaran aneh yang dapat saya rasakan di bawah tangan gaya. Gerakan yang tak asing lagi bagi saya, seperti getaran yang telah saya alami di masa kanakkanak, sebuah impian dari kejauhan yang masih saya ingat.
Selama malam-malam dingin di musim dingin, saya melekukkan diri saya di pelukan Paman seperti seorang bayi dalam rahim ibunya. Kami saling menghangatkan badan dari kedekatan itu. Muka saya terbenam dalam pelukannya, saya ingin berkata, bahwa saya mencintainya, tetapi kata-kata itu tak mau keluar dari mulut saya. Saya ingin menangis, tetapi air mata saya tak mau mengalir. Dan tak lama kemudian saya akan tertidur dengan amat nyenyaknya sampai keesokan paginya.
Suatu hari saya jatuh sakit demam. Paman duduk di tempat tidur di sebelah saya sambil memangku kepala saya, mengusap-usap muka saya secara halus dengan
jari-jarinya yang besar panjang, dan saya tidur sepanjang malam dengan berpegangan erat pada tangannya.
KETIKA SAYA MENERIMA surat keterangan tanda tamat belajar dari sekolah dasar, ia membelikan saya sebuah jam tangan kecil, dan malam itu ia mengajak saya pergi menonton bioskop. Saya melihat seorang perempuan sedang menari. Pahanya dalam keadaan terbuka, dan saya melihat seorang laki-laki berpelukan dengan seorang perempuan. Kemudian ia mencium perempuan itu pada bibirnya. Saya sembunyikan muka saya di balik tangan dan tidak berani memandang kepada Paman. Kemudian, ia berkata kepada saya bahwa berdansa itu adalah dosa, dan mencium seorang laki-laki pun, merupakan suatu dosa, tetapi sekarang saya tak berani lagi menatap matanya. Malam itu, ketika kembali ke rumah saya tidak duduk di sisinya di tempat tidur seperti yang saya lakukan sebelumnya, tetapi menyembunyikan diri di balik selimut di bangku kecil saya.
Gemetar sekujur tubuh saya, dicekam oleh sebuah peras aan yang tak dapat saya jelaskan, bahwa jemari Paman yang besar dan panjang-panjang itu bergerak ke arah saya tak lama kemudian, dan secara hati-hati mengangkat selimut di atas tubuh saya. Kemudian bibirnya menyentuh muka dan menekan mulut saya, dan jarijarinya yang gemetar akan menelusur perlahan-lahan ke atas sepanjang paha saya.
Sesuatu yang aneh terjadi pada diri saya, aneh karena hal itu belum pernah terjadi pada saya, atau hal itu selalu terjadi sejak saya dapat mengingatnya. Entah di mana, di suatu tempat tertentu di dalam tubuh saya terbangun sesuatu rasa nikmat yang telah hilang sejak waktu yang lama, atau suatu kenikmatan baru, yang masih belum diketahui, dan tidak dapat dipastikan, karena hal itu seakan-akan timbul di luar tubuh saya, atau dalam suatu bagian diri saya yang dipotong sekian tahun yang telah lalu.
PAMAN MULAI SERING bepergian. Ketika saya terbangun di waktu pagi, ia sudah berangkat, dan ketika ia pulang kembali di waktu malam, saya telah di tempat tidur, tidur dengan lelapnya. Jika ia saya bawakan segelas air, atau sepiring makanan, ia akan mengulurkan tangannya, dan mengambilnya tanpa melihat kepada saya. Jika saya menyembunyikan kepala saya di bawah selimut tebal, saya akan mendengar dengan sungguhsungguh suara langkah kakinya. Saya menahan napas dan pura-pura tidur, sambil menantikan jari-jarinya yang akan menyentuh saya. Lama sekali rasanya tanpa terjadi apa-apa. Saya dapat mendengar tempat tidurnya berbunyi berderik bila ia merebahkan diri, disusul beberapa saat kemudian oleh suara dengkur yang teratur. Setelah itu baru saya yakin bahwa ia telah tidur pulas.
Ia telah menjadi seorang laki-laki yang berbeda. Ia tidak lagi membaca sebelum pergi tidur, atau mengenakan jebbah dan kaftannya. Sebaliknya, ia telah membeli setelan jas dan dasi, dan memperoleh jabatan pada suatu kementerian wakaf, dan menikah dengan puteri gurunya di El Azhar.
Ia memasukkan saya ke sekolah menengah, dan membawa saya ke rumahnya yang baru, di sana saya tinggal bersamanya dan isterinya. Isterinya bertubuh pendek, seorang perempuan yang gemuk dengan kulit yang agak putih. Tubuhnya yang gemuk bergoyang dari kiri ke kanan bila ia sedang berjalan, dengan gerakan seekor itik yang kekenyangan. Suaranya halus bukan karena lemahlembut, tetapi kehalusan watak yang kejam. Matanya lebar serta berwarna hitam, mencerminkan gairah hidup yang telah padam dan hanya tinggal ketidakacuhan seperti orang yang mengantuk.
Ia tidak pernah membasuh kaki Paman, dan Paman tidak pernah memukulnya, atau menyapanya dengan suara keras. Ia sangat sopan, hanya memperlakukannya dengan cara sopan yang aneh tanpa sikap hormat yang diberikan laki-laki bagi kaum perempuan. Saya rasakan bahwa perasaannya terhadap isterinya lebih banyak rasa ketakutan daripada cinta, dan bahwa isterinya berasal dari kelas masyarakat yang lebih tinggi dari suaminya. Jika ayah isterinya, atau salah seorang kerabat isterinya berkunjung ke rumah kami, Paman akan membeli daging atau ayam, dan rumah kami akan bergema dengan suara
nyaring tawanya. Tetapi jika bibinya datang, berpakaian baju petani yang panjang yang memperlihatkan tangannya yang pecah-pecah dari lubang lengan baju yang panjang, ia mengundurkan diri ke suatu sudut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ataupun senyuman.
Bibinya itu akan duduk di sisi saya di atas tempat tidur sambil menangis perlahan-lahan, dan menyebut betapa dia menyesal telah menjual kalung emasnya sebab diperlukan bagi biaya kuliah Paman di El-Azhar. Di waktu pagi ia mengosongkan keranjangnya yang tadinya berisi ayam, telur dan macam-macam roti, menggantungkan keranjang itu pada lengannya, dan pergi meninggalkan rumah kami. Saya berkata kepadanya:
Tinggallah di sini barang sehari lagi, Nek, tetapi Paman tidak pernah berkata sepatah kata pun, demikian pula isterinya.
Saya berangkat ke sekolah setiap hari. Begitu kembali ke rumah, saya menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring dan pakaian. Isteri paman hanya memasak, dan meninggalkan periuk dan panci untuk saya cuci dan bersihkan. Kemudian, Paman membawa ke rumah seorang gadis kecil pembantu yang tidur di kamar saya. Tempat tidur hanya disediakan bagi saya, maka ia tidur di lantai. Pada suatu malam yang dingin saya katakan kepadanya untuk tidur bersama saya di atas tempat tidur, tetapi ketika isteri paman saya memasuki kamar dan melihat kami berdua, dia memukulnya. Kemudian ia pun memukul saya.
PADA SUATU HARI, ketika saya pulang dari sekolah, saya dapati Paman kelihatan sangat marah kepada saya. Isterinya pun kelihatan sama marahnya, dan dia terus saja memperlihatkan muka yang marah, sampai Paman memutuskan untuk membawa saya keluar dari rumah dengan baju dan buku-buku saya, dan memasukkan saya ke dalam asrama putri yang menjadi bagian dari sekolah saya itu. Sejak saat itulah saya tidur di tempat itu setiap malam. Di akhir pekan, para bapak-ibu, dan kaum kerabat lainnya dari para anak gadis yang bersekolah di situ datang berkunjung, atau menjemput mereka untuk menghabiskan waktu hari Kamis dan Jumat di rumahnya masing-masing. Saya melihat mereka dari atas tembok yang tinggi dan mengamati mereka bila berangkat, mata saya mengikuti orang-orang itu dan kejadian di jalan, seperti seorang narapidana yang lelah dihukum untuk melihat kehidupan dari atas sebuah tembok penjara.
Tetapi bagaimanapun juga, saya cinta pada sekolah. Ada buku-buku baru, dan ada pelajaran yang baru, dan anak-anak perempuan yang seusia dengan saya, teman saya belajar. Kami berbincang-bincang satu sama lainnya mengenai kehidupan kami, bertukar rahasia, dan mengemukakan perasaan masing-masing yang ada di lubuk hati kami. Tak seorang pun yang mengganggu kami kecuali pengawas yang berkeliling asrama dengan kaki berjingkat, memata-matai kami siang dan malam, sambil mendengar apa saja yang kami katakan. Sekalipun kami sedang tidur, dia tetap memasang matanya terhadap
setiap gerakan kami, mengikuti kami sampai ke alam mimpi. Apabila salah seorang di antara kami mendesah atau mengeluarkan napas panjang, atau mengeluarkan suara, atau membuat gerakan sedikit saja dalam mimpi, dia akan mendampratnya seperti seekor burung mematuk mangsanya.
Saya mempunyai seorang kawan, namanya Wafeya. Tempat tidurnya ada di sebelah saya. Saya akan menggeser tempat tidur saya lebih dekat setelah lampu-lampu dimatikan, dan kami akan mengobrol sampai jauh malam. Dia berbicara mengenai seorang saudara sepupu yang ia cintai, dan sebaliknya juga mencintainya, dan saya berbicara tentang harapan-harapan saya mengenai masa depan. Tak ada sesuatu dalam masa lampau atau dari masa kanak-kanak saya yang dapat dibicarakan, dan tak ada cinta ataupun sesuatu yang mirip dengan itu sekarang ini. Karena itulah jika ada sesuatu yang ingin saya katakan, maka itu hanyalah masa depan. Masa yang akan datang masih dapat saya lukiskan dengan warna-warna yang saya sukai. Tetapi menjadi milik saya untuk secara bebas memutuskan, dan mengubah seperti yang saya inginkan.
Kadang-kadang saya bayangkan, bahwa saya akan menjadi seorang dokter, atau insinyur, seorang ahli hukum, atau hakim. Dan pada suatu hari, seluruh sekolah turun ke jalan-jalan raya untuk menggabungkan diri dalam suatu demonstrasi besar yang menentang pemerintah. Tiba-tiba saya dapati diri saya telah berada tinggi di atas bahu anak-anak perempuan sambil berteriak-teriak:
Turunkan pemerintah! Ketika saya kembali ke sekolah suara saya serak, rambut kusut, dan pakaian saya telah koyak di beberapa tempat, tetapi sepanjang malam itu saya tetap membayangkan diri sebagai seorang pemimpin atau kepala negara.
Saya tahu bahwa perempuan tidak bisa menjadi kepala negara, tetapi saya merasa bahwa saya tidak seperti perempuan lainnya, juga anak-anak perempuan lain di sekitar saya yang tetap saja bicara tentang cinta, atau tentang laki-laki. Karena itu adalah soal yang tidak pernah saya sebutkan. Entah bagaimana, saya tidak tertarik kepada hal-hal yang menyibukkan pikiran mereka, dan apa yang dianggap penting oleh mereka bagi saya hanya merupakan hal yang sepele.
Pada suatu malam, Wafeya bertanya kepada saya: Apakah kau pernah jatuh cinta, Firdaus" Tidak pernah, Wafeya. Saya belum pernah jatuh cinta, jawab saya.
Dia memandang lama kepada saya dengan penuh keheranan dan berkata, Sungguh aneh.
Apa sebabnya kau anggap aneh" tanya saya. Ada sesuatu di wajahmu yang memberi kesan, bahwa kau sedang jatuh cinta.
Tetapi tanda apa pada wajah seseorang yang dapat menimbulkan dugaan bahwa orang itu jatuh cinta"
Dia menggelengkan kepala dan berkata, Aku tak tahu. Tetapi aku merasa, bahwa kau khususnya, adalah orang yang tidak dapat hidup tanpa jatuh cinta.
Justru aku hidup tanpa cinta.
Jadi kau hidup dalam dusta, atau sama sekali tidak hidup.
Dia mengucapkan kata yang terakhir itu dan langsung tertidur dengan pulasnya. Mata saya tetap terbuka lebar, memandang kosong ke arah kegelapan. Perlahan-lahan bayangan-bayangan yang telah setengah terlupakan mulai bermunculan di tengah malam. Saya melihat Mohammadain berbaring di atas sebuah tempat tidur tumpukan jerami di bawah teratak yang terbuka. Bau jerami menggelitik hidung saya, dan sentuhan jarinya bergerak menelusuri tubuh saya. Seluruh tubuh saya gemetar karena rasa nikmat yang tak asing lagi jauh di masa lalu, yang timbul dari sumber yang tidak diketahui, dari titik di luar diri saya yang sulit ditentukan. Tetapi tetap dapat saya rasakan entah di mana dalam tubuh saya, denyutan yang lembut bangkit seperti suatu rasa nikmat yang lembut, dan berakhir seperti rasa perih. Sesuatu yang ingin saya tahan, untuk menyentuhnya sejenak saja, tetapi gejala itu menghilang dari diri saya seperti udara seperti sebuah khayalan, atau seperti mimpi yang melayang menjauh dan hilang lenyap. Saya menangis dalam tidur seakan-akan sekarang ini saya kehilangan sesuatu; kehilangan yang baru saya alami untuk pertama kalinya, dan bukan rasa kehilangan sesuatu di masa yang lampau.
Malam hari di sekolah terasa lama, dan siang hari pun terasa lebih lama lagi. Saya dapat menyelesaikan pelajaran beberapa jam sebelum lonceng malam dibunyikan.
Dengan demikian, saya telah menemukan, bahwa sekolah memiliki sebuah perpustakaan. Sebuah ruangan yang disia-siakan di halaman belakang, dengan rak-rak buku yang rusak berantakan dan buku-buku tertutup lapisan debu yang tebal. Biasanya saya menyeka debunya dengan lap kuning, duduk di sebuah kursi yang sudah patah di bawah sinar lampu yang suram cahayanya, dan membaca.
Saya mulai mencintai buku, karena setiap buku memberikan pelajaran baru bagi saya. Saya dapat mengetahui tentang orang Parsi, orang Turki dan orang Arab. Saya membaca tentang kejahatan-kejahatan yang dilakukan para raja dan penguasa, tentang perang, tentang rakyat, revolusi, dan tentang riwayat orangorang revolusioner. Saya membaca kisah-kisah percintaan dan sajak sajak cinta. Tetapi saya lebih menyukai bukubuku tentang penguasa. Saya membaca kisah-kisah tentang para penguasa yang memiliki pelayan wanita dan selir sebanyak tentaranya, dan saya membaca tentang seorang penguasa lainnya yang perhatiannya dalam hidup itu hanya tertumpah pada anggur, perempuan dan mencambuki budak-budak beliannya, penguasa yang ketiga tidak banyak perhatian terhadap wanita, tetapi senang berperang, membunuh, dan menyiksa orang. Seorang penguasa yang lain lagi suka makanan, uang dan menimbun kekayaan tanpa batas. Ada lagi yang begitu mencintai dirinya dan mengagumi keagungannya sehingga baginya tak ada orang lain. Ada pula seorang penguasa yang selalu ketakutan akan berbagai komplotan
dan persekongkolan sehingga ia menghabiskan waktunya dengan mengacaukan fakta-fakta sejarah dan mencoba memperdaya rakyatnya.
Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih katakata manis, dan menembakkan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.
Surat kabar dan majalah dikirimkan secara teratur pada perpustakaan ini. Saya menjadi terbiasa untuk membaca apa yang ditulis di dalamnya dan melihat gambar-gambarnya. Dan dengan demikian, agak sering pula saya akan menemukan gambar salah seorang penguasa macam itu ketika ia sedang duduk bersama jemaah lain menghadiri shalat jumat. Di sanalah dia duduk sambil meram-melek, memandang ke muka dengan penuh kerendahan hati, seperti orang yang terpuruk sedalam-dalamnya. Saya dapat melihat dia sedang mencoba untuk menipu Allah dengan cara yang sama bila ia sedang menipu rakyatnya. Di sekelilingnya berkumpul para pengikutnya, mengangguk-anggukkan
kepala mereka tanda setuju dan dengan rasa kagum terhadap apa saja yang dikatakan, memohon rahmat Allah Yang Maha Mulia dengan ucapan-ucapan bernada serak, menggosok-gosokkan tangan yang satu dengan yang lain, mengamati apa yang tengah terjadi di sekelilingnya dengan pandangan mata waspada, ragu-ragu dan dengan sembunyi-sembunyi siap siaga untuk menerkam, penuh sikap agresif yang aneh.
Saya dapat melihat mereka bila mereka sedang berdoa dengan penuh khidmat bagi para arwah pahlawanpahlawan bangsa yang telah mati di medan perang, atau mati karena kelaparan atau karena wabah penyakit sampar. Saya mengikuti gerakan kepala mereka yang sedang bersujud dan pantat mereka yang terangkat, pantat bulat berlemak yang membengkak karena daging dan rasa takut. Ketika mereka mengucapkan kata patriotisme dengan segera saya tahu, bahwa ketakutan mereka bukan kepada Allah, dan bahwa dalam benak mereka, Patriotisme mereka itu adalah yang miskin harus mati untuk membela tanahnya orang kaya, tanah mereka, karena saya tahu bahwa orang yang miskin tidak memiliki tanah.
Apabila saya bosan membaca sejarah, yang kelihatannya tidak berubah, bosan karena kisah-kisah yang sama saja, dengan gambar-gambar yang kelihatan sama pula, saya akan pergi ke bawah duduk sendiri di halaman tempat bermain. Seringkali, malam menjadi gelap, tanpa ada bulan yang memancarkan cahayanya dari atas, bunyi lonceng yang terakhir akan terdengar nyaring sekali, dan
meninggalkan suara hening dan sunyi-senyap sesudahnya. Di sekeliling saya, semua jendela sudah tertutup, dan semua lampu sudah padam, namun saya akan terus duduk sendirian di tempat kegelapan, dan merenungkan banyak hal. Apa jadinya saya di tahun-tahun mendatang" Apakah saya akan melanjutkan studi ke universitas" Akan setujukah Paman mengirimkan saya melanjutkan studi"
Pada suatu malam seorang guru telah melihat saya ketika saya sedang duduk di tempat itu. Sesaat ia kelihatannya takut ketika melihat seonggok benda yang tak bergerak, tapi kelihatan seperti wujud manusia sedang duduk di kegelapan. Sebelum lebih mendekat kepada saya ia berteriak:
Siapa yang duduk di situ"
Dengan suara penuh rasa takut dan lemah saya menjawab, Ini saya, Firdaus.
Ketika ia sudah lebih dekat lagi, ia mengenali saya dan tampaknya agak terkejut, karena saya adalah salah seorang murid yang terbaik di kelasnya, dan gadis-gadis yang terbaik biasanya pergi tidur segera setelah lonceng malam dibunyikan.
Saya katakan kepadanya, bahwa saya merasa agak tegang dan belum bisa tidur, sehingga ia duduk di sebelah saya. Namanya Nona Iqbal. Tubuhnya pendek dan montok dengan rambut hitam yang panjang dan matanya pun berwarna hitam. Saya dapat melihat matanya memandang kepada saya, mengamati saya, sekalipun dalam kegelapan. Setiap kali saya menoleh kepadanya ia
terus memandang saya, tak mau melepaskan. Juga, ketika, saya menutup muka dengan kedua tangan, kelihatannya kedua matanya menembus memandang saya melalui tangan-tangan, langsung ke mata saya.
Mendadak saya menangis. Air mata mengucur ke bawah melalui pipi di balik tangan saya. Dia memegangi kedua tangan saya dan menariknya dari muka saya. Saya dengar dia berkata:
Firdaus, Firdaus, janganlah menangis. Biarlah saya menangis, kata saya.
Saya belum pernah melihat kau menangis. Apa yang terjadi padamu"
Tidak apa-apa, sama sekali tidak ada apa-apa! Mana mungkin. Pasti telah terjadi sesuatu pada dirimu
Tidak, tak ada apa-apa yang terjadi, Nona Iqbal. Ada nada heran dalam suaranya. Kau menangis tanpa ada alasan apa-apa"
Saya tak tahu alasannya. Tak ada hal baru terjadi pada diri saya.
Dia tetap duduk di sebelah saya, duduk dalam kebisuan. Saya dapat melihat matanya yang hitam menerawang dalam gelapnya malam, dan air matanya keluar di dalamnya dengan kilauan cahaya. Dia merapatkan kedua bibirnya dan menelan keras serta sekonyongkonyong sinar matanya menjadi redup. Berulangkali kedua matanya berkaca-kaca dan sejenak kemudian redup kembali, bagaikan lidah api yang menjadi padam
di tengah kegelapan malam. Tetapi saatnya tiba ketika dia merapatkan bibirnya dan menelan dengan kerasnya, tetapi percuma saja, karena dua tetes air mata tetap ada di balik matanya. Saya melihat kedua tetes air mata itu jatuh menimpa hidungnya dan meluncur ke bawah di kedua sisinya. Dia menyembunyikan mukanya dengan tangan yang satu, menarik secarik sapu tangan dengan tangan yang lainnya dan menyeka hidungnya.
Anda sedang menangis, Nona lqbali tanya saya. Tidak, katanya, kemudian dia sembunyikan sapu tangannya, menelan keras-keras dan tersenyum ke arah saya.
Perempuan Di Titik Nol Women At Point Zero Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam di sekitar kami kelam, bisu, tiada gerak atau suara apa pun. Segalanya tenggelam dalam kegelapan yang kelam, tiada satu sinar pun dapat menembusnya, karena di langit tak ada bulan maupun matahari. Muka saya menghadap ke mukanya, dan mata saya memandang matanya dalamdalam: lingkaran yang teramat putih, mengelilingi dua lingkaran berwarna hitam pekat, memandang ke arah saya. Sementara saya terus memandangnya, yang putih kelihatannya berubah semakin putih, dan yang hitam menjadi semakin hitam, seperti ada cahaya melayang, menembusnya dari suatu sumber gaib yang tak diketahui asalnya, baik di dunia, maupun di surga, karena dunia diselubungi jubahnya malam, dan karena surga tak punya matahari dan bulan untuk memberinya cahaya.
Saya terpesona akan sinar matanya, saya raih tangannya. Perasaan dari sentuhan tangan kami terasa
aneh, sekonyong-konyong. Sebuah perasaan yang membuat tubuh saya gemetar dengan rasa nikmat mendalam dan lebih dari usia kehidupan yang saya ingat, lebih dalam dari kesadaran yang saya bawa selama ini. Saya dapat merasakan entah di mana, seperti sebagian dari kehadiran saya yang lahir di saat saya dilahirkan, tetapi tidak tumbuh bersama saya ketika saya tumbuh, seperti sebagian dari kehadiran saya yang pernah saya ketahui, tetapi yang telah ditinggalkan ketika saya lahir. Suatu kesadaran yang sama dari sesuatu yang mungkin ada, tetapi yang belum, pernah hidup.
Di saat itu sebuah kenangan muncul di benak saya. Bibir saya membuka untuk bicara, tetapi suara saya tak keluar, seolah-olah begitu ingat langsung terlupakan. Hati saya bimbang lemas oleh denyut-denyut yang cepat, menakutkan, karena sesuatu yang berharga akan hilang atau baru saja hilang untuk selama-lamanya. Jemari saya tetap memegang tangannya dengan amat kerasnya sehingga tak ada sesuatu pun kekuatan di dunia ini, bagaimanapun kuatnya, yang dapat menghalaunya dari saya.
SESUDAH MALAM ITU, bila kami bertemu, bibir saya membuka untuk mengatakan sesuatu yang teringat tetapi sesegera itu pula terlupakan lagi. Hati saya berdebar dengan rasa takut, atau dengan suatu perasaan mirip ketakutan. Saya ingin menggapai dan meraih
tangannya, tetapi dia akan masuk ke dalam kelas atau meninggalkannya sesudah pelajaran usai tanpa terlihat ia memperhatikan kehadiran saya. Apabila kebetulan ia melihat saya, itu terjadi dengan cara yang sama seperti ia melihat pada siapa saja di antara murid-muridnya.
Di tempat tidur, sebelum tidur, saya bertanya-tanya dalam hati: Apakah Nona Iqbal telah lupa" Sejenak kemudian Wafeya akan menggeser tempat tidurnya ke dekat tempat tidur saya dan bertanya:
Lupa apa" Aku tak tahu Wafeya. Kau hidup di dunia penuh khayalan, Firdaus. Sama sekali tidak, Wafeya. Itu memang terjadi, kau tahu.
Apa yang terjadi" selidiknya.
Saya berusaha untuk menjelaskan tentang apa yang telah terjadi, tetapi saya tidak tahu bagaimana cara melukiskannya, atau untuk lebih tepatnya, saya tak dapat mengatakan apa-apa. Seakan-akan sesuatu telah terjadi, yang saya tak sanggup mengingatnya kembali, atau seolah-olah tak terjadi apa-apa sama sekali.
Saya pejamkan mata dan berusaha untuk mengembalikan adegan peristiwa itu. Perlahan-lahan muncullah dua lingkaran yang teramat hitam yang dilingkari dua cincin yang berwarna putih. Semakin saya memand ang ke arahnya, semakin besar mereka tumbuh, membengkak di hadapan mata saya. Lingkaran yang hitam tetap tumbuh sampai mencapai ukuran sebesar bumi, dan yang putih
Jawaban Answer 3 Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Tiga Iblis Gunung Tandur 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama