Ceritasilat Novel Online

Daerah Salju 3

Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata Bagian 3


Jendela kamar ulat sutra tempat tinggal Komako tahun yang lalu juga tidak kelihatan.
Yoko menundukkan kepala seolah-olah marah dan pulang ke rumah melalui "pintu padi" itu.
"Ia tinggal sendiri di rumah itu?" tanya Shimamura sambil dengan matanya mengikuti Yoko yang berjalan seraya agak membungkuk.
"Barangkali tidak sendiri," kata Komako dengan agak kasar. "Ah, saya tidak senang, tidak mau lagi mengandam rambut, karena engkau berkata yang bukan-bukan, kita sampai mengganggu dia berziarah."
"Engkau tidak mau bertemu dengan dia di kuburan mungkin karena kekerasan hatimu."
"Engkau yang tidak bisa mengerti perasaan saya! Kalau nanti ada kesempatan, saya mau pergi mencuci rambut. Saya pasti datang ke kamarmu, tetapi agak lambat."
Dan pada pukul tiga malam.
Ketika Shimamura terjaga karena bunyi shoji yang dibuka seperti ditendang, Komako merebahkan diri di atas dadanya dan berkata,
"Betul saya datang, ya, karena saya bilang pasti datang. Betul saya datang, ya, karena saya bilang pasti datang," lalu ia menarik napas terengah-engah sehingga perutnya berombak-ombak. "Engkau terlalu mabuk."
"Hai, betul saya datang, ya, karena saya bilang pasti datang." "Ya, datang."
"Jalan yang saya tempuh sampai di sini tidak kelihatan. Tidak kelihatan. Fuhh, napas sesak."
"Dengan keadaanmu seperti ini engkau dapat mendaki?" "Tidak tahu. Tidak tahu lagi," kata Komako lalu ia menengadah dan berguling-guling sehingga Shimamura merasa sesak napas dan ketika ia mau bangkit jatuh terhuyung-huyung karena terbangun mendadak, dan ia terkejut karena merasa kepalanya tergolek di atas sesuatu yang panas.
"Seperti api, engkau sungguh tolol."
"Begitu" Ini bantal api. Bisa luka terbakar."
"Betul," katanya dan ketika ia memejamkan mata, panas itu menyelinap ke dalam kepalanya dan ia merasa betul-betul mereka hidup. Melalui napas Komako yang deras itu ia menyadari datangnya realitas. Itu mirip rasa sesal yang selalu terkenang seperti hati yang menunggu sesuatu pembalasan dengan tenang.
"Betul saya datang, ya, karena saya bilang pasti datang," begitu Komako mengulang-ulang, lalu berkata, "Saya sudah datang, sekarang mau pulang. Saya mau cuci rambut."
Lalu ia merangkak naik dan meneguk air glek-glek-glek. "Kalau begini, engkau tidak bisa pulang."
"Mau pulang. Ada teman-teman. Mana alat mandi saya?" Shimamura bangkit dan menyalakan lampu listrik, lalu Komako menelungkup di atas tatami sambil menutup muka dengan kedua belah tangan.
"Jangan!" Ia mengenakan kimono awase terbuat dari kain tenunan muslin yang mewah berlengan bulat dan nemaki yang berkerah hitam dengan ikat pinggangyangdisebutdate77"afo'. Tidak kelihatan kerah juban. Dan ujung kakinya yang telanjang juga menandakan mabuk dan ia mengerutkan tubuh seperti menyembunyikan diri sehingga menimbulkan kesan cantik karena mungilnya.
Rupanya terlempar alat-alat mandi itu, sabun dan sisir bertaburan.
"Mau dipotong karena saya bawa gunting."
"Apa?" "Ini," kata Komako sambil mengangkat tangan ke belakang rambut. "Saya mau memotong tali pengikat rambut di rumah tapi tangan saya kaku. Jadi saya mampir ke sini untuk minta tolong."
Shimamura membelah rambut wanita itu dan memotong talinya. Setiap kali talinya terpotong, Komako menggelengkan kepala sehingga rambutnya jatuh terurai, lalu berkata dengan agak tenang.
"Sekarang kira-kira pukul berapa?"
"Sudah pukul tiga."
"Oh, begitu larut" Jangan potong rambut aslinya."
"Banyak betul talinya."
Pangkal rambut cemara yang dipegang Shimamura terasa hangat.
"Sudah pukul tiga" Ketika saya pulang dari perjamuan saya tertidur. Karena sudah berjanji, teman-teman datang menjemput. Sekarang mungkin mereka tidak tahu di mana saya."
"Mereka menunggumu?"
"Sedang mandi di kyodooyu. Tiga orang. Walaupun hari ini ada enam peijamuan, tapi hanya empat saja yang bisa saya layani. Pekan depan akan sibuk sekali, karena musim daun bertukar warna. Terima kasih," katanya sambil menyisir rambut yang sudah terurai, lalu menengadah dan tertawa tak menentu. "Entahlah. Hihihihi. Lucu, ya."
Lalu dipungutnya rambut cemara itu seperti tidak tahu apa yang harus dia buat.
"Sekarang saya mau pergi karena berdosa pada teman-teman. Saya tidak akan mampir lagi waktu pulang."
"Engkau bisa melihat jalan?"
"Bisa." Tetapi ia jatuh terhuyung karena ujung kimono-nya terinjak. Ketika Shimamura berpikir bahwa ia datang dua kali sehari pada waktu yang luar biasa seperti pukul tujuh pagi dan pukul tiga dinihari, ia merasakan sesuatu yang luar biasa.
PELAYAN-PELAYAN RUMAI1 penginapan sedang menghiasi tempat masuk dengan dedaunan yang berwarna-warni seperti kadomatsu. Itu untuk menyambut tamu-tamu yang datang menikmati keindahan musim daun bertukar warna.
Yang memberi perintah ini-itu dengan nada yang congkak ialah pelayan musiman yang menyebut dirinya sebagai burung musiman seperti mengejek diri sendiri. Ada orang-orang yang bekeija di tempat pemandian di pegunungan di sekitarnya sejak daun-daun baru menghijau sampai musim daun-daun itu bertukar warna, dan pada musim dingin mereka bekerja di tempat pemandian mata air panas di Izu seperti Atami atau Nagaoka, dan pelayan itu adalah salah seorang di antaranya. Tidak setiap tahun ia bekerja di rumah penginapan yang sama. Dengan membanggakan pengalamannya di tempat mata air panas Izu yang ramai, ia selalu mencela cara orang-orang di sini melayani tamu. Ia nekat mengajak tamu-tamu dengan menggosok-gosokkan kedua belah telapak tangan namun dengan wajah seperti pengemis yang meminta tidak dengan sungguh-sungguh.
"Apa Tuan tahu buah akebi" Kalau mau, bisa saya carikan," katanya kepada Shimamura waktu kembali dari berjalan-jalan dan ia mengikat tumbuh-tumbuhan rambat yang sedang berbuah itu pada dahan momiji.
Dahan momiji itu mungkin diambil dari gunung, sehingga tingginya hampir mencapai ujung atap, dan momiji itu berwarna merah cemerlang sehingga membuat genkan menjadi terang dan setiap daunnya begitu lebar sehingga mengagetkan.
Sambil meraba buah akebi yang dingin itu, secara kebetulan Shimamura melihat ke arah tempat penerimaan tamu dan tampaklah Yoko duduk di samping perapian.
Istri pemilik rumah penginapan itu sedang menunggu sake yang dipanaskan. Yoko duduk berhadapan dengannya dan menganggukkan kepala setiap ditegur. Ia mengenakan kimono meisen yang rupanya baru saja dicuci dan direntang, tanpa memakai sanpaku atau haori.
"Dia membantu di sini?" tanya Shimamura acuh tak acuh kepada pelayan itu.
"Karena sekarang kekurangan tenaga."
"Seperti engkau juga?"
"Begitulah, tapi ia orang sini dan eksentrik." Rupanya Yoko hanya bekerja di dapur. Sampai saat itu tidak pernah muncul di tempat perjamuan. Semakin banyak tamu semakin keras juga suara pelayan wanita yang bekerja di dapur, tetapi suara Yoko yang indah itu tidak kedengaran. Menurut pelayan wanita yang melayani kamar Shimamura, Yoko punya kebiasaan bernyanyi di dalam bak mandi sebelum tidur, tapi itu pun belum pernah didengarnya.
Tapi sesudah Shimamura tahu bahwa Yoko bekeija di rumah penginapan itu, entah apa sebabnya ia tidak bisa leluasa memanggil Komako lagi. Rasa cinta Komako memang terarah kepada diri Shimamura, namun ada semacam kehampaan di dalam dirinya yang membuatnya menganggap hal itu sebagai usaha sia-sia yang indah tetapi sebaliknya karena itulah ia merasa disentuh oleh jiwa Komako yang betul-betul mau hidup seperti kalau disentuh oleh kulit tubuh telanjang. Ia merasa iba kepada dirinya sendiri seperti juga kepada Komako. Terasa olehnya bahwa Yoko mempunyai pandangan mata yang bagaikan cahaya yang menembus ke dalam hal yang seperti itu tanpa disadarinya, sehingga Shimamura tertarik juga kepada gadis itu.
Memang Komako sering datang walaupun tidak dipanggil oleh Shimamura.
Ketika pergi untuk menikmati momiji di hulu sungai di lembah, ia lewat di depan rumah Komako dan Komako kemudian berkata bahwa Shimamura tidak tahu belas kasihan karena menoleh ke belakang pun tidak walau Komako melompat ke luar dengan pikiran bahwa pasti itulah Shimamura ketika didengarnya bunyi mobil. Ia sampai berkata begitu karena niscaya ia mampir ke kamarnya asal mendapat panggilan dan rumah penginapan itu. Waktu mau mandi juga dia singgah. Kalau ada perjamuan ia datang satu jam lebih awal dan berada di sana sampai dipanggil oleh pelayan wanita. Sering juga ia menyelinap dan tempat peijamuan dan memperbaiki rias wajahnya di depan cermin di kamar Shimamura.
"Sekarang saya mau bekerja supaya mendapat uang banyak. Mendapat uang, mendapat uang," katanya seraya bangkit lalu pergi.
Apa saja yang dibawanya seperti tempat bachi atau haori, mau ditinggalkan di kamar Shimamura.
"Tadi malam ketika saya pulang, tidak ada air panas. Mencari-cari di dapur dan saya makan nasi berkuah misoshiru sisa makan pagi bersama dengan umeboshi. Dingin sekali. Tadi pagi saya tidak dibangunkan orang di rumah. Ketika terjaga ternyata sudah pukul setengah sebelas, padahal saya mau bangun pukul tujuh, maka tidak bisa datang ke sini."
Ia mengisahkan hal seperti itu dan juga keadaan tempat perjamuan ketika pindah-pindah dari satu rumah penginapan ke rumah penginapan yang lain.
"Nanti datang lagi," katanya lalu bangkit sambil minum air dan melanjutkan, "Tapi barangkali tidak bisa. Karena yang melayani hanya kami bertiga saja, padahal tamunya ada tiga puluh orang. Jadi begitu sibuk sehingga tidak bisa menyelinap ke sini."
Tapi beberapa lama kemudian dia datang lagi dan berkata,
"Susah, ya, melayani tiga puluh orang tamu oleh tiga orang saja. Apalagi yang ada itu, seorang yang paling muda dan seorang lagi yang paling tua, sehingga sayalah yang susah. Mereka tamu yang pelit, pasti rombongan pelancong anu. Untuk melayani tiga puluh orang sekurang-kurangnya perlu enam orang. Sekarang saya pergi dan membikin mereka terkejut karena saya minum banyak."
Rupanya Komako juga mau menyembunyikan diri dan perasaan hatinya ketika berpikir entah bagaimana jadinya nanti kalau setiap hari hidup seperti itu, tetapi suasana yang menampilkan kesendiriannya malah menggiurkan.
"Saya malu karena gangnya berbunyi. Ketahuan orang walaupun berjalan perlahan-lahan. Ketika saya lewat di samping dapur, mereka menertawakan saya sambil berkata, "Koma-c/ian mau ke kamar Tsubaki?" Saya tidak mengira saya akan menjadi merasa begini kikuk."
"Engkau susah juga karena lingkungannya kecil."
"Semua orang di sini mengetahuinya."
"Itu tidak baik."
"Memang. Kalau ada desas-desus buruk sedikit saja, saya tidak bisa bekeija lagi karena lingkungannya kecil," katanya, tetapi segera ia menengadah dan berkata lagi dengan tersenyum. "Tidak apa. Kami di mana saja bisa bekerja."
Nada suaranya yang tulus dan mengandung perasaannya yang sebenarnya betul-betul di luar dugaan Shimamura yang hidup tergantung pada kekayaan warisan orang tua.
"Betul, mencari uang di mana juga sama saja. Tak usah cemas."
Ia berkata dengan acuh tak acuh namun demikian Shimamura dapat merasakan kekhasan wanita.
"Itu sudah cukup. Yang betul-betul dapat mencinta hanyalah wanita saja," kata Komako sambil menundukkan muka yang menjadi agak kemerahan.
Kerah kimono-nya agak longgar sehingga bagian tubuhnya dari punggung ke bahu kelihatan seperti kipas lipat putih yang terkembang. Daging yang berbedak tebal itu kelihatan agak montok memilukan dan tampak seperti tenunan wol dan juga seperti binatang.
"Sekarang di dunia ini, ya," gumam Shimamura, tetapi merasa menggigil karena kehampaan perkataannya sendiri.
Tetapi Komako berkata dengan sahaja.
"Kapan pun akan tetap begitu."
Lalu ia mengangkat wajah dan menambahkan dengan perlahan.
"Engkau tidak tahu itu?"
Juban merah yang melekat pada bahunya hilang dari pandangan.
Shimamura sedang meneijemahkan risalah tentang tarian oleh Valery dan Alain dan juga pengarang-pengarang Perancis lain pada masa ballet Rusia sangat berkembang di sana. Ia mau menerbitkan buku itu atas biaya sendiri sebagai buku mewah yang dicetak terbatas. Boleh juga dikatakan bahwa buku itu tidak ada gunanya bagi dunia tarian Jepang sekarang dan hal itu malah membuat hatinya lega. Mengejek diri sendiri dengan pekerjaan sendiri barangkali merupakan kesenangan yang manja. Mungkin dari sanalah lahir dunia khayalnya yang patut dikasihani. Sekarang ia dalam perjalanan, masakan pula harus tergesa-gesa mengerjakannya.
Ia terus mengamati serangga-serangga yang menderita menjelang matinya.
Kian dingin udara musim rontok, setiap hari ada saja serangga yang mati di atas tatami kamarnya. Serangga yang bersayap kaku kalau sekali jatuh terlentang tidak bisa berguling kembali. Lebah akan berjalan sebentar lalu terjatuh, berjalan lagi dan terjatuh lagi. Dengan sendirinya serangga-serangga itu mati tenang sesuai dengan pertukaran musim, tetapi kalau dilihat dari dekat ternyata mereka sangat menderita sambil menggerak-gerakkan kaki serta sungutnya. Sebagai tempat kematian serangga yang kecil-kecil itu kamar delapan jo itu kelihatan sangat luas.
Sambil memunguti bangkai-bangkai itu dengan jarinya untuk dibuang, ada kalanya ia teringat akan anaknya yang ditinggalkannya di rumah.
Ada juga serangga yang pada pikirnya lama hinggap pada ram kawat, tapi ternyata sudah mati dan terjatuh seperti daun-daun yang kering. Ada pula yang terjatuh dari dinding. Sambil memegang bangkai itu dan memperhatikannya baik-baik, ia berpikir apa sebabnya binatang itu diciptakan begitu indah.
Ram kawat itu pun kemudian diangkat. Suara serangga-serangga pun menjadi lebih sunyi.
Gunung-gunung di daerah perbatasan itu semakin dalam warna besi berkarat, dan ketika terkena sinar matahari petang, memancarkan sinar yang pudar seperti biji logam yang dingin, dan rumah-rumah penginapan penuh dengan tamu-tamu yang datang untuk menikmati momiji.
"Barangkali hari ini saya tidak bisa datang. Karena ada perjamuan orang-orang sini." Malam itu Komako mampir di kamar Shimamura lalu berangkat kerja, dan beberapa jenak kemudian terdengarlah bunyi taiko dan suara-suara wanita yang melengking dari ruangan besar, dan di dalam suara-suara yang ribut itu kedengaranlah suara jernih begitu dekat, sungguh tak disangka.
"Maaf. Maaf," begitu seru Yoko, "Ami, ini dari Koma-c/ran."
Ia menjulurkan tangan seperti pengantar pos sambil berdiri, tapi tergopoh-gopoh ia berlutut. Ketika Shimamura membuka lipatan surat itu, Yoko sudah menghilang. Ia tidak sempat berkata sesuatu.
"Sekarang saya sangat riang sambil minum sake," demikian ditulis dengan huruf mabuk pada kertas futokorogami.
Tapi sebelum lewat sepuluh menit, Komako masuk dengan langkah yang tidak teratur dan bertanya,
"Tadi anak itu datang membawakan sesuatu?"
"Ya, datang." "Begitu?" katanya sambil setengah memejamkan mata dengan perasaan riang. "Ffffhh! Saya merasa enak. Saya bilang mau memesan sake dan demikianlah saya menyelinap keluar dari tempat perjamuan. Ketahuan oleh banto-san dan dimarahi. Sake itu baik juga, walau dimarahi saya tidak peduli dan tidak usah memperhatikan bunyi langkah. Brengsek! Setiap ke sini mabuk saya mendadak kian menjadi. Sekarang saya harus pergi untuk bekerja lagi."
"Engkau mabuk sekali, tubuhmu merah sampai ke ujung jari."
"Sekarang saya mau bekerja, supaya mendapat uang banyak. Apa kata anak itu" Ia seorang pencemburu, tahu?"
"Maksudmu, siapa?"
"Pasti engkau dibunuhnya."
"Gadis itu juga membantu di sini, ya?"
"Ia membawa ochoshi tapi berdiri di sudut gang dan tetap memandangi kami dengan matanya yang bersinar. Bukankah engkau suka mata seperti itu?"
"Mungkin dia pikir kelakuan kamu sekalian sangat keji." "Jadi saya suruh dia mengantarkan ini yang saya tulis. Saya mau minum air. Kasihlah air. Mana yang lebih keji belum kelihatan sebelum orang berhasil membujuk wanita. Saya mabuk?" katanya lalu ia melihat pada cermin sambil berpegang pada kedua belah ujung meja rias seperti jatuh saja, lalu ia keluar setelah mengatur kembali ujung kimono-nya.
Beberapa lama kemudian agaknya perjamuan itu berakhir, suasana tiba-tiba menjadi sepi dan dari jauh terdengar bunyi barang pecah-belah, dan ketika Shimamura berpikir bahwa mungkin Komako juga dibawa oleh tamu ke pertemuan berikut di rumah penginapan yang lain, Yoko datang lagi mengantarkan lipatan surat Komako.
"Tidak jadi mengunjungi Sanpukan sekarang menuju ke ruang Umenoma akan mampir pada waktu pulang, selamat tidur." Shimamura berkata sambil tersenyum pahit agak kemalu-maluan.
"Terima kasih banyak. Engkau di sini membantu?"
"Ya," ia mengangguk sambil melihat kepada Shimamura dengan mata yang begitu indah sehingga terasa menusuk. Shimamura merasa agak kikuk.
Aneh juga ia merasa tidak tenteram kalau berhadapan dengan gadis yang duduk tanpa soal di antara mereka yang selalu meninggalkan kesan yang mengharukan setiap bertemu" beberapa kali sampai sekarang. Tingkah lakunya yang terlalu bersungguh-sungguh memperlihatkan seolah-olah ia selalu berada di tengah-tengah perkara yang luar biasa.
"Rupanya sibuk, ya."
"Ya. Tapi saya tidak bisa membantu apa-apa."
"Cukup sering bertemu dengan engkau. Yang pertama ketika engkau pulang sambil merawat dia dalam kereta api, dan masih ingatkah ketika engkau meminta kepada kepala stasiun agar ia membimbing adikmu baik-baik?"
"Ya." "Betul engkau menyanyi di dalam bak mandi sebelum tidur?" "Oh. Tidak tahu malu, ya. Bego," katanya dan suara itu begitu indah sehingga mengejutkan.
"Aku rasa aku tahu segala sesuatu tentang dirimu."
"Begitu" Barangkali Tuan dengar dari Koma-chcin?"
"Dia tidak bicara apa-apa. Malah dia tidak suka berbicara tentang dirimu."
"Begitu?" kata Yoko, lalu berpaling perlahan-lahan dan meneruskan, "Koma-chan baik, tetapi patut dikasihani. Dan saya harap Tuan berbuat baik terhadapnya."
Begitu ia berkata cepat dan suaranya agak bergetar pada akhirnya.
"Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa."
Yoko kelihatan seperti tubuhnya pun ikut bergetar. Shimamura berkata sambil tertawa dan mengalihkan pandang dari wajah Yoko yang memancarkan cahaya yang berbahaya. "Barangkali lebih baik aku cepat pulang ke Tokyo."
"Saya juga mau ke Tokyo."
"Kapan?" "Kapan saja boleh."
"Kalau begitu bagaimana kalau aku membawamu waktu pulang?"
"Ya, saya mau Tuan bawa," katanya acuh tak acuh tetapi dengan suara yang bersungguh-sungguh sehingga Shimamura terkejut.
"Asal saja keluargamu setuju."
"Keluarga saya hanya seorang, adik yang bekerja di kereta api, jadi saya bisa memutuskan sendiri."
"Apakah ada orang yang dapat kau mintai tolong di Tokyo?" "Tidak ada."
"Sudah berunding dengan dia?"
"Maksud Tuan Koma-chan" Saya tidak mau berunding dengan dia karena saya membencinya."
Yoko berkata begitu sambil menengadah kepada Shimamura dengan mata agak berlinang, mungkin karena merasa hatinya lega, dan pada Yoko yang seperti itu Shimamura merasakan daya tarik yang ganjil tetapi entah apa sebabnya malah terasa cintanya kepada Komako mulai berkobar. Pulang bagaikan melarikan diri bersama seorang gadis yang belum diketahuinya dengan baik, terasa olehnya sebagai cara yang dahsyat untuk meminta kepada Komako. Juga seperti suatu hukuman.
"Engkau tidak takut kalau ikut dengan laki-laki?" "Mengapa?"
"Bukankah itu berbahaya kalau tidak ada tempat untuk engkau tinggal di Tokyo atau belum pasti apa yang hendak kau kerjakan."
"Seorang wanita bisa hidup bagaimana saja," kata Yoko dengan suara naik pada akhir kalimat yang terasa indah, dan katanya melanjutkan sambil melihat kepada Shimamura, "Apakah Tuan dapat mempekerjakan saya sebagai pembantu?"
"Masa. Sebagai pembantu?"
"Saya tidak suka jadi pembantu."
"Ketika dulu di Tokyo kau bekerja sebagai apa?"
"Juru rawat." "Bekerja di rumah sakit" Atau belajar di sekolah?"
"Tidak. Hanya baru mau."
Shimamura teringat akan Yoko yang merawat laki-laki anak guru itu di dalam kereta api dan tersenyum karena berpikir bahwa dalam kesungguhan Yoko itu terkandung juga minatnya untuk menjadi juru rawat.
"Kali ini pun engkau ingin belajar untuk menjadi juru rawat?" "Saya tidak mau lagi menjadi juru rawat."
"Tapi harus kautentukan dahulu apa maumu. Kalau tidak, kurang baik nanti."
"Ah, Tuan katakan menentukan" Bego," kata Yoko tertawa seperti menangkis ucapannya.
Suara tawanya begitu nyaring dan jernih sehingga menyedihkan karena itu tidak terdengar dungu. Tapi suara itu menghilang sambil menyentuh hampa relung hati Shimamura. "Apa yang kau tertawakan?"
"Karena saya hanya dapat merawat seorang saja."
"Ya." "Sudah tidak bisa lagi."
"Begitu," kata Shimamura dengan tenang karena mendapat pukulan tiba-tiba. "Saya dengar engkau setiap hari berziarah ke makam di bawah ladang sobci"
"Ya." "Engkau pikir engkau tidak dapat merawat orang lain atau berziarah ke makam orang lain seumur hidupmu?"
"Tidak." "Lantas bagaimana engkau akan ke Tokyo meninggalkan makam itu?"
"Ah, maaf. Harap Tuan bawa saya."
"Komako bilang engkau pencemburu yang keterlaluan. Bukankah orang itu tunangan Komako?"
"Maksud Tuan Yukio-san" Bohong. Itu bohong."
"Engkau bilang engkau membenci Komako" Apa sebabnya?" "Koma-chari?" katanya seolah-olah memanggil orang yang berada di dekatnya lalu tajam menantang Shimamura dengan
mata berkilauan. "Saya harap Tuan berbuat baik terhadap Koma-chan."
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa."
Air mata Yoko mulai tergenang lalu ia berkata sambil menangis seraya memungut serangga kecil yang tergeletak di atas tatami.
"Koma-chan bilang saya akan menjadi gila." Lalu ia tiba-tiba saja keluar dari bilik itu.
Shimamura menggigil. Ketika membuka jendela untuk membuang serangga yang dibunuh oleh Yoko, kelihatanlah olehnya Komako yang mabuk sedang bermain sut-sutan dengan tamu sambil setengah berjongkok seolah-olah ia mau mendesaknya. Udara mendung. Ia pergi mandi di dalam penginapan.
Di tempat mandi untuk wanita di sebelahnya, Yoko datang untuk mandi bersama dengan anak pemilik rumah penginapan.
Suaranya lemah lembut ketika membuka pakaian anak itu dan memandikannya dengan santun dan Shimamura merasa senang mendengarnya bagaikan suara manis seorang ibu muda. Lalu ia mulai bernyanyi dengan suara itu.
"Bila keluar ke belakang ada pohon per tiga batang ada pohon sugi tiga batang semuanya enam batang.
Dari bawah burung gagak membikin sarangnya dari atas burung pipit membikin sarangnya.
Kiri-girisu dalam hutan bagaimana bunyinya"
Pohon sugi teman berziarah
berziarah icho, icho, icho"
Suaranya yang bernada lincah, cepat dan kekanak-kanakan menyanyikan lagu teman, membuat Shimamura berpikir seolah-olah Yoko yang tadi itu hanya dalam mimpi saja.
Setelah Yoko selesai mandi yang tak henti-hentinya disertai celotehnya kepada anak itu, terasa oleh Shimamura suara itu masih tertinggal seperti bunyi suling yang terdengar di sekitarnya dan ia agak tertarik oleh keheningan larut malam musim rontok yang terdapat pada kotak kayu kiri shamisen yang terletak di sudut lantai papan genkan yang berkilauan hitam karena sudah tua. Ketika ia membaca nama pemilik shamisen itu, Komako datang dari arah asal bunyi piring dan mangkuk dicuci.
"Apa yang kaulihat?"
"Orang ini menginap?"
"Siapa" O, ini" Engkau tolol, ya. Yang begitu tidak bisa dibawa ke mana-mana, bukan" Ada kalanya dibiarkan begitu saja untuk beberapa hari," katanya sambil tertawa, tapi seketika itu juga ia memejamkan mata seraya menghembuskan napas yang sesak dan menjatuhkan diri pada Shimamura dengan melepaskan ujung kimono yang dipegangnya.
"Ya, antarkan saya, ya."
"Tidak usah pulang."
"Tidak. Tidak. Saya mau pulang. Karena ada perjamuan orang sini, semua orang pergi ke perjamuan yang berikut, tapi saya tinggal di sini. Barangkali tidak apa-apa karena ada perjamuan di sini, tapi kalau nanti kawan-kawan menjemput saya untuk mandi pada waktu pulang dan saya tidak ada di rumah, akan jadi masalah."
Walaupun sudah sangat mabuk, Komako masih bisa beijalan dengan tegap di jalan mendaki yang curam.
"Engkau membuat anak itu menangis, bukan?"
"Kalau boleh dikatakan, agaknya dia sedikit miring."
"Engkau senang menganggap orang seperti itu?"
"Bukankah engkau yang berkata bahwa dia akan menjadi gila" Dan ketika teringat akan perkataanmu itu mungkin dia mulai menangis karena kesal hati."
"Kalau begitu tidak apa."
"Tapi belum lagi sepuluh menit kemudian dia sudah berendam dalam bak mandi dan bernyanyi dengan suara merdu." "Bernyanyi sambil berendam dalam air panas adalah kebiasaannya."
"Ia betul-betul memintaku supaya berbuat baik terhadapmu." "Tolol, ya, dia. Tapi tidak usah engkau bualkan hal itu kepadaku."
"Bualkan" Kalau berbicara tentang gadis itu, mengapa sikapmu menjadi degil?"
"Engkau mau dia?"
"Ngawur!" "Saya tidak main-main. Bila saya melihatnya, terasa bahwa dia akan menjadi beban bagi saya di masa mendatang. Selalu terasa begitu, entah mengapa. Kalau memang suka kepadanya, coba engkau lihat baik-baik. Pasti engkau pun berpikir begitu," kata Komako sambil menyandarkan diri dengan berpegang pada bahu Shimamura, tapi tiba-tiba saja menggeleng-gelengkan kepala dan berkata lagi, "Tidak. Kalau jatuh ke tangan orang seperti engkau barangkali ia tidak sampai gila. Kau ambil alihlah beban saya itu."
"Jangan bicara yang tidak-tidak."
"Engkau pikir karena mabuk saya bicara yang tidak-tidak" Saya akan membuang diri di daerah pegunungan ini, sambil berpikir bahwa ia engkau sayangi. Saya akan benar-benar merasa senang dengan sepenuh hati."
"Sudah!" "Jangan hiraukan saya!" katanya melepaskan diri sambil berlari anjing menubruk amado rumah yang ternyata tempat tinggalnya.
"Mereka kira engkau tidak akan pulang."
"Tidak. Bisa buka."
Komako bagaikan memeluk mengangkat ujung bawah amado yang berbunyi berderit, lalu berbisik, "Masuklah."
"Tapi sudah jauh malam."
"Semua orang sudah tidur."
Shimamura ragu-ragu. "Kalau begitu saya akan mengantarkan engkau."
"Jangan." "Tidak. Engkau belum pernah ke kamar saya."
Ketika mereka masuk melalui pintu dapur, kelihatan orang-orang rumah tidur bergeletakan. Di atas deretan futon yang keras yang terbuat dari kain katun seperti bahan sanpaku di daerah itu dan yang warnanya sudah luntur, tidurlah dengan muka yang menghadap ke arah yang berlain-lainan tuan rumah dengan istrinya bersama lima-enam orang anak, yang sulung gadis berumur tujuh atau delapan belas tahun, diterangi sebuah lampu yang kusam. Pemandangan itu menimbulkan rasa pilu tetapi sekaligus mengandung keperkasaan.
Shimamura seperti ditolak oleh hangat napas orang-orang yang tidur itu, tanpa sadar mau keluar lagi, tetapi Komako sudah menutup pintu di belakangnya, rrrrt, lalu berjalan di atas lantai papan tanpa mempedulikan bunyi langkahnya dan Shimamura juga mengikutinya di dekat kepala anak-anak yang tidur itu, dadanya berdebar karena perasaan senang yang ganjil.
"Tunggu di sini. Saya nyalakan lampu di atas."
"Tidak usah," kata Shimamura lalu ia naik tangga yang gelap. Ketika ia menoleh ke belakang, tampak warung juadah di seberang wajah-wajah bersahaja yang sedang tidur itu.
Di tingkat dua ada empat kamar dengan tatami yang sudah usang yang layak bagi rumah petani.
"Ini cukup luas, karena saya sendirian di sini," kata Komako. Fusuma semuanya terbuka, perabot-perabot yang sudah tua tertumpuk di kamar sebelah, sebuah futon Komako yang kecil tergelar di antara shoji yang sudah berdebu dan di dinding tergantung kimono perjamuan, semuanya itu mengesankan seolah-olah kamar itu sebuah sarang rubah dan cerpelai.
Komako duduk di atas futon-nya dan mempersilakan Shimamura juga duduk di atas zcibuton yang cuma satu-satunya, lalu ia menatap pada cermin dan berkata,
"Wah, merah benar! Semabuk inikah saya?" lalu ia berkata juga sambil mencari-cari di atas tansu. "Ini. Buku harian saya."
"Banyak juga, ya."
Dari sampingnya dia ambil kotak kecil yang berlapis kertas kembang dan ternyata kotak itu penuh dengan rokok bermacam merek.
"Karena saya bawa pulang rokok-rokok yang diberikan tamu-tamu dalam tamoto atau diselipkan dalam obi, maka sedikit kisut tapi tidak kotor, sebaliknya terdapat hampir semua merek rokok," katanya lalu ia mengaduk isi kotak itu sambil bertopang sebelah tangan di depan Shimamura.
"Ah, tidak ada korek api. Karena saya sudah berhenti merokok, tidak perlu korek api."
"Tidak usah. Engkau menjahit?"
"Ya. Saya menjahit untuk tamu momiji, tapi tidak ada kemajuan," katanya sambil menoleh serta meraih jahitan yang terletak di depan tansu.
Tansu yang bagus urat-urat kayunya dan kotak alat-alat jahitan bercat merah yang mewah yang mungkin merupakan kenang-kenangan hidup Komako di Tokyo adalah barang-barang yang terdapat di kamar loteng yang seperti peti kertas usang di rumah gurunya dahulu, tetapi di kamar tingkat dua yang bobrok ini barang-barang itu terasa tidak cocok sehingga menimbulkan rasa sedih.
Dari lampu listrik terentang seutas tali sampai di atas bantal.
"Kalau tidur sambil membaca, saya mematikan lampu dengan menarik tali ini," katanya sambil mempermainkan tali itu, tapi ia duduk dengan sopannya bagaikan seorang ibu rumah tangga dan tampak agak kemalu-maluan.
"Betul-betul engkau seperti rubah betina yang menjadi pengantin."
"Betul juga." "Engkau akan hidup selama empat tahun dalam bilik ini?"
"Tetapi sudah lewat setengah tahun. Tidak akan lama."
Seolah-olah terdengar napas orang-orang tidur di tingkat bawah dan yang akan dibicarakan pun tidak ada lagi, maka Shimamura bangkit tergesa.
Komako menjengukkan kepala sambil menutup pintu dan menengadah ke langit.
"Gelagatnya salju sudah dekat. Musim momiji akan habis sebentar lagi," katanya sambil melangkah ke luar, "Karena daerah pegunungan, di sini salju turun ketika daun momiji masih belum gugur semua."
"Selamat tidur."
"Saya antar. Sampai genkan penginapan."
Tetapi ia ikut masuk bersama Shimamura ke dalam penginapan.
"Selamat tidur," katanya dan menghilang entah ke mana tapi beberapa saat kemudian dia datang kembali sambil membawa dua gelas yang penuh dengan sake dingin, dan segera setelah masuk ke dalam kamar dia berkata dengan garang.
"Ayo, minum! Minum!"
"Semua orang sudah tidur, kau ambil dari mana?"
"Saya tahu tempat mereka menyimpannya."
Rupanya Komako juga minum ketika ia mengambil sake dari tongnya, sehingga ia mabuk lagi dan berkata sambil memandangi sake yang tertumpah dari gelas dengan mata setengah terpejam.
"Tidak enak menenggaknya dalam gelap."
Shimamura minum sake dingin yang ditodongkan kepadanya itu dengan acuh tak acuh.
Biasanya Shimamura tidak bisa mabuk dengan sake sebanyak itu, tetapi tiba-tiba dia merasa dadanya mual dan kepalanya pusing, mungkin karena tubuhnya dingin akibat berjalan di luar. Seolah-olah dia dapat merasakan mukanya menjadi pucat dan berbaring dengan mata terpejam dan Komako lekas-lekas merawatnya, tetapi tidak berapa lama kemudian Shimamura merasa lega bagaikan kanak-kanak karena hangatnya tubuh wanita.
Komako tampak kikuk merawat Shimamura seperti seorang wanita muda yang belum pernah melahirkan mendekap anak orang lain. Ia seperti memandang seorang anak yang mau tidur dengan menopang kepala.
Beberapa lama kemudian Shimamura berkata pendek,
"Engkau anak baik."
"Mengapa" Apanya yang baik?"
"Betul, anak baik."
"Begitu" Konyol! Apa yang mau kau bilang" Kuatkan diri," kata Komako terputus-putus sambil membuang muka dan mengguncang-guncangkan tubuh Shimamura, lalu terdiam.
Ia berkata sambil tersenyum simpul.
"Jangan begitu. Pulanglah, agar saya tidak merasa sulit. Tidak ada lagi kimono yang bisa saya pakai. Saya mau mengganti kimono perjamuan setiap kali datang mengunjungimu, tetapi sekarang sudah habis, ini pun saya pinjam dari teman. Bukan anak yang baik, bukan?"
Shimamura tidak bisa berkata sepatah pun.
"Yang begini apa bisa jadi anak baik?" kata Komako dengan suara yang agak lembut. "Ketika saya bertemu pertama kali dengan engkau, saya kira engkau orang yang sangat menjengkelkan. Tidak ada orang yang sampai berkata sekurang ajar itu. Betul-betul saya merasa tidak enak."
Shimamura mengangguk. "Oh! Engkau tahu" Sampai sekarang saya merahasiakan hal itu. Kalau seorang laki-laki membiarkan seorang wanita mengatakan hal-hal seperti ini, bukankah berarti segala sesuatunya akan tamat?"
"Tidak apa." "Begitu?" kata Komako lalu lama terdiam bagaikan memandang ke dalam dirinya. Rasa kehidupan seorang wanita menjalar hangat ke dalam diri Shimamura.
"Engkau wanita yang baik."
"Bagaimananya yang baik?"
"Wanita yang baik."


Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau aneh," katanya sambil menyembunyikan muka seolah-olah bahunya merasa geli, tapi entah apa yang dipikirkannya tiba-tiba ia mengangkat kepala tegak-tegak sambil bertopang dengan sebelah siku lalu berkata,
"Apa arti perkataanmu itu" Ayo, apa maksudmu?" Shimamura tercengang dan menatapnya.
"Katakanlah. Engkau datang kepada saya karena itu" Engkau selama ini menertawakan saya" Betul-betul engkau menertawakan saya, bukan?"
Sementara ia terus mendesak-desak Shimamura sambil memelototinya dengan wajah merah, bahu Komako bergetar lantaran amarah dan wajahnya menjadi pucat lalu air matanya bercucuran.
"Sebal. Uh! Sebal," katanya lalu ia berguling-guling dan duduk membelakangi Shimamura.
Sekarang Shimamura sadar bahwa Komako telah salah menangkap perkataannya, sehingga terasa dadanya tertusuk, tapi ia tetap diam dengan mata terpejam.
"Saya sedih." Komako menggumam seperti berkata kepada diri sendiri sambil menelungkup seolah-olah tubuhnya menjadi bundar.
Mungkin karena telah letih menangis, ia menusukkan konde perak pada tatami, tapi tiba-tiba saja ia keluar dari kamar.
Shimamura tidak bisa mengejarnya. Sesudah mendengar Komako berkata begitu ia juga merasa cukup bersalah.
Tetapi rupanya Komako segera datang kembali dengan berjalan berjingkat-jingkat, ia berteriak dengan suara meninggi dari luar shoji.
"Ayo, mari kita mandi."
"Ya." "Maafkan saya, ya. Saya telah memikirkannya kembali."
Karena ia tidak mau masuk ke dalam kamar, sambil berdiri di lorong, Shimamuralah yang keluar dengan membawa handuk, lalu Komako mulai berjalan di depannya agak menekur supaya tidak bertemu pandang.
Komako tampak seperti orang yang terbongkar kejahatannya yang diseret polisi, tetapi keika tubuhnya menjadi hangat karena berendam dalam air panas, ia menjadi riang sehingga menimbulkan rasa pilu, dan kantuk pun hilang sirna.
Keesokan paginya Shimamura terjaga mendengar suara utai.
Sementara ia mendengarkan utai itu dengan tenang, Komako menoleh dari depan kaca rias dan berkata sambil tersenyum menyeringai.
"Itu tamu di ruang Ume. Saya dipanggil juga ke sana tadi malam sehabis perjamuan."
"Rombongan wisatawan dari perkumpulan utai?"
"Ya." "Salju turun?" "Ya," kata Komako seraya bangkit lalu membuka shoji dengan cepat. "Sudah habis musim momiji"
Dari langit kelabu yang dibatasi oleh bingkai jendela, gumpalan-gumpalan salju besar merapung berarak mendekati. Terasa seperti khayalan yang tenang. Shimamura terus memandangnya dengan kehampaan karena kurang tidur.
Orang-orang yang membawakan utai itu juga memukul tsuzumi.
Shimamura teringat akan cermin pada pagi salju akhir tahun yang lalu dan melihat ke arah kaca rias, di dalam cermin itu kelihatan besar-besar terapung lidah-lidah dingin gumpalan salju, sehingga merupakan garis putih sekitar Komako yang menyapu lehernya dengan kerah kimono terbuka.
Kulit Komako bersih betul seolah-olah baru saja dicuci sehingga tidak bisa dianggap sebagai wanita yang dapat salah menangkap perkataan Shimamura yang diucapkan tanpa sengaja, namun hal itu malah menunjukkan adanya kesedihan yang tidak dapat dilerai.
Gunung-gunung di kejauhan yang dari hari ke hari semakin gelap saja bagai warna karat besi karena dedaunan momiji, cerah kembali karena salju pertama.
Hutan sugi yang ditutupi salju tipis, tampak jelas sebatang demi sebatang, tegak di atas salju di tanah menjulang tajam ke arah langit.
DI DALAM salju benangnya dipintal, di dalam salju kainnya ditenun, dicuci dengan air salju, dikelantang di atas salju. Mulai dipintal sampai selesai ditenun dikerjakan di dalam salju belaka.
Karena ada salju maka ada chijimi, pantaslah kalau disebut salju adalah ibu chijimi, demikian ditulis dalam buku kuno.
Chijimi rami dari daerah salju ini merupakan hasil kerajinan perempuan di pedalaman selagi terkurung lama-lama dalam salju, pernah dicari-cari Shimamura di toko-toko loak pakaian lama dan disuruhnya dibuat baju musim panas. Ia demikian gemar akan chijimi, sehingga ia berpesan supaya diberi tahu apabila ada chijimi yang tulen, karena ia sudah tahu akan adanya toko-toko yang menjual pakaian-pakaian Noh lama melalui kenalan-kenalannya di dunia tari-menari. Demikianlah ia membuat juga juban satu lapis dari chijimi.
Konon di masa dahulu, diadakan pasar chijimi perdana dengan membuka kerai-kerai penghambat salju pada musim semi ketika salju mulai mencair. Konon pula ada rumah-rumah penginapan yang tetap bagi para pedagang borongan yang jauh-jauh datang dari tiga kota besar untuk membeli chijimi, dan untuk pasar perdana itulah gadis-gadis memeras tenaga menenun chijimi selama setengah tahun, maka berkumpullah laki-laki dan perempuan dari dekat maupun dari jauh di daerah pedalaman dan berderet-deret pula kedai-kedai yang memamerkan barang-barang langka atau yang menjual segala macam barang sehingga timbul suasana keramaian seperti matsuri di kota. Chijimi itu ditempeli secarik kertas yang bertuliskan nama dan alamat penenunnya dan urutannya ditetapkan dari nomor satu, dua, dan seterusnya sesuai dengan kualitasnya. Itu pun dipakai sebagai ukuran untuk memilih jodoh. Chijimi yang baik kualitasnya hanya bisa ditenun oleh wanita muda yang berusia antara lima atau enam belas tahun dengan dua puluh empat atau dua puluh lima"mereka yang sudah belajar menenun sejak kecil. Kalau sudah lebih tua, kehalusan tenunannya lenyap. Tentu saja anak-anak gadis mau meningkatkan keterampilannya supaya termasuk ke dalam mereka yang paling unggul, demikianlah sejak bulan
Oktober menurut kalender lama benangnya mulai dipintal dan baru pada pertengahan bulan Februari tahun berikutnya kainnya selesai dikelantang dan karena semua pekerjaan itu mereka lakukan selama terkurung dalam salju ketika tidak ada pekeijaan lain, maka pasti mereka mengerjakannya dengan tekun dan mereka sangat mencintai hasil tenunannya itu.
Di antara chijimi-chijimi yang dipakai oleh Shimamura, mungkin ada yang ditenun oleh gadis-gadis pada akhir zaman Edo sampai awal Meiji.2
SekarangjugaShimamura menyuruh chijimi-nya "dikelantang di atas salju". Setiap tahun mengirimkan pakaian lama yang pernah dipakai oleh entah siapa ke tempat pembuatannya supaya dikelantang agak merepotkan Shimamura, namun demikian kalau teringat akan ketekunan anak gadis masa dahulu selama terkurung dalam salju, ia ingin pakaiannya itu dikelantang secara benar di daerah tempat tinggal para penenunnya dahulu. Ketika membayangkan kain rami yang putih itu dikelantang di atas salju yang tebal bertimbun tertimpa sinar matahari dan entah kain entah salju menjadi berwarna merah, ia merasa segala kotoran yang melekat pada kain itu selama musim panas segera menjadi larut dan ia merasa segar seolah-olah dirinya sendiri yang dikelantang. Tetapi segalanya itu diurus oleh tukang pakaian loak di Tokyo maka Shimamura tidak tahu apakah masih dilakukan atau tidak mengelantang seperti dahulu.
Sejak dahulu ada tukang kelantang. Jarang kain-kain itu dikelantang di rumah penenunnya, tapi biasanya diserahkan kepada tukang kelantang. Chijimi putih dikelantang setelah ditenun, tetapi chijimi yang berwarna dikelantang ketika masih berupa benang yang digulung pada sebuah kase. Chijimi putih dikelantang langsung dibentangkan di atas salju. Karena pengelantangan itu dilakukan pada bulan Januari dan Februari
menurut kalender lama, kadang-kadang sawah atau ladang yang ditutupi salju dipergunakan untuk itu.
Kain maupun benang direndam di dalam air abu sepanjang malam dan keesokan paginya dicuci dengan air berulang kali dan sesudah diperas baru dikelantang. Hal itu diulangi selama beberapa hari. Dan pemandangan matahari terbit yang terang benderang memancarkan sinarnya pada chijimi putih yang hampir selesai dikelantang merupakan sesuatu yang tak ada taranya, hendak diperlihatkan kepada orang-orang yang tinggal di daerah hangat"demikian ditulis dalam buku kuno. Selesainya pengelantangan chijimi menandakan musim semi sudah dekat.
Tempat yang banyak menghasilkan chijimi dekat dari tempat pemandian mata air panas ini. Terletak di tempat yang datar di hilir sungai di lembah yang semakin melebar, agaknya kelihatan juga dari kamar Shimamura. Di kota-kota tempat dahulu diselenggarakan pasar-pasar chijimi, sekarang sudah terdapat stasiun kereta api dan juga terkenal sebagai penghasil tekstil.
Tetapi Shimamura tidak pernah mengunjungi tempat pemandian mata air panas ini pada musim panas ketika ia mengenakan chijimi atau juga pada musim dingin ketika chijimi dibuat, maka ia belum pernah berkesempatan berbicara tentang chijimi dengan Komako.
Ketika ia mendengar Yoko bernyanyi di dalam bak air, terpikir olehnya bahwa kalau seandainya gadis itu lahir di zaman silam, barangkali ia menyanyi demikian sambil bekerja dengan alat tenun dan pemintal benang. Nyanyian Yoko itu sedemikian rupa sehingga membuat Shimamura berpikir begitu.
Benang rami yang lebih halus dari wol sukar diolah kalau tidak dalam udara lembab dari salju alami dan musim dingin yang suramlah yang paling cocok untuk itu, dan menurut kata orang-orang dahulu sewajarnyalah kain rami yang ditenun pada musim dingin terasa sejuk pada kulit orang yang mengenakannya pada musim yang panas hawanya karena sesuai dengan hukum in-yo. Pada Komako yang selalu menempelkan diri padanya, tampaknya jauh di dasarnya terdapat semacam kesejukan. Lebih-lebih karena itulah maka bagian tubuhnya yang panas di dalam diri Komako terasa mengibakan Shimamura.
Tetapi kemesraan seperti ini takkan bisa meninggalkan bekas yang awet seperti sehelai chijimi. Ketika Shimamura merenungkan bahwa kain yang dikenakan pada tubuh orang tidak bisa tahan lama seperti barang-barang kerajinan yang lain, tetapi chijimi kalau baik memeliharanya yang dibuat lebih lima puluh tahun yang lalu pun masih belum luntur warnanya dan tetap masih bisa dipakai, namun kemesraan hubungan badani tidaklah sepanjang umur sehelai chijimi, maka tiba-tiba saja terbayang olehnya Komako menjadi ibu seorang anak dari laki-laki lain, sehingga ia merasa terkejut dan memandang berkeliling. Ia pikir ia sudah letih.
Ia begitu lama menginap di situ seolah-olah sudah lupa akan anak-istrinya. Bukan karena dia tidak bisa melepaskan diri dan bukan pula karena tidak mau berpisah dari Komako, tetapi sudah menjadi kebiasaannya menunggu Komako yang juga sering datang mengunjunginya. Dan semakin Komako menyerahkan diri dengan kemesraan, semakin kuat juga perasaannya menyalahkan diri sendiri seolah-olah dia tidak berjiwa. Boleh dikatakan ia tetap merenung, menukik ke dalam kesepiannya. Shimamura tidak bisa mengerti mengapa Komako semakin mengeratkan diri kepadanya. Segala sesuatu dari Komako dapat dipahaminya, tetapi tidak ada satu pun yang dapat dipahami Komako dari dirinya. Ia mendengar bunyi seperti gema Komako yang terbentur dengan dinding yang hampa seolah-olah salju bertumpuk-tumpuk di dasar hatinya. Egoisme Shimamura seperti itu takkan bisa terus-menerus.
Sambil merasa bahwa kalau sekali pulang mungkin tidak akan bisa kembali dengan mudah, ia duduk bersandar pada hibachi dalam udara yang menandakan musim salju sudah dekat, maka kedengaran olehnya suara angin lembut yang bertiup melalui daun-daun pohon tusam, dari ketel besi yang lama buatan Kyoto, dan yang sengaja dibawakan untuk Shimamura oleh tuan rumah penginapan itu. Pada ketel itu bertaburan bunga dan burung perak yang dilukis dengan cermatnya. Bunyi angin tusam itu berangkap dua, bisa dibedakan suara yang dari jauh dan yang lebih dekat, dan terasa samar-samar bunyi lonceng kecil di seberang sana dari suara angin yang jauh itu. Shimamura menelengkan kuping ke arah ketel besi itu dan mendengar bunyi lonceng itu. Tiba-tiba terbayang olehnya kaki mungil Komako yang melangkah kecil-kecil seperti bunyi lonceng di kejauhan dari arah bunyi lonceng itu terdengar. Shimamura terkejut dan timbul pikirannya bahwa ia harus meninggalkan tempat itu.
Shimamura tergerak hatinya untuk pergi ke tempat penghasil chijimi. Juga dia mau mengambil kesempatan untuk meninggalkan pemandian mata air panas itu.
Tapi dia tidak tahu entah harus ke kota mana yang terletak di hilir sungai. Karena tidak mau melihat kota-kota besar yang berkembang menjadi penghasil tekstil, maka ia turun di sebuah stasiun yang sepi. Sesudah beijalan beberapa lama ia tiba pada sebuah jalan yang di kiri kanannya berdiri rumah-rumah yang dahulunya penginapan.
Rumah-rumahnya yang beratap menjulur ke bawah dengan deretan tiang yang menunjang ujung atap-atap itu, meniru apa yang disebut tanashita di kota Edo, tetapi di sini sejak dulu disebut gan-gi, dan dipakai sebagai lorong selama salju turun tebal bertimbun. Di belahan rumah sepanjang jalan sambung-bersambung atap yang menjulur panjang dengan tiang-tiang penopangnya.
Karena bersambung dari rumah ke rumah, salju dari atas atap terpaksa jatuh ke tengah jalan. Sebetulnya salju itu dilemparkan dari atap ke atas bendungan salju di jalan yang lebih tinggi dari atap itu sendiri. Untuk menyeberang jalan dibuatlah terowongan memotong bendungan salju itu. Di daerah ini menempuh terowongan itu disebut "menerobos dalam kandungan".
Meskipun di daerah salju yang sama, di kampung mata air panas tempat tinggal Komako rumah-rumah tidak berderetan sambung-bersambung, maka baru di kota inilah pertama kali Shimamura melihat gan-gi. Karena merasa penasaran ia pun berjalan di dalam lorong itu. Agak gelap di bawah atap yang menjulur dan sudah tua itu. Ada juga tiang yang sudah miring dan rapuh pangkalnya. Shimamura merasa seolah-olah ia mengintip ke dalam rumah yang suram yang terbenam di bawah salju turun-temurun sejak zaman nenek moyang.
Hidup para gadis penenun chijimi yang bekerja tekun di bawah salju tidaklah seterang dan sesegar chijimi yang dibuatnya. Kota itu sedemikian tua sehingga memberi kesan begitu kepada Shimamura. Dalam buku kuno tentang chijimi ada dikutip sajak Chin Tao Yui dan tidak ada sebuah rumah pun yang mempekerjakan penenun wanita karena untuk menenun sehelai chijimi saja sangat rumit sehingga sulit menilainya dengan uang.
Para pekerja tak bernama yang begitu bersusah payah itu sudah lama meninggal, hanya meninggalkan chijimi buatannya yang indah saja. Dibuat kimono yang mewah bagi orang seperti Shimamura, agar kulitnya terasa sejuk dan segar di musim panas. Hal yang tak begitu aneh juga terasa aneh oleh Shimamura. Hasil buatan yang penuh cinta yang murni mungkin kapan dan di mana pun akan selalu menggerakkan hati orang. Shimamura keluar dari gan-gi ke jalan.
Jalan itu lurus memanjang adalah layak sebagai jalan yang di kiri-kanannya berdiri rumah-rumah yang dahulunya penginapan. Mungkin itu jalan lama dari kampung tempat mata air panas itu.
Atap-atap papan yang memakai san-gi dan soe-ishi sama juga dengan yang terdapat di daerah mata air panas itu.
Tiang-tiang penopang ujung atap menjatuhkan bayangan tipis. Tanpa dia sadari waktu telah menjadi senja.
Karena tidak ada lagi apa-apa yang patut dilihat, Shimamura naik kereta api lagi dan turun di salah satu kota yang lain. Hampir sama dengan yang tadi. Ia berjalan-jalan saja seperti tadi. Dan ia hanya menghirup semangkuk udon supaya tidak kedinginan.
Warung udon itu terletak di tepi sungai dan sungai itu juga mungkin mengalir dari tempat pemandian mata air panas itu. Tampak bikuni berdua-dua atau bertiga-tiga menyeberangi jembatan. Mereka memakai sandal jerami dan ada juga yang menyampirkan tudung cetok, rupanya mereka pulang sehabis meminta-minta sedekah. Mereka bagaikan burung gagak yang bergegas pulang ke sarang.
"Banyak juga bikuni yang lewat, ya?" tanya Shimamura kepada wanita warung udon itu.
"Ya. Di sana ada bihara untuk bikuni. Nanti kalau salju sudah turun mereka susah turun dari gunung."
Gunung-gunung di seberang jembatan dalam cuaca senja tampak putih.
Di daerah ini pada waktu daun-daun pohon sudah berguguran dan angin mendingin, setiap hari mendung dengan udara yang semakin dingin. Tanda salju sudah dekat. Gunung-gunung tinggi yang jauh maupun yang dekat, menjadi putih. Itulah yang disebut orang takemawari atau sekeliling puncak. Di daerah dekat laut terdengar gemuruh laut, di pedalaman pegunungan terdengar gemuruh gunung. Tepat seperti suara guruh yang datang dari jauh. Inilah yang disebut donari atau bunyi tubuh. Kalau orang sudah melihat takemawari atau mendengar donari mereka tahu bahwa salju sudah dekat. Shimamura teringat akan hal itu yang tertulis dalam buku kuno itu.
Salju pertama turun pada hari ketika Shimamura terbaring dalam futon kesiangan mendengarkan utai yang dinyanyikan oleh tamu-tamu momiji. Entah apakah tahun ini laut dan gunung sudah bergemuruh. Mungkin karena pendengarannya semakin tajam selama ia bergaul dengan Komako di tempat pemandian mata air panas dalam perjalanan seorang diri, ketika ia hanya memikirkan gemuruh laut atau gunung, terasa olehnya seakan-akan gemuruh yang jauh itu datang dari dasar telinganya.
"Bikuni-bikuni itu pun mulai saat ini akan mengurung diri. Berapa orang kira-kira mereka semuanya?"
"Tidak tahu. Barangkali banyak juga."
"Hanya bikuni-bikuni berkumpul selama berbulan-bulan terkurung dalam salju, apa yang mereka perbuat" Bagaimana kalau mereka menenun chijimi yang dahulu konon dibikin di daerah ini."
Terhadap perkataan Shimamura yang penasaran, wanita itu hanya tersenyum tipis saja.
Shimamura menunggu hampir dua jam untuk kereta api yang membawanya kembali. Sesudah matahari yang cahayanya lemah terbenam, udara makin dingin, membuat bintang seolah makin cemerlang. Kakinya terasa dingin.
Shimamura kembali ke tempat mata air panas itu tanpa mengetahui untuk apa dia melakukan perjalanan itu. Ketika taksinya sampai di tepi hutan sugi chinju sesudah melewati persilangan jalan kereta api, terlihat olehnya sebuah rumah dengan lampu-lampu menyala dan ia merasa lega, dan rumah itu ternyata ryoriya kecil "Kikumura", dan di dekat pintu masuknya ada tiga-empat orang geisha sedang bercakap-cakap.
Begitu dia berpikir entah apakah Komako juga ada di situ, hanya Komako yang tampak olehnya.
Tiba-tiba saja kecepatan taksi itu menurun. Rupanya sopir yang sudah tahu hubungan antara Shimamura dengan Komako melambatkan mobilnya.
Tiba-tiba Shimamura menoleh ke belakang, yaitu ke arah yang berlawanan dari Komako. Kelihatan jelas bekas roda mobil di atas salju, dan di luar dugaannya ia bisa melihat begitu jauh karena cahaya bintang.
Mobil sampai di depan Komako. Tiba-tiba Komako memejamkan mata dan begitu saja ia melompat ke mobil. Mobil itu terus perlahan naik ke jalan mendaki tanpa berhenti. Komako bergelantung menginjak tangga mobil dan berpegang pada pegangan pintu.
Komako meloncat cepat dan seperti melekat pada mobil, namun demikian Shimamura merasa seakan didampingi sesuatu yang hangat yang datang lambat-lambat, sehingga tidak merasa perbuatan Komako itu luar biasa berbahaya. Komako mengangkat sebelah lengannya seperti hendak memeluk jendela mobil itu. Ujung kimono-nya. agak melorot dan tampaklah warna juban panjang melalui kaca mobil yang tebal dan meresap ke dalam kelopak mata Shimamura yang kaku karena kedinginan.
Komako berteriak nyaring sambil menekankan dahi pada kaca jendela.
"Dari mana tadi" Bilang, ayo bilang. Dari mana tadi?"
"Berbahaya! Jangan macam-macam!" kata Shimamura juga dengan suara nyaring, tapi itu semata permainan yang manis.
Komako membuka pintu dan masuk merebahkan diri ke dalam mobil. Tapi waktu itu mobil sudah berhenti. Sudah tiba di ujung kaki gunung.
"Bilang, dari mana tadi?"
"Eeeeee...." "Dari mana?" "Tidak dari mana-mana."
Cara Komako membereskan kembali ujung bawah kimono-nya itu betul-betul memberi kesan seorang geisha dan hal itu kelihatan agak luar biasa kepada Shimamura.
Sopir tetap diam. Shimamura sadar agak aneh juga kalau terus berada dalam mobil berhenti, karena sudah tiba di jalan buntu.
"Kita turun, ya," kata Komako sambil meletakkan tangan pada lutut Shimamura. "Wah, dingin. Begini dingin. Mengapa tidak mengajak saya?"
"Ya, harusnya begitu."
"Begitu apa" Kau memang aneh," kata Komako sambil tertawa gembira, lalu naik ke lorong yang merupakan tangga batu yang curam.
"Saya lihat engkau berangkat. Pukul dua atau mungkin sebelum pukul tiga?"
"Ya." "Karena mendengar suara mobil, saya keluar. Keluar dari rumah. Engkau tidak menoleh ke belakang, kan?"
"Ya?" "Tidak. Mengapa tidak menoleh ke belakang?"
Shimamura terkejut. "Engkau tidak tahu saya mengikutimu dengan pandangan, kan?"
"Tidak." "Begitu, kan?" kata Komako tersenyum gembira. Lalu ia mendekatkan bahu pada Shimamura. "Mengapa tidak membawa saya" Engkau kembali sedingin ini, saya tidak suka itu."
Tiba-tiba terdengar kentongan logam dipukul bertalu-talu. Begitu berpaling, keduanya berkata,
"Kebakaran! Kebakaran!"
"Kebakaran!" Kelihatan nyala api membubung di tengah kampung di bawah.
Komako meneriakkan dua-tiga kata yang tidak jelas, lalu memegang tangan Shimamura.
Di dalam asap hitam yang berkepul-kcpul kadang-kadang kelihatan lidah nyala api. Api melebar ke samping dan bagaikan menjilat keliling ujung atap.
"Di mana itu" Bukankah dekat rumah guru musik tempatmu tinggal dulu?"
"Bukan." "Kira-kira di mana?"
"Jauh lebih ke atas. Lebih dekat ke stasiun."
Nyala api tegak berdiri menerobos atap.
"Oh, itu gudang kepompong ulat sutra. Gudang kepompong ulat sutra. Lihat! Lihat! Gudang itu terbakar," kata Komako berulang-ulang lalu menekankan pipinya pada bahu Shimamura. "Gudang itu! Gudang itu!"
Api semakin bergejolak, tapi kalau dipandang dari tempat tinggi di bawah langit berbintang, kelihatannya sepi seperti kebakaran main-main saja. Namun demikian ketakutannya seolah-olah bunyi gemuruh nyala api sampai juga pada mereka. Shimamura memeluk Komako.
"Tidak usah takut."
"Tidak, tidak, tidak," kata Komako lalu menggelengkan kepala dan mulai menangis. Wajahnya bagi Shimamura terasa lebih kecil daripada biasanya di dalam telapak tangannya. Terasa pelipisnya yang keras bergetar.
Ia mulai menangis karena melihat api, tetapi Shimamura terus memeluknya tanpa mencurigai apa gerangan yang ditangisinya.
Tiba-tiba Komako berhenti menangis dan melepaskan badan dan menjauhkan muka dan berkata,
"Ah, saya ingat. Ada pemutaran film di gudang itu. Malam ini. Tempat itu penuh orang, engkau...."
"Kalau begitu, gawat."
"Pasti ada yang luka. Akan ada yang mati terbakar."
Keduanya tergopoh berlari naik tangga batu, karena kedengaran suara orang ribut di atas. Kelihatan oleh mereka yang menengadah orang-orang melihat ke arah kebakaran itu dari lorong yang diterangi cahaya lampu karena shoji kamar-kamar di tingkat dua dan tiga rumah penginapan yang terletak di tempat tinggi itu terbuka. Bunga-bunga seruni yang sudah mati yang berderet-deret di ujung pekarangan kelihatan terbayang di dalam cahaya lampu rumah penginapan atau di dalam cahaya bintang sehingga terasa cahaya kebakaran itu juga terbayang pada bunga-bunga seruni itu, dan di belakang bunga itu juga orang-orang berdiri. Ke atas wajah keduanya tiga-empat orang seperti pelayan penginapan datang menurun bagaikan tergelincir. Komako bertanya dengan suara keras"
"Bung! Itu gudang, ya?"
"Betul. Gudang."
"Ada yang terluka" Tidak adakah orang terluka?"
"Mereka diselamatkan beramai-ramai. Apinya berasal dari film dan grrrrr kebakaran dan cepat menjalar. Saya tahu dari telepon. Lihat!" kata pelayan rumah penginapan begitu bertemu, lalu pergi sambil mengangkat sebelah tangannya.
"Katanya anak-anak dilemparkan dari tingkat dua beramai-ramai."
"Wah, bagaimana, ya?" kata Komako lalu ia menuruni tangga batu seperti mengejar pelayan itu. Orang-orang yang datang berlari dari belakang mendahuluinya. Komako juga ikut berlari. Shimamura mengejarnya.
Dari kaki tangga batu, kebakaran itu hanya kelihatan ujung lidah apinya karena terhalang rumah-rumah, apalagi bunyi
kentongan logam itu terus bergema sehingga semakin menjadi-jadi rasa takut keduanya.
"Hati-hati, karena salju sudah membeku. Licin, ya," kata Komako sambil menoleh kepada Shimamura, tapi seketika itu juga dia berhenti dan meneruskan, "Tapi engkau tidak usah, tidak usah ikut. Saya kuatir tentang penduduk kampung."
Betul juga perkataan Komako. Shimamura kehilangan semangat, baru kelihatan jalan kereta api di dekat kakinya. Ternyata sudah sampai di persilangan rel kereta api.
"Bima Sakti. Indah, ya."
Komako bergumam lalu mulai berlari sambil menengadah ke arah langit.
Ah, Bima Sakti. Demi Shimamura menengadah ia merasa seolah-olah tubuh dirinya sendiri membubung ke dalam Bima Sakti itu. Bima Sakti begitu terang dan dekat, sehingga seakan-akan mencedok Shimamura. Apa yang dilihat oleh Basho3 dalam perjalanannya di atas laut yang bergelombang tinggi, mungkin kebesaran Bima Sakti yang secemerlang itu. Bima Sakti yang telanjang turun serendah-rendahnya seolah-olah hendak menggulung bumi malam dengan kulitnya yang telanjang itu. Sungguh menggairahkan. Shimamura merasa bayangan sosok tubuhnya yang kecil itu sebaiknya dilantunkan pada Bima Sakti dari bumi. Tidak hanya kelihatan satu demi satu bintang yang meliputi Bima Sakti itu, melainkan juga hampir tampak butir-butir debu perak dalam awan yang berkilau-kilauan, begitu cerah langitnya, apalagi kedalaman Bima Sakti yang tidak berhingga mengisap pandangan mata.
"Hai! Hai!" Shimamura memanggil Komako.
"Hai! Kemari." Komako terus berlari ke arah gunung yang gelap tempat Bima Sakti terapung.
Rupanya ia berlari sambil memegang ujung kimono, sehingga setiap tangannya terayun tampaklah ujung kimono-nya yang berwarna merah kadang-kadang lebar kadang-kadang sedikit. Ternyata itu adalah warna merah di atas salju yang diterangi cahaya bintang.
Shimamura mengejarnya secepat mungkin.
Komako melambatkan langkahnya, melepaskan ujung kimono-nya, lalu memegang tangan Shimamura.
"Mau ikut?" "Ya." "Engkau selalu penasaran," katanya sambil mengambil ujung kimono-nya yang terjatuh di atas salju. "Pulanglah. Nanti saya ditertawakan orang."
"Ya, tapi nanti sampai di situ."
"Tidak baik, bukan" Saya membawa engkau sampai ke tempat kebakaran. Tidak baik buat penduduk kampung."
Shimamura mengangguk dan berhenti. Tapi Komako mulai berjalan lagi perlahan-lahan sambil berpegang lembut pada ujung kimono Shimamura.
"Saya harap tunggu saya. Saya segera kembali. Di mana baiknya?"
"Di mana saja baik."
"Ya, agak di sana," kata Komako dan memandang wajah Shimamura, lalu tiba-tiba menggelengkan kepala dan berkata lagi, "Tidak. Saya tidak suka."
Ia menubrukkan tubuhnya pada Shimamura. Shimamura terhuyung satu atau dua langkah. Tampak daun-daun bawang berderet di dalam salju tipis di tepi jalan.
"Saya kecewa." Begitu tantang Komako dengan berbicara cepat-cepat, "Engkau pernah bilang saya ini perempuan baik, bukan" Orang yang akan pergi, mengapa memberi nasihat dengan berkata begitu?"
Shimamura teringat bahwa Komako menusukkan tusuk kondenya pada tatami.
"Saya menangis. Sesudah pulang saya menangis. Saya takut berpisah denganmu. Tetapi segeralah pergi. Saya takkan lupa bahwa perkataanmu membuat saya menangis."
Ketika Shimamura berpikir tentang perkataannya yang karena salah tangkap malah merasuki dasar tubuh wanita itu, ia merasa tertekan oleh rasa penyesalan, tetapi tiba-tiba saja terdengar suara orang dari arah tempat kebakaran. Nyala api yang baru membubungkan lelatu.
"Lihat! Marak lagi! Keluar nyala baru! Itu!"
Keduanya berlari, merasa lega.
Komako betul-betul lari. Kelihatan ia seakan-akan melayang dengan geta-nya di atas salju yang membeku, dan lengannya juga bagaikan lebih terpasang saja pada sisi tubuhnya daripada melenggang ke depan atau ke belakang. Rupa tubuhnya seperti tenaganya terpusat pada bagian dada saja dan Shimamura menjadi sadar tubuhnya lebih kecil daripada yang dia sangka. Karena Shimamura yang agak gemuk berlari sambil memperhatikan sosok tubuh Komako cepat juga ia menjadi terengah-engah. Tetapi Komako pun segera terengah-engah dan menyandarkan diri pada Shimamura.
"Keluar air mata karena kedinginan."
Pipinya hangat, matanya saja yang dingin. Kelopak mata Shimamura juga basah. Ketika mengejap, dipenuhi oleh Bima Sakti. Dia berkata sambil menahan air mata yang hampir jatuh.
"Setiap malamkah Bima Sakti begini?"
"Bima Sakti" Indah, ya. Tapi saya kira tidak setiap malam. Langit cerah sekali."
Bima Sakti itu mengalir dari arah tempat mereka bertolak ke arah depan dan wajah Komako tampak seperti terang dalam Bima Sakti itu.
Tetapi tidak jelas bentuk hidung dan juga sudah hilang warna bibirnya. Shimamura tidak bisa percaya bahwa lapisan sinar yang memenuhi dan mengarungi langit begitu gelap. Mungkin sinar bintang itu lebih lindap daripada malam bulan samar tapi Bima Sakti lebih terang dari langit malam purnama yang bagaimanapun juga, dan dalam cahaya pudar yang tidak menimbulkan bayangan di bumi terapung wajah Komako seperti topeng kuno, dan sungguh ajaib wajah itu menyebarkan wangi wanita.
Ketika menengadah Bima Sakti itu terasa mau turun lagi hendak memeluk bumi yang besar ini.
Terasa bahwa Bima Sakti yang seperti aurora besar mengalir dengan merendamkan tubuh Shimamura di dalamnya dan tegak di tepi bumi. Ada kesunyisenyapan yang dingin tetapi juga menakjubkan dengan suasana menggairahkan.
"Kalau kau sudah pergi, saya mau hidup secara baik," kata Komako sambil mulai berjalan, lalu meletakkan tangannya pada andaman rambutnya yang agak terurai. Ia menoleh setelah berjalan lima-enam langkah.
"Ada apa" Saya tidak suka begitu."
Shimamura tetap berdiri saja.
"Oh, begitu" Kau tunggu saja. Nanti boleh, kan, kita sama-sama ke kamarmu."
Komako mengangkat tangan kirinya sebentar lalu berlari. Sosok tubuhnya seolah-olah dihisap ke dalam dasar gunung yang gelap. Bima Sakti melebar di bagian yang dibatasi oleh garis puncak gunung-gunung yang bagaikan ombak dan sebaliknya berkembang dari sana ke arah pertengahan langit dengan kebesaran yang cemerlang, sehingga gunung-gunung itu tampak lebih gelap lagi.
Segera setelah Shimamura mulai melangkah sosok Komako menghilang di balik rumah-rumah di tepi jalan.
"Rambatirata hurseh!! Rambatirata hurseh! Rambatirata hurseh!" demikian terdengar suara yang membangkitkan semangat lalu tampaklah orang-orang menyeret pompa di jalan raya. Rupanya banyak juga orang berlari berduyun-duyun di jalan raya itu. Shimamura pun cepat turun ke jalan raya itu. Jalan yang mereka berdua tempuh itu bermuara pada jalan raya seperti huruf T.
Sebuah pompa lagi datang. Shimamura membiarkannya lewat dan ia berlari di belakangnya.
Ternyata pompa kayu lama yang memakai tenaga manusia. Selain dari sejumlah orang yang menghela tali, ada juga anggota pemadam kebakaran berlari sekeliling pompa itu. Pompa itu sedemikian kecil sehingga menimbulkan rasa lucu.
Komako juga menepi membiarkan pompa itu lewat. Ia melihat Shimamura dan berlari di sampingnya. Orang-orang yang menepi supaya memberi jalan pada pompa itu, kemudian berlari mengejar di belakangnya bagaikan terhisap oleh pompa itu. Sekarang keduanya hanya bagian dari orang banyak yang bergegas ke tempat kebakaran.
"Ke sini juga" Kau selalu merasa penasaran."
"Ya. Pompa itu tidak meyakinkan, bukan, pasti buatan sebelum zaman Meiji."
"Ya, betul. Jangan sampai tergelincir."
"Licin, ya." "Ya, betul, coba sekali-sekali datanglah pada waktu badai salju menderu sepanjang malam. Pasti engkau tidak bisa. Burung pegar dan kelinci masuk ke dalam rumah untuk berlindung," kata Komako tapi suaranya tinggi dan riang karena terseret oleh nada suara orang berambatirata dan bunyi langkah orang banyak. Shimamura juga merasa dirinya ringan.
Terdengar suara nyala api. Tepat di depan mereka menjulang nyala api. Komako memegang tangan Shimamura. Atap-atap hitam dan rendah rumah-rumah sepanjang tepi jalan raya kelihatan terapung seakan menarik napas karena diterangi cahaya api lalu mengabur kembali. Air dari pompa mulai mengalir di jalan dekat kaki mereka. Shimamura dan Komako berhenti dengan sendirinya karena terhalang kerumunan orang. Bau hangus kebakaran itu bercampur dengan bau seperti kepompong ulat sutra kalau direbus.
Walaupun orang-orang di sana-sini berbicara dengan suara keras tentang hal-hal yang sama, seperti bahwa apinya berasal dari film, anak-anak yang menonton film itu dilemparkan beramai-ramai dari tingkat dua, tidak ada yang terluka, atau untung sekali gudang itu tidak berisi kepompong sutra atau beras, namun kesunyisenyapan menguasai suasana kebakaran itu seakan-akan semua orang diam-diam saja berhadapan dengan api seperti tidak ada yang menjadi pusat perhatiannya. Semua orang seolah-olah hanya mendengarkan bunyi api dan pompa.
Ada juga orang kampung yang berlari datang terlambat dan memanggil nama kerabatnya. Ada sahutan dan keduanya berteriak gembira. 1 Ianya suara seperti itu yang terdengar lantang. Bunyi kentongan sudah berhenti.
Shimamura diam-diam menjauhkan diri dari Komako karena takut dilihat orang, lalu berdiri di belakang sekelompok anak-anak. Karena udara api yang panas, anak-anak itu mundur. Salju di bawah kaki mereka mulai mencair. Salju di depan orang-orang yang berkerumun itu sudah mencair karena api dan air, sehingga menjadi becek penuh bekas kaki orang yang malang-melintang.
Di samping gudang kepompong itu ada sebidang kebun"ke sanalah kebanyakan orang-orang kampung yang datang berlari bersama dengan Shimamura dan Komako masuk dan berdiri.
Rupanya api keluar dari pintu masuk tempat proyektor terpasang dan hampir setengah dari gudang kepompong ulat sutra itu sudah habis terbakar atap dan dindingnya, tapi kerangkanya seperti tiang dan kayu lintang penyangganya masih tegak berasap. Karena gudang yang hanya terbuat dari atap kayu, dinding kayu dan lantai kayu itu kosong, maka di dalamnya tidak begitu banyak asap berkepul dan atap yang sudah banyak disiram air tidak tampak lagi menyala, tetapi agaknya api masih menjalar sehingga tiba-tiba muncullah nyala api di tempat yang sama sekali tidak terduga. Tiga buah pompa segera menuju ke tempat tersebut dengan tergopoh-gopoh dan dari sana asap hitam membubung sambil melontarkan lelatu.
Lelatu naik menebar ke dalam Bima Sakti, sehingga Shimamura merasa seolah-olah dia dicedok oleh Bima Sakti itu. Asap mengalir di dalam Bima Sakti, tetapi sebaliknya Bima Sakti itu turun mengalir ke bawah. Ujung air semprotan yang tidak mengena pada atap memancar kadang tinggi kadang rendah dan menjadi gerimis tipis yang berwarna keputihan seakan disinari oleh cahaya Bima Sakti.
Tanpa diketahui oleh Shimamura, Komako mendekat dan memegang tangannya. Shimamura berpaling tetapi diam saja. Komako tetap memandang ke arah kebakaran, pada wajahnya yang bersungguh-sungguh dan agak memerah terbayanglah napas api yang menyala. Di dalam dada Shimamura meluaplah kegairahan yang hebat. Andaman rambut Komako sedikit kendur dan lehernya agak memanjang. Hampir-hampir tangan Shimamura menjamah tubuhnya, sehingga bergetarlah ujung jarinya. Tangan Shimamura menjadi sedikit hangat, tetapi tangan Komako lebih panas lagi. Entah apa sebabnya, tapi terasa oleh Shimamura bahwa perpisahan mereka sudah mendekat.
Nyala api timbul lagi dari sesuatu yang seperti tiang di dekat pintu masuk dan ketika segaris air semprotan diarahkan padanya untuk memadamkannya, bubungan dan kayu lintang penyangga atap pun menjadi miring sambil mengeluarkan uap berdesis-desis.
Orang-orang yang berdiri bagaikan pagar itu napasnya terhenti ketika melihat sesosok tubuh wanita jatuh.
Supaya bisa dipakai sebagai gedung sandiwara, di gudang kepompong itu terpasang tempat duduk yang sederhana di tingkat dua. Walaupun disebut tingkat dua tetapi sebenarnya rendah. Karena itu lamanya dia terjatuh dari tingkat dua sampai ke tanah hanya sekejap saja. Tetapi terasa ada cukup waktu untuk mengikuti sosok tubuh yang jatuh itu dengan matanya. Mungkin karena cara jatuhnya aneh, seperti sebuah boneka. Selayang pandang dapat diketahui bahwa dia sudah pingsan. Walaupun terjatuh di bawah, tak terdengar sesuatu bunyi. Di tempat yang sudah tersiram air dan tidak berdebu. Dia terjatuh kira-kira di tengah-tengah di antara api yang baru menjalar dengan api yang masih menyala pada puntung kayu.
Sebuah semprotan air yang berbentuk bagaikan busur ditujukan pada arah api pada puntung kayu itu dan tepat di depan air itu tiba-tiba terapung sosok tubuh wanita. Begitulah caranya jatuh. Tubuh wanita itu melintang di udara. Shimamura berdebar karena sangat terperanjat, tetapi dia tidak merasakan sesuatu yang membahayakan ataupun menakutkan. Itu seolah-olah khayal di dunia yang tidak nyata. Sosok tubuh yang sudah kaku itu ketika terlempar di udara menjadi lentuk tetapi juga tidak hidup ataupun mati, tanpa perlawanan, bagaikan sebuah boneka dan dengan kebebasan yang tidak bernyawa lagi. Kekhawatiran yang terlintas pada hati Shimamura hanyalah kalau-kalau tubuh wanita yang jatuh melintang itu tertungging atau tertekuk pinggang atau lututnya. Rasa-rasanya menjadi begitu tetapi ternyata terjatuh melintang.
"Alah!" jerit Komako tajam sambil menyungkup kedua belah matanya. Shimamura terus melihat tanpa mengejapkan mata.
Entah kapan Shimamura menjadi tahu bahwa wanita yang jatuh itu Yoko. Terasa olehnya orang-orang yang berdiri bagaikan pagar itu tertahan napasnya dan Komako yang menjerit "alah!" itu berlangsung pada kejapan saat yang sama. Buah betis Yoko kejang di atas tanah pun terasa pada kejapan yang sama.
Jeritan Komako itu menusuk diri Shimamura. Bersamaan dengan kejangnya buah betis Yoko, juga kekejangan yang dingin menyerbu sampai ujung kaki Shimamura. Ia berdebar hebat karena ditimpa kesedihan dan kesakitan yang memedihkan.
Kekejangan Yoko itu begitu samar sehingga hampir tidak kelihatan dengan mata dan segera berhenti.
Sebelum melihat kekejangan itu, Shimamura sudah melihat wajah Yoko dan kimono kasuri yang bercorak bulu anak panah yang merah. Yoko jatuh terlentang. Kimono-nya sedikit tersingkap sampai sedikit di atas lutut sebelah kakinya. Walaupun membentur tanah ia tetap pingsan, hanya buah betisnya saja tampak sedikit kejang. Shimamura entah apa sebabnya tidak merasakan suasana maut, melainkan merasakan sesuatu peralihan, yaitu jiwa di dalam diri Yoko sedang berubah bentuk.
Dari tempat duduk tingkat dua dari mana Yoko terjatuh, dua-tiga batang kayu kerangka rumah terjatuh miring dan mulai terbakar di atas wajah Yoko. Mata Yoko yang begitu indah sehingga menusuk terpejam. Dagunya agak menganjur dan garis lehernya memanjang. Cahaya nyala api bergoyang-goyang di atas wajahnya yang pucat.
Shimamura berdebar lagi teringat akan saat ia melihat api menyala di tengah wajah Yoko di dalam kereta api ketika dia dalam perjalanan untuk menemui Komako di tempat pemandian mata air panas ini beberapa tahun yang lalu. Seolah terbayang dalam sekejap mata masa yang telah dihabiskannya bersama
Komako. Di sini pun terdapat kesedihan dan kesakitan yang memedihkan.
Komako melompat dari samping Shimamura. Itu pun terasa pada kejapan saat yang sama dengan ketika Komako menjerit dan menyungkup mukanya. Itu pun pada kejapan saat yang sama dengan ketika orang-orang yang berdiri bagaikan pagar tertahan napasnya.
Di antara puntung-puntung kayu yang bertebaran hitam tersiram air, Komako terhuyung sambil menyeret ujung kimono geisha-nya yang panjang. Ia mau kembali dengan mengangkat Yoko pada dadanya. Di bawah wajahnya yang penuh ketegangan terkulai muka Yoko yang hampa seakan-akan sudah menemui ajal. Tampaknya seolah-olah Komako memeluk korban atau hukumannya.
Orang-orang yang bagaikan pagar itu menyibak sambil mengeluarkan suara, lalu berbondong-bondong mengelilingi kedua wanita itu.
"Minggir! Minggir!"
Seruan Komako itu terdengar juga oleh Shimamura.
"Anak ini tidak waras. Dia tidak waras."
Ketika Shimamura hendak mendekati Komako yang mengeluarkan seruan yang hampir gila itu, ia terhuyung karena didesak lelaki-lelaki yang mencoba mengambil Yoko darinya. Ia masih bisa bertahan dan ketika menengadah ke atas terasa seolah-olah Bima Sakti itu berdesir mengalir ke dalam dirinya.
CATATAN TENTANG KATA-KATA JEPANG
Akebi: sejenis pohon merambat, berbuahnya pada musim rontok, dapat dimakan (Akebia Quinata Decaisne).
Akita: nama prefektur di Tohoku (daerah utara Jepang). Anjing Akita: sejenis anjing yang berasal dari daerah Akita, gagah dan kuat.
Amado: pintu sorong di sebelah luar jendela kaca untuk melindungi rumah dari hujan dan angin, juga supaya tidak dimasuki pencuri.
Awase: kimono yang terbuat dari dua lapis kain, yaitu kimono yang berkain lapis.
Bachi: alat untuk memetik shamisen yang bcrbentuk seperti centong nasi.
Banto: pelayan rumah penginapan berkedudukan tinggi, yang memberi perintah kepada pelayan-pelayan lain, terutama pelayan wanita.
-chan: kata yang dibubuhkan pada nama orang ketika memanggilnya untuk menyatakan kesayangan/kemesraan, biasanya dipakai kepada anak-anak.
Chijimi: sejenis kain yang sengaja ditenun agar sedikit kerisut.
Chinju: dewa yang dianggap melindungi suatu daerah dan juga kuilnya tempat dewa itu dipuja oleh penduduk setempat.
Datemaki: semacam ikat pinggang kecil yang dipakai di bawah obi supaya kimono tidak longgar.
Dodoitsu: nyanyian rakyat tradisional Jepang, sering dibawakan di tempat perjamuan minum sake.
Dootiai'i: suatu kejadian alam, yaitu bunyi aneh yang terdengar di daerah pantai Laut Jepang sebagai tanda sudah mendekatnya musim dingin.
Dotera: pakaian yang berbentuk kimono tapi lebih longgar dan tebal karena berisikan bahan kapas. Pakaian tahan dingin.
Furoshiki: kain pembungkus yang biasanya berbentuk empat persegi.
Fusuma: sejenis pintu sorong yang terbuat dari kayu dan kertas untuk menyekat ruangan atau menutupi oshiire.
Futokorogami: semacam serbet kertas yang dulu sering disimpan di bagian dada kimono (fnto-koro).
Futon: kasur tipis yang berisi kapas, sehelai dialaskan di bawah tubuh dan sehelai lagi dipakai sebagai selimut waktu tidur.
Gan-gi: bagian ujung atap yang menjulur ke arah jalan dari rumah-rumah di tepi jalan, lorong di bawahnya yang seperti kaki lima dilalui orang ketika jalannya tidak bisa dipakai karena timbunan salju yang dalam.
Geisha: pelayan wanita khas Jepang yang menghibur tamu-tamu dengan menari, menyanyi, dan sebagainya di tempat perjamuan.
Genkan: ruangan kecil di tempat masuk rumah .Jepang, tempat orang mencopot sepatu dan sebagainya.
Geta: sejenis terompah yang terbuat dari kayu, bakiak.
Hagi: sejenis pohon rendah yang berbunga merah muda atau putih pada musim rontok. Satuan bunganya kecil tapi berkembang sekaligus amat banyak, sehingga jika dilihat dari agak jauh seluruh pohon tampak berwarna merah muda atau putih.
Hangyoku: geisha yang belum berkualifikasi penuh, jadi upahnya juga hanya setengah upah geisha yang biasa.
Haori: semacam baju yang dipakai di atas kimono, terbuka bagian depannya dan hanya terikat dengan tali pengikat.
Hatte: semacam penyangga yang bertingkat-tingkat untuk menjemur padi.
Hibachi: tempat bara api yang biasanya berbentuk bundar atau empat persegi untuk memanaskan tangan, semacam anglo.
icho, icho, icho: kata-kata yang memberi irama pada nyanyian, tidak punya arti.
Iemoto: rumah (keluarga) pusat yang menguasai suatu aliran (fraksi) kesenian seperti tarian, perangkaian bunga, dan sebagainya.
Iko: semacam penyangga untuk menggantung pakaian.
In-Yo (Hukum In-Yo): suatu konsep yang berasal dari Cina, Yin dan Yang yang menganggap segala sesuatu di dalam alam semesta ini terdiri dari dua prinsip yang bertentangan, yaitu positif dan negatif.
Itosusuki: sejenis susuki yang tangkai dan daunnya kecil panjang seperti benang.
Jinja: kuil tempat memuja dewa/dewi dalam agama Shinto.
Jo: satuan untuk menyebut luasnya kamar yang memakai tatami. Sehelai tatami luasnya satu jo.
Juban: pakaian dalam khusus untuk kimono.
Juno: alat untuk mengangkut bara api, berbentuk seperti sekop.
Kabuki: sandiwara tradisional khas Jepang yang berasal dari awal zaman Edo.
Kadomatsu: suatu perhiasan yang terbuat dari ranting pohon tusam, bambu, dan lain-lain yang dipasang di depan rumah untuk menyambut kedatangan Tahun Baru.
Kanjincho: salah satu lakon Kabuki yang populer. Kanjincho berarti "buku yang mencatat sub-skripsi yang diberi orang, misalnya untuk membangun kuil baru dan sebagainya".
Kcmzcishi: semacam tusuk konde yang berguna menjaga rambut tidak terurai dan sebagai hiasan rambut.
Kase: alat penggulung untuk menggulung benang yang baru dipintal.
Kasuri: sejenis kain tenunan yang coraknya seperti bepercikan putih pada dasar yang biasanya berwarna biru tua.
Kaya: nama umum untuk rumput seperti susuki dan sebagainya.
kimono-hitoe: kimono yang terbuat dari sehelai kain saja, yaitu kimono yang tidak berkain lapis.
Kii'i: sejenis pohon berkayu ringan, daunnya besar dan tumbuhnya cepat (Paulownia tomentosa).
Kirigirisu: sejenis serangga seperti belalang yang bersuara pada musim panas.


Daerah Salju Karya Yasunari Kawabata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Komainu: patung batu binatang seperti singa yang dianggap menjaga kuil. Biasanya diletakkan di depan bangunan kuil Shinto.
Kotatsu: alat pemanas bagian bawah tubuh, berbentuk empat persegi dan memakai futon supaya panas di dalamnya tidak hilang. Dulu sumber panasnya memakai bara api, sekarang menggunakan listrik.
Kurokami: suatu judul nagauta. Kurokami berarti "rambut hitam".
Kutsuwamushi: sejenis serangga seperti belalang dengan suara agak membisingkan.
Kyodoyu: pemandian air panas untuk umum.
Matatabi: sejenis pohon, buahnya yang kecil lancip bisa dimakan dan sangat digemari oleh kucing.
Matsuri: hari perayaan untuk memuja dewa. Festival, pesta.
Meisen: sejenis kain sutra yang halus.
Misoshiru: sup cara Jepang yang pakai tauco.
Miyakodori: suatu judul drama Kabuki. Miyakodori berarti "sejenis burung laut, seperti camar".
Momiji: dedaunan yang sudah berubah warnanya menjadi merah dan kuning menjelang akhir musim rontok.
Montsuki: kimono resmi Jepang yang bcrlukisan tanda silsilah keluarga.
Nagauta: nyanyian tradisional khas Jepang yang ketika dinyanyikan diiringi oleh shamisen.
Nameko: sejenis jamur. Nemaki: pakaian seperti kimono yang hanya dikenakan waktu tidur.
Noren: semacam tirai kain yang bergantung di depan toko/warung dan bertulisan nama toko/warung itu. Tergantung agak rendah, sehingga orang menyibaknya ketika mau masuk ke toko dan sebagainya itu.
Obi: ikat pinggang kimono yang agak tebal.
Ochosi: semacam botol kecil yang terbuat dari porselin, gunanya untuk menghidangkan sake panas kepada tamu.
Oshiire: tempat menyimpan barang-barang, terutama futon, yang tertanam di dalam dinding.
Ryoriya: rumah makan dengan ruangan perjamuan.
Sake: minuman alkohol khas Jepang.
san: kata yang dibubuhkan pada nama orang ketika memanggilnya
untuk menyatakan rasa hormat atau keramah-tamahan.
San (san-shoji): semacam bingkai kayu yang berupa kisi-kisi. Kertasnya ditempel pada san itu.
San-gi: kayu balok yang terpasang di atas atap untuk mencegah salju yang bertimbun jatuh.
Sanpaku: semacam celana istimewa yang dipakai di daerah salju, praktis untuk berjalan di atas salju dan menahan udara dingin.
Shamisen: alat musik yang berupa seperti gitar tapi lebih kecil dengan tiga buah senar.
Shigure: nama khusus untuk hujan menjelang akhir musim rontok.
Shimenawa: sesuatu seperti tali jerami yang direntangkan untuk membatasi tempat suci jinja dan sebagainya.
shinpa (sandiwara shinpa): sandiwara baru yang lahir pada pertengahan zaman Meiji, di samping sandiwara lama, yaitu Kabuki.
Shirahagi: hagi yang berbunga putih.
Shirukoya: warung shiruko. Shiruko adalah makanan Jepang yang rupanya seperti baso kuah, tapi bahannya kacang merah, tepung terigu atau nasi ketan yang ditumbuk, rasanya manis. Onde.
Shoji: semacam pintu sorong yang terbuat dari kayu dan kertas berwarna putih, kadang-kadang pakai kaca juga.
Sobci: sejenis tanaman. Bijinya digiling menjadi tepung dan dipakai sebagai bahan untuk makanan seperti bakmi.
Soeishit: batu yang diletakkan di atas atap rumah, gunanya sama dengan san-gi.
Sugi: sejenis pohon yang berdaun jarum hijau tua. Kayunya sangat berguna sebagai bahan-bahan untuk membangun rumah, membuat bermacam-macam perabot dan lain-lain. Cryptomeria Japonica.
Susuki: sejenis rumput, rupanya seperti alang-alang. Pada musim rontok tumbuh bulir yang berwarna keputih-putihan.
Tabi: semacam kaos kaki yang terbelah di antara ibu jari dan jari telunjuk, agak tebal supaya kaki tidak kedinginan.
Taiko: semacam gendang, ada yang besar, ada yang kecil.
Takemawari: suatu kejadian alam. Hal gunung-gunung tinggi mulai ditutupi salju menjelang musim dingin.
Tamoto: bagian bawah lengan kimono yang berupa kantung, yang bisa dipakai sebagai tempat menyimpan barang-barang kecil seperti kotak tembakau, dompet dan sebagainya.
Tanashita: tempat di depan bangunan toko/warungyang dinaungi atapnya yang menjulur. Hampir sama dengan kaki lima.
Tansu: peti pakaian yang khusus untuk menyimpan kimono.
Tatami: sejenis tikar Jepang yang halus buatannya untuk mengalasi lantai bilik gaya Jepang. Sehelai tatami luasnya kira-kira 0,9 x 1,8 m.
Temari: permainan anak gadis kecil. Bola kecil dipantulkan di atas tanah dengan diiringi bermacam-macam nyanyian.
Tsurara: tetesan air yang membeku sebelum sampai di atas tanah karena udara dingin. Sering terdapat pada ujung atap.
Tsuzumi: sejenis tambur khas Jepang yang dipukul dengan tangan.
Udon: makanan Jepang seperti bakmi, tapi agak lebih besar, berwarna putih.
Umeboshi: buah prem yang digarami, sejenis makanan yang diawetkan.
Urashima: suatu judul nagauta. Urashima adalah nama seorang tokoh dalam legenda Jepang.
Utai: nyanyian yang dinyanyikan mengiringi musik No.
Waka: sajak pendek Jepang yang terdiri dari 31 suku kata.
Watage-tanpopo: biji kecil-kecil yang bersayap dari rumput tanpopo yang berbunga kuning, biji itu diterbangkan oleh angin sehingga menyebar ke mana-mana.
Ycikochu: sejenis makhluk kecil-kecil yang terapung di air laut dan memancarkan sinar pudar pada malam hari.
Yanagigori: peti tempat menyimpan pakaian dan sebagainya terbuat dari ranting yang dibelah-belah dari sejenis pohon yanagi (Salbe babylonica).
Yukata: kimono katun yang ringan, biasanya dikenakan orang sesudah mandi.
Zabuton: bantal tipis lebar berbentuk persegi untuk duduk di atasnya.
Zashiki: ruangan tamu, tempat sering diadakan perjamuan.
Zizaikagi: alat seperti pengait untuk menggantungkan panci dan sebagainya di atas perapian, dapat diperpanjang atau diperpendek secara mudah.
YASUNARI KAWABATA PEMENANG HADIAH Nobel untuk kesusastraan tahun 1968 ini lahir di Osaka tahun 1899. Ayahnya dokter yang memiliki minat di bidang sastra dan seni. Beliau meninggal kala Kawabata baru berumur tiga tahun. Semula Kawabata bercita-cita menjadi pelukis tetapi akhirnya memutuskan menjadi pengarang. Selagi menjadi pelajar Sekolah Lanjutan, cerita dan esainya sudah dimuat di majalah sastra dan surat kabar. Buku hariannya yang ditulis menjelang kematian kakeknya terbit dengan judul Buku Harian Pemuda Enam Belas Tahun.
Setelah menamatkan Universitas Tokyo, ia menjadi anggota redaksi majalah sastra Bungei-Shunju, selanjutnya memimpin majalah sastra Bungei Jidai. Sejak itu ia menulis karya sastra dengan gaya neo-sensualisme. Karya-karyanya secara halus menyuarakan pandangan hidup Jepang dan dominasi nasib. Bagaikan haiku, karyanya merekam peristiwa-peristiwa dan perlambangnya.
Karyanya yang telah terbit dalam terjemahan Indonesia ialah Negeri Salju, Rumah Perawan, Keindahan dan Kepiluan, Penari Izu, dan Seribu Burung Bangau. Ia meninggal bunuh diri tanggal 16 April 1972.
DAERAH SALJU yang diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Matsuoka Kunio dan Ajip Rosidi ini merupakan roman psikologi cinta yang tak berkesudahan, memantulkan gerak-gerik kejiwaan yang amat peka.
Lembah Merpati 4 Pendekar Rajawali Sakti 127 Intan Saga Merah Jari Malaikat 1

Cari Blog Ini