Kolam Darah Karya Abdullah Harahap Bagian 1
KOLAM DARAH.pdf 1 10/16/13 1:53 PM Untuk sesaat dua tak terjadi atau terlihat
apa-apa. Ardi sudah mulai cemas bahkan mendekati
putus asa, sementara Agus waspada kala
melihat Nyi Katon tampak berdiri
mengangkang, menempatkan keris yang ia
genggam di depan mulut. Sambil bibirnya sibuk
merapal mantra. Lukisan tua yang tergeletak terhampar
pada bingkainya di lantai mendadak tampak
bergetar. Dan terus bergetar semakin kuat.
Membuat lantai maupun benda apa saja yang
ada di ruang duduk itu?"termasuk mayat
Suherman serta Elisa, tampak ikut bergetar.
Seakan ada penghuni perut bumi yang
mendadak terjaga dari tidur.
Lalu bangkit dengan marah...!
NOVEL DEWASA i-Kolam Darah.indd 1 001/I/15 MC 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 1 001/I/15 MC Kolam Darah 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya,
yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan
yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal
49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masingmasing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
001/I/15 MC 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar?
kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 3 Abdullah Harahap Kolam Darah 001/I/15 MC Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 4 KOLAM DARAH Oleh Abdullah Harahap GM 412 0113 0003 Sampul oleh Eduard Iwan Mangopang
Diterbitkan pertama kali oleh
PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29"37
Blok I, Lt. 5 Jakarta 10270 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI Jakarta, 2013 256 hlm; 18 cm ISBN: 978 " 979 " 22 " 9972 " 4
Cerita ini fiksi. Kesamaan nama, status maupun tempat kejadian
hanyalah suatu kebetulan belaka.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
001/I/15 MC Isi di luar tanggung jawab percetakan
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 5 001/I/15 MC 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 6 001/I/15 MC 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 7 Bab 1 ITU mungkin dosa. 001/I/15 MC Dosa yang manis, tetapi sekaligus juga aneh dan
membingungkan. Betapa tidak! Selama beberapa hari terakhir ini,
Suharyadi terus-menerus didatangi bayang-bayang tak
jelas serta hanya muncul seki?las-sekilas pula. Muncul?
nya pun tidak pandang tempat dan waktu. Saat
Suharyadi menjelang tidur, dalam mimpi di kala tidur,
atau sehabis bangun tidur. Bahkan ketika Suharyadi
berkeliling siang atau sore hari mengontrol perkebunan
milik?nya, lalu secara kebetulan melihat dua sosok tu?
buh berbeda pada waktu bersamaan. Misalnya wanita
muda pemetik teh yang berdada montok serta ber?ping?
gul padat, tampak berjalan atau beker?ja ber?damping?an
dangan wanita muda pemetik teh lainnya yang ber?
tubuh kurus dan tampak seperti sakit-sakitan.
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 8 001/I/15 MC Dua sosok yang kontras semacam itulah yang selalu
muncul dalam bayang-bayang tak jelas yang seakan
tak pernah berhenti mengganggu ketenangan
Suharyadi. Dua sosok, yang seakan telah ia setubuhi
pa?da waktu yang hampir bersamaan. Sosok pertama,
ia lihat sedang sibuk mengepel lantai di depan tungku
pendiangan dan ia yakini adalah istrinya Ningrum.
Tetapi Ningrum yang masih sehat, montok segar. Na?
mun anehnya setiap kali ia rangkul dan ciumi,
Ningrum meronta-ronta dan memohon agar dilepas?
kan. Tetapi nafsu berahi yang liar serta tak terkendali
membuat Suharyadi tak peduli dan terus memaksakan
kehendaknya. Begi?tu tubuh Ningrum ia masuki, istri?
nya tidak lagi meronta namun masih menangis dan
terus menangis sampai nafsu berahi Suharyadi ter?
lampi?askan tuntas. Dalam bayang-bayang tak jelas itu, Suharyadi ke?
mudian melihat dirinya masuk ke kamar mandi, tak
jelas untuk bersiram atau buang a?ir. Yang pasti, ia
kemudian masuk ke kamar tidur dan melihat
Ningrum tahu-tahu sudah terbaring di atas ranjang
mereka. Kali ini, Ningrum yang kurus dan sakit-sakit?
an. Aneh memang. Dan lebih aneh lagi, hasrat
Suharyadi kembali bangkit begitu saja. Sedemikian
hebat, sehingga Suharyadi langsung mengangkangi
Ningrum, merobek-robek gaun ti?dur Ningrum da?
ngan 1iar. Dan dengan liar pula Suharyadi kembali
me?ma?suki tubuh dibalik robekan gaun itu. Ningrum
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 9 001/I/15 MC sampai terbangun dengan kaget. Tetapi kali ini
Ningrum tidak meronta seperti halnya tadi di depan
tungku pendiangan. Ningrum hanya memprotes
lemah dan mengeluhkan dirinya yang sedang sakit.
Tetapi Suharyadi sudah telanjur masuk dan terus ma?
suk semakin dalam, semakin liar.
Ningrum yang ini tidak menangis, tetapi tampak
pasrah bahkan ke?mudian bergerak melayani Suharyadi.
Bahkan lebih liar dari Suharyadi sendiri, seolah telah
melupakan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Sam?pai
akhirnya mereka berdua terkulai kelelahan, dan"?
Hanya sampai di situ! Tak ada bayang-bayang lain setelah itu. Juga tidak
sebelumnya, ketika ia tahu-tahu melihat istrinya yang
sehat dan montok segar di depan tungku pendiangan.
Termasuk, mengapa Ningrum sampai harus merepot?
kan diri mengerjakan tugas seorang pelayan. Mengepel
lantai. Lalu, mengapa Ningrum muncul dalam dua
sosok yang berbeda. Apa yang muncul dalam bayang?bayang tak jelas itu, selalu saja hal yang sama. Berahi
yang liar tak terkendali, orgasme yang menakjubkan,
kamar mandi lalu kamar tidur dan diakhiri orgasme
sekali lagi. Semuanya tidak lebih dari bayang-bayang tak jelas,
namun saking se?ringnya muncul dangan proses yang
itu-itu, terasa begitu nyata. Seakan pernah ter?jadi.
Tetapi kapan dan mengapa, tak pernah ter?jawab.
Bahkan juga oleh lukisan tua Anggadireja, kakek dan
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 10 10 001/I/15 MC pendiri perkebu?nan yang kini diwarisi Suharyadi.
Lukisan tua yang konon sudah berusia seratus tahun
dan selalu digantungkan pada tempat yang sama:
tembok di atas tungku pendiangan rumah villa
tempat Suharyadi tinggal menyendiri semenjak
ditinggal mati oleh Ningrum-nya tercinta.
Lukisan kakeknya itulah yang membuat seakan apa
yang terjadi da?lam bayang-bayang tak jelas tersebut
bukanlah kewajaran, melain?kan sebuah dosa. Dan
dosa besar pula! Sepasang mata yang menatap lembut pada lukisan
itu, akhir-akhir ini tampak seperti menatap tajam,
me?nusuk. Senyum tipisnya yang khas seorang bangsa?
wan berkarisma, juga tampak seperti mengejek. Dan
tiap kali di?tatap oleh Suharyadi, si bangsawan ter?
hormat yang lebih dikenal dengan sebutan Juragan
Besar itu, seakan berbicara penuh kemarahan pada
Suhar?yadi, ?"dan kau melakukan itu di hadapan?
ku!" Tudingan yang berbau kemarahan, bahkan hujat?an!
Seperti juga, sekarang ini. Tak bisa tidur oleh kejar?
an bayang?-bayang aneh dan tak jelas itu, seperti biasa
Suharyadi sibuk memasang dupa kemenyan di depan
tungku pendiangan. Lalu diam menatap sejenak ke
wajah sang Juragan Besar, baru kemudian bertanya
takut-takut. "Apa mak?sudmu, Abah" Dosa besar apa kiranya
yang sudah kuperbuat?"
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 11 11 001/I/15 MC Tak ada sahutan. Wajah kaku pada lukisan besar berbingkai antik di
atas tungku pendiangan hanya diam menatap. Dengan
sorot matanya yang tajam menusuk, plus, tentu saja,
senyumannya yang mengejek.
"Yang kusetubuhi adalah istriku sendiri..." Suharyadi
kembali mengeluh, putus asa. "Lalu, meng?apa kau
meng?anggapnya sebagai dosa besar yang seakan tak
pernah kau ampuni?" Diam. Juragan Besar tetap membisu. Sambil tetap
tampak marah, tetap tampak mengejek, bahkan meng?
hujat. Selalu dan selalu begitu tiap kali Suharyadi
bertanya. Dan, kali ini Suharyadi sudah lelah bertanya.
"Baiklah..." dengusnya sambil bangkit putus asa
ber?campur marah. "Aku sudah lelah bertanya, dan
kau tahunya bukan menjawab tetapi terus menghujat.
Maka, dangarkanlah ini, Abah. Mulai malam ini, aku
akan berhen?ti mendoakan keselamatan arwahmu.
Dan..." Dan, dengan marah Suharyadi pun menendang
keras pedupaan di hadapan kakinya. Sedemikian keras
sehingga pedupaan beserta perlengkapan di dalamnya
me?layang seketika ke sebelah dalam tungku pendiang?
an. Membentur tembok hitam dibalik kobaran api
yang membuat sehingga pedupaan tak berdosa itu
langsung pecah berantakan. Asap kemenyan dengan
cepat mengepul hebat dari dalam tungku. Tidak lagi
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 12 12 001/I/15 MC menimbulkan aroma sedap nyaman di hidung
Suharyadi, melainkan mendatangkan bau busuk yang
menjengkelkan. "Terpanggang hanguslah hendaknya kau di neraka!"
umpat Suharyadi, penuh kemarahan. "Kau dengar itu,
Juragan Besar" Terpanggang hanguslah arwahmu di
ne?raka. Karena kerjamu cuma menghujat dan meng?
hujat sesu?atu yang tak pernah kulakukan. Atau kalau
pun ya, sesuatu itu kuanggap bukanlah dosa. Karena
yang kusetubuhi adalah istriku sendiri..."
Sang Juragan Besar tak bereaksi.
Marah alang kepalang, Suharyadi sudah bergerak
Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
de?ngan maksud menurunkan lukisan tua di hadapan?
nya untuk dijejalkan dan dibakar habis ke dalam api
tungku pendiangan, ketika suara bisikan tajam tahutahu terdengar menggigit gendang telinganya. "Me?
nyedih?kan, Suharyadi!"
Diam tertegun sesaat, Suharyadi kemudian cepat
memutar tubuh kare?na langsung yakin suara bisikan
itu terdengar dari belakang punggungnya. Dan
Suharyadi pun melihatnya. Melihat sang Juragan
Besar. Bukan di kanvas lukisan. Tetapi tegak diam
meng?awasi beberapa langkah di ha?dapannya.
Anggadireja, sang pendiri perkebunan.
Memakai kostum bangsa?wannya yang gemerlap
se?perti halnya yang terlihat pada lukisan di tungku
pen?diangan. Plus, posisi tangannya yang meng?
genggam gagang keris berbentuk ular yang terselip di
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 13 13 001/I/15 MC bagian depan pinggang. Dengan sorot mata tajamnya
yang menusuk, serta senyuman bibirnya yang meng?
ejek. "Benar-benar menyedihkan!" sang Juragan Besar
kem?bali berbicara. Mengejek. "Mengharapkan arwah?
ku hangus terpanggang di neraka...!"
"Abah...?" Suharyadi menggagap.Terkesima.
"Benar," sosok anggun tetapi tampak marah besar
di hadapannya itu, menjawab dingin dan kaku. "Dan
bukan arwahku. Melainkan arwahmulah yang akan
ku?buat terpanggang hangus oleh api neraka. Tentu
saja setelah darahmu lebih dulu dihirup habis oleh
keris Naga Patiku ini...!"
Bersama kalimat terakhirnya, sang Juragan Besar
pun dengan tenang dan dingin menghunus keluar
ke?ris bergagang ular yang terselip di ba?gian depan
ping?gangnya. "Darahmu, Suharyadi!" katanya lagi, disertai se?
nyum?an yang semakin lebar. Semakin mengejek. "Da?
rah?mu akan kuhirup sebagai tebusan dari ku?tukanmu
terhadap arwahku!" "Tidak!" Suharyadi kembali menggagap. Gugup
ber?campur takut. "Ini tidak mungkin. Kau"hanya
se??buah lukisan. Kau"sudah lama mati?"
"Mati, eh" Siapa bilang aku sudah mati, Suharyadi?"
"Tetapi..." "Waktumu sudah habis, Suharyadi. Dan aku paling
benci berdebat. Maka, ambillah kerisku ini. Hukum
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 14 14 001/I/15 MC dirimu sendiri karena telah menghujat ar?wah leluhur?
mu yang terhormat ini!"
Dengan memegang ujung keris di tangannya, sosok
bangsawan di hadapan Suharyadi menyodorkan ga?gang
keris berbentuk kepala ular itu ke arah Suharyadi. Yang
seketika bergerak surut ke belakang. Ke?takutan. Tetapi
sesuatu menghalangi langkah?nya. Yakni suara berdesis
liar dari arah tungku. Lidah api yang menjilat-?jilat
hebat seakan berusaha meraih kaki Suharyadi. Meng?
elak terkejut, Suharyadi kemudian berlari panik men?
jauhi tungku dan menjauhi sang Juragan Besar.
Sambil menjerit panik, "Tidak. Jangan dekati aku!
Jangan ganggu aku! Toloong...!"
Bersama jeritan minta tolongnya, Suharyadi terus
berlari dan berla?ri. Disertai lolongan histerisnya, "To?
long! Jangan bunuh aku. Tolonglah...! Sumpah mati.
Aku tidak bermaksud mengutuk arwahmu! Tolong...!
Ti?dak, aduh tidak! Tolong...!"
Tenang dan dingin, sang Juragan Besar bergerak
mengikuti. Disertai senyumannya yang kian mengejek. Me?
ninggalkan ruang tengah vila. Meninggalkan tungku
pendiangan yang apinya kembali menyala nor?mal.
Dengan sebuah lukisan tua di atasnya. Lukisan sang
Juragan Besar, yang kali ini"seperti juga sudah
seratus tahun waktu berla?lu, tampak menatap lembut.
Dengan senyuman tipisnya, yang juga lembut namun
terkesan miste?rius. 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 15 15 001/I/15 MC Hanya saja, ada yang berbeda.
Yakni sepasang mata lembut itu. Yang tadinya ke?
ring sebagaimana hal?nya lukisan, kini tampak seperti
membasah. Seakan menangisi sesuatu.
Akan tetapi sepasang mata itu dengan sangat cepat
dan tiba-tiba langsung mengering sendiri, tidak lagi
mem?basah manakala terdengar suara langkah kaki ber?
lari-lari mendatangi. Disusul munculnya pelayan setia
keluarga Suharyadi, yakni Sarijah yang tampak cemas
serta suaminya Ardi yang setengah mengantuk karena
dipaksa bangun dari tidur yang pulas oleh sang istri.
"Aku yakin suara jeritan itu berasal dari ruangan
ini...!" Sarijah berkata gugup seraya menyapukan pan?
dang ke seputar ruang duduk yang mereka masuki.
Ikut menyapukan pandang, sang suami bertanya
se?tengah mengantuk, "Lalu, di mana orangnya, Bu?"
"Entahlah!" jawab Sarijah bingung sendiri sebelum
kemudian meli?hat ke lantai atas lalu berbicara yakin.
"Mungkin Juragan ada di kamar?nya. Dan dia sedang
terancam marabahaya!"
"Bahaya apa?" "Daripada Bapak terus ribut bertanya, lebih baik
kita ke atas. Untuk memeriksa!" jawab Sarijah yang
langsung bergegas menuju lalu menaiki tangga dengan
wajah yang semakin kuatir.
Ardi semula akan membiarkan dan sudah memutus?
kan untuk kembali ti?dur saja lagi, ketika secara tak
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 16 16 001/I/15 MC sengaja matanya beradu pandang dengan ? sepasang
mata lainnya. Yang menatap dingin dari atas tungku
pendiangan. Mata sang Juragan Besar Anggadireja.
Dangan sosoknya yang tampak ang?ker di mata Ardi.
Karena sosok pada lukisan tua itu sudah berulangkali
ia lihat berkeliaran di dalam kegelapan rumah di
mana ia dan istrinya sudah mengabdi selama puluhan
tahun. Bahkan pernah di suatu malam, keti?ka Ardi
mem?buka pintu kamar tidurnya, sosok dalam lukisan
itu tahu-tahu sudah tegak di hadapannya. Mengawasi
Ardi dangan sorot matanya yang tajam tampak me?
nyala, merah semerah darah. Dan langsung membuat
Ardi jatuh ping?san saking terkejut.
Ingatan menakutkan itu seketika membunuh pe?
rasaan kantuk Ardi, yang dengan cepat berlari menuju
tangga untuk menyusul istrinya. Naik ke lantai atas.
Sebuah kelalaian atau kesalahan kecil yang tak se?harus?
nya dilakukan oleh Ardi. Mestinya ia tidak me?
nunggu, tidak pula latah naik ke lantai atas. Ardi
mesti?nya mencari ke luar rumah. Setidak-tidaknya
lang?sung pergi ke halaman.
Pada saat yang sama, di halaman majikan me?reka
terpeleset lalu jatuh ter?sungkur di tanah becek bekas
hujan siang harinya. Dan begitu Suharyadi me?rayap
bangkit dengan tangan menggapai-gapai untuk men?
cari kacamata minusnya yang ikut terlempar jatuh,
terdengarlah suara berderak lunak di telinganya. Suara
kaca pecah terinjak. Dan kaki yang menginjak kaca?
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 17 17 001/I/15 MC mata minus Suharyadi itu adalah kaki yang se?tengah
tertutup oleh jubah panjang. Jubah bangsawan tempo
dulu! Terkesima, Suharyadi mengangkat muka. Di bawah
sinar rembulan, tampaklah sang Juragan Besar sudah
berdiri tegak mcngawasi dirinya, disertai senyuman
mengejek. Dan bisikannya yang tajam menusuk, "Darah?
?mu, Suharyadi. Jangan biarkan aku me?nunggu!"
Lalu tangan sang bangsawan bergerak sangat cepat.
Dan sebilah keris berlekuk dengan gagang kepala ular
miliknya tahu-tahu sudah tertancap pada tanah di
hadapan Suharyadi. Diikuti perintah yang tak ingin
dibantah, "Lakukanlah sekarang juga!"
"Apa..." tanya Suharyadi, menggagap. "Apa yang
ha?rus kulakukan, Abah?"
"Kau pasti tahu apa maksudku!"
Menatap tengadah ke wajah sang sosok di hadap?
annya, Suharyadi kemu?dian merasakan hawa sejuk
dingin bagai merembes masuk ke sekujur pem?buluh
darahnya. Mengalir sampai ke urat-urat saraf dan
terus meram?bat ke dalam sel-sel otaknya. Otak yang
menuntut suatu kepatuhan. Untuk menebus dosadosanya. Dosa telah menyetubuhi Ningrum di depan
tungku pendiangan. Di hadapan mata sang kakek!
Bagai terhipnotis, tangan Suharyadi terulur ber?
gemetar ke depan un?tuk meraih lalu mencabut keris
yang tertancap di tanah. Masih terhipno?tis, Suharyadi
kemudian berlutut pasrah. Siap menebus dosa.
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 18 18 001/I/15 MC Dan itulah yang terlambat dicegah oleh Ardi.
Karena begitu ia serta istrinya memeriksa kamar
demi kamar dangan sia-sia, Ardi baru teringat untuk
lari ke halaman diikuti oleh sang istri yang tampak
semakin cemas. Lalu mereka melihatnya. Melihat sang majikan berlutut di tanah, dengan
kepala tertekuk dan kedua tangan bagai menggenggam
sesuatu yang dihunjamkan ke lambung sendiri.
"Juragan?" Ardi segera berlari mendatangi, "Apa
yang kaulakukan di luar sini, Juragan?"
Tak ada sahutan. Tubuh yang berlutut itu tetap diam tak bergerak.
"Juragan?" Ardi mengulangi panggilannya serya
mem?bungkuk dan me?nyentuh pundak Suharyadi.
Hanya sentuhan lemah. Namun langsung membuat
tubuh sang majikan jatuh terguling ke samping.
Rebah diam dan membeku. Dengan wajah pucat
mem?biru, serta sepasang tangan tetap berada di depan
lambung. Bagai mengenggam sesuatu. Tangan yang
kemudian merenggang perlahan lalu terkulai diam di
tanah. Tangan yang tampak kosong, tidak meng?
genggam apa pun juga. Mengherankan, memang. Karena begitu tubuh Suharyadi jatuh telentang,
lambungnya langsung dijilati sinar rembulan. Dan
lambung itu tampak robek menganga. Serta di?basahi
oleh merahnya darah. 9/25/2013 8:42:35 AM 2 AGUS sebenarnya enggan pulang ke rumah per?
i-Kolam Darah.indd 19 19 001/I/15 MC kebun?an. Tetapi di sana ada ayahnya, Ardi, serta ibunya,
Sarijah. Selain itu, dalam pembicaraan singkat di
telepon dini hari tadi, kakak angkatnya Maharani
juga sudah mengultimatum, "Tanpa kehadiranmu,
Papa tidak akan kami makam?kan...!"
Ultimatum yang lebih menyiratkan kasih sayang
Maharani pada A?gus ketimbang tuntutan untuk meng?
hormati kematian Suharyadi, juragan per?kebunan dan
majikan kedua orangtuanya yang telah mengadopsi
Agus semenjak hari pertama dilahirkan.
Juragan Suharyadi! Benar seperti halnya jodoh maupun rezeki, hidup
dan mati seseorang ada di tangan Tuhan. Tetapi kabar
yang ia dengar selama ini mengenai ayah ang?katnya
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 20 20 001/I/15 MC itu adalah sehat, kuat, dan selalu gembira seperti
biasa. Bahkan sebulan yang lalu Juragan Suharyadi
masih ter??tawa ngakak di telepon, "Terima kasih atas
per?hatianmu, Gus. Tetapi percayalah, jangankan pe?
nyakit tua, virus selesma pun bahkan benci mendekati
aku. Hahaha...!" Agak takabur memang, dan tiba-tiba ayah angkat?
nya itu pun mati. Maharani tidak bersedia men?
jelaskan dalam pembicaraan mereka di telepon apa
pe?nyebab kematian sang juragan. Maharani hanya
bilang, "Pulang sajalah sese?gera kau bisa."
Ada yang ditutupi Maharani!
Entah apa. Namun bisikan naluri Agus mengata?
kan, dirinya tersangkut di? dalamnya, juga dibalik ke?
matian ayah angkatnya. Bisikan naluri itu mem?buat
Agus dihinggapi perasaan takut yang aneh. Sekaligus
men?dorongnya un?tuk segera berkemas begitu
Maharani menutup telepon. Agus beruntung dapat
ikut dengan helikopter pertama yang tiba pagi buta
Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi di pengeboran mi?nyak tempatnya bekerja
sehingga masih sempat memburu pesawat pertama
yang be?rangkat dari Batam ke Jakarta, lalu taksi yang
ia suruh nge?but untuk memenuhi ultimatum
Maharani. Dan ketika aroma segar perkebunan teh
mulai me?nyengat hidung, Agus bukannya gembira
karena sudah semakin de?kat ke tujuan. Ia justru
merasa se?makin takut. Tanpa mengetahui apa yang
harus ia takuti. 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 21 21 001/I/15 MC Yang ia tahu dan tak mau lepas dari ingatannya,
adalah mimpi buruknya tadi malam. Dalam mimpi ia
melihat ayah serta dua saudara angkatnya Maharani
dan Rudi terperosok dalam kubangan darah yang
menggeliat serta menyedot liar. Lebih liar daripada
lumpur atau pasir hidup yang siap menelan hiduphidup mangsanya yang terjebak. Agus kemudian me?
lihat dirinya nekat terjun ke tengah kubangan darah,
berusaha menyelamatkan ketiga orang anak beranak
yang tampak sudah setengah tenggelam dan meng?
gapai-gapai ribut serta putus asa itu. Namun, baru
saja Agus sempat meraih tangan Maharani, dering
telepon sudah keburu membangunkan Agus dari
mimpi buruknya. "Papa meninggal!" kata Maharani, terisak.
Dan di kubangan darah, Agus memang melihat
ayah angkatnya sudah terbe?nam sampai sebatas leher,
begitu pula Rudi. Dan"
Ah, ya, Rudi! Di satu sisi, saudara angkat yang seusia dengannya
itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa
Agus enggan pulang ke perkebunan. Tetapi di sisi
lain, tanpa Rudi entah jadi apa Agus sekarang ini.
Ke??cuali barangkali menjadi anak kesayangan sang
juragan, "Yang hanya menghabiskan uang Papa?ku
saja!" sindir Rudi selalu. Sehingga begitu tamat SMU,
Agus langsung mene?rima tawaran sebagai pekerja
kasar di pengeboran minyak lepas pan?tai. Un?tuk
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 22 22 001/I/15 MC menjauhi Rudi. Sekaligus membuktikan dirinya bukan
sekadar menjadi anak kesayangan, "yang hanya meng?
habiskan uang Papaku saja". Sambil di waktu luang?
nya, Agus menekuni kuliah jarak jauh sampai akhir??
nya sukses merebut gelar sarjana yang men?dongkrak
posisinya dari pekerja kasar ke posisi yang lebih
strategis. Dampak sampingnya menyedihkan.
Rudi yang kuliahnya tak pernah tamat-tamat meski
sudah berpindah-?pindah dari satu perguruan tinggi ke
perguruan tinggi lain, semakin mem?benci Agus. Tak
ubah?nya membenci kutu busuk yang terus ber?
kembang biak di kulit kepalanya. Kebencian yang
ber?asal-muasal dari ucapan tak sadar dari seorang
ayah tetapi terus diulang-ulang, "Agus rajin serta te?
kun. Kau ti?dak!" Juga di meja makan. Misalnya ketika Rudi ber?bicara
sengit pada Agus, "Tempatmu bukan di sini. Tem?pat?
mu di dapur bersama pembantu. Ayah serta ibu?mu!"
Lagi, teguran tak sadar, "Dia anakku juga, Rudi. Dan
dia berhak untuk ikut makan satu meja dengan?ku!"
Celakanya, Maharani ikut-ikutan pula.
"Ayo, Gus. Makanlah yang banyak. Supaya kau
nanti kuat menemani aku jalan-jalan." Atau, yang lebih
ekstrim "Aduh, Rudi. Tidak bisakah kau me?nyayangi
Agus sebagaimana aku dan Papa menyayanginya?"
Rudi yang malang dan patut dikasihani, pikir
Agus. Dan... 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 23 23 001/I/15 MC "Kita sudah sampai, Oom!"
Dengan lamunan yang seketika buyar, Agus
menoleh terkejut lantas menyadari taksi telah berhenti
dan sopirnya tengah mengawasi dirinya seraya me?
lanjutkan tersenyum, "Itu rumahnya, bukan?"
Melalui jendela taksi yang terbuka, Agus pun
berpaling dan melihat rumah tua berlantai dua yang
sudah sangat ia kenali, tempat ia la?hir dan tumbuh
sampai dewasa. Rumah yang tampak sunyi sepi dari
luar. Tidak terlihat adanya kesibukan orang hilir??mudik
sebagaimana biasa bila penghuninya ter?timpa musi?
bah. Rumah kelahirannya itu tampak tenang dan
adem?-adem saja, seolah mengatakan tidak ada yang
perlu disedihkan apalagi dice?maskan oleh Agus.
Bercandakah Maharani"
Bingung oleh situasi mengherankan yang didatangi?
nya, Agus cepat mem?bayar ongkos taksi yang segera
berlalu. Ia menjinjing tas ranselnya menuju teras sam?bil
melewati mobil mewah, satu-satunya kendaraan yang
diparkir di halaman. Mobil Rudi pasti, pikirnya
berharap. Karena teringat pada kebiasa?an Rudi yang
memang senang hidup bemewah-me?wah tanpa meme?
dulikan teguran keras sang ayah, "Coba?lah berhemat
se?sekali. Jika tidak, kau akan membuatku bang?krut...!"
Ternyata mobil milik orang lain.
Karena begitu Agus menaiki teras, pintu depan ter?
buka dari dalam. Seo?rang pria tengah baya serta ber?
penampilan tampan tampak keluar diikuti oleh
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 24 24 001/I/15 MC Maharani serta Elisa, istri Rudi yang tampak jauh le?
bih kurus diban?ding terakhir kali Agus melihatnya.
Begitu melihat Agus, Maharani langsung meng?
hambur gembira lalu merangkul dan berbicara terisak
di bahu Agus, "Ya Tuhan, adikku Agus! Aku sudah
kuatir kau tak mau datang!"
"Untuk Juragan Papa?" tembal Agus balas me?
rangkul. Sambil tanpa sadar sepasang matanya lang?
sung membasah, "Teleponmu serius bukan" Bahwa
Jura?gan Papa..." Agus tak meneruskan karena Maharani langsung
se?senggukan di bahunya. "Dia sudah meninggalkan
kita, Gus!" "Inna lillahi..." Agus kembali mengucap apa yang
ia ucapkan setelah menerima kabar dari Maharani via
telepon. "Percayalah, kak Rani. Aku benar-?benar ter?
kejut dan sangat kehilangan!"
"Kita semua merasa kehilangan, Gus. Oh ya..."
Maharani cepat melepas?kan rangkulannya lalu seraya
menyeka air mata memperkenalkan si tampan pada
Agus, "Perkenalkan. Ini Pak Bambang, penasihat hu?
kum Papa!" "Bung Agus yang bekerja di pengeboran minyak le?
pas pantai, bukan?" tanya si tampan seraya me?nyambut
uluran tangan Agus dangan jabatan erat dan hangat.
Agus manggut membenarkan.
"Apa pun yang terjadi bung Agus, ketahuilah, al?
marhum paling senang bercerita tentang dirimu ke?
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 25 25 001/I/15 MC timbang dua anaknya yang lain..." Sadar lepas omong,
Bambang si penasihat hukum ganti berbicara pada
Maharani, sambil tampak rikuh. " Maaf karena saya
berbicara apa adanya!"
"Tak apa," Maharani mengomentari, "Seperti hal?
nya Papa, aku juga sangat bangga pada adikku yang
satu ini!" "Dapat kumengerti," ujar Bambang kembali tam?
pak gembira, "Dan karena dia sudah ada di sini,
kalian bahaslah bersamanya apa yang tadi kita bica?
rakan di dalam." "Pasti, Pak Bambang, Terima kasih."
"Oke kalau begitu. Selamat sore semuanya!"
Mobil mewah itu pun berlalu bersama pemiliknya
yang mengemudi sendiri, diawasi oleh Agus yang ber?
pikir-pikir bingung, "Membahas apa?"
"Gus?" Agus cepat berpaling dan melihat Elisa mengulur?
kan tangan disertai senyuman kaku, "Aku tidak di?
lupa?kan, bukan?" "Yang benar saja, Elisa! " jawab Agus sambil me?
nyambut uluran tangan Elisa yang lembut hangat.
Selembut wajah cantiknya yang tampak menyimpan
sukacita. "Senang melihatmu kembali. Pada ke mana
semua orang" Kok rumah tampak sepi?"
"Yang melayat sudah pada pulang dari tadi. Pak
Bambang adalah orang terakhir."
"Maksudku, suamimu, Rudi. Juga, Kang Herman!"
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 26 26 001/I/15 MC "Oh!" Maharani tersenyum, kecut. "Mereka berdua
pergi ke rumah sakit. Untuk menanyakan apakah
almarhum Papa sudah selesai diautopsi dan kapan
bisa dibawa pulang untuk kita makamkan!"
"Diautopsi?" tanya Agus. Terkejut. "Memangnya
Juragan Papa meninggal karena apa?"
"Sulit menjelaskannya, Gus. Karena..." Maharani
tampak bingung sesaat lalu cepat mengganti pem?
bicaraan. "Ah, sudahlah. Lebih baik kau temui segera
dan hibur ibumu di dalam. Dia sedang panik!"
Ibunya. Panik" Agus yang semakin tidak mengerti bergegas masuk
ke dalam rumah dan menemukan ibunya sedang men?
cuci piring di dapur. Sambil pundaknya tampak ter?
guncang. Dan sepasang mata tuanya tampak sembap
bekas menangis ketika ia berpaling, saat mendengar
sapaan Agus, "Bu!"
Sarijah nyaris menjatuhkan piring yang ia pegang,
saking terkejut. Lalu seperti halnya Maharani, Sarijah
cepat merangkul Agus dan berbicara ge?metar. Juga"
seperti kata Maharani, panik. "Aduh, Nak, syukurlah
kau cepat datang. Tolong ayah?mu, Nak. Bilangi
mereka, ayahmu tidak bersalah...!"
Agus benar-benar linglung kini.
"Memangnya Bapak kenapa?"
"Dia"ditangkap polisi!"
9/25/2013 8:42:35 AM 3 BUNUH diri" i-Kolam Darah.indd 27 27 001/I/15 MC Pasti bukan! Itulah kesimpulan kuat polisi yang
tiba di tempat kejadian peristiwa dini hari itu juga
se?telah ditelepon oleh Ardi. Kalau bunuh diri, senjata
yang menembus jantung dan diduga merenggut
nyawa?nya dengan seketika, pastilah masih tertancap
pada lambung Suharyadi yang robek me?nganga. Atau
masih tergenggam di tangannya. Paling tidak, ditemu?
kan di seki?tar tempat mayatnya terjatuh.
Tetapi biarpun polisi sudah sibuk mencari di setiap
jengkal tanah dan juga menggeledah setiap sudut
rumah"yang paling tersembunyi seka?lipun, senjata
me?matikan itu tidak pernah berhasil ditemukan.
Begitu pula halnya dengan si pembunuh, setelah
polisi meyakinkan bahwa Suharyadi jelas mati di?
bunuh. Tak ada petunjuk bahkan jejak kaki sekalipun.
9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 28 28 001/I/15 MC Termasuk kaki siapa yang menginjak remuk kacamata
baca Suharyadi. Dan setelah diperiksa dengan saksama
dan sangat selektif, polisi hanya bisa mengidentifikasi
ti?ga jejak kaki saja yang terlihat jelas pada tanah
becek di sekitar mayat Suharyadi ditemukan: jejak
kaki Ardi, Sarijah, dan korban sendiri!
"Keterangan kami berdua juga dianggap berbelitbelit..." demikian Sarijah bercerita sambil berulangulang menyeka air matanya yang seakan tak pernah
berhenti mengalir, "Aku dan ayahmu malah dituduh
berkomplot..." Kecurigan bahwa mereka berdualah si pelaku
pembunuh, membuat Ardi dan Sarijah nyaris ditahan
bersama-sama. Beruntung Maharani dan suaminya
Suherman yang baru kembali dari pesta perkawinan
seorang kerabat yang juga sa?lah satu staf di per?
kebunan, pulang dengan cepat untuk meyakinkan
bahwa kedua PRT mereka itu pelayan yang baik, setia
dan sangat mengabdi. Ja?uh dari sangkaan polisi.
Lalu, musibah pun terjadi.
Dari hasil pemeriksaan sementara, ahli forensik
polisi maupun pihak rumah sakit menyatakan pen?
dapat yang sama: korban mati tertusuk oleh benda
tajam berlekuk. Jelas bukan pisau biasa, melainkan
semacam keris. Dengan lekukan mata keris mirip
bentuk liukan seekor ular.
"Dan suamiku tahu-tahu lepas omong..." Maharani
yang ikut bergabung bersama Elisa di dapur, me?
9/25/2013 8:42:35 AM
Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nimpali cerita Sarijah. Sambil suara maupun wajahnya
tampak tercekam. "Dia mendadak bilang, pasti karena
tusukan keris Nagapati...!"
Sempat bingung, Agus cepat memahami keris apa
yang dimaksud Maharani, "Mana mungkin, Kak
Rani" Kita semua tahu, hanya satu keris berjuluk
Naga?pati yang dikenal semua orang di daerah ini.
Dan keris itu sudah lenyap sekitar seratus tahun yang
lalu. Bersama pemiliknya, yang juga kita sama-?sama
tahu, siapa!" "Yang dimaksud suamiku bukan keris kakek buyut
kita," Maharani menjelaskan. "Melainkan, duplikat?
nya...!" "Duplikatnya?" "Benar, Nak!" Sarijah kembali menyeka air mata.
"Yang bentuk gagang maupun mata kerisnya, konon
persis sama dengan Nagapati yang asli."
"Baiklah, konon. Lalu?"
. "Ayahmu pernah membeli keris duplikat itu dari
seseorang. Katanya, untuk melindungi diri."
"Melindungi diri. Dari apa?"
"Bukan apa, Nak. Tetapi, siapa!"
"Oke. Lalu, siapa?"
"Juragan Besar Anggadireja..." jawab Sarijah, lirih
ber?gemetar serta tampak takut. "Yang diyakini ayah?
mu, telah bangkit dari kubur!"
"Astaga...!" Disusul astaga lainnya. i-Kolam Darah.indd 29 29 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 30 Duplikat keris yang didapat membeli itu, menurut
keterangan Ardi pada polisi, sudah hilang ketika
di"isi" ke seorang dukun. Persisnya dirampas. Yang
me?rampas" Lagi-1agi, sang Juragan Besar. Yang tahutahu saja muncul di rumah sang dukun. Masih me?
nurut keterangan Ardi, keris yang akan di"isi" itu asli,
bukan duplikat. Dan sang Juragan Besar ingin
mengambilnya kembali. Sang dukun yang disebut-sebut Ardi membantah
keras telah melihat keris dimaksud, apalagi untuk di?
"isi". Sang dukun malah bersikukuh, tak pernah me?
ngenal atau bertemu dangan Ardi. Dan lebih parah
lagi, ada ketera?ngan saksi mata di bawah sumpah
yang memberitahu polisi bahwa Ardi pernah terlihat
ber?tengkar hebat dengan majikannya yang kemudian
berkelahi dan nyaris saling bunuh jika tidak keburu
dilerai oleh para saksi mata dimak?sud.
"Lengkaplah sudah..." tangis Sarijah, putus asa.
"Siang hari tadi Ayahmu pun ditangkap. Dan dicap
sebagai pembunuh...!"
Mendengar semua itu, Agus hanya bisa berujar.
Gemetar. "Tuhanku.... "Apakah kalian semua percaya
semua omong kosong itu, Kak Rani?"
Diam termenung sejenak Maharani kemudian men?
jawab, murung. "Apa yang kupercaya, Gus, adalah
apa yang kuketahui dan tidak akan pernah kulupakan
se?panjang hayat masih dikandung badan. Bahwa ayah
dan ibumu telah merawatku semenjak masih bayi.
30 9/25/2013 8:42:35 AM Mereka berdua selalu kuanggap tak ubahnya orang?
tuaku sendiri!" "Terima kasih," desah Agus, tak puas. "Tetapi bu?
kan itu jawaban yang kukehendaki!"
Maharani diam tak berkomentar hanya ter?senyum
murung. "Baiklah!" Agus akhirnya bangkit dari duduknya
dengan marah. "Apa pun yang ada dalam pikiran
kalian, aku akan ke kantor polisi sekarang juga. Un?
tuk mengeluarkan ayahku dari tahanan!"
"Dengan apa?" Elisa menimpali sambil tampak
kuatir. "Bagaimana nanti saja!" dengus Agus marah sambil
ber?lalu meninggalkan ruang duduk di mana sebelum?
nya Maharani mengajak mereka berbincang-bincang.
Menatap kepergian adik angkatnya dengan wajah
cemas, Maharani kemudian ganti mengawasi lukisan
tua sang Juragan Besar"kakek buyutnya, yang men?
dekam diam pada bidang tembok di atas tungku
pen?diangan. Lantas bergumam lirih dan takut, "Mung?
kin?kah...?" "Apa?" tanya E1isa, terkejut. Lalu melihat ke arah
yang sama. Dan secara naluriah langsung memusatkan
per?hatiannya pada lukisan keris yang terse?lip di pin?g?
gang sang Juragan Besar. "Keris di pinggangnya itu..." bisik Maharani. Ter?
cekam. "Mungkinkah keris itu yang telah merenggut
nyawa Papa?" i-Kolam Darah.indd 31 31 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 32 Elisa diam tak menjawab. Sambil wajahnya tampak
berubah pucat, membeku. "Ya Allah Tuhanku..." desah Sarijah gemetar sambil
ikut-ikutan meli?hat ke arah yang sama. "Lindungi?lah
kami. Dari godaan setan yang terkutuk...!"
Lalu Sarijah pun kembali menangis.
32 9/25/2013 8:42:35 AM 4 B UKAN hanya Agus yang marah. Pada sore hari di
sebuah ruang interogasi yang sempit serta hawanya
gerah dan menyengat pula, Inspektur Satu Polisi Hin?
darto juga sangat marah. Sebagai orang yang baru saja
dipromosikan memim?pin sektor kepolisian setempat,
ia benar-benar dibuat jengkel.
Betapa ti?dak" Ini kasus pembunuhan pertama yang
ia tangani, dengan korban yang bukan sembarang
orang pula: juragan perkebunan yang konon pengaruh?
nya pada masyarakat sekitar nyaris menyamai
pengaruh Bupati. Hindarto bu?kan saja akan jadi
sorotan pers. Ia juga"dan lebih penting, akan disorot
oleh Kapolres yang membantu mempromosikannya
jadi Kepala Sektor. Jenjang kariernya akan langsung
diuji. Ujian pertama dan sangat menentukan.
Tetapi Hindarto justru telah dipermainkan oleh
i-Kolam Darah.indd 33 33 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 34 seorang lelaki kurus renta yang statusnya hanya
sebagai pelayan rumah tangga pula. Tak peduli sesetia
apa pun juga dia pada majikannya, le?laki itu tetaplah
sebagai tersangka utama Hindarto. Yang meski tampak
pu?cat dan ketakutan, toh tetap saja ber?usaha untuk
mempermainkan sang kepala sektor.
Setidak-tidaknya demikianlah yang ada di benak
Hindarto, ketika ia kem?bali mengajukan pertanyaan
dengan nada sengit. "Untuk yang terakhir kali, Ardi! Di mana keris itu
kausembunyikan?" Dan jawaban yang diterima Hindarto masih yang
itu ke itu juga. "Saya tidak menyembunyikannya, Pak..."
"Oke. Kalau begitu, dibuang. Lalu dibuang ke
mana?" "Sumpah mati, Pak!" jawab pelayan renta bernama
Ardi itu, sambil tampak putus asa. Lebih putus asa
daripada Hindarto sendiri, "Saya benar-benar tidak
tahu apa yang Bapak bicarakan!"
"Tidak, eh?" Hindarto nyaris menjerit saking jengkel?
nya. "Sudah berapa kali kubilang, aku berbicara
tentang keris. Masih jugakah kau belum menger?ti?"
"Keris yang mana?"
"Ya, ampun!" keluh Hindarto sambil menggebrak
meja tanpa sadar, membuat bukan saja si tersangka,
tetapi juga anak buahnya yang sibuk mengetik ta?nyajawab, mengangkat muka terkejut.
34 9/25/2013 8:42:35 AM "Maksud Pak Inspektur..." si juru ketik akhirnya
me?nengahi. Dengan tenang dan terkesan menyabarkan
komandannya. "Senjata yang kau pakai membunuh
majikanmu!" "Saya..." gagap Ardi pucat dan bergemetar, "Mem?
bunuh majikan yang sangat saya hormati, Juragan
Suharyadi?" Jawaban yang tidak menjawab apa-apa!
Beruntung, suara dehaman lembut anak buahnya
mampu juga menurunkan tensi Hindarto. Ia ter?paksa
harus menghela napas panjang, sebelum akhir?nya
mampu juga berbicara dengan suara yang lebih
melunak. "Baiklah. Mari kita tinggal?kan dulu urusan keris
itu. Sekarang tolong jawab. Mengapa kau tega mem?
bunuh majikan yang katamu sangat kauhormati
itu?" "Bukan saya yang membunuhnya, Pak. Tetapi,
dia...! "Dia siapa?" "Seperti sudah saya bilang tadi, Juragan Besar
Anggadireja...!" Naik lagi tensi Hindarto. Tetapi kali ini tidak ia
salurkan melalui ke?marahan, tetapi tawa membahak
yang bagaimanapun, tetap saja mengandung kemarah?
an. "Hahaha! Sosok di lukisan tua, hahaha! Kapan
kau akan berhenti mengakali kami, Pak Ardi?"
"Saya tidak bermaksud mengakali siapa pun juga,
i-Kolam Darah.indd 35 35 9/25/2013 8:42:35 AM i-Kolam Darah.indd 36 Pak" jawab Ardi. Pucat dan kembali bergemetar, "Saya
berbicara apa adanya. Karena saya sudah berulang kali
melihat Juragan Besar menggeliat hidup pada lukis?
annya. Bahkan pernah melihatnya berkeliaran dalam
kegelapan rumah. Dan tegak kaku menge?rikan di
hadapan saya. Dengan sorot matanya yang semerah
darah...!" "Oh, oh, begitu. Lalu?"
"Percayalah, Pak Inspektur, orang tua bilang,
Juragan Besar tak pernah mati. Tak akan pernah...!"
"Maksudmu, seperti Drakula!" komentar Hindarto
sambil tersenyum menge?jek. Itu lebih baik ketimbang
terus marah-marah. "Yang bisa hidup abadi?"
"Benar, Pak." Ardi mengangguk sambil suaranya ter?
dengar menaruh hormat pada orang yang ia bicara?kan,
"Paling tidak, mengingat julukannya yang lain..."
"Oh ya" Dan apakah itu?"
Ardi memberitahu dengan sikap takzim, "Bangsa?
wan Pertapa!" Berjuang keras menenangkan diri agar tidak kem?
bali tertawa atau marah-marah yang hanya akan mem?
buat tersangka mereka semakin ketakutan, Hindarto
kemudian iseng menyesuaikan diri.
"Bangsawan Pertapa. Oke. Misalkan benar dia"
atau katakanlah rohnya, masih hidup. Lalu tiba-tiba
muncul dan terus bergentayangan di rumah yang ka?
lian huni. Mengapa dia harus membunuh Suharyadi,
yang jelas-jelas adalah keturunannya sendiri?"
36 9/25/2013 8:42:35 AM "Saya sendiri juga bingung, Pak!" geleng Ardi. Kem?
bali tampak putus asa. Saking putus asa, lantas balik
ber?tanya. "Mengapa tidak Bapak tanyakan sendiri
pada??nya?" "Pada siapa?" "Juragan Besar Anggadireja...!"
Habis sudah kesabaran Hindarto. Ia bangkit
serempak dari kursinya sambil berbicara menghardik
tanpa menoleh pada anak buahnya yang nyaris ter?
tawa mendengar jawaban tersangka mereka. "Bri?
gadir"!" Tersentak, sang juru ketik terlompat berdiri. Sambil
tampak kaget. "Si?ap, Inspektur!"
"Masukkan dia kembali ke dalam selnya. Seka?
rang!" "Siap dikerjakan, Inspektur!"
Sang juru ketik pun meninggalkan mejanya dan
de?ngan tegas mengajak Ardi bangkit untuk kembali
ke dalam sel, "Ayolah!"
Ardi menurut patuh namun berhenti setiba di
pintu, untuk berbicara pucat dan gemetar meyakinkan
Hindarto. "Sumpah mati, Pak. Dan percaya?lah yang mem?
bunuh majikan saya adalah Juragan Besar. Dia?"
"Sudah, Pak. Sudah!" gerutu brigadir yang cepat
menyeret Ardi pergi. Mereka meninggalkan Hindarto yang duduk ter?
enyak di kur?si?nya dangan wajah yang tampak berantak?
i-Kolam Darah.indd 37 37 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 38 an, "Naudzubillah. Kasus macam apa kiranya yang
ku?hadapi ini?" Diam merenungi diri sejenak, Hindarto akhirnya
Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memutuskan akan memin?ta bantuan psikiater, untuk
memeriksa kondisi mental tersangka. Jika perlu juga
untuk dirinya sendiri, sebelum ujian pertamanya itu
dinyatakan gagal. Agak terhibur dengan ide mengenai psikiater itu,
Hindarto pun bangkit dari kursinya untuk pergi
makan di restoran terdekat. Sambil berpikir pulangnya
nanti akan membawa nasi bungkus untuk Ardi yang
ia harap akan terbujuk, mau bekerjasama. Tidak lagi
mempermainkannya dangan dongeng menggelikan
mengenai lukisan tua yang terus-menerus diributkan
orang tua yang tampak ketakutan itu.
Tanpa Hindarto mengetahui bahwa orang yang
merasuki pikirannya itu nantinya akan bercerita hal
yang jauh lebih gila lagi.
Terpuruk tak berda?ya di dalam selnya yang ter?
kunci, Ardi yang semakin putus asa baru saja akan
merebahkan tubuh di dipan keras berlapis sehelai
tikar yang sudah lu?suh tiba-tiba merasakan adanya
hawa dingin yang menerobos masuk dari celah jeruji
sel. Seraya menggigil kedinginan, dengan heran Ardi
me?noleh lalu kemudian mengetahui bahwa hawa
dingin yang menusuk sumsumnya itu berasal dari
gumpalan kabut tebal di samping dipan. Kabut yang
mulanya bergerak meliuk-?liuk, lalu kemudian berkibar
38 9/25/2013 8:42:36 AM kibar sambil samar-samar memperlihatkan bayangbayang sesuatu.
Bayang-bayang sosok berjubah.
i-Kolam Darah.indd 39 39 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 40 5 HINDARTO pas mau masuk ke dalam mobilnya
di halaman parkir, ketika ada suara memanggil de?
ngan nada bertanya, "Darto?"
Sang Inspektur cepat menoleh dan melihat sese?
orang yang baru turun dari sepeda motor, tam?pak
mengawasi dirinya dangan pandangan tak percaya.
Pikiran mengenai menu makan sore yang akan ia
santap, seketika lenyap dari kepala Hindarto manakala
mengenali siapa orang yang me?nyapanya.
"Eh, Gus. Kaukah itu?"
Cepat membayar pengemudi ojek yang membawa?
nya dari rumah perkebunan, Agus pun bergegas men?
datangi Hindarto dengan gembira. "Ada urusan apa
kau di sini, Hindarto?"
Saling rangkul dan berjabatan tangan yang erat
serta hangat sesaat, Hindarto pun menjawab setengah
geli. 40 9/25/2013 8:42:36 AM "Lucu kau bertanya seperti itu. Pada orang yang
me?ngomandani kantor kepolisian di mana kau kini
datang!" "Kau" Kepala Sektor di sini?" Agus semakin terpana.
"Di desa kelahiranku pula! Wah, hebat!"
"Terima kasih, Gus. Dan kau sendiri, ada urusan
apa pula kau ke sini?"
Wajah gembira Agus seketika berubah murung.
"Menjenguk ayahku!"
"Ayahmu?" tanya Hindarto. Heran. "Kok aneh.
Kau mestinya bukan ke sini, Tetapi ke rumah sakit.
Dan..." mendadak teringat, Hindarto pun cepat me?
nyatakan belasungkawa, "Oh ya. Aku ikut berdukacita
atas musibah yang telah menimpa diri ayahmu..."
"Terima kasih. Tetapi agaknya kau berbicara me?
ngenai ayahku yang lain. Bukan ayahku yang satunya
lagi." "Lho, kok?" Hindarto semakin heran saja.
"Memang tidak banyak orang yang tahu...," Agus
men?jelaskan, "Almarhum Suharyadi yang namanya
ter?cantum sebagai nama belakangku adalah ayah
angkat!" "Dan ayahmu satunya lagi"."
"Ayah kandungku. Namanya Supardi. Atau biasa
di?panggil, Ardi!" Hindarto pun membelalak, kaget, "Pak Ardi,
Astaga...!" i-Kolam Darah.indd 41 41 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 42 "Menyedihkan bukan?" keluh Agus. Disertai se?
nyum????an murung. Bingung sejenak, Hindarto kemudian menepuk
lembut pundak Agus. Sambil menanggapi bersimpati.
"Garis maupun perjalanan hidup, Gus. Bukan kita
yang menentukan. Tapi sudahlah. Apa pun yang su?
dah terjadi, aku akan berusaha membantu sebatas ke?
mampuanku!" "Sekali lagi terima kasih!"
"Ayolah. Kutemani kau menemui ayahmu!"
Menggandeng hangat tangan Agus yang wajahnya
semakin murung, Hindarto lantas mengalihkan pem?
bicaraan agar suasana pertemuan mereka kembali
riang. "Masih ingat tidak pada Sandra" Yang dulu satu
kelas dangan kita di SMU?"
"Sandra?" "Benar..." Hindarto mengangguk sambil meng?
gandeng Agus melewati pintu keluar-masuk kantor
kepolisian yang dipimpinnya. "Masa iya kau lupa.
Sandra, si jinak-jinak merpati."
Ah, ya. Sandra yang pemalu dan perilaku kesehari?
annya tampak nyantri. Maklum anak seorang kiai.
Agus pun teringat bagaimana ia dan Hindarto pada
tertarik pada gadis yang suka menyendiri dan sulit
didekati itu. Lantas taruhan, siapa di antara mereka
yang berhasil menaklukkan hati Sandra, ber?hak untuk
memaksa push-up 70 kali pihak yang kalah.
42 9/25/2013 8:42:36 AM Agus mendekati Sandra melalui surat-surat cinta
yang tak pernah diba?las, kecuali senyuman dan lirik
mata sang gadis yang seakan memberi angin. Ada
pun Hindarto anehnya justru bersikap menjaga jarak
dengan Sandra dan secara demonstratif justru me?
rapati Maria serta Dessi. Seakan Hindarto sedi?kit pun
tidak tertarik pada Sandra. Yang membuat Agus
kemudian bertanya pe?nasaran.
"Taruhannya masih berlaku atau tidak?"
"Masih!" itu saja jawab Hindarto, sambil terus men?
jauhi Sandra. Kepalang sudah menulis surat cinta yang membuat
Agus percaya dirinya memang sudah jatuh cinta,
suatu hari ia memutuskan untuk tidak lagi mela?kukan
pendekatan melalui surat. Agus langsung mendatangi
Sandra yang saat itu tengah duduk sendirian mem?
baca buku di sudut belakang sekolah. Lalu begitu
berhadapan muka, Agus langsung menanyakan apa
yang selama ini mem?buatnya penasaran.
"Surat-surat cintaku, Sandra. Mengapa tidak pernah
dibalas" Seperti biasa, si gadis tidak menjawab melalui katakata. Melainkan, melalui senyum serta lirik matanya
yang manis mengundang. Merasa dirinya diberi lampu hijau, Agus lantas ne?
kat merangkul lalu menciumi bibir sang gadis idaman
dengan bernafsu. Pada detik pertama, Sandra diam
dan seperti pasrah bibirnya dikulum.Tetapi pada detik
i-Kolam Darah.indd 43 43 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 44 be?rikutnya pipi Agus sudah ditampar dangan keras
oleh si gadis yang cepat melepaskan diri sambil ber?
kata mendelik. "Naudzubillah. Setan apa yang telah merasuki
kepala?mu, eh?" Siapa sangka Hindarto tahu-tahu muncul men?
datangi, dan di belakang ha?ri Agus baru mengetahui
Hindarto sudah mengintip diam-diam saat Agus nekat
mendatangi Sandra. Sambil bertanya kuatir pada si gadis, "Ada apa,
Sandra" "Dia"menciumku!" gagap si gadis sambil berurai
air mata. "Astaga, Gus. Teganya kau!" Hindarto ganti men?
delik pada Agus. Lalu cepat berpaling dan berbicara
lembut membujuk pada si gadis yang mereka perebut?
kan. "Kuanjurkan, pulanglah sebelum yang lain pada
me?lihat. Aku siap mengantar jika kau mau...!"
Tangis si gadis seketika mereda. Dan di luar duga?
an, bertanya pada Hindarto. Dengan wajah yang
jelas-jelas tampak mengharap. "Sungguh, kau bersedia
mengantarku pulang?"
Buntutnya kemudian adalah, Maria serta Dessi
tahu-tahu sudah tersisih dari kehidupan Hindarto. Se?
mentara Agus harus push-up 70 kali di kamar kosnya.
Disaksikan oleh Hindarto yang duduk merokok sambil
ongkang-ongkang kaki! Tersenyum kecut mengenang masa lalunya, Agus
44 9/25/2013 8:42:36 AM mengawasi lorong dalam kantor kepolisian yang me?
nuju ke blok sel tahanan sambil bertanya ingin
tahu. "Bagaimana kabarnya dia sekarang" Pernah de?
ngar?" "Oh. Bukan lagi dengar!" jawab Hindarto. Tenang.
"Malah tahu dengan pasti bahwa dia sudah punya
dua anak. Satu laki, satunya lagi perempuan!"
"Dia yang memberitahumu ya?"
"Bukan," geleng Hindarto. Sama tenangnya. "Ka?
rena aku sendirilah ayah dari kedua anaknya itu!"
Agus berhenti menegun. Sambil bergumam takjub,
"Wah..." Ikut berhenti, Hindarto menanggapi tersenyum.
"Jangan dulu cemburu, Gus..." katanya, "Karena
pa??ling tidak, kau adalah lelaki pertama yang mencium
bibirnya!" Agus pun menyeringai. Lebar. "Sialan kau, Darto."
"Lho, Kau yang mencium, kok aku yang sialan?"
Hindarto mengomentari. Cemberut. Pura-pura, tentu
saja. Karena kemudian Hindarto ikut menyeringai.
Sama lebarnya. "Aku senang melihatmu sudah gem?
bira kembali. Pertahankanlah itu di depan ayahmu.
Dan bujuk dia supaya mau bekerja sama dangan
kami." Sebaliknya, seringai Agus justru langsung me?lenyap.
Dan ayahnya jangan kata bekerja sama apalagi
berbicara tentang hal-hal yang lebih masuk akal. Be?
i-Kolam Darah.indd 45 45 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 46 gitu mereka tiba di depan sel yang pintunya ce?pat
di?buka?kan oleh petugas blok, Ardi tampak sedang
ber?simpuh mencium lan?tai sambil ber?bicara dengan
sekujur tubuhnya tampak bergemetar.
"Darahmu. Disatukan dangan ragamu... Apa mak?
sud?nya. Juragan Besar" Juragan Besar, aduh. Jangan?lah
membuatku bingung..."
Agus saling menukar pandang dengan Hindarto.
Sambil sinar mata Hindarto seakan menyiratkan kata
tak terucap, "Nah, kan?"
Gelisah bercampur rindu, Agus pun melangkah
masuk lalu membungkuk dan menyentuh pundak
ayah?nya dangan hati-hati. "Pak?"
Hanya sentuhan serta sapaan lembut saja.
Namun begitu pundaknya tersentuh, Ardi seketika
terlompat bangkit lalu mundur dangan cepat sampai
punggungnya menempel rapat ke tembok. Sambil ber?
bicara ketakutan dengan wajah yang tampak dilanda
teror. "Ampun, Juragan! Jangan bunuh saya. Saya hanya
ber?tanya, Saya...." Lalu mendadak Ardi diam mem?
beku, terus mengerjap-kerjap lantas membelalak ter?
cengang, "Agus! Kaukah itu, Nak?"
"Benar, Pak." jawab Agus, mencoba tersenyum.
"Dengan siapa Bapak barusan berbicara?"
Ardi kembali tampak ketakutan Lalu menyahuti
ngeri, "Juragan Besar. Dia..."
Juragan Besar Anggadireja!
46 9/25/2013 8:42:36 AM Itulah kemudian yang jadi perdebatan sengit di
ruang kerja Hindarto yang berusaha keras menahan
kejengkelannya sewaktu bertanya pada Agus. Serius
dan terkesan resmi, seolah mereka berdua mendadak
asing satu sama la?in. "Percayakah kau pada semua omong-kosongnya itu,
Gus?" "Jujur saja, tidak!"
"Lantas, menurut pandanganmu" Apakah dia ber?
bicara normal atau..."
"Ayahku sehat. Bukan orang gila!"
"Jangan marah dulu!" Hindarto berkata menyabar?
kan. Atau lebih tepat dikatakan, menyabarkan dirinya
Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri. "Karena kita harus menemukan jalan keluar
yang ter?baik untuk memperoleh jawaban yang
sebenarnya!" "Apa?" "Psikiater...!"
"Kalau itu memang harus, aku sendiri yang akan
mengantarkannya ke psikiater mana saja yang kalian
tunjuk," komentar Agus tak senang. "Tetapi per?tamatama, berilah dia kesempatan untuk berkumpul lebih
dahulu dangan istri dan anaknya, aku! Siapa tahu
dangan cara itu, pikiran ayahku akan sedikit ter?
buka." "Maksudmu?" "Kau pasti tahu apa yang kumaksud!"
"Tetapi itu memerlukan proses. Juga persyaratan."
i-Kolam Darah.indd 47 47 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 48 kata Hindarto akhirnya setelah diam berpikir se?
jenak. "Persyaratan apa?"
"Misalnya, harus ada yang menjamin bahwa dia
tidak akan melarikan di?ri"
"Jiwa ragaku akan kupertaruhkan untuk itu!"
"Oke, aku percaya. Tetapi dia juga tidak boleh
melenyapkan barang buk?ti!"
"Barang bukti apa?"
Hindarto terdiam lagi, lantas tampak bingung sen?
diri sewaktu kembali bertanya. Setengah hati, "Keris
Nagapati itu. Pernahkah ada, atau hanya do?ngeng
belaka?" "Bukan urusanku!" jawab Agus, ketus.
"Dan aku bertanya padamu, Bung!" Hindarto ce?
pat menanggapi. Tak kurang ketus.
Agus pun menghela napas. Lalu ia berkata murung,
"Maaf, Darto. Aku sedang bingung. Sangat bingung!"
"Kau pikir aku tidak, eh?"
"Baiklah," Agus menyerah. "Mengenai keris itu,
aku tidak tahu pasti. Yang aku tahu atau katakanlah
sudah sering mendengar, pemiliknya pernah hidup
dan dialah yang membangun perkebunan tempat
keluarga angkatku tinggal."
"Dan dia sudah mati terkubur!"
"Setidak-tidaknya, itulah yang kupercayai," jawab
Agus yang cepat me?nambahkan, "Meski banyak yang
48 9/25/2013 8:42:36 AM bilang dia"dengan alasan raga maupun kuburnya tak
pernah ditemukan, konon masih tetap hidup."
"Lalu tiba-tiba kembali begitu saja," Hindarto me?
nanggapi dangan senyuman prihatin, "Untuk mem?
bunuh cucu kandungnya sendiri!"
Agus diam. Tak menanggapi.
"Lalu, barusan, menurut penuturan ayah?mu, darah
dan raga, yang harus disatukan. Apa mak?sud?nya, kirakira?"
Diam lagi sesaat, Agus mendadak tersenyum. Lalu
balik bertanya, "Tampaknya, kau juga sepen?dapat.
Bahwa otak ayahku sesungguhnya masih waras. Iya
toh?" Tampak terkejut, Hindarto kemudian menggelenggeleng menyesal.
"Ya ampun. Kok aku jadi ikut terpengaruh!"
Agus tidak membuang tempo. Langsung bertanya,
men?desak. "Boleh dia ku?bawa pulang sekarang?"
Hindarto mengangguk setengah hati. Sambil ber?
pikir apa yang nanti ia tulis dalam laporannya: belum
ditemukan petunjuk dan bukti yang mencukupi
untuk tetap menahan tersangka.
Sebuah taruhan besar. Demi persahabatan!
i-Kolam Darah.indd 49 49 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 50 6 ANGGADIREJA tersenyum misterius.
Tegak diam dan kaku pada kanvas lukisan tempat?
nya mendekam, si pendiri perkebunan tampak seperti
diam-diam mengawasi para pewarisnya yang sedang
ribut bersilang debat mengenai tujuan kepergian Agus
ke kantor polisi. Pandangan mata lembut sang Jura?
gan Besar lebih ditujukan pada Rudi yang baru pu?
lang dari rumah sakit bersama abang iparnya,
Suherman. Mungkin karena cara berbicara Rudi yang
keras. Ia setengah berteriak saking marahnya, "Membe?bas?
kan pak Ardi! Apa dia sudah gila?"
"Apa salahnya, Rud?" tanya Maharani tak senang.
"Andai aku berada dalam posisi Agus, pasti aku pun
melakukan hal yang sama!"
"Tetapi Pak Ardi jelas-jelas pembunuh. Otak?nya
50 9/25/2013 8:42:36 AM juga sudah tak waras. Karena mengambing-hitamkan
hantu sebagai pembunuh ayah kita!"
"Jaga kata-katamu, Mas...,"sang istri cepat mem?per?
ingatkan. "Kasihan Bi Ijah, kalau-kalau dia sam?pai
mendengar." "Biarkan saja!" dengus Rudi tak peduli, "Toh dia
sama brengseknya dengan suami terkutuknya itu!"
"Astaga, Rudi!" tegur Maharani. Terkejut, "Istigfar?
lah, Dan, ingat, mereka berdua sudah merawat diri?mu
semenjak kau masih bayi. Bahkan Pak Ardi sen?diri
yang membantumu keluar dari rahim almarhumah
ibu kita!" "Dan mengakibatkan ibu kita mati!" jawab Rudi
serak oleh gumpalan amarah serta benci. "Kau lihat
bukan" Mula-mula Mama. Sekarang, Papa. Skenario?
nya sangat jelas, bukan?"
"Skenario?" Suherman yang semenjak tadi berdiam
diri, bertanya terse?nyum.
Sang Juragan Besar di atas tungku pendiangan, tam?
pak seperti ikut ter?senyum. Apalagi setelah melihat
mereka yang lain seketika dibuat cemas manakala
Sarijah muncul untuk menghidangkan minuman.
Sarijah menunjukkan wajah yang tampak polos dan
tidak memperlihatkan minat pada pembicaraan yang
sedang berlangsung. Meski Elisa sudah memberi tanda dengan lirikan
peringatan, sang suami tetap tidak menanggapi. Dan
terus saja mengeluarkan unek-uneknya, "Apa la?gi jika
i-Kolam Darah.indd 51 51 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 52 bukan jalan pintas. Untuk secepatnya meraup bagian
waris mereka!" "Mas"!" Elisa kini memperingatkan dengan katakata.
Tetapi bagai kerasukan setan, sang suami justru
me?lihat kesempatan untuk menembak langsung ke
sasaran, "Bukankah begitu, Sarijah?"
Sarijah menoleh terkejut.
"Apa, Den Rudi?"
Yang lain terlambat mencegah. Karena disertai se?
nyum?an mengejek, Rudi sudah menjawab dangan ce?
pat. "Bahwa suamimu dulu sengaja membunuh
Mama. Dan sekarang, Papa!"
Sarijah yang pas baru meletakkan cangkir teh di
hadap?an Rudi, seketika tertegak pucat. Tangan?nya
yang memegangi baki tampak gemetar.
"Maaf..." ujarnya lirih gemetar. "Saya tak me?
ngerti"apa yang Aden maksudkan?"
"Tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti,
eh?" ejek Rudi. Gembira.
Elisa seketika mengeluh, putus asa.
"Mas, tolonglah...!"
Maharani cepat menyentuh lengan Sarijah. Ia men?
delik marah pada adiknya, secara luar biasa Maharani
masih mampu menahan diri lalu ke?mudian tersenyum
dan berbicara lembut pada pelayan mereka yang
tampak seperti didatangi mimpi buruk itu.
"Sudah, Bi. Kau pergilah ke kamarmu. Oke?"
52 9/25/2013 8:42:36 AM "Kapan kau berhenti membela dirinya dan suami?
nya, Kak Rani?" dengus Rudi kembali tampak ma?rah.
"Atau kau juga sudah terkena guna-guna" Se?perti
halnya Papa?" Maharani seketika dibuat diam, tercengang. Suami?
nya?lah yang kemudian menanggapi, tersenyum. Bibir
Anggadireja pada lukisan tua di atas tungku pen?
diangan, diam-diam taampak seperti meng?geliat
tersenyum. "Guna-guna, Rud?"
"Persis!" Rudi balas bersemangat dan terkesan
meng?ejek, "Dan itu sudah berlangsung semenjak
lama. Buktinya sudah ada. Alamarhum Papa langsung
meng?adopsi anak mereka begitu dilahirkan. Tanpa
se?dikit pun Papa terpikir, bahwa yang dia adopsi ada?
lah anak seorang pembantu...!" Menyeringai lebar ka?
rena merasa di atas angin, Rudi pun cepat me?nambah?
kan dengan nada terhina. "Bukankah itu sangat
me??malukan?" Krompyang! Baki dari bahan kaca campuran di tangan Sarijah
se?ketika jatuh ke lan?tai. Dan langsung pecah be?
rantakan. Lalu tanpa memedulikan apa yang telah ia
jatuhkan, Sarijah yang wajahnya pucat seperti mayat,
langsung berlari-?lari meninggalkan ruang duduk. Lari
yang tampak tersuruk-suruk. Jelas oleh perasaan shock
yang tidak tertanggungkan.
Rudi mengawasi kepergian pelayan mereka dengan
i-Kolam Darah.indd 53 53 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 54 seringai gembira di bibir. Seringai yang seketika
lenyap, manakala kemudian ia lihat tiga pasang mata
yang masih duduk bersamanya, tampak mengawasi
dirinya dengan tatapan marah.
"Apa?" desah Rudi kemudian dengan lagak tak ber?
dosa. "Mas sudah berjanji...!" Elisa membuka mulut di?
sertai napas yang terdeng?ar sesak. "Akan menahan diri
selama kita berada di sini!"
"Apa hakmu melarangku?" tembal Agus membela
diri. "Aku berada di rumah keluargaku. Di rumahku
sendiri!" Turun dari kursi untuk mengumpulkan pecahan
baki kaca di lantai, Elisa menanggapi dengan ketus.
"Di rumahmu, benar. Tetapi mana perasaan hormat
Mas pada almarhum?" Diam sesaat untuk menerima
sendok sampah yang cepat diambilkan oleh Maharani,
Elisa menambahkan. Marah. "Jenazahnya saja bahkan
belum dikubur!" Berkata demikian, Elisa pun berlalu marah dengan
sendok sampah berisi tumpukan pecahan baki. Setelah
itu Suherman akhirnya membuka mulut, lalu ber?bicara
dingin serta datar pada adik iparnya, "Kau lihat,
bukan?" Rudi dibuat terdiam seketika.
Menggeleng prihatin, Suherman bangkit dari
duduknya sambil berbicara murung, "Aku mendadak
lelah, ingin istirahat. Tak apa, kan?"
54 9/25/2013 8:42:36 AM Lantas Suher?man pun berlalu menuju tangga naik
ke lantai atas, diikuti oleh Maharani yang sebelum
meng?hilang sempat mengawasi Rudi dangan pandang?
an menyesalkan. Rudi mencoba tersenyum, tetapi gagal.
Marah pada diri sendiri, Rudi kemudian meng?
angkat cangkir teh di hadapannya. Pas isinya akan
diteguk, Rudi kemudian diam tertegun mengawasi
teh di dalam cangkir. Bagaimana kalau teh yang ia
mi?num mengandung racun"
Ah, mana Ijah berani! "Lagi pula, di darahku mengalir darah seorang per?
tapa!" Rudi membatin lantas berpaling ke arah lukisan
tua di atas tungku pendiangan. "Bukankah begitu,
Juragan Besar?" tanya Rudi, menyeringai.
Sang kakek buyut tentu saja diam membisu tak
me?nyahuti. Tetapi diamnya Anggadireja dianggap
Rudi sebagai persetujuan. Maka dengan gembira Rudi
pun mengacungkan cangkir ke arah lukisan tua di?
maksud, seakan mengajak toast. Lalu meneguk isi
cangkir di tangannya dengan penuh keyakinan diri.
Tam?pak menikmati. Tanpa melihat bagaimana bibir
yang tersenyum tipis dari sang kakek buyut bergerak
menggeliat. Hidup. Lantas kembali tersenyum.
Mengejek. i-Kolam Darah.indd 55 55 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 56 7 Membuang pecahan baki ke keranjang sampah
di dapur, Elisa menggerutu marah karena pernyataan
keras suaminya tadi, "Itu berarti dia boleh berbuat
sesuka hati, tanpa memedulikan perasaanku sebagai
istri?nya. Aku juga tak punya hak suara. Sama se?
Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perti?" Sarijah, astaga. Mengapa Elisa sampai melupakan?
nya" Berjuang keras menahan ego serta kemarahannya,
Elisa kemudian meninggalkan dapur menuju paviliun
di belakang rumah induk. Melalui pintu ka?mar pem?
bantu mereka yang setengah terbuka, ia melihat
Sarijah tengah duduk terisak di pinggir ranjang dan
masih sempat mendengar apa yang ditangis?kan pe?
rempuan malang itu. "Ya Allah, Tuhanku, mengapa semua harus terjadi
56 9/25/2013 8:42:36 AM seperti ini" Haruskah aku menjelaskan semuanya pada
mereka?" Menjelaskan apa" Elisa sempat terhenti menegun lantas diam-diam
men?curi dengar. "Tidak. Itu tidak boleh kulakukan. Terkutuklah
aku bila itu kuberitahu pada mereka..." kembali tangis
Sarijah terdengar. Elisa masih diam menunggu namun yang terdengar
se?telahnya hanya suara sesenggukan belaka. Sesengguk?
an orang yang hatinya terluka. Elisa mulanya akan
rnem?biarkan dan akan masuk lagi ke rumah induk.
Tetapi Sarijah secara tak sengaja sudah telanjur me?
lihat dirinya. Yang seketika membuat Sarijah bangkit
terkejut dan sekaligus menyeka air matanya, sambil
menyapa dangan senyuman yang dipaksakan.
"Eh, Neng Lies. Ada yang bisa saya ban?tu?"
"Oh, tidak. Aku..." Sempat gugup karena
dipergoki, Elisa kemudian balas tersenyum. Lalu
dangan cepat mengutarakan maksud kedatangannya
menemui Sarijah. "Suamiku, Mas Rudi. Pikirannya
sedang ka?cau, jadi..."
"Saya mengerti..." Sarijah menukas sambil tampak
menguasai diri. Dan senyuman bibir tuanya pun kini
tampak lebih lepas. "Tak apa, Neng. Lupakan saja.
Tan?pa diminta pun, saya sudah memaafkan suami
Neng. Apalagi, dia itu sudah seperti anak saya sen?
diri!" i-Kolam Darah.indd 57 57 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 58 "Terima kasih, Bi. Eh, boleh masuk?"
"Silakan," jawab Sarijah sambil tampak heran. Lan?
tas cepat membenahi seprai ranjangnya yang awutawutan supaya terlihat lebih rapi. "Aduh, maaf kamar
saya berantakan begini!"
"Tak apa," Elisa mengulangi ucapan Sarijah tadi.
Lantas duduk sesantai mungkin. "Dan tak usah repotrepot mengambilkan aku minuman. Aku hanya i?ngin
rileks sebentar untuk mengurangi ketegangan pikir?an."
"Tegang, Neng?" Sarijah tampak semakin heran.
"Kau duduklah di sampingku," Elisa berkata meng?
ajak. "Dan anggap aku ini temanmu, supaya kita da?
pat mengobrol dengan leluasa."
"Mengenai apa, Neng?" tanya Sarijah seraya duduk
patuh dan sopan di samping Elisa.
"Yah... Misalnya tentang keluarga apa sesungguh?
nya yang selama ini kumasuki," jawab Elisa setelah
diam berpikir sejenak. "Maksud Neng?" "Bi Ijah mungkin sudah dengar bahwa aku dan
mas Rudi baru saling kenal"atau katakanlah ber?
pacaran, sekitar tiga bulan. Kemudian kami memutus?
kan untuk menikah!" "Aduh. sumpah mati," komentar Sarijah. Ia tampak
ter?tarik dan seperti sudah melupakan apa yang tadi
mem?buatnya menangis. "Saya baru dengar sekarang.
Dari mulut Neng...!"
"Ya, sudah. Lagi pula yang ingin kubicarakan bu?
58 9/25/2013 8:42:36 AM kan mengenai itu..." Elisa cepat mengalihkan. Sambil
tak tahu dari mana harus memulai.
"Apa yang Neng ingin bicarakan?"
Diam berpikir lagi sejenak, Elisa kemudian men?
jawab raga-ragu. Kuatir menyinggung perasaan Sarijah,
"Agus, misalnya. Baru belakangan ini aku tahu dia
adalah saudara angkat Mas Rudi."
Sarijah diam menunggu. Tahu ke mana arah pem?
bicara?an, yang kemudian memang diutarakan juga
akhir?nya oleh Elisa. "Bagaimana sih asal muasalnya.
Mengapa justru anakmu yang diadopsi. Bukan anak
orang lain?" Tampak terdiam sejenak, akhirnya Sarijah men?
jawab tersenyum, "Saya sendiri tidak tahu pasti,
Neng. Kecuali bahwa?" Diam lagi sejenak sambil
wa?jah?nya tampak berubah murung, Sarijah melanjut?
kan. "Yang saya tahu, alrnar?hum Juragan sangat men?
dambakan anak pertamanya laki-laki. Tetapi yang ke?
mudian lahir, ternyata perempuan..."
"Maharani!" Ijah mengangguk dan meneruskan dengan wajah
se?tengah melamun. "Meski tetap menerima kehadiran Neng Rani se?
bagai anaknya, Juragan sempat kecewa berat. Apalagi
setelah kelahiran Neng Rani, Juragan istri sempat ke?
guguran setelah usia kandungannya yang kedua men?
capai empat bulan. Dan janin yang lahir mati, ter?
nyata laki-laki pula!"
i-Kolam Darah.indd 59 59 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 60 "Oh" Lantas?"
"Semenjak itu, Juragan jadi uring-uringan. Dan
me?larikan kekecewaannya ke meja judi atau minum?
an keras, tanpa ada yang mampu mencegah. Apalagi
saya dan suami saya yang hanya pembantu..." Diam
lagi sambil wajahnya tampak semakin murung,
Sarijah me?neruskan. "Kasihan Juragan istri. Terus
memaksa?kan diri untuk hamil, tetapi keguguran lagi,
lantas sakit-sakitan. Karena tahu dirinya telah me?
ngecewakan sang suami. Mana, semakin sering pula
jadi sasaran kemarahan. Terutama kalau Juragan
Suharyadi pulang ke rumah dalam keadaan mabuk
berat...!" Seperti malam itu, pikir Sarijah. Murung.
Malam paling mengerikan dalam perjalanan hidup
Sarijah, hampir tiga puluh tahun silam. Ketika ia be?
serta suaminya masih menempati kamar be?lakang ru?
mah majikan mereka karena waktu itu paviliun be?lum
dibangun. Dan seperti biasa, Sarijah lebih dulu ingin
meyakinkan bahwa semua pintu dan jendela sudah
terkunci dangan aman. Baru setelahnya tidur me?
nyusul sang suami yang tak kuat melawan kan?tuk.
Masuk ke ruang tengah, ia melihat Suharyadi yang
baru pulang dari main judi sedang ribut berbicara
me?ngumpati lukisan tua di atas tungku pen?diangan.
Dangan botol minuman keras di tangannya, diacung?
kan ke arah lukisan dimaksud.
"Kau sih, enak. Punya bini Belanda, punya sekian
60 9/25/2013 8:42:36 AM orang gundik! Tinggal menggilir mana yang kau suka!
Aku?" Sarijah sebenarnya sudah bermaksud menyingkir
saja. Tetapi ia keburu melihat ada botol minuman
ko?song tergelimpang di dekat kaki meja. Juga tampak
ada?nya tumpahan minuman keras yang bau alkohol?
nya terasa menyengat hidung. Kuatir tumpahan ter?
sebut bisa menimbulkan kebakaran karena api di
tungku pendiangan sedang menyala, Sarijah cepat
meng?hambur ke dapur untuk mengambil pengepel
basah. Lalu cepat lagi kembali ke ruang tengah di
mana sang majikan masih terus mengomel sambil
tegaknya tampak sempoyongan.
"Sudah tak mampu memberiku anak laki-laki, eh
malah sakit-?sakitan lagi. Mana kalau lagi ingin me?
nidurinya, Ningrum sering harus kupak?sa...!"
Berpura-pura tak mendengar, Sarijah diam-diam
sibuk mengepel tumpahan alkohol di lantai. Dan
baru saja akan menyambar botol kosong untuk dia
singkirkan ke dapur, manakala terdengar suara ber?
tanya sang majikan. Pertanyaan heran, "Eh, Ningrum. Kok malah sibuk
mengepel. Bukannya tidur?"
Terkejut, Sarijah berpaling dan melihat sang majik?
an tengah mengawasi dirinya. Sambil berbicara ter?
kagum-kagum. "Dan kau, malam ini tampak begitu cantik. Juga
i-Kolam Darah.indd 61 61 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 62 montok berisi, seperti ketika kau dulu masih perawan
ting?ting...!" Sadarlah Sarijah, bahwa dalam mabuk beratnya
sang majikan telah sa?lah melihat orang. Cepat bangkit
dangan pengepel basah di tangannya, Sarijah cepat
pula mengomentari gugup. "Maaf, Juragan. Saya..."
"Juragan?" Suharyadi menyeringai lebar. "Kau me?
manggilku Juragan?" Sarijah akan menjawab, tetapi
lagi-lagi sang majikan mendahului, "Iya juga,
Ningrum. Aku ini suamimu. Juraganmu. Dan sebagai
juragan?mu, aku ber?hak menuntut pelayanan yang
baik dan memuaskan darimu, bukan?"
"Layanan apa, Juragan?" tanya Sarijah mulai ke?
takut?an. Apalagi sete?lah melihat sikap dan pandangan
liar mata sang majikan yang mendekat dangan cepat,
meski sambil setengah sempoyongan.
"Kau pasti tahu apa maksudku!"
Seketika mengerti, Sarijah cepat menjatuhkan diri
di lantai. Sambil berbicara memohon-mohon, " Am?
pun, Juragan. Juragan pasti sudah salah melihat orang.
Dan..." "Jangan berpura-pura, Ningrumku terkasih..." jawab
sang majikan menyela sambil cepat mendekat, dengan
langkah kaki pun tampak sempoyongan, "Kau pasti
tahu apa maksudku!" "Tetapi, Juragan. Saya..." Sarijah pun panik seke?
tika, siap untuk minggat.
62 9/25/2013 8:42:36 AM Tetapi"mungkin itulah kelebihan orang yang
sedang mabuk berat, Suharyadi tahu gelagat. Ia cepat
melompat menghalangi Sarijah yang sudah akan
ambil langkah seribu. Sebelum Sarijah sempat me?
mutar tubuh untuk lari ke arah lain, sang majikan
sudah keburu meraih tangan lalu merangkul tubuhnya
erat-erat. Sambil berbicara liar, "Ayolah, Ning?rum, kekasihku.
Kau tahu betapa aku mengingin?kan diri?mu. Sangat
ingin..." "Aduh. Juragan. Tolonglah. Saya..."
Tetapi bibir Sarijah sudah terkunci oleh lumatan
liar bibir sang majikan yang seakan ingin menelan
habis bibir Sarijah. Sambil berbicara tersengak di?
antara lonjakan berahi serta bau alkohol yang me?
nyengat di antara napasnya yang memburu, "Kau su?
dah lama tidak melayaniku. Sekaranglah saat?nya.
Ka?rena aku tahu, kau juga menginginkannya!"
"Ampun, Juragan. Saya Sarijah. Lepaskan, Jura?
gan...!" Sarijah berusaha meronta dan melepaskan diri
de?ngan panik. Ia sudah akan menjerit minta to?long,
manakala sang majikan tiba-tiba memperlihatkan
kemarahan. "Jangan menipu aku, Ningrum!"
"Aduh. Saya..."
"Hem, Agaknya, kau harus dipaksa. Seperti biasa!
Begitu, bukan?" Berkata demikian, Suharyadi dengan marah men?
i-Kolam Darah.indd 63 63 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 64 jatuh?kan Sarijah ke lantai. Sekaligus menghantamkan
botol minuman di tangannya ke tepi meja, yang se?
ketika pecah terpotong. Lalu potongan kaca botol
yang tergenggam di tangannya, secepat kilat sudah
di?arahkan bahkan kemudian ditempelkan ke leher
Sarijah, yang tak kuasa bergerak. Karena begitu jatuh
ke lantai, tubuhnya langsung dikangkangi dan dikepit
dangan kuat oleh sepasang kaki sang majikan.
Sambil Suharyadi menggeram marah, " Dasar istri
tak tahu diri...!" Ada rasa perih dan Sarijah sadar lehernya tergores
sudah. Yang seketika membuat Sarijah dicekam ke?
ngerian yang sangat. Bergerak sedikit saja, bukan
mus?tahil tenggorokannya akan ditembus ujung tajam
pecahan botol. Maka Sarijah pun diam mem?beku,
namun masih berusaha memohon. Bukan de?ngan
kata-kata, karena untuk berbicara pun Sarijah tak
berani. Sarijah hanya bisa memohon dangan linang?an
air mata. Malang, tak ditanggapi. Karena sang majikan justru
berbicara lebih garang dan buas. "Silakan pilih. Leher?
mu, atau melayaniku!"
Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sarijah diam membeku. Juga tetap diam dalam
kengerian yang teramat sangat, manakala tangan sang
majikan yang bebas dengan leluasa menarik turun
pelapis dalam roknya. Sarijah hanya? bisa menangis
dan terus menangis sambil matanya terpejam ngeri.
Dan di tengah kegelapan pandang dan kengerian
64 9/25/2013 8:42:36 AM yang sangat itu, Sarijah me?rasakan sesuatu masuk ke
dalam tubuhnya. Menghunjam dan te?rus menghunjam dangan buas
dan liar. Bagaikan seekor ular raksasa yang kelaparan
dan tahu-tahu menemukan mangsa terperangkap sen?
diri di dalam sarangnya yang dalam dan hangat.
"Bi Ijah?" Suara yang di telinga Sarijah terdengar sayup itu,
seketika membang?unkan dan sekaligus mengangkat
Sarijah dari dalam kegelapan yang sangat menyiksa.
Lalu ketika ia menoleh ke arah suara itu terdengar,
terlihatlah wajah kuatir Elisa yang sudah memegangi
tangannya. Sambil bertanya, "Ada apa, Bi" Kok kau
malah menangis lagi?"
Mengejut tersadar, Sarijah pun buru-buru menyeka
air matanya. Lantas menyahuti, kalang-kabut, "Eh,
tidak Neng. Eh, anu"aduh! "
Lantas meski jauh di sanubari cekaman kengerian
itu masih be?lum sepenuhnya menghilang, Sarijah
cepat menambahkan, sambil berlagak malu. "Sampai
di mana pembicaraan saya tadi?"
"Almarhum majikanmu..." jawab Elisa, sambil
diam-diam curiga. "Dia suka pulang dalam keadaan
mabuk berat. Lalu?" Lalu hebatnya, sewaktu muncul untuk makan siang
keesokan harinya, Suharyadi tampak bukan hanya
lebih segar tetapi juga gembira. Lalu seperti biasa,
i-Kolam Darah.indd 65 65 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 66 berceloteh pada Ardi yang tengah melayaninya makan,
"Tahu kau, Ardi" Istriku hebat sekali tadi malam. Dia
melayaniku tanpa lelah. Sampai dua kali...." Lalu pada
Sarijah. "Eh, mengapa lehermu diplester?" Yang ke?
mudian dijawab sendiri sambil tertawa membahak.
"Pasti luka oleh kuku suamimu yang kelewat ber?
nafsu. Hahaha...!" Sarijah ingin menangis lagi, tetapi pengalaman
lebih dari seperempat abad sudah lebih dari cukup
untuk Sarijah mampu menguasai diri dengan cepat.
Maka, lain yang teringat lain yang ia lontarkan lewat
mulut, " Sa?ya tak kuat menahan haru, Neng...!"
"Terharu kenapa?"
"Apakah tadi saya bercerita betapa almarhum sa?
ngat mendambakan anak laki-laki?" Sarijah balik ber?
tanya. Sambil diam-diam berpikir betapa aneh dan
muyskilnya alam mengatur kehidupan manusia.
Elisa menyahuti dengan anggukan, sambil tampak
menunggu. "Nah, Di situlah semuanya bermula..."
Tidak. Semuanya bermula di lantai depan tungku pen?
diang?an, pikir Sarijah. Sambil kepada Elisa ia bercerita
apa adanya"dan dengan jujur pula tanpa menutupi
apa pun, bagaimana Suharyadi buru-buru pulang dari
pekerjaaannya begitu mendangar Sarijah sudah me?
lahirkan. Dan keti?ka mengetahui lalu melihat yang
lahir adalah bayi laki-laki, Suharyadi langsung me?
66 9/25/2013 8:42:36 AM mangku sang bayi sambil berbicara gembira dangan
sorot ma?ta memperlihatkan perasaan rindu yang
sudah lama tak kesampaian.
"Wah, hebat. Sudah anak jago, cakep pula lagi. Si?
apa tadi kau bilang namanya, Ardi?"
Tubagus, itulah nama yang sebenarnya diinginkan
oleh Ardi maupun Sarijah jika kelak yang lahir adalah
anak laki-laki. Tetapi itu terlalu ningrat, meski mereka
berdua menyadari bahwa di dalam tubuh sang bayi
juga mengalir darah keturunan ningrat.
Maka sebagai pelayan yang setia serta tahu diri,
mereka putuskan untuk mengambil nama yang terde?
kat dengan Tubagus, serta sesuai pula dengan status
sosial mereka: A?gus. "Agus. Nama yang juga hebat!" komentar sang
juragan. Yang setelah diam berpikir sejenak, tiba-tiba
bertanya serius pada Ardi serta Sari?jah, "Bagaimana
kalau nama belakangnya bukan Ardi atau Sutardi.
Me?lainkan"Suharyadi?"
Pertanyaan yang membuat Ardi maupun Sarijah
sama terkejut. Saking terkejut, membuat keduanya
sama pula berdiam diri. Yang ditanggapi keliru oleh majikan mereka, "Akan
kubayar berapa pun kalian minta, asal kalian berdua
menyetujuinya!" "Menyetujui apa, Juragan?" tanya Ardi, terbatabata.
i-Kolam Darah.indd 67 67 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 68 "Anak kalian ini kuadopsi. Sebagai anakku sen?
diri...!" "Dan, kalian pun menyetujuinya..." kembali Elisa me?
nyadarkan Sari?jah dari masa lalu. "Itulah yang aku
de?ngar!" Sarijah mengangguk mengiyakan, "Tetapi per?setuju?
an itu kami beri lebih dikarenakan mengingat niat baik
Juragan mengadopsi anak kami. Sebagai pe?man?
cing...!" "Dengan harapan istrinya cepat hamil lagi. Lantas
me?lahirkan anak laki-laki," kata Elisa. Mendugaduga.
"Persis!" angguk Sarijah. Lantas menambahkan, ter?
senyum. "Lucunya, pas pada hari surat adopsi ditanda?
tangani, Juragan Nyonya mendadak mun?tah-muntah!"
"Wah, kok...?" desah Elisa, terkejut bercampur
heran. "Awal kehamilan. Masa iya Neng tidak tahu?"
Diam berpikir sesaat, Elisa pun menepuk jidat sen?
diri lantas menanggapi tertawa." "Bodohnya aku ini.
Mas Rudi, pasti!" "Begitulah nyatanya," Sarijah membenarkan. Ia ter?
senyum melihat kelakuan Elisa.
"Dan, untuk semua keberuntungannya itu. Kalian
pasti dibayar mahal oleh almarhum mertuaku ya?"
"Dibayar, Neng?"
"Tetapi tadi kau bilang, sewaktu akan diadopsi..."
68 9/25/2013 8:42:36 AM "Oh, itu..." Sarijah kembali tersenyum. " Kami tak
menerima satu sen pun juga!"
"Tak satu sen pun?" tanya Elisa mengulangi ucapan
Sarijah, tak per?caya. "Menyangkut tawaran baik serta sangat kami hor?
mati itu, saya dan suami saya satu kata. Bahwa anak
yang dilahirkan itu adalah amanah dan titipan Tuhan,"
Sarijah menjelaskan. Lalu manambahkan, tenang tetapi
terde?ngar khidmat. "Tidak untuk dijual"!"
"Begitu saja?" Elisa masih tak percaya, "Kalian ti?
dak menuntut apa pun juga sebagai kompensasi?"
Sarijah menggeleng. "Kami hanya mengajukan syarat balik. Bahwa,
anak kami Agus tetap dalam asuhan kami sebagai
orang?tua kandungnya. Termasuk menghidupinya!"
"Lalu, almarhum mertuaku?"
"Kami persilahkan mengasihi dan menyayangi
Agus. Sebagaimana beliau inginkan. Termasuk pem?
berian materi. Karena yang terakhir itu, kami anggap
adalah juga haknya sebagai seorang ayah. Terlepas dia
ayah angkat atau bukan...!"
"Hem. Alangkah beruntungnya Agus..." desah Elisa
yang semakin banyak tahu mengenai kehidupan
keluarga suaminya, "Bisa punya orangtua hebat seperti
kalian berdua!" Sarijah diam tersenyum. Namun jauh di sanubari,
betapa ia ingin menjeritkan tangis.
Elisa juga diam, mengawasi Sarijah sejenak serta
i-Kolam Darah.indd 69 69 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 70 melihat kejujuran di wajah teman bicaranya. Diamnya
Elisa adalah diam penyesalan, yang kemudian ia
keluar??kan dengan murung. "Dan, suamiku. Masih
saja berbicara lancang, menuduh yang bukan-bukan
pada kalian berdua...!"
Sarijah cepat menanggapi. Polos, "Tak apa, Neng.
Saya dan suami saya sudah terbiasa, kok!"
"Terbiasa" Dituduh main guna-guna. Lalu kini,
membunuh?" Sarijah kembali diam. Tak mengomentari.
Membiarkan Elisa menjawab sendiri pertanyaannya
tadi sambil kembali tampak murung. "Pasti karena
suami?ku bukan hanya sedang kacau. Tetapi juga,
sudah sangat terpengaruh oleh apa yang dituduhkan
oleh polisi...!" "Tudingan membunuh Neng, jauh-jauh hari juga
sudah acap kali kami dengar," Sarijah akhirnya me?
ngomentari. "Meski tidak selangsung tadi di ruang
duduk itu...!" "Oh ya" Membunuh siapa pula?"
"Neng sendiri tadi sudah dengar, bukan?" jawab
Sarijah. Disertai senyuman pahit. Tanpa terlihat ada?nya
kesan sakit hati, tentunya. "Ibunya Den Rudi dan
Neng Rani...!" Tampak berminat, Elisa cepat bertanya, ingin tahu.
"Mau bercerita apa sesungguhnya yang terjadi?"
"Ceritanya menyedihkan, Neng." jawab Sarijah lirih
dangan sepasang mata menerawang. Jauh. "Tetapi apa
70 9/25/2013 8:42:36 AM pun yang terjadi waktu itu, bukanlah sepenuhnya ke?
salahan suami saya..."
Diam melamun sesaat, Sarijah ke?mudian menam?
bah?kan, getir. "Boleh jadi, yang salah adalah asap ke?
menyan itu!" Tak pelak lagi, Elisa langsung mendesah, bingung.
"Asap kemenyan?"
i-Kolam Darah.indd 71 71 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 72 8 A NJURAN dukun. Itulah yang dilaksanakan
Suharyadi ketika akhirnya Ningrum mengan?dung
lagi. "Juragan Besar hidup tak tentu rimba mati tak ten?
tu kubur, bukan" Maka, meminta dan pujalah dia
dengan menempatkan sepasang dupa keme?nyan di
bawah lukisannya. Dan asapi lukisan itu di setiap
awal dan u?jung bulan, sampai saat-saat terakhir istri?
mu akan melahirkan."
Mengapa harus sepasang dupa"
"Sesuai dengan keinginanmu, punya anak lengkap
sepasang. Yang perem?puan sudah. Laki-lakinya be?
lum." Dan pedupaan ganda pun dinyalakan oleh
Suharyadi pada setiap malam awal serta akhir bulan,
sambil memohon pada lukisan tua di atas dupa ganda
72 9/25/2013 8:42:36 AM itu terpasang. "Tolong dan kasihanilah aku, Abah.
Turunkan rohmu dan jadikan anakku yang lahir kelak
laki-laki!" Hanya itu. Dupa ganda, asap kemenyan yang me?
nyapu lukisan di atas tungku pendiangan, serta
permohonan yang sama. Tak ada sesaji atau per?syarat?
an lain, sehingga Suharyadi mampu melakukannya
sendiri tanpa harus didampingi sang dukun. Prosesi
rutin itu berjalan 1ancar-lancar saja tanpa pernah ada
gangguan kecuali sesekali protes dari Ningrum yang
mulanya tak kuat menahan bau asap kemenyan tetapi
lama-lama lantas terbiasa lalu membiarkan apa ke?
hendak sang suami. Lalu, terjadilah musibah itu.
Pas usia kandungan Ningrum mencapai sembilan
bulan dan bidan bi?lang hanya tinggal menghitung
hari, Suharyadi sedemikian bersemangat dan nyaris
tak berhenti menjatuhkan keping demi keping ke?
menyan ke dupa ganda yang terpasang di kiri kanan
tungku pendiangan, sehingga asapnya bo?leh dibilang
mengasapi hampir seantero rumah.
Pelayan setianya Ardi yang terus mendampingi
untuk selalu siap dengan bongkahan kemenyan mau?
pun arang sudah menasihati agar majikannya tidak
terlalu berlebihan. Tetapi dangan semangat tinggi Suharyadi cepat me?
nanggapi. "Supaya lebih afdol, Ardi. Hehehe..." Lalu
sambil tertawa mengekeh Suharyadi ganti berbicara
i-Kolam Darah.indd 73 73
Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 74 pada lukisan tua di atas tungku pendiangan. "Bukan?
kah begitu, Abah" Biar?lah asap kemenyan menyebar
ke mana-mana, sehingga di mana pun kau atau roh?
mu men?dekam, kau dapat membauinya lantas me?
ngabul?kan permohonanku."
Sementara Ardi terbatuk-batuk dan Suharyadi mem?
baui kepulan asap dupa yang semakin menebal de?
ngan wajah tampak menikmati, Maharani yang kala
itu masih bocah justru dibuat sesak napas, lantas me?
lapor ketakutan pada ibunya.
"Ampun, Mama. Rani tak kuat lagi..."
Ningrum masih mencoba membujuk dan menidur?
kan anak pertamanya itu, namun lama kelamaan hi?
dung?nya sendiri pun ikut dibuat sesak oleh sema?kin
banyaknya asap kemenyan yang memasuki kamar
tidur mereka. Jengkel, Ningrum pun bergegas keluar
dari kamar. Lalu dari undakan tangga di lantai atas,
ber?seru marah pada sang suami.
"Apa-apaan kau ini, Pak" Kau mau membunuh aku
dan anakmu ya?" Suharyadi yang saat itu sedang mengambil keping?
an kemenyan dari mangkuk di tangan Ardi, malah
menyahuti gembira, "Lihat Ningrum. Semangkok pe?
nuh. Kini tinggal sedikit lagi. Bersabarlah, hehehe!"
"Bersabar apaan!" teriak Ningrum dari lantai atas.
"Kau telah menyesaki seisi rumah dengan bau kubur?
an!" Kegembiraan Suharyadi tampak melenyap seketika.
74 9/25/2013 8:42:36 AM "Jangan sembarang omong, Ningrum!" balasnya
tersinggung. "Dan demi bayi dalam kandunganmu,
me?nyingkirlah. Atau kau bisa celaka...!"
Ardi sempat terkejut mendengar kalimat terakhir
yang diucapkan majikannya karena menganggap kali?
mat itu"disadari atau tidak oleh Suharyadi, dapat
ber?akibat kualat. Belum sempat ia menasihati sang
maji?kan untuk menarik kata-katanya, majikannya
yang perempuan tampak sudah bergegas menuruni
tangga sambil dengan marah mengeluarkan perintah
yang ditujukan pada Ardi.
"Ambilkan aku seember air, Ardi!"
Seember air. Jelas sudah maksudnya akan menyiram
padam dupa ganda di kiri kanan tungku yang terus
saja mengepulkan asap karena Suharyadi sudah sibuk
menambahkan lebih banyak lagi keping kemenyan
sambil sibuk pula meniup apinya agar tetap membara.
Ardi sempat kebingungan, kemauan siapa yang harus
ia turut. Juragan istri yang tampaknya sudah mulai
pitam, atau sang suami yang terus meniupi bara dupa
bagai orang kesurupan. Sampai kemudian perintah itu
ia dengar diulang kembali.
Dengan lebih keras, "Tunggu apa lagi" Am?bilkan
kubilang! "Saya, Juragan..." jawab Ardi ragu-ragu dan sudah
akan berlalu untuk memenuhi permintaan majikan
perempuannya manakala di antara tebaran asap ke?
menyan ia melihat Ningrum terpeleset karena kakinya
i-Kolam Darah.indd 75 75 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 76 salah menginjak tangga. Tak pelak lagi Ningrum ter?
pekik, berbarengan dangan pekik ngeri Maharani yang
memperhatikan dari lantai atas, "Mama...!"
"Tuhanku...!" ucap Ardi terkesiap sambil cepat
memutar langkah dan berlari menuju tangga di mana
majikan perempuannya tampak terguling jatuh.
Ardi tiba di ujung tangga terbawah, tepat pada
saat Ningrum yang kembali terguling tampak bagai
terlempar ke depan. Lalu ia jatuh di antara kedua le?
ngan Ardi yang menyambut secara naluriah. Ardi
ber?hasil, tetapi bobot tubuh yang melayang ke arah
tubuhnya sedemikian berat"mungkin akibat tarikan
gravitasi bumi. Akibatnya fatal, Ardi bersama tubuh
yang sempat ia sambut dan rangkul, terbanting ke
bela?kang. Lalu jatuh terempas di lan?tai dengan tubuh
Ardi maupun sang majikan yang panik bergerak
setengah memutar. Ardi yang merasakan tulang-tulang punggungnya
bagai berderak meng?hantam lantai, secara naluriah
ma?sih sempat berjuang mempertahankan agar
kandung??an sang majikan tetap berada dalam rangkul?
annya. Malang, putaran tubuh sang majikan saat
terjatuh, sudah lebih dulu bergerak ke posisi yang
salah. Perutnya yang besar memang terhalang dan ter?
selamatkan oleh rangkulan Ardi. Tetapi tidak demi?
kian halnya kepala Ningrum, yang oleh putaran
tubuh?nya, terempas kuat ke permukaan lantai yang
dingin dan keras. 76 9/25/2013 8:42:36 AM Ardi sempat mendengar suara keluhan lemah dari
mulut sang majikan. Namun tidak ada suara apa pun
lagi setelah Ardi dangan ha?ti-hati merebahkan tubuh
sang majikan dalam posisi nyaman di lantai, sambil
memanggil kuatir, "Juragan?"
Tak ada reaksi. Juga tak ada apa pun. Tidak suara. Juga tidak getaran tubuh maupun
denyut nadi! "Perdarahan otak..." Sarijah mengakhiri ceritanya sam?
bil menyeka air mata yang entah kapan sudah meng?
alir lagi. "Itulah yang dikatakan oleh dokter satu jam
kemudian. "Juragan istri pun lumpuh total, sampai
meng?embuskan napas terakhir tiga minggu setelah?nya.
Tanpa pernah sadar?kan diri..."
"Dan, bayinya?" tanya Elisa setengah tak sadar oleh
pengaruh cerita Sarijah, yang garis besarnya sudah
pernah ia dengar baik dari Maharani maupun suami?
nya Rudi. "Lucu Neng masih bertanya juga!" jawab Sarijah
sam?bil mencoba ter?senyum,
"Ah ya, astaga. Bodohnya aku ini!" untuk kedua
kali?nya Elisa terpak?sa menepuk jidat sendiri. "Suami?
ku, tentu!" Sarijah mengangguk. "Ajaib memang, Malah boleh dibilang sebagai muk?
jizat. Terutama di mata Juragan Suharyadi. Yang di sisi
i-Kolam Darah.indd 77 77 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 78 lain"sampai akhir hayatnya, tetap menganggap diri?
nyalah sebagai penyebab kematian Juragan istri...!"
"Karena ucapannya yang kualat." Elisa menyimpul?
kan sendiri. Lan?tas diam-diam menyesal karena ber?
bicara mengenai keburukan mertuanya yang sudah
al?marhum. Diam merenung sejenak, Elisa kembali
membuka mulut,. "Lantas, mengapa tudingan miring
itu justru dialamatkan pada suamimu?"
"Entahlah, Neng. Apalagi tudingan itu baru kami
de?ngar akhir-akhir ini saja. Tak tahu siapa yang me?
mulai..." "Hem, aneh!" Sarijah diam saja. Tidak mengomentari.
78 9/25/2013 8:42:36 AM 9 RUDI menenggak isi botol yang ia sambar dari rak
minuman model mi?ni bar di sudut ruang duduk, ber?
harap hatinya sedikit terhibur karena ditinggalkan
sen?dirian begitu saja. Sehingga merasa dirinya di?
anggap tak ubah penyakit kusta karena mendadak
dijauhi semua orang, termasuk Elisa.
Teta?pi bukannya terhibur, alkohol yang ia tenggak
justru lebih membangkit?kan sakit hati saja. Karena
Rudi sadar betul, kemarahan Elisa padanya sematamata bukan menyangkut tudingannya saja pada
Sarijah. Melainkan juga dikarenakan ada yang salah
pada dirinya sendiri. Suatu kesalahan teramat besar
dan sulit untuk diterima oleh Elisa dan mengakibat?kan
rumah tangga mereka kini berada diambang ke?hancur?
an. Diawali oleh diagnosa mengejutkan dokter pribadi
mereka di Surabaya. "Istrimu sudah ter?tular..."
i-Kolam Darah.indd 79 79 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 80 Dan yang menulari, Rudi sendiri!
Menenggak lagi isi botol di tangannya dengan
teguk??an rakus, Rudi mengangkat muka dengan marah
ke arah lukisan tua di atas tungku pendiangan lalu
men?denguskan pembelaan diri.
"Tetapi itu juga bukan salahku seorang, Iya toh?"
Kakek buyutnya hanya diam menatap. Dengan
sorot mata yang lembut, na?mun terasa dingin me?
nusuk. Belum lagi senyuman tipisnya yang misterius.
Dan seakan berbicara, sinis. "Oh ya?"
Tersinggung, Rudi meneruskan umpatan kemarahan?
nya. "Cucumu atau ayahku, Juragan Besar juga ikut ber?
salah. Karena ia tidak hanya mengabaikan, tetapi juga
dari waktu ke waktu terus mendiskreditkan aku se?
bagai penyebab kematian Mama...!"
Bukan tuduhan langsung, memang. Karena ayah?
nya, Suharyadi hanya mengatakan, "Operasi Caesar.
Dan aku diharuskan memilih. Kau atau ibumu...!"
Tetapi pernah sekali, ayahnya berteriak marah se?
telah salah satu aset perusahaan yang ia percayakan
untuk dikelola justru dibuat gulung tikar dalam
tempo singkat oleh Rudi. "Kalau tahu akan begini, aku lebih suka memilih
ibumu. Dia tahu berhemat dan berjuang. Kau?"
"Bukan aku yang membuat pilihan, Papa!" Rudi
pernah memberontak. Dan pukulan balik dari ayahnya sederhana saja.
80 9/25/2013 8:42:36 AM "Salah satu harus kuselamatkan, Rudi. Pikirkanlah
itu..." Ayahnya bukan hanya menginginkan, tetapi juga
mencintai dirinya. Sayang Rudi sudah melangkah terlalu jauh. Dan
Elisa yang tak berdosa apa-apa, ikut tertulari oleh
virus mematikan yang obat penyembuhnya en?tah
kapan akan ditemukan itu!
Menatap murung ke lukisan kakek buyutnya Rudi
pun mengeluh putus asa, "Andai aku bisa punya seki?
an orang gundik seperti kau, semua ini tak akan
pernah terjadi." Putus asa pula Rudi akan mengambil botol lain
dari rak karena yang ia pegang sudah kosong, ketika
bel pintu depan berdentang lantang menge?jutkan. Ka?
rena tak seorang pun penghuni lainnya yang muncul,
Rudi akhir?nya dengan terpaksa pergi membukakan
pintu dan langsung tertegun meli?hat Agus tahu-tahu
sudah berdiri di hadapannya. Kalau hanya Agus seo?
rang, tak apalah. Tetapi lihat siapa yang berdiri takuttakut di balik punggung saudara angkatnya itu!
Ardi, astaga! Seakan menyelami apa yang ada dalam pikiran
Rudi, Agus mencoba ter?senyum sambil menyapa se?
bagai?mana layaknya dua bersaudara yang sudah lama
tidak bertemu. "Hai, Rud. Apa kabar?"
i-Kolam Darah.indd 81 81 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 82 "Ayahmu...! " desah Rudi. Terkejut. "Kau bawa
pu?lang ke rumah ini?"
"Maaf, Rud, ayahku masih shock. Jadi nanti saja
hal itu kita bicarakan. Oke?"
Dan sebelum Rudi sempat menanggapi, Agus su?
dah membimbing ayahnya masuk sambil berkata
mem?bujuk. "Ayo, Pak, tak ada yang perlu ditakutkan.
Bapak aman bersamaku..."
"Tetapi..." gumam Ardi membata seraya menatap
cemas pada Rudi yang bergerak mengikuti sampai ke
ruang duduk. Setengah menyeret lengan ayahnya, Agus cepat me?
nimpali, "Ayolah, Mak pasti sudah tak sabar me?
nunggu." Menunggu sampai anak beranak itu berlalu dari
hadapannya, Rudi pun memanggil tak sabar ke arah
lantai atas. Setengah berteriak, "Kak Rani" Kang
Herman" Kemarilah, cepat!" Lantas selagi menunggu,
Rudi pun mengumpat marah. "Kurang ajar. Mem?
bawa si terkutuk itu kembali ke rumahku!"
"Rumahmu?" bisikan sayup tetapi tajam terdengar
menyentuh gendang telinga Rudi.
Diam tertegun sesaat, Rudi perlahan-lahan berbalik
tubuh. Menyapukan pandang ke belakang. Mestinya
Rudi langsung melihat ke atas tungku pen?diangan.
Karena pada saat yang sama, bibir yang tersenyum
tipis pada lu?kisan itu masih sempat menggeliat hidup
setelah melontarkan bisikan mengejeknya. Dan begitu
82 9/25/2013 8:42:36 AM
Kolam Darah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rudi akhirnya melihat ke arah yang benar, bibir pada
lukisan itu sudah kembali ke raut biasanya: tersenyum
tipis, mis?terius. "Ah, pasti aku salah dengar..." pikir Rudi kemudian
lantas kembali melihat ke arah tangga di mana tam?
pak Maharani dan suaminya sedang tu?run tergopohgopoh.
"Ada apa, Rud?" tanya sang kakak dengan wajah
mem?perlihatkan perasaan kuatir, "Suaramu seperti
orang menemukan bom!"
"Bomnya sedang menuju paviliun, Kak Rani," ja?
wab Rudi dengan seringai marah.
"Maksudmu?" tanya Herman bingung.
"Pak Ardi. Dia sudah dibawa pulang oleh Agus!"
Di luar harapan Rudi, Maharani seketika mengurut
dada sambil bergumam takjub. "Wah, hebat!"
Suherman cepat mengomentari dengan senyuman
lega. "Aku ikut senang mendengarnya, Sayangku!"
Suherman sudah akan merangkul sang istri untuk
lebih memperjelas pernyataannya, manakala gendang
telinga Suherman bagai disentuh getaran hawa di?
ngin yang langsung diikuti bisikan tajam dan me?
nuduh. "Kau pe?nipu!" Seperti halnya Rudi, Suherman juga melakukan
ke?salahan yang sama. Bukan?nya langsung melihat ke
bibir sang Juragan Besar yang menggeliatkan senyum?
an mengejek. Melainkan, ia lebih dulu menyapukan
i-Kolam Darah.indd 83 83 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 84 pan?dang ke sekitar, bahkan sernpat bertanya pada
Rudi. "Kau bilang apa barusan, Rud?"
"Aku?" Rudi balas bertanya. Heran, "Aku tidak me?
nyatakan apa-apa, Ha?nya bilang bahwa Pak Ardi..."
"Bukan yang itu!"
"Bukan" Tetapi..."
Suherman cepat menghela napas lantas menyapu?
kan pandang lagi ke sekitar. Sambil mendengus tak
se?nang, "Lantas siapa yang barusan menyebut aku
ada?lah penipu"!"
"Penipu?" Maharani ikut-ikutan heran.
Suherman tidak menjawab. Pandangan matanya
saat itu terfokus ka atas tungku pendiangan, ke arah
mana istri serta adik iparnya ikut memperha?tikan.
Na?mun tak tampak apa-apa. Lukisan itu tetap sebagai?
mana keadaannya selama seratus tahun. Membeku
diam, sambil menatap lembut dengan senyum tipisnya
yang misterius. Getaran hawa dingin, pikir Suherman. Mungkin?
kah" "Ah, sudahlah!" Suherman akhirnya memutuskan.
"Ayo kita temui saja Pak Ardi. Aku jadi ingin dengar
bagaimana pengalamannya selama terku?rung di dalam
sel penjara." Mereka baru akan melangkah ketika Agus lebih
dulu muncul, diikuti o?leh Elisa yang tampak gembira
namun sembari menyeka air mata. Buntut dari apa
84 9/25/2013 8:42:36 AM yang dilihatnya barusan di kamar paviliun: Ardi serta
Sarijah yang saling rangkul dan saling menangisi satu
sama lain. Begitu melihat Suherman, Agus langsung menyapa,
riang. "Wah, Kang Herman. Kau tampak makin sehat
dan gagah saja!" "Dan kau, Gus..." balas Suherman tersenyum se?
raya menyambut uluran ta?ngan hangat Agus. "Kulit?
mu kok lebih hitam dari terakhir kali aku melihat!"
"Namanya juga hidup di laut, Kang!"
Kegembiraan yang hanya berlangsung sesaat. Ka?
rena Rudi tahu-tahu su?dah memupus kegembiraan itu
dengan sungutan tak senang.
"Saudara angkatku yang hebat!"
Mendengar perkataan Rudi yang terkesan sinis itu,
mereka yang lain diam tertegun. Terutama Agus yang
jadi sasaran tembak, Rudi cepat me?lanjutkan, dengan
rona wajah tampak menahan ama?rah.
"Kau ba?yar berapa Inspektur polisi yang korup itu
sampai tega-teganya melepaskan pembunuh begitu
saja?" "Mas Rudi! " Elisa siap memperingatkan.
"Tak apa, Lies..."Agus menenangkan Elisa sambil
ber?usaha menahan emosinya sendiri yang terhasut
oleh kata-kata sinis yang ia dengar. Lalu pada Rudi,
lem?but dan tenang. "Faktanya, Rud. Aku hanya di?
i-Kolam Darah.indd 85 85 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 86 harus?kan mem?buat surat pernyataan bahwa ayahku
tidak akan melarikan diri atau mele?nyapkan barang
bukti. Dengan diriku sebagai jaminan, tentu!"
"Semudah itu," sergah Rudi tak percaya.
"Mengapa tidak?" Suherman menengahi, "Mereka
tak punya bukti yang kuat untuk berlama-lama me?
nahan Pak Ardi. Juga, motivasi..."
"Motivasi, eh?" Rudi menanggapi, marah. "Dulu,
almarhum Mama. Sebelum dia mati terbunuh. Mama
telanjur membuat surat wasiat. Bahwa bila dia me?
ninggal, sekian hektar tanah miliknya di utara per?
kebunan kita, dia hi?bahkan untuk Pak Ardi dan Mak
Ijah!" "Karena mereka berdua telah mengurus Mama da?
ngan baik!" Maharani ikut angkat bicara, "Aku men?
dengar sendiri Mama berbicara mengenai itu. Dan
jangan pula kau lupa, Rud. Mama bukan mati ter?
bunuh. Aku menyaksi?kan dengan mata sendiri. Bahwa
Mama meninggal karena kecelakaan..."
"Yang disengaja oleh Pak Ardi..." tembak Rudi di?
sertai senyuman menge?jek ke arah Agus, "Dengan cara,
diam-diam membenturkan kepala Mama ke lan?tai!"
"Astaga, Rud!" Maharani membelalak ngeri ber?
campur marah oleh apa yang ia dengar.
"Mas, sudahlah," Elisa memohon dangan suara me?
melas. Tetapi Rudi sudah keburu melanjutkan. Masih
dengan senyuman mengejek tetapi kali ini ia tujukan
86 9/25/2013 8:42:36 AM pada Suherman, "Lalu sekarang, Papa. Tahu apa moti?
vasinya, Kang Herman?"
Suherman diam. Tak menanggapi.
"Dia!" Rudi menjawab sendiri pertanyaannya sam?
bil menunjuk Agus, "Ayahnya sudah tak sabar untuk
me?lihat, kapan dan berapa Agus memperoleh bagian
waris!" "Itu"tidak benar!" bantah Agus serak menahan
marah. "Siapa bilang tidak" Kita semua tahu, termasuk Pak
Ardi. Bahwa dalam surat adopsi, Agus jelas-jelas di?
masukkan Papa sebagai pewaris!"
"Dengan tambahan kalimat," lagi Suherman me?
nengahi, "Yang jumlahnya akan ditentukan kemudi?
an!" Diam sesaat, Suherman meneruskan. "Dan sam?
pai akhir hayatnya, ayah kalian belum menetapkan
apa atau berapa presentasi yang dimaksud."
"Justru itu!" Rudi kembali tersenyum mengejek.
"Ka?rena belum dite?tapkan, Pak Ardi yang berpendidik?
an rendah lantas berpikiran cetek, pasti mengira bagi?
an anaknya sama dengan bagianku dan bagian Kak
Rani. Sekali lagi, oleh pikiran cetek!"
Ada dua tangan yang saat itu diam-diam mengepal
oleh amarah. Tangan Agus dan tangan istri Rudi sen?
diri, Elisa. Elisa tak mampu berkata-kata, karena napas?
nya mendadak terasa sesak. Agus-lah yang angkat
bicara. Ingin berteriak marah, tetapi toh masih mam?pu
menahan diri lantas berkata memelas.
i-Kolam Darah.indd 87 87 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 88 "Berhentilah menyudutkan aku, Rudi."
"Aku tidak bicara tentang kau!" senggak Rudi ma?
kin menjadi. "Aku bi?cara mengenai ayahmu!"
"Sama saja," komentar Agus. Dingin serta datar,
"Karena harga dirinya, adalah juga harga diriku!"
"Haha. Bagus, bagus!" Rudi menanggapi tertawa.
"Lalu di mana kau sim?pan harga dirimu. Ketika kau?
putuskan membawa ayahmu pulang ke rumah ini.
Rumah orang yang ia bunuh dan hartanya ingin ia
kangkangi?" Terkejut mendengar kata-kata adiknya, Maharani
mendesah ngeri. "Rud, tolonglah..."
Tetapi apa yang ditakutkan Maharani akhirnya
terjadi juga. Dengan wajah sampai telinganya tampak memerah
padam, Agus bergerak maju seperti akan memukul
Rudi. Rudi pun sudah sempat mundur, tampak ter?
kejut lantas ngeri. Tetapi ketika tangan Agus yang
tadi terkepal kini terangkat naik, bukanlah tinju yang
melayang. Tangan itu hanya bergerak mencengkeram
ke?rah baju Rudi. Lalu sambil mendekatkan wajahnya ke wajah
saudara angkatnya, Agus pun berkata serak dan parau,
"Dengar kau, yang napasnya tak pernah hilang dari
bau alkohol..." Diam dan menyeringai marah sejenak,
Agus meneruskan. "Sekali lagi kau berbicara kotor
88 9/25/2013 8:42:36 AM me?ngenai ayahku, camkanlah, masuk penjara pun aku
tidak peduli!" Melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Rudi
yang tampak pucat pasi, Agus kemudian mundur
untuk berbicara pada Maharani. Nadanya lebih te?
nang, namun terdengar dingin.
"Percayalah, Kak Rani. Niatku membawa ayahku
pulang ke sini adalah untuk pamitan pada kalian.
Secara baik-baik, maksudku. Tetapi sekarang..." Me?
nahan napasnya yang terasa sesak seje?nak, Rudi me?
neruskan. Kali ini, dengan lebih lembut. "Maaf atas
sikap emo?sionalku barusan!"
Belum sempat Maharani berkomentar, Rudi yang
cepat menemukan diri kembali sudah berkata men?
dahului. Kali ini tak lagi mengejek. Malah, tampak
gembira," Oh, oh. Jadi mau angkat kaki akhirnya
ya?" Dan ketika melihat A?gus tidak menanggapi bah?
kan tampak sudah akan berlalu, Rudi cepat pula me?
nambahkan. "Dan permintaan maaf. Itu sih oke-oke
saja. Tetapi bagaimana dengan yang lainnya. Dan
yang jauh lebih penting?"
Bukan Agus, tetapi sang kakaklah yang me?
nanggapi. Heran. "Hal Iainnya apa lagi, Rudi?"
Rudi menjawab tetapi dengan sorot mata ditujukan
langsung pada Agus. "Hak warismu. Apakah itu juga berarti akan kau?
lepaskan?" i-Kolam Darah.indd 89 89 9/25/2013 8:42:36 AM i-Kolam Darah.indd 90 "Ya Allah, Tuhanku!" Elisa merintih sakit saking
ma?rah oleh perta?nyaan sang suami.
Simbol Yang Hilang 5 Lima Sekawan 01 Di Pulau Harta Pendekar Satu Jurus 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama