Ceritasilat Novel Online

Sebatang Kara 3

Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot Bagian 3


Aku tidak mengerti apa maksudnya. Kutoleh Signor Vitalis dengan bertanya-tanya, dan dia menjelaskan: Dulu Pretty-Heart pernah mengalami radang paru-paru dan da?rah di lengannya diambil, untuk membantu penyembuhan?nya. Sekarang, karena mengetahui dirinya sakit, dia ingin kami mengambil darahnya lagi supaya dia bisa sembuh seperti dulu.
Monyet kecil yang malang! Signor Vitalis sangat ter?sentuh, dan ini membuatnya semakin cemas. Tampak jelas Pretty-Heart sakit parah, sebab dia menolak minum anggur manis yang sangat disukainya.
"Minum anggurnya, Remi, dan jangan bangun dari tem?pat tidur," kata Signor Vitalis. "Aku akan mencari dokter."
Mesti kuakui, aku juga suka anggur yang diberi gula. Selain itu, aku juga lapar sekali, jadi langsung saja ku?minum anggur itu. Setelah meminum isi mangkuk sampai habis, aku kembali berbaring di bawah selimut bulu angsa, dan hampir-hampir sesak napas saking panasnya, juga gara-gara anggur yang kuminum tadi.
Signor Vitalis pergi tidak lama. Dia kembali bersama Pak
Dokter yang memakai kacamata bergagang emas. Karena takut dokter itu tidak mau datang untuk mengobati mo?nyet, Signor Vitalis tidak memberitahunya siapa yang sakit. Begitu melihat aku berbaring di tempat tidur dengan wa?jah merah seperti tomat, Pak Dokter meraba keningku dan langsung berkata, "Pembuluhnya tersumbat."
Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap yang menyatakan bahwa keadaanku parah sekali.
Karena takut darahku diambil, aku berseru, "Aku tidak sakit!"
"Tidak sakit! Wah, anak ini pasti mengigau."
Kuangkat selimutku sedikit, dan kutunjukkan padanya Pretty-Heart yang merangkul leherku dengan lengannya yang kecil.
"Dia ini yang sakit," kataku.
"Monyet?" seru Pak Dokter. "Anda mengajakku kemari dalam cuaca begini untuk mengobati monyet...," katanya dengan marah kepada Signor Vitalis.
Majikan kami orang yang cerdas dan tidak gampang pa?nik. Dengan sopan dan berwibawa dia menahan Pak Dok?ter. Kemudian dia menjelaskan situasinya, bahwa kami terjebak badai salju, dan karena takut pada kawanan seri?gala, Pretty-Heart melompat ke atas pohon ek dan hampir mati beku di atas sana. Memang dia hanya monyet, tapi dia pintar sekali, dan dia juga sahabat serta rekan seper?juangan kami. Mana mungkin kami bisa memercayakan penyembuhan makhluk sepintar dan sehebat itu kepada dokter hewan biasa" Semua orang tahu, dokter hewan di desa ini payah sekali, dan semua orang juga tahu bahwa dokter manusia pasti bisa diandalkan, meski dokter di desa kecil sekalipun. Mendengar ini, Pak Dokter tidak jadi pergi.
Pretty-Heart, yang barangkali sudah menebak bahwa orang berkacamata ini adalah dokter, kembali mengulurkan lengannya.
''Lihat/' seru Signor Vitalis, "dia ingin Anda mengambil darahnya."
Pak Dokter semakin terkesan.
"Menarik sekali. Kasus yang sangat menarik," gumam?nya.
Setelah memeriksa Pretty-Heart, Pak Dokter mengatakan bahwa makhluk malang itu lagi-lagi terkena radang paruparu. Dia meraih lengan Pretty-Heart dan menusukkan ja?rum ke urat nadinya. Pretty-Heart sama sekali tidak menge?rang; dia tahu Pak Dokter ini akan menyembuhkannya.
Setelah diambil darahnya, Pretty-Heart perlu mendapat perhatian khusus. Aku tentunya tidak berdiam diri saja di tempat tidur. Aku menjadi perawatnya, melaksanakan perintah-perintah Signor Vitalis.
Pretty-Heart yang malang. Dia senang aku merawatnya. Dia menatapku dan menyeringai sedih. Tatapannya sangat mirip tatapan manusia. Dia, yang biasanya begitu lincah dan mudah merajuk, dan selalu menggoda salah satu dari kami... sekarang dia diam saja dengan patuh.
Pada hari-hari berikutnya dia mencoba menunjukkan perasaan sayangnya pada kami, termasuk pada Capi yang sering sekali menjadi korban kenakalannya. Tak lama kemu?dian dia mulai batuk-batuk, dan serangan batuk ini mem?buatnya sangat lelah, sebab badannya yang kecil itu jadi terguncang-guncang hebat. Dengan uangku yang hanya lima sou, aku membelikan batang-batang gula untuknya, tetapi ini malah membuat sakitnya semakin parah. Rupa?nya dia memperhatikan bahwa setiap kali dia batuk, aku memberinya sepotong kecil gula, jadi, dia sengaja batuk-batuk terus supaya diberi gula yang sangat disukainya, meski gula ini membuat kondisinya semakin parah.
Aku harus tetap di penginapan bersama Pretty-Heart, sementara majikanku pergi sendirian. Suatu pagi, begitu kembali, dia memberitahuku bahwa pemilik penginapan sudah menagih ongkos menginap yang belum dibayar. Ini pertama kalinya Signor Vitalis membicarakan uang dengan?ku. Dan karena kebetulan pula aku akhirnya tahu bahwa dia telah menjual jamnya untuk membelikanku rompi kulit domba itu. Sekarang uangnya hanya tersisa lima puluh sou. Mau tak mau kami harus mengadakan pertunjukan pada hari ini juga, katanya. Pertunjukan tanpa Zerbino, Dulcie, dan Pretty-Heart. Kelihatannya mustahil sekali, me?nurut pendapatku.
"Kita harus bisa memperoleh uang empat puluh franc," katanya. "Pretty-Heart memerlukan perawatan. Kita mesti punya api di kamar, dan obat, dan pemilik penginapan harus dibayar. Kalau kita membayar ongkos yang terutang, dia bersedia memberi utangan lagi pada kita."
Mencari uang empat puluh franc di desa ini" Dalam hawa dingin dan kru yang terbatas pula"
Sementara aku tetap di penginapan bersama PrettyHeart, Signor Vitalis menemukan semacam aula di ba?ngunan pasar, sebab kami tidak mungkin mengadakan pertunjukan di tempat terbuka. Dia membuat kertas-kertas pengumuman dan menempelkannya di seluruh penjuru desa. Dengan beberapa papan tripleks dia membuat pang?gung, dan dengan sisa uangnya yang lima puluh sou itu dia membeli beberapa batang lilin yang masing-masing dipotongnya menjadi dua, supaya makin banyak cahaya.
Dari jendela kamar kami kulihat dia bolak-balik di salju. Aku penasaran sekaligus cemas, acara apa yang akan dia
tampilkan. Tak lama kemudian aku pun tahu, sebab se?orang petugas pengumuman desa muncul memakai topi merah manyala dan berhenti di depan tempat penginapan. Setelah membunyikan genderangnya dengan megah, dia mengumumkan rencana pertunjukan kami.
Signor Vitalis nekat sekali! Dia mengumumkan akan ada artis top sedunia yang tampil "yaitu Capi "dan penyanyi muda yang hebat "yaitu aku. Tapi yang paling menarik adalah tidak dipungut bayaran tertentu untuk menonton pertunjukan ini. Terserah pada kemurahan hati para penon?ton, dan penonton tidak usah membayar sampai mereka sudah melihat, mendengar, dan memberi tepukan tangan.
Menurutku ini benar-benar nekat. Siapa yang akan mem?beri tepukan tangan untuk kami" Capi memang pantas diberi tepukan, tapi aku... aku sama sekali tidak yakin diri?ku hebat.
Meski saat ini Pretty-Heart sedang sakit parah, dia men?coba bangun ketika mendengar bunyi genderang. Dari suara-suara ribut di luar serta gonggongan-gonggongan Capi, dia sepertinya bisa menebak bahwa sebentar lagi akan ada pertunjukan.
Aku harus memaksanya berbaring kembali. Dengan ge?rakan isyarat, dia memintaku mengambilkan seragam jen?deralnya"mantel merah dan celana panjang berhiaskan jalinan benang emas, serta topinya yang dihiasi bulu. Dia mengatupkan kedua tangannya dan berlutut memohon-mo?hon padaku. Ketika ternyata memohon-mohon tidak ada hasilnya, dia mencoba dengan marah-marah, lalu akhirnya bercucuran air mata. Pasti akan sulit sekali meyakinkan dia bahwa malam ini dia tidak boleh tampil sama sekali. Ku?pikir sebaiknya dia jangan sampai tahu, kapan kami akan mulai.
Ketika Signor Vitalis datang, dia menyuruhku menyiap?kan harpa dan segala keperluan untuk pertunjukan. PrettyHeart langsung mengerti apa yang terjadi, dan sekarang dia memohon-mohon pada tuannya, minta diperbolehkan ikut tampil. Dari suara-suaranya, ekspresi wajahnya, dan bahasa tubuhnya, jelas sekali apa yang diinginkannya. Pipi?nya sungguh-sungguh dibasahi air mata, dan dia mengecup-ngecup tangan Signor Vitalis berkali-kali. "Kau ingin tampil?" tanya Signor Vitalis yang tidak tahu apa yang terjadi tadi.
"Ya, ya, mau, mau!" seluruh tubuh Pretty-Heart seolah meneriakkan kata-kata itu. Dia mencoba melompat, untuk menunjukkan bahwa dia tidak sakit. Tapi kami tahu betul bahwa dia akan mati kalau kami membawanya ke luar sana.
Kami harus tampil sekarang. Sebelum pergi, aku me?nyalakan api dan membungkus Pretty-Heart dalam selimut-selimutnya. Lagi-lagi dia menangis dan memelukku seerat mungkin, tapi kami tetap berangkat.
Sambil melangkah tersaruk-saruk di salju, majikanku memberitahukan apa yang harus kulakukan. Tentu saja kami tidak bisa menampilkan pertunjukan yang biasanya, berhubung para aktor utama kami sudah tidak ada. Tapi Capi dan aku bisa saling mengisi. Kami harus bisa me?ngumpulkan uang empat puluh franc. Empat puluh frand Jumlah yang sangat besar! Luar biasa!
Signor Vitalis sudah menyiapkan semuanya. Sekarang kami tinggal menyalakan lilin-lilin, tapi kami harus me?nunggu sampai penonton penuh. Kalau tidak, lilin-lilin itu akan cepat habis sebelum pertunjukan selesai.
Sementara kami sudah berada di panggung, si petugas pengumuman berkeliling sambil membunyikan genderang?
nya di jalanan-jalanan desa, untuk memberikan pengu?muman terakhir. Setelah mendandani Capi dan diriku sendiri, aku pergi ke luar dan berdiri di balik sebuah pilar, mengawasi orang-orang yang datang.
Bunyi genderang semakin keras, semakin mendekati la?pangan pasar, dan aku bisa mendengar suara-suara orang. Di belakang si penabuh genderang berbaris beberapa anak kecil yang melangkah seiring irama genderang. Sambil te?rus menabuh genderangnya, si petugas pengumuman mengambil tempat di antara dua lampu besar yang di?nyalakan di mulut panggung kami. Orang-orang tinggal masuk dan duduk, menunggu pertunjukan dimulai.
Duh! Kenapa mereka lama sekali. Tapi si penabuh gen?derang di depan pintu masih terus membunyikan alat musiknya itu dengan nada-nada gembira. Semua anak le?laki di desa ini pasti berkumpul di depan sana. Tapi bukan mereka yang kemungkinan akan memberi kami uang empat puluh franc. Harus ada orang-orang penting yang datang; orang-orang yang mau memberi dan bermurah hati.
Akhirnya Signor Vitalis memutuskan untuk memulai pertunjukan, walaupun aula ini masih jauh dari penuh. Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi, takut lilin-lilinnya keburu habis.
Aku akan membuka pertunjukan dengan menyanyikan beberapa lagu sambil bermain harpa. Mesti kuakui, te?pukan tangan yang kuperoleh sedikit sekali. Aku memang tidak terlalu hebat sebagai penghibur, tetapi ketidakacuhan para penonton membuatku berkecil hati. Kalau aku tidak berhasil membuat mereka terhibur, sudah pasti mereka tidak akan mau memberikan apa-apa pada kami. Aku me?nyanyi bukan untuk pamer, melainkan demi Pretty-Heart
yang malang. Ah, ingin sekali aku menggerakkan hati para penonton ini, membuat mereka antusias.... Tapi mereka jelas-jelas tidak menganggapku hebat.
Capi lebih berhasil. Beberapa kali dia diminta tampil lagi. Berkat Capi, penampilan kami mendapatkan tepukan meriah. Para penonton bukan hanya bertepuk tangan, tapi juga mengentak-entakkan kaki.
Saat yang menentukan telah tiba. Sementara Capi berkeli?ling di antara para penonton, dengan membawa cangkir di mulutnya, aku menarikan tarian Spanyol di panggung, de?ngan diiringi permainan musik Signor Vitalis. Berhasilkah Capi mengumpulkan empat puluh franc" Aku menunggununggu dengan tegang, sambil terus menampilkan se?nyumanku yang paling cerah kepada para penonton.
Aku hampir kehabisan napas, tapi aku masih terus me?nari. Aku baru boleh berhenti menari kalau Capi sudah kembali. Dia tidak terburu-buru. Kalau ada yang tidak memberikan uang, dia menaruh satu kaki depannya di saku orang tersebut. Akhirnya kulihat dia akan kembali, dan kupikir aku boleh berhenti menari. Tetapi Signor Vitalis memberi isyarat supaya aku jangan berhenti.
Aku meneruskan menari dan maju beberapa langkah ke dekat Capi. Kulihat cangkirnya belum penuh. Malahan masih jauh dari penuh. Signor Vitalis juga melihatnya. Sam?bil membungkuk kepada para penonton, dia berkata,
"Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya, tanpa bermaksud me?muji diri sendiri, kami telah menampilkan pertunjukan yang menarik untuk Anda sekalian. Tetapi karena lilin-lilin kami masih menyala, bila Anda semua tidak keberatan, saya akan menyanyikan beberapa buah lagu. Anjing kami, Capi, akan berkeliling sekali lagi, dan yang belum me?
nyumbangkan uang barangkali akan memberikan sedikit kali ini. Silakan siapkan uang Anda."
Meskipun Signor Vitalis adalah guruku, aku belum per?nah mendengar dia benar-benar menyanyi seperti yang dilakukannya malam itu. Dia memilih dua lagu, satu dari opera Joseph dan satu lagi dari opera Richard si Hati Singa.
Walaupun aku masih kecil dan tidak bisa menilai teknik menyanyi orang, nyanyian Signor Vitalis menimbulkan pe?rasaan haru yang aneh di hatiku. Aku menyingkir ke su?dut panggung, sebab mataku jadi berkaca-kaca ketika mendengarkan nada-nada indah yang dinyanyikannya.
Dari balik mataku yang berkaca-kaca, kulihat seorang wanita muda yang duduk di barisan depan mengatupkan kedua tangannya erat-erat. Kuperhatikan dia bukan petani seperti orang-orang lainnya di aula ini. Dia wanita ber?punya, masih muda dan cantik, dan kalau dilihat dari mantel bulunya yang indah, ku tebak dia adalah wanita paling kaya di desa ini. Dia membawa anak kecil yang bertepuk tangan penuh semangat untuk Capi. Mungkin anak kecil itu anaknya, sebab wajah mereka sangat mirip.
Setelah lagu pertama, Capi berkeliling lagi. Dengan sa?ngat heran kuperhatikan wanita itu tidak memasukkan uang ke dalam cangkir Capi.
Setelah majikanku selesai menyanyikan lagu dari opera kedua, wanita itu memanggilku mendekat.
"Aku ingin bicara dengan bapak itu," katanya.
Aku heran, sebab kupikir akan lebih baik kalau dia me?masukkan uang ke dalam cangkir Capi. Capi kembali. Kali kedua ini pun tidak banyak uang yang diperolehnya.
"Mau apa ibu itu?" tanya Signor Vitalis.
"Dia ingin bicara denganmu."
"Aku tidak mau."
"Dia tidak memberikan apa-apa pada Capi, barangkali dia mau memberikan sekarang."
"Kalau begitu, suruh Capi mendatanginya, bukan aku."
Tapi akhirnya Signor Vitalis mau juga mendatangi ibu muda itu, dengan mengajak Capi. Kuikuti mereka. Pada waktu itu seorang pelayan muncul membawa lentera dan selimut. Dia berdiri di samping wanita itu dan anaknya. Signor Vitalis membungkuk dengan sikap dingin kepada wanita tersebut.
"Maafkan saya telah mengganggu Anda," wanita itu ber?kata, "tapi saya ingin mengucapkan selamat pada Anda."
Signor Vitalis membungkuk tanpa mengatakan apaapa.
"Saya seorang musisi," wanita itu meneruskan. "Saya mengatakan ini supaya Anda tahu bahwa saya sangat ter?kesan dengan bakat Anda yang luar biasa."
Bakat yang luar biasa! Majikanku! Si pelatih anjing ini! Aku terheran-heran.
"Orang tua seperti saya ini tidak berbakat apa-apa," Signor Vitalis menjawab dengan nada dingin.
"Bukannya saya usil dan ingin tahu, tapi...," wanita itu berkata lagi.
"Saya tidak keberatan memuaskan rasa ingin tahu Anda, Nyonya," kata Signor Vitalis. "Anda terkejut bahwa pelatih anjing seperti saya bisa menyanyi sedikit. Tapi dulu saya tidak seperti sekarang ini. Sewaktu masih muda, saya ada?lah... pelayan seorang penyanyi hebat, dan saya bisa me?nirunya seperti burung beo. Saya mulai menyanyikan be?berapa lagu yang pernah dia nyanyikan di hadapan saya. Itu saja."
Wanita itu tidak menjawab. Dia menatap Signor Vitalis lekat-lekat, sampai Signor Vitalis tampak risi.
"Selamat tinggal, Sir," kata wanita itu akhirnya, dengan menekankan pada kata Sir tersebut. "Selamat tinggal, dan sekali lagi saya ingin mengucapkan terima kasih atas rasa senang yang luar biasa, yang saya rasakan malam ini." Lalu dia membungkuk ke arah Capi dan memasukkan sekeping uang emas ke dalam cangkirnya.
Kupikir Signor Vitalis akan mengantarnya sampai ke pintu, tapi ternyata tidak. Setelah wanita itu jauh, ku?dengar majikanku memaki pelan dalam bahasa Itali.
"Dia memberikan uang emas pada Capi," kataku.
Majikanku mengangkat tangannya. Kupikir dia akan me?mukulku, tapi lalu tangannya terkulai kembali.
"Uang emas," katanya, seolah-olah baru tersadar dari mimpi. "Ah, ya, Pretty-Heart yang malang. Aku lupa. Ayo kita tengok dia."
Aku mendahului pulang ke penginapan dan masuk ke kamar. Api belum padam, tetapi tidak ada lidah-lidah api yang menyala. Cepat-cepat kunyalakan sebatang lilin. Aku heran tidak mendengar suara apa pun dari Pretty-Heart. Kutemukan dia terbaring di balik selimut-selimutnya, tubuhnya terentang tegak dalam seragam jenderalnya. Se?pertinya dia tertidur. Aku membungkuk di atasnya dan pelan-pelan kuraih tangannya, untuk membangunkannya. Tangannya dingin. Signor Vitalis masuk ke kamar. Aku menoleh kepadanya.
"Badan Pretty-Heart dingin," kataku.
Majikanku mendekat dan membungkuk di atas tempat tidur itu.
"Dia sudah mati," katanya. "Sudah takdirnya. Ah, Remi, anakku, aku salah besar telah mengambilmu dari Mrs.
Milligan. Sekarang aku mendapatkan hukumannya. Zerbino, Dulcie, dan sekarang Pretty-Heart, tapi... ini be?lum akan berakhir!"
Bab Lima Belas Teman-Teman Setia Pakis masih sangat jauh. Kami harus menempuh jalanan- jalanan berlapis salju dan berjalan kaki dari pagi sampai malam, sementara angin utara menerpa wajah kami. Be?tapa menyedihkan dan melelahkan perjalanan-perjalanan panjang ini.
Signor Vitalis berjalan di depan, aku membuntuti di bela?kangnya, dan Capi berjalan paling belakang. Seperti itulah kami beriringan tanpa berkata-kata, sampai berjam-jam lamanya, wajah kami biru kedinginan, kaki basah, perut kosong. Orang-orang yang berpapasan dengan kami di ja?lan, menoleh dan memandangi. Rupanya mereka meng?anggap aneh rombongan kecil kami. Ke mana si orang tua akan membawa si anak kecil dan anjing itu"
Keheningan ini terasa menyesakkan bagiku, dan sangat menyedihkan. Aku ingin sekali sekadar mengobrol, tapi sewaktu aku mencoba mengajak bercakap-cakap, Signor Vitalis hanya memberikan jawaban singkat, tanpa menoleh sedikit pun. Untunglah Capi menunjukkan sikap lebih ra?mah, dan sambil berjalan sering kali aku merasakan jilatan lidahnya yang hangat di tanganku. Dia menjilatku seolah untuk mengatakan, "Temanmu Capi ada di sini bersama?mu." Maka kubelai-belai dia, tanpa menghentikan langkah?ku. Kami saling memahami. Kami juga saling menyayangi.
Kami berjalan lurus di salju yang licin, tidak berhenti, tidak bermalam di lumbung atau kandang domba, dan ha?nya makan sepotong roti yang sangat kecil untuk makan malam. Hanya itu pengganjal perut kami sampai besok pagi.
Kami tidak terang-terangan mengatakan kepada para gembala bahwa kami sangat lapar. Dengan cerdik Signor Vitalis hanya mengatakan bahwa "anak kecil ini suka se?kali susu domba, sebab waktu masih bayi dia suka minum susu domba." Ucapannya itu tidak selalu membawa hasil, tetapi kalau kebetulan berhasil, aku beruntung sekali. Ya, aku memang sangat suka minum susu domba, dan kalau diberi sedikit, besoknya aku merasa jauh lebih sehat dan kuat.
Anehnya, semakin dekat ke Paris, pemandangannya ti?dak lagi indah. Saljunya sekarang tidak putih menyilaukan lagi. Aku pernah mendengar bahwa Paris kota yang sangat indah, dan aku berharap melihat pemandangan menakjub?kan, entah apa persisnya aku juga tidak tahu. Tetapi aku tidak akan heran kalau melihat pohon-pohon dari emas, jalanan-jalanan dari pualam, dan istana di mana-mana.
Apa yang akan kami lakukan sesampainya di Paris" Aku ingin bertanya pada Signor Vitalis, tapi aku tidak berani. Dia tampak sangat murung. Ketika atap-atap dan menara- menara gereja mulai tampak, dia memelankan langkah dan berjalan di sampingku.
"Remi," katanya tiba-tiba. "Kita akan berpisah sesampai?nya di Paris nanti."
Kupandangi dia. Dia balas memandangku. Wajahku men?dadak pucat dan bibirku gemetar. Sesaat aku tak sanggup berkata-kata.
"Berpisah!" gumamku akhirnya.
"Kasihan kau, Nak. Ya, kita harus berpisah."
Nada suaranya membuatku ingin menangis. Sudah lama sekali aku tidak mendengar ucapan ramah.
"Oh, tapi kau baik sekali padaku," seruku.
"Kaulah yang baik. Kau anak yang berani. Kadang- kadang, dalam hidup ini, orang merasakan hal-hal seperti ini. Waktu semuanya berjalan lancar, kita menjalani hidup dengan begitu saja, tanpa banyak memikirkan siapa yang ada bersama kita. Tapi pada saat-saat susah, kalau kita mengambil jalan yang salah, dan terutama kalau kita su?dah tua, kita ingin punya seseorang untuk tempat bersan?dar. Mungkin kau akan kaget kalau kukatakan aku ingin bisa bersandar padamu. Begitulah yang sebenarnya. Se?kadar melihat matamu basah sewaktu mendengar ucapan?ku, telah membuatku terhibur, Remi kecil. Aku sangat se?dih saat ini."
Aku tidak tahu mesti berkata apa. Aku hanya mengelus- elus tangan Signor Vitalis.
"Dan malangnya kita harus berpisah justru pada saat kita sudah mulai lebih dekat satu sama lain."
"Tapi aku tidak akan ditinggalkan sendirian di Paris, kan?" tanyaku takut-takut.
"Tidak, jelas tidak. Kau bisa apa kalau hanya sendirian di kota besar ini, Nak" Aku tidak berhak meninggalkanmu, ingat itu. Sewaktu aku tidak mengizinkan ibu yang baik itu mengangkatmu dan membesarkanmu sebagai anaknya, berarti aku telah terikat janji untuk berusaha memberikan yang terbaik padamu. Saat ini aku tidak bisa apa-apa. Itu
sebabnya kupikir yang terbaik adalah berpisah. Hanya un?tuk sementara. Kita bisa lebih bertahan kalau kita berpisah selama bulan-bulan terakhir musim dingin ini. Bisa apa kita di Paris" Yang lain sudah tidak ada. Tinggal Capi yang tersisa."
Mendengar namanya disebutkan, Capi menghampiri kami. Dia memberi hormat gaya militer, kemudian me?nempelkan satu kaki depannya ke dada, seperti hendak menyatakan baktinya kepada kami. Majikanku membelai- belai kepala anjing itu dengan sayang.
"Ya, Capi, kau teman yang baik dan setia, tapi tanpa yang lainnya, tidak banyak yang bisa kita lakukan seka?rang ini."
"Tapi harpaku..."
"Kalau aku punya dua anak seperti kau, akan lebih mu?dah buat kita. Tapi orang tua dengan hanya satu anak ke?cil tidak akan banyak menghasilkan. Aku belum cukup tua. Kalau aku buta atau cacat, itu lain soal. Keadaanku tidak cukup memelas, dan orang-orang tidak bakal ber?henti dan memperhatikan kita. Jadi, anakku, aku sudah memutuskan untuk memberikanmu pada seorang padrone sampai akhir musim dingin ini. Dia akan membawamu dan anak-anaknya yang lain, dan kau akan memainkan harpamu..."
"Dan kau sendiri?" tanyaku.
"Aku sudah dikenal di Paris, aku sudah beberapa kali datang ke sana. Aku akan memberikan kursus biola pada anak-anak Itali yang suka bermain di jalan. Aku tidak akan kesulitan mencari murid. Sementara itu, aku juga akan me?latih dua anjing lagi untuk menggantikan Zerbino dan Dulcie yang malang. Pada musim semi kita akan berkum?pul lagi, Remi kecilku. Saat ini kita harus berusaha me?lewati masa-masa sulit. Nanti aku akan mengajakmu ber?keliling Jerman dan Inggris, lalu kau akan semakin dewasa dan pikiranmu akan berkembang. Kau akan kuajari banyak hal, sampai kau menjadi laki-laki dewasa. Aku sudah men?janjikan ini kepada Mrs. Milligan, dan aku akan memenuhi janjiku. Itu sebabnya aku sudah mulai mengajarimu bahasa Inggris. Kau bisa berbahasa Prancis dan Itali, dan untuk anak seumurmu itu sudah bagus sekali/'
Barangkali perkataan majikanku benar. Inilah yang ter?baik untuk kami saat ini. Tapi hanya dua hal ini yang me?menuhi benakku: Kami akan berpisah, dan aku akan diberi?kan kepada seorang padrone.
Selama pengembaraan kami, aku sudah beberapa kali bertemu para padrone yang suka memukuli anak-anak yang bekerja pada mereka. Orang-orang ini sangat kejam, suka menyumpah-nyumpah, dan biasanya mereka pemabuk. Apakah aku akan tinggal bersama salah satu dari mereka ini"
Tapi, andai pun nasib memberikan padaku seorang tuan yang baik hati, tetap saja ini suatu perubahan lagi buatku. Pertama-tama aku tinggal dengan ibu angkatku, lalu de?ngan Signor Vitalis, lalu dengan orang lain lagi.... Apakah akan seterusnya begitu" Apakah aku tidak akan pernah menemukan seseorang yang bisa kusayangi dan senantiasa bersamaku" Sedikit demi sedikit aku merasa semakin dekat dengan Signor Vitalis. Dia hampir-hampir memenuhi ba?yanganku tentang sosok seorang ayah. Apakah aku tidak akan pernah punya ayah, punya keluarga" Selalu sendirian di dunia luas ini! Sebatang kara!
Signor Vitalis sudah memintaku untuk tabah. Aku tidak ingin menambah kesedihannya, tetapi berat sekali rasanya, sungguh berat berpisah dengannya.
Sambil menyusuri sebuah jalanan yang kotor, dengan tumpukan salju penuh abu dan sayuran busuk di kiri- kanan, aku bertanya, "Di mana kita?"
"Di Paris, anakku."
Di mana rumah-rumah dari pualam itu" Jalanan-jalanan berlapis emas, dan orang-orang berpakaian bagus... Begini?kah Paris" Apakah aku akan menghabiskan musim dingin di tempat seperti ini, terpisah dari Signor Vitalis dan Capi"
Bab Enam Belas Sang Padrone Meski di kemudian hari aku tahu betapa indahnya kota Paris, berhubung yang pertama kali kulihat setibanya di sana adalah daerah kumuhnya, maka kesan yang terbentuk di benakku bukanlah kesan yang baik.
Signor Vitalis sepertinya tahu betul arah ke tempat yang ditujunya. Dia melangkah dan menyiku di antara orang banyak di sepanjang jalanan sempit yang kami masuki.
"Jangan sampai terpisah dariku," dia mewanti-wanti padaku.
Sebenarnya tanpa diperingatkan pun aku tidak mau jauh-jauh darinya, dan supaya tidak terpisah dengan Signor Vitalis, sambil berjalan aku memegangi ujung man?telnya erat-erat.
Kami menyeberangi sebuah lapangan luas, menuju ru?mah yang tampak kotor dan muram. Kelihatannya rumah itu tidak pernah dimasuki sinar matahari. Belum pernah aku melihat tempat sejelek itu.
"Apakah Garofoli ada di rumah?" Signor Vitalis bertanya pada seorang laki-laki. Dalam cahaya lentera di dekatnya, orang itu kelihatannya sedang menggantungkan kain-kain compang-camping di pintu.
"Tidak tahu. Naik saja dan lihat sendiri/' gerutu orang itu. "Pintunya ada di puncak tangga. Menghadap ke arah?mu."
"Garofoli adalah sang padrone yang kuceritakan padamu, Remi," kata Signor Vitalis. "Di sinilah tempat tinggal?nya."
Jalanan ini, rumah ini, dan anak-anak tangganya... se?muanya tidak kelihatan menyenangkan. Seperti apa calon majikan baruku ini"
Tanpa mengetuk pintu, Signor Vitalis mendorong pintu di puncak tangga, di lantai paling atas. Kami masuk ke sebuah loteng yang sangat luas. Ada ruang kosong yang besar di tengah ruangan, dan di seputar dindingnya ada tempat-tempat tidur. Jumlahnya dua belas. Dinding-din?ding dan langit-langitnya dulu berwarna putih, namun se?karang kotor oleh asap, debu, dan tanah. Di tembok-tem?bok ada gambar kepala dari pensil arang, serta beberapa bunga dan burung-burung.
"Kau ada di sini, Garofoli?" tanya Signor Vitalis. "Di sini gelap sekali. Aku tidak bisa melihat siapa-siapa. Ini Vitalis."
Sebuah suara lemah dan bernada malas menjawab per?tanyaan Signor Vitalis.
"Signor Garofoli sedang keluar. Dia baru pulang dua jam lagi."
Seorang anak laki-laki yang umurnya sekitar dua belas tahun datang mendekat. Aku terkejut melihat penampilan?nya yang aneh. Sekarang pun, sambil menulis, masih ter?bayang olehku penampilan anak itu. Bisa dibilang dia ti?dak punya badan, sebab sepertinya yang ada hanya kaki-kaki dan kepala. Kepalanya besar dan tidak propor?sional. Tampangnya jelas tidak bisa dibilang tampan, na?mun ada kesan tertentu di wajahnya, yang menarik per?hatian orang yang menatapnya "ekspresi sedih dan lembut, dan... ya... putus asa. Sepasang matanya yang be?sar itu membuat orang yang memandangnya menjadi jatuh simpati.
"Kau yakin dia baru pulang dua jam lagi?" tanya Signor Vitalis.
"Yakin sekali, Signor. Dua jam lagi waktunya makan ma?lam, dan selalu Signor Garofoli yang menyiapkannya."
"Kalau begitu, kalau dia pulang lebih cepat, katakan padanya Vitalis akan datang lagi kemari dua jam lagi."
"Baiklah, Signor."
Aku hendak mengikuti Signor Vitalis, tapi dia mencegah?ku.
"Kau di sini saja," katanya. "Kau bisa beristirahat."
"Oh, aku pasti datang lagi," dia menambahkan, supaya aku tenang.
"Kau orang Itali?" tanya si anak lelaki, setelah langkah- langkah berat Signor Vitalis tidak terdengar lagi di anak- anak tangga.
"Bukan," aku menjawab dalam bahasa Prancis. "Aku orang Prancis."
"Baguslah." "Apa! Kau lebih suka orang Prancis daripada orang Itali?"
"Oh, bukan begitu. Maksudku, kalau kau orang Itali, kemungkinan kau datang kemari buat bekerja pada Signor Garofoli, dan aku kasihan padamu."
"Memangnya dia jahat?"
Anak itu tidak menjawab, tetapi tatapannya sudah men?
jawab lebih jelas daripada kata-kata. Kelihatannya dia tidak ingin melanjutkan percakapan. Dia beranjak ke perapian. Di rak dekat perapian ada panci tanah liat yang sangat besar. Aku mendekat ke api, untuk menghangatkan diri, dan kuperhatikan ada yang aneh dengan panci itu. Bagian tutupnya diberi tabung lurus untuk mengeluarkan uap di dalamnya, dan di bagian pinggirnya ada selot dan gem?bok.
"Kenapa panci ini digembok?" tanyaku heran.
"Supaya aku tidak mengambil supnya. Aku harus men?jaganya, tapi Bos tidak percaya padaku."
Mau tak mau aku tersenyum.
"Kau tersenyum," anak itu berkata sedih, "sebab kau- pikir aku rakus. Kalau kau jadi aku, mungkin kau juga akan berbuat sama. Aku bukannya rakus, aku kelaparan, dan bau harum sup itu membuatku makin lapar."
"Apa Signor Garofoli tidak memberimu cukup ma?kanan?"
"Dia sengaja membuat kami kelaparan..."
"Oh...." "Dengarkan ceritaku ya," anak itu melanjutkan, "sebab kalau nanti dia menjadi majikanmu, biar ceritaku jadi pela?jaran buatmu. Namaku Mattia. Garofoli pamanku. Ibuku tinggal di Lucca, Itali. Dia sangat miskin dan hanya bisa menghidupi dirinya sendiri dan adik perempuanku Christine. Tahun lalu Garofoli datang ke Lucca yang indah, dan dia membawaku pergi. Oh, berat sekali meninggalkan adik perempuanku... Signor Garofoli punya banyak anak lelaki di sini, beberapa menjadi pembersih cerobong, lain- lainnya menjadi pemulung, dan yang tidak cukup kuat bekerja, mengamen di jalanan atau jadi peminta-minta. Garofoli memberiku dua tikus putih untuk dipertontonkan pada orang-orang, dan setiap malam aku harus membawa pulang tiga puluh sou. Kalau setoranku kurang, aku men?dapat pukulan sejumlah kekurangannya itu. Susah sekali mendapat uang tiga puluh sou, tapi dipukuli juga sakit, apalagi kalau yang memukuli itu Garofoli. Jadi aku ber?usaha sebisanya mengumpulkan sejumlah itu, tapi setoran?ku sering kurang. Anak-anak lain hampir semuanya bisa memenuhi setoran mereka setiap malam, sedangkan aku tidak, dan Garofoli marah sekali! Ada anak lain di sini yang juga mempertontonkan tikus. Dia mesti menyetor empat puluh sou, dan setiap malam dia selalu memenuhi setorannya. Beberapa kali aku ikut dengannya, ingin tahu bagaimana dia bekerja...."
Anak itu diam sejenak. "Bagaimana?" tanyaku.
"Oh, ibu-ibu selalu bilang begini, 'Berikan pada anak yang tampan itu, jangan pada yang jelek.' Yang dimaksud jelek itu jelas aku. Jadi, aku tidak mau pergi bersama dia lagi. Memang sakit kalau dipukuli, tapi lebih sakit lagi ka?lau dikatai begitu, di depan orang banyak pula. Kau tidak mengerti, sebab belum pernah ada yang mengataimu jelek. Nah, waktu Garofoli melihat aku tidak mempan dipukuli, dia mencoba cara lain. Setiap malam dia mengurangi jatah makan malamku. Berat sekali, tapi aku tidak mungkin bi?lang pada orang-orang yang menonton tikus-tikusku di jalan, 'Beri aku uang, atau aku bakal tidak makan malam ini!' Orang tidak akan mau memberi karena alasan itu."
"Jadi, mereka memberi karena apa?"
"Karena kau tampan dan manis, atau kau mengingatkan mereka pada diri mereka sewaktu masih kecil, bukan ka?rena mereka pikir kau lapar. Oh, aku tahu pikiran mereka. Omong-omong, hari ini dingin ya?"
"Dingin sekali."
"Jadi pengemis tidak membuatku kenyang," anak itu melanjutkan. "Aku jadi sangat pucat, lalu setelah beberapa lama, aku sering dengar orang-orang bilang, 'Anak malang itu kelaparan sekali/ Tampang menderita lebih ampuh dari?pada tampang tampan. Tapi untuk bisa begitu, kau mesti benar-benar sangat lapar. Mereka suka memberiku ma?kanan. Pokoknya waktu itu menyenangkan buatku, sebab Garofoli sudah berhenti memukuliku. Dia ingin tahu, apa?kah aku lebih kapok kalau tidak diberi makan malam. Tapi aku tidak peduli, sebab aku dapat makanan di luar. Tapi suatu hari Garofoli memergoki aku sedang makan semang?kuk sup pemberian tukang buah. Dia jadi tahu, kenapa aku masa bodoh saja tidak diberi makan malam di rumah. Setelah itu, dia menyuruhku di rumah saja menjagai sup ini. Setiap pagi, sebelum berangkat, dia memasukkan da?ging dan sayur-sayuran ke dalam panci dan menggembok tutupnya. Aku hanya disuruh memastikan supnya matang. Aku mencium harum sup itu, tapi itu saja. Wangi sup ti?dak membuatku kenyang, aku malah jadi semakin lapar. Apa wajahku pucat sekali" Berhubung aku tidak pernah keluar rumah lagi, tidak ada yang bilang wajahku pucat, dan di sini tidak ada cermin."
"Kau tidak lebih pucat daripada anak-anak yang lain," kataku.
"Ah, kau bilang begitu karena kau tidak mau aku ke?takutan. Tapi aku senang aku sakit. Aku kepingin sakit parah."
Aku menatapnya terheran-heran.
"Kau tidak mengerti," anak itu berkata dengan terse?nyum sedih. "Kalau ada yang sakit, dia dirawat atau dibiar?kan mati. Kalau aku dibiarkan mati, berarti aku tidak perlu
susah lagi. Aku tidak akan kelaparan lagi, dan tidak di?pukuli lagi. Dan kalau aku sudah di surga, aku bisa me?lihat Mamma-ku dan Christina, dan aku bisa minta pada Tuhan supaya adikku tidak selalu sedih. Dan kalau aku dikirim ke rumah sakit, aku akan senang sekali/'
Rumah sakit! Seberapa pun sakitnya aku kalau sedang berkelana menjelajahi negeri, aku langsung merasa kuat lagi kalau ada gelagat aku akan dikirim ke rumah sakit.
"Sekarang ini sakitku parah, tapi belum cukup parah untuk mengganggu Garofoli," anak itu meneruskan dengan suaranya yang lemah, "tapi badanku makin lemas. Untung?nya Garofoli masih suka memukuliku. Delapan hari yang lalu dia memukul kepalaku. Lihat, sekarang benjol begini. Lihat benjut besar ini" Kemarin dia bilang padaku itu tumor, dan dari caranya bicara, aku percaya itu serius. Rasanya sakit sekali. Aku pusing sekali kalau malam- malam aku membaringkan kepala di bantal. Aku suka menangis dan mengerang. Jadi kurasa dua atau tiga hari lagi dia akan memutuskan membawaku ke rumah sakit. Aku pernah dirawat di rumah sakit, dan suster-susternya ramah sekali. Kalau mereka menyuruhmu mengeluarkan lidah, dan kau patuh, mereka suka bilang, 'Nah, kau me?mang anak manis/ Kurasa sebentar lagi aku akan di?masukkan ke rumah sakit."
Dia menghampiri dan berdiri dekat sekali denganku, kedua matanya yang besar menatapku lekat-lekat. Aku ti?dak ingin mengatakan padanya bahwa dengan kedua mata?nya yang besar, pipinya yang cekung, dan bibirnya yang pucat, dia kelihatan parah sekali.
"Kurasa sakitmu sudah cukup parah buat dimasukkan ke rumah sakit," kataku.
"Akhirnya!" Dengan langkah terseret-seret dia beranjak ke meja dan mulai mengelapnya.
"Garofoli sebentar lagi pulang," katanya. "Kita tidak bo?leh mengobrol lagi."
Dengan lelah dia mengitari meja, menaruh piring-piring dan sendok-sendok. Kuhitung ada dua puluh piring. Jadi, Garofoli mempunyai dua puluh anak laki-laki. Tapi aku hanya melihat dua belas tempat tidur. Berarti beberapa dari mereka tidur berdua di satu tempat tidur. Duh, tempat-tempat tidurnya, seprainya...! Selimut-selimutnya pasti dibawa dari kandang, setelah terlalu lusuh dan tidak cukup hangat untuk kuda-kuda!
"Kau jangan kemari," kata si anak lelaki. "Cobalah pergi ke tempat lain."
"Ke mana?" "Tidak tahu. Ke mana saja. Lebih baik daripada di sini."
Pintu terbuka dan seorang anak masuk. Dia mengempit biola dan membawa sepotong kayu besar di tangannya.
"Kemarikan kayu itu," kata Mattia seraya menghampiri si anak.
Tetapi anak itu mengamankan kayunya di belakang punggung.
"Tidak," katanya.
"Kemarikan, buat kayu api. Supaya supnya lebih le?zat."
"Kaupikir aku membawa kayu ini buat masak sup" Aku hanya dapat tiga puluh enam sou hari ini, dan kupikir kayu ini mungkin bisa menyelamatkan aku dari pukulan. Kayu ini buat menggantikan kekurangan empat sou se- toranku."
"Kau tetap harus bayar. Sudah begitu aturannya."
Mattia mengatakan itu dengan otomatis, seolah-olah dia merasa puas membayangkan anak itu akan dihukum. Aku terkejut melihat sorot matanya yang semula lembut dan sedih berubah menjadi keras. Kelak aku baru tahu bahwa kalau kita hidup bersama orang-orang jahat, lambat laun kita juga menjadi seperti mereka.
Satu demi satu anak-anak itu pulang. Masing-masing menggantungkan alat musiknya di paku di atas tempat tidurnya. Yang bukan pemain musik dan sekadar mem?pertontonkan binatang-binatang yang sudah dilatih, me?masukkan tikus-tikus dan guinea pig mereka ke dalam kandang.
Lalu terdengar langkah-langkah kaki berat di tangga, dan seorang lelaki bertubuh kecil, dalam mantel panjang kelabu, masuk ke dalam ruangan. Dialah Garofoli. Begitu masuk, matanya langsung tertuju padaku dengan sorot yang membuatku takut. Mattia cepat-cepat menyampaikan pesan Signor Vitalis padanya dengan sopan.
"Ah, jadi Vitalis tadi kemari," katanya. "Ada perlu apa dia?"
"Aku tidak tahu," sahut Mattia.
"Aku bukan bicara padamu. Aku bicara pada anak itu."
"Nanti dia kemari lagi, dan dia akan menyampaikan sendiri maksud kedatangannya," sahutku.
"Ah, kau pandai bicara, Nak. Kau bukan orang Itali?"
"Bukan, aku orang Prancis."
Begitu Garofoli masuk tadi, dua anak lelaki kecil lang?sung mengambil tempat di kiri-kanannya dan menunggu sampai dia selesai berbicara. Setelah itu salah satunya mengambil topi laken Garofoli dan menaruhnya dengan hati-hati di tempat tidur. Anak satunya membawakan kursi. Semua itu mereka lakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh hormat, seperti anak-anak paduan suara me?layani seorang pastor. Setelah Garofoli duduk, seorang anak lain membawakannya pipa berisi tembakau; anak ke?empat menawarinya korek api yang sudah dinyalakan.
"Baunya seperti belerang, tolol," seru Garofoli seraya melemparkan korek api itu ke perapian.
Si anak bergegas menyalakan korek api lainnya dan membiarkannya beberapa saat setelah menyala, sebelum menawarkannya kepada tuannya. Tetapi Garofoli tidak mau menerimanya.
"Tidak, dasar goblok," makinya sambil mendorong anak itu dengan kasar. Lalu dia menoleh pada anak lainnya dan berkata dengan senyuman mengambil muka,
"Ricardo sayang, bawakan korek api."
Si anak "tersayang" cepat-cepat membawakan korek api yang diminta.
"Nah," kata Garofoli setelah duduk nyaman dan pipanya dinyalakan, "sekarang kembali ke urusan kita, anak-anak manis. Bawa kemari bukunya, Mattia."
Garofoli memberi isyarat kepada anak yang pertama- tama menyalakan korek api untuknya.
"Kemarin kau berutang satu sou, dan kau janji akan membayar hari ini. Berapa banyak yang kaudapat?"
Lama sekali anak itu ragu-ragu, wajahnya tampak sangat gelisah. "Aku kurang satu sou," akhirnya dia berkata.
"Ah, kau berutang satu sou."
"Itu kekurangan hari ini, bukan kemarin."
"Kalau begitu, jadi dua sou\ Keterlaluan kau ya!"
"Bukan salahku."
"Tidak usah beralasan. Kau tahu aturannya. Buka mantel?mu. Dua cambukan untuk kemarin, dua untuk hari ini,
dan tidak mendapat makan malam atas kelancanganmu. Ricardo sayang, kau anak baik. Kau berhak dapat hiburan. Ambil cambuknya/'
Ricardo mengambil cambuk bergagang pendek dengan dua tali bersimpul kulit dari dinding. Si anak yang ber?utang dua sou membuka mantelnya, kemudian melepaskan kemejanya, bertelanjang dada.
"Tunggu," kata Garofoli sambil tersenyum jahat, "mung?kin kau tidak perlu sendirian. Lebih menyenangkan kalau ada teman, kan."
Anak-anak itu berdiri tak bergerak di hadapan majikan mereka. Mereka semua memaksakan diri tertawa sewaktu mendengar lelucon kejam Garofoli.
"Yang tertawa paling keras biasanya yang berutang pa?ling banyak," kata Garofoli. "Aku yakin sekali. Siapa yang tertawa paling keras?"
Semua menunjuk anak laki-laki yang pulang paling dulu, yang membawa potongan kayu itu.
"Berapa kekuranganmu?" tuntut Garofoli.
"Bukan salahku."
"Yang berani bilang 'bukan salahku' akan ditambah lagi hukumannya. Berapa kurangnya?"
"Aku bawa potongan kayu yang besar, kayunya bagus sekali...."
"Hebat. Coba bawa kayu itu ke tukang roti dan minta dia menukarnya dengan roti. Menurutmu dia mau, tidak" Kau kurang berapa sou" Cepat bilang!"
"Aku dapat tiga puluh enam sou."
"Berarti kurang empat sou, berandal cilik. Berani sekali kau berdiri begitu di depanku! Buka bajumu! Ricardo sa?yang, kau bakal bersenang-senang."
"Tapi bagaimana dengan kayunya?" seru si anak.
"Kayu itu buat makan malammu saja."
Lelucon kejam itu membuat tertawa anak-anak yang ti?dak dihukum. Kemudian anak-anak lainnya ditanyai ten?tang jumlah setoran mereka hari itu. Ricardo berdiri de?ngan cambuk di tangan, sampai terkumpul lima korban. Kelima-limanya disuruh berbaris di hadapannya.
"Ricardo," kata Garofoli, "aku tidak suka menonton. Pe?mandangan begini selalu membuatku muak. Tapi aku bisa mendengar, dan dari suara yang kudengar, aku bisa me?ngira-ngira seberapa keras cambukanmu. Lakukan tugasmu dengan baik, Nak. Kalau kerjamu bagus, kau akan men?dapat roti."
Setelah itu Garofoli membalikkan badan ke perapian, seolah-olah tidak sampai hati menyaksikan pencambukan itu.
Aku gemetar marah dan ketakutan di sudutku. Ini dia orang yang akan menjadi majikanku. Kalau aku tidak mem?bawa pulang uang tiga puluh atau empat puluh sou yang ditetapkannya, aku akan dicambuk oleh Ricardo. Ah, seka?rang aku mengerti kenapa Mattia lebih suka mati saja.
Melihat ayunan cambuk pertama yang melukai daging, mataku langsung berkaca-kaca. Kupikir kehadiranku sudah dilupakan, tapi ternyata aku salah. Garofoli memperhatikan aku dari sudut matanya.
"Anak itu perasaannya halus," katanya seraya menunjuk?ku, "tidak seperti kalian, berandal-berandal cilik ini. Kalian tertawa kalau melihat teman kalian menderita. Cobalah mencontoh teman kecil kalian ini."
Aku gemetar dari kepala sampai kaki. Dia menyebutku teman mereka"
Pada cambukan kedua, si korban meratap-ratap, pada cambukan ketiga, dia menjerit nyaring. Garofoli mengang?
kat tangannya. Kicardo berhenti dengan cambuk terangkat. Kupikir Garofoli akan menunjukkan belas kasihan, tapi ternyata tidak.
"Kau tahu kan, aku jadi sedih kalau mendengarmu me?nangis/7 kata Garofoli dengan lembut kepada si korban. "Kau tahu bahwa kalau cambuk itu merobek kulitmu, tangisan-tangisanmu serasa menusuk hatiku. Jadi, ku- peringatkan ya. Setiap kali kau menangis, kau akan men?dapat tambahan satu cambukan, dan itu kesalahanmu sendiri. Kalau kau punya rasa sayang atau rasa terima ka?sih, kau tidak akan bersuara. Teruskan, Ricardo."
Ricardo mengangkat lengannya, dan ayunan cambuknya menghantam punggung para korbannya.
"Aduh, Mamma, Mamma," salah satu anak itu mena- ngis.
Syukurlah aku tidak perlu berlama-lama menyaksikan penyiksaan ini, sebab pada saat itu pintu dibuka dengan keras dan Signor Vitalis masuk.
Sekilas saja dia sudah mengerti apa yang terjadi. Tadi dia mendengar jeritan-jeritan anak-anak itu ketika sedang naik tangga. Dia berlari ke arah Ricardo dan merampas cambuknya, lalu dengan marah dia mendekati Garofoli dan berdiri dengan lengan terlipat di hadapan orang itu.
Semuanya terjadi begitu cepat, hingga untuk sesaat aku hanya tertegun. Tetapi Garofoli cepat mengendalikan diri dan berkata pelan,
"Keterlaluan sekali ya" Anak itu memang jahat."
"Keterlaluan! Sungguh keterlaluan!" seru Signor Vitalis.
"Memang keterlaluan," gumam Garofoli.
"Hentikan," perintah Signor Vitalis. "Kau yang keter?laluan, bukan anak itu! Sungguh memalukan dan pengecut,
menyiksa anak-anak malang yang tidak bisa membela diri."
"Jangan mencampuri hal-hal yang bukan urusanmu, to?lol," seru Garofoli, nada suaranya berubah.
"Aku akan lapor polisi," balas Signor Vitalis.
"Kau mengancamku" Mau melapor ke polisi?" seru Garofoli.
"Ya," sahut majikanku yang sama sekali tidak terintimi?dasi oleh kemarahan Garofoli.
"Ah, Vitalis," Garofoli mendesis, "kau mau melapor ya" Hmm, aku juga bisa. Aku tidak peduli dengan semua urusanmu, tapi ada orang-orang yang tertarik padamu, dan kalau aku buka mulut, kalau aku menyebutkan satu nama itu... ah, siapa yang akan menyembunyikan wajahnya saking malu?"
Majikanku terdiam. Malu! Apa yang akan membuatnya malu" Aku tertegun, tapi sebelum aku sempat berpikir, Signor Vitalis sudah meraih tanganku.
"Ayo, Remi," katanya, dan ditariknya aku ke pintu.


Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh," seru Garofoli sambil tertawa, "kupikir ada yang mau kaubicarakan denganku, sobat."
"Aku tidak punya urusan denganmu."
Tanpa berkata apa-apa lagi kami menuruni tangga, Signor Vitalis masih memegangi tanganku erat-erat. De?ngan sangat lega aku mengikutinya. Aku sudah lepas dari orang jahat itu! Andai aku berani, ingin rasanya aku me?rangkul leher Signor Vitalis.
Bab Tujuh Belas Signor Vitalis yang Malang
Kami berjalan tanpa bercakap-cakap. Tak lama kemudian sampailah kami di sebuah gang sempit. Signor Vitalis du?duk di sebuah batu penanda jalan dan beberapa kali meng?usapkan tangan ke keningnya.
"Boleh-boleh saja kalau mau bermurah hati," katanya, seperti sedang berbicara sendiri, "tapi sekarang kita berada di daerah kumuh kota Paris tanpa uang sepeser pun, dan tidak punya makanan sama sekali.... Apa kau lapar?" tanya?nya, menatapku.
"Aku belum makan apa-apa selain sepotong kecil roti yang tadi pagi itu."
"Kasihan kau, Nak, dan malam ini kau terpaksa tidur tanpa makan malam. Di mana pula kita akan tidur?"
"Apakah tadinya kita akan tidur di rumah Garofoli?"
"Aku memperhitungkan kau yang akan tidur di sana. Dia pasti mau memberiku dua puluh franc untuk menyewa?mu selama musim dingin, dan uang itu bisa kugunakan untuk hidup sementara. Tapi setelah melihat perlakuannya pada anak-anak itu, aku tidak sampai hati menyerahkanmu padanya."
"Oh, kau baik sekali!"
"Barangkali di dalam diri orang tua yang keras hati ini masih tersisa sedikit perasaan lembut. Aku orang yang pe?nuh perhitungan, tapi hatiku bukan terbuat dari batu... Sekarang, ke mana kita akan pergi?" gumamnya.
Hari hampir malam dan hawa dingin semakin tajam me?nusuk. Malam ini akan berat sekali. Signor Vitalis duduk lama di batu itu. Capi dan aku berdiri diam di depannya, menunggu dia mengambil keputusan. Akhirnya dia bang?kit berdiri.
"Kita akan ke mana?"
"Ke Gentilly. Kita coba menemukan arena pacuan kuda di sana. Aku suka tidur di sana sekali-sekali. Apa kau ca?pek?"
"Aku sudah istirahat di tempat Garofoli."
"Sayangnya aku belum sempat beristirahat dan tenagaku hampir habis. Tapi kita mesti jalan terus. Ayo! Maju jalan, anak-anak!"
Biasanya Signor Vitalis mengucapkan kata-kata itu de?ngan nada gembira kalau kami akan memulai perjalanan lagi. Tetapi malam ini nada suaranya terdengar sedih.
Demikianlah, kami menyusuri jalanan-jalanan di Paris. Malam itu gelap, dan lampu-lampu gas yang berkelap- kelip dalam tiupan angin hanya menebarkan cahaya remang-remang di gang-gang kecil yang kami lalui. Setiap kali melangkah, kami selalu saja terpeleset di jalanan yang tertutup es. Signor Vitalis menuntunku dan Capi mengikuti di belakang kami. Sesekali anjing malang itu berhenti ber?jalan untuk mengorek-ngorek tempat sampah, berharap menemukan tulang atau remah-remah, sebab dia lapar se?kali. Tetapi tumpukan sampahnya tertutup salju beku dan sia-sia saja dia mencari. Dengan kedua telinga terkulai dia berlari-lari kecil untuk menyusul kami.
Sesudah jalanan-jalanan besar, kami memasuki gang?gang kecil; sesudah gang-gang kecil, kembali ke jalanan-ja?lanan besar. Kami berjalan dan terus berjalan. Beberapa pejalan kaki yang berpapasan dengan kami memandangi dengan heran. Apakah karena pakaian kami" Atau cara kami berjalan terseok-seok kelelahan" Polisi-polisi yang kami jumpai juga menoleh dan mengikuti kami dengan tatapan mereka.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Signor Vitalis te?rus melangkah, punggungnya terbungkuk dan tangannya yang menggenggam tanganku terasa sangat panas, meski udara luar biasa dingin. Sepertinya dia gemetaran. Sesekali dia berhenti dan bersandar sejenak di pundakku. Bisa ku?rasakan badannya gemetar hebat. Biasanya aku tidak akan berani bertanya padanya, tapi malam ini aku merasa harus bertanya. Selain itu, aku sangat ingin menyampaikan pada?nya bahwa aku sangat menyayanginya, atau setidaknya aku ingin dia tahu bahwa aku ingin sekali bisa melakukan sesuatu untuknya.
"Kau sakit?" tanyaku ketika dia lagi-lagi berhenti ber?jalan.
"Rasanya begitu. Aku capek sekali. Hawa dingin ini ter?lalu berat untuk badanku yang renta ini. Aku butuh tem?pat tidur yang nyaman dan makan malam di depan per?apian. Tapi itu namanya mengkhayal. Ayo! Maju jalan, anak-anak!"
Maju! Jalan! Kami sudah meninggalkan kota. Sekarang kami berada di daerah pinggiran. Tidak ada orang, atau polisi, atau lampu-lampu jalanan. Yang ada hanya jendela
yang terang di sana-sini, sedangkan di atas sana terbentang langit biru gelap dengan sejumlah bintang tersebar di be?berapa tempat. Tiupan angin yang makin kencang dan makin ganas membuat pakaian kami melekat di badan. Untunglah yang diserang adalah punggung kami, tetapi karena bagian lengan mantelku sudah robek di dekat pun?dak, angin bisa bertiup masuk dan menyelinap sepanjang lenganku, membuatku kedinginan sampai ke tulang.
Walaupun hari sudah gelap dan jalanan-jalanan yang kami lalui berbelok-belok dan saling silang, Signor Vitalis melangkah dengan yakin, sepertinya tahu pasti arah yang ditempuhnya. Jadi, aku mengikuti saja, ikut merasa yakin bahwa kami tidak akan tersesat. Namun tiba-tiba dia ber?henti melangkah.
"Kau melihat ada pohon-pohon?" tanyanya.
"Aku tidak melihat apa-apa."
"Kau tidak melihat sekumpulan bentuk hitam besar?"
Aku memandang sekelilingku. Aku tidak melihat ada pohon ataupun rumah. Hanya ada ruang terbuka di sekitar kami. Dan tidak ada suara selain siulan angin.
"Lihat, di sana itu!" Signor Vitalis mengulurkan tangan kanannya. Aku diam saja, takut mengatakan bahwa aku tidak melihat apa-apa. Karena aku tidak menjawab, dia meneruskan berjalan dengan susah payah.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Lalu sekali lagi Signor Vitalis berhenti, dan bertanya apakah aku me?lihat segerumbulan pohon. Rasa takut samar membuat suaraku bergetar ketika menjawab bahwa aku tidak me?lihat apa-apa.
"Rasa takut membuat matamu tidak jeli melihat, anakku. Cobalah lihat lagi."
"Sudah kubilang, aku tidak melihat ada pohon."
"Di jalan besar juga tidak?"
"Aku tidak melihat apa-apa."
"Kita salah jalan."
Aku hanya diam, sebab aku tidak tahu di mana kami berada dan ke mana arah yang kami tuju.
"Kita jalan lima menit lagi. Kalau kau tidak juga melihat pohon, kita kembali kemari. Mungkin tadi aku salah meng?ambil arah."
Setelah tahu bahwa kami salah arah, rasanya seluruh sisa tenagaku langsung lenyap. Signor Vitalis menarik le?nganku.
"Ayo, ayo." "Aku tidak kuat jalan lagi."
"Ah, dan kaupikir aku akan menggendongmu?"
Aku mengikutinya. "Apakah ada jejak-jejak roda dalam di jalanan?"
"Tidak ada." "Kalau begitu, kita harus balik."
Kami berbalik. Sekarang angin berembus dari depan, menyengat wajah kami seperti lecutan cambuk. Wajahku serasa disundut dengan api.
"Kita harus mengambil jalan yang dari perempatan," kata majikanku dengan lemah. "Beritahu aku kalau kau melihatnya."
Selama seperempat jam kami terus berjalan melawan angin. Dalam keheningan malam yang muram, suara lang?kah-langkah kaki kami bergema di tanah yang kering dan keras. Meski nyaris tak mampu mengayunkan langkah, akulah yang terus menarik Signor Vitalis agar terus ber?jalan. Dengan sangat cemas aku menoleh ke kiri. Dalam kegelapan bayang-bayang, tiba-tiba aku melihat seberkas cahaya merah kecil.
"Itu, di sana ada cahaya," kataku seraya menunjuk.
"Di mana?" Signor Vitalis menoleh. Meski cahaya itu tidak jauh dari kami, dia tidak melihat apa-apa. Tahulah aku bahwa peng?lihatannya sudah melemah.
"Apa artinya cahaya itu buat kita?" tanyanya. "Itu hanya cahaya lampu di meja seorang pekerja, atau di samping tempat tidur orang yang sedang sekarat. Kita tidak mung?kin mengetuk pintu rumah mereka. Kalau di desa, orang masih bisa minta tumpangan malam-malam begini. Tapi kalau di dekat Paris... jangan berharap akan ada yang mem?bukakan pintu di sini. Ayo."
Kami berjalan lagi beberapa langkah, dan rasanya aku melihat ada persimpangan, dan bayang-bayang gelap yang kemungkinan adalah pohon-pohon. Kulepaskan tangan majikanku untuk melihat dari dekat. Ada jejak-jejak roda dalam di jalanan.
"Lihat, ini ada jejak-jejak rodanya," seruku.
"Kemarikan tanganmu, kita selamat," kata Signor Vitalis. "Sekarang kau pasti bisa melihat pohon-pohon itu."
Kukatakan padanya bahwa rasanya aku bisa melihat pohon-pohon itu.
"Lima menit lagi kita sampai," gumamnya.
Kami berjalan lagi, tetapi lima menit itu rasanya lama sekali.
"Mana jejak-jejak rodanya?"
"Masih di sebelah kanan sana."
"Kita pasti sudah melewati pintu masuk tempat pacuan tanpa melihatnya. Kurasa sebaiknya kita balik saja."
Kami pun berbalik arah. "Kau melihat pohon-pohonnya?"
"Ya, di sebelah kiri sana."
"Dan jejak-jejak rodanya?"
"Tidak ada." "Apakah aku sudah buta?" tanya Signor Vitalis dengan suara pelan, sambil menyapukan kedua tangan ke mata?nya. "Jalan lurus mengikuti pepohonan, dan berikan ta?nganmu."
"Ini ada tembok."
"Bukan. Itu cuma tumpukan batu."
"Tidak, aku yakin itu tembok."
Signor Vitalis menepi untuk memeriksa langsung. Dia mengulurkan kedua tangannya dan meraba-raba tembok itu.
"Ya, ini memang tembok," gumamnya. "Di mana pintu masuknya" Coba cari tempat pacuannya."
Aku membungkuk ke tanah dan meraba-raba sampai ke ujung tembok, tetapi tidak menemukan jalan masuknya. Kemudian aku berbalik arah ke tempat Signor Vitalis ber?diri, dan meneruskan meraba-raba sepanjang tembok di sisi satunya. Sama saja. Tidak ada bukaan, tidak ada pin?tu.
"Tidak ada apa-apa," kataku.
Situasinya gawat sekali. lak diragukan lagi, majikanku mengigau. Barangkali di sini sebenarnya tidak ada tempat pacuan kuda sama sekali! Signor Vitalis berdiri saja seperti sedang bermimpi. Capi mulai menggonggong-gonggong tidak sabar.
"Apa kita perlu mencari lebih jauh ke sana?" tanyaku.
"Tidak, tempat pacuan kudanya sudah ditembok."
"Ditembok?" "Ya. Pintunya sudah ditutup, dan kita tidak bisa masuk ke dalam."
"Lalu bagaimana?"
"Bagaimana ya" Entahlah. Mati di sini."
"Oh, Tuan! Tuan!"
"Ya, kau tidak mau mati, kau masih muda. Hidup ini masih terasa indah buatmu. Ayo kita jalan lagi. Kau masih sanggup jalan sedikit lagi, Nak."
"Oh, tapi kau sendiri bagaimana?"
"Kalau aku tidak sanggup jalan lebih jauh lagi, aku akan ambruk seperti kuda yang sudah tua."
"Kita mau ke mana?"
"Kembali ke Paris. Kalau berpapasan dengan polisi, kita biarkan dia membawa kita ke kantor polisi. Aku sebenar?nya tidak mau, tapi aku tidak bisa membiarkanmu mati kedinginan, Nak. Ayo, Remi, ayo. Jalan, anak-anakku. Ta?bahlah!"
Kami kembali ke arah kami datang tadi. Jam berapa sekarang" Aku tidak tahu. Kami sudah berjalan kaki ber?jam-jam, lama, lama sekali, dan sangat perlahan. Barangkali sekarang sudah tengah malam, atau jam satu pagi. Langit masih berwarna biru gelap, tak ada bulan, dan hanya se?dikit bintang-bintang, yang tampak lebih kecil daripada biasanya. Tiupan angin semakin kencang, salju menerpa wajah kami. Rumah-rumah yang kami lewati sudah ter?tutup rapat. Aku merasa andaikan orang-orang yang ter?tidur nyaman di balik selimut hangat di dalam rumah-ru?mah itu tahu betapa kami kedinginan di luar sini, mereka tentunya akan membuka pintu untuk kami.
Signor Vitalis berjalan makin pelan dan makin pelan. Ketika aku mengajaknya bicara, dia memberi isyarat su?paya aku diam. Sekarang kami sudah dekat ke kota. Signor Vitalis berhenti. Aku tahu dia sudah kehabisan tenaga.
"Perlukah aku mengertuk pintu salah satu rumah itu?" tanyaku.
"Tidak usah, mereka tidak akan mengizinkan kita ma?suk. Yang tinggal di sini adalah petani-petani bunga. Me?reka memasok pasar. Mereka tidak bakal mau bangun pada jam begini untuk menolong kita. Kita jalan terus saja."
Tetapi dia benar-benar sudah kehabisan tenaga. Hanya kemauan keras yang membuatnya bertahan. Tak lama ke?mudian, dia berhenti lagi.
"Aku harus istirahat sebentar," katanya lemah. "Aku ti?dak kuat lagi."
Ada sebuah gerbang yang menuju sebidang kebun luas. Angin telah mengembus helai-helai jerami yang menutupi tumpukan pupuk kandang di dekat gerbang. Helai-helai jerami itu terbang ke jalan.
"Aku akan duduk di sini," kata Signor Vitalis.
"Katamu kita akan beku kedinginan dan tidak sanggup bangun lagi kalau kita duduk."
Signor Vitalis tidak menjawab; dia membuat isyarat su?paya aku menumpuk jerami-jerami itu pada pintu gerbang. Lalu dia ambruk di atasnya. Gigi-giginya gemeletuk dan seluruh tubuhnya gemetar.
"Bawakan jerami lagi," katanya. "Jerami bisa menahan angin."
Benar, jerami bisa menahan angin, tetapi tidak bisa me?nahan dingin. Setelah mengumpulkan jerami sebanyak mungkin, aku duduk di samping Signor Vitalis.
"Kemarilah, merapat padaku," katanya, "dan dudukkan Capi di pangkuanmu. Kau akan merasa lebih hangat."
Signor Vitalis sakit. Sadarkah dia dirinya sakit" Sewaktu aku mendekat dan merapat padanya, dia membungkuk dan mengecupku. Itu kedua kalinya dia mengecupku. Dan terakhir kali.
Belum lama aku merapat pada Signor Vitalis, mataku sudah terpejam. Kucoba untuk tetap terjaga, tapi tidak sanggup. Kucubit kedua lenganku, tapi aku sudah tidak bisa merasa. Capi sudah tertidur, bersandar pada kedua kakiku yang kutekuk rapat ke dadaku. Angin meniup helai-helai jerami ke arah kami, seperti daun-daun kering yang berguguran dari pohon. Tak ada seorang pun di jalan, dan di sekeliling kami yang ada hanya keheningan pekat.
Keheningan ini membuatku takut. Apa yang kutakutkan" Entahlah, tapi rasa ngeri samar-samar merayapi ku. Seolah- olah aku akan menjemput maut di tempat ini. Lalu aku merasa sangat sedih. Aku teringat Chavanon, Ibu Barberin tersayang. Haruskah aku mati tanpa pernah bertemu lagi dengannya, tanpa pernah melihat lagi rumah kecil kami dan kebunku yang mungil" Lalu rasa dingin itu lenyap. Aku seakan-akan berada di kebun kecilku lagi. Matahari bersinar, cahayanya begitu hangat. Bunga-bunga jonquil membuka kelopak-kelopak mereka yang keemasan. Burung-burung berkicau di pohon-pohon dan tanaman pagar. Ya, dan Ibu Barberin sedang menjemur pakaian-pa?kaian yang baru saja dicucinya di sungai kecil yang ber?gemericik di celah-celah bebatuan. Lalu aku meninggalkan Chavanon dan berlayar bersama Arthur dan Mrs. Milligan di perahu The Swan. Kemudian mataku kembali terpejam, jantungku terasa semakin berat, dan aku tidak ingat apa- apa lagi.
Bab Delapan Belas Teman-Teman Baru Ketika sadarkan diri, aku mendapati diriku terbaring di tempat tidur, di sebuah ruangan yang hangat oleh perapian yang menyala terang. Aku belum pernah melihat kamar ini, atau orang-orang yang berdiri di dekat tempat tidur. Ada seorang laki-laki yang memakai baju kerja kelabu dan kelompen, dan tiga atau empat anak lainnya. Salah satunya adalah anak perempuan berumur sekitar enam tahun, de?ngan sepasang mata besar yang sangat ekspresif, seperti bisa menyatakan isi hatinya.
Aku bertelekan pada sikuku. Mereka semua mendekat.
"Vitalis?" tanyaku.
"Dia menanyakan ayahnya," kata seorang anak perem?puan yang kelihatannya paling tua di antara yang lainnya.
"Dia bukan ayahku. Dia majikanku," kataku. "Di mana dia" Di mana Capi?"
Andai Signor Vitalis adalah ayahku, barangkali mereka akan menyampaikan kabar tersebut dengan lebih hati-hati, tetapi berhubung dia hanya majikanku, mereka pikir me?reka bisa memberitahukannya begitu saja.
Kata mereka, majikanku yang malang itu sudah me?ninggal. Petani bunga yang tinggal di petak tanah tempat kami ambruk kelelahan, menemukan kami pagi-pagi sekali keesokan harinya, sewaktu dia dan anak laki-lakinya hen?dak pergi ke pasar untuk menjual sayur-mayur dan bunga- bunga hasil kebun mereka. Mereka menemukan kami ter?geletak berdekatan di salju, berselimut sedikit jerami milik mereka. Signor Vitalis ditemukan sudah meninggal, dan aku pasti sudah mati juga andai Capi tidak merangkak naik ke dadaku dan menghangatkannya dengan tubuhnya. Mereka membawa kami ke dalam rumah, dan aku dibaring?kan di tempat tidur hangat milik salah seorang anak.
"Dan Capi bagaimana?" tanyaku setelah si petani bunga selesai bicara.
"Capi?" "Ya. Anjing itu."
"Entah. Dia menghilang."
"Dia mengikuti jenazah bapak itu," kata salah seorang anak. "Kau tidak melihatnya, Benjamin?"
"Iya, aku melihatnya," seorang anak laki-laki lain me?nyahut. "Dia berjalan di belakang orang-orang yang mem?bawa tandu. Kepalanya tertunduk, dan sesekali dia me?lompat-lompat ke jenazah di tandu. Waktu disuruh turun, dia meratap-ratap dan melolong-lolong sedih."
Kasihan Capi! Sebagai aktor, sudah tidak terhitung bera?pa kali dia mengikuti adegan pemakaman Zerbino. Anak- anak yang susah tertawa pun sampai terpingkal-pingkal melihat aktingnya. Semakin dia meratap-ratap, semakin keras tawa mereka.
Si petani bunga dan anak-anaknya meninggalkanku. Ka?rena tidak tahu mesti berbuat apa, aku bangkit dan ber?pakaian. Harpaku digeletakkan di kaki tempat tidurku.
Kuselempangkan tali harpa di pundakku, lalu aku keluar ke ruangan tempat keluarga itu berkumpul. Aku harus per?gi, tapi ke mana" Sewaktu masih berbaring di tempat tidur, badanku tidak begitu lemas, tapi sekarang aku hampir- hampir tidak bisa berdiri. Aku mesti berpegangan pada kursi supaya tidak jatuh. Harum sup yang tercium hidung?ku membuatku tidak tahan. Aku jadi diingatkan bahwa sejak kemarin malam aku sama sekali belum makan. Aku serasa melayang, badanku goyah, dan aku mengempaskan diri ke kursi di dekat perapian.
"Kau merasa tidak sehat, Nak?" tanya si petani bunga.
Kukatakan padanya aku tidak enak badan, dan kuminta dia membolehkan aku duduk sebentar di dekat api.
Tapi bukan kehangatan api itu yang kuinginkan, melain?kan makanan. Aku merasa semakin lemas sewaktu melihat keluarga itu menikmati sup mereka. Kalau berani, ingin aku minta semangkuk saja. Tapi Signor Vitalis sudah men?didikku untuk tidak meminta-minta. Aku tidak bisa bilang pada mereka bahwa aku lapar. Kenapa" Entahlah. Mungkin karena aku tidak mau meminta apa pun yang tidak sang?gup kukembalikan kelak.
Si gadis kecil yang sorot matanya aneh itu bernama Lise. Dia duduk di hadapanku. Tiba-tiba dia bangun dari kursi?nya dan menghampiriku dengan membawa mangkuknya yang penuh sup. Ditaruhnya mangkuk itu di lututku. De?ngan lemas, karena tak sanggup lagi bicara, aku mengang?guk sebagai ucapan terima kasih. Si ayah tidak memberiku kesempatan bicara, andai pun aku bisa.
"Ambillah, Nak," katanya. "Apa yang diberikan Lise, diberikan dengan hati yang tulus. Supnya masih ada lagi, kalau kau ingin tambah."
Kalau aku ingin tambah! Dalam sekejap saja sup itu su?dah kuhabiskan. Ketika mangkuknya kuletakkan, Lise, yang masih juga berdiri di hadapanku, menghela napas senang. Lalu dia mengambil mangkukku dan mengulurkan- nya kepada ayahnya, minta mangkuknya diisi lagi. Kemu?dian mangkuk yang sudah kembali penuh itu diulurkannya padaku dengan senyum sangat manis, sehingga aku hanya bisa duduk melongo menatapnya, meski perutku masih lapar. Isi mangkuk kedua itu juga kuhabiskan dalam se?kejap. Sekarang Lise bukan hanya tersenyum; dia tertawa terbahak-bahak.
"Nah, Nak," kata si ayah, "nafsu makanmu besar juga rupanya."
Aku malu sekali, tapi tak lama kemudian kupikir lebih baik aku mengakui yang sebenarnya, daripada dianggap rakus. Jadi kukatakan pada mereka bahwa kemarin malam aku tidak makan sama sekali.
"Makan malam juga tidak?"
"Makan malam juga tidak."
"Dan majikanmu?"
"Dia juga belum makan."
"Kalau begitu, dia meninggal karena kelaparan dan ke?dinginan."
Sup panas itu telah memulihkan kekuatanku. Aku bang?kit untuk pergi.
"Kau mau ke mana?" tanya si ayah.
"Tidak tahu." "Kau punya teman atau kerabat di Paris?"
"Tidak." "Kau tinggal di mana?"
"Kami tidak punya rumah. Kami baru kemarin tiba di kota ini."
"Lalu bagaimana denganmu?"
"Aku akan mencari uang dengan memainkan harpaku."
"Di Paris" Sebaiknya kau pulang ke orangtuamu di desa. Di mana mereka tinggal?"
"Aku tidak punya orangtua. Majikanku membeliku dari orangtua angkatku. Bapak baik sekali padaku. Terima kasih setulus-tulusnya. Kalau boleh, aku akan datang kemari hari Minggu dan memainkan harpaku, dan kalian semua bisa menari."
Sambil berkata demikian, aku berjalan ke pintu. Tapi baru beberapa langkah, Lise sudah menyusulku. Dia me?raih tanganku dan menunjuk harpaku.
"Kau ingin aku memainkan harpaku sekarang?" tanya?ku, tersenyum kepadanya.
Dia mengangguk dan bertepuk tangan.
Meski sedang tidak ingin, kumainkan musik waltz yang paling indah untuk gadis cilik ini. Mulanya dia mendengar?kan dengan mata tertuju padaku, lalu kedua kakinya mulai bergerak seiring alunan musik, dan segera saja dia sudah berdansa riang di dalam dapur, dengan ditonton saudara- saudarinya. Ayahnya tampak senang sekali. Setelah musik berhenti, si gadis cilik menghampiriku dan membungkuk hormat dengan manisnya. Aku mau saja bermain musik untuknya sepanjang hari, tapi kata ayahnya dia sudah cu?kup berdansa. Maka aku menyanyikan lagu Neapolitan yang diajarkan Signor Vitalis padaku. Lise berdiri di se?berangku, menggerak-gerakkan bibirnya seperti mengulangi syair lagu itu. Lalu tiba-tiba saja dia membalikkan badan dan lari ke pelukan ayahnya sambil menangis.
"Sudah cukup main musiknya," kata ayahnya.
"Konyol sekali dia," kakaknya yang bernama Benjamin berkata mengejek. "Tadi dia menari-nari, sekarang dia menangis."
"Dia tidak sekonyol kau!" bentak anak perempuan yang lebih tua sambil memeluk adik kecilnya dengan sayang. "Dia mengerti...."
Sementara Lise menangis di lutut ayahnya, aku kembali menyelempangkan tali harpaku di pundak dan beranjak ke pintu.
"Kau mau ke mana?" tanya si petani bunga. "Bagaimana kalau kau tinggal di sini saja dan membantu kami bekerja" Memang berat, sebab kau harus bangun pagi-pagi sekali dan bekerja keras sepanjang hari. Tapi setidaknya kau ti?dak akan mengalami seperti yang kemarin malam. Kau akan punya tempat tidur dan makanan, dan hatimu akan puas karena tahu kau pantas mendapatkannya setelah kerja kerasmu. Dan kalau kau anak yang baik "aku yakin kau anak baik "kau akan menjadi bagian dari keluarga ini."
Lise berbalik menatapku dan tersenyum di tengah air matanya. Aku nyaris tak percaya apa yang kudengar itu. Aku hanya bisa terpaku menatap si petani bunga. Lalu Lise melompat turun dari lutut ayahnya dan mengham?piriku. Diraihnya tanganku.
"Nah, bagaimana, Nak?" tanya si ayah.
Keluarga! Aku akan punya keluarga. Aku tidak akan sendirian lagi. Orang yang telah bersamaku selama be?berapa tahun, dan hampir kuanggap ayahku sendiri, seka?rang telah tiada. Dan Capi, teman dan rekan seperjuangan?ku yang sangat kusayangi, hilang entah ke mana. Semula kupikir sudah tidak ada harapan lagi bagiku, tapi sekarang petani bunga yang baik hati ini menawariku menjadi bagian dari keluarganya. Aku akan punya kehidupan baru. Dia menawariku makanan dan tempat berteduh, namun yang paling berarti bagiku adalah kehidupan bersama ke?luarga, yang sekarang akan menjadi milikku juga. Anak- anak lelaki ini akan menjadi saudara-saudaraku. Lise kecil yang manis akan menjadi adikku. Aku tidak sebatang kara lagi. Dalam mimpi-mimpi kanak-kanakku, lebih dari sekali aku berhasrat menemukan ayah dan ibuku, tapi tidak per?nah kubayangkan akan mempunyai saudara laki-laki dan perempuan juga! Dan sekarang semua itu ditawarkan pada?ku. Cepat-cepat kulepaskan tali selempang harpaku dari pundak.
"Dia sudah menjawab," kata si ayah sambil tertawa. "Dari wajahmu jelas terlihat kau senang sekali. Kau tidak perlu bilang apa-apa. Gantunglah harpamu di tembok, dan kalau kau sudah bosan pada kami, kau boleh mengambil kembali harpamu dan meneruskan pengembaraanmu. Tapi kau harus meniru cara burung layang-layang. Pilih cuaca yang bagus untuk terbang. Jangan terbang di tengah mu?sim dingin."
Keluarga baruku ini terdiri atas sang ayah, Pierre Acquin; dua anak lelaki, Alexix dan Benjamin, dan dua anak perempuan "Etiennette yang sulung, dan Lise, yang paling kecil.
Lise tak bisa bicara. Dia menjadi bisu pada umur empat tahun, karena sakit. Untunglah hal ini tidak memengaruhi kecerdasannya. Justru sebaliknya, kecerdasannya berkem?bang melampaui tingkat yang biasanya. Dia seperti me?mahami segalanya. Perilakunya yang manis membuatnya disayangi seluruh keluarga.
Sejak ibu mereka meninggal, Etiennette yang meng?gantikan perannya sebagai ibu. Dia berhenti sekolah untuk memasak, menjahit, dan mengurus rumah bagi ayahnya dan adik-adiknya. Mereka hampir lupa bahwa dia saudari mereka. Mereka sudah begitu terbiasa melihat dia bekerja seperti pelayan, sebab dia jarang keluar rumah dan tidak pernah marah. Dia tak punya waktu untuk menjadi anak kecil, karena selalu sibuk menggendong Lise, menuntun Benny, bangun subuh dan menyiapkan sarapan untuk ayah?nya, tidur larut malam setelah mencuci piring-mangkuk. Pada umur empat belas tahun wajahnya tampak serius dan sedih, bukan wajah seorang gadis remaja.
Lima menit setelah menggantung harpaku di tembok, kuceritakan pada mereka apa yang terjadi kemarin malam, bahwa kami berharap tidur di tempat pacuan kuda. Tiba- tiba kudengar suara menggaruk-garuk di pintu yang mem?buka ke kebun, disusul suara ratapan menyedihkan.
"Capi! Capi!" seruku sambil melompat bangkit.
Tetapi Lise sudah mendahuluiku membuka pintu.
Capi melompat menyerbuku. Kupeluk dia. Dengan ba?dan gemetar dia menjilat-jilat wajahku sambil melolong- lolong senang.
"Dan Capi...?" tanyaku.
Mereka mengerti maksud pertanyaanku.
"Tentu saja Capi boleh tinggal di sini juga," sahut sang ayah.
Seperti mengerti apa yang diucapkan, Capi melompat turun, lalu membungkuk dengan satu kaki depan ditempel?kan di dadanya. Anak-anak itu tertawa, terutama Lise. Untuk menyenangkan mereka, kusuruh Capi mempertunjuk?kan beberapa kemahirannya, tapi dia tidak mau mematuhi- ku. Dia melompat ke lututku dan mulai menjilati wajahku. Lalu dia turun dan mulai menarik-narik lengan mantel?ku.
"Dia ingin aku keluar."
"Dia mau mengajakmu ke majikanmu."
Polisi yang membawa pergi Signor Vitalis telah mengata?kan ingin menanyaiku kalau keadaanku sudah membaik. Tak bisa dipastikan kapan mereka akan datang, dan aku gelisah sekali. Barangkali Signor Vitalis belum meninggal. Barangkali saja masih ada sepercik napas kehidupan di dalam tubuh majikanku.
Melihat kegelisahanku, Monsieur Acquin menawarkan untuk menemaniku ke kantor polisi. Setibanya di sana, aku ditanyai panjang-lebar, tapi aku tidak mau memberikan informasi sampai mereka menyatakan Signor Vitalis benar- benar sudah meninggal. Setelah itu barulah aku menyam?paikan apa yang kuketahui, meski sedikit sekali. Tentang diriku, kukatakan aku tidak punya orangtua dan Signor Vitalis menyewaku dengan membayar sejumlah uang ke?pada suami ibu angkatku.
"Dan sekarang...?" tanya Komisaris Polisi.
"Kami akan merawat anak ini," Monsieur Acquin me?nyela. "Kalau diperbolehkan."
Sang Komisaris membolehkan dia mengurusku dan me?muji kebaikan hatinya.
Tidak mudah bagi anak kecil untuk menyembunyikan banyak hal dari petugas polisi yang tahu betul cara me?nanyai orang. Begitu pula aku. Dengan cepat Komisaris Polisi berhasil mengetahui segala sesuatu tentang Garo-foli.
"Mau tak mau, kita harus mengajak anak ini ke rumah Garofoli," kata Pak Komisaris kepada salah satu anak buah?nya. "Kalau sudah sampai di jalan yang dia sebutkan itu, dia pasti mengenali rumahnya. Kau boleh mengajaknya untuk menanyai orang itu."
Kami bertiga berangkat. Seperti telah dikatakan Pak Komisaris, kami menemukan jalanan tersebut dan rumah?nya. Kami langsung naik ke lantai empat. Aku tidak me?lihat Mattia. Mungkin dia sudah dibawa ke rumah sakit. Begitu melihat Pak Polisi dan mengenali diriku, Garofoli menjadi pucat dan tampak ketakutan. Tapi dia kembali te?nang begitu tahu mereka datang hanya untuk menanyakan tentang Signor Vitalis.
"Jadi, dia sudah meninggal?" katanya.
"Kau kenal padanya" Tolong ceritakan semuanya tentang dia."
"Tidak banyak yang bisa diceritakan. Nama aslinya bu?kan Vitalis, melainkan Carlo Balzini. Kalau kalian pernah tinggal di itali, tiga puluh lima atau empat puluh tahun yang lalu, nama itu sudah cukup memberikan penjelasan. Carlo Balzini adalah penyanyi paling hebat pada zaman?nya. Dia menyanyi di Naples, Roma, Milan, Venice, Flo- rence, London, dan Paris. Lalu suatu ketika dia kehilangan suaranya yang luar biasa itu, dan karena tidak lagi bisa menjadi penyanyi paling hebat, dia tidak mau meredupkan reputasinya dengan menyanyi di panggung-panggung yang lebih murah, yang tidak sesuai dengan kemasyhuran?nya. Dia memilih bersembunyi dari dunia dan dari semua orang yang pernah mengenalnya pada masa-masa jayanya. Tapi dia tetap harus mencari nafkah. Dia mencoba be?berapa profesi, tapi tidak berhasil, dan akhirnya dia men?jadi pelatih anjing. Tapi dalam kemiskinannya harga diri?nya masih tetap sangat tinggi, dan dia bisa mati karena malu kalau masyarakat sampai tahu bahwa Carlo Balzini yang hebat itu telah jatuh begitu dalam. Aku tahu rahasia?nya ini secara kebetulan saja."
Carlo Balzini yang malang. Signor Vitalis tersayang!
Bab Sembilan Belas Malapetaka Signor Vitalis harus dikebumikan keesokan harinya, dan Monsieur Acquin berjanji akan mengajakku ke acara pe?makamannya. Tetapi keesokan harinya aku tidak sanggup bangkit dari tempat tidur, sebab malam harinya aku sakit sangat parah. Dadaku serasa terbakar, seperti yang dialami Pretty-Heart setelah semalaman berada di atas pohon. Dok?ter pun dipanggil. Aku kena radang paru-paru. Dokter ingin aku dibawa ke rumah sakit, tetapi keluarga baruku tidak membolehkan. Pada masa-masa sakit inilah aku belajar menghargai kebaikan hati Etiennette. Dengan se?penuh hati dia merawatku. Kalau dia terpaksa meninggal?kanku karena mesti membereskan tugas-tugas rumah tang?ga, Lise menggantikannya. Berkali-kali kalau aku mengigau kulihat si Lise kecil duduk di ujung tempat tidurku, se?pasang matanya yang besar menatapku cemas. Dalam igauanku kupikir dia malaikat pelindungku, dan aku suka mengajaknya bicara, menceritakan padanya seluruh ha?rapan dan hasratku. Sejak itulah aku menganggap dia se?bagai sosok istimewa, berbeda dari orang-orang lain yang pernah kujumpai. Rasanya mengejutkan bahwa dia bisa tinggal di tengah-tengah kami. Dalam imajinasiku kulihat dia terbang pergi dengan sepasang sayap putih besar, me?nuju dunia yang lebih indah.
Aku sakit lama sekali. Malam hari, kalau aku hampir sesak napas, harus ada orang yang menungguiku. Benny dan Alexix bergantian menjagaku. Akhirnya aku mulai pulih, dan Lise menggantikan Etiennette. Dia menemaniku berjalan-jalan di pinggir sungai. Dia memang tidak bisa bicara, tetapi anehnya kami tidak membutuhkan kata-kata. Kami sepertinya bisa saling memahami dengan sangat baik, tanpa berbicara. Akhirnya aku pun cukup kuat untuk bekerja bersama yang lain-lainnya di kebun. Aku sudah tidak sabar untuk memulai, sebab aku ingin membalas ke?baikan hati teman-temanku yang telah sangat banyak mem?bantuku.
Karena aku masih lemah, aku diberi tugas yang ringan- ringan saja. Setiap pagi, setelah salju halus tidak turun lagi, aku harus membuka cungkup-cungkup dari kaca, dan ma?lam harinya, sebelum udara menjadi sangat dingin, aku harus menutupnya kembali. Pada siang hari aku harus me?nyelubungi zvallflozuer dengan jerami supaya terlindung dari matahari. Ini bukan tugas berat, tapi memakan banyak waktu, sebab ada beberapa ratus cungkup yang harus di?buka dua kali sehari.
Hari-hari dan bulan-bulan berlalu. Aku sangat bahagia. Kadang-kadang aku merasa terlalu bahagia dan tidak per?caya semua ini akan abadi. Monsieur Acquin dianggap salah satu petani bunga paling pandai di sekitar Paris. Se?telah musim wallflower sudah lewat, ada bunga-bunga lain yang menggantikannya.
Selama berminggu-minggu kami semua bekerja keras, berhubung musim tanam kali ini sepertinya sangat bagus. Kami bahkan tidak beristirahat pada hari Minggu. Tapi sekarang, karena semua bunga sudah mekar sempurna dan sudah siap menyambut musim panen yang makin men?dekat, sebagai hadiah kami semua akan pergi makan ma?lam pada hari Minggu 5 Agustus, di rumah salah seorang teman Monsieur Acquin yang juga petani bunga. Capi juga boleh ikut. Kami akan bekerja sampai jam empat sore, lalu gerbang-gerbang akan ditutup dan kami pergi ke Arcueil. Makan malam diadakan jam enam. Setelah itu kami akan langsung pulang, supaya tidak tidur larut malam, berhu?bung hari Senin-nya kami harus bangun pagi-pagi sekali untuk bekerja. Beberapa menit sebelum jam empat, kami semua sudah siap berangkat.
"Ayo semuanya," panggil Monsieur Acquin dengan riang. "Aku akan mengunci gerbang-gerbang."
"Ayo, Capi." Kugandeng Lise dan aku mulai lari bersamanya. Capi melonjak-lonjak di sekitar kami, sambil menggonggong- gonggong. Kami semua memakai pakaian terbaik kami dan tidak sabar ingin menikmati acara makan malam itu. Be?berapa orang menoleh dan memandangi ketika kami lewat. Entah seperti apa penampilanku, tapi Lise tampak sangat cantik dalam baju biru dan sepatu putihnya. Waktu berlalu cepat.
Persis ketika kami selesai makan di tempat terbuka, sa?lah satu dari kami berkomentar bahwa langit sudah gelap sekali. Awan-awan mengumpul dengan cepat di atas sana.
"Anak-anak, kita harus pulang," kata Monsieur Acquin. "Akan ada badai."
"Pulang" Sekarang?" semua mengeluh berbarengan.
"Kalau angin semakin kencang, cungkup-cungkup kaca akan rusak."
Kami semua tahu betapa pentingnya cungkup-cungkup kaca itu bagi petani bunga. Bisa gawat akibatnya kalau sampai angin memecahkan cungkup-cungkup kaca kami.
"Aku jalan duluan dengan Benny dan Alexix," kata Monsieur Acquin. "Remi bisa menyusul bersama Etiennette dan Lise."
Mereka bergegas pergi. Etiennette dan aku menyusul bersama Lise. Sekarang tidak seorang pun tertawa-tawa. Langit semakin gelap. Badai datang dengan cepat. Awan- awan debu berpusar-pusar di sekitar kami. Kami harus berjalan mundur sambil menutupi mata dengan tangan, sebab debu itu membuat kami tidak bisa melihat. Ada ke- redap petir di langit, disusul gemuruh guntur memba?hana.
Etiennette dan aku menggandeng Lise, mencoba me?nariknya berjalan lebih cepat, tapi dia nyaris tak bisa me?nyamai langkah-langkah kami. Bisakah sang ayah, Benny, dan Alexix sampai di rumah sebelum badai datang" Se?moga mereka masih sempat menutup cungkup-cungkup kaca itu, sehingga angin tidak bisa masuk ke dalamnya dan merusak bunga-bunganya. Guntur semakin dahsyat, awan-awan begitu tebal sehingga hampir-hampir terasa seperti malam. Lalu tiba-tiba hujan es tercurah deras dari langit, batu-batu esnya berjatuhan di wajah kami, semen?tara kami berlari mencari perlindungan di bawah sebuah gerbang besar.
Dalam sekejap jalanan sudah berselimut warna putih, seperti pada musim dingin. Batu-batu es itu besarnya se?ukuran telur burung dara dan menimbulkan suara sangat keras ketika berjatuhan. Sesekali kami mendengar suara derak kaca-kaca pecah. Batu-batu es yang meluncur jatuh dari atap membawa berbagai macam benda bersamanya " potongan-potongan genting, pipa cerobong, ubin, dan sebagainya.
"Oh, cungkup-cungkup kaca itu!" seru Etiennette.
Aku juga mengkhawatirkan hal yang sama.
"Kalaupun mereka bisa mendahului badai, mereka tidak bakal sempat menutupi cungkup-cungkup itu dengan jerami. Habislah semuanya!"
"Katanya hujan es hanya turun di tempat-tempat ter?tentu," kataku, mencoba tetap berharap.
"Oh, tapi yang ini terlalu dekat ke rumah. Kalau hujan esnya turun di kebun juga, seperti di sini, Ayah akan rugi besar. Padahal dia sangat berharap pada panen bunga- bunga itu. Dia sangat membutuhkan uangnya."
Aku pernah mendengar bahwa cungkup-cungkup kaca itu harganya seribu delapan ratus franc setiap seratus cung?kup, dan aku tahu kerugian besar yang bakal menimpa andai hujan es itu menghancurkan lima atau enam ratus cungkup kami, belum lagi kerusakan pada tanaman dan rumah-rumah kaca. Aku ingin bertanya pada Etiennette, tetapi hujan badai ini mengalahkan suara kami. Selain itu, kelihatannya Etiennette tidak ingin bicara. Dia memandangi hujan es yang berjatuhan itu dengan ekspresi putus asa, seperti orang yang melihat rumahnya terbakar.
Badai itu hanya berlangsung sebentar, barangkali hanya enam menit, dan berhenti mendadak seperti datangnya tadi. Awan-awan tertiup angin melewati Paris dan kami bisa meninggalkan tempat perlindungan kami. Jalanan di?penuhi bongkah-bongkah es. Lise tidak bisa melangkah di atasnya dengan sepatunya yang tipis, jadi kugendong dia di punggungku. Wajah cantiknya, yang begitu ceria ketika berangkat ke pesta, sekarang tampak sangat sedih. Pipinya basah oleh air mata.
Tak lama kemudian, kami sampai di rumah. Gerbang- gerbang besarnya terbuka, dan kami cepat-cepat masuk ke kebun. Pemandangan menyedihkan tampak di depan mata kami! Semua cungkup kaca hancur berkeping-keping. Bunga-bunga, serpihan-serpihan kaca, dan batu-batu es bertebaran di kebun kami yang semula indah. Segalanya hancur berantakan!
Di mana Monsieur Acquin"
Kami mencari-carinya. Akhirnya kami menemukan dia di rumah kaca yang besar, yang seluruh kacanya sudah hancur. Dia duduk di kereta sorong di tengah puing-puing yang menutupi tanah. AIexix dan Benjamin berdiri tak ber?suara di sampingnya.
"Anak-anakku, anak-anakku yang malang!" serunya se?telah kami semua berkumpul di sana.
Dipeluknya Lise dan dia mulai terisak-isak. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Apa yang bisa dikatakannya" Ini sungguh malapetaka besar, tetapi akibat yang ditimbulkan?nya lebih dahsyat lagi. Dengan segera aku mengetahuinya dari Etiennette.
Sepuluh tahun yang lalu, ayah mereka membeli kebun ini dan membangun sendiri rumahnya. Orang yang men?jual tanah ini kepadanya juga meminjamkan uang untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan seorang petani bunga. Semua pinjaman bisa dibayar setiap tahun, selama lima belas tahun. Kalau si peminjam terlambat membayar, orang itu akan mengambil kembali tanahnya, rumahnya, dan semua bahan-bahan tersebut. Tentu saja pembayaran yang sudah dilunasi selama sepuluh tahun tidak akan di?kembalikan. Orang itu berspekulasi bahwa sebelum masa lima belas tahun itu selesai, si petani bunga suatu ketika tidak akan sanggup membayar lagi. Dan akhirnya hari yang ditunggu-tunggunya itu tiba! Lalu sekarang bagai?mana"
Pertanyaan kami segera terjawab. Sehari setelah jatuh tempo "cicilan utang yang seharusnya dibayar dari hasil penjualan bunga-bunga pada musim ini "datang seorang laki-laki bersetelan hitam, menyerahkan sehelai kertas ber?meterai pada kami. Dia penagih utang. Dia sering sekali datang, sampai-sampai dia sudah tahu nama kami masing- masing.
"Apa kabar, Mademoiselle Etiennette" Halo, Remi. Halo, Alexix!"
Lalu dengan tersenyum dia menyerahkan kertas ber?meterai itu pada kami, seolah-olah kami teman baiknya. Monsieur Acquin sedang tidak di rumah. Dia selalu sibuk di luar rumah dan tidak pernah memberitahu kami ke mana perginya. Mungkin dia mengunjungi para pengusaha, atau mungkin dia berada di pengadilan.
Bagaimana kelanjutannya nanti" Sebagian musim dingin berlalu. Berhubung kami tidak mampu memperbaiki rumah-rumah kaca dan mengganti cungkup-cungkup kaca dengan yang baru, kami hanya bertanam sayur-sayuran dan bunga-bunga yang lebih kuat dan tidak membutuhkan perlindungan. Bunga-bunga ini tidak terlalu produktif, tapi setidaknya cukuplah. Selain itu, kami jadi punya kegiatan. Suatu sore, sang ayah pulang dalam keadaan lebih tertekan daripada biasanya.
"Anak-anak," katanya, "kita sudah tamat."
Aku baru saja hendak keluar dari situ, sebab aku merasa ada masalah serius yang ingin disampaikannya kepada anak-anaknya. Tetapi dia menahanku.
"Kau bagian dari keluarga ini, Remi," katanya sedih. "Dan walaupun kau masih sangat muda, kau sudah me?ngerti tentang kesulitan hidup. Anak-anak, aku terpaksa harus meninggalkan kalian."
Terdengar seruan kaget berbarengan.
Lise merangkul leher ayahnya dan ayahnya memeluknya erat-erat.
"Ah, berat sekali harus meninggalkan kalian, anak-anak?ku," katanya, "tapi pengadilan telah menyuruhku mem?bayar, dan karena aku tidak punya uang, semua harta milik kita harus dijual. Tapi itu pun belum cukup, jadi aku harus masuk penjara selama lima tahun. Aku tidak sang?gup membayar dengan uang, jadi utangku mesti dibayar dengan kebebasanku."
Kami semua mulai menangis.
"Ya, memang sedih," Monsieur Acquin melanjutkan de?ngan terbata-bata, "tapi orang tidak bisa melawan hukum. Kata pengacaraku, dulu keadaannya lebih parah daripada sekarang."
Suasana menjadi hening, penuh air mata.
"Aku sudah mengambil keputusan," kata sang ayah. "Remi, yang paling pintar, akan menulis surat pada kakak perempuanku Catherine dan menjelaskan masalahnya, su?paya dia mau datang. Bibi Catherine berpikiran jernih, dan dia bisa memutuskan apa yang terbaik."
Baru pertama kali itu aku menulis surat, dan isinya sa?ngat menyedihkan pula. Namun masih ada sepercik ha?rapan. Kami semua tidak tahu mesti berbuat apa, tapi kami masih berharap situasinya akan membaik setelah ke?datangan Bibi Catherine yang berakal sehat. Beberapa hari kemudian sang ayah dijemput polisi ketika hendak pergi ke rumah salah seorang temannya. Dia kembali masuk ke rumah untuk mengucapkan selamat tinggal kepada anak- anaknya; wajahnya pucat pasi.
"Jangan terlalu sedih, Bung," kata salah seorang polisi yang menjemputnya. "Dipenjara karena utang tidak terlalu berat. Kau akan punya banyak teman yang baik di sana."
Aku pergi menjemput kedua anak lelaki yang sedang berada di kebun. Lise kecil terisak-isak. Salah seorang po?lisi membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinganya, tapi aku tidak mendengar apa yang dia katakan.
Perpisahan itu berlangsung sangat cepat. Monsieur Acquin menggendong Lise dan menciuminya berkali-kali, lalu diturunkannya gadis kecil itu, tetapi Lise masih terus memegangi tangan ayahnya. Setelah itu sang ayah men?cium Etiennette, Alexix, dan Benny, dan menyerahkan Lise kepada kakak perempuannya. Aku berdiri agak jauh, tapi Monsieur Acquin menghampiriku dan menciumku juga dengan sayang, seperti kepada anak-anaknya yang lain. Setelah itu para polisi membawanya pergi. Kami semua berdiri di tengah dapur, menangis. Tidak ada yang tahu mesti berkata apa.
Bibi Catherine tiba satu jam kemudian. Kami masih me?nangis dengan sedihnya. Bagi perempuan desa yang tidak berpendidikan, tidak punya uang, tanggung jawab yang mesti dipikulnya sangat berat. Mengurus sejumlah anak miskin papa, yang sulung belum lagi enam belas tahun, sedangkan yang bungsu gadis bisu. Bibi Catherine pernah menjadi perawat di keluarga seorang pengacara. Dia lang?sung menghubungi orang itu untuk meminta nasihatnya, dan pengacara itulah yang akhirnya menentukan nasib kami. Sekembalinya dari rumah pengacara tersebut, Bibi Catherine menyampaikan keputusan yang telah diambil?nya. Lise akan tinggal bersamanya, Alexix akan dikirim
kepada seorang paman di Varses, Benny dikirim kepada paman lain yang juga petani bunga di Saint-Quentin, se?dangkan Etiennette dititipkan kepada seorang bibi yang tinggal di tepi pantai.
Aku mendengarkan, menunggu sampai giliranku tiba. Ketika namaku tidak juga disebutkan, aku bertanya, "Dan aku...?"
"Kau bukan bagian dari keluarga ini."
"Aku mau bekerja untuk Anda."
"Kau bukan anggota keluarga."
"Tanyalah pada Alexix dan Benny apakah aku rajin be?kerja. Aku suka bekerja."
"Dan suka makan sup juga, kan?"
"Tapi dia juga anggota keluarga, Bibi, dia bagian dari kami," semuanya membelaku.
Lise maju dan mengatupkan kedua tangannya di ha?dapan bibinya, ekspresinya sudah cukup menggantikan kata-kata.
"Anak malang," kata Bibi Catherine. "Aku tahu kau ingin dia ikut tinggal bersama kita, tapi kita tidak selalu bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Kau keponakan?ku, dan kalau suamiku tidak senang melihatku membawa?mu pulang, aku tinggal bilang padanya bahwa kau kerabat?ku dan aku ingin kau tinggal bersamaku. Begitu juga dengan paman-paman dan bibi-bibi lainnya. Mereka mau menampung kerabat, tapi tidak akan mau menampung orang asing."
Aku tak bisa mendebat. Ucapannya benar sekali. Aku memang bukan anggota keluarga mereka. Aku tidak bisa menuntut apa-apa, meminta apa-apa; itu namanya me?ngemis-ngemis. Tapi aku sayang pada mereka semua, dan mereka semua sayang padaku. Bibi Catherine menyuruh kami tidur, setelah memberitahukan bahwa besok kami akan berpisah.
Baru saja kami naik ke ruang atas, anak-anak itu lang?sung mengelilingiku. Lise memelukku sambil menangis. Tahulah aku bahwa meski mereka sedih karena akan di?pisahkan, akulah yang mereka pikirkan. Mereka kasihan padaku karena aku sebatang kara. Pada saat itu aku me?rasa benar-benar menjadi saudara mereka. Tiba-tiba aku mendapat gagasan.
"Dengar," kataku, "walaupun paman dan bibi kalian ti?dak mau mengajakku, kulihat kalian semua sudah meng?anggapku seperti saudara."


Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ya," mereka menyahut berbarengan.
Lise, yang tidak bisa bicara, hanya meremas tanganku dan menatapku dengan kedua matanya yang besar dan indah itu.
"Ya, aku memang saudara kalian, dan akan kubuktikan itu," kataku dengan gagah.
"Pernuit bisa memberimu pekerjaan. Perlukah aku menda?tanginya dan bicara dengannya besok?" tanya Etiennette.
"Aku tidak mau pekerjaan. Kalau aku bekerja, aku harus tetap di Paris dan tidak bisa bertemu kalian lagi. Aku akan memakai rompi kulit dombaku dan membawa harpaku, lalu aku akan berkeliling ke rumah-rumah tempat kalian tinggal. Aku akan menyampaikan kabar dari satu sama lain. Aku belum lupa lagu-laguku dan musik dansaku, dan aku bisa mencari uang untuk menyambung hidup."
Wajah mereka berseri-seri. Aku senang mereka menyam?but gagasanku. Lama kami mengobrol, lalu Etiennette me?nyuruh kami tidur, tetapi malam itu tidak ada yang bisa tidur nyenyak, apalagi aku. Keesokan harinya, begitu fajar tiba, Lise mengajakku ke kebun.
"Kau mau bicara padaku?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Kau sedih karena kita akan berpisah" Bisa kulihat dari sorot matamu. Aku juga sedih."
Dia memberi isyarat bahwa ada hal lain yang ingin di?sampaikannya.
"Lima belas hari lagi aku akan ada di Dreuzy, tempat tinggalmu yang baru."
Dia menggeleng. "Kau tidak mau aku datang ke Dreuzy?"
Kami bisa lebih lancar berkomunikasi kalau aku meng?ajukan pertanyaan, dan dia menjawab dengan mengangguk atau menggeleng. Katanya dia ingin aku datang ke Dreuzy, tapi aku harus lebih dulu pergi menemui kakak-kakaknya.
"Kau ingin aku pergi ke Varses dulu, lalu ke Esnandes, lalu ke Saint-Quentin?"
Dia tersenyum dan mengangguk, senang bahwa aku me?mahami maksudnya.
"Kenapa?" Lalu dengan bibir dan tangannya, dan terutama dengan matanya, dia menjelaskan kenapa dia ingin aku pergi me?ngunjungi saudara-saudaranya lebih dulu, yaitu supaya setibanya di Dreuzy, aku membawa kabar dari mereka. Mereka akan berangkat jam delapan, mula-mula ke pen?jara, untuk berpamitan pada ayah mereka, lalu dilanjutkan ke stasiun kereta yang akan membawa mereka ke tempat tujuan masing-masing. Jam tujuh pagi Etiennette mengajak?ku ke kebun.
"Aku ingin memberimu tanda mata, Remi," katanya. "Kotak kecil ini untukmu. Ayah baptisku dulu memberikan?nya untukku. Di dalamnya ada benang, jarum, dan gun?ting. Kau akan membutuhkannya di jalan, sebab tidak ada
aku lagi untuk menambal pakaianmu atau menjahitkan kancingmu yang lepas. Ingatlah kami semua sewaktu kau menggunakan guntingku/'
Sewaktu kami sedang bicara, Alexix berdiri tidak jauh dari situ. Setelah Etiennette pergi, dia mendekatiku.
"Remi," katanya. "Aku punya uang lima franc. Ambillah satu. Aku akan senang sekali kalau kau mau mengambil?nya."
Dari antara kami, Alexix-lah yang paling menyukai uang. Kami suka menggodanya tentang hal ini. Dia me?nyimpan uangnya sekeping demi sekeping, menghitungnya secara rutin, dan selalu sangat bangga kalau mempunyai kepingan yang masih baru. Tawarannya membuatku sangat terharu. Aku ingin menolak, tapi dia memaksa dan me?nyelipkan sekeping uang perak mengilap di tanganku. Aku tahu rasa persahabatannya padaku pasti sangat kuat, ka?rena dia bersedia membagi harta miliknya denganku.
Benjamin juga tidak lupa padaku. Dia juga ingin mem?beriku hadiah, yaitu pisaunya, tapi aku harus memberinya satu sou sebagai syarat, sebab katanya, "Pisau bisa me?mutus persahabatan."
Waktu berlalu cepat. Sudah waktunya kami berpisah. Ketika kereta datang menjemput, Lise kembali mengisyarat?kan supaya aku mengikutinya ke kebun.
"Lise!" panggil bibinya.
Lise tidak membalas, dia cepat-cepat lari di jalan setapak dan berhenti di dekat sebatang pohon mawar Bengal yang besar. Dipotongnya salah satu cabangnya, lalu dibaginya rantingnya menjadi dua. Di masing-masing ranting ada sekuntum mawar. Salah satu ranting diberikannya padaku. Sorot matanya berbicara jauh lebih banyak dibanding kata- kata.
"Koper-koper sudah dimasukkan ke bagasi. Aku meng?ambil harpaku dan memanggil Capi. Melihat pakaian lama?ku, Capi melonjak-lonjak dan menggongong-gonggong gembira. Dia jauh lebih menyukai mengembara bebas di jalan, daripada terkurung di dalam kebun. Anak-anak itu masuk ke dalam kereta. Kuangkat Lise ke pangkuan bibi?nya, lalu aku berdiri saja setengah termenung, sampai sang bibi mendorongku dengan lembut dan menutup pintu ke?reta. Mereka pun berangkat.
Dari balik kabut kupandangi Lise yang melongok ke luar jendela sambil melambaikan tangan padaku. Kemu?dian kereta itu berbelok tajam di sudut jalan, dan yang bisa kulihat hanya kepulan debu.
Aku masih berdiri memandang ke ujung jalan, sambil bersandar pada harpaku, sementara Capi bergoleran di de?kat kakiku. Seorang tetangga yang telah diminta mengunci rumah dan menyimpan kuncinya, berseru padaku,
"Apa kau mau berdiri saja di situ sepanjang hari?"
"Tidak, aku mau pergi."
"Ke mana?" "Lurus saja." "Kalau kau mau tetap di sini, aku bersedia menampung?mu," katanya, mungkin karena rasa iba saja, "tapi aku ti?dak bisa mengupahmu, sebab kau tidak begitu kuat. Mung?kin nanti aku bisa memberimu sesuatu."
Aku mengucapkan terima kasih, tapi menolak tawaran?nya.
"Sesukamulah. Aku cuma memikirkan keadaanmu. Se?lamat tinggal. Semoga beruntung."
Dia pergi. Kereta tadi juga sudah lama pergi. Rumah sudah dikunci.
Aku melangkah meninggalkan rumah tempatku tinggal selama dua tahun ini, rumah yang kuharap menjadi tempat tinggalku selamanya. Langit jernih, udara hangat, sangat berbeda dari malam dingin membekukan ketika Signor Vitalis dan aku ambruk kelelahan di dekat tembok.
Jadi, masa-masa dua tahun ini sekadar perhentian semen?tara. Aku harus melanjutkan perjalananku. Tapi tinggal di rumah ini telah memberikan banyak manfaat bagiku. Me?mulihkan kekuatanku dan memberiku teman-teman yang baik. Sekarang aku tidak sebatang kara lagi di dunia ini, dan aku punya tujuan hidup, yaitu untuk menjadi orang berguna dan bisa membahagiakan mereka yang kusa?yangi.
Bab Dua Puluh Mattia Dunia terbentang di hadapanku. Aku bisa pergi ke mana pun aku suka. Ke utara, selatan, timur, ataupun barat. Aku bebas merdeka. Berapa banyak anak yang bisa berkata begini, "Andai aku bebas berbuat sesukaku... andai aku bebas merdeka!" Dan mereka menanti-nanti dengan tak sabar, hari ketika mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan... meski sering kali yang ingin mereka lakukan itu adalah hal-hal konyol. Ada jurang yang sangat besar antara diriku dengan anak-anak itu. Kalau mereka berbuat bodoh, selalu ada tangan yang terulur, membangun?kan mereka ketika mereka jatuh. Sedangkan aku..." Kalau aku jatuh, aku akan terus jatuh semakin dalam, dalam, da?lam, dan mungkin aku tidak akan bisa bangun lagi. Aku takut. Aku tahu bahaya-bahaya yang menantiku.
Sebelum kembali mulai berkelana, aku ingin menemui orang yang telah sangat bermurah hati kepadaku. Bibi Catherine tidak mau mengajakku sewaktu anak-anak itu berpamitan kepada ayah mereka, tapi kupikir sekarang aku bisa menemuinya. Toh aku hanya sendirian.
Aku tidak berani berjalan di tengah kota bersama Capi yang berlari-lari di belakangku. Aku takut dihentikan polisi dan ditanyai. Maka kuikatkan tali pada kalung leher Capi. Sebenarnya aku tidak mau melakukannya, sebab aku tahu dia pasti tersinggung. Tapi mau apa lagi" Maka sambil me?nuntun tali lehernya kubawa dia berjalan ke penjara Clichy, tempat Monsieur Acquin ditahan. Selama beberapa saat aku hanya memandangi pintu-pintu penjara yang besar itu dengan takut. Jangan-jangan begitu masuk ke dalam sana aku tidak bisa keluar lagi. Tapi aku tidak mau bcrkecil hati. Setelah lama menunggu dan ditanyai macam-macam, akhirnya aku diperbolehkan menemui Monsieur Acquin.
"Ah, Remi, aku sudah menunggu-nunggumu," katanya begitu aku masuk ke ruangan tempat para pengunjung bisa bertemu para tahanan. "Aku memarahi Bibi Catherine karena tidak mengajakmu bersama yang lainnya."
Wajahku menjadi cerah mendengar ucapannya.
"Kata anak-anak, kau akan mulai mengembara lagi. Apa kau sudah lupa, kau hampir mati kedinginan dan ke?laparan, Nak?"
"Tidak, aku belum lupa."
"Waktu itu kau tidak sendirian. Ada orang yang mengu?rusmu. Menurutku anak seusiamu seharusnya tidak me?ngembara sendirian."
"Kalau begitu, aku tidak bakal bisa membawa kabar ten?tang anak-anak yang lain," kataku.
"Mereka bilang kau akan menemui mereka satu per satu," sahut Monsieur Acquin. "Tapi aku memintamu ber?henti mengembara karena aku mencemaskanmu, bukan mencemaskan diri kami."
"Dan kalau aku berhenti mengembara, berarti aku Cuma memikirkan diri sendiri, bukan memikirkan kalian semua... dan Lise."
Kali ini Monsieur Acquin menatapku beberapa saat, lalu tiba-tiba dia meraih kedua tanganku.
"Kau anak baik, dan aku tidak akan bilang apa-apa lagi, Nak. Tuhan akan menjagamu."
Kupeluk lehernya. Sudah waktunya aku berpamitan. Se?lama beberapa saat dia memelukku dalam diam, lalu dia meraba-raba saku rompinya dan mengeluarkan sebuah arloji perak yang besar.
"Ambillah ini, Nak," katanya. "Simpanlah untuk kenang- kenangan. Harganya tidak seberapa. Kalau mahal, tentu sudah kujual. Dan kadang-kadang arloji ini suka ngadat. Tapi kau tinggal mengetuknya sedikit kalau jarumnya ber?henti jalan. Hanya ini yang kumiliki."
Aku ingin menolak hadiah yang indah ini, tetapi dia memaksaku menerimanya.
"Aku tidak perlu melihat jam," katanya sedih. "Di sini waktu berlalu sangat lambat. Aku bisa mati kalau terus menghitungnya. Selamat tinggal, Remi. Ingat, jadilah anak baik selalu."
Aku sangat sedih. Betapa baiknya Monsieur Acquin padaku selama ini. Aku masih berlama-lama di dekat pintu-pintu penjara setelah meninggalkan Monsieur Acquin. Mungkin aku akan terus di situ sampai malam, andai aku tidak kebetulan menyentuh benda bulat keras di sakuku. Arlojiku.
Untuk sementara rasa sedihku terlupakan. Aku punya arloji sendiri, dan aku bisa melihat jam. Kuambil benda itu, untuk melihat jam berapa sekarang. Sudah tengah hari! Tapi tidak penting apakah sekarang tengah hari, jam se?puluh, atau jam dua. Tapi aku senang mengetahui bahwa
sekarang ini tengah hari. Sulit dikatakan kenapa aku se?nang. Pokoknya begitulah.
Saking senangnya, aku tidak memperhatikan bahwa Capi juga tampak gembira sekali. Dia menarik-narik kaki celanaku dan menggonggong-gonggong beberapa kali. Ka?rena dia terus menggonggong, mau tak mau aku meladeni?nya.
"Kau mau apa, Capi?" tanyaku.
Dia menatapku, tapi aku tidak mengerti maksud tatapan?nya. Dia menunggu, lalu berdiri dengan dua kaki depan ditempelkan ke saku tempatku menyimpan arloji itu. Dia ingin tahu sekarang jam berapa, supaya dia bisa memberi- tahu para "penonton yang terhormat", seperti dulu, ketika dia masih bersama Signor Vitalis.
Kuperlihatkan arloji itu padanya. Dia memandanginya beberapa saat, seperti sedang mengingat-ingat. Kemudian dia mengibaskan ekornya dan menggonggong dua belas kali. Dia belum lupa! Kami bisa mencari uang dengan arlojiku ini. Sebelumnya, ini tidak terpikir olehku.
Maju jalan, anak-anak! Aku menoleh ke bangunan penjara itu untuk terakhir kali. Di dalam sana ayah Lise dipenjara. Lalu aku pun berangkat.
Saat ini yang paling kubutuhkan adalah peta Prancis. Di dermaga banyak kios buku. Pasti di sana ada yang menjual peta. Aku pun melangkah ke arah sungai. Akhirnya aku mendapatkan peta yang sudah sangat kuning dan harga?nya hanya lima belas sou.
Sekarang aku bisa keluar dari Paris. Kuputuskan untuk pergi sekarang juga. Ada dua pilihan jalan. Aku memilih jalan yang menuju Fontainebleau. Ketika menapaki Rue Mouffetard, berbagai kenangan menyerbu ingatanku. Garo-foli! Mattia! Ricardo! Panci sup yang digembok, cambuk, dan Signor Vitalis, majikanku yang baik hati dan malang itu, yang mati karena tidak mau menyewakan aku kepada sang padrone. Ketika melewati gereja, kulihat seorang anak laki-laki bersandar di temboknya. Rasanya aku kenal anak itu. Pasti itu Mattia, anak lelaki berkepala besar, mata besar, dan sorot mata lembut yang pasrah. Kelihatannya dia tidak bertambah tinggi sedikit pun. Aku menghampirinya untuk melihat dari dekat. Ya, memang dia Mattia. Dan dia juga mengenaliku. Wajah pucatnya merekahkan senyuman.
"Ah, kau rupanya," katanya. "Kau datang ke tempat Garofoli dulu sekali, bersama orang tua berjanggut putih, persis sebelum aku masuk rumah sakit. Ah! Dulu aku se?ring sakit kepala."
"Apa Garofoli masih menjadi majikanmu?"
Dia menoleh ke sekitarnya, lalu dengan suara pelan dia berkata, "Garofoli dipenjara. Polisi menciduknya karena dia memukuli Orlando sampai mati."
Aku kaget sekali mendengarnya, sekaligus senang ka?rena Garofoli sudah dipenjara. Ternyata penjara yang mem?buatku takut bukan main itu ada gunanya juga.
"Lalu anak-anak lainnya bagaimana?" tanyaku.
"Oh, aku tidak tahu. Aku tidak di sana waktu Garofoli ditangkap. Waktu aku keluar dari rumah sakit, Garofoli menganggap tidak ada gunanya memukuliku, sebab aku gampang sakit. Dia ingin menyingkirkan aku, jadi dia men?jualku untuk masa dua tahun pada Sirkus Gassot. Mereka membayar di muka. Kau tahu Sirkus Gassot" Tidak terlalu hebat, tapi tetap sirkus. Mereka butuh anak kecil untuk pertunjukan mereka, jadi Garofoli menjualku pada Mr. Gassot. Aku ikut dengannya sampai hari Senin minggu lalu. Aku dipecat karena kepalaku terlalu besar untuk ma?suk ke dalam kotak. Setelah meninggalkan rombongan sirkus, aku pulang mencari Garofoli, tapi rumahnya sudah ditutup, dan seorang tetangga memberitahukan apa yang terjadi. Sekarang Garofoli sudah dipenjara dan aku tidak tahu mesti pergi ke mana."
"Aku juga tidak punya uang," dia menambahkan, "dan sejak kemarin aku belum makan sama sekali."
Aku tidak kaya, tetapi aku bisa membelikan sedikit ma?kanan untuk Mattia yang malang. Aku sendiri akan sangat bersyukur andai ada yang memberiku sepotong roti waktu aku mengembara di sekitar Touluse dengan perut ke?laparan seperti Mattia saat ini.
"Tunggu di sini sampai aku kembali," kataku.
Aku lari ke toko roti di sudut jalan, dan kembali dengan membawa roti gulung. Kuberikan roti itu padanya, dan dalam sekejap dia melahapnya habis.
"Sekarang, apa yang akan kaulakukan?" tanyaku.
"Belum tahu. Aku tadi sedang mencoba menjual biolaku, waktu kau datang. Aku pasti sudah menjualnya sejak lama, kalau bukan karena terlalu sayang. Biola ini satu- satunya milikku. Kalau sedang sedih, aku suka mencari tempat sepi dan memainkan biolaku. Lalu aku bisa mem?bayangkan bentuk-bentuk indah di langit sana, lebih indah daripada dalam mimpi."
"Kenapa kau tidak main biola di jalan saja?"
"Sudah kucoba, tapi aku tidak dapat apa-apa."
Aku mengerti betul, seperti apa rasanya mengamen di jalan dan tidak mendapat uang sepeser pun.
"Kau sendiri bekerja apa?" tanyanya.
Entah kenapa, aku menjawab asal saja.
"Aku bos sebuah perusahaan," aku membual dengan bangga.
Memang benar, tetapi yang kusebut "perusahaan"-ku itu pegawainya hanya Capi.
"Oh, bisakah kau...," Mattia memulai.
"Apa?" "Mempekerjakan aku di perusahaanmu?"
Karena tidak ingin membohonginya, aku tersenyum dan menunjuk Capi.
"Tapi hanya dia karyawanku," kataku.
"Yah, apa bedanya" Aku bisa menjadi karyawanmu juga. Ayolah, jangan tinggalkan aku. Aku bisa mati kelaparan!"
Mati kelaparan! Kata-katanya mengena telak di hatiku. Aku bisa membayangkan, seperti apa rasanya mati ke?laparan.
"Aku bisa main biola dan bisa akrobat," kata Mattia pe?nuh harap. "Aku bisa menari di seutas tali, bisa menyanyi, aku akan lakukan apa saja yang kaumau. Aku akan men?jadi pelayanmu. Aku akan patuh padamu. Aku tidak minta uang. Makanan saja sudah cukup. Dan kalau kerjaku tidak bagus, kau boleh memukulku. Itu bisa dimengerti. Aku hanya minta kau jangan memukul kepalaku. Itu juga mesti dimengerti, sebab kepalaku sakit sekali setelah sering di?pukuli Garofoli."
Rasanya aku ingin menangis mendengar Mattia kecil yang malang berkata demikian. Mana mungkin aku sampai hati meninggalkannya mati kelaparan! Tapi kalaupun dia ikut aku, tetap ada kemungkinan dia akan mati kelaparan. Ini kukatakan padanya, tetapi dia tidak mau mendengarkan.
"Tidak, tidak," katanya, "kalau kita jalan berdua, kita tidak akan kelaparan, sebab kita akan saling bantu. Yang mampu akan menolong yang tidak mampu."
Aku pun tidak ragu lagi. Berhubung aku cukup mampu, aku harus menolongnya.
"Baiklah kalau begitu/' kataku.
Dia langsung meraih tanganku dan menciumnya dengan penuh terima kasih.
"Ikutlah denganku/' kataku, "tapi sebagai temanku, Mattia, bukan sebagai pelayan."
Sambil memanggul harpaku, aku memberi tanda,
"Maju, jalan!" Seperempat jam kemudian kami sudah meninggalkan Paris.
Aku sengaja memilih rute ini untuk keluar dari Paris karena aku ingin menemui Ibu Barberin. Entah sudah berapa kali aku ingin menulis surat kepadanya, mengatakan bahwa aku selalu memikirkannya, dan betapa aku me?nyayanginya sepenuh hati, tapi aku takut sekali kepada Pak Barberin. Kalau dia sampai tahu keberadaanku melalui suratku, bisa-bisa dia mencariku dan menjualku pada orang lain. Mungkin dia berhak melakukannya. Biarlah Ibu Barberin menganggap aku anak yang tidak tahu berterima kasih, daripada aku kembali jatuh ke tangan Pak Barberin.
Tapi, meski tidak berani menulis surat, sekarang aku bisa menemui Ibu Barberin, berhubung sekarang aku su?dah bebas. Sejak mengajak Mattia ikut denganku, aku su?dah memutuskan begitu. Akan kusuruh Mattia mencari tahu, apakah Ibu Barberin sedang sendirian, lalu dia akan memberitahu Ibu Barberin bahwa aku berada tidak jauh dari sana dan ingin tahu apakah aman bagiku untuk me?nemuinya. Kalau ternyata Pak Barberin sedang berada di desa, Mattia bisa meminta Ibu Barberin datang ke tempat yang aman, untuk bertemu denganku.
Aku berjalan tanpa bicara, sebab otakku sibuk membuat rencana. Mattia melangkah di sampingku. Dia juga seperti?nya sedang berpikir keras. Terpikir olehku untuk memamer?
kan harta bendaku kepada Mattia. Kubuka tasku dan de?ngan bangga ku tebarkan seluruh kekayaanku di atas rumput. Aku punya tiga kemeja katun, tiga pasang kaus kaki, lima saputangan, semuanya dalam kondisi bagus, dan sepasang sepatu yang sudah agak bekas.
Mattia terkagum-kagum. "Dan kau... kau punya apa saja?" tanyaku.
"Aku hanya punya biolaku."
"Nah, kita berbagi saja. Kita kan teman. Kau boleh ambil dua kemejaku, dua pasang kaus kaki, dan tiga saputangan. Tapi kita kan mesti berbagi semuanya, jadi harus adil. Kau- bawakan tasku selama satu jam, nanti satu jam berikutnya ganti aku yang membawakan tasmu."
Mattia ingin menolak pemberianku, tapi berhubung aku sudah terbiasa mengatur-atur "dan ternyata ini sangat me?nyenangkan"kusuruh dia diam. Aku juga sudah menge?luarkan kotak jahit pemberian Etiennette dan kotak kecil yang berisi mawar pemberian Lise. Mattia ingin membuka kotak itu, tapi tidak kuperbolehkan. Kumasukkan kembali kotak itu ke dalam tasku, tanpa membuka tutupnya.
A Shoulder To Cry On 4 Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman Teror Macan Putih 2

Cari Blog Ini