Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot Bagian 4
"Kalau kau ingin menyenangkan aku," kataku, "kau ti?dak boleh menyentuh kotak ini... Ini hadiah."
"Aku janji tidak akan menyentuhnya," kata Mattia de?ngan sungguh-sungguh.
Berhubung sekarang aku sudah kembali memakai rompi kulit dombaku dan memanggul harpaku, ada satu hal yang menjadi bahan pikiranku, yaitu celana panjangku. Aku merasa seorang aktor mestinya tidak memakai celana panjang. Untuk tampil di hadapan para penonton, seorang aktor seharusnya memakai celana pendek dan stoking de?ngan dililit pita-pita warna-warni. Celana panjang hanya cocok untuk tukang kebun, sedangkan aku... aku kan aktor! Ya, aku mesti memakai celana selutut. Jadi, cepat- cepat kuambil gunting di dalam kotak jahit pemberian Etiennette.
"Sementara aku membereskan celana panjangku, coba tunjukkan caramu bermain biola," kataku pada Mattia.
"Oh, baiklah." Dia mulai bermain, sedangkan aku menggunting celana panjangku, sedikit di atas lutut. Celana panjang ini bagus sekali, warnanya kelabu, lengkap dengan rompi dan man?telnya. Aku sangat bangga memakainya sewaktu Monsieur Acquin memberikannya padaku, 'lapi aku tidak meng?anggap diriku telah merusak celana ini dengan menggun?tingnya.
Mulanya aku hampir tidak mendengarkan permainan biola Mattia. Aku terlalu sibuk menggunting celanaku, namun kemudian aku memasang telinga baik-baik. Permainan biola Mattia hampir sebagus permainan biola Signor Vitalis.
"Siapa yang mengajarimu main biola?" tanyaku sambil bertepuk tangan memujinya.
"Tidak ada. Aku belajar sendiri."
"Tidak ada yang menjelaskan sama sekali tentang musik padamu?"
"Tidak ada. Aku main biola meniru apa yang pernah kudengar saja."
"Kalau begitu, aku akan mengajarimu."
"Memangnya kau bisa?"
"Mestinya bisa, kan aku pemimpinnya."
Aku ingin memamerkan pada Mattia bahwa aku juga pemusik. Kuambil harpaku dan kunyanyikan ccinzonette terkenal itu. Dan sebagaimana seharusnya di antara sesama
seniman, dia memujiku juga. Dia sangat berbakat. Kami cocok menjadi rekan.
Kututup ranselku dan sekarang ganti Mattia yang me?manggulnya di pundak.
Kami harus berhenti di desa pertama untuk mengadakan pertunjukan. Inilah "Pertunjukan Pertama Perusahan Hi?buran Keliling Remi".
"Ajari aku lagumu," kata Mattia. "Lalu kita nyanyi sama-sama, supaya aku bisa cepat mengiringimu dengan biolaku. Pasti bagus sekali."
Ya, itu pasti bagus, dan di antara "para penonton yang terhormat" mungkin hanya yang berhati batu yang tidak akan memberi uang dengan murah hati.
Di desa pertama yang kami jumpai, kami harus me?lewati sebuah gerbang pertanian yang besar. Di balik ger?bang ada sejumlah besar orang berpakaian bagus. Beberapa di antaranya membawa buket-buket bunga berhiaskan pita- pita satin panjang. Rupanya sedang ada acara pernikahan. Barangkali saja orang-orang ini akan suka kalau aku main musik sedikit dan berdansa, pikirku. Jadi, aku masuk ke dalam dan menghampiri orang pertama yang paling dekat: Seorang laki-laki berbadan besar berwajah merah yang ke?lihatan ramah. Dia memakai kerah putih tinggi dan mantel model Pangeran Albert. Dia tidak menjawab pertanyaanku, tetapi dia berbalik ke arah para tamu dan dengan dua jari di mulutnya dia bersiul sangat nyaring, sampai-sampai Capi ketakutan.
"Dengar, semuanya," panggilnya, "bagaimana kalau kita mendengarkan musik sedikit" Para pemusiknya sudah da?tang."
"Oh, musik! Musik!" orang-orang berseru berbarengan.
"Ambil posisi untuk dansa qundrille\"
Orang-orang langsung berkumpul di tengah-tengah la?pangan. Mattia dan aku mengambil tempat di sebuah ge?robak.
"Kau bisa memainkan musik qnadrille?" aku berbisik gu?gup"Bisa." Mattia memainkan beberapa nada pada biolanya. Kebetulan aku tahu nada-nada itu. Selamatlah kami. Meski?pun Mattia dan aku belum pernah main musik bersama, penampilan kami bisa dibilang lumayan. Tetapi memang orang-orang itu juga tidak terlalu mengerti musik sih.
"Kalian ada yang bisa memainkan trompet?" tanya laki- laki berbadan besar berwajah merah itu.
"Aku bisa," kata Mattia, "tapi aku tidak punya alat mu?siknya."
"Akan kucarikan. Biolamu bagus, tapi bunyinya terlalu menciut-ciut."
Hari itu aku baru tahu bahwa Mattia bisa memainkan macam-macam alat musik. Kami bermain musik sampai malam, tanpa berhenti. Buatku tidak masalah, tetapi Mattia rupanya kecapekan. Beberapa kali kuperhatikan wajahnya memucat seperti tidak enak badan, namun dia terus saja meniup trompetnya. Untungnya bukan hanya aku yang melihat bahwa dia sakit. Pengantin perempuan juga me?ngatakan begitu.
"Sudah cukup," katanya. "Anak itu kecapekan. Sekarang ayo kumpulkan uang buat pemusik-pemusik ini!"
Kulemparkan topiku pada Capi yang langsung menang?kapnya dengan mulutnya.
"Silakan berikan pada sekretaris kami," kataku.
Mereka bertepuk tangan dan tampak senang melihat Capi membungkuk. Semuanya memberi dengan murah hati; si suami memberi paling akhir, dan dia melemparkan uang lima frnnc ke dalam topi. Topi itu penuh dengan keping-keping uang perak. Beruntung sekali kami men?dapat uang sebanyak itu!
Kami diundang makan malam dan diperbolehkan ber?malam di loteng jerami. Keesokan harinya kami meninggal?kan pertanian yang ramah itu dengan perolehan dua puluh delapan frnnc.
"Semuanya berkat kau, Mattia," kataku setelah kami menghitung penghasilan kami. "Aku tidak mungkin main musik sendirian."
Kami merasa kaya sekali dengan uang dua puluh de?lapan frnnc tersebut. Sesampainya di Corbeil, aku bisa membeli beberapa barang yang menurutku penting. Per?tama-tama, sebuah trompet. Harganya tiga frnnc kalau membeli di toko barang bekas. Lalu beberapa pita merah untuk stoking kami, dan terakhir: ransel. Akan lebih mu?dah membawa ransel kecil sendiri-sendiri daripada mem?bawa satu ransel berat bergantian.
"Aku senang sekali punya bos seperti kau, yang tidak suka memukuli," kata Mattia sambil tertawa bahagia se?sekali.
Mumpung sedang makmur, aku memutuskan untuk se?cepatnya pergi mengunjungi Ibu Barberin. Aku ingin mem?bawakan hadiah untuknya. Toh sekarang aku sudah kaya. Ada satu hadiah yang akan membuatnya sangat bahagia, melebihi apa pun, dan bukan hanya untuk sekarang, tetapi untuk masa tuanya juga "seekor sapi untuk menggantikan Rousette yang malang. Betapa bahagianya dia kalau aku memberikan seekor sapi untuknya, dan aku juga akan sa?ngat bangga. Sebelum sampai di Chavanon aku akan membeli sapi dan Mattia akan menuntunnya dengan tali, lang?sung ke pekarangan rumah Ibu Barberin.
Mattia akan berkata kepadanya, "Aku membawakan sapi buat Ibu."
Dan Ibu Barberin akan berkata, "Sapi" Kau salah alamat, Nak." Lalu dia akan menghela napas.
"Tidak, aku tidak salah alamat," Mattia akan menjawab. "Anda Ibu Barberin dari Chavanon, kan" Nah, sang Pa?ngeran (seperti dalam dongeng-dongeng) mengirimkan sapi ini sebagai hadiah."
"Pangeran?" Lalu aku akan muncul dan memeluk Ibu Barberin. Se?telah berpelukan, kami akan membuat panekuk dan kue apel, hanya untuk kami bertiga, tidak untuk Pak Barberin, sebab dulu dia merusak acara Hari Panekuk kami dan mengambil mentega kami untuk dimasukkan ke dalam sup bawangnya. Mimpi yang indah sekali! Tapi untuk me?wujudkannya, pertama-tama kami harus membeli sapi itu!
Berapa harga seekor sapi" Aku sama sekali tidak bisa mengira-ngiranya. Pasti mahal sekali, tapi tetap saja... Aku tidak akan membeli sapi yang terlalu besar. Sebab semakin gemuk sapinya, semakin mahal harganya; dan semakin besar badan si sapi, semakin banyak makanan yang dia butuhkan. Aku tidak mau sapi hadiahku malah menjadi sumber masalah bagi Ibu Barberin. Sekarang yang penting adalah mencari tahu harga sapi, atau tepatnya sapi dari jenis yang aku inginkan. Untungnya ini tidak sulit, sebab kami sering bertemu banyak petani dan pedagang ternak di desa-desa yang kami datangi. Aku menanyakan harga sapi kepada pedagang pertama yang kujumpai di pengi?napan hari itu.
Dia tertawa terbahak-bahak sambil menggebrak-gebrak meja, kemudian dia memanggil perempuan pemilik pengi?napan.
"Pemusik cilik ini ingin tahu harga sapi, yang tidak ter?lalu besar, tapi sangat sehat dan bisa memberikan banyak susu."
Semua orang tertawa. Aku tidak peduli.
"Ya, sapi yang menghasilkan susu bagus dan makannya tidak banyak," kataku.
"Dan sapinya harus yang mau dituntun pakai tali."
Setelah puas tertawa, pedagang itu mau juga membahas urusan ini secara serius denganku. Dia mempunyai sapi yang kuinginkan "sapi bagus yang menghasilkan susu le?zat"banyak krim-nya "dan sapi itu makannya tidak ba?nyak. Kalau aku mau membayar lima puluh ecu, sapi itu boleh menjadi milikku. Meski mulanya susah mengajak bicara pedagang itu, begitu dia mulai bicara sulit sekali menghentikannya. Akhirnya kami pergi tidur dan aku ber?mimpi tentang semua yang dikatakan pedagang itu pada?ku.
Lima puluh ecu " itu artinya seratus lima puluh frand Aku tidak punya uang sebanyak itu. Kalau keberuntungan kami terus berlanjut, mungkin aku bisa mengumpulkan uang seratus lima puluh franc itu sedikit demi sedikit. Tapi itu perlu waktu. Kalau begitu, pertama-tama kami harus pergi ke Varses untuk menemui Benny, dan sepanjang per?jalanan kami harus mengadakan pertunjukan sebanyak mungkin, supaya sekembalinya nanti kami sudah punya uang, dan kami bisa pergi ke Chavanon untuk mewujud?kan impian membeli sapi ?"Sapi sang Pangeran."
Kupaparkan rencanaku pada Mattia, dan dia tidak ke?beratan.
Bab Dua Puluh Satu Bertemu Teman-Teman Lama Perjalanan kami memakan waktu hampir tiga bulan, tetapi ketika akhirnya kami tiba di pinggiran kota Varses, ter?nyata kami telah memanfaatkan waktu dengan baik selama dalam perjalanan. Sekarang di dompet kulitku tersimpan uang seratus dua puluh delapan franc. Tinggal mengum?pulkan dua puluh dua franc lagi, dan impian membeli sapi untuk Ibu Barberin bisa terwujud.
Mattia hampir sama senangnya denganku, dan dia sa?ngat bangga karena telah ikut menyumbangkan tenaga untuk memperoleh uang sebanyak itu. Sumbangannya be?sar sekali. Tanpa bantuannya, tidak mungkin Capi dan aku bisa mengumpulkan seratus dua puluh delapan franc ter?sebut. Tidak akan sulit bagi kami untuk mengumpulkan kekurangan yang dua puluh satu franc dalam perjalanan dari Varses ke Chavanon.
Kami sampai di Varses jam tiga siang, matahari bersinar terang di langit yang jernih, tetapi ketika kami semakin mendekati kota, cuaca semakin gelap. Lapisan kabut asap menggantung di antara bumi dan langit.
Aku tahu paman Alexix menjadi penambang di Varses, tapi aku tidak tahu apakah dia tinggal di kota atau di luar kota. Aku hanya tahu dia bekerja di sebuah tambang ber?nama Truyere.
Setelah masuk ke kota, aku menanyakan lokasi tambang tersebut, dan aku disuruh berjalan ke tebing kiri Sungai Divonne, ke sebuah lembah kecil yang dilintasi jurang. Tambang itu dinamai menurut nama jurang tersebut. Lem?bahnya tidak menarik, sama seperti kota itu sendiri.
Di kantor tambang, kami diberitahu di mana Paman Gaspard, paman Alexix, tinggal. Rumahnya berada di se?buah jalanan berliku yang mengarah dari bukit ke sungai, agak jauh dari lokasi penambangan.
Ketika kami sampai di rumah itu, seorang perempuan tampak sedang bersandar di pintu, sambil mengobrol de?ngan dua atau tiga orang tetangganya. Katanya Gaspard si penambang baru pulang jam enam sore nanti.
"Kau mau apa menanyakan dia?" tanyanya.
"Aku ingin bertemu Alexix, keponakannya."
"Oh" Kau Remi ya?" kata perempuan itu. "Alexix per?nah cerita tentang kau. Dia sudah menunggu-nunggumu. Siapa anak lelaki itu?" Dia menunjuk Mattia.
"Dia temanku." Perempuan itu bibi Alexix. Kupikir dia akan menawari kami masuk dan beristirahat, sebab kami sangat capek dan badan kami berdebu. Tetapi dia hanya mengulangi berkata bahwa Alexix baru pulang jam enam nanti, sebab sekarang dia masih berada di tambang. Aku merasa gengsi meminta apa yang tidak ditawarkannya, maka aku mengucapkan terima kasih dan kami pergi ke kota untuk mencari toko roti. Aku malu mendapat sambutan seperti itu, sebab ku?pikir Mattia tentu bertanya-tanya kenapa begitu. Buat apa kami jauh-jauh datang kemari kalau sambutannya seperti ini"
Aku takut Mattia akan menganggap teman-temanku ti?dak sopan, dan dia tidak akan tertarik lagi mendengarkan kalau aku bercerita tentang Lise. Padahal aku ingin sekali dia menyukai Lise. Sambutan dingin dari sang bibi tadi membuatku enggan kembali ke rumah itu. Jadi, menjelang jam enam, Mattia, Capi, dan aku pergi ke gerbang tambang untuk menunggu Alexix.
Kami sudah diberitahu dari arah mana para penambang akan keluar, dan tidak lama setelah jam enam kami mulai melihat titik-titik cahaya kecil bermunculan dalam bayang- bayang gelap lorong tambang. Makin lama titik-titik ca?haya itu makin besar. Para penambang, dengan lampu di tangan, mulai beriringan ke tempat terang di luar. Pe?kerjaan mereka sudah selesai. Mereka melangkah perlahan- lahan dengan berat, seolah-olah lutut mereka sakit. Baru belakangan aku mengerti kenapa demikian, sewaktu aku sendiri menuruni sekian banyak anak tangga dan undak- undak yang menuju ke tingkat paling bawah. Wajah me?reka sehitam sapu pembersih cerobong; pakaian dan topi mereka tertutup debu batu bara. Masing-masing orang ma?suk ke dalam pondok petugas lampu dan menggantung lampu mereka di sebuah paku.
Walaupun sudah memasang mata dengan saksama, aku tidak melihat Alexix, sampai akhirnya dia yang bergegas-gegas menghampiriku. Seharusnya kubiarkan saja dia le?wat. Melihat anak ini, yang badannya hitam dari kepala sampai kaki, aku sulit membayangkan dia sebagai teman yang pernah adu lari bersamaku di petak-petak kebun, da?lam kemeja bersih yang lengannya digulung sampai siku dan kancing kerahnya dibiarkan terbuka, menampakkan kulitnya yang putih.
"Itu Remi," serunya kepada seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun, yang berjalan di dekatnya. Laki-laki itu berwajah ramah dan jujur seperti Monsiuer Acquin. Tidak heran, mengingat mereka kakak-beradik. Aku langsung tahu bahwa dia adalah Paman Gaspard.
"Kami sudah lama sekali menunggu-nunggu kedatangan?mu," kata Paman Gaspard dengan tersenyum.
"Kan jauh sekali dari Paris ke Varses," aku menyahut sambil balas tersenyum.
"Dan kaki-kakimu pendek," tukasnya sambil tertawa.
Capi senang melihat Alexix, dan dia menunjukkan ke?gembiraannya dengan menarik-narik kaki celana anak itu sekuat-kuatnya. Sementara itu aku menjelaskan kepada Pa?man Gaspard bahwa Mattia adalah teman sekaligus rekan?ku, dan bahwa dia bisa memainkan trompet lebih baik daripada siapa pun.
"Dan itu Monsieur Capi," kata Paman Gaspard. "Besok kau pasti sudah cukup beristirahat, jadi kau bisa meng?hibur kami, sebab besok hari Minggu. Kata Alexix, anjing itu lebih pintar daripada kepala sekolah sekaligus komedian."
Bersama Paman Gaspard aku merasa nyaman sekali, ti?dak seperti ketika menemui istrinya.
"Kalian berdua silakan mengobrol," kata Paman Gaspard ceria. "Pasti banyak yang ingin kalian ceritakan. Aku akan mengobrol dengan anak yang bisa bermain trompet sangat bagus ini."
Alexix ingin tahu tentang perjalananku, sedangkan aku ingin tahu tentang pekerjaannya. Kami begitu asyik saling bertanya, sampai-sampai tidak mau menunggu jawaban satu sama lain.
Setibanya di rumah, Paman Caspard mengundang kami ikut makan. Belum pernah aku merasa begitu senang men?dapatkan undangan, sebab tadi sambil berjalan aku ber?tanya-tanya apakah kami harus berpisah sesampainya di pintu, berhubung sang bibi tadi tidak begitu ramah pada kami.
"Ini Remi dan temannya," kata Paman Gaspard begitu masuk ke rumah.
Kami duduk untuk makan. Tetapi acara makan tidak berlangsung lama, sebab sang bibi yang tukang gosip ha?nya menghidangkan makanan kecil malam itu. Pekerja tambang yang ulet itu memakan makan malamnya yang hanya sedikit tanpa mengeluh sepatah pun. Dia orang yang gampang menerima dan suka damai. Dia tidak per?nah mengeluh. Kalau hendak menyampaikan sesuatu, dia mengatakannya dengan suara pelan dan lembut. Sebentar saja acara makan itu sudah selesai.
Kata Paman Gaspard, aku boleh tidur dengan Alexix malam itu, sedangkan Mattia diajaknya ke tempat pem?bakaran roti, untuk disediakan tempat tidur di sana.
Sore itu dan sampai jauh malam Alexix dan aku meng?obrol. Semua cerita Alexix membuatku sangat penasaran. Sudah lama aku ingin tahu seperti apa rasanya masuk ke dalam tambang. Tapi keesokan harinya sewaktu aku me?nyampaikan keinginanku ini kepada Paman Gaspard, dia mengatakan tidak bisa mengajakku, sebab hanya para pe?kerja tambang yang boleh turun ke bawah sana.
"Kalau kau mau menjadi penambang, mudah saja," kata?nya. "Tidak lebih sulit daripada pekerjaan lainnya. Malah lebih baik daripada menjadi pengamen jalanan. Kau bisa
tinggal di sini bersama Alexix. Nanti Mattia kita carikan pekerjaan juga, tapi bukan sebagai peniup trompet."
Aku tidak berminat tinggal di Varses. Ada hal lain yang harus kulakukan. Aku hendak meninggalkan kota tanpa memuaskan rasa ingin tahuku, namun kemudian terjadi sesuatu yang membukakan mataku tentang bahaya-bahaya mengerikan yang mesti dihadapi para penambang.
Ketika aku hendak meninggalkan Varses, sebongkah be?sar batu bara jatuh menimpa tangan Alexix dan nyaris meremukkan jarinya. Selama beberapa hari dia terpaksa mengistirahatkan tangannya sepenuhnya. Paman Gaspard bingung sekali, sebab sekarang tidak ada lagi yang mem?bantu mendorong keretanya dan dia takut terpaksa diam di rumah saja, padahal dia tidak mungkin tidak bekerja.
"Bagaimana kalau aku yang menggantikannya?" tanyaku ketika Paman Gaspard pulang setelah sia-sia mencari peng?ganti Alexix.
"Aku khawatir kereta itu terlalu berat untukmu, Nak," katanya. "Tapi kalau kau mau mencoba, aku akan senang sekali. Susah mencari pengganti hanya buat beberapa hari."
"Dan sementara kau menggantikan Alexix di tambang, aku akan cari uang bersama Capi, untuk tambahan mem?beli sapi," seru Mattia.
Setelah tiga bulan kami mengembara bersama, Mattia telah berubah sepenuhnya. Dia bukan lagi anak lelaki ring?kih dan pucat yang kujumpai sedang bersandar di tembok gereja; dia juga bukan monster yang pertama kali kulihat di loteng rumah Garofoli, sedang menjagai sup sambil sese?kali memegangi kepalanya yang sakit dengan dua tangan. Sekarang Mattia tidak pernah sakit kepala lagi; tidak per?nah merasa tidak bahagia, juga tidak kurus atau sedih.
Matahari cerah dan udara segar telah memberinya ke?sehatan dan semangat. Dalam pengembaraan kami, dia selalu tertawa dan ceria, selalu melihat sisi baik dalam se?gala hal, tertarik pada lingkungan sekitarnya, dan mudah merasa bahagia. Aku akan sangat kesepian tanpa dia!
Karakter kami jauh berbeda, tapi barangkali itu sebabnya kami sangat cocok satu sama lain. Mattia berpembawaan manis dan ceria, agak ceroboh, dan mempunyai cara-cara unik dalam mengatasi berbagai kesulitan. Kami memang pernah bertengkar sewaktu aku mengajari dia membaca dan belajar musik, sebab aku tidak mempunyai kesabaran seorang guru. Aku juga sering bersikap tidak adil padanya, tapi tidak pernah sekali pun dia menunjukkan tanda-tanda marah.
Jadi, kami sepakat bahwa selama aku menggantikan Alexix di tambang, Mattia dan Capi akan pergi ke daerah pinggiran kota untuk "menggelar pertunjukan musik dan sandiwara" demi menambah penghasilan kami. Capi ke?lihatannya mengerti sewaktu aku menjelaskan hal ini pada?nya, dan dia menggonggong tanda setuju.
Keesokan harinya aku ikut Paman Gaspard ke dalam tambang yang dalam dan gelap. Dia mewanti-wantiku su?paya sangat berhati-hati, tetapi aku tidak perlu diperingat?kan. Orang pasti merasa takut dan cemas begitu meninggal?kan terangnya siang dan masuk ke dalam perut bumi. Begitu berada di dalam lorong bawah tanah, secara na?luriah aku menoleh ke belakang, tetapi cahaya siang di ujung terowongan hitam dan panjang itu kelihatan seperti sebuah bola putih "seperti bulan di langit gelap tak ber?bintang. Tak lama kemudian jurang lebar dan hitam menganga di hadapan kami. Jauh di bawah sana bisa ku?lihat lampu-lampu para penambang lain bergoyang-goyang ketika orang-orang itu turun tangga. Kami sampai di ruang tempat Paman Gaspard bekerja di tingkat dua. Yang ber?tugas mendorong kereta-kereta adalah anak-anak lelaki, kecuali satu orang yang mereka sebut Profesor. Sang Pro?fesor ini seorang laki-laki tua yang semasa mudanya be?kerja sebagai tukang kayu di tambang, tetapi dia terpaksa melepaskan profesinya itu setelah mendapat kecelakaan yang meremukkan jemarinya. Sebentar lagi aku akan belajar, seperti apa sesungguhnya pekerjaan seorang penambang.
Bab Dua Puluh Dua Terjebak di Dalam Tambang
Beberapa hari kemudian aku mendengar bunyi gemuruh dahsyat ketika sedang mendorong keretaku di rel. Asalnya dari segala arah. Seketika aku diliputi rasa ngeri yang amat sangat dan aku ingin kabur menyelamatkan diri. Tapi aku sudah sering ditertawakan karena kepengecutanku, jadi ka?rena malu aku mengurungkan niat untuk kabur. Aku ber?tanya-tanya apakah bunyi gemuruh itu ledakan. Tiba-tiba saja ratusan tikus berlari melewatiku, terburu-buru seperti satu resimen pasukan berkuda. Kemudian terdengar bunyi aneh di tanah serta dinding-dinding tambang, disusul bu?nyi air mengalir. Aku lari ke tempat Paman Gaspard.
"Air masuk ke dalam tambang!" teriakku.
"Jangan konyol."
"Coba dengarkan!"
Ada sesuatu dalam sikapku yang berhasil memaksa Pa?man Gaspard untuk berhenti bekerja dan memasang telinga. Sekarang bunyi itu lebih keras dan lebih menakutkan.
"Cepat lari. Tambang ini kebanjiran!" teriak Paman Gaspard.
"Profesor! Profesor!" teriakku.
Kami lari ke ujung lorong. Si Profesor bergabung dengan kami. Air naik dengan cepat.
"Kau jalan duluan," kata si Profesor sesampainya kami di tangga.
Dalam situasi begini, kami sudah tidak memikirkan so?pan santun. Paman Gaspard naik lebih dulu, aku me?nyusul, dan terakhir si Profesor. Sebelum kami mencapai puncak tangga, air menderu masuk dan membuat padam lampu-lampu kami.
"Pegangan," teriak Paman Gaspard.
Kami berpegangan erat pada besi-besi tangga. Tetapi be?berapa orang di bawah kami terlempar. Serbuan air kini bagaikan longsoran gunung es yang tidak bisa ditahan- tahan lagi.
Kami berada di tingkat pertama. Di sini juga kemasukan air. Kami tidak punya lampu, sebab lampu-lampu kami sudah padam.
"Aku khawatir kita tersesat," si Profesor berkata pelan. "Berdoalah, Nak."
Pada saat itu, tujuh atau delapan penambang lain yang membawa lampu datang berlari-lari ke arah kami, ber?usaha mencapai tangga. Sekarang air menyerbu masuk ke dalam tambang dengan dahsyatnya, menyeret potongan- potongan kayu dan memutar-mutarnya seperti bulu di dalam arusnya yang sinting.
"Kita harus berhasil mencapai saluran udara, anak- anak," kata si Profesor. "Hanya di sana kita bisa mencari perlindungan. Berikan lampu padaku."
Biasanya tidak seorang pun mengacuhkan orang tua itu kalau dia berbicara, kecuali untuk mengolok-oloknya. Te?tapi laki-laki yang paling kuat di situ sudah kehilangan nyalinya, dan sekarang suara orang tua inilah yang mereka patuhi, padahal sudah begitu sering mereka mengejeknya. Seseorang memberikan lampu kepadanya. Dia menyambar?nya dan menyeretku bersamanya di depan. Dia jauh lebih tahu daripada siapa pun tentang setiap sudut dan celah di tambang ini. Air sudah naik sebatas pinggangku. Si Pro?fesor memimpin kami ke saluran udara terdekat. Dua pe?nambang menolak masuk ke sana, karena merasa kami akan menemui jalan buntu. Mereka meneruskan menyusuri lorong, dan kami tidak pernah melihat mereka lagi.
Tiba-tiba terdengar bunyi sangat keras. Serbuan air, kayu-kayu patah, ledakan udara terkompresi, gemuruh me?ngerikan yang membuat kami sangat ketakutan.
"Itu air bah," teriak salah seorang penambang.
"Kiamat!" "Ya Tuhan, kasihanilah kami."
Mendengar orang-orang itu menjerit-jerit putus asa, si Profesor berkata tenang, namun semua orang mendengar?kan suaranya.
"Tabahlah, anak-anak. Berhubung kita akan tertahan di sini untuk sementara, kita mesti mulai bekerja. Kita tidak bisa lama-lama berdempet-dempetan begini. Mari kita mem?buat rongga di dinding, supaya ada tempat untuk beristira?hat."
Kata-katanya memberi efek menenangkan. Dengan ta?ngan dan kait lampu orang-orang itu mulai menggali ta?nah. Pekerjaan ini sulit, sebab saluran udara tempat kami berlindung ini berada di sebuah lereng yang cukup terjal dan sangat licin. Dan kalau sampai kami salah langkah, maut sudah menanti di sebelah sana. Kami pun membuat rongga, sehingga kami bisa berlindung dan melihat ke?adaan satu sama lain. Kami bertujuh: si Profesor, Paman Gaspard, tiga pekerja tambang yaitu Pages, Comperou, dan Bergounhoux, dan seorang pendorong kereta bernama Carrory, dan aku sendiri.
Bunyi gemuruh di dalam tambang masih terus terde?ngar; menggelegar dahsyat. Kata-kata tidak bisa meng?gambarkan intensitas gemuruh itu. Rasanya sebentar lagi kami semua akan mati. Dengan bertanya-tanya kami saling pandang, jantung kami berdebar kencang penuh ke?takutan.
"Kuasa jahat di dalam tambang ini sedang membalas dendam," salah seorang berseru.
"Ada lubang yang bocor dari sungai di atas," aku mem?beranikan diri berkata.
Si Profesor tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya angkat bahu, seolah-olah ini sekadar perdebatan santai di bawah pohon mulberi yang rindang, sambil makan sebutir ba?wang.
"Omong kosong saja tentang kuasa jahat itu," katanya akhirnya. "Tambang ini kebanjiran, itu yang pasti. Tapi apa penyebab banjir itu, kita di bawah sini tidak tahu...."
"Kalau kau tidak tahu sebabnya, tutup mulutmu," seru orang-orang lainnya.
Sekarang, setelah kami tidak kebasahan lagi dan air ban?jir juga tidak menyentuh kami, tidak seorang pun mau mendengarkan si Profesor. Tadi orang-orang mengandal?kannya karena sikap tenang yang ditunjukkannya pada saat-saat panik. Tapi sekarang dia tidak diacuhkan lagi.
"Kita tidak akan mati tenggelam," akhirnya dia berkata pelan. "Coba lihat api di dalam lampu-lampu kalian. Seka?rang api itu pendek sekali."
"Jangan sok pintar. Apa maksudmu" Jelaskan."
"Aku bukannya sok pintar, tapi kita tidak akan teng?gelam. Kita berada di dalam semacam lonceng udara, dan udara yang dipadatkan inilah yang menahan air sehingga tidak terus naik. Lorong udara ini, tanpa saluran keluar, berfungsi seperti lonceng selam. Udara terakumulasi di dalam lorong dan sekarang menahan arus air, yang men?jadi surut kembali."
"Justru udara kotor yang harus kita cemaskan... Airnya tidak naik lagi sekarang. Tambang ini pasti penuh..."
"Di mana Marius?" seru Pages, teringat anak lelaki satu- satunya yang bekerja di lantai ketiga.
"Oh, Marius! Marius!" dia memanggil-manggil nya?ring.
Tidak ada jawaban, tidak pula gemanya berkumandang. Suaranya tidak bisa melewati batas "lonceng" kami.
Selamatkah Marius" Seratus lima puluh orang teng?gelam! Sungguh mengerikan. Seratus lima puluh orang, sedikitnya, telah turun ke dalam tambang ini. Tapi berapa banyak yang berhasil keluar melalui lorong-lorong, atau menemukan tempat berlindung seperti kami"
Sekarang suasana di dalam tambang sunyi senyap. Di kaki kami air tidak bergerak, tak ada riak ataupun geluguk. Tambang ini penuh. Keheningan yang berat ini, tidak tertembus dan begitu senyap, jauh lebih menyesakkan dari?pada kengerian akibat gemuruh yang kami dengar tadi, ketika air mula-mula menyerbu masuk. Kami ibarat berada di dalam lubang makam, terkubur hidup-hidup, lebih dari tiga puluh meter di bawah tanah. Kami semua sepertinya merasakan kegentingan situasi kami. Bahkan si Profesor tampak berkecil hati. Tiba-tiba aku merasakan tetes-tetes hangat berjatuhan di tanganku. Ternyata Carrory... Dia me?nangis, tanpa suara. Lalu terdengar ratapannya, "Marius! Anakku Marius!"
Udara terlalu berat untuk bernapas. Aku merasa sesak, kedua telingaku berdengung-dengung. Aku takut, takut pada air ini, pada kegelapan, dan kematian. Keheningan ini terasa begitu menekan, tembok-tembok batu yang tajam dan tidak rata di tempat kami berlindung serasa akan run?tuh setiap saat dan menguburku di bawah reruntuhannya. Apakah aku tidak akan pernah bertemu Lise lagi, dan Arthur, dan Mrs. Milligan, dan Mattia tersayang" Bagai?mana mereka akan menjelaskan pada Lise bahwa aku su?dah meninggal dan tidak bisa menyampaikan kabar dari kakak-kakak lelaki dan perempuannya" Dan Ibu Barberin tersayang, bagaimana dengannya"
"Menurut pendapatku, mereka tidak mencoba menye?lamatkan kita," kata Paman Gaspard, memecah keheningan pada akhirnya. "Tidak kedengaran suara apa-apa."
"Kenapa kau berpikiran begitu tentang teman-teman?mu?" si Profesor berseru dengan gusar. "Kau tahu betul, kalau terjadi kecelakaan di dalam tambang, para pekerja tidak pernah meninggalkan teman-teman mereka begitu saja. Dua puluh atau bahkan seratus orang lebih suka mati daripada meninggalkan rekannya yang kecelakaan. Kau tahu betul itu."
"Memang benar," gumam Paman Gaspard.
"Jangan salah sangka, mereka sedang berusaha keras mencapai kita. Ada dua cara... mengebor terowongan sam?pai ke tempat kita ini, atau menyedot airnya sampai ke?ring/'
Kemudian orang-orang itu mulai membahas sambil lalu, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menemukan kami di sini. Semua menyadari bahwa bisa-bisa kami ter?tahan di dalam rongga ini selama delapan hari. Delapan hari! Aku pernah mendengar tentang para pekerja tambang yang terperangkap selama dua puluh empat hari, tapi itu di dalam cerita, sedangkan ini kenyataan. Ketika akhirnya aku bisa mencerna situasi ini sepenuhnya, aku tidak men?dengar lagi omongan orang-orang di sekitarku. Aku ter?perangah.
Lagi-lagi keheningan menyelimuti. Semua orang teng?gelam dalam pikiran masing-masing. Entah berapa lama kami seperti itu, tapi sekonyong-konyong terdengar seruan,
"Pompa-pompanya sudah bekerja!"
Ini diucapkan berbarengan, sebab suara-suara yang men?capai telinga kami itu sepertinya dialirkan melalui semacam arus listrik. Kami semua bangkit berdiri. Kami akan selamat! Carrory meraih tanganku dan meremasnya.
"Kau anak baik," katanya.
"Tidak, kau yang anak baik," sahutku.
Tetapi dia bersikeras dengan penuh semangat bahwa akulah yang anak baik. Tingkah lakunya seperti orang ma?buk. Dan memang... dia sedang mabuk harapan. Tetapi sebelum kami bisa kembali melihat matahari yang indah dan mendengar cericip burung-burung di pohon-pohon, kami mesti melewati hari-hari panjang dan kejam, penuh penderitaan dan kecemasan, bertanya-tanya apakah kami akan bisa melihat cahaya siang lagi.
Kami semua haus sekali. Pages ingin turun mengambil air, tetapi si Profesor menyarankan dia untuk tetap di tem?patnya. Si Profesor takut puing-puing yang sudah kami tumpuk akan runtuh karena tidak akan kuat menahan berat badannya dan dia akan jatuh ke dalam air.
"Remi lebih ringan. Pinjamkan dia sepatu untuk meng?ambil air buat kita semua," kata si Profesor.
Aku disuruh memakai sepatu bot Carrory dan aku ber?siap-siap menuruni tebing.
"Tunggu sebentar/' kata si Profesor, "biar kubantu."
"Oh, tidak usah, Profesor," sahutku. "Kalau aku jatuh, aku bisa berenang."
"Ikuti saja omonganku," dia bersikeras. "Pegang tangan?ku."
Tetapi entah dia salah perhitungan atau batu bara itu runtuh di bawah pijakannya, tiba-tiba saja dia tergelincir di tanah miring itu dan jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalam air yang hitam. Lampu yang dipegangnya untuk menerangi jalanku terguling-guling menyusul dan lenyap di bawah sana. Seketika kami semua diliputi kegelapan pekat, sebab lampu kami hanya satu itu. Semua orang ber?teriak berbarengan. Untunglah aku sudah dalam posisi siap masuk ke air. Kubiarkan diriku meluncur turun dan aku masuk ke dalam air, menyusul si Profesor.
Selama pengembaraanku bersama Signor Vitalis, aku su?dah belajar berenang dan menyelam. Aku bisa bergerak lincah di air, seperti halnya di darat, tetapi bagaimana aku bisa mencari jalanku di dalam lubang gelap ini" Itu tidak terpikir olehku sewaktu aku meluncur turun tadi. Aku ha?nya khawatir si Profesor akan tenggelam. Ke mana aku harus mencari" Ke sebelah mana aku harus berenang" Ke?tika aku sedang kebingungan, sebuah tangan kuat men?cengkeram pundakku dan aku terseret ke bawah air. Kuten- dang-tendangkan kedua kakiku kuat-kuat dan aku pun muncul lagi ke permukaan. Tangan itu masih tetap men?cengkeram pundakku.
"Pegangan, Profesor," teriakku, "usahakan kepalamu te?tap di atas. Kita pasti selamat!"
Selamat! Apa mungkin kami akan selamat" Sebab aku tidak tahu mesti berenang ke arah mana.
"Teman-teman, bicaralah!" teriakku.
"Remi, kau di mana?"
Itu suara Paman Gaspard, arahnya dari sebelah kiri.
"Nyalakan lampunya!"
Seketika lampu menyala. Aku tinggal mengulurkan ta?ngan ke arah tebing. Dengan satu tangan aku menceng?keram sebongkah blok batu bara sambil menarik si Pro?fesor. Mesti cepat-cepat, sebab dia sudah banyak sekali menelan air dan sudah setengah tak sadarkan diri. Kujaga supaya kepalanya tetap berada di permukaan air, dan ti?dak lama kemudian dia siuman. Teman-teman kami meraih?nya dan menariknya, sedangkan aku mendorongnya dari belakang. Setelah itu barulah aku naik.
Kecelakaan mendebarkan ini sesaat membuat perhatian kami teralihkan. Setelah semuanya berlalu, kami kembali tenggelam dalam depresi dan rasa putus asa, dan ber?samaan dengan itu muncul berbagai pikiran tentang ke- matian yang makin mendekat. Aku menjadi sangat mengan?tuk. Tempat ini tidak enak untuk tidur; bisa-bisa aku terguling jatuh ke air. Si Profesor melihat aku mengantuk. Diraihnya aku dan dibaringkannya kepalaku di dadanya, kemudian dia merangkulku; tidak terlalu erat, tetapi bisa mencegahku jatuh ke air, dan aku berbaring saja seperti anak kecil di lutut ibunya. Ketika aku bergerak, setengah terbangun, dia sekadar mengubah posisi lengannya yang mulai kaku, lalu kembali duduk tak bergerak.
"Tidurlah, Nak," bisiknya seraya membungkuk di atas?ku. "Jangan takut. Aku bersamamu, Remi."
Dan aku pun tidur tanpa rasa takut, sebab aku yakin sekali dia tidak akan membiarkan aku terjatuh.
Entah sudah jam berapa sekarang. Kami tidak tahu apa?kah kami sudah dua hari atau enam hari berada di sini. Masing-masing orang mempunyai pendapat berbeda-beda. Kami tidak lagi membicarakan tentang keluar dari tempat ini. Di dalam hati kami yakin akan mati.
"Terserah apa katamu, Profesor," seru Bergounhoux, "kau sudah menghitung-hitung berapa lama mereka butuh waktu untuk memompa habis air ini, tapi mereka tidak akan keburu menyelamatkan kita. Kita akan mati kelaparan atau sesak napas...."
"Bersabarlah," si Profesor berkata. "Aku tahu berapa lama kita bisa bertahan hidup tanpa makanan, dan aku sudah menghitung-hitung. Mereka pasti bisa menyelamat?kan kita pada waktunya."
Tiba-tiba Comperou yang berbadan besar terisak-isak.
"Tuhan sedang menghukumku," tangisnya, "dan aku bertobat! Aku bertobat! Kalau aku bisa keluar dari sini, aku bersumpah akan menebus kesalahan-kesalahan yang pernah kulakukan, dan kalau aku tidak berhasil keluar, kalian yang akan menyampaikan pesanku. Kalian tahu Rouquette, yang dihukum penjara lima tahun karena di?tuduh mencuri jam dari Ibu Vidal..." Akulah pencurinya! Aku yang mengambilnya! Sekarang jam itu ada di bawah tempat tidurku.... Oh...."
"Lempar dia ke air," Pages dan Bergounhoux berseru berbarengan.
"Apa kalian mau menghadap Tuhan dengan perbuatan jahat seperti itu?" teriak si Profesor. "Biarkan dia menyesali kesalahannya!"
"Aku menyesal! Aku menyesal," ratap Comperou, suara?nya lebih lemah daripada anak kecil, walaupun badannya besar sekali.
"Lempar ke air! Ke air!" teriak Pages dan Bergounhoux sambil mencoba menangkap si pencuri yang meringkuk ketakutan di belakang sang Profesor.
"Kalau kalian mau melemparnya ke air, kalian mesti me?lempar aku juga!"
"Tidak! Tidak!"
Akhirnya mereka berjanji tidak akan melempar Comperou ke air, dengan satu syarat: dia harus meringkuk di sudut dan tidak boleh ada yang mengajaknya bicara atau memberi perhatian apa pun kepadanya.
"Ya, dia pantas dihukum demikian," kata si Profesor. "Itu baru adil."
Setelah mendengar keputusan akhir si Profesor, kami semua meringkuk berdekatan, sejauh mungkin dari Comperou. Kami sengaja menyisakan jarak di antara kami dan orang malang itu. Selama beberapa jam Comperou duduk saja di tempatnya dengan wajah sangat sedih, se?sekali bibirnya bergerak-gerak mengucapkan, "Aku menye?sali perbuatanku! Aku menyesalinya!"
Lalu Pages dan Bergounhoux akan berseru membalas:
"Sudah terlambat! Sudah terlambat! Kau menyesal karena sekarang kau ketakutan. Mestinya kau mengakui perbuatan?mu enam bulan yang lalu, atau setahun yang lalu."
Comperou terengah-engah menarik napas, tetapi masih juga berkata, "Aku menyesal! Aku menyesal!"
Dia demam tinggi; seluruh tubuhnya terguncang-gun?cang dan gigi-giginya gemeletuk.
"Aku haus," katanya. "Berikan sepatu bot itu." Tidak ada air lagi di dalam sepatu bot. Aku bangkit untuk meng?ambil air, tetapi Pages yang melihat aku bangkit menyuruh?ku berhenti, dan pada saat yang sama Paman Gaspard menarik lenganku.
"Kita sudah bersumpah tidak akan memberi perhatian padanya/' kata Paman Gaspard.
Selama beberapa menit Comperou mengulangi bahwa dia kehausan. Karena melihat kami tidak mau memberinya minum, dia bangkit untuk pergi sendiri ke air.
"Nanti dia membuat runtuh puing-puing itu," teriak Pages.
"Setidaknya biarkan dia bergerak bebas," kata si Pro?fesor.
Comperou tadi melihatku turun dengan meluncur telen?tang. Dia ingin meniru, tetapi tubuhku ringan, sedangkan tubuhnya berat. Baru saja dia telentang, batu bara itu run?tuh di bawahnya dan dia pun meluncur ke dalam lubang hitam di bawah sana dengan kedua kaki terjulur dan ke?dua lengan menggapai-gapai udara. Air menciprat sampai ke tempat kami meringkuk. Aku mencondongkan badan hendak turun, tetapi Paman Gaspard dan si Profesor lang?sung menyambar lenganku.
Kutarik kembali tubuhku ke atas, rasanya sudah se?tengah mati dan gemetar ketakutan.
Waktu berlalu. Hanya si profesor yang masih bisa ber?bicara dengan tegar. Tetapi akhirnya semangatnya menurun karena melihat keadaan kami yang depresi. Rasa lapar yang menyiksa kami begitu hebat, sampai-sampai kami memakan kayu-kayu busuk yang ada di sekitar kami. Carrory yang paling kelaparan, dan kelakuannya sudah seperti binatang saja. Dia telah memotong sepatu bot satu?nya dan sekarang tak henti mengunyah-ngunyah potongan- potongan kulit sepatu itu. Melihat akibat kelaparan ini, mesti kuakui aku mulai diliputi ketakutan-ketakutan yang amat sangat. Signor Vitalis sering menceritakan kisah-kisah tentang orang-orang yang selamat dari kapal karam. Salah satu kisahnya adalah tentang seorang kru kapal yang ter?dampar di pulau gersang. Karena tidak ada apa-apa untuk dimakan, orang itu memakan anak laki-laki pesuruh di kapal. Sewaktu melihat rekan-rekanku begitu kelaparan, aku bertanya-tanya apakah nasib yang sama juga akan me?nimpaku. Aku tahu si Profesor dan Paman Gaspard tidak bakal memakanku, tetapi aku tidak begitu yakin tentang Pages, Bergounhoux, dan Carrory, terutama Carrory yang mempunyai gigi-gigi putih besar yang digunakannya un?tuk menggigiti kulit sepatu botnya.
Pernah sewaktu sedang setengah tertidur aku terperanjat mendengar si Profesor berbicara, hampir-hampir berbisik, seperti sedang bermimpi. Dia berceloteh tentang awan- awan, angin, dan matahari. Kemudian Pages dan Bergoun- houx mulai ikut mengoceh dengan sikap bodoh. Mereka tidak menunggu yang lain-lain selesai bicara. Paman Gaspard sepertinya tidak memperhatikan betapa konyolnya kelakuan mereka. Apakah mereka semua sudah gila" Apa yang mesti dilakukan"
Tiba-tiba aku merasa ingin menyalakan lampu. Untuk menghemat, kami telah memutuskan hanya menyalakan lampu kalau benar-benar perlu. Setelah melihat cahaya lampu, rupanya mereka kembali tersadar. Aku pergi meng?ambilkan minum untuk mereka. Air sudah mulai surut.
Setelah beberapa waktu, mereka mulai mengoceh tidak keruan lagi. Sementara itu pikiran-pikiranku sendiri ber?kecamuk liar dan tidak jelas, dan selama berjam-jam atau mungkin juga berhari-hari kami berbaring saja di situ, mengoceh tidak keruan satu sama lain. Beberapa waktu kemudian kami menjadi lebih tenang dan Bergounhoux berkata bahwa sebelum mati kami harus menuliskan pesan-pesan terakhir kami. Kami menyalakan lampu dan
Bergounhoux menulis untuk kami semua, lalu kami masing-masing menandatangani kertas tersebut. Aku me?wariskan anjingku dan harpaku kepada Mattia, dan aku meminta Alexix menemui Lise dan mewakili aku mem?berikan ciuman padanya, serta bunga mawar kering yang ada di saku rompiku. Lise kecil tersayang....
Setelah beberapa waktu, aku turun lagi ke tebing dan melihat air sudah surut cukup banyak. Aku bergegas kem?bali kepada teman-temanku dan kukatakan pada mereka bahwa sekarang aku bisa berenang ke tangga dan memberi?tahukan letak tempat berlindung kami kepada para penye?lamat. Si Profesor melarangku pergi, tetapi aku bersi?keras.
"Pergilah, Remi, nanti kau kuhadiahi arlojiku," seru Pa?man Gaspard.
Si Profesor berpikir sejenak, kemudian meraih tangan?ku.
"Terserah kau sajalah, Nak," katanya, "kau punya ke?beranian. Menurutku rencanamu mustahil dilakukan, tapi bukan pertama kali ini saja hal yang dikira mustahil ter?nyata membawa hasil. Beri ciuman pada kami, Nak."
Aku mencium si Profesor dan Paman Gaspard. Lalu, se?telah melemparkan pakaianku, aku masuk ke air.
"Kalian teruslah berseru-seru," kataku sebelum mulai berenang. "Suara kalian akan menuntun arahku."
Aku tidak tahu apakah ruang di bawah atap rongga ini cukup besar untuk aku bergerak bebas. Itu masalahnya. Setelah beberapa kali mengayunkan lengan, ternyata aku bisa berenang kalau aku melaju perlahan-lahan. Aku tahu rongga-rongga itu bertemu di satu titik tidak jauh dari ini, tetapi aku harus waspada, sebab kalau sampai salah arah, aku akan tersesat. Atap dan dinding-dinding rongga ini tidak cukup untuk dijadikan penunjuk jalan; lebih baik berpedoman pada rel-rel lori di tanah. Kalau aku meng?ikuti lori-lori itu, aku pasti menemukan tangganya. Sesekali kubiarkan kedua kakiku menapak tanah, dan setelah me?nyentuh rel-rel besi tersebut, aku naik lagi perlahan-lahan. Dengan suara-suara rekan-rekanku di belakang sana dan rel-rel itu di bawah kakiku, aku tidak akan tersesat. Ketika suara-suara itu semakin sayup, suara pompa-pompa se?makin jelas terdengar, dan aku maju semakin dekat. Syu?kurlah, sebentar lagi aku akan melihat cahaya terang lagi.
Setelah berenang lurus di tengah rongga, aku tinggal belok kanan supaya bisa menyentuh rel. Aku meneruskan sedikit lagi, kemudian menyelam untuk menyentuh rel itu. Ternyata tidak ada! Aku mencari-cari di kiri-kanan rongga, tapi tetap tidak ada rel!
Aku telah salah arah. Suara-suara rekan-rekanku hanya terdengar seperti gu?maman samar. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menyelam lagi, tapi tetap tidak menemukan apa-apa. Tidak ada rel!
Aku telah mengarah ke lantai yang keliru; tanpa sadar aku pasti telah berbalik arah. Tapi kenapa rekan-rekanku tidak berteriak" Mungkinkah mereka berteriak tapi aku ti?dak mendengarnya" Perhatianku teralihkan, sebab aku ti?dak tahu mesti belok ke mana di dalam air yang dingin dan gelap pekat ini.
Lalu sekonyong-konyong aku mendengar suara-suara mereka lagi, dan aku tahu ke mana mesti mengarah. Se?telah mengayunkan lengan selusin kali untuk berenang balik, aku belok kanan, lalu ke kiri, tetapi hanya menemu?kan tembok-tembok. Mana rel-relnya" Sekarang aku yakin telah berada di tingkat yang benar, lalu tiba-tiba saja ku?sadari bahwa rel kereta itu sudah terbawa arus deras air, dan sekarang aku sama sekali tidak punya petunjuk arah. Dalam keadaan begini, rencanaku tak mungkin berhasil, dan aku terpaksa kembali ke tempat semula.
Aku cepat-cepat berenang ke tempat perlindungan kami, dengan berpedoman pada suara-suara rekan-rekanku. Ke?tika aku semakin dekat, sepertinya suara rekan-rekanku terdengar lebih yakin, seolah-olah mereka merasa lebih tabah. Tak lama kemudian aku sudah sampai di ambang lorong! Aku menyapa mereka.
"Kembalilah, kembalilah," teriak si Profesor.
"Aku tidak tahu jalannya," aku balas berseru.
"Tidak apa-apa, terowongannya hampir selesai. Mereka mendengar teriakan kami dan kami bisa mendengar teriakan mereka. Sebentar lagi kita bisa berkomunikasi."
Aku cepat-cepat memanjat ke tempat perlindungan kami dan memasang telinga. Kami bisa mendengar hantaman beliung serta seruan-seruan orang-orang yang sedang ber?usaha membebaskan kami. Suaranya hanya samar-samar, tetapi sangat jelas. Setelah perasaan senang meluap-luap itu berangsur lenyap, kusadari aku sangat kedinginan. Ber?hubung tidak ada pakaian hangat untuk kukenakan, rekan- rekanku menguburku sampai ke leher dalam serbuk batu bara, sedangkan Paman Gaspard dan si Profesor memeluk?ku supaya aku tetap hangat.
Sekarang kami tahu bahwa para penyelamat itu akan segera sampai ke tempat kami melalui terowongan dan lewat jalan air, tetapi jam-jam terakhir kami terperangkap di sana adalah yang paling berat rasanya. Suara hantaman beliung-beliu masih terus terdengar, dan pompa tidak ber?henti bekerja sedikit pun. Anehnya semakin dekat kami menuju kebebasan, semakin lemah tubuh kami. Aku ber?baring gemetar di dalam serbuk batu bara, tetapi aku tidak kedinginan. Kami tak sanggup berbicara.
Sekonyong-konyong di dalam air terdengar suara yang memenuhi rongga, dan sewaktu menoleh kulihat seberkas cahaya terang mendatangi ke arah kami. Sang insinyur memimpin beberapa anak buahnya. Dialah yang paling dulu memanjat ke tempat kami berlindung. Sebelum aku sempat membuka suara, dia sudah menggendongku.
Sudah waktunya, sebab jantungku mulai melemah, na?mun aku masih sadar bahwa aku sedang digendong pergi, terbungkus selimut, setelah para penyelamat kami meng?arungi air di dalam galeri. Kupejamkan mataku. Ketika aku membuka mata kembali, tampak cahaya terang. Kami sudah berada di udara terbuka! Pada saat bersamaan, ada sesuatu yang melompat menyerbuku. Ternyata Capi. De?ngan sekali lompat dia sudah naik ke atasku sementara aku terbaring dalam gendongan sang insinyur. Dia men?jilati wajahku berkali-kali. Lalu seseorang meraih tanganku, mengecupnya, dan ada suara lemah yang bergumam, "Remi! Oh, Remi!"
Rupanya itu Mattia. Aku tersenyum padanya, kemudian memandang sekitarku.
Kerumunan orang banyak berkumpul dalam dua barisan lurus, membentuk lorong di tengah-tengahnya. Tak satu pun berbicara, sebab mereka sudah diminta untuk tidak membuat kami terganggu dengan seruan-seruan mereka, tetapi ekspresi wajah mereka sudah cukup mewakili apa yang tidak terucap dari bibir. Di baris pertama rasanya aku melihat beberapa jubah putih dan ornamen-ornamen logam yang berkilauan dalam cahaya matahari. Mereka adalah para pastor yang datang ke mulut terowongan tambang untuk berdoa bagi keselamatan kami. Ketika kami dibawa keluar, mereka berlutut di debu tanah.
Dua puluh lengan terulur untuk mengambilku, tetapi sang insinyur tidak bersedia melepaskanku. Dia meng?gendongku sampai ke bangunan kantor, di mana tempat- tempat tidur telah dipersiapkan untuk menerima kami.
Dua hari kemudian aku sudah kembali menyusuri ja?lanan desa, dengan diikuti Mattia, Alexix, dan Capi. Ada beberapa orang yang mendekatiku dan menjabat tanganku dengan mata basah oleh air mata. Ada juga yang memaling?kan kepala. Mereka ini orang-orang yang sedang ber- dukacita, dan dengan getir mereka bertanya di dalam hati, kenapa anak yatim-piatu ini justru selamat, sementara ayah-ayah dan anak-anak lelaki mereka terkubur di dalam tambang sebagai mayat-mayat yang terapung-apung kian kemari di perairan gelap....
Bab Dua Puluh Tiga Meneruskan Perjalanan Aku jadi berteman dengan beberapa pekerja tambang. Kami menjadi dekat setelah sama-sama mengalami peris?tiwa mengerikan tersebut. Terutama Paman Gaspard dan si Profesor menjadi sangat menyukaiku, begitu pula sang insinyur; walaupun tidak ikut terperangkap bersama kami, dia menjadi sayang padaku, seperti orang merasa sayang pada anak kecil yang berhasil direnggutkannya dari maut. Dia mengundangku ke rumahnya, supaya aku bisa ber?cerita kepada anak perempuannya tentang peristiwa yang kami alami di dalam tambang.
Semua orang ingin aku tetap di Varses. Pak Insinyur mengatakan akan mencarikan pekerjaan untukku di kantor, kalau aku mau. Paman Gaspard menjanjikan akan mencari?kan pekerjaan tetap untukku di tambang. Sepertinya dia beranggapan wajar saja kalau aku kembali bekerja di sana. Dia sendiri tidak lama lagi akan turun kembali ke bawah tanah, seperti umumnya orang-orang yang sudah terbiasa menantang bahaya setiap harinya. Tetapi aku tidak mau kembali ke tempat itu. Tambang itu sangat menarik dan aku sangat senang pernah mempunyai pengalaman masuk ke dalamnya, tetapi aku sama sekali tidak berminat untuk kembali ke sana. Aku lebih suka berada di bawah langit terbuka, walaupun langit itu menurunkan salju. Kehidupan di alam terbuka lebih cocok untukku, begitulah kukatakan pada mereka. Semua orang kaget, terutama si Profesor. Se?dangkan Carrory menyebutku "pengecut" sewaktu bertemu denganku.
Sementara orang-orang berusaha membujukku untuk tetap tinggal di Varses, Mattia menjadi sangat serius dan pendiam. Kutanya padanya, ada masalah apa, tetapi dia selalu menjawab tidak ada apa-apa. Setelah aku mengajak?nya melanjutkan pengembaraan kami tiga hari dari seka?rang, barulah dia mau mengakui penyebab kesedihannya.
"Oh, kupikir kau akan tinggal di sini dan meninggalkan aku," katanya.
Kukatakan padanya supaya tidak perlu meragukan aku.
Sekarang Mattia sudah bisa mengurus diri sendiri. Se?waktu aku bekerja di tambang, dia mendapatkan peng?hasilan delapan belas franc. Dia sangat bangga ketika me?nyerahkan uang itu padaku, sebab kalau ditambah uang seratus dua puluh delapan franc yang sudah kami kumpul?kan, berarti seluruhnya berjumlah seratus empat puluh enam franc. Tinggal menambah empat franc lagi untuk membeli sapi.
"Maju! Jalan! Anak-anak!" dengan ransel di punggung kami memulai perjalanan, Capi menggonggong-gonggong dan bergoleran di tanah saking senangnya.
Mattia mengusulkan kami mencari uang sedikit lagi se?belum membeli sapi. Semakin banyak uangnya, semakin bagus sapinya, dan semakin bagus sapinya, semakin se?nang Ibu Barberin tentunya.
Dalam perjalanan dari Paris ke Varses aku sudah mulai mengajari Mattia membaca dan dasar-dasar bermain musik. Sekarang aku meneruskan mengajarinya, tapi tidak terlalu berhasil, entah karena aku tidak becus mengajar atau Mattia bukan murid yang pandai. Sering kali aku menjadi marah dan sambil menutup buku dengan gemas, kukata?kan padanya bahwa otaknya bebal sekali.
"Memang benar," sahutnya dengan tersenyum. "Sebab kepalaku sering dibentur-benturkan Garofoli."
Mana mungkin aku tetap marah setelah mendengar ja?waban ini" Aku tertawa dan pelajaran diteruskan. Tetapi dalam pelajaran musik, sejak awal Mattia sudah memper?oleh kemajuan yang sangat mencengangkan. Pada akhirnya aku dibuat kebingungan dengan pertanyaan-pertanyaannya, sehingga aku terpaksa mengakui bahwa aku tidak bisa mengajarinya lagi. Pengakuan ini membuatku sangat malu, sebab selama ini aku bangga sekali menjadi gurunya, dan sungguh suatu aib karena aku tidak bisa menjawab per?tanyaan-pertanyaan muridku. Dan dia juga tidak merasa kasihan sama sekali padaku. Oh, oh!
"Aku ingin mendapatkan satu saja pelajaran dari guru sungguhan," katanya, "satu saja, dan aku akan menanya?kan semua pertanyaan yang ingin kuketahui jawaban?nya."
"Kenapa kau tidak mencari guru sungguhan waktu aku sedang kerja di tambang?"
"Sebab aku tidak mau membayar ongkosnya dari uang?mu."
Semula aku tersinggung sewaktu Mattia mengatakan ingin belajar dari guru sungguhan, tetapi perasaan terhina?ku yang konyol itu runtuh ketika mendengar ucapan se?sudahnya.
"Kau anak baik/' kataku. "Uangku ya uangmu juga. Kau juga bekerja keras mendapatkannya, dan malah lebih se?ring kau yang bekerja daripada aku. Kau boleh belajar se?banyak mungkin, aku akan ikut denganmu."
Guru sungguhan yang kami inginkan ini tidak boleh orang desa, melainkan harus seorang seniman, seniman besar yang hanya bisa ditemukan di kota-kota yang pen?ting. Maka kami melihat-lihat di peta; kota besar berikut?nya adalah Mendes.
Sudah malam ketika kami sampai di Mendes, dan ka?rena sudah kecapekan, kami memutuskan tidak akan lang?sung belajar malam itu juga. Kami bertanya pada ibu pe?milik penginapan, di mana kami bisa menemukan guru musik yang bagus. Katanya dia takjub sekali kami me?nanyakan itu. Masa kami belum pernah mendengar ten?tang Monsieur Espinassous"
"Kami datang dari jauh," kataku.
"Kalau begitu, pasti amat sangat jauh ya?"
"Dari Itali," ujar Mattia.
Ibu pemilik penginapan tidak terkejut lagi. Pantas saja kami tidak tahu tentang Monsieur Espinassous, katanya.
"Apakah guru ini sibuk sekali?" tanyaku, khawatir jangan-jangan pemusik terkenal itu tidak akan mau mem?berikan satu saja pelajaran musik pada dua anak jalanan seperti kami.
Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh ya, dia memang sibuk sekali. Sudah sepantasnya, kan?"
"Kira-kira maukah dia menerima kami besok pagi?"
"Pasti mau! Dia menerima siapa saja, asalkan mereka punya uang... tentunya."
Kami mengerti. Sebelum tidur, kami membicarakan pertanyaan-per?
tanyaan yang hendak kami ajukan besok pada guru yang hebat ini. Mattia merasa kami sangat beruntung menemu?kan guru sesuai yang kami inginkan, dan dia senang se?kali.
Keesokan paginya kami membawa alat-alat musik kami "Mattia membawa biolanya, sedangkan aku mem?bawa harpaku "dan berangkat untuk menjumpai Monsieur Espinassous. Kami tidak mengajak Capi, sebab rasanya ti?dak pantas membawa-bawa anjing ke rumah orang ter?kenal itu. Capi kami ikat di kandang milik tempat pengi?napan. Akhirnya kami sampai di depan rumah yang oleh ibu pemilik penginapan dikatakan sebagai rumah sang guru musik. Kami mengira telah datang ke rumah yang salah, sebab di depan rumah itu ada dua pelat kecil dari kuningan yang tulisannya jelas-jelas bukan "guru musik". Tempat itu sebuah tempat pangkas rambut. Kami menanya?kan arah ke rumah Monsieur Espinassous pada orang yang kebetulan lewat.
"Itu dia rumahnya," katanya seraya menunjuk tempat pangkas rambut tersebut.
Mungkin guru musik ini tinggal bersama tukang cukur; kenapa tidak" Kami masuk. Tempat itu disekat menjadi dua bagian yang sama besar. Di sebelah kanan ada sikat- sikat, sisir-sisir, botol-botol krim, dan kursi-kursi tukang cukur. Di sebelah kiri ada berbagai alat musik, digantung?kan di dinding-dinding dan di rak-rak " biola, trompet, trombone, dan macam-macam lainnya.
"Monsieur Espinassou?" tanya Mattia.
Laki-laki necis bertubuh kecil yang sedang mencukur se?orang pelanggan menyahut, "Aku Monsieur Espinassous."
Aku melirik Mattia, memberi isyarat bahwa pemusik-merangkap-tukang cukur ini pasti bukan orang yang kami
cari, dan kami akan membuang uang dengan percuma ka?lau kami berguru kepadanya. Tetapi Mattia rupanya tidak mengerti maksud lirikanku, sebab dia malah duduk di sa?lah satu kursi dengan sikap penuh percaya diri.
"Bisakah Anda memangkas rambutku setelah selesai de?ngan bapak itu?" tanyanya.
"Tentu bisa, anak muda. Dan pipimu sekalian, kalau kau mau."
"Terima kasih," sahut Mattia.
Aku terheran-heran melihat sikap percaya dirinya itu. Mattia balas melirikku, memberi isyarat supaya aku jangan kesal dulu.
Setelah pelanggan itu selesai dilayani, Monsieur Espinassous menghampiri Mattia dengan handuk tersampir di lengannya. Dia bersiap-siap mencukur rambut Mattia.
"Monsieur," kata Mattia, sementara si tukang cukur mengikatkan selimut cukur pada leher Mattia, "temanku dan aku sedang berdebat, dan karena kami tahu Anda pe?musik terkenal, kami pikir mungkin Anda bisa memberikan nasihat dan memutuskan masalah ini untuk kami."
"Masalah apa, anak muda?"
Sekarang aku mengerti tujuan Mattia. Pertama-tama, dia ingin tahu apakah tukang cukur-merangkap-pemusik ini sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Kalau ya, Mattia berniat mendapatkan pelajaran musik seharga ong?kos potong rambut.
Sambil rambutnya dipotong, Mattia menanyakan ber?bagai hal. Si tukang cukur-merangkap-pemusik tampaknya merasa lucu, tetapi dia menjawab setiap pertanyaan de?ngan cepat dan senang hati. Ketika kami akan meninggal?kan tempat itu, dia meminta Mattia memainkan biolanya. Mattia pun membawakan sebuah lagu dengan biolanya.
"Dan kauhilang kau tidak tahu nada-nada musik!" seru si tukang cukur sambil bertepuk tangan, seraya meman?dangi Mattia dengan sayang, seolah-olah dia sudah lama mengenal dan menyayangi Mattia. "Bagus sekali per?mainanmu."
Mattia mengambil sebuah klarinet dari antara alat musik yang tersedia dan memainkannya. Setelah itu dia meng?ambil trompet.
"Wah, kau hebat sekali!" Monsieur Espinassous berseru takjub dan senang. "Kalau kau mau tinggal di sini bersama?ku, kau akan kubimbing untuk menjadi pemusik hebat. Setiap pagi kau akan belajar mencukur para pelangganku, dan selebihnya kau akan belajar musik. Jangan pikir aku tidak mengerti musik, hanya karena aku bekerja sebagai tukang cukur. Orang kan mesti punya mata pencarian!"
Kutatap Mattia. Apa yang akan dikatakannya" Apakah aku akan kehilangan sahabatku, rekanku, saudaraku"
"Pikirkan masa depanmu sendiri, Mattia," kataku, tetapi suaraku gemetar.
"Meninggalkan temanku?" seru Mattia sambil mengait?kan lengannya pada lenganku. "Aku tidak akan mau. Tapi terima kasih tawarannya, Monsieur."
Monsieur Espinassous masih terus mendesaknya. Kata?nya nanti mereka akan mencari jalan untuk mengirim Mattia ke sekolah musik di Paris, sebab Mattia pasti akan menjadi pemusik besar.
"Dan meninggalkan Remi" Tidak akan!"
"Kalau begitu, akan kuberikan padamu buku untuk belajar apa-apa yang belum kauketahui," si tukang cukur berkata sedih. Lalu dia mengambil sebuah buku dari da?lam laci, judulnya Teori Musik. Buku itu sudah lusuh dan robek-robek, tapi itu tidak penting, bukan" Si tukang cukur mengambil pena, lalu duduk dan menuliskan di halaman pertama:
Untuk seorang anak yang, setelah kelak menjadi orang ter?kenal, akan mengingat si tukang cukur dari Mendes.
Aku tidak tahu apakah masih ada guru-guru musik lain di Mendes. Kami hanya mengenal guru yang satu itu, dan kami tidak pernah melupakannya.
Bab Dua Puluh Empat Persahabatan Sejati Aku sudah menyayangi Mattia ketika kami tiba di Mendes, namun sewaktu kami meninggalkan kota itu, rasa sayang?ku padanya semakin besar. Di hadapan si tukang cukur aku tidak bisa menyampaikan pada Mattia, apa yang ku?rasakan sewaktu dia berseru, "Meninggalkan temanku?"
Kuraih tangannya dan kuremas sambil berjalan.
"Sampai maut memisahkan kita, Mattia," kataku.
"Sejak dulu aku sudah tahu itu," sahutnya sambil ter?senyum padaku dengan kedua matanya yang besar dan gelap itu.
Kami mendengar akan ada bazar ternak penting di Ussel, jadi kami memutuskan berangkat ke sana untuk membeli sapi. Toh pasar itu berada pada jalur perjalanan kami ke Chavanon. Kami mengadakan pertunjukan di se?tiap kota dan desa sepanjang jalan, dan setibanya di Ussel kami sudah memperoleh dua ratus empat puluh frnnc. Kami harus berhemat-hemat sedapat mungkin supaya bisa mengumpulkan uang sejumlah itu, tetapi Mattia juga ter?tarik dan bersemangat sekali ingin membeli sapi. Dia meng?inginkan sapi putih, aku menginginkan sapi cokelat, untuk mengenang Rousette yang malang. Tetapi kami sependapat bahwa sapinya harus sangat lembut dan menghasilkan ba?nyak susu.
Berhubung sama-sama tidak tahu seperti apa sapi yang bagus, kami memutuskan akan menggunakan jasa dokter hewan. Belakangan ini kami sudah sering mendengar cerita tentang orang-orang yang tertipu sewaktu membeli sapi, jadi kami tidak mau mengambil risiko. Pasti mahal kalau menggunakan jasa dokter hewan, tapi mau bagaimana lagi" Kami pernah mendengar tentang seorang laki-laki yang membeli sapi dengan harga sangat murah, tapi begitu sampai di rumah baru ketahuan bahwa sapi itu ekornya palsu; ada pula orang lain yang membeli sapi yang ke?lihatannya sangat sehat dan bisa menghasilkan susu ba?nyak, tapi ternyata selama dua puluh empat jam sapi itu hanya menghasilkan dua gelas susu. Rupanya si pedagang sapi menggunakan akal licik, sehingga sapi itu seolah-olah penghasil susu yang bagus.
Kata Mattia, kami tidak usah khawatir tentang ekor pal?su itu. Dia akan memegangi ekor setiap sapi dan menarik?nya kuat-kuat sebelum kami tawar-menawar dengan pen?jualnya. Kukatakan padanya, kalau ekor itu ternyata asli, kemungkinan si sapi akan menendang perutnya atau ke?palanya. Mendengar ini Mattia menjadi agak ragu.
Sudah beberapa tahun berlalu sejak aku datang ke Ussel bersama Signor Vitalis. Waktu itu dia membelikan aku se?pasang sepatu berpaku. Aah, dari antara kami berenam, sekarang yang tersisa tinggal Capi dan aku. Begitu sampai di kota, setelah menaruh barang-barang di penginapan tem?pat aku dan Signor Vitalis dulu menginap bersama anjing- anjing, kami mulai mencari-cari dokter hewan. Kami me?nemukan satu, dan dia kelihatannya geli sekali sewaktu kami meminta bantuannya dan menjelaskan padanya sapi macam apa yang kami inginkan.
"Tapi kenapa kalian ingin membeli sapi?" tanyanya. "Apa kalian punya uangnya?"
Kami memberitahukan jumlah uang kami padanya, ba?gaimana kami memperolehnya, dan bahwa kami ingin memberikan hadiah kejutan kepada Ibu Barberin dari Chavanon yang telah merawatku waktu aku masih bayi. Mendengar itu, sikapnya menjadi sangat ramah dan dia berjanji akan menemui kami besok pagi di bazar itu, jam tujuh pagi. Ketika kami menanyakan berapa kami harus membayar jasanya, dia dengan tegas mengatakan tidak akan memungut biaya apa pun. Sambil tertawa disuruhnya kami pergi, dan dia berpesan supaya besok kami tidak ter?lambat datang ke bazar.
Fajar keesokan harinya, kota itu sudah ramai oleh ke?giatan. Dari kamar kami di penginapan bisa terdengar suara gerobak-gerobak dan kereta-kereta melindas batu- batu kerikil di jalanan di bawah sana, juga suara lenguhan sapi-sapi dan embik domba-domba, dan para petani yang berteriak kepada binatang-binatang mereka ataupun saling bercanda dengan sesama petani lainnya. Kami cepat-cepat berpakaian dan berangkat ke bazar itu. Kami tiba di sana jam enam pagi, sebab kami ingin memilih-milih dulu se?belum si dokter hewan datang.
Bagus sekali sapi-sapi yang diperdagangkan itu... warna dan ukurannya bermacam-macam, ada yang gemuk, kurus, ada yang bersama anak-anak mereka, juga ada kuda-kuda dan babi-babi gendut yang mengorek-ngorek lubang di ta?nah, serta anak-anak babi kecil montok yang masih me?nyusu dan mendengking-dengking seperti akan dikuliti hidup-hidup. Tetapi perhatian kami hanya tertuju pada sapi-sapi. Biantang-binatang itu berdiri sangat tenang, me?mamah biak dengan santainya dan membiarkan kami me?meriksa mereka dengan saksama, sambil sesekali me?ngerjap-ngerjapkan mata mereka. Setelah satu jam memeriksa, kami menemukan enam belas sapi pilihan " yang itu karena mutunya bagus, yang lain lagi juga mutu?nya bagus, yang sebelah sana itu karena warnanya merah, dan ada dua sapi yang warnanya putih; ini tentu saja men?jadi perdebatan antara aku dan Mattia. Kemudian Pak Dokter Hewan tiba, dan kami tunjukkan padanya sapi-sapi pilihan kami.
"Kurasa yang satu ini mestinya bagus," Mattia berkata sambil menunjuk sapi yang berwarna putih.
"Menurutku yang ini lebih bagus," kataku, menunjuk sapi yang berwarna merah.
Pak Dokter tidak mengacuhkan perdebatan kami. Dia langsung menghampiri sapi ketiga yang berkaki ramping, berbulu merah dengan sepasang telinga dan pipi cokelat, matanya mendekati hitam dan seputar moncongnya ber?warna putih.
"Ini sapi yang bagus buat kalian," kata Pak Dokter.
Bagus sekali sapi itu! Mattia dan aku baru menyadarinya. Pak Dokter menanyakan harga sapi itu pada petani ber?tubuh gempal yang memegangi sapi itu pada tali leher?nya.
"Tiga ratus franc," sahut orang itu.
Kami ternganga. Tiga ratus francl Aku memberi isyarat kepada Pak Dokter bahwa sebaiknya kami mencari sapi lain saja. Dia balas memberi isyarat bahwa dia akan tawar-menawar dulu. Maka terjadilah tawar-menawar seru antara Pak Dokter dan si petani. Pak Dokter menawar seratus tu?juh puluh franc, si petani menurunkan harga menjadi dua ratus delapan puluh franc. Pak Dokter mulai memeriksa sapi itu dengan lebih teliti. Kaki-kakinya lemah, lehernya terlalu pendek, tanduk-tanduknya terlalu panjang, rusuk?nya tidak tampak dan puting-putingnya tidak terbentuk sempurna. Tidak, sapi ini sudah jelas tidak akan menghasil?kan banyak susu.
Kata si petani, berhubung kami tahu banyak tentang sapi, dia akan menurunkan harga lagi menjadi dua ratus lima puluh franc, sebab dia yakin sapinya akan berada di tangan yang tepat. Mendengar ini kami mulai cemas, sebab Mattia dan aku jadi beranggapan sapi ini pasti tidak ba?gus.
"Mari kita lihat yang lain saja," aku mengusulkan sambil mencolek lengan Pak Dokter.
Mendengar ini, si petani menurunkan harga lagi sepuluh franc. Kemudian sedikit demi sedikit harganya menjadi dua ratus sepuluh franc, tidak kurang lagi. Pak Dokter me?nyikutku dan memberi isyarat bahwa tadi dia tidak ber?sungguh-sungguh sewaktu mengatakan sapi itu jelek, dan bahwa sebenarnya itu sapi yang sangat bagus. Tetapi tetap saja harga dua ratus sepuluh franc itu mahal sekali untuk kami.
Sementara itu Mattia mendekati sapi tersebut dari bela?kang dan menarik sejumput rambut panjang pada ekornya. Sapi itu langsung menendangnya. Aku menjadi mantap dengan keputusanku.
"Baiklah, dua ratus sepuluh franc," kataku, mengira urusannya sudah beres. Kuulurkan tanganku untuk meng?ambil tali leher si sapi.
"Apa kau membawa ikat leher?" tanya si petani. "Aku menjual sapiku, tanpa ikat lehernya."
Katanya, berhubung kami sudah menjadi teman, dia ha?nya minta enam puluh sou untuk ikat leher itu. Kami mem?butuhkannya, jadi kubayar jumlah yang dimintanya itu. Kuhitung-hitung sisa uang kami tinggal dua puluh sou. Kuhitung lagi uang sejumlah dua ratus tiga belas franc, kemudian kuulurkan lagi tanganku.
"Kau punya talinya?" tanya si petani. "Ikat lehernya su?dah kujual pada kalian, tapi talinya belum."
Kami membayar lagi dua puluh sou untuk tali itu.
Akhirnya sapi itu diserahkan pada kami, tapi kami tidak punya sisa uang sepeser pun untuk membeli makanan bagi si sapi dan bagi kami sendiri. Setelah mengucapkan terima kasih dengan hangat kepada Pak Dokter Hewan yang telah begitu baik hati membantu kami, kami pun berjabat tangan dan mengucapkan selamat tinggal padanya. Kami kembali ke penginapan, si sapi kami ikat di kandang. Berhubung hari itu hari bazar yang sangat ramai, dan orang-orang berdatangan dari berbagai pelosok, Mattia dan aku meng?anggap akan lebih baik kalau kami berpencar untuk men?cari uang. Sorenya Mattia membawa pulang empat franc, sedangkan aku tiga franc lima puluh sen.
Dengan total penghasilan tujuh franc lima puluh sen, kami kembali merasa kaya. Kami membujuk gadis pelayan dapur untuk memerah sapi kami, sehingga kami bisa mi?num susu sewaktu makan malam. Belum pernah kami minum susu selezat itu! Begitu senangnya kami dengan kualitas susu yang kami peroleh, sehingga kami langsung pergi ke kandang setelah selesai makan malam, untuk me?meluk sapi kami yang berharga itu. Si sapi kelihatannya senang dipeluk-peluk, sebab dia menjilati wajah kami un?tuk menunjukkan rasa senangnya. Mattia dan aku memang haus belaian dan kasih sayang; Karena itulah kami senang sekali menciumi si sapi dan mendapatkan ciuman balasan darinya.
Keesokan paginya kami bangun bersamaan terbitnya matahari dan berangkat ke Chavanon. Aku sangat ber?terima kasih pada Mattia yang telah membantuku. Tanpa dia, aku tidak mungkin memperoleh penghasilan sebanyak itu. Karena ingin menyenangkan hatinya, kubiarkan dia yang menuntun si sapi, dan dia sangat bangga berjalan dengan memegangi tali sapi itu, sementara aku melangkah di belakangnya. Sapi itu tampak bagus sekali. Dia berjalan perlahan-lahan, pinggulnya bergoyang-goyang sedikit, dan sikapnya seolah menunjukkan dia sadar betul betapa ber?harga dirinya. Aku tidak ingin dia terlalu capek, jadi ku?putuskan untuk tidak memaksakan tiba di Chavanon ma?lam itu juga. Lebih baik kalau kami sampai di sana pagi-pagi sekali. Itu niatku. Tapi kenyataannya tidak demi?kian.
Aku bermaksud bermalam di desa tempat aku meng?habiskan malam pertamaku bersama Signor Vitalis, ketika aku merasa begitu sedih dan Capi mendekatiku, lalu ber?baring di sampingku. Sebelum tiba di desa tersebut, kami melihat lapangan hijau yang bagus, maka kami lemparkan barang-barang kami di situ dan kami putuskan untuk ber?istirahat. Si sapi kami bawa ke selokan. Semula aku ber?maksud mengikatnya dengan tali, tapi dia kelihatan sangat jinak dan sudah terbiasa merumput bebas, jadi akhirnya kulilitkan saja tali itu di seputar kedua tanduknya dan aku duduk di dekatnya untuk makan. Kami selesai makan lebih dulu daripada si sapi, jadi setelah mengagumi sapi itu selama beberapa waktu dan tidak tahu mesti berbuat apa selanjutnya, kami pun mulai bermain-main. Selesai kami bermain, sapi itu masih terus merumput. Sewaktu
kudekati, dia menarik-narik rumput dengan keras, seperti hendak mengatakan bahwa dia masih lapar.
"Tunggulah sebentar," kata Mattia.
"Apa kau tidak tahu sapi bisa merumput sepanjang hari?" sahutku.
"Tunggu saja sebentar."
Kami mengumpulkan barang-barang dan perlengkapan kami, tapi sapi itu belum juga berhenti makan.
"Aku akan memainkan musik sedikit dengan trompet?ku," kata Mattia yang tidak betah berdiam diri saja. "Dulu di Sirkus Gassot ada sapi yang suka musik."
Lalu dia mulai memainkan nada-nada mars yang penuh semangat.
Begitu mendengar nada pertama, si sapi mengangkat kepala, lalu sebelum aku sempat menyambar tanduk-tanduknya untuk mengambil tali pengikatnya, dia sudah lari kabur dengan cepatnya. Kami mengejarnya secepat mung?kin, sambil memanggil-manggilnya supaya berhenti. Aku berteriak menyuruh Capi menghentikannya. 'I'api Capi ti?dak bisa terlalu diharapkan. Anjing yang biasa menggem?balakan sapi akan melompat menerkam hidung si sapi, tetapi Capi justru melompat menyambar kaki-kaki sapi itu. Akibatnya si sapi malah lari lebih cepat, ke arah desa ter?akhir yang kami lewati. Berhubung jalanannya lurus, kami bisa melihatnya di kejauhan sana. Kami juga melihat be?berapa orang menghalangi jalannya dan berusaha menang?kapnya. Kami mengurangi kecepatan, sebab kami yakin tidak akan kehilangan dia. Kami tinggal mengatakan ke?pada orang-orang yang membantu menghentikan sapi itu, bahwa sapi itu milik kami. Cukup banyak orang yang ber?kumpul di sana sewaktu kami tiba. Tetapi mereka bukan?nya langsung menyerahkan sapi itu pada kami. Mereka malah bertanya dari mana kami mendapatkan sapi itu dan bagaimana bisa. Mereka bersikeras mengatakan kami telah mencuri sapi itu dan sapi itu hendak lari pulang kepada pemiliknya. Kata mereka, kami mesti dipenjara sampai cerita sebenarnya diketahui. Begitu mendengar kata "pen?jara", aku langsung pucat dan bicaraku jadi tergagap-ga- gap. Aku masih kehabisan napas akibat berlari dan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Pada saat itu datang seorang polisi, dan seluruh urusan ini dijelaskan kepada?nya secara singkat. Karena masalahnya dianggap tidak jelas, polisi itu memutuskan menyita si sapi dan memen?jarakan kami sampai kami bisa membuktikan sapi itu me?mang milik kami. Seisi desa sepertinya ikut mengiringi kami ke balai kota yang juga berfungsi sebagai kantor po?lisi. Orang-orang desa mendorong-dorong kami, mence?mooh dan mengata-ngatai kami, dan andai polisi itu tidak melindungi kami, aku yakin mereka akan menggantung kami seolah-olah kami ini penjahat kelas berat. Orang yang bertanggung jawab terhadap balai kota, dan juga menjabat sebagai sheriff dan kepala penjara, tidak mau mengurung kami. Baik sekali dia! Tetapi si polisi bersikeras kami mesti dikurung, jadi kepala penjara akhirnya membuka pintu ganda sel penjara dengan kunci besar dan mendorong kami masuk. Baru pada waktu itulah aku tahu kenapa dia enggan memasukkan kami ke penjara. Rupanya dia me?nyimpan persediaan bawang putihnya untuk dikeringkan di dalam sel penjara itu, dan bawang-bawang itu ber?tebaran di setiap bangku. Dia lalu menumpuk bawang-ba?wang itu di sudut. Sementara itu kami digeledah; uang, korek api, dan pisau-pisau kami diambil. Setelah itu kami dikurung.
"Aku lebih suka kau menamparku, menjewer kupingku,
atau apalah/' Mattia berkata dengan muram setelah kami hanya berdua.
"Aku juga sama tololnya denganmu, karena membiarkan?mu memainkan musik untuk sapi itu," sahutku.
"Oh, aku menyesal sekali tentang itu," Mattia berkata sedih. "Sapi kita yang malang. Sapi sang Pangeran!" Lalu dia mulai menangis.
Kucoba menghiburnya. Kukatakan situasi kami tidak terlalu serius. Kami pasti bisa membuktikan bahwa kami memang membeli sapi itu. Kami akan meminta Pak Dokter Hewan di Ussel dipanggil... dia akan menjadi saksi kami.
"Tapi bagaimana kalau mereka menuduh kita mencuri uang untuk membeli sapi itu," kata Mattia. "Kita tidak bisa membuktikan uang itu kita peroleh secara jujur. Orang susah seperti kita selalu dianggap bersalah." Benar juga.
"Dan siapa yang akan memberi makan sapi itu?" Mattia meneruskan dengan bingung.
Oh, aku sungguh berharap mereka akan memberi makan sapi kami yang malang.
"Lalu kita akan bilang apa kalau besok pagi mereka menginterogasi kita?" tanya Mattia.
"Katakan saja yang sebenarnya."
"Lalu mereka akan menyerahkanmu kepada Pak Barberin. Atau kalau Ibu Barberin sedang sendirian di ru?mah, mereka akan menanyainya untuk mengetahui apakah kita berbohong. Jadi, kita tidak bakal bisa memberikan ke?jutan padanya."
"Aduh, iya!" "Kau sudah lama sekali tidak bertemu Ibu Barberin. Ba?gaimana kalau dia ternyata sudah meninggal?"
Pikiran mengerikan itu tidak pernah terpikir olehku. Signor Vitalis yang malang sudah meninggal... kenapa aku
tidak terpikir bahwa bisa saja Ibu Barberin juga sudah ti?dak ada lagi..."
"Kenapa kau tidak bilang dari dulu?" tanyaku.
"Sebab kalau sedang bahagia aku tidak memikirkan hal- hal begitu. Selama ini aku bahagia sekali membayangkan betapa senangnya Ibu Barberin mendapat hadiah sapi dari- mu. Tidak terpikir olehku bahwa dia mungkin sudah me?ninggal."
Ini pasti akibat pengaruh sel penjara yang muram ini, sebab kami hanya melihat sisi paling gelap dari seluruh masalah ini.
"Dan oh," seru Mattia sambil melemparkan kedua le?ngannya, "kalau Ibu Barberin sudah meninggal dan Pak Barberin yang jahat itu masih hidup, dia pasti akan meng?ambil sapi kita begitu kita datang ke sana."
Pintu sel kami dibuka selewat tengah hari, dan seorang bapak tua berambut putih masuk ke dalam sel.
"Nah, anak-anak nakal, jawab pertanyaan bapak ini," kata petugas penjara yang mengiringi bapak itu.
"Tidak apa, tidak apa," kata bapak yang ternyata jaksa penuntut umum. "Aku akan menanyai yang ini." Dia me?nunjukku dengan jarinya. "Kau boleh urus anak yang satu?nya. Aku akan menanyainya nanti."
Sekarang aku hanya berdua dengan Pak Jaksa. Sambil menatapku lekat-lekat dia mengatakan aku dituduh men?curi sapi. Kukatakan padanya bahwa kami membeli sapi itu di pasar raya Ussel, dan kusebutkan nama dokter he?wan yang membantu kami memilih sapi tersebut.
"Itu akan dipastikan nanti," sahutnya. "Nah, kenapa kau membeli sapi itu?"
"Sebagai tanda sayangku kepada ibu angkatku," jawab?ku.
"Namanya?" tuntut Pak Jaksa.
"Madame Barberin dari Chavanon," sahutku.
"Istri tukang batu yang mendapat kecelakaan serius di Paris beberapa tahun yang lalu. Aku kenal dia. Ini juga akan dipastikan nanti."
"Oh...!" Aku menjadi sangat bingung. Melihat kebingunganku, Pak Jaksa mendesakku dengan berbagai pertanyaan. Ter?paksa kukatakan padanya bahwa kalau dia mengajukan macam-macam pertanyaan kepada Ibu Barberin, sapi kami tidak akan menjadi kejutan lagi baginya, padahal tujuan utama kami adalah memberikan kejutan itu. Tapi, walau?pun bingung, aku juga merasa sangat lega karena ternyata Ibu Barberin masih hidup, dan dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padaku, aku juga menjadi tahu bahwa Pak Barberin sudah berangkat lagi ke Paris beberapa waktu yang lalu. Aku senang sekali mendengarnya.
Lalu tibalah pertanyaan yang ditakuti Mattia selama ini.
"Tapi dari mana kalian mendapat uang untuk membeli sapi itu?"
Aku menjelaskan bahwa dari Paris ke Varses dan dari Varses ke Ussel kami mengumpulkan uang itu sedikit demi sedikit.
"Tapi apa yang kalian lakukan di Varses?" tanyanya.
Aku terpaksa menceritakan padanya bahwa waktu itu aku mengalami kecelakaan di tambang.
"Mana di antara kalian yang bernama Remi?" tanyanya dengan suara lebih lunak.
"Aku, Sir," sahutku.
"Untuk membuktikannya, kau harus menceritakan pada?ku tentang bencana di tambang itu. Aku membaca keselu?ruhan peristiwanya di surat-surat kabar. Kau tidak bisa membohongi aku. Aku akan tahu apakah kau benar-benar Remi. Nah, berhati-hatilah."
Bisa kulihat bahwa dia bersikap sangat lunak terhadap kami. Maka kuceritakan pengalamanku di tambang itu. Setelah aku selesai bercerita, dari sikapnya yang hampir- hampir lembut itu kupikir dia akan segera membebaskan kami. Tetapi dia malah keluar dari sel penjara, meninggal?kan aku sendirian dan sibuk dengan pikiran-pikiranku sendiri. Beberapa waktu kemudian, dia kembali bersama Mattia.
"Aku akan menyuruh ceritamu tadi diselidiki di Ussel," katanya. "Kalau ternyata benar, seperti yang kuharapkan, kalian akan dibebaskan besok."
"Dan sapi kami?" Mattia bertanya cemas.
"Akan dikembalikan pada kalian."
"Bukan itu maksudku," sahut Mattia. "Siapa yang akan memberi makan dia, siapa yang akan memerah susu?nya?"
"Itu tidak usah dikhawatirkan, Nak," sahut Pak Jaksa.
Mattia tersenyum lega. "Ah, kalau sapi kami sudah diperah, bolehkah kami min?ta sedikit susu untuk makan malam?"
"Tentu boleh!" Begitu kami tinggal berdua, kusampaikan pada Mattia berita gembira yang hampir-hampir membuatku lupa bah?wa kami sedang dikurung.
"Ibu Barberin masih hidup, dan Pak Barberin sudah per?gi ke Paris!" kataku.
"Ah, kalau begitu sapi sang Pangeran bisa dipersembah?kan dengan bangga."
Mattia mulai menari-nari dan menyanyi sangat gembira.
Kegembiraannya menular. Kusambar kedua tangannya. Capi, yang sejak tadi berbaring diam dan muram di sudut, melompat dan mengambil tempat di antara kami, dengan berdiri pada kedua kaki belakangnya. Kami bertiga menari- nari sangat gembira, sampai-sampai petugas penjara ber?gegas-gegas datang untuk melihat ada apakah ini. Barang?kali dia mencemaskan bawang-bawang putihnya. Dia menyuruh kami berhenti menari-nari, tetapi sekarang nada bicaranya sangat berbeda. Kupikir barangkali situasi kami tidak terlalu buruk. Belakangan perasaan ini semakin kuat ketika si petugas penjara datang lagi tak lama kemudian, dengan membawa semangkuk besar susu yang diperah dari sapi kami. Dan bukan hanya itu. Dia juga membawa?kan sebongkah besar roti putih dan beberapa iris daging sapi dingin. Katanya Pak Jaksa yang mengirimkan semua itu untuk kami. Rupanya penjara bukan tempat yang buruk-buruk amat. Kami mendapatkan makanan dan tem?pat berteduh gratis.
Besoknya, pagi-pagi sekali, Pak Jaksa datang bersama teman kami si dokter hewan yang ingin datang langsung untuk memastikan kami dibebaskan. Sebelum kami pergi, Pak Jaksa memberikan sehelai kertas berstempel resmi.
"Ini, bawalah kertas ini," katanya. "Kalian dua anak yang ceroboh, bepergian ke pelosok-pelosok negeri ini tan?pa membawa surat keterangan apa-apa. Aku sudah me?minta Pak Wali Kota membuatkan paspor ini untuk kalian. Ini sudah cukup untuk melindungi kalian di masa depan. Semoga beruntung, anak-anak."
Dia berjabat tangan dengan kami, begitu pula si dokter hewan.
Sewaktu datang ke desa itu, keadaan kami menyedihkan. Tapi sekarang kami meninggalkan desa dengan penuh ke?
menangan. Kami menuntun si sapi pada talinya dan ber?jalan dengan kepala terangkat tinggi. Sesekali kami menoleh kepada para penduduk desa yang berdiri memandangi kami dari ambang-ambang pintu rumah mereka.
Aku tidak ingin membuat lelah sapi kami, tapi aku se?dang terburu-buru. Aku ingin tiba di Chavanon hari itu juga, jadi kami berjalan cepat-cepat. Menjelang senja kami hampir sampai di rumahku yang dulu. Mattia belum per?nah makan panekuk dan aku sudah berjanji dia bisa men?cicipinya begitu kami sampai. Dalam perjalanan aku mem?beli satu pon mentega, dua pon tepung, dan dua belas butir telur. Sekarang kami sudah sampai di tempat aku dulu meminta izin beristirahat pada Signor Vitalis supaya aku bisa memandang ke rumah Ibu Barberin di bawah sana untuk terakhir kalinya.
"Pegang tali ini," kataku pada Mattia.
Sekali lompat aku sudah berada di pagar jembatan. Ti?dak ada yang berubah di lembah kami. Pemandangannya masih tetap seperti dulu. Bahkan dari cerobong asapnya juga tampak asap mengepul ke luar. Ketika asap itu me?layang ke arah kami, aku serasa bisa mencium bau daun- daun pohon ek. Aku melompat turun dari pagar dan me?meluk Mattia, Capi melompat ke tubuhku dan kupeluk mereka berdua erat-erat.
"Ayo, kita berangkat ke sana secepatnya," seruku.
"Sayang sekali," desah Mattia. "Andai sapi ini menyukai musik, kita bisa mendatangi rumahmu dengan penuh ke?menangan."
Ketika kami mencapai salah satu belokan jalan, kami lihat Ibu Barberin keluar dari pondoknya dan berjalan ke arah desa. Bagaimana ini" Kami bermaksud memberikan kejutan. Kami mesti menyusun rencana lain.
Aku tahu pintu pondok hanya dicantelkan, jadi kuputus?kan untuk masuk saja ke dalam rumah, setelah mengikat sapi di kandang. Kandang itu sekarang penuh kayu, jadi kayu-kayu itu kami tumpuk di salah satu sudut, dan si sapi kami ikat di tempat Rousette yang malang dulu biasa diikat.
Setelah masuk ke dalam rumah, aku berkata kepada Mattia, "Nah, aku akan duduk di kursi dekat perapian, supaya Ibu Barberin melihatku. Begitu dia membuka pintu pekarangan, pintunya akan berderit dan kau mesti sem?bunyi dengan Capi."
Lalu aku duduk di tempat aku biasa duduk pada malam-malam musim dingin. Aku meringkuk supaya tubuhku tampak sekecil mungkin, sehingga aku mirip Remi kecil yag dulu dikenal Ibu Barberin. Dari tempatku duduk aku bisa melihat pintu gerbang. Aku melayangkan pandang di dapur. Tidak ada yang berubah, semua masih pada tempatnya yang biasa. Jendela kaca yang dulu pecah gara-gara ulahku masih tetap ditutup tempelan kertas yang sekarang sudah hitam oleh asap. Tiba-tiba aku melihat topi kerudung putih, lalu bunyi derit pintu pekarangan.
"Cepat sembunyi," kataku pada Mattia.
Aku meringkuk semakin kecil. Pintu terbuka dan Ibu Barberin melangkah masuk. Dia terperangah menatapku.
"Siapa itu?" tanyanya.
Kutatap dia tanpa berkata apa-apa. Dia balas menatapku. Sekonyong-konyong tubuhnya mulai gemetar.
"Oh, Tuhan. Remi, kaukah itu?" gumamnya.
Aku melompat bangkit dan menariknya ke dalam pe?lukanku.
"Mamma!" "Anakku! Anakku!" Hanya itu yang sanggup diucapkan?nya, sementara dia menyandarkan kepalanya di bahuku.
Beberapa saat kemudian, barulah kami bisa mengendali?kan emosi. Kuhapus air mata Ibu Barberin.
"Wah, kau sudah besar sekali, anakku," serunya sambil mengamat-amatiku. "Kau begitu besar dan kuat! Oh, Remi?ku!"
Suara dengus tertahan mengingatkanku bahwa Mattia berada di kolong tempat tidur. Kupanggil dia, dan dia pun keluar.
"Ini Mattia," kataku. "Dia saudaraku."
"Oh, kalau begitu kau sudah menemukan orangtuamu?" seru Ibu Barberin.
"Tidak. Dia temanku, tapi sudah seperti saudara. Dan ini Capi," aku menambahkan setelah Ibu Barberin menyapa Mattia. "Ayo beri salam pada ibu tuanmu, Capitano."
Capi berdiri pada kedua kaki belakangnya dan mem?bungkuk khidmat kepada Ibu Barberin yang tertawa ter?bahak-bahak. Air matanya sudah kering sekarang. Mattia memberi isyarat padaku untuk mengeluarkan hadiah ke?jutan kami.
"Ayo kita melihat-lihat kebun," ajakku.
"Petak tanahmu masih tetap seperti dulu," kata Ibu Barberin, "sebab aku yakin kau akan kembali suatu hari nanti."
"Ibu sudah lihat artichoke Yerusalem-ku?"
"Ah, kau menanamnya sebagai kejutan buatku! Kau me?mang suka sekali memberi kejutan, anakku."
Saatnya sudah tiba. "Apakah kandang sapi masih sama seperti dulu, sejak Rousette yang malang dibawa pergi?" tanyaku.
"Oh, tidak. Sekarang kandang itu kujadikan tempat me?nyimpan kayu."
Saat itu kami sudah tiba di depan kandang. Kubuka pintunya dan seketika sapi kami yang kelaparan itu mulai melenguh.
"Lho! Ada sapi di kandangku!" seru Ibu Barberin.
Mattia dan aku tertawa terbahak-bahak.
"Itu hadiah kejutan/' aku berseru, "dan lebih bagus dari?pada artichoke-artichoke Yerusalem itu."
Ibu Barberin menatapku dengan kaget dan terpera?ngah.
"Ya, sapi itu hadiah buat Ibu. Aku tidak mau pulang dengan tangan kosong kepada ibu yang sudah begitu baik pada si anak lelaki yatim-piatu ini. Sapi itu untuk meng?gantikan Rousette. Mattia dan aku membelinya untuk Ibu, dengan uang hasil kerja kami."
"Oh, kalian sungguh anak-anak baik!" seru Ibu Barberin seraya mencium kami berdua.
Setelah itu dia masuk ke kandang sapi untuk memeriksa hadiah kejutannya. Setiap kali mendapati sesuatu yang me?nyenangkan hatinya, dia berseru gembira.
"Bagus sekali sapi ini," katanya.
Lalu tiba-tiba dia membalikkan badan pada kami.
"Wah, pasti sekarang kalian kaya sekali?"
"Bisa dibilang begitu," ujar Mattia sambil tertawa, "kami masih punya sisa uang lima puluh delapan sou."
Aku lari ke dalam rumah untuk mengambil ember susu, sambil sekalian menyusun mentega, telur-telur, dan tepung di meja. Lalu aku lari kembali ke kandang. Betapa senang?nya Ibu Barberin ketika si sapi menghasilkan tiga perempat ember susu segar berbuih-buih setelah diperah.
Dan lagi-lagi dia berseru gembira sewaktu melihat bahan-bahan untuk membuat panekuk sudah tersedia di meja. Kukatakan padanya kami ingin sekali makan pa?nekuk buatannya.
"Kalau begitu, kalian sudah tahu Pak Barberin sedang di Paris?" tanyanya. Aku menjelaskan padanya, dari mana aku tahu berita itu.
"Akan kuberitahukan kenapa dia pergi ke sana," kata Ibu Barberin sambil menatapku lekat-lekat.
"Ayo kita membuat panekuk dulu," kataku. "Tidak usah bicara tentang dia. Aku belum lupa bagaimana dia menjual?ku seharga empat puluh franc. Selama ini aku tidak berani menulis surat dan mengirim kabar karena aku takut dia akan menjualku lagi."
"Oh, aku memang sudah menduganya," kata ibu Barberin, "tapi kau tidak boleh bicara buruk tentang Pak Barberin."
"Kita buat panekuknya sekarang ya," kataku sambil me?meluk Ibu Barberin.
Kami pun menyiapkan bahan-bahan panekuk dengan sigap, dan tidak lama kemudian Mattia dan aku sudah asyik makan panekuk. Kata Mattia, belum pernah dia ma?kan kue seenak itu. Selesai melahap satu, kami menyodor?kan piring lagi untuk minta tambah. Capi juga ikut minta bagian. Ibu Barberin kaget sekali kami memberi makan panekuk pada anjing, tetapi kami menjelaskan padanya bahwa Capi adalah aktor utama dalam pertunjukan keliling kami, dan dia anjing yang sangat hebat, dan kami memberi perlakuan istimewa padanya. Sesudah makan, Mattia pergi mengambil kayu bakar untuk persediaan besok pagi. Ibu Barberin menggunakan kesempatan itu untuk menyampai?kan padaku, kenapa Pak Barberin pergi ke Paris.
"Keluargamu sedang mencari-carimu," katanya, hampir-hampir dengan berbisik. "Itu sebabnya Pak Barberin pergi ke Paris. Dia bermaksud mencarimu."
"Keluargaku!" aku berseru. "Oh, aku punya keluarga" Ceritakan semuanya, Ibu Barberin. Ceritakan semuanya padaku!"
Tapi kemudian aku menjadi takut. Aku tidak percaya keluargaku sedang mencari-cariku. Pasti Pak Barberin men?cariku karena berniat menjualku lagi. Aku tidak mau dijual lagi! Kusampaikan rasa takutku ini kepada Ibu Barberin, tetapi dia meyakinkanku bahwa keluargaku memang se?dang mencari-cari diriku. Katanya ada seorang laki-laki perlente yang datang kemari dan berbicara dalam aksen asing. Orang itu menanyakan kepada Pak Barberin tentang bayi kecil yang ditemukannya bertahun-tahun silam di Paris. Pak Barberin bertanya, apa urusan orang itu. Ja?waban khas Pak Barberin.
"Kau tahu kan, dari tempat memanggang, orang bisa mendengar semua pembicaraan di dapur," kata Ibu Barberin. "Begitu aku tahu mereka sedang membicarakanmu, otomatis aku ikut mendengarkan. Aku maju semakin dekat, lalu aku tidak sengaja menginjak ranting pohon yang patah dan menimbulkan bunyi berderak."
"'Oh, ada orang lain rupanya/ orang itu berkata kepada Pak Barberin.
"'Ya, itu pasti istriku/ sahut Pak Barberin. Lalu orang itu berkata hawa di dapur sangat panas dan sebaiknya mereka bicara di luar saja. Mereka pun keluar, dan tiga jam kemu?dian Pak Barberin pulang seorang diri. Aku mencoba me?ngorek informasi darinya, tapi dia hanya mengatakan orang tadi mencari-carimu. Orang itu bukan ayahmu, tapi ayahmu telah memberinya uang seratus frnnc. Barangkali sejak saat itu dia sudah menerima lebih banyak uang. Dari situ, dan dari pakaian bagus yang kaukenakan sewaktu Pak Barberin menemukanmu, kami menduga orangtuamu pasti kaya raya.
"Lalu Jerome bilang dia harus berangkat ke Paris," Ibu Barberin meneruskan ceritanya, "untuk mencari pemusik yang menyewamu. Kata pemusik itu, kalau ingin menulis surat padanya, kirimkan saja ke Rue Mouffetard, ditujukan pada orang bernama Garofoli."
"Dan sejak saat itu belum ada kabar lagi dari Pak Barberin?" tanyaku. Aku heran karena Pak Barberin belum mengirim berita sama sekali.
"Tidak ada berita sama sekali," kata Ibu Barberin. "Aku bahkan tidak tahu di mana dia tinggal di Paris."
Pada saat itu Mattia masuk. Dengan gembira kuceritakan padanya bahwa aku punya keluarga dan kedua orangtuaku sedang mencari-cariku. Kata Mattia, dia ikut senang, tetapi kelihatannya dia tidak begitu antusias ataupun gembira. Malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Ibu Barberin me?nyuruhku berangkat ke Paris dan mencari Pak Barberin, supaya aku segera bertemu orangtuaku. Sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu beberapa hari bersama Ibu Barberin, tapi kurasa pendapatnya benar juga. Namun demikian, aku harus bertemu Lise sebelum aku berangkat. Ini bisa diatur, toh kami bisa pergi ke Paris lewat terusan itu. Paman Lise menyimpan kunci-kuncinya dan dia ting?gal di pondok tepi sungai, jadi kami bisa mampir men?jenguk Lise.
Hari itu kuhabiskan bersama Ibu Barberin. Sorenya kami mengobrol tentang hal-hal yang akan kulakukan untuknya setelah aku kaya nanti. Dia boleh meminta apa saja yang dia inginkan. Tak satu pun permintaannya akan kutolak begitu aku punya uang nanti.
"Sapi yang kauberikan padaku sewaktu masih miskin akan jauh lebih berharga bagiku dibanding apa pun yang bisa kauberikan padaku setelah kau kaya, Remi," Ibu Barberin berkata dengan sayang.
Keesokan harinya, setelah mengucapkan selamat tinggal dengan penuh sayang kepada Ibu Barberin, kami pun mu?lai menyusuri tepian kanal. Mattia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku tahu sebabnya. Dia khawatir ka?rena aku mempunyai orangtua kaya raya. Padahal itu ti?dak akan memengaruhi persahabatan kami! Kukatakan padanya dia akan kukirim untuk kuliah dan belajar musik dari guru-guru terbaik. Tetapi dia menggelengkan kepala dengan sedih. Kukatakan padanya dia akan tinggal ber?samaku sebagai saudaraku, dan kedua orangtuaku akan menyayanginya seperti anak sendiri, karena dia sahabatku. Tetapi masih juga dia menggelengkan kepala.
Sementara itu, berhubung aku belum memiliki uang orangtuaku untuk dibelanjakan, kami masih harus menga?men di desa-desa yang kami lewati, supaya bisa membeli makanan. Selain itu, aku juga ingin punya sedikit uang untuk membelikan Lise hadiah. Ibu Barberin berkata ha?diah sapi itu jauh lebih berharga baginya daripada apa pun yang bisa kubelikan untuknya setelah aku kaya nanti. Barangkali Lise juga akan merasa demikian, pikirku. Aku ingin memberinya boneka. Untunglah boneka tentunya ti?dak semahal sapi. Di kota berikutnya, aku membeli boneka cantik berambut pirang dan bermata biru untuk Lise.
Sambil menyusuri tepian kanal, aku sering kali memikir?kan Mrs. Milligan dan Arthur serta perahu mereka yang indah itu. Aku bertanya-tanya, akankah kami bertemu me?reka di kanal ini. Tapi ternyata tidak.
Suatu senja, di kejauhan sudah tampak rumah tempat tinggal Lise. Rumah itu berdiri di tengah pepohonan dan sepertinya terselubung kabut. Kami bisa melihat jendelanya terang benderang oleh cahaya api dari perapian besar di dalam. Cahaya kemerahan itu menyoroti jalan setapak yang kami lalui. Jantungku berdebar kencang. Kulihat me?reka sedang makan malam di dalam sana. Pintu dan jen?dela tertutup, tetapi jendelanya tidak tertutup tirai. Jadi, aku melongok ke dalam dan melihat Lise duduk di sam?ping bibinya. Aku memberi isyarat pada Mattia dan Capi supaya tidak bersuara, lalu kuambil harpaku yang ku- panggul di bahu dan kuletakkan di tanah.
"Oh ya," bisik Mattia, "lagu cinta. Ide bagus!"
"Tidak, kau tidak usah. Aku sendiri yang akan memain?kannya."
Kumainkan nada-nada pertama lagu Neapolitan-ku. Se?ngaja aku tidak menyanyikannya, sebab aku tidak ingin dia tahu siapa yang datang. Sambil memainkan nada-nada itu, kupandangi Lise. Dia mengangkat kepala dengan cepat dan kedua matanya berbinar-binar. Kemudian barulah aku menyanyi. Lise melompat dari kursinya dan berlari ke pintu. Dalam sekejap dia sudah berada dalam pelukanku. Bibi Catherine ikut keluar dan mengundang kami masuk untuk makan malam. Lise cepat-cepat menaruh dua piring di atas meja.
"Kalau tidak keberatan, maukah kau menambahkan satu piring lagi?" kataku. "Sebab kami membawa seorang te?man bersama kami." Lalu kukeluarkan boneka itu dari dalam tasku dan kududukkan di kursi di samping Lise. Aku tidak akan pernah lupa sorot matanya ketika menatap?ku!
Bab Dua Puluh Lima Ibu dan Saudara-Saudariku
Kalau tidak sedang terburu-buru hendak ke Paris, aku ten?tu akan lebih lama menghabiskan waktu bersama Lise. Banyak sekali yang hendak kami sampaikan satu sama lain, dan begitu sedikit yang bisa kukatakan dalam bahasa yang kami gunakan. Dengan gerakan-gerakan isyarat Lise menceritakan betapa baik paman dan bibinya dan betapa senangnya dia diajak berjalan-jalan naik kapal. Aku men?ceritakan padanya bahwa aku hampir mati di dalam tam?bang tempat Alexix bekerja, dan sekarang keluargaku se?dang mencari-cariku. Itu sebabnya aku ingin lekas-lekas berangkat ke Paris, sehingga tidak sempat pergi menjenguk Etiennette.
Sudah tentu sebagian besar pembicaraan kami adalah tentang keluargaku yang kaya raya dan apa saja yang akan kulakukan setelah aku punya uang nanti. Aku ingin mem?bahagiakan ayah, ibu, dan saudara-saudari Lise, tapi ter?utama aku ingin membahagiakan Lise. Tidak seperti Mattia, Lise merasa senang. Dia yakin sekali, orang pasti sangat bahagia kalau punya uang banyak. Ayahnya sendiri
tentu akan bahagia kalau punya uang untuk membayar utang-utangnya, bukan begitu" Kami berjalan-jalan jauh bertiga " Lise, Mattia, dan aku, ditemani si boneka dan Capi. Aku sangat bahagia selama beberapa hari itu. Sore hari kami duduk di depan rumah kalau cuaca tidak terlalu basah, atau duduk di depan perapian kalau kabut sedang tebal. Aku memainkan harpa dan Mattia memainkan biola atau trompetnya. Lise lebih suka mendengarkan harpa, dan ini membuatku sangat bangga. Kalau sudah waktunya ber?pisah dan pergi tidur, aku memainkan dan menyanyikan lagu Neapolitan-ku untuknya.
Toh akhirnya kami harus berpisah dan meneruskan per?jalanan. Aku berjanji akan segera kembali. Kata-kata ter?akhirku pada Lise adalah, "Aku akan menjemputmu de?ngan kereta yang ditarik empat ekor kuda."
Lise percaya pada janjiku, dan dia membuat gerakan se?perti sedang mengayunkan cambuk untuk mempercepat laju kuda-kuda. Seperti halnya aku, dia juga bisa mem?bayangkan kekayaanku serta kuda-kuda dan keretaku.
Aku tidak sabar ingin segera berangkat ke Paris, dan kalau bukan karena Mattia, aku pasti hanya berhenti untuk mengumpulkan uang seperlunya guna membeli makanan untuk bekal di perjalanan. Kali ini kami tidak perlu mem?beli sapi ataupun boneka, dan aku tidak perlu membawa uang untuk kedua orangtuaku yang kaya.
"Kita mesti mengumpulkan uang sebanyak mungkin," kata Mattia. Dia memaksaku membawa serta harpaku. "Kita kan tidak tahu apakah kita akan langsung menemu?kan Pak Barberin. Kau sepertinya sudah lupa bahwa kau pernah hampir mati kelaparan."
"Oh, aku belum lupa," aku menjawab dengan enteng,
"tapi kita pasti langsung bisa menemukan Pak Barbcrin. Kaulihat saja nanti."
"Ya, tapi aku belum lupa keadaanku waktu kau menemu?kanku sedang bersandar di tembok gereja. Ah, aku tidak mau sampai kelaparan di Paris."
"Kita akan makan enak begitu sampai di rumah orang- tuaku," sahutku.
"Pokoknya kita harus tetap bekerja. Anggap saja kita akan membeli sapi lagi," desak Mattia.
Mesti kuakui nasihatnya sangat bijaksana, namun aku tidak sependapat dengan Mattia. Lain soal ketika kami me?mang harus mengumpulkan uang untuk membeli sapi bagi Ibu Barberin atau boneka untuk Lise.
"Kau pasti malas sekali kalau sudah kaya nanti," ujar Mattia. Semakin mendekati Paris, aku semakin gembira, tapi Mattia justru semakin sedih. Aku heran kenapa dia mesti sedih begitu, padahal aku sudah menjamin kami ti?dak akan berpisah. Akhirnya, sesampainya kami di ger?bang kota Paris, Mattia mengatakan dia sangat takut ber?temu lagi dengan Garofoli, sebab kalau sampai Garofoli melihatnya, dia yakin orang itu akan membawanya pergi.
"Kau sendiri takut sekali pada Pak Barberin, jadi bisa kaubayangkan ketakutanku pada Garofoli. Kalau dia sudah dibebaskan dari penjara, dia pasti akan menangkapku. Oh, malangnya aku. Dulu dia suka membentur-benturkan ke?palaku! Dia pasti akan memisahkan kita. Sudah pasti dia bakal ingin membawamu juga, tapi dia tidak bisa me?maksamu. Tapi aku bisa dibawanya, sebab dia paman?ku."
Aku tidak terpikir Garofoli selama ini. Maka aku menyu?sun rencana dengan Mattia. Aku akan pergi ke tempat- tempat yang sudah disebutkan Ibu Barberin. Mungkin aku
akan menemukan Pak Barberin di salah satu tempat itu. Kemudian aku akan pergi ke Rue Mouffetard, dan sesudah itu Mattia harus menemuiku jam tujuh malam di luar Katedral Notre Dame.
Kami berpisah seperti tidak akan pernah bertemu lagi. Mattia dan aku pergi ke arah berbeda. Aku sudah me?nuliskan di sehelai kertas nama-nama tempat Pak Barberin pernah tinggal. Aku mendatangi tempat-tempat itu satu per satu. Di sebuah rumah pondokan aku diberitahu bah?wa empat tahun yang lalu Pak Barberin pernah tinggal di situ, tapi sekarang entah di mana dia berada. Si pemilik rumah berkata dia ingin sekali menangkap bajingan itu, sebab Pak Barberin masih menunggak uang sewa se?minggu. Aku mulai putus asa. Tinggal satu tempat lagi yang bisa kudatangi: sebuah restoran. Tetapi orang yang mengelola tempat itu mengatakan dia sudah lama sekali tidak melihat Pak Barberin. Namun salah seorang pelang?gan yang sedang makan berseru bahwa Pak Barberin akhir-akhir ini tinggal di Hotel du Cantal.
Sebelum pergi ke Hotel du Cantal, aku mendatangi ru?mah Garofoli untuk mencari kabar tentang dia, supaya bisa kuberitahukan pada Mattia. Sesampainya di pekarangan, kulihat yang ada di sana hanyalah laki-laki tua yang dulu itu. Dia sedang menggantung kain-kain kotor di luar pintu.
"Apa Garofoli sudah pulang?" tanyaku.
Laki-laki tua itu menatapku tanpa menjawab, lalu mulai terbatuk-batuk. Bisa kulihat dia tidak bakal memberitahu?kan apa-apa, kecuali aku mengatakan padanya bahwa aku tahu semuanya tentang Garofoli.
"Apa dia masih di penjara?" aku berseru. "Wah, kupikir dia sudah lama keluar."
"Tidak, dia masih harus menjalani tiga bulan lagi."
Garofoli masih tiga bulan lagi di penjara! Mattia bisa bernapas lega. Kutinggalkan rumah yang jorok itu secepat mungkin dan bergegas-gegas ke Hotel d u Cantal. Harapan?ku melambung, aku begitu gembira dan senang, sampai- sampai aku bisa berpikiran baik tentang Pak Barberin. Ka?lau bukan karena Pak Barberin, aku pasti sudah mati kelaparan dan kedinginan sewaktu masih bayi. Memang benar dia telah merenggutku dari Ibu Barberin dan men?jualku kepada orang asing, tapi itu karena dia tidak me- nyukaiku dan barangkali dia terpaksa melakukannya ka?rena butuh uang. Bagaimanapun, melalui dialah aku sekarang akan bertemu orangtuaku. Jadi, tidak sepantasnya aku menyimpan perasaan dendam terhadapnya.
Tak lama kemudian aku sampai di Hotel du Cantal. Ter?nyata namanya saja hotel, padahal sebenarnya tempat itu hanyalah rumah pondokan yang jelek.
"Aku ingin bertemu orang bernama Barberin dari Chavanon," kataku pada perempuan tua dan kotor di bela?kang meja. Dia sangat tuli dan aku disuruhnya mengulangi ucapanku.
"Ibu tahu orang bernama Barberin?" aku berteriak.
Dia melontarkan kedua tangannya ke atas dengan begitu tiba-tiba, sampai-sampai kucing yang tertidur di pangkuan?nya melompat ketakutan.
"Aduh! Aduh!" serunya, lalu katanya, "Apakah kau anak lelaki yang sedang dicari-carinya?"
"Oh, Ibu tahu?" aku berseru senang. "Kalau begitu, di mana Pak Barberin?"
"Sudah meninggal," sahutnya tanpa basa-basi.
Aku bersandar pada harpaku.
"Meninggal!" seruku, cukup keras untuk didengarnya.
Aku tertegun. Bagaimana aku bisa menemukan kedua orangtuaku sekarang"
"Kau anak lelaki yang dicari-carinya. Ya, pasti kau," pe?rempuan tua itu berkata lagi.
"Ya, ya, memang benar. Di mana keluargaku" Bisakah Ibu memberitahukan?"
"Aku juga tidak tahu, Nak."
"Apa kata Pak Barberin tentang kedua orangtuaku" Oh, katakanlah," aku memohon-mohon.
"Ah, ceritanya luar biasa sekali."
"Katakan padaku. Bagaimana ceritanya?"
Pada saat itu muncul seorang perempuan yang kelihatan?nya pelayan. Si pemilik Hotel du Cantal menoleh kepada?nya, "Coba lihat! Anak lelaki ini datang kemari. Dia anak yang sering sekali dibicarakan Barberin!"
"Tapi apa Pak Barberin tidak menceritakan tentang ke?luargaku?" tanyaku.
"Dia bercerita "lebih dari seratus kali. Keluargamu kaya raya, anakku."
"Di mana mereka tinggal dan siapa nama mereka?"
"Barberin tidak mau mengatakannya. Dia misterius se?kali. Dia ingin mendapatkan sendiri seluruh hadiahnya."
Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah dia tidak meninggalkan surat-surat?"
"'Tidak, hanya ada satu surat yang menyatakan dia ber?asal dari Chavanon. Kalau surat itu tidak kebetulan kami temukan, kami tidak bakal bisa memberitahu istrinya bah?wa dia sudah meninggal."
"Oh, jadi istrinya sudah diberitahu?"
"Tentu saja. Kenapa tidak?"
Aku tidak bisa memperoleh informasi apa pun dari perempuan tua itu. Pelan-pelan aku berbalik dan melang?kah ke pintu.
"Kau mau ke mana?" tanya perempuan tua itu.
"Kembali pada temanku."
"Ah, kau punya teman! Apakah dia tinggal di Paris?"
"Kami baru tiba di Paris pagi ini."
"Nah, kalau kau tidak punya tempat menginap, kau bo?leh tinggal di sini. Kau akan diurus baik-baik dan ini ru?mah baik-baik. Kalau keluargamu capek menunggu-nung?gu kabar dari Barberin, mereka boleh datang kemari juga dan mereka akan menemukanmu. Semua ini kukatakan demi kebaikanmu sendiri. Berapa umur temanmu?"
"Agak lebih muda dari aku."
"Coba pikir! Dua anak lelaki di jalanan-jalanan kota Paris. Kalian bisa tersasar ke tempat yang tidak baik. Nah, rumah dan lingkungan di sini punya reputasi baik."
Hotel du Cantal adalah salah satu rumah pondokan pa?ling jorok yang pernah kulihat, padahal aku sudah cukup sering melihat tempat-tempat pondokan yang jorok. Tetapi ucapan perempuan tua itu layak dipertimbangkan. Lagi pula, kami tidak bisa terlalu pilih-pilih. Aku belum me?nemukan keluargaku yang tinggal di rumah besar dan indah di Paris. Benar juga kata Mattia, kami perlu mengum?pulkan uang sebanyak mungkin dalam perjalanan ke kota ini. Bagaimana jadinya kami andai tidak memiliki uang tujuh belas frnnc di saku"
"Berapa tarif satu kamar untuk temanku dan aku sen?diri?" tanyaku.
"Sepuluh sen sehari. Tidak mahal kok."
"Baiklah, kami akan kembali nanti malam."
"Jangan pulang terlalu malam. Paris bukan tempat yang baik buat anak-anak lelaki," dia berseru saat aku melang?kah pergi.
Malam mulai turun. Lampu-lampu jalan dinyalakan.
Aku mesti berjalan jauh ke Katedral untuk menemui Mattia. Semangatku sudah benar-benar lenyap. Aku capek sekali dan lingkungan sekitarku tampak muram. Di Paris yang penuh cahaya dan suara aku merasa begitu sendirian. Akan berhasilkah aku menemukan keluargaku" Akankah aku bisa melihat ibu dan ayah kandungku" Setibanya di Katedral, aku masih harus menunggu Mattia selama dua puluh menit. Rasanya malam ini aku sangat membutuhkan persahabatannya. Aku sangat terhibur membayangkan akan melihat sahabatku yang ceria dan baik hati itu. Te?man yang setia.
Menjelang jam tujuh aku mendengar bunyi gonggongan, kemudian dari balik bayang-bayang Capi melompat. Dia melesat ke dalam pelukanku dan menjilatiku dengan lidah?nya yang lembut dan basah. Kupeluk dia erat-erat dan kukecup hidungnya yang dingin. Tak lama kemudian Mattia muncul. Secara singkat kuceritakan padanya bahwa Pak Barberin sudah meninggal, dan sekarang kecil sekali kemungkinannya aku akan menemukan keluargaku. Mattia menunjukkan rasa simpati yang sangat kubutuhkan. Dia mencoba menghiburku supaya tidak putus asa. Setulusnya dia juga berharap aku bisa menemukan kedua orangtua- ku.
Kami kembali ke Hotel du Cantal. Keesokan paginya aku menulis surat kepada Ibu Barberin, untuk menyampai?kan belasungkawa atas meninggalnya Pak Barberin, dan untuk menanyakan apakah ada kabar dari suaminya se?belum meninggal. Ibu Barberin membalas suratku, menyam?paikan bahwa Pak Barberin telah menulis surat padanya dari rumah sakit, dan berpesan kalau keadaannya tidak juga membaik, Ibu Barberin harus menulis surat kepada Greth dan Galley's, Lincoln Square, London, sebab mereka pengacara-pengacara yang sedang mencariku. Ibu Barberin tidak boleh mengambil langkah apa pun sebelum memasti?kan Pak Barberin sudah meninggal.
"Kita harus pergi ke London," kata Mattia setelah aku selesai membaca surat yang dituliskan untuk Ibu Barberin. "Kalau para pengacara itu orang Inggris, berarti kedua orangtuamu berkebangsaan Inggris."
"Oh, aku lebih suka sama seperti Lise dan yang lain-lain?nya. Tapi," aku menambahkan, "kalau aku orang Inggris, berarti aku sama dengan Mrs. Milligan dan Arthur."
"Aku lebih suka kau orang Itali saja," ujar Mattia.
Beberapa menit kemudian barang-barang bawaan kami sudah siap dan kami pun berangkat. Selama delapan hari kami menumpang-numpang dari Paris ke Bologne, berhenti di kota-kota besar sepanjang jalan. Setibanya di Bologne kami mempunyai uang tiga puluh dua franc di dompet. Kami naik kapal barang yang akan berangkat ke London besok. Pelayaran ini sangat tidak menyenangkan! Mattia yang malang menyatakan tidak akan pernah bepergian le?wat laut lagi. Ketika akhirnya kapal memasuki Sungai Thames, kuminta dia bangun dan melihat-lihat peman?dangan indah, tetapi dia minta aku tidak mengganggunya. Akhirnya mesin kapal berhenti, tali-temali dilemparkan ke darat, dan kami pun merapat di London.
Aku tidak lancar berbahasa Inggris, tetapi Mattia sudah banyak belajar bahasa Inggris dari orang Inggris yang per?nah bekerja bersamanya di Gassot Circus. Setelah turun ke darat, dia langsung menanyakan arah ke Lincoln Square pada seorang polisi. Kelihatannya tempat itu jauh sekali. Berkali-kali kami mengira telah tersesat, tapi setelah ber?tanya sana-sini ternyata arah yang kami ambil sudah be?nar. Akhirnya kami sampai di Temple Bar dan beberapa langkah kemudian tibalah kami di Green Square.
Jantungku berdebar kencang sekali sewaktu kami berdiri di depan pintu kantor Greth and Galley's. Maka kuminta Mattia menunggu sebentar sampai aku berhasil menenang?kan diri. Setelah Mattia memberitahukan nama dan urusan- ku kepada juru tulis di sana, kami langsung disuruh ma?suk ke kantor pribadi Mr. Greth, pimpinan biro hukum tersebut. Untunglah Mr. Greth bisa berbahasa Prancis, jadi aku bisa berkomunikasi langsung dengannya. Dia menanya?kan setiap detail kehidupanku. Jawaban-jawabanku rupa?nya membuatnya yakin bahwa aku memang anak laki-laki yang dicari-carinya, sebab dia mengatakan padaku bahwa aku mempunyai keluarga yang tinggal di London dan dia akan langsung mengirimku pada mereka.
Rahasia Cincin Mustika 1 Sleep With The Devil Karya Santhy Agatha Cermin Pemburu Nyawa 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama