Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu Bagian 3
Sementara itu, lagi-lagi aku harus berperang melawan
helm yang tak mau copot dari kepalaku. Les nyengir saat
melihatku menarik-narik tali helm dengan muka separuh
putus asa separuh kepingin meng?hancur?kan helm keparat
itu. Untungnya dia tidak menunggu sampai aku me?
mohon-mohon bantuannya. "Sini, biar aku aja."
Cowok itu mengulurkan tangan ke bawah daguku.
Dalam sekejap tali itu sudah dilepasnya. Aku melepas
helm dengan hati-hati, berharap tanganku yang sedang
gemetaran tak akan menggeser letak rambut palsu yang
kukenakan. Kan gawat kalau cowok itu tahu aku
mengenakan rambut palsu. Bukan karena aku takut dia
mengetahui warna rambut asliku yang memang konyol,
tapi aku takut dia keburu kabur karena mengira aku
sebenarnya botak cling. Setelah Les mengambil alih helmnya, aku langsung
me?rapikan rambutku. Untungnya, benda itu masih ter?
pasang tepat di tempatnya. Aman.
Dengan perasaan lega, aku mengikuti Les berjalan ke
dalam taman. Semilir angin membelai lembut, meniup
kelopak-kelopak berwarna merah muda dan kuning yang
menghujani kami. Aku mencoba menangkap salah satu
kelopak itu, berusaha menguji kecepatan tanganku, na?
mun hasilnya memalukan banget alias nihil.
Kudengar Les tertawa di sampingku. "Nggak usah
nyari-nyari yang lain, Val. Yang nyangkut di rambutmu
banyak banget kok." "Oh, ya?" Aku menyisir rambutku dengan jari-jariku
se?hati-hati mungkin, dan kelopak-kelopak bunga lang?
sung berjatuhan. "Masih ada tuh," kata Les sambil mengambili sisa-sisa
kelopak bunga yang ada di rambutku, lalu menyerah?
kannya padaku. Dengan ragu-ragu aku mengambil kelopak bunga di
telapak tangannya. Napasku tersentak saat cowok itu me?
nangkap tanganku dan menggenggamnya. Rasanya bagai?
kan binatang yang terperangkap. Kutatap mata cowok
itu, dan jantungku berdebar keras melihat sorot mata
yang begitu lembut terarah padaku.
"Maaf, ya," ucap cowok itu sambil meremas tanganku.
"Kamu pasti udah mengira aku ini brengsek banget."
Tenggorokanku langsung terasa kelu. Kutatap tangan
kami yang bersentuhan, dan Les buru-buru me?lepas?kan
tangannya dariku. "Sori," ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya d?e?
ngan wajah tengsin berat. "Nggak tau kenapa aku jadi
begini." "Nggak apa-apa." Aku lega suaraku terdengar jauh
lebih tenang daripada perasaanku yang sebenarnya.
"Tapi, se?kali lagi, kamu nggak perlu ngejelasin apaapa."
151 Isi-Omen2.indd 151 011/I/13 "Perlu banget," tegasnya sambil menatapku dalam-da?
152 Isi-Omen2.indd 152 011/I/13 lam. "Aku nggak mau kamu salah paham tentang aku,
Val." Ada ketulusan dan kejujuran dalam suaranya yang me?
nyentil perasaanku. Sepertinya aku memang sudah salah
menduga soal cowok ini. Seharusnya aku mengindahkan
protes dari hati kecilku. Memang kami sudah melihat
kejadian yang tidak mengenakkan, tapi seharusnya aku
tahu lebih baik. Mata bisa menipu hati. Bukankah itu
prinsip yang kugunakan untuk menutupi jati diriku yang
sebenarnya? Cowok itu memasukkan kedua tangannya ke dalam
saku. "Yuk, kita jalan-jalan."
Selama beberapa waktu, kami berdua menyusuri taman
tanpa bicara. Rasanya begitu nyaman berjalan bersama
Les seperti ini, dan satu-satunya yang perlu kutakutkan
hanyalah tersandung sesuatu di balik dedaunan yang ke?
lihatannya tak berbahaya itu. Tapi akhirnya Les me?
mecah?kan keheningan yang damai itu dan memulai
cerita yang terdengar nyaris mustahil di telingaku.
"Aku dan Nana udah temenan dekat dari dulu. Bagiku,
dia adalah adik kecil yang harus selalu kulindungi. Mung?
kin dia keliatan kuat, tapi sebenarnya dia punya penyakit
asma dan sering kumat kalau cuaca kurang bagus atau
sedang stres. Kadang aku nggak sadar, orang luar melihat
kami seperti apa." Meski yang tampak oleh kami adalah hubungan me?
reka yang dekat, sebenarnya Nana-lah yang menegaskan?
nya dengan mengatakan pada Erika bahwa dia adalah
pacar Les. "Mungkin kamu akan ngerti kalau aku cerita dari awal,
ya." Les menghela napas. "Aku dan Nana nggak terlahir
153 Isi-Omen2.indd 153 011/I/13 di keluarga yang normal. Orangtua kami... bukanlah
orang baik-baik. Aku nggak pernah kenal ayahku, sedang?
kan ibuku pengguna narkoba. Aku cukup yakin ibuku
melahirkanku tanpa benar-benar sadar, soalnya beliau
nggak ingat tanggal lahirku. Bahkan tahunnya pun
beliau nggak ingat. Jadi, terus terang aja, aku nggak tau
berapa persisnya umurku."
Saking kagetnya, aku menghentikan langkahku.
"Benar-benar nggak tau?" tanyaku tak percaya.
"Benar-benar nggak tau." Oh, God. Mana mungkin ada
orang yang tidak tahu usianya sendiri? Bagaimana perasa?
annya setiap kali ada orang yang ribut-ribut soal ulang
tahun? "Mungkin tetangga-tetangga yang dulu bergantian
mengasuhku itu tau, tapi kami pindah waktu aku masih
kecil. Setelah itu aku kehilangan kontak dengan me?
reka." Les diam sejenak, lalu berjalan lagi dan aku segera
meng?ikutinya. "Ibuku menikah lagi. Sayangnya, ayah tiriku bukan
orang yang baik. Dia sering memukuli ibuku dan aku.
Terakhir kali, waktu aku SMP, aku kehilangan kendali
waktu dia memukuli ibuku dan aku. Jadi aku membalas?
nya." Les tersenyum pahit. "Aku nggak nyangka ibuku
akhir?nya mengusirku. Rupanya beliau lebih memilih
ayah tiriku dibanding aku. Jadi, aku putus sekolah waktu
SMP dan kabur ke sini. Aku berganti-ganti pekerjaan,
mulai dari montir sepeda, kuli di pabrik, hingga montir
di bengkel motor. Baru beberapa tahun ini aku bekerja
di Bengkel Montir Gila, dan setelah itu aku nggak per?
nah gonta-ganti pekerjaan lagi."
Rasanya air mataku kepingin menyembur-nyembur
men?dengar cerita Les, tapi aku cukup tahu diri untuk
tidak terlihat mengasihani cowok itu. Namanya cowok
kan pasti punya harga diri. Meski begitu, aku tidak bisa
menahan diri untuk tidak menyentuh lengannya.
Les menatap tanganku yang menyentuhnya, lalu ber?
kata dengan nada lembut, "Sekarang kamu ngerti kan
kenapa aku bilang aku nggak akan ada kesempatan de?
nganmu?" Jadi itu yang dia maksud dengan kesempatan. Lagi-lagi
perasaan sesak memenuhi dadaku. Jadi aku memang
tidak salah dengar atau salah mengerti.
"Aku nggak sedangkal itu, Les," ucapku pelan namun
bersungguh-sungguh. Tanganku yang masih memegangi
lengannya kini mencengkeramnya erat-erat. Habis, aku
tidak mengerti sama sekali. Cowok ini kan sudah meng?
alami begitu banyak kemalangan. Meski begitu, dia tetap
berjuang dan akhirnya berhasil melewati semua itu. Tapi,
kenapa kini dia bersikap seolah-olah semua kemalangan
dan perjuangan yang luar biasa itu ada?lah kekurangan
dirinya? Apakah dia tidak tahu bahwa cerita yang di?
ungkapkannya tanpa rasa benci dan kecewa pada orang?
tuanya itu justru bikin aku makin kagum dan suka
padanya? Aku tak bakalan bisa me?nyamainya dalam hal
itu. Jujur saja, sekarang aku malu berat pada diriku
sendiri. Mendadak sebuah bayangan mencurigakan terlihat di
kejauhan, tepatnya di balik pepohonan yang mengitari
taman ini. Oke, bukan cuma satu, tapi dua. Astaga, apa
ada yang mengincar kami? 154 Isi-Omen2.indd 154 011/I/13 "Tenang aja," kata Les sambil nyengir. "Sepertinya itu
155 Isi-Omen2.indd 155 011/I/13 Erika dan temanmu yang satu lagi, yang tadi bersama?
nya." Oh, God. Daniel? Erika dan Daniel membuntuti kami
ke sini? Tidak heran aku tidak menyadari hal itu. Kedua?
nya memang jago dalam soal umpet-mengumpet lantar?
an terbiasa diburu guru-guru. Tapi tak kuduga Les bisa
me?nyadari kehadiran mereka. Pastinya, di balik penampil?
annya yang santai, cowok itu sangat waspada.
"Aku rasa mereka hanya khawatir padamu," katanya
seraya tersenyum padaku. "Kamu punya banyak orang
yang peduli padamu."
Itu pemikiran yang salah banget. Selain Erika dan
Andrew, tidak ada orang yang peduli padaku. Oke, se?
karang aku kedengaran pahit. Padahal, meski tidak
senang-senang banget dengan kenyataan itu, bukannya
aku menyesalinya. Habis, karena itu jugalah aku tumbuh
men?jadi aku yang sekarang. Sering kali aku membayang?
kan, kalau saja aku dibesarkan oleh orangtua yang cinta
banget padaku, pastilah aku tumbuh menjadi remaja
normal yang bahagia. Dan tak akan bertemu Erika, Vik, Les, dan lainnya.
Lagi pula, kalau dipikir-pikir lagi, hidup seperti ini
tidak buruk-buruk amat, kan?
Kembali lagi pada kenyataan, aku memang cukup ter?
haru karena Erika mau bersusah payah membuntutiku.
Seperti yang pernah diakuinya, cewek itu tidak kepo.
Mungkin dia antusias menyelidiki masalah Tujuh Lukisan
Horor, tapi yang menarik perhatiannya pastilah misteri
dan bahaya yang terkandung dalam kasus ini. Sedangkan
membuntutiku ke sini dan menonton adegan orang
jalan-jalan pastilah bukan hobinya.
156 Isi-Omen2.indd 156 011/I/13 Tapi di sisi lain, sekarang aku jadi tidak enak pada Les.
"Sori," ucapku. "Kalo sekarang kamu nggak nyaman
nerusin obrolan kita, nggak apa-apa."
"Nggak apa-apa," senyumnya lagi. "Aku datang untuk
ngejelasin semuanya. Aku nggak akan mundur sebelum
semua kesalahpahaman ini diselesaikan. Soal dua peng?
untit kita, toh aku udah tau dari tadi, dan itu nggak
menggangguku sama sekali."
"Oke," anggukku. "Kalo gitu, aku akan dengerin lagi."
Les tersenyum dan membalas anggukanku.
"Aku ketemu Nana waktu aku masih terlunta-lunta di
Sentul sini. Waktu itu aku kos di sebelah rumah mereka.
Bukan kos juga sih sebenernya. Ada penduduk setempat
yang punya kamar ekstra, dan aku boleh tinggal di sana
dengan bayar bulanan. Nah, waktu itu aku sering banget
liat Nana dan keluarganya dari jendela kamarku. Ayah?
nya pengangguran, ibunya suka marah dan depresi.
Nggak ada satu pun yang peduli sama Nana. Waktu
asma?nya kumat, dia cuma ngumpet di kamar dan
nunggu sampe asmanya mereda."
Astaga, aku tak bisa membayangkan cewek yang begitu
cantik dan percaya diri ternyata punya kehidupan seperti
itu. Mau tak mau aku jadi kasihan padanya.
"Lama-lama kami jadi kenal. Sedikit demi sedikit, aku
berhasil menabung, lalu duitnya kami pake untuk meng?
obati asma Nana. Sekarang, meski ada saatnya dia suka
kambuh, terutama waktu cuaca lagi dingin, setidaknya
nggak separah dulu lagi."
Aku teringat bagaimana Les merangkul cewek cantik
itu dengan begitu santainya, kedekatan mereka begitu
jelas dan tak bisa disangkal lagi. Mendadak kusadari bah?
wa aku tak akan pernah bisa menyamai arti Nana bagi
cowok itu. Oh, God, kenapa rasanya begitu pahit?
Aku menghentikan langkah, berharap pembicaraan ini
diakhiri sekarang saja, tapi Les malah meraih tangan?ku.
Aduh, kenapa dia memandangiku dengan begitu lem?but?
Rasanya aku jadi ingin meleleh di tempat.
Dia tidak peduli ada dua penonton yang sedang me?
nyaksikan kami berdua dari kejauhan.
"Aku tau, dalam segala hal, kita nggak sebanding,"
kata Les pelan sambil meremas tanganku. "Tapi sejak
awal, sejak Vik bercerita tentang kamu, aku sudah ingin
sekali ketemu denganmu. Dan setelah kita bertemu, rasa?
nya kenyataan begitu sulit dipercaya. Kamu persis seperti
yang dia katakan. Tapi tidak hanya itu. Dengan semua
kelebihanmu, kamu nggak jijik dan merendahkanku, tapi
kamu malah selalu bersikap manis dan low profile. Setiap
kali kita bertemu, di sekeliling kita begitu ribut dan se?
mua orang saling berusaha menundukkan, tapi kamu
se?lalu tenang dan anggun. Seperti yang kubilang, kamu
nggak mirip manusia biasa, melainkan lebih mirip malai?
kat yang memandangi kami para makhluk dunia fana
yang bodoh." Oke, sekarang rasa panas yang menjalar di seluruh
wajahku bukan cuma pura-pura belaka.
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang, apa aku udah dimaafkan?"
Di seluruh dunia ini, belum ada orang yang berusaha
157 Isi-Omen2.indd 157 011/I/13 be?gitu keras demi perasaanku. Tenggorokanku rasanya
ter?cekat, jadi aku hanya bisa mengangguk. Satu angguk?
an, dan wajah Les langsung cerah kembali.
158 Isi-Omen2.indd 158 011/I/13 "Benar? Jadi kamu nggak akan musuhin aku? Erika
juga, ya?" Ucapannya yang terakhir ini diucapkannya dengan
lantang, seolah-olah ingin Erika mendengarnya. Lagi-lagi
aku tertawa dibuatnya. "Aku yakin, dia juga nggak akan marah sama kamu
kalo udah tau ceritanya," kataku.
Lalu aku teringat sesuatu.
"Oh ya, Les, kamu mau nemenin aku datang ke
pameran lukisan di sekolah?"
159 Isi-Omen2.indd 159 011/I/13 SAAT kami tiba di rumahku, hari sudah menjelang
sore. "Thanks, ya, buat hari ini," ucapku setelah turun dari
motor dan melepaskan helm (kali ini sudah tidak perlu
dibantu lagi; aku kan tidak bodoh-bodoh amat). "Thanks
juga, buat semua ceritanya tadi."
"Sama-sama," senyum Les. "Aku juga thank you, karena
udah dengerin ceritaku dengan sabar."
Aku menoleh ke belakang kami. "Kita nggak dikuntit
waktu pulang, kan?" "Sepertinya nggak. Mungkin mereka udah memutuskan
aku nggak berbahaya."
"Atau mereka sadar kalo mereka udah kepergok,"
sambung?ku, dan kami berdua menyeringai, sama-sama
tahu pastilah itu yang sudah terjadi.
Les berpaling dariku, lalu memandangi rumahku de?
ngan wajah sedemikian rupa yang membuatku merasa
malu banget karena punya rumah besar.
"Maaf." Entah kenapa aku berkata begitu.
"Kok tau-tau minta maaf?" Les tersenyum padaku.
"Ehm, Val, sebenarnya hari ini aku ingin ketemu kamu
160 Isi-Omen2.indd 160 011/I/13 karena aku juga ingin ngasih tau kamu tentang informasi
yang kamu tanyain kemarin."
Eh? "Informasi apa?"
"Tentang Andra dan Rapid Fire."
Oh. Astaga. Gara-gara semua kesalahpahaman ini, aku
jadi lupa soal Rapid Fire!
"Seperti yang kamu tanyain, iya, benar, Andra Mukti
emang salah satu anggota geng Rapid Fire. Katanya, ta?
hun lalu dia dikeluarin dari sekolahmu karena menjebol
kantor kepala sekolah bareng temen-temen segengnya,
ya?" Ternyata informan Les, siapa pun itu, lihai banget.
"Sejak dikeluarin, dia nggak sekolah lagi dan cuma
ngumpul bareng temen-temen segengnya. Sayangnya,
Rapid Fire sekarang ini sering bermarkas di Dragon Pool.
Itu tempat main biliar yang sebenarnya nggak terlalu
bagus untuk didatangin cewek-cewek. Jadi, kalau kamu
bener-bener harus ketemu Andra, lebih baik kamu pergi
sama aku aja." "Aku nggak bilang aku ingin ketemu Andra," kataku
sambil berusaha mengingat-ingat percakapanku kemarin
dengan Les. "Iya, tapi kalo udah begini, sepertinya kamu nggak
akan menerima info ini dan melupakannya begitu aja,
kan?" Oke, ternyata tidak begitu gampang menyembunyikan
sesuatu dari cowok ini. "Yah, kira-kira begitu deh."
"Pokoknya, kalo emang kamu harus pergi, ajak aku,
ya." "Tapi kamu kan harus kerja," kataku mengingatkan.
"Aku bisa minta seseorang menggantikanku kok,"
jawab Les santai. "Lagi pula, kan kita nggak pergi sehari?
161 Isi-Omen2.indd 161 011/I/13 an. Aku bisa kerja pagi-pagi dan siangnya baru minta
di?gantikan." "Mmm, oke. Kalau nanti kami berencana pergi, aku
ka?bari deh." Aku tersenyum padanya. "Aku pulang dulu,
ya!" "Oke. Istirahat ya, Val. Jangan lupa ingatkan Pak Mul
untuk ngambil mobil sore ini. Sampai ketemu lagi."
Oh, God, kenapa rasanya begitu sulit melangkah men?
jauhi cowok ini? Padahal kami bahkan tak punya
hubung?an apa-apa. Aku berusaha menyingkirkan perasa?
an berat yang seolah-olah menindih hatiku, lalu masuk
ke pekarangan rumah tanpa menoleh lagi pada Les. Aku
menyadari kedua petugas sekuriti yang berjaga sedang
memandangi Les dengan penuh rasa ingin tahu. Maklum?
lah, ini pertama kalinya aku pulang diantar seorang
cowok. Naik motor, lagi. Tak heran kan, kalau mereka
jadi kepo. Saat menapaki undakan menuju pintu ru?mah, barulah
aku menoleh ke belakang dan menatap melewati jeruji
pintu gerbang. Les masih menunggu di situ.
Aduh. Aku menghela napas dan melangkah ke depan pintu
rumah. Seperti biasa, pintu itu terbuka secara otomatis.
Tapi, tidak seperti biasa, ada dua muka marah yang me?
nyambutku. Yang satu muka keriput yang tampaknya
berasal dari abad lalu, yang satu lagi muka remaja bau
kencur yang tadinya sempat berperan jadi penguntit.
Dalam hati aku berusaha menahan tawa melihat pasang?
an yang tidak serasi banget tapi tampak kompak ini.
"Miss Valeria," tegur Andrew. "Tidak sepantasnya se?
162 Isi-Omen2.indd 162 011/I/13 orang lady seperti Miss berkeliaran ke mana-mana se?
pulang sekolah dengan berandal yang belum dikenal ke?
luarga kita." "Heh!" dukung Erika yang mendengus dengan muka
supersengit. "Kalau memang Miss ingin pergi dengannya, seharus?
nya Miss perkenalkan dulu pada saya, sesuai dengan
etika yang sudah pernah kita bahas mengenai acara be?
pergian Miss." "Heh!" "Lagi pula, apa Miss tega membuat nyawa tua ini kha?
watir? Miss tahu sendiri kesehatan saya sudah tidak ter?
lalu baik. Kalau Miss peduli pada saya, seharusnya Miss
lebih menjaga diri sendiri, bukan?"
"Heh!" Kali ini aku dan Andrew sama-sama melotot ke arah
Erika yang tampak kaget. "Lho, kok jadi marah sama gue?" tanyanya heran.
"Emang?nya kenapa? Ada upil gue terbang keluar dan
kena kalian?" Dasar Erika. Sekarang aku jadi merasa hidungku ikutan
gatal. "Maaf ya, Ndrew." Aku menggosok-gosok hidungku,
lalu memegangi tangan Andrew yang tidak memegang
tong?kat. "Aku memang salah. Nggak seharusnya aku
pergi tanpa bilang-bilang tadi. Tapi kalau Andrew kha?
watir, kan bisa aja Andrew meneleponku tadi."
"Saya tidak ingin memperlakukan Miss seperti anak
kecil lagi," kata Andrew cemberut. "Tapi sebaliknya, saya
juga berharap Miss tidak semena-mena dengan kebebasan
yang saya berikan." 163 Isi-Omen2.indd 163 011/I/13 "Iya deh." Aku mencium pipi Andrew yang keriput.
"Thank you, udah respek sama aku. Aku berjanji nggak
akan bikin Andrew khawatir lagi."
"Kalo gue gimana?"
Aku menoleh pada Erika dan menyeringai. "Kalo buat
elo sih, gue ada cerita seru."
"Cerita seru apa?" sela Andrew, tampak penasaran
sekali?gus siap mendampratku.
"Ih, cerita rahasia yang cuma buat didenger ABG kok,
Ndrew," sahutku berusaha tampak secentil mungkin.
Andrew tercengang, tak biasa melihatku terlihat ceria
seperti cewek-cewek lain seusiaku. "Pokoknya jangan
ganggu, ya. Aku mau ngobrol dulu sama Erika."
Tanpa menunggu jawaban Andrew, aku menyeret Erika
kabur dari hadapan orang tua sakti tersebut. Untungnya
kami berhasil tiba di kamarku tanpa ada halangan ber?
arti. Memang ada beberapa pengurus rumah yang me?
nyapaku dengan tampang heran, tapi tak ada satu pun
yang berani kepo dan menanyakan kenapa aku tampak
begitu bersemangat. Dalam hal ini aku harus berterima
kasih pada ayahku yang cerewet banget dalam soal pilahpilih staf pengurus rumah.
Begitu aku menutup pintu kamarku, aku langsung
mem??balikkan badan pada Erika dan mendampratnya,
"Lo nggak perlu nguntit gue seperti itu!"
"Emangnya lo belum pernah nguntit gue?" sergah
Erika tidak kalah nyolot. "Daripada gue kepikiran terus,
mendingan gue kuntit aja, kan? Daniel aja setuju!"
Memang benar sih, tapi rasanya tak puas kalau aku
tidak meminta penjelasannya. "Lalu sekarang Daniel ke
mana?" 164 Isi-Omen2.indd 164 011/I/13 "Yah, pulang ke peraduannya lah, setelah nganterin
bos kesayangannya ke rumah mewah."
Oh, God. Ini berarti Daniel tahu rumahku juga? "Eh,
setau gue si Daniel bawa mobil. Pastinya dia nggak
mung?kin lebih cepet daripada motor Les. Tapi kok kalian
bisa nyampe duluan?"
"Bedalah, antara yang ngibrit sama yang pacaran,"
seringai Erika. "Begitu si cowok brengsek teriakin nama
gue kenceng-kenceng, kami berdua langsung panik. Dari?
pada ketangkep basah dan harga diri hancur, mendingan
kami kabur dengan kecepatan super."
Aku manggut-manggut dengan muka bete.
"Masih nggak seneng?" tanya Erika dengan tampang
waswas. "Kalo lo nggak seneng banget, lain kali gue
nggak bawa Daniel deh. Masalahnya, tadi dia maksa dan
gue juga butuh tumpangan, jadi mau nggak mau dia
ikut?an." Dasar Erika. Susah banget berlama-lama bete di depan?
nya. "Udahlah, gue bukannya bete-bete banget sih. Toh
kalian cuma berdiri di kejauhan kayak hantu pe?nasar?
an." Mendengar ucapanku, Erika langsung misuh-misuh.
"Gue emang penasaran banget. Abis, muka kalian kayak
orang baru keluar dari tempat kremasi mayat. Memang?
nya apa yang lo lakuin tadi? Lo ancam dia?"
"Ya nggak lah," sahutku geli. "Anyway, gue dapet intel.
Dragon Pool." Erika mengerutkan alis. "Tempat biliar yang banyak
peng?edar narkoba itu?"
"Itu juga tempat sohib kita Andra dan rekan-rekannya
sesama anggota geng Rapid Fire suka nongkrong."
165 Isi-Omen2.indd 165 011/I/13 Muka Erika langsung sama bersinar-sinarnya dengan
mukaku. "Dasar licik! Lo goda si cowok brengsek terus
lo kuras semua informasi dari dia? Pantes tadi kayaknya
lo bisik-bisik sama dia!"
"Nggak segitunya, deh," sahutku cemberut. "Lo kira
gue cewek penggoda sehebat apa, pake bisik-bisik lang?
sung berhasil?" "Yah, siapa tau? Lagian, sama cowok brengsek gitu lo
harus menghalalkan segala cara," sahut Erika dengan
muka keji. "Dasar penjahat, bisa-bisanya deketin lo
padahal udah punya cewek."
"Bukan begitu lagi ceritanya, Ka."
Tidak ingin membiarkan Erika mencaci maki Les
sampai berbusa-busa lagi, aku pun segera menceritakan
kisah hidup Les pada Erika. Aku rasa Les tak akan ke?
berat?an kisah malangnya dibeberkan pada Erika, soalnya
dia sendiri berharap Erika tak akan marah lagi padanya,
kan? Lagi pula, Erika tak bakalan mengirim cerita ini ke
majalah kok. Kisah ini bakalan aman di tangannya.
Malahan, setelah aku selesai cerita, muka sobatku itu
tampak malu. "Jadi dia bukan cowok brengsek?"
"Bukan!" sahutku tegas.
"Yah, padahal gue udah ngutuk-ngutuk dia di depan
semua orang tadi," kata Erika nyaris tampak kecewa.
"Sampe gue telepon si Ojek dan gue kata-katain temen?
nya. Tapi nggak taunya si Ojek lagi meeting dan telepon?
nya di-phonespeaker-in." Berani sumpah, Erika yang
biasanya tak tahu malu kini tampak tersipu-sipu. "Yah,
bukan salah gue dong. Udah tau gue orangnya hobi nye?
rocos, kenapa juga malah di-phonespeaker-in? Gue curiga
166 Isi-Omen2.indd 166
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
011/I/13 dia cuma kepingin pamer ke semua orang kalo dia udah
punya pacar keren kayak gue. Eh, tapi kenapa cewek
sialan itu bilang ke gue kalo mereka pacaran?"
"Gue juga nggak tau," gelengku. "Gue nggak nanyain
itu ke Les. Habis, bisa aja cewek bernama Nana itu
emang naksir Les, jadi sengaja ngarang-ngarang begituan
supaya kita menjauhi Les."
"Waduh, emosi nih gue dibohongin begini!" tukas
Erika jengkel. "Nggak terima gue jadinya. Nanti kalo kita
ketemu mereka lagi, lo mesti semesra mungkin sama si
cowok breng... maksud gue, si Les. Biar nyaho tuh
cewek, berani-beraninya nyari perkara sama kita!"
"Lo kira gue apaan, mendadak sok mesra gitu?" celaku.
"Lagian, siapa tau Les-nya nggak mau gue mesrain."
"Nggak mungkin nggak mau. Buktinya tadi dia sampe
mohon-mohon supaya lo mau," lagi-lagi Erika bergayagaya kayak transeksual, "dengerin penjelasannya."
"Ah, depresi gue liat gaya lo!" kataku sambil tertawa.
"Anyway, gimana dong soal Andra?"
"Tentu aja, kita samperin dia malam ini," sahut Erika
mantap. "Jangan buang-buang waktu lagi. Pameran
lukisan tinggal dua hari, man!"
"Mmm, kata Les, kalo kita mau ke Dragon Pool, kita
harus ajak dia." "Kenapa?" tanya Erika tampak tersinggung. "Kalo
kita di?keroyok, emangnya kita berdua nggak sanggup
ba??les?" "Bukan gitu," kilahku. "Mungkin dia cuma nggak
ingin kita dikira cewek yang biasa berkeliaran di situ."
"Yang berani ngira kita cewek yang hobi berkeliaran
di situ bakalan gue gebukin sampe muntah darah."
167 Isi-Omen2.indd 167 011/I/13 "Maksud gue, misalnya polisi atau apa gitu. Kan nggak
lucu kalo kita dimintai KTP." Pemikiran itu membuatku
agak-agak cemas. "Gue belum punya KTP, Ka."
"Lo kira gue udah punya?" balas Erika tampak cemas
pula. "Mereka terima kartu pelajar, nggak?"
"Ya nggak lah. Namanya tempat biliar, cuma bisa di?
masukin orang-orang dewasa."
"Cih, biarpun nggak punya KTP, gue udah dewasa,
kali. Berani taruhan, kebanyakan yang udah punya KTP
itu bakalan nangis-nangis manggil nyokapnya kalo gue
teror mereka." "Yah, lo jangan neror anak orang dong!" tegurku geli.
"Emangnya lo kurang kerjaan?"
"Nggak, gue cuma emosi, KTP dibagi-bagiin buat orang
yang nggak pantes ngedapetinnya, sementara gue malah
belum bisa dapet!" sahut Erika sambil cemberut. "Jadi
menurut lo kita harus bawa pengawal?"
"Iya, pengawal yang bisa nunjukin KTP dan mungkin
bisa menutupi kita dari polisi dengan bodi mereka yang
besar." "Oke, lo bawa si cowok breng... Les, dan gue bawa si
Ojek." Erika menepuk jidat. "Duh, susah banget manggil
nama si Les setelah sekian lama manggil dia cowok
brengsek. Kayaknya gue harus ngasih dia julukan apa
gitu yang lucu dan menarik."
"Si Montir?" usulku.
"Cih, dasar nggak kreatif," cela Erika. "Harus agak je?
lek dan merendahkan. Kalo nggak, nggak seru. Gimana
kalo kita panggil dia Ojek Number 2?"
"Kepanjangan." "Emang sih, padahal namanya rada cocok, berhubung
168 Isi-Omen2.indd 168 011/I/13 gayanya juga kayak tukang ojek." Erika tampak menguras
otak habis-habisan. Benar-benar deh, cewek ini. Seperti?
nya otaknya yang supergenius itu hanya digunakan
untuk hal-hal tak berguna seperti ini. "Nah, gimana kalo
kita panggil dia si Bodyguard?"
"Ih, dia kan nggak kayak bodyguard, Ka," celaku.
"Mirip," kata Erika berkeras. "Lo nggak liat aja sih. Se?
jujurnya, dia mirip banget kayak bodyguard lo kalo lagi
jalan bareng lo." "Masa?" tanyaku ingin tahu sekaligus berusaha kelihat?
an tidak terlalu girang. "Iya, seolah-olah kepingin menangkis semua benda
yang berani ganggu lo," kata Erika. "Lo nggak liat muka?
nya waktu tadi Daniel ngomong sama elo. Seakan-akan
kepingin ngumpetin lo dari si Daniel, gitu. Halah, nggak
usah pasang muka hepi gitu deh!"
"Gue nggak hepi!" balasku sambil menutupi kedua
pipiku yang terasa panas.
"Iya, lo hepi, ngaku aja sono!" Erika menyeringai dan
ber?bicara dengan suara mirip penyanyi lagu dangdut
paling jelek di dunia, "Gawat deh, si Daniel patah
hati...." Ampun. Cewek ini benar-benar norak banget.
"Tapi nggak pantes ah, julukannya Bodyguard," kilah?
ku. "Mendingan... Obeng?"
"Perfect!" Erika menepuk tangannya sekali namun
super?keras. "Bener-bener kayak setali tiga uang sama si
Ojek." Oh, God, aku jadi merasa bersalah pada Les karena
sudah memberinya julukan sejelek itu.
"Nah, sekarang lo buru telepon si Obeng supaya bawa
169 Isi-Omen2.indd 169 011/I/13 si Ojek dan jemput kita nanti malam," kata Erika seraya
menyikutku kuat-kuat, membuatku langsung mengaduh
kesakitan. "Nggak mau," tolakku sembari mengelus-elus pinggang?
ku yang sakit. "Gue nggak enak ah, sama dia. Lo aja
yang telepon si Ojek... maksud gue, si Vik. Kan lo pacar?
nya. Udah jadi kewajiban dia buat nanggepin lo walau?
pun lo neror dia tiap detik."
"Betul juga. Ini kesempatan gue untuk ngeliat apa?kah
si Ojek kekasih setia atau perlu dicampakkan seka?rang
juga." Erika langsung menekan-nekan ponselnya dengan
penuh semangat. "Halo, Jek? Ntar malem lo ada acara
nggak? Kalo nggak, temenin gue sama Valeria main biliar
dong. Kalo nggak ada lo, kami ta?kut diculik kriminal
nih! Apa? Kurang ajar! Mana mung?kin otot gue lebih
banyak dari preman? Eh, ke?napa suara gue bergema lagi?
Lo phone speaker-in lagi, ya? Eh, orang-orang yang nggak
berkepentingan, tolong jangan nguping pem?bicara?an
sepasang kekasih, ya! Jadi, Say, nanti malam lo bisa
jemput yayang lo ini nggak? Bawa si abang yang satu
juga ya, biar kita bisa double-date! Bye-bye, yayangku yang
ganteng dan imut. Muah... muaaahhh!"
Erika mendengarkan dengan muka cengengesan. Lalu
dia menutup telepon dan mengacungkan tanda V. "Beres.
Nanti malam kita dapet dua ojek."
Lalu dia tertawa terbahak-bahak.
"Aduh, gue kepingin banget ada di kantor si Ojek se?
karang juga, ngeliat tampangnya waktu gue panggil dia
yayang yang imut!" Mungkin aku sudah pernah bilang ini, tapi akan ku?kata?
kan sekali lagi. Erika memang tidak ada duanya.
*** 170 Isi-Omen2.indd 170 011/I/13 Malam ini, aku melakukan sesuatu untuk pertama kali?
nya, sesuatu yang kemudian akan sangat sering kulaku?
kan. Aku menyelinap keluar dari rumahku.
Hal itu ternyata tidak semudah dugaanku, meski aku
tahu banget kondisi rumahku. Ada silent alarm ter?pasang
di setiap pintu dan jendela rumah, petugas sekuriti yang
berpatroli di pekarangan lima belas menit sekali, pagar
kawat beraliran listrik di atas pagar.
Pertama-tama, silent alarm. Ini sama sekali tidak sulit.
Toh aku tahu di mana sinar-sinar yang memicu silent
alarm itu dipasang. Yang perlu kulakukan hanyalah me?
nyelipkan badan di bawah sinar-sinar tak terlihat itu.
Untuk orang-orang lain memang cukup sulit, terutama
yang berbadan besar seperti yang dimiliki kebanyakan
perampok, tapi badanku kan kecil dan lentur. Dalam be?
berapa kesempatan iseng, aku sempat mencoba menyelip
di bawahnya. No problem. Dari jendela kamarku, aku tinggal menunggu si pe?
tugas sekuriti lewat, lalu menyeberang ke tembok pagar.
Ada beberapa bagian pada tembok yang ditutupi tanam?
an merambat, dan itulah tempat yang kutuju. Tanpa ada
kesulitan, aku memanjat ke atas tembok. Melewati kawat
berduri yang dialiri listrik sama sekali tidak sulit, benda
itu hanya bisa menipu orang asing yang mengira kami
orang kaya bodoh dan gaptek.
Aku hanya perlu berdoa tak ada orang yang kebetulan
menoleh ke arahku saat aku sedang bertengger di atas
tembok. Soalnya, meski aku sudah mengenakan pakaian
171 Isi-Omen2.indd 171 011/I/13 serbahitam yang membuatku nyaris tak terlihat dalam
ke?gelapan, masih ada bagian-bagian tubuhku yang tak
bisa kututupi. Seperti mukaku, misalnya, yang pastinya
saat ini sedang bersinar-sinar dalam kegelapan.
Begitu berhasil melewati kawat berduri, aku tidak mem?
buang-buang waktu lagi. Aku langsung meloncat ke ba?
wah tembok. Dan nyaris mencium sepatu hitam seseorang.
"Kayaknya ini emang kebiasaan kamu, ya?"
Aduh. Kenapa lagi-lagi dia?
Sebelum aku sempat berdiri, Les sudah berjongkok di
depanku dan nyengir lebar. Gayanya yang sama persis
dengan pertemuan pertama kami membuatku terpukau.
"Kok bengong? Bisa berdiri, kan?"
Les meraih tanganku, tapi aku buru-buru menariknya
kembali. Habis, kan barusan tanganku kugunakan untuk
menyentuh tanah dan menyeimbangkan pendaratan.
"Jangan. Kotor, Les."
Les tertawa. "Aku kan montir, Val..."
Mendadak, terdengar bunyi langkah mendekat, dan
spontan aku membekap mulut Les. Di balik tembok pa?
gar, aku bisa mendengar irama langkah si petugas se?
kuriti yang berat dan lambat. Mungkin dia mendengar
sesuatu dari arah kami dan datang untuk memeriksa.
Terdengar teriakan dari kejauhan, "Ada sesuatu?"
Tentunya ini petugas sekuriti dari pos depan. Malam
ini, yang bertugas shift malam adalah Pak Yuyu dan Pak
Ryan. "Nggak ada apa-apa. Mungkin suara dari luar."
Ah, itu suara Pak Ryan. Untunglah dia tidak curiga.
Memang sih tadi aku sudah memanjat dengan hati-hati
172 Isi-Omen2.indd 172 011/I/13 supaya tidak meninggalkan jejak-jejak pada tanaman
rambat. Lagi pula, aku yakin Pak Ryan lebih fokus men?
cari keberadaan penyelinap yang masuk daripada me?
nyelidiki kemungkinan ada penghuni yang kabur ke
luar. Aku memberi isyarat pada Les dengan menempelkan
satu jari pada bibirku. Setelah dia mengangguk, barulah
aku melepaskan tanganku yang sejak tadi terus menutupi
mulutnya. Baru kusadari cowok itu rupanya masih terus
nyengir selama aku membekapnya tadi. Dia tak bakalan
mengira semua ini lucu lagi kalau kami sampai ter?
tangkap basah dan ayahku tahu-tahu muncul dengan
gaya beruangnya yang menakutkan. Tapi, ouch, mulutnya
sekarang berlepotan tanah dari tanganku. Aku meringis
antara menahan tawa dan merasa sedikit bersalah karena
sudah mengotori wajah tampannya. Untungnya dia tidak
marah. Dengan santai dia mengambil saputangan dari
kantong celananya lalu langsung mengelap mulutnya.
Lalu dia berikan saputangan itu padaku dan memberi
isyarat agar aku menggunakannya untuk membersihkan
tanganku. Aku menurut saja meski sedikit merasa kasih?
an pada saputangan tak berdosa itu.
"Motormu?" bisikku padanya setengah menit kemudi?
an. Tanpa menyahut dia meraih tanganku dan menarikku
pergi. Oke, kenapa tahu-tahu kami jadi bergandengan
tangan? Anehnya, rasanya begitu pas. Tidak ada rasa
canggung atau malu sama sekali. Seolah-olah kami me?
mang sudah jadian... Oh, God. Apa ini yang namanya HTS?
Oke, bukan waktunya memikirkan hal sepele begini.
173 Isi-Omen2.indd 173 011/I/13 Sekarang waktunya menyelidiki soal Andra dan kaitannya
dengan kematian Reva. Meski berada dalam kegelapan, kali ini mengenakan
helm tidak sulit lagi bagiku. Aku bahkan sudah bersiapsiap dari rumah dengan mengenakan jaket tebal yang
panjangnya mencapai lutut dan sarung tangan hitam.
Terus terang, aku rada bangga dengan penampilanku saat
ini. Aku yakin, orang-orang yang melihatku saat ini pasti
tak bakalan menyangka ini malam pertama aku bergaul
dengan anak-anak geng motor.
Aku bahkan sama sekali tidak merasa kepingin
menjerit saat motor Les melaju dengan kecepatan tinggi.
Di dalam hati aku merasa keren banget. Mungkin nantinanti aku harus belajar mengendarai motor.
"Kita akan langsung ketemu Vik dan Erika di depan
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dragon Pool," kata Les, seolah-olah perlu menjelaskan
ke?munculannya yang sendirian saja. "Nggak apa-apa,
kan?" "Emangnya kenapa harus kenapa-kenapa?" tanyaku
heran. "Siapa tau kamu takut pergi malam-malam dengan
cowok yang belum kamu kenal benar."
Anehnya, meski ini pertama kalinya aku pergi dengan
cowok, malam-malam pula, aku sama sekali tidak merasa
takut. Malah aku merasa aman banget.
"Yah, aku nggak khawatir," sahutku ringan. "Seperti
kata?mu, Vik tau ke mana harus nyariin kamu. Dan ke?
betul?an dia kenal bokapku. Jadi kalo ada apa-apa, kamu
bakalan berurusan dengan bokapku. Asal tau aja, bokap?
ku mengerikan banget lho."
"Vik kenal bokapmu?"
174 Isi-Omen2.indd 174 011/I/13 Oke, kenapa dari sekian banyak ocehanku, itu hal per?
tama yang dia komentari? Mana suaranya terdengar agak
cemburu pula. Atau ini hanya perasaanku yang kege-eran
saja? "Iya. Sebenarnya, kami masih bersaudara. Almarhumah
nyokapku saudara jauh bokapnya Vik."
"Oh, jadi masih sodara." Kini ada nada lega terdengar
dalam suara Les, dan kali ini aku yakin, aku tak salah
dengar. Nada itu berubah jadi prihatin saat bertanya,
"Mamamu udah meninggal? Udah lama?"
"Mmm, udah beberapa tahun lalu, sebenarnya, tapi
rasa?nya masih kayak barusan."
Selama beberapa saat, Les diam saja. "Aku ikut sedih."
Aku tersenyum saat mendengar kesungguhan dalam
suaranya. "Thanks."
"Tapi aku jadi nggak heran sekarang. Mukamu emang
mirip orang Jepang."
Andai saja dia melihat wajah asliku.
"Oh, ya, mobilmu udah diambil sama Pak Mul."
"Iya, aku udah tau. Thanks ya, Les, udah bantu di?
bener?in." "Sama-sama. Tapi, mmm, ini berarti aku nggak boleh
jemput lagi besok?" Aduh. Bagaimana ya? Sebenarnya aku juga ingin se?kali
dia menjemputku seperti tadi. Tapi aku tidak tahu harus
beralasan apa pada Pak Mul yang pastinya bakalan
melapor pada Andrew. "Mmm, sebaiknya jangan."
"Iya, aku ngerti."
Aku tidak tahu, seberapa mengerti Les tentang kondisi?
ku yang selalu diawasi. Bagaimanapun, dia hidup di
175 Isi-Omen2.indd 175 011/I/13 dunia yang jauh lebih bebas dibandingkan denganku.
Tapi aku tidak ingin memberikan penjelasan bertele-tele.
Suatu hari dia akan mengerti sendiri bahwa aku, Pak
Mul, dan Andrew sudah bersahabat cu?kup lama.
Selama beberapa saat, aku hanya memperhatikan jalan?
an yang kami lalui. Kami sudah meninggalkan kompleks
perumahanku yang mewah dan rapi, menuju jalanan di
luar kompleks yang dipagari bangunan-bangunan yang
lebih bervariasi. Les membelokkan motornya ke jalanan
kecil, lalu memasuki kompleks ruko yang tampak?nya
meriah sekali. Lapangan parkirnya dipenuhi berbagai
jenis mobil dan beberapa deret motor. Tampak beberapa
minimarket yang kini menjamur di mana-mana, berdiri
sendiri-sendiri dan berjauhan seolah-olah tak ingin saling
merebut pelanggan. Dua resto?ran siap saji tampak penuh,
antreannya sampai me?manjang ke luar. Sebuah restoran
yang lebih berkelas tampak tenang, sesekali terlihat
tamu-tamu berpakaian mewah berjalan masuk. Di
pojokan terdapat sebuah ATM center.
Yang paling mencolok di kompleks ini adalah sebuah
gedung terpisah yang tampak mirip gudang yang sangat
gelap, dengan papan nama dari lampu berwarna-warni
yang tampak sangat meriah bertuliskan "Wave". Ter?
dengar musik mengentak dari dalam, jadi meski tak ada
keterangan apa-apa tentang jenis tempat itu, aku tahu
itu adalah diskotek. Di sampingnya, jauh lebih terang,
terdapat ruko yang menyatu dengan kompleks, papan
namanya bergambar seekor naga merah yang me?nyembur?
kan api dengan tulisan "Dragon Pool".
Rupanya itulah tempat yang akan kami tuju.
Les memarkir motor di bagian tempat parkir yang
176 Isi-Omen2.indd 176 011/I/13 sudah ditentukan. Aku sudah meloncat turun dari motor
dan sedang melepaskan helm saat terdengar panggilan
dari belakang. "Val!" Kami menoleh dan melihat dua bayangan hitam men?
dekat. Seperti aku dan Les, Erika dan Vik juga mengena?
kan pakaian serbahitam. "Kita kok kayak anggota sekte sesat sih?" tanya Erika
sambil memandangi pakaian kami satu per satu.
"Sekte Dewi Matahari," seringaiku. "Rupanya kita kena
rekrut juga." Erika tertawa ngakak. "Pasti karena gratis permen. Gue
susah nolak kalo dikasih gratisan."
"Apa-apaan sih ada sekte Dewi Matahari segala?" tanya
Vik bingung. "Nama sekte kok cupu gitu?"
"Eh, jangan kurang ajar." Erika pura-pura menghardik.
"Sekte Mesir kuno, gile."
"Nggak ngerti sama sekali," dengus Vik masam.
Les menepuk bahu Vik yang cemberut. "Udahlah,
terima aja. Kita emang udah tua dan ketinggalan zaman,
nggak bakalan ngerti lelucon yang lagi beken."
"Ini bukan lelucon yang lagi beken," kata Erika men?
jelaskan. "Ini cerita karangan si Daniel..."
"Oh, iya, kenapa kamu tiba-tiba main sama mereka
lagi?" sela Vik tak senang. "Kukira kalian musuhan."
"Nggak lagi kok," kata Erika.
Sambil berjalan, dia mulai bercerita dengan bangga
tentang kejadian dia memukuli ketiga cowok malang itu.
Dari tampang Erika, sepertinya dia mengharapkan sejenis
tepukan atau pujian dari Vik saat ceritanya selesai, tapi
seperti biasa, muka cowok itu malah makin bete saja.
177 Isi-Omen2.indd 177 011/I/13 "Dasar cowok-cowok penjilat," cibirnya. "Kok maumau?nya dipukuli gitu sih? Aku curiga si Daniel itu ada
hati sama kamu." "Nggak mungkin."
Aku berusaha membekap mulut Erika, tapi cewek itu
ber?kelit dengan gampang sambil mencerocos riang,
"Daniel kan naksir berat sama Valeria."
Oh, God, kenapa semua perhatian jadi tertuju padaku?
Gawat. Mana saat aku memalingkan wajah, Les yang ber?
jalan di sampingku ikut memiringkan kepalanya untuk
memandangi wajahku. Aku jadi bisa memahami perasaan
si tikus Jerry saat dipojokkan oleh Tom dan teman-teman?
nya. "Nggak kok, biasa aja."
"Katanya dia mainin piano lagu First Love-nya Utada
Hikaru buat lo malem-malem!"
Rasanya kepingin mengubur diri di tempat sampah
ter?dekat. "Kayaknya dia mainin lagu itu buat semua
cewek yang dia telepon deh. Habis, permainannya perfect
banget." Begitu aku menyelesaikan kalimat itu, aku tahu aku
sudah mengucapkan kata yang salah.
"Perfect lho!" teriak Erika dengan mata terbelalak lebar
banget. "Kalo si Daniel denger, dia pasti loncat-loncat
kegirangan. Kemaren itu dia bilang, dia minder main
piano di depan cewek yang udah terbiasa konser solo."
Arghhh. Kenapa semua ini makin memalukan saja? "Bu?
kan konser kok. Cuma resital piano biasa. Udah deh,
nggak usah dibahas lagi. Kita jadi nyari si Andra atau
nggak?" "Jadi," sahut Erika cepat-cepat seolah-olah takut ren?cana
kami jadi batal. "Gue udah nyusun rencana ba?gus."
178 Isi-Omen2.indd 178 011/I/13 "Halah, rencanamu nggak pernah bagus," cela Vik.
"Ya deh, rencana lo yang superbagus. Tiap kali selalu
nyuruh-nyuruh gue nyamar jadi transeksual," balas
Erika. Oke, muka Vik berubah lucu sekali. Sepertinya dia ingin
tertawa keras-keras, tapi mungkin karena ingin mem?per?
tahankan wibawa?atau imej-nya yang bete senantiasa?
dia berusaha membekukan wajahnya. "Aku nggak pernah
menyuruhmu jadi transeksual kok."
"Pernah!" bantah Erika sengit. "Waktu gue disuruh
jadi cowok jelek berkumis!"
"Eh, Ngil, waktu itu kan kamu lagi dicari-cari semua
orang, jadi makin bagus kalo kamu semakin nggak mirip
dengan muka aslimu. Lagian, dengan rambut sependek
itu, kamu mau nyamar jadi cewek juga nggak akan di?
terima masyarakat, kali!"
"Cih, dasar pengusaha, ngomongin soal nipu masya?
rakat mendadak jadi jago," cibir Erika.
Melihat wajah Vik yang tampaknya masih enjoy me?
nerus?kan perdebatan, aku buru-buru menyela, "Ka, jadi
lo punya rencana atau nggak?"
"Punya dong," sahut Erika langsung tampak pongah.
"Gini caranya. Pertama-tama, Val, lo dan Les masuk ke
sana sebagai pasangan yang lagi mesra-mesranya."
Aduh. "Kenapa harus gue dan Les? Kan lo sama Vik
udah resmi pacaran, lebih enak kan gaya-gaya gitu."
"Siapa bilang?" balas Erika. "Gue sama si Ojek ini
kagak ada mesra-mesranya sama sekali. Nggak bakalan
bisa nipu masyarakat deh!"
"Sekarang kamu mendadak jadi jago nipu masyarakat
juga," cela Vik. 179 Isi-Omen2.indd 179 011/I/13 "Ah, diem lo!" hardik Erika, lalu tampak malu saat Vik
berbalik memelototinya. "Tuh kan, gue nggak bakat
bertingkah-tingkah mesra. Pokoknya, gue bakalan bikin
malu kita semua deh. Mendingan lo sama Les aja."
Aku masih ingin memprotes, tapi Les mendahuluiku
dengan menyahut santai, "Oke. Aku setuju. Lalu?"
Mendengar rencananya disambut baik, Erika makin
bersemangat. "Nah, sambil berlagak mesra, kalian scan
ruangan itu, ada si Andra nggak? Begitu ketemu..."
"Emangnya kita tau muka si Andra?" tanya Les bi?
ngung. "Cih, gue kira lo jago ngegali informasi," cela Erika. "Val,
lo bawa kertas-kertas yang dikasih Bu Rita nggak?"
"Bawa," sahutku sambil membuka ritsleting kantong
yang berada di sisi dalam jaketku. "Bentar, ya."
"Siapa Bu Rita?" tanya Vik.
"Kepala sekolah kami."
"Jadi, kalian mengemban tugas dari kepala sekolah?"
tanya Vik kaget. "Lo kira gue mengemban tugas dari setan?" balas Erika
tak senang. "Yah, dari tampangmu sih..."
Aku cepat-cepat mengeluarkan kertas-kertas dari Bu
Rita sebelum Erika dan Vik mulai bertengkar lagi. "Ini
dia. Ini formulir biodata si Andra. Cuma fotokopian
sih, dan fotonya pas foto gitu, tapi cukup keliatan,
kan?" "Udah hafal mukanya belum, Les?" tanya Erika dengan
gaya pemimpin militer sejati. "Pokoknya lo cari yang
muka?nya sengak-sengak aja. Nah, begitu dapet, kalian
pura-pura bertengkar. Mungkin ceritanya si Les pegang180 Isi-Omen2.indd 180 011/I/13 pegang si Val, terus si Val nggak suka. Jadi Val kesel,
nabok muka Les sampe bonyok, lalu berlari ke cowok
ter?dekat untuk minta perlindungan. Kebetulan cowok itu
adalah si Andra. Nah, Val, lo cepet-cepet bilang, ?Eh,
cowok ganteng, anterin gue pulang dong, cowok gue
brengsek nih!? Nah, begitu lo bawa Andra keluar, giliran
gue dan Vik yang beraksi buat interogasi dia dengan
kejam dan tak berperikemanusiaan. Sejauh ini ada
pertanya?an?" "Jadi," kata Les serius, "intinya, kami berdua berkorban
supaya kamu dan Vik bisa beraksi?"
"Ya iyalah," sahut Erika seolah-olah ini adalah cara
paling tepat dan tak perlu dipertanyakan lagi. "Lo kira
dia mau jawab kalo kita tanyain dia di depan semua
anggota gengnya? Lagian, cuma orang bodoh yang mau
beraksi di sarang musuh. Mending kita giring dia keluar,
lalu kita gebukin sampe mati."
"Gila, cewekku emang luar biasa brutal," kata Vik
prihatin, lalu mengaduh saat perutnya disodok Erika.
"Oh iya, lo jangan pake kacamata." Erika mendadak
mencomot kacamata yang bertengger manis di hidungku.
"Sini, gue simpenin dulu. Lo kan harus gaya-gaya cewek
cakep yang agak-agak jutek. Kacamata bikin tampang lo
jadi keliatan terlalu kalem."
"Emangnya Val bisa ngeliat tanpa kacamata?" tanya
Les kaget bercampur tak setuju.
"Bisa kok," sahutku tanpa memberitahu bahwa se?
betulnya mataku sama sehatnya dengan matanya.
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, beres. Kalian nggak usah banyak bacot lagi, ya!"
kata Erika sambil mendorong kami masuk ke dalam
ruangan biliar. "Dalam melaksanakan tugas-tugas mulia,
181 Isi-Omen2.indd 181 011/I/13 harus ada orang-orang yang rela berkorban. Kali ini
korban?nya kalian berdua. Gih, sana berkorban!"
Begitu memasuki ruangan itu, kami berdua tahu
bahwa kami tak punya pilihan lain. Apalagi ada beberapa
orang yang langsung menoleh ke arah kami. Tanpa
banyak bacot, Les melingkarkan tangannya ke bahuku.
"Maaf, ya," bisiknya di dekat telingaku. "Kalo kamu
nggak seneng, bilang aja sama aku. Kita bisa lupain ren?
cana ini dan beralih ke rencana B. Tarik si Andra keluar
secara paksa dan hajar semua yang berani meng?
halangi." "Jangan!" ucapku dengan gaya manja palsu. Sesaat Les
tampak bengong melihat perubahan raut wajahku, tapi
aku tidak peduli dan meneruskan ucapanku dengan gaya
yang sama. "Kalo cuma begini nggak susah sama sekali
kok. Kamu sama sekali nggak usah khawatir."
Cowok itu semakin bengong saat aku menyentuh
ujung hidungnya dengan sok akrab. Kali ini aku tertawa
sungguhan. "Les, kalo kamu bengong terus, samaran kita bisa ter?
bongkar." "Oh, sori." Les buru-buru mengubah raut wajahnya
dan menyeringai lebar. "Kita harus berakting supermesra,
ya?" Jadi, dengan akting seperti itulah, kami berdua mulai
mengelilingi ruangan biliar yang rupanya cukup luas dan
ramai. Meski ada penerangan di setiap meja biliar yang
kira-kira berjumlah selusin, ruangan itu tidak terangterang amat. Kurasa penyebabnya adalah asap rokok
yang diembuskan oleh hampir setiap orang yang berada
di dalam ruangan itu. Tenggorokanku jadi serasa kering
182 Isi-Omen2.indd 182 011/I/13 mencium bau yang tak mengenakkan itu. Gawat, semoga
saja besok aku tidak batuk.
"Kamu pake parfum apa?"
Eh? Aku mendongak pada Les, dan agak shock melihat
cowok itu berdiri terlalu dekat denganku. "Nggak pake
parfum kok." "Kok bisa wangi banget?"
"Ada-ada aja kamu," kataku geli. "Kita ada di ruangan
yang bau rokok banget begini, dan kamu masih bisa
bilang wangi banget?"
"Itu menandakan kamu memang wangi banget, Val,
sampe bisa ngalahin semua bau-bauan di ruangan ini."
Oh, God. Cowok ini memang pandai membuatku degdegan.
Sambil melangkahi tumpahan minuman yang tidak
dibersihkan di lantai, aku mengalihkan topik, "Omongomong, Erika benar juga. Bahaya banget kalau kita mem?
buat keributan di markas mereka. Emangnya kamu tau
berapa jumlah anak geng Rapid Fire di sini?"
Meski topik pembicaraan kami serius, aku berbicara
dengan gaya seolah-olah sedang bercanda dengan Les,
dan Les menanggapiku dengan sikap yang sama pula.
"Jumlah pastinya nggak, tapi minimal dua puluh lima
orang. Yah, kalo kamu mau, kita bisa panggil tementemen dari Streetwolf."
"Jangan. Aku nggak mau membahayakan orang lain.
Bikin susah kamu sama Vik aja aku udah nggak enak."
Senyum Les yang begitu dekat dengan wajahku mem?
buat?ku menahan napas saking groginya. "Aku sendiri
yang bilang, kalo kamu datang ke sini, kamu harus bawa
aku. Jadi ini semua emang kemauanku kok. Dan satu
lagi, Val," aku mendongak heran padanya, "kamu ini
amazing banget." "Thank you." Aku menyeringai senang. "Kamu juga
amazing. Dan kamu bener-bener baik deh, Les, mau ber?
susah payah membantu kami seperti ini."
Les tertawa. "Nggak juga. Aku cuma baik sama kamu
kok." Kenapa? Kenapa dia hanya baik padaku?
Sebelum aku mengucapkan pertanyaan itu, Les sudah
mengedikkan kepalanya dan berkata, "Sepertinya yang
itu si Andra. Menurutmu gimana?"
Aku menoleh sambil berusaha kelihatan tidak terlalu
mencolok ke arah yang ditunjuk Les. Cowok yang di?
maksud tidak terlalu mirip dengan orang yang kulihat di
pas foto. Rambut cowok ini jelas lebih panjang dan be?
rantakan dengan kumis yang mulai menebal, mana baju?
nya dekil banget, lagi. Tapi wajah itu... Ya, tak salah lagi.
Mata yang tajam menusuk, hidung yang agak besar, bibir
yang tebal dan kaku. Astaga, cowok seperti ini yang per?
nah diperebutkan banyak cewek? Apa cewek-cewek itu
buta semuanya? Kuharap Reva tidak meninggal gara-gara
cowok yang tampak tak berguna ini.
"Kok tampangnya nggak meyakinkan?" gumam Les.
"Kamu yakin mau terusin rencana ini?"
"Nggak apa-apa kok," ucapku. "Lagian juga cuma
sebentar. Terus aku bakalan serahin dia ke Erika dan
Vik." Les masih tampak ragu sejenak sebelum akhirnya ber?
kata, "Oke deh kalo begitu. Good luck, ya."
183 Isi-Omen2.indd 183 011/I/13 Aku tahu, inilah saatnya kami harus melakukan ade?
184 Isi-Omen2.indd 184 011/I/13 gan bertengkar. Jadi, meski masih betah dekat-dekat de?
ngan Les, aku pun menarik diri darinya dengan muka
semarah mungkin. "Mulai sekarang kita putus!" teriakku berang.
Les tertegun sejenak. Aku tidak tahu apakah itu cuma
akting atau dia benar-benar kaget melihat penampilanku.
"Val, jangan gitu dong..."
"Jangan pegang-pegang lagi!" Aku menepis tangan Les
yang diulurkan padaku. "Aku benci sama kamu!"
"Val, jangan pergi dulu. Aku benar-benar minta
maaf...." Les merenggut tanganku, dan aku langsung menampar?
nya. Ups. Sepertinya terlalu keras.
"Mulai sekarang, lebih baik kita nggak berhubungan
lagi!" kataku dingin, lalu berbalik dengan gaya pede ala
cewek cantik dan memandangi banyak mata yang sedang
menonton kami. Lalu, aku berjalan ke arah Andra sambil mengibaskan
rambut. "Mau nganterin gue pulang?"
Andra menoleh ke arah temannya dan mengangkat
alisnya dengan gaya sok. Jelas dia mengira dia dipilih
ka??rena paling tampan di situ. Dasar cowok memuakkan.
"Boleh-boleh aja. Yuk, kita jalan."
Wah, semua ini jauh lebih gampang daripada yang
kuduga.... Eh, tidak juga. Ampun deh, cowok ini bau banget!
Sudah berapa hari sih dia tidak mandi? Gila, aku harus
mengeluarkan kemampuan bernapas dengan mulut!
"Jadi rumah lo di mana?" tanya Andra sambil ber?jalan
di sampingku. 185 Isi-Omen2.indd 185 011/I/13 "Ehm, di Kompleks Brawijaya," sahutku sekenanya.
"Hadiputra Bukit Sentul? Wow, anak tajir rupanya."
Hmm, dia belum tahu rumahku yang sebenarnya. Tapi
tak ada gunanya menyombong di depan cowok berandal
ini. Bisa-bisa rumahku malah dijebol seperti yang terjadi
pada sekolah kami. "Kok bisa main di kompleks kumuh
begini?" "Iya, diajak cowok gue... eh, mantan cowok sialan itu.
Kalo tau dia orangnya brengsek begitu sih, gue nggak akan
mau diajak ke tempat beginian."
Aku membuka pintu biliar sambil nyengir di dalam
hati. Cowok gembel di sampingku ini sama sekali tidak
berniat membukakanku pintu. Selain jelek dan bau, sifat?
nya juga tak ada keren-kerennya sama sekali.
"Emangnya dia apain lo, sampe lo kesel begini?" tanya
si gembel dengan nada jelas-jelas kepingin tahu.
"Itu urusan pribadi gue," ketusku.
"Jangan gitu dong," kata Andra dengan nada me?
maksa. "Gue yang bakalan nganterin lo pulang. Jadi se?
harusnya lo jawab semua pertanyaan gue!"
"Cuma nganterin gue pulang, lo langsung mau minta
macem-macem?" Aku mendengus. "Ngaca dulu, man!"
"Lo kira lo bisa kurang ajar sama gue, hanya karena
lo cewek tajir?" Andra merenggut bahuku. "Gue justru
pa?ling benci tipe kayak elo!"
Aku sudah siap menjotos cowok kurang ajar itu, tapi
rupanya aku sama sekali tak perlu beraksi. Tahu-tahu saja
Erika dan Vik muncul dengan muka mirip malaikat dari
neraka, menarik bahu Andra dengan kompak, lalu me?
lemparkannya ke pojokan gelap di sudut tempat parkir
motor. Aku sedang menepuk-nepuk bahuku yang sempat
diremas cowok bau itu, berharap bisa mengenyahkan
kuman apa pun yang sempat menempel di situ, saat Les
muncul dari belakangku. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya sambil menatapku
de?ngan khawatir. "Nggak," sahutku sambil tersenyum berusaha meyakin?
kan. "Ini mah nggak ada apa-apanya."
Tapi sepertinya Les tak percaya, soalnya dia langsung
ber?jalan maju, menggantikan Erika yang me?nekan Andra
ke tembok. Tapi sepertinya Erika tak sudi digantikan.
"Lo kira lo boleh gituin cewek seenak jidat?" tanya
sohib?ku itu dengan muka seram tingkat dewa. "Apa lo
nggak takut dibacok bapak-emaknya? Lo berani pegang
anak gue, gue bakalan potong bodi lo jadi enam belas,
terus gue masak lo pake darah lo sendiri, terus gue kasih
makan ke ikan-ikan gue yang udah haus darah ba?
nget..." "Cukup, cukup!" Vik menghentikan ocehan Erika.
"Kata?nya kamu mau interogasi dia!"
"Oh iya, bener juga." Erika bersungut-sungut. "Gantiin
gue, Les!" Tanpa bicara Les menggantikan tempat Erika yang
langsung menepuk-nepuk tangannya. Mungkin Erika
sama seperti aku tadi, takut kalau-kalau kuman?atau
minimal kutu?si Andra menempel padanya. Setelah itu,
dia merogoh kantongnya dan mengeluarkan kacamataku
dari sana. Begitu menerima kembali kacamataku itu, aku
se?gera mengenakannya. "Thanks," jawabku lega. Entah kenapa, tanpa kacamata,
186 Isi-Omen2.indd 186 011/I/13 aku merasa rapuh dan tak terlindungi.
Erika mengangguk kaku, lalu berpaling kembali pada
Andra dan berkata sambil menggeram. "Sekarang kita
masuk ke pokok permasalahan. Eh, Gembel, katanya lo
dulu pacaran sama Reva, ya?"
Wajah Andra yang tadinya sudah pucat kini bertambah
pucat. "Kalian... kalian ini siapa?"
"Kami ini malaikat keadilan yang ditugaskan untuk
men?cari tahu penyebab kematian Reva yang sesungguh?
nya," kata Erika gagah. "Dan sejumlah oknum memberi?
tahu kami bahwa elo ada hubungannya dengan kejadian
itu." Meski jawaban Erika kedengaran ngasal, Andra tidak
terlihat lebih santai. Dia malah semakin menggigil. "Itu
fitnah! Gue nggak ada hubungan apa-apa dengan kejadi?
an itu! Sumpah!" "Nggak usah pake sumpah palsu segala!" bentak Erika.
"Lo kira gue percaya? Udah gue bilang, gue ini malaikat.
Emangnya gue nggak bisa bedain omongan jujur sama
tipuan? Eh, kalo lo nggak kepingin dipermak sama dua
pesuruh gue yang udah gatel ini, lebih baik lo ngomong
sejujurnya. Kenapa Reva bisa mati ngenes gitu?"
"Itu kan cuma kecelakaan! Dia kepeleset..."
"Jek, cabut idungnya!"
Tanpa banyak bicara Vik menarik hidung Andra sam?
pai cowok itu megap-megap. "Ampun, ampun! Iya, gue
salah inget, itu bukan kecelakaan..."
"Jek, lepasin dia dulu. Kita kasih dia kesempatan lima
detik." Dengan patuh Vik melepaskan hidung Andra yang
187 Isi-Omen2.indd 187 011/I/13 langsung menghirup udara dengan rakus.
"Eh, mana jawabannya?" bentak Erika sangat tak se?
nang. "Jangan bernapas lama-lama, O?on! Jek, tutupin
lagi akses udaranya!"
"Jangan, jangan!" jerit Andra saat Vik mengulurkan
ta?ngannya yang membentuk capit. "Oke, gue akan cerita?
in semuanya! Kematian Reva emang bukan kecelakaan,
tapi dia... dia sengaja."
Jawaban itu sama sekali tidak kami sangka-sangka.
"Lo yang bener aja!" bentak Erika sambil mendorong
kepala Andra. "Mana mungkin ada orang mau bunuh
diri di kolam renang kosong gitu? Nggak gengsi, tau!"
"Bukan, bukan bunuh diri!" sahut Andra panik. "Itu
emang kecelakaan! Ada satu temennya yang bernama
Chalina..." "Ya, kami udah kenal!" sela Erika tak sabar. "Lalu?"
"Chalina udah ngejar-ngejar gue dari dulu, tapi gue
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhirnya pacaran sama Reva. Jadinya Chalina dendam
banget sama Reva dan suka ngerjain Reva. Akhirnya Reva
nggak tahan juga diteror sama Chalina terus. Dia bilang,
kalo ada kesempatan, dia mau bikin Chalina kapok
dengan pura-pura terluka. Gue rasa, dia pura-pura jatuh
ke kolam renang, mungkin supaya kakinya terkilir atau
apa, tapi nggak taunya kepalanya malah terbentur
begitu...." Andra mulai tersedu sedan. Kutatap cowok bau itu de?
ngan penuh rasa kasihan. Ternyata dia sangat mencintai
Reva. "Cuma itu yang gue tau," isaknya. "Jadi, tolong lepas?
in gue!" 188 Isi-Omen2.indd 188 011/I/13 Sialan. Ternyata dia menangis karena takut, bukan ka?
189 Isi-Omen2.indd 189 011/I/13 rena mencintai Reva. Aku benar-benar goblok sempat
tertipu olehnya. "Terus, kenapa lo mendadak nyolong di kantor kepala
sekolah?" tanya Erika lagi.
"Itu... itu bukan kemauan gue. Temen-temen gue bu?
tuh duit, dan kebetulan gue tau si Rita lagi nyimpen
duit sumbangan di situ. Nggak ada hubungan sama ke?
jadian Reva kok. Sumpah!"
"Sumpah-sumpah palsu mulu," gerutu Erika sebal.
"Orang ini benar-benar nggak ada gunanya. Ya udah,
lepas?in aja!" Begitu Les dan Vik melepaskan cengkeraman mereka,
Andra langsung ngibrit sekencang-kencangnya. Astaga,
cowok itu benar-benar pengecut!
"Kamu percaya sama dia?" tanya Vik. "Asal tau aja,
me?nurutku, dia bukan orang yang kata-katanya bisa di?
pegang." "Yang lebih penting lagi," kata Les sambil memandangi
arah yang dituju Andra, yaitu Dragon Pool, "orang itu
kayaknya bukan orang yang bersedia dipukuli begitu aja.
Gue curiga dalam hitungan menit dia bakalan bawa
temen-temen gengnya ngejar kita."
"Kalo gitu, kita kabur!" kata Erika sambil berjalan ke
tem?pat parkir. "Emangnya kita bodoh, mau tunggu dike?
royok sama para pecundang bau gitu?"
"Iya, ya," aku membuka mulut. "Tuh orang bau ba?
nget, ih!" "Ya iyalah. Hidup di tempat bau rokok, nggak mandi,
belum lagi keringetan, pasti dong baunya kayak sampah!
Cih, gue sampe mau muntah tadi deket-deket dia. Ayo,
kita pulang aja dulu..."
190 Isi-Omen2.indd 190 011/I/13 Mendadak kami sadar kami sedang dibuntuti orang
ba?nyak. Serempak kami menoleh.
Dan tampaklah seluruh anggota Rapid Fire berdiri di
belakang kami. 191 Isi-Omen2.indd 191 011/I/13 SELAMA beberapa saat aku hanya memperhatikan barisan
yang membentuk pagar di belakang kami itu.
Awalnya, aku merasa agak keder juga. Ini pertama
kali?nya aku menghadapi begitu banyak orang. Dua
puluh orang, atau kemungkinan besar lebih. Mana se?
bagian besar di antara mereka tinggi besar, tidak kalah
ukur?annya dengan Vik dan Les. Perasaan kederku agak
ber??kurang saat menyadari aku tidak sendirian. Ada
Erika, Les, dan Vik bersamaku. Aku pasti akan baikbaik saja.
Seperti yang sudah diduga Les, Andra berdiri di bela?
kang seseorang bertubuh tinggi besar bermuka gelap
yang sepertinya ketua geng mereka. Dari mukanya yang
cengeng, kelihatan banget Andra sedang mengadu. Aku
mengatupkan mulutku rapat-rapat, berusaha me?nahan
tawa. Habis, tampangnya cupu habis.
"Itu mereka!" katanya dengan suara tinggi seperti ce?
wek yang sedang histeris. "Mereka yang tadi nyiksa
gue!" "Cih, idung dibekep aja dibilang udah nyiksa, gimana
kalo gue potong semua jari lo?!" bentak Erika sambil ber?
192 Isi-Omen2.indd 192 011/I/13 kacak pinggang, membuat Andra makin mengkeret di
be?lakang orang yang dimintainya pertolongan. Lalu,
tanpa rasa takut sedikit pun, Erika melayangkan pandang?
an pada setiap orang yang mendatangi kami itu. "Dan
kalian semua, malu bener jadi pesuruh si cengeng ini!
Kalo gue jadi kalian sih, mendingan ganti nama dan ope?
rasi muka!" Kami semua tercengang saat cowok bertubuh tinggi
besar yang tadinya bergaya-gaya melindungi Andra ma?
lah memukul kepala si Andra dengan pukulan backhand
sempurna, membuat Andra terpelanting ke belakang.
"Kami bukannya pesuruh si cengeng ini. Tapi kami
juga nggak seneng kalo ada yang berani ngacau di
daerah kami." Tatapannya beralih ke orang di sampingku
alias Les. "Lo Leslie Gunawan, kan? Emangnya kami per?
nah bikin masalah apa sama Streetwolf?"
"Masalah ini emang nggak ada hubungan langsung
dengan Rapid Fire dan Streetwolf," kata Les dengan nada
tajam dan dingin. Oke, ternyata kalau mau, cowok ini
bisa menakutkan juga. "Masalahnya, temen kecil lo itu
udah bikin ulah di sekolah temen gue dengan melibat?
kan nama geng. Tentu aja sebagai temen, kami nggak
bisa berpangku tangan."
"Bikin ulah apa?" tanya si cowok bertubuh tinggi be?
sar sambil mendekat. Ternyata, setelah agak dekat, ukur?
an bodinya memang sedikit lebih besar daripada Les
mau?pun Vik yang tingginya sudah di atas rata-rata manu?
sia biasa. Bisa dibilang cowok baru ini gorila banget.
"Sekolah apa yang kalian maksud?"
"SMA Harapan Nusantara!" Erika angkat bicara. "Te?
men begeng kalian itu ngaku bahwa dia disuruh nge?
193 Isi-Omen2.indd 193 011/I/13 bantu kalian ngedobrak masuk ke ruangan kepala se?
kolah kami. Asal tau aja, yang kalian dobrak itu daerah
gue. Jadi bagus juga elo-elo muncul di sini. Gue jadi bisa
minta pertanggungjawaban kalian." Erika menatap wajah
orang-orang yang menghadang kami itu satu per satu
dengan tatapan tajam penuh selidik. "Yang mana aja
yang berani masuk ke daerah gue waktu itu?"
Wajah si pemimpin geng tampak kesal saat Erika
menyinggung masalah pendobrakan itu. Sepertinya dia
sendiri juga tidak menyukai ulah teman-temannya, tapi
dia berusaha menyembunyikan hal itu. "Kami nggak
akan serahin temen-temen kami sendiri pada orang lain.
Kalo lo mau, biar kami tangani masalah ini dengan cara
kami sendiri. Gue jamin orang yang bersalah akan kami
hukum dengan pantas. Tapi nggak berarti kalian boleh
nyentuh anggota kami seenak jidat. Karena, itu berarti,
kalian harus berhadapan dengan seluruh geng kami."
"Sori-sori aja, emangnya atas dasar apa kami harus
percaya lo bakalan menghukum oknum-oknum yang
bersalah?" cibir Erika pada orang yang nyaris berukuran
dua kali lipat daripada tubuhnya itu. "Siapa tau, bukan?
nya menghukum mereka, lo malah langsung beri mereka
penghargaan tertinggi karena mereka udah bikin prestasi.
Kalo lo emang punya iktikad baik, seharusnya lo serahin
anggota-anggota lo yang bikin masalah itu. Sama aja
dengan kami. Kalo ada anak buah kami yang berani
bertingkah di daerah lo, gue bakalan lemparin dia ke
hadapan lo. Tapi kalo emang lo tetep mau ngumpetin
anggota geng lo yang salah, ya udah, bring it on. Emang?
nya gue takut dikeroyok sama seluruh anggota geng
ini?" 194 Isi-Omen2.indd 194 011/I/13 "Gue saranin sih, biar amannya, lo serahin aja anggotaanggota lo yang udah bikin masalah," kata Les di?ngin. "Lo
nggak akan mau deh, cari perkara sama kami."
"Ngaca dulu, kalian cuma berempat! Kami," si gorila
me?mandangi rekan-rekannya, berusaha menghitung jum?
lah mereka namun sepertinya gagal, "banyak ba?
nget." Erika tertawa sambil melambai dengan gaya meremeh?
kan. "Kalo kalian butuh segitu banyak orang cuma untuk
ngelumpuhin empat orang, sepertinya kalian semua
letoy-letoy banget. Gede badan doang! Hahaha."
Muka si gorila berubah. Lalu dia mengedikkan kepala
pada empat cowok di sisi kanannya. Isyarat yang cukup
mudah dimengerti. Rupanya harga dirinya terusik juga
mendengar kata-kata Erika yang penuh hinaan itu. Jadi
dia memutuskan untuk bertanding secara adil.
Kasihan banget. Bisa-bisanya dia masuk dalam jebakan
Erika. Empat cowok yang dimaksud segera maju untuk meng?
hadapi kami. Dari tampang-tampangnya, jelas yang meng?
hadapi Les dan Vik saja yang serius, sementara yang
berhadapan denganku dan Erika tampak cengar-cengir.
Mereka bakalan menghadapi kejutan dahsyat deh.
Aku bisa melihat Erika yang bersemangat banget meng?
hadapi lawannya, sementara Les dan Vik tetap kalem
se?perti biasa. Aku berpaling pada cowok di depanku, co?
wok dengan muka penuh jerawat dan seringai yang
bikin muak. "Aduh, cewek begini manis kok mau-mau aja sih di?
ajak rusak begini?" tanyanya dengan nada dimanis-manis?
in. 195 Isi-Omen2.indd 195 011/I/13 Aku tidak berminat menyahutinya sama sekali.
Terdengar seruan dari sebelah kami. Aku curiga cowokcowok sudah mulai berantem, tapi aku tidak mem?per?
hatikan lagi karena begitu mendengar teriakan, lawanku
juga sudah mulai menyerang. Cowok itu mengulurkan
tangannya, seolah-olah ingin mencolek pipiku atau men?
jambak rambutku. Aku siap mematahkan tangannya, tapi
mendadak cowok itu berteriak kesakitan sambil me?me?
gangi tangannya. Aku menoleh ke samping, dan ku?
dapati Les sedang nyengir padaku. Tangan kirinya men?
cengkeram lawannya sementara tangan kanannya
me???mukuli muka si malang itu, sementara kaki kanannya
yang tadi digunakan untuk menendang tangan lawanku
masih terangkat. "Hei," dia mengedipkan sebelah mata dengan gaya
kocak sekaligus charming, "sori nggak sengaja, ada yang
nyasar." Meski tak merasa perlu dilindungi, aku cukup terpe?
sona dengan aksi plus senyumnya yang memang keren
banget. "Thank you."
"Dengan senang hati."
Matanya mengerling saat lawanku mulai menerjang
lagi. Aku hanya bengong saat Les melemparkan lawannya
kuat-kuat ke arah lawanku sampai dua-duanya ter?
pelanting ke samping. Dia meringis saat melihat kedua
musuh kami terguling-guling ke arah tumpukan sampah
dan terkubur di bawahnya. "Ups. Bakalan bau seumur
hidup tuh." Mau tak mau aku tertawa melihatnya. Cowok itu nye?
ngir padaku, lalu mengikuti pandanganku ke arah Erika
dan Vik. Tawaku makin keras saat melihat Erika me?
196 Isi-Omen2.indd 196 011/I/13 nendang-nendang lawannya yang sudah tak berkutik,
sedangkan Vik menyeret lawannya dan melemparkannya
ke arah si pemimpin geng gorila.
"Cuma segini nih?" tanya Vik masam. "Nggak ada
apa-apanya." Tentu saja si pemimpin gorila jadi berang. "Hajar se?
mua?nya!" Wow. Kali ini mereka tidak segan-segan lagi rupanya.
Ada empat yang menyerbu ke arahku, sedangkan dari
ekor mataku aku menangkap enam sosok menerjang Les.
Wah, ini berarti seluruh pasukan sudah me?ngeroyok
kami. Menarik juga. Seperti pernah kubilang sebelumnya, aku me?nguasai
kickboxing. Sebenarnya, berhubung aku digembleng oleh
dua pelatih kawakan, aku jadi sangat ahli dalam bidang
ini. Jadi, kalian jangan heran kalau aku selalu memulai
seranganku dengan tendangan keras. Saat melihat anakanak tolol ini menyerbuku de?ngan membabi buta, aku
menarik napas, memasang kuda-kuda, lalu memberikan
sebuah tendangan memutar ke arah wajah seorang
cowok yang segera terpelanting dan menghantam teman
di sebelahnya. Malang bagi si cowok pertama, malam ini
aku mengenakan sepatu bot bersol tebal. Besok mukanya
pasti parah banget. Si cowok kedua lebih beruntung,
meski?pun dihantam teman sendiri bukanlah sesuatu
yang menyenangkan pula. Lawan ketiga rupanya membawa pisau. Aku bisa
melihat kilatannya saat benda itu diarahkan ke mukaku.
Aku agak telat berkelit. Tangannya menyenggol kaca?mata?
ku dengan begitu keras sehingga benda itu terjatuh. Aku
mencoba merunduk untuk memungutnya, tapi benda itu
197 Isi-Omen2.indd 197
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
011/I/13 ter?lihat sudah rusak. Ah, sudahlah, aku toh tak benarbenar memerlukannya.
Pada saat merunduk, aku melihat kelengahan yang di?
per?buat lawanku. Jadi kusapukan kakiku pada kakinya
dan membuatnya terjerembap. Pisau yang di?pegang?nya
terjatuh di dekat kakiku. Sang pemilik berusaha me?
raihnya, tapi aku lebih cepat.
Berkat bayangan yang ditimbulkan lampu jalanan, aku
menyadari bahwa saat aku sedang memungut pisau,
lawan terakhirku rupanya berencana menyerangku dari
belakang. Begitu kuraih pisau itu, aku langsung meng?
hantam?kan gagangnya ke belakang, tepat ke muka si
pe??nyerang yang langsung menjerit-jerit sambil me?me?
gangi gigi depannya yang kena hantam. Rasanya ber?
salah juga, sudah merusak penampilannya, tapi itu jauh
lebih baik kan, daripada aku menghantamkan bagian
tajam pisau ini? Si lawan ketiga berusaha bangkit untuk melawan lagi,
tapi aku tidak membuang-buang waktu. Kutancapkan
pisau yang masih berada dalam genggamanku itu dalamdalam di sela-sela kaki si lawan ketiga (aku beruntung
tanah yang kami injak ini tidak terlalu keras. Kalau
tidak, bisa-bisa gayaku jadi tidak keren). Tak lama ke?
mudi?an terlihat cairan basah mengaliri tanah. Ugh, aku
paling sebal kalau ada lawan kalah yang mengompol
begini! Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin aku yang
keterlaluan sih. Kulayangkan pandangan sekilas pada keempat lawan?
ku. Lumayan, dalam waktu singkat semua sudah tepar
begitu. Mungkin keempat orang ini anggota geng paling
lemah, atau mungkin juga mereka terlalu meremehkanku.
198 Isi-Omen2.indd 198 011/I/13 Yang jelas, dari kami berempat, rupanya aku orang per?
tama yang berhasil melumpuhkan semua lawanku.
Erika, seperti biasa, tidak mengalami kesulitan apa-apa.
Malahan kini dia yang mengejar-ngejar satu-satunya
lawan?nya yang tersisa dengan muka supermaniak. Ku?
harap cowok malang itu tidak trauma seumur hidup.
Kondisi Les dan Vik jauh lebih memprihatinkan. Mereka
dikeroyok anggota-anggota geng bertubuh paling besar
yang mirip kelompok werewolf dalam film New Moon.
Beberapa membawa senjata pula. Perkelahian me?reka
jauh lebih brutal dan berdarah-darah daripada yang ku?
alami. Untungnya, meski sudah melumpuhkan separuh
la?wan mereka, kedua cowok itu belum terluka sama se?
kali, meskipun dari napas mereka yang ngos-ngosan aku
tahu mereka sudah bertempur dengan sekuat tenaga.
Salah satu lawan Les menerjang maju sambil meng?
ayun?kan tongkat yang dibawanya. Les berkelit seraya
me?nangkap tangan yang memegangi tongkat itu. Lawan
lain mengayunkan pisau, dan Les menangkisnya dengan
menggunakan tongkat yang kini diperebutkan oleh diri?
nya dan lawan sebelumnya. Lawan terakhir menggunakan
batu bata untuk menghantam kepala Les, dan kusadari
Les terlalu sibuk mengurus dua lawan pertama untuk
memperhatikan yang terakhir ini.
Jadi, tanpa berpikir panjang lagi, aku menendang batu
bata itu hingga terpental. Si pemilik tampak kaget, demi?
kian pula orang yang nyaris diserangnya tadi.
"Thank you," ucap Les, nyaris terdengar santai.
"Anggap aja bayar utang yang tadi."
Les tertawa. "Waduh, repot juga kalo main hitunghitungan begini." Dia menyundul kepala si pemegang
199 Isi-Omen2.indd 199 011/I/13 tongkat yang langsung melepaskan senjatanya karena
kesakitan, lalu dengan menggunakan tongkat itu Les me?
mukul lutut si pemegang pisau yang langsung jatuh
sambil berteriak. Lawan yang senjatanya kupentalkan itu rupanya tak
se?nang dengan kelakuanku. Mendadak saja dia meng?
anggapku lawannya. Dari ukuran badannya, jelas orang
ini tidak bisa disamakan dengan para penyerangku se?
belumnya. Tapi tak masalah. Aku sudah sering me?lawan
orang-orang bertubuh besar, apalagi orang ini cuma
seorang diri. Aku merunduk saat orang itu melayangkan tamparan?
nya. Kusapukan kakiku untuk menendang bagian be?
lakang lututnya. Orang itu langsung terjatuh dalam
kondisi berlutut gara-gara seranganku. Posisi yang pas
ke?tinggiannya itu membuatku melancarkan satu tendang?
an lagi ke muka lawanku itu. Tak kuduga, dia sempat
menangkis tendanganku yang sudah termasuk cepat itu.
Tanpa sempat berpikir lagi aku menggunakan tangan
kananku untuk menonjok mukanya. Tapi lagi-lagi, ta?
ngan kananku dihentikan dengan satu cengkeraman. Aku
meringis saat dia memiting tanganku.
Sialan. Sepertinya orang ini memang bukan lawan
gampangan. Tapi aku juga bukan lawan gampangan. Aku masih
punya tangan kiri, meski tangan kiriku tidak cukup ber?
tenaga seperti tangan kananku. Oke, aku tak suka me?
lukai orang secara kejam, tapi aku tahu ter?kadang kita
harus melakukannya demi menyelamatkan diri sendiri.
Jadi kugunakan jari-jari di tangan kiriku untuk mencolok
mata cowok malang itu. 200 Isi-Omen2.indd 200 011/I/13 Tentu saja si cowok malang langsung berteriak-teriak
kesakitan sambil melepaskanku. Kugunakan kesempatan
itu untuk menendang mukanya sekali lagi, dan seperti?
nya kali ini mengenai hidungnya (aku tidak tahu ke?
napa, tapi sepertinya hidung selalu merupakan sasaran
yang menyenangkan). Setelah itu, cowok itu jadi terlalu
sibuk mengurus rasa sakitnya sampai-sampai aku tak di?
pedulikan lagi. Jadi aku beralih pada Les, dan melihat cowok itu
sedang berantem dengan bos geng Rapid Fire.
Rasanya begitu menakjubkan, melihat cowok keren itu
melawan orang yang lebih tinggi satu kepala daripada
dirinya. Tapi Les sama sekali tidak kelihatan kewalahan,
meski sebelumnya dia sudah mengalahkan lima orang.
Rasanya aku bisa melihat bagaimana otaknya bekerja de?
ngan cepat, memikirkan bagaimana caranya mengalahkan
orang yang lebih kuat darinya?seperti yang sudah biasa
ku?lakukan. Tentu saja, itu berarti mengincar titik-titik
ter?lemah dalam tubuh lawan.
Si bos gorila meninju ke arah muka Les, dan keuntung?
an menjadi cowok yang lebih pendek adalah mudah se?
kali menghindar sambil merunduk (aneh sekali mengata?
kan Les cowok yang lebih pendek, karena dia jauh lebih
tinggi daripada semua cowok di sini. Memang si gorila
saja yang kelewatan tingginya). Les menyelinap melalui
bawah lengan si gorila, lalu dari arah belakang dia me?
miting lengan si gorila ke atas. Lalu, dengan gerakan
yang terlihat ringan (tapi pastinya tidak ringan), Les
menarik si gorila yang tadinya berteriak itu hingga ter?
lempar ke belakang. Ouch. Kuharap kepala si gorila tak apa-apa.
201 Isi-Omen2.indd 201 011/I/13 Sebelum si gorila sempat berkutik, Les sudah meng?
injak lehernya. "Udah gue bilang, lo seharusnya nggak cari perkara
sama kami," kata Les dingin. "Suruh semua anak buah
lo minggir. Buruan!"
Sebagian anggota Rapid Fire sudah terluka, tetapi
masih ada yang cuma mengalami luka-luka kecil dan
siap menyerang lagi. Mendengar teriakan bos mereka,
semua?nya mundur dengan muka kecut. Kurasa mereka
juga ngeri menghadapi orang yang sanggup menunduk?
kan bos mereka. Kulihat sebuah bayangan siap melarikan diri.
"Hei, jangan kabur!" teriak Erika sambil mengejar
orang itu, yang ternyata adalah Andra.
Rasanya mau tertawa saat melihat Andra berlari ke
arah?ku. Mungkin dia pikir akulah yang paling lemah di
antara kami berempat?dan kemungkinan besar itu ada
benarnya, tapi tak berarti dia sanggup menghadapiku.
Dia mencoba menerkamku, seolah-olah ingin menjadikan?
ku sandera, tapi aku berkelit dan mengangkat kakiku se?
cukup?nya untuk menyengkat cowok goblok itu.
Saat dia berusaha berdiri lagi, aku menginjak pung?
gung?nya. "Kompakan denganku nih, ceritanya?"
Aku menoleh pada Les yang berbicara padaku sambil
nyengir dan tertawa. Memang gaya kami berdua mirip
banget. Bedanya, si bos gorila yang diinjak Les berbaring
telentang sementara si Andra tertelungkup.
"Yahhh!" Erika menghampiriku dengan muka kecewa.
"Padahal udah gue uber-uber, kok yang dapet dia malah
elo? Nggak adil!" Cewek itu mengucapkan kalimat ter?
202 Isi-Omen2.indd 202 011/I/13 akhir sambil menendang kepala Andra yang langsung
men?jerit-jerit kesakitan. "Dasar cowok nggak berguna!
Jadi mangsa pun percuma, bikin gue keluar tenaga siasia, napas gue yang berharga jadi..."
"Cukup, cukup!" Vik menarik Erika mundur. "Bisa-bisa
kepala tuh orang jadi peyang gara-gara kamu."
"Ya, justru itu yang gue inginkan!" bentak Erika sambil
memasang kuda-kuda untuk menendang lagi.
"Cukup, cukup!" Vik menarik Erika lagi sampai cewek
itu nyaris terjungkal. "Kamu mau urusan ini cepet beres,
nggak?" "Nggak," sahut Erika sambil cemberut, tapi setelah itu
dia tidak lagi mengincar Andra yang kini terisak-isak
lega. "Jadi?" tanya Les pada si gorila dengan tatapan penuh
intimidasi. Bisa kulihat, si gorila, meskipun marah, mulai
takut pada Les. "Siapa aja yang terlibat dalam pen?
dobrakan itu?" Melihat si gorila enggan menjawab, Les
mengangkat alis. "Mau gue rusakin pita suara lo? Jadi
orang bisu nggak enak lho."
Setelah diancam begitu, si gorila mulai keder juga.
"Andra, tentu aja. Selain itu ada Heri, Roni, sama
Nepil..." "Eh, sialan!!!" bentak Erika dengan kemarahan yang
tak bisa ditutup-tutupi lagi. "Nggak usah ngebohongin
kami, ya! Lo kira kami nggak nonton Harry Potter? Apaapaan lo, main comot nama doang?! Gue malah baca
ketujuh novelnya! Lo udah baca?"
"Belum," aku si gorila dengan muka bingung, seolaholah dia tidak mengerti kenapa mendadak dia didamprat
se?demikian rupa. "Tapi gue serius. Itu anak-anak nama?
203 Isi-Omen2.indd 203 011/I/13 nya emang Heri, Roni, sama Nepil. Eh, Heri! Roni!
Nepil!" "Iya, Bang." Oke, tiga oknum yang dimaksud sama sekali tidak
mirip Harry Potter, Ron Weasley, maupun Neville
Longbottom, karakter-karakter beken dalam serial Harry
Potter tersebut. Mereka cuma preman-preman biasa ber?
postur sedang, bermuka nyaris cupu yang tak pantas
banget dimiliki anak-anak dalam profesi mereka, dan
berambut mirip semak-semak. Pokoknya sama sekali
tidak istimewa, kecuali bahwa luka-luka mereka lebih
banyak daripada yang diderita rekan-rekan mereka yang
lain. Oh ya, aku ingat. Ini kan anak-anak cupu yang
pertama-tama menjadi lawan kami!
Menemukan sasaran baru untuk dibentak-bentak mem?
buat Erika tampak lebih bersemangat.
"Eh, lo!" hardiknya pada anak yang paling pendek
mungil. "Lo kan yang tadi pertama gue gebukin sampe
terkaing-kaing itu! Nggak gue sangka, orang yang gue
cari ternyata udah di depan mata sedari tadi. Nama lo
siapa?" "Nepil..." "Dasar goblok!" Erika memukuli kepala anak malang
itu. "Mana ada nama kayak Nepil begitu? Masa bisa-bisa?
nya lo punya nama yang cuma satu-satunya di seluruh
Indonesia ini? Nggak masuk akal!"
"Iya, itu julukan saya," sahut si Nepil takut-takut.
"Emang niru dari film Harry Potter..."
"Dasar goblok!" teriak Erika, sekali lagi memukuli ke?
pala si anak malang. "Lo tau nggak, di dunia ini ada
orang-orang yang menganggap Harry, Ron, dan Neville
204 Isi-Omen2.indd 204 011/I/13 itu semacam dewa? Berani-beraninya lo nyamar jadi
orang sekeren itu! Jadi, siapa nama asli lo?"
"Nopi, Kak." "Nama kok kayak cewek?" Untuk ketiga kalinya si
anak malang mendapat pukulan di kepala. "Pasti lahir
bulan November, ya? Cepet ngaku!"
"Iya, Kak." "Cih," dengus Erika. "Kalo mau nyamar, pake nama
Snoopy kek, lebih mirip daripada Neville. Meski muka lo
kagak ada lucu-lucunya dibanding Snoopy sih. Sekarang,
cepet ngaku, kenapa lo bisa ngedobrak kantor si Rita?"
"Si Rita?" "Kepsek gue, O?on!" Tidak perlu kujelaskan lagi kan,
bahwa lagi-lagi si anak malang dengan nama kelahiran
Nopi ini kena hajar Erika? "Ngapain lo buka-buka kantor
dia?" "Diajak Andra, Kak."
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Diajak Andra?" Kini perhatian Erika beralih ke Andra
yang masih menggeliat-geliat di bawah kakiku. "Kata lo,
lo yang disuruh orang. Val, injek kepalanya!"
Berhubung aku tidak ingin jadi sasaran kemarahan
Erika?atau mungkin aku memang diam-diam kepingin
memukuli cowok menyebalkan yang hobi berbohong
itu?kulakukan perintah Erika dengan senang hati. Tentu
saja aku tak bakalan melakukannya dengan kasar?bagai?
manapun, aku tak ingin otak Andra yang sudah terbatas
itu makin terganggu saja. Jadi kutendang ringan
kepalanya. Tapi dasar cowok lemah, pukulan yang begitu
remeh pun diterimanya sambil meraung-raung. Yah,
setidaknya Erika tak jadi memprotesku karena sudah
berbaik hati pada cowok blo?on tersebut.
205 Isi-Omen2.indd 205 011/I/13 "Jadi, siapa yang mau ceritain kebenarannya?" Erika
me?melototi semua orang. Tentu saja, pelototan terakhir
dihadiahkannya pada Nepil, maksudku Nopi, yang
berdiri paling dekat dengannya. "Elo! Gue kepingin tau
lo sejujur nama lo apa nggak. Jadi, lo tau alasan si
Andra ngajakin lo ngedobrak kantor kepala sekolah?"
"Kami mau ngincar duitnya, Kak!"
"Itu sih orang buta-tuli-bisu juga udah tau!" Kasihan
betul si Nopi. Untuk keempat kalinya dia menerima
keplak?an di kepalanya. "Duitnya buat apa?"
"Duitnya seharusnya buat bagi-bagi di antara kami ber?
empat, tapi akhirnya keburu ketahuan polisi. Kata Andra,
kepala sekolahnya itu jahat, suka korupsi. Jadi daripada
duitnya diambil sendiri sama si kepala sekolah, mending?
an kami yang ngambil. Toh kami semua orang miskin
yang memang layak dapet duit amal."
Tanpa komen apa-apa, Erika berderap ke arahku, lalu
jongkok di depan Andra dan menjambak rambut cowok
itu. "Sekarang lo ngaku, sebenarnya apa motif lo
ngebongkar kantor kepala sekolah! Kalo lo nggak mau
kasih tau, percaya deh, lo bakalan tamat malam ini juga.
Seluruh geng lo aja bisa kami habisin, apalagi cuma lo
seorang diri yang letoy begitu!"
Berbeda dengan tadi, kini Andra sudah tidak kelihatan
kepingin kabur lagi. Mungkin dia sudah menyadari
bahwa tak ada orang di dunia ini yang bisa melindungi?
nya. Bahkan kemungkinan besar anggota gengnya sendiri
bakalan menghajarnya habis-habisan setelah ini, lantaran
dialah yang menyebabkan geng mereka dipermalukan
besar-besaran begini. "Gue nggak bohong!" raungnya. "Si Rita itu memang
kurang ajar. Dia cuma kepala sekolah biasa, sekolahnya
bukan sekolah yang hebat banget pula, tapi kenapa dia
bisa punya rumah bagus dan mobil mewah? Pasti dia
korupsi!" "Eh, tolong ngaca sedikit bisa, nggak?" bentak Erika
sambil menarik-narik rambut Andra sampai-sampai aku
takut cowok itu bakalan jadi botak setelah kejadian ini.
"Yang suka korupsi itu bapak lo, bukan si Rita! Si Rita
itu kepala sekolah, jadi yayasan sekolah kita minjemin
dia rumah sama mobil. Kalo dia berhenti jadi kepala
sekolah, barang-barang itu juga diambil balik. Jadi lo
jangan asal nuduh! Terus apa lagi? Bukan cuma karena
lo kira si Rita korupsi kan, lo ngedobrak gitu? Duitnya.
Rencana lo mau pake duitnya buat apa?"
"Nggak tau. Gue disuruh Indah."
"Indah?" Informasi tak terduga ini membuat kami
semua kaget. "Indah sepupu Reva?"
"Bener. Kata Indah, dia tau siapa yang menyebabkan
kematian Reva. Tapi untuk membongkar pelakunya, dia
butuh duit amal itu. Jadi gue disuruh nyolong."
Aku dan Erika berpandangan. Satu misteri mem?bawa
kami ke misteri berikutnya. Bagaimana cara kami menge?
tahui apa yang diketahui Indah, kalau cewek itu juga
sudah mati? "Lo bukan ngarang-ngarang supaya lepas dari masalah
ini, kan?" tanya Erika sambil menarik-narik rambut
Andra lagi. "Bukan, Kak. Sumpah!"
"Sumpah lo palsu, dan gue bukan kakak lo! Panggil
206 Isi-Omen2.indd 206 011/I/13 gue Miss!" 207 Isi-Omen2.indd 207 011/I/13 "Miss." Andra menuruti permintaan itu dengan culun?
nya. Erika melepaskan rambut Andra dan berdiri menatap?
ku. "Jadi kita harus gimana?"
Aku menggeleng tanda tak tahu. "Tapi gue rasa urusan
kita udah selesai di sini."
Erika mengangguk, lalu berkata pada Andra, "Kalo lo
ada info lagi, kasih tau kami, ya! Seandainya sampe gue
tau lo nyembunyiin sesuatu, gue akan kejar elo sampe
ke neraka. Ngerti?" Andra mengangguk dengan muka horor. "Iya, Miss."
"Lo juga, Nop!" Erika menoleh garang pada Nopi yang
tadinya sudah tampak rileks tapi kini mendadak tegang
lagi. "Kalo ada apa-apa, kasih tau gue. Juga dua konco
begeng lo ini, mengerti?"
"Ya, Miss." "Bagus!" Erika mengangguk-angguk senang. "Kita
cabut, yuk!" Aku melepaskan Andra yang langsung merangkak pergi
dengan terbirit-birit bagaikan kecoak. Sementara itu, Les
juga melepaskan si gorila, yang kini berdiri menjulang di
antara kami. Mukanya gelap luar biasa.
"Gue nggak akan lupain hari ini, Leslie Gunawan!"
katanya dengan nada mengancam.
"Ya, mendingan lo jangan lupa," balas Les tidak kalah
garang. "Inget, lo nggak akan menang ngelawan kami.
Dua orang dari Streetwolf aja sanggup mengobrak-abrik
seluruh Rapid Fire, apalagi kalo sampe seluruh anggota
geng kami turun tangan."
Si gorila menatap Les dengan muka penuh kebencian.
"Ayo, kita pergi!"
Dengan begitu, berlalulah seluruh anggota Rapid Fire
dari hadapan kami. "Nggak apa-apa, Les?" tanyaku pada Les dengan kha?
watir. "Sori, jadi bikin seluruh Streetwolf ikut terlibat."
"Nggak apa-apa, Val," geleng Les sambil tersenyum.
"Emang harus terlibat kalo begini caranya. Aku nggak
ingin Streetwolf disangkutpautkan dengan masalah yang
diakibatkan Rapid Fire. Bermusuhan dengan mereka akan
jauh lebih baik bagi kami."
"Tapi lo ternyata boleh juga." Erika menyenggol-nyeng?
gol Les. "Bisa-bisanya lo ngalahin raksasa jelek gitu.
Bener nggak, Val?" "Kamu juga oke." Les menyeringai. "Sama seperti yang
di?katakan Vik padaku."
"Oh, ya?" Erika menoleh pada Vik dengan penuh rasa
ingin tahu. "Emangnya lo ngomong apa sama dia, Jek?"
"Aku bilang sama dia," kata Vik datar, "kamu brutal
abis." "Dan kamu, Val," aku berpaling pada Les dan tidak
mem?perhatikan apa yang diucapkan Erika untuk mem?
balas Vik, "kamu benar-benar cewek paling luar biasa
yang pernah kutemui."
Aku agak canggung saat cowok itu memungut kaca?
mataku yang rusak dan mengamati benda itu sejenak.
"Udah rusak kayaknya," kataku.
"Aku bisa benerin sih, tapi kurasa kamu lebih milih
beli yang baru, ya," kata Les sambil tersenyum. "Kalo
begitu, yang ini bisa kusimpan?"
"Buat apa?" 208 Isi-Omen2.indd 208 011/I/13 "Kenang-kenangan malam ini."
209 Isi-Omen2.indd 209 011/I/13 Sahutan itu terdengar ringan, tapi setiap kata-katanya
menyentuh hatiku yang paling dalam. "Oke."
"Thanks." Dia memandangiku dengan penuh rasa
ingin tahu. "Kamu benar-benar bisa melihat meski tanpa
kaca?mata?" Aku mengangguk. "Iya."
"Lalu kenapa kamu pakai kacamata?"
Aku tidak punya jawaban lain selain, "Biar nggak ke?
lihat?an." Aku tahu, jawaban itu aneh banget. Orang lain meng?
guna?kan kacamata supaya bisa melihat, aku mengguna?
kan kacamata supaya tak terlihat. Tapi memang itulah
yang sebenarnya. Kenyataannya, aku sudah melewatkan
hampir setengah tahun tanpa diperhatikan oleh peng?
huni satu sekolah?sampai saat aku bertemu dengan
Erika, tentu saja, dan itu pun dengan pikiran "bisa-bisa?
nya si cupu itu nyari mati deket-deket sama makhluk
pa?ling sangar di sekolah kita" di kepala mereka.
Kusadari Les sedang memandangku dengan tatapan
aneh yang sering kulihat di wajahnya. "Kenapa kamu
nggak ingin kelihatan?"
Sulit untuk kujelaskan. Dulu aku begitu ingin dilihat.
Pesta-pesta dengan begitu banyak orang berseliweran,
orang-orang menyalami ayah dan ibuku, terkadang ada
yang mengomentari tingkahku yang sopan dan wajahku
yang mirip ibuku, tapi tak ada yang benar-benar mem?
perhatikanku. Bahkan orangtuaku. Dan betapa inginnya
aku dilihat pada saat itu, betapa aku berharap orangorang menatapku dengan takjub dan orangtuaku me?
mandang bangga. Tapi kini, setiap kali aku melakukan sesuatu yang
210 Isi-Omen2.indd 210 011/I/13 mencolok sedikit saja, ayahku bakalan nongol dengan
badan dan muka bagai beruang bete, mencelaku supaya
melakukan sesuatu dengan lebih baik dan benar. Tak per?
nah ada satu pun prestasiku yang cukup di mata ayahku.
Padahal aku sudah berusaha amat sangat keras, sudah
berjuang dengan seluruh tenaga yang kumiliki. Dan
sekarang aku sudah capek sekali. Sudahlah, lebih baik
aku tidak terlihat saja. Mungkin ayahku bakalan lebih
senang kalau beliau tak pernah memiliki seorang anak.
Memikirkan semua itu membuat tenggorokanku ter?
cekat. "Eh, masih ngobrol aja!" sela Erika. "Kita udah dapetin
semua yang kita inginkan malam ini. Yuk, kita pulang
aja!" Dari cara Erika merangkul bahuku, aku tahu sebetulnya
dia mendengar pembicaraan kami. Dia sengaja menyela
su?paya aku tidak perlu menjawab Les. Aku memang ti?
dak ingin menyahut pertanyaan itu. Terlalu menyedih?
kan. Dan menyakitkan. "Thanks, Ka," ucapku pelan.
"Iya, gue tau. Lo emang selalu butuh bantuan gue kok.
Sayangnya, gue nggak selalu ada." Dia menunjuk ke arah
yang berlawanan dengan yang seharusnya kutuju. "Kami
parkir di situ. Lo parkir di sebelah sono, kan? Baik-baik,
ya!" Dia mendelik ke arah Les. "Jangan macam-macam
sama temen gue, ya."
"Sampai besok." Vik menepuk bahu Les, lalu ter?se?
nyum sekilas padaku sebelum akhirnya pergi bersama
Erika. "Sori." Aku menoleh pada Les yang tersenyum penuh sesal.
211 Isi-Omen2.indd 211 011/I/13 "Sepertinya aku udah nanyain sesuatu yang sensitif,
ya?" Aku membalas senyumnya. "Nggak apa-apa. Cuma
emang ada hal-hal yang nggak ingin kubahas."
"Oke," angguk Les. "Aku janji nggak akan nanya yang
aneh-aneh sama kamu. Tapi, kalo aku keceplosan, kamu
nggak perlu menjawab kalo nggak ingin. Oke?"
Aku tersenyum sekali lagi dan mengangguk. "Oke."
"Ya udah. Yuk, aku anter pulang."
Aku menemplok di belakang Les, memasang helm de?
ngan gaya yang mulai ahli. Aku bakalan benar-benar
mem?pertimbangkan untuk belajar membawa motor
sesudah ini. Benda ini keren banget deh.
"Pegangan ya, Val."
Lagi-lagi napasku tersentak saat motor itu meluncur
cepat, keluar dari tempat parkir, lalu menerobos ke?gelap?an
malam. Selama beberapa saat, hanya ada motor, angin
malam, aku, dan Les. Rasanya begitu damai dan menenang?
kan. Les berhenti di dekat rumahku, tepat di tempatnya
parkir tadi. Aku melepaskan helm dan menyerahkannya
pada Les. "Thanks, ya, buat malam ini."
"Sama-sama." Jantungku serasa berhenti berdetak. Jari-jari Les yang
me?nerima helm dariku menyentuh jari-jariku dengan
lemb?ut. "Les..." "Kamu amazing banget malam ini, Val," katanya sam?
bil menatapku lekat-lekat. "Belum pernah kutemui cewek
sehebat kamu selama ini."
Ucapannya begitu sungguh-sungguh, sama sekali tidak
212
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Isi-Omen2.indd 212 011/I/13 seperti hendak merayu, membuatku jengah. "Kurang gaul
kali, kamu. Erika aja lebih hebat daripada aku kok."
"Erika emang hebat sih." Les tertawa, sementara jarijarinya tak berhenti memainkan jari-jariku dengan akrab,
seolah-olah dia sudah melakukannya ribuan kali seumur
hidupnya. "Tapi kamu bener-bener luar biasa. Sepertinya,
nggak ada yang kamu nggak bisa, ya."
"Siapa bilang? Banyak yang nggak aku ngerti kok,
seperti..." Seperti sikapmu sekarang ini. Begitulah yang ingin ku?
katakan. Tapi ucapanku terhenti saat Les menarik tangan?
nya dariku, sementara tatapannya yang tajam menerobos
ke belakang punggungku. Aku langsung berbalik dengan
cepat dan waspada, siap menghadapi siapa pun yang
akan menyerang kami di tengah malam buta.
Tapi aku tak pernah bakalan menyangka harus ber?
hadapan dengan orang ini, pada saat tengah malam
begini, di depan Les pula.
"Jadi," kata ayahku dengan suara sedingin es, "apa
penjelasanmu?" 213 Isi-Omen2.indd 213 011/I/13 AYAHKU melangkah pelan-pelan ke hadapanku.
Aku sudah siap diomeli di depan Les, disembur de?
ngan kata-kata penuh kemarahan, atau dihina dengan
kata-kata paling jahat. Tapi seharusnya aku tahu lebih
baik. Sedikit pun ayahku tidak memandang ke arahku.
Dia malah berjalan melewatiku, seolah-olah aku hanya
orang asing yang tidak berarti baginya. Jadi terpaksa aku
yang harus berbalik supaya bisa melihat apa yang akan
dilakukannya. "Jadi, kamu siapanya anak saya?" tanyanya pada Les.
"Ja?ngan bilang kamu teman sekolah Valeria, karena
kamu su?dah terlalu tua untuk itu. Seandainya kamu
memang masih SMA, sebaiknya kamu minggat saja
sekarang se?cepat?nya, karena saya tidak berminat bicara
dengan anak bodoh yang sering tidak naik kelas."
Oh, God. Ini benar-benar memalukan.
"Papa, Les sudah baik banget mau nganterin aku pu?
lang..." "Papa tidak bicara padamu."
Arghhh. Kenapa dia harus begitu kasar padaku di
hadap??an Les? Kenapa dia begitu kasar pada Les? Kenapa
dia bisa memergoki kami begini?
Aku memandangi Les, berharap dia menatapku dan
mem??beriku senyuman bahwa semuanya akan baik-baik
saja, tapi tak sekali pun dia mengalihkan pandangannya
ke arahku. Dia hanya menatap lurus dan tajam pada
ayah??ku. "Om papanya Valeria?"
"Saya ayah Valeria, tapi saya bukan om-mu."
Oh, God. Kenapa aku harus punya ayah seperti ini?
Tapi sedikit pun Les tidak terpengaruh oleh kekasaran
itu. "Saya Leslie Gunawan, Pak," senyum Les tenang dan
kalem, jelas sama sekali tidak terintimidasi oleh sikap
ayah?ku. "Maaf, kita harus ketemu dalam situasi seperti
ini, tapi malam ini kami punya urusan penting yang ha?
rus dikerjakan..." "Urusan seperti apa yang tidak bisa menunggu sampai
pagi?" sela ayahku dingin. "Apa kamu tahu, tidak pantas
mem?bawa anak perempuan keluar malam-malam be?
gini?" Les diam sejenak. "Ya, saya tahu. Maaf."
"Kata maafmu tak akan menyelesaikan masalah, ke?
cuali kalau kamu berjanji tidak akan membawa pergi
anak? saya lagi. Mengerti?"
"Papa!" protesku.
"Diam kamu, Valeria!"
Les memandang ayahku sejenak. "Ya, saya mengerti.
Lain kali saya nggak akan membawa dia pergi malammalam lagi, tapi," ini pertama kalinya tatapan Les tertuju
padaku sejak kami bertemu ayahku, "tolong jangan
214 Isi-Omen2.indd 214 011/I/13 bentak Val. Dia nggak salah apa-apa."
215 Isi-Omen2.indd 215 011/I/13 "Bagaimana saya memperlakukan anak saya adalah
urus??an saya sendiri. Kamu cukup urus dirimu saja. Ge?
landang?an seperti kamu tidak cukup bagus untuk anak
saya." Oh, God. "Ayo, Valeria. Masuk ke rumah."
Aku menoleh pada Les, dan cowok itu tersenyum pada?
ku. "Good night, Val. Sampai ketemu lagi."
Aduh, kenapa dia tidak marah padaku? Kenapa dia
masih bisa begini tenang dan baik hati? Seharusnya dia
sudah kapok berteman denganku, kan?
Aku masuk ke rumah sambil menahan amarah. Na?
mun saat kami masuk ke rumah, melihat Andrew masih
bertengger di depan pintu dengan muka letih ber?campur
prihatin, seluruh kemarahanku pun me?ledak.
"Kenapa Papa begitu jahat pada teman-temanku?" sem?
bur?ku. "Apa yang aku lakukan, itu aku lakukan karena
ke?inginanku sendiri. Aku nggak dibujuk siapa pun. Jadi
ja?ngan timpakan kemarahan Papa kepada me?reka!"
"Papa tidak suka melihatmu bergaul dengan anak se?
macam itu," kata ayahku kaku.
"Anak semacam itu?" tanyaku berang. "Memangnya
anak semacam itu tuh seperti apa?"
"Sudah jelas dia berasal dari keluarga yang berantak?
an," sahut ayahku lagi dengan datar, seolah-olah beliau
sama sekali tidak tergerak oleh sikap kasarku. "Orangtua
dari keluarga baik-baik tak bakalan mengizinkan anaknya
keluar malam-malam begini, apalagi sambil membawa
anak gadis orang." "Memangnya kenapa kalau dia berasal dari keluarga be?
rantakan?" tanyaku sengit. "Memangnya keluarga kita
nggak berantakan? Memangnya keluarga kita utuh dan
bahagia? Seharusnya Papa ngaca dulu sebelum bicara..."
"Valeria!" Suara ayahku menggelegar. "Papa tidak pernah
mengajarimu bersikap kurang ajar begitu!"
"Memang nggak pernah," sergahku. "Ini diturunkan
melalui DNA kok! Papa kira aku dapet gen sifat kurang
ajar dari siapa, coba? Dari Papa juga!" Sebelum ayahku
sempat membalas lagi, aku berkata ketus, "Aku mau
tidur. Ndrew, Andrew juga harus istirahat sekarang. Udah
tua, masih aja maksain diri ngurusin beginian. Lain kali
jangan mau dibangunin!"
Andrew tidak menanggapi ucapanku, melainkan hanya
berkata kalem, "Selamat tidur, Miss Valeria."
"Selamat tidur, Andrew."
Sekali lagi aku dan ayahku bertatapan. Aku tahu kami
berdua sangat mirip saat ini. Marah, dingin, keras kepala.
Tak ada satu pun di antara kami yang sudi me?ngalah.
Tanpa bicara apa-apa lagi padanya, aku pun berbalik
dan kembali ke kamarku. *** 216 Isi-Omen2.indd 216 011/I/13 "Val, gue tau lo lagi depresi, tapi meja ini singgasana
kita di kantin, dan gue nggak mau benda kehormatan
ini retak-retak karena dihantam jidat lo!"
Aku tidak mengindahkan ocehan Erika dan tetap
meng?hantam-hantamkan jidatku ke atas meja. Yah, tidak
keras-keras amat sih?aku kan tidak kepingin benjol?jadi
tak sepantasnya cewek itu teriak-teriak tak senang be?
gitu. "Pokoknya gue nggak mau pulang!" kataku pada meja.
"Mulai sekarang, gue mau jadi gelandangan aja!"
"Halah, cewek yang biasa tidur di ranjang lateks de?
217 Isi-Omen2.indd 217 011/I/13 ngan seprai sutra, dilayani jutaan pelayan dan hansip,
belum lagi ada penunggu setannya..."
"Andrew bukan penunggu setan, tau!" sergahku bete.
"Penunggu setan kek, penunggu hutan kek, whatever,"
sahut Erika santai, sama sekali tak peduli dengan ke?kesal?
anku karena Andrew kesayanganku dihina-hina. "Pokok?
nya lo nggak bakalan bisa survive kalo hidup di dunia
nyata deh." "Lo kira selama ini gue tinggal di mana?"
"Dunia dongeng," sahut Erika dengan tatapan me?
nerawang jauh. "Dunia tempat semua yang tersedia
begitu besar, indah, mewah, menggoda..."
"Eh, kalian lagi ngomongin apa sih, kok Erika muka?
nya genit gitu?" Tiba-tiba Daniel mengempaskan diri di sampingku,
sementara Amir dan Welly mengimpit Erika yang lang?
sung menggelepar-gelepar lantaran kesempitan.
"Apa-apaan sih, deket-deket?" semprotnya pada Amir
dan Welly. "Apa kalian berdua kagak tau bau ketek joinan kalian menguar dengan begitu dahsyatnya?"
"Masa?" Amir mencium-cium bawah lengannya de?ngan
muka tanpa ekspresi. "Nggak ada bau apa-apa tuh."
"Baunya menguar dari elo sendiri, kali!" cela Welly
tam?pak tersinggung. "Gue mah mandi pake sabun ma?
hal, kalo lo kan cuma pake sabun colek!"
"Lo kira gue piring?" bentak Erika lagi. "Lagian, zaman
sekarang piring aja pake sabun cair, masa gue kalah?
Jelas-jelas ini bau dari kalian! Cepetan ngaku!"
"Gawat ya, temenmu ini," kata Daniel padaku. "Kayak?
nya dia selalu bikin keributan di mana-mana."
Mendengarku hanya tertawa suram, Daniel bertanya
218 Isi-Omen2.indd 218 011/I/13 de?ngan prihatin, "Kenapa? Kok hari ini kayaknya muram
banget?" "Mmm, nggak apa-apa sih."
"Tadi malam nggak apa-apa, kan? Aku telepon nggak
di?angkat, soalnya."
Oh, ya. Daniel sempat menelepon saat aku sudah ke?
luar dari rumah. Tapi ponselku sengaja kusetel ke nada
getar. Dalam segala kericuhan, getaran itu nyaris tak ku?
rasakan. "Sori, tadi malam emang rada kacau." Entah kenapa
aku jadi curhat. "Aku diomelin bokapku."
"Kok bisa?" tanya Daniel penuh perhatian. "Kamu kan
anak yang alim banget."
Imej anak alim itu bakalan hancur kalau kukatakan
se?malaman kemarin aku pergi dengan Les?untuk meng?
hajar anak-anak geng motor. "Nggak tau juga deh. Aku
dan bokapku memang punya perbedaan pendapat yang
cukup dalam. Rasanya bete banget tinggal se?rumah."
"Maksudmu?" tanya Daniel lagi. "Kamu kepingin ngekos
gitu?" Aku menghela napas. "Seandainya aja bisa gitu. Tapi,
kalo bokapku tau di mana aku ngekos, bisa-bisa aku di?
seret pulang lagi. Lebih gampang aku hidup nomaden
biar dia nggak bisa nyariin aku."
Daniel tertawa. "Maksudmu kayak gelandangan?"
Aku menatapnya sambil cemberut. "Kamu juga me?ragu?
kan aku?" "Bukan begitu," kilah Daniel cepat-cepat. "Hanya saja
nomaden itu kan bukannya nggak terlihat. Apalagi kalo
kamu jalan kaki dan bokapmu naik mobil. Dalam se?
kejap kamu juga udah dibawa pulang lagi."
219 Isi-Omen2.indd 219 011/I/13 Benar juga sih kata-katanya. "Dengan kata lain, aku
nggak akan bisa lari dari bokapku selamanya."
"Nggak juga." Aku menoleh pada Daniel yang kini menyeringai. "Ke?
betulan aku kenal... orang tertentu."
Tentu saja. Cowok ini kan memang sudah terbiasa ber?
gaul dengan kalangan gelap tingkat tinggi. Gosipnya,
se?tiap bulan Daniel mengadakan permainan poker yang
hanya dihadiri oleh cowok-cowok paling tajir di sekolah,
ter?masuk Amir dan Welly. Beberapa hal misterius me?
warnai permainan poker itu. Pertama-tama, permainan
itu selalu diadakan di tempat yang berbeda-beda. Hanya
para peserta yang diundang yang tahu lokasinya. Jadi,
meski kurasa guru-guru pun mengetahui acara tersebut,
tak ada yang pernah sanggup menggerebeknya.
Kedua, entah bagaimana caranya, permainan itu selalu
di?menangkan oleh Daniel, Amir, atau Welly. Ba?nyak
peserta yang bertekad menguak misteri yang satu ini,
berusaha menandingi kecerdasan otak trio anak preman
paling tangguh di sekolah kami ini. Bagaimana?pun,
mereka toh hanya anak-anak langganan tak naik kelas
yang IQ-nya tak tinggi-tinggi amat. Pasti bakalan ada
yang bisa membongkar kelicikan mereka, kan? Ke?
nyataannya, setelah bertahun-tahun pun, tak pernah ada
yang bisa mengetahui bagaimana cara ketiga cowok itu
melakukan permainan curang mereka.
Cowok yang sudah biasa berkecimpung di dalam du?
nia gelap yang begitu high class seperti ini pasti kenal
be?berapa orang yang bisa membantunya mengurus ber?
bagai "masalah". Mungkin, ada satu atau dua yang bisa
membantu memecahkan masalahku.
"Kamu tau ada orang yang bisa bantuin aku nyari tem?
pat tinggal?" tanyaku penuh semangat.
"Kalo kamu punya duit, apa pun bisa, Val."
"Soal itu nggak masalah," sahutku cepat.
"Oke, kalo begitu. Nanti akan kukenalkan. Tapi mung?
Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kin nggak bisa cepet-cepet, soalnya aku harus kontak
orangnya dulu." "Sip," sahutku girang. "Thanks ya, Niel."
"Nggak usah thanks dulu. Setelah semuanya beres,
kamu bisa traktir aku."
"Oke," janjiku tanpa berpikir panjang.
Aku tidak pernah menduga, janji itu bakalan berakibat
sangat buruk di masa depan.
*** 220 Isi-Omen2.indd 220 011/I/13 "Sekarang penyelidikan kita gimana, Ka?"
Setelah berhasil melepaskan diri dari Daniel dan kedua
rekannya, barulah aku dan Erika bisa membahas tugas
kami. "Besok udah pameran lukisan." Aku menghela na?
pas. "Gue nggak yakin kita bisa memecahkan misteri ini
dalam waktu seharian ini."
"Jelaslah," tukas Erika. "Kita udah usaha mati-matian,
tapi yang kita dapet cuma segini. Si Rita emang kurang ajar,
ngasih tugas kok deadline-nya kayak kebelet pipis gitu.
Pantesan semua bawahannya kelihatan nggak baha?gia.
Yang jelas, saat ini, semua petunjuk kita mengarah pada
Nyi Roro Sekar Mayang 2 Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih Sepasang Iblis Betina 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama