Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
temannya tadinya hendak membantu, akan tetapi
dicegah oleh Pak Loka. Betapun juga, semangat dan
nafsu mereka untuk memancing sudah banyak
berkurang setelah mereka mendengar penuturan
Sekarsih tadi dan kemudian melihat pertapa muda
yang jatuh sakit. Setelah bermufakat mereka lalu
berkemas, kemudian tanpa menanti kembalinya Pak
Madi, mereka membagi-bagi beban dan meninggalkan
tempat itu, merayap naik keatas. Tujuh ekor ikan yang
cukup besar dan sudah diasap mereka bawa pula.
Karena masih merasa penasaran dan hendak
melihat bagaimana keadaan orang muda tadi
selanjutnya, Slamet dan dua orang temannya segera
pergi berkunjung ke rumah Sekarsih setelah menaruh
semua perbekalan mereka di warung Pak Madi yang
juga masih belum pulang. Dan di rumah Sekarsih
mereka mendengar berita yang aneh lagi.
Ternyata ketika Pak Loka dan Sekarsih pulang
menggotong tubuh pemuda itu, dibantu oleh Pak
Madi, setibanya di rumah mereka kaget sekali melihat
pintu rumah mereka sudah dibuka orang. Keadaan di
dalam rumah diobrak-abrik, segala apa diawut-awut.
Jelas bahwa ada orang memasuki rumah dan mencari
Halama 63 / 122 sesuatu. Tempat pakaian Sekarsih dan Pak Loka awutawutan semua, akan tetapi tak sehelaipun pakaian
lenyap, malah ketika diperiksa tidak ada sebuah pun
benda berharga hilang dari rumah.
"Barangku tidak ada yang hilang, Sih.
Bagaimana dengan pakaian-pakaianmu? Ada yang
hilangkah?" tanya Pak Loka.
"Tidak ada, paman. Hanya... hanya buku itu...
hilang..." keduanya saling pandang, terheran-heran
dan berkuatir. Pak Loka mengangguk-angguk dan
keningnya. Akan tetapi selanjutnya karena ada
pekerjaan, yaitu merawat pemuda yang masih
pingsan, mereka tidak memusingkan hal itu lebih jauh.
Berbeda dengan Slamet dan teman-temannya.
Ketika mendengar akan hal ini mereka menjadi
berkuatir sekali. "Kau dan keponakanmu agaknya diselidiki
orang, pak." kata Slamet. "Benar-benar aneh sekali
dan amat mencurigakan. Akan tetapi jangan kuatir,
pak. Kami akan membantumu kalau sampai terjadi
hal-hal yang tidak baik."
Tiba-tiba Rebo menowel tangan Slamet dan
Bejo. Keduanya menoleh dan melihat kearah yang
dipandang Rebo, dan mereka menjadi terharu.
Halama 64 / 122 Sebagai orang-orang yang berpengalaman mereka
melihat betapa Sekarsih sedang merawat pemuda
pertapa itu dengan mesra, melihat betapa tangan
gadis itu dengan gerakan halus menggunakan kain
yang dicelup air panas mengusap-usap dahi orang
sakit itu, betapa pandangan mata Sekarsih bagaikan
melekat pada wajah si sakit yang pucat dan tampan
itu. Ketika mereka mendekat untuk menengok si sakit,
baru Sekarsih seperti sadar dan dengan muka merah
ia tersipu-sipu menarik tangannya, lalu sebagai alasan
akan sikapnya tadi ia berkata lirih:
"Kasihan sekali dia....."
Slamet mengangguk-angguk membenarkan,
hanya dengan maksud untuk menenangkan hati dan
membantu Sekarsih menghilangkan rasa malunya:
"Memang patut dikasihani muda belia yang
malang ini. Ingin aku mengetahui apa gerangan yang
menyebabkan dia meninggalkan dunia ramai
memasuki tempat terpencil seperti Guwolangse.
Masih begini muda hemmm,"
Setelah meninggalkan sedikit uang untuk
membantu membeli obat bagi yang sakit, Slamet dan
teman-temannya lalu meninggalkan rumah Pak Loka.
Sebelum pergi Slamet bertanya:
Halama 65 / 122 "Jadi hanya sebuah buku yang hilang, pak? Buku
apa namanya? Barangkali saja buku ini akan dapat
membawa kita menemukan orang yang telah
memasuki rumahmu." "Anu, nak. Buku eh, apa Sih, nama buku itu?"
"Buku berjudul ?Sepanjang Jalan Raya?, mas
Slamet. Sudah seringkali aku membacanya, kalau tidak
keliru pergarangnya bernama... Jepri... eh, pakai
Parnol-Parnol begitu, sukar sih nama orang asing.
Akan tetapi penterjemahnya adalah K. St. Pamoencak,
aku ingat benar." Slamet mengangguk-angguk. Dia seorang kutu
buku, tentu saja hafal sebagian besar buku-buku
sastera. "Kau pernah membacanya? Coba katakan, siapa
pelaku dalam cerita itu?"
"Oh, aku ingat benar. Namanya Peter..." jawab
Sekarsih. "Tahu aku sekarang. Tak salah lagi. Buku itu
?Sepanjang Jalan Raya?, karangan Jefferi Farnol
diterjemahkan oleh K. St. Pamoencak, terbitan Balai
Pustaka. Baiklah, akan kuingat-ingat benar buku itu."
Halama 66 / 122 Maka pergilah tiga orang pengail itu, kembali ke
warung Pak Madi. Slamet yang ingin bermain ditektip
tidak pergi begitu saja. Lebih dulu ia berputar-putar
diperkampungan itu dan bertanya sana-sini. Akhirnya
usahanya ini memperoleh hasil. Ada orang kampung
situ yang melihat bahwa belum lama tadi sebelum Pak
Loka pulang ia melihat seorang laki-laki bertubuh
tegap berpakaian hitam lewat didekat rumah Pak
Loka! *** Slamet dan teman-temannya berunding di
dalam warung Pak Madi. Rebo dan Bejo mendengar
kan pendapat Slamet yang diantara mereka dianggap
paling cerdik. "Tak salah lagi," kata Slamet. "Tentu ada
rahasia-rahasia aneh mengelilingi diri Pak Loka dan
Sekarsih. Kalau perbuatan-perbuatan yang telah
dilakukan terhadap diri Sekarsih dan di dalam rumah
Pak Loka hanya berdasarkan kecantikan Sekarsih,
sungguh amat mustahil."
"Aku lebih mencurigai Pak Kurdo itu," kata Rebo
mengangguk-angguk. "Jangan-jangan dia itu bukan
seorang nelayan, hanya penjahat menyamar."
Halama 67 / 122 "Cocok dengan dugaanku," kata Bejo sambil
menjedot rokoknya. "Tentu Pak Kurdo yang mencuri
buku itu. Akan tetapi untuk apa?"
"Aku sendiripun tidak tahu dan tak dapat
menduga-duga," kata Rebo.
"Kawan-kawan, kita tak boleh mendiamkan saja
Sekarsih dan pamannya diancam keselamatannya.
Menurut perkiraanku, didalam buku itulah terletak
rahasia semua ini. Aku sendiri menaruh curiga kepada
Pak Kurdo. sekarang lebih baik kita perpanjang
kediaman kita disini, perlu kita menyelidiki keadaan
Pak Kurdo. Kalau memang ada bukti-bukti dia
penjahat, kita harus minta bantuan polisi," kata
Slamet. Semua setuju dan mulailah mereka menjelidiki.
Dengan mudah, karena perkampungan disekitar
Mancingan memang tidak besar, mereka mendapat
keterangan bahwa Pak Kurdo mondok di rumah Pak
Siswo, yang juga membuka warung kecil dekat
pemandian air tawar. Malam itu Slamet, Rebo, dan
Bejo melakukan hal yang selama hidup mereka belum
pernah mereka lakukan, yaitu... menjadi pencuri!
Dengan hati-hati mereka mencuri masuk
kedalam warung Pak Siswo yang nampak sunyi.
Halama 68 / 122 Setelah mendapat kenyataan bahwa Pak Siswo yang
duda itu tidak berada dirumah, demikianpun Pak
Kurdo tidak kelihatan, Slamet dan Bejo memasuki
rumah dengan jalan memaksa pintu belakang terbuka.
Adapun Rebo tinggal diluar untuk menjaga.
Mereka mendapatkan kamar Pak Kurdo yang
kosong. Hanya sehelai sarung tergantung dibilik, dua
bungkus rokok dialas tempat-tidur bambu, sebuah
topi caping di atas korsi. Slamet membuka-buka tikar
dan.... dengan girang ia mengambil sebuah buku.
Dibaliknya lembaran buku itu. Tak salah. Sebuah
buku berjudul "Sepanjang Jalan Raya" karangan
Jeffery Farnol! Segera ia mengajak Bejo keluar dari
kamar itu dan ternyata di luar pun aman saja. Rebo
segera bertanya dengan suara perlahan:
"Sudah dapatkah?"
"Sudah, hayo pergi..." kata Bejo.
"Sstttt..." Slamet menarik tangan kedua orang
temannya diajak menjelinap ketempat gelap.
Terdengar langkah kaki orang, akan tetapi orangnya
tidak tampak. Hanya didalam gelap terdengar suara
ketawa: Halama 69 / 122 "Hah-hah-hah-hah..." Suara ketawa yang besar
dan menyeramkan. "Iblis..." Rebo mengkirik (meremang).
"Sstt...hayo kita kejar dia!"
Slamet mendahului dua orang temannya berlari
mengejar kearah suara ketawa. Akan tetapi tiada
bayangan siapapun juga. Terpaksa mereka lalu
kembali ke warung Pak Madi.
Setibanya di warung, mereka bertiga cepat
membawa buku kedalam bilik, dan memeriksa. Akan
tetapi mereka kecewa karena didalam buku yang
sudah tua dan kuning itu tidak ada apa-apa yang
menarik-hati. Buku tua biasa saja.
"Betapapun juga, kita harus mengembalikannya
kepada Sekarsih besok, sekalian menengok orang
yang sakit itu," kata Slamet.
Malam itu tidak lerjadi sesuatu dan pada
keesokan harinya, pagi-pagi benar Rebo dan dua
orang temannya sudah pergi menuju kerumah Pak
Loka. Ditengahi jalan mereka bercakap-cakap tentang
peristiwa aneh yang mereka hadapi.
"Sstt lihat tuh, apa bukan dia?"
Halama 70 / 122 Tiba-tiba Bejo menudingkan telunjuknya kearah
pantai laut. Betul saja, di sana, di atas pasir di mana air
laut menipis, kelihatan berdiri seorang laki-laki
berpakaian hitam, seorang laki-laki tinggi besar yang
berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua
tangan bersedekap. Orang itu dari jauh saja dapat
dikenal. Pak Kurdo yang berdiri seperti patung.
"Orang aneh" kata Slamet.
"Misterius..." kata Rebo.
"Penuh rahasia" kata Bejo.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan kerumah
Pak Loka. Dengan lega hati tiga orang ini melihat
pemuda pertapa yang kemarin sakit itu kini telah
duduk di bangku depan rumah. Di depannya duduk
Sekarsih dan Pak Loka. Pemuda ini masih agak pucat,
akan tetapi matanya bersinar-sinar, sama sekali tidak
memperlihatkan bekas sakit atau patah hati. Benarbenar seorang pemuda yang tampan. Akan tetapi
diam-diam Slamet tidak suka melihat sepasang mata
pemuda itu yang dianggapnya terlampau tajam, tak
sewajarnya, dan bergerak-gerak liar ke kanan kiri
membayangkan otak yang cerdas luar biasa.
Sekarsih berdiri dengan wajah berseri melihat
ke datangan tiga orang sahabatnya. Dengan senyum
Halama 71 / 122 manis dan wajar gadis itu memperkenalkan pemuda
tadi: "Mas Sutejo sudah sembuh kembali. Mas, inilah
tiga orang sahabat yang kuceritakan padamu tadi."
Sutejo, pemuda itu, cepat bangkit berdiri dan
mengulurkan tangannya. "Banyak terima kasih atas segala bantuan
saudara-saudara kepadaku ketika aku sakit dibawah
sana," katanya. Rebo dan Bejo senang melihat kesopanan dan
keramahan pemuda ini, akan tetapi diam-diam Slamet
merasa bahwa pemuda ini bangun terlalu sigap dan
cepat bagi seorang yang habis sakit. Ah, jangan-jangan
semua perasaanku tak senang ini terjadi karena iri hati
dan cemburu melihat dia begitu baik dengan Sekarsih?
Slamet adalah seorang ahli filsafat, maka dirinya
sendiripun tak luput dari pada penilaiannya. Maka
setelah menuduh bahwa perasaan curiganya itu
timbul dari iri hati dan cemburu, cepat-cepat ia
menindas perasaannya dan ikut bercakap-cakap
dengan gembira. Tanpa di minta lagi Sutejo segera
menceritakan keadaan dirinya.
Dia seorang mahasiswa yang gagal, karena tidak
kuat membiayai keperluannya. Sudah jatim piatu pula,
Halama 72 / 122 tidak ada yang diandalkan. Mahasiswa hukum tingkat
tiga yang gagal. Mula-mula ia masih dapat membiayai
studinya dengan bekerja di waktu malam. Akan tetapi
lama-kelamaan ia merasa tidak kuat. Kalau tekun
bekerja, studinya mundur, kalau tidak bekerja, tidak
ada uang untuk biaya. Akhirnya tentamennya gagal
selalu dan ia putus asa, kemudian ia nekat hendak
bertapa di Guwolangse. Pandai ia bercerita sampai-sampai Rebo dan
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bejo menjadi terharu dan sedih sekali. Mereka
mengeluar kan kata-kata hiburan yang canggung.
Tidak demikian dengan Slamet. Ia berkata
dengan suara tenang: "Sungguh tak baik seorang pemuda berputus
asa menghadapi kegagalan. Kegagalan hidup adalah
ujian, malah merupakan jembatan kearah sukses.
Maka harus dihadapi dengan tabah. Ketidak
mungkinan melanjutkan studi di fakultas pun tak perlu
disedihi kalau memang tidak ada jalan lain lagi untuk
melanjutkan, karena kurasa pengejaran ilmu
pengetahuan bukan hanya melalui bangku-bangku
kuliah. Tak perlu putus asa, tak perlu nekat. Hidup
terlampau indah untuk ditukar dengan kekecewaan
hanya karena tak dapat melanjutkan studi."
Halama 73 / 122 Sutejo memandang kagum, lalu menganggukanggukkan kepalanya.
"Kau betul sekali, Mas Slamet. Terima kasih atas
semua wejanganmu. Memang, sekarang apalagi,
terlihat olehku betapa aku telah menjeleweng, terlihat
olehku betapa indah hidup ini. Kiranya banyak sekali
terdapat keindahan diluar fakultas, hemmm..." dan
matanya yang lincah itu mengerling penuh arti kearah
Sekarsih, sedangkan bibirnya yang tipis tersenyum!
Kiranya hanya Slamet yang merasai ini semua,
karena bagi Rebo dan Bejo, mereka hanya merasa
girang bahwa pemuda ini sudah insaf akan kesalahan
nya, sudah takkan berlaku nekat lagi.
"Hushh... kau iri... kau cemburu... tolol...!"
Slamet memaki diri sendiri. Kemudian ia bertanya
kepada Pak Loka dan Sekarsih:
"Apakah semalam tidak terjadi apa-apa lagi
yang menarik hati?" Pak Loka dan Sekarsih menggeleng kepala.
"Mas Slamet, bagaimana dengan buku kami
yang hilang itu ? Sudah ada keterangankah ?"
Halama 74 / 122 Slamet melirik kearah Sutejo yang memandang
penuh perhatian. Melihat Slamet melirik kearahnya,
Sutejo berkata dengan senyum:
"Dik Sekarsih sudah menceritakan kepadaku
akan semua pengalamannya yang aneh-aneh, mas
Slamet. Akupun merasa heran sekali siapa gerangan
orangnya yang datang mencuri di rumah dik Sekarsih."
Karena pemuda ini sudah tahu semua, kiranya
tak perlu dirahasiakan lagi. Ia mengeluarkan buku
"Sepanjang Jalan Raya" dan berkata:
"Inikah bukumu yang hilang itu?"
Sekarsih menerima buku itu, membuka-buka
halamannya bersama Pak Loka. Sementara itu, Sutejo
tiba-tiba bertanya kepada Slamet:
"Dimana kau menemukannya kembali, mas?"
Ditanya secara tiba-tiba ini, Slamet tetap tenang
dan menjawab: "Ah, kebetulan saja. Kudapatkan diatas pasir
dekat pantai..." Tentu saja jawaban ini membuat Rebo dan Bejo
menjadi kaget dan heran, akan tetapi mereka tidak
bertanya apa-apa. Halama 75 / 122 "Mas Slamet, ini bukan buku kami!"
Pernyataan Sekarsih ini mengejutkan dan
mengherankan hati benar bagi Slamet dan temantemannya.
"Betul, ini kalau tak salah bukan buku kami."
Pak Loka membenarkan. "Memang serupa, akan tetapi...buku kami itu
lebih buruk dan ada tulisan-tulisan di sebelah dalam
sampulnya. Malah ada beberapa bagian sudah robek,
tapi yang ini masih lengkap", kata pula Sekarsih. "Mas,
dimana kau mendapatkan ini?"
Untuk sesaat Slamet tak dapat menjawab,
kehilangan akal. Akan tetapi ia mengerutkan kening
dan berkata sungguh-sungguh:
"Di dekat pantai. Heran benar, mengapa bukan
bukumu? Tak salah lihatlah engkau, Sih?"
"Tak mungkin salah, buku itu kukenal benar!"
jawab Sekarsih. "Kalau begitu, biar kami mencari lagi." Slamet
lalu menganjak teman-temannya pergi dari situ sambil
membawa buku "Sepanjang Jalan Raya" yang katanya
bukan milik Sekarsih yang hilang itu. Mereka tak habis
heran, apa lagi Rebo dan Bejo.
Halama 76 / 122 "Sukar-sukar menjadi maling, kiranya mendapat
kan buku yang palsu." Rebo menggerutu.
Akan tetapi Slamet berpikir lain.
"Kau ingat suara ketawa itu? Sekarang aku
mengerti maknanya. Suara itu sengaja mentertawa
kan kita ! Kurang ajar benar Pak Kurdo itu. Tentu dia
seorang penjahat kawakan yang sengaja mempermain
kan kita." Rebo marah, mengepal-ngepal tinju.
"Awas kau, Pak Kurdo !"
Malam itu tiga orang sekawan ini melakukan
penyelidikan lagi. Mula-mula mereka menjelidiki
tentang dua orang kota yang bernama Rawit dan Picis.
Memang betul dua orang ini kemarin bermalam
diwarung "Indah", akan tetapi menurut keterangan
pemilik warung, pagi-pagi tadi mereka sudah pergi
lagi. Karena tidak bisa mendapatkan keterangan
tentang dua orarg itu, Slamet mengajak temantemannya untuk melakukan pengintaian pada warung
di mana Pak Kurdo mondok.
"Kita harus dapat membongkar rahasianya."
bisik Slamet, "dan kalau memang berbukti dia yang
Halama 77 / 122 mencuri buku, kita harus dapat merampasnya kembali
dan menjerahkannya kepada polisi."
Mereka memang sudah bersiap-siap, maka
sebelum melakukan pengintaian ini mereka tadi sudah
makan sekenyangnya. Siapa tahu pengintaian ini akan
berjalan sampai jauh malam.
Akan tetapi usaha mereka kali ini berhasil.
Menjelang tengah malam, mereka melihat bayangan
tinggi besar keluar dari pintu belakang, lalu bayangan
itu berjalan sambil bersenandung, menembang. Suara
Pak Kurdo ! Bagaikan tiga siluman, Rebo dan dua orang
temannya mengikuti Pak Kurdo. Untungnya malam itu
disinari bulan muda sehingga tak berapa gelap. Dapat
dibayangkan betapa keras debar jantung mereka
ketika mendapat kenyataan bahwa Pak Kurdo berjalan
menuju kerumah Sekarsih !
"Hemmm, tertangkap basah sekarang !" Bejo
berkata menggigit bibirnya.
"Awas, rasakan kau sekarang !" kata Rebo
sambil mempersiapkan senjatanya, yaitu... senar
pancing lengkap dengan pancing dan bandulnja!
Yangan dikira ini senyata yang tidak ampuh, dia
menjom-bong tadi didepan kawan-kawannya, ikan hiu
Halama 78 / 122 sebesar paha yang terkenal ganas kalah oleh senyata
ini, apalagi baru seorang-dua orang penjahat. Huh!
Akan tetapi, tidak mereka sangka sama sekali,
Tiba-tiba bulan tertutup awan dan orang yang mereka
ikuti lenjap didalam gelap. Tiga sekawan ini tidak
menjadi bingung karena mereka sudah menduga
keras bahwa Pak Kurdo tentu pergi kerumah Sekarsih,
maka mereka langsung saja menuju ke perkampungan
itu. Malam telah larut, semua penduduk telah tidur.
Keadaan sunyi sekali. Bulan telah muncul kembali dari
balik awan. Juga rumah Sekarsih sunyi. Beberapa kali
mereka berjalan mengelilingi rumah, namun tidak
melihat atau mendengar sesuatu. Bayangan Pak Kurdo
lenyap. "Setan, kemana dia?"
Slamet berbisik, penasaran.
"Sialan, dia tadi menghilang. Jangan-jangan
tidak ke sini?" bisik Bejo.
Setelah menanti beberapa lama dan tidak juga
mendapatkan seuatu; tiga orang ini terpaksa
meninggalkan rumah Sekarsih. Mereka berjalan
dengan hati kecewa. Tiba-tiba Bejo menudingkan
telunjuknya kedepan: Halama 79 / 122 "Ssttt...itu dia..."
Sesosok bayangan orang berjalan dari depan.
"Tangkap saja, paksa dia mengaku !"
Rebo tak sabar lagi, pancing dan bandul sudah
diputar-putar ditangan kanannya.
Slamet merasa ada baiknya juga menakutnakuti Pak Kurdo dan memaksa dia mengaku tentang
buku yang dipalsu. Tiga orang itu menjelinap ditempat
gelap dan begitu bayangan itu datang dekat, mereka
melompat dan dilain saat orang itu sudah mereka
ringkus bertiga. Orang itu mencoba untuk melepaskan
diri, namun sia-sia. "Eh... eh... apalagi ini...? Lepaskan aku" Orang
itu berseru. "Lho! Ini... Pak Loka...!" Slamet dan temantemannya kaget sekali dan melepaskan ringkusan
mereka. "Wah, darimana kau, pak? Malam-malam kok
berada disini ?" Bejo bertanya, heran dan juga malu
karena mereka telah salah-tangkap.
Halama 80 / 122 "Aduh, kiranya nak Rebo, nak Slamet dan nak
Bejo. Waah, bikin kaget orang-tua saja. Kukira dia lagi
yang menangkapku..."
"Dia siapa, pak?" tanya Slamet.
"Dia...dia setan barangkali. Tadi aku keluar dari
rumah perlu kebelakarg, eh... mendadak aku
dipegang, mulutku dibungkam dan aku diseret sampai
kesini, aku aku dipukuli... dipaksa mengaku tentang
buku catatan... dipaksa mengaku tentang Sekarsih..."
"Jahanam...!" Bejo marah sekali dan cepat ia
menengok kekanan-kiri. Melihat kalau-kalau orang
yang melakukan hal itu masih ada disana. Akan tetapi
di kanan-kiri tempat itu sekelilingnya sunyi saja,
kecuali suara gema ombak yang bergemuruh di pantai.
"Dia siapa, pak ?" tanya Slamet penuh gairah.
"Entahlah, ia berkedok, akan tetapi kuat bukanmain. Dia kueljawab sebetulnya bahwa memang buku
yang dia maksudkan itu telah lenjap dicuri orang elan
tentang Sekarsih, tentu saja aku mengaku terus terang
bfthwa Sekarsih adalah keponakanku, bahwa ayahbundanya telah meninggal..." orangtua ini terengahengah, nyata ia marah dan penasaran. "Kurang ajar
benar, orangtua dipukuli, ditampari sesukanya. Iblis
dia...!" Halama 81 / 122 Slamet dan teman-temannya menduga keras,
bahkan yakin, bahwa yang melakukan hal itu tentulah
Pak Kurdo. Mereka segera mengantarkan Pak Loka
pulang, kemudian langsung mereka menuju kerumah
Pak Kurdo. Tak boleh orang itu dibiarkan saja
mengganas, demikian kata Bejo.
"Sekarang juga kita harus menghajarnja!" kata
Rebo. "Akan tetapi, kurasa itu kurang bijaksana.
Pertama, kita belum memperoleh bukti nyata. Kedua,
tak baik malam-malam mendatangi rumah orang dan
membikin ribut seperti kelakuan penggedor-gedor."
Slamet berkata hati-hati. "Lebih baik kita mengintai
disana, menanti sampai pagi, barulah kita tegur dia
dengan berterang saja."
Akan tetapi, ketika mereka tiba diatas pasir
pantai tak jauh dari Mancingan, mereka melihat
bayangan orang menggeletak diatas pasir itu. Cepat
mereka berlari menghampiri dan dengan lampu
battery Rebo menerangi tempat itu. Betapa kaget hati
mereka melihat..., Pak Kurdo menggeletak disitu
dengan muka berdarah. Keningnya terluka dan
nelayan itu mengerang lemah. Pakaiannya sudah
basah-kujup karena ia terbaring di pantai yang dapat
Halama 82 / 122 dicapai air, maka tiap kali air datang ia menjadi basah
semua. "Lekas angkat kepinggir..." kata Slamet. Bertiga
mereka mengangkat tubuh yang berat itu ke tempat
kering. Sementara itu Pak Kurdo sudah siuman dari
pingsannya. Begitu melihat tiga orang ini ia cepat
berbisik dengan suara masih lemah:
"Aduh Celaka... lekas... pergi tolong Sekarsih...!"
"Apa maksudmu? Siapa yang memukulmu?"
Slamet bertanya, penuh curiga dan juga bingung.
"Jam berapa sekarang?" Pak Kurdo bertanya
lagi. Rebo melirik jam tangannya.
"Hampir jam lima", jawabnya singkat.
"Lekas..., lekas cegat mereka... sebelum pergi.
Celaka kalau terlambat. Aku...aduh kepalaku..." dan ia
terguling lagi diatas pasir.
"Apa maksudmu, pak? Siapakah mereka? Di
mana harus dicegat?" Slamet menjadi makin bingung.
Pak Kurdo berusaha sekuat tenaga untuk
bangkit lagi. Ia berhasil, duduk dan membiarkan Rebo
membalut kepalanya agar luka dikeningnya tidak
Halama 83 / 122 mengeluarkan darah terus. Setelah agak mereda
nanarnya, ia berkata: "Kalian bertiga, kawan-kawan baik Sekarsih,
harus menolongnya. Penjahat-penjahat itu hendak
menculiknya, mereka datang membawa mobil sedan.
Lekas halangi maksud mereka. Mobilnya berada di
pantai sebelah sana," ia menudingkan telunjuknya,
"lebih baik kalian pergi mencegat di sana dekat mobil.
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lekaslah, yangan terlambat!"
Mendengar ini, Rebo dan Bejo cepat melompat
hendak lari. Akan tetapi Slamet yang selalu berhatihati itu mendekati Pak Kurdo. Ia menguatirkan bahwa
mereka terjebak atau tertipu.
"Kau siapakah sebenarnya, pak? Bagaimana
kami dapat mempercayaimu?" mendengar ini, Rebo
dan Bejo teringat dan tidak jadi lari.
"Uhhhh ... kepalaku..., ah kalian orang-orang
bodoh, pengail-pengail yang mau main detektipdetektipan... masa tidak dapat menduga aku siapa?
Aku... Pak Kurdo... hemmm, kelak kalian akan tahu
sendiri aku siapa. Hayo lekas kalau memang kalian
hendak menolong Sekarsih."
"Tapi...kau terluka, pak"
Halama 84 / 122 "Tidak apa, aku hanya pening karena kehilangan
darah." Melihat sikap dan mendengar bicara Pak Kurdo
ini Slamet diam-diam kaget sekali. Jelas bahwa orang
ini bukan nelayan biasa. Siapakah dia? Akan tetapi
yang penting sekarang pergi menolong Sekarsih. Maka
ia lalu cepat mengajak kedua orang temannya pergi
berlari-lari kearah yang ditunjuk oleh Pak Kurdo tadi.
Benar saja. Mereka melihat sebuah mobil sedan
yang mewah berdiri dibawah pohon-pohon kelapa.
Tidak ada orang disitu. Bejo yang ahli tentang mobil,
karena pernah bertahun-tahun ia bekerja sebagai
sopir, cepat menghampiri mobil, menarik kunci kap
motor, membuka kap motornya dan beberapa detik ia
bekerja dengan kabel-kabel bushi, kemudian
ditutupnya kembali kap motornya dengan perlahan.
Mereka menanti disitu. Tak sampai sejam
mereka menanti. Tiba-tiba mereka melihat
pemandangan yang membuat darah mereka menjadi
panas mendidih, yang membuat Bejo berkerot-kerot
giginya den Rebo berkembang kempis hidungnya.
"Bedebah...!" Slamet mendesis marah.
Apa yang menjebabkan kemarahan mereka?
Mereka melihat Sekarsih diseret dan dibawa dengan
Halama 85 / 122 paksa oleh dua orang laki-laki, dua orang laki-laki
gagah yang bukan lain adalah Picis dan Rawit! Tadinya
mereka menyeret lengan Sekarsih kanan-kiri dan
membungkam mulut gadis itu yang meronta-ronta
dan hendak menjerit-jerit. Setelah tiba dekat tempat
itu, Rawit melepaskan Sekarsih, mencabut pisau belati
dan mengancam : "Awas kau, kalau menjerit kutusuk perutmu
dengan ini!" Sekarsih membelalak ketakutan dan meronta-ronta
dalam pegangan Picis yang membungkam mulutnya
dan memegangi tangan kanannya dengan erat.
"Lekas, Wit, hidupkan mesinnja!"
Agak kewalahan juga Picis karena Sekarsih
memang kuat dan meronta-ronta hendak melepaskan
diri. Gadis ini hanya berpakaian kain dan kutang,
agaknya sedang hendak mandi ketika ia diculik oleh
dua orang keparat ini. Rawit menghampiri mobil, membuka pintu dan
menghidupkan mesin. Picis menyeret-nyeret Sekarsih
mendekati mobil, akan tetapi gadis itu menyepaknyepak dan bersitegang tidak mau didekatkan pada
mobil. Terdengar Rawit menyumpah-nyumpah. Mobil
Halama 86 / 122 tak mau hidup. Di stater hanya mengeluarkan bunyi
menggerung saja, akan tetapi tidak mau hidup.
"Keparat, setan-alas,...!"
Masih banyak lagi makian berhamburan keluar
dari mulut Rawit karena mobil yang tadinya tok-cer
dan tidak pernah rewel itu kini tiba-tiba saja menjadi
rewel, tidak mau hidup. Ia menarik kunci kap motor
dan membukanya lalu menjenguk kedalam.
"Wah, Cis...! Celaka... kabel-kabel dicabuti orang!"
Pada saat itu terdengar Rebo dan Bejo tertawa
bergelak dan tiga orang sekawan ini meloncat dari
tempat persembunyiannya. Bejo yang sudah marah
itu segera menerjang Picis. Picis terpaksa melepaskan
Sekarsih dan hendak menangkis, akan tetapi
terlambat. "Desss!!" Pukulan tangan Bejo yang mantep dan
ampuh membuat matanya berkunang melihat seribu
bintang. Bejo hendak mengirim pukulan lagi, akan
tetapi tiba-tiba Rawit membentak:
"Angkat tangan!"
Slamet dan Bejo melongo, terpaksa
mengangkat tangan memandang tangan Rawit yang
mengacung kan pistol dan menedong mereka. Rebo
Halama 87 / 122 agaknya ketakutan sekali sampai terperosok kedalam
tanah berlubang. Picis yang maklum akan bahaya,
cepat menangkap Sekarsih lagi dan menyeretnya ke
mobil. "Masukkan dia di mobil, Cis. Kunci pintunya,
biar aku memeriksa mesin dan kau menodong anjinganjing ini!" seru Rawit.
Pada saat Rawit bicara, tiba-tiba ia menjerit
kaget dan kesakitan. Bagaikan kilat cepatnya, Bejo
sudah menerjang maju, menendang muka Rawit yang
hendak mengambil pistolnya yang jatuh ketanah. Tadi
adalah Slamet yang secara tiba-tiba dan tak tersangkasangka menyambitkan batu ke arah tangan Rawit,
tepat mengenai pergelangan tangan sehingga pistolyang dipegangnya jatuh. Selagi dia membungkuk
hendak mengambil pistolnya, ia didahului Bejo yang
mengamuk seperti banteng terluka. Tendangan
disusul pukulan-pukulan keras dari kedua tangan Bejo,
membuat Rawit terhuyung-huyung. Akan tetapi Rawit
adalah seorang jagoan, maka segera terjadi
perkelahian ramai antara Rawit dan Bejo.
Picis masih berkutetan dengan Sekarsih.
Melihat temannya berkelahi dan dua orang
menghampirinya dengan sikap mengancam, apalagi
Halama 88 / 122 melihat betapa seorang diantara mereka, yaitu
Slamet, sudah memegang pistol yang dilepaskan oleh
Rawit tadi, Picis menjadi pucat. Otomatis ia
melepaskan Sekarsih dan berteriak:
"Wit..., lari...!"
Rawit berhasil memasukkan tendangan
mengenai lutut Bejo, membuat Bejo terpincangpincang dan memaki-maki. Kesempatan ini diperguna
kan oleh Rawit untuk berlari menyusul temannya.
"Jahanam hendak lari kemana kalian ?"
Rebo sudah mengayun-ayun pancingnya,
diayun cepat diatas kepala lalu... wwrrrr...! pancing
beserta bandul-nya itu dilepas, meluncur bagaikan
peluru cepatnya menyusul dua orang yang lari itu.
"Aduh... duh...duh... lepas... aduuhhh...!"
Picis meraung-raung kesakitan. Secara
kebetulan sekali pancing yang disambitkan Rebo itu
mengenainya, melibat leher dan mengait daun
telinga! Hanya ikan-ikan yang terpancing akan dapat
mengatakan betapa sakit, perih, dan nyerinya terkait
pancing. Picis menarik-narik senar yang mengikat
pancing itu. Disebelah sana, kurang lebih dalam jarak
Halama 89 / 122 lima meter, Rebo tertawa-tawa dan membetot-betot
senarnya. "Nah, kena dah sekarang! Ha-ha-ha, ikan
duyung jantan... ha-ha!" ia membetot-betot membuat
Picis makin keras berteriak-teriak kesakitan. Melihat
peristiwa lucu ini, Slamet dan Bejo mau-tak-mau
tertawa juga. Akan tetapi Rawit yang melihat
temannya tersiksa, sudah mengeluarkan pisau dan...,
srrtt, senar itu putus. Dengan pancing masih terkait
pada daun telinganya, Picis berlari-lari bersama Rawit,
mengaduh-aduh diikuti suara ketawa tiga orang
sekawan itu. Sekarsih bersukur sekali sampai mengucurkan
air mata. "Terima kasih, mas Slamet, mas Rebo, mas
Bejo... terima kasih. Kalau tidak ada kalian bertiga ...
ah, Celakalah aku ,..."
Rebo dan Bejo mengangkat dada.
"Kalau masih ada aku", kata Rebo bangga, "tak
mungkin ada setan dapat mengganggumu. Sih".
"Baru dua orang macam itu saja, boleh tambah
dua lagi mengerojokku, akan kurobohkan satu-satu".
Bejo menyambung, mengangkat dada.
Halama 90 / 122 "Sih, mari kami antar pulang dan sambil
berjalan coba ceritakan bagaimana terjadinya
penculikan tadi," kata Slamet.
Sekarsih bercerita. Katanya menjelang tengah-malam ia mendengar pamannya memasuki rumah dari
belakang. Ia terbangun dan melihat pamannya masuk
lagi ke kamar. Akan tetapi tidak ditanjfnya, mengira
bahwa seperti biasa pamannya tentu dari kamar
mandi di belakang rumah. Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Sekarsih sudah bangun. Seperti
kebiasaannya sehari-hari, lebih dulu ia hendak
menyapu lantai pekarangan yang kotor oleh daundaun pohon yang gugur. Ketika lewat pintu samping,
ia melihat Sutejo masih tidur berselimut sarung diatas
balai-balai. Kemudian, selesai menyapu pekarangan ia
mengambil handuk dan hendak pergi mandi. Biasanya
setiap pagi ia mandi disungai kecil tak jauh dari
kampungnya. Dan dipinggir sungai kecil inilah ia disergap oleh
dua orang penculik itu yang dikenalnya sebagai dua
orang yang dulu pernah mengganggunya ditepi pantai,
dua orang yang dulu berkelahi dengan Pak Kurdo.
Halama 91 / 122 Pak Loka hanya menggeleng-geleng kepala
ketika Sekarsih yang diantar tiga orang sekawan itu
datang dan menceritakan pengalamannya. Akan
tetapi Sutejo marah sekali. Pemuda ini mukanya
menjadi merah, matanya menyambar-nyambar dan ia
berkata: "Bagaimana disini bisa terjadi hal seperti ini?
Mana bisa didiamkan saja? Kita harus melapor kepada
polisi !" Pemuda ini memakai sepatunya yang su dah
butut, lalu berkata lagi:
"Biarlah aku yang pergi melaporkan kepada
polisi. Dimana sini ada polisi, pak?"
"Daripada susah-susah mencari pos polisi yang
jauh, lebih baik melaporkan kepada Pak Lurah. Kalau
masih ada disini dua orang bangsat itu biar dikeroyok
rakyat", kata Pak Loka.
"Jangan tergesa-gesa," kata Rebo menyombong. "Dengan adanya kami bertiga yang
menjaga, mereka itu bisa apakah? Lagi pula, Pak Kurdo
itupun mencurigakan,... jangan-jangan dia itu malah
seorang anggauta polisi !"
Halama 92 / 122 "Bo, jangan ngawur!" Slamet membentak
temannya terlalu banyak bicara itu.
Akan tetapi Sutejo masih belum mau menerimanya.
"Urusan ini terlalu berbehaja kalau didiamkan
saja. Beberapakali Sekarsih hendak diculik orarg.
Malah malam tadi Pak Loka juga diserang orang. Apa
artinya semua ini? Dan buku itu? Ah, kita harus
melaporkan sekanng juga. Mari, dik Sekarsih, kau
antarkan aku, mari kita bersama melapor. Kau
menjadi saksi utama. Jangan takut, aku yang akan
mengurus hal ini!" pemuda itu betul-betul marah. Dari
sikapnya ini saja mudah diduga bahwa dia telah jatuh
cinta kepada Sekarsih, gadis itu nampak bingung, akan
tetapi Pak Loka berkata perlahan:
"Pergilah, Sih. Kau antar den Tejo ke pak Lurah."
Didalam hatinya Slamet tidak rela, akan tetapi tentu
saja dia tidak bisa mencegah. Sebetulnya ingin sekali
dia menangkap sendiri penjahat-penjahat itu. Dia
hanya berkata: "Katakan bahwa aku telah merampas sepucuk
pistol seorang penjahat, sementara kubawa dulu
untuk penjagaan diri."
Halama 93 / 122 Setelah melihat Sutejo dan Sekarsih pergi,
Slamet dan teman-temannya lalu meninggalkan Pak
Loka. "Kita harus mencari Pak Kurdo. Harus kita tanya
penjelasan mengenai semua sikapnya, dan tentang
pengetahuannya akan penculikan tadi," kata Slamet.
*** Pak Kurdo berada diwarung tempat ia
menginap. Pak Siswo pemilik warung tidak tampak.
Orang tua berpakaian hitam itu sedang duduk
mengisap rokok, wajahnya pucat, kepalanya masih
dibalut. Ia tersenyum ketika melihat tiga orang
tamunya. "Sukur. kalian bisa menyelamatkan Sekarsih,"
katanya. "Sayang bahwa dua orang penjahat itu dapat
melarikan diri." Slamet dan dua orang temannya terheran.
"Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu, pak ?"
tanya Slamet. Pak Kurdo tersenyum. Halama 94 / 122
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sendiri tak dapat melihatnya, akan tetapi
aku punya pembantu." Ia menoleh kepada Slamet.
"Mas Slamet, kau masih menyimpan pistol itu bukan?
Kau simpan dulu sementara, kau mungkin perlu
mempergunakannya kelak. Kita berhadapan dengan
segerombolan penjahat yang licin dan bersenjata
pula." "Pak, siapakah kau sebenarnya? Kami tidak bisa
menerima bahwa kau adalah Pak Kurdo nelayan. Dan
apa artinya semua peristiwa di pantai ini? Rahasia
apakah yang menyelubungi diri Sekarsih ?"
Slamet mulai membuka kartunya.
Pak Kurdo tertawa dan tampak giginya yang
berderet putih dan kuat. Ini saja sudah membuktikan
bahwa dia bukan seorang nelayan sederhana. Giginya
terpelihara baik-baik. Dari saku bajunya ia
mengeluarkan sebuah kartu dan membukanya
didepan tiga orang itu. "Aku tahu kalian orang baik-baik dan malah
sekarang perlu membantuku. Lihat kartu ini."
Tiga orang sekawan itu memandang potret Pak
Kurdo berpakaian sebagai Inspektur Polisi dan
ternyata bernama Wibowo, pembantu inspektur polisi
dari Semarang! Halama 95 / 122 "Ohh...!" tiga orang sekawan itu berseru dan
Rebo segera membanggakan dugaannya:
"Apa kataku tadi ? Sudah kurasa bahwa Pak Kur
... eh, Pak Wibawo ini seorang anggauta polisi!"
"Apa? Kau katakan dugaanmu itu? Dimana kau
katakan?" tiba-tiba Pak Kurdo atau lebih tepat Pak
Wibowo bertanya kaget. "Di... dirumah Pak Loka..." jawab Rebo
tercengang. "Siapa yang mendengarnya ?"
"Ah, tidak ada orang lain. Hanya Pak Loka,
Sekasih dan Sutejo pemuda pertapa itu..."
Pak Wibowo keningnya. mengangguk dan mengerutkan "Aku perlu bantuan kalian, karena itu dengarlah
ceritaku tentang segala peristiwa ini dan rahasia yang
menyelimutinya." Pak Wibowo lalu bercerita.
Di Semarang baru saja meninggal dunia seorang
hartawan besar, seorang milyader yang sudah duda
dan tidak mempunyai ahli waris sama sekali, bernama
Pujowaluyo. Halama 96 / 122 Pak Pujowalyo ini meninggalkan sebuah surat
warisan yang menyatakan bahwa seluruh harta
bendanya, yang lima puluh prosen ia sumbangkan
kepada Badan Sosial, sedangkan yang lima puluh
prosen lagi ia wariskan kepada anak-anak keturunan
adiknya yang bernama Handoyo. Akan tetapi
sayangnya, tak seorang pun mengetahui dimana
adanya Handoyo itu, karena menurut surat wasiat itu,
Pak Pujowaluyo sudah tujuh belas tahun berpisah dari
Handoyo tanpa ada berita apa-apa lagi.
"Kebetulan sekali, Handoyo itu adalah bekas
kawan seperjuanganku ketika perang melawan
Belanda dulu. Tentu saja aku amat tetarik dan ingin
sekali aku membantu kawanku yang amat kusayang
itu seorang anggauta kepolisian, kiranya akan lebih
mudah aku menjelidiki." demikian antara lain Pak
Wibowo menerangkan kepada Slamet dan temantemannnya.
"Penyelidikanku membawa aku ke Jogja, karena
memang Handoyo dan kakaknya, Pujowaluyo adalah
orang-orang asal Jogja. Dan di Jogja dengan tak
tersangka-sangka aku mendapat keterangan bahwa
yang menyelidiki tentang Handoyo bukan aku saja,
malah menurut keterangan seorang inspektur
Halama 97 / 122 temanku, penjahat intelek bernama Lukman juga
mengajak anak buahnya melakukan penjelidikan!"
"Lukman...?" tiga orang sekawan itu berseru
kaget. Tentu saja mereka juga sudah mendengar nama
ini. Lukman adalah seorang penjahat intelek, bekas
mahasiswa, yang masih muda akan tetapi sudah
seringkali membuat pusing kepolisian karena
kejahatan-kejahatan yang dilakukannya secara amat
cerdik. Akhir-akhir ini ia menggegerkan Semarang
dengan pencurian-pencurian besar yang ia lakukan
bersama komplotannya di pelabuhan Semarang.
Ia menjadi buronan kepolisian Bandung,
Jakarta, Surabaya dan Semarang. Namun polisi belum
juga berhasil menangkapnya.
"Begitulah," Pak Wibowo melanjutkan
Ceritanya, "berita tentang Lukman ini tentu saja
menambah tugasku. Tidak hanya aku hendak
menjelidiki tentang Handoyo sahabat-baikku itu, akan
tetapi juga, dan ini penting sekali demi tugasku
sebagai polisi, aku harus mengincar Lukman. Setelah
aku menjelidiki lebih lanjut, aku mendapat keterangan
bahwa Handoyo berpisah dari Pujowaluyo di Jogja,
yaitu pada waktu Belanda menyerang dan menduduki
Halama 98 / 122 Jogja. Dan keterangan itu selanjutnya menyatakan
bahwa Handoyo bersama isteri dan seorang anaknya
yang baru berusia satu tahun melarikan diri ke
selatan." Pak Wibowo berhenti dan menyedot rokok
kreteknya. "Kalau begitu, Lukman dan komplotannya juga
pergi ke selatan tentunya?" Rebo bertanya.
"Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa harus
menyamar. Lukman terlalu cerdik sehingga kalau dia
melihat ada polisi mengikutinya, tentu ia akan lebih
berhati-hati dan lebih berbahaya. Aku masih belum
tahu apa kehendaknya menjelidiki Handoyo, tentu
saja ia ingin mendapatkan keuntungan daripada hasil
penjelidikan itu. agaknya berhubungan dengan surat
wasiat Pak Pujowaluyo. Ketika aku menjelidiki ke
selatan sampai ke Kretek, lenyaplah keterangan
tentang diri Handoyo tujuh belas tahun yang lalu. Aku
bingung karena mendapat keterangan bahwa pada
tujuh belas tahun yang lalu, sungai di Kretek banjir dan
ada pula orangtua yang menceritakan bahwa dulu
pernah ada rakit hanjut terbawa banjir. Aku kuatir
sekali... kalau-kalau Handoyo dan keluarganya
menjadi korban kecelakaan itu..."
Halama 99 / 122 "Dan bagaimana dengan komplotan Lukman?
Tentu mereka itu juga menjelidiki terus sampai ke
Kretek ?" Pak Wibowo mengangguk-angguk.
"Mereka ini, tanpa setahu mereka dan tanpa di
sengaja, malah merupakan pembantu-pembantu yang
amat berharga bagiku dalam menyelidiki keadaan
Handoyo. Kudapati mereka malah terus ke selatan,
pergi ke Parangtritis! Yang terlihat olehku hanya lima
orang kaki tangan Lukman, diantara mereka Picis dan
Rawit, yang tiga lagi tukang-tukang pukul di Semarang.
Lukman sendiri belum pernah aku melihatnya, hanya
keterangan tentang dia aku mempunyai catatannya.
Dia masih muda, orangnya pemarah, dan tangannya
kidal." Slamet dan teman-temannya mendengarkan
penuh perhatian. Slamet nampak mengerutkan
kening, mengelus-elus dagunya seperti biasa kalau ia
banyak berpikir, "Di Parangtritis aku mendengar tentang Pak
Loka dan keponakannya, Sekarsih. Keanehan yang
meliputi diri Pak Loka, apalagi tentang Sekarsih yang
dikatakan keponakannya akan tetapi tidak diketahui
siapa ayah-bundanya, terdengar terlalu ganjil dan
Halama 100 / 122 janggal. Masa penduduk daerah ini tidak ada yang
mengetahui siapa ayah-bundanya Sekarsih? Timbul
dugaanku bahwa..." "Sekarsih anak Handoyo!" sambung Bejo.
Pak Wibowo mengangguk-angguk.
"Akan tetapi sukar dicari buktinya dan tidak
meyakinkan. Pak Loka agaknya menyimpan rapatrapat rahasia ini. Setelah Lukman menyuruh anak
buahnya mengganggu Sekarsih, baru aku tertarik
sekali dan mengira bahwa tentu Lukman mempunyai
dugaan yang sama. Malah aku kuatir kalau-kalau di
dahului oleh penjahat intelek itu. Maka aku lalu
memasuki rumah Pak Loka sebagai pencuri dan
berhasil mendapatkan buku ?Sepanjang Jalan Raya?
dimana terdapat tulisan-tulisan Handoyo!"
"Ah..., dan kami mengira Bapak seorang
penjahat," kata Slamet.
"Dan telah memasuki kamar Bapak sebagai
pencuri-pencuri..." kata Rebo.
Pak Wibowo tersenyum. "Sebaliknya, akupun tadinya menyangka bahwa
kalian termasuk anak buah Lukman, penjahat kidal
yang cerdik itu." Halama 101 / 122 Mereka tertawa. Hanya Slamet yang tidak
tertawa, mukanya pucat. "Dua kali Bapak menjebut Lukman penjahat
kidal. Dia muda dan... kidal?"
"Betul, mengapa?"
"Sutejo... pemuda itu... biarpun tidak pemarah
... akan tetapi ketika menggunting kukunya
kemarin... dia menggunakan tangan kiri..."
"Betul!" Bejo juga nenjadi pucat dan merasa
bulu tengkuknya meremang. "Dan dia mengajak pergi
Sekarsih, katanya hendak lapor pada polisi atau Pak
Lurah..." "Betulkah...??" Mata Pak Wibowo terbelalak
lebar, kemudian ia menepuk kepalanya sendiri. "Ah,
betapa bodohku! Bisa jadi dia ah, kenapa hal begini
mudah sampai tak teringat olehku? Celaka..." dia
meloncat berdiri, nampaknya bingung sekali, berpikirpikir.
"Begini saja", dia memegang tangan Slamet.
esat sekali. "Kau dan teman-temanmu bantulah aku.
Kau membawa pistol, bukan? Nah, lekas kaitan bertiga
sekarang juga mengejarnya. Aku sudah menjelidiki
Halama 102 / 122 tempat yang dijadikan sarang mereka. Di Becici.
Pernah kesana?" "Tentu saja pernah, pak. Kami pernah mancing
disana, sebelah timur Guwolangse, bukan? Dekat
Celengtibo." "Betul, betul. Tentu Sekarsih dibawanya kesana.
Ah...!" Ia menempiling lagi kepalanya sendiri.
"Sekarang tahu aku mengapa mereka menculik
Penghulu kesana. Bedebah, cerdik betul si Lukman.
Dia hendak memaksa Penghulu mengawinkan dia
dengan Sekarsih, dengan begitu warisan akan terjatuh
ketangannya... hemmm. Kalian hati-hati. Sedikitnya
Lukman berada dengan tiga orang kaki tangannya
disana. Mereka berbahaya sekali. Kalian jangan
tergesa-gesa bertindak, bisa berbahaya. Aku akan lari
mencari bala bantuan ke Kretek."
"Lari saja, pak? Ah, akan lama sekali dan
terlambat. Lebih baik menggunakan mobil mereka
itu", kata Bejo. "Tadi kucabuti kabelnya, akan tetapi
sebentar saja dapat kupasang lagi dan dapat dipakai".
"Bagus!! Kalian benar-benar tiga orang detektip
yang hebat. rLp, kau temani aku mencari bala
bantuan. Mas Slamet dan Mas Rebo harus hati-hari,
kejarlah Lukman ke Becici".
Halama 103 / 122 Tergesa-gesa mereka berpisahan dan melaku
kan tugas masing-masing. Bejo dan Pak Wibowo Cepat
berlari-lari ke pantai dimana mobil tadi masih berdiri.
Rawit dan Picis tidak kelihatan disana. Setelah
membetulkan kabel-kabel yang tadi ia preteli, malah
kabel bushinya ada yang ia cabut dan kantongi, Bejo
dan Pak Wibowo membalapkan mobil pergi mencari
bala bantuan. Sementara itu, Slamet dan Rebo berlari-lari
menuju ke Becici. Slamet gesit dan Cepat sekali
larinya, hanya kasihan Rebo. Dengkulnya lututnya
yang sudah gapuk itu tak dapat dibawa lari cepat.
Sebentar-sebentar ia mengeluh, terpaksa Slamet
menantinya dan kadang-kadang menariknya.
Perjalanan dari pantai ke Becici bukan lah perjalanan
ringan atau dekat. Memakan waktu hampir tiga jam,
itupun dengan perjalanan yang amat payah. Mendaki
dan menuruni bukit-bukit batu karang yang sukar.
Tak jauh dari Becici mereka melihat Picis dan
Rawit berjalan terbongkok-bongkok. Dari jauh saja
mereka sudah mengenal dua orang penjahat itu, dari
pakaiannya dan dari topinya. Mereka bertopi Vilt.
Seorang diantara penjahat-penjahat itu selalu
memegangi telinganya hingga mudah diketahui siapa
Halama 104 / 122 Picis siapa Rawit. Yang terluka telinganya oleh pancing
Rebo, dia itulah Picis. "Angkat tangan!" Picis dan Rawit kaget
setengah mati ketika menengok dan melihat Slamet
menodongkan pistolnya dan Rebo mengayun-ayun
pancingnya. Pancing itu dalam pandang mata Picis
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih mengerikan daripada pistol ditangan Slamet.
Senjata makan tuan. Pistol mereka sekarang
menodong dada mereka sendiri.
"Bo, kau lepas baju mereka, dan topinya."
Slamet yang mendapatkan sebuah akal baik
segera menjuruh temannya bergerak.
Dengan kasar Rebo menanggalkan baju mereka,
mengambil topi mereka, malah segera mengikat
kedua tangan kaki mereka dengan sapu tangan dan
kaos sport mereka sendiri. Lalu kedua sekawan ini
menggusur tubuh Rawit dan Picis, diseret kebawah
rumpun alang-alang dan disumpal mulut mereka
dengan sapu tangan dan daun-daun.
"Untuk apa topi dan pakaian ini?" tanya Rebo.
"Bodoh. Pakai!"
Slamet memakai jaket Rawit dan memakai topi.
Rebo mengerti akan akal temannya. Mereka
Halama 105 / 122 menyamar sebagai dua orang kaki tangan penjahat itu
agar kalau merayap turun di Becici dan kelihatan dari
bawah, akan disangka teman-teman sendiri oleh para
penjahat di bawah. Cepat keduanya melanjutkan perjalanan.
Dengan amat hati-hati mereka menuruni tebing
Becici, melalui "jalan monyet" yang biarpun tidak
sedalam Guwolangse, namun lebih berbahaya lagi.
Licin dan sukar, karena tidak seperti Guwolangse,
daerah Becici ini tak pernah atau jarang sekali
didatangi orang, kecuali pengail-pengail yang berani
dan pencari-pencari rumput laut.
Mula-mula mereka kecewa dan juga heran
melihat Becici sunyi saja, seakan-akan tidak ada
orangnya di bawah. Akan tetapi setelah dekat mereka
melihat asap mengebut, hanya sedikit, agaknya asap
rokok. Malah tiba-tiba terdengar jerit wanita. Tak
salah lagi, tentu Sekarsih! Hati mereka berdebar
tegang dan dengan lebih hati-hati mereka merajap
terus turun, lalu menyelinap dibelakang batu-batu
karang yang banyak terdapat di situ, merayap terus
mendekati sekumpulan bukit karang yang merupakan
gua-gua liar. Halama 106 / 122 Didalam sebuah gua terdengar suara Sekarsih,
terisak-isak : "Jangan... jangan memukuli paman Loka...!"
Terdengar suara ketawa menyeramkan, suara ketawa
yang tinggi mengejek. "Ha-ha-ha, Pak Loka. Masih kau berkeras
kepala? Hayo katakan tentang Handoyo."
"Aku tidak tahu" terdengar suara Pak Loka
lemah. "Dahulu aku menolong seorang bayi dari
sungai. Dia hanyut. Dialah Sekarsih".
"Dan buku catatan?"
"Tidak tahu tidak tahu..."
"Buk! Buk!" Dua kali terdengar suara gebukan diiringi rintihan Pak
Loka dan jeritan Sekarsih.
"Buku itu dicuri orang. Akan tetapi kau tentu
sudah tahu akan isinya. Bukankah Sekarsih puteri Pak
Handoyo? Hayo mengaku. Dan kau harus menyetujui
Sekarsih menjadi isteriku, disahkan di sini juga oleh
Pak Penghulu." Halama 107 / 122 Slamet dan Rebo berdebar. Itulah suara Sutejo.
Akan tetapi alangkah beda nada suaranya. Sutejo yang
mereka kenal adalah seorang yang bicara sopan
santun dan halus. Yang ini kasar dan pemarah. Lukman
kah dia? "Bo", Slamet berbisik, "kau menyelinap dari
sana, memutar. Jaga dan lindungi aku. Aku akan
menyelinap dari belakang. Awas."
Keduanya berpisah, berpencar. Slamet merajap
seperti monyet memasuki lubang gua dari belakang
yang merupakan celah batu karang yang runcing dan
tajam. Sementara itu siksaan atas diri Pak Loka
berjalan terus karena orang tua ini masih belum mau
men Ceritakan hal yang ia sangkal mengetahuinya.
Malah ia menolak pula untuk mengijinkan Sekarsih
dinikah seCara paksa oleh Sutejo.
Sekarsih menangis dan berusaha melarikan diri,
akan tetapi gua yang merupakan terowongan itu amat
terjal, pula disitu terdapat tiga orang teman Sutejo
yang menjaga dengan senjata api di tangan. Ia hanya
bisa lari kesana-kemari dalam terowongan batu
karang yang panjang itu sambil menangis.
Halama 108 / 122 Tiba-tiba dari atas meloncat turun seorang lakilaki. Sekarsih kaget sekali karena melihat orang itu
berpakaian seperti anak buah Sutejo, akan tetapi
muka orang itu ditutup saputangan. Selagi ia hendak
menjerit, orang itu membuka sapu tangannya dan
dapat dibayangkan betapa girang hati Sekarsih ketika
mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah Slamet!
"Ssttt." Slamet mencegah ia membuka suara.
"Dimana Pak Loka?" bisiknya sambil menutupkan
kembali sapu tangannya. "Disana didalam gua itu..." bisik Sekarsih
sambil menuding dengan telunjuknya. Slamet
melangkah maju dengan, perlahan dan hati-hati,
pistolnya siap di tangan kanan. Sekarsih mengikutinya,
cemas sekali karena takut kalau-kalau Slamet tak akan
menang menghadapi empat orang lawan!
Slamet berindap-indap maju, menyelinap
berlindung kepada batu-batu karang. Dilihatnya
seorang kaki tangan penjahat menjaga di luar gua
dengan senapan tergantung dipundaknya. Ia tak dapat
menanti lebih lama, tak dapat memenuhi pesan Pak
Wibowo supaya menanti datangnya bala bantuan. Pak
Loka dipukuli dan keadaan Sekarsih dalam bahaya. Ia
harus berani berlaku nekat.
Halama 109 / 122 "Angkat tangan!" bentaknya kepada penjaga
yang bertopi itu. Penjahat itu kaget. Rokok dan korek
api nya yang sedang dipakai menyalakan rokok jatuh
dari tangannya. Ia cepat meraba senapannya, dan
sejenak bingung karena melihat orang berpakaian
seperti kawannya. Ia mengenal jaket dan topi Rawit.
Halama 110 / 122 "Wit. Jangan main gila!" serunya akan tetapi
segera ia mengenal bahwa orang berkedok sapu
tangan itu bukan Rawit temannya. Cepat ia
menyambar senapan di pundak.
Akan tetapi Slamet yang sudah menodongnya tentu
saja lebih cepat. "Dar!" Pistolnya memuntahkan api dan orang
itu roboh terguling, pundaknya berdarah tertembus
peluru. Dari dalam gua terdengar ledakan dan peluru
berdesingan didekat Slamet.
"Tiarap...!" Slamet menarik tangan Sekarsih dan
keduanya bertiarap dibelakang sebuah batu karang
besar. Sunyi sejenak, kedua fihak saling mengintai.
"Lukman...! Kau sudah dikepung. Menyerah
lah!" Slamet berseru menggertak.
Tidak ada jawaban manusia dan tiba-tiba
terdengar berondongan senjata dari dalam. Batu
dihujani peluru pecah-pecah mengeluarkan bungaapi. Slamet balas menembak. Tiba-tiba Sekarsih
menjerit karena dari belakang tiba-tiba muncul
seorang kaki tangan penjahat dengan pistol ditangan.
Pistol sudah diangkat hendak ditembakkan kearah
Slamet. Akan tetapi tiba-tiba orang itu menjerit
kesakitan. Tangannya yang memegang pistol tahuHalama 111 / 122
tahu kena "dipancing" oleh Rebo dari belakang.
Pistolnya terlepas dan orang itu berjingkrak kesakitan
karena pancing terus ditarik oleh Rebo dari tempat
sembunyinya. Orang itu akhirnya jatuh bergulingan.
Sementara itu dari dalam gua terus terdengar
tembakan. Slamet membalas kearah gua. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika ia menembak untuk
keempat kalinya, pistolnya hanya berbunji "klik" dan
tidak ada pelurunya lagi! Celaka, pikirnya. Bodoh
sekali. Kenapa tidak diperiksanya dulu pistol rampasan
itu? Kiranya hanya tiga buah pelurunya! Para
penjahat didalam gua agaknya tahu akan hal ini dan
dari dalam gua itu berloncatan keluar dua orang.
Sutejo dan seorang laki-laki yang bertubuh tinggi
tegap. Slamet diserbu dan terjadilah perkelahian
hebat didalam gua. Sementara itu, Rebo menyumpah-nyumpah.
Orang yang dipancing tadi berhasil melepaskan
pancing yang mengait tangannya dan kini terjadi
pergumulan. Karena dengkulnya yang gapuk itu
tertumbuk batu, Rebo kalah dan kini ditunggangi
lawannya. Adapun Slamet sendiri, payah melawan dua
orang lawannya, sudah beberapakali ia kena hantam
Halama 112 / 122 dan mulutnya berdarah. Sekarsih sudah ketakutan
setengah mati. "Ha-ha-ha, tukang-tukang pancing sialan!
Sekarang kalian akan kulempar kelaut, kujadikan
umpan untuk ikan-ikan hiu!" terdengar Sutejo berkata
sambil menghujankan pukulan-pukulan keras kearah
tubuh Slamet yang sudah terhujung-hujung mepet
dinding karang. "Bedebah!" tiba-tiba terdengar makian dan
Bejo muncul, meloncat dan menyerbu ke dalam
pertempuran. Pukulannya yang keras dan ampuh
mendapat makanan. Sutejo kena ditonjok dadanya
terjengkang. "Angkat tangan!"
Sutejo berseru dan mengabungkan pistolnya
kearah Slamet dan Bejo. Juga temannya mencabut
pistol. Terpaksa Slamet dan Bejo mengangkat tangan.
Tiba-tiba terdengar letusan-letusan dari luar
dan Sutejo roboh bersama temannya. Disebelah
belakang gua, Rebo memukuli lawannya karena
sekarang ia mendapat bantuan dua orang bala
bantuan yang didatangkan oleh Pak Wibowo. Kini ia
dapat membalas sepuas hatinya, memukuli muka
Halama 113 / 122 lawannya untuk membalas ketika ia dipukuli tadi,
malah diberikuti bunga-bunganya.
Sutejo alias Lukman diringkus berikut tiga orang
kaki tangannya. Mereka digusur pergi. Pak Loka
ditolong, juga Penghulu yang sudah bergementaran
saking takutnya. Sekarsih menangis pernah
kebahagiaan, terlepas daripada bencana yang hebat.
*** Di rumah Pak Loka mereka berkumpul. Pak
Wibowo, Slamet, Rebo, Bejo, Pak Siswo pemilik
warung yang dipondoki Pak Wibowo dari selama ini
diam-diam membantu Pak Wibowo menjadi
penjelidik, dan Pak Madi. Pak Wibowo dengan lega
duduk mengisap rokok dikelilingi semua orang yang
mendengarkan penjelasan-penjelasannya.
"Karena tidak ingin didahului Lukman, aku
mencuri kitab ini," ia memperlihatkan buku
?Sepanjang Jalan Raya? yang tulen.
"Karena kukira tiga saudara pengail ini kaki
tangan Lukman, maka sengaja kuganti kitab dengan
yang palsu. Didalam kitab ini aku mendapat bukti
bahwa memang betul Sekarsih ini anak tunggal
Handoyo karena disini terdapat tulisan Handoyo yang
Halama 114 / 122 merupakan catatan ketika ia melarikan diri dari
serangan Belanda di Jogja.
Malah nama Pujowaluyo disebut-sebut. Maka
sudah sah Sekarsih menjadi ahli waris Pujowaluyo di
Semarang. Aku sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa Lukman secara cerdik sekali menyamar sebagai
Sutejo dengan maksud untuk mendekati Sekarsih.
Memang dia pintar sekali. Baru setelah mas Slamet
melihat ia menggunakan gunting dengan tangan kiri,
aku menduga bahwa dialah Lukman."
Ia berhenti sebentar untuk menghirup teh
kental yang dihidangkan oleh Sekarsih.
"Tentu saja begitu mendapatkan kitab ini,
selesai tugasku menjelidiki ahli waris Pujowaluyo dan
dapat kuajak Sekarsih ke Semarang menerima haknya.
Akan tetapi, teringat akan Lukman aku sengaja hendak
mempergunakan Sekarsih dan urusan ini untuk
menjadi umpan, untuk dapat menangkap penjahat
berbahaya dan licin itu."
"Akan tetapi, pak", tanya Slamet, "kalau
Lukman ingin menculik Sekarsih, kenapa ia mengguna
kan segala macam akal itu?"
"Dia cerdik. Dia tidak mau bertindak sebelum
yakin bahwa Sekarsih memang ahli waris yang dicariHalama 115 / 122
cari itu. Maka ia mula-mula menyuruh kaki tangannya
menculik, akan tetapi usaha ini gagal karena
kegagahan saudara bertiga. Pertama-tama gagal
karena aku sengaja menghalangi ketika Sekarsih
diganggu dipantai, kedua kalinya gagal karena
pertolongan saudara bertiga. Lalu Lukman mendengar
tentang kitab itu, maka ia menjadi penasaran. Hendak
dipaksanya Pak Loka mengaku pada malam itu dengan
menakut-nakuti dan memukulinya..."
"Ah, jadi Lukman pula yang melakukan hal itu?"
tanya Rebo. "Lukman atau Sutejo. Didalam gelap ia dapat
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan itu tanpa dikenal oleh Pak Loka. Ketika ia
mendengar dari mas Rebo bahwa Pak Kurdo mungkin
seorang polisi, dia ketakutan dan tidak mau
menggunakan akal lagi, melainkan hendak mengguna
kan kekerasan. Maka ia sengaja mengajak pergi
Sekarsih yang lalu diculiknya dan dipaksa ikut ke
Becici. Kaki tangannya menculik Pak Loka dan seorang
Penghulu. Kalau mereka sudah menikah dengan sah,
otomatis harta pusaka itu akan terjatuh ke
tangannya." "Keji sekali !" Bejo berkata. "Sebetulnya, apakah
yang terjadi atas diri Pak Handoyo, ayah Sekarsih?"
Halama 116 / 122 "Ketika Handoyo bersama isteri dan anaknya
menyeberang sungai di Kretek, rakit yang ditumpangi
nya terguling dan hanjut. Handoyo bersama isterinya
lenyap akan tetapi anaknya secara kebetulan dapat
ditolong oleh Pak Loka dan selanjutnya dipelihara
sebagai keponakannya, yaitu Sekarsih inilah."
"Saja masih penasaran, pak. Apakah sebetulnya
catatan yang terdapat dalam kitab itu?" tanya Rebo.
Pak Wibowo tertawa. "Kalian bacalah sendiri."
Sambil memberikan kitab tua itu. Setelah
mereka membuka halaman paling akhir, disebelah
dalam sampulnya ternyata terdapat tulisan tangan
yang sudah agak kabur karena kitab inipun tadinya
hanjut dan kebetulan ditemukan oleh Pak Loka
didekat anak yang hanjut itu. Bunjinya demikian:
Terpaksa lari mengungsi keselatan
bersama Darmi dan Sekarsih. Kasihan Sekarsih,
anak yang belum tahu apa-apa ini, dalam usia
satu tahun harus dibawa berlari-lari mengungsi.
Celakanya, kangmas Pujo menjadi penghianat,
tunduk kepada Belanda, mau dijadikan kaki
tangannya. Bagiku, lebih baik mati daripada
taluk kepada penjajah Belanda!
Halama 117 / 122 Tulisan itu memang singkat saja, merupakan
pencetusan hati yang marah dan berduka, akan tetapi
kini menjadi bukti yang amat penting bahwa Sekarsih
memanglah anak Handoyo dan karenanya ahli waris
Pujowaluyo! Tak salah lagi, nama nyonya Handoyo
adalah Darmi, ibu Sekarsih, anak yang semenjak
berusia setahun berpisah dari ayah-bundanya itu.
Sampai jauh malam mereka bercakap-cakap dan Pak
Wibowo menjelaskan segala hal yang tadinya masih
merupakan rahasia. Ia menambahkan bahwa baiknya
kebetulan sakali disitu terdapat tiga orang pengail ini,
yang dalam urusan ini merupakan bala bantuan yang
amat berharga. "Kalau tidak ada kalian bertiga, ketika aku
dirobohkan dan dilukai oleh para penjahat itu di
pantai, kiranya Sekarsih sudah diculik naik mobil dan
dilarikan entah kemana."
"Yang amat kuherankan Sutejo... eh, Lukman
itulah. Kelihatannya begitu sungguh-sungguh ia
menjadi pertapa muda yang patah-hati. Begitu sopan,
begitu halus.... malah ... ehemm... ehemm... tadinya
kusangka Sekarsih malah tertarik pula kepadanya."
Merah wajah dara itu. Halama 118 / 122 "Tertarik sih masih jauh, mas Slamet. Hanya,
siapa orangnya tidak kasihan melihat seorang pemuda
terlunta-lunta sampai pingsan di Guwalangse? Siapa
kira semua itu sandiwara belaka..."
Setengah tahun kemudian, Slamet, Rebo, dan
Bejo diundang untuk menghadiri dan merestui sebuah
pesta pernikahan. Sekarsih menjadi pengantin di
rumah... Pak Wibowo di Semarang! Harap para
pembaca jangan keliru menyangka, bukan... bukan
Pak Wibowo yang mempersunting kembang pantai
Segorokidul itu. Pak Wibowo hanya menjadi... ayahmertuanya. Sekarsih menikah dengan putera-tunggal
Pak Wibowo, Insinyur Gunawan.
Yang menjadikan kegembiraan Slamet, Bejo,
dan Rebo adalah ketika mereka menjerahkan
sumbangan-sumbangan sekadarnya, mereka menerima... hadiah balasan dari mempelai puteri yang
ketika mereka buka ternyata berisi...alat-alat pancing
yang bagus buatan Luar negeri!
Tentu pembaca timbul dugaan bahwa Pak
Wibowo curang, mengambil mantu seorang ahli waris
yang kaya raya? Keliru. Biarpun semenjak kecil hidup
di pantai dan miskin, Sekarsih tidak mau menerima
Halama 119 / 122 warisan itu, malah menyerahkan semuanya ke BadanBadan Sosial. Apa sebabnya? Bukan lain karena
catatan ayahnya itulah. Ia tidak mau menerima warisan dari seorang
yang telah menjadi penghianat bangsa, biar orang itu
pamannya sekalipun. Pak Wibowo menyayogiakan
sangat keputusan ini karena menurut penyelidikan
nya, harta benda yang dikumpulkan oleh mendiang
Pujowaluyo itu pun didapat dari jalan yang tidak halal,
dari korupsi dan main jatah T. S. T.
Sampai cerita ini ditutup, Slamet, Bejo dan Rebo
masih menjadi orang-orang yang hobbynya mengail di
Guwolangse. Banyak sekali kemungkinan pembaca
yang berani menuruni jalan monyet ke Guwolangse,
akan bertemu dengan mereka yang tentu akan dapat
menceritakan kisah diatas lebih jelas dan lebih ramai
lagi. TAMAT Surakarta, Awal Mei 1966.
Halama 120 / 122 Cerita silat karya Kho Ping Hoo yang paling baru dan
paling panjang akan segera terbit !
RAJA PEDANG BARU ! BUKAN ULANG CETAK Belum pernah dibukukan sebelumnya.
Lebih panjang daripada ceritasilat-ceritasilat karya
Kho Ping Hoo yang lain. *** GODA REMAJA Roman modern, kisah diantara remaja, penuh contohcontoh yang patut dibaca setiap orang muda remaja.
Karya Kho Ping Hoo. Halama 121 / 122 PERNYATAAN File ini adalah sebuah hasil dari usaha untuk
melestarikan buku novel Indonesia yang sudah sulit
didapatkan di pasaran, dari kemusnahan. Karya
tersebut di scan untuk di-alih-media-kan menjadi file
digital. Ada proses editing dan layout ulang yang
membuat nomor halaman versi digital ini berbeda
dengan aslinya, hal ini dikarenakan hasil dari proses
scan kurang jelas terbaca, maupun perubahan ejaan.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya yang dilestarikan ini.
Kami tidak bertanggung jawab atas tindakan
pihak lain yang menyalahgunakan file ini diluar dari
apa yang kami nyatakan pada paragraf diatas.
CREDIT ? Gunawan Aj D.A.S Kolektor E-Books Halama 122 / 122 Interograsi Maut 3 Metropolis Karya Windry Ramadhina Pendekar Pendekar Negeri Tayli 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama