Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
COVER Halama 1 / 122 Halama 2 / 122 "SEKARSIH" ( DARA SEGARA KIDUL ) Oleh: KHO PING HOO Dilukis oleh: Sriwijono Penerbit / Pencetak : CV. GEMA
Mertokusuman 761 Blok 17/VI SALA Halama 3 / 122 Nama-nama para tokoh dalam cerita ini hanyalah
khayalan pengarang belaka, persamaan nama dengan
siapapun juga hanya merupakan satu kebetulan yang
tak disengaja. Pengarang. Izin penerbitan Izin : No. Pol. 5/54/Intel/Vll/1965
Cetakan Pertama Percetakan / penerbit C.V. GEMA - Sala 1966
Halama 4 / 122 >-> DARA PARANGTRITIS <-<
Oleh: kho ping hoo TIDAK ada kesenangan di dunia ini melebihi
kesenangan mengail ikan di Segoro kidul (Laut
Selatan)! Tentu saja ini pendirian orang yang
mempunyai hobby (kesukaan) mengail! Coba tanya
pada mereka yang tak senang, uuuhhh, mereka akan
mengernyitkan hidung lalu mencela:
"Huhh mengail? Kesenangan tak ada gunanya,
hobby orang pemalas!" Malah banyak kanak-kanak
yang mengejek: "Pemancing makannya Cacing!" yang
kalau diartikan untuk mengejek berarti bahwa
pemancing suka makan cacing. Padahal, tentu saja arti
sesungguhnya adalah bahwa pemancing mengguna
kan cacing sebagai umpan.
Betapapun juga, hobby memancing ikan adalah
termasuk jenis hobby yang baik, apalagi kalau disini
dimaksudkan mengail di Segoro kidul, baik bagi
kesehatan karena kalau orang pergi mengail ke pantai
Jogja seperti ke Watuleter, ke Dwarawati, apalagi ke
Guwolangse, Becici dan pantai yang jauh-jauh lagi,
orang harus berjalan naik-turun anak-gunung, naik
Halama 5 / 122 turun batu-batu karang dan hal ini merupakan olahraga yang cukup berat. Baik pula bagi latihan watak,
supaya sabar, tekun. Belum lagi ketenangan batin
yang didapatkan dalam mengail, membuat orang lupa
akan hal-hal yang meruwetkan pikiran.
Dua buah sepeda-motor menderung-derung
sepanjang jalan berdebu antara JogjakartaParangtritis. Jalan itu menjurus lurus ke selatan dari
Jogja ke pantai laut, jalannya agak rusak berdebu,
kering dan disepanjang jalan hanya sawah-sawah
belaka. Agar jangan terganggu debu, dua buah
sepeda-motor itu berjalan sejajar di kanan kiri
meninggalkan debu tebal mengebul di sepanjang
jalan, memenuhi jalan yang kering melengking.
Baiknya jalan Jogja-Parangtritis ini selalu sunyi, jarang
ada kendaraan lewat sehingga enak saja dua buah
sepeda-motor itu jalan sejajar seperti itu, melanggar
peraturan lalu-lintas. Mereka itu adalah tiga orang pengail, atau lebih
tepat lagi, tiga orang yang memiliki hobby (kesukaan)
mengail di pantai laut selatan. Dari keadaan sepedasepeda motor mereka saja mudah dilihat bahwa
mereka itu hendak pergi mengail. Walesan panjangpanjang malang-melintang, membawa segala macam
peralatan dari alat-mancing sampai tenda dan tempatHalama 6 / 122
air minum, sampai pula termos dibawa-bawa. Bukan
tempat es batu untuk minum, melainkan tempat
umpan. Memang istimewa umpan memancing di lautkidul ini, mewah mengalahkah makanan para pengail
itu sendiri. Udang atau cumi-cumi yang masih segar,
dimasukkan termos dengan es batu agar tidak lekas
membusuk. Rebo, seorang tinggi kurus yang berhidung
panjang, menunggang sebuah brompit DKW tua.
Hebat benar Rebo ini. DKW-nya penuh bergantungan
barang-barang perlengkapan mengail, sampai tidak
kelihatan seperti brompit lagi. Seperti orang pergi
mengungsi saja. Sepeda-motor yang sebuah lagi adalah sebuah
Vespa Scooter, ditunggangi oleh Slamet yang
berboncengan dengan Bejo yang bertubuh tinggi dan
nampak kuat. Slamet berpotongan sedang saja, Juga
pada Scooter ini bergantungan segala macam alat
perlengkapan, malah ada sebuah lampunya, lampu
kapal yang dapat menahan tiupan angin keras.
Mereka bertiga ini adalah orang-orang biasa
saja, orang-orang dari Solo yang sudah biasa mengail
di Laut Kidul sampai mereka menjadi ketagihan kalau
tidak pergi ke daerah ini satu bulan saja. Bagi mereka
Halama 7 / 122 ini mengail di Laut Kidul merupakan hobby dan sport.
Mereka menjalankan kendaraan perlahan dan hatihati karena jalan yang penuh debu itu menutupi
lubang-lubang jalan yang Cukup berbahaya kalau si
pengendara tidak hati-hati.
Tiba-tiba Rebo yang mengendarai DKW-nya di
sebelah kiri, berseru kaget dan brompitnya
berlenggak-lenggok seperti ular. Ternyata ban
brompitnya telah slip memasuki debu yang agak tebal.
Baiknya ia cukup tenang dan mahir sehingga biarpun
harus berdemonstrasi seperti ular, ia selamat tidak
sampai jatuh dan dapat melalui tutupan debu tebal
itu. "Ha-ha-ha, kau mau main komidi-kah ?" tegur
Slamet yang tadi kaget juga melihat temannya hampir
terguling. "Bukan main komidi, Rebo sudah tak sabar lagi
menanti. Sudah rindu kepada Hiu Sebantal yang telah
menunggu-nunggunya di Guwolangse!"
Bejo menyambung. Yang dimaksudkan dengan Hiu Sebantal adalah
ikan-ikan hiu yang memang banyak terdapat di laut
Guwolangse dan seringkali mereka dapatkan kalau
mengail. Rebo yang digoda hanya tersenyum
Halama 8 / 122 menyeringai. Kaca mata hitamnya dan topi pengailnya
membuat ia tampak makin lucu, apalagi sekarang
mukanya keputihan terkena debu.
Setelah mereka sampai didekat Kretek,
tersusullah oleh mereka rombongan orang-orang
bersepeda, berkereta, ada yang berjalan kaki. Malah
baru saja beberapa buah mobil pick-up mendahului
mereka. "Wah, ramai nih di Parangtritis", kata Slamet.
"Tentu saja. Setiap tanggal satu Suro pasti
ramai," kata Rebo. "Kalau begitu kita bisa ikut nonton keramaian,
malam ini tidur di Parangtritis, besok pagi-pagi baru ke
Guwolangse," kata Bejo.
Setibanya di penyeberangan Kretek dimana
dibangun jembatan darurat oleh penduduk setempat,
tiga orang ini berhenti dan membayar kepada pos
penjagaan untuk "pajak jembatan". Keadaan di Kretek
saja sudah amat ramai, penuh orang-orang yang
berbondong-bondong menuju ke Parangtritis. Banyak
sekali mereka ini, datang dari pelbagai daerah. Malah
tidak kurang yang datang dari Solo bersepeda saja.
Sembilanpuluh kilometer bersepeda, bayangkan saja
jauhnja! Mereka ini berangkat tadi malam, pada
Halama 9 / 122 tengah malam. Memang masih besar kepercayaan
orang akan hikmah Satu Suro. Biasanya pada saat ini
mereka melakukan "prihatin", mengunjungi tempattempat yang mereka anggap keramat dan
diantaranya, pantai Segoro-kidul merupakan tempat
yang paling terkenal sebagai tempat keramat, pusat
kerajaan Nyi Roro Kidul, ratu Segoro Kidul.
Demikian ini tentu saja menurut kepercayaan
mereka yang masih dicengkeram oleh dongengdongeng mistik tentang Nyi Roro Kidul. Namun harus
dibuat gembira bahwa sebagian besar daripada para
pengunjung pantai laut yang indah itu semata-mata
hanyalah dengan maksud berpesiar di hari besar,
sambil menonton "orang-orang" yang merayakan
Suro di pinggir laut. Kekuasaan dongeng-dongeng
mistik jaman dahulu memang sudah menipis dan
sekarang setiap orang muda takkan ragu-ragu untuk
berkelakar tentang Nyi Roro Kidul, sungguh pun
kelakar itu bukan sengaja dimaksudkan untuk
berkurang ajar, melainkan lebih condong kepada
keinginan memperlihatkan ketidak-percayaan mereka
akan tahyul. Sebelum memasuki Parangtritis, para pengunjung melewati daerah "bukit-pasir" atau
"gurun-pasir" kecil. Memang menakjubkan sekali.
Halama 10 / 122 Pasir-pasir halus putih bersih yang ditiup angin
meninggalkan pantai, sedikit demi sedikit dapat
berkumpul merupakan bukit-bukit pasir yang beribu
meter kubik banyaknya! Senang juga berjalan-kaki
diatas "gurun-pasir" ini. Akan tetapi para pengendara
brompit mengalami kesukaran. Terpaksa kendaraan
mereka harus di-dorong-dorong, berat kalau ban
sudah terbenam pasir. Apalagi kalau kendaraan itu
Scooter yang berat. Slamet dan Bejo sampai terengahengah mendorong Vespa lewat gurun-pasir itu.
Seperti biasa, di Parangtritis atau lebih terkenal
disebut Mancingan, tiga orang pengail itu menitipkan
kendaraan-kendaraan mereka di rumah Pak Madi,
langganan me reka, seorang pemilik warung kecil yang
ramah tamah dan sederhana. Pak Madi menyambut
mereka dengan gembira. Kedatangan tiga orang
pengail ini merupakan rejeki baginya, karena selain
uang hadiah penitipan kendaraan dan sewa kamar,
juga Pak Madilah yang biasanya menjamin makanan
dan kadang-kadang Pak Madi sendiri yang mengantar
mereka ke Guwolangse, membawakan perbekalan
yang banyak itu. Biarpun hari masih pagi, pantai sudah penuh
orang. Malah lebih dari sepuluh buah mobil sedan,
piek-up dan truck sudah berjajar, membawa para
Halama 11 / 122 penumpang dari luar kota. Tidak hanya AB tandanomor mobil-mobil itu, ada pula yang H (Semarang),
AD (Solo) dan A A (Kedu). Malah ada sebuah yang
pakai huruf B (Jakarta)! "Aduh ramai benar, lebih ramai daripada tahun
yang lalui" kata Rebo yagg segera keluar untuk
menonton. Setelah menurun-nurunkan perbekalan
nya, Slamet dan Bejo juga keluar, menonton tentunya.
Apa yang ditonton? Bukan lain, yang ditonton adalah
orang! Memang aneh dan lucu. Mungkin diantara
banyak macam mahluk didunia ini, hanya oranglah
yang suka menonton sesama orang. Akan tetapi harus
diakui bahwa memang amat menarik menonton orang
banyak, menonton kelakuan mereka, gerak-gerik
mereka. Apalagi dalam kesempatan seperti ini Slamet,
Bejo dan Rebo diam-diam terpaksa menahan ketawa,
gelihati mereka menjaksikan adegan-adegan yang
amat lucu. Mereka melihat para pedagang kelapa
muda, laki-laki dan wanita, dengan amat fasih dan
pandainya menawarkan dagangan mereka.
"Dawegan (kelapa muda), mas! Untuk syarat,
mohon keselamatan!" ramai suara para pedagang
kelapa muda ini menawarkan dagangannya, sambil
membujuk-bujuk orang kota. Dalam cara dan gaya
masing-masing kesemuanya amat sederhana tidak diHalama 12 / 122
buat-buat, mereka menyatakan bahwa setiap orang
tamu yang datang harus "menghaturkan" kelapa
muda untuk "syarat". Ramai pula orang-orang kota
menyambut, ada yang menanyakan cara-caranya.
Dengan lincah gadis-gadis pesisir itu menerangkan.
Kelapa muda harus dilempar ke laut, nanti kalau
dikembalikan ombak boleh dibuka dan diminum
airnya. Kalau kelapa yang di lempar itu tidak kembali,
berarti "diterima" dan akan mendapat berkah!
Bermacam-macam cara mereka memberi keterangan,
akan tetapi pada pokoknya sama, yaitu mohon berkah
keselamatan banyak rejeki.
Bukan main banyaknya orang-kota yang
melakukan "upacara" ini. Sambil tertawa-tawa malu,
ada yang secara serius, ada yang menutupi
kecanggungannya sambil, berkata: "Ah, biarlah, ikuti
saja upacara tradisionil!" Padahal di dalam hati betulbetul tunduk dan betul-betul mengharapkan berkah
dan rejeki sebanyak-banyaknya! Yang betul saja, para
pedagang kelapa muda itulah yang kebanjiran rejeki.
Dua tiga kali lipat daripada harga dipasar dijualnya
kepada orang-orang kota yang merupakan makanan
empuk. Hanya mereka yang seringkah datang ke
Parangtritis seperti tiga orang pengail itulah yang
kenal akan "taktik" ini dan diam-diam mereka tertawa,
Halama 13 / 122 girang melihat penduduk pesisir mendapat untung
banyak dan geli melihat kebodohan "orang-orang
kota" yang biasanya menganggap diri sendiri pintar
dan orang-orang kampung bodoh itu.
Makin tinggi matahari naik, makin panaslah
pantai laut itu. Sedikit demi sedikit para pengunjung
meninggal kan pantai dan menjelang sore hari pantai
sudah sunyi lagi. Hanya bekas-bekas keramaian yang
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tampak yaitu gubuk-gubuk penjual jajanan
disepanjang pantai, gubuk-gubuk darurat yang
sekarang mulai dibongkar orang, Yang menjolok sekali
adalah daun-daun, kertas-kertas, bekas pembungkus
makanan, tersebar di seluruh pantai. Ada yang
bergerak-gerak menggelinding terhembus angin.
Kalau ada pergerakan dipantai sunyi, kiranya hanya
gerakan beberapa orang yang membongkar gubukgubuk dan daun atau kertas yang tertiup angin.
Ah, tidak hanya itu. Lihat, dipantai yang dicapai
ombak. Ada tiga orang perempuan berjalan cepatcepat mendorong bambu di depan dada. Mereka ini
gadis-gadis pencari "jingking", semacam binatang
kecil yang ter bawa air laut sampai keatas pasir,
berlari-lari cepat sekali. Jingking ini sukar sekali
ditangkap karena cepat larinya. Akan tetapi para
penangkap jingking, gadis-gadis itu menggunakan
Halama 14 / 122 papan yang diberi gagang bambu, didorong diatas
pasir untuk meratakan pasir sehingga kalau ada
jingking maka binatang kecil ini akan nampak dan
ditangkaplah cepat-cepat, dimasukkan kedalam
keranjang kecil yang sudah disediakan untuk itu.
Gadis-gadis ini berjalan cepat mendorong gagang
pengrata pasir sambil tunduk melihat keatas pasir.
Kadang-kadang membungkuk untuk menangkap
jingking, lalu jalan lagi dari barat ketimur, kalau sudah
sampai di ujung, kembali lagi ke barat. Pekerjaan ini di
lakukan dengan penuh kesabaran, dari sore hari
sampai kadang-kadang jauh malam. Pekerjaan
sederhana. Tiga orang pengail itu masih berada didepan
warung Pak Medi, memandang kearah gadis-gadis
pencari jingking. "Bo, apakah yang paling depan itu bukan
Sekarsih?" tanya Slamet sambil menunjuk ke arah tiga
orang gadis yang berjalan cepat, nampak indah sekali
karena latar belakangnya kaki langit suram memerah.
Tiga orang gadis itu nampak seperti tiga buah
bayangan hitam yang bergerak-gerak.
Yang ditunjuk adalah bayangan seorang gadis yang
amat indah potongan tubuhnya, seperti rata-rata
Halama 15 / 122 dimiliki gadis-gadis dusun yang biasa bekerja keras.
Seperti gadis-gadis pantai lainnya, diapun hanya
memakai tapih-pinjung, yaitu kain yang ditarik keatas
menutupi dada, ke bawah sampai ke lutut. Bedanya
dari dua orang gadis yang lain, gadis ini rambutnya
panjang terurai seperti rambut Peri dalam dongeng,
tidak seperti dua orang gadis lainnya yang bergelung
rambut. Rebo dan Bejo segera mengenal gadis itu.
"Siapa lagi kalau bukan dia?" kata Rebo dengan
nada kagum. Mereka bertiga kenal baik Sekarsih, dara
Segoro Kidul yang amat jelita dan sederhana. Gadis ini
amat menarik perhatian mereka, juga semua orarg
kota yang pernah melihatnya, karena berbeda dengan
gadis-gadis pantai lainnya, kulit tubuhnya kuning
langsap dan halus seakan-akan panasnya matahari
tidak pernah mempengaruhinya. Pula, sepasang
matanya amat tajam dan jeli, dengan bulu matanya
yang panjang lentik mengingatkan orang akan puteriputeri Solo atau Jogja. Yang sama dengan gadis-gadis
pantai lainnya adalah kesederhanaannya, baik dalam
hal berpakaian maupun dalam tutur katanya, dalam
kegembiraannya seprti yang tampak sekarang ia
berlari berkejaran dengan dua orang temannya sambil
memanggul bambunya. Dari jauh, dalam cuaca yang
Halama 16 / 122 remang-remang itu, mereka nampak seperti tiga
orang Srikandi memanggul bedil dan berlari-larian
menyerbu musuh. Rebo menjadi gembira melihat kegembiraan
tiga orang gadis pantai itu. Ia bertepuk tangan keras
dan berseru : "Karsih!"
Gadis-gadis itu mendengar seruan ini. Sekarsih
yang suara ketawanya nyaring melengking terbawa
angin sampai ke telinga tiga orang itu, menoleh dan
melambaikan tangan, tapi melanjutkan permainannya
berkejaran dengan dua orang temannya sampai
lenyap ditelan gelap. Rebo dan teman-temannya memang mengenal
baik gadis itu. Ketika pertama kali mereka mengail di
daerah ini dan bertemu dengan Sekarsih, mereka
terheran-heran dan kagum sekali. Malah mereka
sempat mengeluarkan kata-kata menggoda kepada
gadis jelita itu. Dan apa kata Sekarsih? Jawaban
dengan kata-kata halus yang sederhana, dengan nada
bersungguh-sungguh sehingga wajahnya yang manis
dan jelita itu nampak agung mendatangkan rasa
hormat : "Mas bertiga ini datang dari kota kesini hendak
memancing, bukan? Harap berhati-hati, apa lagi kalau
Halama 17 / 122 memancing ke Guwolangse, tidak boleh sembarangan
dan tidak boleh main-main. Kalau mas bertiga
menggoda saja, saya takkan senang berkenalan
dengan mas bertiga dan juga... hasil mancing akan
buruk sekali." Slamet dan dua orang temanya bukanlah orangorang yang percaya akan tahjul, maka ucapan gadis
jelita itu hanya mereka tertawakan saja. Akan tetapi...
apa jadinya? Memancing sehari-semalam hanya
memperoleh hasil... dua ekor ikan, itupun seekor hiu
kecil dan seekor lagi ular atau belut! Mereka mulai
merasa heran terhadap Sekarsih, apalagi ketika
mereka melihat gadis itu bersama seorang laki-laki tua
turun ke Guwolangse, lalu... berloncatan dengan
sigapnya dari karang ke karang, dengan amat berani
sampai menimbulkan kengerian diliati tiga orang lakilaki itu ketika gadis jelita ini mencari kesempatan
selagi ombak belum datang, turun keatas batu karang
mencabuti karangan (rumput laut yang tumbuh diatas
batu karang). Pekerjaan yang amat berbahaya sekali.
Sudah banyak pencari-pencari rumput laut, laki-laki
dan kuat lagi muda, tewas karena salah hitung dan
dihantam ombak selagi ia mencabuti rumput,
dihanyutkan dan dibantirg sampai hancur-hancur
kepada batu karang! Dan gadis jelita ini dengan lincah
Halama 18 / 122 dan senyum-senyum manis menghias bibirnya,
bermain-main dengan maut yang dibawa ombak
Segoro Kidul. "Astagfirulah...!" Rebo berbisik. "Kalau tidak
tahu bahwa dia itu Sekarsih dara Segoro-kidul yang
mencari jingking di Mancingan, tentu kusangka dia Nyi
Roro Kidul sendiri" Setiap kali pergi memgail ke Guwalangse,
mereka bertiga tentu melihat Sekarsih dan perkenalan
mereka makin erat. Akan tetapi, sikap dan keadaan
gadis jelita itu membuat mereka tidak berani mainmain, tidak berani bersikap kurang ajar atau
sembrono. Gadis itu sungguhpun hanya seorang gadis
pantai yang sederhana, entah bagaimana,
menimbulkan sikap sopan dan hormat kepada Rebo
dan teman-temamnya. Mereka menjadi kenalan baik
dan seringkah Sekarsih atau pamannya yang bernama
Pak Loka, memberi singkong bakar atau kelapa muda
kepada tiga orang pengail itu. Di lain fihak, tiga orang
pengail itupun tidak mau berlaku pelit, seringkah
mereka memberi hasil pancingan, yaitu ikan-ikan yang
agak kecil kepada Sekarsih, dan kepada Pak Loka
mereka memberi rokok. Karena mereka bertiga selalu
bersikap sopan, Sekarsih menaruh kepercayaan
kepada mereka. Malah pamannya pun tidak
Halama 19 / 122 keberatan kalau gadis itu mengantar singkong atau
kelapa muda ke Guwolangse.
"Senang benar hidup seperti Sekarsih..." kata
Slamet seperti melamun. "Setiap hari bermain dengan
ombak, melihat kebesaran alam, jauh dari masyarakat
kota dimana sebagian besar manusia hidup diatas
nafsu" Ia menarik napas panjang.
"Heh-heh. Met. Kau mau bilang senang hidup
disini bersama Sekarsih, bukan?" Rebo menggoda
sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Slamet menggeleng kepala. "Tidak, Bo. Seorang
isteri yang setia bagiku sudah Cukup, apalagi ditambah
anak-anak. Aku bicara sesungguhnya, Kau lihat saja,
dimana ada gadis-gadis kota yang pada saat seperti ini
berkejaran dengan teman-teman sehabis kerja dan
men dapat hasil, berkejaran ditepi laut, bebas lepas
seperti ombak-ombak itu sendiri? Gadis-gadis kota
pada saat seperti ini paling-paling berdiri dalam
antrian, membeli karcis bioskop, atau jalan-jalan
disepanjang kaki lima dengan pakaian-pakaian indah
sambil mengisap hawa kota yang penuh debu"
"Ha-ha, Slamet mulai berfilsafat..."
Bejo mentertawakan. Halama 20 / 122 Sambil menyeruput kopi panas yang
dihidangkan oleh Mbok Madi, tiga orang itu bercakapcakap.
Percakapan mereka terhenti ketika kelihatan
dua orang datang memasuki warung Pak Madi, Dua
orang yang menarik perhatian karena amat jauh
berlawanan dengan kasederhanaan warung dan
sekelilingnya. Dua orang laki-laki yang baru masuk ini
berpakaian gagah, keduanya memakai jaket yang
sama. Dua orang berusia tiga puluh tahun, bertubuh
tegap bermata tajam, rambut dan sepatu mengkilap
seakan-akan tidak pernah terganggu pasir dan angin
laut. Dengan langkah tegap mereka memasuki warung
dan melempar pandang tak acuh kepada Rebo dan
dua orang temannya. Kedatangan dua orang ini memang mengherankan. Tadi agaknya pantai sudah sunyi
sekali, sudah ditinggal pergi semua pengunjung.
Kenapa sekarang tiba-tiba muncul dua orang ini?
Apakah mereka ketinggalan kendaraan? Ataukah
pedatang baru? Pak Madi dengan senyum gembira menyambut
dua orang tamunya, mempersilahkan mereka duduk
setelah mengebut kursi-kursi yang penuh pasir.
Halama 21 / 122 Warung Pak Madi memang selalu di "hujani" pasir
yang terbawa angin, pasir-pasir lembut halus.
"Silahkan duduk, den. Hendak pesan minuman
apa?" Seorang diantara mereka yang mengisap rokok
keretek melirik kearah Rebo dan tamu-tamunya,
melirik kearah gelas-gelas kopi, lalu menjawab: "Beri
kami dua gelas kopi panas, pak." Suaranya parau
seperti burung gagak. Orang kedua, yang giginya mengkilap ketika
bibirnya agak terbuka, gigi sebelah kanan juga
diselaput emas, melirik-lirik kearah Rebo dan
temannya. Akan tetapi tiga orang pengail ini mulai
membuka perabot dari dalam tas dan mengeluarkan
senar dan lain-lain untuk dipersiapkan. Besok pagipagi sekali mereka akan sudah berangkat ke
Guwolangse. Lenyap keraguan dan kecurigaan juga
yang tadinya membayang di wajah si gigi emas ketika
mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu hanyalah
pengail-pengail. "Wah, hari tadi banyak tamu, ja Pak?" Si Gigi
Emas bertanya kepada Pak Madi yang mengeluarkan
beberapa macam penganan seperti tempe-kripik,
Halama 22 / 122 karak dan lain-lainnya dalam stopfles-stopfles yang
sudah ditambal. "Lumayan, den. Akan tetapi tidak seramai tahun
yang lalu." Setelah minum kopinya beberapa teguk, si Gigi
Emas bertanya sambil lalu: "Bapak tentu sudah lama
sekali tinggal disini, ya?"
Pak Madi tertawa senang. "Saya semenjak lahir
berada disini, den. Kalau tidak salah, sudah empatpuluh tahun lebih."
Dua orang tamu itu mengangguk-angguk,
nampak puas. Kini yang suaranya parau bertanya
setelah menoleh kearah Rebo dan teman-temannya
yang masih asik membereskan alat-alat mancing.
"Pak, apakah didaerah ini terdapat seorang
yang bernama Pak Loka?"
Rebo dan teman-temannya bermain mata, akan
tetapi pura-pura tidak mendengarkan dan masih sibuk
membereskan senar pancing yang ruwet. Tentu saja
disebutnya nama Pak Loka, teman baik mereka,
paman Sekarsih, amat menarik perhatian.
Halama 23 / 122 "Tentu saja saja mengenalnya, den. Pak Loka
adalah seorang penduduk lama, lebih tua malah
daripada saja sendiri."
Dengan pertanyaan-pertanyaa yang dikeluar
kan dengan nada sambil lalu dua orang tamu itu
mencari keterangan tentang Pak Loka. Akan tetapi
biarpun nampaknga hanya sambil lalu, Rebo dan dua
orang temannya merasa bahwa ada sesuatu yang
aneh pada dua orang ini, terutama sekali karena dua
orang ini tidak satu kalipun menyatakan mengapa
mereka bertanya-tanya tentang Pak Loka. Setelah
mendengar agak jelas tentang keadaan Pak Loka,
tentang pekerjaannya, si Gigi Emas bertanya lagi:
"Kalau dia seorang penduduk sini yang tua,
tentu tujuh belas tahun yang lalu ia berada disini,
pak?" "Tujuh belas tahun yang lalu?"
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Madi mengingat-ingat.
"Sekarang ini tahun 1966, jadi tujuh belas tahun
yang lalu... tahun berapakah itu? Waktu apa?" Pak
Madi nampak bingung. "Sukar kalau memakai angka-angka," kata
teman si Gigi Emas yang suaranya seperti burung
Halama 24 / 122 gagak tertawa, "begini saja. Dijaman Belanda
menjerang Jogjakarta, nah, pada waktu itu, apakah
Pak Loka sudah tinggal disini?"
"Oooh di waktu itukah? Dijaman geger? Ingat
benar saya, Pak Loka ketika itu masih tinggal di
Kretek, betul di Kretek dan isterinya masih belum
meninggal" "Ah, jadi isterinya sudah meninggal dunia?"
Si Gigi Emas berkata dengan nada suara kaget,
akan tetapi Slamet yang diam-diam memasang mata
melihat beta pa orang itu mengerling tajam penuh arti
kearah kawannya. "Kalau begitu dia hanya tirggal
berdua dengan anaknja?"
Slamet, Bejo dan Rebo sebagai orang-orang
kota sudah amat menaruh Curiga kepada dua orang
yang menjelidiki keadaan Pak Loka ini. Akan tetapi Pak
Madi adalah seorang penduduk pantai yang terlalu
jujur untuk dapat merasai ini. Dia malah merasa
gembira dijadikan sumber keterangan dari orangorang kota yang gagah itu. Pak Madi tertawa bergelak.
"Anaknya ? Mana Pak Loka mempunjai anak?
Ada juga keponakannya, Sekarsih!"
Halama 25 / 122 "Kasihan, jadi tidak punya anak sendiri? Dan
keponakannya itu, anak siapakah?"
Pak Madi mengerutkan kening, nampak serius sekali.
"Itulah, den, yang merupakan rahasia Pak Loka.
Memang dia orang aneh. Ketika itu, saja masih ingat
betul, isterinya tahu-tahu sudah menggendong
seorang anak perempuan kecil, berusia kurang-lebik
setahun. Kalau ditanya orang, Pak Loka dan isterinya
hanya bilang bahwa itu anak keponakan mereka,
seorang anak yang ditinggal mati ayah-bundanjo.
Itulah Sekarsih. Akan tetapi dia tidak mau bilang siapa
orangtua Sekarsih''. Kembali dua orang itu main mata, hal ini dilihat
jelas oleh Slamet. Slamet sendiri bersama dua orang
temannya tentu saja pernah mendengar bahwa Sekar
sih adalah keponakan Pak Loka, akan tetapi tak pernah
menyelidiki sampai secermat itu. Kalau tidak ada
udang dibalik-batu, kalau tidak ada apa-apanya, masa
orang menyelidiki orang lain sampai sedemikian teliti?
Tiba-tiba terdengar orang berkulonuwun
(beruluk-salam) dari luar pintu dan masuklah seorang
laki-laki yang bertubuh kokoh tegap. Orang laki-laki ini
berusia empat puluh tahunan, tubuhnya nampak kuat
sekali, pakaiannya terdiri dari sebuah celana hitam
Halama 26 / 122 sebatas betis, sebuah baju lengan panjang warna
hitam pula yang tidak dikancingkan sehingga
memperlihatkan kaosnya yang bergaris-garis malang
dan ikat-pinggangnya dari kulit. Sinar matanya
membayangkan kebodohan, akan tetapi tarikan muka
dan dagunya membayangkan kekerasan hati dan
kekuatan kemauan. "Hoaa, Pak Madi. Laris warungmu, ya?" datangdatang orang itu menegur Pak Madi sambil tertawatawa lalu dengan enaknya menghempaskan diri diatas
pasir di-bawah, bersandar dinding, nampaknya lelah
sekali. "Kopi kental satu, pak".
Pak Madi mengerutkan keningnya, lalu berkata
dengan suara tak senang: "Makan minum kemarin
belum dibayar lho, bung!"
Orang itu tertawa menyeringai.
"Heh-heh-heh, Pak Madi. Kau pelit benar! Dua
piring nasi dan segelas kopi saja apa sih artinya?
Hitung-hitung sedekah Suro mengapa?"
"Enak saja!" Pak Madi membantah, melototkan
mata. "Kau baru saja datang dan kenal, masa begitu
datang lantas mau main hutang-hutangan dan tidak
Halama 27 / 122 bayar? Mana ada sedekah untuk orang segagah
engkau?" Orang itu nampak marah. "Sudahhh, hutangku kemarin itu berapa? Nanti
atau besok kubayar. Sekarang aku minta kopi
segelas!" "Ya sudahlah, hutang! Hutang lagi kopi
segelas!" Pak Madi tidak memperdulikannya karena dua
orang yang berpakaian gagah tadi minta diperhitung
kan jajan mereka. "Waah, Pak Madi hanya suka melayani orangorang kaja saja!" Si baju hitam mencela, bersungutsungut.
Dua orang itu menoleh dan memandang kepada
si baju hitam dengan marah, akan tetapi tidak berkata
apa-apa. Setelah dibajar semua harga minuman dan
jajanan, mereka keluar tergesa-gesa.
Sementara itu, Slamet yang merasa kasihan
melihat si baju hitam yang lagaknya seperti seorang
nelayan itu, mendekati Pak Madi dan berkata:
Halama 28 / 122 "Berilah kopi kental yang dimintanya, Pak Madi.
Soal hutangnya yang kemarin pun, biarlah nanti
perhitungkan dalam rekening saya".
Berseri wajah Pak Madi. "Baiklah kalau begitu, gus Slamet. Orang
dengan penghasilan kecil seperti saja ini, mana bisa
memberi sedekah kepada setiap orang?"
Akan tetapi sikap si baju hitam itu mengecewa
kan hati Slamet dan dua orang temannya. Bukan
sekali-kali menjadi watak Slamet untuk menerima
pembalasan budi dengan ucapan atau sikap, akan
tetapi melihat orang itu acuh-tak-acuh seakan-akan
tidak mendengar atau tidak mengerti bahwa ada
orang membayar makan-minum dan hutanghutangnya, malah menengok pun tidak, benar-benar
keterlaluan! Terdengar suara si baju hitam yang berkaos
nelayan itu bertembang diluar, lagunya Pangkur
Palaran. Boleh juga suaranya, terbawa angin laut
dimalam hari suara itu terdengar agak serem.
"Siapakah dia, pak?"
Tak sabar Rebo bertanya kepada Pak Madi.
Halama 29 / 122 Sambil mengembalikan stopfles-stopfles dan
mengambil gelas-gelas bekas kopi, Pak Madi
menjawab kurang perhatian:
"Ah, entah orang mabok dari mana. Kemarin dia
muncul, mengaku bernama Kurdo begitu, katanya dari
pantai sebelah barat. Ia menyombong hendak
menjaring ikan di daerah Guwolangse."
Bejo tertawa geli, "Menjaring ikan di
Guwolangse? Benar-benar dia mendem (mabok)
karbol! Mana ada manusia bisa berperahu di pantai
Guwolangse?" "Belum dapat seekor pun ikan teri, dia sendiri
sudah akan dijaring oleh ikan Cucut!" sambung
Slamet. "Eh, nanti dulu", kata Rebo. "Pak Madi, dia kau
tidak bilang hendak menjaring ikan apa, bukan? Kalau
begitu mungkin dia tidak sombong. Banyak macam
ikan di dunia ini. Jingking dan undur-undur juga sejenis
ikan, bukan? Nah, kalau hendak menjaring jingking
dan undur-undur saja memang bisa dia !"
Tiga orang itu tertawa bergelak, Pak Madi hanya
tersenyum saja. Sampai jauh malam SIamet dan dua
orang temannya bersendau-gurau dan Pak Kurdo yang
aneh itu banyak menjadi bahan sendau-gurau mereka.
Halama 30 / 122 Memang tiga orang Solo ini kalau sudah
mendapat kesempatan berlibur dan mengail di pantai
Selatan, mereka mempergunakan kesempatan ini.
Sebaik-baiknya untuk benar-benar menikmatinya,
bersenda- gurau dan melupakan kesukaran hidup
yang seribu satu macam banyaknya ini. Mereka
hendak benar-benar menikmati rekreasi selama duatiga hari, memberi kesempatan kepada otak untuk
beristirahat dan mengumpulkan kekuatan baru untuk
menghadapi seribu satu kesulitan lagi kalau sudah
pulang kerumah masing-masing.
Menjelang tengah malam, Slamet memperingat
kan teman-temannya. "Sudahlah, hayo kita tidur. Sudah hampir jam
dua belas nih. Besok kita harus berangkat pagi-pagi
benar." Mereka lalu membaringkan tubuh diatas. Bukan
di dalam bilik, bukan pula diatas ranjang atau
sedikitnya diatas balai-balai bambu, melainkan
diatas,... lantai berpasir itulah mereka membentang
kan tikar dan tidur. Bukan main enaknya tidur diatas
pasir ditilami tikar ini. Kalah ranjang Kairo dengan per
mendut-mendut ditambah kasur tebal empuk
berseprei putih bersih! Dan memang sudah biasa
Halama 31 / 122 mereka bertiga tidur di tempat itu, di lantai warung
Pak Madi yang tertutup pasir.
Tak ada kesenangan yang lebih nikmat, lebih
segar, lebih sehat dan begitu meringankan hati dan
pikiran daripada kesenangan berjalan di waktu subuh
dari Parangtritis menuju ke Guwolangse. Tentu saja
pendapat di atas ini adalah pendapat Slamet, Bejo dan
Rebo yang pada saat seperti itu berjalan di sepanjang
pantai Parangtritis (Mancingan) menuju ke timur,
kemudian mulai menyimpang melalui sawah-ladang
memanjat bukit, menuju ke Guwolangse.
Bagi Pak Madi yang membantu mereka
membawa barang-barang perlengkapan mengail dan
sudah berjalan cepat lebih dulu, agaknya tidak ada
perasaan nikmat seperti yang dialami tiga orang itu.
Dan inipun tidak aneh. Memang demikanlah watak
perasaan sebagian besar orang, yakni hanya pandai
menikmati sesuatu yang baru bagi mereka, setidaknya
sesuatu yang jarang mereka jumpai. Andaikata tiga
orang pengail dari Solo itu berkeadaan seperti Pak
Madi yang semenjak kecilnya berada di daerah pantai
Selatan, kiranya merekapun takkan merasai
kebahagiaan seperti di saat itu. Sebaliknya, andaikata
mereka dan Pak Madi sedang berjalan ditengahtengah keramaian kota, kiranya keadaannya akan
Halama 32 / 122 berbalik. Mereka bertiga akan bersikap tak perduli,
sedikitpun takkan ada rasa tertarik akan segala
pemandangan kota, akan tetapi kiranya Pak Madi lah
yang akan terbelalak keheranan dan penuh
kekaguman menikmati pemandangan kota dengan
segala gedung-gedung besarnya, dengan segala mobilmobilnya dan segala macam benda aneh-aneh yang
terjual di toko-toko. Maka, dengan adanya kenyataan yang tak dapat
dibantah ini, yaitu kebiasaan orarg yang hanya dapat
menikmati keadaan yang baru atau yang jarang di
jumpai, berbahagialah mereka yang dapat menikmati
Segala keadaan di segala waktu dan segala tempat.
Berbahagialah mereka yang dapat menikmati keadaan
disekelilingnya, dimana saja dan bilamana saja dia
berada. Perjalanan kaki dari Mancingan menuju ke
Selopenangkep, yaitu batu besar berbelah yang
merupakan jalan masuk atau jalan turun menuju ke
Guwolangse, melalui pegunungan-pegunungan kecil
yang merupakan bagian dari pada Gunung kidul atau
gunung kapur. Dimana-mana batu karang putih
mengandung kapur, di seling kebun-kebun kelapa
yang tak berapa subur, ada pula kebun-kebun
singkong yang kurus-kurus. Tanah bercampur batu
Halama 33 / 122 putih itu memang kurang baik untuk pertanian.
Jalannya kecil naik-turun, lagi sukar karena penuh
batu karang yang runcing tajam. Orang harus berhatihati kalau tidak mau kakinya terluka oleh batu.
Rebo, Bejo dan Slamet berjalan perlahan,
membawa walesan bambu, dan ransel di punggung.
Biarpun hari masih pagi, setelah mulai mendaki bukit,
berkeringat lah mereka. Terengah-engah, terbongkokbongkok kalau menanjak dan tertahan-tahan kalau
menurun. Akan tetapi mereka tetap bergembira,
bersenda-gurau, meniru bunyi burung dan kadangkadang Slamet yang pandai bertembang itu
bersenandung. Kalau semangat mereka agak menurun
oleh kelelahan, ada saja hal-hal yang membangkitkan
semangat mereka kembali. Misalnya, wanita-wanita
pantai yang sepagi itu sudah menaik-turuni bukitbukit sambil menggendong gaplek, singkong dan lainlain. Melihat wanita-wanita ini, ada yang masih
setengah kanak-kanak, ada yang sudah amat tua,
melalui jalan yang sama dengan dibebani berat, dapat
berjalan seenaknya tanpa kelihatan lelah, semangat
tiga orang pengail itu bangkit.
Dua jam lebih mereka baru tiba di Selo
penangkep, di mana oleh juru-kunci memang telah
disediakan sebuah gubuk sederhana tempat
Halama 34 / 122 beristirahat bagi para pengunjung Guwolangse. Gubuk
ini penting sekali, tak pernah dilewati begitu saja oleh
mereka yang akan turun ke Guwolangse ataupun oleh
mereka yang baru saja naik dari bawah. Mereka yang
baru saja tiba dari Mancingan, amat lelah setelah
berjalan naik-turun gunting selama dua jam dan gubuk
itu merupakan tempat yang amat cocok untuk
beristirahat melepaskan lelah. Bagi mereka yang baru
saja naik, gubuk ini pun merupakan tempat yang amat
Cocok untuk beristirahat melepaskan kelelahan dan
ketegangan yang baru saja mereka alami.
Ketegangan apakah? Jangan dikira bahwa
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuruni Selopenangkep sampai ke Guwolangse
adalah pekerjaan yang mudah. Banyak sudah laki-laki
yang kelihatan gagah dan kuat, ketika hendak
menuruni tidak kuat dan terpaksa kembali ke
Mancingan, tak jadi ke Guwolangse! Mengapa
demikian? Amat sukarlah menuruni jalan itu?
Soalnya bukan sukar, melainkan amat curam
dan terjal. Jalannya juga bukan merupakan jalan,
melainkan merambat dari akar ke akar, dari batu ke
batu. pendeknya lebih tepat disebut "jalan monyet".
Jalan monyet yang curam, kurang-lebih tiga ratus
meter dalamnya. Memang kalau hati tak kuat, timbul
pikiran yang bukan-bukan. Dan kalau sudah mulai
Halama 35 / 122 memikirkan betapa akan ngerinya andaikata kaki
terpeleset atau pegangan terlepas, badan melayang
jatuh dan diterima oleh batu-batu runcing dan ombak
menggelora, wah, kiranya orang yang bagaimana
gagah sekalipun akan terpaksa kembali naik lagi, tidak
jadi ke Guwolangse! Akan tetapi, dan ini kenyataan, setiap hari Satu
Suro, ada beberapa orang yang sengaja turun hanya
untuk berziarah dan diantara mereka ini terdapat
wanitanya! Nah, kenyataan ini yang membuktikan
bahwa menuruni jalan-monyet ke Guwolangse bukan
lah pekerjaan sukar. Modalnya hanyalah kenekatan
bulat yang disertai urat-urat saraf membaja terdorong
oleh kemauan keras. Dan ini dapat timbul kalau orang
mempunyai maksud-maksud tertentu menuruni
tempat berbahaya itu. Bagi Slamet, Bejo dan Rebo yang sudah
seringkah melalui jalan-monyet ini, tentu saja "bukan
apa-apa". Biarpun mereka membawa beban, mereka
dapat turun hanya mempergunakan sebelah tangan
saja. Malah pernah mereka itu menuruni jalan ini pada
malam hari, gelap gulita, hanya dibantu oleh lampulampu battery yang mereka bawa. Tak usah
diceritakan lagi Pak Madi, tentu saja lebih pandai dari
pada tiga orang pengail ini. Dengan bungkusan
Halama 36 / 122 perbekalan mengail seberat dua-tiga puluh kilo diatas
kepala, dengan enak dia mendahului tiga orang
pengail itu menuruni jalan yang bagi banyak orang
laki-laki gagah dari kota merupakan "jalan maut" itu!
Dulu, setahun yang lalu, ketika untuk pertamakalinya Slamet dan Bejo menuruni jalan ini, muka
mereka sebentar pucat sebentar merah, keringat
bercucuran dari muka dan kedua kaki mereka sampai
ngewel (menggigil) saking gentar dan tegang.
Sekarang mereka enak saja menuruni setiap batu
karang sambil bersiul-siul. Apalagi Rebo yang sudah
lebih lama lagi pengalamannya, biarpun dia ini
mempunyai cacad pada lututnya, dengan berani-mati
melangkah dari sana kesini tanpa menghiraukan
bahaya terpeleset. Hanya kadang-kadang ia mengeluh
kalau dengkulnya (lututnja) terasa pegal dan sakit.
Sambungan tulang lututnya sudah gapuk (rusak)
sehingga kadang-kadang tulang paha dan tulang betis
bisa berubah letaknya pada sambungan lutut!
Kiranya semua tukang mancing seperti mereka
itulah. Begitu tiba ditempat mengail dan melihat air
laut berombak-ombak memukul pantai, mereka
seakan-akan sudah mengilar, ingin lekas-lekas
melempar pancing berumpan ke dalam air. Kalau tidak
biasa mengail di tempat ini, tentu akan terheranHalama 37 / 122
heran. Bagaimana mungkin air yang bergelora,
berombak besar memukuli pantai dengan tenaga
dahsyat, kadang-kadang ombak pecah memercik ke
atas belasan meter tingginya, di tempat seperti itu
bisa terdapat ikannya? Dan bukan main lagi ikannya.
Ada hiu sebesar paha, kakap, krepu, ikan merah
seperti ikan emas, dan masih banyak lagi macamnya
yang aneh-aneh akan tetapi rata-rata kecuali hiu, enak
sekali dagingnya. Sebelum mulai mengail diatas batu karang
pinggir laut yang letaknya tak jauh dari Guwolangse,
yaitu sebelah timurnya, ada pula sebelah baratnya,
pendeknya di sekitar depan Guwolangse, lebih dulu
mereka pergi ke Guwolangse untuk sekedar
beristirahat dan mengambil air minum. Atau kalau
mereka itu mau jujur, setidaknya mereka mau "minta
ijin" sungguh pun mereka bukan pemercaya tahjul,
tapi tidak juga mau melanggar kesopanan yang
berlaku di suatu tempat. Guwolangse adalah sebuah goa yang besar
sekali, juga dalam. Di sebelah dalam, terbungkus
kegelapan gua, terdapat sumber air minum yang
airnya jernih. Guwolangse ini menghadap kelaut.
Keseraman-keseraman mistik agaknya sudah lenyap
oleh seringnya didatangi orang. Akan tetapi kalau
Halama 38 / 122 orang masuk kesebelah dalam, mau tidak mau bulu
tengkuk masih akan meremang karena selain gelap,
basah, juga suara ombak memecah di batu karang
terdengar bergemuruh dan setibanya didalam gua
menimbulkan suara yang aneh dan menyeramkan.
Gua itu nampak sunyi sekali. Hanya banyak
bekas kunjungan orang pada hari kemarin, Satu Suro.
Kulit-kulit kacang, kertas-kertas pembungkus
makanan, daun-daun pembungkus kupat, ada pula
bekas-bekas lilin dibakar. Slamet dan temantemannya menurunkan bawaan keatas lantai gua,
duduk diatas tikar yang memang tersedia disitu,
melepaskan lelah. Ketika mereka hendak menuruni
gua kesebelah dalam untuk mencuci muka pada
pancuran air, mereka melihat seorang laki-laki muda
duduk bersila di sebelah pinggir, terhalang batu
karang. Pemandangan tidak aneh. Memang setiap kali
mereka datang ketempat ini, selalu mereka
menjumpai pertapa-pertapa atau orang-orang yang
duduk bersila seperti patung. Akan tetapi yang
menarik kali ini adalah keadaan orang itu yang masih
amat muda. Paling banyak dua-puluh lima tahun
usianya, berwajah tampan akan tetapi amat pucat.
Pakaiannya juga bukan seperti para pertapa yang
Halama 39 / 122 berpakaian sederhana, melainkan berkemeja dan
berpantalon, sepatu butut didekatnya.
Untuk menghormati ketekunan orang-muda
yang sedang bersila meramkan mata itu, Slamet dan
teman-temannya tidak mau membuat gaduh. Diamdiam mereka mencuci muka, lalu mengajak Pak Madi
mengangkuti barang-barang menuju keatas batu
karang besar yang terletak dipinggir laut, sebelah
timur gua. Hanya Slamet yang diam-diam tadi
menaruh perhatian pada orang-muda itu, dari diamdiam dalam hati pelamun ini timbul pertanyaan
mengapa orang semuda itu sudah tekun berprihatin
ditempat sunyi ini. Persoalan apa gerangan yang
menekan orang semuda itu? Kasihan sekali.
Akan tetapi kesenangan memancing membuat
ia segera lupa akan diri si pertapa itu. Apalagi ketika
ternyata bahwa ikan-ikan di bawah ombak hari itu
amat ganas dan lapar. Sebentar saja Rebo sudah
menaikkan dua ekor ikan hiu dan sebuah ikan merah.
Bejo beberapa kali kehilangan pancing karena
disamber ikan besar yang demikian kuat sampai senarsenar pancing yang takkan dapat diputuskan oleh
tangan orang kuat itu sekali tarik pada batu karang
putus oleh ikan-ikan itu.
Halama 40 / 122 Sehari-semalam mereka bertiga memancing
terus, hanya berhenti untuk makan. Mereka telah
membawa beras dari rumah, dan disitu beras tadi
diliwet oleh Pak Madi yang mengerjakannya didalam
Guwolangse. Ikan-ikan kecil yang kena pancing
digoreng untuk teman nasi. Yang besar di-asap untuk
dibawa pulang. Memang enak sekali makan diatas
batu karang. Di pinggir laut, walaupun hanya nasi
dengan ikan hasil pancingan yang menggorengnya
serba tidak sempurna, asal matang saja! Menjelang
subuh baru mereka melepaskan lelah, tidak kuat oleh
dinginnya hawa-udara. Tidurnya pun menggeletak
begitu saja diatas batu karang berselimut kabut laut,
berdinding batu-batu karang, beratap langit penuh
bintang, dibuai dendang laut yang tak kunjung henti.
Hebatlah! Pada keesokan harinya begitu matahari muncul
dari timur, baru saja mengintai dari laut, tiga orang
pengail sudah berjongkok lagi diatas batu karang,
memegangi walesan penuh ketekunan, diam tak
bergerak seakan-akan sudah menjadi satu dengan
batu karang. Pak Madi masih meringkuk berlindung
dinding karang, berselimut sarung.
Halama 41 / 122 Tiba-tiba Rebo menoleh kearah bukit
dibelakangnya, bukit dari mana mereka kemarin
melalui jalan-monyet turun.
"Sekarsih datang...!" katanya, gembira sekali
suaranya. Slamet dan Bejo menoleh dan tersenyum. Betul
saja. Biarpun belum tampak orangnya, namun
suaranya sudah kedengaran. Suara yang merdu dan
nyaring, menembangkan lagu Dandanggula yang jelas
terdengar kata-katanya : "Yen lumampah ingkang mulat wingwrin, singa
barong kang pada rumeksa, gajah meta ing
wurine, macan galak ing ngajun, naga raja ing
kanan kering, singa mulat jrih tresna, marang
awak ingsun, lelembut ing nusa Jawa, samya
kedep antuk lawan teluh bumi, ajtih lumayu
ngintar. Jen sinimpen utawa sakalir, upas bruwang
racun miwah banjar, sakeh bedil buntu kabeh,
jemparing towok putung, pan kumleyang
tibanireki, miwah salwiring braja tan tumama
mring sun, tuju teluh taragnyana, pada bali
sagung sambang pada wedi, madep kedep
sadaya". Halama 42 / 122 Begitu tembang ini berhenti, Slamet tertawa
gembira. Rebo bertepuk tangan memuji. Bejo juga
tersenyum dan berkata: "Wah, kalau tak salah yang ditembangkan itu
kan kidung yang kau ajarkan padanya sebulan yang
lalu, Met?" Slamet mengangguk. "Betul, memang tajam ingatannya. Dua bagian
terakhir Kidung Jatimulya sudah dihafalnya benarbenar, tak sepatah pun salah!"
"Kidung Jatimulya untuk apa sih, Met?" tanya
Rebo yang tidak mengerti tentang, kidung, tidak
seperti Slamet yang memang suka akan kidung-kidung
wejangan kuno yang mengandung banyak petuah.
"Bagian terakhir kidung itu adalah semacam
doa untuk penolak bahaya. Agaknya Sekarsih suka
akan kidung itu, memang cocok sekali ditembangkan
ketika turun dari atas sana," kata Slamet.
Tak lama kemudian tampaklah gadis itu turun
melalui akar-akar dan batu-batu karang. Dari jauh saja
nampak nyata bentuk tubuhnya yang singset dan kuat
terlatih. Tangan kanannya memegang tenggok yang di
sunggi diatas kepalanya, hingga dia menambat batuHalama 43 / 122
batu karang itu hanya menggunakan sebelah tangan
kiri saja. Dengan gerakan ugap dan tetap kakinya ganti
berganti menginjak lubang-lubang dalam batu karang
di depannya, dengan cekatan tangan kirinya
membantu ayunan tubuhnya, setiap langkah tak
pernah salah seakan-akan kedua kakinya bermata.
Pemandangan yang amat curam di bawah kakinya
bukan merupakan pemandangan yang mengerikan
baginya. Sama sekali tidak. Semua itu dianggapnya
biasa saja seperti seorang anak-anak di kota melihat
membalapnya mobil-mobil yang bersliweran diatas
jalan-raja tak jauh dari tempat ia berdiri, sama sekali
tidak membayangkan kengerian kalau mobil-mobil itu
menjeleweng dan menabraknya.
Di belakang gadis ini, dengan tenang-tenang
saja akan tetapi juga dengan gerakan kaki tangan yang
terlatih dan sigap, merayap seorang laki-laki tua
bertubuh tinggi kurus berambut putih. Dia itulah Pak
Loka, paman dari Sekarsih. Orang tua ini membawa
sebuah keranjang yang biasanya dipergunakan untuk
tempat karangan (rumput laut). Tahulah Slamet dan
teman-temanya bahwa paman dan keponakan itu
turun hendak mencari karangan (rumput laut) yang
menjadi sebuah diantara sumber-sumber nafkah
mereka. Pekerjaan Sekarsih adalah mencari rumput
Halama 44 / 122 laut, mencari jingking atau undur-undur, kadangkadang menjual kelapa muda-kelapa muda kepada
para pengunjung pantai, atau membantu pamannya di
ladang. "Heeeiiii! Pak Lokaaaa...!" jauh-jauh Rebo
sudah berteriak memanggil.
"Kau ini memanggil Sekarsih atau Pak Loka?"
Slamet bergurau, "kok mulutnya memanggil nama Pak
Loka, tapi matanya melirik Sekarsih dan tangannya
melambai kearah gadis itu?"
"Hush, mereka sudah dekat, jangan ribut. Bikin
malu saja kau ini!" Rebo menegur sambil tertawa.
Memang cepat sekali Sekarsih dan pamannya
menuruni jalan monyet yang amat sukar dan
berbahaya itu. Slamet dan kawan-kawannya ketika
menuruni jalan itu tadi mempergunakan waktu
sedikitnya seperempat jam. Para pengunjung yang
belum biasa makan waktu kurang lebih setengah jam.
Akan tetapi Sekarsih dan pak Loka paling lama
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempergunakan waktu sepuluh menit saja. Hebat!
"Sudah dapat banyak ikannya?" datang-datang
Sekarsih bertanya, wajahnya yang segar kemerahan
itu Cantik aseli seperti bunga mawar gunung. Ia
tersenyum bebas lepas, bibirnya terbuka lebar
Halama 45 / 122 memperlihatkan deretan gigi yang bagus bentuknya,
rapi bersih dan kokoh kuat. Ketika menurunkan
tenggoknya, ternyata betul seperti dugaan dan
harapan tiga orang pengail itu, di dalam tenggok
terdapat singkong bakar, pisang rebus, dan tiga buah
kelapa muda. "Lumayan juga, sih", jawab Rebo yang segera
melongok isi tenggok, hidungnya yang panjang
kembang-kempis mencium bau singkong bakar yang
gurih sedap. "Yang kecil-kecil sudah masuk perut kami,
yang besar-besar ada tujuh ekor diasap oleh Pak Madi
di gua sana." "Wah, kau selalu membawa makanan untuk
kami, Sih. Benar-benar baik-hati kau!" kata Bejo
dengan senyumnya yang masih penuh daya memikat.
Slamet yang merasa betapa kedua orang
temannya itu datang-datang hanya menghujankan
teguran dan kata-kata kepada Sekarsih saja, merasa
tidak enak kepada Pak Loka. Memang Slamet ini,
biarpun termuda diantara tiga orang itu namun paling
panjang-ingatan. "Wah, hendak mencari karangan, Pak Loka?
Apakah kiranya air akan surut?" tanyanya kepada Pak
Loka. Halama 46 / 122 Kakek itu mengangguk-angguk yakin.
"Antara jam sembilan sampai tengah hari nanti
agaknya, kalau tak salah, akan surut banyak". Pak Loka
ini kalau bicara, apalagi kalau menyatakan
pendapatnya, selalu tentu diberi embel-embel "kalau
tak salah". "Mas Slamet sudah dapat berapa ekor?"
Sekarsih menegur Slamet. Ia bersikap manis kepada Slamet karena ia
menganggap Slamet seorang yang pintar, paling pintar
diantara tiga orang Solo ini. Apalagi Slamet banyak
memberi pelajaran bertembang kepadanya, tembang
yang indah-indah dengan kata-kata yang mulukmuluk. Ia setengah menganggap "mas Slamet" ini
sebagai gurunya. Slamet tersenyum. "Aku bukan pengail ulung, mana bisa melawan
Mas Rebo dan Mas Bejo? Yang besar-besar mereka
borong semua, aku hanya mendapat yang kecil-kecil
saja." "Pisang kami sudah tua, mas. Ini kami
membawa beberapa buah, direbus. Manis sekali!"
kata Sekarsih. Halama 47 / 122 "Tentu saja", kata Rebo cepat. Setiap
kesempatan tentu dipergunakan oleh Rebo ini untuk
memuji. "Apa saja yang kau bawa tentu manis."
Semua tertawa, termasuk Pak Loka yang suka
kepada tiga orang pengail ini karena mereka, biarpun
kadang-kadang berkelakar seperti biasanya kaum pria
berhadapan dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi
dalam kelakar mereka selalu ada batasnya, tak pernah
kurang ajar. Akan tetapi Slamet segera menambah
kelakar sewajarnya yang tidak mengandung pujianpujian untuk kecantikan si pembawa panganan.
"Terima kasih, Sih. Kau dan pamanmu kalau
turun ke sini selalu tentu membawa apa-apa,
merepotkan saja. Yang sudah ya sudah, Sih, lain kali
supaya... diulangi saja, ya, tak usah repot-repot,
seadanya saja bawa ke sini... hemm, tanggung habis
dah!" Lagi-lagi semua orang tertawa gembira dan
tanpa sungkan-sungkan lagi tiga orang pengail itu
mengganyang isi tenggok. Pak Loka mengisap rokok
MENARA yang disuguhkan Rebo sedangkan Sekarsih
ikut pula makan pisang rebus. Sikap gadis ini yang
amat wajar, tanpa dibuat-buat, dengan kecantikannya
yang aseli, tutur-katanya yang ramah dan terbuka,
Halama 48 / 122 semua inilah yang membuat tiga orang pengail itu
betul-betul amat menyukainya. Bukan mencinta
seperti cinta pemuda terhadap pemudi, bukan,
melainkan rasa suka yang tulus, seperti orang merasa
suka dan kasih kepada seorang keponakan yang
mungil dan baik. "Sih, kenapa kau merenung saja? Beda betul
dengan biasanya. Beberapa kalau kau menengok ke
Parangtritis dan kelihatan takut-takut, beberapa kali
menarik napas panjang dan kau agak pucat. Ada
apakah, Sih?" tiba-tiba Slamet bertanya. Memang
disamping kesukaannya akan filsafat dan tembang,
Slamet memiliki ketelitian dan pandang mata yang
tajam. Sekarsih nampak terkejut, menatap wayah
Slamet dengan bingung, lalu berpaling kepada
pamannya. Pak Loka juga menarik napas panjang dan
kakek pendiam ini berkata:
"Tidak apalah, Sih. Kepada tiga orang sahabat
ini boleh saja kau bicara. Malah kita harus minta
bantuan mereka." Segera Slamet, Bejo dan Rebo mendekat dan
dengan penuh perhatian siap mendengarkan
Halama 49 / 122 penuturan Sekarsih. Beberapa kali gadis itu menarik
napas panjang, lalu berkata :
"Terjadinya pagi, tadi. Karena hari ini dengan
paman hendak mencari karangan di sini, maka pagi
tadi aku tidak mencari jingking. Jingking pendapatan
kemarin pagi-pagi benar kugoreng lalu kuantarkan
kepada Mbok Nah di warung langgananku itu."
Ia berhenti sebentar dan tiga orang pengail itu
mengangguk-angguk menyatakan tahu akan Mbok
Nah warung nasi pecel di pantai Mancingan.
"Aku buru-buru pulang karena hendak
membakar singkong dan merebus pisang yang hendak
kubawa kesini. Dan dalam perjalanan inilah, dekat
pantai, aku melihat dua orang laki-laki kota"
"Hemm, lalu bagaimana?" Rebo tak sabar.
Slamet dan Bejo saling lirik, mereka
membayangkan dua orang laki-laki, seorang bergigi
emas, yang kedua bersuara parau.
Sekarsih melanjutkan ceritanya, dengan katakata bersahaja, akan tetapi justru kesederhanaannya
inilah yang membuat ia amat menarik hati dalam
segala gerak-geriknya. Ketika ia mula-mula melihat
dua orang laki-laki itu berjalan menghampirinya, ia
Halama 50 / 122 menganggap bahwa mereka itu hanya dua orang
pelancong yang bermalam di Parangtritis dan yang
bangun pagi-pagi untuk melihat munculnya matahari
seperti yang sering ia lihat dilakukan orang-orang kota
yang berkunjung kesitu. Bahkan ketika dua orang itu
menegurnya dengan kata-kata "Selamat pagi", iapun
masih menganggap biasa, karena sudah seringkah ia
menerima salam dan kata-kata manis dari laki-laki
berpakaian gagah. "Selamat pagi" iapun menjawab.
Akan tetapi ia mulai merasa tak senang ketika melihat
bahwa dua orang itu sengaja berdiri menghadang
didepan, tersenyum-senyum menyeringai
"Nona bernama Sekarsih, bukan?" tanya si gigi
emas sambil tersenyum lebar, agaknya berusaha
sedapat mungkin memamerkan gigi emasnya di dalam
cuaca yang masih agak gelap itu.
Ketika Sekarsih mengangguk tanpa berkata apaapa, orang yang bersuara parau berkata:
"Perkenalkan, kami adalah orang-orang Jogja,
aku bernama Picis dan temanku ini bernama Rawit."
Halama 51 / 122 Sekarsih mengangguk dan hendak melanjutkan
perjalanannya, akan tetapi Picis sengaja melangkah ke
depan Sekarsih. "Eh, nanti dulu, nona Sekarsih. Kami belum puas
bercakap-cakap denganmu. Kau suka berkenalan
dengan kami, bukan?"
"Aku suka berkenalan dengan siapa saja, akan
tetapi aku banyak pekerjaan, harap jangan
menggangguku. Biarkan aku pergi", kata Sekarsih
dengan kata-kata sederhana setengah kasar.
Akan tetapi lagi-lagi mereka mengadang dan
sekarang si Gigi Emas yang jelas dari pandang matanya
memperlihatkan kekaguman akan kecantikan gadis
ini, berkata sambil tersenyum.
"Harap yangan marah-nona manis. Kami hanya
ingin mengetahui, siapa ayahmu? Masih hidupkah?
Dan tinggalnya dimana?"
Biarpun hatinya tak senang melihat sikap
memaksa dua orang itu, dan juga amat terheranheran mengapa datang-datang mereka ini menanya
kan ayahnya, Sekarsih merasa tidak baik kalau tidak
menjawab. Halama 52 / 122 "Ayah sudah meninggal dunia, aku hanya hidup
dengan Paman Loka. Sudahlah, paman menanti-nanti
pulangku..." Sekarsih dengan gerakan yang amat gesit
menerobos antara dua orang itu. Dua orang itu kaget
dan tidak keburu mengadang, maka gadis itu dapat
melalui mereka. Akan tetapi tiba-tiba si gigi emas
memegang lengan Sekarsih.
"Heeitt, nanti dulu nona Sekarsih"
"Lepaskan aku! Lepaskan!" Sekarsih merontaronta merenggutkan lengannya.
Pada saat itu terdengar suara berat mengejek:
"Dua orang buaya kota datang mengganggu
gadis pantai? Benar tak tahu malu!"
Rawit dan Picis kaget sekali, cepat memutar
tubuh dan ternyata yang menegur mereka adalah
seorang nelayan berpakaian hitam yang bertubuh
kokoh kuat. Nelajan ini adalah seorang setengah tua
yang bermata tajam, akan tetapi bibirnya tersenyum
bodoh. Dua orang itu tentu saja menjadi marah sekali.
"Nelayan goblok, pergi kau!"
Halama 53 / 122 Rawit menggunakan tangan kanannya
mendorong dada nelayan itu. Akan tetapi dengan
tangkas nelayan itu menangkisnya.
"Eh, berani melawan, ya? Minta dipukul
mampus kau?" Rawit membelalakkan mata dan kedua
tangannya dikepal. "Kalian berdualah yang
mampus." Nelayan itu menjawab.
minta dipukul "Keparat!" Rawit menerjang dengan pukulannya yang kuat ke arah muka lawannya. Dari
gerakananya Rawit dapat diketahui bahwa dia adalah
seorang jagoan berkelahi, pukulannya keras dan
cepat. Akan tetapi alangkah marahnya ketika
lawannya yang dimakinya nelayan goblok tadi dengan
sekali miringkan kepala sudah dapat mengelak dari
serangannya. Ia menjadi naik darah dan mengulang
serangannya, kini lebih gencar lagi.
"Setan tak tahu diri!"
Nelayan itu marah ketika akhirnya dadanya
terkena pukulan juga, membuat ia terhuyung ke
belakang. Ketika Rawit mendesak, tiba-tiba kakinya
melayang ke depan. Halama 54 / 122 "Ngekk!" Ujung kaki si baju hitam itu dengan
tepat "memasuki" perut atas Rawit, mendatangkan
rasa mulas, sesak napas, dan mau muntah. Rawit
pringisan, membungkuk dan menekan-nekan ulu
hatinja. Picis yang tadinya hanya menonton saja
karena merasa yakin bahwa temannya yang sudah
terkenal jagoan seperti dia itu pasti akan dapat
merobohkan si pengganggu, menjadi marah bukan
main. Halama 55 / 122 "Nelayan busuk!" makinya dan dari belakang ia
memukul. "Blegg!" Punggung si baju hitam terpukul,
akan tetapi tubuhnya amat kuat sehingga pukulan ini
pun hanya membuat dia terhuyung, tapi tidak sampai
merobohkannya. "Pengecut curang!" makinya dan bagaikan
seekor banteng terluka dia membalas. Dua-tiga kali
Picis dapat menangkis, akan tetapi pukulan keempat
kalinya dengan tangan kanan tepat mengenai
dagunya, membuat Picis mengeluarkan suara seperti
orang mendengkur dan terjengkang roboh diatas
pasir. "Awas belakang,...!" Sekarsih menjerit ketika
melihat Rawit si Gigi Emas mengayun sebuah tongkat
perdek menghantam kepala si baju hitam dari
belakang. Baiknya Sekarsih menjerit, kalau tidak tentu
kepala itu akan termakan kayu yang keras. Si baju
hitam ketika mendengar jeritan ini cepat
membungkuk sehingga kayu itu tidak mengenai
kepalanya melainkan mengenai punggungnya. Cukup
keras membuat ia terjungkal, akan tetapi segera
dengan sigapnya si baju hitam dapat bangun kembali.
Pukulan kayu ke dua sudah menyambar ke arah muka.
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan trengginas si baju hitam miringkan tubuh,
tangan kanan di susulkan menyambar ke arah tangan
Halama 56 / 122 kanan lawan jang lewat disisihnya, tepat memukul
pergelangan tangan, sedangkan tangan kiri
dihantamkan kedepan, tepat mengenai mulut.
"Aduhhh...!" Tongkat pendek terlepas dari
tangan si Gigi Emas dan mulutnya berdarah, giginya
copot dan malang baginya, yang copot justru gigi
emasnya! Rawit sudah bangkit kembali, akan tetapi
melihat Picis juga kalah, malah berdarah mulutnya,
kemudian melihat si baju hitam itu dengan mata
mendelik kini berdiri dengan tongkat pendek itu di
tangan, siap menerjang dan berdiri memasang kudakuda dengan kedua kaki terpentang lebar,
menakutkan sekali, Rawit lalu memberi tanda dengan
mata. Kedua orang itu lari lintang pukang
meninggalkan lawannya, nelayan goblok tadi!
Nelayan itu melemparkan tongkat pendek ke
atas tanah, lalu berpaling, memandang kepada
Sekarsih sejenak. "Terima kasih, pertolonganmu..." pak terima kasih atas "Tidak apa, nduk. Orang-orang seperti mereka
memang harus dibasmi. Apa kau bernama Sekarsih?"
Halama 57 / 122 Sekarsih mengangguk. "Siapakah ayahmu? Dimana tinggalnja?"
Sekarsih melongo. Sampai lama ia tak dapat
menjawab. Setelah pertanyaan itu diulang, baru ia
menjawab: "Ajah... sudah meninggal dunia aku hanya
tinggal dengan Paman Loka"
Setelah berkata demikian gadis
meninggalkan penanyanya. ini lari "Demikianlah," ia mengakhiri ceritanya kepada
Slamet, Bejo dan Rebo yang mendengarkan penuh
perhatian. "Aku lari pulang. Biarpun sudah menolong
ku, nelayan berpakaian hitam itu betul-betul
mendatangkan rasa takut. Kenapa dia pun bertanya
tentang ayah?" Rebo mengangguk-anggukkan kepalanya. Leher
nya yang panjang seperti mau patah.
"Yang bernama Picis dan Rawit itu tentu dua
orang yang datang ke warung Pak Madi. Di sana pun
mereka sudah bertanya-tanya tentang kau dan Pak
Loka. Adapun si nelayan berbaju hitam itu kalau tidak
keliru tentulah Pak Kurdo. Hemmm, kurasa dia pun
bukan orang baik-baik."
Halama 58 / 122 Pak Loka yang sejak tadi mendengarkan saja
sambil mengisap rokok kretek Menara, kini berkata:
"Tentang dua orang kota itu, sikapnya terhadap
Sekarsih tidak mengherankan. Banyak sudah yang
bersikap seperti itu, kurang ajar melihat gadis muda.
Ku rasa, kalau tidak salah, mereka itu tertarik kepada
Sekarsih dan ingin mengetahui anak siapa Sekarsih.
Yang mengherankan sekali, si baju hitam tadi eh,
siapa namanya, Pak Kurdo? Kenapa dia membela
mati-matian kepada Sekarsih? Biasanja anak sini tidak
berani melawan orang kota, apalagi dikeroyok dua.
Gagah benar dia, sudah setengah tua pula. Dan apa
maksudnya bertanya tentang ayah Sekarsih?"
Slamet meraba-raba dagunya yang berjenggot
pendek, belum setengah senti karena baru seminggu
yang lalu dicukurnya. Dia memutar otak. Kejadian
yang amat menarik, juga berahasia. Ataukah hanya
kebetulan saja? Kebetulan saja Pak Kurdo mengajukan
pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang
diajukan oleh Rawit dan Picis? Dan kenapa Rawit dan
Picis berusaha keras mengetahui keadaan Sekarsih?
Sampai bertanya-tanya tentang Pak Loka diwarung
Pak Madi? Tak mungkin hal ini mereka lakukan kalau
hanya berdasarkan tertarik akan kecantikan Sekarsih
Halama 59 / 122 saja. Seakan-akan mereka hendak menyelidiki riwayat
Sekarsih! "Mas Slamet, kenapa melamun?" tiba-tiba
Sekarsih bertanya. Slamet kaget, menoleh tersenyum
dan menjawab. "Ah, tidak apa-apa, Sih. Hanya pesanku, mulai
sekarang berhati-hatilah kau jangan pergi jauh
meninggalkan rumah seorang diri. Lebih baik bersama
Pak Loka. Sekarang banyak berkeliaran orang-orang
jahat" "Hemmm, kalau aku tidak salah yang jahat
seperti itu hanyalah orang-orang kota saja selama
hidupku di pantai tak pernah ada orang-orang sejahat
mereka..." kata Pak Loka. Slamet dan temantemannya saling pandang, tidak menjawab akan tetapi
di dalam hati mereka harus menerima kebenaran
kata-kata ini. Tiba-tiba kelihatan Pak Madi datang ke batu
karang itu berlari-lari. Dari jauh ia sudah melambailambaikan tangan. Slamet dan dua orang temannya,
juga Pak Loka dan Sekarsih, cepat berdiri lalu
menyambutnya berlari-lari.
"Ada apa, pak?" tanya Slamet yang lari paling
depan. Halama 60 / 122 "Jangan-jangan kakap besar yang kudapat tadi
terbakar hangus!" Rebo masih sempat berkelakar
sambil melangkah dengan kakinya yang panjangpanjang.
"Lekas tolong... orang muda pertapa itu...
jangan-jangan dia mati" kata Pak Madi.
"Lho, kenapa dia...?" Sambil berlarian menuju
gua, Slamet bertanya. "Entah, kudapati dia sudah rebah mengaduhaduh, badannya panas, sekarang pingsan..."
Sesampainya didalam Guwolangse, mereka
melihat pemuda yang kemarin masih duduk bersila
seperti patung itu sekarang rebah miring. Wajahnya
pucat sekali, napasnya terengah-engah. Slamet dan
dua orang temannya bingung dan tidak tahu harus
berbuat apa, akan tetapi tidak demikian dengan Pak
Loka dan Sekarsih. Pak Loka yang tenang itu ternyata
mempunyai banyak pengalaman dalam menghadapi
orang-orang sakit payah sedangkan Sekarsih pun
banyak pengalamannya dalam hal merawat orangorang sakit. Semua ini berkat pengalaman mereka
ketika dahulu daerah Gunung Kidul terserang bencana
kelaparan dan wabah penyakit. Paman dan keponakan
ini sudah terkenal sebagai orang-orang yang ringan
Halama 61 / 122 hati dan tangan dalam menolong mereka yang
tertimpa kesengsaraan. Tentu saja Slamet dan dua
orang temannya itu terheran-heran ketika mereka
melihat Pak Loka memeriksa orang muda tadi.
"Dia bukan ahli tapa, tak kuat berkosong perut.
Ia harus dirawat baik-baik," kata Pak Loka yang cepat
menambahkan : "Kalau tak salah, dia masuk angin dan
terserang demam." "Kalau begitu, dia harus dibawa naik, paman.
Tak baik meninggalkan dia sendirian saja di gua ini,"
kata Sekarsih. Pamannya mengangguk. "Memang begitulah.
Kita harus membawanya naik. Biar untuk sementara,
dia kita rawat dirumah. Anak ini terlampau banyak
berprihatin, hemmm... kalau tak salah, ia telah dibuat
kecewa." Pak Loka dan Sekarsih membatalkan niat
mereka-mencari rumput laut. Dengan dibantu Pak
Madi, paman dan keponakan ini menggotong tubuh
yang lemah dan pingsan itu dan membawanya keluar
gua, terus dibawa merambat keatas. Pekerjaan seperti
ini hanya mungkin dapat dilakukan oleh orang-orang
ahli. Baiknya Pak Loka, Sekarsih dan Pak Madi yang
melakukannya. Kalau orang-orang biasa, kiranya
Halama 62 / 122 dengan tenaga enam orang belum tentu dapat
menggotong orang naik keatas. Slamet dan dua orang
Sepasang Pedang Iblis 18 Balada Si Roy 02 Avonturir Karya Gola Gong Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama