Ceritasilat Novel Online

Aji Gora Mandala 2

Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono Bagian 2



pingin hidup. Dan belum mau mati. Apalagi mati di tangan

Jaka Pandan, yang menurut berita sehari terakhir ini, adalah

seorang pembunuh keji, seorang manusia berhati singa, di

mana ia sampai hati membunuh Tumenggung Aryo Guno

yang sejak kecil mengasuhnya dan yang kemudian

mengangkatnya menjadi murid tunggalnya. Mati di tangan

seorang pembunuh berdarah dingin adalah mati yang

tidak sempurna. Karenanya kemudian prajurit-prajurit itu

menjadi terdiam, malah saling menundukkan kepala, maka

nampaknya sedemikian takut dan seolah-olah saja yang

berdiri di hadapan mereka adalah malaikat elmaut. Tak

sepatah katapun dan tiada seorangpun yang berani

mengucapkannya. Apalagi bergerak. Sedikitpun tidak.

Supaya tidak membangkitkan kemarahan Jaka Pandan.

Agar dengan demikian anak itu tidak menebarkan iblis-iblis

maut yang akan mencekik kehidupan mereka. Atau jika

tidak melakukan pembunuhan, mereka menjaga agar anak

itu tidak memotong tangan mereka. Alangkah mengerikan89

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

hidup tanpa tangan. Apa yang mampu dilakukan bagi

kehidupan yang semakin lama menjadi kian sulit ini jika

tanpa tangan? Ah, alangkah ngerinya.

Dan yang terdengar berkata kemudian adalah Jaka

Pandan, "Camkanlah kata-kataku. Bahwa sebenarnya apa

yang kalian lakukan ini adalah suatu perbuatan yang belum

dapat diyakini akan kebaikan dan kebenarannya. Kalian

tahu apa arti kata fitnah? ltulah sebenarnya landasan

tindakan kalian. Kalian telah kena fitnah adu domba.

Tentang siapa yang melancarkan fitnah ini aku tak dapat

menjelaskannya sekarang. Tetapi aku berjanji pada kalian.

Suatu ketika nanti aku akan membawa ke hadapan kalian

orang yang telah melancarkan fitnahan keji kepadaku ini!"

Setiap prajurit yang mendengar apa yang dikatakan

oleh Jaka Pandan itu tergetar dadanya. Sebenarnya mereka

cukup tahu siapakah yang dimaksud oleh anak itu. Ialah Ki

Ragajaya. Gila! Anak itu benar-benar sudah tidak waras lagi

sampai-sampai berani mengucapkan kata-kata yang

sedemikian gegabah. Namun tak sepatah katapun yang

keluar dari mulut prajurit-prajurit itu. Mereka masih tetap

berdiri membisu di tempatnya masing-masing.

Dalam keheningan itu Jaka Pandan memperhatikan

wajah-wajah di sekelilingnya. Dari wajah-wajah itu, Jaka

Pandan hanya memperoleh kesan bahwa prajurit-prajurit

itu sedang dilanda oleh kebimbangan. Inilah saat yang

cukup baik baginya. Dia harus segera meninggalkan

mereka untuk memasuki pendapa rumah Ki Brajanala

untuk melihat kepala lurah wiratamtama itu. Dan jika

mungkin lagi, menemui Ki Ragajaya. Meskipun Jaka Pandan90

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

sendiri tidak tahu mengapa ia harus menemui tumenggung

tua itu. Bukankah ini sama saja dengan menutup bara

dalam sekam? Barangkali saja nanti dia menemukan suatu

perhitungan jika dia telah berdiri di hadapan Ki Ragajaya.

Sementara itu cahaya merah di ufuk timur kian

menganga. Matahari hampir menampakkan wajahnya,

setelah sepanjang malam tertidur di dasar lengkungan

langit di bawah sana. Langit bersih segar bagai perawan

kecil yang menampakkan diri saja. Tiada noda-noda yang

menebarinya. Pagi cerah. Akan tetapi di balik kecerahan

pagi ini terjadilah suatu peristiwa yang mampu

menggetarkan Pajang. Ki Brajanala mati. Dan kematian itu

oleh sementara orang Jaka Pandanlah yang

menyebabkannya. Sedang di pagi itu juga hadir dan

sekarang ada dalam kepungan prajurit-prajurit yang berdiri

mematung.

Dan dalam suasana yang hening di pagi itu terselip

pula suatu ketegangan yang setiap saat akan meledak.

Adalah pada saat itu terdengarlah sebuah suara tawa yang

berderai. Serentak semua orang berpaling, tak terkecuali

Jaka Pandan, melihat ke arah sumber tawa itu.

Dan darah Jaka Pandan tersirap ketika ia melihat bahwa

yang tertawa itu adalah Ki Ragajaya. Orang itu berdiri

dengan bahu bergoncangan di peringgitan oleh sebab

getaran suara tawanya.

Jantung Jaka Pandan berdetak cepat sekali. Semakin

cepat! Dan semakin keras. Deburan jantung itu bagai suara

kepundan gunung berapi yang tersumbat.91

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Ragajaya

mengoyakkan keheningan itu, "Jaka Pandan, ternyata kau

sudah datang. Kami tidak akan terlampau susah lagi untuk

mencarimu. Tengoklah di sekitarmu, prajurit-prajurit itu

telah siap untuk menangkap dirimu. Sedang di belakangku

ini adalah hakim-hakim negara yang akan mengadili

pengkhianatanmu. Kau kenal pada mereka, bukan?"

Dada Jaka Pandan berdesir, Ya. Ia tahu bahwa orang-

orang yang berdiri di belakang Ki Ragajaya itu adalah

Prabakesa, Arya Tadah, dan beberapa orang lagi yang di

antaranya adalah algojo kerajaan.

Meremang juga tengkuk Jaka Pandan karenanya. Dan

sebelum Jaka Pandan berkata, kembali terdengar suara Ki

Ragajaya menggeletar, "Turunkan prajurit yang kau angkat

itu, Jaka Pandan?"

Seperti terkena oleh kekuatan sihir, Jaka Pandan lalu

menurunkan Gomar. Perajurit itu jatuh terduduk tak dapat

menguasai dirinya lagi. Ketakutan telah mencekam seluruh

urat dan persendiannya. Dua atau tiga orang yang lain

maju memapah Gomar untuk dibawanya menyingkir.

Lalu Ki Ragajaya melanjutkan, "Tetap berdiri di

tempatmu. Atau ulurkan tanganmu biar adi Prabakesa

mengikatnya."

Hati Jaka Pandan melonjak. Darah mudanya

menggelegak. Dan dada itu hampir meledak terbakar oleh

kobaran darah mudanya. Tubuhnya menggigil menahan

kemarahan yang semakin hebat menghimpit kepingan92

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

hatinya. Matanya menatap tajam pada Ki Ragajaya. Tatapan

itu penuh kebencian, kemuakan dan dendam. Ketika

kemudian ia tak dapat menguasai dirinya lagi, maka

berkatalah ia dengan suara tergetar, "Ki Ragajaya. Tuan

adalah seorang nayaka praja yang mempunyai pengaruh

besar dalam tata pemerintahan. Oleh karenanya apa yang

tuan katakan adalah tuntunan bagi bawahan tuan."

Jaka Pandan berhenti sesaat. Digigitnya bibirnya untuk

menguatkan perasaan agar dia semakin berani berkata.

Dan sesaat kemudian iapun melanjutkannya, "Sadarkah

tuan bahwa apa yang tuan katakan itu ternyata merupakan

fitnahan atas diriku?"

"Tutup mulutmu, pengkhianat!" tukas Ki Ragajaya.

Suaranya sedemikian keras dan berwibawa meskipun

mulutnya telah mulai berkeriput, "Jangan mengatakan

dirimu suci. Tak ada alasan untuk menyucikan tanganmu

dari lumuran-lumuran dosa yang telah kau perbuat..."

"Ki Ragajaya ....!"

Akah tetapi Jaka Pandan tak melanjutkan kata-katanya

sebab saat itu Ki Ragajaya telah memotong perkataannya,

"Sudah kukatakan tutup mulutmu. Dengar apa yang

kukatakan, he Jaka Pandan?". Lalu kepada Prabakesa,

tumenggung tua itu berkata, "Prabakesa, ringkuslah

jahanam keji itu. Masukkan dalam penjara. Esok pagi dia

mesti digantung.

Kemarahan Jaka Pandan tak tertahankan lagi. Anak

muda itu sudah kehilangan pengamatan dirinya. Ketika ia93

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

melihat Prabakesa mulai mengayunkan langkah,

sekonyong-konyong, dia berteriak keras sekali,

"Gilaaaa .....!!"

Teriakan itu menghentikan langkah Prabakesa.

Melihat itu Ki Ragajaya marah bukan main. Serunya,

"He?"

Sekali lagi Jaka Pandan menatap tumenggung tua itu

dengan sinar mata kebencian. Lalu terdengar katanya

dengan suara yang tetap tergetar, "Apakah aku telah

kehilangan hak untuk membela diriku?"

"Kau tak bisa membela dirimu lagi."

"Akan kubuktikan."


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Tak ada kemungkinan untuk itu."

"Jadi?"

"Apapun yang kau katakan, esok pagi kau akan

digantung di alun-alun."

Sekali lagi dada Jaka Pandan tergoncang. "Tak ada

pilihan lain..." gumam Jaka Pandan lirih.

Tetapi agaknya suara Jaka Pandan itu masih terdengar

oleh Ki Ragajaya, yang oleh karenanya pula segera berkata,

"Memang tak ada pilihan lain lagi bagimu kecuali tiang

gantungan."94

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Kalau demikian, biarlah aku mati bersama-sama

dengan tuan," kata Jaka Pandan sambil melangkah ke

muka menghampiri Ki Ragajaya.

Akan tetapi langkah Jaka Pandan terhenti oleh suara Ki

Ragajaya memerintah, "Berhentilah! Atau terpaksa aku

harus menyuruh prajurit-prajurit yang berdiri di sana itu

untuk menyuruhmu tetap tinggal di tempatmu?"

Dengan ekor matanya, Jaka Pandan sempat melihat

lima orang prajurit di pojok sana tengah mementang busur

sedang anak-anak panahnya tepat tertuju kepadanya.

Kapan mereka muncul, Jaka Pandan tak tahu. Agaknya Ki

Ragajayalah yang telah menyiapkan mereka dengan

perintah sandi, ketika terdengar keributan di halaman

untuk menjaga setiap kemungkinan yang tidak

diinginkannya.

Jaka Pandan menggeram pendek. Bukannya takut pada

apa yang kini sedang dan harus dihadapinya. Bahkan

kemudian dia telah mengambil suatu kepastian langkah.

Apapun yang terjadi, ia harus menempur mereka. Tak ada

jalan lain. Tak mungkin baginya untuk mengelakkan

peristiwa yang kini berkembang dengan melarikan diri,

misalnya. Di tempat itu terlalu banyak prajurit yang akan

setidak-tidaknya mencegah. Atau paling tidak

menimbulkan kesulitan jika melarikan diri. Sedang di sana

empat atau lima orang prajurit berpanah merentangkan tali

busurnya. Di antara merekapun terdapat pula orang-orang

yang dia tahu mempunyai ilmu jaya kawijayan cukup

tinggi. Bahkan Ki Ragajaya tak dapat diukur sampai di

mana tataran ilmunya.95

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Apakah dengan demikian dia harus mandah

menyerahkan diri untuk digantung tanpa adanya

pembelaan diri? Jika demikian dia merasa bahwa

kematiannya itu adalah suatu kematian yang gelap. Orang

akan tetap menyangka bahwa dirinya benar-benar telah

melakukan suatu pengkhianatan dengan melakukan

pembunuhan atas diri dua orang Nayaka Praja, Ki Aryo

Guno dan Ki Brajanala. Berarti kehidupan yang telah

dihayatinya, menurut anggapan orang adalah kehidupan

yang sesat.

Terlintas pula dalam kepala Jaka Pandan untuk

membuka jalan darah. Namun Jaka Pandan berfikir apakah

arti dirinya dengan sebilah pedang dan beberapa buah

pisau yang terselip di pinggangnya menghadapi orang

sebanyak itu. Dan dia bisa memastikan bahwa jalan inipun

hanya akan membawa ke jalan kematian pula pada

akhirnya.

Akan tetapi Jaka Pandan adalah seorang anak muda

yang secara kodratnya lebih gampang dibuai oleh

perasaan daripada nalar. Demikian juga dengan apa yang

kemudian melanda benak anak itu. Jaka Pandan berfikir,

dan sekali lagi berfikir, apapun yang akan dilakukannya

adalah kematianlah yang menjadi ujungnya. Sama-sama

mati lebih baik ia mati sebagai seorang laki-laki. Karena itu

dia tidak harus menyerah, karena tidak merasa bersalah,

dan tidak pula melarikan diri karena dia bukan pengecut.

Jaka Pandan akan membuka suatu pertempuran.

Meskipun toh akhirnya dia harus mati, namun dia telah96

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

membawa imbangan kematian itu. Setidak-tidaknya dia

akan dapat membunuh beberapa orang prajurit.

Maka kemudian dengan suara lantang berkatalah anak

muda itu, "Ki Ragajaya. Jaka Pandan bukanlah seorang

pengecut yang lari dari kematian. Saya seorang laki-laki

yang punya harga diri."

"Apa maksudmu??" bertanya Ki Ragajaya.

"Aku tidak akan lari dari hukum jika seandainya hukum

itu dijalankan dengan wajar. Sebaliknya aku akan

menentang berlakunya hukum jika orang-orang yang

melakukannya kacau-balau memutarbalikkan kenyataan

serta menginjak-injak hukum dan keadilan dan kebenaran."

"Jadi? Kau maksud kami telah melakukan kesewenang-

wenangan atas dirimu, begitu?"

"Begitulah, jika seandainya tuan merasa."

"Setan!" desis Ki Ragajaya, "Jangan hiraukan apa yang

dikatakan. Tangkap anak itu!" teriaknya pula.

Suasana menjadi gaduh dengan tiba-tiba. Beberapa

prajurit merangsak maju. Dalam kegaduhan itu Jaka

Pandan masih sempat berteriak lantang, "Ingat Ki Ragajaya,

bahwa Jaka Pandan adalah seorang laki-laki."

Namun anak muda itu segera pula harus menghadapi

terjangan beberapa prajurit. Tetapi dia telah bertekad

melakukan suatu pertempuran. Sret! Dia mencabut pedang

yang tergantung di lambung. Sinar perak yang berkilau-97

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

kilau bergulung-gulung ketika Jaka Pandan menggerakkan

pedang itu. Sedemiklan hebatnya gerakan pedang Jaka

Pandan sehingga pedang itu seolah-olah berubah menjadi

banyak sekali jumlahnya. Berpuluh-puluh atau bahkan

beratus-ratus. Sinar-sinar pedang itu mengurung diri Jaka

Pandan membentuk dinding pertahanan yang amat

ampuh, yang amat sulit untuk ditembus oleh senjata

prajurit-prajurit itu. Dering senjata-senjata beradu

terdengar susul-menyusul yang segera diikuti oleh

berpijarnya letikan bunga-bunga api ke udara sehingga di

pagi hari itu bersamaan dengan terbitnya sang surya, di

halaman rumah Ki Brajanala seakan-akan terjadi sebuah

pesta kembang api. Akan tetapi pesta kembang api itu

ternyata pesta kembang maut ketika kemudian terdengar

berkali-kali jerit-jerit kematian yang mencekam mendirikan

bulu roma bagi siapa yang mendengar. Apabila terdengar

jerit itu, maka yang terjadi kemudian terhuyung-huyungnya

seorang prajurit yang memegang bahunya atau lengannya

yang mengucurkan darah. Atau bahkan mereka harus

rubuh ke tanah karena sebuah luka maut di bagian tubuh

mereka yang amat fatal.

Demikianlah, di pagi yang cerah itu terjadilah suatu

peristiwa tragis di halaman rumah Ki Brajanala di mana

nafas-nafas kematian menyemarakkan suasana yang

mendebarkan dada. Burung-burung yang berkicauan di

atas cabang-cabang pohon sawo manila itu sudah tak

terdengar lagi. Burung-burung itu telah beterbangan pergi

seolah-olah mereka dihalau oleh dencingan senjata-senjata

dan teriakan-teriakan maut atau mungkin merekapun jadi

muak oleh tingkah-tingkah manusia yang saling98

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

berbunuhan, yang mencampakkan hukum kasih anugerah

Tuhan sumber segala kehidupan.

Ketika kemudian dencing senjata dan jeritan maut itu

semakin sering terdengar, Ki Ragajaya yang berdiri

memperhatikan jalannya pertempuran itu menghela nafas

dalam-dalam. Nafas keprihatinan. Prihatin atas prajurit-

prajurit yang harus mengakhiri kehidupannya di tangan

seorang anak yang bernama Jaka Pandan. Suatu

kecemasan terbayang di wajah orang tua itu. Dan

kecemasan tumenggung Ragajaya itu beralasan juga

karena perkembangan keadaan yang terjadi. Kian lama

prajurit-prajurit yang mengeroyok Jaka Pandan itu kian

berkurang jumlahnya satu-satu. Sedangkan agaknya Jaka

Pandan masih cukup lama untuk bisa ditundukkan. Anak

itu masih kelihatan kukuh kuat, gerakannya masih cukup

trengginas. Sebaliknya prajurit-prajurit itu menjadi semakin

kehilangan semangat bertempur. Hanya karena rasa takut

saja mereka itu tetap bertempur, meski pertempuran yang

mereka lakukan itu pertempuran yang tidak mapan. Justru


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


inilah yang membuat kedudukan para prajurit itu kian

mengambang dalam maut.

Sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab,

seharusnya Ki Ragajaya mencegah agar korban-korban

yang berjatuhan itu tidak menjadi semaki banyak, Karena

korban-korban itu tidak akan membawa perubahan

suasana. Dan memang Ki Ragajaya sendiri telah mengambil

keputusan untuk menghentikan keadaan yang sama sekali

tidak menguntungkan ini.99

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Sekonyong-konyong tumenggung tua itu berseru,

"Berhenti ... !!"

Dan bersamaan dengan itu dia berpaling ke arah

prajurit panah itu sambil menganggukkan kepalanya.

Sekali terdengar suara Ki Ragajaya itu, para prajurit

yang mengeroyok Jaka Pandan pun serta merta

menghentikan gerakan-gerakan mereka. Lalu mereka

berloncatan ke belakang. Adalah pada saat itu mereka

melihat beberapa orang kawannya tergeletak tak bernyawa

lagi dengan luka-luka yang menganga, sedang di bagian

yang lain nampak pula beberapa orang prajurit mengerang

kesakitan sambil memegang bahu atau luka-luka lain yang

tentu saja menimbulkan kepedihan. Baru kini mereka sadar

arti dari pertempuran ini. Dan kemudian mereka

membayangkan seandainya mereka yang masih berada

dalam keadaan semula itu, mengalami kematian atau luka-

luka seperti kawan-kawannya itu. Walaupun sebagai

prajurit soal kematian dan luka bukanlah soal yang baru

lagi bagi mereka, namun kini mereka menghadapi

kematian yang benar-benar terjadi itu, kecutlah hati

mereka. Dan ngeri.

Jaka Pandan pun mendengar pula teriakan Ki Ragajaya

itu. Dan dia melihat pula para prajurit yang serentak

menghentikan serangan-serangannya. Akan tetapi Jaka

Pandan tak dapat menduga apa yang dikehendaki oleh Ki

Ragajaya.

Selagi anak itu mencoba menduga apa yang diingini

oleh tumenggung tua itu, tiba-tiba dia melihat dua buah100

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

anak panah yang melayang cepat sekali ke arahnya. Dia

tidak menduga kalau Ki Ragajaya akan berbuat selicik itu.

Sedang dia tak mungkin lagi bisa menghindarkan diri

karena anak panah-anak panah itu sudah sangat dekat di

hadapannya sewaktu dia melihatnya. Dan sebelum Jaka

Pandan sempat berfikir banyak, kedua anak panah itu telah

menancap di kedua bahu Jaka Pandan. Bahu kanan dan

bahu kiri.

Jaka Pandan menggeram pendek. Kedua anak panah

itu menimbulkan rasa nyeri di kedua pundaknya. Dan nyeri

itu kemudian berkembang menjadi suatu rasa "jimp?"

sehingga dua tangannya seolah-olah tak lagi dapat

digerakkannya. Kedua tangannya terasa kaku. Hampir saja

pedang yang ada di dalam genggaman tangannya terlepas.

Namun akibat dari kesemua itu menimbulkan kemarahan

yang mendadak sontak menggelegak ke bulatan

kepalanya. Dan kemarahan itu telah melupakan Jaka

Pandan dari rasa nyeri, rasa jimp?, rasa kaku. Bahkan

sebaliknya. Dengan garangnya bagaikan seekor banteng

ketaton Jaka Pandan menerjang setiap orang yang ada di

dekatnya, Jaka Pandan telah mata gelap. Kiranya kekalapan

anak itu telah pula menimbulkan persoalan baru bagi

orang-orang yang ada di rumah maupun yang ada di

halaman rumah Ki Brajanala itu. Amukan Jaka Pandan itu

menimbulkan korban jiwa prajurit yang tak sedikit

jumlahnya. Jadinya Ki Ragajaya semakin prihatin. Apakah

dia harus turun tangan sendiri secara langsung untuk

meringkus Jaka Pandan. Kalau toh itu yang harus

dilakukannya, apa boleh buat.101

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Namun betapapun juga tenaga Jaka Pandan

mempunyai batas-batas tertentu. Apalagi di kedua

pundaknya menancap dua buah anak panah yang sedikit

banyak akan mempengaruhinya. Bahkan dalam keadaan

yang wajar, kedua anak panah itu bukanlah soal yang

dapat diremehkan begitu saja.

Darah mengucur dari kedua luka itu. Karenanya tenaga

Jaka Pandan menjadi semakin lemah. Dan kian lemah.

Sesekali di pelupuk matanya beterbangan garis-garis

kuning kecil-kecil yang kian jelas dan kian kabur. Akhirnya

Jaka Pandan harus menghentikan seluruh gerakannya

manakala sebuah ujung tombak menggurat kakinya. Jaka

Pandan roboh ke tanah. Ia tak tahu apa lagi yang kemudian

terjadi di sekelilingnya.

Akan tetapi sebelum Jaka Pandan itu melupakan segala

peristiwa di sekelilingnya, telinganya samar-samar masih

menangkap suara gaduh yang ditenggak oleh jerit-jerit

maut. Lalu tubuhnya serasa diangkat ke atas, lalu dikepit.

Lalu melayang entah ke mana dan tubuhnya ada di mana.

Yang pasti yang dapat dilihatnya hanyalah warna hitam

legam serta samar-samar. Jaka Pandan masih mendengar

mulut-mulut yang menyumpah-nyumpah. Tetapi suara itu

menjadi kian lirih. Hingga akhirnya, tak terdengar sama

sekali.

Jaka Pandan telah jatuh pingsan tak tahu apa yang

kemudian terjadi pada dirinya, pada diri Kembang Arum,

pada diri Pamuput, dan pada segalanya.....

***102

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Ketika Jaka Pandan menyenakkan mata, terasa seluruh

tulang belulangnya ngilu. Dan kaku. Kedua pundaknya

terasa sakit menyengat menusuk sungsum. Dan

kakinyapun perih pula. Tetapi luka-luka di semua bagian

tubuhnya itu telah terbalut dengan baik.

Sekali dicobanya untuk mengingat peristiwa yang

membuat dia harus menderita begini. Tapi ..... persetan.

Peristiwa itu sangat menyakitkan hatinya. Dan sekarang dia

telah ada di luar ranjau maut yang dibentangkan oleh Ki

Ragajaya.

Benarkah dia telah ada dan selamat dari ancaman

maut? Apakah sekarang ini dia tidak sedang ada dalam

rumah penjara? Disapukan pandang matanya ke sekeliling

sebatas yang dapat dicapai oleh tatapan matanya yang

masih agak kabur itu. Oh, tidak. Rumah ini bukan rumah

penjara Pajang. Penjara itu tak terbuat dari dinding bambu.

Penjara itu tak terbuat dari atap daun ilalang kering.

Rumah ini dibuat dari bambu. Dan beratapkan daun ilalang

kering. Jadi dia tidak sedang ada dalam penjara. Tapi di

mana dia kini berada? Atau rumah siapa ini? Dan siapa

yang telah membawa dirinya ke mari? Siapa pula yang

telah merawat dirinya? Pertanyaan-pertanyaan itu

berkecamuk dalam benak Jaka Pandan silih berganti dan

saling lilit-melilit.

"Uh...," anak itu mengeluh pendek. Dicobanya bangkit

untuk duduk. Meskipun dengan susah payah toh ia berhasil

duduk. Disapukannya kembali pandang matanya ke seluruh103

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

sudut rumah itu. Tidak seberapa besar. Dan agak gelap.

Bahkan cukup gelap bagi ukuran rumah orang biasa.

Baunya pun bukan main. Pengap dan menyesakkan.

Pada saat itu pintu rumah berderit dibuka orang. Ketika

pintu itu telah terkuak maka muncullah sesosok tubuh

menusia. Tapi manusia itu ... oh, alangkah menakutkan. Dia

menutup seluruh bagian tubuhnya dengan kain hitam. Dan

pada wajah yang terbebas dari kain itu berwarna putih.

Seputih tulang. Dan memang warna putih itu adalah tulang

tengkorak yang terkelupas kulit pembalutnya. Giginya

nampak putih menakutkan. Hidungnya sudah tak

bercuping lagi, Dan matanya tinggal kelopak yang melesak

ke dalam.

Ternyata orang itu segera menutup pintu kembali dan

pergi entah ke mana.

Meskipun hanya sekejap, namun mata Jaka Pandan

sempat melihat orang itu dengan jelas. Ia melihat wajah

orang itu yang seperti jerangkong. Malah agaknya Jaka

Pandan berpendapat bahwa makhluk yang baru saja

menampakkan diri itu tadi adalah hantu jerangkong.


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Berfikir demkian, mau tidak mau meremang pula tengkuk

Jaka Pandan.

Akan tetapi setelah anak itu menguasai kesadaran

otaknya maka iapun membantah makhluk itu bukanlah

jenis hantu, melainkan manusia yang secara kebetulan

memiliki kekurangan dengan manusia-manusia lain. Akan

tetapi khayalan tentang dongeng hantu tak mau pergi dari104

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

sudut benaknya yang sering kali berfikir juga bahwa rumah

yang kini ditempatinya ini adalah rumah hantu.

Sekali lagi pintu berderit. Tetapi bukan hantu

jerangkong atau jenis hantu lain yang muncul, melainkan

seorang laki-laki yang pernah dikenal oleh Jaka Pandan.

Laki-laki itu mengenakan kedok penutup muka.

Jaka Pandan menjadi heran mengapa orang bercadar

yang telah berusaha mencegah kemauannya menengok Ki

Brajanala itu ada pula di sini?

Namun orang itu segera terdengar berkata sambil

mendekati Jaka Pandan, "Kau telah memperoleh

kesadaranmu kembali, Jaka?"

Jaka Pandan tidak menjawab. Sebaliknya dia

menautkan alisnya untuk memperhatikan orang bercadar

itu. Namun seperti apa yang pernah dilihatnya sebelum itu,

Jaka Pandan hanya melihat bahwa perawakan orang itu

memang mirip dengan mendiang tumenggung Aryo Guno.

Hanya itu. Dan tak lebih. Cadar itu telah membatasi

penglihatan Jaka Pandan untuk mengenal wajah orang itu

lebih jauh. Meskipun demikian dada Jaka Pandan pun

berdesir pula melihat orang bercadar itu. Dia

mengingatkan pada tumenggung Aryo Guno. Dan

memang apa yang tampak oleh Jaka Pandan itu persis

dengan apa yang ada pada tubuh tumenggung Aryo Guno.

Perawakannya, rambutnya, warna kulitnya, caranya

berdandan. dan hal-hal lain yang kesemuanya mirip

dengan ki Aryo Guno.105

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Kembali orang bercadar itu melanjutkan kata-katanya,

"Sekarang baru kau sadari arti dari kebodohanmu bukan?

Karena kegegabahanmu itu menyebabkan suatu keharusan

bagimu untuk meringkuk dalam rumah yang pengap ini

karena luka-lukamu. Dan bahkan jika aku tidak cepat turun

tangan menolongmu, aku dapat memastikan bila esok pagi

kau sudah tiada akan bisa melihat munculnya matahari.

Tetapi jangan sesali hal yang telah berlalu. Cuma lain kali

berhati-hatilah dalam segala tindakanmu."

Kata-kata yang diucapkan oleh orang itu terdengar

wajar. Tidak halus dibuat-buat. Malah agak sedikit kasar.

Namun justru karena kekasaran itu dapat menyentuh

lekukan hati Jaka Pandan yang paling dalam. Kata-kata itu

bagaikan guguran air yang telah wayu sewindu lamanya.

Hingga kemudian timbullah suatu kata hati Jaka Pandan

bahwa orang itu memperhatikan dirinya. Karenanya Jaka

Pandan merasa bahwa orang bercadar itu menjadi semakin

aneh di matanya. Orang itu sama sekali tidak dikenalnya.

Tetapi ternyata orang itu mengenal baik tentang dirinya.

Dan yang kemudian telah berusaha mencegahnya ketika

dia akan ke rumah Ki Brajanala. Hal ini jelas membuktikan

bahwa orang itu sangat menaruh perhatian kepadanya.

Siapakah dia sebenarnya?

Sekali lagi Jaka Pandan memperhatikan orang itu dari

ujung kaki hingga kepalanya. Ketika kemudian

pandangannya beradu dengan tatapan mata orang itu,

Jaka Pandan menundukkan wajahnya dalam seolah-olah

dia mau mengelakkan keangkeran sorot mata orang itu.106

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Kau harus tinggal di rumah ini," kata orang itu lagi.

"Setidaknya pada malam ini. Orang-orang yang tadi ada di

rumah Ki Brajanala itu sedang dalam usahanya

mencarimu."

"Tapi rumah siapakah ini?" Pertanyaan itu hampir saja

meluncur dari mulut Jaka Pandan. Namun anak itu

menekannya kembali masuk ke dalam kerongkongannya.

Ia merasa tidak layak mengajukan pertanyaan itu, sebab

pertanyaan itu mencerminkan perasaan khawatirnya.

Sedang ia tahu bahwa orang bercadar itu bermaksud baik

kepadanya. Sehingga bukan pada tempatnya apabila ia

harus menaruh syak wasangka terhadap orang yang

bermaksud baik kepadanya.

Agaknya meskipun Jaka Pandan menyimpan kembali

pertanyaan tentang sesuatu yang sesungguhnya ingin

diketahui, orang itu mengetahuinya pula. Oleh karenanya

segera pula terdengar orang itu berkata pasti, "Jangan

hiraukan ini rumah siapa. Anggaplah ini rumahku. Di rumah

ini akupun mempunyai kekuasaan penuh seperti di

rumahku sendiri."

Tak ada alasan bagi Jaka Pandan untuk menolak

permintaan orang aneh itu. Dan keadaan tubuhnya tidak

memberi kemungkinan baginya buat pergi dari rumah ini.

Di samping itu, Jaka Pandan mempunyai fikiran baru pula.

Dia ingin menyelidiki keanehan-keanehan yang terjadi di

dalam rumah yang terasing ini. Mungkin dia dapat

memperoleh petunjuk-petunjuk untuk mengungkapkan

kericuhan-kericuhan yang terjadi di Pajang yang kemudian

sebagian dari kericuhan itu ditimpakan kepadanya. Ya, Jaka107

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Pandan merasa adanya hal-hal yang nyala-wadi di rumah

ini.

Rumah ini sendiri yang nampak sepi dan terasing. Lalu

orang bercadar yang dalam segala tindakannya

menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di hati Jaka Pandan

itu. Lalu sebuah makhuk yang mirip dengan hantu

jerangkong, yang menampakkan diri dalam waktu sekejap

tadi.

Akhirnya dari suara-suara yang dapat ditangkap oleh

indera pendengarannya, Jaka Pandan tahu bahwa rumah

ini terletak di tengah-tengah sebuah hutan. Itulah

sebabnya maka rumah ini senantiasa gelap dan berbau

pengap. Hanya apa nama hutan ini, atau di mana letak

hutan ini yang pasti, Jaka Pandan belum tahu. Dan

selamanya tidak akan tahu bila orang bercadar itu tidak

menjelaskannya atau dia sendiri keluar dari hutan ini.

Malam pun tibalah. Orang bercadar itu muncul kembali

setelah sesaat menghilang. Dia mengantarkan makanan

untuk Jaka Pandan serta menyalakan lampu minyak jarak.

Sehingga kegelapan yang mencekam rumah ini tersapu

oleh cahaya lampu itu. Walau nyala lampu itu tidak

seberapa besar dan meliuk ke sana ke mari tertiup angin

yang masuk lewat celah-celah dinding bambu.

Orang itu agaknya benar-benar tak menghendaki Jaka

Pandan melihat wajahnya. Dia tidak melepaskan cadar

penutup mukanya. Sesaat kemudian orang itu kembali

meninggalkan Jaka Pandan seorang diri.108

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Malam itu ]aka Pandan tidur di sebuah rumah yang

sama sekali tak diketahui seluk beluknya. Namun Jaka

Pandan sudah tidak berfikir tentang soal itu. Anak itu

sengaja tidak berfikir tentang rumah ini. Tetapi ia lebih

menyibukkan otaknya dengan soal-soal kematian

tumenggung Aryo Guno dan Brajanala. Serta kemudian

tentang rumah misterius ini dengan penghuni-

penghuninya yang aneh pula.

Sesekali terbayang pula di benaknya sebentuk tubuh

perempuan, Kembang Arum. Memang tak mudah bagi Jaka

Pandan untuk melupakan gadis itu. Sebab pada gadis

itulah segala kehidupannya nanti akan dicurahkan. Gadis

itu adalah kekasihnya. Oleh sebab itu wajah Kembang

Arum akan selalu muncul setiap saat. Dan dalam keadaan

apapun. Jika tidak di benaknya tentu di rongga matanya.

Atau bahkan di dalam kepingan hatinya. Itulah namanya

cinta.

Dan pada malam itu Jaka Pandan tertidur dengan

tumpukan persoalan-persoalan yang teronggok di rongga

kepalanya serta dengan persoalan tentang diri gadisnya

yang bernama Kembang Arum puteri tunggal mendiang

tumenggung Aryo Guno.

Entah berapa lama anak itu tertidur. Seakan-akan


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


matanya melihat suatu peristiwa yang menyesakkan

nafasnya. Ia melihat tubuh Kembang Arum berada dalam

dekapan anak muda yang berwajah tampan. Anak muda itu

terpaut satu dua tahun dengan umurnya sendiri. Tapi oleh

karena wajah Jaka Pandan yang kelihatan lebih tua, karena

persoalan hidup yang harus dihadapinya, nampaknya anak109

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

muda itu jauh lebih muda dari Jaka Pandan. Namanya

Pamuncar. Anak sulung Ki Ragajaya. Yang menyakitkan hati

Jaka Pandan adalah sikap Kembang Arum yang diam dalam

dekapan Pamuncar. Hanya ketika gadis itu melihat Jaka

Pandan sedikit tersenyum di sudut bibir dan

membenamkan kepalanya dalam dekapan Pamuncar

semakin dalam. Tingkah Kembang Arum itu merupakan

suatu pukulan batin Jaka Pandan. Dan ini menyakitkan hati.

Jaka Pandan mendesis panjang bagai seekor ular menahan

marah melihat peristiwa yang berlangsung di hadapannya.

Memang Jaka Pandan telah menyadari bila anak ki

Ragajaya itu menaruh hati pula pada Kembang Arum. Dan

dia, Pamuncar itu, merupakan lawan persaingan yang

cukup ulet dan tangguh dan tak mengenal arti menyerah

kendati telah berkali-kali Kembang Arum telah menjelaskan

bahwa gadis itu tidak mencintainya. Sehingga sampai

sedemikian jauh Jaka Pandanlah yang keluar sebagai

pemenang dalam kisah cinta segi tiga antara jaka Pandan

Kembang Arum dan Pamuncar. Sehingga karenanya, bukan

hal yang aneh jika seandainya Pamuncar itu kemudian

menaruh dendam kepadanya.

Namun sekarang semuanya telah Berubah. Kembang

Arum ada dalam pelukan Pamuncar, tanpa perlawanan

apapun. Jaka Pandan menggeram marah. Secepat itu dia

hendak menerjang Pamuncar. Tetapi kemudian Jaka

Pandan jadi tertegun karena pada saat itu Kembang Arum

berseru seraya menudingkan jari telunjuk ke arahnya,

"Pergilah kau pembunuh keji. Aku tidak mau jadi isteri laki-

laki yang membunuh ayahku. Aku lebih mencintai kakang110

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Pamuncar, anak seorang tumenggung, berwajah tampan

pula."

Alangkah menyakitkan sikap Kembang Arum itu. Untuk

sejenak lamanya Jaka Pandan tertegun oleh sementara

kalimat yang diucapkan Kembang Arum. Serentetan

kalimat yang menggempur dinding-dinding hatinya.

Dalam pada itu timbullah suatu pemberontakan dalam

dada Jaka Pandan tentang penuntutan harga dirinya

sebagai seorang laki-laki. Ya, dia adalah seorang laki-laki

yang punya harga diri. Dan perbuatan Pamuncar serta

Kembang Arum itu merupakan suatu penghinaan atas

harga dirinya. Penghinaan itu harus ditebus. Harus ditebus

sebagai layaknya seorang laki-laki. Akan tetapi ketika sekali

lagi Jaka Pandan hendak menerjang Pamuncar, sekonyong-

konyong puluhan prajurit telah mengepungnya dengan

teriakan-teriakan yang sangat menyakitkan telinga.

Perajurit-prajurit itu mencoba meringkusnya. Tiada orang

yang mau membantu kecuali seorang Pamuput. Namun

akhirnya Pamuput itupun harus menerima suatu kenyataan

pahit. Ia berhasil diringkus oleh prajurit-prajurit itu.

Kemudian dia bersama Pamuput digiring dengan tangan-

tangan yang diikat ke belakang seperti layaknya dua orang

pesakitan yang tertangkap dari perbuatan jahatnya.

Sementara itu Kembang Arum mengejek dengan sudut

matanya.

Tiba-tiba Jaka Pandan tersentak. Disapukan pandang

matanya berkeliling. Tetapi tak seorangpun ada di

seputarnya. Semuanya sunyi. Yang ia dapati hanyalah

dinding-dinding rumah. Suasana rumah yang kelam oleh111

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

kelap-kelipnya tintir minyak jarak, dan sebuah balai-balai

bambu yang masih tetap kosong sedari tadi.

Akhirnya Jaka Pandan menghela nafas lega ketika

kemudian menyadari bahwa apa yang baru saja dilihat

maupun yang dialaminya hanya ada di alam mimpi. Jaka

Pandan perlahan-lahan menggeliat. Tubuhnya sedemikian

kaku. Terlebih tangannya yang seolah-olah kedua belah

tangannya itu baru saja lepas dari suatu tali pengikat.

Kemudian mata Jaka Pandan menatap lekat ke atap

rumah yang terbuat dari ilalang kering itu. Dijulurkannya

lidahnya untuk membasahi kedua bibirnya yang terasa

agak kering,

Suatu keheningan telah mencekam di sekeliling rumah

di mana kini tubuh Jaka Pandan sedang terbaring. Anak itu

tak mendengar sebuah suarapun kecuali desiran angin

yang menghembus dedaunan. Juga orang aneh itu tak

terdengar suaranya. Ke mana dia berada di malam begini?

Selagi pertanyaan itu muncul di kepala Jaka Pandan,

anak itu mendengar suara dari luar, "Kau baru datang?"

Dari nada suara itu jelas bahwa pembicaranya adalah

seorang perempuan. Dan disahut oleh suara yang lain,

"Ya." Suara berat, sebuah suara seorang laki-laki.

Dan Jaka Pandan mengenal betul suara itu. Ialah suara

lakI-laki yang bercadar itu. Dan kembali suara perempuan

itu terdengar lagi, "Apa yang kau peroleh?"112

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Tak ada sahut suaranya yang kedua. Keadaan tak terlalu

banyak berkembang. Sesaat menjadi sepi.

Pembicaraan itu menarik hati Jaka Pandan sehingga

anak itu memasang telinganya baik-baik agar dia dapat

menangkap setiap patah kata daripada pembicaraan itu

kalau-kalau dalam pembicaraan itu Jaka Pandan

menemukan sesuatu.

Ketika pembicaraan itu terhenti, Jaka Pandan kecewa.

Sampai lama dia menanti. Namun yang dinantikan tak

kunjung tiba. Jaka Pandan hampir tidak sabar lagi.

Untunglah kemudian pembicaraan yang dinantikannya

segera terdengar lagi.

"Apa yang telah kau lakukan?" Bertanya yang laki-laki.

"Tak satupun."

"Seharusnya begitu, kau harus mengekang dirimu."

"Tapi kau harus tahu perasaan perempuan..." sanggah

suara perempuan bernada membela diri.

"Sejak berumur empat tahun dia tidak lagi bersamaku.

Aku merasa rindu..."

"Tapi itu akan menghancurkan semua rencana yang

telah kita susun."

"Tak akan terlalu banyak berarti jika dia tahu apa

rencana itu. Bahkan dia dapat membantu...."

"Aku tak menghendakinya."113

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Mengapa?"

Terdengar sebuah helaan nafas panjang. Dan suara

laki-laki itu terdengar kembali, "Meskipun toh seandainya

harus tahu, tidak akan berakibat banyak. Tetapi kita telah

sama-sama berjanji akan membuat suatu hal yang tak

terduga baginya. Karena itu kau harus sedapat mungkin

membatasi dirimu supaya rencana ini dapat berlangsung

seperti rencana semula."

Pembicaraan itu hanya sampai di situ, meskipun Jaka

Pandan mengingini lebih banyak lagi. Jaka Pandan tak tahu

arah pembicaraan itu. Dan memang ia tak memperoleh

apapun dari apa yang baru didengarnya kecuali

kesimpulannya bahwa laki-laki yang bercadar itu tidak

hidup sendirian di rumah ini. Dia bersama seorang

perempuan. Apakah hubungan mereka, bukan persoalan

lagi bagi Jaka Pandan. Akhirnya anak itupun tertidur lagi.

Pada malam hari berikutnya atas persetujuan orang

bercadar itu, Jaka Pandan pergi ke Pajang untuk menemui

Kembang Arum. Luka-luka di tubuhnya sudah tidak

mengkhawatirkan lagi. Ketika dia berangkat, rumah itu

amat sunyi. Laki-laki itu sudah tak ada. Entah ke mana dia

pergi, Jaka Pandan tak tahu. Sedang perempuan yang tadi

malam terdengar suaranyapun tak nampak batang

hidungnya pula. Serta makhluk yang menyerupai

jerangkong kemarin itu juga tidak menampakkan dirinya

lagi. Sehingga pada hari itu Jaka Pandan belum

menemukan sesuatu dari keanehan itu. Tetapi ia masih

ingin menyelidikinya lagi. Dan ternyata masih mempunyai


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


kesempatan untuk itu. Orang bercadar yang telah114

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

menolong dirinya mengharap agar dia mau tinggal

bersama di hutan itu, Jaka Pandan tidak berkeberatan

untuk sementara waktu. Meskipun demikian, meskipun ini

berarti dia menyembunyikan diri, namun Jaka Pandan tetap

berusaha untuk menyingkap persoalan yang terjadi di

Pajang, yang membawa pula namanya. Sekarang setelah Ki

Brajanala meninggal, secara kenyataan Jaka Pandan tidak

lagi mempunyai batas waktu tertentu dalam membuktikan

dirinya bahwa dia tidak bersalah. Akan tetapi Jaka Pandan

telah berjanji pada dirinya sendiri akan menyelesaikan

persoalannya dalam waktu kurang dari tiga puluh hari.

Bahkan lebih cepat akan menjadi lebih baik.

Kini dada Jaka Pandan seakan-akan berkembang besar

lagi. Suatu hal yang telah membuat dirinya lebih mantap

untuk bertindak. Ternyata orang bercadar itu berada pada

fihak yang sama dengannya. Orang itu mempunyai suatu

persoalan dengan kematian tumenggung Aryo Guno. Kata

orang itu, selain mereka berdua masih ada pula orang lain

yang mempunyai kepentingan yang sama. Hanya siapa

orang itu, Jaka Pandan tidak memperoleh penjelasan yang

pasti.

"Kelak kau akan tahu siapa orang itu," kata orang

bercadar itu pada Jaka Pandan siang tadi.

"Yang penting kau mempunyai kawan dalam

mengungkap peristiwa kematian tumenggung Aryo Guno

walaupun dengan maksud serta tujuan yang berbeda-

beda. Aku dua orang yang kusebutkan itu hanya ingin

mencari si pembunuh itu. Sedang kau harus membuktikan

bahwa dirimu benar-benar bersih. Namun kita mempunyai115

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

titik tolak yang sama. Yaitu mencari pembunuh Aryo

Guno...."

Dan masih banyak lagi kata-kata yang diucapkan oleh

orang itu pada Jaka Pandan yang kesemuanya semakin

membesarkan semangatnya. Karena itu Jaka Pandan

menyadari bahwa dugaan-dugaan buruk pada orang itu

sudah lenyap sama sekali. Kalau saja kemarin malam orang

itu menjelaskan duduk persoalannya, tentu saja Jaka

Pandan tidak harus menduga dengan hal-hal yang bukan-

bukan, ketika anak itu melihatnya ada di atas wuwungan

katumenggungan Aryo Guno.

Dan satu lagi yang membesarkan hati Jaka Pandan

ialah, orang itupun tidak mempercayai akan tuduhan

bahwa dirinya yang membunuh tumenggung Aryo Guno

"Memang kematian Tumenggung itu adalah akibat dari

aji Gora Mandala," kata orang itu pula.

"Tapi aku yakin bukan aji yang kau miliki itu yang telah

menamatkan riwayat tumenggung Aryo Guno. Berarti

harus ada orang lain yang memiliki aji itu kecuali engkau.

Inilah yang harus kubuktikan".

Tetapi sampai demikian jauh orang bercadar itu tidak

mau menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya. "Kelak

kau akan tahu." demikian dia selalu menjawab bila Jaka

Pandan bertanya. Orang itu hanya menyebut namanya

dengan nama Giring. Hanya itu. Dan Jaka Pandan yakin

bahwa nama itu bukan nama yang sesungguhnya. Sebuah

nama yang hanya dibuat-buat untuk memuaskan hati Jaka116

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Pandan. Dan Jaka Pandan harus puas dengan segala yang

diberikan oleh orang itu yang menyebut dirinya dengan

nama Giring itu.

Demikianlah maka Jaka Pandan pun meninggalkan

rumah itu ke Pajang untuk menemui Kembang Arum, di

samping melihat perkembangan keadaan. Malam belum

begitu jauh berjalan. Mungkin baru menempuh seperlima

atau seperempat dari perputaran perjalanannya. Malam

gelap. Ketika Jaka Pandan mendongakkan kepalanya, tak

sebuah bintangpun yang nampak. Dedaunan terlampau

rindang. Baru setelah keluar dari hutan itu Jaka Pandan

dapat melihat lingkaran bulan yang bulat di atas cakrawala

timur. Masih rendah. Akan tetapi begitu dia melangkah

keluar hutan, anak itu terkejut bukan main ketika kemudian

terdengar suara melengking memanggil namanya.

Jaka Pandan terhenti. Dan berpaling. Adalah pada saat

itu muncullah dari dalam hutan itu sesosok tubuh kehitam-

hitaman. Jaka Pandan memutar tubuh setengah lingkaran

menghadapi datangnya bayangan itu. Dengan demikian

dia lebih bisa seksama memperhatikannya. Bersamaan itu

pula Jaka Pandan mempersiapkan diri untuk menghadapi

setiap kemungkinan dengan datangnya orang itu.

"Jaka Pandan," sekali lagi orang itu memanggilnya.

Suara seorang perempuan. Jaka Pandan merasa pasti

bahwa yang baru datang dan memanggil namanya itu

adalah seorang perempuan.

Dalam pada itu orang itupun menjadi semakin dekat.

Tiba-tiba darah Jaka Pandan tersirap. Dan seolah-olah117

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

darah itu berhenti mengalir di urat-urat nadinya. Matanya

membelalak lebar. Tubuhnya dingin gemetar. Meskipun

demikian, punggung Jaka Pandan menjadi basah oleh

bintilan-bintilan keringat. Dari sinaran garis-garis cahaya

bulan Jaka Pandan dapat melihat dengan pasti wajah orang

itu. Orang itu, makhluk yang bersuara perempuan itu,

adalah makhluk yang kemarin menampakkan diri.

Tengkuk Jaka Pandan meremang. Dan tubuhnya

menggigil semakin hebat. Anak itu nampak berusaha

menguasai dirinya atas segala peristiwa yang kini

dialaminya, peristiwa munculnya makhluk yang berwajah

cuma tengkorak.

"Jaka Pandan," kembali orang itu menyebut nama Jaka

Pandan. Yang terdengar masih suara perempuan, "Biarlah

aku ikut denganmu, Jaka Pandan."

Rasanya tubuh Jaka Pandan mau Beku. Dan kaku.

Setapak, setapak, perempuan itu semakin dekat. Kemudian

perempuan itu menangkap tangan Jaka Pandan,

digenggamnya erat sekali. Aneh. Dari kelopak mata yang

telah tiada bulatan bola mata itu meneteskan air mata.

Tiba-tiba Jaka Pandan menghentakkan tangan

perempuan itu. Dan dengan bibir gemetar dia berteriak,

"Tidak!"

Perempuan berwajah tengkorak itu mengangkat

kepalanya sambil mundur selangkah.

"Jaka Pandan..." suara perempuan itu tersendat di

tenggorokannya.118

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Namun Jaka Pandan kala itu telah berhasil menguasai

perasaannya meskipun jantungnya masih berdetak cepat

sekali dan seluruh tubuhnya masih dingin sedingin air

wayu. Setindak demi setindak Jaka Pandan mundur ke

belakang. Ketika jarak antara dia dan perempuan itu telah

terpaut cukup jauh, Jaka Pandan membalikkan tubuh dan

berkelebat cepat.

Perempuan itu cuma bisa menghela nafas panjang,

kemudian menundukkan kepalanya. Dan kembali dari

kelopak mata yang berongga itu meneteskan air mata.

Semakin deras ..... Kedua pundaknya bergerak turun naik.

Ia menangis terisak-isak.

***

Pintu gerbang kota Pajang sepi meskipun malam

belum begitu larut. Dua orang prajurit berdiri. Ketika Jaka

Pandan melintasi pintu gerbang seorang dari prajurit-

prajurit itu menghentikan langkahnya.

"Siapa?" bertanya prajurit itu dengan suara meninggi.

Sekejap Jaka Pandan kebingungan. Namun anak itu

segera tahu apa yang harus dilakukannya.

"Aku tuan," sahut Jaka Pandan merendahkan diri,

"seorang dari desa ingin mengunjungi saudara kami yang

sedang sakit."

"Mengapa malam begini?" bertanya prajurit itu lagi.119

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Maaf, berita itu kudengar sore tadi. Itupun dari seorang

sahabat yang baru saja tiba dari kota. Dia, sahabatku itu,

berkata bahwa saudaraku sedang sakit. Katanya pula,


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


dalam igauannya selalu memanggil-manggil aku."

"Siapa namamu?"

"Paing..."

"Pekerjaan saudaramu itu?"

"Dia berjualan sayuran, tuan."

"Adakah dia seorang perempuan?"

"Ya. Tapi saudaraku yang laki-laki."

Perajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Lanjutnya, "Biarlah kau kuantar."

"Tidak usah, tuan."

"He?"

"Tuan mempunyai tugas yang lebih penting dari pada

menghantarkan aku. Lagi pula aku telah berkali-kali datang

mengunjungi saudaraku itu sehingga tidak mungkin aku

kebingungan."

"Ya. Kau benar," sahut prajurit itu sambil mengangguk-

anggukkan kepalanya lagi.

Perajurit itu sama sekali tidak menaruh kecurigaan

apapun. Dan mempersilahkan Jaka Pandan. Anak itupun120

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

segera berlalu setelah sekali menganggukkan kepalanya

dan menyatakan terima kasihnya. Dalam hati Jaka Pandan

tersenyum geli. Tapi juga prihatin melihat sikap prajurit-

prajurit yang kurang cermat dalam melakukan tugasnya.

Dan memang kebanyakan sikap prajurit Pajang

demikian kurang cermat. Oleh karena itu tidak terlalu

mengherankan jika Pajang seringkali kemasukan telik sandi

atau orang-orang jahat yang sengaja menerbitkan

keonaran.

Katumenggungan Aryo Gunan itupun menyepi pula

bagai cungkup di tanah pekuburan. Di gardu penjagaan tak

nampak seorang prajuritpun. Hati Jaka Pandan jadi curiga.

Lalu dia berindap-indap lewat kegelapan bayang-bayang

pohon mendekati pagar tembok, sambil merapatkan

tubuhnya ke tembok itu, Jaka Pandan mendekati gardu

perondan. Ia menjaga setiap tindakan kakinya tidak

menimbulkan suara sedikitpun agar jika di gardu itu ada

prajurit tidak mengetahui kedatangannya.

Namun setelah dekat dengan gardu itu memang tak

ada seorangpun juga. Anak itu sama sekali tak mendengar

tarikan nafas seseorang. Meskipun demikian Jaka Pandan

tidak menjadi sangat tergesa-gesa untuk bertindak. Sampai

sesaat anak itu berdiri merapat ke pagar tembok. Baru

setelah benar-benar merasa yakin tiada satupun yang

mencurigakan, dia melangkah ke regol. Setapak demi

setapak ia maju ke muka, dengan segenap kewaspadaan-

nya. Seluruh inderanya ditajamkan. Telinganya, matanya,

dan indera naluriahnya. Sesaat Jaka Pandan berdiri tegak di

tengah-tengah halaman.121

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Dalam pada itu perasaan Jaka Pandan merasakan

bahwa di sekitar tempat itu ada beberapa pasang mata

yang mengawasi gerak-geriknya. Oleh karena itu Jaka

Pandan semakin meningkatkan kewaspadaannya. Dia tetap

berdiri di tempatnya tanpa membuat suatu gerakan

apapun. Dia menanti apa yang dilakukan kemudian oleh

mata-mata di sekitarnya itu, kalau toh indera keenamnya

itu benar-benar pada perkiraannya.

Tapi sampai saat ini Jaka Pandan memang bisa

mempercayai indera keenam itu. Ternyata apa yang

dikatakan oleh naluriah Jaka Pandan itu benar-benar

terjadi. Setelah sesaat ia berdiri di tengah halaman dan

agaknya orang-orang yang ada di sekitarnya tidak bisa

menyabarkan diri lebih lama lagi, Jaka Pandan mendengar

suara mendesing yang semakin mendekat ke telinganya.

Cepat Jaka Pandan menyadari bahwa sebatang anak

panah telah bergerak menyambar ke arahnya. Jaka Pandan

tidak membiarkan dirinya sekali lagi menjadi sasaran anak

panah. Karena itu begitu dia merasa bahwa ujung anak

panah itu semakin dekat maka dengan kegesitan yang

dimilikinya Jaka Pandan melejit ke samping menghindari

sambaran anak panah itu. Akan tetapi begitu dia terhindar

dari bahaya maut yang mengancamnya, dia mendengar

lagi beberapa anak panah yang berdesingan. Jaka Pandan

tidak mau dirinya lebih menjadi sulit. Cepat dia berkelebat

meloncat ke tempat yang gelap.

Untuk sejenak lamanya suasana menjadi hening. Tetapi

keheningan itu adalah suatu keheningan yang

menegangkan. Dan ketegangan itu akhirnya mencapai122

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

puncaknya ketika kemudian di halaman itu muncul dua

orang yang masing-masing di tangannya memegang

sebuah busur. Serta sekantong anak panah yang

tergantung di lambung masing-masing.

Jaka Pandan memperhatikan kedua orang itu dari

tempat yang terlindung oleh bayangan pohon yang agak

gelap. Rupanya orang-orang itu tidak mungkin melihat di

mana Jaka Pandan berada.

"Setan itu telah menghilang," terdengar salah seorang

dari mereka berkata.

Menjawab yang lain dengan sebuah pertanyaan,

"Adakah kau dapat menduga siapa dia?"

Seorang yang pertama sekali berkata, menyahut sambil

menggoyang-goyangkan kepalanya, "Meskipun dapat,

namun aku tak dapat memastikan kebenarannya."

"Siapa menurut dugaanmu?"

"Jaka Pandan."

Orang yang selalu bertanya tertegun mendengar

jawaban kawannya. Tapi segera pula mengangguk-

anggukkan kepalanya. "Ya, ya. Akupun menduga bahwa

orang tadi memang Jaka Pandan adanya."

"Aku masih menyangsikan."

"Tapi aku berani memastikan bahwa orang itu Jaka

Pandan."123

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Bagaimana kau yakin?"

"Perawakannya."

"Oh, kalau begitu kita telah kehilangan sesuatu yang

sangat berharga."

"Ya. Dia telah pergi. Tetapi mungkin belum terlalu jauh."

"Apakah kita akan mengejarnya?"

"Bagaimana sebaiknya menurutmu?"

Kini keduanya saling berdiam diri.

Lalu, "Kurasa kita tak perlu mengejarnya." Yang seorang

berkata.

"Kenapa?"

Suatu pekerjaan yang sia-sia. Bukankah kita bisa

menempuh berbagai-bagai kemungkinan arah? Sedang

kita tak tahu arah mana yang diambilnya."

"Kau benar," jawab yang lainnya, "Lalu apa yang akan

kita lakukan?"

"Berbuat seperti semula."

"Pekerjaan yang menjemukan."

"Lalu?"

"Kurasa Jaka Pandan tak akan kembali lagi setelah tahu

bahwa Aryo Gunan dijaga." orang itu berhenti sejenak.124

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Setelah menelan ludah untuk membasahi batang

tenggorokannya, ia melanjutkan, "Malam begini dingin.

Aku akan ke warung Ratri."

"Gila." gerutu kawannya.

Tetapi orang yang ingin pergi ke warung itu seolah-

olah tidak mendengar suara kawannya. Sambil

mengayunkan langkah, ia bergumam, "Malam belum

begitu larut. Tentu Ratri belum menutup warungnya."

"Gila!" gerutu kawannya lagi. Dan sekali ini lebih keras,

"Jadi kau mau meninggalkan aku seorang diri?"

"Guna sebentar," jawabnya. "Telah tiga hari aku tidak

mengunjunginya. Aku sudah begitu rindu pada senyumnya.

Aku rindu pada wajahnya yang bulat, matanya yang blalak-

blalak. Aku rindu pada pantatnya yang segede tampah."

'Huh! Keranjingan setan! Dasar bandot doyan

perempuan kau, Samodra!"

Akan tetapi orang yang bernama Samodra itu tak

menghiraukan perasaan kawannya. Dia lebih menuruti

gejolak hatinya untuk menemui Ratri, perempuan


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


penunggu warung di bawah pohon sawo. Karena dorongan

kerinduan itulah maka kemudian Samodra meninggalkan

tugas yang harus dilakukannya, ialah berjaga-jaga di

halaman Aryo Gunan. serta membiarkan kawannya seorang

diri.

Dalam pada itu, Jaka Pandan yang berdiri di tempat

yang agak gelap telah menentukan langkah yang harus125

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

segera dilakukannya. Karenanya anak itu tidak membiarkan

saat-saat berlalu begitu saja. Segera ia muncul dari

persembunyiannya serta perlahan-lahan ia mendekati

prajurit yang berdiri termangu-mangu di halaman. Suatu

kebetulan pula bahwa orang itu berdiri membelakanginya.

Sedemikian dia berhati-hati sehingga langkah-

langkahnya sama sekali tak terdengar oleh orang itu.

Begitu Jka Pandan berada di belakang orang itu, dekat

sekali, cepat Jaka Pandan mencabut pedangnya. Sebelum

prajurit itu menyadari keadaan di sekitarnya, Jaka Pandan

telah menekankan ujung pedangnya ke punggung orang

itu.

Orang itu terkejut bukan main. Lebih terkejut lagi

manakala terdengar Jaka Pandan berkata,

"Jangan takut, kisanak. Aku tidak akan berbuat suatu

apapun atas dirimu jika kau mau menjelaskan sesuatu apa

yang ingin kuketahui. Dan baiklah kusebutkan namaku

agar kau tidak menjadi sangat terkejut. Aku Jaka Pandan."

Mendengar Jaka Pandan, orang itu terlonjak. Apalagi

orang yang menyebut dirinya dengan nama Jaka Pandan

itu ada di belakangnya sambil menekankan sebuah ujung

pedang ke punggungnya.

Namun orang itu cepat berhasil menguasai sedikit

hatinya. Sedikit dia menengok ke belakang dengan ekor

mata. Dilihatnya kebetulan saat itu Jaka Pandan berpaling

ke samping. Inilah kesempatan baik baginya. Cepat dia

memutar tubuh. Secepat itu pula ia menghantam Jaka126

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Pandan. Akan tetapi orang itu terkejut bukan main.

Ternyata Jaka Pandan mampu bergerak lebih cepat dari

padanya.

Plakk!

Orang itu merasakan sebuah tamparan ke wajahnya.

Panas. Hingga di pipi itu meninggalkan bekas warna

matang biru. Dan .... sebuah dorongan yang kuat telah

memaksa orang itu untuk terjengkang ke belakang. Dia

menyeringai menahan sakit. Namun sebelum rasa sakit itu

lenyap dari tubuhnya, ia merasakan sebuah benda runcing

dingin menempel di dadanya. Ketika dia berhasil

memperhatikan, benda ilu adalah pedang Jaka Pandan.

Serta merta wajah orang itu berubah semerah kertas.

Keringat dingin meleleh di kening maupun di punggung-

nya.

"Apakah kau menghendaki ujung pedang ini

menembus dadamu?" terdengar Jaka Pandan bertanya

dengan suara menghardik.

Dada orang itu menjadi sesak oleh himpitan

perasaannya.

"Tiddd ...dakk...," suara orang itu tergagap.

"Akupun tidak akan membunuhmu," kata Jaka Pandan

pula, "asal kau mau menjawab setiap pertanyaanku dengan

baik."

Jaka Pandan berhenti sejenak memandang wajah orang

itu. Dari cahaya bulan yang meneranginya tahulah Jaka127

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Pandan bahwa hati orang itu dicekam oleh perasaan takut.

Sekali anak itu menghela nafas. Ketika kemudian orang itu

tetap diam, maka bertanyalah Jaka Pandan, "Siapa

namamu?"

Orang itu tidak menjawab.

Sehingga kembali terdengar Jaka Pandan bertanya,

"Siapa namamu?"

Masih orang itu tidak menjawab.

"Baik." kata Jaka Pandan. "Mungkin kau lebih senang

mati daripada menyebutkan namamu."

Akhirnya dengan bibir bergetar orang itu menjawab,

"Pramanca."

"Nah begitulah, jawab pertanyaanku jika kau masih

ingin hidup."

Pramanca mengangguk perlahan.

"Apa sebab engkau dan kawanmu tadi menyerangku?"

Orang itu ragu-ragu. Tetapi ketika terasa ujung pedang

Jaka Pandan menekan lebih keras, dia terpaksa menjawab,

"Karena kami mengingini hadiah dari Pamuncar, jika kami

bisa menangkapmu."

"Oh! Mengapa bisa demikian?"

"Jawabnya terlampau mudah. Bukankah kau dan

Pamuncar sama-sama mencintai puteri mendiang ki128

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

tumenggung Aryo Guno itu. Agaknya dalam hal ini engkau

lebih menang dari Pamuncar. Suatu hal yang tidak aneh

jika kemudian putera ki Ragajaya itu menaruh dendam

kepadamu."

"Apa yang akan diberikannya kepadamu jika kalian

berhasil menangkapku?"

"Banyak sekali. Dia bersedia memberi kami masing-

masing seperangkat pakaian dengan sebuah timang yang

bertereteskan intan permata."

"Hanya itu?"

"Masih ada lagi. Dia mau memberiku seorang dari

selirnya. Demikian pula dengan Samodra."

Jaka Pandan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kemudian, "Apakah kau masih menghendaki hadiah-

hadiah itu?"

Jika aku masih mempunyai kesempatan." Sahut

Pramanca, "Tetapi agaknya kesempatan itu selamanya tak

akan kuperoleh. Kau terlalu hebat. Apa yang mampu

kulakukan terhadap dirimu? Mungkin ini pula sebabnya

mengapa Pamuncar menyuap kami dengan hadiah-hadiah

jika kami dapat membunuhmu. Agaknya Pamuncar sudah

merasa tidak mampu melawan, Jaka Pandan."

Jaka Pandan tersenyum. Kini pedangnya perlahan-lahan

diturunkan. Bahkan kemudian dimasukkan ke dalam

sarungnya. Lalu Jaka Pandan mempersilakan Pramanca129

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

untuk duduk. Sedang dia sendiri kemudian duduk pula.

berhadapan dengan Pramanca.

"Mengapa aku tak melihat seorang prajurit pun?"

bertanya Jaka Pandan.

"Aku sendiri tak tahu kenapa," jawab Pramanca.

"Mungkin oleh fihak kerajaan sudah merasa tidak perlu

lagi menempatkan prajurit di rumah ini."

Jaka Pandan tertegun. Suatu perasaan kecewa atas

sikap pembesar kerajaan terselip di hati anak itu mengapa

seakan-akan kerajaan tidak menaruh penghargaan pada

keluarga tumenggung Aryo Guno. Padahal orang itu ketika

masih hidup menyerahkan seluruh kehidupannya demi

jabatannya, demi negaranya. Tetapi kemudian setelah dia

meninggal, keluarganya sudah tak terpikirkan lagi.

Kepala Jaka Pandan tertunduk. Sebuah pertanyaan

muncul di benaknya. Lalu bagaimana nasib nyai Aryo Guno

serta Kembang Arum. Kasihan mereka. Tetapi apa daya.

Keadaan dirinya sendiri tengah tersudut justru oleh

persoalan yang menyebabkan pula mereka terlantar. Ialah

soal kematian tumenggung Aryo Guno.

Tiba-tiba Jaka Pandan teringat pada Pamuput. Karena

itu kemudian dia bertanya pada Pramanca, "Adakah kau

mengenal seorang prajurit yang bernama Pamuput?"

Pramanca tidak segera menjawab. Nampaknya dia

sedang mengingat sesuatu. Sesaat kemudian dia130

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

menggelengkan kepalanya. "Aku tidak kenal dengan dia."

jawabnya.

Ketika kemudian Jaka Pandan tak terdengar bertanya

lagi serta Pramanca itu tidak berkata pula, maka suasana

pun dicekam oleh keheningan.

Sementara malampun menjadi semakin dingin oleh


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


desiran sang bayu yang bergemerisik menghembus

dedaunan. Bulan kian melambung ke atas menyusuri

lengkungan bola langit. Ternyata keheningan itu tidak

terlalu lama berlangsung karena segera dipecahkan oleh

suara Jaka Pandan, "Terima kasih. Kau baik sekali Pramanca.

Namun sekarang bagaimana tanggapanmu atas diriku?"

"Aku tidak mempunyai persoalan lagi denganmu."

jawab Pramanca bernada pasti.

"Maksudku, bagaimana tanggapanmu atas suara

orang-orang yang menunduhku bahwa akulah yang telah

membunuh tumenggung Aryo Guno dan Ki Brajanala?

Katakan dengan jujur, Pramanca."

'Persetan dengan soal itu. Itu bukan persoalanku. Itu

urusan pembesar-pembesar kerajaan. Kalau toh apa yang

mereka tuduhkan itu benar-benar kau lakukan sekalipun,

aku tak peduli. Aku tak mau dibuat pusing oleh soal-soal

tetek-bengek yang sama sekali bukan urusanku. Aku tak

mau diikat oleh persoalan orang lain yang tidak

menyangkut kepentinganku."

Kata-kata itu terdengar kasar dan agak menyakitkan

anak telinga. Tetapi Jaka Pandan salut dengan pribadi131

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Pamuncar yang senang terus terang, masa bodoh dan tidak

peduli dengan urusan orang lain. ltulah sifat-sifat Pramanca

yang dapat dinilai oleh Jaka Pandan.

"Terima kasih atas kebaikan-kebaikanmu, Pramanca."

Kemudian Jaka Pandan melepaskan ikat pinggangnya.

Sambil memberikan ikat pinggang itu pada Pramanca, Jaka

Pandan berkata, "Terimalah ini sebagai tanda terima

kasihku."

Melihat ikat pinggang yang berkilauan pada timangnya

itu mata Pramanca terbelalak. Akan tetapi dia menolak

meskipun dalam hati dia mau menerimanya.

Jaka Pandan tersenyum penuh arti.

"Ambillah." katanya. "Mungkin sekarang kau

mempunyai yang lain. Tetapi suatu ketika benda itu akan

mempunyai arti bagimu."

Akhirnya dengan wajah tersipu-sipu Pramanca

mengulurkan tangannya menerima jamus dan timang yang

bertereteskan intan permata. Hati siapa tak kan senang

memperoleh rejeki nomplok. Pramanca sangat merindukan

benda sebagus itu sehingga dia menyediakan diri pada

Pamuncar untuk membunuh Jaka Pandan. Namun tak

disangka dan tak dinyana, orang yang hendak dibunuhnya

itu malah memberikan timang indah itu kepadanya.

Berkali-kali mulut Pramanca itu berkomat-kamit

mengucapkan rasa terima kasihnya.132

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Jaka Pandanpun jadi puas. Puas karena maksud hatinya

tercapai.

"Sekarang kau hendak kemana?" bertanya Pramanca.

"Aku akan masuk menemui Kembang Arum."

"Silahkan." kata Pramanca kemudian, "Aku tahu apa

yang harus kulakukan."

Jaka Pandan mengerutkan keningnya, "Apa yang harus

kaulakukan?"

Pramanca tertawa kecil, "Aku harus membuat Samodra

tidak mengetahui kehadiranmu. Bukankah demikian?"

Jaka Pandan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dalam hati dia tertawa pula. Mentertawai sifat Pramanca

yang mencerminkan watak umat manusia pada umumnya.

Bahwa kehidupan manusia itu senantiasa diperbudak oleh

gemerlapnya uang dan kekayaan.

Kemudian Jaka Pandan cepat-cepat naik ke pendapa

ketika seseorang nampak memasuki regol. Orang itu

adalah Samodra kawan Pramanca yang tadi pergi ke

warung Ratri.

Begitu kawannya muncul, Pramanca berusaha

menampakkan wajah cemberut. Dan dengan mulut yang

memaki-maki kalang kabut dia berkata keras, "Sudah

puaskah kau bercanda dengan gundikmu itu?"133

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"He? Kenapa kau mencak-mencak seperti mabuk tuak,

Pramanca?"

"Setan. Hampir saja aku mati beku di tempat ini!"

"Mengapa?"

"Jika kau tahu, kaupun akan benar-benar mati kaku."

"Nampaknya kau bersungguh-sungguh."

"Kau sangka aku main-main?" suara Pramanca kian

meninggi. "Aku mau pulang."

"He?"

"Aku tidak mau mati dicekik hantu, dan aku tak mau

mati kaku."

Samodra tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh

kawannya. Karena itu dia bertanya,

"Apa yang sebenarnya terjadi, sobat?"

"Sebuah hantu muncul dengan tiba-tiba begitu kau

pergi. Hantu itu mau membunuhku...."

Tiba-tiba Samodra tertawa.

"Kenapa kau tertawa? Mentertawai aku?" bentak

Pramanca.

"Nyatanya kau tidak mati dibunuh oleh hantu itu toh?"134

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Huh!" Pramanca mendengus. Lalu katanya, "Untunglah

hantu itu tidak sejahat yang kuduga. Dia malah

memberikan benda ini padaku." Berkata demikian

Pramanca lalu menunjukkan timang pemberian Jaka

Pandan.

Melihat benda berharga itu mata Samodra terbelalak.

Kagum. Seperti pula Pramanca, Samodra juga telah lama

ingin memiliki benda semacam itu. Sehelai ikat pinggang

berwarna hitam berhiaskan sulaman benang emas dengan

timang bertereteskan intan permata. Dan yang

mengherankan hati Samodra ialah benda itu pemberian

seorang hantu yang telah menemui Pramanca sewaktu dia

pergi ke warung Ratri. Karena itu kemudian dengan suara

yang bersemangat dia berkata, "Aku ingin mendapatkan

benda ini pula."

"He?" Pramanca melonjak kaget.

"Kau pergilah sebentar. Agar hantu itu menemuiku.

Padanya aku akan minta benda berharga seperti yang

diberikannya padamu itu."

"Jangan main-main." desis Pramanca "Apakah kau ingin

hantu itu mencekik kita berdua?"

Samodra memandang kawannya dengan sebuah

pandangan tanda tanya.

"Mengapa?"

"Aku telah berjanji pada hantu itu untuk segera pergi

dari tempat ini begitu kau datang. Dan mengajakmu sekali.135

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Jika aku mengkhianati janji itu aku akan dicekiknya. Bahkan

tidak aku sendiri. Tetapi engkau juga..."

"Huh! Mengapa kau berjanji begitu?"

"Kau tolol! Dengan adanya kita berdua di sini hantu itu

merasa terganggu. Seperti juga manusia dia punya anak.

Kau tahu. Hantu suka menyibukkan diri di malam hari.

Demikian pula anak-anak hantu itu ingin bermain-main."

Samodra tertegun. Apa yang dikatakan oleh Pramanca

itu seakan-akan memang tidak masuk di akal. Namun juga

bisa dipercayai walaupun kepercayaan itu terbawa oleh

perasaan dan naluri semata-mata. Sejak kecil Samodra

seringkali mendengar dongeng hantu dari ayahnya, ibunya

atau dari neneknya. Entah di antara seribu macam

dongeng itu benar-benar ada atau tidak, namun karena

terlalu sering mendengar, maka sedikit demi sedikit, dan ini

tentu saja karena naluri, timbul suatu kepercayaan bahwa

dunia hantu itu memang ada. Hanya karena pada dunia

yang berbeda, manusia tak dapat melihat kehidupan hantu.

Sedang Hantu bisa melihat kehidupan manusia.

Setelah sekian saat termenung akhirnya berkatalah

Samodra. Suatu perkataan yang keluar dari nalarnya,

"Mengapa hantu itu baru muncul sekarang? Maksudku

tidak terjadi pada prajurit-prajurit di sini sebelum kita

berjaga?"

Dalam hati Pramanca mengumpat habis-habisan. Tapi

yang keluar dari mulutnya bukanlah umpatan. Walau


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


umpatan yang paling halus sekalipun.136

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Bawel amat," decihnya. "Aku mau pergi. Terserah kau

pergi atau tidak."

"Aku tidak mau pergi," jawab Samodra ogah-ogahan.

"Aku kepingin bertemu dengan hantu itu dan meminta

sebuah timang yang lebih bagus dari milikmu. Kalau toh

dia baik hati seperti katamu, tentu dia akan memberinya,

baru aku pergi. Tapi seandainya aku dicekik, biarlah.

Matipun tak apa-apa."

"Gila!" suara Pramanca agak meninggi. "Apakah kau

membiarkan Ratri kesepian?"

"Biarlah. Toh di sorga nanti aku akan bertemu dengan

bidadari-bidadari cantik..."

Hampir saja Pramanca menjadi putus asa untuk

membujuk sahabatnya. Adalah pada saat itu ia

menemukan sebuah akal baik yang ia percaya pasti dapat

melumpuhkan kekerasan hati Samodra. Kemudian dia

mengayunkan langkahnya.

"Kemana kau?" terdengar Samodra bertanya.

"Ke warung Ratri."

"Mengapa ke sana?"

Pramanca tertawa melalui hidungnya. Lalu, "Aku akan

mengambil Ratri sebagai isteriku yang ketiga. Bukankah

sebentar lagi kau akan mati dicekik hantu. Kasihan Ratri..."137

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Jangan gila!" seru Samodra sambil mengejar

Pramanca.

***

Jaka Pandan masih mendengar kelakar Pramanca.

Anak itu melampiaskan tawanya yang sedari tadi

ditahannya, itupun dengan bibir digigit agar suara tawa itu

tidak membangunkan orang-orang yang ada di dalam. Bisa

saja Pramanca itu merangkai dan mengada-ada tentang

sebuah ceritera hantu. Ia tahu bahwa hantu yang

dimaksudkan oleh Pramanca itu adalah dirinya sendiri. Dan

dia harus merasa berterima kasih pada Pramanca. Untuk

rasa terima kasihnya itulah maka Jaka Pandan rela

memberikan timang yang sebenarnya hadiah dari

mendiang tumenggung Aryo Guno. Padahal kini Jaka

Pandan sudah tidak punya yang lain. Kalaupun ada tentu

tidak sebaik yang diberikan kepada Pramanca. Namun Jaka

Pandan tidak menyesal. Bahkan jika mungkin dia mau

memberi yang lebih baik lagi. Karena sesungguhnya ia

mempunyai maksud-maksud tertentu terhadap Pramanca.

Sayang, Jaka Pandan tidak sempat menanyakan diri

Pramanca lebih lanjut. Tak apa. Lain kali pasti diketahuinya

dan dapat dicarinya anak yang bernama Pramanca.

Jaka Pandan akhimya tersenyum seorang diri. Tetapi

kemudian anak itu sadar akan dirinya manakala tak

didengarnya lagi suara Pramanca maupun suara Samodra.

Suara mereka sudah ditelan oleh keheningan malam yang

terang oleh cahaya bulan. Dan Jaka Pandan datang ke

tempat ini bukan hanya untuk berdiri sebagai sebuah138

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

patung yang tersenyum. Melainkan untuk menemui

Kembang Arum, kekasihnya.

Jaka Pandan merasakan adanya banyak sekali

perubahan di rumah ini. Terlalu banyak. Dan sangat jauh

berbeda ketika ki tumenggung Aryo Guno masih hidup dan

dia masih jadi penghuni katumenggungan ini. Kalau

beberapa hari yang lalu di saat-saat begini rumah ini masih

sibuk orang-orang yang ada di dalamnya mempunyai

kesibukan-kesibukan sendiri seperti Ki Aryo Guno yang

pada malam begini masih asyik menekuni daun-daun

lontar yang merupakan buku-buku dengan ditemani oleh

Nyai Aryo Guno. Kembang Arum masih mempermainkan

jari jemarinya menyulam kain. Sedang Jaka Pandan asyik

omong kosong bersama prajurit-prajurit yang lain di regol

sana. Tetapi sekarang sangat sepi. Tak terdengar suara

sedikitpun walau malam masih sangat jauh untuk dikatakan

larut. Rumah ini bagai rumah yang tak berpenghuni lagi.

Kalau dengan keadaan yang serba gelap begini lebih tepat

bila rumah ini disamakan dengan cungkup.

Perlahan-lahan Jaka Pandan mengayunkan langkah.

Angin terasa tiba-tiba agak kencang meniup. Seleret sinar

keluar dari dalam rumah. Dan karena itu Jaka Pandan

menghentikan langkahnya. Keningnya berkerut. Apa

gerangan sebenarnya yang terjadi? Pintu belum dikancing

sehingga daun pintu itu sedikit terbuka ketika angin

meniup santer.

Jaka Pandan berdiri di tempatnya sampai lama. Namun

keadaan masih tetap sunyi. Dia maju lagi, merapatkan

telinganya ke pintu. Tetap tak terdengar suara apapun.139

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Kecuali dengkur yang agak keras. Dengkur itu adalah

dengkur Nyai Aryo Guno. Jaka Pandan cukup yakin.

Setelah beberapa saat Jaka Pandan menunggu dan

masih tetap tak ada suatu pun yang dicurigainya, maka

dengan hati-hati ia menguakkan daun pintu. Cahaya lampu

tidak begitu terang dalam ruang yang besar itu. Dalam

keredupan cahaya lampu itu Jaka Pandan melihat

Kembang Arum duduk bersandar menghadap ke arah

pintu. SekiIas diperhatikannya ruangan yang besar itu. Tak

ada sesuatu. Kecuali kebekuan, seperti beberapa perangkat

meja yang teronggok diam. Yang lebih mengherankan lagi

adalah ternyata Kembang Arum tidak melihat ataupun

mendengar kedatangannya. Padahal gadis itu duduk

menghadap ke arah pintu di mana pintu itu kini terbuka

lebar, sedang Jaka Pandan berdiri di tengah-tengahnya.

Apakah Kembang Arum itu tertidur. Tidak mungkin. Gadis

itu tidak pernah tidur di kursi itu walau dalam keadaan

apapun. Lalu apakah yang sedang dilakukannya sehingga

Kembang Arum tidak tahu akan kehadiran Jaka Pandan di

ruang itu? Selangkah, dua langkah, tiga langkah, Jaka

Pandan melangkah ke depan.

"Kembang Arum," akhirnya terdengar anak itu

memanggil lirih.

Entah karena tidak mendengar atau karena apa,

Kembang Arum tetap tak bergerak.

Sekali lagi Jaka Pandan maju beberapa langkah. Dan

sekali lagi ia memanggil nama kekasihnya. Dan sekali lagi

Kembang Arum mengangkat wajahnya. Sampai sejenak140

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

gadis itu memperhatikan Jaka Pandan seolah-olah dia tidak

lagi mempercayai penglihatannya. Baru setelah Jaka

Pandan memanggil namanya untuk ketiga kalinya,

Kembang Arum bangkit serta merta lari menyongsong Jaka

Pandan. Apabila kemudian dia telah ada di hadapan Jaka

Pandan, bagai sebatang pohon pisang yang tumbang

dijatuhkannya seluruh berat tubuhnya ke dada Jaka Pandan

yang bidang itu serta tangannya melingkar di leher Jaka

Pandan.

Untuk sesaat lamanya Jaka Pandan tak tahu apa yang

mesti dilakukannya. Namun dalam waktu yang sesaat lagi

tangannya telah memeluk pinggang Kembang Arum erat

sekali seakan-akan tangannya mau mematahkan pinggang

yang ramping itu. Dan dijatuhkannya kepalanya dan

dibiarkannya terkulai di atas kepala kekasihnya. Semuanya

beku. Dan kaku. Tiada kata. Cuma suara himbauan hati

kedua insan remaja itulah yang berdendang dengan syair-

syair cinta. Desah nafas mereka seirama dan senada. Nafas-

nafas kerinduan yang kini telah bertemu dengan apa yang

dirindukannya. Hati mereka sama-sama berlagu. Bagi

mereka semua yang ada di sekelilingnya tak ada. Yang ada

hanya mereka berdua. Yang ada hanya perpaduan hati

mereka seperti pula perpaduan tubuh mereka yang kini

menjadi satu.

Beberapa kali terdengar Kembang Arum merintih,

berbisik dan memanggil-manggil nama Jaka Pandan.

Kemudian pecah isak tangisnya yang tak diketahui oleh

Jaka Pandan apa sebabnya. Tetapi suara isakan itu terasa

bagi Jaka Pandan laksana jarum-jarum berkarat yang141

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

menusuk-nusuk jantungnya. Pedih. Pilu. Dan ngilu. Jaka


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pandan menangis pula. Dan menjerit. Namun suara tangis

dan jeritan itu hanya menggema di dasar hatinya yang

telah penuh oleh tumpuan-tumpuan bermacam-macam

perasaan.

Akhirnya Jaka Pandan mengangkat tubuh Kembang

Arum serta mendukungnya membawa masuk ke bilik gadis

itu dengan sebelumnya menutup kembali daun pintu itu.

Kemudian Jaka Pandan membaringkan tubuh kekasihnya

sedang dia sendiri duduk di sampingnya sambil membelai

jari-jemari Kembang Arum. Lama mereka berpandangan

sebagai ungkapan kata hati mereka yang tak

terungkapkan. Lalu Jaka Pandan tersenyum. Kembang

Arum tersenyum pula meski air mata masih meleleh ke

pipinya. Dan senyuman itu sangat menggores kepingan

hati Jaka Pandan. Lalu Jaka Pandan menunduk. Dan

mengusap air mata yang meleleh di pipi Kembang Arum.

Dan mencium pipi yang merekah itu. Dan berbisik lirih,

"Kembang Arum...."

Diam lagi. Tetapi kediaman kali ini adalah suatu

kediaman yang mengasyikkan hati mereka, hati dua insan

yang sedang dilanda oleh gelombang-gelombang asmara.

Sesaat kemudian keheningan yang mengasyikkan itu

dipecahkan oleh suara Jaka Pandan, "Kembang Arum..."

suara itu disertai dengan segenap perasaan sayang,

"tersenyumlah, sayang. Tersenyumlah buat selamanya. Dan

jangan menangis lagi. Matamu membengkak. Tentu kau

menenggelamkan dirimu dalam kesedihan. Lihatlah betapa

tangan ini sekarang sangat kecil. Serta pipimu tidak142

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

semerah dahulu lagi. Senyumlah. Kita tersenyum bersama-

sama."

Dan memang Kembang Arum pun tersenyum juga. Dan

Jaka Pandan juga tersenyum. Dan keduanya tersenyum...

Senyum kebahagiaan.

"Aku benar-benar bahagia, Kembang Arum." Kata Jaka

Pandan.

"Akupun demikian pula," sahut Kembang Arum.

"Namun kurasa kebahagiaan ini akan segera berlalu."

"Mengapa?" bertanya Jaka Pandan sambil meninggikan

alisnya.

"Aku tahu kau akan segera pergi."

Memang aku akan segera pergi. Di sini banyak orang-

orang yang memusuhiku. Mereka akan membunuhku

karena mereka menganggap bahwa aku adalah seorang

pembunuh. ltulah jawab di hati Jaka Pandan. Namun yang

keluar dari mulutnya bukan itu. Melainkan, "Ya. Aku harus

pergi. Tapi jangan cemas. Aku akan senantiasa

mengunjungimu walau aku harus berbuat seolah-olah aku

ini maling kecil yang takut ketahuan.

"Jangan...," sanggah Kembang Arum. "Engkau tidak

perlu datang ke rumah ini lagi, kakang. Jika kau selalu

datang, nyawamu senantiasa ada di ujung rambut. Sejak

kematian paman Brajanala itu orang-orang Pajang menjadi143

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

lebih marah padamu. Mereka akan menggantungmu jika

mereka berhasll menemukan engkau..."

"He?" Jaka Pandan menegakkan tubuhnya dan

memandang Kembang Arum dengan mata terbeliak.

"Jadi? Kau telah pula mendengar tentang kematian Ki

Brajanala itu?"

"Dalam keadaan begini, apapun peristiwanya akan

cepat didengar oleh orang banyak. Apalagi peristiwa itu

soal kematian seorang nayaka praja."

Kepala Jaka Pandan menunduk. Akan tetapi ia segera

mengangkatnya lagi perlahan-lahan. Lalu dengan suara

berat dia bertanya, "Bagaimana dengan kau sendiri,

Kembang Arum? maksudku apa tanggapanmu atas

peristiwa kematian Ki Brajanala itu?"

"Tidak banyak. Dan aku tidak percaya, dan kepercayaan

ini semakin menebal, bahwa engkau bukan pembunuhnya.

Bukan pula pembunuh ayah almarhum. Hanya aku

menyayangkan orang-orang Pajang terlalu diperbudak

oleh perasaannya daripada menggunakan nalar. Oleh

karena itu aku tahu mengapa engkau kemudian

menghilang. Orang-orang itu pasti ingin membunuhmu."

Kembang Arum berhenti sesaat untuk menekan gejolak

perasaan yang tiba-tiba melonjak. Kerongkongannya terasa

seakan-akan tersumbat. Beberapa kali ia menelan ludah

untuk menghentakkan kesesakan itu. Sekali lagi Jaka

Pandan menundukkan wajahnya mendengar kata-kata

Kembang Arum. Seolah-olah kepala itu merupakan beban144

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

yang sangat berat bagi batang lehernya, seberat kata-kata

itu untuk diucapkan oleh seorang gadis remaja yang baru

saja kehilangan ayahnya dan digoncangkan oleh nasib

kekasihnya yang dituduh telah melakukan pembunuhan

atas diri ayahnya itu. Namun telinga Jaka Pandan benar-

benar mendengar bahwa Kembang Arum berkata

demikian. Karena itu Jaka Pandan merasa adanya

perubahan kejiwaan pada diri Kembang Arum. Selama dia

bergaul, dan ini sejak kecil, Jaka Pandan mengenal

Kembang Arum. Akan tetapi ia mendengar kata-kata itu

seakan-akan bukan Kembang Arum yang mengucapkan-

nya. Melainkan perempuan lain.

Kalaupun perempuan ini Kembang Arum adanya,

tentulah bukan Kembang Arum yang dikenalnya sebagai

Kembang Arum yang lemah, yang senang dibuai dalam

kemanjaan. Tetapi Kembang Arum yang berkata itu adalah

seorang Kembang Arum yang telah matang jiwanya.

Ataukah sedemikian cepatnya Kembang Arum itu

mengalami perubahan?

Ya. Dalam rumah ini terlalu cepat dan terlalu banyak

berubah pada hari-hari terakhir ini. Sejak kematian Ki

Tumenggung Aryo Guno. Jaka Pandan telah merasakan

adanya perubahan-perubahan yang menyolok begitu dia

melangkahkan kaki memasuki regol halaman.

Atas kata-kata itu Jaka Pandan ingin menganggukkan

kepala mengiyakan sambil menunjukkan luka-luka yang

mulai mengering di kedua bahu serta kakinya. Namun

sebelum Jaka Pandan melakukan perbuatan itu, telah

terdengar Kembang Arum berkata mendahuluinya, "Dalam145

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

pada itu timbullah sebuah niat dalam hati ini untuk

menolongmu kakang. Aku ingin melakukan sesuatu untuk

meringankan bebanmu dengan menyadarkan mereka.

Tetapi sampai saat ini aku belum berhasil menemukan cara

yang cukup baik untuk melakukan usaha itu. Aku

menyadari bahwa apa yang mampu kulakukan usahaku itu.

Aku menyadari apa yang sebenarnya ingin kukerjakan.

Padahal kutahu, untuk menyadarkan orang-orang itu, aku

harus banyak menghadapi kesulitan-kesulitan."

Kini bukan saja Jaka Pandan tersentak oleh kata-kata

Kembang Arum itu. Bahkkan dadanya tergoncang hebat.

Jaka Pandan hampir tidak percaya pada pendengarannya.

Namun di bilik itu tak ada orang lain selain mereka berdua.

Jaka Pandan dan Kembang Arum. Oleh karenanya

betapapun juga Jaka Pandan harus mempercayai

telinganya bahwa Kembang Arumlah yang telah berkata

begitu. Sehingga dengan demikian Jaka Pandan menjadi

lebih mantap merasakan cinta Kembang Arum yang

beberapa hari yang lalu nyaris mengalami kegoncangan.

Sekali Jaka Pandan menghela nafas dalam-dalam.

Kemudian, "Kau tak usah melakukannya, Kembang Arum."

katanya, "Biarlah persoalan ini kuselesaikan sendiri.

Janganlah engkau membawa-bawa diri untuk mengaitkan

dirimu pada persoalan yang seharusnya tidak menimpa

dirimu."

"Tetapi ....."146

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Biarlah aku menyelesaikannya sendiri, Kembang Arum.

Hanya doamu saja yang kuminta agar aku berhasil

menyelesaikannya."

Kembali keheningan mencekam bilik yang tidak

seberapa luas itu. Kedua anak muda itu terbawa oleh arus

pikirannya sendiri dalam khayal-khayal dan kata-kata yang

tak terucapkan, yang hanya tersimpan dalam kalbu mereka


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


masing-masing.

Ternyata keheningan kali inipun tidak terlampau lama

berlangsung karena segera pula terdengar suara Jaka

Pandan, "Kembang Arum, aku akan pergi. Malam sudah

sedemikian larut. Tidurlah kau. Jangan membiarkan diri

dalam gelombang kedukaan tak menentu. Jangan berfikir

tentang persoalanku. Percayalah pada keadilan Yang Maha

Kuasa. Bahwa yang salah itu akhirnya akan seleh dan yang

benar tidak akan tergelincir."

"Kakang ....."

"Hm?"

"Aku takut...."

"Apa yang mesti ditakutkan?"

"Pamuncar. Anak itu selalu mendesakku..."

Jaka Pandan terdiam.

Dan yang berkata kemudian adalah Kembang Arum

lagi, "Aku telah berusaha mengelakkan diri dengan147

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

menunda waktu barang beberapa hari lagi. Jika dia datang,

aku minta waktu lagi untuk berfikir. Sampai saat ini dia

masih bisa bersabar diri. Tapi aku tahu bahwa kesabaran itu

akan ada batasnya. Bila saat itu datang .... Aku takut,

kakang..."

Jaka Pandan cukup dapat memahami perasaan yang

bergejolak di hati Kembang Arum. Karena itu kemudian

maka berkatalah dia, "Hadapilah keadaan ini untuk

sementara waktu sebelum aku menemukan jalan keluar.

Usahakan untuk menyabarkan hati Pamuncar."

"Apakah tidak lebih baik aku kau bawa di mana kini kau

berada kakang...?"

Jaka Pandan menggeleng, "Orang akan berprasangka

yang bukan-bukan. Orang akan semakin menaruh dendam

kepadaku. Di samping itu pada saat ini aku belum

menemukan tempat yang cukup baik."

Kembang Arum tertunduk.

"Karena itu untuk sementara biarlah keadaan

berkembang demikian," Kata Jaka Pandan melanjutkan,

"Aku akan senantiasa mengawasimu."

Kembang Arum memandang Jaka Pandan dengan

tatapan kosong. Perlahan-lahan Jaka Pandan

menundukkan wajah mengecup kening Kembang Arum.

Ketika kemudian Jaka Pandan akan menegakkan

punggungnya, tertahan oleh tangan Kembang Arum yang

melingkar di lehernya.148

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Sehingga kembali anak itu menjatuhkan dadanya

menghimpit dada Kembang Arum bahkan tangannya

mendekap gadis itu. Wajahnya menjadi satu dengan wajah

Kembang Arum dan dengan sepenuh hati dan perasaannya

dibelainya rambut di kepala gadis itu.

"Tabahkanlah hatimu, sayang..." bisiknya.

Beberapa saat kemudian Jaka Pandan telah bangkit dan

siap mengayunkan langkahnya dengan diikuti oleh tatapan

mata Kembang Arum. Sebelum berangkat, Jaka Pandan

menanyakan diri Pamuput. Namun gadis itu tidak dapat

menerangkan.

Sesaat Jaka Pandan singgah di biliknya. Tapi ia menjadi

tertegun oleh keadaan yang disaksikan dalam bilik itu.

Semuanya telah menjadi porak-poranda. Agaknya

beberapa orang telah memasuki bilik ini untuk mencarinya.

Dan karena mereka tidak menemukan apa yang dicari,

mereka melampiaskan perasaan mereka pada benda-

benda yang ada di bilik itu.

Jaka Pandan tidak terlalu lama ada di bilik itu. Segera

pula ia meninggalkannya. Ketika dia telah sampai di

halaman rumah, suasana masih saja menjadi sunyi. Dan

bulan di atas itu sudah melambung sedemikian tinggi

hampir tegak di atas kepalanya. Daun-daun pohon sawo

bergoyang-goyang oleh tiupan angin malam yang

menghembus perlahan bagai rambut hantu-hantu yang

berdiri di halaman rumah itu.149

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Untuk sejenak lamanya Jaka Pandan termangu-mangu.

Akan tetapi segera pula ia melangkah. Ia telah

memutuskan ke mana akan pergi. Ke rumah Ki Ragajaya.

Mungkin di sana ia dapat menemukan sesuatu. Walaupun

ia tahu di rumah itu dijaga kuat oleh sekian banyak prajurit.

Tetapi dengan kemampuan yang dimilikinya serta

berdasarkan pengalaman-pengalamannya, tidaklah

terlampau sulit bagi Jaka Pandan untuk menghindari diri

dari pengawasan prajurit-prajurit itu.

Agaknya apa yang diperhitungkan oleh Jaka Pandan itu

adalah suatu kenyataan yang tepat. Ia berhasil hinggap di

atas rumah Ragajaya tanpa seorang prajuritpun yang

melihatnya. Kini anak itu menemukan apa yang diharapkan.

Dari dalam rumah itu Jaka Pandan mendengar

beberapa patah perkataan yang diucapkan oleh Ki

Ragajaya. Antara lain, "Seseorang telah mengacaukan

rencana kita. Siapakah orang itu belumlah kita ketahui

dengan pasti. Yang pasti bukan Jaka Pandan. Walaupun

kuakui bahwa Jaka Pandan adalah seorang anak yang

benar-benar dahsyat, namun aku yakin bahwa ini bukan

perbuatan Jaka Pandan. Sehingga dengan demikian kita

dihadapkan pada dua persoalan yang harus segera kita

selesaikan. Pertama adalah soal kegagalan usaha kita untuk

menangkap Jaka Pandan. Anak itu terlampau berbahaya.

Oleh karena itu dia harus segera diselesaikan. Harus segera

diketemukan. Sedang soal yang kedua adalah soal

munculnya seseorang yang berusaha mengacaukan

rencana ini. Oleh karena itu mulai dari sekarang jaringan-

jaringan harus kita pasang dengan lebih cermat...."150

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Berdesir dada Jaka Pandan mendengar perkataan Ki

Ragajaya itu. Apakah yang sebenarnya dikehendaki orang

itu sehingga nampak sedemikian bencinya? Ataukah

karena orang itu menuduhnya sebagai seorang pembunuh

sehingga harus benar-benar disingkirkannya. Agaknya ada

persoalan lain yang membuat Ragajaya membenci dirinya.

Tetapi seingatnya dia sendiri tidak mempunyai persoalan

secara langsung dengan Tumenggung Ragajaya. Apakah

mungkin persoalan antara dia dan Pamuncar dalam kisah

cinta segitiga itu alasannya? Kalau itu pokok persoalannya,

agaknya alasan itu kurang mapan. Banyak lagi pertanyaan-

pertanyaan sehubungan dengan sikap Ki Ragajaya atas

dirinya berkecamuk dalam benak Jaka Pandan.

Masih anak itu dibebani oleh pertanyaan lain, siapakah

orang yang dimaksudkan oleh Ki Ragajaya sebagai orang

yang telah mengacaukan rencana itu? Tetapi ini Jaka

Pandan dapat menjawabnya, meskipun jawaban itu hanya

merupakan suatu perkiraan belaka. Ialah orang bercadar

yang menyebut dirinya dengan nama Giring itu. Suatu

kemungkinan yang agaknya sangat mungkin terjadi

mengingat orang itu mempunyai persoalan yang boleh

dikata sama dengan persoalan yang dihadapinya. Akan

tetapi mengapa orang itu harus berurusan dengan

Tumenggung Ragajaya? Adakah orang yang bernama

Giring itu mempunyai syak wasangka terhadap orang tua

itu. Kalau itu benar, ini adalah suatu dugaan yang sangat

gegabah.

Namun kemudian Jaka Pandan ingin mengetahui

rencana yang disusun oleh Ki Ragajaya itu. Apakah rencana151

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

itu? Tetapi sampai lama Jaka Pandan tidak mendengar lagi

Ki Ragajaya berkata.

Dalam pada itu tiba-tiba Jaka Pandan merasa

punggungnya ditepuk orang dari belakang. Cepat dia

berdiri memutar tubuh. Tak seorangpun yang dilihatnya

kecuali agak jauh di sana berkelebat sebuah bayangan

cepat sekali berlompatan di atas wuwungan kemudian

lenyap dalam mahkota pohon tanjung yang tumbuh lebat

di samping rumah. Jaka Pandan cepat mengenal bayangan

itu. Sehingga kemudian iapun cepat menjejakkan kakinya

menyusul bayangan orang itu.

Di antara cabang pohon-pohon tanjung itu Jaka

Pandan melihat Giring berdiri di sana.

"Kau gila, Jaka Pandan." Suara orang itu perlahan.


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Hei?"

"Jangan bicara terlalu keras."

Jaka Pandan menganggukkan kepala. "Tapi apa

maksudmu?"

"Apakah kau benar-benar sudah bosan hidup?"

Jaka Pandan mengerutkan kening atas-kata orang itu

yang tak diketahui apa artinya, "Jelaskan maksudmu...."

Namun Giring hanya menunjuk ke arah wuwungan

dengan bajunya.152

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Demi melihat apa yang terjadi di sana, Jaka Pandan

terkejut bukan main. Di tempat itu, di atas genteng rumah

Ki Ragajaya itu, berdirilah enam orang laki-laki yang di

antaranya adalah Ki Ragajaya sendiri. Tak terasa melelehlah

beberapa bintil keringat dingin di tengkuk Jaka Pandan

membayangkan suatu peristiwa yang pasti terjadi di

tempat itu apabila Giring tidak menepuk punggungnya.

"Bukan main..." desisnya.

Tetapi Giring segera menggamit lengannya bagai

isyarat untuk diam.

"Bangsat!" Terdengar di atas wuwungan sana Ki

Ragajaya mengumpat dan menggeram, "Agaknya orang itu

benar-benar gila. Dia selalu menampakkan sikap

permusuhannya. Dia selalu membayangi kapan kita

berada."

Apakah Ki Ragajaya yakin bahwa kali inipun perbuatan

orang itu?" Bertanya seorang di antara orang-orang yang

ada di atas wuwungan itu.

"Aku yakin." Sahut Ki Ragajaya.

Keenam orang itu, termasuk Ki Ragajaya sendiri,

berdiam. Cuma dari gerakan mereka Jaka Pandan tahu

bahwa mereka sedang memperhatikan keadaan di sekitar

tempat itu lalu jauh-jauh sampai ke batas tatapan mata

mereka. Namun mereka, keenam orang itu, tidak menduga

sama sekali bahwa yang mereka cari sebenarnya tak jauh

dari tempat itu. Dan berada di antara cabang-cabang

pohon tanjung itu.153

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Jaka Pandan melihat Ki Ragajaya dan kelima orang

kawannya masih tetap diam di tempatnya masing-masing.

Lalu dia mengalihkan pandangannya pada Giring, orang

bercadar yang sekarang ada di dekatnya.

"Kenapa kita tidak menampar mereka saja?" Tanyanya

sangat perlahan.

Giring menggelengkan kepalanya, "Terlalu berbahaya."

"Tidak," potong Jaka Pandan, "Di antara mereka itu

yang berarti hanya Ki Ragajaya seorang. Paman Giring

dapat menghadapinya. Sedang yang lima itu bagianku."

Sekali lagi Giring menggelengkan kepalanya. "Kita tak

mempunyai alasan buat menempurnya. Dan kita tak perlu

menempurnya. Kita mencari jejak pembunuh Ki Aryo Guno.

Apakah mereka yang melakukannya? Aku baru

menyelidikinya."

"Apakah paman berfikir bahwa Ki Ragajaya patut

dicurigai?"

"Setiap orang patut dicurigai."

Jaka Pandan ingin bertanya ketika kemudian terdengar

suara Ki Ragajaya, "Kita coba mengejarnya."

Dan yang nampak kemudian adalah berkelebatnya

keenam orang itu ke enam jurusan. Kemudian orang yang

bernama Giring itu menggamit Jaka Pandan.

***154

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Suatu pagi di hari berikutnya, kembali Pajang

digegerkan oleh peristiwa kematian Arya Tadah. Sekali ini

kematian itu tidak diakibatkan oleh sebuah pukulan yang

dinamakan Aji Gora Mandala, melainkan ditandai dengan

bekas telapak tangan yang menghitam tepat di bagian

jantung. Bagi orang-orang yang terjun ke dunia persilatan

sudah tentu menjadi terkejut bukan main atas peristiwa

kematian Arya Tadah yang terkena oleh sebuah pukulan

yang meninggalkan bekas telapak tangan berwarna hitam

itu. Mereka tahu, dan menyebutnya pukulan itu dengan Aji

Tapak Setan, sebuah aji yang dahsyat yang setiap

pukulannya dapat menghancurkan bagian dalam dari apa

saja yang jadi sasarannya meskipun di bagian luar seolah-

olah tidak sedemikian parah.

Sekalian orang menjadi sangat terkejut. Dan hati

mereka bertanya-tanya siapakah gerangan manusia yang

melakukan pembunuhan dengan aji Tapak Setan itu?

Adakah peristiwa kematian Arya Tadah ini mempunyai

hubungan dengan kematian tumenggung Aryo Guno dan

Brajanala?

(Bersambung Jilid ke-3)155

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono156

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono157

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

TETAPI PERASAAN yang melanda di dada

tumenggung Ragajaya lebih tak terlukiskan lagi. Darahnya

mendidih. Detakan jantungnya laksana kepundan gunung

berapi. Dan jantung yang telah menua itu seakan-akan

mau pecah oleh himpitan perasaannya. Agaknya peristiwa

kematian Aria Tadah ini merupakan suatu peristiwa yang

sangat dahsyat bagi tumenggung Ragajaya, lebih dari

matinya tumenggung Aryo Guno.

Pagi itu tumenggung tua itu mengunjungi Arya Tadah

yang sudah mendingin dalam kerumunan orang banyak.

Namun tak sepatah pun ucapan keluar dari mulut Ki

Ragajaya. Kemudian dengan langkah gontai dia kembali.

Apabila langkah-langkah sepasang kaki tua itu telah

mencapai rumahnya, maka Ki Ragajayapun lalu

menghempaskan tubuhnya ke sebuah kursi. Wajahnya

nampak kaku. Dan tegak. Cuma sesaat orang tua itu duduk

di kursi, karena sesaat kemudian dia telah bangkit. Berdiri.

Dan berjalan hilir mudik. Dan yang terakhir yang

dilakukannya adalah sekali lagi menghempaskan tubuh tua

itu ke atas kursi. Serta menghela nafas dalam-dalam.

Seorang prajurit kota itu nampak memasuki pintu

gerbang dan tanpa menghiraukan keadaan di sekelilingnya

prajurit itu terus berlari mendaki pendapa. Nafasnya158

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

tersengal-sengal suatu tanda bahwa prajurit itu baru saja

menempuh perjalanannya dengan berlari.

Tak lama kemudian sampailah prajurit itu ke hadapan

Ki Ragajaya. Dan tanpa mengingat subasita, terdengarlah

suaranya yang tergagap-gagap, "Tu ...... tu ...... tuan ......"

Plak!

Tanpa diduganya sama sekali sebuah tamparan telah

menimpa muka prajurit itu. Panas. Dan pedih. Karena itu

dia menyeringai. Tapi kemudian tubuh prajurit itu menjadi

gemetar ketika dilihatnya tumenggung tua itu berdiri

dengan mata melotot seakan-akan orang tua itu mau

menelannya hidup-hidup. Keringat dingin meleleh ke

punggungnya. Di luar kemauannya tubuh prajurit itu jatuh

terduduk. Bersamaan dengan itu terdengar pula Ki

Ragajaya menghardiknya, "Duduk! Tahu tidak tata

kesopanan, hai!" Hardik tumenggung Ragajaya pula.

Prajurit itu cuma bisa mengeluh pendek. Dan sangat

perlahan. Dan menundukkan kepalanya sangat dalam.

"Apa yang hendak kau katakan he, prajurit tolol!" Sekali

lagi terdengar suara Ki Ragajaya laksana sebuah guntur

yang meledak di atas kepalanya.

Prajurit itu tersentak. Tapi kemudian terdiam lagi. Tak

sepatahpun dapat menjawab pertanyaan itu. Seakan-akan

kedua bibir di mulutnya itu menjadi rapat tak bisa

digerakkan. Mengapa Ki Rajajaya marah-marah tak

menentu? Dan menumpahkan kemarahan itu kepadaku?

Pertanyaan itu tiba-tiba memenuhi benak kepala prajurit159

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

itu. Namun dia tak sempat menjawab pertanyaan itu

karena pada saat itu terdengar Ki Ragajaya membentaknya,

"Apakah kau tiba-tiba jadi gugup, he? Atau kau jadi tuli?"

Perlahan-lahan prajurit itu mengangkat kepalanya. Dan


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


dengan bibir yang gemetar dia menjawab, "Tu .... tuan, Res

.... pati kk ..... kami temukan pingsan .... di tepi hutan di luar

kota..."

Suara prajurit itu sedemikian perlahan dan tergagap.

Namun terasa bagi Ki Ragajaya bagai sebuah sengatan

lebah di anak telinganya.

"Jangan bergurau!" Bentak Ki Ragajaya lagi.

Perajurit itu semakin takut. Tubuhnya gemetar seakan-

akan mau roboh oleh hentakan tumenggung tua itu.

Meskipun demikian dia mencoba untuk meyakinkan kata-

katanya.

"Be ...... benar, tuan." katanya.

"He?"

"Dan sekarang mungkin anak itu sedang dibawa ke

mari?"

Brakk!!

Tumenggung Ragajaya tak dapat mempertahankan diri

atas kemarahan yang tiba-tiba melanda dadanya.

Tangannya terayun deras. Dan daun meja yang berdiri di

hadapannya itu hancur berkeping-keping Sedang Ki160

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Ragajaya kemudian berdiri tegak di tempatnya. Matanya

merah membara. Tangannya mengejang dan mengepal

seakan-akan orang tua itu hendak meninju semua yang

ada di sekitarnya. Tubuhnya menggigil oleh tekanan

kemarahan di dadanya. Dan prajurit itu tertunduk dengan

wajah bingung. Matanya menatap wajah Ki Ragajaya.

Tetapi ketika kemudian matanya tertumbuk dengan dua

warna merah di wajah tumenggung tua itu serta merta

kepalanya tertunduk kembali.

Pada-saat itu muncul pula seorang prajurit yang berlari

dengan nafas terengah-engah. Belum lagi prajurit itu

terhenti, Ki Ragajaya telah menghardiknya, "Apa pula yang

akan kau beritahukan, he?!"

Prajurit itu terhenti meskipun dia baru saja akan

mendaki pendapa. Dan oleh suara Ki Ragajaya itu ia malah

mematung. Namun akhirnya prajurit itu tersentak manakala

didengarnya hentakan Ki Ragajaya menggeletar, "Apa yang

harus kau beritahukan, he? Cepat katakan!!"

"Jj.... jak.... ka.... Pand..... Pandan.... " sahutnya tergagap.

"Kenapa Jaka Pandan?!"

Dan bahkan sekarang prajurit itu tak dapat berkata

sama sekali. Bibirnya bergerak-gerak. Namun tak

sepatahpun perkataan keluar dari mulutnya.

"Cepat katakan!" Kembali terdengar Ki Ragajaya

membentak.161

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Prajurit itu mencoba menguasai dirinya. Lalu jawabnya,

"Jaka Pandan muncul."

"He?"

"Ya, anak itu datang di taman Arya Gunan."

"Mengapa engkau tak menangkapnya?"

Prajurit itu terdiam lagi.

Lalu, "Mengapa?"

Sekali ini pertanyaan Ki Ragajaya sambil menggoncang-

kan kedua pundak prajurit itu.

"Tu ...... tuan Pa ..... Pamuncar telah ..... mencoba ..."

"Pamuncar?"

Prajurit itu mengangguk.

Ki Ragajaya termenung sesaat.

Dan pada saat yang lain tumenggung tua itu berkata

dengan suara keras yang dilambari oleh kemarahan

hatinya, "Apa guna kalian, ha? Kalian adalah prajurit

negara, yang mendapat jaminan negara. Namun kenapa

kalian tidak mampu melakukan tuga-tugas kalian? Kenapa

engkau tak mampu menangkap Jaka Pandan si pengacau

itu he, prajurit tolol? Huh! Ternyata kau tak lebih dari

gentong nasi melulu!"162

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Tak sebuah gerakan walau yang paling lemah dari

kedua prajurit itu. Telinga mereka mendengar apa yang

dikatakan oleh Ki Ragajaya itu bagai butiran-butiran batu

yang berhamburan membentur dada mereka. Menyesak-

kan. Tapi mereka tak dapat berbuat apapun. Mereka

menyadari sepenuhnya arti diri mereka maupun arti

tumenggung Ragajaya bagi mereka. Mereka tak lebih dari

butiran debu yang paling kecil. Sedang Ki Ragajaya itu

bagai sebuah batu yang besar. Dan apabila batu itu

menggilas mereka, merekapun tak akan bisa berkutik. Dan

batu itu akan benar-benar menggilas mereka apabila

sedikit mereka membuat kesalahan. Dan celakanya Ki

Ragajaya memiliki tindakan serta pendirian yang sekeras

batu hitam.

"Mengapa kalian tidak cepat-cepat bergerak?"

Sambung Ki Ragajaya, "Kerahkan sepasukan prajurit.

Tangkap Jaka Pandan. Aku segera menyusul."

Prajurit yang datang terakhir itu tak menunggu Ki

Ragajaya memerintah untuk kedua kalinya supaya dia tidak

memperoleh sesuatu yang tidak diinginkan. Perlahan-lahan

dia mengundurkan diri. Sedang prajurit yang lain, yang

datang lebih dulu, tetap berada di tempatnya. Karena itu ia

mendengar hentakan Ki Ragajaya, "Mengapa engkau

belum berangkat?!"

Perajurit itu menegakkan kepalanya, "A ..... Apakah aku

juga?"

Tapi bukannya jawaban yang diperoleh. Melainkan

sebuah tendangan. Sehingga tubuhnya melambung jauh.163

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Untunglah dia seorang prajurit yang memiliki kemampuan

tata beladiri lumayan. Begitu tubuhnya hampir menyentuh

lantai, ia bergulingan. Meskipun demikian tak urung

tulang-tulangnya merasa sakit pula. Akan tetapi ia tak

berani menampakkan rasa sakit itu. Dengan tertatih-tatih

kemudian dia berjalan turun dari pendapa menyusul

prajurit yang dahulu.

"Sial dangkal..."

Sempat pula prajurit itu menggerutu pendek. Itupun

cuma perlahan. Sebab apabila omelan itu terdengar oleh Ki

Ragajaya, ia tahu dirinya akan menjadi semakin runyam.

Tinggallah di pendapa itu Ki Ragajaya yang sedang

dilanda oleh pergolakan batin yang sangat dahsyat. Kerut-

merut di wajahnya melukiskan suatu perjuangan batin yang

cukup keras. Namun kadang-kadang di antara kekerasan

itu nampak pula suatu bayangan kecemasan. Dan apabila

bayangan itu mengambang di pelupuk matanya, orang tua

itu memejamkan matanya sangat rapat seolah-olah dia

mau menyentakkan bayangan yang melayang-layang di

rongga matanya. Sesekali terdengar pula ia mengeluh

pendek. Lalu bintil-bintil keringat dingin yang sebesar

kacang mulai bermunculan di keningnya. Dan sekali ini

wajah tumenggung tua itu berubah hebat sekali. Pucat.

Sudut-sudut bibirnya bergerak-gerak. Dari ekspresi wajah

itu seakan-akan dia sedang dihantui oleh sesuatu bayang-

bayang yang menakutkan.

Dan kemudian setapak demi setapak Ki Ragajaya

menggeser kakinya. Sikapnya benar-benar membayangkan164

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

suatu ketakutan yang memuncak. Dan puncak dari

ketakutan itu adalah ledakan suaranya histeris.

"Tidaaaaak .....!!!"

Kemudian tumenggung Ragajaya menutup mukanya

dengan kedua belah tangan dan membiarkan muka itu

terbenam dalam dekapan kedua telapak tangannya.

Sampai lama. Dan setelah sekian lama ia menyembunyikan

wajahnya, perlahan-lahan disembulkan wajahnya. Ternyata

bayangan yang ia takutkan itu telah tak ada sama sekali.

Yang ada di hadapannya beberapa orang prajurit yang

memapah seorang prajurit muda. Ki Ragajaya mengenal

prajurit itu dengan nama Respati. Melihat prajurit muda

yang bemama Respati itu, sekali lagi wajah Ki Ragajaya

mengalami perubahan. Namun agaknya kali ini Ki Ragajaya

dapat lebih menguasai perasaannya. Dihelanya nafas

panjang. Lalu dihampirinya prajurit-prajurit yang

memandang dirinya itu.

"Apa yang terjadi atas diri anak itu?" Bertanya Ki

Ragajaya dengan suara parau.


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan seorang di antara prajurit-prajurit itu menyahut,

"Kami tak tahu pasti mengapa Respati menjadi pingsan.

Kami menemukannya menggeletak di tepi sebuah hutan di

perbatasan kota. Hanya itu. Lalu kami membawanya ke

mari sebab kami tahu bahwa Respati adalah prajurit

kepercayaan ki Tumenggung...."

Wajah Ki Ragajaya beku. Dengan isyarat ia menyuruh

prajurit-prajurit itu meletakkan tubuh Respati. Kemudian165

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

menyuruh prajurit-prajurit itu untuk menyusul Pamuncar,

anaknya, di Aryo Gunan. Sedang ia sendiri kemudian

berjongkok di sisi Respati. Memperhatikan bagian-bagian

tubuh anak muda itu. Namun tak suatupun yang

dijumpainya. Dipegangnya pergelangan tangan Respati.

Denyut nadinya berjalan dengan normal. Hanya

pergelangan itu terasa sangat dingin.

Sekali lagi Ki Ragajaya menghela nafas panjang. Lalu

dibukanya baju Respati. Lalu jari-jarinya mengurut dada

anak muda itu.

Sejenak lamanya Respati menggeliat. Dan mengeluh

pendek. Dan tiba-tiba begitu matanya terbuka anak itu

meloncat dan berteriak, "Tolong!!"

Ki Ragajaya terkejut. Segera pula tangannya

menjangkau serta menggamit tangan Respati.

Sejenak anak muda itu terdiam dalam pegangan

tangan Ki Ragajaya. Dilayangkannya matanya mengitari

seputar tempat itu. Ketika kemudian dilihatnya Ki Ragajaya

ada di dekatnya dan memegang erat tangannya,

sekonyong-konyong anak itu menjatuhkan diri berlutut.

"Oh...." sebuah keluhan panjang terlontar dari

mulutnya.

Sementara itu tumenggung Ragajaya memperhatikan

tingkah Respati itu dengan suatu pandangan yang penuh

dengan tanda tanya. Sepi. Tapi kesepian itu segera

dipecahkan oleh suara Respati sangat dalam, "Tuan .... oh..."166

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Apa yang terjadi, Respati?" Bertanya Ki Ragajaya

"Sungguh ajaib, tuan." jawab Respati, "Suatu hal yang

sulit untuk dipercayai telah kualami di hutan perbatasan

kota."

"Katakanlah,"

"Tapi tuan, kuharap tuan tidak menganggap apa yang

kukatakan suatu hal yang kubuat-buat."

"Katakanlah."

"Di hutan itu aku melihat Ki Aryo Guno masih hidup."

"Hei?"

"Akupun telah menduga bila tumenggung sulit untuk

mempercayainya."

"Apakah kau tidak sedang bergurau?"

Respati menggelengkan kepalanya, "Tidak. Dia

memberikanku sehelai kain putih yang berlukisan telapak

tangan berwarna hitam. Yang menurut ki tumenggung

Aryo Guno untuk membuktikan apa yang kulihat itu benar-

benar suatu kenyataan."

Berkata demikian Respati seraya mengulurkan sehelai

kain putih yang segera pula diterima oleh Ki Ragajaya.

Demi melihat sebuah lukisan telapak tangan hitam

pada kain itu, wajah Ki Ragajaya menegang kaku.167

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Bedebah!" Geramnya, "Apakah kau yakin bahwa orang

itu benar-benar Aryo Guno?"

"Aku mengenal setiap bagian tubuh ki tumenggung

Aryo Guno. Kukira mataku belum buta untuk mengenal ki

tumenggung Aryo Guno, tuan..."

"Aneh," Guman Ki Ragajaya.

"Ya. Dan yang mengherankan lagi adalah makhluk yang

menyertai tumenggung Aryo Guno. Makhluk itu

menyerupai hantu jerangkong. Aku melihat pasti wajahnya

yang memutih tulang. Hidungnya yang melesak, dan

matanya yang tinggal kelopak, dan seluruh kulit mukanya

telah mengelupas. Makhluk itu mau mencekikku. Tapi aku

tak tahu mengapa makhluk itu tak jadi mencekikku dan

sekarang aku berada di sini. Mengapa...."

Tanpa berkata sepatah katapun akhirnya tumenggung

Ragajaya melangkahkan kakinya. Apa yang bergolak dalam

dadanya sulit untuk ditafsirkan. Walau kini pada wajah

yang telah dipenuhi oleh keriput-keriput ketuaan itu

nampak sedemikian beku, namun dalam bulatan

kepalanya, dalam rongga benaknya, diliputi oleh berbagai

persoalan yang kesemuanya sulit untuk dipecahkannya.

Dan di antara persoalan-persoalan itu yang paling hebat

pengaruhnya adalah persoalan dengan munculnya lukisan

telapak tangan berwarna hitam itu. Dua kali sudah

tumenggung tua itu menemui hal semacam itu. Pertama

pada tubuh Aryo Tadah. Kematian orang itu diakibatkan

oleh sebuah pukulan yang meninggalkan bekas telapak

tangan berwarna hitam. Dan yang kemudian adalah apa168

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

yang baru saja dialami dan diceritakan oleh Respati,

seorang prajurit kepercayaannya.

Pagi itu sebelum fajar menyingsing ia memerintahkan

Respati untuk pergi ke Gunung Kidul untuk menyampaikan

surat. Namun ternyata anak itu telah mengalami suatu

peristiwa yang berada di luar perhitungan. Dan surat itu

telah tak ada pada Respati lagi. Sebagai gantinya adalah

secarik kain putih dengan bercak hitam yang membentuk

sebuah telapak tangan bagai lambang dari ilmu pukulan

yang dinamai Aji Tapak Setan. Inilah yang memusingkan

benak kepala tumenggung Ragajaya.

Tumenggung Ragahaya adalah seorang orang tua yang

telah kenyang akan asam garamnya kehidupan. Bertahun-

tahun tumenggung tua itu mendambakan dirinya sebagai

seorang punggawa kerajaan Pajang. Yang sudah barang

tentu dalam tugasnya banyak sekali mengalami persoalan-

persoalan yang cukup sulit, yang kadang-kadang memaksa

diri untuk menggunakan kerasnya tulang maupun liatnya

kulit tubuh. Oleh karena itu sudah pasti apabila Ki Ragajaya

mengenal baik lika-liku apa yang dinamakan oleh orang

banyak dengan dunia persilatan. Dia tahu banyak tentang

ilmu-ilmu jayakawijayan maupun ilmu bela diri ataupun aji-

aji kesaktian. Seperti Aji Brajamusti. Aji Sasrabirawa, Aji

Lebur Saketi, Aji Gora Mandala, Aji Tapak Setan, dan

macam-macam aji kekebalan yang lain. Ia tahu pula orang-

orang yang memiliki aji-aji itu. Tetapi yang menarik

perhatian tumenggung Ragajaya dalam saat-saat terakhir

ini adalah Aji Gora Mandala dan Tapak Setan, yang pada169

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

detlk-detik ini menggoncangkan dada Ki Ragajaya. Tapak

Setan!

Ki Ragajaya tahu pasti bahwa satu-satunya orang yang

memiliki aji itu hanya tumenggung Aryo Guno seorang.

Tapak Setan merupakan ciri khas perguruan Ungaran.

Sedang sepanjang pengetahuannya perguruan Ungaran


Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Pendekar Mata Keranjang 5 Ratu Petaka Boma Gendeng Triping

Cari Blog Ini