Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono Bagian 3
yang berhasil mewarisi aji itu hanya tumenggung Aryo
Guno. Sehingga tiada orang lain selain tumenggung Aryo
Guno yang memiliki aji itu sebab kyai Samas cikal bakal
perguruan Ungaran telah meninggal. Namun kini aji itu
muncul kembali di kala orang yang memilikinya telah
meninggal. Sebuah pertanyaan menggema di kepala ki
Ragajaya, Siapakah orang yang menggunakan aji itu?
Jelas suatu kemungkinan yang terlalu mustahil jika aji
itu ditunjukkan oleh tumenggung Aryo Guno. Orang itu
telah mati. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bahwa orang itu terbelah kepalanya oleh pukulan aji Gora
Mandala. Adakah seseorang yang telah mati dapat bangkit
dari kuburnya dan hidup kembali. Suatu kemungkinan
yang sangat mustahil untuk bisa terjadi. Ataukah
tumenggung Aryo Guno telah mewariskan aji itu pada
orang lain?
Kebenaran akan dugaan ini masih sulit untuk
diyakinkan. Sebab Aryo Guno tidak mempunyai murid yang
lain kecuali Jaka Pandan. Padahal anak itu sama sekali tidak
nampak bila telah menguasai aji itu. Anak itu hanya
menguasai sebuah aji yang bernama Gora Mandala. Lalu
siapakah orang itu? Ataukah orang itu adalah orang yang
selama ini diduga-duga tumenggung Ragajaya, orang yang170
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
selalu membayangi di mana saja tumenggung tua itu
berada.
Namun suatu kenyataan yang sesungguhnya mustahil
untuk terjadi, benar-benar telah terjadi. Respati, prajurit
kepercayaannya, telah melihatnya. Melihat tumenggung
Aryo Guno sulit dipercaya. Tapi untuk tidak mempercayai
cerita Respati itupun tidak mudah pula. Selama ia
mengenal anak itu, Respati adalah seorang anak yang
benar-benar patuh kepadanya.
Demikianlah, maka pada saat itu Ki Ragajaya telah
dihadapkan lagi pada persoalan-persoalan baru selagi
persoalan-persoalan yang terdahulu belum terselesaikan.
***
Dalam pada itu di bagian lain dalam kota Pajang itu,
nampaklah seorang laki-laki muda berpakaian kumal
berjalan tersuruk-suruk. Langkah kakinya tetap, berirama.
Kepalanya yang tertunduk serta capingnya yang agak ke
bawah seolah-olah anak itu mau menyembunyikan
wajahnya dari pandangan orang-orang yang kebetulan
berpapasan dengannya. Namun di bawah bayangan caping
itu ekor matanya selalu memperhatikan di setiap tempat
yang dilaluinya. Sekonyong-konyong pada sebuah
tikungan, muncullah seorang prajurit muda yang berjalan
bergegas-gegas. Prajurit itu nyaris menubruknya apabila
anak muda itu tidak cepat-cepat meloncat ke samping.
Laki-laki muda itu mengangkat wajahnya memandang
prajurit yang hampir saja menubruknya. "Pramanca...," seru
laki-laki muda itu perlahan.171
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Prajurit itu berhenti. Dan memutar tubuhnya,
"Kau ...... ?" sahut prajurit yang ternyata Pramanca.
Akan tetapi lelaki muda berpakaian kumal itu
memotong perkataannya, "Jangan keras-keras menyebut
namaku."
Pramanca memalingkan wajahnya ke sana-ke mari.
Apabila ia telah benar-benar yakin jika di tempat itu tak
ada orang Iain, maka Pramanca itupun lalu menghampiri
lelaki muda yang bukan lain Jaka Pandan adanya.
"Aku memperoleh kabar yang tak terduga," kata
Pramanca.
"Hm?"
"Arya Tadah meninggal."
"Aku sudah mendengar dari orang-orang yang
berkerumun di ujung lorong ini."
"Dan tentang Respati?"
"Aku juga sudah mendengar."
"Aneh."
"Apa yang aneh?"
"Diriku sendiri."
"Mengapa?"172
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Aku sendiri tak tahu mengapa tiba-tiba sekarang
menjadi seorang yang usilan. Memperhatikan urusan yang
sesungguhnya tidak menyangkut kepentinganku."
Jaka Pandan tersenyum, "Tanyakan pada dirimu sendiri,
Pramanca."
"Inilah yang membingungkan diriku sendiri," sahut
Pramanca. "Dan tanpa kuketahui sebab-sebabnya tiba-tiba
sekarang aku memperhatikan dirimu ...."
"Mengapa?"
"Tak tahu. Mungkin aku akan membantumu..."
"He?"
"Aku tidak sedang bergurau. Semalam sepeninggalmu
aku telah mencoba mencari prajurit yang kau sebut ..."
"Pamuput?"
"Ya."
"Lalu?"
"Anak itu menyampaikan salam bagimu."
"Terima kasih."
"Satu lagi," potong Pramanca, "Aku dan Pamuput telah
sekata untuk menghimpun suatu kekuatan untuk mencoba
ikut mengungkap kericuhan-kericuhan yang menimpa
Pajang,"173
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Oh..."
"Sementara pertemuan kaIi ini sampai di sini, Jaka
Pandan. Supaya aku tidak dicurigai."
Lalu kedua anak itu berpisah. Masing-masing
melanjutkan perjalanannya pada arah yang berlawanan.
Dan Jaka Pandan mengayunkan langkah kakinya
menuju ke rumah Kembang Arum. Tetapi apa yang
disaksikan di pertamanan Aryo Gunan dari regol halaman
itu sangat mencekam hatinya. Dilihatnya Kembang Arum
tertunduk dengan wajah kebingungan. Sedang dihadapan
perawan itu berdiri seorang laki-laki berkacak pinggang.
Jaka Pandan cukup mengenal laki-laki itu. Dia Pamuncar.
Anak tumenggung Ragajaya. Lawan Jaka Pandan dalam
persaingan merebut Kembang Arum.
Darah muda Jaka Pandan bergolak. Cemburu. Namun
Jaka Pandan mencoba untuk sedapat mungkin menekan
perasaan itu. Namun dia tidak mampu menahan keinginan
hatinya untuk mendekat agar ia dapat mendengar dengan
jelas apa yang dikatakan oleh Pamuncar.
Berpikir demikian, Jaka Pandan pun segera menyelinap
di antara batang-batang pohon. Dengan kemampuan yang
dimilikinya Jaka Pandan berhasil mencapai jarak yang tidak
begitu jauh dengan tempat di mana Pamuncar dan
Kembang Arum itu berada. Kira-kira hanya lima-enam
tombak. Atau malahan kurang. Apalagi di seputar rumah
itu tak ada seorangpun sehingga gerak-gerik Jaka Pandan
dapat leluasa. Dan oleh karena Pamuncar itu berdiri174
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
membelakangi serta asyik dengan Kembang Arum maka
anak itu sama sekali tak melihat kehadiran Jaka Pandan.
"Kembang Arum," terdengar Pamuncar berkata, "saat
ini merupakan saat terakhir bagimu. Tak ada pilihan lain.
Aku sudah tidak sabar lagi. Setiap aku datang kau selalu
menangguhkan jawabmu."
"Kakang...."
"Jawablah ya. Karena betapapun kau harus jadi
isteriku."
"Tidak!"
"Kembang Arum!"
"Aku tak mau. Aku tak mau jadi isterimu yang ke
sekian."
Pamuncar tertawa berderai. Sedemikian kerasnya suara
tawa itu sampai bahunya bergoncangan. Dan Jaka Pandan
yang ada dalam persembunyiannya hampir saja
kemarahannya meledak oleh derai tawa Pamuncar itu.
Untunglah anak itu masih cukup mampu menahan
perasaan yang bergejolak di dadanya. Namun demikian
anak itu senantiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap kemungkinan yang mungkin saja terjadi.
Derai tawa Pamuncar itu masih terdengar. Dan di ujung
suara tawa itu disambung pula oleh kata-katanya, "Jangan
ragu-ragu, Kembang Arum. Jika kau menghendaki, dapat
saja mereka kuceraikan. Toh mereka hanya selir-selirku."175
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Kejam!" potong Kembang Arum.
"Jika kau menghendaki demikian?"
"Tidak. Aku tidak menghendaki mereka kau ceraikan."
Pamuncar tersenyum.
"Tetapi aku tak mau jadi isterimu."
"He?"Pamuncar tersentak.
"Aku tak perlu berkata kedua kalinya. Pulanglah. Isteri-
isterimu telah menanti,"
"Kembang Arum!" seru Pamuncar tak dapat menguasai
dirinya, "Jangan gila!"
"Tidak. Yang gila bukan aku. Tetapi kau!"
"Gila!" desis Pamuncar.
Dan anak itu melanjutkan berkata, "Apakah kau masih
mengharapkan Jaka Pandan? Pembunuh ayahmu? Ha ha
ha .... ingatlah, Kembang Arum. Anak itu buronan negara.
Setiap saat apabila anak itu menampakkan diri, orang
Pajang akan beramai-ramai menggantungnya!"
Dada Kembang Arum tergetar. Betapapun dia seorang
gadis, seorang perempuan. Oleh karenanya apa yang
dikatakan oleh Pamuncar itu dapat pula mempengaruhi
perasaannya. Untunglah dalam beberapa saat terakhir ini
Kembang Arum telah mengalami perubahan kejiwaan.
Akibat kematian ayahnya yang tragis itu Kembang Arum176
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
telah berubah menjadi seorang gadis yang keras. Sehingga
dengan demikian pengaruh kata-kata Pamuncar itu cuma
sesaat. Dan pada saat yang lain ia telah pula berhasil
menguasai perasaannya.
"Cukup!" seru Kembang Arum, "Jangan kau sebut-sebut
soal itu...!"
Sekali lagi Pamuncar tersenyum. Senyum yang penuh
arti. Tapi hanya Pamuncar sendiri yang tahu arti dari
senyuman itu.
Perlahan tangannya terjulur ke depan. Dipegangnya
pundak Kembang Arum itu. Untuk sejenak lamanya
Kembang Arum terdiam. Sentuhan tangan Pamuncar itu
menggerakkan kepingan hatinya. Serta menimbulkan
perasaan yang aneh dalam diri Kembang Arum. Namun
sekonyong-konyong Kembang Arum berdiri. Plak! Sebuah
tamparan melayang di pipi Pamuncar membuat anak itu
terkejut dan surut selangkah. Tapi kemudian Pamuncar
bahkan tersenyum.
"Tamparlah sekali lagi, Kembang Arum." Katanya
dengan senyum yang memuakkan.
"Jangan sentuh diriku ...," seru Kembang Arum.
"Hehehehe... Bahkan aku akan mendekapmu. Biar
engkau menampar pipiku. Tidak sakit, Kembang Arum.
Tamparan seorang perawan ayu sangat nyaman. Heheheh"
Merah wajah Kembang Arum.177
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Kakang Jaka Pandan...!" Tiba-tiba Kembang Arum
berseru. Dan wajah yang bersemu merah itu berubah jadi
berseri-seri, "Kau datang, kakang..."
Adalah Pamuncar yang terkejut bukan main mendengar
teriakan Kembang Arum. Lebih terkejut lagi manakala anak
itu membalikkan badannya, ternyata di hadapannya berdiri
Jaka Pandan dengan wajah membara. Tangannya berkacak
pinggang.
"Kau.....!" teriak Pamuncar tertahan. Serta merta anak itu
mencabut kerisnya.
"Apa yang akan kau lakukan, Pamuncar?" terdengar
Jaka Pandan bertanya dengan suara tergetar.
"Membunuhmu!"
"Jangan mimpi."
"Bangsat!" geram Pamuncar.
Pada lain saat anak itu telah melesat bagai macan
kelaparan menerkam mangsanya. Kerisnya berkilat
menusuk leher Jaka Pandan. Akan tetapi ternyata Jaka
Pandan telah mempersiapkan diri atas segala kemungkinan
yang bakal menimpanya. Tidak begitu sulit bagi Jaka
Pandan untuk mengelakkan serangan Pamuncar yang
dilandasi oleh luapan kemarahan itu. Hanya dengan sedikit
miringkan tubuhnya, keris Pamuncar itu telah luput dari
sasarannya. Dan karena anak itu melakukan serangannya
dilambari oleh nafsu pembunuhan yang berkobar-kobar,
maka ia telah menggunakan sepenuh tenaga yang ada178
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
padanya. Akibatnya ia malah terdorong ke muka terbawa
oleh arus kekuatan yang dilancarkan untuk menyerang
Jaka Pandan. Dan Pamuncar menjadi terkejut bukan main
ketika dirasakannya suatu kesiur angin keras mendorong
tubuhnya. Namun anak itu sudah tidak memiliki
kesempatan untuk mengelak. Akhirnya ia terhuyung-
huyung ke samping oleh sebuah kekuatan yang dahsyat.
Sementara Pamuncar berusaha menguasai
keseimbangan tubuhnya, Jaka Pandan menghampiri
Kembang Arum.
"Kakang...!" terdengar Kembang Arum berseru.
Hampir saja perawan itu memburu dan memeluk Jaka
Pandan jika seandainya Jaka Pandan tidak mencegahnya.
"Minggirlah," kata Jaka Pandan. "Biarlah anak itu sedikit
kuberi hajaran."
"Tetapi,"
"Jangan cemas. Aku telah mempunyai perhitungan
sendiri."
Tak ada jalan lain bagi Kembang Arum kecuali menurut
apa yang dikehendaki oleh Jaka Pandan. Maka dengan
langkah kaki serta lenggang gontai Kembang Arum
meninggalkan tempat itu diikuti oleh tatapan mata Jaka
Pandan.
Dalam pada itu Pamuncar telah berhasil menguasai
keseimbangan tubuhnya. Matanya berkilat-kilat. Serta keris179
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
yang digenggamnya itu tergetar pada ujungnya. Akhirnya
dengan diiringi oleh sebuah geraman pendek ia melompat
menusuk punggung Jaka Pandan.
Jaka Pandan terkejut bukan main. Sadar bahwa
Pamuncar telah bertindak secara pengecut. Untunglah
anak itu masih mempunyai kesadaran penuh untuk
bertindak. Cepat bagai kilat ia memutar setengah
lingkaran. Trang! Entah bagaimana caranya maka di tangan
Jaka Pandan telah tergenggam sebilah pedang pendek
sekaligus menangkis keris Pamucar. Sepercik lelatu api
menyembur ke udara. Ujung keris Pamuncar tergetar hebat
hampir terlepas. Dan lengan Pamuncar serasa linu dan
kesemuten. Gigi-gigi Pamuncar beradu. Berkali-kali dari
celah-celah gigi terdengar desisannya seperti seekor ular.
"Babi!" geramnya, "Aku akan membunuhmu, keparat!"
"Lakukan jika kau mampu, wong bagus. Tak usah
banyak mulut." sahut Jaka Pandan.
Panas hati Pamuncar bagai bara tempurung. Dadanya
serasa mau meledak. Dan sekali lagi anak Ragajaya itu
menggeram. Lalu dengan segenap kemampuan yang
dimilikinya ia menggerakkan kerisnya. Seleret sinar-sinar
hitam berkilat. Belum lagi sinar itu menembus tubuh Jaka
Pandan telah berubah arah. Kali ini sinar keris itu bergerak
cepat sekali menusuk lambung Jaka Pandan. Akan tetapi
Jaka Pandan telah memutar pedangnya kencang sekali.
Bergulung-gulung sinar putih yang diiringi oleh deru angin
dahsyat menyelubungi dirinya, demikian kencangnya Jaka
Pandan memutar pedangnya, maka seolah gulungan-180
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
gulungan sinar perak yang dipantulkan oleh mata pedang
itu merupakan benteng putih yang melindungi tubuh Jaka
Pandan dari serangan ujung keris Pamuncar. Sehingga
setiap kali sinar hitam dari keris Pamuncar itu membentur
sinar putih yang melindungi Jaka Pandan, terdengarlah
suara berdencing yang segera pula diikuti oleh semburan
bunga api ke udara. Apabila terjadi hal demikian, maka
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian Pamuncar merasakan tangannya menjadi linu
sekali serta buru-buru loncat surut beberapa langkah. Dari
peristiwa-peristiwa itu dapatlah diukur sampai di mana
kemampuan masing-masing fihak.
Demikianlah maka pada pagi hari itu tatkala matahari
baru sepenggalah tingginya melambung ke lengkungan
bola langit, terjadilah suatu perkelahian senjata antara Jaka
Pandan dan Pamuncar di taman Aryo Gunan. Kedua-
duanya adalah anak muda yang tangguh. Namun agaknya
dalam pertempuran itu Jaka Pandan dapat menguasai
suasana. Ia berhasil mematahkan setiap serangan
Pamuncar yang tertuju kepadanya. Meskipun sampai saat
ini sekalipun anak itu belum memperlihatkan serangan
balasan terhadap lawan, namun dapatlah sudah dipastikan
bahwa dialah nanti yang pada akhirnya memenangkan
pertempuran itu. Perputaran pedangnya yang
menimbulkan kesiur angin yang menderu itupun telah
merupakan jaminan atas kemenangannya. Bahwa
permainan pedangnya lebih lihai serta lebih bertenaga bila
dibandingkan dengan permainan keris Pamuncar. Bahkan
sangat jauh.181
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Tetapi agaknya Pamuncar pun tidak cepat putus asa.
Anak itu cukup memiliki kecerdikan dalam tipu tata
beladiri. Tak kecewa dia menjadi putra tumenggung
Ragajaya yang memiliki kesaktian pilih tanding.
Dalam keadaan yang kritis itu Pamuncar cepat
mengubah cara pertempurannya. Ia sadar bahwa benteng
Jaka Pandan itu tak mungkin bisa ditembus dengan ujung
kerisnya. Oleh karena itu maka untuk sejenak lamanya ia
membiarkan Jaka Pandan memutarkan pedang melindungi
tubuh. Dia sendiri tetap berdiri di tempatnya. Hanya hulu
kerisnya tetap terpegang erat dan lurus ke muka siap untuk
setiap saat melancarkan serangan.
Di fihak lain, agaknya Jaka Pandan merasa dirinya telah
kena tipu lawan setelah sekian saat lamanya ia tak melihat
sebuah serangan pun yang dilakukan oleh Pamuncar. Sadar
akan kesalahannya, maka Jaka Pandan segera
menghentikan gerakan pedangnya.
Namun anak itu menjadi terkejut bukan main. Begitu ia
menghentikan gerakan pedangnya, ia merasakan sebuah
kesiur angin dingin bergerak cepat sekali laksana seekor
ular yang mau mematuk ulu hatinya. Buru-buru ia
melintangkan pedangnya. Akan tetapi angin itu kini
mengarah ke pusarnya. Ketika ia berusaha untuk
menangkis, angin itu telah pula berubah arah menuju ke
lehernya. Jaka Pandan mengeluh pendek. Kembali untuk
kedua kalinya ia telah terjebak oleh perangkap Pamuncar.
Ternyata anak itu menggunakan kesempatan yang
diperolehnya dengan melancarkan serangan-serangan
gencar pada lawan. Untunglah Jaka Pandan yang dalam182
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
usia masih muda itu telah memiliki pengalaman-
pengalaman bertempur yang cukup. Sehingga dalam
menghadapi serangan-serangan dahsyat yang
menenggang jiwanya itu ia masih bisa menggunakan
otaknya buat mencari jalan keluar. Akhirnya tak ada jalan
lain bagi Jaka Pandan untuk menghadapi serangan
Pamuncar yang menang posisi itu selain menjauhkan diri
dari titik pertempuran yang sekarang. Sehingga dengan
demikian maka kemudian Jaka Pandan pun segera
menjejakkan kakinya melambung ke udara bertepatan
dengan datangnya sebuah tusukan keris Pamuncar.
"Hahahaha ...!" Terdengar Pamuncar tertawa puas atas
hasil dari tipu permainannya. "Jangan lari, laknat!" teriaknya
pula. Dan dengan sebatnya anak itu meloncat menyusul
Jaka Pandan.
"Jangan lari!" teriaknya ketika ia telah berdiri
menghadapi Jaka Pandan.
Jaka Pandan mendengus, "Jangan menepuk dada,"
decihnya. "Pernahkah engkau mendengar Jaka Pandan
melarikan diri? Huh! Kau sangka aku takut padamu? Jawab
dan tanyakan pada hatimu sendiri. Mungkinkah engkau
mampu mengalahkan Jaka Pandan, he Pamuncar?"
Suara tawa yang panjang dari Pamuncar terhenti
seketika itu. Ya, apakah aku mampu menghadapi Jaka
Pandan? Tanpa disadarinya pertanyaan itu muncul di
benaknya. Pamuncar menyadari siapakah Jaka Pandan itu.
Dan ia tahu bahwa sepanjang yang diingatnya ia belum
mampu mengalahkan Jaka Pandan dalam soal apapun.183
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Namun kemarahan Pamuncar telah menghentakkan semua
pertimbangan-pertimbangan nalarnya. Ia sudah membuta-
kan mata menulikan telinga atas suara batinnya sendiri. Ia
sudah tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali mati.
Tidak peduli apakah kematian itu nanti akan menimpa
dirinya sendiri atau terjadi atas diri Jaka Pandan. Yang pasti
Pamuncar pada saat ini telah menentukan suatu titik yang
terakhir untuk meperebutkan Kembang Arum. Jika ia dapat
membunuh Jaka Pandan, maka ia akan memperoleh
Kembang Arum serta mempersunting putri mendiang
tumenggung Aryo Guno itu. Sebaliknya, matipun tak apa.
Bahkan itu lebih baik bagi Pamuncar daripada ia
menyaksikan dengan matanya Jaka Pandan memperisteri
perawan pujaan hatinya. Oleh karena itu maka kemudian
segera pula terdengar Pamuncar itu berseru, "Bedebah!
Kalau saat ini aku tak dapat membunuhmu, lebih baik aku
mati!"
"He? Jangan bergurau, Pamuncar. Jika kau
menghendaki kematian, pasti akan terjadi. Toh dengan
tanganku aku bisa saja membunuhmu."
Tetapi rupanya Pamuncar telah keranjingan setan. Anak
itu sudah tidak mendengar apa yang dikatakan Jaka
Pandan. Dengan kalapnya ia menerjang Jaka Pandan.
Tanpa memperhitungkan hal-hal lain, kerisnya bergerak
menusuk ke dada Jaka Pandan.
Trangg ......!
Pedang Jaka Pandan menangkis keris Pamuncar. Sekali
ini pedang Jaka Pandan itu dilambari oleh segenap184
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
kekuatan yang disalurkan lewat lengannya. Maka akibatnya
benar-benar luar biasa. Keris Pamuncar lepas dari tangan
pemiliknya serta terlontar ke udara. Dan kali ini Jaka
Pandan sengaja menunjukkan kehebatannya. Ia melenting
ke udara. Tring! Sekali ia memukul keris itu dengan
pedangnya. Clep! Keris itu menukik dan terbenam ke tanah
sampai di hulu tangkainya. Sedang di sana Jaka Pandan
berdiri tenang bertolak pinggang. Pedangnya sudah tak
ada dalam genggamannya. Entah ke mana anak itu
menyembunyikan. Cara mencabutnya tak diketahui oleh
seorangpun serta menyimpannya kembali tak seorang pula
yang melihat.
Melihat kehebatan Jaka Pandan itu mau tak mau
berdesir pula dada Pamuncar. Bahkan tubuhnya menjadi
menggigil. Peluhnya berbintik-bintik di seluruh permukaan
tubuhnya. Dan wajahnya seputih kertas.
Pada saat itu sekonyong-konyong dari regol halaman
muncullah beberapa orang prajurit dengan teriakan-
teriakan kacau balau.
Jaka Pandan terkejut bukan main. Ia menyadari bahaya
yang segera akan menimpanya dengan munculnya prajurit-
prajurit itu. Namun ia mencoba untuk menenangkan
dirinya. Mata yang ada di bawah bayangan capingnya itu
memperhatikan prajurit-prajurit yang bermunculan. Satu,
dua, tiga, empat. lima, ...... tak lebih dari lima belas orang.
Dengan perhitungannya, Jaka Pandan berfikir tidak akan
banyak menemui kesulitan. Kemampuan yang dimilikinya
cukup bisa diandalkan untuk melawan prajurit-prajurit itu.
Namun kemudian Jaka Pandan menyadari bahwasannya185
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
dia tidak selayaknya menurunkan tangan atas prajurit-
prajurit itu. Bukan pada tempatnya. Prajurit itu tidak tahu
menahu akan persoalan yang sebenarnya terjadi. Mereka
tak lebih dari boneka-boneka yang mandah digerakkan
oleh tangan-tangan yang berkuasa atas diri mereka. Inilah
yang membimbangkan Jaka Pandan. Sehingga sampai
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sejenak lamanya anak itu berdiam diri tak tahu apa yang
harus dilakukannya.
Dalam pada itu prajurit itu hampir mencapai di mana
Pamuncar dan Jaka Pandan berdiri. Mata-mata senjata
mereka yang telanjang itu berkilat-kilat terkena cahaya
matahari pagi yang sinarnya memulai terasa sedemikian
panas. Dan Jaka Pandan harus segera menentukan langkah.
Jaka Pandan menentukan pilihan. Yaitu lari, lari bukan
karena dia seorang pengecut. Tidak sama sekali. Melainkan
karena anak itu menghindarkan korban-korban yang
berjatuhan. Sekedar menghindarkan korban-korban yang
mungkin sengaja dijadikan umpan oleh seseorang yang
berdiri di belakang layar dari panggung sandiwara yang
kini sedang berlangsung di Pajang.
Kini di tangan anak itu kembali telah menggenggam
pedang. Sedang tangan kirinya telah menarik caping
sehingga rambutnya terurai sebatas pundak. Dengan
pedang di tangan kanan serta caping di tangan kiri itulah
Jaka Pandan hendak meninggalkan katumenggungan Aryo
Gunan. Tepat pada saat itu tiga orang prajurit mengayun-
kan pedang merekan membabat dan mencercah tubuh
Jaka Pandan. Anak itu tak berani berbuat ayal. Sekali ia
menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melambung dan186
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
mendarat tiga empat tombak jauhnya kemudian iapun
melesat jauh.
Apa yang telah diperhitungkannya benar-benar terjadi.
Beberapa batang anak panah meluncur. Tetapi Jaka Pandan
telah siap menghadapinya. Tameng capingnya segera
bekerja. Dan pedangnya pun tidak tinggal diam pula.
***
Akhirnya Jaka Pandan kembali ke gubuk di tengah
hutan itu. Apa yang baru saja dialaminya merupakan suatu
pemikiran yang baru. Di samping Kembang Arum yang
dalam saat-saat ini akan menemui kesulitan-kesulitan
karena Pamuncar anak Ki Ragajaya itu, pun sebuah berita
yang dibawa oleh Pramanca bahwa anak itu bersama-sama
Pamuput akan mendirikan suatu perhimpunan cukup
menjadi pemikiran Jaka Pandan yang serius pula. Tujuan
perhitungan itu ialah untuk menyingkapkan takbir
kericuhan yang menimpa Pajang. Jika perhimpunan itu
memang bertujuan demikian, dapatlah perhimpunan itu
dikatakan suatu perhimpunan yang bertujuan luhur.
Namun kesangsian Jaka Pandan atas berhasilnya usaha-
usaha Pramanca dan Pamuput itu tak dapat hilang dari
benak Jaka Pandan. Betapapun juga, meskipun ini tidak
berarti bahwa Jaka Pandan merendahkan derajat Pamuput
dan Pramanca, adalah suatu kenyataan bahwa kedua anak
itu hanyalah dua gelintir prajurit-prajurit kecil yang tidak
mempunyai peranan apa-apa dalam tata pemerintahan
Pajang. Sedang di sekelilingnya terdapat orang-orang,
yang tentu saja dan pasti memusuhinya. Orang-orang itu
mempunyai jaring-jaring yang cukup cermat. Hal inilah187
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
yang sebenarnya disangsikan oleh Jaka Pandan. Akan
tetapi Jaka Pandan merasa bangga bahwa di antara
prajurit-prajurit Pajang itu ada pula yang memiliki sikap
sebagai seorang prajurit, yang mempunyai tekad untuk
mengamankan negaranya. Tentang berhasil dan tidaknya
sudah barang tentu bukan mereka yang menentukan walau
toh semua itu tergantung pada kemampuan mereka untuk
mengatasi setiap kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.
Berita kematian Aryo Tadah pun tak luput dari
pemikiran Jaka Pandan. Seperti apa yang didengarnya
bahwa kematian punggawa itu diakibatkan oleh pukulan aji
Tapak Setan. Sedangkan anak itu tahu dengan baik seluk
beluk tentang aji itu. Bahwa aji itu hanya milik Ki Aryo Guno
seorang, gurunya, juga induk semangnya. Serta orang yang
telah merawat dirinya sejak dia masih kecil. Dari Ki Aryo
Guno sendirilah ia mendengarnya. Bahkan Ki Aryo Guno itu
telah berjanji bahwa kelak akan menurunkan Tapak Setan
kepadanya. Sayang sebelum ia berhasil mewarisi aji itu
tumenggung Aryo Guno telah tewas justru dialah yang
dituduh sebagai pembunuhnya. Dan kini pukulan aji Tapak
Setan itu muncul. Siapakah yang telah melakukannya?
Jaka Pandan mencoba menebak. Akan tetapi ia tak
berhasil menarik kesimpulan tentang orang yang
menggunakan aji Tapak Setan itu. Ataukah orang bercadar,
yang menyebut dirinya dengan nama Giring, dan yang
mirip dengan tumenggung Aryo Guno itulah yang telah
membunuh Aryo Tadah? Jika demikian dia tentu memiliki
aji Tapak Setan. Jika demikian antara orang yang bernama188
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Giring itu pasti mempunyai hubungan dengan
tumenggung Aryo Guno.
"Tidak aneh," gumam Jaka Pandan, "Bukankah orang itu
sendiri berkata bahwa ia mempunyai kepentingan atas
peristiwa kematian Ki tumenggung?
Akhirnya Jaka Pandan menarik kesimpulan bahwa
kemungkinan besar adalah orang bercadar itulah yang
membunuh Aryo Tadah. Namun sebuah pertanyaan lain
muncul di hati Jaka Pandan. Apakah kepentingannya
membunuh Aryo Tadah? Orang itu nampaknya tidak terlalu
banyak menentukan sikap dalam soal ini walau nyatanya
dia sangat rapat dengan Ki Ragajaya? Sudah barang tentu
Jaka Pandan tidak tahu. Dan memang anak itu tidak tahu
menahu tentang rencana yang ditempuh oleh orang yang
bernama Giring dalam memecahkan misteri pembunuhan
tumenggung Aryo Guno.
"Orang itu benar-benar aneh," gumam Jaka Pandan
seorang diri.
Sementara itu langkah-langkah kakinya tetap
mengayun, benaknya kemudian menghitung hari-hari yang
telah dilaluinya sejak peristiwa kematian ki tumenggung
Aryo Guno. Lima hari. Berarti masih ada waktu duapuluh
lima hari lagi baginya.
Mendadak ingatannya melayang pada Ki Brajanala,
orang yang pertama-tama mempercayai dirinya bahwa
bukan dialah yang membunuh tumenggung Aryo Guno itu
sehingga kemudian dia memperoleh kesempatan untuk189
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
membuktikan bahwa dirinya benar-benar bersih dari noda-
noda darah kematian gurunya. Tiga puluh hari. Ya. Sekian
saat itulah yang diberikan oleh Ki Brajanala. Ia sangat
berterima kasih pada kepala lurah Wiratama itu. Namun
ternyata orang itu menjadi korban orang yang berhati
binatang pula. Yang nampaknya seolah-olah meyakinkan
tuduhan bahwa dirinyalah yang telah membunuh
tumenggung Aryo Guno. Sebab kematian Ki Brajanala itu
sama dengan kematian Ki Aryo Guno. Rasa keharuan
muncul di hati Jaka Pandan. Dan keharuan itu semakin
menumbuhkan kebencian pada orang yang telah
melakukan pembunuhan keji itu dan melemparkan noda-
noda pembunuhan itu pada dirinya. Karenanya ia semakin
berusaha untuk dapat menemukan jejak pembunuhan
tumenggung Aryo Guno dan Ki Brajanala itu.
Tak terasa langkah kaki Jaka Pandan telah mencapai
mulut hutan itu. Tiba-tiba telinganya mendengar pekik-
pekik maut dan suara yang kacau-balau di antara
ringkikan-ringkikan kuda. Menyusul kemudian derap-derap
kaki kuda dari tengah hutan yang menuju ke arahnya.
Cepat Jaka Pandan menyelinap dalam rimbunnya semak
perdu yang ada didekatnya. Sekejap kemudian muncullah
beberapa prajurit berkuda yang mengeprak kudanya
seakan-akan prajurit-perajutit itu dikejar oleh setan.
Lalu Jaka Pandan muncul dari persembunyiannya
manakala kuda-kuda itu telah berlalu. Apakah yang telah
terjadi? Bergegas-gegas ia mengayunkan kaki menuju ke
arah datangnya prajurit-prajurit tadi yang ternyata menuju
ke rumah kecil di tengah hutan itu.190
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Di sana didapatnya Giring berdiri di muka pintu.
"Kau telah datang, Jaka Pandan?" sapanya.
"Ya." sahut Jaka Pandan, "Apa yang baru terjadi?"
"Biasa. Beberapa orang prajurit lewat di hutan ini. Tiba-
tiba saja mereka ketakutan setengah mati. Aku tak tahu
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebabnya. Mungkin macan loreng yang sangat besar telah
menghadang mereka."
"Nampaknya kau menyembunyikan sebagian dari
ceritamu."
"Kau merasa?"
"Ya."
Orang bercadar itu tersenyum. Lalu katanya, "Akan
kukatakan kepadamu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi
masuklah..."
Jaka Pandanpun kemudian mengikuti langkah orang itu
memasuki rumah dan duduk di amben pembaringan. Di
sana didapatinya tiga cangkir arak yang dua di antaranya
telah kosong.
"Minumlah," kata Giring sambil menunjuk cangkir yang
masih penuh, "Itu bagianmu."
"Agaknya seseorang telah datang."
"Ya."191
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Siapa?"
"Orang yang pernah kukatakan padamu."
"Seorang perempuan?"
Giring mengangguk, "Yang kau duga selama ini
memang benar."
"Jadi?"
"Ya. Orang yang menampakkan diri pada saat pertama
kali kau berada di tempat ini, adalah orang yang
kumaksudkan."
"Mengapa dia menyembunyikan diri?"
"Kelak saatnya akan tiba."
Jaka Pandan meneguk cangkirnya.
Dan yang terdengar kemudian adalah suara Giring,
"Apa yang telah kau peroleh di Pajang?"
"Banyak sekali," jawab Jaka Pandan, "Di antaranya
adalah peristiwa kematian Aryo Tadah."
Mata Jaka Pandan memperhatikan wajah Giring.
Namun wajah itu tetap dingin tak menunjukkan suatu
perubahan apapun. "Aneh." pikir Jaka Pandan.
Namun kemudian sudut hatinya yang lain segera
berkata, "Tidak aneh. Bukankah orang itu sendiri yang telah192
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
membunuh Aryo Tadah. Sehingga ia sama sekali tidak
terkejut karenanya."
"Tidak aneh," gumam Giring.
"Ya, tidak aneh." menyahut Jaka Pandan pula.
"Kematian Aryo Tadah itu memang aneh. Yang aneh
adalah cara kematiannya,"
"Kenapa?"
Jaka Pandan tersenyum penuh arti.
"Apa arti senyumanmu itu, Jaka Pandan?"
"Tanyakan pada dirimu sendiri."
Jaka Pandan terhenti sejenak untuk menelan ludah
serta menatap wajah Giring. Lalu ia melanjutkan, "Nah,
sekarang katakan padaku apa sebenarnya dan siapa
sebenarnya dirimu?"
Giring menggeleng, "Saatnya belum tiba."
"Aneh," desis Jaka Pandan.
"Tidak aneh."
"Lalu?"
"Aku tak dapat menyebutkan siapa diriku serta orang
ketiga yang ada bersama kita pada saat sekarang. Kelak
pasti kau tahu. Bukan aku mempunyai suatu maksud buruk.
Sama sekali bukan. Melainkan kami, aku dan orang yang193
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
kumaksud itu, akan membuat sesuatu yang tak kau duga.
Hanya itu. Oleh karenanya jangan berprasangka yang
bukan-bukan."
"Kau belum mengatakan peristiwa yang baru saja
terjadi," potong Jaka Pandan.
"Akan kukatakan meskipun kau tidak meminta...."
Tetapi orang itu tidak segera berkata. Melainkan
mengambil sesuatu di balik bajunya yang ternyata adalah
sebuah sampul kulit harimau. Kemudian orang itu
memberikan sampul itu pada Jaka Pandan yang segera
pula diterima dan dibuka. Secarik surat.
Sejenak mata Jaka Pandan terpaku membaca surat itu.
"Gila!" teriak Jaka Pandan tiba-tiba.
"Bagaimana?" bertanya orang itu.
"Ki Ragajaya benar-benar gila. Dia bermaksud
menumbangkan pemerintahan Pajang dengan
bersekongkol dengan gerombolan Sawer Wulung di
Gunung Kidul."
"Tidak hanya itu saja. Dia telah mengadakan perjanjian
dengan Sutawijaya."
"Suatu perbuatan gila. Dari mana kau memperoleh
surat ini?"
Seorang prajurit yang bernama Respati. Perajurit itu
adalah suruhan Ki Ragajaya yang akan menyampaikan194
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
surat itu ke Gunung Kidul. Untunglah aku menghentikan
prajurit itu dan merampas surat ini. Itulah sebabnya maka
beberapa orang prajurit mencoba menyelidiki hutan ini.
Namun Nyai Gondil telah menggagalkan maksud mereka.
"Siapa Nyai Gondil itu?"
"Perempuan yang telah menampakkan dirinya
padamu."
Kini jelaslah duduk perkaranya bagi Jaka Pandan.
Rupanya prajurit-prajurit yang tadi dilihatnya di mulut
hutan itu salang tunjang karena takut dengan Nyai Gondil
yang memang wajahnya menakutkan. Persis dengan hantu
jerangkong.
Ketika tak terdengar lagi Jaka Pandan serta orang yang
menamakan dirinya dengan Giring itu berkata, maka dalam
pondok yang kecil lagi gelap berbau pengap itu dicekam
oleh kebekuan. Yang terdengar kemudian adalah desah
dedaunan yang dihembus oleh angin kencang serta
kicauan burung dan unggas yang bertengger di atas
cabang pepohonan di seputar rumah itu.
Dan kedua orang itu terbenam dalam arus pikiran
benaknya masing-masing. Kepala Jaka Pandan sedang
disibukkan oleh dugaan-dugaannya tentang orang yang
bernama Giring yang sekarang duduk di hadapannya.
Segala tindakan orang itu benar-benar rnenimbulkan
pertanyaan mengapa. Orang itu sangat aneh. Dan selalu
berusaha menyembunyikan segalanya. Termasuk makhluk
perempuan yang berwajah tengkorak itu. Aneh. Apakah195
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
sebenarnya yang dikehendaki oleh orang yang menamakan
dirinya dengan nama Giring itu? Dan pertanyaan-
pertanyaan lain masih pula bermunculan di benak Jaka
Pandan. Sedang Giring itupun sibuk oleh rencana yang kini
telah tersusun di benaknya.
"Jaka Pandan," akhirnya terdengar orang itu berkata
memecah kesepian yang telah sekian saat mencekam, "Aku
mempunyai suatu rencana sehubungan dengan surat itu.
Kuharap kau mau membantuku."
"Apa rencana itu?"
"Kita perlu menyelidiki gerombolan Sawer Wulung itu.
Dan aku berfikir bahwa engkaulah yang patut
melakukannya."
"Mengapa aku?"
"Kau bisa menyamar sebagai seorang prajurit suruhan
Ki Ragajaya yang menyampaikan surat ini kepada
pemimpin gerombolan Sawer Wulung."
Jaka Pandan cukup memahami maksud orang itu.
Namun ia masih ragu-ragu menganggukkan kepala
menyatakan kesediaannya. Agaknya orang bercadar itu
tahu perasaan yang meragukan Jaka Pandan. Karena itu
berkatalah ia, "Tentang Kembang Arum tak usah kau
cemaskan. Aku akan mengawasinya."
"Baiklah. Tapi apa yang harus kulakukan?"196
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Kau bukan anak kecil lagi, Jaka Pandan. Selidikilah
sebanyak-banyaknya tentang gerombolan itu."
"Jaka Pandan menganggukkan kepalanya, "Bila aku
berangkat?"
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lebih cepat lebih baik." jawab Giring. "Tetapi lebih baik
bila engkau berangkat malam nanti supaya esok pagi
engkau bisa sampai di perbukitan Gunung Kidul. Dengan
demikian maka engkau akan memperoleh kesempatan
banyak untuk mencari sarang mereka."
Demikianlah, maka pada malam harinya Jaka Pandan
meninggalkan hutan itu untuk menuju ke perbukitan
Gunung Kidul. Malam belum begitu larut. Tetapi bulan
telah muncul di ufuk timur. Seperti apa yang telah
diperhitungkan oleh Giring maka sebelum fajar
menyingsing ia telah mencapai perbukitan itu. Ia tidak
banyak menemui kesulitan dalam perjalanan. Sebab dulu
seringkali Jaka Pandan mengantarkan mendiang
tumenggung Aryo Guno berburu, sehingga dengan
demikian Jaka Pandan tahu banyak jalur-jalur jalan yang
membawanya ke perbukitan Gunung Kidul tanpa banyak
kesulitan.
Dua tiga gundukan bukit telah didakinya ketika warna
merah lembayung memancar di timur. Pagi akan tiba. Dan
kini Jaka Pandan berada di atas sebuah bukit yang
berbatu-batu.
Tiba-tiba dari kelokan batu di mukanya melintas
empat-lima bayangan manusia. Cepat Jaka Pandan197
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
mengejarnya. Namun bayangan-bayangan itu sudah tidak
nampak. Sejenak Jaka Pandan berdiri mengawasi keadaan
di seputarnya. Sepi. Kabut pagi di musim kemarau telah
membatasi pandang matanya. Dan dalam kesepian itu Jaka
Pandan hanya mendengar nyanyian merdu unggas-unggas
yang dengan riangnya menyambut datangnya pagi. Serta
desiran angin yang membawa hawa sejuk menimpa tubuh
Jaka Pandan. Akhimya anak itu melangkahkan kakinya di
antara tonjolan batu-batuan di atas bukit gersang itu.
Ketika kemudian Jaka Pandan melintasi celah dua buah
batu besar yang seakan-akan membentuk pintu gerbang,
sekonyong-konyong berkelebatlah lima bayangan manusia
mengurung Jaka Pandan.
Dari cahaya bulan yang samar-samar merendah di
barat, dan sorotan bianglala di ufuk timur, Jaka Pandan
tahu bahwa orang-orang yang mengepungnya itu
menggenggam senjata di tangan masing-masing. Tak
terasa Jaka Pandan pun meraba hulu pedang yang
tergantung di lambungnya. Apabila kemudian jari-jarinya
telah menyentuh hulu pedang itu, hati Jaka Pandan
menjadi tatag seolah-olah tergantung sepenuhnya pada
pedang itu. Dan sebenarnyalah demikian. Bahwa pedang
yang kini tergantung di lambung itu telah banyak sekali
menyelamatkan jiwanya. Dalam saat-saat kritis dan
memaksa, maka pedang itulah yang kemudian
membantunya memecahkan persoalan. Sehingga dengan
demikian setiap menghadapi peristiwa-peristiwa seperti
yang sekarang ini menimpa Jaka Pandan, secara refleks
tangan anak itu pasti akan meraba hulu pedangnya.198
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Sampai sesaat suasana masih beku. Kelima orang itu
tak bergerak sedikitpun. Hanya senjata-senjata mereka
yang berkilat-kilat ditimpa oleh cahaya bulan terjulur ke
depan. Beku. Dan sepi. Tetapi kesepian ini adalah suatu
kesepian yang menegangkan setiap dada orang-orang
yang berdiri di atas bukit tandus itu.
"Siapa kau?" tiba-tiba terdengar suara keras di antara
kelima orang itu. Orang yang berbicara itu adalah seorang
tinggi besar, berkumis dan berjanggut. Di tangannya
terjuntai seuntai rantai baja putih dengan bulatan bola besi
sebagai bandulnya.
Jaka Pandan tidak segera menjawab. Dilayangkan
pandang matanya memperhatikan kelima orang yang
berdiri mengelilinginya itu satu-persatu. Seorang yang
bertubuh tinggi besar bersenjatakan rantai baja putih. Lalu
seorang kate berwajah putih, seputih kabut, bersenjatakan
sebatang toya. Lalu seorang yang bertubuh pendek gemuk
bulat persis sebuah karung yang berisi penuh. Di tangan
orang itu tergenggam sepasang pedang pendek. Lalu
seorang tinggi ceking dengan sebatang pedang panjang di
tangan. Dan yang lain adalah seorang laki-laki yang
bertubuh normal, artinya tidak begitu besar dan tak begitu
kecil, menggenggam sebatang tombak bermata tiga. Di
dada orang-orang yang tak berbaju itu bergantung seuntai
kalung yang bermatakan lencana besi yang melukiskan
kepala ular.
Jaka Pandan mengerinyitkan dahinya. Cepat otaknya
berputar. Suatu kemungkinan yang masuk akal bila kelima
orang itu adalah anggota gerombolan Sawer Wulung.199
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Berfikir demikian maka Jaka Pandan itu kemudian menjadi
berhati-hati.
"Siapa, he?" kembali yang tinggi besar itu menghardik.
Suaranya keras sampai menggema di dasar lembah sana.
"Aku," sahut Jaka Pandan pendek.
"Sebutkan dirimu."
"Seorang prajurit Pajang."
Oleh jawaban Jaka Pandan itu si tinggi besar terdiam.
Nampak orang itu termenung seakan-akan apa yang
dikatakan oleh Jaka Pandan mempunyai pengaruh yang
cukup besar. Namun ternyata orang itu tidak terlalu lama
berdiam diri. Segera pula terdengar dia bertanya,
"Tunjukkan tanda pengenalmu."
Jaka Pandan terperanjat. Untunglah suasana masih
agak samar-samar sehingga perubahan wajah itu tak
mungkin dapat dilihat oleh orang lain. Anak itu mengeluh
dalam hati. Mengapa ia bertindak secara gegabah tanpa
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan seperti
ini. Namun semuanya telah terlanjur. Yang penting
sekarang adalah memecahkan kesulitan yang dihadapinya.
"Keadaan memaksa aku untuk lupa pada tanda itu."
sahutnya.
Orang tinggi besar itu mendengus pendek.200
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Dan Jaka Pandan melanjutkan, "Ki Ragajaya dengan
tergesa-gesa memerintahkan aku untuk segera ke mari
menyampaikan sebuah surat kepada pemimpinmu. Itulah
sebabnya maka aku sampai melupakan tanda pengenal
yang kau tanyakan itu ....."
Kelima orang itu berpandangan sejenak. Melihat
tingkah mereka, yang seakan-akan saling minta
pertimbangan pada sesamanya itu, Jaka Pandan menjadi
semakin mengeluh dalam hati. Celaka, pikirnya, ternyata
aku terjebak. Ternyata dugaan Jaka Pandan itu sangat
tepat. Bahwa dirinya terjebak katanya sendiri. Terdengar
kelima orang itu tertawa berkepanjangan sehingga bahu
mereka bergoncang.
"Mengapa kalian tertawa?" Masih Jaka Pandan
mencoba menguasai suasana.
Sesaat kemudian suara tawa mereka terhenti. Lalu si
kate melangkah maju. Ketika kemudian telah berdiri di
hadapan Jaka Pandan, maka berkatalah orang itu, "Baiklah.
Dengan memandang nama ki Ragajaya aku mempercayai
dirimu sebagai utusannya. Nah sekarang tunjukkan surat Ki
Ragajaya."
"Siapa kau?" tanya Jaka Pandan.
"Hai? Engkau belum mengenal diriku? Aneh. Apakah Ki
Ragajaya tidak memberikan gambaran tentang pemimpin
Sawer Wulung? Bukankah engkau prajurit yang tidak
biasanya berhubungan dengan kami? Inilah suatu
kesalahan bagi Ki Ragajaya."201
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Kemudian orang kate itu tertawa terbahak-bahak yang
segera disambung oleh keempat orang yang lain. Merah
telinga Jaka Pandan mendengar suara-suara tawa yang
memuakkan itu. Namun Jaka Pandan berusaha menekan
perasaannya itu mengingat peranannya sebagai utusan Ki
Ragajaya. Namun melihat gelagat, anak itu merasa bahwa
apa yang menjadi rencana Giring kali ini akan menemui
kegagalan. Ternyata gerombolan Sawer Wulung sangat
cermat dalam persoalan apapun. Dan kini ia menyadari
bahwa kelima orang anak buah Sawer Wulung itu tengah
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempermainkan dirinya.
Ketika suara tawa orang-orang itu mereda, adalah si
kate itu yang kemudian berkata memperkenalkan diri, "Aku
Ngangrang Sewu, pemimpin dari gerombolan Sawer
Wulung."
Jaka Pandan ragu-ragu sejenak. Meskipun dia belum
pernah melihat maupun mendengar banyak tentang
Ngangrang sewu, namun secara nalar yang wajar anak itu
telah menyaksikan bahwa orang kate itu bukan Ngangrang
Sewu. Adalah tidak mungkin apabila tampang seorang
pemimpin gerombalan seperti orang kate itu. Tak
berwibawa sedikitpun. Apalagi bayangan keganasan.
Padahal gerombolan Sawer Wulung adalah suatu
gerombolan liar yang sangat ganas. Sehingga karena itu
Jaka Pandan menjadi semakin yakin bahwa dirinya sedang
dipermainkan orang. Karenanya cepat pula ia merangkai
suatu permainan untuk membalasnya.
Maka kemudian Jaka Pandan itupun berkata,202
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Apakah aku harus menyampaikan surat itu di sini dan
dalam keadaan begini?"
"Mengapa?"
Jaka Pandan memalingkan wajahnya pada keempat
orang yang lain. "Surat ini surat rahasia, Ki Ragajaya
memerintahkan supaya aku menyerahkan surat ini di
hadapan dua pasang mata. Tanpa diketahui oleh orang
ketiga."
"Hahaha ......" orang kate yang mengaku bernama
Ngangrang Sewu itu tertawa terbahak-bahak. Lalu, "Tak
apa. Mereka adalah orang-orang yang sangat dekat
denganku."
Tangan Jaka Pandan bergerak seolah-olah dia akan
mengambil surat yang terselip di balik bajunya. Tetapi
bukan surat yang diambilnya melainkan hulu pedang. Sret!!
Dengan kecepatan yang sulit untuk diikuti oleh mata orang
biasa Jaka Pandan mencabut pedangnya sekaligus
mengayunkan pedang itu membabat lambung orang.
Orang kate itu berseru kaget. Ia mencoba mengelak.
Akan tetapi ia tidak mampu melawan kecepatan gerak Jaka
Pandan. "Uh!" Sekali ia mengeluh pendek ketika sebuah
benda dingin merobek lambungnya. Darah merah
menyembur dari luka yang menganga. Lalu rubuhlah orang
itu ke tanah bagai batang pisang tumbang.
Keempat orang itu terperanjat bukan main. Namun
sebelum mereka sempat bergerak, terdengar Jaka Pandan
berkata, "ltu suatu contoh bagi anggota Sawer Wulung203
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
yang berani merendahkan nama pemimpinnya. Aku
mewakili Ngangrang Sewu untuk menghukum
kelancangannya."
Sejenak keempat orang itu terpukau. Keringat dingin
tiba-tiba meleleh membasahi punggung mereka tatkala
menyaksikan tingkah orang kate yang dalam sekarat maut
itu.
"Keparat!"
Tiba-tiba si jangkung itu berteriak keras. Lalu ia
meloncat serta pedang panjang yang ada di tangannya itu
berkilat menyambar leher Jaka Pandan. Pada saat itu pula
dua orang lain yang masing-masing bersenjata trisula dan
sepasang pedang pendek mengayunkan senjata mereka
dalam tiga arah yang berlawanan.
Melihat tiga buah serangan yang datang bersama-sama
dan pada sasaran yang berlainan itu Jaka Pandan tidak
menjadi gugup. Anak itu telah memperhitungkan setiap
kemungkinan atas ketiga orang itu. Tring! Tring! Trang ...!
sekali ia memutar pedangnya, tiga buah serangan itu
berhasil dipatahkannya. Ketiga orang itu saling
berlompatan ke belakang sembari berseru kaget. Mereka
tidak menduga sama sekali bahwa anak muda itu memiliki
kekuatan yang sedemikian dahsyat. Sehingga ketiga orang
itu merasakan senjata mereka tergetar hebat sewaktu
senjata-senjata itu beradu dengan pedang Jaka Pandan.
Akan tetapi ternyata anak buah gerombolan Sawer
Wulung adalah orang-orang yang tidak mudah menyerah204
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
terhadap kesulitan. Melihat ketiga orang kawannya surut
ke belakang, cepat orang tinggi besar itu menghentakkan
rantainya. Wung! bola baja hitam itu terayun dahsyat
mengarah kepala Jaka Pandan. Sudah barang tentu Jaka
Pandan tidak mau kepalanya dipecahkan oleh bola baja
musuh. Cepat dia mengelak. Duarrr....!
Luput mengenai kepala Jaka Pandan, bola baja itu
membentur batu. Berkeping-keping serpihan batu
menghambur ke udara. Hal ini jelas membayangkan betapa
dahsyatnya tenaga yang dimiliki oleh orang tinggi besar
itu. Jaka Pandan sendiri mengakui kedahsyatan senjata
orang tinggi besar itu. Bahkan dia membayangkan betapa
ngerinya apabila bola baja hitam itu mengenai bulatan
kepalanya. Selagi Jaka Pandan terbenam dalam
khayalannya yang demikian, mendadak ia merasakan
sebuah deru angin yang menyambar di atas kepalanya.
Sekali ini Jaka Pandanlah yang terperanjat. Dalam keadaan
yang berbahaya itu Jaka Pandan menjatuhkan dirinya
bergulingan ke tanah. Namun sebelum dia berhasil berdiri
tegak, sebuah tombak bermata tiga telah mengancam
dadanya. Dan begitu ia berhasil menangkisnya, sebuah
ujung pedang panjang terjulur ke lambungnya. Terpaksa
Jaka Pandan gunakan kelincahan yang dimilikinya. Wut...!!
tubuhnya melenting tinggi ke udara dan hinggap di atas
sebuah batu yang di atasnya datar. Cukup lebar. Rupanya
keempat orang itu tidak mau melepaskan lawan. Serentak
mereka bersama-sama berloncatan mengejar Jaka Pandan.
Namun perbuatan orang-orang itu samalah halnya
dengan bunuh diri. Begitu orang tinggi kurus yang205
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
pertama-tama berhasil menyusul ke batu itu. Jaka Pandan
mengayunkan pedangnya membabat. Karena sama sekali
tidak menduga bahwa lawan akan menyerang secepat itu,
si tinggi ceking itu terkesiap. Akan tetapi ia sudah tidak
mampu berbuat apapun untuk melindungi dirinya. Ia sudah
tidak sempat menggerakkan pedang panjangnya.
Grass...!! Tanpa dapat dihindarkan lagi pedang Jaka
Pandan merobek koyak dadanya. Dengan diiringi jeritan
maut orang itu terjungkal. Menyusul kemudian si gemuk
bulat bernasib sama dengan kawannya yang bertubuh
ceking. Bahkan kematian yang menimpanya lebih ngeri
lagi. Lehernya terbabat putus. Kepala jatuh menggelinding
lalu diikuti oleh tubuhnya yang tak berkepala lagi dengan
didahului oleh gerakan yang limbung. Tinggallah kini orang
tinggi besar dan orang yang bersenjata trisula itu. Agaknya
mereka menyadari kesalahan kawan-kawannya dan tak
mau bunuh diri seperti mereka. Sebelum pedang Jaka
Pandan berkilat mengarah jiwa mereka, kedua orang itu
seperti mendapat perintah, bersama-sama melayang turun
kembali ke titik pertempuran semula.
Sekonyong-konyong terdengar si tinggi besar itu
bersuit nyaring. Mendengar suitan itu hati Jaka Pandan
tergetar. Ia tahu bahwa orang itu tentu memberi isyarat
pada kawan-kawannya. Wut ...! Jaka Pandan bagai seekor
burung walet menukik. Jaka Pandan mengembangkan
kedua tangannya serta melayang turun. Begitu ujung-
ujung kakinya menyentuh permukaan bumi ia telah
disambut oleh serangan-serangan maut. Trisula menyapu
kakinya dan bulatan bola baja hitam yang ingin206
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
memecahkan kepalanya. Namun Jaka Pandan masih
mampu menyelamatkan dirinya. Ia kembali menjejakkan
kaki dan melambung untuk menghindari trisula sekaligus
mengirimkan tendangan geledek yang tepat mengenai
batang leher orang yang bersenjatakan trisula, membuat
orang itu memekik dan roboh terguling. Bersamaan
dengan itu Jaka Pandan memukulkan pedangnya ke rantai
bola baja hitam itu. Sreet! Rantai itu membelit pedang Jaka
Pandan. Untuk sejenak lamanya terjadilah adu kekuatan
memperebutkan senjata antara Jaka Pandan dan si tinggi
besar.
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lepas!" seru Jaka Pandan tiba-tiba sambil
menghentakkan pedangnya. Orang tinggi besar itu tak
mampu mempertahankan diri lagi. Sentakan Jaka Pandan
itu telah memaksa untuk melepaskan senjatanya. Sedang
dia sendiri terhuyung-huyung ke depan oleh tarikan tenaga
Jaka Pandan. Pada lain saat, sebuah tendangan dahsyat
lelah membuatnya terguling untuk kemudian tidak bangun
lagi selama-lamanya.
Sebelum Jaka Pandan dapat menarik nafas lega,
sekonyong-konyong dari bawah lembah sana berloncatan
beberapa orang, tidak kurang dari puluhan jumlahnya,
yang menurut dugaan Jaka Pandan orang-orang itu pasti
juga orang-orang Sawer Wulung. Kini persoalan yang
dihadapi oleh Jaka Pandan menjadi semakin runyam. Ibarat
mundur ajur maju tatu. Namun Jaka Pandan memilih untuk
maju dengan sebuah harapan dapat bertemu muka
dengan pemimpin gerombolan Sawer Wulung, Ngangrang207
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Sewu. Menurut perhitungan, anak buah gerombolan ini
tidaklah berlebih-lebihan.
Dalam pada itu di sekeliling Jaka Pandan telah berdiri
puluhan orang anggota Sawer Wulung. Wajah mereka
nampak kejam. Dan bengis. Dan garang. Lalu tanpa
bertanya, serentak orang-orang itu bergerak mengancam
Jaka Pandan berbareng ketika terdengar seorang di
antaranya berteriak, "Seraaang...... !"
Tring! trang! traang! trakk .........! auh! Terdengar susul-
menyusul bunyi senjata beradu beberapa kali dan disusul
oleh dua pekik kesakitan.
Sejenak suasana menjadi sepi. Sementara itu Jaka
Pandan berdiri di tengah-tengah lingkaran yang dibatasi
oleh anak buah Ngangrang Sewu. Matanya tak berkedip
mengawasi orang-orang yang berdiri di sekelilingnya.
Sedang pedangnya tegak lurus di muka wajahnya. Dan
orang-orang yang berdiri mengelilingi anak itu menjadi
tegang. Seorang di antaranya sudah tidak menghiraukan
tangannya yang senantiasa meneteskan darah merah.
Bahkan dengan garangnya ia memegang pedangnya di
tangan kiri. Ia telah bertekad akan membalas
membuntungi kedua lengan Jaka Pandan. Seorang lagi
roboh ke tanah sambil menyeringai kesakitan. Tangannya
mendekap dadanya yang berwarna merah darah karena
ujung pedang Jaka Pandan sempat menggoresnya.
"Tahan!" teriak salah seorang di antara mereka ketika
beberapa orang akan menyerang Jaka Pandan kembali.
Orang itu bertubuh gempal. Berwajah merah dengan208
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
sebuah goresan melintang dari atas jidat kanannya turun
ke hidung menghiasi wajah itu. Dan kepada Jaka Pandan,
orang itu menghardik,
"Siapa kau?"
"Jaka Pandan," jawab anak itu dengan suara berat,
"Perajurit Pajang utusan Ki Ragajaya untuk menyampaikan
surat pada pemimpin Sawer Wulung."
Orang itu mengangkat bahunya. "Tapi kenapa engkau
membunuh mereka?" Tanya orang itu pula sambil
mengacungkan jari telunjuknya pada mayat empat orang
anak buah gerombolan Sawer Wulung yang telah
dibinasakan oleh Jaka Pandan dalam saat sekejap
berselang.
"Bukan karena salahku. Orang-orang itulah yang
mencari perkara."
"Tetapi engkau telah melakukan suatu perbuatan yang
menghina nama gerombolan Sawer Wulung," tukas orang
berwajah merah itu.
"Sudah kukatakan. Bukan aku yang mencari penyakit."
"Bah!" geram orang itu, "Tak ada alasan bagimu untuk
menyangkalnya. Betapapun engkau harus dihadapkan
pada peradilan Sawer Wulung untuk mempertanggung
jawabkan tindakanmu. Oleh karena itu lebih baik lepaskan
pedang itu serta angsurkan kedua tanganmu. Biarlah
orang-orang itu mengikat tanganmu."209
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Wajah Jaka Pandan berubah semerah darah. Darahnya
mendidih.
"Keparat!" desisnya, "Aku datang bukan bermaksud
jahat. Tetapi orang-orang Sawer Wulung telah memaksaku.
Apa boleh buat."
"He?"
Orang berwajah merah itu tersentak manakala ia
melihat Jaka Pandan menggeserkan kakinya dalam kuda-
kuda bertempur, "Apakah engkau mau melawan kami?"
teriaknya.
"Betapapun Jaka Pandan adalah seorang laki-laki."
Jawab Jaka Pandan.
Orang itu menggeram dahsyat bagai seekor harimau di
hutan belantara. Sekali ia memberi isyarat pada orang-
orangnya, maka serentak orang-orang Sawer Wulung itu
menerjang Jaka Pandan. Namun murid mendiang Aryo
Guno itu benar-benar seorang anak muda yang memiliki
kemampuan sempurna untuk melindungi dirinya dalam
keadaan yang bagaimana pun juga. Dengan sebat luar
biasa ia menghadapi setiap serangan maut yang
mengancamnya. Geraknya lincah selincah burung sriti. Atau
kadang-kadang tubuhnya melentik bagai seekor belalang.
Atau kemudian pedangnya berputaran cepat sekali
melindungi dirinya.
Menghadapi orang-orang ganas semacam gerombolan
Sawer Wulung,Jaka Pandan pun tidak lagi berbuat
tanggung. Dalam pertempuran demikian sifatnya sebagai210
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
manusia normal telah lenyap sama sekali. Yang terkilas
dalam ingatan Jaka Pandan hanyalah nafsu membunuh.
Semakin banyak ia membunuh, lebih baik. Karena pada
pikiran Jaka Pandan bahwa orang-orang semacam inilah
orang yang sebenarnya bernilai rendah. Lebih rendah dari
derajat serigala liar sekalipun. Mereka adalah serigala-
serigala berkaki dua yang tega melahap makhluk sejenis.
Sedang serigala di hutan tak mungkin mau memakan
daging sesamanya. Itulah sebabnya maka kemudian
gerakan Jaka Pandan menjadi sangat ganas, yang pada
setiap ayunan pedangnya menyebarkan hembusan angin-
angin maut. Hanya dalam beberapa saat kemudian telah
tiga orang terjungkal tak bernyawa, sehingga kini lawan
Jaka Pandan tinggal enam orang termasuk orang berwajah
merah yang bersenjatakan kapak raksasa itu. Dan agaknya
dari lawan-lawan Jaka Pandan yang paling berat hanyalah
orang itu saja. Ayunan kapaknya cukup berbahaya. Namun
sampai sedemikian jauh Jaka Pandan masih mampu
mengelakkan diri dari ancaman maut kapak raksasa itu.
Bahkan menurut perhitungannya, dalam waktu yang tidak
akan lama lagi anak itu akan berhasil mematahkannya pula.
Sementara itu warna merah di timur menjadi semakin
terang. Dan akhirnya muncullah Hyang Bagaskara dengan
kecerahan wajahnya menyingkapkan lembaran-lembaran
kabut yang mengapas itu. Dan pada pagi yang cerah itu di
atas bukit yang berserakan di antara perbukitan Gunung
Kidul itu telah terjadi suatu pembantaian manusia.
Di mana di tempat itu telah terjadi suatu pertempuran
yang tak seimbang antara Jaka Pandan dan anak buah211
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
gerombolan Sawer Wulung. Sedang di tempat itu pula
telah menggeletak tujuh orang yang tak bernyawa lagi dan
seorang lain yang menyeringai menahan rasa pedih yang
menyengat ke tulang sungsumnya.
"Auh ....!"
Seorang anak buah Sawer Wulung roboh lagi oleh
pedang Jaka Pandan yang menusuk perut hingga
menembus punggungnya. Dalam pada itu seorang musuh
mengayunkan bindi berduri ke punggung Jaka Pandan.
Akan tetapi punggung Jaka Pandan seolah-olah bermata
saja. Dengan kecepatan yang mampu dilakukannya anak
itu memutar tubuh setengah lingkaran.
Crakk!
Seleret sinar membelah kepala orang yang
membokong itu yang ternyata datang dari mata pedang
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jaka Pandan. Ketika kemudian sinar itu mendarat di
kepalanya, tanpa dapat berteriak lagi kepala orang itu
terbelah menjadi dua sampai ke leher. Darah merah
berhamburan. Sejenak tubuh orang itu berdiri tegak. Lalu
bergerak-gerak untuk kemudian jatuh ke bumi menimpa
orang yang sedari tadi mendekap dadanya. Oleh robohnya
orang yang menimpanya, orang itu terkejut bukan main.
Tapi justru oleh rasa kejut yang mendadak itu, jantungnya
yang memang sudah berada di ambang maut itu bahkan
berhenti sama sekali. Dan... putuslah sudah kehidupan
orang itu. Berarti selesailah sudah siksaan yang menimpa
dirinya akibat luka yang menggores di dadanya.212
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Menyaksikan keganasan anak muda itu, kecutlah hati
orang yang berwajah merah itu. Kemerahan wajahnya
menjadi pudar dan berganti dengan warna putih pucat.
Tubuhnya menggigil menahan kemarahannya. Tetapi
kemarahan itu akhirnya tergilas oleh perasaan lain di sudut
hatinya. Rasa gentar. Inilah aneh. Seorang laki-laki ganas
yang setiap hari dan sepanjang kehidupannya bergulat
dengan maut, berkecimpung dalam lautan darah
mendadak hatinya tergetar menyaksikan mayat-mayat
kawannya yang bergelimpangan itu.
Kiranya pemandangan itu mampu menyentuh lekukan
dasar hatinya yang paling dalam. Namun betapapun juga
orang itu merasa dirinya telah terlambat untuk menyesali
dirinya. Sudah terlambat untuk menyesali semua
tingkahnya. Dan sekarang ia harus menerima buah dari
tindakan-tindakan yang telah ditanamnya. Ia tidak akan lari
dari karma yang segera akan menimpanya. Oleh karena itu
maka kemudian orang itu kemudian membulatkan hatinya
untuk menghadapi maut yangsegera bakal menimpanya.
Beberapa saat lamanya orang-orang yang lainpun telah
dicekam oleh perasaan seperti yang sedang melanda dada
orang berwajah merah itu. Namun ketiga orang itu lebih
cepat berhasil menguasai perasaan mereka. Oleh karena itu
serta merta mereka kembali menerjang Jaka Pandan
dengan semangat yang terakhir. Akan tetapi dalam waktu
yang sangat singkat, satu-satu ketiga orang itu roboh
dengan pekik-pekik maut yang mendirikan bulu roma.
Tinggallah kini orang yang bersenjata kapak itu seorang
diri menggigil. Sekali lagi dadanya tergoncang213
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
menyaksikan kawannya yang terakhir roboh menemui
kematian. Apalagi ketika dilihatnya setapak demi setapak
Jaka Pandan menghampirinya dengan pedang terjulur
lurus mengarah dadanya.
Pada pandangannya anak muda itu bagaikan malaikat
maut yang akan segera menghentikan nafasnya. Meskipun
angin pagi berhembus dingin sekali, namun seluruh
permukaan kulit tubuh orang itu basah oleh keringat.
Keringat dingin. Keringat yang timbul akibat ketakutan
yang memuncak.
Cles! Sebuah benda dingin menempel di dadanya. Dan
benda itu adalah ujung sebuah pedang. Dan, di
hadapannya nampak seraut wajah angker yang sangat
menakutkan.
Bibir orang itu tergetar. Tak terasa kedua belah
tangannya terkulai lemas. Serta jatuhlah kapak
kebanggaannya itu. Kapak yang telah bertahun-tahun ada
dan mendampinginya. Maut yang akan menimpanya tak
mungkin dihindarkannya lagi. Dan orang itu memang tak
akan menghindarkan maut itu sama sekali. Ia sudah pasrah
dengan sepenuh pengakuan atas dosa-dosanya. Karena itu
kemudian dada orang itu segera hampa. Kosong. Orang itu
memejamkan matanya rapa-rapat untuk menyiapkan diri
terhadap maut itu.
Tiba-tiba orang itu menjadi sangat aneh. Sesaat ia
menanti. Namun dia tidak juga merasakan apapun. Ia tidak
merasakan anak muda itu menusukkan pedangnya.
Ataukah saat ini ia sudah berada di alam kematian.214
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Dicobanya untuk membuka matanya. Dan apa yang
nampak di hadapannya itu benar-benar mengejutkannya.
Ia melihat sebuah ranjau telah melibat Jaka Pandan. Dan
ketika ia mengangkat wajahnya, di atas batu itu ia melihat
seorang laki-laki berwajah bengis. Bermuka berewok. Dan
berambut terurai sebatas pundak. "Ki lurah..." desis orang
itu dengan bibir gemetar.
Sebelum orang itu sempat berbuat sesuatu, ia melihat
ranjau yang melibat anak muda itu terangkat naik. Dan
kemudian hilang entah ke mana bersama dengan
hilangnya orang berwajah bengis yang berdiri di atas batu
itu.
***
Entah berapa saat lamanya Jaka Pandan tak sadarkan
diri. Tetapi ketika anak itu membuka matanya, dilihatnya di
sekitarnya hanya warna hitam yang gelap tiada secercah
cahayapun. Sampai untuk menunjuk hidung sendiri saja
rasanya Jaka Pandan harus meraba seluruh permukaan
wajahnya.
Tempat apakah ini?
Itulah pertanyaan yang pertama kali muncul di
benaknya. Hidungnya mencium bau yang pengap. Pengar.
Seperti tahi kelelawar. Dan udara tempat itu sangat
lembab. Perlahan-lahan Jaka Pandan memaksa diri untuk
bangkit. Uh! Serasa seluruh persendiaannya amat kaku
untuk bergerak. Namun Jaka Pandan memaksa diri untuk
bangkit. Dan dalam kegelapan yang pekat itu Jaka Pandan215
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
meraba-raba di sekelilingnya. Akan tetapi sampai sejenak
lamanya tangan Jaka Pandan belum menyentuh apa-apa.
Baru ketika setapak demi setapak lagi ia melangkah sampai
beberapa tindak, tangannya menggapai suatu dinding
yang menurut indera perasanya menyatakan bahwa
dinding itu adalah terbuat dari batu yang sama sekali tidak
halus. Batu kasar yang berbenjoi-benjol. Tanah yang
dipijaknya itupun batu juga. Jadi? Apakah tempat ini
merupakan sebuah goa batu? Mungkin! jawab Jaka Pandan
dalam hati. Melihat gelapnya yang alang kepalang serta
udara yang lembab pengap dan bau tahi-tahi kelelawar,
suatu kemungkinan besar bahwa tempat di mana Jaka
Pandan itu berada adalah sebuah gua. Namun yang
mengherankan Jaka Pandan adalah bahwa gua itu sangat
luas. Bahkan terlampau luas bagi ukuran gua lumrah. Dan
tak berpangkal maupun berujung.
Sesaat Jaka Pandan termenung. Dalam saat itu Jaka
Pandan mencoba mengingat peristiwa yang baru saja
dialaminya. Terbayang kembali peristiwa tatkala ia
menjatuhkan orang-orang Sawer Wulung itu. Namun suatu
hal yang tak terduga, sebuah ranjau telah melibatnya
membuat ia tak dapat berkutik sama sekali. Ia mencoba
memutuskan tali-tali ranjau itu. Namun ternyata tali-tali itu
terlampau kuat. Dan sebuah pukulan keras di tengkuknya
membuat ia roboh tak sadarkan diri. Samar-samar ia masih
sempat melihat wajah seorang laki-laki berewok yang
sangat bengis dengan berkalungkan seekor ular yang
berwarna biru keungu-unguan.216
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Mengingat peristiwa itu, Jaka Pandan mendecih
perlahan. Uh, ia mengeluh. Kini ia menyadari bahwa dirinya
berada dalam sekapan orang-orang Sawer Wulung. Sebab
orang yang dilihatnya berkalung ular itu pastilah orang
yang bernama Ngangrang Sewu, pemimpin gerombolan
Sawer Wulung.
Sekali lagi Jaka Pandan mendecih. Benak anak itu
kemudian menjadi pepat oleh persoalan yang kini
dihadapinya. Apakah yang harus dilakukannya?" Hm!
Ataukah memang sudah suratan takdir bahwa pada
akhirnya ia harus mati dengan cara begini? Mati dalam
tawanan gerombolan Sawer Wulung yang bersarang di
perbukitan Gunung Kidul ini? Ah, tidak! Aku tidak akan
mati dengan cara demikian. Aku tidak akan mati sebelum
berhasil menemukan pembunuh tumenggung Aryo Guno.
Jika aku mati sekarang, kasihan Kembang Arum. Gadis itu
dengan paksa pasti akan diperisteri oleh Pamuncar anak ki
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ragajaya. Dan aku tidak rela bila Kembang Arum
bersuamikan Pamuncar. Itulah suara hati yang bergema
dalam dada Jaka Pandan. Namun suatu kenyataan pahit
telah menimpa Jaka Pandan. Bahwa anak itu sekarang ada
dalam tawanan gerombolan Sawer Wulung yang ia sendiri
tidak tahu apakah ia bisa keluar membebaskan diri atau
tidak.
Akhirnya Jaka Pandan menjatuhkan diri tertunduk serta
membenamkan kepalanya di antara celah-celah kedua
lututnya. Tapi sesaat kemudian anak itu mengangkat
wajahnya kembali. Lalu menghela nafas panjang. Lalu
bangkit. Lalu mengayunkan kaki lagi setapak demi setapak.217
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Duk!
Ujung kaki Jaka Pandan membentur dinding.
Tangannya meraba. Ternyata gua itu membelok.
Dan.......hai! Ketika Jaka Pandan memutar tubuhnya, di
ujung sana nampak beberapa cercah sinar matahari
nampak menerobos langit-langit goa sehingga suasana di
sana sedikit lebih terang.
Sekali ini Jaka Pandan menghela nafas lega. Kemudian
Jaka Pandan mengayunkan langkah kaki menuju ke tempat
di mana ujung-ujung cahaya matahari menembus langut-
langit goa itu.
"Jaka Pandan."
Tiba-tiba sebuah suara nyaring menghentikan langkah
Jaka Pandan. Telinga anak itu merasa bahwa suara itu
adalah suara seorang perempuan.
"Siapa?" terdengar Jaka Pandan menyapa. Akan tetapi
suara itu tidak menyahut. Bahkan sekali lagi bertanya,
"Adakah kau benar-benar Jaka Pandan?"
Jaka Pandan termangu-mangu. Mengapa di dalam goa
yang demikian gelap ini ada seorang perempuan yang
mengenalnya. Cepat ingatannya melayang pada Kembang
Arum. Ah, bukan. Bukan. Perempuan itu bukan Kembang
Arum. Tak mungkin Kembang Arum akan berada di tempat
ini. Dan suara Kembang Arum tidak senyaring suara
perempuan itu. Lalu siapakah dia? Perempuan itu?218
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Membaliklah tiga langkah dan membeloklah tiga
langkah ke kanan."
Sekali lagi Jaka Pandan mendengar suara nyaring itu.
Kemudian tanpa disadarinya anak itupun lalu melangkah
mengikuti petunjuk suara perempuan itu. Akhirnya Jaka
Pandan berhenti setelah melangkah enam tindak.
"Jaka Pandan."
Suara itu kini sangat dekat sekali.
"Duduklah." Terdengar suara itu lagi.
Dan sekali lagi di luar kesadarannya Jaka Pandan
kemudian duduk. Tapi anak itu menjadi terkejut bukan
main. Tangannya meraba sebentuk benda lunak yang
sangat halus. Dada Jaka Pandan tergetar. Ia tahu bahwa
benda lunak itu adalah bagian tubuh dari seorang
perempuan yang mungkin adalah perempuan yang sedari
tadi memanggil-manggil namanya. Dalam keterkejutannya
itu Jaka Pandan hendak bangkit berdiri. Namun sebuah
tangan telah menggamit tangannya dan menyentakkan
tubuhnya untuk kembali duduk.
"Jaka Pandan." Kembali ia mendengar suara perempuan
itu setengah berbisik hampir menyentuh lubang telinganya,
"Benarkah namamu Jaka Pandan?"
Dengan mulut tergetar Jaka Pandan menyahut, "Ya."
Untuk sesaat Jaka Pandan tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Namun di saat yang lain anak itu segera219
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
berhasil menguasai perasaannya kembali. Oleh karenanya
terdengarlah dia bertanya, "Siapakah engkau? Dan apa
sebab engkau mengenal diriku sedang seingatku aku
belum pernah mengenalmu."
"Mungkin," jawab perempuan itu, "Aku tahu namamu
dari kakang Ngangrang Sewu."
Mendengar disebutnya nama Ngangrang Sewu itu,
mata Jaka Pandan terbeliak. Kalaulah di tempat itu suasana
terang benderang, niscaya wajah Jaka Pandan akan
nampak berubah hebat. Jaka Pandan mau menghentakkan
tangan perempuan itu. Namun ternyata tangan perempuan
itu terlampau kuat memegang tangannya. Sehingga
bahkan Jaka Pandan jatuh terjerembab menindih tubuh
perempuan itu.
Astaga! darah Jaka Pandan rasanya mau berhenti
mengalir. Dari sentuhan tangannya Jaka Pandan dapat
menduga bahwa perempuan itu dalam keadaan telanjang
bulat tak sehelai benangpun melekat di tubuhnya.
Untunglah suasana di tempat itu cukup gelap sehingga
Jaka Pandan tidak harus melihat pemandangan ngeri yang
berlangsung di hadapannya. Jika tidak, tak tahu apa yang
dibayangkan oleh anak itu. Sungguhpun demikian, jantung
Jaka Pandan berdetak cepat sekali. Serta dengusan
nafasnya terdengar memburu. Keringat-keringat dingin
berbintil-bintil meleleh dari pori-pori tubuhnya. Serasa
hilanglah kesadaran Jaka Pandan kala itu.
Kembali sebuah pertanyaan terngiang di telinga Jaka
Pandan, "Apa yang akan kau lakukan?"220
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Dan sebelum Jaka Pandan sempat menyahut, terdengar
perempuan itu telah berkata lagi, "Jangan berfikir yang
bukan-bukan. Dan jangan melakukan perbuatan yang
bodoh. Kita punya nasib yang sama."
"He?" seru Jaka Pandan tertahan.
"Ya. Kita sama-sama ada dalam tawanan gerombolan
Sawer Wulung."
Jaka Pandan cuma mendengus pendek, tak tahu arah
pembicaraan perempuan yang memang membingungkan
itu. Semula ia menyebut dirinya sebagai adik Ngangrang
Sewu pemimpin gerombolan Sawer Wulung. Dan sesaat
kemudian perempuan itu berkata bahwa dirinya juga ada
dalam tawanan gerombolan Sawer Wulung. Manakah yang
benar?
Agaknya perempuan itu dapat menduga dengan tepat
keragu-raguan yang merayap dalam hati Jaka Pandan. Oleh
karena itu segera pula perempuan itu berkata melanjutkan,
"Engkau bingung, Jaka Pandan? Akan kujelaskan supaya
engkau tidak bingung," Perempuan itu berhenti sesaat
seolah-olah mencari kesan dari Jaka Pandan atas kata-kata
yang diucapkannya. Namun apa yang dicarinya itu sama
sekali tidak diketemukan. Sebab tak sepatah katapun
keluar dari mulut Jaka Pandan.
Dan kepekatan suasana dalam goa itu tak akan
memberi kemungkinan baginya untuk dapat
memperhatikan wajah Jaka Pandan.221
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Setelah menanti sampai sesaat lamanya tidak juga Jaka
Pandan berkata, maka perempuan itu berkata lagi, "Baiklah.
Sebelumnya akan kuberitahu namaku dahulu. Panggillah
aku dengan nama Cinde Wulung."
"Cinde Wulung."
Sekali lagi bibir Jaka Pandan bergetar mengucapkan
nama itu. Namun Jaka Pandan merasa bahwa nama itu
cuma biasa saja. Tidak ada kelebihannya sedikitpun. Walau
nyatanya mulutnya mau pula mengulang nama itu untuk
kedua kalinya. Tapi adalah karena Jaka Pandan merasa
adanya suatu keanehan yang menyelimuti perempuan adik
Ngangrang Sewu yang bernama Cinde Wulung itu.
Sebenarnyalah bahwa Cinde Wulung itu adalah adik
Ngangrang Sewu, pemimpin gerombolan Sawer Wulung.
Mereka bersaudara yang hanya berdua itu. Tiada lebih.
Karenanya bisa dikatakan bahwa mereka itu dua saudara
kedana-kedini. Artinya, dua orang anak, laki-laki dan
perempuan dan tak mempunyai saudara yang lain. Sejak
kecil mereka hidup rukun dalam asuhan orang tuanya yang
tinggal satu-satunya. Ialah ayahnya. Sebab ibu mereka
telah meninggal sewaktu Cinde Wulung baru berumur
empat tahun. Sang ayah yang kehilangan isteri yang
meninggalkan dua orang anak yang masih sangat hijau itu
senantiasa mendambakan diri serta hidupnya demi kedua
anaknya. Ia mengasihi kedua anaknya tanpa perbedaan
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikitpun. Karena ia beranggapan bahwa antara manusia
laki-laki tak ada perbedaan dengan perempuan. Apa yang
mampu dilakukan oleh kaum lelaki akan mampu pula
dilakukan oleh kaum perempuan. ltulah sebabnya maka222
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
sang ayah itu memberikan ilmu tata bela diri pada anak
perempuannya seperti pada Ngangrang Sewu, anaknya
yang laki-laki. Bahkan ayah Cinde Wulung itu merasa
bahwa kaum perempuan yang secara kodrat lebih lemah
jasmaniahnya, lebih lemah dari kaum laki-laki, maka kaum
perempuan harus memperoleh gemblengan-gemblengan
yang kuat agar supaya kaum perempuan tidak
memperoleh hinaan dari kaum lawan jenisnya.
Demikianlah dalam usia yang masih cukup muda, atau
malah masih terlalu muda, kedua kakak beradik Ngangrang
Sewu-Cinde Wulung itu telah mewarisi seluruh kesaktian
ayah mereka. Pada akhimya Ngangrang Sewu memperoleh
sebuah cambuk berduri dari ayahnya bernama cambuk
Kilat Dahono, di mana setiap duri cambuk itu berlumuran
bisa ganas yang kena cambuk itu tubuhnya akan hangus
jadi abu, Sedang Cinde Wulung memperoleh akik Naga
Kuning yang mempunyai khasiat menawarkan terhadap
segala jenis racun. Sayang. Sang ayah itupun kemudian
meninggal pula sebelum anak-anaknya mencapai tingkat
kedewasaan. Dan inilah mulainya kehancuran hidup
Ngangrang Sewu yang semula berada dalam jalur-jalur
kehidupan yang baik itu. Dalam usianya yang masih muda
itu dia mencintai seorang perempuan. Namun perempuan
itu tak bisa dikawininya sebab kedua orang tua perempuan
itu tidak menghendaki anaknya bersuami Ngangrang
Sewu. Akibat kegagalan cinta itu hancurlah sudah
kehidupan Ngangrang Sewu yang ditanamkan ayahnya
sejak anak itu masih kecil bagai kabut yang terhembus
topan. Ia tidak memperhatikan dirinya lagi. Dunianya
kemudian menjadi sangat jauh berbeda dengan dunia223
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
sebelum Ngangrang Sewu itu mengalami kehancuran cinta.
Perempuan dan perjudian bukanlah dunia yang asing bagi
Ngangrang Sewu. Oleh karenanya pergaulannyapun sudah
barang tentu dengan orang yang berkecimpung dalam
dunia itu pula. Bahkan lama-lama karena pengaruh
pergaulan, akhirnya Ngangrang Sewu tersesat dalam
kehidupan hitam. Ia mulai mengenal apa itu mencuri. Ia
mulai mengenal apa itu merampok. Ia mulai mengenal apa
itu memperkosa isteri orang. Malah perbuatan-perbuatan
itu merupakan suatu kebanggaan bagi Ngangrang Sewu.
Membunuh bukan barang baru. Darah adalah hal yang
biasa. Sebagai seorang adik, Cinde Wulung mencoba
menyadarkan kesesatan kakaknya. Ia mencegah supaya
yang hitam jangan menjadi semakin kelam. Namun tingkah
Ngangrang Sewu semakin menggila. Peringatan Cinde
Wulung tidak didengarnya. Atau bahkan ia membentak
atau marah-marah jika Cinde Wulung memperingatkan
perbuatannya. Dan puncak dari semua itu, puncak dari
kebrutalan Ngangrang Seru adalah masuknya anak itu
dalam anggota gerombolan Sawer Wulung yang biasa
mengganas, merampok dan memperkosa perempuan. Dan
karena kesaktian yang dimiliki oleh Ngangrang Sewu,
dalam waktu yang amat singkat anak itu berhasil merebut
kepemimpinan gerombolan Sawer Wulung.
Di sinilah mulainya seorang Ngangrang Sewu
mengganggap dirinya sebagai seorang raja. Siapapun
harus tunduk kepadanya. Termasuk Cinde Wulung adiknya
sendiri. Apa yang dikatakannya merupakan hukum yang
tak dapat dibantah oleh siapapun.224
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Cinde Wulungpun merasakan akan sifat kakaknya yang
bersimaharaja itu. Suatu ketika seorang anak buah
Ngangrang Sewu, Gemak Ijo namanya, mencintai Cinde
Wulung. Entah sebab apa, mungkin Ngangrang Sewu
senang pada Gemak Ijo. Ngangrang Sewu memaksa Cinde
Wulung untuk menerima pinangan Gemak Ijo. Cinde
Wulung tak dapat berbuat lain. Ia menerima perkawinan
itu. Akan tetapi pada suatu hari terjadi pertengkaran mulut
antara Gemak Ijo dan Cinde Wulung. Pertengkaran itu
diakhiri dengan perkelahian senjata. Ternyata kesaktian
Gemak Ijo jauh berada di bawah Cinde Wulung. Sehingga
kemudian tewaslah Gemak Ijo di ujung pedang Cinde
Wulung.
Beberapa saat kemudian setelah merasa dirinya
menjadi semakin kuat, kegilaan Ngangrang Sewu kian
menjadi. Ia mempunyai suatu cita-cita untuk
menumbangkan pemerintahan Sultan Hadiwijaya di
Pajang. Dalam pada itu terbentuklah suatu berita bahwa
bupati Mataram, Pangeran Loring Pasar akan
memberontak Mataram. Sebagai suatu siasat, Sawer
Wulung mencoba menghubungi Mataram. Ini hanyalah
suatu kedok belaka. Terhadap rencana gila ini dengan terus
terang Cinde Wulung menentangnya. Rupanya sekali ini
Ngangrang Sewu tak dapat menyabarkan diri lagi.
Ngangrang Sewu menangkap Cinde Wulung dan
menyiksanya. Dan menyekapnya dalam goa itu. Untuk
menjaga segala kemungkinan bisa lolos. Ngangrang Sewu
telah melumpuhkan Cinde Wulung dengan jalan meracuni.225
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Biadab!" desis Jaka Pandan kemudian setelah Cinde
Wulung mengakhiri ceritanya.
"Jadi...," Jaka Pandan melanjutkan lagi, "jika demikian
berita akan memberontaknya Raden Sutawijaya itu bukan
hanya sekedar kabar angin belaka?"
"Ya." sahut Cinde Wulung.
"Gila!" geram Jaka Pandan sambil mengepalkan
tinjunya. "Pajang benar-benar terancam oleh bahaya
kehancuran."
Hening.
Jaka Pandan tergelimang dalam kobaran perasaannya
atas ceritera Cinde Wulung itu. Betapapun Jaka Pandan
adalah seorang prajurit Pajang. Hanya karena keadaan,
anak itu harus melepaskan kedudukannya sebagai seorang
prajurit. Namun bagaimanapun juga ia masih merasa
tanggung jawab yang besar terhadap Pajang. Ia tidak rela
apabila di tanah tercinta ini menjadi kancah manusia-
manusia biadab yang diperbudak oleh nafsu keangkara-
murkaan. Apalah jadinya apabila Pajang nanti dikuasai oleh
orang macam Ngangrang Sewu.
Darah Jaka Pandan menggelegak naik ke kepalanya.
Dan darah itu dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap.
Namun kepada siapa kemarahan itu ditumpahkannya?
Kepada Ngangrang Sewu? Ya. Kepada Ngangrang Sewu
orang yang telah menawan dirinya dan dalam usaha
mengadakan persiapan untuk memberontak Pajang. Ia
ingat Ki Ragajaya. Bagaimana dengan Ki Ragajaya?226
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Terhadap orang itu Jaka Pandan punya perhitungan
tersendiri.
Di samping sakit hatinya kepada orang tua itu, pun
ternyata Ki Ragajaya mempunyai suatu maksud yang gila
pula. Melebihi kegilaan Ngangrang Sewu. Inilah sebabnya
maka tumenggung tua itu berhubungan dengan
gerombolan Sawer Wulung.
Atas persoalan ini kemudian Jaka Pandan mempunyai
dugaan-dugaan atas diri Ki Ragajaya yang mungkin tidak
jauh menyimpang dengan apa yang diduga oleh orang
yang menamakan dirinya Giring. Oleh karena itu, maka
sekarang benak Jaka Pandan sedikit terbuka atas
perbuatan-perbuatan orang itu yang selama ini selalu
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di benaknya.
Sementara itu Cinde Wulungpun menundukkan
kepalanya terbenam dalam pikirannya sendiri. Tapi apa
yang melilit liku-liku benak itu tidak seorangpun yang tahu.
Hanya Cinde Wulung sendiri yang tahu apa yang sedang
dipikirkannya.
Yang berkata kemudian adalah Cinde Wulung,
"Nasibmu benar-benar baik, Jaka Pandan."
"Hm?"
"Bukan suatu kebiasaan bagi Ngangrang Sewu
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membiarkan hidup bagi orang yang telah menghina
gerombolan Sawer Wulung."227
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Benarkah demikian?"
"Ya. Dan tahukah kau mengapa?"
"Tidak."
Cinde Wulung menelan ludah setelah sekian saat
batang tenggorokan menjadi kering sebab ia telah
menceritakan tentang dirinya pada Jaka Pandan. Kemudian
katanya, "Kau hebat. Agaknya kakang Ngangrang Sewu
tertarik akan kedahsyatanmu. Aku dapat menduga bahwa
kakang Ngangrang Sewu menghendaki engkau menjadi
anak buahnya."
"Mengapa?"
"Engkau tolol. Bukankah Ngangrang Sewu mempunyai
niat menggempur Pajang? Untuk itu tentu saja Sawer
Wulung membutuhkan seorang senopati yang cukup
tangguh seperti engkau."
"Bagaimana kau tahu?"
"Ngangrang Sewu sendiri berkata kepadaku. Bahwa
seandainya Sawer Wulung mempunyai sepuluh orang
seperti engkau, agaknya bukan suatu pekerjaan yang
terlalu sulit untuk menggempur Pajang. Dan dengan
bangga ia berkata kepadaku bahwa dalam waktu yang
tidak akan lama lagi ia akan menduduki singgasana merajai
tanah Jawa ini, Dan ia sekali lagi membujukku untuk mau
bekerja sama dengannya. Tetapi aku tetap menolak."
Sekali Jaka Pandan mendengus pendek.228
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Lalu apa yang dikehendakinya dariku?" Ia bertanya.
"Kakang Ngangrang Sewu akan menarikmu menjadi
anak buahnya."
"Huh! Apakah dia tidak menyadari bahwa kehendaknya
itu tak akan terjadi?"
"Dia mempunyai cara untuk memaksamu."
"Adakah kau tahu cara itu?"
(Bersambung jilid ke-4)229
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono230
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"TERLALU BANYAK CARA yang dapat ditempuhnya
untuk memaksamu yang tidak mungkin dapat dilakukan
oleh orang lain. Di antaranya ialah menyiksamu. Bila telah
benar-benar menderita barulah ia menghentikan siksaan-
nya. Pada saat itulah ia akan menekan dirimu untuk
menjadi anak buahnya."
"Aku akan melawannya."
"Tidak mungkin. Cambuk Kilat Dahono terlalu
berbahaya bagimu."
"He? Apakah engkau sedang menakut-nakutiku?"
"Tidak. Aku berkata sebenarnya."
Kembali kesunyian mencekam suasana dalam gua itu.
Kesunyian yang mati. Tak ada suara sedikitpun yang
terdengar kecuali dua nafas yang berhembus.
Namun Jaka Pandan sadar bahwa suatu kemungkinan,
yang mungkin saja bisa terjadi, bahwa nafas-nafas inipun
akhirnya akan berhenti juga. Pasti. Cepat ataupun lambat.
Dan goa itu akan benar-benar jadi sunyi yang mati. Tanpa
disadarinya tengkuk Jaka Pandan meremang membayang-
kan kematian yang bakal menimpanya. Kematian yang
akan datang secara perlahan-lahan. Kematian yang231
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
merupakan siksaan dari Ngangrang Sewu serta anak
buahnya, kematian karena kelaparan.
Ya, suatu kematian yang mengerikan. Namun hati Jaka
Pandan menjadi sedikit terhibur manakala diingatnya
bahwa di dalam goa itu ada pula orang lain selain dirinya
yang bernasib sama. Dengan demikian apa yang akan
dideritanya akan dan pasti diderita pula oleh orang itu
yang justru adik Ngangrang Sewu sendiri. Rasanya setiap
penderitaan akan lebih ringan bila ada orang lain yang ikut
merasakannya daripada penderitaan itu harus dirasakan
seorang diri.
Sementara itu tangan Cinde Wulung sudah tidak
memegangnya lagi. Meskipun demikian Jaka Pandan tidak
akan berusaha meninggalkannya. Bahkan anak itu berfikir
akan berada di tempat itu. Ia merasa senasib dengan Cinde
Wulung. Di samping itu ia mempunyai suatu kepentingan
dengan adik Ngangrang Sewu itu. Mungkin dari padanya
Jaka Pandan dapat mengorek keterangan-keterangan yang
berguna tentang gerombolan Sawer Wulung.
Tiba-tiba keheningan itu menjadi pudar manakala Jaka
Pandan mendengar desah nafas Cinde Wulung yang
bergetar serta suara desisan yang keluar dari mulut
perempuan itu seperti layaknya seorang yang kedinginan.
"Cinde Wulung!" teriak Jaka Pandan gugup. Tanpa
disadarinya kedua belah tangannya memegang pundak
perempuan itu. Dan menggoncang-goncangkannya.232
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Sekali lagi Jaka Pandan memanggil nama Cinde
Wulung.
"Jaka Pandan...," terdengar suara Cinde Wulung parau.
Buk! Akhirnya tubuh Cinde Wulung jatuh terlentang.
Jaka Pandan tidak sempat mencegahnya. Kendati
tangannya memegang kedua bahu perempuan itu. Tapi ia
tidak menyadari bila pegangannya itu terlepas persis ketika
Cinde Wulung tak sadarkan diri. Cepat tangannya meraba
dada Cinde Wulung. Jaka Pandan sudah lupa bila dada
yang ia raba itu adalah dada seorang perempuan. Jaka
Pandan sudah lupa bahwa perempuan itu telanjang. Jaka
Pandan sudah lupa semuanya. Dan jantung dalam dada itu
masih berdetak. Lalu Jaka Pandan meraba untuk
menemukan pergelangan tangan. Dan nadinya masih
berdenyut. Jadi Cinde Wulung masih hidup. Namun kenapa
perempuan itu secara mendadak tak sadarkan diri?
Lalu Jaka Pandan meraba pada beberapa bagian tubuh
Cinde Wulung untuk meyakinkan pendapatnya bahwa
perempuan itu benar-benar masih hidup. Dan Jaka Pandan
merasa pasti pada dugaannya, bahwa perempuan itu masih
hidup. Nafasnya masih berjalan dengan baik. Namun
kemudian Jaka Pandan menjadi terperanjat bukan main
manakala ia merasakan panas badan Cinde Wulung
menurun dengan tiba-tiba. Akhirnya menjadi sangat
dingin. Dan sesaat kemudian berubah lagi menjadi sangat
panas. Demikianlah tubuh Cinde Wulung itu berubah-ubah
panas-dingin tak menentu. Akhirnya tahulah Jaka Pandan
bahwa dalam tubuh Cinde Wulung itu mengeram racun233
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
yang amat ganas yang telah menyebar ke seluruh bagian
tubuh.
Keringat dingin membasahi punggung Jaka Pandan.
Anak itu sendiri tidak apa-apa sebenarnya. Lagi pula
antara dia dan Cinde Wulung itu sama sekali tak ada
hubungan apapun. Akan tetapi melihat keadaan Cinde
Wulung itu Jaka Pandan sangat prihatin. Dan keprihatinan
itu semata-mata dilandasi oleh perasaan kasihan. Rasa
kasihan terhadap seorang perempuan yang menderita
akibat kegilaan dan kebrutalan kakaknya sendiri. Dan
keprihatinan itu tidak dilandasi oleh perasaan yang lain.
Beberapa saat kemudian Cinde Wulung menggeliat
perlahan. Dan mengeluh lirih.
"Cinde Wulung..." bisik Jaka Pandan.
"Jaka Pandan..." Cinde Wulung itupun menyebut nama
Jaka Pandan dengan suara rawan.
"Apa yang terjadi atas dirimu, Cinde Wulung?"
Sekali lagi Cinde Wulung mengeluh perlahan. Nafasnya
tersendat. Seolah-olah sesuatu menyumbat batang
tenggorokanannya. Baru setelah menghela nafas panjang
kesesakan itu menjadi sedikit longgar. Dan berkatalah
Cinde Wulung dengan suara parau dalam, "Jaka Pandan.
Racun yang mengeram di tubuhku kambuh lagi."
"Oh! Tak adakah jalan buat memunahkan racun itu?"234
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Ada. Tapi...."
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi apa?"
"Ah! Aku takut untuk menyebutkannya, Jaka Pandan."
"Katakanlah jalan itu. Mungkin aku dapat membantu-
mu."
"Terima kasih, Jaka Pandan. Kau baik sekali. Jika saja....."
"Katakan..."
"Ah! Bagaimana aku harus mengatakan?"
"Katakanlah apa adanya."
Cinde Wulung tidak segera menjawab. Dihelanya sekali
lagi nafas dalam-dalam.
"Jaka Pandan," Akhirnya perempuan itu memaksa diri
untuk berkata, "Racun yang mengeram dalam tubuhku ini
sangat ganas dan telah sedemikian menyebar ke seluruh
bagian tubuhku. Hampir aku putus asa. Aku menduga
bahwa pada akhirnya aku harus menderita penyakit
lumpuh oleh racun yang dimasukkan oleh kakakku sendiri
ke tubuhku. Keputus-asaanku suatu saat menjadi pudar
manakala pagi tadi kakang Ngangrang Sewu masuk ke goa
ini dengan memapahmu dalam keadaan pingsan. Aku
melonjak girang. Aku tahu bahwa racun yang mengeram
dalam tubuhku ini bisa sembuh lantaran bantuan seorang
pemuda yang masih suci. Dan kupikir bahwa engkau
adalah seorang pemuda yang masih suci. Namun, oh, aku235
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
tak sampai hati untuk minta tolong kepadamu Jaka
Pandan."
"Mengapa?"
"Aku takut. Sebab cara untuk memunahkan racun ini
mungkin sangat menjijikkan bagimu dan bagi orang lain."
"Katakanlah. Jika aku nanti bisa melakukannya, pasti
aku akan menolongmu."
"Benarkah demikian?"
"Kau menyangsikan?"
Kemudian dengan suara lirih Cinde Wulung itu berkata.
Sangat lirih. Dan sedemikian lirihnya sehingga yang
mendengar hanyalah Jaka Pandan. Tidak orang lain. Tidak
dinding batu di seputar goa itu. Tidak semua. Namun
demikian, apa yang dikatakan oleh Cinde Wulung itu terasa
bagai ledakan sebuah petir yang sangat dahsyat. Hampir
saja anak itu terlonjak dari tempatnya. Tubuhnya gemetar.
Ditatapnya wajah Cinde Wulung dalam kegelapan. Tetapi
yang nampak olehnya cuma warna hitam yang pekat.
Secara manusia normal, memang apa yang dikatakan
oleh Cinde Wulung itu merupakan suatu hal yang
menjijikkan. Akan tetapi di dasar hatinya, hati seorang anak
yang welas asih, Jaka membuat perhltungan lain. Ia
menganggap bahwa hal itu tidak terlalu berlebih-lebihan.
Ia masih sanggup melakukan sebatas apa yang dikatakan
oleh Cinde Wulung. Tidak leblh. Artinya tidak menyimpang
dari apa yang telah disebutkannya. Jaka Pandan telah236
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
berusaha menghalau pikiran yang bukan-bukan yang
bermunculan di benaknya. Namun terasa betapa sulitnya
menindih pergolakan batin yang kemudian merayap pula
di dadanya. Tidak terlalu aneh. Dalam usia yang sekian itu
memang penghayatan Jaka Pandan terhadap keseluruhan
jalur-jalur kehidupan masih terlalu dangkal. Sehingga
dengan demikian tidaklah begitu mengherankan apabila
segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dengan mudah
menimbulkan rangsangan-rangsangan. Dan rangsangan
yang mencekam anak-anak seusia Jaka Pandan kadang-
kadang justru malah berlebih-lebihan.
Karena itulah maka anak itu menemui kesulitan untuk
menghentakkan pergolakan batinnya. Sekali Jaka Pandan
menghela nafas untuk mengusir kesesakan yang menyekat
rongga dadanya. Seakan-akan pergolakan batin itulah yang
telah menyesakkan dada Jaka Pandan.
Dan akhirnya kesepian dipecahkan oleh suara Cinde
Wulung, "Jaka Pandan..."
Tak terdengar Jawaban Jaka Pandan.
Dan Cinde Wulung berkata lagi setengah berbisik,
"Alangkah besarnya rasa terima kasihku tak mungkin
kulukiskan seandainya engkau bersedia menolongku, Jaka
Pandan. Namun aku tahu bahwa apa yang kuharapkan itu
tidak akan pernah menjadi suatu kenyataan."
Kembali tak terdengar Jaka Pandan menyahut. Anak itu
termenung dalam. Ia maslh berusaha menyelesaikan
pergumulan yang berlangsung di kepala serta dadanya.237
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Tiba-tiba sesaat kemudian Jaka Pandan mendesis, "Aku
akan menolongmu."
"He?" Suara Cinde Wulung tersedat. Perempuan itu
mencoba bangkit. Tetapi ia berguling lagi dengan sebuah
keluhan panjang. Tubuhnya terlalu lemah untuk bisa
bangkit.
"Kau dengar Cinde Wulung?" bertanya Jaka Pandan,
"Aku akan menolongmu."
Dan di ujung kata-katanya, anak itu segera melepas
semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Lalu ia meraba
tubuh Cinde Wulung. Lalu ia menindih Cinde Wulung serta
menggigit bibir perempuan itu untuk menyedot racun
yang mengeram dalam tubuhnya melalui mulut. Pada
pertama kali memang Jaka Pandan harus menempuh
perjuangan yang sangat hebat. Badannya menggigil panas-
dingin silih berganti. Serta keringat-keringat dingin
membasahi seluruh tubuhnya. Namun dengan kekerasan
hati akhirnya anak itu berhasil menindih pergolakan
"babahan hawa sanga", sehingga kemudian pikiran Jaka
Pandan menjadi hampa. Hanya satu yang masih ada. Ialah
menyelamatkan jiwa seseorang dari penderitaan akibat
racun.
Demikianlah, di dalam goa itu Jaka Pandan mencoba
menolong Cinde Wulung memunahkan pengaruh racun
yang menyerang urat-urat nadi perempuan itu. Suatu
pengorbanan yang tulus. Pengorbanan tanpa pamrih.
Sungguhpun cara yang harus dilakukan oleh Jaka Pandan
sangat tidak lumrah. Di mana ia harus menyedot racun di238
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
tubuh Cinde Wulung dengan mulutnya serta dengan
menyatukan tubuhnya dengan tubuh Cinde Wulung dari
ujung kaki hingga ujung kepalanya. Sepintas lintas
perbuatan itu seolah-olah perbuatan maksiat. Dan dalam
keadaan yang wajar, agaknya Jaka Pandanpun sulit untuk
mau melakukannya. Namun demi perikemanusiaan,
kendati dengan hati yang sangat berat, toh akhirnya Jaka
Pandan mau juga melakukannya. Dan memang semula
pada pikiran anak itu telah terkilas semacam kata hati. Toh
dalam gua ini sangat sunyi. Tiada orang lain. Sehingga aoa
yang dilakukannya tak akan mungkin dilihat oleh orang
lain. Dan jika seandainya dengan tiba tiba seseorang
memasuki goa ini sewaktu ia sedang menolong Cinde
Wulung, kegelapan suasana akan menolongnya untuk
menghalangi penglihatan orang itu.
Beberapa saat kemudian, dan entah berapa saat
lamanya telah berlangsung dengan pasti, tiba-tiba Jaka
Pandan merasakan perutnya mual ingin muntah. Kepalanya
pening dan semakin pening. Dan dari sedikit-demi sedikit
kesadarannya menjadi kabur. Akhirnya tubuh Jaka Pandan
itupun terguling terhempas dari tubuh Cinde Wulung.
Lemas. Huak! Darah kental berwarna hitam muntah dari
mulutnya. Lalu kesadarannya kian kabur. Kabur. Semakin
kabur. Lalu Jaka Pandan tak tahu apa yang kemudian
terjadi di sekelilingnya.
Ketika kemudian membuka matanya, Jaka Pandan
merasakan seluruh bayu-bayu nadinya sangat lemas tak
dapat untuk digerakkan. Ia mencoba bangkit. Namun .... ia
tak mampu. Dicobanya untuk memejamkan matanya239
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
menghimpun kekuatan. Tetapi tubuhnya masih sangat
lemah.
Sementara itu cahaya yang masuk menerobos lewat
langit-langit goa sudah tidak nampak lagi. Suatu tanda
bahwa matahati di luar goapun telah pula lenyap masuk ke
dasar bumi.
Dan perlahan-lahan Jaka Pandan mencoba untuk
bangkit lagi. Terasa tubuhnya menjadi dingin. Dan ini
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyadarkan Jaka Pandan dan bermaksud memungut
pakaiannya. Namun sekonyong-konyong suara Cinde
Wulung telah menghentikan maksudnya.
"Jaka Pandan," kata Cinde Wulung sangat dalam.
"Jangan tergesa-gesa mengenakan pakaianmu."
Jaka Pandan tertegun.
Selagi anak itu berfikir tentang kata-kata Cinde
Wulung, sekali lagi terdengar suara perempuan itu,
"Tubuhmu masih terlalu lemah, Jaka Pandan. Aturlah
tata nafasmu. Aku akan membantu memulihkan tenagamu
dengan dua butir obat pulungan. Terimalah."
Jaka Pandan mengangsurkan tangannya. Setelah
sejenak menggapai-gapai, maka Jaka Pandan pun
menyentuh tangan Cinde Wulung yang memberikan dua
butir obat pulungan sebesar kacang hijau yang segera pula
ditelannya tatkala didengarnya Cinde Wulung menyuruh
untuk menelan butiran-butiran pulungan kecil. Dan sejenak
kemudian Jaka Pandan telah tenggelam dalam semedinya240
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
untuk memulihkan tenaganya yang seakan-akan hilang
sesaat yang lalu. Karenanya sedikit demi sedikit dan
perlahan-lahan hawa panas yang nyaman merayap ke
seluruh tubuhnya. Dan ketika Jaka Pandan membuka
matanya, terasa tubuhnya amat ringan. Kekuatannya pulih
kembali. Bahkan seklah-olah ia memperoleh kekuatan baru.
Badannya sangat ringan. Seringan segumpal kapas
sehingga seakan-akan ia mampu bergerak lincah selincah
burung Sikatan. Aneh. Sedemikian hebatnyakah pengaruh
kedua obat pulungan yang diberikan oleh Cinde Wulung?
Sekali ini Jaka Pandan meloncat bangun. Diambilnya
pakaiannya. Dan dengan cepat dikenakannya. Tak
didengarnya suara Cinde Wulung. Mungkin perempuan itu
tengah melakukan semedinya. Nafasnya terdengar
perlahan dan teratur.
Namun ketika Jaka Pandan hendak mengayunkan
langkahnya tiba-tiba terdengar Cinde wulung memanggil
namanya.
"Bagaimana keadaanmu, Cinde Wulung?" bertanya Jaka
Pandan.
"Atas pertolonganmu racun yang mengeram dalam
tubuhku telah punah, tinggal aku menyembuhkan noda-
noda akibat menjalarnya racun itu."
Kembali mereka terdiam. Keduanya sibuk oleh
fikirannya masing-masing. Akan tetapi kemudian
keheningan itu segera pula dipecahkan oleh suara Cinde
Wulung, "Engkau baik sekali, Jaka Pandan. Budimu tak241
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
dapat kubayangkan seberapa besarnya. Dan aku tidak tahu
dengan apa aku harus membalasnya."
"Mengapa engkau berfikir demikian, Cinde Wulung?"
bertanya Jaka Pandan, "Aku tidak merasa menahan hutang
piutang antara kau dan aku. Oleh karena itu engkau tidak
harus berfikir bagaimana cara pengembaliannya."
"Namun betapapun engkau telah menyelamatkan
kehidupanku."
"Lumrah," potong Jaka Pandan, "Itu hal yang lumrah,
Cinde Wulung. Kita umat manusia dilahirkan ke bumi ini
dengan landasan hukum kasih. Pertama hukum kasih
antara Hyang Maha Kuasa sebagai Sumber Hidup terhadap
umat ciptaanNya. Yang kedua adalah hukum kasih antara
ayah dan ibu kita sebagai lantaran datangnya benih-benih
baru ke atas bumi. Sehingga dengan demikian sudah
sewajarnya, bahkan merupakan suatu keharusan, bahwa
dalam setiap kehidupan manusia harus senantiasa
mencerminkan hukum kasih itu. Hidup tolong menolong,
hidup dalam paguyuban memupuk hukum cinta kasih atas
sesamanya."
Kata-kata Jaka Pandan itu bagai butiran-butiran embun
yang menetes ke lubuk hati Cinde Wulung dan meresap ke
lekukan lembah yang paling dalam.
Jika tidak mendengar sendiri mungkin Cinde Wulung
tidak akan percaya bahwa kata-kata itu diucapkan oleh
seorang anak muda, semuda Jaka Pandan. Karena itu
timbulah suatu keyakinan dalam hati perempuan itu bahwa242
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Jaka Pandan adalah seorang anak muda yang mempunyai
banyak kelebihan dari anak yang lain.
Dan Jaka Pandan melanjutkan, "Apa yang telah
kulakukan keluar dari dasar hati yang bersih. Tanpa
mengharapkan imbalan. Tanpa pamrih. Ini kukatakan
bukan karena aku ingin kau sebut seorang anak yang
berbudi luhur. Bukan pula terdorong oleh nafsu
kesombongan yang ingin menonjolkan diri. Sama sekali
bukan. Ini kukatakan semata-mata supaya hatimu menjadi
sumeleh. Wening. Tidak berfikir tentang tetek-bengek yang
memang seharusnya tidak perlu kau pikirkan, Cinde
Wulung."
Dalam pada itu, Cinde Wulung menjadi semakin
trenyuh dalam hatinya. Apa yang baru saja didengarnya itu
seolah-olah diucapkan oleh seorang kakek yang telah
berusia lanjut dan telah banyak makan asam garamnya
kehidupan. Cinde Wulung mengakui sebenarnyalah bahwa
Jaka Pandan adalah seorang anak muda yang berbudi
luhur. Memberi kepada siapapun yang membutuhkan
tanpa mengharapkan balas jasa. Oleh karena itu hati Cinde
Wulung menjadi tersentuh pula. Bukankah dalam saat ini
Jaka Pandan sedang mengalami kesulitan? Jaka Pandan
sedang ada dalam cengkeraman Ngangrang Sewu? Apakah
ia tak dapat menolong Jaka Pandan keluar dari kesulitan itu
sedangkan Jaka Pandan telah rela hati mengeluarkannya
dari lingkaran maut? Inilah saat baginya untuk membuat
suatu darma bakti. Memberi kepada yang sebenarnya
membutuhkan. Dan ini tidak berarti bahwa Cinde Wulung
melakukan balas jasa atas pengorbanan-pengorbanan Jaka243
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Pandan yang telah diterimanya. Seperti apa yang dikatakan
oleh Jaka Pandan bahwa manusia hidup harus senantiasa
dilandasi oleh hukum tolong menolong. Dengan dasar
itulah Cinde Wulung akan berbuat.
Maka kemudian berkatalah perempuan itu, "Jaka
Pandan. Terimalah akik Naga Kuning ini sebagai pegangan
untuk mempertebal dirimu."
"He?"
Jaka Pandan terbelalak mendengar kata-kata
perempuan itu. Naga Kuning? Benda itu akan diberikan
kepadanya. Bukankah benda itu merupakan pusaka warisan
dari ayah Cinde Wulung yang tentu saja merupakan benda
yang berguna. Namun mengapa perempuan itu mau
memberikan kepadanya? Jaka Pandan tak tahu mengapa.
Dan yang berkata kemudian adalah Cinde Wulung,
"Benda ini tidak terlalu banyak berguna bagiku. Sebaliknya
Naga Kuning akan mempunyai pengaruh besar bagimu
sebagai seorang senopati perang. Jika jiwamu dapat luluh
dengan akik ini, maka tubuhmu akan kalis dari segala
macam racun yang menyerangmu. Baik racun itu lewat
melalui mulutmu atau lubung pemafasmu atau melalui
kulit sekalipun. Terimalah Jaka Pandan. Jika kau sungkan
menerimanya dan menganggap pemberian ini sebagai
balas jasa, biarlah akik ini melingkar di jarimu untuk
sementara. Engkau akan berhadapan dengan Ngangrang
Sewu beserta cambuk Kilat Dahononya yang beracun itu.244
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Tak sampai hati Jaka Pandan untuk menolak pemberian
Cinde Wulung.
Lalu, "Sekarang aku akan keluar dari goa laknat ini
untuk menemui Ngangrang Sewu. Adakah engkau
mengetahui jalan untuk keluar?"
"Berdirilah." sahut Cinde Wulung, "Berjalanlah engkau
menuju ujung goa yang ada di sebelah kirimu. Apabila
engkau sampai di ujung sana maka engkau akan
menjumpai sebuah tangga. Dakilah dan doronglah langit-
langit goa itu. Engkau akan keluar dari tempat ini. Namun
hati-hatilah. Di mulut goa itu terdapat beberapa ekor
binatang buas yang menjaganya.
"Dan kau sendiri?"
"Aku tetap disini."
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak. Aku akan mengajakmu keluar setelah aku
berhasil menemui Ngangrang Sewu."
Kemudian Jaka Pandanpun segera memutar tubuh
mengayunkan langkah mengikuti petunjuk Cinde Wulung.
Benarlah. Setelah ia melakukan semua yang dikatakan oleh
perempuan itu, ia benar-benar bisa keluar dari gua dalam
tanah itu.
Dan sekarang Jaka Pandan berada di lamping sebuah
bukit.
Matahari di timur menggantung di langit sepenggalah
tingginya. Jaka Pandan telah menginjak awal suatu pagi245
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
lagi. Jika demikian, telah sehari semalam anak itu tersekap
dalam goa bersama-sama dengan Cinde Wulung. Dan
sekarang Jaka Pandan boleh menghela nafas lega sebab ia
telah memperoleh kemerdekaannya kembali. Sebab ia
telah bebas dari sekapan orang-orang Sawer Wulung.
Tetapi sebelum Jaka Pandan tahu apa yang harus
segera dilakukan, sekonyong-konyong telinganya yang
melebihi ketajaman pendengaran orang biasa, mendengar
suara berdetak di semak-semak tiga langkah di
sampingnya. Suara ranting kering patah. Cepat naluri Jaka
Pandan bekerja. Jelas ranting itu patah oleh tindakan kaki
yang lembut. Meskipun belum tahu dengan jelas, namun
Jaka Pandan telah merasa pasti. Oleh karena itu segera
pula kemudian anak itu mempersiapkan diri untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang dapat saja terjadi.
Ketika Jaka Pandan berpaling ..... astaga! Seekor macam
loreng segede gajah mengais-ngaiskan taringnya, lidahnya
terjulur merah keluar membelai moncongnya. Serta
matanya bersinar berkilat-kilat menatap Jaka Pandan.
Binatang itu merendahkan bagian tubuhnya yang muka
dengan kesiap-siagaan untuk menerkam mangsanya. Yang
lebih menggetarkan dada Jaka Pandan adalah makhluk lain
yang berdiri di samping binatang loreng itu. Seekor orang
hutan yang sangat besar. Tubuhnya setinggi Jaka Pandan.
Binatang itupun ada dalam kesiagaan bertempur pula.
Seperti tingkah seorang pendekar yang akan memulai
suatu pertempuran. Kakinya sedikit merenggang sehingga
nampak kedudukan badan binatang itu amat kokoh.246
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Sepasang tangannya tergantung tegang dengan jari-jari
siap untuk menerkam bersama kuku-kukunya yang
panjang hitam. Mulutnya menyeringai menampilkan
deretan giginya yang kecil-kecil meruncing putih. Dan
bulatan bola matanya yang ada di kelopak yang cekung itu
melotot lebar seakan-akan binatang itu mau menelan
bulat-bulat tubuh Jaka Pandan ke dalam perutnya.
Jaka Pandan menggigit bibirnya. Ternyata apa yang
dikatakan oleh Cinde Wulung benar-benar suatu
kenyataan. Bahwa di mulut goa ini dijaga oleh binatang-
binatang buas. Kenyataan itu sekarang dihayati oleh Jaka
Pandan.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah auman dahsyat.
Di lain kejap Jaka Pandan melihat harimau belang itu telah
meloncat menerkamnya. Betapa ngerinya kuku-kuku
sepasang cakar kakinya mengembang. Alangkah perihnya
bila kuku-kuku itu terbenam ke dalam tubuhnya. Oleh
karena itu maka Jaka Pandanpun tak berani berayal lagi.
Sebat luar biasa anak itu mencabut pedangnya. Secepat itu
pula ia merendahkan tubuhnya. Tepat di saat binatang
loreng itu menyambar di atas kepala, Jaka Pandan
menggerakkan pedang menusuk perut binatang itu. Akan
tetapi suatu keanehan terjadi atas binatang belang itu.
Seolah-olah mengerti ilmu tata bela diri saja. Begitu
terkamannya gagal dan mellhat adanya suatu bahaya maut
yang mengancam, harimau itu menggeliatkan tubuhnya.
Sehingga dengan demikian ia berhasil menghindarkan
perutnya dari tusukkan pedang lawan. Namun ternyata
binatang itu kurang memperhatikan keseimbangan247
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
tubuhnya. Sehingga tak dapat menguasai pendaratan
tubuhnya. Krak...! Bum!! Sebuah pohon sebesar paha orang
dewasa terbentur tubuhnya dan patah seketika itu juga.
Betapa dahsyatnya tenaga binatang loreng itu. Seolah-olah
tak merasakan suatu apapun, binatang itu segera bangkit
kembali. Matanya berapi-api. Ekornya bergerak-gerak.
Jaka Pandan sadar bahwa harimau itu bukanlah
sembarang binatang saja. Melainkan seekor binatang yang
telah digembleng untuk melakukan tugas-tugas tertentu.
Sehingga dengan demikian binatang itu mempunyai naluri
reflek untuk setiap peristiwa dalam tugasnya.
Sekali Jaka Pandan menghela nafas dalam. Pedangnya
berkilat tegak lurus di muka dada, menanti serangan
binatang loreng itu. Sempat pula Jaka Pandan memandang
orang hutan itu dengan sudut matanya. Nampak binatang
itu berdiri tegang seolah-olah setengah mengikuti jalan
pertempuran yang terjadi antara Jaka Pandan dan harimau
loreng.
Apa yang dinantikan oleh Jaka Pandan segera pula
terjadi. Dengan diiringi sebuah geraman panjang binatang
itu kembali menerkam. Tetapi Jaka Pandan mampu
bergerak lebih cepat. Wut! Anak itu mengisar diri ke
samping dengan sebuah lompatan kecil. Bersamaan
dengan itu pedangnya terayun deras memotong
punggung lawan. Sekali ini binatang itu agaknya tak dapat
menghindarkan diri lagi dari kematian yang akan
mencekamnya. Namun suatu keanehan terjadi kembali.
Krak! Pedang Jaka Pandan tepat mengenai sasarannya.248
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Tetapi anehnya binatang itu sedikitpun tidak luka. Hanya
sedikit bulunya terbabat.
Jaka Pandan memekik kecil. Terkejut. la tidak
menyangka sama sekali bahwa tubuh binatang itu kebal
terhadap senjata. Bukan itu saja. Bahkan tangan Jaka
Pandan sedikit tergetar tatkala pedangnya membentur
tulang punggung lawan.
Namun demikian, Jaka Pandan tidak menjadi putus asa.
Ia berfikir. Bahwa untuk menghadapi binatang yang kebal
terhadap senjata tajam itu, pedangnya tidak akan banyak
berguna. Oleh karena itu Jaka Pandanpun lalu
menyarungkan senjatanya. Sekejap kemudian anak itu
telah berdiri kaku bagai sebuah tugu. Badannya tegak.
Hanya sedikit kakinya terbuka. Tangan kirinya terjulur lurus
ke depan sebatas bahu. Sedang tangan kanannya ditekuk
ke atas, sisi telapak tangannya tepat di muka hidung.
Wajahnya menegang. Urat-urat nadinyapun menegang
pula. Itulah sikap aji Gora Mandala!
Ya. Memang Jaka Pandan telah menyiapkan aji
pamungkasnya. Anak itu tak dapat berbuat lain kecuali
melawan musuhnya dengan Goramandala. Ia menghendaki
agar pertempuran yang sekarang dihadapinya tidak
memakan waktu terlalu lama. Sebab setiap saat di tempat
itu dapat menimbulkan berbagai-bagai kemungkinan.
Agaknya harimau itupun dapat mengetahui apabila
Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Kisah Si Rase Terbang Soat San Hui Hauw
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama