Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono Bagian 4
lawannya telah berusaha untuk mengakhiri pertempuran.
Binatang itu menggeram dahsyat. Dan dengan garangaya
ia meloncat menerkam lawan. Namun bertepatan dengan249
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
saat itu Jaka Pandanpun telah meloncat pula memapaki
binatang itu dengan pukulannya. Sesaat dua lawan itu
melayang di udara. Dan sekejap kemudian terjadilah
sebuah ledakan dahsyat bagai guntur di musim ke
sembilan. Dua buah tenaga beradu. Akibatnya benar-benar
mengerikan. Harimau belang itu terlontar kembali
membentur sebuah pohon besar dan kepala yang terbelah.
Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun binatang itu
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sedang beberapa
langkah dari tempat itu Jaka Pandan berdiri menghimpun
kekuatannya kembali.
Sementara itu, si orang hutan yang menyaksikan akhir
dari pertempuran itu terperanjat bukan main. Mulutnya
mengeluarkan teriakan-teriakan aneh. Lalu binatang itupun
segara menerjang dengan pukulan sisi telapak tangan.
Duk!
Pukulan itu mengenai punggung Jaka Pandan. Akan
tetapi binatang itu malah terhuyung-huyung ke belakang
seakan-akan terdorong oleh sebuah kekuatan. Sebaliknya
Jaka Pandan hanya sedikit tergetar. Cepat anak itu
memutar tubuh. Dan sebelum si orang hutan itu berhasil
menguasai keseimbangan tubuhnya, Jaka Pandan telah
meloncat dengan melontarkan aji Goramandala.
Brak! Binatang malang itu mengalami nasib sama
dengan kawannya. Mati dengan kepala terbelah. Bum!
Tubuh yang berat itu roboh ke tanah. Tetapi Jaka Pandan
sendiri mengalami suatu penderitaan pula. Ia telah
mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Kepalanya pening. Dan pusing. Serasa bumi yang250
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
dipijaknya berputar-putar. Di pelupuk matanya Jaka
Pandan melihat garis-garis patah berwarna kuning.
Tubuhnya lemas.
Namun Jaka Pandan segera berhasil menguasai diri.
Buru-buru anak itu menyilangkan tangannya ke dada serta
memejamkan matanya menyusun kekuatannya kembali.
Dalam waktu yang tidak begitu lama Jaka Pandan telah
memperoleh kekuatannya kembali. Kendati beberapa
tulang persendiannya terasa agak kaku. Tetapi rasa kaku itu
segera pula hilang.
Jaka Pandan membuka matanya. Namun anak itu
terperanjat sekali. Di sekelilingnya telah berdiri belasan
orang anak buah Ngangrang Sewu dengan tampang-
tampang yang menyeramkan. Kiranya auman harimau serta
teriakan-teriakan orang hutan tadi yang mengundang
mereka ke tempat itu.
"Jangan bergerak!" hardik seorang di antara belasan
orang itu.
"Siapa kau?" teriak yang lain.
Sebagai jawabannya adalah sebuah pedang yang
berkilat-kilat di tangan Jaka Pandan.
Orang-orang itu sedikit terkejut. Serentak mereka
meraba senjatanya masing-masing. Dan mencabutnya
pula. Setepak demi setapak mereka berputaran
mengelilingi Jaka Pandan. Senjata mereka telah siap
terayun. Sedang Jaka Pandan berdiri tegak di tengah-251
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
tengah lingkaran orang-orang Sawer Wulung. Ia selalu
waspada dan siap melindungi dirinya.
"Yiaaaat...!" tring! tring! trang! "auh!"
Ketegangan itu segera dipecahkan oleh loncatan tiga
orang Sawer Wulung yang menggerakkan senjata mereka
menerjang Jaka Pandan. Namun anak itu telah
mempersiapkan diri atas segala kemungkinan yang telah
diduganya. Sekali ia menggerakkan senjata dalam tiga
arah. Tiga kali terdengar dencing suara beradu yang
mengakibatkan senjata tiga orang penyerang itu terpental
lepas dari pemiliknya. Seorang di antara mereka yang tidak
sempat meloncat ke belakang telah termakan oleh ujung
pedang Jaka Pandan tepat menusuk jantungnya. Orang itu
menjerit. Lalu roboh. Sementara darah merah keluar
memerahi tanah yang ditimpanya. Sekejap orang itu
bergerak-gerak melawan sekaratul maut. Tapi perlahan-
lahan gerakannya menjadi lemah. Dan akhirnya diam sama
sekali. Tubuhnya kaku. Dingin. Dan beku. Nyawa orang itu
telah keluar dari raganya menghadap ke peradilan yang
tertinggi untuk mempertanggung jawabkan perbuatan-
perbuatan yang telah dilakukan selama hidupnya.
Sejenak suasana jadi beku.
Dada orang-orang itu tergetar menyaksikan anak muda
yang mereka kurung itu. Hanya dalam waktu sekejap saja ia
telah berhasil mengurangi jumlah mereka. Lebih-lebih
kedua orang yang telah kehilangan senjatanya. Mereka
berdiri dengan lutut bergetaran. Peluh-peluh dingin keluar
dengan deras yang semakin dipercepat oleh panas sinar252
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
matahari yang semakin tinggi. Selangkah demi selangkah
kedua orang itu surut ke belakang. Lalu dengan muka
kecut mereka meninggalkan tempat itu.
Mereka menyadari bahwa tanpa senjata di tangan,
mereka tak akan berarti dalam suatu pertempuran. Hanya
akan menambah jumlah-jumlah korban kematian belaka.
Sebab orang-orang itu, dan kebanyakan anggota
gerombolan Sawer Wulung, senantiasa menggantungkan
hidup atas senjata. Pedang atau senjata yang lain tak
ubahnya sebagai nyawa mereka. Kehilangan senjata berarti
kehilangan nyawa. Atau paling tidak kehilangan harga diri
sebagai laki-laki dari anggota gerombolan Sawer Wulung.
Rupanya jalan fikiran demikian merupakan pangkal
kehidupan anak buah Ngangrang Sewu. Oleh karena itu
ketika kedua orang tadi menjadi semakin jauh, orang-
orang yang lain tidak mencegahnya. Bahkan wajah mereka
menampakkan mimik yang menghina. Namun terhadap
Jaka Pandan mereka tak dapat menyembunyikan perasaan
yang sebenarnya merayap dalam dada mereka. Gentar.
Walaupun setiap orang dari anak buah Ngangrang Sewu
itu berusaha menyembunyikan perubahan wajah mereka.
Meski betapapun juga, meski dalam dada orang-orang
itu telah dirayapi oleh perasaan takut, namun toh mereka
tetap berdiri di tempatnya masing-masing. Mereka tidak
akan lari. Mereka tidak berusaha menyelamatkan diri.
Tidak! Mereka tidak akan lari selama di tangan mereka
tergenggam sebuah senjata. Mereka lebih takut kepada
Ngangrang Sewu daripada maut. Sebab bagi anggota
Sawer Wulung, mati di tangan musuh merupakan suatu253
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
kehormatan daripada mati oleh tangan kawan sendiri atau
oleh pemimpinnya sendiri. Dan apabila mereka lari dari
sebuah pertempuran dengan senjata di tangan, Ngangrang
Sewu pasti akan menghukumnya. Dan orang-orang itu
tidak mau mati dengan begitu. Mati demikian adalah
kematian yang hina bagi gerombolan Sawer Wulung.
Oleh karena itu maka kemudian beberapa orang yang
mengepung Jaka Pandan itu segera pula menerjang.
Namun orang-orang itu tidak mau berbuat gegabah.
Mereka sadar bahwa anak muda itu adalah seorang anak
muda yang luar biasa. Pedang mereka bergerak mendatar.
Meskipun tidak terlalu cepat namun cukup berbahaya.
Akan tetapi ternyata orang-orang itu tidak menduga
bahwa Jaka Pandan akan merampas nyawanya dengan
begitu cepat. Mereka tidak tahu, dan orang-orang yang
masih berdiri di tempatnya pun juga tidak tahu, apa yang
dilakukan oleh Jaka Pandan. Mereka hanya melihat seleret
sinar yang melingkar melintasi mereka. Sejenak mereka
mematung. Dan melihat Jaka Pandan berdiri di tempatnya.
Akan tetapi pada saat itu mereka sadar apa yang terjadi.
Namun telah terlambat. Rasa perih menyengat di lambung
mereka. Ketika seorang di antara orang-orang yang
menyerang Jaka Pandan itu meraba lambungnya, ia
merasakan adanya suatu cairan hangat. Darah. Seketika itu
wajah orang itu berubah hebat sekali. Merah. Lalu
memutih. Matanya terbelalak. Kemudian roboh sambil
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepaskan pedangnya mendekap perut yang telah
menganga. Nafasnya tersengal-sengal bagai kerbau
disembelih. Untuk kemudian berhenti sama sekali. Satu254
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
persatu orang-orang yang lainpun berjatuhan pula sambil
mendekap perutnya masing-masing.
Demikianlah, dalam waktu yang cukup pendek Jaka
Pandan telah merobohkan lima orang. Dua di antaranya
mati. Dua lagi sedang menyeringai, menegang maut. Dan
seorang lagi pingsan kehabisan darah. Tapi tak lama lagi
orang-orang itupun akan menemui kematiannya pula.
Sedang di sekeliling Jaka Pandan kini masih tujuh orang
lagi. Dan tujuh orang itupun pada akhirnya akan
mengalami nasib yang sama apabila mereka tidak cepat-
cepat angkat kaki.
"Siapa lagi!" terdengar suara Jaka Pandan menghardik.
Tergetar dada setiap orang yang mendengar
pertanyaan Jaka Pandan itu. Ya, siapa lagi yang akan
mempercepat kematiannya? Betapapun juga nyali orang-
orang itu menjadi kecut pula membayangkan kematian
yang ada di ambang pintu. Kematian yang mengerikan.
Dan mereka sendiri telah melihat kematian-kematian yang
mengerikan itu menimpa kawan mereka. Dan kematian
itupun akan mencekam mereka pula. Apakah setelah
mereka tahu bahwa kematian itu akan menimpa tanpa
dapat mencegah sedikitpun, mereka lalu pasrah? Pasrah
pada takdir?
Pergolakan-pergolakan batin yang demikian itulah
yang sekarang terjadi dalam dada ketujuh orang itu. Ya,
apakah mereka akan menyerahkan kemauannya? Alangkah
sayangnya meninggalkan kehidupan ini. Walau bagaimana
pun juga orang-orang itu di dalam relung hatinya tetap255
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
mencintai kehidupan dirinya dari pada kematiannya. Dan
lalu mereka berfikir bahwa dua orang kawannya yang
terdahulu telah menentukan pilihannya untuk
menyelamatkan kehidupannya. Tetapi keadaan mereka
berada dalam posisi yang berlainan. Tapi, ah, apakah
mereka tidak bisa membuat siasat untuk memperoleh
kehidupan yang nyaris musnah ini? Misalnya membuang
senjata mereka? Seperti seolah-olah mereka telah
kehilangan senjata dalam pertempuran ini?
Dalam pada itu kembali terdengar Jaka Pandan berkata,
"Mengapa tak ada seseorangpun yang maju, hai? Apa
kalian masih menyayangi nyawa kalian? Jika demikian
mengapa kalian tidak cepat-cepat meninggalkan tempat
ini?"
Lari?
Sekali lagi pertanyaan itu terngiang di telinga orang-
orang itu. Bukankah mereka juga ingin melarikan diri?
Mengapa membuang kesempatan baik? Tidak. Mereka
tidak membuang kesempatan itu. Sebab orang-orang itu
segera membuang senjata mereka masing-masing. Lalu
tanpa menunggu perintah dari siapapun ketujuh orang itu
kemudian melarikan diri berserabutan.
Untuk sejenak Jaka Pandan memperhatikan tingkah
orang-orang itu. Namun kemudian anak itu segera
menyarungkan pedangnya. Lalu melayangkan pandang ke
bawah, ke dasar lembah yang tidak begitu luas itu. Lembah
yang berbentuk lingkaran. Bergaris tengah tak lebih dari
seribu langkah. Lembah itu mempunyai tiga jalan keluar256
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
yang kesemuanya merupakan celah dari dua bukit yang
mengelilinginya. Lebat dengan pohon-pohonan yang
menghijau. Cuma tepat di tengahnya nampak sebuah
rumah kecil yang beratapkan daun ilalang kering. Tiga
tombak atau empat tombak dari rumah itu tak ditumbuhi
oleh apapun.
Sesaat Jaka Pandan tertegun. Ia berfikir tentang rumah
itu. Apakah rumah itu merupakan sarang Ngangrang
Sewu? Sayang, mengapa tadi ia tidak bertanya kepada
Cinde Wulung tentang tempat kediaman Ngangrang Sewu.
Sehingga kini ia harus mencarinya.
Tiba-tiba Jaka Pandan melihat seseorang berjalan di
jalan setapak tiga tombak di bawahnya. Seorang anak buah
Sawer Wulung. Dengan sebat Jaka Pandan gerakkan tubuh
melayang ke bawah. Tubuhnya sangat ringan seringan
sehelai bulu yang sedang melayang. Dan berdiri tepat di
hadapan orang itu.
Orang itu terkejut bukan main. Tetapi sebelum sempat
berbuat apa-apa, sebuah tendangan Jaka Pandan telah
membuat orang itu terbanting. Cepat Jaka Pandan ke muka
memegang tangan orang itu serta memuntirnya. Orang itu
menjerit kesakitan.
Jaka Pandan sedikit mengendorkannya. "Jangan
berteriak!" hardik Jaka Pandan. "Aku tak akan
membunuhmu. Jawab, di mana Ngangrang Sewu berada!"257
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Orang itu memandang Jaka Pandan dengan mata
melotot. Tetapi sebuah sentakan Jaka Pandan membuat
orang itu menyeringai kesakitan.
"Jawab pertanyaanku jika kau tak mau aku
membunuhmu!" hardik Jaka Pandan lagi.
Orang itu ragu-ragu. Namun akhirnya menjawab juga,
"Di rumah lembah itu."
"Terima kasih. Nah pergilah."
Jaka Pandan melepaskan orang itu dan mengayunkan
langkah.
Orang itu tertatih-tatih bangun. Mukanya merah. Dan
marah. Ia penasaran bukan main. Kemudian tangannya
telan menggenggam dua buah pisau yang bermata
runcing. Serta menimpukkannya ke arah Jaka Pandan yang
baru beberapa langkah berjalan.
Ziung.....! Ziung...........!
Jaka Pandan terkejut mendengar deru angin itu. Ia
sadar bahwa dirinya terancam oleh bahaya maut. Sret! Ia
mencabut pedang. Sambil membalikkan tubuh Jaka
Pandan memutar pedangnya. Tring! tring! Dua kali
terdengar berdencing dan dua pisau yang mengancam
dada Jaka Pandan itu terpukul jatuh.
Melihat serangannya gagal, orang itu memutar tubuh
untuk lari. Namun sabetan pedang Jaka Pandan telah
memaksanya untuk memekik dan terjerembab ke tanah.258
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Masih orang itu melotot memandang Jaka Pandan.
Mulutnya menyumpah dengan cacian-cacian kotor. Akan
tetapi malaikat maut terlalu cepat mencabut nyawanya.
Caciannya semakin serak parau dan semakin dalam. Lalu
tak terdengar lagi. Nafasnyapun tak kedengaran pula.
Akhirnya tubuh orang itu terkulai lemas ke tanah yang
perlahan-lahan menjadi kaku.
Jaka Pandan sejenak memandangi korbannya.
"Ah.....," ia berdesah.
Dan anak itu kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Kini baru disadarinya kekejaman-kekejaman yang telah
dilakukannya di perbukitan-perbukitan Gunung Kidul ini.
Kekejaman-kekejaman yang tidak mengenal batas. Namun
akhirnya hati Jaka Pandan menjadi sedikit terhibur
manakala sudut hatinya berkata bahwa kekejaman-
kekejaman yang telah dilakukannya itu adalah sekedar
kekejaman untuk mencegah kekejaman lain yang lebih
fatal bagi umat manusia. Kekejaman itu adalah suatu
kekejaman untuk menumpas sebuah gerombolan yang
ingin merebut kekuasaan Pajang. Suatu gerombolan ganas
yang akan berniat menguasai Pajang. Adalah kekejaman itu
akan lebih mengganas dan akan lebih mengerikan
akibatnya jika saja Jaka Pandan tidak menurunkan tangan
kejam bagi gerombolan Sawer Wulung itu.
Akan tetapi pada akhimya Jaka Pandan dapat pula
menggunakan akal dewasanya. Bahwa ia tidak harus
melakukan kekejaman yang seganas itu. Ibarat sebuah
sapu maka tali pengikatlah yang harus diputuskannya.259
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Demikian pula dengan gerombolan Sawer Wulung itu.
Ngangrang Sewu adalah orang yang menjadi
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penggeraknya. Yang menjadi kepalanya. Sedang orang-
orang ain hanyalah ekornya belaka. Oleh karena itulah Jaka
Pandan menjadi semakin bulat untuk menemui dan
mencari Ngangrang Sewu. Apabila ia dapat membinasakan
kepala gerombolan Sawer Wulung, maka dengan
sendirinya ekornyapun akan binasa pula.
***
Perlahan-lahan Jaka Pandan mendekati rumah kecil di
tengah lembah itu.
Setiap langkah kakinya benar-benar diperhitungkannya
agar tidak menimbulkan bunyi sedikitpun. Agar dengan
demikian jika di dalam rumah itu ada orang, kehadirannya
itu tidak diketahui. Semakin dekat dengan rumah itu Jaka
Pandan menjadi semakin hati-hati. Demikianlah, maka
akhirnya sampailah ia pada pohon terakhir yang terdekat
dengan rumah itu. Sejenak Jaka Pandan berhenti. Indera
keenamnya mengatakan bahwa di dalam rumah itu
memang benar-benar ada orangnya. Lebih dari dua orang.
Jaka Pandan menjadi semakin hati-hati. Ia mengharap agar
kedatangannya itu sama sekali tidak diduga oleh orang-
orang yang berada di dalam rumah itu. Sehingga dengan
demikian nanti ia dapat menguasai suasana. Oleh karena
itu maka Jaka Pandan kemudian mengambil jaIan memutar
ke sebelah barat rumah. Ia tetap berada dalam kerimbunan
pepohonan supaya dirinya tidak menimbulkan bayang-
bayang yang dapat menimbulkan kecurigaan.260
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Waktu yang dibutuhkan oleh Jaka Pandan untuk
mencapai sebelah barat rumah tidak begitu lama. Segera ia
melihat halaman rumah itu cukup luas. Bahkan layaknya
mirip dengan sebuah alun-alun dari istana. Istana
Ngangrang Sewu.
"Keparat kau!"
Tiba-tiba Jaka Pandan mendengar sebuah bentakan
dari dalam rumah itu yang segera disusul oleh suara lain
seperti seseorang yang menggebrak meja. Lalu terdengar
suara tawa yang terbahak-bahak. Sedemikian kerasnya
suara tawa itu sampai burung yang bertengger di sebuah
cabang pohon tepat di atas kepala Jaka Pandan menjadi
terkejut dan terbang menjauh. Namun bukan suara tawa
itu yang menarik perhatian Jaka Pandan. Adalah suara
hentakan itulah yang membuat Jaka Pandan mengerutkan
keningnya untuk mengingat sesuatu. Rasanya ia sangat
mengenal suara orang itu. Ki Ragajaya? Mendadak ingatan
Jaka Pandan terlempar pada seraut wajah laki-laki tua.
Orang itu adalah Ki Ragajaya. Suara itu persis dengan suara
Ki Ragajaya. Jadi apakah yang berseru tadi Ki Ragajaya?
Akan tetapi pertanyaan itu disangkal oleh kata hati Jaka
Pandan yang lain. Tidak mungkin.
Namun kemudian teringat pula bahwa orang itu
mempunyai hubungan dengan Ngangrang Sewu,
pemimpin gerombolan Sawer Wulung. Jadi tidak mustahil
jika Ki Ragajaya datang ke sarang Sawer Wulung setelah
ternyata ia gagal menyuruh Respati.261
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Bukankah kedatangan Jaka Pandan ke Gunung Kidul ini
berhubungan surat yang didapat oleh Giring dari Respati?
Bukankah Jaka Pandan akan menyelidiki gerombolan Sawer
Wulung dan hubungan hubungannya dengan Ragajaya?
Sayang. Ternyata tindakan Jaka Pandan yang tanpa
rencana itu mengalami kegagalan total. Dan surat itu telah
pula hilang yang mungkin diambil oleh Ngangrang Sewu
sewaktu ia tak sadarkan diri. Hanya dari Cinde Wulung,
adik Ngangrang Sewu itu Jaka Pandan tahu bahwa
Ngangrang Sewu bermaksud untuk menumbangkan
Pajang. Hanya itu. Dan sekarang Jaka Pandan mencoba
untuk menemui Ngangrang Sewu.
Selagi Jaka Pandan menduga-duga dengan pikirannya,
kembali anak itu mendengar suara keras dari dalam rumah
itu.
"Pengkhianat kau, Ngangrang Sewu. Aku tidak
menduga sama sekali bahwa hubungan yang kita bina itu
hanya siasatmu untuk mengeruk keuntungan sendiri.
Untuk menjepitku dalam kedudukan yang sangat sulit.
Dalam keadaan yang demikian itu kau memaksaku untuk
tunduk di bawah telapak kakimu. Engkau berusaha
mencengkeramku dalam kekuasaanmu. Aku kau jadikan
boneka yang harus menurut segala perintahmu!" suara itu
menurun perlahan, "Huh! Mengapa aku dapat dikelabuhi.
Baru kini kusadari pengkhianatanku terhadap Pajang.
Tetapi bagaimana. Mundur, berarti aku telah kehilangan
langkah-langkah yang telah kutempuh. Sedang terus
majupun aku telah kehilangan jejak yang sebenarnya akan
kujangkau."262
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Tidak!" suara itu mengeras lagi dengan tiba-tiba, "Aku
tak mau diperbudak. Kita pergi, Pamuncar!"
"Ayah!" sebuah suara lain melengking.
Jaka Pandan menjadi semakin yakin bahwa orang yang
ada di dalam rumah dan yang baru saja berkata itu adalah
ki Ragajaya. Bahkan Pamuncar pun ada bersama orang
tuanya.
"Kita harus membalasnya," yang terdengar kemudian
adalah suara Pamuncar dengan nada kemarahan.
"Mengapa ayah tidak memecahkan kepala orang itu seperti
ayah memecahkan kepala tumenggung Aryo Guno?"
Mendengar itu, darah Jaka Pandan serasa berhenti
mengalir. Jadi? Jika demikian orang yang membunuh
tumenggung Aryo Guno itu ki Ragajaya sendiri? Gila. Jaka
Pandan tak dapat menguasai kemarahan yang tiba-tiba
saja menggelegak ke kepalanya. Kemarahan yang meluap-
luap akibat darah mudanya yang bergolak. Kemarahan
yang harus ditumpahkannya kepada tumenggung Ragajaya
yang telah membunuh tumenggung Aryo Guno yang
kemudian melemparkan sebuah tuduhan kepadanya
bahwa dialah yang membunuh tumenggung Aryo Guno.
Marah, dendam dan perasaan-perasaan lain bercampur
baur melingkar-lingkar dalam benaknya. Puncak dari
semua itu adalah ayunan langkah Jaka Pandan yang cepat,
bahkan berlari, menuju ke halaman rumah itu.
Brak! tendangan kaki Jaka Pandan telah membuka
pintu rumah itu.263
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Semua yang ada dalam rumah itu terperanjat. Terlebih
lagi ki Ragajaya. Wahah orang tua itu nampak berubah
hebat sekali. Dadanya tergoncang. Sementara itu di
ambang pintu sana Jaka Pandan berdiri tegak. Matanya
tajam menatap kepada Ki Ragajaya, Pamuncar dan orang
yang berwajah bengis itu berganti-ganti. Orang berwajah
bengis itu bukan lain adalah Ngangrang Sewu.
Seperti yang diharapkannya ternyata kedatangan Jaka
Pandan itu benar-benar berada di luar dugaan orang-
orang yang ada dalam rumah itu. Sehingga dengan
demikian kedatangan Jaka Pandan itu mampu memukau
suasana. Sampaipun tumenggung Ragajaya terdiam di
tempatnya. Tetapi suasana yang demikian itu tidak
berlangsung terlalu lama. Ngangrang Sewu yang lebih
dahulu berhasil menguasai dirinya, tangannya bergerak.
Sebuah sinar biru panjang melayang lurus ke arah leher
Jaka Pandan. Anak itu terperanjat. Namun ia tidak berani
terlalu berayal. Ia sadar bahwa benda yang dilontarkan
Ngangrang Sewu itu adalah ular biru yang biasa menjadi
perhiasan di leher Ngangrang Sewu. Ular yang sangat
berbisa.
Walaupun dari Cinde Wulung Jaka Pandan telah
dibekali oleh akik Naga Kuning yang mampu menawarkan
segala macam racun, akan tetapi hati Jaka Pandan masih
dirayapi oleh kesangsian. Betapa tidak? Ia belum tahu sama
sekali tentang akik yang sekarang melingkar di
kelingkingnya. Yang diketahuinya terbatas oleh apa yang
dikatakan oleh Cinde Wulung. Sedang ia belum melihat
dengan pasti kesaktian akik itu. Jika ia mencoba dan264
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
membiarkan diri oleh gigitan ular itu dan ia mati
karenanya, apakah ia dapat menuntut pada Cinde Wulung?
Oleh karena itulah maka akhirnya dengan kecepatan yang
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dimilikinya Jaka Pandan melenting ke belakang hingga
beberapa tombak. Namun anak itu benar-benar dibuat
terkejut. Tubuh ular itu terjulur kaku seolah-olah telah
berubah menjadi sebatang tombak terus mengejarnya.
Sehingga dengan demikian Jaka Pandan tidak sempat
menginjakkan kakinya terlalu lama di tanah. Ia cepat
meloncat ke samping. Dengan demkian kepala ular itu
berlalu beberapa jengkal dari bahunya.
Namun sekali lagi Jaka Pandan terkejut. Tubuh ular
yang mula-mula kejang itu tiba tiba menjadi lemas dan
menggerakkan ekornya memukul kepala Jaka Pandan.
Anak itu mengeluh pendek. Untunglah bahwa dalam diri
Jaka Pandan telah memiliki bekal yang cukup sempurna
untuk melindungi dirinya terhadap setiap kemungkinan
buruk yang menimpanya. Oleh karena itu maka Jaka
Pandan pun akhirnya luput dari sambaran ular biru
Ngangrang Sewu yang ganas itu.
Namun Jaka Pandan segera mempersiapkan diri lagi
karena ia sadar bahwa ular itu pasti tidak akan tinggal diam
setelah serangan yang pertamanya gagal. Sekejap di
tangan Jaka Pandan telah tergenggam senjatanya yang
memantulkan sinar perak. Dalam pada itu, ular biru itupun
telah memutar tubuhnya menghadapi Jaka Pandan.
Kepalanya terangkat naik sembari mengeluarkan desisan-
desisan yang sekali-sekaki disertai oleh asap kelabu. Sekali
ini Jaka Pandan tidak membiarkan dirinya diserang.265
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Cepat pedangnya berputar bagai baling-baling yang
menimbulkan kesiur angin dahsyat. Pantulan sinar perak
pedang itu menyilaukan mata binatang itu sehingga
kadang-kadang ditundukkannya kepalanya untuk
menghindarkan cahaya yang berkilau-kilau. Sekonyong-
konyong sinar perak itu buyar. Yang tinggal kemudian
hanyalah secercah yang terayun deras menebas ke arah
leher ular itu. Dan tak ampun lagi binatang yang tidak
menyadari akan datangnya bahaya maut itu tertabas
kepalanya oleh pedang Jaka Pandan.
Dalam pada itu pula, tak jauh dari tempat itu, berdiri
berjajar Pamuncar, Ki Ragajaya dan Ngangrang Sewu. Mata
mereka memancar tajam memandang Jaka Pandan. Namun
Jaka Pandan pun menentang pandang ketiga orang itu
dengan sinar mata penuh kebencian.
"Keparat!"
Yang pertama sekah terdengar adalah suara geraman
Ngangrang Sewu menahan marah melihat ular
kesayangannya itu telah terkapar tanpa kepala lagi.
"Kau bunuh juga binatang itu, he?"
"Terpaksa, Ngangrang Sewu." jawab Jaka Pandan datar,
"Sebab aku tidak melihat jalan yang lain. Ularmu terlalu
ganas untuk dibiarkan menyerang diriku. Aku hanya
sekedar membela diriku dari kematian yang dapat
ditimbulkan oleh ularmu. Karena itu aku terpaksa
membunuhnya supaya aku tidak mati terbunuh oleh
gigitan ularmu. Maafkanlah."266
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Sekali lagi Ngangrang Sewu menggeram marah.
Binatang itu adalah binatang kesayangannya sejak ia
menduduki kursi kepemimpinan gerombolan Sawer
Wulung. Bertahun-tahun binatang itu menyertainya. Karena
binatang itu pula namanya terangkat menduduki tingkat
pendekar dari golongan hitam yang cukup tinggi. Karena
binatang itu pula namanya dikenal dan ditakuti oleh orang-
orang yang berdiam di perbukitan Gunung Kidul. Dan
bahkan ular itu merupakan lambang kebesaran
gerombolan Sawer Wulung. Tetapi kini binatang itu
terbunuh oleh tangan seorang anak muda yang menurut
tumenggung Ragajaya bernama Jaka Pandan. Sehingga
dengan demikian dada Ngangrang Sewu itu menjadi
bergelombang bagai laut kidul. Kematian binatang
kesayangannya itu harus ditebus oleh kepala Jaka Pandan.
Bahkan rasanya kepala anak muda itu masih kurang
seimbang bila dibandingkan dengan ular kesayangannya.
"Setan!" umpat Ngangrang Sewu, "Apakah kau bosan
hidup he?"
Jaka Pandan mengeleng, "Belum." jawabnya.
"Kenapa kau bunuh binatang itu?"
"Sudah kukatakan. Aku hanya sekedar membela diri.
Ularmu sangat ganas dan berbahaya. Jika aku melihat jalan
lain, pasti aku tidak akan membunuhnya."
Meskipun Jaka Pandan mengucapkan kata-kata itu
dengan tenang, namun ternyata kata-kata itu semakin
membangkitkan kemarahan Ngangrang Sewu. Gigi267
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
pemimpin gerombolan Sawer Wulung itu terdengar
bergemeratakan. Lalu katanya, "Bagaimana aku akan
membunuh orang yang mengganggu kesenanganmu?"
"Kurasa aku tidak akan melakukan pembunuhan itu
sebab aku tidak merasa terganggu."
"Anak setan! Kalau demikian tunjukkan bagaimana aku
harus membunuhmu?"
"Aku belum mau mati."
Tetapi jawaban Jaka Pandan itu malah semakin
menambah kemarahan Ngangrang Sewu. Hampir saja
orang itu tidak mampu lagi menguasai dirinya. Namun
sekali lagi ia masih mencoba berkata,
"Bedebah! Kau tahu binatang itu kesayanganku bukan?
Dengan membunuh binatang itu berarti engkau
menghendaki supaya aku membunuhmu. Di samping itu
engkau telah pula berani memasuki sarang Sawer Wulung.
Sudah menjadi undang-undang bagi Sawer Wulung bahwa
tidak akan membiarkan hidup bagi orang yang berani
memasuki wilayah gerombolan Sawer Wulung tanpa
mempunyai kepentingan yang pasti!"
"Apakah bukit ini merupakan bukit terlarang?"
"Daerah ini adalah daerah gerombolan Sawer Wulung."
"Ah. Lain kali seharusnya kau memberi tanda di daerah
ini agar setiap orang yang lewat dapat mengetahui bahwa
daerah ini merupakan daerah terlarang."268
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Kemarahan Ngangrang Sewu sudah tak tertahan lagi.
Selamanya Ngangrang Sewu merupakan orang yang
ditakuti oleh anak buahnya. Bahkan ditakuti pula oleh
penduduk yang berdiam diri di perbukitan Gunung Kidul.
Bahkan kemudian ia menganggap dirinya maharaja di
daerah itu. Yang bebas bertindak menurut kemauannya
dengan tiada seorangpun yang berani menentangnya.
Setiap orang harus takut dan menghormat kepadanya.
Setiap orang harus menghargainya. Setiap orang harus
melakukan perintahnya. Jika tidak, Ngangrang Sewu akan
memaksa orang untuk takut kepadanya dengan cara
apapun. Ngangrang Sewu seorang kasar. Ia tidak pernah
mau menunda apa yang dikehendakinya. Ingin membunuh,
membunuhlah ia. Ingin merampok, memperkosa, dan
bermacam macam kejahatan lagi, akan dilakukannya
begitu kehendak itu muncul di benaknya. Tetapi kini di
hadapannya berdiri seorang anak muda dengan
garangnya. Pemuda itu berani menentang pandangnya.
Pemuda itu berani menjawab setiap patah perkataannya.
Yang balikan jawaban itu kian menambah kemarahan
Ngangrang Sewu. Sikap pemuda yang demikian itu dirasai
tidak menghormat. Tidak menghargai. Oleh karena itu
maka ia harus dihajar untuk tahu menghormat kepada
maharaja di Gunung Kidul. Pemuda itu harus dihukumnya.
"Kubunuh kau!" Geram Ngangrang Sewu.
Kemudian dengan sebuah loncatan yang garang, orang
itu menerkam Jaka Pandan. Tangannya berkembang
sehingga gerakan itu mirip dengan seekor rajawali raksasa
yang menukik dari angkasa menerkam mangsanya. Namun269
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Jaka Pandan pun ternyata bukan seorang lemah yang takut
menghadapi Ngangrang Sewu. Semula memang anak itu
nampak berhati-hati dalam pembicaraan. Karena ia
menjaga diri agar dalam dadanya jangan dirangsang oleh
kemarahan. Sebab kemarahan kadang-kadang bisa
menyeret dirinya ke dalam perbuatan yang limbung, yang
gegabah, yang kehilanganpertimbangan-pertimbangan
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nalar jernih.
Ia tahu bahwa Ngangrang Sewu jauh berbeda dengan
anak buahnya. Orang itu sangat ganas dan berbahaya. Ia
sadar bahwa Ngangrang Sewu adalah seorang pemimpin
gerombolan liar yang dapat berbuat apa saja yang oleh
orang lain mungkin tak dapat dilakukannya. Sehingga
dengan demikian ia harus berhati-hati menghadapinya. Ia
harus menghadapinya dengan kepala dingin meskipun
dadanya berkobar-korbar. Karena itulah maka ketika
Ngangrang Sewu bagai seekor burung rajawali menerjang,
Jaka Pandan telah siap menghadapinya. Sepasang kakinya
tergetar untuk kemudian menggeser ke belakang satu
tindak. Tepat pada saat serangan Ngangrang Sewu datang,
ia meliukkan tubuhnya sedemikian rupa sehingga serangan
Ngangrang Sewu itu hanya menerpa tempat kosong
sekaligus Jaka Pandan melihat pertahanan Ngangrang
Sewu terbuka. Sudah barang tentu Jaka Pandan tidak akan
melewatkan kesempatan yang sedemikian baik. Dengan
segenap kemampuan yang mampu dilakukannya,
tangannya terjulur dari bawah memukul lambung
Ngangrang Sewu yang saat itu terbuka. Ngangrang Sewu
terperanjat. Ia merasakan adanya angin kencang yang
menyentuh lambungnya. Untunglah Ngangrang Sewu270
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
adalah seorang tokoh yang telah mempunyai pengalaman
pertempuran yang sangat banyak. Membunuh, merampok,
memperkosa sudah merupakan jalan yang telah mendarah
daging dalam kehidupannya. Dengan demikian
pertempuran bukan lagi merupakan suatu yang baru
baginya. Bahkan pertempuran merupakan permainan yang
mengasyikkan. Dengan dasar pengalaman-pengalaman
itulah maka dalam setiap pertempuran yang sedang
dihadapinya, setiap jaringan kulitnya dapat merasakan
setiap adanya rangsangan dari luar. Dan dengan sigapnya
anggota tubuhnya bergerak menyelamatkan bagian tubuh
yang kena rangsangan itu. Demikianlah maka ketika
lambung Ngangrang Sewu itu merasakan sebuah
sentuhan, dengan gerakan reflek tangannya melindungi
lambung itu. Maka terjadilah benturan dua tenaga yang
hebat. Karena sama sekali tidak menyangka bahwa anak
muda yang kini sedang dihadapinya itu mempunyai tenaga
sedemikian dahsyat, maka Ngangrang Sewupun tidak
menggunakan seluruh kekuatannya untuk memapaki
pukulan Jaka Pandan. Akibatnya tubuh Ngangrang Sewu
terlontar ke samping. Sedang Jaka Pandan tergetar
tubuhnya serta surut selangkah ke belakang.
Terasa kesesakan menyekat di dada Ngangrang Sewu.
Rasa sakit merayap ke seluruh jalinan urat-uratnya. Serta
tubuhnya terhuyung-huyung. Namun Ngangrang Sewu
cepat mengerahkan segenap kekuatan untuk menguasai
keadaannya. Kemudian dengan sebuah loncatan, orang itu
berdiri di atas kedua kakinya. Bulatan matanya terbuka
lebar seolah-olah mau terloncat dari kelopaknya. Kerut-
merut di wajahnya membayangkan kemarahan yang271
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
berkobar-kobar dalam dadanya. Dada Ngangrang Sewu
serasa hangus terbakar.
Kemarahannya menjadi semakin memuncak sampai ia
menggeram keras bagai auman seekor harimau.
Ngangrang Sewu merupakan seorang sakti yang telah
bertahun-tahun terjun ke dalam kancah darah dan
pertempuran. Selama itu belum ada seorangpun yang
mampu menandinginya. Setiap orang yang mencoba
melawannya ditundukkannya. Selama menghadapi
pertempuran-pertempuran, dialah yang selalu menentukan
nasib lawannya dan bukan lawannya yang mengalahkan
dinnya. Karena itu Ngangrang Sewu tak dapat
menyembunyikan rasa kekagumannya ketika ia
menghadapi suatu kenyataan bahwa anak muda yang
bernama Jaka Pandan itu mampu melawannya. Bahkan
kekuatan anak itu telah mampu mendorongnya sampai
beberapa langkah. Meskipun nyatanya ketika ia memapaki
pukulan Jaka Pandan ia belum menggunakan seluruh
tenaga yang dimilikinya, namun adalah suatu peristiwa itu
yang cukup mengherankan bagi pemimpin gerombolan
Sawer Wulung itu bahwa seorang anak muda mampu
menandinginya. Sehingga kemudian bermunculanlah
pertanyaan yang melingkar-lingkar dalam benaknya.
Siapakah Jaka Pandan itu? Murid siapakah dia? Namun
kemudian Ngangrang Sewu pun tidak mau terlalu lama
dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan demikian. Siapapun
adanya Jaka Pandan, anak itu harus dibunuhnya.
Memang semula Ngangrang Sewu berpikir akan
menggunakan Jaka Pandan sebagai tulang punggung272
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
kekuatan Sawer Wulung untuk menggempur Pajang.
Ngangrang Sewu akan mengangkat Jaka Pandan sebagai
senopati. Akan tetapi setelah melihat kenyataan yang
sesungguhnya atas diri anak itu, muncullah pikiran baru
dalam benaknya. Anak itu terlalu berbahaya. Bahkan kelak
jika Sawer Wulung berhasil dengan cita-citanya sekalipun
anak itu bisa mengancam kedudukannya. Karena itulah
maka Jaka Pandan harus dilenyapkan.
Namun kembali sebuah pikiran muncul di benaknya.
Anak itu benar-benar luar biasa. Tenaganya bagai seekor
banteng. Apakah ia mampu melawannya? Ah, tidak!
Sekalipun anak itu memiliki kekuatan yang jauh melampaui
kekuatannya, belum tentu ia bisa dikalahkan. Pertempuran
tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan. Melainkan
kekuatan itu harus dipadu dengan keuletan dan
ketrampilan serta dipadu dengan pengalaman pengalaman
yang masak. Kalaupun lawannya memastikan bahwa
pengalaman-pengalaman yang dimilikinya akan jauh
berada di atas yang telah dicapai oleh Jaka Pandan. Yang
masih perlu diuji adalah keuletan serta ketrampilan. Tapi
apakah keuletan dan ketrampilan Jaka Pandan mampu
menyamai ketangkasannya. Ia bernama Ngangrang Sewu.
Telah sekian tahun merajai di seluruh jalur-jalur
pegunungan Gunung Kidul. Sekian tahun pula tiada
seorangpun yang mampu mengimbangi kelincahan
geraknya. Karena itulah kemudian Ngangrang Sewu
menjadi mantap bahwa sekali inipun dia akan mampu
mengalahkan lawan yang dihadapinya.273
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Matilah kau, babi!" Akhirnya dengan sebuah geraman
panjang Ngangrang Sewu kembali menerjang lawannya
yang segera disambut pula oleh Jaka Pandan. Sehingga
kemudian tenggelamlah keduanya dalam sebuah
pertempuran dahsyat.
Pertempuran antara seorang pemimpin gerombolan
yang ganas yang telah mengenyam asam garamnya
pertempuran, melawan seorang anak muda yang bernama
Jaka Pandan. Seorang anak muda yang dalam tubuhnya
telah memiliki bekal yang sangat baik, yang dalam
tubuhnya telah mengalir darah aji Goramandala tanpa
seorang pun yang mengetahuinya, yang kemudian oleh
mendiang tumenggung Aryo Guno anak itu telah ditempa
menjadi seorang anak yang benar-benar dahsyat.
Tumenggung Ragajaya melihat pertempuran itu seperti
terpaku di tempatnya. Ia tidak menduga sama sekali bahwa
Jaka Pandan memiliki ilmu sedahsyat itu. Meskipun sejak
semula ki Ragajaya menyadari bahwa Jaka Pandan
memang memiliki kelebihan-kelebihan secara kodrat yang
tidak dimiliki oleh anak yang lain. Adalah benar-benar di
luar dugaannya bahwa anak itu mampu menghadapi
Ngangrang Sewu dengan baiknya. Sedang ia sendiri harus
berfikir sampai sekian kali untuk menghadapi Ngangrang
Sewu. Sungguhpun dengan kemampuannya ia masih
mempunyau kemungkinan untuk bisa mengalahkan orang
itu. Atau setidak-tidaknya dapat mengimbanginya. Ia
melihat pertempuran itu sedemikian dahsyat. Sekali ia
menyaksikan betapa Ngangrang Sewu bertempur dengan
garangnya. Geraknya sedemikian dahsyat. Sepasang274
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
tangannya bergerak-gerak cepat. Ia melihat Ngangrang
Sewu bagai seekor rajawali raksasa yang dengan rakusnya
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambar-nyambar lawannya. Atau kadang-kadang
gerakan Ngangrang Sewu berubah menjadi sebuas serigala
liar. Namun lawan Ngangrang Sewu itu tak ubahnya bagai
seekor banteng, yang setian saat siap mencampakkan
harimau atau rajawali yang berusaha mencengkeramnya.
Tandangnya sedemikian kukuh dan sentosa. Bahkan
sepasang kakinya yang berlincahan itu sangat meyakinkan
bahwa ia akan dapat mempertahankan tubuhnya kendati
pada suatu saat Ngangrang Sewu berhasil mendorongnya.
Jika saja orang tua itu tidak melihat dengan mata
kepala sendiri, mungkin ia tidak akan percaya bahwa yang
sedang bertempur di hadapannya adalah Jaka Pandan. Ia
melihat seolah-olah tumenggung Aryo Guno sendirilah
yang sedang menghadapi Ngangrang Sewu itu. Tetapi apa
yang dilihat oleh Ki Ragajaya itu bukan hanya sebuah
mimpi. Melainkan suatu kenyataan yang benar-benar
terjadi. Bahwa yang bertempur itu bukan Aryo Guno. Tapi
muridnya. Bagaimana ini mungkin terjadi? Bahwa
kemampuan anak semuda itu mampu menyamai seorang
tokoh golongan hitam yang telah mempunyai nama besar?
Kemudian tanpa disadarinya Ragajaya melemparkan
pandang pada Pamuncar. Semula ia membanggakan anak
itu. Bangga atas kemampuan Pamuncar yang telah
diasuhnya dengan ilmu jaya kawijayan guna kasantikan.
Semula ia menganggap bahwa kemampuan yang telah
dicapai oleh anaknya tiada mungkin dimiliki oleh anak lain.
Akan tetapi akhirnya Ragajaya harus berani mengakui
sejujur-jujurnya bahwa anggapannya terhadap diri275
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Pamuncar terlalu berlebih-Iebihan. Dengan mata kepala
sendiri ia menyaksikan bahwa Jaka Pandan mampu
menghadapi Ngangrang Sewu. Suatu bukti bahwa ilmu
anak itu telah sedemikian tingginya. Bahkan hampir
mencapai ke tataran kesempurnaannya. Apakah
kemampuan Pamuncar mampu menyamai Jaka Pandan?
Tiba-tiba pandangan mata Ragajaya runtuh ke tanah
seakan-akan ia sedang menekuri kembali jalur-jalur
kehidupan yang telah ditempuhnya dalam usia yang telah
jauh melampui setengah abad itu. Saat itulah berbagai
perasaan dan pikiran melilit-liht di benak maupun dadanya.
Pamuncarpun mengikuti jalan pertempuran itu dengan
seksama pula. Namun pertempuran itu di mata Pamuncar
berlangsung amat cepatnya. Bahkan semakin lama menjadi
semakin cepat. Dan cepat. Sehingga kadang-kadang ia
terpaksa menggosok-gosok matanya yang terasa
mengabur. Atau kudang-kadang Pamuncar kemudian tidak
melihat lagi mereka yang sedang bertempur. Yang ada
dalam pandangan matanya kemudian adalah gugusan
yang melingkar-iingkar. Sesekali gugusan itu memecah.
Apabila demikian maka kemudian ia segera pula melihat
Ngangrang Sewu di satu tempat dan Jaka Pandan yang
menggeliat-geliat seperti seekor singgat di tempat yang
lain. Namun segera pula keduanya kembali berubah
menjadi dua gugusan yang bergulat pada satu titik. Bahkan
saking cepat gerak gugusan itu, Pamuncar kadang-kadang
tak melihatnya sama sekali. Seperti ayahnya, Pamuncar
menjadi heran atas kedahsyatan Jaka Pandan. Ia heran
mengapa Jaka Pandan mampu bertempur melawan276
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Ngangrang Sewu sampai sekian saat. Dan dalam saat yang
sekian itu belum nampak adanya tanda-tanda bahwa Jaka
Pandan akan segera dikalahkan. Mengapa? Apakah
Ngangrang Sewu tidak bertempur dengan sungguh-
sungguh? Tetapi Pamuncar melihat bahwa pemimpn
gerombolan Sawer Wulung itu telah berusaha
mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi
kesombongan Pamuncar akibat pemanjaan ayahnya,
menyebabkan anak itu tidak mau menilai kenyataan
dengan wajar. Ia tetap menganggap bahwa Jaka Pandan
tidak lebih dari seekor kelinci kecil apabila dibandingkan
dengan dirinya. Walaupun selama ini sekalipun Pamuncar
belum pernah menang atas Jaka Pandan. Ia menganggap
bahwa Ngangrang Sewu sengaja membiarkan pertempuran
itu berlangsung sampai sedemikian saat. Agar dengan
demikian, orang itu akan menunjukkan kedahsyatan
ilmunya kepada ayahnya serta pada dirinya.
"Hm," Pamuncar mendengus pendek, "Mengapa
Ngangrang Sewu tidak segera memecahkan batok kepala
anak setan itu?"
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi antara Jaka
Pandan dan Ngangrang Sewu itu semakin berlangsung
dengan cepatnya. Sehingga matanya benar-benar tidak
mampu lagi untuk terus mengikutinya. Kepalanya terasa
pusing. Tiba-tiba di pundaknya terasa sebuah sentuhan
ringan. Ketika dia berpaling, ia melihat wajah ayahnya
menegang. Dan sebelum ia sempat bertanya, Ragajaya
telah menggamit tangannya. Tanpa berkata sepatahpun,
meski sebenarnya di benaknya penuh dengan pertanyaan-277
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
pertanyaan, Pamuncar mengikuti ayahnya meninggalkan
tempat itu.
Demikianlah, maka di pagi yang cerah di lembah yang
tidak begitu luas itu terjadi suatu pertempuran maut yang
sangat dahsyat. Di mana masing-masing fihak telah
dihantui oleh nafsu membunuh terhadap lawan. Di satu
fihak Ngangrang Sewu dengan bernafsu sekali untuk
membunuh lawannya sebab baginya anak muda itu
merupakan seorang anak muda yang terlampau berbahaya
bagi keselamatan Sawer Wulung. Anak itu telah
menghinanya. Dengan sikapnya yang tidak mau
menghormat dan tak mau menghargai itu menumbuhkan
kemarahan yang meluap-luap. Oleh karenanya anak itu
harus dibunuh. Dibunuh tanpa pengampunan. Di lain fihak
Jaka Pandan merasa bahwa suatu kewajiban baginya untuk
membinasakan Ngangrang Sewu. Sebab orang seperti
Ngangrang Sewu adalah manusia yang tidak menghendaki
perdamaian antar umat manusia. Selama di dunia masih
ada orang-orang semacam Ngangrang Sewu, maka dunia
akan selalu bergolak. Sehingga karena itu merupakan suatu
keharusan bagi Jaka Pandan sebagai seorang anak muda
yang rindu akan tercapainya hidup tenteram lahir dan batin
untuk membunuh Ngangrang Sewu. Maka dengan
demikian pertempuran itu menjadi sedemikian seru. Saling
menghimpit. Atau melibat. Atau menerjang. Namun
betapapun agaknya pertempuran itu masih akan
berlangsung cukup lama. Masing-masing fihak
menampakkan kemampuan yang dapat mengimbangi
lawannya.278
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Dan kemarahan Ngangrang Sewu telah sampai ke
ubun-ubunnya. Marah, dendam, dan perasaan-perasaan
lain bercampur menjadi satu.
Sekali ini Ngangrang Sewu menghadapi lawan yang
sangat dahsyat. Justru lawan itu masih terlampau muda
bila dibandingkan dengan umurnya. Anak itu tak lebih dari
dua puluh empat. Namun pada usia sekian anak itu telah
mencapai tataran ilmu yang sedemikian dahsyat.
Ngangrang Sewu yang menganggap bahwa dirinya lebih
dari pada orang lain, menjadi sangat marah karenanya.
"Anak setan!" geramnya.
Tetapi bersamaan dengan ujung suaranya orang itu
terkejut bukan main dan terpaksa meloncat mundur
beberapa langkah sebab sebuah hantaman Jaka Pandan
sedikit menyentuh bahunya. Meskipun sentuhan itu tidak
mengakibatkan apapun, namun dada Ngangrang Sewu
serasa hangus terbakar.
Bagaimana mungkin ia yang merasa dirinya tak
terkalahkan ternyata masih bisa dikenai oleh pukulan
lawan. Walau pukulan itu tidak menyebabkan ia harus
menyerah. Namun demikian peristiwa itu merupakan suatu
peristiwa yang memalukan yang tak bisa dibiarkan
berlarut-larut. Ia harus segera mengakhiri pertempuran ini
dan membunuh Jaka Pandan dengan caranya untuk
menumpahkan dendam kesumatnya.
Sekali lagi orang itu mengumpat dan menggeram.279
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan sekali tangannya meraba pinggang, dan
menariknya, di tangan itu telah terjuntai sebuah cambuk
pendek di mana pada anyaman cambuk itu terdapat duri-
duri besi yang berwana hitam mengkilat dengan sebuah
cakra di ujungnya. Itulah cambuk Kilat Dahono yang sangat
ganas. Cambuk itu merupakan senjata kebanggaan
Ngangrang Sewu. Dengan cambuk ltu pula Ngangrang
Sewu telah memaksa beberapa orang pendekar yang telah
memiliki nama cemerlang, baik pendekar itu dari kalangan
hitam maupun putih, untuk menyerah dan tunduk di
bawah telapak kakinya.
Sungguhpun demikian Ngangrang Sewu tidak
sembarangan menggunakannya. Cambuk itu merupakan
pusaka keramat baginya. Dalam setiap pertempuran ia
selalu berpikir apakah ia perlu mengeluarkan cambuknya
atau tidak. Kalau sekarang orang itu terpaksa
mengeluarkan cambuk berdurinya, berarti Jaka Pandan
adalah seorang lawan yang dipandang cukup berbahaya.
Melihat cambuk itu, dada Jaka Pandan tergetar hebat.
Dari Cinde Wulung ia tahu bahwa Kilat Dohono yang ada
di tangan Ngangrang Sewu itu adalah cambuk yang
berlumuran bisa ganas. Setiap sentuhannya dapat
menimbulkan maut. Walaupun kini di tangan Jaka Pandan
melingkar sebuah cincin bermata akik Naga Kuning, yang
menurut Cinde Wulung pula, dapat menawarkan segala
macam jenis racun. Namun Jaka Pandan masih agak
bimbang. Dan sekarang inilah saatnya bagi Jaka Pandan
untuk menguji kesaktian Naga Kuning.280
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Anak iblis!" terdengar Ngangrang Sewu berseru, "Kau
seperti anak iblis. Namun he, Jaka Pandan, lihatlah di
tanganku. Cambuk ini akan segera mengakhiri
kehidupanmu!"
Dada Jaka Pandan berdesir. Nampak anak itu berusala
menguasai perasaannya atas pengaruh kata-kata
Ngangrang Sewu yang mendebarkan itu. Lalu berkatalah
anak itu sambil menunjukkan akik Naga Kuning, "Kau lihat
ini, Ngangrang Sewu?"
Mata Ngangrang Sewu terbeliak. Tanpa sesadamya
mulut Ngangrang Sewu melontarkan sebuah desisan
pendek, "Naga Kuning......."
Jaka Pandan tersenyum, "Ya, Naga Kuning. Dari Cinde
Wulung aku tahu dan menerima akik ini. Mengapa kau
sedemikian terkejut, Ngangrang Sewu?"
"Keparat!" geram Ngangrang Sewu.
"Jangan marah, sobat. Tenangkanlah hatimu. Meskipun
kau tahu bahwa dengan akik ini cambukmu tidak akan
berarti bagiku."
Namun Ngangrang Sewu telah mata gelap. Kemarahan
yang menggelegak tidak mau lagi memperhitungkan
kemungkinan lain yang masih bisa ditempuh, yang
mungkin sekali bahkan bisa menguntungkannya. Tetapi di
dalam hatinya Ngangrang Sewu tinggal hanya dua pilihan.
Membunuh atau dibunuh oleh lawan. Kalau ia terpaksa
dibunuh oleh Jaka Pandan, berarti apa yang diangan-
angankan selama ini hancur sama sekali. Tetapi kematian281
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
itu sendiri merupakan suatu kebanggaan bagi Ngangrang
Sewu sebab ia mati bersama cita-citanya yang setinggi
gunung.
Sebaliknya apabila ia berhasil membunuh Jaka Pandan,
tonggak pertama yang ditancapkan atas cita-citanya masih
kokoh dan dia mempunyai kesempatan lagi untuk
menancapkan tongkat-tongkat lain sampai pada batas
cita-cita yang ditempuhnya. Oleh karena itu dengan
sebuah siulan melengking nyaring yang segera dipantulkan
oleh dinding lembah sehingga siulan itu terdengar seolah-
olah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali, Ngangrang
Sewu menghentakkan tangannya.
Ketika kemudian cambuk itu bergerak dan berputar-
putar maka terdengarlah angin yang menderu-deru
memekakkan telinga. Putaran cambuk itu semakin lama
menjadi semakin dekat menghampiri Jaka Pandan. Angin
pusaran yang ditimbulkannya yang bagai angin pinusus itu
seakan-akan menghisap Jaka Pandan untuk ikut dan masuk
ke dalam pusarannya. Namun Jaka Pandan berusaha
dengan segenap kemampuannya untuk melawan hisapan
itu.
Tarr.......! sebuah ledakan di atas kepala Jaka Pandan
memaksa anak itu untuk merendahkan tubuhnya. Namun
begitu ia terhindar dari sambaran cambuk Ngangrang
Sewu, sebuah ledakan yang lain segera menyusul di sisi
telinganya. Jaka Pandan terperanjat. Buru-buru ia
menentukan sikap untuk menghindarkannya. Akan tetapi
agaknya Ngangrang Sewu tidak memberi kesempatan
kepada lawan walau hanya sejenak. Ia selalu membayangi282
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
ke mana lawan bergerak dengan ledakan-ledakan
cambuknya yang bagai Iedakan-ledakan halilintar di musim
kesembilan. Sehingga karenanya Jaka Pandan harus
berjuang untuk menghindarkan diri dalam sambaran
cambuk itu.
Permainan cambuk Ngangrang Sewu benar-benar
hebat. Putaran-putaran cambuknya yang sedemikian
kencang itu seakan-akan mengurung Jaka Pandan
sehingga anak itu tidak melihat selubang jarum pun untuk
dapat meloloskan diri. Sesekali putaran cambuk itu pudar
untuk selanjutnya bagai seekor ulat kecil cambuk itu
terjulur untuk mematuk mangsanya. Atau kemudian
kadang-kadang berubah seperti batang tombak yang
dengan cakra di ujungnya hendak memecahkan setiap
bagian tubuh Jaka Pandan.
Demikianlah, cambuk yang ada di tangan Ngangrang
Sewu itu dapat berubah-ubah seperti yang dikehendaki
oleh pemiliknya. Kadang dapat berubah selemas ular atau
mengeras sebagai sebatang baja. Atau kemudian meledak-
ledak memecahkan jantung atau anak telinga. Sehingga
tidak mengherankan apabila telah sekian banyak jumlah
pendekar-pendekar kelas wahid menyerah dan bertekuk
lutut. Permainan cambuk itu semakin mempercepat nama
Ngangrang Sewu terangkat naik menduduki jajaran tokoh-
tokoh yang terkenal pada saat itu seperti Panembahan
Senopati dari Mataram. Namun sekali ini lawan Ngangrang
Sewu adalah Jaka Pandan, yang secara kodrat telah
mengalir tenaga sakti dalam bentuk aji Goramandala. Dan
yang kemudian di bawah bimbingan tumenggung Aryo283
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Guno anak itu dapat menyelami serta mempelajari
kekuatan yang ada di dalam tubuhnya. Oleh karena itulah
maka dalam usia yang masih sangat muda itu Jaka Pandan
telah memiliki kesempurnaan ilmu yang seharusnya
dicapai oleh orang lain dalam waktu yang sangat panjang.
Namun akibat dari pembawaan kodrat yang merupakan
karunia besar bagi Jaka Pandan, serta keuletan dan
kekerasan jiwa anak itu dalam menyelami kekuatan tenaga
intinya, ditambah lagi dengan kecakapan tumenggung
Aryo Guno sebagai seorang pembimbing, maka dalam
tataran ilmunya, anak itu meloncat-loncat sehingga dalam
usianya itu nama Jaka Pandan dapatlah disejajarkan
dengan tokoh-tokoh yang lebih dahulu dari padanya
seperti Ngangrang Sewu, Aryo Guno gurunya sendiri. Itulah
sebabnya maka Jaka Pandan dapat menghadapi
Ngangrang Sewu dengan baiknya.
Sementara itu tanpa mereka sadari bahwa matahari
semakin merayap naik. Ujung-ujung sinarnya bagai anak
panah yang meluncur mengarah ke setiap permukaan kulit.
Gatal. Dan panas. Karena panas itu, dan dipadu dengan
panas yang membara dalam dada orang-orang itu, maka di
seluruh lembaran pakaian mereka telah dibasahi oleh
keringat yang mengalir dari segenap pori-pori tubuh
mereka. Meskipun demikian, meskipun tubuh mereka telah
dibasahi oleh keringat, namun pertempuran itu sendiri
masih dan terus berlangsung dengan serunya. Beberapa
kali Ngangrang Sewu menggeram marah atau mengumpat
habis-habisan.
Darr!284
Aji Gora Mandala
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Widi Widayat & Karsono
Tiba-tiba sebuah ledakan menyambar dahsyat. Sekali
ini Jaka Pandan agak terlambat menghindar. Sehingga
sebuah duri sempat menyentuh lehernya yang
menimbulkan sebuah luka. Dari goresan luka itu
mengalirlah darah kental berwarna kehitam-hitaman. Buru-
buru Jaka Pandan meloncat mundur. Dengan telapak
tangannya ia menyeka darah yang menetes itu. Namun
darah yang menetes itu telah mengobarkan kemarahan
Jaka Pandan. Goresan luka itu telah menumbuhkan
dendam di dada Jaka Pandan yang mendorong nafsunya
untuk mempercepat mengakhiri kehidupan Ngangrang
Sewu. Karena itu tandangnya menjadi beringas bagai
seekor banteng muda yang terluka. Ia tidak lagi hanya
sekedar menghindarkan diri dari setiap serangan. Tetapi
sekarang ia lebih mencari kesempatan untuk segera
menjatuhkan lawan.
Sebaliknya Ngangrang Sewu meilhat cambuknya
mengenai lawan terperanjat bukan main. Ternyata
cambuknya tidak mengakibatkan apapun bagi Jaka
Pandan. Padahal setiap duri atau cakra dicambuk itu
mengenai tubuh seseorang, dalam beberapa kejapan mata
saja tubuh orang itu akan menjadi kaku dan akhirnya
hangus sama sekali. Tetapi hingga sesaat lamanya Jaka
Pandan masih mampu bertempur sedemikian dahsyat.
Bahkan gerakannya menjadi semakin beringas. Baru
disadarinya bahwa di jari anak itu melingkar akik Naga
Kuning yang memiliki khasiat sebagai penawar racun yang
bagaimana pun ganasnya. Hati Ngangrang Sewu menjadi
kecut. Tetapi kekecutan hati itu kemudian menimbulkan
dendam dan kemarahan yang kian menyala-nyala. Dendam285
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
kepada adiknya yang telah memberikan akik itu yang
mengakibatkan Jaka Pandan menjadi kebal terhadap racun
sehingga cambuk Kilat Dahono yang diandalkan itu sama
sekali tidak mampu dan tidak berdaya melumpuhkannya.
Dan dendam kepada Jaka Pandan yang telah membakar
hatinya. Dan kini kemarahan itu tak dapat dibendung lagi.
Ngangrang Sewu berteriak keras. Sampai suara itu
mengeletar di udara. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Dari tangan itu sekonyong-konyong meluncurlah beratus-
ratus sinar merah yang lembut, yang kesemuanya
beterbangan menuju ke segenap bagian tubuh Jaka
Pandan. Anak itu terperanjat bukan main. Ia menduga
bahwa sinar-sinar merah itu adalah senjata rahasia yang
amat lembut sekali. Ia tidak takut terhadap racun yang
meluncurinya. Sebab suatu kenyataan telah dialaminya
bahwa berkat akik Naga Kuning yang melingkar di jarinya,
ia benar-benar kalis dari racun.
Meskipun demikian Jaka Pandan tidak mau jarum-
jarum itu bersarang di tubuhnya. Kendati ia tidak mati oleh
racun yang meluncurinya, tapi akhirnya ia akan mati juga
oleh jarum itu. Sebab apabila jarum-jarum itu terbenam ke
tubuhnya sudah barang tentu bukan suatu pekerjaan yang
gampang untuk mengeluarkan jarum-jarum itu. Sebab
jarum-jarum itu akan menyusup dan bersarang ke lapisan
daging yang tentu akan mengakibatkan membusuknya
daging itu.
Jaka Pandan tidak mau mati demikian. Karena itu ia
harus segera bertindak menyelamatkan diri selagi masih
mempunyai kesempatan. Jarak antara Ngangrang Sewu286
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
dan Jaka Pandan hanya terpaut tiga langkah. Namun
kesadaran dan kelincahan Jaka Pandan masih memberi
kemungkinan bagi anak itu untuk menghindarkan diri
dengan menjatuhkan diri bergulingan. Akan tetapi
demikian Jaka Pandan menjatuhkan badan, sebuah
sambaran cambuk Ngangrang Sewu mendarat di
punggungnya tanpa dapat dihindarkan lagi. Dan begitu
anak itu memaksa dirinya untuk berdiri, ia telah melihat
Ngangrang Sewu mengayunkan cambuknya. Jaka Pandan
tidak mau menjadi sasaran cambuk kilat Dahono untuk
kedua kalinya. Dengan menggeserkan kaki ia berkelit lalu
sedikit merendahkan tubuh. Ketika cambuk Ngangrang
Sewu itu melintas cepat di atas kepalanya, secepat itu pula
tangan Jaka Pandan bergerak menyambarnya. Ngangrang
Sewu untuk kedua kalinya terperanjat sehingga ia berseru
tertahan. Tetapi cepat ia menguasai kesadarannya. Dengan
sepenuh tenaga ia menarik cambuk itu. Sebaliknya Jaka
Pandan bahkan dengan meminjam tenaga lawan meloncat
ke depan sembari melontarkan tendangan geledek.
"Auh......!"
Tendangan itu tepat bersarang di rahang Ngangrang
Sewu membuat orang itu terhuyung-huyung ke belakang
serta terpaksa melepaskan cambuknya yang ditarik oleh
Jaka Pandan. Belum lagi orang itu menyadari keadaan yang
menimpa, ia mendengar sebuah ledakan dahsyat yang
lekat di daun telinganya. Untuk kesekian kalinya
Ngangrang Sewu mengelak. Namun keluhan sekali ini
diikuti oleh robohnya tubuh pemimpin gerombolan Sawer
Wulung itu ke tanah. Rupanya Jaka Pandan telah287
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
mengakhiri pertempuran itu dengan ledakan cambuk kilat
Dahono yang berhasil dirampas dari Ngangrang Sewu,
tepat mengenai dada orang itu yang terbuka penuh
dengan bulu dada.
Sesaat Jaka Pandan berdiri tegak. Matanya tajam
menatap Ngangrang Sewu. Namun anak itu menjadi
sangat terkejut ketika ia berpaling. Ternyata di sekeliling
tempat itu berdirilah berjejal-jejal anak buah gerombolan
Sawer Wulung.
Sekilas mata Jaka Pandan dapat menangkap perasaan
yang menggelora dalam dada orang-orang itu. Tegang.
Dendam. Marah. Semua terbayang pada wajah orang-
orang itu. Sedang tangan kanan mereka memegang
senjata telanjang memancarkan cahaya berkilat-kilat oleh
pantulan sinar matahari.
Dada Jaka Pandan berdesir. Dan dalam benaknya
terlintas suatu peristiwa yang mesti akan terjadi. Banjir
darah. Ini pasti. Sebab kematian Ngangrang Sewu itu tentu
akan menimbulkan dendam dan kemarahan pada anak
buahnya. Dan tumpuan dari dendam serta kemarahan itu
seluruhnya tercurah pada Jaka Pandan. Anak itulah yang
telah membunuh Ngangrang Sewu. Bagi Jaka Pandan
sudah tidak mungkin lagi mencari jalan untuk memecahkan
persoalan yang kini terjadi selain menghadapi anak buah
Ngangrang Sewu dengan kejantanan. Menghadapi orang-
orang Sawer Wulung dengan senjata dan kekerasan.
Kemungkinan untuk menyadarkan mereka sudah tiada
sama sekali.288
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Dalam kobaran kemarahan mereka, mereka tak akan
bisa merasakan dan berfikir tentang jalan yang lain. Apalagi
orang-orang itu adalah orang-orang kasar yang dalam
langkah kehidupan mereka senantiasa dilambari oleh
kekerasan tanpa menggunakan akal. Mereka telah
meninggalkan jalan pikiran manusia pada umumnya
semenjak mereka menerjunkan diri ke dalam lingkaran
kehidupan yang brutal. Semenhak mereka menenggelam-
kan duri dalam kesesatan. Di mana hidup mereka dialiri
nafas-nafas kesesatan, nafas-nafas kejalangan, nafas-nafas
pemerasan dan nafas-nafas kejahatan lain yang melingkari
nilai-nilai kemanusiaan sebagai cerminan hukum cinta
kasih yang merupakan anugerah Yang Maha Kuasa. Karena
itulah maka kemudian tak ada jalan lain bagi Jaka Pandan
kecuali menyiapkan diri terhadap segala kemungkinan
yang sesaat lagi mungkin terjadi. Yaitu perjudian maut.
Bahkan hal itu bukan hanya merupakan suatu
kemungkinan lagi. Melainkan suatu kejadian yang telah
dapat dipastikan untuk terjadi. Maka anak itu lalu
memindahkan cambuk Kilat Dahono ke tangan kiri. Sedang
tangan kanannya meraba hulu pedang. Sedikit saja anak itu
melihat adanya permulaan dari banjir darah ini, maka
pedang itupun pasti akan segera terhunus dari sarungnya
dan akan berputar-putar menebarkan pusaran-pusaran
maut.
Namun suasana yang menegangkan itu belum segera
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencapai titik puncaknya. Jaka Pandan masih tetap berdiri
di tempatnya dengan kesiapsiagaan atas perbuatan orang-
orang Sawer Wulung di setiap saat. Sebaliknya ratusan289
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
bahkan hampir ribuan orang yang mengelilingi arena
sempit itu tidak juga bergerak. Meskipun pada wajah
mereka memancarkan kobaran kemarahan yang meluap-
luap, tetapi dada mereka dirayapi oleh kebimbangan.
Orang-orang itu adalah orang-orang yang tergabung
dalam suatu ikatan. Di mana orang utama merupakan tali
pengikat yang mengomando tindakan mereka. Sedang
orang itu kini belum diketahui dengan pasti keadaannya
hidup atau mati. Tiada seorangpun yang berfikir untuk
mendekati Ngangrang Sewu yang terkapar diam. Mereka
bimbang kalau-kalau kemudian Jaka Pandan itu
membunuh bagi siapa yang berani maju ke tengah
gelanggang mendekati Ngangrang Sewu. Karena itu
orang-orang itu menjadi bimbang. Tiada pegangan untuk
berbuat.
Tetapi dalam ketegangan itu kemudian terdengar
sebuah suara parau menyebut nama Jaka Pandan. Suara itu
adalah suara Ngangrang Sewu. Jaka Pandan memalingkan
kepalanya. Sekali lagi ia mendengar Ngangrang Sewu
memanggil namanya.
Suara orang itu seperti tersekat di tenggorokannya.
Namun Jaka Pandan ragu-ragu. Apabila sampai sesaat
kemudian Jaka Pandan pun masih berdiri kaku, kembali
terdengar Ngangrang Sewu berseru lirih, "Jaka Pandan..."
Dan sesaat kemudian Ngangrang Sewu itu berkata
melanjutkan,
"Kau menang atas aku. Kemarilah."290
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Suara Ngangrang Sewu itu menyentuh dinding hati
Jaka Pandan. Akan tetapi anak itu masih ragu-ragu.
Agaknya Ngangrang Sewu merasakan perasaan anak
itu. Sehingga dengan demikian kembali orang itu berkata,
"Jangan ragu-ragu, Jaka Pandan. Kemarilah. Ada sesuatu
yang akan kukatakan kepadamu."
Akhirnya Jaka Pandan itupun kemudian menghampiri
Ngangrang Sewu. Sejenak ditatapnya Ngangrang Sewu
yang saat itu juga memandang Jaka Pandan. Namun pada
pancaran matanya Jaka Pandan melihat adanya suatu
perubahan atas diri Ngangrang Sewu. Mata itu sekarang
tidak lagi memancarkan keganasan maupun kebengisan.
Tetapi mata itu kini bersinar redup sayu. Serta bibirnya
bergerak-gerak meski tak satupun perkataan yang
diucapkannya. Dan sesaat kemudian dari bibir itu
terdengar suara tergetar lirih, parau, menyebut nama Jaka
Pandan. Tanpa sesadarnya anak itu lalu berjongkok di sisi
tubuh Ngangrang Sewu dan memegang pundaknya. Terasa
pundak itu panas bagai bara api.
"Jaka Pandan," Sekali lagi orang itu menyebut nama
bekas lawannya, "Terimalah salamku atas kemenanganmu."
Dada Jaka Pandan berdesir mendengar pengakuan
yang setulus itu. Pengakuan seorang pemimpin
gerombolan. Pengakuan yang jantan. Padahal siapapun tak
menduga bahwa Ngangrang Sewu dapat berbuat demikian
justru pada saat menjelang kematian. Namun Ngangrang
Sewu telah melakukannya. "Aku akan mati," kata
Ngangrang Sewu lagi. Semakin parau, "Mati untuk291
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
menebus dosa dosaku. Mungkinkah kematian ini bisa
meringankan dosa-dosaku, Jaka Pandan? Sekarang aku
sadar. Aku telah banyak sekali berbuat dosa."
Jaka Pandan menghela nafas. Terharu mendengar kata-
kata Ngangrang Sewu. Dan ia lalu mengucap syukur dalam
hati kepada Tuhan Yang Maha Besar yang telah berkenan
membuka pintu hati Ngangrang Sewu pada saat akhir
kehidupannya. Dengan kehendakNya Ngangrang Sewu
dapat melihat kembali masa-masa lampau yang telah
dihayati. Dan atas kekuasaanNya Ngangrang Sewu telah
menemukan kesadarannya lalu mengakui dengan jujur atas
perbuatan-perbuatan dosanya. Memang, jika Tuhan
menghendaki, apapun akan terjadi.
Demikian pula dengan Ngangrang Sewu yang selama
hidupnya dipenuhi jalur-jalur kehidupan yang gelap, yang
sama sekali melupakan kekuasaanNya. Namun atas
kekuasaan ini maka akhirnya Ngangrang Sewu dapat
menemukan kembali sumber dari kehidupannya yang
didurhakai. Oleh karena itu semakin sadarlah hati Jaka
Pandan akan kebesaran kekuasaan Tuhan semesta alam.
Bahwa kekuasaan itu tak terbatas.
"Bagaimana, Jaka Pandan?" untuk kesekian kalinya Jaka
Pandan mendengar Ngangrang Sewu menyebut namanya.
"Apakah aku akan memperoleh pengampunan?"
"Tuhan Maha Pengasih." sahut Jaka Pandan.
"Ya. Tuhan Maha Pengasih. Tetapi dosaku setinggi
gunung sedalam lautan...."292
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Mohonlah. Dia akan mengabulkan siapa saja yang
meminta. Dia akan mengampuni siapa saja yang bertobat."
"Terima kasih Jaka Pandan. Lantaran engkaulah aku
kembali dapat mengenal kerajaan Allah yang kudus,
kerajaan Allah yang kekal, kerajaan Allah yang damai. Yang
selama ini kuingkari. Karena engkaulah aku dapat
merasakan kembali ketenteraman dalam kerajaan itu walau
hanya dalam sesaat. Namun yang sesaat itu sangat
membahagiakan hatiku..."
Hening.
Baik Ngangrang Sewu maupun Jaka Pandan
tergelimang dalam lingkaran otaknya masing-masing.
Sedang orang-orang yang berdiri mengelilingi tempat itu
masih tetap pada kedudukannya semula. Ujung-ujung
senjata yang berkilat-kilat itu bergetaran. Sementara
mataharipun semakin melambung tinggi. Hampir mencapai
titik puncaknya. Sinarnya sedemikian panas membakar
tubuh orang-orang yang ada di halaman rumah kecil itu.
Sehingga berbintil-bintil keringat membasahi tubuh
mereka. Namun orang-orang itu seakan-akan tidak
menghiraukan teriknya sinar matahari.
Ketika keheningan itu berlangsung sejenak lamanya,
maka yang terdengar kemudian adalah suara Ngangrang
Sewu, "Tolonglah aku, Jaka Pandan. Panggilkan orang-
orang yang bernama Wilupaksa serta Jajakwreksa."293
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Jaka Pandan bangkit. Lalu memutar tubuh. Lalu berkata,
"Siapa di antara kalian yang bernama Wilupaksa serta
Jajakwreksa. Ngangrang Sewu memanggil kalian."
Kedua orang yang dimaksud itupun segera maju pula.
Dua orang yang berperawakan besar-besar, bengis, di
tangan mereka masing-masing tergenggam sebuah
nenggala dan sebatang tombak pendek. Ketika Jaka
Pandan memperhatikan orang-orang itu, ia menampak
sinar kebencian dari pancaran mata mereka. Namun Jaka
Pandan tidak peduli. Kembali ia berjongkok di sisi
Ngangrang Sewu. Sedang kedua orang itu mengambil
tempat di sisi yang lain berhadapan Jaka Pandan.
"Adakah kalian Wiiupaksa serta Jajakwreksa?" bertanya
Ngangrang Sewu.
'Ya." sahut mereka hampir berbareng.
"Terimakasih. Ternyata engkau benar-benar dua orang
sahabatku yang paling setia. Sampai pada saat menjelang
kematianku..."
"Tidak!" potong orang yang bersenjatakan nenggala.
Dialah Wilupaksa. "Kakang Ngangrang Sewu tidak akan
mati. Kakang Ngangrang Sewu akan hidup. Sebab sebentar
lagi kita akan merebut Pajang!"
Bola mata Ngangrang Sewu bergerak-gerak.
"Tetapi aku akan mati," katanya. "Mati karena pokalku
sendiri. Mati oleh senjataku sendiri. Kilat Dahono. Ini
merupakan lambang bagiku. Dan bagi keluarga Sawer294
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Wulung. Bahwa pokal yang tidak lumrah itu akhirnya akan
menghancurkan kita sendiri."
"Jadi?" bertanya Wilupaksa dengan kening berkerut.
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ngangrang Sewu tidak menjawab. Nampak orang itu
menyeringai. Lalu berusaha menelan ludah. Tapi sulit
seolah-olah pada batang tenggorokannya tersumbut
sesuatu. Baru sesaat kemudian ia berkata, "Wilupaksa dan
Jajakwreksa. Sebentar lagi aku akan mati. Dalam saat-saat
terakhir ini aku masih akan mencoba menemukan
kebahagiaan bagi anak buah Sawer Wulung. Permintaanku
kepada kalian sebagai pemimpin Sawer Wulung ialah,
tinggalkan Gunung Kidul ini bersama orang-orang yang
lain. Hentikanlah rencana kita untuk menumbangkan
Pajang karena hal itu tak mungkin akan kita capai. Bahkan
dengan cita-cita yang gila itu kita akan terjerumus. Biarlah
aku sendiri yang menerima akibat kegilaan itu. Tapi jangan
kalian dan yang lain. Tuhan tak akan memberkati kita.
Pajang terlampau kuat bagi kita. Lihatlah. Anak ini hanya
bagian dari laskar Pajang saja. Tetapi dia mampu
mengalahkanku. Sedang Pajang terdiri banyak sekali
orang-orang seperti dia."
Wilupaksa serta Jajakwreksa tersentak. Sejenak mereka
berpandangan. Lalu mereka sama-sama bangkit.
"Wilupaksa dan Jajakwreksa," terdengar Ngangrang
Sewu melanjutkan. "Renungkanlah apa yang kukatakan ini
dengan kepala dingin, dada lapang serta hati yang wening.295
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Ngangrang Sewu berhenti sejenak. Tetapi segera pula
ia berkata, "Tinggalkan tempat ini dan kembalilah pada
kehidupan yang wajar. Masa depan kalian masih jauh. Di
mana kalian masih bisa memperoleh kehidupan yang
damai lahir batin."
"Cukup!" teriak Jajakwreksa yang sedari tadi berdiam
diri. Tapi sekarang orang itu tak dapat berdiam diri lagi. Ia
sudah tidak mampu lagi mengendalikan kemarahannya.
"Ternyata kau seorang laki-laki yang tak lebih dari jiwa
betina. Kau menyerah pada maut. Padahal aku selama ini
menganggap bahwa engkaulah laki-laki yang benar-benar
jantan di seluruh jagad ini. Aku dan orang-orang lain
mendewa-dewakanmu. Tetapi kini ternyata mendewa-
dewakan seorang pengecut, seorang kelinci, seorang yang
ingkar dari tujuan perhimpunan ini. Kau pengecut. Banci.
Kelinci. Biarlah aku mempercepat kematianmu supaya
engkau tidak berbicara 'aeng-aeng' yang dapat
meruntuhkan kekerasan hati orang-orang Sawer Wulung
dalam mengejar cita-citanya yang besar!"
Dan di ujung kata-katanya itu Jajakwreksa menggerak-
kan tombak pendeknya. Tombak itu tergetar pada
ujungnya.
Jaka Pandan terperanjat. Dia hendak bangkit. Akan
tetapi suara Ngangrang Sewu yang lirih itu menyentuh
liang telinganya, "Jaka Pandan. Apa yang akan kau
lakukan?"
Jaka Pandan terpukau. Kata-kata itu bagai tetesan
embun ke dalam kobaran dada Jaka Pandan oleh kata-kata296
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Jajakwreksa. Dalam pada itu terdengar lagi suara
Ngangrang Sewu: Biarkanlah apa yang akan dilakukannya.
Inilah hasil tempaanku pada anak buahku. Dan karena
perbuatanku itulah aku harus mengakhiri hidupku. Mati
dari hasil olahku. Bahkan aku merasa bahagia, Jaka Pandan,
jika sekiranya Jajakwreksa mau membunuhku. Dengan
demikian maka dosa-dosaku akan terasa menjadi semakin
ringan.
Kata-kata itu mencampakkan Jaka Pandan pada
kebekuan.
Dan kembali ia mendengar Ngangrang Sewu berkata,
sekali ini suaranya menjadi sangat dalam dan sesekali
tersendat-sendat, "Kematianku telah di ambang pintu. Jaka
Pandan, jika kau bertemu dengan Cinde Wulung,
sampaikanlah salamku kepadanya serta sampaikan
permintaan maafku atas perbuatan-perbuatanku yang
menyakitkan hatinya."
"Baiklah."
"Satu lagi, Jaka Pandan. Berhati-hatilah terhadap
Ragajaya. Dia...."
Namun Ngangrang Sewu tak lagi dapat melanjutkan
kata-katanya. Semakin lama suaranya menjadi semakin
dalam. Dan kemudian tak terdengar sama sekali. Wajah
Ngangrang Sewu berubah merah padam. Mulutnya
menyeringai. Matanya memutih. Perlahan-lahan tubuhnya
menjadi kaku. Bertepatan dengan tarikan nafasnya yang
terakhir, tubuh Ngangrang Sewu berubah menjadi hitam297
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
legam. Ngangrang Sewu telah mati oleh senjatanya sendiri.
Dan kematian itu sendiri sedemikian mengerikan. Seluruh
tubuhnya berwarna hitam hangus. Sedang mulutnya tetap
menyeringai serta matanya tetap memutih. Serta seluruh
pakaian yang melekat di tubuhnya ikut terbakar hangus.
Dan karena itu Jaka Pandan teringat pada ki Ragajaya
dan Pamuncar. Ia mencoba mencari mereka di antara
jajaran anak buah Ngangrang Sewu. Namun yang dicarinya
tidak dijumpai.
***
Bersamaan dengan itu, Jajakwreksa dan Wilupaksa
menggeser kaki mereka mengurung Jaka Pandan pada
posisi yang berseberangan.
Melihat sikap kedua orang itu, Jaka Pandan segera
mempersiapkan diri pula. Namun sebelum anak itu
bergerak, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan
berdiri di samping Jaka Pandan dengan sehelai kain sutera
berwarna hitam.
"Cinde Wulung," desis Wilupaksa terperanjat.
Orang itu, yang bukan lain Cinde Wulung adanya,
tersenyum lebar. Sementara kain hitam yang lebarnya
empat jari itu dipermainkan dengan kedua tangannya.
"Perempuan setan," desis Wilupaksa lagi. "Apa yang
akan kau lakukan?"298
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Cinde Wulung masih saja tersenyum. Lalu, "Pertanyaan
itu kukembalikan kepadamu, apa yang akan kau lakukan?"
"Keparat! Akan mencincang lehermu untuk membalas
sakit hati Gemak Ijo!"
Sekali ini bahkan Cinde Wulung tertawa kecil,
"Majulah."
Wilupaksa menggeram pendek. Dan tanpa berkata
sepatahpun orang itu menggerakkan nenggalanya
menusuk Cinde Wulung. Serangan itu sedemikian
cepatnya. Namun ternyata Cinde Wulungpun bukanlah
seorang perempuan yang lemah. Ia adik Ngangrang Sewu,
yang seperti kakaknya itu iapun memperoleh gemblengan
tata ilmu bela diri dari ayahnya. Ilmu yang dimilikinya
hanya terpaut selapis dengan Ngangrang Sewu.
Oleh karena itulah pada beberapa saat yang lalu ia
dapat membunuh suaminya, Gemak Ijo, yang sebenarnya
tidak disenanginya. Sedang Gemak Ijo adalah kakak
Wilupaksa. Sehingga dengan demikian dalam dada
Wilupaksa berkobar bua dendam terhadap Cinde Wulung.
Dan dendam itu ditumpahkannya sekarang. Karenanya
ayunan nenggala itu sangat dahsyat menusuk lambung
Cinde Wulung. Tetapi dengan manisnya perempuan itu
menghindarkan diri. Ketika kemudian Wllupaksa menyusuli
kegagalan serangan pertama dengan serangan-serangan
lain, maka Cinde Wulung segera terlibat dalam sebuah
pertempuran yang sengit melawan Wilupaksa.299
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Tinggal Jajakwreksa yang masih termangu-mangu. Ia
melihat kawannya telah bertempur dengan satrunya, Cinde
Wulung, perempuan yang telah membunuh kakaknya. Lalu
matanya melihat pada Jaka Pandan dari ujung kaki hingga
kepalanya. Dalam hati ia menimbang-nimbang apakah ia
mampu menghadapi Jaka Pandan seorang diri. Tetapi
pertimbangan itu segera pula menemui titik tolaknya. Ia
akan melawan Jaka Pandan, walaupun ia menyadari bahwa
anak itu sangat dahsyat. Tetapi dalam otaknya ia telah
mempunyai pertimbangan-pertimbangan. Ia mengharap,
dan harapan itu sangat diyakini oleh Jajakwreksa,
Wllupaksa dapat menyelesaikan pertempurannya dalam
waktu yang tidak lama, sementara itu ia akan berusaha
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperpanjang saat pertempurannya paling tidak sebatas
waktu yang diperlukan oleh Wilupaksa untuk menjatuhkan
Cinde Wulung. Agar dengan demikian jika ternyata Jaka
Pandan memiliki ilmu yang melampaui dirinya, Wilupaksa
dapat segera memberi bantuan. Sehingga kemudian ia
bersama-sama Wilupaksa melawan Jaka Pandan.
Jajakwreksa tidak peduli bahwa cara pertempuran
demikian itu adalah cara pertempuran pengecut.
Jajakwreksa tak peduli. Ia menganggap bahwa untuk
mencapai kemenangan, cara apapun dapat dilakukan.
Apakah itu pengecut, atau licik, atau .... atau ..., ia tak
peduli. Yang penting menang. Dan jalan pikiran demikian
dimiliki pula oleh orang-orang lain yang sehaluan
dengannya.
Kemudian dibarengi dengan gerakan kecil ujung
tombaknya ia berseru lantang, "Anak iblis! Lawanlah aku!"300
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Tiba-tiba sebuah angin deras bertiup memukul mata
tombak Jajakwreksa. Orang itu berseru kaget. Cepat-cepat
ia meloncat mundur untuk menghindarkan benturan mata
tombaknya. Adalah pada saat itu ia melihat seorang laki-
laki bermuka merah, berewok, dengan sebuah goresan
bekas luka melintang di wajahnya. Tangannya memegang
sebuah tangkai kapak yang tidak berukuran lumrah.
Melihat orang itu, Jajakwreksa menjadi lebih terkejut.
"Suradipa!" teriaknya.
Jaka Pandanpun tak kalah pula terkejutnya. Ia pernah
melihat orang berkapak itu. Bahkan kemarin hampir saja
orang itu dibunuhnya jika saja Ngangrang Sewu tidak
menebarkan ranjau dan melibat dirinya. Ia tahu bahwa
orang itu adalah anak buah Sawer Wulung. Yang
mengherankan hati Jaka Pandan adalah kenapa tiba-tiba ia
menampar Jajakwreksa. Padahal mereka sama-sama kawan
sehaluan. Namun keheranan Jaka Pandan segera menemui
jawabnya ketika terdengar orang itu yang oleh Jajakwreksa
disebut dengan Suradipa berkata,
"Hentikan apa yang akan kau perbuat Jajakwreksa.
Ataukah aku terpaksa menghentikan kegilaanmu?"
"Gila!" geram Jajakwreksa. Namun mata orang itu
memancarkan suatu perasaan tidak mengerti, suatu tanda
tanya.
"Memang," sahut Suradipa, "Kita semua telah
dihinggapi penyakit gila. Semua orang Sawer Wulung tiada
satupun yang berotak waras. Termasuk juga aku yang
mencita-citakan kedudukan tinggi dalam kerajaan yang301
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
dibangun oleh otak yang tidak waras. Namun seperti pula
ki lurah, pada saat menjelang kematiannya, aku
menemukan kesadaran dari kegilaan itu. Dan aku mencoba
memenuhi permintaan ki lurah Ngangrang Sewu yang
secara samar-samar dapat kudengar pula.
"He? Apakah engkau juga telah dijangkiti oleh penyakit
pengecut itu?!"
"Menyadari kesesatan bukan berarti pengecut,
Jajakwreksa."
"Gila?"
Namun Suradipa seolah-olah tidak mendengar
umpatan Jajakweksa. Ia memutar tubuh. Kepada orang-
orang yang berdiri mengelilingi arena kecil itu ia berseru
lantang, "Saudara-saudaraku senasib dan seperjuangan.
Suatu peristiwa yang sekali tak terduga menimpa diri Sawer
Wulung dengan kehadiran seorang perajurit dari Pajang
yang hendak menyelesaikan kegilaan kita untuk mencabut
tahta Pajang. Ki lurah mati di tangannya. Dengan demikian
kita tidak lagi mempunyai seorang pemimpin yang
mengendalikan perjuangan kita. Dalam hal ini tampillah
adiknya mengambil alih pimpinan. Namun ternyata ada
orang lain yang ingin menduduki kursi pimpinan pula.
Sehingga karena itu kita dihadapkan pada suatu
persimpangan jalan yang harus segera kita tentukan jalan
mana yang harus kita tempuh. Berfikirlah dalam saat yang
cepat. Mengikuti jejak Suradipa mengangkat Cinde Wulung
sebagai pengganti kakaknya atau kalian menerima
Jajakwreksa dan Wilupaksa sebagai pemimpin kalian."302
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
(Bersambung Jilid ke-5)303
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono304
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono305
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
TERJADILAH suatu kegaduhan yang bergemuruh.
Jajakwreksa tersentak. Sedang Wilupaksa mendengar suara
Suradipa itu serta-merta menghentikan pertempurannya.
Dengan diiringi oleh sebuah geraman yang dahsyat ia
meloncat ke arah Suradipa. Tetapi pada saat yang
bersamaan Cinde Wulung pun meloncat pula menghalangi
ayunan nenggala orang itu yang menyerang Suradipa dari
belakang. Tar! Kain sutera itu melibat nenggala Wilupaksa
dan menariknya sehingga Wilupaksa mengurungkan
serangannya terhadap Suradipa.
"Setan!" geramnya. "Jadi kau ingin menduduki
pimpinan Sawer Wulung?"
"Aneh?" sahut Cinde Wulung sekaligus melontarkan
pertanyaan kepada Wilupaksa, "Bukankah suatu hal yang
wajar terjadi? Ngangrang Sewu adalah kakakku. Maka
dengan sendirinya aku mempunyai wewenang untuk
mengambil alih kedudukannya."
"Akan kau bawa ke mana mereka?"
"Meluruskan dari jalan kesesatan seperti yang
dikehendaki oleh kakang Ngangrang Sewu sesaat sebelum
menghembuskan nafasnya yang terakhir."306
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
"Jangan mengigau di siang hari bolong!" geram
Wilupaksa sambil mengayunkan nenggalanya.
Pada saat itu pula dengan dada berkobar-kobar
dibakar oleh kemarahan, Jajakwreksa menyerang Suradipa
dengan tombak pendek-nya. Suradipa pun agaknya
mempunyai ilmu yang cukup tinggi. Meskipun pada saat
itu ia diserang dari belakang dan dalam jarak yang tak
lebih dari tiga langkah, namun ia masih sempat memutar
tubuhnya. Tapi adalah suatu kemungkinan yang tak dapat
dilakukannya untuk mengelakkan tusukan ujung tombak
Jajakwreksa. Sebab ujung senjata itu sangat cepat dan
sudah sedemikian dekat berada di muka lambungnya.
Tinggal beberapa jengkal lagi. Tapi kesadaran Suradipa
cukup baik. Ia mengambil suatu keputusan untuk mati
bersama dengan lawannya. Oleh karena itulah maka ia
tidak peduli pada ujung tombak yang nyaris menyentuh
dan menyobek koyak lambungnya. Sebaliknya bahkan ia
mengayunkan kapaknya mendatar sepenuh tenaga untuk
menabas leher Jajakwreksa. Dengan demikian ia mempu-
nyai perhitungan bahwa kapaknya akan memutuskan leher
Jajakwreksa bertepatan dengan saat ujung tombak orang
itu terbenam ke lambungnya.
Jajakwreksa terperanjat. Dan mengeluh pendek. Ia tidak
menyangka apabila Suradipa mengambil suatu keputusan
yang senekat itu. Mati bersama-sama. Tetapi akibat yang
dideritanya akan lebih parah daripada yang diderita oleh
Suradipa. Kapak orang itu akan memenggal putus
lehernya. Sedang tombaknya meskipun akan membenam
ke lambung musuh, tapi toh tidak mesti mengakibatkan307
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
kematian. Oleh karena itu maka kemudian tombak yang
hampir menyobek lambung Suradipa itu ditariknya
kembali. Dan dengan loncatan ke samping ia memutar
tombak itu ke atas. Trak...! Ia berhasil membendung ayunan
kapak itu dengan tombaknya. Tetapi ia sendiri terdorong
ke samping akibat dari benturan itu. Sedangkan Suradipa
beberapa langkah terhuyung-huyung ke belakang.
Demikianlah, maka di tempat itu terjadilah dua
lingkaran pertempuran yang cukup dahsyat. Sedang di
seputar tempat itu orang-orang yang berjumlah ratusan itu
menjadi gaduh tak menentu. Dan tiba-tiba orang-orang itu
berserabutan lari menuju ke satu arah. Karena mereka lari
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan serempak salang tunjang, banyak di antara mereka
yang roboh terinjak oleh kaki kawan-kawan mereka sendiri.
Sejalan dengan itu, dalam benak Jaka Pandan timbullah
bermacam-macam pertanyaan yang melingkar-lingkar atas
peristiwa yang dilihatnya. Dilihat dan dihayatinya. Adalah di
luar dugaan bahwa perkembangan yang terjadi kemudian
sedemikian hebatnya. Bahwa kematian Ngangrang Sewu
akan mempunyai pengaruh yang sangat luar biasa bagi
gerombolan Sawer Wulung. Semula ia menduga bahwa
dengan kematian Ngangrang Sewu itu akan mengakibat-
kan rapuhnya semangat orang-orangnya. Tetapi ternyata
apa yang diperhitungkannya jauh meleset dengan
kenyataan yang terjadi, yang oleh Jaka Pandan tak tahu
harus bagamana ia berbuat.
Secara tak diduganya dengan kematian Ngangrang
Sewu itu muncullah kekuatan-kekuatan dari dalam tubuh
Sawer Wulung sendiri untuk memperebutkan pucuk308
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
pimpinan. Kekuatan-kekuatan itu adalah Jajakwreksa-
Wilupaksa di satu fihak dan Cinde Wulung-Suradipa di lain
fihak. Yang tak dimengerti oleh Jaka Pandan ialah mengapa
Cinde Wulung yang semula acuh tak acuh, bahkan
menentang gerombolan Sawer Wulung, kini tiba-tiba jadi
ikut-ikutan merebut kekuasaan gerombolan itu. Apakah
sebenarnya latar belakang dari tindakan Cinde Wulung itu.
Sedang sementara orang-orang itu tenggelam dalam
pertempurannya masing-masing untuk memperebutkan
kekuasaan, adalah orang-orang Sawer Wulung yang lain
lari berserabutan yang menurut dugaan Jaka Pandan
menuju ke arah mulut goa di lamping bukit di mana ia
pernah disekap oleh Ngangrang Sewu.
Suatu hal yang lebih tak ada dalam dugaan Jaka
Pandan adalah kenyataan pada diri Cinde Wulung itu
sendiri. Dia, adik Ngangrang Sewu, adalah seorang
perempuan yang cukup cantik. Umurnya sekitar tigapuluh
atau tigapuluh satu tahun. Semula ketika ada dalam goa,
Jaka Pandan pun telah menduga bahwa Cinde Wulung
pasti seorang perempuan cantik. Tetapi dugaan itu tak
dapat dipastikan sebab mata Jaka Pandan tak dapat
menembus kepekatan suasana untuk melihat wajah Cinde
Wulung. Dan seandainya goa itu menjadi terang
benderang pun Jaka Pandan akan kaku melihat keadaan
Cinde Wulung. Untunglah hal itu tidak harus terjadi pada
dirinya. Tiba-tiba Jaka Pandan menundukkan kepalanya
dan menggigit bibir ketika disadarinya perbuatannya di
dalam goa itu. Malu. Walau nyatanya tiada seorangpun
yang harus dimaluinya. Tetapi perasaan malu itu adalah309
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
kepada dirinya sendiri. Tetapi kemudian: Mengapa ia harus
malu? Toh perbuatan yang ia lakukan itu tidak melanggar
batas-batas kesusilaan, tidak melakukan perbuatan nista?
Perbuatannya adalah semata-mata dilandasi oleh
kesadaran dirinya sebagai makhluk yang harus menolong
terhadap sesamanya. Maka kemudian Jaka Pandan pun
mengangkat kepalanya kembali. Sehingga dengan
demikian anak itu melihat pertempuran-pertempuran yang
terjadi antara Cinde Wulung dengan Wilupaksa serta
antara Suradipa melawan Jajakwreksa.
Dalam pertempuran antara Suradipa dan Jajakwreksa
itu, Jaka Pandan melihat adanya titik keseimbangan karena
masing-masing fihak mempunyai kelebihan-kelebihan
tersendiri. Jajakwreksa yang mempunyai tubuh besar
sebesar gajah itu mempunyai sedikit keunggulan daripada
lawannya. Ilmu yang dimilikinya sedikit lebih matang
sehingga setiap geraknya menjadi sedemikian mantab.
Namun Suradipa dapat menutup kekurangannya dengan
permainan kapaknya yang sangat dahsyat. Setiap
sambaran kapaknya menimbulkan angin yang menderu,
yang membayangkan betapa kuatnya tenaga orang itu.
Dan setiap sambaran kapaknya selalu mengancam jiwa
lawan. Untunglah bahwa Jajakwreksa cukup tangguh.
Sehingga walaupun ia lebih banyak menerima serangan
tetapi sampai sedemikian jauh ia masih mampu
mempertahankan diri dengan tombak pendeknya. Tombak
itu berputar-putar laksana baling-baling yang
membentengi tubuhnya dari gempuran mata kapak
Suradipa.310
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Berbeda dengan pertempuran antara Wilupaksa
dengan Cinde Wulung. Nampak dalam pertempuran itu
Wilupaksa menjadi keripuhan menghadapi lawannya.
Sabuk sutera hitam di tangan Cinde Wulung itu bergerak-
gerak lemas seperti seekor ular. Sehingga dengan demikian
ia tidak dapat menggunakan keunggulan yang dimilikinya
dengan baik. Secara kodrat ia mempunyai kekuatan yang
melebihi kekuatan Cinde Wulung. Tetapi apakah artinya
keunggulan itu bila tak dapat dimanfaatkan. Karena
betapapun kekuatan yang besar belum tentu membawa
kemenangan dalam pertempuran jika dalam pertempuran
itu sendiri jarang terjadi benturan tenaga. Dan dengan
senjatanya yang sangat lemas itulah Cinde Wulung dapat
melindungi kelemahan dirinya. Sehingga apabila terjadi
benturan senjata, kelebihan tenaga Wilupaksa tidak
menindih kekuatannya. Sebaliknya kain sutera itu malah
melibat nenggala.
Meskipun demikian Cinde Wulung berusaha untuk
tetap menghindarkan setiap terjadi benturan senjata. Ia
senantiasa mengandalkan kelincahan dan kecepatan gerak.
Senjatanya kadang-kadang melingkar-lingkar mengelilingi
Wilupaksa lalu bagai mengeras dengan tiba-tiba seperti
sebuah tombak terjulur lurus ujungnya menusuk. Tetapi
apabila Wilupaksa menangkisnya, kembali kain itu menjadi
sangat lemas melilit nenggalanya. Dan agaknya Cinde
Wulung pun tidak membiarkan kesempatan-kesempatan
yang dilihatnya begitu saja. Tetapi ia menggunakan
kesempatan-kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.311
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Nampaknya Cinde Wulungpun berusaha menyelesaikan
pertempuran itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Demikianlah maka Wilupaksa banyak menemui kesulitan
dalam melawan Cinde Wulung. Dicobanya berusaha sekuat
tenaga untuk memperbaiki kedudukannya dengan
mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki. Namun
ternyata usaha itu menemui kegagalan sebab Cinde
Wulung semakin memberikan tekanan-tekanan yang
semakin berat. Ketika kemudian dilihatnya Jajakwreksa
masih bertempur melawan Suradipa dengan serunya,
hatinya pun menjadi kecut. Barangkali saat inilah
merupakan titik akhir dari kehidupannya. Namun demikian
ia masih mencoba untuk mempertahankan dri selagi ia
masih memperoleh kesempatan itu. Ibarat sebelum ajal
berpantang mati. Ia mengerahkan sisa-sisa kemampuan
yang masih mungkin dilakukannya untuk mempertahankan
diri.
Betapapun peristiwa yang kini harus dihayati semakin
menambah kemarahan Wilupaksa. Disadarinya sekarang
bahwa nasibnyalah yang akan ditentukan oleh lawan. Dan
bukan sebaliknya. Akhirnya Wilupaksa benar-benar
menjadi sangat marah. Dan kemarahan itu telah
mendorongnya ke dalam lembah kekalapan. Dalam
keadaan yang demikian ia tak tahu bagaimana ia harus
bergerak. Nenggalanya hanya mampu terjulur lurus ke
arah Cinde Wulung manakala senjata perempuan itu
meledak dekat sekali di sisi telinganya. Sepasang kakinya
tergetar hebat. Keringatnya mengucur membasahi seluruh
permukaan tubuhnya. Dalam keadaan yang kritis itu tiba-
tiba terdengar sebuah jerit ngeri yang disusul dengan312
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
sesosok tubuh yang terbanting. Ketika Cinde Wulung
berpaling, perempuan itu melihat Suradipa berguling ke
tanah. Darah merah segar memancar dari dadanya yang
berlubang. Dada Cinde Wulung tergetar. Dan karena itu
senjatanya yang nyaris menamatkan perlawanan Wilupaksa
itu menjadi gagal. Namun karena kejadian itu, darah cinde
Wulung menggelegak. Matanya memancarkan kebencian-
nya yang tiba-tiba memuncak.
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Laknat!" seru perempuan itu. Dan.... tarrrr! Sasaran
kemarahan perempuan itu adalah wajah Wilupaksa yang
kemudian hangus. Orang itu memekik kesakitan sambil
medekap wajah itu dengan tangannya. Bersamaan dengan
itu sebuah tendangan yag bersarang di perutnya, memaksa
orang itu jatuh bergulingan. Ketika ia mencoba berdiri,
terasa dari dalam perutnya sesuatu ingin menggelegak
keluar. Dan langit yang ada di atasnya seakan-akan mau
runtuh menimpanya. Wilupaksa kembali terjatuh untuk tak
dapat bergerak. Nafasnya tersengal-sengal.
Bertepatan dengan saat itu terdengar pula sebuah
jeritan lain. Ternyata Jajakwreksa yang mencoba menerjang
Jaka Pandan setelah berhasil menjatuhkan Suradipa roboh
terguling. Tubuhnya menggelepar-gelepar seperti ayam
disiram air panas. Untuk kemudian perlahan-lahan orang
itu terdiam kaku. Hangus! Tiga mayat bergelimpangan.
Suradipa, Wllupaksa dan Jajakwreksa. Dan ditambah
dengan Ngangrang Sewu dan ditambah oleh berpuluh-
puluh orang-orang Sawer Wulung yang di antaranya masih
mengerang menenggang maut. Di tengah-tengah keadaan
demikian berdirilah Jaka Pandan dan Cinde Wulung saling313
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
berpandangan. Diam mematung. Tiba-tiba kepala Jaka
Pandan tertunduk. Matanya terhunjam dalam-dalam ke
tanah. Dada Jaka Pandan tergoncang untuk lama-lama
menentang pandang Cinde Wulung. Mata perempuan itu
terasa bagai sebatang anak panah yang menembus ulu
hatinya.
Akhirnya terdengar Cinde Wulung memanggil Jaka
Pandan dengan suara tergetar. Tetapi suara panggilan itu
sama sekali tidak didengar oleh Jaka Pandan. Sehingga
untuk kedua kalinya Cinde Wulung menyebut namanya,
"Kenapa kau tiba-tiba saja mematung, Jaka Pandan?"
bertanya perempuan itu pula melanjutkan.
"Ah...," Jaka Pandan berdesah.
Terasa sikap anak itu menjadi kaku. Ia mencoba untuk
menjawab. Tetapi kata-kata yang akan diucapkannya
tersekat dalam batang tenggorokannya. Dan yang
terdengar dari mulutnya cuma suara desahan panjang.
Cinde Wulungpun kemudian memperhatikan Jaka
Pandan seolah-olah ia ingin menyelami perasaan yang
sedang bergolak dalam dada anak muda itu. Akhirnya
iapun menghela nafas panjang. Sebagai seorang
perempuan yang telah jauh melampaui masa-masa
keremajaan, maka Cinde Wulung pun dapat membaca
perasaan orang lain melalui pancaran mata. Oleh karena itu
maka iapun tahu pula apa yang sekarang ada dalam dada
Jaka Pandan. Dengan demikian kemudian berkatalah ia,
"Jaka Pandan. Aku tahu apa yang kau rasakan. Rikuh
pekewuh serta malu. Mengapa perasaan demikian harus314
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
terjadi dalam hatimu? Jangan memusingkan kepalamu
dengan perasaan yang bukan-bukan."
Tetapi oleh kata-kata itu bahkan Jaka Pandan menjadi
semakin kaku. Sekali lagi ia berdesah.
"Jaka Pandan," Cinde Wulung melanjutkan, "Kejadian
dalam goa itu telah lama berlalu. Dan tiada seorangpun
yang melihatnya. Dan seandainya ada orang lain yang
mengetahui pun tidak seharusnya kau merasa malu. Sebab
apa yang kau dan aku lakukan adalah perbuatan-
perbuatan yang tidak harus melanggar kaidah kesusilaan
yang tertinggi. Perbuatan kita masih terbatas walaupun
batas itu telah ada pada batas yang tertinggi. Namun toh
kita tidak kehilangan nilai kemanusiaan kita. Kau
melakukannya dengan tulus ikhlas."
Kembali Cinde Wulung berhenti. Dan sekali lagi ia
memperhatikan Jaka Pandan seolah-olah ia ingin melihat
kesan anak ini atas kata-katanya. Lalu ia melanjutkan,
"Karenanya, bersikaplah secara wajar, Jaka Pandan. Tak
ada yang harus ditutup-tutupi."
"Tetapi....," terdengar suara Jaka Pandan dengan bibir
gemetar. Namun suara itu terhenti di tengah jalan.
"Apa yang akan kau katakan?"
"Ah...," kembali Jaka Pandan berdesah. "Aku tak tahu."315
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Dan setelah berhenti sejenak anak itu melanjutkannya,
"Adalah benar bahwa perasaan malu itu ada padaku.
Bukan kepada siapapun. Melainkan kepada diriku sendiri."
"Mengapa?"
"Aku tak tahu."
"Aneh."
"Ya."
"Apanya yang aneh?"
Kembali Jaka Pandan terpukau oleh kata-kata Cinde
Wulung. Ya, apanya yang aneh? Pertanyaan itu diulang dan
ditanyakan dalam hatinya. Namun ia tak tahu bagaimana
harus menjawabnya. Sebab ia hanya menanggapi apa yang
dikatakan oleh perempuan itu dengan di luar kesadaran.
Cuma menanggapi sekenanya. Agaknya Cinde Wulungpun
menyadari kesulitan Jaka Pandan. Dan ia tidak mau lama-
lama membiarkan anak itu lebih lama tenggelam dalam
kebingungannya.
"Apa yang akan kau lakukan lagi?" bertanya perempuan
itu.
Perlahan-lahan Jaka Pandan mengangkat wajahnya.
Lalu, "Mengucapkan terima kasih kepadamu."
Perempuan itu mengernyitkan alisnya, "Terima kasih?
Dalam hal apa engkau harus berterimakasih kepadaku?"316
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
Jaka Pandan tidak segera menjawab. Jari-jari tangan
kanannya meraba kelingking tangan kirinya dan mencabut
Naga Kuning dari jari itu. Dan katanya, "Karena benda
inilah aku selamat dari kematian. Untuk itulah aku
berterima kasih. Dan sekarang akik ini kukembalikan
kepadamu, Cinde Wulung. Terimalah."
"Oh."
Hanya ini yang keluar dari mulut Cinde Wulung. Tapi
segera pula perempuan itu tertawa kecil yang tak diketahui
artinya oleh Jaka Pandan. Di ujung suara tawanya
perempuan itupun berkata, "Ternyata aku memperoleh
sebuah pelajaran baru darimu, Jaka Pandan, yang agaknya
kali ini bertolak belakang dengan yang terdahulu."
"Hm?" Jaka Pandan terkejut.
"Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?"
"Beberapa saat yang lalu sebelum kau meninggalkan
goa di mana kita sama-sama dikurung oleh kakang
Ngangrang Sewu. Darimu aku memperoleh suatu pelajaran
bahwa manusia hidup harus saling tolong menolong.
Membantu yang kesulitan, memberi yang membutuhkan.
Karena itulah aku menjadi tersentuh untuk dapat berbuat
suatu kebajikan yang seluhur itu. Menolong yang
membutuhkan pertolongan. Dan satu hal lagi, Jaka Pandan.
Bahwa apa yang kulakukan semata-mata terdorong oleh
hati yang suci tanpa pamrih, tanpa niat untuk memperoleh
rasa wah, dan sebagainya. Oleh karena itu kau tidak harus317
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
mengucapkan terima kasih. Simpanlah rasa terima kasihmu
dan kelak berikan pada orang yang membutuhkannya."
"He? Apakah kau tidak sedang menyindirku?"
Namun Cinde Wulung hanya menjawab dengan sebuah
tawa kecil. Jaka Pandan mendongkol dipermainkan Cinde
Wulung. Tetapi ia tertawa juga. Dan karena itu ia telah
berhasil menguasai kecanggungannya.
Cinde Wulung tertawa. Jaka Pandan juga. Keduanya
tertawa. Dan yang pertama sekali berkata adalah Jaka
Pandan, "Sekarang terimalah kembali milikmu ini."
Cinde Wulung menggeleng.
"Mengapa?" bertanya Jaka Pandan.
"Biarlah benda itu ada bersamamu. Padamu benda itu
akan lebih bermanfaat daripada di tanganku. Tetapi jika
kau memaksa, baiklah kuterima juga. Dengan syarat,
bunuhlah aku."
Sekali Iagi Jaka Pandan terkejut.
"Ya. Bunuhlah aku."
"Jangan gila!" tukas Jaka Pandan dengan suara
meninggi.
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkaulah yang memaksa aku untuk berbuat gila."
sahut Cinde Wulung sambil tertawa. "Bukankah aku bisa
berbuat begini lantaran engkaulah yang telah menyelamat-
kan diriku dari kelumpuhan. Aku menganggap bahwa318
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
engkaulah yang memberi nafas dalam tubuhku ini. Tetapi
mengapa engkau menolak pemberianku?"
"Huh," dengus Jaka Pandan. Lalu anak itu bergumam
lirih. Lirih sekali seperti kepada dirinya sendiri. Meskipun
sebenarnya kata-kata yang keluar dari mulutnya itu adalah
pelampiasan kemendongkolan hatinya, "Memang kau
benar-benar seorang perempuan yang pandai memutar
lidah."
Perempuan itu cuma tertawa. Demikianlah, maka
meskipun beberapa detik yang lalu Jaka Pandan merasa
canggung menghadapi Cinde Wulung, namun sesaat
kemudian setelah ia berhasil menguasai perasaannya,
bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Percakapan mereka,
Jaka Pandan dan Cinde Wulung, menjadi akrab yang
kadang-kadang diselingi oleh kelakar seolah-olah mereka
merupakan dua sahabat yang telah lama bergaul. Dan
ternyata Cinde Wulung adalah seorang perempuan yang
pandai membawa diri dalam pergaulan, banyak omong,
sehingga Jaka Pandan jadi senang bergaul dengannya.
"Apa yang kemudian akan kau lakukan, Jaka Pandan?"
bertanya Cinde Wulung pada akhirnya.
"Tak banyak." sahut Jaka Pandan. "Persoalanku di sini
telah selesai. Sedang di Pajang telah menanti persoalan-
persoalan lain yang harus segera kupecahkan. Cuma aku
ingin tahu mengapa dengan tiba-tiba kau berusaha
merebut kekuasaan kepemimpinan Sawer Wulung?
Padahal sebelumnya kau acuh tak acuh bahkan membenci
gerombolan itu. Serta apa sebab orang-orang yang semula319
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
berjejal-jejal mengelilingi tempat ini tiba-tiba lari
berserabutan ke sana?"
"Hanya itu?"
"Ya."
"Tidakkah kau ingin mengetahui yang lebih banyak
dari itu?"
"Kurasa tidak."
"Baiklah. lkuti aku."
"Ke mana? Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Ikuti aku. Nanti kau akan menemukan jawab atas
pertanyaanmu itu."
Jaka Pandan ragu-ragu. Tapi ketika kemudian dilihatnya
perempuan itu memutar tubuh serta mengayunkan
langkahnya, iapun mengikutinya. Dan ketika perempuan itu
mempercepat langkahnya, maka Jaka Pandan pun lalu
mempercepat langkahnya pula. Semakin cepat. Malah kini
keduanya berlari. Akhirnya setelah mendaki sebuah bukit
dan menyusuri sebagian tebingnya, maka tibalah mereka
pada sebuah tebing yang lain, yang merupakan jurang
yang sangat dalam.
Ketika Jaka Pandan mencoba melihat ke bawah, ia tidak
menampak dasarnya. Yang dilihatnya cuma warna hitam
yang pekat. Suatu tanda bahwa kedalaman jurang itu tak
dapat diukur sampai berapa tombak dalamnya. Dan... tiba-320
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
tiba Jaka Pandan menjadi terkesiap tatkala ia memalingkan
kepalanya. Di sisi tebing yang lain ia melihat anak buah
Sawer Wulung itu berusaha menuruni tebing itu. Namun
kelicinan tebing itu memaksa setiap orang yang mencoba
menuruninya bahkan tergelincir terjun ke dalam jurang
yang amat dalam itu yang kadang-kadang diikuti oleh
pekik pekik kematian yang mencekam bulu-bulu tubuh.
Meskipun demikian, meskipun akhir dari perbuatan mereka
adalah mati di dasar jurang, namun toh orang-orang itu
masih berebut-rebut untuk saling mendahului turun ke
tebing seolah-olah mereka tengah berlomba berebut maut.
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya Jaka Pandan
kepada Cinde Wulung.
Cinde Wulung sesaat menatap Jaka Pandan. Lalu
berpaling ke tebing di mana orang-orang itu berlomba
dengan maut. Baru ia menjawab, "Mereka akan mencari
harta kekayaan."
"He?"
"Ya. Harta kekayaan yang dikumpulkan oleh Ngangrang
Sewu untuk membiayai cita-citanya. Harta yang
dikumpulkan dari jalan merampok atau yang lain. Namun
mereka tidak tahu bila tebing itu membawa kematian bagi
mereka. Sebab tebing itu terlampau licin. Mereka tidak
tahu bila ada jalan lain yang sangat mudah untuk mencapai
tempat harta itu berada. Yang tahu hanya kakang
Ngangrang Sewu karena dialah yang membuat jalan
rahasia itu. Dan aku. Aku tahu tanpa kuduga bahwa jalan321
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
itu dibuat oleh kakang Ngangrang Sewu. Adakah kau ingin
mengetahui tempat itu?"
"Hm?"
"Ikuti aku."
"Tetapi mereka itu...?"
"Mereka orang bodoh yang serakah. Biarlah mereka
mati karena kebodohan dan keserakahan mereka sendiri."
"Tetapi bukankah kau ingin memimpin mereka? Lalu
apa yang kau pimpin jika orang-orang itu habis
semuanya?"
"Tak ada selera buat merebut kekuasaan dan
memimpin orang-orang kasar macam mereka."
"He?" Jaka Pandan terbeliak. "Bukankah kau bertempur
berpasangan dengan kawanmu yang mati melawan
Wilupaksa dan Jajakwreksa itu untuk merebut kedudukan
pimpinan Sawer Wulung?"
Cinde Wulung tertawa melalui hidung. "Cuma alasanku
untuk mencegah tindakan mereka. Aku dan Suradipa tahu
kedudukanmu yang sangat berbahaya. Sekali keluar
perintah mereka untuk menyerangmu, maka ratusan
senjata akan memgancam keselamatanmu. Aku tidak
menyangsikan kemampuanmu. Tetapi lawan yang harus
kau hadapi terlampau banyak jumlahnya. Dan aku bersama
Suradipa mencoba mencegah banjir darah. Kami mencoba
mencegah kematian-kematian yang tak berarti dari orang-322
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
orang Sawer Wulung. Oleh karena itu aku dan Suradipa
mengalihkan persoalan seolah-olah aku ingin mengambil
alih kekuasaan. Ternyata usaha ini sia-sia belaka. Toh
mereka mati oleh pokal mereka. Kebodohan dan
keserakahan. Sayang Suradipa harus mati pula dalam usaha
mencoba mencegah peristiwa itu.
"Bagaimana dengan orang yang bernama Suradipa
itu? Mengapa dia membantu aku dan tidak membantu
Wilupaksa dan Jajakwreksa untuk membinasakanku sedang
orang itu hampir saja kubunuh?"
"Suradipa pun telah bercerita kepadaku tentang itu."
sahut Cinde Wulung. "Bahwa hampir saja ia mati di ujung
pedangmu jika saja saat itu kakang Ngangrang Sewu tidak
menjeratmu dengan ranjaunya. Tetapi oleh peristiwa itu
bahkan Suradipa menjadi sadar akan perbuatan-perbuatan
yang telah dilakukan. Ia menyesali perbuatan-perbuatan
itu. Dan ia berjanji untuk menempuh jalan lain dari
kehidupannya bersama gerombolan Ngangrang Sewu. Tapi
sayang. Ia mati sebelum ia dapat berbuat."
"Dia telah berbuat..." gumam Jaka Pandan lirih seperti
kepada dirinya sendiri. "Tuhan Maha Kuasa." sambungnya
pula. "Karena kekuasaanNya-lah semua yang dikehendaki
pasti terjadi."
Beberapa saat kemudian Cinde Wulung menggamit
lengan Jaka Pandan untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi
oleh sentuhan tangan itu Jaka Pandan menjadi gelisah.
Dadanya berdebar-debar. Perasaan yang demikian ini
pernah pula dialaminya ketika dulu untuk pertama kalinya323
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
ia memegang bahu Kembang Arum dan mencium pipi
gadis itu. Tetapi kali ini perasaannya lebih gelisah lagi.
Panas badannya berubah-ubah, kadang-kadang menjadi
Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat panas sampai keningnya berkeringat. Dan kedua
lututnya bergetaran saling beradu seolah-olah sepasang
kakinya tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya untuk
tetap berdiri. Namun akhirnya Jaka Pandan memaksa
kakinya itu bahkan untuk melangkah ketika Cinde Wulung
menarik tangannya.
Kini mereka sampai pada mulut goa di samping bukit
itu. Jaka Pandan masih melihat mayat harimau loreng dan
orang hitam raksasa itu terkapar kaku. Serta lalat-lalat biru
mengeroyoknya.
"Luar biasa...!" desis Cinde Wulung.
"Apanya?"
"Kau."
Jaka Pandan mengerutkan kening. Dan yang berkata
adalah Cinde Wulung lagi, "Kedua binatang itu. Ah,
ngerinya. Betapa dahsyatnya tenaga yang ada dalam
tubuhmu sehingga engkau dapat memecahkan kepala
mereka.
Jaka Pandan tidak menjawab. Detakan jantungnya
masih bergemuruh. Keringatnyapun semakin banyak
mengalir. Terasa anak itu mencoba menguasai pergolakan
perasaannya. Tetapi semakin ia berusaha menguasainya,
malah hatinya menjadi semakin kacau. Jaka Pandan tak
tahu mengapa. Yang pasti kehangatan tubuh perempuan324
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
yang sering menyentuh tubuhnya itu menimbulkan
perasaan lain dalam dadanya, yang tak pernah dirasakan-
nya bila ia menyentuh tubuh Kembang Arum. Aneh! Ya,
aneh. Demikianlah suara hati Jaka Pandan di antara
deburan jantungnya yang bagai suara pergolakan magma
pada kepundan sebuah gunung berapi. Lalu tanpa berkata
sepatah katapun lagi Cinde Wulung menarik tangan Jaka
Pandan untuk memasuki mulut goa. Lalu menuruni tangga.
Sedikit demi sedikit sinar yang masuk dari mulut goa itu
menjadi kian pudar. Pudar. Samar-samar. Gelap. Dan
akhirnya hitam sama sekali. Kala itu matahari telah jauh
condong ke barat. Sebentar lagi ia akan bersembunyi di
balik punggung bukit-bukit itu. Dan di dalam goa itu
keringat Jaka Pandan semakin banyak mengalir. Kini bukan
hanya karena himpitan perasaannya saja. Dia lapar. Lapar
sekali. Sudah sejak kemarin tak sepotong makananpun
masuk ke dalam perutnya. Namun Jaka Pandan memaksa
diri untuk menangguhkan desakan perutnya yang
memprotes untuk minta diisi.
Oleh karena itu keringatnya menjadi semakin cepat
mengalir. Ia gelisah. Dan kegelisahan itu semakin menjadi-
jadi ketika ia mendengar Cinde Wulung berkata, "Tubuhmu
berkeringat banyak."
Jaka Pandan tak menyahut. Dan perempuan itu
berkata lagi, "Tubuhmu gemetar."
Masih Jaka Pandan diam. Tetapi kali ini mulutnya
berdesah panjang. Tiba-tiba Cinde Wulung tertawa
nyaring. Jaka Pandan terkejut. Ia tak tahu mengapa325
Aji Gora Mandala
Widi Widayat & Karsono
perempuan itu tertawa. Apakah ia mentertawakanku?
Tanyanya dalam hati. Mentertawai keadaanku?
Dan Jaka Pandan Iebih terkejut lagi ketika Cinde
Wulung itu berkata, "Aku tahu. Aku tahu mengapa kau
gemetar. Aku tahu mengapa kau berkeringat."
Jaka Pandan menjadi semakin gelisah.
"Bukankah engkau lapar?"
Jaka Pandan menundukkan wajahnya. Namun ia
membiarkan dirinya diseret maju oleh tarikan tangan Cinde
Wulung. Sekali lagi ia mendengar Cinde Wulung tertawa
nyaring. Ia semakin gelisah.
"Jangan khawatir," kata perempuan itu di antara derai
tawanya. "Aku masih punya sisa makanan cukup banyak."
Sejuknya Kampung Halaman Seri Arya Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Gila Karya Cao Re Bing
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama