Ceritasilat Novel Online

Aji Gora Mandala 5

Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono Bagian 5



"Ah," desah Jaka Pandan.

"Kau sengaja mempermainkanku."

Sampailah kemudian keduanya pada tempat yang agak

terang karena ujung sinar matahari dapat memasuki langit-

langit goa walau tidak begitu keras. Cinde Wulung

berhenti. Jaka Pandanpun berhenti. Cinde Wulung

melepaskan tangan Jaka Pandan dan pergi. Jaka Pandan

cuma diam. Kendati dalam hatinya muncul beberapa

pertanyaan yang melingkar-lingkar. Namun pertanyaan itu

akhirnya menemui jawaban manakala Cinde Wulung

mengangsurkan sebuah bungkusan daun jati.326

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Makanlah," kata Cinde Wulung. "Jangan pek?wuh.

Aku pun lapar juga."

Lalu perempuan itu mendahului duduk dan menarik

tangan Jaka Pandan. Ketika Jaka Pandan telah pula duduk,

maka Cinde Wulung membuka bungkusan itu dan

mengambil sebuah dendeng kering. "Makanlah," katanya

lagi. "Ini dendeng kijang."

"Dari mana kau memperolehnya?" tanya Jaka Pandan.

"Dari mana asalnya tak usah kau persoalkan."

"Kalau demikian aku tak mau makan."

"He? Apa kau membiarkan dirimu terus berkeringat?

Dan gemetar? Karena kelaparan?"

"Aku tak mau makan sebelum kau katakan asalnya."

"Kau sangka ini barang curian?"

Lalu Cinde Wulung tertawa. "Dendeng ini rangsum dari

kakang Ngangrang Sewu. Dan sebelum saatnya jatah

rangsum ini habis, ternyata aku telah terbebas dari goa

laknat ini. Apakah engkau tidak mau makan sekarang?"

Demikianlah, maka Jaka Pandanpun lalu menyumpali

mulutnya dengan potongan-potongan dendeng itu.

"Akhirnya toh habis juga." gerutu Cinde Wulung setelah

dendeng-dendeng itu berpindah tempat ke perutnya dan

perut Jaka Pandan.327

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Kau menyesal?" bertanya Jaka Pandan.

"Bukannya menyesal. Tahukah kau dari mana kakang

Ngangrang Sewu memperoleh kijang itu? Ia merampok

dari seorang pemburu yang kebetulan ditemuinya. Tapi

meskipun daging rampokan, enak kan?"

Jaka Pandan tidak menjawab. Ia tahu bahwa Cinde

Wulung sedang memperolok-oloknya. Lalu keduanyapun

segera berjalan lagi. Meraba-raba dalam kegelapan goa itu

kembali. Setelah sekian saat berjalan keduanya menyusuri

lantai goa yang menurun. Entah berapa tinggi lantai goa

yang menurun itu nyatanya sampai sepemakan sirih

lamanya mereka belum merasakan jalan yang rata. Dan

keduanya masih harus mencapainya beberapa saat lagi.

Ketika kemudian lantai goa itu menyempit sehingga

mereka harus berjalan beriring-iringan. Itupun harus

dengan miring. Kira-kira seratus tombak kemudian goa itu

membuka lagi. Dan melebar. Sangat lebar.

"Hampir sampai." gumam Cinde Wulung.

Jaka Pandan tidak menyahut. Tetapi matanya kini tidak

lagi melihat warna hitam yang pekat. Ia melihat samar-

samar seperti bayang pepohonan. Dan ketika ia

menengadahkan kepalanya ke atas, ia melihat beberapa

buah, berpuluh-puluh buah, bahkan beratus-ratus buah

titik-titik besar kecil yang bersinar-sinar. Bintang

gemintang. Anak itu memekik tertahan.

"Kita di alam terbuka." katanya.328

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Ya." sahut Cinde Wulung. "Dan beberapa tombak di

tebing di kiri kita ini adalah dasar lembah di mana tubuh

orang-orang bodoh yang serakah itu bertumpukan."

Jaka Pandan menghela napas panjang.

"Mengapa kau selalu berdesah?" tanya Cinde Wulung.

"Hm! Aku menyesali kehidupan ini. Mengapa kadang-

kadang manusia kehilangan keseimbangan diperbudak

oleh nafsu kegilaan? Mereka memuaskan nafsu-nafsu

mereka yang kadang-kadang melupakan nilai-nilai

kemanusiaan. Bahkan untuk mengejar nafsu itu mereka

melupakan nilai hakiki manusia yang luhur."

Kata-kata yang diucapkan oleh Jaka Pandan itu tidak

terlalu keras. Bahkan hanya pelan-pelan. Dan dalam tempat

yang sesunyi itu di mana tempat itu merupakan lembah

yang diapit oleh dinding-dinding perbukitan, suara itu

menggema seolah-olah seperti berpuluh-puluh Jaka

Pandan yang berkata. Meskipun demikian Cinde Wulung

dapat mendengar patah demi patah dengan jelasnya.

Cinde Wulung menghela nafas dalam-dalam. Ia tidak

hanya sekali ini saja mendengar dan merasakan

kedewasaan akal Jaka Pandan yang seakan-akan telah

mengendap. Sejak kemarin pun ia telah mendengar Jaka

Pandan berkata yang senada dengan itu. Dan setiap kali ia

mendengar Jaka Pandan berkata seperti seorang wiku

yang mejang para siswanya, ia merasa kata-kata itu bagai

butiran-butiran mutiara yang membenam ke lubuk hatinya.

Dan yang sekali ini lebih meresap lagi. Cinde Wulung ingin329

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

lebih banyak lagi Jaka Pandan berkata demikian. Tetapi

tidak sekarang. Nanti apabila telah sampai di tempat yang

memungkinkan lebih baik untuk mendengarkan wejangan-

wejangan itu.

Maka perempuan itupun kemudian mempercepat

langkahnya. Selang sesaat kemudian keduanya segera

kembali harus memasuki sebuah goa. Namun goa ini tidak

terlampau panjang. Tidak lebih dari dua tombak. Ketika

akhirnya Cinde Wulung membuat api dari batu titikan dan

menyulut lampu minyak jarak yang telah tersedia, goa

itupun menjadi agak terang. Sehingga Jaka Pandan bisa

melihat dengan seksama seluruh isi goa itu. Tetapi ia tidak

melihat sesuatu kecuali beberapa buah peti yang tertutup

rapat.

"Apa isi peti itu?" bertanya Jaka Pandan.

"Kau ingin tahu?"

"Ya, meskipun aku sendiri tidak mengerti untuk apa aku

harus mengetahuinya. Kau keberatan?"

Cinde Wulung menggeleng. Lalu jawabnya, "Aku

mengajakmu kemari adalah untuk melihat ini. Peti ini."

Perempuan itu berhenti sejenak. Lalu, "Bukalah sebuah

di antaranya."

Jaka Pandan ragu-ragu. Tetapi ketika ia melihat Cinde

Wulung menganggukkan kepalanya, maka anak itupun

kemudian membuka sebuah di antara peti-peti itu. Tetapi

begitu ia berhasil membukanya, anak itu terperanjat bukan330

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

main. Tiga buah sinar menyambar sekaligus. Namun ia

masih menguasai kesadarannya. Cepat ia meliukkan

tubuhnya. Dengan demikian sinar-sinar yang menyambar

lambung Jaka Pandan yang berasal dari dalam peti itu

lewat sejengkal di sisi lambung kanannya.

Akan tetapi sebuah jeritan di belakangnya terdengar

nyaring. Jaka Pandan terkejut. Cepat ia memutar tubuh.

Dan... ia lebih terkejut lagi. Ia melihat Cinde Wulung

membungkuk sambil menekan perutnya yang menyembur-

kan darah merah segar! Ternyata tiga sinar merah yang

gagal menyambar Jaka Pandan itu, yang sebenamya adalah

tiga buah pisau kecil berwarna merah, membenam ke perut

Cinde Wulung yang saat itu tepat di belakang Jaka Pandan

dan tak sempat mengelakkan tiga sinar merah yang tanpa

diduga-duganya itu.

"Cinde Wulung!" teriak Jaka Pandan kuat sambil

memegang bahu Cinde Wulung. Sekali Cinde Wulung

mengeluh. Tubuhnya gemetar. Darah merah masih

mengalir dari lambungnya. Kakinya gemetar untuk

kemudian tidak mampu lagi berdiri. Untunglah Jaka

Pandan segera menyanggahnya dalam pangkuannya.

Sesaat suasana menjadi hening. Tiada terdengar suara

apapun. Dan keheningan itu dipecahkan oleh suara Cinde

Wulung yang amat lirih memanggil Jaka Pandan.

"Aku akan mati." kata perempuan itu pula.

Suara Cinde Wulung itu bagai sebuah pisau yang

berkarat membelah hatinya. Ngilu. Bermacam-macam331

Aji Gora Mandala


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Widi Widayat & Karsono

perasaan melingkar-lingkar dalam dadanya. Dan perasaan-

perasaan itu telah memukaunya untuk tak dapat berkata

sepatahpun. Ia mau menyebut nama Cinde Wulung.

Namun suara itu cuma tersangkut di tenggorokannya.

Mulutnya tertutup rapat. Namun lamunan Jaka Pandan itu

buyar manakala ia mendengar sekali lagi Cinde Wulung

memanggilnya, "Jaka Pandan..."

Dan suara yang kemudian keluar dari mulut perempuan

itu menjadi semakin lirih. Kendati demkian suara-suara itu

bagai suara reruntuhan atap goa di atasnya, "Kau baik

sekali. Kau telah banyak menolong penderitaanku."

Cinde Wulung berhenti. Nampak ia sedang menguasai

perasaan serta menahan kengiluan di perutnya. Batang

tenggorokannya bergerak-gerak. Lalu sejenak kemudian ia

berkata lagi, "Maukah kau sekali lagi menolongku, Jaka

Pandan?"

Jaka Pandan memaksa diri untuk mengangguk.

"Ciumlah aku...." suara Cinde Wulung parau hampir tak

terdengar.

Tapi suara itu bagai ledakan sebuah petir di telinga

Jaka Pandan. Dadanya bergoncang. Berbagai macam

perasaan bermunculan kembali semakin melilit-lilit jalinan

urat-urat yang ada dalam dadanya. Sesak. Dan

menyesakkan. Namun ketika dilihatnya bibir Cinde Wulung

yang bergerak-gerak seperti orang kehausan itu ia menjadi

beriba hati. Maka dengan perasaan hambar dikecupnya

bibir yang kering itu. Dan oleh kecupan itu seakan-akan332

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Cinde Wulung memperoleh kekuatan baru. Mukanya

berseri-seri walapun hanya sesasat dan kemudian pudar

untuk selanjutnya berwarna pucat kembali.

"Terima kasih," katanya, "walau yang kau lakukan tidak

seperti yang kuharapkan. Tetapi itu sudah membahagiakan

hatiku. Dan aku akan mati dengan jalan yang lapang."

Ketika kemudian tak terdengar perempuan itu berkata

lagi maka kembali dalam goa itu dicekam oleh keheningan.

Semuanya hening. Dan sepi. Hanya dada Jaka Pandan

sendiri yang berdentuman oleh himpitan perasaan-

perasaan yang bergulung-gulung. Ditatapnya lekat-lekat

perempuan yang ada dalam pangkuannya. Terkulai lemas.

Dan tatkala pancaran mata sayu dari Cinde Wulung itu

memandangnya, terasa tatapan itu bagai sambaran sebilah

pisau yang mencekam batang lehernya.

"Bila aku mati nanti," kata Cinde Wulung kemudian,

"biarkanlah tubuhku di sini. Aku tak mau beberapa kali

menyulitkanmu."

Kembali perempan itu berhenti. Bibirnya bergerak-

gerak seperti mau tersenyum. Dan bulatan bola matanya

yang semakin sayu itu bergerak-gerak aneh. Lalu kembali

ia melanjutkan. Tetapi suara itu semakin parau. Semakin

lirih, "Jaka Pandan, maafkanlah aku. Karena ak.... akku

men.....cin...... taimu."

"Oohh....." sebuah keluhan terlontar dari mulut Jaka

Pandan. Dan tiba-tiba dipeluknya kuat-kuat tubuh Cinde

Wulung yang telah mendingin.333

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Cinde Wulung, oh! Tak kusangka engkau mencintaiku.

Karena itulah aku merasakan permintaanmu yang aneh.

Maafkanlah aku Cinde Wulung. Aku tak tahu dan aku tak

dapat memenuhi permintaanmu sebab aku tak dapat

melakukannya. Sebab sebelum engkau, telah datang

perempuan yang mencintai dan kucintai......"

Jaka Pandan ingin berkata lebih banyak lagi. Lagi. Dan

lagi. Tetapi tak sepatahpun apa yang ingin dikatakannya itu

terdengar. Sebab Jaka Pandan menyadari bahwa Cinde

Wulung tak akan mendengar suaranya lagi. Sebab ia tahu

bahwa telah sesaat yang lalu perempuran yang kini ada

dalam pelukannya itu memejamkan matanya. Mati.

Jaka Pandan menghela nafas dalam-dalam. Lalu

diletakkannya tubuh Cinde Wulung yang sudah dingin itu.

"Semoga Allah menerimamu di sorga....." itulah kata-kata

yang dapat diucapkannya.

Dan sesaat kemudian Jaka Pandan tertegun manakala

matanya tertumbuk pada sinar yang berkilau-kilauan dari

dalam peti itu. Intan berlian. Mata Jaka Pandan serasa

terpaku melihat benda-benda itu. Dari mana Ngangrang

Sewu memperolehnya?

Tiba-tiba Jaka Pandan tersentak manakala dengan

tanpa diduganya berdesingan suara angin meniup cepat

sekali masuk dari luar. Cepat Jaka Pandan menjatuhkan

dini ke tanah. Pyarr...... Desingan angin itu di antaranya

menyumbat lampu minyak jarak sehingga seketika itu

menjadi gelap gulita. Ketika kemudian tak lagi ada suara

yang berdesingan itu. Jaka Pandan bangkit. Samar-samar ia334

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

melihat sebuah bayangan berkelebat dari luar sana. Cepat

ia menjejakkan kaki melesat keluar. Namun sesampainya di

luar, tak sepotong bayangan pun yang dijumpainya.

Selagi ia memperhatikan tempat itu, sekonyong-

konyong matanya yang memiliki ketajaman melebihi

penglihatan orang biasa melihat sesosok bayangan yang

berkelebat di atas sana, di tebing perbukitan yang curam

dan licin. Jaka Pandan tak berayal lebih lama. Begitu ia

menjejakkan kakinya dua tombak ia melenting ke atas

mendarat ke sisi tebing. Demikian seterusnya Jaka Pandan

mengejar bayangan orang yang mendaki lamping bukit

terjal itu. Rupanya Jaka Pandan mempunyai kecepatan

yang melampaui lari orang itu sehingga ia berhasil

menyusulnya tepat sampai di puncak bukit.

Tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh. Dan dengan

kecepatan yang pesat ia melontarkan beberapa pisau ke

arah Jaka Pandan. Namun anak itu cukup waspada dari

ancaman maut. Ia menjatuhkan diri bergulingan

menghindarkan diri. Tetapi ketika ia berdiri tegak,

bayangan orang itu telah menjadi cukup jauh lagi.

Jaka Pandan menggeram marah. Lalu ia menggenjot

tubuh mengejar orang itu kembali.

"Berhenti!" hardik Jaka Pandan.

Ia sudah tak dapat menahan diri lagi. Diterjangnya

orang yang terpaut beberapa langkah di hadapannya

dengan sebuah tendangan. Namun orang itu cukup gesit.

Orang itu memutar tubuh sambil mengelakkan tendangan335

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Jaka Pandan. Bersamaan dengan itu ia mengirimkan

sebuah hantaman dari bawah ke lambung Jaka Pandan.

Duk....! Terjadi dua buah benturan. Namun orang itu

terdorong ke belakang oleh gempuran Jaka Pandan. Dan

sebelum ia menginjakkan kedua kakinya pada posisi yang

meyakinkan, sebuah tendangan Jaka Pandan yang

bersarang di ulu hatinya membuat ia terjungkal ke tanah.

"Siapa kau?!" geram Jaka Pandan. Tetapi sebagai

jawabannya adalah dua buah pisau yang bergerak cepat

menyambar.

Kemarahan Jaka Pandan telan sedemikian

menggelegak. Begitu ia berhasil menghindarkan diri

dengan sebuah loncatan, ia memukul tepat di batang leher

orang itu yang menyumbat nafasnya. Dan melayanglah

nyawa orang itu entah ke mana.

***

Angin dingin semilir menerpa tubuh Jaka Pandan

serta mempermainkan lembaran-lembaran rambutnya

yang terurai ke pundaknya. Ketika kemudian terdengar

kokokan ayam jantan yang pertama dan suara ayam-ayam

yang semakin lama semakin riuh, ia bergumam, "Malam

telah melampaui separuh dari perjalanannya..."

Dan bulan sabit tersembul di timur memudarkan warna

kelamnya malam. Sinarnya perlahan-lahan menimpa

pepohonan hingga menyerupai bayang-bayang hantu

yang tegak di malan hari. Tak terdengar suara lain kecuali

kesyahduan yang dibarengi oleh dendang binatang malam.336

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Tidak yang lain. Tidak pula dengan jago di lembah di balik

perbukitan sana. Ayam-ayam itu sudah tidak kedengaran

lagi suaranya. Hanya dari kejauhan terdengar lolongan

serigala-serigala atau anjing-anjing liar. Lolongan-lolongan


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


yang panjang mendirikan bulu-bulu tubuh. Malam jadi

ngelangut. Dan pada malam yang ngelangut itulah Jaka

Pandan berdiri lesu bagai seorang senopati perang yang

baru saja menyelesaikan sebuah pertempuran.

Ia lesu. Ia lelah. Ia letih. Dan ia mengantuk. Sekali ia

menguap panjang. Dan karena itu rasa kantuk itu semakin

mencekam pelupuk matanya untuk segera dipejamkan.

Namun Jaka Pandan memaksakan diri untuk tidak

memejamkan matanya. Ia memaksa diri untuk tidak tidur.

Bahkan kemudian ia memaksakan kakinya yang seakan-

akan telah lumpuh, memaksakan kaki yang tiba-tiba dan

seakan-akan mendapatkan beban berat untuk diangkat itu,

buat berjalan. Darah Jaka Pandan telah mendidih dan

membakar dadanya. Dendam dan kemarahan telah pula

sedemikian meluap-luap di dada itu. Dendam dan

kemarahan terhadap ki Ragajaya yang telah membunuh

tumenggung Aryo Guno dan yang kemudian melontarkan

fitnah kejam itu kepada dirinya. Karena himpitan perasaan-

perasaan itulah Jaka Pandan mengeraskan hati serta

memaksakan diri. Ia menghendaki secepatnya tiba di

Pajang. Bahkan rasanya jika mampu, ia saat itu akan

terbang. Menemui ki Ragajaya. Dan membuat perhitungan

dengan orang itu. Memaksa pada tumenggung tua itu

untuk mengakui perbuatannya membinasakan ki Aryo

Guno serta ki Brajanala dengan tangan keji. Lalu memaksa

orang tua itu untuk mengumumkan ke seluruh Pajang337

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

bahwa dirinya, Jaka Pandan, sama sekali tidak membunuh

Aryo Guno dan Brajanala, bahwa tangannya bersih dari

noda-noda darah kematian Aryo Guno dan Brajanala.

Namun betapapun Jaka Pandan hanyalah seorang

manusia, yang secara kodrat memiliki batas-batas

kemampuan yang tertentu, kendati ia memiliki kekuatan

pinunjul yang melebihi kekuatan orang lain. Betapapun ia

memaksa diri, betapapun ia mengeraskan diri, namun

batas-batas kemampuanya sebagai manusia tak dapat

dijebolnya. Tak dapat diterjangnya. Batas-batas itu

terlampau kuat melintang. Lesu. Lelah. Letih, Kantuk. Cuma

kekerasan hati anak itu yang luar biasalah maka ia masih

mampu berjalan. Sedikit lebih cepat dari perjalanan yang

ditempuh oleh orang-orang biasa.

Demikianlah, maka dengan kekerasan hati sampailah

anak itu di mana untuk sementara ia dan Giring dan Nyai

Gondil berdiam diri ketika matahari telah sepenggalah

muncul di timur. Tetapi ia tak lagi dapat menahan

penderitaan-penderitaan jasmaniahnya akibat perjalanan-

nya ke Gunung Kidul. Karena itu, demikian ia memasuki

rumah itu segera ia membantingkan tubuhnya ke amben

pembaringan yang telah beberapa malam ditidurinya.

Rumah itu sepi. Orang yang bernama Giring itu tidak

nampak. Dan perempuan berwajah tengkorak yang oleh

Giring disebut dengan nama Nyai Gondil itu tidak kelihatan

pula. Jaka Pandan benar-benar tenggelam dalam tidur

yang lelap. Keletihan yang mencekam seluruh sendi-sendi

tulangnya menyebabkan anak itu benar-benar menikmati

tidur yang nikmat. Bahkan karena kenikmatan itu seolah-338

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

olah Jaka Pandan telah mati. Tetapi anak itu belum mati. Ia

masih hidup. Nafasnya masih terdengar. Dan sesekali

ditenggak oleh suara dengkurnya.

Akhirnya Jaka Pandan menggeliatkan tubuhnya

perlahan. Perlahan-lahan pula ia membuka matanya. Tetapi

ketika terasa kekakuan di seluruh tulang belulangnya,

seakan-akan ia mau memejamkan matanya kembali. Akan

tetapi tiba-tiba mata itu malah terbelalak lebar. Dan tatkala

matanya melihat sesosok bayangan yang berdiri

memandangnya, ia bangkit dengan serentak. "Nyai

Gondil..." desisnya.

Orang itu tegak. Wajahnya yang menyeramkan

terangkat, seolah-olah memandang wajah Jaka Pandan.

Terasa sesuatu menyekat di dada Jaka Pandan. Dan

karenanya untuk beberapa saat lamanya ia berdiri terpaku.

Matanya tak berkedip menatap perempuan berwajah

tengkorak yang kini berdiri di hadapannya. Setelah berhasil

menguasai perasaannya, maka berkatalah ia kemudian,

"Tidakkah engkau berusaha menyembunyikan dirimu?"

Kepala orang itu bergoyang-goyang lemah.

"Kenapa?"

"Giring telah memperbolehkan aku menampakkan diri

kepadamu."

"Hm! Giring. Siapakah sebenarnya dia?" bergumam

Jaka Pandan.339

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Inilah yang masih tidak diperbolehkannya untukku

terangkan padamu."

"Termasuk dirimu?"

Orang itu tertunduk. Entah itu sebuah anggukan atau

bukan. Tetapi sampai sejenak kemudian perempuan itu

tidak juga mengangkat wajahnya. Kembali Jaka Pandan

memperhatikan perempuan itu. Keningnya berkerut sampai

kedua ujung alisnya bertemu satu sama lain.

"Aneh," gumamnya lagi. Lalu ia melanjutkan dengan

suara yang agak tinggi, "Nampaknya orang yang bernama

Giring itu mempunyai pengaruh yang besar kepadamu."

Nyai Gondil tidak menjawab. Kepalanya menunduk

semakin dalam. Sepi. Jaka Pandanpun merasakan kesepian

itu. Karenanya maka kemudian bertanyalah ia, "Kemana

orang itu?"

Perlahan-lahan perempuan itu mengangkat wajahnya.

"Siapa?"

"Paman Giring."

"Pergi."

"Ke mana?"

"Aku tak tahu."

"Adakah pesan untukku?"340

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Ya. Engkau disuruh menunggu kedatangannya jika kau

tiba bertepatan dengan saat ia pergi. Dia pergi pagi tadi

sesaat sebelum kau tiba."

"Jadi kau tahu pula ketika aku datang?"

"Tahu."

Kembali suasana dicekam oleh keheningan. Hanya di

luar gemerisik dedaunan yang tertiup angin masih saja

terdengar. Atau kadang-kadang diiringi pula dengan suara

berdetak jatuhnya dahan kering yang telah melapuk.

Sesaat keheningan itu mencekam mereka berdua. Dan

bila demkian adalah suatu keharusan yang datang dari diri

sendiri untuk tenggelam dalam lamunannya masing-

masing. Maka Jaka Pandanpun segera pula menganyam

peristiwa-peristiwa yang telah dilaluinya, peristiwa-

peristiwa pedih dan ngeri semenjak saat kematian

tumenggung Aryo Guno, dalam benaknya. Oleh karena

itulah maka kemudian wajah anak itu jadi membara.

Mengingat kematian tumenggung Aryo Guno itu iapun

teringat pula kepada tumenggung Ragajaya. Tumenggung

Ragajaya itulah pembunuhnya. Pembunuh tumenggang

Aryo Guno. Dan juga yang membunuh Brajanala. Ia tahu

dari percakapan di sarang gerombolan Sawer Wulung di

mana yang berkata adalah Pamuncar, anaknya sendiri.

Jadi jika demikian Ragajaya pasti memiliki pula aji

Goramandala. Ah. persetan. Punya atau tdak toh dia telah

melakukan tindak kejahatan. Melakukan tindak

pembunuhan. Karena itu harus dihukum. Apalagi orang tua341

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

itu menyebarkan pula fitnah yang keji, melontarkan

tuduhan-tuduhan pembunuhan itu kepadanya. Padahal

fitnah adalah lebih keji dari pembunuhan.

Sebagai seorang anak muda, dan laki-laki pula, apa

yang diterimanya dari ki Ragajaya itu merupakan sebuah

tamparan ke mukanya. Iapun laki-laki seperti ki Ragajaya.

Apakah dia tidak berani menampar wajah orang itu?

Terlebih lagi ia berpijak pada kebenaran. Kebenaran yang

mulai diinjak-injak oleh kaki ki Ragajaya yang melangkah-

langkah dengan kegilaannya. Segila niatnya yang ingin

meruntuhkan Pajang.

Karena itu pula Jaka Pandan segera menghubung

Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


hubungkan antara kegilaan nafsu itu dengan tindakan-

tindakan yang dilakukannya. Mengapa tumenggung tua itu

harus membunuh Arya Guna dan Brajanala? Dan

melemparkan tahi buaya pada dirinya? Alasan itu

terlampau mudah dicari. Suatu kemungkinan apabila kedua

orang itu telah mencium jejak Ragajaya. Entah kemudian

menentang atau bersikap memusuhi. tetapi Ragajaya

merasa bahwa kedua orang ltu sangat berbahaya dan

harus dilenyapkan. Alasan yang pertama. Sedang alasan

yang kedua adalah dengan melakukan pembunuhan

terhadap dua orang penting itu maka Pajang akan terjadi

keributan keributan. Dan dalam suasana itu semua orang

akan tercurah pada persoalan pembunuhan-pembunuhan

itu. Sehingga dengan demikian Ragajaya mempunyai

kesempatan-kesempatan gerak untuk mempersiapkan

rencananya tanpa seorangpun yang sempat mengetahui.342

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Dan untuk semakin mengeruhkan suasana maka ia

melemparkan suatu fitnahan. Tapi agaknya tumenggung

Ragajaya mempunyai latar belakang tersendiri dalam

memilih susaran fitnahan itu. Yaitu kepada diri Jaka

Pandan, yang kebetulan pula mempunyai aji Goramandala,

sebuah aji yang mempunyai kekuatan dahsyat di sisi

telapak tangan. Dan latar belakang itu telah pula ada dan

diketahui oleh jalur-jalur syaraf otak Jaka Pandan. Dia tahu

dan dapat menduganya. Dan agaknya dugaan itu dapat

diyakinkan kebenarannya. Oleh fikiran-fikiran itulah dada

Jaka Pandan serasa terbakar. Dan darahnya mendidih

berbuih-buih. Kobaran api dendam dalam dadanya tak

dapat ditekan lagi. Anak itu telah kehilangan kedewasaan

akalnya. Ia telah kehilangan pertimbangan-pertimbangan

nalarnya yang wening. Dia telah limbung. Dia ingin berbuat

menurut dorongan nafsu dan pergolakan darahnya yang

berkobar-kobar.

Nyai Gondil rupanya dapat menjajagi pula apa yang

sedang bergolak dalam dada anak itu. Wajahnya yang

terangkat dan matanya yang tinggal kelopak itu seolah-

olah mengetahui dengan pasti perasaan Jaka Pandan.

Karena itu kemudian ia menghela nafas panjang. Umurnya

yang sudah setengah abad lebih beberapa tahun itu telah

menjadikan dia seorang yang telah kenyang akan

kehidupan. Apalagi dia sendiri pernah pula mengalami

peristiwa dahsyat seperti Jaka Pandan.

Nyai Gondil yang sekarang bukanlah Nyai Gondil yang

dahulu, puluhan tahun yang lalu, yang mempunyai paras

cantik. Dan kecantikannya itulah kemudian yang343

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

mengangkat dirinya menjadi isteri seorang nayaka praja.

Tetapi sayang, karena kecantikan dan kedudukannya itu

menimbulkan iri hati pada perempuan lain. Bahkan seorang

di antaranya melancarkan fitnahan keji terhadap dirinya.

Sehingga suaminya dengan tega menyuruh ia pergi.

Bahkan malah disuruh bunuh. Tetapi orang yang disuruh

membunuhnya itu tidak tega melihat keadaannya yang

menyedihkan. Ia waktu itu sedang hamil tujuh bulan. Dan

pesuruh itu meninggalkannya seorang diri di dalam hutan.

Maka kemudian Nyai Gondil itu berjuang melawan

kehidupan ini bersama orok yang ada dalam kandungan-

nya. Sehingga karena itu, karena Nyai Gondil sendiri telah

mengalami persoalan yang serupa seperti persoalan yang

kini sedang menimpa Jaka Pandan, maka iapun bisa

memahami keadaan anak itu. Apalagi Jaka Pandan adalah

seorang anak muda, yang secara kodrat terlalu gampang

terangsang. Dan oleh rangsangan itu kadang-kadang

dapat berbuat hal-hal yang tak terduga, berbuat hal-hal

yang gegabah, yang tanpa perhitungan.

Sifat yang demikian itu tidak hanya terjadi pada diri

Jaka Pandan sendiri. Dan bukan hanya monopoli kaum

lelaki saja. Dia, Nyai Gondil itu, pernah pula punya perasaan

demikian. Hanya karena ia perempuan, dan waktu itu ia

masih dalam kedudukan yang tidak berbeda dengan

perempuan lain, ia hanya dapat menyimpan perasaan itu

dalam hati. Tetapi Jaka Pandan tidak. Anak itu seorang

anak perkasa yang mempunyai aji jaya kawijayan guna

kasekten yang memungkinkan untuk menumpahkan

dendam dan kemarahannya. Dan ketika kemudian344

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

terdengar Jaka Pandan mengumpat dan menggeram, sekali

lagi Nyai Gondil menghela nafas panjang.

"Aku akan pergi." kata Jaka Pandan tiba-tiba.

Nyai Gondil tersadar dari lamunannya. Ia mengangkat

dadanya seakan-akan dalam dada itu ada sesuatu yang

melintang. Sejalan dengan itu kepalanya tergoyang-

goyang dan mulutnya yang cuma tinggal barisan gigi itu

bergerak gerak, "Jangan pergi, Jaka Pandan..." suaranya

lirih.

Sekali lagi ia berkata, "Jangan sekarang. Tunggulah

sampai dia datang."

"Siapa?" bertanya Jaka Pandan dengan suara tinggi.

"Orang itu. Orang yang kau sebut-sebut dengan nama

Giring itu."

"Tidak!" seru Jaka Pandan. "Aku tidak akan menanti

siapapun. Aku akan pergi sekarang mencari ki Ragajaya

untuk membuat perhitungan dengannya!"

Dan di ujung kata-katanya itu Jaka Pandan benar-benar

bangkit dari amben pembaringannya. Tapi tangan Nyai

Gondil yang memegang kedua lengannya telah

menghentikan ayunan kakinya. Dan terdengar perempuan

itu berkata dengan suara tergetar, "Jangan ngger... Jangan

pergi sekarang. Tunggulah sampai orang yang bernama

Giring itu datang..."345

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Mendengar suara perempuan yang merawan itu dada

Jaka Pandanpun tergetar pula. Suaranya yang lembut

menyentuh lekukan lembah hati Jaka Pandan. Dan anak itu

merasakan kelembutan tangan-tangan Nyai Gondil yang

memegang kedua lengannya. Kelembutan sebagai seorang

ibu terhadap anaknya. Aneh! Kata-kata Nyai Gondil itu

bagai guyuran air wayu sewindu pada kobaran dadanya

yang membara terbakar oleh kemarahannya.

Dan oleh karena itu kemudian suaranya menurun,

"Tidak bibi. Aku harus pergi sekarang juga."

"Sebenarnya apa yang mendorongmu untuk pergi

segera?" tanya Nyai Gondil itu.

"Ki Ragajaya. Orang itulah yang telah mendorongku.

Aku harus menghentikan kegilaannya. Aku harus menuntut

tanggung jawab dari perbuatannya."

"Bukan engkau yang harus menuntut perbuatannya jika

seandainya dia mempunyai kesalahan, ngger..."

"Tapi dia benar-benar bersalah. Dia yang telah

membunuh tumenggung Arya Guna serta Ki Brajanala. Dan

kesalahan itu menyangkut pula nama baikku. Dia telah

melontarkan fitnah kepadaku. Karena itu maka akupun

punya hak untuk menuntut pertanggungan jawabnya."

"Adakah engkau punya bukti-bukti yang pasti?"

Jaka Pandan terbungkam. "Ya. Pertanyaan Nyai Gondil

itu benar-benar di luar dugaannya. Dan memang dari

semula Jaka Pandan tidak pernah berfikir tentang bukti-346

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

bukti yang harus dikemukakan dalam menuntut

pertanggungan jawab tumenggung Ragajaya. Ia melupa-

kan itu. Ia hanya punya bukti sebatas apa yang

didengarnya dari mulut Pamuncar. Hanya itu. Dan tak lebih.

Tetapi Jaka Pandan akan menuntut ki Ragajaya itu

dengan caranya sendiri, dengan cara-cara yang tidak perlu

menggunakan dan mengungkapkan bukti-bukti yang

nyata. Ialah dengan kejantanan. Dengan cara seorang

lelaki. Yang mengadu kerasnya tulang liatnya kulit. Dengan

cara itulah hukum akan ditegakkan di atas kepala Ragajaya.

Dengan cara itulah ia akan menuntut pertanggungan jawab

ki Ragajaya.

Karena itu kemudian katanya, "Tidak, bibi. Tapi aku

mempunyai cara-cara tersendiri yang akan kutempuh."

"Jangan, ngger. Terlalu berbahaya. Tumenggung

Ragajaya berbahaya bagimu. Di samping itu, kita tidak

dapat berbuat menurut kemauan kita sendiri. Kita berada


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


di bawah naungan kekuasaan yang mempunyai hukum.

Hukum itulah yang akan berbicara atas perbuatan-

perbuatan manusia. Oleh karena itu ngger, sarehkanlah

hatimu. Kita hadapi persoalan dengan kepala dingin. Kita

pecahkan setiap persoalan dengan pengendapan nalar-

nalar yang wening. Dengan demikian kita akan berbuat

menuju sasaran yang tepat dan tidak mengaburkan sasaran

yang sebenarnya kita tuju. Bukan hanya engkau sendiri

yang terkait oleh persoalan ini. Akupun mempunyai

kepentingan pula. Dan Giring pun juga. Oleh karena itu

marilah kita pecahkan bersama-sama. Kau, aku dan Giring."347

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Sejenak Jaka Pandan terpaku di tempatnya. Kata-kata

Nyai Gondil itu benar-benar meresap ke dalam lubuk

hatinya dan mendinginkan kobaran perasaannya yang

terbakar. Yang berkata kemudian adalah Nyai Gondil,

"Bukankah engkau masih lelah?"

Jaka Pandan menggelengkan kepalanya, "Aku telah

tidur sepanjang hari."

"Baiklah. Makanlah dahulu. Aku telah menyiapkan

makanan itu."

"Tidak, bibi."

Nyai Gondil yang semula telah melangkah tiga tindak

itu terhenti dan membalikkan badannya. Dipandangnya

Jaka Pandan sambil mengangkat bahunya.

"Aku tidak lapar." kata Jaka Pandan kemudian.

Dan Nyai Gondil itu semakin lekat menatap Jaka

Pandan seakan-akan anak itu baru saja dikenalnya.

"Dan aku akan segera pergi."

Nyai Gondil tersentak, "He?"

"Aku akan mencari paman Giring." sahut Jaka Pandan.

"Ke mana?"

"Ke Pajang."

"Oh....."348

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Jaka Pandan melihat perempuan itu tertegun. Namun ia

tidak mempedulikannya. Ia tak mau mengetahui perasaan

perempuan itu. Sebab dengan demikian hatinya akan

menjadi pasti, bahwa ia akan menemui Ragajaya meski

apapun yang akan terjadi. Ia sudah bertekad bulat untuk

mengakhiri permainan gila tumenggung Ragajaya saat ini

juga. Karena itu kemudian Jaka Pandan segera memutar

tubuh.

"Aku akan pergi, bibi." katanya. "Seandainya aku tidak

berjumpa dengan paman Giring, dan orang tua itu datang,

katakan kepadanya bahwa aku mencari."

Tapi langkah Jaka Pandan terhenti di ambang pintu

ketika anak itu mendengar suara Nyai Gondil memanggil-

nya. la memutar tubuh. Dilihatnya perempuan itu

bergegas-gegas mendekatinya. Dan tanpa diduganya

perempuan itu memegang kedua lengannya.

"Jangan, ngger..." kata Nyai Gondil. Pilu. "Jangan

mempersulit dirimu."

Akan tetapi Jaka Pandan telah mengeraskan hatinya.

Karena itu katanya, "Tidak. Aku tidak sedang

mempersulitkan diriku. Aku sekedar mencari jalan buat

menyelesaikan persoalanku."

"Jangan seorang diri."

"Kenapa? toh persoalan yang sedang kuhadapi tidak

menyangkut orang lain. Sebab itu aku akan menyelesaikan

sendiri. Dan dengan caraku sendiri. Kalaupun ada orang

yang kebetulan mempunyai kepentingan yang sama dan349

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

menghendaki kerja sama denganku, kuterima dengan

terbuka. Tetapi tidak berarti aku mengharapkan bantuan

orang itu. Tidak sama sekali. Bahkan orang itu tak dapat

mengguruiku untuk menentukan langkah-langkahku."

Akhirnya Nyai Gondil itupun harus melepaskan Jaka

Pandan ketika ia tak berhasil mencegahnya. Dipandangnya

anak itu sampai hilang di balik pepohonan yang melebat.

Mata yang tinggak kelopaknya itu tiba-tiba mengalirkan

dua butiran cair. Air mata. Lalu menghela nafas dalam.

"Jaka Pandan..." desisnya. "Alangkah jantannya kau. Dan

karenanya aku menjadi bangga. Tetapi ...." Perempuan itu

tidak melanjutkan kata-katanya. Ia berdesah panjang.

Disapunya air matanya yang meleleh di pipi dengan

punggung telapak tangan. Tetapi air mata yang mengalir

kemudian bahkan menjadi semakin deras. "Oh..." keluhnya,

"Mengapa hidup ini harus begini?"

Perempuan itu berhenti lagi. Dadanya serasa menjadi

sangat sesak oleh isakan tangisnya. Dan setelah menghela

nafas panjang sekali lagi berkatalah ia melanjutkan

rintihannya, "Jaka Pandan.... oh, mengapa garis kehidupan

ini harus menggores dalam jalur-jalur kehidupan kita.

Hidupmu dan hidupku. Tuhan, kuatkanlah diriku. Lindungi-

lah anak itu."

Kemudian perempuan itu membalikkan tubuh berjalan

menuju ke amben pembaringan Giring. Dari bawah bantal

ia mengambil sesuatu. Sebuah kalung rantai baja putih

yang dihiasi oleh batu intan sebesar mata kaki. Sejenak

ditimang-timangnya benda itu. Lalu katanya seorang diri,350

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Baiklah, Jaka Pandan. Karena engkau, akupun tidak dapat

untuk mempertahankan kesabaranku lagi. Demi kau,

akupun harus bertindak. Kaulah biji mataku. Engkau tidak

sendiri, Jaka Pandan. Aku akan menyertaimu."

Dan perempuan itu kemudian memakai kalung itu ke

lehernya. Lalu melangkah. Namun di ambang pintu ia

tertegun melihat seorang lelaki yang berdiri. Lelaki itupun

memandangnya pula.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya laki-laki itu.

"Menyusul Jaka Pandan."

"He? Apakah anak itu sudah datang?"

"Ya. Dan sekarang dia ke Pajang. Aku tak dapat

mencegahnya. Dan karena itu kitapun harus segera

bertindak pula. Aku sudah tak dapat bersabar lagi. Aku tak

bisa membiarkan Jaka Pandan seorang diri."

"Gila!" desis laki-laki itu.

"Lebih gila lagi jika melihat suatu pertumpahan darah

antara kedua orang ayah-beranak."

Lelaki itu, yang bukan lain Giring adanya, mengerutkan

kening. Ia sedang berfikir keras. Sampai kedua alisnya

bertemu satu sama lain. Sesaat kemudian berkatalah ia,

"Baik. Kita harus segera berbuat." Lalu dengan sebuah

anggukan ia memutar tubuh diikuti oleh Nyai Gondil dari

belakang.351

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Dalam pada itu, Jaka Pandan yang sedang dilanda oleh

kemarahan itu tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia

kerahkan segenap kemampuan lari cepatnya. Tak ada yang

terlintas di benaknya kecuali ingin dengan segera menemui

tumenggung Ragajaya dan membuat perhitungan

dengannya. Maka kemudian bagai 'tatit', tubuh Jaka

Pandan melesat sangat cepatnya.

Saat itu matahari telah condong ke barat. Seperti

rumah yang lain, rumah tumenggung Ragajaya pun

nampak sepi pula. Hanya di pendapa nampak beberapa

orang perajurit hilir mudik dengan senjata di tangan

masing-masing yang kebanyakan memegang tombak.

Ketika di halaman rumah itu nampak seorang anak muda

yang berdiri dengan gagahnya, serentak perajurit-perajurit

itu berloncatan mengurungnya.

"Jaka Pandan....!" desis seorang di antara mereka.

Anak muda yang memang Jaka Pandan itu sejenak

memperhatikan perajurit-perajurit yang berdiri di sekitar-

nya dengan sudut mata. Meskipun demikian, meskipun

perajurit-perajurit itu telah menampakkan sikap

permusuhan, namun ia tidak bergerak sedikitpun juga.

Hanya ketika ia melihat beberapa orang perajurit yang

segera akan menggerakkan senjatanya, terdengar ia

menghardik, "Apa yang akan kalian lakukan?"

"Menangkapmu!" sahut seorang di antara perajurit-

perajurit itu.352

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Jangan kau. Beritahukan kedatanganku pada ki


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ragajaya. Buatlah tumenggung keparat itu sendiri yang

menangkapku!"

"He?!" Perajurit-perajurit itu terbeliak mendengar apa

yang dikatakan oleh Jaka Pandan.

"Apa kau sudah gila sehingga kau berani berkata

demikian?!" seru seorang perajurit. Dan disambung yang

lain, "Jangan hiraukan dia. Penyakit itu sudah lama

mengidap di kepalanya. Jika tidak, tiada akan terjadi ki Arya

Guna mati!"

"Dan sekarang dia datang untuk menyerahkan diri."

sambung seorang lagi.

"Mengapa kita tidak beramai-ramai menangkapnya?"

Dada Jaka Pandan yang sudah menyala-nyala itu

menjadi semakin berkobar. la sudah tidak dapat menahan

kesabarannya untuk lebih lama lagi. Karena itu kemudian

tanpa berfikir paniang lagi ia mencabut pedangnya, "Ya.

Kenapa kalian tidak menangkapku beramai-ramai? Ayo

tangkaplah mumpung aku datang!"

Namun tak seorangpun dari perajurit-perajurit itu yang

mulai menyerang. Dada mereka dirayapi oleh rasa

kebimbangan. Betapapun mereka menyadari bahwa Jaka

Pandan adalah seorang anak muda yang luar biasa. Bahkan

mereka tidak hanya menyadari. Tetapi mereka pernah

melihat dan merasakan kehebatannya. Beberapa hari yang

lalu, bahkan rasanya peristiwa itu seperti baru berapa saat

yang lalu saja terjadi, betapa dengan gagahnya anak itu353

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

menghadapi belasan orang perajurit. Sedang sekarang

mereka berjumlah tidak lebih dari tujuh orang. Apa yang

mampu mereka lakukan terhadap Jaka Pandan? Meski

bagaimanapun juga ketujuh orang itu adalah perajurit-

perajurit yang mempunyai otak wajar. Mereka masih bisa

menimbang hal-hal yang mungkin dilakukan dan yang

tidak mungkin bisa dilakukan. Dan meskipun bisa

dilakukan, tetapi seandainya perbuatan itu hanyalah suatu

perbuatan yang sia-sia saja, mereka harus berfikir untuk

melakukannya. Mereka tidak mau berbuat gegabah.

Apakah arti dari perbuatan itu jika tidak membawa hasil?

Bahkan mencelakai? Itulah sebabnya maka sampai sesaat

lamanya perajurit-perajurit itu tidak juga bergerak dari

tempat masing-masing. Cuma ujung-ujung tombak mereka

yang terjulur lurus ke arah perut Jaka Pandan.

Jaka Pandanpun dapat pula membaca apa yang

terkandung dalam benak perajurit-perajurit itu. Tetapi ia

tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu kemudian ia

berkata lagi, "Cepat tangkaplah aku beramai-ramai! Kenapa

kalian tidak juga memulainya? Takut? Jika demikian,

minggirlah! Aku akan menemui ki Ragajaya. Atau kuminta

salah seorang di antara kalian memanggil ki Ragajaya?!"

Akan tetapi perajurit-perajurit itu masih tetap berdiri di

tempatnya. Tidak bergerak. Adalah pada saat itu sesosok

bayangan melayang ke tengah lingkaran perajurit-perajurit

itu. Dan satu setengah langkah berdiri di hadapan Jaka

Pandan.354

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Raden Pamuncar..." desis perajurit-perajurit itu

bersamaan. Dan tanpa diperintah maka merekapun

bersama-sama melangkah surut ke belakang.

Jaka Pandan menatap anak muda tampan yang berdiri

di hadapannya dengan sebilah keris di tangan. Ia muak.

Dan perasaan muak itu menimbulkan kebencian.

Kebencian yang memuncak. Tapi ia menahan perasaan itu

sekuasa mungkin.

"Aku tidak mencarimu, Pamuncar." Kata Jaka Pandan

dingin.

Pamuncar mendengus pendek. Lalu katanya, "Tetapi

aku mencarimu.... Untuk menangkapmu."

"Apa sebabnya?"

Wajah dan mata Pamuncar yang berkilat-kilat itu

memancarkan suatu kebencian yang meluap-luap dalam

dadanya. Bahkan kemudian ia meludah ke tanah untuk

melampiaskan kebenciannya itu.

"Kau tanya apa sebabnya aku ingin menangkapmu?"

Suara Pamuncar meninggi. "Siapapun tahu bahwa kau

pengkhianat yang harus dihukum 'kisas'. Karena itu aku

akan menangkapmu serta menyerahkan dirimu untuk

menerima hukuman itu!"

"Apakah bukan karena persoalan Kembang Arum?"

"Itu juga."355

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Meskipun jantung Jaka Pandan akan meledak, namun

ia memaksa diri untuk tersenyum. Lalu katanya, "Baiklah.

Kita selesaikan persoalan itu nanti setelah aku

menyelesaikan persoalanku dengan ki Ragajaya. Sekarang

panggilah ayahmu ke mari."

"Keparat!" geram Pamuncar.

Bersamaan dengan itu Pamuncarpun menggerakkan

kerisnya. Ketika kemudian ujung keris itu tergetar, maka

sebuah sinar kehitam-hitaman menyambar ke ulu hati Jaka

Pandan. Akan tetapi Jaka Pandanpun telah mempersiapkan

diri untuk itu. Pengalaman hidupnya yang selama beberapa

hari terakhir ini terpaksa membawa dirinya ke kancah-

kancah pertempuran membuat Jaka Pandan menjadi

sangat peka terhadap segala ancaman maut. Apalagi

memang tataran ilmu yang dimilikinya jauh di atas tataran

ilmu Pamuncar. Sehingga dengan demikian serangan

Pamuncar itu sama sekali tidak menimbuikan kegugupan

baginya.

Tringg....! Sekali ia memutar pedang, keris Pamuncar itu

terlontar ke udara. Sedang Pamuncar berseru kaget dan

buru-buru meloncat mundur. Sesaat kemudian ia berdiri

dengan wajah merah padam. Namun keadaan itu bahkan

semakin mengobarkan kemarahan di dadanya. Apalagi

ketika kemudian ia melihat Jaka Pandan memandangnya

dengan sinis.

"Jahanam!"geramnya lagi. "Kubunuh kau!"356

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Sedemikian besarnya nafsumu untuk membunuhku,

buyung?" kata Jaka Pandan. "Biarlah kulayani kau sekedar

memuaskan hatimu dan menanti kedatangan ayahmu.

Ambil kerismu jika kau masih penasaran."

"Keparat! Jangan sombong. Apakah kau sangka aku

tidak mampu melawan tanpa senjata?"

Sekali lagi Jaka Pandan tersenyum. Dan mengangguk-

anggukkan kepalanya. "Baik. Baik. Agaknya kau

menghendaki pertempuran tanpa senjata. ltu lebih baik."

Lalu anak itu melemparkan pedangnya menindih keris

Pamuncar yang tergolek di tanah. Lalu, "sekarang kita

sama-sama sudah tidak bersenjata. Nah majulah."

Pamuncar yang telah dibakar oleh kemarahan itu

segera menerjang Jaka Pandan dengan sebuah pukulan.

Namun dengan mudahnya pukulan itu dapat dihindarkan

oleh Jaka Pandan. Pamuncar menjadi sedemikian marah. Ia

tarik tangan kanan dan menjulurkan tangan kirinya ke

lambung lawan sekaligus menyapukan kaki tangan ke kaki

lawan. Kali ini anak itu bergirang diri benar pukulan tangan

kirinya berhasil dihindari. Tetapi agaknya sapuan kakinya

tak dihindari oleh Jaka Pandan. Karena itu ia menduga Jaka

Pandan akan roboh.

"Roboh!" teriaknya. Akan tetapi Pamuncar terkejut

bukan main. Ketika kemudian kakinya membentur kaki

Jaka Pandan ternyata lawannya tak bergeming sama sekali.

Malah kakinya serasa remuk. Dan sebelum ia sempat357

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

berbuat sesuatu, kedua tangan Jaka Pandan telah

memaksanya untuk jatuh terlentang.

Jaka Pandan tertawa melalui hidung, "Bangunlah,

buyung. Bangunlah. Keluarkan seluruh kemampuanmu."

Untuk kesekian kalinya Pamuncar menggeram marah.

Pergelangan kakinya yang serasa akan remuk telah

sedemikian membakar dadanya. Apalagi dengan kata-kata

Jaka Pandan yang memang memerahkan anak telinga.

Oleh karena itu maka kemudian cepat-cepat Pamuncar

meloncat untuk berdiri. Namun demikian, kaki kanannya

menjadi semakin sakit bukan buatan. Lalu ia

mengembangkan kedua tangannya seolah-olah ia akan


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


menerkam. Dan diiringi dengan sebuah lengkingan,

Pamuncar meloncat ke muka seperti seekor harimau

menerkam mangsanya.

Menghadapi serangan yang berbahaya ini Jaka Pandan

tidak berkisar sedikitpun dari tempatnya seakan-akan ia

sengaja membiarkan dadanya dicengkeram oleh kesepuluh

jari-jari Pamuncar. Tetapi begitu cengkeraman anak itu

hampir tiba, cepat ia ulurkan tangan. Memegang kedua

pergelangan Pamuncar. Dan tanpa diduga lebih dahulu

oleh lawan, ia menjatuhkan diri ke belakang sambil

menyentakkan kedua tangannya. Tak ampun tubuh

Pamuncar melambung ke udara berputar-putar melampaui

Jaka Pandan. Meskipun Pamuncar berusaha untuk

menguasai keseimbangan tubuhnya, namun tak urung ia

jatuh bergedebukan ke tanah.358

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Walau tidak mengakibatkan luka-luka yang berarti, tapi

kepala Pamuncar menjadi sangat pening. Akan tetapi

manakala dilihatnya kerisnya serta pedang Jaka Pandan

tergolek tak jauh dari tempat itu, ia berusaha merangkak

untuk menggapainya. Apabila ketika di kedua tangannya

telah tergenggam masing-masing sebilah keris di tangan

kanan dan pedang di tangan kiri, seolah-olah Pamuncar

memperoleh kekuatan yang baru. Dengan cepatnya ia

menggeliat lalu bangun serta meloncat menusukkan kedua

senjata di tangannya ke arah Jaka Pandan yang kebetulan

sedang berpaling.

Adalah sebenarnya bila pada saat itu Jaka Pandan

sedang berpaling. Berpaling untuk melihat ki Ragajaya

yang menyaksikan pertempuran itu di tangga pendapa

sana. Kapan tumenggung tua itu muncul, Jaka Pandan tak

tahu. Dan ia tidak sempat untuk memperhatikan Ragajaya

lebih banyak lagi sebab saat itu ia merasakan adanya dua

buah angin yang menyambut dari depan. Jaka Pandan

berpaling. Aiih ..... kiranya Pamuncar menyerang dengan

kedua senjata sekaligus. Sekali ini ia terperanjat. Buru-buru

ia meloncat ke samping kanan. Ia berhasil menghindari

ujung pedang di tangan kiri Pamuncar. Tetapi.... crat! Ujung

keris Pamuncar tak dapat dihindarkan lagi menyobek

lambung kirinya. Darah merah menyembur dari luka itu.

Seketika itu merahlah wajah Jaka Pandan. Semerah darah

yang menyembur dari luka itu. Kemarahan yang semula

berhasil ditekannya spontan mendadak sontak meledak.

Bagai seekor harimau buas ia menggeram, "Anak setan!

Biarlah kau mati di hadapan ayahmu!"359

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Bersamaan dengan itu maka Jaka Pandan membuka

kakinya setengah langkah berdiri dalam kuda-kuda ilmu

pamungkasnya, Aji Goramandala. Dalam pada itu, ki

Ragajaya tergetar hatinya melihat sikap Jaka Pandan itu.

Matanya terbeliak. Bibirnya bergerak-gerak. Namun tak

sepatah pun perkataan keluar dari mulut itu. Pada saat

itulah terlintas di benaknya akan sebuah kenangan yang

kemarin sore dialaminya sewaktu ia baru saja tiba dari

perjalanannya ke Gunung Kidul bersama Pamuncar.

Kemarin, sore kemarin menjelang petang, begitu

memasuki halaman rumahnya, ia merasakan suatu

keanehan yang mencekam di rumah ini. Sepi. Sunyi. Dan

hening. Padahal selamanya rumah ini tak pernah demikian.

Dan keheranan itu menjadi semakin memuncak tatkala ia

melangkah naik ke tangga pendapa. Seorang emban tua

pemomong Pamuncar menjatuhkan diri di hadapannya.

"Tuan..... oh tuan......" rintih emban tua itu. "Han.....

hantu... tuan Aryo Guno."

Namun Ragajaya tidak memperhatikannya. Kepepatan

benaknya atas peristiwa-peristiwa yang dialaminya di

Gunung Kidul, tentang pengkhianatan Ngangrang Sewu,

membuat fikiran tumenggung tua itu menjadi gelap.

Segelap harapannya untuk menjatuhkan Pajang bersama-

sama dengan Ngangrang Sewu. Kemudian tanpa berkata

sepatah katapun ia kemudian melangkahkan kaki menuju

ke billknya. Namun..... alangkah terkejutnya ketika ia

membuka pintu biliknya. Ia seperti terpaku. Matanya

terbelalak. Tubuhnya menggigil, "Ar.....Aryo Guno..."

serunya tertahan. Bahkan suara itu hanya tersekat di360

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

kerongkongannya. Di sana, di meja di sisi pembaringannya,

duduklah seorang laki-laki yang membelakanginya. Ki

Ragajaya tahu siapa orang itu. Perawakannya, rambutnya,

pakaiannya, semua mirip dengan Aryo Guno.

Tumenggung Aryo Guno itu bangkit berdiri lalu

memutar tubuh menghadapi ki Ragajaya, ketika terdengar

tumenggung tua itu berseru tertahan. Lalu selangkah demi

selangkah, dan perlahan sekali, ia menghampiri

tumenggung Ragajaya. Ki Ragajaya yang melihat

tumenggung Aryo Guno berjalan menghampirinya menjadi

semakin gemetar. Wajahnya berubah jadi 'ekspresif' sekali.

Tetapi 'ekspresi' itu sendiri sulit dilukiskan.

"Tidak!" tiba-tiba ia berteriak keras. "Tidaaaak! Kau

sudah mati!"

Tetapi tumenggung Aryo Guno menjadi semakin dekat.

"Tidak! Kau sudah mati!" Teriaknya lagi. "Tidak! Jangan!

Jangaanaan!"

Dua langkah tumenggung Aryo Guno berhenti di

hadapan tumenggung Ragajaya. Lalu dengan suara datar

berkatalah laki-laki itu, "Kau sudah datang, kakang? Aku

sudah lama menantimu. Jangan takut. Aku hanya ingin

berkata tentang sesuatu. Bahwa Jaka Pandan adalah anak

'sulungmu' dari mbakyu Pandan Wangi. Ingatlah aji

Goramandala. Aji itu turun-temurun berdasarkan keturunan

darah."

Buk! Entah ki Ragajaya itu mendengar apa yang

dikatakan oleh tumenggung Aryo Guno atau tidak, tetapi361

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

tepat dengan ujung kata-kata orang itu, ki Ragajaya jatuh

tak sadarkan diri. Sampai beberapa saat kemudian

tumenggung tua itu memperoleh kesadarannya. Sejalan

dengan itu melayanglah ingatannya pada masa-masa

lalunya, ketika ia belum setua ini, ketika dia baru berumur

tigapuluh tahun. Di mana saat itu dia merupakan seorang

perajurit tamtama muda kerajaan Pajang yang baru saja

tegak berdiri yang dibangun oleh Mas Karebet dari Tingkir,

yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya. Sebagal

seorang tamtama yang sedang menanjak namanya, kala itu

banyaklah orang-orang tua yang kebetulan mempunyai

anak perawan berkeinginan untuk mengambil menantu

Ragajaya. Di antara sekian banyak orang-orang tua itu

adalah seorang lurah wiratamtama bernama ki Ageng

Gajah Wungkul yang beruntung mengambil Ragajaya

menjadi menantunya, dikawinkan dengan puterinya yang

bernama Pandan Wangi. Di samping Pandan Wangi, ki

Ageng Gajah Wungkul mempunyai seorang anak laki-laki,

adik Pandan Wangi. Ialah Aryo Guno, sahabat baik

Ragajaya dan sama-sama menjadi perajurit Wiratamtama

Manggalayuda.

Kemudian hiduplah Ragajaya dengan Pandan Wangi

isterinya. Mereka hidup rukun saling mengasihi. Ia

mencintai Pandan Wangi. Demikian pula isterinya. Ternyata

Pandan Wangi adalah seorang wanita yang setia berbakti

terhadap suaminya, mendambakan seluruh hidupnya bagi

keluarga. Dua tahun kemudian Pandan Wangi telah

mengandung. Mengandung benih hasil dari perkawinan

mereka. Namun keadaan yang demikian itu tidak

berlangsung untuk jangka waktu yang lama. Mulailah362

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

adanya perubahan-perubahan dalam rumah tangga itu.

Mula-mula timbul dari Ragajaya. Ia mula-mula acuh tak

acuh dan tidak lagi memperhatikan isterinya yang tengah

hamil beberapa bulan itu. Lalu timbullah perselisihan-

perselisihan kecil. Kian hari perselisihan itu menjadi

semakin memuncak. Dan puncak dari segalanya adalah

pada saat kandungan Pandan Wangi menginjak umur

delapan bulan. Tanpa diketahu sebab-sebabnya dengan

pasti, Ragajaya yang saat itu telah menjabat sebagai lurah

wiratamtama menyuruh seorang perajutit kepercayaannya

untuk membunuh Pandan Wangi. Sedang beberapa saat


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


kemudian ia kawin dengan perempuan lain. Dari

perkawinan ini lahirlah beberapa orang anak yang di

antaranya adalah Pamuncar anak sulung dari perkawinan

kedua ini.

Lama ki Ragajaya termenung dalam ayunan kenangan-

kenangan masa silam. Kenangan-kenangan itu

mengambang jelas seakan-akan kenangan-kenangan itu

merupakan peristiwa-peristiwa yang baru kemarin terjadi.

Namun kemudian sebelum kenangan-kenangan itu

mencapai titik puncaknya, segera ditenggak kembali oleh

peristiwa yang baru saja dialami, ialah munculnya seorang

Aryo Guno yang diketahuinya telah mati beberapa hari

yang lalu. Aneh! Benarkah di dunia ini ada orang mati yang

bisa hidup kembali. Ataukah orang tadi adalah hantu dari

sukma Aryo Guno yang nglambrang?

Tapi lebih aneh lagi bahwa hantu Aryo Guno itu

menyebut bahwa Jaka Pandan adalah anaknya. Orang itu

menyebutkan pula bahwa adanya aliran darah dalam aji363

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Goramandala itulah bukti yang tak dapat disangkal lagi.

Lalu ki Ragajaya itu teringat pada ayahnya yang telah lama

meninggal. Hai... bukankah ayahnya pernah berkata bahwa

aji Goramandala dimiliki oleh keturunan sedarah yang

pertama. Bukankah ia anak sulung dari ayahnya? Dan ia

memiliki aji Goramandala tanpa ia ketahui dari mana ia

memperolehnya? Sedang keempat saudaranya yang lain

tidak memiliki aji itu? Lalu ayahnya demikian pula. Ayahnya

juga merupakan anak tertua dari keempat orang anak

kakeknya. Dan yang punya aji Goramandala hanya ayahnya

seorang. Dan Jaka Pandan juga punya aji Goramandala.

Kalau demikian anak itu anaknya. Kalau demikian Pandan

Wangi masih hidup. Ya Jaka Pandan pasti anaknya sebab ia

punya aji Goramandala yang menurun secara naluri, dan

Pandan Wangi mesti masih hidup. Setidak-tidaknya masih

sempat melahirkan Jaka Pandan. Dan bukankah antara

anak itu dengan Pandan Wangi mempunyai bagian nama

yang sama? Bukankah mereka sama-sama memakai nama

Pandan? Dan Jaka Pandan adalah anak pungut

tumenggung Aryo Guno. Sedang Aryo Guno adalah adik

Pandan Wangi. Kalau demkian..... kalau demikian, Jaka

Pandan memang benar-benar anakku, rintih tumenggung

Ragajaya dalam hati.

Dan sekarang, di hadapannya berlangsung suatu

pertempuran maut antara Jaka Pandan dengan Pamuncar.

Mereka sama-sama anaknya. Dalam pertempuran itu ia

melihat Jaka Pandan telah sampai pada puncak ilmu

pamungkasnya, Goramandala. Ragajaya menjadi gugup.

Tak tahu apa yang harus dilakukannya pada saat itu.364

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

"Jaka Pandan! Pamuncar!"

Tiba-tiba tumenggung itu berteriak keras. Namun

terlambat. Jaka Pandan telah melontarkan aji

pamungkasnya. Sedang saat itu Pamuncar berdiri puas.

Puas dengan berhasilnya serangan yang dilontarkannya.

Glaaar!!! Sebuah ledakan dahsyat meledak di atas kepala

Pamuncar. Dan anak itu terkapar dengan kepala terbelah.

Darah merah bercampur benak berhamburan ke tanah.

Selangkah dari tempat itu Jaka Pandan berdiri memusatkan

perhatian untuk menghimpun kekuatannya kembali.

Sedang di tangga pendapa sana berdirilah Ragajaya

dengan tubuh menggigil. Wajahnya pucat dan dari seluruh

tubuhnya mengucur keringat dingin.

Beberapa orang perajurit yang menyaksikan peristiwa

mengerikan itu berdiri mematung. Terpukau oleh peristiwa

itu. Sementara itu Jaka Pandan telah berhasil menghimpun

kekuatannya kembali. Sekali matanya menyambar

Pamuncar yang tak berkutik bermandikan darah. Tapi mata

itu, bersinar dingin. Pembunuhan yang dilakukannya itu

seolah-olah tak membawa kesan apapun. Lalu dia

menyeringai menahan rasa perih yang menyengat

lambung kirinya. Namun manakala matanya tertumbuk

pada Ki Ragajaya yang berdiri gemetar di tangga pendapa

itu, matanya bersinar-sinar liar. Tanpa menghiraukan luka

di lambungnya yang terus mengucurkan darah segar, anak

ini meloncat ke depan, berdiri di hadapan Ki Ragajaya.

"Ki Ragajaya!" teriaknya penuh emosi. "Sekarang

katakan padaku apa sebab engkau membunuh Ki Aryo365

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

Guno kemudian melontarkan fitnah bahwa aku yang telah

membunuh Ki Aryo Guno serta Ki Brajanala?"

Tetapi tumenggung tua itu tidak mendengar kata-kata

Jaka Pandan. Matanya mengabur. Bahkan apa yang telah

terjadi dan yang sedang terjadi serta yang akan terjadi

pada dirinya tiada ada dalam alam kesadarannya. Semua

itu seolah-olah hanya ada dalam sebuah mimpi yang

terlampau buruk. Bumi yang dipijaknya serasa berputar-

putar menghempas mencampakkan dirinya ke alam yang

mengerikan, ke alam yang menakutkan, ke alam yang

mencekam jiwanya. Dan kemudian pada alam penyesalan

atas kekerdilan jiwanya, penyesalan atas rendahnya nilai

kemanusiaannya. Kepala Ragajaya menjadi pening. Sangat

pening. Seolah-olah ia tidak mampu lagi berdiri di atas

kedua telapak kakinya.

Dan yang terdengar kemudian adalah kata-kata Jaka

Pandan yang mengguntur di liang telinga. Ki Ragajaya

meski sepatahpun yang tiada bisa didengarnya,

"Ki Ragajaya!" Suara Jaka Pandan itu terdengar

sedemikian hebatnya dilandasi oleh bara kemarahan yang

meluap-luap, "Aku muak melihat tampangmu. Tampang

seekor serigala berwajah manusia. Tampang manusia yang

berhati setan. Setan. Iblis. Sebenarnya aku mau

memecahkan batok kepalamu yang penuh dengan

kekejian itu. Tapi aku kasihan pada tulang-tulangmu yang

bertonjolan di antara lekukan dagingnya yang sangat

kering itu. Ya, aku masih menaruh belas kasihan padamu.

Dan aku tidak akan membunuhmu. Tetapi sekarang juga, di

hadapan paduka Sri Sultan dan di hadapan rakyat Pajang,366

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

kau harus berkata yang sebenarnya menimpa Pajang.

Tentang perbuatan terkutuk ini membunuh Ki Aryo Guno

dan Ki Brajanala. Serta kau harus berkata bahwa Jaka

Pandan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan

peristiwa kematian Ki Aryo Guno dan Ki Brajanala itu!"

Ketika kemudian mulut Ki Ragajaya itu masih saja

terbungkam, Jaka Pandan menjadi sangat marah. "Baik!"

katanya, "memang kau menghendaki suatu hal yang

mengerikan dalam akhir kehidupanmu. Apa boleh buat.

Karena kekerasan kepalamu terpaksa aku akan

menggunakan aji Goramandala. Atau kau ingin

menghadapiku dengan Goramandala yang ada padamu?

Huh! sebenarnya aku merasa malu. Seandainya aku dapat

membunuhmu, apa artinya bagiku? Membunuh seekor

kerbau bongkotan macam kau?!"

Namun Jaka Pandan telah mengambil suatu kepastian.

Menentukan akhir kehidupan Ragajaya dengan pukulan aji

Goramandala.

"Jaka Pandan!"

Sekonyong-konyong anak itu mendengar suara

melengking. Ia mengenal suara itu. Suara Nyai Gondil.

Karena itu, karena terpengaruh oleh teriakan itu, tenaga

murni yang hampir berhasil dihimpunnya menjadi buyar

kembali. Dan tanpa diduganya sama sekali, sepasang

tangan menyambar dan melingkar di pinggangnya erat

sekali. Jaka Pandan tak dapat menguasai keseimbangan

tubuhnya. Sehingga kemudian ia jatuh bergulingan367

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

bersama-sama dengan orang yang memeluknya dari

belakang itu.

Saat itulah Jaka Pandan melihat seraut wajah

perempuan tua yang berumur lima puluhan lebih. Suatu

kenyataan yang mengherankan hati Jaka Pandan ialah

bahwa suara wanita itu persis dengan Nyai Gondil. Cara

berpakaiannya pun juga. Adakah dia Nyai Gondil? Tetapi

wajah perempuan ini bukan wajah yang dimiliki Nyai

Gondil. Dan jari-jari tangannya juga seperti jari-jari tangan

manusia lumrah. Sedang jari jemari Nyai Gondil berwarna


Aji Gora Mandala Karya Widi Widayat dan Karsono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


putih berbuku-buku.

Selagi Jaka Pandan menimbang-nimbang siapa adanya

perempuan ini, perempuan ini menggoncang-goncangkan

bahunya keras sekali sambil berkata, "Jangan Jaka Pandan...

Dia....dia ayahmu!"

Dan sebelum Jaka Pandan dapat memahami kata-kata

perempuan itu, terdengarlah suara lain yang dikenalnya

sebagai suara Giring yang mirip dengan suara mendiang

tumenggung Aryo Guno, "Benar, Jaka Pandan. Ki Ragajaya

sebenarnya ayahmu sendiri.

Jaka Pandan berpaling. Seperti yang telah diduganya

bahwa orang itu benar-benar Giring. Tapi orang itu kini

tidak mengenakan cadar penutup muka. Sehingga di mata

Jaka Pandan orang itu benar-benar tumenggung Aryo

Guno almarhum.

Rupanya Giring dapat melihat kebimbangan dalam hati

Jaka Pandan. Karena itu berkatalah ia, "Sedang perempuan368

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

itu adalah Nyai Gondil dalam wujud yang sebenarnya. Nyai

Gondil bukan nama yang sebenarnya. Nama itu dipakainya

jika dia ada dalam bentuk lain, memakai topeng yang

menakutkan itu. Nama yang sebenarnya adalah Pandan

Wangi. Adakah kau pernah mendengar nama ltu disebut-

sebut oleh kakang Aryo Guno? Kakang Aryo Guno, orang

yang mengasuhmu sejak kecil itu adalah adik Pandan

Wangi. Sedang aku sendiri saudara kembar kakang Aryo

Guno. Namun karena sejak kecil aku ikut pada pamanku,

tak seorangpun yang tahu bahwa tumenggung Aryo Guno

mempunyai saudara kembar. Aku tak pernah menampak-

kan diri. Dan begitu aku muncul ke dunia ramai ini

bertepatan dengan saat kematian kakang Aryo Guno. Dan

kemunculanku itu menggemparkan suasana. Orang-orang

menyangka bahwa aku kakang Aryo Guno. Kau sendiri

merasakan demikian bukan? Ini merupakan suatu karunia

bagiku untuk mencari jalan memecahkan persoalan

kematian kakang Aryo Guno. Kemudian aku berbuat

seolah-olah hantu Aryo Guno yang bangkit dari kubur.

Dengan jalan itulah aku bersama-sama Nyai Gondil

berhasil menyingkapkan kabut yang menyelimuti

katumenggungan Aryo Guno. Dan sekarang aku tahu apa

dan siapa pelaku dari pembunuhan itu."

Tetapi apa yang didengar dari sekian banyak kata-kata

Giring itu hanyalah nama Pandan Wangi. Ya. Pandan

Wangi. Dari tumenggung Aryo Guno dahulu ia pernah

mendengar bahwa ibunya bernama Pandan Wangi.

Namun, menurut tumenggung Aryo Guno pula, ibunya itu

telah dibunuh oleh suaminya sendiri. Sekarang, sekarang369

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

perempuan yang memeluknya itu bernama Pandan Wangi.

Jadi.... jadi dia, perempuan itu, ibunya?

"Ibu......!" tiba-tiba Jaka Pandan berteriak histeris sambil

memeluk Pandan Wangi. Lebih dari itu, adalah Ki

Ragajayalah yang lebih tak dapat menguasai perasaannya.

Ia mendengar semua kata-kata orang yang mengaku

dirinya sebagai saudara kembar tumenggung Aryo Guno

itu. Terasa olehnya kata-kata itu bagaikan guguran gunung

yang menimpa dadanya. Lutut Ragajaya tergetar seperti

getaran jantungya yang sangat keras itu. Dan akhirnya

tumenggung tua itu benar-benar tidak mampu untuk

berdiri lebih lama lagi. Pukulan batin yang menimpanya

cukup parah. Namun justru robohnya tubuh Ki Ragajaya itu

tepat di mana Jaka Pandan dan ibunya berpelukan.

Dengan memaksakan diri ia meraihkan tangannya

menjangkau Pandan Wangi serta Jaka Pandan. Sehingga

kemudian terjadilah sebuah adegan yang mengharukan di

mana tiga orang ayah-isteri-anak berpelukan dengan isak

tangis mereka. Tiga orang yang saling menemukan orang-

orang lain yang mereka cari. Justru setelah terjadi

peristiwa-peristiwa dahsyat yang dilakukan oleh Ki

Ragajaya sendiri.

"Pandan Wangi......, Jaka Pandan....." rintih Ki Ragajaya

tersendat. "Maafkanlah diriku. Karena kebrutalan dan

kekerdilan jiwaku, aku telah mencampakkan dan menyia-

nyiakan hidup kalian. Bahkan aku telah mempersulit

kehidupan kalian. Oh, aku merasa berdosa. Berdosa. Dosa

terhadap segala-galanya. Hukuman apakah yang akan

kuterima sebagai tebusan atas dosa-dosaku. Oh, Tuhan...370

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

kuatkanlah diriku. Ampunilah dosaku. Atau datanglah

kutukMu atas dosa-dosaku..."

Belum lagi keharuan itu mereda, sekonyong-konyong

muncullah beberapa orang perajurit berkuda ke halaman

itu. Dua orang di antaranya yang ternyata Pamuput dan

Pramanca berloncatan turun dari kudanya menghampiri Ki

Ragajaya.

Melihat perajurit-perajurit itu, Ragajaya, Pandan Wangi

dan Jaka Pandan berdiri. Sejenak suasana menyepi. Tetapi

kemudian segera terdengar suara Pamuput yang berdiri

tiga langkah di muka Ki Ragajaya sambil menganggukkan

wajahnya memberi hormat, "Maaf ki tumenggung. Atas

perintah kanjeng Sultan, Ki Ragajaya dipersilahkan

menghadap sekarang juga."

Sebuah guntur menghantam dada Ki Ragajaya.

Tubuhnya gemetar dengan keringat-keringat dingin yang

mengucur deras. Ia memandang wajah Giring, Pandan

Wangi dan Jaka Pandan satu demi satu. Lalu kepada

Pamuput ia berkata, "Baiklah..."

Kemudian dengan langkah gontai menekan perasaan

yang melingkar-lingkar di dadanya, tumenggung Ragajaya

melangkah diikuti oleh Pamuput dan Pramanca. Sementara

itu Giring, Pandan Wangi serta Jaka Pandan menyaksikan

peristiwa itu dengan ekspresi yang sulit untuk ditafsirkan.

Sesaat kembali kesunyian mencekam. Dalam pada itu,

kesunyian itu dipecahkan oleh munculnya Kembang Arum371

Aji Gora Mandala

Widi Widayat & Karsono

yang berlari-lari menuju ke jajaran ketiga orang yang

berdiri mematung itu.

"Kakang..... Kakang Jaka Pandan...." teriaknya tertahan.

***

FINISH




Dewi Sri Tanjung 7 Rahasia Dewa Asmara Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl

Cari Blog Ini