Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im Bagian 1
DAFTAR ISI
1. Dewi Kwan Im menundukkan Loo-han.
2. Anugrah Dewa Bumi (Touw Ti Kong) ......
3. Chi Kung Hok Hud menangkap siluman ular
4. Pembantu yang rakus ....
5. Padri penakluk hantu ...
6. Bidadari dan Ratu ....
7. Si pembasmi siluman
8. Kasih tak sampai .......
9. Termakan perbuatan sendiri ...
10. Pusaka dari Goan Bu Nio Nio.
11. Bakti seorang gadis .......
12. Tiga pekerjaan sulit .....
13. Pencuri kuda ......
14. Harta di Pagoda .....DEWI KWAN IM MENUNDUKKAN LOO-HAN
Pada suatu hari Dewi Kwan Im berhasrat untuk sejenak berpesiar ke
sebuah tempat, sekedar menukar hawa.
Sang Dewi lalu mendaki puncak bukit Buddha, Hud Tengsan,
memperhatikan alam sekitarnya.
Dengan matanya yang dapat melihat sampai ribuan li, Dewi Kwan Im
melihat panorama di sekitar Vihara Kok Cheng-sie di gunung Thian
Tay-san yang sangat indah, banyak Hweshio yang berhilir mudik.
Timbul keinginannya untuk melihat keadaan di sana dari dekat.
Sang Dewi turun dari puncak bukit, naik ke atas batu yang terletak di
dekat rimba bambu, melompat menyeberangi lautan.
Sampai sekarang, jika orang berkunjung ke Pu To-san, masih dapat
melihat batu tempat Dewi Kwan Im melompat ke angkasa
menyeberangi lautan. Di atas batu itu masih jelas terlihat bekas
telapak kaki sang Dewi, yang dinamakan orang 'Kuan Yin Tiau' (Dewi
Kwan Im melompat).
Setiba di muka Vihara, terlihat gunung yang berdiri tegak, air
mengalir begitu jernih, pohon-pohon Siong (Pinus) berjejer di kanan
kirinya. Terhampar lapangan rumput yang lembut bagaikan babut,
membuat panorama di situ demikian indah menawan.
Di Vihara tersebut berdiam 500 Loo-han yang menyamar sebagai
Hweshio, setiap hari banyak di antaranya yang berkeliaran di luar
Vihara, mengharapkan derma dari orang yang berkunjung untuk
sembahyang atau pun sekedar memasang hio (dupa linting), sekalian
Ciu-ciam.
Hari itu, ketika mereka melihat Dewi Kwan Im yang rapi
dandanannya dan anggun sikapnya, mengira orang kaya yang ingin
bersembahyang di Vihara mereka, maka segera mengerumuninyauntuk minta sedekah.
Sang Dewi hanya tersenyum tanpa berkata. Sampai kemudian, Tao
Tek Hweshio, pimpinan dari Vihara tersebut, yang bermata jeli, tahu
kalau tamunya yang seorang ini bukan orang sembarangan, tapi Dewi
yang menyamar seba gai manusia, segera menyuruh anak buahnya
menyisi dan dia sendiri yang langsung menyambutnya :
"Kalau boleh saya tahu, dari mana asal Dewi?"
"Saya Kuan She Yin dari pulau Pu To di Lam Hai. Kedatangan saya ke
mari untuk menikmati panorama di sekitar gunung yang indah ini".
Para Loo-han sangat girang ketika mendengar nama Dewi Kwan Im.
"Adalah suatu kehormatan bagi kami, bahwa Dewi sudi berkunjung
ke gunung ini", kata Tao Tek Hweshio, "sudilah Pou Sat menginap
beberapa hari di sini dan akan kami buatkan hidangan 'Loo-han Kie'
untuk Dewi".
Peristiwa ini kemudian menimbulkan pepatah : "Loo-han
mengundang Kwan Im, tamu sedikit, tuan rumahnya banyak'!
***
Entah telah beberapa hari Dewi Kwan Im berpesiar di Thian Tay-san
dan sekitarnya. Setiap harinya banyak Loo-han yang mengundangnya
makan 'Loo-han Kie'.
Selama itu, sang Dewi juga melihat para Loo-han yang rajin
menggarap sawah dan kebun. Selepas kerja, mereka pada
bersamadhi, untuk lebih meningkatkan kesaktiannya. Sang Dewi
kagum menyaksikan semua itu.
Di samping itu, Dewi Kwan Im merasa berhutang budi atas pelayanan
mereka yang begitu baik, bermaksud memberi 'tanda mata' kepada
para penghuni Vihara."Vihara kalian cukup besar, tapi sayang tak memiliki pagoda, hingga
tampak kurang anggun", katanya kepada para Loohan pada suatu
hari.
"Ada tidaknya pagoda bukan soal bagi kami, hanya yang sering
memusingkan kami karena tak adanya jembatan, hingga orang yang
ingin bersembahyang ke mari harus memutar dan menempuh jarak
yang cukup jauh --- Bagi kami, jembatan jauh lebih penting dari pada
pagoda", ujar salah seorang Loohan.
"'Jembatan memang cukup penting, tapi pagoda juga tak dapat
diabaikan. Sebab, pagoda merupakan sinar Buddha, membuat setiap
orang yang melihatnya akan datang untuk bersembahyang dan hal
itu akan mendatangkan pahala bagi kita --- Atau begini saja, aku akan
membangun jembatan untuk kalian, sedangkan kalian yang
berjumlah 500 orang, beramai-ramai membangun pagoda".
"Kami merasa sangat bersyukur bila Pou Sat bersedia membantu
kami membangun jembatan", kata para Loo-han dengan suara
hampir bersamaan.
"Bagaimana kalau kita saling berlomba membuat jembatan dan
pagoda? Kita beri batas waktu, harus diselesaikan dalam tempo satu
malam!"
"Baik, kita atur begitu saja!", sambut para Loo-han.
Di hati masing-masing telah memiliki perhitungan sendirisendiri.
Dewi Kwan Im ingin melihat, dari mana para Loo-han memperoleh
batu dan kayu yang dibutuhkan untuk membangun pagoda dalam
tempo hanya 1 malam!?
Sedangkan untuk membangun jembatan, sang Dewi yakin dapat
merampungkannya dengan memakai kesaktiannya.
Para Loo-han berpendapat lain lagi : "Sulit dipercaya kalau kami yang
berjumlah 500 orang ini dapat dikalahkan oleh Kwan Im Pou Sat. Lagipula, antara puncak gunung Thian Tay-san dengan puncak gunung di
seberangnya berjarak puluhan ribu elo, tak mungkin ia dapat
membangun jembatan sepanjang itu hanya dalam tempo satu
malam".
Setelah malam bertambah larut dan orang-orang sudah pada tidur,
mulailah para Loo-han melaksanakan pekerjaannya.
Masing-masing pada membagi tugas, ada yang mengangkut batu, ada
pula yang mengerjakan bangunannya.
Terdorong rasa ingin tahu, diam-diam Dewi Kwan Im mengawasi
pekerjaan mereka dengan bersembunyi di lembah. Terlihat olehnya,
betapa sibuknya para Loo-han itu, di samping cukup sakti, hingga
dalam waktu relatif singkat mereka telah berhasil membangun
pagoda cukup tinggi.
Tiba-tiba sang Dewi ingat, bahwa dirinya sedang berlomba dengan
mereka, sedangkan sampai saat itu ia belum mulai melaksanakan
pekerjaannya, yang bila terus berayal, dirinya tentu akan dikalahkan
oleh para Loo-han.
Maka sang Dewi segera terbang, dengan kesaktiannya, kedua
kakinya masing-masing menginjak dua gunung yang berlainan,
sepasang tangannya meraih kedua puncak gunung tersebut,
menariknya ke tengah.
Sungguh ajaib, kedua gunung itu seperti adonan Mi, kedua
puncaknya seperti merapat menjadi satu dan jadilah 'jembatan batu'
di atas pegunungan Thian Tay-san.
'Jembatan batu' ini masih dapat kita saksikan sampai sekarang.
Masih belum terang cuaca ketika Dewi Kwan Im menyelesaikan
pekerjaannya itu.
Sang Dewi kembali mengintai pekerjaan para Loo-han.
Kala itu kelima-ratus Loo-han belum berhasil merampungkan pagoda.Tiba-tiba timbul hasrat Dewi Kwan Im untuk mempermainkan
mereka, meniru kokok ayam jago, berulang-ulang ia
memperdengarkan suara itu.
Padahal, pada saat itu kelima-ratus Loo-han hampir berhasil
merampungkan pekerjaannya, hanya belum sempat memasang
atapnya. Begitu mereka mendengar suara kokok ayam, mengira fajar
segera menyingsing, mereka segera menghentikan pekerjaan, tanpa
menghiraukan lagi pekerjaan yang belum sempat rampung.
Maka di dalam sejarah, pagoda itu dikenal sebagai 'Tong Thian Ta'
(Pagoda yang tembus ke langit), hasil karya 500 Loohan!
Keesokan harinya, penduduk di kota yang berdekatan dengan
gunung Thian Thay-san jadi gempar, sebab cerobong asap rumah
mereka, baik yang besar maupun yang kecil, pada lenyap semua.
Hal itu baru mereka ketahui ketika menyalakan api untuk menanak
nasi, asap dari kayu bakar memenuhi seluruh ruang, membuat
mereka keheranan. Terpaksa mereka harus membobok tembok, agar
asap bisa keluar.
Pada mulanya, masing-masing penduduk mengira hanya di rumahnya
saja yang terjadi demikian, tak tahunya seluruh rumah di kota
tersebut kehilangan cerobong asap yang terbuat dari batu bata,
entah siapa pencurinya!?
Lalu ramai-ramai mereka melaporkan hal itu ke fihak yang berwajib.
Hasil penyelidikan serta pengumuman dari yang berwajib
menyatakan, bahwa Vihara Kok Cheng Sie di Thian Tay-san,
mendadak telah bertambah dengan sebuah pagoda 'Tong Thian Ta',
yang menjulang tinggi seakan hendak menembus awan.
Para penduduk pada berbondong-bondong ke sana, terlihat susunan
bata pagoda itu tidak rata, ada yang besar dan ke cil, ada yang masih
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru dan ada pula yang telah hitam, benarbenar merupakanpemandangan yang luar biasa!
Baru pada saat itu para penduduk menyadari, bahwa batabata dari
cerobong asap mereka telah dipindahkan ke Vihara itu untuk
membangun pagoda.
Akan tetapi, mereka bukan saja tidak mendongkol, malah sebaliknya
mengagumi kesaktian para Loo-han.
Semenjak itu, bangunan rumah penduduk kota di dekat Vihara, tidak
memakai cerobong asap lagi, yang diikuti oleh penduduk daerah
lainnya.
Sementara itu, para Loo-han jadi kecewa campur penasaran, karena
tak berhasil membangun pagoda dalam tempo semalam, menyelidiki
sebab musababnya.
Kemudian mereka mengetahui bahwa segalanya itu disebabkan oleh
kelakar Dewi Kwan Im.
Mereka menganggap kelakar sang Dewi sungguh keterlaluan,bahkan
merupakan suatu penghinaan, maka timbul hasrat mereka untuk
membalasnya.
Salah seorang di antaranya mengusulkan : "Setelah dia dapat ke mari
untuk membikin malu kita, maka kita pun harus membalasnya
dengan mengacau keadaan di Pu To-san".
Loo-han yang lain langsung menyetujui saran itu.
Kemudian mereka memutuskan untuk berangkat ke pulau Pu To-san
pada bulan ke dua Imlek. Sebab pada Jie-gwee Capkauw (tanggal 19
bulan ke dua berdasarkan penanggalan Imlek), di sana akan diadakan
perayaan untuk memperingati hari lahirnya Dewi Kwan Im.
Para Loo-han pada menyamar dalam perjalanan mereka ke Pu To-
san.Ada yang menyamar sebagai Hweshio (Padri) miskin dengan pakaian
compang-camping, ada pula yang Pian-hoa sebagai Padri cacad,
bahkan banyak juga yang berpura-pura sinting dan sebagainya.
Tujuan mereka datang ke pulau itu adalah untuk mengacaukan
suasana perayaan, maka begitu sampai, mereka langsung meminta
sedekah dari para pengunjung.
Banyak pengunjung yang kasihan melihat keadaan mereka yang
berpakaian compang-camping serta cacad tubuhnya, ratarata
memberi sesuatu kepada mereka; ada yang berupa uang ada pula
yang berupa makanan atau barang.
Setiba waktu makan, mereka segera pada berebut makanan, selalu
minta tambah, rata-rata menghabiskan lebih dari 10 mangkok nasi.
Biarpun jumlah mereka limaratus orang, tapi mereka melahap habis
makanan sebanyak yang diperuntukkan limaribu orang lebih, hingga
orang lainnya tidak kebagian makanan.
Namun demikian, para penyamar tetap menggerutu: "Perayaan
macam apa ini, hidangan untuk tamu saja tidak cukup Kami takkan
mau berlalu dari sini bila belum kenyang!
Petugas di bagian konsumsi berusaha menahan sabar, membujuk
agar para Loo-han sudi meninggalkan ruang makan dan boleh datang
lagi keesokan harinya dan dapat makan sepuaspuasnya!
"Baik, kami akan datang lagi besok", kata salah seorang Loo-han,
"tapi bila besok tak dapat membikin kenyang kami, akan kami
hancurkan semua peralatan dapur kalian!"
Sesungguhnya, Dewi Kwan Im telah tahu siapa sebenarnya para
Hweshio yang berdandan dan bersikap aneh-aneh itu, tapi sengaja
tidak menemui mereka dulu, menanti sampai esok.
Orang-orang yang hadir mulai gelisah menyaksikan ulah para Loo-
han, mereka kuatir besok para Loo-han akan membuat onar di situ,tambahan pula sang juru masak tak bersedia lagi menjalankan
tugasnya, membuat suasana jadi semakin gawat.
Tiba-tiba muncul seorang Hweshio yang menyatakan kesediaannya
untuk menjadi juru masak besok.
"Aku jamin, berapa besar pun perut mereka, pasti takkan mampu
menghabiskan makanan yang kumasak!"
Keesokan harinya, para Loo-han kembali memenuhi ruang makan,
melahap hidangan yang tersedia, rakus benar. Akan tetapi, kini Dewi
Kwan Im telah melakukan persiapan, maka berapa banyak pun yang
mereka makan, hidangan tak pernah putus, membuat mereka
akhirnya kekenyangan, sedangkan persediaan nasi dan sayur masih
tetap banyak.
Petugas konsumsi yang semula telah ciut nyalinya, ketika
menyaksikan hal itu, timbul lagi keberaniannya, berkata pada para
Loo-han : "Silakan makan sepuasnya, persediaan makanan kami
masih banyak".
Kala itu para Loo-han menyadari, bahwa segalanya ini tentu berkat
kesaktian Dewi Kwan Im, yang berada jauh di atas kesaktian mereka.
Akhirnya mereka segera meninggalkan tempat perayaan, tanpa
berani berkata yang bukan-bukan lagi.
Ternyata, Hweshio yang menjadi juru masak adalah penjelmaan Dewi
Kwan Im, itulah sebabnya, makanan yang tersedia tak dapat 'disikat
habis' oleh para Loo-han.
***ANUGRAH DEWA BUMI
(TOUW TI KONG)
Sejak kecil Leng Yu Hiong telah ditinggal mati oleh ayahnya.
Ibunyalah yang merawatnya hingga meningkat dewasa. Jerih payah
serta pengorbanan sang ibu, membuat Yu Hiong! amat
menghormatinya.
Semasa hidup ayahnya, kehidupan keluarga mereka berkecukupan.
Tapi sejak sang ayah meninggal, kekayaan mereka terus menyusut
dan hidup mereka sekarang hanyalah mengandalkan hasil panen dari
beberapa petak sawah.
Namun tahun itu telah terjadi masa paceklik akibat musim panas
yang panjang, sungai-sungai pada kering, pohon banyak yang mati
dan tanah pun banyak yang retak.
Tidaklah mengherankan kalau banyak orang yang kelaparan,
termasuk ibu dan anak dari keluarga Leng ini.
"Bila keadaan ini berlangsung lebih lama lagi, entah dengan apa kita
harus mempertahankan hidup!?", kata nyonya Leng pada anaknya.
"Nio (ibu) tak usah cemas, percayalah, bahwa Thian takkan
membiarkan umat-Nya mati kelaparan", Yu Hiong berusaha
menghibur ibunya.
"Kita tak boleh hanya mengharapkan berkah dari langit, tapi harus
berusaha juga".
"Tepat kata Nio, kita memang tak dapat mengharapkan berkah dari
Thian dengan hanya ongkang-ongkang kaki saja, dan untuk
memecahkan kesulitan pun, kita tak boleh cemas, apa lagi berputus
asa", kata Yu Hiong.
"Bagaimana Nio tidak cemas!? Kita sudah tak punya apaapa lagi yang
dapat dimakan besok", ucap nyonya Leng."Saya lihat banyak sekali orang yang mengungsi ke Selatan", tutur Yu
Hiong.
"Itu juga salah satu cara untuk dapat mempertahankan hidup!", ujar
sang ibu.
"Mari kita mengungsi juga, Nio", Yu Hiong mengusulkan, "kabarnya
di daerah Kang Lam amat subur".
"Biarlah yang muda-muda seperti kau saja yang mengungsi, sedang
orang tua lagi pula sakit-sakitan seperti Nio, tetap berdiam di sini
sambil menanti ajal tiba".
"Bila Nio tak mau, saya juga takkan pergi", ujar Yu Hiong.
"Kau memang anak yang berbakti", kata sang ibu, "seandainya Nio
pergi bersamamu, tentu akan menyusahkanmu saja, nak".
"Kenapa Nio jadi berkata begitu?", ucap Yu Hiong, "biarpun harus
mengemis, asal dapat menghidupi Nio, akan saya lakukan juga".
Kau benar-benar anak yang baik", sang ibu tersenyum. "sekarang
tidurlah kau dulu, Nio akan mengemasi barang-barang yang perlu
kita bawa besok".
***Baiklah Nio", Yu Hiong masuk ke kamarnya.
Sesungguhnya tak banyak barang yang dapat dibawa, hanya
beberapa potong pakaian saja.
Selesai mengemasi pakaian, ibu Yu Hiong tercenung memikirkan
nasib mereka. Ia amat sedih dan cemas menghadapi masa depan.
Di lain fihak, Yu Hiong juga tak dapat tidur, duduk termenung di tepi
pembaringan, diam-diam dia merasa kuatir, apakah dapat
menghidupi ibunya dalam pengungsian ke daerah Selatan ....
Keesokan harinya, ibu dan anak bersiap-siap untuk berangkat.
"Mari kita berangkat, Nio", ajak Yu Hiong.
Sebenarnya berat bagi nyonya Leng untuk meninggalkan rumah yang
telah lama dihuninya, tapi keadaanlah yang memaksanya untukmengungsi ke Selatan, dengan harapan dapat memperoleh
penghidupan yang lebih cerah di masa depan mereka.
Dalam perjalanan, Yu Hiong sering menyarankan : "Mari kita istirahat
dulu Nio, nanti baru melanjutkan lagi".
"Nio masih belum cape", kata sang ibu.
Yu Hiong terus menuntun ibunya, berjalan perlahan-lahan. Selama
dalam perjalanan, mereka hanya makan bebuahan hutan dan minum
air sungai yang jernih.
"Di bagian depan adalah kota Leng An, kita cari tempat berteduh
dulu di pinggir kota, Nio", kata Yu Hiong, setelah mereka berjalan
selama beberapa hari.
"Kita hanya dapat menginap di Vihara atau Bio", kata sang ibu.
"Ya, untuk sementara kita hanya dapat menumpang di tempat suci
itu dan saya akan mencari kerja di kota".
Mereka terus menyusuri jalan, akhirnya mendapatkan Vihara tua di
bawah kaki bukit.
"Untuk sementara baiklah kita menumpang di Vihara tua ini dulu,
Nio", Yu Hiong menyarankan.
Mereka memasuki Vihara tua, yang ternyata telah lama tidak diurus,
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
debu tebal menutupi lantai dan meja sembahyang, di sana sini
terlihat juga sarang laba-laba.
"Untuk sementara kita tinggal di Vihara kosong ini, Nio", kata Yu
Hiong.
"Ya". "Nio, saya akan pergi ke kota mencari kerja".
"Hati-hatilah kau di jalan", kata sang ibu, "sebagai orang yang masih
asing di sini, kau tentu akan sulit mencari kerja".
"Bila tak berhasil memperoleh kerja, biarlah saya mengemis, yang
penting asal Nio tidak sampai kelaparan", kata Yu Hiong.
"Kenapa jadi begini nasibku?", tak terasa berderai air mata sang ibu,"sampai membiarkan anak mengemis".
"Jadi pengemis hanya untuk sementara, Nio", Yu Hiong berusaha
menghibur ibunya, "saya masih memiliki kaki dan tangan, suatu
ketika pasti akan memperoleh kerja".
"Kau memang anak yang berbakti, Hiong-jie", sang ibu amat terharu.
"Kota Leng An cukup ramai, asal kita mau melakukan apa saja,
rasanya takkan sulit untuk memperoleh kerja", kata Yu Hiong,
"sekarang Nio istirahatlah dulu, saya akan mencarikan semangkok
nasi untuk Nio".
"Biar kita miskin dan lapar, tapi kau jangan melakukan halhal yang
tercela, apalagi yang melanggar hukum, nak!", pesan sang ibu.
"Jangan kuatir, Nio".
Leng Yu Hiong meninggalkan Vihara tua, berjalan menuju ke sebuah
desa yang berdekatan, mencarikan makanan untuk ibunya.
Tak lama, dia bertemu dengan seorang laki-laki setengah baya yang
sedang berdiri di muka pintu rumahnya.
"'Loopek .... saya ....", Yu Hiong tak meneruskan ucapannya.
"Ada apa?", tanya pria setengah baya itu.
"Saya mohon ... sudilah kiranya Loopek memberi saya nasi dingin",
kata Yu Hiong terbata-bata.
"Melihat caramu meminta nasi tanpa membawa wadah, kau pasti
bukanlah orang yang biasa hidup dengan cara mengemis. Logatmu
pun bukan logat Selatan --- Dari mana asalmu?"
"Saya berasal dari Hoay Pak, sedang terjadi kekeringan yang hebat di
sana, terpaksa saya mengungsi ke Selatan".
"Tunggulah sebentar, akan kuambilkan nasi untukmu!", kata si pria
setengah baya.
Selang sesaat, laki-laki itu keluar lagi : "Bawalah nasi berikut
mangkuknya ini!""Terima kasih Loopek".
Yu Hiong segera kembali ke Vihara dengan membawa semangkuk
nasi pemberian laki-laki yang baik hati itu.
"Nio, saya berhasil meminta nasi semangkuk, masih hangat", Yu
Hiong mengangsurkannya pada ibunya, "lekaslah makan, Nio".
"Kau juga makan, Hiong-jie", kata sang ibu. "Saya tak lapar", kata Yu
Hiong. "Jangan kau berdusta".
"Kalau saya ikut makan, Nio tentu takkan kenyang", ujar Yu Hiong,
"saya masih dapat mencarinya lagi".
"Nio benar-benar menyusahkanmu, nak". "Saya pergi dulu ya, Nio".
Kala itu Yu Hiong sesungguhnya sangat lapar. Setelah berjalan sesaat,
dirasakan kakinya sangat lemas, lalu duduk di tepi jalan untuk
beristirahat.
Tiba-tiba cuaca menjadi gelap, disusul kilat dan guruh yang saling
menyambung.
Yu Hiong segera beranjak dari tempat duduknya, pergi dari situ.
Belum lagi dia sampai di tempat berteduh, hujan telah turun dengan
derasnya.
Yu Hiong terpaksa berlari-lari, berharap dapat meneduh di rumah
orang.
Tidak begitu jauh, didapatinya sebuah Bio.
Yu Hiong masuk, kiranya Bio itu tak terurus, penuh debu dan sarang
laba-laba. Yang dipuja di situ adalah Touw Ti Kong (Dewa Bumi).
*Untung ada Bio ini, kalau tidak, mungkin aku bisa jatuh sakit", kata
hati Yu Hiong, "tapi aku lapar sekali".
Yu Hiong menyender di dinding Bio dalam keadaan lapar, haus, letih
dan rasa kantuk yang amat sangat, membuatnya tanpa terasa jadi
tertidur di situ.
Sementara itu, dalam keadaan seperti mimpi, namun bagaikanberada di alam nyata, dirasakan ada orang yang mengguncang-
guncangkan tubuhnya.
Ketika dia membuka mata, terlihat di sisinya berdiri seorang tua
berjenggot putih panjang.
"Kakekkah yang membangunkan saya?", tanya Yu Hiong.
"Ya", sahut si kakek, "kenapa kau bermalas-malasan di sini,
bukannya kembali ke Vihara menemani ibumu!?"
Dari mana dia tahu kalau aku masih punya ibu? Siapa dia
sebenarnya?", tanya Yu Hiong dalam hati.
Kemudian dia berkata pada si kakek : "Tadi agak pening kepala saya
kek, bermaksud istirahat sejenak, tak tahunya ketiduran".
"Bukankah kau ingin ke kota untuk mencari kerja?", tanya si kakek
lagi.
Leng Yu Hiong bengong, si kakek seakan tahu segalanya. "Tahukah
kau, siapa aku?", tanya kakek itu lagi. "Tidak kek", Yu Hiong
menggelengkan kepala.
"Setelah datang istirahat di sini, kau masih juga belum tahu siapa
aku!?", kakek itu menuding arca yang dipuja.
Baru pada saat itu Yu Hiong sadar, sebab wajah si kakek sama dengan
wajah arca itu.
"Maaf kalau sebelumnya saya tak tahu kalau kakek adalah Touw Ti
Kongkong!"
"Tak apa-apa, kemampuan manusia untuk mengetahui sesuatu
memang ada batasnya", sang Dewa Bumi tersenyum, "tapi baktimu
terhadap orang tua, telah menggugah rasa para Dewa di Nirwana.
Seandainya kau tak dapat menemuiku, akulah yang akan
menemuimu, Yu Hiong! --- Aku telah melaporkan baktimu terhadap
ibu pada Maharaja Dewata dan Giok Tee telah berkenan
memberkahimu!""Berbakti terhadap orang tua sudah merupakan kewajiban anak!",
ucap Yu Hiong.
"Tepat sekali ucapanmu", kata Touw Ti Kong, "berbuat cabul adalah
pantangan paling utama dan berbakti adalah yang utama dalam
melakukan kebaikan --- Berkat baktimu terhadap ibu, berangsur-
angsur telah menghapus masa gelapmu".
Ucapan Dewa Bumi yang paling belakang sulit diterka maknanya oleh
Yu Hiong.
Sang Dewa dapat menyelami perasaan si pemuda, berkata lagi :
"Begitu hapus masa surammu, hidupmu akan diliputi
keberuntungan".
"Benarkah itu?", kata Yu Hiong seakan kurang yakin terhadap apa
yang baru didengarnya, "tolong Touw Ti Ya memberi saya petunjuk,
apa yang sebaiknya saya lakukan!?"
*Maksudku menemuimu adalah ingin mengabarkan, bahwa kau akan
menerima anugrah Dewa yang semula diperuntukkan Kiang Thian
Wie!"
"Siapa itu Kiang Thian Wie, Touw Ti Ya?"
"Dia adalah anak angkat Kiang Hay Shou, hartawan di kota Leng An,
hampir sebaya denganmu. Sebenarnya, dia telah ditakdirkan untuk
dapat hidup sampai 99 tahun dan mempunyai banyak anak cucu, hari
tuanya sangat bahagia --- Tapi kini, dia takkan dapat lagi menikmati
keberuntungan itu".
"Kenapa memang? Apakah dia telah melakukan kesalahan, Touw Ti
Ya?"
"Bukannya sekedar kesalahan, tapi dosa yang tak dapat diampuni",
Dewa Bumi menerangkan,"dia bukan saja telah membunuh ayah
angkatnya, juga telah memperkosa adik angkatnya, yang
mengakibatkan sang adik angkat membunuh diri"."Benar-benar keji dia", kata Yu Hiong tanpa terasa.
Maksudnya melakukan segalanya itu adalah ingin menguasai harta
orang tua angkatnya".
"Tidak dijatuhi hukumankah dia, Touw Ti Ya?"
"Dia telah menyogok petugas pemeriksa mayat, hingga kematian
Kiang Hay Shou dinyatakan sebagai bunuh diri, bukannya dibunuh!".
Dewa Bumi menerangkan,"manusia bisa saja ditipunya, tapi aku
tidak --- Aku telah melaporkan hal itu ke pengadilan di Akherat, yang
kemudian memutuskan, akan membiarkan Kiang Thian Wie hidup
merana dulu di alam fana ini, nantinya, setelah dia cukup sengsara di
dunia, barulah akan dijebloskan ke Neraka --- Setelah kualihkan
keberuntungan Kiang Thian Wie padamu, hendaknya kau dapat
memanfaatkan sebaik-baiknya".
Perlahan-lahan tubuh Touw Ti Kong naik ke angkasa. Leng Yu Hiong
terbangun dari tidurnya.
Biar pun tadi hanyalah mimpi, tapi apa yang dikatakan oleh Dewa
Bumi berpeta jelas di benak Yu Hiong.
Hujan telah berhenti, Yu Hiong batal pergi ke kota, bergegas kembali
ke Vihara tempat ibunya berada.
"Nio ....", panggilnya begitu tiba.
"Oh, sudah pulang nak", sambut sang ibu, yang kemudian bertanya :
"Berhasil kau memperoleh kerja?"
"Saya tidak jadi ke kota, Nio", Yu Hiong menerangkan, "di tengah
jalan saya kehujanan, berteduh di Bio Touw Ti Kongkong, tanpa
terasa saya tertidur di situ dan bermimpi bertemu dengan Dewa
Bumi".
Lalu Yu Hiong menceritakan mimpinya pada sang ibu.
"Setiap perbuatan, baik atau buruk, selalu ada imbalan atau
balasannya, maka perbuatan keji Kiang Thian Wie tentu takkan lepasdari hukuman!", kata sang ibu sehabis mendengar penuturan
anaknya.
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makin diingat, Yu Hiong jadi makin benci pada sikap Kiang Thian Wie
yang tak tahu membalas budi.
"Tak perlu kau bersikap begitu Hiong-jie, yang kau ceritakan barusan
hanya sekedar mimpi".
"Biarpun mimpi, tapi seperti sungguhan, Nio", kata Yu Hiong.
"Tak usah kau pusingkan segalanya itu lagi, yang penting, harus
selalu bersikap baik, melakukan sesuatu yang berarti bagi kehidupan.
Janganlah sekali-kali melakukan dosa!"
"Akan saya ingat selalu pesan Nio", kata Yu Hiong. 40
"Begitulah seharusnya, sekarang istirahatlah kau, sebab hari telah
malam dan besok kau harus berangkat ke kota lagi", ujar sang ibu.
"Baik Nio"
Di kota Leng An hidup seorang hartawan yang bernama Kiang Hay
Shou, telah cukup lama dia ditinggal mati oleh isteri, tapi tidak
menikah lagi.
Dia hanya mempunyai seorang anak perempuan, yang diberinya
nama Bun Eng, yang kala itu telah meningkat remaja puteri.
Bun Eng selalu dilayani Lan Sim, pelayan yang hampir sebaya
dengannya.
Di samping puterinya, Kiang Hay Shou telah memungut seorang anak
laki-laki, yang dilahirkan dari hasil hubungan gelap.
Hay Shou memberinya nama Thian Wie, yang kemudian berkembang
menjadi pemuda tampan, tapi buruk perangainya, tak mau sekolah.
Untuk urusan rumah tangga dan keuangan, Kiang Hay Shou
mempercayakan pada Ong Giam, laki-laki kurus setengah baya yang
pandai mengambil hati majikan dan licik wataknya.Diam-diam Ong Giam tergila-gila pada Lan Sim yang ditugaskan
khusus melayani Bun Eng.
Kiang Thian Wie yang gemar berfoya-foya, pada suatu ketika berkata
pada Ong Giam: "Sumpek aku terus berdiam di rumah, tahukah
paman tempat yang dapat menyenangkan hati?"
"Tahu, tapi bila sampai diketahui oleh Looya, saya bisa dimakinya",
sahut Ong Giam.
"Jangan kuatir, aku yang akan bertanggung jawab".
Ong Giam lalu mengajak anak angkat majikannya ke rumah makan.
Thian Wie tak puas hanya sekedar makan-minum di rumah makan,
mendesak Ong Giam : "Bukankah tadi paman mengatakan akan
mengajak saya ke tempat hiburan?"
Ong Giam mengajaknya ke tempat pelacuran.
Kiang Thian Wie yang baru pertama kali datang ke tempat semacam
itu, jadi mabuk kepayang oleh rayuan dan pelayanan wanita penjual
diri.
Dia makan minum sepuasnya di tempat pelacuran, yang berlanjut
bermalam di situ.
Sejak itu, Thian Wie jadi jarang pulang, bahkan telah berkenalan
dengan para bajingan, membuatnya mulai kenal judi.
Bila telah habis uangnya, barulah dia pulang untuk minta uang pada
Ong Giam, dengan alasan untuk menyumbang fakir miskin atau
korban bencana alam.
Kehadiran Thian Wie selalu disambut hangat oleh orangorang di
tempat pelacuran, sebab dia dikenal sebagai tamu yang sangat royal
Ulah Thian Wie di luaran akhirnya diketahui juga oleh ayahnya, yang
langsung naik pitam.
Kiang Hay Shou segera memanggil Ong Giam.
"Kenapa tak kau tolak permintaannya?", Hay Shou menyalahkanpembantunya.
"Saya tak berani tuan", sahut Ong Giam, "tuan kan tahu sendiri
wataknya".
"Tapi bila dibiarkan terus, bisa habis hartaku dihamburkannya", kata
Hay Shou.
"Kongcu telah mengambil sepuluh-ribu tail perak, tuan", Ong Giam
memberitahu.
"Untuk selanjutnya, setiap pengeluaran uang, untuk keperluan apa
pun, harus seizinku dulu!"
"Baik tuan", sahut Ong Giam, berlalu.
"Menyesal aku terlampau memanjakannya sejak kecil", gumam Hay
Shou sepergi pembantunya, "kini, setelah dia dewasa, sulit bagiku
untuk mendidiknya".
***
Lesu sikap Ong Giam setelah diperingati oleh majikannya. Dia
mempunyai perhitungan sendiri dan persoalan ini harus diselesaikan
sebaik-baiknya, sebab dia juga berkepentingan dalam hal ini.
Dia mundar-mandir di luar rumah, menanti kembalinya Thian Wie.
Tak lama kemudian, terlihat Kiang Thian Wie pulang.
Ong Giam segera menarik tangan anak majikannya, mencegahnya
masuk.
"Apa yang telah terjadi?", tanya Thian Wie, "paman tampaknya
gugup benar".
"Celaka Kongcu, sebaiknya Kongcu jangan masuk dulu", cegah Ong
Giam, "mari kita ke rumah makan, nanti akan saya ceritakan
segalanya".
Thian Wie mengikutinya.
Setibanya di rumah makan, Ong Giam menceritakan prihal telah
diketahuinya ulah Thian Wie di luaran oleh ayahnya."Untuk selanjutnya Kongcu tak dapat lagi mengambil uang dari saya,
bila tidak, saya bisa dipecat oleh ayahmu", kata Ong Giam kemudian,
"Kongcu harus berdaya, agar Looya ...."
"Tua bangka itu tak mau cepat-cepat mampus", potong Thian Wie.
"Sebaiknya Kongcu menemui Looya", Ong Giam menyarankan,
"berusahalah bersikap menurut, agar reda marahnya".
***
Baru saja Thian Wie memasuki halaman rumahnya, telah dihampiri
oleh seorang pelayan seraya memberitahukannya : "Kongcu dicari.
Looya".
Thian Wie mengangguk angkuh, melangkah ke kamar ayahnya: "Thia
(ayah) memanggil saya??
"Huh, dari mana saja kau? Kenapa baru pulang?", geram sikap sang
ayah, "mau jadi apa kau sebenarnya? Setiap hari bisamu hanya
menghambur-hamburkan uang!"
"Harta Thia kan cukup banyak, diambil sedikit saja tentu takkan jadi
masalah", ucap Thian Wie.
"Makin lama jadi semakin brengsek saja kau!", hardik sang ayah,
"kalau tidak dihajar tentunya takkan kapok-kapok!"
"Ampun Thia, lain kali saya tak berani lagi!", seketika pucatlah wajah
Thian Wie.
"Anak tak tahu diri, bukannya rajin mengejar ilmu, malah berjudi dan
berfoya-foya di sarang pelacur ....", merah wajah maupun mata sang
ayah menahan amarah, "biar bagaimana juga harus kuhajar kau!"
"Paman Ong yang mengajak saya", Thian Wie ingin mengalihkan
tanggung jawab.
"Buk, buk!' - Kiang Hay Shou mengayunkan kayu, menghajar anak
angkatnya.
"Aduh, ampun Thia!", Thian Wie berteriak kesakitan.Setelah agak pegal tangannya, barulah Kiang Hay Shou berhenti
memukul, memanggil pembantu.
"Kuncikan dia di kamarnya!", titahnya. "Baik tuan", sahut si pelayan.
***
Thian Wie duduk bengong di kamarnya. Tapi dia bukan saja tidak
menyesal, malah jadi dendam pada ayah angkatnya.
"Sebelum si tua bangka mampus, dia tentu akan terus mengurungku
di kamar", kata hatinya, "apa yang harus kulakukan sekarang?"
Di fihak lain, Ong Giam jadi cemas juga, sebab sebelumnya dia telah
memanfaatkan Thian Wie bagi kepentingan dirinya.
"Kalau saja Looya memeriksa pembukuan, tentu akan terbongkar
kecuranganku yang telah memakai uangnya sebanyak seratus-ribu
tail lebih ---Bagaimana baiknya ini?"
Ong Giam mundar-mandir di kamar. Tiba-tiba dia berseru girang:
"Aku dapat akal sekarang!"
Malam itu, diam-diam Ong Giam mendatangi kamar Thian Wie.
Kongcu ....", sapanya begitu masuk.
"Apa maksud paman ke mari?", tanya Thian Wie, "si tua bangka yang
menyuruhmu membebaskanku?"
"Jangan mengharapkan yang bukan-bukan Kongcu", kata Ong Giam,
"mulai sekarang Kongcu tak dapat mengambil uang dari saya lagi,
juga tak dapat berfoya-foya pula".
"Itu ....", Thian Wie menunduk murung.
"Kongcu bukannya anak kandung Looya, maka tak heran kalau dia
galak terhadapmu", Ong Giam mulai membakar-bakar emosi Thian
Wie, "seluruh hartanya nantinya tentu akan diwariskan pada
puterinya".
"Huh, akan kumampuskan dia jika pilih kasih!", Thian Wie geram.
"Tepat, seorang laki-laki harus berani melakukan sesuatu untukkepentingannya!", sambut Ong Giam, "saya telah menyiapkan pisau
untuk Kongcu!"
"Bagus, bagus, paman memang selalu memikirkan kepentinganku! ---
Selama belum kusingkirkan tua bangka itu, hidupku akan terus
menderita!"
"Kongcu benar-benar seorang Enghiong, selalu berani membuktikan
apa yang kau katakan".
"Dengan matinya si tua bangka, aku akan dapat leluasa memakai
uang!", keadaan Thian Wie pada saat itu bagaikan orang yang
kerasukan iblis.
"Kongcu dapat mengatakan Looya bunuh diri", Ong Giam menimpali,
"kita beri petugas pemeriksa mayat sejumlah uang, segalanya akan
beres!"
Maka tambah mantaplah tekad Thian Wie, segera naik ke loteng,
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendatangi kamar ayahnya.
Didobraknya pintu kamar Hay Shou.
Sang ayah terperanjat melihat kehadiran anak angkatnya yang tak
diduga sebelumnya.
"Hei tua bangka, jangan harap kau dapat mengurungku terus di
kamar!", hardik Thian Wie sambil bertolak pinggang
Sebagai seorang yang berpengalaman, dalam sekejap Hay Shou telah
dapat menekan rasa terkejutnya, balik membentak : "Sudah sinting
kau! Begitukah sikapmu terhadap orang tua!?"
"Sikap bagaimana yang kau inginkan dariku?", balas Thian Wie.
"Benar-benar menyesal aku memeliharamu sejak kecil", kata Hay
Shou.
"Aku memang bukan anak kandungmu, maka tak perlu kau sayang",
Thian Wie mengeluarkan pisau, "sebaliknya aku juga tak perlu
menghormatimu!""Apa yang ingin kau lakukan!?", Hay Shou jadi amat terperanjat.
"Akan kubunuh kau, tua bangka!", Thian Wie mengacungkan pisau.
"Kau .... kau ...."
Tapi sebelum Kiang Hay Shou sempat melanjutkan ucapannya, Thian
Wie telah menghunjamkan pisau ke tubuh orang tua angkatnya,
berulang kali.
Hay Shou menjerit kesakitan, disusul dengan terjungkalnya tubuhnya
dan melayanglah nyawanya.
"Ha, ha, mulai sekarang tak ada lagi yang berani melarang sepak
terjangku", Kiang Thian Wie tersenyum puas.
"Kongcu memang pemuda yang hebat!", Ong Giam masuk ke dalam
ruang sambil mengacungkan jempol, "saya benar-benar kagum".
"Semuanya beres sudah", Thian Wie tersenyum bangga.
"Tapi masih ada hal yang harus kita bereskan, Kongcu", Ong Giam
mulai memperlihatkan sikap kurang tenang.
"Saya mengerti maksud paman", kata Thian Wie, "hubungi petugas
pemeriksa mayat, minta dia membuatkan surat keterangan, yang
menyatakan si tua bangka mati bunuh diri --- Berapa pun yang dia
minta, berikan!"
"Baik Kongcu", sahut Ong Giam.
Ong Giam meninggalkan Thian Wie sejenak, kemudian kembali lagi
dengan membawa uang dalam jumlah yang cukup banyak, yang
dikatakan untuk keperluan 'menyumbat mulut petugas pemeriksa
jenazah.
Sudah barang tentu, dia menyisikan separuhnya untuk diri sendiri.
Segalanya berjalan sesuai dengan rencana, kematian Kiang Hay Shou
dinyatakan sebagai bunuh diri.
Kini Thian Wie bebas menghamburkan kekayaan mendiang ayah
angkatnya.Ong Giam tetap dipercayakan mengurus keuangan keluarga Kiang.
Pada suatu hari, ketika Ong Giam sedang berjalan-jalan di taman,
bertemu dengan pelayan Bun Eng, Lan Sim.
"Ingin ke mana kau, Lan Sim?", sapa Ong Giam. Lam Sim tak
mengacuhkannya. Ong Giam segera menghampirinya.
"He, he, kenapa kau selalu menghindar dariku?", tanya-nya sambil
cengar-cengir.
"Aku sibuk", sahut Lan Sim agak ketus.
"Jadi gadis jangan sombong, nanti jadi perawan tua", Ong Giam tetap
mengembangkan senyum.
"Lebih baik aku jadi perawan tua, dari pada harus melayani tua
bangka seperti kau!", kata Lan Sim sambil bergegas meninggalkan
Ong Giam.
"Huh, sok amat sih kau ini!?", Ong Giam menggerutu.
"Jangan kau seperti katak yang merindukan bulan!", tetap ketus
suara Lan Sim.
Namun Ong Giam belum berputus asa.
"Baiknya kutemui Siaoya, dia tentu takkan menolak permintaanku,
karena kelemahannya berada di tanganku", kata hati Ong Giam.
Ong Giam segera menemui Thian Wie.
"Siaoya (tuan muda) ....", sapa Ong Giam hormat begitu bertemu.
"Ada soal apa, paman?"
Saya mohon, sudilah Siaoya menikahkan saya dengan Lan Sim".
"Itu harus meminta persetujuan adik perempuanku dulu", kata Thian
Wie.
"Buat apa harus meminta persetujuan lagi, bukankah sekarang
Siaoya yang paling berkuasa di rumah ini?"
"Benar juga pendapat paman", Thian Wie tersenyum lebar.
"Tolonglah saya, Siaoya", Ong Giam memohon dengan sikapmemelas.
Thian Wie tak segera menjawab, berkata dalam hati : "Baik
kusingkirkan dulu pelayan itu, kemudian baru kuhadapi Bun Eng ...."
Dengan timbulnya fikiran itu, maka jawabnya kemudian : "Baiklah,
suruh Ah Hok panggil Lan Sim, akan kuperintahkan dia menikah
dengan paman".
Ong Giam menyuruh pembantu yang bernama Ah Hok memanggil
Lan Sim.
Tak lama Lan Sim datang. "Ada perintah apa, Siaoya?", tanya Lan Sim
hormat.
Begini Lan Sim, kini kau telah dewasa, sudah waktunya untuk
berumah tangga", kata Thian Wie, "kurasa paman Ong sangat cocok
jadi teman hidupmu".
"Maaf Kongcu, di samping saya masih harus melayani nona, usia pak
Ong terlalu tua bagi saya, lebih pantas menjadi bapak saya dari pada
suami ....."
"Apa kau bilang? Kau mengatakan dia terlalu tua? Berani ya kau
membantah perintahku!?"
Lan Sim tak berani membantah lebih jauh, lari meninggalkan ruang
itu, menemui nonanya.
"Ada apa Lam Sim?", tanya Bun Eng, sabar sikapnya.
"Siaoya ingin menjodohkan saya dengan Ong Giam, kakek tak tahu
diri itu!", Lan Sim menerangkan sambil bercucuran air mata, "saya
lebih baik mati dari pada menjadi isteri kakek mata keranjang itu.
Sudilah nona menolong saya ...."
Bun Eng adalah gadis yang lemah lembut serta penurut, maka
tidaklah mengherankan, sejak kematian ayahnya, Thian Wielah yang
berkuasa di rumah itu.
Demikian pula sekarang ini, dia tak berdaya menentang maksudkakak angkatnya, walau hal itu sesungguhnya bertentangan dengan
hati nuraninya, membuatnya hanya berdiam diri.
Lan Sim rupanya menyadari juga keadaan nonanya.
"Rupanya nona takut pada kakaknya", kata hatinya, "sejak kematian
Looya yang penuh tanda tanya itu, keadaan di rumah ini jadi kacau
balau .... Lebih baik aku mati saja, dari pada harus menjadi isteri
kakek itu".
Maka Lan Sim tak memohon bantuan lebih jauh, meninggalkan
kamar nonanya.
Bun Eng hanya memandang kepergian pembantunya sambil
menghela nafas ....
Keesokan paginya keluarga Kiang gempar.
Seorang pembantu Bun Eng lainnya, yang pertama mengetahui Lan
Sim mati menggantung diri, langsung melaporkan pada nonanya.
Bun Eng menangis ketika mendengar kabar kematian pembantunya
yang setia.
Ong Giam ketika mendengar kabar itu, segera melaporkan pada
Thian Wie : "Lan Sim mati menggantung diri, Siaoya".
Thian Wie bukan saja tak sedih, malah menyalahkan : "Dasar budak
tak tahu diuntung, hendak diangkat derajatnya malah bunuh diri!"
"Tapi saya ....", agak parau suara Ong Giam. "Apa lagi mau paman?
Orangnya sudah mati ...."
Ong Giam tak berkata lagi, meninggalkan kamar Thian Wie sambil
menggerutu : "Benar-benar sial aku ---- Rupanya aku memang telah
ditakdirkan seumur hidup harus membujang".
Diam-diam Kiang Thian Wie jatuh hati pada Bun Eng, adik angkatnya;
hanya selama ini dia tak memiliki kesempatan untuk mengutarakan
isi hatinya, sebab Lan Sim selalu berada di sisi Bun Eng.
Maka, setelah Lan Sim tiada, Thian Wie menganggap telah tibasaatnya untuk mengungkapkan perasaannya.
Malam harinya, dia mendatangi kamar adik angkatnya.
"Ada urusan apa Koko malam-malam begini datang ke mari?",
sambut Bun Eng.
"Aku ingin menyampaikan kabar baik padamu", kata Thian Wie.
"Kabar apa, Koko?"
"Kabar gembira untukmu", Thian Wie tersenyum, "kini kau telah
cukup dewasa, ingin kujodohkan dengan seseorang".
Bun Eng menunduk, bersemu merah wajahnya, selang sesaat baru
bertanya : "Pemuda mana yang ingin Koko jodohkan dengan saya?"
"Coba kau terka ...." "Saya tak dapat menerka", bertambah merah
wajah Bun Eng.
"Baiklah aku berterus terang", Thian Wie membulatkan tekad,
"akulah yang ingin mempersuntingmu".
"Oh ... Sudah sintingkah kau!?", Bun Eng berseru kaget, "kita kan
kakak beradik!"
"Ha, ha, apa salahnya? Kita hanya sekedar saudara angkat!" Thian
Wie mendekati Bun Eng. "Jangan kau mendekat ....!", Bun Eng
ketakutan.
Kiang Thian Wie yang sudah kerasukan iblis, tak menghiraukan
segalanya lagi, memeluk Bun Eng.
"Tak ada gunanya kau berteriak, takkan ada yang datang", katanya
sambil menciumi adik angkatnya.
"Oh, jangan .... jangan ....!", Bun Eng meronta-ronta, tapi tak berhasil
melepaskan diri, kemudian jatuh pingsan.
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika siuman dari pingsannya, didapati Thian Wie tidur di sisinya
dalam keadaan bugil.
Ketika dia memperhatikan dirinya, didapati keadaannya tanpapenutup tubuh juga.
Bun Eng kemudian menyadari kalau dirinya telah dinodai oleh kakak
angkatnya, menangis sedih.
"Malu aku hidup lebih lama di dunia ini", kata hatinya.
Segera terbayang olehnya akan kematian ayahnya yang mengerikan,
melotot matanya, seakan mati penasaran.
Makin diingat jadi semakin sedihlah dia, akhirnya timbul maksud
membunuh diri dan niat itu makin lama kian kuat.
Bun Eng mengeluarkan sebuah kotak yang berisi mutiara yang sangat
besar, hadiah mendiang ayahnya.
"Mutiara ini sangat mahal harganya, bila sampai jatuh ke tangan
Thian Wie, tentu akan dijualnya dan uangnya akan digunakan yang
bukan-bukan, malah mungkin dipakai untuk merusak gadis lainnya.
Lebih baik kubuang saja".
Diam-diam Bun Eng meninggalkan rumah melalui pintu belakang
sambil membawa mutiara pusaka.
Amat gelap cuaca pada saat itu, tapi Bun Eng tak peduli, berjalan ke
luar kota.
Setiba di tepi sungai, Bun Eng duduk menangis di batu yang terdapat
di situ.
Air sungai bagaikan melambaikan tangan pada Bun Eng.
Bun Eng menyembunyikan kotak yang berisi mutiara pusaka itu di
semak-semak, kemudian perlahan-lahan dia beranjak dari tempat
duduknya.
Sejenak dia memandang sungai yang deras itu sambil menghela
nafas, kemudian menceburkan diri ....
Mayat Bun Eng ditemukan oleh seorang penduduk di hilir sungai,
yang langsung melapor ke kepala kampung.
"'Di sana ada mayat seorang wanita, pak", kata si penemu mayat,"bila ditilik dari dandanannya, korban itu pasti berasal dari keluarga
kaya".
"Di mana?", tanya kepala kampung.
"Di sana pak! Sekarang sudah diangkat ke darat", menerangkan si
pelapor.
Kebetulan pada saat itu ada centeng keluarga kiang yang lewat di
situ, ketika mendengar kabar itu, tertarik untuk melihatnya. Begitu
dia melihat mayat tersebut, sangat terperanjat.
"Nona Bun Eng! Kenapa jadi bunuh diri?"
Dia segera berlari pulang, melaporkan pada Kiang Thian Wie : "Celaka
Siaoya, nona mati bunuh diri! --- Kini mayatnya sudah diangkat ke
darat".
"Dengar dari siapa kau?", tanya Thian Wie, pura-pura terperanjat.
"Saya saksikan dengan mata kepala sendiri", menerangkan sang
centeng.
"Lekas panggil paman Ong!" "Baik Siaoya", sahut sang centeng. Tak
lama Ong Giam datang.
"Nona Bun Eng bunuh diri, lekas paman atur pemakamannya", kata
Thian Wie.
"Baik Siaoya" sahut Ong Giam. Sepergi Ong Giam, Thian Wie
tersenyum lebar.
"Kini semuanya telah mati, aku dapat berfoya-foya sepuas hati,
semua harta keluarga ini menjadi milikku!", kata hati Thian Wie.
Ulahnya semakin menjadi, setiap hari kerjanya berfoya-foya di
tempat pelacur dengan ditemani Ong Giam.
Dia selalu pulang dalam keadaan mabuk.
**
*
Leng Yu Hiong telah berhasil memperoleh kerja kasar, jadi kuli. Pagi-pagi dia sudah berangkat dan baru pulang setelah gelap cuaca.
Untuk sementara ibu dan anak tidak sampai kelaparan.
Pagi itu, Yu Hiong kembali pamit pada ibunya : "Saya pergi dulu ya,
Nio".
"Sehabis kerja, cepat-cepatlah kau pulang, agar Nio tidak cemas
memikirkanmu".
"Baik Nio". Yu Hiong berangkat ke kota.
Begitu sampai di kota, tiba-tiba dia melihat seorang tua berjalan di
depannya, tak begitu jauh.
Yu Hiong seakan pernah melihat orang tua itu. "Kakek itu mirip Touw
Ti Kongkong", kata hatinya. Dia segera mengejarnya.
Tapi anehnya, kian cepat dia mengejar, jalan si kakek bertambah
cepat pula, membuatnya tak dapat menyusulnya.
Si kakek terus berjalan ke tepi sungai.
Setiba di tempat Bun Eng membunuh diri, mendadak kakek itu
lenyap, Yu Hiong jadi sangat terperanjat, celingukan, memperhatikan
seputarnya.
Tiba-tiba terlihat olehnya sebuah kotak kayu yang terukir indah
menggeletak di semak-semak.
Yu Hiong mengambilnya, membuka tutup kotak, isinya ternyata
mutiara yang bersinar kemilau.
Tiba-tiba Yu Hiong mendengar suara dari angkasa : "Leng Yu Hiong,
mutiara itu tadinya milik keluarga Kiang, sekarang kuberikan
padamu".
Yu Hiong segera mendongak, terlihat Touw Ti Kong berdiri di atas
awan.
Yu Hiong langsung berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala,
sebagai pengungkapan rasa terima kasihnya.
Girang benar hati Yu Hiong memperoleh mutiara pusaka, bergegaspulang.
"Nio ....", sapanya. Sang ibu agak heran anaknya begitu cepat
kembali.
"Kenapa secepat ini kembalimu?", tanya sang ibu, "dipecat dari
pekerjaan?"
"Tidak Nio", Yu Hiong menggeleng, "mulai saat ini saya tak perlu
bekerja lagi".
"Apa maksudmu?"
"Pagi tadi, ketika saya berangkat ke tempat kerja, saya telah bertemu
dengan Touw Ti Kongkong, yang membimbing saya ke tepi sungai
dan berhasil memperoleh mutiara ini. Menurut Touw Ti Kongkong,
semula mutiara ini merupakan benda pusaka keluarga Kiang, kini
dihadiahkan pada saya. Katanya lagi, sekarang telah lewat masa
suram saya, hidup kita selanjutnya akan bahagia".
"Syukurlah kalau begitu", wajah sang ibu amat cerah, "mutiara
sebesar itu paling tidak akan berharga seratus-ribu tail perak".
"Semahal itukah harganya, Nio?"
"Dapat kau tanyakan di toko permata besok", kata sang ibu.
"Akan saya jual mutiara ini", ujar Yu Hiong, "uangnya akan saya
belikan rumah, agar tenang hidup Nio selanjutnya".
"Kau memang anak yang baik", girang benar hati sang ibu.
"Saya juga akan melanjutkan sekolah, agar nantinya dapat
mengangkat derajat keluarga Leng".
Bun Eng yang mati bunuh diri, telah menjadi hantu penasaran.
Malam itu, seperti biasa, Kiang Thian Wie tidur dalam keadaan
mabuk.
Tengah malamnya, dia telah dibangunkan oleh terpaan angin yang
cukup keras, yang dibarengi dengan terdengarnya suara hantu yang
menyeramkan.Begitu membuka mata, Thian Wie langsung melihat sesosok tubuh
wanita yang menyeramkan berdiri di sisi ranjangnya.
"Oh kau .... kau .... Hantu!", teriaknya.
"Manusia keji!", hardik arwah Bun Eng, "akan kubunuh kau, untuk
membalaskan sakit hati ayahku!"
"Ampuni aku, dik Eng!", Thian Wie berlutut.
"Siapa yang sudi jadi adikmu, manusia keji!? Kau lebih ganas dari
binatang yang paling buas sekalipun!"
Namun sebelum arwah Bun Eng sempat membalas dendam, telah
terdengar kokok ayam.
"Oh, telah hampir terang cuaca, aku tak dapat berdiam lebih lama di
sini", arwah Bun Eng segera menghilang dari hadapan Thian Wie.
Pagi harinya, Kiang Thian Wie memanggil Ong Giam.
"Semalam aku diganggu hantu", Thian Wie menerangkan,
"membuatku ketakutan setengah mati. Bila malam nanti hantu itu
muncul lagi, bisa copot jantungku".
Ong Giam ikut takut mendengar penuturan majikannya : "Semalam
hantu itu datang mengganggu Siaoya, bila malam nanti aku yang
diganggunya, celakalah aku. Aku harus cepat berdaya untuk
menghadapinya!"
Sejenak Ong Giam diam, selang sesaat barulah dia berkata: **Siaoya,
saya dengar di gunung Hong-hong berdiam Goan Sim Totiang yang
sangat sakti, sebaiknya kita meminta tolong padanya untuk mengusir
hantu itu --- Tapi watak Totiang itu agak aneh, sebaiknya Siaoya
sendiri yang datang".
"Mari kita ke sana!", ajak Thian Wie segera.
Di Hong-hong-san berdiam seorang Tosu (Padri penganut aliran Tao),
bergelar Goan Sim dan terkenal akan kesaktiannya, banyak sudah
orang yang diganggu hantu yang ditolongnya.Siang itu, Thian Wie datang menemui sang Tosu. "Selamat siang
Totiang", sapa Thian Wie.
"Selamat siang", sambut sang Tosu, "wajah saudara tampak gelap,
pasti telah diganggu hantu".
"Benar Totiang", Thian Wie mengangguk, lalu menceritakan
pengalamannya semalam dan kemudian menambahkan : "Kata
hantu wanita itu, dia akan datang lagi malam nanti. Tolonglah
Totiang membantu saya menangkapnya".
"Untuk menangkapnya sulit, paling dapat aku mengusirnya saja",
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata sang Tosu, "akan kuberi kau Hu (jimat), bila hantu itu datang
lagi, segeralah keluarkan Hu itu, sang hantu pasti akan kabur dan
selanjutnya tidak akan berani mengganggumu lagi".
Goan Sim Tojin mengeluarkan selembar Hu, memberikannya pada
Thian Wie.
"Terima kasih Totiang". Thian Wie menerima pemberian itu.
Dia meninggalkan gunung Hong-hong dengan perasaan gembira
benar, bergegas pulang.
Setiba malam hari, arwah Bun Eng kembali mendatangi rumah
keluarga Kiang.
Begitu sang hantu muncul, Thian Wie yang memang sudah bersiaga,
segera mengeluarkan Hu.
Hu itu memancarkan sinar kuning keemasan, yang membuat arwah
Bun Eng tak dapat mendekati diri Thian Wie.
Akhirnya dia terpaksa harus melarikan diri, tak tahan menghadapi
kekuatan jimat yang dipegang Thian Wie.
"Ha, ha, bila kau berani datang lagi, berarti kau mencari mampus!",
kata Thian Wie.
Dia sangat gembira karena berhasil mengusir hantu, lalu meneguk
arak.Setelah minum beberapa cawan, kepalanya terasa pening sekali,
sempoyongan tubuhnya, tangannya melanggar tempat lilin di meja.
Api lilin menyambar kain di dekatnya, cepat sekali menjalar ke
bagian lain, hingga dalam sekejap telah terjadi kebakaran besar.
Ong Giam mati terbakar.
Kiang Thian Wie biarpun dapat menyelamatkan diri, tapi hartanya
ludes diamuk si jago merah, membuatnya tak memiliki apa-apa lagi.
Tak lama kemudian Thian Wie jadi terganggu syarafnya, berkeliaran
ke sana ke mari sambil tertawa atau menangis serta memperlihatkan
ulah aneh lainnya.
Inilah merupakan pembalasan dari ketamakan dan kekejiannya.
Di lain fihak, kehidupan Leng Yu Hiong bertambah baik. Dia menjual
mutiara pusaka, hasilnya dibelikan rumah dan sebagian lagi dipakai
untuk biaya melanjutkan sekolah serta biaya hidup sehari-hari.
Belakangan dia menikah dengan Tan Chui Eng, hidup bahagia sampai
di hari tua dengan didampingi oleh anak cucu.CHI KUNG HOK HUD MENANGKAP SILUMAN ULAR
Ada sebuah kampung yang terletak di muara sungai, sebagian besar
penduduknya menggantungkan hidup dari hasil laut, menjadi
nelayan.
Tapi karena keadaan di laut pada saat itu tidak aman, membuat
banyak nelayan tak berani melaut.
Hanya Tan Hie, yang untuk dapat menyambung hidup, tetap pergi
menangkap ikan.
Ketika Tan Hie menambat peranunya sepulang menangkap ikan, tiba-
tiba dihampiri oleh dua orang, yang seorang berdandan sebagai
pelajar, bernama Ong Kun; satunya lagi adalah wanita setengah baya,
ibunya Ong Kun.
Ong Kun memohon, agar Tan Hie sudi mengantarkan berlayar untuk
mencari ayahnya.
"Saya mohon sudilah Tan Toako mengantar saya berlayar", kata Ong
Kun.
"Biar kau bayar tinggi juga, saya tak mau mengantarkanmu", Tan Hie
langsung menolak.
"Saya bermaksud mencari ayahku yang sudah sekian lama tak
kembali ke rumah", Ong Kun terus mendesak.
"Sebaiknya Ong Siangkong membatalkan maksud itu, sebab besar
kemungkinan Siangkong mengalami musibah dari pada kembali
dengan selamat", Tan Hie berusaha mencegahnya.
"Saya tak takut mati", tampaknya telah bulat tekad Ong Kun untuk
mencari ayahnya.
"Saya masih mempunyai orang tua, lagi pula ayahku sedang sakit, tak
mau saya menempuh bahaya semacam itu!", Tan Hie tetap
menolaknya, "sebaiknya Ong Siangkong mencari pemilik perahu
lainnya saja!""Selain Tan Toako, tak ada orang yang mau mengantar saya", kata
Ong Kun dengan suara memelas, "maka su dilah kiranya Tan Toako
menolong saya untuk sekali ini saja".
"Biar bagaimanapun saya tak bersedia", kata Tan Hie sambil
meninggalkan ibu dan anak.
Namun Ong Kun tetap tak putus asa, terus mengikuti sampai ke
rumah Tan Hie, memohon pada orang tua si nelayan.
"Kasihanilah saya, Tan Samsiok", kata Ong Kun pada ayah Tan Hie.
"Ong Siangkong, bukannya kami tak mau menolongmu, tapi
belakangan ini di laut sering muncul hal-hal yang aneh lagi
menyeramkan, banyak sudah nelayan yang celaka maupun hilang
secara misterius", ujar ayah Tan Hie, "maka untuk sementara tak ada
yang berani melaut. Kalau saja mereka terpaksa menangkap ikan,
biasanya melakukannya tak jauh dari pantai".
"Kalau begitu, tolonglah Samsiok menyewakan perahu pada saya",
tekad Ong Kun belum juga pudar.
"Siangkong bukan nelayan, takkan dapat berlayar sendirian", ayah
Tan Hie terus berusaha mencegahnya.
Ibu Ong Kun sejak semula berdiam diri, kini ikut pula bicara: "Gara-
gara memikirkan ayahnya, sejak beberapa waktu belakangan ini,
anak saya jadi sering gelisah".
"Seandainya kami menyewakan perahu untuk kalian, sama artinya
membuang perahu begitu saja", sela ibu Tan Hie.
"Tepat sekali apa yang dikatakan isteriku", ujar ayah Tan Hie.
"Seandainya Kun-jie pergi sendirian, saya akan turut serta", kata ibu
Ong Kun.
"Sebaiknya kalian menunggu untuk beberapa waktu lagi", ayah Tan
Hie menasehatinya.
"Sebaiknya Nio jangan ikut, tapi berdoalah kepada Thian, agar sayadapat kembali dengan selamat", kata Ong Kun pada ibunya.
"Tidak, bila memangnya harus mati, biarlah kita mati bersama", sang
ibu tetap kukuh pada pendiriannya.
Tergugah juga perasaan Tan Hie ketika menyaksikan tekad yang
membaja dari ibu dan anak itu, maka dia pun berkata pada ayahnya :
"Biarlah sekali ini saya menemani Ong Siangkong berlayar, Thia
(ayah)".
"Tidakkah kau dengar atau lihat, bahwa setiap orang yang pergi
belayar, tak ada yang kembali lagi?", kata sang ayah, cemas.
"Jangan pergi, Hie-jie!", sang ibu berusaha mencegahnya juga.
"Nio (ibu), dengan melihat sikap Ong Siangkong yang begitu berbakti
terhadap orang tua, keberangkatannya tentu akan dilindungi oleh
Thian".
"Apakah kau lebih mementingkan orang lain dari pada keselamatan
sendiri, Hie-jie!?", sang ibu tetap cemas.
"Kami berlayar dengan perhitungan Nio, bila melihat gelagat kurang
baik, akan segera kembali", kata Tan Hie.
"Nio tetap merasa cemas melepas kepergianmu pada saat seperti
ini", kata sang ibu lagi.
"Jangan kuatir Nio, orang berbuat baik akan selalu dikasihani Thian",
Tan Hie berusaha menenangkan ibunya, "apa lagi sekarang ini cuaca
baik sekali".
Kemudian Tan Hie berpaling pada Ong Kun dan berkata: "Ong
Siangkong, kita hanya membawa perbekalan untuk tiga hari, maka
sebelum lewat waktu itu, kita sudah harus kembali".
"Baik Tan Toako".
"Aku juga masih mempunyai orang tua, hingga tak dapat berlayar
terlalu lama", kata Tan Hie lagi, "segalanya ini kulakukan hanya
sekedar memenuhi hasratmu. Maka, berhasil atau tidak, dalam tigahari kita sudah harus kembali, jangan kau menyalahkan aku nanti".
"Mana berani saya menyalahkan Toako, malah sangat bersyukur atas
kesediaan Toako mengantarkan saya berlayar", kata Ong Kun sambil
memberi hormat.
Kemudian dia berlutut di hadapan orang tua Tan Hie sebagai
pengungkapan rasa terima kasihnya.
"Lekas bangun, Ong Siangkong!", ayah Tan Hie membangunkannya.
"Sampai mati pun saya takkan dapat melupakan budi Tan Samsiok
sekeluarga", kata Ong Kun.
Tan Hie menyertai Ong Kun berlayar untuk mencari ayahnya.
Ibu Ong Kun mengantar keberangkatan anaknya sampai ke tepi
pantai.
Pada awal perjalanan mereka, laut tampak tenang, angin pun bertiup
perlahan.
Suasana di sekitarnya sepi sekali, burung camar yang biasanya
banyak beterbangan, tak tampak barang seekor pun.
Tapi tak lama kemudian, di permukaan laut muncul kabut tebal.
Perahu yang mereka tumpangi meluncur dalam kabut.
Tan Hie sangat heran, dalam cuaca secerah itu bisa mendadak
muncul kabut.
"Tan Toako, kabut ini membuat kita tak dapat melihat bagian
depan", kata Ong Kun.
"Hal ini memang aneh sekali", ucap Tan Hie, "tahukah kau, bahwa
perahu kita jalan sendiri?"
"Ya, aku pun dapat merasakan", sambut Ong Kun, "malah jalannya
cepat sekali!"
"Apakah kita telah bertemu dengan ....", Tan Hie tak meneruskan
ucapannya.
"Sebaiknya kita segera kembali saja ke darat", Ong Kunmengusulkan.
"Sekarang kita berada dalam kabut, hingga tak tahu arah mana yang
harus kita tempuh!?"
"Apa yang dapat kita lakukan sekarang?", tanya Ong Kun, gugup.
"Kita hanya dapat memasrahkan diri pada nasib", sahut Tan Hie
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berusaha menenangkan diri.
Sementara itu, perahu mereka terus meluncur sendiri dengan
lajunya, membuat Ong Kun tambah cemas.
Entah telah berapa lama berlalu, mendadak kabut itu lenyap dan
perahu pun berhenti.
"Lihat Toako, kabut itu sudah buyar", ucap Ong Kun, mulai tenang
perasaannya.
"Tapi entah berada di mana kita sekarang ini?", gumam Tan Hie.
"Di laut ini tak terlihat seekor burung camar pun, kurasa usaha kita
mencari ayahku akan sia-sia belaka", Ong Kun setengah putus asa.
"Mungkin kita telah terpisah jauh sekali dari rumah", sambut Tan
Hie, "maka kini kita hanya dapat menggantungkan diri pada nasib".
Tiba-tiba Ong Kun melihat sesuatu di bagian depan. "Lihat Toako!
Ada daratan!", serunya. "Sebuah pulau kecil". Tan Hie mengayuh
perahunya menuju pulau itu. Setelah menambat perahu, mereka pun
naik ke darat.
Pulau itu amat tandus, jangankan berpenduduk, pohon pun tak
tumbuh.
"Pulau gersang ini tak mungkin dihuni manusia", kata Tan fie.
"Sungguh menyeramkan, mari kita tinggalkan tempat ini!", ajak Ong
Kun.
Namun mendadak dia mendengar suara tawa orang.
Ong Kun berpaling ke asal suara itu, terlihat olehnya sebuah rumah
bertingkat."Lihat Toako!", Ong Kun menuding ke depan. Tan Hie berpaling ke
arah yang dituding Ong Kun. "Oh!", dia berseru keheranan, "kenapa
tadi tak terlihat!?" "Mungkin tadi tidak kita perhatikan", ujar Ong
Kun.
"Aneh! Sulit dipercaya kalau di pulau gersang ini bisa ada bangunan
semewah ini. Mungkin ....", Tan Hie tak meneruskan ucapannya.
"Apa pun yang terjadi, nyatanya bangunan ini memang ada", Ong
Kun meyakinkan.
"Ya, dengan adanya rumah pasti ada orang", Tan Hie membenarkan
ucapan kawannya, "mari kita ke sana!"
Mari!"
Mereka bergegas mendekati bangunan mewah tersebut. Tapi setelah
dekat, mendadak rumah itu lenyap, di hadapan mereka hanyalah
terdapat gundukan batu karang, membuat keduanya bengong.
"Hal ini benar-benar tak masuk akal, aneh sekali", kata Tan Hie
setelah berselang sesaat.
"Padahal tadi nyata-nyata kita melihat rumah", ucap Ong Kun, masih
diliputi keheranan.
"Mungkin kita telah bertemu siluman", Tan Hie mengemukakan
dugaan.
"Siluman?", Ong Kun terperanjat.
"Ya". Tan Hie mengangguk, "ayo cepat-cepat kita tinggalkan tempat
ini.
Mereka bergegas menuju ke tempat perahu ditambat, tapi perahu itu
sudah tak terlihat lagi, mereka sangat terperanjat jadinya.
"Aku takkan salah ingat, tadi kutambat di sini!", kata Tan Hie sambil
menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Ya, tapi di mana sekarang?", pucat wajah Ong Kun. "Aku kuatir, kita
tak dapat pulang", ujar Tan Hie."Aku benar-benar telah menyusahkan Tan Toako". Ong Kun mulai
menyesali sikap sebelumnya.
"Sekarang bukan waktunya untuk saling menyalahkan, yang penting
kita harus berdaya agar dapat mempertahankan hidup, sambil
menunggu ada perahu yang datang menolong kita".
"Orang tua Tan Toako tentu sangat cemas memikirkanmu". "Tak
usah kita fikirkan soal itu".
"Tapi Toako, kita akan mati di pulau gersang ini", kata Ong Kun,
sedih.
"Tak ada gunanya kita bersedih", Tan Hie berusaha menenangkan,
"yang penting kita harus berusaha, nantinya pasti akan memperoleh
jalan keluarnya. Sekarang mari kita cari sesuatu, untuk membuat api
unggun!"
"Ke mana harus kita cari? Jangankan pohon, rumput pun tidak
tumbuh di sini".
"Tapi kita tak boleh duduk-duduk saja menunggu ajal tiba".
Tan Hie mengajak Ong Kun mencari sesuatu yang dapat dibuat api
unggun, sebab cuaca telah berangsur gelap. Di samping lapar dan
haus, mereka juga kedinginan.
Dengan susah payah, akhirnya mereka berhasil menemukan
beberapa potong kayu kering, yang mereka gunakan untuk api
unggun.
Selagi mereka menduga-duga asal kayu kering itu, tiba-tiba terlihat
ada semacam lentera yang bergerak-gerak tak jauh dari situ.
"Ada lentera pasti ada orangnya", kata Tan Hie, "mari kita dekati!"
"Aku takut, Toako", gemetar tubuh Ong Kun. "Jangan takut, mari ikut
aku!", Tan Hie berlari-lari ke muka.
"Tan Toako ....", Ong Kun mengejarnya.
Setelah dekat, mereka melihat dua wanita muda lagi cantik yangsedang berjalan sambil membawa lentera.
"Lihat Ong Siangkong!", kata Tan Hie. "Wanita", hal itu benar-benar
di luar dugaan Ong Kun.
"Tunggu nona!", Tan Hie segera memanggil kedua wanita itu.
"Kalian memanggil kami?", tanya salah seorang wanita yang
mengenakan ikat kepala.
"Kalian penduduk pulau ini?", tanya Tan Hie. "Ya", sahut wanita yang
mengenakan ikat kepala itu. Sedang wanita satunya balik bertanya :
"Siapa kalian?"
"Kami telah kehilangan perahu, hingga tak dapat meninggalkan pulau
ini", Tan Hie menerangkan.
"Bila demikian halnya, saudara berdua boleh ikut kami", wanita itu
menawarkan jasa baiknya.
"Mmm ....", Tan Hie ragu.
"Lekaslah kalian ikut kami, bila tidak, akan mati kedinginan atau
kelaparan di sini!", kata wanita yang berikat kepala.
"Baiklah", kata Tan Hie. Mereka mengikuti kedua wanita cantik itu.
Tak lama kemudian, terlihat sebuah bangunan bertingkat dalam
kegalapan malam.
Begitu masuk, tampak keadaan ruang tamu rumah itu sangat mewah,
membuat Tan Hie dan Ong Kun bengong.
"Di dalam kamar tersedia makanan dan arak, makanlah kalian", kata
wanita yang lebih muda.
Tan Hie dan Ong Kun memasuki kamar yang ditunjuk. Makanan dan
minuman yang terhidang di atas meja, amat memancing selera, apa
lagi bagi yang sedang kelaparan seperti dua pemuda itu. Tanpa terasa
Tan Hie jadi menelan liur, ingin rasanya segera melahap hidangan itu.
"Silakan!", kata si wanita yang mengenakan ikat kepala. "Terima
kasih", ucap Ong Kun."Maaf, kami tinggal sebentar", ujar wanita itu sambil meninggalkan
kamar.
"Mari kita makan, Ong Siangkong!", ajak Tan Hie sepergi kedua
wanita itu.
"Aku takut...." "Apa yang kau takuti?"
"Aku merasa kedua wanita itu sungguh menakutkan", Ong Kun
mengemukakan pendapat, "aku tak percaya ada dua wanita yang
sudi bermukim di pulau gersang ini".
"Tak usah kau pusingkan mereka", ujar Tan Hie, "aku sangat lapar".
"Jangan dimakan Toako ....", cegah Ong Kun, "kau harus hati-hati".
"Kalau kau tak mau makan, biarlah aku makan sendiri", kata Tan Hie,
"dari pada mati kelaparan, lebih baik mati kekenyangan!"
"Pertimbangkanlah baik-baik sebelum kau makan ....", Ong Kun
masih berusaha mencegahnya.
"Makanan yang terhidang di sini benar-benar menggelitik seleraku",
Tan Hie tak dapat menahan rasa laparnya, "mari kita makan saja,
Ong Siangkong!"
Tan Hie duduk, makan dengan lahapnya.
Akhirnya dia kekenyangan dan mabuk karena kebanyakan minum
arak, tidur di ranjang yang tersedia.
Belum lama Tan Hie tidur, kedua wanita cantik itu masuk lagi ke
kamar.
"Kenapa kau tidak makan?", tanya wanita yang berikat kepala.
"Saya tidak lapar", sahut Ong Kun.
"Kau bukannya tidak lapar, tapi curiga", kata si wanita, "setelah
berada di sini, tak usah kau fikirkan lagi soal hidup dan mati!"
"Nona berdua ...."
"Aku paling tak suka pada orang yang suka berpura-pura", ucap si
wanita berikat kepala."Saya ...."
Wanita itu tak menghiraukan Ong Kun lagi, menghampiri
pembaringan, duduk di tepinya.
"Ajaklah dia tidur, dik!" katanya kemudian pada wanita satunya.
"Bagaimana dengan Tan Toako?", Ong Kun menuding Tan Hie yang
sedang tidur lelap.
"Tak usah kau hiraukan dia", kata si wanita, "kakakku yang akan
mengurusnya --- Mari!"
Ong Kun terpaksa mengikutinya.
Setiba di kamar lain, wanita itu pun berkata lagi : "Mari kita tidur!"
"Saya belum ngantuk", sahut Ong Kun.
"Kau takut padaku?", tanya si wanita sambil tersenyum manis,
"jangan kuatir, aku takkan memakanmu!"
"Tapi kau ...."
"Oh, kau menganggapku jelek ya?", si wanita agak tersinggung.
"Nona cantik sekali ....", Ong Kun tambah gugup.
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakakku mengajak kalian ke mari karena dia tertarik pada kalian",
kembali terkembang senyum di wajah wanita itu, "mari kutemani
kau tidur!"
"Ini ...." "Keberatan?", wajah wanita itu tampak semakin menawan.
Ong Kun bagaikan kena disihir, mengikuti si wanita naik ke ranjang
....
Orang tua Tan Hie dan ibu Ong Kun amat cemas ketika lewat waktu
yang telah ditentukan, anak mereka belum juga pulang.
"Semua ini gara-gara kalian, hingga anakku jadi mengalami mala-
petaka", ibu Tan Hie menyalahkan ibu Ong Kun.
"Mungkin mereka hanya menemui sedikit halangan, tak lama lagi
juga pulang", biar cemas, ibu Ong Kun masih berusaha menenangkan
nyonya rumah."Sekarang sudah hari ke 5, tapi mereka belum pulang juga", ibu Tan
Hie bertambah cemas, "padahal ransum yang mereka bawa hanya
cukup untuk dimakan selama 3 hari. Bila hari ini mereka tidak pulang
juga, kalau tidak mengalami musibah, tentunya mereka akan mati
kelaparan".
"Itu ....", ibu Ong Kun tak dapat meneruskan ucapannya, air mata
menggulir membasahi wajahnya.
"Bila terjadi apa-apa atas diri anakku, seumur hidupku akan
membencimu!", kata ibu Tan Hie lagi.
Makin banyak ibu Tan Hie bicara, jadi semakin sedih, akhirnya dia
menelungkupkan kepala di atas meja, menangis.
Suaminya berusaha menenangkannya : "Sudahlah, sebaiknya kita
tunggu satu, dua hari lagi".
Diam-diam ibu Ong Kun meninggalkan rumah keluarga Tan, pergi ke
pantai menanti anaknya kembali.
Di fihak lain, setelah agak hilang sedihnya, ibu Tan Hie merasa
menyesal telah menyalahkan ibu Ong Kun, yang mengakibatkan
wanita itu pergi ke pantai seorang diri, bengong di situ. Kasihan dia
menyaksikan keadaannya, lalu mendatanginya sambil membawakan
makanan.
"Makanlah", kata ibu Tan Hie, "bila tidak, akan masuk angin kau
nanti".
"Lebih baik aku mati dari pada hidup merana begini", kata ibu Ong
Kun.
"Tak baik orang berputus asa", ibu Tan Hie berusaha menghiburnya,
"maafkan bila tadi ada kata-kataku yang menyinggung perasaanmu --
-- Ayo makanlah!"
"Saya tak lapar", sahut ibu Ong Kun dengan wajah basah oleh air
mata."Saya sendiri juga tak enak makan dan tak bisa tidur selama
beberapa hari ini", ibu Tan Hie ikut menangis.
Semua ini memang salah kami berdua --- Tak seharus nya kami
meminta bantuan kalian, hingga mencelakai Tan Hie". kata ibu Ong
Kun.
"Sudahlah, tak usah kita singgung soal itu lagi", kata ibu Tan Hie,
'mari kita pulang".
"Saya tak mau pulang, saya ....", ibu Ong Kun bermaksud
menceburkan diri.
"Jangan!", cegah ibu Tan Hie sambil menarik tangannya.
"Biarkan aku mati ....", ibu Ong Kun berusaha melepaskan diri.
Selagi mereka saling tarik, terlihat seorang Padri yang berpakaian
banyak tambalan, bertopi bu tut dan memegang kipas rombeng,
menghampiri mereka.
Hweshio (Padri) itu bukan lain dari pada Chi Kung yang terkenal aneh
dandanannya, tapi sangat sakti, banyak sudah orang yang
ditolongnya, sehingga dia digelari sebagai Hok Hud (Buddha hidup)!
Tunggu! Kalian jangan mati dulu!", cegah Chi Kung (sering dieja Khi
Kong).
"Apa maksud Taysu?", tanya ibu Tan Hie.
"Aku bermaksud mencari perahu untuk berlayar", Chi Kung
menerangkan, "tapi biar telah kucari ke sana ke mari, tetap tak
berhasil memperolehnya. Maka kuharap sudilah kalian memberi
petunjuk, di mana aku dapat memperoleh perahu?"
"Belakangan ini di laut sering timbul hal-hal yang aneh lagi
menyeramkan, banyak sudah jatuh korban", ibu Tan Hie
menerangkan, "membuat para nelayan tak ada yang berani pergi me
nangkap ikan".
"Aku tak takut", kata Chi Kung, "begitu ada perahu, aku akan segerapergi berlayar".
Sebaiknya Taysu menunda dulu keberangkatan itu", ibu Tan Hie
berusaha mencegah maksud sang Padri, "berlayar tidak sama dengan
melakukan perjalanan di darat, apa lagi berlayar seorang diri, lebih
banyak bahayanya dari pada menyenang
kan".
"Masih lebih baik aku berlayar menempuh bahaya, dibandingkan
dengan orang yang bosan hidup".
"Itu ....", ibu Tan Hie tak dapat meneruskan ucapannya.
Sedangkan wajah ibu Ong Kun jadi bersemu merah, karena merasa
dirinya yang disindir, malu dia atas sikapnya tadi.
"Tahukah kalian, di mana aku dapat memperoleh perahu itu?", tanya
Chi Kung lagi.
"Tahu, tapi sayangnya kini suamiku sedang sakit, maka tak dapat
mengantar Taysu ke tempat pemilik perahu", sahut ibu Tan Hie.
"Jangan kuatir, aku si Padri dapat mengobati bermacam penyakit!",
kata Chi Kung segera.
"Taysu benar-benar dapat mengobati orang sakit?", tanya ibu Tan
Hie, agak ragu menilik dandanan sang Hweshio.
"Aku dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit!", sang Padri
menegaskan.
"Mari Taysu!", ajak ibu Tan Hie.
"Ya, akan kuobati dulu sakit suamimu, baru kemudian mencari
perahu".
Ibu Tan Hie mengajak sang Hok Hud ke rumahnya. Kemudian
memapah suaminya ke luar kamar menemui Chi Kung.
"Taysu ini dapat mengobati macam-macam penyakit", ibu Tan Hie
memberitahukan suaminya.
Sudah bertahun-tahun Tan Sam menderita sakit, berbagai tabib telahdidatanginya, bermacam obat sudah dimakannya, tapi sakitnya tidak
sembuh-sembuh juga.
Chi Kung memperhatikannya sejenak, lalu berkomat-kamit seperti
orang yang sedang membaca mantera. Selang sesaat dia
menggerakkan tangannya ke arah Tan Sam, seketika sakit ayah Tan
Hie sembuh!
Tan Sam segera berlutut dan isterinya pun menyoja sebagai
pengungkapan rasa terima kasih mereka yang tak terhingga pada
sang Padri.
"Bangunlah!", kata Chi Kung, "aku mengobati sakitmu karena
membutuhkan perahu".
"Taysu sungguh-sungguh membutuhkan perahu?", tanya ibu Tan Hie.
"Ya, aku ingin berlayar untuk mencari orang, karenanya aku
membutuhkan perahu!", sahut Chi Kung.
"Sebaiknya Taysu menunda dulu maksud itu", Tan Sam
mencegahnya, "anak saya sudah lima hari pergi berlayar, tapi sampai
sekarang belum juga pulang".
"Jangan kuatir, aku bisa berlayar dan pasti dapat kembali ---
Sebaiknya tolong kalian mengusahakan perahu, bila tidak, aku kuatir
terlambat ...."
"Sebaiknya Taysu membatalkan saja maksud itu", ibu Ong Kun yang
sejak tadi berdiam diri, mulai ikut bicara, berusaha mencegahnya
juga, "belakangan ini di laut sekitar sini sering terjadi hal-hal yang
aneh lagi menyeramkan. Banyak orang yang berlayar tak pernah
pulang lagi".
"Kalian tak usah kuatir, aku pasti dapat kembali!", Chi Kung
menegaskan.
"Beberapa waktu yang lalu suami saya telah pergi berdagang ke kota
lain dengan naik perahu, tapi tak pernah kembali lagi", ibu Ong Kunmenceritakan pengalamannya, "kemudian anak saya berkeras ingin
mencari ayahnya yang hilang secara misterius, tak tahunya malah
jadi menyusahkan Tan Hie, anak dari keluarga ini! --- Maka sebaiknya
Taysu menunda dulu maksudmu".
"Bila sebelumnya aku tahu kalian tak sudi membantuku mencari
perahu, aku tentu tak mau mengobati", kata Chi Kung.
"Jangan marah Taysu, bukannya kami tak sudi membantumu, tapi
semuanya itu adalah demi kebaikan Taysu juga", kata Tan Sam, "tapi
sekiranya tekad Taysu telah bulat, akan saya ajak Taysu mencarinya".
"Bagus, jadi manusia memang harus tahu membalas budi!", Chi Kung
tersenyum.
"Mari Taysu!", ajak Tan Sam.
Walau Tan Sam tak tahu, bahwa Hweshio yang dandanannya seperti
pengemis itu adalah Hok Hud, Buddha Hidup, tapi dia amat berterima
kasih atas pengobatan yang diberikan atas dirinya, amat
menghormatinya juga.
Sang isteri dan ibu Ong Kun ikut juga mengantar.
Tan Sam mengajak Chi Kung ke tetangganya yang juga nelayan, untuk
meminjam perahu.
Setelah berhasil memperoleh sebuah perahu, berkatalah Tan Sam :
"Saya akan menemani Taysu berlayar!"
"Kau tak takut?", tanya Chi Kung. "Saya juga ingin mencari anak
saya", sahut Tan Sam.
"Bagus, mari kita berlayar bersama", kata Chi Kung, kemudian
berpaling pada isteri Tan Sam, "O Mi To Hud, tenangkanlah perasaan
nyonya, besok pagi anak kalian akan kembali".
"Benarkah Taysu?", isteri Tan Sam seakan ragu terhadap apa yang
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baru didengarnya.
"Percayalah!", Chi Kung meyakinkan. "Terima kasih Taysu".Nyonya Tan Sam dan ibu Ong Kun mengantar keberangkatan sang
Hok Hud.
"Besok pagi masaklah yang enak-enak, agar begitu mereka kembali,
dapat makan sekenyangnya", pesan Chi Kung sesaat akan naik ke
perahu.
"Baik Taysu", sahut isteri Tan Sam, walau sebenarnya masih ragu dia.
Tan Sam mulai mendayung perahu.
Pada awal keberangkatan mereka, cuaca terlihat cerah, angin pun
bertiup tenang.
Tapi tak lama kemudian dari arah depan muncul kabut. Di tengah-
tengah kabut terlihat sebuah kapal layar.
Mereka meninggalkan perahu, naik ke atas kapal tersebut, tapi tak
terlihat seorang pun di situ.
"Ini kapal kosong", kata Tan Sam setelah memperhatikan sejenak.
"Sebelumnya memang telah kuduga begitu", ujar Chi Kung.
Tanpa hujan angin atau badai, mendadak kapal itu tenggelam.
Hok Hud melompat sambil mengepit tubuh Tan Sam, keinbali ke
perahu mereka.
Tan Sam bengong ketika dirinya diturunkan di perahu.
'Taysu ....", setelah berselang sesaat, barulah Tan Sam dapat bicara.
Namun segera dipotong oleh Chi Kung : "Jangan kau banyak
bertanya, apa pun yang terjadi, hendaknya kau bersikap tenang!"
"Kenapa kapal layar itu mendadak lenyap, Taysu?", tanya Tan Sam
yang masih terus diliputi keheranan.
"Itu merupakan salah satu perangkap yang dipasang oleh siluman di
laut ini dalam menjerat mangsanya", Hok Hud menerangkan,
"rupanya tak lama lagi akan terjadi hal-hal yang lebih menyeramkan,
tapi kau tak usah takut!"
"Sebaiknya kita pulang saja, Taysu", Tan Sam mengusulkan."Bukankah kau ingin mencari anakmu?", tanya Chi Kung. "Benar
Taysu .... tapi ...."
Sebelum Tan Sam sempat melanjutkan ucapannya, sang Hok Hud
telah menuding ke bagian depan seraya berkata : "Lihatlah, sang
siluman datang!"
Baru saja Chi Kung Hok Hud usai berkata, tiba-tiba bergulung
gelombang ganas, yang mengombang-ambingkan perahu yang
mereka tumpangi.
Sang Hok Hud segera menggerakkan kipasnya ke arah gelombang.
Biarpun kipas itu tampaknya sudah usang dan rombeng, tapi ternyata
sangat ampuh. Dalam sekejap, air laut menjadi tenang kembali.
Hampir bersamaan dengan kejadian itu, dari dalam laut melompat
keluar seorang wanita berambut panjang.
"Kau telah menghancurkan perangkap yang kupasang!", serunya
begitu muncul.
"Hei siluman, lekas kau bebaskan Tan Hie dan Ong Kun!", balas Chi
Kung tanpa gentar sedikit pun.
"Hei Hweshio, rupanya kau sudah bosan hidup ya!?", ujar wanita
yang berambut panjang terurai itu, "kami kakak beradik bukanlah
orang yang bisa dipermainkan begitu saja!"
"Siluman tetap siluman, jangan mengaku sebagai manusia!", kata
Hok Hud, "bila kalian membandel, akan kulaporkan pada Tong Hay
Sam Taycu, agar menangkap dan menghukum kali
an!"
(Tong Hay Sam Taycu = Anak ketiga dari penguasa laut timur).
"Kau kira aku bisa kau takut-takuti!?", siluman wanita itu bukannya
takut, malah tambah berang.
"Akan menyesal kau nanti!", kata Hok Hud, "semua ini justru untuk
kebaikan kalian".Tapi siluman itu sama sekali tak menghiraukan nasehat Hok Hud,
malah langsung menerkam : "Kubunuh kau, Hweshio dekil!"
"Ha, ha, mari kita main-main", Hok Hud tertawa sambil
menggerakkan kipasnya.
Tubuh siluman wanita itu terpental balik ke laut.
Berulang kali sang siluman melancarkan serangan, tapi sebanyak itu
pula tubuhnya terpental balik ke tempat asalnya oleh kebutan kipas
Chi Kung.
Setelah berlangsung beberapa saat, sang siluman menyadari, kalau
dirinya bukanlah tandingan sang Hok Hud, segera melarikan diri.
"Jangan kabur kau!", Chi Kung mengejarnya.
Sang siluman lantas mengeluarkan kesaktiannya, membuat air laut
bergelombang, yang menghalangi laju maju perahu yang ditumpangi
Chi Kung dan Tan Sam.
Pada saat itu, sang siluman telah melompat ke atas pulau. Hok Hud
mengajak Tan Sam mendarat di pulau itu.
**Tunggu saya, Taysu!", seru Tan Sam yang tertinggal di belakang.
"Ikuti aku!", ujar Chi Kung. Tapi dalam sekejap, siluman itu telah
lenyap.
"Kita kehilangan jejaknya", kata Chi Kung pada Tan Sam, lalu berseru
: "Hei siluman, lekas lepaskan orang yang kalian tawan, bila tidak,
kalian akan menyesal nanti!"
**Keadaan di sini sungguh menyeramkan, Taysu!", tubuh Tan Sam
agak menggigil.
"Jangan takut, mari ikut aku!" Hok Hud mencari siluman wanita itu.
Beberapa saat kemudian, di kejauhan tampak sebuah rumah yang
megah. Namun dengan kesaktiannya, Chi Kung tahu, benda apa itu
sebenarnya.
"'Di sana ada rumah mewah, Taysu!", Tan Sam menuding bangunanitu.
"Itu hanyalah bayangan khayal untuk memancing mangsa sang
siluman", Chi Kung menerangkan.
Selesai berkata, dia segera menggerak-gerakkan kipasnya dan
bangunan megah tersebut langsung sirna.
"Kenapa rumah itu mendadak lenyap, Taysu?", Tan Sam keheranan.
"Itu adalah ilmu sihir", Chi Kung menerangkan.
"Apakah siluman itu akan datang lagi?", Tan Sam semakin cemas.
"Mereka pasti datang, sebab aku telah berhasil memusnahkan semua
perangkapnya", sahut Chi Kung, terus berpaling, memandang
gumpalan awan yang bergerak ke arah mereka, "itu mereka datang!"
"Oh ....", mulai menggigil lagi tubuh Tan Sam. Kala itu tampak
terbang mendatangi dua siluman wanita.
"Siapa yang bernyali begitu besar dan berani menghina adikku?",
tanya siluman wanita yang mengenakan ikat kepala.
"Aku si Hweshio!", sahut Chi Kung.
"Kau kan orang yang menyucikan diri, kenapa begitu usil
mencampuri urusan kami?", tegur lagi siluman berikat kepala.
*Justeru karena aku orang yang menyucikan diri, jadi mencampuri
persoalan ini", sambut Chi Kung sambil senyum, "agar kau tidak
mencelakai manusia lebih banyak lagi!"
*Sungguh sombong kau!", sang siluman tambah geram.
"Sebagai orang yang menyucikan diri, maka selalu berpegang pada
sikap welas asih, bila tidak, tentu takkan sudi mengdapi kalian kakak
beradik!", sahut Chi Kung.
"Hmmm", berang sekali hati sang siluman.
"Silakan keluarkan seluruh ilmu siluman kalian!", tantang Chi Kung.
"Akan kubikin kalian mati tenggelam!""O Mi To Hud".
Tiba-tiba muncul gelombang yang amat dahsyat, menerjang diri Chi
Kung dan Tan Sam.
Hok Hud mengangkat tubuh Tan Sam dengan sebelah tangan dan
melempar kipas tuanya ke laut dengan tangan lainnya. Keadaan
gelombang ciptaan sang siluman segera menjadi tenang.
Chi Kung meletakkan tubuh Tan Sam di atas kipasnya.
Sungguh ajaib, dengan menginjak kipas itu, Tan Sam mampu berdiri
di atas air.
Kedua siluman wanita jadi amat terperanjat ketika menyaksikan hal
itu.
"Cukup hebat kau, Hweshio!", kata siluman yang lebih tua.
"Masih belum mau sadar jugakah kau, siluman!?" tanya Chi Kung.
"Mundurlah kau dik! Biar aku yang akan menghadapi Hweshio dekilini!", ujar siluman wanita yang lebih tua.
"Hati-hati kak!", sang adik siluman memperingatkan kakak. nya.
"Ha, ha, o Mi To Hud!", Chi Kung tertawa.
Siluman yang lebih tua membuka ikat kepalanya,
menghentakkannya, seketika merupakan selendang panjang.
Ternyata siluman itu berambut putih.
"Akan kubikin mampus kau dengan selendangku ini!", ancam sang
siluman.
"Dengan susah payah kau bertapa sampai ribuan tahun, hingga dapat
menguasai ilmu seperti sekarang", kata Chi Kung, tenang sekali
sikapnya, "maka sayang sekali bila kau hancurkan sendiri! ---
Sekarang masih belum terlambat bagimu untuk memperbaiki diri,
bertobatlah dan kembali ke dasar lautan, melanjutkan tapamu, agar
dapat memperoleh kesempurnaan hidup nantinya!"
"Tutup bacotmu! Aku tak perlu ocehanmu! Jaga serangan
ku!"
Wanita siluman segera melancarkan serangan dengan selendangnya.
Tubuh Chi Kung serta merta terlilit selendang.Lilitan selendang makin lama jadi semakin erat. Sungguh, siluman
berambut putih itu memang cukup sakti.
Chi Kung segera membaca mantera dan selendang yang melibat
dirinya putus berpotong-potong.
Sang siluman amat terperanjat, langsung membalikkan tubuh,
mengajak adiknya kabur.
"Kedua siluman itu kabur, Taysu", kata Tan Sam. "Mereka lari ke
dasar samudera", Chi Kung menerangkan.
"Bagaimana dengan diri kita, Taysu? Pulau kecil itu telah lenyap", Tan
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sam masih tetap cemas.
"Jangan kuatir", Chi Kung menenangkannya, "kita pasti dapat
kembali dengan selamat --- Yang penting sekarang kita cari puteramu
dan Ong Kun!"
"Baik, Taysu".
Chi Kung menuding ke depan : "Lihatlah! Bukankah di depan sana
ada sebuah pulau?"
Tan Sam membelalakkan mata tanpa bersuara.
Chi Kung membimbing Tan Sam ke pulau, untuk mencari Tan Hie dan
Ong Kun.
Setelah mencari-cari beberapa waktu, mereka berhasil menemukan
sebuah goa.
Chi Kung mengajak Tan Sam memasuki goa itu.
Begitu masuk ke dalam goa, terlihat tulang-tulang berserakan, baik
tulang binatang maupun tengkorak manusia, juga tubuh Tan Hie dan
Ong Kun yang terbaring lemah.
"Sakitkah mereka, Taysu?", tanya Tan Sam pada Chi Kung.
"Goan-yo (sari lelaki) mereka telah dihisap oleh siluman wanita,
membuat tubuh mereka lemah bagaikan orang sakit", Chi Kung
menerangkan.Chi Kung segera menggosok-gosok daki di dadanya, lalu
memulungnya menjadi dua butir Yo-wan (pil), menyerahkan pada
Tan Sam.
"Suruh mereka telan ini!", katanya. "Baik, Taysu", sahut Tan Sam.
Setelah menelan 'pil istimewa' itu, tubuh Tan Hie dan Ong Kun
menjadi segar kembali. Mereka segera berlutut di hadapan sang Hok
Hud, sambil mengucap hampir bersamaan : "Terima kasih Taysu,
yang telah menyelamatkan nyawa kami!"
"Tak usah kalian berterima kasih padaku, cepatlah tinggalkan pulau
ini!", kata Chi Kung.
"Kami sedang mencari ayah Ong Siangkong, Taysu", Tan Hie
menerangkan.
"Mati hidup manusia berada di tangan Thian, kalian tak usah
mencarinya lagi, takkan ketemu", Chi Kung mengisyaratkan,
kemudian berpaling pada Ong Kun : "Cepatlah kau kembali, agar
ibumu tidak cemas terus".
"Tapi ayah saya ....", Ong Kun masih agak penasaran sebelum
berhasil menemukan ayahnya.
"Ayahmu sudah lama meninggal, dicelakai oleh siluman wanita itu!"
"Sungguh malang nasib ayah ....", tanpa terasa Ong Kun jadi
mengucurkan air mata.
"Orang yang telah meninggal takkan dapat hidup lagi, Ong Kun", kata
Chi Kung. "Sekarang lekaslah kalian tinggalkan tempat ini.
Berlayarlah ke arah Barat, besok pagi kalian sudah akan tibadirumah"
"Terima kasih, Taysu", ucap Ong Kun.
Chi Kung mengajak ketiga orang itu mencari perahunya dan tak lama
kemudian berhasil menemukannya.
"Naiklah kalian!", kata Chi Kung. "Bagaimana dengan Taysu?", tanya
Tan Sam."Aku ingin menangkap kedua siluman itu", Chi Kung menerangkan,
"pulanglah kalian duluan!"
"Tapi Taysu ....", Tan Sam ragu meninggalkan Hok Hud.
"Aku bisa pulang sendiri", kata Chi Kung dengan nada pasti.
"Kalau begitu, baiklah. Kami berangkat duluan, Taysu". "Selamat
jalan".
Tan Sam mengajak puteranya dan Ong Kun berlayar kembali ke
kampung halaman.
Setelah ketiga orang itu pergi jauh, Chi Kung mengheningkan cipta,
memohon bantuan Tong Hay Sam Taycu.
Selang beberapa saat, Tong Hay Sam Taycu muncul dari dalam air,
menemui Chi Kung.
Hok Hud menceritakan perbuatan kedua siluman wanita, yang
ternyata adalah penjelmaan siluman ular putih dan ular hitam itu,
telah mencelakai banyak orang yang sedang berlayar.
Sam Taycu segera menyuruh pembantunya mencari dan menangkap
kedua siluman ular tersebut.
Kedua siluman ular berhasil ditangkap, kemudian dibawa ke Istana
Naga untuk diadili atas segala dosanya.
Chi Kung mengucapkan terima kasih pada Sam Taycu, meninggalkan
pulau itu, meneruskan pengembaraannya untuk menolong orang-
orang yang sedang mengalami kesulitan.PEMBANTU YANG RAKUS
Siao Mao adalah anak yang patut dikasihani, hidup keluarganya
sangat miskin.
Setelah Siao Mao berusia belasan tahun, ayahnya memasukkannya
kerja sebagai pembantu di toko kue.
Siao Mao cukup rajin menjalankan tugasnya, boleh dikata tak
mengenal lelah, tapi ada satu sifat jeleknya, rakus dia, sering mencuri
kue.
Pada suatu hari, selagi dia memakan kue yang baru dicurinya, telah
kepergok oleh majikannya, yang langsung memaki dan
menghajarnya, kemudian memecatnya.
Siao Mao terpaksa pulang ke rumah orang tuanya.
Sang ayah jadi mendongkol ketika tahu akan ulah anaknya,
memakinya.
Namun begitu, biar bagaimana Siao Mao adalah anaknya, maka
keesokan harinya sang ayah berusaha mencarikannya kerja lagi.
Beberapa waktu kemudian, berhasil juga sang ayah memasukkan
Siao Mao ke toko makanan dan minuman (P & D), yang memang
sedang membutuhkan tenaga pembantu.
Selanjutnya Siao Mao mulai bekerja di situ.
Namun watak manusia sulit dirobah. Siao Mao yang sejak kecil
memang rakus, sulit untuk merobah kebiasaannya. Sering dia
mencuri kue kering, kwaci dan makanan kecil lainnya, juga buah-
buahan, untuk memuaskan sifat rakusnya.
Maka tidaklah mengherankan, baru belasan hari dia bekerja, kembali
telah dipecat oleh majikannya.
Sang ayah sangat marah melihat Siao Mao pulang lagi, langsung saja
dia memukulnya; ingin rasanya dia menghajar anaknya sampai mati.
Tapi kemudian dia balik berfikir, terlampau kejam bila sampaimembunuh anak kandung sendiri, maka dia pun berhenti memukul
dan setelah memberinya nasihat banyak-banyak, lalu berusaha pula
mencarikan kerja bagi anaknya.
Sekali ini dia memasukkan anaknya sebagai pembantu di toko obat.
Sejak bekerja di toko obat, berhubung tak ada yang enak dimakan,
maka sifat rakus Siao Mao berangsur-angsur lenyap.
Pada suatu ketika, bertepatan jatuh hari Tiong-ciu, pemilik toko obat
menyiapkan bebek panggang dan dua botol arak --- Yang sebotol Ang
Bi Kui (Mawar merah; arak merah) dan botol lainnya Pek Bi Kui
(Mawar putih, arak putih).
Akan tetapi, baru saja bebek matang, tiba-tiba masuk seseorang,
berkata: "Majikan saya sakit, bapak diminta datang".
"'Pulanglah kau duluan, aku segera datang", sahut si pemilik toko
obat.
Ternyata pemilik toko obat itu merangkap sebagai Sinshe (Tabib).
Panggilan itu, membuatnya terpaksa harus menunda makannya.
Karena kuatir bebek dan araknya dimakan Siao Mao, lalu dicarinya
akal.
"Aku ingin pergi dulu untuk mengobati orang sakit, baikbaiklah kau
menjaga rumah, dan jangan sekali-kali kau makan bebek panggang
ini. Bila kau berani memakannya, akan kuhajar kau nanti!", pesannya
wanti-wanti pada Siao Mao.
"Jangan kuatir tuan, saya takkan berani memakannya".
Si pemilik toko obat menuding ke dua botol arak yang terletak di atas
meja : "Cairan di dalam kedua botol ini bukannya arak, yang
berwarna merah adalah racun, sedang yang putih air keras. Bila kau
minum, akan segera melayang jiwamu ---Maka, kalau kau masih ingin
hidup lebih lama, jangan sekali-kali kau minum!"
Siao Mao mengangguk : "Saya mengerti tuan".Akan tetapi, begitu majikannya pergi, Siao Mao segera mengambil
bebek panggang dan dua botol arak itu, makan minum sepuasnya,
yang mengakibatkannya tergeletak di lantai dalam keadaan mabuk.
Alangkah terkejutnya si pemilik toko sekembalinya dari rumah orang
yang minta tolong diobati, ketika melihat Siao Mao menggeletak di
lantai dalam keadaan mabuk.
Langsung timbul marahnya, menariknya bangun, memukulinya
dengan pentungan seraya mencaci-maki : "Sudah kularang kau
makan bebek panggangku, malah kau habiskan! Akan kuhajar
mulutmu yang rakus itu, biar tak dapat makan lagi!"
"Ampun tuan, ampun!", Siao Mao minta dikasihani, "saya harap tuan
sudi mendengar dulu penjelasan saya. Setelah itu, bila tuan
menganggap saya salah, dipukul sampai mati pun saya rela".
"Lekas jelaskan!", kata sang majikan, tetap geram, tapi berhenti
menderanya.
"Begini tuan", Siao Mao mulai mengarang cerita, "bebek itu bukan
saya yang makan, tapi dicuri kucing rumah sebelah, ketika saya
sedang ke belakang untuk buang air kecil. Saya berusaha mengejar,
tapi tak dapat saya tangkap. Saya jadi gugup sekali, sebab saya
menyadari, tentu akan tuan hajar. Dalam keadaan putus asa, saya
ambil botol yang berisi cairan putih dan mereguk isinya. Tapi
ternyata saya belum juga mati, maka kembali saya minum isi botol
yang berwarna merah. Kepala saya jadi pening sekali, lalu terjatuh di
lantai. Saya kira akan segera mati, tak tahunya hanya mabuk. Sampai
sekarang kepala saya masih terasa berat, bahkan sakit sekali".
Si pemilik toko obat sangat dongkol campur geli mendengar cerita
pembantunya, untuk beberapa waktu lamanya dia berdiam diri.PADRI PENAKLUK HANTU
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di suatu tempat hidup sebuah keluarga Tan. Kepala keluarganya
bernama Tan Toa Hok, berusia 40-an.
Lie-si, isteri Toa Hok, telah melahirkan dua orang anak, satu laki-laki
dan satu lagi wanita.
Kehidupan mereka sekeluarga sangat harmonis.
Pada suatu hari Toa Hok bermaksud pergi ke luar kota untuk urusan
dagang. Sesaat akan berangkat, berpesan kepada isterinya : "Aku
akan pulang paling cepat 10 hari dan paling lambat sebulan, baik-
baiklah kau merawat anak kita".
"Tenangkanlah hatimu, akan kujaga baik-baik keadaan rumah dan
anak-anak kita".
Lie-si memang isteri yang bijaksana, maka perasaan Toa Hok pun
tenang benar setiap kali hendak meninggalkan rumah.
Pada suatu hari, Lie-si menggunakan kesempatan selagi kedua
anaknya sedang tidur siang, pergi ke halaman belakang untuk
mengambil kayu.
Entah apa sebabnya, ia jatuh terpeleset, kepalanya membentur
pohon, yang mengakibatkannya pingsan ....
Kedua anaknya mendusi beberapa waktu berselang, mereka sangat
gugup dan sedih ketika tidak melihat ibunya, menangis sejadi-
jadinya.
Para tetangganya segera berdatangan mendengar tangisan kedua
anak itu, lalu mencari Lie-si yang ketika itu tidak terlihat di dalam
rumah.
Mereka tak menyangka kalau sang ibu ada di halaman belakang
rumah, mencarinya ke luar rumah, maka biarpun telah lama mencari
kian ke mari, tapi tetap tak berhasil menemukan Lie-si.
Seorang wanita yang baik hati berkata pada kedua anak tadi : "Sudahgelap cuaca sekarang, sebaiknya malam ini kalian menginap di
rumahku, besok baru kita cari lagi ibumu".
Mereka adalah anak yang dengar kata, ikut ke rumah wanita yang
menjadi tetangganya.
Keesokan paginya, ketika kedua anak kakak-beradik itu bangun,
berkata pada pemilik rumah : "Kami mau pulang, mungkin ibu sudah
ada di rumah".
"Baiklah, akan kuantar kalian pulang".
Setiba di rumah, si anak langsung membuka pintu, terlihat sang ibu
duduk di dalam.
"Ke mana nyonya kemarin? Payah kami mencari-carimu ....", kata
wanita yang baik hati itu.
"Kenapa repot-repot begitu, aku hanya pergi sebentar", kata Lie-si.
**Masih kau katakan sebentar", ujar tetangganya tadi, "kau telah
pergi sehari semalam".
"Aku tidak pernah meninggalkan rumah", sanggah Lie-si. "Lalu ke
mana kau semalam?" "Di halaman belakang". "Apa yang kau lakukan
di sana?"
"Tak usah kau mencampuri urusanku!", Lie-si mulai naik pitam.
Tetangga yang baik hati itu tak menyangka kalau Lie-sie bisa bersikap
begitu, agak tersinggung perasaannya, segera berlalu tanpa pamit
lagi.
Kala itu Siao Yun dan Siao Tin, kedua anak Lie-sie, menghampiri
ibunya.
"Ke mana ibu semalam?", tanya mereka hampir bersama
an.
Lie-si bukannya menjawab, malah menampar mereka. Saking kaget
dan sakit, Siao Yun dan Siao Tin menangis. Lie-si tambah marah
melihat kedua anaknya menangis. "Bila kalian terus menangis, akankuhajar lagi!", bentaknya.
Saking takutnya, kedua anak itu saling berpelukan, berhenti
menangis.
Setelah melihat anaknya tak menangis lagi, Lie-sie pergi ke dapur
hendak makan. Anehnya, dia makan daging dan ikan mentah.
Kedua anaknya saat itu sangat lapar, masuk pula ke dapur
Anehnya Lie-si makan daging dan ikan mentah.untuk minta makan pada ibunya.
"Saya lapar, bu". "Saya juga, bu".
"Carilah makan sendiri!", kata sang ibu, "aku tak ada waktu memasak
untuk kalian".
Siao Yun yang baru berusia 10 tahun dan Siao Tin 8 tahun, tak
mungkin mereka memasak, apa lagi mencari makan sendiri!
Tapi ketika melihat sang ibu marah lagi, mereka tak berani bersuara,
terpaksa harus menahan lapar.
Keduanya kembali ke kamar. "Kapan ayah kembali, ya kak?", tanya
sang adik.
"Tak tahu", sahut Siao Yun, "kita tunggu saja sampai ayah pulang".
"Kalau saja ayah ada di rumah, tentu keadaan kita takkan begini".
"Ya, kita takkan kelaparan seperti sekarang". "Kenapa ibu mendadak
tak sayang lagi pada kita?" "Ya, kenapa sifatnya jadi segalak itu?"
Kedua kakak beradik saling bertangisan, tak tahu apa yang harus
mereka lakukan!?
***
Hari-hari berikutnya, merupakan saat yang penuh penderitaan dalam
kehidupan Siao Yun dan Siao Tin.
Lie-si bukan saja tak mau mengurusi makan dan pakaiannya, malah
bila sedang uring-uringan, kedua anaknya yang dijadikan sasaran.
Para tetangganya hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan
segalanya itu. Mereka kasihan melihat keadaan Siao Yun dan Siao
Tin, diam-diam sering memberi kedua anak itu makanan, juga pada
memperbincangkan Lie-si.
"Aneh, apa yang telah terjadi sebenarnya?"
"Dulunya sifat ibu Siao Yun baik sekali, kenapa mendadak bisa
berobah begitu?"
"Sejak dia menghilang, sifatnya jadi sangat berobah".Namun para tetangganya tak berhasil menemukan jawabnya.
Beberapa hari kemudian, Tan Toa Hok kembali dari luar kota.
Begitu Toa Hok memasuki rumahnya, segera merasakan ada
kelainan.
Keadaan di dalam rumahnya tak teratur seperti sebelumnya, penuh
debu, juga bulu kuduknya agak merinding ketika itu.
"Ayah!", teriak Siao Yun dan Siao Tin kegirangan begitu melihat sang
ayah.
"Siao Yun, Siao Tin!" Toa Hok terperanjat ketika melihat keadaan
kedua anaknya.
Sebelum dia berangkat ke luar kota, kedua anaknya mungil montok,
tapi sekarang, kurus kerempeng.
Toa Hok seakan mendapat firasat, pasti telah terjadi sesuatu yang
kurang beres.
"Mana ibumu?", tanya-nya pada anaknya. "Di halaman belakang,
Yah", sahut Siao Yun. Baru agak lega perasaan Toa Hok mendengar
jawaban itu. "Tadinya kukira ibumu sakit", katanya.
Dia bergegas ke halaman belakang, terlihat isterinya sedang berdiri di
bawah pohon bambu, seakan sedang melamun, entah apa yang
difikirkannya!?
"Kenapa kau, Nio-cu?", tanya Toa Hok sambil menghampiri isterinya.
Lie-si amat terkejut ketika mendengar ada yang memanggil dirinya.
Ketika melihat yang menghampirinya adalah suaminya, ia
memperlihatkan sikap gelisah.
"Kenapa kau? Sudah tak mengenaliku lagi?", tanya Toa Hok.
Kala itu Siao Yun dan Siao Tin lari mendatangi : "Bu, ayah pulang".
Mendengar itu, Lie-si baru mengembangkan senyum : "Baru kembali
kau!?"
"Apa yang telah terjadi sebenarnya?", tanya Toa Hok lagi, "baru akupergi beberapa hari, keadaan rumah jadi berantakan begini ...."
"Baru saja pulang sudah menyalahkan", sang isteri memperlihatkan
sikap kurang senang.
Toa Hok tak ingin bertengkar dengan isteri di hadapan anakanaknya.
"Sudahlah, tolong kau siapkan makanan", ujarnya kemudian.
Kedua anaknya berjingkrak kegirangan, berkata: "Telah lama kami
tidak makan, Yah!"
"Apa?", Toa Hok amat terperanjat.
"Dasar anak rakus, bukankah tadi pagi kalian sudah makan? Lupa
ya!?".
Keduanya tak berani bersuara lagi.
Toa Hok menduga, pasti ada sesuatu yang tidak beres, tapi karena
dia baru kembali, tak ingin banyak bicara, menarik tangan kedua
anaknya : "Mari kita bermain-main di ruang tamu".
Setiba di ruang tamu, kedua anaknya tetap berdiam diri.
"Lihat! Ayah membawakan oleh-oleh untuk kalian", kata Toa Hok.
Pada waktu-waktu yang lalu, mereka selalu berjingkrak kegirangan
bila sang ayah membawakan oleh-oleh. Tapi kala itu. mereka tetap
bungkam.
Baru beberapa hari Toa Hok pulang, entah telah berapa kali dia
bertengkar dengan isterinya.
Dia mendapatkan kenyataan, bahwa isterinya telah berobah.
Sebelumnya, Lie-si adalah isteri yang baik, sayang anak dan
menyintai suami. Namun belakangan dia telah menjadi wanita yang
mau menang sendiri, malas mengurus rumah tangga.
Demi anak, Toa Hok terpaksa mengerjakan sendiri urusan rumah
tangga.
"Apa yang telah terjadi sebenarnya?", tanya Toa Hok lagi, "baru aku
pergi beberapa hari, keadaan rumah jadi berantakan begini ....""Baru saja pulang sudah menyalahkan", sang isteri memperlihatkan
sikap kurang senang.
Toa Hok tak ingin bertengkar dengan isteri di hadapan anakanaknya.
"Sudahlah, tolong kau siapkan makanan", ujarnya kemudian.
Kedua anaknya berjingkrak kegirangan, berkata: "Telah lama kami
tidak makan, Yah!"
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa?", Toa Hok amat terperanjat.
"Dasar anak rakus, bukankah tadi pagi kalian sudah makan? Lupa
ya!?".
Keduanya tak berani bersuara lagi.
Toa Hok menduga, pasti ada sesuatu yang tidak beres, tapi karena
dia baru kembali, tak ingin banyak bicara, menarik tangan kedua
anaknya : "Mari kita bermain-main di ruang tamu".
Setiba di ruang tamu, kedua anaknya tetap berdiam diri.
"Lihat! Ayah membawakan oleh-oleh untuk kalian", kata Toa Hok.
Pada waktu-waktu yang lalu, mereka selalu berjingkrak kegirangan
bila sang ayah membawakan oleh-oleh. Tapi kala itu. mereka tetap
bungkam.
Baru beberapa hari Toa Hok pulang, entah telah berapa kali dia
bertengkar dengan isterinya.
Dia mendapatkan kenyataan, bahwa isterinya telah berobah.
Sebelumnya, Lie-si adalah isteri yang baik, sayang anak dan
menyintai suami. Namun belakangan dia telah menjadi wanita yang
mau menang sendiri, malas mengurus rumah tangga.
Demi anak, Toa Hok terpaksa mengerjakan sendiri urusan rumah
tangga.
Suatu ketika, Toa Hok mendusi pada tengah malam, didapati
isterinya tak ada di ranjang.
Toa Hok ke dapur, juga tak melihat isterinya di situ.Sewaktu memandang ke luar melalui jendela dapur, didapati
isterinya berada di bawah pohon bambu.
"Sedang apa dia di situ pada tengah malam begini?", kata hati Toa
Hok.
Diam-diam Toa Hok menghampiri isterinya, terlihat Lie-si
mengarahkan pandang ke tanah, tak bergeming tubuhnya.
"Nio-cu!", panggil Toa Hok sambil memegang bahu sang is
teri.
Tergetar tubuh Lie-si mendengar panggilan itu.
Hampir saja Toa Hok berteriak kaget. Ternyata, pada saat itu wajah
sang isteri amat menyeramkan, tapi dalam sekejap telah kembali ke
wajah aslinya.
Toa Hok mengira matanya yang lamur, ucapnya : "Di luar dingin Nio-
cu, mari masuk!"
Lie-si yang melihat suaminya belum tahu siapa dirinya yang
sesungguhnya, mengikuti sang suami masuk.
Setelah berbaring di ranjang, di hati Toa Hok tetap diliputi tanda
tanya, kenapa isterinya jadi begitu? Ini pasti ada sesuatu yang tidak
beres!
Juga kenapa isterinya sering pergi ke halaman belakang? ---
Setelah diselidiki, Toa Hok berhasil menemukan sesuatu yang
menambah kecurigaannya.
Ternyata Lie-si sering keluar pada tengah malam, menuju ke halaman
belakang dan selalu berdiri di bawah pohon bambu.
Pada suatu hari, Toa Hok memberanikan diri, bertanya : "Nio-cu,
kenapa kau selalu mengawasi tanah di bawah pohon bambu?"
"Tidak .... apa-apa", sahut Lie-si gugup. "Di dalam tanah itu pasti
tersimpan rahasia!" "Tidak", kata Lie-si sambil berlari masuk. Toa
Hok bertekad untuk mengungkap persoalan.Keesokan harinya, Toa Hok menyuruh orang untuk menggali tanah di
bawah pohon bambu.
Tapi, baru saja pekerja itu akan menggali tanah, telah muncul Lie-si,
memakinya : "Siapa kau? Sungguh berani kau ke mari tanpa
seizinku!"
Tuan .... yang menyuruh saya ke mari", si pekerja sangat terperanjat.
"Enyah kau!"
Toa Hok menghampiri mereka ketika mendengar suara ribut-ribut.
"Akulah yang menyuruhnya ke mari", katanya, "kenapa kau
mengusirnya?"
"Apa maksudmu menyuruhnya menggali tanah!?", sang isteri balik
bertanya, amat marah.
Toa Hok tak menghiraukannya, berkata pada si pekerja : "Galilah
terus!"
Mulailah pekerja itu menggali tanah. Tiba-tiba Lie-si berteriak.
Si pekerja mengangkat muka ketika mendengar teriakan itu, tiba-tiba
saja dia jatuh pingsan.
Toa Hok berpaling, dilihatnya wajah isterinya telah berobah jadi
sangat menakutkan.
"Kau .... kau ...." "Ha, ha, ha, ha ...", sang isteri tertawa.
Toa Hok jadi ketakutan, masih mujur baginya, karena kejadian itu
pada siang hari, hingga dalam waktu singkat si hantu telah lenyap
dari pandangnya.
Toa Hok menyadari, bahwa persoalan ini tak dapat dibiarkan
berlarut-larut, segera mengajak kedua anaknya ke Vihara yang
terletak beberapa li dari rumahnya, pasang hio di situ.
Hweshio (Padri) tua rupanya telah arif akan kedatangan Toa Hok,
berkata: "Kejahatan takkan dapat mengalahkan kebenaran. Isteri Sie-
cu menjadi hantu pasti ada sebabnya. Kita harus menemukansumbernya, agar si hantu tidak sampai mencelakai orang".
Toa Hok melihat wajah isterinya telah berobah jadi sangat Menakutkan."Lalu apa yang harus saya lakukan, Loo Suhu!?", Toa Hok amat
cemas.
"Bukankah kau telah menyuruh orang untuk menggali ta
nah?"
"Benar Suhu".
"Aku akan ke rumah Sie-cu untuk membaca mantera dan Sie-cu
supaya menyuruh orang untuk menggali tanah, dengan begitu si
hantu takkan dapat berbuat apa-apa lagi".
"Terima kasih Suhu". Sang Padri ikut ke rumah Toa Hok.
Toa Hok memanggil seorang pekerja lain untuk menggali tanah di
bawah pohon bambu.
Baru saja orang itu menggali tanah, Lie-si telah muncul lagi,
bermaksud mencakarnya.
Pekerja itu lari terbirit-birit.
Terpaksa Toa Hok yang turun tangan sendiri, meneruskan pekerjaan
itu.
Sang Padri segera membaca mantera, Lie-si tak dapat mendekati Toa
Hok, membuatnya sangat gugup.
Setelah menggali sampai sedalam satu elo, pacul yang dipakai Toa
Hok membentur tulang belulang.
Lie-si menjerit, lalu jatuh pingsan. "Kiranya demikian", kata si Padri
tua.
"Apa yang telah terjadi sesungguhnya, Loo Suhu?", tanya Toa Hok.
"Lekas kau usahakan agar isterimu segera siuman dari pingsannya!"
"Ia ....", Toa Hok ragu. "Cepat!" Toa Hok menuruti perintah.
Tak lama Lie-si siuman, sejenak menatap Toa Hok, kemudian berseru
kaget : "Apa yang telah terjadi!? Kapan kau kembali? Kenapa ada Loo
Suhu di sini?"Hweshio tua itu menghampiri Lie-si seraya berkata :
"Silakan bangun, Sie-cu".Lie-si menjerit, lalu jatuh pingsan.Lie-si berdiri dengan perasaan tak tenang.
"Masih ingatkah kau, apa yang terjadi sebelum kau jatuh pingsan?",
tanya si Hweshio tua.
Lie-si berusaha mengingat-ingat : "Seperti .... pada suatu siang, kala
itu anak-anak sedang tidur, saya ke mari untuk mengambil kayu
bakar .... tiba-tiba saya terpeleset .... selanjutnya .... begitu saya
siuman, melihat kalian berada di sini".
"Ya", kata Hweshio tua itu, "kala itu ada hantu yang merasuki dirimu,
hingga kau tak tahu apa yang kau lakukan!"
**Pantas, beberapa waktu belakangan ini, saya selalu gelisah, tak
tenang hidup saya", kata Lie-si.
"Apa yang sesungguhnya terjadi, Loo Suhu?", sela Toa
Hok.
"Bila melihat tulang-belulang ini, peristiwa itu kemungkinan terjadi
seratus tahun yang silam, seseorang telah mati penasaran,
membuatnya jadi setan gentayangan!"
"Lalu apa yang harus kita lakukan selanjutnya?"
"Serahkan segalanya padaku, akan kubawa tulang belulang ini ke
Vihara, menyembahyanginya, agar nantinya dia dapat menitis
kembali. Kemudian baru aku perabukan".
Toa Hok menyumbang peti mati dan sejumlah uang untuk biaya
sembahyang bagi arwah orang yang mati penasaran itu.
Sang Padri pamit.
Kehidupan keluarga Toa Hok kembali tenang dan harmonis seperti
sedia kala.
________________BIDADARI DAN RATU
Menurut cerita, Dewa Matahari dan Dewi Bulan adalah kakak
beradik.
Ibu mereka, Dewi Wei La, banyak dipuji dan dikagumi manusia,
karena telah melahirkan putera-puteri yang tampan dan cantik.
Di siatu daerah, terdapat sebuah pulau kecil, yang diperintah oleh
seorang Ratu.
Ratu itu mempunyai 7 orang putera dan 7 puteri.
Segenap putera dan puteri itu, bukan saja tampan dan cantik, juga
sangat cerdik dan cekatan.
Keadaan itu telah membuat sang Ratu jadi sangat sombong, selalu
mengatakan : "Apa sih hebatnya Bidadari Wei La, dia hanya memiliki
dua anak, sedangkan anakku berjumlah 14, tak kalah dari Dewa
Matahari dan Dewi Rembulan".
Kesombongan sang Ratu sempat terdengar oleh Dewi Wei La,
menjadikan perasaannya kurang enak dan berkata di dalam hati :
"Apa sih hebatnya manusia biasa?"
Hari itu merupakan hari kelahiran Dewi Wei La, seluruh rakyat di
pulau yang diperintah sang Ratu menyiapkan sajian untuk ikut
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merayakannya.
Hati sang Ratu kurang senang menyaksikan keadaan itu, segera
menunggang kuda, menuju ke lapangan tempat perayaan
dilangsungkan, berkata kepada rakyatnya : "Dengar rakyatku! Apa
sih kehebatan Bidadari itu? Dia hanya memiliki dua anak, sedangkan
aku mempunyai 14 anak, yang rata-rata tak kalah cantik dan tampan,
juga dari segi ketangkasan! Maka apa gunanya kalian memujanya?"
Goyahlah kepercayaan rakyatnya terhadap Dewi Wei La setelah
mendengar kata-kata sang Ratu.
"Tepat sekali kata-kata Ratu kita, putera puterinya yang berjumlah14 itu memang tidak kalah dari anak sang Bidadari!", ucap salah
seorang rakyat.
"Kalian tak perlu memuja Bidadari itu lagi", suara sang Ratu
Dewi Bulan dan Dewa Matahari turun ke dunia.jauh lebih keras dari sebelumnya, "aku lebih dekat dengan kalian.
Dari pada kalian memohon padanya, lebih baik memohon padaku,
pasti lebih besar manfaatnya.
"Hidup Ratu! Hidup Ratu!"
Penduduk pulau itu tidak lagi mau menyembah Dewi Wei La, malah
mulai mengelu-elukan sang Ratu.
Dewi Wei La hampir pingsan saking dongkolnya ketika me: nyaksikan
keadaan itu, berkata kepada kedua anaknya : "Belum pernah ada
orang yang demikian menyakiti hatiku. Benarbenar sudah
keterlaluan ulah Ratu itu".
Dewa Matahari segera berkata pada ibunya: "Akan kubalaskan sakit
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama