Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Gunung Gajah 2

Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar Bagian 2



menengadahkan mukanya kelangit, seakan-akan mencari kenangan-kenangan hidupnya pada awan

yang berarak atau matahari yang sedang doyong ke Barat.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

32

Kolektor E-Book

"Teger."

"Bagaimana Cundrik?"

"Maukah kau pulang ke Telagasona?"

"Aku sudah punya Blimbingwuluh Cundrik? Bagaimana anak-anak murid itu jika

kutinggalkan..."

"Baiklah tidak untuk selamanya. Tetapi setahun atau sebulan atau seminggu atau sehari atau

sejam!"

Mendengar kalimat yang berapi-api dari Dewi Cundrik, Kiai Teger agaknya jadi bimbang.

Ada sesuatu yang terbangkit dari dalam dasar hatinya ketika mendengar kalimat yang begitu

macam. Ya, kenangan tentang sikap Dewi Cundrik yang serba riang gembira. Sikap Dewi Cundrik

yang manja tapi keras hati. Tapi itu dulu. Dulu semuanya terjadi! Kenangan itu sudah terpendam,

bersama tenggelamnya masa demi masa.

"Sejampun kau tak sudi menginjak tanah Telagasona. Teger! Biarlah aku menbunuh diri

sekarang!"

Bersamaan dengan ucapannya itu. Dewi Cundrik telah mengayunkan tangan sendiri dengan

jari-jari terbuka seperti cakar, dijojohkan kearah leher.

"Tapi" Tangan Kiai Teger sempal menangkap pergelangan tangan Dewi Cundrik sehingga

maksud si wanita untuk membunuh diri itu dapat digagalkan. "Tak perlu kau berputus asa Cundrik"

kata Kiai Teger mengandung nada kasihan.

"Kau tak perduli atas hidup dan matiku?"

"Jangan membunuh diri Cundrik. Aku tentu akan menyambangi istanamu..."

Seketika Dewi Cundrik melonjak gembira sambil berseru-seru :

"Kita kawin Teger! Kakandaku, sejampun cukup hahagia bagiku?"

Kiai Teger menggelengkan kepalanya.

"Bukan kawin Cundrik..... Aku akan menyambangi istanamu, sebagai seorang kakak yang

beranjangsana kerumah adiknya."

Kegembiraan Dewi Cundrik yang tadi terpancar dari matanya yang bersinar-sinar, tiba-tiba

lenyap bertukar dengan kekecewaan dan kemarahan. Lalu dengan suara mengandurg kebencian

wanita itu berkata :

"Betul-betul kau takkan sudi memperistrikan diriku Teger, walaupun hanya untuk sejam?"

Kiai Teger menjawab gagap.

"Persaudaraan yang tulus ikhlas jangan dikotori dengan nafsu Cundrik. Aku terlanjur

mencintaimu sebagaimana seorang kakak kepada adik masakah aku tega mengawinimu?"

"Bagus. Bicara ngalor ngidul, kesimpulannya toh kau masih tergila-gila pada Lastari yang

sudah modar! Tapi baiklah Teger. Kau tidak mencintaiku sebaliknya aku mencintaimu sepenuh

hatiku! Sekarang kau sudi mengunjungi tempat tinggalku hanya untuk sejam. Terima kasih Teger,

terima kasih atas budi kebaikanmu. Mari berangkat!"

"Jangan sekarang! Aku harus memberitahu pada murid-muridku!"

"Hmm" Dewi Cundrik menggeram dongkol. "Alasan lagi! Bilang saja kau membatalkan kata-

katamu tadi Teger!"Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

33

Kolektor E-Book

Kiai Teger terdiam. Betapapun juga dia adalah seorang laki-laki sehat dan manusia biasa.

Sikap manja dan merengek ngambul seperti dilakukan oleh Dewi Cundrik itu tentu saja

menggoyahkan hatinya. Dan setelah memikir sejenak laki-laki itu menjawab :

"Baiklah Cundrik! Mari kita pergi sekarang!"

"Untuk apa?" Tanya Cundrik tiba-tiba.

Kiai Teger keheranan.

"Dijalan tentu kau akan mengajukan banyak alasan lalu mernbatalkan maksudmu!"

"Habis dengan cara apa aku harus membuatmu percaya Cundrik?"

"Kugendong kau!"

Kiai Teger tersenyum sedih.

"Kau masih seperti dulu Dewi! Mana pantas gendong-gendongan, kita sudah tua Cundrik!"

"Bilang saja tidak mau kenapa pakai malu apa segala!"

"Ya sudahlah, sekehendakmulah Cundrik..."

Begitu selesai Kiai Teger mengucapkan kata-katanya itu maka Dewi Cundrik telah merangkul

Kiai Teger untuk menggendongnya. Sama sekali guru itu tidak menyadari bahwa pancaran mata

Dewi Cundrik berubah dari sinar kecewa menjadi kebencian yang menyala-nyala.

Dan Kiai Teger menyadari adanya suatu muslihat keji bila ia merasa ada sesuatu yang

menyakitkan yang menyelusup kedalam daging pinggangnya.

"Apa yang kau lakukan Cundrik?" Tegur Kiai Teger kaget.

Tapi terlambat sudah sebab secepat itu Kiai Teger menegur, wanita itu telah melemparkan

guru itu dari gendongannya. Kiai Teger terguling diatas tanah berumput. Ketika ia berusaha untuk

bangkit berdiri maka separuh tubuhnya sebelah kiri telah kaku atau lumpuh sama sekali.

"Jarum berisi racun pacet wulung telah kutancapkan dipinggangmu Teger. Katanya sekali

lagi, maukah kau mengawini diriku?" Kata Dewi Cundrik dengan pandang mata mengandung

kebencian.

Kiai Teger mengeluh dalam hati. Menyesalpun tak ada gunanya kini sebab muslihat keji Dewi

Cundrik telah membuatnya tak berdaya. Maka guru itu hanya memandang kecewa kearah si wanita

tapi sikapnya penuh teguran.

"Tak mungkin aku mengawinimu Cundrik. Kau adalah adik angkatku!"

"Tak perlu pakai angkat-angkat apa segala! Pokoknya kau tak sudi menjadi suamiku maka

kau harus menanggung akibatnya. Kau sudah mengenal watakku bukan? Aku adalah seorang bocah

yang pernah menyuruh orang menghancurkan wajah Lestari karena ia memiliki wajah cantik

melebihi diriku. Akan kuhancurkan semua yang ingin kumiliki tapi tak bisa. Kau harus mati

menyusul lonte Lestari itu!"

Kiai Teger menghela napas. Sedang Dewi Cundrik bersikap baik saja laki-laki ini tak mau

mengawini apalagi sekarang bila telah dirasakan akal keji wanita itu. Dengan suara keras Kiai

Teger menjawab :

"Mau bunuh. bunuhlah aku Cundrik!"

"Tidak mudah begitu saja Teger! Setelah memalingkan muka kearah semak-semak maka

Dewi Cundrik berseru : "Jagabaya goblok! Bawa manusia hina ini!"

Begitu suara Dewi Cundrik berkumandang maka dari dalam belukar tampak meluncur keluar

Jagabaya Karangsari yang menunggangi kuda si Demung.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

34

Kolektor E-Book

"Teger! Sekali lagi kutanyakan maukah kau mengawiniku? Racun jarum itu akan

menghancurkan daging dan tulangmu sampai membusuk! Hanya aku yang memiliki obat

penawarnya!"

Kiai Teger menjawab tegas :

"Biarlah aku mati membusuk karena racun jarummu, Cundrik!"

"Seret!" Seru Dewi Cundrik kemudian, seraya memperdengarkan suara ratapan yang

meringkik. Wanita itu mengangkat mukanya, punggungnya bergerak-gerak melukiskan tangis pedih

yang sengaja ditahan.

Kiai Teger tak dapat melawan ketika Ki Jagabaya Karangsari meringkusnya, mengikat

seluruh tubuhnya dengan tali kulit, kemudian dengan mempergunakan sebuah tali dadung yang

besar Ki Jagabaya mengikat tubuh guru itu pada pinggang kuda sedemikian rupa sehingga apabila

kuda itu berlari maka tubuh Kiai Teger akan terseret sepanjang jalan.

"Tegeeeeer." Dewi Cundrik berteriak sangat keras seperti orang kesetanan.

"Hanya Tuhan yang Maha Tahu..." hanya itulah jawaban Kiai Teger yang kemudian

memejamkan matanya untuk menerima nasib.

"Pergi! Pergi semua..." Teriak Dewi Cundrik pula.

Segera Ki Jagabaya naik kepunggung kuda. Cambuknya bergetar diudara maka kuda itupun

melompat maju, berlari kencang mencongklang. Dari dalam belukar tampak Kebo Sulung berlarian

mengejar Ki Jagabaya, ayahnya. Pemuda itu sadar bahwa perintah pergi oleh gurunya itupun

dialamatkan kepada dirinya.

Bersamaaan dengan kuda Ki Jagabaya yang berderap lari dan menyeret tubuh Kiai Teger

diatas jalan, maka Dewi Cunchik memperdengarkan suara lengkingan nyaring yang mirip suara

tawa tetapi juga suara ratapan. Dan tubuh wanita itu akhirnya berkelebat pergi untuk menjumpai

Joko Bledug yang masih terikat didalam semak belukar.

Demikianlah liku-liku dan anehnya cinta yang tumbuh bertunas dihati manusia. Cinta itu suci

apabila didalamnya tanpa terkandung rasa pamrih atau nafsu pribadi. Yaitu nafsu untuk mendapat

kesenangan sendiri, kenikmatan sendiri dan nafsu untuk berbahagia sendiri.

Kebanyakan manusia awam mendengungkan kata cinta dalam pengertian ingin memiliki,

memiliki sesuatu memiliki barang yang dicintai itu. Apabila seorang perjaka ingin memiliki seluruh

milik kekasihnya maka ia akan berkata : "aku cinta padamu..." padahal sebenarnya hal itu lebih

tepat dikatakan : "aku cinta diriku sendiri..."

Jenis cinta yang demikian adalah sebenarnya cuma nafsu belaka. Bila tidak sampai pada

keinginannya menyalurkan nafsu dijalan yang dimaksud maka cintanya berubah jadi kebencian

sebagaimana yang dimiliki Dewi Cundrik.

Betulkah wanita itu mencintai Kiai Teger? la mencelakakan laki-laki itu karena ia tidak

berhasil memilikinya. Ia menangis dan bersedih kecewa dan mendendam, karena laki-laki itu tidak

mau mengabulkan keinginan "cintanya" walaupun sejam! Jadi wanita itu menangisi dirinya sendiri,

mengecewai dirinya sendiri ataukah menyedihi dirinya sendiri.

Begitulah, cinta yang memyembunyikan nafsu ingin memiliki sebenarnya adalah rasa cinta

diri belaka! cinta kepada diri sendiri! Sebab einta yang sebenarnya adalah suatu hasrat yang suci

yang menimbulkan keinginan untuk berkorban demi barang yang dicintainya itu.

Cinta seorang ibu kepada anaknya, adalah bentuk pengorbanan jasmani dan rohani seorang

wanita yang diberikan kepada seorang manusia yang pernah dilahirkannya.

Cinta seorang partisan kepada bumi tanah airnya, adalah ujud pengorbanan seorang putra

pertiwi yang berbentuk jiwa ataupun raga yang diserahkan untuk tanah airnya bila tanah air itu

menderita "lara".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

35

Kolektor E-Book

Cinta manusia kepada alam, adalah lukisan sebuah pengorbananan berbagai ragam bentuk,

tenaga dan pikiran dan segala-galanya demi kesegaran alam ataupun keindahan alam yang abadi,

walaupun dia harus mengucurkan keringat darah.

Begitulah... cinta yang tulus dan suci dari seorang perjaka baru dapat dikatakan apabila

seorang perjaka dengan tulus ikhlas membiarkan gadis yang dicintainya itu mencari jalan bahagia

dengan caranya sendiri.

Bolehkah disebut cinta murni apabila si Dul menjadi gila karena mendengar Minah gadis

yang dicintainya itu memilih kawin dengan juragan Anen yang kaya raya misalnya?

Baiklah, kita takkan menenggelamkan diri dalam pengertian cinta yang penuh liku-liku dan


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


keganjil-ganjilannya. Kita kembali pada Joko Bledug yang kini berada dalam kempitan Dewi

Cundrik dibawa menuju kearah Telagasona yaitu tempat tinggal Dewi Cundrik.

Sebenarnya saat ini Joko Bledug sudah tidak berada dalam pengaruh totokan sakti wanita itu.

Akan tetapi si bocah belasan tahun itu tidak dapat menggerakkan badannya karena kempitan lengan

Dewi Cundrik begitu kuat menjepit seperti jepitan tang baja saja.

Malam itu Dewi Cundrik berlarian tanpa berhenti, sambil kadang-kadang mulutnya

memperdengarkan suara lengkingan-lengkingan nyaring yang memekakkan telinga.

Selama perjalanan itu sama sekali Dewi Cundrik tidak memberi kesempatan Joko Bledug

untuk berbicara atau meluruskan punggung. Secara terus menerus berlari dan melompati kali-kali,

mendaki bukit ataupun menerabas hutan.

Apabila tiba waktunya makan maka Dewi Cundrik menjejalkan makanan kemulut si bocah

meminuminya sekaligus. Bila datang waktunya mandi maka Dewi Cundrik akan membenam-

benamkan tubuh si bocah beberapa saat kedalam air sungai.

Bukan main tersiksanya Joko Bledug. Bocah itu bersedih hati bukan karena memikirkan

pengalaman sedih bagi dirinya akan tetapi ia ingat pada perguruan, ingat pada ayah yang sangat

dicintainya.

Akhirnya si bocah tak tahan untuk diam. Katanya :

"Dewi Cundrik! Kau kemanakan pusaka tongkat pancaloka kami? Dan dimanakah ayahku

sekarang?

Dewi Cundrik cuma mendengus belaka.

"Aku percaya kau bersama muridmu tentu sudah! dihajar sungsang sumbel oleh ayahku!" Si

bocah terus berkata memancing-mancing. Namun Dewi Cundrik benar-benar tidak mau

menggubris.

"Kemarin kudengar kau memaki ayahku. Padahal kalau sudah ketemu mustahil kau tidak

tergila-gila pada ayahku yang masih tampan itu.. "

Kata-kata ini sebenarnya diucapkan oleh Joko Bledug dengan maksud mengejek dan

memancing kemarahan Dewi Cundrik. Siapa duga begitu mendengar kata-kata si bocah tiba-tiba

Dewi Cundrik memperdengarkan suara terisak.

"Nah kau menangis karena ayahku tentu tak sudi melihat mukamu yang buruk seperti setan

itu!"

"Diam!" Bentak Dewi Cundrik dengan suara mengguntur. Sementara itu, tangannya yang

menjepit pinggang si bocah dikeraskan sehingga si bocah merasa seakan pinggangnya mau patah.

"Dia tampan memang tapi pengecut. Pengecut sialan! Pengecut berhati busuk!"

"Siapa berhati busuk? Siapa pengecut? Kau yang busuk, kau yang pengecut, beraninya

mengganggu anak kecil sererti aku! Joko Bledug girang sekali bila ternyata ia telah berhasil

membuat Dewi Cundrik mau bicara. Setidak-tidaknya ia ingin memancing berita mengenai nasib

ayahnya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

36

Kolektor E-Book

"Teger jahanam pengecut? Biar dia mati. Biar dia mampus..."

"Bagaimana ayahku?"

"Dia harus mampus!"

"Mengapa ayahku harus mati?"

"Pengecut harus dihukum mati! Dia telah membuat hatiku keracunan cinta. Setelah sekarang

sekian tahun lamanya aku merindu, dia masih tetap secara pengecut menghindari tanggung jawab!"

Joko Bledug tidak begitu paham mengerti artinya cinta maupun tanggung jawab. Akan tetapi

samar-samar, bocah yang berotak cerdik itu dapat meraba bahwa wanita itu tentu mempunyai

hubungan luar biasa dengan ayahnya. Terpikir hal yang demikian maka semakin bersemangatlah si

bocah memancing berita.

"Tidak ada orang yang mampu menghukum mati. Dia terlalu bijaksana dan berbudi! Setiap

manusia mencintai dan menghormati, kecuali manusia busuk sepertimu!"

"Iya memang aku manusia busuk, kau mau apa? Kalau tidak masakah Teger jahanam itu

menolak tanggung jawabnya? Biar dia merasakan betapa pedihnya dikamar siksa sebagaimana

hatiku tersiksa oleh pedihnya cinta yang ditolak!"

Wah, wah, wah runyem. Makin didengarkan makin ruwet urusan. Si bocah tentu saja tidak

pernah mengetahui ada hubungan bagaimana antara wanita itu dengan ayahnya, sebab ayahnya

tidak pernah sekalipun menceritakan rahasia dirinya.

Tapi, sama-sama si bocah dapat menduga bahwa ayahnya tentu telah mengalami bencana.

Memikir hal yang demikian teriris rasanya hati si bocah, dan dengan suara serak ia menanya :

"Kau apakan ayahku?"

"Kuserahkan kekamar siksa! Biar dirasakan! Biar dirasakaaann!" Setelah menjerit demikian,

maka Dewi Cundrik sungguh-sungguh menangis. Suara tangisnya nyaring dan lepas, seperti suara

lengkingan seruling.

"Tetapi selanjutnya wanita itu sudah tak mau bicara lagi. Menangis dan menangis terus, Kalau

si bocah mengajaknya bicara lagi, selekasnya wanita itu mengeraskan kempitannya dan si bocah

harus tahan napas menekan rasa sakit.

Sore hari, pada hari yang ketiga mereka telah tiba dikaki gunung Slamet. Dan perjalanan kini

mulai mendaki benar.

Jalan yang ditempuh hanyalah jalan setapak yang licin dan dipagari sebelah kanan kiri oleh

hutan belantara. Joko Bledug berusaha untuk mengingat-ingat jalan yang ditempuhnya tadi, tetapi

sia-sia. Agaknya Dewi Cundrik sengaja menerabas hutan belukar agar sulit dikenali jalan-jalan

yang bekas dilaluinya.

Tepat ketika senjakala turun melingkupi bumi maka mereka telah tiba pada sebuah lereng

gunung yang sempit. Jalanan berbatu dan mendaki seperti batang pohon. Kanan kiri, merupakan

dinding gunung terdiri dari batu-batu cadas yang keras. Dengan berloncat-loncatan akhirnya Dewi

Cundrik dapat juga sampai keatas.

Persis pada pertengahan jalan mendaki itu, jalan itu putus sama sekali, karena adanya

sebidang telaga yang airnya hitam berminyak menyeramkan.

Si bocah memandang keliling. Dalam hatinya mengalah. Apabila telah melewati telaga,

agaknya orang tak mungkin dapat keluar lagi, sebab dinding kanan kiri sangat terjal dan berbatu-

batu karang, sedangkan telaga itu agaknya ada apa-apanya.

Persis si bocah tiba pada dugaan yang demikian maka Dewi Cundrik telah berhenti berlari,

lalu berkata :Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

37

Kolektor E-Book

"Lihatlah itu, telaga pacet istana Telagasona! Sebenarnya aku ingin sekali melihat kau

dikerubut pacet (lintah) hingga mati karena kehabisan darah. Percuma saja kau dibiarkan tambah

gede, sebab tak urungan juga akan mati kupelintir lehermu!"

Joko Bledug memandang kedepan. Bergidik ia, ketika ternyata bahwa yang tadi kelihatan

berwarna hitam berminyak itu kiranya adalah tubuh lintah yang bergerak-gerak menjijikkan. Begitu

padat dan banyaknya lintah hitam itu terapung diatas air, sehingga seluruh permukaan air seakan

tertutup sama sekali.

"Maukah kau mati dikoroyok lintah?"

Kalau ditanya begitu tentu saja tak seorangpun yang mau mati dengan cara yang sangat

mengerikan itu. Melihat tubuh lintah yang berdempet-dempet itu saja, rasanya sudah mengkirik

bulu kuduk, apa lagi digigiti oleh mereka.

"Hai kau dengar? Maukah kau mati dikeroyok lintah?" Seru Dewi Cundrik mengulangi

pertanyaannya.

"Kalau mau mudah saja aku akan menceburkan dirimu kedalam telaga itu, dan dalam tempo

kurang dari lima menit tentu bangkaimu akan terapung dan hitam seperti lintah itu!"

"Kalau tidak mau?"

"Kalau tidak mau, kau harus menerima syaratku!"

"Katakanlah syaratmu Dewi?" Dalam hati si bocah mengharap mudah-mudahan syarat wanita

itu tidak ada hubungannya dengan lintah-lintah yang mengerikan itu.

"Syaratnya, kau harus mengawini diriku..."

Bukan main terkejutnya si bocah. Memang harapannya terkabul tidak dijerumuskan kedalam

telaga lintah akan tetapi mengawini wanita setan itu? Pernah terlintas sekalipun tidak, pikiran

gendeng semacam itu pada benak si bocah. Sedang melihat mukanya saja sudah jijik seperti melihat

lintah-lintah itu ba gaimana ia harus mengawini?"

"Gila! Kau perempuan gila! Aku tidak mau!" Jawab si bocah dengan suara teriakan yang

gemetar.

"Bagus! Kaupun memilih mampus seperti bangsat Teger! Boleh kau merasakan betapa

nikmatnya nanti digigiti oleh lintah yang kelaparan itu!"

Kalau dikatakan lintah kelaparan itu memang benar. Binatang-binatang itu selamanya jarang

mencium bau darah manusia, kecuali Dewi Cundrik satu-satunya orang yang pernah menyebrangi

telaga itu. Sebab begitu ada dua orang manusia ditepi telaga seketika binatang-binatang itu

menggeliatkan badannya yang kempes sambil mengangkat-angkat kepalanya ketengah udara seperti

kuda kehausan.

"Bagaimana?" Tanya Dewi Cundrik menyeringai.

Tergetar tubuh si bocah menghadapi pergolakan bathin. Mungkinkah ia harus menerima

kehinaan mengawini wanita setan itu, wanita yang telah mencelakai ayahnya? Apa itu kawin?

Mengerti duduknya urusan juga tidak. Maka si bocah lantas mengeraskan hatinya dan menjawab :

"Tidak sudi...!"

"Bagus !" Dan Dewi Cundrik menurunkan tubuh si bocah dari kempitannya setelah

sebelumnya menotok si bocah lebih dulu.

Joko Bledug didekatkan ketepi telaga. Dan ampun hampir saja si bocah menjerit saking

ngerinya. Lintah-lintah itu berloncatan ke udara sampai terdengar suara berdesis-desis. Betapa

garang dan buasnya mereka, Joko Bledug melihatnya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

38

Kolektor E-Book

"Hanya dengan sekali lempar maka kau akan melolong-lolong seperti orang mati dipicis.

Setelah itu daging tubuhmu akan tercecer-cecer dijarah rayah oleh binatang-binatang itu"

Betapapun gagahnya semangat si bocah, dia adalah seorang bocah. Dan menghadapi bahaya

kematian yang sangat mengerikan itu seketika tumbuh rasa sedih dan takutnya. Diluar sadar

mulutnya mengeluh.

"Ya Allah! Maut macam apa ini?"

Dewi Cundrik tertawa cekikikan.

"Takut?"

Seumur hidup Joko Bledug tidak pernah kata takut. Ayah angkatnya selalu mendengungkan

kata-kata "takut karena salah, berani karena benar". Dan kini si bocah sadar bahwa ia tidak

melakukan kesalahan mengapa harus takut.

Maka pertanyaan wanita itu sesungguhnya hanyalah mengorbankan semangat kejantanan

bocah itu belaka. Seketika Joko Bledug menjawab mantap.

"Tidak! Tidak takut! Daripada mengawini wanita iblis sepertimu, lebih baik mati, dengan cara

apagun."

"Besar mulut! Biarlah kulihat bagaimana kau melolong-lolong minta ampun!"

Sehabis berkata begitu Dewi Cundrik lantas melepaskan tali pinggangnya dan

mengikatkannya ketubuh si bocah. Setelah itu diputar-putarnya tubuh si bocah dulu diudara seperti


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


kitiran.

Joko Bledug mengeraskan hatinya. Bayangan ayah angkat yang sangat dicintainya muncul

dimata seakan mengulang-ngulang nasihatnya. Berani karena benar, takut karena salah!

"Aku tidak takuttt...!" Pekik si bocah seraya meramkan mata.

"Masih ada kesempatan untuk memilih..."

"Tidak sudii...! Tidak sudii...!" Sesungguhnya si bocah telah bertekad bulat pasrah jiwa

raganya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Byuuurrr! Cuma sekali tubuh si bocah disambarkan kepermukaan air. Tetapi jumlahnya lintah

yang melekat ditubuhnya tidak akan kurang dari seratus ekor lintah yang kontan menggigiti kulit

daging bocah itu dengan sangat rakusnya.

Joko Bledug telah bulat-bulat pasrah diri pada nasib. Seluruh indera ditubuhnya dipadamkan

dan hanya satu keheningan cipta yang dicari yaitu mencari sinar penuh kasih sayang sejati yang

dapas dinikmati dengan nuraninya.

Dalam heningnya sang cipta itu dalam hati yang tulus ikhlas itu maka Joko Bledug seakan

melihat kehadiran gurunya yang tersenyum simpul sambil berseru-seru : "Anakku yang baik!

Anakku yang soleh! Orang yang berbudi adalah kesayangan Tuhan..."

Dan benar-benar Joko Bledug tidak merasakan sakitnya gigitan lintah-lintah buas itu yang

mengakibatkan kulitnya luka-luka dan mengucurkan darah. Bahkan yang terasa olehnya adalah

samar-samar seperti tangan ayahnya yang penuh kasih sayang itu sedang mengusap-usapi lengan

dan kakinya.

"Bocah celaka! Sekecil ini sudah sejahanam ayah angkatnya si Teger bangsat itu! Kepala

batu! Sombong! Sialan!"

Seraya mencaci maki kalang kabut seperti itu Dewi Cundrik menggerakkan tangannya

mengusap tubuh si bocah. Seketika sekalian lintah yang sedang rakus-rakusnya itu berpelantingan

jatuh dan mati kontan! Setumpukan lintah berkulit warna hitam merah berserakan ditanah. Lalu...Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

39

Kolektor E-Book

crat! Crat! Crat! Beberapa kali wanita itu menggerakkan kakinya maka sekalian lintah itu telah

hancur lebur.

Joko Bledug masih pingsan, berada dalam pondongan wanita itu. Dan kini Dewi Cundrik

menyingsingkan letak kainnya sehingga betisnya yang memang putih berkilau itu tampak bersinar-

sinar.

Dari dalam bajunya Dewi Cundrik mengeluarkan sebuah bungkusan kecil yang berisi bubuk

warna kuning. Bubuk itu lantas diurapkan pada kakinya. Barulah setelah itu Dewi Cundrik

melompat kedepan sambil tak lupa memperdengarkan suara lengkingannya yang meratap-ratap.

Apabila lompatan-lompatan Dewi Cundrik diperhatikan maka akan terlihatlah bahwa semua

gerakannya itu seakan-akan sudah diatur. Dua kali wanita itu melompat kedepan sejauh dua langkah

kemudian melompat kekiri dua langkah juga, lalu kekanan. Begitulah kedepan, kekiri dan kekanan,

lompatan-lompatan wa nita itu menurutkan cara yang tersendiri.

Pantaslah apabila jarang sekali ada orang yang mampu menyeberangi telaga itu. Sebab telaga

itu sebenarnya sangatlah dalam. Pada tempat-tempat tertentu tampak ujung batu yang berwarna

hitam sama dengan warna lintah itu sehingga kalau orang tidak seksama memperhatikan tak

mungkin ia akan dapat melihatnya.

Batu-batu tersebut memang Dewi Cundrik yang meletakkan dan menyusunnya secara rahasia.

Maka kiranya hanya wanita itu sajalah yang akan mampu menyeberangi dengan selamat.

Beberapa saat kemudian Dewi Cundrik telah keluar dari telaga pacet itu untuk kemudian

berlari cepat menuju kearah sebuah mulut guha.

Mulut guha itu kecil saja, hanya berukuran lima langkah penuh dengan tumbuhan merambat

yang menutupi sehingga orang sulit untuk menemukan tempat itu, karena hampir sama dengan

tempat-tempat disekitarnya.

Begitu menyingkap tumbuh-tumbuhan merambat itu. Dewi Cundrik terus menerobos masuk

kedalam suatu ruangan yang kiranya adalah sebuah Istana dibawah tanah, yang diterangi dengan

bokor? berisi nyala api.

Lantai guha (Istana) itu terbuat dari batu pualam yang halus berkilauan. Dinding guha juga

terbuat dari batu pualam yang diukir-ukir mirip bangunan yang indah milik keluarga raja-raja.

Lantai ruang itu luasnya kira-kira hampir ada setengah Bouw, yang terbagi-bagi dalam

beberapa ruangan kecil atau sekat. Ruangan kecil itu ada berpintu juga dan agaknya terkunci rapat.

Rupanya tidak hanya satu orang saja penghuni istana dalam guha itu.

Obor-obor yang menyala pada bokor-bokor kuningan itu memantulkan cahaya kemerahan

yang selalu bergerak-gerak, sehingga menyebabkan setiap bayangan dapat bergerak menakutkan.

Sunyi dan hening sekali, menyeramkan istana itu! Walaupun terbangun dari bahan yang serba

indah mengagumkan seperti itu, toh tidak melukiskan keindahan, bahkan sebaliknya yaitu

menyeramkan.

Joko Bledug telah dimasukan kedalam sebuah ruangan kecil yang pintunya lantas dikunci dari

luar. Setelah itu barulah Dewi Cundrik meninggalkan tempat itu untuk berjalan lesu menuju

kebelakang.

Entah berapa lamanya si bocah berada dalam keadaan pingsan, si bocah sendiri tidak dapat

menerkanya. Ia terjaga ketika kemudian terasa olehnya seluruh tubuhnya sangat panas, kepala

seperti mekar hendak meledak, dan seluruh tulang-tulang tubuhnya retak-retak.

Joko Bledug mencoba untuk menyadari diri. Diperhatikannya keadaan sekelilingnya, maka

terlihatlah olehnya bahwa ia berada dalam sebuah kamar yang sempit berukuran duakali satu meter

yang berlantai dari tanah yang selalu lembab!Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

40

Kolektor E-Book

Perlahan-lahan si bocah mulai dapat mengingat-ingat seluruh peristiwa yang telah menimpa

dirinya. Dan seketika ia bergidik ngeri setelah terpikir olehnya bahwa ia tentu berada dalam

tawanan wanita setan yang kejam itu.

Belum lama ia menderita dikeroyok oleh lintah-lintah, ia berharap akan mati. Kiranya tidak!

Nyatanya Joko Bledug sadar bahwa ia masih hidup. Hukuman apa lagi yang bakal diterimanya bila

wanita setan itu datang memaksanya lagi.

Tetapi Joko Bledug bocah gemblengan itu tetap bertekad bulat untuk tetap melindungi nama

baik perguruan BlimbingwuIuh dan nama baik ayah angkatnya.

Joko Bledug mencoba untuk bergerak. Ia terheran-heran ketika menyadari bahwa seluruh

tangan dan kakinya bahkan seluruh anggota tubuhnya dapat digerakkan bebas. Hanya ada gangguan

rasa panas dan sakit saja, itu tidak penting.

Segera timbulnya keinginan si bocah untuk melarikan diri. Teringat olehnya bahwa ayahnya

tentu sedang menghadapi ancaman hukum siksa. Entah hukuman siksa dimana saja tapi si bocah

harus dapat memberikan pertolongan. Setidak-tidaknya dapat melaporkan bahwa pusaka pancaloka

jimat perguruan telah dicuri oleh seorang wanita yarg bernama Dewi Cundrik bersama muridnya.

Tetapi baru saja si bocah sedang meneliti keadaan dan kemungkinan sekelilingnya, terdengar

olehnya suara kunci dibuka dan pintu ruangan itu segera menjeblak bersama munculnya Dewi

Cundrik diambang pintu.

"Sudah kau temukan jalan untuk melarikan diri?" Tanya Dewi Cundrik sambil tertawa

mengejek. "Apalah artinya... Joko Bledug bila aku membiarkan kau meninggalkan tempat ini?

Kemana kau hendak lari? Kedepan sana? Disana menunggu lintah-lintah kelaparan yang tak

terbilang banyaknya. Ketimur? Disitu terdapat dinding gunung yang menjulang tinggi dan terjal.

Setiap orang yang mencoba mendaki tebing itu selalu akan menjumpai kematian dengan tubuh

hancur dirobek-robek karang. Atau barangkali keselatan, mendaki punggung istanaku ini? Kesana

kau akan tejebak ke dalam kawah gunung yang panasnya menandingi api neraka. Barangkali

kebarat?" Wanita itu tertawa.

Lalu lanjutnya :

"Kearah barat memang lereng agak mudah didaki. Akan tetapi kau akan terjurumus kedalam

jurang yang dalamnya sama dengan tebalnya bumi ini. Semua jalan buntung kesana, berakhir

dengan mulut jurang, bahkan disitu diam seorang raksasa yang..... sudahlah. Barangkali kau

mengira mengomong bohong, lihatlah kubuka pintu ini untukmu!

Joko Bledug menatap wanita itu, seakan mencari jawaban atas pertanyaan yang timbul

dihatinya, ya itu benarkah tak ada jalan keluar?

Wanita itu justru seorang wanita setan yang tak mungkin dapat dibaca air mukanya kecuali

melukiskan kekejaman dan keseraman.

"Apakah tubuhmu terasa sakit-sakit dan panas?" Tanya Dewi Cundrik selanjutnya.

Joko Bledug tidak bermaksud menunjukan kelemahan banthinnya akan tetapi ia mengangguk.

"Lapar?" Tanya wanita itu Iagi.

Tentu saja. kata Joko Bledug dalam hati. Dapatlah dibayangkan betapa perih dan

keroncongnya perut si bocah bila dalam beberapa hari terakhir ini ia hanya memakan apa-apa yang

dijejalkan sesuap oleh Dewi Cundrik.

Dewi Cundrik telah berlalu pergi dan benar-benar ia tidak mengunci pintu kamar. Joko

Bledug tidak mau gegabah. la meragu, siapa tahu ada jebakan lain. Kalau tidak mustahil wanita itu

akan begitu berbaik hati!

Tidak lama si bocah memikir-mikir, maka Dewi Cundrik telah memasuki kamar itu, sambil

membawa masakan yang masih mengepulkan asap.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

41

Kolektor E-Book

Bau gurih sedap memenuhi ruangan. Dan si bocah merasa perutnya tambah keroncongan.

Begitu dihidangkan, maka masakan yang serba hangat itu langsung dilahap oleh si bocah.

Dewi Cundrik menemani makan dengan cermat. Menyiapkan ikan dan sayurnya

menyendokan nasi ke piring si bocah dan lain sebagainya seperti lagaknya seorang istri yang setia!

Ketika perutnya sudah agak kenyang barulah si bocah tersadar dan bertanya kaget :

"Masakan ini serba merah, daging apakah ini?"

Dewi Cundrik tersenyum. Maksudnya tersenyum mesra barangkali tetapi yang tampak bahkan

lebih menjijikkan.

"Itulah yang disebut sayur rumput merah rendang lintah merah dan panggang sate ular merah!

Semuanya serba merah, tetapi nikmat to?"

Tersedak rasanya Joko Bledug. Seluruh makanan yang telah masuk kedalam perutnya tiba-

tiba meronta mencari jalan keluar. Akan tetapi Dewi Cundrik cepat menggerakkan tangan

mengusap leher bocah itu. Rasa mual dan mau muntah segera berhenti dan makanan-makanan

dalam perut itu masih tetap bergolak.

"Sayang kalau makanan istimewa itu kau muntahkan! Masakan itu kecuali berkhasiat untuk

menyehatkan badan dan menambah darah juga menambah tenaga untuk... hihihik!" Dan wanita itu

tertawa memuakkan.

"Kau telah meracuni aku!" Bentak Joko Bledug.

"Gampang, kalau sudah mati baru boleh kau mendamperatku? Tapi kalau tidak, bahkan

nyaman rasa tubuhmu, aku menagih uang jasa..." Dan wanita setan itu bangkit berdiri untuk

mengemasi piring dan mangkuk bekas makan.

Dewi Cundrik telah meninggalkan kamar itu Joko Bledug duduk diam, mengasah otak

maksudnya. Akan tetapi segera ia diserang oleh rasa kantuk. Rupanya karena kekenyangan makan,

atau memang ada sebab lain yang telah termakan bersama masakan itu. Nyonya si bocah begitu

menguap langsung tubuhnya menggeletak dan pulas.

X


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


X X

KITA tinggalkan Joko Bledug yang sedang terpulas tidur karena kekenyangan akibat

pengaruh masakan serba merah itu.

Kini kita menengok pada perjalanan Ki Ageng Tampar Angin alias Kiai Teger yang menjadi

tawanan kademangan Ampelgading, dan kini digiring kekadipaten Pemalang.

Kiai Teger berada dalam kerangkeng besi yang di tarik oleh sepasang kuda, dijaga oleh

Jagabaya Karangsari sendiri, tiga orang bekas benggolan maling Gering Blanggur, Rasman Teglong

dan Geweng, serta beberapa pemuda lain yang bersenjata lengkap.

Ketika hari mulai malam, maka iring-iringan itu telah memasuki kebulak yaitu pesawahan

yang sangat luas. Semuanya tak ada yang membuka suara kecuali tinggal suara derap kaki kuda

yang sangat riuh dibarengi gaduhnya roda kereta yang mengangkut tawanan itu.

Dalam keadaan biasa, tertu Kiai Teger dapat merusakkan kerangkeng besi yang

mengurungnya itu. Akan tetapi dalam keadaan setengah Iumpuh seperti sekarang, dimana racun

jarum yang ditusukan ambles oleh Dewi Cundrik mulai mengamuk. Kiai Teger tak dapat berbuat

apa-apa. Dalam hati guru yang tawakal itu hanya berdo'a, agar Tuhan menurunkan pengadilan buat

Umat-Nya.

Sedang dalam do'a Kiai Teger yang lemah berbisik itu tiba-tiba dari bawah kereta kerangkeng

itu tampak ada sesuatu yang bergerak.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

42

Kolektor E-Book

Selanjutnya, secara cepat terdengar suara kusir kereta yang terpekik seperti orang dicekik

kemudian tubuhnya terkulai kebawah ambruk kelantai kereta.

Dan dari bawah kolong kereta itu melompat keluar dua orang pemuda yang langsung

menguasai les kereta.

Semua kejadian itu berlangsung sangat cepat akan tetapi tidak luput dari penglihatan Jagabaya

Karangsari yang merasa sangat bertanggung jawab atas keselamatan rombongan itu!

"Bajingan! Siapa kau!" Bentak Jagabaya seraya mengeprak kudanya, menerjang maju.

Kedua pemuda yang baru merampas kendali kereta itu mempercepat lari kuda, mengedut

kendali keras-keras sehingga sepasang kuda yang menghela kereta itu melompat panjang kedepan

dan berlari dengan sangat kencangnya.

"Kejar! Tangkap! Tangkap maling-maling ituuu! Seru Ki Jagabaya sekali lagi. Maka sekalian

pengawal lantas mengeprak kudanya mengejar.

Semakin riuh rendah suara derap kaki kuda dan gemeritnya roda kereta. Debu mengepul

sangat tinggi memenuhi udara dan agaknya kedua pemuda yang merampas kereta itu tergolong ahli

sebab kereta itu dapat berlari sangat cepat, mengimbangi kuda-kuda yang memburunya.

Ki Jagabaya berteriak-teriak setengah gila dan kalap :

"Kejar! Tangkap! Basmi maling-maling itu!".

Rupanya dua orang yang melarikan kereta tawanan itupun tergolong orang yang pandai

menjadi kusir. Walaupun kereta seakan terbang, terbanting-banting sepanjang jalanan berbatu,

tetapi kedua kuda yang menghela kereta dapat dikuasai dengan baik. Bahkan kini tampak mereka

mulai memperbesar jarak dengan para pengejarnya.

"Bajingan!" Seru Ki Jagabaya dengan kalap. "Panah kudanya."

Bersamaan dengan seruannya itu maka Ki Jagabaya dan ketiga bekas raja begal itu telah

menyambar panah dari punggungnya, mementangkan sekaligus, seketika terdengar suara

menjeperet nyaring.

Anak panah berdesingan diudara. Kereta tampak berlari sengaja membelak-belok, sebentar

menepi kekiri sebentar kekanan. Akan tetapi karena jumlah panah yang dilepaskan semakin banyak

terdengarlah suara kuda meringkik, menyusul kereta tampak berhenti dengan mendadak.

Kedua kusir kereta berloncatan turun. Siap dengan senjata masing-masing yaitu sebatang

tongkat yang disebut tongkat ?kuro-isin?. Tongkat itu terbuat dari baja, panjangnya hanya dua

jengkal yang tajam runcing pada kedua ujungnya.

"Sawung dan kau Galing. Mengapa kalian mengurusi aku sedangkan bencana yang lebih

besar agaknya akan menimpa perguruan kita..."

Kedua kusir itu berlutut sambil menjawab terhiba-hiba :

"Guru... Di perguruan masih ada kakang Tugeni dan kakang Suro. Kami ditugaskan kemari

atas perintah kakang murid kepala untuk mengadakan penyelidikan. Setelah kami melihat guru

dalam keadaan demikian bagaimana kami murid dapat tinggal diam. Guru, harap maafkan murid

yang tak becus ini..."

Kedua kusir itu adalah sepasarg pemuda kembar yang bentuk dan roman mukanya sangat

mirip. Mereka adalah Sawung dan Galing murid Kiai Teger yang telah diutus oleh Tugeni untuk

mencari berita mengenai keadaan guru mereka.

Terdengar Kiai Teger menggerutu agaknya kurang senang.

"Setelah kau bersumpah untuk takluk dan mengangkat guru kepadaku apakah patut kalian

menyangkal perintahku?"Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

43

Kolektor E-Book

"Guru..." kedua pemuda itu membungkukkan badan. Tubuhnya gemetar ketakutan.

"Ya. Kalian memang bukan murid yang penurut! Keadaanku sudah tidak ubahnya orarg mati

belaka. Kalau kalian dapat menyelamatkan diriku apalah artinya sedangkan racun "pacet wulung"

sudah demikian hebat menggerogoti tubuhku ini adalah ujian terakhir bagimu? Cepat kalian

kembali selamatkan perguruan Blimbingwuluh..."

Kedua murid itu tampak seperti sangat terkejut. Dengan ketakutan keduanya lantas

menyembah setelah itu keduanya berlompatan lari sambil berteriak-teriak seperti orang gila.

"Guruuu...!" Apalah artinya perguruan kami selamatkan kalau kau sendiri dalam keadaan

demikian. Hai orang-orang Ampelgading! Rasakan pembalasanku!" Dan kedua murid itu bukannya

berlari pulang, akan tetapi menyambut para pengejar yang saat itu telah menerjang tiba!

Ki Jagabaya Karangsari, Gering Blanggur, Rasman Teglong dan Geweng maupun seluruh

pengawal yang lain segera mengurung kedua pemuda Sawung dan Galing itu.

JILID : 3

TRAAAK! Tahu-tahu kedua tongkat Sawung dan Galing memanjang dengan sendirinya,

kira-kira menjadi dua depa. Kiranya senjata tongkat itu adalah tongkat bersamburg yang dapat

dipendek-panjangkan. ItuIah sebabnya tongkat itu disebut tongkat kuro-isin (kura-kura malu).

Sebagai kura-kura, apabila malu lantas menyembunyikan kepalanya kedalam badan, bisa pendek

bisa panjang, begitulah kira-kira yang dimaksudkan.

Melihat kedua pemuda yang bersenjata aneh itu, maka Ki Jagabaya berseru kaget :

"Eh. Kalian Sawung Galing! Sejak kapan kalian jadi begundal guru cabul itu he?".

Sawung dan Galing tertawa terkekeh.

"Mana itu guru cabul? Kalian manusia-manusia rendah, hina dina, tukang fitnah, harus

rasakan tanganku!".

Memang, sebenarnya kedua pemuda ini mempunyai kisah tersendiri dalam perguruan

Blimbingwuluh. Mereka adalah sepasang penyamun muda berasal dari Penggarit yang baru sebulan

yang lalu menyatakan diri takluk dan ingin diambil murid oleh Ki Ageng Tampar Angin atau Kiai

Teger.

Ketika sebulan yang lalu Kiai Teger dalam perjalanan pulang dari ibukota Mataram, kedua

penyamun muda itu telah mencegatnya dan bermaksud merampok. Mereka tidak menduga bahwa

Kiai Teger adalah seorang guru sakti yang hanya membawa gendongan berisi kitab-kitab pelajaran

agama belaka.

Kedua begal muda itu mengira gendongan orang berisi emas berlian, dan memaksa Kiai

Teger untuk menyerahkannya.

Kiai Teger tersenyum ramah, sambil menurunkan gendongan lalu katanya :

"Kalian kedua begal muda! Sayang sekali kalau kepandaian dan keberanianmu kau

pergunakan untuk perbuatan-perbuatan tercela.

Buntalanku ini memang berisi intan berlian. Bahkan lebih mulia dari pada segala intan berlian

yang pernah ada diatas dunia ini. Tetapi barang ini tidak boleh disentuh oleh tangan yang tidak suci

jasad jiwanya. Kalau kalian bermaksud hendak memilikinya juga, pergilah dulu kalian menyucikan

diri."

Mendengar jawaban orang yang demikian, bukan main gusarnya kedua begal muda itu.

Seketika mereka membentak.

"Banyak mulut!" Pergiiiii!"Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

44

Kolektor E-Book

Sambil membentak demikian. Sawung dan Galing bersama-sama menubruk kearah buntalan

bermaksud untuk membawanya lari. Tetapi tak disangka begitu kedua tangan mereka menyentuh

buntalan, seketika mereka merasa tubuhnya jadi kaku sebelah, dan rnereka tidak dapat bergerak

sama sekali.

"Sudah kukatakan, benda-benda mulia dalam gendonganku itu tidak boleh disentuh oleh

orang yang kotor tangan dan hatinya. Bagaimana sekarang?"

Sawung dan Galing berusaha mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengusir

kelumpuhannya itu akan tetapi sia-sia. Bahkan kini keduanya terguling ketanah mereka memandang

kearah Kiai Teger dengan mata penasaran dan gusar, akan tetapi juga ngeri.

"Sudahlah. Bangkitlah kalian......"

Kedua penyamun muda itu hanya melihat orang hendak dirampok itu menggerakkan kedua

tangannya. Tahu-tahu mereka merasa telah sehat kembali, segar bugar bagai sediakala. Ketika

mereka meloncat bangun dan menggerakan anggota badannya, ternyata benar-benar mereka telah

pulih segar bugar tak kurang suatu apa.

"Kau apakan kami, hei..." sahut Kiai Teger dengan bibir tetap tersenyum. "Didalam

buntalanku memang berisi segala rajanya mustika dan intan berlian. Benda-benda mulia itu sengaja

diturunkan Tuhan untuk meluruskan sifat-sifat manusia yang bengkok dan sesat, sebagai kalian ini.

Maka apabila kalian bermaksud hendak memilikinya, kalian harus menyucikan diri suci jiwa dan

raganya. Maka benda-benda mulia ini, nanti akan membawa manfaat dengan sendirinya atas diri

kalian."

Sejak saat itulah, maka Sawung dan Galing sepasang begal muda itu takluk kepada Kiai

Teger, dan mereka bersumpah untuk tidak mengulangi perbuatan jahatnya. Bahkan mereka dengan

sungguh-sungguh memohon kepada Kiai Teger untuk mengambil murid pada mereka.

Kiai Teger tidak keberatan. Didalam agama, menyelamatkan orang dari jalan sesat adalah

merupakan kewajiban mulia. Maka sejak itulah kedua begal muda itu diangkat jadi murid.

Sepanjang perjalanan dari ibukota Mataram itulah mereka mulai dididik dengan pelajaran agama

dengan amal perbuatan yang di perintahkan Tuhan. Dan kedua pemuda itu sedikit demi sedikit

mulai menyadari bahwa apa yang diajarkan dalam kitab pelajaran agama itu kiranya memang

sebenarnya raja mustika dari segala intan berlian dari segala intan berlian yang pernah ada diatas

dunia ini.

Akan tetapi, kecuali Kiai Teger yang telah percaya pada perubahan watak kedua pemuda

kembar ini, sebaliknya murid-murid Kiai Teger yang lain masih meragukannya. Baik Tugeni

maupun Suro masih menganggap bahwa pemuda kembar itu harus masih perlu di uji kesetiaannya.

ltulah sebabnya mereka berdua diutus untuk mencari berita ketika guru mereka ditawan

kekademangan Ampelgading.

Dalam hal kepandaian silat, tentu saja Sawung dan Galing boleh dikata tidak kalah dengan

Tugeni Suro. Akan tetapi kedua pemuda kembar ini tidak pernah tersinggung apabila mereka


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


diperlakukan sebagai keroco, atau murid baru yang belum punya kepandaian. Bahkan mengenai

kewajiban melindungi atau menjaga nama baik perguruan, kedua pemuda kembar ini pun belum

dipercayainya.

Memangnya kedua pemuda kembar itu adalah pemuda yang keras hati dan agak berangasan

juga, maka begitu melihat kekejian dan kekejaman orang kademangan Ampelgading terhadap Kiai

Teger, mereka lantas terbangkit amarahnya. Adatnya yang berangasan berkobar.

Ketika keduanya tahu bahwa gurunya akan dibawa kepengadilan kadipaten, maka Sawung

dan Galing cepat-cepat menyelinap kebawah kereta tawanan. Keduanya bergantung merapat pada

bawah kerangkeng. Begitulah, maka akhirnya begitu kereta tawanan tiba disebuah bebulak

(pesawahan) keduanya lantas bergerak.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

45

Kolektor E-Book

Nama Sawung dan Galing sebagai sepasang penyamun kembar dari Penggarit memang sudah

banyak dikenal. Dan Ki Jagabaya Karangsari insyaf bahwa ia menghadapi lawan berat. Akan tetapi

jumlah pengawal sangat banyak, mengapa harus takut menghadapi dua orang?

Ki Jagabaya sendiri, sebelum mendapat kedudukan sebagai seorang pamong sebagai

sekarang, dulu dia adalah seorang murid dari perguruan Loning, yang tempatnya ada disebelah

utara kadipaten Pemalang, ditepi pesisir.

Nama perguruan Loning dapat disejajarkan dengan nama perguruan Blimbingwuluh. Hanya

bedanya, kalau perguruan Loning dipimpin oleh seorang nelayan sakti yang berjuluk "Kiai Cucut

Kawung", adalah suatu perguruan yang menutup diri dari pergaulan luar. Terhadap pergolakan

pendekar-pendekar yang menentang penindasan Kompeni waktu itu, Kiai Cucut Kawung dan para

muridnya tidak ambil pusing.

Berbeda sekali dengan perguruan Blimbingwuluh yang dipimpin oleh Ki Ageng Tampar

Angin seorang bekas opsir Mataram. Dalam setiap gerakan menentang penjajahan orang asing,

perguruan Blimbingwuluh selalu ambil bagian. Sehingga perguruan ini, kecuali dihormati dan

disegani oleh teman saperjuangan, juga sangat dimusuhi oleh lawan-lawannya.

Ki Jagabaya mahir dalam ilmu golok. Begitulah, perguruan Loning memang dikenal orang

sebagai perguruan ilmu golok sakti yang dikagumi diseluruh pantai utara pulau Jawa.

Sayangnya, Ki Jagabaya ini baru tergolong pada murid tingkat ketiga, sudah meninggalkan

perguruan, sehingga baru sebagian saja ilmu golok Loning dikuasainya, jauh daripada sempurna.

"Tangkap! Bunuh pemberontak!" Demikianlah seru Ki Jagabaya memerintah para pengawal

untuk menyerbu maju. Sejak ia menjadi seorang yang berpangkat, maka kebiasaan menyebut

pemberontak sudah merupakan alat baginya untuk menggertak lawan.

Para pengawal dan ketiga belas rampok itu telah mengurung maju. Sambaran senjata bagaikan

hujan bertubi-tubi meluncur kearah Sawung dan Galing. Tetapi permainan tongkat kedua pemuda

kembar itu benar-benar lihay. Senjata yang bisa pendek bisa panjang itu ber-putar-putar sebagai

kitiran, mengeluarkan sinar kemilau yang berkeredepan sebentar memanjang, sebentar bergulung-

gulung. Dan senjata lawan yang seperti ditumpahkan itu dapat ditangkis, berpentalan, sebagian

malah membalik kearah pemiliknya.

"Minggir!" Geweng berseru. Ketiga bekas rampok itu penasaran. Dengan adanya pengeroyok

yang terlalu banyak sebenarnya memang tidak menguntungkan bagi pihaknya sendiri.

Sekarang demi para pengawal yang lain mundur maka ketiga bekas rampok, Geweng,

Rasman Teglong dan Gering Blanggur dapat bergerak lebih leluasa. Mereka masing-masing

bersenjatakan sebuah bandringan yang bandulnya terbuat dari sebuah bola besi bergigi.

"Sawung Galing!" Kalian toh orang sebagai kami, orang-orang yang menyukai kehidupan

bebas! Apa perlunya merendahkan diri, membela Kiai Teger si guru cab....."

"Tutup mulutmu?" Bentak Galing memotong pembicaraan Geweng." Kalian ini maling cilik

macam apa berani membandingkan dirimu terhadap kami!" Gusar bukan main, pemuda kembar ini.

"Aku sedang memperbaiki diri berbuat demi kebajikan kau sebut merendahkan diri. Lantas dirimu,

maling tua bangka. Apakah kalian tidak menjadi begundal rendah, orang yang menjilat

menghinakan diri sendiri hanya sekedar mencari selamat? Huh!"

"Kutubusuk cilik. Mulutmu tajam lebih tajam dari senjatamu! Rasakan gebukanku!" Bentak

Geweng dengan mata terbuka lebar karena malu dan penasaran.

Ketiga senjata bandringan meluncur dari tiga arah mengurung pemuda kembar itu. Akan

tetapi Sawung dan Galing bertindak cepat. Keduanya saling beradu punggung sambil melintangkan

tongkat.

Begitu tongkat digerakan, maka terdengar bunyi nyaring, senjata yang berbentrokan. Geweng

membuang diri kebelakang, sambil menjerit ketika ternyata bandul bandringnya menyambar muka

sendiri dengan sangat cepatnya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

46

Kolektor E-Book

Geweng dapat menyelamatkan diri dari sambaran senjata sendiri, akan tetapi harus berguling-

gulingan ditanah menghindari jojohan tongkat Sawung yang menusuk secara beruntun.

Melihat seorang temannya terancam bahaya. Gering Blenggur dan Rasman Teglong

bermaksud memberi pertolongan. Akan tetapi Galing dapat menduga maksud mereka, dan semakin

mempercepat permainan tongkatnya.

Memangnya kedua benggolan maling itu hanya menang dalam hal tenaga kasar belaka.

Dalam hal ketangkasan dan kecepatan gerak, Galing ternyata lebih unggul. Ketika Gering dan

Rasman menyabet kearah kaki dan leher, justeru Galing telah mendahului bergerak, menyelinap

diantara sinar rantai bandringan lawan dan tongkatnya melakukan gerakan memutar setengah

lingkaran, menikam kearah pusar Rasman, selanjutnya menyotek kearah Gering.

Bukan main kecutnya kedua bekas benggolan begal itu. Menarik senjatanya sudah tak

mungkin, menangkis tak sempat lagi. Akhirnya, keduanya serempak berseru sambil melepaskan

senjatanya keduanya berlompatan mundur untuk ambil langkah seribu alias ngacir.

Bersamaan dengan itu, terdengar jeritan Geweng yang melolong seperti anjing terjepit.

Kiranya tongkat Sawung telah amblas sedalam sejengkal kedalam dadanya, amblas hingga

kepunggung, Geweng hanya sejenak sempat menggeliat, akhirnya diam tak berkutik putus

nyawanya.

Galing dan Sawung bermaksud mengejar Rasman dan Gering. Akan tetapi pada saat itu

terdengar Ki Jagabaya berseru lantang : "Lariii!"

Dan kiranya Ki Jagabaya telah mengusiri kereta dengan dikawal para pengawal yang Iain

melarikan tawanan secepatnya. Rupanya, dalam kesempatan Sawung dan Galing dikerubut oleh

ketiga benggolan begal itu Ki Jagabaya telah menukar kuda kereta yang terluka dengan kudanya

sendiri, dan kuda seorang pengawal. Begitu melihat suasana pertarungan yang tidak

menguntungkan maka ia bersama beberapa pengawal bermaksud melarikan tawanan, setelah

sebelumnya membunuhi kuda-kuda yang tertinggal.

Sawung dan Galing terperanjat, mereka berdua cepat-cepat berlompatan mengejar. Tetapi

bukan hanya dia saja, kiranya Gering Blanggur dan Rasman Teglong yang telah kehilangan

kudanya juga berlarian, bukannya mengejar akan tetapi mencari selamat, masuk ke dalam semak

belukar sambil mencaci maki.

Andaikata saat itu Sawung Galing bermaksud membunuh sisa dua begal itu agaknya tidaklah

sulit. Akau tetapi kedua pemuda itu tidak suka menurutkan haws napsu belaka. Mereka lebih

mementingkan keselamatan gurunya, maka ia terus melakukan pengejaran.

Namun, dalam hal kecepatan lari kiranya sulitlah bagi kedua pemuda itu untuk mengejar

rombongan Ki Jagabaya. Lewat tengah malam, mereka telah tertinggal jauh, bahkan suara keteprak

lari kuda maupun gemeritnya roda kereta telah semakin sayup, semakin samar hingga akhirnya tak

terdengar sama sekali.

Tiba dikademangan Petarukan, barulah kedua pemuda itu beristirahat sejenak untuk

menghilangkan lelah. Juga mencari isi perut, sebab sejak mereka meninggalkan perguruan

Blimbingwuluh. mereka tidak sempat mengisi perut barang sekali.

Sedang mereka melahap ikan panggang yang ditangkapnya dari sebuah kali mendadak

mereka mendengar sayup-sayup derap seekor kuda yang berlari dengan sangat kencangnya.

Tidak selang berapa lama, maka mereka melihat seorang bertubuh ramping yang mengendarai

kuda dengan sangat tangkasnya, menuju kearah mereka.

Belum juga habis herannya kedua pemuda itu, maka penunggang kuda itu telah berpaling

kearah api pediangan tempat kedua pemuda tadi membakar ikan sambil berseru nyaring :

"Bodoh! Apa yang kalian lakukan disitu?".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

47

Kolektor E-Book

Kiranya penunggang kuda itu hanyalah seorang dara remaja, usianya takkan lebih dari lima

belas tahun. Wajahnya lonjong telur, sepasang matanya bersinar-sinar seperti bintang timur.

Mengenakan pakaian serba hitam, rambutnyapun tergelung, dan disembunyikan dalam kerudung

sutera berwarna hitam pula. Dibagian atas ubun-ubunnya terdapat seikat perhiasan yang berbentuk

seperti sisir tetapi terbuat dari baja warna putih yang bertatahkan mutiara.

Melihat itu seketika Sawung dan Galing bangkit berdiri sambil berkata hormat : "Ah, kiranya

nona Cunduk Puteri... yang datang."

Cunduk Puteri adalah seorang dara remaja, puteri tunggal Mbah Pucung. Mengingat akan

ayahnya yang tergolong angkatan tua yang berkepandaian sangat tinggi, tidaklah aneh apabila dara

remaja itupun memiliki kepandaian dan ketangkasan yang mengagumkan.

Hampir disetiap penjuru pesisir utara tanah Jawa mengagumi nama dan kecantikan dara ini.

Terlebih-lebih adalah sepak terjang si dara yang menimbulkan pujian orang, karena dimanapun ia

berada selalu melakukan darma bhakti kebajikan, melawan kesewenang-wenangan dan membela

kaum lemah.

Dara ini telah dua tahun lamanya mengembara sambil mengamalkan budi maupun kebajikan.

Sehingga namanya yang mengagumkan itu hampir dikenal oleh setiap orang. Namun, orang jarang

mengenal orangnya. Kenal nama tidak kenal orang. Hanya ada satu tanda yang selalu dipakai oleh

si dara yaitu hiasan pada ubun-ubunnya yang disebut cunduk. Nama asli dara ini jarang orang yang

mengetahuinya, tetapi bila melihat seorang dara perkasa cantik yang mengenakan cunduk, langsung

orang dapat menerkanya, dialah Cunduk Puteri!

"Ya, aku Cunduk Puteri! Bukankah kau berdua ini bekas maling yang diambil murid oleh

Kiai Ageng Tampar Angin?".

Sawung dan Galing tersenyum masam. Walaupun ucapan dara itu mengandung ejekan, tetapi

suaranya merdu dan renyah, sedap didengar.

"Aku Sawung. Dan adik kembarku bernama Galing, setelah kau mengetahui bahwa aku

adalah sepasang bekas maling yang diambil murid oleh guruku, habis Cunduk Puteri ada petunjuk

apakah?.

Cunduk Puteri tertawa kecil. Memangnya dia seorang dara jelita yang lincah maka tawanya

terdengar renyah ditelinga dan giginya yang indah berderet rampak, rampak sebagai untaian mutiara

yang bersinar kemilau.

Untuk sejenak kedua pemuda kembar itu terdiam dalam pesona.

"Memangnya kalian bodoh, apakah marah aku sebut begitu?" Kata si dara sambil

menghabiskan tawanya.

"Kebodohan kami ada dimanakah, nona?" Tanya Sawung sambil menekan jantungnya yang

berdebar.

"Kalian berdua mengejar-ngejar tawanan yang dibawa lari oleh kuda pilihan sebagai si

Demung kuda Ki Jagabaya. Jangankan berharap hendak menolong orang sedangkan menyandak

saja tidak! Dan ada satu hal kebodohan yang kalian lakukan pula, yaitu untuk apakah kalian hendak


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


membebaskan gurumu? Sia-sia saja!

Gurumu telah terkena jahat "pacet-wulung" andaikata kalian dapat membebaskan juga,

dengan cara apakah kalian akan menolong gurumu dari amukan racun itu?".

Kedua pemuda kembar itu saling pandang, kemudian mengangguk-anggukkan kepala.

"Nona Cunduk Puteri!" Sahut Sawung dengan sikap kemalu-maluan. "Memang aku belum

patut untuk di sebut sebagai murid Ki Ageng Tampar Angin. Guruku telah berkata bahwa aku tak

perlu menolong guruku, sebaliknya aku harus pulang kerumah perguruan untuk...".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

48

Kolektor E-Book

"Untuk menyaksikan kematian teman-temanmu dan hancurnya perguruanmu?" Cunduk Puteri

memotong.

"Cunduk Puteri!" Galing berkata lantang, nadanya tersinggung. "Walaupun kami berdua

bukanlah tandinganmu, akan tetapi kau tak berhak berkata seperti itu!".

"Mengapa tak berhak?" Cunduk Puteri tertawa. "Apa yang kukatakan adalah apa yang

sebenarnya telah terjadi. Andaikata waktu itu kau menuruti pesan gurumu, tentulah nasib perguruan

Blimbingwuluh tidak demikian menyedihkan...".

"Cunduk Puteri!" kedua pemuda kembar itu berkata serempak. "Apa maksudmu sebenarnya?"

"lnilah kebodohanmu yang ketiga? Sedang kalian secara sia-sia mengejar kereta tawanan

maka perguruanmu dihancurkan orang! Sekarang tinggal bangkai berserakan, bangkai saudara-

saudaramu, bangkai-bangkai saudara seperguruanmu! Pondok-pondok berguguran tinggal hanya

puing-puing belaka. Agaknya hanya tangan orang-orang biadab saja yang mampu membuat neraka

yang demikian mengerikan diatas perguruan Blimbingwuluh."

Mendengar penuturan Cunduk Puteri yang bernada sungguh-sungguh itu, seketika Sawung

Galing tergetar tubuhnya. terkejut hingga jatuh lemas berlutut sambil menangis. Keduanya

menggerung-gerung dengan penuh rasa penyesalan. Mereka menyesal karena tidak mau mendengar

nasehat yang telah dikatakan oleh gurunya.

"Guruuu... Ampunkan kami guru. Kami tidak becus. Kami lancang, dan sudah sepatutnya

dihukum oleh kebandelan kami ini..." demikian Galing yang lebih banyak bicara itu berseru-seru

diantara suara tangisnya.

Melihat yang demikian Cunduk Puteri setengah tertawa, tetapi juga setengah hendak tertawa.

Ketika mendadak kedua pemuda kembar itu bangkit, terus sebraaat, keduanya berlari. Tetapi

kedua pemuda itu segera tersentak kaget ketika melihat seekor kuda mencegat didepan mereka.

"Cunduk Puteri?" Sawang dan Galing berseru serempak, kaget dan juga marah.

"Hendak kemana kalian?"

"Kubunuh, kucincang, pembunuh-pembunuh biadab itu. Kuhancurkan sekalian manusia-

manusia kejam yang tak berhati itu!" Sawung berseru-seru penuh semangat.

"Siapa yang hendak kalian bunuh? Siapa pembunuh biadab itu?"

Kedua pemuda kembar itu jadi celingukan dan saling pandang. Mereka baru ingat bahwa

mereka telah melakukan kelalaian pula. Mereka tidak mengetahui siapa pembunuh-pembunuh itu,

bagaimana mereka hendak membalas pembunuh itu?

"Cunduk Puteri! Katakan siapa pembunuh-pembunuh itu! Biar aku mengadu jiwa

dengannya."

Cunduk Puteri menghela napas.

"Aku sendiri tidak tahu, siapa pembunuh-pembunuh itu. Waktu aku kembali dari

Peninggaran, aku melihat nyala api diarah perguruanmu. Tetapi aku tiba disana hanya mendapatkan

puing-puing dan bangkai berdarah berserakan!"

"Kalau aku sendiri melihat pembunuh-pembunuh itu, apakah kalian kira aku takkan turun

tangan? Walaupun antara perguruan Pucung dan Blimbingwuluh tidak ada sangkut paut apapun,

akan tetapi akupun tak mungkin membiarkan orang-orang biadab berbuat sewenang-wenang!"

Pemuda kembar itu berhenti menangis. Sambil mengepal-ngepal tinju karena amarah, mereka

mencoba untuk menduga-duga, siapa gerangan pembunuh-pembunuh keji itu.

"Demi Tuhan. Cunduk Puteri, katakanlah apa yang harus kami perbuat!" Kata Sawung

dengan bersungguh-sungguh.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

49

Kolektor E-Book

"Yang telah hancur, biarlah hancur kembali keasalnya. Yang telah tewas, ya sudahlah kau

relakan mereka pergi menghadap kepada Sang Maha Pencipta. Kewajibanmu adalah

mempertahankan yang masih hidup agar membawa guna. Kalian tak perlu mengejar kekadipaten,

akan tetapi adalah lebih baik secepatnya mencari obat penawar racun yang mengeram dalam tubuh

gurumu..."

Kedua pemuda kembar itu termangu sejenak. Kemudian katanya :

"Kau benar Cunduk Puteri! Terima kasih untuk budi pertolonganmu".

"Tak usah kau sebut-sebut hal itu lagi. Aku sekarang sedang dalam perjalanan menuju

kebarat, barangkali aku dapat menjejaki pengiriman tawanan itu. Sebaiknya sekaranglah kalian

berangkat!".

Demikianlah, setelah mengucapkan terima kasihnya lagi, maka kedua pemuda kembar itu lalu

melompat pergi, menghilang kedalam semak belukar untuk melakukan perjalanan menuju arah

barat daya, yaitu lembah Telagasona, tempat kediaman Dewi Cundrik.

Sementara itu, Cunduk Puteri sendiri telah membalapkan kudanya, lurus menuju kearah barat.

X

X X

TELAH dua hari Iamanya Joko Bledug mengisi perutnya dengan masakan serba merah yang

disajikan oleh Dewi Cundrik. Setidak-tidaknya, lebih dari lima kali pemuda remaja itu makan

masakan yang serba aneh tetapi sangat sedap rasanya itu.

Pada malam pertama ia makan masakan itu timbul kecurigaan Joko Bledug.

Joko Bledug menduga barangkali Dewi Cundrik telah memasukkan racun dalam masakan itu.

Akan tetapi bila ternyata pada pagi harinya Joko Bledug mendapatkan dirinya sehat walafiat,

bahkan badannya terasa sangat segar bugar, maka dugaannya itu lenyap seketika.

Sementara itu, sikap Dewi Cundrik semakin baik terhadapnya, walaupun dengan cara

demikian sesungguhnya membuat Joko Bledug semakin muak kepadanya.

Terlebih-lebih apabila wanita bermuka tembem buruk itu merayunya, Joko Bledug benar-

benar ingin memukulnya. Akan tetapi jangan harap ia akan dapat berbuat seperti itu. Baru saja Joko

Bledug hendak bergerak Dewi Cundrik telah mendahului memijit pergelangan tangan menotok

pinggang atau mendorongnya sampai terjungkir balik.

Diam-diam Joko Bledug mencari akal untuk melarikan diri dari cengkeraman wanita itu.

Sementara itu, semua santapan serba merah terus mengalir kedalam perutnya.

Demikianlah, tanpa disadari sesungguhnya Dewi Cundrik telah mencekoki pemuda hijau itu

dengan masakan yang mengandung racun keji, Joko Bledug tidak insyaf, bahwa sedikit demi sedikit

jalan darahnya semakin lancar, semakin cepat dan kadang-kadang seakan-akan menderu-deru.

Hingga pada malam yang kedua ini, Joko Bledug tersentak dari tidurnya ketika tiba-tiba ia

merasa tubuhnya sangat panas. Seluruh kulit ditubuhnya seakan menguapkan hawa hangat, dan

anehnya pada saat itu ia sangat membutuhkan sesuatu.

Dalam kehangatannya ini. Joko Bledug merasa sangat gugup dan gelisah, entah mengapa. Ia

mencoba menguasai diri, memusatkan perhatian untuk menekan kebutuhan aneh ditubuhnya itu.

Akan tetapi ia segera terkejut. Tenaga batinnya seakan telah lenyap. Apabila ia menekan pengaruh

kegelisahan itu seakan ia mendorong sesuatu kedalam lumpur, ambles tak menemui dasar. Makin

keras Joko Bledug mengerahkan tenaga, memusatkan perhatian, terasa semakin buyar tenaga

batinnya, seakan-akan telah menjadi tempat kosong belaka.

Joko Bledug terkejut. Akan tetapi sudah terlambat. Keinginan aneh dalam tubuhnya yang

menderu-deru itu, tak dapat dikendalikannya lagi. Joko Bledug ingin melihat perempuan!Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

50

Kolektor E-Book

Perempuan... Apapun perempuannya itu. Hatinya tambah gelisah dan Ia melompat-lompat sambil

berteriak-teriak, memanggil-manggil tetapi juga memaki-maki.

Tidak puas dengan perbuatannya seperti itu maka Joko Bledug berlari-lari dalam kamarnya,

berputaran ratusan kali, seakan-akan tak ada lelahnya.

Dalam keadaan setengah mabuk setengah gila itu, Joko Bledug melihat alam sekitarnya jadi

tampak serba merah. Semua tampak sebagai warna merah yang mengembang memecah,

mengembang memecah tak menentu bentuk. Akan tetapi bila binar-binar warna itu akhirnya

membentuk diri, terujudlah sesosok bayangan manusia betina, seorang perempuan yang mirip

dengan... Dewi Cundrik!

Di sudut, tampak Dewi Cundrik. Di pintu Dewi Cundrik! Di langit-langit kamar Dewi

Cundrik. Alangkah menyebalkan bentuk perempuan itu! Tetapi aneh, kali ini Joko Bledug tidak

menghardik Dewi Cundrik, tidak juga mengusirnya. Dihampirinya bayangan wanita itu,

disentuhnya. Dan Joko Bledug ingin mencaci maki, tetapi tidak! Ada satu hasrat luar biasa yang

memaksa dirinya tidak mau kehilangan bentuk wanita itu.

Mengapa kali ini Dewi Cundrik tidak beruban? Tidak tembem-tembem wajahnya jelek

menjijikkan? Tetapi yang tampak adalah sesosok tubuh wanita semampai yang berwajah jelita

dengan senyumnya yang manis mengambang!

Oh, Joko Bledug berani bersumpah. Tangan yang sedang meraba-raba adalah meraba wajah

seorang wanita jelita. Pakaian dan bau harum yang serba semerbak adalah semua tanda-tandanya

Dewi Cundrik, akan tetapi wajah jelita dengan rambut hitam berkilau seperti sutera ini milik

siapakah?

Joko Bledug tak tahu apa yang harus diperbuatnya, kecuali menurutkan hasrat yang menderu-

deru didadanya hasrat untuk mengusap-usap wajah jelita itu.

"Joko Bledug..." Sesosok wanita berwajah jelita itu membisiki telinga Joko Bledug dengan

suaranya yang merdu.

Ini suara Dewi Cundrik! Suaranya! Begitulah teriak Joko Bledug dalam hatinya. Akan tetapi

ia tidak merasa muak. Kejijikan yang selalu timbul setiap mendengar suara wanita itu, kini lenyap

sama sekali. Yang tampak dan terasa adalah segugus wanita rupawan yang bertubuh lembut dan

bersuara merdu.

"Hawa disini sangat panas... Mari kita mencari angin diluar..." Wanita itu berkata pula,

dengan kemerduan nadanya dan kemanisan senyumnya. Walaupun ia seribu kali Dewi Cundrik

agaknya Joko Bledug takkan peduli lagi. Dipeluknya wanita itu.

Joko Bledug memejamkan mata dengan kedua tangan bergelantung dileher wanita itu, ketika

ia merasa tubuhnya dibawa melayang-layang keluar dari dalam kamar tahanan itu.

Di luar angin bertiup semilir, menyegarkan. Bulan peang, berlayar dilangit, perlahan-lahan

meninggalkan pusat langit.

Ketika terasa tubuhnya didudukkan, maka Joko Bledug membuka mata. Ia melihat

sekelilingnya. Pohon- pohon gempol yang rindang, masih tetap ada, rindang dengan daun-daunnya

yang lebar tebal. Pemandangan selat yang sempit didindingi oleh tebing-tebing batu yang tinggi

tegak, masih seperti sedia kala. Dan bayangan hutan sebelah barat tampak masih juga menghitam

dengan daun-daun lembut yang memantulkan cahaya keemasan.

Ah, semuanya tetap sebagai semula. tetapi mengapa Dewi Cundrik begitu jelita dan rupawan.

Dimanakah wanita berwajah tembem dan buruk itu?

"Joko Bledug... maukah kau memperisterikan diriku?" Bisik wanita itu.

Joko Bledug tidak tahu apa itu artinya memperisteri tetapi ia hanya melihat wanita itu begitu

menawan, cantik jelita dan menggairahkan...Yusi Syamsidar


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

51

Kolektor E-Book

"Kau bukan Dewi Cundrik bukan?" tanya Joko Bledug dengan suara yang gemetaran.

Wanita itu tersenyum. Tersenyum dan tersenyum. Langit tetap bagai semula bertabur bintang,

dengan purnama yang merayap tak kenal lelah.

"Kalau aku Dewi Cundrik, bagaimanakah?".

"Aaah, tidak apa-apa...".

"Tidak apa-apa! Tidak apa-apa memang. Walaupun wanita itu mengaku seribu kali Dewi

Cundrik, toh nyatanya dia sangat memikat hati Joko Bledug. Andaikata dia bukan wanita yang

tembem buruk dan beruban itupun, agaknya Joko Bledug akan menyerah pula.

Malam sunyi. Kesunyian itu bergantungan seperti embun yang mulai membulat pada dahan

dan ranting. Angin lembut dari barat, mempermainkan daun-daun gempol, menimbulkan bisik-

bisik, desah dan tak jelas, seperti suara desah yang keluar dari mulut Joko Bledug! Oh. Joko Bledug

terlalu muda! Terlalu hijau!

Ketika semuanya telah selesai terjadi diluar kesadarannya, maka Joko Bledug seakan merasa

suatu kehilangan. Kehilangan tenaga dan semangatnya. Bahkan akhirnya kehilangan wanita cantik

jelita yang tadi mempesonakan dirinya, kini telah bertukar dengan wajah seorang wanita yang

tembem buruk beruban dan memuakkan!

"Apa artinya ini? Apa yang kau lakukan Cundrik?" Pekik Joko Bledug sambil tersentak kaget,

melonjak dari baringnya. Pemuda ini gugup dan gopoh mengenakan pakaiannya, sementara Dewi

Cundrik sendiripun sedang merapikan pakaiannya pula.

"Apa yang kulakukan?" Sahut Dewi Cundrik seraya tertawa cekikikan. "Sama dengan apa

yang kau lakukan... hihihik!".

"Cundrik! Dewi Cundrik. Kau gi-gila! Gilaaaaa!" Joko Bledug memekik-mekik matanya

jelilatan, sedangkan otaknya bekerja keras.

Seluruhnya dialami, sejak bangkitnya suatu perasaan aneh, hingga timbul semua bentuk serba

merah, hingga munculnya bentuk jelita hingga mereka membaringkan diri dibawah bayangan pohon

gempol, hingga segala-galanya terjadi... membuat Joko Bledug bergidik gemetaran seluruh

tubuhnya.

"Mengapa? Mengapa? Mengapa sampai terjadi begini?" Joko Bledug meremas kepala sendiri,

menghantam dada sendiri, kemudian mencakar muka akan tetapi ketika Dewi Cundrik

menggerakan tangannya pemuda hijau itu terjatuh lemas, tergolek tak berkutik.

Pendengaran Dewi Cundrik yang sangat tajam tiba-tiba menangkap suara langkah orang

dikejauhan. Tubuh wanita itu berkelebat pergi dibareng suara jeritannya yang melengking.

Tiba pada tepi rawa-pacet atau telaga-lintah. Dewi Cundrik berhenti. la memandang lurus

kedepan, keseberang rawa, dan terlihat olehnya dua orang pemuda samar-samar sedang berdiri

dengan sikap gagah.

"Cundrik! Dewi Cundrik! Serahkan obat anti racun pacet-wulung! Kalau tidak kau berikan,

aku Sawung Galing akan menghancurkan istanamu ini!" Terdengar suara dari seberang rawa yang

lantang bergema. Jelas bahwa orang yang sedang bersuara itu adalah orang yang memiliki

kepandaian.

Mendengar itu Dewi Cundrik tertawa terkekeh-kekeh.

"Kalau tak sanggup menyeberang kemari, bilang saja terus terang. Aku Dewi Cundrik

bersedia menjumpai kalian kesitu, tapi katakan dulu, apakah kalian muda yang cakap ataukah

buruk?"

"Iblis! Siluman gila! Kami Sawung dan Galing adalah pemuda tampan, bukan seperti

mukamu yang tembem dan menjijikkan!".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

52

Kolektor E-Book

"Bagus!".

Bersamaan dengan suara bentakannya itu maka Dewi Cundrik tampak berkelebat. Tubuhnya

yang tinggi ramping melayang-layang diatas air telaga dengan sangat ringannya seperti kupu-kupu

putih, karena yang tampak hanyalah rambutnya belaka yang putih seperti kapas. Tak selang berapa

lama tahu-tahu Sawung dan Galing memekik tertahan karena terkejut.

Sama sekali kedua pemuda kembar itu tak menduga bahwa yang termashur sebagai Dewi

Cundrik, seorang wanita sakti yang berwajah buruk, ternyata seburuk yang mereka lihat sekarang.

Kecuali mulut luka yang keradak berwarna abu-abu itu, dahinya lebar seperti ladang yang

gundul. Alisnya gompyok seakan alang-alang dimusim kering. Matanya cekung dan sangat dalam,

yang terlihat hanyalah biji matanya belaka yang tajam berkilat-kilat. Kedua pipinya tembem, dan

mulutnya cablak dengan kedua bibir yang biru tebal, mengingatkan orang pada bibir yang disengat

lebah.

Walaupun kedua pemuda kembar itu adalah pemuda-pemuda yang tak pernah kenal takut,

akan tetapi mereka masih tergetar juga melihat ada manusia yang berbentuk lebih menyeramkan

dari siluman.

Sebaliknya Dewi Cundrik tak henti-hentinya mengamat-amati pemuda kembar itu dengan

mata penuh selera. Sawung dan Galing memiliki wajah yang kukuh dan gagah, melukiskan orang

yang berwatak keras. Perawakannya sedang dan kekar, sempurna dengan bentuk dan sikap seorang

jantan.

"Oh, jadi kalian ini sepasang begal cilik dari Penggarit, Sawung dan Galing?" Tegur Dewi

Cundrik mengejek.

"Tadinya memang. Kini kami bukan begal lagi. Kami datang untuk meminta obat racun

pacet-wulung kepadamu Dewi".

"Hmm, untuk Teger si guru cabul?".

"Untuk guruku. Ki Ageng Tampar Angin alias Kiai Teger. Kau tak berhak untuk menghina

guruku? Kalau ada guru cabul, tentu bukanlah guruku tapi adalah..."

"Tutup mulutmu!" Dewi Cundrik membentak dengan mata mendelik. "Kalian begal cilik mau

jual didepan nyonya besarmu? Kalau aku tak mau memberikan obat itu kalian mau apa?"

"Sawung mendengus. "Kami akan membegal lagi?"

"Sudah, sudahlah" Dewi Cundrik bersikap halus kembali. Bagi wanita ini, tak ada laki-laki

muda gagah yarg memikat hatinya. "Ngomong besarpun tak ada gunanya. Jangankan membegal

kami sedangkan untuk menyebrangi rawa pacet ini saja kalian tidak mampu. Lebih baik kalian

menurut kepadaku hidup berbahagia di istana Guha Gempol bersamaku!"

Traaak! "Aiiiiii" tongkat ditangan Sawung mendadak memanjang ujungnya yang runcing

tajam menyambar lambung Dewi Cundrik dengan sangat cepatnya. Tetapi pemuda ini segera

kecelik. Andaikata Dewi Cundrik dapat dilukainya dalam sekali gebrakan tentulah dia bukan si

Dewi Cundrik siluman Guha Gempol yang namanya menggemparkan dunia persilatan.

Sawung berpikir, bahwa yang dikatakan oleh Dewi Cundrik tentang mereka takkan mampu

menyebrangi rawa pacet memang benar belaka. Andaikata kedua pemuda kembar itu bisa

menyebrang, tentu telah sejak tadi mereka menyelinap masuk kedalam istana wanita sakti itu.

Kini melihat hadirnya Dewi Cundrik ditempat itu, Sawung hendak mempergunakan

kesempatan ini untuk memaksa wanita siluman itu agar menyerahkan obat penawar racun pacet-

wulung. Tapi siapa duga siluman itu begitu lihaynya, sedikit menggoyangkan pinggangnya, maka

ujung tongkat Sawung hanya mengenai tempat kosong.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

53

Kolektor E-Book

Sikap halus Dewi Cundrik segera bertukar dengan tawa bengis yang menyeramkan. Kedua

tangannya terangkat keatas, dengan jari-jari terbuka, seperti kelelawar raksasa yang hendak

menerkam mangsanya.

"Monyet tak tahu dikasihani!" Dewi Cundrik menggeram.

Galing yang mengerti jalan pikiran kakak kembarnya, telah menggerakan tongkatnya

menjojoh tiga kali berturut-turut kearah muka Dewi Cundrik.

Setiap serangan Suwang maupun Galing adalah serangan cepat yang sangat berbahaya sebab

selalu terarah pada tempat-tempat yang mematikan. Namun mereka ketemu batunya, bentrok

dengan biangnya siluman dan iblis sakti. Wanita sakti itu hanya menggerak-gerakan mukanya

sedikit kekiri kekanan atau kebelakang, dan semua serangan Galing hanya mengenai angin kira-kira

satu mili diluar kulit muka wanita itu.

Bukannya Sawung tidak menyadari bahwa dirinya akan dapat dikalahkan oleh wanita itu.

Soalnya dia terpaksa harus melakukan hal itu, apabila ia tidak ingin melihat dirinya ditinggal pergi

oleh siluman Guha Gempol itu.

Ketika melihat serangan Galing yang cukup berbahaya itu hanya dihindari oleh Dewi Cundrik

tanpa bergeser dari tempatnya, maka Sawung membarengi dengan sabetan tongkatnya kearah kaki

wanita itu. Mustahil siluman itu tidak melompat mundur, yang berarti Galing mendapat kesempatan

untuk melancarkan serangan yang mendesak. Dalam hal bertarung secara bekerja sama kedua

pemuda kembar itu memang memiliki keuletan dan kehebatan yang patut di kagumi. Apabila yang

seorang melancarkan serangan maka yang seorang secara serentak telah melakukan penjagaan

sekaligus menutup jalan keluar bagi lawan untuk lari.

Akan tetapi siapakah yang mau lari? Sawung Galing bukanlah lawan Dewi Cundrik.

Entah dengan cara bagaimanakah, tahu-tahu wanita itu lenyap dari pandangan mata. Dan

sebelum kedua pemuda itu sadar akan apa yang bakal terjadi, mereka merasa tangannya kesemutan

dan senjata mereka terlepas dari cekalan.

"Aku disini, hihihik!" Terdengar suara tawa Dewi Cundrik yang merdu, namun dalam saat

seperti itu terdengar oleh pemuda kembar itu seperti ringkikkan kuntil-anak.

Kedua pemuda itu hendak berpaling kebelakang, kearah datangnya suara tawa itu. Akan tetapi

aneh, terasa lutut mereka dibentur oleh benda yang kecil tapi keras. Dan Sawung maupun Galing

jatuh berlutut dengan wajah pucat pasi. Dalam keadaan seperti ini andaikata Dewi Cundrik berniat

kejam terhadap mereka, maka untuk membunuhnya semudah orarg menyentuh hidung sendiri.

Sekali lagi Dewi Cundrik memperdengarkan suara tawanya yang melengking nyaring dan

menyeramkan. "Kalian ini cuma anak kecil ingusan tak tahu apa-apa. Kau membela gurumu mati-

matian, sedangkan anak kesayangan guru itu sendiri justeru berpihak dan mencintaiku..."

Sawung Galing terkejut. Kekalahan yang begitu cepat ditemaninya telah cukup mengejutkan

akan tetapi tidak sehebat kejutan yang ditimbulkan oleh ucapan wanita itu.

Namun kedua pemuda kembar itu tak bisa berbuat suatu apapun ketika Dewi Cundrik

mengempit tubuh mereka dikanan kiri, dan membawanya berloncaian di atas air rawa pacet.

Ketika mereka dimasukkan kedalam sebuah kamar tahanan, mereka merasa bahwa dewi

Cundrik telah membebaskan mereka dari totokan atau sentuhan gaib yang membuat mereka tak

berdaya. Diam-diam mereka bingung, terheran-heran dan menduga-duga. Kata-kata Dewi Cundrik

yang terakhir tadi terasa terngiang terus ditelinga.

Dewi Cundrik mendapatkan Joko Bledug yang sedang tergoler letih, lesu dan setengah sadar.

Tampak wanita itu mengeluarkan sebuah botol kecil yang berisi cairan warna merah seperti darah.

Setelah itu, di angkatnya muka Joko Bledug, lalu dituangkannya isi botol kecil itu kedalam mulut

pemuda itu dengan paksa.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

54

Kolektor E-Book

Walaupun dalam keadaan tidak seluruhnya sadar, akan tetapi Joko Bledug menduga bahwa

wanita itu tentu sedang tidak bermaksud baik. Entah racun macam apalagi yang dicekokkan dengan

paksa itu. Joko BIedug mencium bau harum semerbak, dan cairan manis madu yang mengalir

melalui kerongkongan. Akan tetapi ia bermaksud menahan napas dan mencoba untuk


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


memuntahkannya. Namun ketika jari Dewi Cundrik mengurut leher pemuda hijau ini perlahan-

lahan tanpa dapat dicegah cairan itu meluncur terus memasuki kerongkongan, terasa anyir seperti

darah.

Rasa penasaran, amarah dan muak, membuat Joko Bledug pingsan kembali. Agaknya juga

karena pengaruh cairan merah itu. Pemuda itu sendiri berharap akan mati karena racun itu, tetapi

ternyata tidak. Dewi Cundrik tidak membunuhnya. Bahkan setelah meminumkan cairan tersebut

kedalam mulut Joko Bledug wanita itu lintas tersenyum gembira. Dan perlahan-lahan tangannya

mulai bergerak meraba peniti baju sendiri.

Disambar guntur sekalipun, Sawung Galing takkan percaya akan apa yang dilihat oleh

matanya. Kini ketika mereka membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci oleh Dewi Cundrik,

maka mereka melihat sepasang manusia yang sedang tergolek diatas sebuah balai-balai batu, yaitu

Dewi Cundrik dan Joko Bledug.

Mereka melihat sepasang manusia itu tidak berpakaian dan sedang melakukan sesuatu yang

tidak patut disaksikan orang lain. Sawung mengucek-ucek matanya, menampar muka sendiri karena

mengira bahwa mereka telah mati di neraka. Tetapi tidak! Mereka masih hidup, bahkan dapat

mendengar dengan nyata yang sedang dipercakapkan oleh sepasang manusia diatas balai-balai batu

itu.

"Tujuh ringgit ataukah sepuluh ringgit, pusaka pancaloka kau jual kepada Kebo Sulung,

Bledug?" Berkata Dewi Cundrik dengan suara merintih dan merayu.

"Sepuluh ringgit" Joko Bledug menjawab.

"Karena kau mengetahui rencana ayah angkatmu hendak menodai Nyai Tratih. Karena kau

tidak menyetujui perbuatan keji dan kotor itu, bukankah begitu?" Tanya Dewi Cundrik pula.

"Benar begitu" sahut Joko Bledug.

"Dan kau lebih percaya kepadaku. Kau mencintaiku Bledug?".

"Aku mencintaimu!''.

"Sekarang ada dua orang maling, begal, yang datang hendak membunuhmu Bledug. Dia

mencaci maki dirimu, menuduh dirimu sebagai seorang manusia tak berbudi, seorang murid murtad

yang harus dihukum mati. Apakah lebih baik dibunuh ataukah bunuh Bledug?".

"Lebih baik membunuh".

"Karena membunuh lebih kesatria daripada dibunuh!" Dewi Cundrik memperdengarkan tawa

bengis. Kemudian lanjutnya : "Kecuali mereka menuduhmu sebagai murid durhaka, mereka juga

hendak merampas diriku dari tanganmu. Dikatakannya kecantikanku hanya seimbang untuk

mereka, kau jelek dan mereka tampan. Kau tidak seimbang menjadi suamiku katanya. Sanggupkah

kau menghukum orang yang bermulut lancang itu Bledug?".

"Sanggup!".

"Lakukanlah!" Begitu selesai berkata demikian maka Dewi Cundrik telah melompat dari atas

balai batu itu. Setelah melemparkan selembar pakaian keatas tubuh Joko Bledug maka wanita itu

lantas menghilang, tinggal terdengar suara tawanya yang menyeramkan saja yang berkumandang

memenuhi guha.

Dewi Cundrik telah pergi, Joko Bledug bangkit, mengenakan pakaian selembar itu kemudian

mengangkat mukanya. Maka terlihatlah wajahnya yang merah membara seperti kepiting panggang.

Matanya jelilatan, hidungnya kembang kempis dan bibirnya bergetar. Tangan dan kakinya

menggigil hebat, akan tetapi ia melangkah dengan terhuyung.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

55

Kolektor E-Book

"Mana maling cilik yang hendak membunuhku?" Suara Joko Bledug terdengar serak dan

menyeramkan.

Lalu tubuhnya yang terhuyung-huyung itu melangkah garang, menyosoh-nyosoh lantai guha

batu itu mendekati kamar dimana Sawung dan Galing ditahan.

Sawung Galing terkejut dan gugup bukan main. Dilihatnya Joko Bledug yang semula

dikenalnya sebagai seorang bocah pendiam, baik hati dan selalu ramah itu, kini tampak seperti

seekor macan kumbang yang sedang lapar. Dan walaupun lambat. akan tetapi pasti bahwa ia sedang

menghampiri Sawung dan Galing.

Sawung Galing berlompatan keluar menyambut dengan hati penuh duka dan kasihan, mereka

bermaksud untuk menyadarkan anak angkat gurunya itu. Mereka tahu Joko Bledug sedang berada

dalam pengaruh jahat Dewi Cundrik, yang walaupun mereka tidak melihat Dewi Cundrik

mencekokkan cairan merah, tetapi mereka yakin tentu wanita siluman itu telah dengan sengaja

meracuni kesadaran bocah itu.

Sungguh diluar dugaan, begitu melihat munculnya Sawung Galing maka Joko Bledug

memperdengarkan suara menggerang seperti harimau, terus menubruk sambil membentak : "Kalau

kedua maling cilik itu!"

Sawung Galing belum habis bingungnya. Sehingga terkaman Joko Bledug yang sangat

mendadak itu membuat keduanya tak sempat menghindar. Mereka mengangkat tangan menangkis.

Duukk! Bukan main tenaga Joko Bledug. Kecuali pukulannya panas seperti api, juga

tenaganya sangat besar lebih dari ukuran biasa. Sawung Galing terpental jatuh, berdebruk

menghantam dinding kamar.

"Adi Bledug! Ingat! Ingat! Aku kakang Sawung!"

"Ingat adi Bledug! Aku kakangmu Galing!"

Tetapi sepasang mata dan telinga Joko Bledug seperti tidaK dapat melihat dan mendengar

ucapan kedua pemuda kembar itu. Sepasang jari-jari tangannya mencengkeram kedepan, ganas

seperti cakar macan.

Semua serangan yang dilancarkan oleh Joko Bledug adalah jurus-jurus pilihan dari ilmu silat

Blimbingwuluh. Sebagai Sawung dan Galing, kedua pemuda ini belum lama, baru sebulan,

mencicipi ilmu pelajaran dari Kiai Teger. Walaupun betapa berbakatnya kedua pemuda kembar itu,

tak mungkin mampu mengimbangi Joko Bledug yang sejak kecil digembleng oleh ayah angkatnya.

Kedua pemuda kembar itu mengelak kesamping, seorang kekiri dan seorang kekanan

maksudnya agar seorang dapat selamat. Siapa duga secara tiba-tiba Joko Bledug mendoyongkan

tubuhnya kedepan, kedua tangan masih mencakar Sawung, kaki kanannya meluncurkan tendangan

datar menyambar leher Galing.

Sekali lagi kedua pemuda kembar itu mengaduh sarnbil tubuhrya bergulingan menjauh,

Sawung mengucurkan darah dari luka dimukanya yang robek oleh cakaran Joko Bledug.

Serempak keduanya melarikan diri, berlari cepat meninggalkan kamar menuju kehalaman

istana Guha Gempol itu, Joko Bledug masih terus memburunya sambil terus memperdengarkan

suara menggeram seperti singa.

"Adik Bledug! Kenapa kau? Kenapa? Aku kakang Sawung?"

"Bledug! Aku Galing!"

Kedua pemuda kembar itu berkaok-kaok terus berseru menyadarkan Joko Bledug. Mereka

sama sekali tidak melakukan perlawanan dan hanya berlarian terus dikejar-kejar oleh Joko Bledug.

Mereka bingurg, tak tahu apa yarg harus mereka perbuat.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

56

Kolektor E-Book

Sementara itu, sambil mengejar Joko Bledug selalu melancarkan serangan menendang,

menerkam ataupun memukul. Sehingga berkali-kali kedua pemuda kembar itu terjatuh bangun dan

menderita luka-luka.

Menyedihkan sekali keadaan pemuda kembar itu. Mereka berlarian tak keruan arah sambil

terus menghindari serangan Joko Bledug yang membuta.

Andaikata mereka mau melawan, walaupun Joko Bledug merupakan murid tertinggi ilmunya

dalam perguruan Blimbingwuluh, agaknya sepasang pemuda kembar yang gagah berani tak

mungkin begitu mudah dapat dilukai.

ltulah kesulitannya. Mereka tetap dikuasai oleh rasa sedih dan kasihan terhadap anak angkat

gurunya yang sedarg terkena pengaruh jahat orang lain. Namun akibatnya, karena mereka

menyayangi bocah itu, malahan membuat mereka sendiri dihajar habis-habisan.

Ketika Sawung agak terlambat, sebelah tangan Joko Bledug telah mencengkeram iganya, dan

dengan tangannya yang lain bocah itu melancarkan pukulan kearah leher. Melihat detik yang

menentukan itu, seketika berkobar kemarahan Galing. Dasarnya pemuda ini lebih berangasan

daripada kakak kembarnya maka ia berseru sambil menerjang maju.

"Bledug! Jangan terlalu memaksa!".

Kedua tangan beradu keras. Terdengar suara tulang yang patah. Galing menjerit kesakitan,

tubuhnya terpelanting dengan keras. Tetapi untungnya Sawung dapat terbebas dari ancaman maut.

"Bagus!" Joko Bledug mendengus menyeramkan. "Kalian ingin mencoba kelihaian ilmu silat

Blimbingwuluh?"

Sementara itu Sawung telah menegur adik kembarnya sambil merengut kecewa : "Adi!

Mengapa kau melawan orang yang sedang tidak sadar?"

"Kau bisa mati kakang!" Galing berseru sambil menangis.

"Apalah bedanya mati ditangan saudara seperguruan sendiri, dengan mati ditangan siluman

menjijikan itu? Hiduppun tak ada artinya adi? Toh penawar racun pacet wulung tidak kita peroleh."

"Tidak kakang! Tidak!" Galing menjawab sambil terus berlarian. "Aku tak mau mati sia-sia

kakang! Kita toh memangnya bekas begal! Buat apa menuruti kelemahan hati sendiri? Aku sudah

berusaha menyadarkan adi Bledug, tetapi agaknya ia terlalu menyombongkan ilmunya."

"Tidak adi. Jangan melawan..."

Kedua pemuda kembar itu lari lagi. Namun mereka hanya berputar-putar dihalaman istana itu

beIaka. Mereka tidak melihat jalan menuju keluar dari ancaman maut itu. Kembali ke

Blimbingwuluh, berarti mereka harus menyebrangi rawa pacet, alias menyerahkan nyawa kepada

lintah-lintah yang kelaparan itu. Atau ketimur? Mereka melihat dinding gunung batu karang yang

tegak, tingginya lebih ratusan meter. Cecakpun agaknya belum tentu dapat selamat untuk

mendakinya. Keselatan? Mereka tahu, jalan keselatan adalah jalan menerobos terowongan guha

Gempol itu. Kccuali tempat itu sangat asing bagi mereka, juga berarti menyerahkan jiwa kepada

Dewi Cundrik, sebab tempat itu adalah termasuk istananya. Kebarat? Ah, mereka telah mendengar

bahwa disebelah barat istana guha Gempol atau Telagasona itu di batasi oleh jurang-jurang dalam

yang tak pernah terduga dalamnya. Bahkan cerita orang, kabarnya tempat itu dihuni oleh raksasa-

raksasa yang sangat buas. Betapa mengerikan, menerima kematian dari keganasan seorang raksasa

yang tentu akan meIahap dan mengunyah-ngunyah tubuh mereka!

Akhirnya keduanya jadi bertambah kalut dan penasaran. GaIing telah berkali-kali melakukan

perlawanan.

"Kakang. Kakang. Aku dapat menerima sakit ataupun kematian. Akan tetapi aku tak dapat

menahan penghinaan, kakang!" seru Galing diantara kemarahannya yang membuat suaranya serak.

"Adi Bledug tidak menghina kami, adi. Dia dalam keadaan tidak sadar!".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

57

Kolektor E-Book

"Persetan! Aku tak mau dibunuh tanpa melawan!"

Akan tetapi Sawung tetap berkeras dengan sikapnya. la marah terhadap perbuatan adik

kembarnya dan sering mengomel terus walaupun ia sendiri terjungkir balik menahan pukulan.

Di dalam hidupnya, Galing paling sayang dan disayang oleh kakak kembarnya. Dan rasa

hormatnya kepada kakak kembarnya itu ibarat tidak ada batasnya. Sehingga walaupun dalam hati ia

tidak setuju akan tetapi akhirnya menurut juga.

Namun, sebagai kata pepatah, sebelum ajal berpantang mati. Kedua pemuda kembar itu

berpandangan sejenak. Dan tanpa melahirkan kata-kata, mereka telah melakukan perbuatan yang

sama, keduanya berlari kencang kearah barat.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Joko Bledug sungguh-sungguh seperti macan gila, memburu dengan buas dan garang sambil

terus melakukan serangan-serangan ganas. Berjam-jam mereka uber-uberan menuju ke arah barat,

diatas jalanan berbatu karang yang mendaki. Kedua pemuda kembar itu mengerahkan seluruh sisa

tenaganya untuk berlari secepatnya, akan tetapi akhirnya Joko Bledug hampir dapat menyandak

pula.

Mendadak mereka tiba pada sebuah pendakian yang terakhir, sebuah dataran batu ditempat

ketinggian yang luasnya hanya kira-kira sepuluh depa. Begitu mereka tiba seketika dua pemuda

kembar itu tertegun kaget, berdiri dengan muka pucat pasi.

Dihadapannya kini menganga sebuah jurang yang sangat lebar, yang pada mulut jurang itu

tampak gelap berkabut tidak jelas sampai dimana batas-batasnya. Dari bawah sana didasar jurang

terdengar suara menyeramkan, suara angin yang melengking-lengking, suara air terjun, dan segala

macam suara yang sulit dikenal, yang serba mengerikan.

Apa yang diceritakan orang tentang jurang maut itu kini telah berada didepan mata.

Menceburkan diri kedalam jurang sama halnya dengan membiarkan tubuhnya remuk hancur tak

berbentuk, dan entah dimana bangkai mereka akan mengendap, bayangan kematian yang demikian

membuat hati kedua pemuda kembar itu jadi ciut. Tetapi untuk surut kembali tak mungkin lagi,

sebab justeru disaat itu Joko Bledug telah menyerang tiba.

"Adi Bledug! Kau keterlaluan?" pekik Galing seraya memutar tubuhnya, dan dengan mata

merah berapi bersiap untuk menghadapi serangan. "Kakang Sawung kita tak mungkin rnenerima

kematian secara begini! Tidak!"

"Jangan adi! Jangaaannnn!" Sawung berseru bingung.

Tetapi Sawung sendiri harus berbuat bagaimana. Sementara Joko Bledug dengan suara

gerengan keras menerkam maju, kedua tangannya berubah seperti sepasang cakar, mencengkeram

leher kearah dua pemuda kembar itu.

Galing sudah kehabisan akal. Sambil memekik nyaring, cepat pemuda itu menjatuhkan diri

sambil menyapukan sebelah kakinya kearah kaki Joko Bledug. "Siapa saja boleh mati disini!"

Pekiknya.

Walaupun tidak ingin melawan, akan tetapi Sawung juga menangkis, karena kesempatan

untuk mundur tak ada lagi.

Di lain pihak, Joko Bledug yang sepenuhnya berada dalam pengaruh racun merah yang

dicekokkan kepadanya, ia hanya tahu bahwa kedua pemuda lawannya itu hendak membunuh

dirinya. Ia merasa bahwa apa yang dialaminya tadi adalah suatu kebahagiaan, suatu ucapan mesra

penuh kasih sayang yang didengarnya dari Dewi Cundrik merupakan kebenaran menyeluruh dalam

pikirannya. Seumur hidup, bocah ini belum pernah merasakan ujudnya kasih sayang seorang

wanita, seorang ibu. Sejak kecil ia dirawat dan dibesarkan oleh Kiai Teger, oleh ayah angkatnya,

yang walaupun dalam keadaan sehari-hari ayah angkat sangat menyayanginya, akan tetapi kasih

sayarg seorang laki-laki tentu berbeda dengan kasih sayang seorang wanita!

Bahkan perasaan yang kini sesungguhnya berkecamuk dalam hatinya, ia merasakan adanya

sesuatu yang sangat indah mengagumkan yang terdapat hanya pada wanita yang memelukinya tadi?Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

58

Kolektor E-Book

Joko Bledug tak mau kehilangan kebahagian yang tadi. Ia begitu tenggelom dalam suatu bahagia

palsu yang dengan secara keji telah dicurahkan oleh Dewi Cundrik kepadanya. Joko Bledug tidak

tahu apa itu artinya permainan asmara jahanam yang telah diperankan Dewi Cundrik terhadap

dirinya. Pemuda hijau itu hanya tahu bahwa tak ada suatu kenikmatan rasa bahagia yang pernah

dirasakan kecuali dari wanita itu. Dan Joko Bledug tak mau kehilangan nikmat itu! Tidak! Maka

segala bisikan mesra Dewi Cundrik benar-benar merupakan komando baginya!

Kedua pemuda pendatang itu, dikatakan oleh Dewi Cundrik akan membunuhnya. Tidak boleh

jadi. Maka Joko Bledug sebaliknya yang harus membunuh kedua pemuda itu!

Ketika Sawung dan Galing melakukan perlawanan. Joko Bledug cepat merubah gerakannya

sambil menggereng : "Pembunuh keji! Jangan ganggu kesenanganku! Kubunuh kau! Ketahuilah

aku Joko Bledug anak Ki Ageng Tampar Angin!"

Selesai mengatakan ucapannya itu Joko Bledug melompat maju. dua kakinya melakukan

gerakan-gerakan aneh sebentar kekiri, sebentar kekanan, tahu-tahu berubah terhuyung-huyung dan

ketika tubuhnya hampir roboh ketanah tahu-tahu tubuhnya melompat keudara, kakinya membuat

gerakan menggunting, sedangkan kedua tangannya bergantian memukul susul menyusul. ltulah

dalam ilmu silat Blimbingwuluh atau aliran Suci Hati disebut jurus "garuda anggunting layung".

Kiranya hanya Joko Bleduglah seorang murid Blimbingwuluh yang mampu melancarkan

serangan sakti itu. Karena harus dilancarkan dengan kecepatan tinggi dan ilmu ringankan badan

yang hampir mencapai tingkat sempurna.

Jangankan Sawung dan Galing, kedua pemuda yang baru sebulan menjadi murid Kiai Teger.

Andaikata Tugeni sendiri belum tentu bisa menyelamatkan diri dari serangan yang amat berbahaya

itu.

Galing dan Sawung bukanlah orang pengecut. Melihat datangnya serangan yang tak mungkin

dihindarinya itu, mereka bermaksud mengadu jiwa. Biarlah mereka mati bersama, begitu pikir

Galing. Dan pemuda itu lalu dengan nekad menubruk kedepan sambil melontarkan pukulan.

Sementara itu Sawung yang hakekatnya memang tak suka berkelahi melawan Joko Bledug hanya

mengangkat kedua tangannya untuk melindungi muka.

Akibatnya sungguh menyedihkan. Galing tak dapat melindungi lehernya dari guntingan Joko

Bledug. Pemuda kembar ini tak sempat berteriak lagi, lehernya kontan terpelintir, tewas seketika.

Akan tetapi pukulannya berhasil juga mengenai lambung Joko Bledug.

Di lain pihak, Sawung yang hanya berusaha melindungi muka dan kepalanya tak sempat

mengelak ketika pukulan Joko Bledug berubah menurun. Tujuh kali secara susul menyusul dada

pemuda itu tergempur pukulan Joko Bledug. Tubuh Sawung melayang terlempar kebelakang.

Terdengar pekiknya yang penuh kekecewaan, disaat mana tubuhnya telah meluncur masuk kedalam

jurang.

Joko Bledug sendiri begitu turun kembali ketanah lantas terhuyung dan roboh. Dadanya

memuntahkan darah kental merah. Sesaat kemudian ia telah tergoIek pingsan.

Beberapa lama kemudian. Joko Bledug siuman. Ketika ia membuka matanya maka yang

pertama kali terlihat olehnya adalah alam sekitarnya yang serba remang-remang. Fajar sedang

menyerak ditimur udara pagi yang segar meniupkan hawa berembun yang menyegarkan.

Bila ia bangkit dari tanah maka dilihatnya seseorang, seorang pemuda yang tergeletak tewas

disampingnya Joko Bledug terperanjat dengan segera diamat-amatinya siapa orangnya yang telah

meninggal dunia itu.

Sedikit demi sedikit Joko Bledug dapat mengenal bahwa pemuda itu adalah murid ayah

angkatnya, seorang diantara pemuda kembar bekas begal yang bernama Galing.

Mengapa Galing terbunuh? Siapa yang telah membunuhnya?

Joko Bledug mengerutkan kening, mengingat-ingat. Lalu sedikit demi sedikit terbangkit

kembali dalam ingatan-ingatannya yang samar-samar antara nyata dan tidak, apa saja yang dialamiYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

59

Kolektor E-Book

sejak semalam. Tentang pertemuannya dengan wanita jelita yang seperti Dewi Cundrik. Tentang

perbuatan yang dilakukan dengan wanita itu. Lalu tentang dicekokinya cairan bau harum oleh

wanita jelita itu. Lalu tentang dua pembunuh yang bermaksud membunuhnya!

Dewi Cundrik? Dua orang pembunuh? Mungkinkah mereka itu Sawung dan Galing kedua

rnurid ayahku itu? Mengapa, mengapa mereka berada disini dan mengapa Galing terbinasa.

Dimanakah Sawung?

Sedikit demi sedikit, satu demi satu, setiap peristiwa yang terjadi pada malam hari itu

terbayang seperti rentetan bayangan yang mencekam.

Saat itulan, tiba-tiba Joko Bledug berteriak, memekik dengan hati penuh kemarahan dan

penyesalan. Seluruh tubuhnya gemetaran, untuk kemudian ia menubruk, memeluki Galing sambil

meratap.

Tewas dengan leher terpelintir seperti yarg dialami oleh Galing adalah kematian yang terjadi

akibat serangan jurus "garuda anggunting layung". Jurus ganas dan dahsyat itu hanya dapat

dilakukan oleh orang Suci Hati, orang-orang dari perguruan Blimbingwuluh yang telah kehabisan

akal.

Hlabis siapakah orang Blimbingwuluh yang kehabisan akal? Tidak ada orang ditempat itu

kecuali Joko Bledug sendiri. Teringat akan hal yang demikian maka duka sesal dan ratapan Joko

Bledug makin menjadi-jadi.

Peristiwa duka tentang ayahnya yang telah dicelakai oleh Dewi Cundrik diserahkan kekamar

siksa tentang pencurian pusaka Pancaloka, dan penghancuran perguruan Blimbingwuluh telah

cukup melukai batin bocah ini, karena ia selalu anak kesayangan Kiai Teger tidak dapat berbuat

sesuatu, bahkan kini ia telah jatuh terjerumus dalam kehinaan melayani nafsu rendah Dewi Cundrik.

Bahkan terakhir kini ia telah membunuh Galing dan tentu juga Sawung, kedua murid ayah

angkatnya.

Apa gunanya ia menjadi anak angkat Kiai Teger, guru sakti yang sangat mencintainya itu.

Inikah semua pembalasan budi untuk gurunya? Untuk perguruan Blimbingwuluh? Apalah artinya ia

mempelajari ilmu silat dan kepandaian, untuk membunuh saudara seperguruan sendiri?

Penyesalan, rasa duka dan malu terasa menampar-nampar muka dengan sangat keras. Joko

Bledug gemetaran, menggigil dan akhirnya terjengkang jatuh. Kian diingat kian mendidih

penyesalan dan malu itu mengamuk hebat didada. Betapa ia dapat berbuat tak senonoh, main

asmara dengan wanita yang telah mencelakai ayah angkatnya? Itukah balas budi seorang anak yang

berasal dari bayi kapiran dipinggir kali?

"Ayah! Ayah! Bunuhlah aku... Aku cuma anak anjing tiada guna!" Joko Bledug memekik

sekuat-kuatnya, suaranya lantang berkumandang membentur dinding bukit dan jurang. Lalu tampak

pemuda itu melompat-lompat jatuh tersungkur, bangkit, mencakari sekujur tubuh, mencakar muka

dan merobek-robek baju sendiri seakan hendak merobek kulit daging sendiri.

Wajahnya sebentar pucat, sebentar merah menyala seperti bara. Dan matanya terkadang

guram seperti orang putus asa, akan tetapi sesaat kemudian telah berubah jadi liar dan jelilatan dan

merah beringas.

Segala yang tampak didepannya, dihantarn dan ditendangnya! Dihancurkannya batu-batu,

dipukulinya dinding-dinding bukit, juga dadanya sendiri. Setelah itu kijang dikejar pemburu, Joko

Bledug berlari memasuki mulut guha Gempol, istana Dewi Cundrik.

"Cundrik! Cundrik! Kubunuh kau! Keluaaarr!" Joko Bledug berteriak-teriak dimulut guha.

Tidak terdengar jawaban.

"Cundrik! Siluman, iblis jahanam! Lawan aku, anak anjing tak tahu membalas budi!".

Tapi suasana istana Telagasona sunyi semata. Dengan garang Joko Bledug menyerbu masuk.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

60

Kolektor E-Book

Semua patung-patung, hiasan dinding guha, dan obor-obor yang menyala dibokor-bokor

kuningan semua dihancurkan. Hiruk pikuk suara benda-benda keras yang terbanting pecah benda-

benda yang beradu kelantai atau dinding, akan tetapi belum juga tampak Dewi Cundrik munculkan

diri.

"Akan kuhancurkan istana jahanam ini... Cundrik! Kuhancurkan sebagaimana kau hancurkan

perguruan Blimbingwuluh! Cundrik! Cundrik!"

Dari ruangan yang satu, Joko Bledug berlari keruangan yang lain. Dan terus mengamuk,

menghancurkan setiap benda apa saja yang secara kebetulan terlihat oleh matanya.

Mendadak, terlihat olehnya sebuah tempayan besar dari kuningan yang berdiri disamping


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


sebuah pintu batu, Joko Bledug menubruknya, terus bermaksud mengangkat tempayan itu. Tetapi

kiranya benda itu bukan terletak begitu saja diatas lantai. Betapapun pemuda itu mengerahkan

seluruh tenaganya tempayan itu sama sekali tidak bergeming dari tempatnya.

"Keparat Cundrik! Keluar! Dimana kau?"

Sambil berteriak demikian Joko Bledug menubruk sekuatnya, dan dengan sekuat tenaga

mendorong tempayan itu dengan maksud untuk menggulingkan benda itu.

Tetapi tempayan itu bukannya bergulingan, bahkan dengan tiba-tiba telah berputar setengah

lingkatan sambil memperdengarkan bunyi gemerit yang sangat nyaring. Dan baru saja Joko Bledug

terkejut, kiranya lantai tempat ia berpijak telah membuka dan tak ampun lagi tubuhnya meluncur

kebawah tak terkendalikan lagi?

Joko Bledug merasa tubuhnya melayang bagai daun kering tertiup angin, deras meluncur terus

kebawah.

Cengkeraman maut akan segera menerkam dirinya, akan tetapi dalam hati Joko Bledug malah

tertawa. "Syukurlah kalau aku dapat terkubur ditempat yang tersembunyi ini. Mati diatas bumipun

tangan siapa yang patut merawatku?".

"Aduh, mati akuu!" Kata Dewi Cundrik seraya mengeprak kudanya sehingga binatang

tunggangan yang agaknya mengerti akan maksud majikannya segera mempercepat larinya,

melompat-lompat dan nyongklang sambil memperdengarkan suara meringkik. "Ki Genikantar! Aku

tidak ingat sama sekali bahwa malam ini adalah malam pertemuan kita. Apakah sahabat-sahabat

yang lain juga sudah berkumpul?".

Yang dipanggil sebagai Ki Genikantar adalah seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh

lima tahunan, yaitu orang yang berkuda disamping Dewi Cundrik ini.

Lelaki tua itu berperawakan tinggi kurus, kulitnya hitam, terutama sekali mukanya yang

kelimis itu teramat hitam hingga tampak seakan-akan berwarna biru. Dahinya lebar, hidung dan

mulutnya besar dengan kumis yang tak teratur tumbuhnya, seperti kotoran yang mengotori sekitar

mulutnya belaka.

Kecuali sikapnya yang dingin, lelaki tua itu memiliki bentuk yang sangat menyeramkan

adalah pada mata dan alisnya. Matanya celong dengan biji mata yang tajam berkilat seperti mata

pisau. Sedangkan alisnya terlampau lebat dan panjang, hingga sebagian menutupi matanya yang

cekung itu.

Ki Genikantar, biasa juga disebut orang sebagai Kiai Bantar Kawung, sebab memang laki-laki

tua itu berpadepokan didaerah Bantar Kawung dan merupakan cikal bakal serta pendiri perguruan

ditempat itu.

"Untuk kau, Dewi Cundrik, semua orang mau memaafkan, termasuk juga aku mengerti sebab

kelalaianmu!" Jawab Genikantar diantara suara tawanya yang dingin meremangkan bulu kuduk.

"Mengerti bagaimana?"Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

61

Kolektor E-Book

"Tentu kau terlalu asyik dengan daun-daun mudamu, dan lupa akan kewajiban, bukankah

begitu?"

Dewi Cundrik tertawa. Tetapi belum habis tawanya, wanita itu tiba-tiba menghentikannya,

dengan terkejut. "Kau mengintip!"

Kiai Bantar Kawung atau Ki Genikantar tertawa dingin. "Mengapa?"

"Ah, tidak. Mereka takkan bisa lolos dari lingkungan istanaku, kecuali memilih kematian

dimakan raksasa?" Dan Dewi Cundrik tertawa lagi.

Tadi sejenak ingatannya terganggu pada mereka yang ditinggalkan dilingkungan istana

Telagasona, yaitu Joko Bledug dan kedua pemuda kembar itu. Akan tetapi wanita itu segera

mendapatkan jawaban untuk keragu-raguannya sendiri. Bukankah mereka takkan dapat melarikan

diri?

"Kebiasaanmu menguasai pemuda-pemuda hijau itu agaknya Cundrik, yang menyebabkan

kau awet muda" kata Ki Genikantar dengan mata disipitkan sehingga biji matanya benar-benar

tersembunyi.

"Manakah lebih baik dari keinginanmu yang terlampau besar untuk menjadi yang dipertuan

diseluruh bumi Pemalang?" Dewi Cundrik mengejek.

"Mana aku berani bercita-cita begitu gila-gilaan, sedangkan ditanah ini ada kau, Cundrik?".

Dewi Cundrik diam. Terhadap tokoh tua itu, walaupun dalam sikapnya Dewi Cundrik selalu

memandang rendah akan tetapi dalam hati sesungguhnya wanita itu mengakui keunggulan Ki

Genikantar, terutama dalam hal menabri pengaruh dan mengatur tata gelaring perang.

Dewi Cundrik mengenal siapa adanya Ki Genikantar teman seperjalanannya itu. Ki

Genikantar dan perguruan Bantarkawung adalah sebuah perguruan yang sejak puluhan tahun yang

lalu merupakan perguruan yang menghasilkan tidak sedikit orang-orang berkepandaian tinggi. Di

masa mudanya, Ki Genikantar adalah seorang bintara tentara Mataram, tidak mengherankan apabila

perguruan Bantarkawung sekali waktu dapat membuat para murid perguruannya menjadi perajurit-

perajurit gemblengan yang paham dengan ilmu perang.

Hanya sayangnya sejak Ki Genikantar meninggalkan jabatan keperajuritannya, ia telah

merubah jalan hidupnya dengan cita-cita untuk menjadi orang besar, hartawan dan orang yang

ditakuti oleh setiap orang dari rimba persilatan.

Berkali-kali perguruan yang letaknya dipunggung gunung yang membatasi antara belahan

utara dan selatan pulau Jawa itu, melakukan penyerbuan-penyerbuan terhadap cabang perguruan

lain dengan maksud mencari nama dan mencari upeti.

Puteri malam dengan lambat mulai terpelanting di sebelah barat pusat langit. Awan tipis yang

tertebar bagai kapas berarak-arak tiada hentinya dihembus angin, seakan-akan menjadi pengawal

sang ratu malam. Hutan yang menghitam sepanjang tepi jalan tinggal merupakan bentuk-bentuk

kaku dan sepi, kecuali bisik-bisik dedaunan yang tersentuh angin semilir.

Sepi, tiada lagi kedua penunggang kuda itu terdengar bercakap-cakap. Hanya tinggal suara

derap kaki kuda mereka yang kian lama kian berubah menjadi derap yang kelihatan.

Tanah lapang Banjardawa, yang merupakan tanah datar dan gundul, terletak diantara hutan

Pener hutan Banjarsari. Gindang dan Lodaya, disaat ujung malam itu merupakan tempat pertemuan

antara beberapa tokoh persilatan dari beberapa pintu perguruan.

Hampir tepat ditengah-tengah tanah datar itu terdapat dua buah batu bundar yang saat itu

masih kosong. Sedang dihadapannya, berderet batu-batu bundar pula tetapi agak kecil, dalam

bentuk setengah lingkaran telah tampak diduduki orang.

Tak lama antaranya muncul Dewi Cundrik dan Genikantar, yang langsung mengambil tempat

duduk pada dua buah batu bundar yang sejajar itu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

62

Kolektor E-Book

Begitu berdua ini muncul maka orang-orang yang duduk setengah lingkaran itu bangkit

membungkuk hormat sambil mengucapkan salam, yang disambut oleh Genikantar dan Dewi

Cundrik dengan senyum gembira.

Sejenak suasana jadi hening kembali. Tetapi keheningan itu akhirnya dipecahkan oleh Dewi

Cundrik yang memulai berbicara.

"Selamat berjumpa untuk saudara kita yang baru, Sogapati! Saudara-saudara sekalian, dalam

kesempatan ini akan kami perkenalkan seorang sahabat kita yang baru kepada saudara-saudara

sekalian, yaitu adik Sogapati, ahli golok kenamaan dari Loning!". Sambil berkata Dewi Cundrik

mengembangkan telapak tangannya ke arah seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahunan yang

duduk pada tepi paling kiri. "Rupanya diantara sekian banyak anak murid Ki Cucut Kawung yang

serba masa bodoh dan cuma memikir urusan dewek, masih ada juga seseorang diantaranya yang


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Naga Putih 97 Pembalasan Kisah Si Pedang Buntung Lanjutan Ratu

Cari Blog Ini