Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar Bagian 4
laki setengah umur yang masing-masing membawa jala ditangan. Jalasutro dan Jalaputro ini adalah
sepasang murid tingkat kedua, yang tentu saja ilmu kepandaiannya boleh dibilang cukup tinggi.
Kedua laki-laki ini bentuknya sangat ganjil dan lucu, kalau Jalasutro tinggi kurus, kurus
kering seperti cecak kejemur, maka Jalaputro memiliki potongan tubuh yang mirip kuali, bulat
pendek, terutama sekali perutnya buncit dan menggelikan karena pusarnya yang bodong kedepan.
Kerincing! Krinciiing! Kedua murid Bantarkawung menggerakkan jalanya.
Jangan dikira bahwa senjata mereka itu hanyalah sebuah jala biasa yang sering dipakai orang
menangkap ikan. Jala mereka itu penuh diperlengkapi dengan senjata tajam. Kalau jala si Jalasutro
pada pinggirannya terdapat bandul-bandul kecil dari kuningan, dan pada tiap simbulnya terdapat
pisau-pisau kecil yang tajam berkilauan maka jala si Jalaputro juga dilengkapi dengan bandul-
bandul kuningan, hanya bedanya senjata simpul tali jala itu berbentuk gaetan seperti mata pancing.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
91
Kolektor E-Book
Sogapati tergetar maju. Walaupun ilmu sepasang goloknya dari Loning sudah boleh
diandalkan, akan tetapi menghadapi sepasang ahli jala yang tampangnya bengis menyeramkan itu,
hatinya gelisah juga. Apalagi terpikir olehnya bahwa disitu, ia hanya sendiri, sedangkan pihak
lawan boleh dikata semuanya yang hadir!
Hadirin telah membentuk sebuah kalangan, lingkaran yang berukuran sepuluh langkah.
Sogapati berhadapan dengan sepasang murid Bantarkawung itu, dalam keadaan untuk
mempertaruhkan kebenaran. Betapapun ia merasa tak bersalah! Bukti dan saksi dapat dibuat dan
diperkuat, akan tetapi mana bisa Sogapati menerima kesalahan yang tak pernah dilakukannya?
"Ilmu golok Loning sangat termashur, aku ingin merasakan kelihayannya, harap Sogapati
jangan pelit-pelit!" Kata Jalasutro seraya tersenyum mengejek.
Sogapati telah menarik sepasang golok pendeknya. Dan menyahut :
"Mana boleh perguruan Loning dibandingkan dengan Bantarkawung! Akan tetapi aku tak
mau orang berlaku sewenang-wenang terhadap diriku!".
"Banyak mulut!" Jalaputro yang suaranya melengking seperti suara gangsir, telah membentak
sambil mengayunkan jalanya. Jala itu segera menebar menimbulkan suara bergemerincing dan
cahaya tajam yang berkilatan mengerikan.
Sogapati tak perlu berlalai-lalai lagi. Melihat munculnya tepian jala yang berbandul-bandul
genta-genta kecil itu, cepat-cepat ia melompat mundur sambil memutar goloknya. Wuutt!
Crringcringcring! Sebelah tangan Sogapati menyabetkan goloknya, membabat kearah jala. Akan
tetapi segera ia terkejut ketika jala lawan ternyata sangat ulet, sabetan golok itu tidak memutuskan
selembarpun tali jala, bahkan terpental membalik.
Memang demikianlah kenyataannya. Benang jala kedua murid Bantarkawung itu terbuat dari
bahan sejenis sutera yang sangat ulet, yang masing-masing dililiti oleh benang-benang perak yang
sangat halus, hingga benda tajam macam golok itu sajapun dapatlah dibuat tak berdaya.
Sekali gebrak saja Sogapati sudah insyaf bahwa kedua lawannya kecuali memiliki ilmu
kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan, mereka memiliki senjata yang tak mempan kena
senjata tajam.
Sogapati baru saja dapat berdiri tegak kembali ketika mana Jalasutro telah menyusuli
serangan saudara seperguruannya, memutar jala itu tinggi-tinggi kemudian menebarkan sekeras-
kerasnya.
Gemerincing suara nyaring berkumandang dan berkilatan cahaya putih tajam menyilaukan.
Sogapati cepat-cepat melompat kesampirg sambil menyusupkan tangannya kebawah, menyabet
dengan goloknya.
Akan tetapi agaknya Jalaputro telah menduga hal itu, dan ia telah memapak serangan
Sogapati dengan sambaran jalanya yang terbuka.
Apabila Sogapati melanjutkan serangannya, berarti senjatanya akan kena dirampas lawan.
Cepat-cepat ia menarik kembali senjatanya, dan sebelah kakinya menendang kearah sambungan
lutut Jalasutro.
Jalasutro sedang menurunkan jalanya, dan siap untuk menebarkannya kembali, namun
melihat serangan Sogapati ia merubah gerakan hanya menggoyangkan jala itu, maka bandul-bandul
jala itu bertebaran kesamping menyambar kaki Sogapati dari segala arah!
Sogapati terpekik kaget. Hanya dengan cara menjatuhkan diri bergulingan saja, maka ia
sempat menyelamatkan diri dari totokan bandul-bandul jala itu.
Akan tetapi itupun tidak berarti ia telah selamat, sebab kedua murid Bantarkawung itu telah
melancarkan serangan susul menyusul secara bertubi-tubi.
Jala adalah sebuah benda yang dapat rnelebar dan menyusut.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
92
Kolektor E-Book
Lagi pula jala kedua orang itu justru sangat ulet Sogapati hanyalah bersenjatakan sepasang
golok pendek, walaupun ia lihai memainkan ilmu golok Loning yang termashur itu, akan tetapi tak
beberapa lama kemudian ia sudah mulai keteter habis-habisan.
Sama sekali Sogapati tak berhasil memberikan perlawanan, sebaliknya main lompat-lompatan
kian kemari menyelamatkan diri dari serangan lawan.
Tiba-tiba, ia melompat jauh kebelakang setelah itu ia menyarungkan kedua goloknya.
Tampak pemuda murid Lonirg itu mengheningkan cipta sejenak setelah mana ia
memperdengarkan suara lengkingan nyaring, bersamaan dengan itu, kedua kakinya bergerak secara
aneh dengan kedua tangan yang menggigil seperti orang kesurupan. Sogapati mendesak maju.
"Ha...ha...ha... cuma begitu macamnya delapan langkah membunuh naga dari Loning.
Majulah Sogapati cepat! penghianat harus cepat dibikin beres! Jalasutro tertawa mengejek sambil
mengembangkan jalanya".
Wuuut! Wuuut! Krincing! Kedua jala itu menyambar dengan sangat cepat dan tepat kearah
Sogapati. Sogapati tampaknya seakan-akan tidak menyadari adanya bahaya itu. Ia melangkah
sebentar kekiri atau kekanan, kakinya menyosoh-nyosoh tanah seperti penari kuda lumping, akan
tetapi ketika kedua jala lawan melayap turun, tahu-tahu Sogapati telah melakukan gerakan memutar
secara aneh dan membingungkan.
Dan hebatnya ia dapat muncul kembali diluar kurungan jala, sedangkan jala-jala itu sendiri
saling sambar sesamanya!
Begitulah berulang-ulang terjadi, walaupun kedua murid Bantarkawurg itu telah menguras
seluruh keampuhannya. Sogapti tetap tak dapat mereka tangkap. Bahkan sebaliknya, kini murid
Loning itu sempat melancarkan serangan balasan dengan baik.
Sebagai telah dipaparkan didepan. bahwa ilmu "delapan langkah membunuh naga" terutama
sekali membutuhkan ketinggian ilmu ringankan tubuh dan ketajaman indera.
Dengan adanya kerjasama dua unsur ini, ditambah petunjuk-petunjuk langkah ajaib yang
diciptakan oleh Cucut Kawung si cikal bakal perguruan Loning itu, maka walaupun Jalasutro
maupun Jalaputro menebarkan jalanya kesegala penjuru dunia ibaratnya, tak mungkin ia berhasil
menangkap Sogapati.
Kemana saja jala menebar dan menyabet, maka pada tempat dan saat itu Sogapati telah
memindahkan letak tubuhnya sendiri. Demikianlah, walaupun kelihatannya sempoyongan, miring-
miring, mundur-mundur ataupun berjingkat-jingkat, akan tetapi sesungguhnya Sogapati mengikuti
petunjuk ilmu delapan langkah membunuh naga, yang mana telah diciptakan oleh guru sakti dari
Loning itu berdasarkan inti gerak dan perpaduan dari sari patinya gerak silat dalam mengelak dan
menyerang.
Orang hanya melihat bahwa Sogapati menghilang, tahu-tahu muncul lagi, sempoyongan
kemudian rnelancarkan pukulan. Apa yang dirasakan oleh kedua murid Bantarkawung itu, seakan-
akan Sogapati telah berubah menjadi delapan bayangan orang, yang dapat bergerak-gerak tak
menentu arah, dan tak mungkin disentuh dengan tangan.
Sebaliknya, dalam waktu pendek, kedua murid Bantarkawung itu telah beberapa kali
menderita pukulan dan tendangan Sogapati, hingga keduanya sering berteriak mengaduh-aduh, akan
tetapi mereka tak berani mundurkan diri, mengingat guru mereka ada disitu.
Ketika Jalasutro menyabetkun jalannya diatas sedangkan Jalaputro memutar-mutar jalannya
yang terkembang lebar, maka Sogapati mundur-mundur seperti akan terjatuh. Krumpyang! jala si
Jalasutro menyambar, agaknya Sogapati akan terperangkap binasa akan tetapi mendadak ia
memutarkan tubuh, melintir setengah lingkaran, dan lolos dari tangkapan jala lawan.
Namun, baru saja ia terlolos, tahu-tahu jala si Jalaputro telah meniup seakan elang
menyambar, sangat cepat menungkreb. Tampak Sogapati terhuyung hampir lolos dari bahaya, akanYusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
93
Kolektor E-Book
tetapi mendadak ia tampak terlonjak kaget, dan seketika tubuhnya ambruk ketanah, tepat tertutup
oleh jala si Jalaputro yang sedang melayang turun.
Sogapati meronta, akan tetapi segera seluruh tubuhnya tergaet oleh mata pancing yang tajam
dan runcing.
Pemuda itu menjerit untuk kemudian pingsan dengan darah mengucur dari setiap lukanya.
Terdengar Dewi Cundrik tertawa kecil, seraya melirik penuh ejekan kearah Ki Genikantar.
Ki Gede Ayom yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian,
tampak ia mendehem dan terbatuk-batuk.
"Hanya begitu saja ilmu delapan langkah membunuh naga dari Loning?" Ki Genikantar
memperdengarkan suara mengejek. "Jalaputro, jangan bunuh dia! Bawa dia ke kadipaten, hidup-
hidup."
"Itu cara yang bagus!" Toh Kecubung memperdengarkan dengusan. "Biarkan kadipaten
sendiri yang akan membasmi habis perguruan sombong itu?"
Dewi Cundrik tertawa, disambung tawa Kebo Sulung. Dan Ki Gede Ayom mendehem lagi.
"Dewi Cundrik, kenapa tertawa?" Ki Genikantar membelalakan matanya. tetapi wajahnya
pucat.
"Kau lihay sekali? Lihay dan cerdik!" Sahut Dewi Cundrik masih dengan tertawa.
"Tetapi tawamu menyakitkan telinga, Dewi Cundrik!" Genikantar tersinggung.
"Mengapa kau begitu perasa. Genikantar? Kau cerdik sekali memang. Dengan maksudmu
membawa Sogapati kekadipaten, bukankah kau bermaksud melaporkan perbuatan bocah itu sebagai
pemberontak? Dengan begitu bukankah kau bermaksud mengadu domba antara kadipaten dengan
perguruan Loning?" Dewi Cundrik tertawa lagi.
"Oooo, begitu?" Ki Genikantar agak lega hati, "Bukankah itu cara yang terpuji?"
Memang inipun suatu cara. Cara untuk memukul membikin lawan-lawan menjadi lemah.
Perguruan Loning selama ini sudah lima tahunan di maksudkan oleh paguyuban Banjardawa
agar dapat berpihak kepadanya, akan tetapi ternyata Sogapati tidak berhasil membujuk gurunya.
Hingga sampai saat ini, perguruan itu merupakan pihak luar atau pihak terdiri baik dari kadipaten
maupun paguyuban Bantarkawung.
Pagi itu jaga Sogapati dirangket. Paling menderita sekali waktu jala itu diangkat dari
tubuhnya. Pemuda itu memekik kesakitan karena setiap mata kail yang telah tertanam kedagingnya
disentak dengan keras, sehingga hampir sekujur tubuhnya bermandi darah, dari luka-lukanya yang
dedel duwel.
Dalam keadaan setengah sadar dan tidak Sogapati di belenggu sekujur tubuhnya, kemudian
dinaikkan keatas kuda. Untuk kemudian dengan pengawal yang ketat ia dibawa menuju ke
kadipaten.
Ayam jantan dari pedusunan terdengar berkokok bersahutan. Kabut pagi makin merendah
merapat dengan bumi rnerubah diri dalam bentuk embun yang dingin. Suasana masih temaram
ketika iring-iringan itu melintasi batas hutan tiba pada sebaah jalanan yang didindingi oleh bukit
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karang yang memutih tinggi dan terjal.
Jalan sempit itu disebut orang sebagai "selat pencuci dosa". Karena sempitnya jalan itu tidak
mungkin para pengawal tahanan itu berjalan dengan berjajar, akan tetapi harus beriring urut-urutan
kebelakang.
Di depan sekali berkuda Ki Genikantar, menyusul Ki Gede Ayom, Toh Kecubung maupun Ki
Tambakeso dan Tambarekso.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
94
Kolektor E-Book
Baru kemudian para murid perguruan yang ikut rombongan. Ditengah-tengah, tawanan yang
terikat dipunggung kuda, dijaga oleh beberapa orang murid dan Kebo Sulung. Yang berada pada
deretan paling akhir adalah Dewi Cundrik.
Wanita sakti itu tak pernah mau berpisah dari murid kepercayaannya dan tak henti-hentinya
mengobrol atau berbisik, seakan ada hal-hal sangat genting yang sedang dirundingkannya. Kecuali
itu memang orangpun mengetahui bahwa antara gurunya dan murid itu terjadi hubungan asmara
yang tak patut!
Begitu memasuki selat, maka Ki Genikantar berseru lantang :
"Hati-hati memasuki selat jahanam ini! Lihat-lihat diatas kita, barangkali ada sesuatu!".
Yang lain tinggal diam. Beberapa orang terdengar mendehem, sedangkan beberapa orang lain,
batuk-batukpun ditahan-tahan juga, karena takut pada pengaruh jalanan yang sempit, panjarg dan
termashur sangat berbahaya itu.
Bahkan Dewi Cundrik memberi isyarat kepada Kebo Sulung agar sedikit mengurangi
kecepatan kudanya.
"Murid", bisik Dewi Cundrik selanjutnya. "Coba kau dengarkan ceritaku, dan kau perhatikan
benar-benar!"
"Guru. Tentang selat Pencuci Dosa ini?" Bisik Kebo Sulung sambil tersenyum akan tetapi
wajahnya pucat, melukiskan kekuatiran.
Dewi Cundrik mengangguk.
"Selat Pencuci Dosa ini sebenarnya mempunyai riwayat yang cukup rumit, tetapi ada
manfaatnya bagi kita, sebab sesungguhnya ditempat inilah tersimpan pusaka yang paling ampuh,
keris Kiai Tanjung dan pisau pusaka Nyai Tanjung!".
Sengaja Kebo Sulung melambatkan kudanya sehingga agak terpisah dari rombongan, mereka
kuatir orang lain akan mendengar penuturan Dewi Cundrik yang dianggapnya sangat wigati itu.
Dengan penuh perhatian, Kebo Sulung mendengarkan kisah dari gurunya, sedikitpun ia tak
mau kehilangan cerita walaupun sepatah kata.
Demikianlah penuturan wanita itu.
Sekitar tahun 1628/1629. Mataram Sultan Agung telah mengirimkan pasukan Mataram untuk
kedua kalinya menyerbu Batavia.
Di antara para Senopati perang, Tumegung Bahurekso, Tumegung Suro Agul Agul dan Dipati
Ukur, terdapat sepasang pemuda pemudi sakti yang ikut perang ialah Joko Tanjung Roro Tanjung.
Nama mereka yang sebenarnya jarang orang mengetahui. Hanya dikenal orang, bahwa
mereka adalah sepasang kekasih yang sangat karib dan mesra dalam hubungan sehari-hari.
Joko Tanjung memiliki sebuah keris pusaka, sedang Roro Tanjung merniliki sebilah pisau
sakti pula. Ketika pertempuran berkobar diseluruh bumi Jayakarta, maka sepasang muda-mudi itu
berhasil menunjukkan kegagahan dan kesaktiannya, mengamuk dengan hebat dengan senjata
masing-masing sehingga korban dipihak kompeni tak terbilang jumlahnya.
Namun, sebagai sejarah telah mencatat, bahwa armada yang dikirim oleh Sultan Mataram itu
menemui kegagalan, adalah akibat adanya mata-mata kompeni yang berhasil membakari seluruh
bahan makanan, lumbung padi persediaan bagi para perajurit Mataram itu dan mata-mata itu justeru
adalah anak buah sepasang muda-mudi.
Armada Mataram menderita kekurangan makanan, akhirnya terpukul mundur dan tercerai-
berai.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
95
Kolektor E-Book
Penderitaan hebat dialami oleh segenap perajurit bumi pertiwi ini, terutama sekali dirasakan
oleh Joko Tanjung maupun Roro Tanjung yang merasa bertanggung jawab atas kegagalan
pertempuran itu.
Dalam keadaan terpisah, antara sepasang kekasih itu, maka kedua-duanya lantas mencari
bekas anak buahnya yang menjadi mata-mata itu. Kedua pemuda-pemudi pendekar itu secara
sendiri-sendiri, memasuki benteng kompeni dengan nekad dan gagah berani.
Seluruh mata-mata, penjual bangsa yang dicarinya kebetulan didapatkan sedang menghadapi
hidangan dalam pesta pora bersama pembesar-pembesar kompeni.
Sepasang kekssih pendekar itu mengamuk hebat. Sepasang senjata keris dan pisau pusaka
mereka dengan garang, ibarat cakar maut telah menghirup sekian darah para mata-mata itu, dan
juga para kompeni. Tidak sedikit pihak Belanda menderita korban waktu itu, termasuk para
cecunguk itu ditumpas habis, seorangptin tidak dibiarkan hidup! Bahkan dikisahkan pula bahwa
seorang pembesar atau jenderal kompeni ikut terbinasa dalam pertarungan hebat itu.
Akan tetapi, tak urung kedua muda-mudi pendekar itupun tak dapat keluar dari benteng
musuh itu. Keduanya tertawan. Dan dipenjarakan pada tempat yang terpisah, dalam penjara
dibawah tanah dibenteng itu.
Ada sedikit untungnya bagi mereka, adalah si pemuda sangat tampan dan si gadisnya
sangatlah jelita. Ketika pemerintah kompeni menyuruh bawahannya untuk menjatuhkan hukuman
siksa dalam kamar tikus dan kamar anjing, maka seoraag opsir kompeni berlaku curang. Ia
melarikan Roro Tanjung dan menyembunyikannya dikamar tidur. Nasib malang menimpa dara
perkasa ini. Dalam keadaan tubuh tak berdaya akibat cambukan dan siksa, ia menderita di perkosa
oleh opsir itu.
Demikian pula, ada seorang puteri opsir kompeni yang jatuh hati terhadap Joko Tanjung.
Pemuda ini diselundupkan keluar dari kamar siksa, sedangkan ke kamar anjing tempat penyiksaan
bagi Joko Tanjung telah dimasukkan bangkai seorang mata-mata sebagai gantinya. Waktu kompeni
memeriksa kamar siksa itu, maka mereka mendapatkan anjing-anjing yang kekenyangan, dan tulang
belulang manusia yang berserakan. Akhirnya, selamatlah Joko Tanjung dari pengejaran.
Namun. ada suatu resiko baginya, ia merasa memikul suatu hutang budi yang besar terhadap
puteri opsir kompeni itu. Kian hari, memangnya puteri opsir itupun sangat jelita, Joko Tanjung
jatuh hati kepadanya. Dan terjadilah hubungan asmara diantara mereka, sampai Joko Tanjung
sendiri melupakan kekasihnya, Roro Tanjung.
Tetapi, sebagai peribahasa, sepandai-pandai membungkus bangkai akan tercium juga baunya.
Demikianlah, akhirnya kedua pendekar itu diketahui berada dalam perbentengan dan mereka
dikejar. Namun keduanya berhasil pula menyelundup keluar melarikan diri bersama pasangan
masing-masing.
Kedua pasang manusia lain bangsa itu melarikan diri kearah Timur. Walaupun mereka tak
pernah berunding sebelumnya akan tetapi mereka melarikan diri menuju arah yang sama, yaitu
Gunung Gajah tempat asal mereka.
Di selat inilah secara tak disengaja, mereka bertemu! Tak ampun lagi. pertikaian segera
terjadi. Selisih paham, tuduh menuduh, dakwa mendakwa terjadi diantara mereka hingga terjadilah
pertarungan sengit.
Dikabarkan bahwa pertarungan sengit itu berakhir dengan tewasnya Joko Tanjung dan Roro
Tanjung juga opsir kompeni itu. Sedangkan puteri kompent isteri Joko Tanjung, dikabarkan selamat
berkat pertolongan seorang kelana yang kebetulan lewat ditempat itu. Semula puteri opsir kompeni
itu bermaksud membunuh diri, akan tetapi telah dicegah oleh karena itu karena sang puteri
sesungguhnya sedang mengandung.
Kabar selanjutnya, tidak diketahui bagaimana nasib puteri kompeni itu, hanya dikisahkan
orang bahwa keris pusaka dan pisau jimat yang membawa bencana itu, ditanamkan orang ditepi
selat pencuci dosa ini!.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
96
Kolektor E-Book
"Guru", bisik Kebo Sulung dengan mata bersinar-sinar penuh harapan. "Andaikata kita dapat
menjumpai kelana itu, agaknya kita dapat menemukan dimana adanya keris Kiai Tanjung dan pisau
Nyai Tanjung itu!"
Dewi Cundrik menghela napas.
"Kau tahu, bahwa baik Genikantar maupun Ki Gede Ayom, walaupun dimuka tidak kelihatan
tertarik pada kedua pusaka itu tetapi secara diam-diam mereka melakukan penyelidikan!" Dewi
Cundrik termenung sejenak. "Kabarnya kelana penolong itupun bukan tergolong orang baik-baik.
Dia adalah seorang penjahat sakti yang kabarnya masih ada hubungan perguruan dengan perguruan
Pulau Maceti disabelah tenggara Nusakambangan! Beberapa tahun kemudian, masih terdengar
kelana sakti itu melakukan petualangannya. Akan tetapi akhir-akhirnya, tak terdengar lagi ceritanya,
mungkin ia telah mati, sebab bila dihitung sampai saat ini, sudah lebih dari seratus tahun
lamanya...".
Tiba-tiba pada pembicaraan demikian, mendadak mereka terkejut dan memasang telinga
dengan penuh kecemasan. Terdengar suara burung hantu bersahut-sahutan menyusul kemudian
terdengar suara gemuruh seakan gunung yang runtuh.
Dan sedang sekalian anggota rombongan itu belum habis kejutnya, dari arah tebing sebelah
kiri, tampak tanah-tanah batu beruntuhan. Semula hanya kerikil-kerikil kecil akan tctapi akhirnya
bergemuruhanlah batu-batu besar meluncur kebawah dengan sangat derasnya menghantam mereka.
Seketika kalut dan gcgerlah iring-iringan tawanan itu. Jerit kesakitan, pekik kematian, dan
ringkikan kuda yang terkejut dan terluka memenuhi udara. Batu-batu sebesar kerbau, melayang-
layang jatuh berdembum mengerikan. Gepeng dan hancurlah tubuh orang ataupun kuda yang
tertimpa olehnya.
Demikianlah, iring-iringan itu terkacau balau, masing-masing berlomba untuk mencari hidup.
Terdengar keluh, jerit maupun doa tak menentu memanggil-manggil kebesaran Sang Maha Kuasa,
akan tetapi batu-batu besar kecil itu masih juga beruntuhan seakan-akan tak ada habis-habisnya.
Tidak seorangpun mengingat akan keselamatan orang lain. Genikantar dan Ki Gede Ayom
berhasil menyelamatkan diri, berlari kedepan, karena kudanya tak tertolong lagi, hancur gepeng
tertindih batu. Ki Tambakeso, Ki Tambarekso dan Toh Kecubung walaupun menderita luka-luka
pula, akan tetapi masih dapat menyelamatkan diri dan berlari terpincang-pincang menyusul yang
telah berlari didepan.
Yang celaka adalah para murid mereka, atau para pengawal yang kurang tinggi ilmu
kepandaiannya, hampir separuhnya terbinasa, sedangkan yang separuh lagi menderita luka-luka
hebat.
Yang selamat adalah rombongan kuda dari tawanan Sogapati kebelakang. Tampaknya batu-
batu yang berjatuh itu telah diatur orang untuk memisahkan rombongan itu menjadi dua bagian
yang terputus hubungan sama sekali. Ki Genikantar dan Ki Gede Ayom serombongan didepan,
sedangkan tawanan Dewi Cundrik dan Kebo Sulung sepihak lagi. Batu-batu besar yang berjatuhan
itu menumpuk sangat tinggi, memisahkan mereka sama sekali.
Namun tidak berarti rombongan kedua ini selamat benar-benar, sebab jalan bagi mereka
mundurpun tak ada lagi, tertutup oleh runtuhan batu-batu karang itu.
Nyata dan jelas bahwa ada orang yang sengaja memisahkan rombongan tawanan, Dewi
Cundrik dan Kebo Sulung dari rombongan yang lain, ketika menyusul kcmudian terdengar suara
tawa yang riuh sambung menyambung, seakan-akan datang dari segala penjuru tebing.
Dan sebelum padam suara tawa itu, tampak serombongan laki-laki bermunculan diatas tebing
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelah kanan dan kiri selat yang melempar-lemparkan senjata menghujani Kebo Sulung dan Dewi
Cundrik.
Sementata kedua orang ini sibuk menangkis dan mengelak dari hujan senjata itu, maka
tampaklah muncul seorang dara berpakaian serba hitam yang mengenakan cunduk diubun-ubunnya.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
97
Kolektor E-Book
Begitu muncul, maka data berpakaian serba hitam itu telah melemparkan seutas tali panjang,
dimana di ujungnya tampak diikat sebuah paku baja yang amat besar.
Tali berdesing, meluncur secepat anak panah, dan paku baja itu menancap amblas kedalam
batu karang.
Seketika itu, tampaklah si dara meluncur turun melalui tali. Seakan hanya sekejap mata, maka
ia telah tiba didasar selat. Bagitu kakinya menginjak maka ia bergerak secepat bayangan
menyambar tawanan, dan membawanya naik kembali melalui tali.
"Cunduk Puteri!" Seru Dewi Cundrik dengan geram. "Tunggu!" Dan wanita dari Guha
Gempol ini bermaksud melancarkan serangan, akan tetapi ia terlalu sibuk. Hujan senjata yang
dilontarkan olen laki-laki di atas tebing itu terlampau banyak sehingga membuat ia kerepotan. Tidak
terkecuali Kebo Sulung. Walaupun mereka tidak dapat dilukai oleh hujan senjata itu akan tetapi
mustahil baginya untuk mengejar dara berpakaian hitam yang membawa pergi tawanan itu.
"Tahan?" Seru Dewi Cundrik seraya menggerakkan tangannya. Terdengar suara mendesis-
desis suara lemah, kiranya beberapa butir jarum berwarna hitam telah menyambar kearah dara baju
hitam itu.
Tetapi rupanya semua itu telah dalam perhitungan si dara baju hitam ini. Seketika ia
memperdengarkan suara melengking kaget, tahu-tahu dari arah seberang tebing menyambar turun
selembar kain lebar, memapak kearah jarum-jarum itu. Dan senjata-senjata gelap itupun runtuh
kembali ketanah.
"Kurang ajar! Kejar! Perintah Dewi Cundrik pula dengan kalap. Namun perintah itu mudah
dikatakan, tidaklah mudah dilaksanakan. Beberapa murid Bantarkawung yang berada ditempat itu
termasuk Jalasutro dan Jalaputro yang telah banyak menderita luka-luka dengan susah payah
melakukan pengejaran, mencoba untuk mendaki tebing. Akan tetapi hal itu hanya ibarat mencari
bahaya belaka. Hujan senjata dari atas tetap menahan mereka!".
Tak selang berapa lama maka dara baju hitam itu telah tiba diatas tebing, membawa tawanan.
Begitu ia berada dipuncak sana, seketika menghilang bersama rombongannya, melarikan diri.
Dara berbaju hitam yang mengenakan cunduk diatas kepalanya itu memang tidak lain adatah
Cunduk Puteri adanya, puteri Mbah Pucung. Sejak pertemuannya dengan Dadamanuk dikaki
gunung Gajah yang berakhir dengan kematian murid Bantarkawung itu, Cunduk Puteri lantas
melarikan kudanya untuk menjumpai teman-teman seperjuangannya, yaitu beberapa rnurid
perguruan Pucung dan beberapa orang murid perguruan Kenistan.
Si dara yang cerdik itu menduga dengan kematian murid Bantarkawung itu, tentu akan
mengakibatkan diadakannya pertemuan dipusat pertemuan paguyuban Banjardawa. Ia lantas
melakukan pengintaian ketempat itu.
Dari waktu senja hingga malam melakukan pengintaian, akhirnya ia mendapat kenyataan
bahwa pertemuan itu benar-benar diadakan.
Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan baginya, bahwa Sogapati murid Loning, ada
disebut-sebut sebagai si jembel yang telah membantu Cunduk Puteri.
Mendengar hal demikian, maka si dara jadi lebih tertarik lagi untuk mengikuti jalannya
pertemuan di padang Banjardawa itu. Hingga akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ada
sesuatu dibalik rencana paguyuban itu.
Si dara buru-buru kembali menjumpai teman-temannya yang memang saat itu telah bersiap
menunggu diatas tebing selat pencuci dosa. Sogapati harus diselamatkan dengan maksud
menyelamatkan perang besar yang mungkin berlangsung antara perguruan Loning dengan
kadipaten, sekaligus juga menarik perhatian perguruan Loning agar suka berpihak pada Cunduk
Puteri yang menentang paguyuban Banjardawa itu.
Demikianlah maka si dara bersama-sama teman-temannya telah mempersiapkan jebakan
meruntuhkan batu-batu itu.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
98
Kolektor E-Book
Kini si dara bersama rombongan teman-temannya melarikan diri kearah timur laut, menuju
perguruan Loning.
Perjalanan dari atas tebing selat pencuci dosa ke perguruan Loning setidak-tidaknya memakan
waktu dua hari, itupun apabila ditempuh dengan perjalanan berkuda. Sedangkan rombongan
Cunduk Puteri ini, hanya memiliki beberapa ekor kuda saja yang tak cukup untuk mereka, lagi pula
mereka membawa Sogapati yang sedang menderita luka-luka. Maka perjalanan itu terpaksa tidak
dapat dilakukan secepatnya. Kecuali perlu untuk memberi istirahat kepada anggota rombongan,
juga perlu untuk mengobati luka-luka Sogapati.
Sore itu, mereka beristirahat didalam hutan. Beberapa orang melakukan penjagaan ditepi
hutan, sebagian lagi mencari binatang buruan untuk ransum mereka.
Cunduk Puteri sedang mengobati luka-luka Sogapati dengan perasan daun-daun hutan.
Sementara itu Sogapati yang merasa gelisah karena telah ditolong oleh musuh lantas berkata :
"Cunduk Puteri aku adalah anggota paguyuban Banjardawa, dan musuhmu bukan? Mengapa
kau menolongku?"
Cunduk Puteri tersenyum. "Bukankah kau telah membantuku? Perkara hutang budi,
sekarangpun sudah tak ada lagi diantara kita!"
"Hutang budi?" Sogapati terperanjat. "Kapan aku orang tak berguna ini sempat
menghutangkan budi kepadamu?"
"Bukankah kau si jembel yang mengaku bernama Pepriman itu?"
"Si Jembel? Si Pepriman?" Sogapati terheran-heran. "Aku tak mengerti maksud nona. Aku
tak pernah menjadi seorang jembel atau pepriman? Sekalian anggota paguyuban juga menuduhku
demikian, padahal demi Tuhan, aku tak pernah melakukan perbuatan itu!"
"Tapi saksi-saksi murid Bantarkawung itu?" Cunduk Puteri sendiri juga keheranan.
JILID : 6
SEDIKIT memang ada miripnya antara si Pepriman dengan Sogapati, terutama dalam hal
umur, tinggi badan maupun potongannya dan juga mata maupun mulutnya. Kedua pemuda itu
memiliki sepasang mata yang bersinar-sinar melukiskan kejantanan yang gigih, dan mulut yang
kecil mengatup menggambarkan kekerasan hati.
"Jadi benar, kau tidak menyamar sebagai si Pepriman?!" Cunduk Puteri menegas.
Sogapati mengangguk.
"Apakah kau mempunyai saudara kembar?" Tanya Cunduk Puteri pula.
"Mengapa nona?" Sogapati terheran-heran. "Ayah ibukupun aku tak tahu, apalagi saudara!"
Cunduk Puteri mengangguk-angguk.
"Kata guru, aku cuma seorang bocah yatim-piatu ketika beliau mengambil diriku menjadi
murid. Siapa dan betapa orang tuaku, guru tak pernah menceritakannya kepadaku!"
Cunduk Puteri berwatak polos dan terus terang. Ia manggut-manggut sambil berkata : "Jadi
jelas dia yang telah menolongku, menyapu jarum-jarum beracun itu! Lagi-lagi dia! Lagi-lagi dia
yang menolongku! Sogapati!" Seru dara itu pula. "Apabila menilik gerakan dan langkah-
langkahnya yang hebat dan aneh itu, memang mirip dengan ilmu delapan langkah membunuh naga
dari Loning. Akan tetapi kalau kuingat-ingat memang bukan. Tidak, tidak sama dengan ilmu
langkah ajaib itu."Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
99
Kolektor E-Book
"Benar nona. Tentu saja dia lain dengan aku, bukan aku! Tetapi apakah nona sendiri juga tak
mengenalnya?"
Cunduk Puteri menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dalam hati, ia menduga bahwa pemuda jembel itu tentu saat ini berada tidak jauh dari dirinya.
Bukankah ia dapat muncul dan menghilang seperti malaikat? Di saat-saat ia menghadapi bahaya,
pemuda jembel itu selalu muncul memberikan pertolongan. Habis siapakah dia sebenarnya?
Si dara mengingat-ingat, mencari nama orang yang patut diduga menjadi si Pepriman itu,
akan tetapi sampai puyengpun ia takkan mendapatkannya.
"Nona Cunduk Puteri", kata Sogapati tiba-tiba.
"Ada apa?"
"Setelah kau mengetahui bahwa aku bukanlah jembel yang kau temui digunung Gajah itu,
apakah kau segera turun tangan membunuhku? Aku adalah musuhmu ingatlah, tiada harganya kau
mempertaruhkan jiwa untuk diriku yang tak berguna ini!"
Cunduk Puteri terdiam.
Memang, bila mengingat bahwa Sogapati adalah anggota Paguyuban Banjardawa yang
memusuhi dirinya, tentulah Cunduk Puteri takkan segan-segan untuk turun tangan membunuhnya.
Akan tetapi ada suatu pikiran lain baginya. Cunduk Puteri yang cerdik dan pandai dalam ilmu
taktik dan cara-cara pertempuran, maklum bahwa Sogapati sangat berguna dipergunakan sebagai
alat untuk menarik perguruan Loning kepada pihaknya. Dan ini adalah masalah yang sangat
penting. Tidak kecil artinya bantuan tenaga perguruan itu dalam perjuangan.
Maka katanya : "Tidak! Manusia sejati tak pernah bekerja setengah-setengah. Aku telah
menolongmu dan kini aku bermaksud untuk mengantarkan dirimu keperguruan!"
"O, Cunduk Puteri!" Sogapati terkejut dan wajahnya makin pucat. Apakah bila guru
mengetahui aku sebagai anggota paguyuban Banjardawa masih akan menerima diriku lagi? Guru
benar-benar hendak mensucikan diri dari segala urusan dunia ini, ia sama sekali tak mau terlibat
didalamnya. Harap nona segera turun tangan membunuhku saja..."
Sejenak Cunduk Puteri terkejut, akan tetapi akhirnya manggut-manggut mengerti.
"Tapi...", kata dara itu kemudian. "Urusan sudah terlanjur begini. Kau boleh tetap ikut
rombonganku, sampai kau sehat kembali. Baru sesudah itu kau pergi kemana saja kau suka!"
Mendapat perlakuan yang demikian baik dari si dara dan mendengar kata-kata yang terakhir
itu. Sogapati merasa tulang-tulang sendinya seakan dilolosi dan hatinya tersayat-sayat oleh
keharuan. Sedangkan ketua paguyuban yang pernah dibantu oleh dia sendiri bertindak begitu kejam
atas dirinya, tetapi sebaliknya dara musuh ini malah melindunginya dengan begitu baik. Dari rasa
harunya itu timbullah rasa malu bukan buatan. Dan terasalah olehnya, betapa dirinya benar-benar
seorang pemuda tiada guna, rendah dan rnemalukan. Dugaan semula bahwa para musuh-musuhnya
yang dikira sebagai orang-orang sombong yang suka memberontak kini tersapu bersih, tertukar oleh
rasa kagum. Kagum kepada mereka yang secara gigih telah berusaha menentang penjajah bersama
paguyuban Banjardawa, terutama sekali kagum akan kecantikan dan ketinggian budi dara Pucung
ini.
Saat itu, teman-teman mereka yang memanggang hasil buruannya sudah mulai memanggil-
manggil untuk mencicipi panggang daging segar. Dan sekalian para murid itupun berebutan untuk
mulai melahap masakan itu. Ketika mendadak terdengar suara jeritan melengking yang sangat
nyaring dari arah timur laut, mirip lengkingan orang yang ditikam oleh maut.
Sekalian yang berada dihutan itu terkejut. Dan mereka celingukan mencari-cari. Tetapi
lengkingan yang serupa itu terdengar beberapa kali lagi dari arah yang sama.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
100
Kolektor E-Book
Cunduk Puteri mendapatkan firasat. Cepat-cepat seperti diperintah oleh hati nuraninya ia
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perintah seluruh anak buahnya untuk bersiap-siap dan melakukan pengejaran.
Dengan gopoh dan tergesa-gesa sekali, mereka menburu kearah timur laut, kearah datangnya
suara tadi serupa itu terdengar pula, akan tetapi lebih menjauh pula.
Demikianlah, mereka melakukan pengejaran hingga ketepi hutan, tetapi suara lengkingan itu
berada semakin jauh saja, bergerak kearah timur laut.
Ketika mereka keluar dari hutan, hari telah malam dan langit jernih membiru tampak ditaburi
cahaya bintang-bintang. Bulan sedang bersembunyi dibalik selembar awan tipis yang bergerak
sebagai kapas.
Sayup-sayup. Cunduk Puteri menangkap datangnya suara dari arah belakang telinganya.
Pabila ia berpaling maka terlihatlah olehnya serombongan orang-orang berkuda yang sedang
berjalan menuju kehutan itu.
"Ach...". Cunduk Puteri mengeluh..... "Tidak salah. Tentu dia pula yang telah menolongku.
Dibelakang itu tentulah sisa rombongan anggota paguyuban Banjardawa..." Demikianlah, Cunduk
Puteri menduga pasti, bahwa yang telah bersuara melengking mirip orang disembelih itu tentulah si
jembel alias si Pepriman itu. Cemas dan penasaran sekali, si dara memikirkan hal ini... Kecuali atas
terima kasih pertolongan pemuda tak dikenal itu, juga ia merasa jengkel juga bahwa ia merasa
seakan-akan dipermainkan olehnya.
Cunduk Puteri segera memecah rombongan menjadi dua. Serombongan murid-murid Pucung
dan murid Kenistan untuk mengambil jalan ketimur lurus untuk menyelamatkan diri. Sedangkan si
dara sendiri bersama Sogapati yang digendongnya bergerak terus menuju timur laut, kecuali untuk
melakukan pengejaran terhadap ?si penolong?, juga sekaligus memancing para pengejar agar tidak
memburu kearah murid-rnurid Pucung dan Kenistan itu.
Sengaja Cunduk Puteri memberikan seluruh kuda untuk rombongan yang pertama. Sedangkan
ia sendiri dengan mempergunakan ilmu ringankan tubuhnya yang cukup tinggi, berlari sambil
berseru-seru :
"Hai Pepriman sombong! Tunggu!!"
Demikianlah seruan semacam itu sengaja diulang-ulang oleh Cunduk Puteri untuk menarik
perhatian para pengejar.
Cara yang dilakukan ini, membuat Sogapati semakin terharu dan kagum.
"Inilah contohnya seorang pendekar sejati!" Kata pemuda itu dalam hatinya. "Walaupun aku
mati, agaknya tidaklah sia-sia apabila aku mengorbankan jasadku yang tak ada guna ini untuk
menyelamatkannya..."
Dan pada detik itulah, tiba-tiba Cunduk Puteri menghentikan larinya, karena didepannya
tampak berdiri seorang laki-laki tua berkulit hitam yang matanya cekung dalam, tapi sinar kilatnya
menyeramkan. Disampingnya berdiri seorang laki-laki tua pula yang memiliki wajah tampan,
sikapnya keagung-agungan, angkuh sekali.
Tergetar rasanya hari Cunduk Puteri. Selama ini ia sering mendengar nama Ki Genikantar
yang ditakuti orang, kini ia berhadapan dengan orangnya, maka setidak-tidaknya berpengaruh juga.
Apalagi guru Bantarkawung itu ada ditemani oleh Ki Gede Ayom demang Moga juga dikenal orang
sebagai orang berilmu tinggi juga.
"Siluman cilik! Hendak minggat kemana kau?" Bentak Ki Genikantar seraya menatapi
sekujur tubuh si dara, seakan-akan sedang menjajagi dalam ilmu lawan.
Saat itu atas kemauan sendiri Sogapati telah melorot turun dari gendongan sambil mencabut
sepasang golok pendeknya. Hatinya sudah tetap bertekad untuk membantu si nona, walaupun
dengan taruhan nyawa sekalipun. Dan Cunduk Puteri melihat si sakit ia gembira tapi juga terharu.
Lalu dara itu berdiri gagah dengan kedua kaki terbuka lebar dan kedua tangan siap dipinggang.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
101
Kolektor E-Book
Kiranya paguyuban Banjardawa hanyalah berujud kawanan ajag yang suka makan kawan
sendiri. Patutlah, sebab ketuanya malah benggolannya para penjahat!" Kata si dara dengan sikap
menantang.
"Kau, budak ingusan kemarin sore berani menghina paguyuban Banjardawa, menghina
perguruan Bantarkawung! Hei, budak lancang! Mengingat dirimu hanyalah seorang gadis cilik tak
pantas diajak bertarung, maka biarlah aku mengampuni jiwamu asal kau kembalikan tawanan itu."
"Aku tidak butuh dikasihani. Kalau aku hendak pergi juga, kalian mau apa? Dengarkan! Aku
hendak membawa Sogapati menghadap gurunya untuk mendapatkan pengobatan, bukan pergi ke
kadipaten untuk meniupkan fitnah, agar terbit pemusuhan besar antara kadipaten dengan perguruan
Loning! Apalah hasilnya bagimu penghuni bumi nusantara ini, bila sesama bangsamu berkelahi,
saling bunuh, tak mengenal damai? Apakah hendak menjualnya kepada Kompeni?" Cunduk Puteri
tertawa renyah mengejek.
Apa yang dikatakan oleh Cunduk Puteri memang benar belaka, tidak meleset sebagai yang
direncanakan oleh Ki Genikantar atau paguyuban Bantardawa. Dan dibuka rahasianya begitu rupa,
Ki Genikantar tampak tersentak. Kelihatannya ia sangat geram. Matanya berkilatan sinar berapi,
mulutnya menggigit-gigit dan tangannya meremas-remas hingga terdengar suara sendi-sendi jari
tangannya gemeletik.
"Budak sombong. Ayahmu belum tentu patut menghinaku! Cari mati sendiri!"
Seraya berkata demikian, maka Ki Genikantar memperdengarkan suara menggereng dari
mulutnya. Sepasang tangannya yang panjang dan hitam itu tiba-tiba bergerak. Tangan kanan
menyambar kebawah kaki si dara, sedangkan tangan kiri menghantam kedepan dengan telapak
tangan terbuka.
Sekali bergerak Genikantar telah melancarkan serangan yang mematikan. Sebab ia tahu
bahwa lawannya walaupun hanya seorang dara remaja belaka, akan tetapi tak boleh dipandang
ringan.
Cunduk Puteri berlaku tenang. Dan inilah merupakan keunggulan para pendekar ini. Sekali ia
melompat mundur, maka kedua serangan beruntun itu dapat dibikin punah.
Namun Ki Genikantar bukanlah tokoh hijau yang belum berpengalaman dalam pertarungan.
Bicara tentang pengalaman tentunya si dara berada jauh dibawahnya. Hanyalah watak si dara yang
keras, berani dan tenang itulah kiranya ia dapat memainkan ilmu silatnya dengan sebaik-baiknya.
Ki Genikantar telah melanjutkan serangan tangan kirinya dengan menubruk maju kedepan.
Dan telapak tangan yang semula menghantam itu dirubahnya mencengkeram kearah buah dada si
dara.
Semua gerakan itu dilakukan dengan cepat seolah tak terduga. Andaikata Cunduk Puteri
sendiri tak memiliki ketabahan yang luar biasa, dalam gebrakan kedua ini tentulah ia akan dapat
dicelakai.
Dalam kaadaan tubuh masih melayang diudara si dara tak dapat berpikir ataupun berbuat
banyak. Segera ia mengangkat tangan kanannya menyambut serangan.
"Aiiiihhhh!" Kecuali ngeri mendapat serangan yang ?kurang ajar? itu, si dara terkejut sekali,
demi mendapat kenyataan bahwa tenaga dorongan lawannya sangatlah besar. Begitu tangannya
bertemu, si dara merasa seperti memikul beban sebuah gunung yang mendidih.
Untunglah, buat yang sekian kalinya, ketabahannya yang luar biasa telah menolongnya.
Menyadari bahwa tenaga lawan jauh lebih besar, sedangkan dirinya tidak sedang berpijak diatas
tanah, maka si dara buru-buru menarik kembali tenaga dorongnya, setelah mana ia menutup diri
dengan pemusatan batinnya, menerima dorongan tenaga lawan itu dengan napas ditahan.
Akibatnya, tubuh Cunduk Puteri terlempar keras melayang seakan terbang, lebih dari sepuluh
langkah jauhnya. Namun begitu turun kembali ketanah, Cunduk Puteri sudah lantas bersiap siaga
kembali.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
102
Kolektor E-Book
Menyadari bahwa lawan memiliki tenaga yang lebih besar, maka Cunduk Puteri merubah
siasat. Dengan mengandalkan ilmu ringankan tubuhnya si dara selalu menghindarkan bentrokan adu
tenaga. Sebaliknya, Ki Genikantar yang yakin bahwa ia boleh membanggakan tenaganya, selalu
berusaha dengan pancingan untuk adu tenaga. Akibatnya pertarungan itu berubah seakan-akan
orang yang saling kejar.
Cunduk Puteri seakan menjadi kupu-kupu yang beterbangan menghindar dan mendekat,
sedangkan Genikantar seolah-olah menjadi sebuah gunung karang yang kokoh perkasa.
Dalam waktu singkat, mereka telah menghabiskan tigapuluh jurus. Dan perlahan-lahan bahwa
Ki Genikantar berada diatas angin.
"Keluarkan senjatamu!" Bentak Ki Genikantar seraya melancarkan tendangan bergelombang.
Kedua kakinya berubah menjadi baling-baling yang secara beruntun melontarkan tendangan kearah
lawan.
Semula memang si dara bermaksud hendak menjajagi sampai dimana ilmu kepandain guru
Bantarkawung itu dalam permainan tangan kosong. Kini telah disadari olehnya, bahwa nama
Bantarkawung bukanlah nama kosong belaka.
Satu tendangan bisa dihindarkan maka menyusul tendangan yang lain yang bila dapat
dihindarkan akan datang pula tendangan susulan yang lebih dahsyat lagi. Itulah dalam perguruan
Bantarkawung disebut "gelombang bersusun di laut selatan".
Seketika si dara terdesak hebat, tampak kerepotan. Maka ketika tangannya bergerak
kepinggang, selanjutnya kedua tangan dara itu telah memegang cambuk ditangan kiri dan pedang
ditangan kanan.
"Awas!" Serunya, seraya menyabetkan ujung cambuk kearah kaki Ki Genikantar yang sedang
meluncur.
"Bagus!" Seru Ki Genikantar seraya menarik kembali. Selanjutnya, setelah si dara
mempergunakan sepasang senjata itu, pertarungan berlangsung dalam keadaan seimbang.
Di pihak lain, Ki Gede Ayom demang Moga yang melihat Sogapati tergeletak diatas rumput,
bermaksud meringkusnya. Akan tetapi segera mengurungkan maksudnya ketika ternyata Sogapati
tahu-tahu telah menggerakkan sepasang goloknya sambil berseru :
"Paman demang, apakah tidak hanya menurunkan derajat saja menyerang orang yang sedang
terluka?"
"Siapa sudi menyerang dirimu? Kau adalah penghianat paguyuban, maka kami pengurus
berhak menghukummu!"
"Aku tak berhianat! Aku tak bersalah! Kalau pengurus paguyuban bermaksud
mempergunakan diriku untuk mengadu domba kadipaten dengan perguruan Loning jangan harap
maksud itu akan dapat dilaksanakan begitu mudah!"
"Tutup mulut!" bentak Ki Genikantar seraya membalikkan tangannya menghantam kearah
Sogapati. Akan tetapi Cunduk Puteri cukup awas dan cepat-cepat meluncurkan pedangnya
memotong, sehingga terpaksa Ki Genikantar cepat-cepat menarik kembali serangannya.
Sejenak Ki Gede Ayom tertegun, diam. Ia sadar bahwa maksud rahasia paguyuban
Banjardawa untuk melancarkan taktik adu domba, seperti sudah kebabaran, sebab telah diketahui
oleh Sogapati sendiri juga Cunduk Puteri. Maka apabila semula ia bermaksud membiarkan Ki
Genikantar memberesi si dara seorang diri, kini terpaksa demang Moga itu mengangaap perlu harus
segera menutup mulut! Menutup mulut kedua muda-mudi itu.
Terpikir hal yang demikian, maka ia memperdengarkan suara mendehem, tahu-tahu dengan
cepatnya, sebelah kakinya telah terayun menghantam tengkuk Sogapati.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
103
Kolektor E-Book
Diserang dengan begitu mendadak dan cepat itu, walaupun Sogapati mempunyai sepasang
golok ditangan, tak mungkin mampu menyelamatkan diri. Pemuda itu terbelalak dan harapannya
telah putus. Ia pasrah pada nasib.
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali tendangan kilat itu mendarat ditengkuk, takkan perlu didua kali, tentu akan putuslah
nyawa Sogapati. Akan tetapi, sedang ia sekian lama menunggu datangnya sang ajal mencabut
nyawanya, tendangan maut itu tidak kunjung datang.
Kaki Ki Gede Ayom telah terayun, akan tetapi sedang setengah jalan, tahu-tahu ada sebutir
batu kecil yang mengetuk sambungan lututnya. Demang itu tergetar tubuhnya sejenak, terasa
kakinya lumpuh seketika. Cepat ia mengerahkan tenaga batinnya, mendesak keluar pengaruh
timpukan itu. Memang hanya sebentar ia berlaku demikian, akan tetapi setelah pulih kembali
tenaganya ia mengurungkan serangannya.
Ki Gede Ayom sadar, bahwa ada orang sakti yang berada disekitar tempat itu. Lontaran batu
kecil tanpa suara yang dilakukan dengan sangat cepat dan tepat itu mustahil dilakukan oleh orang
sembarangan.
Pikiran Ki Demang ingat pada Mbah Pucung. Kiai Kenistan ataupun Kiai Cucut Kawung
yang melakukan serangan gelap itu. Menduga bahwa ada orang sakti yang melindungi kedua muda-
mudi itu, maka Ki Gede Ayom tak mau bertindak gegabah.
Ki Genikantar boleh diharapkan untuk memenangkan pertarungan, namun hal itu masih
memakan waktu. Sedangkan lawan, nyatanya ada orang sakti yang siap sedia membantu, yang
mereka sulit untuk diduga kekuatannya.
Maka Ki Gede Ayom segera berseru :
"Cundrik! Mereka ada disini!"
Rombongan Dewi Cundrik, Kebo Sulung yang sedang mendatangi cepat-cepat memburu.
Cunduk Puteri diam-diam mengeluh, ia menduga bahwa ia takkan dapat menyelamatkan
dirinya lagi. Menghadapi Genikantar seorang diri saja ia sudah kerepotan, apalagi bila mereka
dibantu dengan munculnya Dewi Cundrik dan yang lain-lain?
Sedang si dara menjadi tambah gelisah, tiba-tiba dari arah hutan disamping gelanggang
pertarungan terdengar suara gemerisik. Tahu-tahu beberapa ranting dan daun-daun hutan
berterbangan susul menyusul menyambar kearah Ki Genikantar maupan Ki Gede Ayom.
Ki Genikantar juga Ki Gede Ayom jadi repot menghadapi serbuan cabang dan daun-daun itu.
Dan pada detik itulah nampak berkelebat sesosok bayangan yang melompat dari arah hutan,
menyambar kearah Sogapati seraya berseru : "Lariiii.....!"
Tak usah ditanya pada siapa seruan itu ditujukan. Cunduk Puteri dapat mempergunakan
kesempatan itu buat berlari mengikuti bayangan orang yang membawa Sogapati.
"Kejar! Tangkap!" Ki Genikantar berteriak-teriak sambil melontarkan beberapa kali pukulan
jarak jauh, namun bayangan para buron itu telah lenyap menyelinap kedalam hutan.
Rombongan Dewi Cundrik dan yang lain telah tiba, namun mereka hanya dapat bergabung
dengan Genikantar dan Ki Gede Ayom untuk melakukan pengejaran belaka.
oooOooo
DI TEPI kali Comal, di wilayah perbatasan antara kademangan Ampelgading dengan
kademangan Podeh, tampak duduk tiga orang muda diatas batu-batuan sambil merendam kaki
kedalam air.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
104
Kolektor E-Book
Seorang yang pertama, yang berada pada tempat yang agak terpisah adalah seorang dara
berpakaian serba hitam dengan sebuah Cunduk diatas kepalanya, tak lain dan tak bukan adalah
Cunduk Puteri adanya.
Yang seorang pula, yang duduk bersandar pada batu besar adalah Sogapati.
Sedangkan yang seorang lagi, yang duduk berpeluk lutut, adalah seorang pemuda berpakaian
jembel yang rambutnya riap-riapan menutupi muka. Dialah Joko Bledug sesunggulnya.
Dalam pertarungan antara Cunduk Puteri melwan Genikantar memang Joko Bleduglah yang
telah secara diam-diam membantu mereka. Dan malam itu mereka melarikan diri, terus menuju
ketimur tanpa berhenti. Siang dan malam mereka tak pernah beristirahat, keluar masuk hutan
mengingat bahwa para pengejar mungkin setiap waktu bisa menyusul mereka.
Hingga tiba pada hari yang ketujuh, tibalah mereka ditepi kali comal yang besar dan deras
airnya itu, dan beristirahat setelah mereka yakin para pengejar mungkin telah tersesat jalan.
Berkali-kali Cunduk Puteri juga Sogapati menghaturkan terima kasihnya atas budi
pertolongan pemuda jembel itu, namun si pemuda berpakaian compang-camping itu hanya bersikap
acuh tak acuh saja.
Bahkan secara tiba-tiba ia telah bertanya :
"Nona Cunduk Puteri. Buat apakah kau mempertaruhkan nyawamu untuk melawan
paguyuban Banjardawa, menjual jiwa melawan kompeni dan segala antek-anteknya? Apa yang
anda peroleh?"
"Untuk kejayaan Mataram, sudah barang tentu. Untuk kejayaan bangsa kita! Mengapa kau
bertanya begitu? Apakah itu salah?" sahut Cunduk Puteri tegas.
"Tidak! Tidak salah!" si jembel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bahkan sebaliknya,
kedengaran sangat mulia. Tapi..... apakah Sultan Mataram pernah menyuruhmu berbuat begitu,
nona?"
Pertanyaan itu dirasa memang ganjii sekali, sehingga Sogapati dan Cunduk Puteri saling
pandang.
"Tidak pernah, memang. Kami berbuat hanyalah sekedar menunaikan darma bhakti seorang
rimba persilatan yang mengaku dirinya sebagai orang gagah. Seorang pendekar sejati adalah
pendekar yang berani mengorbankan segala-galanya untuk bumi pertiwinya, untuk bangsanya dan
untuk kemanusiaan!" kata Cunduk Puteri menerangkan.
Tiba-tiba si jembel atau Joko Bledug itu nampak terkejut. Ia mengangkat wajahnya
memandang langit biru yang cerah. Dan bola matanya berputar-putar seperti orang yang sedang
berpikir keras.
Untuk bumi pertiwi, untuk bangsa dan untuk kemanusiaan..." Joko Bledug menggumam
sendiri, langkah mulianya itu. Jadi... kau nona, bersama perguruan Pucung, Perguruan Kenistan dan
sekalian kelompokmu itu merupakan kelompok kesatria?"
Cunduk Puteri setengah mengangguk, setengah mengelak. Memang, tak ada yang berani
mengaku bahwa dirinya seorang kesatria.
"Saudara Pepriman!" kata Cunduk Puteri kemudian. "Walau tidak secara langsung, apa yang
kau lakukan sebenarnya telah membantu pihak kami, pihak yang menentang kompeni dan segala
kambratnya, sesuai dengan cita-cita Mataram. Berarti secara tidak langsung saudara telah
menempatkan dirinya sebagai seorang kesatria."
"Apa? Kesatria?" mendadak mata Joko Bledug terbelalak. Selama ini, apa yang dilakukannya
hanyalah sekedar menurutkan kata hati atau apa yang dirasakan secara tiba-tiba saja, tak pernah ia
memikirkan sebelumnya. Kini ia mendengar bahwa dara pendekar yang kenamaan itu telah
memasukkan dirinya kedalam golongan kesatria, walaupun ia tahu itu penggolongan yangYusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
105
Kolektor E-Book
terhormat, akan tetapi sebaliknya dari merasa gembira, ia bahkan memekik kaget sambil
menjambaki rambut sendiri.
"Aku? Aku kesatria?" Joko Bledug menggumam. Habis siapa itu yang disebut sebagai anak
durhaka, murid murtad ataupun pengkhianat perguruan?"
Seluruh jalan hidup yang dilaluinya kini terungkap kembali. Pergaulannya terhadap Dewi
Cundrik dan pembunuhan atas diri Sawung dan Galing itu harus digolongkan, harus digolongkan
kemana?
"Nona yang baik...", kata Joko Bledug dengan suara penuh nada berharap, akan tetapi
matanya jelilatan mengerikan. Dapatkah nona menceritakan kepadaku, mengapa sampai timbul
pergerak yang demikian? Mengapa pula ada paguyuban Banjardawa? Dan mengapa pula antara
paguyuban Banjardawa dergan pihakmu saling bermusuhan, sedangkan menurut hematku perbuatan
paguyuban Banjardawapun hakekatnya menunaikan dari bhakti orang rimba persilatan. Tak ada
bedanya dengan kau, suka membunuh, suka pada peperangan dan segala macam pertumpahan
darah!"
"Pepriman". Cunduk Puteri memperbaiki duduknya. "Ceritanya panjang, akan tetapi aku akan
menceritakan kepadamu, agar kau sebagai orang asing disini dapat mengetahui duduk perkara
sebenarnya.
"Bahwa saat kini" demikianlah si dara mulai ceritanya. "Pihak kompeni, yaitu orang kulit
putih bangsa asing, sedang bermaksud untuk menguasai bumi kita. Mereka adalah orang-orang
yang secara sewenang-wenang merampas hak milik kita. Menimbulkan kekacauan diantara kita.
Tanah dan kemakmuran kita, malam purnama kita, musim panen kita, gadis-gadis kita semua
hendak mereka renggutkan dari kami, hendak mereka rampas dari kami!"
Joko Bledug memutar-mutar bola matanya, berpikir.
"Dan Mataram, sebagai pemilik bumi pertiwi ini tentu saja tidak merelakan hal ini terjadi.
Dalam hal ini, kadipaten Pemalang, dan para demang maupun para tokoh rimba perrsilatan
walaupun belum pernah diadakan janji bersama telah sepakat dan setujuan untuk menentang
kekuatan asing itu sekuat-kuatnya. Namun, dibalik itu juga ada saja orang-orang yang tidak
sependapat dengan pihak ini, sebagai contoh adalah para tokoh paguyuban Banjardawa.
Pembicaraan sampai disitu, sedianya Joko Bledug hendak mengucapkan sesuatu, akan tetapi
tak jadi.
"Paguyuban Banjardawa, dengan mendapatkan bantuan dari pihak Kompeni secara diam-
diam telah melakukan rencana jahatnya, yaitu menghancurkan kesepakatan maupun keseia-sekataan
dari pada orang Mataram. Dimulainya dengan cara penghancuran perguruan Blimbingwuluh!"
Tiba pada kata Blimbingwuluh ini, seketika wajah Joko Bledug iadi pucat. Hanya sayangnya
baik Cunduk Puteri maupun Sogapati tidak melihat perubahan sikap itu.
"Perguruan Blimbingwuluh dihancurkan dengan cara fitnah dan segala akal licik maupun
kepalsuan. Hingga berakibat Kiai Teger guru mereka hilang sampai sekarang tak kedengaran kabar
beritanya lagi, sedangkan perguruan itu sendiri aku melihat dengan mata kepalaku sendiri telah
berubah menjadi neraka berdarah yang mengerikan. Tidak seorangpun dari murid perguruan yang
tinggal hidup, kecuali Sawung dan Galing maupun anak angkat guru itu sendiri, yaitu Joko Bledug
yang semula dikabarkan menghilang. Akan tetapi, menyesal sekali, kabar terakih yang kita dengar,
Sawung dan Galing tewas dibunuh oleh Joko Bledug, sedangkan anak angkat guru itu sendiri juga
tewas setelah secara memalukan main gila dengan Dewi Cundrik, pembunuh guru Blimbingwuluh
itu!"
Cepat Joko Bledug menghapus air mata yang mendadak merabak hendak meluncur turun.
Sejak semula, pertanyaan-pertanyaan Joko Bledug sendiri, sesungguhnya tertuju kearah ini. Ia
hendak mencari berita tentang keadaan sebenarnya mengenai ayah angkatnya. Akan tetapi
sebaliknya dari berita itu yang diperoleh bahkan berita tentang kebusukan Joko Bledug itu sendiri
yang diterima.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
106
Kolektor E-Book
"Maaf, maaf nona!" Joko Bledug memotong bicari dengan suaranya yang parau. "Apakah
orang yang bernama Kiai Teger itu tidak punya sedikit kemampuan sehingga dirinya mudah
difitnah, dan perguruannya dihancurkannya begitu saja?"
"Ah, Pepriman!" sahut Cunduk Puteri. "Apabila dihitung-hitung, agaknya diantara Mbah
Pucung, Kiai Kenistan maupun guru-guru yang lain, belumlah sejajar apabila dibandingkan dengan
Kiai Teger. Namun sebagai salah aku paparkan didepan, paguyuban Banjardawa secara licik dan
lihai telah menghancurkan perguruan Blimbingwuluh dengan fitnah. Kiai Teger tertipu oleh Dewi
Cundrik bersama muridnya Kebo Sulung yang bekerja sama dengan Jagabaya Ampelgading.
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya Kiai Teger kecuali menderita siksa yang demikian beratnya, ia masih harus menanggung
kehinaan, yaitu dituduh sebagai guru cabul, maling aguna dan lain sebagainya. Kau tahu Pepriman,
bahwa saat itu juga baik ayahku maupun Kiai Kenistan melakukan pengejaran kekadipaten
Pemalang untuk memberikan pertolongan. Namun sekarang kau ketahui akibatnya, bukannya Kiai
Teger terbebas dari ancaman siksa, namun ayah dan Kiai Kenistan menghilang sampai
sekarang......."
Tiba pada pembicaraan ini, Cunduk Puteri sendiri menundukkan muka berduka sekali.
Wajahnya muram seolah-olah dibayangi putus asa.
Diam-diam Joko Bledug mengeluh.
"Benar-benar aku ini seorang anak durhaka, dan seorang murid murtad, bahkan murid
terkutuk! Ketika orang lain membela ayahku maka aku main gila bersama wanita siluman itu,
bahkan akhirnya membunuh saudara seperguruan. Patutkah aku masih sudi hidup sampai
sekarang?" kata Joko Bledug dalam hati. Dan yang muncul dimukanya adalah sikap yang ganjil,
jelilatan hahahehe, ataupun menangis sendirian.
Segala macam ingatan yang memukul jantungnya itu seakan menjadi segar kembali. Semua
kesalahan-kesalahan masa lalunya bagai sedang dibeberkan didepan mata. Dan teringat semuanya
itu, maka Joko Bledug menangis tersedu-sedu.
"Saudara Pepriman. Mengapa kau menangis?" Sogapati bertanya bingung.
"Apakah aku telah salah bicara?" Cunduk Puteri menyambungi.
"Tidak!" Joko Bledug menggelengkan kepalanya. "Semuanya karena aku! Karena aku!
Karena aku yang hina dan tak becus ini! Nona Cunduk Puteri! Bilakah anda akan membawa teman-
temanmu menyerbu paguyuban Banjardawa?"
Cunduk Puteri diam. Kecuali memang ia belum dapat memastikan kapan dilaksanakannya
rencana itu, karena mengingat kekuatan yang belum ada, kedua iapun masih meragukan sikap
pemuda yang mengaku bernama Pepriman itu. Siapa tahu dia hanyalah seorang musuh?
"Sekian tahun lamanya aku dan anak-anak murid Pucung maupun Kenistan menjadi buron.
Buron kadipaten Pemalang maupun paguyuban. Sebagai kau tahu, kadipaten Pemalang mempunyai
seorang anggota paguyuban yang walaupun hal itu dilakukan secara diam-diam, namun jelas
mempengaruhi sikap kadipaten sendiri terhadap kami. Kami tak punya kekuatan, Pepriman. Andai
kata ada ayahku, Kiai dan Nyai Kenistan walaupun belum tentu membawa hasil, tentu perlawanan
itu akan segera kami lakukan......"
Lama Joko Bledug diam tak bergerak. Akhirnya secara tiba-tiba ia memandang marah kearah
Sogapati seraya membentak :
"Sogapati! setelah kau sehat sekarang, boleh kau pergi ke paguyuban kembali!"
Sogapati terkejut, ia menyahut dengan gugup :
Saudara yang bernama Pepriman! Walaupun aku bukan seorang kesatria, namun bukanlah
seekor anjing yang yang tak tahu membalas budi. Aku sudah diusir bahkan hendak dicelakakan oleh
paguyuban dan kalian yang telah menolong kami. Andaikata kalian tidak memperbolehkan aku
menyumbangkan selembar jiwaku yang tiada guna ini, biarlah aku akan membantu kalian secara
jalanku sendiri!"Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
107
Kolektor E-Book
Cunduk Puteri mengangguk-angguk. Tambahan tenaga sebagai Sogapati, cukup
menggembirakan hatinya. Apalagi bila pemuda itu dapat menghubungi dan membujuk gurunya.
Yang menjadi pikiran si dara, yang sesungguhnya adalah si Pepriman itu sendiri. Pemuda
yang sakti seperti dia ini, andaikata bergabung dalam satu barisan dengannya, tentulah merupakan
bantuan yang besar sekali artinya.
Maka sungguh tak terkatakan gembiranya Cunduk Puteri, ketika mendengar kata-kata si
Pepriman yang demikian.
"Andaikata aku pantas untuk ikut menyumbangkan hidupku ini untuk cita-cita mulia seperti
kalian, tentu aku akan melakukannya. Tetapi saat ini aku bermaksud untuk mencari ketiga angkatan
tua yang hilang itu, Kiai Teger, Mbah Pucung dan Kiai maupun Nyai Kenistan!"
Beberapa hari sejak saat itu, pergaulan mereka semakin karib. Dan semakin lama bergaul,
semakin tumbuhlah rasa persaudaraan maupun rasa secita-cita dan tujuan.
Mereka bertiga bergaul seakan benar-benar bersaudara, atau dilahirkan dari rahim yang sama.
Walanpun sesungguhnya tidak demikianlah yang sebenarnya terjadi.
Cunduk Puteri adalah seorang dara remaja, seorang gadis yang sedang menanjak dewasa.
Dalam perkembangan jasmani maupun rohaninya, tentu saja mengalami banyak perubahan.
Perubahan yang oleh si dara sendiri seolah-olah tidak disadari.
Makin hari bergaul, makin lama berkumpul, maka tumbuhlah suatu perasaan aneh yang
sebelumnya tak pernah dirasakan olehnya, yaitu asmara.
Asmara datang seperti maling, tanpa permisi dan tidak melewati pintu. Tahu-tahu rasa kagum
yang kian menebal dihati, berkembang menjadi suatu kerinduan. Dan anehnya, mengapa ia selalu
merasa kesepian apabila si Pepriman sedang pergi.
Boleh jadi Cunduk Putcri adalah seorang dara pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi
menghadapi amukan asmara, dia tidak ubahnya manusia biasa, manusia yang dilahirkan akibat
buahnya asmara itu sendiri.
Mereka telah membangun sebuah gubuk sederhana, yang dipergunakan sebagai rumah
tinggal, tetapi juga sebagai markas tempat pertemuannya para murid Pucung maupun murid
Kenistan yang telah mereka hubungi sebelumnya.
Saat itu adalah musim peralihan, dari musim penghujan kepada musim kemarau. Tumbuh-
tumbuhan sedang tumbuh segar dan subur. Angin yang senantiasa semilir bertiup membawa
wewangian yang terbit dari hutan tepian kali. Apabila malam tiba, maka langit selalu cerah dengan
bintang dan rembulan yang berseri.
Sedang hendak membaringkan dirinya, tiba-tiba Cunduk Puteri mendengar suara seruling
yang ditiup mendendangkan irama gembira seorang gembala.
Begitu merdu dan menyentuh hati, nada dan irama dendang seruling itu. Terkadang iramanya
mengiris-iris jantung sebagai ratapan seorang pemuda yang patah hati. Akan tetapi terkadang
merendah parau dan lamban sebagai irama duka seorang kelana.
Semuanya itu menyentuh hati si dara hingga ia buru-buru melompat bangun dari tempat
tidurnya. Ia ingat bahwa Sogapati sedang pergi berburu sejak lima hari yang lalu, dan si Pepriman
sehari sebelumnya telah menghilang entah kemana.
Ketika Cundruk Puteri berada diluar rumah, maka di tepi sungai ada seseorang sedang duduk
bersandar pada sebuah pohon, meniup suling dengan asyiknya.
Setapak demi setapak, seakan ditarik oleh pengaruh irama merdu itu, si dara berjalan
menghampiri. Dan tanpa terasa ia telah berada didekat orang yang meniup suling itu, yang tidak
lain si Pepriman adanya.
"Cunduk Puteri..." desah suara yang mirip keluhan terdengar dari mulut Pepriman.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
108
Kolektor E-Book
Cunduk Puteri mengambil tempat duduk disisi pemuda itu. Entah sejak kapan ia mencium bau
apek dari pemuda jembel itu mungkin karena sudah terlalu biasa atau karena si Pepriman sendiri
telah mencuci pakaiannya.
"Sogapati belum datang?" tanya Pepriman pula.
"Belum. Pepriman, sejak kapan kau akan merubah cara hidupmu yang demikian?"
Pepriman tampak tersentak. Ia memutar duduknya.
"Mengapa?" tanyanya.
"Ya, siapa orangnya yang bisa percaya bahwa kau bernama Pepriman, bahwa kau seorang
jembel yang sebenarnya?"
Pepriman tertawa walaupun sumbang kedengarannya.
"Alasannya?" tanyanya.
"Aku tidak tahu. Tetapi hatiku berkata demikian. Kau terlalu berrahasia. Lagu sulingmu
adalah lagu gembala. Dan didunia ini, mana ada gembala yang tidak mempunyai asal usul? Dimana
ada gembala yang tinggal sendiri menghuni Gunung Gajah, sedangkan tempat itu adalah sebuah
padang tandus dan gersang?"
Pepriman terdiam. Ada perasaan haru yarig merayap dalam tali hatinya. Baru kali ini, terasa
olehnya ada orang yang memperhatikan dirinya, mengingat asal-usulnya, bahkan juga memikirkan
siapa sebenarnya dia. Apa lagi yang menaruh perhatian itu justeru seorang dara jelita, seorang
pendekar remaja yang termashur namanya.
"Sepanjang ini ingatankui, Pepriman. Ada seorang pemuda penggembala yang pandai ilmu
silat, adalah Joko Bledug, anak Kiai Teger guru Blimbingwuluh. Akan tapi kudengur pula, bahwa
pemuda angon itu telah tewas di daerah Telagasona, perguruan Guha Gempol. Jadi kau ini
sebenarnya siapakah?"
"Nona Cunduk!" Suara Pepriman serak terharu. "Aku memang seorang jembel, seorang
Pepriman biasa, tak ada hubungannya dengan Joko Bledug ataupun perguruan Blimbingwuluh.
Bukankah Joko Bledug terkenal sebagai piatu yang diambil anak oleh Kiai Teger yang akhirnya
menjadi seorang anak durhaka, murid murtad bahkan seorang pengkhianat perguruan?"
"Benar, memang kabar yang kudengar demikian. Tapi..." Cunduk Puteri melirik tajam kearah
Pepriman, "kabar itu tersiar dari Dewi Cundrik sumbernya. Sedangkan kita semua tahu bahwa Dewi
Cundrik adalah seorang iblis wanita yang berwatak keji dan cabul. Kecuali ia suka merusak
keremajaan seorang pemuda, juga memang seorang jagoan fitnah yang tak ada duanya di dunia ini.
Sebagai dikabarkan orang bahwa pusaka pancaloka jatuh ketangan Kebo Sulung adalah karena
dijual oleh Joko Bledug kepada penggawa muda kadipaten itu. Akan tetapi siapa orangnya yang
percaya?"
Pepritnan diam.
"Pepriman. Alangkah bahagianya aku, andaikata kau adalah Joko Bledug sendiri, dan kau
dapat memberikan keterangan yang sebenarnya mengenai bencana yang menimpa perguruan
Blimbingwuluh itu!
Rasa berguncang jantung Pepriman. Dalam hati ia berkata : "Mungkin nama baik perguruan
Blimbingwuluh dapat dibangkitkan kembali, akan tetapi kebusukan Joko Bledug bermain asmara
dengan Dewi Cundrik dan pembunuhan atas diri Sawung dan Gilang mana bisa itu dihapuskan?"
"Seluruh perguruan Pucung. Kenistan maupun perguruan Loning, semua memusuhi Joko
Bledug. Semua mengharapkan akan dapat menemukan pemuda busuk itu, untuk dihukum karena
telah menjatuhkan martabat orang-orang rimba persilatan. Akan tetapi aku tidak. Andaikata saat ini
aku dapat bertemu dengannya, akulah orang yang pertama kali akan mendengarkan pengakuannya,Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
109
Kolektor E-Book
akulah orang yang pertama kali akan mempercayai akan penjelasannya, bahwa semua musibah itu
adalah akibat kelicikan dan kekejian Dewi Cundrik...."
Cunduk Puteri masih terus berbicara, sedangkan Peprirnan secara diam-diam telah menghapus
air mata yang menggelinding dipipinya.
"Nona..." Kata Pepriman serak. Joko Bledug sudah mati!"
"Bagi orang lain, tetapi bagiku tidak! Sahut Cunduk Puteri tegas.
"Mengapa?"
"Aku telah mendengar penuturan ayahku, bahwa antara dia denganku telah diikat tali
perjodohan sejak kecil. Masakah aku akan menjadi janda sebelum berumah tangga?"
"Cunduk Puteri" seru Joko Bledug tersentak.
Cunduk Puteri dengan tak sadar merapatkan duduknya ketubuh pemuda jembel itu.
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangannya yang halus dan lembut memegang pundak, dan terdengarlah bisiknya. "Jadilah kau Joko
Bledug..."
Saat itu, Pepriman sedang mengangkat muka menengadah, Bulan terang yang sedang berlayar
dilangit, memandikan cahaya dengan cahayanya yang gemilang. Maka tampaklah dengan nyata
bahwa pemuda berpakaian compang-camping itu sesungguhnya adalah seorang pemuda tampan,
seorang pemuda yang memiliki wajah bundar dengan sepasang mata yang sayu, hidung yang
mancung dan mulut dagu yang berlekuk dalam, sehingga bibirnya yang menggantung itu tampak
menggemaskan.
Rasa hangat dan mesra mengalir dari sentuhan Cunduk Puteri, perlahan-lahan menjalar
kedalam kalbunya dan keharuan bercampur penyesalan saling rebut dihati pemuda itu. Hingga
akibat pergolakan hatinnya itu, terbutir setitik air matanya.
Dari penjelasan ayah angkatnya, dulu. Pepriman ingat bahwa antara ayah angkatnya dengan
Mbah Pucung, memang pernah mengikat tali persahabatan dengan maksud berbesanan. Kiranya,
dara yang bernama Cunduk Puteri adalah seorang dara yang begitu sangat jelita dan berbudi sangat
luhur dan perkasa.
Calon isterinya, adalah gadis pujaan bagi setiap rakyat pantai utara, orang yang dikagumi oleh
segenap rakyat jelata, rakyat yang tertindas. Seakan-akan dara itu telah menjadi milik sekian ribu
manusia yang mengimpikan hidup tentram bahagia dalam negerinya, akan tetapi Pepriman? Atau
Joko Bledug?
Pemuda itu cuma seorang pemuda beriman rendah yang cepat jatuh dalam hubungan rendah
dan cabul, pemuda yang tak tahu budi, seorang murid yang durhaka dan kejam, telah membunuh
saudara seperguruan sendiri. Patutkah itu?
Terasa yang demikian, rasa malu yang amat sangat bergolak dalam batinnya. Perasaan yang
tulus yang dilahirkan oleh Cunduk Puteri dengan kemesraan yang suci itu, bahkan seolah-olah
mengejek dirinya, memperolok-olokan dirinya sebagai manusia tak berguna sebagai anjing tak tahu
budi. Masakah berlian gendak dijajarkan dengan batu koral?
Angan-angan Pepriman berlari kepada pemeliharaan taman kademangan Moga. Di sana
tinggal sekuntum bunga kademangan yang ayu-jelita, yang menjadi rebutan setiap pemuda
sepanjang pantai utara pulau Jawa ini.
Di sana tinggal Dewi Yoni, seorang puteri Demang yang justeru masih merindukan Joko
Bledug!
Semuanya gila! Mungkin Pepriman alias Joko Bledug sendiri yang gila! Akan tetapi yang
terasa oleh pemuda itu, bahwa dirinya sesungguhnya hanyalah seorang tiada guna yang dicintai oleh
dara-dara ayu! Bukankah mereka itu semua telah gila? Apa artinya mencintai seorang pemuda
kotor, seorang pemuda cabul, durhaka dan khianat?Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
110
Kolektor E-Book
Sejak masa kecilnya, Joko Bledug sering bertemu muka dengan Dewi Yoni, karena ayah dara
itu, dulu sering beranjangsana ke perguruan Blimbingwuluh. Huhungan kedua orang tua mereka
sangatlah akrabnya, seakan bersaudara, atau mitra sejati. Akan tetapi sejak Ki Gede Ayom menjadi
seorang demang, maka hubungan itu telah merenggang, walaupun antara Joko Bledug dan gadis
cilik itu masih terus merasakan persahabatan itu.
Tetapi semuanya itu telah berlalu. Perguruan Blimbingwuluh telah musnah. Dan nama Joko
Bledug terkubur dijurang raksasa sebelah barat istana Telagasona. Apalagi yang ditunggu dari
bocah gembala yang hina itu?
Saat itu, Cunduk Puteri telah menyandarkan kepalanya pada pundak si pemuda. Wajahnya
yang jelita dan ceria itu, tambah mempesona ditimpa sinar bulan. Angin hutan semilir menyentuhi
tubuh mereka yang sedang duduk ditepi sungai itu. Suara bisik-bisik dedaunan hutan menghimbau
mereka pada suatu paduan rasa yang terasa berbisik-bisik dalam dada.
Tanpa sadar, Pepriman telah mendekap pipi dara itu ditarik berhadapan. Diatupnya wajah
jelita yang tersenyum memejamkan mata itu. Namun tiba-tiba segumpal rasa rendah diri muncul
dihati si pemuda tatkala tiba-tiba Cunduk Puteri membuka matanya.
"Ah, wajah ini begitu suci dan murni. Hati dara ini begitu luhur dan perkasa. Bolehkah
tanganku yang kotor hina ini menyentuh kesuciannya?" tanya Pepriman dalam hati. Sedangkan
yang meluncur dari mulutnya adalah seruan kaget. "Tidak! Tidak! Aku bukan Joko Bledug!
Bukan!"
Cunduk Puteri teperanjat. Tapi ia merasa seakan sedang diayun dalam alam impian yang
melenakan. Kini ia sadar bahwa pemuda yang mendekapnya tadi bukanlah Joko Bledug, maka
cepat-cepat dengan wajah memerah ia melompat berdiri. Saat itupun Pepriman lebih berdiri dengan
tubuh kaku.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Cunduk Puteri dengan nafas memburu.
"Tidak! Tidak! Aku bukan Joko Bledug! Bukan!"
Cunduk Puteri tersedu-sedu. Lalu ia melarikan diri kembali memasuki pondok.
Pepriman masih berdiri kaku ditempatnya, tak tahu apa yang harus diperbuat. Dan paaa saat
itulah, dari dalam hutan tampak Sogapati menerobos dan berlari keluar dengan terengah-engah.
Mendengar munculnya orang, Pepriman cepat berpaling.
"Apa yang terjadi?" serunya, bertanya heran melihat Sogapati yang gugup dan tergesa-gesa.
"Mana Cunduk Puteri?" Pepriman, ada satu barisan pasukan disebelah barat gunung.
Mereka.... mereka...."
Pepriman berusaha menenangkan Sogapati. Lalu dengan wajah sungguh-sungguh bertanya :
"Kemana arah mereka?"
"Bergerak diatas tebing pencuci dosa. Bukan itu Pepriman! yang menjadikan pikiranku.
Mereka terdiri dari barisan orang-orang paguyuban Banjardawa, dan orang-orang kulit putih....."
"Apa katamu?" Pepriman terkejut. Ia tahu orang-orang paguyuban Banjardawa memang
merupakan sekutu dari orang-orang kulit putih yang dinamakan sebagai kompeni itu. Akan tetapi
bila mereka secara besar-besaran telah rnengerahkan pasukan untuk mengerahkan pasukan untuk
menguasai selat pencuci dosa itulah menimbulkan pertanyaan.
Pepriman teringat, dan ia manggut-manggut. Katanya :
"Sogapati. Kau bekas anggota paguyuban Banjardawa apakah tidak mengerti artinya mereka
berada ditempat itu!"
"Di selat pencuci dosa?" Sahut Sogapati sambil menggelengkan kepalanya.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
111
Kolektor E-Book
Saat itu, Cunduk Puteri telah muncul pula, dan segera menggabungkan diri dalam percakapan
itu.
"Memang selat maut itu mempunyai rahasia besar, hal ini kuketahui ketika aku membayangi
orang-orang paguyuban Banjardawa membawa dirimu untuk dibawa kekadipaten. Aku sempat
mendapatkan keterangan kebetulan waktu itu dituturkan oleh Dewi Cundrik pada muridnya!"
Begitulah, selanjutnya Pepriman menceritakan asal mulanya kejadian mengapa jalan sempit
itu disebut selat pencuci dosa, hingga pada lenyapnya pusaka Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung, yaitu
keris milik Joko Tanjung maupun pisau pusaka milik Roro Tanjung.
"Jelas, kalau begitu mereka sedang mencari kedua pusaka itu!" Cunduk Puteri menyeletuk.
"Itupun belum tentu" sahut Pepriman, "Kalau untuk mencari pusaka itu saja, untuk apa
mengerahkan pasukan begitu besar?"
Mereka mengerti juga akan keterangan Pepriman. Untuk mencari pusaka yang menjadi
incaran setiap kalangan rimba persilatan, tentulah orang akan berlaku hati-hati bahkan berahasia.
Beberapa saat ketiga muda-mudi itu tampak berunding dengan sungguh-sungguh, selanjutnya
mereka lantas berkemas-kemas, tak selang beberapa lama Pepriman tampak menepuk-nepuk
pundak Sogapati dan Cunduk Puteri secara bergantian sambil berkata :
"Apabila kalian ingin menemukan diriku kembali, bila selamat perjalananku ini, carilah aku
ke Gunung Gajah. Kalian menjumpai Ki Cucut Kawung. dan katakan kepadanya bahwa uronggo
Benawi mengharapkan ke-badirannya diselat pebetiei dosa "
Sogapati maupun Cunduk Puteri termangu. Mereka pernah mendengar nama Turonggo
Benawi dari eerita orang-orang tua mereka atau golongan para sesepuh yang pernah menceritakan
bahwa pernah hidup seorang penjahat kelas wahid yang bernama demikian, akan tetapi yang
kemudian telah menghilang ratusan tahun lamanya.
Kedua muda-mudi itu ingin bertanya, akan tetapi Pepriman telah melompat pergi sambil
berseru, "Ki Cucut Kawung akan mengerti......"
oooOooo
PANJANGNYA jalan maut yang disebut sebagai selat pencuci dosa, takkan kurang dari
seribu limaratusan langkah. Di kanan kiri jalan, seluruhnya adalah tebing-tebing karang yang tinggi
menjulang, memanjang dari batas Banjardawa hingga habis dalam sebuah lembah yang dalam, yang
disebut lembah "Pegat-sih" (putus cinta). Termakan akal pula, lembah ini menyebut dirinya sebagai
lembah pemutus cinta, karena tempat itu merupakan tempat yang memutuskan hubungan antara
pantai utara dengan daerah pegunungan.
Tidak mudah menempuh perjalanan melewati lembah Pegat-sih, mengingat bahwa lembah ini
merupakan hutan belantara yang penuh dengan jurang trebis, binatang buas dan binatang berbisa.
Sedikit sekali orang yang pernah melintasi lembah ini, karena dianggap terlalu angker, lembah
pembawa maut, sebagaimana jalan selat pencuci dosa.
Bedanya, selat pencuci dosa merupakan padang terbuka, artinya tempat yang tidak berhutan
rimba, namun tidak kalah bahayanya. Jalan yang sempit, yang cukup hanya buat melintas seekor
kuda itu, mendaki dan menurun sangat licin. Seluruhnya terdiri dari batu karang tajam yang
rnerupakan kuku maut pula apabila seseorang terjatuh ditempat itu.
Jaman dahulu tempat ini merupakan sarang penyamun, atau begal-begal bertempat tinggal,
sebab tempat ini aman dari pengejaran para pengaman praja. Orang yang melintasi selat ini apabila
tidak mati terjerumus kedalam lubang-lubang maut yang terdapat disepanjang jalan, juga adanya
gangguan dari para begal itu.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
112
Kolektor E-Book
Demikianlah, pada siang hari terik ini, disepanjang tebing selat pencuci dosa sebelah barat,
tampak berbaris sepasukan perajurit kulit putih dan kulit hitam yang merupakan barisan kompeni
yang dipimpin oleh seorang opsir berpangkat Kapitan, bernama Morgan van Oranye.
Kapitan ini membawahi tidak kurang dari limaratus orang serdadu campuran, yang
kesemuanya bersenjata lengkap, klewang, beberapa senjara api maupun anak panah.
Sedangkan pada tebing sebelah timur, berhadapan dengan serdadu-serdadu itu, tampak pula
menggerombol-gerombol para anggota paguyuban Banjardawa. Anak-anak murid Bantarkawung,
anak-anak murid Guha Gempol, beberapa orang pula anggota sintren dibawah pimpinan
Tambarekso dan para nelayan yang dipimpin oleh Tambakeso. Agak terpisah sedikit ketimur,
adalah anak-anak murid Gunung Kelir yang dipimpin oleh guru mereka Toh Kecubung.
Seluruh barisan ini, merupakan anggota paguyuban Banjardawa, dan dipimpin oleh Ki
Genikantar dan Dewi Cundrik, yang keduanya tampak sedang asyik merundingkan sesuatu.
Kebo Sulung tidak tampak dalam kedua barisan itu. Akan tetapi tampak ia berada dimulut
lembah "pegat-sih", yaitu ujung terakhir selat Pencuci Dosa, bersama beberapa orang perajurit.
Bukan perajurit paguyuban Banjardawa ataupun serdadu kompeni, akan tetapi adalah perajurit-
perajurit Kadipaten.
Kini matahari sedang tepat bertengger diatas kepala. Udara sangat panas, tak ada suatu
apapun tempat bagi mereka untuk berlindung, kecuali puncak-puncak karang yang sebenarnya tidak
banyak membawa arti.
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barisan anggota pasukan itu dalam keadaan sangat letih, sebab telah beberapa hari melakukan
penggalian, memecah batu karang, menggempur batu-batu ataupun lubang-lubang yang menarik
perhatian mereka.
Tepat sebagai dugaan si Pepriman, bahwa hadirnya sekian banyak perajurit dari beberapa
pihak itu, guna mencari tempat penyimpanan benda pusaka Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung.
Sudah lewat sepekan melakukan penggalian namun mereka belum menemukan benda-benda
itu. Malah para serdadu yang dibawa oleh Kapitan Morgan rupanya hampir putus asa, dan uring-
uringan. Terutama sekali opsir itu sendiri, berulang kali terdengar caci makinya atau kata-kata
kutukan yang tak jelas kedengaran.
Sedang semua orang dalam kejemuan yang menegangkan itu, mendadak terdengar Kebo
Sulung berseru marah.
"Hei Genikantar! Telah nyata sekarang, bahwa yang disebut-sebut sebagai pusaka Kiai
Tanjung ataupun Nyai Tanjung hanya omong kosong saja. Kalian sekarang tidak segera
meninggalkan tempat ini, mau tunggu apalagi?"
Ki Genikantar tampak terperanjat sekali, agak cemas juga. Sahutnya :
"Harap kami diberi waktu barang sepekan lagi untuk menemukan benda-benda pusaka itu.
Masakah kami hanya main-main belaka? Sungguh pusaka-pusaka itu ada siatas selat pencuci dosa
ini. Tidak enak kepada para utusan kompeni yang jauh-jauh telah datang untuk ikut mencari pusaka
itu! Janganlah sampai mereka pulang dengan tangan kosong!"
"Tidak mungkin!" Seru Kebo Sulung dengan dada terangkat, pantas sekali melukiskan sikap
seorang penggawa yang berpengaruh. Gusti adipati memberi kesempatan kepada kalian hanya
sepekan. Selebihnya, kalian haus meninggalkan tempat!"
Ki Genikantar tampak kecewa. Buru-buru ia mengambil kudanya untuk kemudian
membalapakannya menemui Kebo Sulung.
"Mohon dengan sangat, ya kami mengharap kelonggaran barang sehari dua hari lagi, untuk
melakukan pencarian..." kata Genikantar setelah tiba didekat Kebo Sulung. "Kami yakin kami akan
dapat menemukan benda itu, biarlah aku yang akan menghadap gusti adipati sendiri untuk mohon
diperpanjang waktu kami........"Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
113
Kolektor E-Book
"Tidak! Sekarang juga, kalian orang-orang paguyuban Banjardawa maupun para serdadu
kompeni, harus segera meninggalkan tempat ini. Ini adalah wewengkon kekuasaan gusti adipati.
Sekali titah gusti adipati menyuruh kalian mengundurkan diri, mana boleh dirubah. Jelasnya kalian
harus bubar, kalau tidak.....!!!"
Ki Genikantar tertawa rnengejek.
Lalu katanya : "Lihatlah, berapa ratus anggota paguyuban Banjardawa, dan berapa ratus
serdadu kompeni yang sedang bekerja keras itu. Apakah Kebo Sulung tidak kasihan pada perajurit
kadipaten yang hanya sejumlah itu?"
Sambil berkata demikian, Genikantar menunjuk kearah perajurit kadipaten yang
menggerombol dibelakang pemimpin mereka yaitu Kcbo Sulung.
Perajurit yang hanya berjumlah tigaratus orang itu tampak gelisah. Tampaknya ketegangan
pemimpin mereka dengan rombongan pencari pusaka itu akan menjadi perang campuh. Bagaimana
dengan jumlah perajurit yang kurang dari sepertiga jumlah lawan?
Yang agak mengherankan para perajurit kadipaten itu mengapa Kebo Sulung hanya
membawa tigaratus orang perajurit, sedangkan yang dihadapi adalah tentara yang jumlahnya lebih
dari seribu. Lebih dari itu lagi, rnengapa pula Kebo Sulung telah memilih tempat bagi mereka yang
sangat tidak menguntungkan. Mereka berada di ujung selat, juga berarti dimulut lembah, yaitu satu
tempat yang sempit dan rendah, yang sangat mudah bagi lawan untuk melancarkan pembasmian.
Perajurit-perajurit kadipaten yakin, bahwa apabila para pencari pusaka itu datang menyerbu,
tak usah dengan kuda-kuda dan orangnya, cukup dengan anak-anak panah mereka, tentu pasukan
kadipaten akan terbasmi habis. Padahal jalan untuk mengundurkan diri tak ada lagi, sebab
berbentuk sebuah mulut lembah yang curam dan licin tajam. Belum terhitung bencana yang mereka
ngeri membayangkan andaikata mereka dapat mundur hingga kelembah pegat-sih, sama saja
menyerahkan nyawa kepada binatang-binatang buas dan jurang-jurang curam.
"Celaka......" seorang perajurit mengeluh.
"Ini perang tak seimbang. Satu dibanding tiga!"
"Menilik tempat kedudukan kita, agaknya kita telah digantung sebelum dihukum!" Perajurit
yang lain mengeluh dengan kegelisahan yang rnenjadi-jadi. Mereka berharap mudah-mudahan
perang konyol itu dapat dihindarkan.
Akan tetapi, terdengar Kebo Sulung membentak keras.
"Perajurit kadipaten adalah banteng-banteng nusantara yang tak kenal takut! Kami telah diberi
purbawasesa, apabila kalian tak mau rnenurutkan perintah, kami akan menghancurkan kalian!"
Jangan mimpi Kebo Sulung! Bersiap-siaplah kalian menggali kuburmu sendiri!" Teriak Ki
Genikantar seraya melambaikan tangannya kebelakang.
Serentak itu juga, maka terdengar suara pekik-sorak membahana di udara, disusul tampak
beterbangannya anak-anak panah berapi menyambar kearah Kebo Sulung dan para perajuritnya.
Perajurit kadipaten jadi gempar. Kebo Sulung dengan tangkas sekali melompat maju
menerjang kearah pasukan Genikantar, sambil menyampok setiap anak panah yang datang, ia
menyerbu masuk kedalam pasukan lawan.
Tidak terperikan, betapa keadaan perajurit kadipaten yang berjumlah tigaratus orang itu.
Mereka berada dalam tempat yang sempit dan sulit, dihujani anak-anak panah berapi dari atas, tentu
saja mereka jadi kalang kabut, berebutan mencari selamat.
Akan tetapi tidak mudah. Mereka yang berlarian sambil berteriak-teriak itu, jadi bentur
sesamanya, saling tubruk jatuh bangun. Sementara itu hujan panah berapi semakin bertubi-tubi,
terkadang satu anak panah menembus tubuh dua orang perajurit. Dalarn waktu singkat pembunuhan
masal itu berlangsung dengan sangat mengerikan.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
114
Kolektor E-Book
Beberapa orang perajurit yang berhasil merayap maju mengadakan perlawanan sebagai
dicontohi oleh pemimpin mereka, akhirnya mendapatkan nasib yang lebih mengenaskan mereka
dijarah rayah, dicincang habis-habisan.
Ada juga sebagian yang karena putus asa, berusaha menuruni lembah Pegat-sih, akan tetapi
cara itupun tidak menolong. Mereka seperti sulung labuh geni (laron memburu api), satu demi satu
terbinasa jatuh terpeleset, tersungkur ataupun terjungkir balik, tewas diterima oleh dasar lembah
yang sangat dalam.
Demikianlah, pembantaian perajurit kadipaten itu berlangsung dengan sangat mengerikan.
Pekik dan jerit kematian menyayat langit. Ratap dan lolongan mereka yang direnggut maut, seolah-
olah terdengar sebagai jeritan dari neraka.
Neraka memang, dan mulut lembah pegat-sih, kini telah berubah menjadi neraka. Neraka
kematian dari para perajurit kadipaten. Hampir tidak ada satu orangpun di antara mereka yang
masih dibiarkan hidup, semuanya habis dibasmi oleh pasukan Genikantar.
Darah membanjir menganak sungai, menetes-netes menyusuri tebing, dan sebagai cucuran
jatuhnya, membasahi dinding lembah.
Sorak sorai kemenangan, terdengar membahana dipihak. Genikantar. Mereka tanpa berperang
dengan mudah dapat membasmi perajurit kadipaten yang berjumlah tigaratusan itu. dan diantara
sekian banyak yang tertawa-tawa gembira, tampak Kebo Sulung yang menghampiri gurunya sambil
berseru :
"Guru! Masih adakah kekuatan kadipaten yang meragukan kita?"
Ki Genikantar menghampiri Dewi Cundrik tertawa-tawa seraya memeluk pundak muridnya.
"Murid! Diantara sekian banyak anggota paguyuban Banjardawa, yang membuat pahala
paling besar, tentu kau sendiri. Genikantar! Mulai saat ini sudah boleh diperhitungkan waktu untuk
membuat pesta besar, hihi!"
"Ya, ya! Bantuan Kapitan Morgan sementara ini tidak akan meninggalkan kita. Atau kita
menuju kepadang Banjardawa dulu, dari sana kita lancarkan gerakan?!"
Barisan perajurit yang menang ini masih belum padam dari kegembiraan. Sorak sorai mereka
tiada kunjung habis, seolah-olah mereka telah yakin bakal dapat mbedah kadipaten.
Perlahan-lahan mereka bergerak menuju keselatan menuju hutan Banjardawa. Derap langkah
mereka bagai menggoyangkan tebing, suara derap kaki kuda rnembahana, sebagai gelombang
layaknya barisan perajurit ini memulai sejarah baru bagi kadipaten Pemalang.
Pembunuhan besar-besaran telah mereka lakukan terhadap tigaratusan perajurit kadipaten,
berarti mereka telah mengibarkan bendera peperangan.
Matahari makin condong kebarat, ketika barisan perajurit berkuda itu hampir tiba pada batas
selat. Mereka tentu masih menyanyi-nyanyi dan bersorak-sorak gembira andaikata tidak secara tiba-
tiba terjadi sesuatu.
Mendadak sekali terdengar suara gemuruh disusul dengan jerit dan pekik rnaupun ringkik
kuda para perajurit paguyuban Bantardawa yang berada ditebing sebelah timur. Kiranya ditempat
itu tarnpak sebuah lubang besar yang memanjang yang disebabkan oleh tanah terbang (longsor)
sehingga mengakibatkan perajurit-perajurit paguyuban yang kebetulan sedang berjalan ditempat itu
terbanting kebawah, lenyap dari permukaan bumi.
Geger dan gemparlah seketika iring-iringan pasukan ini, bahkan kini mereka terputus menjadi
dua bagian. Bagian yang ditengah itulah, sebanyak hampir seratus orang bersama kuda-kudanya,
lenyap terjerumus kedalam jurang yang mendadak timbul itu.
Ki Genikantar maupun Dewi Cundrik yang berada dibarisan depan cepat membalikkan
kudanya dan berteriak-teriak menenangkan suasana. Dengan hati mengkirik mereka memeriksaYusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
115
Kolektor E-Book
kembali tanah longsor yang baru terjadi itu. Dilihatnya kebawah. O, dalamnya jurang yang baru itu
tak terukur dalamnya. Gelap pekat dibawah sana. Berarti nasib para perajurit yang terjerumus tadi
sudah pasti, yaitu mati.
JILID : 7
MALAPETAKA yang sangat mendadak itu cukup menggetarkan nyali mereka. Dan
kegemparan di antara mereka terjadi. Terdengarlah bisik-bisik seakan hal itu adalah suatu firasat
buruk.
Yang lebih gempar lagi adalah sisa perajurit yang tertinggal disebelah belakang jurang baru
itu. Kebo Sulung, Tambakeso maupun Tambarekso dan Toh Kecubung ada dalam rombongan ini,
akan tetapi mereka tak dapat menguasai keadaan. Perajurit-perajurit itu kacau balau, sebagian
hendak kembali mengambil jalan memutar lewat mulut lembah Pegat-sih guna menyeberang ke
tebing barat, sebagian lagi geger kalut sendirian tak tahu apa yang harus diperbuat.
Pada saat kegemparan itulah, tiba-tiba saja diantara para perajurit itu tampak seorang pemuda
berpakaian compang-camping yang dengan sangat tangkasnya melempar-lemparkan perajurit
paguyuban dari atas kuda ke dalam dasar selat Pencuci Dosa.
Kegegeran semakin menjadi-jadi. Jrrit dan pekik mereka yang dilemparkan kedalam dasar
selat, berbaur dengan suara ringkikan kuda dan pekik teriak kekagetan, menambah suasana kalut itu
menjadi semakin kalang kabut.
Entah darimana dan kapan munculnya pemuda jembel yang rambutnya riap-riapan itu tahu-
tahu telah merenggut sekian puluh jiwa perajurit. Ketika melihat kejadian itu, segera Kebo Sulung
melompat maju menerjang untuk menghadapi amukan orang.
"Setan, setan!"
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siluman Pencuci Dosa! Siluman selat!"
Demikianlah pekik dan jerit ketakutan para perajurit yang kocar-kacir itu. Mereka mengira
bahwa pemuda jembel dan kotor itu tentulah setan selat Pencuci Dosa. Hal itu tidaklah
mengherankan, sebab sepak terjang si pemuda jembel yang sangat dahsyat. Ia ibaratkan dapat
menghilang disebelah sini, tahu-tahu muncul disana dan melemparkan korban kebawah. Kemudian
menghilang lagi, dan sedang orang-orang makin geger tahu-tahu beberapa orang menjerit kaget,
terlempar lenyap kedasar selat.
Dalam tempo tidak lebih dari sepermakan sirih, maka tidak kurang dari limapuluh perajurit
yang mati lenyap terlempar kebawah.
Dapatlah dimaklumi bahwa apabila orang banyak sudah mulai kalut, maka tak mudahlah
untuk mengendalikannya. Tambarekso, Tambarekso muupun Toh Kecubung dan Kebo Sulung,
berusaha mengejar jembel yang mengamuk itu. Akan tetapi seorang lawan itu benar-benar seperti
setan, berkali-kali menghilang dibalik tubuh beberapa perajurit yang segera menjadi korban.
"Semua turun dari kuda, tiarap!" Kebo Sulung berteriak lantang. Sekalian perajurit segera
mengerjakan perintah, berlompatan dari kuda untuk kemudian bertiarap.
Pada saat itulah, baru tampak dengan jelas macam apa adanya seorang pemuda jembel yang
telah memakan korban jiwa puluhan perajurit paguyuban itu.
Dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap, berbaju compang-camping, rambutnya riap-
riapan menutupi mukanya. Ia selalu tertawa ha-ha he-he, dan pandang matanya jelilatan tajam
menyeramkan. Akan tetapi, tidak terlampau menyeramkan sekali, sebab ternyata ia bukanlah setan
seperti yang mereka duga, akan tetapi adalah manusia biasa, manusia yang kurang waras otaknya.
Begitu melihat sekalian perajurit sudah tiarap, maka pemuda jembel yang tidak lain adalah si
Pepriman atau Joko Bledug itu tertawa keras sambil berseru gembira kearah Kebo Sulung.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
116
Kolektor E-Book
"Apa maksudnya ini, kakang Kebo Sulung! Baru enampuluh murid Gunung Kelir dan
anggota sintren serta nelayan yang kubunuh, tetapi kau sendiri yang menghentikan?!"
Kebo Sulung terperanjat bukan kepalang. Sungguh di sambar geledekpun agaknya tidak
sekaget mendengar kata-kata pemuda jembel itu. Mukanya sampai merah hijau saking marah dan
bingungnya, akhirnya ia membentak gugup :
"Ngaco! Kau... kau ngomong apa?"
"Masakah kakang lupa! Aku si Pepriman yang telah kau perintah membunuh Dadamanuk
murid Bantarkawung itu!" sahut pemuda jembel itu.
"Monyet! Bangsat! Anak celeng! Mulutmu ngaco apa?" Kebo Sulung gelagapan. Tangannya
yang menggigil cepat sekali bergerak, tahu-tahu pancaloka telah di ayun-ayunkan ditangannya, dan
menerjang kearah pemuda jembel itu.
Brang! Toh Kecubung telah menggerakkan perisainya menyegat, berbareng Tambakeso
menggerakkan kebutan bajanya menangkis, dan Tambarekso mengeprak dengan kipas bajanya.
Akan tetapi, ketiga senjata itu terhajar membalik, dan ketiga jago tua itu terhuyung mundur.
Toh Kecubung tertawa berkakakan, antara marah dan penasaran.
"Pantas hanya murid-muridku belaka yang dilempar kebawah selat, kiranya setan jembel ini
suruhanmu !"
"Tidak salah! Anggota sintrenku hilang separuh, tidak tahunya aku membiarkan musuh dalam
selimut. Kebo Sulung! Kiranya kau ular berbisa dalam paguyuban. Serahkan jiwamu!"
"Ganti nyawa murid-muridku!"
Toh Kecubung, Tambakeso dan Tambarekso maju berbareng, menghadang majunya Kebo
Sulung yang bermaksud mendekuti Pepriman.
"Kalian minggir. Hendak kubekuk anjing kotor itu!" bentak kebo Sulung bingung.
"Ha ha ha, untuk apa?" kata Toh Kecubung.
"Untuk main sandiwara?" kata Tambarekso.
"Bocah sombong ini harus mampus!" Dan Ki Tambakeso yang tampaknya sudah tak dapat
menahan murkanya lagi, telah menerjang kedepan dengan kebutannya menyabet kearah kepungan
Kebo Sulung.
"Apa kalian sudah gila? Apa-apaan ini?" Kebo Sulung melompat mundur menghindar seraya
berseru bingung : "Mengapa kalian mengerubutiku?"
Namun Ki Tambarekso pun sudah menerjang dan Toh Kecubung mengayunkan tombak
pendeknya.
Kebo Sulung hanya dapat memainkan senjata pancalokanya untuk melindungi diri seraya
berseru bingung.
"Tunggu! Jangan termakan fitnah anjing kotor itu! Aku tdak kenal dia! Aku tidak kenal dia!"
Namun ketiga tokoh tua itu mana mau mendengar ocehan orang? Mereka bertiga ini adalah
orang-orang yang murid atau anak buahnya sebagian besat tewas dilemparkan kebawah selat oleh si
jembel. Si jembel itu mengaku orang yang telah membunuh Dadamanuk, anak murid
Bantarkawung. Dan kini telah melakukan pembunuhan terhadap murid-murid itu. Ia mengaku
sebagai suruhan Kebo Sulung, bagaimana mereka bisa menyangkalnya?.
Adalah untuk kenyataan murid Guha Gempol sama sekali tidak mendapat gangguan, bahkan
yarg terjerumus kedalam jurang jadi-jadian itupun hampir semuanya murid-murid Bantarkawung,
habis perlu bukti apalagi?Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
117
Kolektor E-Book
Memangnya pikiran kaget sedang dibikin kalut oleh kejadian serba mendadak itu, ditambah
tindakan oleh si jembel yang demikian walaupun Kebo Sulung bersumpah tujuh kali disambar
geledek, takkan ada yang bakal mempercayainya.
Kebo Sulung memutar senjata pancalokanya. Bunyi keleningan nyaring bergema, dan
gelombang angin sangat dingin menyambar dahsyat. Berkali-kali terjadi benturan senjata yang
mengakibatkan ketiga lawannya itu tergentak mundur.
Demikianlah dahsyatnya senjata pusaka pancaloka. Jangankan terkena pukulan senjata itu,
sedangkan terkena sambaran angin dinginnya saja tokoh-tokoh kuat sebagai Toh Kecubung maupun
Tambakeso dan Tambarekso dibikin menggigil kedinginan.
Pada setiap benturan senjata ketiga jago tua itu merasa tangannya kesemutan. Namun tidak
membuat mereka jerih, sebaliknya malah menduga bahwa anggapan mereka benar. Kebo Sulung
semakin sombong dengan senjata rampasannya itu dan bermaksud menyerakahi cita-cita paguyuban
Bantardawa, begitulah kata mereka dalam hatinya. Dan perlawanan ketiganya semakin sengit saja.
Sementara itu, si pemuda jembel itu berseru sambil berkelebat pergi : "Kakang Kebo Sulung!
Sekarang lebih mudahlah untuk menumpas ketiga monyct tua itu. Kukira bantuanku tak perlu
lagi......"
"Bangsat! Jahanam! Terkutuk! Aduh!" Kebo Sulung memekik-mekik menyumpahi pemuda
jembel itu. Kesempatan sedetik yang terbuka itu telah dipergunakan oleh Tambarekso untuk
mengebutkan kipas bajanya. Kipas itu melebar, dan sebelah ujung yang runcing mencocok kearah
mata Kebo Sulung. Walaupun sesaat ia lengah, akan tetapi Kebo Sulung menyadari adanya
ancaman bahaya itu. Cepat ia menggerakkan senjatanya menangkis keatas. Siapa duga kipas itu
telah memutar dan ujung yang semula berada di bagian bawah telah menggores dada Kebo Sulung.
"Awas! Kalian terlalu mendesik. Jangan katakan aku terlalu kejam. Aduuuh!". Sekali lagi,
kesempatan Kebo Sulung berbicara ini telah dipergunakan oleh Tambakeso untuk mengebutkan
kebutan bajanya menyerempet pundak Kebo Sulung.
Dua kali mendapat luka ini, maka Kebo Sulung benar-benar jadi marah sekali. Semula ia
menduga bahwa ketiga sahabatnya itu akan dapat disadarkan mengenai duduknya perkara, akan
tetapi setelah ketiganya itu benar-benar bermaksud hendak membunuhnya bagaimana dapat tinggal
diam? Dalam hal kepandaian ilmu silat, memang Kebo Sulung boleh dikata setingkat diatas mereka.
Senjata yang dipergunakannya merupakan senjata pusaka yang sangat ampuh. Maka walaupun
ketiga lawannya itu bersatu bekerjasama dengan baik, Kebo Sulung masih bisa memberikan
perlawanan bahkan mampu melancarkan serangan balasan.
Pertarungan semakin seru, makin lama giat saling bunuh diantara mereka makin nyata,
tampak pada serangan-serangan mereka yang selain mengarah pada bagian-bagian tubuh yang
mematikan.
Dewi Cundrik dan Genikantar yang berada dirombongan yang terpisah oleh jarak ratusan
meter menjadi kaget dan bingung. Mereka melihat kekacauan pada rombongan Kebo Sulung, akan
tetapi mereka tidak melihat jalan, sehingga mereka tak tahu bahwa orang-orang mereka sendiri
sedang terlibat dalam pertarungan sengit.
Dewi Cundrik dengan mengerahkan tenaga batinnya memperdengarkan suara seruan yang
berkumandang hingga kekaki kaki langit :
"Kebo Sulung! Toh Kecubung! Cepat kalian ambil jalan memutar melalui mulut lembah
Pegat-sih. Kemudian menggabungkan diri dengan barisan serdadu! Kita tunggu dipadang
Banjardawa!!"
Beberapa saat suara seruan wanita sakti itu berkumandang menghantam kaki bukit, dan
membalik dalam bentuk genta yang memanjang. Akan tetapi tidak terdengar sahutan dari Kebo
Sulung.
Sebaliknya kapitan Morgan yang telah menjawab bahwa Kebo Sulung maupun temannya
terlibat dalam perang tanding sesamanya.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
118
Kolektor E-Book
"Bagaimana? Tanya Dewi Cundrik dan Genikantar hampir serempak.
"Mereka bertarung sama sendirinya! jawab Morgan van Oranye.
"Mana boleh jadi?" Teriak Dewi Cundrik kaget dan tak percaya.
"Kenapa tidak boleh jadi???" Tiba-tiba terdengar suara sahutan dari arah para murid
Bantarkawung. Dan ketika para murid itu sedang terkejut celingukan mencari orang yang berbicara
tahu-tahu beberapa orang diantara mereka telah terlempar kedalam selat.
"Tolooooong!"
"Ampuuuuunnn!"
"Gustiiii!!!"
Seakan orang-orang itu sedang berlomba mencari mati, maka tubuh perajurit paguyuban itu
beterbatagan melayang kedalam selat, diiringi suara lolongan ngeri dari mulut mereka.
"Siapa kau!" bentak Genikantar seraya melayang maju, menghampiri seseorang yang sedang
mencomoti murid-murid Bantarkawung dan melemparkannya kedalam selat.
Guru Bantarkawung itu melihat seorang pemuda berpakaian compang-camping yang
rambutnya riap-riapan menutupi muka, sedang pringas-pringis seperti orang gendeng, akan tetapi
kedua tangannya dengan cepat sekali telah bekerja melempar-lemparkan murid-murid
Bantarkawung itu.
Tanpa banyak pikir lagi, Ki Genikantar telah mendorongkan tangannya kedepan. Terdengar
suara mendesis dibarengi timbulnya kabut tipis warna hitam yang menyambar kedepan.
Itulah ilmu pukulan andalan guru Bantarkawung ini yang disebut "Sepasang siluman dari
barat". Dahsyatnya pukulan ini ibarat damparan gelombang samudera, mempunyai tenaga dorong
lebih dari ribuan kati. Janganlah manusia biasa, sedangkan pohon-pahonpun bisa tumbang oleh
pukulan itu.
Ketika pukulan tiba maka tidak hanya pemuda jembel itu yang roboh terjengkang, bahkan
murid-murid Bantarkawung yang berada disampingnya ikut-ikutan roboh terjengkang muntahkan
darah.
Murid-murid Bantarkawung itu tewas, sebaliknya si jembel yang dimaksudkan untuk dibunuh
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah melompat bangun sambil berseru kearah Dewi Cundrik.
"Guru! Kenapa kau tidak menolongku? Lihatlah murid-murid Bantarkawung telah sebagian
besar kubunuh mampus!"
Ki Genikantar beejingkrak kaget. Sedangkan Dewi Cundrik terbelalak matanya, ternganga
mulutnya, tak tahu apa yang harus dikatakan olehnya.
"Guru, cepat tolonglah aku. Kalau tidak mau lagi aku membubuhi saudara-saudara
Dadamanuk!"
"Apa artinya ini, Cundrik?" bentak Ki Genikantar dengan mata merah berapi.
Dewi Cundrik masih gelagapan. Sungguh mimpipun tidak, bahwa ada kejadian yang begitu
aneh, masakah seseorang tak dikenal telah mengucapkan kata-kata seperti itu?
"Cundrik! apa maksudmu membunuhi murid-muridku???. Bentak Ki Genikantar seraya
melangkah maju setindak. Kedua tangannya terkembang disamping badan, siap untuk melancarkan
pukulan "sepasang siluman dari barat".
"Tunggu, tunggu, tunggu! Hai setan alas! Kau monyet kotor ngaco apa? Siapa kau? Siapa kau
ha?"Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
119
Kolektor E-Book
"Aku si Pepriman yang kau suruh rnembunuh Dadamanuk, guru". sahut si jembel sambil
tertawa bahak-bahak.
"Cundrik!!! Ki Genikantar memperdengarkan suara menggereng seperti macan, kedua
tangannya yang berembang didorongkan kedepan, menghantam.
Dewi Cundrik melompat mundur, seraya berseru-seru bingung :
"Genikantar, kau gila? Mengapa kau menyerangku! Tunggu! Sabar!!"
Wuuuss! Sekali lagi Genikantar mendorongkan kedua tangannya yang terbuka, dengan lebih
keras lagi sehingga kabut tipis yang menguap dari pukulan itu, mendesus keras, mementalkan
beberapa murid Guha Gempol yang tersenggol. Sedangkan Dewi Cundrik sendiri telah menghindar
mundur berjumpalitan.
Genikantar, jangan main gila kau! Itu jembel gila tidak kukenal, bagaimana aku pernah
menyuruhnya?"
"Kau kenal, atau keponakanmu sekali mana aku tahu? Ayo jangan minggat kau siluman hina!
Kau kira aku tidak tahu akal licikmu?" kata Genikantar dengan penuh penasaran.
"Siapa punya akal licik! Genikantar, jangan termakan akal busuk bocah edan itu. Aku tidak
kenal dia. Benar, aku tidak tahu siapa dia!"
"Pokoknya, kau ganti nyawa murid-muridku yang telah kau suruh bunuh oleh jembel busuk
itu! Jangan diharap bahwa menyerakahi wewengkon satu kadipaten akan dapat kau gagani dengan
mudah!" Genikantar mengejek.
Dewi Cundrik menghela napas, cepat-cepat ia berusaha menguasai bathin sendiri yang
diterkam kepanikan sesaat yang mengejutkan. Ia sadar bahwa pemuda jembel tak dikenal itu telah
dengan sengaja meniupkan api perpecahan dengan caranya yang licik dan lihai. Akan tetapi
siapakah dia ini?
Akan tetapi, tidak banyak kesempatan bagi Dewi Cundrik untuk diam berpikir. Terasa
segelombang angin tajam menyambar bagaikan guguran batu gunung yang menubruk. Dewi
Cundrik tidak lengah. Sedikit ia menggeser letak kakinya dan tangan kirinya yang berkuku-kuku
panjang itu mengebas.
Duuuk! Dua tenaga besar saling bentur, Ki Genikantar tergentak mundur meringis kesakitan.
sedang Dewi Cundrik terlempar berjumpalitan beberapa langkah kebelakang.
"Genikantar!"
"Banyak mulut!"
Kedua tokoh kosen dari paguyuban Banjardawa itu segera terlibat dalam perang tanding yang
sangat seru. Pukulan-pukulan cepat, serangan-serangan kilat mereka yang tampak sebagai kelebatan
bayangan itu, seakan-akan hanya berujud kilatan-kilatan warna belaka, dan asap tipis yang
mengepul.
Pertarungan itu berlangsung sangat cepat, sehingga baik para murid Bantarkawung ataupun
murid-murid Guha Gempol, hanya melihat bertarungnya dua kabut berwarna kehitaman dan
kemerah-merahan belaka.
Dua kabut lain warna yang bergulung-gulung itu sebentar berkumpul, sebentar berpencar,
untuk kemudian saling gempur lagi. Mendadak terdengar sebuah letupan kecil, tahu-tahu dua
gulungan kabut itu berpencar jauh. Kabut hitam bergoyang-goyang mundur, sedangkan kabut
merah melayang seperti selendang tipis terbawa oleh angin dan jatuh pada jarak puluhan depa
jauhnya.
"Berbahaya! Nama Guha Gempol bukan omong kosong! Tetapi jangan dikira Bantarkawung
akan mudah begitu saja kau hina !" kata Ki Genikantar seraya berdiri tegak. Seluruh wajahnya
berkeringat, dan pada sudut mulutnya tampak setitik darah yang mulai mengering.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
120
Kolektor E-Book
Sedangkan dipihak lain, tampak seorang wanita berwajah pucat pasi terbatuk-batuk dan
memuntahkan darah segar. Wanita itu adalah seorang wanita yang bentuk tubuh dan gayanya sama
dengan Dewi Cundrik, akan tetapi pada wajah yang pucat pasi itu terlukis suatu wajah yang jelita
dengan mata bersinar-sinar seperti nyala api. Kiranya dia adalah Dewi Cundrik, hanya kini ?kedok
setan? yang menutupi mukanya telah hancur robek dan terbuang.
"Omong besar!" Dewi Cundrik berkata serak. "Kalau Guha Gempol bermaksud
menghancurkan Bantarkawung apa susahnya?" Dan kini wanita itu dengan susah payah telah
berdiri tegak dengan kedua tangan siap melancarkan serangan.
Agaknya kedua orang tokoh sakti itu tentu akan segera bergebrak kembali, andaikata tidak
segera datang rombongan Kebo Sulung dan kawan-kawannya.
Jauh-jauh Kebo Sulung telah berteriak-teriak :
Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Rajawali Emas 03 Raja Lihai Langit Bumi Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama