Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Gunung Gajah 5

Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar Bagian 5



"Guru! Guru! Jangan terpancing hasutan busuk! Tunggu!" Dan rombongan perajurit-perajurit

yang terluka itu berduyun-duyun tiba.

Melihat Jalasutro dan Jalaputro yang terluka, Genikantar bertanya gusar : "Siapa melukaimu,

ha?"

Tetapi kedua murid itu hanya menggelengkan kepala.

"Bukan main! Mana dia?" kata Kebo Sulung agak terperanjat.

"Dia siapa?" tanya Dewi Cundrik.

"Jembel jahanam itu! Jembel kurang ajar itu! Hampir saja kami terbinasa hancur oleh

pertarungan gila! Bangsat celaka!" Kebo Sulung mengumpat sejadi-jadinya. "Untunglah aku dapat

menguasai keadaan. Andaikata tidak, entah apa jadinya. Sahahat Toh Kecubung percayakah kau

sekarang, bahwa pemimpin-pemimpin kitapun kena diapusi oleh monyet jembel itu?"

Toh Kecubung tertawa getir. Ia ingat memang, andaikata Kebo Sulung tidak memiliki ilmu

kepandaian dan pusaka ampuh, agaknya penggawa kadipaten itu akan binasa terpotong-potong

dikerubut. Akan tetapi dibalik rasa syukur itu terselip pula suatu rasa was-was dan iri kiranya ilmu

kepandaian Kebo Sulung diatas kepandaian ketiga tokoh sebagai Toh Kecubung sendiri,

Tambarekso dan Tambakeso.

"Jadi bagaimana, coba jelaskan Kebo Sulung !" Genikantar masih penasaran.

"Sungguh memalukan sekali. Aku yakin, bahwa jembel hina itu merupakan orangnya

perguruan Pucung atau perguruan Kenistan. Sengaja ia didatangkan kepada kami untuk

menyebarkan fitnah busuk. Bukankah apabila kita bertarung sendiri, kita akan hancur dan lemah

dengan sendirinya? Coba saja ingat, bukankah jembel itu pula yang telah membantu Cunduk Puteri

membunuh Dadamanuk? Terang-terang dia bukan Sogapati, tetapi juga jelas bukan orang sendiri.

Ia.... ia.... mempunyai ilmu silat mirip-mirip perguruan Blimbingwuluh....."

Tercengang sekalian yang hadir. Jelas rasa malu, penasaran dan marah terlukis pada wajah-

wajah mereka, terutama sekali muka Ki Genikantar yang hitam botak itu seakan berobah menjadi

tembaga.

"Guru.... kau telah.... telah membuka.....", Kebo Sulung berkata ragu-ragu.

"Genikantar! Sekarang sudah jelas persoalannya. Jika kau masih penasaran ingin menjajal

keunggulan ilmu silat Guha Gempol.....".

"Ya, maafkan kesalah-pahaman tadi. Yang sudah harap dilupakan saja. Kukira orang-orang

Kompeni sedang menunggu kita dipadang pertemuan", potong Ki Genikantar.

Setelah para ketua-ketua itu selasai berkata, maka sedikit demi sedikit mereka lantas bergerak

keselatan, beriringan pergi menuju hutan Banjardawa.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

121

Kolektor E-Book

Sedangkan si jembel alias Pepriman itu, kini telah pergi meninggalkan mereka, pergi tanpa

ada seorangpun yang mengetahui sebelumnya.

Tebing panjang selat Pencuci Dosa telah kembali sunyi, hanya bangkai-bangkai berserakan

atau darah yang berceceran akibat peperangan.

Dan diantara timbunan mayat yang bergelimpangan, tampak seseorang pemuda berpakaian

compang-camping dan kotor yang tertawa-tawa sambil berjalan hilir mudik, seperti ada yang

dicarinya. Dan tiba pada jurang jadi-jadian itu, si pemuda jembel berhenti. Lalu melongokkan

kepalanya kebawah, setelah itu ia berseru kaget karena bergidik. Mendadak diudara tampak

berterbangan beberapa ekor burung gagak yang memekik kegirangan mencium bau bangkai. Si

jembel meringis, seraya memandang binatang-binatang itu. Lalu tangannya menjumput sesuatu dan

dilemparkan keudara sambil memekik. Bersamaan dengan suara pekikan si jembel itu, maka

terdengar pula pekik kematian burung gagak diudara. Kemudian tampak tiga ekor burung gagak

yang menggelepar jatuh, terbanting keatas tebing karang dengan kepala yang telah remuk.

Si jembel mengambil bangkai tiga ekor gagak itu, lalu satu sama lain diikatnya dengan seutas

tali. Setelah itu barulah ia mencemplungkan bangkai binatang itu kedalam jurang.

Selesai mengerjakan itu semua, barulah si jembel berkelebat pergi sambil memperdengarkan

suara lengkingannya yang memanjang.

oooOooo

TAK ada tali yang begitu kuat mengikat antara manusia dengan manusia yang lain kecuali

benang cinta yang terentang antara hati mereka.

Bahwa manusia berkembang biak adalah berkat membuahnya cinta. Cinta antara manusia

laki-laki dan wanita. Begitu kokohnya belenggu ini, sehingga kadang-kadang membuat manusia

terkurung padanya, pikiran dan perasaan terkepung ibarat perajurit yang sudah kehabisan daya.

Sebagai juga Dewi Yoni, putri tunggal Demang Moga Ki Gede Ayom yang kini tak habis-

habisnya menunggu kedatangan seseorang yang sangat jauh-jauh sekali sebab seolah-olah terasa

bahwa dia takkan datang lagi.

Joko Bledug sudah mati? Dia seorang anak durhaka, murid murtad, bahkan seorang jejaka

yang telah menjadi korban kejalangan wanita cabul sebagai Dewi Cundrik?

Walaupun hal ini telah didengar dari Sogapati, dari ayahnya sendiri, bahkan semua orang dari

kalangan rimba persilatan mengatakan demikian, namun hati gadis ini tetap bersikeras.

Dikatakannya kepada ayahnya, bahwa bila Joko Bledug telah mati, ia ingin melihat bangkai dan

kuburannya, bila masih hidup, dimana ia kini berada!

Hal ini sungguh sangat menggelisahkan ayah ibunya. Sebagai sore ini, ketika Dewi Yoni

sedang menyirami bunga, ayahnya telah mendekati sambil berkata :

"Yoni. Jangan kau membuat ayah selalu gelisah. Apalah kekurangan sebagai Kebo Sulung

itu? Masih muda, tampan dan berkedudukan sangat tinggi pula. Semuda itu, ia telah menjadi orang

kepercayaan adipati, sedangkan ayahmu ini, Yoni. Cobalah kau berpikir sehat. Bicara mengenai

ilmu kepandaian, untuk kadipaten Pemalang ini, agaknya tidak banyak orang yang dapat

menandingi Kebo Sulung, apalagi kini ia memiliki pusaka Pancaloka......"

"Apakah ayah mengetahui dari mana dia memperoleh pusaka Pancaloka itu?" Dewi Yoni

bertanya dengan kepala merunduk.

"Dibelinya dan Joko Bledug. Cobalah kau pikir......"

"Apakah masuk akal ayah, bahwa orang sebagai Joko Bledug itu menjual pusaka perguruan

kepada orang ini?" Dewi Yoni mendebat.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

122

Kolektor E-Book

"Masuk akal atau tidak, kenyataannya adalah begitu. Murid yang murtad dan durhaka sebagai

Joko Bledug, apanya yang tidak masuk akal? Jangankan hanya menjual benda pusaka perguruan,

sedangkan membunuh dua saudara seperguruanpun dilakukannya!" Gemas juga Ki Gede Ayom

melihat sikap puterinya yang membangkang itu.

"Yoni......" kata Ki Gede Ayom pula menyambung.

"Selama ini kau adalah seorang anak penurut. Mengapa dalam soal jodoh ini kau hendak

berkeras kepala? Apakah kau hendak menunggu kedatangan seorang penjahat yang sudah mati akan

melamarmu?" suara Ki Gede Ayom agak halus kembali.

"Menjadi isteri Kebo Sulung, berarti kau akan mendapatkan martabat hidup yang tinggi dan

terhormat. Ayah tentu saja menginginkan hidupmu dikemudian hari akan bahagia, bukan menjadi

isteri seorang manusia durhaka sebagai Joko Bledug, si yatim piatu yang tak tahu guna itu!"

"Ayah..........!" Dewi Yoni menangis terisak-isak.

"Kau adalah anak seorang demang! Demang, Yoni! Kau tahu?!" Ki Gede Ayom tambah

ngotot.

"Menolak lamaran Kebo Sulung sama dengan mengundang gusti adipati untuk murka kepada

kita! Dan kau tahu akibatnya bila seorang demang mendapatkan marah dari seorang adipati?"

Dewi Yoni semakin sedih. Dikepalanya, tergambar suatu pergulatan yang sangat sengit,

antara cinta pertama yang tulus yang telah terjalin dengan Joko Bledug, dengan kesenangan hidup

yang dapat dinikmati bersama Kebo Sulung.

Teringat olehnya saat-saat ia masih bocah, bersama dengan Joko Bledug seringkali bermain

diladang-ladang Blimbingwuluh! Atau mandi-mandi dikali, berburu binatang atau belajar ilmu silat.

Dewi Yoni ingat benar betapa Joko Bledug adalah seorang pemuda yang rendah hati, suka

mengalah, tetapi juga keras sebagaimana watak seorang laki-laki yang sejati.

Pernah suatu hari mereka pergi berburu ikan dikali Blimbingwuluh Dewi Yoni membawa

anak panah, sedangkan Joko Bledug membawa sebatang gagang pancing. Dalam waktu cepat,

kedua bocah yang berilmu kepandaian itu dapat mengumpulkan ikan tidak kurang dari limapuluh

ekor ikan dari berbagai jenis. Lele, ikan gabus, ikan pari juga ada ikan sumbilang.

Bidikan Dewi Yoni selalu tepat, begitupun sabetan tali pancing Joko Bledug tak pernah

meleset.

Saat itu, hari telah lewat asar, dan matahari sudah semakin rendah menuruni lereng gunung.

Tiba-tiba mereka melihat seekor ikan mas yang sangat besar, sebesar kendang sintren.

Dengan sangat bernafsu mereka memburunya. Ketika Joko Bledug hendak melecutkan

gagang pancingnya maka Dewi Yoni telah berseru mencegah : "Jangan, Bledug! Tangkap dia

hidup-hidup, buat kupelihara di kolam tamanku!"

Joko Bledug mengerti, mengerti bahwa sabetan pancingnya disaluri tenaga bathinnya, akan

dapat membunuh ikan mas itu. Maka ia buru-buru mencebur kedalam air untuk memburunya.

Baik Dewi Yoni maupun Joko Bledug adalah bocah-bocah yang mahir dalam ilmu berenang

ataupun menyelam. Akan tetapi jangan lupa bahwa jagonya segala perenang maupun penyelam

didunia ini mana ada yang dapat menandingi seekor ikan?

Ikan mas itu memang dahsyat sekali bentuknya, elok dan menyenangkan. Sisik-sisiknya

kuning kemerahan dan gemerlapan. Ekornya lebar dan bergerak-gerak seperti kipas bila meluncur.

Dan sepasang matanya merah saga seperti permata merah delima. Dewi Yoni sangat bernafsu sekali

untuk menangkapnya, sehingga Joko Bledug yang tahu kehendak gadis itu berusaha keras untuk

menangkapnya.

Joko Bledug menyelam dan mengejar, akan tetapi ikan itu demikian gesit dan lincahnya

menyelinap dan menghilang diantara batu-batuan. Sehingga Joko Bledug merasa kewalahan sekali.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

123

Kolektor E-Book

Senja telah turun, akan tetapi ikan mas itu belum juga tertangkap. Tetapi Joko Bledug tidak

berhenti mengejar, karena Dewi Yoni merengek-rengek terus-menerus, sambil berseru-seru :

"Kalau tidak bisa menangkap ikan itu, jangan jadi temanku lagi!"

Entah mengapa, Joko Bledug seolah sangat takut kehilangan gadis cilik itu. Mereka sama-

sama bocah dibawah umur, akan tetapi ikatan bathin mereka seakan sudah menunjukkan keanehan-

keanehan yang jarang ada pada bocah lain seusia mereka.

Akhirnya tibalah mereka pada sebuah air terjun. Ikan mas itu tampaknya sengaja minta untuk

diburu, muncul mengejek, atau kemudian menghilang lagi. Muncul lagi setelah Joko Bledug

kebingungan, untuk kemudian berputar-putar diantara batu-batuan.

Tiba didekat air terjun, maka ikan mas itu mengambangkan diri, seolah-olah ia betul-betul

menyerah. Joko Bledug tak ingat akan bahaya, buru-buru menubruknya dengan bernafsu.

Tetapi sungguh malang, kiranya ikan itu seolah-olah pandai ilmu silat, begitu tubuhnya

terpeluk oleh Joko Bledug, ekornya menyabet dengan keras. Dan Joko Bledug terpekik, tubuhnya

terlempar melayang jatuh kedalam air terjun.

Untungnya Joko Bledug mempunyai keuletan tubuh yang telah terlatih.

Mendapat serangan keras dari ikan mas itu, ia tidak pingsan, akan tetapi sulit juga untuk

bertindak, mengingat sekarang dirinya telah berada dalam air terjun, dimana dibawahnya terdapat

pusaran air yang dahsyat dan mengerikan.

Dewi Yoni menjerit ketakutan, lalu sambil berlari keatas tebing berseru-seru : "Bledug.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Biarlah, aku tak mau ikan mas itu......".

Mendengar seruan yang demikian, lain pula dugaan Joko Bledug. Ia yakin bahwa Dewi Yoni

tetap menginginkan ikan itu, akan tetapi kuatir Joko Bledug akan mendapat bahaya, maka ia berkata

begitu. Sebaliknya Joko Bledug bahkan lebih bersemangat. Kali ini ia benar-benar diuji keuletan

dan kekerasan hatinya oleh ikan itu, juga oleh Dewi Yoni sendiri.

Maka ia segera menahan napas, kemudian menyela dalam-dalam sambil mencari. Bukan main

kuatnya goncangan air terjun yang deras itu seakan membanting-banting tubuh si bocah. Sebentar

dibanting kekanan, ketepi atau dibantingkan kedasar. Dan lebih-lebih serunya lagi, disitu kiranya

banyak sekali terdapat ikan-ikan mas besar yang lantas mengerubut.

Joko Bledug segera mengerahkan tenaga bathinnya. Kaki tetap berenang, akan tetapi kedua

tangan dibesetnya kesamping dengan penumpahan tenaga bathinnya. Ketika ia memutarkan kedua

lengannya, kuat-kuat, maka gelombang air membuncah, terdengar suara berdebut tahu-tahu ikan-

ikan kecil dan ikan-ikan lainnya sedang berlompatan, bertaburan keluar air, akhirnya jatuh keair

dalam keadaan telah mati.

Namun, ikan mas besar bermata merah delima itu, tidak juga muncul, bahkan Joko Bledug

merasa sebelah kakinya kena dibentur oleh sebuah benda tajam.

Joko Bledug memekik nyaring, kemudian mendorongkan kedua tangannya kedepan sambil

menyelam. Kiranya saat itu ikan mas besar itu sedang hendak menyerang dengan sirip sampingnya.

Joko BIedug memiringkan tubuhnya. Ikan itu meluncur lewat, dan sebelah lengan Joko Bledug

mengenai badannya.

Bukan main! Ikan itu seperti memiliki kekebalan, dan pukulan Joko Bledug sepenuh tenaga

itu hanya membal belaka. Sementara itu, namanya manusia, Joko Bledug harus mengambil napas

keudara. Bila ia muncul begitu saja, agaknya terlalu mudah ikan itu akan menyerang kakinya. Maka

dengan tangkas, Joko Bledug telah menjejakkan kakinya ketubuh ikan sekuat-kuatnya.

Ketika tubuhnya mumbul keudara, si bocah menyedot napas, begitu meluncur kembali

kebawah, si bocah langsung melancarkan dorongan kedepan.

Justeru saat itu ikan mas besar itu sedang menyeruduk maju. Tepat pukulan Joko Bledug

mengenai kepala, sehingga ikan itu terbanting. Joko Bledug pun tak mau membuang kesempatan.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

124

Kolektor E-Book

Sedang ikan itu dalam keadaan setengah puyeng, ia menubruknya, rnenunggangi sambil

memasukkan kedua tangannya kedalam insang ikan itu, yaitu pada kanan kiri rahang.

Tentu saja ikan itu kesakitan bukan main. Ia lantas berontak sekuatnya. Namun kedua kaki

Joko Bledug telah mengempit tubuh binatang itu dengan sekuat tenaga. Akhirnya, ikan itu

melompat-lompat keatas air dengan garang dan kalap, sementara tubuh Joko Bledug menggemblok

erat, persis seperti menunggang seekor kuda liar.

Diatas tebing kali, telah berkumpul banyak orang kampung, termasuk diantaranya adalah Kiai

Teger dan Ki Gede Ayom. Kedua orang sakti itu datang ketika orang-orang kampung melaporkan

kejadian itu.

Melihat munculnya penunggang -kuda air- itu. Kiai Teger maupun Ki Gede Ayom tertawa,

tetapi juga cemas.

Tampak darah mengucur dari lengan dan dada Joko Bledug, dan air kali bersimbah darah.

Dewi Yoni berteriak-teriak menangis, tetapi Joko Bledug sudah tak mau peduli.

Berkali-kali ikan mas itu membawa penunggangnya melompat dan menyelam, akhirnya ia

kehabisan tenaga terutama karena alat pernapasannya yang dicengkeram oleh Joko Bledug itulah

yang menyebabkan binatang itu cepat kehabisan tenaga.

Kiai Teger melemparkan jala keair, dan ketika ia menariknya, maka dalam jala itu telah

terjerat Joko Bledug bersama ikan itu. Bersorak-sorailah orang kampung melihat kejadian itu. Dan

segera mereka menggiring "pahlawan ikan mas" mereka pulang keperguruan.

Ikan mas besar itu kini telah berada dalam kolam ditaman bidadari kademangan Moga. Dan

sore ini Dewi Yoni sedang merenungi, ketika ayahnya sedang memarahinya, maka si gadis melihat

ikan mas besar itu menampakkan diri seakan naenari-nari.

Teringat semuanya itu maka teringatlah oleh si dara, sepatah kalimat yang pernah diucapkan

oleh Joko Bledug pada waktu kejadian penangkapan ikan mas itu. "Yoni. Ikan ini sudah kubawa

kekolam tamanmu, maka jangan putus persahabatan kita sampai mati ya?"

Kalimat si bocah yang sederhana itu kini tidak sederhana lagi membawa arti dalam hati si

gadis.

Dan Dewi Yoni kembali tersedu-sedu menangis. Persahabatan sampai mati? O, begitu dalam

berkesan, bukankah itu berarti menghendaki hidup berumah tangga, bersatu dan berbahagia?

Tapi mengapa kini Joko Bledug sudah mati? Mati sebagai seorang anak durhaka, murid

murtad, ataupun pengkhianat perguruan? Tak mungkin, tak mungkin! Dan Dewi Yoni tetap tak

percaya.

Melihat putrinya yang keras kepala itu. Ki Gede Ayom tambah marah.

"Yoni, kau tahu? Mengapa kau kumasukkan dalam perguruan Loning bukan

Blimbingwuluh?!" bentaknya.

Dewi Yoni diam, hanya menggelengkan kepala.

"Aku tidak suka melihat pergaulanmu dengan bocah yatim piatu itu berkembang makin

buruk. Dan aku tidak melihat tanda-tanda besar pada dirinya. Hm, Yoni. Sebagai juga kakang Teger

telah kuduga akan tersesat jalan, sekarang sudah menjadi kenyataan, ia telah terbinasa dalam kamar

siksa kadipaten sebagai seorang guru celaka dan terkutuk! Apa lagi yang dapat diharapkan dari

seorang ayah busuk sebagai Kiai Teger dan anak angkatnya, seorang bocah durhaka dan cabul,

Yoni!"

Dewi Yoni tak tahan mendengar semuanya itu, maka ia cepat-cepat berlari kekamarnya

sambil tetap meratap.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

125

Kolektor E-Book

Pada malam berikutnya, maka dari dalam kademangan Moga tampak sesosok bayangan

langsing yang menerobos keluar dari taman bunga, dan berlari cepat menuju jalan pegunungan.

Bayangan itu bergerak sangat cepat, seakan terbang melintasi jalan-jalan berbatu lereng-

lereng dan hutan belukar.

Tidak sulit untuk menebak siapa bayangan itu, yang tidak lain adalah Dewi Yoni yang sedang

pergi menurutkan kekecewaan hatinya.

Gadis beradat keras yang membawa kekecewaan hati itu, berlari terus menuju kearah timur

laut. Tak ada maksud hatinya yang tertentu kecuali hanya melampiaskan rasa kecewa dan kesal

belaka. Ia mengenakan pakaian sebagai seorang pemuda, dengan ikat kepala hitam wulung, baju

hitam buram dan kain gringsing. Dipinggangnya, terselip pada tali pinggangnya yang lebar dari

kulit macan, terselip sepasang golok. Tidak lupa dibawah hidungnya, terlukis pula sebaris kumis

yang tipis dan manis.

Tentu saja dasarnya gadis ini sangat jelita, maka dalam dandananya itu tampak sebagai

seorang jejaka tampan yang lemah lembut dan mempesonakan.

Tujuh hari berikutnya, maka "pemuda tampan" itu telah memasuki daerah perbatasan

Ampelgading selatan.

Daerah perbatasan itu berupa sebuah dusun yang sangat panjang dimana sekelilingnya

tumbuh hutan belukar yang sangat lebat. Sebagai tiap perbatasan dusun yang lain, disitupun

dipasang orang lentera-lentera batas yang terbungkus dengan kertas merah, yang bisa digunakan

oleh setiap orang yang menempuh perjalanan jauh, bahwa tempat itu adalah merupakan batas, dan

akan menginjak wilayah luar.

Juga tidak ketinggalan, setiap malam hari ada seorang petugas jaga atau ronda yang kecuali

menjaga ketenteraman dusun dari gangguan binatang buas yang mungkin datang dari hutan, juga

menjaga ketertiban maling-maling yang sering beraksi dipedusunan.

Dusun yang tersebut ini, adalah dusun Karang Tumbak namanya, masih termasuk dalam

wilayah kademangan Ampelgading. Ketika Dewi Yoni memasuki batas dusun, kira-kira jam

sembilan malam.

Keadaan dusun disetiap malam hari, biasanya sunyi, gelap dan menyeramkan. Tidak tampak

orang yang lalu lalang, kecuali suara binatang malam ataupun gonggongan anjing dikejauhan

belaka yang mengisi keheningan malam.

Akan tetapi Karang Tumbak ini lain dari pada yang lain. Jumlah lentera-lentera yang dipasang

orang lebih banyak dari harr-hari biasa. Sedangkan diluar rumah tampak beberapa orang lelaki

menggerombol-gerombol sambil mengobrol. Sementara itu, dikejauhan kira-kira ditengah dusun

terdengar suara tetabuhan yang berkumandang nyaring, diselang-seling pula dengan suara-suara

nyanyi perempuan yang terdengar sangat merdu dan riang.

Kiranya disana, dibawah sebuah teratak panjang yang berada disebuah lapang tengah dusun,

sedang berlangsung sebuah pertunjukan, yaitu sintren!

Dari orang-orang yang berbondong pergi menuju tontonan itu, Dewi Yoni mendengar bahwa

sintren itu adalah sintren dan Limbangan yang sangat terkenal itu. Terkenal karena sintrennya

sangat cantik, dan penyanyi-penyanyi yang merupakan anggota rombongan itupun merupakan

gadis-gadis desa yang menarik. Kecuali itu, juga pertunjukan kuda lumping atau jaran -ilir-nya

sangat mengagumkan.

Mendengar adanya pertunjukan yang termashur itu, maka Dewi Yoni buru-buru pergi kesana,

ikut mencampurkan diri kedalam bondongan orang yang pergi menonton.

Lapangan yang berukuran hampir satu hektar itu hampir penuh oleh penonton yang berjejal-

jejal. Agaknya tidak sedikit pula penonton yang agaknya datang dari luar daerah yang juga ingin

melihat bagaimana mashurnya sintren itu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

126

Kolektor E-Book

Dengan mengandalkan pada tenaganya. Dewi Yoni menyelusup terus maju mendekati

pertunjukan, yaitu sebuah lingkaran besar yang dipagari oleh gadis-gadis penyanyi yang tidak

kurang dari limapuluh orang banyaknya, Para penyanyi itu duduk bersimpuh menghadap ketengah-

tengah lingkaran, dimana tampak sebuah kurungan besar yang dibungkus dengan kain sutera warna-

warni yang berkilau sangat indah.

Diluar lingkaran itu terdapat sebuah panggung kecil tempat duduk para penabuh tetabuhan,

pimpinan rombongan sintren ataupun anggota rombongan yang lain seperti penarik jaran ilir dan

para anggota rombongan yang lain.

Gadis-gadis penyanyi itu sedang menyemarakkan lagu sintrenen yang merdu dan nyaring dan

irama tetabuhan terdengar mengalun penuh dengan getaran suatu perasaan, sebentar meninggi bagai

jeritan seseorang yang sedang dilanda penyakit asmara, atau terkadang merendah sebagai damparan

hati yang letih putus asa.

Ketika suara tetabuhan sedang menanjak makin tinggi maka dari atas panggung kecil itu

tampak seorang lelaki tua turun sambil menggendong seorang gadis cilik berbadan ramping yang

terbelenggu seluruh tubuhnya dengan seutas tali besar.

Gadis cilik itu berusia sekitar empat belasan tahun, wajahnya mungil, dan matanya bersinar-

sinar. Akan tetapi pada sinar mukanya seolah meluk akan suatu kedukaan, mungkin karena ia

dibelenggu seluruh tubuhnya, atau mungkin karena hal lain.

Akan tetapi, sudah menjadi kebiasaan sintren, merupakan suatu acara yang menakjubkan,

ialah dia dimasukkan kedalam kurungan, dengan keadaan tubuh terbelenggu erat seperti itu.

Sintren cilik itu telah dimasukkan kedalam kurungan. Dan lelaki tua yang mengendongnya

tadi, menyalakan api pedupaan.

Bau dupa kemenyan yang harum tertebar bersama mengalunnya asap kelabu dari atas angio


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


yang bergelung-gelung.

Penyanyi-penyanyi itu semakin lantang bernyanyi, dan suara tetabuhan semakin bergema

lantang berdengung.

Lelaki tua itu berkemak-kemik didepan pedupaan itu. Setelah bertepuk beberapa kali maka ia

berdiri, tersenyum dan membungkuk hormat kesetiap pcnjuru kemudian berkata :

Sunyi senyaplah suasana. Gamelan dan tembang padam tiada terdengar lagi.

"Para hadirin yang kami hormati.....", demikian laki-laki tua yang agaknya ketua dari

rombongan sintren itu mulai bicara. "Sintren kita si Renggong Manis telah masuk kedalam

peraduannya. Sebentar lagi bidadari akan turun mendandani pakaiannya, dan sintren kita segera

muncul sebagai bidadari yang tercantik, bahkan lebih cantik dari sekalian bidadari-bidadari yang

ada di Kahyangan!".

"Para hadirin yang kami muliakan. Kami rombongan sintren dari Limbangan, adalah

serombangan sintren sejati yang mempertaruhkan hidup pada nyanyi dan tari. Maka kami akan

menerima dengan segala senang hati apabila para hadirin sudi memberikan saweran sebagaimana

para hadirin relakan...."

Sampai disini laki.laki tua itu berbicara, maka para penonton hanya diam tercengang, seakan

kena pesona yang mengalir diantara nada suara dari orang yang berbicara.

"Akan tetapi para hadirin yang kami muliakan! Kehidupan pesintrenan dinegeri kami ini tidak

secerah langit pagi ataupun sejernih air telaga gunung Gajah. Kami yang selalu mencari nafkah

dengan mempersembahkan tari dan nyanyi ini banyak mendapat tantangan, gangguan dan

hambatan. Tidak kasihankah para hadirin mendengar itu semua?"

Semua para penonton pada diam, sebab mereka masih belum tahu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

127

Kolektor E-Book

"Sintrenan kita sering dilarang, katanya menyebarkan maksiat! Tari dan jaran ilir kita

diganggu, karena katanya mempersaudarakan setan! Dan tari silat kita dilarang karena merupakan

alat untuk memberontak! Betulkah itu para hadirin?"

Para penontonpun diam, sebab hal inipun mereka baru mendengar.

Memang sebenarnya, demikian halnya. Adipati pemalang pernah mencanangkan suatu

peraturan untuk rombongan sintren dari Limbangan ini. Bukan melarang kegiatan sintren dan seni

nyanyi atau tariannya, akan tetapi memberikan peringatan agar pertunjukan sintren itu jangan

sampai dirobah menjadi semacam tontonan "jual - kecantikan" yang sering dipertontonkan

dihadapan mata.

"Nah kami sesungguhnya hanya menginginkan kebebasan! Bebas menari, bebas rnenyanyi,

dan bebas mencari jalan hidup! Bukankah begitu tuan-tuan ? Apakah tuan-tuan setuju?"

"Setujuuuuuu!", jawaban serempak dari para hadirin segera tcrdengar. Memangnya setiap

orang menghendaki kebebasan semacam itu. Tetapi begitu sederhanakah sebenarnya cita-cita

rombongan sintren dari Limbangan ini?

"Terirna kasih para hadirin. Pertunjukan akan segera kita mulai.......".

Seketika itu, maka serempak suara gamelan dan tembang kembali terdengar membelah

angkasa. Dan ketika lelaki tua tadi membuka kurungan, maka tampaklah seorang sintren yang

sedang duduk bersila dengan mata terpejam.

Sintren itu adalah si Renggong Manis yang tadi dimasukkan kedalam kurungan dengan badan

terbelenggu erat. Kini ternyata telah bebas, tali besar ada tergulung disisi tubuhnya.

Dandanan sintren itu sangat menarik, dikepalanya penuh dengan rampyo-rampyo yang

berkerlap-kerlip sebagai permata berlian, kain dan bajunya serba baru dan serba dari sutera,

sedangkan pakaian bekasnya ada tertumpuk disebelah tali. Wajahnya yang mungil dan matanya

yang bersinar-sinar tampak semakin molek, seakan-akan ia benar-benar bidadari yang

sesungguhnya.

Sintren mulai menari, maka tepuk tangan penonton gemuruh kedengaran, selang beberapa

saat maka mata uang, saputangan dan bantalan-bantalan kecil beterbangan ketengah arena

pertunjukan.

Apabila pertunjukan sudah mulai menghangat, irama gamelan makin meninggi dan suara

nyanyi kian nyaring maka seorang laki-laki dengan mata uang ringgitan mengacungkan tangannya

keudara, sambil berseru-seru memanggil-manggil sintren.

Melihat uang ringgitan yang terangkat keudara, maka dua orang penyanyi tampak berdiri

menghampiri sintren, kemudian dengan berbimbingan menghampiri laki-laki itu.

Selanjutnya uang ringgitan itu dijebloskan kedalam belahan dada sintren, dan laki-laki yang

menyerahkan uang sebesar itu, bebas menciumi sintren itu, mencomot payudara atau pahanya.

Sorak sorai kian membahana. Tidak mustahil pula, gadis-gadis penyanyi itupun mendapat bagian

dicium dan diremas-remas payudaranya, Dan jangan marah jika orang yang ?dermawan? itu

akhirnya memasukkan tangannya kedalam kain si sintren.

Si sintren berpindah dari tangan seorang laki-laki ketangan laki-laki yang lain, yang tentu saja

memberikan uangnya. Memberikan uang dalam pertunjukan ini, seakan-akan merupakan

perlombaan atau pamer, yaitu pamer keroyalan atau kekayaan.

Acara pertunjukan bartambah gaduh, dan semarak apabila kemudian meningkat secara lebih

jauh, yaitu beberapa gadis penyanyi menghilang bersama laki-laki kedalam semak-semak, apa yang

mereka kerjakan ditempat itu? madah dilihat dari kegugupan mereka setelah mereka meninggalkan

semak-semak dimana ia mengancing bajunya yang terbuka dan mengikat kainnya yang tidak

teratur.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

128

Kolektor E-Book

Bau mesum mengalun keudara, napas-napas yang memburu seakan mendorong suara gamelan

semakin gaduh di antara sorak sorai penonton yang makin riuh pula.

Mendadak, terdengar jeritan nyaring. Dan tampak sintren si Renggong Manis berlari jatuh

bangun dari arah semak-semak, dikejar oleh seorang laki-laki bertubuh tegap dan berkumis baplang.

Gagal menangkap gadis mungil itu..., maka laki-laki tegap itu melompat ketengah kalangan,

sambil bertolak pinggang.

"Hai, Ki Tambarekso!" seru taki-laki berkumis baplang itu... apakah mulutmu tadi hanya

membual belaka? Bagaimana kau membawa seorang sintren yang tidak mau menuruti permintaan

orang yang telah memberikan uang dua ringgit?!"

Ki Tambarekso adalah nama pimpinan rombongan sintren Limbangan itu. Mendengar dan

melihat orang yang memakinya dengan kasar itu, maka dengan wajah terkejut ia membungkuk

hormat.

"Ki Jagabaya. Harap maafkan sintrenku yang kurang ajar itu, sebentar nanti akan kuberi

pelajaran dia!" Berkata demikian, maka Ki Tambarekso memandang penuh ancaman kearah sintren,

si sintren menundukkan muka, ketakutan dan meneteskan air mata.

Adapun laki-laki berkumis baplang tadi, benar ki Jagabaya adanya, Jagabaya Karangsari ayah

Kebo Sulung. Tcntu saja tidak mengherankan kalau laki-laki itu dengan mudahnya dapat

memberikan uang dua ringgit kepada sintren, sebab kecuali Jagabaya itu kaya, siapa orangnya yang

tidak mendengar bahwa pegawai praja itu sering menindas rakyatnya?

"Tambarekso! Kuminta sintrenmu, hentikan pertunjukan ini, sebab dia hendak kubawa

pulang!" seru Ki Jagabaya pula, dengan lagak semakin sombong.

Penonton berbisik-bisik, gaduh, seakan-akan memprotes kesombongan Jagabaya. Dan sintren

itu sendiri tampak sangat ketekutan, akan tetapi Ki Tambarekso malah tertawa terbahak-bahak.

"Tentu saja kami tidak keberatan, Ki Jagabaya. Akan tetapi......" bicara sampai disini Ki

Tambarekso tertawa rakus. "Karena Renggong Manis merupakan sintren kita yang paling cantik

tentulah kami akan......"

"Tak perlu berliku-liku. Berapa kau minta ganti rugi?" Jagabaya memotong bicara dengan

suaranya yang lantang dan angkuh.

Sekali lagi Ki Tambarekso tertawa terbahak. Sinar matanya melukiskan kerakusan seseorang

kepada harta.

"Tidak banyak Ki Jagabaya. Cuma duapuluh ringgit......"

Duapuluh ringgit, pada jaman ini adalah seharga lima hektar sawah. Bararti harga yang

diajukan oleh pimpinan rombongan sintren itu cukup mengejutkan untuk penonton yang lain.

Akan tetapi, agaknya Jagabaya yaag telah berselera benar kepada sintren mungil itu dengan

angkuhnya mengeluarkan sebuah pundi-pundi. Kemudian dari dalam pundi-pundi itu dituangnya

uang ringgitan yang gemerincing berjatuhan. Setelah menghitung sejumlah duapuluh biji, lalu

menyerahkan uang itu kepada Ki Tamberekso.

"Terima kasih, terima kasih...." kata Ki Tambarekso seraya mengantongi jumlah ringgitan itu.

"Sekarang pertunjukan kami sudahi, dan Ki Jagabaya boleh membawa pulang sint..."

Baru bicara sampai disitu. Ki Tambarekso berpaling kearah sintren si Renggong Manis.

Kiranya sintren sudah tidak berada ditempat lagi, tinggal tampak sesosok bayangan laki-laki

berpakaian compang-camping yang berlompatan sengat cepat sambil memanggul tubuh gadis

mungil itu menerobos keluar dari penonton yang berjejal itu.

"Tangkap!" Ki Tambarekso berseru kalap terutama sekali Ki Jagabaya yang telah merasa

mengeluarkan sekian banyak uang berseru-seru keras sambil berlari memburu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

129

Kolektor E-Book

Kecuali Ki Tambarekso, Ki Jagabaya yang membalapkan kudanya dan para segenap para

penari ?jaran ilir? yang mengejar tampak pula Dewi Yoni si pemuda tampan yang telah mengempos

semangatnya untuk mengejar penculik sintren itu.

Seketika suasana yang tadi gembira penuh nyanyi dan tetabuhan itu bertukar dengan

kegaduhan orang-orang yang menjerit-jerit kesakitan kareaa terinjak-injak ataupun penonton wanita

atau bocah-bocah yang tergencet oleh mereka yang berjejalan itu.

Tangis dan jerit, berbaur dengan suara derap kaki kuda maupun gedebuknya tapak kaki. Ki

Tambarekso yang memiliki ilmu ringankan tubuh yang cukup tinggi, berada ditempat yang paling

depan. Dibelakangnya tampak pemuda tampan, kemudian Ki Jagabaya untuk kemudian adalah

anggota rombongan sintren yang lain.

Sabagai orang ketahui, bahwa rombongan sintren Limbangan bukanlah rombongan sintren

biasa akan tetapi anggotanya merupakan orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian lumayan

bahkan ada juga yang disebut-sebut sebagai penari jaran ilir itu, adalah pemuda-pemuda

berkepandaian silat tinggi.

Adapun orang yang membawa lari sintren itu agaknya memiliki ilmu ringankan tubuh yang

sangat tinggi. Walaupun Ki Tambarekso dan yang lain-lain telah mengerah seluruh tenaganya,

tetapi tidak bisa menyandak. Agaknya takkan ada harapan mereka para pengejar itu akan dapat

menangkapnya sebab penunggang- penunggang kuda sendiripun sebagai Ki Jagabaya tidak dapat

menyandaknya.

Akan tetapi, tiba pada sebuah bebulak, tiba-tiba maling sintren itu menghentikan larinya.

Setelah menyembunyikan sintren itu dibalik tebing batu yang meninggi, kembali maling itu

melangkah ketengah jalan menghadang sambil bertolak pinggang.

"Bangsat! Maling busuk mau minggat kemana kau!" Bentak Ki Tambarekso dengan napas

memburu. Yang lain begitu tiba lantas mengurung maling itu.

Kiranya maling atau penculik sintren itu adalah seorang pemuda berpakaian compang-

camping dan rambut riap-riapan menutupi sebagian rnukanya. Mendengar teguran ancaman itu si

pemuda jembel itu tertawa cengar cengir sambil menengok kekiri dan kekanan seperti orang

bingung.

Begitu melihat jelas keadaan si penculik semua pengejar itu jadi terkejut. Terutama adalah Ki


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tambarekso. Kakek ini masih ingat benar pada kejadian di selat Pencuci Dosa itu dimana ia secara

tolol telah kena dikelabuhi oleh jembel itu sehingga mengakibatkan pertarungan seru dengan Kebo

Sulung.

Diantara kaget dan marahnya Ki Tambarekso telah menarik ikat pinggangnya yang kiranya

adalah seutas cambuk. Kepala kumpulan sintren ini sangat terkenal dengan ilmu cambuknya.

Apabila ia telah mempergunakan senjata itu berarti ia tahu sedang berhadapan dengan

seseorang yang benar-benar hendak dibunuhnya.

"Kau jembel busuk yang mengacau diselat Pencuci Dosa! Hmm, tempo hari kau luput dari

kematian, sekarang kebetulan kau mencari mati ditanganku! Rebah!!"

Sambil membentak begitu. Tambarekso telah melecutkan cambuknya. Terdengar bunyi

letusan nyaring diudara, memekakkan telirga. Selanjutnya ujung cambuk yang runcing tetapi lemas

itu telah menyambar kearah tenggorokan si pemuda jembel.

Ya, pemuda jembel ini memang tak lain adalah si Pepriman. Dalam hal ilmu kepandaian,

tentu saja sebagai Ki Tambarekso yang pernah menyaksikan betapa pemuda jembel itu dengan

mudahnya melempar-lemparkan anggota paguyuban Banjardawa dengan mudah, sudah dapat

menduga bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan.

Akan tetapi sungguh tak disangka, bahwa pemuda jembel itu kiranya jauh lebih hebat dari

pada dugaan.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

130

Kolektor E-Book

Sabetan cambuk Ki Tambarekso tadi adalah pukulan jurus maut yang disebut "membeli

gunung mengebor kawah". Sekali sabet ujung cambuk yang terbuat dari logam berkarat dan runcing

itu tentu akan mematuk kearah tenggorokan.

Pemuda jembel itu masih juga berdiri diam, ketika tali pecut manyambar. Bahkan ketika tali

cambuk itu telah melingkar dileher si jembel masih juga berdiri sambil tetap tertawa ha ha ha he he

he.

Akan tetapi ketika Ki Tambarekso mengedutkan senjatanya deagan penuh keyakinan bahwa

korbannya tentu akan roboh binasa, kiranya pecut itu hanya menyabet angin belaka, Pemuda jembel

itu entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu telah berada diluar cambuk yang menggubat itu.

"Bedebah busuk! Jangan harap aku akan mengampunimu!" Dan Ki Tambarekso mengangkat

cambuknya lagi.

"Ki Jagabaya dari Karangsari melompat turun dari kuda, dan langsung mencabut goloknya,

diacungkan keudara sambil berseru :

"Cuma seorang pepriman belaka! Ayo kembalikan sintrenku, kalau tidak, golokku sering

terlalu cepat bicara!" suaranya lantang sombong.

Mendengar ancaman Ki Jagabaya itu, mendadak sikap si jembel berubah menjadi keren dan

gagah. Lalu dengan suara lantang dan berwibawa, ia menyahut :

"Kau macamnya Jagabaya yang mengandalkan kekuasaan dan hartamu untuk menindas si

lemah! Sintren takkan kukembalikan kepadamu!! Bahkan kini kuminta sebelah tanganmu!"

Seraya berkata demikian, dari mulut si jembel terdengar suara lengkingan yang parau dan

sangat menyeramkan.

Setelah itu tubuhnya berkelebat cepat, menubruk ke arah Ki Jagabaya.

Ki Jagabaya terperanjat. Cepat ia memapak serangan si jembel dengan bacokan goloknya.

Dan bersamaan dengan itu, Ki Tambarekso menyerang dengan cambuknya.

Semuanya terjadi terlalu cepat. Baik Ki Tambarekso, Jagabaya maupun si jembel adalah

tokoh-tokoh yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi.

Semua gerakannya dilakukan dengan sangat cepat dan kilat, akan tetapi tidak secepat sebagai

sekarang yang terjadi.

Dalam segebrakan itu, terdengar pekikan Ki Jagabaya Karangsari melolong kesakitan, disusul

tampaknya pergelangan tangan sepotong, yang terbang keudara.

Selanjutnya, tampaklah Ki Jagabaya yang melolong-lolong sambil memegangi lengan

kanannya yang buntung dengan tangan kirinya, darah menyembur dari lukanya seperti semprotan.

Ki Tambarekso sendiri terbelalak, kaget dan pucatlah wajahnya.

Ia merasa dengan pasti, bahwa senjata yang memutuskan pergelangan tangan Jagabaya adalah

cambuknya sendiri. Kakek kepala rombongan sintren ini tentu saja tidak menyerang Ki Jagabaya,

akan tetapi entah mengapa terjadi keanehan seperti itu.

Sebenarnya yang terjadi demikian. Ketika Jagabaya membacokkan goloknya kedepan

memapak si jembel, saat itu si jembelpun sedang menubruk kedepan. Menurut pantasnya, tidak

akan luput tentu tubuh si jembel yang akan terbacok sampai terbelah. Akan tetapi tidak demikian.

Begitu melihat sinar golok, jembel itu yang telah menduga sebelumnya, lantas mengacungkan

tangannya menyambut. Golok kena dijepit oleh dua jari si jembel, walaupun Jagabaya berusaha

menarik, akan tetapi sia-sia.

Pada saat itu, datang sabetan cambuk Ki Tambarekso. Detik itulah dipergunakan oleh si

jembel. Segera ia mendorongkan tangannya kesamping.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

131

Kolektor E-Book

Bukan leher si jembel yang terbelit cambuk, tetapi adalah pergelangan tangan Ki Jagabaya

yang memegang golok. Ki Tambarekso merasa seakan senjatanya mengenai sasarannya, lalu

mengedot sekerasnya. Tidak tahunya pergelangan tangan Jagabaya Karangsari yang terbuntungi

olehnya.

Melihat darah yang menyembur-nyembur dari luka Jagabaya, dan melihat polah orang itu

yang tetunggingan sambil melolong-lolong maka sinar mata si jembel semakin buas jelilatan sangat

liar, menakutkan. Mulutnya mengatup rapat, rahangnya menjadi persegi. Rambutnya yang riap-

riapan sebagian menutupi muka bertebaran oleh suara napasnya yang memburu.

JILID : 8

KI TAMBAREKSO tersentak kaget dan bulu kuduknya meremang karena ngeri. Bukan

main hebatnya pembawa sikap si jembel ini. Manusia kawakan sebagai Ki Tambarekso ini, adalah

seorang kakek yang sudah terlalu sering mengalami pertarungan dan pertempuran yang

bagaimanapun dahsyatnya. Tapi si kakek tidak tergetar nyalinya sebagai sekarang menghadapi

seorang jembel kotor yang menyeramkan itu.

Dengan suara gemetar dan parau Ki Tambarekso memerintahkan anak buahnya untuk

mengerubut maju.

Beberapa anak buah romboagan sintren itu, yang tergolong si penunggang kuda lumping,

telah berlompatan maju dengan gerak yang sangat mentakjubkan dan hebat.

Penari kuda lumping itu ada tujuh orang. Mereka terdiri dari pemuda-pemuda yang bertubuh

kekar dan tegap, dan berilmu silat tinggl. Mereka bukannya menyerang begitu saja, akan tetapi

berlompatan sebagaimana kuda liar, setelah itu barulah secara bergantian mereka melancarkan

pukulan dan tendangan berruntun-runtun.

Untuk sejenak si jembel tampak keheranan. Lompatan-lompatan para anggota sintren itu,

menyilaukan mata dan membingungkan. Dan suara ringkikan mereka yang mirip benar dengan

ringkikkan kuda, seakan hendak memecahkan telinga. Sebelum si jembel menyadari bahaya apa

yang akan terjadi, maka tendangan dan pukulan para ?penunggang kuda lumping? telah bertubi-tubi

mengenai tubuhnya.

Si jembel terjatuh bangun, untuk beberapa saat menjadi bola sepak ataupun bola tangan.

Untungnya ia memiliki keuletan tubuh yang sudah sangat terlatih, tenaga dalam batinnya telah

gemblengan lima tahunan dalam jurang raksasa. Kecuali itu, pukulan dan serangan para

penunggang kuda lumping itu hanyalah pukulan tenaga kasar belaka, sama sekali tidak

membahayakan.

Beberapa saat kemudian, si jembel merentak bangkit tenggorokannya memperdengarkan

suara lengkingan menyayat. Seketika tubuhnya berubah menjadi bayangan, dan sepasang lengannya

seakan telah menjadi tak terbilang banyaknya.

Tujuh orang penunggang kuda lumping itu memperdengarkan jeritan ngeri bersahut-sahutan,

menyusul tampak tubuh mereka terlempar berhamburan kesegala penjuru.

Tidak satu pun diantara mereka yang masih bernyawa, ketujuh orang itu telah mati dengan

dada pecah berlubang lima jari yang mengucurkan darah.

Ki Tambarekso yang melihat seluruh anak buahnya tertumpas ludes menjadi tambah gusar.

Dari balik bajunya ia mengeluarkan sebuah kipas baja. Dengan tangan kanan pegang cambuk

dan tangan kiri pegang kipas baja, maka kakek itu menerjang maju.

Si jembel masih juga memekik-mekik dengan suara yang mengheak-heak seperti suara elang.

Kedua tangan terangkat dengan jari-jari menekuk seperti cakar. Rambutnya yang panjang

riap-riapan berkibar-kibar diudara.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

132

Kolektor E-Book

Sabetan cambuk dielakkan dengan mendoyongkan badan kesamping, sedangkan bacokan

kipas baja Ki Tambarekso yarg datang hampir bersamaan dengan cambuk itu, terpaksa harus

ditangkis. Kelima jari si jembel mcnjentik secara bergantian, terdengarlah bunyi nyaring seperti

benda keras beradu, mana kipas baja itu terpental kesamping.

Saat itu, Ki Jagabaya Karangsari yang melihat bahwa pihaknya akan segera dihancurkan oleh

si jembel sakti yang seperti kesetanan itu, segera hendak mencemplak kudanya, sambil masih

menggigil, meratap-ratap kesakitan.

Tampaknya Jagabaya itu akan segera dapat meninggalkan tempat pertarungan itu. Akan tetapi

dendam kesumat yang tampak membakar mata si jembel menunjukkan bahwa ia tidak membiarkan

Jagabaya itu tinggal hidup.

Demi melihat perbuatan Jagabaya, maka si jembel menggerung seperti macan. Kemudian

kedua tangannya yang gemetar itu membacok dan membelah kedepan. Melihat itu Ki Tambarekso

segera menyabet dengan cambuknya.

Kiranya itulah yang dimaksudkan oleh si jembel. Dengan cepat ditangkapnya tali cambuk,

kemudian dikedutkannya dengan sangat keras sekali. Saat itu tangan kiri Ki Tambarekso sedang

menikamkan tepian kipas kearah dada si jembel.

Ujung cambuk berubah arah, meluncur secepat anak panah menyambar kearah Ki Jagabaya

yang sedang membungkuk dipunggung kuda hendak kabur. Baru saja kuda si Demung hendak

sekali mencongklang, terdengar jerit Jagabaya melengking kesakitan. Tubuh laki-laki berkumis

baplang melayang jatuh dari punggung kuda, dengan ujung cambuk menembus punggung hingga

kedada.

Lebih-lebih sengsara lagi nasib Ki Jagabaya ini. Sedang tubuhnya jatuh tertarik oleh tali

cambuk, saat itu si jembel telah menangkis lengan kiri Tambarekso, dan langsung ketika tubuh

kakek itu terbanting kesamping si jembel menikamkan kelima jarinya kerusuk kanan kakek itu.

Sekali menjerit, maka kakek pemimpin rombongan sintren itu tewas. Tidak cukup begitu saja

dia mati. Tubuhnya yang ambruk kesamping itu, masih memegang erat kipas yang berada ditangan

kirinya. Dan kipas yang tajamnya serupa pisau itu membelah muka Ki Jagabaya yang menggeletak

dengan mata mendelik. Tak ampun lagi, muka Ki Jagabaya yang sudah mengerikan seperti setan itu

terbelah kontan, pecah muncratkan darah.

Agaknya, setan jahanam benar-benar telah merasuk kedalam tubuh pemuda jembel itu.

Seluruh pengeroyok telah habis dibunuhnya, masih juga kurang puas. Kuda-kuda dan semua

binatang bergerak yang terlihat oleh matanya dibasminya habis!

Bangkai berkeleparan, berpencaran karena beberapa anggota sintren yang bermaksud

melarikan diripun di bunuh pula.

Darah manusia, darah kuda membanjir, mengalir menyusuri jalan berbatu. Bau amis tersebar


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


keudara.

Untuk beberapa saat pemuda itu masih memperdengarkan pekikan-pekikan seperti burung

elang. Kelima jari tangannya penuh berlepotan darah yang masih menetes-netes. Napasnya

memburu sementara gelegak nafsu ingin membunuh masih memancar dikedua bulu matanya yang

berputar-putar liar.

Akan tetapi, ketika disekitarnya sudah tak ada lagi barang bergerak. Tiba-tiba ia menjerit

kaget.

Tubuhnya menggigil sejenak untuk kemudian tampak jatuh mendeprok dengan sangat letih.

Dan... pembunuh kejam itu telah menangis tersedu-sedu.

Sambil menutupi mukanya dengan dua tangannya yang masih berdarah si jembel terus

menangis, penuh duka dan penyesalan. Wajahnya berubah pucat pasi, dan sinar matanya yang

semula liar jalang itu, kini tampak guram dan putus asa.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

133

Kolektor E-Book

Di bawah langit biru, awan mengambang seperti kapas yang dihalau angin. Angin malam

yang lembut semilir menyapu dedaunan, juga tubuh si jembel yang masih berlutut.

Mendadak pemuda jembel itu melompat pergi. Dengan tiga kali lompatan maka ia telah

sampai pada tebing yang membukit tempat dimana ia menyembunyikan sintren si Renggong Manis.

Tiba-tiba ia tertegun. Di tempat itu, dilihatnya seorang pemuda tampan dengan sepasang

golok terhunus sedang berdiri gagah, seakan hendak menyambut kedatangan si jembel dengan

terjangan maut.

"Siapa kau?" tanya si jembel dengan suara lemah dan keheranan. Tadi ia rasa-rasanya pernah

melihat wajah pemuda tersebut ikut serta bersama-sama rombongan Ki Tambarekso memburu.

Akan tetapi mengapa dia tidak mati, juga tidak mengeroyok.

"Jangan dekati! Awas, berani menjamah Renggong Manis, kucincang tubuhmu yang busuk

itu!" sahut pemuda tampan itu penuh ancaman.

Si jembel terdiam. Entah mengapa, ancaman pemuda tampan itu tidak menimbulkan

kejengkelannya, bahkan menurut telinganya, suara pemuda itu terdengar merdu, dan seakan-akan ia

pernah mengenalnya.

"Aku harus pulangkan, sintren itu kerumahnya. Kau ini siapa dan ada hubungan apakah

dengan dia?" Suara si jembel tetap halus dan lemah. Agaknya nafsu membunuhnya sudah lenyap

entah kemana.

"Huh!" Pemuda tampan itu mendengus. "Tampangmu yang kotor busuk dan keji itu hendak

mengantar sintren mungil ini? Pantasnya orang lebih baik mempercayakan diantar anjing geladak

daripada diantar oleh manusia buas sepertimu!"

"Kau siapa?"

"Aku kakaknya, kau mau apa?" sahut pemuda tampan itu pula.

Si jembel tahu bahwa pemuda tampan itu tidak berkata jujur, akan tetapi dalam hatinya

mengakui bahwa pemuda tampan itu memang sesuai bila mengaku sebagai kakak sintren yang

mungil dan jelita itu.

"Ya, sudahlah, kalau kau menggantikan kewajibanku mengantarkan sintren itu pulang.

Kebetulan sekali..." kata si jembel seakan mengeluh.

Ketika melihat si jembei hendak berlalu pergi, pemuda tampan itu memanggil.

"Tunggu!" Apakah kau jembel yang pernah membunuh Dadamanuk itu?"

"Ya, mengapa?" Di mulut si jembel menjawab iya, akan tetapi kepalanya menggeleng-geleng.

"Namun si pepriman?"

"Betul!" jawab si jembel dengan lesu.

"O, kiranya... kau hanya seorang pemberontak hina dan pembunuh keji...".

Si jembel meringis. Ia insyaf bahwa gelar yang di berikan oleh pemuda tampan itu memang

cocok.

Si jembel melangkahkan kaki hendak berlalu. Akan tetapi inderanya yang sangat tajam

mengingatkan dirinya akan datangnya bahaya. Cepat sekali tubuhnya bergerak, badannya

digoyangkan kekanan, kemudian secepat kilat meletikkan kedua kakinya, sehingga kini tubuh

pemuda jembel itu melayang seperti elang yang sesungguhnya.

Dua kali sabetan golok berdesing lewat.

"Aiiih, bukankah itu jurus ?Alap-alap menyelusupi pelangi??" Seru si pemuda tampan kaget

dan heran. Dua serangan golok kembarnya yang membacok leher dan kempungan itu dapatYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

134

Kolektor E-Book

dihindarkan oleh si jembel dengan cara yang begitu mengagumkan. Dan jurus itu ia kenal benar

sebagai jurus alap-alap menyelusupi pelangi dari perkumpulan silat Suci Hati di Blimbingswuluh.

Si jembelpun terkejut juga. Dan menjawab gagap :

"Mana... mana... ada... alap-alap menyelusupi pelangi?".

Memang gerakan si jembel tidak sepenuhnya persis seperti jurus yang dimaksud itu, ada

sedikit gerak aneh yang tak terduga. Akan tetapi pemuda tampan yang sebenarnya Dewi Yoni itu

mengenal benar ilmu silat Suci Hati. Hingga walaupun jurus itu telah tampak perubahan, masih juga

terlihat aslinya.

"Sebenarnya ada hubungan apakah dengan perguruan Blimbingwuluh?" Desak Dewi Yoni.

Si jembel menggelengkan kepala.

Dewi Yoni diam sejenak, agaknya berpikir dan mengingat-ingat. Selang beberapa saat barulah

berkata :

"Sebenarnya begini, Pepriman...", suaranya halus tidak galak lagi. "Kalau harus mengantar

sendirian, aku takut juga. Perbuatanmu membunuhi anggota sintren dan Jagabaya itu tentu akan

menimbulkan kemarahan penduduk! Sekarang kaupun harus pergi bersamaku mengantarkan sintren

ini..."

Pepriman memutar-mutar matanya seperti orang gendeng. Kemudian peringas-peringis

mengerikan. Barulah sejenak kemudian ia mengangguk tanda setuju.

Adapun sintren si Renggong Manis itu sebenarnya adalah puteri seorang kamituwa di desa

Pagergunung jadi masih termasuk wewengkon kadipaten Pemalang juga.

Karena perjalanan itu ditempuh dengan berjalan kaki biasa, maka selang lima hari baru

sampailah sintren itu diantarkan tiba dirumahnya.

Kedatangan mereka itu disambut oleh orang tua Renggong Manis dengan gembira bercampur

tangis. Ayah ibu dan anak saling berpelukan dan saling mencurahkan keharuannya dengan ratap

tangis yarg memilukan.

Akhirnya, baik si jembel maupun si pemuda tampan mengetahui, bahwa biasanya seorang

gadis yang telah diculik oleh rombongan sintren Limbangan tak pernah kembali dengan selamat.

Kecuali mereka selalu diperas sebagai alat untuk mengeruk harta laki-laki hidung belang juga

biasanya, di kemudian hari akan menjadi mangsa anggota rombongan sintren itu. Gadis itu akan

menjadi ?Piala bergilir? diantara para penunggang kuda lumping dalam melampiaskan nafsu

cabulnya.

Tak pernah ada sintren yang pulang kembali dengan selamat, sebab biasanya, gadis-gadis

yang telah ternoda itu, akan malu untuk pulang kampung, dan lebih baik mengikuti rombongan itu

kemana pergi sambil menanti datangnya ajal, sementara mereka kawin bergantian tanpa nikah. Jadi

para gadis-gadis penyanyi sintren itupun semuanya terdiri dari janda-janda yang belum pernah

nikah.

Mungkin orang tua Renggong Manis telah memeriksa puterinya, sehingga mereka bisa

mengatakan bahwa puterinya masih suci. Dan rasa terima kasih dan syukurnya itu berkali-kali

dihaturkan kepada si pemuda tampan yang mengantarkannya itu.

Malam itu, ketika si pemuda tampan sedang duduk di pelataran melamun, datanglah ayah

Renggong Manis sambil tertawa jengah.

"Pemuda... terima kasih, beribu terima kasih atas budi pertolonganmu."

"Sungguh budimu ini tak terkira besarnya, sehingga rasanya takkan puas aku menutup mata

dikemudian hari andaikata belum sempat membalas budimu itu..."Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

135

Kolektor E-Book

"Jangan berterima kasih kepadaku paman. Yang menolong puterimu adalah si Pepriman,

bukan aku." jawab si pemuda tampan seraya menunjuk kearah si jembel yang sedang nongkrong

mengail dipinggir kali.

Tampaknya kamituwa itu tidak puas mendengar jawaban itu.

Walaupun kenyataan yang menolong puterinya mungkin seribu kali si jembel, akan tetapi

siapa orang yang akan mempercayai? Yang tampak sebagai pemuda pendekar adalah si pemuda

tampan ini. Sedangkan pemuda jembel itu, kecuali pantas sebagai tukang lap sepatu pemuda ini

mana patut?

"Bagaimana kalau... heheh... kalau puteriku itu... heheh kuhadiahkan kepadamu, anak muda...

heheh".

Si pemuda tampan tersentak kaget dengan wajah pucat. "Jangan! Jangan!" Sahutnya gugup.

Tampaknya kamituwa itu sangat kecewa.

"Pemuda... walaupun puteriku itu tidak cantik dan tidak sesuai untuk menjadi teman hidupmu,

akan tetapi sesungguhnya itulah pertanda terima kasih yang dapat kusampaikan kepadamu. Biarlah,

andaikata dia tidak kau inginkan jadi sisihanmu, jadi bujang pun boleh asal...".

"Jangan! Jangan! Jangan!" Si pemuda tampan itu makin gugup.

Tentu saja bukan ia menganggap Renggong Manis kurang cantik, akan tetapi untuk jadi isteri

siapa?

"Ah... menyesal sekali..." kamituwa itu sedih benar-benar.

Melihat kedukaan yang sungguh-sungguh dari kamituwa itu timbul juga keharuan dihati si

pemuda tampan. Maka akhirnya ia berkata :

"Begini saja, paman. Aku belum dapat menjawab pertanyaanmu itu sekarang, sebab masih

banyak urusan yang harus kuselesaikan, dan aku masih harus mengembara kemana-mana.

Sebaiknya, sambil menunggu puterimu bertambah besar, setahun lagi aku akan menyambangi

kemari."

Walaupun jawaban itu belum merupakan kepastian akan tetapi sukur mengobati kekecewaan

kamituwa itu. Dan hari itu merekapun bergembira sekali.

Malam itu, si pemuda tampan tidur sekamar dengan jembel.

Hanya bedanya si pemuda tampan tidur diatas balai berkasur sedangkan si jembel

mendengkur dipojok kamar.

Mereka membisu sepanjang malam. Tetapi tidak berarti si tampan itu telah tidur. Berkali-kali

ia memutar baringnya, gelisah dan resah.

Permintaan si kamituwa, cukup membingungkan baginya. Dan mengenai si jembel ini,

agaknya perhatian si pemuda tampan tidak kunjung lenyap.

Sekian lamaaya pemuda tampan itu menatap kearah si jembel yang mendengkur pulas

dipojokan kamar.

Saat tidur seperti itu, tampaklah keadaan wajar dari si pemuda jembel ini. Tubuhnya, tegap

dan kokoh patut menjadi seorang pendekar perkasa yang jantan sekali.

Kulihat yang kotor itu, andaikata sempat dibersihkan, akan jelas terlihat bahwa ia kuning

keputih-putihan. Dan rambutnya riap-riapan itu, andaikata disisir dan dirapihkan, tidak mustahil

akan menunjukan keasliannya yang menarik. Apabila memperhatikan wajahnya.

Raut wajah si jembel adalah merupakan keseluruhan yang memgambarkan bentuk yang

tampan.Yusi Syamsidar


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

136

Kolektor E-Book

Dahinya sedang dan berkilauan. Sepasang alisnya hitam dan lebat. Hidung mulut dan

dagunya, merupakan perpaduan bentuk yang serasi sekali, yang melukiskan keseleraan seorang

jantan.

Matanya itu, apabila tidak sedang liar seperti serigala keranjingan, sebenarnya memancarkan

daya tarik romantis untuk gadis-gadis yang pernah melihatnya.

Hanya, dalam keseluruhan bentuk wajah tampan itu tergurat suatu cahaya orang yang putus

asa, keeewa dan duka.

Gurat-gurat pada dahi, bawah dahi mata dan pipinya, melukiskan semua itu.

Ada suatu keganjilan dalam pikiran Dewi Yoni atau si pemuda tampan itu. Raut wajah jembel

itu, raut tubuh dan langkah-langkahnya seakan dikenal benar, dan tak pernah dilupakan, ialah

gabungan gerak gerik dan Joko Bledug, jurus-jurus silatnya mirip-mirip dengan Blimbingwuluh.

Mungkinkah? Mungkinkah dia?

Tapi Joko Bledug sudah mati. Hiduppun tak ada artinya untuk menjumpai seorang anak

durhaka, murid murtad dan penghianat.

Andaikata si jembel itu sebenarnya adalah Joko Bledug, dengan kesaktian yang dimilikinya

mengapa ia tidak membalas dendam ayah angkatnya?

Kegalauan pikiran ini semua mengaduk-aduk perasaan Dewi Yoni.

Dan sepanjang malam, walaupun ia telah berusaha untuk memejamkan matanya, tetap

terganggu oleh bayangan-bayangan khayalan sendiri.

Di lain pihak, si jembel sendiri sebenarnyapun belum tidur barang sekejap. Hidung mulut

boleh mendekur akan tetapi otak bekerja terus.

Sejak pertama melihat ?pemuda tampan? itu, seketika hancur luluhlah seluruh keliaran si

pemuda jembel ini. Ia merasa, seakan samar-samar dibalik wajah tampan berkumis tipis itu,

terbayang wajab jelita yang selalu mengisi hatinya, yaitu puteri Ki Gede Ayom, demang Moga.

Di saat jalan bersama, si jembel mencium hawa segar dan wangi yang keluar dari tubuh si

pemuda tampan.

Segenit-genitnya seorang pemuda, tak mungkin keringat tubuhnya segar dan wangi sebagai

seorang gadis.

Dan hal lain, yaitu sikap si pemuda tampan yang menjadi panik waktu ditawari Renggong

Manis untuk menjadi isterinya.

Seluruh pembicaraan Kamituwa Pagergunung dengan pemuda tampan itu, dapat ditangkap

oleh pendengaran si jembel yang sangat tajam dan terlatih itu.

Memangnya si jembel mancingpun sebenarnya hanyalah pura-pura. Ia melihat jelas, dan

mendengar nyata, semua kegugupan si pemuda tampan.

Apabila pemuda tampan itu adalah sebenarnya pemuda, meskipun tidak jatuh hati kepada

Renggong Manis, tapi tak perlu sepanik itu. Kepanikan si pemuda tampan sore tadi adalah

kepanikan seorang gadis yang kehabisan akal.

Ya, semuanya inilah yang sebenarnya mengikat diri si jembel hingga ia tidak segera

meninggalkan rumah kamituwa itu.

Menjelang subuh hari, seperti orang yang sudah berjanji dulu, keduanya menyelinap pergi

meninggalkan rumah kamituwa itu tanpa pamit.

Dengan tanpa bicara barang sepatah, keduanya berlari menuju kearah barat, yaitu suatu arah

yang sebenarnya tidak mereka rencanakan sebelumnya.

Mereka hanya mengikuti jalan desa belaka.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

137

Kolektor E-Book

Kemana saja belak belok dusun itu, mereka jejaki tanpa perduli.

Sengaja Dewi Yoni mengerahkan seluruh kepandaian lari cepatnya. Maksudnya, tentu saja

menguji kawan seperjalanannya itu. Akan tetapi si jembel masih juga membuntuti dengan leluasa.

Lewat lagi tiga dusun, maka mereka tiba dihutan Bengkelung, sebuah hutan besar yang

termashur sebagai sarang penyamun. Di hutan itu pula dulu Kaki Gagak Rawe menjalankan rollnya

sebagai raja penyamun hingga tiba pada akhir hidupnya terbunuh oleh Kebo Sulung.

Tepi hutan Bengkelung merupakan sebuah rawa-rawa yang luas. Sehingga setiap orang yang

hendak melintasi hutan itu harus menyeberangi rawa itu.

Pada saat menyeberangi rawa, maka si pemuda tampan terpaksa harus menyingsingkan kain

gringsingnya. Untuk sejenak si jembel berdebar jantungnya.

Terlihat olehnya betis si pemuda tampan yang putih mulus dan berkilau, dan tidak tampak

berbulu-bulu. Walaupun bagaimana maka si jembel yakin, bahwa pemuda tampan itu adalah

seorang gadis. Dewi Yoni? Si jembel tak berani mengucapkannya, walaupun di dalam batin belaka.

Ketika melewati rerumpunan mendong, mendadak si pemuda tampan menjerit-jerit sambil

berlompatan sangat panik. Terlihatlah beberapa ekor lintah melekat pada betis dan kainnya.

Ternyata lintah dirawa itu tidak sedikit. Begitu si pemuda tampan membunuhi lintah-lintah

yang melekat di kulitnya, maka darah tercecer diatas air. Mencium bau amisnya darah itulah

agaknya yang menyebabkan lintah-lintah yang lain bermunculan, banyak-banyak menyerbu ke arah

kedua orang yang sedang melintasi rawa itu.

Si jembel tenang membunuhi lintah-lintah itu dengan pukulan-pukulan telapak tangannya.

Sebaliknya si pemuda tampan semakin panik. Tidak aneh, dia bukannya takut, akan tetapi

sebagaimana seorang gadis akan merasa geli setiap melihat benda-benda yang ?mengerikan? itu.

Jadi bukannya membunuhi binatang itu, bahkan tanpa sadar ia telah menjerit-jerit sambil

berlompatan panik, menunjukkan keasliannya belaka.

Si jembel bergerak cepat. Dengan sebuah lompatan panjang, disambarnya tubuh pemuda

tampan itu, lalu dengan beberapa kali loncatan ia telah tiba sebuah pohon besar. Si jembel

menggenjotkan kakinya maka keduanyapun telah melesat naik, dan hinggap disebuah cabang.

Beberapa saat, si jembel terpaksa menolong membunuhi lintah-lintah yang kebanyakan telah

menggigit di kedua betis kaki si pemuda tampan. Sedangkan si pemuda tampan sendiri tak henti-

hentinya merintih-rintih keperihan dan ngeri.

Begitu selesai mengadakan pembasmian lintah itu, mendadak si pemuda tampan mendorong

tubuh si jembel dengan keras.

Si jembel meringis bingung.

"Apa yang kau lakukan tadi?" Bentak si pemuda tampan merengut.

Si jembel ingat. Dalam saat merangkul tubuh pemuda tampan itu dan membawanya naik

keatas pohon lengannya telah menyentuh sesuatu yang lembut didada pemuda itu. Betis yang

berkilau, kulit yang lembut dan dada yang empuk lembut, semuanya itu adalah milik tubuh seorang

gadis. Bagaimanapun juga kini si jembel telah yakin, bahwa pemuda tampan itu harus seorang

gadis.

"Memangnya kenapa?" si jembel meringis.

Si pemuda tampan ingat bahwa penyamarannya kini telah diketahui oleh jembel itu, maka

sejenak wajahnya memerah jambu hingga keleher.

"Kurang ajar!" Bentak si pemuda tampan. Dan plak! Tangannya telah menampar muka si

jembel.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

138

Kolektor E-Book

"Mengapa kau menyamar?" Si jembel bertanya meringis.

"Sudah tahu aku bukan seorang pemuda, kenapa kau...?" Dan sekali lagi plak! Pipi si jembel

kena tamparan.

Dengan pengakuan pemuda tampan itu, maka si jembel jadi gugup dan kikuk. Ia tahu bahwa

perbuatannya menolong tadi itu memang patut mendapat ganjaran beberapa kali tamparan.

Si jembel, ya si Pepriman atau Joko Bledug duduk agak menjauh, pada ujung cabang yang

berdaun rimbun. Kemudian dengan sinar matanya yang berubah kuyu ia berkata :

"Siapakah nona sebenarnya? Maafkan kelancanganku tadi...".

Plak! Masih juga ada hadiah sekali tamparan.

"Siapa aku tak perlu kau tanyakan! Aku orang yang sedang mencari seorang anak durhaka

yang bernama Joko Bledug!" Tajam sekali, bagai sembilu sinar mata Dewi Yoni menatap wajah

Pepriman.

Berguncang jantung si Pepriman, karena terkejut dan bingung. Ia telah yakin kini, bahwa dara

menyamar itu tentulah Dewi Yoni. Akan tetapi untuk mengaku sebagai Joko Bledug. Pepriman tak

sanggup lagi.

Anak durhaka yang bernama Joko Biedug? Seluruh dunia, semua orang rimba persilatan

menuduh dirinya sebagai anak durhaka, murid murtad dan pengkhianat! Dan semua tuduhan itu

benar semata! Dengan kenyataan semua ini, adakah keberanian Joko Bledug untuk berterus terang?

Peristiwa mesum bersama Dewi Cundrik, dan pembunuhan atas diri Sawung Gading, berpeta

didepan matanya. Kehancuran perguruan Blimbingwuluh, dan kehancuran ayah angkatnya Kiai

Teger, semuanya itu muncul dalam ingatan bagaikan ledakan-ledakan perasaan yang

menggoncangkan hati.

Si jembel merundukkan mukanya. Untuk beberapa saat ia terbungkam.

"Tak usah kau mengelak, aku tahu bahwa kaupun sebenarnya tentu Joko Bledug," Dewi Yoni

melanjutkan bicaranya. "Ikan mas besar masih berenang riang dikolam tamanku. Dan persahabatan

kekal yang pernah kita jalin, masih erat mengikat hatiku. Akan tetapi aku hendak bertanya

kepadamu, Bledug. Betulkah semua tuduhanorang-orang itu, bahwa kau telah melakukan segala

kebusukan semua itu?"

Bibir Joko Bledug gemetar. Dari matanya mengalir turun beberapa titik air mata. Ucapan

gadis itu, seluruhnya meruntuhkan harga dirinya belaka.

Kisah mesum dan keji yang pernah dilakukannya, membuat pemuda itu kehilangan

keberanian untuk mengakui kenyataan.

"Dewi Yoni. aku bukan Joko Bledug..."

Mendengar jawaban itu, mata Dewi Yoni terbelalak. Sebagai puteri tunggal seorang demang

ia memiliki sifat yang agak tinggi hati dan manja. Kecintaannya kepada Joko Bledug adalah akibat

pergaulan yang terjalin sejak kecil, yang tumbuh oleh rasa kagum, kekaguman seorang gadis

kepada kehebatan seorang pemuda.

Kekaguman itu, mengendap begitu lama dalam hati merupakan suatu ciri sendiri yang

mewarnai dirinya.

Dan selama berita mengenai Joko Bledug hanya merupakan kebenaran-kebenaran yang

menarik, sebagai scorang pemuda gagah berani, jujur, dan berilmu tinggi serta suka melakukan

kebajikan terhadap sesama manusia.

Akan tetapi kini si dara menghadapi kenyataan yang sangat pahit dan mengejutkan.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

139

Kolektor E-Book

Joko Bledug tak menjawab seperti apa yang ditanyakan oleh Dewi Yoni, itu suatu pertanda

bahwa pemuda jembel itu benar-benar mengakui kebenaran tuduhan orang-orang itu.

Joko Bledug cuma seorang anak durhaka, anak yang tidak bisa membalas guna, anak yang

tidak berprihatin walaupun ayah angkat yang mengasihinya tertimpa bencana hebat.

Cuma seorang murid murtad, murid yang berbuat mesum terhadap perempuan siluman yang

telah mencelakai gurunya sendiri.

Cuma seorang penghianat perguruan, penghianat yang telah membunuh dengan cara keji

kedua saudara seperguruannya!


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


O, kenyataan ini semua, ibarat ledakan sebuah gunung yang telah melanda sekalian cinta yang

membukit dihati si dara! Segala kekaguman yang tumbuh rimbun dihati, lenyap tersapu oleh segala

perbuatan hina yang telah dilakukan oleh Joko Bledug!

Mungkinkah puteri seorarg demang mencintai seorang jembel gila, seorang pemuda mesum,

durhaka dan penghianat?

Dalam goncangan pikiran yang menghebat itu Dawi Yoni tampak menggigil. Wajahnya

sebentar pucat, sebentar merah saga.

"Yoni... maafkan semua itu...."

Bres! Jawaban Dewi Yoni atas ucapan Joko Bledug yang merintih penuh penyesalan itu ialah

sebuah tendangan yang tepat mengenai leher pemuda itu.

Tak ampun lagi, pemuda jembel itu terlempar jauh, jatuh kecebur kedalam rawa kembali.

"Yoniii...Yonii... Yoniii..." Joko Bledug berseru-seru tetapi tidak melangkah dari tempatnya.

Sedangkan Dewi Yoni alias pemuda tampan telah berkelebat pergi menghilang entab kemana.

"Yoni!" Suara Joko Bledug bergetar. Tampak ia sedang berusaha untuk mengendalikan

pukulan-pukulan yang mengendor batinnya. "Aku memang Joko Bledugmu, Joko Bledug yang

selalu mencintaimu. Akan tetapi aku sekarang adalah Joko Bledug yang durhaka, murtad dan

khianat! Andaikata kau masih tetap mencintai diriku sekalipun, terlalu hina aku untuk

mendekatimu...

Hutan Bengkelung tetap sunyi. Dan suasana yang gelap-gelap remang karena sinar matahari

tak mampu menembuskan sinarnya kebumi hutan, terasa menghitam, tampak menghitam, sehitam

hati pemuda itu.

Agaknya, hari itu, atau seluruh hari-hari yang akan datang akan dihabiskan oleh Joko Bledug

dengan berendam diri didalam rawa Bengkelung itu, andaikata tidak terjadi sesuatu yang

mengejutkan di sekitar tempat itu.

Sedang si jembel berdiri termangu dengan kaki digigiti lintah-lintah yang lapar, tiba-tiba ia

mendengar suara jeritan seorang wanita, diseling suara bentrokan senjata yang riuh dan nyaring.

Si jembel tidak ingin melihat pertempuran yang mungkin terjadi didalam hutan itu, sebab

hatinya seakan sedang membeku. Akan tatapi suara jeritan wanita yang agaknya terancam bahaya,

menggugah jiwa kepahlawanannya. Sehingga walaupun perlahan, akan tetapi kaki pemuda itu

melangkah maju menghampiri tempat pertarungan itu terjadi.

Agaknya ditengah hutan ini terdapat sebuah sumur mati yang lebar dan dalam, dulu

dipergunakan oleh Kaki Gagak Rawe untuk membunuh korban-korbannya yang membangkang.

Di sekeliling sumur mati itu, tampak tidak kurang dari seratus orang laki-laki bersenjata

lengkap, yang sedang mengerumuni sesuatu yang bergerak-gerak diatas tanah berumput.

Kiranya sesuatu yang bergerak-gerak itu adalah Dewi Yoni yang sedang terkena jerat.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

140

Kolektor E-Book

Adapun seratus orang laki-laki yang bersenjata lengkap itu adalah para murid Kiai Kenistan

yang sedang berburu. Hutan Bengkelung ini, didalamnya terdapat juga beberapa ekor menjangan,

atau kijang dan kancil. Dan sebagai kita ketahui, sejak perguruan Kenistan dimusuhi oleh

paguyuban Banjardawa, maka para muridnya bercerai berai, sedangkan Kiai Kenistan guru mereka,

menghilang sejak sekian lamanya, hampir bersamaan dengan lenyapnya berita tentang nasib Ki

Ageng Tampar Angin atau Kiai Teger.

Sepanjang hidupnya, para murid itu, menggerombol-gerombol dihutan-hutan, atau sebagian

dibukit-bukit karang.

Dan pekerjaan berburu bagi mereka ialah merupakan penghidupan.

Siang ini, jerat mereka yang dipasang untuk menjangan atau kijang, kiranya hanya

menghasilkan seorang pemuda yang sedang berlarian gugup dan sempoyongan.

Ketika terkena jerat, Dewi Yoni menjerit kaget, dan hal itulah yang membuat para pemburu

itu buru-buru menghampiri dengan keheranan. Mereka melihat seorang pemuda yang terkena jerat,

tetapi suara jeritan yang mereka dengar adalah suara seorang gadis.

Akan tetapi, rupanya kedatangan para murid Kenistan itu mendapatkan sangkaan lain dihati si

dara. Mereka yang bermaksud hendak membuka jerat itu, kiranya disambut oleh Dewi Yoni dengan

sabetan kedua goloknya.

Memangnya pikiran si dara sedang kalut, jengkel, kecewa, menyesal menjadi satu, maka

sekali ia melampiaskan kemarahannya itu tersalur dalam gerakan goloknya yang ganas dan kilat.

Untungnya murid-murid Kenistan adalah pemuda-pemuda yang terlatih dan rata-rata

berkepandaian tinggi. Beberapa orang diantara mereka yang terkena sambaran golok yang tak

terduga itu sempat mengelak, akan tetapi tidak urung beberapa orang terkena luka berdarah pula.

Hal itu membuat murid-murid itu naik darah. Dan seorang diantara mereka yang menjadi

murid kepala, maju menerjang.

Murid kepala itu bernama Walikukun, sesuai dengan senjatanya yaitu sebatang tongkat hitam

yang terbuat dari kayu walikukun. Terjangan murid kepala inipun disambut dengan beberapa kali

sabetan golok oleh Dewi Yoni.

Walikukun hanya menggerak-gerakan tongkatnya, maka sabetan goloknya itu berkali-kali

terpental membalik. Kayu walikukun, adalah sejenis kayu jimat yang sangat keras, seperti galih

asem. Dengan tenaga dalam yang dimiliki murid kepala itu, agaknya golok Dewi Yoni dibikin tak

berdaya.

Sejak semula, memang murid Kenistan itu tidak bermaksud mencelakai orang.

Akan tetapi sulitlah baginya sekarang untuk menaklukan pemuda liar itu, karena permainan

goloknya pun tergolong hebat.

Dalam beberapa kali gebrakan, akhirnya kedua golok Dewi Yoni dapat dibikin terlepas dari

cekalan, akan tetapi terpaksa Walikukun harus meremukkan pergelangan tangan lawannya.

Sebelah goloknya yang terbang, menyerempet ikat kepalanya sehingga kini rambutnya Dewi

Yoni terurai terlepas kepunggungnya. Melihat kenyataan, bahwa yang terkena jerat adalah seorang

dara jelita, walaupun mereka sudah menduga sebelumnya. akan tetapi mereka tidak pernah mengira

gadis itu begini cantik. Malahan tadi samar-samar mereka menduga yang menjerit itu cuma anak

jin. Maka murid-murid Kenistan itu jadi gugup. Sebagian ingin menjauh, tetapi sebagian pula,

sebagaimana laki-laki yang lapar berbulan-bulan dihutan tak pernah kenal wanita, segera

mengerubut maju hendak menyentuh.

Dewi Yoni menjerit-jerit dan meronta-ronta. Tetapi jerat dikakinya tidak mungkin dapat

terlepas. Bahkan kini murid-murid Kenistan itu lupa pada maksudnya semula untuk melepaskan

jerat itu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

141

Kolektor E-Book

Beberapa pemuda berebutan menjamah, menyentuh ataupun mencubit dagu Dewi Yoni,

sementara gadis itu jadi panik dan gugup, cuma menjerit dan menjerit belaka.

Walikukun yang selalu patuh pada ajaran gurunya segera berseru memerintah :

"Mundurrr! sekali lagi berani mencubit atau menyentuh tubuh gadis itu, kubuntungi

tanganmu!"

Ancaman murid kepala itu cukup berpengaruh. Walaupun para murid yang lain sebenarnya

belum puas menyentuh kulit daging wanita, akan tetapi mereka takut melanggar perintah. Maka

walaupun sambil menggerutu, akhirnya mereka menyipak mundur pula.

"Lepaskan jerat!" Perintah Walikukun pula.

Seseorang bergegas melepaskan tali jerat dikaki gadis itu. Lumayan juga dapat mengusap

betis si dara yang putih berkilau itu, akan tetapi sebagai upahnya sebuah tendangan Dewi membuat

dia terlempar mengaduh-aduh.

Begitu lepas dari jerat, buru-buru Dewi Yoni mengambil kedua goloknya itu.

Setelah itu, bukannya berlalu pergi, akan tetapi mengamuk dengan kalap.

Gemparlah para murid Kenistan. Ilmu golok dari Loning adalah ilmu golok yang terkenal dan

tersohor. Dewi Yoni tergolong murid kesayangan Ki Cucut Kawung, tentu saja ilmu goloknya

terlalu hebat, dan sebentar saja beberapa murid Kenistan itu kena dilukai.

Satu hal yang menyulitkan bagi murid-murid Kenistan itu adalah mereka tidak mau melukai si

gadis.

Mereka selalu suka menjunjung tinggi sifat gagah, tidak suka main keroyok ataupun melukai

seseorang tanpa sebab. Padahal Dewi Yoni menyerang dengan sungguh-sungguh.

Melihat ilmu golok si gadis. Walikukun segera berseru nyaring :

"Mundur! Bukan lawanmu!"

Dan kini murid kepala yang gagah itu telah melompat kedepan si gadis.

"Hentikan gila-gilaan itu!" Bentak Walikukun.

Akan tetapi disambut dengan tiga kali bacokan si gadis. Kali ini Dewi Yoni dapat bergerak

bebas, hanya pergelangan tangannya saja yang masih terasa nyeri sekali.

Andaikata tidak, agaknya korban akan jauh lebih banyak berjatuhan.

Walikukun memutar tongkatnya cepat-cepat, membentuk bayangan hitam sebagai benteng

yang sangat kokoh. Kemanapun golok lawan berkelebat, selalu membentur tongkat dan akibat

memental balik.

"Nona jangan terlalu mendesak! Kami tidak bermaksud jahat!" Kata Walikukun bermaksud

menyadarkan si dara. Akan tetapi sikap Walikukun yang agaknya sangat tenang itu, agaknya

diterima lain oleh si dara.

"Banyak bacot! Siapa tidak kenal perguruan Kenistan yang isinya cuma bangsa maliag dan

pemberontak!!"

"Jaga mulutmu nona! Kami menghormati perguruan Loning, sclama mereka menghormati

kami sebagai mana semua golongan rimba persilatan. Akan tetapi kami bocah-bocah Kenistan tak

sudi dihina?"

"Memangnya kalian maling dan pemberontak, mau apa!"

"Trang! Trang! Sing! Dewi Yoni membabatkan golok ditangan kirinya kearah leher,

sedangkan golok yang sebelah lagi, digetarkan membelah dari atas ke bawah. Dahsyat dan ganasYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

142

Kolektor E-Book

sekali serangan ini. Andaikata lawan bukannya Walikukun, agaknya ia akan buntung lehernya, atau

setidak-tidaknya belah kepalanya.

Walikukun terpekik kaget. Tongkat kayunya menangkis, sedangkan serangan golok

belakangan, bermaksud hendak dihindarinya dengan melangkah mundur. Siapa kira, tiba-tiba golok

yang bergerak membelah dari atas kebawah itu, tiba-tiba telah berubah jadi menohok kedepan.

Walikukun terkejut bukan main. Mengelak tak mungkin lagi, menangkispun akan terlambat.

Pada saat itulah dari arah sebatang pohon menyambar datang sebutir batu, membentur golok. Golok

Dewi Yoni tergetar kesamping, terputar bersama orangnya.

"Jahanam! Kau lagi..." Bentak Dewi Yoni dengan mata membara memandang kearah seorang

jembel yang berjalan mendekati.

"Kau bukan pembunuh. Jangan belajar menumpahkan darah. Orang bermaksud baik, kau

malah hendak melukainya...", si pemuda jembel berkata penuh teguran.

"Siapa tidak tahu kau seorang anak durhaka, murid murtad..... pengkhianat..... aiiihhhh!" Dan

Dewi Yoni. berkelebat pergi sambil memperdengarkan suara tangisan amarah.

Si jembel tidak mengejar. Hanya berdiri terpaku memandang kepergian gadis itu dengan mata

sayu guram. Ucapan Dewi Yoni kali ini terasa lebih menusuk, menikam jantung, sebab kata-kata

hinaan itu agaknya diucapkan dengan sungguh-sungguh.

Melihat munculnya seorang pemuda jembel itu, sekalian murid Kenistan tercengang heran.

Terutama sekali Walikukun yang dapat memaklumi bahwa pemuda berpakaian compang-camping


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


dan kotor itu tentulah seorang tokoh muda dan sakti, karena pertolongan tadi. Melemparkan sebutir

batu yang tepat mengena pada saat-saat berbahaya dia memiliki tenaga sangat besar sebagai tadi,

tak mungkin dilakukan oleh ahli silat kelas kampungan.

"Sahabat, terima kasih atas budi pertolonganmu. Apabila kami boleh bertanya, siapakah

gelaranmu pemuda?" Walikukun menyapa sambil membungkuk penuh hormat.

Akan tetapi si jembal masih terpukau perhatiannya pada kepergian Dewi Yoni. Hingga

beberapa saat setelah Walikukun mengulangi tegurannya, barulah si jembel menjawab dengan

tergopoh-gopoh.

"Aaaa... aaa... tidak, tidak!" Walikukun, namaku Pepriman?"

Mendengar orang telah mengenal namanya, maka Walikukun terperanjat.

Untuk beberapa saat ia mencoba mengingat-ingat siapakah gerangan pemuda barpakaian

compang-camping yang mengaku bernama Pepriman itu. Pepriman berarti pengemis, masakan

nama itu seperti nama yang sesungguhnya?

"Kau telah mengenal namaku, berarti kalau tak salah kaulah pengenal kami semua." kata

Walikukun pula.

Si jembel menghela napas. Sudah terlanjur mengelakpun tak guna lagi, sejak masih diam

diperguruan Blimbingwuluh, nama Walikukun murid kepala perguruan Kenistan telah dikenalnya.

Sekarang si jembel melihat keadaan para murid sahabat perguruannya itu dalam keadaan begitu

menderita, maka timbullah keharuan dihatinya.

"Ya aku telah mengenal kalian semua, ialah murid-murid perguruan Kenistan".

Siapa orang tidak kenal nama Walikukun dan perguruan Kenistan yang besar itu? sahut si

jembel kemudian.

Sementara itu Walikukun telah melangkah maju, seraya menjabat tangan si jembel.

"Sahabat! Namun sudah kuingat sekarang. Bukankah kau orangnya yang telah membunuh

Dadamanuk murid Bantarkawung di Gunung Gajah?"Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

143

Kolektor E-Book

Rupanya berita itu demikian luas tersebar, dan si Pepriman tak ingin menyangkal.

"Berarti kau orang sendiri. Sahabatku, mari kita kerumah..." seraya berkata begitu, maka

Walikukun telah rnenarik tangan Pepriman diajak berlalu.

Apa yang dimaksud dengan rumah oleh Walikukun adalah sebuah barak yang sangat panjang

dan sederhana, yaitu sebuah bangunan yang bertiang-tiangkan batang-batang pohon, dan atapnya

adalah dedaunan yang di gabung-gabungkan dengan ikatan tali.

Suguhan sederhana sebagai air nira dan dendeng kering mulai dihidangkan. Memangnya

Pepriman telah beberapa hari sejak kepergiannya dari rumah kamituwa Pagergunung hingga

sekarang belum makan, maka begitu dipersilahkan suguhan itu, Pepriman lantas melahapnya.

Nasi yang kemudian dihidangkan tidak lebih dari kotak yang dikukus, akan tetapi agaknya

karena pengaruh orang banyak, makan terasa enak saja.

Selesai hidangan, maka hari telah mulai malam. Beberapa pemuda yang berkewajiban

berjaga, telah mulai mengganti giliran temannya Walikukun telah membawa Pepriman rnemasuki

sebuah barak kecil yang terpencil, letaknya agak diluar barak besar itu.

Agaknya barak kecil itu adalah markas para pemimpin mereka.

Pepriman diperkenalkan kepada adik-adik seperguruan Walikukun, yaitu Sembodo seorang

pemuda berbadan kecil ramping, dan Sogo, seorang pemuda berwajah kemerahan seperti buah saga.

Tampaknya ke dua bawahan Walikukun itu tergolong pemuda yang dapat dipercaya, sebab dalam

pembicaraan yang dianggap penting itu, mereka diajak serta.

Setelah membesarkan nyala lampu dilepak, Walikukun mulai bicara :

"Kami hampir putus asa... sahabat Pepriman! Berkali-kali murid-murid Bantarkawung dari

paguyuban Banjardawa, melancarkan serangan dan penyerbuan terhadap kami. Jumlah kami terlalu

kecil dan persenjataanpun sangat kurang, sehingga berkali-kali kami tercerai berai dan berkali-kali

korban berjatuhan dipihak kami. Sementara itu guru kami menghilang entah kemana...".

Pepriman dan yang lain diam.

"Tentu kau yang telah mengembara bebas menjelajahi rimba dan ngarai, lembah dan gunung

pernah mendengar berita dimana kedua guru kami berada...".

"Maaf sahabat Walikukun. Kabar duka inipun baru sekarang kudengar pasti. Dan selama ini,

akupun tidak pernah mendengat berita itu. Atau...", Pepriman menghentikan kata-katanya, berpikir.

"Setahuku hubungan antara Kenistan dan Pucung sangat baik, apakah kau sudah mencari berita

kesana!"

Walikukun menggelengkan kepala.

"Menyedihkan sekali, perguruan Pucung sendiri juga telah pecah berpencaran, diserbu oleh

orang-orangnya Kebo Sulung. Guru Pucung sendiripun tidak terdengar kabar beritanya, entah masih

hidup atau mati.

Kami hanya pernah bertemu dengan puterinya. Cunduk Puteri yang kabarnya kinipun menjadi

pengembara buron..."

Lengkaplah sudah berita duka ini menikam hati Pepriman. Ia menyadari kenyataan dengan

sesungguhnya, bahwa tiga perguruan, Blimbingwuluh, Kenistan dan Pucung telah hancur

berantakan, akibat perbuatan ganas orang-orang Banjardawa.

"Sahabat Pepriman... Beberapa hari yang lalu, Cunduk Puteri melintasi tempat ini, dan kami

sempat bercakap-cakap dengan leluasa. Ia bersama seorang murid Loning yang namanya Sogapati.

Dari mereka itulah kami mendengar namamu secara tegas, dan mengenal dirimu, walaupun kami

baru melihat sekarang. Sahabat, maukah kau berterus terang kepada kami, siapakah kau

sebenarnya? Kami ini orang-orang dari angkatan terdahulu merasa selama ini seakan berada dalam

kebimbangan yang tidak kunjung berakhir.....Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

144

Kolektor E-Book

Penjajah sedang mengulurkan tangan kotornya untuk menjangkau tanah air kita kedalam

cengkeraman mereka. Mataram, sejak wafatnya sang Maharaja Sultan Agung, hingga kini agaknya

bersikap terlalu lunak terhadap mereka!"

Duka sekali membayang diwajah Walikukun. Demikianlah agaknya sikap seorang patriot

yang sejati, sebagian besar jiwa dan kecintaannya tertumpah pada tanah air.

"Masih tidak cukup demikian saja, tampaknya tidak sedikit bangsa kita yang sengaja mencari

kesempatan dalam kesempitan. Mereka, sebagai paguyuban Banjardawa itu, secara tak tahu malu

merendahkan diri, berpihak pada kompeni. Ia membunuh bangsanya mereka mengeruk kekayaan

diatas keringat dan darah bangsanya, bahkan lebih dari itu, melihat tanda-tandanya, mereka akan

merebut tanah Pemalang!"

Semua pembicaraan Walikukun ini, sebelumnya telah diketahui oleh Pepriman alias Joko

Bledug itu. Namun kini tumbuh satu perasaan dan keyakinan yang baru yang lahir dari kalimat-

kalimat Walikukun yang diucapkan dengan semangat menyala-nyala itu, yaitu suatu keinginan

untuk membawa dirinya kedalam satu pihak. Ya pihak Walikukun atau Cunduk Puteri, yaitu pihak

yang mencintai tanah air diatas segala-galanya.

Rasa kagum terhadap sikap para pejuang Kenistan ini, rasa malu diri yang timbul akibat

perbuatan-perbuatan tidak keruan yang selama ini telah dilakukannya, membuat Pepriman tersedu-

sedu didalam dada.

Hingga tanpa terasa, terlahirlah ucapan perlahan tetapi pasti dari mulut Pepriman.

"Walikukun... Biarlah aku akan membela kalian."

Mendengar kalimat Pepriman yang demikian, seketika Walikukun, Sembodo dan Sogo

bertepukan tangan kegirangan.

Mereka bergantian menjabat tangan Pepriman sambil tak henti-hentinya meagucapkan

syukur.

"Demi Tuhan", Walikukun berkata penuh semangat "dengan sahabat Pepriman ada dipihak

kami, maka bumi kami akan berseri kembali. Ladang kami akan bernyanyi, pengembala kita akan

meniup suling, dan cakar-cakar musuh yang selalu merusak ketentraman rakyat akan dapat kami

patahkan satu persatu".

Yang lain tertawa gembira.

"Bagaimana saudara begitu yakin?" Tanya Pepriman.

"Aku telah mendengar siapa anda....", sebutan Walikukun berubah lebih hormat. "Anda

adalah paduan dari sifat Joko Bledug Blimbingwuluh dan Turonggo Benawi dari pulau Maceti. Hal

ini Cunduk Puteri yang mengatakannya, dan kami percaya! Ilmu kepandaianmu yang

menggegerkan kalangan paguyuban Banjardawa adalah percampuran dari Suci Hati dan Nusa Reca

Sakti dari pulau dewata itu, mengapa anda tak menyadari?"

"Kami telah percaya, kami melihat dan kami yakin! Bukankah Nusa Reco Sakti itulah silat

dewata yang berpusat di pulau Maceti?"

Keadaan sudah terlanjur begini rupa, mengelakpun takkan ada gunanya lagi. Tetapi untuk

mengaku dirinya sebagai Joko Bledug secara terang-terangan, si Pepriman masih segan dan berat.

Sebaliknya, ia hanya diam dan tersenyum-senyum masam.

Hari berikutnya, maka terjadilah boyongan, atau hijrah secara besar-besaran. Semua murid

Kenistan yang bermarkas di hutan Bengkelung ini, melakukan perjalanan jauh, yaitu pindah markas

ke gunung Gajah, sebagaimana dianjurkan oleh Pepriman.

Mereka berangkat dikala senja tiba, setelah membereskan segala perbekalan dan persenjataan

yang ada.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

145

Kolektor E-Book

Pasukan hijrah itu menempuh perjalanan memutar, keliling kearah tenggara, lalu kebarat

untuk kemudian membelok lagi keutara barat daya.

X

X X

MURID-MURID Kenistan sedang melakukan hijrah ke Gunung Gajah. Begitulah pula yang

terjadi atas diri Cunduk Puteri diperguruan Loning sedang diboyong kedalam sebuah kamar oleh

Sogapati bersama paman gurunya Windupati.

Cunduk Puteri dalam keadaan antara sadar dan tidak. Matanya memejam rapat, akan tetapi

mulutnya memperdengarkan suara rintihan yang menggigil, dan tubuhnya sesekali menggeliat-

geliat seperti cacing kepanasan.

Sinar mata yang buas memancar dari mata Sogapati yang berbinar-binar mengerikan, melahap

seluruh tubuh Cunduk Puteri yang berada dalam bopongannya. Dalam saat-saat seperti ini, Sogapati

murid Loning yang tergolong murid kelas satu itu, lebih mirip sebagai seekor serigala lapar dari

pada seorang murid perguruan yang bernama besar sebagai Loning itu.

Pakaian Cunduk Puteri yang tak teratur itu, sebelah dadanya membuka, dan sebelah ujung

kainnya menyingkap, menunjukkan bahwa sebelum itu si dara telah menderita perlakuan tak

senonoh dari tangan dan nafsu Sogapati. Melihat semua pemandangan yang menerbitkan selera ini,

hasrat Sogapati kian membusa, setitik liur membulat diujung mulutnya.

Dan dengan nafsu yang terlalu menggelora itulah, Sogapati membuka sebuah pintu kamar,

kemudian masuk kedalam kamar itu. Demikianlah nafsu yang tak terkendali sering membuat

manusia lengah. Sebagai kini terjadi atas diri Sogapati.

Begitu ia meletakkan tubuh Cunduk Puteri keatas pembaringan, dan begitu ia bersiap untuk

melampiaskan hasrat hatinya yang rendah, tiga butir biji jagung tiba-tiba datang menyambar, tepat

mengenai punggung, pinggang dan rusuk kirinya.

Tanpa sempat mendengarkan jeritan, Sogapati telah terjengkang roboh jatuh dari pembaringan

dengan mata mendelik.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Siapakah orang sakti yang telah menyerang Sogapati secara menggelap itu? Dia adalah

seorang laki-laki baya bertubuh tegap, berwajah persegi dan kukuh, melukiskan kekerasan,

keangkuhan dan kekejaman wataknya.

Orang ini adalah orang kedua setelah Cucut Kawung, yaitu adik seperguruan guru Loning,

yang bernama Windupati!!

Sejak kedatangan Sogapati bersama Cunduk Puteri memasuki perguruan Loning, telah timbul

rasa sir hati Windupati terhadap diri Cunduk Puteri yang cantik manis itu.

Sebenarnya, Ki Cucut Kawung sendiri, telah menghilang sejak beberapa tahun yang telah

lalu, kira-kira sudah lewat lima tahun lamanya sampai kini.

Semua pekerjaan perguruan saat itu, seluruhnya dipimpin oleh Windupati, sebab tokoh ini

memang satu-satunya tokoh paling kuat sesudah Ki Cucut Kawung dari Loning ini.

Menghilangnya Ki Cucut Kawung dari perguruan, tentu saja dirahasiakan oleh Windupati,

juga oleh seluruh para murid Loning, sebab mereka kuatir hal itu akan berpengaruh besar terhadap

sikap kalangan rimba persilatan terhadap mereka.

Setiap ada murid yang menanyakan dimana guru berada, atau ada tamu yang bermaksud

menjumpai Ki Cucut Kawung, selalu dijelaskan oleh Windupati bahwa Ki Cucut Kawung sedang

dalam semedhi, dan semua urusan boleh dibicarakan dengannya. Hal inilah kiranya yang

menyebabkan Sogapati tak pernah berhasil menjumpai gurunya, apalagi mendesak kakek sakti itu

untuk berpihak kepada paguyuban Banjardawa atau kepada Cunduk Puteri.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

146

Kolektor E-Book

Munculnya Sogapati kali ini kepintu perguruan kembali, sebenarnya telah diduga sebelumnya

oleh Windupati, sebab laki-laki baya ini telah mendengar berita-berita sebelumnya dari bakul

sinambirawa, bahwa Sogapati telah menggabungkan diri pada paguyuban Banjardawa, akan tetapi

kini telah terbalik pihak.

Orang sebagai Windupati mana sudi mencampuri urusan pihak ini atau pihak itu atau apa

segala.

Sebagai ia sendiri mengetahui bahwa kakak seperguruannya yaitu Ki Cucut Kawung tak

pernah menentukan sikap dalam pergolakan ditanah jawa ini.

Maka kedatangan Sogapati bersama Cunduk Puteri itu, sesungguhnya ibarat ular mencari

pentungan! Windupati bermaksud untuk membuat seluruh perguruan Loning merupakan pintu

perguruan yang bersih, bersih dari adanya persengketaan besar yang sedang terjadi. Dan rencana

busuk yang disediakan untuk menyambut kedatangan murid keponakannya ini, sudah disiapkan.

Sogapati dan Cunduk Puteri disambut sendiri langsung oleh Windupati dalam ruang

perjamuan.

Dan upacara sederhana itu dihidangkan untuk ?pahlawan wanita? Cunduk Puteri yang mereka

?kagumi? itu.

Setelah memerintahkan semua pelayan berlalu keluar, maka Windupati berkata perlahan :

"Nama Cunduk Puteri telah menggoyangkan setiap daun dihutan rimba, dan membisikkan

puji-pujian pada setiap bibir manusia. Kiranya orangnya memang mengagumkan, bukan sekedar

nama kosong...".

"Ah, paman guru terlalu memuji. Aku hanyalah segelintir kecil diantara nama-nama besar

sebagai pendekar-pendekar Loning yang termashur..." sahut Cunduk Puteri dengan nada merendah,

tetapi juga cukup mengandung keangkuhan.

"Tentu kalian bermaksud menjumpai kakang guru bukan?" Tanya Windupati kearah Sogapati,

akan tetapi matanya mengerling kearah bibir Cunduk Puteri yang memerah basah.

"Paman guru..." Sogapati menyahut.

"Bukan murid berlaku kuminter, ataupun lancang pikiran, akan tetapi murid telah sekian lama

meyakinkan bahwa pihak Banjardawa bukanlah pihak kaum lurus...".

Windupati mengangguk-angguk.

"Murid telah pernah menderita fitnah dari mereka. Hampir saja murid mendapat celaka

andaikata tidak sempat tertolong oleh nona Cunduk Puteri ini. Dia ini adalah puteri tunggal guru

Pucung, paman."

"Ya, ya, ya, aku telah mendengar." dan Windupati mengangguk-angguk terlalu banyak kali

sambil tersenyum kagum kearah Cunduk Puteri. "Nama Cunduk Puteri lebih terkenal dari pada

namamu, tentu saja aku telah mendengar sejak lama..."

"Paman guru. kedatangan kami berdua ini, sebenarnya mengandung maksud......"

"Untuk menarik kakang guru kepihak Cunduk Puteri bukan?" Cegat Windupati memotong

bicara Sogapati sambil tertawa. "Hal itu menarik perhatianku benar. Dan sejak kemarin-kemarin

aku telah memikirkannya.

Siapalah lagi yang akan membela ketenteraman padang gembala dan laut nelayan kita, kecuali

kita-kita sendiri. Menarik sekali, murid. Menarik hatiku sekali", dan Windupati membasahi bibirnya

yang kering.

Mendengar jawaban itu, tampak sinar kegirangan diwajah Sogapati maupun Cunduk Puteri.

Terutama Cunduk Puteri, sebagai seorarg dari pahlawan yang terlalu merindu pada ketentraman danYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

147

Kolektor E-Book

damainya padang gembala bumi Jawa, merjadi kurang waspada, dan menganggap bahwa apa yang

dikatakan oleh Windupati adalah apa yang diucapkan oleh hati laki-laki itu.

"Seluruh pejuang seluruh pulau Jawa tentu sangat bersyukur atas berita ini."

"Dengan Loning berbaris dipihak kita, rasanya pantai utara pulau Jawa akan segera berseri

kembali, bebas dari segala rerungkutan maupun kekotoran yang menyampah. Paman Windupati,

andaikata ayahku mendengar hal ini, tentu aku yakin dia akan terkekeh gembira.

Dan dalam hati Cunduk Puteri menyambung bicaranya : "Siapa bilang perguruan Loning

banci! tak mempunyai sikap dan kepahlawanan?".

Sungguh dara polos itu tidak menduga, bahwa apa yang sebenarnya timbul dihati Windupati

adalah sebuah rencana busuk yang akan mencelakakan dirinya.

Akibat kegembiraan Cunduk Puteri itu, rasa jemu dan benci, Windupati menggelegak, Akan

tetapi seorang berilmu tinggi sebagai dia tentu saja dapat memulas wajahnya tetap damai dan

berseri-seri, seolah-olah benar-benar sedang bergembira.

Rencana keji itu akan segera dimulai, ketika Windupati bertepuk tangan tiga kali, dan tak

lama antara beberapa bumbung atau tabung tuak tua, didatangkan oleh pelayan.

Cangkir tempurung disediakan didepan mereka, dan mulailah tuak wangi yang telah ditanam

dalam tanah berbulan-bulan itu dituangkan.

Sambil mengangkat cangkir tempurungnya, Windupati berkata gembira "Selamat, untuk

pahlawan wanita kita, Cunduk Puteri......!" Sambil tertawa terbahak-bahak kearah tamunya itu.

Windupati telah menggerakkan ujung jarinya. Tampak dua butir benda kecil warna ungu yang

meluncur kearah dua cangkir dihadapannya, tanpa diketahui oleh Sogapati maupun Cunduk Puteri.

Saat itu, kedua wajah tamu itu memang sedang terangkat dan memandang gembira kearah

tuan rumah. Dan ketika ada sesuatu yang mengaduk dalam minumannya mereka tidak menyadari.

Sogapati minum beberapa teguk. Cunduk Puteri mencicipi seteguk, sedangkan Windupati secara

demonstratif meneguk tuaknya tandas-tandas.

Windupati menuangkan tuak pula kedalam cangkirnya, minum lagi menenggaknya habis

sambil mempersilahkan tamunya itu minum.

Demikianlah secangkir demi secangkir tuak wangi memasuki perut Windupati. Dan seteguk

demi seteguk, tuak bercampuran itu melewati tenggorokan Sogapati maupun Cunduk Puteri.

Dalam hal minum tuak, agaknya Windupati akan mabuk apabila ia telah menghabiskan

setidak-tidaknya tiga tabung besar. Sebaliknya Sogapati yang kurang biasa dan Cunduk Puteri yang

sama sekali tak pernah, sudah menimbulkan pengaruh yang aneh.

Memangnya dalam cangkir kedua orang itu telah bekerja suatu larutan yang disengaja oleh

Windupati. Apa yang terasa oleh Sogapati adalah jalan darahnya semakin cepat, semangatnya

berkobar dan tubuh hangat-hangat segar, walaupun ada sedikit puyeng.

Jauh berbeda dengan apa yang terjadi atas diri Cunduk Puteri. Dara ini merasa seakan-akan

minuman manis-manis getir yang melintasi tenggorokannya, telah berubah menjadi senut-senut

galak yang hilir mudik dalam darahnya. Dan seluruh hawa hangat-hangat dingin, menjalari tubuh.

Muka terasa panas, pandangan mata sering berubah-ubah seolah-olah dunia ini bertukar-tukar

bentuk dan rupa. Kepalanya terasa mekar mingkus, sebentar mengembang, sebentar seperti

mengempes.

Dan ketika puyeng kepalanya kian memberat, maka ada sesuatu yang aneh, itu mengalir dari

endapan hati.

Sesuatu itu, adalah hasrat yang selama ini ada mengendap dan terpendam dalam hati,

berbentuk sebagai keinginan yang membusa untuk dijamah. Dijamah oleh tangan laki-laki yang

jantan, dan menjamah apa yang menggelora dalam angan-angannya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

148

Kolektor E-Book

Cunduk Puteri segera sadar, bahwa kejadian ini tidak sepatutnya.

Betapapun, dia adalah seorang dara gemblengan yang kokoh memegang susila dan adat.

Ia berusaha sekeras-kerasnya untuk menguatkan seluruh tenaga bathinnya, guna untuk

menekan pengaruh ?jahat? yang mengalir bersama tuak wangi itu. Akan tetapi si dara jadi terkejut

bukan kepalang, ketika mendadak seluruh tenaga batinnya seakan kandas. Begitu perhatian

dipusatkan untuk menghimpun tenaga batin yang menggolong, kiranya terasa seakan gumpalan

hinpunan tenaga batinnya itu terjerumus kedalam laut yang terlalu dalam tak berdasar, sebagai batu

kecil tercemplung kejurang.

Sementara itu, pengaruh tuak dan larutan yang dilontarkan oleh Windupati bekerja semakin

hebat.

Cunduk Puteri tampak terhuyung kekiri dan kekanan, sedangkan wajahnya yang manis jelita

itu tambah semringah kemerah-merahan menggemaskan.

Dan Windupati yang melihat bahwa perbuatannya telah membawa hasil, tertawa sambil

menenggak tuak secangkir.

"Tunggu!" Serunya seraya tangannya merampas cangkir batok dari tangan Sogapati.

"Bukankah kau mencintai dara pahlawan itu, muridku?"

Sogapati tercengang. Pengaruh tuak yang memasuki perutnya belum terlalu berat beraksi

seperti Cunduk Puteri. Dan yang terasa hanyalah pening-pening nyaman, gembira-gembira

bersemangat.

Maka demi mendengar pertanyaan paman gurunya ia tersenyum malu kemudian menjawab

serak :

"Paman guru.. benar...".

Windupati selalu tertawa, menyemprot-nyemprotkan hawa tuak dari mulutnya.

"Hari ini adalah hari pesta. Pesta besar untuk kemenanganmu, dan kemenangan pahlawan

wanita kita. Mengapa tidak kau rayakan secara selayaknya? Maukah kau kukawinkan dengan

pahlawan cantik itu?".

Sogapati menoleh kearah Cunduk Puteri, yang saat itu sedang bergoyang-goyang setengah

pingsan.

Terlihat oleh Sogapati wajah jelita dan pipi yang merah jambu itu. Terlihat pula napas si dara

yang memburu, dan bibir yang basah kemerahan. Dan tangan Sogapati jadi lancang, dicubitnya

dagu Cunduk Puteri.

Cunduk Puteri memperdengarkan keluhan yang merintih. Sogapati tertawa kegirangan.

Sebaliknya suara tawa Windupati yang bergelak-gelak itu memperdengarkan nada bengis dan keji.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Lalu dengan mata buas bersinar, laki-laki baya itu menarik pundak keponakan muridnya.

"Pergilah... Kalian sudah kunikahkan...".

Suara tawa Windupati masib berderai-derai, ketika Sogapati yang sudah berubah menjadi

seekor serigala lapar membopong tubuh Cunduk Puteri sambil meremas-remas, atau memasuk-

masukan tangan ataupun mencium dan mengigit.

Selama itu, Cunduk Puteri merasa seakan tubuhnya sedang diayun kedalam suatu alam yang

aneh, alam asing yang isinya penuh bahagia dan bergairah.

Begitulah, karena sibuk dan bernafasnya Sogapati menjamahi bagian-bagian tubuh Cunduk

Puteri ia tidak melihat bahwa sesosok bayangan, kekar dan tegap selalu membuntuti dengan mata

memancarkan kebuasan.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

149

Kolektor E-Book

Demikianlah semuanya yang terjadi, yang mengakibatkan Cunduk Puteri terdampar diatas

tempat tidur dengan napas memburu.

Demikian itu pula yang kemudian mengakibatkan Sogapati menggeletak tertotok dengan mata

mendelik.

Dan begitu pulalah asat mula kejadian, hingga akhirnya Windupati berhasil menggagahi

kesucian Cunduk Puteri.....

Cunduk Puteri tersadar, ketika hari sedang merangkak mendekati pagi. Terasa olehnya ada

sesuatu yang ganjil yang terasa pada tubuhnya, Cunduk Puteri menjerit!!

.................... sebagian teks hilang ....................

atas tempat tidur.

Sedikit demi sedikit, setiap tkiji yang baru saja berlalu, melintas kembali dalam ingatannya.

Sesal, takut, ngeri dan kecewa berhamburan menerkami hatinya dan tubuhnya yang gemetar itu

menggigil dalam api kemarahan yang mendadak berkobar.

Dara yang semula riang gembira dan ceria itu, mendadak telah berubah, sebagai singa betina

yang terluka. Sepasang tnatanya melebar, bersinar buas. Giginya menggigit-gigit bengis. Dan kedua

tangannya mengepal keras kumintir, gemetaran. Dengusan napas panas menyembur-nyembur dari

hidungnya yang kembang kempis dengan cepat.

JILID : 9

KETIKA tiba-tiba matanya melihat Sogapati yang sedang merayap bangun membereskan

pakaiannya, tampak oleh Cunduk Puteri sebagai seekor anjing yang menjijikkan dan menimbulkan

dendam. Tidak pakai omong barang sepatah, maka Cunduk Puteri melancarkan tendangan kilat

sambil memperdengarkan suara lengkingan nyaring dari tenggorokannya.

Bress! Gedebluk! Sogapati baru saja berhasil memunahkan totokan yang melumpuhkan

seluruh anggota tubuhnya. Dan tenaganya belum pulih sebagai biasa, indera dan ketangkasannya

sedang lenyap entah ke mana. Begitu ada tendangan meluncur kelambungnya, seketika tubuh

pemuda itu terpental, menghantam dinding.

Bukan main lihai dan kejinya perbuatan yang dilakukan oleh Windupati ini. Dengan pasti ia

tahu jarak waktu berapa lama Cunduk Puteri akan terbius dalam keadaan setengah sadar, begitupun

terperinci pula kekuatan totokan yang dilancarkan kepada Sogapati, sehingga kedua korban itu

dapat siuman kembali dalam waktu yang hampir bersamaan.

Namun, kali ini, begitu siuman Sogapati harus menelan sebuah serangan yang mengenai

lambungnya, telak, seakan menumbuk isi perut. Masih harus membentur dinding, maka kalau hanya

pingsin lagi saja itu masih termasuk beruntung.

Tidak hanya sekali Cunduk Puteri menendang tubuh Sogapati yang tergeletak itu, akan tetapi

mempergunakan pemuda itu sebagai bola sepak, ditendang dan dicakar. Habis babak belurlah

pemuda pingsan itu.

Semua ini dilakukan oleh Cunduk Puteri sambil menjerit-jerit dan memekik-mekik.

Suara jeritannya yang nyaring melengking, dan suara gedubrakan yang terdengar dari

kamarnya telah membangunkan seluruh murid perguruan Loning yang segera berdatangan

memburu kesitu.

"Apa yang kau lakukan, disitu murid?" Terdengar suara teguran dari luar.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

150

Kolektor E-Book

Yang masih mampu mendengar hanyalah Cunduk Puteri. Dan gadis ini mengenal, itu suara

Windupati! Teringat olehnya tuak wangi itu. Dan terbayang pula, sesuatu yang menyakitkan

ditubuhnya.

Rasa sakit ini, tidak sesakit hatinya yang tertikam oleh kekecewaan dan dendam.

Sehingga dengan lompatan garang, Cunduk Puteri menerjang pintu kamar, menubruk kedepan

Windupati.

Windupati masih berdiri angkuh, dengan sebelah tangan mencabuti janggutnya. Dengan

sebelah tangannya didorongnya tubuh Cunduk Puteri kesamping, sehingga tubuh si dara yang

sedang meluncur kedepan itu terlempar dengan keras.

Cunduk Puteri melompat bangkit berdiri, secepat lompatan macan tutul. Dan begitu tegak

kedua kakinya, ia memperdengarkan suara menggereng, persis macan tutul.

"Sabar?" Seru Windupati seraya meraya meraya menggerakkan telapak tangannya kedepan.

"Kau sedang berbuat apa? Apa maksudmu berdua dalam kamar, tiduran dan amuk-amukan?"

"Bangsat keji!" Teriak Cunduk Puteri dengan mata beringas. "Kau racuni kami, kau buat

kami jadi......" Cunduk Puteri tak sanggup melanjutkan kata-katanya, karena pada ingatannya yang

demikian, terasa kembali rasa sakit dibagian tubuhnya yang tadi berdarah.

Windupati tertawa terbahak-babak.

"Kalian benar-benar manusia tak tahu malu! Kalian datang menumpang untuk melakukan

perbuatan mesum aku sebagai orang yang menyayangi murid yang sudah mendapatkan pasangan,

sulit untuk menolaknya! Sekarang... setelah semuanya itu terjadi dan kalian rasakan, mengapa harus

mencari maki kepada kami?!"

"Windupati jahanam! Mati kau!" Dengan tak perduli Cunduk Puteri mengamuk sehebat-

hebatnya. Ia menerjang, memukul, mencakar dan menggigit, seperti gerakan orang yang tak

mengerti ilmu silat lagi. Api kemarahan dan dendam, telah merubah gadis ini menjadi liar dan

ganas seperti srigala.

"Hai iblis cilik! Pergi!" Berbareng kata-katanya itu, maka Windupati menggerakkan tubuhnya

merendah. Kemudian kedua tangannya bergerak cepat memukul lambung dan pundak Cunduk

Puteri.

Memangnya Cunduk Puteri dalam keadaan setengah gila mendadak, kesadaran dan

pikirannya awut-awutan seperti rambutnya, maka setiap serangannya dengan mudah dapat dihindari

oleh Windupati. Sebaliknya ketika Windupati melancarkan serangan, dengan telak dua bagian

tubuh si gadis terkena pukulan. Kontan tubuhnya melayang beberapa depa jauhnya, dan jatuh dalam

keadaan pingsan.

"Lemparkan pengacau itu kehutan!" seru Windupati memberikan perintah kepada murid-

muridnya. Dan dua orang pemuda tampak maju kedepan mcngangkat tubuh Cunduk Puteri,

menaikkannya keatas kuda kemudian membawanya membedal keluar pintu pekarangan perguruan.

Sementara Cunduk Puteri dilemparkan orang kedalam hutan Loning, maka menjelang subuh

hari Sogapati tersadar dari pingsannya.

Lambung, dada dan kepala, seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit dan nyeri mengentak-entak.

Pada tempat-tempat yang terasa sakit-sakit itu, kelihatan membengkak.

Akan tetapi Sogapati tidak menghiraukan rasa sakitnya ini. Ia teringat pada Cunduk Puteri,

dan dengan susah payah pemuda itu merayap bangun.

Dicarinya gadis itu, dalam kamar itu tidak ada. Ketika Sogapati membuka pintu kamar,

suasana dalam perguruan itu sudah kembali sunyi. Hanya tampak para petugas murid jaga yang

berjongkok dalam gardu monyet diatas tembok pekarangan, disudut.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

151

Kolektor E-Book

Semua rumah-rumah tempat tidur para murid, tertutup rapat, terkunci seakan-akan mereka


Wiro Sableng 022 Siluman Teluk Gonggo Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Sam Po Kong Karya

Cari Blog Ini