Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Gunung Gajah 6

Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar Bagian 6



menganggap bahwa Sogapati tidak akan berbuat sesuatu apa. Atau agaknya lebih tepat dikatakan

bahwa mereka menganggap Sogapati takkan mampu berbuat suatu apapun!

Dan memang demikianlah kenyataannya Sogapati hanya berjalan terpincang-pincang dengan

hati membekal kebimbangan dan penyesalan.

Dalam jalannya yang tidak teratur itu. Sogapati mencoba mencari-cari Cunduk Puteri kesetiap

penjuru pekarangan perguruan. Tetapi kemanapun dia mencari tentu saja takkan dijumpainya dalam

pekarangan itu.

Sedih hatinya, seakan dia ingin menangis. Mengapa semuanya itu ierjadi? Ya, mengapa ia

mau mendengar bujukan paman gurunya.

Dan mengapa ia bermaksud menodai Cunduk Puteri yang sesungguhnya kecuali dikagumi

olehnya juga di cintainya pula!

Aneh, tapi mengapa paman Windupati membisikkan bujukan itu? Mengapa dia bermaksud

mengawinkan dirinya dengan Cunduk Puteri, dan mengapa pula menyuruh untuk melakukan pesta

dikamar bersama gadis itu mengapa-mengapa.

Mengapa terjadi semuanya itu? Dan siapa orang yang secara diam-diam telah menotokku?

Segala kemelut pikiran itu mengantarkan tiap langkah pemuda ini menuju rumah tinggal

paman gurunya.

Mendadak berkelebat dalam ingatannya suatu dugaan.

Dalam perguruan Loning ini, setiap orangnya hampir dikenal benar oleh Sogapati, beserta

ilmu kepandaiannya dan perwatakannya.

Orang yang mampu melancarkan tiga totokan secara tepat dau jitu serta yang memiliki tenaga

totokan begitu hebat, berapa jumlahnya di dalam perguruan itu?

Sogapati sejenak meragu. Mungkinkah? Mungkinkah perbuatan itu paman gurunya sendiri,

Windupati yang melakukannya? Tetapi pikiran ini segera dibantahnya sendiri.

Ia tahu, bahwa paman gurunya adalah seorang yang memegang keras adat dan kesusilaan

dalam perguruan. Paman gurunya pula yang menyanggupi untuk membawa perguruan Loning

dalam pihak pejuang. Akan tetapi bantahan inipun dibantah pula kembali.

Sogapati teringat, betapa sinar mata paman gurunya waktu melihat kemolekan bentuk tubuh

Cunduk Puteri. Teringat pula, betapa paman gurunya tertawa aneh waktu menyuruh dia

membopong Cunduk Puteri kekamar.

Habis siapakah orang yang mampu melontarkan tiga buah serangan gelap secara jitu?

Tak ada orang yang patut dicurigai... walaupun Windupati tidak pernah disebut orang sebagai

jago senjata rahasia..... kecuali paman gurunya sendiri, Windupati!!

Sedang kesimpulannya tiba disitu, Sogapati membelalakan matanya kearah pintu rumah

Windupati, yang secara tiba-tiba telah menjeblak terbuka, dan tampak seorang laki-laki kekar kasar

berdiri angkuh diambang pintu.

Sogapati belum sempat mangucapkan sesuatu. Tetapi teguran yang bengis terdengar oleh

telinganya :

"Sogapati! Jangan injakkan kakimu lagi diatas tanah pekarangan Loning! Enyah dan jangan

kembali, walaupun berita kematianmu!".

"Paman... paman...!" Sesuatu yang meluap-luap membuat Sogapati tergagap.

"Tak perlu permohonan! Kukatakan, perguruan Loning tak boleh dikotori orang mesum

sepertimu!".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

152

Kolektor E-Book

"Siapa itu? Siapa melakukannya?" Sogapati ingin meneriakkan kalimat ini, akan tetapi

kemarahan dan kekagetannya membuat ia hanya ternganga aa...uu tak keruan.

"Pergi kataku!".

Seraya membentak demikian, Windupati menarik tali pinggannya yang terbuat dari tambang

kulit macan kumbang. Sekali ditarik, terdengar suara bersereset tajam yang sangat nyaring. Dan

ketika ia menggerakkan tangannya menyabet. Sogapati terpelanting dengan muka berjalur merah

berdarah.

Dua tiga kali tali pinggang itu disabetkan, dan suara ledakan nyaring bercampur dengan suara

gedebukan sebatang tubuh yang jatuh bangun mengejutkan pagi yang sunyi.

Sogapati tidak mengaduh, tidak juga memohon ampun.

Dengan siksa cambukan yang melukai tubuhnya dan darah yang menetes-netes dari lukanya,

maka dugaannya semakin pasti. Yakin, bahwa Windupatilah orangnya yang menyebabkan seluruh

bencana memalukan ini!

Sekujur badan dan muka Sogapati penuh dengan jalur-jalur merah berdarah. Pakaiannya

cabik-cabik, akan tetapi lebih cabik-cabik adalah hatinya sendiri. Ia ingat, disaat ia baru siuman

yang pertama kali dikamar itu, bahwa samar-samar ia melihat Cunduk Puteri yang telah ternoda.

Jeritan yang melengking dari mulut dara itu, adalah lengkingan seorang dara yang kehilangan

barang yang paling berharga ditubuhnya.

Sungguh mati, walaupun harus dibelah dada Sogapati saat ini, ia yakin bahwa dirinya belum

sampai tiba pada menodai Cunduk Puteri. Jadi... orang yang menodai dara itu, tentulah Windupati.

"Windupati terimalah....." Seraya memperdengarkan teriakan serak seperti itu, Sogapati

melompat ke depan, menubrukkan kepalanya kearah perut paman gurunya, dengan maksud

mengajak mati bersama.

Akan tetapi Windupati tidak lengah.

Sambil memperdengarkan suara tawanya yang menyeramkan, ia mergedutkan tali

pinggangnya. Benda yang panjang mirip cambuk itu membalik kedepan dan ujungnya menyambar

leher Sogapati.

Sebelum murid yang malang itu berhasil mencapai maksudnya, tubuhnya telah terayun keras

sekali, dan kemudian terlempar keluar melewati tembok pekarangan perguruan.

Masih untung, gerakan Windupati saat itu dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga

libatan tali pinggang itu tidak terlampau keras.

Andaikata serangan itu telah diperhitungkan oleh Windupati sebelumnya, agaknya walaupun

leher Sogapati rangkap tiga akan putuslah semuanya, terbeset tali pinggang yang ulet dan tajam itu.

Darah mengalir deras dari leher Sogapati yang sobek lebat. Namun entah dengan kekuatan

dari mana asalnya, pemuda ini tidak ingat kepada rasa sakit pada tubuhnya, kecuali sakit yang amat

sangat dihatinya.

Dengan cepat ia memberontak bangun dari jatuhnya. Akan tetapi segera Sogapati tersungkur

kembali, ambruk ketanah karena baik lengan dan kakinya seakan-akan telah remuk hancur.

Kabut-kabut samar-samar mulai mengambang. Udara pagi yang sejuk melingkupi bumi.

Dengan susah payah, dan langkah seakan beringsut-ingsut, Sogapati meninggalkan tembok

perguruan loning.

Bukan ia telah memaafkan paman gurunya, akan tetapi suatu pikiran baru yang timbul dari

dendam telah membawanya pergi dari tempat itu! Dalam hatinya ia berkata, walaupun harus

merangkak seperti kepiting, tetapi ia harus dapat menjumpai Cunduk Puteri untuk minta maaf,

kemudian mengajaknya bersatu membalaskan dendam.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

153

Kolektor E-Book

Sebentar jatuh bangun, pingsan ataupun merangkak lagi. Sogapati memilih jalanan yang sepi

untuk menuju hutan terdekat.

Sepanjang jalan darahnya berceceran, memberikan jejak berdarah yang mengerikan hari telah

siang dan mukanya yang sembab berdarah-darah membiru, serta tubuhnya yang bengkak-bengkak

tampak nyata. Menjelang tengah hari, barulah pemuda itu mencapai tepian hutan.

"Cunduk Puteriii... maafkan...", dan pemuda itu tergeletak pingsan kembali.

Telah seminggu lamanya Sogapati berada dalam hutan itu, hidup menyembunyikan diri di

akar-akar atau cabang-cabang pohon.

Luka-luka ditubuhnya telah agak sembuh, unggal bekas-bekas yang sedang mengering,

membuat wajahnya jadi buruk dan menyeramkan.

Sedang ia memakan buah-buahan sambil nangkring dicabang, mendadak telinganya

menangkap langkah-langkah kaki orang.

Dan tak lama kemudian, terlihatlah dua orang laki-laki yang sedang berjalan melintas

dibawahnya.

Sogapati terkejut. Ia mengenal kedua laki-laki itu.

Yang seorang adalah seorang laki-laki gagah bersenjatakan sebuah pentungan kayu hitam

yaitu Walikukun murid kepala perguruan Kenistan yang tercerai-berai itu.

Sogapati pernah berkenalan dengan orang itu belum lama berselang ketika Cunduk Puteri

memperkenalkannya, dalam waktu singgahnya dihutan Bengkelung.

Adapun orang kedua, yang buntuug kupingnya sebelah dan mengucurkan darah yang seperti

pancuran tidak lain adalah seorang anak murid Loning angkatan belakangan, berarti masih

tergolong adik seperguruan Sogapati sendiri.

Tiba dibawah pohon tempat Sogapati menyembunyikan diri itu, maka murid Loning itu

mogok berjalan dan Walikukun mencengkeramkannya kepundak murid itu hingga ia melolong-

lolong kesakitan.

"Ampuun... aku tak sanggup berjalan lagi..." rintih murid Loning itu seraya meringis

kesakitan.

"Kalau tidak, katakan dimana sekarang kedua tamu diperguruanmu itu! Desak Walikukun.

"Sogapati telah diusir dari perguruan.... aduuhh, aduuhh" murid Loning itu menjerit-jerit

ketika Walikukun semakin gemas dan meremas pundaknya. "Ampun... aku tidak tahu, aduuh!".

"Aku hanya minta keterangan sebenarnya! Yang kuperlukan saja yang kau katakan. Kemana

Cunduk Puteri dibuang?".

Sogapati terperanjat, serasa ada geledek menyambar diatas kepalanya. Tidak disangka bahwa

nasib Cunduk Puteri akan begitu menyedihkan. Dalam keadaan seperti apa gadis itu dibuang?

Kerutukkkk!!! terdengar tulang yang remuk. Dan murid Loning yang malang itu melolong

kesakitan ketika pundaknya dihancurkan oleh remasan tangan Walikukun.

"Jawab!" bentak Walikukun.

Untuk selintas, terasa juga keinginan Sogapati untuk menolong saudara seperguruannya itu.

Akan tetapi ia tahu, bahwa saudara seperguruan yang itupun tidak pernah berusaha menolong waktu

diri Sogapati dan Canduk Puteri menderita penganiayaan dari Windupati. Semua saudara

seperguruan tak ada yang beriba hati, bahkan semua seperti mencemoohkan mengapa aku harus

menolongnya? Bukankah kedatangan Walikukun saat ini justeru sedang membela Sogapati

sendiri???

"Tidak membuka mulut, kubeset pula kupingmu yang satu lagi! Ancam Walikukun.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

154

Kolektor E-Book

Dan bret! benar-benar jarinya mencengkeram kuping murid Loning itu, hingga daun

telinganya beset, dilemparkan kedalam hutan. Darah membanjir, membasahi pakaian murid itu.

"Ampun..... ampun..... Cunduk Puteri dibuang ke sumur mati..... dihutan Bengkelung....."

Demikianlah, murid yang tak tahan penyiksaan ini akhirnya membuka mulut pula. Kemarahan

Walikukun saat itu, takkan lebih atau kurang sebagai yang dirasakan oleh Sogapati. Seseorang yang

dibuang kedalam sumur mati dihutan Bengkelung, andaikata tidak mati karena hancur menubruk

dasar sumur, juga akan mati kelaparan!

"Satu-satu!" Dan preeekk. Sambil membentak, Walikukun mengayunkan tangannya,

menghantam kepala murid Loning yang malang itu.

Tak ampun lagi murid yang tak berdaya itu mati seketika dengan kepala remuk.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Setelah melampiaskan kemarahannya itu, maka Walikukun berdiri tegak dengan gagah,

dengan api dendam yang meluap-luap memancar dimatanya, berseru lantang berkumandang :

"Alap-alap Gunung Gajah menghendaki perdamaian!! Menghendaki persaudaraan sesama

manusia! Akan tetapi bukan berarti manusia yang tidak tahu membalas guna! Budi dibayar budi,

jiwa dibayar jiwa!"

Selesai mengucapkan kata-katanya itu maka Walikukun berkelebat pergi, menyelinap

kedalam lebatnya hutan.

Walaupun memiliki ilmu lari cepat yang tinggi, akan tetapi hutan bukanlah merupakan jalan,

ataupun padang yang luas, sehingga perjalanan Walikukun agak terlambat.

Agak jauh dibelakangnya, pada jarak yang tidak kurang dari seratus langkah, Sogapati

mengejar membuntuti.

Perjalanan dari hutan Loning kehutan Bengkelung memakan waktu kurang lebih tiga hari.

Dan kini Walikukun telah mendapatkan sumur mati yang dimaksud. Dengan menggigit bibir

menahan rasa pilu dan sedih, ia berjongkok, memandang kearah dalam sumur.

Ketika ia mengangkat mukanya kembali, maka tampak pula sebutir air matanya yang meleleh

dipipinya.

Duh, siksa dan azab sebagai apa yang harus dialami oleh Cunduk Puteri, seorang para pejuang

yang dikaguminya dan diam-diam juga dicintai itu menerima ajalnya?

Pinggiran sumur yang terbuat dari batu itu direngutnya. Sebungkah batu tergenggam

ditangannya.

Dan ketika pemuda itu menggereng seperti macan, maka bungkahan batu itu telah hancur jadi

kerikil.

"Cunduk Puteri..... oh, demi Tuhan! Jiwaku akati kujual untukmu, dengan harga semahal-

mahalnya. Semua murid Loning harus mati! Mati! Mati kuhancurkan semua! Semua!

Kucemplungkan mereka kesumur mati!"

Demikianlah Walikukun berteriak-teriak seorang diri seperti orang kalap.

Membayang dalam ingatannya, wajah dan senyum Cunduk Puteri yang jelita manis, akan

tetapi juga membunyikan sikap perkasa yang mengagumkan.

Memilukan, seoraog gadis yang dipuji sanjung oleh setiap laki-laki, oleh setiap rakyat jelata

itu, harus menerima kematian dengan cara yang begitu mengenaskan.

Murid Loning yang dibunuh oleh Walikukun itu, adalah murid yang waktu itu membuang

Cunduk Puteri kesumur mati ini.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

155

Kolektor E-Book

Adapun kedatangan Walikukun kembali ketempat ini, adalah atas perintah Pepriman, alias

Joko Bledug yang kini telah menjadi pemimpin meraka di Gunung Gajah, untuk menjemput

Cunduk Puteri!

Karena perjalanan dari Gunung Gajah ke Loning itu melintasi banyak daerah-daerah musuh,

dan mungkin gangguan-gangguan dijalan, maka sengaja Walikukun sendiri yang menyanggupkan

diri untuk menjemput gadis itu. Rupanya juga ada sedikit keinginan yang terselip, sesungguhnya

pemuda inipun rindu pada kecantikan wajah dan kemanisan senyum Cunduk Puteri.

Namun, ketika baru tiba didaerah luar perbatasan Loning, dari berita-berita yang terbawa

mulut orang, Walikukun mendengar bahwa Cunduk Puteri terbunuh di perguruan Loning. Jelas

dalam berita itu, bahwa yang membunuh, bahkan menodai Cunduk Puteri adalah Sogapati!

Kemarahan pemuda ini, seketika meluap, daa dendamnya kepada Loning beserta sekalian

isinya, berkobar-kobar.

Ketika ditepi hutan ia menjumpai seorang murid Loning yang mempermainkan sebuah

cunduk kepala, maka Walikukun yakin bahwa murid Loning inilah yang mengetahui keadaan

Cunduk Puteri.

Sebuah cunduk rambut yang terbuat dari baja warna putih, dan bermatakan berlian, milik

siapa lagi, kalau bukan milik Cunduk Puteri.

Tanpa tanya lagi, Walikukun segera mencekuk murid Loning itu. Tentu saja murid itu

melawan, akan tetapi Walikukun si kepala murid Kenistan itu jauh lebih kuat dari padanya. Dan

selanjutnya, ia menjadi bola sepak Walikukun.

Akhirnya murid Loning itu mengaku bernama Doyo. Dia bersama seorang temannya, yang

pagi itu membawa tubuh Cunduk Puteri yang dalam keadaan ternoda dan pingsan itu, untuk

dibuangkan kehutan.

Sebenarnya waktu itu, nasib Cunduk Puteri akan menjadi lebih menyedihkan, andaikata kedua

murid Loning itu tidak sama-sama rakusnya. Mereka berdua memangnya sudah demikian berselera

ketika pertama kali melihat Cunduk Puteri.

Nah, saat itu, mereka dipercaya untuk membuang tubuh pingsan dara itu kehutan. Dalam

kesempatan seperti itu, setan merasuk ketubuh kedua murid yang berjiwa rendah itu. Keduanya

bermaksud menodai Cunduk Puteri lebih jauh.

Akan tetapi nasib mempunyai ketentuan tersendiri. Karena nafsunya mereka masing-masing,

maka kedua murid itu bukannya menggagahi Cunduk Puteri secara bergantian, akan tetapi

sebaliknya saling baku hantam untuk memperebutkan kesempatan lebih dahulu.

Lama keduanya menguras tenaga secara sia-sia, karena memang mereka mempunyai

kepandaian yang setingkat akhirnya mereka kehabisan tenaga, dan dalam kebingungannya itulah

mereka mengambil keputusan untuk tidak mengganggu jasad Cunduk Puteri, akan tetapi masing-

masing mengambil milik gadis itu buat kenangan.

Doyo mengambil cunduknya, sedangkan temannya mengambil kerudung gadis yang malang

itu. Setelah itu mereka mencemplungkan tubuh si gadis kedalam sumur mati.

Rupanya benda kecil yang khusus milik pengenalan Cunduk Puteri itulah yang akhirnya

membawa bencana bagi Doyo. Begitu ditemukan oleh Walikukun, akhirnya didesak dan dibunuh.

Walikukun dengan berurai air mata mengelilingi sumur mati itu, memeriksa dengan teliti,

barangkali ada cara untuk menuruni kedalam sana. Ia duduk, bangkit duduk, kemudian mundar

mandir, akan tetapi ia tak tahu dengan cara bagaimana ia akan dapat menemukan.

Lebar mulut sumur mati kira-kira empat langkah. Akan tetapi dalamnya yang orang ngeri

untuk membayangkannya. Sebab menurut cerita, sumur itu telah ada sejak kalangan rimba

persilatan mengenal hutan Bengkelung.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

156

Kolektor E-Book

Pernah orang mencoba, menyambung sepuluh batang bambu untuk menjajagi kebawah, akan

tetapi dasar sumur itu belum tersentuh.

Untuk menuruni sumur dengan merayap, agaknya cekakpun belum tentu mampu melakukan

cara itu.

Sebab dinding sumur adalah tanah berlumut yang sangar licin. Belum dibayangkan hewan

berbisa macam apa yang mungkin bersembunyi didalamnya, atau racun macam apa saja yang

mengendap disana.

Untuk memikirkan kemungkinin merayap kebawah, Walikukun yang tak pernah mengenal

takut itu bergidik ngeri.

Gelap.... gelap.... menghitam kedasar sana.

Sedianya, Walikukun bermaksud untuk segera kembali menjumpai pemimpinnya di Gunung

Gajah melaporkan hasil perjalanannya, ketika tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki berpakaian

robek-robek, dan bermuka lorek-lorek sedang berjalan terpincang-pincang kearahnya.

Walikukun terkejut, meremang bulu kuduknya, melihat adanya orang yang berwajah begitu

menyeramkan penuh dengan bekas cambuk yang jeretetan dedel duwel. Sambil melanjak gugup, ia

berseru :

"Hai, Hendak kemana dan siapa kau!"

Orang berpakaian robek-robek dan bcrwajah lorek-lorek itu tidak lain adalah Sogapati. Ia

mendengar apa yang di sumpahkan oleh Walikukun ditepi sumur mati itu, maka kini ia tahu bahwa

ia tidak boleh menyebut namanya sendiri.

"Orang menyebutku sebagai Kiai Sogaklenting, dan akulah sebenarnya juru kunci sumur mati

ini..." Sahut Sogapati dengan suara diserak-serakan.

"Apa katamu!" Walikukun terperanjat dan marah. Ia pernah sekian tahun lamanya menghuni

hutan ini, dan tinggal didekat sumur ini, akan tetapi tidak pernah didengarnya ada makhluk yang

begitu menjijikan mengaku di rinya sebagai juru kunci sumur mati, "Kalau begitu kau mengenal

diriku, Sogaklenting?!.

Sogapati tertawa menyeringai. Dan bibirnya yang sombang-sambing menyingsat, itu

menjijikan.

"Tentu saja. Bukankah kau Walikukun, murid kepala perguruan Kenistan yang tengah tinggal

beberapa tahun disini?"

"Sogaklenting!" Kini Walikukun telah lebih berani. "Tentu kau tahu bahwa Cunduk Puteri

dicemplungkan orang kemari!"

"Tahu sih tidak, akan tetapi mendengar. Waktu itu aku tidak sedang disini, kau harus tahu

bahwa sebagai juru kunci tentu tidak seharusnya siang malam nongkrong disini. Memang Cunduk

Puteri telah dicemplungkan oleh murid Loning jahanam itu! Hendak mengapa kau Walikukun?"

Sikap Walikukun berubah hormat. Lalu dengan sikap sangat mengharap, ia berkata :

"Sogaklenting. Dengan cara apa aku hendak menuruni sumur ini?"

"Kau ingin mampus?"

"Tetapi aku harus menemukan jasad gadis pejuang itu! Hidup dan matinya aku harus dapat

menyaksikan sendiri. Dapatkah kau menolongnya Sogaklenting?".

"Hemmh, bodoh!" Sogapati mendengus. "Seekor kadalpun takkan dapat kembali bila

menuruni sumur ini, apalagi kau? Tapi Walikukun, katakan padaku, siapa pembunuh gadis

pahlawan itu?"Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

157

Kolektor E-Book

"Sogapati!" Jawab Walikukun tegas. "Andaikata ada seribu Sogapati dapat kutemui,

semuanya akan kubunuh, belum tentu impas hutangnya padaku. Semua murid Loning harus mati

ditanganku! Mati" Kembali Walikukun bersemangat, menunjukan sikapnya yang gagah

mengagumkan.

Sogapati sendiri mengakui dalam hatinya, bahwa murid Kenistan itu memang tidak sedang

membual. Untuk melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap murid Loning mungkin dia

mampu melakukannya.

Akan tetapi untuk apa? Siapa yang berdosa menodai dan mencelakai Cunduk Puteri, mengapa

seluruh murid Loning harus dibunuh-bunuhi? Bila demikian halnya, lantas manakah lebih baik

antara pihak Walikukun dan Loning.

Marah dan angkara adalah sumber tenaga manusia, yang mungkin menyesatkan. Makin

dituruti, sesungguhnya orang akan semakin tersesat dalam suatu kesalahan yang makin membesar,

yang akan mengangakan pintu bencana bagi dirinya sendiri.

Dan Sogapati menyadari itu.

"Tak perlu sahabat Walikukun! Untuk apa mengumbar hawa amarah yang sebenarnya hanya

menyeret dirimu pada kerendahan martabat sampai dibawah tingkat hewan. Ketahuilah olehmu,

bahwa bukan Sogapati yang telah menodai dan membunuh pahlawan wanitamu itu, akan tetapi

Windupati! Percayalah, apa yang kukatakan adalah suatu kebenaran, kebenaran begitu pasti,

sebagai ucapan seseorang yang hampir mati. Walikukun tak perlu kau bertele-tele mencari akal

untuk menuruni sumur ini. Aku sendiri yang akan turun kesana untuk menemukan dia!"

Walikukun terperanjat. Sejenak ia meragu, mungkinkah Sogaklenting berkata sungguh

Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


sungguh. Akan tetapi jelas, pada wajah yang lorek-lorek itu terlukis suatu tekad yang mengeras

baja.

"Cukup sekarang kau kembali ke Gunung Gajah untuk melaporkan hal ini kepada Alap-alap

Gunung Gajah, siapakah dia?" Tanya Sogaklenting alias Sogapati selanjutnya.

"Alap-alap Gunung Gajah adalah pemimpin pejuang kami, sahabat kami dan sahabat Cunduk

Puteri, juga sahabat bagi semua pejuang!

Kau ingin tahu, dialah pewaris ilmu sakti Blimbingwuluh dan perguruan istana pulau

Maceti!"

Sogapati tak perlu mendengar apa itu segala istana pulau Maceti. Niatnya hanya satu,

membulat, yaitu menyusul Cunduk Puteri untuk ?memohon maaf? sambil meninggalkan harapan

untuk pembalasan dendam.

Maka katanya :

"Sahabat Walikukun! Kau harus percaya bahwa pembunuh dan orang yang menodai Cunduk

Puteri adalah Windupati. Apabila pemimpinmu yang bernama Alap-alap Gunung Gajah itu ada

kemampuan, pergilah balaskan dendam gadis pahlawanmu itu. Tak perlu mengganggu orang yang

tak berdosa. Perjuanganmu suci dan bersih, serta mulia. Jangan kotori dengan dendam-dendam tak

bernilai itu. Kau mengerti?".

Tak ada yang tidak dapat dipercaya dari orang yang berbentuk sangat sederhana dan berwajah

lorek menyeramkan itu. Walikukun tergetar hatinya ketika melihat juru kunci yang mengaku

bernama Sogaklenting itu telah berdiri dibibir sumur.

Suatu kengerian menbayang dimuka Walikukun. Akan tetapi sebaliknya senyum aneh yang

membayangi di wajah Sogaklenting yang mengerikan itu.

Tubuh Sogaklenting mulai bergoyang kebelakang, tinggal gebrusnya saja kedalam sumur.

Dan Walikukun belum juga beranjak dari tempatnya se-akan-akan sedang berpikir, apakah ia

hendak selamatkan laki-laki bermuka lorek itu atau tidak.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

158

Kolektor E-Book

"Sudahlah, pergilah Walikukun, menjumpai pemimpinmu. Dendamu belum terbalas. Dendam

pejuang, dan juga dendamku. Karena... akulah sesungguhnya. Sogapati orang yang paling menyesal

atas kematian Cunduk Puteri!"

Begini fitnah dan siksa kuterima dari Windupati!.

Dan kau tidak segera pergi membalaskan sakit hati pahlawan wanitamu?

"Selamat jalan, sahabat! Selamat tinggal. Aku harus pergi menjelaskan kepada Cunduk Puteri

duduk persoalan yang sebenarnya, agar dia suka memaafkan aku...".

Bicara sampai disini, maka Sogaklenting alias Sogapati menghentakkan tubuhnya kebelakang.

Segera ia disambut oleh tempat kosong, dan meluncurlah tubuhnya kebawah menuju dasar

sumur.

Walikukun tertegun, kaget dan tercengang. Ada sekilas keinginannya untuk menyambar tubuh

orang yang mengaku sebagai Sogapati itu, akan tetapi entah mengapa kakinya seakan berat, lengket

diatas tanah.

Belum ia melakukan sesuatu, maka tubuh laki-laki bermuka lorek itu telah menghilang

kedalam sumur.

Ketika senja baru mulai tiba, Walikukun telah berlarian menuju jalan kembali ke Gunung

Gajah. Apabila ia hendak menurutkan kemarahan hatinya, ingin rasanya itu menyatroni perguruan

Loning dan menantang Windupati.

Akan tetapi ia ingat akan pesan Alap-alap Gunung Gajah! Ia tidak takut mungkin mati

ditangan Windupati, karena guru kedua perguruan Loning itu terlalu tinggi ilmunya, akan tetapi ia

ingat, bahwa kematiannya akan merugikan cita-cita perjuangannya. Perkumpulan Gunung Gajah

sedang membutuhkan hanyak tenaga jiwa orang yang memiliki kegagahan.

oooOooo

KABAR terbunuhnya Ki Tambarekso kepala rombongan sintren Limbangan dan Jagabaya

Karangsari menimbulkan kegemparan baru dalam kalangan rimba persilatan. Terutama sekali, bagi

Kebo Sulung yang telah kehilangan ayahnya.

Dan penggawa kadipaten muda ini, kini membawa rombongan murid perguruan Guha

Gempol menuju kademangan Ampelgading. Sepanjang jalan rombongan iring-iringan yang

berjumlah tidak kurang duaratusan orang berkuda itu, membuat keonaran-keonaran. Memangnya

murid-murid Guha Gempol adalah murid-murid buas yang sehari-harinya sengaja disekap hidupnya

dibelakaig istana Telagasona, maka begitu melihat kota ramai, atau barang-barang cantik lantas

berebutan memiliki.

Jangan dikata apabila mereka melihat seorang wanita cantik. Tidak perduli wanita itu ada

suaminya atau perawan orang, yang penting mereka bilang di Telagasona tidak ada wanita kecuali

guru mereka.

Sepanjang perjalanan mereka itu, kegegeran, kekacauan dan kegemparan terjadi.

Kebo Sulung tampaknya sengaja tidak melarang orang-orang bawahannya ataupun adik-adik

seperguruannya itu melakukan keonaran, seakan-akan untuk menunjukkan bahwa kepada setiap

manusia yang hidup diwilayah Pemalang timur itu, bahwa Kebo Sulung harus ditakuti.

Seolah-olah penggawa muda itu ingin berkata, bahwa seluruh anggota keluarganya adalah

keluarga yang harus ditakuti, jangan sampai ada orang yang berani mengganggunya.

Apalagi membunuh, sebagai yang dilakukan oleh si jembel atas diri Jagabaya itu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

159

Kolektor E-Book

Malanglah nasib pengemis-pengemis ataupun para jembel yang terdapat sepanjang perjalanan

itu.

Setiap tampak orang yang berpakaian compang-camping, apakah dia laki-laki atau

perempuan, anak kecil atau nenek-nenek, habis dibasmi dibunuhi dengan cara yang sangat keji.

Kebo Sulung tahu, bahwa pembunuh ayahnya adalah si jembel sakti yang pernah membunuh

Dadamanuk, maupun jembel yang pernah mengacau pertemuan di selat Pencuci Dosa. Akan tetapi

dendam dan kesombongan telah bicara. Maka habis ludeslah setiap pengemis atad jembel diwilayah

Pemalang timur ini.

Tiba di Ampelgading, segera demang Ampelgading dipecat dan dipenjarakannya. Kebo

Sulung ada membawa surat titah dari adipati Pemalang, dan siapakah yang berani menyangkal

kewibawaan kadipaten?

Tidak hanya demang belaka, termasuk bawahannya ataupun orang-orang lain yang dicurigai

ataupun dibenci, disuruh orang tangkap dan dikirim ke penjara kadipaten.

Untuk sementara, yang menjabat demang wilayah Ampelgading ini, telah diangkat seorang

murid Guha Gempol yang sebelumnya memang telah mendapat berkenan dari adipati.

Semuanya itu berjalan lancar sesuai dengan yang direncanakan oleh Kebo Sulung. Sedikit

demi sedikit dan satu-satu demang-demang yang tidak menyokong paguyuban Banjardawa akan

dilenyapkannya. Dan apabila seluruh demang sekadipaten telah berdiri dipihaknya, bukankah suatu

hal yang sangat mudah untuk menyingkirkan sang adipati?

Ya, rencana ini tentu saja menggembirakan Kebo Sulung, sebab dia yakin, dengan bantuan

gurunya, ia akan sanggup menduduki kursi empuk di kadipaten itu.

Tentu saja hal ini rahasia, tak satu orangpun yang mengetahui, kecuali satu orang, yaitu orang

yang selalu membangkitkan semangatnya setiap ia bertemu pandang, orang yang membangkitkan

birahinya pabila tercium hawa keringatnya. Dialah wanita janda baru yang kini sedang menunggu

kedatangannya diambang pintu. Ya, dialah Nyi Tratih ibu tirinya yang kini telah resmi menjanda

sejak kematian Jagabaya dilapangan Karang Tumbak.

Ketika Kebo Sulung melompat gagah dari punggung kudanya, maka Nyi Tratih mengagumi

ketangkasan pemuda itu. Dan apabila akhirnya penggawa muda itu melompati tubuh ibu tirinya

yang terbaring, maka Nyi Tratih perlahan-lahan memuji kejantanan pemuda itu.

Semua inilah rahasia, rahasia bagi semua orang, bagi kedua laki perempuan yang

mengerjakan kemesuman itu, juga rahasia bagi arwah Jagabaya Karangsari yang tentu akan

terbelalak lompat matanya, andaikata menyaksikan perbuatan kedua insan rendah!

Kiranya, perbuatan mesum dan hina itu telah berulang kali mereka lakukan tanpa

sepengetahuan siapa pun, kecuali mereka sendiri. Memang, sesuatu yang paling nikmat, adalah

cinta yang dicuri. Akan tetapi juga paling terkutuk!

Ketika suaminya mati terbunuh itulah, Nyi Tratih merasa seakan-akan bebaslah sudah dari

segala rintangan. Dan ketika ayahnya binasa oleh musuh itulah, bagi Kebo Sulung merupakan saat-

saat paling bahagia dalam hidupnya.

Tak hati-hatinya mereka menenggelamkan dirinya kedalam limpahan buih birahi. Dari sejak

kedatangannya hingga tiga hari berturut-turut, Kebo Sulung tak pernah beranjak dari rangkulan ibu

tirinya, yang ibarat kawah gunung yang mendidikan gelora yang meledak.

Namun, kiranya akan terkutuklah kisah ini, andaikata adegan-adegan mesum seperti itu dapat

berlangsung di atas dunia dengan begitu nikmat belaka tanpa gangguan.

Peristiwa itu terjadi, ketika pada hari yang kesepuluh Kebo Sulung mengeram diri dikamar

ibu tirinya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

160

Kolektor E-Book

Saat itu, hari telah lewat tengah malam. Dan Kebo Sulung maupun Nyai Tratih, sedang

tergeletak letih sehabis menyusuti keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.

"Kebo Sulung..." demikianlah Nyi Tratih membuka pembicaraan dengan mata separuh

mengantuk sayu. "Kudengar Dewi Cundrik telah membuka kedoknya. Kalau tak salah

pendengaranku wanita siluman itupun mencintaimu. Begitu pula dari kademangan Moga kudengar

bahwa kau telah melamar puteri demang itu. Lantas masih kudengar pula, kabarnya kau pun

mengejar-ngejar Cunduk Puteri. Habis aku ini tergolong isteri tingkat yang keberapa?"

Mendengar pertanyaan yang demikian, Kebo Sulung tinggal tenang. seolah-olah pertanyaan

itu telah diduga sebelumnya.

Baru setelah memperdengarkan suara yang sangat angkuh, penggawa itu menjawab :

"Mengapa kau tanya begitu manis? Aku toh laki-laki, kalau hanya mempunyai empat orang

kekasih, apalah halangannya. Yang terang, kaulah yang bakal kujadikan permaisuri, permaisuri

adipati Kebo Sulung, adipati Pemalang yang baru, nanti...." dan Kebo Sulung tertawa lagi.

Nyi Tratih merengut. "Itu tidak adil!" katanya, "tertangkapnya Ki Ageng Tampar Angin,

itupun berkat bantuanku. Aku yang mengatur semua siasatnya. Aku yang membakar hati ayahmu

hingga ia berdaya upaya untuk membekuk guru itu. Habis Dewi Yoni ataupun Cunduk Puteri

melakukan kebaikan apakah untuk jabatanmu nanti?"

Kebo Sulung terdiam. Dewi Yoni sangat jelita, itulah sebab utama yang membuat Kebo

Sulung yang mata keranjang itu ingin memilikinya.

Sebab lain, memang Kebo Sulung sedang berusaha menarik setiap demang diseluruh wilayah

Pemalang kedalam pihaknya.

Tentang Cunduk Puteri tidak lebih dan tidak kurang juga tidak hanya karena terdorong oleh

keinginannya untuk memiliki yang cantik belaka.

Sebagai juga penggawa ini tertarik kepada Nyi Tratih ibu tirinya sendiri, itupun karena ia

tertarik pada kecantikan perempuan itu.

Kebo Sulung adalah seorang mata keranjang yang berambisi besar. Setiap hubungannya

dengan perempuan cantik, selalu didalamnya terselip maksud untuk mengejar cita-cita. Cunduk

Puteri adalah seorang pahlawan wanita yang telah tersohor dan sangat tinggi ilmu silatnya. Apabila

gadis itu terjatuh kedalam perangkap amarahnya, bukankah itu berarti sambil menyelam minum air?

Cunduk Puteri berpihak kepadanya, berarti lebih dari separuh gerakan pejuang yang menentangnya


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


dapat dilumpuhkan!

"Aku mau menjadi permaisuri tungga! Tak perlu ada orang lain lagi sebagai sainganku! Kau

harus mengusir semua keinginanmu yang lain Kebo Sulung" Kata Nyi Tratih pula sungguh-

sungguh. "Kalau tidak..."

"Jangan serakah, Tratih," jawab Sulung. "Apakah terhadap guru akupun dapat menolak

keinginannya?"

"Tidak perduli!" Nyi Tratih duduk, mengikatkan kain sebatas dadanya. "Mana patut, seorang

murid mengawini gurunya? Kau sudah mengenal siapa aku, Kebo Sulung. Aku tak suka ada

sesuatu yang merintangi cita-cita dan keinginanku. Kau tahu, betapa sebenarnya aku sangat

mencintai Kiai Teger? Tetapi kukorbankan dia demi cita-citaku! Demi cita-citamu! Ya, karena aku

mencintaimu, dan mengagumi rencaaamu! Sekarang, apabila ternyata cita-cita itu nanti bakalan

menjadi barang rayahan sekian banyak peremuan yang ikut mujur, lebih baik kugagalkan

seluruhnya!".

"Tratih!" Kebo Sulung berseru, terkejut juga penasaran.

"Tidak! Aku yakin, bahwa dikemudian hari kaupun akan meninggalkan diriku, membikin aku

kapiran, mumpung belum...".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

161

Kolektor E-Book

Tiba-tiba Kebo Sulung tertawa bergelak. Lalu sambil melompat berdiri, berkata "

"Segala sesuatu sudah kuperoleh darimu! Kalaupun kubuang kau jauh-jauh, apa

halangannya?".

"Sudah kuduga!" Berbareng itu, Nyi Tratih telah mendorongkan tangannya kedepan, dibawah

selimutnya. Cepat bagaikan kilat gerakan perempuan ini. Bret! Kebo Sulung terlambat mengelak,

sebelah dada kirinya terluka mengeluarkan darah.

Kebo Sulung melompat mundur, kaget dan gusar.

Lalu dengan mata berapi-api ia menerjang maju.

Dalam hal ilmu kepandaian, Nyi Tratih memang bukanlah lawan Kebo Sulung. Walaupun

dulu semasa gadisnya Nyi Tratih mendapat banyak ilmu kepandaian dari Kiai Teger, akan tetapi

wanita ini memang terlalu banyak mengikatkan dirinya kepada gurunya daripada kepada ilmu-ilmu

yang diturunkan.

Akan tetapi Nyi Tratih telah mempunyai andalan, yaitu sebuah senjata yang sangat termashur

dikalangan rimba persilatan, yaitu Kiai Pancaloka. Benda pusaka itu telah sejak kemarin dicurinya

dari dalam baju Kebo Sulung.

Dan begitu merasa terdesak, seketika Nyi Tratih memasukan tangannya kebawah kasur.

Begitu ia menarik kembali tangannya, maka lima buah cahaya kilat tampak menyambar dibarengi

suara gemerincingnya genta-genta yang nyaring.

"Tratih!" Kebo Sulung mundur setindak, matanya terbelalak kaget, "Kembalikan pusaka itu!"

"Huh!" Nyi Tratih mendengus dingin. Dan matanya yang semula selalu sayu itu

memancarkan cahaya kilat pembunuhan. "Pusaka ini kau peroleh dengan mencuri, akhirnya dicuri

orang pula, kaget?"

"Tratih......", suara Kebo Sulung berubah halus dan terbata-bata. "Baiklah akan kuturuti

kehendakmu, asal kau kembalikan Pancaloka kepadaku!"

"Terlambat, Kebo Sulung, Aku telah mempunyai pilihan lain yang berharga darimu. Hihik!"

Dan bersamaan itu, dari atas loteng, tampak meluncur turun sesosok bayangan, dengan

ringannya ia telah mendarat dilantai dengan tak bersuara. Kiranya dia adalah seorang pemuda

tampan yang gerak geriknya sangat lincah. Pemuda itu memang tampan sekali dan Kebo Sulung

mengaku dalam hatinya, bahwa patutlah kalau Nyi Tratih terpikat kepadanya!

"Betina terkutuk! Betina rendah! Siapa dia?" Bentak Kebo Sulung, seraya menunjuk kearah

pemuda yang baru muncul itu.

"Tak usah kau tanyakan siapa dia! Dia kekasihku, calon adipati Pemalang! Sekarang

terimalah ajalmu!"

Bersamaan dengan suara bentakannya itu, Nyi Tratih mengayunkan senjatanya, menyerang

kearah Kebo Sulung.

Berkelebatnya lima buah bintang pada senjata pancaloka itu tampak seperti lima buah

bianglala yang saling menyilang, menyilaukan.

Dengan ilmu silat Suci Hati yang dimainkan oleh Nyi Tratih, tentu saja kiai pancaloka

berobah lebih dahsyat dari pada bila senjata itu berada di tangan Kebo Sulung.

Seketika Kebo Sulung menghindar, membuang diri kebelakang, mepet pada dinding, akan

tetapi sambaran sebutir bintang atau genta pusaka itu masih sempat menyerempet pundaknya. Kebo

Sulung menjerit kesakitan.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

162

Kolektor E-Book

"Ia bermaksud melarikan diri ke pintu, akan tetapi si pemuda tampan itu telah mencabut

goloknya dan menyambut dengan sebuah sabetan dahsyat. Kebo Sulung terpelanting mundur

kembali kedinding.

"Pengawal! Pengawaaal!" Serunya. Dan dalam keadaan yang begitu terdesak, Kebo Sulung

tak ada harapan lain kecuali mengharap bantuan para pengawalnya.

Nyi Tratih terus mengejarnya dengan senjata pancaloka ditangan kanan. Seluruh kamar itu

seakan telah penuh dengan sambaran hawa dingin yang telah keluar dari pusaka itu. Sehingga Kebo

Sulung hanya mampu berlarian mundar mandir mengelilingi tempat tidur belaka sama sekali tidak

mampu balas menyerang.

Bantal, kasur, tempat sftih paidon (pispor) habis pecah bertaburan karena dipergunakan oleh

Kebo Sulung untuk melindungi diri, akan tetapi terkena benturan pancaloka benda-benda hancur

berkeping-keping.

Pucat pias wajah Kebo Sulung seperti kapas dibasuh. Keringatnya berbutiran sebesar-besar

biji jagung. Ia menyesal, bahwa selama ia memiliki Kiai Pancaloka, tak pernah ia membawa senjata

miliknya, yaitu ?batok bumi? yang selalu ditinggalkan dirumah perguruannya.

Ketika para pengawal datang menyerbu maka mereka telah disambut oleh pemuda tampan

yang bersenjatakan golok itu. Dan diluar kamar segera terjadi pertarungan yarg riuh dan gaduh.

Permainan golok pemuda tampan itu ternyata cukup hebat. Setiap gerakannya menimbulkan

kilatan cahaya yang berpebawa besar. Setiap digerakan selalu menimbulkan korban. Jerit dan pekik

kesakitan terdengar susul menyusul! Suara bentrokan senjata meringkikan kuda semakin gaduh.

Akan tetapi jumlah pengawal Kebo Sulung cukup banyak. Mereka terdiri dari murid-murid

Dewi Cundrik yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang cukup lumayan juga. Sehingga

selang beberapa saat ketika hampir semua pengawal itu datang, pemuda tampan bergolok itu

berbalik terkepung.

Di lain pihak, Kebo Sulung yang hampir kehabisan daya itu, berteriak-teriak memanggil

pengawal untuk minta bantuan. Tiga orang pengawal menerobos masuk akan tetapi ketiganya

segera menjerit ngeri didepan pintu, tubuhnya terjengkang roboh dengan kepala remuk.

Datang lagi tujuh orang pengawal yang lain. Akan tetapi yang inipun ibarat mengantarkan

nyawa belaka.

Ketujuh-tujuhnya habis terbinasa oleh sabetan Kiai Pancaloka.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Kebo Sulung untuk menjebol kamar.

Akan tetapi hal itu diketahui pula oleh Nyi Tratih, yang segera menubruk maju sambil

menyabetkan senjatanya.

Krakkkk. Brush. Kebo Sulung dapat menerobos keluar, akan tetapi ia harus menderita hancur

sebelah tangan kirinya.

Sabetan Kiai Pancaloka hampir saja mengenai batok kepalanya, maka dengan nekad

penggawa k.adipaten itu mengangkat tangannya menangkis.

Akibatnya, remuk hancur tulang lengannya, terasa olehnya oleh rasa ngilu dan nyeri yang

menusuk jantung, dan penggawa muda itupun roboh terkapar.

Nyi Tratih yang sudah kesetanan itu masih menubruk maju lagi. Akan tetapi terasa beberapa

senjata berkesiur dari arah belakang. Terpaksa Nyi Tratih menyabetkan senjata kebelakang.

Beberapa senjata terpental dari pegangan, dan pengawal-pengawal yang menyerang itupun

berpelantingan jatuh.

Akan tetapi, kesempatan yang hanya sejenak ini telah dipergunakan oleh pengawal-pengawal

Kebo Sulung yang lain untuk menolong majikan mereka. Murid Guha Gempol yang berada diluarYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

163

Kolektor E-Book

rumah telah berhasil membawa lari Kebo Sulung keatas kuda, kemudian mengeprak bmatang itu

kabur.

Beberapa pengawal yang masih hidup, melihat majikan mereka telah terluka hebat, maupun

teman-temannya yang lain sudah kabur, juga tak mau ketinggalan. Segera berserabutanlah mereka

lari mencari selamat. Yang terlambat, tentu saja menjadi mangsa pemuda tampan bergolok itu,

binasa dibawah sinar golok.

Buru-buru Nyi Tratih berlari mendapat si pemuda tampan yang masih berdiri dihalaman

rumah. Sambil berseru gembira, dan tersenyum genit penuh rayuan, berlari memeluk, merangkul

dan menciumi dengan penuh nafsu.

Akan tetapi mendadak ia terkejut, ketika secara tiba-tiba pemuda tampan itu telah merampas

Kiai Pancaloka dari tangannya.

"Aiih, mengapa kau?" Tanya Nyi Tratih, kaget dan keheranan.

"Dasar perempuan hina, pelacur murahan! Karena nafsu rendahmu tak tahu kau siapa aku?"

Sambil berkata begitu pemuda tampan itu telah membuka ikat kepalanya.

Segulungan rambut yang hitam panjang tergerai jatuh. Dan ketika pemuda tampan ini

membuka kancing bajunya, maka Nyi Tratih insyaf, bahwa selama ini ia telah mencintai orang yang

sejenis dengannya.

Nyi Tratih ternganga, semangataya terbang melihat kenyataan yang begitu mengejutkan.

Ia hanya gemetar menggigil, ketika pemuda tampan yang kini ternyata telah menjadi seorang

gadis itu memutar senjata Kiai Pancaloka sambil bertindak maju.

Yang tertampak oleh Nyi Tratih, adalah pemuda tampan yang dua minggu yang lalu datang,

mengaku sebagai seoraag anak murid Loning, yang sedang menunggu kedatangan Kebo Sulung.

Pada waktu itu, memang Nyi Tratih sendiri juga sedang demikian kangennya menanti pemuda

pujaan hatinya itu.

Siapa sangka telah datang pula seorang pemuda yang jauh lebih tampan dari kekasihnya.

Memangnya Nyi Tratih ini termasuk sebagai seorang wanita bermoral rendah, yang suka mengejar

cinta, segera ia jatuh hati.

Si pemuda tampan, kelihatannya menyambut rayuan Nyi Tratih, dan tentu saja Nyi Tratih jadi

lupa pada Kebo Sulung bahkan menjanjikan akan memeriksa apa saja yang diminta oleh pemuda

tampan itu saja asalkan...... tentu saja asalkan pemuda itu mau diajak tidur sekamar sepembaringan.

Pemuda tampan itu meminta pusaka Kiai Pancaloka dan hal itu tentu dipenuhinya oleh Nyi

Tratih. Apalagi janji-janji yang diucapkan oleh si pemuda tampan tentang ?Permaisuri kadipaten?

atau hidup bahagia berdua, semuanya itu memabukkan janda itu, sehingga mengakibatkan peristiwa

seperti sekarang ini terjadi!

Kelima bintang Kiai Pancaloka berdesing nyaring. Lima batang bianglala yang menyilaukan

datang menyambar.

Nyi Tratih masih terpaku menyesali kebodohannya dengan sepasang mata terbelalak nanar.

Menyusul terdengar suara tulang remuk, seketika tampaklah tubuh Nyi Tratih melayang rubuh

seperti daun tertiup angin rubuh dengan nyawa telah putus, karena kepalanya hancur berantakan.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Untuk menerka siapa adanya ?pemuda tampan? yang berubah menjadi seorang dara pembunuh

ini, tentu saja tidak sulit. Seorang dara ayu dengan golok yang dipermainkan dengan ilmu silat

Loning, siapa lagi kalau bukan Dewi Yoni, puteri tunggal demang Moga?

Sejak perpisahan dengan Joko Bledug alias si Pepriman jembel kotor dan gila itu, si dara

masih menyimpan kekesalan dan kecewa. Pemuda yang dipujanya se tinggi langit, sampai ia pernah

bertengkar pendapat dengan ayahnya kiranya benar-benar seorang pemuda mesum yang tak tahu

budi.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

164

Kolektor E-Book

Rasa kesal dan kecewa ini dibawanya pergi, akhirnya kekecewaan itu berubah menjadi

dendam dan kebencian. Dendam ini terarah kepada Kebo Sulung yang dianggapnya sebagai

penyebab semua kehitaman itu.

Dibimbing oleh kebenciannya yang berkobar ini, secara kebetulan Dewi Yoni mendengar

berita bahwa Kebo Sulung hendak mengadakan peninjauan ketimur, kedaerah kademangan

Ampelgading.

Demikianlah, maka ?pemuda tampan? itu lantas mendahului pergi ke Ampelgading, hingga

akhirnya bertemu dengan Nyi Tratih yang saat itu kebetulan sedang siap-siap menyambut.

Dewi Yoni tahu bahwa Nyi Tratih adalah isteri Jagabaya, berarti ibu tiri Kebo Sulung. Akan

tetapi melihat gerak-gerik janda itu, Dewi Yoni timbul curiga.

Itulah sebabnya, maka ia memerankan dirinya sebagai seorang pemuda yang mengobral cinta

dan janji, yang kemudian berakhir dengan kejadian bersejarah ini semua.

Dengan senjata Kiai Pancaloka ditangan, maka sifat angkuh si dara semakin berkembang.

Teringat olehnya bahwa untuk menjadi jago nomor satu diseluruh partai utara pulau Jawa,

terbentang kini.

Ia ingat bahwa ayahnya dengan susah payah bergabung dalam paguyuban Banjardawa adalah

untuk kenalkan kedudukan, sekarang dengan adanya Kiai Pancaloka ditangan bukankah jalan

menuju kesitu telah terbuka?

Tinggal sedikit mencari bantuan lagi misalnya perguruan Loning, maka tidak hanya untuk

naik pangkar saja akan tetapi untuk memiliki seluruh tanah Pemalangpun agaknya tidak terlampau

sulit!

Ayahnya sendiri, Ki Gede Ayom juga bukan tergolong demang yang berkepandaian lumayan

belaka, akan tetapi cukup tinggi. Bila Dewi Yoni, dan ayahnya, kemudian didukung oleh perguruan

Loning bersatu tujuan, ah, menguasai tanah kadipaten Pemalang agaknya semudah membalikkan

telapak tangan belaka. Begitulah pikir si dara.

Apalagi ia tahu, bahwa selama ini gurunya, Ki Cucut Kawung yang selalu menghendaki sikap

bebas dari perguruannya sedang berada dikamar ?semedhi? untuk waktu yang tidak terbatas.

Adapun paman gurunya, Windupati, bujang tua itu tampaknya mudah untuk dipengaruhi, mengapa

tidak dikejar sekarang, cita-cita itu?

Demikianlah, kemenangan sering membuat seseorang kurang waspada. Diperhitungkannya

nasib seakan orang menjumlah angka-angka pasti belaka, ia lupa bahwa ada suatu hal lagi yang

harus selalu diperhitungkan...... tak boleh dilupakan...... yaitu kekuasaan Sang Maha Pencipta!

Perguruan Loning mudah saja dipengaruhi olehnya.

Dan teramat mudah untuk mengajak ayah sendiri mengejar cita-cita yang berwujud lamunan

itu. Akan tetapi ketentuan atas kepastian, berada ditangan Yang Maha Kuasa jua adanya.

Kini dengan harapan besar yang memenuhi dadanya, Dewi Yoni menunggang kuda untuk

mencapai perguruan Loning secepat-cepatnya!

X

X X

KETIKA Dewi Yoni sedang membalapkan kuda menuju perguruan Loning maka dikaki

Gunung Gajah, Pepriman dengan sikapnya yang penuh wibawa sedang menyiapkan para

bawahannya untuk pergi menuntut balas keperguruan Loning pula, guna membuat perhitungan atas

penganiayaan Windupati terhadap Cunduk Puteri.

Walikukun yang merasa paling berduka atas kematian dara pahlawan Cunduk Puteri, maka

dengan bersemangat yang berapi-api, menyiapkan laskarnya, mengatur barisan berkuda maupun

kelompak-kelompok yang lain.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

165

Kolektor E-Book

Bendera peperangan dengan gambar burung alap-alap, berkibar-kibar ditempuh angin musim

panas yang kering. Matahari yang terik membakar tubuh mereka yang sedang dibakar oleh dendam

itu, hingga wajah-wajah mereka tampak sebagai perunggu-perunggu yang terbakar.

Barisan berkuda telah siap. Barisan pejalan maupun beberapa telik sandi, (spion) telah

terlebih dahulu dikirimkan. Dan Walikukun gagah duduk dengan punggung lurus diatas kuda.

"Adi alap-alap!" Seru Walikukun dengan suara yang lantang berkumandang." Laskar Gunung

Gajah, murid-murid Kenistan adalah laki-laki sejati yang lebih suka menerima kematian dari pada

dihina! Kami menunggu perintahmu sekarang!"

Pepriman, atau yang mereka sebut sebagai Alap-alap Gunung Gajah tampak berloncatan

keatas sebuah batu karang yang menjulang tinggi, dimana tampak di bawahnya air telaga yang

memburial seakan bergolak.

Setelah memperhatikan tatanan barisan, memperhitungkan semangat mereka yang sedang siap

untuk memasuki api pertempuran, menghela napas baru kemudian berkata dengan suaranya yang

lambat akan tetapi mantap.

"Saudara-saudaraku, pecinta bumi merdeka! Sebenarnya aku pandang kalian belum siap

untuk melakukan petempuran besar, sebagai kini hendak menghadapi perguruan Loning. Akan

tetapi memang, Windupati yang sombong dan biadab itu harus diberi sedikit pelajaran. Saudara-

saudaraku! Jangan lupa, bahwa orang yang memusuhi kita adalah Windupati bersama begundal-

begundalnya, oleh karena itu tidak seharusnya kalian memukul hancur perguruan Loning itu!"

Hening dan sunyi, tiada terdengar bisik-bisik siapapun kecuali sesekali suara kaki kuda yang

tersentak-sentak karena gigitan lalat.

"Rencana perjalanan, dan tatacaraning perang semua telah disiapkan oleh kakang Walikukun.

Aku berharap kalian takkan salah jalan, dan kembali dengan kemenangan. Selamat jalan saudara-

saudaraku, sampai bertemu nanti diselat Pencuci Dosa!"

Selesai mengucapkan perintah dan pesannya itu maka Pepriman tampak menotolkan kakinya

kebatu karang dibawah kakinya. Lalu tubuhnya tampak melesat keudara untuk kemudian menukik

cepat seperti burung alap-alap, mencebur ambles kedalam air yang mengelogak dalam telaga.

Demi tubuhnya ditelan oleh menggelogaknya air telaga yang berpusar dan memancar, Alap-

Alap Gunung Gajah telah menghimpun seluruh kekuatan hatinnya, dengan heningnya seluruh cipta,

dipadamkannya gerak-gerik indera ditubuhnya.

Seketika tubuhnya menjadi berlipat ganda lebih berat ribuan kati, meluncur sebagai ikan hiu

yang menyelam ke dasar lautan.

Itulah ilmu sakti satu diantara yang pernah diperoleh dari manusia raksasa Turonggo Benawi

dijurang raksasa yang disebut ?cucut neba?.

Agaknya dengan ilmu sakti yang mirip gerakan ikan itu, Pepriman mampu merubah dirinya

menjadi seekor ikan sakti, yang mampu hidup didalam air untuk sekian jangka waktu.

Segera setelah melintasi daerah mata air berpusar, tubuh Pepriman terbanting kedalam satu

lapisan air yang berada pada tingkat yang paling bawah.

Di situ, sebaliknya kalau air yang berada diatas terasa hangat segar, maka pada bagian dasar

ini, air terasa seakan beku, dingin seperri salju, sedang alirannya pun lambat perlahan-lahan.

Akan tetapi Pepriman tahu, bahwa pada lapisan inilah air yang sesungguhnya mengalir

menuju sebuah anak sungai. Maka dengan mengerahkan tenaganya, ia menolak tubuh sendiri

kedepan, hingga selanjutnya tubuh pemuda itu telah meluncur datar kedepan..... dan kiranya ia telah

keluar dari batas telaga, memasuki suaru arus kali.

Disitulah, maka Pepriman meracut kembali aji cucut-nebanya, sehingga untuk selanjutnya

tubuhnya lantas mengapung.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

166

Kolektor E-Book

Dengan berenang seperti biasa, maka Pepriman dapat menghanyutkan diri mengikuti jalannya

arus. Kini ia telah mengambang menuju hilir diatas air kali didalam tanah.

Sebenarnya Pepriman mempunyai perhitungan yang demikian nekad-nekadan bukanlah

karena ia terlalu berani atau ceroboh. Akan terapi semuanya itu telah diperhitungkan terlebih

dahulu.

Pada waktu ia berada di selat Pencuci Dosa dan menemukan sebuah jurang ?jadi-jadian? maka

ia telah mempunyai dugaan, bahwa dibawah jurang itu tentu ada sungai dalam tanah. Dan untuk

mengadakan penyelidikan kemana arus kali itu mengalir. Pepriman telah mencemplungkan

beberapa bangkai burung gagak kedalamnya.

Kiranya perhitungan itu benar semata-mata.

Ketika ia kembali ke Gunung Gajah, maka diatas air telaga gunung, didapatkannya bulu-bulu

dan tulang burung itu yang tercerai berai berantakan.

Kejadian ini menggembirakan benar baginya. Dengan kesimpulan itu maka Pepriman yakin

bahwa ada hubungan langsung antara telaga dan jurang pada selat Pencuci Dosa itu.

Demikianlah, dengan melawan arus kali dalam tanah itu. Pepriman terus mengerahkan

tenaganya, berenang menuju jurang ?baru dalam selat itu?.

Karena keadaan dibawah tanah itu terlalu gelap yang tentu saja tidak dapat ditembusi sinar

matahari maka Pepriman tak tahu lagi berapa lima ia berada ditempat itu. Yang terasa olehnya

bahwa ia telah merasa sangat letih, lapar dan setengah mabuk.

Ia tidak tahu, bahwa sebenarnya ia telah berenang selama dua puluh empat jam berturut-turut.

Andaikata dia bukankah murid Kiai Turonggo Benawi, seorang pertapa sakti yang biasa hidup

dibawah jurang, maka andaikata Pepriman tidak mati karena kelelahan, tentulah tubuhnya akan

beku akibat air dibawah tanah itu.

Demikianlah, makin lama, dan makin bergerak maju, Pepriman merasa bahwa arus kali

semakin deras, tetapi sebaliknya keadaan didepannya berubah menjadi agak temaram, terang-terang

samar.

Sejak kecil Pepriman digembleng dengan penderitaan hidup dan disiplin ayah angkatnya Kiai

Teger, sehingga kekerasan hatinya sudah ibarat baja gemblengan. Tak pernah ia mengenal putua

asa, apalagi menyerah.

Maka didepannya begitu tampak bayangan cahaya, harapannya membesar, dan

semangatnyapun kembali berkobar. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, ia mempercepat laju

tubuhnya.

Dan tak selang berapa lama, akhirnya terlihatlah olehnya sinar terang yang menyilaukan

didepan mata, pertanda jurang pada selat Pencuci Dosa itu sudah berada didekatnya kini.

Hampir bersorak Pepriman ketika ia mengangkat kepalanya, maka didepan sana tertampak

selebar tanah yang menganga terbuka, sehingga sinar matahari sore telah menerobos masuk

kedalam. Dengan hati seakan-akan melonjak-lonjak kegirangan, Pepriman melayangkan tubuhnya

kedepan untuk segera mendarat pada tebing dasar jurang itu. Akan terapi, sedang pemuda ini mabuk

oleh kegembiraan hatinya, mendadak terasa olehnya suatu gempuran angin yang sangat deras

menyambar kearahnya.

Pepriman terkejut bukan buatan. Darimanakah asal angin yang begitu dahsyatnya seperti

sambaran angin topan? Mungkinkah didalam jurang seperti itu terdapat sumber angin bumi yang

memancar-mancar seperti pada kawah-kawah gunung?


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tidak mungkin, begitulah Pepriman menyangkal dugaannya sendiri. Gempuran angin tadi

walaupun hanya mampu membuat dirinya tergentak mundur setindak, akan tetapi mempunyaiYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

167

Kolektor E-Book

keanehan! Anehnya, ialah angin itu dapat menerjang tanpa menimbulkan suara kesiur! Itulah

mustahil, bila angin itu adalah angin alam.

Diam-diam Pepriman menduga, bahwa didalam jurang itu tentu terdapat orang ataupun

mahluk sakti!

Pepriman tidak tahu apakah mahluk sakti itu kawan atau lawan, namun jelas baginya bahwa ia

harus berlaku hati-hati. Tak mungkin lagi hidup seorang kawan dibawah jurang seperti ini, pikirnya.

Dengan satu loncatan indah, Pepriman berhasil mendaratkan tangannya pada sebuah karang

dibawah jurang itu, untuk kemudian dengan sikap berhati-hati ia melongokkan kepalanya. Tetapi ia

harus cepat-cepat menarik kembali kepalanya ketika terasa sambaran angin dahsyat kali ini bukan

hanya bertenaga besar belaka, akan tetapi juga tajam, nyata dari remukan batu karang yang

beterbangan menyambar kearahnya.

Bukan main! Setiap pecahan karang itu meluncur seakan mempunyai mata, mengarah pada

jalan-jalan darah maut pada tubuh Pepriman. Terpaksa ia harus melepaskan pegangan tangannya

pada karang itu untuk selanjutnya ia membiarkan tubuhnya sendiri meluncur kembali kedalam kali.

"Kisanak! Atau eyang siapakah yang telah berbaik hati menyambut kedatanganku anak muda

hina si Pepriman?" Sambil berseru demikian, Pepriman kembali melayangkan tubuhnya, dan

mengulur tangannya untuk berpegang pada tonjolan batu karang yang lain.

Ia yakin bahwa orang sakti yang menghuni dasar jurang itu tidaklah bermaksud jahat.

Andaikata tidak mustahil dia tidak akan menguber untuk kemudian membunuhnya?

Kali ini, kekagetan dan kegugupan Pepriman menjadi berlipat-ganda. Begitu jari-jari

tangannya berpegang pada karang, maka begitu cepat tanpa diketahui dari mana datangnya, tampak

menghantam sebungkah batu besar, persis seakan hendak menggidik atau menumbuk jarinya.

Menghindar sudah tak mungkin lagi baginya, batu itu datang terlampau cepat dan tak terduga.

Maka dengan kekagetannya itu, seketika bergolaklah kekuatan batin si anak muda. Tenaga

dalam tubuhnya yang selalu bergerak secara otomatis itu, membanjir keatas. Tanpa terasa Pepriman

telah mengangkat sebelah tangannya. Dan dengan mengerahkaa seluruh kemampuannya,

menyambuti tumbukan batu besar itu, mendorong balik sambil memekik.

Akibat tolakan tenaga Pepriman ini sungguh hebat. Batu besar yang semula hampir

menggedik jari tangan si pemuda, mendadak berhenti bergerak, terapung diudara untuk sejenak,

setelah itu batu tersebut memutar sangat cepatnya seperti gangsing, sambil sebentar bergoyang

turun sebentar naik.

Hal itu terjadi kiranya karena tenaga dorongan Pepriman sedang saling dorong dengan tenaga

orang yang melemparkan batu itu.

Pepriman merasa bahwa tekanan tenaga batu itu amat berat sekali, dan walaupun ia telah

menguras hampir sembilan bagian tenaga batinnya, batu itu tidak dapat didorong mundur, kecuali

berpusing-pusing belaka.

Mendadak sekali, sedang Pepriman berusaha untuk menguras habis seluruh kekuatan

batinnya, tahu-tahu batu itu telah bergerak mundur dengan sendirinya, melayang cepat kearah

samping dan membentur dinding jurang, menimbulkan suara gaduh dan gemuruh.

Bersamaan dengan suara itu, terdengar pula suara orang yang terpekik kaget sambil tertawa

panjang.

"Tampaknya sahabat Benawi yang datang, Kiai! Persilahkan ia menemani kami menolong

orang!"

Terdengar suara seorang tua yang agaknya sedang bercakap-cakap dengan orang lain.

Rupaya orang yang diajak bicara menyahut :Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

168

Kolektor E-Book

"Ah, tidak! Masakan si Benawi geblek itu hanya mempunyai tenaga sebegitu kecil! Setidak-

tidaknya ia harus melontarkan batu itu kearahku. Walaupun dia picak, akan tetapi tangannya seperti

bermata, hal itu yang membuatku kagum.

Andaikata tidak begitu, masakah orang-orang seperti kami ini masih menghormat si petualang

busuk seperti dia!"

Mendengar percakapan orang-orang didalam jurang itu, mendadak Pepriman terperanjat, agak

gembira. Ia merasa seakan-akan suara itu pernah dikenalnya, akan tetapi entah dimana. Oleh karena

itu si pemuda tampan berusaha membuka telinganya lebar-lebar, guna mencuri pembicaraan mereka

itu. Anehnya, agaknya orang yang sedang bercakap-cakap itu sengaja berkata dengan keras agar

orang yang sedang datang itu dapat mendengarnya.

"Ya, andaikata dugaanmu benar " kata suara orang tadi menyambungi. "Misalnya dia bukan

Turonggo Benawi. Tetapi siapakah diatas dunia ini yang memiliki kecepatan dan kesaktian ilmu

pukulan ?jangkar bumi? seperti yang diperlihatkan orang itu mendorong balik dan memutar batu

yang kau lempar itu, Kiai!

JILID : 10

KUKIRA, dapat dihitung banyaknya orang yang mampu menahan pukulan Kiai akan tetapi

apakah Kiai sendiri tidak merasa bahwa diantara putaran batu itu terasa sambaran angin yang dingin

dan panas berganti-ganti? lalu siapakah manusianya yang mampu melontarkan pukulan seperti itu.

"Kalau begitu, tentu dia muridnya!" Suara kedua menjawab, setengah meragu.

Mendengar jawaban begitu, orang pertama tadi tertawa.

"Orang kena kutuk sebagai Turonggo Benawi itu dengan cara bagaimana dapat menemukan

seorang murid? Masakah ada orang yang sengaja datang menceburkan diri kedalam neraka jurang

raksasa itu? Kalau aku berpendapat tetap, yang datang itu pasti si raksasa picak itu sendiri......"

Sedang kedua ini berselisih pendapat demikian, sayup-sayup dari arah yang lebih dalam lagi,

terdengar merdu seorang wanita yang memotong pembicaraan :

"Kalian berdua tua bangka memang kerjanya cuma berdebat dan bertengkar belaka. Tentang

siapa yang datang, apakah itu si Turonggo Benawi atau bukan, mengapa tidak pergi

menangkannya? Sekarang giliran kami untuk mengaso, cepat kalian kemari. sebelum ku sabet

kalian dengan selendangku......"

Kata-kata wanita itu terdengar seakan mengomel dan mengancam, akan tetapi didalam

nadanya terkandung sifat yang gembira, dan yang sesungguhnya hanya kelakar belaka.

Mendengar ucapan wanita itu, maka kedua laki-laki pembicara pertama itu tertawa terkekeh-

kekeh. Untuk selanjutnya menjawab sambil kedengaran bertindak menghampiri si wanita.

"Ah, Nyai Cerewet! Kami toh cuma ingin melihat kemampuan selendangmu menangkap

?tamu? kita itu. Tentang giliran, giliran bekerja mana pernah kami melupakannya! Sudahlah, kalian

suami isteri cari keringat. Sudah lama kalian tidak pernah mempertunjukkan permainan selendang

layungmu! Cobalah kau iseng-iseng menjerat tamu kita itu dengan permainanmu yang selama ini

kukagumi......!"

"Ceriwis. Minggir!"

Bersamaan dengan suara bentakan merdu wanita itu, maka terdengar suara yang meledak-

ledak nyaring di udara. Menyusul kemudian tampak sehelai ujung kain selendang berwarna hijau

kemilau telah menyambar kearah karang dimana Pepriman sedang bergelantungan.

Kembali Pepriman terperanjat, ia tidak pernah melupakan suara merdu itu. Selama hidupaya,

sejak kecil ia pernah beberapa kali mengenal wanita yang mempunyai suara begitu merdu galak

akan tetapi penuh wibawa, dan ia tidak pernah melupakannya! Dialah Nyai Kenistan adanya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

169

Kolektor E-Book

Semua Pepriman hampir berseru girang memanggil wanita itu dan mengunjukan dirinya.

Akan tetapi segera timbul ingatan lain dalam pikirannya, bukankah Nyai Kenistan selalu berada

bersama suaminya Kiai Kenistan? Bukankah kedua pendekar baya itu merupakan sahabat baik bagi

perguruan Blimbingwuluh? Walaupun selama itu hubungan kedua tokoh sakti itu dengan Kiai

Teger tidaklah terlampau akrab akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar sakti, pembela

kebenaran yang angkuh.

Padahal, Pepriman kini sadar, siapa dirinya kini! Bukankah Pepriman adalah Joko Bledug,

murid durhaka anak tak tahu membalas guna murid mesum yang seharusnya dihukum mati.

Dengan segera Pepriman mengurungkan maksudnya untuk memperkenalkan diri. Akan tetapi

serangan selendang warna hijau kemilau itu kini telah melayang datang.

Pepriman.

Pepriman mengangkat sebelah tangannya, menangkis dengan punggung tangan untuk

membuat selendang hijau itu terpental. Akan tetapi sungguh diluar dugaan, selendang hijau disebut

dengan nama tenar ?selendang layung? mendadak mulur sangat panjang. Dan sebelum tangan

Pepriman berhasil mengepretnya tahu-tahu ujung selendang telah menukik kebawah secepat kilat.

Selanjutnya sebelum Pepriman sadar apa yang terjadi, tahu-tahu pinggangnya telah terangkat

keudara, untuk kemudian tubuhnya tertarik kedepan dengan sangat cepatnya! Untuk selanjutnya,

tak ampun lagi Pepriman jatuh berdebruk, ketika libatan selendang itu melepas pinggangnya.

"Hai, Cucut Kawung! Lihat! Dalam segebrakan selendang layungnya itu, yang memang tidak

lain adalah Nyai Kenistan, berseru gembira, sambil menunjuk kearah tubuh Pepriman yang masih

menengkurap dilantai jurang.

"Ah, kiranya cuma seorang jembel berantakan..." seorang laki-laki baya yang berdiri

disamping Nyai Kenistan menyeletuk. Melihat tampan mukanya, dan sikapnya yang agung-agungan

itu, Pepriman tak usah mengingat-ingat lagi, terang dia adalah Kiai Kenistan, suami wanita itu.

Pepriman bangkit duduk, sambil menyeka-nyeka mukanya yang berdebu. Sesaat itu, terlihat

olehnya, kecuali suami isteri Kenistan, ditempat yang agak menjorok kedalam sana, pada tempat

kegelapan, tampak dua orang laki-laki tua yang sedang duduk berhadapan menghadapi sesuatu. Bila

ia memperhatikan, kiranya ?Sesuatu? itu adalah manusia pula, yang berbaring menggeletak seperti

orang mati.

Dengan segera Pepriman mengenal siapa-siapa yang berada didasar jurang itu. Sepasang

suami isteri itu, jelas adalah sepasang suami isteri Kenistan. Adapun dua orang laki-laki yang

sedang duduk diam berhadapan disana, salah satu yang menghadap kearahnya segera dikenali oleh

Pepriman. Dia adalah seorang laki-laki tua dengan alis janggut dan kumis yang memutih yang

janggutnya nyaprut kedepan. Tak mungkin Pepriman melupakannya, sebab laki-laki tua itu adalah

seorang calon mertuanya sendiri seorang kakek yang telah mengikat tali perbesanan dengan Kiai

Teger sejak Pepriman masih anak-anak. Mbah Pucung, atau Kiai Pucung adanya.

Adapun yang seorang lagi, yang duduk membelakangi Pepriman, adalah seorang kakek tinpgi

jangkung yang membiarkan rambutnya terjurai kebawah seperti Burisrawa dalam cerita

pewayangan, tadi telah di sebut namanya oleh Nyai Kenistan, yaitu Ki Cucut Kawung, mahayogi

perguruan Loning.

Hebat, dan aneh, keempat tokoh sakti ini secara bersamaan berkumpul ditempat yang begini

asing, di dasar sebuah jurang jadi-jadian. Sedang mengapakah mereka dan siapakah ?orang mati?

yang agaknya sedang dirawat oleh mereka itu?

Melihat berkumpulnya empat tokoh persilatan yang penting-penting dan ternama, mustahilah

apabila orang yang sedang mendapatkan perawatan itu bukan tokoh yang ternama pula.

Hal ini diduga demikian oleh Alap-alap Gunung Gajah. Akan tetapi sedang ia bermaksud

menanyakannya, terlihat Nyai Kenistan memandang tajam kearahnya. Lalu dengan nada suara yang

dingin, berkata :Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

170


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kolektor E-Book

"Bocah sombong! Ada hubungan apakah dengan Turonggo Benawi, ha?" Rupanya wanita

sakti tertarik pada pinggang Pepriman. Tampak pada bagian tubuh pemuda itu..... pinggangnya.....

baju tambalan yang dipakai putus pada bagian itu. Akan tetapi, kulit si pemuda sama sekali tidak

terluka. jangankan lecet berbekaspun tidak.

Tidak banyak orang yang mampu menghadapi keuletan dan keganasan selendang layung

wanita itu. Batu-batu karang pun dapat hancur terkena pukulannya, akan tetapi kulit pinggang si

Pepriman yang terlihat olehnya justeru tidak kurang suatu apa. Hal inilah kiranya yang membuat

wanita itu menduga bahwa si pemuda sengaja pamer kesaktian dihadapannya.

Harap dimaafkan nyai, dan sekalian para sesepuh yang hadir ditempat ini. Aku sudah secara

lancang mendatangi tempat ini, akan tetapi bukanlah maksudku hendak kurang ajar. Aku adalah

muridd Kiai Turonggo Benawi, namaku Pepriman. Dan saat ini aku sedang dalam perjalananku

ke....."

Berbicara sampai disini, terpaksa Pepriman menghentikan kalimatnya, sebab kecuali alasan

tidak masuk akal juga Nyai Kenistan telah membentak gusar.

"Ngaco belo! Mana ada Turonggo Benawi mempunyai murid? Sebutkan terus terang, apa

maksudmu mengintai kami? Apakah ingin mencoba-coba kesaktian selendang layung....."

"Tunggu Nyai!" Kiai Kenistan mencegat bicara isterinya dengan suara hati-hati. Mungkin dia

benar bukan murid Turonggo Benawi, hanya mengaku-aku belaka. Akan tetapi kita sedang

membutuhkan tenaga orang yang memiliki ilmu pukulan sakti jangkar bumi! Dengan adanya

tambahan bocah jembel kotor seperti itu agaknya tugas kita akan segera dapat diselesaikan."

"Tidak perduli! Memangnya Turonggo Benawi manusia macam apa, berani jembel kotor itu

mengaku-aku sebagai muridnya? Apakah kakang Kiai tidak ingat akan sumpah pertapa raksasa itu

bahwa dia takkan mencari murid, dan takkan memberikan ilmu sakti jangkar bumi kepada

siapapun?" Nyai Kenistan adatnya agak berangasan, dan agaknya hal inilah yang membuat

suaminya semakin lekat hatinya kepada wanita itu.

"Benar memang, Nyai, isteriku, apa yang kau katakan memang benar!" Bertubi-tubi Kiai

Kenistan membenarkan kata-kata isterinya. "Akan tetapi katakanlah bahwa pemuda jembel itu

masih ada harganya untuk kita minta bantuannya!"

"Persetan! pokoknya, dia telah menghina Turonggo Benawi. Dan dia harus dihukum!" Nyai

Kenistan tidak mau mengalah.

"Mau hukum, hukumlah, asal jangan sampai mati!"

"Kalau begitu, sudahlah kau diam, suamiku! Hendak kuhajar adat sedikit jembel sombong

ini!" Seraya berkata demikian, Nyai Kenistan telah mengangkat tangannya, maka segera tampaklah

bayangan hijau berkilau berkelebatan diudara, dibarengi suara ledakan-ledakan yang nyaring.

Dalam setiap pembicaraan, Kiai Kenistan selalu mengalah, dan memang kadang-kadang

benar-benar kalah dalam bersilat lidah dengan isterinya. Sikap sepasang suami isteri Kenistan yang

aneh ini, agaknya hampir setiap orang dari kalangan rimba persilatan mengetahuinya. Tidak

terkecuali Pepriman alias si Joko Bledug ini. Begitu melihat pertengkaran telah tiba pada

kemenangan Nyai Kenistan, maka pemuda jembel ini telah siap dengan berbagai cara untuk

menghadapinya.

Pepriman tahu bahwa watak wanita itu tidak suka mengalah, mau menang sendiri. Akan tetapi

bukan jahat. Sesungguhnya hati wanita itu adalah lembut dan penuh kasih sayang sebagaimana

wanita-wanita yang lain. Satu hal yang tadi membuat Nyai Kenistan tersinggung, adalah karena

Pepriman tidak terluka oleh libatan selendang wanita itu. Maka, jika sekarang Pepriman dapat

membiarkan kulitnya berdarah karena serangan wanita itu, agaknya perselisihan akan segera dapat

diakhiri.

Memikir yang demikian, maka dengan serentak Pepriman bangkit berdiri, sambil berkata

lantang :Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

171

Kolektor E-Book

"Jangan terlalu mendesak, Nyai. Aku tidak mengganggu sekalian para sesepuh disini, dan aku

hendak berlalu sekarang. Bila ada kelancanganku, mohon di maafkan!".

"Tidak begitu mudah!" bentak Nyai Kenistan. "Kau tahu aku adalah Nyai Kenistan! Dapatkah

begitu saja orang datang mengintai, terus hendak lantas kabur? Boleh kau lantas pergi, akan tetapi

tinggalkan sepasang matamu yang tadi kau pergunakan untuk mengintai itu!".

Pepriman tampak gelisah.

"Apakah jurang dan kali dibawah itu milikmu, Nyai? Sehingga orang tak boleh

melintasinya?".

Mendapat pertanyaan yang agak mendesak itu, Nyai Kenistan tertawa dingin. Adatnya ingin

selalu menang sendiri tambah kumat.

"Sekararg ini, punyaku memang, mau apa? Aku hendak menghukummu siapa akan

menghalangi? Tadi aku hanya menuntut sepasang matamu yang kau gunakan untuk mengintai.

Akan tetapi sekarang, karena kau rewel, maka aku minta sepasang tanganmu juga kau tinggalkan

disini! Disini!

Sambil mulutnya berkata ?disini?, maka tangan kanannya bekerja, menggoyangkan ujung

selendang. Tahu-tahu ujung selendang yang berbentuk sebagai ronce-ronce benang itu telah

mematuk kearah mata si pemuda.

Tentu saja Pepriman tidak mau kedua matanya akan dicongkel keluar oleh patukan ujung

selendang Nyai Kenistan. Maka begitu serangan telah datang sangat dekat, pemuda itu miringkan

kepala, sambil tangan kanannya dipergunakan untuk menjambret kedepan, dengan ke lima jari

terkembang.

Kiranya serangan pertama si wanita ini hanyalah pancingan belaka. Serangan yang

sesungguhnya adalah gerakan yang datang berikutnya.

Ujung selendang mendadak mengembang seakan ujung rambut tertiup angin, dan setiap ujung

benang ronce-ronce selendang itu menyambar kesegala penjuru, beberapa diantaranya mematuk

kearah jalan darah dipergelangan tangan, pada tenggorokan, pada titik antara dua mata, dan ubun-

ubun Pepriman. Bukan main hebatnya serangan ini.

Agaknya hanyalah orang-orang setinggi ilmu batinnya sebagai Nyai Kenistan sajalah yang

maju mengemudikan setiap helai benang ronce itu, sehingga mampu melakukan serangan total pada

detik yang bersamaan kearah jalan-jalan darah maut seperti itu.

Pepriman terkejut. Serangan yang datang tanpa suara semacam itu, hanyalah mampu

dilakukan oleh orang-orang yang bertenaga batin sangat tinggi belaka. Sedang serangan itu sangat

cepat, dan mematikan!

"Ahh...", bukan Pepriman yang mengeluh kaget, sebaliknya adalah Kiai Kenistan yang

melihat serangan isterinya itu dapat membunuh orang.

Namun Pepriman tak mau mati siang-siang, Pepriman atau Joko Bledug yang sekarang,

bukanlah Joko Bledug lima tahun yang lalu. Dengan ilmu pelajaran lahir dan batin yang diperoleh

dari Kiai Turonggo Benawi, sebenarnya ilmu kepandaian Joko Bledug sudah tidak dibawah wanita

sakti itu. Bahkan didalam hal menguasai tenaga agni (panas) dan tenaga her (dingin) Pepriman

boleh dibilang setingkat diatas mereka ini.

Penguasaan tenaga batin panas dan dingin secara sekaligus inilah yang tadi di sebut-sebut

sebagai ?Jangkar Bumi? oleh Nyai Kenistan ataupun suaminya.

Dalam keadaan dirinya terancam bahaya seperti itu. Pepriman tak mempunyai kesempatan

lain kecuali harus mempergunakan ilmu pukulan saktinya, Jangkar Bumi! Seketika, dari setiap pori-

pori tubuhnya, menguap keluar suatu hawa yang mengandung tenaga tolak. Begitu serangan tiba,

seketika ujung ronce-ronce selendang itu menggeliat seakan tertiup angin besar, dan arahYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

172

Kolektor E-Book

serangannya jadi berpindah, tidak lagi mengenai jalan darah yang berbahaya seperti itu, akan tetapi

hanya mengenai pakaian pemuda itu.

Bret! Terdengar suara kain yang terobek, kiranya hampir seluruh baju didada pemuda ini

rontok menjadi benang-benang yang berterbangan.

"Bagus!" Seru Nyai Kenistan memuji, tetapi dalam hati ia mendongkol melihat serangannya

gagal, dan terutama melihat lawannya yang masih muda itu tidak melakukan perlawanan. "Kau

tidak mau melawan, mau mati sekarang itupun bagus!" Dan wanita itu merangsek maju, menyerang

lebih bernafsu.

Detik-detik selanjutnya, tak mungkin Pepriman tinggal diam lagi. Serangan selendang wanita

itu telah berubah menjadi kelebatan cahaya hijau belaka, sebagai pelangi-pelangi yang mengurung

si pemuda dari segala penjuru.

Maka kemudian tampaklah Pepriman sendiripun telah bergerak-gerak cepat, menghindar dan

menyerang, menyerang dan menghindar gantian mendesak dengan lawannya.

Dalam hal kegesitan maupun ilmu ringankan tubuh keduanya boleh dibilang seimbang. Nyai

Kenistan tampak seakan-akan menjadi kupu-kupu hijau yang berloncatan menari-nari mengelilingi

lawannya, sedangkan Pepriman ibarat monyet mabuk tak keruan gerakannya, kadang-kadang

sempoyongan, kadang-kadang seperti menari, tetapi terkadang juga jatuh bangun, akan tetapi tidak

sekali juga serangan lawan pernah mengenai sasarannya!

Belum juga lewat beberapa menit, maka keduanya telah bertarung lebih dari lima puluhan

jurus. Keduanya kini seakan telah hilang bentuk aslinya sebagai manusia, akan tetapi telah berubah

menjadi bayangan-bayangan belaka, bayangan hijau dan bayangan compang-camping yang kadang-

kadang saling mendekat dan terkadang saling menjauhi.

Mendadak sekali, satu bayangan hijau mengembang panjang, bergerak menjauh, setelah itu

mendengar teguran yang merdu :

"Brenti! Bukankah jurus-jurusmu tadi adalah dari Siluman Pedut, atau Gelap Panglimunan?"

Pepriman melompat mundur, seraya membungkuk hormat.

"Tidak salah Nyai. Itulah pelajaran dari guruku!" Sahut Pepriman.

Kau tetap mengaku sebagai murid Turonggo Benawi?" Nyai Kenistan kembali mendesak.

"Maaf Nyai, bukan aku mengaku-aku, akan tetapi memang begitulah kenyataannya". sahut si

pemuda.

"Cukup kau main-main isteriku. Betapapun kau jangan memusuhi Turonggo Benawi", Kiai

Kenistan menyela bicara.

Nyai Kenistan menghela napas, setelah itu diwajahnya membayang satu senyuman yang

ramah dan manis. Walaupun usianya sudah lanjut, akan tetapi kemanisan senyum wanita ini cukup

terlihat pula oleh Pepriman.

"Yah, aku mengalah sekarang. Tentang urusan Turonggo Benawi mempunyai murid biarlah

nanti kuurus belakangan. Yang penting sekarang, bila kau benar-benar murid Turonggo Benawi,

tentu kau akan bersedia membantu kami...", kata Nyai Kenistan seraya memandangi pemuda jembel

itu dengan pandang mata yang berubah ramah, tidak mencemooh seperti tadi.

Pepriman baru hendak bertanya, bantuan apa yang harus diberikan kepada para sesepuh itu,

ketika terdengar suara berat yarg menegur parau :

"Apa-apaan kalian ribut-ribut tak keruan! Cepat datang, berikan pertolongan, bukankah itu

lebih baik?".

Yang berkata ini adalah Kiai Cucut Kawung. Dan ketika Pepriman memandang kearah guru

Loning itu maka tampaklah diatas kepala kakek sakti itu tampak selapis kabut putih yang menguapYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

173

Kolektor E-Book

keluar dari atas ubun-ubun kepalanya. Hal begitupun tampak pula pada diri Mbah Pucung. Dan

Pepriman yang memahami segala hal mengenai tenaga dalam batin, segera menyadari bahwa kedua


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


kakek itu telah terlalu banyak menguras tenaganya.

Tanpa banyak diminta lagi, Pepriman lantas bertindak maju menghampiri, diiringi oleh Kiai

Kenistan dan Nyai Kenistan yang terdengar menggerutu perlahan.

Kiai Kenistan dan Nyai Kenistan telah mengambil tempat duduk bersila disisi kedua kakek itu

menghadapi sesosok tubuh yang tergeletak dihadapannya, akan tetapi Pepriman masih berdiri

terpaku, dengan sepasang mata terbelalak dan tubuh gemetaran.

Apa yang dilihat oleh mata pemuda ini, tidak lain adalah sesosok tubuh laki-laki tua, seorang

laki-laki yang selama hidupnya selalu dihormatinya diatas kepala, manusia laki-laki yang telah

menamakan jasa sebesar harga jiwanya sendiri, yaitu Kiai Teger adanya...

Akan tetapi Kiai Teger atau Ki Ageng Tampar Angin yang sekarang ada dihadapan pemuda

jembel ini, bukanlah Ki Teger yang bijaksana dan gagah perkasa seperti lima setengah tahun yang

lalu, yang tampak kering layu, dan yang menghitam sebagian tubuhnya sebelah kiri dari batas

pinggang kebawah hingga kejari kaki.

Betapa siksa dan derita yang ditanggung oleh guru Blimbingwuluh itu, membayang dalam

perasaan si pemuda. Siksa, aniaya, rasa penasaran dan dendam sakit hati, terkumpul jadi satu,

terlukis pada wajah tua yang tergeletak dengan mata terpejam itu.

Dan dibalik itu, dibalik bayangam kesedihan itu semua, berkelebat suatu ingatan yang lain

pada diri si pemuda, yaitu tentang perbuatan mesumnya dengan Dewi Cundrik juga tentang

pembunuhan atas diri Sawung dan Galing. Walaupun agaknya ada rasa malu dan duka pernah

dialami seseorang, tak mungkin ada yang pernah dialami sebagai Pepriman saat ini.

"Bocah goblok! Kau tidak mau membantu? Das..." Baru sampai di situ Nyai Kenistan

membentak, maksudnya memaki Pepriman, mendadak mulutnya telah ternganga, dan makian

selanjutnya terputus ketika melihat betapa Pepriman saat itu dengan tubuh gemetaran dan air mata

mengucur deras, berseru sambil menubruk : "Ayah......"

Demi terdengar sepatah kata panggilan Pepriman, seketika keempat orang sakti yang sedang

duduk bersila itu tersentak kaget. Dan secara bersamaan, keempat orang itu telah mengebaskan

tangannya dengan keras seraya membentak : "Jahanam!"

Saat itu. Pepriman sedang menubruk kedepan hendak memeluk ayah angkat dan gurunya itu!

Akan tetapi empat pasang tangan tokoh sakti itu telah mengebas keras secara serempak. Jangankan

hanya sebatang tubuh sebagai Pepriman, gunung anakan sekalipun takkan mampu menahan pukulan

gabungan ini.

Dan akibatnya, separti layang-layang putus tali, tubuh Pepriman terlempar keras, melayang

seperti daun kering dihembus topan.

Tak ampun lagi, tubuh pemuda itu menghantam dinding jurang, kemudian berdebuk jatuh

kelantai batu, untuk memuntahkan darah dari mulutnya, menyembur bagaikan pancuran.

Sungguh mustahil sekali, andaikata Pepriman dapat bertahan dari gempuran maut gabungan

empat tenaga tokoh sakti itu. Namun sebagai telah dituturkan didepan, didalam tubuh pemuda ini,

telah bergolak hawa sakti, atau tenaga dalam batinlah yang telah terhimpun secara otomatis. Tenaga

sakti gemblengan Turonggo Benawi ini, telah berkembang begitu hebat dalam tubuh si pemuda,

berkat ketekunan latihannya, ditambah dengan adanya bakat alami yang telah timbul sejak ia

mengalami goncangan jiwa dalam Istana Telagasona bersama Dewi Cundrik.

Ketika dirinya terancam bahaya maut, maka seketika tenaga dalam batinnya itu bergolak

dengan sendirinya, membentengi tubuhnya secara spontan.

Namun, karena gempuran itu terlampau dahsyat. ibarat dapat merubuhkan gunung, maka

walaupun tidak sampai tewas akan tetapi Pepriman cukup menderita luka dalam didadanya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

174

Kolektor E-Book

Dengan tubuh masih gemetaran, dan air mata yang membanjir, Pepriman berusaha merayap

bangkit "Ayah...aya..." rintihnya. Dan selanjutnya alam sekitarnya tampak berputar, ribuan kunang-

kunang bertaburan dimata, maka kembali tubuh pemuda itu roboh, pingsan.

Begitu tak selang berapa lama ia tersadar, maka di depan kepalanya tampak dua pasang kaki

yang berdiri kaku. Pepriman mengangkat muka, maka terlihatlah dua pasang mata Ki Cucut

Kawung dan Mbah Pucung berkilat-kilat memancarkan api pembunuhan.

"Ayaaah... ayah..." hanya itu yang dapat dirintihkan oleh Pepriman.

Ki Cucut Kawung mendengus dingin. Lalu terdengar kata-katanya yang mengguntur :

"Anjing tak tahu budi! Anak jadah sepertimu berani menyebut kepada sahabatku Ki Ageng

Tampar Angin sebagai ayah?" Terdengar Ki Cucut menggereng penuh amarah. "Aku akan

mewakilkan sakit hati orang yang paling berjasa atas dirimu, Kiai Teger untuk membunuhmu! Aku

akan mewakili Sawung dan Galing murid-murid setia Blimbingwuluh untuk membunuhmu! Aku

akan mewakili malaikat untuk mengadili dosa-dosa mesummu. Kau Joko Bledug? Kau?" Dan

kakek tinggi jangkung itu memperdengarkan tawa bengis yang berkakakan menyeramkan.

"Ah, ayah... ampuni aku ayah..." Pepriman merintih terbata-bata.

"Aku tak pernah memukul orang yang tak berdaya" Mbah Pucung berkata, suaranya datar dan

dingin. "Akan tetapi untuk orang melakukan dosa tumpuk undung sepertimu, dengan meramkan

mata aku akan turun tangan juga".

Nyata sekali bahwa keempat orang sakti yang hadir disitu semua niat untuk menghukum mati

diri Pepriman. Pepriman menginsafi hal itu. Dia tidak takut mati, juga tidak menyangkal bahwa

hukuman mati yang hendak dijatuhkan para sesepuh itu tidak adil. Hanya dalam keadaannya saat

ini, ia cuma bermaksud untuk memohon ampun kepada ayahnya belaka. Untuk mendengar

pengampunan yang akan diucapkan oleh ayah angkatnya.

Tidak lebih dan tidak kurang, ia hanya ingin menumpahkan rasa sesal dan dukanya, hingga

terjadinya bencana yang menimpa ayahnya itu. Tetapi untuk keinginan semacam ini saja,

tampaknya keempat tokoh sakti itu takkan mengijinkannya.

Sekali gebug, atau sekali lagi saja Ki Cucut Kawung mengirimkan pukulan, tak nantinya

Pepriman dapat bertahan hidup lebih lama. Dan agaknya guru Loning itu sama sekali tidak memberi

ketika lagi. Ia telah mengangkat kakinya, siap untuk menginjak hancur punggung Pepriman, ketika

tiba-tiba terdengar suara lemah yang mendesis :

"Tungguuuuu...", itulah suara Kiai Teger, yang di ucapkan dengan nafas antara sadar dan

pingsan.

"Ayaah..." Pepriman menjerit sekuatnya, darah dari mulutnya menyembur lagi.

"Kaukah Joko Bledug?" Terdengar suara Kiai Teger yang berdesah pula.

"Ayaah... benar ayaah....".

"Kau telah membunuh Sawung dan Galing, Bledug? Kiai Teger tampak sekali telah menguras

seluruh sisa hidupnya untuk mengajukan pertanyaan itu, nyata dari dadanya yang tipis itu

menggelombang turun naik.

"Ayaahkuu..." Pepriman tak sanggup melanjutkan jawabannya, karena kalimat yang hendak

diucapkannya telah berobah menjadi tangisan yang berhiba-hiba.

"Itu cukup membuktikan bahwa kau benar pembunuh saudara-saudaramu... Bledug... Dosa-

dosamu tak mungkin dapat diampuni...".

Jelas sudah, sebagai menyambarnya geledek diatas kepala, bahwa ayah angkatnya tak dapat

memaafkannya. Joko Bledug alias Pepriman telah pasrah pada nasib untuk menerima kematian

dibawah injakan kaki Ki Cucut Kawung.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

175

Kolektor E-Book

Dalam hati ia mengeluh : :Hiduppun sudah tak ada gunanya lagi. Ayah adalah orang paling

baik terhadapku, diapun tak dapat memaafkan diriku, apalagi orang lain..." Sedang mata

dipejamkan untuk menerima datangnya kematian yang akan menghancur remukkan dadanya,

mendadak sebilas terbayang olehnya wajah Cunduk Puteri.

Yah, dara hitam manis itu saja yang dapat memahami dan memaafkan diriku. Tetapi diapun

kini sudah terbinasa, mati dalam perjuangannya membela rakyat melarat dan kaum lemah.

Kasihan, Cunduk Puteri, kematiannya terlalu mengenaskan. Kasihan dia. Kasihan rakyat

jelata. dan kasihan kaum lemah yang ditindas dan teraniaya terus. Mereka tak ada yang

membelanya lagi.

Ah, tetapi kakang Walikukun, dia sedang kesana. Kesana membela nama baik Cunduk

Puteri...

Sampai disini keterangan Pepriman, terlintas dikepalanya, betapa barisan pemuda Gunung

Gajah berderap dibawah aba-aba dan komando Walikukun yang gagah perkasa itu. Dan, teringatlah

olehnya... pertemuannya dengan mereka di selat Pencuci Dosa ini...

Tepat ketika Ki Cucut Kawung menurunkan kaki kanannya yang besar berbulu-bulu dengan

seluruh ketegangan yang melukiskan kebuasan seorang pembunuh, tepat sedetik lagi nyawa

Pepriman akan melayang, dari arah mulut jurang nun tinggi sekali disana, terdengar suara yang

sayup tapi jelas, suara tawa dan tantangan :

"Alap-alap Gunung Gajah! Pepriman jembel busuk! Serahkan Kiai Tanjung dan Nyai

Tanjung kepadaku! Tak ada jalan keluar bagimu......" Selanjutnya, setelah suara mengancam itu,

terdengar tawa riuh yang berderai.

Sekian manusia yang berada didasar jurang itu adalah tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, dan

walaupun betapa sayupnya suara diluar itu, bagi mereka cukup jelas terdengar ditelinganya. Dan

mereka tersentak kaget. Sepasang mata Cucut Kawung terbelalak geram.

"Haturkan kemari Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung! Sudah itu biarlah aku akan

mengampunimu, asal meninggalkan bumi Pemalang!" Kembali suara sayup itu terdengar, kali ini

lebih riuh dari yang pertama.

Kemudian, bersamaan dengan riuhnya suara sorakan dari mulut jurang tampak meluncur

beberapa butir cahaya berkobar, menyambar kearah dasar jurang.

Kiranya benda-benda kecil bercahaya itu adalah anak panah berapi. Jarak antara mulut jurang

dengan tempat dimana keempat tokoh sakti ini berkumpul, yaitu dalam jurang itu, tidak kurang dari

tiga ribu kaki. Akan tetapi karena tempat didalam jurang itu gelap gulita, sedangkan anak-anak

panah tersebut berapi, maka semuanya terlihat dengan nyata.

Dan Cucut Kawung memaki :

"Sebel! Paling jemu aku berurusan dengan monyet tua itu!"

"Genikantar?" Mbah Pucung bertanya mencemooh.

"Hmmh. Entah dengan cara bagaimana tua bangka gila itu bisa menemukan tempat ini". Ki

Cucut Kawung menggerutu.

Tiba-tiba Kiai Kenistan dan isterinya tertawa.

"Mudah saja", katanya, "disini ada si jembel busuk itu yang memiliki Kiai Tanjung dan

pusaka Nyai Tanjung. Monyet-monyet haus kesaktian sebagai Genikantar itu kapan tidak ijo

matanya mengingus-ingus berita adanya kedua pusaka Pemalang itu".

"Benar", Ki Cucut Kawung membenarkan, dan seketika sekalian pandangan tokoh sakti itu

terlempar kearah Pepriman yang saat itu sedang tergeletak empas-empis.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

176

Kolektor E-Book

Nyai Kenistan mempermainkan selendangnya dengan sikap penuh ancaman, menghampiri

Pepriman. Barisan giginya yang putih berkilau sangat indah itu, kini tampak sangat mengerikan.

"E, bocah bau. Mana kedua pusaka itu!"

Pepriman membuka matanya. Ia tidak mati, dan selama itu, semua kejadian yang berlangsung

dalam jurang itu tidak luput dari pendengarannya.

Ia tidak kuatir disabet mati oleh selendang wanita itu, tetapi ia terkejut juga mendengar

pertanyaan wanita itu.

"Hei kunyuk busuk. Dimana kau simpan Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung, ha?". Nyai


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kenistan lebih mendesak, kakinya maju setapak demi sctapak.

Tiba-tiba terbayang senyuman diwajah Pepriman yang kotor berlcpotan darah itu. Dan

melihat itu, Nyai Kenistan terkejut, lalu berseru :

"Jahanam. Kau kira aku kemaruk barang pusaka seperti itu? Kau dengar! Untuk pengobatan

Kiai Teger diperlukan adanya benda atau mahluk yang memiliki perpaduan dwi kekuatan panas dan

dingin. Mahluk yang memiliki tenaga itu adalah Turonggo Benawi dan kau. Tapi siapa sudi

menerima budi dari anak jadah tak keruan macam sepertimu? Kami perlukan kedua pusaka itu.

Cepat serahkan kepadaku!"

Senyum Pepriman yang pertama tadi, sebenarnya hanyalah senyum pasrah pemuda itu belaka,

dimana hatinya pada saat itu sudah terima nasib untuk mati dibawah tangan orang sakti sebagai

Nyai Kenistan. Kitanya karena wajah yang kotor dari pemuda itulah, yang agaknya, menyebabkan

wanita itu salah terka.

Dan sekarang dengan mengambil kesimpulan lain, Peprirnan jadi ingin untuk tetap hidup. Ia

tidak memiliki Kiai Tanjung apapun Nyai Tanjung. Sekarang ia tahu bahwa kedua pusaka itu

berguna untuk mengobati ayah angkatnya. Kalau toh ayah angkatnya tak sudi menerima bantuan

tenaga batin si pemuda, andaikata si pemuda dapat menemukan kedua pusaka itu bukankah ia dapat

memberikan pertolongan?

"Nyai, kalau kedua pusaka itu datang dari tanganku, apakah itu pun tidak berarti budi

pertolongan pula?" kata si pemuda kemudian.

"Ngomong busuk! Pusaka Nyai Tanjung bukan milikmu. Kalau sekarang berada padamu,

maka aku hendak merampasnya! Kau mendapat pusaka itu boleh mencuri, kalau aku merampasnya

mana boleh di sebut budi pertolongan apa segala?!" Nyai Kenistan sengit.

"Sayang... sayang sekali." sahut Pepriman seraya merayap bangun," Kedua pusaka itu justeru

tidak ada padaku...."

Nyai Kenistan tertawa mengejek, begitupun suaminya dan kedua kakek sakti yang lain.

"Mana bisa kau mengelabui mataku?" Bentak Nyai Kenistan.

"Aku tidak mengelabui mata siapa juga, harap Nyai dapat berpikir panjang. Kalau pusaka itu

berada di tanganku, dan aku tahu benda itu berguna untuk mengobati ayahku, apakah aku takkan

sejak tadi menyerahkannya kepadamu".

"Tutup bacot! Jangan sebut-sebut ayah lagi!" Seru Ki Cucut Kawung. Kau serahkan benda

pusaka itu atau tidak! Kau serahkan berarti matimu mati lega, kalau tidak kau akan mati

penasaran!".

Bagi Pepriman, kedua macam kematian yaug ditawarkan oleh Ki Cucut Kawung sudah tak

ada bedanya lagi. Kini persoalannya adalah karena pemuda itu benar-benar tidak memiliki kedua

benda pusaka yang di maksud itu. Maka sambil hendak bergerak pergi, Pepriman berkata lesu :

"Kalian para sesepuh harap tinggal disini untuk beberapa waktu lagi. Aku hendak pergi

mencari...".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

177

Kolektor E-Book

"Brenti!" Ki Cucut Kawung telah melompat, menghadang didepan si pemuda sambil

membentak "Mau minggat kemana kau?"

Pepriman tidak marah, sejak tadi juga, bahwa dirinya dicaci maki, bahkan dikutuk oleh

sesepuh itu. Akan tetapi didesak secara demikian akhirnya kesal juga. Lalu dengan suara keras ia

berseru.

"Aku tidak hendak minggat? Aku mau mencari pusaka itu, bukan untuk marah-marah secara

bodoh seperti kalian para orang tua!"

Ki Cucut Kawung tersentak kaget. Tidak menduga sama sekali bahwa pemuda itu masih ada

keberanian untuk membentak secara begitu keras. Kakek tinggi jangkung itu tampak meringis

bengis, lalu tangannya terulur kedepan.

Deeees! Sebuah pukulan menghantam pundak Pepriman dan tubuh si pemuda melayang jatuh,

berdebruk dilantai jurang. Dengan meringis menahan sakit, Pepriman merayap bangun.

"Semua para sesepuh, dapat saja membunuhku, tetapi apakah kalian sebenarnya memang

hanya berpura-pura untuk berprihatin mengobati ayahku? Kedua benda pusaka itu sama sekali tidak

berada ditanganku apabila kalian para sesepuh membunuhku, apakah kedua benda pusaka Tanjung

itu dapat kalian peroleh? Sampai berapa lama lagi, kalian para sesepuh bertahan menyambung

napas ayahku, tanpa kedua benda pusaka itu?" kata Pepriman dengan pahit yang membayang

dibibirnya yang kotor.

Sekalian para tokoh sakti itu melengak. Sedikitnya, apa yang dikatakan oleh Pepriman ada

benarnya. Kedua benda pusaka Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung, nyata-nyata tidak berada ditangan

pemuda itu, berarti perlu benda itu untuk mencarinya lebih dulu.

Harapan tipis ini, tentu saja ada lebih baik dari pada mereka berempat secara bergiliran

menyambung napas Kiai Teger dengan napas bikinan yang dibangkitkan oleh bantuan aliran tenaga

batin keempat tokoh sakti itu.

Sampai kapan mereka dapat bertahan menyambung napas si penderita? Pertanyaan itu benar

sekali terpikir oleh mereka. Mungkinkah mereka akan berdiam terus menerus didalam jurang itu

sampai mati terkubur?

Kebimbangan terlintas diwajah masing-masing tokoh sakti itu. Dan hal ini cukup dimengerti

oleh Pepriman, maka pemuda itu lantas berkata :

"Dosaku tumpuk undung, itu benar", Pepriman menyambung bicaranya. "Tujuh kali dihukum

mati sekalipun, agaknya belum impas aku menebus dosa. Namun, para pinisepuh yang mulia,

apakah kalian akan membiarkan jerih payah dan perihatin kalian sia-sia begitu saja?"

Keempat tokoh sakti itu saling berpandangan. Sementara itu, disebelah sana tampak Kiai

Teger tergeletak dengan napas yang semakin jarang-jarang. Mereka menghela napas.

"Berapa lama kalian para sesepuh meninggalkan dunia ramai, dan berapa banyak korban telah

berjatuhan akibat keganasan tangan Dewi Cundrik dan Genikantar? Ketika rakyat jelata teraniaya,

ketika perkosaan dan kelaliman melanda seluruh pantai utara pulau Jawa kalian para pini sepuh

sedang berkumpul ditempat yang tersembunyi ini untuk melakukan suatu usaha yang tidak tentu

kesudahannya. Apakah itu bukan sebuah kekeliruan?"

Tidak seorangpun menyanggah pembicaraan Pepriman. Mereka terdiam, saling pandang,

bukan Kiai Kenistan membelalak kearah isterinya, dengan sinar mata Maido.

"Ayah terluka parah. Dan dalam darahku mengalir dosa-dosa yang tak berampun. Akan tetapi

para pini sepuh yang mulai sejak kapankah obat dipilih asal kedatangannya dari suci atau si dosa,

bukan dipilih dari manfaat dan kegunaannya? Di atas jurang sana..." Pepriman menarik napas berat,

dan sekalian para sesepuh mengangkat muka memandang kemulut jurang di sana Genikantar dan

Dewi Cundrik, dan pengikut Paguyuban Banjardawa sedang berpesta pora dengan darah dan nyawa

laskar kakang Walikukun..... Pembunuhan dan penganiayaan akan berjalan terus sementara

tanganku yang berdosa tak boleh menolong ayahku...."Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

178

Kolektor E-Book

Apa yang dikatakan oleh Pepriman itu benar belaka. Saat itu, diatas selat Pencuci Dosa,

disekitar mulut jurang, sedang berlangsung pertarungan yang sangat seru. Walikukun bersama anak

buahnya yang berjumlah kecil itu, dikurung dan didesak habis-habisan oleh laskar paguyuban

Banjardawa yang dipimpin oleh Ki Genikantar dan Dewi Cundrik serta Ki Gede Ayom demang

Moga.

Siang tadi, barisan pemuda Ganung Gajah tiba di selat Pencuci Dosa itu. Sesuai dengan pesan

pemimpin mereka Alap-alap Gunung Gajah, mereka berkumpul dan beristirahat disekitar mulut

jurang, sambil menunggu kedatangan pemimpin mereka.

Waktu itu, matahari sedang naik tinggi diatas kepala, panas sangat terik menggigit kulit.

Sehingga wajah-wajah para pejuang dan para murid Kenistan itu tambah tampak semakin tegang.

Tegang berkeringat karena perjalanan jauh, dan tegang karena rnenunggu dalam kecemasan.

Walikukun menjelaskan bahwa Alap-alap tentu akan segera cepat muncul, dalam mana

membawa hasil penyelidikannya menyelundup kedasar jurang. Namun keterangan wakil pemimpin

keterangan ini terdengar sumbang ditelinga mereka. Terasa bahwa Walikukun sendiri agaknya tidak

yakin pada kata-katanya.

Seorang pemuda asal murid Kenistan menyeletuk.

"Kakang Walikukun. Dewa Bumi sendiri agaknya tidak sembarangan menyelusup kebawah

tanah..."

"Apa maksudmu?" Walikukun tersentak kaget. Walaupun ia membentak akan tetapi dihati ia

sendiri mengakui kebenaran kata-kata bawahannya itu.

"Menyedihkan sekali, rasanya. Andaikata Ketua berjalan bersama kita, agaknya besok sore

kita sudah tiba didaerah Loning. Hemmm, sudah gatal tanganku ingin mencobai ilmu golok yang

dipakai menyombong itu. Murid Kenistan tadi menyambung pembicaraannya.

Walikukun berdiam. Alisnya berkerut dan wajahnya melukiskan kegeraman. Bayangan

kematian Cunduk Puteri mengetuk ingatannya, dan kini tinjunya mengepal ingin meremukkan

batok kepala Windupati orang yang telah memperkosa dan menganiaya pujaan hatinya itu.

Sedang para murid Gunung Gajah itu bercakap-cakap, mendadak terdengar genta sapi atau

kerbau dikejauhan, kelenang-kelening merdu dan nyaring.

Mereka mengira itu adalah suara gerobak sapi yang memuat padi atau ketela pohon yang

sedang melintasi jalan-jalan kampung. Sungguh tak terduga, mendadak dari arah yang berlawanan

dengan arah bunyi keleningan itu terdengar suara bersereset tajam naik keudara. Tampaklah

sebatang anak panah berapi, berkobar sedang naik menjulang kelangit.

Para pejuang Gunung Gajah itu sedang mencurahkan perhatiannya kearah suara keleningan,

siapa sangka, berbareng dengan meluncurnya anak panah berapi itu dari arah belakang mereka

bermunculan laskar-laskar paguyuban Banjardawa yang dipimpin oleb dua orang berkuda didepan.

Ki Genikantar dan Dewi Cundrik.

Walikukun terperanjat bukan main. Jumlah pasukan yang berbaris dibelakang kedua jago tua

itu, tidak kurang dari empat ratus orang. Jumlah ini saja sudah dua kali lipat dari pada jumlah

pemuda Gunuug Gajah yang sedang keletihan itu. Belum terhitung keganasan maupun keunggulan

ilmu kepandaian kedua tokoh ternama sebagai Ki Gcnikantar dan Dewi Cundrik itu.

Jalan mundur, tak mungkin lagi karena tertutup oleh barisan pendatang ini. Dan untuk maju,

Walikukun sendiri merasa ragu-ragu untuk melintasi jalan selat Pencuci Dosa dimana pada ujung

terakhir sebelah utara terdapat mulut lembah ?Pegat-sih? yang terkenal sangat angker dan

merupakan lembah maut, tempat orang yang tersesat tak pernah kembali hidup.

Akhirnya diambil keputusan untuk mengomando anak buahnya menyerbu maju. Sebelum

diserbu, lebih baik mendahului memukul, pikir Walikukun. Maka segera ia membawa anak

buahnya menyambut laskar yang baru datang ituYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

179

Kolektor E-Book

Serbuan itu segera disambut oleh amukan murid-murid Paguyuban Banjardawa, dan kedua

pemimpin mereka yang ternyata terlalu kuat untuk dilawan oleh Walikukun sendiri.

Sebenarnya, kedatangan Ki Genikantar dan Dewi Cundrik saat itu sama sekali tidak

bermaksud untuk mencegat pejuang-pejuang Gunung Gajah ini. Kedua tokoh sakti itu memang

telah sekian lamanya, berhari-hari menyelidiki selat Pencuci Dosa untuk mencari kedua pusaka,

Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung.

Ketika mereka melihat munculnya laskar-laskar Gunung Gajah, Genikantar, Dewi Cundrik

dan anak buahnya lantas menyembunyikan diri. Dan dalam persembunyiannya itulah, Ki

Genikantar dan Dewi Cundrik yang berpendengaran sangat tajam dapat mencuri dengar

pembicaraan Walikukun bersama anak buahnya.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan itulah sebabnya maka mereka mengerti bahwa si Pepriman sedang menyelundup kedalam

dasar jurang, Dalam hal ini, otak Genikantar terlalu cerdas, dan ia mengira bahwa si Pepriman pasti

sedang mengambil atau mungkin telah menemukan kedua pusaka Nyai dan Kiai Tanjung.

Oleh dugaan yang demikianlah, maka Ki Genikantar dan Dewi Cundrik memanggil-manggil

kedasar jurang sambil juga melemparkan beberapa murid Gunung Gajah kedalam jurang itu. Tentu

saja kedua tokoh pimpinan Paguyuban Banjardawa itu tidak pernah mengira bahwa didasar jurang

sana Pepriman bukan sedang menemukan pusaka Kiai dan Nyai Tanjung, bahkan menemukan

orang-orang yang tidak pernah diduganya, ayahnya dan keempat tokoh sakti pantai utara pulau

Jawa...

Tepat pada saat pembicaraan Pepriman sampai disitu, maka dari mulut jurang terdengar suara

jeritan yang menyayat, menyusul tampak sesosok bayangan hitam yang melayang turun dengan

cepat sekali.

Entah suara angin mendesau atau suara benda yang menyambar tiba, tahu-tahu disamping

mereka tampak sesosok tubuh laki-laki yang hancur berantakan tak berbentuk lagi, kepala tak ada

tangan terbeset-beset pecah, dan kaki terbang entah tersangkut dimana. Darah membasahi lantai

jurang.

Keempat tokoh sakti itu berdiri kaku bagai patung dengan mata terbelalak. Pepriman

menjublek, air matanya meleleh turun.

Bruk! Bruk! Brushsh! Beberapa tubuh lagi, membentur jatuh kebawah jurang, dengan bentuk

tubuh sudah compang-camping tak keruan. Dan disitu, kini terserak tulang daging darah yang

menyerak, menyiarkan bau amis.

Gemetar sekujur tubuh Pepriman. Ia tak yakin, apakah tubuh-tubuh yang binasa itu kawan

ataupun lawan. Akan tetapi kejadian ini semua menandakan adanya pertarungan sengit diatas

jurang.

Apabila Pepriman memikir sampai disini, teringat olehnya bahwa jumlah pasukannya terlalu

kecil apabila harus berhadapan dengan laskar Paguyuban Banjardawa. Sedang Walikukun sendiri,

belumlah tergolong sebagai pemuda yang tangguh yang akan mampu menghadapi Ki Genikantar

dan Dewi Cundrik. Apalagi jika diantara jago-jago Paguyuban itu terdapat juga Kebo Sulung dan

Ki Gede Ayom?

"Mbah Pucung!" Seru Pepriman berteriak. "Kiai Kenistan dan Nyai Kenistan! Di atas jurang

Walikukun sedang dipotong-potong oleh Genikantar dan Dewi Cundrik! Apakah kalian yang

menyebut dirinya pendekar pelindung kaum lemah hendak diam sajaaa?"

Teriakan Pepriman kali ini, menimbulkan akibat yang luar biasa itu. Tanpa menoleh atau

membuka mulut, Nyai Kenistan yang wataknya cepat kena di bakar itu telah berkelebat pergi.

Menyusul Kiai Kenistan yang memang tak pernah mau berjauhan dengan isterinya, segera

berseru sambil melompat pergi : "Isteriku! Tunggu aku!" Dan selanjutnya tampaklah dua bayangan

yang bergerak sangat ringan seperti burung pelatuk, berloncatan naik mendaki didinding jurang

dengan sangat pesatnya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

180

Kolektor E-Book

"Kurang ajar!" Ki Cucut Kawung agaknya juga seorang berangasan juga. Usia boleh tua, akan

tetapi wataknya yang mudah disuluti itu takkan berubah.

Belum jauh bayangan Nyai dan Kiai Kenistan mendaki dinding jurang, maka guru Loning

yang berperawakan seperti seorang atlit itu telah melompat naik keudara. Selanjutnya dengan

kegesitannya yang mengagumkan, tubuh yang tinggi jangkung itu berjumpalitan beberapa kali

diudara, untuk kemudian sekali tangannya terulur kedepan, maka ia telah berpegang pada sebuah

bungkahan karang dinding jurang yang menonjol.

"Bagi-bagi sedulur! Akupun ingin coba-coba menggebuk si monyet tua Genikantar,

hahaha..." suara tawa guru Loning itu masih terdengar, akan tetapi bayangan tubuhnya sudah

berubah menjadi sebuah titik diantara dua titik lain yang berada didepannya.

Suasana dalam jurang itu kembali suayi. Mbah Pucung menghela napas seraya berjongkok

mengawasi tubuh sahabatnya. Kiai Teger yang tak diam tak berkutik. Tampaklah kabut kedukaan

melingkupi wajah kakek ini, hanya dia tampak tenang, tidak menunjukkan kegelisahan sama sekali.

Lalu Pepriman menghampiri dengan sikap penuh hormat iapun berjongkok disamping tubuh

ayah angkatnya.

"Apa yang hendak kau katakan lagi, Bledug?" Tegur Mbah Pucung dengan suara yang datar,

serta tatapan mata yang tajam menikam seperti mata pisau.

Sejak tadi memang Pepriman bermaksud untuk menyampaikan kabar duka tentang kematian

Cunduk Puteri. Akan tetapi si pemuda mengurungkan maksudnya, mengingat bahwa Cunduk Puteri

adalah puteri tunggal kakek sakti itu. Dalam keadaan seperti itu, apakah yang akan terjadi bila

disampaikan kabar bencana itu?

Akan tetapi Mbah Pucung yang arif bijaksana itu, dengan matanya yang tajam seakan dapat

menembus hati orang, telah dapat menduga hal itu. Dan kini setelah ketiga kawannya itu pergi, si

kakek lantas bertanya.

Pepriman bermaksud untuk membohong, tanpa menyebut-nyebut perihal Cunduk Puteri.

Namun entah mengapa pengaruh tatapan mata kakek itu demikian dahsyatnya seakan

menghipnotisnya. Dan tanpa disadarinya, terlompat kata darl mulutnya : "Cunduk Puteri".

Mbah Pucung tampak agak terkejut, keningnya berkerut seraya berkata : "Kau hendak

mengatakan bahwa puteriku dalam bahaya?"

"Tidak hanya itu, mbah. Tetapi, tetapi, Cunduk Puteri te...telah..."

Untuk seketika, Mbah Pucung tampak terserentak. Akan tetapi kejadian itu berlaku hanya

sekilas belaka sehingga tidak terlihat sama sekali betapa kedukaan sebenarnya telah menggempur

hati kakek itu. Hanya wajahnya saja yang menjadi tampak guram, kerut merutnya bertambah.

Walaupun begitu, suara yang dikeluarkan dari mulutnya tetap datar tanpa gentaran.

"Kalau puteriku meninggal tentulah, gugur sebagai bunga pertiwi. Dan itu termasuk cita-

citaku maupun kita cita Nduk Cunduk sendiri......" kakek itu coba tersenyum. "Masih lebih baik dari

pada tinggal hidup dengan menanggung kehinaan dan kutukan. Mengapa orang rindu hidup dan

takut mati?"

Di mulut si kakek berkata demikian, akan tetapi pada ujung kelopak matanya yang telah

keriput itu, tampak sebutir cairan yang berkilau.

Pepriman sadar bahwa kakek itu telah menyindirnya. Tetapi ia tidak perlu membantah, semua

yang dikatakannya benar-benar semata.

"Cobalah kau ceritakan terlebih dahulu menelan ludah beberapa kali, barulah Pepriman mulai

dengan penuturannya.

Apa yang diceriterakan olehnya, adalah seluruhnya yang diperoleh dari Walikukun, dari sejak


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Perintah Maut Karya Buyung Hok Pendekar Pulau Neraka 19 Titisan Dewi

Cari Blog Ini