Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Gunung Gajah 7

Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar Bagian 7



dara memasuki hutan Bengkelung sampai memasuki perguruan Loning, hingga tewasnya daraYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

181

Kolektor E-Book

pendekar itu dibuangkan kesumur mati. Tidak satu halpun yang dilewatkannya, karena kecuali

berdusta tak ada gunanya juga. Mbah Pucung memang bukanlah orang yang dapat dibohongi.

Selesai Pepriman menuturkan kisah itu, tampak Mbah Pucung menegang beberapa saat,

dadanya yang tipis itu berombak-ombak dan napas yang keluar dari hidungnya mengeluarkan hawa

panas. Ketika Pepriman menundukan muka, maka terlihatlah lantai dimana kakek itu duduk telah

amblas lebih dari sejengkal?

Itulah pertanda kemurkaan telah mengamuk dalam diri kakek sakti yang penyantun itu. Dia

tidak memaki, tidak mengumpat, akan tetapi apabila orarg melihat bayangan senyum yang

bertengger dibibirnya akan bergidik seluruh bulu tubuhnya akan meremang.

Seakan Batara Indera sedang bersemedhi maka Mbah Pucung merangkap kedua tangannya.

Lantas sayup-sayup suara yang keluar dari mulutnya terdengar sangat perlahan akan tetapi nyaring.

"Mati dan tewas ataupun gugur itu sama, berarti kembali keharibaan yang Maha Kuasa. Akan

tetapi mati menaburkan bunga dam mati terbinasa itu jauh berbeda! Matinya seorang pendekar,

adalah ibarat layunya sekuntum bunga, setidaknya pada saat kematiannya masih menyerakkan bau

harum!" Beberapa lama Mbah Pucung diam.

Suasanya jadi hening sunyi. Pepriman tak berani membuka mulut, bahkan bernapaspun ia

takut untuk menimbulkan dengusan.

"Kepergianku lima setengah tahun yang lalu, membuntuti dan merampas Kiat Teger dari

kerangkeng orang-orang Ampelgading adalah sekedar menunaikan bakti seorang pendekar aku

tidak mabuk pada sebutan pendekar atau sebutan budiman yang kosong melompong, tetapi aku

bertindak adalah karena keyakinanku pada kebenaran dan keadilan! Aku yakin Kiai Teger tidak

barsalah, dan adil sekali apabila ia harus dibebaskan dari fitnah yang biadab itu!"

"Cunduk Puteri menyetujui tindakanku. Dan ia sendiri bermaksud untuk membuat suatu

gabungan atau serikat para pendekar yang nantinya akan dipergunakan untuk menandingi

kesombongan Paguyuban Banjardawa. Kiranya benarlah kata pepatah, manusia berusaha dan Tuhan

Yang Berkuasa! Kiai Teger sahabatku belum seluruhnya tertolong dari fitnah, serikat tandingan

Banjardawa belum terbentuk, puteriku telah mendahuluiku meninggalkan alam fana ini!"

Beberapa kali leher kakek itu bergerak-gerak, mungkin menelan ludah membasahi

kerongkongan yang kering, atau mungkin juga menahan gelombang tangis yang akan meletus dari

dadanya.

"Matipun hidup sebenarnya, dialam baka! Hidup mati adanya, tetapi dialam fana! Sebab

kedua-duanya hanyalah wujud dari bersatu atau bercerai raga dan jiwa belaka. Didunia hidup

jasadnya, mati jiwanya. Di alam akhir, mati jasadnya hidup jiwanya. Apa katamu, Bledug?"

Mendadak kakek itu membuka matanya. Dan Pepriman yang memang saat itu hendak

mengatakan sesuatu, tersentak mundur.

"Mbah. Semua pesanmu tadi benar belaka! Aku yang muda cupat pandangan tak dapat

menyangkalmu. Tapi lantas timbul pertanyaanku, apakah Mbah Pucung sudi mendengarnya?"

Mbah Pucung menganggukkan kepalanya. Sikapnya sangat tawar, dingin, seakan-akan alam

sekelilingnya ini sudah tidak memberi arti sama sekali baginya.

"Manusia berusaha, Tuhan berkuasa! Sepanjang pendengaranku kalau tak salah, tentulah para

pini sepuh telah berusaha menolong ayah sejak lima setengah tahun yang lalu. Betapa penderitaan

dan kesulitan yang dihadapi oleh para sesepuh, agaknya aku tak berani membayangkannya. Tetapi

Tuhan jualah Yang Maha Kuasa, dan jerih payah para sesepuh belum juga memberi hasil. Suatu

kesimpulan, bahwa dengan tenaga ilmu pukulan jangkar bumi..."

Mbah Pucung mengangguk mengerti.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

182

Kolektor E-Book

"Aku yang rendah ini, secara kebetulan telah diwarisi sebagian ilmu pukulan tersebut.

Walaupun tidak seberapa, bukankah lebih baik aku berusaha menyembuhkan ayahku dengan tenaga

sendiri, daripada menunggu sampai ditemukannya Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung?".

"Bicara muter-muter, maksudmu toh hendak memberikan pertolongan pada ayah angkatmu

bukan?" Mbah Pucung bertanya dingin.

"Benar Mbah" sahut Pepriman seraya mengangguk.

"Sekalian orang gagah telah memusuhimu. Tidak satu orangpun akan menerima kehadiranmu

dikalangan rimba persilatan. Dosamu sudah keliwat ukuran Bledug. Ayahmu sendiri tak sudi

menerima budi darimu!."

"Terapi Mbah, dengan ingkar dari kenyataan, yaitu kenyataan bahwa yang secara kebetulan

mungkin dapat menolong jiwa ayahku adalah aku, apakah itu tidak berarti perbuatan ingkar? Atau

putus asa, tidak berikhtiar namanya? Mbah Pucung. Kalau aku boleh berkata, maka jika begini betul

pendapat kalian para sesepuh, maka aku akan menuduh kalian sebagai orang yang sok suci, sok

merasa bersih sendiri! Dosaku bertumpuk-tumpuk, akan tetapi beranikah Mbah Pucung menyebut

dirinya tak berdosa?".

Mendengar kata-kata yang tajam dan keras Mbah Pucung terbelalak sejenak, akan tetapi tak

lama kemudian tenang kembali.

"Di dalam agama, dapatlah dihalalkan barang yang haram, apabila barang itu cuma satu-

satunya obat yang dapat menyembuhkan suatu penyakit, apakah kataku ini tergolong keliru,

Mbah?" Kata Pepriman dengan penuh semangat.

Mbah Pucung terdiam. Betapapun, ia ingat bahwa Pepriman alias Joko Bledug lebih berhak

memberikan obat daripada mereka yang mengaku sebagai sahabat sejati Kiai Teger. Mereka para

pini sepuh adalah sahabat-sahabat sejati, sahabat karib kalangan rimba persilatan, sedangkan Joko

Bledug justeru anak angkat si penderita itu sendiri.

"Sudahlah Bledug, aku takkan banyak omong lagi" kata Mbah Pucung kemudian.

"Kutolakpun tampaknya tak bisa lagi. Keadaan ayah angkatmu tampaknya sudah sangat perlu

membutuhkan pertolonganmu. Marilah kita mulai dari sekarang.....".

Mendengar Mbah Pucung menyebutkan kata ?kita? Pepriman keheranan. Apakah kakek itu

tidak bermaksud tnencari musuh-musuh puterinya dan membalaskan sakit hatinya?

Tampaknya Mbah Pucung dapat membaca isi hati orang. Terdengar ia berkata : "Apakah kau

kira aku seorang pendendam?" mata kakek itu mengawasi tajam kearah Pepriman. "Cunduk Puteri

datang dari ketiadaan, dan sekarang dia kembali tak ada, apa yang harus dijadikan dendam?"

Pepriman sudah tak mau membuang waktu untuk berdebat lagi. Cepat-cepat ia bersila

disamping tubuh ayahnya, untuk menempelkan kedua telapak tangannya pada punggung ayahnya.

Detik itulah, si pemuda lantas meramkan mata, mengetrapkan aji sakti ?jangkar bumi? ajaran

Turonggo Benawi.

Sayang sekali, Pepriman dalam keadaan terluka dalam, andaikata tidak, agaknya ia akan lebih

bebas dan besar mengumpulkan tenaga batin saktinya!

Ketika hening dan bening seluruh sukma berhimpun jadi satu dalam keheningan yang tunggal,

dimana tiada warna hidup lain kecuali sebatang sinar hidup yang memancar pada seluruh jiwanya,

maka mengalirlah suatu tenaga gaib panas dan dingin melalui kedua belah tangan si pemuda,

mengalir, menembusi jasad Kiai Teger, beredar mengembang keseluruh tubuhnya melalui setiap

pembuluh darah.

Melihat adanya uap tipis yang mengembang keluar berwarna merah dan putih dari tubuh si

pemuda, Mbah Pucung tertegun, kemudian kaget gugup. Uap dwiwarna itu kiranya bergoyang-

goyang tak lancar, seakan asap yang terhalang dedaunan.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

183

Kolektor E-Book

Mbah Pucung mengeluh : "Celaka! Luka dalam bocah ini cukup berat. Mungkin dia bisa

menyelamatkan ayah angkatnya akan tetapi jiwa sendiripun agaknya takkan tertolong..."

Menyadari kenyataan demikian, maka diam-diam kakek sakti itu menyesal. Menyesali

perbuatan sendiri bersama ketiga sahabatnya tadi, yang telah membuat si pemuda terluka dalam

begitu hebat. Urusan sudah terlanjur begini, tak guna disesali lagi.

X

X X

KETIGA sahabat Mbah Pucung kini telah berada di luar mulut jurang. Begitu mereka muncul

langsung mereka bekerja. Berpuluh-puluh laskar Paguyuban Banjardawa jatuh menjadi korban.

Kedatangan mereka ini sebenarnya sangat tak diduga, oleh Paguyuban Banjardawa maupun

oleh Walikukun. Saat itu, pejuang-pejuang Gunung Gajah sedang didesak terus mundur kearah

mulut jurang oleh Dewi Cundrik bersama murid-murid Gunung Kelir yang dipimpin Toh

Kecubung.

Sedangkan Walikukun terdesak hebat menghadapi tokoh sakti sebagai Ki Genikantar itu.

Boleh jadi Walikukun gagah berani dan perkasa, akan tetapi murid kepala perguruan Kenistan ini

bukan imbangannya melawan bekas opsir Mataram sebagai guru Bantarkawung, Ki Genikantar itu!

Permainan tongkat hitam, yaitu tongkat Walikukun ditangan pemuda itu sudah kacau. Di

beberapa bagian tubuhnya, tampak luka-luka berdarah yang hangus, mirip cakaran jari tangan.

Pemuda wakil ketua perguruan Gunung Gajah ini tampaknya sudah payah sekali. Hanya karana

semangat dan keberaniannya yang tak terbatas sajalah, maka Walikukun masih dapat bertahan.

Genikantar yang melihat lawannya sudah hampir kehabisan tenaga itu selalu melancarkan

serangan sambil tertawa-tawa penuh ejekan.

"Walikukun! Gurumu sendiri belum patut menjadi lawanku, apalagi sekedar bocah gede

kemarin seperti kau! Lebih baik menyerah, haaa..."

"Ngomong besar!" Walikukun membentak. "Kau tua bangka beranimu mengeroyok,

mengandalkan jumlah untuk mencari menang! Kau kira aku Walikukun tak dapat menghukum mati

kalian!"

Genikantar tahu, bahwa lawannya sedang memancing kemarahan, sebagai orang kawakan

rimba persilatan mana boleh diselomoti begitu mudah?

Sambil tertawa, Ki Genikantar melonjorkan kedua tangannya kedepan seperti orang hendak

menangkap sebuah benda bulat. Walikukun tak mau gegabah, segera diputarnya tongkat hitamnya,

memapas tangan orang, menggertak atau melindungi diri sendiri.

Akan tetapi tampaknya Ki Genikantar terlampau gegabah, memandang rendah pada lawan,

dan kedua lengannya dibiarkan saja terlunjur kedepan, seolah-olah akan manda dihajar tongkat.

Untuk sedetik itu, Walikukun tersenyum dalam hati. Walaupun lenganmu terdiri dari besi

baja, akan tetapi kena bajar tongkat kayu walikukunku, masakah tidak remuk lebur? kata

Walikukun dalam hatinya. Dan tenaganya dikerahkan sepenuhnya memutar tongkat guna menghajar

lengan lawannya.

Akan tetapi masakah Ki Genikantar begitu bodoh. Mendadak sekali ketika sabetan tongkat

datang menyambar, dengan kecepatan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki aji

sakti ?sangkar angin? (yang memiliki kecepatan dan keringanan sebagai angin). Genikantar telah

merotolkan kedua kakinya ketanah. Lalu tubuhnya memutar lurus seperti baling-baling sambil

mengapung, sehingga kepala dibawah kakipun lurus keatas, begitupun kedua lengannya masih tetap

lurus, akan tetapi juga kebawah.

Itulah ilmu silat aneh dan hebat yang sering disebut oleh Ki Genikantar sebagai jurus gerak

sakti Branjangan kekejer (burung Branjangan mengapung).Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

184

Kolektor E-Book

Kini justru tubuh Ki Genikantar berada diantara tubuh Walikukun dengan tongkatnya yang


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


sedang menyambar. Tongkat kayu hitam memutar terus tidak mengenai sasaran, sedang bahaya

maut agaknya sudah tak mungkin lewat dari atas diri bekas murid perguruan Kenistan itu.

Jarak antara tangan Ki Genikantar dengan dada Walikukun, ibarat tidak ada setengah jengkal

lagi. Sedang keadaan Walikukun, kini sedang terhuyung karena pukulannya tidak mengenai

sasaran, maka menangkis atau menghindar baginya sudah tak mungkin lagi.

Kelima jari tangan Genikantar telah terkembang, siap ditancapkan menembus ulu hati

Walikukun. Pemuda inipun hanya bisa terkejut, untuk kemudian pasrah pada nasib, menerima

kematian dibawah pukulan cakar Bromo (Cakar Api) dari Ki Genikantar.

Tetapi rupanya sang Dewa Maut belum suka mampir pada diri Walikukun. Sebelum jari-jari

tangan Ki Genikantar ambles kedalam ulu hatinya, mendadak sekali terdengar suara ledakan

nyaring diudara, menyusul kemudian sebuah sinar hijau menyambar secepat kilat menggempur

tangan Ki Genikantar dengan dahsyatnya.

"Yeahh...!" Ki Genikantar terpekik kaget, dan cepat-cepat menarik kembali jari-jari

tangannya. Sementara itu tubuhnya kini sedang meluncur turun, berjumpalitan sekali, baru

kemudian jago tua itu mendarat diatas tanah dengan jidat berkeringat.

"Kiranya kau, Nyai Lembayung!" Tegur Ki Genikantar seraya tertawa paksa, kearah

penyerangnya Nyai Kenistan.

Antara Ki Genikantar dengan Nyai Kenistan di masa mudanya pernah terlibat suatu kisah,

dimana Ki Genikantar selalu mempergunakan panggilan Dewi Lembayung terhadap diri Nyai

Kenistan (dikisahkan dalam cerita Sejengkal Tanah Si GESENG).

"Bertingkah apa kau tua bangka? Setelah melihat aku yang datang kau hendak berlagu apa

lagi?" Nyai Kenistan menjawab ketus.

Dan dalam keadaan seperti itu, sikap berdiri angkuh wanita tua ini tampak sangat agung-

agungan, angker dan menarik hati sekali. Ki Genikantar hampir tersenyum akan tetapi melihat

seorang laki-laki tampan yang mendadak tahu-tahu berada disisi Nyai Kenistan, guru Bantarkawung

itu terbatuk-batuk.

"Isteriku....." lelaki yang baru muncul itu sudah lantas memanggil mesra kepada Nyai

Kenistan. "Itu disana ada si Cundrik. Kalau kau mau main-main, sekarang waktunya!"

"Kiai Kenistan baru saja berkata begitu, kiranya isterinya telah lebih dahulu melompat pergi

melabrak kearah guru Guha Gempol atau Dewi Cundrik.

Demikianlah memang keadaannya sepasang pendekar tua dari Kenistan itu. Dalam keadaan

yang bagaimanapun, mereka selalu bersikap mesra, walaupun sebenarnya mereka sering bertengkar

mulut. Akan tetapi semuanya itu sesungguhnya hanyalah mewakili cinta kasih mereka yang tidak

kunjung reda, hingga dihari-hari tuanya seperti sekarang.

Setelah melihat Nyai Kenistan pergi, Ki Genikantar tertawa bergelak seraya mendelik kearah

Kiai Kenistan.

"Kiai Kenistan! Kau hendak membela orang busuk, pemberontak-pemberontak semacam

laskar Gunung Gajah itu? Hm apakah tidak menyesal kau ditakdirkan sebagai keturunan Wong

Agung?"

Kiai Kenistan hanya tersenyum tawar belaka. Jawabannyapun enteng saja.

"Sejak kapan kau boleh menasehati aku?"

"Kuharap kau berlalu saja bersama isterimu, cepat-cepat kesana. Aku takkan mengganggu

Dewi Lembayungmu!" Seru Ki Genikantar seraya melayangkan pandang kearah Nyai Kenistan

yang saat itu sudah bertanding seru melawan Dewi Cundrik.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

185

Kolektor E-Book

"Kukira kalau kau berani mengganggu isteriku dari dulu kau tentu sudah melakukannya,

Genikantar? Kita sudah sama-sama tua! Kalau mau bicara terus terang bukankah kau jeri melihat

kedatangan aku berdua dan Ki Cucut Kawung?"

Ditebak secara begitu jitu, tentu saja Ki Genikantar gelagapan. Ia memang melihat betapa

anak murid Gunung Kelir dan anggota Nelayan dibawah pimpinan Tambakeso tampak kocar-kacir

diamuk oleh guru Loning yang yang sangat perkasa itu, walaupun Toh Kecubung, Ki Tambakeso

dan sekalian murid-muridnya bertahan, akan tetapi Ki Cucut Kawung memang bukan lawan

mereka. Dengan bentakan-bentakan mengguntur dan permainan goloknya yang belum ada

tandingan dikolong langit ini, Ki Cucut Kawung selalu dapat membikin roboh setiap lawan yang

berani mendekatinya.

"Kiai Kenistan, jangan sombong!" Ki Genikantar membentak. "Mau kulihat apakah sabuk

Cinde-mu masih bertenaga atau tidak."

"Kukira kemat kemayah Guntur Bromo yang setengah mati kau latih sudah tumpul

sekarang!" Sahut Kiai Kenistan seraya melolos sabuk (ikat pinggang) Cinde (emas) dari

pinggangnya." Segala cakar bromo, turonggo bromo, siluman bromo (siluman api) sekarang tidak

penting lagi. Apa gunanya api, aku tidak ok!"

Siiiing! Berdesing nyaring, ketika Kiai Kenistan menarik senjatanya yang berbentuk ikat

pinggang terbuat dari emas tipis. Sinar kuning berkilau berkelebat diudara, bersamaan dengan

terpencarnya hawa panas dari senjata itu.

Tentang senjata Sabuk Cinde ini, Kiai Kenistan sebenarnya sangat jarang

mempergunakannya. Akan tetapi melihat lawan yang tangguh dan sangat ternama itu, walaupun

tidak kuatir akan dapat dikalahkan, agaknya tak mungkin ia bertarung densan tangan kosong.

Sabuk Cinde mempunyai tajam bolak balik, karena memang senjata itu tipis, sebagai pedang.

Ujungnya runcing, dan disitu tampak sebuah gambar burung sri gunting berkepala merah. Gambar

burung itu melukiskan kelincahan dari pada gerak senjata itu, yang dapat dipergunakan untuk

membabat, membacok, menusuk tetapi juga menyabet seperti cambuk.

Lawan telah mengeluarkan senjata, maka Ki Genikantar tak mau ketinggalan. Dari dalam

kantong baju luarnya, ditarik keluar sebuah benda dari tembaga yang berbentuk seperti anglo

(tempat pedupaan). Kemudian kedalam anglo itu, dituangkan beberapa jumput bubuk warna merah,

seketika mengepullah asap warna merah dari tempat itu yang juga memancarkan hawa sangat

panas. Setelah itu, sambil membentak Ki Genikantar mengeluarkan sebuah gaetan tembaga pula,

yang kemudian dikaitkan keras, pada bibir anglo.

Ketika tiba-tiba api berkobar dalam anglo itu, maka Ki Genikantar berseru :

"Kiai Kenistan tahukah kau, bahwa aji Guntur Bromo dapat membunuhmu, dan membuat

Dewi Lembayung jadi janda?".

"Ngomong!" Kiai Kenistan membentak dan senjatanya meluncur melancarkan tikaman.

Ki Genikantar tak berani gegabah menghadapi serangan itu. Dengan menggeser kaki

kesamping tangan kanannya yang memegang anglo digerakkan menangkis.

Trang! Dua senjata berbentrok menimbulkan bunyi nyaring. Ki Genikantar mundur setindak,

sedangkan Kiai Kenistan terpaksa harus melompat mundur setombak sebab ia insyaf bahwa asap

anglo akan menimbulkan bahaya-bahaya tak terduga.

Dan kiranya dugaaa itu betul semata. Bukan asap merah dari anglo itu yang berbahaya, akan

tetapi loncatan api dari dalamnya yang menyambar seakan bermata, mengejar kearah lawan.

Dengan mundur setombak itu, maka Kiai Kenistan selamat tak kurang suatu apa, akan tetapi

sebagai mereka kalangan tokoh-tokoh ternama, loncatan mundur itu terhitung agak kalah setengah

gebrakan.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

186

Kolektor E-Book

"Aku tidak mungkin kalah!" Kiai Kenistan mendengus seraya menggerakkan senjatanya pula

menerjang.

Kali ini, Kiai Kenistan tidak menghendaki bentrokan senjata lagi, maka tubuhnya lantas

bergerak sangat lincah, berlompatan kekiri dan kekanan, maju atau mundur dengan cepat.

Sementara itu, Sabuk Cindenya bergerak sebagai bayangan terkadang menyabet, membabat atau

menikam dengan gencarnya.

"Bagus!" Mau atau tidak, Genikantar harus mengagumi kelincahan lawan. Kiai Kenistan

sudah tak tampak sosoknya lagi, tinggal bayangan-bayangan kuning belaka yang berkelebatan

sangat cepat.

Namun permainan anglo Genikantar sendiri mempunyai kedahsyatan lain pula. Setiap senjata

itu digerakkan, maka mendesus angin tajam yang sangat panas dan berbau sangit. Tidak itu saja,

kakek sakti ini telah berubah merah, persis tembaga.

Demikianlah, pertarungan kedua tokoh tua itu berjalan dengan seimbang. Yang seorang

lincah, yang seorang tangguh. Dan walaupun kini mereka telah menyelesaikan lebih dari lima puluh

jurus, akan tetapi tidak seorangpun yang tampak terdesak.

Dilain pihak, Dewi Cundrik sedang bertarung seru melawan Nyai Kenistan. Kali ini Dewi

Cundrik sudah tidak mengenakan topengnya lagi, sehingga tampaklah wajahnya yang asli, yang

sebenarnya kecuali cantik dan manis seimbang dengan Nyai Kenistan, bahkan mempunyai paras

yang tampak lebih muda dari lawannya.

Sebenarnya Dewi Cundrik tldak lebih muda usianya daripada Nyai Kenistan. Hanya, sebagai

telah di ketahui bahwa wanita Guha Gempol ini berwatak genit, dan paling gemar melalap daun

muda (perjaka).

Tidak sedikit korban perjaka telah jatuh dalam jaring-jaring asmara busuknya, yang

mengakibatkan wanita itu berhasil mengetrapkan ilmu Mayang Anom yaitu Ilmu Awet Muda!

Suatu kelebihan bagi Nyai Kenistan, adalah ia memiliki senjata yang cukup panjang.

Sehingga Dewi Cundrik yang termashur dengan berbagai ilmu beracun dapat diimbangi

keganasannya.

Dewi Cundrik sendiri sadar, bahwa lawannya kali ini bukanlah main-main. Nyai Kenistan,

atau Dewi Lembayung telah lama dikenalnya, dan didengar kelihaian ilmu selendang layungnya.

Kecuali itu, dalam hal tenaga batin, Dewi Cundrik harus mengakui keunggulan lawannya,

keuntungan sedikit dipihaknya, ialah Nyai Kenistan jeri menghadapi racun-racunnya.

Ketika Dewi Cundrik mengembang sepuluh jarinya maka tampaklah kuku-kukunya yang

panjang dan sepotong merah seporong hitam. Itulah racun pacet wulung dan pacet bromo telah

melekat dikedua telapak tangannya.

Jangankan manusia, seekor banteng belum tentu sanggup bertahan oleh karena keganasan

kedua macam racun itu.

Taar! Taar! Seleadang layung Nyai Kenistan terbang memutar diudara meledak-ledak,

mengurung diatas kepala lawan. Dewi Cundrik tidak gentar. Sebaliknya dari mundur, ia bahkan

maju setindak dan mengulurkan tangan mencakar kearah dada lawannya.

Buutt! Tahu-tahu ujung selendang menukik turun, menyambar lengan Dewi Cundrik.

Memang hal inilah yang ditunggu oleh Dewi Cundrik.

Begitu selendang melayang turun, Dewi Cundrik menjambret dengan kuku-kuku jarinya.

Tetapi lacur, ujung selendang itu seakan bermata tahu-tahu telah berubah arah, menampar kemuka

Ratu Telagasona itu.

"Aiiih!" Dewi Cundrik menjerit kaget. Tubuhnya melompat mundur berjumpalitan, maka

serangan ujung selendang dapat dihindarkan, namun sudah cukup membuat guru Guha Gempol itu

berkeringat di dingin.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

187

Kolektor E-Book

"Hati-hati Cundrik!" Nyai Kenistan memperingatkan, tetapi nadanya mengejek. "Kau, sudah

tidak memakai kedok lagi. Kalau pipimu hancur kena selendang, jangankan jejaka, kakek-kakek

jompopun belum tentu kesudian mendekati dirimu lagi... hihik!"

?Ceriwis! Kau kira aku takut pada siluman sepertimu!" Dewi Cundrik membentak marah.

"Kiai Teger juga jatuh dibawah pukulan beracun, apa lagi kau!"


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Lain soalnya." Nyai Kenistan tersenyum menghina. "Kalau Kiai Teger tentu bisa dirayu oleh

mulutmu yang beracun seperti kuku jarimu! Tapi aku? Biarlah, aku akan membalaskan sakit hati

Kiai Teger biar manyesal kau seumur hidupmu. Hendak kuhajar pinggangmu. sebagaimana kau

menusuk pinggang Kiai Teger dengan jarum pacet wulungmu".

Dewi Cundrik gusar, wajah hingga kelehernya merah saking marahnya. Tetapi wanita ini

sempat mendamperat, sebab Nyai Kenistan benar-benar membuktikan kata-katanya, selendangnya

diluncurkan menghajar pada pinggang Dewi Cundrik mengegoskam tubuh lalu tangan kirinya

digentakkan kesamping mencengkeram. Bila Nyai Kenistan meneruskan serangannya, tentu

selendang itu kena dicengkeram oleh kuku jari Dewi Cundrik. Akan tetapi mana Nyai Kenistan mau

begitu mudah diakali!

Ujung selendang masih tetap meluncur menghajar kearah pinggang lawan, sementara itu

tangan kiri Nyai Kenistan bergerak cepat, menggaplok kepinggang Dewi Cundrik sebelah kanan.

Sedang tubuhnya mengegos kekanan, datang serangan tangan kiri Nyai Kenistan yang

menyambut dengan keras. Walaupun lihay bagaimanapun, Dewi Cundrik terkejut juga. Sambil

berteriak nyaring, guru Guha Gempol itu terpaksa melompat mundur pula, beberapa langkah. Dan

ini berarti setengah kehilangan muka bagi Dewi Cundrik.

JILID : 11

BUKAN buatan gusar dan penasarannya wanita itu. Selanjutnya dengan mengertak gigi,

Dewi Cundrik menerjang maju, kedua tangannya bekerja cepat, menghantam dan mencakar,

mengirimkan serangan balasan.

Memangnya Nyai Kenistan rada-rada jeri menghadapi ilmu racun lawan maka ia harus main

loncat-loncatan mundur untuk menghindari serangan lawannya itu.

Tadi dalam dua gebrakan Dewi Cundrik dibikin terdesak, hal itu terjadi karena wanita itu jeri

menghadapi ilmu selendang lawan. Sekarang dengan api kemarahan yang berkobar, ia menerjang

seperti singa betina, maka untuk selanjutnya Nyai Kenistan sendiri tidak dapat main desak-desak

terus lagi.

Yang tampak pincang, adalah pertarungan Ki Cucut Kawung melawan Toh Kecubung dan

Tambakeso. Toh Kecubung telah bertahan sekuat tenaga dengan tombak pendek ditangan kanan

dan perisai setengah lingkaran.

Dan Tambakeso dengan kebutan baja ditangan kiri dan sebuah trisula ditangan kanan,

mencoba untuk menahan amukan mahayogi dari Loning itu.

Akan tetapi ilmu golok dari Loning yang sangat termashur itu, kali ini benar-benar sedang

menunjukkan kehebatannya. Dalam gebrakan yang kedua puluh, tombak pendek Toh Kecubung

telah terlempar akibat tendangan lawan, dan begitupun trisula ditangan Tambakeso, melayang

terbang, jatuh rnenikam muridnya sendiri.

Permainan golok Ki Cucut Kawung kecuali cepat dan dahsyat, juga mengandung perbawa

besar. Kemana saja golok itu digerakkan, selalu mengeluarkan hawa panas yang santer. Dan setiap

gerakannya, selalu penuh dengan gerak-gerak pecahan, yang sulit untuk diduga kemana jalannya.

Golok ditangan guru Loning itu terus bergetar, membuat bayangan golok kembar berpuluh-

puluh, seakan-akan setiap penjuru tampak dikuasai oleh sinar senjata itu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

188

Kolektor E-Book

Dengan mengikuti langkah-langkah sakti yang disebut Delapan Langkah Membunuh Naga,

walaupun hujan senjata meluruk kearah dirinya, akan tetapi Ki Cucut Kawung selalu dapat

menyelamatkan diri, bahkan sekaligus balas menyerang.

Tidak kurang dari dua puluh lima orang korban jatuh dipihak Paguyuban Banjardawa oleh

amukan pertapa gagah itu. Toh Kecubung dan Tambakeso sendiri sebenarnya sudah main mundur-

mundur terus, tak sempat balas menyerang.

"Tidur!" Bentak Ki Cucut Kawung seraya menyabetkan goloknya secepat kilat keleher

Tambakeso!

Tambakeso terperanjat buru-buru ia merendahkan tubuhnya, seraya mempergunakan kebutan

bajanya menghajar pergelangan tangan lawan. Akan tetapi mendadak golok itu barhenti menyerang,

berbalik memapas kearah gagang kebutan baja.

Tambakeso mandi keringat dingin. Bahaya itu datang terlampau cepat, dan ia tidak bisa

mengimbangi maka ia berteriak, minta tolong. Pada saat itu memang Toh Kecubung sedang maju

untuk mengayunkan perisai bajanya, membelah kedada Cucut Kawung.

Apa hendak dikata, kiranya hal itu telah berada dalam perhitungan guru Loning itu. Sedang

perisai itu meluncur datang, maka ia telah mendoyongkan tubuh kesamping dengan cepat. Perisai

meluncur maju mengenai tempat lowong, sebaliknya Cucut Kawung dengan tubuh masih

mendoyong itu menggerakkan kakinya menendang.

Tak ampun lagi, terdengar tulang terhajar tendangan, dan terdengar Toh Kecubung menjerit

kesakitan dengan tubuh terguling-guling ditanah.

Melihat kawannya ?tidur? maka Tambakeso melompat mundur sejauh beberapa tombak

sambil berseru : "Mundur!"

Sekalian murid Nelayan kosen itu berlarian mundur, mengikuti ketua mereka, termasuk juga

anak murid Gunung Kelir, dengan gopoh dan ketakutan mereka serabutan pergi membawa tubuh

guru mereka yang terluka.

Ki Cucut Kawung tertawa terbahak. Pertapa sakti ini tidak suka melawan kurcaci-kurcaci,

maka ia hanya berdiri menonton, menyaksikan lawan yang sedang dihajar mundur oleh pejuang-

pejuang Gunung Gajah.

Pertarungan diantara Kiai Kenistan dan Ki Genikantar masih berjalan seru. Demikian pula

antara Dewi Cundrik dan Nyai Kenistan. Akan tetapi bergerak mundurnya murid-murid Gunung

Kelir dan para nelayan anak buah Tambakeso, menyebabkan kedua ketua Paguyuban Banjardawa

itu jadi gelisah.

Mereka tahu, bahwa dipihaknya harus menerima kekalahan untuk sekali ini. Menghadapi Kiai

dan Nyai Kenistan, mereka masing-masing tidak dapat mencapai kemenangan. Bagaimana

andaikata Ki Cucut Kawung turun membantu?

Pikir punya pikir, agaknya Ki Genikantar dan Dewi Cundrik mempunyai maksud yang

serupa, yaitu mengurdurkan diri.

Maka segera terdengar Ki Genikantar bersiul nyaring. Anglo merahnya diputar cepat

melindungi depan badan. Selanjutnya gegeduk paguyuban Banjardawa itu melompat mundur tujuh

tombak, diikuti Dewi Cundrik yarg berlari mundur sambil mencaci maki kalang kabut.

Baik Kiai Kenistan maupun isterinya tidak bermaksud mengejar. Mereka membiarkan

lawannya berlarian meninggalkan mereka, menuruni tebing selat Pencuci Dosa, untuk kemudian

menghilang didalam lebatnya hutan-hutan belukar yang tumbuh diluar tebing.

Tidak kecil juga korban yarg telah jatuh pada pihak pejuang Gunung Gajah. Duapuluh orang

terbinasa termasuk mereka yang dilemparkan kedalam jurang oleh Ki Genikantar dan Dewi

Cundrik. Sedang yang menderita luka tidak kurang dari duapuluh tujuh orang.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

189

Kolektor E-Book

Segera mereka bekerja keras, merawat yang terluka dan mengubur yang telah tewas.

Termasuk Walikukun sendiri, luka-luka yang diderita olehnya tidaklah ringan.

Nyai Kenistan dan suaminya menghampiri bekas murid kepala itu. Setelah memeriksa

beberapa saat maka ia mengeluarkan sebuah bungkusan daun dari dalam kantong bajunya. Kiai

Kenistan lantas menyuruh orang mengambil air. Dengan cara mengaduk sedikit jejamu yang

terdapat dalam bungkus daun itu, maka Nyai Kenistan mencekoki muridnya dengan ramuan obat

itu.

"Monyet tua itu memang berbahaya. Pukulan cakar bromo yang mengenai kulitmu ini,

untungnya tidak terlalu dalam atau mengenai tulang. Andaikata begitu walaupun isteriku tergolong

ahli jamu gandring agaknya akan kerepotan juga?" Kata Kiai Kenistan seraya melirik senyum

kearah isterinya. Dan Nyai Kenistan melengos dengan sepasang bibirnya mengulum senyum manja.

Matahari sore sedang merangkak kepunggung bukit, selat Pencuci Dosa yang siang tadi

tampak putih berkilau menyilaukan, kini telah berganti warna, tersepuh warna jingga, Batu-batu

karang yang menonjol disana sini, berubah sebagai tonggak-tonggak suasa yang berkilau. Udarapun

sudah tidak panas sebagai tadi, bahkan kini angin laut yang berembus menyusuri selat terasa sejuk

nyaman.

Malam itu, mereka beristirahat disekitar tebing-tebing selat. Kiai dan Nyai Kenistan asyik

bercakap-cakap dengan murid-murid mereka, setelah makin tahun lamanya mereka berpisah dan

bercerai berai.

Semua penuturan pengalaman selama lima setengah tahun ditinggal gurunya itu diceritakan

oleh Walikukun kepada kedua gurunya itu. Dan memang kedua guru Kenistan itu paling sayang

kepada murid kepala mereka ini, sehingga sampai jauh malam mereka bercakap-cakap tidak henti-

hentinya.

Adapun Ki Cucut Kawung sudah sejak senja tadi melakukan semedhi, berdiam diri dibalik

sebuah batu karang besar. Jago tua itu telah menguras tenaga terlalu banyak, selama ini. Dan

sekarang begitu urusan beres, ia lantas melakukan semedhi untuk memulihkan tenaga.

Lewat tengah malam Ki Cucut Kawung mendapatkan Kiai dan Nyai Kenistan serta

Walikukun mendatangi. Maka guru Loning itu lantas mengakhiri semedhinya simbal tertawa. "Ada

hal penting?"

Nyai Kenistan yang lebih lincah berbicara, menyahut :

"Kakang Cucut! Bagusnya kabar yang kuperoleh ini, baru terdengar sekarang melalui

muridku ini, andaikata tidak begitu, entah bagaimana jadinya..."

"E... ee... ee... ada soal apa adi Kenistan, coba jelaskan! Aku orang tua tidak biasa bicara

melit-melit, kuharap kau suka berkata ceplos-ceplos saja!" Ki Cucut Kawung sambil tertawa.

"Kasihan Mbah Pucung, kabar yang kudapat ini adalah bencana besar baginya....." kata Nyai

Kenistan lebih lanjut.

"Kalau kabar duka itu kabar buat Mbah Pucung, mengapa malam-malam begitu kalian

mengabari aku? Besok toh masih bisa?"

Kiai Kenistan tampak mendongkol melihat sikap isterinya yang masih belum suka bicara

secara gamblang. Akan tetapi lelaki ini memang tidak pernah memotong pembicaraan isterinya,

maka ia hanya mendecih-decih belaka.

"Cobalah Walikukun ceritakan olehmu, apakah kabar itu khusus buat Mbah Pucung melulu,

atau ada sangkut pautnya dengan Loning". Begitulah Nyai Kenistan lantas menyuruh muridnya

untuk meneruskan bicara.

Ki Cucut Kawung yang tidak dapat meraba maksud orang, hanya tengok sani sini

kebingungan.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

190

Kolektor E-Book

Demikianlah, selanjutnya Walikukun lantas menceritakan tentang meninggalnya Cunduk

Puteri, anak tunggal Mbah Pucung, yang tewas secara terhina dilingkungan perguruan Loning.

Mimpipun tidak, Ki Cucut Kawung, bahwa bepergian pejuang Gunung Gajah meninggalkan

markas adalah dengan maksud menggempur hancur perguruan Loning. Kakek gagah perkasa ini

menggereng-gereng seperti macan, dan kedua tangannya mengepal-ngepal. Sebuah batu yang

terinjak dibawah kakinya remuk bertaburan jadi kerikil tajam.

"Kurang ajar! Geram Ki Cucut Kawung. "Windupati jahanam! Coba kau jelaskan sejelas-

jelasnya Walikukun, biar aku dapat merasakan betapa sakitnya rasa mukaku disayat-sayat oleh

orang kepercayaanku sendiri?"

Dengan hati-hati Walikukun lantas mengulangi ceritanya, dari apa yang berhasil dikorek dari


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


mulut seorang murid Loning yang bernama Doyo yang telah mencuri hiasan rambut Cundrik Puteri.

Juga dari pengakuan Sogapati yang telah rusak muka dan seluruh tubuhnya akibat kekejian

perbuatan Windupati.

Dalam hal ini, tentu saja Walikukun tidak berani melebihi atau mengurangi cerita dari apa

yaug diperoleh dari Doyo dan Sogapati. Sebab ia tahu akibatnya mendustai tokoh sebagai Cucut

Kawung itu!

Selesai Walikukun menguraikan kejadian semua itu, maka tampak Ki Cucut Kawung

bergoyang-goyang pada duduknya Walikukun tak tahu apa yang akan diperbuat oleh guru Loning

itu. Akan tetapi ketika ia mengejapkan matanya, dan mambuka kembali, ternyata guru Loning itu

telah berkelebat pergi sambil memperdengarkan suara seruan yang gametar.

"Aku percaya kata-katamu Walikukun! Kuharap kalian semua jangan mencampuri urusanku

menguliti muka perguruan Loning yang terpomok kotoran..."

Semua yang mendengar tahu apa yang bakal diperbuat oleh guru Loning yang berangasan ini.

Dan mereka menghela napas.

"Walikukun, apakah kau tak berdusta?" Kiai Kenistan meyakinkan hatinya sendiri. Ia sendiri

merasa malu dan sedih atas kejadian pedih yang menimpa perguruan Pucung dan Loning. Dapatlah

dibayangkan betapa telah menganga jurang dahsyat diantara dua perguruan itu, yang apabila orang

kurang dapat menyelamatkan, agaknya dunia rimba persilatan akan memasuki babakan baru, yaitu

babakan permusuhan diantara orang segolongan.

"Kiai guru, mana berani murid lancang mulut di hadapan sekalian para sesepuh..." sahut

Walikukun.

"Tapi kau tahu akibatnya pengaduan ini?" Kiai Kenistan masih juga menegur kurang puas.

"Kalau tidak diberi tahu, nanti Kakang Cucut juga akan menyalahkan kita, bagaimana kau ini

Kiai?" Kali ini Nyai Kenistan yang menyeletuk bicara.

Pikir-pikir, mereka akhirnya tiba pada suatu kesimpulan bahwa takdir juga yang telah berlaku

atas diri Cunduk Puteri, yang secara tak terelakkan telah mengalami bencana yang menyedihkan itu.

Semua kalangan rimba persilatan mengakui, betapa kerasnya aturan yang berlaku didalam

pintu perguruan Loning, dimana saat itu Ki Cucut Kawung sebagai seorang tokoh angkatan tua

yang merupakan orang terkemuka didalam golongan kaum lurus, selalu menjunjung tinggi peribudi,

menegakkan kebenaran dan keadilan.

Ilmu golok Loning yang terkenal sangat lihai itu, bersumber pada ilmu-ilmu sakti kaum

pertapa sejati, bertolak dari kekuatan yang ditulang-tulangi dengan kejujuran. Siapa sangka, secara

tak terduga telah muncul ?adat? baru disana yang diperbuat oleh Windupati.

Kiranya tepat sebagai pepatah, tak ada gading yang tak tetak, tak ada kebaikan yang tanpa

cela.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

191

Kolektor E-Book

Diantara nama Ki Cucut Kawung yang disegani orang dengan ilmu-ilmu yang tinggi,

sikapnya tegas membela pihak yang benar, maka disitu terselip pula noda yang besar pula, seperti

apa yang dilakukan oleh adik seperguruan Ki Cucut Kawung itu sendiri.

Sebenarnya yang membuat Kiai dan Nyai Kenistan cemas, adalah kemungkinan terbitnya

perpecahan diantara kaum lurus sendiri, yaitu antara perguruan Pucung dan Loning, yang justeru

dua perguruan besar yang sangat terkemuka, dan sangat disegani lawan.

Di satu pihak, Ki Cucut Kawung yang merasa adanya syetan yang menyelusup dalam

perguruan dan bermaksud melakukan pembersihan, maka dipihak lain, mungkinkah perguruan

Pucung akan menerima kejadian itu demikian saja? Mungkinkah Mbah Pucung bersama murid-

muridnya yang terkemuka yang sebenarnya juga telah banyak tersebar disekitar pantai utara pulau

Jawa bagian barat dan timur akan tidak menuntut balas dan mendendam.

Mungkin Mbah Pucung dengan wataknya yang serba bijaksana dan berpandangan luas

menerima pukulan batin itu dengan dada yang lapang, dan meletakkan kejadian itu pada tempat

yang sebenarnya. Dia akan menuntut yang berdosa saja, dia akan membunuh serigala yang

memangsa kambing saja. Akan tetapi bagaimana dengan murid-muridnya, dan dengan adik-adik

seperguruan Mbah Pucung yang berada tersebar dilain daerah? Bukankah dalam waktu yang tidak

lama lagi akan terjadi gelombang besar, penyerbuan ke Loning?

Ngeri Kiai Kenistan bersama isterinya membayangkan hal itu. Amarah orang banyak sering

berjalan tidak sehat. Windupati yang berdosa dalam hal itu, akan tetapi tidak ada orang yang berani

menjamin bahwa perguruan Loning tidak akan mengalami gangguan sesuatu apa.

Memikir hal yang demikian, maka Kiai Kenistan bersama isterinya bermaksud menjumpai

Mbah Pucung untuk melaporkan berita itu, sekaligus juga mencari jalan penyelesaian yang lebih

baik. Untuk itu, maka setelah berpesan kepada Walikukun agar membawa anak buahnya kembali ke

Gunung Gajah, mereka sendiri berdua lantas menuruni mulut jurang Pencuci Dosa.

Seluruh keadaan dan kejadian yang dialami Alap-alap Gunung Gajah semua telah dipaparkan

jelas kepada Walikukun. Dan Kiai Kenistan suami isteri menganggap bahwa penyerbuan ke Loning

harus dibatalkan. Tidak perlu. Ki Cucut Kawung sendiri telah turun tangan. Orang-orang Gunung

Gajah tak perlu membuka pintu persengketaan yang belakang hari akan menyebabkan timbulnya

gelombang perang besar.

Walikukun dengan hati yang tidak puas telah membawa pasukannya kembali keperjalanan

menuju markas Gunung Gajah. Sedangkan Kiai Kenistan dan Nyai Kenistan telah mulai menuruni

mulut jurang.

X

X X

SETELAH kira-kira dua jam lamanya Pepriman menguras tenaganya menggentarkan jalan

darah dalam tubuh. Kiai Teger, maka pemuda itu telah menjadi luar biasa letihnya, seakan sudah

habis tenaganya terkuras. Pada jidat dan seluruh mukanya bahkan setiap ujung rambutnya, tampak

berkeringat membulat besar-besar bergantungan. Wajah pemuda itu putih puncat bagai kertas, dan

hawa yang keluar dari sekitar badannya terwujud seperti selapis kabut dua warna merah dan putih.

Kabut dua warna itu kian lama kian menebal, dan membungkus tubuh si pemuda seakan-akan

sebuah patung yang diselimuti salju di senja hari.

Racun pacet wulung yang beredar dalam darahnya keluar bekas luka yang kena tusukan

jarum, tampak sebagai pancuran kecil warna hitam yang merupakan darah keracunan itu.

Beberapa lama Pepriman terus mendorongkan tenaga sakti kedalam tubuh ayah angkatnya,

maka makin banyak darah hitam busuk yang mengucur keluar melalui bekas tusukan jarum itu.

Demikianlah sedikit demi sedikit tubuh bagian kiri Kiai Teger yang semula berwarna hitam

gelap itu berangsur menjadi putih kembali, putih, untuk kemudian bersemu merah sebagaimana

kulit manusia biasa.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

192

Kolektor E-Book

Rupanya, racun jahat yang mengendap dalam tubuhnya itu belum menyerang jantung, berkat

pertolongan keempat tokoh sakti sahabat guru Blimbingwuluh itu yang telah berusaha menghalangi

beredar majunya racun itu.

Namun keempat orang sakti itu memiliki hawa batin yang serupa, yaitu panas atau warna

merah belaka. Sehingga racun pacet wulung sendiri yang pada dasarnya memiliki dua sifat panas

dan dingin itu, tidak dapat mereka usir keluar, walaupun mereka telah berusaha sampai lima

tahunan lebih.

Racun pacet wulung dari Dewi Cundrik siluman Guha Gempol itu, memang kecuali ganas

sekali daya kerjanya, juga amat sulit dicari penolaknya, bahkan boleh dibilang hampir tidak ada.

Racun pacet wulung itu, dibaut oleh Dewi Cundrik dari ramuan segala racun dan bisa, yang

disuntikkan kedalam pacet merah yang memang dipelihara oleh wanita itu. Dengan adanya berbagai

racun dan bisa ataupun kotoran yang dimasukkan kedalam tubuh lintah merah itu, maka binatang

yang sebenarnya sudah memiliki dasar racun itu lantas mati, dan berubah warna menjadi hitam.

Selanjutnya, bangkai lintah itu dimasukkan kedalam sebuah guci yang ditutup rapat untuk

kemudian dipanggang diatas perapian besar, hingga kemudian bangkai lintah itu berubah menjadi

arang. Setelah itu barulah untuk waktu yang tak terbatas, guci itu ditanam dalam tanah, diambil

hanya pada waktu wanita itu membutuhkannya.

Itulah sebabnya, maka sebenarnya binatang yang hidup dan bernama pacet wulung itu tidak

ada. Dun ilmu meramu racun jahat seperti ini, diperoleh Dewi Cundrik sejak masa mudanya, ketika

ia menjadi murid seorang nenek sakti dari Seberang, yang dijuluki Nini Dewi Podang atau lebih

terkenal dengan sebutan Ninik Arak-arak (Baca kisah Sejengkal Tanah Si Geseng).

Dengan ilmu sakti Jangkar Bumi Pepriman dapat mengusir racun itu walaupun sebagian

masih tertinggal karena racun itu terlalu lama bekerja lagi pula Pepriman sendiri sedang menderita

luka, apa pula ilmu sakti Jangkar Bumi yang dimilikinya belum mencapai kesempurnaan.

Namun begitu, tak lama antaranya, tampak tubuh Kiai Teger berkutik, untuk selanjutnya guru

itu membuka matanya. Sekujur tubuhnya terasa sangat nyaman, seluruh rasa sakit, pedih, nyeri,

ngilu dan gegremetan seperti digigiti ribuan semut, telah hilang, bertukar dengan rasa lapang dan

juga lapar.

"Ketika mencoba napasnyapun sudah agak lega, maka Kiai Teger menghela napas, sambil

mengawasi keadaan sekelilingnya. Justeru pada saat itulah ia melihat seorang pemuda yang duduk

bersila disisinya, pemuda itu rambutnya riap-riapan, mukanya pucat seperti mayat, akan tetapi

mulutnya berlepotan darah. Sedang pakaiannya penuh dengan tambal-tambalan dan robek-robek

mirip seorang pengemis terlantar. Pada saat itu, pemuda tersebut memejamkan mata, sehingga Kiai

Teger tidak dapat melihat bahwa mata pemuda itu sendiri saat itu telah kehilangan tenaga untuk

mengeluarkan cahaya.

Ketika pandangan matanya bertemu dengan seorang kakek berkulit warna perunggu yang

tersenyum kearahnya, maka Kiai Teger tahu bahwa kakek itu adalah Mbah Pucung sahabatnya

sendiri.

Kiai Teger berusaha hendak bangkit, akan tetapi Mbah Pucung mencegahnya, dan menasehati

agar tetap terbaring dulu.

Kiai Teger bermaksud untuk menanyakan siapa adanya pemuda jembel yang berada

didekatnya itu. Ia baru membuka mulutnya untuk bertanya, ketika pada saat itu juga, si pemuda

yang sejak tadi duduk bersila dengan nafas tersengal-sengal itu bangkit berdiri perlahan-lahan.

Kemudian memutar tubuh dengan lambat, lalu melangkah terhuyung kedepan dengan kaku seperti

mayat untuk selanjutnya terdengar bunyi bergejubyar, kiranya ia telah mencebur kedalam sungai

bawah jurang.

"Bledug!" Mbah Pucung berseru seraya melompat kedepan, tubuhnya melayang cepat

menyambar, akan tetapi tubuh si pemuda telah terbawa arus kali.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

193

Kolektor E-Book

Dengan kepala tunduk, Mbah Pucung memandangi air kali bawah jurang yang tidak

diketahuinya kemana ia bermuara. Dan entah bagaimana nasib pemuda itu selanjutnya. Mbah

Pucung tak sanggup menerkanya.

"Kakang Pucung kau memanggil nama Bledug?" Tanya Kiai Teger dengan suara lambat.

Mbah Pucung mengangguk kemudian berjalan menghampiri.

"Jadi diakah yang telah menolongku?".

Mbah Pucung diam. Tetapi jelas dari pandangan sinar matanya terlukis suatu sikap tak

berdaya.

"Ahhh..." Kiai Teger mengeluh. Terdengar napasnya menghempas, selanjutnya ia pingsan

kembali.

Setelah beberapa lama Mbah Pucung manggut-manggut tubuhnya, Kiai Teger tersadar lagi.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Sebuah mata telah membutir pada sudut matanya.

"Kau menangis Teger?"

Kiai Teger diam. Terlalu banyak yang hendak di ucapkannya, akibatnya tidak sepatah juga

yang keluar dari mulunya.

"Menyesal sekali sdalah kami berempat yang tidak mampu memberi pertolongan secara

sungguh-sungguh kepadamu Teger. Dengan terpaksa sekali aku tidak dapat menghalangi maksud

baik pemuda itu. Ahhh.. dia begitu sungguh-sungguh ingin menghaturkan sedikit kebaikan untukmu

yang kami berempat tidak mampu melakukannya, apakah itu kesalahan bagiku?" Kata Mbah

Pucung.

Sunyi sekali suasana di dasar jurang itu. Hanya selang-seling suara titik air yang menetes dari

beberapa tumbuhan merambat yang berbunyi sangat lemah mengisi kesunyian itu, sehingga justeru

bertambah-tambah sepi tenaga.

"Kakang Pucung, siapakah sebenarnya yang bersalah, hingga kalian para sesepuh

mengorbankan sekian banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk aku yang sebenarnya sudah tak

berguna lagi?" Tanya Kiai Teger kemudian.

Setelah diam beberapa saat, Mbah Pucung menjawab :

"Tidak ada Teger, tidak ada! Adalah keyakinan belaka yang menyebabkan kami berempat

membawamu kemari, dan merawatnya sebisa mungkin. Keyakinan bahwa kau tidak bersalah,

Bahwa kau berada dipihak yang benar!".

"Semua perbuatan dan usaha untuk meyakinkan kebenaran, tidak pernah salah, kakang

Pucung. Mungkin usaha itu bisa gagal, akan tetapi hal itu boleh terjadi untuk sementara. Pada

saatnya nanti, ia akan tetap unggul, dimenangkan oleh Kodrat! Tetapi kakang Pucung..." beberapa

saat Kiai Teger diam, agaknya menyusun kalimat yang hendak diucapkannya.

"Usaha bajik menuju kebenaran akan berhasil, memang. Namun apabila usaha bajik itu

dilaksanakan dengan sebuah tenaga dosa, apakah tujuan bajik itu masih dapat digolongkan pada

kebaikan lagi?".

Mbah Pucung mengerti. Ia tahu, bahwa yang dimaksudkan oleh Kiai Teger adalah

pertolongan orang yang berdosa... tentu yang dimaksud adalah Joko Bledug... yang telah

memenangkan usaha kebaikau itu. Menurut aturan orang gagah dalam dunia persilatan, terutama

golongan persilatan Suci Hati seperti perguruan Blimbingwuluh, setiap tujuan baik haruslah

dilaksanakan dengan cara yang baik dan ditangani oleh orang yang baik pula.

Akan tetapi timbul sebaliknya suatu pertanyaan. Seorang maling budiman, yaitu maling yang

membagikan hasil curiannya kepada orang-orang yang sengsara hidupnya, masih dapatkah itu

disebut sebagai kebajikan?Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

194

Kolektor E-Book

Mencuri itu jelas sebuah kejahatan. Dan membagi-bagi harta benda kepada orang yang

kekurangan itu adalah kebajikan. Terang cara ini bertentangan kebajikan murni yang dituntut oleh

golongan kaum lurus sebagai Kiai Teger itu.

Mendadak saja, Mbah Pucung teringat akan pertanyaan Joko Bledug yang terakhir, yaitu

sebuah pertanyaan : "Beranikah Mbah Pucung menyebut dirinya tak berdosa?

Tergetar hati kakek itu. Yang Maha Suci adalah Tuhan. Dan selama seseorang disebut sebagai

mahluk, dapatkah mengaku dirinya tidak pernah melakukan suatu kedosaan? Akan terlalu

sombonglah ia, bila ia berani menyebut dirinya demikian.

Dan kenyataan adalah pertanyaan si pemuda yang demikianlah yang membuat Mbah Pucung

tak berdaya menolak pertolongan pemuda itu.

"Teger...", kata Mbah Pucung kemudian "Perguruan Suci Hatimu berpegang teguh pada

ikatan Kodrat! Nah, kodrat itulah yang telah membuatmu dari siksaan racun pecet wulung. Saat ini,

kupikir kau lebih baik merawat ?rumah jiwamu? yaitu tubuhmu, untuk selanjutnya soal dosa-dosa

dan kejahatan bekas anak angkatrnu itu bisa kita bicarakan dikemudian hari.

Terlampau banyak yang dipikirkan oleh Kiai Teger dalam saatnya baru hidup kembali itu. Ia

tak mampu menyangkal nasehat sahabat tuanya itu dan selanjutnya ia tinggal diam.

Mendadak saja, sedang Mbah Pucung terdiam antara berpikir dan berangan-angan, terdengar

olehnya suara daging yang terbacok, dan ketika kakek itu menoleh, terlihatlah olehnya paha Kiai

Teger telah terpisah dari gembungnya, sedang ditangan guru Blimbingwuluh itu masih terpegang

sebatang golok yang berdarah.

"Tegeeerrr!" Mbah Pucung menjerit kaget, akan tetapi kaki kiri yang terbacok itu justeru telah

terlepas dari badan, tak mungkin disambung lagi.

Dan terlihatlah Kiai Teger yang memejamkan mata menahan sakit, dengan bibir tersenyum

tampaknya ia sudah pingsan kembali.

Cepat-cepat Mbah Pucung mengurut beberapa tempat dibawah pinggang kawannya itu. Dan

darah yang semula menyemprot keluar itu, dengan segera berhenti mengalir keluar.

Bukan main haru dan sedihnya kakek tua ini, melihat orang yang dikaguminya itu kini sudah

tapa daksa, berkaki satu. Hampir-hampir ia menangis menyaksikan kejadian yang terlampau

mengerikan itu. Akan tetapi, ketika terlihat oleh sesuatu pada kaki yang terbuntung itu, si kakek

balik tersenyum.

Kiranya kaki kiri Kiai 'Feger yang kini terlepas itu sedikit demi sedikit berubah menghitam.

Mula-mula jalan darahnya belaka yang menghitam, lama kelamaan seluruhnya hingga kekulit

jadinya hitam semuanya. Dan Mbah Pucung sadar, bahwa sisa racun pacet wulung memang masih

pada kaki itu.

Cepat-cepat Mbah Pucung mengubur kaki buntungan itu dengan hati lega. Sambil duduk

menghadapi timbunan tanah kuburan kecil itu, si kakek bersyukur kepada Tuhan. Mungkin Kiai

Teger membacok kakinya karena dimaksudkan ia tak sudi menerima budi pertolongan anak

angkatnya, akan tetapi hal itu justeru membawa kebaikan.

Dengan buntungnya kaki itu, bukankah berarti sisa racun telah habis terbuang? Sebagai

dinyatakan didepan karena tenaga batin dalam diri Joko Bledug belum mencapai tingkat sempurna,

tentulah tidak dapat ia membersihkan seluruh racun itu. Dan racun itu justeru tertinggal dibagian

bawah tubuh sebagai kaki itu. Dengan dibuntunginya kaki itu, bukankah lebih baik?

Kegembiraan kakek itu memang beralasan, dan tidak selang beberapa saat tampak Kiai Teger

telah bangkit duduk. Mbah Pucung menghampiri untuk membalut luka bekas bacokan itu.

Hari itu, Kiai Teger benar-benar telah dapat memperoleh kesehatannya kembali. Ia makan

dengan lahap, hidangan yang dipersiapkan oleh Mbah Pucung, sehingga dalam waktu tidak lama

semangatnya berangsur pulih kembali.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

195

Kolektor E-Book

Pada hari itu pula, Kiai dan Nyai Kenistan telah datang kembali sehingga rasa sedih pada

mereka semakin berkurang.

Tubuhnya yang semula tinggal tulang dan kulit, kini berangsur segar, dagingnya berisi dan

bertenaga. Maka dua minggu kemudian, Kiai Teger telah dapat berrjalan-jalan walaupun dengan

loncat-loncatan.

Akan tetapi mereka menduga bahwa sudah terlalu lama terasing dari dunia ramai. Perubahan

yang terjadi dikalangan rimba persilatan sudah terlalu banyak yang tidak mereka ketahui. Dan juga

karena di dorong oleh kerinduan hidup pada dunia ramai, maka merekapun meninggalkan itu!

X

X X

MUSIM kering telah lewat! Langit selalu mendung dan hujan mulai turun beberapa hari

terakhir ini. Pepohonan yang semula tampak layu, mulai pulih segar kembali. Dedaunan menghijau

segar, dan cabang ranting yang semula gundul menumbuhkan tunas baru seolah-olah memberi

napas baru pada kehidupan.

Dalam perhitungan panata-mangsa disebut orang dengan istilah mangsa kelima (musim

kelima) yang lazim pula dengan kesuburan baru itu disebut dengan bahasa yang indah sebagai

?pancuran emas sumawur ing jagat? penanggalan Masehi, kira-kira bulan Oktober.

Pantai utara pulau jawa yang bulan yang lalu tampak sebagai tanah gersang dan musim layu,

kini berseri kembali. Bapak tani turun kesawah dan ladang menabur benih menanamkan harapan.

Pada jarak kira-kira, setengah hari perjalanan disebelah barat laut kadipaten Pemalang,

terdapat sebuah desa Tanjungsari. Ya, sebuah perkampungan nelayan, tetapi juga terdapat banyak

sawah ladang, dimana para nelayan itu sekembalinya dari bakerja menangkap ikar. turun bercocok

tanam.

Pada tepi dusnn yang membatasi wilayah kadipaten ini dengan wewengkon kadipaten Tegal,

terdapat beberapa warung besar, yaitu warung-warung yang juga dipakai sebagai penginapan dan

rumah tinggal.

Sebagai biasa, pada musim ini, nelayan-nelayan berpenghasilan baik. Dan tidak sedikit para

nelayan mudanya yang pergi mengunjungi warung itu, karena ditempat itu tersedia pula

perempuan-perempuan yang biasa menjual diri mencari nafkah dengan cara membasahi bibir dan

memerlukan suara rayuannya.

Hari itu, adalah hari along (banyak hasil ikan), dan warung Tanjungsari sejak pagi ramai

dengan pengunjung yang pergi datang untuk mencari hiburan, sebab kecuali adanya perempuan-

perempuan murahan itu, juga sebuah tanah lapang diadakan orang beberapa macam potongan

seperti sintren, tayuban dan wayang kulit.

Kira-kira tengah malam, sedang pertunjukan tiba-tiba pada saatnya mencapai puncak

keramaian, dan warung penginapan dipenuhi dengan pasang-pasangan orang yang senang pelesiran,

tampaklah sebuah kereta tua yang di kusiri oleh seorang lelaki setengah tua melencur sangat cepat

dari arah barat.

Kereta itu tertutup oleh tirai berwarna biru, agaknya dalam kereta ada isinya. Kuda yang

menarik kereta itupun gagah sekali, seekor kuda hitam yang tinggi besar dan sehat.

Yang sangat menarik perhatian orang, adalah kusir itu, yang agaknya adalah orang asing

daerah ini. Lelaki itu tubuhnya kekar dan mukanya kasar. Menarik sekali rambutnya dikonde seperti

wanita dan tidak mengenakan ikat kepala, Kecuali itu, ia mengenakan anting-anting pada

kupingnya, juga dilehernya melingkar sebuah kalung besar yang terbuat dari buah kemiri. Apabila

orang melihat pada kumis lelaki kusir itu maka orang teringat pada tokoh Setiaki dalam

pewayangan, dimana kumis keliwat besar dari pada ukuran mukanya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

196

Kolektor E-Book

Tiba didepan sebuah warung, maka kusir itu menghentikan keretanya, Lalu tanpa turun dari

tempataya duduk, lelaki itu berseru dengan suaranya yang besar mengguntur sambil

menggoyangkan lengannya yang mengenakan gelang tembaga beberapa buah.

"Pelayan!"

Seorang pelayan sebuah warung, yang sejak tadi melongo memandang kearah kusir itu,

berlari gopoh menghampiri sambil tertawa. Sudah pasti dikepalanya terbayang sebuah persen yang

besar.

Tanpa menghiraukan pelayan yang bersikap terlalu hormat itu, kusir tadi berkata :

"Katakan kepada majikanmu, kosongkan semua kamar!"

Mendengar kata-kata kusir itu, si pelayan tadi terheran-heran. Jumlah kamar dalam

penginapan warung itu, tidak kurang dari tigabelas kamar, yang hampir semuanya telah terisi orang

menginap ataupun orang yang sedang bersenang-senang. Kusir itu hanya seorang penumpang kereta

kalau toh ada, paling banyak juga antara dua atau tiga orang, buat apa mengosongkan semua kamar.

Mengingat bahwa sikap orang itu yang tidak menyenangkan, maka si pelayan berubah tidak

terlalu hormat kepadanya. Dan sambil hendak melangkah pergi, menjawab.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Kamar sudah terisi semua!"

"Aku bilang kosongkan semua!" Kusir itu tiba-tiba membentak, dan tangannya bergerak

kedepan. Tahu-tahu pelayan yang tadi hendak pergi itu, berjalan mundur kebelakang dengan gopoh

sampai menubruk kereta.

Orang-orang yang melihat kejadian itu mengira pelayan itu sedang melawak, maka mereka

tertawa. Padahal, apa yang dirasakan oleh pelayan itu justeru adalah sebaliknya. Tahu-tahu ia

merasa tengkuknya sangat nyeri, seperti dijepit tang baja, dan tubuhnya diseret kebelakang hingga

menubruk roda kereta. Pelayan itu jadi ketakutan, dan mulutnya meringis menahan sakit.

"Ampun gusti... aku cuma orang suruhan..." pelayan itu menggigil takut dan menahan sakit.

Kusir itu masih memegangi tengkuk si pelayan, berkata dengan nada dingin :

"Suruh majikanmu mengusir semua tamu! Pergi!"

Bersamaan dengan terdengarnya perintah pergi, maka tubuh pelayan itu meluncur maju

seperti didorong, tahu-tahu ia telah melabrak dinding warung, hingga ia jatuh tersungkur dengan

hidung berdarah.

Mendengar kegaduhan itu, maka majikan atau pemilik warung bergegas keluar, untuk

menjumpai dan menegur pelayanya yang dikira kurang baik memberikan pelayanan.

Akan tetapi belum sempat majikan itu menegur pelayannya, terdengar suara gemerincing

nyaring mengejutkan, disusul dengan melayangnya beberapa gelang tembaga yang menancap

kedinding, disebelah kepala majikan warung itu.

Si majikan terperanjat dan ketakutan. Dilihatnya empat buah gelang tembaga menancap

didinding warung itu, yang membentuk sebuah bintang bersegi empat, seperti bentuk mata angin.

"Catursuda... Catursuda...!".

Terdengar majikan warung itu mengeluh, dan orang-orang yang melihat gelang-gelang

tembaga itu menyerukan sebuah nama, Catursuda, dengan nada dan roman muka yang

menunjukkan rasa ngeri.

Catursuda adalah nama seorang pertapa sakti, tukang teluh yang hidup didalam hutan lereng

gunung Slamet! Semua orang hampir mengenal nama itu, sebagai nama yang sangat menakutkan,

karena kabarnya pertapa sakti itu dapat membangkitkan sebuah wabah yang mengakibatkan

kematian besar-besaran disuatu daerah.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

197

Kolektor E-Book

Suatu daerah yang terkena wabah Catursuda itu, setiap hari akan mengalami kematian empat

orang-empat orang, dan kata orang, tak pernah ada obat penawarnya lagi.

Celakalah sebuah daerah yang didatangi tukang teluh itu, demikianlah pikir orang saat itu.

Sehingga dengan adanya tanda gelang didinding itu, maka tanda disuruh sekalian penghuni rumah

penginapan itu, yang makan-makan, yang bersenang-senang, yang sedang berdua dikamar, ataupun

kebetulan yang berada di situ, berhamburan pergi dengan ketakutan.

Bahkan dengan adanya kegaduhan itu, ketakutan menjalar dengan cepat. Di sana-sini

terdengar bisik-bisik orang, yang gugup dan ngeri, maka selanjutnya seperti orang dikomando

warung-warung yang lain pada menutup pintu. Semua pertunjukkan buru-buru menghentikan

keramaian, dan tidak berapa lama kemudian, sekitar tempat itu menjadi sunyi.

Pemilik warung itu, dan sekalian pelayannya, entah pergi kemana, semuanya menghilang.

Tentunya mereka sengaja menjatuhkan diri, menyelamatkan diri dari wabah Catursuda.

Begitu hebatnya pengaruh nama Catursuda, sehingga walaupun baru mendengar namanya

saja, orang sudah hampir mati karena ketakutan.

Setelah melihat tempat itu menjadi sepi, maka kusir itu membawa keretanya memasuki

halaman penginapan. Didekatnya pintu kereta kedepan pintu penginapan, maka dari balik tirai yang

berkilauan itu tampak sesosok, bayangan yang menerobos keluar, melayang kearah dalam rumah

penginapan.

Sosok bayangan tadi kiranya adalah seorang kakek tua bongkok yang kini duduk bersila

diatas meja makan. Memiliki bentuk tubuh dan raut mukanya, kakek itu berusia sekitar delapan

puluhan tahun. Mukanya menyeramkan buruk sekali. Dahinya lebar tetapi matanya kecil sipit,

seolah-olah hampir terpejam. Akan tetapi sinar matanya sangat tajam, berkilat-kilat seperti mata

pisau. Hidung besar dan pesek, amblas pangkal hidungnya, hingga ujung hidungnya yang lebar dan

menyendul itu seperti katak nongkrong. Mulutnya rusak mungkin bekas korengan, sehingga

beberapa giginya kelihatan dari luar karena bibirnya sobek disana sini.

Melihat pakaiannya, memang kakek itu seperti seseorang pertapa. Apalagi dengan sikap

duduknya bersila itu, benar-benar menggambarkan bahwa dia seorarg jago bertapa.

Kusir bertubuh kekar itu kini telah bersimpuh dilantai, bersila menghadapi si kakek yang

bersila diatas meja itu.

Mereka tidak bercakap-cakap, hingga penginapan besar itu seperti rumah kosong tak

berpenghuni.

Selang beberapa lama, barulah kakek bongkok itu membuka mulut.

"Kau ringkus tikus diluar itu Bala!"

Mendengar perintah yang mendadak itu, kusir itu melengak. Ia tidak mendengar sesuatu, akan

tetapi majikannya justeru menyuruh dia menangkap orang.

Kiranya kusir itu cuma seorang cantrik (bujang) dari si kakek bongkok itu. Walaupun ia tidak

mendengar sesuatu, tetap saja dengan sepatuh ia melompat keluar warung.

Pada saat itu, diatas atap rumah itu terdengar suara berdesir seperti berdesirnya angin lalu.

Telinga kusir yang bernama Bala itu tidak dapat mendengar suara yang sangat lemah itu, sebaliknya

si kakek bongkok yang bersila diatas meja cukup paham bahwa suara yang terdengar diatas rumah

bukanlah suara angin, akan tetapi suara langkah seseorang yang berilmu kepandaian tinggi.

Ternyata si kakek tidak meleset sama sekali. Baru saja Bala keluar pintu warung, maka dari

atas wuwungan rumah tampak melayang turun sesosok bayangan hitam yang sangat ringan sekali

gerakannya. Dan begitu bayangan itu mendarat dihalaman rumah, langsung melancarkan serangan.

Bala ternyata sangat tangkas. Begitu terasa kesiur, angin serangan menyambar kearahnya, ia

telah melompat minggir sambil mengebaskan tangan kebelakang.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

198

Kolektor E-Book

Bret! Terdengar suara kain robek. Bala terhuyung kedepan, sedang orang yang baru datang

langsung menyerang itu tertawa berkakakan. Pada kipas yang terpegang orang ini, tampak secabik

kain baju yang berkibar ditiup angin. Sedang lengan baju Bala telah robek selebar kira-kira

setengah jengkal, sehingga menampakkan lengan itu yang besar berbulu-bulu lebat.

Bala terkejut. Tenaga pengebas yang dilancarkannya tadi tidak kurang kekuatannya untuk

menggebuk mati seekor kerbau. Tetapi lawan kiranya lebih hebat, pukulan itu dapat dipunahkan

sekaligus, bahkan kain baju telah dibuatnya robek.

Merasakan kelihayan lawan, Bala merasa keder juga. Akan tetapi ia ingat bahwa masib ada

majikannya di tempat itu, maka ia tak perlu berkecil hati lagi. Segera ia membentak bengis.

"Siapa berani menjual lagak didepan cantrik padepokan Catursuda?" Dengan mempergunakan

Catursuda Bala mengharap lawan tak dikenal itu akan menjadi jeri. Tidak diduga, orang dengan

kipas ditangan itu bahkan tertawa bergelak. Suara tawanya sangat nyaring, agaknya sengaja berbuat

demikian untuk menyindir kakek bongkok yang berada didalam rumah penginapan itu.

"Cuma seorang cantrik!" Kata orang dengan kipas ditangan itu. "Cepat majikanmu suruh

keluar menampakkan diri!"

Bala lebih terkejut, demi ia memperhatikan kipas yang berada ditangan lawannya. Kipas itu

tampak dikembangkan sekarang, maka terlihatlah gambar seekor ular hitam yang sedang menelan

sebuah bukit. Gambar itu terlukis demikian indah dengan sulaman benang warna yang berkilauan,

sehingga walaupun hanya sejenak terlihat, akan tetapi Bala segera dapat mengenalnya.

"O, kiranya yang mulia Sri Naga Dumung yang datang....." Berubah sikap cantrik Catursuda

itu, membungkuk hormat sambil menunjukkan sikap yang jeri.

"Ya, aku Naga Dumung! Katakan pada majikanmu bahwa aku menunggu disini!" Sahut orang

bersenjata kipas itu.

"Tak perlu! Aku sudah datang!" dan entah sejak kapan kakek bongkok itu bergerak tahu-tahu

ia telah berada didalam kereta kembali, menjawab sambil tertawa bergelak.

Adapun orang yang menamakan dirinya sebagai Sri Naga Dumung itu, usianya masih baya,

kira-kira empat puluhan tahun. Tubuhnya tinggi kurus dengan wajah putih dan tampan. Sayangnya

bibirnya yang hitam karena terlalu banyak minum candu itu, selalu menyunggingkan senyuman

yang mengejek.

Seraya mengipas-ngipas dadanya, Sri Naga Dumung berkata, nadanya perlahan, akan tetapi

terdengar nyaring dan bergema.

"Dari lereng gunung Slamet, Agung Catursuda telah turun hingga kedaerah pesisir ini,

tentulah membawa urusan penting. Aku Naga Dumung tak suka mencampuri urusan orang, akan

tetapi melihat penduduk yang ketakutan jadi timbul kegembiraanku untuk menyaksikan kehebatan

ilmu teluh Gunung Slamet yang kabarnya dapat menandingi kekuasaan Dewa!".

Nada ucapan Naga Dumung ini terdengarnya ramah dan bersahabat, akan tetapi bagi Bala

ataupun si kakek bongkok yang berada dalam kereta itu, yang sebenarnya memang Catursuda,

ditanggapi sebagai sebuah tantangan.

Dan terdengar suara mendengus dari dalam kereta.

Sri Naga Dumung adalah seorang pengembara atau seorang petualang, namanya dikenal

orang sebagai begal tunggal yang menguasai belahan hutan sebelah selatan pegunungan.

Kabarnya, Sri Naga Dumung ini sangat tenar nama diwewengkon Banyumas sebelah utara

dan Kedu sebelah barat, sebagai seorang penyamun yang bebas malang melintang menjalankan

rolnya, tanpa pemerintah Mataram dapat menanpkap atau mengalahkannya.

Apabila tokoh penyamun inipun telah datang berkunjung kebelahan tanah pesisir utara, maka

suatu pertanda bahwa keamanan dan ketenteraman wewengkon itu bakal menemui gangguan hebat.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

199

Kolektor E-Book

Rupanya Catursuda sendiri belum dapat menjajagi sampai dimana ilmu kepandaian begal itu.

Dan sebagai orang tua yang sudah kenyang dengan pengalaman dalam dunia rimba persilatan, ia

takkan mau berbuat gegabah.

"Catursuda tidak biasa berjalan dengan kaki, bekerja dengan tangan. Dengan tajamnya lidah,

dunia kecil ini toh dapat digengam dalam kepalan, mengapa kita harus saling pamer kebodohan,

sahabat Naga Dumung? Apakah tidak lebih baik kita bertukar pikiran, berbicara tentang perburuan

dan padang penyimpanan?" Terdengar jawaban dari dalam kereta. Dan walaupun kalimat-kalimat

itu diucapkan dengan suara mendesis-desis seperti ular, namun terasa menggetarkan daun telinga.

Orang-orang yang berilmu lumrah saja tidak mustahil akan menderita luka hanya mendengar suara

itu saja.

Hal ini dilakukan oleh Catursuda rupanya untuk mengimbangi ilmu serangan dengan

mempergunakan suara. Kalau tadi suara Naga Dumung terasa berat menekan seperti beban ratusan

kati, sebaliknya suara pertapa gunung Slamet ini terasa menusuk-nusuk sangat tajam.

Pertandingan adu kekuatan ulon (suara) itu berjalan dengan seimbang. Naga Dumung

tersenyum keningnya berkerut setelah itu barulah ia tertawa sambil berkata mengejek.

"Benar kata orang kau lumpuh, Catursuda?" Tawa Naga Dumung semakin keras. "Terhadap

orang yang cacad, tentu saja aku tak dapat berlaku ladak..."

Sambil berkata demikian maka Sri Naga Dumung berkelebat masuk kedalam rumah

penginapan. Tetapi belum juga ia mengambil tempat duduk disebuah kursi, terasa ada kesiur angin

melintas. Dan untuk selanjutnya tampak Catursuda telah duduk membongkok diatas meja, ditempat

tadi dia duduk bersila.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Bagus! Naga Dumung berseru memuji. Catursuda tertawa.

"Tak perlu juga banyak memuji sahabat!" Kata Catursuda. "Kita telah sejak lama mengagumi

nama masing-masing. Ini hari kita bertemu apalah jeleknya kalau kita berkenalan..."

Begitu mengakhiri kata-katanya, maka Catursuda mengulurkan tangannya seperti orang

hendak berjabatan tangan. Jarak antara tempat bersila kakek bongkok itu dengan Naga Dumung,

tidak kurang dari satu tombak. Akan tetapi Naga Dumung melihat tangan kakek itu telah berada

didepan mata, walaupun kakek itu sama sekali tidak menggeser duduknya.

Sebuah pertunjukan ilmu kesaktian yang mengagumkan, dan diam-diam dalam hati Naga

Dumung mengagumi pula kesaktian kakek bongkok itu. Tetapi tentu saja Naga Dumung tak sudi

dikalahkan dalam gebrakan tanpa pertarungan itu, dengan segera iapun tahu bahwa ia harus

memberi jawaban dengan cara yang setimpal.

Selanjutnya, ketika tangan kakek bongkok itu terus terulur maju seperti hendak membentur

dada si Naga Dumung, maka tahu-tahu kursi tempat duduk Naga Dumung itu mengapung naik dan

berputaran.

Cepat-cepat Catursuda menarik kembali tangannya, sebab kalau tidak, kursi duduk Naga

Dumung yang sedang meluncur turun kini, dapat menimpak lengan kakek itu. Walaupun andaikata

tidak terluka juga, sudahlah dapat dihitung kakek bongkok itu kalah dalam segebrakan.

Catursuda tertawa bergelak, hingga tubuhnya yang kurus dan bongkok itu bergoyang-goyang

seperti batang pimping ditepi padang.

"Hebat ilmu sakti Angin Gunung memang bukan nama kosong!" Kata Catursuda masih juga

tertawa.

"Pertunjukan ilmu tenung Lintah Laut hanya terdapat dipedepokan Catursuda. Aku sudah

dapat menyaksikan kehebatannya sekarang, dan aku takkan berhenti mengagumi!" sahut Naga

Dumung.

"Banyak mulut!" Tiba-tiba Catursuda membentak. "Apa maksudmu sebenarnya?".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

200

Kolektor E-Book

Naga Dumuug tertawa mengejek.

"Sudah jelas. Kita sama-sama saling mengagumi! Dan sekarang kita dapat berkenalan!

Bukankah ini lebih baik, daripada keburu mati penasaran?" Sahut Naga Dumung masih juga tertawa

mengejek.

"Kau hendak menjajal aku orang tua?".

"Itupun kalau kau tidak keberatan haha..." ejekan Naga Dumung makin tajam.

Muka Catursuda berubah merah padam. Dari sela-sela giginya yang mencuat keluar dari

mulutnya terdengar suara mendesis.

Tampaknya kakek bongkok itu sudah hendak melancarkan serangan. Akan tetapi mendadak ia

menghela napas, dan mukanya kembali terang. Lalu dengan suara bernada tawa, kakek ini berkata,

seakan-akan kepada dirinya sendiri :

"Maaf sahabat. Walaupun aku seorarg tua bangka tak berguna, namun aku adalah seorang

sesembahan di wilayah gunung Slamet. Terhadap angkatan muda sepertimu mana boleh aku tak

tahu diri? Aku mempunyai seorang cundrik. Dan kalau kau dapat mengalahkannya dalam lima

jurus, kau boleh berkata kepada dunia, bahwa aku Catursuda telah kau kalahkan.

Bukan main mendongkolnya Naga Dumung mendengar kata-kata kakek bongkok itu. Sedang

menurut perhitungan Naga Dumung, walaupun ia belum pernah bergebrak dengan kakek itu, ia

boleh berharap tidak akan dapat dikalahkan. Mengapa sekarang ia justeru harus bertanding

melawan cantrik?

Kalah terhadap Catursuda, tidaklah akan menghilangkan muka, akan tetapi bagaimana jika

sebaliknya ia kena diakali oleh cantrik yang agaknya juga tidak berkepandaian rendah!

Akan tetapi Naga Dumung masih yakin juga! Masakah dalam lima jurus tidak dapat

mengalahkan cantrik itu? Dalam gebrakan tadi dihalaman penginapan sudah membuktikan bahwa

Naga Dumung boleh tidak usah cemas. Tantangan tak mungkin ditolak! Maka sambil

memperdengarkan suara tawanya yang bengis, Naga Dumung telah bangkit dari duduknya tahu-

tahu kipasnya telah menjojoh tujuh kali beruntun-runtun kearah Bala yang saat itu telah berdiri

disisi meja.

Brakk! Bala yang melihat hebatnya serangan, cepat-cepat menggeser kaki kirinya kesamping,

memutar tubuh dengan maksud melancarkan serangan balasan. Meja tempat cantrik itu berdiri,

terbelah menjadi tujuh potong. Dan Catursuda tampak menyingsingkan bibirnya, menyengir. Jelas

sekali bahwa sekali turun tangan, Naga Dumung bermaksud membinasakan lawan, dengan jurus

serangan yang sangat berbahaya itu. Akan tetapi Bala dapat menghindarinya dengan baik. Sehingga

dalam kecemasannya, kakek bongkok merasa sedikit bergirang.

Bala sedang memutar tubuh dengan cepat. Tapi saat itu Naga Dumung bernafsu besar untuk

merobohkan cantrik itu dalam jurus yang lebih pendek dari lima jurus. Maka sebelum cantrik itu

sempat melancarkan serangan balasan, ia harus menjatuhkan dirinya berguling-guling, sebab kipas

lawan telah menjojoh sembilan jalan darah dibelakang tubuh.

Sampai berkeringat dingin Bala, waktu ia bangkit melompat dari lantai. Dalam hati ia harus

mengakui keunggulan ilmu ?angin gunung? yang dilancarkan oleh Naga Dumung. Akan tetapi

cantrik inipun bukan seorang cantrik sembarangan. Ia tak sudi merendahkan martabat gurunya,

terjatuh dalam lima gebrakan.

Dalam pikiran Bala, masakah gurunya membuat pertaruhan tanpa perhitungan? Dan memang

terlalu gegabah Naga Dumung, apabila ia menerima tantangan yang tidak ringan itu.

Belum sempat Naga Dumung melancarkan serangan yang ketiga, maka tampaklah Bala

menggigilkan kedua lengannya. Dan tampaklah empat bayangan berwarna kemerahan, melayang

cepat secepat anak panah berputar sambil memperdengarkan suara berdengung.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

201

Kolektor E-Book

Keempat bayangan kemerahan itu membuat lingkaran masing-masing kearah empat jurusan

yang berbeda-beda. Akan tetapi pada detik berikutnya, keempat bayangan kemerahan itu telah

meluncur datang dari empat arah mata angin, utara selatan timur barat, menghantam kearah empat

jalan darah Naga Dumung.

Naga Dumung mendengus dingin. Sambil membuka kipasnya, maka ia menggerakkan senjata

itu turun naik dengan sangat cepat menangkis. Mulutnya selalu mencibir, hendak melontarkan

ejekan.

Terdengar suara berdentang denting nyaring, pertanda senjata-senjata rahasia Bala dapat

dikebas runtuh. Akan tetapi mendadak sekali Naga Dumung menjerit kaget sambil melompat

kesamping, ketika diluar tahunya senjata rahasia yang datang dari arah barat, tidak runtuh kena

sekali kebas. Sebaliknya benda itu berputar membalik, dan tahu-tahu telah menghantam tepat

kearah jidatnya.

Walaupun dalam kecepatan geraknya Naga Dumung masih dapat menyelamatkan diri, akan

tetapi beberapa lembar rambutnya kena terpapas oleh senjata rahasia itu, yang kiranya adalah

gelang-gelang tembaga yang di pakai oleh cantrik itu.

Catursuda memperdengarkan kemenangannya.

"Belum juga tiga jurus!" Bentak Naga Dumung dengan kemarahan yang tambah berkobar.

Dan kali ini memperhebat serangannya. Tangan kanan memegang kipas, tangan kiri dengan gerakan

serupa cakar burung garuda menyambar kearah kempungan cantrik itu.

Bukan main dahsyatnya tekanan yang dilancarkan ini. Bala seakan terkurung oleh bayangan

kipas yang berkelebatan memutar, membentuk bayangan putih setengah lingkaran, menutup setiap

gerak bagi lawannya untuk meloncat keluar.

Tampaknya pada jurus ketiga ini, Bala tentu akan dapat dirobohkan. Akan tetapi Catursuda

tampak menggoyangkan kepala sambil mendehem. Dan pada detik yang sangat berbahaya itu, tahu-

tahu Bala mengangguk-angguk seperti burung engkuk, dan kedua anting-anting telinganya yang

besar-besar itu, mendadak lepas dari tempatnya, menyambar dengan kecepatan kilat kearah telapak

tangan kiri Naga Dumung, sedangkan yang satu lagi menghantam ulu hati.

Nyata disini, bahwa apabila Naga Dumung melanjutkan serangannya, tak luput tangan kirinya

akan hancur, sementara jiwanya sendiri tentu akan melayang, walaupun Bala itu sendiri pasti binasa

dengan tubuh hancur. Akan tetapi mana Naga Dumung kesudian roboh ditangan seorang cantrik

belaka?

Secepatnya Naga Dumung menarik kembali kedua serangannya, dan kipasnya mengebut.

Anting-anting yang menyambar kearah ulu hatinya, kena terkebas hingga selanjutnya benda itu

sambil mengaung menyambar kearah Catursuda yang sedang duduk menunduk seperti orang yang

mengantuk.

Catursuda membuka matanya yang sipit sambil berkata tenang seperti tidak terjadi sesuatu.

"Aku tidak ikut-ikut, Naga Dumung! Ingat, sudah tiga jurus, hahahaaa..." Dan apabila Naga

Dumung melirik, sekilas ia melihat anting-anting yang tadi dibelokkan kearah kakek bongkok itu,

kini telah menyelip diantara kedua jarinya yang kurus berbonggol-bonggol.

"Celaka...", Naga Dumung mengeluh dalam hati. Tua bangka bongkok itu begitu lihay.

Apabila dia bermaksud keji terhadapnya, agaknya bukan sulit untuk menurunkan tangan kejam.

Dengan pikiran yang demikian, maka semakin keraslah niat Naga Dumung untuk

merobohkan cantrik itu dalam lima jurus. Dengan demikian maka ia boleh tidak usah kuatir akan

tingkah polah kakek bongkok yang sakti itu.

Naga Dumung tahu, bahwa lawannya sebagai Catursuda yang sangat kenamaan itu, tak

mungkin akan mengingkari janji. Namun, pertaruhan tadi belum sempurna, maka perlulah

diperbaiki. Katanya :Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

202

Kolektor E-Book

"Hai tua bangka! Tinggal dua jurus lagi. Bagaimanakah kalau dia kalah?"

Mendengar pertanyaan itu, Catursuda kembali mempertunjukan sikapnya yang acuh tak acuh

yaitu mengantuk.

"Siapa bilang Bala bakal kalah?" kakek bongkok itu tertawa menyindir. "Tapi biar puas

hatirnu, baiklah kukatakan. Dia kalah dalam lima jurusmu, maka berarti aku telah kau kalahkan!

Dan sebagai orang yang kalah, buat apa aku hidup lebih lama lagi? Aku toh tidak pernah kalah?

Dan kalau tidak, masakah aku masih tidak malu hidup sampai sekarang!"

Sungguh merupakan kata-kata yang terlalu menyombong. Dan Naga Dumung yang pada

dasarnya memiliki watak terlalu angkuh, semakin terbakar oleh api kemarahannya. Ia semakin

bernafsu untuk merobohkan Bala dalam dua jurus berikutnya!

Benar-benar penyamun tuaggal itu lupa, bahwa dengan kemarahan yang tidak terkendali itu,

justeru membuat ia kurang hati-hati dan lemah!

Ketika Naga Dumung hendak membuka serangan yang keempat, mendadak Catursuda

berseru :

"Tunggu! Haha... kau tidak adil Dumung!".

"Apanya yang tidak adil?'' Naga Dumung membentak. Dan dadanyapun hampir meledak

karena marah.

"Kau belum menyebutkan taruhanmu!" Sambung Catursuda.

Benar juga memang. Catursuda telah meletakkan taruhannya, yaitu terima mati apabila Bala

dapat dikalahkan dalam lima jurus. Akan tetapi sampai sekarang Naga Dumung belum

menyebutkan taruhannya sendiri.

Memangnya Naga Dumung sudah hampir pingsan karena marah dan penasaran, kini teringat

bahwa sejak tadi Catursuda tidak menanyakan taruhan Naga Dumung. Si raja penyamun itu

menganggap bahwa lawannya terlalu yakin akan mendapat kemenangan, maka agaknya sulitlah


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


dilukiskan betapa murkanya si raja penyamun yang berangasan itu.

"Tiga kali akan membunuh diri, kalau aku kalah!" Seru Naga Dumung, menjawab.

"Hahaha... aku jadi ingin melihat bagaimana seseorang dapat menyiksa nyawa sendiri sampai

tiga kali hahaha..."

Andaikata Naga Dumung dapat berpikir sehat, maka seharusnya ia menyadari bahwa

sebenarnya sejak tadi si tua bongkok itu sedang berusaha untuk membuat lawan kurang hati-hati

karena nafsu amarah. Tetapi rupanya Naga Dumung tidak menyadari hal itu, sehingga dapatlah

diramalkan bahwa dalam dua jurus selanjutnya, ia menemui kegagalan.

Naga Dumung sudah tidak mau memperhatikan ejekan kakek bongkok itu. Dan pada jurus

yang keempat itu, ia telah yakin akan dapat merobohkan lawan.

Raja penyamun itu, tiba-tiba berubah gerakannya agak melambat, kipasnya digerakkan miring

kekiri bergerak mengikuti gerakan kipas itu seperti orang menari.

Tidak terasa ada semilir angin yang berdesir dari gerakan kipas itu, akan tetapi Catursuda

yang tampak wajahnya berubah pucat pasi.

Gerakan menari Naga Dumung itu, sebenarnya adalah jurus terakhir dalam ilmu pukulan sakti

angin gunung, yang disebut gunung menyapu mega.

Sebenarrya bukanlah gerakan kipas atau tangan kiri Naga Dumung yang berbahaya akan

tetapi adalah gerakan lima jarinya yang tersembunyi dibawah kipas, yang akan melancarkan

serangan maut.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

203

Kolektor E-Book

Tentu saja Catursuda cemas. Ia tahu bahwa muridnya tidak akan mengenal bahaya yang

tersembunyi itu dan menganggap bahwa serangan itu begitu ringan dan sepele.

Apa yang diduga oleh kakek bongkok itu ternyata benar belaka. Pada detik berikutnya, maka

kipas Naga Dumung mematuk sangat cepat kearah mata Bala. Bala mendoyongkan tubuhnya,

sambil kepalan tangan kanannya digerakan mengarah bawah pusar lawan. Justeru pada detik itulah,

tiba-tiba kipas itu berhenti bergerak, dan kelima jari Naga Dumung ibarat lima batang tombak telah

menusuk kearah tenggorokan.

Agaknya kagetpun sudah tak ada gunanya lagi bagi Bala, yang saat itu dengan mata terbelalak

menerima nasib dengan putus asa. Namun kiranya sang ajal bagi cantrik itu belum tiba waktunya.

Dan pada detik kematian itu dari arah luar pintu, tampak meluncur sebuah benda berwarna jingga

yang mendesis seperti asap mendesak kelima jari Naga Dumung.

Bret! Kulit leher cantrik itu lecet berdarah, akan tetapi ia tidak terganggu jiwanya, karena

tusukan ke lima jari Naga Dumung telah menceng kesamping.

Naga Dumuug berjingkrak saking murkanya. Mukanya merah membara, dan matanya

terbelalak seperti hampir lompat dari pelupuknya. Lalu bibirnya yang bergetar itu hendak

mendamperat. Akan tetapi agaknya ia tak perlu mendamperat, sebab orang yang telah mengganggu

datangnya kemenangan itu kini telah muncul.

Entah sejak kapan datangnya, tampak diatas dua kursi yang mengelilingi meja tempat

Catursuda duduk telah bertambah dua orang.

Yang seorang, yang kini duduk menghadap Naga Dumung adalah seorang wanita cantik

berusia baya, yang genit selalu senyum-senyum. Sekali pandang, tidak mustahil ada beberara orang

pemuda hidung belang yang akan jatuh hati pada wanita itu. Apalagi dari balik kuku jari itu keluar

bau amis yang sangat menusuk.

Wanita ini tidak tain adalah ratu Istana Telagasona, atau Guru Guha Gempol, yang ditakuti

karena ilmu racunnya yang tiada tandingan, Dewi Cundrik adanya.

Adapun seorang lagi, yang kini tersenyum-senyum aneh dan tak tentu kepada siapa dia

tersenyum, adalah seorang laki-laki tua berpakaian pertapa.

Laki-laki pertapa ini berkulit hitam mukanya buruk dan bengis, terlihat dari matanya yang

tajam dan merah, serta hidungnya yang bengkung seperti betet. Dahinya botak, dan rambut yang

tumbuh dibagian belakang, keriting bersemu merah. Apabila melihat pertapa itu memiliki lengan

yang mengepulkan asap warna jingga, maka segeralah orang mengenalnya, dialah Ki Genikantar,

mahaguru perguruan Bantarkawung.

Sambil tersenyurn tak keruan itu, Ki Gerikantar berkata penuh hormat.

"Sahabat Sri Naga Gunung. Agung Catursuda dan cantriknya itu adalah orang sendiri. Di

pesisir pantai utara ini, masih hidup mahluk sombong sebagai Ki Cucut Kawung dan Mbah Pucung.

Biarlah nanti guru Loning itu menikmati kematian dibawah tenung Lintah Laut, sedangkan tua

bangka Pucung itu mati berlubang-lubang oleh tiupan Angin Gunungmu. Bukankah itu lebih

menyenangkan kita akan membasmi orang-orang paling sombong diatas bumi ini?" Ki Genikantar

menyambung kalimatnya itu dengan tertawa.

Agung Catursuda manggut-manggut, Dewi Cundrik mesem-mesem kearah raja penyamun itu.

Sebalikaya Naga Dumung masih panasaran katanya.

"Untuk apa aku membunuh seorang cantrik? Aku cuma hendak membuktikan bahwa..."

"Pada jurus ketiga kau hampir jadi pecundang... hahaha..." Catursuda memotong sambil

tertawa mengejek.

Tentu saja ejekan kakek bongkok itu hampir membikin kelenger si raja penyamun. Dan tanpa

dapat mencegah lagi, raja penyamun itu telah melompat, hendak mengeprak muka kakek bongkok

itu dengan kipasnya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

204

Kolektor E-Book

Akan tetapi Dewi Cundrik telah melompat menghadang, seraya tersenyum merdu, wanita itu

mendesak maju menghampiri.

"Apakah dihadapankupun kau tidak dapat bertindak lebih sabar, kakang? O, istana

Telagasona sepi sekarang. Tentu akan meriah apabila kita menari lagi disana, menghirup tuak

sambil bernyanyi semalam suntuk. Masih ingatkah kau pada perkenalan kita dahulu?"

Memang senyum merayu Dewi Cundrik sangat tajam dan adem, setajam sembilu dan seadem-

adem salju, terutama untuk lelaki yang berwatak pelesiran sebagai Naga Dumung si raja penyamun

itu.

Selanjutnya si raja penyamun itu cuma mendengus, untuk kemudian dengan tanpa diaba-aba

dulu, ia telah bergandengan tangan dengan wanita itu lalu pergi keluar rumah penginapan untuk

memandangi bulan di musim semi ini.

Setelah kedua lelaki perempuan itu keluar, maka dengan merubah seluruh roman mukanya, Ki

Genikantar berkata penuh kesungguhan :

"Masih ada seorang munyuk yang belum masuk hitungan, yang baru muncul akhir-akhir ini,

adalah...".

"Alap-alap Gunung Gajah?" Catursuda memotong sambil tertawa menghina.

"Syukur kalau kau telah mengetahuinya. Nyata-nyata bahwa Pucung, Loning, Kenistan dan

Gunung Gajah berada disatu pihak, berarti kita menghadapi lawan yang tidak boleh dipandang

ringan. Loning dan Pucung sudah pasti dapat diperhitungkan bakal hancur ditanganmu dau Naga

Dumung. Kenistan suamt isteri itu, tidak perlu dikuatirkan karena ada aku dan Dewi Cundrik. Akan

tetapi, mengenai Alap-alap Gunung Gajah itu..." Ki Genikantar tampak meragu.

Guru Bantarkawung, atau ketua Paguyuban Banjardawa itu tentu saja tidak sedang kuatir

tanpa alasan. Ia dan Dewi Cundrik pernah bergebrak selintasan dengan pendekar jembel muda itu,

dan nampaknya jago muda itu tidaklah terlalu hebat.

Akan tetapi Genikantar ingat, betapa pemuda jembel itu pernah mengakali hingga ia dan

Dewi Cundrik pernah hampir saling gempur dengan sendirinya.

Kecerdasan dan kelicikan jembel itu yang sulit diperhitungkan. Dan... sebenarnya, juga ada

sesuatu yang sangat menguatirkan, yaitu ilmu silat pemuda itu yang aneh dan tidak ketahuan asal

usulnya itu.

Bicara terus terang, sesungguhnya Ki Genikantar sendiri mengakui bahwa ilmu kepandaian

Alap-alap Gunung Gajah tidak lagi dibawah Kiai Kenistan ataupun Ki Cucut Kawang. Dan hal

seperti itu, bagaimana tidak membuat dia kuatir?

"Jadi, apakah maksudmu mengundang kami ini cuma hendak memuji-muji kemampuan lawan

didepanku?" Catursuda dengan nada tidak senang.

"Maaf, maaf bukan begitu, Agung. Didalam rencana besar kita, segala sesuatu harus

diperhitungkan lebih dulu, masak-masak. Aku berharap, mudah-mudahan jembel muda itu ketemu

tanding sendiri, entahlah, apakah cantrikmu juga bersedia menyumbangkan tenaga..."

"Kau ini bagimana Genikantar?" Catursuda agak mencela. "Ku dengar kau juga mengundang

Wigendro dari Sindanglaut. Sebagai seorang calon adipati, masakah patut kau berpikiran bimbang

seperti itu. Aku tidak menghendaki sesuatu dalam urusan ini kecuali mengumpulkan kekuatan untuk

melawan tentara Mataram. Asalkan setiap gerak-gerik dari kalangan keraton selalu dapat kau awasi,

apalagi yang harus dibuat cemas? Bukankah tau telah mengajar adat anak buah jembel muda itu,

diselat Pencuci Dosa?"

Kata-kata mengajar adat dan selat Pencuci Dosa itu, mengingatkan Ki Genikantar justeru pada

kekalahan pihaknya sendiri. Kemunculan Ki Cucut Kawung dan suami isteri Kenistan dari bawah

jurang, membuat Genikantar yang bermaksud mengajar adat pada laskar-laskar Walikukun, jadiYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

205

Kolektor E-Book

berbalik kena terajar adat. Tidak kecil korban jatuh dipihaknya, dan hal ini tentu saja takkan

dikatakan oleh Genikantar!

"Dari pertempuranmu waktu itu, tentulah kau dapat mengukur dengan jari kelingkingmu,

betapa laskar Gunung Gajah tidak berarti apa-apa bukan? Aku percaya tidak sedikit yang kau

peroleh dari gerakanmu saat itu! Catursuda menyambung bicaranya.

Diperoleh? Mendengar akan kata-kata ini, maka Genikantar teringat pada selat Pencuci Dosa

dan pusaka Kiai Tanjung. Rupanya tua bangka bongkok itupun masih mengiler pada kedua pusaka

itu, begitulah pikir Genikantar.

Memikir yang sedemikian, maka Genikantar tampak terkejut. Ia ingat bahwa undangan yang

dikirimkannya ke Sindanglaut, seharusnya datang lebih dulu dari pada yang ke gunung Slamet

ataupun kedaerah Banyumas. Mungkinkah Wigendro telah meadahului pergi ke selat Pencuci

Dosa?

Di hati, guru Bandarkawung itu terkejut, akau tetapi dimulut berkata lain :

"Tentang urusan keraton tidak usah dikuatirkan lagi. Orang-orangku akan dapat mengirim

warta setiap saat. Dan mudah-mudahan suatu waktu nanti, setelah selesai urusan ini, kadipaten

Pemalang dapat berdiri dibelakangmu membalaskan sakit hatimu. Hanya... ingatkah kau akan

cerita... tentang dua raksasa dengan seorang puteri raja?"

Dalam cerita pewayangan sering terjadi kisah yang sangat bodoh dan menyebalkan, yaitu

tentang dua raksasa yang mendapatkan seorang puteri raja yang cantik. Pada kesudahan cerita, tidak

scorangpun diantara raksasa itu sendiri yang berhasil memiliki puteri raja itu, karena mereka

akhirnya saling bunuh sama sendirinya akibat nafsu dan keserakahan mereka masing-masing.

Dalam hal ini, dimaksudkan oleh Ki Genikantar bahwa dalam paguyuban Banjardawa sendiri,

atau dalam kelompok pihak mereka yang hendak merebut kadipaten Pemalang, juga terdapat unsur

kekuatan dari dalam yang agaknya akan saling cakar-cakaran, berebut dikemudian hari.

Dan pikiran ini cukup dipahami oleh Catursuda yang sudah lantas tertawa sambil berkata :

"Aku toh bekas seorang tumenggung! Apakah kau masih meragukan kemampuanku?"

"Terima kasih kalau kau berpikir sejauh itu....." Ki Genikantar tertawa girang.

Pada saat itu, Naga Dumung bersama Dewi Cundrik memasuki ruangan, dalam keadaan yang

lusuh dan lesu. Mereka yang berada dalam ruangan itu tahu apa-apa saja yang telah dilakukan oleh

sepasang manusia cabul dengan melihat letak baju Dewi Cundrik yang terbuka dibagian dadanya,


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


dan kelesuan Naga Dumung.

Tetapi justeru Genikantar tidak memikirkan hubungan mesum itu. Yang terlintas dalam

benaknya, adalah kemudiannya Dewi Cundrik dan raja penyamun itupun membuat satu pihak

tersendiri, yang nantinya bakal menjadi ?seorang raksasa? dalam kisah dua raksasa dengan puteri

raja.

Rupanya jalan pikiran Genikantar sejalan dengan Catursuda yang cerdik dan lihai. Terdengar

kakek bongkok itu menyeletuk :

"Kalau sudah bersatu, lupa daratannya! biasanya anak-anak muda..... hehehe....."

Ada sindiran lain dalam kalimat itu. Tetapi rupanya baik Naga Dumung ataupun Dewi

Cundrik tidak menyadari bahwa mereka telah dicurigai. Dan sepasang asyik masyuk itu hanya

tertawa malu sambil bercubitan.

Demikianlah kelima orang yang diluar tampaknya sepihak setujuan tetapi didalam saling

curiga mencurigai, bercakap-cakap dan berunding sepanjang malam hingga fajar mulai

menyingsing ditimur.

XYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

206

Kolektor E-Book

X X

TELAH terlalu lama kita meninggalkan Cunduk Puteri. Sebagai kita telah mengetahui

didepan, bahwa dara pahlawan puteri tunggal Mbah Pucung itu mengalami nasib yang sangat

mengenaskan, dinodai kesuciannya oleh Windupati, kemudian dalam keadaan terluka dan pingsan,

dara yang malang itu telah dicemplungkan kedalam sumur mati dihutan Bengkelung oleh anak

murid perguruan Loning.

Sejak dulu kala, sejak orang mengenal adanya sumur mati dihutan besar itu, orang mengira

bahwa tempat itu merupakan pembantaian bagi orang-orang yang melintasi hutan, atau saudagar-

saudagar yang tersesat dan terbunuh oleh penyamun. Hutan Bergkelung dulu terkenal sebagai

tempat merajalela dari begal besar yang bernama Kaki Gagak Rawe.

Akan tetapi sejak Kaki Gagak Rawe dibinasakan oleh Kebo Sulung, maka hutan tersebut

seakan menjadi daerah tak bertuan, walaupun sesungguhnya keangkeran dan keliaran rimbanya

masih ditakuti orang. Bahkan selanjutnya orang mengangap bahwa hutan itu tempat berkuasanya

para dedemit, siluman dan jin peri perayangan.

Pada saat dicemplungkan kedalam sumur mati, maka kedua murid Loning itu mengira bahwa

nama Cunduk Puteri selanjutnya akan tinggal merupakan kenangan belaka. Tak ada orang yang

dapat hidup setelah mengalami nasib demikian, apa lagi justeru saat itu Cunduk Puteri masih dalam

keadaan pingsan.

Kalau tidak binasa hancur membentur dasar sumur yang entah terdiri dari batu tajam macam

apa, setidak-tidaknya akan mati ditelan segala racun ataupun bisa entah apa lagi.

Akan tetapi memang hanya sampai disitu batas akal pikiran manusia. Mereka menghitung

dengan angka-angka yang tercapai oleh akal pikiran, tidak mengingat bahwa hidup dan ajal

seseorang berada ditangan yang Maha Kuasa.

Ketika tubuh Cunduk Puteri meluncur kebawah dibawa oleh berat badannya, maka didalam

sumur terdengar suara mendesis-desis, mendengung-dengung ataupun keletak-keletik yang timbul

oleh benda-benda di dalam gelap yang bergerak.

Ternyata benda-benda itu adalah binatang-binatang melata, yang rata-rata berbisa, seperti

ular, kalajengking, kelabang dan sebangsanya, yang sebenarnya terkejut, dan memberikan

?perlawanan? dengan berbagai cara mereka. Ular-ular mematuk, kalajengking-kalajengking

menyengat, dan kelabang-kelabang menggigit.

Tentang racun dan bisa binatang-binatang itu, tentulah terlalu hebat, mengingat mereka

tinggal didalam alam yang tersembunyi, buas dan liar. Dalam waktu yang hanya selintasan itu, tidak

terhingga jumlahnya racun, yang telah menerjang kulit tubuh dara itu. Untungnya si dara dalam

keadaan tidak sadar, sehingga ia tidak dapat merasakan rasa sakit akibat serangan-serangan

binatang-binatang itu.

Entah berapa lama Cunduk Puteri dalam keadaan demikian. Ia sadarkan dirinya, ketika ia

merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit bahkan seperti tulang-tulangnya seakan dilolosi.

Dengan tanpa bersuara, gadis itu membuka matanya. Dan alangkah terkejutnya ia, demi

melihaat sekelilingnya. Pertama kali, ia melihat cuaca yang remang-remang dalam sebuah ruangan

berukuran satu tombak persegi, pada dinding ruangan tampak benda-benda kecil bulat yang

memancarkan sinar warna hijau. Rupanya sinar-sinar kecil inilah yang memberikan cahaya dalam

ruangan itu hingga menjadi tampak samar-samar.

Akan tetapi, ketika si gadis memperhatikan, lebih-lebih ia terkejut seakan-akan berada dalam

neraka, ketika ternyata bahwa benda-benda kecil bersinar hijau itu adalah sengat-sengat beberapa

ekor ketonggeng raksasa yang besarnya hampir menyamai sebuah gelas.

Si gadis terpekik ketakutan, tetapi mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara, rahangnya

terkunci, sehingga ia hanya dapat membelalakkan mata belaka.

Mendadak terdengar suara yang lembut, akan tetapi jelas :Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

207

Kolektor E-Book

"Tenang. Jangan banyak bergerak. Lukamu terlalu parah, dan racun pacet bumi, ular tanah

hampir menyerang jantungmu!"

Cunduk Puteri sadar, bahwa agaknya orang yang bersuara ini, tentulah penolongnya. Ia telah

teringat akan segala peristiwa yang telah menimpa dirinya, apa yang dialaminya diperguruan

Loning. Dan kini ia sadar pula bahwa orang yang telah menotok lemas kepadanya, adalah sang

penolong itu.

Dengan segera ia memeriksa, mencari-cari dengan matanya hingga akhirnya terkejut pula,

ketika ternyata orang yang bersuara itu justeru orang yang kini sedang memangkunya.

Mengingat pada suaranya, agaknya si penolong adalah seorang wanita. Tetapi ia tidak

kelihatan bagaimana bentuk dan roman wajahnya, karena seluruh tubuh wanita itu tertutup dengan

jubah berwarna hitam dan yang tampak oleh Cunduk Puteri, hanyalah sepasang wanita itu belaka

yang berkelopo-kelopo bersinar hijau seperti mata harimau.

Bergidik seluruh tubuh Cunduk Puteri. Ingin ia merayap pergi, atau menjerit, atau

mengucapkan terima kasih, akan tetapi semuanya itu tidak dapat dilahirkan dengan kata-kata,

terpancar pada matanya belaka. Dan kiranya wanita penolong itupun dapat membaca isi hati dara

itu.

"Hmm... Rupanya jodoh, yang telah mengantarkan ini bocah! Kau memiliki tiga syarat yang

selalu ku pegang dalam hidupku yaitu... kau cantik, memiliki dasar ilmu silat dari kaum lurus, dan...

bukan perawan..."

JILID : 12

HERAN bukan main, Cunduk Puteri mendengar kata-kata wanita itu. Namun rasa herannya

itu terganggu oleh rasa sakit yang tiba-tiba saja merayap naik dari punggungnya. Kiranya kedua

telapak tangan wanita penolong itu berada dibawah tubuh si dara. Rasa sakit itu begitu makin hebat

mendesak, sehingga rasa hampir nyawanya melesat terbang.

"Tahan rasa sakit!" Kata wanita itu memerintah.

Dan sebelum Cunduk Puteri menduga apa yang bakal terjadi, ia terbatuk keras, tubuhnya

tersentak, dengan mulutnya menyemburkan darah berwarna hitam bergumpal-gumpal. Untuk

selanjutnya, gadis itu pingsan kembali.

Beberapa saat wanita aneh berkerudung hitam itu menatapi tubuh Cunduk Puteri dengan

wajah berubah rubah, sebentar seperti orang gembira, sebentar kaget dan tegang, dan sejenak

kemudian seperti orang kecewa.

Sedangkan tubuh si dara itu sendiri tergeletak lemas dengan wajah yang berubah-ubah pula

sebentar menghitam, tak lama antaranya agak seperti biru, setelah itu menghitam lagi. Akhirnya

sedikit demi sedikit warna hitam dan biru itu menipis, seperti menipisnya awan yang disapu angin.

Pada saat itulah, wanita berkerundung itu lantas tampak tertawa. Terkekeh-kekeh ia tertawa,

hingga tubuhnya yang kurus itu melengkung bongkok.

Wanita itu masih terus tertawa, hingga Cunduk Puteri tersadar dau dara itu bergerak-gerak,

kemudian membuka matanya.

"Oohhh..." Terdengar Cunduk Puteri mengeluarkan rintihan.

"Hidup kau! Hidup kau! Hemmm..... berhasillah aku, hehehe..." wanita berkerundung itu

terpingkal-pingkal sendirian. "Siluman pacet wulung, jangan sombong kau dengan racunmu...

hehehe"

Diluar dugaan, Cunduk Puteri merasa tubuhnya agak nyaman. Dan ketika ia menggerak-

gerakkan tangannya, wanita itu malah berkata :Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

208

Kolektor E-Book

"Dudukpun sudah boleh..... nduk!" (nduk panggilan cantrik seorang gadis).

Cunduk Puteri mencoba bangkit untuk duduk. Kiranya benar saja, semua rasa sakit, nyeri,

pegal, lemas, dan segala perasaan yang menyiksa tadi, kini lenyap sama sekali.

Dalam heran dan kagumnya, Cunduk Puteri lantas membungkuk hormat seraya berkata :

"Bibi yang baik... beribu-ribu terima kasih atas budi pertolonganmu. Aku Cunduk Puteri yang

rendah ini, mengharap bibi dapat memperkenalkan namanya yang harum, sehingga pabila dikelak

kemudian hari aku mati, aku masih memiliki nama yang akan kubawa sebagai petunjuk dialam

akhirat..."

"Lagi ngaco apa kau?" Wanita berkerudung hitam itu tampak tak senang dengan

penghormatan Cunduk Puteri. "Kau panggil aku bibi, kau kira berapa usiaku? Ayahmu belum tentu

sebaya dengan anakku! Hei nduk anak manis. Kau bilang buru-buru mengenal diriku, memangnya

kau hendak pergi kemana?".

Cunduk Puteri bengong. Menilik suaranya, wanita penolong itu kira-kira sebaya dengan

Cunduk Puteri, andaikata dia mempunyai seorang bibi. Mengapa wanita itu malah berkata begitu?

Habis seumur siapakah dia kira-kira?

Pertanyaan lain, tentang hendak pergi kemana Cunduk Puteri, memang si dara sendiri geli

juga mengingatnya. Dia hendak pergi, pergi kemana? Bukankah dia berada di suatu tempat yang

asing, dan tak dikenal sama sekali? Mungkin juga sekarang sudah dialam akhirat, atau mungkin di

neraka, Cunduk Puteri tidak dapat menduganya.

Sementara itu, si wanita yang agaknya dapat membaca isi hati si dara, telah melanjutkan kata-

katanya :

"Kau datang kemari, sebagai orang yang telah mati dengan raga yang rusak dan ternoda.

Setelah aku berhasil dengan percobaanku, dan kau dapat hidup kembali, kau hendak pergi? Pergi

kemana coba kau katakan? Disini adalah sumur racun Bengkelung, sumur mati tempat orang

menghilangkan jejak pembunuhan. Jalan kemana kau dapat keluar dari sini?"

Cunduk Puteri semakin bingung dan tak mengerti.

"Sudah kukatakan kita berjodoh... Kita berkeliling dunia seratus tahun, belum tentu

menemukan sebuah pertemuan sebagai sekarang. Aku sedang mencari orang yang bernasib seperti

kau, dan kau dilemparkan orang kemari, bukankah itu jodoh namanya?".

Mungkin tidak beres kata-kata wanita itu, akan tetapi Cunduk Puteri tidak bermaksud

membantahnya. Yang jelas memang ia sedang membutuhkan orang berilmu tinggi yang dapat

mewarisinya ilmu-ilmu sakti untuk membalas dendam. Dan pertemuannya dengan wanita penolong

itu, bukankah benar sebuah jodoh, namanya?

Wanita itu lalu menceritakan jalannya peristiswa, Sejak ia kejatuhan tubuh Cunduk Puteri

hingga keadaan sekarang.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Bermula, saat sedang meluncur kedasar sumur. tubuh Cunduk Puteri kena ditahan oleh dua

ekor ular tanah besar, yang telah menangkapnya dibelitan kedua tubuh mereka. Selanjutnya,

sebenarnya Cunduk Puteri akan ditelan oleh kedua binatang buas itu, dan mereka telah membuka

moncongnya untuk menelannya kedalam perut.

Akan tetapi, si wanita berkerudung hitam yang melihat kejadian itu segera melemparkan lima

ekor ketonggeng raksasa piaraannya untuk merampas tubuh dara itu.

Seperti jatuhnya bacokan kampak, maka lima buah sengat yang besar menghantam kearah

kepala kedua ekor ular tanah itu. Ular-ular itu menggagalkan maksudnya dengan terkejut. Lalu

dengan murkanya, membuka mulut menyambut serangan.

Dua ekor ular bertarung melawan lima ekor ketonggeng, sementara itu tubuh Cunduk Puteri

meluncur kebawah, jatuh dipangkuan si wanita berkerudung hitam.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

209

Kolektor E-Book

Sementara itu si wanita berkerudung sama sekali tidak memperhatikan tubuh si dara. Seluruh

perhatiannya dicurahkan kepada lima ekor ketonggeng dan sepasang ular tanah yang sedang

bertarung dengan sengitnya.

Kedua ekor ular membelitkan badannya pada sebuah akar-akaran sedangkan kepala dan

ekornya dipergunakan untuk menyerang. Adapun ketonggeng-ketonggeng itu yang melihat bahwa

serangannya mendapat sambutan dari empat jurusan, yaitu dua ekor dan dua kepala ular sepasang

itu, segera memencar, masing-masing kakinya berpegang pada tepian sumur, Dan kelima buntutnya

yang dapat melengkung itu, mematuk seperti kampak.

Jangan dikira bahwa binatang itu dapat ?bersilat?. Merekapun mempunyai naluri, instink

untuk melindungi dirinya. Dan gerakan-gerakan mirip silat mereka itulah ujudnya.

Ketujuh binatang itu adalah penghuni sumur mati ini. Dan selama berada dalam alam yang

demikian serba gelap, dan serba berkekurangan, sesungguhnya di antara mereka telah timbul suatu

naluri untuk bunuh.

Keempat macam serangan ular beradu dengan empat ekor ketonggeng, sedangkan ketonggeng

yang seekor lagi dengan leluasa menghantamkan sengatnya tepat mengenai batok kepala seekor ular

yang sedang menggigit ketonggeng yang lain.

Terdengar beberapa kali suara peletak-peletuk. Setelah itu tampak mereka terdiam sesaat

selanjutnya tampak empat ekor ketonggeng runtuh kebawah, disusul oleh seekor ular, sedangkan

ular yang seekor lagi telah mati pula, akan tetapi tidak dapat jatuh, karena kepalanya kena terpantek

oleh sengat ketonggeng yang kelima.

Beberapa saat ular yang tergantung itu berkelejetan selanjutnya ketonggeng yang satu itupun

ikut terjatuh pula.

"Bagus? Hehehe.... Bagus!" Perempuan berkerudung hitam itu tertawa girang sambil

tangannya bekerja sangat cepat memotongi ekor dan kepala ular maupun sengat ketonggeng.

Setelah itu dia mengeluarkan sebuah kantong butut, yaag begitu dituang isinya, tampaklah tiga ekor

bangkai lintah merah.

Semuanya itu dimaksukan kedalam sebuah tempurung, bebat sekali, begitu tubuhnya

dicampur dengan potongan-potongan bisa ular dan ketonggeng, maka lintah merah itu menjadi

hitam legam mengkilap seperti warna kulit ketonggeng.

Wanita berkerudung itu semakin tampak gembira. Lalu dengan cepat ia mengeluarkan

sepasang sarung tangan dari dalam kantong jubahnya. Setelah itu, dengan sangat hati-hati

tempurung yang berisi adukan bisa dan racun itu dibawanya pergi, sedangkan Cunduk Puteri

dijinjingnya dengan tangan kiri.

Di dasar sumur mati itu, kiranya terdapat sebuah lorong, yang agaknya dibuat oleh wanita itu.

Beberapa saat wanita itu menyusuri lorong, maka tibalah ia pada sebuah ruangan kecil yang mirip

sebuah kamar obat. Disitu terdapat dua buah rak batu, dan sebuah lemari kecil.

Dengan cepat sekali wanita itu bekerja. Tubuh Cunduk Puteri digeletakkannya diatas sebuah

meja batu. Kemudian dengan sangat tangkasnya ia mengambil sebatang jarum perak dari dalam

sebuah rak, dicocolkannya kedalam tempurung yang berisi adukan racun menghitam itu, kemudian

ditusukkannya kebetis Cunduk Puteri beberapa kali.

Beberapa saat, wanita itu memperhatikan betis Cunduk Puteri dengan matanya yang tajam

berkilat-kilat. Tampaklah sedikit demi sedikit betis Cunduk Puteri berubah merjadi hitam. Dan

warna hitam itu menjalar naik perlahan-lahan, menuju bagian tubuh sebelah atas.

Selanjutnya wanita berkerudung itu mengambil sebatang jarum emas dari rak yang lain.

Kemudian ia membuka lemari, dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari dalamnya.

Ketika bungkusan itu dibuka, tampaklah segumpal cairan kental berwarna merah. Dengan

cara mencelupkan jarum emas itu kedalam cairan kental itu, maka beberapa kali si wanita


Misteri Kehadiran Arwah Karya Bois Tembok Besar Karya Unknown Sam Po Kong Karya

Cari Blog Ini