Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar Bagian 8
menyuntik pangkal paha Cunduk Puteri.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
210
Kolektor E-Book
Barulah setelah itu, si wanita membawa Cunduk Puteri kembali kedasar sumur kembali.
Ditempat itu si wanita duduk bersila dengan kedua telapak terbuka diatas pangkuan, dimana
diatasnya tubuh Cunduk Puteri yang telanjang bulat dibaringkan melentang diatas telapak tangan
itu.
Demikian, beberapa saat, si wanita mendorong dengan tenaga sakti dalam batinnya maka
racun-racun yang tadi menjalar dalam kaki Cunduk Puteri sedikit demi sedikit terdesak mundur,
berkumpul kearah bekas-bekas tusukan jarum yang pertama. Dan untuk selanjutnya, dari bekas
tusukan itu, tampak mancur keluar cairan kental hitam bercampur darah yang sangat busuk. Hingga
kemudian kaki yang tadi kehitaman itu, kini kembali menjadi kuning mulus, yang berarti racun
yang semula hendak menjalar itu telah terusir keluar. Saat itulah selanjutnya Cunduk Puteri
sadarkan diri dari pingsannya.
Demikianlah penuturan wanita berkerudung hitam itu, seraya membuka jubah hitamnya, dan
melemparkannya kepada Cunduk Puteri. Si dara menerimanya dengan gopoh dan kemalu-maluan,
sebab ia baru sadar sekarang, bahwa sejak tadi ternyata ia tidak berpakaian.
"Pakaianmu sudah cabik-cabik, nduk. Dan juga banyak ketempelan bisa dan racun. Lebih
baik kau mengenakan jubahku itu. Kukira kau akan menjadi lebih cantik..." kata wanita itu, sambil
tersenyum mengakhiri ceritanya.
Diam-diam Cunduk Puteri mendongkol juga. Dia ingat bahwa tubuhnya telah dijadikan
tempat perobahan pada permainan racun wanita itu. Namun perasaan demikian berlangsung hanya
sejenak, sebab selanjutnya Cunduk Puteri menyadari pula, bahwa tanpa wanita itu, agaknya diapun
takkan hidup lagi.
Sambil duduk barsila. Cunduk Puteri memperhatikan wanita didepannya itu. Ia tidak yakin,
sebagai yang dikatakan oleh wanita itu, bahwa ayah Cunduk Puteri belum tentu sebaya dengan anak
wanita itu. Mungkinkah wanita itu sudah demikian lanjut usianya?
Apabila menilik roman wajahnya yang putih gemilang, mustahillah bibirnya yang masih
kemerahan itu, patut dimiliki oleh seseorang yang sebaya dengan nenek Cunduk Puteri. Menurut
perhitungan, Mbah Pucung usianya telah lebih dari delapan puluh tahun, masakah wanita itu sudah
seratus tahun lebih umurnya?
Tampaknya wanita itu tidak perduli pada keraguan Cunduk Puteri, dan ia melanjutkan kata-
katanya :
"Namamu Cunduk Puteri? Hm... nama seorang dara yang menarik sekali...".
"Tadi kau bilang kita berjodoh, bagaimana keteranganmu, eyang?" Cunduk Puteri sengaja
memanggil dengan sebutan eyang (nenek), dengan maksud mencoba-coba belaka. Kiranya wanita
itu memang suka mendengar sebutan demikian.
"Ya... ya, begini cucu! Kau cantik, dan itu syarat mutlak, bila seseorang hendak menjadi
cucuku! Aku tidak suka pada gadis yang tidak cantik. Kau tahu, yang tidak cantik sering sok cantik?
Sok cantik, sok cantik seperti dia!".
Waktu menyebut kata dia, mata wanita itu tampak berkilat-kilat penuh dendam dan beberapa
lama ia menggeram-geram.
"Syarat kedua kau memiliki dasar ilmu silat dari golongan kaum lurus. Sebab dari ilmu silat
kaum sesat, tak dapat diharapkan suatu apapun kecuali pengrusakan, bencana ataupun peperangan.
Ilmu silat dan tenaga batin mempengaruhi jalan darah ditubuh seseorang dan membentuk wataknya.
Dan seseorang yang wataknya telah terbentuk menjadi orang sesat, akan lebih berbahaya, apabila ia
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Cunduk Puteri tidak menyangkal, tetapi didalam hati timbul juga suatu keraguan.
Dan wanita tua itu dapat membaca isi hati si dara. Lalu dibimbingnya Cunduk Puteri
memasuki sebuah ruangan yaag berada disebelah kanan dasar sumur itu.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
211
Kolektor E-Book
Baru saja tiba dipintu yang pertama kali tampak oleh si dara adalah suasana yang terang
benderang, dan bau harum yang semerbak. Cunduk Puteri keheranan, dari manakah datangnya sinar
benderang dan bau yang sangat harum itu?
Selanjutnya ketika ia telah berada dalam ruangan, segera ia melihat tiga buah arca batu. Arca
batu yang pertama, yang berada paling depan, barada dekat pintu ruangan, adalah arca seorang dewi
yang sanga cantik, mirip sekali dengan arca Dewi Rorojongrang.
Arca ini terbuat dari sebuah batu kumala putih berkilau seperti kaca atau lilin, dan agaknya
dari sinilah terbit sinar yang terang benderang itu, maupun bau yang harum semerbak.
Arca yang kedua, yang kira-kira berada ditengah ruangan, adalah sebuah arca yang sangat
besar sekali, berbentuk seperti seorang laki-laki yang berkulit kebiru-biruan seperti kulit
ketonggeng gunung. Demikian besarnya arca ini, sehingga sebatang lengannya saja, hampir sebesar
tubuh arca yang pertama.
Kepala arca ini, menembus langit ruangan, sehingga tidak tampak seperti apa bentuk
mukanya. Jadi hanya sebatas leher kebawah saja yang dapat dikenal sebagai seorang laki-laki
raksasa.
Adapun patung atau arca yang ketiga, yang terletak agak menjauh, berada disudut ruangan
sebelah belakang, Berbentuk sebagai seorang wanita yang sedang menari. Terukir sargat teliti,
sebagai seorang wanita yang bertelanjang bulat, yang didalam abad yang sopan santun, maka
patung itu tentu tak boleh diperlihatkan kepada orang.
Di tangan kanan patung ini, tergenggam sebuah hati manusia, sedangkan tangan kirinya,
bergerak seakan sedang menjambak rambut sendiri. Maka walaupun arca wanita yang dimaksud
sangat cantik, akan tetapi tampak sangat menyeramkan, sebab gerak menarinya seakan melukiskan
seorang wanita yang miring otaknya.
"Cucu. Mengertikah, apa artinya ini?" Tanya si nenek ketika Cunduk Puteri selesai
mengamat-amati ketiga arca batu itu.
Dalam kecerdasan, memang Cunduk Puteri memiliki dasar yang cukup tinggi. Setelah
berpikir sejenak maka ia menjawab.
"Nenek sedang membuat perbandingan tentang dasar ilmu silat dari golongan kaum sesat dan
kaum lurus. Ketiga arca itu merupakan contoh-contohnya. Kukira arca putih bersinar inilah, tokoh
dari kaum lurus.
Sebaliknya arca telanjang itu dimaksudkan sebagai orang dari golongan dari kaum sesat,
kecuali bersifat bengis, kejam, juga cabul. Adapun patung yang besar ditengah-tengah itu, apakah
yang dimaksudkan adalah orang dari kalangan penjahat yang karena pengaruh dari golongan kaum
lurus terlalu kuat, akhiraya serba salah, menjadi orang serba bimbang, tak mempunyai
keseimbangan pikiran, hingga akhirnya ia menyembunyikan mukanya dari dunia ramai..."
Mendengar jawaban demikian, maka si nenek tertawa gembira. Lalu sambil mengangguk-
angguk ia berkata :
"Kecerdasanmu luar biasa, cucu! Tidak sangka. Hmm... hmm..." wanita itu manggut-
manggut. Lalu dengan wajah berubah sedih, ia melanjutkan bicaranya : "Jawabmu benar semata. Itu
arca siluman, gila yang suka makan hati manusia adalah yang dikenal orang sebagai Dewi Cundrik.
wanita selaksa racun dari Merapi.
Dalam sejarah pembunuhan manusia, maka siluman itu boleh digolongkan sebagai iblis
nomor wahid.
Mungkin dia sudah mati sekarang, tetapi ia mempunyai cucu yang memiliki watak mirip
sekali dengannya. Bahkan kabarnya ilmu racun pacet wulung yang belum sempurna ditangan Dewi
Gandri, telah disempurnakan oleh cucunya sendiri.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
212
Kolektor E-Book
Cunduk. Puteri sebenarnya bermaksud mengajukan pertanyaan akan tetapi melihat sikap si
nenek yang sangat sungguh-sungguh maka Cunduk Puteri mengurungkan niatnya itu.
"Adapun arca kedua, patung laki-laki raksasa itu adalah makhluk paling terkutuk diatas dunia
ini. Bukan saja manusia-manusia yang mengutuknya, Tuhan-pun telah mengutuknya dengan
hukuman yang sangat hebat. Dia menjadi buta melek, dan tubuhnya besar sekali mungkin lebih tiga
dari ukuran manusia biasa. Namanya Turonggo Benawi, hmm haram jadah itu tidak seharusnya
mewarisi ilmu sakti ?Nusa-reca-sakti? dari Pulau Maceti, yang amat mashur itu. Tetapi rupanya
entah dengan jalan mencuri atau mengintip, penjahat ulung itu dapat memiliki ilmu sakti dari pulau
selatan itu. Hingga akhirnya dunia dibikin kacau olehnya. Ketentraman rumah tangga manusia
dirusak olehnya. Tak ada puteri cantik yang tinggal selamat, tetap perawan dalam jamannya...
mungkin dia sudah mampus".
Cunduk Puteri melihat, bahwa pada sudut mata nenek itu terlihat sebutir air yang cairan
kuning. Ia tahu, bahwa perempuan tua itu sedang mengalami pertempuran batin. Dibalik
kebenciannya yang berkobar-kobar terhadap mahluk tinggi besar itu, dalam kata-katanya
tersembunyi suatu perasaan yang ganjil, yaitu berduka.
Dan kedukaan itulah yang dapat dirasakan oleh Cunduk Puteri, melalui suara si nenek yang
gemetar itu.
"Eyang, ada hubungan apakah antara Turonggo Benawi dengan selat Pencuci Dosa?" Tanya
Cunduk Puteri, ketika ia teringat nama itu dengan hubungannya waktu ia disuruh oleh Pepriman,
pergi bersama Sogapati menjumpai Ki Cucut Kawung diperguruan Loning.
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu si nenek terperanjat.
"Darimana kau tahu nama-nama itu?" Tanya si nenek.
Cunduk Puteri lantas menceritakan perjalanannya ke Loning bersama Sogapati itu. Diapun
menceritakan perihal Pepriman yang memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi, tetapi aneh. Tidak
lupa pula, dikisahkan mengenai nasibnya hingga ia berakhir dengan pertemuan bersama nenek ini.
"Hm... hm... kurang ajar! Apakah orang yang bernama Pepriman itu memiliki ilmu silat yang
mirip dengan gerakan-gerakan burung walet? Ingat, dipesisir utara inipun ada ilmu silat yarg mirip
dengan ilmu silat ?Nusa-reca-sakti? dari Pulau Maceti, yaitu ilmu silat Suci Hati! Cobalah kau ingat-
ingat, apakah ada persamaannya diantara keduanya itu?" Tanya si nenek, marah.
"Tidak salah" sahut Cunduk Puteti. "Bahkan semula aku mengira bahwa pemuda jembel itu
adalah anak murid Suci Hati dari Blimbingwuluh..."
"Keparat! Si haram jadah itu telah melanggar sumpah, mencari murid apa segala. Biarlah, kau
harus dapat mengalahkan si pemuda jembel itu. Jangan takut, cucu! Aku mempunyai barang yang
dapat mengalahkan ilmu dewa itu!"
"Eyang, kau belum menyelesaikan keteranganmu. Siapakah patung putih, dewi cantik itu?"
Kata Cunduk Puteri seraya menunjuk kearah patung yang berada didekat pintu ruangan itu.
"Dewi cantik dari mana?" Tiba-tiba si nenek membentak. "Kalau dia cantik, tentu dia tidak
menderita dan murung seperti itu. Hai, cucu! Jika nanti kau telah belajar pada patung putih wangi
itu, kau boleh mencariku, menyusur jalan yang menuju kearah sana." Berkata sana, sambil
menunjuk kearah selatan, yang agak menyerang kearah barat daya.
Cunduk Puteri belum jelas akan keterangan itu, ia bermaksud untuk bertanya, akan tetapi
wanita tua itu telah menghilang pergi.
Hati si dara jadi tambah tertarik akan sikap wanita tua itu. Mungkinkah, arca putih wanita itu
justeru adalah patung wanita tua itu sendiri? Menilik dari sikap dan perkataannya, agaknya
demikian.
Maka seakan diseret oleh suatu kekuatan diluar sadarnya. Cunduk Puteri telah menghampiri
patung itu untuk memeriksanya.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
213
Kolektor E-Book
Benar-benar patung seorang dewi. Sejak semula, si dara memang sudah menduga bahwa
patung itu adalah patung wanita tua sang penolong, menilik dari raut wajah maupun bentuk bagian
tubuhnya yang lain. Dan demi kini si dara meneliti lebih lanjut, maka dengan semakin kuat.
Ia masih ingat akan adanya tahi lalat kecil berwarna biru pada bawah telinga kanannya. Dan
kini, ia melihat persis dibawah telinga kanan arca itu terdapat sebuah bintik yang serupa.
Bedanya, hanya patung itu menggambarkan seorang wanita yang lebih cantik, dan masih
muda. Mungkin karena mudanya itulah, maka ada banyak perbedaan dengan wajah wanita itu,
kecuali beberapa gurat-guratnya yang sama persis.
Diam-diam Cunduk Puteri sangat mengagumi wanita penolong itu. Walaupun wanita itu
mempunyai watak-watak yang agak aneh, dan tampaknya juga angin-anginnan tetapi terasa olehnya
bahwa watak itu mungkin tertawa oleh kehidupannya yang terasing dari dunia ramai.
Hal ini semua dapat dipahami oleh Cunduk Puteri yang berotak cerdas itu. Diam-diam dalam
hati ia berkata :
"Apakah disini tersimpul suatu kisah cinta segitiga yang unik dan aneh? Wanita itu
tampaknya sangat membenci si laki-laki raksasa, namun terasa dibalik kebenciannya itu terdapat
beberapa nada ucapan yang mengandung bahasa cinta. Ach... aneh-aneh sifat manusia!"
Beberapa saat Cunduk Puteri memeriksa patung itu akhirnya ia dapat manemukan apa yang
dicarinya. Dengan mudah ia dapat menemukan sebuah kitab kecil yang tersembunyi tepat didalam
buah dada kanan arca batu putih itu.
Pada bagian itu terdapat sebuah garis-garis segi empat yang tipis. Begitu si dara mengoreknya
dengan kuku maka garis-garis itu membuka, dan terdapatlah benda yang dicarinya.
Memangnya Cunduk Puteri adalah seorang dara rimba persilatan. Tidak hanya ilmu silat saja
kegemaran gadis ini, termasuk juga ilmu-ilmu pengobatan maupun ilmu sastera. Maka begitu
melihat sebuah kitab, langsung hasratnya untuk membaca timbul seketika.
Kitab kecil itu bernama ?Malaikat papat? (empat Malaikat). Dan dibawah judur kitab itu, jelas
tertera nama penulisnya, adalah Roro Manik.
Tentang empat malaikat ini, yang dimaksud adalah, sahabat manusia sejati, yang telah ada
sejak manusia dilahirkan sebagai seorang bayi dari rahim ibunya.
Keempat saudara manusia itu, adalah mahluk-mahluk gaib agaknya sejenis malaikat, yang
memiliki bentuk apabila malaikat-malaikat itu membentuk diri persis benar sebagai orang itu
sendiri. Sehingga bila mereka itu muncul dalam kegaibannya, maka manusia itu menjadi kembar
lima! Lima dengan pribadi manusianya.
Kitab itu, menurunkan ilmu batiniah tingkat tinggi yang tentu saja hanya dapat dipelajari oleh
golongan orang kaum lurus. Dimana secara dasarnya, Cunduk Puteri telah mendapatkan pelajaran
dari ayahnya, Mbah Pucung. Maka dalam saat yang tidak lama, Cunduk Puteri segera tenggelam
dalam latihan-latihan penyempurnaan dari pribadi dengan keheningan indera untuk ?mengejar?
melihat saudara-saudara hidupnya yang empat itu.
Dalam ilmu batin tingkat tinggi ini, apabila manusia telah dapat menemukan dan
menaklukkan keempat saudara pribadinya yang lain, maka ibarat ia menemukan empat orang
pengawal pribadinya yang sempurna, setia dan terpercaya. Dalam setiap ketika yang bagaimanapun,
dalam suka duka, bahaya dan kebahagiaan, ia akan selalu dikawal sempurna oleh mereka. Ibarat ia
mempunyai indera rangkap, telinga, mata, penghindu dan indera-inderanya yang lain.
Entah berapa lama, Cunduk Puteri berada dalam semedhinya yang hening bening, akhirnya ia
terkejut oleh panggilan suara yang lembut, tetapi nyaring, dan ketika dara itu membuka matanya,
maka ia melihat wanita tua itu memasuki ruangan sambil mendorong tubuh seorang laki-laki.
Laki-laki itu bertubuh tegap dan gagah, mungkin juga masih muda.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
214
Kolektor E-Book
Akan tetapi melihat seluruh tubuhnya yang penuh dengan bekas-bekas luka, lorek-lorek
seperti kuda zebra, orang akan mengira bahwa laki-laki itu lebih baik dijadikan hantu-hantuan
disawah, dari pada harus dijadikan sahabat.
Akan tetapi wanita tua itu berkata :
"Untuk mahluk yang sempurna jeleknya ini, rupanya kita perlu mengasihani dirinya juga
cucu! Dia tak usah kau bunuh, rupanya dia memiliki juga sedikit kepandaian, dan lebih baik jadikan
dia sebagai cantrikmu! Dia memiliki bakat setia untuk menjadi seorang hamba..."
Selama hidupnya, Cunduk Puteri tak pernah mempunyai seorang hamba sahaya. Lelaki
bermuka loreng itu. kecuali tampaknya sangat hormat dan takut kepadanya, juga tak ada
manfaatnya untuk dibunuh. Dalam kehidupan sunyi dan terasing sebagai didasar sumur ini,
memang terasa lebih baik mempunyai seorang kawan, dari pada menyendiri selama-lamanya.
Selanjutnya, maka Cunduk Puteri mempunyai seorang cantrik yang benar-benar patuh dan
setia. Cunduk Puteri tak pernah menanyakan siapa adanya laki-laki bermuka loreng menyeramkan
itu, yang ia tahu bahwa dia sangat setia dan patuh mencarikan makanan, menyiapkan segala sesuatu
keperluan si dara dengan sikap penuh takzim dan hormat. Bahkan diantara hormat dan taatnya itu,
cantrik ini menunjukkan sikap-sikap penyesalan maupun takut.
Untung sajalah demikian kejadiannya. Cantrik itu sendiri, juga kelihatannya tidak berani
untuk berada dekat dengan si gadis. Ia akan mendekat bila dipanggil untuk disuruh menyiapkan apa
saja keperluan gadis, dan akan pergi menyendiri, setiap tugas itu diselesaikannya dengan baik.
Telah sekian lamanya, Cunduk Puteri tidak melihat wanita tua itu, entah kemana perginya.
Dan latihan-latihan yang dilakukan berdasarkan petunjuk kitab malaikat papat itu, telah
memberikan hasil yang memuaskan. Kini Cunduk Puteri sudah bukan Cunduk Puteri beberapa
minggu yang lalu. Akan tetapi ia telah menjadi seorang gadis perkasa yang memiliki indera
rangkap, seakan dibelakang tubuhnya juga punya mata dan telinga. Jangankan senjata rahasia akan
dapat menyerang tubuhnya, sedangkan semilirnya angin kecil saja tak luput dari tangkapan
inderanya yang menjadi luar biasa pekanya.
Suatu hari, Cunduk Puteri bermaksud mencoba ilmunya yang baru itu. Dipanggilnya si
cantrik yang segera datang tergopoh-gopoh sambil membungkuk sangat hormat.
"Cantrik!" Kata Cunduk Puteri, kemudian. "Cobalah, kau sambit aku dengan golok yang
berada dipinggangmu!"
Cantrik itu terkejut bukan kepalang. Bahkan juga gemetar ketakutan sekali. Ia melihat puteri
majikannya itu sedang duduk bersila membelakangi, bagaimana akibatnya bila ia menyambit
dengan golok? Apakah puteri itu sedang menguji kesetiaannya? Cantrik itu masih gugup dan tidak
melakukan sesuatu ketika Cunduk Puteri telah menegurnya lagi.
"Apakah kau hendak mencoba-coba menentang perintahku, cantrik?"
"Bukan dewi, bukan. Sama sekali aku tak berani menentang perintahmu. Akan tetapi...",
cantrik itu menjawab dengan lutut gemetaran.
"Atau kau mengira aku akan kena cidera dengan sambitan golokmu?" Cantrik itu rn manggut-
manggut. Walaupun Cunduk Puteri membelakangi, akan tetapi ia dapat membaca sikap pelayannya
itu. Maka ia berkata dengan tegas.
"Tak perlu takut! Andaikaka aku kena celaka karena golokmu itu, eyangkupun takkan marah!
Sudahlah cepat lakukan!!"
Di desak demikian maka cantrik itu menurut. Walaupun dengan tangan gemetar, ia melolos
goloknya yang ternyata sangat tajam berkilatan. Begitu mengangkat senjatanya, maka cartrik itu
berseru dengan suara menggigil : "Ampuni aku nona... aku tak bersalah".
Dan singngng! Golok itu meleset dengan sangat cepat, secepat anak panah. Cunduk Puteri
tidak bergerak. Hanya begitu golok berada sangat dekat dengan dirinya, maka ia tampakYusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
215
Kolektor E-Book
menggoyangkan kepalanya. Seketika rambutnya yang panjang berkibar naik, menggeliat seperti
gerakan lintah.
Srrreeeeettt!! golok itu terlibat sangat erat oleh rambut Cunduk Puteri. Akan tetapi sikap
duduk dara itu agak bergeser, akibat tenaga lontaran golok itu yang sangat besar.
Cunduk Puteri melompat bangun. Sepasang matanya mengawasi cantrik itu dengan sangat
tajam. Ia tahu, bahwa tenaga tangkapan rambutnya itu menurutkan petunjuk dari ilmu kitab
Malaikat Papat itu, yang memiliki kekuatan tidak kurang dari seribu kati. Lemparan golok itu dapat
menggeserkan letak duduk si nona, berarti tenaga sambitan itu lebih dari seribu kati.
"Siapa kau sebenarnya!" Tegur Cunduk Puteri dengan kening berkerut.
Mendapat teguran demikian, maka cantrik itu menjadi sangat ketakutan. Dengan serta merta
ia menjatuhkan diri berlutut, sambil berseru :
"Ampunkan aku dewi. Aku hanya seorang dusun belaka..."
"Seorang dusun?" Cunduk Puteri tertawa dingin". Siapa yang menyuruhmu menyelundup
kemari?
"Tuan Puteri......", cantrik itu makin ketakutan. "Tidak ada orang yang menyuruhku. Aku
adalah Sogaklenting, cuma seorang pencari kayu hutan. Aku terjatuh kemari karena perbuatan
binatang-binatang itu. Dua ekor harimau mengejarku, aku tidak sanggup melawannya, dan aku
mencari tempat sembunyi. Kukira sumur ini tidak begini dalam, kiranya..."
Cunduk Puteri diam. Keterangan cantrik itu boleh tujuh kali benar. Akan tetapi sebatang
golok yang sangat tajam seperti golok pusaka yang dipegangnya itu, dan tenaga sambitan yang
sangat besar itu, tak mungkin dimiliki oleh seorang pencari kayu yang tidak mampu menghadapi
dua ekor harimau.
"Huh, kau kira, kau dapat mengakali aku?" Bentak Cunduk Puteri. Sejak tadi dara ini
mengingat-ingat, musuhnya yang mana yang memiliki bentuk sebagai cantrik itu. Ada beberapa
pemuda yang memiliki raut tubuh seperti dia, misalnya Kebo Sulung, Sogapati, bahkan juga
Pepriman! Akan tetapi lorek-lorek bekas siksaan ditubuhnya itu tampaknya bukan main-main, tetapi
sungguh-sungguh. Adalah mustahil, andaikata ada orang yang mau memata-matai si dara, lalu
dengan sengaja melukai dirinya hingga meninggalkan bekas yang dalam, lorek-lorek dan
menyeramkan hingga kemuka-mukanya apa segala.
"Siapa yang telah menyiksamu, cantrik?"
"O, tidak ada, dewi. Sejak dilahirkan, nasibku sudah demikian...."
Cunduk Puteri insyaf, bahwa lelaki bermuka loreng itu tak mungkin mengaku begitu saja.
Maka terpikir olehnya untuk menyelidiki ilmu silatnya.
Sambil menggerakkan kakinya melangkah maju, Cunduk Puteri berseru : "Aku hanya mau
berkawan dengan seorang manusia yang jujur. Seorang penipu hina sepertimu, buat apa dibiarkan
hidup!"
Tahu-tahu, dengan gerakan yang menimbulkan suara menderu, Cunduk Puteri telah
menggerakkan kakinya menendang kearah ulu hati cantrik itu.
Cantrik itu tampak terbelalak kaget. Sebenarnya ia dapat menghindari tendangan itu, akan
tetapi sebaliknya dari menghindar, ia bahkan membungkukkan tubuhnya sambil berseru :
"Ampunkan aku... dewi... oh!"
Dan, bukkk! Tak ampun lagi, tendangan Cunduk Puteri mengenai tubuh cantrik itu, hingga
tubuh lorek-lorek itu terpental sejauh tujuh langkah bergulingan, membentur dinding ruangan
dengan keras.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
216
Kolektor E-Book
Masih untung Cunduk Puteri telah menggeser letak kakinya waktu menendang, hingga
tendangannya tidak tepat mengenai ulu hati, akan tetapi cukup juga mematahkan sebuah rusuk
cantrik itu.
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan penuh rasa takut, tetapi tidak dendam, cantrik itu merayap bangun. Lalu katanya :
"Terima kasih dewi... hukuman ini memang setimpal sekali....."
"Namaku Cunduk Puteri! Aku bukan dewi apa segala!" Bentak Cunduk Puteri. "Lekas
mengaku, kalau tidak aku takkan mengampuni jiwamu lagi!"
Diancam demikian si cantrik bukankah takut. Bahkan dengan tersenyum-senyum, ia
menjawab sambil membungkuk dalam-dalam :
"Akan aku terima kematian dengan hati lega, tuan Puteri. Agaknya dosaku memang patut
diberi hukuman mati..."
"Bagus!" Cunduk Puteri mendengus dingin. Tampaknya dara ini benar-benar telah marah.
Ketika sekali lagi kakinya melayang, maka tubuh cantrik yang malang itu terlempar kembali
membentur dinding dengan keras.
Sebagai juga tadi, tanpa mengeluh, cantrik itu merayap bangun sambil membungkuk penuh
hormat. Dagunya berlepotan darah yang keluar dari mulutnya, sehingga membuat ia tampak lebih
menyeramkan.
Tampaknya Cunduk Puteri akan membuktikan kata-katanya. Tangan kanannya terangkat
tinggi-tinggi, siap untuk digaplokkan keatas batok kepala cantrik itu. Si cantrik itu sendiri
menyadari hal itu, sekali dara itu menurunkan tangannya, maka nyawa si cantrik pasti melayang.
Namun cantrik itu benar-benar bandel, dan ia cuma membungkuk-bungkuk hormat tanpa berkata.
Cunduk Puteri sendiri tarnpaknya benar-benar hendak membunuh cantrik itu. Tangannya
telah digerakkan kebawah menghantam. Angin pukulannya berkesiur, tiba-tiba "wuuutt!"
Segumpal benda hitam, meluncur cepat menyambar dibawah tangan Cunduk Puteri, langsung
menghantam kearah dinding, dan nemplok disana.
Ketika si dara menoleh kearah datangnya benda hitam itu yang ternyata adalah sesobek kain,
maka terlihat olehnya si nenek sedang berdiri dengan muka muram.
"Jangan membunuh orang yang tak melawan. Hanya akan menurunkan pamor kitab Malaikat
Papat belaka, cucuku!" kata wanita itu seraya melangkah memasuki ruangan belajar ilmu silat itu.
"Eyang. Dia bandel sekali. Kalau tak salah dugaanku, dia tentu orangnya Paguyuban
Banjardawa yang memusuhi kita..." Cunduk Puteri menjawab sambil matanya tetap mengawasi si
cantrik penuh selidik.
Si nenek tertawa gelak-gelak seakan-akan nama Paguyuban Barjardawa hanyalah sekedar
barang yang lucu belaka.
"Perduli dia datang dari mana, cucuku. Sekarang ada urusan yang lebih hebat yang harus kau
hadapi, yaitu kau harus dapat menyelamatkan kadipaten Pemalang dari ancaman penjahat-penjahat
ulung, orang-orang golongan hitam yang kenamaan, untuk apa menggubris bangsa cempeng-
cempeng seperti dia? Biarlah dia ikut bersama kita, siapa tahu dibelakang hari ada juga
manfaatnya."
Memangnya kecurigaan Cunduk Puteri sendiri hanyalah berdasarkan pada sangkaan belaka.
Ia tidak menemukan hal-hal lain yang dapat menguatkan kecurigaannya itu. Maka terpaksa ia tidak
dapat menolak maksud si nenek. Dan walaupun dengan hati mendongkol, ia membiarkan cantrik itu
mengikuti mereka.
Kira-kira empat bulan lamanya, Cinduk Puteri meyakinkan isi kitab Malaikat Papat, dengan
petunjuk si nenek. Tanpa terasa, sesungguhnya si dara telah mencapai tingkat ilmu kepandaian yang
sangat tinggi, yang agaknya takkan berada dibawah tingkatan Dewi Cundrik ataupun Kebo Sulung.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
217
Kolektor E-Book
Ketika pada suatu hari mereka meninggalkan kamar didasar sumur mati itu, Cunduk Puteri
merasakan beberapa hal yang aneh, yang beberapa lamanya akhir-akhir ini sangat mengganggu
pikirannya. Perutnya lebih kembung dari biasanya, dan agaknya ada sesuatu yang mengisi
didalamnya. Sudah beberapa bulan lamanya ia tidak, nggaarap sari (datang bulan), dan hal ini sama
sekali tidak dihiraukannya. Bahkan waktu bulan-bulan pertama ia merasa letih-letih dan lesu, serta
suka makan buah-buahan asam-asaman, diduganya hal itu sebagai hal yang biasa saja.
Si nenek sendiri, karena ia jarang ditempat, maka sama sekali tidak menyadari adanya
perubahan dalam tubuh Cunduk Puteri, hanya Sogaklenting orang saja yang tidak pernah lalai
memperhatikan majikannya itu.
Dari sejak bulan pertama Cunduk Puteri gemar makan asam-asaman, sampai kepada tindak
tanduk si dara yang banyak berubah, sering letih-letih, lesu, marah-marah dan lemah. Sogaklenting
telah menduga bahwa nona itu telah mengandung. Tetapi ia tidak berani mengutarakan dugaannya
itu, takut akan akibatnya, bila nona itu akan menjadi kalap.
Mereka menempuh lorong-lorong dibawah tanah yang becek mendaki dan gelap, tidak kurang
dari tiga jam lamanya. Akhirnya mereka mendapatkan sebuah sungai kecil, yang merupakan sebuah
tikungan. Ujung lorong itu merupakan sebuah guha, yang ditutup dengan sebuah batu besar. Sambil
mendorong batu penutup itu, si nenek berkata :
"Pintu ini sudah tak berguna lagi! Ratusan tahun aku membuat lorong dibawah tanah ini,
akhirnya aku sendiri yang harus memusnahkannya. Ketahuilah olehmu cucu, bahwa tempat kita
sembunyi sudah diketahui orang. Bangsat-bangsat itu kini sedang mempersiapkan pertemuan
dilembah Pegat-sih, untuk memperebutkan kedua pusaka leluhurku, Kiai Tanjung dan Nyai
Tanjung...."
Berbicara sampai disitu, si nenek tampak sangat bersedih hati, suatu bayangan tentang masa
silam yang tidak menyenangkan terbayang diwajahnya, sehingga kulit wajahnya yang putih halus
itu menimbulkan beberapa kerut-kerutan.
"Manusia berjiwa iblis seperti Catursuda, Sri Naga Dumung dan manusia paling licik sebagai
Wigendro pun kini mulai memunculkan diri. Suatu pertanda bahwa keselamatan pesisir utara ini
akan terancam bencana hebat. Bukan pengrusakan-pengrusakan ataupun pengacauan-pengacauan
mereka saja yang mengganggu pikiranku sesungguhnya adalah kedua pusaka leluhur itulah, cucu,
yang hingga saat ini menjadi pikiran! Semula kuduga bahwa disumur mati itulah terdapat pusaka
yang kumaksudkan, kiranya tidak! Dan semua perhatian orang tertuju pada lembah pegat-sih,
bukankah kira-kira disitu letaknya, disimpan kedua barang itu?"
Berbicara sampai disini, maka si nenek bersedakap sejenak. Kemudian, ketika ia telah puas
memandangi pintu batu yang menutup lorong, si nenek menghantamkan tangannya kedepan.
Terdengar letusan yang sangat dahsyat! Tanah diatas lorong itupun longsor, menimbun batu pintu,
sehingga bekas-bekas gua itupun lenyap dengan seketika.
Cunduk Puteri dan Sagoklenting tertegun, menyesali kejadian itu. Mereka sama sekali tidak
dapat menduga jalan pikiran si nenek, mengapa tempat yang merupakan istana, bahkan juga rumah
perguruan yang berisi banyak benda-benda berharga dan tidak ada ditempat-tempat lain, kini
dihancurkan begitu saja.
Sedang kedua orang ini menyesali, maka tampak si nenek tersenyum lega. Lalu tanpa
menghiraukan keadaan kedua pemuda itu si nenek berkata seraya menghampiri tebing sungai.
"Kita harus melewati jalan ini untuk sampai kelembah Pegat-sih. Jalan!"
Sambil mengakhiri kata-katanya, maka si nenek menggerakkan tangannya. Maka walaupun
Cunduk Puteri atau pun Sogaklenting bertahan pada tempatnya, tetap saja mereka tertarik maju, dan
mencebur kedalam kali.
"Hmm..... lucu sekali! Orang belum tahu apakah mati itu menyenangkan atau tidak, akan
tetapi rata-rata manusia takut untuk menjumpainya..."Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
218
Kolektor E-Book
Cunduk Puteri tak sempat memperhatikan kata-kata si nenek, ia kini menyelam atau berenang
di sungai, sambil mengikuti arus air yang ternyata sangat deras.
Sedangkan si nenek itu sendiri, beberapa saat kemudian menyelam mengikuti mereka.
Matahari sedang condong dibalik bukit sebelah barat, sinarnya yang tidak garang, menerobos daun-
daun hutan yang memagari tebing berjatuhan keatas arus kali seperti mata-mata uang tembaga, yang
mengapung.
Ketika bulan tanggal muda mulai muncul diatas pepohonan, maka lembah Pegit-sih yang
tampak sebagai hutan belantara itu, tersepuh oleh sinar emas yang lembut.
Angin malam semilir menari diantara dedaunan. Batang pohon yang tegak menghitam
membuat bayangan sebagai tokoh hitam yang menakutkan.
Demikianlah nama Pegat-sih itu sendiri telah menakutkan, apalagi dengan keadaan
panoramanya yang serba gelap, liar dan ganjil. Bunyi-bunyi serangga yang menyambut datangnya
sang malam, engkuk burung hantu ataupun segala hewan rimba yang mengaum, semuanya itu
merupakan ciri-ciri tersendiri dari lembah maut ini.
Kira-kira agak ditengah lembah, terdapat tanah lowong yang pohon-pohonnya telah tumbang,
agaknya sengaja ditebas oleh tangan orang. Beberapa batang pohon raksasa saling melintang,
Dahan-dahan dan daun-daunnya yang masih utuh, tampak seperti gerombolan semak-semak
terdapat disana sini.
Dan pada sebuah akar yang tercabut dari tanah mencuat keatas, tampaklah sesosok bayangan
hitam tinggi besar, yang sedang duduk bersila seperti patung Buddha. Sedangkan dihadapan tubuh
tinggi besar itu, tampak pula seorang pemuda berpakaian compang-camping yang juga duduk
bersila, sambil merundukkan muka seakan hendak mencium tanah.
Terdengar mahluk tinggi besar hitam itu berkata dengan suaranya yang berat :
"Tak perlu kecewa murid, tak perlu lagi kau membunuh diri pula!" Begitulah mahluk tinggi
besar itu memulai pembicaraannya. "Kau telah berusaha melakukan bhakti seorang anak, itu tentu
saja lebih baik dari pada kedurhakaanmu kau terus-teruskan. Di terima atau tidak bhaktimu itu,
mengapa kau pikirkan? Apakah kau melakukan kebaikan, berusaha mengobati ayah angkatmu dari
keganasan racun pacet wulung itu dengan suatu pamrih, atau pengharapan?".
Si pemuda berpakaian compang-camping itu diam. Akan tetapi jelas bahwa ia tidak
menyangkal.
Dan laki-laki tinggi besar itu tertawa besar, suaranya mengakak seakan mengguncang-
guncang pohon dan daun-daun hutan.
"Agar kau tidak kecewa, lenyapkanlah itu, pamrih dan pengharapan dari hatimu. Pamrih
sering memenjara jiwa orang, dan membawa pada kekecewaan, sebab pamrih itu sendiripun
termasuk nafsu. Nafsu menginginkan atau mendapatkan sesuatu! Selama perbuatan manusia masih
didorong oleh nafsu ingin mendapat sesuatu, maka selama itu pula ia akan menjumpai kekecewaan
yang tak pernah ada ujungnya. Sebab nafsu tak pernah kenal kesuidahan! Ia akan menyeretmu pada
keinginan untuk mendapat dan mendapatkan sesuatu terus-terusan!"
"Lihatlah, bulan dilangit itu. Ia menyinari bumi dan hutan, gunung dan kampung-kampung,
tanpa pamrih dan pengharapan. Maka ia tidak pernah kecewa. Dan ia akan tetap bersinar dan
tersenyum, setiap saat dan ketika baginya telah tiba! Yah, janganlah mengharap kalau tidak ingin
kecewa. Lakukanlah setiap perbuatanmu dengan niat, bukan dengan pamrih."
"Guru.....", pemuda berpakaian compang-camping itu berkata sambil mengangkat mukanya
yang pucat. "Apakah keinginanku untuk diampuni oleh ayah itupun termasuk nafsu?"
"Mengapa tidak?" mahluk tinggi besar yang dipanggil sebagai guru itu menjawab dengan
tegas, keinginanmu untuk mendapatkan pengampunan itupun sebuah pamrih. Pamrih, biar kau
mendapatkan ketenangan batin, ketenangan untukmu sendiri, ketenangan batinmu sendiri.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
219
Kolektor E-Book
Apakah juga kau pikirkan, bila kau telah diampuni dan jiwamu tenteram, bagaimana batin
orang yang mengampunimu? Dapatkah kau menduga, bahwa orang yarg mengampunimu itu akan
menyesali diri seumur hidup, merasa telah berbuat terlalu kejam misalnya. Apakah membuat orang
lain tidak tenteram batinnya, itu bukan termasuk mencari senang dan menang sendiri. dan bukan
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergolong sebagai nafsu pula?".
Ah, terlampau jauh dan mendalam penuturan mahluk tinggi besar itu. Tampaknya si pemuda
memerlukan waktu untuk merenung dan memikirkan kebenaran kata-kata yang melit-melit itu.
"Sudahlah Pepriman. Apabila kau hendak menjadi murid Turonggo Benawi yang patuh,
hendaklah tulus disetiap perbuatanmu! Kau melakukan sesuatu karena kau harus melakukan sesuatu
itu. Dan kau berbuat apapun, karena perbuatan itu harus kau lakukan. Pengampunan, pengakuan
ataupan pujian orang, hakekatnya itupun hanyalah pulasan lahir belaka. Pulasan lahir kukatakan,
sebab manusia sering berbicara dengan bahasa nafsunya. Ia mengampunimu, karena iapun ingin
dihargai sebagai orang yang lebih benar darimu. Ia mengakuimu, karena diapun ingin diakui lebih
?terakui? daripadamu. Dan dia memuji, karena diapun merindu akan pujian. Dan semuanya itu tak
ada artinya apa-apa...".
Memang benar, mereka ini adalah Turonggo Benawi penghuni jurang raksasa, bersama
muridnya Pepriman si pemuda jembel itu.
Ketika pada beberapa bulan yang lalu, Pepriman yang alias Joko Bledug itu mengobati ayah
angkatnya, Ki Ageng Tampar Angin dari amukan racun pacet wulung, karena penolakan dan
penghinaan para sesepuh rimba persilatan, maka Pepriman membuang dirinya kekali bawah tanah.
Memangnya tubuhnya sedang kehabisan tenaga, lagi pula terpukul oleh rasa malu dan sedih
yang tak kepalang, maka Pepriman bermaksud menghabisi jiwanya dengan cara membuang diri itu.
Dia pikir, selesailah sudah penyesalannya selama hidup, sebab ia telah melakukan bhakti, walaupun
diterima ataupun tidak.
Tidak diduga, bahwa pada saat itu, sesuai dengan pesannya yang telah disampaikan kepada
Pepriman... yang kemudian Pepriman kirimkan kepada Cunduk Puteri... telah tiba waktunya
Turonggo Benawi berjanji untuk mengadakan pertemuan dengan Ki Cucut Kawung.
Sebagai diketahui, bahwa antara ilmu golok dari Loning dan ilmu sakti tangan kosong, Nusa
resa sakti dan jurang raksasa, sebenarnya mempunyai banyak persamaan, seperti terjadinya
pembunuhan Dadamanuk oleh Pepriman (baca jilid V). Orang menduga bahwa pemuda jembel itu
memiliki ilmu langkah ajaib ?delapan langkah membunuh naga? yang sangat termashur dari
perguruan Loning.
Demikianlah, memang sebenarnya, antara ilmu sakti Nusa-resa-sakti dan ilmu golok Loning,
berasal dari satu sumber, yaitu perguruan Pulau Maceti yang letaknya disebelah tenggara
Nusakambangan.
Antara Turonggo Benawi dengan guru Ki Cucut Kawung, sebenarnya adalah kakak beradik
kandung. Guru Ki Cucut Kawung yang bernama Turonggo Petak, adalah adik Turonggo Benawi,
yang gugur ketika dalam pertempurannya sebagai laskar Untung Suropati yang melarikan diri dari
daerah Parahiyangan ke Cirebon.
Sejak itu, Ki Cucut Kawung yang saat itu masih bocah belasan tahun, berharap akan berguru
kepada Turonggo Benawi.
Akan tetapi, karena Turonggo Benawi adalah seorang pengembara, bahkan juga penjahat
ulung, petualang asmara yang tidak mengenal ampun, maka kecuali Ki Cucut Kawung sendiri tidak
menyukai ilmu kepandaian yang diajarkan oleh Turonggo Benawi, juga Turonggo Benawi sendiri
tidak berhasrat untuk mendidik murid keponakan itu!
Akhirnya Turonggo Benawi sendiri pernah bersumpah takkan mencari murid. Dan ilmu yang
sedikit-sedikit diberikannya kepada Ki Cucut Kawung itupun dilakukan dalam pertempuran
bersama murid keponakan itu Ki Cucut Kawung boleh memetik ilmu pelajaran itu atau tidak, itu
terserah. Tetapi mereka pasti akan mengadakan pertarungan setiap lima tahun sekali.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
220
Kolektor E-Book
Demiklanlah, karena Ki Cucut Kawung sedang dalam usahanya mengobati Kiai Teger, maka
ia tidak mengadakan pertemuan dengan Turonggo Benawi. Sebaliknya Turonggo Benawi yang
tidak mengerti duduknya perkara, lantas melakukan pencarian terhadap murid keponakan itu.
Dalam waktu mencari Ki Cucut Kawung itulah Turonggo Benawi menemukan Pepriman yang
sedang terapung diatas air kali bawah tanah.
Turonggo Benawi telah menyelamatkan Pepriman. Dalam pada itu, ia sudah mengetahui
bahwa Ki Cucut Kawung masih hidup. Bahkan berita tentang pesan yang dibawa oleh puteri Mbah
Pucung, yang berakhir dengan ?kebinasaan? Cunduk Puteri itu, juga sudah di ketahui oleh Turonggo
Benawi melalui penuturan Pepriman. Bagitu pula, ia telah mengetahui bahwa di perguruan Loning
telah timbul pergolakan baru.
"Itupun suatu contoh, murid..." kata Turonggo Benawi memulai pembicaraannya kembali.
"Diantara sekian banyak manusia yang sok memamerkan kesuciannya, kejujurannya ataupun
keagungannya, semuanya itu hanyalah topeng belaka".
"Kedok saja, tidak lebih dan tidak kurang. Siapa orangnya yang tidak mengagumi kebesaran
nama perguruan Loning? Siapa orangnya yang tidak mengakui keagungan sikap kedua guru
Loning, termasuk si Windupati itu? suatu kenyataan bahwa guru kedua itu justeru berhati lebih
busuk dari pada seekor serigala siluman! Dia perkosa seorang dara pahlawan. Mungkin akibatnya
hanya kebinasaan dan kehancuran dara akan tetapi barapa ribu jiwa yang menjadi patah harapan,
dalam merindukan kebebasan bumi pertiwi, dan nusa Jawa ini?"
"Kehancuran nama Loning hanya disebabkan perbuatan yang hanya sesaat itu belaka.
Perbuatan yang hanya menurutkan nafsu!"
"Sejauh itu muridku, nafsu menghancurkan peradaban manusia! Selama manusia masih suka
menggunakan topeag atau kedok untuk menutupi nafsunya yang menyiarkan bau busuk, maka
selama itu pula bumi ini terancam bencana..."
"Tua bangka kejemur, kojah apa?"
Tiba-tiba saja terdengar suara yang melengking tajam seperti suara gangsir yang memotong
pembicaraan Turonggo Benawi. Dan didekat guru dan murid itu duduk, kini telah bertambah satu
orang.
Orang yang baru muncul itu, adalah seorang lelaki berperawakan kekar, dan tampak
kepalanya besar dengan rambut riap-riapan terurai kebawah hingga menyapu pinggang. Kaki
kirinya besar dan ototnya bergumpal-gumpal, sebaliknya kaki kanan yang tampak dari dalam celana
setengah tiangnya, kecil seakan tulang dibalut kulit belaka. Mata orang ini jereng kedua-duanya
bersatu bola hitamnya didekat pangkal hidung. Sedang hidungnya itu sendiri membendul besar
dengan sebuah anting-anting melingkar pada sebuah lubang hidungnya yang lebar.
Laki-laki cacad itu tidak mengenakan baju agaknya ia ingin memamerkan dadanya yang
bidang dan berotot merongkil-rongkol seperti punggung tikus.
Sekali melihat, Pepriman menyadari bahwa orang yang baru datang itu bukanlah orang baik.
Dan walaupun ia tidak memutar duduknya menghadapi akan tetapi dia telah bersiap-siap.
Di tegur dengan ejekan demikian, Turonggo Benawi tertawa gembira. Lalu katanya.
"Aku pernah mendengar nama orang yang memiliki sikap licik seperti gangsir, suaranya
lantang, tetapi orangnya ngumpet didalam liang. Dan kata orang dia berasal dari pesisir barat, yang
bernama Wigendro. Apakah kau orangnya?".
"Tidak salah!" sahut orang yang baru datang itu. Dialah yang terkenal sebagai si raja dari
Sindanglaut, Wigendro. "Setelah matamu yang lolong itu tidak melihat diriku, apakah kau masih
juga tidak segera menyerahkan Kiai dan Nyai Tanjung?"
Pepriman tersentak, marah. Ejekan terhadap gurunya tentu saja menyakitkan hatinya. Akan
tetapi Turonggo Benawi sendiri malah tertawa.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
221
Kolektor E-Book
"Kau cuma jereng (kero). Sedangkan aku malah buta melek. Masakah ada orang yang
meminta sesuatu kepada orang buta Wigendro? Apakah kakimu yang kegedean sebelah itu sudah
tak mau diajak jalan mencari sendiri pusaka milik orang itu?".
Bukan main banyaknya jawaban penuh ejekan yang diucapkan oleh Turonggo Benawi.
Kalau Turonggo Benawi adalah seseorang yang boleh diibaratkan sudah kekenyangan hidup,
kenyang pengalaman dan kenyang penderitaan, sebaliknya Wigendro adalah seorang setengah umur
yang biasa menurutkan setiap nafsu dan kemauan seenak hatinya. Di ejek begitu rupa, seketika
meluaplah kemarahannya, dan kejerengan matanya kian menjadi-jadi.
"Setan jahanam! Kukira Turonggo Benawi itu mahluk yang boleh disebut pertapa, tidak
tahunya cuma, seorang mahluk hina yaug biasanya mengandalkan ilmunya buat menghina orang,
dan menyerakahi barang malik orang lain. Aku Wigendro, jauh-jauh datang kemari menerabas
hutan dan jurang, adalah untuk menghukum manusia busuk bermulut besar seperti kau! Turonggo
Benawi! Jangan dikira aku tak dapat menghancurkan ilmumu Nusa reca sakti!".
"Sabar... sabar..." Turonggo Benawi mengembangkan kedua telapak tangannya sambil
tertawa. "Yang menghina kau itu siapa? Aku hanya bilang, matamu kero dan kakimu kegedean
sebelah. Itu kenyataan. Dan kalau kau merasa terhina, sebenarnya yang menghinamu adalah
perasaanmu sendiri...".
"Tutup mulut! Mana serahkan Kiai dan Nyai Tanjung!" Wigendro membentak sambil
menggoyangkan badannya, menghantam tanah. Maka bumi disekitarnya terasa gempa.
Pepriman bangkit hendak mendamperat orang sombong itu, akan tetapi Turonggo Benawi
telah mencegahnya.
"Wigendro. Degan kaki yang mana kau menggejog bumi. Mati-mati ibu pertiwi tak mau
dihantam dengan kaki yang kananmu!"
Bukan alang kepalang murkanya jago dari Sindanglaut ini, sampai berjingkrak, seperti orang
dirayapi cacing.
"Hai tua bangka buta! Jangan banyak mulut. Mau serahkan pusaka itu atau tidak?"
"Tak perlu marah-marah terlalu, Gendro! Bukankah kau masih menunggu teman-temanmu
datang? Dengan kau sendiri, walaupun kau menggertak seribu kali, apakah kau berani bertindak?"
Dugaan Turonggo Benawi ternyata jitu sekali! Dan entah dari mana datangnya kini tampak
enam orang menghampiri, berjalan dengan sangat hati-hati sekali. Namun begitu toh mereka tak
dapat luput dari indera Turonggo Benawi.
Dua orang yang datang dari arah kanan, adalah seorang laki-laki berhidung bengkok dan
seorang wanita cantik yang bibirnya selalu tersenyum simpul. Mereka adalah Ki Genikantar dan
Dewi Cundrik.
Dan empat orang lagi yang datang dari arah kiri, mereka adalah seorang kakek bongkok
bermuka buruk yang duduk dipundak seorang laki-laki tinggi besar mengenakan gelang-gelang
tembaga dilengannya, dua orang ini adalah Agung Catursuda dan Bala, guru dan cantrik dari
pertapaan Catursuda di puncak gunung Slamet.
Yang seorang lagi, adalah seorang laki-laki baya berwajah tampan dan pucat, yang memegang
kipas ditangannya, dia adalah Sri Naga Dumung dari hutan Kedu. Dan yang seorang yang terakhir,
adalah seorang laki-laki, gagah dan pendiam, yang menyoren sebuah golok pusaka dipinggangnya,
adalah orang kedua perguruan Loning, dialah Windupati!
Sebuah riwayat yang tersembunyi, rahasia yang sama sekali Ki Cucut Kawung sendiri tidak
mengetahui, WIndupati adalah adik kandung bungsu Wigendro sejak kecil, karena Windupati
adalah satu-satunya keluarga yang tidak cacat dari keturunan jago Sindanglaut itu maka ia diusir
dan dibenci oleh saudara-saudaranya. Dan sejak kecil pula, lelaki bernama Windupati itu menjadi
murid kesayangan, bahkan satu-satunya orang kepercayaan Loning.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
222
Kolektor E-Book
Ketika mendapatkan undangan dari Ki Genikantar atas nama Paguyuban Banjardawa, maka
secara diam-diam Wigendro menyelundup lebih dulu kedalam perguruan Loning. Disana ia
menjumpai Windupati yang kebetulan sedang berkuasa.
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak sedikit keterangan yang diperoleh oleh Wigendro dari adik bungsunya itu, hingga ia
tahu benar keadaan sepanjang pesisir utara Pemalang itu, maupun berita-berita yang lain, termasuk
dimana adanya dua pusaka Mataram itu.
Demikianlah karena Windupati sendiri bercita-cita untuk menjadi orang pertama diperguruan
Loning, maka secara diam-diam ia meninggalkan perguruan bersama kakaknya untuk mencari
pusaka itu.
"Terlalu lengkap, sudah! Lengkap sekali!" Kata Turonggo Benawi bernada mengejek.
"Semua manusia bernafsu besar, sekarang telah berada disini, berkumpul untuk mengadakan pesta.
Ha, tentu pesta ini akan meriah sekali. Hai... Catursuda, apakah kaupun menginginkan pusaka milik
orang lain itu pula? Apakah ilmu tenungmu sudah tidak manjur lagi sekarang?"
Catursuda yang merasa kena ejek, lantas saja menggereng, dan suaranya itu menggentarkan
rimba dan lembah.
Pepriman terkejut, dihitung-hitung, tampaknya ketujuh orang yang baru datang itu, kiranya
orang-orang kenamaan yang si pemuda sendiri baru cuma mendengar ketenaran nama mereka
belaka. Catursuda dan Wigendro adalah dua buah nama yang ibaratnya dapat menggetarkan bumi
menggoncangkan langit. Belum terhitung Genikantar dan Dewi Cundrik yang ilmu kesaktiannya
juga jarang tandingan.
Sedangkan yang tiga oraag lagi, yaitu orang yang menggendong Catursuda, lelaki yang
bersenjata kipas maupun yang bersenjata golok, tampaknya juga bukanlah orang-orang
sembarangan.
"Pertapa cabul haram jadah seperti kau, masih punya muka untuk mengungkap-ungkap soal
nafsu apa segala, Benawi! Walaupun aku Catursuda bukan orang suci, akan tetapi kebiasaan buruk
untuk merampas kehormatan rumah tangga orang, merusak pager ayu, tak pernah kulakukan!" kata
Catursuda.
"Mana bisa kau merusak pager ayu, Catursuda? Kakimu lumpuh dan mukamu buruk seperti
raja ketek ogleng (topeng monyet). Jangankan main cinta denganmu, sekali wanita melihat
mukamu, kontau mereka akan kele...".
"Tutup bacot!" Bala, cantrik Catursuda yang berangasan itu membentak marah. Dia belum
pernah mengenal Turonggo Benawi, baru dengar namanya belaka, maka ia berani berkata begitu
kasar, sampai mengejutkan majikannya sendiri. "Majikanku adalah yang dimuliakan diseluruh
wewengkon gunung Slamet. Kau ini sebangsa sisa neraka berani menghina, aku Bala yang akan
menghentikan napasmu nanti!".
Sambil membentak-bentak demikian, Bala menggoyangkan lengannya sehingga gelang-
gelang tembaganya gemerincing memekakkan telinga.
Bukan main, keluh Pepriman dalam hatinya. Cantriknya saja demikian hebat tenaga batinnya,
apa lagi si bongkok buruk majikannya itu.
"O, kiranya kau seorang cantrik!" Sahut Turonggo Benawi sambil tertawa. "Jadi kau ini
benar-benar tidak bisa berjalan, Catursuda? Untuk mencari tukang gendong saja kau memilih orang
bermulut begitu besar, pertandanya bahwa perguruan Catursuda hanya berisi gentong kosong
belaka....."
"Apakah kau masih mengenal suaraku, Benawi? Sri Naga Dumung berkata seraya mengipas-
ngipas dadanya, disebelah sana, Dewi Cundrik tersenyum genit, melihat bulu dada begal Kedu itu.
"Bagus! sebangsa maling pitik saja dibawa kemari-mari. Naga Dumung biasanya kau tidak
suka membagi rejekimu kepada orang lain. Tetapi kali ini kau datang bersama rombongan, apakah
kau telah berubah kebiasaanmu?"Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
223
Kolektor E-Book
Turonggo Benawi yang mengucapkan sindiran itu. Akan tetapi yang mendengus dingin
adalah Catursuda dan kawan-kawannya yang lain, seakan-akan hendak berkata, bahwa andaikata
Naga Dumung tetap menuruti kebiasaan menyerahi hasil perbuatan ini hari, apalah susahnya untuk
meringkusnya?
"Aku tidak mengandalkan pada rejeki bagus belaka, Benawi" sahut Naga Dumung.
Terkadang juga perlu aku menunjukkan kelihayan permainan kipasku!"
"Haih, haih, haih..." Turonggo Benawi seakan menyesali diri. "Masih ada tiga orang yang
belum memperdengarkan suaranya. Aku Turonggo Benawi adalah seorang tuan rumah buta. Kalau
kalian tidak mendengarkan suara mana aku bisa memberikan penghormatan? Aku hanya bingung,
kepada siapa kedua pusaka itu harus diberikan"
"Kepadaku Benawi!" Genikantar membuka mulut sambil menyeringai.
"Dengan menyerahkan pusaka itu kepada ketua paguyuban Banjardawa, sudah berarti kau
menyerahkan kepada kami bertujuh. Bukankah itu sempurna namanya?"
"Betul, sempurna juga", sahut Turonggo Benawi seraya tertawa.
"Tidak bisa!" Dewi Cundrik menyanggah. "Pusaka Kiai dan Nyai Tanjung adalah milik orang
yang berdarah Mataram. Dan orang itu, adalah aku! Aku Dewi Cundrik, cucu tunggal Dewi Gandri,
sahabat dekat dan...."
"Dan babu Roro Tanjung yang tak tahu membalas guna!" Windupati yang merasa tidak
berdarah Mataram itu menyelutuk jengkel. Memang kalau diurut-urut, pusaka Mataram sebagai
Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung adalah warisan bagi orang-orang yang masih berdarah perajurit
Mataram.
Windupati tahu, dari kabar-kabar dan cerita orang, bahwa Dewi Gandri, atau Ni Gandri
adalah inang pengasuh Roro Tanjung dan Joko Tanjung dimasa kecil. Sehingga sudah sepatutnya,
apabila pusaka itu hendak diwariskan, tentulah orang yang paling dekat, adalah Dewi Cundrik
keturunan Ni Gandri.
Dewi Cundrik berjingkrak marah. Dibukanya rahasia keturunannya dimuka umum seperti itu,
tentu saja dipandang sebagai menurunkan derajat. Bagaimana dia mau tinggal diam, dia seoraog
ratu keraton Telagasona mau ditelanjangi sebagai keturunan seorang hamba sahaya.
"Monyet palasan! Kau ini Windupati, setelah seumur hidup menjilati sesajen di Loning
sekarang hendak buka mulut busuk disini. Siapa sudi mendengar kojah anjing kikik sepertimu?"
Dewi Cundrik sudah lantas menyemprot.
"Haha... haha..." Turonggo Benawi tertawa menyelak. "Windupati! Bagaimana kau tidak
mengenal sopan santun didepanku?"
Windupati sudah terlanjur mendongkol dan ditegur oleh Turonggo Benawi kiranya hanya
menambah kejengkelannya belaka.
Yang sangat terkejut dan jengkel, bukanlah Turonggo Benawi. Akan tetapi adalah Pepriman,
Tidak nyana sama sekali, bahwa dialah orangnya kepercayaan Ki Cucut Kawung, orang yang telah
merusak kehormatan seorang dara pahlawan Cunduk Puteri. Kiranya orangnya cukup gagah dan
angker sikapnya, bertentangan dengan sifatnya yang kotor dan biadab.
Diam-diam, dalam hati Pepriman bertekad untuk mencekuk guru Loning itu, untuk
membalaskan sakit hati dara pahlawan itu. Di cari tak mungkin begitu mudah ditemukan, sekarang
pada kesempatan begini bisa ditemukan orangnya mana boleh dibiarkan pergi!
"Benawi." Catursuda berseru, "Jumlah kami tidak kurang dari tujuh orang. Walaupun kau
bertangan seribu, apakah dapat menghadapi kami?"
Turonggo Benawi mengangguk. Lalu dari bawah rambutnya yang gimbal, diambil keluar
sebuah tusuk konde emas yang mematakan berlian.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
224
Kolektor E-Book
Sambil meletakan benda itu ditelapak tangannya, Turonggo Benawi berkata :
"Siapakah yang dapat mengenali benda ini?"
Semuanya terdiam. Setiap orang hampir pernah mendengar ada tusuk konde emas yang
bentuknya sangat indah dan bertahtakan berlian itu. Namun tidak seorangpun diantara mereka yang
dapat memberikan keterangan asal usulnya benda itu.
Hanya seorang Windupati, yang kebetulan memang orang kepercayaan Ki Cucut Kawung
samar-samar dapat mengingat riwayat benda itu. Dengan segera ia menjawab dengan suara
menyombong :
"Apa susahnya mengenali benda semacam itu. Itulah tusuk konde ?lintang kemukus? milik
mendiang Roro Tanjung yang kabarnya dihadiahkan kepada seorang puterinya yang bernama Dewi
Manik! Dewi Manik itu sendiri kabarnya telah menghilang, atau terbunuh dalam sumur mati
Bengkelung ketika sedang dalam pertarungannya melawan Dewi Gandri! Entah kemudtan
bagaimana caranya. aku tidak tahu, benda itu sekarang bisa berada ditangan orang lain"
"Haha... haha...." Turonggo Benawi tertawa. "Mau bilang terus terang, kenapa pakai plintat-
plintut, Windupati. Katakan saja bahwa kau mencurigai aku merampas benda ini dari pemiliknya
bukan? Nah, bukan begitu duduknya perkara. Dengarkan olehmu sekalian baik-baik!"
Setelah mengatur duduknya, dan menghela napas barulah Turonggo Benawi melanjutkan
penuturannya.
"Yang berhak memiliki Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung atau Nini Tanjung, adalah pemilik
tusuk konde pusaka lintang kemukus ini. jadi menurut pantasnya, kedua pusaka itu adalah milikku.
Akan tetapi hendaklah kalian ketahui, bahwa orang yang sebenarnya harus memiliki tugas tusuk
konde ini, yaitu Dewi Manik. Dan yang agar kalian ketahui, bahwa sesungguhnya Dewi Manik
belum mati! Dia masih hidup! Dia masih berhak untuk memiliki barang pusaka warisan
leluhurnya!"
"Benawi!" Catursuda menbentak, seraya tertawa bergelak. "Tusuk konde itu milik Dewi
Manik. Tetapi sekarang berada ditanganmu. Kukira penjahat keji sepertimu, dari mana lagi asalnya
kalau tidak boleh merampas atau membujuk wanita itu. Nah, sekarang tusuk konde itu serahkan
kepadaku, dari padat aku harus turun tangan kejam atas dirirnu."
"Mudah saja, Catursuda! Terang tusuk konde ini akan kuserahkan kepada seorang diantara
kalian!" Benawi bicara sampai disini, maka sekalian pendatang itu tampak saling pandang.
"Tetapi ingat, bahwa tak mungkin begitu saja aku bisa menyerahkan benda ini tanpa dengan
cara yang sebaik-baiknya!" Turonggo Benawi menyambung bicaranya. "Tadi Windupati telah dapat
menjawab jitu pertanyaanku yang pertama. Apabila pertanyaanku yang kedua dapat dijawabnya
dengan tepat pula, pasti benda ini akan kuserahkan kepadanya.
Selama berbicara, Turonggo Benawi menunjukkan sikapnya yang sungguh-sungguh.
Sehingga sekalian yang hadir lantas saling pandang, untuk kemudian memandang penuh kecurigaan
kearah Windupati.
Setiap orang tahu, bahwa Turonggo Benawi takkan mengingkari kata-katanya. Dia memang
seorang bekas penjahat dan petualang yang ulung, namun dia adalah seorang dari angkatan tua yang
bersikap angkuh. Orang berilmu tinggi sebagai dia, tak pernah memandang perlu untuk menjilat
ludah yang telah keluar dari mulutnya.
"Coba katakanlah pertanyaanmu itu, paman Benawi! kata Windupati.
"Mengapa tusuk konde ini begini keramat, dan dikatakan bahwa yang memiliki benda inilah,
yang mempunyai hak untuk memiliki Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung?" Kata Turonggo Benawi
mengajukan pertanyaannya yang kedua.
Seketika, sekaliannya terdiam. Termasuk Windupati sendiri, menundukkan kepala untuk
memeras otaknya, menjawab pertanyaan itu.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
225
Kolektor E-Book
"Yang lainpun boleh menjawab!" Kata Turonggo Benawi menambahi keterangan.
Tetapi jangankan yang lain sedangkan Windupati sendiri agaknya tak mampu menjawab teka-
teki itu.
Semua orang ini tahu, bahwa pemilik tusuk konde lintang kemukus adalah pewaris kedua
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pusaka Mataram itu. Akan tetapi bagaimana caranya? Masakah seperti barang sulapan, begitu
memegang tusuk konde lantas sudah mendapatkan kedua pusaka itu?
Windupati yang pada dasarnya memiliki kecerdasan yang melebihi sekalian teman-temannya,
akhirnya menjawab :
"Tidak boleh tidak, pada tusuk konde itu tentu terdapat peta yang menunjukkan dimana
adanya kedua pusaka Mataram itu disimpan!"
Mendengar jawaban demikian, Turonggo Benawi tertawa. Sebaliknya sekalian para
pendatang itu terkejut. Mereka menduga bahwa jawaban itu, Windupati tentu jitu.
Belum habis tawanya, Turonggo Benawi telah berkata :
"Dugaanmu sama dengan dugaanku, Windupati. Tetapi telitilah kemari. Perhatikanlah tusuk
konde ini. Dimana kira-kira terdapat peta itu?"
Bukan hanya Windupati sendiri yang segera bertindak maju akan tetapi semuanya, termasuk
Bala yang menggendong Catursuda itu telah berebut maju untuk memeriksa. Begitu pula, Pepriman
tidak mau ketinggalan.
Akan tetapi, setelah sekian lama mereka memeriksa ternyata mereka tidak menemukan suatu
apapun yang dapat diduga rnerupakan sebuah peta, ataupun petunjuk yang lain.
Tusuk konde itu terbuat dari emas gligen sebesar jari kelingking, tidak berlubang didalamnya.
Dan seluruh permukaannya, berkilau-kilau belaka, tidak terdapat sebuanpun garis apa saja yang
dapat diduga sebagai petunjuk sebuah peta.
Dugaan terjatuh pada butiran-butiran berlian pada ujung tusuk konde itu, namun kalau
meneliri berlian itu yang hanya sebesar-besar beras, masakah dapat untuk menyembunyikan sebuah
peta?
"Mungkin kalian menduga, peta itu berada dibawah berlian. Nah, lihatlah!" Kata Turonggo
Benawi seakan dapat membaca isi hati para pendatang itu.
Seraya berkata Turonggo Benawi menjentikkan jarinya. Maka lima butir berlian itu
beterbangan dari tempatnya, jatuh ketangan kakek raksasa itu yang masih juga tertawa.
Apabila orang memeriksa tempat bekas berlian-berlian itu disitupun tidak terdapat sesuatu
yang aneh atau yang menarik perhatian. Hai ini tentu saja mengherankan mereka.
"Tidak hanya kalian yang akan keheranan melihat kenyataan ini. Sedangkan aku yang tidak
punya mata juga dapat menduga bahwa benda ini..."
Turonggo Benawi sedang bicara sampai disini, tiba-tiba saja Catursuda mengulurkan
tangannya, menyambar kearah tusuk konde itu.Tetapi Sri Naga Dumung yang berada lebih dekat
dengan Turonggo Benawi telah bertindak lebih cepat. Tangan kanan mengebaskan menghantam
lengan Catursuda, sedangkan tangan kirinya diperguuakan untuk menyambar tusuk konde di tangan
Turonggo Benawi.
"Curang!" Windupati membentak, seraya mengembangkan kedua tangannya, menghantam
kearah kedua orang yang hendak mendahului itu. Akibataya, dua tenaga melawan satu, Windupati
tergentak mundur beberapa tindak, sedangkan Catursuda maupun Naga Dumung hanya terpaksa
harus mengurungkan maksudnya mengambil benda pusaka itu.
"Eh, bocah kemarin sore hendak jual lagak didepan Catursuda! Apakah kau menghendaki
perguruan Loning tumpas ludes oleh tanganku?" Catursuda membentak penuh ancaman.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
226
Kolektor E-Book
Kedua tangaa kakek bongkok itu terulur panjang sekali kedepan, mulur seerti karet tahu-tahu
hendak menotok dengan cakar-cakarnya kearah tenggorokan Windupati.
Windupati cukup waspada. Guru kedua Loning ini walaupun belum pernah bergebrak dengan
jago tenung gunung Slamet itu, akan tetapi cukup maklum akan kemampuan si kakek bongkok yang
menyeramkan itu. Ia tak mau mengadu tenaga, sadar benar bahwa dalam hal kekuatan tenaga batin,
mungkin hanya Turonggo Benawi yang dapat menandingi Catursuda.
Maka di serang secara demikian mendadak, Windupati sekaligus hendak memperlihatkan
hebatnya ilmu golok dari Loning. Sekali tangannya bergerak, maka selembar bayangan berkilat
menyambar kearah lengan Catursuda yang sedang mengejar.
"Aiit!" Catursuda terkejut. Tangannya mendadak dapat mengkeret, dan sabetan golok lawan
mengenai angin. Namun begitu cukup untuk membuat ahli tenung itu terkejut setengah mati.
"Ilmu golok Loning kiranya bukan main-mainan!" Kata Catursuda seraya menyeringai.
"Akan tetapi orang tua sebagai aku masakah harus melelahkan diri dengan alat pemotong bebek
seperti itu. Bala! Waktumu sekarang untuk memperdalam latihan ilmu pukulan gelang tembaga.
Selesai berkata, maka tubuh Catursuda melayang pergi dari pundak Bala, untuk selanjutnya
kakek itu mendarat diatas sebatang pohon, dan duduk bersila lelenggutan, seakan-akan tidak tertarik
pada setiap persoalan.
Selama ini, Bala belum pernah menemui tandingan ilmu gelang tembaga dari perguruan
Catursuda belum pernah gagal. Dan kesombongan yang memang tela menjadi waktunya semakin
besar, didepan gurunya tentu saja ia bermaksud unjuk kegagahan. Maka tanpa Catursuda
mengulangi perintahnya. Bala telah melangkah maju memapak Windupati.
"Membabat lompong (keladi) tak perlu dengan kapak!" Bentak cantrik itu sambil tertawa
sombong. Maksudnya, melawan bangsa kroco, tak perlu orang kosen sebagai Catursuda turun
tangan, cukup cantriknya pun sudah memadai.
Windupati adalah seorang guru, orang kedua dipeguruan Loning yang sangat termashur.
Kecuali Ki Cucut Kawung, Windupati adalah tergolong orang kosen nomor wahid dipesisir utara
ini. Masakah harus bertarung melawan seorang cantrik belaka!
Apalagi dengan sikap Bala yang begitu sombong Windupati jadi sangat gusar. Boleh jadi ia
akan berhati-hati melawan Catursuda, akan tetapi seorang cantrik mana dipandang mata olehnya?
Dengan lompatan yang garang. Windupati yang berangasan itu membabatkan goloknya,
sekali gerak, tujuh jalan darah cantrik itu kena diincernya.
Disaat ini, Windupati benar-benar hendak memamerkan kelihaian ilmu golok dari Loning,
dengan maksud dua atau tiga jurus saja cantrik itu akan menjadi berkedel.
Akan tetapi, ia lupa, bahwa walaupun seorang cantrik, Bala juga murid kepercayaan kaket
bongkok itu. Bala demikian disayang oleh majikannya setelah ia telah dijadikan sepasang kaki
kakek itu. Tentu saja hampir seluruh ilmu kesaktian kakek itu diwariskan kepadanya.
Crang! Crang! Terdengar benturan senjata yang nyaring dan lelatu api berpercikan
menyilaukan mata.
Bala hanya menggeserkan sebelah kakinya kebelakang dan tangan kanannya digoyangkan
menangkis kedepan, maka golok Windupati yang berkelebatan hanya dapat menyerempet gelang-
gelang tembaga itu belaka.
Sementara kedua orang itu sedang siap untuk melanjutkan pertarungan maka yang lain
bergerak mundur, seakan-akan sengaja membuat gelanggang bagi mereka yang sedang bertarung.
Turonggo Benawi masih juga duduk diam, setengah tertawa setengah berduka. Telapak
tangannya terbuka dengan tusuk konde lintang kemukus tergeletak diatasnya.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
227
Kolektor E-Book
Pepriman hanya sesekali melihat kearah pertarungan, untuk memperhatikan ilmu golok
Loning dari Windupati. Diam-diam ia telah berpikir dengan cara bagaimana ia nanti akan
menghadapi tokoh kosen itu.
Wigendro, dan Naga Dumung berdiri berdampingan. Sama sekali mereka tidak tertarik pada
pertarungan itu. Perhatian mereka justeru tertuju pada tusuk konde pusaka itu.
Lain sekali halnya dengan Dewi Cundrik maupun Ki Genikantar. Kedua tokoh paguyuban
Banjardawa ini tampak sangat gelisah. Dalam hal ini mereka sependapat, bahwa bila pertarungan
kedua orang itu dibiarkan berlangsung terus, sesungguhnya mereka inilah yang akan merugi.
JILID : 13
BALA dan Catursuda adalah orang-orang undangan Paguyuban Banjardawa. Windupati
sendiri, bila melihat gelagatnya, tampaknya dia sangat akrab dengan Wigendro. Kalau Wigendro
mau membantu Paguyuban Banjardawa, siapa tahu Windupati juga bisa diharap demikian? Apabila
hal ini terjadi, maka pertarungan yang kini sedang berlangsung hanya berakibat kerugian bagi
Paguyuban Banjardawa belaka, siapapun yang menang dalam pertarungan itu.
Dalam hal ini, kedua tetua Paguyuban memang tidak pernah mengetahui hubungan apakah
dibalik keakraban antara Wigendro dengan Windupati.
Memikir tentang kerugian pada pihaknya, maka kedua pemimpin Paguyuban itu lantas
mencurigai Turonggo Benawi, menduga bahwa orang sedang main adu domba.
Dan tiba pada dugaan yang demikian, dengan serta merta mereka saling kerdipkan mata. Lalu
tanpa memperdengarkan suara apapun Ki Genikantar telah melontarkan ujung tali kearah mereka
yang sedang bertarung.
Baik Bala maupun Windupati menjadi terkejut melihat serangan mendadak itu. Seketika
mereka berlompatan mundur, menghindari. Siapa sangka begitu mereka berdua berpisah ujung tali
dengan sangat pesatnya membalik arah, menyambar kearah telapak tangan Turonggo Benawi.
Semua orang terkejut. Akan tetapi terlambat gerakan ujung tali begitu sangat pesatnya, telah
menggaer tusuk konde, langsung menyonteknya. Sehingsa benda kecil itu melayang cepat terbang
kearah Ki Genikantar. Itulah suatu pertunjukan ilmu menyalurkan tenaga batin sakti melalui seutas
tali yang sangat mahir.
Naga Dumung terlolong kagum, akan tetapi Wigendro mendengus. Lalu dengan langkah
tertimpang-timpang akan tetapi menyeramkan, bergerak maju berkata dengan suara bengis.
"Yang termashur sebagai manusia yang paling licik diatas dunia ini, adalah aku, Wigendro.
Aku tidak melakukan sesuatu mengingat bahwa benda itu masih dalam sengketa. Sekarang dengan
perbuatanmu itu, apakah kau maksudkan mengundang kami ini hanya sekedar untuk melihat
kesombonganmu main tali?"
Ki Genikantar tertawa.
"Sabar dulu sahabat! Masakah aku hendak menyerakahi benda tak berguna ini. Kupikir aku
hendak menghancurkan benda ini agar kita sekalian jangan sampai terpancing oleh akal adu domba
dari si buta melek itu."
"Ngaco!" Pepriman telah membentak, memotong bicara. Kini pemuda itu telah melompat
dihadapan Genikantar. "Kalian semua yang bernafsu seperti serigala berebut tulang, masakah orang
lain yang kau jadikan dalih? Terang-terang guruku bermaksud memberikan benda itu kepada siapa
saja yang berhak! Kaulah yang secara licik hendak menyerakahi sendiri. Andaikata guru bermaksud
mengangkangi pusaka itu, apakah kau kira kau dapat merampaskannya begitu saja."
Jitu sekali kata-kata pemuda jembel ini. Memang benar, andaikata Turonggo Benawi
bermaksud mengukuhi tusuk konde itu, buat apa ia memperlihatkan benda itu? Atau misalnyaYusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
228
Kolektor E-Book
diperlihatkan juga, dapatkah Genikantar memamerkan kemahirannya melempar tali didepan
Turonggo Benawi? Bahkan andaikata ketujuh orang yang baru datang itu turun tangan secara
berbareng saja, orang masih ragu-ragu, entah bisa mengalahkan raksasa buta itu atau tidak.
Ki Genikantar yang mendapat tuduhan si pemuda jembel begitu tepat, untuk sejenak
kehilangan kata-kata. Sejak semula ia mendengar nama si pemuda jembel, dan pernah bertemu dan
bergebrak dengan pemuda ini telah timbul dugaan padanya, bahwa pemuda jembel itulah murid
seorang guru sakti.
Sekarang ia mendapat kenyataan bahwa si pemuda jembel ternyata adalah murid Turonggo
Benawi, maka kebencian lama yang tumbuh sejak terbunuhnya Dadamanuk, kini meluap kembali.
Dengan serta merta, tangannya melayang maju, dan sebuah pukulan Turonggo Bromo dilancarkan
dengan hebatnya.
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar ledakan dahsyat. Asap kemerahan mengepul dari lengan guru Bantarkawung itu.
Sekali menghantam, Genikantar telah melancarkan pukulan yang mematikan, sebab ia tahu bahwa
bocah jembel itu bukanlah pemuda sembarangan.
Wigendro maupun Naga Dumung terkejut, dan mengerutkan kening. Mereka pikir Genikantar
terlampau kejam. Untuk seorang pemuda rudin yang tampaknya lemah seperti itu, masakah harus
menurunkan pukulan yang demikian lihainya.
Akan tetapi mereka justeru tidak tahu bahwa Pepriman adalah seorang pemuda gemblengan
jurang raksasa yang telah lima tahun lamanya dididik secara matang oleh Turonggo Benawi.
Hantaman Turonggo Bromo, atau kuda api yang di lancarkan oleh Genikantar memang dapat
meruntuhkan sebuah gegumuk. Akan tetapi jangan harap sekali gebuk Pepriman akan kena
dicelakai olehnya.
Sebuah ledakan terjadi ketika pukulan dilancarkan oleh Genikantar dan menimbulkan sebuah
lubang besar pada tanah. Akan tetapi Pepriman justeru sudah menyingkir setombak jauhnya dari
pukulan itu. Dan kini pemuda itu telah melangkah maju sambil tertawa :
"Dulu musuh, sekarang juga musuh! Aku hanya menghendaki kau mengembalikan tusuk
konde pusaka itu. Kalau tidak, jangan katakan aku orang muda tak tahu peradatan!"
"Bocah besar mulut. Awas serangan! Bukan Genikantar yang memberikan sebuah pukulan,
akan tetapi Dewi Cundrik dengan kelima jari tangan terkembang menerkam kearah pemula jembel
itu.
Pepriman telah dapat menjajagi sampai dimana kelihaian racun pacet wulung wanita genit itu.
Pada waktu mengobati Kiai Teger, dengan tenaga batinnya Pepriman dapat mengusir racun itu yang
telah mengendap ditubuh Kiai Teger. Maka sekarang pemuda itu tidak begitu kuatir lagi. Dengan
tabah disambutnya serangan lawan.
Dess! Dua telapak tangan saling beradu, Pepriman hanya tergentak mundur setindak,
sedangkan Dewi Cundrik sambil memperdengarkan suara jeritan, tubuhnya terpental kebelakang.
Setelah berjumpalitan beberapa kali diudara, barulah wanita itu dapat berdiri tegak kembali diatas
tanah.
"Jembel sombong! Jangan kau buru-buru tertawa! Awas!" Dewi Cundrik membentak pula
seraya menerjang maju.
Kedua tangan wanita itu bergerak sangat cepat. Bau amis dan busuk keluar dari kuku-kuku
jarinya yang panjang dan hitam, mengurung kearah Pepriman.
Namun pemuda berpakaian compang-camping itu dapat mengimbanginya dengan baik. Ia
bergerak cepat kian kemari seperti orang mabuk, akan tetapi anehnya setiap serangan wanita itu
hanya mengenai tempat kosong.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
229
Kolektor E-Book
Di lain pihak, pertarungan Windupati dengan Bala masih berlangsung sangat seru, walaupun
cantrik Catursuda itu boleh dibilang cakap tangguh akan tetapi ia berhadapan dengan Windupati,
orang kedua dari perguruan Loning.
Makin lama, terasa bahwa sinar golok lawan semakin berat menekan. Kelebatan sinar golok
yang melayang-layang penuh perbawa, membuat cantrik itu seakan-akan terkurung.
Bala boleh tiga kali tangguh, akan tetapi ilmu golok Loning benar-benar menunjukan
kedahsyatannya. Masih untung Windupati belum mendapatkan seluruh pelajaran ilmu golok sakti
setinggi tingkat Cucut Kawung. Namun begitu, akhirnya Bala terjatuh dibawah angin.
Windupati dapat bergerak cepat dan tak terduga. Serangan goloknya ibarat terkaman maut
yang tidak mengenal ampun. Permainan gelang tembaga si cantrik yang semula dapat menahan
gerakan golok, kini berkali-kali tergempur membalik, menghantam kearah tuannya sendiri.
Bahkan dua buah gelang tembaga Bala telah buntung akibat sabetan Windupati. Dan
permainan silat cantrik itu bertambah kalut, karena tekanan lawan semakin hebat.
Kini Bala sudah tinggal bertahan dan main mundur belaka, sama sekali tidak mempunyai
kesempatan untuk balas menyerang.
Sedang golok Windupati berubah menjadi delapan bayangan berkilat yang menyerang dari
delapan penjuru, maka dalam kagetnya Bala telah menggerakan kepalanya. Dua buah anting-anting
telinganya melesat, menggempur kearah sabetan golok namun senjata Windupati itu tidak begitu
mudah untuk dipunahkan serangannya. Golok itu tergetar miring oleh gempuran anting-anting Bala,
akan tetapi guru kedua dari Loning itu telah berubah letak kuda-kudanya, dan goloknya tahu-tahu
telah menikam tiga tusukan kearah dada cantrik itu.
Agaknya, walaupun Bala memiliki empat tangan sekalipun takkan sanggup menghindari
serangan golok yang begitu cepat seperti kilat. Cantrik itu telah mengeluh, terima mati penasaran,
ketika mendadak terdengar suara batuk yang sangat nyaring.
Dan sebelum golok Loning yang menikam seperti gerakan pedang itu mengenai sasaran, tahu-
tahu terlihat berkelebat sebatang lengan yang kurus kering, bergerak-gerak seperti lintah.
Windupati tidak mengurungkan serangannya, akan tetapi mendadak terdengar suara trang-
tring, trang-tring! Dan golok Windupati telah menyeleweng arahnya, menyerempet pundak Bala.
Akan tetapi ujung golok itu sendiri telah kutung, sepanjang satu dim!
Sementara itu Catursuda telah tertawa sambil menarik kembali tangannya yang tadi baru
dipergunakan untuk menyentil golok beberapa kali.
Windupati terkejut melihat kerusakan pada senjatanya. Ia insyaf bahwa goloknya adalah
sebuah senjata pusaka hadiah dari Ki Cucut Kawung yang kecuali tajamnya tiada ukuran, juga
kerasnya bukan main. Sentilan kakek bongkok itu dapat merusak atau menguntungkan sebatang
golok pusaka, dapatlah dibayangkan berapa tingginya ilmu tenaga batin kakek itu.
Akan tetapi, ketika melihat kearah lengan kanan Catursuda, Windupati dapat melihat bahwa
kakek bongkok itu ternyata telah mengenakan sarung kuku jari yang terbuat dari baja bergigi. Satu
diantara sarung kuku itu tampak telah pecah. dan terserak ditanah.
"Ilmu golok Loning kiranya boleh juga....." kata Catursuda sambil tertawa. Seraya demikian,
kakek bongkok itu telah mengedip kearah cantriknya, untuk mundurkan diri.
"Tua bangka sombong! Majulah kalian berdua, biar tahu lihainya ilmu golok Loning!" Bentak
Windupati penasaran. Memang ia tak perlu berkecil hati akibat kerusakan senjatanya. mengingat
bahwa yang menempurnya adalah Catursuda. Akan tetapi, memangnya dia masih mendongkol
akibat diharuskan bertarung melawan seorang cantrik, maka ia bermaksud untuk menggertak lebih
lanjut.
Tetapi Catursuda tertawa.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
230
Kolektor E-Book
"Tak usah. Tak perlu. Aku sudah cukup kagum pada ilmu golokmu, siapa tidak mengenal
kelihaian golok Loning. Tetapi kita sudah cukup main-main sampai disitu saja. Lihatlah, bukankah
tusuk konde itu telah berada ditangan Genikantar?"
Benar saja memang. Ketika Windupati menoleh kearah guru Bantarkawurg itu, ia segera
melihat bahwa tusuk konde pusaka itu telah berada di tangan Genikantar. Dan agak beberapa
langkah disisinya terlihat Dewi Cundrik sedang bertarung seru melawan si pemuda jembel.
Bila dihitung-hitung, dendam dan sakit hati si Pepriman terhadap guru Guha Gempol itu,
mungkin melebihi dalamnya lautan. Hingga Pepriman mengalami penderitaan kehilangan ayah
angkat, kehilangan perguruam Blimbingwuluh yang hancur, dan sampai kepada pemuda itu
dimusuhi oleh seluruh kalangan rimba persilatan, adalah akibat perbuatan wanita itu. Sekarang
Pepriman mendapat kesempatan untuk menempur orang yang paling dibencinya itu, tentu saja
serangan-serangannya tidak mengenal ampun.
Ketika kedua cakar Dewi Cundrik meluncur mencengkeram kearah leher dan mata. Pepriman
tidak sudi menunjukkan kelemahan. Badannya didoyongkan ke kiri, dan tangan kirinya diangkat
menangkis terkaman tangan Dewi Cundrik. Sementara itu tangan kanan Pepriman telah diluncurkan
kedepan untuk menghajar perut Dewi Cundrik dengan sekuat tenaga.
Menangkis tak mungkin lagi, maka dalam gugupnya Dewi Cundrik telah merendahkan
tubuhnya, dan sambil tersenyum ewa ia menerima pukulan pemuda jembel itu dengan buah dadanya
yang montok.
Seketika Pepriman jadi gugup. Betapapun, apabila ia melanjutkan pukulannya, akan mengenai
daging membulat yang kenyal itu. Mungkin Dewi Cundrik akan terluka parah karenanya, akan
tetapi Pepriman dengan gugupnya telah menekuk sedikit pergelangan tangannya. Dan pukulannya
tidak menghanjut buah dada wanita itu, sebaliknya hanya menyerempet dan merobek baju didada
wanita itu.
"Ih, anak muda..." Dewi Cundrik menjerit pura-pura sambil menutupi kulit dadanya yang
terbuka. "Kalau memang jatuh hati kepadaku, masakah harus begini, buru-buru, main pegang dada
didepan umum, hihik!".
Memerah saga wajah Pepriman karena malu dan dongkol. Kalau tahu bakalan berakibat
demikian, agaknya tadi ia takkan menggagalkan serangannya.
Kini dengan cepat sekali kedua tangannya bekerja.
Tangan kanan menampar kepala, sedangkan tangan kiri bergerak seperti hendak
mencengkeram kempungan kiri lawan.
Dewi Cundrik menyambut kedua serangan itu dengan kedua tangannya. Bentrokan tenaga
terjadi lagi.
Bukk! Baru saja kedua tangan mereka beradu, Pepriman telah menggerakkan kedua
tangannya cepat-cepat ke kanan. Tubuh Dewi Cundrik ikut terhuyung mengikuti gerakan tangan
Pepriman.
Justeru pada saat itulah kaki kiri Pepriman bergerak seperti kilat cepatnya menendang dengan
keras. Dewi Cundrik menjerit kesakitan, sedangkan tubuhnya terlempar lebih lima tombak jauhnya,
dengan tulang paha seakan remuk terhajar tendangan lawan.
Melihat Dewi Cundrik yang tergeletak menelentang dengan mulut menyeringai kesakitan,
mendadak Pepriman seakan melihat kembali apa yang pernah dialaminya dalam sebuah kamar batu
di istana Telagasona.
Seketika bagi menyembur api dari biji mata pemuda jembel itu. Rambut kepalanya yang riap-
riapan seakan menegak, dan rahang pemuda itu menggigit-gigit menimbulkan suara nyaring.
Sekujur tubuhnya gemetaran. Dan ketika dari tenggorokannya terdengar suara lengkingan
burung alap-alap menyambar, maka tubuh pemuda itu telah mumbul keudara.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
231
Kolektor E-Book
Dan dengan kecepatan alap-alap menyambar, ia telah menukik menghantam kedua tangannya
bersusulan ke arah Dewi Cundrik.
Bum! Blung! Dess! Beberapa pukulaa Pepriman menghantam tanah sampai amblong,
sedangkan sebuah tendangannya sekali lagi tepat mengenai lambung wanita itu. Untungnya Dewi
Cundrik telah mengerahkan tenaga dalam melindungi tubuhnya, kalau tidak, tentu ia akan terbinasa
saat itu juga.
Sri Naga Dumung melompat maju menolong Dewi Cundrik. Kipasnya dikibaskan,
menimbulkan angin gempuran yang dahsyst. Tetapi ketika Pepriman mengangkat tangannya, maka
kipas baja itu telah menceng gerakannya, menghajar kesamping mematahkan beberapa cabang
pohon.
"Cukup murid! Tak perlu banyak main-main membuang tenaga belaka..." Tiba-tiba Turonggo
Benawi menegur sambil tersenyum.
Biasanya, apabila Pepriman telah kalap seperti itu tidak ada suatu apapun yang dapat
mencegah dia melakukan pembunuhan.
Akan tetapi suara Turoaggo Benawi mempunyai arti yang lain bagi Pepriman. Pemuda ini
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seakan-akan terkena pengaruh sihir, seketika merandek. Matanya yang liar, menjadi jinak kembali.
Wajahnya yang beringas, berubah tenang, sedangkan tangan dan kakinya yang tadi gemetaran, kini
kembali diam.
"Kemarilah..." kata Turonggo Benawi pula. Dan Pepriman seperti kebo dituntun, berjalan
perlahan menghampiri raksasa buta itu.
"Duduklah. Tak perlu menurutkan hawa nafsusekarang...".
Ketika Pepriman mengambil tempat duduk seperti seorang anak didepan kakek yang
dicintainya, maka sebaliknya Dewi Cundrik sedang merayap bengun sambil tersenyum bengis
kearah Ki Genikantar. Mulut wanita itu berlepotan darah, akibat darah yang tertumpah dari dalam
dadanya. Tampaknya ia terluka tidak ringan, akan tetapi karena kebenciannya terhadap Genikantar,
dengan serta merta ia telah melompat kehadapan kakek hitam botat itu.
"Manusia licik, jahanam!"
Dewi Cundrik tak dapat melanjutkan kata-katanya. Karena kalau ia meneruskan kata-katanya
itu, tentu ia akan berkata bahwa Genikantar tidak turun membantui wanita itu yang sedang terancam
bahaya si pemuda jembel. Hal ini tentu saja hanya akan menghilangkan pamor perguruan Guha
Gempol belaka.
"Licik bagaimana?" Genikantar justeru ingin mendengar Dewi Cundrik melanjutkan kata-
katanya. Sengaja ia memancing kemarahan wanita itu agaknya mengandung beberapa maksud.
Pertama, memang secara diam-diam diantara mereka berdua Pepriman, paguyuban
Barjardawa telah timbul persengketaan. Mereka jarang atau tidak pernah bergebrak untuk saling
mengukur kemampuan, sehingga dengan adanya Dewi Cundrik dihajar habis-habisan oleh
Pepriman, berarti wanita itu sudah harus mengakui keunggulan Genikantar.
Kedua, dengan adanya tusuk konde ditangannya Genikantar sama sekali tidak menyukai
dikemudian hari Dewi Cundrik bersama anggota Paguyuban yang lain berusaha memperotes dan
merampasnya. Bukankah bila wanita itu mati, akan lebih baik?
Ketiga, disamping Pepriman, masih ada Turonggo Benawi. Untuk melawan si pemuda jembel
itu saja, sulit untuk mendapatkan kemenangan dengan mudah, apalagi bila gurunya turun tangan.
Antara pribadi Genikantar dengan Pepriman tidak terdapat permusuhan pribadi, untuk apa
mencari penyakit?
Bukankah ambil langkah seribu dengan membawa tusuk konde pusaka itu, seribu kali lebih
baik dari kehilangan pamor didepan para undangan?Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
232
Kolektor E-Book
Memang sejak tadi Genikantar sudah berpikir untuk pergi. Akan tetapi setelah sekarang
kejadian berubah seketika, maka Genikantarpun buru-buru merubah sikap.
Dewi Cundrik tidak menjawab pertanyaan Genikantar. Bahwa wanita itu telah berdiri
mendekati Sri Naga Dumung seperti hendak minta bantuan. Sementara itu Genikantar berkata
sambil tertawa :
"Sudah terang tusul konde pusaka berada dipihak Paguyuban, masakah aku harus
menjelaskannya terang kepadamu Cundrik?"
"Kentut busuk! Siapa tidak tahu isi perutmu!" Bentak Dewi Cundrik.
"Terserah kepadamu. Kalau kau kuatir aku hendak menyerahkan benda ini, terimalah?"
Sambil berkata demikian, Genikantar benar-benar telah melemparkan tusuk konde pusaka itu
kearah Dewi Cundrik, yang kemudian disambuti oleh wanita itu dengan muka masih cemberut.
Benar-benar cerdik, Genikantar ketua paguyuban Banjardawa itu. Didepan para undangannya,
sengaja ia berbuat seakan-akan ia tidak bernafsu untuk menyerakahi benda pusaka itu. Dengan
demikian ia bertindak seakan-akan menjadi seseorang yang dapat dipercaya. Dengan menarik
simpati para tetamunya, juga ia bermaksud menanamkan sangkaan buruk para tamunya terhadap
Dewi Cundrik.
Apabila pihaknya telah jauh lebih kuat, apabila susahnya untuk merampas tusuk konde itu
kembali dikemudian hari?
Sekarang yang perlu bagi mereka adalah menyingkir secepatnya. Sambil menghindari
kemungkinan dari ancaman Turonggo Benawi bersama muridnya, juga sekaligus untuk melakukan
penyelidikan atas benda itu lebih lanjut. Sekaligus juga mempersiapkan diri untuk menggempur
lawan-lawan yaitu Kiai Kenistan suami isteri, Mbah Pucung dan yang lain.
Sedang mereka bermaksud untuk bertindak pergi maka dari kejauhan sayup-sayup terdengar
suara melengking yang sangat tajam. Suara itu datang seperti dari arah sungai, mengikuti aliran air,
menerobos daun-daunan hutan, dan menggetarkan lembah.
Tanpa dikomando lagi, sekalian undangan maupun kedua sesepuh Paguyuban Banjardawa itu,
berlompatan pergi meninggalkan tempat itu, mereka sependapat, walaupun tidak berjanji lebih dulu,
bahwa orang yang sedang mendatangi itu adalah orang yang berkepandaian sangat tinggi.
Ilmu mengirimkan suara yang begitu dashyat tak mungkin dilakukan oleh ahli-ahli silat kelas
menengah belaka.
Mereka menginsyafi bahwa pendatang itu tidak ketahuan lawan atau kawan. Kalau dibilang
kawan tampaknya tidak mungkin, sebab mereka tahu benar kawan yang mana yang memiliki
kepandaian setinggi itu.
Apabila sebenarnya lawan, mengapa mereka tidak segera angkat kaki. Sedang menghadapi
Turonggo Benawi bersama muridnya saja mereka tidak berani mengharap kemenangan apalagi bila
datang orang lain yang berpihak kepada lawan?
Suara lengkingan itu makin lantang terdengar. Dahan-dahan dan ranting pohon bergoyang-
goyang. Angin tak keruan arah datangnya tiba-tiba saja berdesis disana sini. Burung-burungpun
beterbangan, dan binatang-binatang rimba tersentak kaget dari sembunyinya, lantas berlarian
mencari hidup.
Demikian hebatnya pengaruh suara lengkingan itu. Pepriman yang sedang duduk bersila,
cepat-cepat mengatur pernapasan, mengheningkan cipta, membentengi diri dengan tenaga batinnya
yang kokoh. Namun begitu masih juga terasa getaran suara itu menusuk-nusuk anak telinganya.
Sebaliknya, Turonggo Benawi malahan tertawa. Lalu dengan wajah menunjukkan
kegembiraan, raksasa buta melek itu mengangkat kedua tangannya seperti menyambut kedatangan
orang.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
233
Kolektor E-Book
Ketika suara lengkingan itu mendadak lenyap dan Pepriman mengangkat mukanya, maka
didepannya tampak berdiri sesosok tubuh yang tinggi langsing, dengan dandanan mirip seorang
pertapa yang berjumbaian sampai ketanah.
Dia ini adalah seorang wanita berwajah merah jambu dengan rambut warna keemasan.
Pepriman tak tahu-tahu, berapa usia wanita itu, bahkan menganggap wanita itu sebagai manusia
biasapun tidak.
Sepanjang hidupnya, Pepriman belum pernah melihat seseorang yang memiliki tubuh yang
demikian. Hidungnya mancung, dan matanya kebiru-biruan. Bibirnya pucat, sedangkan dagunya
besar seperti dagu seorang jantan. Yang lebih mengherankan, lengan wanita itu berbulu-bulu lembut
yang berwarna pirang, dan juga lebat.
Untuk beberapa saat, Pepriman diam termangu-mangu. Sampai Turonggo Benawi
menegurnya :
"Murid. Mengapa tidak segera menghaturkan hormat kepada bibi gurumu!"
Bukan main terkejutnya Pepriman. Selama berkumpul dengan gurunya, ia belum pernah
mendengar gurunya mempunyal adik seperguruan. Sekarang datang wanita aneh itu justeru disebut
sebagai bibi guru. Tetapi Pepriman tak berani membantah, cepat-cepat menghaturkan hormatnya,
yang disambut oleh wanita itu dengan suara dengusan yang dingin.
Beberapa tamu wanita itu memandangi Pepriman dengan tatapan penuh selidik, lalu katanya :
"Benawi. Apakah bocah ini yang telah kau suruh menyelidiki tempat tinggalku?"
"Tidak salah, Manik. Dia muridku!" Sahut Turonggo Benawi seraya tertawa.
"Tutup mulutmu! Jangan ceringas-ceringis melulu! Belum kapok kau dihukum begitu rupa,
buta melek, badan jadi gembung! Apa maksudmu kau melanggar sumpah?" Wanita yang dipanggil
sebagal Manik itu berkata dengan nada getas.
Dibentak dan dimaki seperti itu. Turonggo Benawi tidak marah. Malahan tertawa-tawa tiada
hentinya.
"Kalau sudah tahu ya sudah Manik. Aku melanggar sumpahku, mengambil murid bocah
jembel itu justeru karena aku menginginkan kau cepat keluar dari tempat sembunyimu. Aku tentu
akan menanggung segala akibatnya, asal aku masih mendengar suaramu lagi mendengar makianmu.
Dan aku berharap dalam pertemuan ini, merupakan pertemuan kita yang terakhir kalinya....."
Mendengar penuturan Turonggo Benawi yang agaknya bernada sedih itu. Manik tampak
tercegut-cegut lehernya turun naik. Lalu biji matanya yang kebiruan itu menjadi basah.
"Benawi... apakah kau mengira bahwa penderitaanmu itu akibat dari perbuatanku? Salah
siapa kau mendengarkan ajakan siluman rase Gandri itu? Sudahku katakan, bahwa kita harus
bersatu tak boleh berpisah lagi selama hidup, tetapi kau terlalu menuruti keangkuhanmu belaka.
Akhirnya keadaan telah terlanjur begini rupa, apakah arwah Gandri yang gentayangan di neraka
pernah menolong dirimu dari kebutaan? ataupun memulihkan jasadmu yang berubah bentuk itu?"
"Sudahlah Manik, tak perlu menyesali orang yang telah mati..." kata Turonggo Benawi.
Tentu saja maksud Turonggo Benawi dengan kata-katanya itu ialah agar melupakan kenangan
lama yang24
tak sedap itu. Sebaliknya Manik jadi salah terima, dan menjawab sambil membanting kaki.
"Memang! Memang! Aku tahu, kau selalu membela si siluman Gandri itu. Memangnya aku
jelek, aku hina. aku piatu, kau tak pernah menganggap aku benar barang sekali."
Turonggo Benawi menghela napas. Diantara kedukaan yang melingkupi wajahnya, terlukis
pula suatu sinar ketenteraman.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
234
Kolektor E-Book
"Mana aku pernah menyalahkan kau, Manik! Kau adik kesayanganku, kau gadis yang paling
kucintai selama hidupku! Kaulah perempuan yang paling cantik yang pernah kutemui. Tetapi
sayang, sayang sekali mataku tak hisa lagi melihat kebeningan sinar matamu sekarang, Manik.
Mataku terbuka, akan tetapi yang terlihat olehku adalah kegelapan abadi.
Dan kecantikanmu yang berkesan dalam hatiku, adalah kesan dulu. Kesan masa dahulu
Manik, masa kita sering main terompet batang padi..."
Berbicara sampai disitu, suara Turonggo Benawi terdengar agak gemetar. Pertapa setengah
dewa yang begitu tabah menghadapi penderitaan hidup, terasing didasar jurang dalam kebutaan
seperti itu, tak pernah mengeluh atau merasa sedih. Tetapi kini berhadapan dengan wanita berambut
keemasan ini, pertapa itu seperti kehilangan keperkasaannya dan kekukuhan batinnya yang luar
biasa.
Manik itu sendiri, demi mendengar suara Turonggo Benawi yang demikian, tubuhnya tampak
tergetar. Lalu dengan serta merta ia menubruk maju memeluk kaki laki-laki itu sambil menangis
sesenggrukan.
Beberapa saat, kedua manusia aneh itu diam membeku, kecuali Manik yang ingseg-
ingsengan. Akhirnya Turonggo Benawi mengusapkan tangannya kerambut kepala Manik sambil
berbisik :
"Tentu kau sangat menderita, Manik. Maafkan aku telah membuatmu sengsara...."
"Tidak Benawi. Kau tidak bersalah." jawab Manik seraya menatap mata Benawi yang lolong.
"Aku yang menyebabkan kau menderita begini rupa. Kaulah yang harus memaafkan aku Benawi,
dan memaafkan aku yang telah menghina serta berprasangka buruk terhadapmu. Kau terlalu keras
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati, dan tak mau berterus terang. Akibatnya begini..."
Dan Manik kian menjadi-jadi, sementara pelukannya pada kaki laki-laki itu semakin erat.
Rasa duka dan penyesalan yang sedang mengalir bersama suara ratapan Manik, atau Dewi
Manik itu, telah menyentuh hati Pepriman alias Joko Bledug yang sedang duduk merundukan
muka.
Samar-samar tetapi agaknya tidak melesat, Pepriman dapat membaca, akan masa lalu
hubungan antara guru dan bibi gurunya. Rupanya kelicikan fitnah, atau sak wasangka dan cemburu
telah mengganagu hubungan baik mereka yang mengakibatkan mereka saling memendam rindu
hingga umur mereka sudah ratusan tahun.
Tidaklah mengherankan apabila kedukaan itu kini menjalar kehati Pepriman. Pemuda jembel
ini adalah seorang pemuda yang sejak kecil telah digembleng dengan kepahitan hidup, dengan
ketabahan dan ketekunan.
Tetapi dalam usia meningkat remaja, fitnah hebat telah melanda nasib ayahnya, juga melanda
dirinya. Akal busuk dan keji Dewi Cundrik yang telah menyebabkan pemuda ini malu menghadapi
setiap gadis entah gadis yang mana itu!
Satu-satunya ingatan kepada Pepriman, adalah ia cuma seorang pemuda tak bermoral, pemuda
yang lemah, pemuda yang dengan gampang menuruti permainan nafsu seorang siluman tua dan
cabul? Yah, dan fitnah merajalela, merusak seluruh hidup pemuda itu, bila ternyata dibawah
pengaruh racun-racun Dewi Cundrik. Pepriman alias Joko Bledug telah membunuh dua orang
saudara seperguruannya sendiri.
Itulah semua kenyataan, dan kenyataan itu berekor dengan kekecewaan yang makin
menghebat. Bermula Dewi Yoni meninggalkannya, dan akhirnya Cunduk Puteri mengalami nasib
malang, terbinasa dibawah kebiadaban Windupati.
Semuanya itu telah terjadi dan tinggal merupakan kesan hitam belaka dalam hidupnya. Kini
Pepriman melihat suatu kejadian yang hampir serupa dengan dirinya. Tentu saja hatinya bagai
tersayat-sayat dan perlahan-lahan sedu-sedan naik dari dadanya.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
235
Kolektor E-Book
Setelah beberapa lama dalam keheningan seperti itu akhirnya Manik berkata.
"Benawi, mana tusuk kondeku!"
Turonggo Benawi seolah-olah tersentak.
"Dirampas oleh orang-orang yang anti Mataram. Kau pendekar berdarah Mataram sejati
apakah akan membiarkan benda itu dirampas musuh?"
Semula Dewi Manik tampak meragu. Akan tetapi sebentar kemudian tersenyum girang.
"Benar-benar kau laki-laki yang mengagumkan, Benawi. Apakah maksudmu agar aku segera
turun tangan menyelamatkan negeri ini, karena kau sendiri dengan keadaanmu yang demikian tak
mungkin dapat pergi dengan bebas?"
Sungguh suatu penafsiran yang sangat jitu. Sama sekali Pepriman tidak dapat menduga apa
maksud gurunya dengan sengaja melepaskan tusuk konde pusaka ketangan Ki Genikantar. Kiranya
begitulah maksudnya, dan Dewi Manik yang memiliki kecerdasan luar biasa, bisa segera menduga
maksud orang dengan jitu.
"Terima kasih, Manik, kau telah menduga dengan tepat sekali.
Sekarang ini, negeri kita sedang terancam oleh bahaya kehancuran. Gerakan orang-orang
gagah yang dipimpin oleh Kiai Teger dan Mbah Pucung serta kawan-kawannya telah mengalami
pukulan hebat.
Syukurlah Manik apabila kau masih benar-benar mewarisi darah kepahlawanan ayahmu!
Sekarang kau dapat mengejar mereka, muridku boleh kau ajak sebagai penunjuk jalan...".
"Nanti dulu! Aku juga telah mempunyai seorang murid dan seorang cantrik. Kukira diapun
memiliki darah pendekar dalam tubuhnya...".
Bicara sampai disitu, Dewi Manik lantas berdiri dan melambaikan tangannya kebelakang.
Seketika itu juga tampak dua bayangan orang mendatangi dengan sangat cepat.
Begitu agak mendekat, maka tertampaklah bahwa mereka itu seorang gadis dan seorang laki-
laki. Gadis itu bertubuh langsing semampai, berpakaian selembar jubah berwarna hitam.
Rambutnya yang hitam lebat dilingkarkan dileher seperti orang yang sedang berduka cita, dan
sebagian lembar-lembar rambutnya menutupi wajahnya yang putih murung.
Demi gadis itu berada dekat, maka Pepriman tersentak dari duduknya. Seperti orang yang
sedang terpukau oleh mimpi, ia mernburu maju sambil berseru : "Nona Cunduk...".
Memang gadis itu Cunduk Puteri adanya. Sejak sekilas ia melihat Pepriman berada disitu,
gadis itu telah menjadi gugup dan bingung. Ia bermaksud hendak berlari pergi, akan terapi melihat
?si nenek? yang memanggilnya dengan sungguh-sungguh, tentu saja ia tak berani membantah.
Sekarang benar-benar telah menjadi kenyataan, bahwa pemuda berpakaian compang-camping
itu adalah Pepriman, pemuda sederhana yang selalu mengaguminya siang dan malam.
Kegembiraan serta merta hinggap dihati si dara. Rasa rindunya yang selama ini mengamuk
didadanya, hendak meronta keluar. Namun segera teringat olehnya, akan keadaan dirinya! Dia tak
suci lagi! Dia telah ternoda! Perutnya telah mengandung bibit manusia...
Ketika ingatannya sampai disini, maka saat itu justeru Pepriman sedang menubruk maju untuk
merangkulnya. Tanpa sadar, Cunduk Puteri telah mendorongkan tangannya dengan keras, sehingga
tak ampun lagi Pepriman yang tidak bersiap-siap jatuh terjengkang. terpelanting.
"Eh, eh, muridmu juga mata keranjang, seperti kau Benawi! Lihatlah, dia hendak merangkul
muridku! Kurang asin tuh bocah!" Kata Dewi Manik seraya tertawa.
Turonggo Benawi juga tertawa. Walaupun ia tidak dapat melihat persis apa yang dilakukan
oleh Pepriman, akan tetapi perasaannya dapat menduga dengan tepat.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
236
Kolektor E-Book
"Dia anak kesayangan Ki Ageng Tampar Angin, tak mungkin semata keranjang aku Manik.
Kukira muridmu terlalu cantik seperti kau, sehingga muridku tak dapat menahan diri!".
"Heh, Cunduk Puteri. Murid kakang Benawi berarti adalah kakak seperguruanmu, mengapa
kau bukan mengunjuk hormat, bahkan bertindak begitu kurang ajar?".
Dewi Manik menegur dengan sikap manis. Akan tetapi Cunduk Puteri yang sedang ditusuk-
tusuk hatinya oleh rasa malu, kecewa dan sedih, menjadi bertambah sedih. Dan air matanya
mengalir deras, menuruni lereng pipinya.
"O, iya, ya, ya..." Dewi Manik tertawa. "Aku tahu, biasanya muda mudi memang malu-malu
kucing!"
Sama sekali Dewi Manik tidak dapat menduga, apa yang sebenarnya terjadi atas diri
muridnya. Memang, wanita itu berusia sudah lebih dari dua kali usia manusia.
Akan tetapi selama ini ia belum pernah mengalami apa yang disebut sebagai mengandung.
Apalagi mengandung akibat perbuatan manusia secara biadab dan keji seperti yang dialami oleh
Cunduk Puteri. Mengandung benih manusia buah dari perkosaan, sama dengan mengandung bayi
calon haram jadah dan terkutuk. Bukan saja orang lain akan mengutuki kehadiran bayi itu, bahkan
Cunduk Puteri sendiri agaknya tidak menghendaki pembuatan bayi itu makin besar...
"Manik, apakah kau sudah menemukan orang yang bakal kau serahi pusaka leluhur Mataram
itu?" Tanya Turonggo Benawi kemudian.
"Tentu! Dialah muridku! Dia cukup syarat! Orangnya sangat cantik, adatnya baik, berperibadi
tinggi, dan berilmu tinggi pula. Kau ingin tahu, anat siapa dia, Benawi?"
"Ya, coba katakanlah Manik, anak siapakah dia, biar hatiku lega."
"Mbah Pucung! Nah, apakah belum setimpal nama itu dijajarkan dengan nama Kiai Tampar
Angin! Aku justeru ragu-ragu apakah pemuda nglokro seperti muridmu yang masih muda suka
pakai tambal-tambalan itu dapat melindungi isterinya atau tidak... hihihik!"
Memang aneh kedua manusia sakti itu. Aneh sifat-sifatnya, sepak terjangnya, juga jalan
pikirannya. Mereka tanpa bersepakat lebih dulu, seakan-akan mereka telah menghitung-hitung
mengenai perjodohan antara murid-murid mereka.
Yang jadi gugup dan gopoh adalah justeru murid-murid mereka itu. Pepriman telah duduk
merunduk, dengan hati kecewa. Sedangkan Cunduk Puteri bingung, putus asa, dan dendam. Dengan
pertemuannya dengan pemuda yang dikaguminya ini, menimbulkan dendamnya kepada manusia
yang telah menodainya semakin besar. Di lain pihak, juga rasa rendah dirinya makin besar
mengingat akan noda besar yang melaknat dirinya.
"Guru, kapankah murid boleh berangkat menghajar sekalian pengacau negeri?" Kata Cunduk
Puteri dengan suara gemetaran.
"Nah, kau dengar Benawi?" kata Dewi Manik seraya tersenyum bangga. "Begitu hebat darah
kepahlawanan mengalir ditubuhnya. Dipikirkan jodohnya, malahan dia sendiri memikirkan perang.
Hahaha..."
Turonggo Benawi manggut-manggut.
"Siapa orangnya tidak mengenal nama Mbah Pucung? Sekarang, selagi mereka belum jauh,
kau boleh mengikutinya. Menurut perhitunganku, karena paguyuban Banjardawa telah mengundang
banyak orang-orang berkepandaian tinggi untuk melawan gerakan pejuang, tentulah ia tidak lupa
mengundang jenderal Kompeni dari Semarang. Itulah sebabnya aku menunggu kau sendiri yang
langsung turun tangan...".
"Ah, kau terlalu memuji, Benawi. Kulihat muridmu itu telah menguasai seluruh ilmu Nusa
reca sakti ajaranmu. Jangankan Paguyuban Banjardawa atau tetek-bengek lainnya sedang aku
sendiri belum tentu dapat mengalahkannya!"Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
237
Kolektor E-Book
"Kau masih selincah dulu. Manik, membuatku rindu dengan sinar matahari. Kau masih suka
merendah-rendah diri, dan geguyon. Masakah bocah rombeng seperti itu berani berpikir tentang
menandingi dirimu. Percayalah, Manik. Selagi aku masih dapat berdoa dan menunggu, aku akan
melakukannya disini!".
Demikian mustajabnya kata-kata Turonggo Benawi ini.
Dewi Manik tampak tersenyum. Lalu dengan mesra dan lembut dirangkulnya leher Turonggo
Benawi untuk kemudian diusap-usap pelupuk matanya yang lolong. Setelah itu, wanita bermata biru
itu berbisik-bisik dengan suara yang sendat.
Turonggo Benawi tampak seperti hendak tertawa, tetapi juga seperti mau menangis. Sejenak
kemudin terdengar suaranya yang berat :
"Muridku. Jangan kau mengecewakan bibi gurumu, ya! Nah, berangkatlah..."
Sabda Turonggo Benawi pertapa sakti jurang raksasa itu, ibarat sabda sang raja. Dan hanya
membutuhkan waktu beberapa tarikan napas saja, maka Dewi Manik, Cunduk Puteri, Pepriman dan
Sogaklenting telah berloncatan menghilang, kedalam lebatnya hutan lembah Pegat-sih,
meninggalkan doa dan puja-puji buat keselamatan dan kejayaan mereka.
oooOooo
SEBAGAI juga Dewi Manik bersama murid dan pengiringnya melakukan penguntitan atas
diri orang-orang Paguyuban Banjardawa, maka diluar alun-alun kadipaten Pemalang tampak
seorang penggawa muda sedang membuntuti perjalanan seseorang yang baru saja keluar dari
Pendopo kadipaten.
Penggawa Kadipaten muda itu adalah seorang tokoh yang tidak asing lagi, yakni Kebo Sulung
adanya. Sedangkan orang yang dibuntuti olehnya. adalah seorang bintara berpangkat mantri, dalam
keprajuritan sandi kadipaten.
Perajurit sandi (petugas reserse atau intel?) itu sejak pagi dipanggil menghadap oleh adipati di
pendopo. Dan setelah mengadakan sebuah rembungan yang agaknya sangat rahasia maka perajurit
itu bergegas meninggalkan Kadipaten deagan cepat.
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba diluar kadipaten, maka perajurit itu lantas mencemplak kudanya, langsung binatang
tunggang itu meluncur kearah timur.
Kira-kira jarak sepemanah jauhnya ketika perajurit itu memasuki batas bebulak, maka
tampaklah Kebo Sulung membedalkan kudanya keluar dari sebuah gerumbulan, untuk mengejar.
Makin lama, Kebo Sulung semakin dapat memperpendek jarak antara dia dengan perajurit itu.
Hal ini dapatlah dimaklumi mengingat Kebo Sulung adalan tergolong seorang perwira tinggi di
kadipaten, kuda tunggangannyapun kuda pilihan, Lagi pula, agaknya perajurit itu sendiri agak
sengaja tidak membalapkan kudanya.
Matahari sedang tergelincir dari pusat langit. Dan udara yang sangat terik, membuat suasana
pesawahan jadi tampak berkabut menyilaukan.
Ketika jarak dengan kuda didepannya sudah tinggal kira-kira tiga puluhan langkah, maka
Kebo Sulung telah melontarkan tali kedepan sekuat tenaga.
Tali itu adalah seutas tali kecil berwarna hitam yang terbuat dari orot-orot harimau kumbang.
Tentu saja kecuali ulet dan tajam, juga dapat lontarkan tanpa menerbitkan suara.
Tali terus meluncur, seakan mempunyai mata, bergerak sangat cepat kedepan, dan langsung
menyambar leher perajurit berkuda yang ada didepan.Yusi Syamsidar
ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH
238
Kolektor E-Book
Perajurit itu tampaknya tidak menyadari adanya bahaya. Dengan tenang ia mengeprak
kudanya, secepat biasa, tidak dipercepat ataupun diperlambat. Agaknya sebentar lagi, leher perajurit
itu akan terjerat tali hitam, untuk kemudian kutung dan kepalanya menggelinding ketanah.
Akan tetapi sungguh diluar dugaan, begitu tali melibat kearah lehernya, tahu-tahu perajurit itu
telah merebahkan tubuhnya kebelakang, demi tali itu telah menyambar lewat, dengan kecepatan
yang susah diikuti pandangan mata, prajurit itu telah kembali duduk dipunggung kuda seperti
semula.
"Hei, Bhre Yudha! Brenti!" Seru Kebo Sulung dengan nada gusar.
Dan perajurit itu tanpa menunjukkan tanda-tanda terkejut, telah membalikkan tubuhnya,
dengan kuda masih tetap berdiri seperti tadi, berkata sambil tertawa :
"Kiranya Den bagus Kebo Sulung...... kukira siapa main-main dihari panas begini".
Perajurit itu, usianya kira-kira tidak kurang dari lima puluh tahun. Tubuhnya kekar, dan
wajahnya kukuh, melukiskan ketangguhan seorang perajurit yang gagah.
Berkumis dan berjenggot, bahkan bulu-bulu cambang bauknya juga tumbuh dengan terawat.
"Hendak kemana kau?" Entah bagaimana alasannya, Kebo Sulung telah secara langsung
bersikap sangat kasar terhadap perajurit itu.
"Kekademangan Ampelgading" jawab perajurit itu dengan tenang.
"Ada perlu apa?" Desak Kebo Sulung lebih lanjut.
Perajurit itu mengerutkan kening, menunjukkan sikap tidak senang. Lalu katanya :
"Sejak kapankah seorang perajurit sandi harus memberikan laporan kepada orang lain kecuali
gusti adipati?".
"Sekarang! Aturanku! Serahkan bungkusan surat yang berada dipunggungmu itu kepadaku!"
Kata Kebo Sulung dengan tandas.
Tetapi perajurit sandi itu cuma tertawa lebar.
"Den Bagus Kebo Sulung. Apakah adi sadar, bahwa kata-katamu tadi sebenarnya telah berarti
menentang kekuasaan sang Adipati?"
Kebo Sulung tampak terkejut dan wajahnya menjadi pucat. Akan tetapi dasarnya memang
penggawa muda itu adalah seorang yang berwatak sombong, maka sebaliknya dari mencabut kata-
katanya malahan berpikir untuk membunuh perajurit sandi yang banyak mulut itu.
Katanya : "Mau serahkan atau tidak?".
Perajurit itu teringat akan sumpah seorang perajurit sandi. Menyerahkan sebuah rahasia
apapun kepada orang yang tidak seharusnya, maka dia harus dihukum mati!
Teringat akan ini, maka perajurit itu memperdengarkan suara tawanya sambil berkata
Pendekar Naga Putih 80 Iblis Angkara Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama