Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Gunung Gajah 9

Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar Bagian 9



mengejek :

"Pantaslah begini kejadiannya. Sudah tiga orang telik sandi kadipaten yang hilang, tak

ketahuan rimbanya seperti ditelan bumi, kiranya adalah perbuatanmu hai orang kromodongso

(orang kebanyakan) yang sombong! Untuk siapakah kau bekerja?".

Kali ini perajurit itu bukannya menghindar pergi akan tetapi sebaliknya melangkah maju,

dengan angkuhnya menghampiri Kebo Sulung.

"Bhre Yudha! Kau berani menghina Kebo Sulung!"

"Untuk sang Hotipati, kepalakupun aku sanggup menjualnya!" Jawab perajurit sandi yang

bernama Bhre Yudha itu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

239

Kolektor E-Book

Dan tanpa memberi kesempatan lagi, Kebo Sulung telah melancarkan tendangan kilat,

menggempur kearah kempungan orang.

Tetapi Bhre Yudha telah bersiap sedia. Sedikit mengegoskan pinggangnya, maka tendangan

Kebo Sulung mengenai tempat kosong.

Dan sebelum penyerang ini sempat menarik kembali kakinya, Bhre Yudha mendahului

dengan getokan punggung kepalan tangannya kearah ujung kaki lawan.

"Bagus!" Kebo Sulung berseru memuji sambil kaget. Jurus tendangannya tadi adalah jurus

keempat dari perguruan Guha Gempol yang bernama ?membuat tangga kelangit pertama?.

Tendangan ini memang hanya gerakan permulaan belaka, merupakan serangan bercabang yang

banyak sekali pecahannya. Namun Bhre Yudha telah memunahkan jurus itu sekaligus dengan jurus

pukulan yang kelima pada ilmu silat Guha Gempol, yaitu ?batu gunung menimpa tangga?.

Pukulan Bhre Yudha sendiripun memiliki banyak pecahan dan gerakan-gerakan cabang, yang

merupakan jurus penutup atau pemunah dari setiap cabang gerakan jurus keempat.

Dengan mudah, Kebo Sulung memutar sebelah kakinya yang tertegak sebagai poros, maka

kakinya yang menendang tadi dapat diselamatkan dari pukulan Bhre Yudha.

Selanjutnya Kebo Sulung telah melancarkan serangan susulan berupa tendangan bersusun

maupun permainan menangkap dan menghantam dari kedua tangannya yang mahir.

Nyata kemudian, bahwa dalam hal tenaga batin, Bhre Yudha memiliki keunggulan.

Sebaliknya dalam hal ketangkasan dan kegesitan ia harus mengakui keunggulan lawan.

Kebo Sulung adalah murid terkasih, bahkan juga kekasih Dewi Cundrik si ratu istana

Telagasona itu. Hampir seluruh ilmu kepandaian wanita sakti itu telah dapat diwarisinya. Cuma

sayangnya, memang kalau mengingat kecerdasan penggawa muda itu, agaknya dia kurang hebat.

Sehingga masih ada beberapa ilmu pukulan yang dahsyat dari gurunya tidak dapat dikuasai dengan

baik.

Sebaliknya perajurit yang bernama Bhre Yudha itu rupanya banyak memiliki beberapa ilmu

silat campuran, yang tidak ketahuan dari mana sumbernya. Kadang-kadang ia bergerak seperti

orang-orang Guha Gempol kadang-kadang seperti anak murid Blimbingwuluh, bahkan kadang-

kadang bersilat dengan cara yang aneh seperti bukan gerak silat sama sekali. Namun begitu,

tidaklah mudah Kebo Sulung ingin memperoleh kemenangan.

Berkali-kali terjadi benturan adu tenaga. Dan nyata sekali bahwa Bhre Yudha dapat

mengimbangi keuletan lawannya. Ketika dengan gerakan kilat Kebo Sulung melancarkan serangan

bersusun yang disebut ?Tiga bayangan membentuk gerhana?, maka sepasang kaki penggawa muda

itu seakan telah berobah menjadi tiga pasang.

Dan Bhre Yudha kerepotan untuk menghindarkaa diri. Dengan nekad, digempurnya

tendangan lawan dengan kedua tangan yang diangkat didepan kepalanya. Benturan keras terjadi.

Kebo Sulung tergentak mundur, sedangkan Bhre Yudha hanya gempur kuda-kudanya.

Sebenarnya tenaga dalam batin Kebo Sulung tidak serendah itu. Akan tetapi akhir-akhir ini

penggawa muda yang sombong ini terlalu puas dengan kebiasaannya mengumbar hawa nafsu.

Sejak kematian Nyi Tratih ibu tirinya yang merupakan pemuas hawa nafsunya setiap kali

penggawa muda ini mengalami hasrat yang meluap-luap, maka kini Kebo Sulung lantas mencari

pemuasan itu ditempat-tempat sembarangan.

Di mana terdapat wanita-wanita yang dapat disewa dengan uang, atau dimana ada wanita

yang dapat direnggut dari rumah tinggalnya, maka disitulah Keho Sulung melampiaskan nafsunya

secara sewenang-wenang.

Adalah sudah menjadi pantangan, bahwa seseorang yang hendak memelihara tenaga

batiniahnya, tentu dia tidak boleh memboroskan tenaga secara sia-sia. Perbuatan Kebo SulungYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

240

Kolektor E-Book

menurutkan nafsu birahinya bersama perempuan-perempuan sekian banyaknya itu, mengurangi

bobot tenaga batin dalam tubuh, juga melembikkan jalannya penghimpunan indera hening.

Kematian Nyi Tratih dan ayahnya, Ki Jagabaya Karangsari, telah mengakibatkan kerusakan

jiwa pada penggawa muda itu semakin parah. Terutama sekali dengan kekalahan yang pernah

dialaminya, ketika senjata pancaloka pernah dirampas oleh seorang pemuda tampan tak dikenal.

Kini tindakan Kebo Sulung ini hanyalah merupakan pelampiasan hati dan perasaan yang

mendendam belaka. Dan niatnya untuk Bhre Yudha inipun makin membesar.

Dengan serta merta, maka penggawa muda itu telah memegang sebuah senjata ditangannya,

yang berbentuk sebuah tempurung baja dimana dipinggirnya tergantung beberapa gelang rantai.

Senjata inilah ynng dikenal orang sebagai Batok Bumi! Dengan senjata ini, agaknya Kebo Sulung

seakan tumbuh sayap.

Dan kegarangan yang timbul karena kesombongan dan dendam kesumat, berubah menjadi

kebuasan, buas seperti seekor singa.

Bhre Yudha sendiri sangat terkejut melihat lawannya telah bersenjata. Ia menyadari bahwa

senjata Batok Bumi milik Kebo Sulung adalah senjata yang telah pernah menyebabkan kematian

Kaki Gagak Rawe raja penyamun di hutan Bengkelung.

Dan belum sempat Bhre Yudha berpikir terlalu banyak, Batok Bumi telah berdesing nyaring.

Bhre Yudha tersentak kaget. Terasa ada kilatan cahaya menyentuh sebelah pipinya. Ketika ia

meraba tempat itu, kiranya darah yang hangat mengalir turun.

"Ha.. ha.. ha Yudha, masih tidak mau membuka mulut?" Kebo Sulung tertawa mengejek.

Tangannya masih terus menggerakkan senjatanya, mengancam.

Bhre Yudha tak mau menjawab. Ia tahu benar, bagaimana ia harus bertindak. Sebagai seoraug

bintara perajurit sandi, masakah takut mati, dan menjual rahasia kadipaten dengan cara begitu sia-

sia.

Kebo Sulung melancarkan serangan pula. Kali ini senjatanya diputar diatas kepala, untuk

selanjutnya, dengan gerakan sangat cepat menyabet kebawah dengan keras.

Rantai-rantai gelang pada Batok Bumi itu berdesing dan berdering-dering. Tajamnya tidak

kalah dengan pedang apabila mengenai kaki Bhre Yudha, agaknya bintara kadipaten itu akan cacad

seumur hidupnya.

Akan tetapi Bhre Yudha tidak sudi menyerah. Dengan beberapa kali lompatan ia menghindari

sabetan senjata lawan, untuk selanjutuya membalas menyerang dengan tendangan-tendangan

berantai.

Namun perlawanan itu dapat berlangsung hanya untuk beberapa lama, dan tentu tidak

merubah kedudukan Bhre Yudha berada pada pihak yang terdesak.

Kebo Sulung dengan Batok Buminya seakan-akan telah berubah menjadi satu, merupakan

bayangan yang menyambar-nyambar tidak mengenal ampun.

Berkali-kali Bhre Yudha terkena senjata lawan, dan lengan kaki dan pundaknya mengucurkan

darah.

Tampaknya bintara kadipaten itu sebentar lagi akan segera dapat dirobohkan, walaupun

tampak benar bahwa ia telah menguras seluruh tenaganya untuk memberikan perlawanan hingga

detik-detik yang terakhir.

"Yudha! Edan! Lihat, Batok Bumiku dapat menabas kutung lehermu!" Teriak Kebo Sulung

gusar dan penasaran.

Bhre Yudha cuma mendengus. Kematian bagi seorang perajurit adalah merupakan tanda

pangkat yang terakhir, mengapa harus takut mati?Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

241

Kolektor E-Book

Sebaliknya dari takut, Bhre Yudha bahkan semakin bersemangat.

Pukulan dan tendangan yang dilancarkannya semakin menghebat. Disamping itu juga darah

semakin banyak mengalir dari luka-lukanya.

Kebo Sulung telah kehabisan akal untuk memaksanya. Segera terlihat ia benar-benar hendak

turun tangan membunuhnya.

Batok Bumi diangkatnya tinggi memutar. Rantai-rantai gelang berpencaran, mencari sasaran-

sasaran maut, diseluruh tubuh Bhre Yudha. Bhre Yudha menghindar dengan sebuah lompatan

panjang kebelakang, akan tetapi sabetan rantai gelang itu seakan memiliki mata, dan dapat

memburu dengan tepat.

Ketika perajurit sandi itu baru saja hendak mendarat keatas tanah kembali, maka tiga batang

rantai gelang, membabat dengan sinar kilatnya yang berkilauan.

Cranngg! Ketika Bhre Yudha sudah berada diambang kematiannya, mendadak sekali, dengan

tidak ketahuan dari mana datangnya, selembar sinar ungu yang melengkung seperti bianglala telah

datang menyilang. Bentrokan senjata nyaring.

Dua batang rantai pada senjata Batok Bumi itu, kutung dan terlempar bergemerincing, sedang

disamping perajurit sandi kadipaten itu kini telah bertambah satu orang.

Seorang kakek tinggi gagah, bertubuh kekar, berkumis dan berjenggot dan mengenakan daster

warna gagak, sedang menyarungkan goloknya. Dengan sikap acuh tak acuh, seakan-akan tidak

melihat kehadiran Kebo Sulung ditempat itu, kakek berdaster hitam itu menegur Bhre Yudha :

Tak perlu ketempatku ataupun Blimbingwuluh kalau kau ingin mendapat bagian juga, boleh

kau pergi kehutan Banjardawa! Hahaha..."

Bhre Yudha sangat hormat kepada kakek ini, sebaliknya Kebo Sulung dengan sikap angkuh

yang dipaksakan membentak garang.

"Hmm... rupanya Loningpun telah menjadi pemberontak!"

Kakek yang mengenakan daster hitam itu memang, tidak lain adalah Ki Cucut Kawung guru

sakti perguruan Loning.

Sejak pertarungannya diselat Pencuci Dosa memukul mundur Paguyuban Banjardawa, guru

sakti itu bergegas-gegas pulang keperguruan karena mendengar berita tentang sepak terjang

Windupati yang sangat memalukan, dan dapat menghancurkan nama baik perguruan Loning.

Akan tetapi kedatangan guru itu mendapatkan suatu perubahan besar yang terjadi pada

perguruannya. Windupati tidak berada ditempat sedangkan keadaan perguruan seakan sebuah

negeri yang diamuk burung garuda.

Mayat-mayat murid Loning, tampak berserakan di sana sini. Pondok-pondok perguruan

hancur, bahkan kamar semedhi Ki Cucut Kawung sendiri morak-marik seperti bekas diobrak-abrik

orang.

Akhirnya Ki Cucut Kawung dapat menjumpai beberapa orang muridnya yang masih selamat,

yang melaporkan bahwa diperguruan itu baru saja kedatangan seorang musuh.

Musuh itu justeru adalah murid kesayangan Ki Cucut Kawung sendiri, yaitu Dewi Yoni,

puteri Demang Moga. Dengan berkeras Dewi Yoni bermaksud untuk mempengaruhi perguruan agar

mau bekerja sama dengan kompeni untuk merebut kadipaten Pemalang. Akan tetapi, sekalian anak

murid Loning yang lain yang menentangnya, hingga terjadi huru-hara.

Dewi Yoni dengan dibantu oleh ayahnya Ki Gede Ayom memukul hancur perlawanan anak


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


murid Loning terutama adalah karena puteri demang itu memiliki senjata Pancaloka ditangannya.

Hal ini semua membuat Ki Cucut Kawung yang pada dasarnya berwatak berangasan menjadi

kalap, murka bukan buatan! Segera ia melakukan pengejaran kekademangan Moga.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

242

Kolektor E-Book

Agaknya Ki Gede Ayom bersama puterinya mencium bahaya itu. Dan mereka telah lebih

dahulu menyingkir, dan menyembunyikan diri kekadipaten! Itulah sebabnya maka guru Loning itu

lantas melakukan pengejaran kearah kadipaten. Dan diluar kadipaten, ia menemukan Bhre Yudha

yang sedang terancam bahaya maut.

Sebagai diketahui bahwa Bhre Yudha adalah seorang perajurit kadipaten yang setia, dan

merupakan seorang perajurit yang setia Mataram hingga ketulang sumsumnya. Telah sejak lama,

terjalin hubungan baik antara perajurit itu dengan beberapa tokoh yang setia pada kerajaan seperti

Ki Cucut Kawung, Mbah Pucung maupun Ki Ageng Tampar Angin.

Maka itu, begitu mendengar teguran Ki Cucut Kawung, Bhre Yudha segera mengetahui

bahwa sesuatu yang hebat pasti bakal terjadi di hutan Banjardawa.

Oleh karena itu maka bintara sandi itupun segera menghormat, untuk kemudian mencemplak

kudanya berlalu dengan cepat.

Seperginya perajurit kadipaten itulah, baru Ki Cucut Kawung mengarahkan pandangan

matanya kearah Kebo Sulung. Sambil tertawa berkakakan, kakek sakti itu berkata :

"Sudah terlambat bagimu Joko Sulung untuk mimpi tentang menjadi seorang pengagung

kadipaten. Kalau tidak salah perhitunganku, saat ini Paguyuban Banjardawa berada pada akhir

riwayatnya. Adi Tampar Angin dan kakang Pucung maupun sepasang pendekar Kenistan sedang

bersiap-siap mengadakan pembasmian di selat Pencuci Dosa. Sedangkan surat undangan kalian

terhadap kompeni di Semarang tidak mendapat sambutan sama sekali, kasihan. Terlebih-lebih.

Kanjeng adipati sendiri telah mengetahui adanya gerakan pemberontakanmu?" Mendadak pada

akhir kalimatnya Ki Cucut Kawung membentak dengan suaranya yang mengguntur seperti

halilintar membelah angkasa. "Bocah Biadab? Menyerah!"

Seumur hidup Joko Sulung atau Kebo Sulung telah mendengar maha guru Loning adalah

seorang guru sakti yang sangat termasyur ilmu goloknya yang tiada tandingan. Dan kenyataan kali

ini sekali kakek itu menggerakkan goloknya, senjata Batok Bumi ditangan penggawa muda itu telah

dibikin kutung tiga batang rantainya. Walaupun Kebo Sulung seorang pemuda bernyali singa

sekalipun, kali ini seketika telah pecah semangatnya.

Ketika Ki Cucut Kawung melancarkan bentaknya yang dilembari dengan pengerahan aji

?Gelap Ngampar? ibarat dapat meruntuhkan gunung, maka jantung Kebo Sulung seakan-akan

diguncang-guncang, dan kedua lututnya gemetaran.

Masih untung, Kebo Sulung mempunyai dasar watak yang sombong, sehingga niatnya untuk

melarikan diri alias kabur diurungkan sendiri. Lalu dengan suara dimantap-mantapkan ia menjawab.

"Orang mengenalku, sebagai Kebo Sulung. Kebo Sulung adalah abdi kinasih adipati! Ki

Cucut Kawung berani menghina diriku, sekarang juga ulurkan kedua tanganmu untuk kurangket!"

"Bagus!" Dengus Ki Cucut Kawung. "Memalukan sekali andaikata aku harus melawanmu

dengan kedua tanganku! Nah, kau mau ikat, ikatlah! Ini tanganku".

Seraya berkata demikian, Ki Cucut Kawung menyodorkan kedua tangannya kedepan, siap

untuk diborgol Kebo Sulung terkejut dan meragu.

Tidak mungkin itu hanya tipu muslihat belaka? Kebo Sulung belum bergerak, Ki Cucut

Kawung tertawa penuh ejekan.

"Pemuda yang patut dikasihani setelah perbuatanmu yang terkutuk dengan gurumu, kau

ulangi dengan ibu tirimu. Setelah itu kau melancarkan fitnah keji! Dan sekarang, kau hendak

melakukan kraman terhadap kerajaan dengan bantuan manusia-manusia bule itu?"

"Kasihan! Sudah tak ada tempatmu diatas bumi pertiwi ini, Sulung! Cepat kau menyerang,

kalau tidak aku takkan membuang-buang waktu lagi!"

"Tua bangka sombong!" Teriak Kebo Sulung seraya menubruk kedepan, menghantamkan

senjatanya kearah dada kakek itu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

243

Kolektor E-Book

Demikian cepatnya Batok Bumi itu meluncur kedepan, seakan sebentar lagi akan

memecahkan dada Ki Cucut Kawung.

Guru Loning itu tersentak, kaget, akan tetapi penuh kewaspadaan.

Diam-diam ia memuji juga, kegesitan gerak penggawa itu. Namun, Ki Cucut Kawung

memang bukanlah lawan Kebo Sulung. Seorang kakek sakti dengan kesempurnaan ilmu kanuragan

itu, takkan dapat dibikin kehabisan akal hanya oleh seorang pemuda yang baru gede kemarin.

Dengan gerakan melentur kebelakang seperti pimping ditebah angin atau dalam perguruan

Loning disebut ?Glagah katebah maruta? tubuh kakek itu melentur kebelakang menghindari

tubrukan senjata Batok Bumi.

Tidak lebih dari jarak satu dim, antara dada kakek itu dengan senjata Kebo Sulung, akan

tetapi penggawa muda itu tidak dapat melukainya. Bahkan kini ia terjerumus kedepan, terbawa oleh

tenaga serangannya sendiri.

Dan sebelum penggawa muda itu sadar apa yang akan terjadi, tahu-tahu kaki Ki Cucut

Kawung telah menyepak keras.

Tubuh Kebo Sulung melayang terlempar lebih tiga tombak jauh.

"Ha... ha... ha... aku takkan mempergunakan kedua tanganku, bocah! Jangan kuatir aku tua

bangka tidak akan mengingkari kata-kataku!" Kata Cucut Kawung seraya tertawa bangkit.

Tendangan kakek sakti itu tepat mengenai lambung kanan Kebo Sulung, dan pemuda itu kini

merasakan perutnya yang teraduk-aduk, seolah-olah isinya telah hancur.

Dengan susah payah Kebo Sulung merayap bangkit. Keringat sebesar biji jagung berbutiran

didahi dan keningnya. Pemuda itu kini berpikir kembali untuk mencari jalan untuk meloloskan diri.

Akan tetapi Ki Cucut Kawung seakan dapat menebak jitu jalan pikiran pemuda sambil melompat

maju berkata lantang :

"Percuma Sulung! Berlari mundur, dibelakangmu ada Ki Patih Rotokusumo dari Kadipaten.

Apakah kau sanggup menghadapinya? Hahaha......"

Dan benar saja, ketika Kebo Sulung menoleh kebelakang, terlihatlah olehnya seorang

pengagung kadipaten berdiri dengan sikap angker, sepasang tangannya bersedekap didada, akan

tetapi sepasang matanya yang tajam berapi seakan dapat menghanguskan dada Kebo Sulung.

Terhadap pengagung kadipaten yang itu, Kebo Sulung justeru paling jeri. Patih Rotokusumo,

adalah seorang pembesar kadipaten, orang kedua setelah Kanjeng adipati yang sikapnya keras dan

ilmu kesaktiannya sukar diukur tingginya. Dalam setiap kekalutan kadipaten, tidak pernah sang

Adipati turun tangan sendiri, akan tetapi adalah pembesar berpangkat patih itulah yang turun tangan

dengan tangan besinya.

Walaupun Kebo Sulung memiliki keangkuhan dan kesombongan, kali ini ia tampak gugup

dan panik, putus asa dan ketakutan.

Saat ini, Kebo Sulung benar-benar seperti celeng kepergok. Timbul tekadnya untuk mengadu

jiwa, atau setidak-tidaknya mencari kematian dengan cara yang lebih baik dari pada dipendam

dalam penjara. Terbayang di matanya, siksa kamar tikus dan anjing! Dengan tubuh menggigil, dan

mata beringas seperti serigala Kebo Sulung menerjang kedepan, menghantamkan senjata sekuat-

kuatnya kearah Ki Cucut Kawung.

"Ki Patih. Apakah demang Moga ayah dan anak itu telah dapat kau jinakkan?" Tanya Ki

Cucut Kawung dengan sikapnya yang penuh hormat akan tetapi wajar, tidak berlebihan.

Patih Rorokusumo mendengus.

Pada saat itu, serangan Kebo Sulung sedang meluncur datang, tetapi Ki Cucut Kawung justeru

sedang mengobrol seperti orang tidak tahu urusan. Dan tampaknya, sebagai juga tadi terjangan

Batok Bumi tampaknya akan segera mengenai sasaran.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

244

Kolektor E-Book

Namun, Patih Rotokusumo dalam keterkejutannya telah menggerakan dodotnya. Dodot

meluncur secepat anak panah, tahu-tahu telah melibat leher Kebo Sulung, mencekik dengan sangat

keras. Dan sebelum Batok Bumi itu sempat menyentuh kulit Cucut Kawung, maka penggawa muda

kadipaten itu telah terbanting dengan keras, tanpa sempat berteriak.

"Kau masih suka main-main, Kaki", tegur Ki Patih Rotokusumo setengah mendongkol

setengah tertawa.

Ki Cucut Kawung tertawa.

"Didepan seorang pengagung sepertimu mana aku berani jual lagak? Ternyata kau patih yang

lebih tepat mempergunakan nama Dodot Kawung, bukan aku!" Sahut Cucut Kawung masih juga

tertawa.

Ki Patih Rotokusumo menghela napas. Lalu dengan wajah sungguh-sungguh, berkata :

"Jangan terlalu banyak geguyon Kaki Cucut Kawung. Ayah dan anak demang Moga itu telah

meloloskan diri. Dan titah Sang Adipati, harap kalian para pini sepuh pesisir utara berhati-hati. Si

bule dari Semarangtelah mendatangkan bantuan dari Betawie, yang temtu akan melintasi kadipaten

kita. Besar sekali dugaan Sang Adipati, bahwa tindakan si bule itu disebut sambil berdiang nasi

masak. Mereka bermaksud melakukan penyerbuan ke Bangil, pusat kekuasaan Kanjeng Gusti

Untung Suropati, sekaligus juga meratakan segala gegumuk sepanjang perjalanan...".

Ki Cucut Kawung terdiam. Kakek sakti ini insyaf babwa dalam waktu tidak lama, tentu

barisan kompeni akan datang menyerang. Sedangkan di wewengkon kadipaten sendiri masih

terdapat satu golongan besar yang akan membantu, yaitu Paguyuban Banjardawa dengan para

sekutunya. Apabila hal ini sampai terjadi maka berarti kehancuran bagi kadipaten Pemalang,

termasuk juga ancaman besar bagi keagungan kekuasaan Bangil.

Sifat kepahlawanan kakek sakti itu berkobar, seakan minyak disentuh api. Dan dengan serta

merta, roman mukanya berubah garang.

Lalu dengan sikap angkuhnya yang asli, guru Loning itu berseru :

"Ki Patih, sebelum api besar datang, api kecil harus dipadamkan lebih dulu! Nah, urusanmu

ini, bocah jahanam ini! Aku... hahaha".

Belum habis bicara kakek itu, maka ia telah berlompatan pergi. Sebentar saja bayangannya

telah tampak sebagai sebuah titik hitam yang melenting-lenting diatas bebulak.

Ki Patih Rotokusumo menggeleng kepala, kagum dan mengerti. Dalam banyak hal, mereka

para kaum tetua, cukup dapat saling memahami. Ki Rotokusumo mengerti bahwa Ki Cucut Kawung

pasti sedang pergi untuk melakukan penghancuran terhadap Paguyuban Banjardawa. Api kecil yang

berada didaerab kadipaten ini memang harus dipadamkan lebih dulu sebelum api besar datang

melanda.

Demikianlah, selanjutnya pengagung kadipaten itu lantas meeingkus Kebo Sulung untuk

dibawa kekadipen guna mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Sementara itu, matahari telah condong kebarat, di atas pinggang gunung. Burung-burung laut

berseru-seru kembali kesarang, dan angin laut yang segar telah bertukar dengan angin darat yang

dingin.

oooOooo

BENAR-BENAR tusuk konde ?lintang kemukus? mempunyai perbawa yang besar dan aneh

bagi Paguyuban Banjardawa. Sejak benda pusaka itu berada di tangan Dewi Cundrik, maka tidak

satu orangpun diantara para undangan paguyuban yang mau berjauhan dari ratu Telagasona itu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

245

Kolektor E-Book


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mereka secara diam-diam bermaksud untuk memperebutkan benda itu, walaupun sebenarnya

mereka tidak tahu, untuk apa benda kecil semacam itu. Mereka hanya tahu bahwa pemilik tusuk

konde pusaka itu adalah orang yang berhak mewarisi sepasang pusaka Nyai Tanjung dan Kiai

Tanjung.

Begitulah mereka telah berubah menjadi sekawan ajag yang saling mengintai sesamanya,

mengintai sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu kegunaannya.

Nafsu serakah ingin menang sendiri, ingin pinunjul sendiri telah membayang pada muka

mereka masing-masing. Mereka yang semula berkumpul untuk suatu maksud, kini telah dibikin

terpecah belah oleh sesuatu yang tidak mereka sadari, yang justeru disengaja oleh Turonggo

Benawi. Dan sama sekali tidak terpikir oleh mereka, bahwa justeru kini mereka telah berada dalam

perangkap pertapa jurang raksasa yang lihay itu.

Mereka belum tiba dihutan Banjardawa. Akan tetapi Windupati yang merasa bahwa pihaknya

takkan mampu menghadapi satu paguyuban Banjardawa segera bermaksud untuk bertindak.

Dengan sekali mengerdipkan mata kearah Wigendro, maka Windupati telah melompat kehadapan

Dewi Cundrik sambil berseru menghadang :

"Tunggu! Kami orang Loning adalah orang yang biasa bicara dengan ketajaman golok..."

Yang lain, berlompatan ketepi sambil mendelik kaget kearah Windupati. Sedang Bala yang

memangnya belum puas bertarung melawan guru Loning itu, memotong bicara sambil bertindak

menghampiri.

"Mau apa ha? Dengan tusuk konde berada ditangan Dewi Cundrik, berarti benda itu aman

berada pada pihak Paguyuban Banjardawa. Kau bukan orang Paguyuban, kalau hendak pergi siapa

sudi melarangmu?"

"Segala cantrik busuk, ikut campur omong!" Windupati mendengus gusar. "Kita tentukan

dulu, siapa yang berhak memiliki benda itu! Apakah kau kira Dewi Cundrik tidak akan

menyerakahi benda itu seorang diri?"

Ucapan Windupati yang terakhir ini menimbulkan kesadaran pada mereka sekalian, kecuali

Ki Genikantar yang hakekatnya telah dapat membaca isi hati wanita itu.

"Betulkan kau akan menyerakahi benda itu, Cundrik?" Sri Naga Dumung menyeletuk.

"Heheh....." Catursuda tertawa sember.

JILID : 14

KAKEK bongkok lumpuh ini tidak kuatir benda itu akan dikuasai oleh Dewi Cundrik. Yang

ia kuatirkan apabila benda itu benar-benar terjatuh ditangan paguyuban, berarti sulit untuk dirampas

kembali. "Sebaiknya benda itu kau serahkan kepada manggalaning paguyuban, yaitu Genikantar,

bukankan begitu Cundrik?"

Tampaknya peringatan Catursuda ini mengandung maksud baik, akan tetapi justeru

didalamnya sembunyi suatu maksud yaitu menduga sampai dimana keakuran kedua sesepuh

paguyuban itu.

Dan nyatanya Dewi Cundrik keberatan untuk menyerahkan benda itu kepada Genikantar.

Bahkan dengan garangnya ia mendamperat Windupati.

"Segala orang tiada guna pentang mulut busuk didepan ketua paguyuban Banjardawa! Siapa

mengundangmu hadir dipaguyuban? Wigendro! Untuk apa anjing kikik ini kau bawa-bawa

kemari?".

Wigendro tertawa bengis, tetapi tidak mengatakan sesuatu. Sebaliknya dengan kemarahan

yang meluap-luap Windupati melangkah lebih maju, sebelah tangannya meraba gagang golok.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

246

Kolektor E-Book

"Banyak omongpun takkan ada gunanya! Mau serahkan tusuk konde itu atau tidak?"

Ancaman Windupati ini dibarengi dengan tarikan senjatanya, sehingga menimbulkan suara

berdesing nyaring.

Dewi Cundrik sebenarnya masih belum sehat benar.

Akibat perkelahiannya melawan Alap-alap Gunung Gajah masih terasa nyeri dalam dadanya.

Akan tetapi melihat tingkah laku Windupati yang demikian tidak memandang mata kepadanya,

kesombongannya sebagai orang wanita terkemuka terbangkit. Terlebih-lebih, demi Genikantar

ternyata sama sekali tidak nampak membelanya. Setidak-tidaknya, sebagai manggalaning

paguyuban, Ki Genikantar tidak seharusnya tinggal diam. Bukankah Genikantar telah melihat Dewi

Cundrik menderita luka-luka waktu melawan Pepriman?".

Sejak itu memang kebencian terhadap Genikantar semakin membesar. Dan mengingat

hubungannya dengan Sri Naga Dumung, sesungguhnya Dewi Cundrik berharap akan dapat bekerja

sama dengan raja penyamun itu.

"Dadu telah diserahkan." kata Dewi Cundrik. "Siapapun yang menghendaki tusuk konde tidak

terjatuh ketangan musuh boleh berpihak pada paguyuban Banjardawa.

Selesai berkata, Dewi Cundrik mengebaskan kedua tangannya kesamping. Serangkum hawa

panas yang menyiarkan bau busuk terurai kesekitarnya.

Rambut wanita itu berkibar, bergerak seakan menjadi lembaran yang kaku. Dan dengan mata

yang beringas, wanita itu memekik sambil melontarkan serangan.

Nyata sekali bahwa wanita beracun itu bermaksud untuk membunuh lawannya. Racun pacet-

wulung yang terkenal keji dan ganas itu, tampak menghitam pada ujung kuku-kukunya.

"Mampus!"

Mulutnya baru berseru, akan tetapi serangan kuku jari wanita itu telah berkelebatan

menyambar-nyambar kearah lawannya.

Windupati menyadari bahwa lawannya adalah seorang wanita iblis yang sifatnya sangat

terlengas dan keji. Racun pacet-wulung yang tersembunyi dibalik kukunya justeru lebih berbahaya

dari pada pukulan ataupun tendangannya. Maka Windupati bertindak sangat hati-hati.

Terjangan Dewi Cundrik disambutnya dengan sabetan goloknya yang memapas siku wanita

itu. Golok menyambar sebagai kilatan cahaya belaka cepatnya. Namun Dewi Cundrik sudah

menduga hal itu, dan buru-buru ia merubah gerakannya, dari menerkam jadi menyentil.

Sss....ss...sss.... tiga butir sinar hitam menyambar kemuka Windupati, dari bawah tuku Dewi

Cundrik, Windupati terkejut, segera ia menggerakkan goloknya keatas, menyampok. Tiga butir

sinar hitam itu tersampok dan pecah. Bau busuk segera menerjang dengan hebatnya. Tidak hanya

Windupati, tetapi semua yang berada disekitarnya berlompatan menjauh.

Bau busuk dari racun itu cukup untuk membuat orang-orang yang tidak kuat tenaga batinnya

akan mabuk dan pening.

"Hihihik...." cuma segitu, ilmu golok yang diagul-agulkan orang. Cuma omong kosong

belaka"

Dewi Cundrik tertawa penuh ejekan. Dan ketika ia menggoyangkan kepalanya, maka

lembaran-lembaran rambut kepalanya menyambar datang mengejar kearah Windupati.

Windupati bertambah gugup! Cepat sekali ia menebaskan goloknya untuk menguntungi

rambut orang. Sedangkan tangannya yang lain diulurkan untuk mencengkeram kepungan lawan.

Hal inilah sebenarnya yang ditunggu-tunggu oleh Dewi Cundrik, begitu serangan tangan

Windupati datang. Dewi Cundrik miringkan badannya seraya dengan sangat cepat kedua tangannya

bekerja, untuk menyambuti serangan tangan dan golok.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

247

Kolektor E-Book

Tangan kanan Dewi Cundrik mencakar kearah lengan kiri Windupati, sedangkan tangan kiri

wanita itu dengan cepat hendak merampas golok.

"Awas Cundrik?" Sri Naga Dumung berseru memperingatkan dan segera dia melompat maju,

memerjang Wigendro yang sedang mengulurkan tangan hendak merampas tusuk konde dari

pinggang Dewi Cundrik.

Dalam kejutnya itu, Dewi Cundrik memutar tangan kirinya kebelakang, menghantam kearah

Wigendro, yang sedang membongkong. Andaikata tidak demikian agaknya Windupati telah kena

dicelakai.

Akibatnya, serangan Dewi Cundrik terhadap Windupati batal, demikian pula, sabetan golok

kedua guru Loning itu menceng kebawah, dan hanya menyerempet beberapa lembar rambut wanita

itu.

Dalam dua gebrakan ini, tampaknya ilmu golok Loning tidak berdaya menghadapi Dewi

Cundrik. Hal itu disebabkan oleh karena Windupati tidak dapat memusatkan perhatiannya.

Ia bingung, memikir bahwa dipihaknya hanya ada dia dan Wigendro, sedangkan pihak lain

terdiri dari sekian banyak tokoh kosen.

Dan kenyataan pula, bahwa Wigendro sendiripun tampaknya tidak tulus membantu, jelas dari

tindakannya merampas tusuk konde, sedangkan waktu itu Windupati berada dalam ancaman

bahaya.

Ilmu golok Loning boleh lihai dan termashur, akan tetapi bila dimainkan dengan perhatian

yang terpecah tak mungkin tampak kedahsyatannya.

"Manusia licik!" Bentak Dewi Cundrik seraya hendak menyerang Wigendro lebib lanjut.

Akan tetapi demi melihat Sri Naga Dumung telah turun tangan, Dewi Cundrik lantas mendesak

Windupati kembali.

Sementara dua pasang orang kosen itu sedang bertarung dengan seru, maka yang lain

menonton dipinggiran dengan tenang-tenang, seakan-akan mereka sedang menonton pertunjukkan

yang mengasyikkan.

Dewi Cundrik tetap berada diatas angin, karena Windupati jeri terhadap ancaman racun iblis

wanita itu. Sebaliknya, Wigendro dengan permainan sepasang tongkatnya dapat menandingi

permainan Naga Dumung. Bahkan dalam hal kegesitan, tampaknya Wigendro yang walaupun

mempunyai cacad sebelah kakinya, justeru dapat memberikan tekanan dengan baik.

Dala waktu bertarung. Wigendro selalu mempergunakan sebelah kaki kirinya untuk menjadi

pangkal gerakan, sedangkan kaki kanannya hanya merupakan alat keseimbangan belaka, bahkan

kadang-kadang membingungkan lawan.

Loncatan-loncatan Wigendro sangat cepat, dan sulit diduga arah yang dimaksud.

Kaki kiri yang merupakan poros itu, selalu melompat-lompat, sedangkan tubuhnya

bergoyang-goyang selalu, kedepan atau kebelakang, atau terkadang tahu-tahu melancarkan

serangan.

Itulah sebuah ilmu kecepatan gerak yang disebut ?sangga buana? yang merupakan ilmu gerak

kilat yang tersendiri, yang hanya memiliki sebelah kaki yang sempurna.

Semua gerakan Wigendro tersebut adalah gerakan buana atau jagat yang bergerak,

kemanapun orang sulit menduganya. Sedangkan pukulan-pukulan kedua tangannya yang besar dan

panjang itu, bertenaga sangat hebat dan kuat.

Pada hakekatnya, senjata kipas adalah senjata yang akan menjadi ampuh apabila senjata

ringan itu dimainkan oleh orang yang memiliki kecepatan gerak yang unggul. Justeru dalam hal ini,

Naga Dumung harus mengakui keunggulan lawannya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

248

Kolektor E-Book

Pertarungan keempat orang itu semakin seru. Dan ketiga orang yang lain yang menonton

semakin asyik menonton. Mendadak sekali, Catursuda bertepuk tangan sambil berseru-seru :

"Hentikan! Hentikan! Tak ada gunanya...he heh..." Dan kakek bongkok itu masih juga

bertepuk tangan ketika ia menyuruh Bala bergerak maju, mendekati yang sedang bertarung.

"Heatikan! Hentikan! Tak ada artinya..." Seru Catursuda pula. Dan sekalian yang sedang

pertarung itu takkan mengubris seruan kakek bongkok itu, andaikata tidak segera terjadi sesuatu.

Secara tak terduga, keempat orang yang sedang bertarung itu berlompatan mundur saling

menjauhi, sambil kemudian mereka menggaruk-garuk tubuh sendiri seraya berteriak-teriak. Tidak


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


juga terkecuali, Ki Genikantar berlompatan sambil berseru-seru :

"Apa yang kau lakukan Catursuda!"

Catursuda tertawa terkekeh. Lalu dengan mata menyinarkan nafsu pembunuhan, kakek

bongkok itu berkata dengan nada seperti menyanyi :

".....golok menjadi majal karena akal

yang pinter jadi keblinger

tak ada yang lebih tinggi dari langit

bila terjadi topan dan badai

anak kecillah yang bisa menyanyi....."

Dalam mengucapkan kata-katanya yang mirip nyanyian itu, Catursuda menepuk-nepukkan

tangannya. Dan terlihat uap tipis yang mengepul-ngepul dari tepukannya itu. Uap itu berwarna

kelabu, terbawa angin menyebar memenuhi sekitar tempat itu.

Semuanya yang berada disitu melihat kerjanya uap itu, menjalar perlahan-lahan diantara

mereka. Dan mereka menyadari bahwa Catursuda sedang melancarkan serangan yang sangat keji.

Akan tetapi mereka tak dapat berbuat sesuatu apa kecuali menggaruk-garuk sekujur tubuhnya,

hingga seluruh kulitnya lecet berdarah.

Rasa gatal adalah perasaan yang sama bagi setiap orang, tidak perduli dia tokoh kosen

ataupun iblis yang kejam dan telengas. Kedua sesepuh paguyuban Banjardawa itu seakan-akan telah

menjadi sepasang monyet yang peringas-peringis mengerikan. Sebaliknya Naga Dumung,

Wigendro dan Windupati berguling-guling menggosok-gosokkan tubuhnya ketanah. Seluruh muka

dada dan kaki tangannya berjalur-jalur merah berdarah.

Di antara korban gatal itu, Ki Genikantar yang memiliki tenaga batiniah paling tinggi diantara

mereka, sedikit-sedikit dapat menahan perasaan dan dengan mengeraskan hati sampai tubuhnya

menggigil berusaha menyerang Catursuda.

Akan tetapi, baru saja ia hendak menghantamkan tangannya dari dalam lengan baju Catursuda

menghembus angin kecil berwarna kelabu yang tebal. Seketika Genikantar tak mampu berdiri,

tubuhnya terjungkel roboh untuk kemudian jejingkrakan dan garuk sekuatnya sambil kaok-kaokan.

"Catursuda... oh... Catursuda... ampuni aku...." Yang paling menyedihkan adalah Dewi

Cundrik. Dia seorang wanita. Pakaiannya robek oleh cakaran kuku jarinya sendiri. Dan seluruh kulit

tubuhnya yang luka bekas cakaran sendiri, tampak menghitam biru, akibat kerja racun pacet wulung

sendiri yang menyerang badan sendiri.

Sebenarnya korban-korban yang lain juga bermaksud untuk meminta ampun pula, akan tetapi

mereka adalah orang-orang kosen yang berwatak angkuh. Mereka lebih baik mati dari pada

meminta ampun kepada lawannya.

Namun begitu, nasibnya sungguh mengenaskan, mereka ?tugas? terus menggaruki sekujur

badannya.

Matahari sedang naik tinggi kepusat langit. Rasa panasnya yang terik menggigit membuat

sekalian korban gatal itu semakin sengsara, karena panas dan keringatnya membuat rasa gatalnya

semakin menghebat.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

249

Kolektor E-Book

"Agung Catursuda... Agung... hihih... hihihih...." mengenaskan dan makin mengerikan

keadaan Dewi Cundrik. "Ampunkan aku, ampunkan orang-orang Guha Gempol....

hihihih....Tidakkah kau tahu.... hihihih.... bahwa mereka akan menjadi menderita sekali... hihihi....

karena keadaankuuuu...."

Catursuda mendengar rintihan itu, dan ia hendak tertawa, tetapi juga setengah kecewa.

Dengan serta merta ia membentak :

"Bala! Apakah kau sudah tak betah membujang?"

Kiranya Catursuda berseru demikian, karena ia merasakan bahwa secara perlahan-lahan

cantriknya membawa dia bergerak maju setindak demi setindak menghampiri wanita iblis itu. Dan

sebagai orang yang telah banyak umurnya, dapat segera membaca arti perbuatan cantriknya itu.

"Kasihan dia, sahut Bala dengan suara tersendat-sendat.

Selama hidupnya hingga kini berusia lima puluhan tahun ini, Bala selalu tekun melayani

gurunya, sesembahannya, dipertapaan puncak gunung Slamet yang sunyi dan terasing.

Selama itu pula, pergaulannya dengan dunia luar seakan tertutup sama sekali. Mereka sekali-

kali pernah turun kedunia ramai, itupun tidak terjadi dua tahun sekali, hanya menimbulkan bencana

ataupun malapetaka terhadap manusia.

Catursuda adalah ibarat iblis bertubuh manusia. Keinginannya membunuh, membasmi dan

merusak dunia telah demikian berkarat pada hatinya. Ia tidak mengenal cinta. Hidupnya

dikendalikan oleh perasaan nikmatnya bila ia menyaksikan orang yang sedang meregang nyawa

menghadapi kematian.

Kalaupun Catursuda pernah memanfaatkan wanita dalam hidupnya, maka adalah wanita

itulah kiranya yang akan bernasib paling malang diatas dunia ini, wanita itu akan menemui nasib

mati gila akibat kerja racun kakek iblis ini.

Wanita yang pernah terjatuh ketangan kakek ini, selalu akan menderita nafsu birahi yang

berkobar seperti setan ganjen. Dan ia akan mengejar-ngejar Catursuda terus menerus.

Sedangkan Catursuda sendiri, sesungguhnya tidak memiliki kemampuan walaupun sedikit,

untuk mengabulkan hasrat wanita korbannya itu. Hingga akhirnya wanita-wanita korban itu akan

terbinasa dipanggang oleh birahinya sendiri.

Dapatlah dibayangkan, betapa seseorang menemui ajalnya dibawah siksaan yang demikan.

Kesan-kesan seperti ini, mengendap dalam hati Bala selaku satu-satunya orang selain Catursuda

yang pernah menyaksikan kejadian-kejadian seperti itu.

Dan, Bala adalah manusia biasa. Ia terdiri dari darah dan daging, berperasaan dan berpikiran,

berkemauan. Kehidupan menyendiri, sunyi dan terasing dipuncak gunung terasa sangat menyiksa

dirinya. Namun ia tak pernah mengutarakan maksudnya itu, karena ia takut! Takut Catursuda akan

menjatuhkan hukuman yang tidak dapar dibayangkan betapa kejamnya siksaan guru itu nanti.

Sekian lamanya, hati Bala dibiarkan membatu, beku, seakan-akan terlukis pada mukanya

yang selalu dingin tanpa penasaran. Akan tetapi sekarang melihat Dewi Cundrik tersiksa di antara

sekian banyak laki-laki yang berada disampingnya! hati Bala seakan tersentuh. Keadaan jasmani

Dewi Cundrik menimbulkan arti lain dalam diri cantrik itu. Setidak-tidaknya, Dewi Cundrik adalah

seorang wanita cantik, dan kecantikan wanita itulah yang telah secara perlahan-lahan mencairkan

hati cantrik itu. Saat itu justeru Dewi Cundrik sedang menggaruk-garuknya sekujur kakinya yang

putih dan mulus.

"Guru......" Bala berkata terputus akan tetapi cukup dimengerti oleh Catursuda.

Selama hidupnya, hampir tak pernah Bala mengajukan suatu permohonan apapun kepada

guru itu, maka Catursuda cepat dapat memahami maksudnya.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

250

Kolektor E-Book

"Mulai kapan kau menjadi lemah cengeng seperti ini, Bala!" Catursuda membentak sambil

berjingkrak.

"Kasihan, mahaguru..."

"Kasihan? Kasihan?" Mata Catursuda yang biasanya riyep-riyep setengah mengantuk, kini

terbelalak lebar seperti orang takjub. "Mengapa kasihan? Mengapa kau begini cengeng, Bala!"

Sementara itu, Bala masih bertindak maju, setapak demi setapak mendekati Dewi Cundrik

yang masih kekoseran merintih-rintih.

"Dia juga termakan oleh racun sendiri..." kata Bala menjelaskan perasaannya.

"Bodoh! Itu hanya luka kulit saja. Mana bisa tukang racun terkena racun sendiri! Ayo ambil

tusuk konde itu! Mari kita pergi!".

Dengan mudah Bala mengambil tusuk konde tersebut dari pinggang Dewi Cundrik. Akan

tetapi pada saat itu terdengar rintihan wanita itu :

"Bala... apakah kau tidak menginginkan kehidupan sebagai seorang rajaaa... di guha

gempoooooll... hihihih... masakah... oh... hendak selama hidupp... menjadi cantrikkk...?".

Bala tersentak. Sungguh mimpipun tidak, bahwa ada serupa tawaran yang demikian hebat

mengejutkan. Dari kehidupan seorang begundal, cantrik yang hina dina, menjadi seorang raja,

dengan seorang permaisuri seorang wanita cantik sebagai Dewi Cundrik. Walaupun Bala berhati

batu sekalipun saat itu takkan mungkin dapat bertahan lebih lama. Dan cantrik itu berdiri kaku,

termangu-mangu.

"Bala! Bala! Kau gila! Ayo jalan!" Teriak Catursuda. Sebelah tangan kakek itu terangkat, siap

untuk ditamparkan kebatok kepala si cantrik, akan tetapi tangan itu segera turun kembali dengan

lemah.

Membunuh Bala, terlalu mudah bagi Catursuda. Akan tetapi kakek bongkok yang lumpuh itu

cepat teringat dirinya sendiri.

Bila Bala sampai terbunuh, sama halnya ia akan kehilangan sepasang kakinya. Dan hal itu

tentu saja mengerikan bagi Catursuda sendiri.

"Harap guru sudi mengasihani wanita itu.....", sahut Bala.

"Bala! Kau hendak menentang perintahku? Bala?"

"Untuk sekali ini guru.....", dan Bala tersedu-sedu menangis, memang bukanlah keliputan

yang dibuat-buat menyaksikan seorang wanita cantik sebagai Dewi Cundrik yang kukar-kukur

seperti monyet dengan mulut meringis-ringis, sedangkan darah ditubuhnya mengalir menetes-netes.

Catursuda mendengus dingin. Dimulutnya tersungging senyum bengis. Lalu dari dalam

kantong jubahnya dikeluarkan sebuah peles kecil, dimana didalamnya terdapat pil-pil kecil

berwarna hijau.

Diambilnya sebutir kemudian diberikannya kepada cantriknya.

"Berikan dia minum!" perintahnya.

Bala hendak menerima pil itu tetapi sejenak tertegun. Katanya :

"Bukankah harus tiga biji, baru orang akan sembuh guru?".

Catursuda hanya tertawa aneh. Dan Bala bergidik ngeri. Bila ia mendengar tawa gurunya

yang demikian berarti sang guru akan melakukan suatu kekejaman. Dan Bala tak berani membantah

lagi. Diterimanya pil hijau itu kemudian diberikannya kepada Dewi Cundrik.

Bukan main gopohnya Dewi Cundrik menerima pemberian itu, yang segera tanpa pikir lagi

ditelannya bulat-bulat.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

251

Kolektor E-Book

Pada saat Dewi Cundrik menelan pil itu, maka terdengar suara lengkingan yang menyayat.

Dan tampaklah tubuh Wigendro meregang hebat, lengan dan kakinya menyentak-nyentak untuk

kemudian nyawanya putus. Dari leher jago Sindanglaut itu tampak mengalir darah kental seperti

mata air. dimana disitu tampak menancap sebatang paku besi ambles hingga kekepalanya.

Bala menghela napas. Dia sadar bahwa gurunya yang telah menurunkan tangan keji,

Catursuda tak pernah memaafkan orang. Sekali ia memaafkan orang lain, maka ia haruslah

membunuh satu orang pula sebagai gantinya.

Rupanya pilihan itu jatuh pada Wigendro, si timpang dari barat itu. Catursuda tahu, bahwa

diantara sekian banyak orang-orang yang berada disekitarnya itu adalah Wigendro yang paling

berbahaya.

Kecuali jago Sindanglaut itu memiliki tenaga yang paling besar, juga ia merupakan orang

yang paling licik, dan sangat membahayakan bila ia dibiarkan hidup.

"Sekarang jalan Bala!"

"Pulang guru?" Tanya Bala.

"Hmm.. ke istana Guha Gempol?"


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Bala terdiam. Sementara itu, Genikantar dan yang lain-lain, demi melihat nasib Wigendro

yang demikian, bukannya takut, akan tetapi dengan kalap mereka berseru-seru sambil berusaha

untuk menerjang kearah Catursuda.

"Kalau punya kemampuan..... heheh... bunuh aku Catursuda!" Teriak Genikantar.

"Setan tua bangka, bunuh aku cepat!" Sri Naga Dumung merangsek maju.

"Jangan hina aku, tua bangka jompo... hhh... bunuh aku!" Dan Windupati menggeliat-geliat

seperti cacing kepanasan.

Tetapi Catursuda hanya tertawa hahabehe memperhatikan kesengsaraan mereka itu dengan

sinar mata gembira. Lalu ditepuk punggungnya Bala, sambil berseru gugup. "Cepat!"

Bala tidak membantah. Hanya saja sebelah tangannya dipergunakan untuk membimbing Dewi

Cundrik yang tampak sangat lemah.

"Cepat! Kau mau mati?" Bentak Catursuda seraya menepuk punggung Bala lebih keras lagi.

Bala terhuyung kedepan, dan Dewi Cundrikpun ikut terseret maju.

Sebenarnya Dewi Cundrik belum sembuh benar. Hanya keadaannya kini agak lebih baik.

Rasa gatalnya berkurang juga panas dan perih yang terasa seperti digigit ribuan semut api kini

berkurang pula.

Melihat kegugupan Catursuda, Dewi Cundrik yang cerdik itu menyadari bahwa pastilah ada

sesuatu. Manusia sebagai Catursuda yang boleh di kata tak gentar pada langit tak takut pada bumi,

mana pernah menjadi gugup, kalau tidak menginsafi adanya sesuatu yang berbahaya.

Dan Catursuda bersama cantriknya dan Dewi Cundrik telah menghilang kedalam hutan.

Genikantar dan kedua orang senasib yang lain, agaknya juga menyadari adanya bahaya yang lebih

besar. Mereka berusaha bangkit dan berlari, akan tetapi dengan susah payah mereka jatuh bangun

untuk kemudian menggaruk-garuk badan sekuat-kuatnya.

Demikianlah keduanya jungkar jungkir sambil merayap lari atau pontang panting garuk sana

garuk sini sambil merintih-rintih, akan tetapi tidak lupa bergerak untuk menyembunyikan diri.

Sayup-sayup dari arah lembah, mereka mendengar suara lengkingan yang sangat tinggi dan

nyaring yang bergerak mendekati mereka. Jarak antara suara dengan tempat ketiganya itu berada,

takkan kurang dari seribuan tombak. Tetapi lengkingan itu terdengar begitu nyaring, seakan

kadang-kadang mendekat kadang menjauh, dan menggetarkan isi dada.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

252

Kolektor E-Book

Tiba-tiba Naga Dumung tertawa merintih.

"Dalam keadaanmu seperti ini, kau masih takut mati, Genikantar?"

"Huh Genikantar mendengus. Tetapi ia tidak menyangkal pendapat penyamun itu. Mati

kegatelan bagi seorang guru sebagai dia, dialah jauh lebih hina dari pada mati di tangan musuh yang

sakti.

Dan kini secara serempak, seakan-akan mereka dikomando, mereka tidak melanjutkan

maksudnya untuk menyembunyikan diri. Mereka hanya kekoseran garuk sana garuk sini,

ditempatnya masing-masing.

Apabila suara lengkingan itu akhirnya lenyap, maka ketiga orang hitam berdiri kaku dengan

rambut yang warna keemasan berkibar-kibar ditiup angin.

Andaikata saat itu adalah malam hari, tentu mereka akan menganggap bahwa wanita itu

adalah sejenis setan atau peri gentayangan. Namun saat ini mereka melihat nyata, bahwa wanita itu

benar-benar adalah manusia biasa, hanya beda pada kulit, rambut dan matanya belaka.

"Hmm... kutukan Catursuda berlaku atas dirimu..." wanita berjubah hitam itu berkata dengan

suara bernada dingin meremangkan bulu roma.

Genikantar tampak hendak mengatakan sesuatu, akan tetapi ia ragu-ragu, dan wanita itu telah

mendahului.

"Kau Genikantar, apa kesalahanmu sampai kalian menderita kena racun ?rawe menjangan?

itu?".

Genikantar tersentak kaget. Ia heran, wanita itu ternyata mengenal dirinya. Sedangkan ia

sendiri telah beberapa saat berusaha mengenali orang itu ternyata tidak bisa.

Akhirnya Genikantar melonjak gembira bercampur cemas. Katanya :

"Apakah kau Dewi Manik? Oh, Dewi tolonglah aku..." Dan guru Bantarkawung itu tanpa

malu-malu merayap mendekati wanita berjubah itu dengan sikap penuh harap.

Memang wanita berjubah ini adalah Dewi Manik. Genikantar walaupun seumur hidupnya

belum pernah berjumpa dengan wanita itu, akan tetapi dimasa mudanya ia sering mendengar dari

cerita kalangan rimba persilatan, bahwa didaerah pesisir utara ini pernah hidup seorang wanita

keturunan orang Belanda yang kini memiliki ilmu kesaktian yang boleh disejajarkan dengan

Turonggo Benawi ataupun Dewi Gandri nenek Dewi Cundrik.

Nama Turonggo Benawi terdengar terus hingga kini, karena memang tokoh petualangan itu

masih sering muncul dikalangan persilatan. Dan tentang Dewi Gandri semua orang telah mendengar

bahwa wanita siluman itu telah meninggal dunia. Sebaliknya mengenai Dewi Manik, atau nama

kecilnya Roro Manik dikabarkan telah hilang tidak ketahuan rimbanya.

Dan kini melihat seorang wanita berkulit putih yang memiliki gerakan seperti malaikat,

muncul begitu cepat seperti kecepatan bayangan, siapa lagi kalau bukan Dewi Manik?

Dewi Manik mengangguk-angguk. Lalu tangannya menggapai kebelakang. Seketika dari arah

gerombolan bermunculan tiga sosok bayangan yang bergerak sangat cepat pula. Mereka adalah

Pepriman, Cunduk Puteri dan Sogaklenting.

Begitu ketiganya datang, maka Dewi Manik berkata halus.

"Marilah kita belajar memaafkan orang lain, cucu-cucuku... Berikanlah obat ini kepada

mereka..."

Sambil berkata demikian, maka di tangan wanita itu tergenggam sebuah kantong kecil

berwarna biru, dari dalamnya dijumput sebuah obat pulung sebesar ibu jari yang berwarna kehijau-

hijauan, yang segera diulurkan kearah Cunduk Puteri sambil berkata :Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

253

Kolektor E-Book

"Dengan obat jamur angin ini, keganasan racun rawe menjangan dapat dihentikan tetapi tidak

ditawarkan sama sekali. Korban-korban rawe menjangan tidak bisa sembuh dengan obat ini, akan

tetapi agak lumayan sebab daya kerja racun itu dapat ditahan".

"Kalian tahu, bahwa racun rawe menjangan sebenarnya bukan hanya berakibat gatal-gatal

belaka?"

Tidak seorangpun menjawab, sebab tak ada seorang pun diantara mereka yang mengetahui

keganasan racun Catursuda itu.

"Tujuh hari setelah racun rawe menjangan menjalar bersama darah, maka manusia akan

menderita lebih sehebat lagi, yaitu lumpuh, atau gila, atau setengah mati!"

Bergidig orang mendengarnya, terutama adalah ketiga orang korban itu. Anehnya, ketiga

orang korban racun itu, kini tidak lagi sibuk menggaruk-garuk seperti munyuk tetapi hanya ingsat-

ingsut seperti gadis malu.

Rupanya terbawa sinar mata yang memancar dari sepasang mata wanita itu begitu ampuh,

sehingga sebelum obat diberikan, mereka seakan-akan telah menjadi sembuh.

Obat yang sebenarnya buat racun rawe menjangan, adalah jamur hati naga, kabarnya benda-

benda itu terdapat hanya dipuncak gunung Slamet. Kukira tempo seminggu itu, dapatlah mereka

pergunakan untuk mencari obat itu kesana, itupun tak dapar diyakinkan apakah benda itu dapat

ditemukan atau tidak. Tetapi... Genikantar, kemanakah Dewi Cundrik?"

Sejak tadi memang Dewi Manik mencari-cari cucu lawannya itu, wanita yang memiliki racun

pacet-wulung.

Saat itu Dewi Manik telah siap dengan obat penawar racun itu, hingga timbul keinginannya

untuk mencobanya. Akan tetapi wanita yang dicarinya tidak tampak ditempat itu.

"Mereka pergi... Dewi.... ke Guha Gempol", sahut Genikantar.

"Bagus. Mereka? Dengan Catursuda kesana?" Tanya Dewi Manik pula.

Ketiga korban racun rawe menjangan mengangguk serempak.

"Bagus. Itulah lebih baik. Cunduk Puteri, berikan obat itu ketubuh mereka. Mereka masih ada

waktu untuk mengejar Catursuda. Tidak boleh tidak, orang tua itu pasti membawa obat jamur hati

naga. Bukankah begitu Genikantar?"

Tentu saja bukan main gembiranya ketiga korban racun itu. Seketika mereka tertawa-tawa.

Lupa bahwa sebenarnya racun itu masih mengendap ditubuh mereka.

Cunduk Puteri segera mencari tiga buah tempurung. Lalu obat itu dibagi tiga, dan diaduk

dengan air, untuk kemudian diserahkan kepada mereka satu demi satu.

Ketika tiba pada gilirannya Windupati, seketika tangan Cunduk Puteri menggigil hebat.

Matanya memancarkan sinar berapi. Lalu dengan teriakan nyaring dara itu telah menghantam batok

obat itu kedada Windupati.

Windupati tersungkur, melolong kesakitan. Dari dadanya menyembur darah, tumpah

kemulutnya. Dalam gugupnya ia telah membalikkan tubuh dan menyabet dengan goloknya.

Golok mendesing, akan tetapi Cunduk Puteri dengan gerakan seperti orang menari, tahu-tahu

telah pindah tempat. Hebat sekali, gerakan dara itu seakan membiasnya bayangan sinar belaka,

walaupun sabetan golok itu seakan mengenai tubuh, akan tetapi tahu-tahu golok itu hanya menabas

angin.

"Binatang melata! Mana Sogapati, diapun harus mampus!" Jerit Cunduk Puteri seraya

tangannya bergerak kedepan, seperti menangkap sesuatu. Anehnya Windupati melihat tangan dara

itu telah berubah menjadi lima buah, dan tangkapan dara itu tak dapat di hindarkan lagi. Terdengar

suara daging direnggut, maka dada kanan guru Loning yang kedua itu grohak berdarah.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

254

Kolektor E-Book

"Cunduk Puteri. Kau mencari Sogapati? Dia disini! Terdengar Sogaklenting berseru lantang.

Cantrik bermuka lorek itu telah menerjang maju, membacokkan goloknya kearah kepala Windupati.

Benar-benar mengerikan keadaan Windupati saat itu. Seluruh tubuhnya mengalir darah,

terutama dari dagingnya yang somplak didada, darah mengucur seperti mata air. Dibacok oleh

Sogapati, Windupati tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu, Cunduk Puteri dengan nafsu seperti

serigala melihat mangsanya, mencengkeram dengan tangan kanannya kearah ulu hati Windupati.

Dalam kesempatan yang sangat kritis itu, Windupati hanya dapat mengrerakkan goloknya,

menangkis golok Sogaklentimg untuk kemudian digerakkan memutar membabat kearah lengan

Cunduk Puteri.

Akan tetapi lacur. Sogaklenting yang mendendam dendam sedalam lautan telah mengerahkan

seluruh tenaganya pada ujung golok, sedangkan Windupati saat itu dalam keadaan menderita luka

hebat, tenaganyapun telah sangat berkurang.

Tangkisan golok terhadap bacokan Sogaklenting hanya mengakibatkan golok lawan bergeser

menceng, tetapi masih sempat mampir kepundaknya sedangkan sabetan golok terhadap Cunduk

Puteri sama sekali tidak dapat dilakukan karena terkaman jari tangan dara itu telah amblas kedalam

ulu hatinya.

Terdengar suara daging terobek, disusul suara pekikan yang menyayat dari Windupati. Laki-

laki kosen itu menggelepar roboh, jatuh bergulingan.

Sepasang matanya terbuka lebar memancarkan sinar mata penasaran. Tetapi dalam keadaan

diakhir hayatnya ini, Windupati masih mampu memerankan dirinya sebagai orang kosen dari

Loning.

Tangan kirinya, dengan telapakan tangan terbuka menghantam kedepan dengan tenaga

terakhir.

Sogaklenting yang berada dihadapannya, telak-telak dadanya terhajar pukulan, jatuh


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


terjengkang dengan mulut menyemburkan darah.

Semuanya itu terjadi demikain cepatnya sehingga Dewi Manik yang sama sekali tidak

menduga hal itu, termangu-mangu dia. Tak pernah mimpi wanita itu, bahwa Cunduk Puteri yang

sikapnya manis dan lembut itu ternyata memiliki kebuasan yang memiliki seekor singa betina.

Dara itu dengan tangan kanan berlumuran darah Windupati, berjalan perlahan-lahan, dengan

sinar mata beringas mendekati Sogaklenting yang saat itu sedang mengerang setengah pingsan.

Ketika Cunduk Puteri hendak menikamkan kelima jarinya kedada cantrik bermuka buruk itu

maka Pepriman telah mencegahnya. Tangan pemuda itu menyambar cepat seraya berseru.

"Cukup. Cunduk! Tak perlu mengumbar hawa nafsu..."

"Cucuku," sahut Dewi Manik. "Menurutkan dendam sama dengan melakukan suatu dosa

yang baru! Sabarlah?"

Dan wanita itu telah melompat, menotok punggung dara itu dengan cepat, sesaat kemudian

dara itupun terjatuh lemas.

Beberapa saat Dewi Manik terdiam, dan guru terheran. Namun sebagai perbawanya seorang

tokoh sakti yang tidak akan kurang arif dan bijaksananya dengan segera mengerti duduknya

.persoalan. Ia teringat akan keadaan Cunduk Puteri waktu baru pertarna kali ditemukan olehnya.

Gadis itu dalam keadaan ternoda.

Menurut penuturan dara itu yang menyebut-nyebut nama perguruan Loning, Windupati dan

Sogapati agaknya adalah orang-orang itu yang dimaksudkan.

Dendam kehormatan seorang dara, sulit dicari obatnya. Mungkin manusianya Cunduk Puteri

dapat memaafkan, akan tetapi kehormatan dan adanya benih manusia didalam perut dara itu,

mungkinkah dapat melupakannya?Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

255

Kolektor E-Book

"Mengapa kalian tidak segera berangkat?" Dewi Manik membentak, dan kedua orang yang

dimaksudkan, Sri Naga Dumung dan Genikantar terlonjak kaget. Buru-buru keduanya memberi

hormat dengan penuh takut-takut, untuk kemudian berlalu dengan cepat untuk mengejar ke Istana

Telagasona.

Sore itu, Pepriman mengubur dua jenazah, jenazah Wigendro dan Windupati dua orang kakak

beradik yang terbinasa akibat risiko perbuatannya masing-masing.

Setelah melakukan pertolongan beberapa saat, maka Dewi Manik dapat menyadarkan

Sogaklenting, maupun memunahkan totokan pada Cunduk Puteri.

Lalu dengan hati mengandung kedukaan, wanita tua itu membawa pengiring-pengiringnya

berteduh dibawah pohon.

Serta merta mereka mengambil tempat duduk, Dewi Manik telah mulai angkat bicara :

"Cucu-cucuku. Membunuh itu mudah, yang sulit adalah menghidupkan. Melukai mudah,

merusak gampang membangun dan membangkitkan yang baik itulah sulit. Kalian tidak mengerti,

mengapa aku tidak membiarkan saja mereka menderita keracunan seperti tadi, membiarkan mereka

mati dengan cara yang begitu mengenaskan?"

"Aku juga bukan seorang budiman, atau seorang pemaaf, cucuku. Tetapi ingatlah akan pesan

Turonggo Benawi. Bantuan musuh dari Semarang atau Betawie akan datang, setidak-tidaknya akan

melintasi daerah kadipaten kita. Apabila membiarkan mereka, orang-orang sekutu paguyuban

Banjardawa, sama saja dengan membiarkan musuh menghancurkan kita..."

Ketiga muda-mudi itu bimbang, mendengar keterangan itu. Pepriman yang berada dalam

keadaan sadar benar, menyela bicara :

"Maksud eyang Dewi bagaimana? Nyatanya eyang Dewi tidak suka membunuh mereka".

"Salah siapa sudi membiarkan begundal-begundal buruk itu tinggal hidup? Kalian tahu,

bahwa mereka itu walaupun dalam keadaan seperti apapun tetap menginginkan tusuk konde lintang

kemukus milikku? Terang pusaka itu tentu berada ditangan Catursuda, sebab Dewi Cundrik pun

takkan luput dari serangan racun iblis bongkok itu. Yang manjadi pertanyaan adalah untuk apa

mereka pergi ke Telagasona?"

"Jangan biarkan mereka menyambut kedatangan musuh-musuh dari Betawie itu. Tetapi

dengan cara membiarkan Naga Dumung dan Genikantar mencari ?musuh? mereka, bukankah itu

lebih menarik? Mereka akan sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sedangkan kita masih

ada waktu untuk menyambut kedatangan musuh disebelah barat kota kadipaten. Lihat! Siapakah

yang datang!"

Seraya berkata demikian, Dewi Manik menunjuk ke suatu arah, dimana tampak debu

mengepul diatas jalanan.

Dan sayup-sayup terdengar suara derap kaki kuda semakin cepat mendatangi.

Penunggang kuda itu sangat cekatan mengendarai tunggangannya. Seperti meluncurnya anak

panah, sebentar saja telah tampak jelas siapa yang sedang mendatangi, yaitu seorang laki-laki gagah

berusia kira-kira lima puluhan tahun.

Menilik kuda yang ditungganginya tampaknya dia adalah seorang penggawa praja.

Akan tetapi melihat dandanannya, ia tampak seperti seorang petani biasa.

Melihat adanya empat orang yang berdiri seperti menunggu, maka jauh-jauh penunggang

kuda itu menghormat sambil mengamat-amati Pepriman dengan penuh selidik. Lalu katanya :

"Bukankah seorang diantara kalian adalah Alap-alap Gunung Gajah?".

Pepriman terkejut, ia tidak mengenal laki-laki itu, tetapi mengapa lelaki itu justeru telah

mengenalnya?Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

256

Kolektor E-Book

"Paman siapa? Bagaimana paman bisa mengenalku?" Sahut Pepriman dengan penuh

kewaspadaan.

Mendengar jawaban itu, maka si penunggang kuda melompat turun dari tunggangannya,

untuk kemudian berlari mendapatkan Pepriman dengan rombongannya.

"Bhre Yudha..." Cunduk Puteri tiba-tiba berbisik.

Bhre Yudha terkejut. Ia meneliti dara yang telah menyebut namanya itu. Saat itu, memang

Cunduk Puteri tampak kusut, wajahnya pucat dan pada jubah yang dikenakannya penuh dengan

cipratan-cipratan darah. Sehingga setelah beberapa lama meneliti barulah Bhre Yudha bersorak

gembira sambil bertepuk tangan.

"Tidak disangka, bahwa sepasang pendekar pesisir utara ada berkumpul disini. Nona,

bagaimana kabar ayahmu? Telah lama aku rindu ingin bertemu dengan panembahan Pucung yang

bijaksana itu...."

Bhre Yudha adalah seorang perajurit sandhi. Walaupun dalam kalangan rimba persilatan dia

bukan tergolong tokoh yang terhormat, akan tetapi pengetahuannya mengenai segala seluk beluk

kaum persilatan.

Ia mengenal pula Mbah Pucung serta keluarganya. Begitupun ia telah sering kali mendengar

sepak terjang Alap-alap Gunung Gajah yang aneh-aneh dan menakjubkan. Itulah sebabnya maka

sekali bertemu, dia dapat menduga bahwa Pepriman adalah Alap-alap Gunung Gajah.

"Alap-alap Gunung Gajah, maafkan aku orang tua kalau kurang hormat sikapku kepadamu.

Telah sekian lamanya, aku mengagumi namamu, dan baru sekarang aku bertemu orangnya, Jadi...

jadi siapakah dia?"

Bertanya begitu, Bhre Yudha menunjuk kearah Dewi Manik.

Anehnya, Dewi Manik tidak menggubris pertanyaan orang, bahkan dengan asyiknya ia

tampak sedang membaca sepucuk surat.

Melihat surat itu, Bhre Yudha terperanjat dan pucat. Lalu dengan gopohnya ia merogoh-rogoh

dalam bajunya, untuk kemudian dengan cepat disambarnya surat ditangan Dewi Manik itu.

Beberapa kali Bhre Yudha berusaha merampas surat dari tangan wanita itu.. Tetapi jangankan

dapat merampasnya, menyentuhpun ia tak dapat. Sedangkan Dewi Manik saat itu sama sekali tidak

tampak bergerak ataupun mengelak, ia sedang tekun membaca surat yang agaknya panjang lebar

itu.

Ketika Bhre Yudha hendak menerjang, maka Pepriman mencegah sambil tertawa.

"Paman tahu, siapa dia?".

Bhre Yudha menggeleng gugup.

"Jangan terkejut. Beliau ini adalah eyang rayi Dewi Manik!".

Tergetar seketika lutut Bhre Yudha. Bintara sandhi kadipaten itu hampir saja jatuh bersujud,

kalau tidak Dewi Manik mencegahnya, sambil mengulurkan surat itu.

"Cukup! Aku mengetahui keadaan kadipaten sekarang. Nah. Bhre Yudha, kau masih harus

melanjutkan perjalananmu menuju selat Pencuci Dosa ataupun hutan Banjardawa. Pergilah.

Katakan kepada Kiai Kenistan suami isteri, ataupun Mbah Pucung dan Ageng Tampar Angin,

bahwa rombongan Alap-alap Gunung Gajah sedang bergerak menuju sebelah barat kadipaten.

Syukur-syukur kalau kau dapat menjumpai Cucut Kawung. Oraag bengal itu diperlukan juga

tenaganya membela bumi pertiwi!"

"Ki Cucut Kawung pinisepuh Loning, berada disekitar kadipaten. Kalau tak salah dugaanku,

tentu dia sedang mengejar demang Moga ayah dan anak".Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

257

Kolektor E-Book

Setelah berkata demikian, maka Bhre Yudha menerangkan tentang sepak terjaug Dewi Yoni

bersama ayahnya yang menghancurkan perguruan Loning, kemudian karena dikejar oleh Cucut

Kawung, ayah dan anak itu bersembunyi dikadipaten. Akhirnya mereka dapat ditangkap oleh para

petugas sandhi, namun akhir-akhir ini, mereka dapat meloloskan diri kembali.

Setelah bersiap-siap semuanya, maka merekapun berpisah kembali. Dewi Manik menetapkan

bahwa senopati perang untuk menghadapi pasukan bule itu akan dipimpin langsung oleh Alap-alap

Gunung Gajah. Dan hal itu, walaupun semula Pepriman tidak menyetujui, akhirnya karena desakan

yang lain, diterima juga.

"Cucu-cucuku, orang bule itu mempunyai suatu kelebihan dari kita adalah perlengkapan kuda

mereka cukup banyak perbekalan yang berlimpah, serta senjata yang aneh. Mereka memiliki senjata

yang disebut bedil, yang dapat ditusukan mengenai jarak sejauh ratusan langkah. Maka dari itu kita

harus sangat berhati-hati. Kita akan melakukan perang gorilla (gerilya) dimana pada saat-saat

malam gelap, atau dihutan-hutan rimba kita melakukan penyerangan, untuk kemudian kita

berpindah-pindah mencari perlindungan. Tegasnya kalian harus sangat berhati-hati terhadap senjata

mereka yang disebut bedil itu."

"Eyang, dengan adanya senjata aneh ditangan musuh-musuh itu apakah kita tidak

memerlukan pusaka-pusaka leluhur sebagai Nyai Tanjung ataupun Kiai Tanjung?"

Tanya Pepriman tiba-tiba. Sebagai seorang pemuda berdarah pendekar, sekali sanggup

memikul tugas menjadi senopati perang, maka segala sesuatunya telah dipikirkannya.

"Kau benar Alap-alap. Tetapi untuk menemukan kedua pusaka itu diperlukan tusuk kondeku

si lintang kemukus itu!" Sehabis berkata, Dewi Manik tampak termenung-menung, berpikir dengan

keras.

"Hm..." kata Dewi Manik kemudian.

"Menurut perhitungan sang Adipati, dalam suratnya itu. masih ada kira-kira tiga pekan baru

perajurit-perajurit kompeni itu tiba diperbatasan barat kadipaten. Kita masih mempunyai sedikit

waktu untuk melalukan pengejaran ke istana Telagasona. Kukira, lebih baik kalian pergi dulu

keperbatasan kadipaten, sambil berusaha menjumpai Cucut Kawung. Aku sendiri akan

menyelesaikan urusan Kiai dan Nyai Tanjung. Nah, sudahlah cucuku. Kubekali kalian dengan do'a

basuki".

Sehabis mengucapkan kata-katanya itu, maka Dewi Manik mengebutkan jubahnya. Ketika

suara kebutan itu terdengar, wanita itu menotolkan kakinya ketanah.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Maka ketika bunyi kebutan itu lenyap, lenyap pulalah wanita itu dari pandangan mata.

Esok harinya bertiga, Pepriman Cunduk Puteri dan Sogaklenting melakukan perjalanan

menuju arah barat laut.

Mereka ini adalah pendekar-pendekar muda berilmu tinggi yang boleh digolongkan memiliki

ilmu kepandaian setingkat dengan angkatan tua sebagai Kiai dan Nyai Kenistan ataupun Mbah

Pucung pula.

Pepriman dengan ilmu sakti dari jurang raksasa ?Nusa-raca-sakti? yang termashur itu, dan

Cunduk Puteri dengan ilmu pelajaran ?Malaikat papat? dari Dewi Manik, agaknya tidak membual

apabila dikatakan bahwa mereka telah memiliki ilmu kepandaian setingkat diatas orang-orang tua

mereka.

Kecuali Sogaklenting sendiri, yang agaknya seperti tidak mendapatkan kemajuan.

Dalam waktu tiga hari melakukan perjalanan, maka mereka telah tiba dibatas selatan

kadipaten Pemalang. Tiga hari mereka melakukan perjalanan tanpa bercakap-cakap barang sepatah

kata.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

258

Kolektor E-Book

Mereka seakan-akan sedang berlomba untuk menunjukkan kemampuan lari cepat mereka

masing-masing. Hanya Sogaklenting yang tampaknya agak terlambat, tetapi itupun tak seberapa,

dan hal ini mengherankan bagi Cunduk Puteri.

Cunduk Puteri tahu bahwa Sogaklenting hanyalah seorang murid perguruan Loning belaka,

dan tentaug ilmu lari cepatnya, sudah diketahui benar oleh si dara. Akan tetapi kini ternyata cantrik

palsu itu dapat mengimbangi kecepatan lari mereka dengan baik.

Cunduk Puteri curiga, dan ingin menanyakan hal itu. Akan tetapi ia sesungguhnya belum

hilang dendamnya terhadap bekas murid Loning itu, dan ia tak sudi menegur.

Sebaliknya, dara itu hanya mengawasi dengan sudut matanya, betapa pemuda bermuka lorek

itu melakukan lari cepat. Akhirnya ia terkejut, untuk kemudian menghentikan larinya sambil

membentak.

"Heh, manusia hina dina! Dengan cara bagaimana kau mencuri belajar kitab Malaikat Papat?"

Mulutnya menegur, dan kakinya menendang, akibatnya Sogaklenting tersungkur jatuh

terengah-engah.

"Tuan Puteri....." Sogaklenting menjawab terbata-bata. "Aku ingin memberikan bhaktiku pada

pertiwi, dan kepada.....mu agar dapat kiranya aku mendapatkan ajal yang tentram...."

Mendengar jawaban yang demikian, kemarahan Cunduk Puteri makin menjadi-jadi.

Tangannya melayang, maka Sogaklenting terpelanting ketanah kembali, berguling-guling.

"Munyuk hina dina! Andaikata eyang tidak melarangku membunuhmu, apakah kau masih

dapat hidup sampai sekarang?"

Buat apa menjual omong besar didepanku? Kau Sogapati, dan seharusnya aku

membunuhmu!"

Sogaklenting duduk menundukkan muka. Ia tahu, ingin sekali tangan dara itu menjatuhkan

pukulan maut, sehingga ia tidak perlu lagi menderita terlalu lama. Begitu suci cintanya terhadap

dara pendekar itu. Dan betapa dalamnya rasa kasih yang terpendam dalam hatinya tak dapat

dilukiskannya lagi. Dulu Sogapati tidak seburuk yang sekarang. Dulu Sogapati masih dikagumi oleh

Cunduk Puteri, itupun sulit mengharapkan balasan cinta kasih dari gadis itu. Apalagi sekarang?

Sekarang setelah Sogapati rusak jasadnya, dan telah rusak pula namanya. Menyebut namanya

saja tak berani Sogaklenting melakukannya.

Selama hidupnya menjadi cantrik, dan selalu berdekatan dengan dara itu, selama itu pula hati

Sogapati merasa tenteram.

Telah timbul niatnya untuk merawat bayi yang kemudian hari akan dilahirkan oleh Cunduk

Puteri. Biarlah ia menderita sengsara seumur hidupnya asalkan ia dapat menebus segala

kesalahannya dengan kebaikan yang dapat dilakukan untuk Cunduk Puteri dara yang selalu

dikaguminya itu.

Tetapi kini, kini ia telah secara tak sengaja membuka kedoknya sendiri. Dan lagi pula, di sini

dara pujaan itu, hidup seorang Alap-alap Gunung Gajah. Andaikata Sogapati lipat tujuh gagahnya

dari dulu, agaknya masih terlalu khayal untuk mengharapkan cinta kasih dara itu.

Dalam duka dan putus harapannya itu, Sogaklenting menjawab.

"Kalau nona hendak membunuhku, silahkan turun tangan. Aku Sogapati tidak mengingkari

dosaku. Yah, aku berdosa. karena aku... aku... mencin....."

Breeesss! Secepat kilat Cunduk Puteri menghantam mulut Sogaklenting, sehingga cantrik

yang malang itu jatuh terjengkang dengan beberapa giginya yang tinggal lantas tanggal, dan

mulutnya menyemburkan darah.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

259

Kolektor E-Book

Akan tetapi Sogaklenting tidak mengaduh. Bahkan dengan cara yang tampak sangat

mengerikan ia mencoba untuk tersenyum.

Senyum itulah kiranya yang justeru membuat Cunduk Puteri semakin kalap. Dan dengan

secepat senyum itu terkembang dimulut Sogaklenting maka ke lima jari tangan Cunduk Puteri

menerkam kearah dada.

"Tahan!" Pepriman tak dapat membiarkan dara itu menjadi pembunuh yang demikian keji,

maka cepat-cepat ia mendorong tangan Cunduk Puteri kesamping, hingga terkaman tangannya

hanya membekaskan lima jari berdarah didada cantrik itu.

"Pepriman... aku sendiri sudah tidak mengharapkan hidup, untuk apa lagi kau cegah nona

Cunduk membinasakan diriku!" Kata Sogaklenting tanpa perubahan muka. Hanya kedukaan dan

putus asa belaka yang membayang pada mukanya yang lorek-lorek itu. "Selama nona Cunduk

belum turun tangan, maka selama itu pula, diriku masih selalu dituduk sebagai seorang pemuda

biadab dan hina dina. Ingin aku tenteram menikmati ajalku ditangan dara yang ku...."

Cunduk Puteri tak kuat menahan kata yang penuh perasaan itu, yang justeru sangat menusuk

hatinya. Tanpa suara lagi, dara itu menubruk maju dengan kedua tangan mencengkeram.

Pepriman terkejut dan gugup. Dan tak ada cara lain untuk menggagalkan pembunuhan itu,

kecuali menubruk dara itu, yang berarti sekaligus memeluknya dengan erat, hingga kedua muda-

mudi itu berguling-guling kesamping beberapa tombak jauhnya.

Dari tiap jari tangan Cunduk Puteri terdengar suara mendesis.

Dan ketika Pepriman melihatnya, ia melompat kaget karena kiranya dari ujung jari gadis itu

mengepul asap kemarahan. Itulah hawa sakti yang terhembus keluar terbawa oleh arus kemarahan

yang meluap-luap.

Cepat-cepat Pepriman merangkul sebatang kayu, dan dilemparkannya kearah Cunduk Puteri.

Deeerrr! Kayu sepotong itu terkeping-keping oleh pukulan Cunduk Puteri berserakan kesegala

penjuru. Barulah setelah itu dengan napas terengah-engah, Cunduk Puteri duduk bersila mengatur

napasnya.

Dapatlah dibayangkan, betapa tubuh Sogaklenting terkena pukulan hawa sakti itu.

Dalam kitab Malaikat Papat, dimana diajarkan pula ilmu pukulan bromo (api), ternyata telah

dikuasai oleh Cunduk Puteri.

Hanya sayangnya, dara ini belum cukup lama melatih diri sehingga kemampuan mengerahkan

pukulan sakti itu belum dapat dikemudikan dengan semuanya. Hanya apabila timbul kemarahan

yang melampaui batas, maka barulah ilmu pukulan itu sccara tak sengaja muncul keluar.

"Nona Cunduk..." Pepriman berbisik mendekati. Ia tahu cara bagaimana untuk mencairkan

hati dara itu yang kini sedang bergumpal dalam kemarahan.

Ia tahu bahwa dendam telah membakar hangus hati dara itu bahkan juga boleh dikata

membakar hangus seluruh hari depannya. Maka itu tidaklah dapat disalahkan apabila Cunduk Puteri

terjerumus kedalam api kemarahan yang melampaui batas itu.

Di pulau Jawa ini, terdapat satu pepatah ?Sadumuk batuk, sanyari bumi? yang berarti ada dua

hal yang selalu ditegakkan orang, bila perlu dengan perang tanding, yaitu kehormatan dan tanah!

Kehormatan Cunduk Puteri yang telah dihancurkan oleh Windupati, yang melibatkan pula

Sogapati didalamnya, sulit orang akan memaafkannya. Dan hal itu dimaklumi oleh Pepriman.

Maka dengan lemah lembut, pemuda itu menghibur :

"Cunduk, apalah manfaatnya, apabila tanganmu di kotori darah cantrik itu? Mungkin dia

Sogapati, tetapi Sogapatipun tak ada harganya untuk menyebabkan kau turun tangan sendiri

membunuhnya. Orang yang jelas-jelas mengkhianati hidupmu adalah Windupati. Dan guru biadab

itu telah kau bunuh, kau hukum sesuai dengan dosanya. Jadi, untuk apakah menumpahkan darahYusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

260

Kolektor E-Book

lebih banyak lagi, Cunduk. Lihatlah, betapa sebenarnya negeri membutuhkan setiap kesatria yang

sudi membhaktikan jiwa raganya untuk pertiwi. Ingatlah akan pesan Eyang Dewi. Apakah tidak

lebih baik kau kendalikan amarahmu, dan kita bersama memasuki api peperangan dibarat sana?"

Cunduk Puteri tidak mendengar ucapan yang mengandung kemesraan itu. Dimatanya melintas

bayangan mengerikan yang pernah dialaminya diperguruan Loning.

Tentang kamar celaka itu. Tentang penghinaan Windupati, kemudian tentang nasibnya

dijerumuskan kedalam sumur Bengkelung.

Dan semua noda itu kini terasa sangat menyayat hatinya, demi Pepriman berada

disampingnya. Pemuda pujaannya telah mengetahui perihal nasibnya yang buruk dan malang itu,

dan tidak mungkinkah dia akan menjauhi?

Cunduk Puteri tidak insyaf sama sekali, bahwa kandungannya kian hari kian membesar, dan

sedikitpun tak pernah lepas dari pengamatan Alap-alap Gunung Gajah.

"Tentunya Nona Cunduk menyesali nasib, terhina dan terluka. Dan penghinaan itu merupakan

jalur menghitam yang menghubungkan hari lalu dengan hari depan. Tetapi apalah kata orang

tentang diri seorang dara yang bernasib malang yang kemudian berubah dari jiwa seorang pendekar

menjadi seorang pembunuh?".

Ah, kau Pepriman. Kau laki-laki dan kau takkan dapat merasakan sedalam mana penghinaan

telah menikam hidupku!" Cunduk Puteri membentak dengan suara bercampur sedu sedan.

"Cunduk..." Pepriman berbisik. "Masih ingatkah kau akan cerita seorang Joko Bledug?".

"Oh..." Cunduk Puteri memutar tubuhnya, menghentikan kata-katanya.

"Joko Bledug sekarang telah menjadi seorang Pepriman, seorang jembel hina dina. Dan kau

ketahui, Cunduk, betapa kehinaan telah menyeret hidupku dengan begitu kejam. Aku... aku takkan

melupakanmu, Cunduk..."

"Bledug, oh!" Dan serta merta kedua muda mudi berpelukan dengan mesranya. Seluruh derita

batin tertumpah dalam tangis ratapan yang mengalir lemah dari mulut Cunduk Puteri.

Pepohonan tepi hutan bergoyang-goyang disilir angin yang menyapu. Demikianlah hati muda

mudi yang bertemu dalam penderitaan itu bergoyang-goyang lembut, seakan-akan menemukan

nafas kagembiraan yang baru yang menyegarkan.

"Bledug... aku telah mengandung..."

"Aku tahu Cunduk. Dan penderitaan kita bersama ini, yang telah membimbing diriku, berani

untuk menjumpaimu."

"Seharusnya kau membiarkan aku membunuh Sogapati, Bledug. Dia... dia..."

"Dia tak berdosa. Penderitaan batin tak usah di berati dengan dosa-dosa lebih banyak lagi,

Cunduk. Windupati orang yang bertanggung jawab, dan dia adalah ayah bayimu..."

Cunduk Puteri kembali menangis. Tak tahu lagi perasaan apa yang telah mengaduk-aduk

hatinya. Seorang calon manusia yang tumbuh dari buah dendam, kelak akan lahir diantara mereka.

Dan selamanya akan merupakan duri dalam daging, ataupun titik noda yang membesar didepan

mata.


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tetapi semuanya itu adalah peristiwa, nasib dengan segala bentuk permainannya. Justeru noda

itu pula kiranya yang telah membimbing Pepriman untuk berani mencintai Cunduk Puteri.

Sogaklenting duduk diam memandang jauh kedepan dengan kosong. Suatu perasaan rela

berkorban, tumbuh dari penyesalannya yang besar.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

261

Kolektor E-Book

Tak perlu meratapi nasibnya, meratapi Cunduk Puteri yang saling mencintai dengan Joko

Bledug atau Pepriman, sebab ia tahu nilai dirinya sudah tak ada lagi yang patut dibanggakan

didepan dara pahlawan itu.

Lebih dari tiga jam mereka berteduh ditempat itu. Menjelang rembang petang, mereka

melanjutkan perjalannan. Hanya dalam waktu tidak sampai satu jam mereka telah memasuki

perbatasan kota kadipaten.

Pepriman dan Cunduk Puteri merasa perlu untuk melakukan penyamaran, sebab mereka

menduga pasti bahwa disekitar kota tidak sedikit terdapat bagundal-begundal kompeni yang hidup

secara sembunyi-sembunyi.

Sedangkan Sogapati tentu saja tak perlu menyamar sebab dengan bentuknya yang sudah

demikian berubah orang takkan mengenal siapa dia sebenarnya.

Ketika mereka sedang berjalan menyusuri sebuah jalan berbatu, yaitu jalan tepian kota yang

menuju ke barat, didepan mereka terlihat sebuah kereta yang sedang berhenti.

Begitu mereka bertiga ini muncul diujung jalan, maka terdengar suara jeritan nyaring dari

dalam kereta itu, diberengi dengan terdengarnya suara bentrokan senjata.

Pepriman bergegas mendekati. Maka tampaklah seorang laki-laki tua sedang mengobat-

abitkan sebuah tongkat melawan tiga keroyokan tiga orang laki-laki bersenjata golok. Lelaki tua itu

terus berteriak minta tolong "Anakkuu... anakku...." Seraya menunjuk-nunjuk kesuatu arah.

Melihat seoraag tua yang kewalahan dibawah ancaman hujan golok maka Pepriman buru-buru

turun tangan menolong. Akan tetapi lelaki tua itu malah berseru-seru "Tolonglah puteriku, anak

muda. Tolong puteriku!"

Dan bersamaan dengan itu, dikejauhan terdengar jeritan seorang gadis Pepriman jadi gugup

dan bingung. Untunglah Cunduk puteripun telah turun membantu seraya berseru : "Pepriman, kau

tolong gadis itu"

Tanpa pikir panjang. Pepriman berlari cepat memburu kearah datangnya jeritan itu masuk

kedalam kegelapan.

Sedangkan Cunduk Puteri dengan beberapa kali gebrakan telah berhasil membuat pengeroyok

itu lari tunggang langgang kaok-kaokan. Buru-buru Cunduk Puteri menghampiri lelaki tua itu, yang

berada disamping roda kereta, sedang empas-empis ketakutan.

Dengan tergopoh, orang tua itu berkata penuh hormat.

"Aduh nyonya penolong. Terima kasih atas budi pertolonganmu. Andaikata tidak bertemu

kalian saat ini, entah bagaimana nasibku. Tetapi puteriku... puteriku..." Dan orang tua itu menangis

menatap sangat bersedih.

Seharusnya Cunduk Puteri terkejut, merasa bahwa penyamarannya mudah dikenal orang. Saat

ini, ia berdandan sebagai seorang pemuda, akan tetapi orang tua itu tetap memanggilnya sebagai

nyonya penolong.

Orang tua itu, kecuali cerdik dan selalu gugup tampak sedikitpun ia tidak menderita cidera.

Apabila melihat permainan tongkatnya yang ngawur dan keroyokan tiga orang bergolok tadi,

sepatutnya lelaki tua itu tentu telah terluka. Namun semuanya itu tidak menimbulkan kecurigaan

Cunduk Puteri.

Tidak aneh. Dalam keadaan mendadak seperti itu, dimana dara itu berada dalam suasana serba

gembira disamping Pepriman, kewaspadaannya sangat berkurang. Dan diluar sadarnya, bahaya

besar mengancam seperti tatapan mata harimau yang siap menerkam.

Dengan tanpa pikir lagi, Cunduk Puteri menarik lelaki tua itu untuk naik keatas kereta.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

262

Kolektor E-Book

Kemudian dengan keras, disentakkannya kendali, maka keretapun melancar cepat, memburu

kearah jalan yang ditempuh oleh Pepriman yang sedang melakukan pengejaran.

"Paman, tahukah kau kemana puterimu dibawa bangsat-bangsat itu?" Tanya Cunduk Puteri

itu tanpa berpaling.

Dan laki-laki tua yang duduk dibelakangnya itu membelalak lebar matanya, menjawab

dengan mulut tersenyum bengis.

"Kerumah mereka tentu..."

"Paman tahu rumah mereka?"

"Hemm... belok kiri, belok kanan, belok... kiri kanan", dan entah apa lagi yang dikatakan oleh

lelaki tua itu, yang merupakan komando bagi Cunduk Puteri dalam mengendalikan les kuda.

Beberapa saat kereta itu meluncur, maka mereka telah tiba pada sebuah jalanan yaug sunyi,

dimana dikanan kiri jalan itu terdapat pekarangan-pekarangan kosong yang ditanami ketela pohon.

Disitulah lelaki tua itu menunjuk sambil berkata :

"Ditanah lapang yang terdapat diseberang barak besar itulah markas mereka!"

Agak dikejauhan Cunduk Puteri melihat sebuah barak besar yang beratap rumbia. Barak itu

gelap didalamnya, hanya diluarnya saja terlihat sebuah lentera merah yang tergantuag bergoyang-

goyang ditiup angin.

Cunduk Puteri bermaksud hendak turun dari kereta. Akan tetapi baru saja ia menghentikan

lari kuda, terasa olehnya pungguragnya sangat sakit sekali. Ia terkejut dan sadar bahwa dirinya telah

kena dikelabui orang, akan tetapi kesadarannya itu telah terlambat.

Totokan keras yang mengenai punggung diatas kepungan dan iga, membuat dara itu tergolek

tak berdaya. Segera Cunduk Puteri mengerahkan tenaga batinnya untuk memunahkan totokan

orang, akan tetapi kiranya totokan itu terlalu kuat. Dan dara itu segera mengetahui siapa adanya

orang yang mampu melakukan totokan hebat itu.

Lelaki tua itu tertawa terbahak-bahak sambil menyoret tubuh Cunduk Puteri dari dalam

kereta. Didepan dara itu si laki-laki tua membuka ikat kepalanya, maka terbuka pulalah cambang

bauk dan kumis jenggotnya yang tak teratur, hingga tampaklah dia siapa orangnya.

"Kiranya..." Cunduk Puteri terbelalak kaget. Sungguh mimpipun tidak, bahwa seorang tokoh

sebagai Ki Gede Ayom demang Moga sanggup melakukan perbuatan memalukan, menjebak anak-

anak muda dengan tipu muslihat.

Demang Moga, Ki Gede Ayom tertawa mengejek.

"Kau kaget, Cunduk Puteri, bahwa nasibmu demikian? Hm.... penyamaranmu kurang

sempurna.

Alap-alap Gunung Gajah si jembelmu itupun sekarang tak tentu bagaimana nasibnya...

hahaha...."

"Tua bangka tak tahu malu. Mau bunuh aku, bunuh cepat. Buat apa memamerkan muka

tuamu!" Bentak Cunduk Puteri kalap. Akan tetapi ia hanya dapat terengah-engah belaka, ataupun

matanya terbelalak.

Untuk mengamuk jangan mimpi dia, menggerakkan tangan dan kakipun ia tak mampu lagi.

"Kau ada membawa Kiai Tanjung Nyai Tanjung?" Tanya Ki Gede Ayom.

"Untuk mencincangmu, orang tua?" Bentak Cunduk Puteri.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

263

Kolektor E-Book

"Tidak," sahut Gede Ayom sambil tertawa ayam. "Justeru untuk membunuh kalian para

pemberontak. Orang-orang seperti kalian, tak boleh terlalu lama hidup mengotori dunia.

Kecuali....kecuali..."

"Tak perlu membujuk. Aku sudah mengerti siapa kau. Kau adalah seorang demang yang tidak

tahu di untung. Kau kesayangan adipati, tetapi dengan rakusnya kau merindukan kedudukan itu.

Huh. Cocak nguntal elo (dengan peribahasa lain, menggantang asap)."

"Hahaha... kau bocah ingusan tahu apa! Marilah lihat!" Seraya berkata demikian, maka Gede

Ayom mengikat kaki dan lengan dara itu. Baru kemudian menyeretnya kedalam barak.

Kiranya barak itu hanyalah sebuah bangunan kosong belaka. Disitu merupakan jalan yang

menembus pintu rahasia yang terdapat disamping. Begitu mereka melintas pintu itu, maka mereka

tiba pada sebuah sumur.

Gede Ayom membawa Cunduk Puteri mencebur ke dalam sumur yang ternyata adalah sumur

mati, yang ternyata merupakan jalan terowongan menuju tanah lapang yang berada kira-kira lima

ratus langkah diluar barak itu!

Tiba pada tanah lapang, maka Cunduk Puteri segera melihat pemuda pujaan hatinya berdiri

menyandar pada sebuah tonggak dimana didekat kakinya tampak api pediangan yang menyala

besar, Dan disisi pemuda itu, tampak pula berdiri seorang dara yang dengan sikap sangat mesra

berbisik-bisik sambil lelendotan seperti dara manja!

Dengan segera Cunduk Puteri mengenali siapa adanya gadis, Satu-satunya dara yang selama

ini menjadi saingan cintanya, dialah Dewi Yoni, puteri Ki Gede Ayom.

Rupanya sengaja Ki Gede Ayom tidak membawa Cunduk Puteri mendekat pada Pepriman.

Dara itu dilemparkan keatas tanah, kemudian masih perlu juga kakinya diikatkan pada sebuah

batu besar.

Andaikata tidak usah diikat begitupun, Cunduk Puteri sendiri tentu tak sudi mendekati

Pepriman yang sedang berbisik-bisik dengan Dewi Yoni. Walaupun samar-samar, tetapi Cunduk

Puteri telah mendengar mengenai hubungan pemuda pujaan hatinya itu dengan si Puteri demang.

"Baru kemarin ia berjanji..." Cunduk Puteri mengeluh dalam rintihan seorang diri. Air

matanya mengalir turun dengan deras. "Tidak ada laki-laki yang dapat dipercaya. Semua jahanam,

pembohong, mata keranjang dan biadab!"

Saat itu, Cunduk Puteri berharap Pepriman akan memberontak, mencaci maki, akan tetapi

tidak. Pepriman tampak diam saja, berdiri tenang, sedangkan Dewi Yoni dengan cara yang sangat

genit, sedang merangkul pemuda itu didepan sekian banyak orang yang hadir disekitar perapian itu.

Kekecewaan Cunduk Puteri membesar seketika. Ia sadar bahwa kekasih yang telah jatuh

dalam pelukan gadis lain yang lebih cantik dan suci, tidak ternoda dan anak orang kebanyakan

sebagai dia, agaknya takkan balik kembali.

Pepriman didalam benak si dara telah berubah menjadi burung terbang yang telah

menemukan tempat peraduannya. Tak mungkin diharap burung itu akan melintas kembali.

Dan bila kedukaan itu makin besar, maka sejalur api kebencian memasuki hatinya. Berci!

Benci sekali. Tak ada laki-laki yang patut dipercayai!

Dalam kebencian yang berkobar itu, maka Cunduk Puteri berusaha meronta. Tadi, karena

kagetnya, ia tak mampu memunahkan totokan Ki Gede Ayom.

Sekarang, dengan suatu keinginan yang hendak segera bebas agar segera dapat pergi

meninggalkan Pepriman, maka kekuatan batinnya yang terhimpun secara mukjijat didalam tubuh,

bergolak dengan cepat.

Dan ilmu sakti Malaikat Papat adalah terlalu tinggi apabila hanya untuk memunahkan totokan

orang belaka.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

264

Kolektor E-Book

Dengan segera dara itu dapat membebaskan totokan dan mampu menggerakan tangan dan

kakinya, Tinggal tali yang mengikat, bagi Cunduk Puteri bukanlah soal lagi.

Didekat perapian, terdengar Gede Ayom berkata keras agaknya dimaksudkan agar terdengar

jelas oleh Cunduk Puteri :


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Cobalah jangan malu-malu, Pepriman. Katakanlah bahwa kau mencintai gadis Pucung yang

telab terhina itu. Katakanlah! Bahwa kau sudi menerima barang bekas yang telah rusak dan hina

dina itu. Hahaha..... Ataau benar-benarkah seperti katamu tadi, bahwa kau hendak memperisterikan

anakku?"

JILID : 15

BAGAI tersayat hati Cunduk Puteri mendengar kalimat itu. Air mata dendam kesumat

mengalir turun deras berderaian. Lalu dengan tubuh gemetaran sedikit demi sedikit diregangnya tali

temeti yang mengikat tubuh dan kakinya.

"Baiklah. Kau menyetujui semuanya itu. Aku percaya, kau adalah Alap-alap Gunung Gajah.

Janji seorang kesatria adalah janji laki-laki sejati. Dan matilah saudara-saudara orang-orang

berdarah Mataram, mari kita me-nyanyi untuk kejayaan Alap-alap Gunung Gajah!"

Sehabis kalimat Gede Ayom yang terakhir ini, maka terdengarlah sorak-sorak yang gemuruh

dari orang-orang yang mengelilingi perapian itu.

Jumlah mereka ini semua tidak kurang dari seratus orang. Masing-masing terdiri dari Gede

Ayom bersama puterinya, dan beberapa pemuda kademangan Moga pilihan.

Toh Kecubung dan beberapa orang murid Gunung Kelir. Ki Tambakeso dengan rombongan

para nelayannya, ditambah dengan beberapa orang murid Guha Gempol pengawal Kebo Sulung.

Terdengar Toh Kecubung berseru dcngan suaranya yang besar dan parau :

"Sahabat Alap-alap. Gembira aku mendapatkan sahabat seperti kau.

Aku percaya bahwa cita-cita kita akan segera menjadi kenyataan! Bukankah begitu,

Tambakeso?"

"Benar!" Nelayan tua itu menyahut sambil menyeka mulutnya yang selalu merokok klobot.

"Pemberontak-pemberontak seperti Tampar Angin, Kiai Kenistan dan isterinya yang cantik itu,

sudah harus segera kita beresi!"

Telinga Cunduk Puteri serasa hendak pecah mendengar caci maki dan olok-olok yang

menyakitkan itu. Dadanyapun seakan mau meledak, oleh api dendam.

Justeru pada saat itulah terasa ada sebuah sentuhan pada tali pengikat dikakinya. Cunduk

Puteri terperanjat. Tetapi orang yang telah membuka tali pengikat itu memberi isyarat agar si dara

diam.

"Kasihan... kalian menderita sekali..." kata orang itu, yang tidak lain adalah cantrik bermuka

lorek. Sogapati yang dengan gopoh dan...

"Kau Sogapati..." Cunduk Puteri setengah hendak menangis.

"Di atas dunia ini, tidak sedikit jumlahnya hal-hal yang palsu. Maka berhati-hatilah. Kukira

kau lebih baik pergi dahulu menuju kebarat, biar aku yang akan membebaskan Pepriman".

Begitu tali pengikat terlepas, Cunduk puteri melompat pergi tanpa berpaling. Sepanjang jalan

sedu sedannya terdengar mirip rintihan.

Gede Ayom dan kawan-kawannya masih mengelilingi Pepriman yang tersandar di tongkat.

Tetapi sekarang dengan Moga itu berseru garang :Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

265

Kolektor E-Book

"Kau harus berpihak kepadaku! Kalau tidak anak si Pucung itu akan kucemplungkan kedalam

api!"

Pada saat itulah baru kelihatan Pepriman menggerakkan anggota badannya. Dan dengan mata

yang kuyu pemuda itu menjawab :

"Jangan kau ganggu gadis itu. Apa hubungannya, kalau aku tak mau berpihak mengapa dia

yang harus dicemplungkan kedalam api? Kau kira aku takut mati?"

Dewi Yoni merangkul sambil berkata aleman.

"Kakang Alap-alap. Ayahku jadi adipati, dan aku adalah puteri adipati, kaupun menantu

adipati. Apakah kau tidak ingat pada ikan mas dikolam kademangan?"

"Yoni" sahut Pepriman bersemangat.

"Ketika bangsamu berjuang mati-matian mempertahankan setiap jengkal tanah dari rampokan

bangsa bule, maka kau berpikir tentang jadi puteri adipati. Kuperingatkan kau, Yoni. Bahwa

mengkhianati tanah tumpah darah, sama halnya mengkhianati ibumu sendiri...".

"Omong besar! Mau atau tidak!" Bentak demang Moga.

Pepriman menghela napas. Diperhitungkan olehnya kawat-kawat kecil tajam yang mengikat

dirinya dengan tonggak. Dan dikira-kirakannya jumlah musuh yang berada dihadapannya. Lalu

dengan penuh kecemasan ia berkata :

"Apakah kau tidak kasihan pada saudaramu, Cunduk Puteri? Bebaskan dia. Jangan biarkan

dia menderita terlalu lama. Kalian semua boleh menganiaya diriku, membunuhkupun silakan, asal

jangan mengganggu dara Pucung itu.

Maksud Pepriman yang baik untuk kebebasan dara pendekar itu, justeru mengobarkan api

cemburu pada Dewi Yoni belaka. Dengan serta merta dara itu menjerit seraya merenggut baju di

dada pemuda itu.

"Kubunuh dia didepan matamu! Kau kira aku tak bisa melakukannya?"

"Jangan Yoni. Dia... dia...".

Kekuatiran Pepriman jasteru menggembirakan bagi Gede Ayom. Dau demang itu tertawa

terbahak sambil berkata :

"Kau terima syaratku. Baru anak Pucung itu dapat kubebaskan!"

"Tak perlu lagi!" Mendadak terdengar suara seseorang yang membentak, memotong

pembicaraan Gede Ayom. Selanjutnya, tampak sesosok bayangan yang melompat, menerjang ke

arah demang itu dengan sabetan-sabetan goloknya.

Seketika menyibaklah kerumunan orang-orang itu karena terkejut. Demang Moga tidak

sempat menghindar, akan tetapi Dewi Yoni yang tangkas itu telah menarik sebuah senjata dari

dalam bajunya.

Seketika tampak berkilauan lima buah sinar putih seperti kilat, menyambar kearah sinar

golok.

Bentrokan senjata terdengar nyaring. Dan selanjutnya penyerang itu melompat mundur sambil

terkejut memperhatikan senjata gadis itu.

"Kiai Pancaloka..."

"Kau siapa manusia buruk Dewi Yoni melangkah maju sambil memutar senjata pancaloka

diatas kepalanya. "Kau mencari mati sendiri!"Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

266

Kolektor E-Book

Pepriman terkejut melihat senjata ayah angkatnya berada ditangan gadis Moga itu. Seketika

timbul pertanyaannya, bagaimana senjata pusaka itu bisa berpindah tangan dari Kebo Sulung

ketangan gadis itu.

Tetapi disamping kekagetannya ini, ia terkejut pula, melihat siapa orangnya yang sedang

datang menolong.

Pemuda itu adalah Sogaklenting, alias Sogapati, orang yang dikira oleh Pepriman tentu

senasip dengannya, tertawan oleh orang-orangnya Gede Ayom.

Sebenarnya, ada untungnya juga, waktu Pepriman Cunduk Puteri dan Sogapati itu balapan

lari. Tanpa dapat dielakkan, Sogaklenting memang tertinggal oleh mereka.

Kecuali memang pemuda itu kalah tinggi ilmu lari cepatnya, juga dia sendiri memang segan

untuk terlalu dekat dengan pasangan muda-mudi itu.

Itulah sebabnya maka ketika Pepriman dan Cunduk Puteri terjebak dalam tipu muslihat,

justeru Sogapati yang tinggal selamat.

Akan tetapi keselamatan itu kini sudah terancam lagi. Dewi Yoni dengan Pepriman senjata

pusaka pancaloka, ibarat harimau tumbuh sayap.

Walaupun dara itu mempunyai ilmu kepandaian yang setingkat dengan Sogapati, akan tetapi

senjatanya jauh lebih ampuh dari pada sebatang golok pendek ditangan Sogapati.

Dalam beberapa gebrakan saja, sudah tampak bahwa Sogapati berada dibawah angin. Dan

Dewi Yoni yang menjadi sangat sombong dengan senjata rampasan itu, sengaja hendak

memamerkan kepandaiannya.

Suara tongkat Pancaloka berdering-dering mengerikan. Sinar kilatnya bergulung-gulung

menindih suara golok yang lama kelamaan cahaya golok itu semakin kecil dan merapat.

Sebenarnya Sogapati bukan hanya mengandalkan ilmu golok Loning yang masih jauh dari

sempurna itu. Beberapa jurus ia tampak memainkan ilmu silat tingkat tinggi yang pernah diikutinya

secara diam-diam, yaitu ilmu pelajaran dari kitab Malaikat Papat.

Selama itu, Sogapati menjadi cantrik Cunduk Puteri secara diam-diam ia berusaha untuk

mengintai setiap saat dara Pucung itu melatih diri.

Hasilnya sungguh menyedihkan dan lucu. Pada dasarnya Sogapati bukanlah tergolong

pemuda yang memiliki kecerdasan otak luar biasa.

Pelajaran ilmu silat yang ia lihat dari gerakan Cunduk Puteri belaka tidak seluruhnya dapat

dilihat dan diingat-ingat. Sehingga sebenarnya ia hanya memperoleh gerakan-gerakan yang kacau,

dan sebagian ilmu lari cepat yang tidak sempurna.

Pada gebrakan pertama tadi, golok pemuda ini telah tergempur oleh pancaloka. Dan mata

golok rompang-rompang, bahkan ujung golok jadi kutung sepanjang setengah dim.

Sebenarnya kerusakan senjata itu saja telah menunjukkan bahwa lawan terlalu lihai dengan

senjatanya.

Akan tetapi Sogapati sama sekali tidak menggubrisnya. Secara pribadi, Sogapati telah

mengenal Dewi Yoni, bahkan pemuda ini pernah jatuh cinta kepadanya.

Pergaulan mereka cukup karib. Itulah sebabnya Sogapati yakin bahwa Dewi Yoni takkan

membunuhnya.

Dara puteri demang itu bukanlah seorang pembunuh.

Sogapati tak tahu, bahwa kegagalan Dewi Yoni merebut perguruan Loning mengakibatkan

kerusakan jiwa gadis itu.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

267

Kolektor E-Book

Dan suatu kenyataan bahwa kini puteri dan ayah demang Moga itu menjadi buron, hidup

bukan sebagai orang-orang yang disanjung dihormati didaerahnya, akan tetapi menjadi pimpinan

gerombolan yang menentang kekuasaan kadipaten.

Dewi Yoni telah berubah menjadi dara petualangan yang berwatak keras dan telengas.

Tangannya yang halus dengan senjata pancaloka ditangan tidak segan-segan melakukan

pembunuhan, sebagai terbukti pada korban-korbannya murid Loning.

Apabila seorang Sogapati menduga bahwa lawannya takkan suka turun tangan membunuh,

itulah sebuah kesalahan besar.

Baru saja Sogapati memikir-mikir untuk dengan cara bagaimana menyadarkan gadis itu dari

niatnya mengadakan kraman, maka golok Sogapati tiba-tiba terlibat oleh genta-genta pada ujung

tongkat pancaloka.

Ketika pemuda itu berusaha menarik senjata, ia menjadi sangat terkejut, karena ternyata

libatan senjata lawan itu begitu erat, sama sekali tak dapat digoyahkan. Dan sebelum pemuda itu

sadar akan apa yang bakal terjadi, sebuah tendangan kilat hinggap dikempungannya.

Mau atau tidak, maka golok terlepas dari cekalan dan Sogapati terpelanting kesakitan.

Belum juga tubuhnya terjatuh sampai ketanah, maka tendangan Dewi Yoni yang kedua

menghantam dada, Sogapati menjeblak kebelakang, terjengkang dengan mulut menyemburkan

darah.

Dewi Yoni sama sekali tidak memberi kesempatan. Dengan cepat diputarkannya senjata

pancaloka, sehingga golok Sogapati yang masih terlibat ikut berputar. Sekali si dara mengedutkan


Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Syamsidar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


tangannya, maka secepat anak panah golok itu meluncur kearah tuannya.

Tampaknya ajal akan segera singgah ditubuh Sogapati. Pepriman yang sejak tadi

menyaksikan pertarungan itu, menjadi putus harapan dan sangat berduka ia memejamkan matanya.

Akan tetapi sesungguhnya ajal monopoli kekuasaan Yang Maha Kuasa belaka.

Sebelum golok itu sempat menyate tubuh tuannya, maka tampaklah sebuah benda hitam

meluncur sangat cepat, yang datang dibarengi dengan suara tawa yang mengakak.

"Memalukan...!"

Benda hitam itu tepat membentur golok, sehingga senjata itu tergetar kesamping, jatuh

menancap disebelah leher Sogapati. Dan ketika sekalian para pengikut demang Moga itu terkejut

keheranan, maka disekitar mereka telah bertambah satu orang.

Orang itu adalah seorang kakek tinggi besar yang mengenakan ikat kepala atau destar warna

hitam berkilat, dipinggangnya menyoren sarung golok yang terbuat dari perak seluruhnya. Sekali

mereka melihat maka seketika terdengar pekikan-pekikan tertahan berbareng jeri.

"Ki Cucut Kawung..."

"Guru Loning..."

"Benar", sahut Cucut Kawung seraya tertawa besar. "Ilmu tongkatmu sungguh hebat Yoni.

Aku orang tua sungguh kagum, hahaha...".

Bukan main likatnya Dewi Yoni mendengar sindiran itu. Tidak terkecuali juga Gede Ayom,

ayah gadis itu. Dengan satu lompatan garang, Gede Ayom menerjang kedepan Cucut Kawung

seraya membentak.

Ki Cucut Kawung sombong! Saat kematianmu sudah tiba sekarang!"

"Mati itu mudah, Ayom, dan orang tua elot seperti aku, apanya yang dibuat sayang uniuk

mati?" Ki Cucut Kawung tertawa. "Tetapi aku hendak bertanya kepadamu, kau seorang demang,

sekarang menjadi buron, apakah mimpi menjadi adipati itu sudah cukup menyenangkan bagimu?"Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

268

Kolektor E-Book

Tentu saja ejekan seperti itu sangat menusuk perasaan mereka. Dalam hal ilmu kesaktian,

memang Ki Gede Ayom bukan tandingan Cucut Kawung. Akan tetapi dalam hal kekerasan

wataknya, mereka hampir sama.

Dan tanpa omong lagi, Gede Ayom telah melancarkan serangan. Kedua tangannya bergerak

seperti hendak menari, akan tetapi tahu-tahu kelima jari tangannya mencengkeram kearah

tenggorokan lawan.

Ki Cucut Kawung tertawa. Sambil memiringkan kepala mengelak, kakek itu berkata :

"Kita sudah sama-sama tua, Ayom. Dan kau sudah tahu sampai dimana ilmu golokku. Kukira

tak perlu malu-malu kau mengerahkan kawan-kawanmu untuk maju mengeroyok!"

Ucapan Ki Cucut Kawung ini kalau dipikir-pikir seakan-akan seperti ejekan. Namun, kakek

itu memang bersifat polos. Ia berkata sesuai benar dengan kenyataan. Dan Gede Ayom pun

mengakui kegagahan lawannya. Ia tahu benar, bahwa dirinya takkan dapat memenangkan guru

Loning itu. Sekarang lawan itu sendiri yang mengajukan saran untuk pengeroyokan. Mengapa

kesempatan seperti itu tidak segera digunakan?

Tanpa dikomando lagi, Dewi Yoni, menerjang dengan tongkat pancalokanya, mengemplang

kepala si kakek. Dan Toh Kecubung dengan senjata bandringannya menyerbu maju pula.

Melihat lawan-lawan telah turun mengeroyok, maka sambil tertawa gembira Ki Cucut

Kawung menarik goloknya. Terdengar suara bergaung nyaring, dan segebyar sinar ungu

terkembang diudara. Itulah pusaka golok ?Kiai Kendit Brayung? yang dalam sejarah pusaka-pusaka

tergolong pada pusaka para pinisepuh dari jaman Majapahit.

Golok pusaka itu baru saja dicabut dati sarungnya, bersama keluarnya hawa dingin yang

menyerap ketulang, dan perbawa sangat besar yang membuat lawan pecah nyalinya sebelum

bergebrak.

Tetapi mereka harus bergebrak, bertarung! Dan Dewi Yoni yang hakekatnya seperti anak

macan baru turun gunung, telah melangkah maju membungkuk hormat untuk kemudian berkata :

"Guru... ternyata jalan kita berselisih..."

Ki Cucut Kawung tertawa.

"Tidak usah kau pikirkan, Yoni. Aku menghormati orang yang mempunyai pendirian.

Walaupun sikap kalian ini keliru, menentang kekuasaan yang ada tetapi itupun suatu sikap, yang

harus kita hargai juga! Kau adalah pahlawan gerombolanmu, Yoni!"

Untuk selanjutnya, setelah menghormat tiga kali, Dewi Yoni mengangkat kepalanya,

berbareng dengan gerakan tongkatnya menyambar keatas. "Maafkan guru".

Ki Cucut Kawung menghela napas. Hatinya sedih memikirkan bahwa dara yang merupakan

murid kesayangannya kini telah murtad dari ajaran perguruan, bahkan telah menentangnya pula.

Tetapi kecuali menghela napas bersedih, sesungguhnya dengan gerakan itu kakek sakti itu telah

mengelakkan sambaran kiai pancaloka.

Dan ketika bandul bandringan Toh Kecubung menyambar datang, Cucut Kawung tidak

mengelakkannya. Bahkan dengan gerakan menyilang, goloknya di sabetkan kearah rantai

bandringan itu. Orang dapat membayangkan betapa tajamnya golok Kendit Brayung. Besi bajapun

agaknya akan putus dibuatnya.

Tetapi Ki Cucut Kawung takkan berbuat gegabah itu. Dengan satu gerakan memutar

pergelangan tangan, maka punggung golok yang menghantam rantai, akibatnya bandringan itu

menyambar balik, menghanjut kearah pemiliknya. Toh Kecubung pontang-panting menghindari

sambaran senjatanya sendiri.

Dari benturan senjata itu saja, sudah dapat dilihat tenaga Cucut Kawung jauh lebih besar dari

pada lawannya. Dan kini Gede Ayom telah menerjang maju.Yusi Syamsidar

ALAP-ALAP GUNUNG GAJAH

269

Kolektor E-Book

Tetapi Cucut Kawung telah mendahuluinya, menghantam telapak tangan kiri seraya

membentak. "Mundur!"

Gede Ayom terkejut. Gerakannya agaknya terlambat sedikit maka lambung kirinya telah

terserempet angin pukulan maka demang itu terhuyung kebelakang.

"Hebat. Kalau aku mati ditanganmu, sungguh aku akan mati meram, Kiai." Kata Gede Ayom.

"Justeru aku takkan membunuhmu, Ayom. Jangan menyesal hahahaha..."

Detik-detik selanjutnya adalah ketiga pengeroyok itu telah ditambahi satu orang. Ki

Tambakeso.

Ki Tambakeso dengan kebutan bajanya mencoba mengurung Ki Cucut Kawung dari

belakang, bersama Toh Kecubung. Sedangkan dari depan Dewi Yoni dan Gede Ayom.

Di kurung demikian rupa, Cucut Kawung bukannya jeri, malahan ia tertawa-tawa gembira

sambil berseru-seru : "Marilah, semuanya boleh turun. Menyenangkan haha... hahaha...."

Dan apabila guru Loning itu berkata demikian, bukankah ia sedang membual. Permainan

goloknya yang berpebawa besar luar biasa, benar-benar sangat unggul.

Libatan sinar ungu yang memancar dari tajam golok itu, bergulung-gulung seolah-olah

menindih setiap senjata yang datang menyerang.

Pertarungan telah meningkat sampai dua puluhan jurus, akan tetapi belum tampak pihak mana

yang bakal menang.

Namun agaknya, dapatlah diduga bahwa Cucut Kawung tidak bertempur dengan sungguh-

sungguh. Agaknya ia segan melukai lawannya, terutama Dewi Yoni maupun Gede Ayom.

Dewi Yoni menyampok dengan senjatanya kearah dada si kakek, dan dara itu berharap

lawannya akan menangkis dengan senjatanya.

Dugaan si dara jitu sekali, dan ternyata Ki Cucut Kawung benar-benar menggerakkan golok

untuk membentur senjata pancaloka itu.

Pada detik-detik yang bersamaan Gede Ayom telah melontarkan tiga tendangan bersusun

mengarah pinggang guru Loning itu. Sedangkan bandringan Toh Kecubung memutar diatas,

menyambar kearah kepala.

Tampaknya guru Loning itu akan mati hancur dihujani pukulan dan senjata itu. Akan tetapi

untuk kali ini maha guru yang sakti itu menunjukkan kemampuannya. Dengan mengikuti gerakan

langkah mukjijat yang di Loning terkenal disebut sebagai ?delapan langkah membunuh naga? maka

diluar dugaan kakek sakti itu telah berada diluar kurungan senjata lawan sementara goloknya masih

meluncur untuk membentur kiai pancaloka.

Terdengar benturan nyaring, kiai pancaloka membentur kiai Kendit Brayung. Terlihat lelatu

api berpercikan keudara, dan akibatnya sungguh hebat. Kedua pusaka itu berpentalan, dan orangnya

terbawa memutar.

Dewi Yoni memutar kemudian jatuh, sedangkan Ki Cucut Kawung dengan sangat gagahnya

melanjutkan gerakan memutar itu untuk menghantamkan gagang golok kearah kepala Gede Ayom.

"Awas!" Seru Tambakeso memperingatkan Gede Ayom. Dan Demang buron itu telah

secepatnya membuang diri bergulingan. Akan tetapi aneh, sinar golok berwarna ungu itu seakan-


Pendekar Naga Putih 97 Pembalasan Sam Po Kong Karya Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari

Cari Blog Ini