Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im Bagian 2
hati ibu!"
"Sudahlah, Dewa tak boleh berkelahi dengan manusia", kata sang
ibu.
"Tapi bila kita membiarkan saja perbuatan Ratu itu, untuk
selanjutnya takkan ada orang yang menghormati kita lagi!", sela
Dewi Bulan.
"Tepat!", ujar Dewa Matahari.
"Sudahlah nak", kini Dewi Wei La yang berusaha meredakan
kemarahan kedua anaknya, "lazim kalau orang tua, apa lagi kaum
ibu, selalu mengagulkan anak-anaknya".
Di luarnya, baik Dewa Matahari maupun Dewi Rembulan, tidak
mempersoalkan hal itu lagi, tapi diam-diam mereka berunding dan
kemudian memutuskan untuk turun ke dunia, agar manusia tahu,
siapa sebenarnya yang lebih sakti!?
***
Ketika Dewi Bulan dan Dewa Matahari turun ke dunia, bertepatan
sang Ratu sedang berada di atas panggung kehormatan, memimpin
perayaan yang berlangsung setahun sekali.Di lapangan ada yang sedang memperagakan kemahirannya
memainkan pedang, menunggang kuda, juga berakrobat ....
Ramai sekali suasana di lapangan. Ketujuh puteri sang Ratu juga
hadir dalam perayaan itu, amat mempesonakan penampilan mereka.
Sedang ketujuh puteranya, masing-masing mempertontonkan
keperkasaannya. Ada yang bermain silat, ada yang memamerkan
kemahiran menggunakan pedang, memanah dan ada pula yang
menunggang kuda sambil memperlihatkan kekuatan tenaganya yang
luar biasa.
"Huh, apa sih hebatnya!?", kata Dewa Matahari ketika menyaksikan
segalanya itu.
Dia segera mengeluarkan busur dan anak panah, membidik putera
tertua sang Ratu.
Seketika putera Ratu itu menjerit kesakitan, roboh tergeletak di
tanah.
Putera Ratu yang kedua, segera menghampirinya seraya bertanya:
"Kenapa kau .... Toako?"
Tapi baru saja selesai dia bertanya, mendadak jatuh terkena panah
Dewa Matahari.
Suasana yang hiruk pikuk sebelumnya, tiba-tiba saja menjadi hening.
Kemudian mereka menghampiri jenazah kedua putera Ratu tersebut.
Ratu yang menyaksikan kedua puteranya mendadak jatuh
tersungkur, jadi sangat cemas campur sedih.
Ketujuh puterinya pada beranjak dari tempat duduknya dan
bertanya: "Kenapa Toako dan Jie-ko, bu?"
Sebelum sempat sang Ratu menjawab, telah terlihat putera ke-3 dan
ke-4 jatuh terguling juga.
Pasukan pengawal jadi tegang, segera memeriksa jenazah ke4 putera
Ratu, tak terlihat tanda-tanda bekas luka.Dari angkasa, Dewa Matahari memperdengarkan tawa dingin dan
berkata: "Kalian tak mungkin dapat melihat panahku!"
Selanjutnya, beruntun dia melepaskan tiga panah lagi, disusul
dengan jatuhnya tubuh putera Ratu yang ke-5, 6 dan 7, tewas juga.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu jadi amat terperanjat, hingga
tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka.
Ratu yang cerdik segera dapat menduga apa yang terjadi
sesungguhnya. Dewi Wei La marah, merenggut nyawa ke-7 pu
teranya.
Sang Ratu menengadahkan muka sambil mengangkat kedua
tangannya, berkata dengan nada memilukan : "Rupanya kau iri
melihat keperkasaan putera-puteraku, Dewi Wei La, juga kecantikan
ketujuh puteriku yang melebihi puterimu, membuatmu jadi
kehilangan akal waras, bertindak kejam --- Bila kau belum puas juga
dengan tindakanmu barusan, silakan kau bunuh juga ketujuh
puteriku!"
Dari ucapan sang Ratu itu, ada yang tersinggung perasaannya ketika
mendengarnya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Dewi Bulan
berada di sisinya.
Sang Dewi yang sejak semula telah mendongkol terhadap sikap sang
Ratu yang sombong itu, bertambah panas hatinya mendengar
ucapannya barusan. Segera dia mengeluarkan busur dan panah,
memanah puteri tertua sang Ratu.
Seketika puteri itu jatuh tergeletak di panggung kehormatan.
Ratu dan ke-6 puterinya jadi amat terperanjat. Keenam puterinya
lebih merapat ke sisi ibunya: "Tolong!
bu!"
Kala itu sang Ratu juga mulai panik, sebab tak dapat melihat si
pembunuh, maka dia hanya bisa memaki : "Sungguh kejam kau, DewiWei La! Bila kau benar-benar sakti, bunuhlah aku, kenapa anakku
yang kau jadikan korban!?"
Namun Dewi Bulan tak menghiraukan umpat caci sang Ratu,
beruntun dia melepaskan beberapa anak panah lagi.
Satu demi satu puteri sang Ratu segera jatuh dan tewas!
Hati Ratu bagaikan disayat-sayat, dia hanya bisa memandang
puterinya terkulai di dekatnya, tak kuasa dia menolong mereka.
Akhirnya ia berlutut dan memohon : "Oh Dewi, sudilah memaafkan
kata-kata maupun perbuatanku, yang tanpa sengaja telah menyakiti
hatimu ...."
Disusul dengan tangisnya yang amat menyedihkan. Akan tetapi
segalanya telah terlambat, ke-14 putera puterinya telah tewas
seluruhnya. Sang Ratu hanya dapat menangismengeluh di panggung.
Sementara itu, suami sang Ratu telah pula mendengar nasib tragis
anak-anaknya, bergegas datang ke panggung kehormatan. Dia
seakan tak percaya terhadap apa yang baru disaksikannya. Lama dia
tertegun dan saking sedihnya, suami Ratu langsung membunuh diri.
"Semuanya telah tiada", gumam sang Ratu sambil berdiri kaku.
Para pembesar kerajaan pada bertanya, upacara apa yang dipakai
untuk memakamkan jenazah keluarga Ratu.
Sang Ratu terus diam, membuat para menterinya tak berani bertanya
lagi, hanya menyarankan agar sang Ratu kembali ke istana untuk
istirahat.
Namun Ratu tetap berdiri kaku.
Keesokan harinya, tubuh Ratu telah membatu, menjadi arca!
Peristiwa itu bukan saja menggemparkan isi bumi, tapi juga tempat
persemayaman para Dewa.Para Dewa pada menyalahkan sikap Dewa Matahari dan Dewi Bulan,
menganggap perbuatan mereka sudah melampaui batas, tak patut
menjadi penghuni Nirwana!
Sejak itu, Dewa Matahari dan Dewi Rembulan, ditugaskan untuk
menyinari kehidupan manusia, seakan memberi perlindungan
kepada manusia.
Umat manusia tidak lagi menyembah Dewi Wei La, sebab mereka
beranggapan, Bidadari itu yang menjadi penyebab peristiwa tragis
yang menimpa keluarga Ratu.
Tubuh Ratu telah membatu, menjadi arca!SI PEMBASMI SILUMAN
Ah Beng baru meningkat remaja, 16 tahun usianya, tapi bila
mendengar tutur kata maupun bentuk tubuhnya, terlihat seperti
orang yang telah berusia 20-an, telah dewasa!
Ah Beng hanya tinggal dan hidup bersama ibunya, sebab, belum lama
dia dilahirkan, ayahnya meninggal.
Sang ibu amat tekun beribadah, terus menjanda sampai Ah Beng
tumbuh menjadi seorang remaja yang kuat lagi pandai.
Dari pagi hingga sore hari Ah Beng pergi menangkap ikan. Kehidupan
ibu dan anak cukup bahagia.
Tapi, pada suatu hari, telah terjadi peristiwa yang merusak
ketenangan hidup mereka.
Ternyata Cheng-cu di kota itu adalah seorang mata keranjang lagi
kejam.
(Cheng-cu = Penguasa kota; sama dengan wali kota di zaman
sekarang).
Hari itu Cheng-cu sempat melihat ibu Ah Beng, yang langsung tertarik
pada kecantikannya. Padahal dia sudah beristeri dan banyak pula
gundiknya, tapi toh dia masih belum merasa puas juga.
Keesokan harinya, dia langsung mengirim utusan untuk melamar ibu
Ah Beng.
Tapi langsung ditolak oleh Lian-ku, ibu Ah Beng : "Anak saya sudah
besar, tak pantas kalau saya menikah lagi".
Cheng-cu marah ketika lamarannya ditolak.
*Benar-benar tak tahu diri dia, ada yang ingin mengangkat
derajatnya tak mau", ujarnya marah.
Dia segera mengutus orang untuk menangkap Lian-ku.Pada saat itu
kebetulan Ah Beng sedang melaut menangkap ikan, hingga utusanCheng-cu dengan mudahnya menangkap Lian-ku, membawanya ke
hadapan atasannya.
"Kau benar-benar wanita yang tak tahu diri", kata Chengcu, "kenapa
tak sudi jadi isteriku? Padahal banyak wanita lain yang bersedia
menjadi selirku!"
Lian-ku bukan saja tak takut, malah berusaha menasehatinya : "Saya
sangat berterima kasih atas maksud Cheng-cu, tapi, seperti kata
Cheng-cu sendiri, telah cukup banyak wanita yang bersedia
mendampingimu, apa kata orang nanti bila Cheng-cu memperisteri
janda seperti saya?"
"Tak usah kau hiraukan orang lain, yang penting aku menyukaimu,
itu saja sudah cukup!", kata Cheng-cu.
"Tapi tahukah Cheng-cu, demi kepentinganmu akan membuat malu
anak saya!?"
Cheng-cu jadi naik pitam : "Pokoknya, bersedia atau tidak untuk jadi
isteriku, tapi bila kau tolak lamaranku, akan kujadikan kau budak di
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sini, jangan harap dapat pulang lagi!"
"Saya lebih suka menjadi budak dari pada menikah dengan tuan"
Lian-ku tetap pada pendiriannya.
Sejak itu jadilah dia budak di rumah Cheng-cu, banyak sekali
pekerjaan yang harus diselesaikannya, hingga kulit telapak
tangannya lecet-lecet dan tubuhnya pun menjadi kurus. Namun dia
tak pernah mengeluh, selalu berdo'a kepada Thian, agar anaknya
selamat dan suatu ketika akan datang menolongnya".
Biasanya, bila Ah Beng menangkap ikan di laut, dalam waktu 3 atau 4
hari sudah kembali. Akan tetapi waktu itu dia menghadapi hujan
badai, terpaksa harus menghindar ke pulau kecil yang tak
berpenghuni.
Kalau saja dia tahu akan peristiwa yang menimpa ibunya, dia tentutakkan mempedulikan hujan badai, berusaha kembali secepatnya
untuk menolong ibunya.
Hari itu dia terpaksa harus bermalam di dalam goa.
Dalam tidurnya, dia bermimpi bertemu dengan seorang wanita yang
mengenakan seragam tempur.
"Maukah kau bekerja untukku?", tanya wanita itu. "Siapa kau?",
tanya Ah Beng.
"Untuk sementara kau tak perlu tahu siapa aku", kata si wanita,
"cukup kau menjawab pertanyaanku : 'Kau ingin hidup sebagai
manusia biasa atau sebagai pendekar"?"
"Sudah barang tentu aku ingin jadi pendekar!""Memang tak salah penilaianku", kata wanita itu sambil senyum,
"aku menginginkanmu membunuh seseorang".
"Siapa?"
Wanita itu mengangkat sebuah tameng seraya berkata: "Lihatlah
sendiri olehmu!"
Tameng itu amat mengkilap bagaikan cermin. Ah Beng
memperhatikan, seketika dia jadi sangat terperan
jat.
Ternyata di tameng itu muncul kepala siluman wanita, kepalanya
penuh dengan ular berbisa, sangat menyeramkan keadaannya.
"Kau menghendaki aku membunuhnya!?", tanya Ah Beng dengan
sikap terperanjat.
"Ya", sahut si wanita, "siluman wanita ini telah banyak mencelakai
orang baik-baik".
*Baiklah! Tapi ke mana aku harus mencarinya? Dan dapatkah aku
membunuhnya?"
Sekarang kau masih terlampau muda, masih kurang pengalaman.
Tapi pada suatu hari nanti, kau akan pergi sendiri mencarinya!"
Begitu selesai berkata, wanita perkasa itu sirna dari hadapan Ah
Beng.
Tapi wajahnya berpeta jelas di benak Ah Beng.
Beberapa hari kemudian, setelah hujan badai reda, Ah Beng
meninggalkan pulau kosong itu, berlayar pulang,
Setiba di rumah, baru dia mendapat kabar kalau ibunya telah
ditangkap oleh Cheng-cu, membuatnya jadi sangat marah.
"Benar-benar keji Cheng-cu itu!", ucapnya geram.
Dia segera mendatangi tempat tinggal Cheng-cu sambil menghunus
pedang.
Setelah membunuh beberapa orang pengawal, berhasil juga diabertemu dengan ibunya.
Kala itu ibunya sedang sibuk bekerja, begitu melihat anaknya,
langsung memeluknya sambil menangis.
"Ibu!", panggil Ah Beng. "Anakku!"
Setelah saling bertangisan sejenak, Ah Beng berusaha menghibur
ibunya : "Sekarang semuanya sudah beres bu, mari kita pulang bu!"
"Sungguh besar nyalimu, bocah!", tiba-tiba Cheng-cu muncul di
hadapan mereka.
"Cheng-cu macam apa kau ini!? Bukannya melindungi rakyat, malah
menculik wanita baik-baik! .... Orang semacammu harus mampus!",
Ah Beng menghunus pedang, mulai melancarkan serangan.
Dia bukan saja pandai silat, tenaganya pun sangat besar.
Maka dalam beberapa jurus saja, dia telah berhasil membuat pedang
Cheng-cu terpental.
Ah Beng bermaksud menghabisi nyawa si penguasa kota, tapi
dicegah oleh ibunya : "Jangan nak! Jangan kau bunuh dia, kita akan
disalahkan orang nanti".
"Saya tak takut, bu. Orang semacam ini tak boleh dibiarkan hidup
terus, sebab nantinya dia akan mencelakai orang lagi!"
Gemetar tubuh Cheng-cu saking takutnya, memohon: "Sudilah ....
Enghiong .... mengampuniku".
Kala itu ibu Ah Beng melihat, bahwa diri mereka telah dikurung oleh
para pengawal sang Cheng-cu.
"Sudahlah nak, ampuni dia sekali ini", katanya pada anaknya, "kita
takkan dapat meloloskan diri bila membunuhnya".
Ah Beng mempertimbangkan sejenak, kemudian mengangguk :
"Baiklah! Sekali ini aku bersedia mengampunimu, tapi Cheng-cu
harus memenuhi syaratku!"
"Apa syaratmu?", tanya sang Cheng-cu."Perintahkan orang-orang ini minggir, jangan menghalangi kepergian
kami dan untuk selanjutnya Cheng-cu takkan mengganggu ibuku
lagi!"
"Baik, aku setuju", Cheng-cu terpaksa menyetujuinya.
Ah Beng mengajak ibunya meninggalkan rumah Cheng-cu tanpa
mengalami rintangan sedikit pun.
Di dalam perjalanan pulang Ah Beng berfikir : "Tampaknya Cheng-cu
takkan mau menyudahi persoalan ini begitu saja, aku harus
menempatkan ibu di tempat yang aman".
Setelah mempertimbangkan sesaat, dia menganggap Vihara
merupakan tempat yang paling aman bagi ibunya.
Maka untuk sementara dititipkan ibunya di tempat suci tersebut.
Ah Beng sendiri masih sering pergi menangkap ikan di laut.
Bila dia sedang pergi, Cheng-cu tentu takkan berani mengganggu
ibunya, sebab para Padri rata-rata memiliki kepandaian yang cukup
tinggi, sang Cheng-cu bukanlah tandingan mereka.
Sesungguhnya, Cheng-cu tak pernah dapat melupakan penghinaan
Ah Beng. Tapi, untuk membalas sakit hatinya dengan kekerasan dia
tak berani, cara yang dapat ditempuhnya adalah memakai siasat.
Lalu dikumpulkanlah para pembantunya.
Salah seorang pembantunya berkata: "Kabarnya di sebuah pulau
kecil di Tong Hay (Laut Timur), hidup seorang wanita siluman. Di
kepalanya penuh dengan ular berbisa seakan merupakan rambutnya.
Setiap orang yang berani mendekatinya, pasti akan mati dipagutnya.
Sebaiknya Cheng-cu menyuruh Ah Beng membasmi siluman wanita
itu!"
"Siasat yang baik".
"Setelah kita berhasil menyingkirkannya, Lian-ku pasti dapat Cheng-
cu ambil kembali".Para pembantu Cheng-cu saling menyatakan, seakan yakin benar
kalau Ah Beng akan tewas di tangan siluman wanita.
"Ya, kita atur begitu saja", kata Cheng-cu sambil tertawa.
Cheng-cu memanfaatkan hari jadinya untuk mengundang para
pendekar ternama. Ah Beng dimasukkan juga ke dalam daftar tamu
yang diundang.
Sebenarnya Ah Beng tak mau menghadirinya, tapi sang ibu
menasehatinya : "Pergilah nak, jangan kita melakukan kesalahan
terhadap orang seperti itu, tahanlah rasa dongkolmu".
Ah Beng adalah anak yang sangat berbakti terhadap orang tua, tak
mau dia menentang saran ibunya.
Berhubung kepergiannya dengan terpaksa, maka dia tidak membawa
hadiah apa-apa ketika menghadiri perayaan itu.
Sedang orang lainnya, yang bermaksud dapat menyenangkan hati
sang Cheng-cu rata-rata pada membawa hadiah yang mahal-mahal.
Demikianlah, ketika Ah Beng muncul dengan tangan kosong, banyak
yang mengoloknya :
"Kenapa datang dengan tangan kosong?"
"Apa yang ingin kau persembahkan untuk Cheng-cu kita, Toa
Enghiong?"
Jangan kau pandang enteng dia, hadiahnya pasti sangat berharga! ---
Mungkin dia akan mengajak ibunya!" 1b Disusul dengan ledakan
tawa mereka.
Selang sesaat, salah seorang berkata lagi : "Apa maksudnya mengajak
ibunya ke mari!?"
"Untuk dipersembahkan kepada Cheng-cu". Kembali meledak tawa
mereka.
Seorang lainnya menyambut : "Mana pantas ibunya menjadi
pasangan Cheng-cu, sudah tua jelek lagi ...."Mereka saling sahut satu dengan lainnya. Ternyata, segalanya itu
memang telah diatur oleh Cheng-cu.
Ah Beng hampir tak dapat menahan dongkolnya, kalau saja tidak
mengingat akan pesan ibunya sesaat dia akan berangkat tadi.
Sementara itu, ada seorang yang berpura-pura membela Ah Beng :
"Sudahlah, jangan kalian mengolok orang melewati batas!"
Menyambung pula yang lain : "Padahal hadiah yang akan
dipersembahkan sangat berharga! Dia akan membawa kepala
siluman wanita dari Tong Hay!"
Semua yang mendengarnya pada berseru kaget. Sebenarnya Ah Beng
ingin mengatakan sesuatu, tapi dengan adanya seruan dari orang-
orang yang hadir, seakan hal itu memang merupakan kenyataan,
membuatnya jadi batal berkata,
Pada saat itu Cheng-cu keluar seraya bertanya: "Benarkah itu, Ah
Beng? Betapa bangganya aku memiliki warga yang demikian Kosen
(gagah; perkasa) seperti kau!"
Keadaan Ah Beng seperti orang yang menunggang macan, bila
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membantah, untuk selanjutnya dirinya akan dicap sebagai pengecut.
Maka terpaksa dia berkata: "Benar Cheng-cu".
Dan kata-kata yang telah diucapkan, tak dapat ditarik kembali.
****
Ah Beng menemui ibunya di Vihara untuk pamitan.
"Baik-baiklah ibu menjaga diri selama saya tidak berada di kota ini,
saya yakin para Suhu di sini akan membantu ibu di kala mengalami
kesulitan", kata Ah Beng.
Dia berangkat dengan perlengkapan secukupnya.
Setelah berjalan beberapa saat, tibalah dia di sebuah tempat yang
sepi.
Dia berdo'a : "Oh Dewa yang Agung, tolonglah saya diberikankekuatan, agar selamat dalam perjalanan dan usaha saya tidak sia-
sia!"
Begitu selesai berdo'a, tiba-tiba wanita yang mengenakan seragam
perang seperti yang terlihat dalam mimpinya, telah berdiri di
hadapannya.
Sejenak Ah Beng bengong, selang sesaat dia pun berlutut di hadapan
wanita yang tampak agung itu : "Terimalah sembah sujud hamba,
Dewi yang Agung!"
"Bangunlah", kata sang Dewi, "permohonanmu telah terdengar oleh
Giok Tee (Raja Pu alam; Maharaja Dewata), yang langsung
mengutusku untuk memberi perlengkapan dalam menghadapi
siluman wanita itu --- Terimalah tameng dan pedang ini, juga
sepasang sepatu, yang bila kau kenakan, akan dapat terbang di
angkasa dan dapat pula berjalan di atas air".
"Terima kasih Dewi", Ah Beng kembali menyembah.
"Kau dilahirkan ke dunia memang mengemban tugas untuk
membasmi siluman dan segala bentuk kejahatan lainnya. Maka kau
tak perlu takut menghadapi siluman wanita itu. Asal kau tidak
menatap matanya dan tak peduli apa yang dilakukannya, langsung
menusuk dadanya melalui lobang tameng ini, dia akan segera mati.
Tapi kau harus tunggu sampai terpejam matanya, barulah kau
penggal kepalanya dan bungkus dengan kulit kambing. Jangan sekali-
kali kau membuka bungkusan itu, sebab, siapa saja yang melihat
kepala wanita siluman setelah tewas, dirinya akan berobah menjadi
patung, kau juga tidak terkecualikan".
Ah Beng mendengarkan petunjuk sang Dewi dengan seksama.
"Siapa Dewi sesungguhnya?", tanya-nya kemudian. "Sudah kubilang,
aku adalah utusan Giok Tee, itu saja". Selesai berkata, sang Dewi
sirna dari hadapan Ah Beng.Ah Beng mengangguk-anggukkan kepalanya ke angkasa sebanyak
tiga kali, sebagai rasa syukurnya terhadap Sang Penguasa Bumi dan
Langit, kemudian baru memperhatikan tiga benda pusaka itu.
Yang paling istimewa adalah pusaka yang berupa tameng, selain
mengkilap, di tengah-tengahnya terdapat lobang, yang dapat
dimasukkan pedang. Dengan begitu, si pemilik tameng, bukan saja
dapat melindungi diri, sekaligus dapat menyerang lawannya!
Ah Beng mengenakan sepatu pusaka, melayanglah dia ke angkasa
sambil membawa kedua senjata pusaka.
Ah Beng baru turun ke bumi ketika hendak makan, minum dan tidur.
Setelah menempuh perjalanan selama tujuh hari, sampailah dia di
pulau yang dimaksud.
Sepi sekali pulau itu, terselimut salju. Belum lama dia berjalan, telah
terlihat tiga wanita tua, yang gemetar tubuhnya karena kedinginan.
Baru saja Ah Beng hendak bertanya, salah seorang nenek itu telah
mendahului berkata : "Hati-hati kau, bocah, bila kau maju lebih jauh,
jiwamu akan terancam bahaya".
Ah Beng menghentikan langkah, bertanya : "Tahukah nenek di mana
tempat tinggal siluman wanita?"
"Apa maksudmu menanyakan dia?", si nenek yang berkata tadi balik
bertanya.
"Saya ingin membunuhnya, nek", Ah Beng menerangkan.
"Bagus, sebelumnya aku kuatir tak dapat menemukan orang yang
bersedia membantu kami membasminya", kata si nenek,
sejak dia datang ke pulau ini, langsung mengusir kami.... Bila terlalu
lama kami berdiam di sini, biar pun tidak mati di tangannya, tapi
akan mati beku --- Tempuhlah jalan ini, kau akan segera sampai ke
tempatnya".
Ah Beng menyusuri jalan yang ditunjuk si nenek, tak lama dia punberhasil melihat siluman wanita itu.
Sang siluman berdiri sambil memejamkan mata di bawah pohon,
satu-satunya pohon yang tumbuh di pulau tersebut.
Ah Beng memberanikan diri menghampiri si siluman wanita.
Ular-ular di kepala sang siluman, begitu melihat kedatangan Ah Beng,
langsung pada mengulurkan kepala, ingin memagutnya.
Tiba-tiba siluman wanita itu membuka mata, memandang Ah Beng
dengan sorot yang menyeramkan.
Hampir Ah Beng jatuh pingsan dibuatnya.
"Jangan sekali-kali kau tatap matanya!", Ah Beng ingat benar pesan
sang Dewi.
Dia segera mencabut pedang, memasukkan ke liang tameng,
menusuk dada siluman wanita itu.
Gerakan Ah Beng begitu cepat, benar-benar berada di luar dugaan
sang siluman, membuatnya tak sempat mengelak, mati tertusuk.
Ah Beng memenggal kepala sang siluman yang telah terpejam
matanya, lalu membungkusnya dengan kulit kambing.
Kemudian meninggalkan pulau itu,
ingin cepat-cepat pulang.Tapi di tengah perjalanan tiba-tiba bertiup angin kencang, yang
mengakibatkan sepatunya copot dan terbang terbawa angin entah ke
mana!?
Tubuh Ah Beng sendiri telah pula terpental jauh sekali.
Setelah reda, barulah Ah Beng sempat memperhatikan keadaan di
seputarnya. Ternyata dirinya berada di tengah gurun pasir, tak
terlihat perkampungan di situ.
Ah Beng menyadari, bila dia melanjutkan perjalanan dengan berjalan
kaki, tentu akan mati kelaparan dan kehausan.
Dewa yang Agung, tolonglah saya, agar dapat tiba di rumah", Ah
Beng memanjatkan do'a.
Selang sesaat, angin bertiup keras lagi, jauh lebih kencang dari
sebelumnya.
Ah Beng lari mengikuti tiupan angin, tak lama kemudian, dia pun tiba
di sebuah kota.
Kehadiran Ah Beng langsung dikerumuni oleh penduduk setempat.
"Apa maksudmu datang ke mari, anak muda?", tanya salah seorang
di antaranya.
"Saya Ah Beng. Setelah berhasil kubunuh siluman wanita di pulau,
langsung tertiup angin kencang, hingga tiba di sini".
Mereka pada kagum mendengar keterangan Ah Beng.
"Hebat kau! Kau benar-benar Enghiong (Pendekar)!", kata orang yang
bertanya barusan.
"Ya, dia memang luar biasa!", ucap seorang lainnya.
"Untuk selanjutnya kita tak perlu takut lagi", ujar yang lainnya pula
dengan perasaan lega, "juga takkan ada yang memaksa kita
menyediakan sesuatu untuknya!"
Kabar itu cepat sekali tersebar luas.
Penduduk kota langsung mengadakan pesta, merayakankeberhasilan Ah Beng.
Mereka memperlakukan Ah Beng sebagai pahlawan, bahkan sebagai
Dewa!
Ternyata kota ini adalah yang paling dekat jaraknya dengan
tempat tinggal si siluman wanita, hingga penduduk setempat selalu
resah, kuatir kalau-kalau ternak mereka dirampas oleh sang siluman.
Semula Ah Beng ingin cepat-cepat pulang, tapi ketika melihat begitu
meluapnya kegembiraan serta sambutan penduduk atas
keberhasilannya membunuh siluman, maka untuk beberapa hari dia
berdiam di kota itu.
Hari itu, Ah Beng pergi ke luar kota sendirian.
Setibanya di tepi pantai, dilihatnya ada seorang gadis yang
menyender di batu.
Ketika lebih ditegaskan, ternyata gadis itu ditambat pada batu
karang.
Butir-butir air mata membasahi pipi sang gadis begitu melihat
kehadiran Ah Beng.
"Nona .... kau ...."
Si gadis hanya menghela nafas, tak sepatah kata yang terucap dari
mulutnya.
Heran sekali Ah Beng menyaksikan keadaan itu, sebab bila melihat
keadaannya, si gadis telah lebih dari sehari ditambat di situ. Tapi
anehnya, kenapa tak seorang penduduk pun yang pernah
menyinggung soal itu.
Apa pula motif si gadis ditambat di batu karang pantai itu? "Kenapa
nona ditambat di sini?", tanya Ah Beng lagi.
"Saya tak bersalah", barulah si gadis berkata, "diri saya akan
dipersembahkan kepada siluman laut".
Ternyata siluman laut itu dapat menciptakan hujan badai, yangmengakibatkan air laut pasang dan melanda kota, hingga
menimbulkan kerugian harta benda bahkan nyawa.
Para penduduk memohon pada sang siluman, agar menghentikan
perbuatannya.
Siluman itu bersedia memenuhi permintaan penduduk dengan
syarat, bahwa setiap tahunnya harus mempersembahkan
seorang gadis kepadanya.
Penduduk kota terpaksa menyetujuinya.
Tahun ini adalah yang pertama, tapi berhubung hal itu sangat
memalukan, maka para penduduk tak mau menyebut-nyebut soal
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis yang akan dikorbankan kepada siluman Naga (yang oleh
penduduk disebut siluman laut) pada Ah Beng.
"Jangan takut nona", kata Ah Beng, "akan kuantar kau pulang".
"Jangan, lekaslah kau tinggalkan pantai ini, siluman laut itu akan
segera datang. Dia akan memangsamu juga, lekaslah menyingkir!",
kata si gadis, cemas.
Namun Ah Beng tak sudi meninggalkan si gadis begitu saja.
"Jangan kuatir nona, aku akan bersembunyi dulu di balik batu, begitu
siluman itu muncul, akan kubunuh dia!"
Tak lama kemudian, siluman Naga itu muncul dari tengah laut, cepat
bagaikan meteor gerakannya.
Begitu siluman itu hampir tiba di sisi gadis itu, tiba-tiba Ah Beng
keluar dari tempat persembunyiannya, menusuknya sampai mati.
Dengan matinya sang siluman, nyawa gadis itu dapat diselamatkan.
Para penduduk amat bersyukur akan keberhasilan Ah Beng
membunuh sang siluman Naga, mereka meminta agar Ah Beng sudi
menetap di kota itu, bermaksud mengangkatnya sebagai pemimpin
mereka.
"Terima kasih atas perhatian dan kepercayaan kalian yang begitubesar", kata Ah Beng, "tapi maaf, aku tak dapat menetap di sini,
sebab masih banyak persoalan yang harus kuselesaikan --- Bila
keadaan telah mengizinkan nanti, aku akan datang lagi ke mari".
Walau berat rasanya, tapi penduduk terpaksa melepas kepergian Ah
Beng, mengantarnya sampai ke batas kota.
Gadis yang telah diselamatkan jiwanya oleh Ah Beng, menyatakan
kesediaannya untuk menjadi isteri si pemuda gagah.
Ah Beng menyambut gembira kesediaan gadis itu, mengajak
Ah Beng keluar dari tempat persembunyiannya, menusuk siluman naga sampai
mati.nya ke kota kelahirannya untuk menemui ibunya.
Ketika mereka melintasi gurun, angin tak lagi bertiup keras seperti
sebelumnya.
"Sekali ini Dewa akan menyuruhku ke mana lagi?", tanya Ah Beng di
dalam hati.
Setiba di kampung halamannya, yang pertama dilakukan Ah Beng
adalah menemui ibunya.
Akan tetapi ibunya kembali telah ditangkap oleh Cheng-cu.
"Kami mohon maaf sedalam-dalamnya, karena tak dapat melindungi
ibu Sie-cu", kata pengurus Vihara.
"Apa yang telah terjadi sesungguhnya?", tanya Ah Beng.
"Tak lama setelah Sie-cu pergi, Cheng-cu telah mengutus para
pengawalnya menangkap ibumu. Kami berkeras
mempertahankannya, tapi kepandaian silat utusan Cheng-cu sangat
tinggi, banyak murid-muridku yang terluka. Malah kemudian mereka
mengancam, akan membakar Vihara ini bila tetap melindungi ibu Sie-
cu. Terpaksalah kami mengalah".
"Benar-benar biadab Cheng-cu itu!", Ah Beng tak lagi dapat
mengendalikan emosi, "sekali ini aku takkan sudi mengampuninya
lagi".
"Keadaannya sekarang beda dengan sebelumnya, banyak pengawal
yang tangguh, karenanya perbuatan Cheng-cu makin sewenang-
wenang, banyak wanita dari keluarga baik-baik ditangkap atau
diculiknya, membuat penduduk kota ini jadi resah. Untuk
menentangnya mereka tak mampu, maka diam-diam banyak yang
menyumpahi agar Cheng-cu cepat-cepat mati!", tutur pengurus
Vihara selanjutnya.
"Akan kubasmi manusia keji itu!", Ah Beng benar-benar telah habis
sabarnya.Dia menitipkan si gadis di Vihara, kemudian bergegas menuju ke
rumah Cheng-cu.
Kala itu Cheng-cu bersama para pembantunya sedang menikmati
tarian, penuh gelak-tawa serta tempik-sorak.
Ah Beng menerobos masuk, seketika suasana menjadi hening.
Pada mulanya sang Cheng-cu bersama para pembantunya
terperanjat, tapi ketika melihat Ah Beng tidak membawa kepala
siluman wanita, mulai tenang perasaan mereka.
"Tak sangka kau masih dapat kembali dalam keadaan hidup!", kata
Cheng-cu disertai tawa dinginnya.
Anak buah Cheng-cu ikut mengolok Ah Beng : "Mustahil dia dapat
membunuh siluman itu!"
"Ya, dia akan lari terbirit-birit begitu berhadapan dengan siluman!"
"Nyalinya tak lebih besar dari nyali tikus!"
Ah Beng menunggu sampai semuanya selesai berkata, barulah dia
buka suara :
"Aku telah berhasil memenggal kepala siluman wanita itu".
*Oh ya!? Di mana?", tanya Cheng-cu dengan sikap tak percaya.
"Di sini!"
Ah Beng membuka bungkusan kulit kambing, terlihatlah kepala si
wanita siluman.
Orang-orang yang memandang kepala itu, seketika menjadi patung.
Berhasilnya Ah Beng menumpas kezaliman, disambut gembira oleh
penduduk, yang langsung mengangkatnya sebagai Cheng-cu.
Setelah menjadi Cheng-cu, Ah Beng kumpul kembali dengan ibu dan
isterinya, melewati hari-hari yang penuh kedamaian dan
kebahagiaan.Dia memerintah kota itu dengan penuh kebijaksanaan
dan Adil,membuat keadaan rakyat hidup aman dan sejahtera.KASIH TAK SAMPAI
Menurut cerita, sejak dinasti Song sampai awal dinasti Cheng, hidup
sekelompok orang yang dinamakan 'To Beng (rakyat yang jatuh).
Mereka adalah orang-orang yang disisikan dari pergaulan masyarakat,
sebab leluhur mereka telah melanggar hukum, maka keturunannya tak
diperkenankan sekolah, apa lagi mengikuti ujian negara.
Kaum prianya hanya diperkenankan menjadi peniup terompet atau
pemukul gembreng di dalam mengiring rombongan pengantin,
sedangkan kaum wanitanya cuma diperkenankan sebagai pengiring
mempelai wanita, tidak diperkenankan menikah dengan keluarga dari
anggota masyarakat lainnya.
Yang akan kami turunkan di sini adalah cerita yang terjadi di akhir
dinasti Beng (Beng Tiauw).
Pada saat itu, di distrik Bun Hay-giam, hidup seorang 'To Beng' she
Touw, bernama Sie Liang.
Sie Liang mempunyai seorang anak, bernama Kuang Yuan, yang amat
rajin belajar.
Touw Sie Liang karena menganggap keluarganya adalah keturunan 'To
Be', maka tak ada gunanya anaknya sekolah. Dia menyarankan agar
Kuang Yuan belajar meniup seruling saja.
Namun Kuang Yuan tak sudi hidup dengan cara itu. Menurutnya,
dengan menuntut pelajaran di sekolah, nantinya dia akan dapat
menjadi pejabat di pemerintahan, hingga dapat mengangkat martabat
keluarganya.
Kuang Yuan memohon kepada ayahnya, agar diperkenankan
mengganti She (Marga) dan nama untuk dapat sekolah di kota. Dengan
demikian, orang lain tentu takkan tahu siapa dirinya.
Isteri Sie Liang mendukung cita-cita anaknya, mendesak sang suami
agar bersedia memenuhi hasrat Kuang Yuan.Atas desakan anak dan isteri, akhirnya Sie Liang terpaksa
menyetujuinya.
Keesokan harinya, Kuang Yuan pamit kepada kedua orang tuanya
untuk menuntut pelajaran di kota.
Orang tuanya amat sedih karena harus pisah dengan anaknya,
berpesan agar Kuang Yuan merahasiakan silsilah keluarga.
Kemudian Touw Sie Liang mengeluarkan sepasang pedang pusaka,
Wan Yo Kiam, memberikannya pada anaknya.
Kuang Yuan meninggalkan rumah dengan membawa perbekalan
secukupnya, juga sejumlah uang.
Di tengah perjalanan dia membeli seorang anak miskin, Huajie, yang
dijadikan kacungnya.
Tujuan Kuang Yuan adalah berguru pada seorang guru sekolah
terkenal, The Che Lan.
Begitu bertemu dengan guru The, Kuang Yuan mengaku dirinya
sebagai anak hartawan di Bun Hay-giam, she The bernama Jin Ce,
mengutarakan maksudnya untuk belajar di situ.
The Che Lan segera menerimanya sebagai salah seorang muridnya.
Waktu berlalu cepat sekali, tanpa terasa telah tiga tahun Jin Ce belajar
pada The Che Lan.
Pada suatu hari, The Che Lan, telah menerima tawaran dari Lie Pek Lin,
hartawan di Hay Ning, untuk mengajar dua orang anaknya.
The Che Lan memutuskan untuk menutup sekolahnya dan mengajar di
keluarga hartawan itu.
Jin Ce amat kecewa mendengar keputusan gurunya, memohon agar
dirinya diajak serta, agar dapat tetap belajar pada Che Lan.
The Che Lan memang merasa berat untuk pisah dengan muridnya yang
satu ini, sebab kecuali rajin, dia pun sangat cerdas.Begitu Jin Ce mengajukan permintaan tersebut, dia langsung
menyetujui dan mengajaknya ke keluarga Lie di Hay Ning.
Setiba di tempat yang dituju, sang guru menyuruh muridnya menanti
di luar, dia sendiri menemui tuan rumah.
Kedatangan guru The, disambut oleh Lie Pek Lin dengan gembira,
menyilakannya duduk di ruang tamu.
Setelah berbasa-basi sejenak, The Che Lan memberitahukan tuan
rumah prihal diri Jin Ce yang ingin ikut belajar.
Untuk beberapa waktu Pek Lin berdiam diri.
"Bagaimana dengan kepandaian The Kongcu itu?", tanyanya kemudian.
Che Lan mengeluarkan sebuah karangan Jin Ce.
Pek Lin membaca karangan itu, berpendapat, bahwa bahasanya cukup
baik lagi enak dibaca, tulisannya pun indah.
"Dengan ikut belajarnya dia di sini, tentu akan bermanfaat bagi
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anakku", kata hatinya.
Maka dia segera menyetujuinya, menyuruh pembantunya memanggil
Jin Ce.
Jin Ce memberi hormat pada tuan rumah : "Loopek".
Melihat sikap Jin Ce yang sopan lagi tampan, Lie Pek Lin tak ragu lagi
untuk menerima Jin Ce belajar bersama kedua anaknya.
Kemudian Pek Lin memanggil puteranya, Sie Chou dan puterinya,
Cheng Cheng, untuk diperkenalkan kepada guru mereka, juga pada Jin
Ce; memesan agar mereka rajin-rajin belajar dan selalu mendengar
kata guru.
Sejak itu, The Jin Ce belajar bersama dengan kakak beradik dari
keluarga Lie.
Ternyata Lie Sie Chou adalah pemuda berandal, malas belajar tapi suka
sekali berfoya-foya dan berjudi. Kerap kali dia menggunakan
kesempatan ketika sang guru tak berada di tempat, meninggalkanruang belajar untuk pergi berjudi, hingga di ruang itu hanya tinggal
Cheng Cheng berdua Jin Ce.
Cheng Cheng yang melihat Jin Ce jauh lebih pandai serta baik pula
perangainya, sering meminta petunjuk dari si pemuda untuk membuat
syair.
Berangsur-angsur cinta mulai bersemi di hati keduanya. Kadang kala
mereka main Khim (sejenis kecapi) sambil bernyanyi bersama; sering
juga Jin Ce mengeluarkan sepasang pedang pusakanya, mengajar
Cheng Cheng bermain pedang.
Cheng Cheng senang berlatih silat, untuk menggerakkan otot dan
membuat gerakannya menjadi lebih lincah.
Tanpa terasa, telah satu setengah tahun The Che Lan mengajar di
keluarga Lie.
Pada suatu hari, Lie Pek Lin menanyakan, sampai di tingkat mana
pelajaran yang dapat dikuasai oleh kedua anaknya!?
The Che Lan menyerahkan karangan mereka kepada Pek Lin.
Yang pertama dibaca oleh Pek Lin adalah karangan Jin Ce, langsung
memujinya.
Akan tetapi, begitu Pek Lin membaca karangan Sie Chou, mendadak
melotot dan memaki puteranya: "Kenapa karanganmu seburuk ini!?"
Sie Chou iri campur dongkol ketika ayahnya memuji Jin Ce dan
mencela karangannya.
"Saya rasa karangan saya pun cukup baik, tak kalah dari Jin Ce",
katanya.
Kemudian dia menghampiri ayahnya dan berbisik : "Selama ini
penglihatan Papa seperti ditutup, hingga tak tahu kalau dik Cheng
Cheng, amat intim dengan Jin Ce, setiap hari mereka main Khim atau
berlatih pedang ...."Namun sungguh di luar dugaannya, sang ayah bukan saja tidak marah,
malah berkata sambil senyum : "Jangan usil kau! Jin Ce adalah pemuda
baik, cerdas pula, aku bermaksud menjodohkan adikmu dengan dia!"
Mendengar itu, Sie Chou tak berani banyak bicara lagi.
Pada saat itu Lie Pek Lin berpaling pada The Che Lan seraya bertanya:
"Bersediakah pak guru menjembatani perjodohan puteri saya dengan
Jin Ce?"
The Che Lan langsung menyanggupinya.
The Che Lan menemui Jin Ce di ruang baca, mengungkapkan maksud
Lie Pek Lin pada muridnya,
Mendengar itu, Jin Ce kaget campur gembira, tapi ketika ingat akan
keadaan dirinya, dia jadi serba salah, sulit untuk mengambil keputusan,
hanya menunduk tanpa bersuara.
The Che Lan mengira muridnya tak dapat memutuskan sendiri,
berkata: "Kalian merupakan pasangan yang sepadan, maka kau tak
perlu kuatir, orang tuamu pasti akan menyetujui, bahkan mereka
tentunya merasa gembira --- Fikirkanlah baikbaik, kutunggu kabar baik
darimu!"
Selesai berkata, Che Lan meninggalkan muridnya.
Tak keruan perasaan Jin Ce sepergi gurunya. Dia memang merasa
cocok bersama Cheng Cheng, andai kata dapat menjadi suami isteri,
hidup mereka tentu akan sangat harmonis.
Namun dia kuatir rahasia dirinya terungkap, akan bersediakah Cheng
Cheng memaafkannya? Dapatkah hukum kerajaan mengampuninya?
Sebelum dia dapat menentukan sikap, tiba-tiba Cheng Cheng datang.
Ketika melihat Jin Ce mengernyitkan alis, seakan sedang menghadapi
soal rumit, Cheng Cheng segera bertanya : "Apa yang membuatmu jadi
semurung itu?"Jin Ce tidak menjawab, hanya memaksakan diri mengembangkan
senyum.
Cheng Cheng jadi salah menafsirkan sikap si pemuda.
"Sering kau katakan, bahwa kau menyintaiku, tapi ucapanmu itu hanya
sekedar pemanis saja", kata Cheng Cheng dongkol, bermaksud
meninggalkan si pemuda.
Jin Ce jadi sangat gugup, segera menarik tangan Cheng Cheng,
bermaksud memberitahukan segalanya.
Tapi kerongkongannya seakan tersumbat, membuatnya batal berkata.
Cheng Cheng tambah curiga ketika melihat sikap si pemuda yang ragu-
ragu itu, mendesaknya.
"Tadi pak guru ke mari", Jin Ce terpaksa berterus terang, "bermaksud
menjodohkan kita --- Bagaimana pendapatmu?"
Cheng Cheng malu campur gembira mendengar kabar itu, berkata lirih
: "Bila memang harus demikian jalannya, aku sih setuju saja".
105Cheng Cheng tambah curiga ketika melihat sikap si pemuda yang ragu-ragu itu,
mendesaknya.Senang hati Jin Ce mendengar kesediaan Cheng Cheng, lalu mengambil
salah sebilah Wan Yo Kiam, memberikannya pada Cheng Cheng
sebagai tanda mata.
Keesokan harinya, selagi Jin Ce menulis surat untuk orang tuanya guna
menyampaikan kabar gembira itu, tiba-tiba Sie Chou masuk. Jin Ce
cepat-cepat menyembunyikan surat itu ke dalam buku.
Sie Chou baru saja kalah judi, bermaksud meminjam uang pada Jin Ce
untuk modal berjudi lagi.
Namun Jin Ce tidak memiliki banyak uang, terpaksa menolak halus.
Saking malunya, Sie Chou jadi berobah marah. Tiba-tiba terdengar
suara Lauw Goat Hong, isteri Sie Chou.
"Celaka! Dia tentu telah tahu aku mengambil perhiasannya", kata hati
Sie Chou, gugup sekali sikapnya, segera kabur melalui jendela.
Padahal kedatangan Goat Hong bermaksud menyuruh sua minya
menjenguk ibunya yang sakit.
Namun, begitu dia sampai, suaminya sudah menghilang. "Ke mana
suamiku, The Kongcu?", tanyanya pada Jin Ce. "Baru saja pergi melalui
jendela", Jin Ce memberitahukan.
Mendadak datang seorang pembantu keluarga Lie, memberitahukan
pada Jin Ce : "The Siangkong dipanggil Looya, katanya ada urusan
penting yang ingin dibicarakan dengan Siangkong!"
Jin Ce segera berlalu, menemui tuan rumah.
Lauw Goat Hong menggunakan kesempatan selagi tak ada lain orang di
situ, bermaksud membaca karangan Jin Ce. Sebab, sebelumnya dia
sering mendengar akan kepandaian si pemuda dalam soal karang
mengarang. Sementara ia membalik-balik halaman buku yang terletak
di atas meja, tanpa sengaja menemukan surat Jin Ce tadi.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, Goat Hong mengambil surat itu dan
membacanya.Seketika dia jadi sangat terperanjat, sebab isi surat itu antara lain
mengungkapkan kalau Jin Ce sebenarnya seorang keturunan "To Beng'.
Kalau saja hal itu sampai diketahui oleh mertua laki-lakinya, Jin Ce
tentu akan mengalami malapetaka.
Telah cukup lama Goat Hong bersimpati pada Jin Ce, menganggapnya
seorang pemuda yang baik lagi jauh lebih pandai dari suaminya.
Tatkala Goat Hong bermaksud mengembalikan surat itu ke tempat
asalnya, tiba-tiba masuk seorang pelayan, yang memberitahukannya,
ia dipanggil oleh nyonya besar, mertua perempuannya.
Goat Hong terpaksa menyimpan surat itu, bermaksud
mengembalikannya begitu ada kesempatan nanti.
Sekembali Jin Ce di kamarnya, segera mencari suratnya yang
disembunyikan di sela-sela buku, tetapi tak ditemukannya. Cemas
benar hatinya, sebab bila rahasianya sampai diketahui orang, akan
celakalah dirinya.
Sejak saat itu dia jadi tak enak makan dan tidur, tak tenang
perasaannya.
Hingga ketika Lie Pek Lin merayakan Hari Jadinya yang ke 60, Jin Ce
tidak menghadirinya dengan alasan sedang terganggu kesehatannya,
duduk termenung di kamarnya.
Sejak kepergian Jin Ce, selama 5 tahun Touw Sie Liang tidak pernah
menerima surat atau kabar prihal anaknya, membuatnya agak kuatir,
maka berangkatlah dia ke kota untuk menemui puteranya.
Setelah tanya sana sini, akhirnya berhasil diketahui kalau anaknya
menumpang belajar di rumah keluarga Lie.
Sie Liang menggunakan kesempatan ketika Lie Pek Lin merayakan
pesta Ulang Tahunnya, dia ikut rombongan peniup terompet yang
meramaikan suasana pesta, dengan harapan dapat bertemu denganJin Ce. Selama itu, dengan seksama dia memperhatikan seluruh ruang,
namun tak melihat anak laki-lakinya.
Dalam suatu kesempatan, dia menyusup masuk ke ruang baca.
Sie Liang amat gembira ketika melihat Jin Ce berada di ruang itu,
segera menghampirinya seraya memanggilnya.
Kehadiran sang ayah yang tak diduga sedikitpun, membuat Jin Ce kaget
campur gembira, segera berlari menyongsong ayahnya.
Ayah dan anak saling berpelukan sambil mengucurkan air mata.
Ketika mereka sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datang
Cheng Cheng bersama pelayannya.
Cheng Cheng batal masuk ke kamar ketika mendengar ada orang yang
sedang bercakap-cakap di dalam, mencuri dengar dari sisi pintu
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alangkah terperanjatnya ketika tahu, bahwa Jin Ce sesungguhnya
adalah keturunan 'To Beng', yang menyamar sebagai anak hartawan,
agar dapat belajar pada guru The.
Hampir jatuh Cheng Cheng saking kecewanya, untung sempat dipapah
oleh pelayannya.
Tatkala Cheng Cheng bermaksud kembali ke kamarnya, bertepatan Jin
Ce mengantarkan ayahnya ke luar.
Pucat wajah Jin Ce ketika melihat Cheng Cheng, selang sesaat baru dia
bertanya: "Bila .... kau datang?"
Cheng Cheng tak menghiraukan, meninggalkannya.
Jin Ce sadar kalau rahasia dirinya telah terbongkar, segera mengejar
Cheng Cheng.
"Saya memang patut dihukum .... sudilah nona memaafkan saya!", dia
memohon sambil berlutut.
Tanpa terasa Cheng Cheng mengucurkan air mata. Dia berpendapat,
walau Jin Ce keturunan 'To Beng', tapi toh tetap sebagai insan yangpatut diperlakukan secara manusiawi. Ia menghela nafas dalam-dalam,
untuk sementara tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Melihat Cheng Cheng yang ternyata bersimpati padanya, Jin Ce amat
terharu campur gembira.
"Cheng Cheng .... Masih dapatkah kita bersama?", tanyanya
kemudian dengan suara gemetar.
Cheng Cheng menyuruhnya berdiri.
"Walau aku tidak keberatan, tapi orang tua dan kakakku tentu takkan
setuju", katanya.
Selagi mereka kebingungan, tiba-tiba terlihat guru mereka
mendatangi.
Cheng Cheng lalu menyarankan, agar Jin Ce meminta bantuan sang
guru.
Mereka segera menghampiri The Che Lan, memanggil : "Pak!"
Kemudian Jin Ce berlutut di hadapan gurunya.
The Che Lan jadi sangat heran, segera memapahnya bangun seraya
bertanya: "Ada soal apa, Jin Ce?"
Jin Ce menceritakan asal usulnya, kemudian memohon petunjuk sang
guru, agar dia tetap dapat bersama Cheng Cheng.
Sang guru sangat gusar, menyalahkan muridnya yang telah menipu
dirinya, malah mengancam akan membawa Jin Ce ke fihak yang
berwajib.
Cheng Cheng dan pelayannya ikut berlu tut, memohon pengampunan
bagi Jin Ce.
"Tolonglah Jin Ce, pak", ujar Cheng Cheng, "bila terjadi apa-apa atas
diri Jin Ce, bapak akan ikut terlibat juga, karena bapaklah yang
membawanya ke mari. Saya pun akan sangat menderita".Melihat gelagat Cheng Cheng dan Jin Ce begitu saling menyinta, timbul
rasa simpati di hati kecil sang guru, segera menyuruh mereka bangun
dan berjanji akan membantu terlaksana cita-cita mereka.
Kemudian The Che Lan memberitahukan, bahwa tak lama lagi akan
diselenggarakan ujian negara. Andai kata Jin Ce dapat lulus ujian,
kemungkinan besar orang tua dan kakak Cheng Cheng akan merestui
perkawinan mereka.
*
Waktu diselenggarakan ujian tiba, Jin Ce dan Sie Chou mengikutinya.
Selesai ujian, tinggal menanti pengumuman hasilnya.
Pada suatu hari, tiba-tiba di luar pintu keluarga Lie terdengar bunyi
tambur, menyusul ada yang menyampaikan berita gembira.
Jin Ce lulus, berada di urutan ke delapan, membuat si pemuda
kegirangan.
Sebaliknya, Sie Chou yang tak lulus, jadi murung dan tambah iri pada
Jin Ce.
Lie Pek Lin dan The Che Lan memberi ucapan selamat pada Jin Ce.
Lie Pek Lin berpendapat, setelah Jin Ce lulus ujian, maka tibalah
saatnya untuk menjodohkan anaknya. Dia segera menemui isterinya,
Ong-si, untuk merundingkan soal itu, sekaligus untuk menetapkan
tanggal baik bagi perkawinan puteri mereka dengan Jin Ce.
Lauw Goat Hong, kakak ipar Cheng Cheng, ikut gembira atas lulusnya
Jin Ce dalam ujian negara. Mendadak ia ingat akan surat Jin Ce yang
belum dikembalikan, bermaksud menggunakan kesempatan sekarang
ini untuk mengembalikannya.
Tapi baru saja dia tiba di muka kamar Jin Ce, Sie Chou juga datang ke
situ.Goat Hong jadi sangat gugup, berusaha menyembunyikan surat
tersebut, apa mau dikata, telah terlihat oleh suaminya, yang langsung
merampas dan membacanya.
Kini terbongkarlah rahasia Jin Ce yang bernama asli Touw Kuang Yuan
dan keturunan To Beng'.
"Bagus! Biasanya bocah itu amat angkuh, sekali ini takkan lepas dari
tanganku!", gumamnya disertai tawa dingin, cepatcepat berlalu.
Goat Hong amat cemas, bergegas masuk ke kamar Jin Ce, berseru :
"Celaka The Siangkong!". Lalu menceritakan apa yang baru dialaminya.
Saking kagetnya, gemetar tubuh Jin Ce, tak tahu apa yang harus
dilakukan!
Goat Hong kasihan melihat keadaan si pemuda, ujarnya : "Sebaiknya
Siangkong segera buron, sikap mertua saya amat kejam bila sedang
marah".
Walau merasa berat, Jin Ce terpaksa menuruti saran itu, segera buron,
tapi telah terlambat!
Lie Pek Lin bersama Sie Chou, mengajak para pembantunya mengejar
Jin Ce.
"Mau kabur ke mana kau, keparat!?", hardik Pek Lin.
Jin Ce yang menyadari sulit bagi dirinya untuk dapat meloloskan diri,
segera berlutut seraya memohon : "Saya akui kesalahan saya, paman
...."
"Siapa pamanmu?", Pek Lin menendang, hingga Jin Ce jatuh terguling.
Menyusul Pek Lin menyuruh pembantunya melucuti pa kaian Jin Ce,
mencambuknya sampai lecet kulit di sekujur tubuhnya.
The Che Lan ketika mendengar kabar itu, segera menemui tuan rumah
dan ketika melihat keadaan Jin Ce yang begitu menyedihkan, dia
memohon pengampunan baginya.Namun Lie Pek Lin bukan saja tak sudi mengampuni Jin Ce, malah
mengusir Che Lan, yang dianggapnya sebagai penyebab segalanya itu,
hingga merusak nama baik keluarganya.
Jin Ce marah melihat gurunya dihina, mengumpulkan tenaganya,
bangkit dan menyatakan, bahwa persoalannya sama sekali tak ada
sangkut pautnya dengan gurunya, malah kemudian dia memaki Lie Pek
Lin sebagai manusia yang tidak berperasaan, kejam!
Lie Pek Lin tambah marah, bukan saja tetap mengusir The Che Lan,
bahkan menyuruh orangnya untuk meringkus serta 'mentatto' muka
Jin Ce dengan huruf 'To Beng'.
Saking sakitnya Jin Ce jatuh pingsan.
Hua-jie, pelayan Jin Ce, kasihan melihat keadaan majikannya, segera
menubruk tubuh Jin Ce sambil menangis.
Begitu sedihnya, hingga dia tak mempedulikan segalanya la
"Siapa pamanmu?", Pek Lin menendang, hingga Jin Ce jatuh terguling.gi, menuding Pek Lin sambil memaki : "Sungguh kejam kau, Loo-cat
(penjahat tua)! Biarpun dia keturunan To Beng', tapi kan manusia juga!
Di mana hati nuranimu?"
"Sudah bosan hidup rupanya kau bocah, hingga berani memaki Loo-
hu!?". Pek Lin memperdengarkan tawa dingin, menyuruh
pembantunya menghajar Hua-jie.
Kasihanlah Hua-jie yang baru meningkat remaja, tak tahan
menghadapi pukulan yang bertubi-tubi dan berat, yang membawa
sampai ke ajalnya.
Lie Pek Lin bukannya kaget dan sedih menyaksikan kematian Hua-jie,
malah tertawa terbahak-bahak, kemudian menyuruh pembantunya
memakamkannya di pegunungan yang tak jauh letaknya dari
rumahnya. Sedangkan diri Jin Ce dikurung di gudang kayu rumahnya,
siap diserahkan kepada fihak yang berwajib dalam waktu dekat.
Sekujur tubuh Jin Ce terasa panas dan sakit, sedikit harapan baginya
untuk dapat hidup, apa pula bila dirinya sampai diserahkan kepada
fihak yang berwajib.
Dalam saat-saat menanti tiba ajalnya, mendadak terlihat pintu gudang
terkuak dan masuk seseorang.
Jin Ce terkejut ketika melihat yang masuk adalah Lauw Goat Hong.
"The Siangkong, aku baru saja dari kamarmu serta mengambil
pedangmu", kata Goat Hong, "lekaslah kau buron!"
Goat Hong lalu memutuskan tali pengikat tubuh Jin Ce dengan pedang.
Jin Ce mengambil pedangnya seraya mengucapkan terima kasih,
bergegas meninggalkan keluarga Lie.
Setelah Jin Ce pergi, Goat Hong mengunci pintu gudang, kemudian
sengaja merusak daun jendela, seakan-akan Jin Ce kabur melalui
jendela!
*****Jin Ce terkejut ketika melihat yang masuk adalah Lauw Goat Hong.Lie Pek Lin belum juga hilang marahnya, biarpun dia telah mengusir
The Che Lan, menghukum cambuk Jin Ce, bahkan menganiaya Hua-ji
hingga menemui ajalnya.
Didatangi kamar Cheng Cheng, menyalahkan puterinya terlampau
intim dengan Jin Ce.
"Tapi Jin Ce adalah pemuda yang baik, Thia (ayah)", Cheng Cheng
berusaha membela diri, "bukan Thia-thia sendiri yang ingin
menjodohkan saya dengannya!?".
Lie Pek Lin tambah marah.
"Dasar anak tak tahu malu!" hardiknya, "kau intim dengan To Beng'
berarti telah mencoreng mukaku, lebih baik kau mati dari pada hidup
membikin malu keluarga ...."
Ong-si dan Goat Hong naik ke loteng ketika mendengar sua ra ribut-
ribut di kamar Cheng Cheng.
Goat Hong tahu kalau mertua laki-lakinya keras wataknya, takkan ada
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gunanya memberi pengertian pada saat seperti itu, maka ia hanya
berkata : "Sebaiknya Kongkong bersabar, serahkanlah dik Cheng Cheng
pada kami, biar nanti kami yang akan menerapkan aturan keluarga
padanya!"
Pek Lin berlalu, tetap marah-marah.
Cheng Cheng tak menyangka kalau ayahnya begitu keras wataknya,
biar terhadap anak kandung sendiri. Dengan hati pilu, ia memeluk
ibunya sambil menangis.
Goat Hong terharu menyaksikan keadaan adik iparnya, ikut
mengucurkan air mata.
Tiba-tiba Goat Hong mendapat akal, menyuruh Cheng Cheng segera
menanggalkan pakaiannya.
"Apa maksud Soso?", tanya Cheng Cheng heran."Lekaslah dik Cheng Cheng buron dari sini melalui pintu belakang. Aku
akan melempar pakaianmu itu ke dalam sumur, mendustai Kongkong,
bahwa kau membunuh diri dengan mencebur ke sumur".
(Kongkong = Panggilan untuk mertua lelaki). Setelah berunding sesaat,
rencana itu jadi dilaksanakan. Ibu Cheng Cheng, Ong-si, menyuruh
seorang pelayannya
memberitahukan suaminya, bahwa puteri mereka telah bunuh diri.
Kemudian ia bersama dengan Goat Hoang berpura-pura menangis
sedih di tepi perigi.Lie Pek Lin datang tak lama kemudian, ketika melihat isteri dan
menantunya menangis, melihat juga pakaian puterinya, langsung saja
percaya kalau Cheng Cheng membunuh diri.
"Lebih baik dia bunuh diri, dari pada nama baik keluarga kita sampai
tercoreng!", kata Pek Lin sambil berlalu.
Kemudian dia menyuruh pembantunya membawa Jin Ce ke fihak yang
berwajib, agar dijatuhi hukuman atas penipuannya terhadap dirinya.
Tak lama berselang sang pembantu telah kembali ke hadapannya,
melaporkan : "The Jin Ce telah buron dengan merusak jendela, pak".
Kabar itu telah membuat Pek Lin jadi tambah marah, segera dia
menulis surat, menyuruh pembantunya membawa ke Wedana yang
merupakan sahabat karibnya, meminta pejabat itu agar menghukum
Touw Kuang Yuan yang keturunan 'To Beng' seberat-beratnya.
Begitu menerima surat dari sang hartawan, sang pejabat segera
mengutus bawahannya untuk menangkap orang yang dimaksud di
distrik Bun Hay-giam. Tapi mereka tidak berhasil menemukan Kuang
Yuan, maka Sie Liang yang ditangkap sebagai ganti anaknya.
Isteri Sie Liang yang berusaha memohon belas kasihan, malah
ditendang oleh petugas hingga jatuh terguling, menangis di muka
rumahnya.
Tak lama kemudian Kuang Yuan datang dengan sikap lesu.
Karena luka dan sakit yang dideritanya, Kuang Yuan sering beristirahat
di sepanjang jalan menuju ke rumahnya, hingga terlambat sampai di
rumah.
Begitu tiba, Kuang Yuan segera memeluk ibunya sambil menangis.
"Kesalahan apa sebenarnya yang telah kau lakukan, hingga fihak yang
berwajib mencarimu ke mari? Ketika mereka tidak menemukanmu,
ayahmu yang ditangkap mereka!", ujar sang ibu sambil berusaha
mengekang rasa sedihnya.Kuang Yuan menceritakan segala yang terjadi di keluarga Lie pada
ibunya.
"Kenapa kita dilahirkan jadi 'To Beng'? --- Semua ini adalah kesalahan
leluhur kita, kenapa anak-cucunya yang harus jadi korban ....?", keluh
Kuang Yuan.
Makin difikir makin dongkollah dia, hingga bermaksud menghancurkan
meja sembahyang leluhur, tapi sempat dicegah oleh ibunya.
"Tenang nak, sudah sejak lama peraturan itu berlaku dan telah pula
diakui oleh masyarakat luas, maka tak usah kau menyalahkan leluhur
kita", sang ibu berusaha menenangkan anaknya.
Mendengar itu, Kuang Yuan bagaikan orang yang baru sadar dari
mimpi, segera mencabut pedang, bermaksud menemui Wedana, untuk
meminta keadilan.
Namun, menyadari wajahnya telah 'ditatto' dengan huruf "To Beng',
membuatnya jadi murung dan bertambah sedih teringat akan nasib
Hua-jie yang tewas gara-gara dirinya, Cheng Cheng yang harus
menderita, juga telah menyusahkan bahkan mencelakai ayahnya. Oleh
karenanya, dia mengambil keputusan lebih baik mati dari pada hidup
terus, tapi selalu menyusahkan orang lain.
Ditempuhnya jalan pintas, membunuh diri dengan menusukkan
pedangnya ke dadanya.
Sang ibu bermaksud mencegah perbuatan nekad anaknya, tapi telah
terlambat.
Tak lama Cheng Cheng datang.
Ternyata, setelah Cheng Cheng kabur dari rumah, langsung menemui
The Che Lan.
Sang guru menyuruhnya menemui Kuang Yuan, tapi kedatangannya
terlambat beberapa saat, Kuang Yuan telah mati bunuh diri.Cheng Cheng amat sedih menyaksikan kematian pemuda yang
dicintainya. Timbul rasa bencinya terhadap kekejaman ayahnya,
membuatnya putus asa dan mencabut Wan Yo Kiam tanda mata Kuang
Yuan, membunuh diri juga.
Demikian pula halnya dengan ibu Kuang Yuan, setelah suaminya
ditawan dan anaknya membunuh diri, ia tak ingin hidup lebih lama lagi
di dunia yang dianggapnya kejam, mengakhiri hidupnya dengan
menggantung diri.
Demikianlah lakon sedih ini mengakhiri cerita.
________________
TERMAKAN PERBUATAN SENDIRI
Di zaman dulu, hidup pasangan suami isteri yang telah berusia
setengah baya, mereka hanya mempunyai seorang anak, yang diberi
nama Pun Ciong.
Setelah dewasa, Pun Ciong menikah dengan Ong-si.
Ong-si adalah wanita yang berhati keji, tamak, tidak menghormati
mertua.
Tak lama kemudian, sang mertua perempuan telah melahirkan seorang
bayi laki-laki.
Orang tua Pun Ciong amat senang dapat memperoleh anak lagi, yang
mereka beri nama Pun Hauw.
Ong-si semakin tak senang pada mertuanya.
"Dengan lahirnya Pun Hauw, maka nantinya warisan jadi terbagi, tak
dapat kukuasai sendiri", kata hatinya.
Maka tidaklah mengherankan kalau Ong-si amat membenci adik
iparnya yang masih bayi itu.
Sang mertua sedih campur dongkol menyaksikan keadaan itu.Pada suatu hari, Ong-si berkata pada suaminya: "Coba kau fikir Pun
Ciong, sudah setua itu ibumu masih melahirkan, malu kita sama
tetangga".
Sang suami berdiam diri.
"Setiap kali aku pergi ke pasar, ada saja orang yang menanyakan
adikmu yang baru lahir itu", kata Ong-si pula, "benarbenar malu aku".
"Ibu memang agak keterlaluan, sudah setua itu masih juga melahirkan
anak", Pun Ciong mulai menyalahkan ibunya juga.
"Setelah dewasa nanti, tentu akan minta sebagian warisan dari orang
tua", kata sang isteri.
"Itu wajar", kata Pun Ciong.
"Kenapa kau jadi setolol itu?", ucap Ong-si kurang senang, "dengan
susah payah kau baru bisa seperti sekarang. Tapi dengan lahirnya
adikmu itu, dia tentu membutuhkan makan dan pakaian, nantinya
akan sekolah juga. Masih kau anggap patut menerima separuh warisan
orang tua?"
Pun Ciong diam sejenak, seakan sedang menimbang pendapat
isterinya.
"Menurutmu, apa yang sebaiknya kita lakukan?", tanyanya kemudian.
"Sebaiknya kita bunuh saja dia!" "Oh!"
"Kenapa 'oh' segala, saranku ini adalah demi kebaikanmu!", ujar Ong-si
dengan sikap kurang senang.
Pun Ciong yang sejak semula memang takut isteri, segera berkata:
"Baik, baik, akan kuturuti saranmu!"
Namun untuk mencelakai adiknya bukanlah persoalan yang mudah.
Sebab sang adik selalu berada dalam gendongan serta pengawasan
ibunya, bagaimana dia dapat turun tangan? Bagaimana pula kalau
sampai diketahui orang lain? Malah ada kemungkinan diri mereka yang
akan celaka!Setelah mencari-cari jalan selama tiga hari tiga malam, barulah mereka
berhasil menemukan cara yang dianggap baik lagi aman.
Hari itu Pun Ciong menemui ibunya, berseri wajahnya.
"Sejak melahirkan dik Hauw, Nio (ibu) jarang pergi", katanya, "tadi di
jalan saya bertemu dengan Lie Pekpek yang memberitahukan, bahwa
nenek amat kangen sama ibu".
"Ya, gara-gara sibuk mengurus adikmu, telah lama aku tidak pernah
menjenguk nenekmu", kata sang ibu.
Ayah Pun Ciong yang sempat mendengar percakapan mereka,
menyarankan : "Sebaiknya kau pulang sebentar ke rumah orang tua,
kasihan ibumu yang telah berusia 80-an itu, tentunya mengharapkan
dijenguk oleh anak dan cucu".
"Tapi anak ini masih terlampau kecil". sang isteri memandang Pun
Hauw yang digendongnya, "aku kuatir dia masuk angin bila menempuh
perjalanan cukup jauh".
"Akan saya antar Nio dengan kereta kerbau", kata Pun Ciong.
Sang ibu yang tidak berpra-sangka apa-apa, menganggap Pun Ciong
seorang anak yang berbakti, langsung menerima tawaran tersebut,
mulai mengemasi barang-barangnya.
Ong-si membantu mertuanya menggendong adik iparnya, suatu hal
yang tak pernah dilakukan sebelumnya.
Girang hati orang tua Pun Ciong ketika melihat sifat anak dan menantu
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang telah jauh berobah dari sebelumnya. Mereka tak menyadari,
kalau segalanya itu hanya merupakan siasat belaka.
**
*
Setelah selesai mengemasi segalanya, sang ibu pun naik ke atas kereta
kerbau.Telah sekian lama ibu Pun Ciong tidak bepergian, kini berkesempatan
menikmati panorama di sepanjang jalan yang dilaluinya bersama anak
bungsunya yang amat disayang.
Agak panas hati Pun Ciong melihat ibunya demikian sayang pada
adiknya.
"Tak salah memang kata isteriku, tak ada gunanya membiarkan adik
seperti ini hidup lebih lama, nantinya toh dia akan meminta separuh
dari warisan orang tua, lebih baik kubereskan sekarang saja!", dalam
hati Pun Ciong.
Pun Ciong menghentikan keretanya di sebuah tempat yang
sepi.
"Kenapa berhenti di sini?", tanya ibunya.
Pun Ciong tak menyahut, mengambil cangkul, turun dari kendaraan.
Mulai dia mencangkul tanah. Sang ibu semakin heran menyaksikan
ulah anak tertuanya. "Apa maksudmu mencangkul tanah?"
"Tak usah Nio banyak bertanya", sahut Pun Ciong, terus mencangkul,
"apa yang saya lakukan pasti ada gunanya".
Sang ibu mulai berfirasat kurang baik, pasti akan terjadi sesuatu yang
tak diingini.
Kala itu Pun Hauw mendadak menangis.
Si ibu berusaha dengan berbagai cara agar anaknya diam, tapi Pun
Hauw terus menangis.
"Cep, cep, anak manis, sebentar kita sampai di rumah nenek", bujuk
sang ibu.
Pun Ciong yang mendengar ucapan ibunya, menjadi kendur tekadnya
untuk membunuh adiknya, terasa berat hatinya untuk melanjutkan
pekerjaannya.
Akan tetapi, ketika ingat nantinya sang adik akan menguasai separuh
dari harta warisan orang tuanya, kembali mengeraskan hatinya untukterus mencangkul tanah. Beberapa waktu kemudian, dia berhasil
menggali lobang yang cukup besar.
"Nio, turunlah!", kata-nya. "Untuk apa, anakku?", tanya sang ibu.
"Lepaskan dik Hauw dari gendonganmu!"
"Kenapa?", tanya ibunya lagi sambil lebih mengeratkan pelukannya.
Pun Ciong merebut adiknya dari dekapan ibunya.
"Nio sudah setua ini bukannya hidup tenang dan senang di rumah,
malah harus berpayah-payah merawat anak", Pun Ciong mulai
melampiaskan kemendongkolannya, "sekarang akan saya kubur dia
hidup-hidup!"
"Jangan! Jangan!"
"Nio tak usah mencampuri urusan ini", Pun Ciong bersiap melempar
adiknya ke dalam lobang.
"Aku mohon dengan sangat Pun Ciong, jangan kau bunuh adikmu!",
sang ibu memohon sambil berlutut di hadapan anaknya, "aku tahu
maksudmu dan isterimu, yang kuatir adikmu minta bagian warisan
orang tua nantinya. Tapi kau tak perlu kuatir, Nio jamin, setelah
adikmu dewasa nanti, dia takkan meminta apa-apa, harta kami boleh
kalian kuasai seluruhnya".
"Saya memang tahu Nio adalah ibu yang baik, tapi saya kuatir, setelah
Pun Hauw dewasa nanti, dia akan berkeras untuk minta bagian", kata
Pun Ciong.
Pada saat itu, Pun Ciong bermaksud melempar adiknya ke lobang yang
sengaja disiapkan.
Namun dalam gugupnya, sang ibu mendahului melompat turun ke
dalam lobang.
Pun Ciong berusaha menarik ke luar ibunya.
"Naiklah Nio, telah bulat tekad saya untuk membereskan nyawa Pun
Hauw".Sang ibu memeluk Pun Hauw, menanti tiba ajalnya."Tidak!", sang ibu menangis, "bila kau ingin mengubur adikmu,
kuburlah Nio bersamanya!"
Tambah dongkol Pun Ciong melihat ibunya terus melindungi adiknya.
"Baiklah bila itu yang Nio kehendaki!", katanya sambil mengeraskan
hati.
Selesai berkata, dia melemparkan adiknya pada ibunya, bersiap
menguruk lobang itu.
Sang ibu memejamkan mata seraya memeluk Pun Hauw, menanti tiba
ajalnya.
Tapi, biar telah lama dia menanti, tak terasa ada tanah yang menimbun
dirinya.
Ketika dia membuka mata, didapati anak sulungnya tergeletak di
tanah, bagaikan orang yang sudah tak bernyawa.
Si ibu naik, menolak tubuh anaknya, ternyata putera sulungnya itu
memang benar-benar telah mati.
Ibu bersama anak bungsunya segera naik ke kereta kerbau, berusaha
pulang secepatnya dengan penuh diliputi ketakutan.
Ong-si, isteri Pun Ciong, ketika mendengar kabar kematian suaminya,
segera bergegas menuju ke tempat kejadian.
Tatkala mendapatkan suaminya sudah tak bernyawa, dia langsung
menubruk jenazah Pun Ciong seraya menangis, sedih benar. Entah
mengapa, mendadak Ong-si juga terhenti nafasnya, mati juga!
Orang tua Pun Ciong sangat heran ketika menyaksikan kejadian itu,
tapi tak berdaya untuk menghidupkan lagi anak dan menantunya,
terpaksa memakamkan mereka dalam liang yang digali oleh Pun Ciong.
Inilah yang dinamakan 'Menggali makam sendiri' atau 'Ter
________________PUSAKA DARI GOAN BU NIO NIO
Lama sebelum zaman kita ini, hidup seorang pemuda gundul (botak)
yang tinggal bersama ibunya yang telah tua.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Gundul pergi ke gunung untuk
mencari kayu bakar. Ketika dia lewat di sebuah jalan, tibatiba turun
hujan lebat, yang membuatnya basah kuyup.
Dia sangat heran, sebab cuaca hari itu baik, maka aneh sekali bisa
mendadak turun hujan dan hanya sekejap pula.
Dia menengadah, langit bersih, tak ada gumpalan awan sedikitpun.
Ternyata ada seorang gadis dari keluarga hartawan, tanpa disengaja
telah membuang air bekas cuci muka, seember penuh dan tepat
menyiram si Gundul.
Gadis itu merasa bersalah, lalu melemparkan sehelai sapu tangan ke
arah Gundul dengan sikap malu-malu, yang maksudnya agar dapat
digunakan untuk menyeka mukanya.
Begitu menerima sapu tangan, Gundul memakainya untuk menyeka
mukanya, berkata dalam hati : "Ia memberiku sapu tangan tentu
lantaran jatuh cinta padaku, tak boleh kusia-siakan kesempatan ini.
Lagi pula parasnya cantik sekali".
Dia pun bergegas pulang, berkata pada ibunya: "Nio, ketika saya tadi
lewat di sebuah jalan, ada seorang gadis kaya yang diam-diam jatuh
cinta pada saya".
"Jangan kau berkhayal yang bukan-bukan!", kata sang ibu, "kita orang
miskin, kepalamu botak dan wajahmu pun tidak tampan, mana
mungkin ada gadis dari keluarga kaya yang tertarik padamu!?", kata
sang ibu, yang dongkol campur geli menyaksikan sikap anaknya.
"Saya tidak berkhayal Nio, dia benar-benar menyintai saya", kata sang
anak,"dia malah memberiku tanda mata".
"Coba kulihat!"Gundul segera memperlihatkan sapu tangan pemberian si gadis cantik.
Sang ibu juga sangat heran, tapi ia masih tetap meragukan keterangan
anaknya.
Sejak itu, Gundul selalu terkenang pada gadis kaya lagi cantik itu,
membuatnya tak enak makan dan kurang tidur, mengakibatkan
tubuhnya kian hari kian susut.
Tak sampai sebulan, dia pun jatuh sakit, terus terbaring di ranjang.
Sang ibu sangat cemas melihat keadaan anak tunggalnya, yang juga
merupakan tulang punggung keluarga, maka bila terjadi apa-apa atas
dirinya, kepada siapa ia harus menggantungkan hidup?
Sakit si Gundul tambah hari kian berat jua, sang ibu semakin murung,
sering diam-diam mengucurkan air mata.
Pada suatu hari, Gundul berkata pada ibunya : "Nio, tolonglah utus
seseorang untuk melamar puteri hartawan itu dan andai kata
ditolaknya juga, mati pun saya tidak penasaran". EV Melihat sakit
anaknya yang semakin parah, sang ibu terpaksa memenuhi
permintaannya, mengutus orang, melamar gadis dari keluarga kaya itu.
Sekembalinya utusan tadi, langsung melaporkan kepada ibu si Gundul.
Sang ibu segera menemui anaknya. "Bagaimana Nio?", tanya Gundul,
tak sabar.
"Rasanya sulit terpenuhi harapanmu, nak!", sahut ibunya prihatin.
"Kenapa?', Gundul duduk di pembaringan,"mereka menolak?"
"Ayah si gadis mengajukan syarat, meminta sepasang burung gereja
putih, mutiara sebesar gantang (takaran beras), kulit naga dan jenggot
yang panjangnya 22 elo dan beratnya dua ci. Bila kau dapat
mengusahakan keempat benda pusaka itu, dia baru bersedia
mengawinkan anaknya padamu. Tapi Nio rasa, sulit bagi kita untuk
memenuhi syaratnya itu, sebab keempat benda pusaka itu mungkin
hanya terdapat di Nirwana", kata sang ibu, murung sekali sikapnya."Saya yakin keempat benda pusaka itu pasti ada di bumi",kata Gundul,
"bila tidak bagaimana mungkin orang kaya itu bisa tahu akan benda-
benda tersebut!?"
"Kalau pun terdapat di bumi, ke mana hendak kau cari?", sang ibu
tetap ragu.
"Saya dengar di kerajaan Buddha di See Thian, merupakan gudangnya
benda-benda pusaka. Benda-benda itu disimpan dan dijaga oleh Goan
Bu Nio Nio (Dewi Goan Bu). Menurut cerita orang, bahwa Goan Bu Nio
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nio adalah Dewi yang murah hati, saya akan memohon padanya dan
saya yakin sang Dewi akan memenuhi harapan saya itu", berseri wajah
Gundul, seakan yakin dirinya dapat memperoleh benda-benda pusaka
itu.
"Tapi sekarang kau sedang sakit dan kerajaan Buddha di See Thian itu
jauh sekali letaknya dari sini, sulit bagimu ke sana".
"Setiap hari saya ke gunung mencari kayu, malah terkadang ke gunung
yang jauh letaknya, jadi sudah biasa bagi saya menghadapi segala
kesukaran. Biarpun saya belum tahu di mana sebe narnya letak
kerajaan Buddha itu, tapi saya yakin berada di arah Barat. Besok saya
akan berangkat ke sana".
Sang ibu masih berusaha mencegahnya, tapi karena tekad Gundul
telah begitu bulat, ibunya tak dapat mencegahnya lebih jauh. Ia lalu
menyiapkan makanan kering cukup banyak, untuk bekal anaknya agar
tidak kelaparan di jalan.
Sungguh kasihan keadaan ibu itu, sambil menangis menyiapkan bekal
makanan bagi anaknya yang saat itu justru sedang sakit, lagi agak
parah. Kepergiannya tentu akan mengalami lebih banyak penderitaan
dari pada menyenangkan. Ia amat cemas terjadi hal-hal yang tak
diinginkan menimpa anaknya dalam perjalanan itu.Namun anehnya, begitu timbul hasrat untuk memperoleh benda-
benda pusaka, agar dapat mempersunting gadis pujaannya, sakit
Gundul malah jadi sembuh.
Keesokan harinya, Gundul pamit pada ibunya, memikul dua keranjang
makanan kering berikut beberapa potong pakaiannya, mulai
menempuh perjalanan ke Barat.
Dia berjalan tanpa mengenal lelah, hingga tak terasa telah tiga tahun
dia melakukan perjalanan. Makanan yang dibawanya telah lama habis,
maka dalam perjalanan selanjutnya, dia selalu meminta belas kasihan
orang untuk mengisi perutnya yang lapar.
Penderitaan yang dialami Gundul sulitlah dilukiskan dengan kata-kata,
yang pasti, sering dia mengucurkan air mata bila telah memuncak
kesulitan yang harus diatasinya. Namun begitu, tekadnya tetap
membaja, hingga tak pernah terlintas dalam be naknya untuk kembali
ke kampung halamannya, sebelum usahanya berhasil.
Pada suatu hari, dia melewati kebun semangka, lebat sekali daunnya,
tapi tak ada yang berbuah.
Selagi dia merasa aneh menyaksikan keadaan itu, tiba-tiba terdengar
orang memanggilnya : "Hei Gundul! Ingin ke mana kau?"
Gundul segera berpaling, terlihat olehnya seorang petani yang masih
muda belia, yang kala itu sedang duduk di tepi kebunnya.
"Saya bermaksud pergi ke kerajaan Buddha di See Thian, untuk
memohon benda pusaka pada Goan Bu Nio Nio!", sahut Gundul sambil
menghentikan langkah.
"Bersediakah kau membantuku untuk menanyakan pada Nio Nio,
kenapa tanaman semangkaku hanya lebat daunnya, tapi tidak
berbuah?"
"Baik, akan saya tanyakan soal itu nanti", Gundul menyanggupi.Dia kembali melanjutkan perjalanan, setiba di sebuah kampung, telah
mulai gelap cuaca.
Terdapat sebuah penginapan yang merangkap sebagai rumah makan.
Pemilik rumah makan tampak lesu dan menguap, begitu melihat
Gundul masuk, dia segera menyambutnya ramah.
Kala itu pakaian Gundul sangat lusuh, malah banyak tambalannya.
Sebelumnya, banyak sudah rumah makan yang didatanginya, tapi
belum pernah mendapat sambutan sehangat se'perti sekarang.
Selesai makan malam, si pemilik tempat penginapan yang merangkap
rumah makan itu, bertanya pada Gundul : "Ke mana tujuanmu besok?"
"Saya bermaksud pergi ke kerajaan Buddha di See Thian, ingin
meminta pusaka pada Goan Bu Nio Nio".
"Bersediakah kau menolongku untuk menanyakan kepada sang Dewi,
kenapa rumah makan dan penginapanku tak pernah dikunjungi tamu.
Sejak berdirinya dua tahun yang silam, sampai sekarang ini, baru kau
seorang yang masuk ke mari!"
**Baiklah, akan saya tanyakan sebabnya nanti", Gundul menyanggupi.
Keesokan harinya, setelah mengucapkan terima kasihnya atas
pelayanan yang begitu baik dari pemilik rumah penginapan itu, dia
melanjutkan perjalanan menuju ke Barat.
Di tengah perjalanan Gundul bertemu dengan kakek yang telah
memutih seluruh rambut dan jenggotnya.
"Ingin ke mana kau, berjalan bergegas begitu?", tanya si kakek.
Gundul kembali menerangkan maksudnya.
"Kalau begitu, tolong kau tanyakan pada sang Dewi, kenapa setelah
aku bertapa selama seribu tahun, belum juga berhasil menjadi
Dewa!?"
"Baiklah kek, akan saya tanyakan nanti! Jawaban sang Dewi akan saya
sampaikan pada kakek, bila saya kembali dari kerajaan Buddha nanti".Selesai berkata, Gundul bergegas melanjutkan perjalanan.
a les
Tekad Gundul menuju ke kerajaan Buddha di See Thian sempat
diketahui oleh Goan Bu Nio Nio.
Sang Dewi kasihan melihat berbagai penderitaan Gundul, namun
demikian tidak melemahkan tekadnya.
Sesungguhnya kerajaan Buddha itu jauh sekali, takkan dapat dicapai
oleh Gundul sampai di akhir hayatnya, bila dia menempuh perjalanan
seperti sekarang ini.
Tergugah perasaan sang Dewi, meninggalkan tempat
persemayamannya di kerajaan Buddha dan dengan kesaktiannya dia
membangun sebuah rumah sederhana di tepi jalan yang akan dilalui
oleh Gundul malam nanti.
Ketika Gundul melintasi lembah yang sepi, matahari telah tenggelam di
ufuk Barat, membuat cuaca jadi sangat gelap lagi dingin.
Selagi Gundul cemas takkan memperoleh tempat bermalam, tiba-tiba
dilihatnya sebuah rumah sederhana di bagian depan. Dari dalam
rumah memancarkan sinar kelap-kelip, yang berasal dari lampu
minyak.
Girang benar perasaan Gundul, cepat-cepat menghampiri rumah itu,
menolak pintu, ternyata tidak dikunci.
Terlihat olehnya seorang nenek yang sedang menjahit di bawah sinar
lampu minyak.
"Bolehkah saya menginap di sini barang semalam, nek?", tanya Gundul
dengan nada memohon.
"Nenek sih tidak keberatan, tapi di sini tak ada ranjang".
"Tak jadi soal nek, biar saya lewati malam ini dengan duduk di lantai",
kata Gundul.Nenek itu sesungguhnya adalah penjelmaan Goan Bu Nio Nio, yang
memang sengaja datang ke situ untuk bantu merampungkan cita-cita
Gundul. Maka dia tidak menolak kehadirannya.
"Ingin ke mana kau?", tanya-nya setelah Gundul melepas lelah duduk
di lantai.
"Saya ingin ke kerajaan Buddha di See Thian, nek", Gundul
menerangkan, "bermaksud memohon benda pusaka pada Goan Bu Nio
Nio".
"Benda pusaka apa yang kau inginkan?"
"Sepasang burung gereja putih, sebutir mutiara sebesar gantang, kulit
naga dan jenggot sepanjang 22 elo yang beratnya dua ci".
"Kecuali itu, masih ada kepentingan lainnya?"
"Di tengah perjalanan saya telah bertemu dengan tiga orang, yang
meminta pada saya untuk menanyakan persoalan mereka pada sang
Dewi. Yang pertama, ingin menanyakan mengenai tanaman
semangkanya, yang biarpun sangat lebat daunnya, tapi tidak pernah
berbuah. Yang kedua, seorang yang membuka rumah makan
merangkap penginapan, sejak didirikan dua tahun yang silam sampai
sekarang ini tak pernah dikunjungi seorang tamupun. Satu lagi, adalah
kakek yang sudah sangat tua, yang menurutnya, biarpun telah seribu
tahun bertapa, tapi tetap tak dapat menjadi Dewa".
"Akulah Goan Bu Nio Nio", si nenek berterus terang, "karena
mendengar dan juga menyaksikan sendiri akan tekadmu yang pantang
menyerah, telah menggugah hatiku untuk membantumu, hingga
kutinggalkan See Thian dan menemuimu di sini. Ketahuilah, dengan
cara yang kau tempuh sekarang ini, biar sampai di akhir hayatmu juga,
kau takkan dapat mencapai See Thian --- Dalam perjalanan pulangmu
nanti, dapat kau beritahukan ketiga orang itu : Sebabnya tanaman
semangkanya tidak berbuah, karena di bawah tanah di sudut Timurkebunnya, terdapat 'semangka jantan', bila tanah itu digali dan
'semangka jantan' dikeluarkan, tanaman semangka di kebun itu akan
penuh dengan buah. Pada saat itu kau boleh membelah 'semangka
jantan' itu, di dalamnya terdapat sebutir mutiara sebesar gantang.
Mengenai rumah makan yang tidak pernah dikunjungi tamu, karena di
dalam tanah pintu depannya, hidup seekor Naga. Binatang itu
memancarkan bau busuk, membuat tamu yang mencium bau itu jadi
enggan masuk. Kau dapat menggalinya untuk menangkap Naga itu.
Kulit Naga itu adalah salah satu benda pusaka yang kau ingini. Juga
mengenai si kakek yang telah bertapa selama seribu tahun, tapi tidak
juga dapat naik ke Nirwana untuk menjadi Dewa, disebabkan oleh
jenggotnya yang terlampau panjang. Kalau saja dia menggunting
jenggotnya, dirinya akan segera menjadi Dewa. Jenggot itu pun
merupakan benda pusaka yang kau ingini. Tentang sepasang burung
gereja yang berwarna putih, dapat kau peroleh di dalam arca singa
yang berada di gunung yang terletak di belakang rumahmu. Arca singa
itu memang sangat ajaib, setiap tengah hari akan selalu membuka
mulutnya dan sepasang burung putih itu dapat segera kau tangkap".
Goan Bu Nio Nio diam sejenak, kemudian mengeluarkan sebuah botol
kecil, berkata lagi : "Untuk selanjutnya, bila kau merasa lapar atau
membutuhkan pakaian maupun tempat tinggal, dapat kau minta pada
benda ini, permintaanmu akan segera terpenuhi".
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang Dewi menyerahkan botol kecil itu pada Gundul.
Kala itu sudah hampir terang cuaca. Ketika Gundul ingin mengucapkan
terima kasih, mendadak si nenek berikut rumah sederhana itu telah
lenyap dari pandangannya. Hanya botol kecil itu saja yang tetap
berada di tangannya.
Gundul sangat girang, segera menyembah dan menganggukanggukkan
kepala tiga kali ke arah Barat, sebagai pengungkapan rasa syukurnyayang tak terhingga, kemudian bangkit, bermaksud kembali ke kampung
halamannya dengan menempuh jalan semula.
Tapi, ketika dia berada di atas gunung, tiba-tiba perutnya terasa lapar.
"Saya lapar", katanya pada botol kecil.
Begitu selesai mengucap, di hadapannya telah terhidang aneka ragam
makanan yang lezat-lezat.
Gundul memakannya lahap benar.
Setelah kenyang, dia berkata lagi : "Kenyang sudah perut saya kini,
terima kasih".
Sisa hidangan mendadak lenyap.
Yang pertama ditemui Gundul dalam perjalanan pulangnya adalah si
kakek, kemudian pemilik rumah makan dan si penanam semangka.
Dia memberitahukan apa yang didengarnya dari Goan Bu Nio Nio dan
meminta mereka melakukan sesuatu, sesuai dengan petunjuk sang
Dewi.
Segalanya memang terbukti!
Setelah si kakek menggunting jenggotnya, tubuhnya segera melayang
ke angkasa, menjadi Dewa di Nirwana.
Sedang perihal pemilik rumah makan, begitu dikeluarkan Naga dari
dalam tanah yang terletak di depan pintu tempat usahanya, segera
saja datang tamu, untuk makan dan menginap di situ.
Demikian pula dengan petani semangka, setelah menggali tanah di
Timur kebunnya dan mengeluarkan 'semangka jantan', tanaman
semangkanya sarat dengan buah.
Sedang Gundul memperoleh jenggot sepanjang 22 elo yang beratnya
dua ci; juga kulit naga dan sebutir mutiara sebesar gantang,
menjadikannya sangat kegirangan.
Ibunya Gundul, sejak ditinggal pergi oleh anaknya, untuk dapat
menyambung hidupnya, terpaksa menerima cucian orang. Amat sedihhatinya setiap kali teringat akan anaknya, yang tak ada kabar beritanya
selama 6 tahun lebih.
Menyalahkan si gadis kaya yang telah membuang air dan membasahi
sekujur tubuh anaknya, yang membuat Gundul jadi mabuk kepayang.
Tapi kemudian dia balik berfikir, sesungguhnya tak dapat menyalahkan
gadis itu, sebab segalanya terjadi tanpa disengaja.
Malam itu, selagi wanita setengah baya itu sedang duduk termenung
di dalam kamar, tiba-tiba melihat Gundul kembali dengan wajah
berseri.
Untuk sesaat sang ibu tertegun, kemudian mengucek-ucek mata,
kalau-kalau salah lihat. Belum puas dengan itu, dicubitnya kulit
tangannya, untuk membuktikan kalau dirinya tidak mimpi, terasa sakit!
Pertemuan ibu dan anak sangat menggembirakan dan sekaligus
mengharukan, masing-masing mengucurkan air mata, dalam melepas
kerinduan setelah pisah sekian tahun.
Gundul menceritakan pengalamannya dalam perjalanan.
Di wajah sang ibu selalu terkembang senyuman saking gembiranya.
Sepanjang malam itu mereka tidak tidur.
Keesokan harinya, Gundul mendaki gunung. Setiba tengah hari,
berhasil dia menangkap sepasang burung putih dari mulut arca singa
yang terbuka lebar.
Sekembali ke rumah, Gundul meminta pakaian yang indah pada botol
kecil, kemudian bergegas pergi ke rumah sang hartawan dengan
membawa keempat benda pusaka.
Hartawan itu menepati janjinya, menjodohkan anak gadisnya dengan
Gundul.Kemudian Gundul memohon pada botol kecil ajaib itu, agar dibuatkan
sebuah rumah bertingkat, memilih hari baik untuk melangsungkan
perkawinannya.
Sejak itu, hidup Gundul bersama ibu dan isterinya penuh diliputi
kebahagiaan.
BAKTI SEORANG GADIS
Dahulu kala hidup seorang laki-laki setengah baya yang mempunyai
tujuh anak, seluruhnya wanita.
Isterinya telah meninggal beberapa tahun yang silam, jadi terpaksa
bertugas rangkap sebagai bapak, juga selaku ibu.
Dia tidak membeda-bedakan kasih sayang terhadap ketujuh orang
anaknya, yang telah meningkat remaja puteri. Setiap permintaan
mereka, selalu diusahakannya untuk dapat memenuhi
nya.
Tapi, dari sekian banyak anaknya itu, hanya yang bungsu yang berbakti
padanya, sedang keenam lainnya lebih mementingkan diri sendiri dari
pada mengurus keperluan orang tua.
Pada suatu pagi hari, ketujuh kakak beradik itu serentak timbul
keinginan yang sama, memohon pada sang ayah agar dipetikkan bunga
liar yang indah, yang tumbuh di atas gunung.
Gunung itu amat tinggi dan di sekitar puncaknya tumbuh beraneka
pohon bunga yang bila dipandang dari kejauhan, amatlah
mempesonakan.
Akan tetapi, berhubung gunung itu penuh dengan semak belukar,
hingga jarang ada orang yang berani mendakinya, sebab kuatir dipagut
ular berbisa atau diterkam binatang buas lainnya.Sang ayah biarpun menyadari akan bahaya yang dapat mengancam
dirinya, tapi demi kasih sayangnya pada anak, dipenuhi juga
permintaan mereka. Mulailah dia mendaki gunung itu.
Dicarinya kian ke mari, akhirnya berhasil menemukan sejenis bunga
yang amat indah.
Tatkala dia sedang memetik, mendadak kakinya terpeleset, terperosok
masuk ke dalam goa harimau.
Di dalam goa itu hidup seekor harimau jantan, yang amat garang.
Begitu melihat si kakek, langsung memperdengarkan auman yang
cukup keras sambil memperlihatkan taringnya yang runcing tajam,
menggerakkan kakinya, seakan siap menerkam.
Pucat wajah kakek itu saking kaget dan takutnya, gemetar tubuhnya,
jatuh terduduk, lemas sekujur tubuhnya, membuatnya tak mampu
bergerak
Dia mengira, akan tamatlah riwayatnya sampai di situ.
Tak tahunya, ketika sang macan mendekatinya, tidak langsung
menerkamnya, tapi memandangnya beberapa saat, kemudian
bertanya: "Untuk siapa bunga yang kau petik, kek?"
Heran si kakek mendengar harimau yang dapat bicara seperti manusia,
agak berkurang rasa takutnya.
"Untuk penghias rambut isteriku", sahutnya berdusta.
"Aku tak percaya. Isterimu tentunya sudah tua, takkan mau
menyuntingkan bunga indah di rambutnya. Kalau saja kau mau
berterus terang, akan kuampuni. Bila tidak, akan kumangsa kau!"
Diancam begitu, si kakek terpaksa berterus terang : "Baiklah,
sesungguhnya bunga-bunga ini kupetik untuk puteriku!"
"Ada berapa puterimu?", tanya sang macan pula. "Semuanya 7 orang",
sahut si kakek."Oh, sebanyak itukah puterimu?", sang macan sangat girang
mendengar keterangan si kakek, "kuharap kau menyerahkan salah
seorang di antaranya untuk menjadi isteriku! Kalau kau tolak, hari ini
jangan harap kau dapat keluar dari goa ini!"
Si kakek yang kuatir dirinya dimangsa harimau, terpaksa meluluskan
permintaan itu.
Dia pamit pada sang macan, meninggalkan goa sambil membawa
bunga yang telah dipetiknya tadi, bergegas pulang ke rumahnya.
Ke 7 anaknya, begitu melihat bunga yang begitu indah, pada
berjingkrak-jingkrak kegirangan, saling berebut.
Sungguh kasihan keadaan si kakek, yang tak sampai hati untuk
mengungkapkan kesulitannya --- Gadis manakah yang sudi jadi isteri
harimau!?
Lalu membaringkan diri, sebentar-bentar menghela nafas, makan pun
tak berselera.
Ke 7 puterinya heran menyaksikan sikap sang ayah yang murung,
menanyakan sebabnya.
Pada mulanya sang ayah tak mau berterus terang, tapi setelah didesak,
terpaksa dia menceritakan yang sesungguhnya.
"Siapa di antara kalian yang bersedia menikah dengan macan, anak-
anakku?", tanya si kakek dengan mata berlinang, "bila kalian ingin
menyelamatkan jiwa ayah, kuharap salah seorang dari kalian bersedia
memenuhi permintaan macan itu".
Namun keenam anaknya yang lebih tua, tak ada seorangpun yang
bersedia, sebab begitu menikah dengan macan, akan segera menjadi
mangsa binatang buas tersebut, demikian fikir mereka.
Si bungsu, biarpun masih muda belia, tapi sangat berbakti terhadap
orang tua. Melihat sikap ayahnya yang begitu sedih, segeramenyatakan kesediaannya untuk menjadi isteri binatang buas itu.
Dengan begitu jiwa ayahnya baru dapat terhindar dari bahaya.
Amat terharu sang ayah ketika mendengar kesediaan puteri
bungsunya.
Beberapa hari kemudian puteri bungsu menikah dengan macan, siapa
pun pada memuji ketabahan serta baktinya terhadap orang tua.
Dimangsa macankah dia? Tidak!
Ternyata, telah terjadi suatu keajaiban yang benar-benar berada di luar
dugaannya orang banyak.
Siang harinya, macan itu dalam keadaan bentuk aslinya, seekor
binatang buas, tapi begitu gelap cuaca, sang harimau mendadak
berobah bentuknya menjadi seorang pemuda tampan.
Dia bukan saja tidak memangsa si puteri bungsu, malah sangat
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencintainya, sebagaimana layaknya seorang suami yang mencintai
isterinya.
Setiap harinya sang macan pergi mencari makan, pulangnya selalu
menggondol mangsanya, seperti babi hutan, anjing dan binatang liar
lainnya. Terkadang, membawa pulang juga manusia yang menjadi
mangsanya.
Puteri bungsu yang telah biasa menyaksikan segalanya itu,jadi tidak
merasa takut lagi.
Sejak puteri bungsu menjadi isteri macan, keras dugaan keenam
kakaknya, bahwa keselamatan adik mereka takkan terjamin. Sering
mereka pergi menyelidiki ke berbagai tempat perihal diri sang adik,
tapi tak pernah mendengar tentang kematiannya.
Mereka jadi sangat penasaran, ingin rasanya naik ke atas gunung,
untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri mengenai kehidupan si
bungsu. Tapi mereka selalu membatalkan niatnya, karena takut akan
keganasan binatang tersebut.Kendati sang harimau amat mencintai puteri bungsu, tapi sebaliknya,
anak bungsu si kakek tak pernah mencintai suami yang berwujud
binatang itu.
Biar bagaimana pun, sang macan adalah binatang buas, ia kuatir suatu
ketika nanti akan timbul sifat liar sang macan, tentu dirinya yang akan
dijadikan santapannya. Maka sejak beberapa waktu yang lalu, puteri
bungsu bermaksud membunuh sang macan, hanya saja belum
memperoleh kesempatan yang baik untuk melaksanakan maksudnya.
Setiap hari, sehabis makan, sang macan selalu tidur; terbuka mulutnya
dalam tidurnya, hingga terlihat gigi-giginya yang runcing, lidahnya yang
memerah darah, membuat orang yang memandangnya jadi menggigil
saking takutnya.
Namun puteri bungsu malah merasa muak menyaksikan segalanya itu,
apa pula bila ia ingat pada ayahnya yang telah tua, jadi bertambah
benci ia pada sang harimau.
Pada suatu siang, seperti biasa, sang macan tidur sehabis makan.
Ketika melihatnya telah tidur nyenyak, puteri bungsu mengambil garu
besi, membakarnya di perapian sampai menjadi merah warnanya.
Sementara itu mulut sang harimau masih saja terbentang dan
terdengar dengkurnya.
Mengetahui kalau binatang itu masih lelap dalam tidurnya, maka ia
segera mengangkat garu besi yang merah membara itu, langsung
menusukkan ke mulut harimau.
Sang harimau kesakitan, seketika terbangun dari tidurnya sambil
memperdengarkan auman keras.
Walau sebenarnya si bungsu merasa takut juga, tapi ia berusaha
memberanikan diri, tidak mau melepas garu itu, bahkan lebih
menekannya dengan mengerahkan seluruh tenaganya.Sang harimau bergulingan karena rasa sakit yang amat sangat,
bermaksud mencakar puteri bungsu, namun dirinya telah terluka
parah, membuatnya tak bertenaga lagi.
Tak lama kemudian, macan yang ganas itu pun terbaring kaku,
menemui ajalnya!
Gembira hati puteri bungsu melihat harimau tewas di tangannya,
segera membawanya, menuruni gunung, pulang ke rumah orang
tuanya.
Ayah dan keenam kakaknya kaget campur gembira menyaksikan
kembalinya si puteri bungsu.
Tapi ketika mereka melihatnya membawa macan, keenam kakaknya
jadi lari lintang pukang, bahkan beberapa di antaranya sampai ada
yang terkencing-kencing saking takutnya. Mereka mengira macan yang
dibawa adiknya itu masih hidup!
Setelah mendengar penjelasan sang adik, baru tenang perasaan
mereka.
Pada saat itu, keenam kakak puteri bungsu sudah berumah tangga,
tapi hidup mereka serba kekurangan, karena suami me reka hanya
menjadi buruh tani.
Senang hati sang ayah mendengar penuturan anak bungsunya. Sambil
memuji keberanian puteri bungsunya, dia mendo det perut harimau.
Sungguh ajaib, terlihat sesuatu yang benar-benar berada di luar
dugaan mereka. Ternyata perut macan itu penuh berisi ratna mutu
manikam.
Si kakek benar-benar kegirangan, menyuruh sang bungsu mengambil
harta tersebut.
Sejak itu, puteri bungsu dan ayahnya jadi melimpah kekayaannya.
Beberapa waktu kemudian, puteri bungsu menikah dengan pemuda
yang berkenan di hatinya, amat bahagia hidupnya.Sedangkan kehidupan keenam kakaknya tetap menderita.
Pada setiap kesempatan dan pertemuan, si kakek selalu menyatakan :
"Semua ini karena sikap anak bungsuku yang sangat berbakti terhadap
orang tua, membuatnya dilimpahi keberuntungan dan kebahagiaan!"
TIGA PEKERJAAN SULIT
Ada seorang kaya yang amat kikir, dalam segala hal, dia selalu
menginginkan pemasukan uang yang sebesar mungkin, sedang untuk
pengeluaran selalu ditekan sekecil mungkin, malah sedapatnya dia
enggan untuk mengeluarkan uang!
Maka tidaklah mengherankan, kalau para pembantunya jarang ada
yang tahan lama bekerja padanya.
Pada suatu ketika, dia menerima seseorang untuk dijadikan Tiang-kong
(kepala buruh) dengan mengajukan syarat : "Akan kuangkat kau
sebagai Tiang-kong, dengan gaji sebesar 24 Yuan setahun. Tapi kau tak
boleh menolak setiap pekerjaan yang kusuruh. Bila kau tak dapat
melakukan satu pekerjaan, akan kupotong gajimu sebanyak 8 Yuan.
Bersedia?"
Orang yang akan diangkat sebagai Tiang-kong mengira, syarat yang
diajukan majikannya hanyalah sekedar agar dirinya tidak bermalas-
malasan; sebab, biasanya, pekerjaan yang harus dilakukan di rumah
sang hartawan tidak ada yang sulit. Tanpa fikir panjang lagi, dia
langsung menyetujui syarat itu.
Pada mulanya, setiap pekerjaan yang disuruh sang majikan memang
selalu dapat diselesaikannya dengan baik. Tapi kemudian dia
menghadapi tiga pekerjaan yang sulit.
Ketiga pekerjaan itu ialah : 1. Pada hari Cheng Beng (tanggal 4 bulan ke
tiga menurutpenanggalan Imlek), Tiang-kong harus menyuruh kerbau
naik ke atas pohon Yang-liu, memakan daunnya. 2. Pada hari Toan-yo
(Toan-ngo; tanggal 5 bulan ke lima me
nurut penanggalan Imlek), si Tiang-kong harus menanam
sayur di bubungan rumah majikannya. 3. Pada hari Tiang-ciu (tanggal
15 bulan ke delapan menurut
penanggalan Imlek), sang Tiang-kong harus membuat tambang dari
adonan kue, untuk dipakai mengikat kam
bing majikannya. Sang Tiang-kong tak dapat melaksanakan ketiga tugas
itu. Sesuai dengan perjanjian sebelumnya, setiap kali tak mampu
melaksanakan tugas, gajinya akan dipotong 8 Yuan. Karenanya gaji si
kepala kuli yang berjumlah 24 Yuan setahun, habis dipotong
seluruhnya!
Kegembiraan sebelumnya untuk memperoleh gaji besar, berobah
menjadi kecewa, bahkan sedih. Lalu pulanglah dia dengan sikap lesu
benar, menjatuhkan diri ke pembaringan sambil tak hentinya
menghela nafas.
Adiknya, Ah Nyi, ketika melihat keadaan kakaknya begitu murung,
segera menanyakan sebabnya.
Sang Tiang-kong menceritakan pengalaman pahitnya.
"Jangan Koko bermuram durja", Ah Nyi berusaha menghibur kakaknya,
"biar tahun depan saya yang melaksanakan pekerjaan itu, akan saya
usahakan agar dapat mengambil gajimu itu!"
Waktu beredar cepat sekali, tanpa terasa telah tiba tahun baru.
Ah Nyi segera mendatangi rumah hartawan yang kikir lagi licik itu.
"Tuan", katanya pada sang hartawan, "tahun lalu kakak saya telah
menjadi Tiang-kong di sini, tapi dia tak dapat mengerjakan tiga tugas
yang tuan berikan kepadanya. Tahun ini saya bermaksud
menggantikannya. Bila ada satu pekerjaan yang tak dapat sayalakukan, tuan boleh memotong gaji saya sebesar 16 Yuan --- Tuan
tentu tidak keberatan memakai saya, bukan?"
Sang hartawan amat senang mendengar kesediaan Ah Nyi.
"Bila saudara bersedia bekerja di rumahku, untuk tahun ini akan
kuberikan kau gaji sebesar 48 Yuan setahunnya, tapi bila kau tak dapat
melakukan sebuah tugas yang ku berikan, akan kupotong 16 Yuan".
Si orang kaya mengira Ah Nyi takkan dapat melaksanakan ketiga tugas
yang diberikan, sengaja melipat-gandakan gaji Ah Nyi dibandingkan
dengan gaji yang dijanjikan pada kakaknya tahun yang silam, toh
hasilnya akan sama saja, dia tetap akan pulang dengan tangan kosong.
***
Pada hari Cheng Beng, sang majikan menyuruh Ah Nyi agar kerbaunya
naik ke atas pohon Yang-liu untuk memakan daunnya.
Ah Nyi yang sebelumnya memang telah melakukan persiapan,
menambat kerbau pada pohon Yang-liu, kemudian mengambil
sebatang bambu yang cukup besar, memukuli kerbau itu, yang
mengakibatkan sekujur tubuh binatang itu babak belur.
Melihat itu, sang majikan segera bertanya: "Kenapa kau memukuli
kerbauku?"
"Dia tak mau makan daun Yang-liu, tuan", sahut Ah Nyi, "maka saya
jadi memukulnya!"
Selesai berkata, Ah Nyi kembali memukul badan kerbau itu, lebih keras
lagi dari sebelumnya.
Sang majikan yang kuatir kerbaunya mati dipukuli Ah Nyi, segera
mencegahnya : "Sudahlah Ah Nyi, jangan kau pukuli kerbauku lagi,
anggap saja kau telah berhasil melaksanakan tugasmu".
Mendengar itu, Ah Nyi menuding sang kerbau sambil memaki:
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kuampuni kau sekali ini, binatang!"
Lalu membuka tambatan sang kerbau.Pada hari Toan-yo (Toan-ngo), sang majikan menyuruh Ah Nyi
menanam sayur di atas bubungan.
Ah Nyi naik ke atas rumah sam bil membawa cangkul, mencangkuli
genteng.
Dalam sekejap, banyaklah genteng rumah majikannya yang hancur.
Sang majikan amat terperanjat menyaksikan ulah Ah Nyi.
"Kenapa kau menghancurkan atap rumahku, Ah Nyi?", tanya-nya.
"Genteng ini amat keras tuan, hingga sulit untuk ditanami sayur",
sahut Ah Nyi, "maka harus dihancurkan dulu, baru bisa 'gembur'
seperti tanah!"
Segera Ah Nyi kembali mencangkuli atap rumah majikannya.
"Hentikan!", cegah sang majikan segera, "anggap saja kau telah
melaksanakan tugasmu!"
Dan setiba hari Tiong-ciu, Ah Nyi bersiap melaksanakan tugas yang ke
tiga.
Sang majikan telah menyiapkan adonan kue Pia, menyuruh Ah Nyi
menjalin tambang dari adonan itu.
"Tuan harus menyediakan sebuah ruang yang cukup rapat untuk saya,
agar saya bisa membuat tambang dari adonan ini. Bila di ruang
terbuka, tak mungkin dapat saya lakukan!"
Terdorong oleh rasa ingin tahu bagaimana Ah Nyi menjalin tambang
dari adonan kue, sang majikan memenuhi permintaannya.
Namun kenyataannya, setiap harinya Ah Nyi hanya santai saja di dalam
ruang itu, makan dan tidur, sama sekali tidak melakukan sesuatu.
Sampai suatu hari, sang majikan masuk dan bertanya: "Sudah kau
siapkan tambangnya?"
"Belum tuan", sahut Ah Nyi, "untuk membuatnya akan memakan
waktu cukup lama".
Tiga, empat hari kemudian, sang majikan kembali menanyakan soal itu."Sudah saya bilang, tak dapat cepat-cepat tuan, sebab agak sulit
membuatnya, Ah Nyi mengemukakan alasan.
Beberapa hari kemudian, kembali sang majikan menanyakan soal
tersebut.
"Belum tuan, bagian ujungnya saja belum berhasil saya rampungkan",
Ah Nyi memberitahu.
"Kan sudah kuberi waktu cukup lama, kenapa belum selesai juga?",
kata sang majikan mulai tak sabar.
"Pernahkah tuan mendengar sebuah pepatah?", Ah Nyi balik bertanya
sambil tersenyum.
*Pepatah apa?", tanya sang majikan makin tak sabar.
"Bukankah ada pepatah yang mengatakan: 'Yang paling sulit dalam
membuat tambang dari adonan kue adalah permulaan
nya'!"
Sang majikan jadi sangat mendongkol.
"Itu sih hanya akalmu sendiri!", ujarnya kemudian, "sekarang sedang
panen raya, masih banyak persiapan yang harus kau lakukan!"
"Bila tuan membutuhkan tambang itu, sebaiknya sudi bersabar
beberapa waktu lagi".
"Sudahlah, tak usah kau teruskan kerjamu membuat tambang itu",
sang majikan menghela nafas, "anggap saja tugas itu telah berhasil kau
kerjakan. Sekarang lekas kau bantu aku mengawasi para pekerja di
sawah!"
"Sayang sekali", Ah Nyi berpura-pura menghela nafas, "siasialah usaha
saya sebelumnya ...."
"Sudah jangan banyak bicara, lekas kau awasi para pekerja di
sawahku!"
"Baik tuan", Ah Nyi meninggalkan ruang itu dengan wajah berseri.Hari demi hari berlalu dengan cepatnya, tanpa terasa telah tiba di
penghujung tahun.
Sang majikan tak dapat ingkar janji, membayar sebesar 48 Yuan,
sebagai gaji Ah Nyi selama setahun.
PENCURI KUDA
Ada seorang petani, memelihara seekor kuda, yang biasa digunakan
untuk menarik kereta barang bila petani itu sedang tidak menggarap
sawahnya.
Pada suatu hari, kuda petani itu telah dicuri orang.
Si petani mencarinya kian ke mari, akhirnya berhasil juga dia
menemukan binatang peliharaannya di pasar, yang terletak agak jauh
dari desanya.
Petani itu menghampiri kudanya dengan wajah berseri.
Sang kuda juga memperdengarkan ringkik kegirangan, ketika melihat
pemiliknya datang.
"Sungguh besar nyalimu", kata si petani pada orang yang ingin menjual
kudanya, "sudah kau curi kudaku, masih berani menjualnya di tempat
umum!"
Si pencuri, yang masih muda usianya, tak sudi mengakui perbuatannya.
"Jangan seenaknya saja kau menuduh orang", katanya sambil
memperlihatkan sikap kurang senang, "sudah beberapa tahun aku
memelihara kuda ini".
Langsung terjadi pertengkaran di antara mereka.
Si petani yang jarang bertengkar dengan orang, sudah barang! tentu
tak dapat mengimbangi kata-kata si pemuda.
Kala itu, cukup banyak orang yang datang menyaksikan pertengkaran
mereka.Si petani tak mau bertengkar lebih jauh, melompat ke depan kuda,
menekap kedua mata kuda itu, kemudian berkata : "Bila benar kuda ini
milikmu, tentunya kau jelas sekali akan keadaannya!"
"Itu pasti". "Baik, coba kau sebutkan, bagian mana yang matanya bu
ta?"
Orang itu berdiam agak lama, kemudian baru berkata : "Mata
kanannya!"
"Salah!", si petani melepaskan tekapan di mata kanan bi natang itu.
"Maksudku mata kirinya!", si pencuri berusaha membetulkan
keterangan sebelumnya.
"Salah juga". Si petani melepaskan tekapan satunya. Ternyata mata
kuda itu sama sekali tidak buta.
"Tanpa kukatakan juga, orang sudah akan tahu, siapa sesungguhnya
pemilik kuda ini", kata si petani.
"Kita tangkap saja maling ini!", kata orang-orang yang berkerumun di
situ.
Sang pencuri menyadari, sulit baginya untuk menghadapi masa yang
sedang marah, tapi untuk kabur pun tak mungkin, dirinya telah
terkurung.
Akhirnya dia menyerah, digiring ramai-ramai ke pos fihak yang
berwajib.
Si petani membawa pulang kudanya dengan wajah berseri.
Orang-orang pada memuji petani itu, yang biarpun kurang pendidikan,
tapi cukup cerdik, hingga berhasil memperoleh kudanya kembali.Si petani menekap kedua mata kuda itu, kemudian berkata : "Bila benar kuda ini
milikmu, tentunya kau jelas sekali akan keadaannya!"
HARTA DI PAGODA
Di sebuah desa yang makmur, hidup seorang tua.
Leluhur orang tua itu cukup kaya dan ketika warisan jatuh ke
tangannya, berhubung dia seorang yang tekun, mau bekerja keras dan
baik pula nasibnya, kekayaannya tak dapat dihitung lagi.
Walau si kakek sangat kaya, dia tak punya anak isteri, hidup seorang
diri.
Dia membangun sebuah pagoda di belakang rumahnya, setiap harinya
menghabiskan waktu luangnya di situ, memandang panorama di
sekitarnya.Pada saat itu usia si kakek telah mencapai 80-an, dia menyadari,
bahwa takkan lama lagi hidupnya, bermaksud mencari seseorang
sebagai pewaris hartanya.
Namun banyak sekali orang yang berusaha mendekatinya,
membuatnya sulit untuk menjatuhkan pilihan.
Si kakek cukup maklum kalau para famili maupun sahabat yang
berusaha mendekatinya, rata-rata pada menginginkan hartanya. Maka,
dia bukannya merasa senang dikunjungi mereka, malah sering
mengganggu ketenangannya.
"Mau apa kalian sering-sering ke mari? Aku toh belum akan mati!
Sampai sekarang aku belum tahu kepada siapa akan kuwariskan harta -
-- Sebaiknya kalian pulang, agar aku dapat menikmati ketenangan".
Akan tetapi para kerabat maupun sahabatnya, masih tetap datang
setiap hari.
Sampai pada suatu malam, si kakek mendadak meninggal. Dia tidak
meninggalkan surat wasiat.
Banyak orang memperbincangkan hal itu, sampai kemudian, harta
peninggalan orang tua itu, untuk sementara diurus oleh fihak yang
berwajib.
Beberapa orang petugas datang ke rumah si kakek, tapi pemeriksaan
mereka tetap tak berhasil menemukan surat wasiat.Sampai kemudian, seorang petugas pemeriksa berhasil menemukan
sepucuk surat di bawah kasur tempat tidur si kakek.
Timbul lagi harapan di kalangan famili si kakek, bahwa diri mereka
yang akan disebut sebagai pewarisnya.
Fihak yang berwajib berpendapat, bahwa persoalan warisan ini harus
diselesaikan sebaik dan seadil mungkin, maka mereka tak langsung
membuka sampul surat tersebut, tapi menentukan tanggal dan tempat
untuk membukanya di muka umum.
Berhubung semua perhatian hanya tertuju pada harta warisan,
membuat pemakaman jenazah si kakek jadi terlantar.Peti matinya dibiarkan menggeletak di ruang tamu. Kalau saja arwah
kakek itu tahu akan sikap para familinya, dia tentu akan mengumpat-
caci mereka dari alam baqa.
Setiba hari yang telah ditentukan, berduyun-duyunlah orang datang ke
lapangan, untuk mengetahui isi surat peninggalan si kakek.
Seorang pejabat membacakan isi surat, yang ternyata amat singkat:
Anugrah Dewa Bumi Dewi Kwan Im di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dalam cuaca yang cerah, pada jam 3 sore, pewaris harta akan
memperoleh surat wasiat".
Surat yang amat singkat itu seakan merupakan teka-teki.
Petugas yang membaca surat itu meminta orang terpelajar untuk
menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya.
Si orang terpelajar memperhatikan sejenak isi surat, kemudian
menjelaskan: "'Di hari yang cerah, pada jam tiga sore, datanglah ke
Pagoda. Siapa yang berhasil menemukan surat wasiat itu, dialah
pewaris kekayaanku".
Kabar itu segera tersebar luas.
Sesungguhnya kakek itu kaya sekali, siapa yang berhasil mewarisi
hartanya, takkan habis dimakan seumur hidupnya!
Fihak yang berwenang setelah tahu si kakek tidak menentukan
seseorang untuk jadi pewarisnya, maka mereka pun tidak campur
tangan lagi, membiarkan orang-orang pada mencari sendiri surat
wasiat. Siapa yang beruntung memperolehnya, dialah yang akan jadi
pewarisnya.
Setiap orang rata-rata menginginkan harta, maka setiap jam tiga sore,
rumah si kakek penuh sesak dengan manusia, pada berebut naik ke
pagoda.
Semasa hidup si kakek, setiap hari dia selalu naik ke pagoda untuk
menikmati panorama di sekitarnya, maka kini, tidaklah mengherankan
kalau setiap orang yang ingin menemukan surat wasiat, mencarinya diatas pagoda itu! Mereka bagaikan orang yang sudah kehilangan akal
warasnya. Setiap benda yang sekiranya dapat dilepas, mereka copot,
bahkan membongkar juga bagian dalamnya!
Maka tidaklah mengherankan, dalam beberapa hari saja, pagoda itu
seakan hendak roboh karena telah dicopot sana dan dicongkel sini oleh
orang-orang yang datang ke situ!
Hari itu datang seorang anak yatim yang berusia sekitar 16 tahun, yang
ingin adu nasib juga.
Telah beberapa tahun dia ditinggal mati orang tuanya, terpaksa
bekerja pada orang untuk dapat mempertahankan hidupnya. Maka,
biarpun masih sangat muda usianya, tapi cukup banyak
pengalamannya.
Ketika melihat setiap hari banyak orang yang naik ke atas pagoda, tapi
tetap belum juga berhasil memperoleh surat wasiat, tibalah dia pada
kesimpulan: "Tampaknya surat wasiat itu tak ada di atas pagoda! Tapi
di mana?"
Kembali dia memperhatikan surat peninggalan si kakek, menganalisa
isinya. Selang sesaat dia pun tersenyum, seakan berhasil memecahkan
persoalannya.
Dia batal naik ke atas pagoda, malah meninggalkan tempat itu, sebab
pada saat itu telah jam empat lewat.
Keesokan harinya, menjelang jam tiga sore, dia datang lagi, mundar
mandir di sekitar pagoda.
Di atas pagoda masih tetap padat dengan manusia, tapi cukup banyak
pula orang yang berada di bawah, sekedar mononton keramaian.
Ketika mereka melihat si anak mundar mandir di sekitar pagoda,
banyak yang menertawakannya.
"Kau ingin mencari surat warisan juga?", tanya salah seorang di
antaranya."Benar pak", si anak mengangguk.
"Kenapa kau tidak naik: saja ke atas? Apa kau kira surat wasiat itu
dapat jatuh sendiri dari langit?"
"Mungkin!" Semua yang mendengarnya pada tertawa.
Namun si anak tak menghiraukannya, diam-diam memperhatikan sinar
matahari.
Bayangan pagoda yang tersorot sinar matahari jatuh ke bawah.
Tiba-tiba saja si anak berhenti mundar-mandir.
Biar pun bagian dalam pagoda telah banyak dicopot, bahkan dibongkar
sebagian, tapi bentuk luarnya tetap tidak berobah.
Ketika terkena cahaya matahari, puncak menara seakan menyimpan
suatu rahasia.
Sang anak segera berlari pulang.
Orang-orang yang menyaksikan ulah anak itu pada keheranan:
"Kenapa dia bergegas pulang?"
"Mungkin sinting dia!" "Dia batal mencari surat wasiat?"
"Aku berhasil menemukannya!", si anak berjingkrak kegiranganTapi tak lama kemudian anak itu telah kembali lagi sambil membawa
cangkul.
Dia sama sekali tidak menghiraukan orang di sekitarnya.
Orang lainnya bertambah heran, apa lagi ketika melihat anak itu
mencangkul tanah, mereka pada menertawakannya.
"Sudah benar-benar sinting dia rupanya", gumam seseorang, "orang
lain pada mencari surat wasiat di pagoda, dia malah menggali
tanah"."Hei nak, ingin menanam apa kau di situ?", olok seorang
setengah baya.
Namun anak yatim itu tak menghiraukannya, terus saja mencangkul
tanah.
Tak lama kemudian dia berhasil menemukan sebuah kotak kayu di
lobang galian, isi kotak ternyata surat wasiat.
'Aku berhasil! Aku berhasil menemukannya!", si anak berjingkrak
kegirangan.
Banyaklah orang mengerumuninya. Setelah diteliti, ternyata memang
benar bahwa itu adalah surat wasiat si kakek.
Hal itu benar-benar berada di luar dugaan orang banyak.
Anak yatim itu bukan saja berhasil memperoleh harta si kakek, juga
banyak orang mengagumi kecerdikannya.
*************
Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama