Ceritasilat Novel Online

Pendekar Darah Pajajaran 1

Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo Bagian 1



P E N D E K A R

D A R A H

P A J A J A R A N

Seri Pendekar Majapahit

Karya : KUSDIO KARTODIWIRJO

Gambar : DR. OYI SOEDOMO

Penerbit : SINTA - RISKAN

Pustaka Koleksi : pak Gunawan AJ

Image Source : Awie Dermawan

Kontributor : Yons

Peb 2019, Kolektor - EbookP E N G A B D I A N

Kulihat matahari

Bersinar cerlang berseri

Serasa indah dunia maya

Dalam Cipta Hyang Maha Agung

Hati tergerak .. ingin kecimpung

Dalam dunia budaya nan agung

Namun . Aku tahu ..

Diri berbisik .. tak mampu

Ooh, Tuhan beri hamba harapan

Sewaktu hasyrat patah di jalan

Hilang musna terbawa awan

Dongeng ini kupersembahkan

Untuk mengenang Pahlawan2 Bangsa

Hasyratku .. pengabdian. ----

JOGJAKARTAJilid 1

B A G I A N I

? Aaaaiiii!!! . Curang kau!!? Akan kutampar mukamu dan kucabuti kumismu, jika tidak mau

menurut gerakan bantinganku .?

Anak dara kecil berseru nyaring dan membentak bentak dengan logat dan gaya tingkah lakunya

kekanak kanakan.

Sebentar2 ia ketawa nyaring hingga giginya yang putih kecil kecil seeempak laksana mutiara,

nampak jelas. Tetapi secepat itu pula wajahnya berubah cemberut yang menunjukkan kemarahan, serta

membanting-banting kakinya ditanah.

Ia sedang bergumul dengan seekor harimau kumbang yang cukup besar. Badan harimau itu

sepanjang kira-kira dua langkah dengan bulunya yang halus mengkilat berwarna hitam mulus. Harimau

kumbang itu mengaum-aum pendek dengan memperlihatkan taringnya yang panjang-panjang dan tajam

serta menakutkan. Tetapi anak dara kecil itu sedikitpun tak memperlihatkan rasa takut. Ia

memperlakukan harimau itu, tak ubahnya seperti dengan boneka mainannya saja. Telapak tangannya

yang kecil berkelebat secepat kilat, menampar kemuka harimau yang sedang mengaum dan tepat

mengenai telapuk matanya. klungkin tamparan itu drasakan sakit, mungkin juga tidak, hal itu sukar

untuk diperkirakan. Tetapi yang jelas harimau kumbang mengaum sekali lagi dan menundukkan

kepalanya, seakan-akan ia mengerti, bahwa gerakannya yang baru saja dilakukan itu salah dan

mengakibatkan marahnya si dara kecil.

Dara kecil tersenyum puas. menunjukkan kegirangan hatinya dengan disertai rasa kasih

sayangnya yang iba. Tangan kanannya merangkul leher harimau kumbang, sedangkan jarinya tangan kiri

yang kecil runcing2 membelai bulu halus yang hitam mengkilat dari kepala si harimau, seakan - akan

menyesal akan apa yang baru saja dilakukan. Sang harimau menurut jinak, dan duduk berjongkok

dengan kedua kakinya belakang ditarik serta ditekuk rata menempel ketanah.

Ekornya hitam, sepanjang badannya melingkar dan bergerak - gerak dengan matanya

dpejamkan, seakan-akan merasakan halusnya berlainan tangan dari dara kecil tadi.

Dara kecil itu berusia kira-kira tujuh tahun. Rambutnya hitam panjang berombak digelung dan

diikat erat-erat de-ngan seutas pita sutra warna merah.

Raut mukanya bulat telor dengan sepasang pipinya yang lesung pipit dan kemerah-merahan.

Matanya redup dengan kerlingan yang memancarkan sifat kenakalan anak-anak, serta dihiasi dengan

sepasang alisnya yang tipis melengkung. Mulutnya kecil dengan bibir tipis mungil. Sepasang daun

telinganya dihiasi dengan anting-anting bermata mutiara. Tubuhnya langsing dan warna kulitnya kuning

bersih dilengan kanan terdapat tahi lalat, sebuah tanda sejak ia dilahirkan, berwarna merah kehitam-

hitaman, berbentuk bundar sebesar ibu jari. Tanda itu nampak jelas sekali, karena lengannya yang halus

dan bersih itu telanjang tidak tertutup kain.

Ia hanya memakai baju kutang tak berlengan, berwarna kuning keemasan dari kain sutra, serta

berkain sarung berwarna hitam yang dihiasi dengan lukisan kembang2 tersulam dari benang sutra

berwarna kuning keemasan pula. Ikat pinggangnya selebar telapak tangan .. berwarna merah dari kain

tenunan yang lazim dinamakan setagen atau angkin.Sungguhpun belum dewasa, namun wajahnya jelas menampakkan kecantikan yang

menggairahkan.

Dikala itu, siang tengah hari. Matahari berada diketinggian diatas kepala, dan memancarkan

sinar dengan teriknya. Langit biru membentang, mengatapi bumi, dengan dihiasi oleh awan awan tipis,

yang bergantungan dan berpencaran, merupakan bentuk lukisan yang beraneka macam dan berobah

robah.

Dahan dahan pohon dengan daun daunnya disekitar tempat itu melambai-lambai terkena tiupan

angin yang tidak mengenal berhenti. Dan daun-daun kering yang tidak lagi berpegangan pada rantingnya

jatuh berterbangan ditanah.

Tempat itu adalah sebuah dataran luas dengan pohon pohon hutan yang pindang dan

berserakan tumbuh liar di lereng Gunung Tangkuban Perahu.

Sekelilingnya merupakan jurang - jurang yang curam, serta menghadapkan kesebuah mulut gua

yang cukup lebar. Dengan berlatar belakang tebing cadas yang terjal menjulang tinggi.

Disebelah timur nampak puncak bukit Tunggul yang berdiri megah, dengan lereng - lerengnya

yang berpadu dengan lereng Gunung Tangkuban Perahu, laksana dua raksasa yang sedang berjabatan

tangan.

Pandangan kesebelah selatan adalah lembah rendah, dengan sawah?sawahnya yang subur serta

desa-desa yang terpencar jauh satu dengan yang lainnya. Sungai Citarum nampak pula berliku-liku

mengitari lembah tadi dan menambah indahnya pandangan.

Setelah itu pandangan dibatasi dengan terbenturnya pada dataran dataran lereng pcgunungan

yang membujur ke arah barat sejauh mata memandang. Sungguh suatu keindahan alam yang sukar

untuk dilukiskan dengan sempurna. Demikianlah kemurahan Dewata Yang Maha Agung pada umatNya.

Namun semuanya itu kiranya tidak mempengaruhi si dara kecil yang sedang asyik bermain main

dengan harimau kumbangnya.

Lagi pula panas teriknya matahari seakan akan tidak dirasakan.

? Mari kita mulai mengulang lagi permainan yang tadi, kumbang !!!, kata si dara kecil dengan

diiringi senyuman, sambil melepaskan rangkulan tangannya dan menepuk nepuk kepala harimau, untuk

kemudian berdiri ditengah lapangan. Si harimau seperti telah mengerti apa yang dikehendaki oleh dara

kecil. Dengan pelan dan malas ia menjauhi si dara, dan berhenti dalam jarak kira kira ampat langkah

darinya.

Dengan bermalasan menggeliatkan dan membalikkan badannya, menghadap pada dara kecil.

Badannya ditarik kebelakang sedikit dan . secepat kilat harimau kumbang meloncat menerkam

kearah dara kecil. Dengan gerakan tak kalah tangkasnya si dara kecil menyusup dibawah harimau yang

meloncat kearahnya, sambil mengulurkan tangannya untuk menangkap kaki depan hariman yang kanan.

Dengan tangkas ia membalikkan badannya dan menarik serta melemparkan sang harimau kedepannya.

Harimau kumbang jatuh berguling, tetapi secepat kilat berdiri diatas empat kakinya kembali,

serta membalikkan badannya dan mengulangi terkaman seperti tadi.

Dara kecil mengulangi gerakannya lagi, menyambut terkaman harimau dengan menyusupi

dibawahnya serta menangkap salah satu kaki depannya dan membantingnya kedepan lagi. Gerakan

demikian diulangi hingga berkali-kali dengan suatu gerakan yang semakin lama semakin cepat.

Itulah yang disebut gerakan membanting dengan meminjam tenaga lawan, atau dalam bentuk

jurus "mendayung mengikuti arus".

Tiba-tiba teedengar suara tepuk tangan tiga kali dengan diiringi suara panggilan nyaring dari

jauh "Indah Kumala ' !!! Memang demikianlah nama dara itu. Kelengkapannya ialah Indah KumalaWardhani.

Demi mendengar suara panggilan itu. Kumala Wardhani segera memalingkan kepalanya kearah

suara tadi dengan menyahut nyaring: "Saya disini, Eyang"!!!!.

Berkata demikian ia berlari menuju kearah suara yang ternyata datangnya dari mulut gua tadi,

dengan diikuti oleh si harimau kumbang.

Seorang laki-laki yang telah lanjut usianya, dengan berjubah warna kuning keemasan berdiri

diambang pintu gua, Menyambut datangnya anak dara kecil yang dipanggilnya tadi. Rambutnya yang

telah memutih seperti kapas diikat kebelakang merupakan sanggul kecil, dan diatas kepalanya melingkar

sebuah sisir dari tanduk. Wajahnya yang telah berkeriput bercahaya penuh wibawa. Sepasang matanya

bersinar tajam. Namun dibalik keangkeran wajahnya, tersembunyi budi perasaan yang lemah lembut

serta kasih sayang terhadap sesama ummat. Ia terkenal dengan nama gelarnya Ajengan Cahaya Buana.

Ia seorang petapa shakti yang sering muncul di tengah-tengah rakyat yang sedang tertimpa kemalangan

dan penderitaan.

Kesaktiannya mentakjubkan, sehingga datang dan perginya tidak pernah dapat diketahui orang.

Para penjahat jeri demi mendengar namanya.

Kehadirannya Ajengan Cahaya Buana ini tak pernah dapat diduga-duga sebelumnya. Pernah

sekali terjadi, seorang penjahat yang sedang merampok sebuah desa dengan anak buahnya, berniat

melawan Ajengan Cahaya Buana yang pada waktu itu tiba-tiba muncul menghalang halangi

perbuatannya, tetapi dengan tidak diketahui sebab musababnya, penjahat tadi roboh terguling dan

kemudian untuk selamanya mengalami cidera menjadi lumpuh kedua kakinya tanpa terluka. Penjahat

itu terkenal dengan gelarnya Oraybeureum yang ganas dan shakti.

Kejadian itu menjadi buah tutur orang dari mulut ke mulut dan tersebar luas diseluruh pelosok

daerah Pasundan.

Tidak sedikit pula rakyat desa yang sangat miskin, tiba tiba menerima pemberian rejeki berupa

uang, beras ataupun pakaian, dengan tidak diketahui, orangnya yang memberi pertolongan itu. Hanya

suara mengaumnya seekor harimau dari arah kejauhanlah yang menjadi suatu tanda bahwa Ajengan

Cahaya Buana berada disekitar tempat itu.

Rakyat yang mendapat pertolongannya hanya dapat mengucapkan rasa terima kasih seorang

diri, tak ubahnya seperti orang yang sedang berdoa saja. Mereka beranggapan bahwa petapa shakti itu

dapat menghilang. Tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti tentang petapa sakti itu.

Maka karenanya banyaklah dongengan dongengan rakyat yang aneh-aneh serta bermacam-

macam corak dan sifatnya timbul dikalangan rakyat desa daerah Pasundan.

? Cucuku manis, bukankah Eyangmu telah ber-ulang2 mengatakan bahwa waktu siang tengah

hari demikian, tidak baik untuk berlatih. Dengan lemah lembut serta penuh rasa kasih sayang Cahaya

Buana memperingatkan cucunya Indah Kumala Wardhani.

Tetapi belum habis kata-kata Cahaya Buana, Kumala Wardhani telah menyahut dengan nada

suara lantang penuh rasa manja. ? Tetapi apa yang harus saya kerjakan, Eyang? Pergi sedikit jauh saja

sudah dilarang, apakah saya hanya diharuskan berbaring saja didalam kamar yang gelap itu?

Mendengar bantahan cucunya itu, sedikitpun Ajengan Cahaya Buana tidak mejadi marah, tetapi

bahkan memandangnya dengan penuh rasa kasih sayang.

? Bukan demikian maksudku, cucuku manis. Dengarkanlah baik-baik, waktu siang hari begini

adalah kurang baik untuk berlatih. Bukankah sebaiknya kau membantu mamangmu didapur dahulu.

Baru nanti setelah mata hari condong kebarat, kau dapat mengulang lagi Iatihan itu dibawah penga-

wasanku. ? Cahaya Buana menjelaskan dengan pelan.? Baiklah Eyang, tetapi nanti setelah kita selesai makan, janganlah Eyang membohongi Kumala,

? dara kecil itu berkata sambil lari masuk kedalam gua dan diikuti oleh si kumbang. Cahaya Buana


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


mengikuti larinya cucunya dengan pa-dangan mata yang penuh rasa kasih sayang serta menghela nafas

panjang.

? Ach.. mirip benar ia dengan mendiang ibunya. ? Cahaya Buana berkata dalam hati. ? Dan

seandainya kakaknya berada disini, tentunya ta tidak akan merasa sangat kesepian seperti sekarang ini. -

Merenungkan demikian itu, kini hatinya merasa semakin tersayat sayat sedih. Kejadian enam tahun

yang lalu, sewaktu kemalangan menimpa keluarga anaknya, terbayang kembali dengan jelasnya.

Penstiwa yang menyedihkan serta penuh dengan penyesalan. Raut wajahnya yang tadi bersih bersinar,

kini berubah cepat menjadi suram penuh rasa duka.

Waktu itu Kum tla Wardhani masih berusia satu tahun... Anak menantunya adalah seorang

priyagung tamtama dari Kerajaan Pajajaran bernama Darmaku umah, berpangkat Bupati tamtama dan

merangkap menjadi kepala daerah Sukabumi, sebuah daerah yang terdekat dengan kota Raja Pajajaran.

Ia gugur sebagai pahlawan dimedan pertempuran, sewaktu mengiringkan Sri Baginda Maharaja Baduga

dalam perang Bubat dengan meninggalkan dua putra putri.

Ya waktu itu. bunga-bunga harum berguguran sebagai pahlawan Kerajaan Pajajaran

sebagai ksatrya yang menjunjung tinggi sumpah tamtamanya, berbakti kepada keagungan Kerajaan

Pajajaran. Berita mengenai malapetaka yang tidak terlupakan itu datangnya dengan tiba-tiba. Dan saat

itulah Pajajaran dilanda banjir air mata. Namun kiranya kemalangan yang menimpa keluarga

Tumenggung Bupati tamtama Darmakusumah tidak hanya berhenti sampai sekian saja. Didalam suasana

yang berkabung, ada pula orang-orang? Baiklah Eyang, tetapi nanti setelah kita selesai makan,

janganlah Eyang membohongi Kumala, ? dara kecil itu

berkata sambil lari masuk kedalam gua dan diikuti oleh si

kumbang.

yang segera memancing didalam air keruh, ialah mencari keuntungan dengan meninggalkan silat-sifat

kemanusiaannya, yah bahkan berbuat sebagai pengchianat yang berachlak sangat rendah..

Mereka itu adalah para perampok yang berpakaian sebagai tamtama Kerajaan Majapahit, dan

merampok dirumah rumah para priyagung yang keluarganya sedang dalam keadaan berkabung.

Gedung Kebanjaran Agung Sukabumi, sewaktu dalam keadaan berkabung dirampoknya, bahkan

putri Ajengan Cahaya Buana gusti ayu Bupati Darmakusumah dibunuhnya pula.

Kedatangan Cahaya Buana kerumah putrinya yang selalu dengan harimau kumbang piaraannyaternyata telah terlambat. Terlambatnya kedatangannya itulah, yang ia sangat sesalkan... Bahkan dalam

pengejaran, hanya berhasil memusnakan dua orang perampok diantara duapuluhan orang itu. Bukan

hanya harta benda saja yang dibawa lari oleh para perampok, akan tetapi juga cucu putranya tersayang

Yoga Kumala, yang waktu itu baru berusia dua setengah tahun, dibawanya lari puta. Padahal cucu

putranya itu diharapkan kelak dapat mewarisi akan kesaktiannya.

Dengan hati yang tersayat-sayat sedih ia membawa jenazah putrinya serta cucu putrinya Indah

Kumala Wardhani dengan diikuti oleh mang Jajang pengasuh cucunya, kembali ketempat pertapaannya

dilereng Gunung Tangkuban Perahu. Disanalah dekat mulut gua itu, jenazah putrinya dimakamkan

dengan ditandai dengan sebuah batu nisan terpahat diatasnya.

Mang Jajang sebagai pengasuh yang setia, turut pula merasakan kesedihan yang tak terhingga

yang baru dialami oleh tuannya.

Dalam ia bermuram itu, wajahnya kelihatan kian berkeriput, dengan air mata yang berlinang-

linang menggenang dalam pelupuk matanya.

Namun sebagai seorang petapa shakti, dengan cepat ia dapat menguasai dirinya dan

menenangkan perasaannya kembali.

Disamping menggembleng cucu putrinya dalarn ilmu kerphanian dan kejasmanian, ia masih

selalu berusaha untuk menemukan jejak cucu putranya Yoga Kumala kembali.

Manusia wajib dan harus selalu berichtiar, namun ketentuannya ada ditangan Dewata Yang

Maha Agung.

Demikian pula pedoman hidup Ajengan Cahaya Buana. Dengan pelan dan langkah berat ia

memasuki gua, untuk mengikuti jejak cucunya.

Dalam lorong gua yang dilalui itu, tidak demikian gelap, dikarenakan adanya jalan yang

menembus kearah timur dengan mulutnya yang lebar, sehingga cukup untuk menam-pung sinar

pancaran matahari yang jatuh pada tebing-tebing cadas yang terjal itu.

Akan tetapi mulut gua tembusan itu tidak mungkin dapat dimasuki orang dari luar, karena

menghadap kearah jurang yang sangat curam, dengan tebing-tebingnya yang dihiasi dengan batu-batu

cadas yang licin keras serta terjal menjulang.

Diantara dua mulut gua itu, terdapat jalan simpangan yang membujur kearah utara, selebar satu

setengah langkah dengan tingginya kurang dari setinggi orang berdiri. Jalan simpangan itu merupakan

lorong yang gelap. Dengan demikian, maka orang yang hendak memasuki terpaksa harus

membungkukkan badannya dan harus jalan seorang demi seorang.

Selang kira-kira seratus langkah, jalan itu kemudian menurun kebawah dan sampailah pada

sebuah ruangan yang luas dan terang remang-remang. Terangnya ruangan ini dikarenakan pantulan

cahaya dari dinding2 batu putih yang mengelilinginya, serta pantulan cahaya dari batu2 air yang

menjorok tidak menentu bentuknya dan tidak teratur dari atas dan merupakan bentuk runcing2 ber-

gantungan.

Lantai dari ruangan itupun kelihatan putih licin serta bersih, tidak ubahnya seperti lantai dari

marmer alam. Disudut ruangan terdapat meja dari batu putih pula dengan kitab2 yang tersusun rapih

diatasnya, serta sebuah pelita minyak, sedangkan disebelahnya adalah tempat untuk Cahaya Buana

bersemadhi. Dikedua sudut yang bertentangan lainnya adalah tempat untuk Cahaya Buana dan cucu

putrinya beristirahat.

Dari ruangan yang cukup lebar itu, masih ada sebuah lorong lagi yang menanjak dan sampai

pada ruangan yang luasnya lebih kecil dari ruangan yang pertama. Tetapi ruangan inipun dinding-

dinding dan lantainya merupakan batu putih yang dapat memantulkan cahaya. Sebuah lorong jalan yangcukup lebar menembus dan menghubungkan ruangan itu dengan mulut goa lainnya yang menghadap

keselatan. Ruangan itu merupakan tempat istirahat mang Jajang serta tempat untuk memasak.

Sedangkan tempat si kumbang adalah disebelah dalam mu!ut gua yang pertama.

Kiranya Kumala Wardhani telah mendahului sampai diruangan belakang dimana Mang Jajang

sedang sibuk menyiapkan masakannya.

? Mang Jadiang !! ? Suaranya terdengar nyaring ? Indah diperintah Eyang untuk

membantumu.

? Mamangmu telah hampir selesai, neng! ! jawab Mang Jajang, sambil meletakkan pinggan

berisi masakan sayur, serta memalingkan pandangannya kearah Kumala Wardhani. ? Tunggu saja

sebentar, nanti neneng dapat membantu mengatur menutup meja?!

? Mang Jajang adalah seorang lelaki yang telah lanjut usianya, sekitar enam puluhan.

Rambutnya putih dengan kulit mukanya telah berkeriput pula serta giginyapun telah ompong semua. la

adalah pengasuh yang sangat setia sejak ayah Kumala Wardhani masih kecil.

Karena selalu mengabdi sebagai pengasuh dilingkungan para bangsawan, maka selalu Mang

Jajang bersikap menghormat yang berlebih-lebihan dan tidak pernah meninggalkan istiadat sopan-

santun sebagaimana lazimnya seorang abdi terhadap majikannya. Tak heranlah apabila ia selalu

memakai istilah ?mengatur menutup meja", walaupun yang dimaksudkan adalah mengatur makanan

diatas lantai batu yang berada diruangan itu.

Sedang mereka berdua sibuk menyiapkan hidangan, Ajengan Cahaya Buana tiba-tiba telah

berada pula didalam ruangan itu.

? Mang Jajang . ? katanya pelan.

? Harap kau dapat selalu bersabar hati mengasuh cucuku!!?

? Saya mohon restunya juragan Sepuh saja, semoga saya dapat mengasuhnya hingga neng

Kumala Wardhani mendapatkan kebahagiaan, serta dapat segera bertemu kembali dengan saudara

akangnya Aden Yoga Kumala, ? jawab Mang Jajang.

--- Yaaaahhh .. bantulah aku dengan berdoa siang malam kepada Dewata Yang Maha Agung,

mohon belas kasihanNya, agar cucuku Yoga Kumala lekas kembali dengan selamat. Ajengan Cahaya

Buana menambahkan.

Berkata demikian Cahaya Buana kembali menghela nafas panjang, dengan wajahnya berobah

muram kembali, menunjukkan kesedihan yang tak terhingga.

Sesungguhnya Cahaya Buana mempunyai maksud akan mewariskan kesaktiannya kepada cucu

putranya yang tunggal itu, akan tetapi karena tidak kunjung datang, maka ia kini memulai sedikit demi-

sedikit melatih cucu putrinya dengan ilmu tata bela diri yang telah diciptakan khusus untuk kaum putri,

agar kelak tidak meninggalkan sifat-sifat kewanitaannya. Baik mengelak ataupun menyerang, gerakan

jurusnya adalah berlainan bentuknya dengan seorang prija. Demikian pula macam senjata yang

dipergunakan.

Gerakan jurus - jurusnya sepintas lalu kelihatan lemah gemulai, tetapi mengandung unsur2

serangan yang cukup berbahaya bagi lawan yang dihadapinya.

Ternyata Indah Kumala Wardhani memiliki bakat dan kecerdasan yang dapat dibanggakan untuk

menguasai pelajaran-pelajaran yang diterimanya dari kakeknya. Dalam usia dua belas tahun, Indah

Kumala Wardhani telah dapat menangkis senjata tajam lawan dengan angkinnya, serta dapat pula

menyerang lawannya dengan lemparan tusuk kondenya yang sangat berbahaya itu. Dalam tata bela diri

bertangan kosong ia dapat membanting lawannya bagaimanapun beratnya, tanpa mengeluarkan tenaga

banyak, serta pukulan tamparannya yang cukup dahsyat dan sukar untuk dielakkan.Oleh Cahaya Buana ia khusus dibuatkan tiga buah tusuk konde dari perak yang khusus dapat

dipergunakan sebagai senjata, dan sehelai angkin berwarna merah sepanjang dua depa, terbuat dari

bahan benang sutra alam yang ditenun selebar satu jengkal. Kiranya Cahaya Buana dapat berkenan

dihatinya, melihat kepandaian cucu putrinya. Apalagi Mang Jajang, rasa kagum yang tidak terhingga

timbul pula dihati Jajang inang pengasuhnya demi melihat ketangkasan dara asuhannya.

Kecantikan wajahnyapun kini nampak bertambah menggairahkan.

Kini Indah Kumala Wardhani dapat dengan mudahnya menuruni jurang-jurang yang curam serta

menaiki tebing2 yang terjal tanpa bantuan si kumbang harimau yang setia itu.

Ia dapat pula berlari cepat, seperti berkelebatnya bayangan, dan berloncatan dengan lincahnya,

bagaikan kupu-kupu berkejar-kejaran.

Sebagai putri Parahiyangan ia mahir pula memainkan kecapi dengan lagu-lagu asli Sunda yang

mengalun menggetarkan perasaan yang mendengarnya. Bahkan meliwati suara petikan kecapi itu, Indah

Kumala Wardhani dapat pula mencurahkan isi kalbunya dengan melalui lagu dan nada, melengking

mengalun menyayat-nyayat hati pendengarnya.

Diwaktu malam yang sunyi, sering pula ia memainkan kecapinya.

Suara petikan kecapinya mengumandang terdengar sayup sayup dari kejauhan, dengan lagu-

lagunya yang sedih memilukan, menyayat-nyayat hati orang-orang desa yang tinggal di sekitar lereng

bunung Tangkuban Perahu.

Banyak diantara mereka yang beranggapan, bahwa suara petikan kecapi itu adalah berasal dari

putri siluman yang sedang berkuda dipuncak Gunung Tangkuban Perahu..

? Eyang, ijinkanlah Kumala untuk turun Gunung guna mencari akang Yoga Kumala, satu satunya

saudara kandung Kumala.

Nada suaranya yang merengek rengek ini, kini hampir tiap hari didengar oleh Cahaya Buana,

tetapi selalu dijawabnya pula dengan kata kata lemah lembut untuk menghibur hati cucu putrinya,

bahwa ia sendiri yang akan mencarinya hingga ketemu. Rengekan cucunya bertambah hari bukan

semakin mereda, akan tetapi malah lebih santer dan menjadi isak tangis yang memilukan hati.

Sewaktu tengah malam dikala Indah Kumala Wardhani dengan jari jarinya yang halus dan mungil

meruncing memainkan kecapinya dengan petikan pada tali tali kawatnya dan mengeluarkan nada suara

nyaring meraju untuk kemudian berubah menjadi irama yang menyayat nyayat dan memilukan

menggema dikesunyian, jauh menyusupi lereng lereng Gunung Tangkuban Perahu, Ajengan Cahaya

Buana tergerak hatinya untuk bersamadhi, dan mematek ajiannya ?pameling", demi mendengar alunan

suara kecapi cucu putrinya yang tercinta.

Ia duduk bersila disudut dengan kedua belah tangannya bersilang didadanya laksana patung.

Angan angannya mengembara mengikuti alunan suara petikan kecapi cucunya. Menjelajah dikejauhan

.....

Kemudian angan angan yang merana ditarik kembali dan kini terpusat didalam rasanya sejati.

Suara petikan kecapi terdengar sayup sayup, untuk kemudian dengan lambat laun lenyap dari


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


pendengarannya sama sekali.

Daya panca inderanya telah tertutup semua

Cipta, rasa dan karsanya telah dilebur menjadi satu dalam rasa sejatinya, dan merupakan suana

pribadinya sendiri dalam titik puncak kesadaran ..

Sinar terang kini menyelubungi diri pribadinya dan rnenciptakan daya tangkap yang sangat

tajam untuk menerima gelombang gelombang getaran yang datang karena pengaruh daya tariknya rasa

sejati, dari segenap penyuru mata angin.Ternyata gelombang gelombang getaran yang datang dari arah barat, utara dan selatan maupun

dari barat laut dan barat daya, terbentur mengalun dan memantul kembali, karena terdesak oleh

kekuatan gelombang gelombang getaran yang datang dari arah timur. Getaran getaran gelornbang ini

ditangkap dan dihimpun dalam suana pribadinya sendiri.

Dan tahulah ia kini dengan pasti, bahwa cucu putranya yang tunggal yang telah bertahun tahun

dicarinya masih hidup dan saat ini berada jauh diarah timur. Namun dimana nya yang pasti ia tidak

dapat mengetahuinya. Segera ia mengakhiri samadhinya dan berkehendak pergi mendatangi sumber

gelombang gelombang yang kini berbalik menjadi daya tarik laksana besi sembrani yang sangat kuat ..

--- Cucuku manis, tak usah kau selalu bersedili hati. Eyangmu bermaksud pergi pada tengah

malam ini bersama si kumbang, untuk mencari kakak kandungmu.? Ia berkata dengan pelan dan duduk

mendekati cucu putrinya yang sedang asyik tenggelam dalarn permainan kecapinya. Demi mendengar

kata kata kakeknya, Indah Kumala Wardhani menghentikan gerakan jari jarinya yang sedang menari-nari

diatas tali kawat kecapinya, serta membetulkan letak duduknya menghadap kakeknya.

? Pesanku, selama Eyangmu belum pulang, janganlah sekali kali meninagalkan tempat

pertapaan ini..?

? Izinkanlah Indah mengikuti perjalanan Eyang, agar dapat membantu apabila Eyang menemui

kesukaran dalam perjalanan ? Indah Kumala menyahut dengan nada menghadap.

? Oh, ooohhh, jangan . cucuku manis !!! Jika kau ikut, berarti akan menghambat

perjalananku. Kelak apabila kau sudah agak besar, tentu akan menyertai kemana aku pergi. Maka

tinggallah sekarang baik-baik dipertapaan dengan mamangmu Jajang. Ulangilah dengan tekun semua

pelajaran pelajaran yang telah kuberikan padamu !!! ? Ajengan Cahaya Buana berkata seraja

menghibur cucunya dengan suara penuh kasih sayang.

-- Tetapi Eyang, bukankah Kumala sekarang sudah besar? ? Kumala memotong bicara.

? Memang cucuku Kumala sekarang sudah besar, dan bukan seperti kanak-kanak lagi, akan

tetapi belum cukup dewasa, untuk mengatasi rintangan2 yang diujumpai dalam perjalanan. Ketahuilah,

cucuku manis, bahwa kini banyak orang2 yang sedang lupa akan kesuciannya. Maka rajin - rajinlah

rnengulangi semua pelajaran yang telah kau terima. Kelak jika Eyangmu telah kembali, akan kutambah

lebih banyak lagi, agar kau kelak dapat mengatasi segala rintangan apapun yang kau hadapi dalam

menuju tercapainya cita-citamu. ? Berkata demikian Ajengan Cahaya Buana rnenggeser duduknya

untuk lebih dekat lagi, sambil membelai rambut cucu putrinya dengan mesra.

? Berapa lama Eyang harus pergi? ? tanya Kumala.

? Eyang akan pergi dalam waktu tidak begitu lama. Dan semoga berhasil menemukan kakakmu

Yoga Kumala. Dengan si kumbang disampingku, Eyangmu tidak kuatir akan terlantar dijalan . ?

sambung kakeknya.

? Tetapi jangan Eyang meninggalkan Kumala terlalu lama !!? Indah Kumala Wardhani

menyahta : Jika kali ini Eyang tidak berhasil menemukan akang Yoga Kumala; ijinkanlah Kumala untuk

mencari sendiri.? Demi mendengar kata2 cucu putrinya, Cahaya Buana merasa seperti disayat-sayat

hatinya.

- Baiklah .... cucu manis! ? Katanya sambil tersenyum dan mencium keningnya ? Aku akan

berangkat sekarang, dan pergiku tidak akan lebih dari seratus hari. Taatilah semua pesan pesan2ku. Dan

jika aku pulang kembali tanpa membawa hasil, tentu kelak kau kuijinkan turun gunung bersamaku untuk

mencari kakakmu Yoga Kumala. -

Setelah Ajengan Cahaya Buana berpamit pada cucu puterinya dan Mang Jajang pengasuhnya, ia

segeera berangkat meninggalkan gua pertapaannya dan diikuti oleh si kumbang, harimau piaraannyayang setia ..Tujuannya ialah mengikuti getaran gelombang daya tarik yang datang dari arah timur.

Kumala Wardhani dan Mang Jajang mengantarkan sampai didepan mulut gua sasaat kemudian

Cahaya Buana beserta si kumbang telah melesat hilang ditelan oleh gelapnya malam.

Selang beberapa hari Cahaya Buana, telah tiba di lereng Gunung Cerme, dekat pesanggrahan di

Linggarjati dimana pertempuran antara lndra Sambada bersama Tumenggung Cakrawirya melawan

Kertanatakusumah dan kawan-kawannya sedang berlangsung dengan sengitnya. Dan ditempat itulah

getaran gelornbang daya tarik dirasakan semakin kuat. Suatu tanda bahwa kini ia tidak seberapa

jauhnya dengan arah yang dituju. Tetapi sifat-sifat kependetaannya yang tidak menghendaki adanya

pertumpahan darah, memaksa ia berhenti sejenak untuk mencari tahu, sebab musababnya dari

pertempuran itu.

Pandangannya terbentur pada pancaran cahaya dari wajah Indra Sambada yang menunjukan

sifat budi luhur serta kebersihan hatinya. Setelah dengan jelas mengetahui tentang duduk persoalannya

dan ingat kembali ,akan ramalan pujangga kuno mendiang gurunya, maka dengan aji sakti

"panggendamannya" ia menghentikan pertempuran yang sedang berlangsung dengan serunya, serta

sekedar memberikan wejangannya singkat untuk menginsyafkan kembali para perwira tamtama dari

Pajajaran demi terwujudnya persatuan dan perdamaian di Nuswantara.

Akan tetapi selagi ia memberikan wejangan, terasa olehnya bahwa sumber daya tarik yang tadi

dapat dipastikan berada disekitar tempat itu, tiba tiba lenyap tidak dapat lagi oleh rasa pribadinya.

Ternyata turut campurnya dalam urusan itu, memaksakan beralihnya pemusatan tenaga bathin, hingga

hilanglah jalinan daya tangkap yang hampir menemukan sumber daya tarik yang dicarinya. (Baca seri

Pendekar Majapahit).

Maka cepatlah ia meninggalkan tempat pesanggrahan itu untuk mencari tempat yang sunyi

ditengah hutan guna mematek aji pamelingnya kembali.

Baru sebulan kemudian ja dapat menemukan kembali arah sumber gelombang getaran yang

dicari-carinya. Tetapi masih saja jauh berada dari dirinya, diarah timur. Dan dengan demikianlah Cahaya

Buana sampai di Kota Raja Kerajaan Majapahit. Betapa terkejut dan herannya setelah ternyata sumber

gelombang getaran daya tarik itu dirasakan berada dalam Istana Senopaten, kediaman Senopati Muda

Manggala Tamtama Pengawal Raja Indra Sambada.

Pada hari tengah malam, Cahaya Buana bersama harimau kumbangnya memasuki gedung

Senopaten dan melihat Sujud sedang berbaring ditempat tidurnya. Akan tetapi belum juga ia dapat

melihat dengan pasti tanda-tanda yang memastikan, bahwa anak yang sedang tidur gelisah itu adalah

cucu putranya. Tiba2 para tamtama pengawal yang sedang berjaga meronda berteriak-teriak ramai dan

menjadi gaduh demi melihat berkelebatnya si kumbang.

Ajengan Cahaya Buana segera meninggalkan Istana Senopati menggagalkan maksudnya, dan

melesat seperti bayangan menghilang dikegelapan malam diikuti oleh si kumbang.

Ia tidak mau mengacaukan suasana, sebelum persoalan yang pelik itu diketahui dengan jelas.

Akan tetapi diluar pengetahu.mja, pengaruh aji sakti pameling itu ternyata membuat Sujud selaiu

gelisah dan risau.

Rasa ingin tahu akan asal usulnya bangkit menggelora dalam lubuk sanubarinya. baca ?Indra Sambada

Pendekar Majapahit")

Kini Ajengan Cahaya Buana bermaksud akan menemui langsung Sang Senapati Muda Indra

Sambada, untuk menanyakan asal usul dari pada anak tanggung yang berada digedung Senapaten itu.

Tetapi pada saat itu ternyata Indra Sambada sedang bepergian ke Wonogiri dengan dikawal oleh Lurah

Tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang.Keadaan yang demikian memaksa Cahaya Buana tinggal sementara diluar Kota Raja untuk

menantikan dengan bersabar hati hingga lndra Sambada kembali di Senapaten.

Tetapi setelah Cahaya Buana dapat bertemu dengan Indra Sambada, ternyata Sujud telah pergi

meninggalkan gedung Senapaten tanpa pamit dan tidak diketahui arah tujuannya.

Namun kini semakin jelas bagi Cahaya Buana, bahwa adik angkat Sang Senapati Indra Samhada

yang bernama Sujud besar kemungkinannya adalah cucu putranya Yoga Kumala.

Karena kesanggupan Indra Sambada untuk mencari Sujud hingga ketemu, dan akan

menyerahkan sendiri ke Gunung Tangkuban Perahu, maka Ajengan Cahaya Buana segera minta diri

untuk kembali ketempat pertapaannya.

Kepada Indra Sambada dijelaskan pula, bahwa cucu putranya mempunyai tanda tahi lalat yang

sama dengan cucu putrinya, yang berada di lengan kiri.

Pertemuannya yang singkat dengan Cahaya Buana itu, bagi Indra Sambada sangat berkesan dan

penuh arti.

Ia berhasrat besar untuk membalas kunjungannya Cahaya Buana ke tempat pertapaannya

dilereng Gunung Tangkuban Perahu, dengan menyerahkan cucu putranya Sujud atau Yoga Kumala,

sebagai balas budi akan jasa Ajengan Cahaya Buana sewaktu menyelamatkan jiwanya.

Dan lebih daripada itu, ia berhasrat pula untuk dapat mencicipi sedikit akan ilmu kesaktiannya.

BAGIAN II

Dikala itu, waktu telah larut malam, mendekati terang tanah pagi-pagi buta. Bintang-bintang

masih bertaburan menghiasi langit biru yang membentang mengatapi bumi, berkedip-kedip

memancarkan cahaya gemerlapan, membuat terang remang-remang. Awan tipis berpencaran jauh

diangkasa dengan bentuknya sendiri-sendiri dan berobah-robah, menambah indahnya hiasan Iangit

yang membentang cerah.

Berkokoknya ayam telah terdengar pula sahut sahutan dari kandangnya masing-masing

dikejauhan.

Dijalan-jalan besar yang silang menyilang di Kota Rajapun masih sunyi.

Pintu-pintu rumah yang berderetan dipinggir jalan masih tertutup rapat-rapat. Angin sepoi-sepoi

basa, meniup pelan, dan hawa dingin terasa masuk menusuk tulang-tulang badan.

Dengan langkahnya yang berat dan tidak menentu, seorang anak laki2 tanggung berusia 14

tahun menyelajahi jalan jalan besar di Kota Raja, tanpa menghiraukan sepinya suasana serta hawa

dingin yang menusuk sampai pada tulang2nya. Angan-angannya merana jauh tak menentu, hingga

hampir saja ia terbentur pada sebuah pohon besar iang berada dipinggir jalan yang dilaluinya. Namun ia

berjalan Iurus keutara dengan sebentar-sebentar menengok kebelakang. Gedung Senopaten makin lama

makin jauh ditinggalkan.

Ia memakai baju warna merah jambu terbuat dari kain sutra, dengan kancing - kancingnya

terbuat dari emas murni, serta bercelana warna biru laut. Masih pula ia mengenakan sarung hijau

dengan ber kembang2 tersulam dari benang sutra warna kuning keemasan. Timang ikat pinggangnya

terbuat dari emas murni berukirkan burung garuda.

Dikedua belah pergelangan tangannya melingkar sepasang gelang mas, dan sebuah kantong

kulit halus selebar satu jengkal tergantung dipinggang sebelah kiri. Dengan berpakaian demikian Sujud

menyerupai seorang putra bangsawan yang memegang jabatan tinggi di Kota Raja. Namun rambutnyayang gondrong, kelihatan kusut tak terurus. Wajahnya yang tampan berbentuk bulat telor dengan

sepasang alisnya yang tebal, nampak lesu tidak bersinar. Tetap ia masih saja berjalan .. Ternyata diluar

kota lalu lintas telah mulai menunjukkan kesibukannya. Suara percakapan yang diiringi gelak tawa riang

dari para pedagang2 desa yang berjalan menuju ke Kota Raja berduyun2, membuat suasana menjadi

ramai.

Mungkin karena pakaian yang dikenakan demikian mewah dan menyolok itu, maka para

pedagang2 yang berjalan berpapasan selalu membuang waktu sesaat untuk mengamat-amati dengan

cermat kearah Sujud. Ada pula diantara mereka yang mem bungkuk2kan badannya, sewaktu

berpapasan. Jelas bahwa pakaian yang dikenakan itu menarik perhatian bagi yang melihat.

Mereka berbisik-bisik, mempercakapkan tentang Sujud dengan pendapat dan tafsiran masing2.

Kini sang surya telah mulai mengintai dari kejauhan disebelah timur. Cahaya warna merah lembajung

membiasi alam semesta, Bintang fajarpun telah lenyap tersapu oleh pancaran cahaya lembayung yang

membara itu. Tanda fajar telah mulai menyingsing. Dengan lambat, sedikit demi sedikit sang surya

menampakkan seluruh tubuhnya .. Dan cahaya merah lembajungpun pelan-pelan menjadi cahaya

terang benderang .. Hari kini telah berganti dengan pagi ..?Burung-burung berlintasan diangkasa dari

segenap penjuru, sambil bersiul-siul dengan nada dan iramanya sendiri-sendiri, menambah indahnya

suasana alam diwaktu pagi itu.

Para petani telah berangkat pula menuju kesawahnya masing-masing dengan membawa alat-

alat pertanian mereka, seperti badik, cangkul dll., untuk mengolah tanahnya.


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Sujud masih saja terus berjalan, menyusuri tanggul Bengawan kehulu. la masih ingat, bahwa

dengan menyusuri kali Bengawan itu, ia dapat tiba di Ngawi sebuah desa kecil yang dahulu ia pernah

tinggal dengan orang tua angkatnya, Kyai Tunggul. la masih ingat pula kepada Martiman dan Martinem,

dua kanak-kanak yang telah kehilangan ayahnya.

Kini tujuannya akan berkunjung kedesa Trinil, dimana kedua anak-anak itu bertempat tinggal

bersama ibunya.

Setelah menemukan tujuannya yang pasti, kini kegelisahan dan kerisauan dalam hatinya

menjadi berkurang. Dan perlahan-lahan ia menjadi sadar kembali akan apa yang telah diperbuatnya. Ia

ketawa geli sendiri, setelah memperhatikan pakaian yang demikian mewah yang dikenakan itu.

Tidak heranlah apabila tiap-tiap orang yang berpapasan selalu memperhatikan padanya.

Ia berhenti dan duduk sejenak dibawah pohon dipinggir tanggul untuk membuka bajunya serta

melipatnya untuk kemudian disimpan dalam kantong kulitnya. Demikian pula sepasang gelang dan

timang ikat pinggangnya dimasukkan kedalam kantong itu. Kini ia hanya tinggal mengenakan celana dan

berkain sarung saja, sedangkan badannya dibiarkan telanjang begitu saja. Tanda tailalat sebesar ibu jari

warna merah kehitaman, nampak jelas di lengan kirinya.

Pada malam harinya ia mengaso digardu tempat orang meronda, dan pagi-pagi buta ia

berangkat melanjutkan perjalanannya kembali.

Panas teriknya sang surya yang memancar dari ketinggian diatas kepalanya membuat ia sangat

letih dan peluhnya dirasa kan telah membasahi badannya. Perutnya terasa sangat lapar, namun ia tidak

perlu kuatir, karena uang yang dibekalnya cukup banyak untuk membeli makanan dalam perjalanan. la

menoleh kekanan kiri mencari warung perdesan disekitarnya. Tiba-tiba dilihatnya banyak orang yang

sedang berkerumun, berjongkok mengitari lapangan dipinggir sebuah desa yang berada dibawah

tanggul sebelah selatan. Suara sorak sorai yang riuh ramai terdengar dari kejauhan. Setelah ia

mendekati, ternyata orang-orang itu sedang asyik mengadu ayam jantan dengan bertaruh uang. Orang

otang yang berjualan makananpun banyak pula berada disekitar lapangan itu.Sujud segera duduk ditempat orang yang jualan gulai kambing, dan makan nasi gulai dengan

lahapnya. Setelah membayar makanan yang telah dipesannya, ia bangkit dan berjalan mendekati

tempat orang-orang yang sedang mengadu ayam. Ia bermaksud ingin melihat dari dekat sebentar sambil

mengaso. Ia turut pula duduk berjongkok, mengikuti para botoh yang sedang mengadu untung.

Gelak tawa dan sorak sorai orang-orang yang mempunyai harapan untuk menang dalam

bertaruh, bercampur dengan cacian dan gumaman orang-orang yang merasa tipis akan kemenangannya,

untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat.

Bahkan diantara mereka para botoh telah ada yang menghitung hitung kerugian yang akan

dideritanya.

? Ayo, siapa berani lawan taruhan!!!. Sepuluh duabelas. ? Teriak seorang yang bertubuh

pendek hitam dengan mukanya kasar penuh jerawat.

? Sepuluh tiga belas!!!. ? Jawab seorang didepannya dengan suara lantang. ? Dan saya

pegang atas, siapa berani?

? ia melanjutkan bicaranya untuk menantang taruhan pada orang-orang disekitarnya.

Seorang tampan dan berpakaian rapih menyahut dengan suara tak kalah lantangnya. ? Jika ada

yang berani mengapit, berapa saja pasti akan kulayani. ? Suaranya sangat berpengaruh, ternyata orang-

orang banyak segan menghadapi tantangannya, sungguhpun jika ada yang berani mengapit tidak akan

menderita kekalahan.

? Biar hancur aku akan tetap bertaruh pada ayamku sendiri! Ayo........ siapa berani mengapit?

? Ia mengulang tantangannya, dengan muka yang merah padam, menekan rasa marah karena telah

menderita kekalahan tidak sedikit jumlahnya.

Ternyata pertarungan ayam jantan yang sedang berlangsung itu kelihatan berat sepihak, tidak

seimbang.

Ayam jantan yang berulas wiring gading kuning keemas-emasan telah kehabisan tenaga, dan

hanya menunduk menerima patokan dan pukulan taji yang bertubi-tubi dari ayam jantan yang berulas

warna hitam kemerah ketnerahan, yang lazimnya disebut wido, sebagai lawannya. Akan tetapi ayam

yang berulas wiring gading itu ternyata memang mempunyai daya tahan yang sangat kuat. Ia tetap tidak

mau lari meninggalkan gelanggang, walaupun sudah tak dapat lagi membalas serangan lawanya. Kepala

dan sayapnya telah berlumuran darah. Sebentar-sebentar kepalanya menyelinap dibawah sayap lawan,

untuk menghindari patokan yang bertubi-tubi. Lima enam orang kini sedang berkumpul untuk

merundingkan tentang rantangan bertaruh yang baru saja diucapkan oleh orang yang tampan itu.

? Kang Wongso, berapa masih sisa uangmu seluruhnya? ? seorang diantara yang berkumpul

dan bertubuh pendek tam bertanya.

? Duapuluh uang perak, ? jawabnya, sambiI mengawasi jalannya pertarungan yang masih

bertangsung.

? Bari Berapa uangmu semua? ? tanya orang yang bertubuh pendek hitam itu pula.

? Ada, kalau hanya lima puluhan uang perak saja. ? Jawab Bari sambil menunjukkan uang

perak yang segera dari kantongnya serta ditunjukkan seraya bertanya Dan kau sendiri, berapa kau mau

bertaruh. Jo?

? Orang hitam yang penuh dengan jerawat dimukanya itu terkenal dengan namanya Arjo

Gepeng. la seorang saudagar hasil bumi di Bojonegoro yang terkenal kaya.

? Sekali ini aku akan menebus kekalahanku, kata Arjo Gepeng dengan nada mantap, seakan-

akan ia pasti akan menang.

? Uangku semua akan kutaruhkan untuk melawan tantangan Den Demang Jlagran. Biar iahancur betul-betul, seperti apa yang dikehendaki sendiri, ? katanya melanjutkan. ? Siapa lagi mau ikut

menumpang pada taruhanku??

Setelah ia menghitung-hitung semua milik uangnya dan uang orang-orang yang ikut bertaruh

dipihaknya, ia segera menongolkan kepalanya, serta berseru lantang, ?Den Demang .. Tantanganmu

aku terima.

Lima puluh uang mas dan aku pegang atas!!!?

? Jadi!!! ? Jawab orang tampan tadi dengan suara lantang dan sombong. Dialah yang dipanggil

dengan sebutan Den Demang. Memang sesungguhnya ia adalah Demang dari desa Jlagran, dan lazimnya

orang - orang menamakan dirinya Den Demang Jlagran. Ia adalah orang yang berpengaruh dan terkenal

pemberani yang selalu gemar membuat keributan.

Bahkan tidak sedikit, orang yang mengetahui bahwa Den Demang Jlagran adalah orang yang mempunyai

pengaruh dikalangan para penjahat. Iapun terkenal pula mempunyai ilmu kekebaIan.

? Awas !! ! Jangan mengingkari !!! Mana uangmu !!! ? Bentaknya sombong.

Tetapi Arjo Gepeng kiranya bukan orang yang baru saja terjun digelanggang adu ayam. Dengan

cepat ia menyahut sambil ketawa mengejek.

? Ha, ha, ha seharusnya malah aku yang bertanya, mana uangrnu !!??

Mendengar suara Aijo Gepeng yang diiringi pula dengan tawa mengejek itu, Demang Jlagran

kelihatan merah padam mukanya. Serta menjawab dengan mata melotot: ? Bangsat Gepeng !!!. Ni

Uangku !!! ? Berkata demikian sambil melemparkan uangnya segenggam, berupa uang perakan dan

beberapa uang emas kearah Arjo Gepeng. Tetapi terang bahwa uang yang dilemparkan itu tidak akan

lebih nilainya dari sepuluh uang emas.

? Awas !!. Siapa berani mengambil akan kuhancurkan kepalanya!!? ia melanjutkan

gertakannya.

Uang jatuh bergemerincingan ditanah dan menggelinding tersebar dtbawah para penonton.

Diantaranya ada pula yang berada didekat Sujud berjongkok. Akan tetapi tidak seorangpun yang berani

memungutnya. Mereka pada umumnya jeri menghadapi marahnya Den Dernang Jlagran.

Suasana menjadi tambah gaduh, dan perhatian para penonton kini terpecah menjadi dua.

Sebagian masih tetap berpusat pada pertarungan ayam yang masih berlangsung, dan sebagian lagi

terpusat pada Demang Jlagran yang sedang melampiaskan kemarahannya dengan kata - kata yang kasar

dan lantang.

Tiba - tiba para penonton serentak bersorak ramai dan masing - masing mengeluarkan seruan

penuh rasa girang, karena mendengar berkeyoknya ayam jantan berulas wiring gading, terkena pukulan

taji dikepalanya oleh lawannya dengan tepat, dan segera lari menghindari ayam lawannya wido. Suatu

tanda bahwa ayam wido telah memenangkan pertarungan itu.

Tetapi belum pula para penonton mengakhiri sorak sorainya, tiba-tiba Demang Jlagran meloncat

ketengah-tengah lapangan, dan menendang ayam wido yang sedang berkokok karena kemenangannya.

Dengan tendangan kaki kanan yang tepat, ayam wido itu terkapar berkelejotan, untuk kemudian tidak

bernafas. Kini keadaan menjadi semakin kacau balau.

--- Hai, Demang Jlagran !!. ? seru Arjo Gepeng sambil maju menghadapi Demang Jlagran. ?

Jangan mentang mentang kau seorang Demang, dapat berbuat semena-mena, menurut kehendak

nafsumu sendiri!!

--- Berani menendang ayamnya, tentu aku berani pula menghadapi pemiliknya Ayo!! Siapa saja

yang merasa tidak puas, boleh maju serentak, uutuk menerima pembagian tinjuku!!!?

Demang Jlagran menentang orang orang yang hadir, dengan pandangan mata yang berapi apisambil menuding nudingkan telunyuknya kearah Arjo Gepeng dan kawan kawannya.

Lima enam orang segera maju serentak dan menyerang Dernang Jlagran dengan pukulan dan

tendangan yang dahsyat. Tetapi Demang Jlagran telah siap menghadapi pengeroyokan dari orang orang

yang dipimpin oleh Arjo Gepeng. Dengan tangkasnya ia meloncat selangkah kesamping kanan untuk

menghindari serangan lawannya sambil mengirim pukulan dengan telapak tangan kirinya ketengkuk

salah seorang lawan pengeroyoknya.

Seorang yang terkena pukulan segera jatuh tertelungkup dan tak sadarkan diri. Melihat keadaan

demikian, Arjo Gepeng segera menerjang maju dengan gerakan jurus tendangan berangkai kearah

lambung kiri. Dan kembali lagi Demang Jlagran menunjukkan ketangkasannya yang mentakjubkan. Ia

tidak meloncat menghindari, tetapi malah menyambut tendangan lawan dengan pukulan siku tangannya

yang ecgera disusul dengan serangan tebangan telapak tangannya kearah pinggang Arjo Gepeng.

Benar benar gerakan tangkisan Demang Jlagran ini merupakan jurus pengunci serangan lawan

yang dahsyat. Tidak ayal Arjo Gepeng jatuh terlentang ditanah, dan bergulingan menghindari datangnya

serangan rangkaiannya. Keributan ternyata meluas. karena para botoh yang karah sebagian besar tidak

mau juga membayar taruhannya mengikuti jejak Demang Jlagran. Dengan demikian maka perkelahian

seru segera terjadi dalam kalangan. Sebagian lagi masih juga ada yang hanya bertarung Iidah, dengan

lontaran kata kata makian yang kasar. Sujud masih juga berdiri dengan mulut ternganga demi melihat

keributan2 yang sedang berlangsung, dengan tangannya memegang erat erat pada kantong kulitnya

yang tergantung dipinggangnya. Orang orang yang tidak mau terlibat dalam perkelahian itu segera

meninggalkan lapangan, dan orang orang yang berjualan, segera mengumpulkan dagangannya untuk

dibawa menyingkir menjauhi tempat keributan, takut keterjang oleh orang orang yang sedang berkelahi.

Jeritan orang orang yang terluka susul menyusul bercampur aduk dengran suara cacian dan sumpahan,

serta seruan panggilan tertuju pada orang orang yang melarikan barang ataupun uang yang bukan

miliknya.

Empat orang pengikut Arjo Gepeng serentak menerjang Demang Jlagran dengan bersenjata

tajam ditangannya masing masing. Dua orang bersenjatakan golok panjang, seorang bersenjatakan

parang arit, sedangkan yang seorang lagi bersenjatakan keris. Serangan serentak yang berlawanan

arahny, keleher, dada dan Iambung, merupakan serangan maut yang sangat berbahaya bagi Demang

Jlagran. Namun lawannya adalah Demang Jlagran bekas murid Tambakraga yang telah mempunyai

pengalaman luas. la berseru nyaring sambil melesat meloncat surut kebelakansg satu langkah

menghindari semua serangan, dan seraya menghunus kerisnya, serta kembali meloncat menerjang

kedepan dalam jurusnya ?serangan tusukan berperisai".

Tangan kirinya merupakan gerakan sampokan sebagai perisai, sedangkan keris terhunus

ditangan kanannya meluncur secepat kilat dan bersarang pada lambung kiri lawan yang terlambat

mengelak. Jerit ngeri terdengar.

Daah menyembur dari Iambung kiri karena kena tusukan keris Demang Jlagran. Seorang

pengeroiok tadi terkulai ditanah dan tak bernapas lagi. Demi melihat salah seorang kawannya mati

terkena tusukan keg is Demang Jlagran, mereka segera meloncat surut kebelakang dua langkah, untuk

kemudian .Menjauhi lawannya karena merasa jeri.

? Ayo siapa yang akan menuntut bela, ini Demang Jlagran ! !

Berkata demikian Demang Jlagran sambil menginjak dengan kaki kirinya ketubuh orang yang


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


telah menjadi mayat tadi, dengan mata yang bernyala nyala. Orang-orang lari tunggang langgang

meninggalkan lapangan. Takut akan mengamuknya Demang Jlagran yang telah terkenal kebal dan

bersifat kejam. Demikian pula Sujud tidak ketinggalan pula.Melihat kejadian yang ngeri itu, ia tak tahan, dan menutup matanya dengan kedua tangannya,

sambil membalikkan badannya akan meninggalkan tempat keributan itu. Tetapi tiba ttba Demang

Jlagran dengan tangkas meloncat dan menghadangnya, serta merebut kantong kulit yang tergantung

pada pinggangnya dengan tangan kiri, sambal membentak lantang ! Hai, serahkan kantongmu yang

bagus itu, akan kuperiksa isinya !

Dengan tak menjawab Sujud memukul pergelangan tangan kiri Demang Jlagran sambil meloncat

kesamping kanan, untuk mempertahankan kantong miliknya yang erat erat tergantung pada ikat

pinggangnya.

Demang Jlagran terkejut. Dilepaskanlah pegangan tangan kirinya pada kantong kulit, sambil

berseru --- Bangsat . Anak bedebah.. Berani kau menentang, heh .. Berkata demikian Demang

Jlagran menerjang kearah Sujud sambil melancarkan serangan tinju kearah pelipisnya.

Cepat Sujud menundukkan kepalanya untuk menghindari serangan tinju yang hampir bersarang

pada pelipisnya, sambil berusaha untuk lari menjauhi orang yang sedang kalap. Akan tetapi belun juga ia

dapat melangkahkan kakinya untuk rnenghindar, kaki Demang jlagran telah menerjang dengan gerakan

jurus berpusing menutup langkah lawan.

Sambil berjongkok diatas kaki kiri, kaki kanannya berputar menyerampang kaki Sujud yang akan

melangkah lari. Tak ayal lagi. Sujud segera jatuh tersungkur, dan kepalanya terbentur pada batu ditanah.

Kiranya serangan itu tidak hanya berbenti sampai disitu. Pergelangan tangan Sujud yang masih dalam

keadaan jatuh tersungkur, cepat dicengkerami dengan tangan kiri. Ujung keris ditangan kanannya

ditempelkan kepunggung Sujud, sambil membentak, ? Tidak peduli kau anak setan jika kau berani

bergerak, kerisku akan menembus sampai kedadamu !!! ? Ayo serahkan kantong kulitmu!! !?

Dalam keadaan yang demikian, Sujud diam tak berani bergerak. Namun ia tetap berkeras kepala

tidak mau menyerahkan kantong kulitnya dan tidak mau menjawab bentakan-Demang Jlagran. Akan

tetapi sebelum Demang Jlagran dapat merebut kantong kulit Sujud, tiba-tiba seorang bermuka bengis

serta bercambang bawuk yang lengannya kutung sebelah, menyerang dengan sebuah tendangan yang

tepat mengenai tangan kanan Demang Jlagran yang sedang memegang keris.

Serangan tendangan itu sangat keras dan datangnya secepat kilat dalam gerak bentuk jurus

?jlontrotan" atau tendangan dari jarak jauh yang dilancarkan sambil meloncat, Keris lepas dari

genggaman dan terpental jatuh ditanah dalam diarak tiga langkah, dari pemiliknya. Menanggapi

serangan yang tiba tiba itu, Demang Jlagran berseru terkejut. Ia meloncat surut kebelakang sambil

melepaskan tangan Sujud yang tadi dipegangnya. Ternyata orang bertangan satu itu sangat tangkas

gerakannya. Serangan tinjunya menyusul menerjang kepala Demang Jlagran yang sedang surut

kebelakang dan belum sampai berpijak ditanah. Terkena pukulan tinju dikepalanya, Demang Jlagran

meerasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang, untuk kemudian terguling ditanah.

Sujud yang sedang jatuh tertelungkup, setelah merasa tangannya terlepas dari pegangan

Demang Jlagran, cepat bergerak untuk bangkit, tetapi sebelum dapat berdiri tegak, tengkuknya telah

terpukul oleh orang yang bertangan satu, dengan pukulan tebangan telapak tangan. Tanah yang

dipijaknya dan orang orang yang berada disekelilingnya dirasakan berputaran... pandangannya kabur

dan berkunang kunang ........

Dengan tidak terasa ia jatuh terkulai kembali dan tidak sadarkan diri. Orang-orangnya semula

mengira bahwa penyerang Demang Jlagran yang bertangan satu itu adalah orang tuanya daripada anak

tanggung ataupun pengasuhnya. Tetapi dugaannya meleset. Mereka hanya berdiri ternganga, tidak tahu

apa kehendak orang bertangan satu. Sebelum orang orang dapat berbuat sesuatu, dan Demang

Jlagranpun belum bangkit kembali, orang bertangan satu telah rnenyambar badan Sujud danmenaruhnya dipundak kiri, untuk kemudian melesat berlari sambil menggendong Sujud, meninggalkan

lapangan.

Pada saat orang bertangan satu tadi melesat melarikan diri, Demang Jlagran telah bangkit

kembali dan lari mengejar, sambll berseru kepada kawan2nya : ? Kejar dan tangkap si tangan buntung.

Empat orang segera mengikuti lari serentak, ikut mengejar larinya orang, yang bertangan satu yang

membawa sujud dalam pondongannya. Akan tetapi berat badan Sujud diatas pundaknya, seakan-akan

tidak mempengaruhi kecepatan larinya yang bagaikan berkelebatnya bayangan. Waktu yang hanya

sejenak, kiranya telah cukup bagi orang yang bertangan satu itu, untuk membuat jarak antara dengan

para pengejar cukup jauh. Sehiggga tidak mungkin para pengejar dapat menangkapnya.

Waktu itu senja baru saja berlalu .. dan hari mulai gelap samar-samar Awan yang

menggantung diangkasa kian lama, semakin tebal, dan sinar cahaya berkedipnya bintang bintang, kini

tidak mampu menembus awan gelap yang demikian tebalnya. Gelap samar-samar kini berubah menjadi

gelap gulita, hingga sukar untuk membeda-bedakan bentuk benda2 yang hampir sama besarnya.

Menganggap bahwa dirinya telah aman dari kejaran orang-orangnya Demang Jlagran, maka larinyapun

dikurangi kecepatannya. Jarak antara dirinya dengan para pengejar semakin jauh tertinggal di belakang.

Dengan sangat kasarnya, orang bertangan satu itu membanting Sujud ditanah diatas pematang

ditengah-tengah tegalan. Serta duduk melangkah dipunggungnya Sujud yang belum sadarkan diri.

Ia melepaskan cambuk yang panjangnya kira kira satu setengah depa dari pinggangnya, untuk

mengikat erat kedua belah tangannya Sujud dengan ujung cambuk itu. Ia mengerjakan ikatan yang

demikian erat itu hanya dengan sebelah-tangannya yang dibantu dengan gigitan mulutnya. Akan tetapi

demikian cepat dan cermat, tidak ubahnya seperti orang biasa mengerjakan dengan kedua belah

tangannya. Setelah yakin bahwa ikatan itu cukup kuat, maka baru ia bangkit dari duduknya dengan

memegang gagang cambuknya erat - erat, sambil menengok kekanan kekiri, seakan-akan kuatir akan

diketahui orang, ataupun kuatir akan datangnya pengejar. Ternyata kegelapan malam itu banyak

membantunya, karena para pengejar telah kehilangan jejak buruannya.

Sebentar sebentar terdengar guruh guntur menggelegar diangkasa dengan diselingi suaranya

kilat yang menyambar susul menyusul.

Hujan mulai turun dengan derasnya. Laksana air bah yang tumpah dari langit. Karena derasnya

air hujan, Sujud tersentak sadar kembali dan dengan susah payah karena tangannya terbelenggu ia

bangkit berdiri. Seluruh badannya basah kuyup. Juga orang yang bertangan satu.

Melihat Sujud sadarkan diri, ia ketawa puas dan lari menuju ketepi desa sambil menyeret Sujud

dengan menarik pada cambuknya.

Dalam keadaan terpaksa dan tidak berdaya sama sekali Sujud lari sempoyongan mengikuti.

Rintihan karena merasakan sakit seluruh tubuhnya tidak tertahankan. Dalam kegelapan dan hujan yang

tak kunjung berhenti itu, Sujud jatuh bangun sambil berlari terus. Orang yang bertangan sebelah itu

ternyata tidak mempunyai belas kasihan sedikitpun. Sujud diseretnya terus sambil berlari. Dengan nafas

yang tersengal-sengal dan badannya basah kuyup serta berlepotan tanah, Sujud akhirnya jatuh

terperosok dibawah pohon yang berada dipinggir sebuah desa, dimana orang bertangan satu itu telah

berdiri didepannya dengan masih memegang erat pada gagang cambuknya yang ditariknya lebih dekat

lagi dan kemudian membiarkan Sujud tersungkur ditanah. Hujan masih saja turun semakin deras. Kilat

sebentar - sebentar kelihatan dan kedengaran menggelegar dengan cahayanya yang berkilauan, disusul

dengan suara guntur yang gemuruh mengumandang diangkasa.

Orang bertangan satu kini mendekati Sujud dengan berjongkok, sambil mengusap mukanya

yang basah kuyup oleh air hujan dengan siku tangannya, yang hanya sebelah. Diperlakukan demikian,Sujud menunjukkan silat yang kepala. Tak mau ia menangis merengek rengek. la percaya bahwa

tangisnya tidak akan mengurangi siksaannya.

? Pak Buntung!!. Mengapa aku kau belenggu dan kau seret terus?? ? tanyanya, dengan masih

tengkurap ditanah.

? Kurang ajar!!,? desisnya: ? Berani kau memanggilku dengan Pak Buntung!! ? Ha, ha, ha

....... !! Dasar anak bandel !! Sekali lagi kau memanggil demikian, aku sobek mulutmu yang lancang itu!!

?

Orang bertangan satu menjawab dengan kasar dan ketawa mengejek

? Habis, aku harus panggil apa?, ? Sujud membantah, dengan tidak menghiraukan sakit akatt

pukulan.

--- Panggillah aku dengan Tuan Saputra . . . yaaahhh . ..Gusti Durga Saputra tahu!!l!?, jawab

orang bertangan satu dengan kasarnya.

? Bukankah kau anak dari Buputi Wirahadinata yang bernama Sujud?

Yang sekarang menjadi adik angkat Senopati Indra?, ia melanjutkan bertanya.

--- Memang aku Sujud adik angkat kakang Senopati Indra, tetapi mengapa kau

membelenggu aku?, Sujud menjawab sambil bertanya.

? Cukup!!! Diam!!!! Jawabnya singkat.

Tahukah bahwa yang membuat lenganku yang sebelah kutung adaIah kakakmu bersama

Bapakmu dengan gerombolannya?. Nahhh .. jika kau sudah tahu, sekarang aku akan membalas

dendam pada Bapakmu terlebih dahulu. Dengan kau ditanganku, tentu semua perintahku akan diturut.

Mengerti !!!!.

Durga Saputra menjelaskan dengan diiringi ketawa mengejek, karena merasa bahwa ia tentu

akan berhasil membalas dendam pada Wirahadinata dan Indra Sambada.

----Haaa,.... haaaa, dan setelah Bapakmu dan kakakmu kucincang, baru nanti jatuh giliranmu

sendiri. Atau, kau tak usah aku bunuh tetapi kukutungi kedua kelah lenganmu, saja ! !

? Sungguh kata-kata itu cukup untuk membuat bulu tengkuk Sujud berdiri, tetapi ia tidak mau

memperlihatkan takutnya.

Dengan beraninya ia berkata lantang: ---- Kau akan membunuh kakang Indra? Orang seperti kau

yang berlengan satu tidak mungkin dapat mengalahkan kakang Indra.? Kurang ajar desisnya. ? Berani kau manggilku dengan Pak Buntung ! ! ? ? Ha,

ha, ha, ha ! Dasar anak mbandel ! ! Sekali lagi kau mem inggil demikian, aku sobek

mulutmu yang lancang itu

Kau sendiri yang akan mati dengan kepala hancur berantakan, terkena pukulannya, sebelum kau dapat

menyentuh bajunya!!! ----

Apa ???? Plak plak!!!! ? Tamparan tangan Durga Saputra bersarang dipipi Sujud dua kali. Dan

dirasakan cukup pedih.

? Tutup mulutmu !!!! bentaknya kasar ? Sebentar setelah hujan berhenti kau akan kuseret

lagi, sampai setengah mampus!!!!! Tahu???

? Orang yang bertangan satu itu memang benar bernama Saputra adanya. Nama lengkapnyaDurga Saputra.

Ia adalah adik kandung dari Durgawangsa yang pernah menjadi Patih gadungan bergelar

Lingganata di Kabupaten Indramayu, dan telah mati terpenggal kepalanya oleh Tumenggung tamtama

Cakrawirya dalam pertempuran di Kabanyaran Agung Indramayu. Dimana ia sendiri mendapat cidera

patah hancur tulang tangan kanannya, karena dahsyatnya remasan cengkeraman Indra Sambada:

Akhirnya terpaksa dikutungi sewaktu ia dirawat dalam penjara Kota Raja sebagai nara pidana.

Wajahnya dahulu tampan. Setelah lengannya kutung sebelah, cambang bawuknya dibiarkan

tumbuh melebat yang tak terawat itu. Mukanya berubah menjadi bengis dan kasar mengandung rasa

dendam. Ia tahu bahwa yang memimpin pasukan tamtama Kerajaan waktu itu adalah Indra Sambada

yang sekarang menjabat Senapati Muda di Kota Raja. Dan ia tahu pula bahwa gerakan pembersihan itu

dilakukan atas petunjuk dari Bupati Wirahadinata, yang sekarang telah diangkat kembali menjadi Bupati

di Indramayu. (Baca: Seri Pendeka? Majapahit") ?

Akan tetapi untuk membalas dendam kesumat yang terpendam dalam hatinya secara langsung

menghadapi Indra Sambada dan Wirahadinata tidak akan mampu dan merasa takut. Maka demi melihat

Sujud dalam perjalanan di desa Sumberrejo adalah suatu kesempatan baginya yang baik untuk

melaksanakan maksudnya, dengan menggunakan Sujud sebagai perisai.

Ia belum lama berselang telah dibebaskan dari penjara di Kota Raja, dengan mendapat ampunan

setelah lengan kanannya dikutungi. Karena pandainya merengek-rengek mohon ampun dengan janji-

janji yang muluk2, bahwa ia tidak akan melakukan kejahatan lagi. Maka ia segera dibebaskan dari

hukumannya. Tetapi kiranya sifat2 sebagai penjahat telah melekat pada kulit dagingnya. Semua janjinya

hanya diucapkan demi untuk mencari jalan selamat, agar kembali dapat melakukan kejahatan.

Mendengar kata-kata ancaman dari Durga Saputra itu, Sujud sepatah katapun tidak mau

menjawab. Rasa takutnya lenyap sama sekali, karena tertutup oleh rasa benci yang meluap-luap. Giginya

terkatub rapat menahan kemarahan. Ingin ia rasanya dapat melawannya, akan tetapi dengan tangannya

yang terbelenggu ia tak dapat berdaya sama sekali.

Awan gelap yang tebal itu kian menipis. Bintang2 mulai menampakkan sinar cahayanya yang


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


masih pudar. Gumuruhnya suara guntur diangkasa masih juga terdengar walaupun jarang. Dan derasnya

hujanpun kini telah mereda.

Dengan gagang cambuknya yang masih selalu digenggamnya, Durga Saputra bangkit berdiri,

memandang ke langit yang semakin terang itu.

? Ayoo!!! Lekas lari!!! ? bentaknya kasar sambil menarik pada cambuknya. ? Ikuti aku!

Sebelum fajar kita harus sudah sampai diseberang kali Bengawan!?

Karena tarikan sendalan tali belenggunya, Sujud bangkit berdiri dan lari sempoyongan lagi

mengikuti langkah Durga Saputra. MIelewati tanah tegalan yang becek, menuju ke tanggul tebing kali

Bengawan yang tidak seberapa jauh dari tempat itu. Malang baginya, kakinya tersandung pematang

tegalan hingga jatuh terguling ditanah yang becek itu. Durga Saputra terpaksa berhenti sejenak,

menunggu sampai Sujud bangkit kembali. ? Ayo lari! Jika malas berlari, akan kuseret badanmu!

Gumannya sambil berlari serta menarik cambuk tali belenggu Sujud. Terpaksa Sujud mengikuti lari

pontang-panting.

Langit mulai cerah. Bintang-bintang kembali memancarkan cahaya yang berkeredipan, membuat

alam menjadi terang samar-samar. Hujan telah berhenti sama sekali.

Setelah mereka sampai diatas tanggul tebing kali Bengawan Durga Saputra menghentikan larinya.

Mereka mulai berjalan biasa menyusuri tanggul kehulu.

Kiranya hujan lebat yang baru saja berlalu, membuat kali Bengawan menjadi banjir. Airnyameluap hampir setinggi tanggul dan mengalir dengan derasnya. Suara derasnya arus, terdengar

gemuruh tak kunjung padam.

Kini Durga Saputra berjalan dengan pelan diikuti oleh Sujud yang masih terbelenggu, seakan-

akan yang sedang dicari. Akan tetapi ternyata yang dicarinya tidak kelihatan ada . ialah .. perahu

sampan ataupun perahu rakit !!!

Perahu-perahu sampan yang tertamhat ditepian, kiranya banyak yang hanyut terbawa oleh

derasnya air. Sedangkan diantaranya banyak pula yang telah dibawa oleh pemiliknya keatas daratan

dihalaman masing2. Belum juga mereka menemukan perahu untuk menyeberang, dua orang berkelebat

mendatang didepannya Durga Saputra.

--- ini orangnya !? seru seorang diantaranya, sambil mengacungkan golok panjangnya yang

mengkilat tajam, diikuti oleh seorang temannya yang bersenyata klewang.

Durga Saputra terkejut sesaat, demi melihat dua orang yang menghadang dirinya.

? Hai Mandra dan Dasim! Apa yang kalian kehendaki? Durga Saputra menegur dengan nada

lunak, menutupi rasa gelisahnya.

? Jangan berlagak tolol! ? Serahkan kelinci gemuk itu padaku! Kau boleh berlalu dari sinii ! ?

Bentak Dasim yang bersenjatakan klewang.

Dua orang itu adalah bekas anak buahnya. Mereka merasa selalu tertipu olehnya dalam hal bagi

hasil, sewaktu masih mengerjakan perampokan dan pemerasan. Mereka juga mengalami nasib yang

sama sabagai nara pidana di Kota Raja. Waktu dibebaskanpun bersamaan pula. Tetapi karena sifat-silat

kepalsuan Darga Saputra yang selalu tidak adil dalam membagi hasil kejahatan mereka bersama,

menimbulkan rasa dendam yang telah lama dikandungnya. Sejak sebelum turun hujan kedua orang itu

telah mengejar Durga Saputra, dengan maksud akan merampas Sujud tawanannya. Sebagai bekas anak

buah, mereka berdua tahu bahwa Sujud dapat dipergunakan untuk meminta uang tebusan yang tidak

sedikit jumlahnya pada Wirahadinata ataupun pada Indra Sambada. Dengan tak mau lagi tertipu untuk

kesekian kalinya, mereka berdua berhasrat besar untuk merampas Sujud, dan mengerjakan niat

jahatnya tanpa Durga Saputra.

? Jika yang kalian maksud adalah uang tebusan tawananku ini, haraplah kau berdua sabar

sernentara. Nanti setelah aku dapat membalas dendam pada orang tuanya, kakaknya, dan terserahlah

kepadamu !!!

? Ach .. kita berdua sudah kenyang akan tipu muslihatmu yang licik dari mulutmu yang manis

itu. Serahkan anak itu, dan habis perkara !!! ?

Jawab Mandra dengan tegas. ? Daripada Saputra mengkhianati kita lagi, lebih baik kita selesaikan disini

!!! Mandra melanjutkan bicaranya tertuju pada Dasim temannya.

Berkata demikian Mandra langsung menyerang membabat leher Saputra dengan goloknya

panjang. Menyambut serangan yang tiba tiba dari lawannya Itu. Durga Saputra terpaksa melepaskan

pegangan gagang cambuk yang ujungnya masih tetap membelenggu tangan Sujud.

Dengan tangkas ia meloncat selangkah kesamping kanan dan mencabut golok pendek yang

terselip dipinggang kanannya. Dengan bersenjatakan golok pendek itu ia menyerang kembali lawannya

dengan serangan tusukan kilat kearah dada lawan. Akan tetapi cepat ditariknya kembali karena

tangkisan senjata lawan dan dirobahnya menjadi tendangan berangkat pada lambung Mandra. Itulah

yang dinamakan jurus pancingan atau serangan tipu tusukan. Kiranya jurus pancingannya berhasil baik.

Lambung Mandra menjadi terbuka, karena tangkisan pada senjata yang menuju dadanya.

Tumit kaki kanan Saputra dengan kerasnya tepat mengenai lambung Mandra. Mandra jatuh

ditanah sambil bergulingan menghindari serangan rangkaian lawan. Tetapi Dasim demi melihattemannya berguling ditanah, segera menerjang maju dengan klewangnya menusuk kearah punggung

dan kemudian berubah menjadi gerakan babatan kearah kaki lawan yang sedang meloncat surut

kebelakang menghindari tusukkannya, dalam gerakan bentuk jurus sabetan mengunci langkah.

Rangkaian serangan itu merupakan satu rentetan gerakan yang cepat sekali, akan tetapi kiranya

Saputra telah mengetahui akan serangan susulan yang dlilancarkan itu. Dengan lincahnya ia meloncat

tinggi sambil menggerakkan golok pendeknya untuk menyrrang lawan dengan jurus tusukan berperisai

kearah muka lawan.

Dasim terpaksa meloncat surut kebelakang satu langkah.

Sambil berseru terkejut, menghindari serangan yang berbahaya itu.

Dalam saat yang sama, Sujud dengan masih terbelenggu tangannya, demi mengetahui bahwa

pertempuran tiga orang itu memperebutkan dirinya dengan maksud kejahatan mereka masing-masing

..melesat lari dan meloncat terjun mencebur dikali Bengawan yang ecdang banjir dengan arusnya yang

sangat deras itu .. byuuuurrr!!!!......

Ketiga orang yang sedang bertempur sengit, masing-masing meloncat surut kebelakang, karena

mendengar terceburnya Sujud dikali Bengawan.

Dengan serentak mereka bertiga menahan senjatanya masing-masing, serta melayangkan

pandangannya kearah air kali Bengawan yang sedang deras mengalir. Namun dalam kegelapan malam

samar-samar, yang mereka lihat tidak lebih daripada air kotor bercampur tanah mengalir dengan

derasnya.

Dan suara gemuruh arus terdengar terus tak ada henti-hentinya .

Dengan kemarahan yang meluap-Iuap serta penuh penyesalan Durga Saputra berseru keras

sambil menunjuk dengan golok pendeknya ke arah Mandra dan Dasim.

? Sialan ! Kedatangan kalian berdualah yang membuat hilangnya mangsaku yang sangat

berharga. Dan kini kalian berdualah yang harus bertanggung jawab, ? berkata Saputra menerjang maju

kearah Mandra dan Dasim dengan senjata golok pendeknya menusuk kearah perut lawan.

Dasim meloncat selangkah kesamping kanan dan bertepatan dengan meloncatnya Dasim,

Mandra datang menangkis dengan sabetan golok panjangnya.

Dua senjata beradu dengan kerasnya, hingga mengeluarkan percikan api, yang jelas nampak

dikegelapan malam.

Kedua-duanya segera meloncat surut kebelakang satu langkah, dengan merasakan pedih

ditelapak tangan masing-masing demi mempertahankan senjata, untuk jangan sampai terlepas dari

genggamannya.

? Karena keras kepalamu tak mau menyerahkan pada kami berdua, maka anak itu menjadi

nekad dan bunuh diri!! ? Seru Dasim sewaktu meloncat menghindari serangan Durga Saputra.

Pertempuran tiga orang itu masih terus berlangsung dengan serunya.

Durga Saputra yang hanya bertangan satu ternyata dapat melayani dua orang lawannya yang

bersenyata, dengan seimbang dan tidak terdesak, Ditangan kiri yang hanya sebelah itu, golok pendeknya

menyambar nyambar merupakan serangan tusukan yang bertubi tubi, untuk kemudian berobah dengan

cepatnya menjadi serangan tebangan, yang diselingi tendangan berangkai yang tidak kalah

berbahayanya.... Sinar tajamnya klewang dan golok panjang lawan berkelebatan, merupakan sinar putih

yang bergulung gulung menyelubungi ketiga tubuh manusia yang sedang bertempur dengan sengitnya.

Seluruh kepandaian dalam tata kelahi ditumpahkan. Masing masing ingin cepat menghabisi riwayat

lawannya. Kiranya mereka telah jauh tersesat, dan lupa bahwa hidup dan matinya semua ummat telah

ada yang mengaturnya sendiri.Beum juga mereka dapat saling merobohkan, seorang berkelebat mendatang laksana bayangan

dikegelapan malam yang samar samar itu, dan sesaat kemudian diikuti oleh empat orang yang berlari

lari dibelakangnya.

? Ini dia si buntung ! ! !, teriaknya sambil langsung terjun dengan keris terhunus dalam

pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengitnya itu. Orang yang baru datang dan langsung

melibatkan dtri dalam pertempuran adalah Demang Jlagran berserta anak buahnya.

Tanpa kata sepakat Mandra dan Dasim demi melihat datangnya serangan yang tiba tiba dari seorang

yang tak dikenal kearah Saputra, segera berseru terkejut sambil menarik kembali gerak serangan

tusukan dan babatan mereka yang hampir tepat pada sasarannya, untuk serentak menangkis dengan

senjata mereka masing masing, memapaki datangnya tusukan keris yang meluncur seperti kilat. Sedang

Saputra sendiri pada saat yang sama, mengelak dengan gerakan jurus surut bersimpuk menghadang

langkah ialah meloncat surut kebelakang dengan jatuh berduduk serong kanan, kaki bersilang, sambil

mengulurkan tangan kirinya yang memegang golok pendek dalam gaya menusuk lawan, sedangkan

kepalanya menundukkan sangat rendah serempak rata dengan punggungnya. Empat senjata serempak

bertemu ujungnya, dengan mengeluarkan percikan api yang memijar.

Bersamaan dengan beradunya empat ujung senjata yang berlainan bentuknya itu, Mandra

berseru nyaring ? Tahan semua senjata ! !

Berseru demikian sambil melompat surut kebelakang satu langkah yang segera diikuti pula oleh

ketiga orang lainnya.

Sementara itu, empat orang anak buah Demang Jlagran telah pula berdiri serempak dengan

masing masing senjata ditangan, dibelakang pemimpinnya.

? Siapa kau ! ! ! Berani mencampuri urusan orang lain ! ! ! Mandra bertanya dengan nada

bentakan.

--- Aku bukan berurusan dengan kau ! !. Jawab Demang Jlagran sambil menunjuk dengan

kerisnya kearah Durga Saputra. ? Maka kuharap kalian berdua jangan mengganggu urusanku ! ! !

? Tetapi caramu bertindak tidak tahu adat. Dan sepantasnya orang seperti kau itu diberi

hajaran supaya mengenal adat ! ! !. Dasim turut bicara, dan tanpa menunggu jawaban ia telah mulai

menyerang dengan tusukan klewangnya kearah dada Demang Jlagran.

Sebagai seorang yang cepat naik darah, Demang Jlagran mendengar kata kata yang diucapkan

oleh Dasim dirasakan sebagai penghinaan, maka pada saat yang sama Demang Jlagran telah menerjang

dengan kerisnya.

Kedua duanya berseru terkejut, dan menarik serangan masing masing kembali, untuk kemudian

meloncat kesamping serong kanan. Empat orang anak buah Demang Jlagran segera turut serentak

menerjang maju menyerang dengan senjata mereka kearah Dasim dan Mandra.

Melihat terjadinya pertempuran antara Mandra, Dasim dengan Demang Jlagran berserta anak

buahnya, Darga Saputra merasa untung terhindar dari maut. Dalam hatinya ia merasa geli juga akan

kebodohan lawan2nya itu.

? Mandra, Dasim ! ! ! serunya : Jika kau berdua tidak dapat merobohkan gerombolan orang

desa itu, bagaimana kau berdua akan dapat menyelesaikan urusan denganku ! ! !. Durga Saputra sengaja

membakar kemarahan Mandra dan Dasim, agar mereka lebih bersemangat dengan mengurangi jumlah

lawan. Dengan demikian ia takut mengambil dua segi keuntungan.

Pertama, ia hanya tinggal menghadapi lawan sepihak yang akan menang dalam pertarungan itu.

Kedua, lawan ylang tinggal sepihak yang akan dihadapinya tentu telah berkurang tenaganya.

Satu satunya kemungkinan yang ia sangat kuatirkan, ialah kalau mereka berobah pendirianmenjadi bersatu dan menempuhnya bersama.

Maka untuk menutup kemungkinan, ia sengaja membakar semangat kedua belah fihak yang

sedang bertempur dengan serunya, dengan pengharapan agar pertempuran berkobar terus.

Akan tetapi pengharapan itu segera lenyap dari angan angannya, karera Dasim kiranya cepat

menginsyafi kekeliruannya, sehingga ia dengan tiba tiba melompat surut kebelakang dua tindak sambil


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


berseru pada Mandra : ? Mandra !!! Tahan senjata !!!. Kita berebut tulang tanpa isi !!!

Kiranya kata kata seruan itu membuat Demang Jlagran sadar pula akan kekeliruannya dalam

tindakan yang telah dilakukan.

Cepat ia mengikuti gerakan Dasim dengan melompat surut dua langkah kebelakang sambil

berseru ? Betul !!! Tangkap dahulu saja si Buntung rame rame !!!. Baru kita selesaikan urusan kita ! ! !

Durga Saputra demi mendengar seruan kedua orang tadi, kepalanya dirasakan seperti disambar

petir. Ia melesat dan lari kearah barat mengikuti membujurnya tanggul tebing kali Bengawan dengan

pesatnya, dan kemudian membelok kearah selatan memasuki hutan Padangan yang lebat i tu.

Mandra, Dasim dan Demang Jlagran dengan empat orang anak buahnya serentak lari

mengejar.Ternyata dalam lomba lari Durga Saputra memang setingkat lebih tinggi dari pada mereka.

Jarak antaranya kian lama semakin jauh. Untuk kemudian lenyap sama sekali dari pandangan para

pengejar, tertelan oleh kegelapan malam.

Semua orang itu kiranya telah tidak lagi memperdulikan akan nasib Sujud yang diperkirakan

telah mati hanyut terbawa oleh arus air yang dahsyat mengalir dari kali Bengawan.

Setelah diperhitungkan bahwa ia sebagai tawanan Durga Saputra ataupun tawanan Mandra dan

Dasim, bagi Sujud adalah merupakan nasib yang sama bentuknya. maka ia mengambil jalan yang nekat

sekali terjun kali Bengawan yang sedang banjir itu. Hampir sepuluh tahun lamanya, ia tinggal di desa

Ngawi yang letaknya dipinggir kali Bengawan bersama orang tua angkatnya Kjai Tunggul.

Sejak kecil ia memang gemar pula main di Bengawan, Baginya berenang dikali Bengawan sama

halnya seperti lari didaratan. Ia tak perlu kuatir dengan kedua belah tangannya terbelenggu, karena

berenang tanpa menggunakan tangannyapun ia telah mahir. Hanya arus air yang mengalir dengan

derasnya itu yang agaknya membuat sedikit menyulitkan untuk menyeberangi memotong langsung. Ia

terpaksa harus mengikuti arus terlebih dahulu beberapa saat untuk menyeberangi dengan perlahan

berenang dengan menggerakkan kedua belah kakinya menepi .. . Dengan demikian akhirnya sampai pula

ia diseberang kali Bengawan.

Dengan susah payah ia merangkak naik ketanggul karena Iangannya masih terbelenggu, sambil

melihat-lihat kekiri kanan, takut jika masih ada yang mengejarnya. Setelah mengaso sebentar diatas

tanggul, terasalah badannya menggigil kedinginan basah kuyup. Namun ia masih bersyukur kepa-

da Dewata Yang Maha Agung, bahwa dirinya nyaris dalam bahaya dan kantong kulitnya masih tetap

tergantung dipinggangnya. Dengan terhuyung - huyung ia berjalan melintasi sawah yang tak luas itu

menuju kedesa Dawung yang berada didepannya.

Dengan sedikit membohong pada peronda desa, bahwa rumah orang tuanya dirampok dan ia

sendiri dibelenggu karena melawan dan kemudian diceburkan kekali Bengawan. Setelah belenggu

tangannya dilepaskan oleh peronda2 desa serta diberi sekedar makanan untuk menghilangkan laparnya,

untuknya dibuatkan pula perapian untuk memanaskan badan, yang dirasakan sangat dingin.

Setelah mengucapkan terima kasih, dan minta diri atas pertolongan yang telah diberikan oleh

para peronda, maka pada esok harinya Sujud melanjutkan perjalanannya mengembara, melalui jalan2

desa dan sawah2 menuju keutara.

Ia kini membatalkan niatnya untuk pergi kedesa Trinil, karena takut berjumpa kembali denganDurga Saputra dan orang2 pengejar lainnya.

Pakaiannya yang indah kini berubah menjadi kumal dan berwarna coklat penuh lumpur. Hanya

perhiasan dan bekal uangnya yang masih tetap utuh didalam kantong kulitnya.

Setelah sampai dipasar desa Kasiman, Sujud singgah sehentar untuk mengisi perutnya, serta

membeli makanan sekedar bekal dalam perjalanan.

Kuatir jika malam nanti sulit mendapatkan warung. Ia tidak lupa membeli pisau pendek pula,

karena mungkin nanti diperjalanan ada pula gunanya, pikirnya. Dari desa Kasiman ia lurus menuju

kebarat. Kini tujuannya ialah Indramayu, dimana orang tua angkatnya menjabat Bupati didaerah itu. Ia

masih ingat, bahwa Ietaknya Kebanjaran Agung Indramayu adalah di sebelah barat.

Pada malam harinya ia telah sampai didesa Jepan, sebuah desa kecil dipinggir kali Lusi. Kali itu

walaupun agak curam tebingnya, akan tetapi ternyata hanya merupakan kali kecil saja. Airnya jernih

seputih cermin karena dekat dengan mata air.

Hatinya bimbang. Setelah pada pagi harinya ternyata merupakan desa yang terujung sendiri.

Sebelah baratnya merupakan hutan belukar yang tidak dapat diketahui batasnya.

Demikian pula setelah ia mencoba menyeberangi kali Lusi. Untuk mengambil jalan memutar

kearah selatan, ia takut berjumpa dengan Saputra ataupun Mandra. Dasim serta orang2 lain yang

mengejarnya.

Sifat keras kepala dan keberanian yang dimiliki, membawa ia melangkah memasuki hutan

belukar yang lebat itu, setelah ia menyeberangi kali Lusi hutan itu oleh orang desa sekitarnya dinamakan

hutan Blora. Terkenal sebagai hutan keramat dan angker. Tiap2 hari pasaran orang2 banyak yang

meletakkan sesaji berupa makanan dan buah2an dipinggir hutan yang dianggapnya keramat, diatas

tebing kali Lusi yang airnya mengalir melintasi hutan.

Kenyataan menunjukkan bahwa sesaji yang beraneka macam itu, setelah sore harinya

diletakkan dipinggir hutan, pada pagi harinya habis tidak berbekas, dan hanya ancak2nya saja yang

ditinggalkan. Dan umumnya mereka percaya bahwa sesajinya telah diterima dengan baik oleh siluman2

penghuni hutan itu. Dengan demikian mereka percaya, bahwa tanam2annya akan menjadi subur, serta

tidak akan diganggu oleh hama ataupun mengalami kerusakan akibat kemurkaan para siluman penghuni

hutan.

Pancaran tariknya matahari pada pagi yang cerah itu tertahan oleh lebatnya dan rindangnya

pohon2 liar yang tumbuh dalam hutan, dan kesejukan hawanya membuat Sujud tidak demikian lelah

berjalan. Ia berjalan terus seorang diri sambil memperhatikan burung2 yang sedang bernyanyi dengan

nada yang indah didalam rindangnya pohon2 liar yang dilaluinya.

Tanpa dirasa ia telah menjelajah masuk jauh dihutan Blora yang tidak diketahui ujungnya.

Namun semakin jauh ia memasuki hutan, semakin banyak pohon buah2an yang dijumpai, seperti durian

jambu, pisang hutan atau dinamakan pisang gendruwo dan lain2 yang sedang lebat berbuah.

Suara ayam hutan terdengar sahut2an dari kanan kirinya. Dan sering pula ia dikejutkan oleh

suara desisnya ular berada di pohon2. Telah lebih dari setengah hari ia berjaan, tetapi belum juga

nampak batasnya, bahkan kini ia mengetahui lagi arah keempat penjuru mata angin.

Kemana ia berjalan, masih saja ia merasa tetap berjalan ditengah hutan yang lebat itu. Ia

memetik buah jambu serta dimakannya, sekedar untuk menghilangkan rasa hausnya, sambil duduk

dibawah pohon jambu untuk mengaso, melepaskan lelah. Diingat2nya kembali jalan2 yang baru saja

dilaluinya, tetapi juga tidak dapat menemukannya.

Bekal makanan yang berada dikantong kulitnya dikeluarkan, dan kini ia mulai makan. Tetapi

karena kegelisahan yang menyelimuti dirinya, maka nafsu makanpun tidak demikian ada.Gelisah, karena tidak tahu jalan mana yang harus ditempuhnya, agar ia segera dapat keluar dari

hutan itu sebelum petang hari.

Hembusan angin siang perlahan-lahan, membuat ia merasa mengantuk. Ia berbaring terlentang

dibawah pohon, dengan menikmati silirnya angin yang berhembus meniup perlahan. Sambil

mendengarkan suara burung2 yang hinggap dipohon2 rindang disekitarnya.

*

* *

BAGIAN III

ANGAN ANGAN-nya merasa tidak menentu.

Ia ingat kembali akan kasih sayang Senapati Manggala Muda Indra Sambada, yang selalu

memperlakukan padanya sebagai adik kandungnya sendiri.

Gedung Senapaten serta halamannya yang megah itu terbayang kembali dalam angan-

angannya. Juga Jaka Wulung dan Jaka Rimang yang selalu bersenyum dan melatihnya dalam tata bela

diri dibawah asuhan kakaknya Indra Sambada kini membayang kembali dalam alam lamunannya. Dan

semua itu membuatnya rindu ingin pulang kembaii ke Senapaten di kota Raja. Ia menyesal akan

kepergiannya yang tanpa pamit itu.

Kini lamunannya beralih kepada kasih sayang orang tua angkatnya Bupati Wirahadinata atau

Kyai Tunggul, dan terutama pada Ibu angkatnya. Sejak kecil ia di timang2 dan dibelainya dengan mesra.

Sifat lemah Iembut seorang Ibu dengan penuh rasa kasih sayang padanya, seakan-akan melintas dalam

khajalannya .. dan kini ia sebatang kara terlunta mengembara. Terasalah olehnya, bahwa ia

sendiri tidak tahu siapakah ia, sebenarnya. Mungkinkah, ada orang yang senasib dengan dia? Tak tahu

akan asal usulnya sendiri ? ..

Apakah ia sendiri yang memang ditakdirkan demikian?

Jika ia sedih, pada siapakah ia harus mencurahkannya? Dan apabila ia senang, kepada siapakah ia harus

memamerkan..? Demi mengingat-ingat itu semua, air matanya berlinang-linang meleleh membasahi

pipinya tidak terasa .. dadanya terasa sesak dan isak tangisnya tak dapat ditahan.

Siksaan jasmani yang belum lama dialami, dapat diatasi dengan ketabahan hatinya, namun

siksaan bathin yang demikian ini, rasa2-nya tidak mampu ia memikulnya.

Benar-benar dalam arti kata hidup sebatang kara .. Tidak berayah, tidak beribu, bahkan

mengenal wajahnyapun belum . .... tidak bersaudara dan .. tidak tahu dimana ia dahulu dilahirkannya

.. .

Ya! Tak ubahnya sebagaimana ia sekarang seorang diri ditengah tengah hutan belanrara, dan tidak

mengenal arah yang harus dituju. Memikirkan itu semua, hatinya terasa sedih bagaikan disayat-sayat

sembilu. Haruskah ia menerima begitu saja nasib yang malang itu?

Ataukah ia harus berikhtiar, berdaya-upaya dengan segala kemampuan yang ada padanya,

untuk mencari dimana tempat tiuggal orang tuanya yang sejati, jika masih hidup, dan dimana makamnyajika telah meninggal?

Akan tetapi jika ia harus mencari, dimanakah ia harus mencarinya dalam dunia yang

membentang luas ini, dan pada siapakah ia harus bertanya? Sampai pada pertanyaan2 inilah, ia selalu

menghadapi jalan buntu. Pertanyaan yang ia sendiri tidak dapat mendapatkan jawabannya .. Dan

hanya air matanyalah yang selalu setia menemani dalam saat menanggung dukanya ..

? Ketahuilah, bahwa Dewata Yang Maha Agung dan Maha Pengasih dan Penyayang pada

umatNya, akan selalu menyertai apabila kita selalu mengabdi padaNya. Dalam kegelapan, dimana kau

tak dapat meraba dengan tanganmu, maka kau tidak perlu berkecil hati dan putus asa. Serahkanlah

sepenuhnya kepada Dewata Yang Maha Agung. Dan mohonlah penerang padaNya. Percayalah, bahwa Ia

akan selalu memberi, apa yang selalu kau mohon dari padaNya.

Maka setiap saat, setiap kau bernafas, sebutlah selalu dalam bathinmu akan kebesaranNya. ?

Ajaran - ajaran yang termuat dalam kitab Niti yang diajarkan oleh kakak angkatnya Indra Sambada, kini

tibabtiba mengiang kembali ditelinganya. Kata demi kata terkumpul tersusun merupakan barisan2

kalimat, yang dapat diingat kembali keseluruhannya.

Semakin lama semakin jelas, dan ia kini seperti orang yang tersentak bangun dari tidurnya. Perlahan

lahan ia bangkit dan duduk bersila ditanah. Kepalanya menunduk. Matanya dipejamkan. Dan ia mulai

bersamadhi, mengikuti ajaran kakak angkatnya.

Baru saja ia selesai dari semadhinya, tiba tiba terdengar suara tawa nyaring dari atas kepalanya.

Ia terkejut sesaat dan mendongak keatas mencari dengan pandangannya ketempat arah datangnya

suara.

Seorang kakek-kakek gundul dengan hanya memakai cawat dari kulit ular sanca, duduk diatas

dahan yang tinggi dari pohon jambu dengan ketawa ter-kekeh2. Kumis dan jenggotnya yang tumbuh

jarang itu telah berwarna putih semua dan sangat panjang. Tawa yang terkekeh kekeh itu diiringi

dengan gerakan goyangan kakinya yang seirama dengan tingkah lakunya yang sinting. Dan disisinya

duduk seekor kera, menirukan semua gerakan yang dilakukan oleh kakek gundul.

? Hai, kakek gundul ! Tolonglah tunjukkan jalan yang terdekat untuk keluar dari hutan ini ! ?

Sujud berseru.

Akan tetapi kakek2 itu malah memperpanjang tawanya yang ter-kekeh2, seakan-akan tidak

memperdulikan pertanyaan yang ditujukan padanya.

-- Kakek gundul !. Turunlah kemari sebentar !.? Sujud mengulang seruannya.

? Hai!. .Anak gtlal. Disini tidak ada orang yang bernama kakek gundul! Jika kau perlu denganku

naiklah kemari !? Jawab kakek2 itu sambil tertawa terkekeh dengan nada mengejek dan acuh tak acuh.

? Siapakah namamu? Jika kau tidak mau kupanggil dengan kakek gundul.... ---

--- Anak gila.? Naiklah kemari dahulu, baru nanti kita bicara! !?

? Kakek gundul, aku tidak gila dan janganlah kau panggil aku dengan anak gila lagi. Namaku


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Sujud.?

Ketawa kakek2 itu semakin terdengar nyaring. Ha... Ha... haaa

? Sekali lagi kau panggil aku dengan kakek gundul kepalamu akan kugunduli dengan pisau

dapurmu itu, tahu! ?

Tetapi anehnya, wajah kakek2 itu sedikttpun tidak menunjukkan kemarahan, walaupun kata-

katanya disertai ancaman. Dan ketawanya masih mengiringi kata katanya. ? Panggillah aku kakek

Dadung Ngawuk. Dan Iekaslah kau naik! ---

Kakek Dadung Ngawuk! Aku enggan untuk memanjat demikian tinggi. Sebaiknya kakek saja yang

turun atau tolong tunjukkan kearah mana aku harus berjalan untuk cepat keluar dari hutan ini! ------ Ha haaa... haaa Aku butuh teman, maka tak mungkin kau dapat pergi dari sini. Biarlah

berteman dengan anak gila tak mengapa. ?

Mendengar kata cemoohan iang tidak henti-hentinya itu, Sujud merasa sangat mendongkol.

? Kakek Dadung Ngawuk! Jangan main2 dengan ketawamu yang memuakkan itu, lekaslah

tunjukkan arah jalan keluar hutan ini ! Aku akan segera berlalu

!? Tetapi kakek2 itu masih juga tetap tertawa terkekeh-kekeh. Kiranya ia sama sekali tidak

merasa tersinggung dikatakan gila oleh Sujud. --- Benar-benar kakek2 yang kujumpai ini orang gila ?

pikirnya--

--- Baikl Terlebih dahulu kau harus dapat menerobos keluar dari kepungan pasukanku yang

terdiri empat puluh prajurit. Jika kau tidak dapat lolos dari kepungan itu, kau harus tetap menemani aku

disini. ? Berkata demikian, Dadung Ngawuk meloncat kedahan yang berada dibawahnya, dan gerakan

itu disusul oleh kera yang berada disisinya. Ternyata kakek Dadung Ngawuk ini dapat berloncatan

dengan tangkas, menyerupai gerakan kera yang menyertainya.

Dengan pandangan matanya, Sujud mengikuti gerakan kakek2 serta kera itu dengan mulut

ternganga karena rasa kagum dan heran.

Pertama, heran akan ketangkasan kakek2 itu dapat memanjat dan berloncatan diatas dahan2 tak

ubahnya seperti seekor kera. Dan kedua, menilik kata2nya tadi ia memerlukan teman. Jadi jelas bahwa ia

seorang diri. Tetapi mengapa justru berkata bahwa pasukannya yang berjumlah empat puluh prajurit

akan mengepungnya. Sedangkan ia sendiri tidak melihat adanya tanda2 orang orang disekitarnya.

Tiba-tiba tanpa diketahui, kakek2 itu telah memegang cambuk yang panjangnya lebih dari dua

depa, yang terbuat dari kulit ular sanca. Sesaat kemudian suara lecutan cambuk terdengar mengampar

tiga kali berturut-turut tar tar . tarr. taaarrr dengan diiringi tawanya yang nyaring ..

Tak lama kemudian, disekeliling Sujud telah bermunculan kera-kera jenis beruk dengan bersuara

cecowetan mengurung Sujud yang masih berdiri dengan mulut ternganga. Pengalamannya yang pahit,

membuat ia berfikir untuk tidak mau menyerah sebelum mengadakan perlawanan dalam batas

kemampuannya. Cepat ia berdiri tegak, siap-siaga untuk menghadapi serangan yang datang kearahnya.

Dengan tak terduga duga, kera yang duduk disamping kakek2 itu telah meluncur kearahnya dengan

kecepatan yang menajubkan. Sebelum Sujud dapat bergerak untuk menyambutnya, kera tadi telah

dapat merebut pisau yang terselip dipinggangnya, serta membawanya keatas dahan dengan memanjat

pohon. Kemudian disambut oleh kakek2 itu, dengan ketawa yang terkekeh-kekeh. Kiranya kera itu hanya

bermaksud untuk merampas pisaunya, dan tidak bermaksud menyerangnya. Demikian pula kera2 yang

mengurungnya. Satupun tidak ada yang memulai menyerang.

Mereka hanya mengurung Sujud dalam lingkaran, dengan memperdengarkan suara cecowetan yang

riuh sambil memperlihatkan gigi2nya yang kecil2 serempak. Serta diiringi dengan menggaruk-garuk

badannya masing2. Kini Sujud baru mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Dadung Ngawuk dengan

pasukan prajuritnya itu, adalah kera2 yang sekarang sedang mengurungnya. Jumlah kera2 yang

mengurung itu, memang seperti apa yang telah dikatakan oleh Dadung Ngawuk ialah empat puluh.

? Sujud, anak gila! Sekarang pasukanku telah siap, dan kau boleh coba menerobos keluar dari

kepungannya. Jika berhasil kau lolos, akan kuantarkan sampai ditepi hutan! Atau kau menyerah saja,

tidak usah membuang-buang tenaga yang sia2, untuk menemani aku disini! --

Lebih baik aku mati karena melawan, dari pada menyerah dan akhirnya menerima siksaan,

sebagaimana pernah menimpa diriku ? pikir Sujud.

Dengan kebulatan tekad yang tak mengenal takut, Sujud mulai menerjang kedepan, serta

menyerang dengan tinjunya kearah kera yang menghadang didepannya. Akan tetapi dengan tangkasnya,kera yang diserang itu meloncat kesamping untuk menghindari serangan pukulan. Dalam waktu yang

sama ketika Sujud mulai bergerak, tiga ekor kera yang berada didekatnya meloncat kearah kepalanya

dari belakang, menjambak rambutnya gondrong dengap sekuat tenaga. Sujud terpaksa menarik kembali

pukulan tinjunya yang ternyata mengenai tempat kosong. Untuk tidak jatuh terlentang Sujud segera

membalikkan badannya sambil menyerang dengan telapak tangan kiri kearah salah satu kera yang

menyambaknya. Dan kemudian disusul dengan tendangan kaki mengikuti meloncatnya kera yang

menghindari serangannya.

Akan tetapi sewaktu ia melontarkan serangan tendangannya, tiga ekor kera lagi menarik

kakinya, dimana ia sedang berdiri diatas satu kaki. Tak ayal lagi, Sujud jatuh terguling ditanah. Dengan

cepat ia berdiri kembali, untuk siap menghadapi serangan-serangan yang mendatang sebagai serangan

berangkai.

Namun ternyata kera2 itu tidak hendak menyerangnya, melainkan hanya mengurung saja,

menunggu dan menjaga jangan sampai Sujud dapat lolos dari kepungan mereka.

Melihat Sujud jatuh bergulingan, ketawa yang terkekeh-kekeh memuakkan terdengar kembali dari

Dadung Ngawuk, seakan-akan melihat permainan yang lucu sekali. Cepat Sujud bangkit kembali dan

menerjang kelain penjuru. Dua ekor kera yang menghadangnya diserang dengan tendangan berangkai

dan satu diantaranya jatuh terpental.

Walaupun sampai dua langkah kera itu terpental karena tendangan, dengan mudah ia bangun

kembali diatas keempat kakinya, sambil menyeringai beringas dengan mendesis desis dan meloncat lagi

kearah Sujud. Sedangkan kera-kera dibelakang Sujud serentak berlompatan dan masing-masing ada

yang memegang pinggang, lengan kaki dan ada pula yang menarik narik celananya.

Dengan demikian Sujud menjadi sibuk karenanya. Untuk mencegah jangan sampai jatuh

terlentang karena tarikan - tarikan kera-kera itu, Sujud dengan ketangkasannya membalikkan badan dan

tinjunya bergerak me-nyambar2 ke-arah kera - kera yang mengerumuninya. Akan tetapi kera kera itu

cepat berloncatan menjauhi untuk menghindari datangnya serangan, serta kembali ditempat masing

masing seperti semula sewaktu mereka mengurung Sujud.

Tetapi kiranya kera-kera itu tidak ada yang bermaksud melukainya, dan hal ini diketahui pula

oleh Sujud. Mereka hanya menghadang, menarik-narik ataupun mendorongnya untuk mencegah jangan

sampai Sujud lolos dari kepungan mereka. Jika semula Sujud selalu menerjang dengan serangan tinju

dan tendangan, setelah memgetahui bahwa lawan-lawannya tidak berkehendak melukainya, iapun

segera merobah cara menerjangnya.

Ia meloncat kearah utara sebagai gerak tipuan, untuk kemudian meloncat kembali kearah timur

dengan gerakkan yang lebih cepat. Namun kiranya kera-kera itu telah mengetahui terlebih dahulu akan

maksudnya. Mereka dengan rapihnya berloncatan mendahului menghadang, sewaktu Sujud meloncat

merobah arah. Berulang kali ia mencoba gerakannya itu dengan cara selalu menukar arah, tetapi kera-

kura itupun selalu dapat mendahului gerakarmja dan dengan demikian ia masih tetap terkurung rapat,

ditengah lingkaran kera-kera. Badan dan mukanya telah basah bermandikan peluh, namun ia tetap

masih terus berloncatan kian kemari untuk melepaskan diri dari kepungan prajurit2nya Dadung Ngawuk.

Tetapi semua usahanya itu tak pernah berhasil- Kadang-kadang ia melompat, melambung tinggi dengan

diiringi suara bentakan yang nyaring untuk menakut-nakuti kera-kera yang menghadangnya, akan tetapi

sebelum ia sempat berpijak diatas tanah kembali kaki-nya telah ditangkap oleh tiga/empat ekor kera

dan ditariknya, sehingga ia kembali jatuh bergulingan ditanah. Demi melihat jatuhnya Sujud bergulingan

ditanah, ketawa yang terkekeh-kekeh memuakkan dari mulut Dadung Ngawuk terdengar semakin

bertambah keras. Demikian pula kera beruk yang besar disisi kakek itu turut pula berdiri diatas dahansambil berjingkrak-jingkrak dengan menyeringai gembira, hingga dahan dimana mereka berdua berpijak

menjadi tergetar keras sekali, sampai daun-daunnya jatuh bertebaran.

Makin lama, Sujud merasa makin lelah kehabisan tenaga. Gerakannya menjadi sangat lambat.

Tetapi sebagai anak yang bersifat keras hati tidak mau ia menyerah.

Dengan sisa tenaga yang masih ada, ia mengamuk dan menerjang dengan serangan tinju dan

tendangan2nya yang dahsjat kembali. Karena dengan cara yang lunak tidak pernah berhasil, kini ia

menjadi mata gelap.

Empat ekor kera terpental jatuh bergulingan terkena tendangan dan tinjunya. Demi melihat

teman2nya jatuh bergulingan, kera yang lainnya menjadi lebih ganas. Lebih dari lima belas ekor kera

menerjang serentak dari arah belakang, samping dan depan, Sujud semakin marah dan bertambah mata

gelap. Dengan secara membabi buta ia melancarkan serangan yang lebih dahsyat terhadap kera2 yang

mendekatinya.

Tarikan, bahkan gigitan dipundak, lengan, betis tidak dirasakan lagi.

Untuk merobohkan kera2 yang demikian banyak jumlahnya adalah diluar kemampuannya.

Akhirnya Sujud sendiri yang jatuh terguling dan tak sadarkan diri.

Cambuk ditangan kakek Dadung Ngawuk berkelebat mengampar diudara dengan mengeluarkan

suara seperti petir, dan kera2 yang mengerumuni segera berloncatan menjauhi Sujud. Seakan-akan

mendengar aba2 untuk cepat meninggalkan tempat itu.

Kakek Dadung Ngawuk turun dan mendekati Sujud dengan diikuti kera piaraannya yang setia.

Luka2 Sujud bekas kena gigitan segera diobati dengan olesan ludahnya. Dan kemudian ia memijat

badannya Sujud dengan jari2 tangannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam.

Pelahan-lahan Sujud sadar kembali dan membuka matanya

? Kau diamlah dan jangan bergerak dahulu, anak gila.... ? Dadung Ngawuk berkata pelan

dengan masih tetap memijit2 keseluruh tubuhnya.

Mendengar seruan kakek Dadung Ngawuk yang lemah lembut, serta merasa diperlakukan

demikian baiknya, Sujud terpaksa diam menyerah. Ia tengkurab ditanah mengikuti perintahnya. Jari

tangan Dadung Ngawuk kini memijit2 kepala bagian beakang dan bergerak terus kebawah menuruti

punggungnya sampai dijari2 kakinya. Untuk kemudian kembali lagi keatas sampai dikepalanya. Demikian

itu, dilakukan sampai berulang kali sambil disertai tiupan pelan dari mulutnya kearah tubuh yang sedang

dipijitnya. Rasa hangat menjalar diseluruh tubuh. Ternyata kesaktian Dadung Ngawuk telah membuka

semua jalinan saraf yang lemah serta pembuluh2 darahnya sampai diujung jari kakinya. Kakek2 itu

berkata pelan pada dirinya sendiri sambil bersenyum ?anak gila tapi baik dan berbakat.... Hih hihikk ..

ada tai lalatnya besar dilengannya... ? Jari2 tangannya tetap masih bergerak dilengan Sujud untuk

mengurutnya.

Setelah selesai mengurut seluruh tubuhnya, Sujud kembali disuruh berbaring terlentang.

Kembali diurutnya dari tulang rusuk sampai perutnya, dengan disertai tiupan seperti semula. Sesaat

kemudian dirasakan oleh Sujud, bahwa isi perutnya terasa melilit-lilit, dan rasa muak ingin muntah tidak

dapat ditahan lagi. Semua kotoran isi perutnya keluar dari mulut dan hidungnya, dengan mengeluarkan

bau amis yang memuakkan.

Badannya terasa lemas tak berdaya, Sujud segera diangkat dan dipindahkan ketempat yang

bersih oleh Dadung Ngawuk disebelahnya.

? Jamang... Lekas petikan buah kemboja merah yang hanya tinggal seuntai itu ?

Kera yang selalu mengikuti kakek Dadung Ngawuk, setelah mendengar namanya dipanggil, cepat

meloncat pergi melakukan perintahnya. Seakan-akan tahu apa yang dikehendaki oleh kakek2majikannya. Tak lama kemudian kembali dengan membawa seuntai buah-buahan hijau, menyerupai

buah pinang. Dengan kuku2nya yang panjang, buah kemboja merah itu dipecahnya untuk kemudian

diambil isinya yang berwarna putih susu, serta bulat2 seperti buah kelengkeng. Kesemuanya satu demi

satu buah kamboja itu oleh Dadung Ngawuk dimasukkan kemulut Sujud. Dan tanpa dirasakan lagi buah

itu terus ditelannya.

? Berusahalah untuk tidur. Dan jangan mengejangkan anggauta badanmu. ? perintah kakek

kepada Sujud, yang segera ditaatinya.

? Jamang ! ? Cepat ambilkan sisa makananku ! ? Kera jenis beruk yang dinamakan Jamang

segera berloncatan pergi, untuk kemudian memanjat sebuah pohon besar yang tak jauh dari tempat itu.

Dengan membawa tempurung yang berisikan daging ular dan buah manggis, Jamang segera

menyerahkan pada kakek Dadung Ngawuk. Tempurung disambutnya dengan masih berjongkok didekat

Sujud. Wajah Sujud yang tadinya kelihatan pucat pasi, berangsur-angsur menjadi merah.

Seluruh tubuhnya dirasakan panas membara. Hingga ia tak sadarkan diri kembali. Namun kakek-kakek

itu bersenyum puas memperlihatkan kegirangan hatinya.


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mulutnya segera ditempelkan kemulut Sujud dan ditiupnya pelan mengiringi hembusan

napasnya. Setelah merasakan basah kuyup oech keringat dibadannya, segera melepaskan tempelan

multunya dan kembali duduk bersila didekat Sujud yang masih berbaring sambil mengatur

pernafasannya yang dirasakan ter-sengal2 kehabisan tenaga.

Suhu badan yang panas membara dirasakan oleh Sujud berangsur-angsur turun dan kembali

wajar. Bersamaan dengan sadarnya Sujud, kakek Dadung Ngawukpun telah pulih kembali tenaganya.

Sedangkan si Jamang, kera yang berada disisinya, turut pula memperlihatkan kegirangannya dengan

bergerak lucu.

Waktu itu telah senja. Hari mulai gelap remang ? remang. Tanpa ada yang memerintah empat

puluh ekor kera berloncatan mendatangi dengan masing-masing membawa dahan kering. Tak lama

kemudian kakek Dadung Ngawuk dengan batu percikannya segera membuat api unggun ditengah-

tengah hutan itti. Sesungguhnya Sujud sejak tadi telah merasa tenaganya pulih kembali, namun tanpa

disuruh kakek gila itu, ia tak berani bangkit. Ia tetap saja berbaring terlentang ditanah. Sebagai anak

angkat Kyai Tunggul ia tahu pula, bahwa kakek2 itu memijit dengan mengeluarkan tenaga saktinya, demi

untuk tambahnya kekuatan baginya.

Tetapi ia hanya pernah melihat Bapak angkatnya berbuat demikian, dan belum pernah

mengalami sendiri.

Buah yang telah ditelannya tadi, belum pernah sekalipun ia melihatnya. Bertahun - tahun ia

mengikuti ayah angkatnya sebagai pembantu tabib, tetapi belum pernah ayah angkatnya menggunakan

ataupun menyimpannya buah seperti apa yang telah ditelannya. Bahkan menceritakan saja belum

pernah. Seingat dia baru kali ini ia melihat pohon kemboja merah berbuah.

? Anak gila yang baik ! Marilah kita makan bersama. Dan jangan bermalas malasan tidur saja!

? Kakek Dadung Ngawuk! Aku tak mau lagi kau panggil deagan anak gila! Sujud menyawab

sambil bangkit daa duduk disebelah kakek2 itu.

? Bagus, bagus ,,,,,, nanti kita lanjutkan lagi perdebatan ini, tetapi sekarang kita makan dahulu.

Perutmu tentu tudah merasa lapar! ?

Daging ular yang gemuk itu dipanggangnya diatas api, serta dipotong-potongnya, dan segera

mereka berdua memakannya dengan lahapnya.

Semua kera yang berada disekelilingnya tidak ketinggalan turut pula makan buah2an yang telahdibekalnya masing2. Tidak jauh dari tempat perapian, dimana pohon kemboja berada, ternyata ada

sebuah sendang yang airnya sangat jernih. Untuk cuci tangan, mandi dan sebagainya, mereka cukup

menggunakan buangan air yang mengalir, yang kemudian bertemu dengan kali Lusi. Hanya untuk

minum, mereka mengambil langsung dari sendang. Dan didekat sendang itulah kakek Dadung Ngawuk

membuat gubuk kecil, sekedar untuk berteduh di waktu hujan. Pada hari2 cerah ia selalu berada

dipepohoan ber-main2 dengan keranya. Tidurpun ia selalu dialam terbuka.

Pada hari esoknya Sujud merasa segar serta ringan sekali badannya. Dengan mudah ia dapat

turut memanjat pohon yang sangat tinggi serta dapat pula berloncatan didahan dahan, mengikuti

gerakan kakek Dadung Ngawuk bersama si Jamang. Ia mulai tertarik akan keindahan alam ditengah

hutan itu, dan maksud untuk cepat2 meninggalkan hutan telah terlupakan pula. Mereke dudu pada

sebatang dahan yang tinggi sambil asyik bercakap cakap.

? Anak gila! Aku selalu memanggilmu dengan anak gila bukan tak beralasan! ? Kakek Dadung

Ngawuk mulai bicara. ? Pertama kau seorang diri masuk hutan tanpa tujuan, kedua, memiliki celana

dan sarung yang walaupun telah kumal itu cukup menunjukkan bahwa kau adalah keluarga yang Raja

ataupun bangsawan di kota Raja. Ketiga, melihat gerakanmu dalam menerjang kera-keraku kemaren,

jelas babwa gerakan yang kau lakukan adalah terdiri dari jurus2 dari seorang tamtama Kerajaan dan yang

terachir, kau mengaku bernama Sujud. Itu tak cocok dengan pribadimu. Nama Sujud harusnya hanya


Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong Tapak Naga Perkasa Karya Harianto Fauzi Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas

Cari Blog Ini