Ceritasilat Novel Online

Pendekar Darah Pajajaran 6

Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo Bagian 6



berserta rombongan para tamtama Narasandi Kerajaan

? Aku percaya, bahwa kehendak Gustiku Baginda Maharaja Adhityawarman untuk Menaklukan

Kerajaan Sriwijaya tentu akan berhasil ? Kata Cakrawirya sewaktu membentangkan keadaan Kerajaan

Sriwijaya pada Yoga Kumala dan Kobar beserta para perwira2 tamtama lainnya.

? Tentu saja, apabila didalam tubuh kita sendiri tak ada keretakan-keretakan, yang

menyebabkan lemahnya pasukan, ? kata ia selanjutnya.

Dengan panjang lebar Cakrawirya memberikan penjelasan penjelasan tentang kedudukan

pertahanan Kerajaan Sriwijaya serta tak lupa pula memberikan petunjuk-petunjuk yang penting berguna

sebagai bekal dalam mengemban tugas selanjutnya.

Sebagai Manggala Tamtama Narasandi yang telah berpengalaman luas, ia menekankan, bahwa

kemenangan di medan yudha hanya tercapai, apabila dalam tubuh pasukan tak ada keretakan. Musuh

akan berusaha selalu untuk dapat berselimut dalam tubuh pasukan kita, dengan melalui celah-celah

keretakan keretakan yang ada, walaupun keretakan itu nampaknya amat kecil.

Dan disamping keutuhan yang harus terbina baik, pun ketabahan dan tingkah laku para

tamtama perseorangan merupakan hal yang menentukan pula.

? ini sangat penting untuk kau sadari sedalam-dalamnya, Kobar ! ? kata Cakrawirya denan

tandas pada Kobar. Sinar pandang matanya menatap Kobar dengan amat tajam, sewaktu Cakrawirya

mengucapkan kata peringatan ini.

Dengan muka tertunduk, Kobar mendengarkan tanpa menjawab sepatah katapun. Mukanya

merah padam sampai diujung telinganya.

la merasa terhina akan peringatan demikian, namun karena takut ia tak berani menentangnya.

Kiranya tingkah laku dan sifat-sifat Kobar yang kurang baik itu, telah lama pula mendapat

sorotan dari Tumenggung Cakrawirya.

Menurut keterangan selanjutnya dari Cakrawirja, ia sendiri beserta rombongan tamtamanarasandi akan berkenan pula mengantarkan bantuan pasukan itu ke Kerajaan Negeri Tanah Melayu,

mewakili Gusti Senopati Manggala Yudha untuk menyerahkannya, Sedangkan para anggauta tamtama

Narasandi selanjutnya akan ditugaskan membantu terbinanya keamanan setelah nanti Kota Raja lawan

dapat diduduki.

Semua menyambut dengan gembira demi mendengar bahwa Cakrawirya beserta rombongan

para tamtama narasandi akan menyertai pula hingga sampai di Kerajaan Negeri Tanah Melayu.

Ratnasati, Indah Kumala Wardhani, Ktut Chandra dan Sampur Sekar merasa berbahagia demi

mendapat tugas yang amat mulia itu. Pun kesempatan untuk selalu berdekatan dengan kekasih masing

masing tentu akan menggembirakan.

Dan kiranya kesempatan baik inipun tak disia - siakan oleh Braja Semandang yang telah lama

menanggung derita terkena panah asmara Sampur Sekar.

Dengan sembunyi-sembunyi mereka berdua saling mengutarakan isi hati masing-masing dengan

hiasan kata-kata yang sangat lirih.

Lain halnya dengan Yoga Kumala. Dibalik kegembiraan, nampak adanya rasa murung karena

maksud untuk mengutarakan isi hatinya pada Ktut Chandra selalu tak sampai, terhalang dengan

kehadirannya Ratnasari yang selalu mendekatinya serta menunjukkan rasa kasih dengan kemurnian

hatinya. ?

Dan untuk tidak mengecewakan, Yoga Kumala terpaksa menanggapi dua remaja putri itu

dengan senyum dan tawa yang terbagi. Pun demi tugas yang menjadi bebannya sebagai pembimbing

dan pelindung para putri tamtama narasandi, membuat ia selalu berlaku bijaksana. ?

Sedangkan hubungan antara Indah Kumala Wardhani adiknya clan Sontani kini bertambah lebih

akrab dan mesra. Sepanjang hari mereka berdua bersendau gurau dan ber-cakap-cakap dengan

riangnya.

Dan ini semua menamhah meluapnya rasa benci yang telah lama terkandung dalam lubuk hati

Kobar.

Telah berulang kali Kobar bemaksud hendak melampiaskan nafsu kebencian pada Sontani, akan

tetapi selalu gagal karena terhalang dengan adanya Yoga Kumala. Sedangkan bagaimanapun Yoga

Kumala adalah menjadi atasannya langsung.

? Seandainya Yoga Kumala musuhku ini binasa, tentulah aku yang akan berkuasa ? pikirnya,

Dan dendam kesumat Kobar yang telah lama dikandung selalu bangkit menguasai dirinya. ?

? Bukankah amat mudah bagaikan membalikan telapak tangan saja, untuk menyingkirkan

Sontani dan memperistri Indah Kumala Wardhani, apabila kelak ia yang berkuasa? ?

Suara bisikan iblis ditelinganya.

Satu-satunya perwira tamtama bawahannya yang ia menaruh penuh kepercayaan untuk

membantu niat jahatnya Kobar adalah Berhala.

Tetapi disesalkan, karena keshaktian Berhala terbatas dan berada dibawah tingkatan Sontani. Ia

masih ingat akan kegagalan pada setengah tahun berselang, sewaktu ia mencegat perjalanan Yoga clan

Sontani di dekat desa Kasiman. Ia sengaja memakai kedok pada waktu itu, agar wayahnya tak dikenal.

Tetapi sayang, bahwa sebelum berhasil, Berhala dan seorang temannya lari meninggalkan gelanggang,

karena jeri melihat seorang temannya lain mati terpancung kepalanya oleh sabetan pedang Sontani.

Lima hari kemudian armada iring iringan perahu layar dengan duaja - duaja kebesaran serta

bendera keagungan "Gula Kelapa" yang berkibar megah di masing2 puncak tiang bendera, bergerak

mengarungi Samodra Raya Nuswantara ke arah Barat laut dengan tujuan Bandar Teluk Bayur Kerajaan

Negeri Tanah Melayu.Cuaca cerah, dan angin meniup dengan kencang. Layar-layar mengembang penuh, dan

mempercepat lajunya perahu-perahu Iayar itu yang sedang mengarungi samodra.

Gelombang - gelombang ringan bergulung gulung menggempur dinding-dinding perahu layar

dengan tanpa mengenal jemu, dan terasalah goncangan goncangan dalam perahu dengan tiada

hentinya. ?

Lima hari lima malam lamanya Armada iring iringan perahu layar yang mengangkut pasukan

tamtama Kerajaan Agung Majapahit itu mengarungi samodra, dan ternyata di lautan, putra putra

Nuswantata menunjukkan kemahirannya yang dapat dibanggakan.

Kini Armada telah sampai di Teluk Bayur Dengan rapinya iring-iringan perahu perahu layar itu

memasuki Bandar, serta kemudian melepas jangkar untuk berlabuh.

Pasukan yang dipimpin oleh Yoga Kumala dan Kobar semuanya mendarat mengiringkan

Tumenggung Cakrawirya beserta para tamtama narasandi yang akan bertindak sebagai utusan Sri

Baginda Maharaja Rajasanegara, mewakili Gusti Senopati Manggala Yudha Adhityawardhana.

Kedatangannya disambut dengan upacara kebesaran yang amat meriah oleh para priyagung

berserta seluruh tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu atas titah Sri Baginda Maharaja

Adhityawarman sendiri.

Pada esok harinya Sri Baginda Maharaja berkenan mengadakan pasewakan paripurna secara

tertutup yang dihadliri oleh segenap para Manggala serta para pimpinan pasukan bantuan dari

Majapahit, guna merundingkan sia-sat penyerangan untuk menggempur Kerajaan Sriwijaya.

Dalam pasewakan paripurna yang berlangsung tiga hari berturut-turut dan dipimpin sendiri Sri

Baginda Maharaja Adityawarman itu, Tumenggung Cakrawirya memberikan laporan tentang keadaan

Kerajaan Sriwijaya pada dewasa ini, serta saran-saran sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan

siasat perang, agar tidak mengalami kegagalan.

Dengan panjang lebar dipaparkan, bahwa kekuatan pasukan iawan tak dapat di anggap kecil.

Segi-segi kelemahan lawan yang titik beratnya terletak pada kerusakan akhlak perseorangan para

priyagung serta sebagian besar para tamtama dan naraprajanya, tak ketinggalan diutarakan pula dalam

sidang paripurna itu.

Sedangkan keadaan alam sekitar Kota Raja Sriwiiaya yang dilintasi oleh banyak sungai-sungai itu,

menjadi perhatian pula demi menentukan siasat selanjutnya.

Peta bumi daerah Kerajaan Sliwijaya dibeberkan, dan segenap para manggala mempelajarinya

dengan saksama.

Pendapat masing - masing dikumpulkan serta disaring, dan akhirnya Sri Baginda Maharaja

berkenan sendiri memberikan ketentuan siasatnya.

Jambi Kota Raja yang lama dipilihnya sebagai tempat pemusatan induk pasukan. Kemudian

sebagian akan dikirim langsung dengan perahu-perahu layar untuk menduduki sepanjang Sungai Mesuji

dengan melewati Selat Pulau Kota Kapur. Dari sanalah serangan permulaan akan dimulai dan bergerak

kearah selatan mengikuti mengalirnya Sungai Komering untuk selanjutnya menduduki Kayu Agung.

Serangan permulaan itu dimaksudkan sebagai pancingan untuk mengalihkan sebagian kekuatan

pertahanan lawan yang berada disepanjang Sungai Musi.

Sebagian kekuatan pasukan lagi akan bergerak menuju hulu Sungai Banyuasin dan dari sanalah

mereka mendesak ke arah tenggara untuk langsung menyerang pertahanan lawan yang terkuat

disepanjang Sungai Musi, dengan dibantu oleh sebagian pasukan lagi yang akan bergerak dari muara

Sungai Banyuasin.

Dengan demikian Kota Raja Sriwijaya diharapkan terkepung tertebih dahulu, sesaat sebelumsurat penantang perang disampaikan.

Setelah garis besar siasat penjerangan itu ditentukan serta di fahami dengan saksama oleh para

Manggala dan priyagung yang hadfir, maka Pasewakan paripurna segera dibubarkan.

Kini semua sibuk untuk mempersiapkan diri dalam tugas masing-masing, siaga menghadapi

perang besar.

Gusti Tumenggung Cakrawirya kemudian dengan diantar oleh para priyagung sampai di Bandar

Teluk Bayur, berlajar meninggalkan Pulau Kedukan Bukit menuju ke Kerajaan Agung Majapahit.

Sedangkan para tamtama narasandi ditinggalkannya untuk bergabung menjadi satu dengan pasukan

bantuan yang dipimpin oleh Yoga Kumala.

? Perang ? . . . demi terbebasnya penderitaan rakyat. . . . . ? perang ? . . demi terwujudnya

keutuhan bangsa, dan sekali lagi ? perang ? demi kejayaan lambang shakti Bendera Kesatuan se

Nuswantara nan Agung Sang "Gula Kelapa"

Demikianlah sembojan Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang disematkan di dada pada tiap-tiap

tamtama Kerajaan yang akan melakukan perang besar-besaran.

? Dalam ,.perang suci? ini, segenap tamtama yang mengemban titah Maharaja junjungannya,

harus memiliki keyakinan penuh, bahwa Dewa Kemenangan tentu akan berada difihaknya. Mati

dimedan Yudha adalah ?Pahlawan Bangsa? yang akan dikenang sepanjang masa, serta menjadi

kebanggaan para keluarga yang ditinggalkannya. Demikianlah pengertian seorang tamtama.

Sebelum berangkat ke medan YuDha mereka bermandi jamas dengan air bunga rampai suci.

Kuil-kuil dan candi-candi serta tempat-tempat suci lainnya telah penuh dengan kembang setaman dan

sesajian beraneka macam dan warna.

Semua Pendeta memanjatkan do`a dan mantra-mantra, demi tercapainya kemenangan.

Akan tetapi ?perang? bagi rakyat kecil, adalah malapetaka .,Perang., adalah sesuatu yang dibenci

dan tak diinginkan oreh rakyat. Menang ataupun kalah, rakyat akan tetap menderita karenanya. Dikala

itu, waktu telah lewat tengah malam. Namun belum juga terdengar suara ayam berkokok yang pertama.

Langit biru membentang bersih, dan berkeredipnya bintang-bintang diangkasa laksana cahaya

taburan batu permata.

Alun-alun Kota Raja Negeri Tanah Melayu kelihatan terang benderang geperti diwaktu siang

teagah hari, karena pancaran sinar nyalanya lampu-lampu obor yang tak terhitung jumlahnya.

Suara ringkikan kuda yang beribu-ribu dan suara bercakap-cakapnya para tamtama yang tak

terhitung jumlahnya, walaupun lirih berkumandang mendengung bagaikan lebah dalam sarang,

memecah kesunjian tengah malam itu.

Seakan-akan pada malam itu seluruh Kota Raja dalam keadaan bangun. Barisan-barisan

tamtama Kerajaan memenuhi alun-alun yang amat luas itu, bahkan hingga meluap keluar batas tembok,

dijalan - jalan raya. Semua dalam keadaan siap siaga untuk berangkat ke medan Yudha.

Panji - panji kebesaran serta lambang - lambang barisan kesatuan dan Bendera Shakti Dwiwarna

berkibar-kibar megah dalam barisan yang terdepan.

Setelah upacara pemeriksaan barisan selesai, dan segenap pasukan selesai pula memanjatkan doa pada

Dewata Yang Maba Agung untuk mohon perlindunganNya, dibawah pimpinan para Pendeta Istana, kini

pasukan besar Kerajaan Negeri Tanah Melayu mulai bergerak meninggalkan Kota Raja, ke arah Tenggara

dengan tujuan Kota Raja yang lama ialah Jambi.-

Sang Senopati Manggala Yudha Bintang Minang, berkenan sendiri memimpin pasukan besar


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


yang akan berangkat ke medan Yudha itu.

Suara mengaungnya gong dipukul tiga kali dan disusul dengan tiupan seruling serta bertalunyagenderang yang memekakkan telinga, mengiringi bergeraknya pasukan besar meninggalkan Kota Raja.

Suara gemerincingnya senjata-senjata yang bergesekan, ringkikan kuda yang sahut menyahut,

serta derap langkah kaki kuda yang gemuruh tak ada putusnya, membangunkan desa-desa yang sedang

tenggelam nyenyak dalam kesunyian malam. Namun para penduduk desa-desa yang dilaluinya itu, tak

seorang berani menampakkan dirinya. Mereka hanya mengintip dari celah-celah dinding bambu

anyaman, sambil memondong dan mendekap anak-anak kecil mereka dengan penuh rasa takut. karena

tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan diantaranya banyak pula yang tcrgopoh-gopoh

berkemas-mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu dapat segera lari mengungsi ke lain desa, apabila

terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Bahkan ada pula yang menjumbat mulut anak-anaknya sendiri,

mencegah keluarnya suara tangis, sambil duduk gemetar, tak tahu apa yang harus diperbuat

selanjutnya.

Hal itu sebenarnya tak mengherankan, karena mereka samasekali tak mengetahui sebelumnya,

bahwa hari itu Kerajaannya akan memulai dengan perang besar, mengendihkan Kerajaan Sriwijaya.

Pasukan besar yang berkekuatan tak kurang dari lima belas ribu tamtama bersenjata itu,

bergerak melalui sebelah barat kaki gunung Sulasih, dan kini tiba di hulu Sungai Batanghari.

Setelah berjalan 7 hari lamanya dengan mengikuti mengalirnya Sungai Batanghari, pasukan tiba

di desa Muara Tebo yang terletak antara persimpangan Sungai Batanghari dan muara Sungai Tebo yang

mengalir menjadi satu dengan Sungai besar Batanghari itu.

Sehari semalam pasukan beristirahat di dataran muara Sungai Tebo guna memulihkan tenaga.

Dan setelah itu, pasukan bergerak lagi mengikuti mengalirnya Sungai Batanghari selama dua hari dua

malam hingga tiba di muara Sungai Trembesi, anak cabang dari Sungai Batanghari pula. Setelah pasukan

melepaskan lelah dengan berkemah semalam Iamanya, kini bergerak lagi langsung menuju kota Jambi

yang tak jauh lagi letaknya.

Pasukan berkuda mendahului memasuki Jambi untuk mempersiapkan segala sesuatu yang

bertalian dengan penampungan induk pasukan besar Kerajaan Negeri Tanah Melayu itu.

Mendadak sontak kota Jambi menjadi ramai kembali, penuh dengan para tamtama. Pertahanan

- pertahanan batas kota dibangun dengan amat kokohnya.- Pada esok harinya para Manggala dan

segenap perwira-peraira tamtama merundingkan siasat penyerangan selanjutnya, sesuai garis-garis

besar yang telah ditentukan.

Dua pertiga bagian dari induk pasukan dengan kekuatan sebanyak kira-kira 10.000 orang

tamtama kemudian dipecah-pecah menjadi ampat bagian.

Sebagian pasukan dibawah Senopati Manggala tamtama Samodra Damar Kerinci yang

berkekuatan 3000 tamtama mendahului berlayar menyusuri pantai kearah tenggara dengan melalui

Selat Pulau Kota Kapur (Bangka) untuk kemudian menuju Sungai Mesuji.

Menyusul kemudian Kobar dengan didampingi oleh Berhala dan Gumarang memimpin pasukan

berkekuatan 3000 tamtama dengan tujuan Muara Sungai Banjuasin, untuk kemudian menyerang

pertahanan dekat Kota Raja yang berada di muara Sungai Musi. Dan bersamaan dwngan itu, 1000 orang

tamtama mengawal Sang Senopati Muda dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang bertindak sebagai

utusan Sri Baginda Maharaja Adhityawarman langsung menuju ke Kota Raja Sriwiyaja, dengan melalui

Bandar Muara Musi, untuk menyampaikan surat penantang perang.

Yoga Kumala dengan didampingi oleh Sontani dan Braja Semandang dIserahi tugas memimpin

pasukan berkekuatan 3000 orang tamtama berkuda, dengan tujuan ke dataran hulu Sungai Banjuasin,

untuk kemudian langsung menggempur pertahanan lawan yang terkuat di sepanjang Sungai Musi.

Sedangkan induk pasukan yang tinggal berkekuatan kira-kira 5000 orang tamtama, dimaksudkansebagai cadangan dan akan bergerak mengikuti pasukan Yoga Kumala dalam jarak yang agak jauh untuk

dapat mengambil alih serta menguasai medan yudha. apabila pasukan Yoga Kumala mengalami

kegagalan. Dengan demikian maka tugas Induk pasukan adalah sebagai godham terakhir.

Jala Mantra memimpin pasukan penghubung, sedangkan para tamtama narasandhi ditugaskan

untuk mengikuti induk pasukan, sebagai penunjuk jalan setelah nanti dapat memasuki Kota Raja lawan,

ataupun melaksanakan tugas - tugas khuus apabila dipandang perlu.

Sementara Jambi ditinggalkan, pasukan baru yang diberangkatkan dari Kota Raja diperkirakan

telah tiba dan menggantikan kedudukannya, dengan tugas-tugas menyusun pertahanan demi mencegah

kemungkinan gagalnya serangan serta menanggulangi serangan - serangan balasan lawan, Tiap - tiap

pasukan yang kini mulai bergerak disertai pula dengan para penunjuk jalan yang telah mengenal dengan

baik akan keadaan alam sekitarnya yang akan dilalui.?

? Berapa hari lagi kita sampai di tempat tujuan, Gusti Yoga? ? tiba-tiba Sontani bertanya,

memecah kesunyian sambil masih berkuda disamping Yoga Kumala.

? Yaaa . . . . . Aku sendiri belum tahu dengan pasti! ? jawab Yoga Kumala singkat dengan

mengerutkan keningnya, serta mengusap keringat yang membasahi muka dengan lengan bajunya.

? Sebaiknya kita berhenti sebentar ditengah hutan ini, dan panggilah segera si Dirham

penunjuk jalan kita yang berada di depan itu! ? Perintah Yoga Kumala pada Sontani selanjutnya.

Dengan tangkas Sontani memacu kudanya untuk menyampaikan perintah Yoga Kumala pada

perwira-perwira tamtama pimpinan kelompok-kelompok, agar mereka menghentikan pasukannya

masing-masing, sedangkan Braja Semandang tanpa diperintah lagi telah memacu kudanya untuk

menyusul Dirham si penunjuk jalan yang kemudian segera kembali menghadap Yoga Kumala

bersamanya.

? Dirham! berapa lama lagi kita akan sampai di hulu Sungai Banyuasin? ? Yoga bertanya.

? Jika tak ada rimangan, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu dua hari, Gusti

Tumenggung! Akan tetapi . . . . . .?

? Akan tetapi . . . . . apa lagi?! ? Desak Yoga Kumala.

Berkata demikian Yoga Kumala turun dari pelana kudanya dan dikuti oleh Dirham, Sontani dan

Braja Semandang untuk kemudian duduk ditanah dibawah sebuah pohon rindang ditengah hutan,

setelah mana mereka menambatkan kudanya masing-masing.

Sambil duduk menghadap Yoga Kumala, Dirham melanjutkan bicaranya.

? Maksud saya . . . . . setelah nanti Tuanku Gusti Tumenggung beserta pasukan menyeberangi

Sungai Tungkal, saya hendak mendahului berkuda sampai di daerah keluang. Dan apabila keadaan

disana aman, saya akan segera kembali untuk melapor pada Gusti.

? Daerah keluang?! Daerah siapa dan dimana itu?! ?

Daerah keluang adalah daerah perbatasan antara Negeri kita dan Kerajaan musuh. Sedang

dinamakan keluang, adalah karena daerah itu merupakan daerah yang tak bertuan. Pun keadaan alam di

daerah Itu tak ubahnya seperti disini. Hutan belukar! Gusti! ?

? Berapa jauh Sungai Tungkal dari sini? ?

? Jika sekarang pasukan mulai bergerak, sebelum petang hari, tentu telah dapat melintasi

Sungai Tungkal Gusti!

? Baik! Sontani! Braja Semandang! Perintahkan seluruh pasukan bergerak lagi ke arah utara

lurus, Sekarang! Dan setelah petang nanti melintasi Sungai Tungkal, masing - masing kelompok supaya

mencari tempat untuk berkemah dalam bentuk pasukan ?Naga Tapa"

? O. . . . . . ya . . . . . ! Jangan lupa akan perubahan sandiwara untuk petang nanti sertapenjagaan keamanan! ?

Semua segera siap diatas punggung kuda masing - masing, dan pasukan bergerak maju lagi

melalui hutan belukar dan rawa- rawa.

Sebelum senja pasukan telah menyeberangi Sungai Tungkal, dan mereka berhenti berkemah,

sementara Dirham dan Sontani dengan membawa pasukan pengawal bergerak terus menyusupi hutan

belukar ke daerah keluang untuk melihat keamanan di sekitar daerah itu.

Dengan didampingi oleh Braja Semandang dan diiringkan pasukan pengawal, Yoga Kumala

memeriksa segenap pasukan berserta perbekalannya.

Perwira-perwira tamtama dan segenap pimpinan kelompok kelompok pasukan dikumpulkan,

untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang gerakan pasukan selanjutnya. Pun pada mereka

diperintahkan, agar kewaspadaan lebih ditingkatkan, karena pasukan kini berada tak jauh dari daerah

perbatasan musuh.

Terkecuali para tamtama yang berjaga, pengawal pengintai dan tamtama peronda keliling,

semua pasukan pada malam itu diperkenankan istirahat dalam kubu masing-masing.

Suasana amat sepi, dan gelap malaan yang pekat itu menambah tegangnya perasaan para

tamtama yang sedang bertugas jaga.

Tiba-tiba terdengar suara anjing hutan melolong panjang serta menyeramkan dari tempat

pengawal pengintai yang berada tinggi diatas pohon tengah hutan. dan sesaat kemudian dari kejauhan

terdengar suara burung hantu menggema dimalam menjelang fajar yang sunyi itu, disusul dengan suara

derap langkah kuda yang kian mendekat.

Mereka yang datang itu adalah Sontani dengan Dirham berserta pengawalnya. Setelah melewati

tempat pengawal pengintai; mereka berjalan langsung menuju ke kemah besar di mana Yoga Kumala

berada.

? Gusti Yoga! Sekitar daerah keluang aman! Akan tetapi setelah melewati daerah keluang

terdapat dataran terbuka yang amat luas dengan batas Sungai Batangharileka di sebelah barat, dan di

sebelah tenggara utara terbatas pada hutan dimana hulu sungai Banjuasin bersumber. Kami telah

berusaha mendekat dengan menjusuri tebing-tebing bungai Batangharileka. Dan dari sanalah kami

dapat melihat adanya pengawal pengintai di hutan itu. Sontani memberikan laporannya.

? Baiklah! Jika demikian, esok malam saya akan memerintahkan sebagaian pasukan panah

untuk memasuki hutan itu. Dan jika kupandang perlu, saya sendirilah yang akan memimpinnya.

Sekarang kau dan Dirham serta para pengawalmu sebaiknya istirahat dulu! ? Perintah Yoga Kumala.

*

* *

B A G I A N IV

MALAM ITU amat gelap. Awan hitam tebal menggantung di angkasa, dan hujan rintik -

rintikpun mulai turun, Suara guntur gemuruh susul menyusul dalam malam yang pekat itu, diseling

dengan suara mengamparnya petir yang berkilatan menyambar nyambar diudara. ?

Barisan tamtama pemanah yang berkuda sebanyak kira2 100 orang dibawah pimpinan Yoga

Kumala sendiri itu masih saja bergerak maju dengan pesatnya, menyusuri tebing-tebing sungai

Batangharileka yang amat licin dan berliku-liku kearah muara.

Mereka basah kuyup dan sesekali ada yang jatuh terperosok karena bertekok-lekoknya serta

licinnya jalan yang di laluinya. Namun pasukan berjalan terus tanpa mengindahkan gangguan hujan

maupun gelapnya sang malam.? Malam ini kita harus dapat menguasai hutan yang berada dihulu sungai Banyuasin itu, ? kata

Yoga Kumala pada Sontani, sambil memacu kudanya.

? Tugas ini sesungguhnya Gustiku dapat menyerahkan sepenuhnya pada diri saya, ? jawab

sontani yang berkuda disampingnya.

? Pendapatmu memang benar. Tetapi aku bermaksud ingin mengetahui sendiri keadaan

dihutan itu. Karena jika mungkin, sebelum fajar pasukan seluruhnya akan kupindahkan kesitu. ?

?O , begitukah maksud Gusti Yoga! Jika demikian, sayapun hanya mentaati perintah Gustiku! ?

Pembicaraan masing-masing terlalu singkat, hingga sukar untuk diikuit oleh yang mendengar

akan percakapannya.

Kedua duanya menunjukkan wajah yang bersungut-sungut. Langkah kudanya berderap tetap, clan

mereka berduapun selalu berjajar berdampingan, disusul oleh para tamtama yang berkuda urut-urutan

memanjang dibelakangnya.

Dataran terbuka yang luas itu, kini teIah dilaluinya hampir separo.

Tiba-tiba jauh diketinggian sebelah utara tenggara terlihat melintasnya panah api susul

menyusul lungga tiga kali. Dan bagaikan terhalang rintangan tinggi yang menghadang didepannya, Yoga

Kumala mengekang tali lis kudanya dengan santakan karena terperanjat, hingga sikuda berhenti seketika

dengan berdiri sesaat diatas kedua kakinya belakang sambil mengeluarkan suara ringkikan.

? Ah! Terlambat! ? Geramnya.

? Apa yang dimaksudkan dengan terlambat, Gusti? ? Sontani turut pula menghentikan langkah

kudanya secara tiba-tiba, sambil bertanya dengan penuh kecemasan.

Sesungguhnya ia pun melihat pula adanya panah api yang berturut-turut melintasi di ketinggian

jauh di sebelah teng gara itu, akan tetapi sedikitpun ia tak tahu akan arti maksudnya.


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan kini tanpa mendapat penjelasan dari Yoga Kumala, tiba-tiba ia mendengar desisan gumam

Yoga Kumala yang jelas menunjukkan rasa penjesalan

? Gerangan apakah yang menjadikan murkanya Gustiku ini ? pikirnya.

? Sontani! ? Esok fajar perang terbuka sudah dimulai! Cepatlah kau kembali, dan perintahkan

seluruh pasukan bergerak maju.

Sebelum fajar kita harus dapat mengepung kota Raja Iawan dari sebelah barat! Ketahuilah,

bahwa panah api yang baru saja terlintas itu adalah isyarat, bahwa perang telah diumumkan. Dan

pasukan-pasukan penyerang kita yang lain, tentu telah mengepungnya dari sebelah timur dan selatan.

Kini tinggal kita sendirilah yang terlambat ? Aku beserta pasukan panah yang ada ini akan menduduki

hutan yang berada di depan kita itu, sambil menanti kedatanganmu berserta seluruh pasukan?! ?

Perintah Yoga Kumala dengan tegas.Tiba2 jauh diketinggian sebelah utara tenggara terlihat melintasnya panah api susul menyusul

hingga tiga kali. Dan bagaikan terhalang rintangan tinggi yang menghadang didepannya, Yoga

Kumala mengekang tali lis kudanya dengan sentakan karena terperanjat.

Seakan-akan tak ada waktu lagi untuk menjelaskan lebih lanjut.

Akan tetapi sebagai seorang perwira tamtama yang cerdas, Sontani cepat dapat menangkap isi

perintah keseluruhannya. Pun ia segera dapat menarik kesimpulan, bahwa panah api yang baru saja

dilihatnya tentulah suatu isyarat dari Bupati anom Kobar.

Dengan tangkasnya ia memutarkan kudanya, serta memacunya, setelah mengucapkan singkat:

? perintah Gustiku saya junjung tinggi?! ?

Sementara itu Yoga Kumala baserta pasukan tamtama yang berkuda berjalan terus, menyusuritebing tebing sungai Batanghariteka yang berkelok-kelok dan licin itu dalam kegelapan malam, dengan

didampingi oleh Dirham si penunjuk jalan.

Sepatahpun Yoga Kumala tak berkata, selama ia menempuh perjalanan.

Mulutnya terkatub rapat, dan sebentar-sebentar sambil memacu kudanya ia mengusap air hujan

yang membasahi muka dengan lengan bajunya.

? Mengapa isyarat panah api itu munculnya dengan tiba-tiba saja, dan tak menurut ketentuan

yang telah digariskan oleh rencana semula?

Bukankah isyarat panah api itu seharusnya lusa malam baru akan muncul? Ataukah ada sesuatu

kejadian yang tak terduga-duga, hingga terpaksa perang besar harus dimulai esok fajar? ?

Menurut perhitungan Yoga Kumala, ia beserta pasukannya telah akan tiba di hulu Sungai

Banyuasin dua hari lebih cepat dari pada rencana.

Akan tetapi kini bahkan hampir hampir saja ia beserta pasukan menjadi terlambat

Atau, mungkinkah Kobar mendahului membuka serangan dari muara sungai Banyuasin sebelah

timur Kota Raja sesaat setelah surat penantang perang sampai ditangan musuh? Akan tetapi apabila

demikian, bagaimana nasib Sang Senopati muda yang bertugas mengantarkan surat penantang perang

itu? Tentulah mereka semua menjadi tawanan musuh.

Ah, . . .. . itu kiranya tak mungkin. ? Atau . . . . bocorkah rahasia siasat kita? ? Sampai disini

pikiran Yoga Kumula menjadi kalut. Jantungnya berdebar debar penuh rasa kecemasan.

Ah, . . . . tak mungkinl ? Ia mengbibur diri sendiri.

Namun masih saja rasa cemasnya berkecamuk didalam benak hatinya. Mungkin terjadi

sebaliknya. Musuh yang memulai melanggar tata susila Yudha, dan menawannya Gusti Senopati muda

berserta seluruh pengawal yang mengantarkan surat penantang perang itu, hingga Kobar terpaksa

membuka serangan lebih cepat daripada rencana yang telah ditentukan pikirnya.

? Untung saja, pasukanku telah berada tak jauh lagi dari tempat tujuan.?

Dan sebagai orang shakti janng terlatih ia dapat dengan cepat menenangkan kembali perasaan2-

nya yang diliputi kekalutan itu.

Hujan turun semakin deras dan gunturpun masih saja menggelegar susul menyusul dengan

diselingi berkilatnya petir yang membelah kegelapan malam di angkasa.

? Dirham! Perintahkan pada tamtama barisan panah itu untuk mulai menyebar ! Sepertiga

bagian di sayap kiri, dan yang lainnya menduduki sayap kanan, membentang hingga ujung hutan sebelah

utara? ? Perintah Yoga Kumala memecah kesunyian dengan tiba-tiba, sambil memperlambat langkah

kudanya.

Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, Dirham segera mengambil cerobong, yalah

potongan bambu yang berisikan kunang-kunang sebangsa binatang2 kecil sejenis serangga yang

memancarkan cahaya berkedip-kedip diwaktu malam, dari dalam kantong bajunya.

Cerobong potongan bambu itu diacung acungkan menghadap kebelakang, yang segera dapat

dilihat terang oleh para tamtama berkuda yang mengikuti dibelakangnya.

Sesaat cerobong bambu kunang2 itu digoyang-goyangkan, sebagai isjarat aba aba akan gerakan

pasukan selanjutnya, sesuai dengan perintah Yoga Kumala. Dan kemuclian dimasukkan cerobong itu

dalam kantong bajunya kembali.

Tak lama kemudian, dua pertiga bagian dari barisan panah yang berada di belakang itu segera

memacu kudanya masing-masing untuk mendahului jalan di depan, sedangkan sepertiga bagian yang

lain merapat dibelakang Yoga Kumala.

Kini dengan tangkasnya para tamtama barisan panah itu menjelinap ke dalam hutan yang gelappekat.

Mereka menyusupi hutan dalam bentuk garis memanjang hingga sampai pada ujung sebelah

utara dengan penuh kewaspadaan. Gerakan mereka amat gesit, bagaikan kucing yang sedang mencari

mangsa.

Selain dari pada suara terinjaknya ranting ranting patah yang segera hilang tertelan oleh suara

lebatnya hujan, tak terdengar lagi.

Tak lama kemudian terdengar suara jeritan tertahan susul - menyusul dan disusul oleh suara

jatuhnya dua sosok tubuh manusia dari atas pohon yang terbanting ditanah dengan masing-masing

tertancap sebatang anak panah dipunggung dan kepalanya. Dan setelah itu, suasana menjadi sunyi

hening kembali.

Ternyata dalam gelap malam yang pekat itu, para tamtama barisan panah dapat pula

menunjukkan kemahirannya.

Cepat Yoga Kumala melompat turun dari kudanya dan melangkah menuju ke tempat suara

jatuhnya seorang pengintai musuh yang berada tak jauh didepannya dengan diikuti oleh Dirham.

Akan tetapi, sewaktu Yoga Kumala melompat turun dari kudanya dan kemudian menghampiri

sambil berjongkok meraba-raba pada tubuh orang yang telah menjadi mayat itu, tiba-tiba seorang

pengintai musuh berkelebat melayang turun dari dahan pohon yang berada diatasnya, dan langsung

menyerangnya dengan tusukan pedang.

Namun kiranya Yoga Kumala telah siap siaga pula untuk menghadapi setiap serangan yang tiba

tiba.

Pendengarannya yang amat tajam serta perangsang perasaan nalurinya, membuat ia tangkas

bergerak. la berguling ditanah, sambil langsung menyerang dengan totokan jari-jarinya tangan kiri yang

telah mengembang tegang kearah punggung lawan yang baru saja berpijak ditanah.

Tak ayal lagi, dalam satu gebrakan orang itu menjerit dan jatuh tersungkur ditanah serta

menjadi lumpuh seketika.

Ternyata jalinan syaraf penggerak kedua kakinya telah tepat terkena serangan totokan jari-jari

Yoga Kumala. Dengan satu loncatan Yoga Kumala telah menangkapnya serta menyumbat mulut orang

itu dengan dekapan telapak tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya melintir lengan musuh sebelah

kanan dengan cengkeraman yang amat kuat, sambil berseru mengancam : ? Jangan bergerak dan

jangan bersuara !!! ? Suaranya yang pendek tertahan serta parau itu jelas mengandung perbawa daya

shakti, hingga orang yang diancamnya menggigil tak berdaya.

? Dirham ! Ikat orang ini erat-erat diatas punggung kudamu dan sumbatlah mulutnya ! Perintah

Yoga Kumala kemudian pada Dirham yang berada di belakangnya.

Dengan mudahnya pengintai lawan itu diringkus serta diseretnya oleh Dirham dengan dibantu

oleh dua orang tamtama, untuk kemudian di ikat erat-erat diatas punggung kuda dengan mulutnya

tersumbat.

Pasukan panah masih terus bergerak maju dengan serempak, menyusupi hutan ke arah timur,

sementara Yoga Kumala dan Dirham serta dua orang tamtama menunggu tawanannya ditengah-tengah

hutan.

Tak berapa lama kemudian seorang pemimpin barisan panah yang berpangkat penatus tamtama

datang menghadap pada Yoga Kumala, serta memberi tahukan bahwa didalam hutan sampai pada

sumber hulu sungai Banyuasin itu tak nampak adanya pertahanan maupun penjagaan2 musub.

? Tak mungkin! Untuk apa musuh menempatkan pengintai disini, jika dalam hutan ini tak ada

pertahanan ataupun kubu-kubu musuh ? , bantah Yoga Kumala dengan suara yang menggeram sertawajahnya bersungut sungut.

? Tetapi kami telah memeriksanya dengan teliti, Gusti ! Yang ada hanya bekas-bekas api

unggun yang telah basah dingin karena tersiram air hujan ! Dan itupun mungkin telah sejak sore tadi

ditinggalkan! ?

? Dan disekitar bekas api unggun itu, apakah tak ada tanda - tanda lain yang mencurigakan ? ? !

! ? Desak Yoga

? Kami rasa, tidak ada, Gusti! Keadaan sekitarnya sunyi sepi !?.

? Aneh ! Sungguh aneh ! Coba kau korek dari mulut seorang tawanan itu! Mungkin dapat

menemukan keterangan2 yang penting !!

? Baik, Gusti!? Jawab penatus tamtama barisan panah itu dengan singkat, serta segera

menjalankan tugasnya.

Hujan telah mulai berhenti, dan awan tebal hitam yang menjelimuti langitpun telah lenyap

terhembus angin.

Kini bintang-bintang telah mulai menampakkan cahayanya, walaupun masih bersinar pudar.

Malampun telah hampir larut mendekati merekahnya fajar.

Ternyata setelah dengan siksaan berbagai macam, dari orang tawanan itu hanya mendapatkan

keterangan, bahwa pertahanan perbatasan sejak hari sore telah ditinggalkan. Sedangkan tiga orang

pengintai itu mendapatkan tugas untuk mengamat-amati di sekitar hutan, dan pada fajar nanti mereka

ketiga tigana diharuskan kembali pada induk pasukannya yang berada di seberang sungai Banyuasin,

dekat batas hota Raja untuk melaporkannya.

Tiba tiba saja suara gemuruhnya derap langkah kuda terdengar semakin jelas, dan regemangnya

pasukan yang terdiri dari beribu-ribu tamtama berkuda dari kejauhan disebelah utara, nampak makin

terang. Seakan-akan sepanjang sungai Batangharileka yang menghadapkan dataran terbuka itu penuh

dengan tamtama berkuda.

Akan tetapi, . . . bersamaan dengan datangnya pasukan Yoga Kumala yang dipimpin oleh Braja

Semandang dan Sontani itu, terdengar pula suara gemuruh yang lebih dahsyat dari barat yang tak putus-

putus. Ternyata pasukan musuh yang jauh lebih besar telah bergerak maju, menutup sepanjang tebing

sungai Tungkal, menghadapkan kearah pasukan Yoga Kumala yang baru saja tiba, dari jarak yang masih

cukup jauh.

Sesaat Yoga Kumala terperanjat, melihat besarnya pasukan musuh yang kini harus dihadapinya

itu. Peluh dingin keluar dari jidatnya, demi menyaksikan bergeraknya pasukan lawan yang tak diduga

duga itu. Ternyata bukannya ia mengepung lawan, akan tetapi kini lawanlah yang mengepung

pasukannya, Jelas bahwa lawan mengambil kedudukan dan bergerak dalam bentuk barisan "Dhiradha

meta" atau disebutnya pula "gajah bangun".

Demikian pula perasaan yang menguasai Sontani dan Braja Semandang serta para perwira-

perwira tamtama lainnya. Mereka hanya dapat saling berpandangan dengan mulut masing masing yang

terkunci. perasaannya diliputi oleh ketegangan yang tak terhingga. Mereka diam bagaikan patung,

menunggu datangnya suara perintah dari pimpinannya yang tertinggi ialah Yoga Kumala.

Kebimbangan segenap para perwira tamtama itu, segera dapat diketahui oleh Yoga Kumala yang

tengah mengadakan pemeriksaan barisan secara sepintas lalu dengan pandang matanya yang tajam.

Dan sebagai seorang Bupati tamtama yang memilik i kesaktian serta terlatih, Yoga Kumala

segera dapat menguasai kembali ketenangan pada diri pribadinya.

Dengan suara yang lantang dan bersikap perkasa diatas punggung kudanya, ia membangkitkan

semangat joang para tamtama pasukannya yang kini nampak dalam kebimbangan itu.? Hai Saudara - suidara segenap tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang kita agungkan!

Ketahuilah, bahwa peperangan besar sesaat lagi akan segera dimulai. Percayalah, bahwa kemenangan

pasti akan barada difihak kita. Tak usah kalian bimbang, karena melihat besarnya barisan lawan !


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kemenangan tidak ditentukan oleh besarnya pasukan serta ampuhnya persenjataan, akan tetapi

ditentukan oleh ketabahan, keberanian, ketangkasan dan ketinggian budi pada pribadi saudara masing-

masing yang tergabung dalam pasukan dibawah pimpinan saya. Saya percaya sepenuhnya, bahwa apa

yang telah saja kemukakan itu, kini telah dimiliki oleh saudara-saudara sekalian.

Seorang tamtama yang mengemban tugas suci, tak akan kenal menyerah, serta pantang

meninggalkan gelanggang medan - laga tanpa perintah!

Nah! Junjunglah tinggi-tinggi titah Gusti Seri Baginda Maharaja yang kita mulyakan itu! Dewata

Yang Maha Agung akan menyertai kita semua! ? . . . .

Suaranya menggema penuh daya perbawa, dan jelas dapat ditangkap oleh segenap para

tamtamanya.

Dan demi mendengar ketegasan pemimpinnya itu, semangat tempur pasukan kini menjadi

menyala kembali. ?

Perintahnya kemudian: Sontani! Tempatkan barisan panah pada ujung kedua sajap barisan kita,

dan pusatkan inti pasukan penyerang ditengah tengah, untuk memudahkan membuka serangan dalam

bentuk "gelatik neba" ! Selanjutnya kau dan Braja Semandang jangan berpisah denganku! ?

Seribu tamtama barisan panah segera terpecah menjadi dua, dan masing masing bergerak

menuju ke tempat yang telah ditentukan.

Suara bergeraknya pasukan dalam mengatur kedudukan barisan, gemuruh bagaikan banjir

melanda.

Tak lama kemudian seluruh pasukan telah siap siaga di tempat kedudukan masing-masing,

sesuai dengan kehendak Yoga Kumala. Sedangkan ia sendiri berada ditengah-tengah barisan terdepan

dengan diapit-apit oleh Sontani dan Braja Semandang menghadap kearah barisan lawan yang berada

jauh di sebelah timur.

Matanya memandang tajam kearah barisan lawan yang nampak remang.remang membentang

luas dihadapannya yang kini tengah bergerak maju dengan suaranya yang gemuruh mengumandang.

Pikirannya merana jauh, meraba-raba jawaban atas teka teki yang kini sedang dihadapi, ?

Mengapa tiba-tiba pasukannya terperosok dalam perangkap musuh? ? Sudah musnakah seluruh

pasukan Kobar yang akan menyerang dari sebelah timur, hingga ia kini harus menghadapi pasukan besar

lawan ini? ?

Ataukah sengaja pasukan Kobar bersembunyi sebagai siasat, untuk kemudian dapat

menyerangnya dari belakang? ? Akan tetapi, jika demikian mengapa tak ada seorang penghubung yang

datang untuk memberitahukan perobahan-perobahan siasat itu? ?

Fajar telah merekah. Jauh disebelah timur, sang Surya menampakkan separoh tubuhnya, dengan

memancarkan cahayanya yang semburat jingga ke emasan. Dan perlahan-lahan alampun menjadi

terang benderang. ?

Kini dua pasukan besar yang sedang bermusuhan itu bergerak maju dalam susunan bentuk

barisannya masing-masing.

Barisan tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu di bawah pimpinan Yoga kumala yang beribu -

ribu jumlahnya itu bergerak maju perlahan lahan, laksana samodra meluap.

Suara ringkikan kuda yang sahut menyahut dan suara gemerincingnya senjata-senjata

bercampur gaduh menjadi satu.Seruling genderang bertalu-talu di iring dengan derap langkah barisan tamtama yang berkuda.

Panji-panji dan duaja - duaja kebesaran pasukan Kerajaan, berkibar dengan megahnya,

sedangkan senjata-senjata tajam, seperti tombak, lembing dan klewang yang telah terhunus nampak

seperti alang-alang yang tumbuh di padang subur.

Demikian pula pasukan lawan dari Kerajaan Negeri Sriwijaya, yang mengalir tak ada putusnya,

bagaikan arus banjirnya sungai Musi.

Suara gajah dan ringkikan kuda serta bergeraknya tamtama yang puluhan ribu jumlahnya,

gemuruh bercampur aduk menjadi satu.

Berkilatnya beribu - ribu senjata tajam yang telah terhunus tertimpa oleh pancaran sinar

matahari, berkilau-kilau menyilaukan pandangan.

Tiba-tiba pedang pusaka ditangan kanan Yoga Kumala berkelebat diacungkan kedepan, dan

beribu ribu tamtama , berkuda berebut ducung menyerbu Iawan, bagaikan burung gelatik meneba

dipadang padi yang sedang menguning.

Bersamaan dengan gerakan serbuan para tamtama penyerang itu, barisan panah melepaskan

anak panah dari busurnya laksana hujan.

Dan kini bagaikan benturan guntur, setelah dua pasukan itu bertemu.

Masing-masing gigih bertahan dan berusaha untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya.

Beradunya senjata-senjata laksana suara petir yang mengampar, dan pula di seling dengan suara jeritan

ngeri susul-menyusul serta ringkikan kuda ataupun suara jatuhnya korban.

Dimana-mana darah berkececeran, mengalir membanjir membasahi bumi.

Debu mengepul tebal bagaikan kabur, hingga membuat gelapnya pandangan. ?

Dimedan laga yang dahsyat itu Yoga Kumala mengamuk punggung laksana banteng terluka.

Tiap kali pedang pusakanya berkelebat, tamtama musuh yang berada didekatnya tentu roboh

terguling ditanah dengan mandi darah. Dan demkian pula Sontani, Braja Semandang serta para perwira

tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu. Mereka mengikuti jejak pemimpinnya Yoga Kumala, dengan

semboyan ?tak mengenal surut setapakpun".

Beribu ribu tamtama dari kedua belah fihak yang setia pada sumpah tamtamanya telah jatuh

berguguran sebagai bunga bangsa. Merekalah pahlawan-pahlawan Negerinya.

Difihak lawan ternyata lebih banyak lagi jatuhnya korban dalam perang besar ini. Akan tetapi

karena mengandalkan besarnya pasukan yang terdiri dari puluhan ribu tamtama itu, maka pasukan

Kerajaan Negeri Sriwijaya menggunakan siasat perangnya dengan apa yang disebut ''Candra Birawa".

Roboh satu tumbuh sepuluh, roboh sepuluh, tumbuh seratus, roboh seratus tumbuh seribu dan

seterusnya.

Mengalirnya barisan tamtama lawan ke medan laga bagaikan air bah. Betapapun tabah dan

beraninya para tamtama pasukan Yoga Kumala, niscaya akan ngeri juga, demi melihat membanjirnya

lawan yang tak kunjung putus itu.

? Tumenggung Shakti Yoga Kumala! Pengorbanan pasukanmu akan sia-sia belaka! Lebih baik

kau menyerah sebelum terlambat! Ketahuilah, bahwa kita telah mengurung dari segenap penjuru

dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari pada pasukanmu! Tiba-tiba seorang Senopati pasukan

Kerajaan Sriwijaya berseru lantang pada Yoga Kumala yang sedang bertempur mati-matian ditengah

kancah pertempuran melawan ratusan tamtama musuh yang mengurungnya.

Namun masih juga Yoga Kumala sempat menengok ke arah datangnya suara. Ternyata suara itu

datangnya dari seorang perwira yang sedang duduk di punggung gayah dengan dikitari oleh barisan

tamtama berkuda yang amat kuat dan berlapis-lapis. Melihat pakaian kebesaran yang dikenakan sertapayung kuning yang berada diatas kepalanya itu, jelas menunjukkan, bahwa perwira tamtama musuh

yang berseru padanya adalah seorang Senopati yang memimpin pasukan lawan.

Ia memegang pedang terhunus ditangan kanannya, sedangkan ditangan kirinya nampak sebuah

perisai baja yang berbentuk bulat selebar daun lum bu hutan.

Tubuhnya jangkung agak kurus, dengan kumisnya yang tebal melintang tanpa jenggot. Sepasang

alisnya tebal dengan kilatan pandang mata yang amat tajam. Keningnya berkerut dan mengenakan ikat

kepala kain sutera kuning keemasan. Warna kulitnya hitam.

Suaranya parau, tetapi keras mengumandang serta mengandung daya perbawa. Ia adalah

Senopati Manggala Yudha Kerajaan Negeri Sriwijaya yang bergelar Gusti Senopati Sanggahan Alam, yang

terkenal shakti serta cakap dalam memimpin barisan di medan yudha.

Mendengar namanya dipanggil oleh seorang priyagung lawan yang ia sendiri belum

mengenalnya, Yoga Kumala terperanjat sesaat.

? Siapakah gerangan priyagung yang memimpin pasnkan musuh itu? Dan dari manakah ia

mengetahui namaku dengan jelas? ? Demikian shakti dan waskitakah ia, hingga mengetahui namaku

tanpa bertanya terlebih dahulu? ? Ah, . . . tak mungkin ! ? bantahnya sendiri dalam hati.

? Atau seorang tamtama nara sandi lawan yang amat pandai telah merembes dalam pasukanku

ini?

Akan tetapi pertanyaan - pertanyaan dalam benak hatinya yang tak dapat dijawabnya sendiri

itu, tak sempat ia membiarkan merana lebih jauh. Ia sadar, bahwa dirinya sedang berada di medan

yudha yang amat dahsyat, serta memerlukan pemusatan perhatian sepenuhnya. Sambil membabat

dengan pedang pusakanya kearah dua orang lawan yang menjerang dari samping, serta merangkaikan

gerakan serangannya dengan jurus "menutup serangan lawan" ialah memutarkan pedang pusakanya,

Yoga Kumala menjawab seruan lawan priyagung tadi dengan tak kalah lantang. ? haaiii! Priyagung

tamtama yang sombong! Tumpaslah aku berserta pasukanku, jika kau mampu dan memiliki keshaktian.

Ketahuilah, bahwa aku Yoga Kumala tak pernah mengenal kata menyerah! Sebaiknya kaulah yang

menyerah sebelum mengenal tajamnya pedang pusakaku!?

? Ha haa ha . . . . hu ha haaaa ha ! Sungguh kau seorang Bupati tamtama Majapahit yang

memiliki keberanian dan shakti. Sayang, kau berkepala batu, hingga tak mau melihat kenyataan yang

kini sedang kau hadapi! Terimalah ini . . . . .!.?

Dan bersamaan dengan suara bentakan yang terakhir itu, sebatang tombak pendek meluncur

bagaikan kilat kearah dada Yoga Kumala. Akan tetapi Yoga Kumala yang telah mendapat tempaan ilmu

pedang shakti dari eyangnya Ajengan Cahaya Buana, serta bergelar ?jago pedang darah Pajajaran" itu,

dengan tangkasnya memapaki meluncurnya tombak lawan dengan pedang pusakanya.

Sambil merendahkan badannya serta memacu kudanya, pedang pusaka ditangan kanannya

berkelebat . . . . dan tombak lawan telah patah menjadi dua potong.

Kiranya bukan hanya berhenti sekian saja. Pedang pusakanya berkelebat untuk kedua kalinya, . .

. . . dan kini potongan tombak pendek lawan yang bermata tajam terpental kembali kearah tubuh

pemiliknya, bagaikan meluncurnya anak panah.

Senopati Sanggahan Alam yang sedang ketawa terbahak-bahak, terpaksa menutup mulutnya

seketika, serta menggerakkan perisai bajanya yang berada ditangan kiri, untuk memapaki meluncurnya

potongan tombaknya sendiri, yang mengarah tubuhnya dengan tanpa diduga-duga itu. Potongan

tombak terpental dan jatuh ditanah, namun ia sendiri bergeser setapak surut kebelakang, karena

terkena dorongan tenaga benturan dari potongan tombak yang jatuh tertangkis oleh perisai bajanya itu.

Sanggahan Alam terkesiap sesaat, demi merasakan serangan balasan Yoga Kumala yangmentakjubkan itu. Dalam hati ia memuji akan keshaktian lawannya. Kiranya belum pernah ia

menghadapi lawan setangguh Yoga Kumala.

Andaikan saja ia tak berperisai baja, tentu dadanya telah tembus oleh tombaknya sendiri. Akan

tetapi sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang shakti dan berpengalaman luas. Sanggahan Alam

segera dapat menguasai ketenangannya kembali.

? Ha ha ha ha . . . . . ha haa hahaaa haha! Bagus, bagus! ? serunya sambil memegang kembali

pedang pusakanya yang tadi disarungkannya ?Temyata gelarmu "jago pedang" tak mengecewakan !

Akan tetapi, . . . . dapatkah kau menghadapi pasukanku yang beribu ribu itu hanya dengan

mengandalkan keshaktianmu? Pikirlah masak-masak! Sayang keshaktian dan usiamu yang masih muda

itu, apabila terlambat tak mau menyerah! ?

Tak perlu kau menasehati lawan! Aku rela mati di medan laga daripada berlaku sebagai

pengecut! ? Balas Yoga Kumala dengan suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga, sambil

bertempur. Ia ingin menerjang Senopati Sanggalian Alam yang congkak itu, akan tetapi beratus-ratus

tamtama lawan selalu merintangi dibadapannya.

Namun setiap lawan yang berada didekatnya, tentu roboh mandi darah untuk kemudian jatuh

bergelimpangan di tanah tak bernyawa. Sontani, Braja Semandang, Dirham dan segenap para perwira

tamtamanya tak mau ketinggalan pula. Mereka mengamuk punggung bagaikan banteng terluka. Dengan

semangat tempurnya yang bernyala nyala mereka merobohkan beratus-ratus tamtama lawan yang

mengurungnya. Hampir sehari penuh mereka bertempur mati - matian dengan tanpa mengenal lelah.

Matahari telah berada diketinggian condong ke sebelah barat, menandakan bahwa waktu telah

jauh lewat siang te-ngah hari dan hampir senja. Namun pertempuran masih saja berkobar dengan

dahsyatnya.

? Sontani ! Seru Yoga Kumala sambil memutarkan pedang pusakanya serta berpaling kearah

Sontani yang berada dibelakangnya.

Jilid 5


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


B A G I A N I

? Kita harus dapat bertahan sampai petang nanti, dan .. ? Belum juga ia dapat

mengakhiri bicaranya, tiba-tiba pasukan musuh yang mengurung dari sebelah utara menjadi berantakan

bercerai berai. Suara ringkikan kuda dan jeritan-jeritan ngeri susul-menyusul bercampur - aduk dengan

suara beradunya senjata serta derap langkah kuda yang tengah menyerbu dan tak ada hentinya.

Debu disebelah utara mengepul lebih dahsyat hingga gelapnya pandangan. Ratusan tamtama

lawan jatuh bergelimpangan ditanah dengan mandi darah. Dan kini suasana menjadi semakin gaduh.

Ternyata induk pasukan dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang dipimpin oleh Senapati

Manggala Yudha yang bergelar Bintang Minang, telah tiba pada saat pasukan Yoga Kumala hampir putus

asa. Dibawah pimpinan Bintang Minang, pasukan itu langsung menyerang musuh dari lambung kanan,

hingga lawan kocar-kacir dibuatnya.

Dari balik semak-semak belukar di dataran tebing sungai Tungkal, pasukan Bintang Minang

langsung menyerbu lawan secara bergelombang yang tak ada putusnya, dengan diiringi sorak sorai yang

gemuruh memekakkan telinga. Sesungguhnya jumlah kekuatan pasukan penyerang seluruhnya dari

Kerajaan Negeri Tanah Melayu itu, walaupun berserta induk pasukan masih juga tak seimbang jika di-bandingkan kekuatan lawan.

Akan tetapi karena penyerbuan yang dilancarkan oleh Bintang Minang itu secara tiba-tiba dan

tak diduganya sama sekali oleh fihak lawan, maka tak heranlah apabila lawan menjadi berantakan dan

terpaksa menderita banyak korban. Lagi pula siasat menyerang dengan secara bergelombang itu,

membuat musuh sukar untuk mengetahui dengan pasti akan kekuatan penyerang yang sebenarnya.

Banyak diantara para perwira tamtama lawan mengira, bahwa kini merekalah yang terkurung

oleh pasukan penyerang yang amat kuat.

Dan hampir sepertiga bagian dari kekuatan lawan berebut ducung lari meninggalkan medan

pertempuran menuju kearah timur.

Sebaliknya pasukan Yoga Kumala yang tadinya hampir putus asa, kini semangat tempurnya

menjadi menyala-nyala kembali. Daya kekuatan para tamtama yang hampir lenyap, menjadi pulih

seketika, bagaikan rumput tersiram oleh embun pagi.

Dengan bersorak sorai gegap gempita, mereka bertempur dengan semangat yang menyala-

nyala. Dan harapan kemenangan difihaknya telah membayang kembali.

Musuh yang tak sempat menghindarkan diri dari amukan para tamtama, tak ayal lagi roboh

terguling dengan tak bernyawa. Dan korban peperangan yang dahsyat itu, kini bertambah lebih banyak

lagi.

Kini pasukan dari Kerajaan Negeri Tanah Melayu berganti menguasai medan pertempuran.

? Tumenggung Yoga !! Mundurlah beserta pasukanmu yang telah lebih itu, dan biarlah aku

yang mengganti kedudukanmu ! ? Seru Bintang Minang pada Yoga Kumala.

? Gustiku Bintang tak usah kuatir akan diri saya? jawabnya singkat. ? Kedatangan Gustiku

telah memulihkan tenaga kekuatan kami semua katanya sambil masih terus bertempur.

Akan tetapi kejadian yang nampaknya menguntungkan itu, kiranya tak berlangsung lama

sebagaimana dikehendaki oleh pasukan penyerang. Karena tiba2 saja, suara Senapati Sanggahan Alam

menggema lantang bagaikan guntur disiang hari ? Haiiii ! Seluruh tamtamaku dari kerajaan Sriwijaya !!

Atas nama Sri Baginda Maharaja kuperintahkan, tumpaslah musuh kita !!! Kekuatan kita masih jauh

lebih besar dari pada kekuatan mereka ! Ikutilah aku !?

Berseru demikian Sanggahan Alam meloncat turun dari punggung gajahnya dan langsung jatuh

terduduk diatas pelana kuda tunggangannya yang telah berada di-tengah-tengah para pengawalnya.

Perisai baja ditangan kirinya dilempar jauh-diauh, dan dengan pedang pusakanya yang telah terhunus

ditangan kanan ia mulai mengamuk ditengah-tengah kancah pertempuran. Kudanya yang tinggi besar

berulaskan hitam kemerah-merahan itu seakan2 telah sehati dengan tuannya.

Ternyata Sanggahan Alam sebagai seorang Senapati Manggala Yudha memiliki kesaktian yang

amat tangguh. Gerakan nya sangat tangkas, dan pedang pusakanya berkelebatan bagaikan kupu2 yang

tengah menari.

Pusakanya yang telah bercerai-berai, kini merapat bersatu kembali dan bertempur dengan

gigihnya, mengikuti jejak pimpinannya. Kiranya Sanggahan Alam yang telah berpengalaman luas itu tak

mudah menyerah dengan hanya diperdayai oleh siasat yang demikian.

? Ha ha hahaaa ha ha ha .. haaaaa ! Tumenggung Yoga Kumala ! ! Aku Sanggahan

Alam tak mungkin dapat kau tipu secara permainan anak2 ! ? Serunya lantang sambil memacu kudanya

ke arah Yoga Kumala.

Suara tawanya yang terbahak bahak terdengar menyeramkan. Jelas bahwa pemusatan tenaga

dalamnya mengiringi gelak tawanya yang menggema itu.

Akan tempi sewaktu Yoga Kumala siaga hendak menyambut datangnya Sanggahan Alam, tiba2Bintang Minang telah melintang dihadapannya, sambil berseru. Mundur !II Dan serahkan priyagung

musuh padaku !?

Sesaat kemudian dua orang Senapati Manggala Yudha itu telah bertempur dengan sengitnya.

Dikala itu, matahari telah mulai memasuki garis cakrawala disebelah barat, dan kini tinggal

nampak separo saja. Pancaran sinarnya yang merah lembajung menghiasi seluruh alam. Dan perlahan-

lahan haripun menjadi gelap remang2.

Tiba2 kuda tunggangan Bintang Minang melompat tinggi melampaui ber-puluh2 tamtama yang

mengurungnya dan lari kencang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan diikuti oleh Yoga

Kumala, Sontani, Braja Semandang berserta seluruh pasukannya yang masih ada, menuju ke Barat.

Dan hanya suara Bintang Minanglah yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan : ? Sanggahan

Alam! Lain waktu dihari yang cerah kita tentu dapat bertemu kembali '!!?.

Kini pertempuran yang belum berakhir, berhenti dengan sendirinya.

Kedua pasukan yang bermusuhan, masing-masing mening-galkan gelanggang memenuhi

perintah pimpinannya.

Bintang Minang dan Yoga Kumala, berserta seluruh pasukan menuju ke arah barat, sedangkan

Sanggahan Alam mundur ke arah Timur dengan diikuti oleh segenap pasukannya.

Dilembah hutan utara sungai Batangharileka dan Sungai Lawas itulah pasukan Kerajaan Negeri

Tanah Melayu Pagar Ruyung kemudian membangun kubu-kubu darurat untuk beristirahat serta hendak

mengatur siasat selanjutnya.

? Bagaimana pendapatmu tentang kelanjutan peperangan ini, Tumenggung Yoga Kumala ?

Bintang Minang membuka percakapan sambil meneguk minumannya setelah ia berada dalam kemah.

? Gustiku Bintang Minang tentunya lebih mengetahui tentang hal ini, dan saya akan tetap

patuh menjunjung titah-titah Gustiku ? ? jawab Yoga Kumala singkat.

? Kegagalan .!!! Kegagalan yang membawa banyak korban ! ? Geramnya Bintang Minang

pada diri sendiri. ?

? Aneh ...... !! Mengapa kita harus mengalami kegagalan yang sedemikian rupa !!!

Wajahnya muram dan keningnya berkerut. Ia memandang tajam-tajam lurus kedepan sambil

meremas-remas batu yang berada dalam genggaman tangan kirinya hingga hancur mendebu. Mulutnya

terkatub rapat kembali dengan giginya berkerot gemertakan. Seakan-akan ia lupa bahwa dihadapannya

terdapat banyak perwira tamtama yang sedang duduk menghadap.

Namun satupun diantara para perwira tamtama itu tak ada yang berani mengucapkan sepatah

kata. Semuanya duduk dengan kepala tertunduk.

Yoga Kumala dan Sontani pun menjadi terdiam pula. Mereka tahu, bahwa Bintang Minang

panglimanya sedang murka.

Marah karena mengalami kegagalan dalam melakukan serangannya. Kemarahan yang

tercampur dengan rasa penyesalan serta kesedihan yang tak terhingga. Marah, karena siasat yang telah

diperhitungkan berbulan-bulan dengan cermat, tiba-tiba hancur berantakan dalam waktu satu hari saja.

Dan sedih, karena banyaknya tamtama yang setia terpaksa gugur dimedan laga, dan belum lagi

terhitung banyaknya tamtama yang luka2.

Suatu kegagalan yang tak diduga-duga sama sekali.

Dan yang paling mengesalkan ialah, tak diketahuinya sebab-musabab dari kegagalan siasatnya

itu.

Seandainya saja bukan Yoga Kumala yang memimpin pasukan penyerang pertama, mungkin

akan mengalami kehancuran seluruhnya, pikirnya. Dan diam-diam ia memuji pula dalam hati akankeshaktian serta sifat-sifat ksatriaan Yoga Kumala.

Semula Bintang Minang mengharap akan mengetahui sebab musabab kegagalan serangannya

dari Yoga Kumala, akan tetapi ternyata Yoga Kumala sendiri tak mengetahui sama sekali akan latar

belakang dari kegagalan serangannya itu.

Tetapi ini semua telah terjadi. Dan ia sebagai manusia biasa tak kuasa akan merobah sesuatu

yang telah terjadi,

Sampai disini pikirannya yang keruh perlahan-lahan menjadi tenang kembali.

Ia masih harus berterima kasih pada Dewata Yang Maha Agung, bahwa hari tadi tak mengalami

kehancuran seluruhnya.

*

* *

B A G I A N II

SUASANA yang sunyi diliputi rasa tegang itu berlangsung agak lama. Minuman panas yang

berada dihadapan para Perwira tamtama hingga dingin tak ada yang berani menyentuhnya . . . . . .

Waktu telah tengah malam, namun tak seorangpun berani bergeser dari tempat duduknya

masing-masing.

Semuanya masih diam tertunduk bagaikan patung. Semua segera merasa lapang, setelah

Bintang Minang tiba-tiba bangkit berdiri dan melangkah keluar dari perkemahannya, sambil berkata.

? Sudah !! Silahkan semua mengaso !! Esok pagi-pagi kita bicarakan lagi ! ? dan kemudian : ?

Tumenggung Yoga Kumala dan Sontani ! Ikutilah aku. Ada sesuatu yang hendak kubicarakan dengan

kalian berdua !?

Tanpa menjawab sepatah kata, Yoga Kumala dan Sontani segera bangkit berdiri serta mengikuti

langkah Bintang Minang.

Dengan langkah yang berat serta perlahan-perlahan Bintang Minang dengan diikuti oleh Yoga

Kumala dan Sontani, mendaki tanggul tebing kali Sungai Batangharileka yang tak jauh letaknya dari

tempat perkemahan mereka.

Setelah dirasakan aman tempat sekitarnya, mereka bertiga segera duduk diatas sebuah batu

besar yang rata permukaannya.

Terasalah hawa udara diluar dalam gelap malam yang remang remang itu, amat sejuk dan

menyegarkan badan. Langit biru membentang bersih dan bintang-bintang diangkasa memancarkan

cahaya yang gemerlapan.

Dengan suara perlahan dan tenang, Bintang Minang mulai membuka percakapan.

? Apakah Tumenggung Yoga Kumala atau Panewu Sontani dapat memperkirakan akan sebab

musabab dari kegagalan serangan kita ? Dan bagaimanakah nasib pasukan Kobar serta pasukan Damar

Kerinci yang bersama-sama menyerang dari Timur dan Selatan, menurut dugaan kalian?? tanyanya.

Mendengar pertanyaan Bintang Minang, Sontani diam tertunduk Sesaat ia memandang pada

wajah Yoga Kumala, dan setelah itu ia menundukkan kembali mukanya. la sendiri tak tahu, bagaimana ia

harus menjawabnya.

Dan kiranya Yoga Kumala cepat menangkap akan isi hati Sontani. Bahwa untuk menjawabpertanyaan Bintang Minang diserahkan padanya.

? Pertanyaan Gustiku sesungguhnya saya sendiri tak dapat menjawab. Akan tetapi keanehan

yang telah saya alami tadi, sewaktu Gustiku belum tiba dimedan pertempuran, mungkin erat sekali

hubungannya dengan pertanyaan Gustiku. ? Jawab Yoga Kumala sambil menatap wajah Bintang

Minang sejenak.

? Coba jelaskan ! Apa yang kau maksudkan dengan pengalaman yang aneh itu?? Desak

Bintang Minang.

? Bukankah itu suatu keanehan, apabila Sanggahan Alam telah mengenal nama saya dengan

jelas, sebelum saya memperkenalkan? Sedangkan Gustiku Bintang Minang mengetahui sendiri, bahwa

saya baru pertama kali ini menginjakkan kaki di bumi Kerajaan Sriwijaya.?

? Benarkah, apa yang kau katakan itu ? ? Bintang Minang memotong, seakan - akan ia belum

percaya pada kata2 Yoga Kumala.

? Benar, Gusti. Dan karena itulah saya sangat merasa heran. . . . . . . Menurut dugaan saya,


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


tentulah ada orang kita yang membocorkan. Hanya saja, siapa orangnya, saya sendiri belum dapat

menebak.

Dan kini ketiga-tiganya menjadi terdiam sejenak. Mereka saling pandang dengan diliputi sebuah

teka-teki dalam hati masing masing.

? Jika demikian, tentulah ada pengkhianat yang berselimut dalam pasukan kita sendiri!? Tiba-

tiba Bintang Minang memecah kesunyian, sambil mengepal2 tinjunya.

? Mudah-mudahan saja pasukan Damar Kerinci tak mengalami kehancuran karena

pengkhianatan ini!? desisnya.

? Yaaaaa . . . . . sayapun berharap demikian. Gusti!? Sahut Yoga Kumala.

? Dugaanmu tepat. Dan sama dengan apa yang yang ku perkirakan. Sesungguhnya sejak aku

melihat melintasnya panah api pada hari kemaren malam, akupun telah curiga. Perobahan waktu yang

tiba-tiba, tentunya tak mungkin terjadi apabila tak ada sesuatu kejadian diluar perhitungan kita

Dan pada malam itu akupun telah mengirim beberapa tamtama narasandi sebagai penghubung

yang dipimpin oleh Lurah tamtama Jala Mantra untuk menemui Tumenggung Anom Kobar, guna

menanyakan hal itu. Akan tetapi hingga sekarang mereka yang kuutus itupun belum juga kembali. Maka

kini menjadi sulitlah bagiku untuk menentukan sikap selanjutnya. ?

Percakapan menjadi terhenti kembali, dan suasananya sunyi senyap tertelan oleh sepinya

malam.

? Sssssssstt . . . . . ada suara derap langkah kuda yang menuju kemari dari arah Timur, jauh

diseberang sungai. Gusti ! ?

Yoga Kumala tiba-tiba berkata perlahan setengah berbisik sambil menempelkan jari telunjuknya

pada bibir mulutnya, sebagai isyarat agar semua berlaku waspada.

Dan kini pandang mata ke-tiga2nya mengarah ke Timur, menyusupi jauh di gelap malam yang

sepi itu.

? Ach . . . . . aku tak mendengar apa-apa selain suara mengalirnya air sungai ini. Dan tak

melihat sama sekali adanya kuda mendatang dari kejauhan pikir Sontani. mungkin Gusti Yoga terlalu

letih dan ingatannya masih terpengaruh oleh pertempuran yang belum lama berselang.-? Sungguh tajam pendengaranmu. Tumenggung Yoga! Tetapi jika tak salah hanya seekor

kudalah yang tengah mendatang ini ! ? Bintang Minang menyahut. Mendengar percakapan dua orang

ini Sontani menjadi semakin heran

Telinganya dipasang lebar-lebar dan sepasang matanya memandang tajam tajam jauh kearah

timur, namun belum juga ia dapat menangkap suara yang dimaksud. Pun tak melihat adanya benda yang

bergerak mencurigakan di kejauhan.

? Ijinkanlah saya sendiri yang menyambutnya dari seberang sungai dibalik semak-semak itu,

Gusti !? Yoga Kumala berkata kemudian, dan berkelebat bagaikan bayangan meninggalkan Bintang

Minang dan Sontani.

Bersamaan dengan menghilangnya Yoga Kumala di gelap malam, kini nampak remang2 di

kejauhan sebuah titik hitam yang bergerak mendekat. Dan semakin lama, makin jelaslah bahwa yang

tengah meluncur mendatang itu adalah seekor kuda berserta penunggangnya yang duduk tertelungkup

diatas pelana.

Bintang Minang dan Sontani segera sembunyi dibalik batu besar itu, sambil mengawasi dengan

hati berdebar2.

Sementara itu, Yoga Kumala telah berada diseberang sungai, siap untuk menyambut datangnya

orang yang tidak dikenal itu.

Larinya kuda amat kencang, dan jarak antara Yoga Kumala dengannya semakin dekat. Kini

tinggal kira2 seratus langkah lagi, tetapi kuda itu masih saja berlari dengan amat kencangnya kearah

dimana Yoga Kumala sembunyi.

Jarak kini tinggal lima puluh langkah . . . . . . tigapuluh langkah . . . . . . dua puluh langkah . . . . .

dan kini hanya tinggal sepuluh langkah lagi . . . . .

Bintang Minang dan Sontani yang mengikuti dari kejauhan menjadi cemas. Detak jantungnya

semakin berdebar-debar diliputi oleh rasa was-was. Mengapa Yoga Kumala masih saja sembunyi dan tak

mau mendahului menyerang dengan lemparan pisau ataupun sabetan pedangnya ?I? pikir mereka.

Tiba-tiba . . . . . . . bbbrrruuuuukkk !! . . . .

Sebelum Bintang Minang dan Sontani mengetahui dengan jelas, kuda telah roboh terguling

ditanah dengan suara ringkikan yang tertahan pendek. Sedangkan penunggangnya jatuh terpental dan

telah berada dalam pelukan tangan Yoga Kumala.

Ternyata sewaktu kuda hanya tinggal lima langkah lagi jaraknya, Yoga Kumala melompat keluar

dari tempat persembunyiannya. Ia langsung menerjang kuda yang sedang lari dengan kencang

kearahnya.

Jari-jari tangan kirinya mengembang tegang, dan menyerang dengan totokan kearah urat nadi

paha kaki kanan depan si kuda, sedangkan telapak tangan kanannya digunakan untuk memukul rahang

kuda dengan gerakan pukulan dari bawah serong ke atas.

Tak ayal lagi, kuda jatuh terperosok untuk kemudian berguling ditanah dengan kepala yang

terkilir.

Dan secepat itu pula, ia menubruk si penunggang kuda yang jatuh terpental kira2 tiga langkah darinya.

Akan tetapi, betapa terkejutnya setelah mengetahui bahwa orang itu tak bergerak dan ternyata

ada sebatang anak panah yang tertancap dipunggungnya.

Sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu usadha, Yoga Kumala segera tahu, bahwa orang

itu tentu telah lama tak sadarkan diri karena luka yang dideritanya sangat parah dan membahayakan

jiwanya.Sipenunggang kuda yang masih tak sadarkan diri itu segera diangkat dan didukung diatas pundak kirinya,

untuk kemudian dibawa kembali menyeberangi sungai yang tak seberapa lebar itu. Dengan sekali

tendang, kuda yang berguling ditanah tadi telah habis riwayatnya, sewaktu Yoga Kumala hendak kembali

menyeberangi sungai.

Sontani segera keluar dari tempat persembunyian atas perintah Bintang Minang, untuk

menyambut kedatangan Yoga Kumala yang kelihatan mendukung seorang diatas pundaknya.

? Musuhkah orang itu, Gusti Yoga? ? tanya Sontani dengan tergopoh-gopoh.

? Menilik pakaiannya, ku rasa bukan! ? jawab Yoga Kumala sambil berjalan mendekat. ? Mari

kita periksa di-tempat yang terang! Ia luka parah terkena anak panah beracun dan tak sadarkan diri, ?

Sambungnya.

? Kita periksa didalam kemahku saja! ? perintah Bintang Minang kemudian, serta berjalan

mendahului.

Dengan pelahan-lahan orang itu diletakkan ditempat pembaringan dengan badan tengkurep,

karena anak panah yang tertancap dipunggungnya belum dicabut oleh Yoga Kumala.

Sesaat ketiga-tiganya terperanjat, dan bahkan Sontani hampir-hampir menjerit setelah

mengetahui, bahwa orang yang terluka parah itu adalah lurah tamtama Jaka Gumarang adanya.

Setelah air panas dan ramuan obat-obatan disiapkan, Yoga. Kumala segera mencabut anak

panah yang menancap dipunggung Gumarang itu, dan suara rintihan pendek terdengar keluar dari

mulutnya.

Lukanya amat dalam dan disekitarnya telah menghitam, karena mata tajamnya anak panah itu

ternyata beracun sebagaimana diduga oleh Yoga.

Setelah diurut nadi jalan darahnya dan kemudian dihisap dengan mulut oleh Yoga Kumala darah

hitam mulai mengucur keluar dari tempat luka dipunggung Jaka Gumarang. Obat luka yang telah

tersedia segera ditaburkan, dan kemudian ia dibaringkan terlentang.

Akan tetapi Jaka Gumarang masih juga belum sadarkan diri. Raut mukanya pucat pasi dengan

sepasang telapuk matanya yang setengah tertutup.

Mulutnya terkatub rapat dan ludahnya telah keluar membusa bercampur darah.

Nafasnya tersengal-sengal tak teratur serta terdengar amat lemah sekali. Telapak kakinya telah

pula mulai dingin membeku, sedangkan kedua belah tangannya terkulai lemah.

Melihat keadaan Jaka Gumarang demikian itu, Yoga Kumala menghela nafas panjang sambil

menggeleng-gelengkan kepalanya.

? Apakah ia masih dapat ditolong? Bintang Minang bertanya tak sabar, sambil berjongkok

disampingnya.

? Saya akan berusaha sebanyak mungkin, Gusti. Akan tetapi sayaa kira pertolongan ini telah

terlambat. Racun anak panah merangsang memasuki semua jalan darah dalam tubuhnya. Yaaaaaahhh . .

. . . . samoga Dewata Yang Maha Agung memberi ampunan serta kekuatan padanya. ? Yoga Kumala

menjawab perlahan, sambil membuka kancing baju serta ikat pinggang Jaka Gumarang. Sejenak Yoga

Kumala duduk bersila dengan menyilangkan kedua tangan diatas dadanya untuk bersemadi guna

mengumpulkan dan memusatkan seluruh tenaga dalamnya.

Setelah itu ia membungkuk lebih dekat lagi. Mulutnya ditempelkan pada mulut Jaka Gumarang,

serta meniupnya dengan amat perlahan ,mengikuti jalan pernafasannya sendiri. Tenaga dalam yang

telah dikerahkan dan terpusat itu, kini disalurkan melalui bembusan tiupannya kedalam tubuh

Gumarang lewat mulutnya.Ia melakukan demikian itu berulang kali, hingga ia sendiri merasa kehabisan tenaga serta

seluruh badannya menjadi basah bermandikan peluh dingin. Kini wajah Jaka Gumarang

Akan tetapi, betapa terkejutnya setelah mengetahui bahwa orang itu tak

bergerak dan ternyata ada sebuah anak panah yang tertancap

dipunggungnya.

berangsur-angsur menjadi merah, namun masih juga ia belum sadar kembali. Terdengar suara nafasnya

tersengal-sengal, tetapi tak selemah tadi, dan mulutnyapun kini mulai membuka sedikit.

Masakan obat ramuan yang telah tersedia dipinggan, sedikit demi sedikit dituang kedalam

mulutnya oleh Yoga Kumala.

Tiba-tiba Jaka Gumarang mulai membuka matanya dengan pelahan-lahan sambil mengeluarkan

suara keluhan yang tertahan dan hampir-hampir tak terdengar karena sangat lemahnya. Setelah itu ia

menutupkan matanya kembali. Cepat Yoga Kumala membungkuk lagi, serta membisikkan sesuatukedalam telinganya Gumarang.

Kini Jaka Gumarang membuka lagi matanya, dari bibirnya bergerak-gerak. Kemudian ia mulai

bicara dengan suara yang terdengar amat lirih dan terputus-putus.

? Gus . . . . ti . . . Yoga Ku . . mala . . . .! Kobar . . . . peng .. . . khi . . . . a . . . . nat pasukan . . ..

sen . . .. diri . ... ditum . . . . pasnya . seca . . . . ra . . . ke . . .. jam .. . . dan .. . . banyak . . . yang . . .. di . . . .

tawan . . . .?

Hanya kata2 itulah yang dapat keluar dari mulutnya. Setelah itu matanya tertutup lagi dan mulutnya

menjadi terkatub kembali.

? Gumarang!!! . . . . Gumarang! Bisik Yoga Kumala, namun Gumarang telah tak dapat

mendengar bisikannya. Matanya tertutup untuk selama-lamanya. Sukmanya telah meninggalkan raga

dan menghadap pada Dewata Yang Maha Kuasa . . . Penciptanya . . .

Detak nadinya telah lenyap dan badannyapun telah mulai membeku.

Semua yang menyaksikan diam terpaku. Suasana sunyi seketika. Mereka kini mengheningkan

cipta, mohon pada Dewata Agung, agar arwah Jaka Gumarang yang gugur sebagai pahlawan mendapat

kebahagiaan abadi disisinya.

Para tamtama yang sedang mendapat giliran berjaga diperintahkan oleh Bintang Minang untuk

merawat dan memakamkan jenazah Jaka Gumarang sebaik2-nya.

? Sayang, bahwa. Lurah tamtama Jaka Gumarang telah tak dapat tertolong lagi. Ia seorang

tamtama yang setia dan pantas mendapat anugerah bintang! ? kata Bintang Minang setelah

pemakaman selesai

? Sayapun sangat berduka dengan gugurnya seorang sahabat yang serta serta berbudi luhur

seperti Gumarang itu Gusti!! ? sahut Yoga Kumala dengan matanya yang berkaca. Sontani tertunduk

tak berkata, namun air matanya ber-linang2 meleleh membasahi kedua pipinya. ? Kebaikan budi Jaka

Gumarang dan tingkah lakunya yang senantiasa bersahabat dengan siapapun, membayang kembali

didepan matanya . . .

? Yaaaahh . . . . . Jangan hendaknya kita menyesali berlarut larut atas segala apa yang telah

terjadi . . . .

Ingatlah bahwa semua adalah atas Kehendak Dewata Yang Maha Agung. Kita semua manusia

berada dalam Kekuasaan-Nya.

Dan kita harus berterima kasih pula padanya, bahwa gugurnya pahlawan Lurah tamtama


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


penatus Jaka Gumarang berada di tempat perkemahan kita yang berarti menyelamatkan seluruh sisa

pasukan yang masih ada. ?

Demikianlah petuah Bintang Minang . . . . . Semuanya masih diam tak ada yang menjawab,

walaupun mereka membenarkan serta menjunjung tiuggi petuahnya itu dalam hati masing-masing.

Kiranya kedukaan yang baru saja berlalu masih dalam lubuk hati mereka.

? Mari kita segera bicarakan bersama, untuk memecahkan persoalan yang sangat rumit ini, ?

perintah Bintang Minang.

Kemudian pada Yoga Kumala, Sontani dan para perwira-perwira tamtama lainnya yang

memegang tapuk - pimpinan dalam pasukan.

Pertemuan para priyagung tamtama Kerajaan Negeri Tanah Melayu yang dipimpin oleh Bintang

Malang dalam perkemahan itu berlangsung amat singkat.

Setelah menerimaa saran-saran serta pendapat-pendapat dari para perwira tamtama yang hadir

sebagai bahan pertimbangannya.

Kini Bintang Minang berkenan memutuskan untuk mengubah perang gelar yang tengah berlangsungmenjadi sandi Yudha.

Seluruh sisa pasukan dipecah pecahnya dalam beratus-ratus kelompok kecil, dan diperintahkan

untuk menyebar keseluruh wilayah Kerajaan Musuh.

Disamping bantu membantu satu sama lain kelompok yang berdekatan dalam melakukan

serangan-serangan secara tiba-tiba, mereka diharuskan pula untuk merebut hati rakyat jelata yang

berada dilingkungannya. Karena menurut pendapat Bintang Minang peperangan hanya dapat

dimenangkan apabila mendapat dukungan dan bantuan dari rakyat sepenuhnya.

Dan menurut perhitungan, hal itu kiranya mudah dilaksanakan, mengingat pada saat itu banyak

rakyat yang mempunyai perasaan benci pada sebagian besar para priyagung Nara praja yang selalu

bertindak semena-mena untuk kepentingan diri pribadinya.

Dalam pasewakan darurat yang amat singkat itu, Bintang Minang berkenan pula menyerahkan

wewenangnya sebagai Manggala Yudha kepada Yoga Kumala untuk sementara waktu.

Serah terima wewenang itu dilakukan, karena Bintang Minang bermaksud kembali ke Kota Raja

lama untuk menyusun kembali kekuatan baru, serta memperkokoh pertahanan perbatasan Kerajaan.

Setelah nanti, kekuatan pasukan baru tersusun, dan keadaan wilayah kerajaan lawan menjadi

makin lemah karena berkobarnya Sandi Yudha, maka Bintang Minang akan menyerang kembali langsung

diarahkan ke Kota Raja lawan dengan siasat "gadha'', ialah penyerangan yang bersitat menentukan.

? Pun untuk mendapat kepastian tentang berita pengkhianatan yang dilakukan oleh

Tumenggung Anom Tamtama Kobar. Serta pidana yang harus dijatuhkan padanya, kupercayakan penuh

padamu, Tumenggung Yoga!?

Pesan Bintang Minang pada Yoga Kumala, dan katanya kemudian : ? Junjunglah titahku atas nama Seri

Baginda Maharaja dengan baik-baik, dan semoga Dewa Kemenangan selalu menyertai kita semua.?

Berkata demikian Bintang Minang menyerahkan cincin tanda kebesarannya sebagai manggala Judha dan

berkenan pula mengenakan di jari manis kanan Yoga Kumala.

? Doa restu Gustiku Bintang Minang selalu saya harapkan agar dapat mengemban titah Gustiku

dengan hasil yang gemilang ! ? Jawab Yoga Kumala singkat sambil memberikan sembah.

Ingin ia berkata lebih panjang, namun hatinya penuh rasa keraguan, hingga ia membatalkan

maksudnya.- Benarkah Bintang mencurahkan kepercayaan penuh padanya? Ataukah hanya suatu siasat

belaka yang maksudnya menguji kesetiaannya? Kini ia merasa dirinya dalam kedudukan yang serba

salah.

Berita bahwa kegagalan penyerangan besar adalah akibat dari pada pengkhianatan Bupati Anom

Kobar, untuknya cukup pedih bagaikan kena tamparan langsung dimukanya. . . Ia tak tahu lagi kemana ia

harus menyembunjikan mukanya, karena merasa sangat malu.

Bagaimanapun juga, Kobar adalah teman sepasukan dari tamtama Kerajaan Majapahit.- Dan

lebih dari pada itu. Kobar adalah wakilnya langsung dalam memimpin pasukan sebagai pasukan bantuan

dari Kerajaan Majapabit. Andaikan benar-benar Kobar mengkhianati peperangan besar ini, bukankah

Bintang Minang seharusnya mencurigai padanya? Akan tetapi mengapa kini bahkan menyerahkan

wewenangnya sebagai Manggala Yudha padanya walaupun hanya sementara .

Atau mungkin penyerahan tadi hanya untuk mencoba dirinya. Tetapi menurut anggapannya

tidak mungkin Bintang Minang hanya mencobanya, sebab sedikitpun tidak kelihatan pada wajahnya

yang sungguh sungguh dan sedikitpun tidak ada tanda-tanda mencurigainya.

Tetapi Yoga Kumala dalam hati berjanji tidak akan menyia-nyiakan tugas yang begitu agung.

Sejak lama Yoga Kumala tak senang melihat tingkah laku Kobar yang congkak dan selalu haus

akan kekuasaan akan tetapi untuk berbuat demikian jauh sebagai pengkhianat, ia tak mendugasebelumnya sama sekali.

Bahkan belum pula ia percaya sepenuhnya pada berita yang dibawa oleh Gumarang. Akan tetapi

apa daya untuk bertanya lebih lanjut pada sipembawa berita Jaka Gumirang, tak mungkin. Dan sampai

dimanakah pengkhianatan Kohar, iapun belum dapat mengira-irakan.

Namun sebagai perwira tamtama, baginya tak ada lain pilihan kecuali melaksanakan sebaik

baiknya semua perintah atasannya.

Dan atas pertimbangan yang terakhir inilah, Yoga Kumala tak dapat berbicara lebih banyak. Ia

hanya ingin menunjukkan kesetiaannya dengan membuktikan melaksanakan tugas sebaik baiknya.

Dan sebelum ia dapat membuktikannya, tak berani ia bertanya lebih banyak pada Bintang Minang.-

Jangankan bertanya, sedangkan menatap pandang pada Bintang Minangpun ia tak mampu.

Ia duduk dengan muka tertunduk kembali, dan menunggu kata2 terakhir dari Bintang Minang.

Tiba-tiba saja dirasakan jatuhnya tepukan telapak tangan yang pelan pada bahu kirinya. Suatu

tepukan yang penuh berarti.

? Tumenggung Yoga ! ? kata Bintang Minang sambil meletakkan telapak tangan kanannya

diatas bahu Yoga. : ? Jangan kau ragu-ragu hanya kaulah yang kupandang cakap untuk menggantikan

sementara kedudukanku selaku Manggala Yudha! Laksanakanlah perintahku demi kejayaan Kerajaan

Negeri Tanah Melaju dan kejayaan Kerajaan Agung Majapahit. ?

Perlahan-lahan Bintang Minang bangkit berdiri dan diikuti oleh Yoga Kumala.

Kedua orang sakti beepandangan sejenak serta saling memegang lengan kanan erat-erat sebagai tanda

keakraban hubungan.

Dan sejenak kemudian persewakan darurat segera bubar.

*

* *

B A G I A N III

SEMUA pasukan turut serta bubar dan masing - masing berpisah jalan menjadi kelompok2 kecil

mengikuti perintah Tumenggung Yoga Kumala.

Dengan didampingi oleh Sontani, Braja Semandang serta Dirham si penunjuk jalan dan dikawal

oleh sepuluh tamtama berkuda Yoga Kumala bergerak kearah selatan mengikuti mengalirnya Sungai

Lawas.

Ia bermaksud untuk menghubungi pasukan yang berada disebelah Selatan dibawah pimpinan

Senapati Damar Kerinci dengan melintasi hutan belukar.

Hari itu masih pagi-pagi buta tatkala Yoga Kumala dengan rombongannya menempuh

perjalanan di hutan belukar mengikuti tebing tebing sungai Lawas yang berliku - liku dan curam serta

licin.

Kabut tipis yang semua mengaburkan pemandangan pelan-pelan membumbung ke angkasa, dan

mataharipun terbit dengan riahnya di ufuk timur memandikan daerah hutan belantara. Dan sungai itu

dalam cahaya yang redup, sehingga air sungai layaknya serasa berkilau2an bagaikan kaca cermin.

Kiri kanan sungai tumbuh pohon-pohon raksasa liar yang berumur puluhan tahun mewujudkan

hutan belantara yang tak pernah dijamah oleh angan manusia.

Air embun masih membasahi daun2 sehingga nampak berkilat2 karena tertimpa cahaya

matahari.Lumut hijau bertumbuh subur di-batang2 pohon raksasa yang telah tumbang dan jatuh melintasi tebing2

sungai, dan ditanah-tanah basah serta batu-batu alam bagaikan permadani yang tebal.

Berhari-hari mereka menyusupi hutan belukar dan walaupun tak pernah menghadapi rintangan-

rintangan yang berbahaya, namun perjalanan itu cukup membuat mereka sangat letih. Kadang-kadang

mereka harus berjalan mengitari rawa2 ataupun berlompatan diatas batang-batang pohon yang

tumbang melintang. Tidak jarang pula mereka harus berjalan satu demi seorang dengan saling

berpegangan karena gelap dan licinnya jalan yang dilaluinya.

Kini mereka telah tiba di Sungai Musi, dan disitulah Sungai Lawas memutahkan airnya, untuk

kemudian bergabung mengalir menjadi Musi besar. Karena Sungai Lawas adalah hanya merupakan salah

satu diantara anak cabang Sungai Musi.

Dengan Sampan rakit dari bambu, rombongan Yoga Kumala kemudian menyeberangi Sungai Musi yang

lebar itu.

Walaupun permukaan airnya nampak tenang, tetapi dibawah permukaan yang tenang itu, sebenarnya

airnya deras mengalir. Apapun yang tercebur akan segera lenyap dan hanyut terbawa derasnya arus.

Dan karena amat lebar dan derasnya arus lebih cepat kiranya bila dinamakan "Bengawan".

Pada tiap2 hari diwaktu pagi hingga gelap malam, banyaklah sampan2 nelayan hilir mudik di

Sungai Musi itu. Selain para nelayan yang mencari ikanpun banyak pula perahu-perahu pedagang yang

hilir mudik untuk menuju ke Kota Raja atau-pun sbaliknya. Pendek kata Sungai Musi selain pemberi

nafkah abadi bagi para pencari ikanpun merupakan jalan raya yang menghubungkan antara desa-desa

dan kota-kota sekitarnya.

Bahkan lebih dari pada itu semua Sungai Musi adalah lambang pula bagi kejayaan Kerajaan

Sriwijaja. Muara Sungai Musi adalah pintu gerbang Kota Raja Kerajaan Sriwijaj, dan merupakan banjir

besar yang selalu dikunjungi oleh perahu-perahu layar dari pedagang-pedagang besar negeri-negeri

asing serta utusan2 raja2 negeri asing sekitarnya.

Akan tetapi waktu rombongan Yoga Kumala menieberangi Sungai Musi, ternyata suasananya

lain dari pada hari2 biasa. Tak sebuah perahu nelayan tampak dipermukaan air. Sekelilingnya ternyata

sunyi sepi.

Walaupun ditempat dimana ia menyeberang itu sangat jauh dari Muara Bandar Musi, namun keadaan

biasanya tak demikian.

Hari itu matahari telah condong kebarat mendekati senja. Sebentar lagi akan bertukar dengan

sang malam.

Perlahan-lahan mereka mendarat diseberang sambil mengawasi kanan kiri, lalu berjalan

mendaki tanggul tebing sungai itu yang tak seberapa tingginya. Semua kelihatan letih jalannyapun

sempoyongan hanya Yoga Kumala dan Sontanilah yang masih tampak tegap dan bersemangat. Akan

tetapi jika melihat wajahnya, kedua perwira ini diliputi oleh rasa muram serta selalu tegang. Mereka

saling membungkam dan jarang sekali bercakap-cakap.

Tiba-tiba saja Dirham mulai bicara memecah kesunyian sambil berjalan disamping Yoga Komala.

? Gusti Yoga! Keadaan disini biasanya tak sesepi ini !?

? Ya! . . . . . Aku sendiri agak curiga pula demi melihat suasana yang sepi ini. Tetapi . . . .

gerangan yang terjadi?? Jawab Yoga sambil mengawasi kanan kiri.

? Untuk dapat melihat lebih jelas sekitarnya, sebaiknya kita mendaki tanggul sebelah barat

sana yang agak tinggi, Gusti! Kata Dirham sambil menunjuk kearah yang dimaksud .? Ayoooh! ? potong Yoga Kumala singkat sambil mempercepat langkahnya. Dan semuanya

segera turut berlari-larian mengikuti dibelakang Yoga Kumala.

Semakin ke barat tanggul sungai itu memang semakin menanjak, dan dataran sekitarnya pun

mulai berbukit - bukit dengan pepohonan-pepohonan yang rindang dan lebat merupakan hutan.

Jauh disebelah barat selatan nampak remang-remang biru semburat merah. Gunung Kaba yang tegak

berdiri bagaikan raksasa Kumba Karna yang sedang menelan Surya. Dan dari lereng-lereng Gunung Kaba

sebelah barat utara itulah Sungai Musi bersumber.

? Lihatlah Gusti! Kampung jauh disana itu nampak adanya kebakaran! Sontani tiba-tiba berkata

sambil terengah-engah dan sambil menunjuk dengan tangannya kearah timur pada sebuah desa

dilembah bawah yang nampak jelas adanya api menyala-nyala di ketinggian. Dan semua cepat berpaling

mengarahkan pandangan masing-masing pada sebuah desa yang ditunjuk Sontani dengan penuh

perhatian.

? Benar apa katamu Son:ani! mari kita segera menuruni tanggul ini dan langsung menuju

kedesa bawah sana. Mungkin mereka memerlukan bantuan kita. ? Sahut Yoga setelah mengawasi


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


sejenak dengan tajam.

? Biarlah saya dengan Braja Semandang yang mendahului ke sana, Gusti. Dan sebaiknya

Gustiku Yoga berserta pengawal dan Dirham menunggu saja dari kejauhan.

? Bukankah baiknya demikian. Lurah Braja Semandang? ? Sahut Sontani sambil berpaling

kearah Braja Semandang yang tengah berdiri memandang kearah desa itu dengan menghela nafas

panjang.

Dalam hatinya ia merasa amat kasihan pada penduduk desa yang kini tengah menderita akibat

kebakaran itu.

? Ya . . . . . ijinkan saya mengawal Panewu Sontani, Gusti!? potong Braja Semandang.

? Baik, bawalah prajurit-prajurit pengawal ini dan aku dengan Dirham akan mengikuti

dibelakang! ? Jawab Yoga dengan singkat serta mengerutkan keningnya.

Entah karena apa, tetapi ia merasa was-was. Perasaan nalurinya bekerja cepat dan dalam

semadhi yang singkat sambil berjalan menuruni tanggni itu, perasaan cemas menyelubungi dirinya.

Seakan-akan ia tahu bahwa bahaya menghadang didepannya.

Demi perasaan cemas yang terkandung itu, ia berseru sambil berlari mengikuti Sontani : ?

Sontaniiii . .. . jangan kau meninggalkan kewaspadaan ! ?

Kini hari telah mulai gelap. Dan mereka hanya kelihatan seperti bayangan-bayangan saja yang

sedang melayang cepat menuruni tebing yang berliku liku itu.

Semakin dekat dengan desa yang terbakar itu, semakin terdengar jelas suara jeritan orang-orang

perempuan dan tangis anak-anak kecil bercampur dengan seruan minta tolong yang menyayat hati.

Suara titir kentongan sahut menyahut tak ada henti-hentinya dan disambut pula oleh penduduk desa-

desa yang berada disekitarnya.Seorang diantaranya bersenjatakan tombak bercabang. Bentuk tubuhnya kurus tinggi

dengan rowan muka yang bengis menyeramkan. Dua orang lainnya masih muda kira2

sebaya dengan Sontani, dengan bersenjatakan klewang ..

Akan tetapi belum juga api kebakaran didesa yang didatangi itu padam, menyusul kini desa

disebelah timurnya kebakar. Asap hitam mengepul bergulung2 menjulang tinggi dan api men-jilat2 di

tengah2 kepulan asap.

Larinya Sontani bersama kawan-kawannya bagaikan lepasnya anak panah. Tiba-tiba saja lima

orang bajak laut menghadang dengan kelewang terhunus dihadapannya, hingga ia terpaksa

menghentikan langkalmja.

? Aaiiii! Apa yang terjadi didesa ini ? ? Tanya Sontani dan Braja Semandang hampir

bersamaan. Akan tetapi lima orang bersenjata itu tanpa menjawab pertanyaan, lalu langsung

menyerang dengan senjata masing masing. Kiranya pertempuran tak dapat lagi dihindarkan dan sekejap

kemudian terjadilah pertempuran sengit.

Dengan bantuan prajurit pengawalnya Sontani mengamuk, hingga sebentar saja lima orang itu

terdesak mundur dan lari terbirit-birit.

Belum juga lima orang itu lenyap dari pandangan, kini menyusul datang tiga orang berkuda dan

menyerangnya dengan serentak serta tiba2.

Seorang diantaranya bersenjatakan tombak bercabang. Bentuk tubuhnya kurus tinggi dengan

roman mukanya yang bengis menyeramkan. Dua orang lainnya masih muda kira-kira sebaya dengan

Sontani, dengan bersenjatakan klewang. Sambil menyerang dengan jurus-jurusnya maut yang

berbahaya orang yang pertama tadi berseru lantang sambil ketawa mengejek.

? Haiii! Bedebah anak muda! Siapakah kau, berani turut campur urusanku?!?

? Perampok hina ! Menyerahlah kalian ! Aku Panewu Tamtama Sontani dari Pagaruyung datang

kemari untuk membasmi kalian!?

? Ha Haa Haa haa ! ! Jangan berlagak kesatria disini. Menyerahlah untuk kubelenggu tangan

kalian! Rupa2nya kalian adalah musuh Kerajaan. ? serunya dengan bengis sambil terus menyerang

dengan senjata tombaknya. Serangan amat ganas dengan jurus2 yang berbahaya serta sukar diketahui

akan perobahan2nya. Ternyata gerakan gerakannya sangat tangkas dan cepat. Dan diantara lawan ke

tiga2nya itu, ialah yang paling tangguh.

Para pengawal yang kurang cepat menghindari serangannya sebentar saja terkulai roboh

ditanah.

Melihat banyak pengawalnya yang telah menjadi korban keganasan musuhnya itu, Sontani dan

Braja Semandang mengamuk punggung bagaikan banteng terluka, akan tetapi ternyata lawannya amat

tangguh.

Segenap tenaganya telah diperas, namun orang yang kurus tinggi bersenjatakan tombak

bercabang itu belum juga dapat dirobohkan.

Sekali lagi Sontani melompat tinggi samhil memekik dengan nada yang tinggi melengking hingga

memekakkan telinga. Pedang tamtama ditangan kanannya meluncur cepat dalam gaya tusukan langsung

menyerang Iawan. Akan tetapi sekali lagi lawannya menunjukkan kemahiran yang sangat menakjubkan.

Ia memacu kudanya untuk menghindari serangan2 sambil meloncat tinggi lepas dari pelana.

Tombak cabangnya berputar sesaat untuk kemudiam diubah menjadi serangan yang dahsyat kearah

lambung Sontani, selagi ia diudara menghadapi balasan serangan yang tak diduga itu. Sontani sesaat

terperanjat dan peluh dingin keluar dari jidatnya.

Andaikan ia bukan Sontani panewu Tamtama yang shakti tentulah terobek lambungnya.Untunglah bahwa ia masih sempat berjungkir balik diudara sehingga terhindar dari serangan

maut lawannya.

Pedang tamtamanya cepat berputar selagi ia berjungkir balik dan membentuk sebuah lingkaran

bagaikan perisai baja. Dua senjata beradu dan masing-masing terkesiap jatuh bergulingan surut

kebelakang beberapa langkah, sedang kuda tunggangan lawannya lari jauh sambil meringkik,

meninggalkan tuannya.

Sementara Braja Semandang sedang sibuk menghadapi dua orang lawan yang tangguh pula.

namun dalam pertempuran melawan dua orang itu ia tak merasa terdesak. bahkan kini Braja

Semandang telah berhasil merobohkan dua ekor kuda lawan, hingga mereka terpaksa bertempur terus

diatas tanah.

Tiba tiba terdengar derap langkah kuda di-celah2 suara jeritan perempuan-perempuan dan anak-

anak disekitar tempat kebakaran. Semakin lama semakin jelas, dan nampaknya bukan hanya seorang

penunggang kuda tetapi kiranya lebih dari lima belas orang.

Sambil bertempur menghadapi dua orang lawannya, Braja Semandang berpaling sesaat untuk

mengetahui para pendatang yang berkuda itu.

Ia melihat jelas adanya dua orang berkuda dengan mengenakan pakaian kebesaran sebagai

priyagung tamtama musuh Dan alangkah terperanjatnya, setelah mengetahui dengan jelas, bahwa

kedua orang itu tak lain dari pada Kobar dan Berhala. Belum juga Braja Semandang sempat menyambut

kedatangan Kobar dan Berhala, dalam saat ia sedang berpaling, tiba-tiba punggungnya, dirasakan panas

bagaikan tersengat dan pandangan matanya menjadi kian kabur remang. Ia jatuh terkulai ditanah dan

tak sadarkan diri sebilah pisau belati bersarang tepat dipunggungnya. Itulah lemparan pisau dari

Tumenggung Anom tamtama Kobar yang terkenal shakti.

? Jangan dibunuh! Seru Kobar sambil turun dari kudanya. Suaranya lantang dan berwibawa.

? Ikat! Dan bawalah itu kembali ke pesanggrahan di Muara.? Tiga orang pengawalnya segera

turun dari peIana kuda dan kemudian membelenggu kedua belah tangan Braja Semandang yang jatuh

terkulai tak sadarkan diri, serta mengangkatnya keatas pelana kuda . . . . sepuluh orang berkata

diperintahnya oleh Kobar untuk mengawal Braja Semandang yang masih terkulai diatas pelana kuda

dengan tangan terbelenggu itu. Dan sekejap kemudian Braja Semandang teclah dibawanya kabur dalam

gelap malam yang kelam itu kearah Timur.

Bersamaan dengan robohnya Braja Semandang, Sontani yang sedang bertempur dengan

sengitnya tiba2 tubulmja tersentak oleh seutas tali yang melingkar erat dibadannya, hingga ia jatuh

bergulingan ditanah. Semakin ia berusaha untuk melepaskan diri dari jeratan itu, ternyata semakin erat

tali itu menjeratnya. Hampir2 ia lupa, bahwa tangan kanannya masih menggenggam pedang

tamtamanya, cepat tangan kanannya bergerak dan sekali tebas putuslah tali yang menjerat badannya

itu. Ia bergulingan ditanah beberapa langkah kesamping menghindari datangnya serangan yang tiba-tiba

dari lawan yang masih dihadapi serta serangan gelap dari belakang.

Kini Sontani berdiri tegak dengan kuda kudanya yang kokoh kuat, siap menunggu datangnya

serangan dari semua lawan. Alangkah terkejutnya setelah mengetahui dengan jelas bahwa dua orang

pendatang baru yang kini berada dihadapannya adalah Kobar dan Berhala. Mimpikah ia? Hampir-hampir

ia tak percaya pada penglihatan sendiri.

la terkejut dan sangsi bukan karena takut. Bukan! sekali-kali bukan. Seratus Kobar, Sontani tak

akan gentar menghadapi. Kalah atau menang, baginya bukan soal.

Sekalipun Dewa Maut akan merenggut jiwanya, ia tak nanti akan lari terbirit-birit. Ia benci pada

sifat-sifat pengecut dan pengkhianatan. Tak salah lagi bahwa yang tengah kuhadapi ini adalahpengkhianatan2 Kobar dan Berhala,? pikirnya.

Darah mudanya tersirap hingga wajahnya menjadi merah matanya seakan-akan menyala,

memandang tajam kearah Kobar dan Berhala.

? Pengkhianat2!!! desisnya. Ingin ia melontarkan kata2 lebih banyak lagi, namun bibirnya hanya

bergerak2 menelan kemarahan yang meluap2.

? Haiiii!! Budak Sontani!! Lebih baik kau menyerah dan menjadi budakku daripada menjadi

budak Perwira-perwira tamtama Kerajaan. ? Haa ilaaa Ha Haaaa..... Sahut Kobar sambil ketawa ter-

bahak2.

? Bukankah kawan - kawan pasukanmu hancur berantakan dan bercerai berai, dan kini, kau

tersesat sampai di sini? Dimana Yoga Kumala yang kau andalkan itu? Suruhlah lekas keluar dari tempat

persembunyiannya. Ataukah sengaja ia tak mau keluar dari tempat persembunyiannya, dan kaulah yang

akan dijadikan korban demi untuk keselamatan jiwanya Haa . . . Ha . . . . Haaaa Haa ..Haaa!!!!!!

? Pengkhianat berlancang mulut. Kembalikan Braja Semandang dan bersiaplah untuk

kubelenggu kedua belah tanganmu dan kuhadapkan pada Gustiku Yoga Kumala. ? Berseru demikian

Sontani sambil menyerang langsung dengan tamtamanya kearah Kobar. Kiranya ia telah tak dapat

menahan kemurkaannya, lebih lama lagi.

Sebagai tamtama yang berpengalaman luas dan memiliki kesaktian, Kobar telah dapat menduga

akan datangnya serangan yang, tiba-tiba itu...Ia bergeser selangkah kesamping kanan sambil menghunus

pedang pusakanya dengan tangan kanannya.

Gerakannya amat cepat dan tangkas, sehingga sukar diikuti dengan pandangan mata. Dua

senjata beradu dengan dahsyatnya hingga mengeluarkan percikan api berpijaran.

Kedua-duanya melompat surut kebelakang satu langkah dan masing-masing merasakan pedih

ditelapak tangannya.

Peluh dingin keluar dari dahi Sontani setelah ia mengetahui bahwa pedang tamtama yang masih

erat digenggam ditangan kanannya ternyata terbabat patah diujungnya.

? Ha Ha Ha Haaa Haaa!! Sontani budak kecil! masihkah kau hendak melawan dengan

pedangmu yang tumpul itu?! Ayoooh! panggilah segera Yoga Kumala majikanmu. Agar kalian dapat

kuikat jadi satu dengan Braja Semandang ?

Bedebah pengkhianat. Tak usah kau menyebut-nyebut Gustiku Yoga Kumala! Sambutlah ujung

pedangku yang tumpul ini!! ?

Bersamaan dengan kata seruannya yang terachir, Sontani melompat sambil menyerang kembali

dengan tebangan dan tusukan yang berangkai. Serangannya sangat berbahaya dan dahsyat . Dan kali ini

ia memang sengaja hendak mengadu jiwa dengan Kobar. Kebenciannya telah memuncak, rasa2nya ia

muak melihat wajah lawannya. Dendam kesumat yang lama dikandungnya, kiranya ia ingin

menumpahkan seluruhnya. Akan tiba-tiba Kobar meloncat jauh kebelakang menghindari serangan

sambil ketawa terbahak dan berseru.

? Kelingi! Berhala! tangkaplah budak kecil itu hidup-hidup dan bawalah segera bersama2

dengan Braja Semandang tawanan kita tadi! ?

B A G I A N IV

TERNYATA orang kurus tinggi yang tadi bertempur dengan Sontani itu bernama Kelingi.

Demi mendengar perintah Kobar, Berhala dan Kelingi berserta dua orang lainnya segera melompat

mengurung Sontani. Sementara itu Kobar hanya berdiri mengawasi dari dekat. Satu penghinaan yangcukup dapat membuat telinga Sontani merah. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk

dapat menerobos pengepungan ampat orang lawannya yang tangguh itu. Pedang yang telah tumpul

ditangannya berkelebatan bagaikan sinar putih yang bergulung-gulung menghubungi dirinya, dengan


Pendekar Darah Pajajaran Karya Kusdio Kartodiwirjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


diselingi rangkaian tendangan kearah ampat penjuru.

Akan tetapi, belum juga ia dapat menerobos pengepungannya yang semakin merapat itu.

Tombak bercabang dari Kelingi dan pedang Berhala selalu dapat memusnahkan serangan - serangannya

yang dahsyat .

Sebagai seorang tamtama yang memiliki banyak pengalaman serta selalu mendapat bimbingan

dari Yoga Kumala yang terkenal sebagai Pendekar Pedang Shakti, ia masih dapat melayani ampat orang

lawannya dengan baik dan seimbang. Sambil bertempur, masih juga ia dapat menggunakan kecerdasan

otaknya. Ia tahu bahwa untuk merobohkan keempat lawannya secara bersamaan, tentulah tak mungkin.

Maka satu-satunya jalan ialah merobohkan seorang demi seorang dan harus dimulai dengan

lawan yang terlemah lebih dahulu. Tetapi inipun tak semudah untuk dilaksanakan, sebagaimana ia

kehendaki. Pedang tamtama yang tumpul ujungnya berputar cepat hingga membentuk perisai baja yang

kokoh menyelubungi dirinya, dan tiba - tiba ia berseru melengking Tinggi sambil melompat dengan gaya

tusukan kearah ulu hati Berhala. Akan tetapi sebelum pedangnya menyentuh tubuh Berhala, tiba tiba

ditariknya kembali dengan rangkaian tebangan, mengarah leher salah seorang lawan yang berada

dibelakangnya. Perobahan gerakan ini arnat cepat sekali tak diduga2.. ltulah jurusan2 tipuan menerjang

badan.

Jeritan ngeri terdengar dari seorang lawan yang berada dibelakangnya roboh ditanah dengan

mandi darah. Akan tetapi bersamaan dengan robohnya seorang lawan Sontani sendiri dengan tiba2

merasa tangan kanannya tak dapat digerakkan, dan sesaat kemudian pedang tamtama yang

digenggamnya jatuh gemerincingan ditanah. Sebuah pisau belati tertancap sedalam empat jari dilengan

kanannya.

Tombak bercabang berkelebat bagaikan kilat dan menyusul bersarang dipaha Sontani, selagi ia

terhuyung2 surut kebelakang. Sesaat kemudian Santanipun roboh terkulai ditanah tak sadarkan diri.

? Cepat ikat dia, dan bawalah pergi segera ! ! Aku akan menyusul dibelakang pasukan! ?

Kelingi dengan seorang pengawalnya segera membawa Sontani lari berkuda kearah Timur. Sedangkan

Berhala tertinggal mendampingi Kobar yang masih tenang berdiri disamping kuda tunggangannya. Ia

menunggu datangnya para pengawal lainnya yang diperintahkan untuk membakar dan merampok para

petani didesa yang berada tak jauh dari tempat itu.

Api yang membakar rumah2 petani didesa2 sekitarnya telah makin padam, namun para

pengawal pasukan rampok yang terdiri tidak kurang dari 10 orang itu belum juga datang berkumpul

dihadapan Kobar. Ia memekik tiga kali dengan suara yang tinggi melengking sebagai isyarat panggilan.

Suaranya menggema mengalun jauh, untuk kemudian hilang lenyap kembali tertelan gelap malam yang

pekat. Tetapi . . . . . tak terdengar suara jawaban. Tiba-tiba saja muncul dua orang dengan masing2

menggenggam pedang terhunus dihadapan Yoga Kumala dengan Dirham.

Sesaat Kobar dan berhala terperanjat dan surut kebelakang beberapa langkah, sambil menghunus

pedang mereka masing2. Tetapi cepat pula mereka dapat menenangkan perasaan kembali. Belum

lenyap pertanyaan dalam benak hatinya akan perginya para pengawal yang sedang ditunggunya, kini

dengan tiba2 muncul Yoga Kumala musuh besarnya.

Sedang Kobar akan membuka mulutnya untuk berbicara, tiba2 terdengar suara tawa nyaring

yang menyeramk.an, hingga bulu kuduknya berdiri. ltulah suara tawa Yoga Kumala yang sedang

mematek ajinya "Wuru Shakti? ilmu warisan dari kakek Dadung Ngawuk.Suara tawanya menggema jauh dan terpantul kembali untuk pelahan2 lenyap dari pendengaran.

Lenyapnya suara tawa yang menyeramkan disusul dengan bentakan yang sangat berwibawa. ?

Bedebah pengkhianat Kobar ! ! Lihatlah cincin kebesaran yang kupakai dijari manis ini, dan lekaslah ber-

lutut untuk kutebas lehermu ! ! Ketahuilah bahwa perampok2 anak buahmu tertinggal telah kutumpas

semuanya ?

Demi mendengar kata2 yang terachir dari Yoga Kumala itu, hati Kobar merasa tergoncang

bercampur cemas. Namun sebagai seorang perwira yang memiliki kesaktian, ia segera dapat

menyembunyikan rasa cemasnya dan kembali tenang.

? Yoga Kumala ! Cincin kebesaran yang kau pakai itu, untuku tak ada artinya, jika kau dapat

menumpas anak buahku yang banyak tertinggal beberapa gelintir itupun, aku tak heran. Bukankah

seluruh pasukan dari Pagar Ruyung kini telah tumpas dan bercerai berai, hingga kau harus

mengorbankan dirimu sendiri hanya demi untuk nama baikmu, yang ternyata kosong itu? Ketahuilah,

bahwa sesungguhnya aku tidak bermaksud berfihak pada kerajaan Sriwijiya, tetapipun tak sudi menjadi

budak Kerajaan2 Pagar Ruyung.

Lihatlah . . . . bahwa kelak jika dua kerajaan itu mengalami kehancuran akulah, yang akan bertahta.

Niaka marilah kita bekerja sama kembali untuk tercapainya cita-citaku. Akan kuangkat kau kelak sebagai

mahapatihku.

Bukankah kita sama-sama telah mengalami kepahitan itu sebagai budak-budak Kerajaan Kerajan

Renungkanlah sesaat akan nasehatku ini, sebelum kau terlambat ! Dan memang telah lama aku

mengharap akan berjumpa denganmul

Dan sekarang inilah keputusanmu terachir kunantil?

Bahwasannya Kobar bermaksud mengkhianati kedua Kerajaan itu, memang benar adanya. Telah

lama ia menanti nantiku saat yang baik, untuk merebut kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai raja.

Dan setelah mengetahui kelemahan-kelemahan dari kedua Kerajaan yang sedang bermusuhan itu, ia

menduga akan tercapai maksudnya.

Ia pertama-tama berlaku mengkhianati Kerajaan Pagar Ruyung dan berfihak pada Sriwijaja.

Semua siasat perang Kerajaan Tanah Melaju Pavar Ruyung dibentengkan pada Sanggahan Alam

Manggala Yudha Sriwijaja, hingga pasukan Pagar Ruyung mengalami kehancuran. Beribu-ribu ditawan

dan beribu-ribu pula dapat dimusnahkan.

Urusan-urusan penghubung tamtama dan narasandi dari Pagar Ruyung dapat pula dijebak dan

ditawan. Dan dernikian pula nasib para tamatama narasandi putri. lndah Kumala Wardhani, Ratnasari,

Ktut Chandra dan Sampur Sekar ditawan pula oleh Kobar sendiri dan ditempatkan dalam sebuah perahu

Bajak Laut yang berlabuh di Muara Musi.

Ia bermaksud akan memperistrikan Indah Kuraala Wardhani sedangkan Ratnasari akan

dihadiahkan pada Berhala yang telah banyak berjasa padanya,

Memang sejak lama ia tergila-gila pada Indah Kumala Wardhani, dan kini telah berada

ditangannya. Kiranya mudah untuk melaksanakan cita-citanya, semudah bagaikan membalikkan telapak

tangannya sendiri, pikirnya dan hanya tinggal menunggu saat yang baik saja.

Setelah itu Kobar menghimpun pasukanp-pasukan yang terdiri dari para perampok dan bajak

laut untuk merampas harta benda rakyat dan sekaligus bermaksud mengeruhkan suasana daerah

Kerajaan Sriwijaya sendiri.

Sebagian besar dari rencananya telah berhasil. Dan taraf terachir dari pada rencananya ialah

membunuh Sanggahan Alam dari belakang, baru kemudian mencari jejak Yaga Kumala musuh besarnya

yang olehnya dianggap pula sebagai penghalang,Dengan Indah Kumala Wardhani dan Ratnasari dalam cengkeramannya tentu mudah untuk

menjebaknya. Tak diduga-duganya bahwa kini ia berhadapan sendiri dengan Yoga Kumala, sebelum ia

mencarinya.

Tetapi ia tak perlu gemetar menghadapinya karena Sontani dan Braja Semandang tangan kanan

Yoga Kumala telah dapat diringkus. Dan inilah yang menyalakan semangatnya kembali, lenyap semua

rasa cemasnya.

Ia sengaja berpura-pura menarik Yoga Kumala difihaknya dengan janji-janji yang muluk-muluk

agar Yoga Kumala menjadi lunak dan mudah untuk dimusnahkan, kelak, dengan tanpa mengeluarkan

tenaga. Tetani ternyata jauh meleset dugaannya suara tawa terkekeh-kekeh menyeramkan kembali

menggema ? Haai! Bangsat pengecut Angkara Murka! Aku Yoaa Kumala tak mungkin sudi berkawan

dengan pengkhianat seperti kau. Kali ini, jangan mengharap ampunan dariku. Mohonlah ampun pada

Dewata Yang Maha Agung sebelum kepalamu terpisah dari badan! ?

Kedua kakinya terpentang lebar dengan lututnya ditekuk hingga badannya merendah.


Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno

Cari Blog Ini