Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat Bagian 1
PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
1
Nandar Hidayat
NANDAR HIDAYAT
PRAHARA
DI INDRAPRAHASTA
Hati nuraninya menentang. Walaupun tak
pernah mendapat ajaran tentang kehidupan,
baik dan buruk, benar dan salah.
Memberontak untuk menjadi baik adalah
caranya untuk menemukan jati diri.
Atau, jika bisa harus menjadi seteru sang ayah
sendiri. Akan dihadapinya demi kebenaran.
Dengan begitu, setidaknya dia berada di jalur
kebenaran.
Mencari penghidupan dengan jalan yang
benar. Mencari pengetahuan dengan jalan
yang benar. Menjalani hidup dengan cara
yang benar.
Bahkan jika mampu, membela kebenaran.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
2
Nandar Hidayat
PROLOG
Dua lelaki tinggi besar saling ber-
hadapan menyampingi sang surya yang
berwarna jingga di ujung barat. Lelaki hampir
tua yang rambutnya di gelung sebagiannya
sudah putih dan berwajah lebar tampak
menghadang jalannya lelaki paruh baya
berkepala botak.
"Rupanya harus menantu raja yang turun
tangan!" dengus lelaki botak megejek.
Badannya kekar mengenakan baju hitam tanpa
lengan yang tampak "ngetat" di badan. Celana
pangsi yang dipakainya juga warna hitam.
"Aku bukan hendak menangkapmu,"
kata si muka lebar sambil tersenyum.
Walaupun sudah hampir tua dan jelas lebih tua
dari si botak, tapi badannya masih kelihatan
tegap. Dia mengenakan setelan pangsi warna
abu-abu.
"Apapun tujuanmu aku rasa kau tak akan
berhasil"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
3
Nandar Hidayat
"Dengar!" sela si muka lebar. "Sudah
saatnya kau mendapatkan yang lebih besar dari
apa yang telah kau dapatkan sebelumnya."
"Apa maksudmu?" si botak menatap
tajam ke wajah lawan bicaranya yang masih
menyunggingkan senyum namun sorot
matanya memancarkan sifat licik.
"Kekuatanmu dibutuhkan"
"Oh, aku tahu rencanamu!" kini si botak
yang menyela.
"Bagus, kalau begitu kau sudah bisa
membayangkan apa yang akan kau dapat
nanti."
Si botak berpikir tapi dia menunjukan
wajah angkuh untuk menyamarkannya. Berarti
si muka lebar ini membutuhkannya untuk
menjalankan rencananya. Rencana besar.
"Aku tidak bisa." kata si botak kemudian
sambil memutar badan hendak pergi namun si
muka lebar bergerak cepat menghadangnya.
Kemanapun si botak melangkah, gerakan si
muka lebar selalu lebih cepat menghalangi
jalannya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
4
Nandar Hidayat
Si muka lebar tahu bahwa si botak hanya
menguji saja, pura-pura jual mahal. Tapi
ternyata si botak mempercepat gerakannya lagi
entah sengaja mempermainkan atau benar-
benar hendak pergi.
Tapi si muka lebar tak ingin kehilangan
kesempatan. Orang seperti si botak ini harus
didapatkannya. Maka selain menghalangi
langkah, dia juga memancing kemarahan si
botak yang akhirnya membuahkan hasil.
Si botak mulai mengeluarkan jurusnya,
cakar kanannya meluncur ke arah dada kiri si
muka lebar yang ternyata hanya mengenai
angin karena lawannya sudah mengelak
bergeser ke samping. Namun cakar itu segera
mengibas memburu sasaran baru. Tapi lagi-
lagi si muka lebar cepat merunduk sehingga
serangan itu kembali mengenai tempat kosong.
Kejap berikutnya kembali si botak
menyerang, memperagakan jurus yang jari-
jarinya membentuk cakar seperti harimau.
Tujuannya hanyalah membuka jalan agar dia
bisa pergi. Akan tetapi si muka lebar seperti
tak mengijinkannya. Maka terjadilahPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
5
Nandar Hidayat
perkelahian dengan jurus-jurus indah tangan
kosong. Jurus-jurus yang masih menggunakan
tenaga luar. Sepertinya si muka lebar sudah
mengenal jurus lawannya namun tak sempat
memikirkan karena dia harus melayaninya.
Keduanya tampak berimbang walau ada
perbedaan. Gerakan si botak terlihat kaku
namun kuat dan cepat, sedangkan si muka
lebar gerakannya lembut. Jurus-jurusnya
memang kasar atau hanya mengandalkan
tenaga luar, tapi gerakannya sudah memcapai
tahap sempurna sehingga pukulan atau
hantaman yang dihasilkan juga cukup dashyat
jika mencapai sasaran.
Hingga sepuluh jurus berlalu belum ada
yang unggul salah satunya. Keadaan ini
membuat si botak terpancing lagi. Kali ini
gerakan jurusnya disertai tenaga dalam dimana
setiap gerakan menimbulkan hempasan angin
padat yang terasa panas bila menyambar.
Tidak tanggung-tanggung dia kerahkan lebih
dari setengah kekuatannya, dia bermaksud
menguji lawan yang katanya membutuhkan
tenaganya. Si botak tahu kalau lawannya iniPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
6
Nandar Hidayat
adalah anak dari tokoh paling sakti di tatar
Sunda, tapi dia belum tahu seberapa hebat si
muka lebar itu.
Sementara si muka lebar yang tadi
disebut menantu raja tampak tenang dalam
menghadapi lawannya. Seringai licik masih
tersungging di bibirnya. Dia sudah menakar
kekuatan si botak, memang tenaganya
dibutuhkan untuk membantu rencananya.
Pertarungan seru jika ada yang
menyaksikan. Dua sosok tinggi besar ini
bergerak cepat seperti bayang-bayang.
Sebenarnya si muka lebar sudah bisa
melumpuhkan lawannya, namun dia
menunggu waktu yang tepat. Dan si botak juga
sebenarnya menunggu lawannya mengakhiri
pertarungan ini, namun dia tak ingin terlihat
rendah harga dirinya.
Hingga akhirnya! Entah sengaja atau
tidak dua tinju bertenaga sakti beradu.
Blarrr!
Si botak mental lalu jatuh terduduk
sedangkan si muka lebar hanya terdorongPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
7
Nandar Hidayat
sedikit saja lalu segera mendekat ke si botak
sambil tangannya menekan bahu lawannya.
"Bagaimana?" si muka lebar tersenyum
lebih lebar seakan menunjukan dialah yang
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih unggul. Dan memang demikian adanya.
Si botak masih menahan napas mengatur
jalan darahnya yang tak karuan. Dadanya
terasa panas dan sedikit sesak seperti habis
dihantam gunung. Dia mengakui, si muka
lebar memang tangguh beberapa tingkat di
atasnya. Tekanan tangan di bahunya terasa
mengalirkan hawa sejuk.
"Baiklah."
Ketika semburat jingga hampir ditelan
gelap, dua sosok tinggi besar itu telah berlalu.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
8
Nandar Hidayat
1
SEBELUMNYA
Kepala botak tanpa ikat adalah salah satu
cirinya, wajah lonjong tampan menawan
dihiasi kumis tipis melengkung menyambung
dengan jenggot yang juga tipis semuanya
berwarna hitam.
Semakin gagah dengan badan yang
tinggi besar dan tegap menonjolkan otot-otot
pertanda kekuatannya. Tapi dia bukan seorang
perwira kerajaan atau pendekar pembela
kebenaran.
Bagi yang belum kenal atau cuma
melihat sekilas mungkin akan menyangka
demikian. Tapi bagi yang sudah tahu siapa dia,
orang berharta yang tidak memiliki
kemampuan kewiraan akan lari terbirit-birit.
Seorang pendekar akan menantangnya, dan
seorang perwira petugas keamanan kerajaan
akan berusaha meringkusnya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
9
Nandar Hidayat
Dibalik ketampanan dan kegagahannya
ternyata dia adalah seorang pemimpin rampok,
julukannya Raja Begal dari Cibaringkeng.
Nama Cibaringkeng bukan sebuah nama
daerah tapi nama sebuah bukit di wilayah utara
kerajaan Indraprahasta.
Sampai saat ini, Kuntawala si Raja Begal
ini bersama lima anak buahnya sudah sangat
meresahkan warga di sekitar bukit
Cibaringkeng bahkan meluas hingga kerajaan
Wanagiri di sebelah utara. Terutama bagi
saudagar-saudagar kaya mereka akan berpikir
matang-matang jika hendak mengirim barang
ke ibukota Galuh.
Sampai saat ini juga belum ada seorang
pendekar yang mampu menundukannya. Pihak
berwenang juga belum mengupayakan untuk
meringkus mereka.
Tidak tahu, apakah Kuntawala sangat
hebat untuk dilawan?
Kuntawala berdiri di depan rumahnya
yang terbuat dari kayu di puncak bukit
Cibaringkeng. Berulang kali dia menghela
napas. Dia sedang menunggu ke lima anakPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
10
Nandar Hidayat
buahnya yang sedang mencari Santana,
anaknya.
Sudah ketiga kalinya Santana kabur dari
rumah. Bocah berumur tiga belas tahun ini
sering mengungkapkan keinginannya untuk
pergi.
"Aku tidak mau ikut bapak lagi,"
terngiang di telinga ucapan anaknya.
"Kenapa?"
"Aku tidak mau jadi perampok lagi, aku
ingin jadi orang baik..."
"Terus mau jadi apa kau? Hidup kita
sudah cukup senang, bahkan sangat senang.
Banyak harta, tidak kurang makan..."
"Tapi itu hasil merampas hak orang
lain!"
"Hanya orang-orang kaya yang kita
rampok, kita tidak menyusahkan warga
miskin. Bahkan seringkali kita bantu orang
yang kesusahan..."
Lamunan Kuntawala dikejutkan dengan
munculnya lima sosok dari berbagai arah.
Mereka adalah anak buahnya. Penampilan
merekalah yang cocok disebut begal atauPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
11
Nandar Hidayat
perampok, rambut sama-sama gondrong,
kumis tebal melintang dan wajah sangar.
"Bagaimana?" tanya sang pimpinan.
Kelima anak buahnya menunduk hormat
lalu sama-sama menggelengkan kepala sambil
menghela napas.
"Tujuh hari kedepan kita akan bergerak,
jadi sebelum tujuh hari, anak itu harus segera
ditemukan. Aku juga akan turun tangan
mencarinya."
"Siap, tuan!" serentak ke limanya
menyahut.
Tanpa diperintah lagi mereka segera
pergi ke berbagai arah, juga Kuntawala yang
melesat ke arah lainnya.
Setelah keadaan aman, muncullah
Santana dari balik semak belukar yang tak
disangka akan menjadi tempat
persembunyiannya.
Anak lelaki yang bongsor, di usianya
yang ketiga belas tinggi badannya melebihi
anak seumurannya. Mungkin menurun dari
bapaknya, wajahnya juga tampan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
12
Nandar Hidayat
Tanpa pikir panjang lagi dia juga pergi
ke arah yang berbeda.
***
Tanpa membawa bekal apapun, pakaian
pun hanya yang dikenakan di badannya.
Santana bertekad bulat meninggalkan ayahnya,
keluarga satu-satunya yang dia miliki. Semua
ini karena hati nuraninya yang bertentangan
dengan pekerjaan sang ayah yaitu perampok.
Pemuda tanggung ini melangkah
menyusuri jalan setapak yang jauh dari
keramaian, entah sudah berapa jauh dia
meninggalkan bukit tempat tinggalnya.
Santana tidak ingat sejak kapan ayahnya
jadi perampok, mungkin sejak masih kecil. Dia
teringat kepada ibunya yang sudah lama
meninggal, saat itu dia masih berumur tujuh
tahun.
Lebih jauh lagi dia mengingat-ingat saat
masih kecil. Saat ibunya masih hidup, waktu
itu dia tidak tinggal di puncak bukit
Cibaringkeng, tapi di sebuah kampung kecilPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
13
Nandar Hidayat
yang damai. Santana kecil yang selalu ceria
sering bermain-main dengan teman sebayanya.
Sang ayah yang walaupun jarang pulang
-setidaknya sebulan sekali pulang- dia tidak
terlalu memikirkan. Mungkin karena masih
anak-anak. Kata ibunya, ayahnya bekerja
kepada seorang saudagar yang selalu kirim-
kirim barang ke kota raja, makanya jarang
pulang.
Namun setelah ibunya meninggal karena
penyakit yang sudah lama diidapnya,
Kuntawala mengajak Santana pindah rumah ke
bukit Cibaringkeng. Di sana dia tidak lagi
mendapati sang ayah yang pulang sebulan
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali. Hampir setiap hari selalu ada di rumah
bersama teman-temannya yang kini tahu
mereka adalah anak buahnya.
Hanya selama satu hari saja Santana
ditinggal di rumah, besoknya sang ayah sudah
kembali membawa barang-barang berharga.
Belakangan diketahui bahwa satu hari itu
adalah saat beraksinya melakukan
pembegalan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
14
Nandar Hidayat
Sekarang, di umurnya yang masih hijau
pikirannya seolah sudah melangkah lebih
maju. Ya, dia tidak ingin mengikuti jejak
ayahnya.
Mulai dari sekarang, hidupnya akan
berubah!
***
Sampai di perkampungan perutnya mulai
terasa lapar. Santana menyapukan pandangan.
Banyak orang lalu lalang yang baru pulang
dari sawah dan ladang mereka, ada juga yang
membawa sisa-sisa dagangan. Anak ini
mendongak, semburat jingga berpijar di ufuk
barat.
Hatinya girang sekarang, di salah satu
sudut perempatan jalan dia melihat sebuah
kedai makan yang masih ramai. Segera saja
Santana menghampirinya namun bukan ke
bagian depannya melainkan ke belakang.
"Permisi, Bi!" sapa Santana kepada
seorang wanita paruh baya yang sedang
memasak.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
15
Nandar Hidayat
Si Bibi ini menatap sejenak, menyelidiki,
barangkali dia mengenali Santana. Ternyata
tidak.
"Ada apa, jang?"
"Saya lapar, bi!" Santana terus terang.
Polos.
Si bibi kembali menatap, dia berpikir
anak ini pasti hendak minta makanan karena
tidak punya uang. Melihat dari penampilannya
jelas sekali anak ini habis menempuh
perjalanan jauh. Jangan ditanya soal orang
tuanya, karena dilihat dia cuma sendirian.
"Saya tidak akan meminta cuma-cuma,
bi," ujar Santana seolah mengetahui isi hati si
pemilik kedai. "Bibi boleh menyuruh saya
mengerjakan apa saja dulu, saya mau!"
"Oh...!" si bibi angguk-angguk kepala.
"Baiklah, kamu cuci saja peralatan makan di
sana!"
"Baik, bi!"
Segera Santana mengerjakan apa yang di
suruh si bibi pemilik kedai. Setumpuk tempat
makan yang terbuat dari anyaman bambu,
tanah liat dan juga bumbung bambu yangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
16
Nandar Hidayat
dibuat seperti gelas sudah berpindah ke tempat
cucian yang berada di samping kedai sebelah
dalam.
Dari tempat ini, Santana bisa
mendengarkan percakapan orang-orang di
dalam kedai.
"Kau sudah dengar tentang pasukan
siluman, Jarkawi?" tanya seseorang kepada
temannya.
"Pasukan siluman, apa lagi tuh, Wirya?"
si Jarkawi malah balik tanya, dasarnya
memang dia tidak tahu.
"Iya, siluman apa?" timpal yang lain.
"Dengarkan saja dulu," ujar yang lain
lagi. " Si Wirya kan tempatnya segala berita,
ha ha ha..."
"Ya...ya...ya... betul!"
Seketika suasana kedai jadi hening
menunggu orang bernama Wirya buka suara
lagi.
"Mereka menamakan dirinya Pasukan
Siluman Laskar Dewawarman, mungkin bagi
rakyat kecil seperti kita tidak begitu
meresahkan. Karena sepak terjang merekaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
17
Nandar Hidayat
hanya merampas harta milik para saudagar
atau pejabat,"
"Berarti sama saja dengan kelompoknya
Kuntawala si Raja Begal," sela Jarkawi.
"Hmmh, iya juga" yang lain ikut
menimpali.
"Tapi mereka hanya merampas harta,
tidak sampai membunuh orangnya," jelas
Wirya kemudian. "Sedangkan kita tahu si Raja
Begal lebih sadis. Selain merampas juga
membunuh, bahkan orang biasa juga bisa kena
begal mereka,"
"Ya, ya, ya, terus selain itu apalagi?"
"Selain merampas harta, mereka pernah
menghancurkan sebuah padepokan sampai rata
dengan tanah. Kalau yang ini mereka
membunuh semua murid padepokan termasuk
gurunya..."
"Wah, ini kejam dan juga pastinya
mereka mempunyai ilmu silat yang tinggi..."
"Tunggu, tunggu..!" sela seseorang
sehabis meminum tehnya. "Bukankah
Dewawarman adalah leluhur para raja di tanah
Sunda ini?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
18
Nandar Hidayat
"Iya, betul!"
"Bagaimana bisa jadi pasukan siluman
yang kejam, apa tujuan mereka?" tanya
Jarkawi.
Setelah menyeruput kopinya Wirya
menjawab lagi. "Kalau tujuannya akupun tidak
tahu apa, tapi kabarnya mereka adalah
keturunan dari para pengikut Dewawarman
dahulu."
Yang lain tampak menggumam tak jelas
sambil menikmati hidangan yang tinggal
sedikit lagi.
"Mendengar dari namanya, kurasa
mereka bukan dari Indraprahasta ini," pikir
seseorang namun suaranya cukup terdengar
seantero kedai. Yang lain merasa sepikiran
maka terdengar gumaman mengiyakan.
"Benar, mereka tidak hanya bergerak di
sini tapi di kerajaan-kerajaan lain. Jumlah
mereka sangat banyak, tentunya di setiap
wilayah ada cabangnya," jelas Wirya lagi.
"Aku rasa ini hanyalah permainan kotor
para petinggi kerajaan," duga seseorang.
"Maksudmu?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
19
Nandar Hidayat
"Kita tahu di Indraprahasta, walau tidak
tampak tapi terjadi perang pengaruh antara
Raden Wiratara dan Raden Purbasora, mereka
sama-sama mengincar kedudukan raja. Raden
Wiratara merasa berhak karena dia anak lelaki
satu-satunya, sedangkan Raden Purbasora
walaupun cuma menantu, tapi dia adalah
suami putri sulung sang raja. Kakak ipar raden
Wiratara. Dan kebiasaan di setiap kerajaan
adalah anak sulung yang menjadi pewaris
tahta."
"Benar, apalagi Raden Purbasora pasti
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
didukung oleh ayahnya, resi Sempakwaja
tokoh paling sakti di tanah Sunda dan juga
keturunan dari Prabu Wretikandayun pendiri
Galuh," Wirya menimpali.
"Satu lagi jangan lupa!" ujar Jarkawi.
"Apa lagi?"
"Siapa yang jadi raja di pusat
pemerintahan Galuh?"
Seketika orang-orang saling bergumam
sendiri-sendiri seakan mengerti dengan
jawaban Jarkawi tadi.
"Pada akhirnya akan bertujuan kesana,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
20
Nandar Hidayat
"Eh, apa maksudmu?"
"Sudahlah, kita tidak perlu ikut
memikirkan apalagi khawatir tentang semua
itu, yang penting saat ini dan seterusnya kita
masih bisa hidup tenang, makan enak dan tidur
nyenyak, hahaha...."
"Ya, ya, ya...!"
Semua orang jadi riuh dan tertawa-tawa
lalu menghabiskan hidangannya.
Selesai juga Santana melakukan
tugasnya, rasanya lega kalau bisa makan hasil
dari keringat sendiri, tenang dan juga nikmat.
Setelah cukup kenyang, bocah tiga belas tahun
ini pamit melanjutkan perjalanan.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
21
Nandar Hidayat
2
Selesai makan, Santana lanjutkan
perjalanan. Sebenarnya bisa saja dia meminta
untuk bekerja di kedai tadi untuk menjalani
kehidupan barunya. Namun tempat kedai itu
masih dekat ke bukit Cibaringkeng. Dia takut
ayah dan anak buahnya menemukannya. Maka
dia memutuskan untuk mencari tempat yang
lebih jauh dari rumahnya, walaupun harus ke
ibukota Galuh sekalian.
Santana sampai di suatu tempat yang
ramai. Banyak penjual berbagai macam
dagangan dan banyak juga orang yang sedang
melihat-lihat, memilih, menawar dan membeli
barang. Sebuah pasar.
Namun anak tiga belas tahun ini selalu
waspada. Kalau-kalau ada salah satu anak
buah ayahnya, dia akan menghindar sebisa
mungkin. Walaupun dia bisa sedikit jurus-
jurus bela diri yang pernah diajarkan ayahnya,
tapi itu belum seberapa dibanding kepandaianPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
22
Nandar Hidayat
anak buah ayahnya. Mereka sudah bisa
dibilang jagoan dalam ilmu silat. Sayangnya
kepandaian itu digunakan untuk kejahatan.
Kekhawatiran Santana menjadi nyata
saat jauh di depan sana tampak seorang laki-
laki tegap berbaju serba hitam, wajahnya
berewokan dan rambut gondrong terurai acak-
acakan tanpa ikat kepala.
"Mamang Darpa!" desis Santana sembari
tengak-tengok mencari tempat untuk
sembunyi.
Namun sesuatu terjadi di sana. Seorang
lelaki gagah menghadang langkah Darpa.
Lelaki tinggi telanjang dada, di leher
menggantung perhiasan kecil seperti lencana,
di kedua lengan bagian atasnya juga melingkar
gelang berwarna emas. Di bawahnya memakai
celana sontog hitam yang ujungnya ada hiasan
sulaman, di bagian pinggang hingga paha
dilapis dengan kain bercorak yang diikat
dengan sabuk yang terlihat mewah. Seorang
prajurit, mungkin berpangkat perwira.
"Mau apa kau?" sentak Darpa sambil
melotot membuat wajahnya tambah seram.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
23
Nandar Hidayat
Si perwira berkumis tipis ini tersenyum,
"Kau harus ikut aku," jawabnya.
"Siapa kau berani memerintahku?"
"Kau dan pemimpinmu itu adalah orang-
orang yang dicari kerajaan, sudah mengerti?"
"Oh, begitu!" suara Darpa mengejek.
"Sekarang pihak kerajaan sudah mulai turun
tangan, ha ha ha, tapi aku tidak takut!"
"Kau tidak takut kalau bersama-sama
dengan yang lainnya, tapi bagaimana kalau
sendirian?"
"Kau meremehkanku!" teriak Darpa
seraya menghambur menghantamkan tinjunya
yang mantap penuh tenaga ke wajah si
perwira.
Dengan tenang si perwira miringkan
kepala sambil menangkis. Serangan susulan
dari Darpa berupa sodokan ke arah perut
datang. Si perwira bungkukkan badan lalu
menangkis lagi dengan tangan satunya. Kejap
berikutnya terjadi pertarungan yang
mengakibatkan ketakutan orang-orang yang
sedang berjual-beli. Mereka segera menjauhiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
24
Nandar Hidayat
tempat perkelahian. Sementara dari jauh
Santana memperhatikan pertarungan itu.
Santana sudah hapal betul jurus-jurus
yang dikeluarkan Darpa yang tampak kaku
namun mantap dalam serangan. Tapi Santana
terpukau dengan gerakan jurus si perwira yang
tampak indah. Gerakannya lembut namun
bertenaga. Seperti orang menari tapi
gerakannya cepat dan terarah dan juga lebih
unggul dari lawannya.
Buktinya sekarang Darpa terdesak,
beberapa kali dia terkena pukulan dan
tendangan. Tampaknya dia ingin mencabut
senjatanya, namun tak ada kesempatan sama
sekali. Benar kata si perwira, kalau sendirian,
anak buah si Raja Begal ini bukan lawan yang
tangguh. Mereka hebat karena bersama-sama
ditambah dengan kepandaian Kuntawala yang
tidak bisa dianggap sembarangan. Makanya
sampai saat ini belum ada yang bisa meringkus
mereka. Suatu keberuntungan bagi si perwira
yang memang ditugaskan untuk menumpas
kawanan begal pimpinan Kuntawala ini.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
25
Nandar Hidayat
Secara kebetulan dia berjumpa dengan salah
seorang anak buahnya.
Melihat keadaan Darpa yang semakin
terdesak, si perwira tak mau berlama-lama
lagi. Dia bersalto di atas kepala Darpa diakhiri
dengan menjejakkan satu kaki ke kepala dan
satunya ke punggung.
Duk! Duk!
Darpa jatuh tersungkur wajahnya
menghantam tanah. Kepala dan punggungnya
sakit bukan main seperti habis dihantam
sebongkah batu. Belum sempat menyadari
keadaannya tiba-tiba beberapa orang prajurit
menodongnya dengan tombak.
"Ikat dan bawa dia!" perintah sang
perwira yang segera dikerjakan bawahannya.
Di tempatnya Santana, dia merasa lega
akhirnya Darpa bisa diringkus. Tapi dia
terkejut ketika tiba-tiba ada yang menepuk
bahunya. Santana menoleh. Seorang kakek
berpakaian selempang warna putih, berambut
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih campur hitam sedikit digelung ke atas,
berkumis dan jenggot juga dua warna tidak
tebal tidak tipis. Si kakek tersenyum.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
26
Nandar Hidayat
"Kau mau seperti dia?" tanya si kakek
mengerti kalau Santana mengagumi jurus silat
si perwira.
Sasaat anak Kuntawala ini bengong.
Belum sempat menjawab, si kakek sudah
menarik tangannya.
"Ikut aku!"
Santana dibawa ke tempat yang cukup
sepi, sebuah kebun kosong yang sepertinya
belum ditanami atau mungkin sudah dipanen.
"Siapa namamu?" tanya si kakek.
"Santana, Ki."
"Baiklah, Santana. Sekarang kau lihat
baik-baik!"
Kemudian si kakek yang aneh ini
memperagakan beberapa gerakan sebuah
jurus. Tidak banyak gerakannya sehingga
Santana bisa melihatnya dengan jelas.
"Nah, coba kau ikuti gerakan tadi dan
ulangi terus sampai mantap."
Masih diliputi perasaan aneh, Santana
mau juga melakukannya. Sampai beberapa kali
mengulang baru sadar kalau si kakek aneh itu
sudah tidak ada.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
27
Nandar Hidayat
"Aneh, siapa aki itu?"
Namun dia juga merasa senang karena
mendapatkan sebuah pelajaran jurus yang
belum tahu namanya. Dia akan melatih terus
jurus barunya itu. Santana mengulangi sekali
lagi sebelum dia meninggalkan tempat itu.
***
Semula Santana ingin berlari sejauh
mungkin menghindari kejaran ayah dan anak
buahnya. Namun kejadian beberapa saat lalu
membuatnya penasaran. Salah seorang anak
buah ayahnya berhasil dibekuk prajurit
perwira Indraprahasta. Dia jadi ingin
mengetahui lebih lanjut bagaimana nasib anak
buah yang lain termasuk ayahnya sendiri.
Setelah mengulang gerakan jurus yang
didapat dari kakek misterius terakhir kalinya,
Santana bergegas pergi melalui jalan lebar
yang sepi. Tapi baru beberapa langkah saja dia
mendengar suara ribut-ribut. Segera saja dia
mencari tahu ada kejadian apa.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
28
Nandar Hidayat
Di ujung belokan jalan terlihat sebuah
kereta kuda yang besar ditarik oleh dua kuda
sekaligus dan dikawal oleh tujuh orang yang
tampaknya memiliki kepandaian berkelahi,
tengah dihadang oleh sekelompok orang
berseragam hitam-hitam yang wajahnya juga
ditutup kain hitam sebatas hidung kebawah.
Jumlah mereka lebih banyak dari pengawal
kereta yang ternyata membawa barang
dagangan.
Di atas kereta ada dua orang yang
menunjukan muka ketakutan. Seorang ayah
dan putrinya yang cantik kira-kira berumur
delapan belas tahun.
"Kami laskar siluman Dewawarman!"
teriak lantang salah seorang dari penghadang,
tapi tidak tahu mana yang berteriak tadi.
Seolah-olah datang dari tempat lain.
Si pedagang, putrinya dan para
pengawalnya tentu saja terkejut mendengar
nama yang saat ini sedang banyak dibicarakan
orang. Sementara di tempat
persembunyiannya, Santana tampak angguk-
angguk kepala. "Jadi mereka..." gumamnya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
29
Nandar Hidayat
"Jadi, kami harap kalian sudi
menyerahkan barang bawaan kalian secara
baik-baik, kami tidak akan menyakiti!"
"Bangsat!" maki si pedagang tapi
suaranya terdengar gemetar. "Aku tidak sudi!"
Baru saja selesai mengumpat tiba-tiba
ketujuh pengawalnya roboh seperti pohon
tumbang terhempas angin. Mereka hanya
pingsan. Belum hilang kagetnya tahu-tahu dua
orang dari laskar siluman Dewawarman sudah
berada di atas kereta. Lebih parah lagi tanpa
terlihat kapan melakukannya, dua tangan si
pedagang dan putrinya sudah terikat tali
dengan kuat.
"Bapak...!" sang putri menjerit
ketakutan, sementara si ayah tak bisa berbuat
apa-apa.
"Kalian tidak akan dilukai, sebaiknya
kalian ikuti kami!"
Kemudian salah seorang dari mereka
memegang tali kendali kuda lalu menggebrak
sehingga kereta melaju agak cepat. Anggota
laskar yang lain mengikuti dari belakang.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
30
Nandar Hidayat
Termasuk Santana melakukannya secara diam-
diam.
Kereta dagang yang sudah berganti
pengawal itu tidak melalui jalan umum tapi
malah masuk ke jalan hutan yang agak sempit
untuk ukuran kereta kuda.
Saat senja tiba, keadaan di dalam hutan
tampak gelap. Rombongan laskar siluman
Dewawarman berhenti di suatu tempat yang
cukup lapang. Sepasang ayah dan anak sudah
tidak terikat lagi kedua tangannya. Sepanjang
jalan tak sedikit pun mereka diperlakukan
tidak baik.
"Kita menunggu pimpinan di sini,
turunkan dua tawanan itu!"
"Baik!"
Walaupun tidak disakiti namun hati
mereka tetap merasa takut dan was-was. Kabar
dari orang-orang, Laskar siluman ini hanya
merampas harta orang tidak sampai
membunuh. Tapi tetap saja kalau jadi tawanan
seperti ini tak bisa merasa tenang.
Hari semakin gelap, suara serangga
malam terdengar semakin ramai pertandaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
31
Nandar Hidayat
malam sudah tiba. Belasan anggota laskar
siluman Dewawarman tampak berbaris rapi di
depan kereta barang sedang menanti
kedatangan seseorang. Sementara si pedagang
dan putrinya dibiarkan di tempatnya seolah-
olah mereka tidak penting.
Bahkan ketika Santana berhasil
mendekati tawanan itu, pasukan berseragam
hitam ini tetap tak bergeming seperti tidak
sadar akan kehadiran orang lain.
"Mamang, ayo kita tinggalkan tempat
ini!" bisik Santana sambil menarik tangan
ayah dan anak itu.
Entah kenapa seperti kena gendam, si
pedagang dan putrinya menurut saja, dan
anehnya kejadian itu seperti dibiarkan saja
atau tidak disadari laskar siluman itu. Hingga
akhirnya Santana berhasil membawa mereka
jauh dari tempat itu dengan tenang tanpa takut
dikejar.
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih, anak muda." ucap si
pedagang.
"Sama-sama. Sebaiknya mamang berdua
langsung pulang atau istirahat dulu sejenak?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
32
Nandar Hidayat
"Kita pulang saja. Oh ya, siapa namamu,
nak?
"Santana,"
"Aku Garda Salira, dan ini putri semata
wayangku. Namanya Kemala,"
Santana menoleh, walau keadaan gelap
tapi masih bisa memandang wajah si gadis
yang begitu mempesona. Ini pertama kalinya
dia berjumpa seorang gadis. Seketika
jantungnya berdegup kencang, dia tahu si
gadis usianya jauh lebih tua.
"Terima kasih." ucap Kemala terdengar
lembut suaranya. Santana hanya mengangguk.
"Masih jauhkah tempat tinggal
mamang?"
"Tidak begitu jauh, sebelum tengah
malam juga sudah sampai. Bagaimana kau
bisa tahu kami ditawan?
"Kebetulan aku menyaksikan sejak
mamang dan para pengawal dihadang,"
"Oh, begitu. Kamu sendiri dari mana dan
mau kemana? Siapa orang tuamu?"
Sebelum menjawab Santana melirik
Kemala, "Aku... sebenarnya aku kabur dariPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
33
Nandar Hidayat
rumah. Maaf, mengenai rumah dan orang
tuaku belum bisa aku jelaskan sekarang."
Tentu saja Santana tak ingin diketahui
bahwa dia anak perampok, dan tampaknya
Garda Salira juga tak begitu
mempedulikannya. Mungkin hal itu bersifat
sangat pribadi.
"Kurasa pasukan siluman itu tidak
mengejar kita," kata Santana mengalihkan
pembicaraan. "mamang berdua sudah aman,
sebaiknya aku pamit."
"Tunggu Santana, kau mampir saja dulu
ke rumah. Mungkin kau butuh tumpangan
menginap, itung-itung rasa terima kasih kami,"
"Baiklah, mamang."
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
34
Nandar Hidayat
3
Tiga orang ini menelusuri jalan yang
semula dilewati. Sampai di tempat ketika
mereka dihadang Laskar Siluman
Dewawarman, ternyata tujuh orang pengawal
dagang mereka sudah tidak ada. Mungkin
sudah siuman lalu pulang ke rumah masing-
masing.
Garda Salira tidak memusingkan ketujuh
pengawalnya karena dia sudah membayarnya
di muka. Mereka adalah orang-orang yang
memiliki kepandaian bela diri yang disewa
untuk mengawal barang dagangan yang akan
dikirim ke kota raja.
Sekarang barang dagangannya sudah
jatuh ke tangan orang-orang laskar siluman
yang sudah sering ia dengar sepak terjangnya.
Ternyata dia juga mengalaminya sebagai
seorang pedagang besar. Tapi itu tidak jadi
soal, yang penting dia bersama Kemala
selamat tak kurang suatu apapun. Untung jugaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
35
Nandar Hidayat
ada Santana, kalau tidak mungkin dia masih
pasrah jadi tawanan laskar siluman. Walaupun
tidak disakiti tapi tidak tahu nantinya akan
diapakan.
Sebelum tengah malam mereka sampai
di rumah kayu yang cukup besar. Rumah yang
cukup mencolok di antara rumah-rumah
penduduk lain di sebuah desa. Suasana sepi,
hanya damar-damar yang berada di luar saja
yang menyala. Kemala dan ayahnya tinggal di
rumah sebesar itu berserta tiga orang
pembantu, itu juga hanya untuk urusan
perdagangan. Sedangkan untuk pekerjaan
rumah dilakukan oleh Kemala sendiri karena
sang ibu sudah meninggal.
Sebenarnya hati Santana sangat senang
diajak singgah ke rumah ini. Senang karena
bisa berdekatan lebih lama dengan Kemala.
Inikah yang namanya 'berag'? Pertama kalinya
dia menyukai seorang gadis. Namun ia tidak
menunjukkannya lewat sikap, malah seolah-
olah dia anak pemalu saat berbicara dengan
Kemala. Wajahnya sering menunduk hanyaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
36
Nandar Hidayat
sesekali melirik untuk menyelami cantiknya
wajah si gadis yang sudah matang.
Kemala, gadis umur delapan belas tahun
jelas sudah tampak keindahan lekuk tubuhnya
dan pasti memikat lawan jenis. Apalagi
Santana yang seolah-olah baru pertama kali
melihat perempuan. Yang tadinya hanya
berniat sekedar menumpang tidur sementara
malah menjadi keterusan karena semakin hari
semakin akrab dengan si gadis. Sebagai balas
jasanya, Santana dengan suka rela membantu
pekerjaan ayah Kemala sebagai pedagang
besar.
Namun masalah selalu ada di setiap sisi
kehidupan. Keakraban Santana dan Kemala
ternyata ada yang tidak menyukainya. Suatu
hari ketika Santana sedang membersihkan
ladang milik Garda Salira dari rumput-rumput
dan tanaman liar, tiba-tiba dia didatangi
seseorang.
"Oh, rupanya ini si tukang kebun yang
cari-cari muka dan kesempatan!" suara besar
dan agak kasar keluar dari seorang lelaki yang
badannya setinggi Santana namun lebih kekar,PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
37
Nandar Hidayat
wajahnya tampan tapi terkesan sangar. Dia
berumur dua puluh tahun.
"Siapa kau?" tanya Santana walau tahu
pemuda dihadapannya pasti mempunyai tujuan
kurang baik tapi dia tetap bicara pelan.
"Aku Gumara calon suami Kemala,"
"Oh, begitu!" gumam Santana tapi hanya
dalam hati. "Kenapa Kemala tidak pernah
cerita?"
"Aku tidak suka kau dekat-dekat dengan
Kemala. Sebaiknya kau jauhi dia dan jangan
lagi jadi pegawainya juragan Garda!"
Santana menatap tajam ke arah Gumara.
Kenapa Kemala mau dengan laki-laki angkuh
seperti ini? Pikirnya.
"Aku tidak suka diperintah, kau bukan
juraganku!"
"Kurang ajar, beraninya kau
membantah!" belum selesai bicara, Gumara
sudah bergerak melayangkan tinjunya yang
kekar disertai gerakan jurus yang memukau.
Mau tak mau Santana melayani
pertarungan yang tak diinginkannya,
mengingat dia belum menguasai jurus atauPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
38
Nandar Hidayat
ilmu yang ampuh. Ini pertama kalinya dia
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertarung melawan musuh yang baru dikenal.
Dengan kemampuan yang masih rendah,
Santana menggunakan jurus-jurus yang
diajarkan ayahnya dan juga dari kakek
misterius beberapa hari yang lalu. Namun
gerakannya masih mentah.
Gumara sendiri tampak lebih sigap
terlihat sudah berpengalaman jelas dia berada
di atas angin. Lawannya dibuat jadi bulan-
bulanan sehingga senyum angkuh dan
sombongnya selalu tersungging di bibirnya.
Beberapa pukulan mentah bersarang di
tubuh Santana membuatnya hilang
keseimbangan. Di beberapa anggota badannya
banyak keluar darah dan memar. Hingga dia
tak kuat lagi menahan dan tubuhnya roboh ke
tanah. Beruntung tiba-tiba saja Kemala datang
menghentikan kebengisan Gumara akibat rasa
cemburunya.
"Apa yang kau lakukan?" Kemala
menghampiri Santana yang tergeletak di tanah
lalu berusaha membangunkannya.
"Santana, kau terluka!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
39
Nandar Hidayat
Melihat hal itu hati Gumara semakin
cemburu, gadis calon istrinya malah menolong
Santana.
"Kenapa kau malah menolongnya?"
bentak Gumara.
"Kenapa kau melukainya?" Kemala
malah balik tanya.
"Aku tidak suka dia dekat denganmu,
kau calon istriku,"
"Aku tidak suka caramu yang kasar!"
bentak Kemala.
"Kenapa kau jadi begini, Kemala.
Jangan-jangan kau sudah jatuh hati pada anak
ingusan itu?"
"Terserah kamu!"
Lalu dengan susah payah Kemala
merangkul Santana yang kelelahan
membawanya pulang. Sementara Gumara
tampak murka di tempatnya.
Sampai di rumah Santana diobati oleh
salah seorang pembantu Garda Salira yang
kebetulan ahli dalam pengobatan. Sekujur
tubuh Santana yang luka dan lebam dibalur
dengan ramuan tanaman obat. Tak menyangkaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
40
Nandar Hidayat
akan seperti ini, ternyata kepandaian bela
dirinya belum seberapa. Beberapa jurus ajaran
ayahnya ditambah satu jurus dari kakek
misterius ternyata masih mentah.
Namun dibalik rasa sakit yang
dideritanya sekarang ada satu kegembiraan
hati yang tak dapat digambarkan. Kemala
selalu menemani dan merawatnya. Semakin
dekat semakin akrab.
Di suatu malam ketika semua penghuni
rumah sudah terlelap kecuali Santana. Tiba-
tiba remaja yang mulai berag ini dikejutkan
dengan kedatangan seseorang.
"Bangunlah, ikut aku!"
Dari suaranya Santana dapat mengenali
orang itu.
"Aki!"
Dengan susah payah Santana bangkit.
Seluruh tubuhnya masih terasa sakit, tapi
dengan tergopoh-gopoh dia berjalan bahkan
bila perlu sampai merangkak mengikuti kakek
misterius itu. Sampai di sebuah tempat yang
lapang agak jauh dari rumah besar itu barulah
si kakek misterius berhenti.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
41
Nandar Hidayat
Suasana tampak temaram oleh sinar
bulan separuh yang menggantung dilangit.
Dengan keadaan memprihatinkan Santana
berdiri tidak tegak karena menahan ngilu di
belakang si kakek.
"Lihatlah, lalu lakukan terus menerus
sampai terasa hasilnya." ujar si kakek tanpa
basa basi lalu dia menggerakkan tangan dan
kakinya membentuk sebuah jurus.
Santana pun memperhatikannya dengan
seksama. Mengingat setiap gerakan tangan
maupun kaki. Di mana saat mengeluarkan
tenaga kecil atau besar. Sedangkan telinganya
mendengarkan setiap tarikan napas, seberapa
kuat suara injakan kaki ke tanah dan juga
seberapa keras kibasan angin dari gerakan
tangan.
"Yang paling utamanya adalah mengatur
napas sebaik mungkin," si kakek menjelaskan
setelah selesai gerakannya. "Dan jangan lupa,
kokohkan kuda-kuda, nah lakukanlah!"
Akhirnya walaupun harus menahan rasa
sakit Santana melakukan perintah si kakek
yang sama sekali belum tahu namanya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
42
Nandar Hidayat
Awalnya tampak meringis-ringis dan
gerakannya sangat lambat, tapi semakin lama
semakin cepat rasa sakit di tubuhnya perlahan
menghilang. Santana terus melakukannya
sesuai petunjuk sampai berpuluh-puluh kali
mengulang gerakan yang merupakan sebuah
jurus itu. Dia lupa luka-luka di badannya, lupa
rasa sakitnya bahkan baru sadar ketika dia
menghentikan gerakannya.
"Oh, aku tidak merasa sakit lagi.
Tubuhku terasa ringan dan segar, aki...!"
Ternyata si kakek sudah menghilang
lagi. Santana menghela napas lega, senang
hatinya. Luka-luka di tubuhnya tak terasa sakit
lagi.
"Aku sembuh!" serunya sumringah.
"Terima kasih aki, aku belum tahu siapa kau
sebenarnya. Tapi kau sudah seperti guruku,
sekali lagi terima kasih banyak!" Ia berkata
seolah-olah si kakek masih berada di dekatnya
dan dia yakin si kakek pasti mendengarnya.
Untuk meyakinkan diri, pemuda tiga
belas tahun ini mengulang lagi jurus barunya
yang merupakan lanjutan dari jurusPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
43
Nandar Hidayat
sebelumnya sampai beberapa kali. Lalu segera
mungkin dia kembali ke kamarnya.
***
Pagi hari yang cerah dan sejuk harus
dikejutkan dengan suara gaduh di halaman
rumah yang cukup luas itu. Secara kebetulan
Santana dan Kemala berpapasan di pintu
utama rumah.
"Ada apa?" tanya Santana.
"Tidak tahu, kedengarannya ada orang
berteriak-teriak," jawab Kemala. "Santana,
kau..." gadis ini tiba-tiba heran melihat
Santana tampak sehat.
"A.. aku sudah mendingan..."
Kemudian mereka segera ke sumber
kegaduhan. Ternyata Gumara datang sambil
teriak-teriak lantang.
"Mamang Garda, mana anak ingusan itu!
Usir dia dari rumah ini! Aku tidak sudi dia
dekat-dekat calon istriku!"
Santana dan Kemala saling pandang, "Di
mana mamang?" tanya Santana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
44
Nandar Hidayat
"Sejak hari gelap dia sudah ke ladang,"
"Laki-laki itu datang lagi mencariku,"
"Biar aku yang bicara padanya,
Santana."
Kemala segera menghampiri Gumara
yang terlihat marah besar. Wajahnya tampak
menyeramkan, kedua matanya melotot lebar.
"Kau tak punya hak mengatur bapakku,"
hardik Kemala. "Aku tidak menyangka
ternyata seperti ini sifatmu,"
"Apa maksudmu, Kemala? Sudah jelas
kau calon istriku, lelaki mana pun tidak berhak
mendekatimu. Hanya aku yang berhak!"
"Kau belum berhak apapun karena kau
belum jadi suamiku, sikapmu telah
membukakan mata hatiku, telah menunjukan
siapa kau sebenarnya. Aku tak sudi jadi
istrimu!"
"Apa..!" Gumara semakin murka,
pandangannya menghujam ke arah Santana.
Sangat marah.
"Dia tamuku dan juga penolong kami,"
ujar Kemala, yang dimaksud adalah Santana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
45
Nandar Hidayat
"Bedebah! Wanita murahan, kubunuh
kau..!"
Kecewa karena sang pujaan hati
membela laki-laki lain, maka amarah semakin
memuncak, kalap, gelap mata. Dengan jeritan
melengking, Gumara mengangkat tangan
kanan melancarkan pukulan kuat ke wajah
Kemala. Gerakannya cepat sehingga si gadis
tak sempat menghindar, hanya sempat
memejamkan mata.
Dukk!
Kemala terkejut mendengar benturan di
depan muka. Saat membuka mata, ternyata
tangan Santana yang menghalau pukulan
Gumara.
"Bocah ingusan, kau masih berani
padaku?"
"Lelaki bengis sepertimu tak pantas jadi
suaminya!"
Kali ini dengan penuh kayakinan
Santana akan menghadapi lawannya, apalagi
Gumara dalam keadaan marah. Tak banyak
basa basi lagi dia langsung menerjangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
46
Nandar Hidayat
mengeluarkan jurusnya namun tetap dengan
ketenganan.
Pertarungan sengit pun terjadi. Gumara
yang merasa yakin karena pernah
mengalahkan Santana sebelumnya
menganggap remeh lawannya. Tapi setelah
beberapa jurus berlalu dia jadi heran melihat
Santana yang tiba-tiba saja menjadi lebih
hebat. Gerakan jurusnya mantap dan kuat
bahkan mampu mengimbangi diri.
Hal ini membuat Gumara semakin
geram, dia tingkatkan kekuatan mantapkan
jurus namun terlalu membabi-buta karena
amarahnya. Sedangkan Santana melayaninya
dengan tenang sehingga dia mudah melihat
celah kelemahan lawan ditambah kekuatan
tubuhnya yang terasa meningkat dan ringan
dalam bergerak.
Akhirnya beberapa pukulan telak pun
bersarang di tubuh Gumara yang membuat
tenaganya berkurang gerakannya melambat
dan tak karuan hingga sekarang giliran dia
yang jadi bulan-bulanan lalu tersungkur penuh
luka dan memar.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
47
Nandar Hidayat
Melihat lawannya sudah tak berdaya,
Santana menghentikan serangannya. Dia
melihat Gumara tergopoh-gopoh melarikan
diri, tapi tiba-tiba dia terkejut mendengar
teriakan Kemala.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
48
Nandar Hidayat
4
"Tolooong...!"
Santana melihat seseorang membawa
lari Kemala sangat cepat. Tanpa pikir panjang
segera saja dia mengejar.
Gerakan penculik itu lumayan cepat,
walau sambil memanggul tubuh Kemala di
pundak kanannya tapi Santana tak mampu
menyusul.
"Ah, dia menggunakan ilmu
meringankan tubuh," keluh Santana.
Sedangkan dia berlari dengan tenaga biasa
saja. Pantas saja tak mampu mengejar. Ia
menyesali dirinya yang bisa meringankan
tubuh.
Bagaimana nasib Kemala? Kenapa dia
seperti tak berkutik di atas pundak orang itu?
Siapa juga penculik itu? Sosoknya tak jelas
laki-laki atau perempuan. Di saat pikiran kalut
seperti itu tiba-tiba dia mendengar suara di
sebelah kanan, jauh tapi jelas.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
49
Nandar Hidayat
"Lihat aku!"
Santana menoleh ke kanan. Ternyata si
kakek misterius sedang berlari sejajar
dengannya namun terpaut sejauh lima tombak.
Kakek itu memperagakan cara berlari yang
aneh disertai gerakan badan yang lain sebagai
penyeimbang atau penunjang agar lebih cepat
larinya.
Santana tahu maksud si kakek, maka
segera dia ikuti apa yang dilakukan si kakek.
Anak ini cukup cerdas, tak butuh waktu lama
untuk memahami ajaran si kakek yang sampai
saat ini belum tahu namanya, berasal dari
mana dan siapakah dia sebenarnya?
Saat memperagakan ajaran si kakek kali
ini, remaja baru beger ini merasakan ada
perubahan dalam dirinya. Mulai dari terasa
lebih ringan tubuhnya, tambah cepat
gerakannya, bahkan dia bisa melompat cukup
jauh. Inikah ilmu meringankan tubuh?
Semakin semangat Santana melakukannya
semakin bertambah kepandaiannya sementara
si kakek misterius sudah tak terlihat lagi diPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
50
Nandar Hidayat
sana. Sekarang lebih memusatkan pada
pengejaran.
Semakin lama semakin dekat jarak
dengan si penculik. Dengan mengatur napas
yang benar dia tidak merasa lelah malah terasa
segar badannya. Sekitar dua tombak lagi
jaraknya, Santana meloncat ke atas bersalto di
atas kepala si penculik satu kali, lalu!
Jlekk!
Mantap! Dengan sempurna Santana
berhasil mendarat tepat di depan si penculik
dan langsung berhadapan muka. Ada rasa
senang di hatinya karena pertama kali
melakukan gerakan seperti ini langsung bisa.
Yang menjadi heran kemudian ternyata
si penculik adalah seorang perempuan muda
tapi lebih dewasa dari Kemala, kira-kira
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berumur dua puluh tigaan. Parasnya cukup
cantik dengan rambut panjang lurus tergerai
tanpa ikat kepala. Tubuhnya lebih sintal dan
padat.
"Lepaskan Kemala!" suruh Santana.
"Siapa kau?" si penculik malah balik
tanya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
51
Nandar Hidayat
"Kau yang siapa? Kenapa menculik
Kemala?"
"Aku bibinya!"
"Bibinya?" Santana tak percaya, kalau
bibinya kenapa harus menculik Kemala?
Lalu si penculik yang mengaku bibinya
ini menurunkan Kemala dari pundaknya.
Ternyata gadis ini masih sadar.
"Kemala, jelaskan padanya!" perintah si
bibi.
Kemala menatap Santana, menarik napas
lalu menjelaskan. "Ya, Santana, dia bibiku
namanya Sriwuni,"
"Tapi, kenapa seperti ini?" Santana
masih bingung.
"Aku terpaksa melakukannya karena
takut dikejar Gumara," jawab Sriwuni.
"Gumara sudah kalah," jelas Santana.
"Lalu mau dibawa kemana Kemala?"
"Aku mau membawa Kemala kepada
guruku, Nyi Gandalaras. Dia akan diangkat
jadi muridnya."
"Oh, begitu."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
52
Nandar Hidayat
Kemala mendekat ke Santana, menatap
dalam-dalam pemuda tampan itu sampai-
sampai terpesona dengan kecantikannya.
"Santana, sampaikan kepada ayah bahwa
aku ikut bibiku." Suaranya yang lembut terasa
sejuk di hati.
"Baiklah, Kemala." kata Santana pelan.
Yang disesalkan nantinya dia tidak bersama
lagi dengan gadis pujaan hatinya ini.
"Suatu saat kita akan bertemu lagi." ujar
Kemala.
Santana balas menatap tajam tepat ke
dua mata si gadis seakan menjelaskan bahwa
dia akan merindukannya.
"Ayo berangkat!" ajak Sriwuni.
Setelah berpegangan tangan sejenak,
Kemala melangkah mengikuti bibinya.
Perpisahan yang berat, tapi mengisyaratkan
bahwa si gadis juga memiliki perasaan yang
sama. Senang karena hal perasaan tapi sedih
karena harus berpisah.
Semoga benar, akan berjumpa lagi.
Santana terus memandang kepergian dua
wanita cantik itu sampai sosoknya tak terlihatPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
53
Nandar Hidayat
lagi bagai ditelan bumi. Namun begitu sadar,
pemuda ini bingung.
"Hah, di mana aku?"
Remaja yang baru kasmaran ini
mengitarkan matanya. Yang dilihat di
sekelilingnya adalah perkebunan yang luas,
sebagian hasilnya tampak sudah dipanen. Dia
bingung karena tidak tahu tempat yang
dipijaknya. Sebelumnya dia mengejar Sriwuni
yang menculik Kemala sambil belajar ilmu
meringankan tubuh langsung dari kakek
misterius dari jarak jauh. Dia tidak
memperhatikan tempat-tempat yang ia lewati,
makanya sekarang dia seperti orang kesasar.
Santana garuk-garuk kepala yang tak gatal.
"Kalau begitu, aku cari jalan saja."
ujarnya sambil melangkahkan kakinya
menelusuri kebun-kebun.
Tak berapa lama ia berhasil menemukan
jalan yang cukup lebar. Santana menarik napas
lega.
"Aku rasa ke arah kiri." gumamnya
memperkirakan jalan pulang.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
54
Nandar Hidayat
Tapi sebelum kakinya menginjak tanah
jalan yang berbatu itu, ia mendengar suara
derap kaki kuda. Dari suaranya seperti ada
banyak. Santana urungkan langkah, sembunyi
di balik rimbunan tanaman jagung.
Ternyata benar, ada sebelas kuda yang
ditunggangi oleh orang-orang berseragam
hitam-hitam dan wajahnya dari hidung ke
bawah ditutupi kain hitam.
"Laskar siluman Dewawarman!" desis
Santana terkejut. Hatinya jadi penasaran, lupa
kalau dia punya tugas memberi tahu Garda
Salira tentang kepergian Kemala bersama
Sriwuni, bibinya.
Selain itu juga dia ingin menjajal lagi
ilmu meringankan tubuh yang baru
didapatnya. Segera saja Santana mengejar
rombongan laskar siluman itu. Ternyata
mereka sudah cukup jauh, namun semangat
Santana menggebu-gebu. Dia kerahkan tenaga,
memperagakan ilmu meringankan tubuh
dengan lebih dari yang sebelumnya sambil
matanya terus memperhatikan ke depan,PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
55
Nandar Hidayat
melihat kepulan debu yang menandakan
keberadaan pasukan laskar siluman.
Samakin sering dilatih semakin
sempurna ilmu yang dimilikinya. Begitulah
yang dipikirkannya. Sambil menyelam minum
air. Ya, sambil mengejar pasukan siluman
yang bikin geger di kerajaan Indraprahasta,
sambil menyempurnakan ilmunya.
Usaha Santana memang berhasil. Laskar
Siluman Dewawarman berhasil ia kejar ketika
pasukan berkuda itu menaiki sebuah bukit.
Tapi apa yang dilihat Santana kemudian
di atas bukit yang tanahnya datar? Sebuah
padepokan kecil tampak porak poranda,
mayat-mayat murid padepokan yang semuanya
laki-laki bergelimpangan penuh darah.
Di salah satu sudut tempat yang sudah
rata dengan tanah itu terlihat pertarungan yang
tidak seimbang, seorang kakek renta melawan
belasan anggota Laskar Siluman. Tubuhnya
penuh luka bermandi darah. Santana hanya
mengelus dada melihat kejadian mengerikan
itu. Ia tak bisa berbuat apa-apa mengingat
kemampuannya yang masih cetek, apalagiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
56
Nandar Hidayat
melawan belasan orang sama saja mengantar
nyawa. Si kakek yang dipastikan ketua dan
juga guru besar di padepokan itu saja sudah
tak berdaya.
Beberapa sabetan senjata tajam
bersarang di tubuhnya hingga akhirnya si
kakek ketua perguruan pun ambruk. Dengan
sikap dingin tanpa belas kasihan, pasukan
laskar siluman itu bergerak meninggalkan
padepokan yang tinggal nama.
Santana menghampiri si kakek, ingin
melihat keadaan. Orang tua yang ubannya kini
warna merah karena darah itu terlentang di
tanah, napasnya masih tersengal-sengal.
"Aki, apa yang bisa saya bantu?" tanya
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Santana sambil jongkok di samping si kakek.
"Terima kasih anak muda," suara si
kakek serak tersendat-sendat. "Maafkan jika
aku merepotkanmu..."
"Tidak apa-apa, ki, katakanlah!"
"Kau hanya harus mengantarkan ini
kepada muridku," si kakek mengeluarkan
sebuah gulungan kulit binatang dari balik ikat
pinggangnya, lalu diserahkan ke Santana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
57
Nandar Hidayat
"Siapa dia, ki?" tanya Santana sambil
memegang gulungan yang diikat tali kain itu.
"Namanya Ardaya, dia adalah senopati
muda di kerajaan Indraprahasta, katakan
bahwa kau diutus oleh Ki Ranggaguna dari
padepokan Sugalih." setelah berkata demikian
si kakek terkulai menghembuskan napas
terakhirnya.
Santana bangkit, menyapukan
pandangan. Pemandangan mengerikan di
sekelilingnya. Segera saja dia tinggalakan
tempat itu.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
58
Nandar Hidayat
5
Apakah ini kebetulan atau memang
sudah diatur Sang Maha Kuasa, ketika Santana
menemukan sebuah jalan besar ada sebuah
kereta kuda kecil. Seorang lelaki setengah
baya sendirian di atas kereta mengendali kuda.
"Maaf, mamang!" Santana menghadang
laju kereta kuda yang berjalan sedang.
"Ada apa, anak muda?"
"Mamang hendak kemana?"
"Kota raja Indraphasta,"
"Kebetulan saya juga hendak ke sana,
bolehkah saya numpang?"
"Kebetulan juga kereta ini kosong
karena hendak mengambil barang ke kota raja,
silahkan, nak!"
"Terima kasih, mamang!"
Santana pun dapat tumpangan, kereta
kuda kembali melaju tidak kencang.
"Siapa namamu, nak?"
"Santana,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
59
Nandar Hidayat
"Aku Suwirya, ada keperluan apa kau ke
kota raja?"
"Saya membawa surat dari aki untuk
saudara saya yang tinggal di sana,"
"Oh, begitu,"
"Kota raja Indraprahasta itu letaknya di
mana, mamang?"
"Kau belum pernah kesana?"
Santana menggeleng.
"Di kaki gunung Indrakilla sebelah
timur, saudaramu itu siapa?"
"Dia jadi senopati muda di sana,"
"Ho ho ho, hebat sekali saudaramu, apa
kau juga ingin menjadi prajurit
Indraprahasta?"
"Saya, saya tidak tertarik, mamang. Saya
tidak punya kepandaian apa-apa,"
Tentu saja yang dibicarakan Santana
tentang kakek dan saudaranya di kota raja
adalah bohong belaka, ini hanya agar aman
saja. Dia tahu dusta itu perbuatan jelek, tapi
untuk hal ini tidak apalah, toh tidak merugikan
juga.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
60
Nandar Hidayat
"Prajurit Indraprahasta itu terkenal
"Dulu, prajurit Indraprahasta adalah pasukan
khusus, pasukan belamati maharaja
Tarumanagara,"
"Tarumanagara?" sela Santana.
"Ya, dulu Galuh dan Sunda itu satu yaitu
Tarumanagara..."
Santana mulai menyimak penuturan
Suwirya karena hal ini baru mendengarnya.
"Awal mula prajurit Indraprahasta
diangkat menjadi pasukan belamati
Tarumanagara adalah ketika berhasil
menumpas pemberontakan Cakrawarman,"
"Siapa Cakrawarman?"
"Panglima perang Tarumanagara,
adiknya sang maharaja Purnawarman,"
"Kenapa dia memberontak?"
"Karena dia merasa berhak menjadi raja
atas jasa-jasanya melebarkan kekuasaan
wilayah Tarumanagara. Sedangkan maharaja
Purnawarman mewariskan tahta kepada
putranya, Whisnuwarman."
"Oh, begitu. Terus kenapa sekarang
menjadi Sunda dan Galuh, mamang?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
61
Nandar Hidayat
"Aku juga tidak tahu, nak.
Tarumanagara pecah saat Prabu Tarusbawa
mewarisi tahta kemudian memindahkan
ibukota ke Sunda Sembawa. Tak lama
kemudian Prabu Wretikandayun menyatakan
diri bahwa Galuh merdeka dengan batas
wilayahnya, sungai Citarum."
"Lalu Indraprahasta?"
"Indraprahasta jadi bawahan Galuh
sekarang,"
"Bukankah prajuritnya hebat, kenapa
tidak Indraprahasta yang menjadi pusat
kekuasaan?"
"Itulah, semua orang juga berpikiran
begitu."
Percakapan berhenti sejenak, kereta kuda
terus melaju, sementara sang surya mulai
menjorok ke tempat terbenamnya. Terdengar
Suwirya kembali bertutur.
"Kabarnya, Raden Purbasora menikahi
putri sulung raja Indraprahasta karena
berambisi ingin mewarisi tahta. Kemungkinan
besar dia akan manfaatkan Indraprahasta untuk
memberontak terhadap Galuh,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
62
Nandar Hidayat
"Saya tidak mengerti, mamang."
Suwirya melirik sejenak ke arah Santana
kemudian melanjutkan. "Raden Purbasora
adalah anaknya resi Sempakwaja, resi yang
bertempat di Galunggung itu adalah putra
tertua Prabu Wretikandayun. Raden Purbasora
merasa berhak atas tahta Galuh yang sekarang
diemban oleh Prabu Sena, karena Prabu Sena
adalah anak hasil hubungan gelap mamangnya
raden Purbasora dengan ibunya. Dengan kata
lain, Prabu Sena adalah saudara satu ibu lain
ayah dengan raden Purbasora..."
"Rumit sekali, mamang," sela Santana
lagi.
Suwirya tertawa mengekeh, "Kau
memang belum saatnya untuk mengerti. Tapi
itu hanya baru kabar burung, belum tentu
kebenarannya. Malah kabar yang paling santer
sekarang adalah rebutan pengaruh raden
Purbasora dengan raden Wiratara,"
"Siapa Raden Wiratara?"
"Adik iparnya, dia juga berambisi jadi
raja."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
63
Nandar Hidayat
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Santana hanya menghela napas.
"Ternyata kehidupan para bangsawan tidak
seperti yang saya pikirkan. Hidup serba enak.
Tapi suka rebutan kekuasaan..."
"Hahahaha..!"
Senja pun tak terasa datang menjemput.
Suwirya mengajak Santana beristirahat di
sebuah kedai yang ada tempat penginapannya.
Sesuai dengan petunjuk dari mamang
Suwirya, Santana akhirnya berhasil ke pusat
kota raja. Sesampainya di sebuah gapura
terbuat dari susunan batu yang rapih yang
dijaga oleh dua orang prajurit, Santana
berhenti menatap kedua penjaga itu.
"Mungkin ini pintu gerbang istana,"
gumam Santana.
Dua penjaga itu tampak heran dengan
kedatangan anak kecil berbadan bongsor itu.
"Anak kecil, mau apa kau?" salah
seorang dari penjaga menegur.
Santana mendekat seraya membungkuk
hormat, dia asal saja membungkuk karena
tidak tahu bagaimana caranya menghormat
kepada prajurit.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
64
Nandar Hidayat
"Saya hendak bertemu dengan senopati
muda Ardaya," jawab Santana jelas.
"Siapa dan dari mana kamu?"
"Katakan saja, saya membawa pesan dari
Ki Ranggaguna,"
"Tunggu di sini," perintahnya kepada
Santana lalu dia menyuruh temannya untuk
melapor.
Kenapa disuruh menunggu? Padahal
Santana ingin melihat-lihat seperti apa istana
kerajaan. Mungkin untuk mencegah sesuatu
yang tidak diinginkan. Apa terhadap anak
kecil saja harus curiga? Padahal dia hanya
mengantarkan pesan.
Kira-kira sepeminuman teh lamanya,
barulah teman si penjaga yang satunya telah
kembali kali ini bersama seorang pemuda yang
tampan dan gagah mengenakan pakaian
keperwiraannya. Wajahnya memancarkan
kewibawaan, tegas. Inikah senopati muda
Ardaya?
"Anak kecil, siapa kau?" tanya si
pemuda gagah dengan sorot mata tajam.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
65
Nandar Hidayat
Gemetar hati Santana saat bertatapan
dengan sang senopati muda itu, namun dia
coba beranikan diri.
"Saya Santana, apakah mamang yang
bernama Ardaya?"
"Ya, katanya kau membawa pesan dari
guruku, apakah kau murid padepokan
Sugalih?"
Kemudian Santana menceritakan
kejadian yang menimpa padepokan tempat
Ardaya menimba ilmu dan juga gurunya, lalu
memberikan sebuah gulungan kulit yang
dititipkan Ki Ranggaguna untuk Ardaya.
Mendengar penuturan Santana, senopati
muda ini tampak kaget dan sedih seakan tak
percaya dengan kejadian itu. Namun setelah
membaca pesan dari gurunya dia percaya. Tapi
tetap saja hatinya terpukul berat. Padepokan
tempat ia belajar hingga berhasil menjadi
senopati muda di Indraprahasta, juga sang
guru yang sudah seperti orang tua sendiri kini
telah tiada.
Benar-benar tak percaya dan tak
menyangka. Kabar tentang pasukan silumanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
66
Nandar Hidayat
itu ternyata benar. Melihat kepolosan Santana
dari tatapan matanya dia percaya yang
dituturkannya bukanlah bualan.
"Terima kasih, Santana. Atas
kesudianmu mengantarkan pesan ini," kini
suara Ardaya terdengar gemetar sambil
meneteskan air mata.
"Ya, mamang. Saya turut berduka
dengan kejadian ini. Semoga mamang bisa
tabah,"
Sebagai ungkapan terima kasih, Ardaya
mengajak Santana makan di kedai yang cukup
mewah dan memberikan bekal untuk
perjalanan pulang. Anak bongsor ini cukup
senang juga dengan semua itu walaupun tidak
diajak masuk ke wilayah istana. Setelah selesai
tugasnya, Santana kembali ke tempat mamang
Suwirya yang katanya hendak membeli
barang-barang untuk dibawa ke desa.
Kereta kuda yang semula kosong kini
sudah terisi dengan barang-barang, tapi
Santana masih bisa numpang.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
67
Nandar Hidayat
Dari mamang Suwirya, Santana
mendapat pengetahuan tentang jalan dan
wilayah sehingga tanpa menumpang kereta
kudanya lagi dia bisa berjalan sendiri
menelusuri setiap tempat yang ia singgahi.
Remaja tanggung ini hendak kembali ke
rumah Kemala untuk memberitahukan perihal
kepergian si gadis bersama bibinya kepada
ayahnya.
Mengingat Kemala, Santana jadi
senyum-senyum sendiri. Inikah yang namanya
cinta pada pandangan pertama? Ya, cinta.
Remaja bongsor ini sudah berag alias
kasmaran. Hanya gadis yang dicintainya
berumur lebih tua darinya, sekitar lima tahun.
Tapi itulah cinta, buta. Tak memandang umur
atau lainnya. Kalau sudah cinta, ya cinta saja.
Sampai-sampai tak terasa hari sudah
senja, semburat jingga memancar di sebelah
barat. Perlahan gelap menyelimuti dari arah
timur. Khayalan Santana tentang Kemala harus
terhenti ketika tak sengaja melihat sesuatu di
kejauhan sana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
68
Nandar Hidayat
"Sepasukan orang berbaris rapi," gumam
Santana. "Pakaiannya, barisannya, tidak salah
mereka laskar siluman Dewawarman sedang
menunggu kedatangan seseorang." Santana
ingat ketika menyelamatkan Kemala dan
ayahnya, dia belum sempat melihat pemimpin
laskar itu karena cepat-cepat kabur. Sekarang
dia ingin melihatnya, maka dengan
mengendap-endap dia bersembunyi di jarak
yang agak dekat.
Beberapa saat kemudian angin
mendadak bertiup kencang dan berputar-putar
namun barisan laskar siluman itu tak
bergeming. Rupanya ini adalah tanda
kehadiran seseorang. Seperti terbang, satu
sosok melayang turun dari langit dan mendarat
tepat di hadapan barisan yang sedang
menunggu itu.
Dari persembunyiannya Santana terkejut
melihat siapa yang datang. Walaupun hari
sudah gelap tapi dia masih bisa melihat jelas
sosok itu.
"Dia..?" suara Santana seperti tersedak.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
69
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nandar Hidayat
"Bagaimana?" sosok di hadapan barisan
laskar bertanya.
Lalu terdengar jawaban yang cukup
lantang tapi tidak bisa ditebak yang mana yang
bicara, "Padepokan Sugalih menolak bekerja
sama, terpaksa kami bantai. Tapi, kami tak
menemukan kitab pusakanya!"
"Ranggaguna?"
"Kami bunuh!"
"Muridnya yang bernama Ardaya
menjadi senopati muda di Indraprahasta,
pastikan dia jangan sampai tahu!"
"Baik!"
Sosok yang diduga pemimpin Laskar
Siluman Dewawarman ini kembali melesat ke
atas dan lenyap disertai tiupuan angin kencang
seperti kedatangannya semula.
Tapi sang murid sudah mengetahui hal
itu, ternyata sehebat-hebatnya pasukan
siluman masih ada celanya, begitu kata dalam
pikiran Santana yang segera meninggalkan
persembunyiannya. Namun ada yang lebih
mengganjal dalam hatinya. Ternyata
pemimpin laskar siluman itu.!PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
70
Nandar Hidayat
6
Perasaan tak enak menyelimuti hati,
Santana bergegas menuju rumah Garda Salira,
ayah Kemala. Ternyata benar, di halaman
rumah yang luas itu terlihat Garda Salira
tengah disiksa sedemikian rupa oleh Gumara
yang tidak sendirian. Dia bersama lelaki paruh
baya yang perawakannya kekar dan wajahnya
beringas kasar.
Segera saja Santana meluruk menyambar
tubuh Garda Salira yang sudah berlumuran
darah lalu membawanya ke teras rumah.
"Mamang, bertahanlah!" ujar Santana
lalu dia menghambur menghadang langkah
dua orang yang mengejarnya.
"Bapak, dialah yang melukaiku!" tunjuk
Gumara ke arah Santana. Ternyata dia
bersama ayahnya.
"Hmh, budak bau cikur! Biar bapak yang
membereskannya" teriak ayahnya Gumara.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
71
Nandar Hidayat
"Biar aku bantu, aku sangat dendam
padanya, bapak!" Gumara menimpali seraya
menerjang menghantamkan tinjunya menyasar
ke bagian perut. Begitu pula sang ayah
mengirimkan sepakan kakinya yang kekar.
Menghadapi dua serangam sekaligus,
Santana tetap tenang. Yang dia lakukan adalah
pada saat sepakan kaki si ayah Gumara hampir
mengenainya dia meloncat miring dengan ilmu
meringankan tubuh tepat di atas sodokan
tangan Gumara yang mengenai sasaran
kosong, lalu dengan cepat tinju kanannya
menghantam wajah Gumara.
Dukk!!!
Gumara tak sempat menghindar karena
gerakan lawan begitu cepat. Pukulan Santana
mengenai hidungnya, tubuhnya sendiri sampai
mental lalu jatuh bergulingan menghantam
gundukan tanah yang keras.
Namun Santana lengah, saat dua kakinya
mendarat satu tendangan menghantam
punggungnya.
"Auhk!!!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
72
Nandar Hidayat
Terasa seperti dihantam batu, Santana
terpaksa berguling untuk menyeimbangkan
tubuh lalu cepat berdiri lagi. Tapi pada saat
itulah tinju kekar milik ayah Gumara
menghantam dadanya.
Duggh!!!
Santana terjengkang, sebelum jatuh satu
tendangan bersarang lagi. Selanjutnya pemuda
ini jadi bulan-bulanan lawannya, sampai
Santana tergeletak tak berdaya baru lelaki
paruh baya ini menghentikan serangannya
yang ganas. Itu juga karena melihat anaknya
yang masih tergeletak di tanah.
Si ayah menghampiri anaknya, dia heran
sekali pukul saja pemuda itu sudah bikin
anaknya tak berdaya. Hebat juga! Kemudian
dia membopong Gumara, meletakannya di
pundak lalu pergi.
Sedangkan Santana yang juga tergeletak
tak berdaya tak berkutik walau masih bernapas
terengah-engah. Badannya serasa dihimpit
gunung yang penuh batu-batu tajam. Antara
sadar dan tidak, satu sosok tiba-tiba datang
memanggul tubuhnya lalu berkelebat pergi.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
73
Nandar Hidayat
Di sisi lain terdengar suara tangisan
menyayat hati.
"Raka Garda, tidak! Apa yang terjadi?"
Seorang gadis sedang merangkul tubuh
Garda Salira yang ternyata sudah tidak
bernapas lagi. Dia adalah Sriwuni. Gadis ini
berteriak memanggil pembantunya Garda
Salira.
"Ada apa ini? Kenapa rakaku mati dalam
keadaan begini? Tanya Sriwuni sambil
menangis tersedu-sedu.
"Dia disiksa Gumara dan ayahnya,
Raksana." jawab seorang pembantu yang
langsung datang saat dipanggil tadi.
"Kenapa kamu diam saja?"
"Saya tidak sanggup melawan mereka,
bahkan Den Santana juga terluka"
"Santana, di mana dia?"
"Ada orang yang membawanya lari."
Sriwuni menghela napas. Dia datang
kembali ke rumah Kemala karena hendak
mengambil beberapa pakaian Kemala untuk di
bawa, namun sesampainya di sini dia sudahPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
74
Nandar Hidayat
mendapati kakaknya tergeletak berlumuran
darah bahkan sudah tak bernyawa.
Gumara, Raksana. Anak dan ayah itu
pasti soal Kemala, tebak Sriwuni dalam hati.
Dia bertekad akan membalas dendam.
Sebelum kembali ke tempat gurunya dia
menguburkan jasad kakaknya dibantu oleh dua
orang kepercayaan Garda Salira, dan
rumahnya untuk sementara dititipkan kepada
pembantunya itu.
Sedangkan untuk Santana dia tak terlalu
memikirkan walau ada rasa cemas tapi dia
yakin orang yang membawa lari Santana
adalah orang baik yang akan menolongnya.
***
Santana terbangun dari tidurnya, dia
mendapati dirinya terbaring di atas bale
bambu. Tubuhnya terasa pegal, ada olesan
ramuan obat di beberapa bagian tubuhnya.
Remaja ini mengingat-ingat kejadian yang
menimpanya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
75
Nandar Hidayat
Beberapa saat termenung akhirnya dia
sadar, dia terluka akibat bertarung dengan
Raksana ayahnya Gumara lalu antara sadar
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan tidak dia merasa ada orang yang
membopongnya. Dan sekarang dia terbaring di
atas sebuah bale bambu. Siapa yang
menolongnya?
"Kau sudah bangun, nak?"
Satu suara yang dikenalnya terdengar di
dekatnya. Santana bangunkan badannya walau
masih terasa ngilu. Dia duduk bersila. Tidak
salah lagi yang bicara tadi adalah kakek
misterius yang sudah seperti gurunya.
"Bagaimana keadaan mamang Garda,
ki?" tanya Santana ingat ayahnya Kemala.
"Dia sudah mati,"
"Apa?" Santana terkejut.
"Tenanglah, adiknya sudah mengurusi
jenazahnya,"
Santana berpikir sejenak, "Bibi
Sriwuni?"
"Ya, dia,"
"Aku harus ke sana, ki!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
76
Nandar Hidayat
"Lukamu belum pulih, tunggu saja
sampai kau benar-benar sehat. Sambil
menunggu lukamu sembuh, aku akan
memberikan pelajaran tambahan. Pelajaran ke
tingkat yang lebih tinggi."
Santana tertegun. Benar juga dia masih
merasakan sakit di beberapa bagian, terasa
lemah tenaganya. Kabar tentang ayahnya
Kemala sudah jelas. Ada baiknya memang dia
memulihkan kekuatan dan menambah ilmu
dari kakek misterius yang sampai saat ini
belum tahu namanya, selain itu juga ada satu
hal yang ingin diketahuinya. Kali ini mungkin
dia akan lebih lama bersama kakek itu. Inilah
saatnya dia akan ajukan banyak pertanyaan.
"Sekarang makan dulu, habis itu aku
akan ajarkan cara memulihkan tenaga." suruh
si kakek.
Santana menurut saja, dia segera makan
yang sudah di sediakan gurunya di dalam
rumah yang terbuat dari anyaman bambu itu.
Hari ini dia diajarkan cara memulihkan
tenaga, tambahannya adalah cara meramu obat
untuk luka baik dengan cara dibalurkan kePRAHARA DI INDRAPRAHASTA
77
Nandar Hidayat
bagian yang luka atau dengan membuat
godokan jamu untuk di minum. Tentu saja si
kakek memberitahuan beberapa tanaman obat
untuk ramuan itu.
Dua hari Santana melakukan pemulihan
badan dan tenaganya hingga ia benar-benar
sehat lagi. Hari berikutnya mulailah sang
kakek misterius mengajarinya jurus baru. Jurus
yang tingkatnya lebih tinggi dari jurus
sebelumnya.
"Sebelumnya aku sudah mengajarimu
jurus ini sampai tingkat ke empat, dan
sekarang kau akan melatih jurus tingkat ke
lima sampai ke tujuh," tutur si kakek.
"Jurus apa ini namanya, ki?"
"Biar orang lain yang melihat jurusmu
yang menyebutkannya," begitu jawaban si
kakek. Aneh dia tak mau memberitahu nama
jurus yang diajarkannya.
"Kenapa begitu?"
"Asal kau tahu, Santana. Jurus ini sudah
dikatakan hilang dari dunia persilatan. Jurus
yang langka. Hanya orang-orang tertentu yang
mengenalnya, dan orang-orang yang pernahPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
78
Nandar Hidayat
memiliki jurus ini sudah tidak ada lagi di dunia
kecuali aku,"
"Kenapa aku bisa kalah oleh orang
bernama Raksana itu?"
"Pertama tingkatnya masih rendah,
kedua kau belum sempurna menguasainya.
Makanya hari ini, selain menambah tingkatan
jurus ini kau juga harus menyempurnakan
tingkat sebelumnya."
Maka dimulailah si kakek mengajari
jurus tingkat lima. Pertama dia memperagakan
gerakannya lalu diulang oleh Santana. Sampai
tujuh hari lamanya pemuda tanggung ini kerja
keras penuh semangat mempelajari jurus yang
masih di rahasiakan namanya hingga
sempurna menguasainya.
Yang dirasakan setelah menguasai jurus
ini adalah bertambahnya tenaga, lebih ringan
tubuhnya, lebih cepat gerakannya. Selain itu
juga Santana diajarkan cara untuk
membangkitkan, mengeluarkan dan
menggunakan tenaga dalam. Beruntung bagi
dirinya karena di dalam tubuhnya mempunyai
bakat dan kemampuan untuk melakukannya,PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
79
Nandar Hidayat
ditambah otak anak bongsor ini yang cerdas
jadi lebih mudah memahami dan menguasai.
Di suatu sore setelah berlatih jurus
tingkat ke tujuh. Sesuatu yang mengganjal di
hati Santana mencoba diutarakan kepada
gurunya.
"Ki, aku ingin bertanya."
"Tanyalah,"
"Maaf sebelumnya, apakah kakek adalah
pemimpin laskar siluman Dewawarman?" saat
bertanya itu wajah Santana menunduk.
Tiba-tiba si kakek malah tertawa
terbahak-bahak memaksa Santana melihat ke
arah si kakek yang tertawa sambil
merentangkan tangannya. Saking terbahaknya
sampai terlihat barisan giginya yang tidak
teratur dan warnanya yang sudah kekuning-
kuningan.
"Itu tugas kamu untuk menyelidikinya!"
seru si kakek setelah hentikan tawanya.
"Maksud aki?" Santana bingung tak
mengerti.
Namun si kakek misterius ini sudah
berkelebat lenyap dari hadapan Santana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
80
Nandar Hidayat
"Yah, baru satu pertanyaan sudah hilang.
Padahal masih banyak tanya dalam benakku
ini" gerutu Santana agak kecewa sambil
menghempaskan napasnya.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
81
Nandar Hidayat
7
Rumah kayu kecil milik si kakek
misterius ini berada di puncak sebuah bukit
yang tidak terlalu tinggi. Santana tidak tahu
bukit apa namanya dan berada di mana tempat
ini? Tapi dia tak peduli karena sebentar lagi
dia akan meninggalkan tempat itu. Dia
mengenakan setelan pangsi warna biru
pemberian si kakek. Pakaian ini terasa nyaman
dan pas di badan tidak kelonggaran ataupun
kekecilan. Kepalanya diikat dengan kain
bercorak batik yang warna dasarnya putih.
Di pagi yang cerah dan segar udaranya
ini, Santana sudah bersiap walaupun tanpa
membawa bekal. Karena dia yakin dalam
perjalanan juga bisa mencari makan seperti
yang pernah dilakukannya dulu sewaktu kabur
dari bukit Cibaringkeng. Dia juga tidak
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawa pakaian pengganti, dia tak
memikirkannya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
82
Nandar Hidayat
Selama sepeminuman teh Santana sudah
agak jauh dari bukit itu. Dia memasuki sebuah
jalan lebar yang di sebelah kanan membentang
sawah dan ladang yang sudah habis dipanen.
Dan di kirinya berupa hutan yang
pepohonannya kecil-kecil dan jarang.
Dia ingat tugas dari gurunya adalah
menyelidiki pimpinan laskar siluman
Dewawarman. Ini yang selalu dipikirkannya.
Beberapa waktu lalu dia melihat rombongan
laskar siluman itu menemui pimpinannya yang
ternyata kakek misterius atau gurunya itu.
Tapi, apa mungkin dia hanya mirip saja?
Santana menyesal melihatnya hanya sekilas
saja. Atau jangan-jangan mereka kembar.
Kalau dia membayangkan kembali pimpinan
laskar siluman itu, mencari perbedaan dengan
gurunya. Tapi tidak bisa karena waktu itu dia
hanya melihat sekilas.
Biarlah, nanti juga akan tahu yang
sebenarnya.
Selain itu dia juga memikirkan Garda
Salira, ayahnya Kemala. Jika dia sudah tewas,
bagaimana dengan Kemala, apakah dia sudahPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
83
Nandar Hidayat
mengetahuinya? Tentunya sudah karena bibi
Sriwuni pasti memberitahukannya. Diam-diam
dia ingin segerea bertemu gadis yang telah
mengisi hatinya itu.
Lalu Gumara dan ayahnya. Saat teringat
mereka, dadanya bergemuruh kencang.
Apakah mereka masih mengejar-ngejar
Kemala? Persoalan ini juga harus dituntaskan
karena ini juga menyangkut dendam kematian
Garda Salira.
Dendam? Sejak kapan dia memendam
dendam? Pantaskah dia mendendam? Oh,
mungkin inilah liku-liku kehidupan dunia.
Semakin menantang semakin menarik.
Apalagi remaja seusia dia memang butuh
pengalaman yang menantang. Bagaimana
kalau suatu saat ia berhadapan dengan
ayahnya? Kemanakah sang ayah? Apakah ia
akan bertemu lagi? Apakah sudah tertangkap
pihak kerajaan seperti anak buahnya beberapa
waktu yang lalu?
Setumpuk pertanyaan itu terbuyarkan
oleh suara bentakan beradunya dua tangan.
Sebuah pertarungan. Santana segera mencariPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
84
Nandar Hidayat
sumber asal suara. Ternyata berada agak jauh
ke tengah hutan. Santana menyelinap naik ke
atas dahan pohon untuk menyaksikan
pertarungan itu dari jarak sepuluh tombak.
Dua lelaki, yang satu tinggi besar namun
agak tua. Rambutnya yang dua warna digelung
ke atas, mukanya lebar kelimis. Dia
mengenakan setelan pangsi warna abu-abu.
Sedangkan yang satunya berbadan tegap lebih
pendek sedikit dari lawannya. Wajahnya
lonjong dihiasi kumis dan janggut hitam tipis
dan lebih muda. Orang ini berpakaian mewah
layaknya pejabat istana kerajaan.
"Kita bisa bicara baik-baik, rai
Wiratara!" ujar si tinggi besar di sela-sela
pertarungan. Dimana dia hanya berusaha
menghindari serangan saja.
"Tidak ada waktu untuk melayanimu
bicara, raka Sora!" balas Wiratara yang
tampak bernapsu ingin melumpuhkan
lawannya namun belum ada hasil sesudah
melewati sepuluh jurus lebih.
"Yang berbaju bagus Wiratara, yang
tinggi Sora," gumam Santana diPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
85
Nandar Hidayat
persembunyiannya. Dia memerhatikan gerak
jurus mereka yang sudah tingkat tinggi. Cepat
bagai bayangan tapi bisa diikuti berkat ajaran
sang kakek misterius.
Gerakan Wiratara tampak kasar namun
ganas, sambaran anginnya saja mengeluarkan
suara gemuruh. Sementara gerakan Sora begitu
lembut namun kesiur anginnya tak kalah ganas
dari lawan.
Santana lebih tertarik dengan gerakan
lembut Sora. Dalam otaknya dia menghafal
gerakan serta memperhatikan tarikan napas
karena itu yang membuat gerakan ini berisi.
Tapi tak luput juga memperhatikan gerakan
Wiratara ketika ada suatu gerakan yang indah
walaupun kaku. Tak peduli apa yang dua
orang itu permasalahkan, Santana hanya
menikmati keindahan pertarungan silat. Yang
satu menyerang bernapsu ingin mengalahkan,
dan yang satunya hanya bertahan saja.
"Rai, sampai tujuh hari tujuh malam pun
kau tak mampu mengalahkanku!"
"Jangan sombong!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
86
Nandar Hidayat
"Sebaiknya kita berunding membuat
kesepakatan!"
"Tidak ada perundingan!"
"Haduuh... jangan banyak bicara, kalau
bertarung, bertarung saja!" umpat Santana
dalam hati. "Jadi kurang enak dilihatnya."
Begitulah, berpuluh jurus sudah Wiratara
keluarkan baik yang bertenaga kasar ataupun
tenaga dalam. Nyatanya dia belum mampu
melukai kakaknya, begitu karena tadi dia
memanggilnya raka.
"Tapi wajahnya tidak mirip." ujar
Santana. Si Wiratara itu pasti seorang pejabat
istana. Si Sora, kakaknya mungkin juga sama
hanya dia sedang berpakaian rakyat biasa.
Begitu yang ada dalam pikiran pemuda tampan
ini.
Suatu saat Wiratara tampak mundur
empat tombak. Kedua kakinya merenggang
lebar menginjak kuat ke tanah. Dua tangan
mengepal digerak-gerakkan membentuk jurus
sambil menahan napas. Dari gerakan ini
timbul suara angin seperti ratusan tawon.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
87
Nandar Hidayat
"Aji Gelang Sangkala!" ujar Sora seraya
dia kuatkan kedua kaki bagai menancap ke
tanah lalu alirkan tenaga ke sekitar dada dan
perut.
"Hiaaa...!!!"
Wusss!!!
Blarrr!!!
Santana terbengong melihat apa yang
terjadi. Dia melihat sepasang sinar merah
gelap melesat dari kepalan tangan Wiratara
menghantam tubuh Sora. Tapi yang terjadi
justru Wiratara yang terpental jatuh
bergulingan hingga muntah darah. Sementara
Sora masih kokoh berdiri di tempatnya.
"Hebat!" puji Santana tapi dalam hati.
Wiratara duduk bersila memusatkan
pikiran mengatur napas dan aliran hawa murni
untuk mengobati luka dalamnya.
"Sudahlah, rai!"
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba angin si sekitar tempat itu
bertiup kencang bagai badai. Santana ingat
sesuatu. Ya, peristiwa angin kencang ini
menandakan kemunculan seseorang. Benar
saja, entah dari mana arahnya tahu-tahu sepertiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
88
Nandar Hidayat
burung dari atas langit turun satu sosok serba
putih yang mengingatkan Santana kepada
seseorang. Ya, pertama kali melihatnya adalah
ketika serombongan laskar siluman
Dewawarman kedatangan pemimpinnya. Dan
sekarang orang itu datang lagi.
Ya, dialah pemimpin laskar siluman
Dewawarman yang sedang diselidikinya sesuai
perintah gurunya. Pucuk di cinta ulam pun
tiba, inilah yang dicari-cari pemuda ini. Begitu
mudah atau cuma kebetulan saja? Kali ini
Santana benar-benar memperhatikan orang itu
dengan seksama.
Melihat kedatangan seseorang yang
dikenalnya, Wiratara jadi tambah ciut nyali.
Melawan Sora saja tak mampu apalagi kini
datang orang itu. Tanpa basa basi lagi dia
bangkit lalu pergi.
"Aku yakin setelah ini dia akan mau
diajak berunding." kata orang yang baru
datang.
"Ya, aku juga yakin begitu, bapak."
Oh, bapaknya. Santana angguk-angguk.
Dia sudah menarik kesimpulan denganPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
89
Nandar Hidayat
memperhatikan sosok serba putih itu.
Pakaiannya sama dengan gurunya, pakaian
resi. Wajahnya mirip tapi lebih banyak
keriputnya orang ini dari pada gurunya jelas
lebih tua. Juga rambutnya yang sebagian
digelung keatas sebagian lagi terurai ke
pundak sudah berupa uban semua. Sedangkan
gurunya masih ada sedikit rambut hitamnya
dan digelung semua ke atas.
Apakah dia saudara gurunya? Karena
wajahnya mirip. Lalu dia ingat ketika gurunya
tertawa lebar hingga terlihat gigi kuningnya
sambil merentangkan tangan.
"Gigi orang ini belum kelihatan." ujar
Santana. "Tapi jelas dia beda, tapi... Apakah
aki merubah penampilan? Oh tidak! Aki lebih
pendek dari dia. Sedangkan dia dan anaknya
itu sama tingginya."
Selain sebagai pemimpin laskar siluman
Dewawarman, siapakah orang itu?
"Sesuai rencana, kau akan segera naik
tahta," kata si kakek serba putih.
Sora mengangguk sambil tersenyum.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
90
Nandar Hidayat
"Tapi kau harus masih mengumpulkan
orang-orang persilatan untuk membantumu,"
lanjut si kakek lagi.
"Aku sudah menundukan Raja Begal
dari Cibaringkeng, dia bersedia membantuku."
Apa? Santana sangat terkejut
mendengarnya, hampir saja dia terjatuh dari
pohon tempatnya sembunyi.
"Bapakku!" gumam Santana.
Siapa orang bernama Sora ini
sebenarnya? Naik tahta? Berarti dia akan jadi
raja. Penasaran dengan apa yang dilihat
sekarang, hatinya semakin berhasrat untuk
mengetahui semuanya.
Tiba-tiba Santana ingat penuturan paman
Suwirya, saat perjalanan menuju kota raja.
"Wiratara, ya, mungkin dia yang
dimaksud raden Wiratara itu. Dan, Sora.
Apakah dia raden Purbasora? Lalu bapaknya,
dia pasti resi aduh aku lupa namanya. Yah,
mereka orang-orang kerajaan Indraprahasta.
Lalu bapakku?"
Ah! Dua orang itu sudah lenyap. Tapi
kenapa tidak ada angin kencang lagi sepertiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
91
Nandar Hidayat
yang dulu? Santana turun dari pohon itu.
Pikirannya diliputi kebingungan.
Kemana dia harus memulai? Kemala, oh
Kemala. Atau menelusuri jejak ayahnya.
Sementara tugas dari guru dianggap selesai
tentang pemimpin laskar siluman
Dewawarman.
Di saat bingung seperti itu, tiba-tiba
tengkuknya merasakan kesiur angin lembut.
Sigap dia menoleh namun tak ada apa-apa.
Lalu terasa lagi dibelakangnya, saat menoleh
juga tak ada apa-apa.
"Pasti ada orang!" pikirnya sambil
celingak-celinguk matanya menyapu ke setiap
semak belukar dan pohon-pohon yang
dicurigai menyembunyikan sesuatu. Namun
tetap sepi.
Tapi, berhembus lagi angin halus
ditengkuknya lebih keras.
Santana menoleh.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
92
Nandar Hidayat
8
Sekilas tentang Indraprahasta
Mendengar Indraprahasta tentunya tidak
asing ditelinga, terutama bagi para peminat
cerita Mahabarata. Indraprahasta di India
disebut sebut sebagai nama yang didirikan
oleh Pandawa. Demikian pula nama tokoh
tokoh terkenal di Indraprahasta (Cirebon) yang
memiliki nama dan daerah yang sama dengan
negara asalnya, seperti Sentanu (Pendiri),
Wirata dan Sungai Gangga yang dijamannya
disucikan
Kerajaan Indraprahasta terletak di
daearah Cirebon Girang, Cirebon Selatan pada
tahun 363 M, didirikan oleh seorang maharesi
yang berasal dari Sungai Gangga India. Ketika
itu kerajaan asalnya diserang pasukan
Samudra Gupta. Ketika masa itu di pulau Jawa
sudah berdiri kerajaan pertama yang berdiri
sejak tahun 130 M. yaitu Salakanagara yangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
93
Nandar Hidayat
sudah dipimpin oleh rajanya yang ke delapan
yaitu Prabu Darmawirya Dewawarman VIII.
Kerajaan Indraprahasta dipastikan terkait pula
sebagai cikal bakal dari Cirebon Girang.
Maharesi Sentanu dianggap masih
memiliki pertalian keluarga dengan
Dewawarman VIII sehingga ia diijinkan untuk
mendirikan desa dalam wilayah
Tarumanagara. Didalam buku penelusuran
sejarah Jawa barat diceritakan pula kelak
Sentanu beristrikan Indari Putri Dewawarman
VIII
Ketika masanya, Sentanu membangun
sebuah desa yang terletak di wilayah Cirebon
yang diberinama Indraprahasta. Kemudian,
Gunung tertinggi yang terletak disebelahnya ia
berinama Indrakila (sekarang Ciremai), serta
aliran sungai yang mengalir ditengah
daerahnya ia berinama Gangganadi. Kemudian
ia memperdalam sungai yang ia berinama Setu
Gangga. Memang nama-nama tersebut sama
dengan yang ada didaerah India, tempat
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
asalnya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
94
Nandar Hidayat
Indraprahasta berkembang menjadi
kerajaan besar, dengan raja pertamanya
Sentanu (363 ? 398 M), dengan gelar Prabu
Indraswara Sakalakretabuwana. Namun pada
tahun 393 M, dibawah kepemimpin raja kedua,
yakni Jayastyanagara, Indraprahasta harus
mengakui kekuasaan Tarumanagara, ketika itu
berada dibawah Pimpinan Purnawarman.
Ketika masa Sentanu Indraprahasta meliputi
Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (wilayah
Keraton), Cimandung, Kerandon Cirebon
Girang di Kecamatan Cirebon Selatan.
Pada masa Purnawarman, sungai Gangga
sampai dengan sungai Cisuba yang berada
dibawah Indraprahasta diperbaikinya dan
selesai pada 332 Saka. Sebagai tanda terima
kasih kemudian Purnawarman mengadakan
selamatan dengan memberi hadiah harta
kepada para Brahmana dan masyarakat yang
ikut membantunya. Di tepi kali Gangga
kemudian dibuatkan prasasti dengan lambang
telapak tangannya dengan kata-kata berbunga
tentang kebesaran dan sifat-sifatnya yangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
95
Nandar Hidayat
mempersamakan dengan Dewa Wisnu,
pelindung mahluk di bumi.
Dalam cerita selanjutnya, ketika terjadi
pemberontakan Cakrawarman di Tarumnagara,
Maharaja Wisnuwarman, penguasa Taruma
keempat mengganti seluruh pasukan
bayangkaranya dengan prajurit yang terdiri
dari orang-orang Indraprahasta. Pasukan ini
dikenal tangguh, ulet, pandai memanah dan
setia kepada raja, seolah-olah tak lagi ada
tandingannya. Kepercayaan dan penghargaan
demikian didapatkan setelah Wirabanyu, raja
Indraprahasta berhasil membantu penumpasan
pemberontakan Cakrawarman yang didukung
oleh beberapa daerah dan menteri-menteri nya
yang tangguh. Wisnuwarman kemudian
menikahi salah seorang putri Wirabanyu.
Pada tahun 669 Prabu Tarusbawa
mewarisi tahta Tarumanagara dari rajanya
yang ke duabelas yaitu Prabu Linggawarman.
Lalu dia memindahkan ibukota ke Sunda
Sembawa sehingga kerajaan ini lebih dikenal
dengan nama Sunda. Pada saat hampir
bersamaan di sebelah timur, kerajaan GaluhPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
96
Nandar Hidayat
yang didirikan Wretikandayun sejak tahun 612
menyatakan berdiri sendiri (merdeka) dari
Tarumanagara. Sehingga bisa dikatakan bahwa
Tarumanagara terpecah menjadi dua kerajaan
besar yaitu Sunda dan Galuh dengan sungai
Citarum sebagai perbatasan.
Maka Indraprahasta menjadi bawahan
Galuh karena letaknya berada di sebelah timur.
Sebelum berlanjut kisah di Indraprahasta
ini, ada satu cerita yang menjadi sebab
musabab sebuah rencana besar yang akan
dilakukan Sora atau Purbasora.
Pada awal-awal berdirinya kerajaan
Galuh, Prabu Wretikandayun mempunyai tiga
putra yaitu Sempakwaja, Jantaka dan Amara.
Menurut kebiasaan yang akan mewarisi tahta
adalah anak sulung. Namun ternnyata dua
anak pertama; Sempakwaja dan Jantaka tidak
memenuhi syarat sebagai raja karena memiliki
cacat tubuh (tidak jelas diceritakan apa cacat
tubuh yang di maksud) sehingga pewaris
kerajaan jatuh pada anak bungsu yaitu Amara
yang kelak bergelar Rahyang Mandi Minyak.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
97
Nandar Hidayat
Sementara dua kakaknya lebih memilih jadi
resi.
Ada satu peristiwa yang bisa dikatakan
?memalukan? keluarga istana yang menempuh
jalan ?Karesian?. Amara yang matakeranjang
telah berselingkuh dengan istri kakaknya
sendiri, Sempakwaja. Sampai melahirkan
seorang anak laki-laki.
Ceritanya Amara yang tergila-gila
karena kecantikan Rababu kakak iparnya
membuat sebuah pesta jebakan. Pesta keluarga
istana yang ketika itu masih dirajai Prabu
Wretikandayun. Semua keluarga dan kerabat
serta pejabat istana diundang untuk
merayakannya termasuk Sempakwaja beserta
istrinya yang pada saat itu sudah tinggal di
Galunggung.
Kebetulan dan karena sudah tahu saat itu
Sempakwaja sedang sakit jadi hanya
mengirimkan istrinya saja. Kesempatan pun
terbuka lebar di saat yang lain berpesta
gembira diam-diam Amara menemui Rababu
di tempatnya lalu terjadilah ?nirca asmara?PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
98
Nandar Hidayat
karena ternyata Rababu juga menyukai Amara
yang gagah dan tampan.
Bahkan ketika pesta sudah usai, sampai
empat hari lamanya Rababu masih menginap
di istana. Sempakwaja yang merasa curiga
akan keterlambatan pulang istrinya sengaja
tidak menggaulinya sampai beberapa lama
hingga akhirnya Rababu mengandung. Saat
itulah dia mengakui bahwa kehamilannya
karena hubungan gelapnya dengan Amara.
Dari suaminya sendiri Rababu sudah
dikaruniai dua putra yaitu Purbasora dan
Demunawan.
Setelah anak hasil selingkuh itu lahir,
Sempakwaja memberinya nama ?Sena? yang
artinya salah atau anak salah yang dilahirkan
dari hubungan gelap. Kemudian diserahkan
kepada ayah kandungnya yaitu Amara. Oleh
ayah kandungnya Sena dirawat bahkan
dijadikan putra mahkota pada saat Amara naik
tahta bergelar Rahyang Mandi Minyak.
Sena diberikan nama Bratasenawa oleh
ayah kandungnya dan dinikahkan dengan
Sannaha. Sannaha adalah putri resmi MandiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
99
Nandar Hidayat
Minyak dari pernikahannya dengan Parwati
seorang putri kerajaan Kalingga (Keling). Dari
pernikahan Sena dan Sannaha melahirkan
Sanjaya.
Sekarang kembali ke Indraprahasta. Saat
ini yang menjadi rajanya adalah Prabu Padma
Hariwangsa raja ketigabelas sejak berdirinya
kerajaan ini. Dia mempunyai putri sulung
Citra Kirana yang diperistri Purbasora. Putra
keduanya adalah Wiratara.
Dua orang inilah yang pada jilid
sebelumnya terlibat pertarungan sengit.
Sekarang dengan penuh rasa hormat Purbasora
menemui adik iparnya di kediamannya.
Wiratara bersikap datar saja ketika kakak
iparnya datang. Pertarungan yang terjadi
waktu lalu adalah bentuk perlawanannya
kepada Purbasora yang menginginkan tahta
karena dia juga berhak menggantikan
ayahandanya menjadi raja. Hal ini bisa
dimengerti oleh Purbasora.
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku memohon kesudian rai untuk
mengdengarkan penjelasanku," ujar Purbasora
merendah.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
100
Nandar Hidayat
Wiratara masih diam tanpa memandang
orang yang bicara.
"Aku tahu, rai sangat menginginkan
tahta Indraprahasta," lanjut Purbasora. "Aku
janji, aku jamin dan aku pastikan rai akan
mendapatkannya."
Sang adik tampak menghela napas
namun tetap datar dan tak mau menatap.
"Kau akan menjadi raja, tapi nanti
setelah rencanaku berhasil. Itu tidak akan
lama, akan lebih cepat lagi kalau rai mau
membantuku memuluskan rencanaku."
Hening, keduanya diam. Hanya suara
tarikan napas yang terdengar pelan. Purbasora
tampak menunggu jawaban adiknya,
sementara Wiratara sendiri sedang bingung
menyusun kata-kata.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya
Wiratara setelah lama membisu.
"Hanya mengikuti apa yang sudah aku
rencanakan,"
"Kenapa tidak mengatakan dari dulu?"
"Maaf, mungkin rai yang keburu napsu."
"Baiklah, aku juga minta maaf."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
101
Nandar Hidayat
"Ya, akan lebih baik dan lebih cepat
kalau kita bekerja sama."
Dua orang ini baru saling tatap yang
diakhiri dengan senyuman. Senyuman
kelegaan.
Beberapa saat kemudian Purbasora telah
kembali ke ruang kediamannya. Di sana telah
menanti tiga orang yang langsung berdiri dari
duduknya begitu dia tiba.
"Bagaimana ,raka?" tanya orang pertama
lelaki yang tampak seumuran dengan
Purbasora hanya badannya tidak setinggi dia.
Wajahnya agak kotak berkumis dan alis tebal
hitam. Rambutnya yang masih hitam juga
digelung. Orang ini berpakaian resmi kerajaan.
"Dia menerima," jawab Purbasora
sambil menoleh ke dua orang lainnya.
Orang kedua adalah lelaki yang tinggi
besar seperti Purbasora, kepalanya botak,
dialah Kuntawala si raja begal yang telah
ditaklukan beberapa waktu lalu.
Dan yang ketiga adalah seorang pemuda
gagah dan tampan, dialah senopati mudaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
102
Nandar Hidayat
Ardaya yang beberapa waktu lalu menerima
pesan dari gurunya melalui Santana.
"Dalam waktu dekat aku akan menjadi
raja, Kuntawala"
"Ya, paduka!" Kuntawala menyahut.
"Kau akan kuangkat menjadi senopati
utama."
Si botak mengangguk dalam.
"Ardaya"
"Hamba, paduka!"
"Kau mendampingi dan membantu
Kuntawala."
Ardaya pun mengangguk dalam.
"Dan rai Bimaraksa, kau akan menjadi
patih nanti."
"Terima kasih, raka."
"Untuk sementara ini sambil menunggu
pengangkatan dan penobatan, Kuntawala, kau
masih bertugas mengumpulkan orang-orang
persilatan. Ardaya, kau terus melatih prajurit
khusus. Dan rai Bimaraksa menemaniku
menemui bapak resi."
Ketiga orang itu sama-sama
menggangguk hormat. Lalu Purbasora pergiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
103
Nandar Hidayat
diikuti tiga orang bawahannya ini. Di tengah
jalan Ardaya pamit menuju tempat latihan
prajurit, kemudian Kuntawala pun pamit
keluar istana. Tinggal Purbasora dan adik
sepupunya itu menuju ke suatu tempat.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
104
Nandar Hidayat
9
Ternyata Ardaya hanya lewat saja ke
tempat latihan prajurit dia sama sekali tidak
melatih prajurit seperti yang dia katakan. Dia
menuju ke kediaman raja, dia tahu pada waktu
sekarang ini sang raja tidak ada di paseban.
Benar saja, setelah meminta ijin kepada
prajurit jaga Ardaya dipersilahkan masuk.
Segera ia duduk bersila dan menyembah.
"Kau menghadapku bukan di paseban,
pasti sangat penting." ujar prabu Padma
Hariwangsa yang tengah duduk di kursi yang
agak tinggi. Seorang raja yang sudah sepuh,
wajahnya sudah keriput badannya agak kurus
tapi masih tegap dan gagah.
"Ia, paduka,"
"Katakan,"
"Hamba..." Ardaya berhenti sejenak
menarik napas menguatkan perasaan. "Hamba
ingin mundur dari keprajuritan Indraprahasta,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
105
Nandar Hidayat
"Apa?" sang raja begitu terkejut.
"Kenapa dan ada apa?"
"Hamba hendak melaksanakan tugas dari
guru hamba,"
"Apakah itu penting, lebih penting dari
tugas kerajaan?"
Ardaya terdiam lagi, wajahnya masih
menunduk seakan takut kalau memandang
junjungannya. Sudah tiga hari belakangan ini
dia dilliputi rasa keraguan. Dia ingat 'jenat'
(mendiang) gurunya. Dalam pesan yang
disampaikan Santana dulu, ada satu tugas yang
harus segera ia laksanakan. Tugas ini akan
menyita waktu sebagai seorang prajurit apalagi
berpangkat senopati muda. Akhirnya setelah
menimbang-nimbang dia putuskan untuk
mundur saja dari keprajuritan.
"Hamba kira tugas yang saya emban ini
nantinya untuk kepentingan kerajaan juga,"
Ardaya menjelaskan.
"Oh, tugas seperti apa itu?"
"Mohon ampun, paduka, saya belum
bisa menjelaskannya,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
106
Nandar Hidayat
"Tidak kah kau ingat dulu betapa susah
payahnya kau masuk ke keprajuritan sampai
kau menerima pangkat yang lumayan tinggi
untuk orang seusia kamu?"
Ardaya mengingat masa-masa yang
dikatakan sang raja itu. Ketika pertama kali
datang ke kota raja Indraprahasta menawarkan
diri menjadi prajurit.
"Hamba tidak akan menyesal, paduka,"
"Kau anak yang berbakat, makanya tak
butuh waktu lama untuk mencapai pangkat
yang sekarang ini,"
Hening. Raja dan hambanya ini saling
diam. Ardaya masih menunduk. Dia sudah
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yakin akan keputusannya.
"Tapi..." lanjut sang raja memecah
kesunyian. "Jika itu memang teramat penting
bagimu, aku tidak bisa memaksamu bertahan
di sini."
"Jika paduka masih berkenan, setelah
tugas selelai saya akan kembali,"
"Mungkin nanti aku sudah turun tahta,
aku tidak bisa memastikan penggantiku akan
menerimamu lagi,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
107
Nandar Hidayat
Ardaya tak menjawab.
"Baiklah jika itu keputusanmu,
walaupun aku rajamu yang bisa saja
mengeluarkan perintah yang harus kau patuhi.
Tapi aku menghormati hak pribadi seseorang.
Kau memang dibutuhkan di sini karena kau
termasuk prajurit yang hebat. Datanglah
kembali setelah selesai tugasmu, aku akan
menitipkan pesan untuk penggantiku nanti,"
"Hamba haturkam beribu-ribu terima
kasih, paduka. Paduka raja yang sangat
bijaksana."
"Aku akan memberimu upah selama kau
menjadi prajurit sebagai bekal menjalankan
tugasmu nanti."
Begitulah akhirnya pemuda tampan ini
direstui mengundurkan diri sebagai prajurit
Indraprahasta walaupun sudah mencapai
pangkat yang lumayan, senopati muda.
Tapi ternyata hal ini diam-diam
diketahui oleh Purbasora yang secara tak
sengaja menguping pembicaraan mereka. Ini
membuat hatinya tak enak dan merasa curiga.
Benarkah senopati muda itu hanyaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
108
Nandar Hidayat
menjalankan tugas gurunya? Atau ada maksud
lain? Siapa gurunya dan dari mana dia? Dia
belum tahu banyak tentang asal-usul pemuda
itu.
Lalu dia segera menemui Kuntawala.
Bekas raja begal ditemui sedang asyik
bercumbu dengan seorang wanita muda yang
jadi istri barunya. Dia segera menghadap
begitu Purbasora datang.
"Sembah hamba, paduka."
"Kuntawala, kau tahu banyak tentang
Ardaya?"
"Senopati muda itu?"
"Ya,"
"Tidak, paduka. Dia kan lebih dulu ada
di sini."
"Baiklah, ini tugas tambahan untukmu.
Barusan dia mengundurkan diri sebagai
prajurit. Kau cari tahu tentang siapa dia, siapa
gurunya, dari mana asalnya? Dan yang paling
penting kenapa dia mengundurkan diri, ada
apa? Aku mencurigainya."
"Tugas segera hamba laksanakan,
paduka."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
109
Nandar Hidayat
Purbasora berlalu meninggalkan
kediaman Kuntawala. Lelaki botak ini segera
memeluk kembali istrinya yang
menggairahkan birahi itu. Melanjutkan
kemesraan yang sempat tertunda tadi.
***
Upah yang didapat dari kerajaan cukup
banyak bisa untuk memenuhi keperluan hidup
selama enam bulan lebih. Belum lagi dia
diberikan kuda yang bagus untuk perjalanan.
Kini Ardaya hanya berpakaian rakyat biasa
sambil membawa bungkusan pakaian ganti
dan puluhan kepingan emas.
Dia memang hendak melaksanakan
tugas dari gurunya yang tertulis dalam pesan.
Tapi selain itu juga dia mengetahui suatu
rencana besar yang akan dilakukan salah satu
junjungannya, Purbasora.
Rencana yang menurutnya bertentangan
dengan hati nuraninya sebagai seorang
prajurit. Rencana yang dia dengar secara tak
sengaja mendengar pembicaran Purbasora danPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
110
Nandar Hidayat
adik sepupunya, Bimaraksa. Menurutnya dari
pada dia terlibat dalam rencana itu lebih baik
dia mundur. Dia sudah memantapkan untuk
menjadi pengembara saja. Berbakti kepada
kerajaan tidak harus menjadi prajurit.
Setelah berjalan jauh meninggalkan kota
raja, Ardaya mampir ke sebuah pasar kecil
yang tidak begitu ramai atau mungkin orang-
orangnya sudah pada pulang karena hari sudah
hampir sore. Dia menuju tempat penjualan
kuda. Di sana sudah sepi. Ardaya
menghampiri sang pedagang kuda seorang
lelaki paruh baya telanjang dada berwajah
bulat kelimis.
"Saya mau jual kuda, ki."
"Wah, ini kuda dari istana," ujar si
tukang kuda. "Siapa kisanak?"
Ardaya maklum, orang ini pasti curiga.
Lalu dia mengeluarkan lencana keprajuritan
yang masih sengaja ia simpan.
"Prajurit Indraprahasta, kenapa
menjualnya?"
"Untuk meringankan tugas saya, lebih
baik berjalan kaki saja agar lebih leluasa,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
111
Nandar Hidayat
"Tapi ini kuda bagus dan mahal, saya
tidak sanggup membayarnya..."
"Dibayar setengahnya juga tidak apa-
apa,"
"Ah, benar nih?" si tukang kuda girang,
dia pikir akan untung banyak kalau ada yang
membelinya lagi.
"Ia, ki, silahkan."
"Baiklah-baiklah!"
Selesai sudah jual beli ini, Ardaya kini
mencari kedai nasi. Mengisi perut yang mulai
lapar. Ketika Aradaya masuk ke sebuah kedai,
di sana hanya ada seorang gadis yang sedang
makan. Tampaknya orang-orang lainnya sudah
pulang.
Gadis yang memakai atasan kemben
hitam dibagian bahunya tersampir selendang
biru tua. Rambutnya digelung sebagian dan
yang lainnya terurai panjang hingga menutupi
punggungnga. Kulitnya yang sawo matang
tampak mulus terawat. Wajahnya lonjong
dengan dagu lancip cukup cantik dihiasi
hidung mungil, bibir tipis, mata dan alis lentik.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
112
Nandar Hidayat
Ardaya mengira gadis ini pasti seorang
pendekar karena melihat sebilah pedang
melintang di punggungnya. Saat dia hendak
duduk gadis itu meliriknya sejenak.
"Makan apa, den?"
Ardaya dikejutkan oleh pemilik kedai, ia
menghela, "Nasi dengan ikan bakar dan
sayurannya, ki, jangan lupa sambel dan
lalapan."
"Baik, den!"
Tak menunggu lama hidangan pun
datang. Ardaya menyantap makanannya
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan lahap karena perutnya benar-benar
lapar. Di kedai ini tamunya hanya dia dan
gadis itu sehingga sesekali pemuda ini melirik
ke arah si gadis.
Sebenarnya si gadis merasa kalau dia
diperhatikan, tapi dia pura-pura tidak tahu.
Diam-diam dia juga memperhatikan sosok
Ardaya. "Tampan dan gagah dari
perawakannya jelas dia memiliki kepandaian
silat, tapi aku tidak tahu dia baik atau jahat.
Tak peduli, lah, selagi dia tak mengganggu!"
katanya dalam hati.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
113
Nandar Hidayat
Selesai makan gadis ini memanggil
pemilik kedai seorang lelaki kurus paruh baya.
"Boleh tanya, ki?" tanya si gadis sambil
membayar.
"Silahkan, neng."
"Aki tahu di mana sarangnya laskar
siluman Dewawarman?"
Ardaya terkejut mendengar nama itu,
tertegun sejenak.
"Wah, saya tidak tahu, neng. Cuma
dengar dari cerita orang-orang saja mereka
juga tidak ada yang tahu."
"Baiklah, ki, terima kasih."
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
114
Nandar Hidayat
10
Si gadis bangkit, ternyata tubuhnya
cukup tinggi dan ramping. Lebih tinggi dari
ukuran gadis biasa. Saat melangkah keluar
melewati Ardaya dia tampak melirik sebentar.
Setelah melangkah jauh meninggalkan
kedai dan berada di suatu tempat yang sepi,
gadis ini merasakan ada yang membuntutinya.
Dengan sigap dia berbalik sambil sedikit
renggangkan kaki, pasang kuda-kuda.
Ternyata lelaki yang di kedai tadi alias
Ardaya, dia berdiri tenang saja seakan tidak
siap apa-apa.
"Mau apa kau?"
"Saya hanya mau tanya," jawab Ardaya.
"Kenapa tidak sejak tadi di kedai,
kenapa harus di tempat sepi ini?"
"Ketus juga gadis ini," gumam Ardaya
dalam hati. "Tadi tanggung, makanan saya
belum habis,"
"Bohong!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
115
Nandar Hidayat
"Baiklah-baiklah!" kemudian Ardaya
menepi duduk di akar pohon besar yang
menyembul dari tanah. "Saya mau tanya
kenapa nisanak mencari sarang laskar siluman
Dewawarman?" lanjutnya.
"Apa urusanmu?" si gadis masih ketus.
"Kalau begitu saya akan cerita lebih
dahulu," ujar Ardaya. "Beberapa waktu lalu
padepokan tempat saya menuntut ilmu telah
dibumiratakan oleh laskar siluman itu.
Beruntung sebelum meninggal guru saya
ditemukan seorang anak kecil sehingga bisa
menyampaikan pesan terakhirnya kepada saya
lewat anak itu..."
"Padepokan apa namanya?"
"Sugalih,"
"Sugalih?" si gadis tinggi ramping ini
terkejut. "Berarti kau murid ki Ranggaguna,
siapa kau?"
"Ardaya,"
"Hah, Ardaya senopati muda
Indraprahasta?"
"Sejak hari ini saya sudah
mengundurkan diri karena hendak menunaikanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
116
Nandar Hidayat
tugas terakhir dari guru. Nisanak kenal
guruku?"
"Tentu saja, beliau saudara dari
pimpinanku, Nyai Pancariti."
"Nyai Pancariti?"
"Ya, aku anggota perkumpulan Merak
Jingga yang dipimpin nyai Pancariti. Nasib
kita sama, laskar siluman itu telah membantai
habis anggota kami termasuk pimpinan kami.
Saat kejadian aku baru saja pulang dari
tugasku di Bhumi Sagandu, tapi terlambat
semuanya sudah tewas. Beruntung aku
menemukan sehelai kain yang berisi pesan
terakhir pimpinan dalam genggaman
tangannya."
Keduanya kini terdiam. Si gadis itu kini
tampak lembut. Dia telah salah sangka
sebelumnya, untung pemuda yang cukup
menawan hati ini cepat mengutarakan
maksudnya.
"Apakah kau juga hendak balas
dendam?" tanya si gadis memecah kesunyian.
"Oh, ya lupa. Namaku Anting Sari."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
117
Nandar Hidayat
"Dalam pesan guru tidak menyuruhku
balas dendam tapi ada tugas yang lain, tapi aku
yakin masih ada hubungannya," jawab Ardaya
lebih cair lagi ucapannya
"Sebenarnya, pimpinanku juga begitu.
Dalam pesannya dia menyuruhku menemui ki
Astabraja,"
"Aku tahu, dia saudara seperguruan
guruku."
"Kalau begitu kita bersama-sama
mencari beliau, eh. Apa pesan gurumu?"
"Dia menyuruhku mencari pedang
Bentar ke gunung Salak,"
"Oh, jadi kita beda tujuan..."
"Mungkin beda, tapi bisa saja ujungnya
sama. Bagaimana kalau aku mengantarmu
dulu ke tempat ki Astabraja agar kau bisa
cepat menyampaikan pesan nyai Pancariti.
Setelah itu aku akan ke gunung Salak."
Anting Sari tampak berpikir, tapi
sebenarnya hatinya berbunga-bunga. Ini yang
diharapkannya, pemuda tampan ini bisa
menemani perjalanannya. Awalnya sinis
akhirnya tertawan juga hatinya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
118
Nandar Hidayat
"Baiklah, tapi kalau berkenan bolehkah
aku juga menemanimu ke gunung Salak?"
"Tentu saja kalau kau mau..."
"Maafkan aku sudah salah sangka,"
"Tidak apa-apa, mari!"
Ardaya bangkit dari duduknya lalu
melangkah pergi diikuti Anting Sari di
sampingnya. Perjalanan baru yang diliputi hati
berdebar sepanjang jalan.
***
Perjalanan Anting Sari dan Ardaya
memasuki sebuah perkampungan yang cukup
ramai orang berlalu lalang dengan membawa
peralatan tani. Tampaknya mereka habis
pulang dari sawah dan ladang karena hari
sudah beranjak sore.
Namun ada satu yang menarik
pandangan pasangan muda mudi ini. Sekitar
sepuluh tombak di depan sana tampak tiga
orang berjalan kaki. Yang bikin menarik
adalah pakaian ketiga orang itu berbeda dari
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebanyakan orang. Biasanya yang seperti ituPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
119
Nandar Hidayat
berasal dari kalangan persilatan.
Dari perawakannya tiga orang itu sudah
berumur hampir lima puluh tahunan. Yang
paling kanan pendek agak gemuk, sudah biasa
kalau pendek ya gemuk. Dari belakang
kepalanya terlihat botak memakai ikat warna
kuning seperti sepasang pakaiannya yang juga
kuning tampak kelonggaran menutupi
badannya yang tambun.
Yang tengah lebih tinggi dari si kuning.
Rambutnya gimbal terkesan acak-acakan
karena tak diikat. Perawakannya sedang saja
seperti pada umumnya dan pakaiannya serba
hitam.
Yang paling kiri orangnya tinggi kurus,
paling tinggi diantara ketiganya. Rambutnya
ikal seleher diikat kain warna merah gelap
serupa dengan baju tanpa lengan yang
dikenakannya. Sedangkan bawahnya memakai
celana sontog putih kusam yang dilapis kain
pinggang bercorak batik. Orang tinggi kurus
ini terlihat seperti cungkring.
Sudah dipastikan ketiganya laki-laki,
hanya wajah mereka saja yang belum kelihatanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
120
Nandar Hidayat
karena membelakangi.
Tiga orang ini tiba-tiba belok ke sebuah
jalan kecil. Segera saja Ardaya dan Anting
Sari juga menyelinap ke jalan lain untuk
mengikuti mereka. Ketika tiga orang itu
memasuki sebuah pondok maka sepasang
pemuda ini pun mencari tempat yang aman
untuk sembunyi biar bisa menguping
walaupun tak bisa melihat orangnya.
"Akhirnya kalian datang juga." satu
suara menyambut kedatangan orang bertiga.
Suara perempuan. Jika dikira-kira menurut
suaranya, perempuan ini berumur lima puluh
tahunan seperti mereka juga.
"Nyai Permoni, sepertinya ada sesuatu
yang begitu penting." menyahuti suara lelaki
yang terdengar besar.
"Silahkan duduk dahulu, Destawana,
Gardika dan kau juga Madrawi..."
Sepi sejenak, Ardaya dan Anting Sari
saling pandang dan berusaha bernapas sepelan
mungkin agar keberadaanya tak diketahui.
Maklum orang- orang persilatan memilili indra
perasa yang sangat peka. Bahkan ibaratmyaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
121
Nandar Hidayat
semut bicara pun mereka dengar. Mereka
menunggu percakapan berlanjut.
"Kalian sengaja kuundang ke tempatku
ini karena aku mendapat pirasat bahwa kalian
juga mendapat sesuatu yang sama..."
Sepi lagi.
"Aku tahu maksud Nyai Permoni..."
"Ya, pasti soal tawaran dari raden Sora!"
Terdengar tawa dari wanita yang
dipanggil Nyai Permoni. Suara tawanya cukup
menyeramkan.
"Betul, Gardika, apa kalian akan
menerima tawarannya?"
Sunyi.
"Kau sendiri bagaimana, Nyai?"
Tidak jelas siapa yang bicara karena
Anting Sari dan Ardaya hanya mendengar
suara yang berbeda-beda. Kecuali Nyai
Permoni sudah pasti.
"Kita ini sudah tua, sudah cukup lelah
malang melintang di dunia persilatan. Aku
ingin istirahat. Tapi sebelum istirahat aku
ingin menerima tawaran raden Sora dahulu
karena setelah itu aku bisa istirahat denganPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
122
Nandar Hidayat
tenang karena sudah mendapatkan imbalanku
yang cukup besar untuk modal hidup,
bagaimana dengan kalian?"
Hening lagi.
"Hmmm...aku setuju!"
"Boleh juga, sepertinya tidak berat-berat
amat tugas kita nanti!"
"Berarti kita sepakat untuk menerima
tawaran raden Sora?" tanya Nyai Permoni
menegaskan.
"Setuju!"
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
123
Nandar Hidayat
11
"Ternyata raden Sora sudah banyak
menghubungi tokoh persilatan." ujar Ardaya
setelah mereka kembali melanjutkan
perjalanan.
Anting Sari yang berjalan di sampingnya
tak menjawab. Hanya melirik sejenak.
Ketampanan pemuda di sampingnya telah
menawan hatinya. Inikah yang dinamakan
cinta pada pandangan pertama? Entah kenapa
dia merasa bahagia saat bersamanya. Nyaman.
"Anting," Ardaya memanggil.
"Ada apa?" Sahut Anting Sari agak
terkejut.
"Apa kau merasa ada orang yang
mengikuti kita?"
Anting Sari menggeleng, "Tidak, atau
mungkin karena ilmu 'perasa'ku belum
sempurna." lanjutnya merendah.
"Ah, jangan merendah. Tapi sekarang
orangnya sudah tidak ada. Makanya aku beraniPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
124
Nandar Hidayat
tanya padamu,"
"Siapa dia?"
"Tidak jelas, mungkin hanya sekedar
mencari tahu saja, sudah dapat terus pergi,"
"Pasti ada yang menyuruhnya,"
"Pasti, tapi aku tak peduli, aku tidak
merasa membahayakan siapapun, mungkin
kamu..."
"Aku..." Anting Sari berpikir, "Ya,
mungkin karena aku sedang mencari laskar
siluman Dewawarman."
"Di depan sana ada persimpangan, nanti
kita ambil ke kiri. Itu jalan menuju padepokan
Cakradewa, tempat ki Astabraja." Ardaya
mengalihkan pembicaraan.
Baru saja selesai bicara, di ujung sana
sekitar sepuluh tombak dimana terdapat
Goresan Di Sehelai Daun Lanjutan Bu Kek Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama