Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat Bagian 2
persimpangan jalan terlihat serombongan
orang berkuda melintas menuju jalan sebelah
kiri.
"Laskar siluman!" seru Anting Sari.
"Kau yakin?"
"Ya, aku ingat cirinya!"
"Apa...mereka menuju padepokan..."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
125
Nandar Hidayat
teriak Ardaya seraya berlari mengejar. "Cepat
kita susul!"
Anting Sari tak sempat menjawab
langsung mengikuti pemuda di depannya.
Mereka menggunakan ilmu peringan tubuh
tidak mengikuti arah jalan tapi memotong
melalui ladang kebun dan hutan.
Tak peduli apa dihadapannya mereka
terus melaju mengejar. Ranting yang
melintang diterobos. Batu besar dilompati.
Tanah yang 'membukit' didaki dan dataran
yang 'melembah' disebrangi. Yang penting
cepat sampai tujuan.
Tapi apa daya setelah bermandikan
keringat sampai senja tiba mereka tetap
terlambat. Padepokan Cakradewa yang mereka
tuju telah porak poranda hancur berantakan.
Seluruh muridnya yang jumlahnya hanya
belasan terkapar tak bernyawa lagi.
Ardaya segera menerjang masuk ke
dalam ke tempat kediaman ki Astabraja. Dia
pernah mengunjungi padepokan ini bersama
gurunya jadi dia tahu beberapa ruangan di
dalamnya. Lagi pula di luar tadi dia tidakPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
126
Nandar Hidayat
melihat sosok ki Astabraja.
Benar saja, di sebuah ruangan tampak
seorang lelaki seumuran Ardaya tengah
memangku seorang kakek. Tangan kiri
pemuda ini buntung masih meneteskan darah,
tampaknya belum lama terbabat saat
bertarung.
"Aki, bertahanlah!" ratap pemuda ini
menangis menahan sakit dan juga amarah.
Wajahnya penuh cipratan darah dan beberapa
luka sabetan di badan.
Ardaya menghampiri duduk bersimpuh
diikuti Anting Sari.
"Jayana, bagaimana keadaan aki?" tanya
Ardaya kemudian. "Apa masih bisa
diselamatkan?"
Pemuda buntung yang bernama Jayana
hanya terisak sambil memandang orang yang
baru datang. Tadinya dia sudah pasrah kalau
yang datang orang laskar siluman itu. Ternyata
bukan.
"Aku terlambat, mereka sangat cepat
bergerak dan bertindak!" rutuk Ardaya
menyesali dirinya lalu dia pun terisak-isakPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
127
Nandar Hidayat
hingga bahunya bergoyang.
Anting Sari tampak bingung tapi dia
segera memeriksa keadaan ki Astabraja yang
penuh luka. Beberpa bagian tubuhnya banyak
luka sabetan pedang, ada juga yang kulitnya
gosong akibat pukulan bertenaga dalam.
Denyut nadinya tak karuan saat diperiksa. Tapi
terdengar suaranya yang lirih.
"Muridku, jangan menunggu lama lagi
segera ke gunung Salak ambil kitab 'Naga
Sajati' yang berada di lereng barat tertindih
batu besar. Kemudian segera pergi lagi ke
gunung Manglayang minta petunjuk ki
Bantrangsana."
Begitu pesan terakhir ki Astabraja
sebelum akhirnya menghembuskan napas
terakhir.
Dengan hati terpukul, Jayana dibantu
Ardaya dan Anting Sari mengubur jasad
gurunya dan murid-murid yang lain.
Beberapa lama kemudian ketika
matahari tenggelam di ujung barat dan gelap
menyelimuti tempat yang sudah hancur itu.
Diterangi nyala api unggun. Bagian tanganPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
128
Nandar Hidayat
Jayana yang buntung sudah diobati oleh
Anting Sari.
Jayana sudah mengenal Ardaya karena
sudah sering bertemu. Sedangkan Anting Sari
baru dikenalnya sekarang.
Kepada Jayana, Ardaya juga
menceritakan tentang padepokannya yang juga
hancur oleh laskar siluman serta pesan
gurunya untuk mengambil Pedang Bentar yang
kebetulan sama berada di gunung Salak hanya
di lereng yang berbeda.
Sedangkan Anting Sari juga
menceritakan perkumpulan Merak Jingga yang
dibantai laskar siluman dan pesan terakhir
pimpinannya agar menemui ki Astabraja.
"Tapi, ki Astabraja juga mengalami
nasib yang sama. Mau tak mau kita harus
melaksanakan pesannya. Aku akan ikut kalian
ke gunung Salak lalu menemui ki
Bantrangsana. " kata Anting Sari. "Tapi, apa ki
Bantrangsana juga mempunyai..."
"Tidak..." tukas Jayana. "Dia tidak
mempunyai padepokan dan bukan tokoh
terkenal, dia juga tinggal sendirian jadi tidakPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
129
Nandar Hidayat
mungkin jadi sasaran laskar siluman itu."
Jayana menjelaskan. Dia tahu maksud dan
kekhawatiran Anting Sari. Jayana sudah kenal
betul dengan ki Bantrangsana.
"Kalau begitu tunggu apalagi," kata
Ardaya.
"Ya, malam ini juga kita berangkat.
Jangan sampai meninggalkan jejak..." ujar
Jayana dia ingat saat menyelamatkan gurunya
ke ruang rahasia. Tidak diketahui oleh pasukan
siluman karena keadaan sangat gawat.
Nasibnya masih beruntung walau harus
kehilangan sebelah tangannya. Segulung
dendam berkecamuk dalam dadanya.
Tapi tampaknya perjalanan menuju balas
dendam akan lama, mengingat pesan gurunya.
Ini artinya laskar siluman atau orang yang
berada di belakangnya adalah tokoh yang
sangat hebat. Kenapa gurunya hanya memberi
petunjuk seperti itu? Dia pasti sudah tahu
semua tentang laskar jahat itu tapi mengapa
tak diceritakannya.
Setelah memadamkan api lalu ditimbun
dengan tanah. Ketiga pemuda ini punPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
130
Nandar Hidayat
berangkat.
***
Kuntawala menghadap kepada Purbasora
di ruang pribadinya.
"Bagaimana?" tanya Purbasora.
"Dia murid ki Ranggaguna,"
"Ranggaguna padepokan Sugalih?"
"Ya, paduka."
Dari ayahnya telah memberitahu
padepokan itu telah hancur termasuk ki
Ranggaguna juga tewas. Sedangkan dia
mengundurkan diri karena mengemban tugas
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari gurunya.
"Apa dia tahu soal padepokannya?"
"Dia cerita bahwa padepokannya luluh
lantak dihancurkan laskar siluman
Dewawarman. Dan gurunya sebelum
meninggal sempat menitipkan pesan melalui
anak kecil yang disampaikan kepadanya,"
Berarti ada orang yang menemukan ki
Ranggaguna sebelum ajalnya, pikir Purasora.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
131
Nandar Hidayat
"Kepada siapa dia cerita?" lanjut
Purbasora bertanya lagi.
"Seorang gadis bernama Anting Sari
anggota perkumpulan Merak Jingga yang
katanya mengalami hal serupa, dibantai laskar
siluman,"
Masih ada yang lolos rupanya, geram
Purbasora dalam hati. Pekerjaan yang kurang
telaten!
"Lantas rencana mereka apa?"
"Sebenarnya dia ditugaskan mencari
sesuatu ke gunung Salak. Tapi dia lebih dulu
membantu gadis itu untuk bertemu seseorang
yang bernama ki Astabraja,"
"Hmmm.ya...ya...ya...sudahlah, terima
kasih!"
"Saya pergi, paduka."
Kuntawala pun pergi meninggalkan
atasannya. Purbasora tampak menerawang.
"Semoga mereka tak menemukan apapun
disana."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
132
Nandar Hidayat
12
Santana menghela napas pendek.
Ternyata dia. Katanya dalam hati. Kakek serba
putih yang mirip gurunya itu. Dengan santai
anak bongsor ini 'ngaleos' saja. Tapi si kakek
tiba-tiba sudah dihadapannya lagi.
Santana diam. Sudah ditebak akan
seperti ini. Kakek sakti ini sudah pasti sangat
mudah untuk bergerak cepat
"Kamu mengintip?" sentak si kakek.
"Kalau ya, kenapa?"
"Anak nakal, siapa bapakmu?"
"Aku yang nakal, kenapa nanya
bapakku?
" Kurang ajar!"
"Memangnya kalau aku menguping
lantas jadi berbahaya, gitu?"
"Tentu saja, kau sudah banyak tahu.
Tempo hari kau juga mengintip, kan?"
Maksud si kakek tempo hari itu pasti
saat menemui pasukan laskar siluman.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
133
Nandar Hidayat
"Ya, aku tahu ternyata kau pemimpin
laskar siluman itu..."
"Diam! Kalau dibiarkan bisa
mengganggu rencana..."
Tiba-tiba Santana tertawa terbahak-
bahak sambil terbungkuk-bungkuk memegang
perutnya.
"Diam!" sentak si kakek serba putih.
"Kenapa kau tertawa?"
Santana menjelepok di tanah sambil
menyeringai menahan tawa.
"Lucu, orang paling sakti di tatar Sunda
ternyata takut sama anak-anak hahaha..."
"Kau..." si kakek menahan geram.
Dibuat salah tingkah.
Tapi dipikir-pikir benar juga. Buat apa
dia susah-sudah bertindak terhadap anak ini?
Apa bahayanya? Hanya seorang anak kemarin
sore. Apa yang telah dia ketahui tidak akan
mempengaruhi rencananya. Bodoh! Kenapa
bisa bertindak bodoh seperti ini?
"Tapi aku lihat kau punya kemampuan!"
ujar si kakek kemudian.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
134
Nandar Hidayat
"Apa masalahnya?" tanya Santana. "Mau
menantangku?"
Santana bangkit langsung kuda-kuda
dengan bentuk yang mengejutkan si kakek.
"Garuda Ngapak!" seru si kakek. "Dari
mana kau belajar jurus itu?"
"Dari yang empunya, lah!"
Si kakek tahu yang punya jurus ini
adalah anaknya, tapi kenapa anak ini bisa
memperagakan kuda-kuda awalannya?
"Ayo majulah!" seru Santana. "Aku tak
takut sama sekali, kalau kalah aku terhormat
dan kau menanggung malu!"
Si kakek kertakan rahang menahan
geram. Anak ini benar-benar memancing
amarahnya. Maka sekali kibas saja tangan
kanannya, menderu angin dashyat
menghantam Santana yang langsung membuat
tubuhnya terpental tiga tombak. Angin kuat ini
setidaknya akan membuat anak ini terjatuh
berguling-guling.
Namun apa yang terjadi? Saat terpental
itu Santana menggunakan ilmu keseimbangan
tubuh, sehingga dia tidak terjatuh telakPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
135
Nandar Hidayat
bergulingan. Tapi bisa memanfaatkan
hantaman angin itu untuk mendarat dengan
kakinya walau tak sempurna, agak goyah dan
sempoyongan sedikit.
Diam-diam si kakek kagum. Anak ini
berbakat tapi sikapnya kurang ajar. Kembali
terlihat anak itu berkuda-kuda jurus Garuda
Ngapak.
"Kemungkinan dia sudah mengintip
lama pertarungan Sora dan Wiratara tadi, jadi
dia bisa mengingat jurus yang digunakan
mereka. Dan dia sengaja memakai Garuda
Ngapak untuk mengejutkanku, pintar sekali
anak ini." kata si kakek dalam hati.
"Mengunakan jurus hasil mencuri itu
tidak akan berhasil, malah akan
membahayakan sendiri." si kakek berkata
menakut-nakuti.
"Aku bukan anak kecil olor leho yang
bisa ditakut-takuti!" teriak Santana. "Kalau
begitu lihat ini!"
Santana memperagakan kuda-kuda yang
diajarkan kakek misterius gurunya. Lagi-lagi
kakek serba putih ini terkejut.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
136
Nandar Hidayat
"Anak bandel...siapa kau sebenarnya?"
Kembali si kakek hendak menggerakkan
tangannya, memberi agak banyak pelajaran
biar si anak tidak bersikap kurang ajar. Tapi
tiba-tiba ada satu suara.
"Dia cuma anak kecil, jangan dianggap
serius!"
Si kakek menoleh ke arah datangnya
suara. Seorang kakek yang wajahnya hampir
mirip dengannya melayang turun dari atas lalu
mendarat dan berdiri di samping Santana yang
sudah berdiri biasa, tidak bersikap kuda-kuda.
"Aki!" seru Santana begitu tahu siapa
yang datang.
"Siapa dia, rai?" tanya si kakek serba
putih.
"Dia anak didikku,"
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pantas dia menggunakan jurus tadi,
guman si kakek dalam hati lalu bertanya, "Apa
kau tidak mengajarkannya sopan santun?"
Si kakek di samping Santana tertawa
mengekeh, "Sopan santunnya belum terasah,
maklum dia ini anak Raja Begal dari
Cibaringkeng..."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
137
Nandar Hidayat
"Oh, pantas. Tapi kenapa kau ambil
murid?"
"Dia ingin jadi orang baik, tidak mau
mengikuti cara bapaknya, Santana, orang itu
adalah raka-ku."
"Tapi kenapa dia begitu, ki?" tanya
Santana.
"Apa maksudmu, heh!"
"Sudah-sudah! Raka tak perlu
menggubrisnya, maklum saja dia masih anak-
anak. Dan kau Santana, kau belum mengerti
semua apa yang sudah kau lihat tadi dan
sebelumnya. Nanti kau juga akan mengerti
sendiri seiring berjalannya waktu."
Santana manggut-manggut.
"Santana,"
"Ya, ki."
"Sekarang kau sudah jelas antara aku
dan dia..." si kakek menunjuk kakaknya. "Dia
sang maha resi Sempakwaja dari
galunggung..."
"Orang tersakti di negeri ini!" sela
Santana sambil melirik ke orang yang
dimaksud.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
138
Nandar Hidayat
"Hahaha.... Suatu saat kau boleh
menantangnya kalau ilmumu sudah tinggi..."
"Tapi dia tadi menantangku!"
"Bocah edan!" sentak resi Sempakwaja.
Jelas maksud Santana merendahkannya, masa
yang tua menantang yang muda? Begitu kira-
kira!
"Hahaha....,sudahlah. Dan aku Wanayasa
bisa juga dipanggil resi Jantaka." si kakek
misterius akhirnya menerangkan siapa dirinya.
Santana hanya diam melirik bergantian
ke arah dua kakek itu. Ternyata masih saudara.
Tapi resi Sempakwaja tampaknya angkuh,
pikir Santana.
"Sekarang, kau boleh menyelesaikan
urusan pribadimu, Santana." kata resi Jantaka
kemudian.
Santana menatap gurunya, "Terima kasih
aki."
"Pergilah, kau tak perlu memikirkan
apalagi ikut campur masalah mereka," sang
guru menunjuk lagi kakaknya. Santana
mengerti yang dimaksud gurunya adalah
tentang laskar siluman dan anaknya resiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
139
Nandar Hidayat
Sempakwaja yang bernama raden Sora atau
Purbasora itu. Lagi pula apa pedulinya dengan
urusan pelik dan rumit seperti itu. Bukan
jatahnya.
"Baik, ki!"
Sebelum pergi Santana menatap iseng
sejenak ke arah resi dari Galunggung itu. Sang
resi hanya balas melotot. Santana tersenyum
lalu pergi diiringi kekeh tawa gurunya.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
140
Nandar Hidayat
13
Rumah kayu besar itu masih berdiri
kokoh. Rumah yang dulu pernah ditinggalinya.
Sekarang sepi tiada penghuninya. Dulu dia
melihat anak buah ayahnya diringkus petugas
kerajaan. Kemarin dia mendengar ayahnya
kini bergabung dengan Purbasora. Berarti
sudah tidak ada lagi komplotan perampok
pimpinan ayahnya. Tidak ada lagi orang yang
berjuluk Raja Begal dari Cibaringkeng. Tapi
mungkin perampok-perampok lain masih ada
di luaran sana atau di sekitar daerah ini juga
ada hanya masih sembunyi-sembunyi.
Di punggung Santana kini tergantung
buntalan berisi kepingan emas, perak, permata
dan pehiasan lainnya. Barang-barang itu
adalah hasil rampokan ayahnya yang masih
tersimpan di rumah itu. Sebenarnya masih
cukup banyak di dalam, tapi terlalu repot kalau
dibawa semua. Jadi Santana hanya membawa
semampunya saja. Biarlah harta itu tersimpanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
141
Nandar Hidayat
saja. Siapa tahu ada orang yang
menemukannya suatu saat nanti.
Ternyata hidup ini butuh harta dan bekal
untuk makan dan lainnya. Makanya Santana
mengambil harta simpanan ini untuk bekalnya
karena dia seorang pengangguran. Bukan
petani, pedagang, pegawai, apalagi pejabat
kerajaan. Sebenarnya dia bisa saja bekerja di
sebuah kedai lagi seperti dulu saat pertama
kali kabur turun bukit. Tapi dia punya niat
lain, selain untuk bekalnya dia ingin
membantu orang-orang susah yang ditemuinya
nanti.
Setelah lama memandangi rumah kayu
itu, anak muda bongsor ini segera turun bukit.
Langkah yang pertama ditujunya yaitu
ke pasar yang dulu pernah melihat anak buah
ayahnya ditangkap prajurit Indraprahasta serta
pertama kali bertemu resi Jantaka gurunya.
Setiap ada pengemis dia memberikan
sekeping atau dua keping perak atau emas.
Kontan saja yang dikasih girangnya bukan
main mendapatkan sesuatu yang sangatPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
142
Nandar Hidayat
berharga. Bagi mereka sekeping emas saja bisa
buat makan berhari-hari.
Ketika melihat ada seorang ibu-ibu dan
anaknya yang masih empat tahunan yang
tampak lusuh, lemas dan agak kumal. Santana
menghampirinya.
"Bu, kenapa?" tanya Santana.
"Kami belum makan, jang."
Lalu Santana mengajak mereka masuk
ke kedai terdekat. Dipersilahkan makan
sepuasnya sesuai selera. Tentu saja ibu dan
anak yang dari pagi belum mengisi perut ini
jadi senang. Sudah begitu sehabis makan
dikasih bekal lagi beberapa keping perak.
"Terima kasih, jang. Semoga Hyang
melindungi ujang." doa si ibu buat Santana.
Santana terus melangkah lagi hingga
meninggalkan tempat ramai itu. Sampai agak
jauh ketika melewati perkampungan di salah
satu teras rumah yang kecil terlihat
menjelepok seorang lelaki kurus telanjang
dada tampak lesu dan muram.
"Kenapa, ki?" sapa Santana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
143
Nandar Hidayat
"Eh, si ujang. Biasa jang, sedangi
bingung nih!"
"Bingung kenapa?"
"Yah...tanaman di ladang rusak semua
diserang tikus dan hama,"
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi tidak bisa panen?"
"Begitulah, jang. Aki bingung, bekal
mau habis, modal juga sudah tidak ada."
"Kalau begitu, terimalah ini untuk modal
dan bekal aki..."
Santana menyodorkan beberapa keping
emas dan perak.
"Waduh, banyak sekali jang..." Orang ini
jadi lebih bingung, gugup, heran dan kaget
melihat emas dan perak sebanyak itu.
"Ambilah, ki."
Dengan gemetaran lelaki ini menerima
pemberian Santana sambil memperhatikan
sosok Santana.
"Kamu ini siapa, jang. Anak juragan atau
anak menak?"
"Bukan siapa-siapa ki, cuma seorang
pengelana."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
144
Nandar Hidayat
Tak menunggu orang itu bicara lagi
Santana segera berlalu. Mantap sekali saat dia
jawab 'seorang pengelana' anak ini jadi
senyum-senyum sendiri. Apa benar dia
seorang pengelana?
Sampai di jalan yang jauh dari kampung
dan keramaian, Santana dikejutkan oleh tiga
lelaki paruh baya yang menghadang
langkahnya.
"Kelihatannya kamu membawa bekal
yang banyak," ujar lelaki yang di tengah yang
badannya paling tinggi diantara lainnya.
Memakai pakaian serba hitam. Wajah lonjong
berkumis tebal, bibirnya juga tebal, jadi
terlihat menyeramkan. Rambut ikal panjang
sebahu diikat kain merah di keningnya.
"Dan ternyata isinya barang berharga,"
sahut yang sebelah kiri. Wajahnya kotak
kelimis, rambut lurus panjang hingga
punggung. Dia juga berpakaian serba hitam.
"Ada baiknya kau berikan perbekalanmu
pada kami, dijamin kau selamat," yang sebelah
kanan juga bicara. Sama serba hitam
pakaiannya. Badannya paling kekar diantaraPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
145
Nandar Hidayat
yang lainnya. Muka bulat kumis tebal dan
kepala pelontos.
Santana tenang saja. Dia pikir ini saatnya
latihan melawan lebih dari satu orang. Sampai
dimana kemampuan bela dirinya setelah
beberapa lama digembleng di rumah resi
Jantaka.
"Oh, kalian ingin ini..." Santana
mengacungkan buntalannya.
Tiga orang ini saling pandang, lalu
tertawa mengejek.
"Anak ingusan punya apa kau sehingga
berlagak seperti jagoan?"
Santana tersenyum lalu dia melemparkan
buntalan itu ke atas sekuatnya. "Ambil!"
teriaknya.
Tiga orang ini kaget. Si jangkung segera
meloncat, tangannya menggapai buntalan yang
melayang di udara. Namun baru setengah
tombak loncatan tubuhnya terpental
kebelakang lalu jatuh bergulingan.
Nyatanya dia terkena tendangan kaki
kanan Santana secara cepat dan tiba-tiba.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
146
Nandar Hidayat
Buntalan masih melayang jauh di udara.
Dua orang lainnya segera menerjang. Yang
satu mengirimkan tendangan ke perut Santana
sambil tangannya siap menyangga buntalan
yang siap jatuh. Sedangkan temannya
mengirimkan pukulan ke wajah si anak
berusaha agar Santana menjauh dari
tempatnya.
Tapi apa yang terjadi sungguh diluar
dugaan. Dua-duanya mengenai tempat kosong
sementara buntalan itu disambar Santana yang
entah kapan meloncatnya karena begitu cepat
gerakannya. Kejap berikutnya Santana sudah
mendarat dengan mantap. Kini tempatnya
bertukar, Santana berada di tempat tiga orang
itu menghadangnya dan tiga lawannya berada
di tempat dia semula.
Santana kembali mengacungkan
buntalannya sambil nyengir, "Tidak mau ya
sudah!"
Dia memutar badan hendak pergi, tapi
tiga orang ini serentak menerjang bersama.
Percobaan yang menyenangkan. Tubuhnya
terasa sangat ringan sehingga dapat bergerakPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
147
Nandar Hidayat
cepat. Satu tendangan dari tengah dan dua
pukulan dari samping kiri dan kanan berhasil
dilewati tanpa melompat. Hanya mengegoskan
badan, tiga serangan itu hanya mengenai
sasaran kosong walaupun terpaut sejengkal
dari bagian badan yang jadi sasaran. Saat
bersamaan terbukalah kelengahan tiga
lawannya maka dengan cepat dimanfaatkan
untuk membalas serangan apalagi keadaannya
seperti berhimpitan.
Dess..dess...dess!!!
Brukk!!!
Tiga pukulan Santana telak menghantam
sasarannya sampai tiga orang ini bermentalan
hingga tersungkur ke tanah. Sungguh apes
bagi mereka bertiga, tak disangka anak
kemarin sore bisa membikin mereka
sedemikian rupa. Bagian yang terkena pukulan
tadi tampak lebam dan terasa panas bikin
tenaga lemas.
"Kalian belum beruntung!" seru Santana
sambil berlalu meninggalkan mereka.
Ternyata benar juga sangkaannya, masih
ada perampok lain yang berkeliaran tentunyaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
148
Nandar Hidayat
akan membuat warga takut dan merasa tidak
aman. Tapi tiga orang tadi sepertinya masih
baru jadi perampok. Mungkin karena sudah
tak terdengar lagi tentang ayahnya jadi mereka
muncul.
Selain itu dia merasa pertarungan tadi
tidak seru. Kurang menantang. Terlalu mudah.
Kepandaian tiga rampok itu biasa saja bahkan
sepertinya hanya mengandalkan tenaga luar
saja.
Santana menoleh kebelakang,
memastikan tiga orang itu tak mengejar lagi.
Kemana lagi dia akan pergi? Pikirnya.
Lalu teringat gadis pujaan hatinya. Teringat
juga kepada ayah si gadis yang telah tewas di
tangan ayah Gumara. Gemuruh dendam
mendadak berkecamuk di dadanya.
Dari mana harus memulai? Kalau ke
tempatnya Kemala, dia belum tahu di mana.
Tapi rasa rindu sudah menumpuk di hatinya.
Ingin segera bertemu gadis yang lebih tua lima
tahun darinya itu. Seketika dia bertanya sendiri
dalam hatinya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
149
Nandar Hidayat
Apakah dia sudah pantas jatuh cinta?
Apakah sudah pantas mengenal lawan jenis
dalam hal asmara? Apakah dia sudah beranjak
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
remaja bahkan lebih dari itu? Atau ini hanya
permainan perasaan saja?
Kalau ke desa dimana Kemala dan
ayahnya tinggal tentu dapat mudah
menemukan dan membuat perhitungan dengan
Gumara dan ayahnya karena mereka juga
tinggal di desa itu.
Maka dimantapkan tujuan berikutnya ke
desa tempat tinggal Garda Salira ayah Kemala.
Mungkin di rumah itu hanya pembantunya saja
yang tinggal. Garda Salira telah tewas, dan
bibi Sriwuni mungkin ke tempat gurunya.
Namun baru saja niatnya dimantapkan.
Terdengar suara bentakan pertarungan disertai
teriakan-teriakan khas suara wanita. Santana
segera mencari asal suara itu. Ternyata di
ujung bawah jalan yang menurun. Jalan yang
tengah ia tempuh beberapa tombak kedepan
terdapat turunan.
Di bawah itu terlihat lima lelaki
berbadan tegap yang pakaiannya seragamPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
150
Nandar Hidayat
warna merah tengah mengeroyok seorang
gadis. Tidak tanggung lima lelaki ini
menyerang menggunakan senjata masing-
masing berupa golok pendek. Sedangkan si
gadis menggunakan pedang.
Dari jauh belum jelas siapa gadis yang
dikeroyok itu. Tampaknya dia kewalahan
namun terus coba bertahan. Setelah agak dekat
barulah Santana tahu.
"Bibi Sriwuni!" desisnya. Kebetulan
memang, tadi dia sedang memikirkan keluarga
Garda Salira. Eh...sekarang ketemu bibinya
Kemala sedang dalam bahaya.
Ini juga yang ditunggunya. Tantangan
bertarung lawan banyak orang bersenjata.
Siapa orang-orang yang mengeroyok Sriwuni
itu? Tak peduli. Sekarang waktunya mencoba
jurus yang belum tahu namanya dan telah
disempurnakan selama berada di rumah ki
Jantaka alias resi Wanayasa.
"Hai, pengecut!" teriak Santana, "Masa
lima lelaki mengeroyok satu perempuan!"
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
151
Nandar Hidayat
14
Lima pengeroyok hentikan serangan
menoleh ke Santana. Saling pandang lalu
terbahak-bahak bersama.
"Ada kunyuk kecil mau jadi pahlawan!"
ujar salah satunya.
"Budak berag yang napsu lihat
perempuan cantik, mau membelanya biar
disebut jagoan!" timpal yang lain yang diakhiri
tawa meledek.
Belum berakhir ketawa mereka tahu-
tahu sosok Santana sudah berada di tengah
arena pertarungan. Lebih parah lagi kelima
orang ini langsung merasakan hantaman dari
pukulan dan tendangan yang mengenai perut
hingga mereka terjajar beberapa langkah ke
belakang.
Suara tawa mereka lenyap berganti
keluhan menahan enek.
"Setan!"
"Keparat!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
152
Nandar Hidayat
Tapi Santana tak memberi kesempatan
dia langsung menyerang lagi. Bertumpu pada
kaki kiri, kaki kanan menendang dengan
gerakan cepat ke arah tiga lawan. Sementara
dengan memiringkan badan, dua tangan
menghantam ke dua orang lainnya.
Namun kali ini serangan Santana tak
menemukan sasaran karena lima lawannya
sudah bergerak cepat menghindar. Tapi tak
menyurutkan semangat Santana. Dia ingin
mencoba jurus yang belum tahu namanya itu,
siapa tahu saja mereka berlima mengenali
sehingga menyebut namanya.
Selain itu juga dia ingin jadi penyerang
bukan bertahan karena melawan lima orang.
Jadi jangan sampai dia yang diserang.
Walaupun bertubi-tubi pukulan atau tendangan
belum menyentuh sasaran dia terus menyerang
tak memberi kesempatan lawan membalas.
Sudah beberapa jurus berlalu tak ada
satupun dari mereka yang menyebut nama
jurus, berarti mereka tidak mengetahuinya.
Sriwuni yang menyaksikan tak jauh di
pinggir jalan tampak kagum melihat gerakPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
153
Nandar Hidayat
jurus Santana yang cepat, lincah dan mantap.
Setiap lawan yang hendak menyerang balik
selalu digagalkan oleh gerakan Santana yang
mendahului lebih cepat.
Tentu saja lima orang ini heran dan
kesal. Lawannya cuma satu orang tapi seperti
memiliki seratus tangan dan kaki walaupun
tanpa senjata, arahnya tepat ke sasaran yang
mematikan. Sehingga senjata mereka tak
bermanfaat di genggaman.
Kesal tapi tidak ingin malu juga, masa
mengeroyok anak kecil bau kencur saja
kewalahan. Maka mereka terus mencoba
melawan.
Lama-lama Santana kesal juga
menyerang tanpa ada hasil satupun. Tenaga
pun mulai berkurang. Maka dia ambil satu
tindakan. Menyerang satu orang. Ya. Dia
memilih salah satu dari mereka dengan
menyabetkan telapak tangan ke pergelangan
sehingga golok yang digenggam terlepas
mental. Dilanjutkan dengan menyikut tulang
rusul lawan.
Dukk!PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
154
Nandar Hidayat
"Uh..!'
Si lawan terjengkang hingga jatuh.
Melihat temannya jatuh, keempat orang yang
lain segera memburu. Kali ini ada celah untuk
menyerang si anak bongsor itu.
Rupanya hal ini juga yang ditunggu
Santana. Empat golok menderu memburu
empat sasaran tubuhnya. Dua tangan
menghadang sabetan dua golok dengan
menghantam tepat di pergelangan sehingga
dua senjata itu terlepas dari genggaman.
Bersamaan dengan itu, kaki kanan menjulur
menghadang dua serangan yang lain. Satu
kibasan kakinya berhasil mengenai
pergelangan tangan lagi. Hasilnya sama, dua
golok mental lagi.
Selanjutnya dalam waktu sekejap saja
dua tangannya menekuk maju sehingga dua
sikunya menjotos wajah dua lawannya.
"Auh..!"
"Auh..!"
Dua orang ini terjengkang. Bersamaan
juga saat itu kakinya yang tadi menyepak kiri
kanan di atas tepat mengenai leher lawanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
155
Nandar Hidayat
sehingga mereka terpental dan jatuh
bergulingan.
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sriwuni yang menyaksikan makin
kagum saja. Hanya dengan dua gerakan cepat
empat lawan dibuat terjatuh. Lima orang itu
terkapar semua di tanah. Memang serangan
Santana kali ini disertai tenaga dalam tapi
tidak banyak namun hasilnya bisa membuat
cedera yang lumayan berat.
Kelima orang berseragam hitam ini
perlahan bangkit lalu pergi meninggalkan
Santana dan Sriwuni.
"Tunggu pemabalasan kami, bocah!"
seru salah satunya.
Santana hanya memandangi kepergian
mereka.
"Bibi, siapa mereka?" tanya Santana
setelah kelima orang itu lenyap.
"Mereka anak buahnya Raksana,"
"Siapa Raksana?"
"Bapaknya Gumara,"
"Oh, iya."
Kini mereka berbincang sambil berjalan.
"Apa yang terjadi sebenarnya?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
156
Nandar Hidayat
"Raksana dan Gumara berbuat onar di
desa, mereka membunuh ki lurah. Desa
dikuasai, berbuat sewenang-wenang.
Memungut upeti panen seenaknya kepada
warga,"
"Tidak ada yang memberitahukan ke
kerajaan?"
"Setiap ada yang mau ke kerajaan selalu
ketahuan, ditangkap, disiksa bahkan
dibunuh..."
"Wah, kejam sekali mereka."
"Lebih biadab lagi, Gumara selalu
melecehkan gadis-gadis desa. Jika ada yang
disukainya, akan ditangkap dan dijadikan
budak napsunya."
"Biadab!" umpat Santana, dia
membayangkan kalau-kalau itu terjadi pada
Kemala. Tapi ia yakin, sekarang Kemala sudah
mempunyai kepandaian.
"Sejak kapan itu terjadi, bibi?"
"Sejak raka Garda tewas, keesokan
harinya mereka mulai berulah. Sepertinya
mereka memperdalam kepandaian dulu
sebelum melakukannya."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
157
Nandar Hidayat
"Memiliki kepandaian ilmu silat hanya
untuk menjadi penguasa di desa, begitu
maksudnya, bi?"
"Begitulah,"
"Kebetulan sekali aku kembali ke desa
ini untuk membuat perhitungan dengan bapak
dan anak itu,"
"Soal apa?"
"Tentu saja soal kematian mamang
Garda."
Oh iya, sahut Sriwuni dalam hati. Waktu
itu ketika kakaknya terkapar hingga menemui
ajalnya, dia melihat Santana bertarung dengan
Gumara dan bapaknya itu.
Lalu dia mendengarkan cerita Santana
setelah kejadian itu. Tentang dia dirawat dan
digembleng oleh resi Jantaka tapi tidak tentang
resi Sempakwaja dan Purbasora.
"Aku juga kembali ke sini untuk balas
dendam. Kemala belum diijinkan ikut karena
belum cukup mampu dalam kepandaiannya,"
"Sekarang rencana kita bagaimana, bi?"
"Sudah pasti menghentikan kekejaman
mereka, kita bicarakan di rumah saja,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
158
Nandar Hidayat
Mereka pun mempercepat langkah
menuju rumah bekas tempat tinggal Garda
Salira bersama Kemala. Sepanjang jalan
mereka melihat para petani yang murung dan
seperti ketakutan.
Apakah tidak ada warga yang berani
menentang? Pikir Santana. Atau tidak ada
yang memiliki kepandaian yang menandingi
ayah dan anak itu? Paling tidak harus ada
warga yang ikut membantunya. Karena dia
bukan pendekar yang besar yang menjadi
pahlawan setiap orang.
***
Rumah kerja ki lurah tampak lebih besar
dan lebih bagus dari rumah warga lain. Rumah
ini kini ditinggali Gumara dan ayahnya.
Semenjak mereka membunuh ki lurah desa itu,
Raksana mengumumkan bahwa dialah yang
menjadi lurah. Ibunya Gumara sudah lama
meninggal, maka dia memilih beberapa wanita
di desa itu untuk menjadi selirnya. Dia tidak
ingin mengangkat seorang istri lagi. AnehnyaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
159
Nandar Hidayat
walaupun diantara wanita-wanita itu ada yang
bersuami, maka direbut paksa dari suaminya
untuk dijadikan selir.
Tingkah ayah dan anak ini seolah-olah
sudah menjadi raja saja. Mereka memiliki
banyak anak buah yang membantu
kesewenang-wenangan mereka dalam
menindas warga.
Termasuk lima orang pembantu yang
kini terduduk menekuk wajah di hadapan
majikannya.
"Seorang anak ingusan mempecundangi
kalian, bagai mana bisa?" sentak Raksana
marah tak percaya dengan penuturan anak
buahnya.
Lima orang ini masih menunduk tak
berani menjawab. Malu, pasti malu. Tapi
memang ini yang terjadi.
"Bagaimana ciri anak itu?" tanya
Raksana kemudian.
"Dia bongsor, usianya mungkin baru
empat atau lima belas tahun"
"Santana!" seru Gumara yang duduk di
samping ayahnya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
160
Nandar Hidayat
"Dia?"
"Laki-laki yang merebut Kemala dariku,
pak!"
"Dia telah kembali, dulu dia babak belur
tapi ada orang yang melarikannya. Sekarang
dia pasti hendak menuntut balas!"
"Aku tidak takut, bapak. Ilmu silatku
sudah berkembang, kita juga mempunyai
banyak anak buah. Tidak akan sulit meringkus
dia dan juga gadis itu," Gumara menerawang
membayangkan sosok Sriwuni dengan pikiran
penuh birahi.
"Aku masih penasaran dengan gadis itu,
ingin segera mencumbunya, tapi kalian gagal
menangkapnya!" sentak Gumara kepada anak
buahnya. "Dan juga ingin tahu dimana Kemala
disembunyikan?"
"Kalau begitu kita siapkan anak buah
kita lebih banyak lagi dan serang mereka.
Masa dua orang itu sanggup melawan puluhan
anak buah kita?" ujar Raksana.
"Segera kumpulkan yang lain!" perintah
Gumara pada lima orang itu yang tanpa
menjawab langsung menjura dan pergi.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
161
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nandar Hidayat
15
Sudah tujuh hari ini anak buah Raksana
yang ditugaskan menangkap Santana dan
Sriwuni selalu kesulitan mencari mereka.
Setiap hari menyambangi rumah Garda Salira
yang disangka menjadi tempat tinggal
sepasang pemuda itu, namun selalu dalam
keadaan kosong bagai tak ada penghuni
bahkan kedua pembantu Garda Salira pun
tidak ada.
Anak buah yang lain juga mencari ke
setiap pelosok, ke setiap rumah warga yang
dicurigai namun tetap tak ada hasil. Ke kebun
dan ladang milik Garda Salira dan tempat-
tempat lain yang dianggap bisa untuk
sembunyi juga tak ada jejaknya.
Hari kedelapan. Semua anak buah
Raksana yang berjumlah dua puluh orang
dikerahkan kembali menuju rumah Garda
Salira langsung dipimpin olehnya beserta
Gumara. Rumah bekas saudagar ini memangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
162
Nandar Hidayat
besar dan halamannya luas. Sejak kematian
pemiliknya sudah tidak ada kegiatan penjualan
lagi. Dua pembantunya hanya sekedar
menempati dan merawat, karena mungkin
suatu saat nanti putrinya yang bernama
Kemala akan kembali tinggal di situ.
Memasuki halaman yang luas,
rombongan Gumara disambut oleh Santana
dan Sriwuni yang sudah berdiri tenang di
depan rumah.
"Rupanya kalian sudah cukup bekal
setelah bersembunyi sekian hari, sehingga
sudah berani pasang badan!" teriak Gumara
bertolak pinggang.
"Tentu saja!" sahut Santana tersenyum
tenang sama sekali tak menunjukan raut takut
atau cemas.
"Sepak terjang kalian akan berakhir hari
ini!" timpal Sriwuni.
"Wuni, aku masih bersedia menerimamu
jadi pendampingku. Walaupun mungkin anak
ingusan itu sudah duluan menikmatimu!"
"Mulut busuk!" maki Sriwuni. Merah
padam wajahnya dihina direndahkan, dianggapPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
163
Nandar Hidayat
murahan. Ingin ia segera melabrak pemuda
berotak mesum itu, namun harus tetap
bersikap tenang sesuai dengan yang sudah
direncanakan.
Sebenarnya Santana juga geram
mendengar ucapan yang tak disangka-sangka
itu. Tapi dia juga tetap tenang. Di tangan
kanannya kini tergenggam pedang pendek.
Sama dengan Sriwuni yang menggenggam
senjata pedang panjang.
"Tunggu apa lagi, ringkus anak ingusan
itu. Tangkap gadis itu tapi jangan sampai
terluka!" perintah Gumara dengan lantang.
Dua puluh orang bersenjata golok
segera menyerbu mengurung Santana dan
Sriwuni. Mereka membuat dua lapis lingkaran.
Lingkaran pertama yang lebih dekat
mengurung sasaran berjumlah lima orang, dan
lingkaran pelapis di belakangnya berjumlah
lima belas orang. Sementara si ayah dan
anaknya hanya mengawasi di tempatnya.
Sepasang pemuda beda usia ini mulai
keluarkan jurus-jurus mautnya menghadapi
lima pengurung lapis pertama. Seperti biasaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
164
Nandar Hidayat
Santana menggunakan jurus yang belum tahu
namanya itu karena hanya itu yang dia punya.
Walaupun begitu jurus ini mempunyai
beberapa tingkatan. Yang bedanya sekarang
dia menggenggam senjata yang membuat
jangkauan pukulannya lebih luas.
Sementara yang menjadi lapis kedua
bergerak berputar sambil salah seorang tiba-
tiba merangsak ke depan ikut menyerang lalu
mundur lagi. Cukup sulit bagi Santana dan
Sriwuni membobol bentuk serangan ini.
Sampai beberapa jurus berlalu mereka hanya
mampu bertahan.
Tak ada yang memperhatikan ketika
tiba-tiba saja salah seorang di lingkaran kedua
ambruk tak bernyawa lagi.
Brukk!
Gumara kaget, segera menghampiri anak
buahnya yang jatuh itu. Sebuah anak panah
menancap tepat di dada menusuk jantung.
"Pembokong sialan!"
"Ada apa anakku?"
"Lihatlah, pak!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
165
Nandar Hidayat
Gumara menyapukan pandangan, tak ada
yang mencurigakan. Bahkan seolah-olah angin
pun diam tak bergerak.
"Apa rencana mereka?" gumam Raksana
sambil memandang anak panah yang sudah
dicabutnya.
"Aaah!"
Brukk!
Satu lagi di tempat lainnya tampak
terpental lalu ambruk tak berkutik. Setelah
diperiksa juga sama terpanah tepat di
jantungnya. Semakin marah Gumara dan
ayahnya melihat kejadian ini.
"Setan alas!"
"Bedebah!"
Apa yang terjadi sebenarnya? Selama
tujuh hari menghilang, Santana dan Sriwuni
dibantu oleh pembantu setia Garda Salira
secara sembunyi-sembunyi menemui warga-
warga desa. Mereka mengajak warga untuk
melawan Raksana. Namun kebanyakan
menolak karena takut dan tak punya
kemanpuan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
166
Nandar Hidayat
Hingga akhirnya Santana punya gagasan
mencari dan menemui orang-orang yang suka
berburu. Kebanyakan mereka ahli dalam
memanah buruan di hutan. Setelah diajak dan
dijelaskan rencananya akhirnya para pemburu
itu mau membantu. Tidak banyak hanya
delapan orang saja.
Saat ini, para pemburu yang sudah
melumuri anak panahnya dengan racun ganas
bersembunyi di setiap tempat yang tak
disangka-sangka sehingga Gumara dan
ayahnya bingung tak bisa menemukan
keberadaannya.
"Aukh!"
Brukk!
Satu lagi kena panah. Semakin marah
semakin murka ayah dan anak ini. Tapi yang
kena selalu di lingkaran kedua. Kenapa?
Sebenarnya para pemanah ini juga mengincar
penyerang di lingkaran pertama. Tapi mereka
ragu karena gerakan orang-orang ini sangat
cepat ditambah takut salah sasaran. Bisa-bisa
malah mengenai Santana atau Sriwuni. Jadi
mereka membidik yang gampang saja.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
167
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nandar Hidayat
Kini lingkaran pelapis sudah berkurang
lima orang. Sementara Gumara dan Raksana
kesana kemari mencari siapa yang memanah.
Santana juga tahu dengan kejadian ini.
Dia senyum-senyum saja, walau tak melihat
karena sibuk bertarung tapi dia tahu Gumara
dan ayahnya kebingungan. Hal ini membuat
semangatnya bertambah. Kemudian pemuda
ini memberi isyarat kepada Sriwuni.
Kejap berikutnya dua orang muda ini
tiba-tiba meloncat tinggi melewati lingkaran
pertama walaupun saat mendarat masih berada
dalam kepungan. Mereka segera membabatkan
senjata masih-masing.
Jika sabetan pedang Sriwuni sampai
membunuh lawan-lawannya, ada yang tersabet
lehernya, ada yang tertusuk dadanya hingga
menembus jantung dan ada yang terbelah
kepalanya. Maka tidak dengan Santana. Dia
hanya mengayunkan pedang merobek atau
memutuskan urat-urat yang membuat lumpuh
saja.
Akhirnya bentuk penyerangan ini kacau
tak karuan. Jumlah anak buah RaksanaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
168
Nandar Hidayat
semakin berkurang. Ada yang dibantai
Sriwuni, dilumpuhkan Santana dan dipanah
orang yang masih bersembunyi di tempatnya.
Sungguh tak disangka tak diduga.
Kekuatan yang dimiliki sepasang ayah dan
anak ini hancur sedemikian rupa.
Sampai akhirnya habis juga anak buah
yang jumlahnya banyak dan diandalkan itu
walaupun tidak semuanya tewas hanya
dilumpuhkan saja, dan ini perbuatan Santana
karena dia tak ingin membunuh lawan.
Gumara berteriak murka. Dia cabut
pedangnya. Hatinya panas pikiran kalap.
"Anjing bedebah, hiaaa...!" pemuda
beringasan ini menghambur sambil
mengayunkan pedangnya. Mengamuk.
"Dia bagianku!" seru Sriwuni langsung
menghadang Gumara. Seketika terjadilah
pertarungan sengit antara keduanya.
Sementara Santana juga langsung
diterjang Raksana. Dia membuang pedangnya
karena lawan tak bersenjata. Gerak jurus
lelaki paruh baya ini kaku tapi bertenaga.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
169
Nandar Hidayat
Mantap dan sempurna. Pertarungan seperti ini
yang dia suka. Adu kepandaian adu jurus.
Sekali saja Santana mencoba memapak
pukulan lawan. Gunanya agar tahu seberapa
kuat tenaga lawan. Baik tenaga kasar atau
tenaga dalam. Dan yang dirasakan hasilnya
rupanya lawannya sudah menyertakan tenaga
dalam di setiap serangannya.
Terasa kuat tapi Santana yakin bisa
mengimbanginya. Melawan dengan akal juga.
Dia tahu kalau hanya sekedar melawan tidak
akan mampu menandingi atau bahkan
mengalahkannya. Makanya dia menahan atau
menangkis serangan terasa ringan, bisa
dirasakan dari angin yang menyambar. Dan
dia menghindar atau mengelak saja dari
serangan yang dirasa berat dan bahaya.
Hasilnya memang bikin penasaran
Raksana yang belum mampu melukai
lawannya. Dia tahu tenaga dalam lawan masih
di bawahnya. Tapi anak ini cerdik. Karena
terpikirkan hal ini akhirnya dia lengah,
pertahanan terbuka. Langsung dimanfaatkan
Santana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
170
Nandar Hidayat
Degh!
Sikut Santana mengenai ulu hati lawan.
Dia tahu lawan kuat maka dia alirkan tenaga
dalam yang cukup besar saat menyikut.
Akibatnya ayahnya Gumara ini terpental dua
tombak terhuyung-huyung hampir jatuh.
Raksana pegangi ulu hatinya yang terasa
sesak bagai habis dihantam batu raksasa.
Sikutan anak itu terasa menusuk sampai
bagian dalam tubuhnya.
"Cerdik kau anak muda!"
Lelaki paruh baya ini menghimpun
tenaga lagi. Tak peduli rasa sakitnya. Ini cuma
sedikit belum parah. Dia siap bertarung
kembali. Namun tiba-tiba saja langkahnya
tertahan. Kakinya merasakan sakit dan perih.
Ternyata satu anak panah menembus
pahanya. Dia mendongak mencari si pemanah
tapi tak terlihat.
"Pengecut!" teriaknya lalu menatap
Santana, "Caramu licik!"
Santana diam saja. Dia membenarkan
ucapan Raksana. Tentu saja di saat bertarung
seperti ini jadinya curang kalau dibantu siPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
171
Nandar Hidayat
pemanah. Tidak seperti tadi ketika dikepung.
Karena itu Santana tak segera menyerang.
Dengan gagah tak pedulikan rasa sakit
yang menyengat akibat racun, Raksana cabut
anak panah itu. Namun baru saja dicabut, anak
panah lain menancap di paha sebelahnya.
Clep! Clep! Clep!
Anak-anak panah yang lain menghujani
badannya hingga dia pun roboh dan terlepas
nyawanya.
Saat seperti ini, Santana kasihan
melihatnya. Tapi mengingat perlakuan
Raksana terhadap warga desa, wajar saja kalau
warga desa termasuk si pemanah ini sangat
kesal terhadapnya hingga tanpa ampun lagi
menghujaninya dengan anak panah.
Pertarungan Sriwuni dan Gumara
semakin sengit. Dalam pertarungan ini para
pemanah yang bersembunyi tidak membantu
Sriwuni karena gadis itu sudah berteriak agar
jangan membantunya sebab dia ingin
menghabisi lawannya sendiri.
Gumara tampak mengamuk dengan
senjatanya sehingga gerakannya terlihat takPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
172
Nandar Hidayat
terkendali tapi masih berbahaya bagi Sriwuni
jika memapakinya. Tenaga gadis ini tidak
cukup kuat bila untuk menangkis, maka dia
hanya menghindar lalu menyerang balik.
Karena keadaan Gumara yang bagai
kesetanan ini membuat dirinya banyak lengah
sehingga beberapa kali ujung pedang Sriwuni
berhasil menggores bagian tubuhnya walau
tidak dalam tapi terasa perih.
Di sisi lain Sriwuni sangat bernapsu
ingin segera menghabisi lawan. Namun selalu
tak ada kesempatan pedangnya untuk menusuk
jantung atau menebas batang leher pemuda
mesum itu. Yang ada hanya berhasil
menggores saja.
Namun semakin banyak bagian
tubuhnya yang tergores semakin kendor
gerakannya dan semakin lemah tenaganya.
Apalagi ketika melihat di sebelah sana,
ayahnya telah roboh dihujani anak panah.
Semangat untuk hidup pun pudar. Rasanya
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kematian sudah siap menjemputnya.
Ternyata nasib baik masih berpihak
padanya. Disaat Sriwuni mendapatkanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
173
Nandar Hidayat
kesempatan mengayunkan pedang untuk
menebas leher Gumara tiba-tiba dari arah yang
tidak jelas asalnya melesat satu sosok
menyambar tubuh Gumara begitu cepat
seolah-olah langsung lenyap ditelan bumi.
"Sial! Setan!" maki Sriwuni kesal karena
pedangnya mengenai angin saja.
Santana yang melihat kejadian itu
langsung mendekat. Dia sempat melihat sosok
yang melarikan Gumara. "Dia lolos!" desisnya.
Saking kesalnya Sriwuni membanting
pedangnya hingga menancap dalam sampai
setengahnya di tanah.
"Sudahlah, bibi."
"Aku belum puas kalau belum
menghabisinya, aku akan terus mencarinya!"
"Nanti kita akan memburunya. Tapi kita
harus cari tahu dulu siapa yang melarikannya
tadi, aku ingat ciri-cirinya."
Lalu mereka melihat para pemanah yang
delapan orang itu muncul dari
persembunyiannya bahkan bermunculan juga
orang-orang desa mengerubuni tempat itu.
Rupanya dari jarak jauh namun masih dalamPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
174
Nandar Hidayat
jarak pandang, warga desa menyaksikan
peristiwa yang menegangkan itu. Sesuai
rencana, Santana dan orang-orang yang
membantunya berhasil menumpas kekejaman
Raksana, Gumara dan anak buahnya.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
175
Nandar Hidayat
16
Jantung berdetak lebih cepat. Hati
berdebar tapi juga berbunga-bunga. Sejuta kata
ingin diucapkan tapi bibir malah kelu hanya
bergetar tipis. Hanya dua pasang mata yang
saling memandang. Penuh pesona, penuh
makna.
Rindu tercurah seakan telah sekian
lamanya tak berjumpa. Wajah cantik bersih
walau tak putih tapi berseri penuh ceria dihiasi
senyum di bibir mungil tipis. Mata lentik
menyorot bagai cahaya menatap lekat lelaki
remaja di hadapannya.
Begitu juga sang lelaki seakan tak ingin
mengalihkan tatapan mesranya dari si cantik
berdagu lancip. Rambut panjang lurusnya
terkibar angin menyibak leher jenjang dan
bahu mungil membuat semakin mempesona.
Santana dan Kemala. Dua remaja beda
usia baru saja bertemu kembali setelah
beberapa lama terpisah.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
176
Nandar Hidayat
Setelah memastikan keadaan di desa
aman, Santana dan Sriwuni memutuskan pergi
ke tempat Kemala digembleng Nyi Gandalaras
yang juga gurunya Sriwuni. Tempatnya
lumayan berada jauh di utara perbatasan antara
Indraprahasta dengan Wanagiri. Begitu sampai
di sana, Santana tak sabar lagi ingin segera
bertemu gadis pujaan hatinya.
"Tak sabar ingin jumpa, nyatanya cuma
jadi patung setelah bersua, hehehe..." goda Nyi
Gandalaras melihat dua remaja itu cuma saling
tatap.
Mendengar ucapan gurunya Kemala jadi
tertunduk malu. Santana juga salah tingkah
tapi dia tetap memberanikan diri menatap
Kemala.
Karena malu dilihat guru dan bibinya,
Santana memegang tangan Kemala lalu
menariknya ke suatu tempat yang sepi diiringi
suara tawa gurunya yang mengekeh.
Di sebuah gubuk yang berdiri di atas
sebuah empang. Dua remaja kasmaran ini
duduk berdampingan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
177
Nandar Hidayat
"Aku...senang, sangat senang bisa
melihat kamu lagi," kata Santana pelan
menahan gemetar.
"Aku juga..."
Mereka saling manatap lagi. Dekat.
Sampai hembusan napas pun terasa. Mereka
benar-benar sudah merasakan cinta. Entah itu
karena napsu atau cinta yang sesungguhnya
tak dapat dibedakan rasanya.
"Aku ingin selalu dekat denganmu.
Bersamamu, Kemala."
"Itu juga yang aku rasakan. Aku benar-
benar jatuh cinta sekarang..."
"Memang sebelumnya?"
"Kau tahu dulu aku dijodohkan dengan
Gumara. Aku hanya menurut saja walaupun
tahu Gumara sebenarnya hanya sebatas napsu.
Lebih-lebih peristiwa yang lalu telah
membukakan mataku bahwa dia bukan laki-
laki yang baik,"
Tanpa malu lagi Kemala menyandarkan
badannya ke pundak Santana yang segera
memeluknya. Baru pertama menyentuh tubuhPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
178
Nandar Hidayat
wanita, rasanya lembut, wangi dan hangat.
Tapi semakin berdebar hatinya.
Lalu keduanya sudah terbuai dalam
lautan asmara yang baru saja dikecapnya. Tak
mempedulikan keadaan di sekeliling seakan
dunia milik berdua. Namun mereka hanya
sebatas hal yang wajar saja, tidak sampai
kelepasan ke sesuatu yang belum waktunya.
Mereka sadar dan tahu ada peraturannya.
Sebagaimana diungkapkan kepada
gurunya tentang niat baik mereka pada malam
harinya.
"Tunggulah beberapa tahun lagi hingga
usia kalian sudah benar-benar dewasa dan siap
menjalani rumah tangga," begitu jawaban Nyi
Gandalaras.
Santana dan Kemala hanya saling
pandang. Untuk saat ini memang rasanya
sudah tak sabar ingin segera menjadi resmi.
Tapi Nyi Gandalaras benar, apalagi usia
Santana yang terpaut lima tahun lebih muda.
Mungkin hanya keburu napsu saja untuk saat
ini.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
179
Nandar Hidayat
"Kalian harus dipisahkan lagi untuk diuji
kesetiaan masing-masing. Pada saat
perpisahan itu, Kemala akan aku godok hingga
benar-benar matang dalam ilmu silat, sifat
maupun sikap."
Suasana hening. Sepasang remaja yang
duduk berdempetan ini tak bosan-bosannga
saling memandang.
"Lihatlah, bibi kalian juga belum dapat
jodoh. Padahal usianya sudah cukup untuk
menikah..."
"Ah, nini!" Sriwuni memerah wajahnya
lalu menunduk.
"Nini, aku ingin menanyakan sesuatu."
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata Santana.
"Bertanya apa?"
"Beberapa hari yang lalu ketika bibi
Sriwuni bertarung dengan Gumara, ada sosok
yang gerakannya sangat cepat bagai kilat
melarikan Gumara..."
"Terus!"
"Aku ingin tanya barangkali saja nini
tahu siapa sosok itu?"
"Ciri-cirinya seperti apa?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
180
Nandar Hidayat
"Serba merah, pakaiannya serba merah,
rambutnya juga panjang dan warna merah.
Tapi bukan wanita, karena aku juga sempat
melihat dia berjenggot merah,"
Nyi Gandalaras tampak berpikir
membayangkan rupa yang dijelaskan Santana.
"Rasanya tokoh yang ciri-cirinya seperti
itu sudah lama menghilang di dunia persilatan.
Kalau tak salah namanya Birawayaksa,
seorang tokoh berilmu sesat."
"Birawayaksa," ulang Santana pelan.
"Apa mungkin dia muncul lagi, atau..."
"Atau hanya mengangkat murid seperti
Gumara itu untuk kemudian dimunculkan ke
dunia persilatan menggantikannya," Sriwuni
menyela mengungkapkan pendapatanya.
"Bisa jadi Gumara sudah menjadi
muridnya hanya saja baru sedikit ilmu yang
dia dapatkan," Santana juga menebak-nebak.
"Ya...ya...ya...bisa jadi." gumam Nyi
Gandalaras.
"Kalau begitu aku akan mengikuti saran
nini. Berpisah lagi sementara dengan Kemala
agar rindu ini selalu ada tak pernah habis danPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
181
Nandar Hidayat
aku akan berusaha sekuat mungkin untuk
setia..."
"Terus maksudnya apa, apa kaitannya
rindu dan setia dengan Birawataksa?" tukas
Nyi Gandalaras. Terdengar Kemala menahan
tawa melihat sikap gurunya itu.
"Iya, selama berpisah aku akan kembali
menemui guruku. Menanyakan tentang orang
bernama Birawayaksa itu. Menambah lagi
ilmuku agar bisa melawan ilmu sesatnya dan
membawa Gumara untuk dihukum atas
perbuatannya."
"Bagus, hebat. Segeralah laksanakan,
aku takut berlama-lama di sini nanti kau
berbuat yang tidak-tidak sama Kemala..."
"Ah, nini, tak mungkin lah!"
Nyi Gandalaras tertawa mengekeh,
"Bercanda...ah, kau ini!"
Besoknya, Santana harus rela berpisah
lagi dengan kekasihnya untuk melaksanakan
tugas yang belum selesai. Mencari Gumara.
Santana dan Kemala masih berpelukan
erat seakan tak mau lepas lagi membuat Nyi
Gandalaras jengah.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
182
Nandar Hidayat
"Sampai tujuh hari tujuh malam juga
tidak akan jenuh kalau begitu terus, kapan
berangkatnya!" teriak Nyi Gandalaras.
Sriwuni tertawa kecil melihat tingkah
gurunya. Memang begitu, lucu, tak
membosankan walau sedang marah.
Sepasang remaja ini pun melepaskan
pelukannya. Lalu Santana pergi.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
183
Nandar Hidayat
17
Di atas sebuah cabang pohon yang
tingginya dua tombak dari tanah Santana
duduk menyandar ke batang utama pohonnya.
Sepasang matanya menikmati indahnya alam
dengan latar sang surya yang baru saja bangun
dari peraduannya.
Di depan sana terhampar ladang huma
yang baru ditanami padi. Di jaman itu cara
menanam padi orang Sunda masih dengan cara
'ngahuma'. Tanam kering. Seperti menanam
tanaman di ladang pada umumnya. Belum
menggunakan cara 'sawah' yang harus sering
dialiri air.
Sesekali pemuda yang sudah mengenal
asmara ini menghirup udara pagi yang begitu
sejuk dalam-dalam dan menghembuskannya
pelan-pelan. Cara ini sekaligus melatih
pernapasan untuk meningkatkan kekuatan
tubuh. Kadang juga ia lakukan cara bernapas
yang diajarkan ki Jantaka.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
184
Nandar Hidayat
Suasana yang nyaman, udara yang segar,
pemandangan yang indah membuat dia betah
berlama-lama di atas pohon itu. Telihat di
antara sela-sela tanaman padi, sepagi ini sudah
ada petani yang mengurus humanya.
Terpikirkan olehnya, apakah suatu saat
nanti dia juga akan jadi petani saat menjalani
hidup bersama Kemala?
Oh, kemala! Teringat lagi gadis pujaan
hatinya. Kapan waktunya akan tiba menjadi
sepasang suami istri? Ah, usia saja masih belia
sudah berpikir ke arah sana. Pengalaman
hidupnya masih cetek, pengetahuan juga baru
seujung kuku. Dia harus mengembara dan
berpetualang dulu merasakan asam garamnya
kehidupan. Sebagai orang biasa. Juga sebagai
pendekar...
Apa? Pendekar? Sudah pantaskah
disebut pendekar? Masih anak kemarin sore
jangan harap disebut seorang pendekar seperti
gurunya. Atau Birawayaksa...
Nah, dia teringat lagi sosok yang
buatnya penasaran. Dari mana harus memulai
mencari tokoh yang katanya sudah menghilangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
185
Nandar Hidayat
itu? Apa harus kembali ke pondok gurunya?
Tapi selama kenal dengan gurunya, belum
pernah dia sengaja mendatangi gurunya yang
sifatnya angin-anginan.
Selalu ki Jantaka sendiri yang tiba-tiba
muncul menghampirinya.
Belum tentu juga beliau ada di
pondoknya. Hanya karena keadaanya yang
terluka parah waktu itu maka dia cukup lama
tinggal di pondok. Buktinya begitu
gemblengan selesai, kakek itu sudah lenyap
lagi.
Jadi sekarang, cari jalan sendiri saja
untuk memulainya. Mengikuti arus kehidupan
yang sudah diatur sang maha pemilik hidup.
Dan entah kebetulan atau memang sudah
suratan Hyang Widi, di ujung jalan yang
membentang dekat pohon tempatnya duduk
terlihat tiga orang yang salah satunya dikenali
Santana.
Santana merapihkan buntalan yang
sudah ringan karena sebagian isinya
diserahkan kepada Nyi Gandalaras. Lalu
melompat turun menghampiri tiga orang itu.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
186
Nandar Hidayat
Dua pemuda berwajah tampan, yang satu
hanya mempunyai satu tangan, kanan saja.
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan seorang gadis berbadan tinggi dan
ramping.
"Mamang Ardaya!" teriak Santana.
"Loh..." Ardaya tampak bingung sambil
menunjuk.
"Aku Santana,"
"Oh..ya hampir saja aku lupa. Tapi
sepertinya kau lebih pantas panggil aku raka
saja,"
"Oh..begitukah? Baik mamang, eh, raka
Ardaya. Siapa mereka?"
"Ini Jayana,"
Santana memandang pemuda bertangan
buntung, "Raka Jayana,"
Jayana mengangguk senyum.
"Aku Anting Sari,"
"Teteh Anting?"
Si gadis jangkung tersenyum
mengangguk.
"Dia yang telah berjasa mengantarkan
pesan guru kepadaku,"
"Raka Ardaya tidak..."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
187
Nandar Hidayat
"Aku bukan lagi seorang senopati
muda..."
Santana hanya melongo.
"Aku mundur demi tugas yang
dipesankan guru..."
Santana angguk-angguk, "Lantas kalian
hendak kemana?"
"Gunung Salak,"
"Tugas dari ki Ranggaguna, ya?"
"Ya, kau mau ikut?"
"Kalau boleh, biar aku dapat pengalaman
baru,"
"Bolehlah, semakin banyak kawan
semakin seru."
Dan anak bongsor ini pun akhirnya ikut
rombongan Ardaya. Awal perjalanan tentu saja
Ardaya menjelaskan tentang kedua temannya.
Ardaya dan Anting Sari sepertinya ada
kedekatan secara pribadi sementara Jayana si
tangan buntung lebih pendiam tapi bukan
berarti tak sering bicara.
Perjalanan yang akan seru sepertinya,
tiga orang ini sudah bisa disebut pendekarPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
188
Nandar Hidayat
mengingat latar belakang mereka. Dia akan
belajar banyak pada mereka.
Tidak lupa Ardaya juga menjelaskan
mengapa mereka bertiga hendak ke gunung
Salak. Saat mengetahui ketiga sahabatnya itu
ada kesamaan pengalaman berhubungan
dengan laskar siluman Dewawarman. Santana
teringat sesuatu.
"Aku punya suatu hal yang kuketahui
perihal laskar siluman, kalau raka bertiga
percaya padaku, aku akan
memberitahukannya,"
"Apa itu, Santana?"
Santana mendahului langkah tiga
kawannya. Dia berjalan paling depan.
"Aku tahu siapa pemimpin laskar
siluman itu, aku pernah tak sengaja
melihatnya. Ketika laskar itu berkumpul di
suatu tempat lalu pemimpin mereka muncul.
Oh ya, waktu itu aku habis dari kota raja
mengantarkan pesan buat raka Ardaya,"
"Terus!" pinta Ardaya.
"Aku bertanya kepada aki..."
"Aki?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
189
Nandar Hidayat
"Orang yang merawatku sekarang,"
Santana berbohong. "Kata aki, setelah
kusebutkan ciri-cirinya, orang yang jadi
pimpinan laskar siluman itu adalah resi
Sempakwaja..."
"Apa?!" tiga orang pemuda ini sama-
sama tersentak mendengar nama tokoh itu.
"Aki-mu benar?" tanya Anting Sari.
"Akiku punya banyak pengetahuan. Dari
beliau aku tahu awal mula kerajaan
Indraprahasta," jelas Santana. Padahal dia
mendengar ceritanya dari Suwirya, pedagang
yang mengantarnya ke kota raja.
"Rasanya tidak mungkin, bukankah resi
itu bapaknya raden Sora?" kata Jayana setelah
lama diam.
"Nah, aku juga tahu tuh si Sora..."
"Eh eh, apa kau bilang?" sentak Ardaya.
Santana tertawa pelan, "Iya iya, raden
Sora."
"Kenapa bicara lancang begitu?" ketus
Anting Sari.
"Masih mau dengar ceritaku?" Santana
balik tanya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
190
Nandar Hidayat
"Silahkan," sahut Ardaya.
"Dan masih mau percaya?"
"Teruskan saja dulu!"
"Baik," Santana menghela napas sejenak.
Masih sambil berjalan ia melanjutkan, "Karena
aku juga pernah memergoki mereka. Begini
ceritanya, tak sengaja aku melihat si Sora, eh,
raden Sora terlibat perkelahian dengan.....
Kalau tidak salah raden Sora memanggilnya
,Wiratara..."
"Oh...dia adik iparnya!" sela Ardaya.
"Sepertinya masalah tahta."
"Ya, kabar yang tersiar juga begitu.
Mereka berebut pengaruh untuk menjadi raja."
Timpal Anting Sari.
"Siapa yang kalah?" tanya Ardaya
kemudian.
"Wiratara itu yang kalah, " lanjut
Santana. "Lalu datanglah resi tua itu
menyampaikan bahwa Sora akan segera jadi
raja."
Terdiam. Hanya suara langkah kaki yang
terdengar. Kecuali Santana, yang lain tampak
berpikir mencari tahu apa hubungan dibalikPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
191
Nandar Hidayat
semua itu. Pemimpin laskar siluman
Dewawarman adalah resi Sempakwaja, tokoh
paling sakti dan juga ayahnya Purbasora.
"Hai, kenapa diam?" Santana memecah
kesunyian.
"Sejak pertama bertemu, aku sudah
percaya padamu, Santana. Kali ini aku juga
percaya. Hanya aku sedang mencari sesuatu
dibalik semua ini." kata Ardaya.
"Tentu saja resi tua itu menciptakan
laskar siluman sengaja untuk menaikkan
pamor raden Sora di kemudian hari," ujar
Santana.
"Hai, anak kecil, kau cerdas sekali,"
tidak disangka keluar pujian dari mulut si
pendiam Jayana. "Tak kusangka pikiranmu
sampai sejauh itu."
"Terima kasih, raka Jayana." Santana
terkekeh kaku.
"Baiklah, Santana." kata Ardaya. "Usia
kamu mungkin lebih muda dari kami, tapi
siapa tahu kau punya pemikiran lebih
cemerlang dariku yang sedang ruwed karena
hal ini. Sekarang aku mau tanya..."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
192
Nandar Hidayat
"Ah, raka, aku jadi malu..."
"Santana, kenapa laskar siluman itu
menyerbu padepokanku, Jayana atau mungkin
juga sudah banyak padepokan lainnya?"
Santana tampak berpikir. Dia hentikan
langkahnya. Telunjuk kanannya diketuk-
ketukan ke dahi. Lagaknya seperti orang tua
yang banyak ilmu.
"Aku sempat dengar pembicaraan
lainnya. Resi tua itu menyuruh agar Sora terus
mengumpulkan orang-orang persilatan. Dari
sini aku mengambil kesimpulan..." Santana
diam.
Yang lain pun diam menunggu. Di
tengah jalan itu mereka seperti patung tak
peduli sengatan matahari yang mulai
membakar kulitnya.
"Laskar siluman itu sebenarnya bukan
menyerbu. Tapi memaksa pengasuh
padepokan untuk bekerja sama membantu
rencana raden Soorrra itu. Tapi, ki
Ranggaguna, misalnya. Beliau tidak mau
tunduk. Maka dibantailah habis semuanya agar
tidak ada yang tahu sebenarnya. LaluPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
193
Nandar Hidayat
dibikinlah berita seolah-olah terjadi
penyerbuan." Santana menghela napas panjang
setelah memberi penjelasan.
Tentang mengumpulkan orang-orang
persilatan tentu saja Ardaya dan Anting Sari
sudah tahu. Kalau dihubungkan dengan laskar
siluman, ada benarnya juga bisa jadi seperti
itu.
"Kau ini mungkin dewa yang menyamar
jadi anak kecil," lagi-lagi Jayana memuji.
Tapi Ardaya dan Anting Sari malah
memandangi pemuda buntung itu dengan sorot
pertanyaan.
"Aku dan beberapa murid lain sedang
bekerja di ladang waktu itu. Lalu ada yang
datang mengabarkan telah terjadi sesuatu di
padepokan. Jadi aku tidak tahu awal
kedatangan laskar siluman itu." tutur Jayana
mengerti tatapan pertanyaan dua sahabatnya.
"Baiklah, aku dan juga yang lain saat ini
menerima penjelasan sobat muda kita ini.
Suatu saat pasti akan terbongkar semua." kata
Ardaya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
194
Nandar Hidayat
"Nah, sekarang jelaskan kenapa
bicaramu lancang soal raden Sora?" yang
bertanya adalah Anting Sari.
Santana membuat mimik wajah
cemberut, "Karena aku ketahuan menguping.
Resi tua itu mengerjaiku. Suatu saat aku akan
buat perhitungan dengannya!"
Sontak tiga kawan Santana ini terbahak-
bahak mendengarnya. Apalagi kalimat terakhir
itu bagaikan 'pacikrak ngalawan merak'.
Kemudian mereka melanjutkan
perjalanan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
195
Nandar Hidayat
18
Sudah hampir gelap rombongan Ardaya
belum juga menemui sebuah perkampungan
atau desa untuk mencari tempat menginap.
Daerah yang mereka lewati hanya hutan dan
bukit. Beruntung di langit timur bersinar
rembulan dalam bulat sempurna menerangi
perjalanan mereka.
Mau tak mau mereka berhenti di suatu
tempat dirasa aman dan cocok untuk istirahat.
Tempat yang kebetulan ada sebuah pohon
besar yang rebah ke tanah entah karena hal
apa. Lalu masing-masing mencari tempat yang
nyaman pada pohon rebah itu.
Sudah bisa ditebak oleh pikiran Santana,
pemuda bertangan buntung itu memilih
menyendiri. Sementara melihat kedekatan
Ardaya dan Anting Sari selalu mengingatkan
kepada Kemala. Akhirnya Santana juga
mencari tempat sendiri.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
196
Nandar Hidayat
Santana merebahkan badannya di salah
satu dahan besar. Buntalannya dijadikan alas
kepala.
Malam semakin merayap tambah dingin.
Cahaya purnama semakin terang di atas
menyeruak ke celah dedauan. Hanya nyanyian
binatang malam yang terdengar. Tiga
kawannya tampak sudah terlelap karena
keletihan. Anak bongsor ini sebenarnya juga
sudah lelah. Terasa nyaman saat punggung
diluruskan. Tapi matanya belum bisa terpejam.
Di tempat lain. Tepatnya di tengah hutan
ini. Ada sekitar dua belas sosok yang tersebar
di berbagai tempat agak berjauhan tampak
seperti sedang mengincar sesuatu. Ada yang
berdiri, duduk, mendekam, sembunyi di balik
semak dan lain-lainnya.
Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan
yang sedang memburu sebuah benda sakti
yang akan muncul di hutan ini pada saat
tengah malam nanti. Pada saat purnama
mencapai puncaknya.
Benda apa itu?PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
197
Nandar Hidayat
Pandangan mereka sama-sama ke satu
jurusan. Sebuah pohon kecil. Seperti pohon
bunga. Dari pancaran sinar bulan memang itu
sebuah pohon bunga melati. Anehnya bunga
melati yang masih kuncup itu cuma ada satu
berada di pucuk pohon. Lebih aneh lagi melati
itu berwarna biru.
Sesekali orang-orang ini melihat ke
bulan. Puncak purnama sesaat lagi. Begitu
bulan tepat di atas kepala. Kuncup melati
tampak mengeluarkan cahaya biru terang. Lalu
perlahan-lahan mekar.
Pada saat itulah semua orang yang sudah
menanti sejak sore hari ini serentak
menghambur berlomba mendapatkan bunga
melati biru itu. Tapi apa yang terjadi sebelum
mereka mencapai sasaran. Tiba-tiba saja bunga
itu terpetik sendiri lalu melayang ke atas
sambil kelopaknya berputar.
Orang-orang ini terhenti. Terkejut
melihat melati itu terbang. Belum hilang rasa
terkejutnya, bunga melati biru kjni melesat ke
arah selatan di mana Santana dan kawan-
kawannya sedang beristirahat.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
198
Nandar Hidayat
Santana kaget ketika melihat bunga
melati biru terbang berputar-putar di atas
wajahnya. Belum sempat bangun untuk
melihat lebih jelas, bunga melati itu tiba-tiba
meluruk masuk ke mulut Santana. Langsung
tertelan.
Di lain pihak. Ardaya, Anting Sari dan
Jayana terbangun karena tiba-tiba saja banyak
orang mengepung tempat itu.
"Ada apa ini?" tanya Ardaya.
"Siapa mereka?" sambung Anting Sari.
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketiga pemuda ini segera berkumpul si
satu titik dekat tempat Santana.
"Lihat, anak itu menelan bunganya!"
seru salah seorang.
Yang lain terdengar ribut-ribut.
"Darahnya, darahnya!" teriak yang lain.
"Ya, minum darahnya!"
Kemudian belasan tokoh silat ini
bergerak hendak menyembelih Santana.
"Tunggu! Ada apa ini main seenaknya
saja?" bentak Ardaya.
"Jangan ikut campur, serahkan anak itu
untuk disembelih!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
199
Nandar Hidayat
"Siapa kalian seenaknya saja mau
menyembelih anak orang!" teriak Anting Sari.
"Dia teman kami, berarti kalian berurusan
dengan kami!"
"Hmh...terpaksa kita harus keluar tenaga
sedikit untuk menghabisi mereka," ujar salah
seorang lagi.
"Tunggu apalagi, hajar!"
Satu orang memberi aba-aba. Serentak
dua belas jago silat ini menyerbu.
Tiga pemuda melingkar melindungi
Santana yang masih terbaring kaku setelah
menelan bunga melati. Anting Sari cabut
pedangnya. Ardaya hanya tangan kosong
sedangkan Jayana menggunakan tongkat dari
batang pohon yang baru dipatahkannya.
Berbagai macam senjata menderu
mencari sasaran. Tiga pemuda ini sudah cukup
pengalaman dalam bertarung. Mereka tahu
yang dihadapi adalah para jago silat. Mereka
tidak memikirkan sebab kejadian ini karena
harus segera mengeluarkan jurus-jurus
andalannya menghalau serangan yang begitu
banyak ini.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
200
Nandar Hidayat
Masing-masing dalam satu gerakan
harus tepat menghalau beberapa serangan
sekaligus. Ini cukup menyulitkan bagi Jayana
karena baru pertama kali bertarung dengan
satu tangan. Dikeroyok lagi. Dia
menyesuaikan gerak jurus yang mestinya dua
tangan menjadi satu saja. Salah satunya
dengan banyak gerakan kaki menendang atau
menyepak. Tongkat di tangannya cukup
membantu untuk menjangkau sasaran yang
jauh juga untuk melindungi diri dari serangan.
Berbeda dengan Anting Sari yang tanpa
ragu-ragu mengayun dan membabatkan
pedangnya. Beberapa lawan sudah menjadi
korbannya walaupun hanya goresan-goresan
tapi terasa perih di kulit.
Tiga lawan banyak. Lama-lama
kewalahan juga walau belum satupun di antara
mereka yang terluka. Namun tenaga semakin
berkurang.
Sementara teman-temannya sedang
membelanya habis-habisan. Tubuh Santana
tampak kelojotan seperti tersengat sesuatu
yang menyakitkan. Matanya melotot bagaiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
201
Nandar Hidayat
hendak mencelat keluar. Mulutnya terbuka
seperti tersedak sesuatu di tenggorokannya.
Tangannya memegangi lehernya.
Di saat keadaan makin kacau. Tiga
pemuda terdesak. Tiba-tiba Santana
mengeluarkan suara raungan menggelegar
hingga menimbulkan hembusan angin yang
menyapu para pengeroyok hingga terpental
dan jatuh bergulingan.
Santana berdiri kaku. Dari terangnga
sinar bulan terlihat wajah Santana merah
menyala. Kedua matanya juga. Mulutnya
masih meraung. Tingkahnya seperti orang
kerasukan.
"Santana, kenapa kau?" seru Anting Sari
Walau bagaimana pun keanehan Santana
telah menyelamatkan mereka dari keadaan
yang gawat tadi.
Santana kembali meraung. Sepasang
tangannya mengangkat seperti sayap yang
mengembang sementara jari-jarinya
membentuk cakar. Lalu dia meloncat ke arah
orang-orang yang sudah bangun dan siap
menyerang kembali.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
202
Nandar Hidayat
Bagaikan kesurupan Santana mengamuk
menghajar setiap orang yang mendekat hendak
menyerangnya. Sekali pukul sekali tendang
saja membuat lawannya terpental jauh. Ada
yang tak bisa berkutik lagi. Ada yang terpaksa
kabur dengan langkah tertatih karena luka.
Ada juga yang masih penasaran ingin
melumpuhkannya. Tapi apa daya. Hal aneh
terjadi pada tubuh Santana. Dia kebal terhadap
berbagai senjata. Dan akhirnya yang penasaran
itu jadi korban keganasan Santana juga.
Sampai habislah para tokoh silat yang
mengeroyok itu lalu tubuh Santana roboh.
Brukk!
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
203
Nandar Hidayat
19
Ardaya segera menghampiri. Anting Sari
memeriksa keadaan anak itu. Jayana hanya
melihat di dekatnya.
"Masih hidup," ujar Anting Sari.
"Tubuhnya sangat panas." kata Jayana.
Lalu Ardaya membawanya ke tempat
lebih layak walau terasa panas menyengat.
"Dia hanya pingsan." kata Anting Sari
lagi.
Ketika pagi tiba Santana membuka
matanya. Tubuhnya tak terasa panas lagi.
"Hai, sudah bangun!" seru Jayana
memberi tahu. Dua temannya segera
mendekat.
"Santana, kau sudah bangun. Duduklah."
kata Anting Sari.
Santana memandangi ketiga kawannya,
"Apa yang terjadi?"
"Justru kami yang bertanya, kau kenapa
semalam?" tanya Ardaya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
204
Nandar Hidayat
Lalu Santana mengingat kejadian
semalam. "Tiba-tiba saja ada bunga bercahaya
berwarna biru masuk ke mulutku dan
tertelan..."
"Orang-orang itu mengatakan harus
meminum darahnya. Berarti bunga yang
tertelan Santana bukan bunga sembarangan."
jelas Jayana.
"Melati biru!" ujar Anting Sari.
"Apa itu?" tanya Ardaya.
"Melati yang tumbuh setiap seratus
tahun sekali dan mekar di saat puncak bulan
purnama. Katanya akan memberikan kekuatan
dashyat pada orang yang memakannya."
"Pantas, berarti orang-orang itu sedang
memburu melati biru itu, lalu entah kenapa
malah masuk sendiri ke mulut Santana."
"Lalu apa yang kau rasakan Santana?"
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Anting Sari.
"Aku merasa tersedak, di dalam dada
dan perutku terasa panas dan seperti berputar-
putar. Tak kuat aku menahannya..."
"Terus kenapa kau mengamuk?" Ardaya
yang bertanya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
205
Nandar Hidayat
"Mengamuk?" Santana balik tanya.
"Ya, kau seperti kerasukan menghajar
orang-orang itu." jelas Anting Sari.
"Kalau itu aku tdak tahu, karena aku tak
sadar setelah tak kuat menahan panas di dada
dan perutku."
Tiga pemuda saling pandang. Hal ini
sama-sama tak mengerti. Apakah itu akibat
pengaruh dari bunga melati biru itu.
"Sampurasun!"
Satu suara menyapa mereka. Seorang
kakek muncul entah dari mana arahnya.
"Rampes!"
"Aki..." seru Santana.
"Santana, kau harus ikut aku lagi," kata
si kakek yang ternyata resi Jantaka.
"Aki ini..." tanya Ardaya.
"Akinya Santana,"
"Kenapa, ki?" tanya Santana.
"Di dalam tubuhmu ada bunga melati
biru. Setiap saat bisa terjadi hal itu lagi..."
"Apa itu, ki?" Anting Sari yang
bertanya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
206
Nandar Hidayat
"Tubuhnya terasa panas dan akan
mengamuk seperti kerasukan karena tak tahan.
Dia belum bisa mengendalikan kekuatan
bunga itu. Jadi dia harus ikut aku lagi melatih
mengendalikannya."
Santana memandang ketiga sahabatnya,
"Aku tidak bisa menemani perjalanan raka
bertiga lagi"
"Tidak apa-apa Santana, keadaanmu
lebih penting." kata Ardaya.
"Baiklah,Santana, ayo pergi!" ajak ki
Jantaka. "Terima kasih sudah menjadi teman
Santana."
"Sama-sama, ki. Kalau boleh tahu siapa
nama aki?" tanya Ardaya.
"Aku...Jantaka!"
Dalam beberapa kejap saja ki Jantaka
dan Santana sudah tak terlihat lagi sosoknya.
"Jantaka?" gumam Ardaya berpikir.
"Itukan adiknya resi Sempakwaja!"
tukas Anting Sari.
"Heran, siapa sebenarnya Santana?
Kemarin dia cerita tentang resi maha sakti itu.
Ternyata, akinya adalah adiknya sang resi."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
207
Nandar Hidayat
Ketiga pemuda ini pun melanjutkan
perjalanannya menuju gunung Salak.
***
Setiap benda pusaka baik itu senjata atau
kitab atau apapun bentuknya pasti jadi rebutan
para tokoh persilatan. Siapapun orangnya, dari
mana asalnya pasti akan berusaha
mendapatkannya.
Seperti yang terjadi di lereng selatan
gunung Salak. Di pagi hari ketika penerang
jagat baru separuh muncul. Sekitar dua puluh
tokoh persilatan dari delapan penjuru angin
berkumpul di suatu tempat yang cukup lapang
tapi keadaanya miring karena di lereng
gunung.
Di paling atas terdapat sebuah panggung
luas tentunya dibuat datar rata air. Di belakang
panggung itu tampak sebuah pedang yang
menancap dalam hingga setengah panjangnya
masuk ke sebuah batu sebesar dua pelukan
tangan orang dewasa.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
208
Nandar Hidayat
Itulah Pedang Bentar, pedang pusaka
yang jadi incaran semua tokoh silat yang hadir
di situ.
Di tengah panggung sudah berdiri
seorang lelaki kurus namun tegap berpakaian
serba hijau, ikat kepala dan pinggangnya
berwarna hitam. Wajahnya lonjong lancip
berkumis tipis sudah agak keriput karena
usianya hampir mendekati tua.
"Terima kasih atas kesediaan kisanak
semua untuk menunggu hingga pagi ini,"
mulai berkata si kurus serba hijau ini. "Sesuai
kesepakatan demi keadilan bersama, hari ini
akan diadakan sayembara memperebutkan
pedang pusaka yang menancap di batu itu.
Pedang Bentar. Sesuai peraturan akan
diadakan pertarungan satu lawan satu di atas
panggung ini. Yang paling kuat, paling lama,
dan yang tak terkalahkan di panggung ini, dia
yang akan memiliki Pedang Bentar. Untuk itu,
sayembara segera dimulai, silahkan kepada
kisanak siapa yang akan mulai duluan?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
209
Nandar Hidayat
Kemudian lelaki kurus ini turun dari
panggung membaur dengan tokoh-tokoh yang
lain.
Beberapa saat lamanya belum ada
satupun yang naik panggung. Kebanyakan
memang ragu untuk jadi peserta pertama yang
tampil. Selain akan kekurangan tenaga lebih
awal juga akan diketahui celah kelemahan
dalam ilmu silatnya.
Di antara kerumunan orang, di sebuah
batu datar dan pendek. Duduklah Ardaya dan
Anting Sari. Jayana tidak ada di situ karena dia
juga sedang mencari Kitab Naga Sajati di
lereng yang lain.
"Kau yakin bisa mengalahkan mereka
semua?" tanya Anting Sari.
"Aku tidak takin..."
"Maksudmu?"
"Aku tidak yakin cara memperebutkan
pedang itu semudah ini,"
"Mudah, kau bilang?"
"Ya, mudah dengan mengakali para
pendekar untuk saling bertarung,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
210
Nandar Hidayat
"Bukankah kalau tidak begini caranya
akan jadi kacau nantinya ketika saling
berebut,"
"Ya, benar, tapi dengan begini juga
orang tidak tahu bagaimana cara mengambil
pedang itu, atau memang sengaja
disembunyikan untuk maksud tertentu."
"Mmmh...ya..ya..ya...!"
"Kita lihat saja dulu!"
Akhirnya satu sosok meloncat
memamerkan gaya meringankan tubuh lalu
mendarat di tengah panggung. Lelaki
berperawakan sedang tidak kurus juga tidak
kekar. Berbaju rompi hitam yang bagian
bawahnya masuk ke lilitan ikat pinggang
warna kuning. Celana komprangnya warna
hitam juga.
Tak lama kemudian seseorang melesat
lagi tahu-tahu sudah berdiri di samping orang
pertama. Dari gerakannya terlihat lebih cepat
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari orang pertama.
"Siapa kisanak?" tanya orang pertama.
"Teja Purana!" jawab orang kedua yang
perawakannya sama dengan orang pertama.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
211
Nandar Hidayat
Dia telanjang dada, ikat pinggangnya merah
melilit bagian atas celana sontog biru.
Rambutnya panjang sebahu dengan ikat kepala
batik. Di tangan kanannya tergenggam senjata
cambuk terbuat dari anyaman rotan.
"Oh, anda yang berjuluk Pendekar
Cambuk Rotan?"
"Ya, apakah aku berhadapan dengan Si
Cakar Hideung?"
"Betul, mari kita lihat siapa yang pantas
mendapatkan pedang itu!"
Dua peserta mulai unjuk kebolehan. Si
Cakar Hideung mulai memamerkan jari-jari
tangannya yang berkuku panjang, tajam dan
hitam legam sesuai dengan nama julukannya.
Sedangkan Pendekar Cambuk Rotan bersiap
dengan senjatanya.
Pertarungan diawali dengan sabetan
cambuk yang panjangnya hingga satu setengah
tombak menyambar ke wajah Si Cakar
Hideung yang langsung berkelit menghindar
kemudian cakar kanannya berusaha
mencengkram bagian tengah cambuk. NamunPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
212
Nandar Hidayat
cengkramannya meleset karena gerakan
cambuk sangat cepat lewatnya.
Ternyata gerakan cambuk itu memutar
menimbulkan hentakan angin kuat sangat
cepat kembali menyambar, kali ini mengarah
ke bahu. Si Cakar Hideung menghindar
dengan berguling ke depan mendekati lawan
sambil membabatkan cakarnya ke perut lawan.
Pendekar Cambuk Rotan buru-buru
mundur sambil terus memutar cambuknya.
"Pendekar Cambuk Rotan diuntungkan
oleh senjatanya yang mampu menjangkau
lebih jauh," Ardaya berpendapat. "Si Cakar
Hideung akan kesusahan mendekati lawan.
Karena kelebihan dia adalah bertarung dalam
jarak dekat."
"Kau sudah menebak siapa yang akan
menang?" tanya Anting Sari.
"Tak membutuhkan waktu lama, Si
Cakar Hideung kalah!"
Benar juga kata Ardaya, karena keadaan
yang menguntungkan bagi Pendekar Cambuk
Rotan. Akhirnya senjata itu memakan korban,
sabetannya yang cepat disertai hembusanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
213
Nandar Hidayat
angin yang kuat berhasil mengenai punggung
lawan. Akibatnya Si Cakar Hideung mencelat
ke luar panggung dan jatuh bergulingan di
tanah. Beruntung tidak menggelinding ke
bawah akibat tanah yang miring.
Si Cakar Hideung bangkit lalu mencari
tempat untuk menyembuhkan lukanya.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
214
Nandar Hidayat
20
Di atas panggung Pendekar Cambuk
Rotan tersenyum puas atas kemenangannya.
Dia menunggu siapa yang akan jadi lawan
berikutnya.
Jlekk!
Satu orang sudah berdiri di panggung.
Dia membawa sebuah tongkat yang
panjangnya setinggi tubuhnya terbuat dari
perak.
"Pendekar Tongkat Perak!"
Beberapa orang menyebut nama lelaki
tinggi kurus berpakaian serba ungu itu.
Bagaikan sudah ada aba-aba
sebelumnya, dua pendekar ini mulai tunjukan
jurus-jurus andalannya. Dua senjata mereka
sama-sama bisa menjangkau jarak yang jauh.
Setiap sambaran cambuk bisa dimentahkan
oleh tangkisan tongkat, dan setiap sodokan
tongkat bisa dikibaskan oleh cambuk. BegituPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
215
Nandar Hidayat
terus sampai sepuluh jurus berlalu. Diantara
mereka belum ada yang terkena amukan
senjata masing-masing.
"Hanya yang lebih cepat dan kuat akan
memenangkan pertandingan." ujar Ardaya.
"Senjata cambuk terlihat lebih luwes dan
cepat sementara tongkat itu kelihatan kaku
atau memang karena penguasaan jurusnya
yang belum sempurna?" timpal Anting Sari.
Kembali ke panggung. Masih seperti tadi
saling menyabetkan senjata masing-masing.
Tapi kali ini Pendekar Cambuk Rotan
membuat gerakan berbeda. Dia menyabetkan
cambuknya dari arah samping seperti menebas
pohon. Dan sudah diduga Pendekar Tongkat
Perak akan menahan dengan tongkatnya tapi
dia tertipu. Saat beradu, kalau sebelumnya
cambuk itu akan mental kembali tapi kali ini
termyata cambul itu malah melilit tongkatnya.
Dalam terkejut segera dia tarik tongkat
melepaskan dari lilitan cambuk. Tapi apa yang
terjadi? Tenaganya tak mampu
mempertahankan senjatanya. Cambuk itu
berhasil menarik lepas tongkat di tangannya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
216
Nandar Hidayat
Lalu Pendekar Cambuk Rotan memutar
senjata sangat cepat kemudian disabetkan ke
tubuh lawan.
Wuuuk!
Breet!
Takk!
Brukk!
Pendekar Tongkat Perak yang terkena
sabetan cambuk ditambah hantaman
tongkatnya sendiri karena senjata itu masih
terlilit di ujungnya terpental hingga tersuruk
berguling-guling di tanah miring. Untung
menghantam pohon, kalau tidak mungkin
badannya akan terus menggelinding ke bawah.
Orang ini segera duduk mengatur pernapasan.
Badannya terasa remuk dan terluka di bagian
dalam.
Dua orang telah kalah. Pendekar
Cambuk Rotan semakin lebar senyumnya.
Orang-orang terdengar berbicara tak jelas
karena suasana menjadi ramai.
"Hebat juga Pendekar Cambuk Rotan,"
puji Anting Sari.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
217
Nandar Hidayat
"Siapa lagi yang akan maju?" teriak
lelaki kurus berbaju hijau di antara kerumunan
orang.
Lalu majulah orang tinggi besar yang
membawa golok besar dan panjang.
"Si Golok Buta!"
Seru salah seorang, buta disini bukan
berarti tak bisa melihat. Tapi Buta yang artinya
Raksasa atau Denawa. Seperti sosoknya yang
tinggi besar. Wajah seram berewokan persis
seperti raksasa. Ditambah senjatanya juga
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah golok ukuran besar.
"Kali ini Pendekar Cambuk Rotan
mendapat lawan tangguh." kata Ardaya.
"Sepertinya akan kalah." ujar Anting
Sari.
Pertandingan pun dimulai. Si Golok
Buta sesuai namanya dia memiliki tenaga yang
besar juga sehingga Pendekar Cambuk Rotan
cukup susah menghadapinya. Cambuknya
sering tertangkap oleh tangan besar lawannya,
dan harus keluar tenaga besar untuk
melepaskannya. Akibatnya tenaganya jadiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
218
Nandar Hidayat
berkurang walau sudah dilapis dengan tenaga
dalamnya tetap saja tak mampu mengimbangi.
Benar juga perkiraan Anting Sari,
Pendekar Cambuk Rotan harus menelan
kekalahan karena tenaga lawan berada di
atasnya. Cambuknya terampas, beruntung dia
hanya ditendang sampai mental. Bukan
dibacok oleh golok besar yang mengerikan itu.
Pemenang baru di atas panggung. Si
Golok Buta. Melihat sosoknya yang seperti
raksasa belum ada lagi yang berani maju
menantang.
Cukup lama menunggu siapa penantang
selanjutnya. Anting Sari bertanya kepada
sahabatnya. "Apa kau tidak hendak naik
panggung?"
"Belum saatnya,"
"Belum saat? Ini tugas gurumu, bukan?"
"Ya, tapi aku masih curiga kepada orang
itu,"
"Siapa?"
"Yang mengusulkan sayembara ini,"
"Lelaki kurus berbaju hijau itu?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
219
Nandar Hidayat
Ardaya mengangguk. "Kita lihat sampai
akhir, aku akan memberitahu sesuatu
padamu!"
Hari sudah beranjak siang. Walaupun
cahaya matahari memancar menembus lereng
gunung, tapi udara masih terasa dingin. Waktu
berlalu, sudah sembilan orang tak mampu
mengalahkan Si Golok Buta. Sampai tengah
hari tiba, sudah tak ada lagi yang maju
melawan si raksasa itu. Begitu pula Ardaya,
tidak segera maju menunaikan tugas gurunya.
Tapi kali ini Anting Sari tak bertanya lagi.
"Jika tidak ada lagi yang mau maju,
maka saya tetapkan Si Golok Buta
pemenangnya!" teriak si kurus berbaju hijau.
Si Golok Buta tertawa lebar merasa puas
menjadi pemenang. Lalu dia mendekati batu
yang tertancap pedang. Dia meletakan
goloknya lalu tangan kanannya mencabut
pedang pusaka itu.
Alangkah kagetnya ketika tangannya tak
mampu menarik pedang itu. Bahkan oleh dua
tangannya yang besar sekaligus tetap tak
mampu. Pedang itu tak bergeming sedikitpun.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
220
Nandar Hidayat
Sampai dia berteriak dan keringat bercucuran
tetap tak ada perubahan.
"Golok Buta, kau telah dibohongi!"
teriak seseorang. Suara wanita. Ternyata
Anting Sari.
Semua orang memandang ke arah gadis
jangkung ini. Seperti bertanya apa maksudnya.
"Kalian semua telah dipermainkan orang
itu!" Anting Sari menunjuk lelaki kurus
berbaju hijau.
"Apa maksudmu?" sentak si kurus
wajahnya mendongak karena si gadis lebih
tinggi darinya.
"Pedang pusaka itu hanya bisa dicabut
oleh orang yang berjodoh dengannya," Anting
Sari menerangkan.
"Dusta, tahu apa kau soal pedang itu?"
bentak si kurus lagi.
"Akan aku buktikan, kisanak dan
nisanak semua bisa mencoba mencabut pedang
itu satu persatu..."
"Jangan percaya pada omongan
busuknya, Golok Buta, pedang itu milikmu
silahkan bawa!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
221
Nandar Hidayat
"Tapi aku benar-benar tak bisa
mencabutnya," sahut Si Golok Buta di sebelah
sana kelelahan bermandikan keringat.
Orang-orang bergumam banyak yang
membenarkan perkataan Anting Sari.
"Gadis ini mungkin benar, kita coba saja
sarannya!" kata salah seorang.
"Ya..ya..betul!"
Si kurus jadi merah wajahnya
kebingungan apa yang mau dilakukan.
Akhirnya satu persatu orang-orang yang
hadir mencoba mencabut Pedang Bentar dari
batu itu. Sampai orang terakhir kecuali tiga
orang: Ardaya, Anting Sari dan si kurus.
Semuanya tak ada yang bisa mencabutnya.
"Nisanak mau mencobanya?" saran salah
seorang kepada Anting Sari."Aku!" Ardaya
maju langsung mendekati batu berpedang.
Tanpa ragu pemuda ini langsung
mencabutnya, dan...
Sring!
Semua orang melongo tak terkecuali si
kurus karena sebenarnya dia tahu pedang itu
tak bisa dicabut sembarang orang. SebelumPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
222
Nandar Hidayat
orang-orang itu hadir dia sudah lebih dulu
mencobanya tapi selalu gagal. Akhirnya dia
dapat ide membuat sayembara seolah-olah
pedang itu hanya menancap saja. Padahal dia
ingin mengadu para jagoan yang hadir.
Ardaya mengacungkan pedang,
melangkah mendekati orang-orang lalu
menyodorkan.
"Silahkan, ada yang mau mencoba
memegangnya?" tawarnya.
Para tokoh saling pandang. Ya juga
barangkali pemuda ini hanya bisa mencabut
tapi belum berjodoh. Lalu salah seorang
mengambil pedang itu.
Apa yang terjadi kemudian? Tangannya
tertarik ke bawah seolah pedang itu beratnya
ratusan kati. Dia tak mampu mengangkat
pedang akhirnya dijatuhkan pedang itu. Ajaib,
pedang itu mencelat sendiri dan kembali
berada dalam genggaman Ardaya.
Ardaya menyodorkan lagi. "Siapa lagi?"
Seorang wanita setengah baya menerima
pedang itu. Tiba-tiba pedang itu bergerak
sendiri menebas kesana kemari dan si wanitaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
223
Nandar Hidayat
ini tak mampu mengendalikannya. Lalu dia
melempar pedang itu ke atas. Seperti tadi
secara ajaib Pedang Bentar sudah tergenggam
kembali di tangan Ardaya.
Para tokoh saling bergumam sambil
angguk-angguk kepala.
"Tampaknya pedang itu memang
jodohmu, anak muda!" ujar salah seorang.
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih kisanak semua, semoga
pedang ini benar-benar berjodoh denganku."
Tiba-tiba semua orang memandang ke
arah si kurus. Kontan saja lelaki ini gemetaran
dengan wajah pucat. Merasa tak aman lagi,
lelaki ini segera ambil langkah seribu.
"Kejar!"
Serentak orang-orang itu mengejar si
kurus. Tinggal Ardaya dan Anting Sari di
sana.
"Pedang ini memang bukan jodohku."
"Loh, kok bisa , Ardaya?"
"Lihatlah!" Ardaya mengeluarkan
sebuah gulungan daun lontar dari dalam
lubang kecil pada gagang pedang. Itu sesuai
petunjuk gurunya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
224
Nandar Hidayat
Anting Sari membaca tulisan yang
tergores di daun lontar itu. Kepalanya angguk-
angguk.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
225
Nandar Hidayat
21
Masih di gunung Salak lereng sebelah
barat. Sejak hari gelap Jayana sudah mendaki.
Sampai ke tengah lereng, matahari sudah di
antara atas dan bawah. Tapi suasana masih
dingin, gelap dan berkabut. Tentu saja karena
bagian barat belum tersinari penuh. Bahkan
belum bisa melihat sang surya karena
terhalang puncak dan juga pepohonan yang
besar dan rindang.
Pemuda bertangan satu ini masih
semangat mendaki. Walaupun petunjuk sang
guru tidak lengkap namun dia yakin pasti ada
suatu tanda bila sudah dekat keberadaan Kitab
Naga Sajati.
Mendadak dia hentikan langkahnya
disebabkan ada segulung awan hitam
melayang dekat di atas kepalanya. Seperti
awan mendung hendak hujan. Keadaan
menjadi seperti malam hari saja.
"Selamat datang cucuku!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
226
Nandar Hidayat
Satu suara menggema di seantero tempat
tak jelas dari arah mana asalnya. Suara seorang
kakek.
Jayana hanya celingak-celinguk mencari
sumber suara. Angin tiba-tiba bertiup kencang.
Dingin hingga serasa menusuk tulang.
"Jangan bingung cucuku, sekarang lihat
di sekitarmu."
Secara aneh tiba-tiba saja Jayana berada
di sebuah perempatan jalan. Di arah depan, di
ujung jalan sana terdapat telaga luas berair
jernih. Di arah kanan, di ujung jalan terlihat
api menyala besar dan berkobar-kobar. Di arah
belakangnya seekor ular besar tengah siap
memangsa. Dan di arah kiri ada seekor
harimau yang meraung-raung hendak
menerkam mangsanya.
Jayana berusaha tenang. Ini pasti hanya
tipuan saja. Lalu terdengar lagi suara
menggema itu.
"Silahkan kau pilih, jalan mana yang
akan kau tempuh dan merasa yakin kau akan
bisa menempuhnya,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
227
Nandar Hidayat
Setelah menarik napas panjang sambil
memejamkan mata. Menghirup udara dingin
hingga memenuhi perutnya sampai terasa
segar. Jayana membuka mata lalu melangkah
ke depan memilih arah telaga.
Ia yakin ini hanya ujian saja. Dan benar
saja setelah sepuluh langkah semua yang dia
lihat lenyap tiba-tiba. Hanya awan hitam yang
masih memayunginya.
"Jalan yang kau tempuh itu berarti
sifatmu. Telaga. Air. Sifatmu seperti air,
tenang di atas namun penuh gejolak di dalam,"
Jayana menghela, dalam hatinya
membenarkan suara itu. Ia memang pendiam
tapi banyak gejolak dalam hatinya. Salah
satunya, diam-diam dia menyukai Anting Sari
namun dipendam saja. Selain itu dia tidak mau
mengkhianati temannya yang juga tampak
menyukainya bahkan gadis itu juga suka pada
Ardaya.
"Di belakangmu ada ular. Kau tidak suka
bahkan kau akan memusuhi orang yang
bersifat seperti ular..."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
228
Nandar Hidayat
Lagi lagi dia membenarkan suara itu.
Orang seperti itu memang harus dibasmi.
"Di sebelah kirimu harimau. Kau tidak
suka kepada orang yang bersifat seperti
harimau. Tapi kau tidak peduli padanya selagi
dia tidak mengganggumu maka kau juga tak
akan mengusiknya..."
Orang yang bersifat ingin menguasai,
ingin merajai. Dia memang tak suka dan tak
peduli asal tidak membuat masalah dengannya.
"Dan di kananmu ada api, aneh, sifatmu
air tapi mau berteman dengan orang yang
bersifat api."
Entahlah dia juga tak mengerti mengapa
bisa menerima orang yang mudah marah
sampai menghanguskan segala sesuatu di
sekitarnya.
"Sekarang jawab pertanyaan ini!"
Jayana menunggu.
"Kepada siapa kau harus berbakti?"
"Ibu, bapak, dan guru,"
"Siapa lagi?"
"Raja,"
"Siapa lagi?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
229
Nandar Hidayat
"Sang pencipta alam,"
"Siapa sang pencipta alam?"
"Sang Hyang Keresa,"
"Siapa Sang Hyang Keresa?"
"Dia yang maha keresa, yaitu maha
menghendaki. Atas kehendakNya maka alam
dan isinya termasuk saya ini tercipta,"
Hening sesaat. Jayana menunggu jika
ada pertanyaan lagi. Dia akan memjawab
semampunya. Mungkin ini ujian juga.
"Apa nama lain dari Sang Hyang
Keresa?"
"Batara Jagat,"
"Artinya?"
"Penguasa Alam,"
"Selain itu?"
"Batara Seda Niskala artinya Yang tidak
terlihat,"
"Terus?"
"Batara Tunggal artinya Yang Maha
Esa,"
Hening lagi. Ini memang ujian. Suara
tanpa rupa itu sedang menguji
pengetahuannya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
230
Nandar Hidayat
"Dimana tempat bersemayam Batara
Tunggal?"
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Buana Nyungcung, tempat bersemayam
Sang Hyang Keresa, yang letaknya paling atas
di antara tiga alam,"
"Di bawahnya alam apa namanya?"
"Buana Panca Tengah, tempat manusia
dan makhluk lain berdiam,"
"Terus?"
"Buana Larang, yaitu neraka yang
letaknya paling bawah,"
"Bagus, ada berapa lapis alam antara
Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah?"
"Delapan belas lapis,"
"Apa nama lapisan teratas?"
"Bumi Suci Alam Padang atau Alam
Kahiyangan atau Mandala Hiyang,"
"Ya, benar, ada siapa di sana?"
"Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan
Ambu,"
"Hebat, tidak sia-sia Astabraja mendidik
muridnya."
Jayana terkejut suara menggema itu
mengetahui gurunya. Berarti tahu juga tentangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
231
Nandar Hidayat
dirinya dan tugas yang diembannya. Tapi siapa
suara tanpa rupa ini? Atau orangnya ada di
balik awan hitam itu?
"Nah, sekarang teruslah melangkah ke
depan sampai kau menemukan sebuah batu
besar, yang kau cari ada di bawahnya."
Tiba-tiba awan hitam lenyap lalu
suasana berubah menjadi terang. Ternyata
matahari sudah berada di atas kepala tapi
udara tetap dingin.
Jayana menuruti apa yang diperintahkan
suara tanpa rupa tadi. Jalanan lereng semakin
menanjak dan curam. Sampai jarak dua puluh
tombak barulah pemuda ini menemukan batu
besar yang dimaksud.
Batu sebesar kerbau berada di tanah
yang curam. Jayana melihat ke bawah batu.
Ternyata benda yang dicarinya tertindih batu
itu.
Bagaimana cara mengambilnya? Kalau
ditarik takutnya akan robek. Berarti harus
diangkat dulu batunya. Pasti berat sekali.
Jayana mematung memikirkan cara
mengambil kitab itu. Lalu dia mencobaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
232
Nandar Hidayat
menggali tanah di bawah batu itu dengan
dahan pohon. Tapi ternyata tanah itu juga
sama kerasnya dengan batu.
"Kalau memang kitab ini jodohku pasti
ada kemudahan mengambilnya," gumam
Jayana. Tangannya yang cuma satu menopang
ke batu bermaksud menyandar. Tiba-tiba batu
itu terjungkit. Jayana kaget.
Digoyang-goyangkan batu itu oleh
tangannya. Benar. Batu ini terasa sangat ringan
seperti daun. Tidak disangka ternyata mudah
caranya. Dia memang pemilik kitab ini. Kalau
bukan jodohnya mungkin akan sulit
memindahkan atau mengangkat batu itu.
Segera dia ambil Kitab Naga Sajati
sebelum batu kembali menindih karena dia
menggunakan satu tangan jadi saat batu
terjungkit, tangannya melepas.
Mendadak angin berhembus kencang!
"Ingat, kau hanya ditugaskan
mengambil, bukan untuk memiliki!"
Suara itu datang lagi tapi tidak ada awan
hitam di atasnya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
233
Nandar Hidayat
Jayana memandangi kitab itu. Walau
dengan satu tangan, dibukanya kitab itu
dengan ibu jarinya. Terpampang di halaman
pertama sebuah tulisan.
"Benar, kitab ini bukan milikku."
gumamnya sambil menghela napas.
Ditutup kembali kitab itu. Dimasukkan
ke balik bajunya. Lalu melangkah kakinya
menuruni lereng yang semakin terang.
Sampai di bawah dia bertemu dengan
Ardaya dan Anting Sari yang sedang istirahat
dalam perjalanan hendak menyusulnya.
"Jayana, akhirnya bertemu juga!"
Ardaya sumringah.
Jayana juga tersenyum lebar. Ini pertama
kalinya pemuda pendiam ini tersenyum seperti
itu. Kalau sebelumnya hanya senyum-senyum
kecil saja.
Ardaya memamerkan Pedang Bentar.
"Pedang ini ternyata untukmu, Jayana."
Jayana juga mengacungkan Kitab Naga
Sajati.
"Dan kitab ini juga untukmu!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
234
Nandar Hidayat
Mereka sama-sama tertawa lalu
berpelukan. Gembira. Sangat senang seperti
belum pernah merasakan sebelumnya. Penuh
haru. Bagaikan dua saudara yang baru bertemu
setelah lama terpisah. Padahal mereka bersama
dalam satu perjalanan.
"Sungguh aneh, ternyata tugas ini
mengambil benda untuk diberikan kepada
pemilik aslinya. Dan kebetulan mereka
berteman. Kebetulan atau memang
direncanakan oleh guru mereka? Kenapa tidak
langsung ke orangnya saja?" pikir Anting Sari.
"Ternyata sudah takdir aku bertangan
buntung karena aku membutuhkan pedang ini
sebagai penggantinya," ujar Jayana setelah
menerima Pedang Bentar.
"Dan kitab ini, entah kepada siapa aku
harus meminta petunjuk?" kata Ardaya
memandangi kitabnya.
"Ki Bantrangsana!" sahut Anting Sari.
"Benar, itu pesan guru selanjutnya." kata
Jayana.
"Kita istirahat dulu, atau langsung
berangkat?" tanya Anting Sari.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
235
Nandar Hidayat
"Istirahat dulu, Jayana baru saja sampai.
Pasti kelelahan. Lagi pula kita bisa cerita dulu
pengalaman kita saat mengemban tugas ini."
Kemudian mereka pun saling tukar cerita
tentang bagaimana mendapatkan pusaka yang
mereka cari.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
236
Nandar Hidayat
22
Saat menempuh perjalanan menuju
gunung Salak yang termasuk dalam wilayah
kerajaan Sunda, ketiga pemuda ini melewati
jalur selatan. Sekarang mereka akan menuju
gunung Manglayang yang sudah termasuk
wilayah kerajaan Galuh. Letaknya sebelah
barat agak ke utara dari kota raja.
Tentunya akan memakan banyak waktu
dalam perjalanan karena mereka tidak
menunggang kuda. Untungnya upah yang
didapat Ardaya dari kerajaan masih banyak
untuk bekal perjalanan.
Suatu sore. Masih berada di wilayah
kerajaan Sunda. Di sebuah kedai. Ardaya,
Anting Sari dan Jayana melepas lelah dan
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengisi tenaga. Mereka duduk paling pojok.
Kedai cukup ramai oleh orang-orang yang
sama-sama sedang menempuh perjalanan.
Terdengar sebuah percakapan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
237
Nandar Hidayat
"Hai, Maruta, rupanya kau sudah pulang
dari timur!"
"Wah, ternyata kau, Komara!"
"Ada kabar apa di Galuh?
"Tidak banyak tapi ada berita yang
cukup menggegerkan di sana,"
"Ceritakanlah, sambil makan kita dengar
cerita dari Maruta, bagaimana kawan-kawan!"
Yang lain pada menyahut setuju.
"Baiklah..." kata Maruta menghela napas
sejenak. "Kalau di kota raja Galuh atau di
dalam istananya tidak ada kabar yang penting.
Semua juga sudah tahu tentang sikap pejabat
di istana Galuh terhadap Prabu Sena..."
"Ya, padahal Prabu Sena raja yang baik
dan bijak..."
"Semua karena memandang asal
usulnya..."
"Sudah, Maruta lanjutkan ceritamu!"
"Yang terjadi geger dan prahara justru
menimpa kerajaan bawahan Galuh yang sudah
tersohor dari jaman Tarumanagara dulu..."
lanjut Maruta.
"Maksudmu Indraprahasta?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
238
Nandar Hidayat
"Ya..."
"Ada apa di sana?"
"Pertama, terjadi rebutan pengaruh
antara Rakean Purbasora dan Rakean Wiratara.
Mereka sama-sama ingin jadi raja..."
Orang-orang pada bergumam setelah
mendengar penuturan ini. Sementara ketiga
pemuda di pojok sana tampak tak peduli.
"Terus bagaimana akhirnya?" tanya
Komara.
"Sebelum kuceritakan ke sana, aku akan
ceritakan dulu berita yang kedua..."
"Baiklah!"
"Baiklah!"
Maruta minum air tehnya hingga habis
lalu melanjutkan.
"Yang kedua, telah muncul satu pasukan
yang menamakan dirinya Laskar Siluman
Dewawarman. Jumlah anggotanya cukup
banyak. Mereka mengegerkan Indraprahasta
bahkan ke kerajaan sekitarnya dengan
merampok para saudagar kaya. Anehnya,
mereka hanya merampas hartanya saja, tidak
sampai membunuh..."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
239
Nandar Hidayat
Maruta berhenti lagi. Dia minta
tambahan air ke pemilik kedai yang juga
sedang menyimak penuturan lelaki yang baru
pulang dari Galuh itu. Pemilik kedai
memberinya satu kendi air.
"Loh!" Maruta terkejut.
"Biar lancar ceritamu!" sahut si pemlilik
kedai disambut riuhan tawa para pengunjung.
"Tapi..." Maruta mulai melanjutkan.
"Selain merampok mereka juga menyerbu
beberapa padepokan. Ini yang kejam. Mereka
hancurkan dan membantai semua murid
padepokan sampai ke guru-gurunya juga..."
"Wah, apa tujuan mereka itu?"
"Tidak tahu, tapi itulah yang terjadi.
Bahkan dua padepokan besar dan terkenal pun
mereka hancurkan..."
"Padepokan apa itu?"
"Padepokan Sugalih dan Cakradewa!"
"Oooh...!"
Ardaya dan Jayana menahan napas saat
mendengarnya, Anting Sari melirik kedua
pemuda ini.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
240
Nandar Hidayat
"Terakhir," lanjut Maruta lagi. "Ini,
secara tak sengaja aku menyaksikannya
sendiri. Suatu malam aku melihat sepasukan
prajurit Indraprahasta, sekitar seratus orang.
Mereka tidak membawa senjata tapi masing-
masing membawa satu tiang obor. Di mana
setian tiang di atasnya terdapat tiga obor..."
Maruta meneguk air dalam kendinya.
"Diam-diam aku mengikuti mereka yang
ternyata dipimpin langsung oleh Rakean
Purbasora. Mereka menuju sebuah lembah.
Aku kurang tahu daerah apa namanya. Sampai
di sana mereka mengepung sekeliling lembah.
Karena suasana gelap, yang terlihat hanya
nyala api obor. Jadi yang terlihat jumlah
mereka seperti tiga kali lipat banyaknya.
"Kemudian terdengar Rakean Purbasora
berteriak, "Kalian sudah terkepung
menyerahlah!" Walau tak jelas terlihat, di
bawah lembah bermunculan banyak orang
hingga puluhan jumlahnya langsung berlutut
menyerah tanpa perlawanan. Setelah itu para
prajurit menggiring mereka hingga ke istana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
241
Nandar Hidayat
"Ternyata mereka adalah pasukan Laskar
Siluman Dewawarman itu. Karena esoknya
aku mendengar kabar bahwa Rakean
Purbasora telah berhasil meringkus
gerombolan siluman itu beserta pemimpinnya.
Atas jasanya itu Rakean Purbasora dipastikan
akan naik tahta menggantikan Prabu
Padmahariwangsa,"
"Ada yang aneh, ya?" celetuk salah
seorang.
"Iya, kenapa segampang itu Laskar
Siluman bisa ditangkap langsung dengan
pemimpinnya lagi!" sahut yang lain.
"Kau lihat pemimpinnya itu?" tanya
Komara kepada Maruta.
"Tidak!" Maruta menggeleng lalu
meneguk minumannya.
"Memang aneh, tapi itu bukan urusan
kita. Kita lihat saja kabar selanjutnya."
Di suatu tempat. Setelah selesai mengisi
perut tiga pemuda ini membahas kembali
pembicaraan yang mereka dengar di kedai
tadi.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
242
Nandar Hidayat
"Apa yang dijelaskan Santana dulu
ternyata benar," kata Ardaya.
"Sepasukan prajurit hanya membawa
obor dan menangkap Laskar Siluman tanpa
perlawanan," sambung Anting Sari.
"Tentu saja pasti sudah diatur pemimpin
Laskar itu yang katanya bapaknya Raden
Sora," Jayana menyimpulkan.
"Benar, kemunculan Laskar Siluman
Dewawarman untuk menaikkan pamor Raden
Sora agar dia mudah menggantikan sang
Prabu," kata Ardaya lagi selalu ingat dengan
penjelasan Santana. Walaupun masih bingung
tentang siapa sebenarnya anak bongsor itu.
Kakeknya adalah Resi Jantaka, sang resi
adalah adik dari Maharesi Sempakwaja yang
kata Santana dialah pemimpin Laskar Siluman
Dewawarman.
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada kemungkinan guru-guru kita juga
Nyai Pancariti sudah tahu akan terjadi seperti
ini," ujar Jayana.
"Dan semua ini akan kita ketahui dari Ki
Bantrangsana." Pikir Anting Sari.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
243
Nandar Hidayat
"Seandainya guru-guru kita tidak
meninggal duluan, mungkin mereka akan
mengadakan pertemuan di tempat Ki
Bantrangsana. Namun garis kehidupan
menyatakan lain sehingga kitalah sebagai
penerusnya menggantikan mereka," kata
Jayana.
"Sudah ditakdirkan pula oleh Sang
Hyang Keresa, kita masih diberi keselamatan.
Tidak seperti padepokan lain yang sampai
habis dibantai hingga tinggal nama saja." kata
Ardaya juga.
"Tidak disangka..." Anting Sari
menghela napas panjang.
"Ki Bantrangsana pasti sudah
menyiapkan sebuah rencana untuk kita. Dia
termasuk orang sakti walau bukan tandingan
Resi dari Galunggung itu. Dia pasti sudah tahu
segalanya, sebaiknya kita segera
menemuinya." Jayana berdiri. Sesaat menatap
Pedang Bentar lalu disamprkan di punggung.
Ardaya dan Anting Sari juga berdiri lalu
mereka pun melanjutkan perjalanan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
244
Nandar Hidayat
23
Rombongan Ardaya memasuki sebuah
hutan yang cukup rapat pepohonannya. Ada
jalan setapak yang bisa dilewati. Keadaannya
agak remang-remang karena dedaunan yang
sangat lebat menghalangi sebagaian besar
cahaya matahari. Hanya berupa titik-titik kecil
saja yang berhasil menembus, itu pun pudar
sampai di bawah.
Ardaya berjalan paling depan diikuti
Anting Sari kemudian Jayana. Mereka berjalan
biasa saja tanpa merasa khawatir dihadang
binatang buas atau lainnya. Tapi...
Tap!!!
Tangan kanan Ardaya secara naluri
bergerak sendiri menangkap sesuatu yang
melesat dari arah depan.
"Apa itu?" tanya Anting Sari.
Di belakang Jayana tampak siap siaga.
Kerlingannya mengitari tempat sekitar.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
245
Nandar Hidayat
"Senjata rahasia, pisau kecil," jawab
Ardaya setelah melihat benda
digenggamannya.
"Ada yang hendak main-main dengan
kita!" ujar Jayana.
"Kita lanjutkan saja." kata Ardaya seraya
melanjutkan jalannya.
Kini langkah mereka penuh
kewaspadaan. Lemparan senjata tajam tadi
menandakan ada seseorang atau mungkin bisa
lebih tengah mengintai mereka. Siapa dan
untuk apa belum mereka pikirkan. Yang
penting sekarang adalah hati-hati.
Benar saja setelah sejauh lima tombak
mereka dikejutkan oleh luncuran senjata
rahasia lagi. Kini arahnya dari samping kanan
dan kiri.
Clep! Clep!
Senjata berupa pisau kecil itu menancap
di pohon setelah berhasil dihindari.
Trang!
Satu lagi berhasil ditangkis pedang
Jayana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
246
Nandar Hidayat
Berarti ada banyak pengintai yang
bersembunyi dan mungkin saja ketiga pemuda
ini sudah dalam kepungan.
Anting Sari tampak hendak berteriak
namun ditahan oleh Ardaya, "Tidak perlu,"
bisiknya.
Lalu mereka mempercepat langkah.
Wuss! Wuss! Wuss!
Trang!
Clep! Clep!
Semakin cepat langkah semakin banyak
serangan bokongan. Namun selalu bisa
dihindari atau ditangkis. Anting Sari juga
sudah menggenggam pedangnya.
"Awas diatas!" seru Jayana
memperingatkan.
Ardaya mendongak. Satu sosok serba
hitam tengah mengayunkan pedang hendak
menebas kepalanya. Pemuda ini cepat mundur
dengan memiringkan badannya sehingga
tebasan itu mengenai angin saja.
Anting Sari yang sudah geram langsung
menghambur sambil menghunus pedangnyaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
247
Nandar Hidayat
menyerang sosok serba hitam yang kepalanya
juga dibungkus kain hitam.
"Jurig pengecut!" maki Anting Sari.
Ketika melihat kebelakang ternyata
Jayana juga sudah terlibat dalam pertarungan
dengan orang yang sama berpakaian serba
hitam dan kepalanya juga dibungkus kain
hitam. Juga sama bersenjata pedang.
Keheningan dalam hutan kini pecah oleh
suara dentingan beradunya senjata.
"Hanya dua yang muncul." kata Ardaya
dalam hati. Pasti bukan cuma dua tapi banyak.
Siapa mereka? Apa tujuannya?
Di depan terlihat Anting Sari berhasil
menendang lawannya hingga terpental jauh.
Tapi yang mengejutkan sosoknya lenyap
begitu jatuh. Begitu juga yang dialami Jayana.
Pedangnya berhasil menebas bagian dada
lawannya hingga tersungkur tapi lenyap begitu
menyentuh tanah.
"Manusia atau jurig, mereka?" gumam
Jayana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
248
Nandar Hidayat
"Lanjutkan lagi, kita harus segera keluar
dari hutan ini." kata Ardaya kembali berjalan
paling depan.
Sampai lima tombak, tidak ada lagi
gangguan. Tapi mereka belum merasa aman
selagi masih di dalam hutan itu. Sikap awas
dan waspada selalu dipasang di setiap langkah.
Tiba-tiba terdengar suara dari atas.
Mereka segera melompat ke depan sejauh dua
tombak setelah melihat apa yang ada di atas.
Brukk!
Sebuah kerangkeng besar terbuat dari
kayu hampir saja mengurung mereka.
"Mungkin mereka penguasa hutan ini."
ujar Ardaya.
"Bisa jadi mereka orang bayaran yang
ingin menangkap kita," timpal Jayana.
"Keduanya serba mungkin," ujar Anting
Sari.
"Ayo!"
Ardaya sudah berjalan lagi di depan.
Kedua sahabatnya segera mengikuti. Kalau
yang merintangi mereka adalah penghuni
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hutan ini maka setelah keluar tidak akanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
249
Nandar Hidayat
mengganggu lagi. Tapi kalau penyerang itu
adalah orang bayaran, maka akan tahu juga
setelah di luar nanti.
Tapi mereka tidak tahu berapa lama lagi
keluar dari hutan itu? Berapa panjang jalan
setapak yang mereka lalui? Namun mereka tak
takut sama sekali, mereka selalu siap jika ada
rintangan lagi yang menghadang. Mungkin ini
jalan yang harus mereka tempuh untuk
menunaikan tugas.
Jauh di ujung sana sekitar puluhan
tombak tampak cahaya terang. Cahaya
matahari. Ujung dari hutan ini. Semangat
mereka tambah menggebu karena sebentar lagi
bisa keluar dari hutan ini.
Namun apa yang terjadi? Baru beberapa
langkah saja mereka sudah dihadang oleh
sosok serba hitam lagi. Sosok ini tinggi besar,
berdiri tegak menghadang jalan mereka.
Sepasang mata dari lubang kain hitam
pembungkus kepalanya menyorot tajam
memancarkan sinar kekuningan.
"Apa maksud kisanak menghalangi jalan
kami?" tanya Ardaya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
250
Nandar Hidayat
Bukan jawaban yang didapat. Tapi
serangan ganas mendadak menerjang Ardaya.
Orang ini tidak bersenjata namun angin yang
menyertai gerakan pukulannya terasa sangat
kuat.
Serangan pertama berhasil mengelak,
serangan kedua harus ditangkis.
Dek!
Dua tenaga beradu. Sangat kuat. Ardaya
mengukur tenaga lawan berada di atasnya.
Tapi aneh, dia yang mengira akan terpental
akibat adu tenaga ternyata tubuhnya tidak
bergeming di tempatnya.
Orang tinggi besar itu pun tampak
berseru heran ketika malah dirinya yang
terdorong empat langkah. Segera dia lipat
Dendam Sejagad Legenda Kematian Shi Hun Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Pendekar Pulau Neraka 57 Sepasang
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama