Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat Bagian 3
gandakan tenaga lalu menyerang lagi dengan
gerakan lebih cepat dan kuat.
Ardaya yang masih belum mengerti
keadaanya disibukan kembali menghadapi
lawannya. Saat beradu tadi tangannya terasa
sakit bagai menghantam besi, tapi rasa sakit itu
cepat hilang. Begitu juga sekarang ketika
gerakan jurusnya memaksa harus berbenturanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
251
Nandar Hidayat
dengan tangan lawan. Rasa sakitnya cuma
sekejap.
Apa yang dirasakannya membuat tidak
terpusat perhatian kepada penyerangnya,
pikirannya tak menentu. Akibatnya Ardaya
lengah sehingga dihujani pukulan dan
tendangan. Hal ini membuat dua sahabatnya
cemas. Segera saja Anting Sari dan Jayana
hendak membantu, tapi...
Dukk!!!
Wuussh!
Bruugh!
Saat itu Ardaya tak mampu lagi
menghindar dari tendangan yang mengarah ke
perut kirinya. Tapi begitu mengenai sasaran,
bukan Ardaya yang terpental tapi justru sosok
serba hitam itu yang mental sangat jauh hingga
jatuh lalu lenyap seperti dua temannya tadi.
Ardaya tampak heran. Dia memegangi
perut kiri yang kena tendangan tadi. Dia
menyentuh sesuatu. Lalu dia menghela napas
panjang.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
252
Nandar Hidayat
"Kitab ini melindungiku." ujar Ardaya
sebagai jawaban ketika Anting Sari dan Jayana
memandang dengan sorot penuh tanya.
"Baiklah, ujung hutan sudah dekat,
segera kita keluar!" Ardaya kembali
melangkah di depan.
Ternyata rintangan itu belum selesai.
Sepertinya mereka tidak diberi jalan untuk
keluar. Entah siapa yang menghendakinya
yang pasti tak ada dalam pikiran mereka
sekarang yang ingin segera keluar dari hutan
itu.
Kini rintangan itu berupa hujan senjata
rahasia lagi yang masih berbentuk pisau kecil.
Jumlahnya seperti ribuan meluncur dari
berbagai arah.
Anting Sari dan Jayana memutar
pedangnya menghalau serbuan mematikan itu.
Sementara Ardaya yang tak bersenjata
mengibaskan kedua tangannya yang
mengeluarkan tenaga dalam hingga
menimbulkan hembusan angin yang
menghempaskan ratusan pisau kecil yang
menyerang ke arahnya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
253
Nandar Hidayat
Sampai beberapa saat mereka terus
begitu hingga keringat bercucuran walau udara
sangat lembab di dalam hutan itu. Di saat
menghadapi serangan seperti itu mereka juga
menggunakan akalnya. Yaitu mereka terus
merangsek keluar sambil menghempaskan
senjata-senjata kecil itu.
Sejauh lima tombak lagi ke ujung hutan.
Hujan serangan senjata rahasia lenyap. Napas
mereka tersengal-sengal. Tenaga seperti
terkuras kecuali Ardaya setiap dia meraba
kitab di balik bajunya tenaganya seketika
pulih.
Cepat-cepat mereka melangkah walau
nafas masih ngos-ngosan. Tapi beberapa
langkah lagi menuju ujung, tiba-tiba bertiup
angin sangat kencang dan dahsyat bagaikan
badai yang meniup mereka agar kembali ke
dalam hutan.
Anting Sari mendekap sebuah pohon
agar tubuhnya tak terbawa angin. Ardaya
meraba kitab Naga Sajati, tangan satunya lagi
memegang batang pohon. Dia merasa aman
karena tiupan badai angin ini tak berpengaruhPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
254
Nandar Hidayat
padanya. Mungkin karena pengaruh kekuatan
kitab pusaka itu. Melihat Anting Sari yang
kesusahan, segera dia mendekat hendak
menolong. Karena dia juga melihat Jayana
melintangkan pedang Bentar di depan
badannya tampak kokoh tak terbawa angin.
Awalnya Jayana juga heran saat teman-
temannya hampir terhembus angin dia tak
merasakan apapun saat begitu saja pedangnya
melintang. Dia berpikir pasti ini pengaruh
pedangnya.
Tiba-tiba muncul dalam pikiran Jayana
untuk melakukan sesuatu. Dia acungkan
pedang pusaka itu lalu membuat gerakan
menebas menyilang, kanan ke kiri lalu kiri ke
kanan.
Wuugh!
Wuugh!
Ajaib, badai angin dahsyat mereda dan
akhirnya berhenti. Segera tiga pemuda ini
melompat keluar dari batas hutan mengerikan
itu. Tak hanya itu, mereka langsung berlari
sejauh mungkin meninggalkan kawasan hutan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
255
Nandar Hidayat
Kira-kira sudah seratus tombak jauhnya.
Mereka baru berhenti. Tak ada lagi rintangan
yang dihadapi. Semuanya tampak lega.
Ternyata memang penunggu hutan itu
yang mengganggu mereka. Tak disangka,
hutan angker yang barusan mereka masuki.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
256
Nandar Hidayat
24
Tampang ki Bantrangsana ternyata lebih
muda dari usia sesungguhnya yang sudah lebih
dari delapan puluh tahun.
Dia seperti masih berumur empat
puluhan. Rambut masih hitam. Wajah klimis
tanpa kumis dan jenggot tampak segar ceria
penuh wibawa. Badannya agak gemuk tapi
tidak pendek seperti kebanyakan orang gemuk
tubuhnya pasti pendek.
Tatapannya mantap ke arah tiga orang
yang duduk bersila di hadapannya.
"Ardaya, kau sudah tahu sesuatu." kata
ki Bantrangsana karena ketinggian ilmunya dia
bisa membaca pikiran orang.
Ardaya yang maklum akan hal itu
merasa tak canggung lagu untuk menceritakan
apa yang ia tahu.
"Setelah jadi raja di Indraprahasta,
Raden Sora berencana memberontak ke Galuh.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
257
Nandar Hidayat
Dia akan memanfaatkan ketangguhan prajurit
Indraprahasta..."
"Makanya kau mundur dari keprajuritan
karena tidak sejalan dengan hati nuranimu?"
"Ya, ki." jawab Ardaya sambil
menunduk.
"Begini," kata ki Bantrangsana lagi.
"Kami, aku, Ki Ranggaguna, Ki Astabraja, dan
Nyai Pancariti sudah meramalkan hal ini akan
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terjadi. Rencananya kami berempat yang akan
melakukan tugas yang akan kalian emban
nanti. Tapi kenyataan berkata lain, semua
teman seperguruanku telah mendahuluiku ke
alam Tunjung Sampurna. Ini yang di luar
dugaan..."
Ki Bantrangsana tampak berkaca-kaca
mengingat tiga sahabat yang juga saudara
seperguruannya. Sementara ketiga pemuda
hanya mematung.
"Tapi..." lanjut Ki Bantrangsana. "Takdir
membuka jalan kalianlah yang melakukan
tugas ini,"
"Kalau boleh tahu, seperti apa tugas
kami itu?" tanya Anting Sari.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
258
Nandar Hidayat
"Tugas kalian bukan menghalau
pemberontakan Purbasora, bukan!"
Semua terdiam sejenak. Tiga pemuda ini
jelas menunggu Ki Bantrangsana melanjutkan
bicaranya.
"Dan tugas kalian juga tidak langsung
serta merta besok lusa, tapi mungkin akan
menunggu hingga bertahun-tahun,"
Ki Bantrangsana diam lagi. Satu hal
yang tak bisa disembunyikan akibat
ketuaannya, nafasnya yang kembang kempis.
"Jadi jika ada diantara kalian yang
hendak menikah dulu, maka aku akan jadi
penghulunya..."
Ardaya dan Anting Sari saling lirik. Ki
Bantrangsana tersenyum.
"Lanjut, jadi tugas kalian sebenarnya
yaitu membantu dan mengabdi kepada Raden
Sanjaya..."
"Apa ada hubungannya dengan peristiwa
yang akan terjadi?" tanya Ardaya.
"Tentu saja ada, nanti kalian akan tahu
sendiri. Nah, agar kalian diterima oleh Raden
Sanjaya yang sekarang berada di kerajaanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
259
Nandar Hidayat
Kalingga. Kalian menyelamatkan dahulu
Prabu Sena dan membawanya ke sana."
"Itu pasti saat terjadinya pemberontakan,
kapan itu, ki?" yang bertanya adalah Jayana
setelah lama diam.
"Menurut firasatku, sekitar satu tahun
lagi,"
Semua terdiam lagi. Satu tahun waktu
yang bisa dibilang tidak lama. Selama
menunggu itu apa yang akan mereka kerjakan
dulu?
"Maaf, Ki, kalau saya lancang," ujar
Ardaya.
"Hmm..."
"Apa tidak bisa kalau kita mencegah
terjadinya pemberontakan..."
"Caranya?"
"Melawan langsung Raden Sora..."
Sontak Ki Bantrangsana terbahak-bahak
membuat ketiga tamunya terheran-heran.
"Kalian sudah tahu Purbasora
mengumpulkan tokoh persilatan. Apa kalian
mampu menghadapi mereka, hah? Nih, aku
bersama guru-guru kalian saja belum mampuPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
260
Nandar Hidayat
melawan seorang Purbasora, apalagi jika harus
berhadapan dengan bapaknya,"
Hening lagi. Benar juga, Purbasora
sangat sakti mandraguna apalagi Maharesi
Sempakwaja. Memang harus mengikuti
petunjuk Ki Bantrangsana agar tugas berhasil.
"Nah, jadi selama setahun kedepan
kalian di sini akan ku gembleng. Ardaya, kau
mendapatkan kitab Naga Sajati. Itulah selama
setahun itu kau akan mempelajarinya di sini
dibimbing oleh aku..."
Lalu Ki Bantrangsana menatap Jayana,
"Dan kau juga sudah mendapatkan Pedang
Bentar, kau belum menguasai jurus-jurusnya.
Nah, aku akan mengajarkannya. Lalu kau si
cantik jangkung..."
Anting Sari memerah mukanya
dipanggil seperti itu.
"Ada beberapa kitab milik Nyai
Pancariti yang masih kusimpan. Kau berhak
mempelajarinya. Setelah itu...."
"Setelah itu apa, ki?" tanya Ardaya dan
Anting Sari berbarengan membuat lelaki tua
ini kembali terbahak.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
261
Nandar Hidayat
"Aku akan jadi penghulu kalian!"
jawabnya sambil terkekeh.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
262
Nandar Hidayat
25
Seorang gadis berumur sekira dua puluh
lima tahun tampak melangkah santai di sebuah
jalan perkampungan diantara lalu lalangnya
orang kampung yang berangkat atau pulang
dari pekerjaannya. Saat itu hari sudah senja,
warna jingga menghiasi langit barat.
Gadis yang cukup cantik berkulit sawo
matang ini menyapu pandangannya mencari
sebuah kedai. Dia seperti seorang dalam
perjalanan tapi tidak tetlihat membawa
perbekalan. Begitu melihat sesuatu yang
dicarinya dia langsung masuk menuju tempat
duduk yang kosong. Kebetulan kedai ini sudah
sepi hanya ada dua orang lelaki yang sedang
menyantap hidangan.
"Makan, neng?" sapa si pemilik kedai.
"Ya, pak, eh di sini ada kamar untuk
menginap?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
263
Nandar Hidayat
"Memangnya neng dalam perjalanan,
ya?"
"Ya, pak, saya mau ke gunung
Manglayang,"
"Oh, boleh neng, ada,"
"Terima kasih, pak. Nanti bayarannya
saya tambah."
"Baik, neng."
Si pemilik kedai berlalu mengambil
hidangan. Dua lelaki di sebelah sana diam-
diam mendengarkan percakapan gadis itu.
Setelah makanan tersaji, gadis yang
ternyata Sriwuni ini mulai menyantapnya
dengan santai. Untuk apa dia ke gunung
Manglayang? Rupanya Nyi Gandalaras juga
sudah tahu tentang peristiwa yang akan terjadi
di kerajaan Galuh. Dia mengutus muridnya
untuk membantu Ki Bantrangsana.
Sriwuni dianggap sudah cukup mumpuni
untuk melakukan tugasnya. Dia sudah
digembleng lama oleh Nyi Gandalaras.
Kepandaiannya bisa dibilang tinggi dalam hal
ilmu silat. Lagi pula sang guru yakin kalau
muridnya tidak akan sendiri.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
264
Nandar Hidayat
Perjalanan dari tempat gurunya sampai
ke sini memakan waktu tujuh hari lamanya.
Tapi rasanya sudah sangat lama. Gadis yang
beranjak dewasa ini teringat kepada gurunya
juga Kemala, adik seperguruan yang juga
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keponakannya. Kemala masih sangat dini
untuk turun gunung, dia masih harus
digembleng lebih lama lagi. Lalu Sriwuni juga
teringat Santana, pemuda belia yang kasmaran
terhadap keponakannya.
Tak sadar gadis ini senyum-senyum
sendiri. Tak sadar juga makanannya sudah
habis. Rupanya dia sangat lapar. Lalu melihat
keluar hari mulai gelap. Si pemilik kedai
muncul menghampiri.
"Kalau mau bersih-bersih dulu, ada
pancuran di belakang, neng."
"Oh, ya, terima kasih, pak."
Seharian kepanasan memang enak kalau
menyegarkan badan. Sriwuni pun bergegas ke
belakang. Sebuah pancuran yang airnya sangat
jernih dan menyegarkan berada dalam sebuah
bilik anyaman bambu.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
265
Nandar Hidayat
Dengan penuh perasaan gadis ini
membiarkan tubuhnya yang sudah tanpa
busana diguyur dibawah air pancuran yang
mengalir cukup deras. Tangannya menggosok-
gosok seluruh bagian badannya. Tanpa
disadari, diatas pohon yang tak terlalu jauh
dari situ, dua lelaki yang ada di kedai tadi
sedang mengintip.
Mereka menyeringai tajam saling
pandang angguk-angguk kepala lalu kembali
menikmati keindahan tubuh gadis itu dari
kejauhan.
Setelah dirasa puas menikmati segarnya
air pancuran, Sriwuni kembali mengenakan
pakaiannya lalu masuk ke kamar yang sudah
disiapkan untuknya.
Badan terasa segar, perut sudah terisi,
walaupun lelah hilang saat mandi tadi tapi rasa
ngantuk mulai memberati kedua matanya.
Rasanya akan sangat nyenyak tidur malam ini
karera hari-hari sebelumnya Sriwuni hanya
istitahat di tempat seadanya seperti gubuk
kosong di ladang atau di atas pohon denganPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
266
Nandar Hidayat
udara sangat menusuk tulang di malam hari.
Tidak seperti saat ini yang terasa hangat.
Sebentar kemudian gadis ini benar-benar
terlelap. Saat inilah yang dinanti oleh dua
lelaki yang sudah sejak tadi mengintainya di
luar kamar. Bahaya mengintai si gadis.
Dua lelaki yang sejak kedatangan
Sriwuni ke kedai telah menarik perhatian
mereka karena kemolekan tubuhnya. Mereka
berniat tidak baik. Nafsu bejat telah menguasai
alam pikiran.
Salah satu dari mereka yang berkumis
tebal dengan mudahnya mencungkil jendela
kamar tanpa bersuara lalu meloncat masuk
juga tanpa bersuara diikuti temannya yang
berwajah klimis. Tampaknya mereka memilik
kepandaian bersilat.
Keadaan kamar tampak gelap karena
Sriwuni mematikan damarnya. Dia merasa
nyaman tidur tanpa penerangan. Tapi kali ini
kenyamanannya terancam. Dua lelaki ini telah
berdiri di samping kiri kanan si gadis yang
terbaring.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
267
Nandar Hidayat
Walaupun gelap tapi leluk tubuh Sriwuni
yang membangkitkan birahi tampak jelas. Si
kumis menjulurkan tangannya hendak meraba
dada.
Plak!
Dia terkejut tangannya mental terasa
seperti dihantam baja.
Saat itu Sriwuni mendelik matanya,
kejap berikutnya tubuhnya mencelat hampir
menyentuh langit-langit, berputar...
Buk! Buk!
Brak!
Ketika hendak mendarat kedua kakinya
menendang punggung dua lelaki mesum
hingga tersungkur ke tempat tidur.
Jlek!
Sriwuni mendarat dengan kuda-kuda
mantap.
"Dasar buaya mesum, hayo bangun!"
sentak si gadis.
Sementara dua lelaki ini tak menyangka
kalau gadis ini memiliki kepandaian. Tapi apa
mau dikata dari pada malu dan sudah terlanjur
berbuat, maka mereka bangkit langsungPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
268
Nandar Hidayat
menyerang bersamaan. Mungkin saja gadis ini
kemampuannya hanya sedikit. Pikir mereka.
Sriwuni tak khawatir dengan suasana
gelap karena sudah terlatih baik saat bersama
Nyi Gandalaras. Serangan dua pennyusup ini
bisa ditangkis sempurna dengan perasaan dan
pendengaran yang tajam saat gelap.
Ini juga yang tak disangka dua
penyerang itu. Tenaga si gadis ternyata cukup
kuat sehingga serangannya terpental malah
hampir membuat badannya tersungkur lagi.
Akibatnya rasa marah tak dapat dikendalikan
lagi. Merasa kini mereka yang dipermainkan si
gadis, dua lelaki mesum ini menyerang tak
karuan. Asal pukul asal tendang sekuat tenaga.
Awalnya Sriwuni agak kewalahan
dengan serangan yang tak beraturan itu tapi
lama-lama dia bisa memanfaatkan keadaan
untuk menyerang balik. Tanpa harus keluar
tenaga besar dia bisa menghajar habis-habisan
dua pengeroyoknga.
Buk!
Buk!
Gubrak!PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
269
Nandar Hidayat
Dua lelaki terpental hebat menghantam
dinding kamar hingga jebol dan ambruk dan
kedua lelaki itu terjatuh berguling-guling di
tanah.
"Ada apa ini?" si pemilik kedai yang
kaget mendengar keributan langsung
menghampiri.
Tiba-tiba saja banyak orang berkerumun
di sana.
"Mereka handak berbuat tak senonoh
padaku!" seru Sriwuni.
"Tangkap mereka!" seseorang berseru
diikuti beberapa yang lainnya langsung
meringkus kedua lelaki itu.
"Maafkan atas ketidaknyamanannya,
neng bisa pilih kamar lain untuk istirahat,"
kata pemilik kedai.
"Baiklah, terima kasih."
Kali ini benar-benar aman dan nyaman
juga pulas saat istirahat. Karena sampai hari
terang tidak ada gangguan lagi. Sriwuni
menikmati istirahatnya dengan tenang hingga
ia bangun kesiangan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
270
Nandar Hidayat
Setelah makan pagi untuk menambah
tenaga, membayar makan dan sewa kamar.
Murid Nyi Gandalaras melanjutkan perjalanan.
***
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah menempuh perjalanan panjang
sambil bertanya ke setiap orang tentang di
gunung Manglayang. Akhirnya sampai juga di
tempat tujuan. Yang pertama dia lihat adalah
seorang lelaki bertangan satu yang sedang
berlatih jurus pedang.
Yang membuatnya terpana walaupun
hanya punya sebelah tangan, tapi lelaki ini
terlihat gagah dan tampan.
Begitu juga si lelaki tangan buntung
yang tidak lain adalah Jayana langsung
terpesona ketika terkejut karena tiba-tiba saja
ada seorang gadis yang melihatnya latihan.
"Apa aku tidak salah, sudah melihat
bidadari sepagi ini?" ujar Jayana keluar pujian
yang tidak biasanya karena sebenarnya dia
lelaki pendiam.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
271
Nandar Hidayat
Sriwuni memerah wajahnya lalu
menunduk pelan.
"Apa di sini tempat Ki Bantrangsana?"
tanya gadis itu.
"Betul."
Dua pasang mata saling pandang. Dua
hati sama-sama berdebar.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
272
Nandar Hidayat
26
Setelah tak sengaja menelan bunga
Melati Biru keadaan Santana menjadi tak
karuan. Hawa panas sering tiba-tiba muncul
bagai membakar tubuhnya dari dalam. Dengan
tekun dan sabar ki Jantaka merawat anak
bongsor itu dengan menyalurkan hawa murni
ke dalam tubuh Santana ketika remaja ini
dalam keadaan tidak sadar akibat sengatan
hawa panas itu.
Ketika sadar sang resi mengajarkan cara
mengendalikan hawa panas itu menjadi
kekuatan dalam tubuh. Ternyata membutuhkan
waktu yang lama sampai setahun barulah
Santana bisa menguasai sepenuhnya. Itu juga
dia melakukannya dengan sangat tekun hampir
siang dan malam hanya untuk itu saja.
Ada perubahan setelah berhasil merubah
hawa panas menjadi kekuatan. Tubuh Santana
menjadi lebih besar dari semula, seperti tubuh
orang dewasa namun masih nampak usia
remajanya. Badan terasa ringan, tatapan danPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
273
Nandar Hidayat
sorot mata semakin awas. Pendengaran juga
semakin tajam.
"Kekuatan kembang Melati Biru kini
bersarang dalam tubuhmu," kata Ki Jantaka.
"Kau harus memanfaatkannya untuk kebaikan
seperti niat awalmu menentang bapakmu,"
Santana menundukan wajahnya.
Tubuhnya terasa benar-benar segar sekarang.
Kadang-kadang suka tercium wangi melati.
"Kau ingat, sudah berapa lama sejak kau
kabur dari rumah?"
"Kira-kira tiga tahun, Ki,"
"Selama itu sudah banyak perubahan
pada dirimu. Sekarang saatnya menentukan
jalan hidupmu. Bekal kepandaian sudah cukup
kau miliki walaupun cuma satu jurus yang
kuajarkan tapi sekarang kau memiliki
kekuatan dahsyat itu untuk lebih
menyempurnakan lagi kemampuanmu,"
"Sebenarnya jurus apa itu, Ki?"
"Sudah kukatakan, biar orang lain yang
menyebut nama jurus itu,"
"Yah, aki pelit..."
"Hehehe...sudahlah..."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
274
Nandar Hidayat
"Ada yang ingin kutanyakan..."
"Hmmm...apa?"
"Aku dengar dari raka Ardaya,
keponakan aki yang bernama Raden Sora itu
hendak memberontak ke Galuh..."
"Terus apa urusanmu?"
"Urusan aki..."
"Aku?"
"Ya, kenapa aki diam saja?"
"Maksudmu?"
"Kenapa aki tidak menentukan pilihan,
membantu atau mencegah,"
"Hmmm...begitu, sebenarnya aku malas
berurusan soal kerajaan walaupun aku sendiri
anak raja..."
"Aki anak raja?"
"Waduh, biasa saja terkejutnya lah,
jangan berlebihan..."
"Hehehe..."
"Ya, kami bertiga, raka Maharesi, aku
dan Amara adalah anak Prabu Wretikandayun
raja Galuh pertama. Kemudian yang
menggantikan rama prabu adalah si bungsu
Amara. Nah, Sena, raja Galuh yang sekarangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
275
Nandar Hidayat
adalah anak Amara. Namun karena Purbasora
merasa lebih berhak atas tahta Galuh maka dia
akan merebutnya,"
"Terus terus!"
"Gelo, sia!"
"Hihihi..."
"Sudah kukatakan aku malas mengurusi
keduniawian, lagi pula aku kan resi,
pandhita..."
"Tapi Maharesi Somplak wa..."
"Gelo, sia!"
"Habis aku kesal sama dia, Ki..."
"Sudah, sudah! Nanti kau tambah gelo.
Untung saja aku orang baik. Coba kalau dia
langsung yang mendengarnya,"
Ki Jantaka tampak ngos ngosan seperti
ketakutan. Iyalah, kakaknya sangat sakti
mandraguna. Dia juga mengerti sifat Santana
yang ceplas ceplos.
"Sekarang, kau tentukan pilihanmu.
Menjadi orang bebas berkelana. Membantu
teman-temanmu atau ingin menjadi pejabat
istana bersama anakku?"
"Anak aki?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
276
Nandar Hidayat
"Ya, namanya Bimaraksa dia membantu
keponakanku,"
"Aku tidak tertarik jadi pejabat. Tapi
sepertinya seru kalau membantu raka Ardaya,
lebih seru lagi kalau nanti bertemu bapakku..."
"Ya, aku tahu bapakmu sudah ditarik
membantu Sora. Apa kau tidak bangga
sekarang dia jadi senopati utama bukan
perampok lagi?"
"Tapi memberontak,"
"Hati nuranimu sama dengan temanmu
bekas senopati muda itu. Tidak suka
pemberontakan. Tapi jalan hidup berliku-liku
dan hati mudah terbolak-balik. Hari ini belum
tentu sama dengan hari esok,"
"Apa aki akan merestui keputusanku?"
"Apapun pilihanmu aku tidak berhak
menentukan. Pilihlah jalan hidupmu. Sebentar
lagi akan ada peristiwa besar. Kau yang
memutuskan akan terlibat atau tidak,"
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, aki. Terima kasih telah
merawatku selama ini, mengajariku ilmu silat,
ilmu pengobatan, ilmu kehidupan. Sampai
kapanpun mungkin aku tak bisa membalasnyaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
277
Nandar Hidayat
hanya bisa mendoakan semoga aki selalu
diberikan kesehatan,"
Santana merunduk mencium tangan tua
Ki Jantaka. Kakek itu merangkul penuh haru.
Entah kenapa sejak awal bertemu merasa
tertarik terhadap anak ini, sehingga begitu
mudah dia mengajarkan jurus yang sudah
dianggap hilang dari dunia persilatan. Sifat
anak ini cenderung baik, dia yakin Santana
akan selalu di jalur kebenaran.
"Pergilah!"
Setelah memeluk sang resi sebentar,
Santana berkemas dan untuk kedua kalinya
meninggalkan pondok si kakek dibatas bukit
ini. Namun kali ini sang guru melepas
kepergiannya. Terasa beda, ada haru, sedih
dan seperti tak akan pernah bertemu lagi.
Sebelum melangkah pergi, sekali lagi Santana
menatap gurunya.
***
Seorang pemuda menghadang jalannya.
Pemuda yang belum lama ia kenal, muridPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
278
Nandar Hidayat
adiknya. Santana. Pemuda bongsor ini
bersandar ke sebuah pohon.
"Mau apa kau, bocah?"
"Mau menasehatimu, aki."
"Siapa kau berani lancang seperti itu?
Jangan harap karena kau murid adikku lantas
aku mudah berbaik-baik padamu!"
"Jadi aku tidak boleh..."
"Berani menghalangi langkahku saja kau
sudah termasuk tak punya sopan santun. Apa
gurumu tak mengajarimu tata krama? Kau tahu
siapa aku?..."
"Dengar!" tukas Santana lantang. "Aku
memang tak tahu sopan santun dan tata krama.
Kau tahu? Karena aku adalah anak perampok,
Kuntawala, kau juga pasti tahu dia. Sedangkan
guruku hanya mengajarkan olah kanuragan.
Jadi wajar saja kalau sifatku begini kurang
ajar..."
"Lalu dengan kekurang ajaranmu itu
hendak menasehatiku..." resi Sempakwaja
mulai geram.
"Apakah nasehat harus selalu datang dari
orang baik-baik dan bijaksana?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
279
Nandar Hidayat
"Diam, keparat!"
"Kau adalah tokoh panutan dan tersakti
di negeri ini, jika kau merasa pintar dan
bijaksana maka dengarlah sedikit ucapanku.
Karena walaupun itu kotoran ayam tetap
mengandung nasehat!"
Sang resi jadi terdiam mendengarnya.
Dia sadar, dia hanya merasa tinggi hati. Tak
memandang karena lawan bicaranya hanya
anak kecil yang dianggap belum banyak
pengetahuan.
"Katakan!" ucap sang resi kemudian.
Santana menghela napas, bersikap
tenang setelah tadi naik darah karena
direndahkan, lalu dia mulai bicara dengan
nada pelan dan sopan.
"Saya yakin, sebenarnya aki bisa
membantu mamang Sora putra aki tanpa harus
ada pertumpahan darah. Aki bisa meminta atau
merebut kekuasaan untuk putra aki dengan
mudah. Aki adalah panutan, orang yang
dituakan, sesepuh di negeri ini. Dan saya yakin
juga kalau Paduka Prabu Sena akanPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
280
Nandar Hidayat
memakluminya. Ingat itu aki, semoga aki bisa
merenungkannya."
Setelah bicara panjang itu Santana
segera berlalu dengan langkah ringan namun
cepat sekali menghilang.
Sementara Resi dari Galunggung ini
masih terpatung begitu mendengar penuturan
si pemuda tadi. Tidak disangka pikiran anak
itu begitu luas. Sikapnya boleh kurang ajar
karena dia memang anak perampok sementara
adiknya hanya mengajari ilmu silat saja, tapi
pemikirannya bisa sepeti itu. Kabar yang
didengar dari adiknya bahwa anak itu pernah
menentang ayahnya dan tidak ingin mengikuti
jejak sang ayah.
Tapi hal yang dimaksud Santana tidak
bisa dilakukan karena sudah terlanjur. Perang
tak kan terhindarkan lagi. Yang jadi
penyesalan adalah kenapa tidak terpikirkan hal
ini sejak awal.
Sang resi menghela napas kemudian
sosoknya melesat keatas, lenyap.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
281
Nandar Hidayat
27
Tentang kerajaan Galuh.
Kerajaan Kendan dipimpin oleh seorang
raja, Resiguru Manikmaya, yang berasal dari
keluarga Calankayana di India Selatan.
Resiguru Manikmaya membawa dan
menyebarkan ajaran Hindu di Jawa, dan atas
pengabdiannya di Kerajaan Tarumanagara.
Resiguru Manikmaya dinikahkan dengan Tirta
Kancana (anak dari Raja Tarumanagara pada
saat itu) dan diberikan kekuasaan di daerah
yang menjadi wilayah Kerajaan Kendan
Resiguru Manikmaya, dinobatkan
menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan.
Sang Maharaja Suryawarman,
menganugerahkan perlengkapan kerajaan
berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri.
Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang
Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan
surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya
di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab,PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
282
Nandar Hidayat
ia menantu Sang Maharaja, dan mesti
dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru
Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang
telah banyak berjasa terhadap agama.
Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru
Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan
kerajaannya akan dihapuskan.
Dari perkawinannya dengan
Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja
Kendan, memperoleh keturunan beberapa
orang putra dan putri. Salah seorang di
antaranya bernama Rajaputera Suraliman.
Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman dikenal
tampan dan mahir ilmu perang. Sehingga, ia
diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian
diangkat pula menjadi Panglima Balatentara
(Baladika) Tarumanagara.
Resiguru Manikmaya memerintah di
Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568
Masehi). Setelah resiguru wafat, Sang
Baladika Suraliman menjadi raja
menggantikan ayahnya di Kendan. Penobatan
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rajaputra Suraliman, berlangsung pada
tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
283
Nandar Hidayat
Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Sang
Suraliman terkenal selalu unggul dalam
perang. Dalam perkawinannya dengan putri
Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu
keturunan Kudungga yang bernama Dewi
Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai
seorang putra dan seorang putri. Anak
sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang
Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang
Kandiawati.
Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi
Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan
Sang Kandiawati, bersuamikan seorang
saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama
suaminya. Sang Suraliman, menjadi raja
Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M).
Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan
yang ketika itu telah menjadi raja daerah di
Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena
itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri
Medang Jati.
Setelah Sang Kandiawan menggantikan
ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak
berkedudukan di Kendan, melainkan diPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
284
Nandar Hidayat
Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang,
Bandung). Penyebabnya adalah karena Sang
Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu.
Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama
Hindu Siwa.
Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang
Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia
punya lima putra, masing-masing bernama
Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah,
Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima
putranya, masing-masing menjadi raja daerah
di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung
Langit, dan Menir.
Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15
tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia
mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu
menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan.
Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra
bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu
itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai
penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23
Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun.
Malam itu, bulan sedang purnama. EsokPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
285
Nandar Hidayat
harinya, matahari terbit, tepat di titik timur
garis ekuator. Sang Wretikandayun tidak
berkedudukan di Kendan ataupun di Medang
Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat
pemerintahan baru, kemudian diberi nama
Galuh (harfiah : permata, Kerajaan Galuh).
Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya
diapit oleh dua batang sungai yang bertemu,
yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang
sekarang, di desa Karang Kamulyan,
Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun
memilih istri, seorang putri pendeta bernama
Manawati, putri Resi Makandria. Manawati
dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama
Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang
Wretikandayun memperoleh tiga orang putra,
yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M),
Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir
tahun 624 M).
Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan
sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di
Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja
Kertawarman (561-628 M). Sebagai Raja diPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
286
Nandar Hidayat
Galuh, status Sang Wretikendayun adalah
sebagai raja bawahan Tarumanagara. Berturut-
turut, Sang Wretikandayun menjadi raja
daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman
(628-639 M), Dewamurti (639-640 M),
Nagajayawarman (640-666 M), dan
Linggawarman (666-669 M).
Ketika Linggawarman digantikan oleh
Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun
sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui
persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar
pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir
di Sunda Sembawa dan mengganti nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini
merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun
untuk membebaskan diri (mahardika) dari
kekuasaan Sang Tarusbawa.
Sang Wretikendayun segera
mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor) sebagai
ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan
Tarumanagara) yang baru, menyampaikan
surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi
surat tersebut menyatakan bahwa GaluhPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
287
Nandar Hidayat
memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi
kerajaan yang mahardika.
Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja
yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia
berpikir, lebih baik membina separuh wilayah
bekas Tarumanagara daripada menguasai
keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah.
Tahun 670 Masehi, merupakan tanda
berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul
dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di
belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan
timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai
Citarum.
Penerus Wretikandayun adalah Raden
Amara atau lebih dikenal Rahyang
Mandiminyak. Kemudian Sena alias Prabu
Bratasenawa alias Prabu Sena menjadi raja
Galuh selanjutnya.
***
Mendung menggelayuti wajah Prabu
Sena. Sang permaisuri bersimpuh bersandar kePRAHARA DI INDRAPRAHASTA
288
Nandar Hidayat
lututnya. Sepasang suami istri ini dirundung
gelisah tak menentu.
"Rasanya aku ingin berada di dekat
Sanjaya,"
"Sampai kapan kita begini, kanda?"
"Aku tetap bingung, dinda. Setidaknya
aku akan mempertahankan harga diri sebagai
raja, walau kenyataannya aku hanya dianggap
pajangan saja. Lebih baik mati terhormat dari
pada jadi pecundang..."
"Tapi itu konyol, kanda..."
"Setidaknya ada perlawanan, jangan mau
ditindas...kecuali..."
"Kecuali apa?"
"Uwak resi yang meminta langsung,
maka dengan rela aku akan memberikannya,"
"Tapi kanda tahu sendiri, uwak resi
begitu jijik melihat kanda. Belum pernah
sekalipun menyambangi istana ini, bahkan
sejak ayahanda masih jadi raja,"
"Inilah yang aku sesalkan, kenapa aku
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilahirkan sebagai anak..."PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
289
Nandar Hidayat
"Cukup, kanda, aku tak ingin
mendengarnya...." sang permaisuri terisak-isak
membenamkan wajahnya di lutut suaminya.
Keduanya terlarut dalam kegetiran.
Seandainya saja dia tidak diangkat jadi raja,
mungkin tidak segetir ini. Pejabat istana hanya
tunduk hormat saat berhadapan saja. Namun di
belakangnya mereka seperti jijik walaupun
tidak semuanya.
Kenapa setiap orang mempermasalahkan
asal usul kelahirannya? Bukankah setiap bayi
lahir itu suci? Hanya penyebab kelahirannya
yang tidak terpuji. Dan setiap kelahiran adalah
takdir.
Saking hanyutnya meresapi nasib hidup
yang lara, mereka tidak mendengar hiruk
pikuk di luar kamar. Malam belum sampai ke
puncaknya, di depan gerbang istana telah
terjadi pertempuran.
Kerajaan diserang. Walaupun Prabu
Sena sudah tahu akan terjadi hal ini, dia sama
sekali tak mempersiapkan prajurit untuk
menghalaunya. Akibatnya hanya semampunya
saja melawan pasukan yang sudah siapPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
290
Nandar Hidayat
segalanya. Apalagi yang menyerbu adalah
prajurit Indraprahasta yang dipimpin
Purbasora.
Setelah direncanakan dengan sangat
matang. Akhirnya tiba saat yang ditentukan.
Menyerang Galuh di malam hari. Merebut
tahta yang menurut hati adalah haknya.
Purbasora.
Tentu saja pasukan Indraprahasta dengan
mudah merangsek masuk ke dalam lingkungan
istana. Walaupun begitu mereka tetap
mendapatkan perlawanan yang sengit dari
prajurit Galuh.
Di dalam kamar. Prabu Sena dikejutkan
dengan kedatangan dua orang. Lelaki dan
perempuan.
"Siapa kalian?"
"Mohon ampun paduka," yang
perempuan menjura. Dia Anting Sari.
"Sebaiknya paduka berdua ikut kami
menyelamatkan diri,"
"Menyelamatkan diri, apa maksudmu?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
291
Nandar Hidayat
"Kerajaan diserang, paduka," jawab
Ardaya sambil menjura juga. "Raden Sora
bersama pasukan Indraprahasta."
"Apa!" Prabu Sena semakin bingung.
Baru sadar sekarang terdengar suara gemuruh
teriakan di luar sana. Sang Prabu berdiri
hendak mengambil senjatanya.
"Aku akan melawan!"
"Percuma, paduka, kami datang
ditugaskan untuk menyelamatkan paduka,"
kata Ardaya.
"Kanda, jangan melawan kemustahilan,"
ujar sang permaisuri.
Prabu Sena mematung bingung.
"Mari, paduka harus diselamatkan
sekarang juga," Anting Sari yang bicara sambil
menyilahkan.
Prabu Sena menghela napas panjang.
Menyapukan pandangan ke sekeliling
kamarnya seolah berkata aku melihat istanaku
untuk terakhir kalinya. Lalu menatap istrinya
yang sudah berdiri.
"Kita masih punya Sanjaya." ujar
permaisuri.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
292
Nandar Hidayat
Sang Prabu mengangguk pelan lalu
menoleh ke arah dua orang yang belum
dikenalnya itu.
"Aku percaya kalian."
"Mari paduka."
Ardaya bergegas lebih dulu sebagai
penunjuk jalan. Sementara Anting Sari berada
paling belakang.
Beberapa saat setelah kepergian mereka,
Purbasora menerobos masuk.
"Kurang ajar, mereka kabur!" bentaknya.
Kuntawala datang.
"Cari dan tangkap hidup atau mati!"
"Baik, paduka!"
Kuntawala bergegas sambil membawa
beberapa bawahannya.
Pandangan Purbasora mengelilingi
ruangan. "Ada orang yang melarikan mereka,"
gumamnya.
Satu sisi dia senang upayanya berjalan
lancar. Tak butuh waktu lama Galuh
dikuasainya. Sebentar lagi dia akan bertahta di
kerajaan besar ini. Namun di sisi yang lain dia
menyesal.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
293
Nandar Hidayat
Apa yang disesali? Dia telah berjuang
lama untuk cita-citanya ini. Mulai dari
menikahi putri Prabu Padmahariwangsa,
menciptakan keadaan yang membuat dia
pantas menggantikan mertuanya. Hingga
akhirnya bisa memanfaatkan prajurit
Indraprahasta untuk menyerbu. Belum lagi
mengumpulkan tokoh persilatan.
Ternyata. Semudah ini merebut
kekuasaan Sena. Kalau tahu begini, tidak akan
dia susah-sudah dulu.
"Ampun, paduka." satu suara terdengar.
Suara tua. Memang berasal dari seorang kakek
yang tiba-tiba muncul di hadapan Purbasora.
"Siapa kau?"
"Hamba hanya pengurus istana..."
"Ada apa?"
"Mohon ampun, bukan maksud hamba
lancang..." si kakek diam sejenak. "Sebenarnya
tidak harus sampai terjadi pertumpahan darah
seperti ini..."
"Maksudmu?"
"Hamba sering mendengar perbincangan
paduka Prabu Sena bersama permaisuri.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
294
Nandar Hidayat
Bahwa beliau akan menyerahkan kekuasaan
dengan rela hati jika Maharesi Galunggung
sendiri yang memintanya."
Purbasora mendesah. Pantas, begitu
mudahnya menyerbu masuk ke dalam wilayah
istana. Karena memang tidak ada persiapan
sama sekali. Sena sudah begitu pasrah.
"Atau..." lanjut si kakek.
"Atau apa?"
"Kalau Maharesi tidak memintanya,
paduka Prabu Sena ingin bertanding satu
lawan satu dengan paduka Sora."
Purbasora mendongak sambil
memejamkan matanya, "Ya...ya...ya...dia ingin
terhormat, ingin dihargai. Aku kagum
padanya. Tapi kenapa dia melarikan diri?"
"Dua orang pemuda membawa beliau,"
"Siapa mereka?"
"Hamba tidak tahu, mereka lelaki dan
perempuan,"
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, terima kasih atas
pemberitahuannya. Sekarang, setelah aku jadi
raja apakah kau akan mengabdi padaku?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
295
Nandar Hidayat
"Hamba sudah mengabdi sejak Prabu
Mandiminyak. Bagi hamba, siapapun yang
menjadi raja, itulah junjungan hamba."
"Bagus kalau begitu."
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
296
Nandar Hidayat
28
Melalui pintu gerbang belakang istana
yang luput dari pengepungan pasukan
Indraprahasta, Prabu Sena beserta permaisuri
dikawal Ardaya dan Anting Sari berhasil
keluar. Di belakang wilayah istana terdapat
hutan yang tidak begitu rapat pepohonannya.
Dalam keadaan gelap Prabu Sena
dikejutkan oleh dua sosok bayangan yang
berdiri menghadang.
"Jangan takut, paduka, mereka kawan!"
jelas Ardaya.
Setelah dekat barulah agak jelas mereka
sepasang pemuda. Yang laki-laki tampak
bertangan satu, siapa lagi kalau bukan Jayana?
Dan yang perempuan adalah Sriwuni.
Dua orang ini menjura. Prabu Sena
hanya mengangguk.
"Mari, paduka."
Ardaya memimpin rombongan di depan
bersama Anting Sari. Sedangkan Jayana dan
perempuan itu menjaga di belakang.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
297
Nandar Hidayat
"Istriku, kau sudah hafal jalannya?"
tanya Ardara kepada Anting Sari.
"Tentu saja, raka!"
Ternyata mereka sudah menikah. Seperti
diceritakan sebelumnya mereka bertiga
mendalami ilmu masing-masing di tempat Ki
Bantrangsana. Lelaki tua bertampang muda itu
mengetahui jalinan kasih antara Ardaya dan
Anting Sari. Agar tidak terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan maka Ki Bantrangsana segera
menikahkan mereka. Setelah masa
gemblengan selesai mereka ditugaskan
menyelamatkan Prabu Sena sebagai awal tugas
mereka untuk mengabdi kepada Raden
Sanjaya.
Jalan gelap dalam hutan sedikit diterangi
oleh pijar cahaya dari Pedang Bentar milik
Jayana yang sudah tergenggam di tangannya.
"Apa cahaya pedangmu tidak
memancing kehadiran musuh?" tanya Sriwuni
"Tenang saja, Wuni. Aku sudah
memasang banyak perangkap di jalan yang
akan kita lalui,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
298
Nandar Hidayat
Jalan yang mereka lalui berkelok-kelok
cukup menyulitkan. Sengaja dibuat seperti itu
untuk mengelabui pengejar. Hutan itu memang
masih dekat dengan kawasan istana sehingga
mudah saja bagi serombongan prajurit yang
mengejar menemukan mereka.
"Itu mereka!"
"Tangkap!"
Namun beberapa langkah sebelum
menyerbu, sesuatu melesat dari atas pohon
tanpa sempat mereka menyadari.
Bress!
Bress!
Bress!
"Aaahhh...!"
Rombongan pengejar menjerit lalu
terjatuh, semuanya tak berkutik lagi. Mereka
terkena senjata perangkap berupa rangkaian
bambu runcing yang dipasang di atas pohon
dan melesat ketika alatnya diinjak Jayana sang
perancang alat itu.
Setelah berhenti karena terkejut
mendengar teriakan, Prabu Sena melanjutkan
perjalanan lagi.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
299
Nandar Hidayat
"Teman kami sudah memasang
perangkap di sepanjang jalan yang akan kita
lalui." jelas Ardaya.
"Kalian sudah merencanakan
semuanya?" tanya Prabu Sena.
"Ya, paduka, atas perintah guru kami,"
"Siapa?"
Sambil berjalan penuh waspada Ardaya
menceritakan siapa dia dan teman-temannya.
Menceritakan tentang padepokan dan guru-
guru mereka. Menceritakan tentang Laskar
Siluman Dewawarman dan siapa orang
dibelakangnya. Dan juga tak lupa
memberitahu tentang Ki Bantrangsana.
"Ki Bantrangsana," gumam Sang Prabu.
"Yah, aku tahu dia."
"Berhenti!"
"Tangkap, mereka!"
Rombongan dikejutkan kembali oleh
sepasukan prajurit di arah depan. Jumlahnya
lebih banyak dari sebelumnya. Tapi tiba-tiba
Bruss!
Brukk!PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
300
Nandar Hidayat
Beberapa prajurit paling depan
terperosok ke dalam lubang jebakan yang
sangat dalam hingga mereka terkubur urugan
tanah yang sudah dipersiapkan di pinggir
lubang.
Cep! Cep! Cep!
"Uaaah..."
Sementara parajurit lain yang tidak jatuh
ke lubang dihujani puluhan anak panah dari
atas pohon hingga semuanya tewas. Semua ini
dilakukan Jayana yang langsung sigap begitu
bahaya menghadang.
"Kau hebat!" puji Sriwuni tersenyum
manis.
Walaupun gelap tapi senyum manis
gadis itu masih terlihat di mata Jayana.
Hatinya berbunga-bunga mendengar pujian
itu. Terlebih dari mulut manis gadis cantik
yang sudah menarik hati sejak pertemuan
pertama. Tampaknya di antara mereka ada
benih-benih asmara.
Setelah dirasa aman, perjalanan
dilanjutkan. Malam sudah melewati
puncaknya. Udara terasa menusuk tulang.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
301
Nandar Hidayat
Tidak ada rembulan di atas langit. Mereka
hanya dibantu pijaran cahaya Pedang Bentar.
Malam terasa sangat panjang. Sepasang
raja dan permaisuri ini sudah tak memikirkan
lagi keadaan istana. Mereka harus selamat dari
kejaran anak buah Purbasora. Prabu Sena
sudah merelakan kerajaan Galuh jatuh ke
tangan saudaranya. Mungkin selanjutnya ia
akan tinggal bersama ayah ibunya di Kalingga.
Entah sudah berapa jauh melangkah dan
berapa lama waktu yang dilalui, tidak ada lagi
gangguan yang menghadang. Di kejauhan sana
terdengar suara ayam jantan berkokok. Namun
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasa was-was masih menyelimuti mereka.
"Sebentar lagi kita akan keluar dari
hutan ini," ujar Ardaya.
"Aku lelah, kanda." keluh permaisuri.
Sang Prabu merangkul istrinya,
"Keadaan kita begitu gawat dinda, orang-
orang Sora pasti sudah menyebar mencari
kita,"
"Paduka berdua tenang saja, kami sudah
menyiapkan tempat untuk istirahat, sebentar
lagi sampai," kata Anting Sari.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
302
Nandar Hidayat
"Dan tak perlu khawatir, tempat itu
cukup tersembunyi juga sudah dipersiapkan
jalan untuk kabur bila terjadi sesuatu,"
sambung Ardaya.
"Kalian sungguh baik, sudah
mempersiapkan segalanya. Aku akan
membalas jasa kalian sesampainya di
Kalingga,"
"Terima kasih, paduka. Ini sudah
menjadi tugas kami."
Setelah keluar dari hutan, Ardaya
membawa rombongan ke sebuah kampung
kecil tak jauh dari situ. Menuju ke sebuah
pondok yang tersembunyi dari rumah-rumah
penduduk yang lain karena berada dalam
sebuah kebun yang cukup luas dan terdapat
bermacam pohon buah-buahan yang besar
sehingga rimbunan daunnya menutupi
keberadaan pondok itu.
"Kami juga sudah menyiapkan pakaian
untuk menyamar," kata Anting Sari
mengambil sebuah buntalan lalu
memberikannya kepada Sang Prabu.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
303
Nandar Hidayat
Kemudian raja pelarian beserta
permaisurinya berganti pakaian di kamar yang
sudah dipersiapkan. Begitu selesai ternyata
sudah ada hidangan tersaji di ruang tengah.
"Mohon maaf, paduka, hidangannya
sudah dingin." menjura Sriwuni.
Prabu Sena memandang satu persatu
wajah penyelamatnya dengan wajah sendu.
"Sudahlah, aku sudah banyak berhutang
budi kepada kalian. Tidak penting soal
makanan yang dingin. Keadaan sedang
darurat. Yang penting bisa menambah tenaga
untuk perjalanan yang masih sangat jauh, mari
kita makan sama-sama."
Suasana pun mencair ketika semuanya
mulai menyantap hidangan. Keempat
pengawal sang raja pun tak sungkan dalam
menyantap makanan. Tak peduli sudah dingin
atau masih hangat, enak atau tidak enak.
Hidangan yang sudah dipersiapkan dari
kemarin cukup banyak itu dilahap habis
sebagai tambahan tenaga untuk perjalanan
yang sangat jauh.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
304
Nandar Hidayat
Matahari sudah muncul di ufuk timur,
udara dingin tersapu oleh cahaya hangat yang
mengeringkan embun-embun di atas
dedaunan. Tapi suasana hati menjadi tegang
ketika di luar pondok terdengar suara. Suara
perempuan dewasa, agak serak. Dan
sepertinya Ardaya juga Anting Sari pernah
mendengar suara ini.
"Menyerahlah secara baik-baik, atau
terpaksa aku menyeret kalian!"
"Itu suara Nyai Permoni!" kata Anting
Sari langsung ingat. Wanita jangkung ini
memandang suaminya.
"Jayana, Wuni, kalian antar paduka
melalui jalan rahasia." perintah Ardaya.
"Mari, paduka." ujar Sriwuni.
Sang raja dan permaisuri pun mengikuti
langkah Jayana dan Sriwuni. Ternyata di
ruangan tempat berganti pakaian itu ada
lubang bawah tanah yang cukup besar untuk
ukuran tubuh manusia. Mereka segera masuk.
"Raka, biar aku yang menghadapi wanita
itu," kata Anting Sari.
"Kau yakin?"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
305
Nandar Hidayat
"Tentu saja, doakan agar aku berhasil!"
"Baiklah, aku percaya padamu rai."
Ardaya memeluk sambil mengecup
kening istrinya lalu menyusul masuk ke lubang
rahasia.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
306
Nandar Hidayat
29
"Rupanya kau, yang dulu menguping
pembicaraan kami!" seru Nyai Permoni,
wanita setengah baya yang tinggi tubuhnya
sama dengan Anting Sari. Wanita berwajah
menyeramkan ini bersenjatakan tongkat kayu
hitam berlekuk-lekuk yang panjangnya
setinggi badannya.
Anting Sari kagum. Saat itu dia
sembunyi bersama Ardaya saat menguping
pembicaraan Nyai Permoni bersama tiga tokoh
lainnya. Dia sendiri hanya ingat suara wanita
bertubuh tinggi itu, tidak tahu bagaimana
sosoknya. Tapi Nyai Permoni ternyata
mengetahui perbuatannya bahkan sampai
mengenali dirinya.
"Tidak usah basa basi, Prabu Sena sudah
jauh meninggalkan pondok ini. Nanti kau tak
bisa mengerjarnya."
Anting Sari berdiri tegap, tangan
kanannya menggenggam gagang pedang yang
menggantung di pinggang kiri. WalaupunPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
307
Nandar Hidayat
cuma berdiri tapi ini merupakan kuda-kuda
yang kokoh dan sikap waspada.
"Huh! Gadis sombong, rasakan ini!"
Belum selesai berucap Nyai Permoni
menyodokkan tongkatnya ke wajah Anting
Sari.
Wutt!
Anting Sari hanya mengegos sedikit
sehingga sodokan tongkat kayu hitam
mengenai tempat kosong, lalu badannya
menyeruduk kedepan seperti hendak
menubruk sambil menarik pedang dari
warangka.
Nyai Permoni menghindar ke kiri,
ternyata gerakan itu hanya tipuan. Segera saja
ia tarik tongkat lalu disabetkan ke badan
lawan.
Tring!
Dua senjata beradu. Walaupun tongkat
kayu tapi keras seperti baja sehingga
menimbulkan suara berdenting.
Anting Sari tahu bahwa lawannya akan
seperti itu maka ia cabut pedang danPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
308
Nandar Hidayat
melintangkannya di belakang sehingga tongkat
lawan beradu dengan senjatanya.
Dari sini mulai bisa diukur kekuatan
masing-masing. Anting Sari sedikit tersorong
kedepan sedangkan Nyai Permoni juga
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpental beberapa langkah.
Kejap berikutnya keduanya sudah
bersiap dengan kuda-kuda mantap. Anting Sari
memaklumi kalau tokoh hampir tua ini
memiliki tenaga yang besar pasti karena
pengalaman. Sementara Nyai Permoni sedikit
terkejut melihat perempuan yang masih muda
memiliki kekuatan yang tak bisa dianggap
sembarangan.
Entah siapa yang mulai duluan, tahu-
tahu keduanya bersamaan menerjang ke depan
sambil mengayunkan senjata masing-masing.
Trang!
Dua senjata sama-sama menusuk ke
sasaran namun bertemu dalam benturan
sebelum mencapai tujuan. Begitu seterusnya,
setiap salah satunya mengincar bagian yang
mematikan maka yang satu lagi menangkis.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
309
Nandar Hidayat
Tidak hanya menangkis tapi dilanjutkan
menyerang.
Trang! Trang! Trang!
Tongkat panjang Nyi Permoni
kelihatannya lebih beruntung karena bisa
menjangkau jarak lebih panjang. Tapi pedang
Anting Sari yang lebih ringan namun kuat tak
bisa dianggap remeh.
Sampai sejauh ini keduanya belum
mengerahkan tenaga penuh. Masih ditahan-
tahan. Terutama Anting Sari, selain sengaja
melambat-lambat agar Prabu Sena bisa
semakin jauh. Dia juga ingin mengeluarkan
jurus-jurus yang dipelajari dari kitab Nyi
Pancariti yang disimpan di tempat Ki
Bantrangsana.
Tak peduli seberapa hebatnya lawan.
Anting Sari yang masih besar jiwa
petualangnya, ingin memperagakan semua
jurus yang selama setahun dilatih dan
dibimbing Ki Bantrangsana kepada lawan
yang sesungguhnya. Dengan semangat seperti
ini tentunya dia tidak menghiraukan rasa lelah
atau cape.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
310
Nandar Hidayat
Sementara Nyai Permoni sepertinya
dongkol, pertarungan ini dianggap main-main
seperti latihan saja. Tapi bila dia tak bisa
menahan amarahnya justru akan
merugikannya.
Dia hanya berharap kawan-kawannya
yang lain bisa mengejar Prabu Sena. Biarlah
dia main-main dengan gadis jangkung ini.
Yang penting menjalankan tugas setelah itu
mengambil imbalan yang dijanjikan
Purbasora. Kemudian dia berhenti dari dunia
persilatan.
Trang!
Sudah dua puluh jurus lebih belum ada
satu pun yang terluka. Ini yang membuat hati
Nyai Permoni semakin dongkol. Lawannya tak
mudah ditaklukan. Perkembangan dunia
persilatan memunculkan tokoh-tokoh muda
yang hebat. Baru usia muda saja sudah bisa
menandingi kekuatannya. Tidak seperti dirinya
dulu yang harus berlatih keras untuk bisa jadi
seperti sekarang.
Trang!PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
311
Nandar Hidayat
"Gadis jelek! Sudah saatnya kau
mampus!" maki Nyai Permoni.
Wanita setengah baya ini kerahkan
seluruh tenaga luar dan dalam. Alirkan hawa
sakti ke setiap urat tangan. Disalurkan juga ke
tongkat hitamnya sehingga tampak
menyilaukan. Lalu diputar diatas kepala.
Wusssh!
Dari putaran tongkat ini mendatangkan
angin dahsyat menghantam lawannya.
"Pukulan Tongkat Badai!" teriak Nyai
Permoni melapatkan nama jurusnya.
Dengan sigap dan tenaga penuh Anting
Sari lintangkan pedang di depan. Tenaga sakti
yang berpusat di pusarnya dialirkan ke seluruh
tubuh. Sehingga kedua kakinya seperti
terpatok ke tanah menahan tubuhnya agar
tidak terdorong angin badai. Rambutnya yang
panjang indah berkibar-kibar seperti dedauan
di pucuk pohon.
Semangat demi tugas dan juga suami
tercinta membuatnya tak mudah menyerah. Ini
hanyalah rintangan dalam perjalanan hidup.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
312
Nandar Hidayat
Semakin keras diputar tongkatnya
semakin dahsyat angin yang timbul. Bahkan
seantero tempat bagaikan digulung badai.
Daun-daun rontok, dahan pohon rapuh retak
dan hancur, pohon-pohon kecil tumbang. Tapi
Anting Sari tetap kokoh di tempatnya.
Sudah saatnya gadis jangkung ini
mengeluarkan jurus andalannya 'Menusuk
Dalam Badai' sesuai dengan keadaannya.
Berhasil atau tidak, harus dicobanya. Mencoba
adalah pengalaman.
Anting Sari lipat gandakan kekuatan di
kedua kaki. Terus menyalurkan hawa sakti ke
pedang. Terlihat badannya doyong ke depan
sambil menjulurkan pedangnya. Seperti anak
panah, tiba-tiba tubuhnya melesat ke arah Nyai
Permoni.
Trang! Trang!
Wukk!
Crasss!
Pedang Anting Sari menusuk
menghancurkan putaran tongkat Nyai Permoni
hingga kacau bahkan patah. Wanita setengah
baya ini kaget bukan main. Saking kagetnyaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
313
Nandar Hidayat
dia tak sempat menghindar ketika diatas
kepalanya tubuh Anting Sari berputar sambil
mengayunkan pedang hingga dadanya tersayat
pedang cukup dalam.
Bruk!
Nyai Permoni terpental lalu ambruk.
Angin badai seketika berhenti. Bagian dada
yang tersayat terasa panas dan perih seperti
ada sengatan dari luka sayatan menjalar ke
seluruh tubuh. Wanita ini menjerit keras,
tubuhnya kelojotan. Dan akhirnya dia benar-
benar meninggalkan dunia persilatan.
Anting Sari sudah mendarat di tanah
mengusap peluhnya. Pedangnya sudah
tersarung kembali. Pertarungan menegangkan
yang belum pernah dialami sebelumnya.
Terasa puas karena bisa menjalankan
tugasnya. Segera saja dia berlalu menyusul
rombongan.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
314
Nandar Hidayat
30
Melalui lorong rahasia itu rombongan
Prabu Sena kini sudah keluar, berada di sebuah
hutan rimbun yang lembab karena sinar
matahari hanya sedikit yang menembus
masuk.
Namun para pengejar memang sudah
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikerahkan ke segala penjuru. Tiba-tiba saja
terdengar suara berkelebat dari arah belakang.
Cukup cepat, tahu-tahu dua orang sudah
berdiri menghadang.
Dua lelaki hampir tua ini tertawa keras
mengekeh.
"Kami tidak akan tertipu dengan
penyamaranmu Prabu Sena!" seru yang
berkepala botak yang badannya gendut dan
pendek.
Ardaya pernah melihat kedua orang ini.
Waktu itu dia hanya melihat sosok mereka dari
belakang. Dua orang ini yang mengadakan
pertemuan di kediaman Nyai Permoni.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
315
Nandar Hidayat
"Sebaiknya menyerah saja!" timpal yang
satunya, yang tinggi kurus.
Dari belakang Jayana menyeruak ke
depan.
"Biar aku yang hadapi mereka," katanya
setengah berbisik kepada Ardaya.
"Baiklah, hati-hati, lakukan dengan
baik."
Lalu Ardaya mengajak Prabu Sena dan
permaisuri berbalik arah diikuti Sriwuni di
belakang. Gadis ini menatap sejenak kepada
Jayana yang juga menatapnya. Pemuda ini
berkedip sebagai tanda meyakinkan si gadis
agar jangan khawatir. Sriwuni mengerti
kemudian segera menyusul rombongan.
"Heh, anak muda bau kencur!" ejek si
gendut yang bernama Madrawi yang berjuluk
Si Hulu Wesi (Kepala Besi). "Untuk apa kau
bersusah-sudah membela mereka. Kau tak
akan sanggup melawan kami apalagi
tanganmu cuma satu ha...ha...ha...!"
"Hei, lihat pedang yang dia bawa!" seru
si tinggi kurus.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
316
Nandar Hidayat
"Apa itu, Destawana?" tanya Si Hulu
Wesi.
"Itu adalah pusaka Pedang Bentar,"
tunjuk Destawana, si tinggi kurus yang
bergelar Tangkurak Merah sesuai dengan
bentuk badannya juga wajahnya yang seperti
tengkorak.
"Anak buntung, sungguh kasihan
nasibmu. Kau tidak akan mampu bertahan di
dunia persilatan yang keras ini. Sebaiknya kau
di rumah saja menjadi petani, dan..." Madrawi
melirik sejenak ke temannya.
"Serahkan pedang itu, kau tak pantas
menggunakannya," Destawana menjulurkan
tangannya yang panjang meminta Pedang
Bentar.
Jayana menghela nafas sejenak.
Diacungkan pedang pusakanya.
"Kalian benar, kalian sudah
berpengalaman merasakan pahit manisnya
dunia persilatan tentunya bisa menakar
kemampuan seseorang. Terima kasih atas
belas kasihan kalian yang telah peduli
kepadaku atas cacatnya tubuhku,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
317
Nandar Hidayat
Jreb!
Pedang Bentar menancap di tanah
bersama warangkanya hampir setengahnya.
"Aku serahkan pedang itu untuk kalian,
aku akan menjadi petani sesuai saran kalian,"
kata Jayana lagi tapi dia masih tetap berdiri di
tempatnya.
Si kurus dan si gemuk saling pandang
heran. Kenapa begitu mudahnya pemuda itu
menuruti perkataan mereka. Mereka melihat
kini Jayana mundur menjauhi pedang yang
tertancap.
Si Hulu Wesi maju. Dengan yakin dia
pegang gagang pedang lalu mencabutnya. Tapi
apa yang terjadi? Dia tak mampu mencabut
Pedang Bentar bahkan sekedar menggerakkan
pun susah padahal sudah keluar tenaga besar.
"Kenapa kau, Madrawi?"
Madrawi geleng-geleng, dia lepaskan
pegangannya. Dua orang ini sama-sama
memandang Jayana.
"Biar kucoba!" ujar Tangkurak Merah.
Sring!PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
318
Nandar Hidayat
Tangkurak Merah terkejut, dia bisa
mencabut pedang dari warangkanya. Dia
tersenyum lebar, tapi senyum itu tampak
menakutkan.
"Sepertinya pedang ini jodohku, Hulu
Wesi!"
"Wah, kau beruntung Tangkurak
Merah!"
Dua lelaki hampir tua ini menatap
Jayana yang menunjukan raut muka datar saja.
"Sekarang kita apakan pemuda itu?"
tanya Destawana si Tangkurak Merah.
"Habisi saja, tak berguna ini!"
"Kenapa?" seru Jayana. "Bukankah
pedang sudah kau dapatkan dan aku akan
menuruti saran kalian menjadi petani?"
Si gemuk dan si kurus tertawa terbahak-
bahak keras sampai menggetarkan seantero
tempat. Namun Jayana tak bergeming.
"Kami tidak bodoh seperti kau bocah
ingusan, tentu saja kau tak akan kami biarkan
hidup begitu saja, ha...ha...ha...!" seru
Tangkurak Merah seraya mengayunkan
pedang hendak menerjang ke arah Jayana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
319
Nandar Hidayat
Tapi apa yang terjadi dia malah
menyerang ke arah temannya. Hampir saja si
botak tertebas lehernya.
"Apa-apaan kau ini!" sentak Si Hulu
Wesi.
Tangkurak Merah terkejut sejenak tapi
kemudian kembali dia menyerang Si Hulu
Wesi.
Wutt!
"Jurig edan, sia!" maki si botak terpaksa
dia keluarkan jurus-jurusnya untuk
menghadapi kawan sendiri.
"Aku tidak tahu, Madrawi, pedang ini
bergerak sendiri dan aku tak bisa
mengendalikannya!" teriak Destawana sambil
terus membabatkan pedang memburu sasaran.
Gerakan Destawana alias Tangkurak
Merah ini membentuk sebuah jurus tapi bukan
jurus yang dia miliki. Ini jurus Pedang Bentar
yang dikendalikan Jayana dari jarak jauh.
Inilah kehebatan Pedang Bentar bila dipegang
oleh orang lain yang bukan pemiliknya.
Sedangkan tadi ketika si gemuk tak bisaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
320
Nandar Hidayat
mencabut pedang, sengaja Jayana memilih
orang yang bisa mencabutnya.
Serangan Tangkurak Merah semakin
ganas dan Si Hulu Wesi makin kewalahan,
badannya sudah bermandikan keringat.
"Lepaskan saja pedangnya!" teriak
Madrawi marah.
"Tidak bisa! Tanganku lengket!"
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sialan! Jurig edan!"
Mau tak mau Si Hulu Wesi harus
mengeluarkan ilmu andalannya. Dia salurkan
seluruh kekuatan berpusat di kepala hingga
kepala botak itu tampak bercahaya hitam.
Dengan ilmu Hulu Wesi membuat kepalanya
menjadi sekeras besi.
Kemudian Si Hulu Wesi melompat,
meluncur menjulurkan kepalanya menumbuk
Destawana alias Tangkurak Merah.
Pada saat itu tentu saja tak bisa ditahan lagi
tangan panjang si kurus ini membabatkan
Pedang Bentang menyambut luncuran kepala
botak.
Trang!
Prakk!PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
321
Nandar Hidayat
Destawana terkejut dan langsung
bergidik ngeri. Wajahnya yang mengerikan
tambah seram. Dia melihat kepala botak milik
temannya terbelah oleh Pedang Bentar.
Seketika Si Hulu Wesi ambruk langsung
tewas.
Si tinggi kurus tampak panik
memandangi tangannya yang masih
memegang pedang. Walaupun tidak
menggenggam tapi pedang itu menempel di
telapak tangannya. Dia melihat Jayana
tersenyum sinis. Tak pernah dalam hidupnya
merasakan kengerian seperti ini. Padahal dia
adalah tokoh yang mengerikan. Ilmu-ilmu
yang dia miliki juga ilmu hitam yang
mengerikan seperti sihir, teluh, santet dan juga
pelet. Tapi sekarang dia merasakan ngeri
seperti orang yang terkena santet. Apakah
pemuda itu juga memiliki ilmu semacam itu?
Tubuhnya gemetar, baru sekarang
merasakan ketakutan. Entah apa yang
ditakutkan. Apalagi ketika tangannya bergerak
sendiri mengacungkan pedang dan ujungPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
322
Nandar Hidayat
pedang itu mengarah ke jantungnya. Badannya
semakin gemetar.
Tapi kini dia agak lega ketika tiba-tiba
saja pedang itu lepas dari tangannya lalu
tergenggam sendiri di tangan Jayana.
"Orang tua, kau mau melanjutkan
pertarungan?" tanya Jayana. Kini Pedang
Bentang sudah berada dalam warangkanya
lagi.
Destawana alias Tangkurak Merah tak
bisa berkata apa-apa lagi. Tak disangka
nasibnya akan seperti ini. Bertemu seorang
pendekar berilmu aneh. Akhirnya daripada
mati konyol dia memilih kabur. Tapi nasib
buruk tampaknya belum berlalu darinya.
Karena saking takutnya tak sengaja saat berlari
kakinya tersandung akar pohon.
Jeduk!
Prak!
Tubuhnya meluncur, kepalanya
menghantam batang pohon dan pecah.
Berakhirlah riwayat Si Tangkurak Merah.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
323
Nandar Hidayat
Jayana menghela panjang melihat
kejadian itu. Lalu segera berlari menyusul
rombongan.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
324
Nandar Hidayat
31
Pelarian raja yang tersingkir ini terus
mengalami gangguan selagi masih berada di
wilayah Galuh. Purbasora tak tanggung-
tanggung menurunkan bawahannya dari
kalangan persilatan untuk menangkap Prabu
Sena hidup atau mati.
Disaat yang mengawal tinggal Ardaya
dan Sriwuni, disaat Anting Sari dan Jayana
belum menyusul. Seseorang telah menghadang
lagi perjalanan mereka.
Orang ini juga yang dulu ikut berkumpul
di rumah Nyai Permoni. Lelaki setengah baya
berbadan tegap berpakaian serba hitam dan
yang mencolok adalah rambutnya yang gimbal
tebal dan panjang hingga bahu.
"Percuma kalian melarikan diri," ujar si
gimbal. "Walaupun ke lubang semut pasti akan
ketemu!"
Sriwuni mendekati Ardaya, "Ijinkan,
yang ini bagianku,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
325
Nandar Hidayat
"Hati-hatilah, jika sudah tak mampu
lekas lari, yang penting cegah dia melakukan
pengejaran. Dan semoga yang lain cepat
menyusul."
"Baiklah!"
Kemudian Sriwuni menghadap ke orang
gimbal itu, katanya, "Lawan dulu aku!"
Ardaya segera melanjutkan perjalanan
bersama Prabu Sena dan permaisuri.
"Hmm...kenapa anak kemarin sore yang
menghalangiku?"
"Buktikan kalau kau jago tua yang sudah
kawakan!" sembur Sriwuni.
"Hua..ha...ha...ha...! Sombong! Sekuat
apa tubuhmu yang gemulai itu mampu
menahan seranganku?"
"Yang pasti tak pernah kau sangka
sebelumnya!"
"Baik, apakah kau pantas mentas di
panggung persilatan atau seharusnya hanya
menjadi pelayan birahiku saja, ha...ha...ha...!"
"Tutup mulut busukmu, keparat!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
326
Nandar Hidayat
Bersamaan dengan makian itu Sriwuni
menerjang sambil mengayunkan pedang yang
sudah terhunus.
Wutt!
Sambaran pedang yang disertai angin
menderu mengarah langsung ke leher lawan.
Si gimbal menyeringai mengejek, dia hanya
mengegos sedikit. Luputlah serangan si gadis
mengenai sasaran kosong. Tapi gerakan murid
Nyi Gandalaras ini sangat cepat, sekejap
berikutnya pedangnya sudah menebas lagi.
Wuss!
Lagi-lagi si gimbal dapat menghindar.
Hingga beberapa jurus berlalu terlihat hanya
Sriwuni yang menyerang, namun si gimbal
selalu dengan tenang bisa menghindar.
Namun ketika gadis ini merubah gerakan
jurus yang lebih hebat dan cepat, si gimbal
mulai terdesak dan terpaksa mengeluarkan
senjatanya dari balik pinggang belakang
berupa sepasang tombak pendek.
Trang! Salah satu tombaknya beradu
dengan pedang Sriwuni. Tangannya bergetarPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
327
Nandar Hidayat
hebat. Daya tolak dari pedang lawan terasa
besar. Hampir saja genggamannya lepas.
Sementara Sriwuni juga merasakan hal
yang sama. Getaran di genggamannya sangat
kuat, hampir saja dia kehilangan tenaga. Dari
sini bisa disimpulkan kekuatan si gimbal
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada di atasnya. Tapi dia tak gentar sama
sekali. Lawan yang lebih kuat adalah ujian
kemampuan silatnya untuk naik ke tingkat
berikutnya.
Kejap berikutnya keduanya sudah saling
beradu jurus lagi dengan pengerahan tenaga
yang lebih besar. Jika di awal Sriwuni
bernafsu ingin merobohkan lawan karena
terpancing oleh ucapan kotor, kini dia
berusaha lebih tenang namun tetap waspada.
Karena dari ketenangan ini dia bisa mencari
letak kelemahan lawan. Bisa juga dia
memancing agar lawan berlaku lengah.
Sedangkan si gimbal yang aslinya
bernama Gardika yang berjuluk Si Tumbak
Maut ini sekarang harus berhati-hati. Karena
ternyata lawannya cukup hebat dalam gerak
jurus yang hampir tak dapat dibaca. ApalagiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
328
Nandar Hidayat
tenaga lawan juga tidak bisa dianggap remeh.
Diam-diam kagum juga kepada si gadis yang
masih muda sudah sehebat ini. Bagi warga
persilatan, mendapat lawan yang tangguh
adalah suatu kesenangan. Jika menang tentu
akan merasa bangga, dan kalau kalah juga
merasa terhormat.
Sudah dua puluh jurus berlalu keduanya
belum ada yang terluka. Berpuluh-puluh kali
pula senjata mereka saling bentrok.
Setelah bisa membaca gerak lawan,
Sriwuni tiba-tiba merubah lagi gerakan yang
membuat Gardika Si Tombak Maut terkejut
menghadapi perubahan serangan yang
mendadak ini. Karena kaget inilah membuat
gerakannya mulai kacau tidak terarah. Lebih-
lebih lagi si gadis tampak tak memberi
kesempatan padanya untuk melakukan
serangan balik.
Si Tombak Maut harus direpotkan
dengan menghindar dan menangkis serangan
tanpa bisa membalas. Ini juga prinsip
persilatan, siapa yang lebih cepat dia yang
akan unggul.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
329
Nandar Hidayat
Begitu hingga sepuluh jurus berikutnya
lelaki setengah baya berambut gimbal ini
mulai keteteran. Pikirannya juga mulai kacau.
Masa sama gadis belia dia kalah?
Tambah kacau lagi dengan gerakannya
yang asal-asalan menghindar dan menangkis
tidak sesuai lagi dengan pola gerak jurusnya.
Sebenarnya ini kesempatan bagi Sriwuni
untuk segera melumpuhkan lawannya. Tapi
gadis ini mempunyai pikiran lain. Keadaan
seperti ini malah digunakan untuk
mempermainkan si gimbal. Dengan jurus
pedangnya yang sudah sempurna dan sangat
cepat dia terus mendesak lawan tak memberi
kesempatan menyerang balik hingga Si
Tumbak Maut itu tampak kelelahan dan mulai
melambat gerakannya.
Sret!
Crass!
Sabetan ujung pedang Sriwuni sudah
banyak melukai kulit si gimbal. Keringat dan
darah bercampur membasahi baju hitamnya.
Panas dan perih terasa menyengat di bagian
badan yang tersayat pedang. Walaupun tidakPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
330
Nandar Hidayat
mengandung racun tapi goresan pedang itu
mengenai urat yang membahayakan.
Rupanya ini kesengajaan Sriwuni yang
hanya melukai lawan saja hingga tampak
berlumuran darah. Lawannya limbung,
nafasnya ngosngosan menahan perih. Gadis ini
hentikan serangan, diam-diam merasa bersalah
karena sudah menyiksa lawan.
"Cepat bunuh aku saja!" teriak si gimbal
tapi suaranya lemah lalu dia jatuh berlutut
sambil menopangkan sepasang tombak
pendeknya ke tanah.
Entah apa yang ada di pikiran orang
gimbal ini. Mendadak hatinya berubah.
Puluhan tahun berkelana di dunia persilatan
seakan terlupakan begitu saja. Ratusan kali
pertarungan dia hadapi. Bisa dikatakan dia
sudah bisa disebut pendekar yang namanya
menghiasi cerita dunia persilatan yang
dibicarakan orang-orang di kedai makanan.
Tapi sekarang semua gairah kependekarannya
seakam hilang begitu saja. Putus asa melanda
jiwanya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
331
Nandar Hidayat
"Aku tidak akan membunuhmu, asal kau
berhenti mengejar paduka Prabu!"
"Lebih baik mati saja nona, walaupun
tidak kau bunuh tapi Raden Sora pasti yang
akan membunuhku,"
"Kalau begitu pergi jauh jangan kembali
ke Galuh atau Indraprahasta."
Gardika menunduk lesu. Tidak disangka
gadis belia ini mampu menandinginya. Ilmu
yang sudah didapatnya puluhan tahun harus
kandas melawan gadis ini. Dia memikirkan
saran si gadis. Percuma juga dia kembali ke
Galuh tentu akan membuat Purbasora marah
karena kegagalannya. Ingin mati saja, tapi
gadis ini memberinya kesempatan hidup.
Karena sejatinya kematian adalah urusan yang
Maha Kuasa.
Haruskan bunuh diri? Mungkin akan
dianggap sebuah sikap jantan karena
menanggung malu akibat kegagalan. Tapi
apakah harus begitu?
Saat mengangkat wajahnya ternyata
Sriwuni sudah tidak ada di situ. Mungkin
sebaiknya dia ikuti saran gadis itu. PergiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
332
Nandar Hidayat
sejauh mungkin dari Galuh, menjadi orang
biasa saja, mundur dari dunia persilatan.
Mungkin hidupnya akan tentram. Ya, benar,
memperbaiki hidup sebelum ajal tiba
mengingat umur yang sudah mendekati senja.
Akhirnya Gadika Si Tumbak Maut
bangkit, membuang senjatanya, lalu dengan
gontai melangkah pergi dari tempat itu.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
333
Nandar Hidayat
32
Sriwuni segera menyusul Ardaya dan
Prabu Sena. Tidak sulit untuk mengejarnya
karena sudah diberi tahu jalannya. Perjalanan
mereka masih menyusuri hutan demi hutan
guna menghindari pengejaran. Walaupun tetap
saja para pengejar bisa menemukan mereka,
itu karena yang mengejar dari golongan
persilatan.
Dari jauh gadis ini sudah mendengar
suara bentakan pertarungan dan beradunya
senjata. Begitu menemukan sumber suara,
ternyata tiga sahabatnya tengah bertarung
melawan seorang yang tinggi besar berkepala
botak. Tampaknya orang itu sangat tangguh
sehingga harus dilawan tiga orang. Orang
botak ini menggunakan senjata tombak
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang yang mata tombaknya besar seperti
golok.
Sriwuni menghampiri pasangan raja dan
permaisuri yang berdiri jauh dari medan
pertarungan.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
334
Nandar Hidayat
"Orang botak itu tampaknya sangat
tangguh," ujar Sriwuni.
"Dia senopati utama Indraprahasta,"
jelas Prabu Sena.
"Oh, pantas hebat!"
"Anting Sari bilang, namanya
Kuntawala, dulu dikenal sebagai Raja Begal
dari Cibaringkeng,"
"Ternyata dia orangnya, pasti Raden
Sora cukup kesulitan untuk menariknya
menjadi pembantunya,"
"Bisa jadi."
Di tempat pertarungan. Ardaya yang
dibantu Anting Sari dan Jayana belum mampu
menyentuh lawan. Tenaga dalam Kuntawala
sangat tinggi. Pedang Bentar milik Jayana juga
tak mampu mematahkan tombak panjang itu.
Padahal tombak itu hanya senjata biasa,
namun karena dialiri tenaga dalam jadinya luar
biasa.
Begitu juga pedang Anting Sari tak
mampu berbuat apa-apa. Sudah puluhan jurus
belum bisa menyentuh lawan. Namun gerakan
mereka bertiga sangat kompak dan teratur.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
335
Nandar Hidayat
Seperti sudah dilatih sebelumnya. Itulah
sebabnya Sriwuni tidak langsung masuk ke
kancah pertarungan karena takut akan
mengacaukan kekompakan mereka.
Jika senopatinya saja sudah sekuat itu,
bagaimana dengan Purbasora? Pikir Sriwuni
dalam hatinya. Semoga saja tidak ada
gangguan lain lagi, dan semoga ketiga
temannya bisa mengatasi si botak itu. Dia
yakin. Maka gadis ini memutuskan untuk
menjaga Prabu Sena dan permaisuri saja.
"Kita satukan kekuatan!" seru Ardaya.
"Ajian Bayu Murka!"
Ajian Bayu Murka adalah ajian yang
diberikan oleh Ki Bantrangsana. Ajian yang
tidak bisa dipergunakan oleh satu orang saja,
tapi harus sedikitnya tiga orang.
Anting Sari berdiri paling depan dengan
kedua kaki melebar sedikit menekuk. Di
belakangnya sejajar Ardaya di kanan dan
Jayana di kiri dengan sikap yang sama. Ardaya
menyentuhkan tangan kiri ke pundak kanan,
sedangkan Jayana menyentuhkan PedangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
336
Nandar Hidayat
Bentar yang sudah tersarung dalam warangka
ke pundak kiri Anting Sari.
Ketika mengerahkan segenap kekuatan
dalam tubuh mereka. Anting Sari
menggenggam kuat pedang dengan dua tangan
sekaligus. Dua laki-laki di belakang
menyalurkan tenaga dalam yang sudah diolah
menjadi ajian kepada perempuan di depannya.
Kekuatan mereka bersatu.
Lalu sama-sama berteriak keras. Anting
Sari menggerakkan pedang kedepan seperti
menonjok.
Wussh!
Seberkas sinar kuning seperti bentuk
kilat keluar dari ujung pedang Anting Sari
disertai bertiupnya angin dahsyat menyambar
ke arah Kuntawala.
Wutt!
Blarr! Blarr!
Ledakan-ledakan terjadi di sekeliling
tempat berdirinya Kuntawala. Si botak tinggi
besar ini tetap kokoh berdiri sambil
melintangkan tombaknya. Menahan deru angin
dan kilatan sinar kuning yang sangat panasPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
337
Nandar Hidayat
jika sampai menyentuh kulit. Beruntung sinar
yang bagai kilat menyambar-nyambar itu
hanya mengenai tombaknya. Hebatnya lagi
senjata itu sangat kuat, tak mudah
dihancurkan.
Melihat ketiga lawannya sudah
mengeluarkan ilmu andalan. Maka dia juga tak
mau tinggal diam. Kuntawala melebarkan
kuda-kudanya. Mengambil tenaga dalam yang
berpusat di perut. Disalurkan ke tangan lalu ke
tombak. Kemudian menghentak.
Wuutt!
Sinar merah terang mencuat dari ujung
tombak. Menjalar dan melibat sinar kuning.
Terus menjalar hingga menyentuh ujung
pedang Anting Sari bahkan sampai seperti
melilit tubuh ketiga lawannya sehingga
mereka berteriak kencang.
Mereka bertiga merasa seperti disengat
ribuan tawon. Sehingga keadaan mereka
goyah. Tubuh mereka bergetar tapi kakinya
tetap berusaha mematok ke bumi dan terus
mengeluarkan Ajian Bayu Murka.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
338
Nandar Hidayat
Di sebelah sana Sriwuni dan Prabu Sena
tampak cemas. Kekuatan sakti tiga orang
ternyata masih bisa diimbangi lawannya,
bahkan kalau teman-temannya tidak kuat bisa
gawat keadaannya. Dan kecemasan Sriwuni
semakin menjadi ketika melihat tiga
sahabatnya seperti kejang-kejang berdiri.
Lalu tubuh mereka bertiga terangkat,
melayang digulung oleh sinar merah yang
berasal dari tombak Kuntawala. Mereka sudah
tak bisa mengeluarkan Ajian Bayu Murka lagi.
Yang mereka rasakan seperti terbakar, tenaga
tersedot. Tubuh mereka melayang tertarik ke
arah Kuntawala.
Tiba-tiba!
Berhembus angin yang menebarkan
harum bunga tercium oleh semua orang yang
ada di sana. Apalagi Prabu Sena sangat
terkejut dengan wangi ini.
Lalu!
Blarr!!!
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
339
Nandar Hidayat
33
Ledakan terjadi di tengah-tengah antara
Kuntawala dan lawannya. Mengakibatkan
buyarnya sinar merah dari tombaknya. Ardaya
, Anting Sari dan Jayana terpental bergulingan
di tanah bagai dihempas badai hingga terjatuh
tepat di depan Sriwuni. Tiga orang ini segera
bersila memulihkan tenaga dan badannya.
Sementara Kuntawala juga terdorong
hingga empat tombak ke belakang. Beruntung
dia masih bisa menguasai dirinya.
Setelah debu bertaburan akibat ledakan
tadi sirna, terlihat kah di sana. Seseorang telah
berdiri tegap menghadap ke arah Kuntawala
dengan sikap kuda-kuda membuka jurus.
"Santana!" seru Sriwuni mengenali
orang itu.
Tiga orang yang sedang memulihkan
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekuatan juga sama-sama memandang ke arah
sana. Ya, benar, itu Santana.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
340
Nandar Hidayat
"Jurus Tapak Wangi!" teriak Prabu Sena
lain lagi, karena dia melihat sesuatu yang
diingatnya.
Mendengar teriakan ini Santana menoleh
lalu menghampiri dan menjura.
"Terima kasih paduka, akhirnya saya
tahu nama jurus ini," ujar Santana.
Empat orang yang lain tampak heran
juga kagum melihat Santana.
"Siapa yang mengajarimu?" tanya Prabu
Sena.
"Aki resi Jantaka, paduka,"
"Oh, rupanya dia yang menyimpan jurus
langka itu. Baguslah, dan kau beruntung bisa
mewarisi jurus yang sudah hilang puluhan
tahun lalu itu."
"Terima kasih, paduka, ijinkan saya
menghadapi bapak saya."
Sontak semuanya terkejut
mendengarnya. Tentu saja karena mereka baru
tahu Santana adalah anak Kuntawala.
Kini anak dan ayah berhadapan.
"Tidak disangka, kau menjadi sehebat
itu!" ujar Kuntawala, dia pangling melihatPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
341
Nandar Hidayat
anaknya tampak lebih besar seperti orang
dewasa padahal umurnya belum juga dua
puluh. Mungkin sudah turunan karena dia juga
tinggi besar.
"Tapi apa maksudmu menghalangiku?"
tanya Kuntawala kemudian.
"Sebenarnya aku bangga karena bapak
tidak lagi jadi perampok. Tapi...ternyata malah
lebih parah. Jadi pemberontak!"
"Anak kurang ajar, beraninya mengatai
bapakmu!"
"Sekarang bukan antara anak dan bapak,
tapi pejuang dan pemberontak!"
"Pejuang...?" Kuntawala terbahak-bahak
keras. "Tahu apa kau tentang pejuang. Anak
kemarin sore sudah berani bicara lancang!!"
"Lalu buat apa menjadi senopati kalau
tujuannya hanya untuk mengumpulkan harta?
Bukan untuk membela negara, malah
memberontak. Itu masih sama saja dengan
merampok!"
"Tutup mulutmu, anak bangsat!"
"Ya, kaulah bangsatnya!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
342
Nandar Hidayat
"Keparat doraka sia, berani menentang
bapak sendiri harus menerima akibatnya. Aku
tidak akan menganggapmu anak lagi, dan aku
tak kan menyesal membunuhmu!"
Memuncak sudah amarah Kuntawala.
Tak ragu lagi dia putar tombaknya lalu
dihentak kedepan. Dia mengeluarkan ilmu
yang tadi dipakai menyerang lawannya. Kali
ini digunakan untuk menghabisi anaknya
sendiri.
Sinar merah menyala menjulur langsung
membungkus tubuh Santana. Orang-orang
yang menyaksikan di sebelah sana tampak
khawatir. Tapi selanjutnya mereka malah
terkagum-kagum.
Di dalam belitan sinar merah, Santana
masih berdiri tegap seperti tak merasakan apa-
apa. Ini berkat kekuatan kembang Melati Biru
di dalam tubuhnya. Seharusnya dia merasa
terbakar api yang sangat panas, tapi yang dia
rasakan tetap sejuk.
Lalu pemuda bongsor ini mulai
menggerakan badannya membentuk pola jurusPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
343
Nandar Hidayat
Tapak Wangi yang diajarkan Ki Jantaka.
Gerakannya halus namun kuat dan sempurna.
"Jurus Tapak Wangi-nya sangat luar
biasa, sepertinya ada suatu kekuatan lain yang
menyertainya." Prabu Sena terkagum-kagum.
Dia ingat ketika masih muda ingin sekali
mendapatkan jurus itu. Jurus yang berasal dari
leluhurnya. Namun sejak kakeknya -Prabu
Wretikandayun- meninggal, jurus itu
dinyatakan hilang karena hanya kakeknya
orang terakhir yang memiliki jurus itu dan
belum sempat diwariskan.
Tapi ternyata, uwaknya -Resi Jantaka-
memiliki jurus itu. Dari mana dia
mendapatkannya? Apakah kakeknya yang
mengajari langsung? Atau ada cara lain?
Seperti jurus itu ditulis dalam sebuah kitab lalu
diberikan kepada resi Jantaka. Ah, entahlah!
Gerakan Santana semakin maju
mendekati ayahnya. Sedangkan Kuntawala
terus menambah kekuatan untuk membakar
anaknya sendiri walaupun ada rasa heran
dengan apa yang dilihatnya.
Sang anak semakin dekat!PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
344
Nandar Hidayat
Tap!
Tombak panjang bermata golok itu
berhasil dipegang Santana. Dari sini mulai adu
kekuatan. Seperti tarik menarik, kadang juga
saling dorong dengan tombak itu. Sang anak
memegang pangkal tombak tempat
tertancapnya mata golok sedangkan sang ayah
memegang ujung gagang tombak.
Kadang mereka terangkat lalu berputar
di udara dengan seluruh badan diselimuti sinar
merah. Santana terlihat santai sementara
ayahnya sudah tampak berkeringat. Ini yang
tidak disangka-sangka, ternyata kekuatan sang
anak melebihi ayahnya. Dari mana anak ini
mendapatkan kekuatan sehebat ini?
Setelah menjajaki kekuatan ayahnya
beberapa saat dan timbul keyakinan bisa
mengatasinya. Santana tambah kekuatan. Dia
menyentak tangan yang memegang tombak.
Plak!
Tombak patah, Santana berputar lalu
hantamkan telapak tangan kanan ke perut
Kuntawala yang saat itu tak sempat lagi untukPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
345
Nandar Hidayat
menghindar karena gelagapan tombaknya
patah.
Desss!
Hantaman telapak tangan beraliran hawa
sakti tepat mengenai perut Kuntawala, sampai
tubuh si botak ini terpental hingga lima
tombak jauhnya lalu jatuh terkapar tapi masih
terlihat bernapas.
Dia tidak merasakan sakit di seluruh
tubuhnya. Tapi lemas tak bertenaga seolah
lumpuh namun masih bisa bergerak. Dia tidak
merasakan suatu kekuatan lagi dalam
tubuhnya. Apa yang terjadi dengan dirinya?
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
346
Nandar Hidayat
34
Tentang Kerajaan Sunda
Istilah Sunda didalam alur cerita
kesejarahan resmi di mulai sejak Tarusbawa
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memindahkan pusat pemerintahan Taruma-
nagara ke Sundapura, pada tahun 669 M atau
tahun 591 Caka Sunda. Pada masa itu
kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan
beralihnya tahta Lingga-warman pada tahun
669 M kepada Tarusbawa, menantunya yang
menikah dengan Dewi Manasih. Tarusbawa
kemu-dian diberi gelar Maharaja Tarusbawa
Darmawaskita Manunggalajaya Sundasem-
bawa.
Berita ini disampaikan ke segenap
negara sahabat dan bawahan Taruma-nagara.
Demikian juga terhadap Cina, Tarusbawa
mengirimkan utusan bahwa ia pengganti
Linggawarman. Sehingga pada tahun 669 M
dianggap sebagai lahirnya Kerajaan Sunda.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
347
Nandar Hidayat
Pemindahan Ibukota
Pemindahan pusat pemerintahan
Tarumanagara ke Sundapura tentunya memi-
liki alasan, bukan karena Sundapura adalah
daerah asalnya, melainkan erat kaitannya
dengan masalah pelaksanaan pemerintah-
annya. Tarusbawa menginginkan kembalinya
kejayaan Tarumanagara sebagaimana pada
masa Purnawarman. Ketika itu Purnawarman
memindahkan ibukota Tarumanagara ke
Sundapura. Namun Tarusbawa tidak memper-
hitungkan akibat politis dari pemindahan
ibukota kerajaannya ke Sundapura.
Pada saat itu kondisi Tarumanagara
sudah tidak sekuat masa lalu. Taruma-nagara
pasca meninggalnya Purnawarman sudah
mulai turun pamornya di mata raja-raja daerah,
terutama pasca kekacauan yang terjadi di
dalam istana. Banyak raja-raja daerah yang
melakukan pembangkangan, terutama yang
berada di wilayah sebelah timur Citarum.
Disisi lain nama Sriwijaya dan Kalingga sudah
mulai naik pamornya sebagai pesaing Taruma-
nagara. Dengan alasan inilah Wretikan-dayunPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
348
Nandar Hidayat
kemudian menyatakan Galuh membebaskan
diri dari Sunda. Sejak saat itu di tatar Sunda
muncul dua kerajaan kembar, yakni Sunda dan
Galuh.
Perbedaan Sunda dengan Galuh bukan
hanya menyangkut masalah pemerintahan,
antara Sunda dengan Galuh masing-masing
memiliki entitas yang mandiri dan ada
perbedaan tradisi yang mendasar. Urang Galuh
adalah Urang Cai sedangkan Urang Sunda
disebut sebagai Urang Gunung. Mayat Urang
Galuh ditereb atau dilarung, sedangkan mayat
Urang Sunda di-kurebkeun. Penyatuan tradisi
tersebut di-perkirakan baru tercapai pada abad
ke-13, dengan mengistilahkan penduduk di
bagian barat dan timur Citarum (citarum =
batas alam Sunda dan Galuh) dengan sebutan
"Urang Sunda". Sebutan tersebut bukan hasil
kesepakat-an para penguasanya, melainkan
muncul dengan sendirinya.
Putra Mahkota kerajaan Sunda yang
seharusnya menggantikan Prabu Tarus-bawa
meninggal lebih dulu. Dia mempunyai putri
bernama Teja Kancana. Cucu Prabu Tarus-PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
349
Nandar Hidayat
bawa ini kemudian dinikahkan dengan Raden
Sanjaya putra Prabu Sena.
***
Marah dan dendam. Itu yang pertama
Raden Sanjaya rasakan dalam benaknya ketika
mendapati Prabu Sena, ayahnya yang berkuasa
di kerajaan Galuh terlunta-lunta dalam
pelarian menuju kerajaan Kalingga, tempat dia
tinggal saat itu karena telah direbut Purbasora.
Sekarang dia bersimpuh dihadapan
kakeknya, Prabu Tarusbawa penguasa
kerajaan Sunda. Dia memohon agar Sunda
menyerang Galuh.
"Tidak bisa begitu, cucuku," ujar sang
prabu. "Aku tidak mempunyai alasan untuk
menyerang, lagi pula Sunda dan Galuh sudah
terjalin hubungan dan kerja sama yang baik,"
"Tapi itu dulu, sewaktu eyang Prabu
Wretikandayun kemudian digantikan oleh aki
Prabu Mandiminyak lalu ramanda Prabu Sena,
sekarang Purbasora berkuasa dengan caraPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
350
Nandar Hidayat
memberontak pasti akan ada akibatnya
terhadap kerajaan Sunda,"
"Belum, cucuku, dan aku yakin kedua
kerajaan akan baik-baik saja, apalagi aku dan
Purbasora juga berteman baik,"
Raden Sanjaya mendesah kecewa.
Alasan dia meminta menyerang karena
Sanjaya menikahi cucu Prabu Tarusbawa,
Dewi Tejakancana. Tapi sayangnya ini bukan
ranah kerajaan, ini memang masalah pribadi
saja. Masalah di dalam keluarga istana Galuh.
"Jangan bawa masalah keluarga ke
dalam urusan kerajaan," kata Prabu Tarusbawa
lagi. "Kalau kau mampu, kau langsung saja
hadapi Purbasora sendiri, satu lawan satu,"
"Itulah alasannya, kepandaianku belum
memadai kekuatannya,"
"Maka dari itu kau jangan tergesa-gesa
dalam perbuatan, tapi harus berfikir matang,
melihat kekuatan dan kelemahan lawan. Tidak
hanya itu, siapa juga yang ada di belakang-
nya,"
Raden Sanjaya terperanjat bagaikan baru
bangun dari mimpi buruk.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
351
Nandar Hidayat
"Aki Prabu benar, Galuh bukan hanya
Purbasora atau eyang Resi Galunggung..."
"Kau pasti tahu kenapa Purbasora berani
menggulingkan ayahmu?"
"Ya, Indraprahasta!"
"Walaupun kerajaan bawahan, tapi
Indraprahasta sudah diistimewakan sejak
jaman Tarumanagara karena kekuatan,
ketangkasan dan kehebatan prajuritnya..."
"Aki prabu," sela Raden Sanjaya. "Apa-
kah Sunda tidak mampu melawan Indrapra-
hasta?"
Mendengar itu Prabu Tarusbawa men-
jadi terbahak-bahak. Apakah ini benar hanya
sebuah pertanyaan atau ejekan? Tapi dia tidak
marah.
"Galuh dan Indraprahasta bisa dika-
lahkan, asal kau dan prajurit Sunda menguasai
taktik berperang yang terkandung dalam Kitab
Ratuning Bala Sarewu,"
Raden Sanjaya melongo, "Aku... dan
prajurit Sunda?"
"Ya, pada akhirnya nanti kau akan
menjadi raja Sunda,"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
352
Nandar Hidayat
"Jadi, aku..."
"Kau bisa menyerang Galuh sekaligus
Indraprahasta setelah kau menjadi raja,"
"Kapan itu?" kedua mata Raden Sanjaya
berbinar, wajahnya tak lagi merah karena
marah tapi mulai cerah dan secercah harapan
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncul di sanubarinya. Dia akan membalas-
kan dendam sang ayah.
"Terlebih dahulu kau ambil Pustaka
Ratuning Bala Sarewu yang aku simpan di
Rabuyut Sawal di gunung Sawal." jawab sang
Prabu. "Kemudian pelajari semua sampai
sempurna bersama prajurit-prajuritmu. Dan
sebagai ujiannya, terapkan semua cara taktik
tempur itu untuk membasmi para bajak laut di
perairan Sunda,"
Raden Sanjaya terpekur dalam pikiran-
nya. Semua keinginan memang butuh per-
juangan lagi pula ini bukan hanya soal balas
dendam. Tapi dengan begitu maka prajurit
kerajaan Sunda yang akan dipimpinnya nanti
sudah terlatih dengan jurus-jurus tempur yang
ada dalam kitab itu. Pada intinya untuk
kekuatan dan ketangguhan kerajaan juga.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
353
Nandar Hidayat
"Baiklah, kalau begitu!"
"Kabarnya ramamu diselamatkan oleh
orang-orang sakti dari persilatan. Jangan sia-
siakan, angkat mereka jadi perwira,"
"Ya, katanya mereka ditugas gurunya
untuk mengabdi padaku,"
"Itu artinya guru mereka adalah orang-
orang yang linuwih. Sakti mandra-guna, weruh
sedurung winara,"
"Baiklah aki prabu, aku akan segera
melaksanakan titah aki."
"Bawa para pendekar itu menyertai-mu,
tidak menutup kemungkinan dalam perjalanan
nanti akan ada rintangan menghadang."
Begitulah akhirnya keesokan harinya
Raden Sanjaya ditemani Ardaya dan Jayana
berangkat menuju gunung Sawal untuk
mengambil Kitab Ratuning Bala Sarewu yang
disimpan di Aki Buyut Sawal.
Anting Sari dan Sriwuni tidak ikut serta
karena diminta menemani putri Teja Kancana.
Sang putri tertarik dengan ilmu silat, dia
meminta dua wanita tangguh itu mengajarinya
barang sejurus atau dua jurus agar bisaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
354
Nandar Hidayat
membela diri jika ada sesuatu yang
membahayakan. Walaupun sebenarnya se-
orang putri pasti selalu ada penjagaan dan
pengawalan.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
355
Nandar Hidayat
35
Dua kelebat bayangan dari arah yang
berlainan melesat cepat menaiki lereng menuju
puncak. Gunung Sawal. Hari sudah malam,
dua sosok itu seperti cahaya hitam diantara
pekatnya malam. Bertemu di satu titik.
Mungkin hanya kebetulan saja dua orang ini
berkelebat bersamaan menggunakan ilmu
meringan-kan tubuhnya yang paling handal.
Tak berapa lama dua kelebatan iti kini
saling bertemu di puncak.
"Siapa kau, apa tujuanmu kesini?" salah
satunya menyapa duluan dengan nada keras.
Seorang lelaki kira-kira berumur tiga puluh
tahun dengan wajah kotak berhias kumis tipis,
rambut diikat dengan kain penutup warna
hitam serupa dengan pakaiannya.
"Lalu kau sendiri siapa, untuk apa
kesini?" yang ditanya malah balik tanya.
Lelaki yang tampak lebih muda sekira dua
puluh tujuh tahun. Pakaiannya juga serbaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
356
Nandar Hidayat
hitam hanya rambut yang panjang dibiarkan
tergerai. Wajahnya lonjong polos dan bersih.
Tempat mereka berpijak adalah di
puncak gunung yang udaranya sangat dingin
menusuk tulang. Tanahnya cukup lapang dan
datar karena mereka berhadap-hadapan di
depan sebuah rumah kecil yang terlihat terang
di dalamnya. Berasal dari sebuah lentera.
"Hanya ada satu maksud datang kesini!"
ujar yang lebih tua.
"Berarti kau juga sama!"
"Lalu apa maumu?"
Sring! Sring!
Seperti diaba-aba mereka sama-sama
menarik pedang. Tapi tiba-tiba terdengar suara
dari dalam rumah.
"Sarungkan senjata kalian, tak ada
gunanya. Karena kalian tidak akan mendapat-
kan apa yang kalian cari!"
Lalu muncul seorang kakek kurus dari
dalam rumah. Berpakaian resi warna kuning.
Rambutnya yang sudah putih diikat kain warna
kuning pula. Mukanya klimis tidak berkumisPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
357
Nandar Hidayat
atau jenggot sehingga tampak kentara keriput
di wajahnya.
"Kalau begitu kau akan kulenyapkan
dulu, ki buyut. Baru nanti akan dirundingkan
lagi siapa yang akan membawa kitab itu!"
berkata lelaki yang lebih muda sambil
mengacungkan pedangnya.
Setelah berkata seperti itu, dia melirik
lelaki yang lebih tua. Seolah mengajukan
sesuatu. Lelaki berkumis pun mengerti mak-
sudnya. Rencana dadakan. Mereka menghabisi
dulu kakek kurus yang dipanggil Ki Buyut itu,
kemudian nantinya mereka akan bertanding
lagi.
"Tidak tahu malu, sama orang tua main
keroyokan!" maki si kakek.
"Tujuanku bukan untuk adu ilmu silat
yang harus pakai aturan!" seru si muka
lonjong.
"Bersiaplah, ajalmu akan diperce-pat!"
teriak si kumis tipis seraya langsung
menerjang, mengayunkan pedang dengan jurus
yang garang.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
358
Nandar Hidayat
Si muka lonjong juga langsung bergerak
dengan jurus pedangnya. Mereka tahu, kakek
kurus pemilik rumah kecil itu bukan orang
sembarangan. Seandainya hanya seorang saja
yang melawan tentu tak kan mampu
menandinginya. Makanya walaupun belum
saling kenal mereka bekerja sama dulu untuk
melenyapkan si kakek yang bernama Rabuyut
Sawal ini.
Si muka kotak berkumis tipis adalah
pendekar bayaran yang diutus oleh Prabu
Wiratara, raja Indraprahasta yang baru setelah
Purbasora bertahta di Galuh. Dia hendak
mengambil Kitab Ratuning Bala Sarewu dari
Rabuyut Sawal. Tujuannya tentu saja untuk
memperkuat jurus tempur prajurit Indrapra-
hasta.
Sedangkan si muka lonjong adalah
pendekar bayarannya Purbasora. Tujuan-nya
sama.
Dua pendekar bayaran yang belum
saling kenal ini bahu-membahu menyerang Ki
Buyut yang memang seorang tokoh kawakan
yang sudah kenyang asam garam duniaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
359
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nandar Hidayat
persilatan. Oleh karena itu, Prabu Tarusbawa
memper-cayainya menitipkan kitab Ratuning
Bala Sarewu disimpan di tempatnya.
Gerakan Ki Buyut sangat lincah dan
ringan menghindari serbuan pedang yang
mengincar nyawanya. Dia seperti bayang-an
yang tak bisa disentuh. Sementara kedua
penyerangnya walaupun berbeda jurus yang
digunakan tapi tidak pernah berselisih gerak.
Seperti sudah dilatih bersama sebelumnya.
Jurus-jurus pedang pembunuh. Tidak
heran kalau mereka jadi pendekar bayaran.
Mereka dibayar untuk satu tujuan, maka tidak
akan melihat hal lain lagi selain tujuan
utamanya. Dengan cara apapun akan mereka
tempuh untuk mencapainya.
Hingga puluhan jurus berlalu, belum ada
satupun yang bisa menyentuh bayangan si
kakek. Udara dingin tak dirasa lagi karena
badannya telah bermandikan keringat. Tapi
tenaga mereka belum kendor. Begitu juga si
kakek masih lincah seperti anak muda.
Hingga suatu ketika, kelengahan me-
nimpa si kakek. Gerakannya melambat, duaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
360
Nandar Hidayat
ujung pedang meluncur cepat hendak menusuk
leher dan perut. Hawa kematian terasa dekat.
Ki Buyut tak sempat lagi menghindar. Dia
pasrah jika ajalnya harus datang malam ini.
Tapi...
Trang!
Brughh!
Sebelum kedua pedang itu sampai
memutus nyawanya, sesuatu tak diduga
terjadi. Dua ujung pedang itu seperti
menghantam benda keras dan kuat sehingga
pedangnya sampai lepas di genggaman dan
pemiliknya terpental hingga terjatuh. Bukan
hanya itu, di bagian dalam tubuhnya terasa
panas. Terluka!
Ternyata yang menghadang dua pedang
itu adalah pedang juga yang digenggam oleh
seorang pemuda ber-tangan satu, Jayana.
Dua pendekar bayaran bangkit. Di sela-
sela bibir mereka mengucur darah.
"Seharusnya kau bekerja sama dengan
kami!" seru si kumis tipis, mengira kalau
Jayana juga pendekar bayaran.
"Siapa kau?" tanya si muka lonjong.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
361
Nandar Hidayat
Apa yang terjadi barusan membuat nyali
mereka ciut. Pedang si tangan satu itu
membuat tenaga dalam mereka melemah.
"Pedangku sudah bicara!" seru Jayana
masih melintangkan pedangnya.
"Pedang Bentar!" seru dua pendekar
bayaran ini bersamaan.
"Siapa kau?" kembali si muka lonjong
bertanya.
"Utusan Raden Sanjaya!"
Sesaat mereka tersentak. Lalu ber-pikir
kalau memaksa melawan tak kan mungkin bisa
menang. Mengingat Ki Buyut saja susah
ditundukan apalagi kini ada si tangan satu
yang mengaku utusan Raden Sanjaya yang
memiliki pusaka Pedang Bentar. Merasa
melawan ke-mustahilan akhirnya dengan
terpaksa mereka angkat kaki.
Beberapa saat kemudian muncullah
Raden Sanjaya bersama Ardaya. Ki Buyut
yang mengenal Sanjaya langsung me-nyambut
dengan gembira.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
362
Nandar Hidayat
36
Di tengah rimbunnya belantara. Di mana
saking rimbunnya dedaunan pohon-pohon
yang menjulang tinggi, sinar matahari tak
dapat menembus ke dalam. Suasana tampak
remang-remang bagaikan di dalam ruangan
yang tertutup. Siapa sangka di dalam hutan
yang dianggap belum terjamah manusia ini
ternyata tempat bersemayam seorang tokoh
yang sudah lama menghilang dari dunia per-
silatan.
Tapi dia tidak sendiri. Dia telah lama
mengangkat dua orang murid. Dia tokoh yang
terkenal memiliki ilmu sesat. Dia suka dan
sering berpakaian resi warna merah menyala.
Dialah Birawayaksa.
Salah seorang muridnya adalah pemuda
yang beberapa waktu lalu, ketika nyawanya
hampir melayang di tangan Sriwuni, sang guru
berhasil menyela-matkannya. Dialah Gumara.
Pemuda ini tampak bersila di bawah pohonPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
363
Nandar Hidayat
besar, diantara tonjolan akar yang besar. Dua
tangannya menyilang di dada, mulut terkatup,
mata terpejam. Bersemedi.
Birawayaksa berdiri di depan murid
termudanya ini.
"Sudah tiga bulan kau hanya mem-
perdalam ilmu ini, apa yang kau inginkan?"
suara Birawayaksa terdengar sember namun
bikin merinding, menyeramkan.
"Ilmu ini tidak akan bisa untuk
membalas dendam kematian bapakmu. Apa
kau tidak ingin balas dendam? Apa tidak ingin
menjadi pendekar terhebat?"
"Ada banyak cara balas dendam, bukan
hanya membunuh dia dalam pertarungan adu
ilmu," terdengar Gumara menjawab dengan
suara pelan dan datar. Dia tetap pada sikapnya.
"Lihatlah saudara tuamu," ujar Birawa-
yaksa sambil menunjuk ke arah lain di mana
terlihat seorang lelaki berkepala botak yang
juga sedang bersemedi.
"Dia telah kalah dan kehilangan
kesaktiannya oleh anaknya sendiri yang juga
menjadi musuh besarmu," lanjut kakek yangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
364
Nandar Hidayat
kedua matanya sudah cekung, hidung dan
dagu lancip ini. Sehingga wajahnya mirip
burung.
Sedangkan lelaki botak yang dimaksud
ternyata adalah Kuntawala. Pertarungan
melawan anaknya sendiri beberapa waktu
yang lalu membuatnya jadi pecundang.
Bahkan dia telah hiang kekuatannya. Masih
beruntung dia tidak tewas atau lebih jelasnya
tidak dibunuh oleh Santana sehingga dia masih
bisa menemui gurunya di hutan ini. Sudah satu
bulan lamanya dia semedi untuk memulihkan
kesaktiannya lagi.
"Mungkin untuk urusan membunuh
menjadi bagiannya, sedangkan aku, sekali lagi
mempunyai cara lain untuk balas dendam,"
kata Gumara lagi. "Lagi pula, bukankah guru
sendiri yang ingin menjadi pendekar terhebat."
Birawayaksa tersentak lalu menghela
nafas. Benar juga kata muridnya ini.
"Yah, kau benar, sudah saatnya aku
muncul kembali dan menjadi penguasa dunia
persilatan..." tawa mengekeh terdengar meng-
gidikkan mengakhiri kata-kata yangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
365
Nandar Hidayat
dilontarkan Birawayaksa sebelum sosoknya
secara perlahan memudar lalu lenyap bagai
terhapus di udara.
Tapi beberapa saat kemudian terdengar
suara kakek ini yang menggema ditujukan
kepada Kuntawala.
"Kuntawala, akhiri tapamu. Pergilah ke
kaki gunung Indrakilla sebelah selatan.
Temukan tujuh mata air suci di sana.
Minumlah air dari ke tujuh mata air itu disertai
mantra yang telah aku ajarkan, maka
kekuatanmu akan kembali seperti sedia kala!"
***
Kuntawala berjalan dengan langkah
berat. Tidak bisa lagi melangkah ringan
layaknya pendekar berilmu tinggi. Apalagi
berlari cepat dengan ajian peringan tubuh.
Semua itu telah lenyap dari badannya.
Kesaktian yang didapat dari tempaan selama
berguru kepada Birawayaksa hilang begitu
saja ketika dikalahkan oleh anaknya sendiri.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
366
Nandar Hidayat
Sekarang dia harus berjalan seperti orang
biasa. Keangkuhan dan kewibawaan pada
dirinya sudah tak nampak. Kepala yang botak
tak lagi terawat, sudah tumbuh rambut panjang
hingga hampir menyentuh pundak. Wajahnya
berewokan tapi tidak tebal. Hanya badan yang
tinggi besar saja sisa kegagahannya.
Bekas kepala rampok berjuluk Raja
Begal dari Cibaringkeng yang kemudian
menjadi senopati utama Indraprahasta ketika
melakukan penyerbuan ke Galuh ini sedang
dalam perjalanan menuju kaki gunung
Indrakilla sebelah selatan untuk mencari tujuh
mata air yang dapat mengembalikan kekuatan-
nya seperti sedia kala.
Hatinya dipenuhi dendam. Dendam
kepada anak sendiri. Dendam karena
kekalahan. Dari mana dan bagaimana bisa
anaknya menjadi sakti seperti itu? Dia berniat
jika ilmunya sudah pulih kembali, akan
membalas dendam. Tak peduli anak sendiri,
bahkan sudah dianggap bukan anaknya lagi.
Mem-bunuhnya pun tak akan menyesal. Anak
itu telah menghancurkan cita-citanya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
367
Nandar Hidayat
"Berhenti, kisanak!"
Satu suara membuyarkan pikiran- nya.
Seorang kakek berpakaian resi menghadang
jalannya.
"Siapa kau?"
"Aku Wanayasa!"
"Resi Wanayasa?" Kuntawala me-
mandang tajam, memastikan orang itu benar
resi Wanayasa adik dari resi Sempakwaja.
"Ya, akulah yang mendidik anakmu,"
Kuntawala terkejut. Resi Wanayasa alias
Ki Jantaka ternyata tahu siapa dirinya.
"Kenapa kau buat dia melawanku?"
"Itu keinginannya sendiri, aku mewa-
kilimu mendidiknya menjadi orang baik,"
Kuntawala terkesiap, kata-kata itu
menyindirnya. Tapi ada benarnya juga. Dia
tidak pernah mengajarkan tentang kebaikan
kepada Santana selama jadi perampok.
"Untuk apa menghadangku?"
"Mencegahmu!"
"Maksudmu?"
"Aku tahu kau hendak mencari tujuh
mata air di kaki gunung Indrakilla sebelahPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
368
Nandar Hidayat
selatan. Kau sudah tidak mempunyai kekuatan
lagi, aku bisa saja melumpuh-kanmu. Tapi tak
akan kulakukan,"
Kuntawala terdiam. Memang dia sudah
tak mampu melawan jika terjadi pertarungan.
"Jangan ikut campur urusanku!" bentak
Kuntawala.
"Kuntawala...tidakkah kau bangga ter-
hadap anakmu yang memiliki jiwa kebaikan
saat kau berjaya menjadi perampok?"
Benar, Santana sering menentang-nya,
kabur dari rumah karena tak ingin meng-
ikutinya. Jiwa baik anak itu sudah ada sejak
kecil.
"Tidakkah kau bangga setelah dia
menjadi seorang pendekar sakti pembela
kebenaran? Sejahat-jahatnya orang tua pasti
ingin anaknya menjadi baik, apakah kau tak
berpikir seperti itu?"
Hati Kuntawala seperti tertusuk, dadanya
berdebar keras. Secara alami wajahnya
tertunduk. Apakah dia sudah benar-benar
menjadi manusia jahat? Apakah tak ada
sedikitpun kebaikan dalam hatinya? BenarkahPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
369
Nandar Hidayat
dia sudah bukan manusia lagi, melainkan jurig,
siluman atau dedemit?
"Coba kau pikir, dia tidak membunu-
nuhmu. Artinya sejahat-jahatnya kamu dia
masih menganggapmu bapak. Dia masih
mengharapkanmu berubah. Sampai ka-pan kau
akan begitu terus? Apa kau tidak ingin di akhir
hidupmu menjadi baik, agar ketika ajal
menjemput, Sang Hyang Wenang akan me-
masukanmu ke Nirwana?"
Kuntawala seperti anak kecil yang
sedang di nasehati orang tua. Tak ada lagi
keangkuhan dalam sosoknya yang gagah.
"Anakmu adalah petunjuk kebenaran
yang dikirim Sang Hyang Widi untuk
menyadarkanmu, mengembalikanmu ke jalan
kebenaran. Duduklah, pikirkan itu dalam-
dalam,"
Entah kenapa lelaki tinggi besar ini
menurut saja, mengikuti sang kakek
melakukan duduk bersila di tanah. Diam.
Merenung.
Setelah beberapa lama kemudian.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
370
Nandar Hidayat
"Apa yang harus saya lakukan seka-
rang?" suara dan kata-kata Kuntawala jadi
merendah.
"Ikut aku!"
***
Ruang paseban kerajaan Galuh.
Purbasora duduk di singgasananya. Para
pejabat istana baru saja meninggalan
pasewakan. Hanya sang ayah, Maharesi
Galunggung yang masih menemaninya. Tiba-
tiba ada seorang prajurit jaga menghadap.
"Ampun, paduka, hamba menghadap."
"Ada hal penting kah?" tanya Purbasora.
Sang prajurit memberikan sepucuk daun
nipah sambil menjura. Setelah itu dia pamit
dengan melangkah mundur sambil mem-
bungkuk.
Purbasora memandang ayahnya setelah
membaca isi tulisan daun nipah itu. Sang resi
mengambil surat lalu membacanya pula.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
371
Nandar Hidayat
"Birawayaksa, dia muncul lagi, dia
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menantangku!"
Resi Sempakwaja meremas daun nipah
itu hingga lumat.
***PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
372
Nandar Hidayat
37
Kandang Badak adalah nama sebuah
lereng datar pertemuan antara gunung Gede
dan gunung Pangrango. Udaranya cukup
dingin. Walau masih ada pepohonan yang
menjulang tinggi tapi lebih banyak lagi pohon
perdu. Jika mendongak, maka akan terlihat
langit biru.
Di salah satu sisi pedataran itu,
Purbasora berdiri tegap namun tenang.
Meskipun tidak menengokan kepala tapi kedua
bola matanya telah berkali-kali menyapu ke
seantero tempat.
Dia sedang menunggu, atau meme-nuhi
undangan seseorang. Namun sampai tengah
hari orang yang mengundang belum juga
menampakkan batang hidungnya.
Tidak mungkin orang itu hanya main-
main. Ini tentang harga diri, tentang nama
besar. Memang, sebenarnya bukan Purbasora
yang diundang. Tapi sengaja datang karena diaPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
373
Nandar Hidayat
juga ingin menorehkan namanya di dunia
persilatan.
Yang diundang sebenarnya adalah
ayahnya, Sang Maharesi Galunggung. Namun
dia merasa yakin dengan kemampuannya.
Tanpa sepengetahuan ayahnya dia sendiri
datang ke tempat yang ditentukan dalam surat
yang dikirimkan lewat prajurit beberapa waktu
lalu.
Tiba-tiba saja angin berhembus kencang,
berputar di sekitar tempat itu. Lalu terdengar
suara orang, sember namun terasa menyeram-
kan ditambah lagi dengan menggema di setiap
sudut.
"Lain yang diundang lain yang datang,
hanya ingin nyawa melayang!"
"Kalau begitu aku datang untuk
menantang!" sahut Purbasora.
Dibalas dengan tawa menggema
menggidikkan.
"Tidak bapak, tidak anak, sama som-
bongnya ha...ha...ha... tapi aku senang jika bisa
menggebuk keduanya hahaha...!"PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
374
Nandar Hidayat
Merah wajah raja Galuh ini. Rahang-nya
menggembung. Dia sudah siapkan tenaga sakti
di kedua tangannya.
"Tunjukkan wujudmu, jika kau benar-
benar sakti, jangan pengecut seperti se-ekor
kera!"
Angin semakin kencang menggun-cang
bagai badai lalu berpusat membentuk pusaran
sepuluh tombak di depan Purbasora. Begitu
pusaran angin itu sirna, tampaklah sosok lelaki
tua berpakaian resi serba merah. Birawayaksa.
"Rupanya ini Birawayaksa si raja ilmu
hitam," gumam Rahyang Sora dalam hati
memperhatikan sosok di depannya yang
memang tampak menyeramkan.
"Kenapa kau diam, apa kau sudah gentar
begitu melihat wujudku?"
"Aku tidak pernah takut apapun,
sekalipun kau denawa yang paling jahat!'
"Jahat, ha...ha...ha...apakah karena kau
manusia berilmu putih lantas hatimu juga
bersih?"
Memerah lagi muka Purbasora. Dua
tangannya mengepal. "Apakah orang saktiPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
375
Nandar Hidayat
semacam kau harus banyak basa-basi seperti
pendekar rendahan?"
"Aku ini setara bapakmu, kau yang
mulai duluan!"
"Jurig edan!"
Purbasora terpancing amarah. Berteriak
dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Tidak
tanggung-tanggung lebih dari setengah
kekuatan dikeluarkan. Dua tinjunya meng-
hantam ke depan. Pukulan jarak jauh yang
dahsyat diarahkan setepat dan cepat mungkin
kepada lawannya. Dua angin padat berhawa
panas meng-hantam ke sosok Birawayaksa.
Wuss!
Blarr!
Memang terjadi ledakan di mana
Birawayaksa berdiri. Tapi sosok tua itu telah
lenyap sekejap sebelum ledakan terjadi.
Kejap berikutnya sosok merah itu sudah
berdiri satu tombak di depan tempatnya
semula sambil tersenyum mengejek namun
masih tampak seram.
"Hebaaat!"
Wuss!PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
376
Nandar Hidayat
Blarrr!
Datang lagi serangan, namun lagi-lagi
meleset. Pukulan Purbasora cepat tapi gerakan
Birawayaksa lebih cepat. Dua kali serangan
sudah keluar tenaga banyak. Sementara lawan
masih berdiri tenang dan tertawa. Malah suara
tawa yang menggema itu kini mengandung
hawa sakti yang menyerang menggetarkan
dada.
Rahyang Sora tingkatkan lagi kekuatan-
nya. Menyalurkan hawa sakti ke seluruh tubuh
guna melindungi dari serangan suara tawa.
Sedangkan di bagian tangan dia menambah
tenaga untuk menyerang.
Tiba-tiba bertiup angin kencang dari
arah belakang Purbasora menghempas angin
yang ditimbulkan Birawayaksa hingga
terjadilah bentrokan dua angin dahsyat
mengguncang tempat itu.
Purbasora tahu ayahnya telah datang.
Tak lama kemudian melayanglah sosok putih,
mendarat berdiri di sampingnya.PRAHARA DI INDRAPRAHASTA
377
Nandar Hidayat
"Melawannya jangan menggunakan
tenaga kasar," kata Resi Galunggung. "Kekuat-
annya meningkat pesat. Kita lawan bersama."
Lalu ayah dan anak ini menempelkan
kedua telapak tangan masing-masing di depan
dada sambil mengerahkan segenap kekuatan-
nya.
"Bagus...sekarang bapak dan anak kerja
sama mengeroyokku ha..ha..ha!"
Birawayaksa putar kedua tangan lalu
bersedekap. Tatapannya tajam ke arah lawan
bahkan sampai memancarkan cahaya merah.
Kekuatan dikerahkan.
Kini ketiga orang itu hanya tampak
berdiri dan sesekali tubuh mereka bergetar.
Yang saling menyerang adalah sambaran
angin dahsyat yang berasal dari kedua kubu.
Bentrokan udara padat terjadi menimbulkan
ledakan yang menghancurkan pohon perdu,
semal belukar, batu bahkan menumbangkan
pohon besar.
Prahara Di Indraprahasta Karya Nandar Hidayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Inilah cara bertarung orang-orang
dengan kasaktian tingkat tinggi. Hanya
kekuatan halusnya yang saling menyerangPRAHARA DI INDRAPRAHASTA
378
Nandar Hidayat
sementara sosok mereka diam di tempatnya.
Ternyata kekuatan Birawayaksa sungguh
hebat, harus dilawan oleh gabungan dua
kekuatan ayah dan anak. Ini sangat
mengejutkan. Sekian lama tokoh sesat itu
hilang dari dunia persilatan, begitu muncul
sudah membekal ilmu sangat tinggi.
Berbahaya jika Birawayaksa sampai
menang. Resi Sempakwaja sebagai tokoh
paling sakti di tanah Sunda harus dibantu
anaknya untuk melawan. Bahaya dan juga
memalukan. Selama ini jagat persilatan tahu
belum ada seseorang yang bisa menandingi
Sang Resi. Tapi kini, orang yang sempat
dikalahkan waktu dahulu lalu menghilang
beberapa lama muncul lagi dengan kesaktian
Wiro Sableng 167 Fitnah Berdarah Di Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Dewi Ular 30 Tumbal Cemburu Buta
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama