Ceritasilat Novel Online

Apartemen Lantai Tujuh 1

Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari Bagian 1





Apartemen Lantai Tujuh

karya V Lestari

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta Oktober 2007

*****

Djvu : Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

Edit teks : Saiful Bahri Situbondo

(http://ceritasilat-novel.blogspot.com)



*****





SATPAM BARATA YUDHA mondar-mandir di halaman depan bangunan yang dijaganya, sebuah gedung apartemen dua puluh tingkat bernama Apartemen Srigading. Berkali-kali ia menengok arlojinya. Jam enam pagi. Satu jam lagi rekan-rekan shift berikutnya akan datang untuk menggantikannya karena ia sudah berjaga semalaman. Dengan berjalan jalan seperti itu ia bisa mengusir kantuk. Parto, rekan yang berjaga bersamanya, memilih duduk dengan kepala terangguk-angguk.

Ia sudah membayangkan segelas kopi panas dan sepotong donat yang akan disantapnya di warung Bu Lia. Tiap pagi seperti itu. Biarpun ia perlu tidur setibanya di rumah, tapi kopi tidak berpengaruh apa-apa baginya. Entah kalau sampai lima gelas. Tapi kalau banyak-banyak nikmatnya tak ada lagi.

Sosok Barata tinggi dan kekar. Kulitnya cokelat

muda. Perutnya rata dan pinggulnya kecil. Dadanya bidang dan lengannya berotot. Sosok yang ideal untuk seorang penjaga keamanan. Wajahnya terkesan keras kalau sedang diam dan serius. Tapi kesan itu segera lenyap bila ia tersenyum dan tertawa. Tampak bertolak belakang hingga sering mencengangkan orang yang baru mengenalnya.

Seorang temannya mengatakan,

"Kalau elo lagi manyun kelihatan kayak preman, mengerikan betul. Eh, begitu tersenyum, elo berubah jadi bayi!"

Usianya baru tiga puluhan, tapi sudah muncul kerut-merut di dahi. Itu menambah kesan keras di wajahnya. Sesungguhnya semua itu bukan tanpa sebab. Ada riwayatnya. Setiap kerut punya riwayat. Tidak ada yang tahu. Ia menyimpan sendiri. Memang tidak ada gunanya berbagi dengan orang lain. Paling-paling yang terucap adalah,

"Aduh, kaSihan!"

Hari itu adalah hari Minggu. Jadi jam enam masih sepi. Pasti para penghuni belum pada bangun setelah bermalam panjang. Ada yang pulang larut atau pulang subuh. Mereka orang-orang elit yang menikmati kehidupan dengan cara yang penuh hiruk-pikuk. Setidaknya itu merupakan anggapannya. Ia juga menjalani kehidupannya dengan caranya sendiri. Bisa nikmat, bisa tidak, tergantung dari perasaannya sendiri pula.

Tiba-tiba ia mendengar suara-suara. Jelas terdengar dalam suasana sepi. Ia mendongak ke atas. Sepertinya ada kegaduhan di lantai atas. Ia mundur

supaya bisa melihat lebih jelas. Tatapannya tertuju ke salah satu balkon kecil di lantai tujuh. Di depan balkon terdapat teralis dari besi tempa setinggi satu meter. Terdengar lagi jeritan. Setelah posisinya tepat ia melihat sosok-sosok melayang keluar melewati teralis, terus terjun ke bawah! Jeritan memilukan mengiringi tubuh-tubuh yang meluncur itu.

Bulu roma Barata berdiri. Ia pun berteriak-teriak meminta tolong lalu berlari menuju tempat yang terdekat dengan sisi bangunan di bawah lantai tujuh sambil terus menengadah ke atas. Ia melihat dua sosok itu meluncur turun dengan cepat. Ah, bukan dua, melainkan tiga! Satu lagi sosoknya hitam. Bentuknya tak jelas karena ia tidak sempat mengamati. Tidak ada waktu untuk itu. Ia berlari ke sana kemari dengan dua tangan terpentang lebar supaya bisa menampung, tapi tentu saja tak bisa menangkap semuanya! Ia memilih sosok yang terkecil. Dia memang seorang anak kecil!

Dalam hitungan detik saja suara berdebum terdengar. Barata memang bisa menampung anak kecil itu dengan kedua tangannya, tapi tangkapannya tidak mulus, karena ia jatuh terlempar bersama tubuh anak yang ditangkapnya itu. Sebagian tubuh dan kepala anak itu masih membentur lantai beton dengan cukup keras. dan ia sendiri cedera dengan satu kaki dan satu tangan terkilir. Keduanya pada sisi tubuh sebelah kanan, yaitu bagian yang menyangga berat tubuh si anak. Tetapi ingatannya masih jernih.

Barata meraih anak itu, yang dikenalinya sebagai Agung, anak keluarga Rama, salah satu penghuni apartemen di lantai tujuh, lalu memeluknya. Agung terkulai tapi masih bernapas. Dan pingsan. Barata mencoba berdiri sambil memeluk Agung, tapi ia tidak bisa melakukannya karena kakinya sakit sekali. Maka ia terduduk saja di lantai dengan Agung di atas pangkuannya. Orang-orang yang kemudian berdatangan termasuk segera menolong. Termasuk Parto. Mereka menggotong Agung masuk ke dalam. Parto memapah Barata. Sudah hilang kantuk Parto. Ia malah menyesali dirinya yang duduk saja terangguk-angguk. Mestinya ia bisa ikut menolong.

Barata memandang ke sekitarnya. Ada tubuh seorang perempuan tergeletak sekitar tiga meter dari tempatnya jatuh. Kepalanya berdarah. Tampaknya sudah tewas karena tak ada lagi gerakan.

"Ya. Dia sudah meninggal. Itu si Ani," kata Parto.

Ani adalah pembantu rumah tangga di rumah Rama. Sehari-hari dia mengasuh dan menemani Agung yang kerap ditinggal orangtuanya yang bekerja.

"Satu lagi siapa?" tanya Barata.

"Satu lagi?" Parto balas bertanya. Heran.

"Ya. Ada tiga yang kulihat. Satu lagi pakaiannya hitam. Kelihatan berkibar-kibar."

Parto menggeleng.

"Nggak ada, Bar. Cuma dua itu."

"Ah. masa...?"

"Iya. Bener. Kalau ada tentu sudah kelihatan. Jatuhnya pasti nggak jauh-jauh."

"Aku melihatnya. To. Bajunya hitam. Tidak susah menemukannya. Barangkali jatuhnya agak jauh. Cobalah kau cari dia. Ayolah, To. Sebelum orang banyak menginjak seputar tempat ini, temukanlah benda apa yang hitam itu. Bisa jadi bukan orang. Mungkin juga pakaian. mantel. atau apa. Ayolah pergi. Tinggalkan aku. Sebentar lagi aku pasti ditolong."

Parto pergi memenuhi permintaan Barata. Ia juga merasa penasaran kenapa Barata begitu yakin.

Barata jadi sedikit lega oleh kesimpulannya sendiri. Mungkin yang melayang itu pakaian. Karena itulah ia tampak berkibar. Benda yang ringan tentu jatuhnya lebih lambat dibanding benda berat seperti tubuh manusia. Sesudah kejatuhan tubuh Agung ia tidak sempat menatap ke atas lagi.

Setengah jam kemudian, Hendra, pengelola gedung, yang tinggal di lantai bawah. muncul bersama istrinya. Keduanya sudah berpakaian rapi. Mereka segera bertindak cepat. Melapor pada polisi. Memanggil ambulans.

Barata melaporkan peristiwanya kepada Hendra. Tapi ia tidak mengatakan perihal sosok hitam yang dilihatnya. Ia menunggu Parto dulu. Cukup lama Parto mencari. Ia harus mendapat kepastian dulu mengenai apa yang dilihatnya. Bagaimana kalau ia disangka mengada-ada atau berkhayal? Mentang mentang mengantuk. Keyakinan saja tidak cukup

karena di alam nyata ini orang memerlukan bukti nyata pula.

Ia menatap Agung yang direbahkan di atas sofa di lobi. Ia sendiri duduk di depannya. Agung diam saja dengan mata terpejam. Rasa iba menjalan seluruh tubuh Barata. Kasihan sekali. Apa yang dialami anak itu bersama pembantunya?

"Apa orangtuanya sudah dikasih tahu, Pak?" ia bertanya pada Hendra.

"Sudah ditelepon. Tapi nggak ada yang menyahut. Saya kirim orang untuk menggedor pintu mereka."

"Ya. Mereka pulang larut. Mungkin masih tidur. Tapi... kok anak jatuh dan menjerit-jerit mereka nggak dengar, ya?" Barata heran.

Hendra tak menyahut. Ia sibuk memberi perintah ke sana ke sini, sementara istrinya mendampingi Agung.

"Duh, kakimu bengkak, Bar!"

Barata baru menyadari keadaan pergelangan kakinya yang berdenyut-denyut. Bengkak dan memar. Siku lengan kanannya juga sama.

"Nanti ikut ambulans ya, Bar."

"Ya, Bu."

Kemudian terdengar jeritan keras. Rama dan Ava. orangtua Agung, menghambur ke arah Agung. Mere

ka masih mengenakan pakaian tidur. Rupanya baru terbangun dari tidur dan belum sempat melakukan hal-hal lain.

Nyonya Hendra sibuk menenangkan Ava. Rama

berdiri kebingungan, Hendra mendekatinya lalu menunjuk pada Barata.

Rama menghampiri Barata.

"Oh. jadi kamu yang menolong Agung? Terima kaSih. Terima kasih. Sayang kurang tepat tangkapanmu," katanya.

"Ya, Pak. Sayang, memang."

Polisi datang diikuti dua mobil ambulans.

"Paaa! Cepat ambil mobil dong!" seru Ava.

"Ya, ya. Aku tukar baju dulu, ya? Masa pakai piama. Pengen pipis, lagi."

"Aduuuh...," keluh Ava.

Hendra meminta mereka segera kembali ke apartemen untuk ganti baju lalu menyusul ke RS Karisma. Nyonya Hendra ikut dengan ambulans menemani Agung dan Barata ke rumah sakit. Sementara Hendra tetap tinggal untuk menemani dan melayani pertanyaan polisi. Sementara itu jenazah Ani sudah dibawa lebih dulu dengan ambulans satunya lagi.

Ketika Parto kembali dari pencariannya yang intens semua sudah berangkat. Parto tidak sempat memberitahu Barata bahwa barang yang dicari itu tidak bisa ditemukan. Ia sampai memanjat pohon dan melongok ke atas kanopi kalau-kalau benda itu menyangkut di sana. Tidak sulit untuk menemukan, kalau memang ada, karena warnanya hitam. Tapi tak ada yang hitam-hitam di sekitar situ! Apakah Barata tidak salah lihat atau barang itu ditiup angin ke tempat yang lebih jauh? Bila memang demikian. pastilah sudah diambil orang.

Parto yakin pastilah sosok hitam yang dilihat Barata itu bukan manusia. Kalau memang manusia, tak mungkin bisa ditiup angin yang biasa-biasa saja. Apalagi jatuhnya dari tempat yang sama. Pasti mendaratnya tak jauh. Parto juga mengenal keluarga Rama, seperti halnya penghuni apartemen yang lain. Keluarga itu cuma punya seorang anak dan seorang pembantu. Jadi tak ada orang lain lagi.

Setelah Rama dan Ava tiba di rumah sakit, Nyonya Hendra pulang kembali ke Srigading bersama Barata, yang telah mendapat pengobatan luar. Sebelumnya dokter telah meminta agar kaki dan tangan Barata di-rontgen, namun ternyata tidak ada tulang yang patah atau retak. Hanya otot di pergelangan kaki yang terkilir dan lengannya memar. Mereka berdua naik taksi.

Agung masih belum siuman saat Barata meninggalkan rumah sakit.

Setibanya di Srigading, Hendra menyambutnya dan membantunya berjalan. Barata tak bisa menapakkan kaki kanannya karena sakitnya bukan main. Ia didudukkan di lobi dan kakinya ditopangkan di atas kursi. Seseorang memberinya minum, yang langsung diteguknya dengan lahap. Ia memang kehausan. Sementara lapar belum terasa.

"Kayaknya kau belum bisa cepat tidur, Bar," kata Hendra.

"Sebentar lagi polisi akan meminta kete

ranganmu. Besok kau nggak usah masuk saja. Istirahat di rumah sampai kau bisa berjalan."

"Ya, Pak. Nggak apa-apa. Kantuk saya toh sudah hilang. Kejutannya luar biasa."

"Betul. lah, ngomong-ngomong, aku nggak ingat persis. Sudah berapa lama kau kerja di sini?"

"Tiga tahun."

"Wah, lama juga ya."

"Parto sudah pulang, Pak?"

"Sudah. Tadinya dia mau nunggu kau, tapi kelihatannya udah ngantuk berat. Jadi kusuruh pulang. Nanti malam dia masih harus jaga lagi, kan?"

"Kasihan, dia sendirian dong."

"Nggak apa-apa. Di sini kan aman."

"Nanti aku belikan kruk untukmu, Bar. Supaya bisa jalan sendiri. Di rumah sendirian, kan?"

"Ya, Pak. Terima kasih."

Kalau aku tidak sendirian, pasti ada yang mengurusi aku, pikir Barata. Tapi ia tidak mau jadi emosional pada saat itu. Pikiran seperti itu sudah basi.

Tiba-tiba Parto muncul. Ia menyodorkan bungkusan berisi kue donat kepada Barata.

"Makanlah. Kau pasti lapar."

"Terima kaSih. Baru sekarang terasa lapar." sahut Barata.

"Eh, kirain kamu udah pulang, To," kata Hendra.

"Tadi makan dulu di warung, Pak. Saya ingin tahu keadaan Barata."

"Ya, temanilah dulu. Sebentar lagi polisi akan menanyainya."

Hendra berlalu. Memang itu yang diinginkan kedua orang yang ditinggalkannya.

Sambil mengunyah kue, Barata bertanya,

"Gimana pencarianmu, To?"
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak ada sesuatu apa pun yang bernama hitam di seputar sini, Bar. Sudah kucari ke manamana lho. Ke atas pohon dan atap kanopi."

"Kau nggak bilang sama orang lain, kan?"

"Tentu aja nggak. Ngapain bikin heboh? Kamu sendiri ngomong nggak sama Pak Hendra?"

"Nggak. Aku mau nunggu hasil pencarianmu dulu."

"Bagus. Jadi sebaiknya kau jangan ngomong sama polisi kalau ditanya nanti."

Setelah polisi yang akan menanyai Barata muncul, Parto segera pamit pulang.

Meskipun cuma sebagai saksi, tetap ada perasaan kurang nyaman di hati Barata. Karena itu saran Parto diterimanya tanpa ragu-ragu. Apa yang akan terjadi bila kesaksiannya tidak sesuai dengan kenyataan? Katanya ada tiga yang jatuh, tapi nyatanya cuma dua. Hitam-hitam, apaan?

Sebenarnya lebih enak dan melegakan bila ia mengatakan apa adanya, sesuai dengan apa yang ia lihat dan simpulkan. Memang itu yang diminta dari seorang saksi mata. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa digunakan sebagai petunjuk. Masalahnya, sesuatu yang dilihatnya itu tidak ditemukan. Ia per

caya Parto sudah mencarinya dengan sungguh-sungguh.

Petugas kepolisian itu mengenalkan diri sebagai Robin. Sikapnya ramah dan santun. Awal perbincangan ia memuji tindakan Barata. Setelah itu baru ia mulai menanyai dengan meminta maaf lebih dulu karena seharusnya saat itu Barata menikmati istirahatnya. Apalagi ia tengah cedera.

"Nggak apa-apa. Pak. Saya masih bisa tahan. Obat yang dikasih tadi pun belum diminum. Katanya bisa bikin tidur nyenyak."

Robin tertawa.

"Wah, terima kasih. Saya dikasih kesempatan. Baiklah. Saya nggak lama-lama. Toh nanti kita bisa bicara lagi setelah Anda segar. Apakah Anda melihat orang lain di balkon saat mereka terlempar?"

"Nggak, Pak. Waktu saya mulai mendengar suara gaduh saya memandang ke atas. Yang tampak adalah pintu keluar di balkon terbuka. Kelihatan atasnya saja. Plong begitu. Saya mundur supaya bisa melihat lebih jelas. Pada saat pandangan saya sudah jelas, saya lihat mereka sudah terlempar keluar dari teralis."

"Terlempar atau dilempar?"

Barata bingung sejenak. Adakah perbedaannya?

Ia mengingat-ingat dulu.

"Saya nggak melihat ada orang lain di balkon setelah mereka melayang, Pak. Kalau dilempar kan ada orang lain. Entah kalau orang itu buru-buru pergi."

"Saat awal yang Anda lihat apakah Ani memegang tangan Agung, memeluknya, atau gimana?"

"Itu saya nggak lihat. Pak. Tapi yang jelas mulanya mereka berdekatan. Kemudian menjauh. Saya mengejar Agung untuk mencoba menangkapnya."

"Kenapa Anda memilih Agung untuk ditangkap dan bukan Ani?"

"Dia anak kecil, Pak. Saya lebih mampu menangkapnya daripada Ani yang gede. Itu saja masih meleset."

"Kalau Anda nggak menangkapnya. dia pasti mati. Apakah orangtuanya berterima kaSih?"

"Ya. Mereka sudah mengatakannya."

"Jeritan siapa yang Anda dengar sewaktu mereka jatuh?"

"Mereka berdua. Suara anak kecil dan suara perempuan."

"Menurut Anda, apakah orang bunuh diri akan menjerit-jerit?"

"Wah, nggak tahu ya, Pak. Tapi mungkin saja dia menjerit karena ngeri."

"Baiklah. Sampai di sini dulu."

Barata tak menyangka pertanyaannya cuma sedikit.

"Pulanglah dan makan obatnya."

"Ya, Pak. Terima kasih."

"Ada yang mengantar Anda pulang?"

Barata tak menyahut. Hal itu belum terpikir. Ia menatap kakinya. Tadi Hendra menjanjikan kruk. Kalau tak ada, mungkin pakai tongkat juga bisa. Ia bisa naik bajaj, karena naik bus sudah pasti sulit baginya dalam kondisi demikian.

"Biar saya antarkan, Mas Bara. Tinggal di mana?"

"Di Kampung Duren. Terima kasih, Pak. Saya harus pamit dulu sama Pak Hendra."

Dalam hati Barata merasa segan diantar pulang oleh polisi. Memang polisi yang mewawancarainya ini berpakaian preman, tapi kalau mobilnya berlogo polisi, apalagi kalau mobil pengangkut tahanan, pasti kampungnya bisa heboh. Isu mudah sekali menyebar. Mustahil ia harus mengklarifikasi kepada semua tetangga.

Hendra datang membawakan kruk. Entah dari mana diperolehnya.

"Tinggimu kira-kira sama dengan tinggi saya. Kayaknya cocok. Dicoba dulu deh."

Barata merasa canggung ditonton orang-orang.

"Nanti kupanggilkan taksi saja, ya?" Hendra menawarkan.

"Wah, rumah saya di dalam gang, nggak masuk mobil. Percuma Pak."

"Kalau gitu, sama saya saja. Pakai motor bisa berhenti depan rumah," kata Robin.

Barata berterima kaSih tapi dalam hati tetap menyimpan prasangka. Jangan-jangan kebaikan itu mengandung maksud? Tentu bukan sesuatu yang negatif. Ia menduga polisi itu ingin memastikan alamatnya atau masih ingin menanyainya.

Sebelum pulang, mereka mampir dulu ke warung Bu Lia. Perut Barata tidak kenyang oleh sepotong donat yang tadi diberikan Parto. Donat tadi cuma untuk pengganjal saja.

Dugaan Barata ternyata benar. Robin memang punya maksud.

"Sebelum Anda jatuh tertidur, saya masih ingin berbincang. Berduaan bisa lebih nyaman," katanya setelah mereka tiba di rumah Barata.

"Saya ambilkan minuman dulu, Pak. Eh, makSud saya air putih saja kok."

"Anda tinggal sendirian"? Robin memandang berkeliling.

"Iya. Pak."

'Kalau begitu nggak usah repot. Anda mau minum apa? Biar saya yang ambil. Kasih tahu saja tempatnya."

Barata merasa tak enak hati. Rumahnya belum dirapikan.

"Di dapur, Pak. Terus saja ke belakang. Ada di kulkas. Gelasnya di lemari."

Tanpa canggung Robin berjalan ke dalam. Tak lama ia keluar dengan membawa sebotol Aqua bersama dua gelas kosong. Ia meletakkannya di atas meja dan menuang isi botol ke dalam kedua gelas. Ia menyodorkan satu kepada Barata dan satu lagi diminumnya.

"Rumah Anda cukup rapi untuk seorang pria lajang, Mas Bara. Apa ini rumah sendiri?"

"Ya. Warisan dari orangtua, Pak."

"Wah, senang sekali. Nggak punya saudara?"

"Nggak ada. Saya sendirian dan yatim-piatu."

"Oh, begitu. Maaf ya, kedengarannya saya lancang, Nanya-nanya soal pribadi."

"Nggak apa-apa, Pak." Barata menyukai Robin. Biarpun mungkin agak lancang tapi ia melakukannya dengan santun. Penampilannya pun tampak lembut, tidak kasar seperti umumnya reserse yang sering dilihatnya. Juga tidak berkumis atau berambut gondrong, yang bisa membuat penampilan menjadi sangar.

"Anda belum benar-benar mengantuk, kan? .Jangan dimakan dulu obatnya, ya? Atau sudah?" Robin khawatir.

Barata tertawa, memperlihatkan giginya yang putih dan sedikit dekik di pipinya. Ia menggelengkan kepala.

Robin menatapnya agak lama.

"Ah, Anda lebih rileks sekarang. Baru kali ini saya melihat Anda tertawa."

"Maaf, Pak. Nggak usah ber-Anda lagilah. Pakai kau, kamu, atau elo juga nggak apa-apa."

"Betul? Kalau begitu kau juga mesti begitu sama saya."

"Baik." Barata tidak keberatan. Barangkali ada baiknya juga punya teman polisi. Tapi ia tidak tahu juga apakah nanti kalau tidak dibutuhkan lagi, Robin masih mau berteman. Sekarang saja dia baik karena ada tujuannya.

"Nah. kita mulai saja, ya. Sebenarnya saya ingin tahu lebih banyak mengenai lingkungan apartemen itu. Anda... eh, kau tentu tahu cukup banyak mengenai penghuninya. Tiga tahun cukup lama. Betah rupanya di sini ."

"Ya. Tidak ada masalah. Gajinya cukup. Tapi mengenai para penghuni saya tidak tahu banyak, karena tidak dekat. Kami, para satpam dilarang dekat-dekat. Tidak boleh sampai ada hubungan yang menjurus pribadi, apalagi dengan lawan jenis. Kedekatan itu cukup dengan keramahan dan kesiapan menolong. Pokoknya sebatas tugas kami saja sebagai penjaga keamanan. Kalau sampai terjadi pelanggaran, maka risikonya adalah keluar. Dalam perjanjian kerja semua lengkap dicantumkan. Pak Robin bisa menanyakan lebih detail kepada Pak Hendra."

"Baik. Apa pernah ada yang melanggar? Maaf", jangan tersinggung, ya? Misalnya, kau ini kan gagah dan lajang, lagi. Bisa saja ada cewek kesepian yang ingin ditemani lalu merayumu."

Barata tersenyum. Ia tidak tersinggung.

"Yang begitu memang pernah saya alami. Tapi saya acuhkan saja. Yang penting ketegasan."

"Bagus. Nggak heran kau bisa bertugas begitu lama. Pantasnya punya kiat-kiat menghadapi yang seperti itu. Kau menyukai pekerjaan itu, Bar?"

"Dibilang suka Sih nggak juga. Yang penting nggak bikin stres dan saya bisa menjalaninya dengan senang."

"Ya. Betul sekali. Sebenarnya saya nanya-nanya seperti ini tujuannya supaya bisa lebih memahami situasi. Kau saksi mata dan bisa ditanyai paling dulu. Apa kau sependapat bahwa kasus tadi sangat aneh?"

Barata agak tersentak. Kalau saja kau tahu mengenai sosok hitam yang kulihat, pasti kau akan menganggap lebih dari sangat aneh. Tapi ia menjawab,

"Ya. Misterius."

"Apa yang bisa kauceritakan mengenai keluarga Rama? Ada sesuatu yang tidak biasa?"

"Tampaknya biasa-biasa saja. Pak Rama seorang pengusaha, tapi saya nggak tahu usahanya apa. Tentu bukan urusan saya. Istrinya, Bu Ava, adalah seorang instruktur senam atau aerobik. Dia punya pusat kebugaran yang katanya punya banyak pelanggan. Saya tahu karena dia ngomong sendiri sewaktu kebetulan ketemu. Anaknya..."

"Tunggu. Dia ngomong sendiri padamu? Sikapnya akrab?"

"Dia bilang tubuh saya bagus. Atletis, katanya. Lalu nanya apa saya rajin senam. Saya bilang nggak. Paling saya suka lari pagi keliling kampung. Dia menganjurkan agar saya ikut klub senam yang dipimpinnya. Ada fitnes juga. Khusus untuk saya akan dikaSIh diskon gede. Dan kalau saya mau. bisa dijadikan instruktur di sana. Gajinya lebih gede daripada jadi satpam."

"Terus kau bilang apa?"

"Saya berterima kasih. tapi nggak berminat. Dia kecewa. Wajahnya jadi masam. Sejak itu nggak pernah ngomong lagi."

Robin tertawa.

"Pasti dia salah perkiraan. Sangkanya kau akan segera menubruk tawaran itu. Lalu anak dan pembantunya gimana?"

"Si Agung suka ngobrol sama saya. Bercanda

segala. Anak itu lucu. Tapi jarang sih ketemunya. Paling-paling kalau mau pergi dan pulang sekolah. Katanya dia sudah kelas satu esde. Pembantunya yang mengantar dan menunggui. Si Ani itu suka memberi kue pada saya. tapi tak pernah saya terima. Saya bilang kenyang. Saya khawatir kalau diterima, nanti dikasih terus."

Robin tertawa lebih keras.

"Saya salut sama kau, Bar. Itu sikap yang bagus. Pokoknya jangan kasih hati. Orang-orang seperti itu selalu ada di mana-mana. Tapi bisakah kaugambarkan bagaimana penampilan dan kelakuan si Ani. Apa dia genit? Dan sikapnya kepada Agung?"

"Terus terang orangnya cukup cantik. Bersih, dan suka dandan. Kadang-kadang saya suka merasa risi kalau melihat dia pakai kaus ketat atau yang agak terbuka. Sikapnya pada Agung, ya... cukup telaten dan perhatian. Nggak tahu juga gimana kalau nggak ada orang yang lihat. Oh ya, sebenarnya kau bisa menanyakannya nanti pada Agung, apa yang sesungguhnya terjadi. Dialah saksi sesungguhnya."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Tentu saja. Asal dia sudah sadar dari pingsannya. Jangan-jangan koma. Keraskah dia membentur beton?"

"Wah, nggak tahu juga. Kalau sampai koma mungkin cukup keras."

"Baiklah. Saya kira cukup sekian dulu. Nanti kita bicara lagi, ya. Sebelum saya pergi, apa ada yang bisa saya bantu?"

"Nggak ada. Terima kasih."

"Mau saya beliin makanan? Nanti makan apa?"

"Di warung. Bisa pakai kruk, kan? Terima kasih."

"Jadi sekarang tidur saja, ya? Selamat tidur."

Setelah mandi Barata segera membaringkan tubuhnya yang ngilu dan penat. Kakinya diolesi dengan salep yang menimbulkan efek dingin. Tak mau ambil risiko, ia menelan obatnya. Berharap tidurnya nyenyak tanpa terganggu denyut-denyut di kakinya dan kemudian bangun dengan segar. Sebelum kantuk datang, ia mengenang kembali peristiwa tadi.

Mulanya muncul rasa iba kepada Ani. Gadis itu periang, dan disukai rekan-rekannya sesama satpam, yang kebanyakan masih lajang. Tapi mereka tidak berani mendekat meskipun ingin. Dia sendiri dulunya punya keluarga, istri dan anak. Tapi sekarang mereka sudah tidak ada. Sebuah kecelakaan merenggut nyawa mereka. Jadi menurut teman-temannya dia adalah "duren" atau duda keren. Istilah yang membuatnya sama sekali tidak senang.

Ada apa dengan Ani? Setiap orang, periang atau pemurung, pasti punya alasan sendiri kalau dia memutuskan untuk bunuh diri. Tapi kenapa harus membawa serta Agung, anak kecil yang tak berdosa? Pikiran ini membuat ia marah kepada Ani. Kalaupun misalnya Ani menaruh dendam kepada majikannya, tidak sepatutnya ia berbuat begitu. Kadangkadang orang suka membabi-buta bila emosinya memuncak.

Pikiran lain lagi muncul. Ia tidak melihat kejadian itu seutuhnya. Entah bagaimana peristiwa sebenarnya. Apakah Agung berniat menarik Ani, tapi malah ikut tertarik? Posisi mereka memang berdekatan pada awalnya. Ia tidak melihat tangan keduanya berkaitan. Dekat tetapi lepas. Jawaban hanya bisa diberikan oleh Agung. Ia berharap Agung segera sadar supaya bisa mengatakannya.

Saat kantuk mulai menyergapnya, ia teringat pada sosok hitam itu. Dengan pikiran yang tak lagi jernih ia mencoba mengingat lebih jelas. Sebenarnya, seperti apa bentuk sosok itu? Manusia yang berkepala, punya sepasang tangan dan kaki? Yang diingatnya hanya dominan warna hitam dan sosok yang melebar, seperti tangan dan kaki yang terbuka selebar-lebarnya. Tangan dan kaki itu pun dibalut nama hitam seolah bercelana panjang dan berlengan panjang yang lebar. itukah sebabnya tampak berkibar? Apakah mungkin orang terjun seperti itu, seolah mau terbang?

Semakin keras ia mengembalikan sosok itu ke dalam ingatannya, semakin kabur dan membingungkan. Ia cuma melihatnya selama beberapa detik, karena kemudian ia fokus pada Agung. Tidak mungkin ia mengamati sosok-sosok yang terlihat tanpa melepas kemungkinan menangkap Agung dengan setepat-tepatnya. Tetapi ia yakin, ia tidak salah dalam menyimpulkan. Matanya tidak salah.

Tiba-tiba ia terkejut dan tubuhnya tersentak dengan perasaan dingin. Bukankah dulu ia juga pernah melihat suatu sosok yang hitam tak jelas, entah

manusia atau burung gagak besar"! ketika Itu pun ada kematian!

Hanya sampai di situ ingatannya. Segera kantuk menyeretnya pergi ke alam tidur.

****

NADIA, adik Ava, berangkat dengan tergopoh-gopoh ke RS Karisma setelah ditelepon Ava. Agung adalah keponakan kesayangannya. Ia masih lajang dan menikmati kesendiriannya dalam usianya yang ketiga puluh. Tak ada suami dan anak yang mesti diurusi, tak ada urusan rumah tangga yang mesti dibereskan. Ia bisa pergi dan pulang kapan saja semaunya tanpa ada yang melarang. Pendeknya hidupnya adalah miliknya sendiri.

Ia masih berada di tempat tidur di kamar kosnya ketika ponselnya berdering. Ponsel itu kebetulan tidak ia matikan sepanjang malam dan diletakkan di atas meja di samping tempat tidur. Biasanya selalu ia matikan supaya tidurnya tidak terganggu dan ia bisa merasa segar saat berangkat ke kantornya, sebuah perusahaan periklanan. Pekerjaannya menuntut fisik segar dan otak jernih, supaya tidak mengalami kebuntuan ide.

Semalam ia tidur larut bukan karena pergi bersenang-senang menikmati dugem atau dunia gemerlap, meskipun teman-temannya memaksanya ikut. Tidak ada yang bisa memaksa atau membujuknya melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Ia asyik menonton teleViSi di kamarnya. Ada film klaSik yang diputar tengah malam. Film semacam itu tergolong langka. Bahkan mencari di persewaan DVD pun sulit diperoleh. Ia menyukai film klasik meskipun lamban dan banyak dialognya. Justru dari film-film seperti itulah ia sering kali mendapat ide. Tetapi tujuannya menonton film demikian bukanlah untuk mencari ide, melainkan kesenangan belaka. Ide adalah hasil sampingan yang tak terlalu diharapkan.

Memang kebetulan sekali. Semula ponselnya mau dimatikan, ia sudah sangat mengantuk ketika teringat pada benda itu. Pasti pada malam seperti itu tidak ada yang akan meneleponnya. Teman-teman gaulnya, yang juga merupakan teman sekantor, sedang sibuk sendiri. Maka ia tidur nyenyak sekali. Kalau tidak terganggu ia bisa bangun tengah hari. Tapi ponselnya berdering pukul delapan. Lalu matanya langsung terbuka lebar ketika mendengar beritanya dari Ava yang bicara sambil menangis.

Biarpun ingin buru-buru. secepatnya melihat kondisi Agung, ia harus mandi dulu. Lalu membungkus sepotong roti sisa semalam untuk dimakan di jalan. Ia tak boleh membiarkan lambungnya kosong untuk jangka waktu lama. Siapa tahu di rumah sakit tak ada kantin atau dia harus berada di sana cukup lama.

Sambil mengemudikan mobil kecilnya ia mengunyah roti dan memikirkan berita yang disampaikan Ava. Kasihan sekali Agung. Siapa yang tega melemparkan anak kecil itu? Anak itu berwajah imut-imut dengan rambut ikal kecil di seputar kepalanya, mirip topi. Setiap orang pasti akan menyukainya. Ia pun tidak rewel atau hiperaktif hingga menjengkelkan pengasuhnya. Tak ada alasan bagi siapa pun, termasuk Ani, untuk melemparkannya dari lantai tujuh.

Ia cukup sering mengunjungi apartemen Ava. Boleh dikata setiap hari Minggu. Seperti rencananya hari itu. Tujuannya semata-mata untuk Agung. Ia suka mengajak Agung jalan-jalan atau menonton bioskop. Terakhir, minggu lalu, ia mengajaknya nonton film animasi. Setiap kali ada film animasi baru yang diputar, ia teringat pada Agung lalu mengajaknya. Ava dan Rama tidak suka mengajak Agung nonton ke bioskop. Mereka lebih suka nonton lewat DVD saja. Tapi menurut Nadia, nonton bioskop nuansanya beda. Agung menyukainya juga. Sering kali sebelum Nadia tahu ada lilin animasi baru. Agung sudah tahu duluan.

Usai nonton mereka makan dulu di restoran, sambil memperbincangkan film yang barusan ditonton. Agung serius dan bersemangat. Nadia pun senang. Baginya nonton bioskop bersama Agung jauh lebih menyenangkan daripada bersama orang dewasa, lelaki atau perempuan. Ia bukan hanya menghibur Agung, tapi juga merasa terhibur oleh sikap dan komentar Agung yang lucu.

Bagaimana mungkin ada orang yang membenci Agung begitu rupa sampai berniat membunuhnya? Kenapa Ani tidak memilih mati sendiri saja? Tapi sulit juga untuk membayangkan Ani sekejam itu. Kelihatannya Ani menyukai Agung. Demikian pula sebaliknya. Agung tidak pernah berkata jelek perihal Ani.

Satpam yang mana gerangan penolong Agung? Ia tidak pernah memerhatikan karena dalam pakaian seragam tampaknya mereka semua sama. Mereka juga ramah dan santun. Tak ada beda satu dengan yang lain. Menurut Ava ada satu yang cukup keren dengan bodi yang bagus. Ava selalu terkesan dengan bentuk tubuh yang bagus. Katanya, ia menawari satpam itu untuk senam dan fitnes di tempatnya dengan diskon besar. Bahkan ia menawarinya juga untuk kerja sebagai instruktur. Tentu dengan gaji yang lebih besar. Ya, berapa sih gaji satpam? Tapi betapa kecewa dan kesalnya karena tawarannya itu ditolak. Nadia bisa membayangkan kekesalan Ava. karena Ava selalu yakin dan percaya diri.

Menurut Ava, satpam itulah yang telah menolong Agung. Meskipun tangkapannya meleset, tapi nyawa Agung bisa diselamatkan. Tentu bisa dimaklumi karena menangkap orang yang jatuh dari lantai tujuh tidak sama dengan menangkap bola. Berat Agung mungkin lebih dari dua puluh kilo. Bila terempas dari tempat tinggi, tekanannya pasti besar.

Ia ingin bertemu dengan satpam yang satu itu untuk menyampaikan terima kasihnya.

Agung terbaring di ruang ICU, diam tak bergerak. Ia seolah tidur.

Nadia mengamatinya dari balik dinding kaca dengan air mata berlinang. Ia berdoa dalam hati. Ya Tuhan, tolong sadarkan Agung dan kembalikan ia seperti sediakala. Ia masih kecil. Baru tujuh tahun...

Kemudian ia kembali ke sisi Ava yang maSih menangis. Ketika ia duduk, Ava memeluknya.

"Sudah, Mbak. Tabahlah. Kita harus bersyukur ia selamat," hibur Nadia.

"Bagaimana kalau dia nggak sadar-sadar?" keluh

Ava.

"Dari tadi ngomong begitu terus," kata Rama kesal.

"Jangan mikir yang jelek-jelek dong."

"Ya. Ini kan baru hitungan jam," Nadia membenarkan.

"Bener sih, tapi..."

"Sudah!" bentak Rama, lalu berdiri.

"Aku mau ke kantin dulu. Nanti kita gantian."

"Pergi saja kalian berdua. Kan ada aku di sini," kata Nadia sambil mendorong pelan tubuh Ava.

"Ya. Aku lapar."

"Nah, pergilah."

Kelihatannya Rama tidak begitu suka istrinya ikut, tapi ia terpaksa mengajak juga.

Nadia mengamati mereka berdua melangkah pergi. Rama berjalan lebih di depan. Langkahnya cepat. Mungkin disengaja.

Kening Nadia berkerut. Kadang-kadang musibah tidak juga membuat orang bersatu dan lebih toleran satu sama lain. ia tahu belakangan ini hubungan Ava dan Rama merenggang. Ava tidak pernah bercerita, tapi Agung yang menyampaikan dengan kepolosan kanak-kanaknya.

"Mama dan Papa sering berantem, Tante. Takut ngeliatnya."

"Kalau begitu, jangan diliatin. Gung. Mendingan pergi ke kamar saja."

"Iya. Kalo nggak ke kamar, Agung ke dapur sama Mbak Ani."

"Betul. Orang berantem jangan pernah dideketin, Gung. Biarin aja. Mereka kan udah dewasa."

"Tapi Agung nggak ngerti."

"Sekarang kamu memang belum ngerti, tapi nanti ada saatnya bisa ngerti juga."

Ia merasa sedih untuk Agung. Bukan untuk orangtuanya.

Seorang lelaki berjas dokter mendekatinya. Dokter Surya, begitu papan nama di dadanya. Nadia berdiri dan mengangguk.

"Ibunya Agung?"

"Bukan. Saya tantenya. Orangtuanya sedang ke kantin, Dok. Ada berita baru?"

"Ya."

Mereka duduk berdampingan.

"Agung tidak menderita cedera dalam tubuh atau patah tulang. Tapi di kepalanya ada luka memar. Sepertinya benturannya cukup keras. Tapi tak ada perdarahan di dalam otak meskipun ada gegar otak

yang cukup serius. Masih akan dilakukan tes yang lebih intensif."

"Apa dia... dia... bisa meninggal, Dok?"

"Wah, saya nggak bisa memperkirakan, Bu. Tapi kondisi fisiknya bagus. Hanya otaknya..."

"Bisakah dia sadar kembali, Dok?"

"Bisa saja. Jangan cemas dulu, Bu. Saya pikir, ada syok atau guncangan hebat pada otaknya, yang bukan sekadar fisik."

"Maksud Dok, kejutan hebat, begitu?"

"Ya. Saya kira begitu. Itu pengalaman yang luar biasa mengerikan."

Nadia merasa tengkuknya meremang.

"Bahkan ada kemungkinan sebelum jatuh ke bawah dia sudah syok duluan. Ketakutannya tentu luar biasa," sambung Dokter Surya.

"Kalau begitu... bisa saja komanya belum pasti disebabkan oleh benturan, ya Dok?"

"Mungkin. Tapi kan masih teori. Kita lihat saja perkembangannya. Bersabarlah. Dan tentu jangan lupa berdoa. Nanti kalau orangtuanya datang saya akan bicara lagi dengan mereka. Untuk sementara ini Ibu bisa menyampaikan informasi saya."

"Ya, Dok. Terima kasih."

Dokter Surya berlalu. Nadia kembali memandangi Agung dari balik kaca. Aduh, Gung, kasihan sekali kamu.

Nadia masih saja berdiri mengamati Agung dengan pikiran bergemuruh ketika Rama dan Ava kembali. Ia tidak menyadari kedatangan mereka

sampai Ava menepuknya.

"Hei, lihat sesuatu? Apa dia bergerak, Na? Apa dia sadar?" tanya Ava dengan suara yang masih menunjukkan kepanikan.

"Belum, Mbak. Tadi ada Dokter Surya..."

Nadia menyampaikan informasi yang diperolehnya. Ava kembali menangis dan memeluk Nadia karena Rama sudah menjauh sebelum Nadia mengakhiri kata-katanya. Sikap dingin Rama itu tidak luput dari perhatian Nadia. Bukankah mereka seharusnya saling menguatkan?

"Aduh, kasthan sekali dia ya, Na?" keluh Ava.

"Ya, memang. Ayolah duduk kembali."

Nadia membimbing Ava ke sebelah Rama dan mendudukkannya di situ. Sengaja.

"Sekarang tenanglah. Sikapmu ini nggak bisa menolong Agung, Mbak. Kepala dingin dan berpikir rasional. ini sudah terjadi, Nggak bisa mundur lagi. Jangan mikirin kemungkinan, tapi hadapilah yang ada sekarang. Kau harus kuat, Mbak. Hanya dengan begitu kau bisa menolongnya. Menangis nggak bisa memecahkan persoalan. Menyesal juga nggak bisa."

"Tapi aku memang menyesal telah menerima si Ani. Waktu itu terpaksa aja karena nggak ada yang lain. Dia rada genit, bukan? Tapi Rama menyukainya. Entah apa..."

"Kau mau menyalahkan aku lagi?" kata Rama dengan kesal.

"Sudah, sudah. Ini kan rumah sakit. Bukan rumah sendiri. Malu dong." sela Nadia.

"Kalian kan

harus bersatu. Lupakan semua masalah demi Agung."

"Ya. mestinya begitu," sahut Rama.

"Gimana, Mbak?" Nadia menoleh menatap kakaknya yang berwajah sembab dan bermata merah.

"Mau, kan?"

Ava tak menjawab.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tahu nggak? Agung itu suka curhat sama aku. Dia sedih kalau melihat kalian bertengkar."

Baik Rama maupun Ata sama-sama terkejut.

"Ya. Dia ngomong sama aku. Kalau nggak sama aku, sama siapa lagi? Masih untung ada aku. Kalau nggak ada tentu sama si Ani. Mestinya pada saat dia sehat dan lucu itulah kalian berikan yang terbaik. Kalau sekarang ditangisi juga percuma."

Setelah berkata begitu, ganti Nadia yang jadi emosi. Ia bangkit berdiri dan pergi.

"Na, mau ke mana? Jangan pergi dulu!" seru Ava khawatir. Pada saat itu ia benar-benar memerlukan pertolongan Nadia.

"Ke kantin, Mbak. Lapar." sahut Nadia tanpa menoleh.

Pada saat itu Nadia berpapasan dengan Robin yang baru saja datang. Tapi mereka tidak saling mengenal. Robin sempat mendengar panggilan Ava dan jawaban Nadia. Ia bisa menduga bahwa gadis itu tentu kerabat dekat orangtua Agung. Ia perlu menanyai semua orang yang punya hubungan dekat dengan keluarga yang malang itu.

Robin mengenalkan dirinya pada Ava dan Rama.

Kedua orang itu tak begitu mengingatnya karena tadi Robin berbaur dengan banyak orang lain. Apalagi Robin kemudian pergi mengantarkan Barata pulang.

Setelah menjenguk Agung lewat dinding kaca, Robin mewawancarai Ava dan Rama. Pertanyaannya seputar Ani.

Menyadari bahwa orang yang dihadapi itu adalah polisi, Ava dan Rama tak lagi saling menyindir. Mereka sepakat dalam memberi jawaban.

"Saya memperoleh Ani dari seorang teman," tutur Ava.

"Ani adalah teman pembantunya yang ingin bekerja. Dia berasal dan pinggiran Bogor. Tapi Ani sudah punya pengalaman bekerja di Jakarta. Sudah tiga kali dia berganti majikan. Kami adalah majikannya yang keempat. Entah kenapa dia sering berganti-gaun majikan. Katanya sih nggak betah dan gajinya kecil. Saya memberinya gaji yang sama seperti pembantu teman saya. Jadi mereka bisa saling membandingkan. Kerjanya baik dan cekatan. Cuma orangnya agak genit dan banyak ketawa. Sikapnya sama Agung juga baik. Agung tak pernah mengadu hal-hal buruk tentang dia. Jadi saya pikir. biarlah ada negatifnya asal positifnya lebih banyak. Sudah kurang-lebih setahun dia kerja sama kanti."

"Sudah betapa lama Anda tinggal di Srigading'?"

"Kira-kira tiga tahun."

"Jadi sebelum Ani ada pembantu lain?"

"Ya. Tapi mereka silih berganti terus. Entah su

dah berapa kali. Ada kalanya kosong. Terpaksa saya banyak di rumah. Agung saya bawa ke fitnes. Yang paling lama kerja si Ani."

"Jadi Anda berdua menganggap dia baik-baik saja?"

"Ya."

"Apa dia punya pacar? Kalau orangnya genit tentu ada pacarnya."

"Soal itu saya kurang tahu. Saya nggak suka ngobrol sama dia. Tapi dia dekat sama si Ningsih, pembantu tetangga kami, apartemen di seberang. Mereka suka ngobrol dan suka jalan bersama kalau senggang. Dia saya beri libur kalau hari Minggu. Mau jalan ke mana kek saya nggak peduli. Cuma satu yang saya larang, yaitu pacaran saat bekerja. Misalnya sedang mengantar Agung sekolah, lalu janjian ketemu sama pacarnya. Untungnya karena kami tinggal di apartemen, dia nggak mungkin bisa mengajak temannya masuk karena ada satpam yang berjaga."

"Semalam Anda berdua pulang jam berapa?"

"Lepas tengah malam. Mungkin setengah satu. Kami menghadiri pesta seorang teman."

"Waktu pulang, apa Ani sudah tidur? Dan Agung?"

"Oh ya. Sudah sepi. Saya menjenguk kamar Agung. Dia sudah tidur. Saya sudah berpesan sama Ani, kalau anak itu belum tidur dia nggak boleh tidur dulu. Dan Agung juga sudah cukup besar untuk mengerti."

"Pada saat kejadian, tadi pagi, Anda berdua masih tidur?"

"Ya, masih. Saya bangun duluan." sahut Ava. masih tetap sebagai juru bicara, yang sesekali diiyakan suaminya.

"Saya nggak dengar jeritan. Pintu digedor Satpam Didi. Kami diberitahu olehnya. Kami segera turun ke lobi. Di sana Agung..." Ava tak melanjutkan. Suaranya tersedak.

Robin mengangguk. Lalu ia menatap Rama.

"Saya juga nggak dengar jeritan. Kalau dengar pasti saya bangun. Tidur saya nyenyak banget," kata Rama tanpa ditanya.

"Sekarang gantian Pak Rama yang menjawab. Apakah Anda sekeluarga sering berada di balkon untuk melihat-lihat pemandangan? Atau barangkali Agung sama Ani?"

"Sering sih nggak. Tapi pintu ke balkon itu biasanya dibiarkan terbuka bila kami di rumah karena rasanya lebih segar. Agung sudah cukup mengerti untuk tidak memanjat teralis."

"Apakah dia pernah mencoba memanjat? Mungkin sewaktu masih lebih kecil?"

"Nggak. Selalu ada pengasuh yang menjaganya. Cukup seorang pembantu. Agung sudah bisa memahami mana yang boleh dan mana yang nggak. Dia nggak bandel, Pak. Dia anak yang baik." kata Rama dengan penekanan.

Robin mengangguk. Dia mengerti maksud Rama. Ia pun sudah memikirkan kemungkinan Agung memanjat teralis, mungkin untuk main-main, lalu dice

gah Ani. Ketika Agung jatuh, Ani berusaha menolong tapi ia ikut terjatuh.

"Menurut pengamatan Anda, Bu Ava, apakah belakangan ini sikap Ani murung. sedih, atau tertekan?"

Ava menggeleng.

"Rasanya nggak. Dia tetap suka tertawa. Kadang-kadang saya pikir tawanya itu kayak kuntilanak. Hi-hi-hi. gitu. Tapi saya nggak pernah melarang dia tertawa. Kan lebih baik tertawa daripada menangis. Dia nggak punya alasan untuk merasa tertekan. Saya nggak pernah kasar sama dia. Makan kenyang, gaji cukup, dan selalu saya bayar setiap bulan."

"Jadi Anda nggak percaya kalau dia bunuh diri karena tertekan?"

"Wah, saya nggak tahu. Biarpun dia tertawa tawa, tapi siapa tahu isi hatinya."

"Kalau bunuh diri kenapa membawa Agung?"

"Itulah yang saya herankan."

Semakin lama perbincangan itu berlangsung, semakin tenang perasaan Ava. Dia tidak lagi panik dan didera sesal. Ia mulai berpikir secara rasional seperti yang diharapkan Nadia. Padahal awalnya adalah pemaksaan diri agar bicara baik-baik dan menghindari kecurigaan karena menghadapi polisi. Dia bisa saja dituduh lalai dalam menjaga anak.

"Ada beberapa kemungkinan," kata Robin.

"Pertama Ani bunuh diri, tapi tidak sejahat itu untuk membawa serta Agung. Kenapa Agung sampai ikut jatuh adalah karena anak itu mencoba menariknva.

tapi dia malah tertarik. Kedua, Ani bunuh diri dengan sengaja membawa serta Agung dengan maksud membalas dendam pada Anda, entah apa dendamnya itu. Ketiga, kejadiannya kecelakaan semata di mana Agung main-main dengan menaiki teralis lalu jatuh. Ani berusaha menolongnya. tapi malah ikut jatuh. Keempat, ada yang membunuh keduanya."

Rama dan Ava saling memandang. Ada keterkejutan di wajah mereka. Ava sempat mengangakan mulutnya beberapa detik.

"Saya lebih percaya pada kemungkinan pertama atau ketiga." kata Rama.

"Bukankah tadi Anda sangat yakin Agung anak yang baik, jadi tidak mungkin main-main begitu?"

"Ya. Tapi kita nggak tahu juga situasi dan kondisi saat itu. Bandingkan dengan kemungkinan kedua atau keempat. Dendam apa dia sama kami sampai berbuat sekejam itu? Siapa pula yang berniat membunuh keduanya? Kami nggak punya musuh. Kalau memang ada yang dendam sama saya, kenapa dia nggak membunuh saya saja? Masa anak kecil dan pembantu."

Suara Rama bergetar oleh emosi. Sedang Ava tampak pucat. Teori yang dikemukakan Robin membuat ia syok.

"Maafkan kalau teori saya membuat Anda tergetar. Tapi kita memang harus mempersiapkan segala kemungkinan. Mulai sekarang Anda berdua harus siap mental menghadapinya."

Rama dan Ava mengangguk lemah.

"Bagaimana dengan jenazah Ani?" tanya Ava.

"Masih di RSCM. Sedang diautopsi. Kerabatnya sudah dihubungi."

"Kami akan membayar semua biaya," kata Rama.

"Menurut Anda, apa kami perlu juga memberi uang duka pada keluarganya?"

"Saya kira sebaiknya begitu. Biarpun belum diketahui sebabnya, dia meninggal saat bekerja."

"Ya. Nanti saya bicarakan dengan kembarnya kalau mereka datang."

"Satu hal penting lagi. Saya perlu memeriksa kamar Ani. Apa Anda sudah memeriksanya? Sebaiknya biarkan saya saja yang melakukannya. Jangan menyentuh barang-barangnya."

"Oh, mana sempat, Pak? Tadi kami cuma sempat ganti baju dan Sikat gigi. Mandi nggak keburu. Untung ada Pak Hendra, yang membawa Agung ke rumah sakit."

"Bisakah saya memeriksa apartemen Anda, terutama kamar Ani, sekarang juga?"

"Tentu aja bisa, Pak. Apa perlu secepatnya? Memangnya tadi belum, ya?"

"Belum. Kami tak ingin memeriksa tanpa dihadiri pemilik rumah. Tempat itu toh sudah dijaga dari masuknya orang yang tidak berkepentingan. Pak Hendra menjamin dan anak buah saya masih di sana."

"Sekarang, Pak? Kebetulan saya perlu pulang untuk mandi dan mengambil beberapa barang. Kau di sini dulu ya, Ma?" Rama berpaling pada istrinya.

"Wah, aku kan belum mandi juga. Gimana kalau si Nana yang menjaga sebentar? Kalau sudah beres kita kembali lagi ke sini."

"Siapa Nana?" tanya Robin.

"Nadia, adik saya. Barusan pergi ke kantin. Dia datang terburu-buru, belum makan. Biasa, hari Minggu bangunnya siang," sahut Ava.

"Oh, yang tadi itu, ya?"

Orang yang dibicarakan muncul. Nadia mengamati orang ketiga yang hadir. Ia menduga orang itu pasti polisi. Dugaannya memang benar ketika kemudian ia diperkenalkan. Ia tidak keberatan diminta menjaga Agung.

"Boleh saya ke mobil dulu sebentar? Tadi saya bawa tas berisi buku dan barang lain, tapi saya tinggalkan di sana. Daripada bengong dan melamun, kan lebih baik punya kegiatan."

"Ya. Cepatlah."

Nadia berlari pergi.

"Ibu itu energik sekali," puji Robin.

"Dia masih lajang. Bukan ibu-ibu," jelas Ava.

Nadia kembali dengan cepat.

"Pak, bagaimana keadaan satpam yang menolong Agung itu?" tanyanya begitu tiba. Pertanyaan itu sudah disiapkan.

"Baik. Kaki kanan dan lengan kanannya terkilir. Tadi saya yang mengantarnya pulang ke rumah. Namanya Barata Yuda."

"Saya ingin berterima kasih kepadanya."

"Oh ya?"

Tiga pasang mata menatap Nadia dengan heran.

"Mbak kenal sama Barata?" tanya Robin ingin tahu.

"Nggak. Yang mana orangnya juga nggak tahu."

"Sekarang dia cuti dulu untuk memulihkan kondisinya."

Mereka bertiga berlalu, meninggalkan Nadia. Ketika Robin menoleh, ia melihat Nadia berdiri di depan kaca memandang ke dalam. Dia berbeda dibanding Ava, pikirnya. Nadia tidak secantik kakaknya, tapi postur tubuh mereka sama-sama tinggi dan berisi.

"Agung lengket sama adik saya," Ava menjelaskan.

"Begitu, ya."

"Saya jadi lupa sama Barata," kata Rama.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia berjasa sama kami. Mungkin kami perlu memberinya hadiah."

Robin hanya tersenyum. Ia teringat pada Barata. Kira-kira hadiah apa yang pantas diberikan untuknya?



ROBlN mengajak beberapa anak buahnya termasuk petugas lab forensik untuk meneliti seluruh ruangan apartemen Rama. Terutama di daerah balkon dan sepanjang teralis. Petugas lab forensik mengambil sidik jari baik di tempat itu maupun di seluruh ruangan. Menurut Rama dan Ava, sepanjang hari Sabtu kemarin mereka tidak kedatangan tamu. Nadia juga tidak datang. Jadi perlu dicari apakah ada sidik jari lain di samping milik penghuni rumah. Untungnya tempat itu aman dari masuknya sembarang orang yang ingin tahu, hingga tempat kejadian tidak diacak-acak.

Robin sendiri memeriksa kamar Ani didampingi Ava. Sebuah kamar yang kecil, serba pas-pasan untuk dipan, lemari kecil, dan sebuah meja kecil dengan bangku tanpa sandaran. Meja kecil itu dijadikan meja rias. Sebuah cermin besar digantung di

dinding di belakang meja. Berbagai botol dan kotak peralatan rias berjejer di atas meja. .jelas bahwa Ani seorang pesolek.

Lemarinya memperlihatkan baju yang lumayan banyak. Di antaranya ada baju-baju seksi seperti tank top, celana jins ketat model Hipster, rok mini, dan banyak kaus ketat.

"Kalau hari kerja saya nggak mau dia pakai baju seperti itu," kata Ava.

"Bukan cuma nggak pantas, tapi bergerak juga susah. Kalau hari Minggu baru dia pakai baju-baju itu. Dia jadi berubah drastis, nggak lagi seperti pembantu rumah tangga, tapi abege centil."

"Banyak juga barangnya, ya. Boros rupanya," komentar Robin.

"Kayaknya setiap habis gajian, dia pasti belanja. Pulang jalan-jalan dia selalu membawa tas."

"Jadi dia kerja untuk dirinya sendiri? Apa dia nggak suka ngirimin uang ke kampung buat orangtuanya?"

"Saya nggak tahu. Males nanya-nanya. Itu urusan dia. Yang penting saya udah bayar gajinya. Mau diapain uangnya, saya nggak mau tahu."

Sejauh pemeriksaan tidak ditemukan surat atau tulisan yang menyatakan kehendaknya untuk bunuh diri. Biasanya orang yang berniat bunuh diri selalu meninggalkan pesan untuk menyampaikan selamat tinggal pada orang terdekat dan juga motif perbuatannya. Logikanya, dia perlu menjelaskan kenapa sampai berbuat begitu dan tentunya juga untuk mele

gakan perasaannya sendiri kalau memang ada unekunek atau dendam. Kalau misalnya dia bunuh diri sambil membawa serta Agung, mestinya dia memberitahu alasannya pada Rama dan Ava dan dendam mana yang jadi alasan. Biar yang bersangkutan tahu dan seluruh dunia juga tahu. Sejahat apakah majikan sampai anaknya mau dibunuh?

Robin memeriksa laci meja lebih teliti. Dompet Ani berisi uang sebanyak dua ratus ribu lebih. selembar foto dirinya yang sedang tersenyum manis dan selembar foto cowok berkumis, serta kartu tanda penduduk Bogor. Barang itu termasuk yang diamankan untuk penelitian lebih jauh.

Ketika mendorong pintu yang semula terpentang lebar Robin terkejut ketika matanya tertuju pada benda hitam yang tergantung di kapstok, yang menempel pada daun pintu. Tadinya tidak kelihatan karena pintu terpentang ke dalam. Ava ikut terkejut.

"Apa itu? Mantel?" Ava mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Tapi Robin mencegahnya. Ia mengaisnya dengan bolpoin untuk melihat lebih jelas.

"Ya. Sebuah mantel panjang dengan tudung kepala. Apa Ani suka memakai mantel ginian? Emangnya dia suka kedinginan?"

Tiba-tiba Ava bersin terus batuk-batuk. Ia segera menjauh.

"Uh! Bau apa, ya? Apek banget!" Ava mengipas ngipas dengan tangannya.

"Saya belum pernah meli

hat dia memakainya. Baru kali ini lihatnya. Ih, dari mana si Ani dapat yang gituan. ya? Kayaknya kegedean lagi. Kalau dia memakainya, pasti menyentuh lantai."

"Apa dia suka mengeluh kedinginan? Mungkin AC-nya terlalu dingin."

Ava menunjuk kipas angin di atas lemari.

"Dia pakai itu. Kamar ini nggak dipasangi AC. Dia memang nggak tahan AC."

"Jadi menurut Anda, mantel itu nggak pas berada di sini?"

"Ya, betul sekali."

"Mungkin kepunyaan pacarnya, yang minta tolong dicucikan?" tanya Robin, lebih pada diri sendiri.

"Entah. Yang mana pacarnya aja saya nggak tahu."

"Mungkin si kumis itu. Tuh yang ada fotonya."

"Nanti tanyain si Ningsih aja, pembantu di apartemen seberang. Dia kan temannya. Sering jalan

sama-sama."

"Ya. Pada gilirannya semua akan ditanyai."

Ava bergidik lalu menggosok-gosok kedua lengannya.

"Ih, kenapa rasanya jadi merinding begini, ya?"

Robin menatap Ava dengan perasaan aneh. Mengada-ada saja, pikirnya. Tapi ia tidak berkomentar.

Rama melintas di depan kamar. Ava memanggilnya.

"Pa! Sini sebentar!"

Rama masuk.

"Ada apa?"

Ava menunjuk pada mantel hitam di belakang pintu.

"itu! Eh jangan pegang. Apa kau pernah lihat si Ani memakainya?"

"Apa itu? Mantel?"

"Ya."

Rama menggeleng.

"Nggak. Kalau aku lihat dia pakai itu pasti aku tertawa. Kecuali kalau dia demam menggigil. Tapi itu punya dia, kan? Kalau nggak masa ada di situ?"

"Makanya aku tanya. Barangkali kau tahu sesuatu."

"Tahu dari mana? Uh, bau ya? Kayak udah tahunan nggak dicuci. Kalau dimasukin ke kolam ikan pasti..."

"Jangan bergurau, Pa," Ava melirik pada Robin.

"Sudah, ah. Nggak tahan baunya."

Rama melangkah pergi.

"Sepertinya itu barang mahal," kata Robin.

"Nggak umum dipakai di sini, tapi mahal. Mungkin untuk dipakai orang yang mau bermusim dingin di luar negeri."

Lalu Robin bersuara.

"Bisakah ibu memanggilkan si Ningsih ke sini? Nanti saya minta anak buah saya menemani. Biar kelihatan resmi."

Ava mengangguk. Robin memanggil seorang anak buahnya. Keduanya pergi.

Ningsih seorang gadis yang seumuran dengan Ani. Wajahnya yang polos tampak ketakutan. Dia tidak didampingi Ava.

"Bu Ava nemenin Bu Leoni, itu ibu tua yang saya urus. Majikan saya suami-istri pergi ke Semarang kemarin pagi. Kembalinya nanti sore," jelas Ningsih.

"Jadi saya nggak bisa lama-lama ya, Pak? Nanti Bu Leoni marah."

"Baik. Nggak lama kok. Nanti kita bisa bicara lagi. Jadi kamu teman jalan Ani?" tanya Robin.

"Betul, Pak. Tapi dia... dia nggak pernah ngomong mau bunuh diri."

"Siapa bilang dia bunuh diri?"

"Orang-orang bilang begitu."

"Orang sok pintar. Kan ini belum jelas. Sini, saya mau perlihatkan ini."

Robin menunjuk mantel hitam. Tiba-tiba Ningsih memekik.

"Itu cuma mantel hitam," jelas Robin.

"Kenapa kau menjerit?"

"Saya kira itu... itu setan," kata Ningsih pelan.

"Setan?"

Ningsih mengangguk. Ia tersipu sekarang.

"Abis item banget sih."

Robin geleng-geleng kepala.

"Jadi kamu baru pernah melihatnya? Nggak tahu bahwa itu milik Ani?"

"Saya baru lihat, Pak. Ani nggak pernah cerita bahwa dia punya barang begitu."

"Memangnya dia selalu cerita padamu tentang segala sesuatu?"

"Nggak sih. Tapi ceritanya banyak. Cuma saya temannya di sini."

"Sebentar..."Robin mengeluarkan dompet Ani dari sakunya lalu memperlihatkan foto lelaki berkumis itu.

"Kenal?"

"Ya. Itu Si Gito. Tampang aslinya sih nggak secakep fotonya. Kerjanya di toko seberang sana. Saya tahu tempatnya."

"Baik. Nanti kasih alamatnya. Cukup sampai di sini dulu. Nanti kita bicara lagi, ya? Sebagai teman kamu tentu ingin masalahnya terungkap, bukan?"

"Tentu, Pak. Kasihan."

"Jadi bantuanmu sangat dibutuhkan. Sekarang pulang dulu. Nanti dipikirin yang dalam mengenai apa saja yang pernah diucapkan Ani padamu. Mungkin sekarang nggak ingat."

Setelah Ningsih pergi, Robin memanggil petugas lab untuk mencari sidik jari pada mantel hitam itu.

Tak lama kemudian Ava kembali. Ia menjelaskan lagi apa yang tadi disampaikan Ningsih. Bahwa suami-istri Wijaya dan Evita, penghuni apartemen seberang, baru kembali nanti sore dari Semarang. Ningsih tidak mendapat libur hari itu karena harus menjaga dan mengurus Bu Leoni, ibu Wijaya, yang setengah jompo dan sehari-hari duduk di kursi roda.

Kemudian Robin beranjak ke teras balkon. Di situ para petugas sudah selesai memeriksa sidik jari, jadi ia bisa bebas memegang ini-itu atau bersandar ke sana sini. Ia berdiri di tempat yang ditandai sebagai tempat di mana kemungkinan Ani dan Agung berdiri. Di

tempat itu pada teralis berkumpul beberapa sidik jari tapi tidak di tempat lain. Masih harus diteliti apakah sidik jari itu berasal dan Ani dan Agung atau ada orang lain. Ia diam sejenak, memejamkan mata dan merenungkan kejadian itu. Mengerikan membayangkan dua tubuh melayang ke bawah, menuju kematian. Ia membuka mata memandang ke bawah. Di situlah Barata berlarian ke sana kemari mencoba menangkap Agung setepat-tepatnya. Ia tidak terlalu berhasil, tapi jelas memang sulit.

Ia memandang ke seberang Apartemen Srigading. Di sana ada pertokoan yang menjual aneka jenis barang. Cukup jauh jaraknya karena dibatasi oleh jalan raya yang lebarnya sekitar sepuluh meter. Masih ada lagi halaman parkir di depan gedung apartemen dan di depan pertokoan. Ia sudah menyebar anak buahnya untuk menanyai orang-orang yang dijumpai di sekitar sana tak lama setelah kejadian, apakah ada yang melihat peristiwa jatuhnya Ani dan Agung. Tapi tak ada yang menyatakan melihat sesuatu. Mereka baru tahu setelah terjadi kehebohan. Pada hari Minggu jam enam pagi biasanya suasana masih sepi. Sebagian orang masih tidur, sedang sebagian lain yang suka lari pagi sambil menikmati kebebasan di Jalan Thamrin sampai Monas tentu sudah berangkat sejak hari masih gelap. Jam enam orang-orang yang suka lari pagi itu belum pulang, karena sebagian menikmati bubur ayam atau camilan dengan kopi panas, sementara sebagian lagi masih istirahat melenyapkan kepenatan.

Waktu itu di halaman parkir gedung Srigading hanya ada Barata. Rekannya Parto sedang duduk terkantuk-kantuk. Jadi saksi mata hanya Barata seorang. Padahal di pusat kota yang biasanya ramai ini mestinya ada lebih dari satu saksi mata. Ya. mestinya begitu. Sepertinya Barata ditakdirkan menjadi satu-satunya saksi mata. Orang yang berada di tempat pada saat kejadian. Bisa dibilang sebagai kebetulan, tapi bisa juga sebagai keberuntungan. Atau kedua-duanya. Kalau Barata berada di lokasi yang lebih jauh. dia hanya sempat melihat dua tubuh yang jatuh berdebum. Tak ada nyawa yang bisa terselamatkan.

Dengan meninggalkan para anak buahnya yang belum selesai bekerja, Robin mengunjungi para tetangga Rama yang menghuni lantai yang sama. Setiap lantai memiliki empat apartemen, yang masing masing luasnya sama dengan tiga kamar tidur. Semua memiliki teras dengan balkon berbentuk sama, yang menghadap ke sisi yang berbeda.

Apartemen di samping apartemen Rama kosong tak berpenghuni. Menurut Hendra. pengelola gedung. kamar itu ada pemiliknya tapi tidak ditempati. Pemiliknya bermaksud menjualnya, tapi belum ada peminat. Apartemen itu sudah beberapa kali berganti kepemilikan, tapi tidak pernah bertahan lama. Tak sampai setahun. bahkan ada yang hanya beberapa bulan sudah pindah, sebelum si pemilik berhasil menjualnya. Menurut mereka, kamar itu tidak menyenangkan. Tapi tidak bisa memastikan apa penye
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

babnya. Ada juga yang bilang bahwa pemandangan dari teras balkon tidak enak dilihat. Padahal itu jelas sulit diperoleh di tengah kota Jakarta yang padat. Lain halnya kalau tinggal di pegunungan.

Ditemani Hendra, Robin meninjau kamar yang kosong itu. Sebenarnya tidak kosong sama sekali karena perabotnya masih lengkap. Hanya penghuninya saja tak ada. Mereka menuju ke teras. Hendra membuka pintu balkon. Udara yang lebih segar masuk. Mereka berdua berdiri di depan teralis. Yang tampak adalah atap dari perumahan kecil-kecil. Beragam bentuk dan warnanya. Jauh ke depan lagi terlihat lapangan kosong tanpa bangunan dengan tanaman besar-kecil tak beraturan.

'itu apa, ya?" tanya Robin sambil menunjuk.

"Oh, itu kuburan, Pak. Tapi kan jauh. Dari sini aja kelihatannya dekat. Apalagi nggak jelas seperti kuburan, bukan?" Hendra merasa perlu menjelaskan.

"Apakah dulu pemilik pertama nggak menanyakan lapangan apa itu?"

"Wah, nggak tahu tuh, Pak. Bukan saya penjualnya. Mungkin juga dia nggak nanya-nanya. Saat itu ketika gedung ini baru berdiri, peminatnya banyak sekali. Laris seperti kacang goreng. Dalam waktu singkat habis terjual. Tapi biarpun ada kuburan di sebelah sana, kan nggak apa-apa, Pak. Perumahan yang lebih dekat ke sana kan nggak mendapat masalah."

"Ya. Saya kan nggak bilang bahwa itu masalah.



Kadang-kadang ada saja orang yang percaya gituan. Dengar-dengar, beberapa tahun yang lalu ada orang bunuh diri di lantai ini juga. Kamar yang mana itu?"

"Yang ini, Pak," bisik Hendra. Entah kenapa dia berbisik padahal mereka cuma berdua.

"Oh, begitu. Saya sudah duga."

"Kenapa?"

"Mungkin penghuni nggak kerasan karena mendengar tentang hal itu. Bisa dipahami. Lantas penghuni yang mana itu yang bunuh diri?"

"Penghuni kedua."

"Oh, bukan yang pertama?"

"Bukan. Yang pertama pindah karena istrinya ingin memelihara anjing."

"Bisa Anda ceritakan mengenai penghuni yang bunuh diri itu? Dengan siapa dia tinggal di sini dan apa motivasinya?"

"Dia bujangan, Pak. Kayaknya karyawan. Pergi pagi pulang sore. Tinggal di sini sendirian. Sering kedatangan tamu seorang gadis. Mungkin pacarnya. Yah, bukan urusan kami hal-hal seperti itu. Nggak mungkin melarang, kan? Lalu gadis itu nggak pernah datang lagi. Dia sering murung. Ada satpam yang melihatnya menangis di mobil. Kemudian terjadilah peristiwa itu. Tapi yang ini benar-benar bunuh diri, Pak. Ada surat yang ia tinggalkan."

"Ya." Robin tak ingin bertanya lebih detail.

"Lantas ke mana tubuhnya jatuh?"

"Ke atap," Hendra menunjuk atap di bawah.

"Sampai jebol tuh."

"Jadi ahli warisnya yang kemudian menjual apartemen ini."

"Ya. Orangtuanya yang tinggal di Bandung. Mereka beruntung karena tak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mendapatkan pembelinya. Mungkin karena harga yang ditawarkan di bawah pasaran. Mungkin juga karena si pembeli nggak tahu kisahnya."

"Dan setelah tahu dia buru-buru mau menjual lagi. Begitu seterusnya."

"Sepertinya begitu. Sekarang cukup lama kosongnya. Pemiliknya orang Jakarta juga. Padahal semula dia memilih tempat ini karena dekat dengan tempat kerjanya."

"Apakah penghuni lain di lantai ini tahu mengenai kisah itu?"

"Saya nggak tahu, Pak. Mungkin tahu tapi diam diam aja, atau nggak peduli. Kejadiannya sudah cukup lama."

"Sekarang terjadi lagi. Pasti yang dulu pun ikut terungkit."

"Ya. Pasti," kata Hendra dengan nada mengeluh.

"Tapi mau apa lagi? Mestinya orang bisa berpikir rasional. Peristiwa seperti itu bisa terjadi di mana pun."

"Mestinya memang begitu. Apa di lantai ini ada yang punya anak kecil?"

"Nggak ada, Pak. Yang di seberang Pak Rama dihuni sepasang suami-istri tanpa anak, dengan seorang ibu tua dan pembantu, Ningsih. Si Ningsih

mengurus si ibu tua. Lalu di sebelahnya juga pasangan suami-istri muda tanpa anak. Mereka tak punya pembantu. Tapi lantai di bawah banyak yang memiliki anak kecil. Lantai di atas juga ada beberapa."

"Paling tidak mereka bisa mengambil hikmah agar lebih berhati-hati dalam menjaga anak mereka."

"Jadi menurut Anda itu kecelakaan?"

"Kemungkinan ada."

"Ya, masa Sih si Ani tega bawa anak kecil ikut terjun. Kelihatannya dia sayang sama Agung. Nggak pernah berlaku kasar."

"Bagaimana dengan perlakuan orangtua Agung terhadap Ani? Tentunya menurut penglihatan Anda."

"Mereka baik-baik saja," jawab Hendra dengan nada hati-hati.

"Ah, baiknya Anda bertanya sama Ningsih saja. Saya jarang memerhatikan penghuni di sini."

"Ya. Ayolah, kita keluar."

Hendra menutup pintu ke balkon. Robin memandang sekitarnya sebelum keluar. Sebenarnya nyaman tinggal di smi, pikirnya. Tapi untuk orang seperti dirinya, mana mampu? Semurah-murahnya harga yang diberikan. tetap saja tidak sanggup.

"Di sini tinggal Pak Wijaya, istrinya Bu Evita, dan ibu Pak Wijaya yang setengah jompo. Pembantu mereka Ningsih," kata Hendra, menunjuk pintu apartemen yang berseberangan dengan milik Rama.

"Tapi di sana sekarang cuma ada ibu tua bersama NingSih. Pak Wijaya dan istrinya baru kembali nanti sore."

"Ya. Saya sudah tahu. Saya sudah bicara dengan NingSih tadi. Nanti saja saya bicara dengan mereka."

"Baik. Yang satu lagi itu," Hendra menunjuk pintu di sebelah apartemen Wijaya,

"ditempati Pak Henri dan Bu Santi. Saya kira mereka ada di rumah sekarang. Mau ke situ, Pak?"

Hendra mengetuk pintu. Tampak lubang pada pintu terbuka. Ada mata mengintip. Lalu pintu dibuka. Hendra bicara sejenak dengan tuan rumah, lalu mengenalkannya pada Robin. Sesudah itu Hendra pamit untuk mengurusi pekerjaannya sendiri. Tentunya Robin tidak perlu lagi ditemani.

Henri menyilakan Robin masuk. Santi menyambut dengan ramah. Keduanya pasangan muda yang berusia awal tiga puluhan.

Kedua suami-istri itu sama-sama mengatakan tidak mendengar suara jeritan karena televisi menyala. Kalaupun tertangkap bunyi jeritan, mereka mengira itu dari televiSi. Jadi mereka berdua terlambat mengetahui peristiwa yang telah terjadi. Mereka baru tahu setelah turun ke bawah untuk sarapan bubur ayam di warung.

Mereka tinggal di situ baru beberapa bulan.

"Kami belum begitu mengenal tetangga. Tapi hubungan di Sini kayaknya memang kurang akrab." cerita Santi.

"Kenalan sih iya. karena kurang enak

bertetangga nggak tahu satu sama lain. Saya suka sama Agung. Anak itu manis dan lucu. Kasihan sekali, ya."

Jadi dari mereka berdua tak banyak informasi yang bisa diperoleh Robin.

"Waktu Anda memilih apartemen kok ambilnya yang ini, bukan yang itu?" Robin menunjuk ke arah pintu. Ke apartemen kosong di seberang.

"Ya. Kami ke sini menemui Pak Hendra, menanyakan apartemen kosong. Hanya ada dua. Yang ini dan yang di seberang. Pak Hendra menyarankan ambil yang ini saja. Terus dia memberitahu pemiliknya. Kami nego sama pemiliknya. Harganya cukup miring. Sebetulnya kami pengin yang pintu balkonnya menghadap ke jalan, bukan yang memberi pemandangan atap rumah. Tapi karena harganya miring, ya kami ambil yang ini."

"Yang di seberang nggak dilihat juga?" tanya Robin ingin tahu.

"Oh, dilihat dong. Supaya bisa milih sendiri biarpun menurut Pak Hendra lebih nyaman yang ini. Akhirnya kami milih yang ini."

"Kenapa? Kan sama saja."

"Memang sama. Mungkin feeling saja."

"Tapi memang nyaman tinggal di kompleks apartemen ini rupanya."

"Ya. Cukuplah. Mau ke kantor nggak perlu pakai mobil. Cukup jalan kaki. Itu suatu penghematan besar."

Robin menyadari kedua suami-istri itu tidak tahu

riwayat apartemen di seberang mereka. Lebih baik begitu.

Ia pamitan dan kembali menuju apartemen Rama untuk menjenguk pekerjaan anak buahnya. Belum sampai ke sana ia dihampiri seorang petugas Labfor yang barusan disuruh meneliti sidik jari pada mantel hitam di belakang pintu kamar Ani. Wajahnya menampakkan kehebohan.

"Kenapa?" tanya Robin.

"Mantel itu bau banget. Tapi nggak ada sidik jari barang satu pun!"

Setelah membuat perjanjian lewat Hendra, menjelang malam Robin kembali sendirian ke apartemen Wijaya. Ia disambut suami-istri Wijaya dengan ramah. Wajah mereka masih kelihatan lelah. Wijaya bertubuh agak gemuk. tinggi sedang dengan wajah bulat dan berkacamata. Usianya diperkirakan empat puluh. Istrinya, Evita, tampak kontras dibanding suaminya. Dia lebih tinggi, langsing, dan cantik. Juga jauh lebih muda.

"Maaf, saya datang malam begini," kata Robin.

"Tapi saya perlu mengumpulkan info secepatnya."

"Tentu saja. Kami mengeni, Pak. Kami sudah dengar beritanya. Menyedihkan sekali. Agung itu anak yang manis. Kami senang melihatnya," kata Wijaya.

"Ya. Dia mengingatkan saya pada anak kami

yang meninggal beberapa tahun yang lalu," Evita menimpali.

"Sudah berapa lama Anda tinggal di sini?"

"Lebih dari dua tahun."

"Apa nggak repot membawa ibu Anda ke sini?"

"Nggak juga. Di Sini aman buat dia."

"Bagaimana hubungan Anda berdua dengan keluarga Rama?"

"Di sini hubungan bertetangga kurang akrab, Pak. Kenal sih kenal, tapi masing-masing sibuk sendiri," jelas Wijaya.

"Jadi rasanya kami kurang bisa menggambarkan mereka itu seperti apa. Dari luar sih semua juga kelihatan baik-baik saja."

"Saya suka diajak Bu Ava untuk ikut latihan senam dan kebugaran. Dia punya pusat kebugaran yang cukup lengkap. Tapi saya cuma ikut sebulan karena tubuh saya jadi makin kurus," tutur Evita, tertawa.

"Menurut Anda, bagaimana sikap Ani terhadap Agung selama mengasuhnya?"

"Saya lihat sih baik-baik aja, Pak. Soalnya Agung kan udah cukup besar. Lagi pula dia anak yang baik. Nggak nakal. Sehari-hari dia ditemani Ani aja tuh kalau orangtuanya pergi. Tapi hari Sabtu atau Minggu dia selalu diajak tantenya pergi jalan-jalan. Saya kenal sama Nadia, tantenya itu. Kami suka berbincang sejenak kalau bertemu," kata Evita.

"Apa Bu Ava atau Nadia pernah mengeluh tentang Ani kepada Anda?"

"Nggak tuh. Sepertinya nggak ada masalah apa

apa. Barangkali si Ningsih bisa cerita lebih banyak. Dia temannya Ani."

Robin segera tahu, Ningsih tidak menceritakan bahwa mereka sudah bertemu dan berbincang tadi. Tapi ia tidak mau mengatakan.

"Di mana ibu Anda?"

"Dia di kamar. Lagi rebahan. Mungkin tidur."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah berapa lama NingSih bekerja di sini?"

Evita berpikir sejenak. Menghitung-hitung "Sekitar delapan bulan. Ya, Pa?" Ia memandang suaminya, mmta penegasan.

Wijaya mengangguk.

"Ya. Ada segitu. Cukup lama dibanding pembantu sebelumnya. Maklum, mengurus orangtua nggak sama dengan mengurus anak kecil. Tapi kami memberinya gaji lumayan, jauh lebih besar bila dibanding dengan gaji Sl Ani atau pembantu lain di gedung ini. Hari ini pun sebetulnya dia libur, tapi kami minta dia tetap bekerja karena kami ada urusan ke Semarang. Untuk itu kami memberinya imbalan. Dibanding pembantu sebelumnya, dia yang paling baik."

"Anda tidak khawatir meninggalkan ibu Anda berdua saja dengan pembantu?"

"Saya percaya sama Ningsih," sahut Wijaya.

"Saya juga titip sama Pak Hendra. Di sini satpamnya baik-baik."

"Saya mau bicara dengan Ningsih berdua saja. Bisa?"

"Bisa, Pak."

Evita pergi memanggil Ningsih.

Robin diberi tempat di dapur. Segelas minuman disediakan untuknya.

"Jadi majikanmu belum tahu, tadi kita sudah bicara?" tanya Robin pelan.

Tatapan Ningsih tertuju ke pintu yang tidak ditutup.

"Ya," sahutnya lirih.

"Soalnya tadi juga saya bangun kesiangan. Untung Bu Leoni nggak nyampein."

"Apa mereka akan marah kalau tahu?"

"Takutnya gitu."

"Apa kau takut kalau diberhentikan?"

"Nggak sih. Mereka butuh saya."

"Apa susah mengurus ibu tua itu?"

"Susah-susah gampang. Kalau dia tidur saya bisa istirahat. Tapi kalau nggak. nyuruh melulu. Mijitin nggak habis-habisnya sampai jari-jari saya sakit. Suka marah-marah, lagi. Tapi Bu Evi selalu menghibur saya dan minta saya sabar. Saya tahu dia takut saya berhenti," NingSih bicara hampir berbisik.

Tapi Robin masih bisa mendengar.

"Dia lumpuh?"

"Ya. Nggak bisa jalan. Tapi dua tangannya bisa bergerak biasa."

"Mesti diurus kayak anak kecil dong."

"Nggak juga sih. Dia bisa ke kamar mandi sendiri."

"Oh ya? Kan katanya lumpuh."

"Di kamar mandi yang adanya di kamar tidur dia, dibuatkan pegangan. Jadi dia bisa narik badan

dan beringsut-ingsut. Tau gimana, karena saya belum pernah melihat. Kalau butuh bantuan dia akan teriak. Tapi nggak pernah tuh."

"Nggak terlalu nyusahin juga dong."

"Ya. Katanya nggak enak dimandiin dan dicebokin orang."

"Baik. Saya harap kamu bisa terus bersabar. Latihan untuk masa depan, Ning. Sekarang kita kembali ke kasus Ani tadi. Katamu kau bangun kesiangan. Jam berapa bangunnya?"

"Jam delapan."

"Kok bisa begitu? Apa ibu tua nggak membangunkan kamu? Apa dia nggak marah?"

"Biasanya saya masang jam weker, Pak. Selalu pukul lima bunyinya. Tapi tadi nggak bunyi. Biasanya kalau nggak bunyi saya dibangunin Bu Evi. Bu Oni nggak marah karena dia juga baru bangun. Padahal biasanya dia juga suka bangun pagi."

"Namanya Bu Oni?"

"Oh, namanya Leoni. Tapi biasa dipanggil Oni."

"Jadi waktu orang lain ribut soal Ani dan Agung yang jatuh itu, kamu nggak tahu apa-apa? Lantas dari mana tahunya?"

"Ya, mulanya saya nggak tahu. Tapi waktu saya buka pintu ke balkon, seperti kebiasaan kalau bangun, saya dengar suara ribut-ribut di bawah. Saya nggak membayangkan ada kejadian seperti itu. Saya pikir ada maling atau apa. Terus nggak lama kemudian pintu digedor. Bu Santi, tetangga sebelah, mem

beritahu tentang Ani dan Agung. Saya kaget sekali. Lemes sekali rasanya. Mau pingsan."

"Apa ibu tua itu langsung dikasih tahu?"

"Dia lihat Bu Santi ngomong sama saya di depan pintu, jadi dia pengin tahu. Dan nggak mungkin nggak dikasih tahu. Padahal ngomong sama dia susah. Mesti teriak-teriak. Dia budek."

"Bagaimana reaksinya?"

"Dia kaget. Tapi diam nggak ngomong apa-apa. Mungkin sedih."

"Apa dia kenal Agung?"

"Ya."

Suara Ningsih sayup-sayup. Matanya ke pintu. Sebenarnya Robin ingin bertanya lebih banyak, tapi ia merasa Ningsih kurang bersikap terbuka. Mungkin takut majikannya menguping.

"Satu pertanyaan lagi. Tentang pacar Ani, si kumis itu, di mana bisa ditemui?"

"Dia kerja dia Toko Abadi di pertokoan seberang, Pak. Tokonya menjual peralatan kantor."

Robin mencatat lalu berdiri.

"Terima kasih atas bantuanmu, Ning. Nanti kaupikirkan lagi mengenai Ani dan apa saja yang dibicarakannya denganmu. Barangkali ada sesuatu yang penting di situ. Oh ya," Robin merendahkan suaranya,

"Tentang mantel hitam yang tadi itu, jangan bilang siapa-siapa dulu, ya? Tapi kaupikirkan lagi. mungkin pernah melihatnya di mana. Sekarang lupa, mungkin nanti ingat. Nanti kita bicara lagi."

"Ya. Pak."

Robin pamitan. Sebelum keluar ia menoleh sejenak ke arah kamar yang pintunya terbuka sedikit. Kamar Bu Leoni. Tapi ia tidak bisa melihat siapa siapa.



SORENYA, Robin kembali ke RS Karisma untuk menjenguk Agung. Seorang petugas ditempatkan di sana secara bergantian untuk menjaga. Posisi Agung menjadi sangat penting karena dia bukan hanya korban, tapi juga saksi mata.

Agung masih belum sadarkan diri. Keadaannya masih terlihat sama seperti pagi harinya. Rama dan Ava sudah berada di sana. Nadia pun belum pulang.

"Apa kalian akan menunggui semalaman?" tanya Robin.

"Nggak, Pak. Saya sudah minta tolong sama kerabat dekat saya untuk membantu. Mereka akan bergiliran. Besok pagi sebelum kerja dan pulang kerja kami mampir ke sini," sahut Rama.

"Pak Robin, bisa minta alamatnya Satpam Barata?" tanya Nadia.

"Mau menjenguk dia, ya?"

"Iya. Saya pikir sekarang waktu yang tepat. Mumpung masih libur dan kejadiannya baru. Kalau besok-besok sih saya pikir nilai kunjungannya jadi berkurang."

"Siapa tahu dia masih tidur, Na," Rama kurang setuju.

"Kalau dikunjungi dia malah jadi terganggu. Tahukah kau, dia itu bujangan dan tinggal sendirian? Biar kami aja yang menyampaikan terima kasih kepadanya. Aku juga lagi mikirin hadiah apa yang pantas kuberikan untuknya."

"Ya, Mas kan sebagai orangtua Agung. Aku sebagai tantenya."

"Besok-besok juga dia kerja lagi," sambung Ava.

"Pasti rumahnya susah dicari."

"Kalau besok-besok situasinya udah beda, Mbak. Biar rumahnya susah dicari, aku bisa berusaha. Sudahlah, nggak apa-apa. Ayo, Pak Robin, alamatnya."

Nadia mengeluarkan notesnya untuk mencatat alamat.

"Kalau Mbak Nana mau ke sana, bagaimana kalau sama saya saja?" Robin menawarkan.

"Saya juga ingin menengoknya lagi kalau-kalau dia butuh apa-apa. Mobil nggak bisa masuk gang depan rumahnya. Saya bawa motor. Hitung-hitung pakai ojek."

Robin dan Nadia tertawa. Tapi Rama dan Ava merengut. Nadia memang sulit dinasehati. Semaunya sendiri.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak. Gimana kalau sekarang saja? Nanti kita mampir dulu di pasar swalayan. Saya mau beli buah," kata Nadia bersemangat.

"rapi bawa helm serep. nggak?"

"Bawa dong. Saya selalu bawa. Kalau disangka ojek, lumayan bisa buat nambah sangu."

Ava tambah merengut. Sebenarnya dia juga ingin ikut serta, tapi sepertinya kurang pantas. Di depan seorang polisi tentunya ia harus menjaga kelakuan. Nanti disangka macam-macam.

"Kalau gitu, mobil saya tinggal di sini saja, ya. Nanti saya kembali ke sini pakai taksi."

"Ah, saya antar lagi dong ke sini. Sekalian menjenguk Agung lagi."

"Oh ya. Baik begitu."

Nadia dan Robin berangkat diikuti tatapan masam Rama dan Aia.

"Si Nana itu suka memberi hati pada cowok yang nggak pantas buat dia," keluh Ava.

"Polisi, lagi."

"Lelaki itu nggak boleh dikasih hati. Bisa ngelunjak," Rama sepakat.

"Kau udah pengalaman sih, ya," sindir Ava.

Rama diam. Ava menatapnya dengan sebal. Padahal dia masih ingin menumpahkan kekesalannya perihal Nadia, sedang orang satu-satunya yang ada hanya Rama. Oh. Agung, kuharap kau cepat sadar dan cepat pulang. Tapi, siapa yang akan menjagamu nanti, ya? Duh, repot sekali. Aku harus mencari pengganti si Ani. Bisakah aku memercayai pemban

tu lagi? Masa aku harus meninggalkan pekerjaanku?

Nadia belanja cukup banyak sampai Robin terheran-heran. Ia membeli jeruk, apel. pir, dan menimbang-nimbang untuk mengambil semangka! Untung semangkanya ditaruh lagi. Mungkin teringat bahwa ia tidak membawa mobil. Tapi belum cukup dengan buah, ia membeli kue-kue kering.

"Enak kan sambil nonton teve makan kue dan buah-buahan," kata Nadia.

"Ya," Robin membenarkan. Dalam hati berpikir, beruntung benar si Barata mendapat perhatian dari seorang gadis seperti itu. Perhatian yang murni sebagai tanda terima kasih.

"Mbak Nana sangat menyayangi Agung, ya?"
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh iya. Dia seperti anak saya sendiri."

"Tentunya dia juga lengket sama Anda."

"Tentu saja," sahut Nadia dengan nada bangga.

"Jangan-jangan dia lebih lengket sama Anda daripada orangtuanya sendiri."

"Wah, nggak tahu deh. Si Agung itu membalas kaSih sayang orang kepadanya dengan kasih sayang

juga. Logis aja."

"Kadang-kadang ada orang yang nggak begitu, Mbak."

"Ya. memang ada. Orang yang begitu adalah orang yang nggak logis," jawab Nadia ringan.

Robin tertawa.

"Tadi saya merasakan sikap kakak dan ipar Anda kurang menyukai kegiatan Anda ini."

"Biar saja. Mereka bukan orangtua saya."

Robin tak mau bertanya lagi, khawatir dianggap terlalu jauh mencampuri. Itu bukan urusannya.

Mereka menjumpai Barata yang terkejut dan tersipu-sipu oleh kunjungan tak terduga itu. Kalau hanya Robin bisa dipahami, tapi gadis itu adalah surprise yang sangat besar. Padahal dia cuma bersarung dan berkaus kumal. Mau lari dulu ke dalam untuk ganti pakaian tak bisa, karena jangankan lari, berjalan pun susah. Dia buru-buru menyisiri rambutnya dengan jari-jarinya.

Robin berperan sebagai pendamping Barata. seolah sudah terbiasa di rumah itu. Ia membawa buah tangan Nadia ke dapur dan memasukkannya ke dalam kulkas. Lalu ia mencari stoples di lemari untuk tempat kue kering. Ia menemukan satu stoples yang baunya tak enak dan banyak bubuk bulukan di dalamnya. Ia mencucinya dulu.

Barata tersenyum canggung. Ia sudah mengenal Nadia yang kerap datang ke Srigading untuk menjemput Agung, tapi hanya sebatas tahu orangnya saja.

"Saya datang sebagai pribadi, Mas. Sebagai tantenya Agung yang sangat berterima kasih. Bukan sebagai wakil dari orangtuanya."

"Terima kaSih."

"Ih, jangan ngomong begitu. Sayalah yang berterima kasih. Saya harap kaki dan tanganmu cepat sembuh."

"Tadi saya sempat diurut oleh tabib dekat rumah. Rasanya udah enakan."

"Mana? Coba lihat."

Dengan segan Barata memperlihatkan lengan dan pergelangan kakinya. Ia merasa malu.

"Ah, masih bengkak," komentar Nadia.

"Ya memang. Tapi udah enakan."

"Masih dipakai kruknya?"

"Kalau di rumah sih loncat-loncatan aja sambil pegangin tembok. Males pakai kruk."

"Iya. Nanti malah kruknya kesandung kursi."

Mereka tertawa. Saat itu Robin muncul membawa stoples yang sudah diisi kue kering bawaan Nadia, berikut tiga gelas dan sebotol air Aqua.

"Waduh, itu kan stoples kotor," kata Barata terkejut.

"Saya juga lihat dong. Sudah dicuci. Tuh lihat. Kalau nggak masa mengilap begitu."

Barata tersenyum.

"Nyusahin kau aja."

"Sudah biasa. Saya juga tinggal sendiri. Malah rumah saya lebih jelek dari ini."

"Ah, kau bisa aja."

"Saya malah kos. Nggak punya rumah sendiri," Nadia menimpali.

Ketiganya tertawa. Baru awal perkenalan sudah terasa akrab. Hal itu terutama disebabkan sikap Nadia yang gampang bergaul dengan siapa saja.

"Begitu kaki saya bisa dibawa jalan, biarpun pincang, saya mau nengok Agung," kata Barata.

"Mudah-mudahan saat itu dia sudah sadar, ya," kata Nadia yang menceritakan kondisi Agung seperti yang dikatakan Dokter Surya tadi.

"Kalau dia sadar. dia bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi." kata Robin.

"Saya dengar, orang dalam kondisi koma harus sering diajak bicara. Nanti bisa cepat sadar," kata Barata.

"Ya. Tapi nanti kalau dia sudah dipindahkan ke kamar. Di ruang rawat intensif sulit," sahut Nadia.

"Saya sudah punya bahan yang mau dibicarakan nanti. Yaitu cerita film animasi yang pernah kami tonton bersama. Dia senang sekali membicarakannya lagi. Mudah-mudahan ada film baru yang akan main. Kalau itu disampaikan padanya mungkin bisa jadi rangsangan. Biar cepat bangun supaya bisa nonton."

"Mbak Nana akan tiap hari menjenguk?" tanya Robin.

"Iya dong. Tiap pulang kantor aja. Tapi mudah mudahan nggak lama."

"Kebetulan kita kumpul bersama," kata Robin.

"Ada yang mau saya bicarakan. Barangkali kalian bisa memberi info yang membantu."

Robin menceritakan perihal penemuan mantel hitam di belakang pintu kamar Ani. Matanya yang tajam segera menangkap kejutan di wajah Barata.

"Kau pernah melihat ada yang memakai seperti itu?" sambar Robin.

"Ng...nggak," sahut Barata. Ia masih kaget dan juga bingung. Kalaupun memang benda hitam itu yang dilihatnya tak mungkin bisa berada di kamar Ani. Seharusnya jatuh entah di mana.

"Mbak Nana pernah melihat? Barangkali sewaktu berkunjung ke sana. Fntah siapa yang pakai. Si Ani sendiri, Pak Rama, atau Bu Ava."

"Nggak juga. Kalau memang ada yang pakai kayak gitu di sini pantasnya orang gila," sahut Nadia.

Robin kembali mengarahkan tatapannya pada Barata.

"Ya, Bar? Ada yang mau kausampaikan?" tanyanya, halus tapi mendesak.

Mendadak Barata menyesal telah mengikuti anjuran Parto. Mestinya dia menyampaikan saja apa adanya. Mau dipercaya atau tidak itu terserah. Akhirnya ia mengatakannya. Tapi tidak memberitahu bahwa ia mengikuti anjuran Parto. Itu tidak sportit".

"Maafkan saya. Rasanya memang aneh waktu itu. Saya jadi ragu-ragu apakah saya salah lihat karena di pelataran parkir tidak ada benda hitam atau apa. Parto yang saya suruh cari dengan saksama juga mengatakan tidak menemukan. Dia sudah naik ke atas pohon dan memeriksa atap. Dia benar-benar yakin nggak ada. Jadi saya pikir jangan-jangan salah lihat maka nggak perlulah bilang-bilang. Tapi... tapi kan nggak mungkin kalau mantel yang itu, Pak. Masa dia bisa masuk ke kamar Ani?"

Robin dan Nadia sama-sama tertegun, menatap Barata dengan terpesona.

"Saya yakin, selama ini kau tentu terus memikirkan soal itu. Nah, apa yang kausimpulkan? Kau tetap yakin, telah melihat tiga benda yang melayang

jatuh, salah satunya benda hitam itu?" tegas Robin.

"Ya, Pak. Tapi terus terang saya nggak punya kesempatan banyak untuk mengamatinya. Agung jatuh duluan jadi perhatian saya fokus kepadanya. Bahkan si Ani pun tidak sempat saya amati. Saya harus memilih. Beberapa detik setelah saya menangkap Agung, saya mendengar bunyi berdebum."

"Berapa kali?"

"Satu kali saja. Pak. Itu si Ani yang jatuh. Tapi setelah itu nggak ada yang jatuh lagi ke lantai. Sekitar pelataran nggak ada benda hitam."

"Bentuknya seperti orang?"

"Mirip. Kedua tangannya terentang berkibarkibar. Saya renungkan lagi belakangan, sepertinya kalaupun itu orang dia mengenakan lengan baju yang panjang dan lebar. Tapi kalau hanya baju saja, apa iya bisa seperti itu. Dan biarpun jatuhnya lebih lama, tapi pasti dia jatuh, kan?"

"Ih, kamu menakut-nakuti," kata Nadia.

"Sori, Mbak. Tapi saya harus mengatakannya, kan?"

"Betul sekali, Bar. Saya nggak meragukan penglihatanmu. Kau saksi mata yang baik."

"Sidik jari pada mantel itu, Pak?" Nadia mengingatkan.

"Nggak ada."

"Nggak ada?" tanya Nadia dan Barata berbarengan. Mereka sama-sama terkejut.

"Ya. Nggak ada satu pun. Jadi mau dibilang milik siapa? Logikanya kalau ada di kamar Ani, tentu milik Ani, bukan? Adanya di belakang pintu. Masa nggak tersentuh sama sekali olehnya. Ada baju lain digantung di sebelahnya. Lagi pula mantel itu bau apek. Masa dia nggak terganggu? Bener-bener nggak masuk akal."

"Bagaimana tanggapan kakak dan ipar saya?" tanya Nadia.

"Mereka juga terkejut dan menyatakan belum pernah melihatnya."

"Rasanya saya pengin sekali ke sana untuk mencari sendiri," kata Barata.

"Besok saya akan kerahkan anak buah untuk mencarinya. Siapa tahu ada di tempat yang tidak tertangkap mata Parto. Coba diingat lagi, Bar. Apakah saat kejadian itu anginnya kencang?"

"Sedikit, Pak. Tak terlalu. Tapi kalau di atas anginnya pasti lebih kencang."

"Bisakah kau mengingat lagi. apa kau bisa melihat caranya melayang biarpun cuma sekilas? Ringan atau berat?"

Barata termangu. Lalu berkata pelan,

"Seperti... seperti burung, Pak."

Robin dan Nadia melongo.

"Kalau burung kan nggak bisa jatuh," kata Robin.

"Ya. Dia menukik tapi kemudian terbang. Maaf", Pak. Penglihatan saya itu saya simpulkan sendiri dari kenyataan yang ada."

"Burungnya pasti besar dong."

"Ya," sahut Barata pelan juga. Rasanya memang sulit diterima akal.

"Burung hitam yang besar," gumam Robin sambil berpikir. Ia tidak mau meremehkan pendapat Barata karena ia tidak menyaksikannya sendiri.

"Sejenis gagak," kata Barata lagi.

Robin dan Nadia terperangah. Mereka menatap Barata dengan bingung. Apakah Barata sudah mulai mengada-ada?

"Dulu saya pernah melihatnya. Bahkan dua kali."

Nadia mulai merasa aneh terhadap Barata. Ia melihat ekspresi Barata yang berbeda. Tatapannya sedih.

"Bisa kauceritakan, Bar?" tanya Robin, kembali dengan halus tapi mendesak.

"Sekali di kampung kelahiran saya, di Jawa Barat. Umur saya baru sepuluh tahun. Suatu malam longsor menimpa rumah kami hingga menewaskan kedua orangtua dan adik saya. Hanya saya yang selamat karena malam itu saya pergi ke kali untuk

buang air. Saat itu saya melihat seekor burung gagak besar terbang di depan saya, dekat sekali sambil berkaok-kaok. Setelah itu saya mendengar suara gemuruh lalu saya berlari pulang. Saya sempat melihat banjir lumpur menimpa rumah tanpa sempat berbuat sesuatu."

"Bukankah kau bilang rumah ini diwarisi dari orangtuamu?"
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, ini orangtua angkat. Saya diadopsi. Mereka

sangat baik. Tapi saya pun harus kehilangan mereka. Bapak meninggal lebih dulu karena sakit. Ibu menyusul beberapa tahun keniudian,juga karena sakit."

"Apa saat itu kau kembali melihat burung itu?"

"Nggak."

"Lantas yang kedua kali itu kapan?"

"Ketika saya kehilangan istri dan anak saya," kata Barata dengan mata basah.

"Mereka berdua pergi ke Semarang naik kereta api. Saya nggak bisa mengantarkan karena terikat pekerjaan. Waktu itu saya masih kerja di tempat lain. Pulang kerja malam hari saya kembali melihat burung itu bertengger di atas atap rumah. Dia seperti menunggu saya. Setelah saya melihatnya dia mengepak-kepakkan sayapnya. berkaok-kaok lalu terbang pergi. Saya ketakutan sekali. Lalu saya telepon istri saya tapi nggak ada sahutan. Semalaman nggak bisa tidur. Paginya keluar berita bahwa kereta api yang ditumpangi istri dan anak saya itu tabrakan. Mereka meninggal. Burung itu membawa berita kematian."

Robin dan Nadia termenung. Diam-diam Nadia mengeluarkan tisu. Matanya berair.

"Umur berapa anakmu?"

"Dua tahun. Kejadiannya lima tahun yang lalu. Waktu itu belum kerja di Srigading."

"Kau luar biasa tabah, Bar."

"Nggak juga. Saya manusia biasa."

"Ya tentu."

Nadia menyodorkan gelas berisi air kepada Barata.



"Terima kasih," kata Barata lalu meminumnya. Kemudian mengangguk,

"Enakan rasanya," katanya sambil mengelus kerongkongannya. Sebenarnya dengan menceritakan pengalaman yang selama ini tidak diketahui orang lain di lingkungannya, ia sudah merasa agak lega. Padahal semula ia berpikir tak ada gunanya bercerita kalau hanya memancing kasihan saja. Memangnya cuma dia seorang yang menderita di dunia ini? Tapi kali ini bukan sekadar bercerita, tapi ada hubungannya dengan tragedi sekarang.

"Maaf ya, Pak Robin. Saya nggak bermaksud memastikan bahwa apa yang saya lihat itu adalah burung yang sama. Saya hanya ingin mengajukan teori saja."

"Saya mengerti. Bar. Memang hanya burung yang bisa pergi tanpa jejak setelah menampakkan diri. Tapi ada bedanya dengan dua kali pengalamanmu sebelumnya. Yang dulu membawa berita sebelum kejadian. Yang sekarang berbarengan."

"Dia terlihat sebelum maut menjemput Ani. Meskipun cuma beberapa detik saja."

Robin terdiam.

"Tapi pada kasus meninggalnya kedua orangtua angkatmu burung itu tidak menampakkan diri," kata Nadia.

"Betul. Saya pikir, itu disebabkan karena saya sudah siap menerima kematian mereka. Meninggal karena sakit berbeda dibanding meninggal karena kecelakaan. Pada yang pertama kita sudah siap dan pasrah. Tak perlu diingatkan dan dikasih tahu."

"Ah, benar sekali. Kau hebat, Bar. Saya kagum padamu," kata Nadia terus terang.

Barata jadi tersipu.

"Ah. itu pengalaman hidup, Mbak. Bukan prestasi."

"Tapi berhasil mengatasi musibah adalah prestasi. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Agung juga prestasi."

"Setiap orang akan melakukan hal yang sama, Mbak. Sulit membayangkan ada orang yang lari saat ada yang jatuh seperti itu."

"Kau rendah hati."

"Pengalamanmu itu layak direnungkan. Bar," kata Robin.

"Terutama kaitannya dengan mantel hitam itu. Nanti kita bicarakan lagi kalau kita sudah memperoleh tambahan informasi. Selama ini kaupikirkan lagi. Mungkin masih ada yang terlewatkan."

"Baik. Pak."

"Sementara ini baiknya kalian jangan cerita dulu pada orang lain perihal benda hitam yang melayang itu."

"Parto sudah tahu."

"Biarkan saja dia. Bukan dia sumber beritanya. kan?"

"Saya juga nggak akan cerita pada Rama dan Ava." Nadia berjanji.

"Ngomong-ngomong, apa kalian sudah lapar?" tanya Robin.

"Saya kok lapar banget. Bagaimana kalau kita makan bersama? Saya akan beli makanan di restoran Padang depan sana. Yang komplet aja,

Nadia setuju. Ia mengambil tasnya. Tapi Robin sudah melesat pergi.

"Bayarnya belakangan aja," kata Barata.

"Iya. Gesit sekali dia."

"Baik ya dia. nggak sombong," puji Barata.

"Mestinya memang begitu jadi polisi. Sambil berbaik-baik sama orang lain, dia bisa dapat info berharga secara gratis dan suka rela. Orang yang diinterogasi dengan wajah seram kan jadi takut ngomong."

"Betul sekali."

Nadia memandang berkeliling. Ia menganggap rumah itu cukup rapi bagi seorang bujangan.

Barata melihat pandangan Nadia.

"Rumahnya jelek, bukan? Tapi saya senang punya rumah. Rapiin sendiri, ngatur sendiri, betulin sendiri juga. Pokoknya dibuat senyaman mungkin untuk diri sendiri karena ke sinilah saya pulang setiap habis capek bekerja."

"Itu pemikiran yang bagus. Ada orang yang mentang-mentang hidup sendiri lalu menjadi jorok. Toh nggak ada yang lihat dan mengomel, katanya. Padahal itu membuat dirinya sendiri nggak nyaman. Kerapian juga hasil karya yang membanggakan. Tapi saya nggak lihat foto keluargamu."

"Sengaja. Mbak. Supaya nggak membuat kangen dan sedih. Biarlah teringat dalam memori saja. Nggak perlu dilihat secara nyata."

"Ya. Saya pikir tiap orang harus punya cara untuk mengatasi kesedihan dan tekanan batinnya. Kau senang tinggal di lingkungan ini, Bar?"

"Senang. Hubungan antar warga rukun-rukun saja. Coba kalau nggak ada tamu, mereka pasti sudah berdatangan untuk menengok. Tapi mereka tahu diri. Kalau pintu rumah tertutup, mereka tahu saya nggak suka diganggu. Lagi tidur atau apa."

"Nggak kayak di apartemen dong."

"Ya. Masyarakatnya kan beda."

"Oh ya, saya ingin tanya. Waktu kau menangkap Agung, sebelum jatuh, apakah saat itu ia masih bersuara dan apa yang dikatakannya?"

"Saya baru ingat. Ia mengeluarkan keluhan panjang,

"Oom Baraaa..." Jadi ia mengenali saya. Sesudah itu kami jatuh bersama. Saya menyesal sekali kenapa ia sampai lepas. Coba kalau ia jatuh di atas tubuh saya...."

"Sudahlah. Kan sudah terjadi. Tapi kalau ia bisa bersuara berarti ia dalam keadaan sadar saat melayang ke bawah. Dokter mengatakan mungkin ia sudah pingsan karena syok saat terlempar."

Robin datang membawa makanan.

"Kalian duduk saja di sini. Saya ambil piring dulu," katanya sambil berjalan ke dalam.

"Ia sudah menganggap rumahmu sebagai rumah sendiri," bisik Nadia.

Barata tertawa.

Mereka makan bersama dengan nikmat. Usai makan Nadia mencuci piring dan menolak dibantu. Biar Robin bicara lebih banyak dengan Barata sebelum pergi. Sambil bekerja ia mengamati sekelilingnya. Dapurnya kuno tapi bersih. Pasti tak ada kecoak. Kalau ada ia akan lari keluar dan membiarkan Robin meneruskan pekerjaannya.

Barata tersenyum malu ketika Nadia keluar.

"Wah. jadi ngerepotin amat, ya. Saya merasa nggak berdaya bener. Padahal bisa Sih."

"Kami ini bukannya ngerepotin. Bar. Tapi memanjakan. Pantas dong kamu mendapatkannya," sahut Nadia.

Barata hanya tersipu.

Mereka berbincang lagi sejenak lalu pamit untuk kembali ke rumah sakit. Sepanjang jalan Nadia berdoa, semoga Agung sudah sadar. Tapi ketika tiba di sana, ia mendapat kondisi Agung masih sama seperti semula. Ia seperti tidur nyenyak dan panjang.

Sebelum berpisah dengan Robin, Nadia berpesan,

"Saya ingin sekali bisa melihat mantel hitam itu, Pak. Apa boleh?"

"Tentu saja boleh. Nanti sama-sama saya saja. Besok?"

"Ya. Besok sore pulang dari kantor saya ke sana. Saya akan janjian dulu sama Mbak Ava."

"Barata bilang, dia juga ingin melihatnya. Tentu saya akan memberi kesempatan. Siapa tahu ada suatu komentar yang berguna."

Tapi ketika Nadia membicarakannya dengan Ava dan Rama mereka kelihatan tidak senang.

"Itu mantel biasa saja kok. Bau. lagi. Buat apa sih dilihat?" gerutu Ava.

"Buat apa pula Barata ikut melihatnya? Nanti semua orang pengin lihat juga.

Bener-bener nggak ada privaSi. orang-orang pada keluar-masuk. Pegang ini. Pegang itu."

"Besok sore Mbak di rumah, kan? Aku udah dikasih izin sama Pak Robin," Nadia tak memedulikan gerutuan itu.

"Memangnya itu rumah dia?"

"Sudahlah. Lihat saja kalau mau lihat. Memang harus ada izin dari polisi karena dipasangi pita kuning," kata Rama.

"Aku tunggu di rumah. Kabarin saja dulu."

Ava memperlihatkan ekspresi tak sedap kepada Rama. Nadia buru-buru pergi. Ia tak bisa memahami kedua orang itu.



PADA hari Senin, kondisi Agung tidak berubah. Seperti itulah yang dilihat Nadia ketika ia datang menjenguk sorenya. Rama dan Ava tidak terlihat. Yang menunggu seorang kerabat.

"Ava sudah pulang sedang Rama masih di kantor," jelasnya.

"Tadi Ava berpesan kalau Nana datang segera saja ke sana. Polisi ada di sana juga."

"Baik kalau begitu. Terima kasih."

Ponselnya berbunyi. SMS dari Robin yang mengatakan bahwa dia bersama Barata sudah di Srigading. Tapi mereka berdua menunggu di bawah. karena tidak enak kepada Ava, yang sedang sendirian di apartemennya.

Nadia merasa surprise Barata ikut serta dalam keadaannya yang belum pulih. Mungkin dia sudah tidak sabar ingin melihat mantel menghebohkan itu. Tapi ia senang melihat kehadirannya. Ia ingin sekali

melihat reaksi Barata bila melihatnya meskipun secara logis tidak mungkin benda itulah yang dilihatnya melayang. Apakah burung bisa berubah menjadi mantel setelah memasuki kamar Ani?

Kedua lelaki itu segera menyambut kedatangannya. Barata menggunakan kruknya. Ia tak mau dipapah Robin. Sesekali ia masih bisa bertumpu pada kakinya meskipun cuma sebentar. Ia memperlihatkan kemampuannya itu kepada Nadia.

"Kalau saya bisa kerja di belakang meja, pasti saya sudah masuk Tapi sebagai satpam jelas nggak bisa."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa nggak minta sama Pak Hendra saja?" tanya Robin.

"Malu, ah."

"Biar saya yang ngomongin, gimana?"

"Wah, jangan."

"Jadi dia bilang apa waktu melihatmu datang ke sini?" tanya Nadia.

"Dia heran. Saya bilang, diminta Pak Robin untuk memperjelas apa yang saya lihat. Tentu saya harus minta izin juga padanya. Dia tanya bagaimana kaki saya. Katanya, saya nggak perlu kerja dulu kalau masih sakit. Yang penting saya nggak boleh pakai kruk kalau kerja lagi. Malu-maluin, katanya."

"Ya sudah. Mendingan nggak kerja aja, Bar," kata Nadia.

"Apa kau kesal di rumah? Mau bacaan? Nonton VCD atau DVD? Nanti saya pinjami pemutarnya kalau kau nggak punya. Mau nggak?"

"Punya sih, tapi..."

"Sudahlah. Nggak usah malu-malu. Saya bisa titipkan filmnya sama Pak Robin. Soalnya kalau kau tetap kerja, biarpun di belakang meja, tapi pergi-pulangnya kan repot? Nggak mungkin naik motor, kan?"

"Bener juga."

"Nah, gitu aja solusinya. Pak Hendra itu pasti malu kalau kau tetap kerja. Nanti disangka dia yang menyuruh, padahal kau sudah berjasa."

"Ya. Itu betul," Robin membenarkan.

"Ayolah kita naik."

Ava menyambut kedatangan mereka tanpa senyum. Ia tidak menemani ketika ketiga orang itu akan memasuki kamar Ani. Ia menghindar.

Robin melepas pita.

"Ini saya pasang supaya nggak ada yang hilang dari kamar. Sebetulnya yang penting-penting sih sudah diamankan. Saya pikir mantel itu nggak penting biarpun aneh. Tapi sesudah mendengar ceritamu. mungkin ada baiknya diamankan saja."

"Gimana dengan ahli warisnya, Pak? Tidakkah mereka berhak atas semua barang yang dimiliki Ani?" tanya Nadia.

"Tapi barang yang satu itu aneh. Nggak ada sidik jarinya. Padahal semua barang yang ada di kamar ini memiliki sidik jari Ani. Sepertinya baru ditaruh setelah dia nggak ada."

Nadia mengangguk.

Kemudian barang itu terpampang di depan mereka. Tak ada yang menyentuh. Hanya melihat saja.

Lalu Robin meminjam kruk Barata yang berdiri dengan menyandarkan tubuhnya ke meja. Dengan Ujung kruk ia mengangkat mantel itu lalu dibeberkan di atas dipan.

Nadia dan Barata mengamati dengan diam. Perasaan tak nyaman menjalari diri mereka. Bukan karena mantel itu barang aneh, tapi ketidakcocokannya berada di situ dan hubungannya dengan Ani. Selintas bayang-bayang burung gagak muncul dalam pikiran Barata. Hitam, berkibar, mengepakkan sayap. Tapi yang ini mantel, bukan burung, meskipun sama-sama hitam.

"Baunya seperti habis disimpan dalam peti selama bertahun-tahun," kata Barata.

"Seperti habis dipakai orang yang baunya minta ampun," kata Nadia.

Robin mengangguk. Komentar yang masuk akal. Tapi biasa-biasa saja.

"Si Agung banyak menghabiskan waktunya berdua saja dengan Ani kalau kedua orangtuanya tidak di rumah. Kalau ini memang kepunyaan si Ani, pernahkah dia melihatnya?" Nadia bertanya sendiri.

"Banyak pertanyaan menunggu Agung, supaya bisa terjawab," kata Robin.

Tiba-tiba muncul Ava membawa kantong sampah hitam. Ia menyodorkannya kepada Robin yang menatapnya dengan pandang bertanya.

"Tolong masukkan saja barang itu ke kantong ini lalu bawa ke kantor polisi untuk disimpan," katanya dengan wajah sebal.

"Kenapa. Bu?"

"Saya nggak tahan serumah dengan barang itu." sahut Ava dengan nada tinggi. Wajahnya memperlihatkan kejijikan.

"Tapi..."

"Mumpung sekarang pintunya dibuka dan barang itu lagi dlperhatikan, jadi sekarang aja."

"Bukankah dia di dalam kamar terkunci?"

"Tapi tetap di rumah ini, kan? Saya jadi sering membayangkannya tergantung di balik pintu. Tolonglah, Pak. Kalau nggak diambil biar saya pindah saja."

Nadia terkejut. Ia tak menyangka bahwa Ava bersikap seperti itu. Selama ini pikirannya hanya tertuju kepada Agung dan ia juga jengkel pada konflik di antara Ava dan Rama, hingga tidak sempat memerhatikan apa saja yang sebenarnya berkecamuk dalam hati kakaknya itu.

"Baik, Bu," sahut Robin.

Nadia dan Barata masing-masing memegang ujung kantong plastik, lalu Robin memasukkan mantel hitam itu dengan menggunakan kruk. Kemudian ujungnya diikat erat-erat dengan karet gelang. Robin menjinjingnya keluar lalu meletakkannya di lantai.

Kamar dikunci lalu Robin menyerahkan kuncinya kepada Ava.

"Besok barang-barang yang lain bisa dimasukkan ke dalam kantong juga, Bu. Seperti pakaian. sepatu, dan sebagainya. Nanti bisa diberikan kepada kerabat

Ani. Kamar ini sudah nggak perlu pemeriksaan lagi."

"Kenapa harus besok? Apa hari ini nggak bisa?" tanya Nadia.

"Barangkali Bu Ava mau ke rumah sakit lagi," kata Robin memberi alasan.

Ava tidak menyahut.

"Begini saja," kata Nadia.

"Biar sekarang saja saya yang membantu membereskan barang-barang Ani. Sesudah itu saya titipkan sama Pak Hendra atau satpam. Biar ditaruh di gudang. Gimana, Mbak?"

"Ya, baik begitu," sahut Ava. Kedengaran lega.

"Kalau begitu, kami pamit dulu, ya Bu? Mbak Nana?"

Robin dan Barata pamitan. Robin menjinjing kantong hitam tadi.

Setelah mereka pergi. Ava menyodorkan kunci kamar Ani yang tadi diserahkan Robin kepadanya.

"Nih, kuncinya, Na."

Nadia membuka lagi pintu kamar Ani. Sejenak matanya melirik gantungan di belakang pintu. Untunglah barang itu sudah tak ada lagi di sana.

"Minta kantong plastik, Mbak. Eh, jangan kantong sampah. Kalau ada tas bekas belanjaan. Nggak enak juga. Masa ngasih barang di dalam kantong sampah."

Nadia baru sadar Ava sudah tak ada di sisinya.

"Ala, biarin aja!" kedengaran seruan Ava.

"Masih bagus dikaSih kantong."

Rupanya Awa masih bisa mendengar ucapan Nadia.

Ia memandang berkeliling kamar. Di atas lemari ia mellhat sebuah tas besar. Jadi semua pakaian bisa dimasukkan ke dalamnya. Ia mulai bekerja. Ternyata Ava tidak muncul-muncul. Segera ia menyadari bahwa ia akan bekerja sendirian. Ava tidak akan memhantunya.

Semua pakaian Ani bisa masuk semua ke dalam tas. Yang tertinggal adalah barang-barang lainnya, yaitu isi laci dan hiasan dinding. Barang-barang itu bisa dimasukkan ke dalam satu kantong atau tas plastik. Ava tidak kunjung muncul untuk membawakan barang yang dimintanya itu. Tampaknya ia akan menunggu sia-sia. Maka ia segera keluar untuk mencari sendiri barang itu. Entah di mana. Mungkin di dapat

Ia terkejut ketika menjumpai Ava di ruang tengah yang merangkap sebagai ruang duduk. Perempuan itu sedang duduk di sofa dengan satu tangan memegang gelas minuman yang masih terisi sedikit. Sebuah botol minuman keras terletak di atas meja di depannya. Sejak kapan Ava suka minum? Ia tahu Rama memang suka minum meskipun tidak pernah melihatnya mabuk. Di atas bufet berderet beberapa botol minuman keras.

Nadia lebih terkejut lagi ketika Ava menoleh dan menatapnya. Tatapan mata Ava yang terlihat nanar dan ekspresinya yang hampa menyadarkannya bahwa Ava sudah hampir mabuk atau mungkin juga

sudah. Ia duduk di sebelah Ava lalu mengambil gelas di tangannya. Semula Ava mencengkeram erat gelasnya, tak mau memberikan.

"Sana kalau mau, ambil sendiri. Jangan ambil gelasku." katanya dengan merengut. Wajahnya merona merah.

"Nggak. Aku nggak mau minum. Tapi Mbak minumnya udahan, ya. Udah cukup. Sini, kasih ya?" kata Nadia lembut.

Ava melepas gelasnya. Nadia membawa gelas dan botol lalu meletakkannya di atas bufet. Lalu ia kembali ke sisi Ava dan merangkul pundaknya.

"Kenapa, Mbak? Mikirin Agung? Sudahlah. Kita berdoa saja. Ketabahan kita akan menjadi kekuatan bagi Agung. Sudah. Jangan bersedih."

Ava menggeleng.

"Kau... kau... nggak..." katanya terputus, lalu wajahnya memucat. Ia melompat terus berlari ke kamarnya. Nadia mengejar dengan cemas. Ternyata Ava terus ke kamar mandi. Ia membungkuk di atas kloset lalu muntah-muntah. Nadia memijit-mijtt tengkuknya. Ia segera memahami bahwa Ava tidak biasa minum hingga lambungnya tidak tahan.

Setelah mabuknya reda dan minum air putih, Ava menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Nadia duduk di sampingnya.

"Mau cerita, Mbak? Ayo, berbagilah," rayu Nadia. Ia selalu yakin akan kemampuannya menghibur orang yang berduka. Usianya dengan Ava berbeda tiga tahun, tapi ia lebih mampu mengendalikan

emosi. Di masa lalu dirinyalah yang sering jadi penentu keputusan bila ada masalah yang menyangkut mereka karena mereka hanya dua bersaudara, tanpa orangtua yang layak dijadikan sandaran. Saat remaja orangtuanya bercerai. Mereka ikut ibu, sementara ayah kawin lagi. Sekarang sang ibu sudah tidak ada, sedang sang ayah entah di mana karena mereka sudah memutuskan hubungan.

Ava memejamkan matanya. Lama begitu. Nadia mengira ia tertidur. Atau masih merasa tidak enak. Ia membiarkan, tidak bertanya-tanya lagi. Pandangnya memutari ruangan. Kamar tidur yang dibagi Ava bersama Rama itu luas dan nyaman. Kamar kosnya sendiri tak ada seperempat dari itu. Ia pernah ditawari untuk tinggal bersama oleh Ava. Masih ada satu kamar kosong. Tapi ia tahu maksud Ava bukan berdasarkan kebaikan belaka, tapi juga ingin memanfaatkannya. Ia bisa sekalian disuruh menjaga dan menemani Agung. Tentu ia sayang pada Agung, tapi ia menghendaki privasi.

Ava membuka matanya. Tatapannya sudah lebih fokus. Wajahnya tak lagi pucat.

"Sudah enakan, Mbak?" tanya Nadia.

Ava duduk bersebelahan dengan Nadia.

"Kau nggak tahu apa yang selama ini kupikirkan. Kau malah lebih dekat sama satpam dan polisi."

"Bukan begitu, Mbak. Aku mendekati mereka kan ada sebabnya. Kalau nggak ada peristiwa ini..."

"Ya. Aku tahu. Tapi apa aku ini nggak perlu didekati juga? Apa kaukira aku nggak menderita?"

Nadia memeluk Ava. Ternyata Ava masih saja seperti Ava yang dulu, pikirnya. Kalau ada masalah ia menjadi tidak berdaya. Punya suami tidak membuat ia menjadi lebih kuat.

"Kita sama-sama menderita, Mbak. Bukan cuma kau seorang."

"tapi aku kan beda. Na. Agung itu anakku sedang Rama... dia... ah... aku takut."

"Takut kenapa. Mbak? Ayolah ngomong terus terang. Kita hadapi sama-sama."

"Tapi jangan sampaikan pada polisi itu, si Robin atau apa namanya. Janji."

"Ya, ya, tentu saja. Ini kan masalah kita," sahut Nadia ringan.
Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan Lima Sekawan 17 Rahasia Logam Ajaib Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam

Cari Blog Ini