Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari Bagian 2
"Sejak dulu aku selalu merasa Rama nggak begitu sayang sama Agung."
"Ah, masa? Kulihat dia sangat bersedih dan terpukul. Sama kayak kita."
"Yah, mana tahu kalau cuma pura-pura."
"Biar sajalah. Yang penting kita sayang sama Agung."
"Tapi aku selalu punya feeling dia menganggap Agung bukan anaknya."
"Ha?" Nadia terkejut. Baru kali itu Ava bicara demikian. Kenapa baru sekarang setelah kejadian itu? ia menjadi cemas akan apa yang dikatakan Ava setelah itu.
"Tapi dia memang anaknya, kan?" tegas Nadia.
"Tentu saja. Kaupikir aku selingkuh sama siapa?"
"Jadi?"
"Orang yang nggak sayang kan tega. ya. Apalagi kalau persangkaannya buruk."
Nadia menatap Ava beberapa saat lalu matanya membelalak.
"Maksudmu, kau curiga bahwa Mas Rama yang melempar Agung?" tanyanya dengan suara meninggi.
"Bukan curiga. tapi..." Ava tak melanjutkan ucapannya, bingung mencari kata-kata.
"Kalau bukan, lantas apa? Jangan sembarangan berprasangka dulu, Mbak. Itu nggak baik. Jangan lupa. Yang korban bukan Agung seorang. tapi juga Ani. Masa kalau dia nggak suka sama Agung, dia menyertakan juga Ani?"
"Dia suka mencolek-colek Ani. Aku pernah melihatnya. Ketika aku mempermasalahkan dia bilang, itu sih kecil. Yang penting dia nggak meniduri. Coba pikir, Na. Kurang ajar nggak."
"Si Ani sendiri nggak marah?"
"Oh, nggak. Genit kayak gitu."
"Kau pernah memarahinya?"
"Nggak sih. Aku takut dia berhenti padahal susah cari gantinya."
"Tapi tetap saja itu bukan alasan bagi kecurigaanmu, Mbak."
"Malam Minggu itu, pulang bepergian, aku tidur duluan. Mas Rama entah kapan tidurnya. Aku sama sekali nggak terbangun sampai saat kejadian. Aku nggak tahu kapan dia tidur, tapi aku juga nggak tahu kapan dia bangun."
"Ah, katanya kalian sama-sama terbangun setelah pintu digedor-gedor."
"Iya sih. Tapi dia kan bisa saja pura-pura terbangun, padahal sudah bangun lebih dulu."
Nadia geleng-geleng kepala. Ia tetap merasa kecurigaan Ava terlalu berlebihan.
"Dan mantel hitam itu," sambung Ava.
"Nggak mungkin kepunyaan si Ani. Lantas dari mana datangnya? Adanya kan di rumah ini, jadi siapa lagi kalau bukan orang di rumah ini yang menaruhnya di snu? Bukan aku. Jadi siapa?"
"Dia mengatakan, belum pernah melihatnya."
"Semua orang bisa ngomong begitu."
"Kau bener-bener nggak pernah melihat barang itu dimiliki Mas Rama?"
"Oh, kalau aku lihat sih sudah kukatakan."
"Lantas maksudnya apa dengan menaruh barang itu di situ?"
"Ya, mungkin mau bikin heboh aja."
"Tapi apa untungnya buat dia?"
"Entah. Mana aku tahu?"
Nadia berpikir sejenak.
"Tapi semua alasanmu itu nggak bisa dijadikan dasar yang kuat untuk menuduhnya."
"Ya. Aku tahu. Kecurigaan itu hanya perasaan. Tak ada bukti, apalagi saksi."
"Kau mencurigainya karena sebelumnya sudah nggak suka padanya. Coba kalau sebaliknya, pasti nggak begitu, kan? Ayolah, berpikir positif. Sebenarnya aku berharap kalian meniadi rukun dan bersatu
setelah musibah ini. Bukannya malah tambah hancur."
"Habis gimana ya, Na? Sulit betul menghilangkan kesebalan di hatiku padanya. Mungkin aku sudah kehilangan respek."
"Nah, itu. Kecurigaanmu itu datangnya dan sana. Bibitnya sudah ada. Aku mohon, Mbak. Jangan sembarangan menuduh. Jangan keluarkan kata-kata yang kauucapkan tadi kepadanya. Biarlah hanya aku yang tahu."
"Iya. Bukankah aku juga tadi minta kepadamu supaya jangan memberitahu temanmu polisi itu?"
"Dia bukan temanku, Mbak."
"Tapi Sikap kalian itu seperti teman."
"Ya, terserah gimana penilaianmu. Tapi ada satu hal yang mau kuingatkan, Mbak. Tadi Barata kau datang ke sini. Kenapa kau nggak ngomong sedikit pun tentang pertolongannya pada Agung? Kau malah bersikap dingin. Boro-boro nanyain kakinya."
Ava tersentak kaget.
"Oh iya. Aku kok lupa. ya? Kenapa kau nggak mengingatkan?"
Nadia geleng-geleng kepala. Tadi perhatiannya fokus pada mantel hitam itu.
"Mungkm lain kali. Dia pengen menjenguk Agung. Kita kan harus bisa menghargai jasa orang. Mbak."
Ava termangu.
"Aku benar-benar nggak ingat. Yang kepikir hanya masalah itu."
Nadia bisa memahami.
"Itu sebabnya kau minum-minum?"
"Ya. Pikiran itu menyiksa sekali. Aku pengin bisa menghilangkannya."
"Minum nggak bisa menghilangkan. Yang bisa adalah pikiran positif. Kecurigaan diatasi dengan pikiran jernih. Apakah Mas Rama suka mabuk?"
"Nggak. Dia sudah biasa minum."
"Mestinya botol-botol itu dimasukkan dalam lemari terkunci."
"Katanya repot."
"Ya sudahlah. Jangan coba minum lagi, ya? Curhat saja sama aku kalau ada masalah."
"Baik. Tapi kau harus menyediakan waktu untukku dong. Jangan sibuk terus."
"Ya. Kita kan masih bisa telepon-teleponan kalau nggak ada waktu ketemu."
"Enaknya sih ketemu."
"Ya deh. Jadi sekarang sudah lega? Nggak ada yang disimpan?"
"Nggak ada. Tapi... apa kau yakin Mas Rama nggak mungkin melakukan hal itu?"
"Terus terang aku nggak bisa jawab. Bahkan aku nggak mau mikirin. Kuharap kau juga sama, ya? Ingat, dia suamimu. Dan ayah Agung. Jangan biarkan dirimu dikuasai pikiran jelek. Kaulah yang harus menguasai pikiranmu sendiri. Bukan sebaliknya."
"Ya, ya. Baik."
Sebelum Nadia pulang. Rama datang. Nadia berusaha tidak memperlihatkan perubahan sikap. Ia menanyakan keadaan Agung.
"Masih seperti tadi. Tapi sekarang sudah dipindahkan ke kamar perawatan. Katanya kondisi fisiknya bagus. Hasil CT Scan juga bagus."
"Lantas kenapa dia masih koma?" tanya Ava.
"Dokter mengira, itu disebabkan syok yang menyengat otaknya."
"Kejiwaan?" tanya Nadia.
"Mungkin begitu. Aku nggak ngerti."
"Ya. Kesimpulannya masih sama seperti kemarin. Tapi kalau sudah dipindahkan kita jadi lebih gampang mendekatinya. Aku akan mengajaknya mengobrol."
"Ngajak ngobrol?" tanya Rama heran.
"Ya. Aku ngomong sendiri, tentunya."
"Emangnya dia bisa dengar?"
"Kuharap begitu," sahut Nadia, tersenyum.
Rama menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan menganggap ide itu bodoh. Sementara Ava diam saja. Lalu tatapan Rama tertuju kepada Ava, mengamatinya sejenak.
"Kau pucat banget. Sakit?" tanyanya.
Ava menggeleng.
"Nggak," sahutnya sambil melengos.
Nadia melihat pandangan Rama tertuju kepada botol minuman dan gelas yang masih berisi di atas bufet. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
"Aku antar kau ke bawah," kata Rama ketika Nadia pamitan.
Sambil berjalan menuju halaman parkir, Rama berkata,
"Na, tadi Ava curhat sama kamu, ya? Bilang apa dia?"
"Tentang kecemasannya mengenai Agung. Dia
stres, Mas. Barusan minum-minum tuh. Aku nggak tahu karena sedang beres-beres di kamar Ani. Tahutahu dia muntah-muntah. Tolong dilarang minum lagi, Mas."
"Bagaimana mungkin, Na? Mungkin dia lebih bisa mendengar omonganmu daripada omonganku. Tanggapannya selalu sinis."
"Sekarang ini kalian mestinya saling dukung."
"Ya. Mestinya sih begitu. Tapi kan nggak bisa sepihak aja. Soal curhatnya tadi itu, apa betul cuma mengenai Agung?"
"Kaupikir ada apa lagi?"
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi dia nggak sepenuhnya curhat dong."
"Ada apa lagi sih?" desak Nadia.
"Mana aku tahu? Cuma firasatku saja yang merasakan dia menyimpan sesuatu."
"Jangan curiga, Mas. Aku tahu betul dia orang yang setia."
"Ah. bukan soal itu."
"Bukan?"
"Yah, gimana ngomongnya? Aku nggak tahu pasti sih. Maukah kau menolong mencari tahu, apa sih ganjalannya padaku?"
"Ya. Nanti akan kucoba."
"Terima kasih. Na."
"Oh ya. Mas. Barusan aku bersama Pak Robin, polisi itu, dan Satpam Barata, meneliti mantel hitam di kamar Ani. Lalu mantel itu dibawa Pak Robin. Sedang barang-barang Ani lainnya dimasukkan ke dalam tas untuk diberikan kepada keluarganya nanti."
"Mantel yang hitam itu?" Rama mengerutkan kening.
"Apa sih istimewanya sampai diteliti segala?"
"Barang itu dianggap nggak pada tempatnya berada di kamar Ani. Nggak ada yang pernah melihatnya."
"Orang bisa saja memiliki barang yang aneh-aneh tanpa orang lain perlu tahu."
"Memang betul tapi yah, itu keputusan polisi."
Nadia malas bercerita tentang ketiadaan sidik jari pada mantel itu. Ia juga tak mau memberitahu bahwa Ava yang mendesak untuk menyingkirkannya.
"Oh ya. Barata sudah bisa jalan?" tanya Rama.
"Masih terpincang-pincang dan pakai kruk."
"Aneh. Lagi begitu juga pengin ikut lihat. Apa Sih daya tariknya mantel itu?"
"Barang itu menyeramkan, Mas. Apa kau tidak menganggapnya seperti itu?"
"Ah. apa iya? Biasa aja. Norak banget sih. Kayak nggak pernah lihat mantel panjang pakai tudung."
Nadia tak menyahut. Ia masuk ke dalam mobilnya. Lalu melambaikan tangan. Dari kaca spion ia melihat Rama masih berdiri memandangi kepergiannya dengan berkacak pinggang. Dia kelihatan gagah dan tampan dalam cahaya lampu depan gedung. Tubuhnya tinggi dan atletis. Ava menyukai tubuh tubuh seperti itu.
Sampai di kamar kosnya. Nadia maSih tak bisa melepaskan pikirannya dan cerita Ava. Sulit baginya untuk memercayai kecurigaan Ava. Bahkan terasa
mustahil. Tapi memang lucu. Ava mencurigai Rama berdasarkan feeling, sedang Rama sendiri punya feeling mengenai kecurigaan Ava terhadapnya. Tidak jelas apa dia tahu kecurigaan Ava itu mengenai apa. Yang tahu hanya dia sendiri.
Lalu dia teringat pada kalimat terakhir yang diucapkan Rama mengenai mantel itu. Ia memikirkannya dan kemudian memutuskan untuk mencari tahu. Ia menelepon Robin ke ponselnya.
"Pak, mau tahu apa sewaktu meneliti mantel hitam itu Rama ikut pula meneliti? Maksud saya ikut memerhatikan?"
"Waktu itu yang ada di dalam kamar saya dan Bu Ava. Saat Pak Rama melintas, Bu Ava memanggilnya. Ia ditanya apa tahu tentang mantel itu. Katanya nggak. Cuma melihat sebentar saja lalu pergi buru-buru. Katanya nggak tahan baunya."
"Apa dari pengamatan sepintas kentara benar bahwa mantel itu ada tudungnya? Tadi saya melihat sendiri kalau nggak dibeberkan nggak kelihatan. Tudungnya melipat ke sebelah dalam. Apa semula ia tergantung dengan arah terbalik hingga tudungnya berada di sebelah luar?"
"Wah, wah. Pada awalnya saya nggak tahu karena memang nggak kelihatan. Setelah dikais pakai bolpoin baru tampak."
"Apa Pak Rama melihat juga saat Bapak melakukan itu?"
"Nggak. Dia melihatnya dalam keadaan tergantung seperti semula."
"Jadi mestinya dia nggak tahu bahwa mantel itu ada tudungnya."
"Mungkin saja diceritain Bu Ava."
"Oh ya. Mungkin saja. Baik. Terima kasih ya, Pak. Maaf, mengganggu."
Nadia cepat-cepat mematikan ponselnya karena ia tahu nanti giliran Robin bertanya. Ia bersyukur karena Robin tidak menelepon balik. Tapi ia tahu besok atau lusa pasti akan ditanya. Orang seperti Robin sulit dipuaskan hanya dengan jawaban mengambang. Sejak sekarang ia harus mencari jawaban yang masuk akal.
Lalu ia menelepon Ava ke ponselnya. Ia berharap Rama tidak lancang menerima teleponnya dengan alasan Ava sudah tidur. Untunglah Ava sendiri yang menyahut.
"Mbak, aku mau tanya sesuatu. Jawabannya cukup ya atau tidak. Dan jangan bertanya balik. Takut ada yang dengar."
"Ya?"
"Apa Mbak pernah memberitahu Mas Rama bahwa mantel itu ada tudungnya?"
"Nggak tuh."
"Ya sudah. Pengin tahu aja. Sudah tenang sekarang? Jangan mikir macam-macam, ya?" katanya seakan pertanyaannya itu tidak penting benar.
Nadia mematikan ponselnya. Ia tahu bahwa Rama mengenal mantel itu. Mungkin Rama sendiri yang menghadiahinya kepada Ani. Tapi kenapa tak ada sidik jari sama sekali?
PADA hari Selasa sore, Nadia menjenguk Agung. Seperti yang direncanakannya, ia pun mengoceh di samping tempat tidur Agung. Ia membicarakan film animasi terakhir yang ditontonnya bersama Agung. Seorang kerabat Rama yang sedang menunggui menatapnya seakan ia sudah tidak beres. tapi ia tidak peduli. Akhirnya si kerabat itu pergi ke luar kamar. Mungkin merasa tidak nyaman. Tapi Nadia malah senang karena tambah leluasa.
"Gung. kabarnya mau ada Film baru yang akan diputar. Banyak lho yang nunggu giliran. Kayaknya bagus-bagus tuh. Tante udah baca ceritanya. Ada induk singa yang mencari anaknya yang hilang diculik pemburu. Nyarinya sampai ke kota besar. Ia dibantu sahabat-sahabatnya sesama hewan. Ada jerapah, monyet. badak, dan banyak lagi. Wah, ceritanya seru deh. Ayo dong, Gung. Cepat sembuh.
Nanti kita bisa nonton lagi. Memang sih kita bisa lihat DVD-nya. tapi kan lebih seru di bioskop...."
Robin masuk diam-diam, tak mau mengganggu. Ia mendengarkan saja. Nadia tidak tahu kehadirannya karena posisinya membelakangi pintu. Ia pun terlalu asyik dengan monolognya. Kalau berhenti ia mengamati wajah Agung dengan penuh harap. Apakah kelopak matanya bergerak? Sudut bibirnya membentuk senyum? Tapi wajah itu tetap beku dan diam.
"Gung, kamu ini sebenarnya nggak apa-apa. Badanmu baik-baik saja. Juga kepalamu dan isinya. Kau sehat, Gung. Kau baik. Kau hanya nggak mau bangun. Ayo dong, Gung. Bangunlah. Tante rindu sama kamu. Rinduuu... sekali." Nadia mencium pipi Agung.
Kemudian Nadia menyadari kehadiran Robin. Ia tersipu.
"Pak Robin, sejak kapan ada di situ?"
"Belum lima menit," sahut Robin sambil mendekat ke tempat tidur. Ia mengamati Agung. Anak yang manis, pikirnya. Siapa yang tega melemparnya dari ketinggian seperti itu?
"Mbak Nana sudah lama?"
"Belum."
"Bu Ava dan Pak Rama belum datang?"
"Belum. Mungkin sebentar lagi."
"Saya ingin bertanya sama Mbak soal telepon semalam itu. Ponselnya kok dimatiin. Saya pikir, mending ketemu aja biar lebih jelas. Ada sesuatu yang penting rupanya."
Nadia menggeleng lalu menunjuk Agung. Ia pun meletakkan telunjuknya di bibir.
Robin mengangguk tanda mengerti.
"Nanti saja di luar, ya?"
"Ya."
Pada saat itu masuk Barata. Ia tak lagi mengenakan kruk, tapi jalannya masih perlahan dan kaki kanannya agak diseret.
"Wah, cepat sekali, Bar! Sudah sembuh?" tanya Robin.
"Hampir. Yang penting nggak perlu kruk lagi. Kalau tangan lebih cepat sembuhnya. Bagaimana Agung?"
Tatapan Barata tertuju pada Agung. Lalu mendekat. Tangannya terulur untuk membelai kepala Agung.
"Gung, ini Oom Bara," kata Nadia.
"Dia yang menangkapmu saat jatuh. Kamu sempat mengenalinya, kan?"
"Iya, masih ingat kamu bilang,
"Oom Baraaa..." padaku? Artinya kamu ngenalin Oom, kan? Ayolah, Gung. Bangun! Oom sangat ingin melihatmu ceria dan lincah lagi kayak dulu. Oom sedih melihatmu seperti ini, rasanya Oom bener-bener nggak berguna. Oom nyesel nggak bisa menangkapmu dengan lebih baik," Barata ikut mengoceh.
Ia bisa bergantian denganku bicara dengan Agung, pikir Nadia. Mungkin kami baiknya bekerja sama.
Robin tersenyum saja memandangi kedua orang
itu. Tampak menikmati. Karena itu ia diam saja, sebisa mungkin tak bergerak berlebihan supaya tidak mengganggu konsentrasi yang berbicara. Ia juga mengamati wajah Agung kalau-kalau ada perubahan. Namun tak ada gerakan apa-apa. Mungkin perlu waktu lama, pikirnya. Bagaimana kalau sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan? MaSihkah ada energi tersisa pada mereka?
"Besok Tante akan membacakan buku cerita untukmu. Gung," kata Nadia.
"Sukanya petualangan, kan?"
Dia khawatir kehabisan bahan, pikir Robin.
"Saya juga mau bacain," kata Barata.
"Ya. Kita gantian saja." sahut Nadia.
"Itu kerja sama yang bagus," puji Robin.
Barulah keduanya menoleh pada Robin yang sesaat sempat terlupakan. Mereka tertawa.
"Rupanya kita dijadikan bahan pengamatan," kata Barata.
"Namanya juga detektif." timpal Nadia.
Robin tersenyum. Mereka tidak sempat berlama lama karena Rama dan Ava memasuki kamar. Keduanya heran melihat ketiga orang itu ada bersamasama. Tapi Ava segera menghampiri Barata, lalu menyalami dan mengguncang-guncang tangannya.
""Terima kasih. ya Bara, atas pertolongannya. Kemarin kau ada di rumah saya, tapi saya malah lupa mengatakan terima kasih. Maaf, ya. Kemarin rasanya kusut bener."
"Nggak apa-apa, Bu. Saya maklum."
Sementara itu Rama sibuk membuka dompetnya. Ia mengambil segumpal uang kertas lalu menyodorkannya pada Barata.
"Bara, terimalah ini sebagai tanda terima kasih. Saya sudah mikir mau kasih hadiah apa, tapi nggak ketemu yang cocok. Kalau berbentuk uang, kan bisa beli sendiri. Nggak banyak sih."
Barata menggoyangkan tangan dan kepalanya.
"Nggak, Pak. Jangan, ah. Semua itu kan kebetulan saja. Jangan dianggap sebagai jasa atau apa."
Rama memaksa dengan menyorongkan gumpalan uang ke tangan Barata, tapi Barata tetap menolak dengan mendorong tangan Rama.
"Malu, ah, Pak. Jangan. Ucapan terima kasih sudah cukup. Bener, Pak. Saya malah jadi nggak enak."
Rama beralih pada Robin.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bantu dong, Pak. Bujukin dia. Saya bener-bener ingin memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih. Masa cuma omongan saja? Anggaplah sebagai tanda mata."
Robin memandang Rama dan Barata bergantian. Bingung.
Lalu Nadia bersuara,
"Kasih aku saja, Mas. Nanti kubelikan sesuatu untuk Bara. Aku tahu apa yang bisa berguna untuknya."
Semua menatap Nadia. Barata menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bagus sekali," seru Robin.
"Saya pikir itu usul yang bagus. Oke ya. Bar?"
Robin menyenggol tangan Barata yang jadi tersipu. Ia tak menyahut, tapi tak pula menolak.
Rama memberikan uangnya pada Nadia yang menghitungnya dengan membalik tubuhnya supaya tidak terang-terangan diketahui semua orang. Lalu ia mengangguk,
"Cukup," katanya sambil memasukkan uang itu ke dalam tasnya.
"Jadi sudah beres. Nggak usah diributkan lagi."
"Kami juga berterima kasih karena kau memberi perhatian pada Agung dengan datang menjenguk," kata Rama.
"Saya prihatin, Pak. Saya berharap Agung segera sembuh," sahut Barata.
Kemudian Barata dan Robin pamitan. Nadia mengiringi mereka. Ia tahu Robin ingin bicara. Tapi Ava mengejar lalu menarik tangannya.
"Tunggu, Na!"
Nadia tahu apa yang mau ditanyakan Ava. Ia memberi tanda pada Robin.
"Sebentar ya, Pak. Tunggu aja di luar."
"Di halaman parkir ya, Mbak!"
Ava menarik Nadia ke luar kamar lalu berjalan pelan di lorong.
"Ngapain sih janji sama polisi itu?'
"Saya pengin nanyain hasil autopsi si Ani," sahut Nadia sekenanya.
"Oh ya? Apakah itu penting? Udah jelas matinya karena jatuh, kan?"
"Pengin tahu aja, Mbak. Gimana keadaanmu semalam? Bisa tenang?"
"Ya. Tapi teleponmu membuat aku gelisah lagi. Apa sih maksud pertanyaanmu itu?"
"Aku cuma pengin tahu aja."
"Ah, kau selalu pengin tahu. Tapi kenapa nanya begitu?"
"Awalnya kan teorimu juga yang membuatku berpikir. Kau bilang, mantel itu ada di rumahmu. Jadi mestinya ada yang menaruhnya di situ, kalau memang bukan kepunyaan Ani. Karena kau merasa nggak melakukan, maka orang satunya lagi adalah dia, kan? Kalau memang dia tahu mengenai mantel itu tentu dia tahu juga bahwa mantel itu ada tudungnya meskipun nggak melihat jelas."
"Oh, begitu. Maksudmu mau menjebak, gitu?'
"Ah, bukan. Kau tak usah mikirin lagi. Nggak penting kok."
"Apa dia ngomong sama kau bahwa mantel itu ada tudungnya?"
"Ya."
"Nah, dia nggak mungkin tahu kalau nggak melihatnya. kan? Padahal dia melihatnya tanpa meneliti lebih dulu seperti yang dilakukan Pak Robin sebelumnya. Terus mantel itu nyangkutnya dengan tudung di sebelah dalam. Jadi nggak mungkin dia tahu kalau nggak mengenali."
"Ya. Aku juga sempat mikir begitu. Tapi kemudian aku mikir lain lagi. Mungkin saja dia pernah melihat mantel sejenis sebelumnya. Jadi spontan bilang begitu. Aku juga harus berpikir positif. Bukan cuma bisanya menasihati."
"Kalau saja aku bisa nanya sama dia," keluh Ava.
"Jangan. Dia bisa marah besar karena merasa dicurigai, Mbak. Ujung-ujungnya kalian malah berantem. Itu maksudku dengan memintamu agar tidak menanyakan padanya."
"Jadi aku mesti gimana?"
"Bersikap biasa tapi waspada. Jangan biarkan pikiranmu dihantui kecurigaan. Yang rugi malah dirimu. Ingat sama Agung."
"Ya."
"Ingat, Mbak. Jangan minum lagi biarpun cuma sedikit. Soalnya sedikit-sedikit bisa jadi banyak. Kalau terjadi apa-apa denganmu, bagaimana dengan Agung nanti?"
"Masih ada kau, kan? " sahut Ata ringan.
Nadia terkejut.
"Hi, jangan ngomong begitu dong. Mbak. Kau ibunya. aku cuma tantenya."
"Aku nggak sekuat kau, Na," keluh Ava.
"Kau bisa kuat kalau mau."
"Aku akan mencoba."
"Nah, begitu. Kau pasti bisa."
"Kau kembali lagi ke kamar Agung atau terus pulang?"
"Aku terus pulang saja, ya? Sampaikan sama Mas Rama. Kalau dia tanya kita ngomongin apa, bilang saja aku merundingkan hadiah buat Barata denganmu."
"Hadiah apa sih?"
"Aku kan pernah ke rumahnya. Lihat dapurnya juga. Tadinya mikir oven microwave, tapi nggak tahu listriknya cukup apa nggak. Mendingan mesin
cuci aja. Dia kan bujangan. ngerjain semua sendiri."
"Duitnya cukup?"
"Cukup. Kan ada macam-macam jenis. Belinya disesuaikan dengan duitnya. Aku pikir. kalau dikasih duitnya belum tentu dia belikan itu. Orangnya hemat."
Ava lebih ceria setelah mereka berpisah. Sedang Nadia merasa dirinya semakin pintar berbohong sekarang.
Dari kejauhan ia melihat kedua orang itu duduk di bangku memandangi orang lalu-lalang. Ia segera menghampiri.
"Nah, ini dia," kata Robin.
"Sudah kesal menunggu?"
"Nggak sih."
Nadia duduk di antara Robin dan Barata karena keduanya sepeni sepakat memberi tempat di tengahtengah.
"Tanya dulu, apakah saya boleh ikut dengar?" tanya Barata.
Nadia tertegun sejenak. Ia sama sekali tidak berpikir ke situ. Baginya, Barata sudah menjadi bagian dari kasus itu.
"Tentu saja boleh. Kan ini bukan rahasia," katanya. Lalu ia menuturkan tentang apa yang ditanyakannya lewat telepon kepada Robin semalam disebabkan karena pernyataan Rama. Ia membatasi diri hanya pada soal itu saja tanpa mencampurkannya dengan teori yang disampaikan Ava atau pun opini
nya sendiri. Ia sudah berjanji pada Ava dan ia pun tidak ingin menimbulkan prasangka negatif terhadap Rama.
"Nah, itu saja kok. Semata-mata pengin tahu saja."
Robin mengangguk-angguk. Ia pun tidak ingin mendiskusikannya karena sadar sepenuhnya mengenai hubungan keluarga Nadia dengan Rama. Yang penting baginya adalah informasi itu.
"Terima kaSih, Mbak."
"Ada lagi yang mau ditanyain, Pak? Kayaknya info saya cuma segitu deh."
"Sudah cukup. Nanti saya pun akan menanyai setiap penghuni di sana apakah memiliki atau pernah memiliki mantel hitam panjang."
"Jadi buat Bapak barang itu penting juga rupanya."
"Sebenarnya saya belum tahu di mana pentingnya atau apa hubungannya dengan kasus ini. Tapi keanehan yang terasa itu patut diselidiki. Misalnya ketidakcocokan barang itu dengan Ani dan tiadanya sidik jari. Kalau memang kepunyaan Ani kenapa tak ada sidik jarinya? Dan kalau ada orang yang menitipkan di situ, entah dengan maksud apa, kenapa tak pula ada sidik jarinya? Ia tentu tak perlu bersusah payah menghilangkan."
"Apalagi tampaknya ia meletakkannya di situ setelah Ani nggak ada. Kalau dia ada, tentu dia ribut sekali. Baunya kan nggak enak."
"Ya. Sekarang disimpan di mana itu, Pak?"
"Saya bawa ke lab untuk diteliti lagi. Tempo hari kan cuma nyari sidik jari."
"Boleh tahu hasilnya nanti, Pak?"
"Oh, tentu. Kita kan saling tukar info." kata Robin. senyum.
"Baik. Nanti saya juga boleh tahu hasil autopsi Ani ya. Pak?"
"Wah, wah. Buat apa?"
"Pengin tahu aja. Tentu nggak perlu istilah yang rumit, atau haSil lengkapnya. Garis besarnya aja."
'Iya deh."
"Terima kasih, Pak. Eh, Bara, kok dari tadi diam aja?" tegur Nadia menoleh kepada Barata.
"Oh..." Barata terkejut. Lalu tersipu.
"Uh, dia ngelamun," kata Robin.
"Bukan. Lagi mikir."
"Wah, dalam sekali mikirnya." Nadia tertawa. Tapi ia tidak bermaksud mengorek.
"Kalian masih mau bercengkerama di sini? Saya pulang, ah."
"Sebentar, Mbak Nana," kata Barata, membuat Nadia duduk lagi.
"Boleh tanya, emangnya Mbak mau beliin apa sih buat saya?"
Nadia diam sejenak.
"Rencananya sih mau beli mesin cuci. Kamu kan perlu tuh. Di rumahmu nggak ada, kan?"
"Mesin cuci?" Barata membelalakkan matanya sementara Robin tertawa.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iya. Kenapa? Udah punya ditaruh di kamar, ya?"
"Belum Slh. Tapi sebaiknya jangan, Mbak. Soal
nya saya langganan cuci dan setrika sama tetangga. Kalau berhenti kan nggak enak. Kasihan. Di rumah juga nyesekin. Nyuci memang bisa. tapi setrika? Saya paling benci nyetrika."
"Baik deh. Habis kau perlu apa dong?"
"Nggak perlu apa-apa, Mbak."
"Bohong, ah. Kalau gitu kan mending kau pegang duitnya aja. Siapa tahu suatu waktu kau memerlukannya. Sekarang nggak perlu, tapi besok siapa tahu? Pak Rama ingin memberi sesuatu, tapi nggak tahu apa. Masa ditolak? Kalau diterima berarti kalian saling menghargai. Jangan merasa tersinggung karena dia memberi uang. Jasamu itu memang nggak bisa diukur nilainya. Jadi tolonglah, Bar. Terima, ya?" bujuk Nadia.
"Ya, Bar. Terimalah," Robin membantu.
"Baiklah," kata Barata kemudian.
Nadia menyerahkan uang yang ia simpan di tasnya.
"Terima kasih, Mbak."
"Saya Juga terima kaSih." Nadia berdiri.
"Pulang, ah. Kalian ikut?"
"Kami mau ke kantin dulu. Yuk makan samasama?" ajak Robin.
"Nggak. ah. Kenyang."
Robin dan Barata mengantarkan Nadia ke mobilnya. Setelah mobil Nadia meluncur pergi, mereka berdua melangkah ke kantin.
"Besok saya mau masuk kerja, Pak," kata Barata.
"Eh, sudah dibilang jangan manggil 'Pak' lagi. Kita kan sudah jadi teman. Lupa. ya?"
"Masih suka lupa. Nggak enak juga sih."
"Nggak enak apaan? Dibikin enak aja."
Barata tenawa.
"Rasanya kurang ajar, gitu."
"Memangnya saya ini pejabat yang harus dipanggil "Bapak"? Pokoknya kalau kamu mengulang lagi. saya juga ikutan memanggilmu 'Bapak'."
"Iya deh, Rob," kata Barata dengan perasaan geli.
Mereka berbincang sambil makan. MaSih seputar topik mantel hitam yang diceritakan Nadia.
"Itu membingungkan. Masa Sih Pak Rama yang meletakkan mantel itu?" kata Barata.
"Dia pemilik rumah. Nggak ada orang lain. Apa dia sebodoh itu mengundang kecurigaan orang kepadanya?"
"Mungkin bukan bodoh, Bar. Dia kan nggak tahu bahwa kau melihat sesuatu yang hitam ikut melayang. Sampai-sampai wama hitam jadi menghebohkan kita."
"Betul, Pak, eh, Rob. Tapi kalau memang sesuatu yang hitam itu adalah mantel yang itu, mestinya kan ada di bawah, tergeletak entah di mana. Bukan balik ke sana."
"Kecuali kalau mantel itu memang nggak dijatuhkan, tapi cuma dilambai-lambaikan lalu ditarik kem
bali. Seperti teorimu mengenai burung itu. Dia tak mungkin jatuh ke tanah karena bisa terbang. Mantel itu pun tidak jatuh karena memang nggak dijatuhkan."
"Tapi buat apa main-main begitu, Pak, eh Rob?"
"Mana saya tahu? Kita kan hanya menduga saja."
"Kalau itu bukan kepunyaan Ani, dan juga bukan pemilik rumah yang menaruhnya di situ, tentu orang luar. Apa dia punya kunci?" Barata bertanya sendiri.
"Nah, mungkin nanti kau bisa membantu dengan memasang mata dan telinga. Perhatikan setiap penghuni terutama dan lantai tujuh. Kalau kau ingatingat lagi sekarang, apakah ada sesuatu yang terlihat janggal atau nggak biasa?"
Barata berpikir.
"Sebenarnya sepanjang hari nganggur di rumah tak hentinya saya memikirkan soal itu. Apa ada yang janggal, aneh, atau nggak biasa. Saya belum menemukan karena saya memang nggak begitu suka mengamati kelakuan orang. Asal bukan kriminal, nggak saya perhatikan. Tapi memang ada juga yang terlihat tanpa sengaja terus berkesan di hati."
"Apa itu?" tanya Robin bersemangat.
"Mungkin nggak penting, Pak, eh, Rob," Barata ragu-ragu.
"Nggak enak. Habis kau kan polisi. Takut disangka menuduh orang."
"Hei, kan cuma sekadar info. Bukan soal tuduhmenuduh. Sama kayak Nadia tadi. Kita cuma bicara fakta. Kalau ada opini, itu sekadar diskusi antara kita saja."
"Beberapa kali saya melihat tatanan dan perlakuan Pak Rama kepada Agung kurang ramah. Dingin, gitu. Kadang-kadang agak kasar. Tapi saya pura-pura nggak lihat. Saya pikir mungkin dia nggak suka sama anak-anak. Tapi kepikir lagi, itu kan anaknya sendiri, bukan anak orang lain."
"Betul. Mungkin sejak sekarang kau sebaiknya memberi perhatian lebih banyak kepada Pak Rama."
"Jangan kasih tahu Nadia."
"Tentu saja nggak."
"Satu hal lagi yang terlihat," Barata menambahkan.
"Pak Rama itu kelihatannya suka sama perempuan cantik. Matanya itu lho. Dan sikapnya pun ramah banget kalau menyapa perempuan cantik."
"Misalnya siapa?"
Kembali Barata ragu-ragu.
"Entar saya jadi ngegosip. Yang gitu-gitu kan udah biasa di manamana."
Robin berpikir sejenak. Ia mengingat-ingat para penghuni di lantai tujuh.
"Bu Evita dan Bu Santi, para tetangga Rama kan, cukup cantik. Apalagi Bu Evita. Iya, kan?"
"Ya betul. Menurut saya. banyak ibu muda yang cantik di gedung itu. Udah cantik, kaya, dan pintar, lagi. Tapi sungguh saya nggak tahu hubungan antara mereka. Rob. Kalau cuma sekadar ramah Sih kayaknya memang harus. Namanya juga sama tetangga."
"Oh ya, ada yang mau saya tanyakan. Bar. Pada saat kejadian kau mendongak dan melihat ada tiga
sosok yang melayang, yaitu Agung, Ani, dan sosok hitam itu. Jelaskah dalam pandanganmu bahwa mereka belum lama jatuhnya? Maksudku, jarak dari balkon terbilang pendek?"
"Ya. Saya bisa memastikan itu. Karena itu saya masih punya kesempatan untuk berlari lebih dekat dan mencari posisi yang baik."
"Nah, pada saat pertama mendongak dan melihat mereka itu, apakah pandanganmu Juga menangkap balkon tetangga? Apakah ada orang di situ yang ikut melihat? Dan apakah saat itu sosok hitam itu masih tampak olehmu?"
"Saya sudah memikirkan dan merenungkan. Saya bisa memastikan bahwa saya tidak melihat siapa-siapa di balkon sebelah. Tapi saya tentu tidak bisa membagi perhatian lama-lama. Di situ kan hanya ada Ningsih, karena kedua majikannya pergi ke Semarang."
"Ya. Ningsih tidak mendengar apa-apa. Dia bangunnya siang. Baru tahu kejadiannya setelah pintunya digedor tetangga. Jadi memang hanya kau saksi satu-satunya."
"Alangkah baiknya kalau ada saksi lain. Apa kau meragukan penglihatan saya?" tanya Barata dengan tersenyum.
"Oh, tidak. Saya percaya kau punya kemampuan khusus."
"Khusus yang bagaimana?"
"Melihat sesuatu yang luar biasa."
"Ah, saya bukan paranormal "
"Saya kira memang bukan. Kalau bener sih saya juga takut dekat-dekat."
Mereka tertawa.
"Besok naik motor?"
"Nggak dululah. Naik angkot saja."
"Mau dijemput?"
"Wah, jangan, ah. Nggak mau. Saya juga nggak tahu masuk jam berapa. Mesti tanya Pak Hendra dulu dapat shift yang mana."
"Kalau mau dijemput saya bisa suruh anak buah bila saya nggak bisa."
"Jangan, Rob. Terima kasih banyak."
Dalam perjalanan pulang Barata duduk di boncengan motor Robin. Ia mulai bertanya-tanya dalam hati kenapa Robin bersikap begitu baik kepadanya. Hanya karena ia menolong Agung? Itu bukan sesuatu yang luar biasa. Susah baginya untuk menerima sikap Robin sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Tentunya sikap Robin tidak bisa disamakan dengan sikap Nadia yang juga baik kepadanya. Nadia, yang sangat menyayangi Agung. jelas merasa berterima kasih.
Mungkin Robin bermaksud memanfaatkan dirinya sebagai penyelidik amatir di Srigading. Ia tidak keberatan membantu bahkan senang, tapi tidak suka dimanfaatkan. Muncul penyesalan karena telah menimbulkan kesan negatif perihal Rama. Sepertinya itu tidak pantas.
Tapi setelah ia diturunkan di depan rumah, dan Robin berlalu tanpa mampir dulu, perasaan tak nyaman Ia buang. Semangatnya kembali lagi. Ia akan membantu meskipun tidak diminta. Bukan untuk Robin, atau Nadia, atau siapa-siapa, tapi untuk Agung.
HARI pertama Barata masuk kerja ia disambut dengan hangat oleh para penghuni Srigading. Ia jadi malu tersipu-sipu karena merasa diperlakukan berlebihan. Bahkan Hendra, yang biasanya kurang peduli, jadi ramah.
"Bener kakimu udah baik nih?" tanyanya serius.
"Bener, Pak. Cuma kalau disuruh lari kayaknya belum bisa."
"Siapa yang menyuruhmu lari? Kalau ada maling biar orang lain saja yang ngejar. Kau banyak duduk sajalah."
Hendra tampaknya senang melihat Barata masuk bekerja biarpun kondisi tidak seratus persen.
Hari itu rekannya satu shift kebetulan adalah Parto. Mereka sempat membicarakan hal itu. Parto yang penasaran kembali menanyakan soal barang yang hitam itu.
"Benar kamu nggak salah lihat, Bar? Bilang sama polisi, nggak?"
"Aku terpaksa bilang."
"Ya, aku pikir juga gitu. Soalnya aku lihat mereka nyuruk-nyuruk ke sana-sini. Entah nyari apa. Mereka nggak bilang. Lantas polisi bilang apa sama kamu?"
"Nggak apa-apa. Aku bilang mungkin juga burung hitam. Makanya nggak ada yang jatuh. Aku kan lihatnya cuma sekelebatan."
"Burung'? Ah, yang bener."
"Ya. Terserah mau percaya atau nggak. Tapi aku yakin mataku nggak salah."
Tampaknya Parto kurang percaya tapi Barata tak mau bercerita banyak. Apalagi mengenai pengalaman hidupnya. Ia mengalihkan pembicaraan tentang Agung yang masih belum siuman.
"Kasihan ya anak itu. Heran banget sama si Ani, kok tega-teganya."
"Jangan sembarang menuduh dulu, To. Kasusnya belum jelas."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Belum jelas gimana?"
"Katanya bisa saja karena kecelakaan. Jadi jangan nuduh sembarangan mentang-mentang orangnya udah nggak ada. Kalau salah kan kasihan."
"Bener Juga sih. Tapi di sini pembicaraan yang kudengar semuanya menuduh si Ani."
Barata menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ada perkembangan baru di sini, To?" tanyanya ketika teringat bahwa Parto sangat suka bergosip tentang para penghuni. Dulu ia paling sebal mendengar cerita-cerita seperti itu. Sekarang menjadi beda.
"Perkembangan apa maksudmu'? Oh, para penghuni pasca kasus Ani?" Parto paham.
"Ya. Pengin tahu aja."
"Tumben. Ah, pasti karena kamu merasa terlibat, ya? Baiklah. Ada sih beberapa kejadian. Kemarin malam aku melihat orangtuanya Agung bertengkar di dalam mobil saat mereka barusan parkir. Suarasuara keras, tapi tak jelas omongannya yang terdengar. Waktu kuhampiri mereka buru-buru diam, lalu keluar dan berjalan cepat-cepat. Sapaanku tak disahuti. Aku pikir, pasti pertengkaran itu akan dilanjutkan setelah mereka tiba di apartemennya. Kupandangi lantai tujuh. Kira-kira tempatku berdiri itu sama dengan tempatmu saat menangkap Agung. Kulihat Iampunya menyala, tapi pintu ke teras tidak dibuka. Tentu nggak mungkin terdengar apa-apa. Aku cuma membayangkan saja. Aneh ya, Bar. Anak sedang sakit mereka malah bertengkar."
"Mereka punya persoalan yang nggak kita ketahui."
"Aku juga memergoki si Ningsih nangis sendirian di pojok kebun. Kupikir dia kehilangan temannya si Ani. Tapi itu cuma perkiraanku saja. karena waktu kutanyai dia nggak mau ngomong. Dia buru-buru pergi. Kulihat dia duduk di lobi. Aku heran, lalu kudekati lagi. Kutanyakan kenapa dia nggak kembali ke apartemen, nanti dicari si nenek. Dia bilang majikannya pergi membawa si nenek ke dokter. Apartemennya dikunci. Aku baru tahu bahwa setiap kali ditinggal sendiri, dia disuruh nunggu di lobi."
"Kapan itu?"
"Dua hari yang lalu. Waktu itu sore-sore. Kirakira sejam setelah itu, Pak Wijaya dan istrinya, Bu Evita. pulang bersama si nenek. Aku membantu mengeluarkan kursi roda yang terlipat dan ditaruh di bagasi. Si nenek..."
"Namanya Bu Leoni, To. Kalau susah nyebut panggilannya Bu Oni," Barata mengingatkan.
"Ya. ya. Pak Wijaya memapah ibunya dari jok belakang untuk didudukkan di kursi roda. Aku membantunya. Wah, nenek itu badannya besar lho. Tinggi. lagi. Berat banget. Bu Evrta menahan kursi roda. Saat itu Ningsih datang berlari-lari dan mengambil alih kursi roda. Aku sempat melihat si nenek melototin Ningsih. Galak juga rupanya. Tapi dia nggak ngomong apa-apa. Aku tanya, apa si nenek sakit. Bu Evita bilang. cuma periksa kesehatan aja. Rutin. Memang kelihatannya segar-bugar kok. Pipinya aja memerah kayak dipakein gincu. Kulitnya juga halus biarpun sudah keriput. Pantasnya waktu mudanya cantik, tinggi. dan langsing. Kalau udah tua Jadi gembrot nggak ketulungan."
Barata tersenyum. Parto bisa mengoceh banyak sekali kalau sudah bercerita. Yang pendek bisa jadi panjang tak terbatas.
Parto terdiam melihat senyum Barata.
"He, kau ngetawain aku, ya. Katanya suruh cerita.
"Ya. ceritanya keluar jalur sih. Tapi nggak apaapa. Ayo, ada lagi?"
Tumben kau sekarang jadi suka sama ocehanku. Biasanya kau selalu bilang aku ngawur."
"Sekarang kan lain, To."
"Ya, memang sih. Rasanya segalanya jadi berbeda." Wajah Parto menjadi sendu.
"Aku kehilangan si Ani. lho. Kadang-kadang centilnya itu menyenangkan juga untuk dilihat, bukan?"
"Mestinya kaudekati si Ningsih, kenapa dia nangis."
"Ogah. ah. Entar dikira aku naksir. Ketahuan Pak Hendra, bisa celaka aku."
"Iya deh. Tiba-tiba aku jadi ingat, bukankah Pak Wijaya punya mobil van yang khusus buat membawa ibunya? Jadi ibunya itu nggak usah dibopong pindah kursi."
"Katanya mobilnya itu lagi di bengkel."
"Aku belum pernah melihat ibunya itu. Kalau keluar selalu sudah ada di mobil. Nggak kelihatan."
"Mestinya dibawa jalan-jalan, ya. Didorong pakai kursi roda keliling-keliling."
"Lalu menghirup udara berpolusi? Kasihan dong."
Mereka tertawa. Tiba-tiba Barata merasa ingin sekali bisa melihat nenek itu. Satu-satunya penghuni di gedung itu yang belum pernah dilihatnya.
Siang itu Robin datang menemui Hendra. Ia permisi untuk ke apartemen milik Wijaya, untuk menemui Ningsih. Ada beberapa hal yang mau ia tanyakan.
Hendra tampak ragu-ragu.
"Bagaimana kalau sore saja, Pak? Pak Wijaya dan istrinya kan ada di kantor."
"Saya nggak bermaksud menemui mereka, tapi Ningsih. Bagaimana kalau Ningsih saja yang disuruh turun?"
"Wah, nanti Bu Oni nggak ada yang jaga."
"Makanya saya saja ke sana. Kalau saya dianggap mencurigakan, Bapak kan bisa nemenin saya."
Hendra merasa tak nyaman melihat Robin menjadi kesal.
"Gimana kalau seorang satpam yang nemenin Bapak? Saya lagi sibuk banget nih."
Robin tertawa. Ia tidak tersinggung karena dijagai satpam.
"Boleh. Biar Barata saja. Dia kan sudah memahami saya."
Barata merasa bagai pucuk dicinta, ulam tiba. Memang lagi ingin melihat Bu Leoni, tahu-tahu mendapat kesempatan.
Sambil berjalan ia menyampaikan cerita Parto yang didengarnya tadi pagi. Robin manggut-manggut.
"Bagus," katanya.
"Biar jadi tambahan bahan pertanyaan nanti. Oh ya, kalau aku nanyain Ningsih, kau nemenin Bu Oni, ya?"
"Baik. Saya memang belum pernah melihatnya."
"Wah, sama dong. Saya juga belum pernah melihat ibu tua itu. Tempo hari saya ke situ, dia ada di kamar. Katanya tidur."
NingSih sudah diberitahu mengenai kedatangan
Robin oleh Hendra lewat interkom. Saat itu ia sempat protes.
"Aduh, Pak. Bapak dan Ibu kan belum pulang. Apa mereka nggak marah nanti?"
"Nggak. Aku jamin. Dia kan polisi. Masa dilarang?"
"Baiklah. Tapi Bapak bener-bener jamin, ya?"
"Iya."
Semula Ningsih bermaksud memberitahu Leoni perihal kunjungan itu, tapi bel pintu keburu berdering. Ia mengintip dulu dari lubang khusus di pintu, lalu membukakan pintu.
"Hei, siapa itu?" teriakan lengking terdengar di belakangnya.
Leoni berada di ruang depan hingga ia bisa melihat dua orang lelaki memasuki ruangan. Ia tampak terkejut dan cemas.
Ningsih buru-buru mendekatinya. Kemudian ia berkata dengan suara agak keras.
"Itu polisi dan satpam, Bu!"
Leoni melotot kepadanya. tampak marah.
"Kenapa dikasih masuk? Majikanmu kan belum pulang?"
"PoliSi itu mau ngomong sama saya, Bu!"
"Ngomong sama kamu kok masuk ke sini?"
Robin dan Barata terkejut oleh sambutan si nenek. Mereka berdiri tertegun di dekat pintu. Meskipun sudah tua dan duduk di kursi roda, tapi Leoni tampak berWibawa dan "siap tempur". Rambutnya sudah putih semua, masih tebal dan dipotong pendek. Raut wajahnya lembut dan halus, putih dengan
pipi merona kemerahan. Matanya pun kelihatan jernih dan tajam, tidak menyipit seperti umumnya orang tua. Postur tubuhnya yang besar terlihat gagah dan tegak dalam posisi duduknya. Tapi kelembutan yang terpancar dari wajahnya tidak sesuai dengan sikap galak yang diperlihatkannya.
Akhirnya Robin memberanikan diri maju mendekat si nenek. Ia mencium bau yang menyengat. Ia menyadari itu berasal dari tubuh Leoni.
"Maafkan kami ya, Bu. Saya perlu bicara sama NingSih soal kejadian hari Minggu. Penting untuk penyelidikan."
Ningsih mendekat kepada Robin lalu bicara pelan,
"Ngomongnya kerasan dikit, Pak. Dia budek."
Robin tersipu, lalu mengulang kembali kata-katanya tadi dengan lebih keras. Barata menyembunyikan senyumnya.
Leoni menatap Robin dengan tajam. Sepertinya ia bermaksud menembus kepala Robin untuk mengetahui jujur tidaknya. Tapi Robin membalas tatapannya tanpa berkedip.
"Hari Minggu? tanya Leoni dengan dahi mengerut.
Robin menoleh pada NingSih.
"Apa dia sudah tahu?" tanyanya pelan.
"Sudah, Pak. Soalnya si Agung suka diajak main ke sini sama Ani. Jadi dikasih tahu," sahut Ningsih pelan juga. Lalu tiba-tiba terkejut.
"Aduh, saya kok ngomong, ya?" katanya, maSih dengan suara pelan.
"Ngomong apa?" tanya Robin heran.
"Tentang si Agung dan Ani suka main ke sini. Saya dilarang ngasih tahu."
"Oh, ya?"
"Tapi, itu nanti aja ngomongnya, Pak. Itu Bu Oni ngeliatin. Curiga."
Robin beralih kembali pada Leoni.
"Betul, Bu. Hari itu Agung dan Ani jatuh dari balkon. Kasihan, bukan? Jadi polisi harus menyelidiki," kata Robin. Masih bersuara keras.
"Kenapa si Ningsih yang ditanyai? Emangnya dia dicurigai? tanya Leoni sambil melirik pada Ningsih dan Barata bergantian.
"Nggak, Bu. Dia dimintai keterangan. Semua orang di sini juga begitu."
"Aku juga?" tanya Leoni. Nadanya menantang.
"Ah, nggak dong, Bu!" sahut Robin keras-keras.
Dalam hati Robin berpikir, alangkah capeknya kalau harus menanyai orang tuli.
"Kenapa nggak? Mentang-mentang udah tua?" kata Leoni lantang.
Robin sudah merasa capek melayani si nenek. Keharusan bicara keras itu melelahkan. Tapi ia sadar harus bersabar.
"Itu dia satpam yang menolong Agung, Bu." Robin menunjuk Barata.
"Sini Bar! Kenalan."
Barata maju dengan perasaan gentar. Ia mengulurkan tangan untuk menyalami Leoni, tapi si nenek memasukkan tangannya ke dalam saku. Buru-buru
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barata menarik kembali tangannya. Ia tersenyum malu.
Ketika Leoni menarik kembali tangannya. ia memegang sebuah botol kecil. Ia membukanya lalu menuang isinya sedikit ke telunjuknya dan kemudian menggosokkannya ke keningnya. Bau menyengat keluar. Itulah bau minyak angin yang barusan tercium oleh Robin. Sambil menggosok-gosok kening Leoni mengamati Barata dari atas ke bawah dengan saksama, seakan sedang menilai barang.
Robin mengamatinya sejenak kemudian berkata dengan keras,
"Nah, Ibu ditemani Satpam Barata sebentar! Saya mau bicara sama Ningsih di dapur, ya?"
Robin cepat-cepat menarik tangan Ningsih menuju dapur. Ia menoleh ke belakang dan sempat melihat kecanggungan Barata. Sedang Leoni masih saja mengamati Barata seperti tidak kunjung merasa puas. Robin merasa kasihan pada Barata.
"Duduk aja. Bar! Ambil koran dan baca-baca," seru Robin.
"Jangan lama-lama, ya!" Leoni berseru juga.
"Nggak, Bu!"
Setibanya di dapur, Robin menarik napas dalamdalam lalu mengembuskannya dengan penuh kelegaan. Ningsih tersenyum melihatnya.
"Berapa umurnya, Ning?" tanya Robin.
"Katanya tujuh puluh."
"Apakah dia cerewet?
"Lumayan. Maklumlah sudah tua."
"Kau betah kerja di sini? Katanya kau suka nalng. ya?"
Ningsih terkejut.
"Ah, siapa bilang?"
"Ada aja."
"Ah, pasti Satpam Parto. Nggak kok. Dia salah lihat."
"Ya sudah. Bukan soal itu yang mau saya tanyakan. Kembali pada kasus Ani. Kamu nggak ada tambahan info? Mungkin tempo hari kelupaan?"
Ningsih menggeleng.
"Soal pacar Ani, si Gito itu? Pada hari pertama saya udah nanya dia. Tahu dia bilang apa? Katanya dia nggak suka sama Ani. Sukanya sama kamu!"
NingSih terkejut lalu tersipu.
"Ah, masa'? Tapi..."
"Sekarang kamu nggak bisa nanya dia untuk memastikan, karena dia sudah lenyap. Setelah sempat ditanyai sekali-kalinya itu, besoknya dia berhenti kerja. dan nggak muncul lagi. Bosnya bilang dia mau pulang kampung karena orangtuanya sakit."
Ningsih tersentak kaget.
"Dia... dia pergi? Nggak ba... balik lagi?" tanyanya gugup.
Robin menatap tajam. Wajah Ningsih terlihat pucat.
"Apa kamu sempat bertemu dia setelah kejadian itu?"
"Nggak," sahut Ningsih dengan rupa bingung.
"Nggak mungkin, Pak. Saya dan Ani ketemu dia seminggu sekali. Cuma hari Minggu. Saya kan nggak bisa keluar kalau bukan hari Minggu."
"Kamu punya HP?"
"Nggak. Pak. Apa dia... dia akan ditangkap?" "saya nggak sembarangan dong. Lihat dulu.
Menurutmu kenapa dia menghilang? Apa yang dia
takutkan?"
"Ng...nggak tau, Pak," jawab Ningsih ragu-ragu.
"Ayolah, Ning. Kamu bantu dong. Apa yang kamu ketahui, kasih tahu saja," bujuk Robin.
"Apa Bapak akan membiarkan dia pergi? Nggak dicari?"
"Kami akan mencarinya. Mau sembunyi di mana pun pasti ketemu. Kan dia cuma mau ditanyai, bukan ditangkap. Kenapa pergi beguu saja? Itu justru mencurigakan. bukan?"
"Sebelum kejadian itu, Ani pernah cerita dia suka gituan sama Gito. Katanya Gito udah janji mau menikahinya."
Suara Ningsih terdengar parau. Wajahnya tampak sedih.
Setelah tertegun sejenak, Robin berkata dengan kesal,
"Wah, kurang ajar juga si Gito itu, ya? Katanya dia suka sama kamu, tapi dia juga merayu si Ani. Dasar..."
Ningsih kelihatan mau menangis. Robin jadi khawatir.
"Ah. sudahlah, Ning. Masih banyak cowok lain kok. Kamu kan masih muda. Jangan mikirin orang yang udah jelas nggak bener. Sudah, sudah," ia membujuk.
Ningsih menyusut matanya dengan tisu dari meja dapur.
"Kamu masih mau bicara, kan?" tanya Robin setelah beberapa saat.
Ningsih mengangguk.
"Mau. Pak."
"Jadi menurutmu apa sebabnya dia pergi?"
"Mungkin dia nggak mau tanggung jawab."
"Tanggung jawab untuk apa? Maksudmu dia mungkin menghamili Ani? Tapi kan Ani sudah meninggal."
"Iya. Dia takut disalahin."
"Apa Ani bilang padamu bahwa dia hamil?"
"Nggak. Barangkali si Gito ngira-ngira aja."
Robin temiangu sejenak. Lalu berkata dengan nada menenangkan.
"Yang itu bisa diketahui nanti. Kalau sudah ketahuan kamu akan dikasih tahu, ya?"
"Ketahuannya gimana? Kan dia sudah dikubur."
"Dari hasil autopsi."
"Oh."
"Sekarang beralih ke yang lain. Tadi katamu si Ani dan Agung suka main ke sini?"
"Iya. Bu Evi senang sekali sama Agung. Katanya Agung mengingatkan dia sama anaknya sendiri yang meninggal."
"Apa Pak Rama dan Bu Ava nggak keberatan mereka main ke sini?"
"Nggak. Kata Ani, udah dikasih izin. Kan nggak sering juga. Paling-paling hari Sabtu saat Pak wijaya dan Ibu libur. Tapi hari itu katanya Bu Ava tetap kerja. Cuma Pak Rama yang ada."
"Di luar hari Sabtu? Misalnya hari kerja?"
"Pernah juga. Tapi bukan untuk main. Si Ani yang pengin nemuin saya untuk ngobrol. Jadi si Agung dibawa."
"Lantas Bu Oni?"
"Dia suka ajak ngomong Agung. Pernah menyuruhnya duduk di pangkuannya, tapi Agung nggak mau. Bu Oni marah sekali."
"Kenapa Agung nggak mau?"
"Mungkin takut."
Robin tertawa.
"Saya aja takut."
"Katanya dia darah tinggi. Kalau marah pipinya sampai merah kayak tomat."
"Kau punya kamar sendiri? Nggak tidur sekamar dengan si nenek?"
"Nggak. Dia nggak mau. Takut malam-malam digerayangin, katanya."
"Gimana kalau malam-malam dia pengin pipis, misalnya? Padahal kamu jauh."
"Kalau pipis dia bisa sendiri. Di kamar mandi ada pegangannya."
"Jadi tidurnya selalu nyenyak? Tapi bisa aja dia butuh sesuatu."
"Ya, memang ada bel yang disambung ke kamar saya, Pak. Kayak di rumah sakit itu. Bel itu bunyi kalau dia perlu saya. Tapi itu jarang. Oh iya, Pak. Nanti jangan ngomong sama Pak Wijaya kalau saya memberitahu Bapak tentang Ani dan Agung yang suka main ke sini."
"Jadi dia yang melarang? Memangnya kenapa?"
"Nggak tahu. Saya udah dikasih tahu waktu hari
Minggu malam sebelum Bapak datang. Katanya dia nggak mau terlibat. Nggak mau urusan sama polisi," tutur NingSIh dengan polos.
"Tapi tadi di depan Bu Oni kamu ngomong begitu. Nggak takut disampaikan?"
"Saya kan ngomongnya pelan. Dia nggak dengar," kata Ningsih dengan yakin.
"Lantas kenapa kamu cerita juga sama saya? Kau sendiri nggak takut. kan?"
"Nggak, Pak. Kan mereka cuma main aja? Nggak ada salahnya. Apalagi Pak Rama udah kasih izin. Saya pengin ngomong yang sebenarnya."
"Bu Evita sendiri gimana? Apa dia ikut melarang?"
"Nggak sih. Bu Evi nurut aja. Orangnya baik. Saya dengar dia pengin nengokin Agung, tapi Bapak nggak mau. Katanya nanti aja. Tau kapan."
"Mantel hitam yang kaulihat di belakang pintti kamar Ani itu gimana? Ingat-ingat, pernah lihat di mana? Barangkali ada penghuni di sini yang pernah membawanya?"
Ningsih menggeleng.
"Nggak pernah lihat, Pak. Saya juga yakin, itu bukan punya si Ani. Kalaupun dia punya, barangkali ada yang ngasih, pasti dia simpan di koper. Masa digantung begitu kayak barang yang sering dipakai? Memangnya dia kedinginan?"
"Itu pemikiran yang bagus."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang ke mana mantel itu, Pak?" ganti Ningsih yang bertanya.
"Mau dikaSih ke keluarganya?"
"Kenapa? Apa kamu mau?" Robin tertawa.
"Nggak, ah." Ningsih tidak ikut tertawa.
"Jadi kau belum cerita soal penemuan mantel itu pada majikanmu?"
"Belum, Pak. Kan katanya jangan."
"Saya pikir nggak ada salahnya kalau kamu mau cerita. Siapa tahu nanti ada yang ngaku telah memberikannya pada Ani."
Ningsih mengangguk-angguk.
Sementara Robin dan Ningsih berbincang, Barata merasa "menderita" di bawah tatapan si nenek, Leoni. Dia merasa dirinya tengah dijaga ketat. Ia segan mengajak berbincang karena harus bicara keras. Leoni seperti tak bosan-bosannya mengamatinya seolah ia sebuah buku yang tak selesai-selesai dibaca. Ingin balas mengamati tapi takut dimarahi.
"Jadi kamu yang nangkep si Agung,," kata Leoni akhirnya. Keras suaranya.
Barata terlompat kaget.
"Ya, Bu," katanya biasa-biasa saja. Biarlah dia membaca gerak bibir.
"Sayang nangkepnya nggak tepat."
"Ya." Barata mengangguk.
"Siapa namamu?"
"Ba-ra-ta," Barata membuka mulutnya lebar-lebar setiap menyebut potongan namanya. Tak mau bicara keras.
"Apa?" tanya Leoni sambil menunjuk kupingnya
"Ba-ra-ta," Barata mengulang.
"Apa?" bentak Leoni.
"Dasar budek," gerutu Barata kesal. Ia yakin si nenek tidak mendengar.
"Kurang ajar! Awas ya kulapori kamu!" teriak Leoni.
Barata terkejut. Apakah si nenek bisa mendengar gerutuannya atau membaca gerak bibirnya? Ia yakin bicaranya pelan tadi. Sejak awal ia tidak menatap wajah Leoni. Baru sekarang ia memandangnya dengan tatapan penuh. Ia kembali terkejut ketika melihat pipi Leoni yang semula hanya merona sekarang jadi merah.
Robin dan Ningsih berlarian dari dapur. Mereka tampak terkejut.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Robin cemas.
"Satpam kurang ajar! Ayo, keluar sana!" teriak Leoni.
Tak ada jalan lain. Mereka keluar. Ningsih minta maaf.
"Sampaikan maaf kami kepadanya juga," kata Robin.
Barata menceritakan apa yang telah terjadi. Robin terbahak-bahak.
"Apa yang lucu?" tanya Barata kesal.
Robin menepuk pundak Barata.
"Sudah. Jangan kesal. Nanti kita jelaskan saja pada Pak Hendra supaya dia memahami."
Hendra tidak menyalahkan Barata.
"Nenek itu memang pemarah. Sudah biasa begitu. Kalau nanti Pak Wijaya complain, saya akan jelaskan padanya."
"Terima kasih, Pak," kata Robin.
Sebelum pergi, Robin bertanya pada Barata,
"Kau yakin dia marah karena kau mengatainya budek?"
"Ya. Apa lagi? Cuma itu yang kukatakan. Aku nggak nyangka dia bisa dengar."
"Baca gerak bibir."
"Aku tidak memandang kepadanya, bagaimana dia bisa melihat gerak bibirku?"
"Mungkin dia cuma kepingin marah saja."
Barata mengangkat bahu. Mungkin memang begitu. Keinginan untuk melihat si nenek ternyata harus dibayarnya.
Sore itu, sebelum pulang karena jam kerjanya sudah berakhir, Barata dipanggil Hendra.
"Kau dipanggil Pak Wijaya, Bar. Katanya ada yang mau dibicarakan."
"Pak Wijaya lantai tujuh, Pak?" tegas Barata. Ia berharap bukan Wijaya yang itu. Ada dua-tiga Wijaya di lantai yang lain.
"Iya. Mungkin persoalan yang tadi, ya. Tapi nggak apa-apa. Bar. Aku akan beking kamu kalau dia marah-marah."
"Terima kasih, Pak."
Meskipun demikian perasaan Barata tidak nyaman saat mengetuk pintu apartemen Wijaya. Selama bekerja di situ ia belum pernah punya persoalan dengan penghuni.
Di luar dugaannya, ia disambut dengan ramah oleh Wijaya dan istrinya. Bahkan dengan heran ia
melihat Nenek Leoni juga tersenyum dengan manis kepadanya. kekhawatirannya lenyap, walaupun belum sepenuhnya merasa tenang.
"Kami mau minta maaf, Bar." kata Wijaya.
"Tadi kau sama Pak Robin diusir sama Bu Leoni, ya? Jangan tersinggung, ya. Maklumi saja. Namanya orang udah tua. Tekanan darahnya suka naik tibatiba."
Barata tersipu.
"Oh, nggak apa-apa, Pak. Saya dan Pak Robin maklum kok. Nggak apa-apa."
"Betul Pak Robin nggak marah?"
"Betul, Pak."
Terpikir oleh Barata, jangan-jangan karena Robin itu seorang polisi maka Wijaya merasa perlu minta maaf. Dia sendiri bukan apa-apa.
Ningsih muncul dari dapur membawa baki berisi segelas minuman berwarna kuning. Ia meletakkannya di atas meja.
Wijaya menyilakan Barata duduk.
"Ayo, kita ngobrol sebentar."
Barata sudah ingin pulang. tapi ia merasa tak enak menolak ajakan itu.
"Apa polisi sudah mendapat titik terang dalam kasus Ani dan Agung itu. Bar?"
"Belum tahu, Pak. Saya nggak berani nanya-nanya."
"Barangkali kau dapat bocoran dari Pak Robin. Katanya dia dekat sama kamu."
"Ah, dekat sih nggak. Cuma dia orangnya baik
"Kelihatannya memang begitu. Orangnya santun. Kasihan juga diusir, ya. Saya benar-benar jadi malu. Kalau dia nggak perlu masa sih datang siang-siang. Setahu saya detektif itu nggak kenal waktu, pagi, siang. atau malam."
"Betul, Pak. Namanya orang mencari kebenaran."
"Nanti tolong sampaikan pemiintaan maaf saya kepadanya ya, Bar. Barangkali kau akan ketemu dia lagi."
"Baik, Pak."
Selama berbincang itu Barata merasakan tatapan tajam Nenek Leoni terus mengarah kepadanya. Apakah sejak tadi ia belum juga kenyang memandangiku. pikirnya kesal.
"Kami juga berterima kasih padamu, Bar, karena telah menolong Agung."
"Ya, Pak. Doakan aja dia cepat sadar. Katanya kondisi fiSiknya baik, tapi ada masalah di otaknya."
"Kamu udah nengokin dia?"
"Sudah, Pak."
"Saya cuma bisa doakan dari sini aja. Bar. Nggak tega ngelihatnya."
"Nggak apa-apa, Pak. Sama aja."
Evita muncul. Tangannya memegang sekotak kue. Ia meletakkannya di atas meja, di depan Barata.
"Ini ada oleh-oleh sedikit, Bar. Bisa buat teman minum kopi atau teh pulang nanti."
"Oh. terima kaSih, Bu." Barata kembali tersipu.
Tiba-tiba ada yang tertawa. Semua menoleh ke arah Leoni. Dia menunjuk kepada Barata.
"Ah, dia manis ya kalau malu-malu gitu. Ada dekiknya!" serunya.
Wijaya dan Evita terperangah. Sedang Barata memerah mukanya.
"Hus, Ma!" kata Wijaya sambil menggoyanggoyangkan tangannya. Tapi Leoni masih saja terkikik.
"Jangan marah ya. Bar," kata Evita.
"Nggak kok. Bu."
Memanfaatkan kesempatan itu Barata segera pamitan. Wijaya akan segan menanyainya lagi bila ibunya suka menyela seperti itu.
Di pintu ke luar gedung Hendra mendekatinya. Tatapannya mengarah sesaat pada kotak kue di tangan Barata.
"Gimana, Bar?" tanya Hendra ingin tahu.
"Pak Wijaya minta maaf, Pak. Bukannya marah. Saya malah dikasih kue."
Hendra tertawa, lalu menepuk pundak Barata.
"Syukurlah kalau begitu. Bar. Aku jadi lega."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barata tidak lupa mengirim SMS kepada Robin, memberitahu soal permintaan maaf Wijaya itu.
Jawaban SMS Robin adalah: lucu, ah!
Barata tidak mengerti di mana letak lucunya. Padahal ia tidak bercerita soal perlakuan si nenek. Kalau ia ceritakan barangkali SMS-nya akan berbunyi: lucu banget!
PADA hari Minggu pagi itu, tepat seminggu setelah kejadian, Nadia bangun dari tidurnya dengan perasaan heran. Suasana yang lain menyambutnya. Bukan kamar kosnya yang sesak. Ruangannya beraroma khas. Ketika pintu terbuka dan seorang perawat masuk, baru ia sadar. Semalam ia menginap di kamar perawatan Agung.
Saat perawat mengurus Agung, ia buru-buru ke kamar mandi. Sikat gigi dan mandi supaya segar. Biasanya ia bermalas-malas di hari Minggu. Tapi pada hari itu, ia ingin segera kembali menemani Agung. Di samping itu semalam ada SMS dari Robin yang mengatakan bahwa pagi itu ia akan datang berkunjung. Bukan hanya untuk menengok Agung, tapi juga untuk berbicara sedikit. Ada hasil autopsi dari Ani, katanya. Karena itu ia jadi bersemangat.
Ia punya simpanan kue dan kopi susu dingin di
lemari es. Untunglah Rama menempatkan Agung di kelas VlP hingga ia bisa menikmati berbagai fasilitas. Jadi untuk sarapan ia tidak perlu lagi pergi ke kantin. Cukup makan dan minum dingin saja. Ia sudah terbiasa makan apa adanya di tempat kosnya. Yang penting kenyang dan makanannya bersih. Letak kantin cukup jauh. padahal tak ada orang yang menggantikannya. Entah kapan Rama dan Ava datang. Ia tidak mau mendesak atau menuntut mereka cepat datang karena ia senang berada di dekat Agung. Hanya pada saat libur seperti itu ia bisa melakukannya. Ia senang berbicara pada Agung, mendongeng. atau membacakan buku. Orang lain tak ada mau yang melakukannya.
Barata berjanji akan datang pada hari itu untuk ikut membacakan buku. Ia sengaja minta libur pada hari itu, meskipun bukan bagiannya. Ia tukar dengan temannya. Jalannya sudah normal meskipun masih agak tertatih-tatih.
Sebelum mulai membaca, ia mencium dahi Agung.
"Selamat pagi, Gung. Ini hari Minggu lho. Coba kalau kau sudah sadar pasti kuajak nonton. Ada film animasi baru diputar. Sayang kamu masih terus tidur aja. Ngapain aja sih kau di sana? Baiklah. Tante mulai membaca aja, ya. Coba lihat, sampai mana ya kemarin." Nadia membalik halaman-halaman buku cerita. Ada beberapa buku yang sengaja ditumpukkannya di atas meja. dengan maksud ada orang lain yang mau membacakan.
Barata masuk.
"Selamat pagi, Mbak Nana. Selamat pagi. Agung."
"Selamat pagi. Bara. Nih, ada Oom Bara. Gung. Pagi-pagi sudah datang."
"Saya pikir, bisa gantiin Mbak kalau mau sarapan. Siapa tahu cuma sendirian. Eh, rupanya bener sendirian. Pergilah kalau mau sarapan. Saya yang bacain buku."
"Wah, coba dari tadi. Saya udah sarapan kok, makan dan minum dingin. Persediaan dari kemarin. Saya masih punya kue. Mau ya?"
Tanpa menunggu jawaban Barata, Nadia bangkit. Ia membuka lemari es dan mengambil sepotong bolu gulung dan satu kaleng kopi susu dingin.
"Saya udah sarapan kok, Mbak. Masih kenyang."
"Ini kan nggak ada artinya. Perutmu lebih besar dari perutku. Kau makan saja. Biar saya baca duluan. Udah gitu kau yang nerusin."
Barata menerima kue dan minuman yang disodorkan. Rasanya enak sekali.
"Katanya Robin mau ke sini juga?" ia bertanya.
"Iya. Ada hasil autopsi Ani."
"Oh."
Barata bersemangat mendengarnya.
Nadia tak segera membaca. Ia ingin berbincang dulu dengan Barata.
"Bagaimana situasi di sana, Bar?"
Barata bercerita tentang pengalamannya bersama Robin waktu berkunjung ke apartemen Wijaya.
Bagaimana mereka diusir oleh Leoni tapi kemudian Wijaya meminta maaf dan Evita membekalinya kue. Tapi ia tidak menceritakan perlakuan Leoni yang kedua kalinya. Nadia tertawa geli mendengar cerita Itu.
"Kau dengar, Gung?" katanya kepada Agung.
"Oom Bara sama polisi diusir oleh Oma Oni. Masih ingat oma besar itu? Ingat dong, ya? Kamu kan suka main ke rumahnya. Oma itu galak apa baik sih? Kamu pernah dibentak atau diusir. Gung?"
"Apa kau pernah ketemu oma itu. Mbak?" tanya Barata.
"Lihat sih udah, tapi dari luar pintu. Lagi duduk di kursi roda. Wah, anggun ya? Dia kayak ratu deh."
"Iya, memang," Barata setuju.
"Kau tahu apa yang saya bayangkan setelah mendengar ceritamu dan mengenang orangnya?"
"Nggak tahu."
"Bagaimana rasanya punya mertua kayak gitu, ya? Kasihan Bu Evita tuh. Pantes kurus terus."
Barata mengangguk.
"Iya. Serem juga. Mungkin penting juga untuk orang yang cari pasangan agar selidiki juga calon mertuanya. Daripada menderita sepanjang sisa hidup, lebih baik nggak punya pasangan."
"Atau menunggu sampai calon mertua koit."
Mereka tertawa.
"Lucu nggak, Gung? Untung ya kamu nggak punya nenek kayak Oma Oni itu. Ya sudahlah. Tante
mau baca buku. Entar diterusin sama Oom Bara. Biar nggak bosan dengar suaranya."
Lalu Nadia mulai membacakan cerita. Sementara Barata memerhatikannya. Dia terlihat berwibawa dan elegan, pikirnya. Tapi tidak cantik seperti kakaknya. Hidung dan mulutnya kebesaran. Raut wajahnya lebar dan persegi. Tapi kulitnya halus dan matanya bagus. Rambutnya yang hitam pendek ditata menutup kedua telinga dan ujung rahangnya hingga mampu mengecilkan raut wajahnya. Ia tak mengerti kenapa dua bersaudara itu tidak mempunyai kemiripan.
Pada saat Barata membaca, giliran Nadia memerhatikannya. Dia masih muda, pikirnya. Kenapa tak mencari istri lagi? Jarang ada lelaki seperti ini. Pasti trauma kesedihan masa lalulah yang membuat ia lebih suka melajang. Bila orang tak memiliki, maka ia pun tak perlu takut kehilangan.
Barata merasakan tatapan Nadia. Ia menoleh. Nadia mengacungkan jempolnya. Mereka samasama tersenyum.
Pada saat Barata membaca dan Nadia memerhatikan itulah Robin masuk diam-diam. Sebelumnya ia sudah mengintip dari lubang pintu. Ia tak ingin mengganggu. Nadia melihatnya, tapi Barata tidak. Robin meletakkan jari di mulutnya.
Setelah Barata selesai membaca barulah Robin berdeham.
"Pagi semuanya."
"Pagi juga," sahut Nadia dan Barata.
"Sudah sarapan?" tanya Nadia.
"Masih ada kue di kulkas. Kalau nggak dimakan entar dimakan yang lain."
"Sudah sarapan sih. Tapi kalau kue boleh saja."
Nadia memberikan sepotong kue bolu gulung beserta kopi susu kaleng. Sama seperti yang dimakannya dan yang diberikannya kepada Barata.
"Kok cuma saya sendiri yang makan? Kalian mana? Bagi tiga aja, ya?"
Nadia tertawa.
"Kami sudah makan tadi. Ayolah, masa dibagi tiga?"
"Bicaranya di mana? Orangtua Agung belum datang?" tanya Robin.
"Belum. Kita pindah ke situ saja. Bicaranya jangan keras-keras," sahut Nadia.
Mereka pindah ke kursi tamu.
"Lebih baik bicara sekarang daripada nanti di depan mereka. Apakah mereka perlu dikasih tahu juga. Pak?"
"Kayaknya perlu. Saya harus menanyai mereka karena hasil autopsi ada relevansinya dengan mereka. Terutama Pak Rama. Tapi itu bisa belakangan."
Nadia terkejut. Wajahnya menampakkan kecemasan.
"Begini. Si Ani tidak sedang hamil meskipun dia sudah tidak perawan lagi. Maaf ya, Mbak Nana. Saya ngomong begini soalnya pacarnya si Gito itu menghilang dan Ningsih khawatir dia hamil. Tapi yang penting, ditemukan kadar alkohol dalam darah
dan urin yang cukup tinggi. Berarti sebelum jatuh ia barusan minum minuman keras yang cukup banyak. Saya lihat di atas bufet apartemen Pak Rama berjejer minuman keras. Ada bir, wiski, brendi, bahkan rum yang kadar alkoholnya tinggi. Seperti mini bar."
Nadia tambah terkejut.
"Rama memang suka minum. Tapi Ava nggak biasa minum. Sudah kukatakan supaya botol-botol itu ditaruh dalam lemari terkunci. Tapi katanya repot. Rupanya si Ani suka mencuri minum juga. Kok pagi-pagi begitu udah minum. Apa dikiranya kopi?"
"Jangan-jangan bukan baru sekali itu saja, Mbak."
"Saya kira juga begitu. Tapi kok pagi-pagi."
"Menurut dokter dia bukan peminum. Organ organnya bagus. Mungkin minumnya sekali-sekali saja, kalau ada kesempatan."
"Apa bisa disimpulkan bahwa dia mabuk pada saat itu, Rob?" tanya Barata.
"Tak mengherankan kalau dia sampai terjun. Tapi kenapa Agung ikut jatuh?"
"Itu adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh Agung sendiri. Tapi kesimpulan bahwa dia mabuk itu sudah pasti. Mungkinkah Agung mau menyelamatkan Ani, tapi malah ikut jatuh?"
Nadia geleng-geleng kepala.
"Kenapa ada ributribut seperti itu, Rama dan Ava nggak bangun? Sebegitu nyenyakkah tidur mereka?"
"Buktinya pintu harus digedor untuk membangunkan mereka, Mbak."
"Ya. Setahuku, Ava itu orangnya memang susah bangun kalau sedang lelap. Apa Rama juga seperti itu?"
"Pulangnya larut malam," Barata mengingatkan.
"Menurut Ava, ia tidur duluan dan Rama. Ia tidak tahu jam berapa Rama naik ke ranjang," kata Nadia.
"Ya. Mungkin saja sebelum tidur dia minum dulu sampai setengah mabuk. Makanya dia tidur lelap. Tidur orang mabuk," kata Robin.
"Tanyakan saja nanti pada orangnya, Pak," kata Nadia kesal.
"Tentu saja. Apa menurut Mbak, baiknya diajak bicara di sini saja kalau dia datang? Atau diajak ke tempat lain?"
Nadia berpikir sebentar. Ia menoleh ke arah Agung yang masih dalam posisi semula seperti biasa.
"Saya pikir mendingan kau saja yang ke apartemen mereka. Bicara di sana kan tak perlu ngomong pelan. Apalagi di sini perawat keluar-masuk. Gimana?"
"Baiknya Sih begitu," sahut Robin.
"Tapi bisa jadi kami papasan di jalan. Jadi buang waktu nanti."
"Sebentar saya telepon Ava dulu."
Ternyata Rama dan Ava masih berada di apartemen mereka.
"Rama baru masuk kamar mandi," kata Ava.
"Kenapa? Apa kan punya janji?"
"Oh, nggak. Kalau begitu jangan berangkat dulu
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ya. Mbak. Pak Robin mau ke sana. Ada yang mau dibicarakan. Ngomong di sini kan nggak nyaman. Penting, Mbak. Ditunggu. ya?"
Robin segera berangkat.
Nadia dan Barata kembali ke sisi Agung.
"Mau baca lagi?" tanya Barata.
"Sebentar, Bar." Nadia berpaling pada Agung.
"Gung, cuma kamu yang tahu apa sih yang sebenarnya terjadi pada waktu kamu dan Ani jatuh. Apa kamu lihat Ani minum-minum dari botol kepunyaan Papa? Apa Ani mabuk sesudah itu? Lari ke sanasini sempoyongan terus buka pintu ke teras? Terus dia loncat ke bawah? Apa kamu berusaha menolong Ani dengan menarik bajunya tapi jadi ikut ketarik dan jatuh juga? Oh. Gung. Bangun dong. Cerita yang sebenarnya padaku."
Nadia berbicara dengan nada memohon sampai Barata jadi terharu. Tapi Agung tampaknya tidak tergerak sedikit pun.
Nadia menghela napas dalam.
"Ah. Agung masih ingin istirahat, ya? Tidur itu memang damai dan tenang. Tapi jangan lama-lama, ya?"
Barata diam saja, membiarkan Nadia bicara sendiri. Ia merenung dengan pikirannya sendiri. Ia membayangkan lagi kejadian pada hari Minggu yang lalu itu. Ia melihat tiga sosok. Ia masih yakin sampai saat itu. Apa makna sosok hitam itu sebenarnya? Apa hanya sekadar memperlihatkan diri kepadanya, sama seperti di masa lalu? Hanya pertanda saja? Apakah dia Sang Maut?
Barata baru ingat bahwa sampai saat itu Robin tidak bertanya kepadanya, di mana posisi sosok hitam yang tertangkap matanya. Ia sendiri tidak menggambarkannya dengan lebih detail. Dan kelihatannya Robin tidak perlu detail. Sekarang ia jadi bertanya sendiri. Begitu saja muncul pertanyaan itu. Apakah posisi itu penting?
Meskipun tak sempat mengamati, tapi dalam waktu Singkat ia sudah bisa melihat formaSi ketiga sosok. Dari posisi tubuhnya yang menghadap gedung. sebelah kiri adalah Agung. di tengah Ani , dan di kanan sepertinya sosok hitam itu. Barangkali Robin tidak menganggap hal itu penting. Ia sendiri pun tidak tahu di mana letak pentingnya meskipun merasa hal itu perlu dipikirkan.
Barata terkejut ketika menyadari bahwa Nadia sedang mengamatinya dengan tatapan heran.
"Dari mana saja, Bar?" goda Nadia.
"Diajak ngomong kok bengong terus."
Barata tersipu.
"Oh, sori. Lagi mikir, Mbak."
Kemudian ia menyampaikan pemikirannya barusan. Enak juga bisa mengatakannya kepada Nadia.
Nadia menyimak dengan serius.
"Saya sepakat denganmu, Bar. Kayaknya ada sesuatu di situ, tapi kita nggak bisa meraba."
"Menurutmu apa pemikiran itu layak disampaikan kepada Robin? Soalnya dia nggak pernah menanyakan soal formasi."
"Dia nggak nanya karena dia nggak menganggap penting. Buat dia yang penting adalah fakta yang jelas
hitam di atas putih. Kayak hasil autopsi, mantel hitam, dan sebagainya. Tapi sosok hitam yang kaulihat itu lenyap tak berbekas. Mendingan jadi bahan pemikiran kita saja, Bar. Orang-orang amatir."
Barata mengangguk.
"Betul juga, Mbak. Terima kasih ya mau ikut memikirkan."
"Hei. kok terima kasih. Sama-sama dong. Lain kali kalau saya yang punya unek-unek, saya cerita sama kamu, ya?"
"Ya, Mbak."
"Saya sebenarnya risau sama kakakku, Bar. Tempo hari waktu saya di sana, dia lagi stres terus minum sampai mabuk. Minumnya Sih nggak banyak, tapi karena dia nggak tahan, dia jadi mabuk. Mungkin si Ani juga begitu. Hanya orang-orang seperti Rama yang kuat karena sudah biasa. Dikit-dikit jadi banyak. Saya nggak habis pikir, Bar. Ngapain orang merusak diri sendiri kayak gitu, ya?"
"Banyak orang yang begitu, Mbak. Misalnya botol-botol minuman keras juga ada di apartemen Pak Wijaya. Saya lihat waktu berkunjung ke sana. Bedanya botol-botol itu disimpan di dalam lemari. Mungkin maksudnya bukan untuk menghilangkan stres, tapi untuk merasa nyaman saja. Mungkin untuk gengsi juga."
"Seringkah kau menjumpai penghuni yang pulang malam dalam keadaan mabuk?"
"Nggak pernah. Mungkin mereka mabuknya setelah aman ada di rumah. Nggak apa-apalah kalau begitu. Jadinya dia nggak mencelakai orang lain."
"Ah, siapa bilang? Si Ani dan Agung jadi korban. kan?"
"Oh, iya."
"Makanya saya kesal sekali sama Rama. Kalau ngikutin emosi. saya pengin ke sana untuk menghancurkan semua botol itu."
"Dia toh bisa beli lagi, Mbak."
"Iya, bener juga. Sudahlah. Mending kita baca lagi. Yang mana, ya?"
Rama dan Ava sangat terkejut mendengar penuturan Robin tentang hasil autopsi terhadap Ani.
"Apakah Anda tahu dia suka minum?" tanya Robin sambil menunjuk ke bufet.
"Nggak tahu. Pak. Saya sudah berpesan jangan sekali-kali minum itu, karena bisa jadi racun buat dia. Itu minuman setan, saya bilang. Lelaki minum nggak apa-apa, tapi kalau perempuan nggak tahan."
"Jadi Anda percaya saja? Apa Anda nggak curiga kalau botol Anda jadi berkurang isinya?"
"Saya memang melihatnya berkurang. tapi saya pikir..." Rama menatap Ava.
"Oh, jadi kaupikir aku yang minum?" tanya Ava jengkel.
"Mana aku tahu kalau si Ani yang minum?"
Keduanya saling melotot. Tak peduli lagi pada Robin. Sedang Robin diam saja mendengarkan.
"Biarpun tahu, seharusnya kan bisa menjaga. Taruh sembarangan!"
"Sembarangan gimana? Ini kan rumahku!"
"Memang betul. Tapi kau nggak tinggal sendirian di sini. Sekarang si Ani dan anak kita jadi korban minuman kerasmu, gimana tanggung jawabmu?"
"Siapa bilang dia itu korban minuman keras? Itu kan baru dugaan saja."
"Yang pasti kalau dia nggak mabuk, nggak akan kejadian seperti itu!"
"Siapa bilang?"
Rama tak mau kalah, tak mau menerima disalahkan, pikir Robin. Ia berdeham. Kedua orang itu menoleh kepadanya dengan terkejut. Baru ingat akan kehadirannya.
"Saya yang bilang, Pak Rama," kata Robin.
"Ani mabuk lalu kehilangan kontrol atas dirinya. Pernahkah Anda mabuk waktu pertama-tama mencoba minuman itu?"
Rama terdiam. Ia menjawab sendiri pertanyaan itu di dalam hatinya. Mabuk adalah pengalaman tak menyenangkan. Segala gerakan tubuh tak bisa dikendalikan. Otak tak lagi berfungsi. Ada sesuatu yang lain mengambil alih fungSi otak. Dia yang menyuruh ini dan itu. Tak bisa dilawan atau dibantah. ikuti saja dengan ringan.
"Jadi... jadi sudah pasti penyebabnya adalah mabuk?" ia bertanya dengan suara lemah.
"Hampir pasti. Kita masih menunggu kesaksian dan Agung. Padanya terletak jawaban yang pasti."
"Bagaimana kalau..."
Rama tak melanjutkan ucapannya karena merasa dipelototi Ava.
"Baik, saya lanjutkan saja," kata Robin.
"Ketika Anda berdua pulang pada Sabtu malam, eh, sudah Minggu ya, apa yang kalian lakukan sebelum tidur? Harap Bu Ava dulu yang menjawab."
"Saya menjenguk Agung lebih dulu. Dia sudah tidur. Ani ada di kamarnya. Tak bersuara. Pasti sudah tidur juga. Saya tidak membangunkan."
"Bagaimana dengan kunci?"
"Kami bawa kunci cadangan. Oh ya, sistem kunci pada pintu ini adalah mampu mengunci sendiri kalau kita keluar lalu menutup pintu dengan tekanan. Yang di dalam bisa keluar tapi yang di luar tak bisa masuk bila tak membawa kunci."
Robin mengangguk.
"Lanjutkan."
"Sesudah itu saya ke kamar mandi, sikat gigi, cuci muka, lalu terus tidur. Saya merasa capek sekali. Langsung pulas. Saya nggak tahu lagi apa yang dilakukan suami saya, karena dia masih sana sini di ruang depan."
"Anda?" Robin berpaling pada Rama.
"Saya minum dulu. Kebiasaan saya, pulang kerja atau pulang dari mana-mana selalu minum. Sulit menghilangkan kebiasaan itu. Tapi saya nggak merokok."
"Banyak minumnya?"
"Nggak. Pak. Karena sudah pengalaman saya tahu kanan harus berhenti minum. Sebelum mabuk
saya berhenti. Saya juga nggak pernah minum kalau mau pergi, karena saya bawa mobil. Istri saya sangat teliti dalam hal itu."
"Jam berapa kira-kira Anda tidur?"
"Saya nggak tahu persis. Kira-kira jam dua begitu."
"Selama waktu itu si Ani nggak keluar dari kamar?"
"Nggak."
"Baik. Mengenai mantel hitam di belakang pintu kamar Ani, apa kesan Anda?"
Rama mengerutkan kening dulu sebelum menjawab.
"Biasa-biasa aja."
"Bukan barang aneh di mata Anda?"
"Ah, nggak. Apanya yang aneh. Itu kan mantel hitam dengan tudung kepala."
"Bagaimana Anda bisa tahu mantel itu ada tudungnya? Kan Anda melihatnya sepintas lalu dalam keadaan tergantung. Tudungnya nggak kelihatan."
Rama tidak terlihat terpojok.
"Saya menduga saja. Waktu berada di China, selama musim dingin banyak sekali orang yang mengenakan mantel hitam bertudung. Begitu melihatnya saya ingat pemandangan itu."
"Ya, itu sih jauh di negeri seberang. Kalau di Jakarta sini, pernahkah Anda melihat orang memakai itu?"
Rama tertawa.
"Orang gila. kali."
"Tadi Anda bilang. di China banyak orang mengenakan mantel itu. Apakah Anda sendiri nggak punya
satu karena Anda berada di sana dan tentunya kedinginan juga?"
"Tentu saya pakai mantel juga. Tapi nggak hitam warnanya. Saya nggak suka hitam-hitam. Oh..." Rama tertegun sejenak.
"Apakah Bapak menyangka mantel hitam itu milik saya yang saya berikan pada Ani? Kalau memang betul, tentu istri saya tahu. Coba bilang, Ma. apa kau pernah lihat aku memiliki mantel itu?"
Ava menggeleng.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Waktu kau ke China kan masih bujangan. Aku nggak tahu barang apa saja yang kaumiliki sebelum menikah."
Rama merasa kesal karena jawaban Ava yang dianggapnya tidak membantu.
"Tapi saya ngomong sebenarnya. Pak. Saya nggak pernah memiliki mantel seperti itu. Kalaupun saya punya, kenapa saya berikan pada Ani? Apa
untungnya buat dia dan buat saya? Mungkin dia menolak dikasih barang gituan."
"Itu barang mahal lho."
"Biar mahal, tapi buat dia kan nggak berguna."
"Dia bisa menjualnya."
"Ya, mungkin ada orang lain yang memberi. Tapi pasti bukan saya." "Katanya Ani dan Agung suka main di apartemen seberang. ke tempat majikan Ningsih." "Ya. Kami sudah memberi izin." Ava mengangguk membenarkan.
"Mereka suka sama Agung. Evita bilang, Agung
mengingatkannya pada anak satu-satunya yang sudah meninggal," tutur Ava.
"Kadang-kadang pada hari kerja pun mereka ke sana. Padahal di sana kan hanya ada Ningsih dan si nenek," kata Robin.
"Oh, Bu Oni juga suka sama Agung. Saya pikir nggak apa-apalah mereka main ke situ, daripada ke tempat lain sembunyi-sembunyi. Si Ani bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk ngobrol sama Ningsih. Biasalah. Pembantu sama pembantu suka ngobrol. Biarin aja. Daripada jadi nggak betah."
"Jadi sebenarnya hubungan kalian dengan keluarga Wijaya cukup akrab. Tempo hari Anda bilang, hubungan bertetangga di sini nggak akrab."
"Yang akrab itu kan si Agung," sahut Rama.
"Bukan kami, orangtuanya."
"Bagaimana dengan -istri Henri di apartemen satunya lagi? Apa mereka suka main Juga sama Agung? Kan mereka belum punya anak."
"Setahu saya, nggak. Soalnya mereka nggak punya pembantu. .Jadi mau ngapain si Ani ke sana? Malu dong."
"Anehnya si Ningsih dilarang cerita sama saya bahwa Ani dan Agung suka main ke sana."
Rama dan Ava berpandangan. Keduanya terkejut.
"Siapa yang melarang?" tanya mereka berbarengan.
"Pak Wijaya."
"Kok gitu, ya? Memangnya apa salahnya?" tanya Rama. Tampak kesal.
"Dia takut terlibat," kata Robin sengaja.
"Ah, nggak apa-apa kok takut sih? Kan lucu. Dasar nggak jujur!" kata Rania sengit.
"Apa dia nggak jujur?"
"Maksud saya dalam hal ini. Iya, kan? Kalau fakta memang begitu, apa salahnya dibilang saja?"
"Anda nggak punya perkiraan kenapa dia takut?"
"Mungkin takut sama polisi aja," kata Ava.
"Ada kan orang yang begitu. Bila punya pengalaman nggak enak, untuk seterusnya dia jadi takut."
"Oh, begitu ya. Apa Anda tahu dia bisnis apa? Katanya dia dan istrinya kerja di kantor yang sama. PT apalah. lupa namanya."
Rama mendengus.
"Ah, dia itu pemilik, bukan pegawai. Dia importir barang dari China. Pecah-belah, tekstil, garmen, dan macam-macam. Istrinya membantunya di perusahaannya."
Gaya bicara Rama seakan menunjukkan, bahwa Robin telah dibohongi.
Robin tersenyum. Ia sudah berhasil mengadu domba. Dengan demikian tak ada saling melindungi atau menutupi kesalahan. Ia sendiri tak senang dengan larangan Wijaya kepada Ningsih. Sesuatu yang baik-baik saja tidak perlu ditutup-tutupi kecuali memang ada yang tidak baik di dalamnya.
Selanjutnya Rama menuturkan, ia sendiri memiliki usaha pengadaan alat-alat fitnes. Sedang pusat kebugaran yang dikelola Ava adalah miliknya juga. Mereka memilih tinggal di apartemen itu karena
berdekatan dengan kantornya dan Ava juga tak terlalu jauh dari fitness center-nya. Demikian pula Agung tak jauh dari sekolahnya. Mereka sudah punya rumah di bilangan Kebayoran Baru, yang dikontrakkan pada ekspatriat.
Pada wawancara pertama kali Rama tidak seterbuka itu. Sekarang bercerita tanpa ditanya. Mungkin pengaruh dari kekesalannya kepada Wijaya.
Setelah Robin pergi, Ava dan Rama saling tatap. Untuk sesaat tampaknya mereka akan saling menyerang, melanjutkan pertengkaran yang sempat terjadi di depan Robin tadi. Kemudian tatapan mereka seperti digiring, sama-sama tertuju ke atas bulet di mana berjejer botol-botol.
Ava lebih dulu bicara,
"Heran juga si Ani itu. Pagi-pagi kok udah minum."
"Mungkin dia pikir kesempatan cuma itu. Mumpung kita masih tidur. Hari itu pun dia libur."
"Nggak mikir perutnya bakal sakit atau mabuk?"
"Kalau udah kepingin mana kepikir ke situ?"
"Bener-bener jahat minuman itu, Pa. Bukankah sebaiknya kau juga berhenti minum? Entah sudah kayak apa levermu sekarang. Penyok-penyok. kali. Nggak takut?"
Rama menatap istrinya dengan aneh.
"Tumben kau ngomong begitu. Bukankah biasanya kau nggak peduli?"
"Kau sendiri juga nggak peduli kok. Sama Agung pun begitu."
"Siapa bilang?"
"Kan aku bisa lihat sendiri."
Rama tidak menyanggah. Ia diam, berpaling ke tempat lain. Sikapnya membuat Ava penasaran.
"Sayangkah kau pada Agung?" desak Ava.
"Tentu saja. Dia kan anakku."
Ava tertegun. Jadi Rama mengakui Agung sebagai anaknya. Berarti feeling-nya selama ini salah?
"Lantas kenapa kau tidak memberi perhatian padanya?"
"Aku... aku bukannya nggak ingin dekat sama dia, tapi..."
"Tapi apa?"
"Dialah yang nggak mau dekat sama aku!"
Ava terkejut. Ucapan yang dicetuskan mirip pengakuan itu sungguh di luar dugaan.
"Ah, mana mungkin begitu? Sikapmu yang dingin itulah yang jadi penyebab kenapa dia nggak mau dekat. Dia kan takut ditolak olehmu. Kaulah yang harus melakukan pendekatan, bukan sebaliknya."
"Aku nggak enak melihat tatapan matanya."
"Ada apa dengan tatapannya?" Ava tambah bingung.
"Dia seolah menuduhku orang yang jahat dan bejat, orang yang nggak pantas didekati."
"Dengan kata lain, dia nggak suka padamu. Bahkan dia membencimu. Begitu?"
"Ya."
"Tapi kalau memang begitu kan ada sebabnya.
Mesti ada sebabnya. Coba pikir-pikir kau berbuat apa sampai dia nggak suka padamu. Dia melihatmu melakukan apa?"
Rama memalingkan muka. Ia tidak menjawab.
Tiba-tiba jawabannya muncul sendiri di dalam pikiran Ava. Bagai disambar geledek. Sebenarnya selama ini ia sudah curiga, tapi tak menyangka akan dampaknya.
"Kau mencumbu si Ani di depannya? Demikian pula terhadap pengasuh-pengasuh sebelumnya?" ia berteriak.
Rama menundukkan kepala dalam-dalam. Saat itu ia seperti baru mengenal rasa malu. Belum pernah merasa terhina seperti itu. Tapi juga tak berdaya membela diri.
Ava menghambur mendekati Rama, memukuli dadanya, menempeleng mukanya. Rama tidak melawan atau mencegah. Ia hanya menutup muka dengan kedua tangannya. Ava ganti memukuli kepalanya.
"Kau memang bejat! Bejat!" teriaknya.
Dering telepon menyelamatkan Rama.
"Kapan mau datang, Mbak"? tanya Nadia.
Ava mengatur napasnya dulu sebelum menjawab.
"Secepatnya. Pak Robin baru saja pergi. Kenapa? Kau mau pulang?"
"Belum sih. Nanya aja. Kau baik-baik saja, Mbak? Kok napasmu seperti habis lari-lari."
"Ya. aku sedikit sesak nih. Tapi nggak apa-apa kok. Jangan khawatir. Gimana Agung? Masih seperti biasa? Tunggu saja, ya. Kau sama siapa? Barata? Oh, begitu. Baiklah. Sampai nanti."
Ava menutup telepon. Matanya mencari Rama. Ternyata suaminya itu masih duduk di tempat semula. Tidak bersembunyi atau melarikan diri. Tapi ia tidak bersemangat lagi untuk menverangnva.
KETIKA Robin keluar dari apartemen Rama, lubang pintu di seberangnya membuka. Biji mata milik Wijaya mengintip. Mata itu mundur dengan terkejut ketika mendapati Robin menatap ke arahnya. Lubang pintu menutup lagi. Setelah beberapa saat kembali lubang membuka lalu biji mata itu muncul lagi. Hanya sesaat, untuk memastikan bahwa Robin sudah tidak kelihatan.
"Ngintipin apa sih, Pa?" tanya Evita. Ia mengamati tingkah suaminya dengan heran. Di belakangnya Leoni duduk di kursi roda dengan kepala tegak. Ikut mengamati.
"Pak Robin itu keluar dari seberang. Aku pikir dia mau ke sini. Kok jalan terus, ya. Apa dia nggak perlu nanyain kita lagi?"
"Emangnya mau nanyain apa lagi? Yang kemarin nggak cukup?"
"Kan si Ningsih ngomong soal Agung dan Ani suka main ke sini. Padahal udah dibilangin jangan ngomong begitu."
Evita mengerutkan kening.
"Kau tahu dari mana? Apa dia ngaku sendiri?"
"Nggak dong. Mana mungkin."
"Habis kau tahu dari mana? Belum ditanya Pak Robin, kan?"
"Belum dong. Karena itu aku heran dia kok nggak ke sini untuk nanyain hal itu. Orang kayak gitu kan cerewet banget. Semuanya dikorek."
"Jadi kau tahu dari mana?" desak Evita.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama itu mereka berbicara dengan suara biasa. Tidak keras tapi juga tidak perlahan. Tapi tiba-tiba Leoni berdeham keras sekali. Kedua orang menoleh.
"Ada apa, Ma?" tanya Evita.
"Minum!" sahut Leoni keras.
"Air putih atau susu?" tanya Evita, keras juga.
"Air putih!"
Padahal air putih dalam gelas tertutup berada di atas meja dalam jangkawan tangan Leoni. Kalau ia mau memutar roda kursinya sedikit saja ia bisa mengambilnya sendiri. Kedua lengan dan tangan Leoni tidak bermasalah. Bahkan kuat dan kekar. Lebih kekar dibanding tangan Evita.
Dengan sabar Evita mengambil gelas itu, menunggu ibu mertuanya minum, lalu meletakkannya kembali di atas meja.
"Perlu apa lagi. Ma?" tanyanya, tak begitu keras tapi dekat ke telinga Leoni.
"Nggak!" sahut Leoni. Nadanya ketus. Mukanya judes.
Tapi Evita tidak tersinggung atau sedih. Sudah lama sekali Evita tidak lagi membeda-bedakan suaranya. Keras dan ketus sama saja. Muka lembut dan muka judes pun begitu. Itu satu-satunya cara untuk meringankan perasaan.
Evita kembali ke samping suaminya.
"Jadi kau tahu dari mana, Pa?' tanyanya pelan. Tanpa memandang mertuanya.
Wijaya mengedipkan sebelah matanya. Isyarat yang cukup dipahami Evita.
"Oh, begitu?" Evita heran. Lalu merendahkan suaranya,
"Goblok amat si Ningsih. Ngomong bisa kedengaran. Emangnya mereka bicara di depan Mama?"
"Di dapur," bisik Wijaya
"Lho, kok bisa ya?"
"Wah, nggak tahu deh."
"Apa jangan-jangan dia bisa dengar ya, Pa?"
"Ah, masa sih? Nggak mungkin. Aku rasa dia mengandalkan instingnya saja."
"Coba kita tanya Si Ningsih kalau dia pulang nanti," saran Evita.
"Kau saja yang nanya, Ma. Aku takut emosi."
"Baik."
Evita lebih suka begitu. Sebenarnya ia juga tidak setuju kalau Ningsih dilarang memberitahu bahwa Ani dan Agung suka bermain di apartemennya. Tidak ada yang buruk di situ. Semua terang-terangan.
Ia mengenang saat-saat Agung bermain di rumahnya. Biasanya mereka membentuk jigsauw puzzle yang dipasang di atas selembar tripleks dan diletakkan di lantai. Kalau nanti tidak selesai padahal Agung harus pulang, maka bisa dilanjutkan lain kali. Ia sudah mengatakan pada Agung, kalau mau main harus bilang dulu sama orangtuanya. Ia sengaja membeli jigsaw puzzle itu untuk Agung. Jadi gambarnya pun disesuaikan dengan kesukaan Agung.
Ia merasa kehilangan anak itu. Rasa kehilangan itu menjadi ganda karena ia teringat kembali pada Dino, putranya sendiri. Tahun kelahirannya sama dengan Agung. Dia meninggal saat berumur satu tahun.
Evita menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan kesedihan itu. Lalu ia menoleh dan terkejut ketika beradu pandang dengan Leoni. Mertuanya itu tengah memelototinya dengan pandangan tajam. Mendadak saja ia merinding. Ia buru-buru bangun dan mendekati Leoni.
"Mama sudah mau makan?' tanyanya.
"Baru inget. ya?"
"Jadi mau? Saya siapin, ya?"
"Makannya di sini aja!"
Evita buru-buru ke dapur. Di sana ia tak segera menyiapkan makanan untuk Leoni seperti yang dijanjikannya. Ia duduk dulu. Jantungnya masih terasa berdebar-debar. Tapi bukan karena tatapan tajam Leoni barusan. Yang seperti itu sudah sering di
alaminya. Ia sudah terbiasa. Tapi cerita Wijaya tentang pembicaraan Ningsih dengan Robin yang didengar Leoni itu terasa mengerikan. Insting? Wah. itu lebih mengerikan lagi. Pantaslah kalau ia suka menatap tajam seperti mau menembus otak orang. Apakah ia bisa membaca pikiran orang?
"Heiii! Eviii...!" teriak Leoni.
Wijaya melompat lalu berlari ke dapur.
"Mari kubantu," katanya.
Evita mengusap matanya. Ia buru-buru menyiapkan makanan di baki. Sepiring nasi dengan sayuran tumis dan ayam rebus bagian dada yang sudah dibuang tulangnya.
"Eh." Wijaya menyikut pelan istrinya.
"Masa masih sedih aja sih? Kan katanya sudah kebal."
"Kalau kayak gini, aku jadi takut ngomong dan mikir di rumah sendiri, Pa."
"Ah, kenapa? Jangan begitu dong. Sudahlah. Biar aku yang bawa ya? Kamu di sini aja."
Wijaya keluar membawa baki pada saat Leoni mulai mengangakan mulutnya.
"Kok kamu Sih yang bawain? Ke mana Evi?"
"Dia lagi pusing, Ma!" kata Wijaya keras sekali sambil mendekatkan mukanya ke muka ibunya.
"Gila lu! Ngomongnya keras amat sih! Ludah sampai muncrat!" seru Leoni.
Wijaya tersenyum lalu mendorong kursi roda ibunya ke depan meja tempat baki diletakkan.
"Mau disuapin, Ma?" tanyanya masih dengan suara keras.
Leoni cemberut tak menjawab. Ia segera menyendok nasinya dan makan tanpa memandang ke manamana. Ia makan dengan lahap. Di sampingnya, Wijaya mengamatinya dengan diam. Kerisauan tergambar di wajahnya.
Ia menyayangi ibunya, tapi juga menyayangi istrinya. Ibunya sudah tua dan semakin tua semakin menjadi. Ia tahu, ada sindroma "anak Mama" pada dirinya. Demikian pula pada diri ibunya. Ia sendiri kerap merasa risi akibat perlakuan berlebihan ibunya. Tapi tidak tega untuk menolak atau mengingatkan. Lagi pula ia yakin ibunya tidak mungkin bisa mengubah diri. Maka satu-satunya cara hanyalah dengan meminta istrinya bersabar. Untunglah Evita bisa dan mau memahami meskipun berulang kali mengatakan bahwa daya tahannya terbatas. Tapi Wijaya juga menegaskan, tidak akan memasukkan ibunya ke panti jompo. Lagi pula mana mungkin ibunya mau begitu saja dimasukkan ke sana? Pasti ibunya akan berteriak teriak dan mengamuk. Tidak ada panti jompo di mana pun yang mau menerimanya.
Jadi satu-satunya jalan adalah menggunakan pembantu. Anehnya, Leoni berSikap jauh lebih baik kepada pembantu daripada menantunya sendiri. Ia bisa berlaku manis dan royal kepada pembantu, tapi tidak kepada Evita. Tapi meskipun mendapat perlakuan baik, tidak semua pembantu tahan bekerja lama. Ada kalanya Leoni bisa hilang kendali karena sifat pemarahnva. Tambahan lagi dia mulai suka
berlaku seperti kanak-kanak, tak punya tenggang rasa dan tak tahu etika.
Karena itu hari Minggu menjadi hari neraka bagi Evita. Sepertinya Leoni berupaya untuk menyiksa Evita semaksimal kemampuannya pada hari itu. Di matanya. Evita seolah menjadi bulan-bulanan atau mainan.
Maka mereka terpaksa bersikap baik pula kepada pembantu, karena tak mau kehilangan. Bila hal itu sampai terjadi, maka Evita tidak lagi mengalami neraka seminggu sekali melainkan tiap hari. Dia tentu tak bisa pergi ke kantor bersama Wijaya. melainkan harus tinggal di rumah menjaga Leoni.
Wijaya sudah berusaha membujuk ibunya agar berlaku baik kepada Evita, tapi jawaban ibunya membuat ia terperangah.
"Pembantu bisa pergi, tapi dia kan nggak!"
"Jadi Mama mau membuatnya pergi?"
Leoni diam. Cemberut.
Wijaya mulai kehilangan kesabaran.
"Memang dia bisa saja pergi, Ma! Apa Mama mau ditinggal sendiri?"
Leoni menatap wajah anaknya. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu. Kalau sudah begitu, Wijaya tidak tega. Jelas ia tidak bisa memperlakukan ibunya dengan cara yang keras.
"Kau mau membuang aku, ya? Kau lebih sayang sama dia, ya?"
"Dia kan anak Mama juga."
"Nggak! Anakku cuma kamu seorang!"
Wijaya sudah kehilangan akal bagaimana bisa membujuk ibunya agar mau mengubah sikap kepada Evita. Jadi satu-satunya jalan adalah membujuk Evita.
"Dia kan sudah tua. Umurnya pasti nggak lama lagi, Ev."
Evita tertawa hambar.
"Kau berharap begitu?"
"Nggak sih. Tapi secara alamiah kan pasti begitu."
"Siapa tahu umurnya lebih panjang dari kita."
"Kau sayang padaku kan, Ev?"
"Iya dong. Kok masih nanya?"
"Kalau begitu, bersabarlah. Aku berterima kasih padamu karena kau sudah bersabar begitu lama. Bisakah diperpanjang?"
Evita tertawa.
"Kau sendiri, sayang padaku?"
"Tentu saja."
"Mau mengabulkan permintaanku?"
"Katakan saja. Asal jangan minta Mama pergi ke panti."
"Aku ingin punya anak lagi!"
Wijaya terkejut. Dia tak segera menjawab.
Permintaan itu diajukan Evita beberapa bulan sebelum terjadi kasus jatuhnya Ani dan Agung. Ketika itu Agung masih sering bemiain di tempat mereka. Wijaya memang bisa menangkap pandang kerinduan di mata Evita bila sedang bersama Agung.
"Tapi, dulu kau sendiri yang bilang, nggak mau punya anak lagi."
"Itu kan dulu. Sekarang aku sudah berhasil mengatasi kesedihan itu. Orang kan tak bisa selalu menoleh ke belakang. Apalagi sekarang keadaannya beda dengan dulu. Mama sudah tak mungkin bisa mengasuh anak kita lagi."
Wijaya terkejut. Ia bertanya hati-hati,
"Kau masih menyalahkan Mama untuk kecelakaan Dino?"
"Ya. Selama itu aku selalu mengurusnya sendiri, tak pernah terjadi apa-apa. Aku hati-hati menjaganya. Dia anak yang banyak gerak. Bahkan saat aku berhalangan menjaga dan menyuruh pembantu menggantikan sebentar pun tak pernah ada apa-apa. Eh, begitu Mama yang menjaga sekali-kalinya itu, kok bisa kejadian. Kenapa Dino bisa jatuh ke bawah tangga? Alasan ditinggalin sebentar karena mau menerima telepon benar-benar sulit diterima. Kenapa dia nggak taruh Dino di boksnya, malah ditinggalin di lantai?"
Evita sudah mengatakan hal itu berulang kali. Mungkin puluhan kali. Wajah Wijaya mengernyit. Ada rasa sakit di situ.
"Kenapa ngomong lagi, Ev? Aku pikir kan sudah pasrah."
"Dulu aku lihat dia penuh penyesalan. Aku kasihan. Tapi belakangan..."
"Kau ngomong begitu karena perlakuannya padamu?"
"Mungkin. Sekarang aku sudah ngomong. Aku lega, Toh aku hanya bisa ngomong. Biarlah kau mau marah atau apa. Aku siap."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wijaya memeluk Evita.
"Tentu saja nggak, Sayang. Kita kan sepenanggungan. Tapi aku mohon, janganlah menyimpannya terus. Seperti katamu tadi, kita kan nggak bisa selalu menengok ke belakang."
"Jadi kau setuju kita punya anak lagi? Kita belum terlambat untuk itu."
"Tentu aku setuju. Aku malah senang. Tapi kita mungkin harus berobat dulu atau gimana. Selama ini nggak pernah jadi, kan?"
"Tentu saja nggak. Aku makan pil."
Wijaya terkejut. Bertahan-tahun Evita makan pil tanpa diketahuinya. Sampai-sampai dikiranya stres berat bisa membuat orang mandul. Sesaat ia kecewa tapi kemudian bisa memaklumi.
"Jadi kau akan menghentikan makan pil?"
"Ya. Begitu kau setuju dengan syaratku."
"Syarat apa?" Wijaya heran.
"Mama nggak boleh menyentuh anak kita nanti."
Wijaya tertegun. Sesungguhnya ia juga ingin mempunyai anak. Tapi ia bisa meredam keinginan itu demi Evita. Psikiater yang sempat menangani Evita menganjurkan agar mereka jangan punya anak dulu sebelum Evita benar-benar siap dan menginginkannya.
"Hanya menyentuh saja nggak boleh?' tegasnya.
"Nggak. Kalau dikasih nanti bisa minta lebih."
Sesaat Wijaya merasa iba kepada ibunya, tapi kemudian bisa mengatasi. Ia lebih menginginkan punya anak daripada memanjakan ibunya. Kalau
saja tak ada kejadian dengan Dino, mungkin reaksinya akan berbeda. Ada jarak yang terbentuk dengan ibunya setelah kejadian itu. Bukan hanya Evita yang punya prasangka, ia sendiri pun punya dugaan.
Tapi bulan demi bulan berlalu Evita tidak kunjung hamil meskipun sudah menghentikan pil KBnya. Menurut dokter hal itu sudah biasa. Perlu waktu.
Lalu terjadi peristiwa mengejutkan itu. Ani dan Agung jatuh dari apartemen mereka. Kesedihan pun mereka alami. Bahkan Leoni yang biasanya tak punya tenggang rasa itu menangis meraung-raung sampai mengherankan Wijaya dan Evita. Reaksi Leoni itu sama seperti saat Doni meninggal. Tapi saat itu kondisinya tentu berbeda. Doni adalah cucunya sendiri dan ia sedikit-banyak bersalah karena lalai menjaga. Sedang Agung tak punya hubungan apa-apa. Sayangkah ia pada Agung?
Biasanya kalau Agung bermain dengan Evita, Leoni tetap duduk di kursi rodanya. Ikut memerhatikan dan sesekali mengoceh. Agung sudah terbiasa dengan sikap dan perilaku Leoni hingga tidak lagi membuatnya terkejut. Ia hanya tertawa dan menyahut kalau ditanya. Tapi Agung tidak bicara dengan keras, melainkan mendekati Leoni lalu ngomong dekat telinganya. Dan Leoni merasa senang.
Tapi Leoni pernah marah sekali kepada Agung karena anak itu menolak dipangku olehnya. Pipinya sampai merah. Lalu ocehannya yang kasar berhamburan. Agung menjadi ketakutan dan mengajak Ani pulang. Hari Sabtu berikutnya ia menolak datang meskipun Ani membujuknya. Baru setelah Evita datang ke apartemen Agung dan memberitahu bahwa Oma Oni minta maaf, ia mau datang meskipun masih takut-takut. Saat itu Leoni benar-benar berlaku manis kepada anak itu. Agung pun sepertinya telah melupakan insiden itu. Leoni juga tidak lagi mencoba membujuknya.
"Kenapa kau nggak mau dipangku sama Oma, Gung?" tanya Evita ketika Leoni tidak ada di ruangan yang sama.
Agung tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala dan ekspresinya menyatakan keseganan.
Evita tidak bertanya lagi. Ia takut nanti Agung tidak mau datang lagi. Ia juga tahu Agung datang karena penasaran belum selesai membentuk jigsaw puzzle-nya.
Sambil menunggu Leoni selesai makan-dengan dilayani Wijaya Evita mengenang Agung dengan perasaan kangen. Lalu muncul tekadnya. Besok ia harus menjenguk Agung, biarpun Wijaya tidak mau mengantarkan. Ia bisa pergi sendiri. Ia tahu Wijaya bicara sebenarnya tentang alasan keengganannya menjenguk. Wijaya takut teringat pada Doni. Ia sendiri tidak begitu. Agung bukan Doni. Demikian pula sebaliknya. Mereka hanya sama-sama anak yang malang nasibnya.
Menjelang malam, Ningsih pulang. Evita mengajaknya bicara di dapur.
"Ning, aku mau tanya. Tempo hari waktu polisi datang menanyaimu, kau ngomong padanya bahwa Ani dan Agung suka main ke sini, kan?"
NlngSih terkejut. Ia mengira akan dimarahi. Tapi wajah Evita tidak memperlihatkan kemarahan.
"Kau nggak usah takut. Nggak apa-apa kok. Bilang aja yang sebenarnya. Bapak merasa segan kalau nanti ditanyai polisi lagi. Kalau kamu yang ditanyai sih nggak apa-apa, Tapi Bapak takut nanti ditanya macam-macam yang nggak ada sangkutpautnya. Tapi setelah dipikir-pikir, biar kamu nggak kasih tahu, pasti polisi dikasih tahu sama Bu Ava atau Pak Rama. Yang aku mau tahu, kok Bu Oni bisa tahu apa yang kausampaikan pada polisi?"
Ningsih lebih terkejut lagi.
"Jadi yang ngasih tahu Bu Oni?"
"Iya."
"Sebetulnya saya memang ngomong dekat dia, Bu. Tapi pelan dan nggak berhadapan. Dia nggak lihat bibir saya. Lho kok dia bisa tahu, ya?"
"Nah, aku juga heran. Lalu waktu bicara sama polisi, ngomongnya di mana?"
"Di sini, Bu. Seperti biasa. Bu Oni dijagain sama Satpam Barata."
"Ya sudah. Nggak apa-apa. Aku cuma ngecek aja. Lain kali kamu harus hati-hati kalau ngomong dekat dia."
"Ya, Bu."
Evita juga mengingatkan dirinya sendiri. Dan kemudian Wijaya.
"Mcnurutmu, perlukah telinganya diperiksa lagi, Pa? Siapa tahu ada kemajuan yang tidak kita sadari. Apa bisa begitu, ya?"
"Menurut dokter Sih nggak ada kerusakan pada gendang telinga. Cuma selnya aja yang menua. Biasa begitu pada orangtua. Percuma diperiksa juga. Paling hasilnya sama. Yang penting kita saja yang perlu mengantisipasi. Hati-hati kalau ngomong."
"Aku juga bilang begitu sama Ningsih. Jadi bukan karena instingnya dong. Cuma kemampuan telinganya saja yang berubah-ubah."
"Aku rasa begitu. Dulu aku suruh dia pakai hearing aid tapi dia nggak mau. Repot, katanya. Padahal kan lebih enak kalau ngomong nggak usah teriak-teriak."
Sekitar dua tahun yang lalu Leoni terkena stroke ringan. Akibatnya dia mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Setelah itu kemampuan pendengarannya pun semakin menurun. Pada awalnya dia rajin menjalani latihan fisioterapi supaya otototot kakinya bisa mendapat kembali kekuatannya. Lebih dari sebulan ia berlatih. Pelatihnya memujinya. Katanya Leoni mengalami kemajuan. Lalu tiba-tiba Leoni kehilangan semangat. Ia tak mau berlatih lagi biarpun dibujuk-bujuk. Ia memutuskan untuk duduk di kurSi roda saja.
Menurut Evita, Leoni sengaja berbuat begitu supaya bisa menyusahkan semua orang. Dengan menjadi jompo, maka ia harus dilayani secara total dan bisa menyuruh seenaknya.
Mereka pindah ke Apartemen Srigading dengan tantangan keras dari Leoni. Evita merasa berterima kasih kepada Wijaya karena tidak menghiraukan tentangan itu. Pertimbangan yang mereka ambil salah satunya adalah demi keamanan Leoni. Di tempat itu mereka cukup menggunakan seorang pembantu, yang sekalian mengurus Leoni. Tidak ada anak kecil yang harus dijaga dan rumah pun tidak besar. sedang keamanan terjamin.
Sejak kematian Doni, perasaan Wijaya kepada ibunya tak lagi selembek dulu. Sekarang ia mulai mampu menentang, meskipun masih tetap memanjakan. Ia tak mau menjadi anak durhaka, katanya. Evita menghargai prinsipnya. Jadi ia pun tidak mau mendorong Wijaya menjadi seorang anak durhaka. Memang ada saat-saat di mana kekesalannya memuncak dan ia memohon pada Wijaya agar menempatkan Leoni di panti jompo saja. Tetapi selalu ada saat-saat juga di mana emosinya mereda. Semakin lama ia semakin mampu beradaptasi dengan perilaku Leoni. Yang penting adalah dukungan moral dari Wijaya. Bila ia tidak mendapatkannya, maka ia tak punya kekuatan lagi untuk bertahan.
NADIA berjalan dengan cepat di lorong rumah sakit menuju kamar perawatan Agung. Ia baru pulang dari kantor dan seperti biasa langsung menjenguk Agung dulu. Ia tak bisa berlama-lama karena sudah janji bertemu dengan Ava di apartemennya. Ava tak bisa ke rumah sakit, dan ia pun tidak pergi bekerja. Katanya ia sedang tak enak badan dan sangat ingin curhat padanya. Hal itu membuat Nadia khawatir. Di telepon ia meminta Ava berjanji untuk tidak minum barang setetes pun. Ia akan datang segera setelah menengok Agung.
Lalu ia mendengar panggilan di belakangnya. Ia berhenti dan menoleh. Evita setengah berlari menghampirinya.
"Mau besuk Agung, Na? Saya ikut, ya."
"Oke. Sendirian, Ev?"
"Suami nunggu di mobil. Dia nggak tega melihat Agung. Biar saya saja yang cerita nanti."
"Oh ya. sama saja."
Mereka berjalan sama-sama. Beberapa kali Evita ketinggalan langkah.
"Aduh, jalanmu cepat banget, Na."
"Mau buru-buru. Soalnya nggak bisa lama. Paling lihat Agung sebentar sesudah itu ke Srigading melihat Mbak Ava."
"Lho. kenapa dia? Apa dia nggak ke sini juga?"
"Dia sedang nggak enak badan. Minta saya datang."
"Duh, kasihan ya? Pasti stres. Sejak kejadian saya belum bincang-bincang sama dia. Ketemu sih sudah. Kalau Pak Rama gimana?"
"Nggak tahu. Tadi HP-nya nonaktif. Makanya saya khawatir sama Ava."
Mereka tiba di kamar Agung. Seorang bibi Rama bernama Rita sedang menunggui. Setelah bertukar sapa ia keluar, membiarkan Nadia dan Evita menggantikannya. Kerabat Rama itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk pergi ke kantin.
"Jangan lama-lama ya, Tante. Saya mau cepat pulang," Nadia berpesan.
Evita tersenyum sambil mengangguk. Dia perempuan setengah baya yang berpenampilan sangat keibuan.
"Tapi aku jangan disuruh makan cepat-cepat, ya. Bisa tersedak."
"Oh, nggak Tante. Nggak." Nadia terkejut sendiri karena permintaannya barusan. Sudah bagus ditolong.
Evita terkejut melihat Agung. Seminggu dalam
keadaan koma membuat Agung tambah kurus. Wajahnya yang imut-imut tampak mengecil karena pipinya yang cekung. Evita membelai kepalanya dan berusaha menahan air matanya.
"Gung, cepat sembuh dong, ya." katanya pelan dan penuh haru. Dulu Doni tidak sempat pingsan atau koma berlama-lama. Ia langsung meninggal setelah kejadian.
Nadia mencium pipi Agung lalu menjauh ke sudut ruang. Ia menelepon Ava. Setelah mendengar suara Ava, wajahnya baru kelihatan lega.
"Mbak, aku di kamar Agung. Sama Evita. Kebetulan ketemu. Ya, ya. Nggak lama. Lagi ngapain? Ingat, jangan minum, ya? Kalau kau minum, kita nggak mungkin bisa bicara dengan baik. Pikiranmu nggak jernih lagi."
Ucapan Nadia membuat Evita menoleh. Minum?
"Mas Rama di mana? Belum pulang? Sudah kauhubungi? Baiklah. Tunggu aku. Sekarang aku nunggu Tante Rita kembali dari kantin. Dia sendirian sih. Nggak ada yang gantiin. Sabar ya? Aku kan nggak ke mana-mana. Bener ya? Eh. apa kau mau aku minta tolong seseorang menemanimu sampai aku datang? Barangkali Bu Hendra. Nggak mau? Ya sudah. Tapi ingat ya, jangan minum."
Nadia mengakhiri pembicaraan dengan gelenggeleng kepala. Sikap Ava membuatnya gelisah.
Evita mengamatinya, lalu berkata,
"Kalau kau perlu cepat, pergi saja, Na. Biar aku yang nunggu
Tante Rita kembali. Kan sama saja. Aku yang jaga Agung."
"Kau sendirian nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa dong. Memangnya kenapa?"
Nadia tidak menunggu lama-lama. Ia segera melompat dan menepuk pundak Evita.
"Terima kasih ya. Ev. Aku pergi dulu."
Ia setengah berlari ke luar kamar. Evita tersenyum memandanginya. Beruntung Ava punya adik yang sangat perhatian. Nadia yang hangat dan terbuka. Tipe orang yang menyenangkan untuk curhat. Selama ini ia cuma mengenalnya sepintas saja. Tapi setelah pertemuan yang singkat ini ia merasa mengenal gadis itu dengan lebih baik.
Setelah ditinggal sendiri, Evita justru merasa lebih leluasa berbicara kepada Agung. Ia sudah mendengar tentang orang koma yang sebaiknya diajak bicara biarpun tidak bisa menyahut. Lagi pula memang tidak enak diam saja memandangi wajah beku. Selalu ada harapan bahwa kata-kata yang diucapkan akan mampu menggugah alam bawah sadar. Siapa bisa tahu apa yang sebenarnya tersimpan di balik wajah beku itu?
"Gung, Tante sudah membingkai puzzle yang sudah jadi. Nanti kau bisa menggantungnya di kamarmu. Itu kan hasil kerjamu. Bagus deh, Gung. Sayang si yang satunya belum jadi. Kau harus menyelesaikannya nanti. ya? Makanya cepat sembuh. Oh, Tante kangen banget sama kamu. Banyak yang kangen. Bahkan Oma juga lho. Dia nangis
keras sekali waktu tahu kejadiannya. Dia nyesel pernah marah sama kamu. Maklum orang udah tua kayak gitu. Bukan sama kamu aja dia begitu. Sama Tante, Oom, Ningsih. bahkan Oom Barata dan polisi pun dia usir. Tapi sesudah itu dia nyesel. Dia darah tinggi, Gung. Tahu kan, orang begitu cepat marah."
Seseorang masuk diam-diam di belakang Evita. Dia Robin. Tadi ia mengintip di lubang pintu. Semula ia mengira Nadia yang ada di dalam. Ternyata Evita. Ia mundur pelan-pelan lalu duduk di kursi tamu. Di situ ia mendengarkan.
"Gung, tadi ada kabar mamamu sakit. Tante Nana sampai terburu-buru pergi ke sana. Pasti Mama mikirin kamu terus sampai jadi stres. Kasihan ya? Sebenarnya kamu ada di mana sih, Gung? Ingat pulang dong. Ingat semua orang yang menyayangimu. Ayo, berusahalah pulang. Kalau ada yang menghalangi, lawan saja. Biar kecil kamu kuat kok.
Fear Street Adik Tiri Ii Stepsister Ii Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama