Ceritasilat Novel Online

Kembali Dalam Pelukan Cinta 2

Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto Bagian 2



Bagaimana...? Herman menengok ke arah Nidia seakan

meminta pendapat gadis cantik itu.

"Terserah kau saja," jawab Nidia, menyetujui akan

rencana Herman untuk mengajaknya langsung ke rumah

lelaki itu. "Kau yang mengemudikan mobil, jadi kau yang

berhak menentukan kemana kita."

"Baik kalau begitu..."

Herman pun terus menjalankan mobilnya, menuju ke

arah rumahnya, untuk mengantar gadis cantik itu menemui

kedua orang tuanya. Kini hati pemuda itu jadi tak menentu.- 100
Dia sama sekali tak menyangka, kalau gadis yang

bernama Nidia ternyata cantik. Ah padahal selama ini dia

sudah sering menolak saran mamanya untuk menerima

Nidia sebagai istrinya. Bahkan selama ini, dia lebih

membanggakan Rosana sebagai gadis yang paling cantik.

Tapi setelah melihat Nidia, hatinya jadi bimbang.

Cintanya pada Rosana sepertinya agak luntur. Tetapi

bagaimana dengan tanggung jawabnya? Dia telah

merenggut kegadisan Rosana. bahkan gadis itu sedang

dalam keadaan hamil.

"Herman..."

Herman tersentak, sadar dari lamunannya. "Eh, ya..."

"Kau nampak melamun..."

"Ah, tidak."

Nidia tersenyum. Matanya yang indah dan tajam,

masih memandang lekat ke wajah tampan di sampingnya.

Dalam hati gadis itu, mengakui kalau Herman memang

tampan. Pantas kalau mama dan papanya setuju, jika dia

menjadi pendamping pemuda itu. Tak tahunya memang

Herman lampan. Tapi mungkin pemuda itu sudah memiliki

kekasih. Dan itu tentu merupakan halangan baginya, untuk

bisa menjadi pendamping Herman.

"Apa yang kau. lamunkan, Her?" mata Nidia masih

menatap lekat ke wajah tampan Herman.- 101
"Kau bisa mengatakan tidak melamun, namun

wajahmu menunjukkan kalau kau tadi melamun."

"Aku melamunkan kau..."

"Aku...?

"Ya."

"Kenapa dengan aku...?

"Kau cantik, Nidia."

"Ah, itu terus yang kau katakan."

"Kenyataannya memang kau cantik."

"Tetapi lebih cantik pacarmu bukan?"

"Darimana kau tahu aku punya pacar?"

"Kira-kira saja... Karena cowok seusiamu, kukira

sudah punya kekasih. Bukan begitu, Herman...?" bibir Nidia

merekah, manis. Matanya yang indah, masih memandang

lekat ke wajah tampan pemuda di sampingnya.

Herman tak menyahut. Dia malah kembali diam.

"Kau melamun lagi, Herman..."

"Hm..."

"Kenapa denganmu...?"

"Tidak apa-apa."

"Kau merasa kecewa denganku?"- 102
"Tidak." .

"Lalu kenapa...?"

"Justru aku malah bingung."

"Bingung kenapa...?" desak Nidia, ingin mengetahui

penyebab kebingungan Herman. Meski dalam hati gadis

indo itu sudah menerka apa yang menyebabkan Herman

bingung, namun sebagai wanita Nidia tak mungkin

memberitahu perasaan hatinya pada lelaki itiK Meski dia

lama di Belanda, namun dia tetap saja keturunan orang

Timur yang masih memegang budaya ketimuran.

"Ya bingung setelah melihat kau."

"Memangnya kenapa denganku...?" tanya Nidia

sambil melirik-kan matanya yang indah ke arah Herman,

yang. semakin membuat dada Herman berdebar keras.

"Kau cantik," lagi-lagi kalimat itu yang keluar dari

mulut Herman. Seakan tak ada kalimat lain untuk

mengutarakan isi hatinya. Semua itu membuat Nidia hanya

tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Kok tersenyum...?"

"Kau lucu..."

"Lucu kenapa?"

"Sudah berapa kali kau hanya ngomong: Kau cantik.

Bukankah itu lucu...?"- 103
"Kenyataannya kau memang cantik."

"Ah, jangan merayu."

"Aku tidak merayu."

Nidia terdiam dengan bibir masih tersenyum.

Matanya yang indah dan tajam, sesaat memandang ke

depan. Menikmati pemandangan sekeliling jalan. Dimana

gedung-gedung tinggi menjulang.

"Ternyata Jakarta tak kalah dengan Nederland," pikir

Nidia berusaha mengalihkan pikirannya pada Herman

dengan menikmati pemandangan sepanjang jalan yang

dilewati.

"Dimana kalian tinggal, Her?"

"Villa Anggrek."

"Masih jauh...?"

"Lumayan, sekitar lima belas menit lagi."

Nidia manggut-manggut. Untuk beberapa saat

keduanya diam dengan pikiran masing-masing. Namun

sepertinya apa yang tengah dipikirkan oleh mereka sama.

Keduanya sama-sama memikirkan tentang pribadi orang

yang ada di sampingnya. Herman tengah memikirkan akan

kecantikan Nidia. Begitu juga Nidia, dia tengah memikirkan

Herman. Herman yang tampan dan simpatik. Ah, betapa dia

tidak kecewa dijodohkan dengan pemuda itu.- 104
Mobil akhirnya berhenti, di halaman sebuah rumah

mewah. Dari dalam, keluar kedua orang tua Herman dan

adiknya, Vera. Mama Herman dengan senyum manis,

menyambut kedatangan calon menantunya.

"Hallo sayang," sambut Hartati sambil membuka

kedua tangannya, kemudian memeluk tubuh Nidia. "Ayo

masuk... Beginilah gubug Tante, Nidia."

"Ah Tante, rumah bagus begini dibilang gubug.

Bagaimana rumahnya...?" sahut Nidia dengan bibir

tersenyum, kemudian menurut masuk dalam dibimbing

Hartati. Di belakang, mengiringi papanya Herman, dan Vera

yang senantiasa menggoda kakaknya.

"Bagaimana, Mas?"

"Apanya...?"

"Penilaian Mas."

"Tentang apa...?"

"Mbak Nidia."

"Ah, kamu..."

"Cakep ya, Mas?"

"He-eh."

"Cakepan mana dengan Mbak Rosana?"

Herman tak menyahut. Diakuinya, memang lebih

cantik Nidia. Tetapi dia sudah terlanjur berhubungan dengan- 105
Rosana. Bahkan gadis teman sekuliahnya itu, kini dalam

keadaan hamil.

Membutuhkan tanggung jawab darinya. Itu yang

memusingkan Herman. Dengan kedatangan Nidia yang

cantik, hatinya jadi terbagi. Ditambah lagi keluarganya

nampaknya lebih setuju jika dia menikah dengan Nidia,

ketimbang dengan Rosana.

"Kalau cari cewek begitu dong, Mas. Pendidikan oke.

Wajah oke. Pokoknya semuanya oke...," seloroh Vera

sambil mengacungkan jempol, memuji keberadaan Nidia

yang memang dalam pandangannya sempurna.

Mereka akhirnya masuk dan duduk di sofa yang ada

di ruang tamu. Sementara Hartati masih mengantar Nidia

melihat-lihat keadaan rumah mewah itu. Sepertinya wanita

setengah baya itu, hendak menunjukkan secara detail

keadaan rumahnya pada calon menantunya.

"Tante, dengar-dengar Herman sudah punya

kekasih."

"Ya, begitulah. Tetapi kau tak perlu khawatir. Kalau

Tante tidak setuju, mau apa...?" jawab wanita setengah baya

itu sambil menghempaskan napasnya panjang-panjang.

"Cantik...?"

"Ah, kampungan."

"Nampaknya Herman mencintainya, Tante."- 106
"Kau tak perlu khawatir. Kalau Tante sudah

ngomong A, maka tak ada yang bisa mengubah menjadi B.

Tante tak setuju jika anak Tante harus menjadi suami gadis

kampungan itu. Itu sebabnya Tante ingin kau segera

kembali. Nanti Tante interlokal ke Bandung, agar papa, dan

mamamu datang. Kita harus secepatnya membicarakan

masalah perkawinan kalian."

"Tapi. bukankah Herman masih kuliah, Tante."

"Ah, itu tak jadi masalah bukan?" jawab Hartati

dengan bibir tersenyum, menunjukkan keyakinannya kalau

dia bisa menyelesaikan masalah yang ada.

"Saya terserah Tante," akhirnya Nidia. Ia

menyerahkan keputusannya pada Hartati.

"Ayo kita teruskan. Akan Tante tunjukkan, dimana

kamar kalian nanti," ajak wanita setengah baya itu, sambil

membimbing calon menantunya. Keduanya terus

melangkah, melihat-lihat keadaan rumah mewah itu. Baru

setelah dirasa cukup karena semua tempat yang ada di

rumah itu telah dilihat oleh Nidia, keduanya kembali ke

ruang depan dimana papanya Herman dan kedua anaknya

masih berada tengah duduk-duduk.

"Bagaimana, Nidia?" tanya papanya Herman. "Om

berharap kau akan betah di rumah ini."

"Terimakasih, Om. Nidia akan betah sekali, jika Om

dan Herman serta Vera mau menerima Nidia di sini," jawab- 107
Nidia berdiplomatis, menunjukkan kalau dia bukan gadis

sembarangan. Tetapi gadis yang memiliki intelektualitas

tinggi.

"Kenapa tidak..? Bagi kami, Nidia sudah seperti

keluarga sendiri. Dan Om berharap nak Nidia mau

menganggap rumah ini tak ubahnya rumah nak Nidia

sendiri," jawab papanya Herman dengan senyum ramah.

Keceriaan mewarnai wajah mereka. Hanya Herman
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kelihatannya agak dipaksakan dalam tersenyum.

Karena saat itu pikirannya sedang tak menentu. Ya,

semenjak kedatangan Nidia, seketika pikirannya yang

semula bulat untuk tetap mencintai Rosana, seketika

terbelah. Hanya karena dia merasa kasihan pada Rosana

saja, yang membuatnya berusaha untuk tetap ingat pada

gadis itu.

"Herman...," tegur mamanya, menyentakkan Herman

dari lamunannya.

"Ya, Ma."

"Hari ini kau tidak usah kuliah."

"Tapi, Ma."

"Sudah, Mama bilang kau tak usah masuk kuliah

dulu. Ajak Nidia keliling kota dan ketempat-tempat

rekreasi," perintah mamanya dengan tegas. Tak mau tahu

apa alasan yang akan diberikan oleh anaknya. Hal itu- 108
membuat Herman mengeluh lirih. Dia sebenarnya ingin

menolak kehendak mamanya. Namun dia tak berani.

"Kau mau kan, Her...?"

"Ya, Ma."

"Nanti setelah makan siang, ajak Nidia jalan-jalan."

"Baik, Ma."

"Pa, tolong interlokal ke papa dan mamanya Nidia di

Bandung. Beritahu kalau Nidia ada .di sini," pinta Hartati

pada suaminya.

"Kau sendiri kenapa, Ma?"

"Lebih pantas Papa."

"Ya sudah."

"Vera..."

"Ya, Ma."

"Kau juga jangan kemana-mana."

"Memangnya kenapa, Ma...? Vera-kan kuliah, Ma...,"

rungut Vera berusaha menolak keputusan mamanya, dari

dulu, menurutnya mamanya terlalu memaksakan kehendak.

"Hari ini tidak usah masuk dulu."

"Mau ngapain sih, Ma."- 109
"Pokoknya jangan kemana-mana. Temani Mbak

Nidia dulu. Kau mengerti...?" tegas Hartati dengan mata

melotot tajam, membuat anaknya seketika menunduk.

"Iya, Ma," lirih Vera menyahut. Semua tak ada yang

membantah. Di rumah itu, Hartati tak ubahnya seorang ratu

yang absolut. Sehingga keputusannya, tak boleh diganggu
gugat.

"Nah Nidia, nanti setelah makan kau akan diantar

Herman jalan-jalan keliling Jakarta...," kata Hartati. "Tak

perlu sungkan-sungkan, karena kau sebentar lagi akan

menjadi istri Herman."

"Iya Tante..."

"Herman..."

"YaMa..." .

"Ajak Nidia ke kamarnya. Karena Nidia untuk

beberapa hari, akan menginap di sini."

"Baik, Ma. Ayo Nidia...," ajak Herman yang segera

dituruti oleh Nidia dengan senang. Karena dia memang

menyukai calon suaminya yang tampan dan simpatik.- 110
Bab. 6

Semenjak Herman mengantar Rosana sampai

rumahnya malam itu, sampai sekarang sudah hampir

setengah bulan Herman kembali menghilang tidak ada kabar

beritanya. Padahal Rosana sudah tak sabar menunggu. Ingin

mengatahui, bagaimana keputusan kedua orang tua Herman.

Disamping itu, bayi dalam kandungannya, semakin

hari akan semakin membesar. Dan jika dibiarkan berlarut
larut tanpa ada penyelesaian, maka semua orang pasti akan

mengetahui kehamilannya. Dan betapa malunya dia, jika

sampai orang akan memperbincangkan dirinya. Lebih pahit

lagi, kalau sampai orang-orang mengecapnya mahasiswi

yang nyambi karena keluarganya orang kurang mampu.

Oh, bukankah secara tidak langsung dia telah

menghinakan keluarganya. Ibu tentu akan sangat marah

sekali. Bisa jadi, mungkin dia akan diusir dari rumah itu.

Selama ini, Rosana masih bisa menutupi

kehamilannya. Karena baru tiga bulan usia kandungannya.

Namun jika sampai empat dan lima bulan, tentu dia tidak- 111
akan bisa lagi menutupi keadaan tubuhnya yang sudah

berbadan dua. Oh Tuhan, bagaimana jadinya nanti? Pikir

Rosana dengan hati pilu, setiap kali ingat akan apa yang

bakal dia hadapi jika sampai kandungannya kelihatan. Dan

semua orang akan mengetahuinya.

Sudah berulang kali baik Ibu maupun Ayah

menanyakan perihal Herman yang sudah hampir setengah

bulan tidak lagi nongol ke rumah mereka. Beruntung Rosana

masih bisa menutup-nutupi dengan memberi alasan yang

masuk akal dan bisa diterima oleh kedua orang tuanya.

Semalam, kembali ketika dia dan kedua orang tuanya

duduk, kembali Ibu dan Ayah menanyakan tentang Herman.

"Herman kok tidak pernah datang lagi, Ros?" tanya

ibunya. "Apa ada masalah denganmu...?"

"Tidak, Bu."

"Biasanya Herman sering datang. Kok sudah hampir

setengah bulan tidak menampakkan batang hidungnya...?"

ayahnya Rosana turut bertanya.

"Mungkin dia sedang sibuk, Yah."

"Sibuk apa?"

"Menyelesaikan diktat barangkali, Bu."

"Diktat?"

"Iya, Bu... Sebab Herman mempunyai kredit

semester."- 112
"O..."

Untuk sementara Rosana agak tenang, ketika dilihat

kedua orang tuanya diam. Namun tidak lama kemudian,

Ayah kembali mengajukan pertanyaan. Dan kali ini, cukup

membuat Marisa kaget bercampur was-was. Khawatir Ayah

sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Ros..."

"Ya. Bu..."

"Ibu perhatikan, kondisi badanmu semakin hari kian

bertambah menyusut. Dan ibu perhatikan akhir-akhir ini kau

sering suka makan-makanan yang pedas dan asam..."

"Ah, Ros rasa tidak apa-apa. Bu."

"Benar kau tidak apa-apa?"

"Benar. Bu..."

"Ya, syukurlah kalau memang begitu. Ibu hanya

khawatir, kalau-kalau kau hamil..."

"Ah ibu..."

Kecemasan Rosana, semakin bertambah-tambah

karena Herman belum juga datang. Padahal dia sudah tidak

sabar lagi menunggu. Mau ke rumahnya, dia tidak tahu dan

juga masih takut. Yang bisa dilakukannya hanyalah

menunggu dan menunggu dengan perasaan semakin

bertambah tidak menentu.- 113
Siang itu Rosana nampak tengah duduk termenung

dan melamun di taman kampus. Tempat yang biasanya dia

jadikan sebagai tempat penantian. Juga tempat pertemuan

nya dengan Herman. Lalu memadu janji. Tempat itu juga

membawa kenangan indah bagi Rosana. Di taman kampus

itu, awal mereka menjalin cinta. Itulah sebabnya Rosana

senantiasa duduk di situ, jika ingat akan Herman. Atau jika

kekasihnya tidak kuliah, sehingga mereka tidak bertemu.

Siang itu pun Rosana duduk di taman kampus sambil

melamun.

Pikirannya tengah melayang tak menentu. Ya pada

janin yang dikandungnya, yang tentunya semakin lama akan

semakin bertambah besar. Juga pada Herman, yang sudah

hampir setengah bulan tidak menunjukkan batang

hidungnya.

Ke mana Herman? Kekasihnya memang sering tidak

ke kampus, namun hanya dua tiga hari. Tapi sekarang, sudah

setengah bulan Herman tidak datang ke kampus. Ada apa

sebenarnya? Dan Rosana juga sampai sekarang, belum

mendengar kabar beritanya. Padahal dia juga menunggu

kedatangan Herman, sebab dia ingin mengetahui bagaimana

hasil kekasihnya yang akan memperkenalkan dia pada

kedua orang tua Herman.

Bahkan Herman berjanji akan menikahinya dalam

waktu dekat, sebelum janin dalam kandungan.Rosana- 114
semakin besar. Tapi ditunggu-tunggu, sampai setengah

bulan tidak juga datang.

Niat Rosana ingin datang ke rumah Herman dan ingin

mengetahui apa yang terjadi pada diri kekasihnya. Namun

dia tidak tahu, dimana rumah Herman berada. Sedang

semakin hari, Rosana semakin bertambah bingung serta

cemas dengan keadaan kandungannya yang akan semakin

bertambah besar.

Bagaimana jadinya, kalau semua orang mengetahui

bahwa dia hamil? Oh Tuhan... kenapa Herman belum juga

datang melamarnya? . Sehingga dia bisa segera menikah dan

tidak akan malu, kalau orang mengetahui bahwa dirinya

sudah mengandung. Sebab ada suaminya. Dan anaknya pun

tidak akan malu, kalau bertanya siapa papanya.

Karena anaknya memang mempunyai seorang ayah.

Rosana masih duduk melamun seorang diri di taman

kampus sambil melamun, ketika seorang gadis lincah

melangkah mendekati. Kemudian gadis itu duduk di

samping Rosana, dengan kening mengerut gadis lincah itu

memperhatikan wajah temannya yang nampak murung dan

tengah melamun. "Mari..."

Rosana tersentak, sadar dari lamunannya. Dia

menengok. "Eh kau, Lisa... Bikin kaget saja..."

"Ngapain sepagi ini sudah melamun?" tanya Lisa

tanpa menanggapi keluhan temannya yang kaget dengan- 115
kedatangannya yang tidak diketahui oleh Rosana karena

memang gadis itu sedang melamun.

Sehingga meski matanya terbuka, namun sesungguh

nya konsentrasi pikirannya tidak tertuju pada apa yang

dipandangnya. Melainkan tengah melayang dengan

berbagai masalah yang sedang dihadapinya.

"Ah, tidak..." Rosana mencoba tersenyum, untuk

menutupi kemurungan yang tengah melanda harinya.

Sekaligus untuk sekedar meyakinkan temannya, kalau dia

memang tidak sedang melamun. "Aku hanya sedang
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menikmati suasana pagi ini," katanya kemudian sambil

menyapukan pandangan matanya ke sekeliling taman,

seakan dia benar-benar tengah berusaha menikmati suasana

pagi.

"Ros..."

"Ya," kembali Rosana menengok ke arah temannya.

"Ada berita untukmu," kata Lisa dengan lirih.

Nampaknya Lisa sangat berhati-hati sekali bicara. Ada

sesuatu yang tidak dia inginkan terjadi pada Rosana, jika

temannya itu nanti mendengar berita yang akan dia

sampaikan. Berita yang mungkin akan mampu

mengguncangkan jiwa Rosana jika mendengarnya nanti.

Dan karena itulah, Lisa berusaha untuk mengatakannya

dengan sangat hati-hati sekali.

"Berita tentang apa...?"- 116
Lisa tidak langsung menjelaskan apa yang akan dia

katakan.

Namun sesaat dia diam dengan mata memandang ke

wajah Rosana, seakan dia tengah berusaha meyakinkan diri

mampukah Rosana menerima berita yang bakal dia

sampaikan?

Namun kalau tidak dia katakan, tentu Rosana akan

semakin bertambah penasaran dan terus mendesaknya.

Sebab dia sudah mengatakan kalau ada berita yang akan dia

sampaikan. Tetapi jika dia sampaikan dan beritahukan berita

yang dia dengar, dia khawatir Rosana akan terguncang

jiwanya. Salah-salah bisa berbahaya.

"Lisa, kenapa kau...?"

"Tidak apa-apa."

"Tadi kau mengatakan ada berita untukku. Kenapa

kau diam?" tanya Rosana. "Katakanlah, ada apa?" desak

Rosana sambil memandang ke wajah temannya dengan

tatapan lekat. Seakan menuntut Lisa agar mau mengatakan

tentang berita yang hendak disampaikan kepadanya.

"Kembali" Lisa menarik napas dalam-dalam. Seakan

dia bentsaha untuk menguatkan perasaannya, agar dia bisa

menceritakan berita yang dia dengar.

"Kau sungguh belum mendengarnya?" tanya Lisa,

dengan mata memandang lekat ke wajah. Rosana, seakan

berusaha memastikan kalau temannya benar-benar belum- 117
mendengar akan berita yang dibawanya. Berita yang bisa

mengguncangkan jiwa bagi Rosana.

Rosana menggelengkan kepala. Matanya masih

memandang lekat ke wajah temannya dengan pandangan

penasaran, ingin mengetahui berita apa yang dibawa oleh

temannya.

Lisa kembali menghela napas dalam-dalam.

Perasaannya masih diliputi kebimbangan dan keraguan.

Haruskah dia memberitahu berita tersebut atau tidak?

Pikirnya dalam hati yang dilanda. kebimbangan dan

kekhawatiran kalau-kalau berita itu akan membuat Rosana

terguncang jiwanya.

"Ayo Lisa, ceritakanlah ada apa...?" desah Rosana

nampak tak sabar, ingin segera mengetahui akan berita yang

hendak disampaikan oleh temannya.

"Kau sudah dengar tentang Herman...?" tanya Lisa

sambil kembali memandang ke wajah temannya.

"Tentang Herman...?"

"Belum. Bahkan aku sekarang sedang menunggunya,

Lis. Apa kau tahu dimana dia sekarang dan bagaimana

kabarnya dia...?" tanya Rosana.

"Justru itu yang hendak kusampaikan padamu."

jawab Lisa.

"Maksudmu...?"- 118
"Ada sesuatu yang berkaitan dengan ketidak

hadirannya Herman beberapa minggu ini. Bahkan hampir

setengah bulan," kata Lisa menjelaskan.

"Kenapa dengan Herman...?" tanya Rosana belum

mengerti akan maksud temannya. Juga Sehingga mata indah

dengan bulu mata lentik Rosana, seketika memandang ke

wajah temannya.

"Aku mendengar Herman akan menikah."

"Menikah...?" ulang Rosana.

"Ya."

Rosana menarik napas dalam-dalam. Hatinya agak

lega mendengar kalau Herman akan menikah. Dia berpikir,

tentunya Herman benar-benar akan bertanggung jawab

kepadanya. Dan kedua orang tua Herman nampaknya sudah

mau mengerti. Sehingga mereka akhirnya menyetujui

hubungan mereka dan bermaksud menikahkan Herman

dengannya.

"Oh ya...?" tanya Rosana dengan wajah masih

menunjukkan ketenangan, sebab dia tetap menduga kalau

yang bakal menjadi mempelai wanitanya tentu dirinya.

Karena Herman sudah berjanji akan bertanggung jawab dan

menikahinya.

"Ya..."

"Kapan rencananya?"- 119
"Minggu depan..."

"Minggu depan?!"

Rosana baru tersentak kaget dengan mata membeliak

setelah mengetahui kapan Herman menikah. Matannya.

memandang tajam ke arah Lisa, sepertinya dia berusaha

memastikan kesungguhan omongan temannya.

Bagaimana mungkin minggu depan? Kenapa Herman

atau kedua orang tuanya tidak menghubungi keluarganya

agar keluarganya siap-siap terlebih dulu? Ah, apa mungkin

keluarga Herman mau membuat kejutan? Pikir Rosana,

masih menyangka bahwa dialah yang akan menjadi

mempelai wanitanya. Mendampingi Herman yang tampan

dan selama ini, telah dia pasrahkan apa yang dia miliki.

"Ya. Kau nampak kaget. Kau tidak apa-apa, Ros?"

"Tidak..."

"Sungguh kau tidak apa-apa?"

"Sungguh," jawab Rosana.

"Oh ya, menurut berita Herman hendak menikah

dengan siapa...?" tanya Rosana.

"Katanya sih dengan seorang gadis yang baru saja

menyelesaikan kuliahnya di Belanda... Katanya pula, gadis

itu merupakan pilihan kedua orang tua Herman dan mereka

sudah dijodohkan, jauh ketika mereka masih kecil," jawab

Lisa memberitahukan berita yang dia dengar.- 120
Bergetar tubuh Rosana mendengar penjelasan Lisa,

yang mengatakan kalau gadis yang akan mendampingi

Herman bukan dirinya. Tetapi seorang gadis yang baru

menyelesaikan kuliahnya di Belanda. Ditatapnya Lisa

tajam, seakan berusaha meyakinkan hatinya. Jiwanya

seketika terguncang hebat. Kepalanya terasa berdenyut
denyut dan agak pening.

"Benarkah apa yang kau katakan, Lisa?" tanyanya

kemudian, kali ini suaranya terdengar lirih.

"Sungguh, Ros. Masa aku berbohong padamu..."

"Oo..."

Rosana mengeluh sambil memegangi keningnya.

Kepalanya terasa semakin keras berdenyut dan pening.

Bumi yang dipijaknya bagaikan berputar, setelah dia

mendengar kabar bahwa kekasihnya akan menikah dengan

gadis lain. Matanya seketika berkunang-kunang, kemudian

tubuhnya bergetar. Sampai akhirnya Rosana terkulai

pingsan, membuat Lisa seketika menjadi panik melihat

keadaan temannya.

"Ros, kenapa kau...?" tanya Lisa dengan mata

membelalak kaget.

Lisa berusaha menyadarkan Rosana, namun

temannya tetap saja diam. Semua itu semakin membuatnya

panik, sehingga Lisa segera berteriak meminta pertolongan

pada teman-temannya yang lain.- 121
"Tolong Rosana pingsan... tolong...!"

Teman-teman kuliahnya yang mendengar teriakan

Lisa segera berdatangan. Mereka segera menolong

membopong tubuh Rosana ke ruangan kelas kuliah. Salah

seorang dari temannya, berusaha menghubungi ambulan

untuk membawa Rosana ke rumah sakit.

Rosana siuman, setelah diberi pertolongan oleh

teman-temannya dengan cara sebisa mereka. Bahkan Lisa

menggigit ibu jari kaki Rosana, sehingga Rosana mengaduh

dan sadar dari pingsannya:

"Dimana aku.. ?" tanyanya seperti kebingungan

"Kau masih di kampus."

"Lisa..."

"Ya."

"Kau tahu rumah Herman...?

"Ya, aku tahu. Kau mau kesana?"

Rosana mengangguk.

"Memang sebaiknya kau kesana, Ros."

"Kau mau kan mengantarku. Lis?"

"Kemana...?"

"Ke rumah Herman."- 122
"Sebaiknya kau tenangkan pikiranmu dulu, Man. Kau

perlu istirahat. Besok saja kau kesana," saran Lisa. Dia

khawatir terjadi sesuatu pada temannya, karena Rosana baru

saja pingsan. Perlu istirahat. Di samping itu, nampaknya

fisik Rosana lemah.

"Tidak Lisa. aku harus ke rumah Herman sekarang."

Lisa hanya bisa menarik napas dalam-daJam

mendengar keinginan temannya yang setengah memaksa

itu. Dia tak mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi pada

Rosana, sehingga mendengar kekasihnya mau menikah

Rosana pingsan. Apa mungkin Rosana sudah hamil hasil,

hubungan cintanya dengan Herman? Sehingga Rosana

begitu terpukul mendengar Herman mau menikah dengan

gadis lain?

Lisa berusaha menerka-nerka apa yang sebenarnya

terjadi pada temannya dalam hati. Ya, hanya dalam hati.

Karena dia tidak ingin temannya tersinggung. Apalagi di

kelas itu banyak mahasiswa-mahasiswi lainnya, teman

mereka. Kalau sampai mereka tahu Rosana hamil, bukankah

akan geger sekampus? Dan Rosana akan menjadi bahan

pergunjingan diantara mereka.

"Baiklah kalau kau memang memaksa mau kesana."

"Sebaiknya nanti saja, Ros," kata Yudi turut
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menasehati.- 123
Perhatian Yudi sangat besar pada Rosanan, karena dia

sebenarnya masih mengharapkan balasan cinta dari Rosana.

"Kau baru pingsan, Ros...," katanya kemudian,

"Kalau sampai terjadi sesuatu padamu, Lisa tak akan

sanggup menolongmu seorang diri."

Rosana mencoba tersenyum, untuk sekedar menutupi

kegundahan hatinya.

"Aku tak apa-apa, Yud. Percayalah... Kuucapkan

terima kasih atas perhatianmu dan juga teman-teman

lainnya," kata Rosana dengan bibir tersenyum.

"Ya, kalau kau tetap memaksa, kami pun tak bisa

mencegah," kata mahasiswa itu menyerah pasrah. "Kami

hanya mengkhawatirkan keadaanmu, Ros."

"Lisa, sebaiknya kalian naik taksi saja. Karena

keadaan Rosana tidak memungkinkan kalau naik bus kota,"

saran mahasiswi lainnya.

"Ya."

"Ini ada uang sakuku lebih," seorang mahasiswi

memberikan uang sisa sakunya, diikuti yang lainnya.

Sehingga terkumpul sebanyak dua puluh lima ribu rupiah.

"Tidak usah. Aku punya kok." Rosana berusaha

menolak.

"Jangan menolak, Ros. Kami iklas memberimu"

kok," timpal mahasiswa lainnya.- 124
"Iya, terimalah. Siapa tahu uang yang tak banyak

jumlahnya itu bisa dipergunakan untuk keperluan sewaktu
waktu," kata mahasiswi yang pertama memberikan uang

menambahkan.

"Terimakasih sebelumnya. Selama ini kalian telah

banyak membantu saya. Entah bagaimana saya nanti

membalas kebaikan kalian," kata Rosana dengan wajah

menunduk haru atas kebaikan yang diberikan teman
temannya. Dan memang selama ini, teman-temannya telah

banyak berbuat baik kepadanya.

"Sudahlah, jangan pikirkan semua itu... Kami hanya

merasa turut prihatin atas masalah yang tengah kau alami,

Ros Dan jika kau memerlukan bantuan, kami berharap kau

tidak perlu sungkan-sungkan mengatakannya pada kami."

"Sekali lagi terimakasih banyak. Ayo Lisa," ajak

Rosana.

Dengan didampingi Lisa, Rosana keluar dari kelas.

Menyetop taksi yang akan membawanya pergi ke tempat

yang hendak dia tuju. Rumah Herman, kekasihnya yang

menurut Lisa akan melangsungkan pernikahan dalam waktu

dekat.- 125
Bab. 7

Sore itu Herman tengah duduk berdua dengan Nidia

di taman rumahnya. Mereka nampak sudah begitu mesra.

Nidia memang seorang wanita yang agresif dan

menggairahkan. Tapi sebenarnya Herman melakukan semua

itu, hanya sekedar untuk menyenangkan hati mamanya. Di

dalam hati kecilnya sebenarnya dia merasa sedih, jika ingat

akan Rosana gadis yang dicintainya yang kini dalam

keadaan mengandung.

Ingin rasanya saat itu bukan Nidia yang sedang duduk

dalam pelukannya tetapi Rosana. Namun keinginan itu,

rasanya tak akan pernah terwujudkan. Sebab mamanya tetap

pada pendiriannya, tidak menyetujui hubungan mereka.

Mereka terus bermesraan. Pemuda tampan itu pun

melingkarkan kedua tangannya di pinggang Nidia,

sementara gadis indo itu balas melingkarkan kedua

tangannya di leher Herman.

Sesaat keduanya hanya diam. Mata mereka saling

pandang.- 126
Bibir mereka perlahan merapat. Semakin lama,

semakin bertambah rapat. Sampai akhirnya saling beradu.

"I love you, Herman...," desis Nidia sambil

mempererat rangkulan tangannya di leher Herman. Bahkan

salah saru tangannya, kini menekan bagian belakang kepala

Herman, sehingga membuat ciuman mereka semakin

bertambah kuat.

Herman sebenarnya enggan untuk melakukan ciuman

itu, karena pikirannya jauh tertuju pada Rosana yang entah

bagaimana perasaannya karena sudah dua minggu tidak

bertemu dengannya. Padahal Rosana sangat mengharapkan

jawaban darinya, atas kehamilan yang dialami wanita itu.

Namun karena dia melihat mata mamanya

memperhatikan ke arahnya dari balik jendela rumahnya,

mau tidak mau Herman pun akhirnya menurut. Dia pun

perlahan mencium bibir sensual milik Nidia.

Lama keduanya berciuman. Apalagi Nidia nampak

nya enggan untuk melepaskan bibir Herman. Sehingga

membuat Herman tak bisa melepaskan ciumannya. Padahal

Herman sebenarnya jengah melakukan semua itu di alam

terbuka. Berbeda dengan Nidia yang sudah mengecap

pendidikan di luar negeri, menganggap hal itu merupakan

hal yang wajar. Mereka terus hanyut dalam lumatan bibir

mereka. Sehingga mereka tidak menyadari kalau sepasang

mata dengan tajam memperhatikan perbuatan mereka.

Sepasang mata sembab dengan wajah menggambarkan- 127
kegetiran hari itu, tak berkedip menyaksikan adegan mesra

tersebut.

"Herman...!" teriak Lisa yang kasihan melihat

temannya nampak semakin terguncang menyaksikan adegan

mesra, namun terasa menyakitkan bagi Rosana, memanggil

Herman yang seketika tersentak dan melepaskan

ciumannya.

"Rosana..." mata Herman membeiiak kaget ketika

melihat siapa yang datang. Nampaknya dia tak menduga

kalau Rosana akan datang ke rumahnya dan menyaksikan

adegan yang tengah dia lakukan dengan Nidia.

Rosana hanya bisa terperangah dengan mulut

melongo. Air matanya seketika berlinang, marah, kesal dan.

perasaan lainnya beraduk menjadi satu di dalam dadanya.

Ingin rasanya Rosana menjerit, namun tak mampu.

Mulutnya seperti terbungkam.

"Siapa mereka, Her...?" tanya Nidia sambil

memandang ke wajah Herman yang seketika berubah pucat

dan murung. Dia tidak mengerti, kenapa, calon suaminya

seketika berubah murung.

"Teman-teman kuliahku...." Herman hanya menarik

napas dalam-dalam dengan kepala mengangguk lemah.

Hatinya kini kisruh dengan kehadiran Rosana. Terlebih

gadis yang kini tengah mengandung bayi hasil hubungan

dengannya, nampak menangis sambil menggigit bibir.

Sedang matanya, tenis memandang lekat ke arahnya.- 128
Tatapan itu, bagaikan bilah pisau yang tajam dan terasa

menusuk ke ulu hati Herman.

"Beginikah tanggung jawab yang kau janjikan

padanya, Her...?" kecam Lisa dengan wajah menunjukkan

kebencian. Bagaimana juga, sebagai sesama wanita, Lisa

tidak bisa menerima perlakuan Herman terhadap temannya

begitu saja. "Lelaki macam apa kau, Her? Mana tanggung

jawabmu yang telah kau katakan padanya ketika kau hendak

mengajaknya berbuat? Tidak ingatkah kau, kalau di

rahimnya kini tersimpan janin darah dagingmu...?" dengan

suara kasar serta marah, Lisa terus mengecam Herman.

Mewakili temannya yang hanya bisa menangis, tak tahu

harus bagaimana setelah melihat kenyataan yang ada.

Tangis Rosana semakin mengiris hati, membuat

Herman kian tertunduk diam. Hatinya tiba-tiba ikut

menjerit. Seakan turut mengutuk dirinya, yang tidak

sanggup mengambil keputusan. Sehingga, mau menuruti

apa yang dikatakan oleh mamanya.

Dia juga mengutuk mamanya, yang tidak mau

mengerti dan mau memahami bagaimana penderitaan yang

dialami oleh Rosana. Seharusnya dia bertanggung jawab

pada perbuatannya. Tanggung jawabnya bukan hanya pada

perbuatannya terhadap Rosana saja, akan tetapi ada yang

lebih utama, yaitu tanggung jawabnya sebagai seorang ayah

dari janin yang dikandung gadis itu. Janin yang merupakan

darah dagingnya sendiri. Karena dialah yang selama ini

menggauli Rosana.- 129
"Herman, kenapa kau hanya diam...?" tanya Nidia

sambil memandang ke calon suaminya yang masih

tertunduk. Bagaimana juga, sebagai calon istri Herman,

Nidia agak tersinggung dengan ucapan Rosana.

"Keterlaluan sekali dia, Her," sungut Nidia.

Kemudian gadis indo itu hendak menghampiri

Rosana, ketika dengan sontak Herman mencegah.

"Jangan Nidia..."

"Kenapa...?"

"Sudahlah, kau tidak mengerti urusannya!" sentak

Herman kesal, karena Nidia mau ikut campur dengan

urusannya. Nidia tidak tahu, apa masalah antara dia dan

Rosana yang sebenarnya.

"Tapi bagaimana juga, kau calon suamiku, Her. Aku

tidak mau calon suamiku dihina begitu."

"Sudahlah Nidia, lebih baik kau masuk saja. Kau

tidak tahu apa-apa dalam masalah ini. Biar aku yang

menangani sendiri," kata Herman dengan sedikit kesal,

karena Nidia masih tetap tidak mau menuruti kata-katanya

dan ingin ikut campur dalam masalah itu.

Padahal Nidia tidak tahu menahu urusannya. Nidia

sesaat memandang ke arah Rosana dan Lisa, kemudian

dengan mendengus karena kesal, gadis indo itu pun berlalu

meninggalkan mereka.- 130
Masuk ke dalam rumah.

Sepeninggalan Nidia dengan wajah masih nampak

murung Herman melangkah mendekati Rosana dan Lisa.

"Silakan duduk," ajaknya.

"Aku hanya ingin menagih janji padamu, Her. Mana

tanggung jawabmu? Bukankah dulu kau berjanji akan

menikahiku, jika aku hamil? Tapi sekarang... kau enak
enakkan dengan gadis lain. Seakan melupakan tanggung

jawabmu!" kecam Rosana dengan kembali menangis. Sedih

jika iya ingat akan nasib yang dialaminya.

"Maafkan aku, Ros," lirih Herman berkata. Perlahan

kepalanya menunduk lemah. "Aku telah berusaha untuk

bertanggung jawab, tapi..."
Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi apa...?!" sentak Rosana cepat dengan mata

memandang tajam ke arah kekasihnya. "Dimana

perasaanmu, Her? Bukankah kau yang melakukannya?

Kenapa kau mesti meminta persetujuan mamamu?" desak

Rosana. "Bagaimana nanti denganku, Her?"

Rosana kembali menangis, membuat Lisa semakin

bertambah iba melihatnya. Sebagai seorang teman. Lisa

tidak bisa mendiamkan temannya begitu saja.

"Her, maaf bukannya aku ingin campur urusan kalian.

Tetapi sebagai teman, aku mengharap kau mau sportif. Kau

harus tanggung jawab atas perbuatan yang telah kalian- 131
lakukan bersama," kata Lisa menimpali. Dia merasa kasihan

dengan Rosana.

Herman semakin menundukan kepala dalam-dalam,

mendengar ucapan Lisa. Dia memang ingin bertanggung

jawab. Tetapi mamanya tidak menyetujui.

"Aku tahu, Lisa. Aku pun sebenarnya ingin

bertanggung jawab. Dan sebenarnya hanya Rosana yang

kucintai. Aku akan berusaha, Lisa... Percayalah, aku akan

tetap mencintai Ros."

"Tidak bisa!" dari dalam rumah tiba-tiba keluar

Hartati, mamanya Herman langsung menyela. "Mama tidak

setuju! Heh perempuan, apa kau sudah tidak punya rasa

malu? Sudah tahu Herman hendak menikah, kau masih

berani datang. Kau kira kau akan bisa menggagalkan

pernikahan anakku, heh...?!" mata Hartati melotot tajam,

memandang ke arah Rosana.

"Ma...!" Herman berusaha membela Rosana. "Rosana

tidak salah, Ma. Hermanlah yang salah..."

"Sudah jangan banyak ngomong! Begini saja, kalau

kau memang mau menuntut tanggung jawab anakku,

katakan berapa biaya untuk menggugurkan kandunganmu?

Kemudian jangan kau ganggu anakku lagi!" tanya Hartati

menghina. Menganggap nilai nyawa, biasa ditukar dengan

sejumlah uang.- 132
"Maaf Tante, saya tidak menuntut uang. Saya hanya

ingin Herman mau menikahi saya, sebagai tanggung

jawabnya atas perbuatan yang telah dia lakukan pada saya,"

jawab Rosana tak mau kalah, sebab dia merasa benar. Sudah

sepantasnya, dia menuntut tanggung jawab atas perbuatan

Herman.

"Jadi kau tetap memaksa agar Herman

menikahimu?!" hardik Hartati dengan mata melotot dan

napas memburu oleh emosi. Karena dia menganggap

kehadiran Rosana, telah mengacaukan semuanya dan

mengganggu kebahagiaan anaknya dengan Nidia.

"Ya."

"Tidak akan pernah itu terjadi, karena sebentar lagi

Herman akan menikah."

"Saya akan menuntut!"

"Menuntut apa...?"

"Tanggung jawabnya," jawab Rosana tetap tegas.

Berusaha menunjukkan kalau dia datang ke tempat itu bukan

untuk mengemis. Tetapi meminta tanggung jawab pada

Herman, juga sekaligus menagih janji yang telah diucapkan

Herman kepadanya setiap kali Herman meminta diyanani

keinginannya.

"Tanggung jawab apa...?"

"Silakan Tante tanya sama anak Tante sendiri. Her,

jika kau memang mencintaiku dan benar-benar lelaki,- 133
kutunggu kau di rumah. Dulu kau yang meminta pada ayah

dan ibuku agar mereka mengijinkan aku bisa kau gauli.

Sekali lagi jika kau benar-benar lelaki, kuharap kau datang

menemui kedua orang tuaku. Permisi..."

Rosana bangun dari duduknya, kemudian melangkah

meninggalkan teras rumah itu diikuti oleh Lisa.

Herman hanya bisa duduk di kursinya, memandangi

kepergian Rosana dengan hati berdebar. Dia ingat akan

perjanjian yang diucapkannya di depan ayahnya Rosana.

Ayahnya Rosana meminta tiga tetes darahnya. Oh, apa tidak

mungkin darah itu akan digunakan untuk mengguna-guna

atau menyantet dirinya? Wajah Herman seketika pucat,

ketika ingat akan kejadian itu. Namun begitu, dia hanya bisa

diam. Dia tak mungkin mengatakan akan hal tersebut pada

mama atau papanya.

"Kau tidak perlu memikirkan dia lagi, Her."

"Tapi, Ma..."

"Tapi apa...?!" hardik mamanya.

"Bagaimana juga, bayi yang dikandung Rosana

dadalah darah daging saya, Ma... Jika mama mau

menghukum, hukumlah Herman. Bukan bayi dalam

kandungan Rosana. Bayi itu membutuhkan pengakuan

seorang ayah..."

"Persetan dengan ucapannya! Kalau mama tidak

setuju, jangan sekali-kali kau membantah. Kau- 134
mengerti...?!" kembali Hartati membentak dengan mata

melotot

"Sudahlah, kau tak perlu memikirkan dia. Biar mama

yang akan mengurusnya. Ayo Nidia, ikut tante," ajak

Hartati.

"Mama mau kemana...?" tanya Herman.

"Kau tak perlu tahu. Ini urusan mama. Ayo Nidia,"

kembali Hartati mengajak calon menantunya pergi, yang

dengan menurut diikuti calon menantunya.

"Aku pergi dulu."

Herman hanya mengangguk, membiarkan kedua

wanita itu pergi entah kemana. Pikirannya masih putek

memikirkan semua kefadian yang dialaminya. Mamanya

menghendaki dia menikah dengan Nidia.

Padahal dia sudah terlanjur mencintai Rosana.

Disamping itu, Rosana pun kini tengah mengandung

anak hasil jalinan cinta kasih mereka. Bayi yang dikandung

Rosana membutuhkan tanggung jaweb dan pengakuannya

sebagai lelaki dan sebagai ayah bayi itu. Karena memang

dialah yang menanam benih janin tersebut di rahim Rosana.

Akibat hubungan cinta dia dan Rosana yang berjalan lebih

dari tiga tahun.

"Mas..." dari arah pintu rumah, terdengar suara

adiknya, Vera memanggil, membuat lamunan Herman

seketika buyar. Dengan lesu pemuda tampan yang kini- 135
mengalami, kebimbangan dan masalahnya itu menengok ke

arah adiknya.

"Ada apa. Vera?" tanya Herman lirih.

"Mama sama Mbak Nidia kemana...?"

Herman menggelengkan kepala.

"Entahlah..."

"Nampaknya Mama marah, Mas..." kata Vera

dengan wajah turut murung. Baik Vera maupun Herman,

sudah tahu bagaimana kalau mama mereka marah. Apapun

akan dihadapinya. Vera merasa khawatir, kalau-kalau

mamanya akan berbuat diluar dugaan. Atau mendatangi

rumah Rosana dan mendamprat Rosana habis-habisan.

Kasihan Rosana. Karena menurut Vera, Rosana tidak

bersalah.

Lagi pula, sudah sepantasnya kakaknya Herman

diberi kebebasan untuk menentukan masa depannya. Untuk

memilih wanita yang akan dijadikan pendamping hidupnya.

Kakaknya, Herman sudah mahasiswa bahkan calon sarjana.

Tidak pantas mamanya senantiasa memaksakan kehendak

hatinya pada anak-anaknya.

"Mungkin..."

"Tadi Mbak Rosana datang ya, Mas...?"

"Ya" lirih Herman menjawab.- 136
Di wajahnya seakan tak ada semangat lagi.

Bagaimana juga, Herman tetap merasa kasihan pada Rosana

yang kini mengandung janin darah dagingnya.

"Kasihan Mbak Rosana, Mas..."

Herman hanya bisa menarik napas dalam-dalam.

"Apa yang hendak mas lalukan selanjutnya?"

"Entahlah..."

"Mas harus tegas... Mas lelaki, jangan cengeng. Mas

harus bisa menunjukkan sikap. Kita tidak bisa selalu

menuruti apa kata mama, Mas. Kita harus bisa menentukan

pilihan kita..."

"Kau berani melakukan itu?"

"Kenapa tidak? Lihat saja nanti... Vera tetap tidak

akan mau dijodohkan seperti yang mas alami sekarang. Vera

akan tetap pada pendirian Vera...!" tegas gadis berusia dua

puluh tiga tahunan itu. Sekaligus dia juga berusaha memberi

semangat dan keyakinan pada kakaknya.

Herman terdiam mendengar ucapan adiknya. Hatinya

masih diliputi kebimbangan dan masih belum mengerti, apa

yang seharusnya dia lakukan untuk menyelesaikan masalah

yang kini tengah dialaminya.

"Kenapa mas masih diam?!" sentak Vera

mengingatkan kakaknya, agar tidak hanya diam diri.

"Maksudmu?"- 137
"Berbuat, Mas... Berbuatlah...! Jangan hanya diam

menuruti apa kata mama. Mas lelaki, jangan cengeng. Jika

mas benar-benar ingin bertanggung jawab atas perbuatan

yang telah mas lakukan pada mbak Rosana dan juga mas

benar-benar mencintai mbak Rosana, maka segeralah

berbuat!" kata Vera tenis memacu semangat kakaknya, agar

kakaknya mau melakukan suatu tindakan untuk menyelesai
kan masalahnya.

"Apa yang harus aku perbuat, Ver.,.?"

"Mas jangan cengeng! Mas lelaki...!"

"Aku pusing, Ver. Aku tak tahu, apa yang harus

kulakukan...?" keluh Herman masih belum mengerti apa

yang semestinya dia lakukan dalam menghadapi kemelut

cintanya dengan Rosana, karena senantiasa di tentang oleh

mamanya yang ingin agar dia menikahi Nidia. Gadis pilihan

mamanya.

"Bertindaklah, Mas. Bertindaklah...!" Vera terus

ngotot.

"Iya, apa yang harus aku lakukan?"

"Selagi mama pergi dengan mbak Nidia, cepat mas

siapkan semua keperluan yang akan mas bawa pergi."

"Maksudmu, aku kau suruh kabur?"

"Ya."

"Kemana?"- 138 Kembali Dalam Pelukan Cinta Karya Freddy Siswanto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemana saja yang tidak dapat dijangkau oleh

mama... Bawa serta Mbak Rosana pergi dan kalian

menikahlah di sana. Hanya itu yang bisa mas lakukan

sekarang," kata Vera terus memberi motivasi pada

kakaknya.

"Bagaimana dengan kau dan papa?"

"Kenapa memangnya dengan aku dan papa? Kami

tidak ada masalah? Justru mas yang punya masalah.

Sudahlah, jangan pikirkan aku dan papa. Pikirkan masa

depan mas dan mbak Rosana. Jika nanti aku tahu dimana

mas berada, aku akan mengajak papa kesana."

"Apa kau yakin, papa akan menerima perbuatanku?"

"Papa akan mengerti..."

"Tapi aku tak punya banyak uang, Ver?"

"Mas punya tabungan berapa?"

"Hanya sekitar lima ratus ribu..."

"Itu sudah cukup. Vera juga punya tabungan dua juta.

Bawa tabungan. Vera. Cepatlah... tak ada waktu lagi, Mas.

Jangan sampai terlambat, sebelum mbak Rosana putus

asa..."

"Kau memang adikku yang baik, Ver..."

"Sudahlah, jangan membuang waktu, Mas."

"Baik. Kau bantu aku mempersiapkan semuanya..."- 139
"Ayo."

Dengan dibantu Vera, Herman pun mengemasi

keperluannya untuk minggat bersama Rosana. Hatinya kini

terbuka, setelah adiknya memberikan semangat. Dan kini

hatinya telah bulat, bahwa cintanya yang suci hanya untuk

Rosana. Dia selama ini pura-pura mencintai Nidia, karena

hanya ingin sekedar menyeyangkan hati mamanya saja.

Setelah semua perbekalan yang hendak dibawa telah

rapi, Herman pun mempersiapkan diri untuk pergi

meninggalkan rumah itu. Rumah mewah, dimana dia

dibesarkan. Namun rumah itu, baginya tak lain sebagai

penjara saja.

"Vera, sampaikan salam sama papa, dan berikan surat

ini pada mama ya...?"

Herman menyodorkan surat yang telah dibuatnya

pada Vera. Vera mengangguk.

"Sebenarnya berat bagiku meninggalkan rumah ini.

Meninggalkan kau, papa yang baik dan semuanya..." tidak

terasa, dari mata Herman mengalir dua butir air bening.

Hatinya haru, juga sedih karena harus berpisah

dengan orang-orang yang sudah sekian lama bersama. Ya.

meski perpisahan itu tidak untuk selamanya.

Namun bagaimana juga, sebenarnya berat bagi

Herman untuk meninggalkan rumah yang telah membesar
kannya. Meninggalkan adik yang baik dan penuh- 140
pengertian. Meninggalkan papa yang senantiasa memberi
kan kasih sayang dan dorongan semangat kepadanya.

"Sudahlah, Mas. Jangan cengeng begitu... Bukankah

Mbak Rosana kini sedang menunggu kedatanganmu...?

Sebaiknya mas segera kesana..."

"Baiklah... sampai akhir hidupku, aku tak akan

melupakanmu adikku. Kaulah adik yang baik, yang mau

mengerti akan perasaan kakaknya..."

Vera tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Mas..."

"Ya."

"Mbak Rosana menunggumu di Blok-M."

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku yang telah menyarankan agak Mbak Rosana

menunggu di sana. Kukatakan, aku ada rencana untuk

kalian. Dan Mbak Rosana menerima saranku."

"Jadi Rosana tidak pulang ke rumah?" .

"Tidak. Karena pasti mama dan Mbak Nidia kesana."

"Oh Vera kau memang pintar, adikku... kau benar
benar adikku yang sangat baik..."

"Sudahlah, jangan memuji. Semua kulakukan, karena

aku pun tidak ingin mendapatkan hal seperti yang mas alami

sekarang. Karena itulah aku mengatur semuanya..."- 141
"Baiklah, aku pergi, Ver... Oh ya, Blok-M nya di

mana...?" tanya Herman ingin tahu tempat yang sebenarnya

dimana Rosana menunggunya berada.

"Di depan block M Plaza..."

"Doakan aku agar kuat menghadapi kehidupan ini,

Ver..."

"Vera akan terus berdoa, semoga mas dan mbak

Rosana akan bisa hidup bahagia."

"Terimakasih..."

Dengan diantar Vera sampai di depan jalan dan

sampai naik ke dalam taksi, Herman pun pergi meninggal
kan rumah untuk menemui Rosana dan mengajak

kekasihnya kabur dari Jakarta untuk menyusun masa depan

bersama. Masa depan yang mereka cita-citakan.

"Selamat tinggal, Vera..."

"Selama- berjuang, Mas. Semoga mas dan mbak

Rosana hidup bahagia," harap Vera dengan bibir tersenyum,

berusaha memberi semangat dan keyakinan pada kakaknya.

Sehingga kakaknya akan tabah menghadapi semuanya.

Ketika kakanya sudah masuk ke dalam taksi yang akan

membawanya pergi.

"Sekali lagi terimakasih..."

Taksi pun melaju, membawa Herman yang pergi

untuk mencari jalan hidup baru. Sedangkah Vera, masih- 142
berdiri memandangi kepergian taksi yang membawa

kakaknya pergi dengan penuh keharuan. Meski sebenarnya

dia sedih, namun dia tabahkan hati. Bagi nya, lebih baik

berpisah dengan kakaknya sementara, asalkan kakaknya

akan hidup bahagia. Ya, itulah yang dia harapkan. Dia

berharap kakaknya, Herman akan bisa hidup bahagia dengan

Rosana. Gadis yang dicintai.

"Kemana, Bang...?"

"Blok-M Plaza."

Sopir taksi pun menurut, menjalankan mobilnya ke

arah yang hendak dituju oleh penumpangnya. Menyelusuri

jalan, menjauh dari rumah mewah keluarga Herman.

Seperempat jam kemudian, taksi pun sampai di

tempat yang dituju. Dan ternyata memang Rosana dengan

ditemani oleh Lisa tengah menunggu kedatangannya.

"Ros!"

"Herman... Bagaimana kau tahu aku di sini?"

"Vera yang memberitahu. Untung aku tidak langsung

ke rumahmu. Kalau sampai ke rumahmu, entah

bagaimana..."

"Vera menyarankan aku kesini, karena mamamu kata

Vera akan ke rumahku. Adikmu benar-benar sangat berjasa

pada kita, Her...?"- 143
"Ya, dia memang tidak ingin mama memperlakukan

kami dengan seenaknya."

Rosana menarik napas dalam-dalam.

"Ayo kita segera pergi, Ros" ajak Herman.

"Ke mana?"

"Ke rumah kakekku di Jember. Kita akan Imenikah

di sana dan hidup tenang."

"Aku bagaimana?" Lisa menyadarkan kedua

temannya.

"Kau pulang dengan taksi. Kalau mamaku tanya,

bilang kau tidak tahu...," jawab Herman.

"Baiklah. Aku berharap kalian bisa hidup bahagia..."

"Terimakasih..."

Herman segera mengajak Rosana naik taksi yang

kemudian melaju membawa mereka pergi meninggalkan

kota Jakarta untuk menempuh hidup baru. Hidup yang lain

di kota kecil di jawa timur.

Rosana menangis detik itu. Dia merasa terlepas dari

kekuatiran yang panjang selama ini. Kekuatiran jika Herman

ternyata akan mengingkari janjinya. Apalagi keadaannya

sudah berbadan dua.- 144
Tapi ternyata Herman seorang lelaki yang

bertanggung jawab. Dia nekad membawa Rosana kabur dan

kawin lari.

Rosana jadi pasrah dan tak perduli apa pun| yang akan

terjadi. Orang satu-satunya yang diharapkan telah bersedia

menikahinya. Herman akan menjadi suaminya yang syah

dan ayah dari bayi yang akan dilahirkannya.

Rosana benar-benar bahagia. Ke ujung dunia pun dia

akan dibawa pergi oleh Herman, dia akan pasrah. Karena

cinta Rosana telah tercurahkan semuanya...- 145
PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku-buku

novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di pasaran dari

kemusnahan, dengan cara mengalih mediakan menjadi file

digital.

File ini dihasilkan dari konversi foto menjadi teks yang

kemudian di kompilasi menjadi file PDF.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial dari

karya-karya yang coba dilestarikan ini.

CREDIT untuk :

? Awie Dermawan, sang pemilik buku aslinya.

? Grup Kolektor E-Books, tempat share ebook ini.

D.A.S




Pendekar Rajawali Sakti 173 Teror Mustika Lidah Naga 5 Forgotten Eve Karya Phoebe

Cari Blog Ini