Ceritasilat Novel Online

Apartemen Lantai Tujuh 3

Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari Bagian 3



"Oh iya. tiba-tiba Tante mikir. Jangan-jangan kamu nggak mau pulang karena takut sama sesuatu yang membuat kamu jatuh. Jangan takut, Gung. Banyak yang mau membelamu kok. Ayolah bangun, Gung. Kasih tahu apa yang telah terjadi. Tante tahu. kamu anak yang berani. Nggak mungkin si Ani yang menjatuhkan kamu. Dia kan baik sama kamu ya? Biarpun orangnya centil. tapi dia baik. Jangan takut, Gung. Satpam Barata itu, misalnya. Dia sayang sama kamu. Pasti dia akan membelamu kalau

ada yang jahatin kamu. Orangnya kan gagah dan kuat. Coba kalau Tante yang nangkap kamu waktu jatuh itu. pasti Tante udah remuk."

Evita tertawa kecil. Lalu ia mendekat. mencium pipi Agung yang hangat.

"Kamu pengin sekolah lagi, kan? Katanya temanteman sekolahmu pada nanyain sama Oom Hendra, apa boleh nengokin kamu. Sayang anak kecil nggak boleh masuk. Mereka semua kangen padamu. Kalau kamu sembuh nanti kita adain pesta di Srigading ya, Gung? Kamu mau?"

Akhirnya Robin bangkit lalu berdeham dekat pintu, seakan ia baru saja masuk. Evita terkejut.

"Oh, Pak Robin. Udah lama, ya?" Evita tersipu. Pasti didengarkan.

"Belum lama kok. Nggak mau mengganggu aja. Sendiri, Bu?"

"Iya. Suami saya nunggu di mobil. Dia nggak tega lihat Agung. Tadi ketemu Nadia, tapi dia mesti buru-buru nemuin kakaknya. Katanya sakit. Dia takut kakaknya minum. Kedengarannya begitu."

Robin terkejut. Pasti Ava bermasalah lagi.

"Bagaimana Agung? Masih sama?"

"Nggak tahu juga, Pak. Saya baru sekarang nengokin. Tapi dia belum juga sadar. Saya nunggu Tante Rita yang tadi jaga. Dia lagi makan. Kalau dia kembali, saya pulang. Kayaknya nggak ada orang lain lagi yang datang. Entah Pak Rama. Katanya tadi belum pulang."

Baru saja dibicarakan. Rita masuk.

"Wah. Nadia

sudah pergi ya," katanya dengan penyesalan.

"Saya nggak bisa makan cepat-cepat sih. Suka tersedak."

"Nggak apa-apa, Tante. Saya tinggal dulu ya."

Robin memutuskan untuk mengiringi Evita. Belum pernah ia bicara berdua saja dengan perempuan itu.

"Bisa kita bicara sebentar? Sambil jalan saja, Bu."

"Baik. Masih ada yang belum jelas ya?"

"Oh, banyak sekali. Jadi Agung memang sering main ke tempat Anda. kan?"

"Ya. NingSih sudah cerita rupanya. Maaf ya, Pak, karena dia dilarang bicara begitu. Nyesel memang. Padahal Bapak bisa tahu juga dari Bu Ava atau Pak Rama. Suami saya memang takut sama polisi meskipun dia nggak pernah berbuat pidana. Sering dengar cerita orang sih. Sebenarnya nggak ada apa-apa yang perlu disembunyikan. Kami sayang sama Agung. Saya ingat anak saya kalau lihat dia."

"Baiklah. Kita pindah topik. Saya tertarik mendengar omongan Anda sama Agung tadi. Anda bilang, mungkin Agung nggak mau bangun karena takut sama sesuatu yang membuat dia jatuh. Itu pemikiran yang unik. Menurut perkiraan Anda, apa kirakira sesuatu itu?"

Evita tertegun sejenak. Mereka berhenti berjalan. Robin menunjuk kursi ruang tunggu di depan kantor administrasi. Banyak yang kosong. Mereka duduk di sana.

"Menurut dokter ada trauma kejiwaan," lanjut

Evita.

"Itu yang saya dengar. Sesuatu itu bisa saja pengalamannya yang mengerikan."

"Bukan orang atau apa?"

"Ah, orang? Apa Bapak pikir ada orang lain yang menjatuhkan keduanya?"

"Saya nggak ngomong begitu. Yang ngomong tentang sesuatu itu Anda. Terus Anda bilang akan membela dia kalau ada yang jahatin. Nah, kira-kira siapa gerangan itu?"

Evita tersenyum. Ia tahu pertanyaan Robin menjebak.

"Saya ngomong apa saja asal dia bisa tersentuh. Tapi boleh saya tanya, apakah kasusnya sudah terungkap? Kelihatannya sudah nggak dijaga lagi. Apa sudah aman?"

"Kami anggap begitu, Bu. Si Ani sedang mabuk waktu jatuh itu. Bu. Kadar alkohol dalam darahnya tinggi. Rupanya dia minum minuman keras mlllk Pak Rama."

Evita terkejut.

"Wah. kok bisa begitu ya? Jadi kenapa si Agung jatuh juga?"

"Nah, itu yang belum diketahui. Mesti tunggu Agung yang ngomong."

"Kalau begitu nggak ada orang ketiga, Pak?"

"Nah, itu dia. Maksud Anda dengan sesuatu itu orang ketiga, bukan?"

Robin tertawa. Evita tersipu. Ia tak tahu mesti menjawab apa.

"Ya. Itu memang pemikiran yang wajar," Robin

menjawab sendiri.

"Apa si Ningsih cerita tentang mantel hitam di kamar Ani?"

Evita tersentak. Topik berganti dengan cepat.

"Mantel hitam apa, Pak? Dia nggak cerita."

Robin menuturkan perihal mantel hitam itu. Kembali Evita terkejut.

"Tidak ada yang pernah melihat Ani memakai mantel itu, tentu saja. Tapi kenapa tergantung di belakang pintu kamarnya seolah itu barang yang selalu dipakai? Kamarnya nggak pakai AC. Cuma kipas angin. Barang itu pun bau, seperti baru dikeluarkan dari peti yang lama tertutup. Nggak mungkin dia membiarkannya tergantung. Mestinya dia simpan saja di dalam koper," tutur Robin tanpa melepaskan tatapannya dari wajah Evita.

Evita tidak menyadari tatapan Robin. Ia merenung. Lalu terkejut setelah sadar dari lamunannya.

"Ituuu... itu... bukan milik Pak Rama?" ia bertanya, sedikit menggagap.

"Dia tak mengakuinya."

"Habis milik siapa?"

"Apa Anda pernah melihat mantel seperti itu?"

"Di mana?"

"Di mana saja."

"Oh ya. Di luar negeri pernah. Kalau musim dingin banyak orang pakai mantel seperti itu."

"Di sini?"

"Nggak. Di sini kan panas. Pak."

"Tapi orang sini yang suka ke luar negeri kan banyak. Termasuk Anda dan suami, misalnya. Apakah Anda berdua nggak punya mantel panjang untuk musim dingin di sana?"

Sesaat Evita ragu-ragu. Baru kemudian menjawab.

"Tentu punya. tapi nggak hitam warnanya."

Jaaban yang sama pernah diberikan oleh Rama, pikir Robin.

"Kalau Anda nanti punya infomasi mengenai mantel itu. tolong kasih tahu saya."

"Apakah itu penting, Pak?"

"Buat saya, segala info adalah penting. Apalagi Ani suka main di tempat Anda. Satu-satunya tempat di luar apartemen Pak Rama dan di gedung yang sama."

"Baik. Nanti saya tanya pada suami saya."

"Dan tanya juga pada Bu Oni. Siapa tahu dia punya, lalu memberikannya sebagai hadiah untuk Ani," kata Robin, meskipun tahu bahwa itu tidak mungkin. Ketiadaan sidik jari adalah petunjuk hahwa mantel itu berada di belakang pintu kamar Ani setelah ia jatuh hingga tak punya kesempatan untuk memegangnya. Petunjuk itu menandakan adanya hubungan dengan kasus tersebut. Kalau bukan Rama atau Ava yang menaruhnya di situ, tentu ada orang lain. Bisa saja ia menaruhnya setelah Rama dan Ava pergi ke rumah sakit dan apartemennya kosong. Mungkin kunci bukan masalah baginya. Atau memang sempat seseorang melepas mantel hitam yang dipakainya itu dan menaruhnya di belakang pintu kamar Ani. Orang toh sedang heboh, tak ada yang memerhatikan kamar Ani, sementara

Rama dan Ava baru belakangan bangun, dan seseorang itu kalau memang ada sudah sempat keluar dari apartemen Rama dan Ava.

Evita berlalu, meninggalkan Robin tetap duduk termangu di tempat semula.

Setelah masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Wijaya yang sedang terkantuk-kantuk, Evita menengok lagi ke belakang. Dari tempatnya ia bisa melihat Robin masih duduk termangu.

"Lihat apa sih, Ma?"

"Itu Pak Robin. maSih saja duduk di situ. Tadi kau nggak lihat aku berbincang dengannya?"

"Nggak. Aku nggak nengok-nengok ke belakang. Di mana kau ketemu dia?"

Evita menceritakan semuanya. Termasuk pembicaraan dengan Nadia dan kemudian dengan Robin.

"Mantel hitam? Yang pakai tudung?" tegas Wijaya.

"Iya."

"Tapi kan belum tentu yang itu. Memangnya dia dapat dari mana? Barang itu kan nggak satu-satunya di dunia."

"Ayo kita pulang dan lihat."

Wijaya menghidupkan mesin mobilnya, yang kemudian bergerak meluncur keluar dari halaman parkir.

Sepuluh menit sesudah itu barulah Robin berdiri dan menuju motornya. Ia pun bergerak ke arah yang sama. Srigading.

Nadia dan Ava duduk berdampingan di sofa. wajah Ava kemerahan penuh air mata.

"Jangan ngomong cerai dulu. Mbak. Satu masalah belum beres, masa mau bikin masalah lain lagi? Bereskan Agung dulu. Tunggu dia sembuh. Konsentrasi padanya. Singkirkan masalah lain. Berdamailah dulu dengan Mas Rama. Demi Agung."

"Aku udah enek melihatnya. Si Agung juga enek sama dia."

"Ah, masa iya sih? Agung kan masih kecil. Mas Rama aja yang kurang melakukan pendekatan. Dia gampang putus asa."

"Mestinya Sikap Agung itu bisa membuatnya jera. Dan nggak berbuat lagi."

"Mestinya begitu."

"Gimana kalau Pak Robin tahu, bahwa dia suka mengganggu Ani? Kan bisa dicurigai."

"iya sih. Heran juga ya, kenapa sih orang suka nyari pentungan buat kepalanya sendiri?"

"Dasar lelaki dungu, Mentang-mentang cakep. Otak kosong. Ikutin saja nafsunya, tahu-tahu kejeblos," Ava mengomel.

"Apa dia minta maaf padamu?"

"Huh! Maaf melulu. Bosan!"

"Tapi dia minta maaf, kan?" tegas Nadia.

"Iya sih. Tapi ujungnya dia bilang. kalau aku mau cerai, dia nggak keberatan. Nah, apa maksudnya tuh?"

"Mungkin maksudnya, kalau kau mau cerai, dia maklum. Menurutku, gimana kalau sekali ini kaumaafkan saja. Demi Agung?"
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ava termangu.

"Pikirkan Agung. Mbak. Konsentrasi pada pemikiran, bahwa apa pun yang kaulakukan adalah kebaikan untuk Agung. Bukan untuk diri sendiri atau Mas Rama. Pikirkan bagaimana perasaan Agung kalau sadar nanti mendapati orangtuanya berpisah? Kejutan itu bisa membuatnya koma lagi."

"Kalau udah kehilangan respek rasanya kok sulit berbaik-baik ya, Na? Maunya emosi melulu. Ngomong pun jadi sinis. Aku menyadari hal itu, tapi sulit betul menjaga lidah dan Sikap. Tampang cakepnya nggak menolong lagi. Perempuan lain bisa tergiur. Aku nggak."

"Wah, celaka banget, Mbak. Apa betul-betul nggak ada harapan untuk perbaikan? Bagaimana kalau dia sungguh-sungguh menyesal dan ingin berubah. Kan kasian, Mbak."

"Entahlah. Dia mesti membuktikan diri dulu. Dan itu kayaknya sulit. Sekarang saja aku sudah telanjur curiga padanya."

"Curiga mengenai apa?" Nadia terkejut.

"Curiga bahwa dia punya andil dalam kasus jatuhnya Ani dan Agung. Entah apa aku nggak bisa menyimpulkan. Aku takut sendiri ngomongnya. Nggak ada yang tahu apa yang dia lakukan pada malam Minggu itu, ketika kami barusan pulang. Aku sudah tidur lelap, dia ngapain aja? Betulkah cuma minum?

Apa dia nggak main-main sama Ani? Apa Ani nggak ikut minum sama dia?"

"Ani itu minumnya pagi, Mbak. Hasil autopsi menyatakan itu."

"Mungkin saja paginya dia pengin minum lagi karena sebelumnya udah dikaSih hati."

"Apa iya dia sekuat itu? Boro-boro bisa bangun pagi."

"Nyatanya dia mabuk sampai lupa diri."

"Maksudmu dengan main-main itu apakah hubungan seks, Mbak?"

"Ya. Apa lagi?"

"Kayaknya nggak deh, Mbak. Kalau memang betul begitu, maka hasil autopsi akan menemukan sperma di dalam vaginanya. Pak Robin tidak menyebut soal itu. Kebetulan aku tahu, bahwa sperma bisa bertahan hidup dalam vagina selama tiga kali dua puluh empat jam. Bila hal itu sampai terjadi, Pak Robin pasti nggak akan tinggal diam dengan hanya mengemukakan soal minum saja. Siapa lagi yang mungkin melakukan hubungan sama Ani kalau bukan penghuni rumah? Masa satpam atau tetangga? Kalau misalnya si pacar, nggak mungkin juga karena ketemunya seminggu sekali."

Ava terdiam. Dia termenung, tidak lagi menggebu-gebu. Perasaannya melunak setelah mendengar teori yang dikemukakan Nadia.

"Lagi pula tidak mungkin Mas Rama sekejam itu pada anak kandungnya sendiri, Mbak."

"Iya sih. Dalam satu hal aku lega, yaitu ketika Rama bilang, Agung itu anaknya sendiri."

"Nah, makanya jangan terlalu percaya pada feeling. Apalagi kalau negatif."

"Apa kau sendiri nggak pernah percaya pada feeling?"

"Aku nggak punya pengalaman dengan feeling. Entah kalau nanti. Tapi kayaknya aku bisa menguraikan kenapa kau sampai punya feeling atau prasangka sebegitu buruknya terhadap Mas Rama. Itu disebabkan karena sebelumnya kau udah nggak respek sama dia. Jadi segala yang negatif gampang muncul. Makanya kau perlu membersihkan pikiran dulu, Mbak."

"Ah, kamu. Kok jadinya nguliahin aku sih."

"Kau minta pendapat, kan? Nah, itu yang bisa kuberikan. Masa cuma yang menyenangkan kau saja?"

"Iya deh. Pokoknya aku sudah cukup lega bisa bicara denganmu."

Ava memeluk Nadia lalu menciumi kedua pipinya.

"Jadi udah plong, Mbak? Nggak stres lagi?"

"Nggak."

"Bagus kalau begitu. Nanti aku bicara sama Mas Rama, ya? Aku ingin mendamaikan kalian."

"Demi Agung?"

"Bukan. Demi kalian semua."

"Apa kaupikir Rama bisa berubah, dari hidung belang menjadi hidung... ah, hidung apa ya?"

"Mungkin yang kosong masih ada di sini."





Wijaya membuka laci meja kecil di samping tempat tidur. Di situ terdapat beberapa botol kecil dengan etiket warna hijau.

"Persediaan kok nggak dibawa?" tanya Robin.

"Oh, itu botol kosong. Nggak boleh dibuang." Wijaya tertawa.

"Biarin aja supaya dia senang."

Ketika Wijaya memandang ke arah lain. diam diam Robin mencomot sebuah botol lalu memasukkannya ke dalam sakunya. Kemudian ia mengamati handel dari stainless steel yang dibor ke dalam tembok di Sisi tempat tidur. Ia menarik-nariknya.

"Apa cukup kuat ditarik oleh orang seberat Bu Leoni?"

"Oh iya. Sudah terbukti, kan?"

"Istri Anda orang yang sabar. Dulu pernah mengalami trauma, bukan?"

Wijaya geleng-geleng kepala.

"Ya, berat sekali buat dia. Tentu buat saya juga. Kami kehilangan anak kami."

"Maaf, kalau saya boleh bertanya. Kalian tidak mencoba punya anak lagi? Mumpung masih muda, Pak."

Wijaya tersenyum malu.

"Oh ya, sekarang kami sedang berusaha. Tapi belum dikasih oleh Yang Di Atas."

"Baru mulai berusaha?" tanya Robin dengan sikap perhatian. Bukan ingin tahu.

Wijaya pun tak keberatan bercerita,

"Ya. Tadinya Evi nggak mau punya anak lagi. Dia pernah bilang,

"Ya. Bisa."





Nadia melompat untuk menyambut pesawat yang disodorkan kepadanya.

"Ada apa, Pak Robin? Perkembangan baru?" tanyanya antusias. Kalau Robin malam-malam datang berarti ada sesuatu yang penting.

"Nggak sih. Tadi menjenguk Agung lalu ketemu Bu Evita. Dia bilang, kau terburu-buru karena Bu Ava sakit. Gimana keadaannya?"

"Sudah baik sekarang. Terima kasih untuk perhatianmu."

"Syukurlah kalau sudah baik. Apa kau sudah mau pulang atau masih lama? Kalau nggak lama, saya tunggu aja di lobi."

"Baik. Saya segera turun."

Nadia maklum, tentu Robin tidak leluasa bicara di interkom. Bisa saja didengar orang lain. Ia ingin tahu apa yang mau dibicarakan Robin dan tentunya tak ingin menunggu sampai besok.

"Oh ya. Sebelum turun. bisakah kau mampir ke apartemen Pak Wijaya dan minta bicara dengan Ningsih? Kau nggak usah masuk. Ngomongnya di depan pintu aja. Jangan keras-keras. Bilang sama dia, polisi sudah menemukan alamat si Gito di Jawa Tengah. Begitu dia ditemukan, dia akan dibawa ke Jakarta untuk dimintai keterangan dan tentu saja juga dipertemukan dengan NingSih. Jangan takut si Gito akan lari dari tanggungjawab. Begitu aja pesannya."

"Baik." Nadia tidak bertanya meskipun merasa heran.

Ia segera menyampaikan permintaan Robin itu kepada Ava.

"Siapa si Gito?" tanya Ava.

"Katanya itu pacar Ani. Tapi kok perlu dicari padahal Ani kan nggak hamil? Ya sudah, nanti saja tanya Robin. Bagaimana Mbak, sudah bisa kutinggalkan?"

"Ya, pergilah. Aku juga pengin tahu apa yang mau dia bicarakan. Nanti telepon aku, ya?"

Semangat Ava membuat Nadia tidak khawatir meninggalkannya.



Pintu apartemen Wijaya dibuka oleh Evita. yang sudah mengintip dulu. Evita masih mengenakan pakaian yang tadi.

"Baru saja pulang?" tanya Nadia.

"Ya. Ayo masuk," Evita mengundang tapi kelihatan tidak spontan.

"Nggak usah, Ev. Boleh aku bicara sama Ningsih sebentar saja? Aku nunggu di sini saja. Takut mengganggu Bu Oni."

Evita masuk kembali dengan merapatkan pintu dan membiarkannya menganga sedikit. Tak lama kemudian Ningsih muncul dengan rupa heran.

"Ada apa, Bu?"

"Tadi saya ketemu Pak Robin. Dia nitip pesan buat kamu. Katanya, polisi sudah menemukan alamat si Gito di Jawa Tengah. Kalau ketemu, orangnya akan dibawa ke Jakarta untuk ditanyai dan juga dipertemukan sama kamu. Saya nggak tahu buat apa. Katanya dia nggak akan lepas dari tanggung

jawab. Itu aja pesannya. ya," kata Evita dengan suara perlahan.

Ningsih ternganga. Tampak bingung tapi tidak bertanya. Ia juga lupa mengucapkan terima kasih ketika Nadia pamitan. Ia masuk kembali dan mengunci pintu. Langsung berhadapan dengan Evita yang segera menanyainya. Ningsih yakin Evita sudah menguping dari balik pintu, tapi suara Nadia yang perlahan mungkin tidak berhasil didengarnya dengan jelas. Ia menyampaikan apa adanya.

"Siapa itu si Gito?"

"Pacar Ani."

"Kok dia dicari? Apa dia terlibat? Kenapa pula mau dipertemukan sama kamu?"

"Nggak tahu, Bu."

"Ah, masa nggak tahu?"

"Saya kenal sama Si Gito. Mungkin itu saja."

Evita tidak puas. Tapi Ningsih tidak berkata-kata lagi. Ia kelihatan murung. Evita tidak berani mendesak. Ia juga punya pekerjaan yang mesti diselesaikan dengan Wijaya. Mungkin nanti ia bisa menanyakannya kepada Nadia atau Ava.

Robin mengajak Nadia bicara di halaman parkir, di tempat yang aman dari jangkawan pendengaran orang lain.

"Tadi saya bincang-bincang sejenak dengan Bu Evita Saya pikir, reaksinya agak aneh ketika saya



singgung soal mantel hitam itu. Katanya, dia tidak memiliki mantel hitam. Si Ani dan Agung suka main ke tempatnya. Ani dan Ningsih. juga Agung dan keluarga itu, semua punya hubungan interaksi satu sama lain. Tapi sepertinya tidak mau terbuka."

"Soal mantel itu, di mana anehnya sikap Evita?"

"Kentara kagetnya waktu kujelaskan ciri-ciri mantel itu. Mengaku belum pernah melihat tapi bilang di luar negeri banyak yang pakai kalau musim dingin. Berarti pernah lihat dong. Kalau dia melihat, berarti dia dan suaminya pernah di luar negeri waktu musim dingin. Bilangnya mereka punya mantel juga. hanya namanya nggak hitam. Ya, apa salahnya bilang punya kalau memang punya? Hanya karena saya mengatakan keberadaan mantel itu janggal?"

"Tentang sidik jari itu, kau nggak ngomong, kan?"

"Oh, tentu. Kalau dikasih tahu malah semakin takut. Orang yang menggantung mantel itu pasti memakai sarung tangan."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, pasti begitu. Lantas si Ningsih itu apa hubungannya dengan Gito. yang pacar Ani?"

"Begini. Rupanya si Gito itu diam-diam memacari keduanya. Tapi Ningsih bilangnya Gito itu pacar Ani. Mungkin resminya sih begitu. Entah gimana caranya si Gito itu merayu sampai berhasil mendapatkan keduanya. Si Ningsih bilang padaku, jangan-jangan si Ani hamil. Katanya Ani pernah

mengaku kepadanya bahwa dia suka berhubungan seks sama Gito dengan janji mau dinikahi."

"Apa Ningsih ngaku dirinya dipacari Gito juga?"

"Nggak sih. Tapi dari sikapnya jelas kelihatan. Waktu ngomong tentang hubungan Ani dan Gito, dia kelihatan sedih. Dan waktu dikasih tahu bahwa si Gito menghilang. dia kaget sekali. Gampang memancingnya. Kuhibur dia dengan mengatakan cowok brengsek kayak gitu nggak usah dipikirin. Dia udah mau nangis. Belakangan aku memikirkan ucapannya. Katanya, jangan-jangan si Ani hamil. Wah, kemungkinan bukan si Ani yang dia maksud, tapi dirinya sendiri! Menurutmu gimana?"

Nadia tersentak.

"Mungkin juga begitu. Jadi itu sebabnya kausuruh aku ngomong begitu sama dia?"

"Ya. Aku kasihan. Dari cerita yang kudengar tentang si Ani, dia bertolak belakang dengan Ningsih. Ani yang centil mungkin saja sudah biasa berhubungan sama lelaki. Nggak demikian dengan si Ningsih."

"Jadi kau sungguh-sungguh akan mencari si Gito?"

"Tentu saja. Dia sudah dipesan untuk nggak pergi selama proses penyelidikan. Berani dia melanggar. Kalau orangtuanya benar sakit, kan nggak perlu sampai berhenti kerja. Cukup minta cuti saja."

"Kuharap dia segera ditemukan."

"Oh ya. tadi Bu Ava nggak sampai minum, kan?"

"Syukurlah. nggak."

"Baiklah. Ayo kita pulang. Sudah malam. Atau kau mau ke tempat Bu Ava lagi?"

"Nggak. Mau pulang kok."

Mereka menuju kendaraan masing-masing. Robin melaju duluan.

Baru saja Nadia membuka pintu mobilnya, seseorang berlari menghampirinya sambil memanggil. Rama.

"Oh, Mas Rama! Baru pulang?"

"Ya. Tadi nengokin Agung dulu. Kau habis nemuin Ava, ya?"

"Betul. Kami habis berbincang lama. Maukah Mas membicarakannya?"

Tanpa ragu-ragu, Rama masuk ke dalam mobil. Mereka duduk bersebelahan di bagian depan.

Nadia menceritakan sikap Ava dan percakapan mereka.

"Dia pengin cerai?" tanya Rama.

"Itu adalah pilihan yang dia kemukakan. Tapi aku bilang, demi Agung yang masih belum siuman, jangan mikirin soal itu. Apa kau sendiri pengin cerai, Mas?"

"Nggak sih. tapi dia kelihatan begitu jijik sama aku. Agung juga begitu. Jadi buat apa lagi aku berada bersama mereka? Aku sudah dianggap sampah yang bau."

"Mas sayang sama Agung, kan?"

"Tentu saja. Tapi aku nggak tahan melihat tatapan matanya."

"Kalau begitu kau cukup sensitif. Apakah itu nggak bisa jadi pendorong bagimu untuk berubah?"

"Berubah bagaimana? Jadi orang alim. begitu?"

"Bukan begitu. Nah. kau pun sama seperti Mbak Ava. Ngomong suka sinis. Kalau dua-duanya ngomongnya seperti itu, nggak heran jadi berantem melulu. Kalau sudah ditemukan salahnya, apa nggak bisa diubah, Mas? Aku nggak usah sebut satu-satu kekeliruan yang telah Mas lakukan. Tahu sendirilah. Yang itu diubah, Mas. Lelaki memang suka memandangi perempuan cantik, itu wajar. Asal jangan lebih dari itu. Bukankah ada yang namanya tenggang rasa? Ada kesetiaan? Maaf ya, Mas. Aku nggak bermaksud menggurui. Tapi aku ingin sekali ada kedamaian antara Mas dan Mbak Ava. Demi Agung dan kebersamaan kalian. Aku selalu ngomong begitu. Ngulang-ngulang. Tapi aku sungguh ingin. Apa Mas nggak membayangkan kalau Mas berlaku baik dan bersikap perhatian sama istri dan anak, maka respek mereka akan tumbuh?"

Awalnya ada rasa kesal di hati Rama karena dia dinasihati oleh orang yang lebih muda. Punya pengalaman apa Nadia yang masih lajang itu? Tapi ia harus mengakui kebenaran kata-katanya. Gadis itu amat serius. Tujuannya semata-mata demi keutuhan rumah tangganya.

Sesudah pembicaraan dengan Rama selesai, yang diakhiri dengan janji Rama untuk introspeksi dan bersikap lebih baik, Nadia pulang dengan perasaan

puas. Barangkali ia punya bakat sebagai penasihat perkawinan, pikirnya. Padahal ia belum pernah kawin. Ataukah justru karena belum pernah, maka bicaranya jadi lancar?



WIJAYA dan Evita menggotong sebuah tas besar dari dalam gudang dan membawanya ke dalam kamar mereka. Gudang itu sempit saking banyaknya barang, hingga tak memberi ruang bagi mereka berdua.

Saat itu Leoni dan Ningsih sudah berada di kamar masing-masing. Jadi tak akan ada yang mengganggu atau ingin tahu.

Tas itu sudah sedikit robek dan bolong-bolong di beberapa tempat hingga cuma difungsikan sebagai tempat menyimpan pakaian bekas yang masih baik tapi tak mau dipakai lagi, namun sayang dibuang. Mungkin kalau nanti ada permintaan sumbangan, bisa diberikan.

Wijaya membuka tas lebar-lebar. Ritsletingnya masih berfungsi bagus dan membuka ke kedua sisi sampai ke dasar dan tas bisa dibuka sampai semua

isinya kelihatan. Tapi begitu menganga, keduanya serentak mundur menjauh. Bahkan Wijaya sampai jatuh terduduk di lantai.

"Uh, baunya!" seru Evita.

Keduanya menutup hidung sambil mengamati tas yang terbuka beserta gundukan pakaian di tengahnya. Rupanya bau yang menyengat disebabkan karena banyaknya kotoran cecak dan beberapa bangkai cecak di dalamnya. Tas itu sudah jadi sarang cecak.

Lalu Evita menunjuk.

"Itu ada, Pa! Tuh, lapisan hitam!"

"Oh, iya!" Wijaya berseru juga. Serunya lega.

"Jadi punya kita ada, kan? Berarti mantel itu bukan dari sini."

"Tapi... tapi kayaknya cuma ada satu, Pa."

Wijaya melupakan baunya. Dengan penasaran ia meraih lapisan hitam tadi. Sebuah mantel hitam panjang bertudung kepala. Benar seperti kata Evita, mantel itu hanya satu. Seharusnya ada dua! Pantaslah tadi tas itu tidak padat dan gampang dibuka.

Evita menjauh. Tapi Wijaya tetap memegangi mantel itu untuk mengamatinya. Baru kemudian ia menjatuhkannya lalu beringsut menjauh. Semua isi tas sudah terpolusi bau. Tak terkecuali mantel itu.

"Kayaknya memang yang itu barang yang dimaksud Robin, Pa," keluh Evita. Ketakutan menjalarinya.

"Jadi kita mesti gimana ya, Ma?" tanya Wijaya bingung.

"Tadi aku bilang sama dia nggak punya mantel ginian."

"Wah, kenapa?"

"Tercetus begitu saja. Habis takut disangka sih."

"Sangka apa?"

"Disangka kita yang naruh di kamar si Ani."

Wijaya geleng-geleng kepala.

"Nggak mungkin, Ma. Kita kan ada di Semarang waktu kejadian. Ingat? Ketika barang itu ditemukan di kamar Ani, kita belum sampai di rumah."

"Oh iya. Tapi aku sama sekali nggak mikir ke situ. Aku cuma pengin menghindar saja. Lantas kenapa mantel kita bisa ada di kamar si Ani? Siapa yang ambil dan ngasih ke dia?"

Keduanya berpandangan.

"Memang belum tentu mantel kita yang ada di kamar si Ani," kata Wijaya.

"Barang ginian kan bisa beli di toko. Tapi kenapa kepunyaan kita tinggal satu padahal kita nggak ngasih siapa-siapa? Coba pikir-pikir lagi, Ma. Barangkali kau lupa pernah memberikannya pada siapa, gitu?"

Evita menggeleng dengan pasti.

"Nggak. Aku kan belum pikun."

Mereka termangu diam. Berpikir keras tapi sulit.

"Tapi barang ini kan nggak ada sangkutannya dengan jatuhnya si Ani. Kenapa mesti diributin, ya?" kata Wijaya.

"Kelihatannya polisi cuma heran aja. Katanya janggal."

"Tentu saja. Masa mantel kita bisa keluar sendiri terus nyangkut di kamar si Ani?"

Ucapan itu membuat Evita bergidik, padahal ia tahu Wijaya hanya bergurau tidak lucu.

"Lantas siapa yang mengeluarkan, Pa? Selain kita hanya ada Ningsih dan Mama. Mustahil..."

"Ah, nggak juga. Ma. Mama memang nggak mungkin. Tapi si Ningsih? Gudang itu kan nggak dikunci. Mungkin saja dia menggeratak kalau Mama lagi tidur. Mungkin saja dia yang ambil lalu menitipkannya pada Ani."

"Tapi dia nggak ngomong begitu sama polisi."

"Tentu saja nggak. Itu berarti dia ngaku nyolong."

"Tapi kenapa mantel yang dia ambil? Bukan baju-bajuku, misalnya? Itu kan masih pada bagUS."

"Wah. mana aku tahu? Yang mesti ditanya kan dia."

"Tapi dia itu orangnya polos. Masa sih..."

"Ah, mana kita tahu sih kalau dia pura-pura."

"Sudahlah. Jangan ngomongin sesuatu yang belum pasti. Pikirkan apa yang mesti kita lakukan. Lapor polisi tentang mantel itu?"

"Jangan dulu. Kau sudah ketahuan berbohong. Nanti nggak dipercaya lagi. Kita bisa susah."

"Abis gimana? Kita diam-diam saja? Pura-pura nggak ada apa-apa?"

Wijaya menggaruk-garuk kepalanya. Benar-benar gatal. Ia lupa tangannya kotor.

"Gimana kalau kita minta saran sama Nadia, Pa?" tanya Evita.

"Dia itu pintar."

"Tapi dia itu kan intelnya polisi."

"Ah, siapa bilang?"

"Ada aja yang ngomong. Satpam Barata juga tuh."

"Istilah itu jelek bener sih. Mereka kan mencari kebenaran. Bukan intel. Aku pikir nggak ada salahnya kalau kita ngomong sama Nadia, biar nanti Nadia yang meneruskannya ke Pak Robin."

"Toh kita tetap diinterogasi."

"Bukan interogasi dong, Pa. Ditanyain."

"Sama aja."

"Terserah kalau kau mau diam-diam saja." Evita tidak mau memaksa.

"Lantas mau kita apain mantel ini? Dimasukkan lagi ke tempat semula?"

"Bingung juga nih. Kalau kita diam-diam tapi nanti ketahuan, kita bisa dianggap menyembunyikan fakta. Bisa jadi urusan. Gimana kalau semua apartemen digeledah? Tapi kalau kita berterus terang, bisa dianggap berbohong juga. Aku suka kesal. Polisi kalau tanya suka muter-muter."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah tadi kaubilang, kita punya alibi yang kuat? Justru kalau kita kasih tahu secepatnya, dia akan tahu bahwa kita nggak bermaksud menyembunyikan. Kita kan nggak salah."

Semakin lama berbicara, Evita merasa semakin tenang. Ketakutannya sudah hilang. Ia bertekad untuk membujuk Wijaya.

"Aku akan minta maaf padanya karena telah berbohong. Aku rela kena sangsi atau omelan. Tapi yang penting kita sudah memperbaiki. Bukankah kita juga menginginkan kebenaran, Pa? Siapa yang mengambil mantel itu? Kalau kita diam-diam, justru keenakan orang itu. Dia nggak akan ditemukan."

Setelah berpikir lagi, Wijaya mengangguk.

"Baiklah. Kita laporkan. Tapi bagaimana caranya supaya nggak terjadi heboh di sini?"

"Kau setuju kalau aku menghubungi Nadia? Dia kan kenal baik sama Pak Robin. Minta saran padanya. Aku yakin dia juga senang bahwa mantel itu telah ditemukan."

"Baiklah. Sekarang juga?"

"Ya. Supaya ada saksi bahwa kita tidak mau mengulur-ulur."

Pertama-tama Evita menelepon Ava di seberangnya untuk meminta nomor telepon Nadia. Barulah ia menghubungi Nadia, sambil berharap gadis itu belum tidur.

Harapan Evita terkabul. Ia bercerita pada Nadia. Dan Nadia antusias sekali.

"Bagus, Evi! Sebaiknya mantel itu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diikat rapat, baru dibungkus lagi dengan kertas koran supaya nggak mencolok. Nanti bisa diperiksa di laboratorium forensik untuk dibandingkan dengan yang ditemukan di kamar Ani. Sekarang saya mau menghubungi Pak Robin dulu. Tunggu kabar, ya."

Sambil menunggu, Wijaya dan Evita membungkus mantel itu dan meletakkannya di kolong ranjang,

lalu mereka membereskan lagi tas tadi dan memasukkannya ke gudang. Setelah selesai keduanya mencuci tangan dengan intensif.

"Entah apa nanti polisi juga berniat memeriksa tas itu," kata Wijaya.

"Diperiksa juga percuma karena sidik jarinya mungkin sudah hilang oleh kita."

Tak lama sesudah itu, Nadia menelepon.

"Sebelumnya Pak Robin mengucapkan terima kasih karena kalian sudah bersedia melaporkan begitu cepat. Saya sudah bilang bahwa kalian nggak mau sampai heboh. Sebaiknya memang nggak diketahui siapa-siapa, termasuk Ningsih dan Bu Oni. Jadi supaya polisi jangan sampai mendatangi kalian lagi, gimana kalau barang itu dibawa saja ke tempat kos saya sekarang juga? Dititipkan di sini. Mungkin Pak Wijaya bisa mengantarnya? Kalau Evi tentunya harus jaga rumah, ya?"

Wijaya dan Evita sepakat. Dengan demikian mereka bisa secepatnya terlepas dari masalah itu.



Kepulangan Rama disambut dengan baik oleh Ava. Sikapnya lebih ramah dan hangat. Perubahan yang diperlihatkannya itu bukan semata-mata didorong oleh nasihat Nadia maupun kesadarannya sendiri, tapi juga oleh fakta yang didapat dari hasil autopsi Ani. Tidak ada sperma di dalam vaginanya, menandakan Rama berkata benar. Dia hanya minum-minum dan tidak main-main dengan Ani. Semula ia

takut oleh khayalan bahwa saat itu Agung melihat

perbuatan mereka. Jadi itu memang hanya khayalan.

Mereka membicarakan kondisi Agung. Kedua pihak berusaha menjaga ucapan. Ternyata usaha itu juga tidak mudah. Sesekali terselip juga nada-nada minor. Tapi karena segera diikuti dengan kata maaf, maka tak berlanjut menjadi pertengkaran.

"Ternyata nggak gampang ngikutin Bu Guru Nana," kata Ava.

"Mungkin belum terbiasa sih. Udah kelamaan sinis-sinisan."

Mereka saling memandang lalu tertawa. Untuk pertama kalinya setelah begitu lama mereka bisa tertawa dengan tulus, tanpa dibuat-buat.

"Besok kita nengokin Agung sama-sama ya, Ma."

"Ya."

"Nana sering ngomong sama Agung. Aku anggap itu menggelikan. Tapi kemudian aku pikir ada baiknya juga ditiru. Kau pernah ngomong sama Agung?"

"Belum. Aku cuma memandangi dia saja. Aku nggak tahu mau ngomong apa."

"Aku sudah ngomong tadi. Tapi waktu aku sendirian dan menghadap ke pintu supaya kalau ada yang masuk, aku bisa tahu."

"Oh ya? Kau ngomong apa?" Ava sangat ingin tahu.

"Aku ngaku dosa sama dia. Aku juga minta maaf

dan janji."

"Aduh, ngaku dosa? Nggak porno buat anak kecil?"

Rama mengerutkan kening, kemudian tertawa.

"Nggak dong. Kata-katanya kan dijaga."

Hampir terlontar dari mulut Ava.

"Awas, jangan kebanyakan janji gombal!" Tapi ia bisa menariknya kembali sebelum keburu keluar. Dan kemudian merasa bersyukur untuk itu.

Saat itulah datang telepon dari Evita yang menanyakan nomor telepon Nadia.

"Itu Evita dari seberang," kata Ava setelah menutup telepon.

"Mau apa sih dia?"

"Katanya ada urusan penting. Mau buru-buru, takut Nana udah tidur."

"Malam-malam begini pantasnya memang penting."

"Besok akan kutanyakan pada Nana."

"Ah, kau pengin tahu aja."

"Emangnya kau sendiri nggak kepingin tahu?"

"Ya pengin," Rama mengakui.

"Nah." Ava menjulurkan lidahnya. Tapi kemudian ia buru-buru menarik kembali lidahnya ketika Rama menghambur ke sisinya, memeluknya kemudian menciumnya. Mesra dan penuh gairah.

Setelah terkejut sebentar. Ava menyambut ciuman itu dengan sama bergairahnya. Sejak musibah yang menimpa Agung. bahkan sebelum itu, tak pernah

ada kemesraan di antara mereka. Lalu dengan sekali sentakan Rama mengangkat tubuh Ava dalam gendongannya, dan melangkah ke kamar.



Terima kasih, Nana!

Nadia sudah menunggu kedatangan Wijaya di teras rumah kosnya. Ia menerima bungkusan yang disodorkan Wijaya.

"Terima kasih Mbak mau menerima titipan ini. Kami bingung mau ditaruh di mana," kata Wijaya.

"Kalau dimasukkan kembali ke gudang, takut hilang. Tapi kalau ditaruh di kolong, rasanya nggak nyaman. Baunya sih nggak keluar dari bungkusnya, Mbak. Tebal kok. Plastiknya dua lapis dan korannya tiga lapis."

"Bau ya, Mas?"

"Wah, bukan main." Wijaya bercerita tentang pengalamannya bersama Evita ketika membongkar tas butut di apartemennya.

"Terus terang saya sendiri juga segan menerima titipan ini, karena barang itu membuat saya ikut nggak nyaman. Jadi saya sudah nelepon Pak Robin dan minta dia mengambilnya ke sini. Itu lebih baik daripada dia ke apartemen, kan? Nanti heboh. Kok polisi datang malam-malam ke tempat Mas."

"Ya, betul. Jadi dia mau ke sini?" Wijaya mulai resah. Tak ingin bertemu Robin.

Nadia melihat sikap Wijaya.

"Mestinya Mas bangga karena berani berterus terang. Evi memang berbohong tadi. Tapi kan sudah diperbaiki."

"Saya cuma takut dia macam-macam nanti."

"Macam-macam gimana?"

"Misalnya memeras. Katanya suka begitu."

"Ah, nggak. Dia nggak begitu. Kita harus pereaya tentang hal itu. Kalau nggak, bisa repot dong. Saya kagum sama dia. Orangnya rajin. Padahal gajinya kecil. Demikian pula biaya untuk penyelidikan. Karena itu dia baik sama kami, saya dan Barata, bukan untuk apa-apa, tapi supaya bisa mendapat bantuan gratis. Coba kalau pakai informan, kan mesti bayar."

Nadia tertawa. Wijaya ikut tertawa. Serta-merta pikiran negatifnya perihal Robin lenyap.

"Maukah Mas menunggu sampai dia datang? Ceritanya nanti saja kalau dia udah ada. Jadi nggak usah cerita dua kali. Tadi saya udah diceritai sama Evi, tapi nggak lengkap."

"Nggak apa-apa sudah malam begini?" tanya Wijaya sambil menoleh ke dalam rumah. Takut diusir pemilik rumah.

"Batasnya tengah malam. Asal kita nggak bikin ribut. Ngomongnya pelan saja."

Wijaya mengagumi dedikasi Nadia membantu Robin. Malam seperti itu mestinya dia sudah beristirahat dan sebentar lagi tidur.

"Ini untuk Agung, Mas. Dan tentu saja juga untuk kebenaran meskipun kedengarannya gombal,

ya?" jelas Nadia ketika Wijaya mengemukakan pemikirannya itu.

Robin datang sebelum mereka bosan menunggu. Tanpa buang waktu Wijaya segera menceritakan apa yang telah terjadi. Ia juga minta maaf bahwa Evita sudah berbohong.

"Saya sudah lihat gelagatnya tadi." kata Robin.

"Tapi nggak apa-apa. Itu reaksi wajar kok. Tapi sudah Anda perbaiki. kan? Saya berterima kasih untuk bantuan Anda ini. Jadi barang ini memang bau, kan? Bukan apa-apa. Saya mesti siap-siap kalau membukanya."

Mereka tertawa. Ketegangan Wijaya mengendur kemudian menjadi santai.

"Jadi apa yang mesti saya lakukan nanti, Pak?" tanya Wijaya.

"Memberitahu ibu saya dan Ningsih?"

"Oh, jangan. Diam-diam saja seakan nggak pernah ada masalah. Tolong sampaikan begitu juga pada Bu Evita. Dan satu hal lagi. tas itu sudah Anda kembalikan ke gudang?"

"Sudah, Pak."

"Sudah Anda letakkan persis di tempatnya semula pada saat Anda mengambilnya? Mungkin ada barang lain yang menindihnya lalu Anda pindahkan."

"Pulang nanti saya akan cek lagi, Pak."

"Baik. Terima kasih. Bila nanti saya perlu tambahan info atau Anda punya info baru, hubungi saya lewat telepon saja."

"Jadi sekarang saya bisa pulang?"

"Tentu saja. Terima kasih sekali lagi. Sampaikan hal yang sama buat Bu Evita."

Wijaya pergi dengan perasaan lega. Robin masih tinggal sejenak bersama Nadia.

"Mudah-mudahan barangnya memang sama." kata Robin.

"Jadi sudah jelas diambil dari mana. Memang nggak jauh-jauh."

"Kau yakin memang yang itu?"

"Ya. Mestinya kan ada dua, hilang satu."

"Siapa yang ambil? Ningsih atau Ani sendiri. karena dia suka main ke situ?"

"Kenapa harus melenyapkan sidik jarinya?" Robin balik bertanya.

"Oh, iya."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau Wijaya dan Evita nggak punya alibi kuat. karena hari itu ada di Semarang, pastilah mereka sudah dicurigai."

"Ya. Dia juga bilang begitu tadi."

"Kasusnya jadi menarik. Oh ya, saya kok menyalahi prosedur." kata Robin. berhenti melangkah ke motornya yang diparkir.

"Kenapa?" tanya Nadia heran.

"Pada saat Wijaya masih ada. seharusnya bungkusan itu dibuka dulu untuk memastikan isinya benar seperti yang dia katakan. Lalu bikin tanda terima. Gimana kalau isinya kosong?"

"Kau mau membukanya?" tanya Nadia dengan ekspresi jijik. Ia melangkah mundur dan menutup hidungnya.

Robin tertawa. Ia meneruskan langkahnya lalu memasukkan bungkusan ke dalam bagasi motor.

"Saya percaya kok. Masa sih Wijaya membohongi saya? Dia pasti nggak berani."

Nadia merasa lega. Ia sudah membayangkan akan berangkat tidur dengan bau tak sedap melekat pada penciumannya. Tapi memang bukan itu yang dipikirkannya. Besok pasti Ava akan bertanya mengenai telepon Evita itu. Apa yang mesti dikatakannya? Bahwa ada seseorang berkeliaran memindahkan mantel bau dari gudang Wijaya ke dalam apartemennya?

Sebelum melanjutkan perjalanan Robin menelepon Barata. Ia berharap Barata belum tidur. Kalaupun sudah, tak apa-apalah bangun sebentar.

"Bara, ini Robin. Sori mengganggu. Boleh ke rumahmu sekarang? Kalau nggak, besok saja. Tapi ada sesuatu yang kubawa, yang pasti menarik juga buatmu."

"Oh ya? Apa itu?"

"Sebuah mantel hitam."

"Ah, sudah selesai pemeriksaannya? Ngapain kaubawa ke sini?"

"Oh, yang ini lain. Tapi mungkin kembarannya. Sebenarnya saya belum lihat. Dari tempat Nana barusan. Dia nggak mau bungkusannya dibuka karena bau. Mendingan aku ke tempatmu aja. Supaya jelas.

Nanti kita periksa sama-sama. Kau sudah kebal sama baunya, kan? Siapkan aja saputangan atau masker kalau punya."

Barata tertawa. Ia menyilakan Robin datang ke tempatnya.

Di rumahnya, Barata sudah menunggu. Di lingkungan kampungnya, Robin sudah dikenal sebagai polisi yang mengantarkannya pulang sesudah musibah itu. Ia juga bercerita bahwa Robin sedang menyelidiki peristiwa yang cukup menarik warga kampungnya. Jadi warga tidak lagi menaruh curiga kenapa Robin datang malam-malam.

Begitu tiba Robin sudah mengucapkan terima kasih karena Barata bersedia menerimanya malam-malam. Hampir jam sebelas. Bukan waktu yang sopan untuk berkunjung.

"Pasti penting. Saya juga pengin tahu, Rob. Kalau nunggu besok mungkin saya malah nggak bisa tidur."

"Saya juga begitu. Soalnya saya ingin mendiskusikannya denganmu."

Barata merasa tersanjung. Kenapa justru dengan dia? Apakah Robin tidak punya partner yang lebih profesional dalam pemikiran?

"Justru saya perlu pemikiran orang-orang yang amatir. Bar. Tapi bukan sembarang orang, melainkan orang yang sudah sangat mengenal lingkungannya," jelas Robin.

Barata mengangguk. Perhatiannya fokus pada bungkusan yang diletakkan Robin di lantai ruang tamu.

"Bener nggak apa-apa dibuka di sini, Bar? Saya jadi nggak enak bikin polusi udara di rumahmu."

"Ala, kau ngomong seakan benda ini luar biasa, layaknya bom atau beracun kayak apa. Bukankah isinya mantel seperti di kamar Ani dan baunya kirakira kayak gitu?"

"Ya."

"Saya bisa tahan kok. Ayolah dibuka."

Untunglah Wijaya tidak terlalu rumit membungkusnya. Koran tiga lapis terbuka, lalu kantong plastik besar dua lapis. Begitu kantong terbuka, baunya keluar. Tapi kedua lelaki itu bergeming. Tidak sampai terjatuh seperti Wijaya atau berteriak seperti Evita.

Robin mengeluarkan sepasang sarung tangan karet dari sakunya.

"Sudah disiapkan dari rumah," katanya sambil mengenakan sarung tangan tersebut.

"Kan sudah ada sidik jari Wijaya di situ," kata Barata.

"Ya, nggak apa-apa. Aku cuma nggak mau mengacak-acak saja. Nanti biar forensik yang periksa lebih teliti."

Isinya memang benar mantel hitam yang bentuknya persis seperti yang ditemukan di kamar Ani.

"Nggak salah lagi. Baunya juga sama. Berarti dikeluarkan dari tempat yang sama. Dugaan Wijaya benar," kata Robin.

Ia melipat kembali mantel hitam itu lalu memasukkannya ke dalam kantong seperti semula. Dan

membungkusnya dengan kertas koran yang tadi juga. Ia membuka sarung tangannya lalu memasukkannya ke dalam saku.

"Saya permisi cuci tangan dulu ya, Bar. Nanti kita bicara lagi."

"Bukankah kau pakai sarung tangan?" Barata tertawa.

"Nggak enak aja rasanya. Sudah biasa sih."

Ketika Robin mencuci tangan, Barata menyiapkan minuman. Ia punya dua kaleng Coca-cola dingin.

"Jadi siapa yang paling kaucurigai?" tanya Barata.

"Menurutmu?" Robin balas bertanya.

"Ningsih," sahut Barata tanpa berpikir lama.

"Tapi dia kelihatan kaget waktu melihat mantel itu tergantung di belakang pintu. Setan, katanya."

"Bisa aja dia pura-pura. Kenapa pula dia harus menyebut setan. Mungkin bukan mantelnya, tapi seseorang yang dia maksudkan dengan setan. Atau seseorang yang jahat menurutnya," pendapat Barata.

"Dia memang harus lebih diamati. Saya sudah pesan sama dia, kasih tahu aja soal mantel itu pada majikannya. Rupanya dari percakapan dengan Evita, dia nggak memberitahu. Saya pikir dia lupa atau menunggu saat yang tepat. Maklum, dia mesti mengurusi nenek tua."

"Tapi motifnya apa, Rob? Bukankah dia dan Ani bersahabat?"

"Keduanya mencintai orang yang sama. Si Gito

itu. Tapi rupanya Gito itu lelaki tipe buaya darat. Sadar disukai dua cewek, dia makan saja dua-duanya."

Robin bercerita tentang percakapannya dengan Ningsih.

"Memang dia nggak mengaku. Tapi nggak sulit memperkirakan. Cuma yang belum pasti apakah dia memang hamil atau nggak."

"Pantas Parto melihatnya sedang menangis."

"Tapi dia nggak ngaku, kan?"

"Lantas buat apa dia melakukan itu? Didorong kebencian kepada Ani?"

"Mungkin. Satu-satunya yang punya kesempatan paling besar untuk menggeratak isi gudang Wijaya adalah orang dalam. Ningsih satu-satunya orang yang punya kesempatan dan kemampuan. Si Nenek tentu nggak bisa diperhitungkan. Lalu dia juga bisa masuk apartemen Rama dengan mudah. Bukan dengan kunci palsu. Tapi cukup dengan mengetuk pintu. Ani akan membukakan untuknya. Lalu ada lagi keterangan lain yang meragukan. Pada hari Minggu pagi saat kejadian, katanya dia bangun kesiangan. Anehnya si nenek juga ikut kesiangan. Kok bisa sama-sama begitu, ya? Kebetulan kedua majikannya sedang nggak di rumah. Mungkin dia tahu Rama dan Ava pulang dinihari, jadi pasti bangunnya siang. Kalau dia mendatangi Ani pagi-pagi, kemungkinan besar kedua orang itu masih tidur."

Barata terkejut.

"Jadi menurutmu dia yang melempar Ani ke bawah? Mereka berdua punya fisik yang sama besar. Kekuatannya berimbang."

"Jangan lupa. Ani sedang mabuk. Mungkin dirayu dulu, dibujuk supaya minum."

"Lalu si Agung?"

"Bisa jadi Agung berada di tempat yang salah. Ia korban yang tak disengaja."

"Tapi saya bingung nih, Rob. Buat apa pula dia bawa-bawa mantel bau itu ke kamar Ani? Nggak perlu, kan? Dia malah merepotkan diri sendiri. Apalagi dia pasti menaruhnya setelah kejadian. Berarti dia harus membuang waktu lebih lama."

"Dia bilang, mantel itu kayak setan."

"Jadi dia menyamakan Ani dengan setan?"

"Mungkin saja. Tapi itu semua baru teori, Bar."

"Saya jadi bingung menilai orang, Rob. Mestinya orang kayak saya yang tampangnya sangar bisa dianggap punya kemampuan berbuat jahat. Bukan perempuan muda yang lugu dan sepertinya tak berdaya itu."

"Jangan meremehkan perempuan, Bar."

Barata mengangguk dengan perasaan ngeri. Selama ini perempuan yang dikenal dekat olehnya adalah orang-orang yang lembut dan baik hati.

"Harusnya si nenek bisa ditanyai juga mengenai apa yang terjadi di Minggu pagi itu. Betulkah Ani kesiangan? Apa iya si nenek sebegitu manisnya hingga membiarkan si Ani kesiangan tanpa memarahinya?" kata Barata.

"Saya tidak ingin melibatkan si nenek sampai saat terakhir ketika memang tak ada jalan lain. Sedapat mungkin sih nggak. Kasihan orang udah tua."

"Betul juga. Lantas apa yang mau kaulakukan terhadap Ningsih?"

"Saya pesan sama Wijaya agar bersikap biasa saja. Jangan sampai Ningsih menyangka apa-apa. Saya nggak bisa menuduh atau menangkapnya karena semua baru teori. Apalagi sangkaannya nggak main-main. Selama ini kita amati saja dulu. Saya pikir harus ke sana lagi, tapi pilih waktu malam hari ketika si nenek dan Ningsih sudah tidur. Mungkin besok malam. Saya akan membawa petugas labfor untuk memeriksa sidik jari di gudang."

Robin pamit dengan membawa bungkusan itu.

"Terima kasih untuk bantuanmu, Bar."

"Saya juga terima kasih karena diajak bicara."

Malam itu Barata bermimpi tentang mantel hitam yang bisa terbang kemudian berubah menjadi burung hitam. Mimpinya itu terasa begitu riil sehingga ia terbangun dengan berkeringat dingin. Bahkan sesudah bangun pun ia serasa masih melihat burung itu mengepak-kepakkan sayapnya di tengah kamar!

Perasaannya begitu tak enak, sehingga ia memutuskan untuk menelepon Robin saat itu juga. Sahutan Robin terdengar malas, seperti orang yang tibatiba dibangunkan dari tidurnya. Tapi setelah Barata bercerita tentang mimpinya, suara Robin langsung berubah jadi bersemangat.

"Saya nggak meremehkan mimpimu, Bar. Kirakira artinya apa ya?"

"Sava takut itu bertanda kematian. Tapi mudah

mudahan bukan karena itu cuma mimpi, bukan sesuatu yang kulihat secara nyata. Entah ada bedanya atau tidak. Tapi saya jadi ingat pada sosok ketiga yang kulihat waktu Ani dan Agung jatuh. Kira-kira kayak gitu. Semula tampak seperti orang atau mantel, lalu hilang karena dia berubah jadi burung. Mungkin itu penjelasan bahwa memang ada hubungan antara mantel hitam dengan kasus ini."

"Saya setuju. Nyatanya anak buah saya telah mencari dengan seksama di sekitar gedung tapi tidak menemukan sesuatu benda hitam, apa pun itu. Kalau jatuh di luar gedung pasti nggak mungkin, karena terlalu jauh. Kau masih memikirkannya rupanya, ya? Mimpi itu sudah menjelaskan, jadi kau nggak perlu kepikiran lagi."

"Ya. Terima kasih. Sori mengganggu."

"Nggak apa-apa. Tidurlah lagi."

Barata memejamkan mata. Ia berhasil tidur kembali tanpa mimpi.



ESOKNYA, pagi-pagi Nadia sudah ditelepon Ava untuk menanyakan maksud telepon Evita kepadanya semalam. Untunglah semalam Nadia sudah memikirkan jawaban yang harus ia berikan. Ia sudah terlalu mengenal Ava hingga yakin sebaiknya tidak mengatakan yang sebenarnya. Dalam hal itu ia memang tidak bisa menanyai Robin apakah sebaiknya bercerita atau tidak. Robin tidak memintanya merahasiakan hal tersebut. Jadi ia mengandalkan pemikirannya sendiri. Ia juga sadar sepenuhnya bahwa Robin mengajaknya berdiskusi dan membagi info yang diperolehnya bukan untuk disebarluaskan atau dijadikan bahan gosip. Robin percaya padanya.

Ia tak mau bercerita kepada Ava bukan karena Ava tidak bisa menyimpan rahasia. Tapi khawatir Ava akan gelisah dan ketakutan karena berpikir orang luar bisa seenaknya memasuki apartemennya

tanpa ketahuan. Nanti ia tidak lagi merasa aman dan tenang hingga semakin mengganggu kehidupannya. Padahal sudah cukup banyak masalah yang menekan perasaannya.

"Masalah bisnis. Mbak," ia berbohong. Berbohong untuk kebenaran.

"Bisnis apa sih, Na?" Ava tidak puas.

"Evi dan suaminya ingin bikin iklan. Dia tanya prosedur."

"Oh, begitu."

Dari nada suaranya kedengaran Ava tidak lagi bersemangat. Pasti tidak tertarik.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau sudah segar sekarang, Mbak?" Nadia segera mengalihkan topik.

"Oh, ya. Segar nih. Nanti pergi bareng sama Rama. Bantu dia di kantornya baru ke fitnes. Sore menjenguk Agung sama-sama."

"Wah..." Nadia merasa tidak perlu lagi bertanya. Suara Ava yang ceria sudah menjelaskan. Ia senang karena usahanya membuahkan hasil.

"Kebetulan sekali, Mbak. Sebentar saya nggak bisa menjenguk Agung. Mau lembur," ia berbohong lagi. Bukan karena tak ingin menjenguk Agung, tapi ingin membiarkan kedua orang itu berduaan tanpa merasa risi terhadapnya.

"Ya sudah. Nggak apa-apa. Kalau ada perubahan nanti kami kasih tahu."

Nadia tersenyum ketika menutup telepon. Ia tidak menyangka bahwa upayanya mendamaikan kedua orang itu bisa berhasil. Ia merasa lega. Itu adalah

pertanda bahwa sebenarnya Rama dan Ava masih saling mencintai. Jadi yang menyebabkan keberhasilan bukanlah nasihatnya, melainkan kehendak dan usaha mereka sendiri. Ia cuma memberi gelitikan yang "membangunkan macan tidur". Memang pada suatu saat nanti bisa saja keduanya bertengkar lagi, tapi pelajaran sebelumnya bisa membuat mereka lebih mampu memperbaiki diri. Sayang sekali kalau mereka sampai bercerai. Betapa banyaknya pasangan seperti itu yang sebenarnya bisa diselamatkan asal "dibangunkan" dengan benar.

Siang di kantornya ia ditelepon Robin.

"Sudah ada hasil, Mbak. Mantel itu identik. Baunya juga sama. Jadi sudah jelas asalnya dari mana."

"Sidik jari?"

"Ada beberapa. Masih diteliti. Nanti akan dicocokkan dengan kepunyaan Wijaya. Dia yang terakhir memegang dan melipatnya. Sedang Evita katanya tidak menyentuhnya."

"Nanti malam jadi ke sana?"

"Oh, iya. Saya akan nunggu sinyal aman dulu dari Wijaya baru kami ke tempatnya."

"Maksudnya aman dari Ningsih dan si nenek?"

"Ya."

"Baiklah. Oh ya. saya nggak cerita sama kakak saya. Waktu dia tanya ada urusan apa saya dengan Evita, saya bilang bisnis. Saya nggak ingin dia jadi cemas, Pak. Kalau kau ketemu Evita, tolong sampaikan hal yang sama."

"Baik. Tapi saya yakin dia dan Wijaya tidak sebodoh itu untuk bercerita ke sana kemari. Tanpa diminta pun mereka akan menjaga rahasia. Barata sudah tahu tentang mantel itu. Semalam saya bawa ke rumahnya untuk diteliti bersama."

Usai bicara dengan Robin, Nadia menelepon Barata.

"Kamu tugas. Bar?"

"Oh iya, Mbak. Sekarang dinas sore sampai malam."

"Malam jam berapa?"

"Jam sembilan. Terus diganti sama yang jaga malam."

"Udah tahu Pak Robin mau ke sana nanti malam?"

"Udah, Mbak. Tapi dia bilang saya nggak usah nungguin dia. Nggak enak kalau dilihat orang saya dekat-dekat polisi. Nanti dikira apa. Pikir-pikir bener juga. Entar saya pasti ditanya kiri-kanan. terutama oleh Pak Hendra. Mereka pengin tahu juga. Kalau saya nggak kasih tahu, nanti dikira sombong."

"Ya. benar juga, Bar. Kan nanti kita juga dikasih tahu oleh Robin. Eh. bagaimana situasi di sana?"

"Biasa-biasa aja, Mbak. Tenang, nggak ada yang luar biasa. Tampaknya para penghuni nggak terusik oleh peristiwa itu. Nggak ada yang angkat koper."

"Tentu saja. Itu kan bukan salah apartemennya, tapi orangnya."

"Betul sekali." Barata tertawa.

Pembicaraan dengan Barata membuat Nadia terhibur.

Rama dan Ava datang bersama-sama ke rumah sakit. Ava mempersilakan kerabatnya yang sedang menunggui untuk pulang saja. Dia akan menginap di situ, sedang Rama pulang nanti malam. Besok seorang kerabat yang lain akan datang mengganti posisi Ava.

Selama Agung dirawat baru kali itu mereka hadir berdua dalam situasi yang rukun.

"Lihat, Gung, Papa dan Mama datang sama-sama menjengukmu," kata Ava.

"Iya, Gung, kami sudah berdamai," sambung Rama.

"Kemarin Papa sudah cerita banyak sama kamu, kan? Dia menyesal, Gung. Dan berjanji besok-besok nggak akan begitu lagi. Orang yang menyesal itu mesti didukung dan dipercaya, Gung." Ava melirik Rama yang tersenyum saja.

Ava membelai rambut Agung yang kusut. Ia merapikannya.

"Duh. rambutmu sudah berminyak. Sayang nggak bisa keramas, ya?"

"Nggak apa-apalah berminyak sedikit. Agung tetap cakep kok," kata Rama.

Ava mengusap pipi Agung.

"Tapi kamu kelihatan kurus. Habis makannya infus melulu sih. Nanti kalau sudah sembuh kan harus makan banyak, ya?"

Ucapan itu membuat Rama menjadi sedih. Ia baru menyadari bahwa Agung memang menjadi kurus. Padahal baru seminggu lebih. Bagaimana kalau sampai lama sekali?

Ava menoleh dan menatap Rama. Ia memeluknya. Sambil berpelukan mereka memandangi Agung.

"Ayo, Ma, ngomong lagi," Rama menganjurkan.

Ava menyusut matanya.

"Mama juga mau minta maaf, Gung. Selama ini Mama terlalu egois. Kurang perhatian sama kamu. Membiarkan kamu lebih banyak bersama Ani. Nanti nggak lagi begitu, Gung. Nanti kita akan berunding, bersama kamu tentu saja, bagaimana sebaiknya mengatur kebersamaan kita. Sungguh Mama menyesal telah membuat kamu menderita selama ini, Gung. Tante Nana bilang kau sering melihat Papa dan Mama berantem, ya? Aduh, Gung, nggak lagi deh. Pasti keadaan akan berubah bila kau bangun nanti. Ayolah, Gung, cepat bangun dan bergabung lagi bersama kami. Rumah jadi sepi tanpa kamu, Gung."

Lalu Ava menyikut Rama.

"Sekarang giliranmu."

"Benar sekali ucapan Mama, Gung. Papa juga menyesal. Sebetulnya bukan Papa nggak sayang dan nggak perhatian sama kamu, tapi Papa takut sama tatapanmu. Kau nggak suka sama Papa karena Papa brengsek, ya? Tapi kalau Papa nanti bisa membuktikan bahwa Papa nggak seperti dulu lagi, kau akan sayang sama Papa, kan?"

Saat Rama berbicara Ava mengamatinya. Sulit

dipercaya bahwa Rama bisa bicara seperti itu sekarang. Pengaruh Nadia atau dorongan rasa sayangnya kepada Agung?

"Mama yakin kamu sayang sama Papa. Yang kamu nggak suka kan perbuatannya, bukan orangnya. Pada saat ini Mama senang sekali karena Papa sudah menyatakan tekadnya untuk berubah. Tidakkah kamu juga senang, Gung?"

Ava diam sejenak, mengamati tajam wajah Agung. Sepertinya dia melihat bibir Agung lebih merekah. Tersenyumkah dia?

"Ya, pasti kamu senang juga," lanjutnya dengan bersemangat.

"Kita akan menjadi keluarga yang rukun. Nanti kita nonton bertiga, ya? Jangan sama Tante Nana melulu. Atau dia diajak juga? Ya, terserah kau deh. Sekali-sekali kita pergi berempat. Tante Nana memang pinter membahas film. Katanya nanti bakal banyak film animasi yang mau diputar. Kalau kamu nggak bangun-bangun, lewat tuh film. Kan sayang."

Ava sudah lancar berbicara. Rama suka mendengarnya dan sesekali tersenyum.

"Kayaknya aku melihat dia tersenyum, Pa. Kau lihat nggak?" bisik Ava.

"Oh, ya? Aku lebih banyak lihatin kau."

"Ah, kau ini," Ava menyikut pelan. Tapi ia senang oleh ucapan itu. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Rama. Matanya dipejamkan. Ketika membuka lagi, ia memandang Agung. Lalu tersentak.

"Pa!" serunya.

"Lihat jari Agung, goyang-goyang tuh!"

Mereka lebih mendekat. .Jari manis Agung sebelah kanan, di sisi tempat mereka duduk, tampak bergoyang-goyang pelan. Ava segera mengulurkan tangannya, lalu menyentuh jari manis itu dengan telunjuknya. Ia memain-mainkannya untuk merasakan gerakannya, sampai tiba-tiba jari manis itu mengait pada telunjuknya!

Mereka berdua melompat berdiri, membungkuk di atas Agung dan mengamatinya dengan cermat.

"Gung! Sudah bangun, Gung?" panggil Ava.

"Ya, bangun, Gung! Bangun!" Rama menimpali.

Pintu terbuka. Perawat menghambur masuk.

"Ada apa? Ada apa?" tanyanya.

"Jari manisnya bergerak, Sus. Tuh lihat, masih ngait jari saya."

"Wah, bagus sekali. Dia pasti bereaksi terhadap ucapan-ucapan orangtuanya. Terus saja bicara, Bapak dan Ibu. Suara-suara bisa merangsang otaknya."

Ucapan perawat itu membuat Rama dan Ava saling melirik. Tadi mereka duduk membelakangi pintu. Apakah perawat itu mendengarkan diam

diam?

Setelah perawat keluar, mereka bergegas mendekati Agung lagi.

"Ayo, Gung, cepat bangun. Tadi Agung tersenyum, kan?" kata Ava.

"Senyum lagi dong," Rama berkata dengan nada memohon.

"AYO. nanti dikitik-kitik."

Setelah berkata begitu Ava menggelitiki telapak kaki Agung. Sedang Rama mengusap-usap jari jarinya, berharap ada gerakan. Tapi Agung tak bereaksi. Putus asa Ava memeluk Rama.

"Paa... tadi nggak salah lihat, kan? Kau juga lihat, kan?"

"Ya, ya. Aku juga lihat. Sabarlah. Mungkin Agung perlu waktu."

Saat keduanya berpelukan. bibir Agung membentuk senyum. Rama melihatnya lalu melepas pelukan Ava.

"Maaa! Lihat!"

Kembali mereka menubruk Agung. Kali ini mereka memelototi senyum Agung. Senyum yang terindah di dunia!

Sesudah senyum, mereka tentu berharap masih ada lainnya.

"Matanya dibuka, Gung! Ngomong dong!"

Sampai kemudian mereka sadar, sebaiknya tidak menuntut terlalu banyak. Bukankah senyum sudah merupakan awal yang baik?

Saat itu Nadia sudah tiba di tempat kosnya dan berencana untuk menghabiskan waktu dengan menonton DVD yang barusan disewanya. Lalu HP-nya berbunyi. Semula ia mengira ada berita dari Robin

meskipun tak yakin kenapa bisa secepat itu. Lalu ia membaca pesan dari Ava. Segera ia berteriak,

"Aku mau ke sana! Aku juga ingin lihat senyummu, Gung!"

Pukul sembilan malam itu Robin dan seorang petugas forensik berpakaian preman sudah berada di lobi Srigading. Mereka membaca koran. Sama sekali tidak mencolok. Kepada Hendra, Robin mengatakan sudah punya janji dengan Wijaya untuk wawancara dan memeriksa apartemennya. Sengaja datang malam-malam supaya tidak mengganggu Bu Leoni yang biasanya sudah tidur.

"Apa ada yang mencurigakan, Pak?" Hendra ingin tahu.

"Nggak sih. Pak Wijaya sendiri yang minta pemeriksaan sidik jari di tempatnya."

"Oh, begitu." Hendra tidak puas tapi tidak berani mendesak.

Pukul sepuluh baru Wijaya mengontak Robin dengan mengirim SMS. Robin dan rekannya segera menuju lantai tujuh.

"Maaf, sudah menunggu lama, Pak," begitu ucap Wijaya setelah menyilakan kedua petugas itu masuk.

Evita menyambut dengan senyum. Wajahnya terlihat tegang.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak apa-apa. Semakin malam semakin meyakinkan," sahut Robin sambil melirik kamar Leoni yang tertutup rapat.

"Anda yakin dia sudah tidur?"

"Ya. Tadi kedengaran dengkurnya. Tapi sebaiknya kita ngomong pelan saja dan nggak berisik."

"Bukankah dia ?" Robin menunjuk telinganya. Tidak enak mengucapkan kata "tuli" atau "budek".

"Untuk amannya saja, Pak," kata Wijaya sambil tersenyum.

Robin mengerti. Ia sudah mendengar kisah Barata yang bicara pelan tapi sepertinya bisa dipahami Leoni.

Mereka diajak ke ruang belakang di mana gudang berada, bersebelahan dengan dapur.

"Barang itu memang sama. Pak. Keduanya identik. Demikian pula baunya." Robin memberitahu.

"Jadi benar," kata Evita.

Wijaya membuka gudang. Ia menunjuk tas butut yang tertindih oleh sebuah koper dan tumpukan majalah.

"Saya ingat seperti itulah tadinya sebelum saya angkat tasnya," kata Wijaya.

Robin mengangguk lalu menyilakan rekannya memeriksa sidik jari yang bisa ditemukan pada benda-benda yang menindih tas tersebut. Kemudian ia mengenakan sarung tangan dan segera memindahkan benda-benda itu hingga tas bisa diperiksa lebih seksama. baik luar maupun dalam. Saat rekannya mengerjakan hal itu, Robin mengajak Wijaya dan Evita ke dapur untuk berbincang.

Ia melepas sarung tangannya, lalu mencuci tangan. Evita menghidangkan minuman yang sudah ia siapkan di kulkas. Tanpa malu-malu Robin menegak jus jeruknya, lalu, menyusul, air putih. Nikmat sekali setelah sejam menahan haus. Di lobi tadi tidak ada yang memberinya minum.

"Sudah berapa lama barang-barang rongsokan itu disimpan, Pak?"

"Tasnya milik ibu saya, dibawa ke sini sejak pindah," sahut Wijaya.

"Nggak boleh dibuang. Harus dibawa. Dulu ia kami paksa pindah. Saya memberinya pilihan. Masuk panti atau apartemen. Kalau isi tas itu tersimpan lebih dari setahun. Persisnya nggak ingat. Karena lemari di kamar sudah penuh, terpaksa dipindahin ke sini."

"Tas itu sudah bolong-bolong, kok masih dipakai menyimpan barang? Kenapa nggak dimasukkan koper saja?"

"Soalnya koper itu kan masih bagus. Masih dipakai kalau sewaktu-naktu ke luar kota. Jadi nggak mungkin diisi barang yang nggak terpakai. Repot dong mesti dikeluarkan dulu."

"Kedua mantel itu pasti kepunyaan Anda berdua?"

"Betul."

"Ibu Leoni nggak punya?"

"Dia punya warna lain dan nggak pakai tudung. Digimpan di lemarinya sendiri di kamar."

"Kedua mantel itu kan masih bagus, kenapa sudah dijadikan rongsokan?"

"Sejak anak saya meninggal, kami nggak pernah ke luar negeri. Apalagi kemudian ibu saya kena stroke dan jadi lumpuh. Jadi buat apa menyimpan barang menyesakkan itu di lemari?"

"Apa bisnis Anda nggak mengharuskan Anda ke luar negeri?"

"Saya kirim wakil saja. Kalaupun saya harus pergi, saya akan pilih musim panas. Saya nggak tahan dinginnya."

"Negeri mana yang Anda sering kunjungi untuk bisnis?"

"China. Bisnis saya barang-barang produk sana."

"Apa sejak dulu ibu Anda itu galak?"

Wijaya tak segera menjawab. Ia menatap istrinya sebentar, tapi Evita memandang ke arah lain.

"Sebenarnya galak sih nggak, tapi dia agak otoriter. Saya anak satu-satunya, jadi begitulah."

"Ya. Saya mengerti. Banyak ibu yang cenderung bersikap begitu terhadap anak lelaki yang semata wayang."

Wijaya mengangguk. Ia jadi senang berbicara dengan Robin. Tak ada kesan interogasi.

"Kenapa dia tidak pakai hearing aid saja, supaya gampang diajak bicara? Nggak perlu teriak-teriak."

"Dia nggak mau. Pak. Keras kepala. Seharusnya dia bisa jalan kalau mau rajin berlatih fisioterapi. Ada pelatih yang bisa dipanggil untuk memijit ototototnya dan melatihnya berjalan pakai alat. Tempo hari latihannya di rumah sakit. seminggu tiga kali. Kata pelatihnya dia sudah banyak kemajuan. Tapi kemudian dia mogok. Enakan di kursi roda, katanya. Bahkan kalau lagi males, memutar sendiri kursi rodanya pun dia nggak mau. Kadang-kadang saya pikir, otaknya juga sudah nggak beres. Mungkin pengaruh stroke itu. ya?"

"Ada orang yang kena stroke sampai dua kali, tapi pikirannya masih bagus, Pak. Tapi tentu saja

lain orang lain pula kondisi fisiknya. Lantas bagaimana kalau dia mau ke kamar mandi? Apa si Ningsih kuat menahan berat tubuhnya?"

"Oh, kalau soal itu dia nggak males. Pak. Di kamar mandinya yang ada di dalam kamar saya pasangi pegangan di dinding dan pas depan toilet. Juga di sisi ranjang dan di atasnya. Supaya dia bisa berpegangan dan menahan tubuh kalau mau turun atau naik kursi roda. Dia malu kalau mesti dimandiin atau diceboki orang. Tugas Ningsih menjaga supaya lantai kamar mandi nggak licin. Dia juga nunggu di depan pintu kamar kalau ibu saya lagi mandi, supaya kalau ibu saya perlu sesuatu dia bisa dengarnya."

"Nunggunya di depan pintu kamar? Bukan di depan pintu kamar mandi?"

"Depan pintu kamar. Mungkin ibu saya takut kalau si Ningsih menggeratak atau lihat ini-itu di kamarnya. Maklum orang tua."

Robin mengangguk. Ia beralih pada Evita.

"Bagaimana dengan Ningsih, seperti yang Anda lihat hari ini?"

"Dia kelihatan murung," sahut Evita.

"Hari ini saya nggak ke kantor dengan alasan nggak enak badan, supaya bisa ngawasin dia. Dia banyak ngelamun. Pikirannya seperti melantur. Kalau diajak ngomong sampai dua-tiga kali baru dengar. Biarpun diomelin Bu Leoni, tetap aja begitu."

"Anda nggak melihatnya masuk gudang hari ini?"

"Sejauh pengamatan sih nggak."

"Anda nggak bertanya kenapa dia seperti itu?"

"Katanya nggak enak badan. Saya bilang, bagaimana kalau kita ke dokter sama-sama? Biar Bapak yang jaga Ibu Leoni. Dia nggak mau. Minta obat masuk angin aja, katanya. Saya kasih obat yang bisa bikin ngantuk. Lalu saya suruh tidur. Tapi Bu Leoni belum mau tidur. Terpaksa saya yang nemenin dia. Wah, dia jadi cerewet kalau sama saya. Biasanya jam sembilan dia sudah tidur. Ini sampai jam sepuluh."

"Apa rencana Anda besok?"

"Saya kira besok saya akan tetap di rumah lagi. Nggak enak kalau ditinggalkan."

"Baguslah. Kan bos Anda suami sendiri."

Evita tersenyum melirik suaminya. Wijaya membalas senyuman itu. Robin melihatnya dan menganggap mereka cukup harmonis.

Akhirnya rekan Robin selesai dengan pekerjaannya. Ia mencuci tangan dulu, kemudian bergabung. Ia menghabiskan minumannya sekali teguk. Evita buru-buru mau mengambil minuman lagi. tapi dicegah Robin.

"Sudah cukup. Bu. Terima kasih."

"Kita perlu sidik jari Bu Leoni sebagai pembanding," kata si petugas forensik.

"Oh iya. Kita belum punya contohnya. Apakah ada barang yang baru saja dipegang Bu Leoni?" tanya Robin.

"Ya. Ada. Gelas minumnya di meja depan. Untung

belum saya cuci. Tapi bukan cuma sidik jari dia yang ada di situ, punya saya juga ada." kata Evita.

"Nggak apa-apa. Kami bawa saja gelasnya. Ada kantong plastik, Bu?"

Mereka berempat berhenti dulu di depan gudang yang masih berantakan. Menatapnya sejenak.

"Biar nanti saya yang beresin," kata Wijaya.

Tiba-tiba ada yang memekik. Mereka terkejut menoleh. Ternyata Ningsih berdiri di depan kamarnya. Rupanya ia terkejut sekali melihat kehadiran Robin dan rekannya. Mulutnya terbuka dan wajahnya pucat.

"Oooh... a-a-ada apa?" tanyanya.

"Nggak ada apa-apa. Mau ke mana?" tanya Evita.

"Ma-mau ke be-belakang, Bu."

"Pergilah."

Ningsih melangkah gontai. Tampaknya masih digelayuti kantuk. Keempat orang di depan gudang menyisih memberi jalan. Sambil berjalan melewati gudang yang pintunya terbuka, ia melirik ke dalamnya. Keempat orang tak bisa melihat ekspresinya. Setelah ia lewat, pintu gudang buru-buru ditutup kembali oleh Wijaya.

"Jangan dikunci," kata Robin pelan.

Peristiwa itu memang di luar dugaan. Tak ada yang menyangka bahwa Ningsih akan keluar dan memergoki kehadiran Robin. Ia tentu bisa memperkirakan apa yang dilakukan polisi di situ. Jelas bukan bertandang biasa.

Sebelum Ningsih keluar dari kamar mandi, Robin dan rekannya buru-buru pamit.

"Nanti saya mesti bilang apa kalau dia tanya?" tanya Evita.

"Saya yakin dia nggak akan tanya."

"Tapi kalau dia tanya?"

"Bilang saja pemeriksaan rutin. Semua gudang di apartemen ini diperiksa polisi. Tapi nggak tahu apa yang dicari karena polisi nggak ngasih tahu."

"Baik, Pak."

Setelah Robin dan rekannya pergi, Wijaya buruburu memasang televisi. Dia dan istrinya duduk di depan televisi seolah sedang menonton. Mereka melihat Ningsih muncul dari belakang, berdiri sejenak menatap mereka dengan ragu-ragu, entah mau bertanya atau menunggu ditanya, tapi kemudian ia berjalan terus ke kamarnya.

Wijaya dan Evita saling memandang.

"Wah, nggak sangka dia bangun, ya?" bisik Evita.

"Obatnya kurang keras."

"Dia masih ngantuk. Lihat, jalannya agak sempoyongan. Mungkin kebelet pipis. Itu kan di luar perhitungan, Pa."

"Ya, sudahlah. Habis mau gimana lagi. Udah kejadian kok."

"Mungkin sekarang kantuknya hilang ya, Pa. Dia lagi mikir, apa yang telah terjadi."

"Kalau dia nggak salah, nggak perlu resah, kan?"

"Tapi kalau bukan dia yang ambil mantel itu. siapa lagi?" Wijaya tidak menjawab.

***

Di kamar perawatan Agung, Nadia bersama Rama dan Evita duduk mengeliling tempat tidur. Mereka mengamati Agung dari atas sampai ke bawah, balik lagi ke atas.

"Benar, Na. Dia tersenyum," Ava menegaskan. Jengkel karena tidak bisa memperlihatkannya kepada Nadia.

"Ya, dia tersenyum dan jari tangannya bisa mengait jari Ava," Rama menambahkan.

"Aku percaya, Mbak. Tapi aku pengin lihat sendiri. Ah, Gung, senyum juga sama Tante dong. Masa Tante nggak dibagi. Ayo dong. Mahal banget

ya senyumnya," kata Nadia penasaran.

Akhirnya Nadia berhenti membujuk dan merayu Agung. Ia menatap Rama dan Ava bergantian.

"Memangnya tadi kalian berbuat apa sampai Agung mau tersenyum?" ia bertanya. Sangat ingin tahu.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rama dan Ava berpandangan. Apakah kegiatan mereka pantas diceritakan kepada Nadia?

"Aku dan Mas Rama ngajak Agung ngomong. Ya, sama seperti yang biasa kaulakukan," sahut Ava.

"Ngomongnya apa? Aku yakin, omongan itu yang merangsang senyum Agung."

"Merangsang?" tanya Rama.

"Maksudmu, dia bisa mendengar dan bereaksi?"

"Bukankah senyum itu merupakan reaksi?"

"Tapi kok hanya senyum?" keluh Ava.

"Eh, pertanyaanku dijawab dong. Ngomongnya apa sih? Biar kutiru." desak Nadia.

"Mana mungkin bisa kautiru? Omongan kami kan eksklusif," kata Ava dengan senyum misterius.

Nadia menatapnya sejenak, lalu berseru,

"Aku tahu deh!"

"Tahu? Apa coba?"

"Pokoknya tahu. Nggak usah disebut. Entar kalian malu," goda Nadia.

"Ya kan, Gung? Entar Papa dan Mama malu, ya?"

Tiba-tiba Agung tersenyum. Nadia melihatnya. Ia bersorak dan melompat tinggi, lalu menghambur ke samping Agung. Ia mengusap bibir Agung yang merekah. Lalu menciuminya. Ia berbisik di telinganya,

"Tante tahu, kau bisa mendengar. Kau sudah bangun, tapi belum mau kembali. kan? Jangan lama lama dong."

Senyum Agung sudah hilang. Tapi Nadia merasa puas. Ia tidak lagi merasa cemas. Agung akan kembali bila dia mau.

Sesudah itu ia sibuk mengirim berita gembira itu kepada Barata dan Robin.





KETIKA Evita bangun esok paginya, ia menemukan Ningsih sudah sibuk di dapur seperti kebiasaannya sehari-hari.

"Kamu sudah sehat, Ning?"

"Sudah, Bu. ibu juga?" balas Ningsih dengan senyum.

Evita tertegun. Senyum Ningsih itu di luar dugaannya. Kelihatannya Ningsih baik-baik saja, wajar dan berbeda dibanding hari kemarin.

"Lumayan sih. Cuma kepala masih sakit."

"Tiduran lagi aja, Bu. Biar saya yang ngerjain."

Sudah jadi kesepakatan bahwa tugas Ningsih yang utama adalah melayani Leoni. Bila ada waktu luang di luar itu, baru ia mengerjakan yang lain. Misalnya memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Tapi Evita melakukan apa saja yang bisa ia lakukan sebelum berangkat ke kantor. Dengan demikian pekerjaan Ningsih tidak terlalu banyak. Bagi Evita, pekerjaan rumah tangga lebih menyenangkan daripada melayani ibu mertuanya.

Ucapan Ningsih yang simpatik itu menyentuh perasaannya. Ia melirik, mengamati wajah Ningsih dari pinggir. Wajah yang polos itu sebenarnya manis juga, pikirnya. Sungguh tak masuk akal bila ia sanggup melakukan kejahatan. Sulit untuk dipercaya.

Ia menunggu pertanyaan Ningsih mengenai kedatangan Robin semalam. Tapi pertanyaan itu tak kunjung keluar. Benar rupanya prediksi Robin. Tidakkah Ningsih ingin tahu? Atau pura-pura tidak mau tahu?

Ia menjadi ragu-ragu apakah akan meneruskan niatnya untuk berdiam di rumah. Sepertinya suasana sudah normal. Berpura-pura sakit padahal tidak sakit sangat tidak menyenangkan. Apalagi di bawah tatapan tajam Leoni. Rupanya Leoni menyangka sesuatu. Ke mana pun ia pergi di dalam rumah yang sempit itu, terasa tatapan tajam itu terus mengikutinya.

Ia menyampaikan unek-uneknya itu kepada Wijaya.

"Habis maumu gimana? Aku sih terserah aja. Kalau kau yakin dia nggak perlu diawasi lagi, ya sudah. Lagi pula sulit juga ngawasi terus. Entar dia malah curiga."

Sebelum Evita menjawab, Leoni mendahului bertanya dengan tatap selidik,

"Kamu udah sembuh?"

"Udah, Ma," sahut Evita dengan menghadapkan

mukanya ke Leoni supaya gerak bibirnya bisa dibaca. Malas bicara keras-keras.

"Kalau sudah kok diam di rumah aja? Nggak ada kerjaan, ya?"

Leoni bicara dengan suara biasa. Mungkin ia juga capek kalau harus mengerahkan otot mulutnya. Ia bisa bicara pelan atau berbisik sekali pun karena ia sudah tahu apa yang mau dikatakan, jadi tidak perlu mendengarnya sendiri.

Yang membuat Evita agak heran adalah nada suara Leoni. Kedengaran lembut. Tidak sinis seperti biasanya.

"Ningsih juga kurang sehat, Ma!"

Kali ini ia bicara keras. Supaya lebih jelas dipahami. Tak selalu Leoni bisa membaca gerak bibir, hingga kata-kata harus diulang kembali.

"Oh ya?" Leoni mengarahkan tatapan matanya kepada Ningsih yang sedang berjalan mendatangi dengan semangkuk bubur ayam. Setiap pagi ia sarapan bubur ayam.

"Kamu sakit apa, Ning?" tanya Leoni.

Ningsih meletakkan mangkuk di atas meja lalu tersenyum.

"Saya sudah sehat, Bu! Kemarin masuk angin!"

"Aku punya minyak angin! Mau pake?"

Tangan Leoni merogoh saku dasternya.

Ningsih menggelengkan kepala.

"Terima kasih, Bu! Saya nggak suka. Baunya nggak enak."

Leoni memonyongkan mulutnya.

"Dasar." gerutunya. tak melanjutkan karena lalu sibuk dengan



bubur ayamnya. Setelah makan beberapa sendok ia berhenti, menatap Evita yang masih berdiri di dekatnya.

"Bikinan Ningsih ini lebih enak daripada bikinanmu, Evi!" cetusnya tiba-tiba.

Evita mengangguk saja dengan senyum tipis. Tak ada gunanya mengomentari. Bagi Leoni, masakannya tak pernah enak. Tapi kalau dibohongi dengan memberitahu bahwa makanan yang sedang terhidang dibeli di restoran maka ia akan memuji-muji, padahal itu buatan Evita. Satu-satunya cara untuk mengetahui apakah masakannya enak atau tidak adalah dengan melihat cara makannya. Kalau ia makan dengan bernafsu bahkan sampai menambah, maka jelas berarti enak. Komentar yang berlawanan menjadi lucu.

"Bener kamu udah sehat?" tanya Leoni pada Ningsih di sela makannya.

"Udah, Bu."

"Kalau belum, kamu istirahat aja. Biar Bu Evi yang gantiin kamu." kata Leoni dengan nada memanjakan.

"Nggak usah, Bu. Saya nggak apa-apa kok."

Dengan perasaan sebal Evita berlalu.

"Aku mau ikut, Pa," katanya pada Wijaya.

"Oh, sudah yakin?"

"Ya. Kalau dia merasa dirinya dijaga maka dia akan menaruh curiga. Toh kita juga masih harus menunggu hasil pemeriksaan polisi. Bukankah Pak Robin juga nggak meminta kita menjaganya?"

"Baik. Ayo, cepetan dandan."

Mereka berdua berlalu setelah menitipkan pesan pesan pada Ningsih seperti biasa dan pamit pada Leoni.

"Kau mau masak apa buat makan siang, Ning?" tanya Leoni setelah mereka berduaan saja.

"Tadi Bu Evi pesan, bikin sup ayam aja."

"Huuu... sup lagi sup lagi. Bosen aku."

"Habis Ibu maunya apa? Di kulkas nggak banyak persediaan. Bu Evi belum belanja." Ningsih bicara dekat telinga Leoni.

"Aku mau lihat adanya apa."

Ningsih mendorong kursi roda ke dapur terus sampai di depan kulkas. Ia membuka pintu kulkas supaya Leoni bisa melihat isinya. Memang kulkas setengah kosong.

"Sayurannya wortel, kentang. seledri, daun bawang...," Ningsih menyebutkan.

"Pas buat bikin sup."

Ia sendiri sebenarnya juga bosan makan dengan sayur sup, tapi ia punya persediaan ikan asin yang terlarang buat Leoni.

"Ada sosis ayam nggak?"

"Abis, Bu."

"Tadi kamu nggak pesen Bu Evi supaya belanja?"

"Biasanya kan Bu Evi tahu sendiri, Bu."

"Ya sudah, sudah. Mendingan bikin bakso ayam aja. Kamu yang giling ayamnya, aku bikin adonannya."

Ningsih terperangah. Sejak ia bekerja di situ baru sekarang Leoni turun ke dapur. Biasanya ia hanya

duduk saja di kursi rodanya. Paling-paling membaca atau nonton televisi. Hari ini benar-benar tampak beda.

Leoni tidak memedulikan keheranan Ningsih. Ia sibuk memotong-motong sayuran. Berkali-kali Ningsih meliriknya. Ia mengamati lengan dan tangan Leoni yang besar. Ternyata kedua tangan itu sigap dan kuat. Ia merinding melihat pisau besar di tangan yang kekar itu. Biasanya ia tidak suka menggunakan pisau besar untuk memotong sayuran. Ia memakai yang kecil saja. Tidak berat dan juga tidak mengerikan. Tapi di tangan Leoni pisau kecil mungkin bisa lenyap.

Lalu ia mendengar Leoni bersenandung. Ia tak mengenal lagunya. Mungkin lagu lama yang terkenal di zaman dirinya belum lahir. Ia terheran-heran lagi. Baru kali ini ia mendengar Leoni bersenandung. Apakah orang tuli bisa bersenandung? Tentunya memang bisa saja, tapi bukankah ia sendiri tak bisa mendengar senandungnya karena pengucapannya pelan, jadi bagaimana mengatur nada?

Nenek itu sedang gembira rupanya. Sikapnya juga ramah. Bicaranya lembut. Ah, kenapa tidak dari dulu ia bersikap seperti itu?

Mata Ningsih menjadi basah. Tiba-tiba ia teringat pada alamarhumah neneknya. Ia sayang sekali pada neneknya itu. Tutur-katanya halus dan lembut. Selalu memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Tak pernah membentaknya atau mengasarinya. Berbeda dengan ibunya sendiri.

Ningsih terkejut. Baru menyadari bahwa Leoni sedang mengamatinya. Pisau di tangannya diacung acungkan. Serta-merta ia terkejut dan ketakutan. Tapi dengan cepat ia sadar setelah melihat wajah Leoni yang lembut dan tatapan matanya yang perhatian. Ia jadi terpesona. Kapan ia pernah ditatap dengan ekspresi seperti itu?

"Kamu kenapa sih, Ning? Diajak ngomong kok ngelamun. Kirain kamu yang jadi budek."

"Oh, ngomong apa, Bu? Saya... saya..."

"Sudah. Jangan sedih. Ayo, terusin dulu masaknya. Kalau udah beres baru ngomong. Entar air matamu masuk ke dalam adonan. Aku nggak mau makan bakso air mata," kata Leoni dengan nada gurau. Bukan sinis.

Tiba-tiba Ningsih merasa sayang kepada Leoni. Biasanya yang terasa lebih banyak antipati daripada simpati. Kenapa baru sekarang ia sebaik itu? Coba kalau dari dulu, pastilah hari-harinya menyenangkan dan ia tidak perlu berurai air mata setiap menjelang tidur karena mengenang perlakuan Leoni. Ia benci sekali pada nenek itu karena merasa tidak dihargai. Bahkan direndahkan. Tapi gajinya lumayan. Dan sebenarnya pekerjaannya tidak terlalu berat. Satu satunya yang melegakannya adalah ia tidak perlu memandikan dan menceboki si nenek. Alasan Leoni,

"Takut nggak bersih!" Ya, syukur kalau ia berpendapat begitu. Ningsih juga merasa terhibur karena Evita dan Wijaya bersikap baik kepadanya. Tapi ia juga tahu, hal itu disebabkan karena mereka

membutuhkannya. Sudah sering kali Evita menghiburnya dengan mengatakan bahwa orang yang sudah tua memang begitu dan kelak ia sendiri juga akan seperti itu. Tapi ia tidak percaya karena neneknya sendiri tidak begitu. Evita saja yang merupakan menantunya diperlakukan dengan semena-mena.

Sering kali ia tergoda untuk meludahi makanan yang mau diberikannya kepada Leoni. Tapi ia tidak tega. Ia teringat pada neneknya sendiri. Sekarang melihat sikap baik Leoni. ia bersyukur bahwa ia tidak pernah berbuat seperti itu.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah masakan matang, Leoni mencoba bakso buatannya. Ia menyuruh Ningsih mencobanya juga.

"Enak, ya?"

"Iya, Bu. Enak banget," sahut Ningsih. Padahal ia tidak merasa seperti itu. Tentu saja ia tidak mungkin mengatakan sebaliknya karena si nenek bisa marah. Ia masih belum bisa mengatasi rasa herannya atas perubahan sikap Leoni. Apakah itu cuma sementara saja lalu besok ia akan kembali ke sifat aslinya?

"Wah, kenyang deh. Jadi ngantuk nih. Aku mau tidur-tiduran aja. Ayo, dorong ke kamar!" Leoni memerintahkan.

Ningsih menemukan nada suara yang lama dari si nenek. Mungkin sebentar lagi juga akan kembali ke asal.

Kursi roda dipepetkan ke ranjang. Leoni menggapai handel yang tertanam di tembok di samping

ranjang. Ia menarik tubuhnya supaya bisa berdiri dengan berpegangan pada handel itu. Ningsih hanya mengawasi saja kalau-kalau ia membutuhkan bantuan. Tarikan dan pegangan Lconi tampak kuat karena terbukti ia bisa menarik tubuhnya yang besar. Ketika berdiri ia terlihat sekepala lebih tinggi daripada Ningsih. Sesudah itu Leoni meletakkan pantatnya ke tepi ranjang kemudian beringsut ke tengah. Ia merebahkan dirinya.

Ningsih meletakkan segelas air putih di meja di samping ranjang supaya Leoni bisa minum tanpa harus menunggu diambilkan.

"Apa lagi, Bu?"

Leoni menggoyangkan tangannya dan tersenyum manis. Ekspresi yang kembali mencengangkan Ningsih. Apa gerangan yang membuat nenek ini gembira?

Ningsih keluar dan merapatkan pintu. Pada saat seperti itulah ia memiliki waktu luang kalau tak ada pekerjaan yang belum diselesaikan. Tadi Evita sudah mencuci dengan menggunakan mesin cuci. Ia tinggal mengeringkan. Yang belum adalah membersihkan rumah. Pekerjaan itu bisa diselesaikannya dengan cepat. Evita sudah membeli tongkat pengepel yang praktis digunakan, tak perlu memeras pakai tangan dan tak perlu berjongkok di lantai. Memang tujuan Evita bukan semata-mata untuk memberi kemudahan bagi Ningsih, tapi juga bagi dirinya sendiri kalau sewaktu-waktu dia yang mengerjakannya.

Tak sampai sejam Ningsih sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sedang Leoni belum menunjukkan tanda-tanda bangun. Biasanya kalau sudah bangun Leoni cukup berteriak saja atau membunyikan bel yang tersambung ke kamar Ningsih. Tapi di siang hari ia lebih suka berteriak. Teriakannya lebih nyaring daripada bunyi bel.

Ia duduk melamun. Ekspresi sedih mewarnai mukanya. Biasanya pada saat begitu ia bisa mengharapkan kedatangan Ani dan Agung untuk bermain dan mengobrol. Lalu ia akan mengambilkan permainan Agung yang biasa, yaitu jigsaw puzzle. Anak itu akan terpukau pada permainannya. Jadi Ningsih dan Ani bisa bebas mengobrol. Kadang-kadang Leoni juga suka mengamati permainan Agung. Seperti ingin ikut serta. Tapi kemudian suasana berubah. Agung selalu merengek minta pulang begitu mendengar teriakan Leoni. Rupanya anak itu menjadi takut kepada Leoni. Ningsih memperkirakan hal itu terjadi setelah Leoni memarahinya karena Agung tak mau dipangku olehnya. Ekspresi Leoni kalau sudah marah memang mengerikan. Apalagi buat anak kecil seperti Agung. Padahal wajahnya begitu manis dan lembut bila sedang senang. Perubahan yang mengherankan. Ia sendiri sudah terbiasa dengan perubahan itu. Dan kejadian hari ini mencengangkannya, karena kemanisan dan kelembutan yang diperlihatkan itu ditujukan untuknya. Biasanya, satu-satunya orang yang mendapatkan itu hanyalah Wijaya, anak tunggal kesayangannya.

Ia merasakan kesepian yang sangat. Ia berjalan ke teras balkon yang pintunya dibuka lebar-lebar. Setiap pagi, begitu bangun tidur, yang pertama dilakukannya adalah membuka pintu itu. Evita menyuruh begitu. Supaya udara segar bisa menggantikan udara yang sudah kotor, begitu katanya. Ia sendiri tidak begitu suka duduk-duduk di teras karena merasa anginnya terlalu kencang. Sekarang ia malah ke situ dan bersandar ke teralis, memandang ke depan. Di sana, di gedung pertokoan itu, seharusnya Gito bekerja seperti biasa. Tapi ia kini buron. Kenapa? Buron dari Ani atau dirinya? Tidak mungkin dari Ani, karena Ani sudah tewas. Ataukah justru karena Ani sudah tewas, ia buron karena ingin menghindar darinya?

Ia sedih sekali. Sepi dan sedih. Ia juga teringat pada kejadian semalam. Apa yang dikerjakan polisi semalam? Kenapa gudang diperiksa? Kenapa dia tidak ditanyai atau diajak bicara?

Semakin lama tubuhnya semakin doyong ke depan. Lalu ia mendengar siulan yang nyaring. Ia tersadar dengan kaget. Semula mengira itu suara Leoni. Tapi ketika matanya mengarah ke bawah, ia melihat Barata berdiri sambil menengadah menatap padanya dan menggoyang-goyangkan tangan. Wajah Barata terlihat cemas sekali. Ketika tatapan mereka bertautan, Barata menggeleng-gelengkan kepalanya dan tangannya diayun-ayunkan ke arah gedung. Ia mengerti maksudnya. Barata menyuruhnya masuk. Apa haknya melarang? Kemudian ia mengerti.

Barata khawatir ia jatuh ke bawah. Atau menjatuhkan diri?

Ia tersenyum mengejek lalu menjulurkan lidahnya. Kedua tangannya didekatkan ke sisi mukanya. lalu dikepak-kepakkan seperti sayap. Ia tidak peduli kalau Barata nanti marah. Tanpa melihat reaksi Barata, ia bergegas masuk. Dulu ia naksir berat pada Barata, tapi lelaki itu dingin-dingin saja. Ani juga naksir, padahal sudah punya Gito, tapi Barata juga tidak memedulikannya. Mungkin karena dia dan Ani cuma pembantu. Bukankah satpam juga tak lebih dari centeng?

Robin sangat gembira mendengar berita kemajuan Agung. Ia yakin kemampuan yang diperlihatkan Agung itu sudah merupakan langkah awal menuju kesadaran sepenuhnya. Pastilah tidak lama lagi. Masa hanya senyum saja yang diperlihatkan selama berhari-hari?

Dengan antusias ia pergi menjenguk Agung begitu mendapat kesempatan. Sebagai seorang petugas. ia tidak memerlukan izin besuk sesuai jam kunjungan. Mulanya ia ingin mengajak Barata, tapi saat itu Barata sedang bertugas. Sayang ia hanya sendirian. Pada saat itu semua yang dikenalnya sedang bekerja. Agung tidak mengenalnya, meskipun hal itu tidak menjadi masalah.

Saat itu Agung ditemani seorang ibu tua yang

duduk terkantuk-kantuk. Ibu itu menoleh dengan wajah berharap, tapi tampak kecewa ketika melihat orang yang masuk tidak dikenalnya. Robin segera mengenalkan dirinya sambil memperlihatkan kartu identitasnya kalau-kalau tidak dipercaya. Ibu itu, yang menyebut namanya Rosa, memeriksa kartu Robin dengan saksama sambil berulang-ulang mencari persamaan wajah Robin dengan foto pada kartu. Sikapnya menimbulkan respek Robin, yang memuji kewaspadaan wanita itu. Memang begitulah seharusnya.

"Apakah Ibu sudah melihatnya tersenyum?"

Bu Rosa menggeleng. dengan heran. Ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan terakhir Agung. Robin segera menceritakan berita yang didengarnya dari Nadia.

"Oh ya? Wah, bagus dong. Tapi saya nggak lihat karena saya memang nggak terus-terusan mengamati wajahnya."

"Ibu nggak pernah ngajak dia ngomong?"

Bu Rosa terperangah.

"Masa anak nggak sadar diajak ngomong? Artinya ngomong sendiri dong." Robin malas menjelaskan. Ia tersenyum saja.

"Ini sudah siang, Bu. Apa Ibu mau ke kantin dulu? Biar saya nunggu sampai Ibu kembali."

"Ah, belum lapar, Pak. Tadi bawa makanan dari rumah supaya nggak repot. Di kantin makanannya itu-itu aja. Bosen. Enakan makan roti. Bapak mau roti?"

"Nggak, Bu. Terima kasih. Silakan Ibu makan dulu. Saya mau ngomong sama Agung, ya?"

Sementara Bu Rosa makan Robin mulai bicara di samping Agung.

"Gung, saya adalah polisi yang menyelidiki kasusmu. Panggil saya Oom Robin. Ya, jatuhnya kamu sama Ani itu membuat kami semua heran. Ada apa sebenarnya? Cuma kamu yang bisa cerita, Gung. Cuma kamu. Nanti kalau sudah sadar, kamu mau dong cerita. ya? Jadinya kita nggak salah menuduh orang. Apa ada orang jahat yang jatuhin kamu sama Ani? Atau Ani yang jatuhin kamu sama dirinya sekalian? Atau kecelakaan? Kamu pasti ingin menjelaskan juga, bukan?"

Robin berhenti bicara, lalu melirik pada Bu Rosa. Perempuan itu berhenti mengunyah dan mengamatinya dengan kening berkerut. Jelas ia menganggap perbuatan Robin itu tidak masuk akal. Robin tersenyum. Ia mengarahkan lagi pandangnya kepada Agung. Tapi kemudian ia terkejut. Ia membelalakkan matanya besar-besar.

Dari kedua mata Agung yang terpejam keluar air mata!

Cepat Robin membungkuk di atas Agung, lalu mencium air matanya. Rasa sesal menyeruak ke seluruh relung dadanya. Seharusnya ia tidak bicara begitu. Ia mengambil tisu dan mengeringkan pipi Agung.

"Maafkan saya, Gung. Jangan pikirin omongan Oom tadi, ya?" ia berbisik di telinga Agung.

Bu Rosa mendesak ke sebelah Robin.

"Kenapa? Ada apa?" tanyanya ingin tahu.

Robin sadar, perempuan itu tidak memahami apa yang terjadi. Ia tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Tanpa menjawab pertanyaan Bu Rosa, ia melanjutkan pembicaraannya pada Agung,

"Oom ingin berteman denganmu, Gung. Sama Oom Barata dan Tante Nana. Selama ini Oom bekerja sama dengan mereka. Kamu adalah anak yang berani dan tabah."

Mata Agung tak lagi mengeluarkan air. Sudah kering. Tapi Robin merasa bersalah. Sepertinya ia telah mengorek luka yang mau mengering. Tapi kemudian ia terkejut lagi. Ia merasakan rabaan jari jari Agung. Cepat ia menyodorkan tangannya. Kedua tangan mereka bertautan. Ia mengangkat tangan Agung lalu menciuminya dengan rasa haru yang sangat.

"Maukah kau tersenyum untukku, Gung?" tanyanya pelan.

Lalu dengan berdebar ia mengamati wajah Agung tanpa berkedip. Bibir Agung merekah. Senyumnya seperti orang malu-malu.

"Wah. . Robin terpesona.

Bu Rosa menjatuhkan rotinya ke lantai dan membiarkannya di situ.

"Terima kasih, Gung." kata Robin.

"Aduh, dia tersenyum, Pak! Dia tersenyum!" bisik Bu Rosa dengan heboh.

"Nah, Ibu lihat sendiri, kan?"

"Tapi kenapa mesti diajak ngomong dulu baru dia senyum? Jangan-jangan dia pura-pura saja tuh. Dia sebenarnya sudah sadar."

"Ah, apa dia bisa berpura-pura diam seperti itu? Digelitiki pun dia diam. Lagi pula buat apa dia pura-pura?"

Bu Rosa diam.

"Kayaknya Ibu mesti lebih sering pasang mata dan juga mengajaknya bicara."

"Tapi saya nggak tahu mesti bicara apa. Biarlah yang ngajak ngomong itu orang-orang yang dekat sama dia. Saya kan nggak. Biar mulut sampai dower juga kayaknya dia nggak bakal senyum."

Robin tenawa. Ia tahu Bu Rosa benar.

Ia mengirimkan berita itu kepada Nadia dan Barata. Saya yakin dalam waktu dekat Agung akan segera sadar.

Barata masih berada di Srigading ketika menerima berita itu dari Robin. Ia jadi ikut bersemangat. Terpikir, sebaiknya nanti sore usai bertugas ia akan menjenguk Agung. Semua orang yang dekat dengan Agung sudah melihatnya tersenyum. Bahkan Robin yang belum dikenal Agung pun ikut melihat kejadian itu. Padahal bila dibandingkan dengan Robin. ia tentu lebih dekat dengan Agung. Ia juga ingin melihat senyum Agung. Hatinya berdebar, terpikir kemungkinan ia akan mendapat lebih dari sekadar senyum. Barangkali pelukan? Atau tatapan mata yang berbinar?

Tetapi semangat dan ketegangan itu pudar oleh

kekhawatiran yang masih terasa. Tadi ia terkejut sekali melihat Ningsih bersandar pada teralis balkon. Meskipun ia menyaksikannya dari bawah dengan jarak yang cukup jauh, dengan jarak sekitar tiga puluh meter, sehingga ia tidak bisa melihat ekspresi Ningsih dengan jelas. Tapi ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia belum pernah melihat Ningsih berangin-angin di situ. Sedang melamun, mencari angin, atau sesuatu yang lain?

Ia jadi gelisah dan sebentar-sebentar menengadah ke lantai tujuh, ke balkon apartemen Wijaya. Pintunya masih terbuka tapi Ningsih tidak terlihat lagi. Ia ingat pada kelakuan Ningsih tadi sewaktu diberi isyarat. Tidak biasanya Ningsih mencemooh seperti itu.

Dua orang rekannya yang akan bertugas pada shift berikut sudah datang. Semula ia ingin mengingatkan mereka agar melihat-lihat balkon milik Wijaya, tapi kemudian tak jadi. Alasannya tidak kuat kalau ia tidak menceritakan semuanya, padahal ia tak ingin melakukannya. Masuk akalkah kalau ia merasa cemas hanya karena Ningsih mencemoohnya? Bisa jadi mereka malah akan menggodanya.

Dia dan Parto sudah bersiap-siap untuk pulang. Masih ada waktu untuk mandi dulu lalu berangkat ke rumah sakit. Tapi ada dorongan untuk kembali menengadah ke apartemen Wijaya. Sepi saja di sana. Ia menertawakan kegelisahannya.

"Kenapa sih matamu ke atas melulu?' tanya Parto.

Ia bercerita kepada Parto. sebatas yang dilihatnya tadi.

"Aku trauma, To. Jadi ngeri melihatnya. Eh. dia ngeledekku."

"Ya. Bisa dipahami."

Baru selesai Parto berucap, mereka melihat sesuatu di balkon tersebut. Ada bunyi brang-breng yang nyaring diselingi teriakan. Keduanya terkejut. Buruburu mundur sedikit supaya bisa mendengar dan melihat lebih jelas. Dengan tercengang-cengang mereka melihat Leoni yang duduk di kursi rodanya berada di belakang teralis. Kedua tangannya terangkat ke atas. Satu tangan memegang panci. satu lagi memegang centong. Centong itu dipukul-pukulkan ke pantat panci!

"Apa-apaan si nenek itu? Lagi main band?" ucap Parto.

Kemudian terdengar jelas teriakan Leoni setelah ia berhenti memukul panci.

"Tolong! Tolooong...! Tolong...!"

Kedua satpam tersentak. Langsung bergerak lari menuju gedung.

"Kamu beritahu Pak Hendra. Aku langsung naik!" kata Barata.

Setibanya di lantai tujuh Barata berpapasan dengan Henri dan Santi yang berada di lorong dengan ekspresi bingung.

"Ada ribut-ribut di situ," kata Henri.

"Kami baru saja pulang, belum sempat masuk. Ada apa ya?"

Sekarang mereka bertiga berada di depan pintu apartemen Wijaya. Mereka menggedor pintu.

"Ningsih! Ning!" teriak Barata.

"Bukain pintu!"

Kemudian ia sadar sesuatu terjadi pada Ningsih. Kalau tidak, tak mungkin si nenek berada sendirian di balkon. Minta tolong pula.

"Apakah Bu Leoni nggak bisa buka pintu?" tanya Santi.

"Dia tuli. Bahkan gedoran kita belum tentu dia dengar," kata Henri.

"Biarpun dia nggak bisa berdiri, tapi tangannya bisa mencapai kunci," kata Barata "Seharusnya dia bisa membuka pintu."

Hendra dan Parto datang berlari sekeluarnya dari lift, Mereka bergabung. Tenaga menggedor pintu bertambah dua orang.

"Kalau dia nggak bisa buka pintu, kita dobrak saja," Hendra memutuskan.

Terdengar bunyi ceklek pintu, tanda dibuka. Tapi bersamaan dengan itu terdengar bunyi menggabruk disertai teriakan Leoni yang mengaduh-aduh. Hendra membuka pintu dengan cepat. Mereka sulit masuk karena pintu terhalang oleh sesuatu. Ternyata kursi roda Leoni terguling beserta isinya. Leoni terpuruk di lantai dengan sebagian kursi roda di atas tubuhnya. Mereka membangunkannya ramai-ramai, lalu mendudukkannya kembali di atas kursi roda.

Leoni menjerit histeris. Ia menangis dan menunjuk ke sebelah dalam.

"Itu si Ningsih! Niiing...!" jeritnya_

Santi menemani Leoni sementara para lelaki

menghambur masuk ke dalam. Mereka mencari ke sana kemari. Tapi Ningsih tidak terlihat.

"Di kamarnya!" seru Barata.

Kamar Ningsih terbuka lebar. Tak perlu didobrak. Segera tampak pemandangan mengerikan. Di tengah kamar tubuh Ningsih terayun-ayun dengan leher terjerat tali plastik yang diikatkan pada kayu kaso yang melintang di plafon! Di bawah kakinya ada kursi terguling.

Henri memekik dan wajahnya segera memucat. Ia berlari keluar dari kamar untuk bergabung dengan istrinya yang sedang menemani Leoni.

Barata menyentuh kaki Ningsih. Sudah dingin.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia sudah meninggal," katanya, memberitahu yang lain.

"Apa nggak diturunkan saja?" tanya Hendra.

"Sebaiknya kita tunggu polisi. Biar mereka memeriksanya seperti apa adanya. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Dia sudah meninggal cukup lama. Kayaknya lebih dari sejam. Udah mulai kaku, lagi."

"Jadi bener dong ya kecemasanmu tadi, Bar," bisik Parto.

"iya," sahut Barata dengan perasaan aneh. Tibatiba saja ia teringat pada mimpinya dua malam yang lalu. Burung hitam itu! Dia yang jadi lambang pertanda maut baginya memang hanya muncul dalam mimpi, tapi terasa begitu nyata.

Ketika Hendra akan menelepon polisi, Barata mengatakan,

"Bagaimana kalau saya telepon Pak Robin saja? Mungkin ini masih berhubungan dengan kasus Ani, Pak. Kalau sampai ditangani petugas lain bisa rumit nanti."

Hendra setuju. Sementara Barata menelepon Robin, ia menghubungi Wijaya.

Henri menemui istrinya yang masih menemani Leoni. Nenek itu masih saja terisak-isak dalam dekapan Santi.

"Kenapa dia begitu, ya? Kenapa? Kan aku udah baik sama dia," sambat Leoni.

"Sudah, Bu. Tenang. Kita pindah ke kamar Ibu aja ya?"

"Nggak mau! Aku mau di sini aja. Mau tunggu anakku."

"Baik. Tenang saja, Bu. Saya ambilin minum ya?"

Sementara Santi pergi ke dapur mencari air minum, semua yang hadir berkumpul dekat Leoni menunggu kedatangan Robin dan Wijaya. Nenek itu sudah lebih tenang. Tangisnya berhenti. Tapi tatapannya terlihat kosong. Mereka semua merasa iba kepadanya. Bisa dibayangkan betapa syoknya perempuan tua itu. Sendirian dan tak berdaya lalu melihat pemandangan mengerikan.

Tak ada yang berani mengajaknya bicara karena takut ia menjadi histeris. Biarlah urusan itu ditangani Wijaya saja.

Barata teringat sesuatu. Ia bangkit dan pergi ke teras balkon. Di atas lantai tergeletak panci dan centong. Pintar juga nenek itu, pikirnya. Biarpun syok

tapi masih bisa menemukan sesuatu untuk menarik perhatian.

Robin dan Wijaya bersama Evita datang hampir berbarengan. Robin disertai dua orang rekannya. Mereka bertiga langsung menuju ke kamar Ningsih setelah mendengar keterangan Barata. Tapi Wijaya dan Evita tidak mau ikut melihat. Mereka mendampingi Leoni. Nenek itu kembali tersedu-sedu dalam pelukan Wijaya. Evita pun menangis sedih. Ia duduk sendiri di sudut. Ia sangat menyesal kenapa hari itu ia tidak diam di rumah saja. Kalau ia tidak pergi, pastilah tidak akan kejadian seperti itu. Wijaya melihat keadaan istrinya tapi tak bisa menghibur, karena ia dipeluk ketat oleh ibunya. Ia tahu apa yang dirasa dan dipikirkan Evita. Tapi ia tidak mau menyesali. Bukankah orang yang memang berniat bunuh diri tak bisa dijaga terus-menerus? Apalagi orang lain tidak tahu apa yang ia niatkan.

Henri dan Santi pamit untuk kembali ke apartemen mereka. Tak enak berlama-lama di situ. Terlalu banyak orang. Apalagi mereka tidak berkepentingan. Keduanya berpegangan tangan dengan erat saat berjalan di lorong. Biasanya tidak begitu. Ketika maut menjemput orang dengan begitu mudahnya, maka hidup terasa menjadi lebih berharga. Semakin berharga pula pasangan yang dimiliki.

Petugas forensik memotret dan memeriksa jenazah setelah diturunkan. Sementara Robin memeriksa isi kamar setelah mengenakan sarung tangan yang selalu setia berada di sakunya. Barata dan Parto berdiri di luar kamar, tak mau menyesakkan ruangan kecil itu. Tapi mereka siap bila dimintai bantuan.

Robin menemukan secarik kertas bertulisan tangan di atas meja, ditindih dengan gelas kosong. Ia memasukkan gelas ke dalam kantong plastik. Surat yang ditulis dengan pensil itu ia baca, Maafkan saya. Saya nggak tahan lagi. Ningsih.

Surat itu pun ia masukkan ke kantong plastik. Ia mencari-cari sampai ke kolong meja. tapi tidak menemukan pensilnya.

Sesudah itu giliran laci dan lemari diperiksanya. Di antara tumpukan pakaian yang terlipat rapi ia menemukan sepasang sarung tangan karet. Benda itu pun ia masukkan ke dalam kantong plastik. Beberapa benda lain yang dianggapnya penting ikut dimasukkan. Masih ada tempat tidur yang perlu diperiksa. Tapi sekarang di atasnya berbaring jenazah Ningsih. Ia harus menunggu kedatangan petugas yang membawa ambulans untuk mengangkut jenazah itu.

Kesempatan itu ia gunakan untuk menemui Leoni dan Wijaya serta Evita. Ia melihat Evita masih menangis. Ia duduk di sebelahnya.

"Sudahlah, Bu. Jangan menyalahkan diri sendiri."

"Tapi saya ini goblok, Pak. Kemarin kan saya ngomong mau tinggal di rumah, tapi kok saya pergi juga? Kenapa?"

"Sudah. Ibu kan nggak mungkin menjaganya terus-terusan."

Evita mengangkat muka. Tampak merah dan sembap. Wijaya terkejut melihat wajah istrinya. Ia ingin sekali mendekat dan memeluknya, tapi ibunya masih saja mendekapnya sampai ia pegal dan kesemutan. Posisinya tidak nyaman, karena ibunya duduk di kursi roda, sementara ia duduk di kursi sebelahnya. Tubuhnya condong ke pinggir dan tulang rusuknya tertekan pada pinggiran kursi roda. Ia ingin melepaskan diri tapi khawatir tangis ibunya meledak lagi.

Evita merasa terhibur oleh ucapan Robin.

"Terima kasih, Pak."

"Ibu tentu punya alasan kenapa Ibu sampai pergi tadi. Bisa ceritakan?"

Evita bercerita tentang perilaku Ningsih yang dianggapnya baik dan normal. Sama sekali tidak ada tanda-tanda murung atau melamun seperti hari sebelumnya.

Tiba-tiba Leoni melepaskan pelukannya pada Wijaya sambil setengah menyentakkan tubuh Wijaya. Hampir saja Wijaya terguling. Biarpun merasa kesal, tapi ia senang karena berhasil melepaskan diri. Buru-buru ia menarik kursinya menjauh. Sikap Wijaya itu tidak menarik perhatian Leoni karena ia mengarahkan tatapannya kepada Evita. Kursi rodanya ia putar hingga posisinya berhadapan dengan Evita. Sikapnya itu membuat semua orang di dalam ruangan mengarahkan pandangan kepadanya. Termasuk Barata dan Parto yang duduk jauh-jauh di sudut. Juga kedua petugas forensik yang sudah selesai dengan tugasnya.

"Kamu memang goblok! Semua gara-gara kamu!" teriak Leoni, menyemburkan amarahnya.

"Kenapa kamu pergi? Kenapa nggak hibur dia? Anak itu punya masalah, tahu? Aku saja tahu! Dia pengin dihibur, tahu? Aku mencoba menghiburnya, tapi mana bisa? Aku suruh dia ngomong. Dia mengoceh sambil menangis. Tapi aku nggak tahu dia ngomong apa."

Pipi Leoni merah seperti tomat. Seisi ruangan menjadi hening. Tegang. Evita ternganga karena terkejut oleh makian itu.

Robin mengerutkan kening. Tadi Evita bicara kepadanya dengan posisi memunggungi Leoni. Wijaya yang dipeluk Leoni berhadapan dengan Evita. Jadi tak mungkin Leoni bisa membaca gerak bibir Evita, padahal ia bereaksi setelah Evita bicara. Satu-satunya kemungkinan adalah ia bisa mendengar.

Wijaya mendekati ibunya.

"Tenang, Ma," katanya sambil menepuk-nepuk pundak Leoni.

Robin berdiri lalu berbisik di telinga Wijaya.

"Coba tanyakan kepadanya, Ningsih punya masalah apa? Lebih bagus lagi kalau dia bisa cerita apa saja yang dialaminya tadi."

"Baik."

Wijaya membungkuk di sebelah Leoni, lalu bicara di dekat telinganya. Agak keras,

"Ma, bisa cerita tadi itu gimana? Penting buat polisi."

Leoni mengarahkan pandangannya kepada Robin. Hampir saja Robin bergidik oleh tajamnya tatapan

itu. Tapi ia bertahan tidak memalingkan muka. Akhirnya Leoni yang berpaling.

"Aku kasihan sama dia. Pagi aku temenin dia masak. Terus kuajak makan sama-sama. Udah gitu aku tidur. Bangun-bangun dia baik-baik aja. Terus aku ajak ngomong. Kelihatannya dia ngomong banyak banget sambil nangis-nangis. Tau ngomong apa. Nggak ngerti. Terus aku hibur dia. Kelihatannya sih dia baik lagi. Aku ajak makan lagi. Pukul berapa tuh? Ada kali pukul satu. Waktu aku minum airnya kok rada pahit. Terus aku ngantuk banget. Kepalaku sampai mau jatuh. Dia dorong aku ke tempat tidur. Aku tidur lagi. Lelap banget. Bangun bangun aku teriakin dia. Tapi kok nggak muncul muncul. Lama sekali. Akhirnya aku pergi kamarnya. Wah... kaget sekali melihat dia... dia tergantung..." Leoni diam sejenak. Wajahnya sedih.

Orang-orang menjadi ngeri. takut kalau-kalau badai histeria kembali melanda Leoni. Tapi tepukan Wijaya bisa menenangkannya.

"Bisa terusin, Ma?" kata Wijaya dekat telinganya.

"Terus aku teriak-teriak, tapi nggak ada yang dengar. Aku ke dapur. ambil panci dan centong, terus ke balkon. Aku pukul-pukul barang itu...."

Bagian itu sudah diketahui oleh Barata dan Parto.

"Aku heran kenapa tidurku lama sekali. Jangan jangan dia kasih aku obat tidur. Tuh periksa sana, gelasnya masih ada airnya!" Leoni berpaling pada petugas forensik sambil menunjuk kamarnya.

Robin bangkit, diikuti dua petugas forensik menuju kamar Leoni.

"Nenek itu kasar banget, ya," kata salah seorang petugas.

"Sssst...," desis Robin.

"Kan dia budek."

Leoni memutar kursi rodanya, mengikuti ketiga orang yang berjalan ke kamarnya.

"Nah lu, dia bakal menghajarmu karena mengatainya. Hati-hati. Dia bukan sembarang budek," kata Robin pelan sambil tertawa.

Tapi rupanya Leoni hanya ingin mengecek apakah ketiga orang itu tidak mengacak-acak kamarnya. Dan yang diambil benar-benar hanya gelas berisi air di atas meja.

Kemudian petugas ambulans masuk bersama Hendra yang tadi menunggu di bawah. Mereka membawa jenazah Ningsih. Setelah mereka berlalu. Robin bersama kedua petugas forensik kembali masuk ke kamar Ningsih untuk melanjutkan pemeriksaan tempat tidur. Sering kali tempat tidur menjadi tempat penyimpanan barang paling pribadi.

Mereka menelanjangi kasur dan bantal. melongok ke kolong, lalu mengangkat kasur dari dipan. Segera ketiganya mengeluarkan seruan tertahan. Sebuah benda berada di situ, tepat di bawah kasur di bagian kaki. Benda itu sebuah topeng karet hingga tidak rusak bila ditindih. Topeng itu berwarna hitam. berupa wajah yang menyeramkan. Ada dua tanduk kecil

di atas dahinya dan sepasang taring mencuat dari mulutnya. Topeng setan!

Robin terpaku. Itukah setan yang dimaksud Ningsih sewaktu melihat mantel hitam itu di kamar Ani?



LAGI-LAGI lantai tujuh. itu adalah komentar orang-orang yang tendensius.

Henri dan Santi tidak tergoyahkan. Apalagi mereka diberitahu bahwa kematian Ningsih kemungkinan ada hubungannya dengan kasus Ani dan Agung. Jadi bukan karena faktor mistis.

Tapi Evita dan Wijaya mendapat kesulitan dengan Leoni karena nenek itu memaksa pindah. Evita juga tidak lagi merasa nyaman di rumahnya. Setelah Ningsih tidak ada. maka dialah yang harus menemani dan mengurus Leoni. Bila tugas itu masih bisa dipikul, tidak demikian dengan perasaan. Meskipun pintu kamar Ningsih tertutup rapat, tapi perasaan tidak enak tetap saja ada. Memang ia tidak ikut melihat, tapi ia bisa membayangkan.

Pada hari kedua setelah kejadian Wijaya berupaya mencari rumah kontrakan yang letaknya dekat
Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Pendekar Bloon 19 Nagari Batas Ajal

Cari Blog Ini