Ceritasilat Novel Online

Apartemen Lantai Tujuh 4

Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari Bagian 4



Srigading. Jadi masih terhitung dekat dengan kantornya. Tapi ia belum berhasil mendapatkannya. Ia tak mungkin pindah ke rumah lamanya karena rumah itu masih dalam status dikontrak. Sebagai seorang yang mempunyai pemikiran bisnis dan cenderung perfeksionis ia tidak mau sembarang memilih rumah hanya karena ingin cepat-cepat pindah. Bagaimanapun rumah adalah tempat di mana ia menghabiskan hari-hari santainya. Padahal mengontrak rumah itu minimal selama dua tahun. Ataukah pindah ke hotel saja atau mencari sewa bulanan? Tapi kembali masalah kedekatan jarak yang jadi penimbangan utama baginya. Selama ini ia sudah sangat menikmati jarak dekat dengan kantor hingga bisa segera beristirahat di rumah tanpa membuang waktu melelahkan di jalan.

ia mendapat ide supaya ibunya mau bersabar.

"Ada sih rumah di dekat-dekat sini, Ma. Tapi di situ pernah terjadi pembunuhan. Sudah lama kosong. Nggak laku-Iaku. Rumahnya sih bagus dan dipelihara dengan baik. Ada tamannya. Harga kontrakannya pun sangat murah. Maksudnya kalau ada yang mau ngisi, nanti harganya bisa naik."

"Hii! Nggak mau ah," kata Evita.

"Ya betul. Gila lu!" Leoni menimpali.

"Kalau begitu, Mama mesti bersabar. Sudah bagus polisi masih membiarkan kita tinggal di sini. Kalau nggak, kan kita repot. Sudah, apa sih yang membuat Mama takut?" bujuk Wijaya.

Sebelumnya Wijaya sudah membujuk Evita agar

mau bersabar. Apalagi selama itu Evita terpaksa tidak bisa ikut ke kantor. Ia di rumah saja menemani dan mengurus Leoni. Tetapi karena perilaku Leoni baik-baik saja kepadanya, maka ia bersedia. Mungkin kejutan yang menimpanya telah membuat ia berubah. Leoni jadi lebih banyak diam dan kalau bicara pun pelan. seolah kehilangan semangat. Wijaya dan Evita pun berbicara kepadanya dengan suara biasa. Tak lagi keras-keras seperti biasanya. Mereka sudah curiga bahwa Leoni sebenarnya bisa mendengar dengan baik. Apa yang terjadi pada telinganya tidak ada yang tahu. karena sudah lama tidak diperiksa ahlinya. Mereka tidak mau menuduhnya berpura-pura tuli karena jelas tak ada untungnya buat Leoni. Kalau memang berpura-pura, kenapa belakangan ini ia tidak melanjutkan kepura-puraannya itu? Bisa jadi ia sudah capek berpura-pura.

Pada hari ketiga Hendra menelepon Wijaya dari kantornya di lantai bawah.

"Pak, Pak Budiman. pemilik apartemen kosong di sebelah Bapak, ingin ketemu. Apakah Bapak mau menemuinya di lobi atau dia disilakan naik ke tempat Anda?"

Wijaya memutuskan untuk bicara di lobi saja. Ia tak ingin pembicaraannya terganggu oleh ulah ibunya.

Hendra mengenalkannya dengan Budiman, seorang lelaki yang sebaya dengannya. Lalu Hendra meninggalkan keduanya supaya bisa bicara dengan leluasa.

"Saya sudah dengar musibah yang menimpa pembantu Anda," Budiman mulai.

"Dan saya juga dengar Anda kepingin pindah. ya? Sudah dapat rumah yang cocok?"

"Belum. Baru kemarin mulai mencari. Anda punya usul? Saya sih penginnya yang dekat kantor."

"Ya. Saya memang punya usul. Bagaimana kalau kita tukaran apartemen? Kan Anda sekeluarga jadi nggak repot."

Wijaya terperangah. Ia tidak menyangka. Otak bisnisnya segera berputar.

"Tukar begitu saja? Tapi letak apartemen saya menghadap ke jalan. View-nya lebih bagus. Lagi pula di apartemen Anda itu pernah juga ada orang bunuh diri, kan?"

Budiman sudah siap.

"Wah, nggak bisa disamain dong,, Pak. Apalah artinya view seperti itu. Yang penting buat penghuni kan bukan itu, melainkan kepraktisan. Iya, kan? Soal orang bunuh diri di apartemen saya, itu kan sudah lama banget kejadiannya. Sudah berganti-ganti pemilik. Apalagi dia matinya di luar, bukan di dalam seperti pembantu Anda itu. Gantung diri, lagi. Itu kan mengerikan?"

Wijaya mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia membenarkan argumentasi Budiman, tapi tentu tidak mau mengakui. Ia harus tahu dulu yang lainnya. Mustahil orang ini datang-datang mau berbaik hati. Kenal pun baru saja.

"Jadi maksud Anda gimana? To the point ajalah."

"Baik. Sava bersedia tukar dengan tambahan tentu saja." Budiman menyebutkan sejumlah uang. Lalu berkata lagi,

"Tapi itu masih Fleksibel. Bisa dirundingkan."

Wijaya terperangah lagi. Ia sebenarnya senang tinggal di Srigading. Tapi tahu betul bahwa hal itu tidak boleh diperlihatkan.

"Wah, gede amat tambahannya. Kan luasnya sama. Semuanya sama. Apalagi saya mesti memasang lagi alat bantu buat ibu saya di kamar tidur dan kamar mandinya."

"Ah, itu sih gampang. Anda kan tinggal panggil tukang. Bikin aja lagi yang persis sama."

"Gampang sih gampang. Tapi Anda sendiri kenapa nggak menempati apartemen itu? Saya dengar mau dijual. Tapi kok nggak dapat pembeli?" Wijaya menyerang balik.

Budiman tersenyum. Belum kalah.

"Keluarga saya pengin punya anjing. Sekarang sudah ada empat. Mana mungkin dibawa ke sini? Dan saya nggak mau jual murah. Dulunya saya memang membeli dengan harga miring. tapi saya nggak mau menjualnya dengan lebih miring lagi. Masa hanya karena ada orang yang loncat ke luar jendela harganya jatuh? Orang bunuh diri itu mati sukarela, Pak. Lain dengan pembunuhan."

Wijaya termangu.

"Pak Rama yang tinggal berseberangan dengan Anda itu pun dapat musibah. Pembantu dan putranya jatuh dari balkon. Tapi mereka nggak berniat pindah," tambah Budiman.

Dia tahu banyak, pikir Wijaya.

"Tapi kalau Anda sekarang memiliki apartemen saya, bukankah Anda malah lebih sulit menjualnya nanti karena ada orang bunuh diri di dalamnya?"

"Dalam hal itu kita harus bersabar. Tunggu saja. Ada saatnya orang lupa. Sekarang tentu saja masih heboh."

Wijaya berpikir sejenak. Ia tahu, orang seperti Budiman selalu punya jawaban. Jadi percuma saja beradu mulut. Tetapi tawaran itu cukup layak dipertimbangkan. Yang perlu dinegosiasikan adalah tambahannya.

"Saya akan membicarakan dulu dengan istri dan ibu saya. Merekalah yang tinggal di rumah seharian."

"Tentu saja."

Mereka bertukar nomor telepon.

"Soal tambahan bisa nego, kan?"

"Tentu saja. Saya hanya memberi ancer-ancer."

Mereka berpisah. Budiman menjabat tangan Wijaya lalu pergi. Wijaya menuju kantor Hendra untuk menanyakan pendapatnya.

"Ya, dia ngomong begitu sama saya. Lantas, Anda tertarik?"

"Saya justru mau minta pendapat."

"Demi kenyamanan dan ketenteraman ibu dan istri Anda, apa salahnya dicoba? Tentunya kalau mereka mau lho."

"Emangnya bisa dicoba?"

"Coba saja dulu. Jangan langsung tukar-tukaran.

Misalnya Anda minta waktu satu-dua bulan tinggal di sana. Kalau menyenangkan bisa seterusnya. Kalau nggak kan batal. Hitung-hitung Anda nyewa tempat sebelum pindah beneran."

"Nyewa tempat apa maksud Anda?"

"Begini. Dia kan minta tukar tambah? Nah, uang tambahan itu jangan dibayar penuh, tapi sebagian dulu. Demikian pula dengan urusan surat-surat. Kalau batal karena Anda atau keluarga nggak suka tempat itu, maka uang itu hilang. Hitung-hitung sewa tempat saja. Buat dia sih lumayan. Daripada dibiarkan kosong lama-lama, dia bisa pula dapat duit."

Wijaya manggut-manggut. Ide Hendra itu cukup baik.

"Tapi Anda mesti minta pendapat istri dan ibu dulu, Pak," Hendra mengingatkan.

"Oh ya. Tentu saja."

Ketika berjalan kembali ke apartemennya, perasaan Wijaya lebih lega. Tapi ia punya persangkaan, Hendra yang memberi informasi kepada Budiman. Hendra agak membujuknya tadi. Bisa dimaklumi kalau ia merasa khawatir bila penghuni pada pindah.

Rama dan Ava memutuskan akan menetap di situ sampai Agung sembuh. Kelak keputusan akan mereka serahkan pada Agung. Bila Agung tak lagi ingin

tinggal di situ karena trauma, maka mereka akan pindah. Mereka berdua tidak punya masalah dengan apartemen itu. Tapi yang penting tentunya adalah Agung.

Nadia sepakat dengan keputusan mereka. Ia senang karena kedua orang itu sekarang sudah sehati.

"Sepertinya misteri sudah terungkap sekarang," kata Ava sewaktu mereka berbincang bertiga di apartemennya.

Suasana sudah ceria dan penuh harapan karena Agung sudah menunjukkan tanda-tanda positif ke arah kesadaran.

"Kelihatannya begitu," sahut Nadia.

"Topeng dan sarung tangan yang ia sembunyikan pasti sudah merupakan petunjuk. Apalagi soal mantel itu. Siapa lagi yang mengambilnya di gudang kalau bukan Ningsih? Penggunaan sarung tangan tentu supaya tidak meninggalkan sidik jari. Nyatanya memang nggak ada sidik jarinya. Nggak sangka dia begitu pinter."

"Jadi sebenarnya Ningsih berbuat apa. ya?" Nadia bertanya sendiri.

"Dia memakai mantel dan topeng, lalu masuk ke sini. dan membuang Ani dan Agung ke bawah? Masa sih Ani mau membukakan pintu buat dia?"

"Pakainya belakangan." Ava menebak.

"Kalau dia mengetuk pintu pagi-pagi begitu dengan alasan ini itu, masa sih si Ani nggak membukakan pintu? Lalu barang itu dipakainya di dalam."

"Tapi buat apa dia pakai begituan? Kan si Ani mabuk? Lihat orang juga nggak jelas, barangkali."

"Justru karena dia mabuk itulah dia nggak bisa mikir."

"Dan Agung?" tanya Nadia, lalu menjawab sendiri,

"Mungkinkah dia pakai mantel dan topeng untuk menakut-nakuti Agung? Supaya nggak dikenali? Mungkin dia hanya bermaksud menyingkirkan Ani, tapi Agung terlibat entah gimana. Dipikirnya Agung toh anak kecil."

"Yang bisa menjawab itu hanya Agung," kata Rama.

"Tapi bisakah dia ditanyai tanpa membangkitkan traumanya? Tadi aku ditelepon Pak Robin, katanya dia menengok Agung lalu mengajaknya bicara. Dia bilang, nanti kalau Agung sembuh supaya mau cerita tentang kejadian itu. Tahu apa yang terjadi? Agung mengeluarkan air mata!" kata Nadia. Dia baru mendapat kesempatan bercerita karena kasus Ningsih telah menyita perhatian semua orang.

Rama dan Ava terkejut.

"Wah, kalau begitu jangan ditanyain dong. Tunggu aja sampai dia cerita sendiri," kata Ava.

"Betul sekali. Pak Robin juga bilang begitu. Dia menyesal sekali telah bicara seperti itu kepada Agung. Tapi ia sudah memperbaiki dengan bicara yang lain, karena katanya ia pun dihadiahi senyuman oleh Agung."

"Oh ya? Wah, si Agung kok ngobral senyum pada sembarang orang," Ava sedikit jengkel.

"Hei, jangan iri dong. Apa hak kamu itu melarang orang?"

"Nggak sih. Tapi..."

"Dia tersenyum pada orang-orang yang mengajaknya bicara, yang memahami dirinya, Mbak. Bukan sembarang orang. Apalagi Pak Robin itu sangat membantu kita. Mana dia pernah minta sesuatu sebagai imbalan?"

"Iya. Kau benar," Ava baru ingat.

"Jarang memang ada yang kayak dia." Rama membenarkan.

"Sepertinya dia jadi terlibat dengan kita secara pribadi, ya? Apa iya selalu begitu dalam setiap kasus yang ditanganinya?"

"Mungkin dia tertarik padamu, Na," kata Ava.

Nadia tertawa.

"Tentu saja nggak. Dia ramah dan santun kepada setiap orang. Aku diperlukan sebagai informan dan penasihat gratis. Demikian pula Barata. Dia mengatakannya terus terang. Orangnya terbuka. Biarpun kami ini amatiran. tapi kelebihan kami kan kedekatan dengan kasus."

"Jadi dalam setiap kasus dia begitu?"

"Katanya dia berusaha, tapi tidak selalu berhasil. Ada yang curiga, salah sangka, atau malah takut. Tergantung orang yang dia hadapi."

"Oh ya. apakah kau sudah bertemu dengan Evita? Dia nyari kamu, sepertinya pengin ngomong."

"Ya, aku memang berniat ke tempatnya sebentar lagi. Atau sekarang saja, ya? Mau nengokin Bu Oni juga. Kasihan dia."

"Kami udah nengokin. Wah, dia nangis tersedu sedu ketika aku menghiburnya. Jadi siap-siap saja."

Nadia tertawa. Ia pamitan. Di depan pintu apartemen Wijaya ia menunggu karena melihat Wijaya sedang berjalan ke arahnya.

Wijaya menyalami Nadia.

"Kebetulan sekali. Mbak Nana bisa saya mintai pendapat."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh ya?"

"Nantilah ngomongnya. Sekalian di depan istri dan ibuku. Ayo silakan masuk."

Evita menyambut Nadia dengan hangat.

"Kamu dari seberang, ya?"

"Iya. Tahu aja."

"Aku ngintip dari pintu tadi."

Nadia memeluk Leoni dan mencium pipinya kiri dan kanan. Pipi yang penuh dan hangat, pikirnya. Tapi sangkaan Ava keliru karena Le0ni tidak menangis. Tampaknya tegar saja.

Wijaya tidak segera menyampaikan pertemuannya dengan Budiman. Ia menunggu dulu sampai Evita membawakan minuman untuk mereka semua. Leoni mendapat teh hangat manis. sedang yang lain minuman dingin. Baru setelah Evita duduk bersama,

Wijaya menceritakan masalah tadi. Ia berusaha supaya Leoni bisa membaca gerak bibirnya meskipun yakin Leoni bisa mendengarnya dengan baik.

"Bukankah tempat itu pernah...," Evita menghentikan ucapannya setelah melihat ekspresi Wijaya dan juga Nadia. Ia kelepasan ngomong. Untung bisa berhenti.

"Pernah apa?" tanya Leoni tajam.

Suatu bukti bahwa ia bisa mendengar karena Evita duduk di sebelahnya. Ia pun tidak berpurapura mengenai hal itu.

"Pernah sengketa." sahut Nadia cepat "Ada yang memperebutkan, Bu. Seru berantemnya. Saya diceritai kakak saya."

Wijaya mengangguk dengan perasaan bersyukur. Leoni tidak boleh tahu mengenai riwayat apartemen Budiman itu.

"Jadi sekarang saya minta pendapat. Gimana nih? Apa tawaran itu sebaiknya diterima saja? Kalau jadi, kita bisa pindah lebih gampang. Tentunya sampai mendapat tempat yang cocok."

"Kalau diambil sebaiknya sewa bulanan saja, Pak. Jangan tukar tambah," kata Nadia.

"Jadinya nggak ada beban. Buat Pak Budiman pun lumayan karena apartemennya nggak kosong terus-terusan. Siapa tahu sesudah Bapak ada yang mau nyewa lagi. Atau ada yang beli.

"

"Aku bosen tinggal di tempat kayak gini. Nggak lihat apa-apa. Aku pengin punya kebun, bisa lihat tanaman," kata Leoni.

"Kan ini cuma sementara, Ma. Sampai kita mendapat rumah yang cocok," kata Wijaya.

"Kelihatannya kau tertarik, Pa?" tanya Evita.

"Itu solusi yang rasanya pas. Tapi kan kita belum tahu juga apa Pak Budiman itu mau dengan sistem sewa. Dia penginnya tukar tambah. Kalau yang itu

sih aku nggak mau. Kalau sewa sih oke. tapi tentunya kalian harus setuju juga."

Leoni cemberut. Tapi ia masih diam.

Nadia tertarik mengamatinya. Ia merasa iba bukan hanya kepada Leoni, tapi juga kepada Evita. Kelihatannya Evita bakal terikat dengan ibu mertuanya itu dalam jangka panjang.

"Bagaimana dengan Pak Rama dan Bu Ava, Na? Apa mereka akan bertahan tinggal di sini?" tanya Evita.

"Oh iya. Mereka akan menunggu sampai Agung sembuh. Nanti terserah Agung apa dia mau tetap tinggal di sini atau nggak. Oh ya, dia sudah banyak kemajuan, Ev. Sudah bisa senyum dan menggerakkan tangannya. Kita bisa berharap dia akan segera sadar."

Ucapan Nadia itu membuat kepala Leoni tersentak. Ia memutar tubuhnya supaya bisa menatap Nadia dengan lebih baik.

"Aku pengin lihat Agung!" seru Leoni.

Yang lain saling berpandangan.

"Betul, Ma?" tanya Wijaya.

"Memangnya aku bercanda?" sahut Leoni ketus.

"Kenapa nggak nanti saja kalau dia sudah sadar?" tanya Nadia, sedikit khawatir akan tanggapan Leoni.

"Betul sekali," Evita cepat menanggapi.

"Buat Mama kan lebih enak melihatnya. Agung juga akan senang melihat Mama mau menjenguknya."

Leoni tidak menjawab. Ia hanya mencibir. Tingkahnya seperti kanak-kanak.

"Baiklah kalau begitu. Mama setuju. ya? Pasti Mbak Nana akan memberitahu kalau Agung sudah sadar," kata Wijaya.

"Oh ya, sudah pasti."

"Sekarang kembali ke masalah tadi," kata Wijaya.

"Evi dan Mama setuju, nggak?"

"Kayaknya kita memang nggak bisa mikir lama lama. Mikir lama berarti tinggal di sini lebih lama," sahut Evita.

"Ya, aku setuju. Kita pindah saja ke situ dulu. Toh untuk sementara. Yang penting kita bisa keluar dari sini secepatnya. Tinggal kau nego lagi sama Pak Budiman itu. Gimana kalau menyewa dan berapa sewanya."

"Mama gimana?" tanya Wijaya.

"Di sana kita berseberangan sama Henri dan Santi."

Leoni tidak segera menjawab. Untuk sesaat ia berbuat seolah tidak mendengar. Tapi orang-orang tidak terkecoh. Mereka mengamatinya dan menunggu. Leoni memutar matanya berkeliling dan mendapati pandang orang-orang kepadanya. Ia tampak kesal.

"Kalau aku nggak mau, tapi kalian mau, aku bisa apa? Dulu aku diancam mau dimasukkan rumah jompo kalau nggak mau tinggal di sini. Sekarang apa mau ngancam lagi?" katanya ketus.

"Jangan begitu, Ma," kata Wijaya.

"Pikirkan buat kepentingan bersama dong."

Leoni memonyongkan mulutnya.

"Ayo dong, Ma."

"Pengin lihat dulu tempatnya."

"Buat apa, Ma? Sama kok kayak di sini. Cuma perabotannya aja beda. Kalau jadi kita akan sewa berikut perabotannya saja. Jadi nggak repot."

"Ya-ya-ya!" seru Leoni.

"Nah, gitu dong!" Wijaya melompat lalu mencium kening Leoni.

"Terima kasih ya, Ma."

Leoni tidak berkata apa-apa. Dia hanya merajuk supaya dibujuk. Dari dulu akalnya selalu begitu.

Nadia cepat berdiri.

"Syukurlah kalau sudah ada kesepakatan. Saya harap sukses ya, Mas."

Wijaya juga berdiri.

"Mari kita turun sama-sama, Mbak. Saya mau ketemu Pak Hendra."

Evita ikut mengantarkan Nadia sampai ke pintu.

"Nanti saya telepon ya, Na."

"Oh ya. Saya tunggu."

Sambil berjalan ke lift Wijaya berkata,

"Evi stres karena harus di rumah lagi. Tapi ibu saya kelihatannya menjadi lebih baik dibanding dulu."

"Mudah-mudahan begitu, Pak," Nadia berkata dengan sepenuh hati. Ia merasa iba kepada Evita. Sepanjang hari di rumah saja bersama seorang ibu mertua seperti Leoni sungguh tak terbayangkan olehnya. Bila seorang pembantu masih punya hari libur, apakah untuk Evita sebagai menantu ada hal yang sama?

Setelah berada di mobilnya ia menelepon Ava untuk memberitahu soal itu.

"Aku harap mereka nggak pergi dari sini. Pokoknya kalau mereka jadi pindah, aku akan bantu bantu deh." kata Ava dengan antusias.

"Di tempat

baru ada kemungkinan Evi bisa dapat pembantu lagi. Biarpun Bu Oni nggak mau, tapi kalau sudah ada kan dia nggak bisa menolak. Kasihan juga Evi, ya."

Malamnya Nadia mendapat telepon dari Evita.

"Nego sudah beres. Langsung malam ini juga diselesaikan semuanya. Pak Budiman itu sepertinya perlu uang mendesak. Kami sewa minimal untuk tiga bulan. Kunci sudah dikasih. Kami kerja keras malam ini, Na. Ava sudah dikabarin. Dia dan Rama mau membantu. Wah, terima kasih banget deh. Baru kali ini kami merasakan kedekatan dengan tetangga. Kayaknya perlu musibah dulu ya."

Nadia tersenyum oleh nada semangat dalam suara Evita .Mungkinkah karena itu musibah selalu saja terjadi?



ROBIN dan rekan-rekannya sudah mendiskusikan hasil autopsi Ningsih. Mereka sepakat bahwa Ningsih bunuh diri didorong penyesalan yang sangat karena dialah yang telah melemparkan Ani dan Agung. Tapi masih ada satu hal yang juga jadi pendorong utama atau motivasinya. yaitu putus asa karena Gito yang dikasihinya tak mau bertanggung jawab. Dari hasil autopsi itu diketahui bahwa ia tengah hamil satu setengah bulan! Memang belum pasti bahwa yang menghamilinya adalah Gito, tapi kemungkinan besar adalah dia. Kalau Gito berhasil ditemukan, maka bisa dilakukan pemeriksaan DNA untuk memastikannya. Skenario yang diperkirakan adalah sebagai berikut, Ningsih sudah merencanakan perbuatannya setelah ia diberitahu Ani bahwa kedua majikannya akan pulang larut pada malam Minggu saat kejadian itu. Apalagi kedua majikannya sendiri tak ada di

rumah dan baru pulang esok. Ia mengajak Ani untuk pesta minum-minum pada pagi hari setelah kedua majikan Ani tidur lelap. Kenapa tidak malam saja saat Rama dan Ava belum pulang? Ningsih sudah tahu dari Ani bahwa Rama memiliki kebiasaan minum pada saat baru pulang ke rumah. Jadi bila mereka ikut minum sebelum Rama pulang, pasti Rama akan menyadari isi botolnya berkurang. Kalau di pagi hari mungkin Rama sudah tidak ingat berapa banyak yang diminumnya. Ningsih pasti sudah diceritai Ani bahwa ia suka mencuri minuman majikannya. Karena ada kesepakatan itulah maka Ani sebagai "orang dalam" tahu betul kapan kedua majikannya lelap tidur.

Bagaimana bila Leoni merepotkan Ningsih di pagi hari itu hingga rencananya tidak bisa dijalankan? Dia memberi nenek itu obat tidur. Sama seperti yang dilakukannya belakangan. Di dalam gelas Leoni ditemukan obat tidur dosis ringan, tapi cukup untuk membuatnya lelap. Hal itu sesuai dengan pengakuan Ningsih maupun Leoni sendiri bahwa mereka bangun kesiangan pada pagi kejadian.

Kemungkinan pada saat mereka tengah minum minum itu Agung masih tidur. Berbeda dengan Ani, Ningsih menjaga minumnya hingga tidak sampai mabuk. Ia mendorong Ani supaya terus minum sedang ia sendiri pura-pura minum. Setelah yakin Ani mabuk, barulah Ningsih mengenakan mantel hitam dan topengnya, juga sarung tangan, lalu menyeret Ani ke balkon. Ia melihat situasi yang sepi. Tapi

kemudian Agung bangun dan berlari untuk menyelamatkan Ani, tapi risikonya dia sendiri ikut terjatuh. Sulit untuk menuduh Ningsih sengaja menjatukan Agung, karena tidak ada alasannya. Tentunya dia bisa saja memukul Agung sampai pingsan lalu berlari keluar karena Agung tentu tidak mengenalinya. Tapi hal itu tidak sempat terjadi karena Agung keburu jatuh.

Setelah itu ia membuka mantel hitamnya lalu membersihkan dengan cermat. kalau-kalau ada sidik jari yang tertinggal. Lalu ia menggantungkannya di kamar Ani. Hal ini menimbulkan pertanyaan, kenapa ia tidak membawa serta saja mantel itu dan mengembalikannya ke gudang dari mana ia mengambilnya? Ada dugaan bahwa keisenganlah yang mendorongnya melakukan hal itu. Sengaja untuk membingungkan orang.

Pertanyaan itu mengganggu pikiran Robin. Bagaimanapun jawaban yang paling benar hanya bisa diberikan oleh Ningsih, padahal ia sudah tiada. Dan tentu saja Agung. Apakah Agung mau menceritakannya? Ia teringat pada air mata Agung ketika ia mengajaknya bicara.

Mengenai alasan kebencian Ningsih pada Ani tidak sulit untuk diperkirakan. Ningsih pasti cemburu dan sakit hati pada Ani. Ani yang dikenalnya gampangan dijanjikan oleh Gito untuk dinikahi sementara dirinya yang serius mencintai Gito, hamil karena ulah lelaki itu. Tetapi untuk hal ini mereka perlu klarifikasi dari Gito. Ada dugaan ia merasa

bersalah hingga memutuskan untuk kabur. Tapi bisa juga ia kabur untuk menghindar dari tuntutan Ningsih.

Sesungguhnya bisa saja terjadi bahwa seorang perempuan muda yang tampak lugu dan sederhana mampu membunuh. Kemampuan membunuh tidak ditentukan oleh faktor fisik atau tampilan luar. Dendam yang jadi pendorong pun tak selalu harus luar biasa besar untuk membuat seseorang menjadi pembunuh. Bisa saja itu tidak patut disebut sebagai dendam melainkan kemarahan atau ketersinggungan yang penyebabnya hal sepele. Pasti ada penyebabnya, biarpun sepele. Kalau tidak ada penyebab, maka patut diduga bahwa pelakunya memiliki kelainan jiwa.

Pada pemeriksaan sidik jari yang dilakukan di dalam gudang tidak ditemukan sidik jari Ningsih. Dugaannya, ia mengenakan sarung tangan. Pada barang-barang yang berserakan di situ ada beberapa sidik jari, di antaranya milik Wijaya dan Leoni, juga Evita. Bisa dimaklumi karena barang-barang itu milik mereka.

Pemeriksaan pada sarung tangan yang ditemukan di dalam lemari pakaian Ningsih ditemukan sidik jari yang jelas. Di sebelah luar maupun di sebelah dalam terdapat sidik jari Ningsih. Tapi pada topeng tidak terdapat sidik jari. Sekarang benda itu masih diselidiki dengan cemiat, terutama bagian dalamnya karena bagian itu bersinggungan dengan muka Ningsih. Hasil pemeriksaan belum menjurus pada sesuatu.

Robin mendapat kabar bahwa keluarga Wijaya baru saja pindah ke apartemen kosong di seberang milik Henri. Ia senang karena itu berarti ia tidak perlu pergi jauh-jauh bila memerlukan keterangan tambahan nanti.

Dua hari setelah keluarga Wijaya pindah ia menghubungi Wijaya untuk menanyakan kesediaan menerimanya berkunjung. Wijaya sangat antusias dan mengatakan sore itu juga bisa. Robin akan menunggu di lobi. Ia tak enak bila langsung bertemu dengan Evita, lebih-lebih dengan Leoni. Ia merasa berkewajiban untuk memberitahu perkembangan penyelidikan meskipun tidak harus melakukannya.

Wijaya senang sekali ketika mendengar keterangan Robin.

"Jadi sudah tuntas ya, Pak. Lega mendengarnya."

"Memang kami masih memerlukan kesaksian dari Agung kalau dia sudah sadar nanti. Tapi tidak bisa buru-buru. Mungkin perlu bantuan psikolog juga."

"Ya. Toh semuanya sudah menjurus pada Ningsih."

"Saya masih ingin memeriksa lagi apartemen Anda, terutama kamar Ningsih."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Silakan saja, Pak. Ayo sama-sama? Semua barang yang nggak perlu dipakai kami tinggalkan di sana. Toh yang kami pakai perabot milik Pak Budiman termasuk tempat tidurnya. Repot kalau ditukar-tukar, pindah sana-sini."

Mereka bicara sambil berjalan.

"Bagaimana dengan alat bantu yang diperlukan Bu Oni?"

"Sudah dipasang pada hari pertama, Pak. Nggak sangka ibu saya ternyata kooperatif. Serba darurat juga mau saja. Nggak cerewet seperti biasanya."

"Tentu dia memahami keadaan, Pak."

"Nggak selalu begitu, Pak. Kadang-kadang cerewet dan keras kepalanya suka muncul. Angin-anginan, gitu."

"Bagaimana dengan Bu Evi? Seharian di rumah tentu membuat dia sumpek."

"Ya. Dia harus bersabar. Kami akan cari pembantu lagi."

Mereka tiba di depan apartemen Wijaya. Dari dalam tasnya Wijaya mengeluarkan kunci.

"Wah, kuncinya dibawa-bawa," komentar Robin.

"Iya. Kunci ini disatukan dengan beberapa kunci lain. Maksudnya supaya nggak ketinggalan dan hilang kalau terpisah-pisah."

Mereka memasuki apartemen yang tampak masih seperti biasanya. Hanya udaranya agak pengap karena AC tidak dipasang. Wijaya bergegas ke balkon untuk membuka pintunya. Ia menemani Robin. Sebenarnya ia agak ngeri waktu memasuki kamar Ningsih, tapi malu memperlihatkannya. Semuanya masih seperti saat ditinggalkan.

"Barang-barangnya sudah dimasukkan koper dan kantong, Pak. Terus dititipkan sama Pak Hendra. Jadi bisa diambil keluarganya," jelas Wijaya.

"Sudah ketemu pensilnya, Pak?" tanya Robin.

"Oh, yang dipakai nulis? Nggak, Pak. Mungkin dibuang, ya?"

"Ya sudah. Nggak apa-apa. Saya mau lihat kamar Bu Oni."

Waktu kejadian kamar itu tidak diperiksa karena dianggap tidak ada relevansinya.

"Kenapa, Pak?" tanya Wijaya heran.

"Nggak apa-apa. Cuma pengin lihat aja. Alat bantunya kayak apa sih."

Pintu kamar Leoni terbuka lebar. Kamarnya cukup luas untuk satu orang.

"Harusnya ini kamar tamu," jelas Wijaya.

"Tapi karena ibu saya pakai kursi roda, ia butuh ruang lebih lega untuk berputar. Jadi kamar tamunya lebih kecil. Toh kami jarang menerima tamu yang menginap. Boleh dikata nggak pernah."

Mendekati tempat tidur, hidung Robin kembangkempis.

"Ini pasti bau minyak angin yang suka dipakai Bu Oni," ia menebak.

"Betul, Pak. Orangnya sudah pindah. baunya ketinggalan." Wijaya tertawa.

"Baunya tajam ya, Pak? Kalau kami sih sudah biasa. Ibu saya suka banget pakai itu. Boros, lagi. pakainya. Digosok di hidung, di dahi, di bawah telinga, di belakang leher. Katanya panasnya enak, nyerep ke otak. Si Ningsih yang suka ribut, nggak suka baunya."

"Ya. Saya pernah lihat dia memakainya waktu pertama bertemu. Merek apa sih minyak anginnya?"



"Mungkin yang kosong masih ada di sini."

Wijaya membuka laci meja kecil di samping tempat tidur. Di situ terdapat beberapa botol kecil dengan etiket warna hijau.

"Persediaan kok nggak dibawa?" tanya Robin.

"Oh, itu botol kosong. Nggak boleh dibuang." Wijaya tertawa.

"Biarin aja supaya dia senang."

Ketika Wijaya memandang ke arah lain. diam diam Robin mencomot sebuah botol lalu memasukkannya ke dalam sakunya. Kemudian ia mengamati handel dari stainless steel yang dibor ke dalam tembok di sisi tempat tidur. Ia menarik-nariknya.

"Apa cukup kuat ditarik oleh orang seberat Bu Leoni?"

"Oh iya. Sudah terbukti, kan?"

"Istri Anda orang yang sabar. Dulu pernah mengalami trauma, bukan?"

Wijaya geleng geleng kepala.

"Ya, berat sekali buat dia. Tentu buat saya juga. Kami kehilangan anak kami."

"Maaf, kalau saya boleh bertanya. Kalian tidak mencoba punya anak lagi? Mumpung masih muda, Pak."

Wijaya tersenyum malu.

"Oh ya, sekarang kami sedang berusaha. Tapi belum dikasih oleh Yang Di Atas."

"Baru mulai berusaha?" tanya Robin dengan sikap perhatian. Bukan ingin tahu.

Wijaya pun tak keberatan bercerita,

"Ya. Tadinya Evi nggak mau punya anak lagi. Dia pernah bilang,

nanti kalau ibu saya sudah nggak ada, baru mau punya anak. Entah kapan itu. Untunglah dia berubah pikiran."

"Anda nggak membujuknya?"

"Saya menyerahkan keputusan itu kepadanya. Kasihan. Bagaimana kalau demi saya dia terpaksa mengandung dengan segala akibatnya? Saya takut terjadi sesuatu. Maksud saya secara kejiwaan."

"Anda bijak," kata Robin dengan kagum.

"Tadinya saya pikir, Anda nggak mau punya anak demi ibu Anda. Maaf, ya."

"Oh, nggak begitu. Mungkin orang mengira karena saya ini anak tunggal. jadi anak mama gitu, maka saya mementingkan ibu saya di atas yang lain. Padahal istri saya berharga sekali. Jarang orang kayak dia. Coba kalau orang lain, mungkin saya disuruh memilih. Pilih ibu atau pilih istri."

"Itu pasti pilihan yang sulit."

"Tentu saja."

Mereka keluar. Wijaya mengunci pintu kembali.

"Anda ikut ke rumah? Minum dulu," ia mengajak.

"Baik. Terima kasih. Saya juga ingin menjenguk istri dan ibu Anda."

Evita menyambut Robin dengan hangat. Tapi Leoni menatapnya dengan selidik dan curiga.

"Bagaimana suasananya di sini, Bu?" tanya Robin pada Evita.

"Rasanya nggak ada bedanya. Cuma perabotannya saja yang mengingatkan bahwa di sini lain. Dan

kalau membuka pintu ke balkon, yang dilihat kok atap rumah-rumah," tutur Evita.

"Ibu gimana?" tanya Robin pada Leoni. Suaranya biasa tapi bicara berhadapan.

"Uh, aku sih pengin punya kebon," sahut Leoni tanpa menatap Robin.

"Besok pagi kita turun dan jalan-jalan di taman, Ma," kata Evita.

"Emangnya aku bisa jalan?" nadanya agak ketus. Tapi tidak keras.

"Pakai kursi dong, Ma. Didorong. Di sana juga banyak tanaman yang bagus-bagus. Bisa dipandangin. Bisa dipegang-pegang."

"Bilang aja kamu yang pengin nampang ke sana ke sini!"

Evita hanya tersenyum. Robin harus mengakui kebenaran pendapat Wijaya, bahwa istri seperti Evita sungguh berharga.

* * *

Barata sudah mau pulang ketika ia melihat Robin datang dan bicara dengan Wijaya. Robin pun melihatnya dan memberi tanda yang dipahaminya sebagai permintaan ingin benemu. Maka ia menunggu di halaman parkir di dekat motor Robin. Tapi ia harus menunggu cukup lama. Ia memanfaatkan waktu untuk mengirim SMS kepada Nadia.

Gimana Agung, Mbak?

Wah, kemajuannya nambah. Bar Dia sudah membalik tubuh. Tangan dan kaki bergerak. Tapi matanya masih merem. Senyumnya jadi lucu. Diajak ngomong senyum. Tapi nggak mau ngomong. Disuruh ngomong, senyum. Dokter bilang apa. Mbak?

Katanya, sabar aja. Kemajuan itu kan udah bagus. Iya sih. Cuma kita kan nggak sabar. Kadang-kadang berpikir si Agung lagi mainmain. Kapan mau ke sini? Tempo hari pengin lihat senyum nggak jadi gara-gara kasus Ningsih.

Maunya sih sekarang, Mbak. Saya nggak pulang dulu. Saya mandi di sini. Bawa baju dari rumah. Kalo pakai seragam kan lucu. Entar dikira satpam RS.

Emangnya nunggu apa lagi?

Nunggu Robin. Dia lagi ngomong sama Wijaya.

Wah. pasti ada kabar baru. Ajaklah dia ke sini sekalian. Bar!

Ya, saya akan ajak dia. Mbak mau nunggu?

Oh ya. Saya tunggu.

Sebenarnya Robin tidak berniat menjenguk Agung saat itu. Ia hanya ingin bicara dengan Barata. Sudah beberapa hari ia tidak bertemu. Ia kangen ingin berbincang berdua saja di rumah Barata. Setelah sebagian besar pemasalahan selesai, ia ingin bersantai.

"Kau sudah melihat senyumnya. Saya belum," kata Barata.

"Iya deh. Senyumnya di saat sekarang dengan senyumnya nanti kalau sudah sadar pasti beda, ya?"

"Jelas. Makanya tunggu kapan lagi? Kau saja kesenangan waktu melihat senyumnya. Iya, kan?"

"Ya betul. Ayolah kita pergi. Gimana perginya? Pake motor sendiri-sendiri atau boncengan?"

"Sendiri-sendiri aja. Saya kan nggak mau balik lagi ke sini untuk ambil motor. Bisa terus pulang."

Mereka menjumpai Nadia sendirian di kamar Agung. Nadia sedang membacakan buku. Agung tidur telentang dengan dua bantal di bawah kepalanya. Matanya terpejam. Raut wajahnya terlihat tenang dan nyaman. Di mata Barata. raut wajah Agung itu berbeda dibanding saat pertama ia melihatnya. Dulu ia kelihatan tegang karena urat-uratnya di kening sedikit menonjol.

Nadia meletakkan bukunya.

"Gung, ada Oom Barata dan Oom Robin. Masih ingat?"

Kelopak mata Agung bergerak-gerak. Ketiga

orang mengamati dengan tegang dan penuh harap. Tapi cuma itu saja. Sepertinya kelopak mata itu merekat dengan lem yang kuat hingga susah dibuka. Nadia mengulurkan tangan lalu mengusap mata Agung.

Barata mendekat.

"Hai, Gung!" ia menyapa.

Nadia menyisih memberi tempat pada Barata. Robin berdiri di sisi tempat tidur satunya lagi.

Barata memeluk leher Agung lalu mencium pipinya.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Senang sekali melihatmu sudah tambah segar, Gung!" kata Barata di dekat telinga Agung.

Bibir Agung merekah. Ia tersenyum. Barata merasa seolah melihat bunga yang tengah mekar. Ia bahagia sekali. Lalu membungkuk kembali untuk mencium keningnya.

"Oom Bara!"

Barata menyentakkan tubuhnya dengan terkejut. Itu suara Agung! Kedua orang yang lain juga tak kalah terkejutnya. Mereka semua menatap tajam ke wajah Agung.

'Gung! Tadi ngomong, kan?" kata Nadia.

Agung tersenyum. Kelopak matanya bergerak gerak.

"Tante Nana!"

Nadia menubruk Agung, memeluknya dengan erat.

"Oh. Gung! Senangnya mendengar suaramu. Senang sekali. Bahagia sekali. Kenapa begitu lama, Gung?"

Mata Agung terbuka pelan-pelan. Berkedip-kedip, menutup. lalu membuka lagi. Silau melihat cahaya.

Ia membuat semua orang di sisinya menunggu dengan tegang dan penuh harap. Mereka menahan napas. Tak ada yang berani menyuruhnya cepat-cepat. Semua bersabar untuk mendapatkan klimaks yang maksimal.

Tiba-tiba berbarengan dengan terbukanya mata Agung, ia juga duduk dengan sekali sentakan tubuh. Selang infusnya bergoyang-goyang. Tatapan matanya menggilir orang-orang di sampingnya. Lalu Nadia bersorak.

"Horeee...!" Ia memeluk Agung dan mencium pipinya kiri-kanan. Sesudah itu ia memberi kesempatan pada Barata untuk melakukan hal yang sama. Kemudian Robin mendekat dengan sedikit ragu-ragu.

"Ini Oom Robin, polisi." Nadia mengenalkan.

Agung tersenyum dan mengangguk. Ia mengulurkan kedua tangannya. Robin memeluknya.

Mereka bertiga mengerubuti Agung di dua sisi tempat tidur.

"Sayang sekali Papa dan Mama belum datang. Nanti aku telepon mereka ya, Gung."

Nadia sebenarnya tak ingin segera menyisih dari Agung, tapi ia sadar Rama dan Ava wajib diberitahu. Lewat telepon ia mendengar seruan gembira Ava yang mengatakan akan segera memberitahu Rama lalu secepatnya ke rumah sakit.

Agung memandang sekitarnya dengan tatapan heran.

"Ini rumah siapa?" ia bertanya.

"Ini rumah sakit, Sayang," kata Nadia.

"Rumah sa... kit?" ulang Agung. Kemudian tatapannya tertuju ke lengannya yang digelayuti selang infus. Ia mengamati sejenak.

"Kau tidur selama lebih dari seminggu, Gung. Baru bangun sekarang," kata Nadia lagi.

Lalu tatapan Agung pindah ke atas meja di sampingnya. Setumpuk buku ada di situ.

"Tante dan Oom Bara baca itu, kan?" katanya.

Nadia dan Barata berpandangan. Apakah itu berarti Agung bisa mendengar dari alam tak sadarnya?

"Katanya Papa dan Mama nggak mau berantem lagi, Tante."

"Ya, betul. Memang begitu. Mereka sudah sadar bahwa itu nggak baik."

"Katanya Papa sayang sama aku. Dia janji mau jadi orang baik. Hi hi hi, lucu deh, Tante."

"Lucu apaan, Gung?"

'Ngomongnya."

Nadia tertawa.

"Ah, kamu bisa aja."

"Tante janji mau ngajak nonton."

"Oh iya. Tentu. Aku udah nggak sabar pengin ngajak kamu."

"Oom Bara bilang, mau jadi temen Agung."

Wajah Barata memerah.

"Ya. Memang betul. Tapi tentunya kalau Agung mau."

"Mau, Om."

"Oom Robin juga mau," Robin ikutan bicara.

Agung mengangguk.

"Temen gede," katanya dengan serius.

"Di sana aku juga punya temen, Tante."

"Di sana? Oh... ya. Siapa temanmu itu?"

"Namanya Dino dan iwan."

Barata tersentak kaget. Wajahnya memperlihatkan kejutan. Nadia dan Robin menatapnya dengan heran. Tapi kemudian Barata memperbaiki sikapnya. Buru-buru bertanya.

"Mainnya asyik, Gung?"

"Oh iya. Asyik banget, Oom."

"Tiap hari main?"

"Iya."

"Sekarang nggak bisa main lagi sama mereka dong."

"Nggak apa-apa. Kan di sini temennya lain," sahut Agung lancar.

"Betul sekali, Gung."

Kemudian Rama dan Ava menghambur masuk. Robin, Barata. dan Nadia cepat menyisih memberi tempat.

Setelah kenyang memeluki dan menciumi Agung, Ava ribut berceloteh. Ia menyesal sekali kenapa pas saat Agung sadar ia tidak ada di situ.

"Tapi nggak apa-apa. Kapan pun nggak jadi soal. Mama dan Papa senaaang banget!"

Agung tertawa dan menarik hidung ibunya.

"Katanya di sana dia asyik main sama teman-temannya, Mbak," kata Nadia.

"Namanya Dino dan Iwan."

"Wah, namanya sama kayak anak Tante Evi," kata Ava.

"Iya. Dia bilang nama mamanya Evita dan papanya Wijaya," sahut Agung polos. Wajahnya tanpa ekspresi.

Ava tersentak kaget demikian pula Rama dan yang lain. Barata pun memperlihatkan sikap resah.

"Kalau Iwan anak siapa? Apa Agung tahu?" tanya Barata tiba-tiba.

"Tahu. Papanya bernama Barata. Dan mamanya Sudewi," kata Agung, masih tanpa ekspresi.

Barata menutup mulutnya, buru-buru mundur ke belakang.

Sambil bicara Agung asyik menggoyang-goyang selang infusnya. Ia tidak memerhatikan wajah-wajah di sekitarnya.

"Eh, jangan keras-keras menggoyangnya, Gung!" kata Rama.

Ava mundur pelan-pelan sambil menarik tangan Nadia. Mereka menjauh. Barata mengikuti. Semula Robin ingin ikut juga, tapi ia khawatir kalau-kalau Agung merasakan keanehan. Jadi ia menetap bersama Rama di sisi Agung.

"Barangkali dia pernah mendengar Evi menyebut nama anaknya kepada Agung saat dia bermain di rumahnya." kata Ava pelan.

"Jadi dia mencampurkan khayalan dengan kenyataan."

"Nama anak saya Iwan, Bu," Barata nimbrung. Pelan juga.

"Tepatnya almarhum Iwan. Agung nggak pernah tahu bahwa saya punya anak dan siapa nama anak saya. Apalagi nama almarhum istri saya."

Mereka saling berpandangan dengan ekspresi aneh. Lalu menatap Agung yang sedang berbincang dan bercanda dengan Rama dan Robin. Kelihatan ceria dan cuek saja.

"Apa sebaiknya ditanya lagi lebih detail?" tanya Ava.

"Jangan, Bu," kata Barata,

"Sebaiknya jangan ditanyain banyak-banyak. Nanti juga bisa. Lihat cara bicaranya? Sepertinya nggak ada maksud membuat kita kaget"

"Ya," Nadia membenarkan.

"Buat dia pasti terlalu rumit. Dia hanya bicara apa adanya."

Mereka kembali ke sisi Agung. Anak itu menatap Ava, Nadia dan Barata dengan heran.

"Ngapain?" ia bertanya.

"Ah, nggak. Ngomong-ngomong aja," sahut Nadia cepat.

"Ngomongin aku, ya?" tanya Agung.

"Oh iya. Kok kita belum kasih tahu dokter dan perawat, ya?" sela Ava. Sengaja untuk mengalihkan perhatian Agung. Tiba-tiba, Agung berubah dari sikap cuek menjadi selidik.

"Buat apa?"

"Supaya kamu bisa cepat pulang," jawab Ava.

Agung terdiam beberapa saat. Dia menyimak perkataan ibunya dan berpikir. Lalu dia mengerutkan kening dalam-dalam. Wajahnya menampakkan kecemasan. Semua menjadi tegang. Perubahan itu terlalu mendadak.

"Ke mana Mbak Ani?" tanya Agung. Matanya bergulir seperti tengah mengingat-ingat.

"Sudah, sudah," kata Rama, membelai kepala Agung.

"Jangan mikir, ya."

Nadia cepat menekan bel untuk memanggil perawat.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mbak Aniii...!" jerit Agung. Ia menangis keras, tangan dan kakinya dientak-entakkan. Rama memeluknya erat-erat karena dia yang paling dekat. Tubuh Rama sampai ikut bergoyang. Ava membantu memegangi. Sedang Nadia memegangi lengan yang berinfus.

Perawat masuk. Kemudian perawat lain. Dokter dipanggil.

Ava dan Rama tetap di dalam kamar, sedang yang lain keluar.

Nadia, Robin. dan Barata berdiri di lorong dekat pintu kamar. Diam-diam Barata menyusut matanya. Tapi perbuatannya itu dilihat Robin dan Nadia. Mereka menepuk punggung Barata. Tak tahu mesti bilang apa.

"Nggak apa-apa." kata Barata.

"Saya cuma terharu. Anak saya tentu sudah besar. ya. Kalau nggak mana bisa main sama Agung."

"Ya. Dan juga Dino. Mereka bertiga sebaya," kata Nadia.

"Wah, apa yang akan dikatakan Evita kalau hal itu kusampaikan tiadanya?"



MALAM itu, Ava dan Rama memutuskan untuk bersama-sama menemani Agung. Anak itu sudah berhasil ditenangkan tanpa obat. Nadia dan Barata ikut memberi penghiburan, sedang Robin mengamati saja. Sebetulnya dia ingin Agung mengungkapkan semuanya, tapi menurut saran dokter sebaiknya hal itu jangan dulu dilakukan karena akan mengorek luka hati anak itu. Sementara Robin sendiri menganggap. saat ini adalah yang terbaik untuk mengungkapkan semuanya. Sesudah itu baru memberinya penghiburan untuk menyembuhkan traumanya. Bukankah itu lebih baik daripada luka ditutup hingga kering dan menyembuh tapi kemudian dikorek lagi hingga menimbulkan luka baru? Tapi ia sadar, anggapannya itu sedikit-banyak berhubungan dengan kepentingannya. Ia ingin segera mendapat kejelasan. Agung adalah saksi mata kunci.

Nadia menghibur Robin dengan menjanjikan bantuan. Ia akan berusaha mendekati Agung agar anak itu bisa bercerita tanpa merasa sedih dan ngeri. Barangkali ada cara lain, yaitu bukan dengan cara bertanya langsung. Maka Robin terpaksa berpuas diri. Ia minta Nadia menjaga Agung baik-baik. Untuk sementara ia tetap berpegang pada skenario yang telah dibuatnya.

Dari rumah sakit Nadia tidak segera kembali ke rumah kosnya. Ia menuju Srigading. Ia menelepon dulu ke apartemen Wijaya untuk menanyakan apakah ia bisa datang berkunjung karena ada hal penting yang mau disampaikannya.

Wijaya yang menerima teleponnya berkata dengan antusias,

"Tentu saja. Datanglah, Mbak Nana. Kami akan menunggu."

Evita menyambut Nadia dengan senang. Leoni tidak kelihatan di ruang duduk.

"Dia sudah tidur," kata Evita.

Tanpa berpanjang-panjang Nadia bercerita tentang kondisi Agung. Lalu sampai ke masalah nama teman Agung yang diceritakannya. Evita memekik dan Wijaya ternganga.

"Betul dia bilang begitu? Waduh!" Evita mendekap dadanya.

"Ya. Dia menyebut nama teman satunya lagi. Iwan, anak Barata dan Sudewi. Barata yang hadir di situ sampai terkaget-kaget. Iwan adalah putranya yang sudah meninggal. Istrinya pun sudah meninggal dan namanya Sudewi. Tidak ada di antara kami

yang tahu mengenai nama-nama itu. Apalagi Agung."

"Jadi... jadi Agung ketemu mereka di alam sana? Dino ada di sana?" tanya Evita dengan suara meninggi. Napasnya lebih cepat.

Wijaya merangkulnya, khawatir istrinya menjadi histeris.

Lalu terdengar teriakan dari dalam kamar Leoni,

"Wiii! Wiwiii...!"

Itu adalah panggilan untuk Wijaya yang segera melepas rangkulannya pada Evita, lalu bergegas menuju kamar ibunya. Nadia menggantikan posisinya.

"Apakah ceritaku mengagetkanmu, Ev? Maaf, ya," kata Nadia menyesal. Mungkin ia terlalu bersemangat.

"Oh, tidak. Tidak." Evita memeluk Nadia.

"Saya senang diceritai. Terima kasih, Na. Kau nggak menunggu sampai besok. Saya senang Dino baik-baik saja. Punya teman. lagi. Aduh, Na, saya mesti ketemu Agung. Saya ingin dengar ceritanya lebih banyak."

"Sabar, Ev. Jangan buru-buru."

Nadia menceritakan histeria yang melanda Agung ketika ia teringat pada Ani.

"Oh ya. Tentu saja. Kasihan sekali anak itu. Ingatan itu pasti menyakitkan."

"Ada apa sih ribut-ribut"? terdengar suara Leoni.

"Aku mau tahu."

"Sudah, Ma. Nggak ada apa-apa. Tetap sajalah di sini," Wijaya terdengar membujuk.

"Nggak. Aku mau keluar! Ada siapa di luar?"

"Wah, dia benar-benar bisa mendengar. ya," bisik Nadia pada Evita.

"iya. Kecuali kalau kita berbisik kayak gini," sahut Evita.

Leoni keluar di atas kursi rodanya. Rambutnya acak-acakan hingga terlihat seperti sarang burung. Wijaya mendorongnya. Di belakang ibunya Wijaya memonyongkan mulutnya ke arah Evita. Nadia dan Evita tidak berani tertawa atau tersenyum.

"Selamat malam, Bu," sapa Nadia.

Leoni hanya menggeram dan mengangguk saja.

"Ada berita apa sih, Na? Namanya Nana, kan?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Betul, Bu. Saya Nana. Agung sudah sadar sepenuhnya."

"Bisa bicara?"

"Bisa, Bu."

"Ngomong apa dia?"

"Katanya selama nggak sadar itu dia punya teman main. Namanya Dino dan Iwan."

Leoni mengarahkan pandang tajam pada Evita.

"Cuma itu aja?"

"Iya, Bu."

"Bohong, ah. Masa gitu aja sampai ribut." Leoni jelas tidak puas.

Evita diam saja. Dia memalingkan muka. Wijaya duduk di sampingnya lalu merangkulnya. Mereka berbisik-bisik, bahkan Nadia tak bisa mendengar apa yang mereka bisikkan. Leoni terlihat kesal.

"Begini, Bu. Kami pikir, yang dimaksud Agung adalah Dino cucu Ibu," jelas Nadia.

"Apa?" lengking suara Leoni.

"Mana bisa? Dia kan sudah meninggal. Yang namanya Dino itu kan nggak cuma satu. Banyak!"

"Agung bilang, papa Dino namanya Wijaya dan mamanya Evita."

"Huh! Ngarang aja anak itu. Mengada-ada."

Tatapan Leoni kembali mengarah pada Evita dan Wijaya yang terlihat berangkulan mesra. Keduanya tidak memandang kepadanya. Nadia tersenyum diam-diam. Ia tidak tahu apakah keduanya sengaja memanas-manasi Leoni atau mereka sedang saling memberi dukungan. Tapi ia tahu pasti mereka merasa sedih karena diingatkan kembali pada Dino. Tentu keduanya sedang membayangkan seperti apa rupa Dino bila sudah sebesar Agung.

"Kapan si Agung pulang?" tanya Leoni, memalingkan mukanya dari putra dan menantunya.

"Belum tahu. Bu."

"Nanti kasih tahu, ya. Aku pengin ketemu."

Nadia merasa heran melihat semangat Leoni.

"Baik. Bu," katanya.

"Orangtuanya masih tinggal di sini?"

"Nggak tahu juga, Bu. Tergantung Agung. Kemungkinan besar sih mereka akan pindah."

"Bagus begitu," Wijaya bersuara.

"Kasihan kalau tinggal di situ lagi. Nanti dia ingat terus."

"Betul," Evita membenarkan.

Leoni melempar pandang kesal pada Evita. Tapi

Evita sama sekali tidak memandang kepadanya. Ingatannya kepada Dino telah membangkitkan kembali kemarahannya kepada Leoni. Tapi kata-kata penghiburan dari Wijaya membuat ia mampu menekan kemarahan itu. Yang tinggal adalah kesebalan. Memandang wajah ibu mertuanya itu hanya menambah rasa sebalnya.

Nadia segera pamitan. Evita mengiringinya di lorong menuju lift. Di depan lift ia menahan Nadia.

"Sebentar, Na. Kita bicara dulu, ya. Di dalam sana udah nggak mungkin. Mama itu telinganya jadi tajam. Heran, tadinya kan budek. Saat-saat ini juga saya nggak bisa lepas darinya. Tapi tadi Wijaya menjanjikan besok akan menggantikan saya menjaga ibunya supaya saya bisa nengokin Agung. Kau ke sana besok sore?"

"Ya. Kau pergi sendiri?"

"Sendiri saja. Aku ingin sekali melihat Agung. Sejak suka main sama dia, aku selalu membayangkan Dino kira-kira seperti dia. Sekarang aku senang sekali mengetahui bahwa mereka berteman."

"Bersama Iwan anak Barata. Aku sudah memikirkannya. Sepertinya bukan kebetulan belaka bahwa Agung berteman dengan kedua anak itu. Orangtua keduanya punya kedekatan dengan Agung. Kau menyayanginya dan Barata adalah penyelamatnya."

"Betul sekali. Menurutmu, apakah aku bisa bertanya mengenai Dino kepada Agung? Misalnya bagaimana rupanya dan mainnya apa saja?"

"Kita lihat saja situasinya, Ev. Aku nggak tahu besok dia seperti apa. Mudah-mudahan sudah lebih baik. Bukan kau saja yang ingin tahu mengenai hal itu, tapi Barata juga. Dia juga mau datang lagi besok."

"Aku dan Barata rupanya punya kesamaan," Evita tersenyum.

"Padahal selama ini aku jarang bertegur sapa dengannya."

"Oh ya, jangan bilang-bilang sama Bu Leoni bahwa besok kau akan ke rumah sakit. Nanti dia pengin ikut."

"Tentu saja nggak. Wijaya sudah punya cara untuk membohonginya."

"Jadi itu yang kalian bisikkan tadi? Nggak takut kedengaran?"

"Nggak mungkin. Kau sendiri bisa dengar, nggak? Bukankah kau duduk lebih dekat?"

"Nggak dengar. Tapi kau harus tetap hati-hati. Jangan sembarang ngomong. Kau nggak lihat ekspresinya tadi waktu kau dan Wijaya berbisik-bisik. Kentara dia ingin sekali tahu."

"Ya. Bisa kubayangkan."

Mereka berpisah. Nadia masuk ke dalam lift dan Evita kembali ke apartemennya. Wijaya membukakan pintu.

"Mama sudah masuk kamar," bisik Wijaya.

"Syukurlah. Kita ngomong di dapur yuk? Aku mau bikin cokelat susu. Kau mau?" Evita berbisik

juga.

Dengan bergandengan tangan mereka berjalan ke dapur.

"Lucu juga, ya." kata Wijaya.

"Sekarang kita kalau bicara jadi pelan atau bisik-bisik. Kontras sama dulu."

Evita tertawa.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kayaknya mulai sekarang kita harus terbiasa dengan kejutan, Pa. Kuatkan jantung!"

Mereka berkendaraan motor berjejer. Menuju rumah Barata.

Sebelumnya mereka sepakat untuk membicarakan perkembangan kasus Agung dalam suasana yang lebih pribadi. Barata mengundang Robin ke rumahnya. Hal itu sesuai dengan keinginan Robin.

Barata mengeluarkan makanan kecil dan minuman ringan.

"Wah, sudah dipersiapkan rupanya?" gurau Robin. Ia senang.

"Kebetulan ada. Maksudku, tentu untuk camilan diri sendiri. Bukan untuk berdua."

Robin dan Barata sama-sama tertawa. Begitu saja mereka tak lagi ber-saya melainkan ber-aku. Pada awalnya sebutan saya lebih disebabkan karena suasana formal masih terasa. Tapi kini karena mereka berdua, dan kemungkinan besar juga Nadia, sudah lebih akrab, lebih merasakan perkawanan yang lebih erat, tanpa isyarat tertulis, mereka menyamankan hubungan itu dengan memakai kata sapa yang lebih menunjukkan keintiman.



Keduanya lalu mulai terlibat dalam pembicaraan seputar kasus Agung. Robin menceritakan skenario yang sudah disusunnya bersama rekan-rekannya.

"Ya. itu paling mengena," Barata setuju.

"Tapi sekarang, setelah Agung sadar tentunya bisa dapat tambahan. Bahkan bisa jadi ada fakta baru yang kemungkinan bisa mengubah skenariomu."

"Ya mungkin saja. Sayang dia jadi histeris."

"Terlalu mengerikan buat dia. Coba saja pikir. Dia sudah berada dalam situasi, satu kaki di alam baka sementara kaki lain masih di alam fana. .Jangankan anak kecil, orang dewasa kayak kita saja pasti merasakan hal sama."

"Kok bisa ya kejadian begitu, maksudku dia ketemu dengan Dino dan Iwan. Aku jadi merinding."

"Aku sudah belajar untuk percaya dan menerima."

"Seperti burung hitam itu?"

"Ya."

"Tapi menjelang kematian Ningsih, kau nggak melihatnya."

"Ingat waktu kau kubangunkan malam-malam dan kuceritakan tentang mimpiku? Dia datang dalam mimpi. Mungkin itu bukan cuma penjelasan tapi juga pertanda."

Robin termenung, lalu berkata dengan sendu,

"Sebenarnya aku memang punya rasa nggak enak mengenai Ningsih. Itu sebabnya saya berpesan pada Bu Evi supaya memberitahu dia bahwa si Gito akan kami cari sampai dapat. Jadi dia nggak perlu resah.

Aku nyesel karena nggak berhasil mendapatkan lelaki buaya itu sebelum Ningsih bunuh diri."

"Mungkin dia benar-benar sudah jadi buaya. Tapi bukan buaya darat melainkan buaya rawa. Makanya sulit ditemukan."

Mereka tertawa.

"Nadia mau memberitahu Bu Evi soal Agung dan Dino," kata Barata kemudian.

"Mungkin sudah ya. Dia janji mau memberitahu hasilnya."

"Tanyain aja."

"Ah, tunggu aja sebentar lagi. Mungkin mereka masih ngobrol."

"Ngomong-ngomong tentang Nadia, gimana pendapatmu tentang dia, Bar?"

Barata heran.

"Buat apa pendapatku? Menurutku dia baik, beda banget dibanding kakaknya. Oh, maksudku bukan soal fisik. Dia mandiri dan cerdas. Juga sangat perhatian. Eh, kau tertarik padanya?"

Robin tenawa.

"Aku justru mau bertanya begitu padamu. Apa kau tertarik padanya?"

"Wah, kau ini gimana sih? Sudah. kau jalan saja kalau memang tertarik. Nggak usah mikirin aku. Bukan saingan kok."

"Bagiku, dia tipe seorang sahabat yang sejati. Nggak pandang jenis dan status."

"Lantas, kenapa kau tanya-tanya begitu?"

"Cuma ingin tahu pendapatmu mengenai dia. Selama ini kau hidup melajang saja, tidakkah terpikir untuk berkeluarga lagi? Masa sendirian terus?"

"Aku memang ingin sendirian saja, Rob. Sudah terbiasa dan enak begini."

"Ah, kau takut kehilangan lagi? Jangan begitu. Setiap langkah yang kita ambil selalu ada risikonya. Kalau takut risiko maka kita diam di tempat. Padahal diam di tempat pun ada risikonya."

"Awalnya memang begitu. Tapi aku ingin hidup tenang. Sendirian adalah ketenangan. Bukan kesepian. Nggak memiliki apa-apa juga nggak membuatku merasa miskin."

"Kau masih muda. Jalan hidupmu masih panjang. Apa prinsip semacam itu bisa bertahan?"

"Entahlah. Orang bilang, manusia itu selalu bisa berubah. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi dengan diriku kelak. Yang penting, aku menjalani hidup sekarang tanpa merisaukan yang di depan. Gimana sajalah."

"Aku menghargai sekali prinsipmu itu. Tapi bagaimana dengan kebutuhan biologismu? Nggak nyari yang di lokasi atau di jalan, kan?"

"Nggak dong. Di samping hidup tenang, aku juga ingin hidup sehat dan bersih. Kau pengin tahu mengenai soal itu, ya? Ah, kita kan sama-sama lelaki. Masih ada cara lain, kan? Sebenarnya bila dikatakan sebagai kebutuhan. aku nggak sependapat. Itu tergantung pada pikiran juga. Mungkin aku lain dari yang lain. Tapi kenyataan memang begitu. Yang terbendung itu akan keluar sendiri tanpa terasa dan tanpa disengaja."

"Seperti mimpi begitu?"

"Ya. Seperti itu."

Robin geleng-geleng kepala.

"Luar biasa sekali kau ini. Seperti biarawan saja. Maaf ya, tadinya kupikir kau punya selera seks yang berbeda."

"Maksudmu, gay?"

"Ya."

"Ah, nggak juga. Mungkin bisa dikatakan aku ini orang yang benar-benar nggak punya selera. Ke sini nggak, ke sana juga nggak. Tapi aku enjoy dengan hidup seperti ini."

"Baguslah kalau begitu. Tapi andaikata kau tidak mengalami trauma kehilangan itu, tentunya jalan hidupmu lain."

"Ya, tentu saja. Itu sudah jelas. Bukankah jalan hidup seseorang itu tidak selalu lurus? Tahu-tahu ada belokan, tahu-tahu ada jurang. Nah, sekarang kau sudah tahu tentang diriku. Kenapa kau sendiri masih melajang? Dekatilah Nadia. Bisa saja dari sahabat menjadi kekasih, kan?"

Robin menggeleng.

"Kalau aku jujur, kau pasti akan berprasangka. Kau pasti akan menjauh."

"Ah, nggak mungkin. Aku jamin nggak akan."

"Saya punya selera berbeda."

Barata memahami. Tak urung ia menjadi gugup.

"Kau gay?"

"Ya."

"Lantas kenapa aku akan menjauh? Atau berprasangka?"

"Kau tentu berpikir, pantaslah dia baik sama aku.

Pantas dia suka dekat-dekat. Itu yang biasanya ada dalam pikiran seseorang."

Barata termenung sejenak. Lalu berkata pelan,

"Apa bukan karena itu kau baik dan perhatian sama aku?"

"Awalnya benar. Aku tertarik lalu coba menjajaki. Tapi sekarang tentunya aku harus tahu diri."

"Aku nggak akan menjauh, Rob. Aku hargai kejujuranmu. Terbuka seperti ini kan enak? Kita jadi sama-sama tahu."

"Oh, terima kasih, Bar. Kau nggak merasa risi bila kita masih suka ketemu dan bicara kayak gini?"

"Nggak. Aku pernah punya teman gay juga."

"Apa dia pernah mendekatimu?" Robin ingin tahu.

"Ya. Tapi setelah tahu, dia jadi teman saja. Nggak ada masalah."

"Syukurlah kalau kau bisa memahami. Jadi kita tetap seperti biasa?"

"Tentu. Aku sangat menghargai kejujuranmu. Juga sikapmu yang respek padaku."

"Jangan bilang pada Nadia, ya? Kalau perempuan suka beda."

"Tentu saja nggak. Kan nggak ada urusannya."

"Terima kasih."

Saat Robin akan pamitan, HP Barata berdering. Nadia meneleponnya.

"Sudah sampai rumah. Bar? Ada Robin di situ? Baguslah. Jadi bisa sekalian tahu ceritanya. Aku

sudah menyampaikan cerita tentang Agung main sama Dino pada keluarga Wijaya. Ya, satu keluarga mendengar, termasuk Bu Oni. Dari kamarnya ia berteriak-teriak pengin tahu. Evi sampai menangis terharu mendengar kisah itu. Katanya besok dia mau datang menjenguk. Mudah-mudahan saja kondisi Agung sudah lebih baik. Aku pesan padanya agar jangan bilang-bilang sama mertuanya kalau mau ke rumah sakit. Nanti dia pengin ikut."

"Tapi kalau Bu Evi pergi, siapa yang menjaga Bu Leoni?"

"Suaminya. Kau mau datang juga besok, Bar?"

"Mau."

"Jadi kita bisa berkumpul lagi. Apa Robin mau ikut juga?"

"Kelihatannya sih mau. Nanti kutanyakan."

"Baiklah. Sampai besok."

Usai menutup telepon Barata menyampaikan pesan Nadia kepada Robin.

"Mudah-mudahan besok nggak ada halangan," kata Robin.

"Tapi kalau aku nggak datang, kau saja yang cerita padaku."

"Beres."

Setelah Robin berlalu, Barata duduk termenung. Respeknya kepada Robin sama sekali tidak hilang karena pengakuan Robin tadi. Sebaliknya malah bertambah.


Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ESOKNYA, Gito muncul di markas Robin dan rekan-rekannya. Lelaki itu datang sendiri setelah diberitahu orang sekampungnya bahwa dirinya dicari polisi Jakarta. Kedatangannya merupakan surprise bagi Robin. Apalagi sikapnya tampak tenang saja. Tidak kelihatan gugup apalagi takut. Penampilannya rapi dengan model rambut duri landak. Di mata Robin, dia adalah tipe anak muda yang pesolek biarpun bokek. Padahal wajahnya biasa-biasa saja dengan tubuh kurus dan tinggi sedang.

"Kenapa kamu kabur?" tanya Robin.

"Saya nggak kabur. Saya cuma nggak kerasan lagi tinggal di Jakarta."

"Bukankah kami sudah mengingatkan supaya kamu memberitahu kalau pergi ke mana-mana?"

"Saya kan bukan pelaku kejahatan, Pak. Masa mesti melapor?"

"Ah, pintar berkelit aja kamu ini. Kalau bukannya kabur, masa perginya begitu mendadak? Sesudah ditanyain soal Ani, kamu terus berhenti kerja dan pergi begitu saja."

"Saya nggak pengin ingat-ingat dia lagi."

"Apa kamu tahu tentang Ningsih?"

"Tahu, Pak. Di-SMS sama teman."

"Mikir nggak bahwa Ningsih berbuat begitu karena ditinggalin kamu?"

"Ah, masa iya? Di koran saya baca katanya dia yang ngejatuhin Ani."

"Itu baru perkiraan. tahu? Jadi itu sebabnya setelah sekian lama dicari kamu baru muncul? Kamu punya keberanian dari situ, ya?"

Gito diam. Rupanya bingung mau menjawab apa.

"Tega bener kamu ninggalin si Ningsih. Lupa ya, dulu kamu pernah bilang sama saya bahwa kamu suka sama dia? Kok kamu pergi tanpa bilang-bilang? Itu kan kabur namanya."

"Ningsih mengingatkan saya pada Ani."

"Sebenarnya siapa yang kamu sukai di antara mereka?"

"Saya saya bingung, Pak."

"Apa kamu tahu bahwa Ningsih hamil?"

Gito tersentak.

"Memangnya dia bilang sama Bapak?"

"Hei, ditanya kok nanya lagi? Kamu tahu nggak?" seru Robin galak. Perlu begitu menghadapi orang seperti Gito. '

"Ta... ta tahu, Pak." Gito menjadi gugup.

"Kapan ngasih tahunya?"

"Seminggu sebelum Ani jatuh."

"Terus kamu bilang apa sama dia?"

Gito tak menjawab. Ia menunduk, memain-mainkan jari-jarinya.

"Rupanya kamu pikir, karena Ningsih sudah nggak ada, maka nggak ada yang tahu bahwa dia hamil. Bolot bener kamu. Dari hasil autopsi kan ketahuan. Ngaku nggak, bahwa kamu yang menghamili dia?"

Gito tampak sibuk mencari jawaban.

"Jangan sekali-sekali ucapin omongan klise itu ya!" ancam Robin.

"Bahwa kemungkinan itu bukan anakmu. Mentang-mentang orangnya udah nggak ada. Sekarang orang udah pinter. Tahu yang namanya pemeriksaan DNA? Kami nunggu kamu untuk dicocokkan dengan si janin. Ada hukumannya untuk orang bohong."

Gito menjadi pucat. Ia terkejut. Jelas terlihat cemas. Sesungguhnya ia tidak tahu seperti apa dan bagaimana pemeriksaan itu. Apakah menyakitkan? Buru-buru ia menjawab,

"Ya, saya mengaku, Pak. Memang hamilnya sama saya."

"Nah, begitu. Susah amat sih ngakunya? Jangan mau enaknya aja dong. Apa kamu mau jadi lelaki buaya darat?"

"Nggak, Pak."

"Jantan dong. Jangan melarikan diri dari tanggung jawab. Kalau nggak mau tanggung jawab jangan berbuat. Gimana kalau sampai dua-duanya hamil?"

Gito terkejut lagi. Mulutnya sampai ternganga.

"Tapi tapi... kan nggak, Pak."

"Ke depan jangan sekali-sekali berbuat begitu lagi. Pake kondom kek. Tahu kondom?"

"Tahu, Pak."

"Kasihan janin itu. Biar masih janin tapi itu kan anakmu. Nggak takut dia datang malam-malam minta digendong"?

"Ah, masa..."

"Lalu dalam mimpimu kau dipanggil. 'Bapaaak...! Paaak....! Kenapa bunuh saya?""

Rekan-rekan Robin tersenyum-senyum.

Gito menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bukan saya yang bunuh. Bukan saya. Ningsih sendiri yang membunuhnya."

"Tapi kalau kamu nggak kabur. dia nggak jadi putus asa. Dia sering nangis setelah ditinggal olehmu, tahu?"

Wajah Gito tampak cemas. Robin tahu, Gito takut disalahkan, tapi bukan menyesal.

"Jadi kau bilang apa padanya ketika dia memberitahu dirinya hamil? Ayo, bilang apa?'

"Saya... saya bilang nggak bisa kawin buruburu."

"Terus sikapnya gimana?"

"Dia nangis. Saya bilang. perlu waktu beberapa bulan."

"Tentunya dia udah gendut dong."

"Ya. Dia bilang begitu. Saya bilang, kalau nggak mau ribet gugurin aja. Nanti saya kasih duitnya."

"Dia mau?"

"Katanya, pikir dulu seminggu. Tapi kemudian ada kejadian Ani jatuh. Saya nggak sempat ketemu dia."

"Ya, sesudah itu kamu kabur. Kenapa kamu nggak ketemu dulu sama dia untuk merundingkan masalah itu?"

"Saya... saya takut. Pak. Saya nggak punya duit."

Robin ingin sekali menonjok lelaki itu.

"Aku harap kamu didatangi Ningsih dan anaknya. Mereka pasti pengin ngomong sama kamu."

"Oh, jangaaan..." Gito setengah menangis.

"Kamu mesti belajar bagaimana menghargai orang lain. Jangan mau enak sendiri."

"Iya, Pak."

"Hari ini kamu merenung saja dulu di sel ya."

Gito terkejut. Tapi tidak membantah. Ia pasrah.

Robin belum memutuskan apakah ia akan datang ke rumah sakit untuk ikut menjenguk Agung. Seharusnya ia ke sana untuk melihat sendiri bagaimana situasi Agung supaya bisa segera tahu bila ada fakta terbaru.

Tapi ia merasa tidak enak bertemu dengan Barata setelah pembicaraan semalam. Memang Barata penuh pengertian dan tidak berubah sikap. Justru karakter seperti itulah yang disukainya. Ia tidak salah menilai orang. Sejak melihatnya dan berbincang dengannya,

ia sudah jatuh hati. Melihat kondisi dan situasi keseharian Barata yang tetap melajang meskipun sudah lama menduda, ia menyimpan harapan. Tetapi ia tidak kunjung melihat tanda-tanda. Ia tidak berani sembarangan "menembak". karena takut hubungan menjadi rusak. Di samping hubungan pribadi, ia juga punya kepentingan untuk mendapat informasi.

Ia sempat khawatir jangan-jangan Barata menaruh hati kepada Nadia. Jangan-jangan kedua orang itu sudah menjalin hubungan khusus yang tidak diketahuinya. Sulit baginya untuk menilai Nadia. Kenapa pula gadis itu tidak punya pacar di usianya yang tidak lagi belia? Tentu tidak selalu hal itu berarti sama, yaitu kesukaan akan sesama jenis. Bisa saja itu disebabkan karena ia belum menemukan orang yang cocok.

Bagi orang yang heteroseksual, tidak terlalu sulit untuk mendekati atau "menembak" lawan jenis yang disukainya. Semuanya dianggap normal saja. Memang begitulah yang seharusnya. Tapi bagi orang seperti dirinya, harus lebih hati-hati melangkah. Menunggu didekati orang sejenis atau pergi ke klub yang khusus bukan upaya yang baik. Yang seperti itu hanya untuk pelepasan seksual saja. Dia membutuhkan lebih dari itu. Punya kedekatan dengan seseorang yang disayang, bisa curhat dan berbagi, adalah yang didambakannya. Tentu hanya satu orang. Tetapi kalau salah menilai orang, akibatnya bisa tidak menyenangkan. Ia akan terbakar sendiri, dan ia harus memadamkan apinya sendiri juga.



"Mau belanja, Ma," kata Evita, membohongi Leoni ketika ia pamit sore itu.

Wijaya menguatkan ucapan istrinya.

"Ada barang yang mesti dipilihnya sendiri. Ma."

Leoni jelas tidak percaya.

"Aku tahu kamu mau ke mana!" sergapnya.

Evita sudah buru-buru melangkah keluar, mencium pipi Wijaya. lalu bergegas pergi. Dengan kursi rodanya Leoni mengejar ke pintu. Tetapi Evita sudah pergi dan Wijaya mengunci pintu kembali pas saat Leoni sudah berada di sampingnya. Wijaya terkejut melihat semangat ibunya yang begitu besar. Ia tak menyangka bahwa ibunya bisa memiliki kekuatan seperti itu.

Tiba-tiba Leoni memukuli Wijaya dengan kedua tangannya. Wijaya sampai terhuyung ke sisi dan terimpit ke tembok karena dihalangi kursi roda ibunya.

"Jahat kamu ya! Jahat! Sekarang udah berani sekongkol sama istrimu ya!" teriak Leoni. Pipinya merah seperti tomat.

"Tenang, Ma. Sudah. Sudah," Wijaya mencoba menenangkan Leoni.

Tetapi Leoni terus saja memukuli dengan kedua tangannya bergantian. Wijaya membiarkan dirinya dipukuli sambil mendorong kursi roda tersebut. supaya ia tidak terimpit lagi. Tapi pukulan itu menyakitkan hingga ia tidak tahan. Ia berlari menghindar, tapi Leoni mengejar dengan kursi rodanya. Baru

sekarang Wijaya menyadari bahwa ibunya cukup gesit menguasai kursi rodanya. Untunglah ruangan yang sempit tidak memungkinkan Leoni mendekatinya ketika ia berlindung di balik sofa.

"Aduh, Ma. Tenang dong. Sabar. Kenapa jadi begini?" ia membujuk setengah mengeluh. Napasnya memburu karena capek dan juga tegang oleh kecemasan.

Leoni mengacung-acungkan tinjunya.

"Aku tahu ke mana si Evi pergi. Ke rumah sakit, kan? Kenapa mesti bohong?" ia berseru. Matanya berkilat tajam. Seperti terbakar api amarah.

Wijaya sadar ia tak boleh mengiyakan. Meskipun ibunya bisa menduga, entah dengan cara bagaimana, ia harus bertahan dengan kebohongannya. Kalau ia berterus terang, akibatnya bisa lebih buruk.

"Kenapa Mama nyangka begitu? Dia pergi belanja," katanya tenang. Ia heran sendiri akan kemampuannya bersikap tenang dalam sorotan tajam ibunya. Dulu-dulu ia akan gelisah dan berkeringat. Jadi bisa ketahuan dengan gampang. Sekarang rasa takut itu sudah terkikis selama periode setelah kehilangan Dino. Sedikit-sedikit sampai kemudian habis. Yang tinggal adalah rasa segan bercampur kekesalan. Tapi ia tidak mungkin bersikap kurang ajar. Respek sudah diajarkan sejak ia lahir. Dan itu tidak hilang apa pun yang dilakukan ibunya. Respek karena dia adalah ibu.

"Aku paling benci kalau dibohongi," kata Leoni.

Nada suaranya lebih menurun. Ia terpengaruh oleh sikap Wijaya.

"Nggak, Ma. Buat apa bohong?'

Wijaya keluar dari persembunyiannya di belakang sofa lalu duduk agak jauh dari ibunya. Masih waspada.

"Kamu takut aku pengin ikut ke sana, kan?" tanya Leoni.

"Biarpun Mama ikut. toh nggak bisa masuk. Anak-anak dan orang tua nggak boleh bezuk orang sakit. Apalagi pakai kursi roda."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aturan dari mana itu?"

"Aturan rumah sakit."

"Aku belum pernah dengar aturan seperti itu."

"Pokoknya begitu."

Leoni memonyongkan mulutnya. Kemarahannya Sudah mereda. Pipinya tak lagi semerah tadi.

"Kalau Mama pengin ketemu Agung, nanti aja kalau dia sudah pulang. Dia pasti pulang, kan? Dia sudah sembuh," kata Wijaya. Nadanya membujuk.

"Ah, lihat aja nanti." Leoni mengangkat bahu.

"Katanya pengin ketemu."

"Sebodo ah."

"Ya sudah. Enakan juga di rumah. Nggak capek, Ma."

"Kamu pasti lebih suka kalau aku jadi patung aja, ya?" bentak Leoni. Kemarahannya bangkit lagi.

Wijaya terkejut.

"Nggak, Ma. Nggak. Masa iya

"Kamu sekarang jadi lain, Wi. Nggak kayak dulu lagi."

Tiba-tiba Leoni mengerutkan mukanya. Badai amarahnya berubah menjadi badai kesedihan. Ia pun tersedu-sedu. Pundaknya sampai bergoyang-goyang.

Wijaya bengong sejenak. Ia tidak menyangka dan tidak siap akan perubahan mendadak itu. Ia cepat berdiri lalu menghampiri ibunya. Begitu berada di sampingnya, ia segera direngkuh Leoni dengan kedua tangannya. Leoni membenamkan wajahnya ke perut Wijaya. Dia terisak-isak di situ. Wijaya kegelian tapi berusaha menahan. Ia menepuk-nepuk pundak ibunya. Tapi kali ini memutuskan tidak berkata apa-apa. Sudah terbukti ucapannya bisa memancing reaksi tak terduga.

Karena dibiarkan seperti itu, lama-lama Leoni kelelahan juga. Ia melepas kedua tangannya yang sudah pegal-pegal. Lalu menatap wajah Wijaya. Tatapannya mengandung rasa sayang yang dalam hingga Wijaya merasa terharu. Tapi ia berusaha untuk tidak terpancing. Ia sudah tahu dari pengalaman selama ini bahwa cara yang digunakan ibunya itu merupakan upaya mengambil hati. Ibunya memang menyayanginya, tapi juga ingin menguasai.

"Mama mau makan? Aku ke dapur, ya?"

"Aku ikut. Kita makan sama-sama aja."

Wijaya bengong sejenak. Tapi ia sudah mendengar dari cerita ibunya sendiri bahwa ibunya itu pernah makan bersama Ningsih di dapur. Jadi tidak

mengherankan lagi. Hanya saja kali ini ia mengajak dirinya. Biasanya tidak pernah begitu. Bahkan ibunya selalu makan di ruang duduk di mana ia biasa berada, tak mau di ruang makan yang merangkap dapur. Mungkin kemajuan, pikirnya. Tapi tak mau berharap.



Dokter menyarankan kepada Rama dan Ava agar Agung tidak dibawa pulang ke apartemen mereka. Mereka juga tidak perlu bertanya dulu kepada anak itu, apa mau kembali ke situ atau tidak. Tempat itu bisa menghantui pikirannya dan pertanyaan ilu akan membuatnya sedih.

Dalam satu-dua hari Agung sudah bisa pulang. Jadi Rama mempersiapkan paviliun kosong rumah seorang kerabatnya. Kerabatnya itu adalah Rita, bibinya, yang pernah ikutan menjaga Agung selama koma. Rita hanya tinggal berdua saja dengan suaminya, Pandu. Mereka menempati rumah utama, sedang paviliunnya kosong. Rama akan menyewanya sambil mencari rumah yang cocok. Perabotan di apartemen dibiarkan saja dulu. Kemungkinan akan perlu waktu lama untuk bisa menjualnya.

Kondisi Agung pada hari kedua setelah ia sadar sudah lebih baik. Ia mau makan dengan lahap dan berbicara ini-itu, tapi tak pernah menyentuh pengalamannya yang mengerikan atau hal-hal yang berhubungan dengan itu. Bahkan soal teman-temannya di

alam yang lain itu pun tak disinggung. Tidak ada yang berani menanyakan. Mereka hanya menunggu Agung membicarakan sesuatu, maka topik itulah yang dibicarakan atau ditanyakan.

Topik yang dirasa paling aman adalah mengenai film. Itu yang dibicarakan Nadia ketika ia datang. Agung juga antusias. Ia diingatkan kembali pada hal-hal yang disenanginya sebelum musibah.

Barata datang berbarengan dengan Evita. Keduanya naik taksi bersama-sama. Evita mengajak Barata menemaninya karena semula Barata bermaksud naik motor. Akhirnya Barata meninggalkan motornya di Srigading. Pulang nanti mereka tentu bersama-sama lagi.

Kedatangan kedua orang itu melegakan hati Nadia. Ia sudah kehabisan bahan pembicaraan. Bicara tentang film melulu tentunya membosankan juga buat Agung. Lagi pula ia merasa tegang dan ingin tahu apakah dua orang itu akan memancing cerita Agung tentang kedua temannya. Barata dan Evita sudah diingatkan untuk tidak bertanya. Biarkan Agung bicara sendiri. Mungkin Agung akan terpancing kalau melihat wajah kedua orang itu.

"Tadi makannya banyak, Gung?' tanya Barata.

"Banyak, Oom." Agung menepuk perutnya.

Semua tertawa.

"Puzzle Agung yang udah jadi itu Tante kasih bingkai. Nanti bisa digantung di tembok," kata Evita.

"Bagus, Tante?"

"Iya, bagus banget."

"Ada yang belum selesai."

"Nggak apa-apa. Kan nanti bisa diterusin. Mau dibawain ke sini?" tanya Evita, menoleh pada Ava menanyakan persetujuannya. Tapi Ava memandang pada Agung, membiarkan anak itu menjawab sendiri..

"Kan Agung nanti juga pulang. Enakan bikin di rumah. Kalau di sini nanti ada yang ilang," sahut Agung.

"Oh, iya deh."

Lalu suasana menjadi sepi karena tiba-tiba Agung memandangi Evita agak lama tanpa bicara. Agung seperti mempelajari atau mengingat-ingat. Evita menjadi salah tingkah dan tegang.

"Teman saya namanya Dino, Tante. Dia bilang nama mamanya Evita dan papanya Wijaya."

Evita menelan ludah yang menghambat kerongkongannya. Ia tidak tahu mesti bilang apa. Takut salah.

"Apa dia sebesar Agung?" tanyanya kemudian.

"Ya. Agung, Dino dan Iwan gedenya sama. Tingginya juga sama."

"Mainnya apa, Gung?" tanya Barata.

"Wah, seru deh, Oom. Kita main kejar-kejaran di taman yang luaaaas banget. Banyak pohon buah. pohon bunga. Warnanya bagus-bagus. Ada merah. kuning, biru, wah... banyak deh. Kita manjat pohon buah. Pohonnya pendek-pendek tapi cabangnya banyak. Ada buah apel, yang merah, ijo, dan kuning.

Ada jeruk. Ada apa lagi ya. nggak tahu namanya tuh. Pokoknya asik deh."

"Senang amat, ya." cetus beberapa orang.

"Apa si Iwan anaknya baik. Gung?" tanya Barata.

"Baik, Oom. Dino juga baik."

"Ada mamanya Iwan?" tanya Barata lagi.

"Nggak ada orang gede, Oom. Cuma anak-anak aja. Banyak anak-anak. Kita bertiga berteman. Yang lain main sama teman-temannya sendiri," Agung antusias.

"Surga anak-anak," bisik Nadia.

"Suka ngobrol?' tanya Evita.

"Ngobrol?" Agung mengerutkan kening.

"Ngobrol apa ya? Lupa, Tante. Banyakan mainnya sih."

"Ya. Nggak apa-apa."

"Kamu bisa dengar waktu Tante bacain buku?" tanya Nadia.

"Ya. Dengerinnya bertiga. Seneng deh."

"Waktu Papa ngomong itu. dengerinnya juga bertiga?" tanya Rama. Agak resah.

"Iya."

"Waktu Tante ngomong, juga sama-sama dengernya?" tanya Evita.

"Iya. Kata Dino, itu suara mamaku."

Evita tersentak. Baru kali itu Agung mengatakan demikian. Tadinya ia cuma menyebut nama ayah dan ibu Dino. Tapi tidak secara pasti mengatakan bahwa Dino adalah anaknya.

Barata pun menjadi penasaran.

"Oom juga pernah bacain buku. Apa kata Iwan'?"

"Katanya, itu papaku," sahut Agung santai. Ia seperti tak menyadari bahwa ceritanya membuat para pendengarnya menjadi tegang.

"Cuma itu aja?"

"Iya. Abis dengerin kita main lagi."

Evita tak ingin bertanya lagi. Ia merasa sudah cukup.

"Terima kasih ya, Gung," katanya pelan.

Agung menarik tangan Evita.

"Nanti kita main lagi ya, Tante? Jangan sedih."

Evita terkejut. Demikian pula yang lain. Ucapan itu dilontarkan Agung tanpa disangka-sangka. Bagaimana Agung bisa tahu bahwa Evita bersedih? Tapi sikap Agung waktu mengatakannya begitu polos, seolah itu wajar saja. Jadi tak perlu dipertanyakan atau diherankan.

Tak tahan Evita memeluk Agung dan mencium pipinya.

"Kamu anak yang baik, Gung. Sangat manis."

Agung tersenyum. Wajahnya berseri-seri.

"Kata Tante, kalau Agung sembuh mau bikin pesta di Srigading."

"Oh iya. Jadi dong! Gimana. Ava?" Evita berpaling pada Ava. Khawatir dianggap lancang.

"Tentu, kalau kamu mau. Terserah pestanya di mana. Kamu mau di Srigading atau di tempat lain?" tanya Ava, waswas.

"Di taman aja. Ma. Dekat kolam renang," kata Agung antusias.

"Baik. Nanti Papa buat rencananya, ya?" kata

Rama.

"Agung juga buat rencana. Siapa saja yang mau diundang,."

Agung menatap Barata yang duduk di kursi di samping bagian kaki tempat tidur. Tiba-tiba tampak ekspresi yang berbeda di wajahnya. Rencana pesta itu seperti terlupakan.

"Oom Bara!" ia berseru.

"Iwan bilang. papanya baiiiik sekali."

Barata melompat bangun. mendekati Agung. Wajahnya berseri. Ia senang karena dirinya diingat.

"Dia bilang begitu ya? Apa lagi? tanyanya. tak tahan.

"Itu aja kok."

Barata tidak kecewa. Ia tidak mungkin mengharapkan lebih karena pengalaman hidup Iwan bersamanya cuma sebentar.

"Terima kasih, Gung, sudah menyampaikan pada Oom."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengamati Agung saat bercerita tentang temantemannya membuat Ava cemas. Bagaimana kalau Agung ingin kembali lagi ke sana? Surga anak anak, kata Nadia. Bukankah yang namanya surga itu pasti jauh lebih menyenangkan dibandingkan dunia yang penuh kekejaman dan penderitaan? Bisakah keinginan itu mendorongnya melakukan sesuatu yang buruk. misalnya jatuh koma lagi atau bahkan tak sadar untuk selamanya? Bisakah situasi koma terjadi oleh keinginan?

Kecemasan itu membuat Ava kembali memeluk Agung.

"Ngomong-ngomong soal pesta tadi. Gung. Gimana..."

"Ah, pestanya nggak jadi, Ma. Tante," kata Agung, menatap ibunya dan Evita.

"Lho, kenapa?" tanya Ava dan Evita.

"Nggak mau aja."

"Kalau kau nggak mau di Srigading, bisa di tempat lain kok." kata Rama.

"Entar dikerubutin orang, ditanyain, diciumin," sahut Agung.

"Ya sudah kalau nggak mau. Kita berpesta sesama kita aja. ya? Bersama Tante Evi dan Oom Wijaya. Oom Barata, Oom Robin. Nggak perlu sama orang lain. Gimana?" Nadia mengajukan saran.

"Kalau begitu mau, Tante. Terus Oma Oni diajak nggak?"

"Terserah Agung kalau mau ngajak," kata Nadia.

Agung menatap Evita. Agak lama. Baru kali itu Evita menyadari betapa ekspresifnya sepasang mata Agung. Jernih dan polos, tapi punya kedalaman. Apa maksud tatapan Agung?

"Kalau Agung nggak mau ngajak Oma, nggak apa-apa," kata Evita cepat.

"Entar dia pengin ikut. Nggak apa-apa deh, ajak aja," sahut Agung setelah berpikir.

"Kita lihat nanti aja, ya. Belum tentu dia pengin ikut."

"Mungkin dia pengin lihat Agung," kata Agung dengan gayanya yang biasa. Seakan itu wajar saja.

Diam-diam orang di sekitar Agung saling pandang. Mereka sepakat dalam diam, bahwa ada sesuatu yang berubah dalam diri Agung. Anak itu tidak sama lagi dengan dulu, sebelum musibah terjadi. Tentu Agung dulu juga anak yang baik, yang tidak nakal atau suka macam-macam, tapi dia tetaplah seorang anak yang polos. Sekarang kepolosan itu masih menetap, tapi ada tambahannya. Itukah perolehannya dari alam sana?

"Baiklah. Terserah Agung saja," kata Evita.

Pada saat itu Robin memasuki ruangan. Kelihatan agak canggung melihat orang-orang berkerumun di sekitar Agung. Ia tersenyum. Tangannya menjinjing kantong plastik.

"Hai, semuanya! Hai, Agung!" ia menyapa.

"Hai!" balasan ramai-ramai. Suara Barata mengatasi yang lain.

"Hai, Oom Polisi!" seru Agung.

"Robin!" kata Robin.

"Oh ya, Oom Robin. Adiknya Batman," kata Agung.

Orang-orang tertawa.

"Betul. Kayak adiknya Batman. Tapi nggak ada Batman di sini," kata Robin.

Agung menunjuk Barata. Orang-orang tertawa lagi. Suasana menjadi ceria, melenyapkan ketegangan dan kesedihan

Robin meletakkan kantong plastiknya di atas meja di sudut ruang.

"Apa itu, Oom?" tanya Agung.

Robin mengeluarkan isinya. Sekantong jeruk manis berkulit oranye. Sangat menggiurkan.

"Wow, jeruk!" seru Agung gembira.

"Syukurlah kamu suka," kata Robin senang.

Rama bertukar pandang diam-diam dengan Ava. Di dalam kulkas ada banyak jeruk. Waktu Agung melihat, ia tidak beneriak gembira seperti itu. Padahal jeruknya sama. Apakah Agung melakukannya untuk menyenangkan hati Robin? Manis sekali.

"Oom Robin bisa nangkep setan?' tanya Agung kemudian.

Semua orang terkejut. termasuk Robin. Pertanyaan itu tak terduga.

"Setan apa, Gung?" tanya Robin.

"Setan item!"

Agung memperlihatkan ekspresi ngeri.

"Nggak tau ya. Aku belum pernah nangkep setan."

Robin jadi berdebar. Ia bisa memperkirakan kenapa Agung mempersoalkan itu. Ia takut. Dan ia yakin Agung sudah mulai membuka kasus itu. Dari wajah-wajah orang di sekitarnya. ia yakin mereka pun berpikir sama.

"Di rumah Agung ada setan itu." kata Agung lagi.

"Papa belum pernah lihat," kata Rama.

"Mama juga," Ava menimpali.

"Kamu lihat, Gung?" tanya Robin, hati-hati.

Pandang Agung menerawang. Ia diam sejenak. Tak ada yang berani memecah keheningan dengan berbicara. Mereka menunggu.

"Apa Mbak Ani... sudah meninggal?" tanya Agung. Tidak jelas ditujukan kepada siapa pertanyaan itu.

"Ya. Gung." Robin yang menyahut karena yang lain diam saja.

Agung mengangguk.

"Pasti nggak ada yang nangkep dia di bawah. Oom Bara nggak bisa nangkep dua orang."

Wajahnya terlihat sedih. Lalu ia menutup muka dengan kedua tangannya. Ava memeluknya.

"Sudah, Gung. Jangan dipikirin. Kita di sini semua ikut bersedih untuk Ani. Sudah ya."

Agung menarik dirinya dari pelukan ibunya. Ada air mata di pipinya yang dikuceknya dengan telapak tangan.

"Ani mau nolong aku, tapi dia dijatuhin juga."

Semua orang terkejut. Sesaat keheningan memenuhi ruangan.

Akhirnya Robin tidak tahan.

"Agung mau cerita?" tanyanya perlahan. Tanpa nada mendesak.

"Tapi kalau Agung sedih, nggak usah saja." potong Ava eepat-cepat. Ia sangat khawatir, badai emosi seperti kemarin melanda Agung lagi.

"Aku sedih, Ma. Tapi udah nggak kayak kemarin."

"Nggak ngeri lagi?" tanya Robin.

Ava menatap Robin, memohon jangan mendesak. Robin menggelengkan kepalanya.

Agung membaringkan tubuhnya. Ia tidak menjawab pertanyaan Robin. Tatapannya menerawang ke

langit-langit. Wajahnya tanpa ekspresi. Sedih tidak, ngeri pun tidak. Tak ada yang bisa dibaca.

"Ma, nanti aku mau tinggal sama Tante Nana aja. Boleh kan, Tan?" tanyanya. Matanya mengarah kepada Nadia.

Sebelum Nadia menjawab, Ava cepat bertanya,

"Memangnya kenapa, Gung?"

"Aku nggak mau pulang ke rumah di lantai tujuh itu, Ma. Di situ ada setan itemnya."

Ava berpandangan sejenak dengan Rama. Nadia memutuskan tidak menjawab pertanyaan Agung tadi.

"Kita memang nggak pulang ke sana, Sayang," sahut Ava.

"Kita pindah rumah nanti. Sudah disiapin kok. Nggak besar rumahnya. Itu lho, paviliunnya Opa Sindu. Ingat Opa Sindu dan Oma Rita? Yang punya anjing cokelat itu?"

Agung duduk kembali. Matanya berbinar cerah.

"Mau, Ma!" katanya bersemangat.

"Nanti aku boleh main sama anjing, kan?"

"Tentu aja boleh. Sekarang anjing itu punya anak tiga ekor. Gemuk dan lucu. Kata Opa Sindu, kamu boleh pilih satu kalau mau."

"Mau! Kapan kita ke sana, Ma?"

"Begitu boleh pulang sama dokter kita langsung ke sana. Sekarang Mama dan Papa lagi beres-beres.

Kita tinggal sementara saja di sana sampai mendapat rumah yang cocok."

"Nggak mau tinggal di lantai tujuh lagi, Ma."

"Ya. Nggak akan."

Nadia dan kawan-kawannya merasa sudah saatnya pamitan. Mereka mencium Agung satu per satu. Rama dan Ava tetap tinggal.

"Dadaaa!" Agung melambaikan tangan.

"Daaaag...!"

Setelah berada di luar, barulah mereka bersuara.

"Ceritanya jadi lain, Rob," kata Barata.

"Iya. Saya jadi bingung nih." Robin menggaruk kepalanya.

"Sabar sajalah," hibur Nadia.

"Sudah terbukti Agung mau cerita. Keluarnya dikit-dikit. Kalau ditanya malah nggak mau ngomong. Penginnya cerita sendiri."

"Ya. Tampaknya begitu," sahut Robin.

"Tapi ada yang sudah jelas. Pelaku memang mengenakan mantel hitam dan topeng. Makanya dianggap setan oleh Agung."

Evita tak ikut bicara. Ia masih mengenang Dinonya. Dino dalam rupa Agung.

Nadia menggandeng lengan Evita.

"Mari kuantar pulang, Ev."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tadi sama Barata. Motornya ditinggal di Srigading."

"Iya. Sama Barata juga."

"Tapi saya perlu mampir di pasar swalayan, Na. Belanja apa saja. Yang penting bawa belanjaan. Tadi Mama dibohongin."

"Ayolah. Saya juga perlu beli sesuatu."

Robin memisahkan diri. Ada perasaan terpukul. Skenarionya yang sudah disusun begitu bagus jadi



berantakan oleh cerita Agung. tapi yang paling benar pastilah Agung.

Atau barangkali bisa disesuaikan? Misalnya Agung mengalami kekacauan memori hingga memutarbalikkan pengalamannya yang sesungguhnya? Atau setan item itu memang berniat menjatuhkan dirinya karena ia sudah melihat wajah sesungguhnya di balik topeng setannya? Mestinya skenarionya itu tidaklah jelek karena dibuat berdasarkan bukti bukti yang diperoleh. Bukan mengada-ada.

Tetapi keyakinan itu mengandung celah-celah meragukan. Bukan hanya semata-mata disebabkan oleh cerita Agung.



PADA hari kepulangan Agung, Nadia mengambil cuti. Ia ingin ikut menjemput dan mengantarkan Agung. Barata mengikuti langkahnya. Ia ingin membantu juga. Suatu kedekatan dengan Agung telah muncul dalam batinnya. Dia seperti Evita. memandang sosok putranya yang tak mungkin kembali lagi dalam diri Agung. Dengan kata lain, Agung mewakili putra mereka. Sebenarnya Evita juga berkeinginan mengantar Agung ke rumah barunya, tapi tak ada yang bisa menjaga Leoni.

Sebenarnya Ava tidak begitu suka diantar ramai ramai, tapi tak mungkin menolak atau melarang. Sebenarnya tak begitu jadi masalah asal Robin tidak ikut serta. Ia menjadi paranoid terhadap Robin, takut akan pertanyaan-pertanyaannya kepada Agung. Sesungguhnya ia maklum, sebagai seorang penyidik Robin punya kepentingan mengungkap kebenaran,

tapi baginya lebih penting lagi melindungi Agung dari trauma. Biarkan Agung dalam ketenangan.

Agung sangat gembira di rumah barunya yang tidak lebih luas daripada apartemen di Srigading. Bedanya di situ ada halaman dan di sebelah ada rumah besar milik Sindu yang menyatu hingga dia bisa juga bermain ke situ. Ketika orangtuanya sibuk membenahi pakaian yang dibawa dari rumah sakit, ia asyik mengamati anjing-anjing ditemani Barata dan Nadia. Jenis anjing itu Golden Retriexer, terdiri atas induk dan tiga anak yang masih menyusui tapi sudah lincah berlarian ke sana kemari.

Sindu dan Rita adalah sepasang suami istri separo baya yang tinggal berdua saja di rumah besar mereka bersama seorang pembantu. Kedua anak mereka bekerja di luar negeri. Kehadiran keluarga Rama menyenangkan dan memberi Suasana baru bagi keduanya. Terutama Agung, yang kisahnya sangat menyentuh hati mereka. Keduanya pernah bergantian menjaga Agung di rumah sakit.

"Nah, Agung sudah punya pilihan?" tanya Sindu.

"Induknya itu bernama Susi. Ketiga anaknya bernama Poli, Poni, dan Popi. Si Poli dan Poni jantan sedang Popi betina."

Sindu menunjuk satu-satu ketiga anak anjing yang sepintas kelihatan sama saja. Mereka dibedakan dari kalung yang dipasang di leher, masing masing merah, hitam, dan biru. Ketiga anak anjing bersama induknya sama-sama menatap Agung, seakan memahami dan ikut menunggu pilihan yang dijatuhkan Agung.

Agung menggeleng dengan wajah bingung.

"Nggak tahu, Oom. Semuanya sama. Yang mana aja deh," katanya kemudian.

"Lho, kok gitu?"

"Opa aja yang milihin. Agung senang semuanya kok."

Sebelum Sindu berbicara, anak anjing yang berkalung hitam berjalan mendekati Agung lalu mencium-cium kakinya. kemudian ia duduk dan menengadahkan kepalanya menatap Agung. Ekornya bergoyang-goyang. Sementara itu kedua saudaranya bersama induk mereka tetap di tempat semula sambil memandangi.

Agung berjongkok. Anak anjing itu mendekat lagi lalu mendengus-dengus. Agung mengulurkan tangannya membelai kepala anak anjing itu, yang menguak nguak kesenangan. ia berputar-putar lalu memanjat paha Agung dan berusaha menjilati tangannya.

"Agung pilih yang ini!"

Orang-orang yang mengamati tertawa. Tampaknya anak anjing itu menyodorkan dirinya untuk dipilih. seolah tahu bahwa Agung sedang bingung.

"Baguslah, Gung. Dia namanya Poni. Kayaknya dia memang ingin sama kamu deh," kata Sindu senang.

Agung mengangkat si Poni dan memeluknya.

Ava dan Rama muncul.

"Sudah dapat?" tanya Rama.

"Udah, Pa. Namanya Poni. Cakep ya, Pa?"

"Iya. Cakep banget."

"Tapi ingat, Gung. Habis main sama anjing harus cuci tangan, ya?" Ava mengingatkan.

"Ya, Ma."

Barata menemani Agung bermain dengan anjing anjing itu. Ava menarik Nadia menjauh. Rama mengikutinya, ingin tahu apa yang mau dibicarakan istrinya dengan Nadia.

"Na, aku berharap nanti Bara nggak sering-sering ke sini nemuin Agung, ya? Barangkali kau bisa ngomong sama dia dengan cara gimana, supaya dia nggak tersinggung," kata Ava.

Bukan hanya Nadia, Rama pun terkejut.

"Memangnya kenapa, Mbak?"

"Apa kau nggak lihat tatapannya kepada Agung? Si Evi juga gitu. Mereka seperti menganggap Agung itu anaknya deh. Gara-gara cerita Agung itu."

Nadia tidak menyangka Ava berpendapat seperti itu. Tapi ia mencoba memaklumi. Ia merangkul Ava. Sementara Rama memilih diam.

"Mbak, cobalah berempati sama mereka. Mungkin keadaan seperti ini masih baru buat mereka, jadi rasanya gimana, gitu. Mbak berhasil mendapat Agung kembali. Tapi mereka kan nggak mungkin mendapat anak mereka kembali. Biarkanlah mereka ikut menikmati kedekatan dengan Agung. Mereka pasti tidak akan mengambil dia."

"Ya, aku tahu itu. Aku juga berterima kasih pada

Barata karena dialah yang telah menolong Agung. Maksudku begini. Mereka dekat-dekat itu kan pengin tahu lebih banyak tentang kisah Agung bersama anak-anak mereka. Cerita Agung cuma sedikit. Aku takut mereka akan menanyainya dengan akibat buruk bagi Agung."

"Aku yakin nggak begitu, Mbak. Kan mereka sudah tahu. Mereka juga sayang sama Agung. Nggak mungkin mereka melakukan hal-hal yang bisa menyakiti Agung."

"Aku juga berusaha meyakini diri sendiri, Na. Tapi rasanya sulit."

"Jadi sebenarnya yang kaukhawatirkan itu apa, Mbak? Takut Agung ditanyai atau takut mereka akan menganggap Agung sebagai anak mereka?"

"Dua-duanya. Ah. masih ada satu lagi. Aku takut kalau terus-terus didekati oleh kedua orang itu, maka Agung akan terus pula diingatkan pada kedua temannya di sana itu. Bagaimana kalau dia pengin kembali ke sana?" Ava meletupkan keresahannya.

Rama merangkul pundak Ava.

"Aku pun punya keresahan sama. Na," kata Rama, mendukung istrinya.

Nadia memandang ke arah Barata yang berjongkok di sebelah Agung. Keduanya tampak akrab. Mereka berbincang dengan asyik. Mungkin masalahnya seputar anjing. Ia mengerti bahwa keresahan Rama dan Ava sebenarnya masih ada yang lain, yaitu perasaan bersaing. Mereka tak ingin Agung lebih menyayangi dan dekat dengan orang lain. Buat mereka tentu tak ada masalah bila orang lain menyayangi Agung, asal jangan sebaliknya. Nadia merasa harus mengerti. Dulu ketika keduanya masih dikuasai ego masing-masing hingga cenderung melalaikan Agung, mereka tidak mengkhawatirkan hal itu. Tapi sekarang berbeda. Mungkin dirinya juga tak bisa lagi dekat dengan Agung seperti dulu. Ia harus maklum.

"Baik. Nanti saya bicara dengan Bara dan Evi," katanya.

"Tapi ngomongnya yang halus ya, Na. Nggak enak juga kalau mereka tersinggung. Kami kan berutang budi pada Bara. Dan Evi juga baik sekali pada Agung."

"Ya. Akan kuusahakan."

"Terima kasih, Na."

"Tapi apa kau akan melarang Agung, kalau anak itu pengin ketemu Bara atau Evi, misalnya?"

Ava tak segera menjawab.

"Bagaimanapun Agung perlu bersosialisasi dengan orang lain."

"Dia akan ketemu teman-teman sekolahnya," kata Ava.

"Ya. Itu baik sekali. Tapi kau harus memberinya perhatian, Mbak. Jangan seperti dulu. Apa kau akan sering meninggalkannya?"

"Tentu saja nggak. Apalagi di sini ada Oom Sindu dan Tante Rita yang bisa membantu mengawasi. Aku akan berusaha memberi waktu dan perhatian sebanyak mungkin untuknya."

"Aku juga," sambut Rama.

"Baguslah kalau begitu. Tapi ada satu hal yang perlu kuingatkan," Nadia merendahkan suaranya.

Ava dan Rama lebih mendekat. Mereka merasakan keseriusan ucapan Nadia.

"Masih ingat cerita Agung. bahwa setan item itu menjatuhkan dirinya sementara Ani yang juga dijatuhkan sebetulnya berniat menolongnya? Kalau dia benar, berarti dirinyalah yang dijadikan target. Bukan Ani."

Ava dan Rama berpandangan. Keduanya terkejut.

"Oh iya, tapi aku tidak menganggap ceritanya itu serius," kata Ava.

"Apa kau...?"

"Kita harus menganggap serius. Mbak."

"Lalu kita mesti gimana?" tanya Rama. Cemas.

"Jagalah dia baik-baik. Jangan pernah ditinggalkan sendiri. Dan dengarkan ceritanya. Apa pun celotehnya, simak baik-baik. Lalu sampaikan padaku, ya?"

"Tapi aku nggak mau bertanya soal itu kepadanya."

"Maksudku kalau nanti dia cerita sendiri. Jangan bertanya."

Rama dan Ava memberikan janji mereka.

* * *

Nadia bukanlah tipe orang yang memilih cara halus untuk memberi penjelasan hanya supaya orang yang

dimaksud tidak tersinggung. Ia ingin cara yang langsung dan jelas. Mungkin bisa membuat tersinggung, tapi ia yakin ketersinggungan itu akan bersifat sementara karena pikiran bisa mengatasi perasaan. Bagaimana kalau cara halus tidak membuat orang paham?

Sepulangnya dari rumah Rama, ia mengajak Barata mampir di sebuah kafe. Barata mengikuti mobil Nadia dengan motornya. Ia tidak banyak bertanya karena tahu Nadia ingin membicarakan sesuatu.

Sambil menyantap hidangan Nadia langsung menyampaikan percakapannya dengan Ava barusan. Tak ada memutar-mutar dulu atau percakapan mengenai topik lain.

"Bukan cuma dengan kau saja ia punya perasaan seperti itu. Bar. Tapi juga dengan Evita. Aku juga harus bicara dengan Evi. Dan tentu saja aku pun harus introspeksi mulai sekarang. Pasti aku nggak bisa seperti dulu lagi, mengajak Agung nonton atau jalan-ajalan setiap minggu. Ia bilang akan mengajak Agung sendiri. Jelas maksudnya. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Agung. Ia nggak mau anaknya lebih dekat dengan orang lain daripada dirinya. Rama pun demikian. Ia bertekad ingin menjadi ayah yang dicintai."

Barata termenung. ia memang merasa kecewa. Tadi ia sudah berjanji dengan Agung untuk bermain lagi bersama anjingnya lain waktu. Tapi Nadia tidak salah. Dirinya yang telah terbawa perasaan. Ia merasa kekosongan batinnya telah terisi oleh Agung tanpa menyadari bahwa Agung ada yang punya dan yang punya tidak merasa ikhlas. Untuk sesaat kekosongan itu kembali menyeruak batinnya. Aku kira anakku yang sudah tiada itu kembali dalam ujud Agung, tapi ternyata aku salah besar: Iwan tidak akan kembali untuk selamanya.

Melihat ekspresi sedih di wajah Barata, barulah Nadia mengingat-ingat apakah ia tidak terlalu tegas dalam menyampaikan. Ia merasa iba. Spontan tangannya terulur memegang tangan Barata lalu menepuk pelan.

"Tabah saja, Bar. Ava memintaku untuk menyampaikannya sehalus mungkin supaya kau tidak sampai tersinggung. Tapi aku tidak tahu cara halus itu gimana. Aku nggak bisa muter-muter. Maaf, ya."

Tangan Barata merengkuh tangan Nadia dan menjabatnya dengan erat. Ia tersenyum.

"Ah, masa kau harus minta maaf. Itu memang sudah seharusnya. Kalau kau muter-muter dulu malah sulit dimengerti. Aku berterima kasih sudah diingatkan. Kalau nggak aku bisa lupa diri."

"Tapi kau kelihatan kecewa dan sedih."

"Tentu saja. Awalnya selalu begitu. Baru kemudian mikir."

"Syukurlah. Aku tahu, kau pasti bisa mengerti. Ava merasa berutang budi padamu. Dia nggak mau nyakitin hatimu. Tentu dia ingin tetap bersahabat denganmu. Agung sendiri pasti nggak akan melupakanmu. Tapi khusus untuk saat sekarang ini, sebaiknya kau agak menjaga jarak, supaya mereka berdua punya kesempatan lebih banyak untuk merebut kasih sayang Agung kembali. Mereka sudah kehilangan banyak, Bar."

"Ya, aku mengerti."

"Kelak bila segalanya kembali normal, pasti kita bisa mendekat lagi."

"Jadi kau pun berniat menjaga jarak?"

"Ya. Memang Ava tidak memintaku seperti itu. Tapi kupikir sebaiknya kubiarkan mereka bertiga tanpa ikut serta di dalamnya."

"Tapi kau lain. Dari dulu sudah dekat."

"Betul. Tapi justru sekarang ini sebaiknya menjauh dulu."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau Agung pengin sama kamu?"

"Kukira kemungkinannya kecil kalau Ava pintar mengambil hatinya. Dia harus menggunakan segala kesempatan."

"Kau nggak kehilangan? Aku tahu kau sayang sekali sama Agung."

"Tentu saja. Tapi aku kan nggak akan kehilangan selamanya. Ini cuma sementara saja, Bar."

Barata merasa terhibur. Ya, memang hanya sementara. Mustahil nanti Agung tidak ingin bertemu dia lagi. Tapi sesungguhnya aku ingin memanfaatkan saat-saat ini untuk tahu lebih banyak mengenai Iwan. Kalau nanti, entah kapan. bisa saja Agung lupa. karena ia sudah punya banyak kegiatan lain.

Nadia mengamati Barata.

"Kau sudah merasa plong, Bar?"

"Belum sepenuhnya. Tapi sebagian besar, ya."

"Sama. Aku juga begitu. Berat meninggalkan Agung. Aku sudah berpesan pada kedua orangtuanya supaya hati-hati menjaga Agung. Aku ingatkan mereka, bahwa kalau cerita Agung benar, maka yang jadi target pembunuhan itu sebenarnya Agung. Bukan Ani."

Barata terkejut ketika diingatkan hal itu.

"Oh ya. Bagaimana mungkin aku bisa lupa."

"Sudah komunikasi dengan Robin?"

"Belum. Ya, dia bingung, bukan?"

"Kita semua bingung. Setidaknya dia sudah tidak tinggal di sana lagi. Percayakah kau bahwa setan itu ada, Bar? Bukankah kau sendiri melihat sesuatu yang hitam itu? Kaupikir itu burung. Tapi tak pernah ada kepastian, bukan?"

Barata termenung.

"Memang betul. Tapi selama kerja di situ aku belum pernah melihat atau merasakan sesuatu yang aneh. Baru kali itu terjadi. Aku mencari kesimpulan yang rasional saja."

"Ya. Kau pernah punya pengalaman sama sebelumnya. Juga mimpi sebelum kematian Ningsih itu. Tapi ucapan Agung itu sangat mengganggu."

"Dia melihat seseorang dalam pakaian hitam dan topeng setan. Kesimpulannya berdasarkan apa yang ia lihat. Logikanya belum dewasa. Apalagi dia juga belum menjelaskan secara rinci kejadiannya. Bagaimana setan itu masuk dan bagaimana menjatuhkannya."

"Aku sudah berpesan pada Ava untuk mengingat

semua ucapannya yang mengarah ke situ. Tapi aku yakin ia tidak akan berusaha memancingnya untuk bercerita. Ia justru berusaha menghindari. Tapi aku sih optimis. Bar. Suatu saat Agung akan bercerita."

"Aku harap cepat atau lambat Bu Ava akan meneleponmu lalu bilang Agung ingin ketemu sama kau."

"Oh. aku sangat berharap."

"Kalau itu terjadi jangan lupa ceritakan padaku apa saja yang disampaikan Agung padamu. Mungkin ada sesuatu perihal Iwan."

"Tentu saja."

Nadia merasa terharu. Ia kembali meletakkan tangannya di atas tangan Barata. Cuma sebentar.

"Boleh aku bicara sebagai seorang sahabat. Bar?"

"Tentu saja."

"Kau terlalu lama sendirian."

"Apa ada yang salah dengan itu?"

"Nggak sih. Tapi kalau ada yang bisa mengisi hatimu, mendampingimu, maka kekosongan yang kaurasakan itu bisa terisi."

"Nggak mungkin, Na. Tak ada yang bisa menggantikan meskipun ada yang baru. Di sini mereka tinggal." Barata menunjuk kepalanya.

"Jadi kau nggak kesepian biarpun sendirian?"

"Betul. Malah kadang-kadang kesepian itu justru ditimbulkan pada saat tidak sendirian."

Nadia mengangguk. Ia memahami ucapan itu karena pernah merasakan.

"Kau pun sendirian." Barata memancing.

Nadia tersenyum. Ia sudah menunggu serangan balik itu.

"Aku senang dengan keadaanku sekarang. Bebas tanpa keterikatan. Nggak melarang atau dilarang. Nggak mengatur atau diatur. Bedanya denganmu, aku nggak pernah mengalami kehilangan hingga nggak lagi ingin memiliki. Aku puas dengan hidupku."

"Barangkali kau pernah patah hati'."

"Kalau begitu berarti aku pernah memiliki dong. Tapi jelas nggak."

"Perempuan punya naluri keibuan. Nggak ingin jadi ibu?"

"Kalau pengin, gampang. Cari saja pemacak."

Barata tahu Nadia hanya bergurau. Mereka tertawa.

Sekarang aku sudah tahu pilihan hidup Nadia. Robin benar. Nadia memang tipe seorang sahabat.

"Aku senang dan bahagia punya sahabat seperti kamu, Na," kata Barata sungguh-sungguh.

"Aku selalu senang bisa bersahabat dengan siapa saja asal tidak bermaksud memanfaatkan. Biasanya aku akan segera tahu. Kalau begitu, aku pun segera menjauh."

"Kau tidak menganggap Robin memanfaatkan?"

"Oh, sama sekali nggak. Kita bekerja sama. Aku suka cara kerjanya. Berdedikasi betul. Nggak seperti sebagian rekannya yang suka cari gampangnya saja. Ngomong ngomong tentang Robin, apa kau nggak merasakan sesuatu tentang dirinya?"

"Sesuatu apa?" Barata berpura-pura. Ia bisa menduga apa yang dimaksud Nadia. Kalau benar. tajam betul pengamatannya.

"Sesuatu yang berbeda. Maaf ya. Bar. Ini di antara kita aja. Pernahkah dia melakukan pendekatan padamu? Jangan tersinggung ya, Bar. Aku hanya ingin memastikan. Bukan menilai."

"Apa kau bertanya begitu berdasarkan pengamatan? Gimana caranya? Bahkan aku nggak menyadarinya."

"Aku pernah beberapa kali melihat caranya memandangmu. Ada kehangatan di matanya. Ada beberapa temanku seperti itu."

Barata tahu ia tak mungkin menutupi. Lebih baik Nadia tahu, tapi Robin tidak perlu tahu. Maka ia bercerita tentang pendekatan yang dilakukan Robin.

"Dia melakukannya dengan bijak," puji Nadia.

"Reaksinya pun demikian."

"Ya. Sebenarnya sejak awal aku menerima kebaikannya. sudah ada pertanyaan di hati. Tapi aku nggak mau sembarang menilai. Oh ya. dia berpesan supaya kau jangan dikasih tahu. Tapi rupanya kau sudah mencium duluan."

"Aku akan berpura-pura nggak tahu di depannya. Itu toh masalah pribadi. Tiap orang punya kecenderungan dan kepribadian sendiri. Kau begitu. Aku pun sama."

"Aku khawatir dia akan menjauh karena perasaannya tentu nggak nyaman kalau dekat seperti dulu."

"Ada kemungkinan kedekatan yang terjalin di antara kita hanya karena kasus Agung. Kalau kasus itu sudah tuntas mungkin bubar. Sebagai polisi dia akan selalu menghadapi kasus baru. Takkan habis."

"Kukira hubungan persahabatan tak selalu harus ditandai dengan seringnya bertemu atau berhubungan."

"Mudah-mudahan begitu."

Sebelum mereka berpisah, ada telepon dari Robin ke HP Nadia. Ia menanyakan soal kepindahan keluarga Rama.

"Semua lancar saja, Rob. Aku baru dari sana. Agung sangat senang. Ia punya teman anjing sekarang."

"Syukurlah. Aku sekarang mau menjaga jarak dulu dengan Agung, Na. Nggak enak dipelototi oleh Bu Ava. Ia takut aku akan menanyai Agung. Tapi aku ngerti ketakutannya. Jadi aku mau minta tolong kalau kau punya info baru berupa cerita dari Agung, tolong sampaikan. ya?"

"Tentu saja, Rob. Jangan khawatir. Sebenarnya bukan kau saja yang perlu menjaga jarak, tapi juga aku, Barata, dan Evita."

"Lho, kok gitu?"

"Soalnya kakakku sedang dilanda kecemasan yang sama seperti yang dirasakannya terhadapmu. Takut Agung ditanyai. Di samping itu dia juga ingin lebih dekat dengan Agung tanpa direcoki orang lain."

"Habis gimana bisa dapat info dong?"

"Aku sudah berpesan pada Mbak Ava, supaya menyampaikan apa pun yang dibicarakan Agung. Dia mau membantu kok. Asal jangan didekati orang lain saja."

"Semoga begitu."

Setelah mematikan ponselnya Nadia menatap Barata.

"Kedengarannya dia pesimis. Atau hilang semangat. Kenapa ya?"

"Dia masih bingung. Ucapan Agung yang cuma satu kalimat telah mengacaukan semua teorinya."

Kalimat terakhir dari Barata itu terus saja berbunyi di dalam pikiran Nadia ketika ia menuju Apartemen Srigading. Ia bermaksud menemui Evita. Ia menelepon dulu. menanyakan kesiapan Evita untuk bertemu dengannya.

Ketika ia berjalan di lorong yang sepi di lantai tujuh, ia merasa sangat tidak nyaman. Hampir saja ia salah belok sekeluarnya dari lift. Ia kebiasaan menuju ke arah apartemen Rama yang berada di sisi lain dari pintu lift dengan apartemen yang sekarang dihuni Evita. Sebenarnya tak terlalu panjang jarak ke apartemen Evita, tapi dalam waktu yang singkat itu ia teringat pada cerita Agung tentang setan item. Ia sempat merinding. Tak terbayangkan olehnya tinggal di tempat seperti itu. Bukankah Iebih nyaman tinggal di rumah di atas tanah betapapun kecil dan jeleknya rumah itu? Begitu keluar segera melihat langit dan ruang terbuka. Kaki pun menjejak tanah. Dan kalau terjadi gempa...



Pintu apartemen terbuka. Evita muncul lalu memeluknya. Rasanya lebih hangat daripada sebelumnya.

"Bu Oni?" tanya Nadia.

Belum sempat Evita menjawab, Leoni sudah muncul dengan kursi rodanya di belakang Evita.

"Siapa itu?" tanya Leoni.

"Oh." Nadia terkejut.

"Selamat malam, Bu."

Leoni tidak menyahut. Ia berbuat seakan tidak mendengar.

Evita menariknya masuk lalu mengunci pintu kembali. Leoni memutar kursi rodanya untuk mengikuti. Evita tidak berupaya untuk mendorong kursinya. Ia membiarkannya saja. Nadia menyadari bahwa Leoni sudah lebih gesit dibanding dulu ketika Ani masih ada.

Nadia bercerita tentang Agung yang merasa gembira di rumah barunya. Dan anjing-anjing yang menarik minatnya.

"Syukurlah kalau dia senang. Kapan ya aku bisa mengunjunginya?"

"Sebaiknya jangan dulu, Ev."

"Kenapa?"

Nadia melirik sejenak kepada Leoni. Ia tidak ingin menceritakan yang sebenarnya kepada Evita pada saat didengarkan oleh Leoni.

"Ava bilang, Agung perlu beradaptasi dulu dengan tempat barunya. Jadi untuk sementara ia dijauhi dulu dari kita. Termasuk aku lho, Ev. Juga Bara dan Robin."

"Aku ngerti. Maksudnya supaya Agung nggak teringat lagi, kan? Itu baik sekali. Biar Agung punya teman baru."

"Syukurlah kau mengerti. Situasi memang sudah berubah."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu. bisakah aku titip gambar puzzle yang sudah dibingkai? Kau bisa memberikan kalau kebetulan ke sana."

"Ya. Tentu saja."

Evita bergegas mengambil barang yang dimaksud. Ia memperlihatkannya kepada Nadia sebelum membungkusnya.

"Agung pasti akan senang," kata Nadia. Aku jadi punya alasan untuk pergi ke sana.

"Aku pengin ketemu Agung," kata Leoni.

"Nantilah, Ma. Aku aja belum bisa," sahut Evita.

Leoni memonyongkan mulutnya ke arah Evita.

"Agung sudah mau sekolah lagi," tutur Nadia.

"Dia udah bisa cerita?" tanya Leoni.

"Cerita apa aja?"

"Cerita yang dulu itu, Bu."

"Belum ada yang baru? Apa dia nggak bilang siapa yang jatuhin dia dan Ani?"

Pertanyaan yang diucapkan dengan penuh keingintahuan itu membuat Nadia dan Evita tercengang.

"Nggak tuh, Bu," jawab Nadia.

"Kok nggak ditanyain? Kan dia bisa ngomong."

"Dia nggak boleh ditanyain, Ma," sahut Evita.

"Kasihan. Dia trauma."

"Huh! Trauma. Apaan tuh?"

Evita menggeleng-gelengkan kepala. Leoni melihat gerakannya.
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Lima Sekawan 17 Rahasia Logam Ajaib

Cari Blog Ini