Ceritasilat Novel Online

Apartemen Lantai Tujuh 5

Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari Bagian 5



"Apa kamu anggap aku bodoh, ya?" tanyanya gusar.

"Oh, nggak. Ma. Mama pinter kok."

"Sinis kamu."

"Nantilah ya, Bu. Kalau semua sudah jelas Ibu akan diceritai," kata Nadia menyabarkan.

"Betul ya, Na? Biar udah tua gini kan aku pengin tahu juga. Kalau udah mati baru diam."

"Ya Bu. Dulu Ibu suka baca cerita detektif rupanya."

"Oh iya. Suka banget." Leoni tersenyum dengan manisnya.

"Sekarang nggak lagi?"

"Capek bacanya."

"Baiklah. Sabar aja ya, Bu."

Tak lama kemudian Wijaya muncul. Nadia pamitan setelah berbincang sejenak dengan Wijaya. Evita menyodorkan bungkusan tadi.

"Yuk, saya antar ke lift. Papa nemenin Mama, ya?" kata Evita kepada suaminya.

Evita menggandeng lengan Nadia.

"Oh, untung saja Wijaya segera pulang. Aku jadi punya kesempatan untuk berbicara berdua denganmu."

Di depan lift mereka berbincang. Nadia menceritakan dengan lebih lengkap hasil percakapannya dengan Ava dan Rama.

"Aku harap kau mengerti, Ev. Barata juga merasa

kecewa tapi dia ikhlas demi Agung. Ya, demi keutuhan keluarga itu."

"Tentu saja aku mengerti. Aku sudah menduga. Waktu di rumah sakit sikap Ava kelihatan selalu cemas bila ada yang mengajak Agung bicara."

"Ya. Kita harap saja segala sesuatu berjalan dengan baik. Ngomong-ngomong kau nggak berniat pindah dari sini?"

"Mau sih. Pengin banget malah. Tapi Wijaya belum juga mendapat tempat yang cocok."

Mereka berpisah. Evita bergegas kembali ke apartemennya. Nadia memasuki lift sambil berharap liftnya tidak macet, padahal ia tidak pernah berpikir begitu sebelumnya.

Belakangan, di atas tempat tidur di kamar kosnya, ia berbaring sambil merenungkan kembali semua yang terjadi hari itu. Hari-hari belakangan ini topik pemikirannya sebelum tidur selalu didominasi oleh Agung dan kasusnya.

Tiba-tiba ia tersentak. lalu duduk. Matanya terbelalak dan kantuknya hilang. Apa yang ditanyakan Leoni tadi? Apa dia nggak bilang siapa yang jatuhin dia dan Ani?

Bila menyimak dalam-dalam pertanyaan itu, maka sepertinya ada orang ketiga yang menjatuhkan Agung dan Ani. Dari mana pemikiran seperti itu muncul pada Leoni hingga melahirkan pertanyaan itu? Apa sekadar kesalahan bahasa karena dia sudah tua? Atau kekacawan fakta karena dia sudah tua juga? Ataukah ada sesuatu yang lain, yang juga

disebabkan karena usia tuanya, yaitu kebijakan dalam menilai? Padahal nenek itu tidak pernah diikutsertakan dalam perbincangan, tidak tahu perkembangan, tidak tahu bagaimana teori yang sudah disusun Robin.

Nadia menjadi gemetar oleh pemikiran-pemikiran yang meluas menjadi hampir tidak masuk akal. Bukankah semestinya nenek itu diajak berdiskusi? Siapa tahu dia punya sesuatu yang namanya sixth sense?

Tangannya sudah meraih ponselnya. Ingin menelepon Robin. Tapi kemudian tak jadi. Ia tahu bagaimana penilaian Robin tentang Leoni. Robin tidak menyukai nenek itu, yang dianggapnya arogan dan judes. Pemikirannya bisa jadi hanya membuatnya terbahak. Maka Nadia membawa semuanya ke alam tidur. yang sama sekali tidak nyaman.





EVITA tidak terlalu kecewa karena tak bisa mendekati Agung lagi. Ada hal lain yang membuat ia gembira dan berdebar-debar. Malam itu ia membisikkannya kepada Wijaya saat berbaring di sampingnya. Segera Wijaya terlonjak kegirangan. Ia menciumi istrinya dengan penuh kehaman.

"Tunggu, Pa. Jangan terlalu gembira dulu. Kepastiannya kan belum."

"Katanya kau sudah dua kali telat."

"Ya. Dan juga sudah kucoba dengan alat tes kehamilan. Hasilnya positif. Tapi yang paling meyakinkan kan hanya pernyataan dokter."

"Kita harus segera ke dokter. Sekalian ngecek kondisi kesehatanmu."

"Lalu Mama? Masa dibawa-bawa."

"Akan kupikirkan. Masa sih nggak ada jalan keluar?"

"Gimana kalau minta tolong sama Bu Hendra atau pembantunya untuk menjaga Mama selama kita pergi? Kita kan nggak bisa memakai orang yang belum dikenal."

"Itu ide yang bagus. Besok aku ngomong sama Hendra. Terus pesan tempat sama dokter. Mau dokter siapa? Dokter Hana yang dulu?"

"Ya. Dia saja."

"Aduh, Ma, kita akan punya anak lagi," kata Wijaya dengan gembira.

"Terima kasih ya, Ma."

"Kok terima kasih? Memangnya kaupikir aku sendiri nggak pengin? Cuma Mama yang mengganggu pikiranku."

"Janjiku akan kutepati. Dia nggak boleh menyentuh anak kita. Tapi..." Wijaya ragu-ragu sejenak.

"Kalau cuma mencium atau nyolek pipi apa nggak boleh juga?"

Evita tidak menyahut. Ia cemberut.

"Iya deh. Iya. Nggak boleh," Wijaya menyahut sendiri.

"Tapi kita jangan ngomong begitu dari sekarang, selama kehamilanmu. Nanti dia menerormu, marah-marah segala macam. Diam-diam saja. Setelah lahir, baru kita larang. Gimana?"

"Baik. Aku juga nggak berniat memberitahu. Biar saja nanti dia tahu sendiri kalau melihat perutku semakin gendut."

Mereka berpelukan dengan mesra. Bahagia rasanya.

"Kau percaya sama reinkarnasi, Pa?"

"Apa maksudmu?"

"Jangan-jangan anak ini adalah Dino." "Ah..." "Soalnya setelah cerita Agung itu, baru aku menyadari perihal haidku. Tadinya nggak mikirin." "Tapi sebelum Agung cerita sebetulnya proses sudah terjadi. Hanya kau nggak menyadari." "Iya sih."

"Sudah, jangan memikirkan hal-hal yang di luar logika kita. Kita terima dan bersyukur saja, Ma."

"Sepertinya kemunculan anak ini sengaja untuk menghibur kekecewaanku tak bisa sering ketemu Agung."

"Aku pikir juga begitu."

"Tapi aku toh masih pengen tahu cerita Agung lebih banyak. Aku yakin masih ada hanya saja dia nggak ingat."

"Kalaupun dia nggak cerita kau nggak perlu kecewa. Atau penasaran."

"Ya. Tentu saja. Aku harus fokus pada yang akan datang."

Dalam kebahagiaannya, Wijaya sempat membayangkan betapa marahnya ibunya kalau kehamilan Evita tidak diberitahukan kepadanya sampai dia menyadarinya sendiri. Lebih marah lagi kalau nanti dia tak boleh menyentuh cucunya sendiri. Apakah itu tidak keterlaluan? Masa menyentuh saja tidak boleh? Apakah ibunya bisa terkena stroke lagi kalau amarahnya tak terbendung?

Biarlah kengerian itu tersimpan dulu selama sembilan bulan. Atau mungkin kurang dari itu.

"Ada satu hal penting lain, Pa. Sebelum melahirkan, aku ingin sudah pindah dari sini. Aku merasa nggak aman kalau ingat kasus Agung. Dia bilang ada setan item..."

"Ya, ya. Tentu saja," Wijaya memotong. Ia tak ingin dengar cerita Agung yang mengerikan itu.

"Dalam satu-dua bulan ini aku janji kita sudah pindah dari sini. Kontrak saja dulu. Yang penting pindah. Baru kita cari rumah. Atau kita tunggu sampai rumah lama kita habis kontraknya, lalu kita pindah lagi ke sana?"

"Aku nggak mau tinggal di sana lagi. Ada kenangan sedih dari Dino."

"Baiklah. Kita cari rumah lain. Aku akan berupaya."

Wijaya merasa bersalah. Sebenarnya ia belum berupaya mencari rumah seperti yang dikatakannya. ia merasa lebih enak tinggal di situ karena faktor kedekatan dan efisiensi. Sekarang ia menyesal. Tapi tentu saja belum terlambat. Ia bisa membatalkan kontrak sewa yang sudah dibayarnya untuk tiga bulan. Biarlah rugi asal bisa menyenangkan istrinya.

Memanfaatkan istirahat siang, Rama pergi ke apartemennya untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal. Ada perasaan berbeda ketika ia keluar dari lift dan berjalan di lorong. Sepinya terasa luar biasa. Memang suasana di lorong selalu seperti itu

karena para penghuni berada di dalam apanemen masing-masing. Tapi kali itu ia sangat menyadari bahwa penghuni di lantai tujuh itu tinggal sedikit. Yang terisi hanya dua apartemen. Dan pada saat itu hanya ada Evita dan Leoni di apartemen mereka. Betapa sepinya lantai itu. Kabarnya Evita bermaksud pindah, seperti yang dikatakan Nadia. Lalu yang tersisa hanya Henri dan Santi. Apakah mereka akan kerasan bertahan di situ? Atau memaksa diri tetap tinggal dengan penimbangan efisiensi? Ya, mungkin saja mereka bermental kuat. Tidak terpengaruh oleh apa pun. Tapi ia merasa iba kepada mereka.

Di dalam apartemennya muncul perasaan lain lagi. Ia sampai berdiri dulu sejenak di tengah ruangan untuk memastikan diri apa perasaan itu. Sulit untuk memastikan. Ada kehilangan, tapi juga ada kelegaan. Masih bergaung pertengkaran-penengkarannya dengan Ava. Lalu rasa keterasingannya dari Agung. Di situlah segalanya berlangsung. Termasuk kematian.

Sepertinya tempat itu memang membawa kegelapan di segala segi, kecuali rezeki finansial. Yang itu malah maju. Usahanya cukup sukses karena banyak order pembelian yang diterimanya. Antara positif dan negatif lebih banyak negatifnya. Ia tak mau memilih materi dibanding kehancuran keluarga dan kehilangan anak.

Ia merasa bersyukur karena akhirnya keluar dari tempat itu. Berkat Agung. Andaikata Agung masih

mau tinggal di situ barangkali ia pun tak berniat pindah. Semata-mata demi efisiensi dan kenyamanan. Sekarang, biarlah ia kembali terjebak dalam kemacetan lalu lintas setiap hari dengan akibat waktu santainya tinggal sedikit.

Ia mengambil dus besar untuk tempat barangbarang yang mau dibawanya. Beberapa barang milik Ava. mainan Agung, dan buku-bukunya. Tak bisa terbawa semua, tapi untuk sementara yang penting dulu. Lain waktu bisa diambil lagi. Masih ada tempat di dalam dusnya. Ia berpikir, barang apa yang sebaiknya diselipkan di situ. Lalu tatapannya tertuju ke bufet. Di sana botol-botol minumannya masih berjejer. Ketika pindah botol-botol itu tidak jadi prioritas utama untuk dibawa. Ia pun sudah terbiasa tidak minum karena energi dan perhatiannya tercurah kepada Agung. Lebih dari itu ada ucapan Agung yang menyentuhnya.

"Papa sekarang mulutnya nggak bau."

Ia terkejut. Kesal karena dikatai begitu.

"Bau apa sih? Papa kan rajin sikat gigi."

"Bau itu tuh." Agung memberi isyarat minum dengan tangan diacungkan ke mulut.

Ia lega.

"Oh, bau itu? Kamu kok tahu baunya kayak gimana."

"Tahu dong. Kan kecium tuh, Pa."

Jadi ia tak ingin lagi bermulut bau. Tapi sekarang botol-botol itu menggodanya. Kalau minum sekarang, pulangnya tentu sudah hilang baunya. Ia akan sikat gigi dengan odol yang banyak. Atau mengisap

permen. Ia juga bisa memasukkan ke dalam dus satu-dua botol saja. Minumnya di saat Agung tidur. Tapi ia harus menghadapi komentar Ava. Kalaupun tidak berkomentar, tatapannya sudah cukup membuatnya tidak nyaman. Minuman setan, kata Ava. Juga kata Nadia. Setelah kedamaian dicapai dengan susah payah, masa harus rusak lagi gara-gara yang satu itu? Bukankah ia jadi membiarkan setan berperan?

Dialihkannya matanya dari botol-botol itu. Ia sudah menang.

Sama halnya dengan minuman, begitu pula seleranya terhadap perempuan dan seks. Setelah kasus Agung, selera itu lenyap seperti makanan lezat diberi sesuatu yang pahit. Meskipun kasusnya sudah lewat, tapi pahit itu tetap saja terasa. Barangkali kalau suatu waktu ada perempuan cantik yang menggodanya. ia tak lagi tertarik, tapi ketakutan!

Hal itu tidak dikatakannya kepada Ava. Ia khawatir akan mendengar komentar yang sinis, meskipun belakangan Ava sudah jarang sekali bersikap judes dan sinis. Ia juga takut tidak dipercaya dan dianggap mengarang saja supaya tampil meyakinkan. Biarlah yang itu dirasakannya sendiri.

Ketika akan membuka pintu. ia mendengar suara suara gaduh di luar. Ia tak jadi membuka pintu. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa takut. Ia memasang selot pintu. Bukankah seharusnya tidak ada orang di luar sana? Tapi kemudian akal sehat muncul. Mungkin Wijaya atau Evita sedang mengambil

barang dari apartemen lamanya. Ia tidak membuka pintu melainkan mengintip dari lubang pintu yang hanya bisa melihat satu arah, yaitu dari dalam ke luar saja. Baru sekarang ia sempat heran kenapa pembuat apartemen itu memasang pintu berhadapan dengan pintu, meskipun tidak persis benar. Karena itu dari lubang ia bisa melihat pintu apartemen seberang. Apa memang disengaja supaya bisa saling memata-matai?

Segera saja ia terheran-heran. Pintu apartemen di seberang terbuka. Sebuah kursi roda tampak, tapi tak ada orangnya. Pikiran yang segera muncul adalah Leoni. Jangan-jangan suara gaduh itu disebabkan karena ia terjatuh dari kursinya. Ke mana Evita?

Secara spontan ia berniat keluar untuk membantu. Tapi kembali tangannya tertahan. Ia memutuskan untuk melihat dulu apa yang akan terjadi. Bukankah tidak ada teriakan minta tolong atau rintih kesakitan?

Matanya membesar ketika melihat kursi roda itu menghilang dari pandangannya. Pintu masih menganga. Ia menyimpulkan kursi itu ditarik ke dalam. Tak lama kemudian muncul kembali, tapi kali ini ada isinya yaitu Leoni. Nenek itu kelihatan segar dengan pipi yang kemerahan. Dengan sigap ia memutar kursinya ke luar. Di atas pangkuannya ada kantong plastik hitam yang tampak penuh berisi. Setelah berada di luar ia menjepretkan pintu dengan keras. Pintu mengunci sendiri. Kemudian ia mengarahkan kursinya menuju apartemen di ujung lorong yang lain, tempat ia tinggal sekarang.

Rama heran sekali. Ke mana Evita? Kenapa Evita membiarkan saja ibu mertuanya pergi sendiri ke apartemen lamanya? Pasti tujuannya untuk mengambil barang.

Ia cepat keluar seraya membopong dusnya. Seperti Leoni ia pun menjepretkan pintu supaya bisa mengunci sendiri. Saat ia melakukan itu, ia melihat kursi roda Leoni berhenti mendadak lalu berputar. Leoni tampak terkejut.

Rama merasa bersalah. Ia telah mengejutkan nenek itu. Bagaimana kalau terkena serangan jantung? Tentu saja dia kaget karena tidak menyangka ada orang selain dirinya. Sama seperti dirinya, yang tak menyangka ada orang di apartemen Wijaya. Ia cepat mendekat.

"Maaf, Bu. Kaget, ya? Kok sendirian? Ke mana Bu Evi?"
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh! Bikin kaget orang aja! Sudah berapa lama ngintipin aku?" tanya Leoni marah.

"Saya nggak ngintip, Bu. Saya baru aja keluar habis ngambil barang. Sekarang mau ke kantor lagi."

"Betul nggak ngintip?"

"Nggak. Ngapain ngintip-ngintip? Saya kan nggak tahu ada orang di luar."

Rama meletakkan dusnya di lantai dekat dinding. Ia memperlihatkan senyumnya yang menawan dan membungkuk juga. Kali ini gayanya yang kerap

digunakan untuk memikat perempuan diperlihatkan. Ia belum pernah berdekatan atau berbincang-bincang dengan Leoni, tapi sering mendengar tentang perilakunya dari Ava. Nenek yang judes dan galak.

Upaya Rama berhasil meluluhkan hati Leoni. Perempuan tua itu tidak marah lagi. Ia tersenyum dengan manis juga. Melihat ketampanan Rama. ia teringat pada masa mudanya dulu. Banyak lelaki yang senang merayunya berlaku seperti itu.

"Ya sudah. Aku paling benci diintip-intip."

"Ke mana Bu Evi, Bu? Dia ada di rumah? Atau Ibu sama pembantu sekarang?"

"Dia lagi tidur."

"Tidur?" Rama kembali terheran-heran. Ia ingin bertanya kenapa Leoni tidak menunggu sampai Evita bangun atau Wijaya pulang untuk mengambil barangnya? Tapi belum sempat bertanya, Leoni sudah berkata lagi,

"Ya. Kasihan dia capek. Biar saja istirahat."

Rama kembali dilanda keheranan. Apa ini sisi lain dari Leoni yang tidak pernah dibicarakan orang?

"Mari saya antar, Bu."

"Kamu kan repot bawa barang. Masa ditinggalin di situ? Udah, aku juga bisa jalan sendiri. Ngapain dianter-anter."

"Biar aja di situ, Bu. Siapa yang mau ambil? Nggak ada orang."

Rama mendorong kursi roda biarpun Leoni berkeras tak mau. Sebenarnya ia memaksa mengantarkan

karena ingin melihat situasi di apartemen Leoni. Benarkah Evita sedang tidur?

Di depan pintu Leoni mengeluarkan kunci dari sakunya lalu membuka pintu. Untuk memasukkan kursi roda pintu harus dipentang lebar-lebar. Rama tetap memegangi kursi di belakangnya. Dengan demikian ia ikut masuk ke dalam. Pemandangan di ruang duduk segera tampak. Rama tertegun. Benar seperti yang dikatakan Leoni, Evita sedang berselonjor di sofa. Jelas ia tertidur dengan majalah di atas dadanya. Bahkan ia tidak bergerak oleh suara-suara.

"Ssst..." Leoni meletakkan telunjuk di atas bibirnya. Lalu kedua tangannya digerak-gerakkan sebagai isyarat menyuruh Rama pergi.

"Tutup pintunya, ya."

Rama bergegas pergi. Ia tak berani menjepretkan pintu keras-keras, takut Evita terkejut. Biarpun tidak keras, pintu tetap mengunci.

Pemandangan itu membuat ia merasa takjub hingga tak tahan menunggu pulang ke rumah untuk bercerita kepada Ava. Ia menelepon istrinya begitu tiba di kantornya.

Ternyata Ava pun ikut takjub lalu meneruskan ceritanya kepada Nadia segera setelah Rama selesai menelepon.

"Mungkin berbagai peristiwa mengerikan telah membuat ia berubah," komentar Nadia.

"Sebenarnya ia bisa mandiri kalau mau. Tapi ia ingin dimanja dan diperhatikan. Baguslah kalau ia bisa begitu.

Menurutku usia tujuh puluh belum tua benar. Apalagi kalau sehat dan kuat, ia belum pantas disebut jompo. Oh ya. sebentar aku bisa ke sana. Va? Ada titipan puzzle dari Evi. Nggak lama kok."

"Nggak ngajak Bara, kan?"

Nadia tertawa.

"Emangnya ngapain ngajak-ngajak dia. Aku langsung dari kantor."

"Eh, udah ngomong sama dia?"

'Udah. Hari itu langsung ngomong. Straight to the poin!

"Terus gimana?"

"Kecewa sih, tapi bisa nerima. Ia maklum. Sama Evita juga aku sudah ngomong. Pokoknya beres."

"Rasanya nggak enak juga ya."

"Nggak perlu. Mereka maklum kok."

"Ada saatnya kita berkumpul lagi tanpa ketakutan."

"Ya. Aku juga bilang begitu sama mereka. Terima kasih ceritanya, Mbak. Bilang sama Mas Rama. cerita apa pun dari Srigading pasti menarik. Terutama lantai tujuh."

"Untung saja dia nggak ketemu sama setan item." Ava tertawa.

"Hus! Entar kedengaran Agung."

"Dia lagi sama Oom Sindu."

"Tapi hati-hati lho, jangan ngomong begitu. Kalau nanti beneran, gimana?"

"Ah, emangnya kau percaya?"

"Percaya nggak percaya, baiknya jangan ngomong sembarangan."

Ava diam sejenak lalu berkata pelan,

"Iya deh." Setelah telepon ditutup, Nadia tersenyum. Sedang Ava termangu.

Sebelum berangkat ke rumah Ava, masih di tempat parkir, Nadia menelepon Robin. Kali ini ia merasa harus bercerita mengenai Leoni. Semula ia berpikir akan ditertawakan, tapi sekarang setelah ditambah dengan cerita dari Rama, maka kesannya menjadi lain.

"Wah, seru sekali nenek itu!" sambutan Robin.

"Seru gimana?"

"Ya, dia jadi kayak sosok misterius. Jangan-jangan dia berbakat jadi detektif dan lebih cerdas dariku."

"Ah, kau ngeledek."

"Nggak. serius kok. Na. Dia memang orang yang menarik. Sejak awal aku sudah menganggapnya begitu."

"Oh ya? Kau kan nggak suka padanya."

"Memang. Sampai sekarang pun tetap nggak suka."

"Karena dia ketus dan galak? Jangan lihat orang dari luarnya, Rob. Buktinya dia bisa juga baik hati. Belum tentu juga orang yang santun itu dalamnya baik. Bisa jadi dia psikopat."

Robin tertawa.

"Rupanya sekarang kau bersimpati padanya."

"Saya tergelitik pengin mengenalnya lebih mendalam."

"Mau bikin penelitian?"

Nadia tertawa.

"Mau memuaskan keingintahuan aja. Kayak orang kurang kerjaan, ya?"

"Nanti hasil penelitiannya ceritakan padaku, Na."

"Pasti. Siapa tahu berguna dan ada hubungannya dengan kasus itu."

"Betul sekali. Aku jadi stres lho karena semuanya terasa kacau. Omongan anak kecil itu polos tanpa kebohongan. Dia pasti berkata benar. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa sebagai tindak lanjut karena anak itu nggak boleh ditanyai. Mesti nunggu sampai dia cerita sendiri. Nunggu sampai kapan?"

"Kau memang harus bersabar. Kami semua membantu."

"Ya. Terima kasih. Itulah satu-satunya yang terasa menghibur. Aku banyak dibantu."

"Jadi jangan stres. Senangkan hati. Pikirkan yang bagus-bagus. Kau pasti sibuk dengan kasus lain juga."

"Terima kasih untuk sarannya. Eh, kembali kepada nenek itu, Na. Aku jadi membayangkan kayak apa dia semasa mudanya."

"Katanya. dia cantik banget. Banyak sekali pengagumnya."

"Nggak heran. Wajahnya masih memperlihatkan sisa-sisa. Sayang tubuhnya melar. Kayaknya dia tinggi ya. Bisa terlihat dari lututnya yang mendongak ke atas kalau sedang duduk di kursi roda."

"Betul. Dia tinggi. Lebih tinggi dari Wijaya. Padahal dia anak tunggal."

"Jangan-jangan waktu kecil kurang keurus."

Nadia tertawa.

"Sampai nantilah. Rob. Sekarang aku mau menjenguk Agung. Sekalian membawakan titipan dari Evita."

"Aduh, pengin sekali ikut. Sampaikan salamku pada Agung, ya. Tapi ngomongnya jangan di depan orangtuanya."

"Ya. ya."

Nadia tahu maksud Robin. Bila nama Robin disebut di depan Agung. siapa tahu ingatan anak itu kembali kepada pengalamannya, lalu mengoceh secara spontan.

Setibanya di rumah Ava ia diajak ikut makan malam. Agung ikut serta.

"Tadi sih aku udah makan, tapi sekarang makan lagi," kata Agung.

"Nggak apa-apa. Bagus malah. Supaya kamu tumbuh dengan bagus."

"Kayak pohon ya, Tan?"

"Iya."

Setelah makan malam barulah Nadia menyerahkan bingkisan dari Evita kepada Agung. Anak itu berteriak kegirangan melihat isinya.

"Ma! Nanti digantung di kamarku, ya?" ia berseru.

"Ayo, kita pasang sekarang," ajak Rama.

Mereka pergi bersama. Nadia memberikan bungkusan yang lain kepada Ava.

"ini adalah puzzle yang belum selesai, Mbak. Sebagian sudah dipasang. Karena sayang kalau dibongkar lagi, ia merekatkannya dengan selotip di atas tripleks. Sisanya di dalam kantong. Biar dia lanjutkan di sini."

"Ya. Nanti kutemani. Kalau dia suka akan kubelikan yang lain."

Rama dan Agung kembali.

"Sudah?" tanya Nadia.

"Sudah, Tan. Mau lihat? Ayo!"
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nadia ditarik Agung ke kamarnya. Agung antusias sekali.

"Wow! Bagus sekali!" puji Nadia dengan tulus. Puzzle berbingkai itu cocok sekali tergantung di dinding samping tempat tidur.

"Kalau di belakang ranjang, Agung nggak bisa lihat. Dia jadi teman tidur aku ya, Tan?"

"Tentu. Nanti aku sampaikan pada Tante Evi ya?"

"Bilang sama Tante Evi, terima kasih. Kapan ya Tante Evi mau ke sini? Kalau dia ke sini, aku kasih lihat."

"Tante Evi masih sibuk. Dia kan mesti nemenin Oma. Nantilah kalau sempat. Dia kirim salam untukmu. Juga Oom Robin," kata Nadia setelah menoleh ke ambang pintu yang terbuka dan yakin tidak ada Ava maupun Rama di situ.

"Aku juga pengin ketemu sama Oom Robin."

Tiba-tiba Agung melompat ke atas ranjang tempat Nadia duduk, lalu ia memeluk Nadia dan berbisik di telinganya,

"Aku pengin Oom Robin nangkep setan item. Tan!"

Nadia terkejut. Ia kembali menatap ke ambang pintu. Ia sangat tergelitik untuk bertanya lebih jauh.

"Kalau udah ditangkep, terus diapain?" tanya Nadia perlahan juga.

"Dipenjara dong! Dihukum berat!"

"Kamu benci dia, kan?"

"Iya. Benci sekali."

"Nggak takut lagi, kan?"

"Kalau ketemu sih takut, Tan. Abisnya serem dan gede."

"Gede?"

Belum sempat Agung menjawab, terdengar suara langkah kaki di luar kamar. Buru-buru Nadia menarik Agung supaya duduk di sampingnya. Lalu cepat bertanya,

"Gimana si Poni. anjingmu itu?"

"Dia masih nyusu, Tan. Jadi masih tinggal di sana." Agung menunjuk rumah besar.

"Tapi kalau siang main sama aku.."

Ava muncul di ambang pintu dan memperlihatkan papan tripleks bertempelkan potongan puzzle yang belum selesai. Agung melompat dengan gembira. Nadia mengikuti. Perhatian Agung sudah beralih dengan cepat.

"Boleh aku kerjain sekarang, Ma?" tanya Agung.

"Boleh. Tapi kalau udah jam tidur, stop ya? Besok bisa diterusin lagi."

Papan tripleks itu diletakkan di atas karpet. Sesaat kemudian Agung sudah tekun mengerjakannya.

Nadia pamit pulang. Ia mencium Agung dulu. Rama dan Ava mengantarkannya ke luar.

"Cerita Bu Oni itu menarik sekali, Mas." kata Nadia.

"Cepat sekali beredarnya, ya?" kata Rama sambil menyikut pelan istrinya.

Ava tertawa.

"Soalnya aku juga ikut heboh. Susah nyimpan sendiri."

"Mas lihat sendiri Evi lagi tidur waktu itu, ya?" tanya Nadia.

"Ya. Lagi baca, terus ngantuk rupanya. Aku yakin Bu Leoni itu memanfaatkan kesempatan. Bukan semata-mata karena kasihan sama Bu Evi. Dia pengin jalan-jalan sendirian.

"

"Oh, itu kesimpulanmu?" tanya Nadia.

"Ya. Soalnya dia kelihatan menikmati betul keadaannya itu. Dia bebas wara-wiri. Kalau Bu Evi tahu, mana mungkin membiarkannya keluyuran sendirian?"

"Jadi menurutmu alasan kasihan itu hanya untuk memancing simpati saja. Tapi Mas sempat merasa terharu, bukan?" tanya Nadia.

"Oh iya."

"Bagaimanapun dia pemberani. Dalam keadaan seperti itu dia berani keluyuran sendirian. Apakah dia melarangmu memberitahu Evi?"

"Nggak. Dia nggak ngomong apa-apa. Aku disuruhnya pergi buru-buru."

"Kalau aku cerita sama Evi, kayaknya Bu Oni bakal marah nggak sama Mas. ya?"

"Cerita saja. Nggak apa-apa. Siapa takut? Aku toh nggak sering ketemu sama dia."

"Kalau lain kali kau perlu ambil barang lagi?"

"Biarin. Memangnya dia bisa apa? Aku punya hak untuk cerita sama siapa saja, kan? Nggak ada perjanjian kok."

"Ya sudah. Gimana ya reaksi Evi dan Wijaya kalau tahu?"

"Aku pikir, dia tentu nggak suka kalau anak dan menantunya tahu," kata Ava.

"Soalnya kalau sudah jelas dia berani dan bisa sendiri begitu, nanti perhatian untuknya jadi berkurang. Evi pun jadi kurang kerjaan. Bukankah dia suka sekali menyudutkan Evi?"

"Karena itu mereka harus tahu. Biar jadi pelajaran buat Bu Oni. Nggak perlu terlalu dimanja," kata Rama.

"Ya. Aku akan cerita secepatnya begitu dapat kesempatan. Sekarang ini sulit ketemu Evi tanpa ditenami Bu Oni. Nelepon juga susah. Nanti dia nguping. Rasa ingin tahunya besar sekali. Suka baca cerita detektif dulunya."

"Pantas."

Lalu HP Nadia berbunyi. Saat Nadia meraih ponselnya, Ava dan Rama mengucapkan kata perpisahan lalu berjalan memasuki rumah dengan berpegangan tangan. Sebelum bicara ke ponselnya tatapan Nadia sempat tertuju kepada pasangan itu. Ia tersenyum.

"Halo? Tumben nelepon. Ev. Baik-baik saja?"

"Ya, baik Na. Aku baru keluar dari klinik."

Nadia terkejut.

"Kenapa? Kau sakit? Wijaya mana?"

"Dia ada di sebelahku. Aku nggak sakit. Kabar baik malah, Na. Kau adalah orang pertama selain suami yang tahu. Aku hamil, Na!"

Nadia diam sejenak. Ia memang merasa surprise.

"Wah, selamat, Ev! Selamat bagi kalian berdua! Sampaikan sama Mas Wi juga."

"Terima kasih. Oh, Na, doakan supaya semuanya berjalan baik, ya."

"Tentu saja, Ev. Saya ikut bahagia. Senang sekali mendengarnya. Terima kasih jadi orang pertama yang dikasih tahu. Apa bukan Bu Oni?"

"Dia sih belakangan aja. Nanti kan tahu sendiri."

Nadia tertawa. Ia menangkap kejengkelan dalam suara Evita. Masih menyimpan dendam rupanya.

"Sudahlah. Damai aja, Ev. Yang sudah biarkan lewat. Sama siapa di di rumah? Nggak ditinggal sendiri, kan?"

"Dia ditemani Bi Ipah, pembantu Bu Hendra. Kami bermaksud menyewa tenaganya nanti, kalau membutuhkan. Part time, begitu."

"Apa aku juga boleh cerita sekalian? Kabar baik juga sih. Sesuatu yang positif."

"Tentu saja boleh. Nggak buru-buru kok."

Nadia bercerita tentang apa yang disaksikan Rama mengenai Leoni. Terdengar seruan terkejut dari Evita.

"Wah, bisa begitu, ya? Hari itu memang saya ngantuk sekali. Ketiduran di sofa."

"Katanya dia kasihan sama kau. Jadi nggak mau membangunkan."

"Ah, apa susahnya mengantar dia ke sana? Kan cuma mendorong kursinya. Pantasnya dia mau melakukan sesuatu yang nggak ingin dilihat orang lain. Padahal kalau memang mau begitu bilang saja. aku nggak keberatan nunggu di luar. Yang aku herankan kok dia nggak takut sendirian di situ, ya? Kalau aku sih nggak mau."

"Dia pemberani."

"Dan sudah terbukti mandiri juga. Mestinya kan nggak perlu nyusahin orang, ya?"

"Tapi sebaiknya jangan kasih tahu dia bahwa kau tahu. Pura-pura saja nggak tahu. Nanti kalian jadi ribut."

"Oh, beres. Ngapain bikin ribut di saat kami sedang bahagia."

"Syukurlah kalau kau berpikir begitu. Kasihan juga kalau dikasih tahu. Entar dia jadi malu. Bagaimana perilakunya belakangan ini. masih judes dan galak?"

"Nggak terlalu sih. Kadang-kadang masih sinis dan judes, tapi dibanding dulu jauh berkurang. Dia juga mau bantuin masak, potong-potong sayuran dan bikin bumbu. Tapi otoriternya masih."

"Ada kemajuan dong. Mungkin lama-lama sadar juga. Aku senang kalau kalian sudah berdamai. Tambahan Iagi bakal ada anggota keluarga baru. Selamat sekali lagi!"

Setelah menutup ponselnya, Nadia keluar dari mobilnya dan kembali ke rumah Ava untuk menyampaikan kabar gembira dari Evita. Dalam perjalanan pulang ia merasa jadi penyebar berita. Heboh ke sana ke sini. Lalu dia teringat akan percakapannya dengan Barata. Sebagian orang tidak percaya bahwa dia bersungguh-sungguh ingin hidup sendiri. Ada yang bicara sinis,

"Ah. memang belum dapat jodoh kok!" Yah, biarlah. Bila sudah menentukan pilihan hidup maka risiko apa pun harus ditanggung. Seperti Barata dan Robin.

Bahkan Wijaya dalam kebahagiaannya tidak merasa perlu memasalahkan kelakuan ibunya. Ia sepakat dengan Evita akan berpura-pura tidak tahu saja. Yang penting mereka sudah tahu. Mereka berdua menyadari betapa seringnya Leoni mengamati mereka dengan tatapan tajam menyelidik seperti mau mengorek. Dia seperti menunggu-nunggu kapan pertanyaan tentang hal itu keluar. Lalu mereka menjadi geli dan merasa senang bisa berpura-pura.

"Biar saja dia mendapat kesenangan sendiri dengan perbuatannya itu," komentar Wijaya.

"Toh dia nggak nyusahin orang. Harusnya kita salut sama dia karena berani."

"Kau nggak heran?"

"Dari dulu juga dia begitu."

"Nggak takut setan?"

"Kalau soal itu aku nggak tahu. Karena belum punya pengalaman." Wijaya tertawa.

"Besok-besok aku mau pura-pura tidur siang di sofa. Pengin tahu apa yang mau dilakukannya."

Wijaya jadi khawatir.

"Ah, jangan sekali-kali berbuat begitu, Ma." katanya sungguh-sungguh.

"Kenapa?"

"Dia bisa marah besar kalau tahu. Kita bisa repot. Padahal situasi lagi tenang."

"Iya deh."
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Janji ya."

"Iya."

Tetapi setelah istrinya tidur lelap, Wijaya masih khawatir. Ia bukannya tidak memercayai istrinya, tapi ibunya. Kejutan apa lagi gerangan yang bisa dilakukannya? Kalau dipikir gerah juga rasanya karena ibunya jadi omongan orang-orang. Tapi ia tidak bisa melarang ibunya untuk tidak berbuat begini atau begitu.

Nadia segera melaporkan percakapan singkatnya dengan Agung kepada Robin.

"Ada kemajuan padanya," kata Robin girang.

"Ya. Kelihatannya begitu." "Kayaknya sih sudah nggak ada masalah kalau ditanya lagi. Bagaimana menurutmu, Na?"

"Jangan dulu. Kita harus menghormati perasaan orangtuanya."

"Kalau kelamaan setannya bisa kabur."

"Apakah setan bisa kabur?" gurau Nadia.

"Iya. kalau setannya pakai mantel hitam dan topeng-"

Nadia tertawa. Ia tahu maksud Robin.

"Sabarlah. Semakin kita bersabar, setannya pun semakin betah."

"Betul juga. Tapi buat kami waktu jadi persoalan. Laporannya gimana?"

"Iya sih. Habis gimana lagi? Kan ada kasus yang sampai bertahun-tahun nggak terungkap. Bahkan ada yang nggak terungkap sama sekali. Oh ya, gimana si Gito? Masih ditahan?"

"Sudah keluar. Ia cuma seorang buaya darat di antara banyak buaya lainnya yang sejenis. Selama banyak perempuan yang gampang jadi mangsa, buaya itu akan hidup subur dan berkembang biak."

"Bisa aja kau."

"Terima kasih banyak untuk infonya, Na. Doakan supaya permintaan Agung itu bisa kami penuhi."

Setelah menutup telepon Robin tersenyum. Sudah terbukti bahwa membina hubungan baik ke manamana selalu bermanfaat. Dari sana-sini ia bisa memperoleh infomasi berharga yang akurat tanpa harus pergi ke sana-sini. tanpa perlu membayar dan tanpa berkeringat. Dia sendiri tetap di rumah sambil bergoyang kaki, sambil tiduran, atau sambil mengerjakan yang lain. Dia tinggal mengolah semua informasi yang diperolehnya. Kalau saja ia memiliki sejenis mesin data yang bisa menggantikan otaknya untuk

mengolah semua itu, maka ia tinggal menunggu hasilnya.

Sudah tentu ia harus menyisihkan dulu skenario yang telah disusunnya. Lalu memulai dari awal. Tanpa skenario, tapi murni data dan infomasi. Ia tidak percaya bahwa setan item yang dimaksud Agung adalah setan betulan. Baginya sudah jelas dari barang bukti yang ditemukan, yaitu mantel hitam dan topeng setan. Tentu saja Agung mengira itu adalah setan. Ada tambahan lagi yang barusan disampaikan Nadia. Setannya besar. Padahal Ningsih bertubuh kecil. Kalau menjatuhkan Ani yang berukuran sama dan sedang mabuk mungkin ia bisa saja melakukannya, demikian pula untuk menjatuhkan Agung. Tapi postur tubuh tak bisa disamarkan.

Tampaknya setan item itu adalah seorang lelaki. Di apartemen Agung hanya ada ayahnya, Rama. Tapi itu jelas tidak mungkin. Ia bisa melihat dengan mata telanjang, tanpa perlu mencermati atau mengamati, bahwa Rama mencintai putranya. Kalau ia ingin menyingkirkan Ani, entah dengan alasan apa, ia bisa melakukannya tanpa kehadiran Agung. Dengan menjatuhkan Ani dari balkon rumahnya sendiri, ia menempuh risiko dicurigai. Seperti yang pernah dilakukan Nadia waktu itu.

Lalu ada peristiwa Ningsih bunuh diri dan meninggalkan surat. Kenapa ia harus minta maaf? Ia tidak menjelaskan untuk apa maaf itu. Sepertinya memang menjurus ke kasus Ani. seolah dialah pelakunya. Bukankah skenario yang telah dibuatnya itu

justru sesuai dengan yang diinginkan si pelaku? Ia digiring ke sana dengan gampangnya.

Yang paling penting adalah perkataan Agung bahwa dirinyalah yang dijatuhkan, sedang Ani mau menolong. Ia merasa harus memercayai ucapan itu. Maka semakin jelaslah kekeliruan skenarionya. Ningsih tidak punya motif menyingkirkan Agung, tapi punya motif menyingkirkan Ani. Apakah masuk akal kalau Ningsih sengaja mengorbankan Agung supaya Ani ikut terbawa? Sulit memercayainya.

Siapa gerangan yang sampai hati membunuh bocah dengan cara mengerikan seperti itu? Hanya ada satu kemungkinan yang paling masuk akal, yaitu bertujuan membalas dendam pada orangtuanya. Orang yang paling merasa sedih atas kematian anak pastilah orangtuanya. Barangkali ia perlu mewawancarai lagi Rama dan Ava, apakah mereka punya musuh atau orang-orang yang menaruh dendam. Sebaiknya ia minta tolong Nadia lagi. Gadis itu bisa menggantikan tempatnya. Tetapi caranya bukan dengan meminta langsung. Ia tak mau disangka memanfaatkan.

Ada satu poin penting lain yang mengherankan. Kenapa si pelaku justru memilih pagi hari itu. ketika orangtua Agung ada di rumah, meskipun mereka hampir pasti sedang tidur nyenyak? Berani sekali ia melakukannya. Tidak takutkah ia kalau ternyata Rama atau Ava kebetulan terbangun? Dia pastilah orang yang tahu benar situasi di situ.

Pada saat itu di lantai tujuh hanya ada keluarga



Rama, Bu Leoni dan Ningsih. Henri dan Santi. Tidak ada satu pun di antara mereka yang patut dicurigai atau punya motif menyingkirkan Agung.

Sebuah nama muncul di benaknya. Tapi itu cuma melintas sebentar. Hampir mustahil. Bahkan menyebutkannya pada orang lain pun ia tidak berani.

Ia harus menelusurinya lagi dari awal. Atau sebaiknya dari tengah-tengah saja dengan fokus pada kematian Ningsih?

Ia teringat pada Barata. Rasanya menyejukkan hati kalau bisa bicara dengan dia. Tapi ia sadar sekarang harus menjaga jarak dengan lelaki itu. Tentu bukan dengan menghentikan komunikasi sama sekali, karena mereka masih berteman dan ia pun masih membutuhkan informasi dari Barata. Tapi ia tidak boleh lagi ke rumah Barata. Tidak boleh berdua-dua. Tidak boleh memberi kesempatan pada dirinya untuk terbakar sendirian.





Kebahagiaan yang dirasakan Evita telah melembutkan perasaannya kepada Leoni meskipun tidak bisa membuatnya melupakan masa lalu. Yang itu memang tak mungkin terlupakan. Belakangan ini perempuan tua itu bersikap baik kepadanya meskipun terkadang masih menyebalkan. Barangkali sepatutnya ia mematuhi anjuran Nadia. Berdamai saja. Yang pasti bukan berdamai dengan Leoni, melainkan dengan hatinya sendiri. Apalagi menjelang kelahiran bayinya nanti ia harus menciptakan suasana damai demi ketenangan hidup mereka sekeluarga. Kadang-kadang, bila Leoni sedang bersikap manis dan lembut kepadanya, hatinya luluh bila teringat pada keputusannya untuk tidak membolehkan mertuanya itu menyentuh bayinya. Barangkali ia keterlaluan. Ia terlalu mendendam. Tapi kebimbangan itu juga membuat ia teringat kembali pada masa

lalu secara lebih mendetil. Tidak. Ia tidak mau mengambil risiko yang bisa mengorbankan anak sendiri.

Dua hari setelah Leoni keluyuran sendiri ke apartemen lamanya, ia mengajak Leoni berjalan-jalan ke taman, di sore hari. Leoni menyambut ajakan itu dengan antusias. Sejak tinggal di situ. ia tidak pernah diajak turun ke taman meskipun pada hari libur. Melihat sikapnya Evita jadi merasa sedikit bersalah. Alangkah susahnya jadi orang pemaaf.

Ia mengirim pesan dulu kepada Wijaya bahwa mereka akan berjalan-jalan di seputar taman dan kolam renang. Jadi kalau pulang cepat dan Wijaya tidak menemukan siapa pun di apartemen berarti mereka masih di taman. Wijaya menyambut dengan gembira.

Evita mendorong kursi roda keluar pintu, berhenti sejenak untuk mengunci pintu dan mengantungi kuncinya. Di dalam saku celana tiga perempat sudah ada HP dan dompet. Karena itu ia mengenakan celana yang longgar supaya tidak sesak.

Ketika akan mendorong kembali kursi. ia melihat Leoni menoleh ke arah apartemen lama mereka. Tatapannya terus ke sana. Lalu tangannya menunjuk.

"Ada yang masuk ke sana, Ev!"

Evita terkejut.

"Mana? Nggak lihat, Ma! Siapa?"

"Dia udah masuk! Wah, mau nyolong, kali!"

"Siapa, Ma?" tanya Evita mulai takut.

"Bajunya item. Lelaki. Tinggi dan tegap'

"Ayo, kita pergi, Ma!"

Evita mendorong kursi setengah berlari menuju lift. Ia takut sekali. Untunglah lift tidak macet. Di bawah ia segera menuju kantor Hendra. Lelaki itu terkejut melihat mereka. Baginya itu pemandangan yang tidak biasa. Apalagi melihat wajah kedua perempuan.

"Ada apa, Bu? Mau ke mana?" tanyanya bingung.

Evita segera menceritakan apa yang dilihat Leoni. Hendra terkejut mendengarnya.

Barata yang melintas melihat mereka. Tanpa menunggu dipanggil ia segera menghampiri. Hendra menceritakan hal itu kepadanya, ditimpali oleh Evita dan Leoni sesekali. Dengan sigap Barata bergegas menuju lift. Tapi Leoni berteriak kepadanya,

"Tunggu! Baiknya kamu ikut sama dia, Ev! Kan kunci sama kamu. Bisa jadi saksi juga. kan?"

Evita ragu-ragu sejenak. Barata juga.

"Cepat sana!" seru Leoni.

Suara itu bagai dorongan yang kuat. Keduanya segera berlari. Leoni ditinggalkan di kantor Hendra.

Bersama Barata, Evita menjadi lebih tenang. Ia berkata bahwa tujuan mereka sebenarnya untuk berjalan-jalan, tapi tak disangka Leoni melihat sesuatu yang mengejutkan.

"Tapi saya sendiri nggak lihat karena masih mengunci pintu."

"Heran, masuknya dari mana. ya?"

"Entah. Keluar dari lift kok nggak kelihatan. ya?"

"Nanti Ibu jangan ikut masuk. Tunggu dulu di luar. Kalau aman baru masuk."

"Baik. Kita ambil kunci dulu, Bar. Yang kupegang adalah kunci apartemen yang kutempati sekarang."

Saat mereka berjalan di lorong, di belakang mereka ada orang berlari. Satpam Didi mengejar.

"Aku nemenin kamu, Bar," katanya.

Evita tambah lega. Dua orang tentu lebih kuat daripada satu orang. Setelah mengambil kunci yang terletak di laci bufet, ia menyerahkannya kepada Barata. Lalu mereka bertiga menuju ujung lorong satunya, apartemen lama.

Setelah pintu terbuka. Barata mengembalikan kunci kepada Evita. Ia mendorong pintu hingga terpentang lebar, menunggu sebentar, lalu masuk dengan pentungan di tangannya. Didi menyusul dengan bersenjatakan pentungan juga.

Evita menunggu di luar dengan berdebar-debar. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Waswas juga kalau-kalau ada yang menyerang dan mendekapnya. Akhirnya ia tidak tahan menunggu sendirian. Ia ikut masuk. Pandangnya berkeliling ruangan yang pernah ditempatinya dulu. Tapi tidak tampak orang lain kecuali Barata dan Didi, yang menjelajahi ruang demi ruang. Kamar-kamar pun dibuka dan dimasuki. Juga gudang dan kamar mandi. Kemudian pintu ke balkon. Tidak ada apa-apa dan siapa-siapa.

Satu-satunya pemandangan yang tidak biasa adalah kursi terguling di dekat pintu.

"Bukan kami yang menggulingkan, Bu," kata Barata.

Lalu Evita teringat pada perbuatan Leoni dua hari yang lalu. Menurut cerita Nadia, pada waktu itu Rama mendengar suara gedebuk yang gaduh sebelum ia mengintip. Mungkin Leoni yang menyebabkan kursi itu terguling. Tapi ia tidak mengatakannya pada Barata.

Mereka keluar setelah sepakat bahwa tidak ada orang yang dimaksud Leoni di dalamnya.

"Mungkinkah ia melihatnya ke situ dan bukan ke sini?" Barata menunjuk apartemen Rama di seberang.

Tiba-tiba saja tengkuk Evita jadi meremang.

"Apa sebaiknya kita masuk ke situ?" tanya Didi.

"Kuncinya?" tanya Barata.

"Bukankah Pak Hendra punya kunci duplikat?" tanya Evita.

"Kalau begitu biar saya turun dan minta pendapat dia dulu. Ibu sama Bara tunggu aja di sini."

Mereka setuju. Sementara Didi pergi, Barata dan Evita menunggu dalam diam. Kalau situasinya tidak seperti itu. tentu mereka akan menggunakannya untuk mengobrol. Ada cukup banyak hal yang bisa diperbincangkan. Tentang Agung, misalnya.

Didi kembali dengan cepat. Hendra mengikuti. Sebagai pengelola ia bertanggung jawab.

"Bu Oni ditemani istri saya," katanya kepada Evita saat membuka pintu.

Setelah pintu terbuka Hendra mundur sementara Barata dan Didi menyerbu masuk. Evita ikut pula masuk. Barulah Hendra mengikuti. Di situ pun sepi. Tidak ada apa-apa dan siapa-siapa.

Akhirnya mereka keluar.

"Pasti dia salah lihat. Maklum orang udah tua," kata Hendra.

"Iya. Saya kira juga begitu. Kalau memang ada orang masuk. masa nggak ada jejaknya"? Masa nggak kelihatan keluarnya?" sambut Evita.

"Benar, Bu. Orang yang sudah tua kadangkadang suka begitu. Apalagi Bu Oni nggak pakai kacamata," kata Barata.

Mereka merasa tenang dan lega.

"Tapi janganlah dia disalahkan," kata Hendra.

"Kalau kita ngomong begitu kepadanya dia bisa marah."

Dengan tercengang mereka melihat Leoni sedang mengobrol bersama Nyonya Hendra dengan ceria, seakan tak ada apa-apa. Mereka sempat berpandangan sesaat.

"Gimana? Udah ketangkep?" tanya Leoni.

"Nggak ada siapa-siapa, Ma," sahut Evita.

"Wah, apa dia bisa menghilang?" tanya Leoni.

Hendra berusaha menenangkan. Leoni menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya, tapi tidak berkata apa-apa. Evita merasa malu, tapi ia masih bingung. Antara percaya dan tidak percaya pada pernyataan Leoni. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya. Barata menemani sejenak saat Evita

mendorong kursi menuju taman yang mengelilingi kolam renang. Lalu ia memisahkan diri. Sebentar lagi ia bebas tugas dan digantikan oleh rekannya yang lain. Tapi ia memutuskan untuk menemani kedua perempuan itu kalau mereka akan pulang, kecuali kalau Wijaya datang.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barata memanfaatkan waktunya untuk mengirim pesan kepada Robin. Cerita singkat mengenai kejadian tadi.

Balasan dari Robin: Nanti malam saya telepon. Trims ya.

Barata merasa lega membacanya. ia tahu Robin tidak akan berkunjung lagi ke rumahnya dan ia sangat menghargai keputusan itu. Berani Robin sudah berupaya untuk menahan diri.

Ia kembali berkonsentrasi kepada Leoni dan Evita yang mangkal di dekat kolam renang, mengamati orang-orang yang tengah berenang. Di sore hari kolam cukup banyak isinya. Anak-anak dan ibu-ibu. Ia mengawasi dari tempat yang terlindung, tidak mencolok karena khawatir dianggap cuci mata. Sesekali saja ia melayangkan pandang pada kedua orang yang menarik minatnya itu.

Sepertinya kedua orang itu sudah memperbaiki hubungan, demikian kesimpulannya. Sikap Leoni tidak kasar lagi dan Evita juga lebih hangat dan memerhatikan mertuanya. Perubahan dari Leoni itu terasa mencolok di matanya. Sebelum ini Leoni adalah nenek yang menggemaskan dan menyebalkan. Baik sikap maupun tutur katanya kepada semua

orang seperti sengaja memancing kejengkelan kepadanya. Jelas ia tidak peduli apa orang akan membenci atau menyukainya. Jenis orang yang semau gue. Sekarang Leoni adalah nenek yang manis dan lembut. Rona wajahnya yang halus dengan pipi merah jambu membangkitkan rasa sayang orang yang mengamatinya. Tak disangka wajah itu bisa berekspresi sebaliknya. Barata dan Robin pernah mengalaminya.

Tetapi ia merasa heran kenapa Leoni seperti melupakan sama sekali pengalamannya barusan. Seolah tak pernah terjadi. Padahal dirinya, Didi, Hendra, dan Evita sampai cemas tak kepalang. Ia sudah membayangkan akan terlibat perkelahian dengan orang yang masuk secara gelap itu. Meskipun terasa mustahil bahwa orang luar bisa masuk tanpa terdeteksi, tapi ada juga pemikiran tidak logis mengenai orang yang punya ilmu, entah apa.

Leoni terlihat tenang. Tidak ketakutan atau gelisah. Kalau tidak ada, ya sudah. Ia tidak mempersoalkan. Padahal seharusnya perlu dipersoalkan. Tidak salahkah matanya? Dia seperti tidak memiliki syaraf takut. Padahal orang cacat seperti itu logisnya punya rasa takut yang lebih dibanding orang normal.

Barata teringat akan cerita Robin lewat telepon yang menyampaikan cerita Nadia perihal Leoni yang kedapatan keluyuran ke apartemen lamanya. Itu suatu bukti bahwa nenek itu memang tidak memiliki saraf takut. Patut dikagumi atau dianggap

aneh? Dia berbeda dengan Nadia yang merasa yakin bahwa Leoni memiliki suatu kelebihan yang patut dikagumi. Sedang Robin tidak mau memberikan pendapatnya, dia hanya berkata,

"Dia seorang nenek, seperti umumnya nenek lainnya!"

Di tepi kolam beberapa ibu silih berganti menghampiri Leoni dan Evita, mengajak mereka ikut serta menikmati air kolam renang yang sejuk. Leoni menjawab dengan kelakar,

"Kalau aku masuk ke situ, airnya bisa hilang separo!"

Bahkan Evita bisa ikut tertawa menanggapi humor itu. Ia merasa senang tapi tak bisa menghilangkan kecemasan yang tadi. Ia juga bingung bagaimana Leoni bisa tetap tenang dan gembira. Pada perasaannya Leoni seolah bermetamorfosis, dari ulat buruk rupa menjadi kupu-kupu indah.

Evita menunggu sampai tak ada lagi orang yang mendekati mereka.

"Ma, yang tadi Mama lihat itu kayak apa sih orangnya?" ia bertanya. Tak berani menanyakan apakah Leoni benar-benar melihat atau cuma halusinasi. Ia tahu, penanyaan itu bisa membuat Leoni marah.

"Yang tadi?" Tatapan Leoni tetap ke kolam. Matanya mengawasi anak-anak yang bersorak-sorak dan berkecipak-kecipuk.

"Kan aku sudah bilang. Lelaki berbaju hitam."

"Mukanya gimana?"

"Nggak kelihatan mukanya."

"Rambutnya? Botak atau gondrong? Hitam atau pirang?"

"Botak nggak, gondrong juga nggak. Yang pasti warnanya hitam."

"Masuknya dengan membuka pintu atau nggak?"

Leoni tertegun sejenak. Kemudian ia menatap Evita, membuatnya terkejut oleh tatapan tajam menyayat. Mungkin Leoni terkejut juga.

"Aku nggak tahu. Kalau dia nggak buka pintu masa bisa masuk? Memangnya setan?" katanya dengan mengerutkan kening.

"Ya sudah, Ma. Nggak apa-apa."

"Kalau orang-orang di sini mendengar ceritaku, pasti pada ngacir semua," kata Leoni, ceria kembali.

Evita terdiam. Tentu saja ia berharap Leoni tidak akan bercerita kepada semua orang, apalagi ditambah bumbu macam-macam. Ia merasa kasihan. Mereka sekeluarga memang akan pindah, tapi orangorang itu tidak. Bila sudah diliputi ketakutan, maka hidup menjadi tidak nyaman lagi.

"Jangan diceritain, Ma. Kita kan mau pindah."

"Memangnya mulutku bocor, cerita ke sana-sini?" jawab Leoni agak ketus.

Evita tidak melanjutkan topik tadi. Leoni pun tampaknya lebih suka mengamati pemandangan di depannya. Diam-diam Evita mengamati mertuanya itu dari samping. Ia melihat tatapan yang berbinar. Objek yang disukainya adalah anak-anak. Kepada merekalah tatapannya tertuju. Ia menyukai anak-anak, pikir Evita. Apakah ia diingatkan kepada Dino?

Tapi Evita tidak menyimpulkan adanya keharuan

di mata Leoni. Yang terkesan hanyalah kegembiraan

semata. Apakah dia sudah melupakan peristiwa itu? Sagampang ini?

Tiba-tiba Leoni kembali pada realitas. Ia menoleh kepada Evita.

"Kamu nggak takut setan. kan?"

Evita terkejut. Perasaannya menjadi tidak nyaman.

"Kenapa Mama tanya begitu?"

"Aku punya pengalaman aneh. Kau tahu nggak dua hari yang lalu aku jalan-jalan sendiri ke rumah lama? Waktu itu kau lagi tidur di sofa "

Evita pura-pura kaget.

"Oh, ngapain Mama ke sana? Kenapa aku nggak dibangunin?"

"Jadi si Rama nggak cerita? Aku yakin dia cerita sama istrinya. lalu istrinya cerita sama kamu."

"Nggak, Ma. Ada apa dengan Rama?"

"Dia lihat aku pas saat dia keluar dari rumahnya. Aku kaget setengah mati. Untung jantungku kuat.

Aku ke situ mau ngambil minyak anginku."

"Minyak angin? Kan ada di kamar Mama?"

"Botol kosongnya."

"Botol kosong kok disimpan."

"Nggak apa-apa dong. Semau aku. Aku nggak mau bangunin kamu. Pengin jalan sendiri aja."

"Mama bisa sampai ke situ? Nggak takut?"

"Kalau takut, aku nggak bakal ke situ. Kenapa mesti takut?"

"Mama hebat bener. Tadi katanya punya pengalaman aneh. Apa itu?"

"Oh iya. Waktu mau ke luar ada yang menggulingkan kursiku. Aku jatuh. Terus aku tarik kursi yang ada di situ untuk pegangan. Kursi roda bisa kubalikkan lagi. Aku bisa duduk lagi, tapi kursi yang kujadikan pegangan itu terguling."

"Pantas ada kursi terguling dekat pintu."

"Betul."

"Waduh, Mama ini benar-benar bermental baja. Hebat sekali. Kalau pergi ke situ lagi sendirian, berani nggak, Ma?" Evita ingin tahu.

Leoni tersenyum. Ia menggeleng.

"Nggak, ah."

"Lain kali kalau perlu sesuatu dari sana bilang aja sama Wijaya, Ma."

"Tentu. Tapi aku puas."

Bibir tipis Leoni berkerut. Evita menatapnya dengan heran.

"Puas kenapa, Ma?"

"Bukankah aku bisa ngalahin setan?"

Perasaan Evita jadi campur aduk. Demikian pula isi lambungnya. Ia segera berdiri.

"Sebentar ya, Ma. Diam di sini. Aku pengin ke belakang."

Tanpa menunggu komentar Leoni, Evita berlari pergi sambil menahan mualnya. Leoni berteriak, tapi Evita tetap berlari. Ia tak ingin muntah di situ. Orang-orang di sekitar tak sampai tertarik perhatiannya. Tapi Barata di tempat terlindungnya spontan berdiri dan bergegas mendekati. Ia menyapa Leoni lalu duduk di sampingnya.

"Kenapa Bu Evi. Bu?"

"Tau tuh. Katanya pengin ke belakang. Emangnya nggak tahan?" Leoni menggerutu.

"Biar saya aja yang nemenin Ibu. Boleh kan, Bu?"

"Boleh. Kamu yang namanya Barata, kan?"

"Betul."

"Yang menangkap si Agung, kan?"

"Betul, Bu."

"Bagus. Udah berapa orang yang berhasil kamu tangkap?"

"Maksud lbu, tangkap maling atau apa?"

"Ih, bolot. Ya. tangkap yang jatuh dari atas."

"Oh, itu. Cuma Agung, Bu."

"Jadi baru satu?"

Barata tak menjawab. Ia bingung bagaimana mesti menanggapi ucapan Leoni itu. Apakah itu gurauan atau serius? Tapi ia menganggapnya keterlaluan. Maka ia hanya tersenyum canggung saja. Lalu mempersiapkan mentalnya untuk menerima kata-kata yang lain.

"Kalau Ibu mau kembali ke atas, nanti saya temani," katanya.

Tiba-tiba Leoni tertawa geli. Barata terperangah.

"Aduh, kamu lucu sekali ya. Lihat mukamu itu."

Barata meraba mukanya. Barangkali ada sesuatu yang hinggap hingga Leoni menertawainya. Tapi kelakuannya itu membuat Leoni tertawa lebih geli lagi. Perutnya sampai ikut berguncang.

"Mukamu masih ada kok." katanya lagi.

Barata tersenyum canggung. Ia memutuskan unruk tidak menanggapi. Padahal ia ingin tahu kenapa Leoni tertawa. Barangkali orang seperti Leoni tak bisa diajak berkomunikasi secara wajar. Atau jalan pikirannya lain dari yang lain.

Dari kejauhan Evita melihat Barata bersama Leoni. Ia merasa lebih tenang karena Leoni tidak sendirian. Jadi ia punya waktu untuk mencari minum. Kerongkongannya sangat tak nyaman setelah muntah-muntah tadi. Baru kali ini ia muntah di masa kehamilannya. Tapi pasti bukan karena kehamilan. Dulu semasa hamil anak pertama ia tidak sampai mengalami mual dan muntah di pagi hari. Apalagi sekarang ini bukan pagi hari. Lantas kenapa? Apakah karena sesuatu yang ia makan sebelumnya? Tapi apa pun yang ia makan, sudah sejak tadi, pasti sudah melewati lambungnya. Yang ia yakini, ia muak kepada Leoni!

Sesaat ia menjadi bingung. Ada sesuatu yang salah. Pada Leoni atau pada dirinya? Bukankah umumnya orang takut kepada setan karena ujudnya yang mengerikan? Tapi kenapa Leoni bicara tentang itu seolah setan adalah... temannya? Wajarkah sikap seperti itu? Atau dirinya yang tidak bisa memahami perilaku orang yang berbeda? Nadia bisa mengagumi, tapi dia tidak bisa. Sekarang. sepertinya ia jadi takut kepada Leoni seolah perempuan tua itulah si setan! Aduh, jangan-jangan aku jadi paranoid. Tidak. Aku tidak mau dituduh begitu lalu disuruh ke psikiater.

ia kembali kepada Leoni. Barata segera berdiri.

"Ibu baik-baik saja? Kok pucat?" kata Barata.

"Tadi sakit perut," sahut Evita.

"Wah, baikan kembali ke atas saja, Bu. Bisa istirahat. Mari saya antar."

"Huh, masih enak di sini kok," gerutu Leoni. Kelihatan betul sifat egoisnya.

Barata menjadi bingung sejenak. Ia kasihan pada Evita, tapi tidak berani membujuk Leoni. Takut dimarahi. Kata-kata yang disemburkan Leoni bisa setajam pisau.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah, kamu pulang aja sendiri. Biar aku di sini ditemenin Barata. Nanti dia yang mengantarku pulang. Ya, Bar?" Leoni menatap Barata, memperlihatkan senyum manisnya.

"Ah, jangan. Bara kan lagi tugas, Ma. Sudah, nggak apa-apa. Aku sudah nggak sakit kok."

"Tugas saya sudah selesai kok, Bu. Sejak sejam yang lalu."

"Lantas kenapa kamu masih di sini?" tanya Leoni tajam.

"Barangkali Ibu membutuhkan bantuan saya."

"Huh," dengus Leoni. Tapi kemudian buru-buru mengubah ekspresi cemberutnya menjadi senyum,

"Ya, memang kamu bisa nemenin aku. Kita kan belum pernah ngobrol. Nggak perlu teriak-teriak, lagi."

Evita duduk lagi. Ia tak mau meninggalkan Leoni meskipun bersama Barata yang dipercayainya.



Wijaya pasti tidak akan senang kalau menemukan ibunya ditinggal berdua saja dengan orang lain. Lagi pula apa yang mau dilakukannya di apartemen sendirian? Barata berdiri di sampingnya, masih bingung apakah sebaiknya meninggalkan mereka atau tidak. Tapi sebenarnya ia ingin juga mendengar celoteh si nenek, walaupun kata-kata yang keluar sering tajam dan nyelekit.

"Rupanya telinga Ibu sudah sembuh sekarang. Pakai alat bantu ya, Bu?" Barata memberanikan diri bertanya.

"Nggak. Tiba-tiba ada keajaiban. Ada yang menampar kupingku. tahu-tahu aku bisa mendengar dengan baik."

Evita menatap heran. Cerita seperti itu baru pernah didengarnya.

"Siapa yang nampar, Ma?" ia bertanya.

"Tau! Setan, kali," sahut Leoni, antara serius dan gurau.



Evita mengerutkan kening. Kembali kata yang sama diucapkan Leoni.

Tiba-tiba Leoni menunjuk.

"He, anak itu mirip banget sama si Agung!" serunya.

Mereka memandang arah yang ditunjuk. Seorang anak lelaki baru saja meloncat ke dalam kolam. Usianya kira-kira sebaya dengan Agung dan tubuhnya pun sama besar. Tak terlalu mirip, tapi ada kesamaan pada kulitnya yang putih dan rambutnya yang ikal dan basah yang menempel pada kepalanya.

"Nggak begitu mirip," kata Barata.

"Mirip!" Leoni berkeras.

"Ya, ya. Mirip," Barata menyerah.

Evita tersenyum diam-diam. Ia senang Barata bersamanya.

"Aku pengin ketemu si Agung. Kapan ya, Evi?" Leoni jadi teringat pada keinginannya itu.

"Nanti saja kalau kita sudah keluar dari sini, Ma. Sekalian jalan. Kan mesti tanya Ava dulu, apa Agung sudah bisa ketemu orang atau belum?" sahut Evita.

"Emangnya kenapa dia belum boleh ketemu orang?"

"Kondisi kejiwaan, Ma."

"Kondisi apanya? Otaknya nggak beres?"

Evita merasa capek.

"Nggak tahu, Ma."

"Bilang aja nggak mau ngasih tahu," gerutu Leoni.

"Udah ah, pulang!"

Evita segera berdiri dan mendorong kursi roda Leoni. Barata mengiringi agak di belakang.

Di dalam gedung, Hendra menyambut dengan senyum ramah.

"Senang jalan-jalannya, Bu?"

"Senang."

"Sekarang istirahat ya. Bu?"

"Semau orang dong! Enak aja nyuruh-nyuruh!"

Hendra kehilangan kata-kata. Ia hanya mengangguk-angguk dengan tersenyum. Tapi setelah berada di belakang Leoni, ia menjulurkan lidahnya.

Barata yang berada di belakang melihat kelakuan Hendra. Ia tersenyum geli. Barata memberi isyarat

akan mengantarkan kedua perempuan itu. Hendra mengangguk.

"Waspada, Bar!"

"Ya, Pak."

Leoni memberi tanda berhenti kepada Evita yang mendorong kursinya. Ia menoleh.

"Kenapa waspada?" tanya Leoni tajam.

Hendra buru-buru menghilang ke dalam ruang kantornya.

"Siapa tahu ada yang masuk lagi, Bu." sahut Barata.

"Emangnya kalau ada, kamu mau apa?" Leoni belum puas.

"Mau menangkapnya!"

Leoni tak bicara lagi. Evita mendorong kursi roda ke dalam lift. Barata mendampingi.

Di kantornya, Hendra menelepon Rama untuk memberitahu masalah tadi. Ia sudah memasuki apartemen orang tanpa izin. Tapi setelah dijelaskan, Rama bisa memahami. Bahkan mendukung tindakan yang diambil.

Setelah mengantarkan kedua perempuan ke apartemen mereka dan yakin bahwa pintunya sudah terkunci, Barata berjalan sepanjang lorong menuju kedua apartemen kosong yang tadi dimasukinya. Ia menempelkan telinganya pada kedua pintu bergantian. Sepi tak ada suara apa pun.

Pada saat itu Wijaya keluar dari lift. Ia menoleh dengan terkejut lalu buru-buru menghampiri Barata.

"Ada apa, Bar?"

"Tadi nggak ketemu Pak Hendra. Pak? Saya kira udah dijelaskan."

"Belum."

Barata menceritakan kejadian tadi.

"Tapi semuanya sudah lewat dengan baik, Pak. Tak perlu cemas. Kami sepakat dengan kesimpulan bahwa Bu Oni salah lihat. Tapi Bu Evi masih kelihatan gelisah."

"Baik. Terima kasih, Bar."

Setelah masuk ke apartemennya, Wijaya disambut istri dan ibunya. Sebelum salah satu dari keduanya berbicara, segera Wijaya mengatakan bahwa ia sudah dijelaskan oleh Barata. Sikapnya yang tenang melegakan perasaan Evita.

Tetapi tak lama kemudian, Leoni nyeletuk dengan riang,

"Tadi aku melihat setan, Wi!"

Evita tersentak. Ser. Mualnya muncul lagi. Ia berlari ke kamarnya, terus ke kamar mandi dan muntah-muntah. Wijaya mengejar dengan cemas. Ia memijit-mijit tengkuk Evita. Untung Evita belum makan hingga yang keluar hanya sedikit.

Setelah itu Wijaya membimbing Evita ke tempat tidur.

"Kau masuk angin rupanya."

"Bukan begitu, Pa. Aku enek kalau mendengar Mama ngomong soal itu. Tadi sore di dekat kolam renang juga dia cerita tentang itu, aku langsung nggak tahan dan lari ke belakang. Untung ada Barata, dia yang menggantikan aku menemani Mama."

"Maksudmu tentang setan itu?"

"Iya. Entah kenapa aku langsung bereaksi begitu. Aku benar-benar nggak tahan dengarnya. Jadi tolonglah, minta dia supaya jangan ngomong soal itu lagi di depanku. Kasih tahu ya. Pa?"

"Baik. Kau tiduran saja dulu. Biar aku ngomong sama dia."

Sekeluarnya dari kamar Wijaya langsung menghampiri Leoni yang sedang duduk santai di tempatnya tadi.

"Kenapa sih dia?" tanya Leoni.

"Nggak enak badan. Begini, Ma. aku mau kasih tahu. Jangan sekali-sekali ngomong soal setan lagi di depan Evi. Dia nggak suka."

"Dia kan bisa tutup kuping."

"Jangan begitu, Ma. Jangan samakan semua orang dengan Mama dong. Kalau Mama nggak takut. orang lain kan belum tentu."

"Oh, jadi dia takut, ya? Huuu, penakut amat sih."

"Mau penakut atau apa, pokoknya jangan ngomong begitu lagi di depan dia. Kalau sama aku atau orang lain sih nggak apa-apa, tapi jangan di depan dia. Punya tenggang rasa dong, Ma."

"Jadi dia nyuruh kamu bilang begitu sama aku, ya?"

"Ya. Dia nggak enak ngomong sendiri sama Mama. Takut Mama marah."

"Huh, mau ngomong aja pinjam mulut orang

lain."

"Ayo dong, Ma. Janji, ya? Janji?"

Wijaya menatap ibunya dengan pandang memohon. Tangannya membelai lengan ibunya. Wajah Leoni segera melembut dan menatap putranya dengan mesra.

"Iya dah. iya. Mudah-mudahan aku nggak lupa."

"Jangan lupa dong, Ma. Mama kan belum pikun."

"Aku janji. tapi kamu juga harus janji."

Wijaya mengerutkan kening.

"Janji apa, Ma?"

"Jangan pernah sia-siakan aku. Jangan masukin aku ke rumah jompo, apa pun yang terjadi."

Wijaya merasa lega. Janji seperti itu tidak sulit baginya.

"Jadi kita sama-sama berjanji ya, Ma?"
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Leoni menarik Wijaya hingga tubuh lelaki itu jatuh ke atas pangkuannya di kursi roda. Leoni memeluknya erat sekali. Kedengaran ia sesenggukan. Wijaya dipenuhi keharuan.

* * *

Malam itu Robin memenuhi janjinya pada Barata. Ia menelepon. Mereka membicarakan Leoni diseling tawa.

"Sebenarnya dia itu lucu juga. ya?" kata Robin.

"Pada saat berbicara dengannya sama sekali tidak terasa lucu. Tapi kalau mendengar dia berlaku begitu pada orang lain. baru terasa geli. Seperti yang dia lakukan kepada Pak Hendra. Tidak demikian

terhadap Bu Evi. Saya merasa iba. Nggak jelas kenapa dia tiba-tiba lari ke belakang padahal nenek itu teriak-teriak. Apa benar sakit perut atau bukan. Jangan-jangan sudah nggak tahan mendengar ocehannya. Wajahnya sampai terlihat pucat. Padahal ketika masih di atas mencari orang yang nggak ada itu, dia kelihatan baik-baik saja."

"Sebenarnya untuk orang seperti kita. yang sudah tahu tabiat si nenek, apa pun yang dia katakan tidak lagi terasa menyakiti atau menjengkelkan. Anggap saja dia kurang beres. Mestinya Bu Evi lebih memahami dia daripada kita."

"Mestinya begitu. Tapi kita nggak tahu apa saja yang mereka bicarakan. Saya lihat mereka memandangi anak-anak di kolam renang. Dari tatapan Bu Oni kelihatan dia menyukai mereka. Asyik dan intens sekali caranya memandangi anak-anak itu. Tapi Bu Evi justru mengamati si nenek. Mungkin dia teringat anaknya, ya?"

"Mungkin saja."

"Kasihan, bukan?"

"Saya punya saran, Bar. Sebaiknya kautelepon Nadia dan ceritakan padanya juga."

"Ini sudah malam."

"SMS dulu saja. Kalau ada sambutan, baru telepon."

"Baik."

Barata tidak bertanya kenapa. tapi ia tahu maksud Robin. Bila Nadia tahu, pasti dia tidak akan tinggal diam. Dia akan bertanya pada Evita. Mereka berdua

sama-sama perempuan dan tampaknya cukup akrab. Pasti Evita senang bercerita pada Nadia. Itu berarti Robin akan mendapat informasi yang lebih jelas dari Nadia. Pintar dia, pikir Barata. Bisa dapat info dari mana-mana. Info yang bergulir seperti bola lalu mampir ke telinganya. Biarpun menyadari hal itu, Barata tidak merasa dimanfaatkan. Sebaliknya. ia justru senang bisa menyampaikan info baru kepadanya. Mungkin senang bisa ikut andil dalam upaya menemukan kebenaran meskipun info yang diperolehnya kemungkinan tidak ada sangkut-paut dengan kasusnya.

Barata berhasil menghubungi Nadia. Dari pengakuan dan nada suara Nadia, jelas gadis itu senang sekali diberitahu. Ia sendiri pun merasa senang karena bisa membuat Robin dan Nadia senang.

Tetapi rasa senang itu tidak membuat tidurnya nyaman. Sepertinya Leoni sedang mengawasinva!





ESOKNYA, Nadia ditelepon Ava di kantornya. Ava bercerita tentang kejadian kemarin sore di Apartemen Srigading, seperti yang didengarnya dari Rama.

"Kebetulan, Mbak. Aku juga dapat cerita yang sama dari Barata semalam. Tapi panjang nih kalau di telepon."

"Datang saja kemari pulang kantor. Sekalian makan bersama kami."

"Baik."

Pucuk dicinta ulam tiba, pikir Nadia. Ia memang ingin bertemu Agung.

Tak lama kemudian Evita meneleponnya.

"Aku menelepon dari lobi. Na. Mumpung Wijaya belum berangkat. Aku pengin cerita tentang kejadian kemarin sore. Apa sudah ada yang cerita padamu? Mungkin Rama? Kata Pak Hendra, dia akan menelepon Rama tentang kejadian itu."

"Ya. Aku ditelepon Barata."

"Oh. jadi sudah tahu cukup banyak dong ya. Tapi bukan itu yang jadi masalah pokok buat saya, Na. Aku pengin curhat sama kamu. Tapi kayaknya kalau di telepon agak sulit ya."

"Kau mau ketemu? Kapan?"

"Bisakah kau ke sini usai ngantor? Wijaya akan kembali cepat ke rumah. Jadi dia bisa jaga Mama. Kita ngobrol di lobi atau taman aja."

"Tentu aja bisa."

"Terima kasih, Na. Kalau kau sudah sampai kirim SMS aja. Nanti aku turun."

Sesudah berbicara dengan Evita, Nadia mengirim SMS kepada Ava untuk mengabarkan ia akan datang terlambat. Tentunya ia harus mendahulukan Evita.

Pertemuannya dengan Evita berlangsung mengharukan karena Evita memeluk dan mencium pipinya. Wajahnya pun menyiratkan kesenduan. Karena di lobi suasananya ramai, Evita menggandengnya ke taman. Barata berpapasan dengan mereka, lalu mengangguk dengan sopan.

"Selamat Sore," katanya.

"Sore, Bar. Sudah mau pulang?" tanya Nadia.

"Iya. Mari, Bu Evi? Na?"

Barata tak ingin berlama-lama. Ia menyadari posisinya di tempat itu.

"Dia sangat membantu," kata Evita.

Mereka duduk di tepi kolam renang yang sepi.

"Kemarin aku dan Mama duduk di sini sesudah

berkeliling. Tentang Mama-lah yang ingin kuceritakan. Aku nggak bisa curhat kepada Wijaya karena Mama adalah ibunya. Entar aku dianggap paranoid atau keterlaluan. Lagi pula aku kan harus menghargai dia. Tapi aku nggak bisa nyimpan sendiri."

"Ya. Aku paham. Ceritalah, Ev."

Mula-mula Evita bercerita tentang kesepakatannya dengan Wijaya, bahwa kelak anak mereka tak boleh diSentuh oleh Leoni. Wijaya setuju karena dia memang menginginkan anak.

"Kadang-kadang. bila Mama bersikap baik aku menyesal. Tapi kalau ingat yang dulu-dulu. dendamku membara lagi. Apakah aku keterlaluan, Na? Aku tahu, Wijaya mengiyakan saja kehendakku karena berpikir aku bisa berubah nanti. Kan masih lama. Jadi susah juga. kan? Aku yakin. bila anakku lahir kelak, Wijaya pun akan membujukku."

"Itu yang kaupikirkan?"

"Oh, bukan itu masalah utamanya, Na. Ini kan masih sekian bulan lagi. Jadi cukup lama untuk melihat situasi. Tapi ada sesuatu yang baru yang membuatku stres."

Evita menceritakan bagaimana setiap kali Leoni membual tentang setan yang dilihatnya dan menyombongkan keberaniannya selalu menimbulkan rasa mual dan tidak nyaman. Ia sampai muntah dan merinding sesudahnya.

"Aku melihat dia bukan sebagai seorang pemberani seperti yang kaukagumi, tapi sepertinya dialah si setan atau sekutunya. Kemudian muncul rasa takut dan muak. Kadang-kadang terpikir, siapakah dia sebenarnya? Pikiran yang aneh, bukan? Aku tidak mengatakan hal ini kepada Wijaya. Aku takut dia marah lalu membujukku untuk ke psikiater. Bisa jadi dia akan berpikir, yang salah bukan ibunya tapi aku. Selama ini aku masih bisa mengandalkan Wijaya untuk membelaku. Tapi lama-kelamaan bisa saja dia berubah."

"Aku salut bahwa kau tidak cerita tentang anggapanmu terhadap Bu Oni. Baiknya memang begitu. Jangan konfrontir dia dengan ibunya. Dia akan serba salah. Tapi apa kau nggak cerita tentang muntah muntah itu?"

"Oh. yang itu aku cerita. Aku juga minta dia memberitahu Mama supaya nggak ngomong soal setan lagi karena aku nggak tahan mendengarnya. Dia langsung menyampaikannya. Katanya, Mama sudah berjanji untuk nggak ngomong begitu lagi. Sepanjang hari ini dia menepati janjinya."

"Kayaknya Wijaya cukup bijak, Ev. Kau bisa bersandar padanya. Dia akan senang kalau diberi kepercayaan. Satu hal yang penting adalah jangan sudutkan dia melawan ibunya. Jangan sekali-sekali berpikir bahwa kau lebih punya pengaruh karena mengandung anaknya. Ini bukan soal menang atau kalah. Selama ini sikapmu kepada Bu Oni baik sekali. Aku salut."

"Tapi kalau kelakuannya seperti kemarin itu aku nggak tahan. Na. Aku takut. Bahkan kalau dia nggak ngomong begitu pun aku jadi tegang sendiri,

kapan kiranya omongan seperti itu keluar lagi. Entah kenapa, aku punya perasaan bahwa dia menunggu kesempatan saja. Apakah itu disebabkan karena kehamilan, Na?"

"Wah, aku nggak tahu banyak tentang kehamilan. Aku memang pernah menganggap Bu Oni itu pemberani melihat kegagahan dan kemandiriannya walaupun cacat, tapi kalau dia bersikap seperti yang kauceritakan tadi, rasanya aku jadi merinding juga. Reaksiku tidak akan berbeda darimu. Hanya karena aku tidak sedang hamil maka tidak sampai muntah. Mungkin itu yang berhubungan dengan kehamilan. Bukankah situasi hamil itu luar biasa? Ada hormon hormon yang lebih, ada proses yang rumit di dalam tubuh."

"Jadi kaupikir itu wajar? Bukan sesuatu yang kurang beres hingga aku perlu ke psikiater?"

Nadia meraih tangan Evita dan menepuk-nepuknya.

"Ev, orang yang ke psikiater itu tidak selalu karena dia merasa kurang beres. Dia juga bisa curhat dan mendapatkan ketenangan. Tapi tergantung juga pada psikiaternya. Apakah dia simpatik dan bisa diandalkan? Psikiater itu kan manusia juga. Yang brengsek dan tidak profesional juga ada. Jadi menurutku kalau cuma stres ringan sih mending curhat sama orang yang bisa kaupercaya. Kalau sudah berat mau nggak mau harus ke orang profesional karena dia bisa memberikan obat."

"Menurutmu sendiri, kondisiku ini apakah tergolong berat nggak?"

"Dari kacamata orang awam kupikir kau bisa mengatasi masalahmu dengan baik sekali. Kalau berat kan nggak bisa."

"Ah, senang bicara sama kau. Wijaya orangnya baik, tapi aku nggak bisa ngomong seperti itu padanya."

"Itu menandakan kau cukup bijak, Ev. Kau bisa membedakan. Aku salut dan kagum padamu. Punya mertua seperti itu tapi kau tetap tabah."

"Kalau Wijaya nggak mendukung pasti aku nggak akan bisa tahan, Na. Dia berpesan supaya aku nggak segan memberitahu kalau ibunya ngomong begitu lagi."

"Kalian memang serasi. Oh ya, kapan rencana pindah?"

"Akhir bulan ini. Rumah yang akan kami tempati sedang dibereskan. Nggak terlalu besar, kira-kira lebih besar sedikit dari Apartemen Srigading. Tapi ada kebunnya. Lokasinya lumayan, dekat kantor meskipun Srigading jauh lebih dekat."

"Kalau sudah pindah pasti suasananya beda. Kau harus segera mencari pembantu, Ev. Jadi kau bisa aktif lagi. Di rumah terus bersama Bu Oni memang bisa membuatmu tertekan."

"Ya. Aku sudah memikirkan hal itu. Bi Ipah, pembantu Bu Hendra, yang selama ini membantu kami, mengajukan adiknya yang katanya bisa dipercaya. Kalau Mama bisa mandiri seperti sekarang ini, kukira cukup punya seorang pembantu saja. Rumahnya kan nggak besar." .

"Baguslah kalau sudah ada solusinya. Untuk sementara baiknya dipantau dulu kerja dan tabiatnya sebelum ditinggal-tinggal. Jangan terlalu percaya pada orang yang baru dikenal."

"Betul. Na. Kayak si Ningsih itu. ya?"

"Ya." Nadia tak ingin membicarakan kasus Ningsih lagi.

Evita pun tidak bermaksud membicarakannya. Ia beralih ke topik lain.

"Aku ngobrol sama Santi, tetangga depan. Dia menyesal kenapa kami pindah. Jadinya mereka cuma berduaan saja di lantai tujuh. Aku bilang aja, Mama pengin punya kebun. Untunglah dia dan suaminya nggak tahu tentang peristiwa kemarin sore itu. Pak Hendra meminta kami untuk tidak bercerita kepada orang lain. Kasihan, katanya. Toh kami akan pindah. Betul juga sih. Buat apa aku cerita sama mereka. Yang harus dijaga adalah mulut Mama itu. Aku memutuskan untuk nggak lagi mengajaknya berjalan-jalan."

"Betul sekali." Nadia membayangkan Leoni akan meneror orang-orang dengan cerita setannya. Maksud Leoni tentu untuk membanggakan keberaniannya, tanpa peduli orang lain menjadi ketakutan.

"Nanti kunjungi kami kalau sudah pindah, Na."

"Tentu saja. Oh ya, apa Bu Oni masih ingat sama Agung?"

"Masih. Dia pengin ketemu. Apa kira-kira kami boleh berkunjung ke rumah Ava, ya? Aku bilang sama Mama, untuk sementara Agung belum boleh

ketemu orang. Dia mesti dibohongi. Kalau nggak mendesak terus."

"Nanti aku ngomong sama Ava. Sebentar lagi aku akan ke rumahnya, Diajak makan."

"Gimana keadaan Agung? Aduh, aku kok lupa nanyain dia. Ngomongin masalah sendiri terus."

"Dia senang sekali menerima kirimanmu. Yang dibingkai itu digantung di kamarnya di samping tempat tidur. Jadi sebelum tidur dia bisa memandanginya. Katanya, tolong sampaikan terima kasih padamu. Dan puzzle yang belum jadi langsung dikerjain dengan bersemangat."

Mata Evita berbinar senang.

"Waduh. anak itu santun ya? Bikin aku kangen. Mudah-mudahan bisa cepat ketemu."

"Aku kira bisa kok. Ava sudah semakin optimis."

"Yang penting kan nggak ngomongin soal itu, ya?"

"Ya."

"Nanti kalau ketemu bilang aku titip peluk cium sama dia."

"Tentu."

"Oh, Na, aku harap anakku bisa kayak Agung. Cakep dan santun. Dulu Dino masih terlalu kecil saat pergi hingga sulit membayangkan kalau sudah segede Agung."

"Nanti mau USG supaya tahu jenis kelaminnya?"

"Aku dan Wijaya sepakat nggak akan melakukan

itu. Biar jadi surprise. Perempuan atau lelaki kan sama saja."

"Betul sekali."

Mereka berpisah setelah berjanji untuk terus saling berhubungan. Nadia berjanji akan bertanya pada Ava apakah sudah bersedia menerima kunjungan tetangga mereka di Srigading.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di rumah Ava, Nadia menjumpai Ava yang sedang sendirian. Agung belum pulang berjalan-jalan bersama Rama. Mereka ke toko buku. Nadia mendapat kesempatan untuk bicara lebih leluasa. Bila ada Agung percakapan tentunya mesti dijaga.

Mula-mula Nadia bercerita tentang kejadian kemarin sore di lantai tujuh dan apa saja yang dilihat dan dikatakan oleh Leoni. Tapi isi curhat Evita tidak diceritakannya. Yang itu tentu bersifat pribadi. Setelah memperbincangkan dan mendiskusikan kelakuan Leoni, mereka sepakat bahwa Leoni pasti telah salah lihat. Atau sengaja mengada-ada. Maksudnya tentu untuk menyombongkan diri seakan dia tidak punya rasa takut. Setelah itu barulah Nadia menyampaikan keinginan Evita untuk berkunjung.

Di luar dugaan Nadia, ternyata Ava tak bisa segera menjawab. Ia mengatakan akan memberi kabar kalau sudah siap.

"Apakah kau masih merasa khawatir?" tanya Nadia.

"Bukankah dia sudah menjalani hidup normal? Sekolahnya lancar demikian pula pergaulan dengan teman-temannya."

"Entahlah. Mungkin juga aku agak paranoid. Aku

sudah puas melihat kehidupan Agung sekarang. Jadi aku nggak ingin ada yang mengganggu."

"Jadi kau ingin orang-orang seputar kasus Agung itu menyingkir dari kehidupan Agung sekarang? Mereka bisa saja disuruh menyingkir meskipun dengan perasaan pahit. Semua demi Agung. Tapi tidak demikian dengan Agung sendiri. Dia kan punya memori yang nggak bisa dihapus. Dia harus hidup dengan ingatan itu. Yang penting kan bagaimana dia menerimanya. Aku pikir dia sudah bisa menerima."

"Dari mana kau menyimpulkan demikian? Agung itu kan nggak pernah ngomongin lagi kasusnya. Kalau dia sudah menutupnya masa kita harus membukanya?"

"Aku terus terang saja, Mbak. Dia ngomong bisik-bisik sama aku, pengin ketemu Barata. Terus pesan supaya Robin menangkap setan item. Rupanya dia punya feeling atau insting bahwa kau nggak suka percakapan semacam itu. Kalau nggak, kenapa harus bisik-bisik sepertinya rahasia?"

Ava terkejut.

"Oh. dia begitu. ya? Aku nggak tahu. Kenapa kau baru bilang sekarang?"

"Aku masih ingin melihat perkembangan."

"Tapi risikonya itu, Na. Kadang-kadang aku ingin mengajak Rama dan Agung pindah jauh dari sini. Kalau perlu ke luar kota. Tapi tentu nggak mungkin," kata Ava dengan pandang merenung.

"Kau takut dia akan histeris lagi kayak dulu? Aku pikir nggak. Tapi aku maklum ketakutanmu.

Kau harus bisa mengatasinya dulu. Agung bisa merasakan, Mbak. Mungkin justru dia yang tak ingin membuatmu khawatir."

Ava termangu. Tentu dia menyadari sikapnya yang overprotective terhadap Agung. Tapi ia tak bisa menghilangkannya. Di samping khawatir, ia juga ingin mengganti semua yang dulu tak diberikannya kepada Agung.

Nadia merasa iba. Ia menepuk Ava.

"Sudahlah, Mbak. Nggak usah dipikirin. Ada saatnya semua akan bisa kawatasi. Sabar saja. Tapi, ya, ada tapinya lho. Kau harus berupaya juga untuk bisa mengatasinya. Jangan serahkan semuanya pada waktu."

"Bagaimana mengupayakannya, Na?" tanya Ava dengan nada mengeluh.

"Jangan mikirin ketakutanmu semata. Tapi lihat kenyataan pada diri Agung juga. Kalau dia mampu mengatasi, jangan larang-larang atau menarik dia agar menjauh. Biarkan dia tumbuh normal dan mengikuti suara hatinya."

"Maksudmu kalau dia menggiring percakapan ke arah kasus itu, biarkan saja begitu?"

"Ya. Bukankah selama ini kau buru-buru menyela atau membelokkan percakapan ke arah lain? Itulah yang selama ini kulihat. Dia tentunya merasa juga."

"Bukankah sebaiknya anak-anak tidak ngomong soal setan-setan dan sejenisnya itu?"

"Tapi ini beda, Mbak. Kita tahu betul, bukan setan beneran yang berperan. Dia menyebutnya setan

karena penampilan pelaku kayak setan. Ingat mantel hitam dan topeng yang ditemukan itu? Aku suka mikir, alangkah baiknya bila soal itu dijelaskan kepadanya. Jangan malah dilarang ngomong. Dan orang yang paling tepat menjelaskan kepadanya adalah Robin. Jadi dia juga belajar tentang fakta."

"Aku...," Ava ragu-ragu meneruskan.

"Pikirkan saja dulu, Mbak. Bicarakan dengan Mas Rama."

Percakapan mereka terhenti karena Agung berlari masuk. Dia sudah melihat mobil Nadia di halaman. Langsung saja ia memeluk dan mencium Nadia yang menyambutnya sambil berjongkok.

"Tante Nana!" serunya dengan gembira.

Nadia merasa terharu. Anak itu masih mencintainya seperti dulu biarpun sekarang sudah menerima cinta kasih berlimpah dari orangtuanya. Bukankah setiap orang memang memberi cinta yang berbeda rasanya? Sentuhan setiap orang tak sama. Ia berharap Ava memahaminya. Banyak orang mencintai Agung, tapi tak bisa disamakan dengan cinta Ava. Ketika ia berdiri dan sempat melirik Ava, ia tahu Ava tidak merasa iri. Tentu ia sendiri sudah lama mencintai dan dicintai Agung, tapi sekarang situasinya jadi berbeda karena Ava sangat ingin dicintai Agung juga.

Rama masuk, tersenyum dan menyapa Nadia. Ia menyodorkan kantong plastik yang dijinjingnya kepada Agung. Lalu Agung memperlihatkan bukubuku yang baru dibelinya itu kepada Nadia. Ternyata semuanya buku-buku tentang anjing dan di antaranya khusus tentang anjing jenis Golden Retriever.

"Bahasanya Inggris, Tante. Nanti aku kasih lihat Oom Bara ya. Biar dia yang ceritain," kata Agung dengan antusias.

"Tante juga bisa bahasa Inggris. Mama dan Papa juga bisa," kata Nadia, tertawa.

"Tapi Oom Bara lain, Tan. Dia juga senang sama anjing. Si Iwan juga pernah cerita. Dulu punya anjing, tapi orang di kampungnya nggak suka sama anjing. Jadi terpaksa dikasih orang. Dia sedih sekali."

Nadia tertegun. Ia spontan bertukar pandang dengan Rama dan Ava. Itu cerita baru lagi dari Agung perihal temannya dari alam lain, Iwan, putra Barata. Padahal dulu ia bilang tak ada cerita lain.

Agung tidak menyadari pertukaran pandang antara orang-orang di dekatnya. Dia asyik membalik-balik halaman buku yang penuh dengan gambar cantik dan berwarna indah. Jelas dia terpesona sekali.

Ketiga orang dewasa menjauh sedikit.

"Kau sudah lama, Na?" tanya Rama.

"Oh, sudah. Aku sudah cerita banyak sama Ava."

"Gimana tentang kejadian kemarin itu? Apakah serius?"

Nadia bercerita seperti yang diceritakannya kepada Ava tadi.

"Jadi mereka tidak menemukan apa atau siapa Siapa di dalam apartemen?"

"Nggak. Cuma yang terlihat beda adalah kursi terguling di dekat pintu apartemen Wijaya."

"Oh ya. aku memang mendengar suara gedebuk yang gaduh hingga aku kaget sekali. Tapi waktu aku mengintip yang kulihat adalah kursi roda yang kosong di ambang pintu yang sudah terbuka. Tidak kelihatan Bu Leoni. Lalu kursi roda ditarik menghilang ke dalam, tak kelihatan lagi. Sesaat kemudian Bu Leoni sudah duduk di atasnya, lalu dia keluar dan menggabrukkan pintu."

"Aku jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang lebih dulu masuk ke dalam apartemen masing-masing. Mas atau dia?"

Rama berpikir sejenak.

"Ketika aku barusan sampai, di lorong sepi. Tak ada suara apa-apa dari apartemen seberang. Aku masuk dan sibuk memasukkan barang-barang ke dalam dus. Kalau Bu Oni masuk belakangan dan menggabrukkan pintu untuk menguncinya lagi, pasti dia melakukannya dengan keras. Dia kan di kursi roda. Jadi pasti aku bisa dengar. Tapi aku nggak dengar apa-apa sampai saat mau keluar itu. Sudah mau membuka pintu ketika kudengar suara gaduh, sampai aku buru-buru memasang selot pintu. Jadi pastilah dia lebih dulu ada di dalam."

"Waktu masuk kau menggabrukkan pintu?"

"Iya. Keras, lagi. Sengaja untuk mengatasi sepi."

"Kalau Bu Oni sudah di dalam pasti dia dengar. Dia tahu ada orang yang masuk ke seberang." "

"Lantas kenapa?"

"Siapa tahu dia sengaja mengatur semuanya?"

"Maksudmu?'

"Iya. Dia sengaja membuat kegaduhan, supaya kau bisa mendengar. Setelah dia memperkirakan kau mengintip, dia membuka pintu lalu memperlihatkan pemandangan seperti yang kaulihat."

"Itu berarti dia harus turun dari kursi rodanya dong. Aku lihat kursinya kosong kok. Lagi pula buat apa dia repot begitu?"

"Aku lihat dia terampil menjalankan kursi rodanya. Bahkan bisa mengangkat badannya kalau ada tempat bertumpu. Misalnya dia duduk dulu di kursi lalu mendorong kursi rodanya supaya terlihat olehmu, kemudian menjatuhkan kursi lain dengan keras. Dia bertenaga lho, Mas. Jangan anggap sepele."

"Tapi buat apa dia melakukan itu?" Ava bersuara.

"Orangnya suka sensasi. Dari cerita Evi, aku menyimpulkan begitu. Dia bangga dianggap berani dan nggak takut sama setan."

"Tapi dia kelihatan benar-benar terkejut waktu aku menggabrukkan pintu. Kursi rodanya berputar sembilan puluh derajat. Mulutnya setengah terbuka dan tangannya mendekap dadanya."

"Pura-pura kan gampang."

"Kau kedengaran antipati. Dulu kagum," kata Ava.

"Bukan antipati. ini sekadar menganalisa saja kale"

"Jadi menurut kesimpulanmu, apa yang dia lihat itu cuma ngarang saja?" tanya Rama.

"Ya. Yang lihat cuma dia sendiri. Pintu terkunci, nggak ada tanda dibuka paksa. Di dalam nggak ada jejak. Mau cari apa orang itu di tempat yang sudah ditinggalkan? Pasti nggak ada barang berharga di sana. Terus dia menyimpulkan sendiri bahwa yang dia lihat itu adalah setan."

"Bener juga sih," kata Rama. Ia senang kalau kesimpulan Nadia itu memang benar.

Agung datang bergabung.

"Ada apa sih kok ngomongnya rame amat?" ia bertanya.

Rama dan Ava tidak bisa segera menjawab. Nadia yang berbicara.

"Tadi aku ketemu Tante Evi. Jadi banyak deh obrolannya. Dia dan keluarganya mau pindah nggak lama lagi. Dia titip peluk cium untukmu. Kalau sudah pindah nanti dia pengin mengunjungimu, Gung."

Waktu berkata begitu Nadia menghindari tatapan Ava.

Mata Agung bersinar. Ia kelihatan senang.

"Aku juga pengin ketemu Tante Evi. Kalau dia ke sini aku mau kasih lihat puzzle-puzzle-ku yang hampir jadi. Oh iya, semalam aku mimpi ketemu Iwan dan Dino."

Suasana mendadak sepi. Rama, Ava, dan Nadia, sama-sama terkejut. Karena suasana seperti itu Agung menoleh pada ketiganya, lalu dia pun terkejut. Ada pemahaman di wajahnya.

"Itu kan cuma

mimpi. Nggak beneran," katanya, seolah mengajukan protes atas keterkejutan yang tidak sepatutnya.

"Ya, ya. Tentu saja. Cuma mimpi," Nadia membenarkan.

"Ya. Mama sempat lupa." Ava menambahkan.

"Papa juga." sambung Rama.

Tetapi Nadia tidak berhenti sampai di situ.

"Mimpinya ngapain aja, Gung?" tanyanya. Ia merasakan tatapan tajam Ava di sampingnya. Tapi ia pura-pura tidak melihat.

Agung tidak memandang Nadia, tapi ibunya.

"Mereka tanya apa aku baik-baik aja. Terus pelukan dan ciuman. Udah deh."

"Agung bilang apa sama mereka?" Nadia bertanya lagi.

"Aku baik-baik aja. Semua sayang sama aku. Tante Evi dan Oom Bara juga sangat baik."

"Benar cuma itu aja?" tiba-tiba Ava bertanya.

"Iya, Ma. Itu aja kok. Mama nggak usah takut."

Ava dan Rama terkejut. Tapi Nadia tidak.

"Ah, Mama nggak takut." kata Ava sambil berjongkok lalu memeluk Agung.

Rama membelai kepala Agung. Nadia agak menjauh. Ia senang akhirnya Agung mau mengutarakan isi hatinya.

"Sekarang kita makan?" ajak Rama. Ia berharap Ava tidak bersikap sentimentil.

Sambil makan mereka berbincang tentang anjing untuk menyenangkan Agung. Tentang si Poni dan saudara-saudaranya yang disuntik dokter hewan,

tentang kelakuan mereka yang lucu menggemaskan. Lalu beralih ke sekolah Agung dan teman-temannya. Kemudian Agung bertanya,
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oma Oni masih suka marah, Tan?"

"Kadang-kadang saja. Sekarang katanya sudah jauh lebih baik. Dia bilang pengin ketemu kamu," kata Nadia.

"Aku nggak mau dipangku, dipeluk, dan dicium oleh Oma Oni," kata Agung.

"Kenapa? Apa dia bau?" tanya Rama.

"Iya. Bau itu tuh. Minyak apa sih? Ambilnya dari botol kecil terus dioles-oles ke sini, ke sini...." Agung menunjuk lehernya. keningnya.

"Oh, itu minyak angin, Gung. Dia memang suka pakai itu," kata Nadia.

"Emangnya kamu bilang sama dia, baunya nggak enak?" tanya Ava.

"Iya, Ma. Emang gitu, kan?"

"Terus dia marah?"

"Iya."

"Jadi kamu nggak mau ketemu dia? Kalau nggak mau, nanti aku bilang sama Tante Evi," kata Nadia.

"Nanti Oma bisa marah lagi. Kasihan Tante Evi."

"Biar Tante Evi bilang mau pergi ke mana. gitu, padahal perginya ke sini. Oma kan ada yang jaga," kata Nadia.

"Dibohongin? Jangan. ah. Nggak apa-apa dia ke sini," kata Agung.

"Nggak takut, kan?" tanya Ava, lebih rileks sekarang.

"Sedikit sih. Oma Oni kayak beruang. Aku takut dimakan. Hiii..."

Mereka tertawa. Sikap Agung mencairkan ketegangan dan kekhawatiran Ava.

"Baiklah. Jadi kasih tahu aja, sudah ada lampu hijau, Na." kata Ava.

"Asal diberi kabar dulu kapan mau datang. Kita kan bisa lebih siap."

"Aku pengin hadir kalau mereka datang," kata Nadia.

"Tentu saja. Adanya kau sangat menolong. Undang Barata dan Robin juga. Biar kita kumpul ramai-ramai," lanjut Ava.

Rama dan Nadia tercengang. Agung pun melongo sejenak lalu dia bersorak.

"Horeee! Bisa ketemu Oom Robin dan Oom Bara!"

Nadia tersenyum. Rama mengangguk dengan wajah ceria.

Ketika sudah berada kembali di kamar kosnya yang sempit, Nadia mengirimkan berita gembira itu kepada Barata dan Robin. Seperti sudah diduga keduanya menyambut dengan penuh semangat dan kegembiraan.





KARDUS-KARDUS sudah menumpuk di apartemen Evita. Sebagian sudah terisi dan ditutup. Sebagian lain masih terlipat. Barang-barang yang akan diangkut duluan adalah barang yang tidak digunakan tiap hari. Sedang barang-barang yang masih tertinggal di apartemen lama akan diurus belakangan. Itu akan diselesaikan oleh Wijaya kalau mereka semua sudah pindah.

Evita merasa lelah dan bosan kembali memindahkan barang-barang. Nanti di rumah baru harus menata kembali. Wijaya sudah berpesan agar ia tidak terlalu lelah. Perlahan-lahan saja, katanya. Ia akan membantu kalau sudah pulang dari kantor. Tapi Evita tidak betah berdiam diri apalagi Leoni juga sibuk dengan barang-barangnya sendiri. Ia minta disediakan dus untuknya pribadi, yang tak boleh disatukan dengan dus lain. Lalu diberi label namanya. Jadi nanti kalau tiba di rumah baru, ia sendiri pula yang akan membongkar dan merapikan ke tempat barunya. Baik Wijaya maupun Evita membiarkan saja apa maunya. Kalau memerlukan bantuan tentu ia akan berteriak.

Siang itu Bi Inah. adik Bi Ipah. yang sudah mulai bekerja tapi tidak menginap, sudah pulang ke rumahnya. Kelak di rumah baru dia akan tinggal di dalam. Dia tidak suka tinggal di apartemen, apalagi di lantai tinggi, karena merasa terkurung. Menurut dia, apartemen hanya cocok untuk orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar, bukan untuk yang seharian di rumah.

Evita memang tidak terburu-buru. Sambil memasukkan barang ke dalam dus, ia mengamatinya satusatu dengan kenangan bergulir. Hampir semua barangnya memiliki kenangan tersendiri. Baju-baju hamilnya yang dulu ia kenakan saat mengandung Dino dimasukkan dus tersendiri. Semua masih bagus. Nanti bisa dipakai lagi.

Ketika mengamati satu-satu baju-baju itu ia terkejut karena tiba-tiba mendapati tatapan Leoni yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya. Semula ia sibuk di kamarnya. Kursi rodanya tak kedengaran berdecit. Beberapa hari sekali disuruhnya Wijaya memberi oli di putaran rodanya supaya jalannya mulus. Ia bisa lancar memutar dan membelokkan kursinya karena sudah diberi alat pemutar di kedua sisi. Kedua tangan Leoni memang kuat. Sepertinya kelemahan di kaki mendapat kompensasi di tangan.

Semula Evita mengira Leoni akan berkomentar, tapi ternyata tidak. Ia diam saja mengamati.

"Mama capek?" tanyanya, tak tahan dengan keheningan itu.

"Nggak," sahut Leoni singkat.

"Mau minum, Ma?"

"Nggak. Kalau mau. aku ambil sendiri aja."

Jawaban kemandirian seperti itu sudah sering didengar Evita. Ia pun hanya berbasa-basi saja karena tak enak berdiam diri. Ia menoleh untuk melihat ekspresi wajah Leoni. Tampaknya Leoni sedang merasa tertarik. Ia jadi merasa tak nyaman. Apakah Leoni curiga karena ia sedang membenahi baju-baju hamilnya? Tatapan Leoni pun intens kepada bajubaju itu. Bukan kepadanya. Ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, lalu menutup dus dengan lakban.

"Mama udah beres?" tanyanya.

"Belum. Ngaso dulu. Baiknya kamu juga."

Evita memutuskan untuk mematuhi saran itu. Daripada dipelototi dalam keheningan.

Leoni menggerakkan kursi rodanya ke dapur.

"Aku mau bikin sirop. Kamu mau?" ia bertanya sambil bergerak maju.

Evita tertegun sejenak lalu buru-buru menyahut,

"Nggak ah, Ma. Terima kasih."

Ia mengamati kursi roda berikut isinya itu menggelinding pergi. Dahinya mengernyit. Sebenarnya bukan baru sekali itu Leoni bersikap manis kepadanya. Bila ada Wijaya ia bisa lebih manis lagi. Tetapi tetap saja ia merasa sulit menerima kebaikan itu dengan perasaan syukur atau senang. Sebaliknya ia melihatnya seperti sesuatu yang terbungkus gula. Manis di luar tapi dalamnya entah apa. Tapi ia tidak mengutarakannya kepada Wijaya karena merasa tak enak. Sedang Wijaya sendiri kelihatan senang dan bangga. Ia tentu menganggap ibunya sudah berubah. Aku tidak begitu gampang percaya. Apakah orang bisa berubah begitu cepat? Apalagi kata orang semakin tua umur semakin sulit berubahnya. karena seperti besi dia sudah karatan.

Tapi jauh di dalam hatinya. Evita harus mengakui bahwa sedikit-banyak pikiran dan perasaan itu dipengaruhi oleh dendamnya.

Leoni kembali dari dapur. Evita sedang rebah di sofa sambil membaca majalah.

"Mending kamu tidur di kamar aja biar lebih enak," kata Leoni.

"Aku nggak mau tidur, Ma. Entar mau kerja lagi. Mama aja tidur."

"Baik. Aku tiduran dulu."

Leoni meluncur ke kamarnya. Pintunya digabrukkan. Sudah kebiasaan dia memperlakukan pintu seperti itu. Baik sedang marah maupun tidak.

Evita bernapas lega. Akhirnya aku bebas dari gangguan, pikirnya. Terpikir untuk menelepon Wijaya. Sekadar mengobrol sejenak. Tapi kemudian terpikir bahwa Leoni bisa menguping. Bicara pun tidak leluasa. Ia yakin biarpun berada di kamar Leoni bisa menajamkan telinganya.

Lama-kelamaan ia jadi mengantuk lalu tertidur. Entah berapa lama, cukup lama atau belum lama, karena ia tak sempat melihat jam. Ia tersadar setelah sayup-sayup mendengar bunyi pintu menggabruk. Tapi ia malas bangun dan membuka mata karena terpikir bahwa itu pastilah Leoni yang keluar dari kamar lalu menggabrukkan pintunya. Jadi biarkan saja. Ia hampir tertidur lagi ketika mendadak matanya terbuka lebar. Yang didengarnya itu bukan bunyi pintu kamar digabrukkan. melainkan pintu depan karena ada suara "klik" di belakangnya, pertanda terkunci. Kalau benar berarti Leoni keluar apartemen, bukan ke luar dari kamar. Bukankah ia ingin tahu ke mana Leoni pergi dan apa yang dilakukannya? Pastilah ke apartemen mereka yang lama. Tapi mau apa dia ke sana? Mencari barang lagi padahal dia sudah pernah mencari sebelumnya? Tempat itu memang belum dirapikan barang-barangnya untuk diangkut karena bisa dilakukan belakangan. Tapi yang membuatnya tak habis pikir adalah keberanian Leoni kalau benar dia ke sana. Dulu katanya dia pernah melihat setan masuk ke situ. Tapi kenapa sekarang malah mau ke situ lagi? Pastilah benar kesimpulan Nadia, bahwa apa yang dulu dikatakannya tentang setan yang masuk ke situ adalah rekaan belaka. Itu sebabnya sekarang dia tidak punya beban.

Evita duduk tegak. Ia memandang kamar Leoni yang tertutup rapat. Mestinya ia memastikan dulu apakah Leoni berada di kamarnya atau tidak.



Mungkin tadi ia cuma dengar-dengaran saja. setengah mimpi atau memang mimpi. Tapi ia segan membuka kamar Leoni untuk memastikan apakah mertuanya itu berada di kamarnya atau tidak.

Kemudian ia melompat karena teringat akan kunci apartemen lamanya yang tersimpan di laci bufet. Kunci itu ada dua. Satu ditinggal dan satu untuk dibawa penghuni yang keluar. Juga untuk jaga-jaga kalau kunci tertinggal di dalam padahal semua orang ada di luar karena mereka tak bisa masuk setelah menggabrukkan pintu. Jika itu terjadi mereka terpaksa meminjam kunci duplikat yang disimpan oleh Hendra.

Ia membuka laci bufet. Kunci hanya ada satu! Ia tertegun sejenak. Wijaya tidak membawanya lagi karena tak punya kepentingan ke sana. Sejak pindah ia memisahkan kunci itu dari gandengan dengan kunci-kunci lain.

Jadi kunci satunya lagi pasti dibawa seseorang. Siapa lagi kalau bukan Leoni? Ke sanalah dia pergi.

Tetapi kunci pintu apartemen yang ditempatinya itu pun tidak ada. Memang Evita bisa saja keluar, tapi setelah di luar dan pintu ditutup maka ia tak bisa masuk. Berarti kunci itu pun dibawa Leoni supaya Evita bisa masuk sendiri nanti. Tidak salah lagi. pikirnya.

Ia membuka pintu, dan mengganjalnya dengan tubuhnya, lalu memandang lurus ke arah apartemen lamanya. Di sana sepi saja seperti biasa. Ia berpikir

sejenak. Ada keinginan untuk menyusul Leoni untuk memergoki apa yang tengah dilakukannya. Ada rasa takut pergi ke sana sendirian. Tapi, bukankah di sana ada Leoni? Ah, ia juga merasa takut pada Leoni. Di tempat yang bagi orang lain menyeramkan tapi baginya tidak, mungkin membuatnya jadi superior. Dan kemarahan yang timbul karena merasa diintip bisa mengerikan akibatnya. Kengerian itu bukanlah sesuatu yang berakibat bagi diri Evita saja. tapi bagi Leoni sendiri juga. Mungkin saja dia bisa terserang trauma lagi dengan akibat yang lebih fatal. Bagaimana ia menjelaskannya pada Wijaya nanti? Jadi daripada susah-susah, lebih baik ia kembali tiduran saja, dan menunggu kepulangan Leoni. Kali ini pasti kedapatan.

Tetapi keingintahuan itu juga sangat menggoda. Kalau ia tidak melakukannya sekarang, kapan lagi? Rasa penasaran itu akan mengikutinya sampai ke rumah barunya nanti. Apa sih yang dikerjakan Leoni di situ? Leoni tidak perlu marah kalau kedapatan. Evita akan berkata bahwa ia mengkhawatirkan mertuanya itu. Jadi perbuatannya itu adalah suatu bentuk perhatian yang harus ditanggapi positif. Bukan sebaliknya.

Pemikiran yang kedua itu menguasainya. Sekarang ia berpikir bagaimana ia bisa keluar dan nanti masuk lagi. tanpa kunci. Sekali ia berada di luar dan menjepretkan pintu, maka ia tidak bisa masuk lagi. Tapi ia bisa masuk bersama Leoni nanti. Pasti kunci itu ada pada Leoni. Tapi bagaimana kalau

Leoni pun tidak membawa kunci, misalnya meninggalkannya di apartemen lama atau lupa di mana menaruhnya? Orang setua itu tentu otaknya tak sebagus orang muda.

Membiarkan pintu terbuka juga bukan ide yang baik. Siapa tahu ada orang masuk, meskipun kecil kemungkinannya. Tamu yang datang selalu diberitahu lewat interkom dan ditanyai apakah mereka bersedia menerima tamu. Kalau tidak dijawab akan dianggap tidak bersedia, karena penghuni kemungkinan sedang tidur.

Akhirnya ia mendapat akal. Ia mengganjal pintu di sebelah bawah dengan kanon tebal yang dilipat dua supaya pintu tidak sampai menutup. Masih ada renggang sedikit yang tidak kentara. Karton itu pun tidak terlalu kelihatan oleh orang yang berdiri.

Setelah itu ia berjalan cepat-cepat di sepanjang lorong. Ada perasaan kurang nyaman seperti sedang dikejar. Ia tak menengok kanan-kiri atau ke belakang. Langsung menuju apartemen lamanya. Di depan pintu ia diam sejenak, menempelkan telinganya ke pintu. Tapi ia tak mendengar suara apa pun. Ia menoleh ke belakang memandang pintu apartemen yang dihuninya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Aman-aman saja.

Ia mengeluarkan kunci yang tadi dikantonginya. Tangannya gemetar. Ia gugup. Keringat dingin keluar cukup banyak. Kunci di tangan jatuh. Ia memungutnya. Tapi betapa sulit memasukkannya ke dalam lubang kunci. Seperti memasukkan benang ke

lubang jarum yang kecil. Ia menjadi gelisah. Tidak mengerti kenapa ia menjadi seperti itu. Dengan penasaran ia mencoba lagi dan lagi. Tiba-tiba terasa seperti ada pukulan menggeprak tangannya. Kunci jatuh lagi. Ia sangat terkejut. Tapi saat berikut ia tidak begitu yakin apakah itu pukulan atau tangannya mendadak kram. Telapak tangan dan jari-jarinya terasa kaku dan ngilu.

Sekarang ia takut dan jera. Ia memungut kunci dengan tangan kirinya lalu berlari secepat kemampuannya kembali ke apartemennya. Sejenak muncul ketakutan lain. Bagaimana kalau kanon yang diselipkan hilang dan pintu tiba-tiba menutup sendiri? Ia bersiap lari ke lift untuk menemui Hendra dan tentu saja bersiap untuk dianggap sebagai idiot.

Untunglah karton masih di sana. Ia cepat menyelinap masuk lalu merapatkan pintu. Kemudian ia terduduk di sofa dengan lemas. Sesaat ia mengamati tangan kanannya. Ia menggertak-gerakkan jari-jarinya. Tidak ada yang salah dengan tangannya.

Setelah tenaganya pulih dan ia tenang kembali ia berdiri untuk menyimpan kembali kunci ke dalam laci bufet. Betapa terkejutnya ketika ia melihat bahwa kunci satunya lagi ada di situ! Spontan ia melihat ke tembok di pinggir pintu. Di situ terpasang kait tempat menggantungkan kunci pintu. Ternyata kuncinya ada!

Untuk kedua kalinya ia terpuruk di sofa untuk menenangkan debar jantungnya. Bukankah tadi matanya tidak salah melihat?

Apakah Leoni sudah kembali? Tapi mana mungkin tanpa terlihat olehnya?

Setengah jam ia duduk dengan pikiran kosong. Tak sanggup memikirkan atau menganalisa kejadian tadi. Sesudah itu sedikit demi sedikit kejernihan mulai mengaliri pikirannya. Ia harus mendapat kepastian. Ia menuju kamar Leoni. Pelan-pelan ia membuka pintu yang tidak terkunci. Segera bau yang khas menyambar hidungnya. Minyak angin yang selalu dipakai Leoni dalam segala cuaca. Ia harus membuka pintu lebar-lebar karena tempat tidur terletak di pojok belakang pintu. Kepala Evita seperti kura-kura yang menjulur perlahan-lahan dan kemudian menoleh. Lalu ia terkejut bukan main sampai jantungnya serasa berhenti berdenyut oleh pukulan keras ke dadanya. Tubuhnya serasa membeku dan aliran darahnya terhenti. Di atas tempat tidur duduk Leoni dengan sepasang mata melotot tajam kepadanya! Seharusnya sikap seperti itu tidak perlu mengejutkannya sampai sedemikian rupa karena ia sudah sering melihatnya. Tetapi kali ini wajah Leoni tampak begitu beringas. Mukanya merah padam dan pipinya lebih menggembung. Sorot matanya yang memang tajam jadi lebih tajam lagi, bagaikan pisau yang baru diasah dan siap memotong dan mencincangnya! Ekspresi kemarahan ataukah kebencian? Yang seperti itu baru pernah dilihatnya selama mereka hidup bersama di bawah satu atap.

Selama beberapa detik ia mematung. Lalu jantungnya berdenyut lagi. Ia kembali "hidup".

"Ma... ma... maaf, Ma. Aku... aku... kira Mama ti... dur," katanya tergagap.

Lalu ia buru-buru menutup pintu. Kemudian berlari ke kamarnya sendiri. ia mengunci pintunya. Ada ketakutan kalau-kalau Leoni akan mengejar dan menghajarnya! Suatu ketakutan tidak logis yang disadarinya kemudian. Leoni tidak mengejarnya lalu menggedor pintu atau memaki-makinya. Tidak ada suara-suara di luar kamarnya.

Ketika mereka bertemu muka lagi, sikap Leoni seolah tak ada apa-apa sebelumnya. Ia sama sekali tidak menyinggung atau membicarakannya. Tentu saja Evita memilih yang aman. Ia pun bersikap serupa.

Ia tidak mau bercerita kepada Wijaya. Ia tak bisa membayangkan perasaan Wijaya kalau ia menggambarkan ekspresi ibunya seperti itu. Ia juga merasa seperti orang bodoh karena kalang-kabut tidak keruan. Bagaimana kalau Wijaya menganggap dirinya tidak beres? Padahal jelas ia tidak berhalusinasi. Sesuatu yang semula dilihat tidak ada kemudian menjadi ada pasti bukan halusinasi.

Tapi ia harus bercerita pada seseorang.

Evita bertemu dengan Nadia di halaman parkir. Ia khawatir terlalu menarik perhatian kalau berbicara di taman seperti tempo hari.

Nadia mengajak Evita ke kafe dekat Srigading.

di sana mereka bisa bicara leluasa tanpa menarik perhatian orang yang tidak mereka lihat. Ia tahu Barata melihatnya, tapi bersikap cuek. Barata melambaikan tangan saja. Dia sedang bersiap pulang dengan motornya.

"Oh, itu Barata." kata Evita.

"Kayaknya dia perlu juga dengar ceritaku, Na. Soalnya dia kerja di sana. Sedang aku beberapa hari lagi akan pindah."

Jadi Nadia menghentikan mobilnya di pinggir jalan depan Srigading, menunggu Barata keluar dengan motornya, Lalu ia membunyikan klakson. Barata segera menghampiri.

"Ayo, Bar. Kita perlu diskusi bersama." ajak Nadia, padahal ia sendiri belum tahu apa yang mau dibicarakan Evita.

Barata juga tak bertanya. Ia mengikuti saja dengan motornya.

Begitu tiba di kafe yang dituju, Evita menelepon Wijaya untuk memberitahu keberadaannya. Tadi ia mengatakan pada Wijaya ingin bertemu dengan Nadia untuk menanyakan kabar mengenai Agung dan mengobrol hal-hal lain. Wijaya memahami keinginannya tanpa banyak bertanya.
Apartemen Lantai Tujuh Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Evita tidak membuang waktu lagi. Ia segera menceritakan pengalamannya tadi siang. Semuanya, tanpa kecuali.

Kedua orang mendengarkan dengan serius dan sesekali mengerutkan kening. Terutama Barata.

Evita selesai bercerita.

"Nah, sekarang aku ingin mendengar pendapat kalian. Tapi tolong jangan ngomong yang bagus-bagus untuk menyenangkanku. Apakah aku ini neurotik, paranoid, atau agak kurang waras, atau gimana? Terus terang, aku nggak berarti cerita pada suami karena khawatir disangka begitu. Di samping itu tentu saja karena ini menyangkut ibunya. Tapi kalau aku simpan sendiri, rasanya bisa meledak di dalam."

"Baik. Aku duluan berpendapat." kata Nadia.

"Menurutku, pengalamanmu di depan pintu dengan kunci itu riil. Bukan halusinasi, bukan saraf. Sungguhan. Persis seperti saat kita bicara di sini. Bukankah Bu Leoni yang kaulihat itu pun riil? Bukan halusinasi, kan?"

Evita mengangguk.

"Tentu. Dia yang paling riil. Sampai sekarang kalau kukenang wajahnya, rasanya masih merinding saja. Tapi kunci itu benar-benar aneh."

"Semula kau lihat nggak ada, lalu kau pergi. Setelah kembali, keduanya ada. Kita pakai logika saja, Ev. Ada yang menyimpan kemudian mengembalikannya ke situ," kata Nadia.

"Siapa?" tanya Evita.

"Sebentar kita diskusikan. Sekarang kita dengar pendapat Barata. Ayo, Bar," Nadia menatap Barata.

"Semua adalah riil. Yang di depan pintu dengan kunci itu juga dipengaruhi perasaan Bu Evi. Kalau Ibu tenang, nggak takut, mungkin nggak gugup begitu," kata Barata.

"Jangan lupa, aku merasa tanganku ditepak waktu

mencoba terakhir kali. Itulah yang membuatku benar-benar kapok dan tak mencoba lagi. Apakah ada halusinasi perasaan karena kunci sampai jatuh? Lain halnya kalau cuma dibelai atau disentuh."

Barata dan Nadia termangu.

"Kalau saya boleh berpendapat," demikian kata Barata.

"Memang ada sesuatu yang tidak riil, tapi dari luar diri Ibu. Saya bisa ngomong begitu karena pengalaman. Jadi saya pikir, Ibu harus menerimanya saja tanpa mencari-cari kesalahan pada diri Ibu. Bahkan saya kira Ibu beruntung karena pengalaman itu merupakan pesan yang positif. Yaitu, jangan masuk!"

"Wah, aku sependapat dengan Bara!" seru Nadia.

"Itu pemikiran yang bagus. Percaya, Ev. Bara punya pengalaman dalam hal seperti itu meskipun nggak sama. Tapi jangan tanya karena kita harus fokus ke pengalamanmu."

Evita sudah mulai merasa lega.

"Tapi kenapa saya nggak boleh masuk, ya?"

"Tujuan Ibu masuk kan ingin memata-matai Bu Leoni. Mungkin ada risiko kurang baik kalau Ibu masuk," sahut Barata.

"Tapi Mama ada di kamarnya kok."

"Betul. Yang dilihat adalah tujuan Ibu, bukan yang lain."

"Baiklah. Aku memang terdorong oleh ketidaksukaan pada Mama. Mungkin bukan sekadar tidak suka, tapi benci." Evita mengakui.

"Tapi. Na, kau belum menjelaskan soal kunci yang tidak ada dan kemudian ada itu. Gimana pendapatmu?"

"Nggak ada orang lain di situ selain Bu Leoni, kan? Jadi pasti dialah pelakunya. Siapa lagi. Ingat dia begitu gesit bergerak dengan kursi rodanya. Saat kau tertidur bisa saja dia bergerak ke sana kemari."
Pendekar Naga Putih 45 Pengemban Dosa Alice In Wonderland Karya Lewis Carroll Mahesa Kelud Delapan Surat Kematian

Cari Blog Ini